61
1 LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI JUDUL PENELITIAN : KAJIAN TERPADU ASPEK SOSIAL DALAM MENUNJANG KEMANDIRIAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN AGROPOLITAN DUMOGA KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TIM PENGUSUL DR. DRS. I NENGAH PUNIA, MSI/0012016603 VEBI E. B. I. MANTIRI, SPT/1023201151 UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2014 BIDANG UNGGULAN PT : SOSIAL

JUDUL PENELITIAN - repositori.unud.ac.id fileini dilengkapi juga dengan draft artikel jurnal. Kami menyadari bahwa penelitian ini tidak mungkin selesai dikerjakan jika tanpa ada bantuan

  • Upload
    hakhanh

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

LAPORAN AKHIR PENELITIANUNGGULAN PERGURUAN TINGGI

JUDUL PENELITIAN :

KAJIAN TERPADU ASPEK SOSIAL DALAM MENUNJANGKEMANDIRIAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN

AGROPOLITAN DUMOGA KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW

TIM PENGUSUL

DR. DRS. I NENGAH PUNIA, MSI/0012016603VEBI E. B. I. MANTIRI, SPT/1023201151

UNIVERSITAS SAM RATULANGIMANADO

2014

BIDANG UNGGULAN PT : SOSIAL

2

LEMBARAN PENGESAHANLAPORAN PENELITIAN PERGURUAN TINGGI

Judul Kegiatan : Kajian terpadu Aspek Sosial dalam MenunjangKemandirian

Pembangunan Pertanian Di Kawasan AgropolitanDumoga

Kabupaten Bolaang Mongondow.Kode/Nama Rumpun Ilmu : 187/Sosiologi Pertanian yang lain belum tercantumBidang Unggulan : Sosial Ekonomi dan BudayaTopik Unggulan : Sosial BudayaKetua Peneliti :

a. Nama lengkap : Dr. Drs. I Nengah Punia, MSib. NIDN : 0012016603c. Jabatan Fungsional : Lektor Kepalad. Program Studi : Sosiologie. No. Hp. : 085298113156f. Email : [email protected]

Anggota Peneliti :a. Nama lengkap : VEBI E. B. I. MANTIRI, SPTb. NIDN : 1023201151c. Perguruan Tinggi : Universitas Sam Ratulangi Manado

Lama Penelitian : 1 tahunPenelitian Tahap Ke : 1 (pertama)Biaya Penelitian Semua : Rp. 600.000.000,-Biaya Tahun Berjalan : Rp. 80.000.000,-

- Diusulkan Ke Dikti : Rp. 150.000.000,-- Dari Intern PT : 00- Dari Instansi lain : 00

Mengetahui : Manado, …… November 2014Ketua Lembaga Penelitian Unsrat, Ketua Peneliti,

Inneke F. M. Rumengan I Nengah PuniaNIP.19571105198403200… NIP.196612311994031020

3

KATA PENGANTAR

Puji Syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala

berkat dan Karunia-Nya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan

laporan penelitian ini tepat pada waktunya yang telah ditentukan oleh Lembaga

Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Adapun judul penelitian yang peneliti

angkat : Kajian terpadu Aspek Sosial dalam Menunjang Kemandirian Pembangunan

Pertanian Di Kawasan Agropolitan Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow.

Adapun penelitian ini dilaksanakan dalam rangka melaksanakan tugas dan

tanggungjawab dosen dalam memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi, terutama

dalam bidang penelitian. Sistematika laporan penelitian ini terdiri atas 5 bab, yaitu:

Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan,

Kesimpulan dan Saran. Adapun lampiran berisi tentang instrumen penelitian,

personalia tenaga peneliti Beserta kualifikasi, serta bukti penggunaan dana. Penelitian

ini dilengkapi juga dengan draft artikel jurnal. Kami menyadari bahwa penelitian ini

tidak mungkin selesai dikerjakan jika tanpa ada bantuan dari berbagai pihak.

Untuk itu, perkenankan peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang telah berpartisifasi dan membantu dalam

penyelesaian laporan penelitian ini, antara lain:

1. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Dan

Kebudayaan atas dukungan Pendanaan Penelitian, sehingga upaya peneliti

untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kegiatan

penelitian secara berkala.

2. Prof.Dr.Ir. Ellen Joan Kumaat, M.Sc., DEA selaku Rektor, Universitas Sam

Ratulangi Manado.

4

3. Prof.Dr.Ir. Inneke F.M Rumengan, M.Sc., selaku Ketua Lembaga Penelitian

dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado.

4. Drs. Philep Morse Regar, MS selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Sam Ratulangi Manado, beserta jajarannya yang telah memfasilitasi

penelitian ini.

5. Drs. Nicolaas Kandowangko, MSi selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas

Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi Manado.

6. Semua pihak yang telah memberikan dorongan dan ikut serta membantu

penyelesaian penelitian ini sampai selesainya laporan ini ditulis, mudah-

mudahan semua kebaikannya mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa

sesuai dengan amal baktinya.

Mengingat keterbatasan kemampuan dan waktu yang peneliti miliki, maka hasil

laporan penelitian ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, untuk itulah peneliti

sangat mengharapkan saran, kritik, dan koreksi sehingga hasil penelitian ini lebih

mendekatai kesempurnaan serta sesuai dengan kaidah penelitian dan ilmu

pengetahuan. Sebagai ungkapan syuhur peneliti, peneliti menyampaikan rasa hormat

dan memohon maaf yang sebesar-besarnya, bila ada hal yang tidak berkenaan,

Terima Kasih.

Manado, Nopember 2014

Tim Peneliti

5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat transmigrasi etnik Bali yang berada di wilayah Kabupaten

Bolaang Mongondow sudah ada sejak tahun 1963. Program transmigrasi telah

dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dan lebih diintensipkan setelah

Indonesia merdeka. Tujuannya dari salah satu transmigrasi yang dilakukan

oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan produktivitas dalam bidang

pertanian sebagai upaya untuk meningkatkan perekonomian keluarga dan

meningkatkan ketahanan pangan masyarakat Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, masyarakat etnik Bali sebagai

bagian dari warga Negara yang ditransmigrasikan oleh pemerintah Indonesia

sudah barang tentu diupayakan untuk meningkatkan produktivitas di bidang

pertanian dengan harapan untuk meningkatkan ketahan pangan, sehingga

kebutuhan primer masyarakat dapat dipenuhinya, maka masyarakat

transmigrasi etnik Bali berupaya untuk meningkatkan produksi pangan

dengan menerapkan sistem bertani Subak yang telah diwarisi secara turun-

temurun oleh leluhurnya.

Sistem bertani subak itu merupakan salah satu bagian dari kearifan lokal

(local wisdom) yang dimiliki oleh masyarakat Bali yang masih dilestarikan

dan dikembangkan oleh pendukungnya sampai saat ini, karena di dalam

kearifan lokal subak terkandung nilai-nilai sosial budaya yang sangat tinggi,

seperti sistem nilai sosial, pengetahuan tradisional (local knowledge), hukum,

adat, sistem kepercayaan atau religi, dan astrologi (Sibarani, 2012:ii).

Implementasi dari nilai-nilai sosial budaya yang begitu luas dan mendalam

terlingkup dalam sebuah konsep kebutuhan dasar dari kehidupan manusia

yang berupaya untuk mencapai kesejahteraan hidup secara material maupun

spiritual terangkum dalam konsep Tri Hita Karana.

6

Konsep Tri Hita Karana adalah suatu konsep yang bertujuan untuk

mewujudkan tiga dimensi hubungan kehidupan manusia yang harmonis dan

sejahtera lahir batin, seperti hubungan harmonis antara manusia dengan

Tuhannya tercermin dalam bentuh sembahyang dan persembahan (upacara

keagamaan), hubungan harmonis manusia dengan manusia dalam bentuk

sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang dapat mengatur dan mengikat

warganya dalam berperilaku, berinteraksi, dan bertindak. Sementara di sisi

lain juga sistem subak menekankan aspek hubungan harmonis manusia

dengan alam lingkungan, baik itu lingkungan flora maupun fauna (Sirtha,

2008:x). jadi ketiga aspek kegiatan utama yang terkandung dalam system

pengairan dan pola tanam (Subak) yang dilakukan oleh masyarakat etnik Bali

tidaklah bersifat parsial, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh,

artinya aspek manusia, lingkungan, dan Tuhan saling terkait satu dengan yang

lainnya.

Terkait dengan sistem bertani Subak yang merupakan warisan masyarakat

etnik Bali pada umumnya, termasuk juga masyarakat transmigrasi etnik Bali

yang berada di kecamatan Dumoga bersatu (Desa Werdhi, Kembang Merta,

dan Mopuya) masih tetap melestarikan dan menjalankan kegiatan pengairan

dan pola tanam berlandaskan pada konsep Subak, di mana semua kegiatan

tidak bisa terlepas dari tiga dimensi di atas (konsep Tri Hita Karana), karena

itulah yang menjadi roh dari sistem bertani Subak masyarakat etnik Bali,

walaupun mereka sudah berada di luar Bali. Contoh misalnya, ketika

masyarakat transmigrasi etnik Bali di kecamatan Dumoga Bersatu (Desa

Werdhi Agung, Kembang Merta, dan Mopuya) akan mulai menanam padi di

sawah, aspek religiusnya jalan dalam bentuk perembahan sesaji di Pura

Subak, dan ketikan akan memulai turun ke sawah, aspek organiasinya juga

harus jalan dalam bentuk pengaturan pembagian air secara merata dan adil,

sedangkan di sisi lain aspek lingkungan juga perlu dilestarikan dan ditata

dengan baik.

7

Berdasarkan contoh tersebut di atas, identitas Subak tampak pada kegiatan

pengairan di tingkat usaha tani yang bercorak sosial religious, artinya aktivitas

sosial tampak dalam wujud kerja sama sesama warga Subak, sementara

aktivitas religius tampak dalam wujud pemujaan kepada Hyang Widhi

(Tuhan). Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya tampak pada

kegiatan bersama untuk membersihkan saluran air yang berada dalam wilayah

lingkupannya dan kegiatan-kegiata lainnya yang terkait dengan organisasi

subak. Sementara hubungan yang ketiga adalah hubungan manusia dengan

alam lingkungan, artinya melakukan kegiatan bertani tidak sampai merusak

mahkluk hidup dan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya. Untuk itulah

landasan operasional dari sistem bertani Subak adalah kerjasama/gotong

royong yaitu berat-ringan pekerjaan dipikul bersama atau Salunglung

Sabayantaka Sarpanaya (Sirtha, 2008:xii).

Subak sebagai identitas etnik Bali tampak dengan jelas pada kegiatan

pengairan yang bercoral sosial religis seperti apa yang telah disebutan di atas

bahwa aktivitas sosial tampak pada hubungan antarwarga subak, warga subak

dengan Tuhannya, dan warga subak dengan alam lingkungan, yang dalam

masyarakat Bali disebut dengan istilah “Tri Hita Karana” yaitu tiga hal yang

menyebabkan kebahagian. Dalam konteks kehidupan sosial, aturan-aturan

(awig-awig) yang dibuat oleh warga subak memiliki peran penting untuk

mengatur, menata, dan mengendalikan perilaku warga subak.

Di daerah transmigrasi Dumoga, dengan kebijakan pembangunan

pemerintah dalam bidang pertanian yang lebih modern telah melahirkan dua

sistem irigasi yaitu sistem irigasi Subak dan teknis. Kedua jenis irigasi

tersebut dapat dijalankan secara bersama-sama, seperti tampak pada bidang

pengairan dan pola tanam lebih mengarah pada teknis, namun tidak terlepas

juga dari penerapan nilai budaya subak yang telah diwarisi secara turun

temurun. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dalam pembangunan bidang

pertaniaan modern juga menumbuh-kembangkan nilai-nilai kearifan lokal

8

subak sebagai landasan dasarnya, sehingga sistem bertani subak dapat

mempengaruhi pada aspek fisik bertani dan aspek sosial-budaya.

Implikasi dari penggabungan system irigasi subak dengan irigasi teknis

telah melahirkan berbagai aspek penting bagi kehidupan para petani, misalnya

dalam aspek tata irigasi telah dibuat saluran air secara permanen dengan

harapan penggunaan air dapat dioptimalkan. Di sisi lain, penggabungan kedua

system itu telah menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan fungsi

organisasi tradisional, seperti terbentuknya wadah-wadah koordinasi subak

dalam satu daerah irigasi yang disebut dengan istilah subak besar (subak

gede).

Secara tradisional, subak memiliki hak otonomi dalam membuat aturan-

aturan (awig-awig) sebagai pengikat semua warga berdasarkan hasil

musyawarah (perarem), namun subak juga tidak dapat terlepas dari

kekeuasaan Negara yang memiliki aturan formal, karena warga subak adalah

bagian dari warga Negara Indonesia. Artinya ketika dalam organisasi subak

ada permasalah yang tidak bias diselesaikan dengan hukum subak dan

musyawarah, maka pimpinan subak memohon bantuan kepada pemerintah

untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menerapkan hukum

positif. Maka dari itu, antara pemerintah dengan subak telah ada pembagian

tugas yang jelas, yaitu pemerintah bertanggungjawab pada tingkat saluran air

primer dan sekunder yang dibutuhkan oleh warga subak, sementara subak

bertanggungjawab pada saluran air tersier yang langsung sampai ke sawah

warga subak masing-masing.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dari peneliti, bahwa

penerapan hukum Negara sebagai landasan pelaksanaan pembangunan

petanian dan irigasi merupakan salah satu faktor eksternal yang telah

menyebabkan terjadinya perubahan sosial masyarakat etnik Bali yang berada

di daerah transmigrasi Dumoga Bersatu (Dumoga Utara, Timur, dan Barat).

Di mana hokum formal telah mempengaruhi tindakan warga masyarakat etnik

9

Bali sehingga mampu memfungsikan hukum formal tersebut sebagai rekayasa

social kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalam aspek perubahan social

budaya masyarakat transmigrasi Bali itu sendiri, seperti perubahan aspek fisik

(bidang pengairan dan pola tanam yang sangat cepat), perubahan aspek

system sosial (pergeseran organiasi tradisional ke modern), dan perubahan

social budaya (seperti rendahnya solidaritas dan gotong royong warga subak).

Berbicara tentang sistem pertanian, sistem pertanian masyarakat Bali di

Dumoga sudah membawa sistem pertanian dari daerah asalnya sendiri, yaitu

sistem bertani subak. Secara umum sistem bertani Subak masyarakat etnik

Bali memiliki lima (5) ciri khas, diantaranya :

1. Subak merupakan organisasi petani pengelola air irigasi untuk anggota –

anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai pengurus dan

peraturan organisasi (awig – awig) baik tertulis maupun tidak tertulis.

2. Subak mempunyai sumber air bersama, berupa bendungan (empelan) di

sungai, mata air, air tanah ataupun saluran utama suatu sistem irigasi.

3. Subak mempunyai suatu areal persawahan.

4. Subak mempunyai otonomi, baik internal maupun eksternal

5. Subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul atau Pura yang

berhubungan dengan persubakan

Konsep kebersamaan dalam kelompok petani Bali di aplikasikan melalui

kegiatan gotong royong yang merupakan ciri yang kuat dari masyrakat petani Bali

walaupun hidup diluar Bali, berpijak dari kegotong royongan inilah kepentingan

bersama yang dilandasi rasa paras paros selunglung sebayantaka ( tenggang rasa,

susah senang sama dirasakan/ dirasakan bersama), semua yang terkait dengan

masalah pertanian disatukan, sehingga muncullah suatu organisasi yang di sebut

subak (sumarta, 1992).

Kepentingan bersama dari subak dipadukan dengan nilai – nilai agama Hindu

menjadikan organisasi subak ini mempunyai nilai sosial yang religius. Dengan

kebersamaan dan kegotong royongannya, serta konsep Tri Hita Karana yang

10

diwujudkan yang diwujudkan dalam hubungan yang harmonis dalam bentuk 3

dimensi, menyebabkan subak oleh para pakar pertanian dianggap mampu

berperan. Riset ini akan dilaksanakan di Kabupaten Bolaang Mongondow yang

merupakan daerah sentra produksi padi di Provinsi Sulawesi Utara, dengan

mengambil sampel masyarakat suku Bali Desa Werdi Agung, Kembang Mertha,

Mopuya yang berada di kecamatan Dumoga Bersatu, Kabupaten Bolaang

Mngondow.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, peneliti sangat tertarik

dengan sistem bertani subak yang dimiliki oleh masyarakat transmigrasi etnik

Bali yang berada di Dumoga bersatu. Mengingat begitu luasnya wilayah yang

ditempati oleh para transmigran Bali, maka peneliti merumuskan judul penelitian

secara spesifik sebagai berikut : “Kajian Terpadu Aspek Sosial Dalam Menunjang

Kemandirian Pembangunan Pertanian Di Kawasan Agroplitan Dumoga,

Kabupaten Bolaang Mongondow ”.

B. Rumusan Masalah

Subak merupakan organisasi tradisional etnik Bali yang bergerak dalam

bidang pertanian tanah kering (ladang) maupun tanah basah (sawah) dan memiliki

struktur yang rapi dan terpelihara dengan ketelatenan para petani yang menjaga

struktur tanah, irigasi untuk tanaman. Biasanya Subak akan lebih indah terlihat

jikalau sedang dalam masa tanam dimana umur tanaman tidak terlalu tua untuk

di panen alias masih muda, sehingga akan terlihat hijau.

Subak merupakan darah sentral untuk menghasilkan tanaman pangan yang

pokok bagi manusia/masyarakat Indonesia yaitu beras, Subak adalah merupakan

sistem pengairan selain itu terbentuk pula suatu organisasi tata laksana yang

mengatur hal itu sehingga mampu terstruktur dengan baik bersama organisasi

Subak itu yang mempunyai tujuan untuk mensejahterakan anggotanya, oleh

karena itu Subak memiliki peran penting bagi peningkatan kesejahteraan para

petani masyarakat di kawasan agropolitan Dumoga.

11

C. Tujuan Penelitian

Subak dibentuk bertujuan untuk menjamin agar semua petani anggota subak

tidak kekurangan air irigasi, dan melakukan kegiatan ritual. Kegiatan ritual adalah

sesuatu yang khas dilakukan oleh anggota subak yang membedakannya dengan

sistem irigasi lainnya di belahan dunia.

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan karya ilmiah

ini yaitu:

1. Untuk mengetahui eksistensi subak terkait dengan pengelolaan sumberdaya

air dan pertanian beririgasi di Dumoga

2. Untuk mengetahui mengapa subak harus dilestarikan dan bahkan diperkuat

atau diberdayakan.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya apa yang perlu dilakukan untuk

memberdayaan subak

D. Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini dapat mempunyai dua manfaat yaitu manfaat

teoretik dan manfaat praktis.

- Secara akademis

Penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan

sebagai bahan kajian ilmiah suatu organisasi tradisional petani yang

terhimpun dalam suatu wadah yang disebut subak. Mengangkat nilai – nilai

budaya lokal yang sudah mulai memudar dan di yakini mampu berperan

dalam pelestarian lingkungan.

- Secara praktis

1. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi perencana

pembangunan dalam hal ini pemerintah setempat dalam memahami

kehidupan dan aktivitas subak dalam perannya menunjang pelestarian

lingkungan.

12

2. Dengan masukan ini kirannya Pemerintah Daerah Kabupaten Bolmong

dapat mendayagunakan nilai – nilai subak serta dapat lebih mampu

mengatur tata ruang Kabupaten, dengan menahan lajunya berkembangnya

pemukiman yang memanfaatkan lahan sawah yang produktif, sehingga

ruang terbuka yang berimbang dapat di pertahankan. Demikian pula usaha

pemberdayaan terhadap kaum petani dalam penggunaan zat – zat kimia,

baik pemupukan maupun pemberantasan hama yang cenderung

menyebabkan kerusakan lingkungan, dan perlu di barengi dengan usaha

untuk meningkatkan kesejahteraan petani dalam subak, sehingga

eksistensi petani dalam perannya melestarikan lingkungan tetap dapat di

pertahankan.

Selain itu juga sebagai masukan bagi para perencana pembangunan dalam

merevitalisasi nilai – nilai subak yang sudah mulai memudar, untuk dapat

dipakai dalam merencanakan suatu pembangunan yang berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian

suatu pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi

sekarang tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan kepentingan generasi

yang akan datang (Hadi,2011), dengan tetap mengacu pada prinsip – prinsip

kelestarian lingkungan.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem bertani Subak merupakan salah satu dari tiga pilar utama penopang

kemasyuran masyarakat Bali,karena sistem Subak memiliki landasan filosofi Tri

Hita Karana (THK) yang berarti tiga penyebab kesejahteraan, yaitu adanya hubungan

yang harmonis antara (a) manuasia dengan penciptanya (Tuhan Yang Maha Esa), (b)

manusia dengan manusiannya, dan (c) manusia dengan alamnya (Dinas Kebudayaan

Propinsi Bali,1995). Hal tersebut patut disadari, bahwa ketika salah satu atau lebih

pilar penopang Bali itu runtuh, maka saat itu pula Bali akan kehilangan identitasnya.

Para pemerhati subak umumnya memandang sistem subak hanya dari dua

aspek, yakni aspek sosial dan aspek teknis (Pitana 1993; Samudra 1993; Sushila

1993). Sutawan dkk (1989) berdasarkan penelitian empiris mengemukakan bahwa

subak adalah organisasi petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari suatu

sumber bersama, memiliki satu atau lebih pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri

sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi Kesuburan), serta memiliki kebebasan dalam

mengatur rumah tangganya sendiri maupun dalam berhubungan dengan pihak luar.

Pertanian di Bali tidak terlepas dari keberadaan dan peran subak, baik yang

menyangkut masalah pertanian di lahan sawah (subak lahan basah) maupun pertanian

dilahan tegalan/kering (subak abian). Selanjutnya, subak lahan basah (sawah) di Bali

identik dengan pertanian tanaman pangan, khususnya budidaya padi (Sutawan, 2009).

Tantangan dan Peluang Subak dalam Berperan Ganda, Kebijakan Penyerahan

Pengelolaan Irigasi (PPI) seperti tertuang dalam INPRES Nomor 3/1999 yang dalam

UU RI Nomor 7/2004 dikenal sebagai Pengelolaan Irigasi Partisipatif (PIP),

merupakan upaya pemerintah untuk memberikan peran yang lebih besar kepada

masyarakat petani termasuk subak dalam pengelolaan irigasi, sebagai akibat semakin

terbatasnya kemampuan pemerintah dari segi personil maupun dana terutama untuk

melaksanakan operasi dan pemeliharaan (O & P) jaringan irigasi. Hal ini merupakan

14

salah satu tantangan utama bagikeberlanjutan subak untuk mendukung pelaksanaan

kebijakan ketahanan pangan nasional.

Pengembangan Pola Usaha Agribisnis pada Subak, Usaha ekonomi berbasis

subak pada prinsipnya adalah agribisnis berbasis pangan atau lahan sawah. Dengan

berprinsip bahwa usahatani itu identik dengan perusahaan, maka usahatani ini akan

eksis dan berkembang jika mampu menjual hasilnya dengan nilai jual yang layak

(Suherman, 2003).

Di samping itu, untuk meningkatkan tingkat pendapatan petani, maka dalam

pengembangan kelembagaan kita terapkan juga prinsip tanam – petik – olah – jual.

Jika kebiasaan petani menjual hasilnya berupa gabah kering panen (GKP) di sawah,

maka usaha yang perlu dikembangkan adalah usaha lumbung padi (rice storage).

Dengan adanya lumbung padi ini akan menjamin ketersediaan pangan di tingkat

kelompok tani/subak.

Pengembangan usaha selanjutnya adalah usaha penggilingan padi (Rice

Milling Unit) yang layak dan memadai. Sarana dan prasarana penggilingan padi yang

memadai dilengkapi dengan lantai jemur, mesin penggilingan, mesin pengering

gabah, ruang produksi, gudang gabah, gudang beras, kantor, sarana transportasi serta

ditunjang oleh SDM yang memadai.

Penggilingan padi yang layak dan memadai tentu membutuhkan modal yang

cukup besar pula, tetapi itu tidak menjadi masalah karena modal pengembangan

usaha dapat bersumber dari dana pinjaman (kredit) dengan didukung oleh analisis

kelayakan usaha yang akurat.

Aktivitas produksi dari usaha penggilingan padi ini akan menghasilkan pula

produk sampingan berupa dedak dan sekam di samping produk utama berupa beras.

Dedak akan bernilai jual lebih tinggi jika diolah menjadi pakan ternak uanggas, babi

dan sapi. Ini berarti ada peluang bagi pengembangan usaha pakan ternak. Jika akan

mengembangkan usaha pakan ternak, maka dapat diprediksi dari sekian ton produksi

dedak berapa kebutuhan bahan pakan berupa jagung, polar, konsentrat, tepung ikan,

tepung tulang dan lain-lain.

15

BAB III

METODE PENELITIAN

Untuk memperoleh informasi yang sesuai dengan rumusan masalah dan

tujuan penelitian perlu adanya rancangan menyeluruh tentang urutan kerja penelitian

dalam bentuk rumusan operasional suatu metode ilmiah. Metode yang penulis

gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif intepretatif.

1. Metode Penelitian

Informasi yang diperoleh peneliti dengan melalui wawancara mendalam,

pengamatan dan observasi partisipan terhadap berbagai aktivitas dunia empirik

subyek kajian. Pelaku atau informan dapat memberikan informasi tentang dirinya

dan tentang keadaan orang lain yang berkaitan dengan masalah yang sedang

diteliti. Berkaitan dengan itu maka alat pengumpulan data atau informasi dalam

penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri.

2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, menurut Nawawi (2003 : 96)

adalah jenis data kualitatif sebagai yang utama dan data kuantitatif sebagai

penunjang. Data kualitatif adalah data yang dapat dinyatakan dalam bentuk

ucapan, kalimat, prilaku, dan peristiwa yang berkaitan dengan peranan sistem

subak dalam membangun kemendirian pertanian pangan berbasiskan padi di

kawasan agropolitan Dumoga. Jenis-jenis data dieksplorasi sedalam-dalamnya

dari :

(1) informan, melalui teknik wawancara (in dept interview),

(2) peristiwa prilaku dan tindakan diperoleh melalui teknik observasi partisipasi

(partisipatory observation),

(3) dokumen, baik verbal (teks lisan yang berupa rekaman wawancara, rekaman

pidato, rekaman ceramah/sambutan, diskusi, rapat, dan sebagainya) maupun

non verbal (teks tertulis dalam bentuk arsip, notulen rapet, anggaran dasar

(Awig-Awig, artikel, buku, citra visual, dan lain-lainnya), dan

16

(4) berkaitan dengan konteks sosial, historis, situasi; tempat dan lingkungan

sekitarnya yang mempengaruhinya. Uraian di atas sangat relepan dengan

ungkapan Arikunto (2003:107) tentang sumber data, yakni (1) person, yaitu

sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui

wawancara, (2) place, yaitu sumber data yang menyajikan tampilan berupa

keadaan diam dan bergerak (data observasi), (3) paper, yaitu sumber data

yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, gambar, simbol-simbol,

dan sebagainya (data dokumentasi ).

3. Penentuan Informan

Informan ditetapkan dengan menggunakan teknik pourposive sampling dan

snowball sampling. Pourposive sampling adalah teknik pengambilan sumber data

dengan pertimbangan tertentu, sedangkan snowball sampling adalah teknik

pengambilan sampel sebagai sumber data, yang awalnya kecil, tetapi lama-

kelamaan menjadi besar (Sugiyono, 2005:53). Jadi, penentuan informan dalam

penelitian tesis ini dilakukan secara pourposive, yaitu penentuan yang bertujan

(Endraswara, 2006:115), berdasarkan kreteria tertentu sesuai dengan masalah dan

tujuan penelitian ini.

4. Instrumen penelitian

Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen (alat) penelitian adalah

peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, penelitilah yang menjadi instrumen utama

dan harus divalidasi seberapa jauh kesiapan peneliti untuk melakukan penelitian

ke lapangan. Validisi terhadap peneliti menurut Sugiyono (2005:59) adalah (1)

sejauh mana penguasaan peneliti dalam hal metode penelitian, (2) penguasaan

wawasan (teori) peneliti pada bidang yang diteliti, (3) kesiapan peneliti untuk

memasuki objek penelitian, baik secara akademis maupun logistik. Instrumen lain

yang dapat mendukung teknik observasi partisipasi dan teknik wawancara

mendalam adalah pedoman wawancara, alat perekam (tipe recoder dan camera),

dan sarana pencatat data.

17

5. Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat majemuk,

karenasampel (sampling) dalam penelitian kualitatif dinyatakan sebagai internal

sampling, dan bukan sebagai wakil populasi melainkan mewakili informasinya,

dengan kelengkapan dan kedalamannya tidak ditentukan oleh jumlah informan

(Poerwandari dalam Kuntjara, 2006:53-58). Informasi dan data tentang peranan

sistem subak dalam membangun kemandirian pertanian pangan berbasiskan padi

di kawasan agropolitan Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow, penulis

pergunakan beberapa teknik pengumpulan data yang relevan dengan penelitian

kualitatif, yaitu teknik observasi, teknik wawancara mendalam, dan studi

dokumen.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah deskriptif kualitatif dan

interpretatif, artinya data yang sudah didapat dari informan dianalisis setiap

meninggalkan lapangan. Secara umum proses analisis telah dimulai sejak peneliti

menetapkan fokus permasalahan dan lokasi penelitian, kemudian menjadi intensip

ketika sudah terjun ke lapangan.

18

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

1. Sejarah Etnik Bali

Etnik Bali berada di kawasan transmigrasi Dumoga Kabupaten Bolaang

Mongondow sejak 8 Agustus 1963 sebagai akibat dari adanya bencana alam

Gunung Agung meletus. Menurut tokoh masyarakat, bahwa para transmigran

etnik Bali pada periode pertama bukan saja berasal dari kawasan bencana alam

Gunung Agung, akan tetapi banyak juga yang berasal dari daerah padat

penduduk dan miskin di pulau Bali seperti daerah Kabupaten Bangli, Klungkung,

Gianyar, Badung, Buleleng, dan Jembrana. Para transmigran periode pertama

(1963) berjumlah 351 KK dan 1.552 jiwa semuanya merupakan etnik Bali yang

ditempatkan di Desa Werdhi Agung (Hasil Wawancara dengan I Nyoman

Marayasa, tanggal Mei 2014).

Periode kedua tiba di kawasan transmigarsi Bolaang Mongondow pada

tanggal 27 Maret 1964 dengan jumlah 300 KK yang ditempatkan di Desa

Kembang Mertha. Namun setelah tinggal beberapa lama di Desa Kembang

Mertha, sebanyak 46 KK meninggal dunia akibat terkena penyakit malaria tropika

sehingga jumlah transmigran yang menempati Desa Kembang Mertha berjumlah

254 KK. Khususnya transmigran yang ditempatkan di Desa Kembang Mertha

tidak didampingi oleh para medis dan dokter sehingga banyak yang meninggal

akibat terserang penyakit malaria tersebut, akan tetapi dilandasi oleh semangat

yang tinggi dan kemiskinan natural masyarakat desa Kembang Mertha saat ini

telah berkembang pesat setara dengan desa-desa lainnya, bahkan sekarang

desanya Kembag Mertha telah dimekarkan menjadi empat desa (Hasil

Wawancara dengan I Wayan Roden, Mei 2014).

Sementara diperiode selanjutnya (tahun 1974 – 1976), masuk lagi

transmigrasi etnik Bali dan Jawa (tahap ketiga, keempat, dan kelima) yang

19

menempati kawasan transmigrasi Kecamatan Dumoga bersatu (sekarang Dumoga

Utara) Kabupaten Bolaang Mongondow. Di mana transmigran tahap ketiga di

tempatkan di Desa Mopuya pada tahun 1974 dengan jumlah 76 KK, dan tahap

keempat di tempatkan di Desa Mopugad Selatan (tahun 1975) dengan jumlah 225

KK, sedangkan tahap kelima ditempatkan di Desa Mopugad Utara (tahun 1976)

dengan jumlah 75 KK (Hasil Wawancara dengan I Gusti Parsa, Mei 2014).

Secara umum perkembangan masyarakat transmigran di kawasan Kecamatan

Dumoga bersatu (Dumoga Tengah, Timur, dan Utara) tergolong sangat pesat,

sehingga dalam kurun waktu 51 tahun kecamatan ini telah dikembangkan menjadi

lima kecamatan, yakni Kecamatan Dumoga Timur, Dumoga Utara, Dumoga

Barat, Dumoga Tenggara, dan Dumoga Tengah. Desa-desa yang menjadi basis

transigran etnik Bali ada di empat desa (desa Kembang Mertha, Werdhi Agung,

Mopuya, dan Mupugad) namun pada saat ini telah dimekarkan menjadi beberapa

desa sebagai upaya mempercepat proses pembangunan dan mengikuti

perkembangan politik yang berkembang saat ini. Misalnya, Desa Werdhi Agung

telah dimekarkan menjadi empat desa (Desa Werdhi Agung Induk, Werdhi Agung

Selatan, Werdhi Agung Utara, dan Werdhi Agung Timur), Desa Kembang Mertha

dimekarkan menjadi empat desa yaitu Desa Kembang Mertha Sila Karya,

Kembang Mertha Sila Dharma, Kembang Mertha Grehastha, dan Kembang

Mertha Wana Sari, termasuk juga Desa Mopugad dan Mopuya telah dimekarkan

menjadi beberapa desa definitif.

Berdasarkan hasil observasi dan data sekunder yang terdapat di beberapa

kecamatan di Dumoga bersatu, bahwa kawasan transmigrasi Dumoga bukan saja

dihuni oleh transmigran etnik Bali saja, akan tetapi dihuni pula oleh transmigran

etnik Jawa, terutama yang menempati Desa Mopuya dan Desa Mopugad. Di sisi

lain terdapat juga transmigran lokal Sulawesi Utara, terutama yang berasal dari

etnik Minahasa dengan menempati beberapa desa di kawasan transmigrasi

Dumoga, seperti Desa Tonom, Mogoyunggung, Dondomon, Kosioq, Tambun,

Torahat, Ibolian, dan Kinomaligan.

20

Wilayah transmigrasi Dumoga, perkembangannya dapat dikategorikan sangat

pesat karena adanya transmigran spontan dari etnik Bali, etnik Jawa, etnik lokal

Sulawesi Utara, dan juga pencari kerja dari daerah-daerah lain, seperti Gorontalo,

Makasar, Jawa, Minahasa, Toraja, dan Sangihe. Kedatangan transmigran spontan

maupun pencari kerja dari beberapa daerah, serta termotivasi oleh keberhasilan

para transmigran asal Bali dan Jawa di kawasan Dumoga. Para transmigran lokal

yang masuk ke wilayah Dumoga memiliki latar belakang kehidupan sosial

ekonomi yang berbeda dengan penduduk asli Bolaang Mongondow yang secara

turun temurun telah menghuni dan beraktivitas di daerah Dumoga. Perbedaan

latar belakang sosial ekonomi dan budaya, terutama sosial budaya dan adat

istiadat yang dapat mempengaruhi pola kehidupan bermasyarakat etnik pendatang

maupun etnik asli yang sampai saat ini tidak menimbulkan terjadinya konflik

antaretnik.

2. Perkembangan Wilayah Transmigrasi Dumoga

Kawasan transmigrasi Dumoga merupakan salah satu wilayah kecamatan

yang mempunyai tingkat pertumbuhan penduduk per-tahun yang paling tertinggi

di antara kecamatan yang ada di Kabupaten Bolaang Mongondow. Di tahun 1983

jumlah penduduk Kecamatan Dumoga berkisar 49.283 jiwa, pada tahun 1993

meningkat menjadi 62.679 jiwa, pada tahun 2007 meningkat menjadi 76.997 jiwa

sementara hasil sensus tahun 2010 kurang lebih 80.000 jiwa. Ini berarti bahwa

pertumbuhan rata-rata penduduk per-tahun selama periode (tahun 1983, 1993,

2007 dan 2010) tersebut sebesar 17,84% ( Wawancara dengan Camat Dumoga

Timur, Mei 2014).

Pertumbuhan penduduk yang demikian pesat dalam kurun waktu 30 tahun

dapat mengakibatkan daya dukung lingkungan terlampaui sehingga banyak

menimbulkan masalah, seperti kualitas lingkungan menjadi rusak karena kenaikan

jumlah penduduk tidak seimbang dengan pengembangan wilayah. Bahkan

berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan ternyata hutan lindung yang ada di

kawasan transmigrasi Dumoga sudah rusak parah (tambang emas liar), lahan-

21

lahan terjal yang semestinya tidak boleh dimanfaatkan untuk lahan pertanian,

telah dimanfaatkan pula oleh penduduk sebagai lahan pertanian sehingga

berdampak pada air irigasi semakin mengecil dan sering dilanda bajir (banjir

besar Agustus 2014).

Penduduk yang ada di wilayah kawasan agropolitan pertanian Dumoga cukup

bervariasi sesuai dengan daerah asal dengan identitas etniknya masing-masing.

Selain penduduk asli Mongondow yang telah menetap dan tinggal lama di

Dumoga, terdapat juga etnik lain yang tinggal bersama-sama secara damai, seperti

etnik Minahasa, Jawa, Bali, Bugis, Gorontalo, dan Sangihe. Bila diperhatikan

perimbangan jumlah etnik menurut daerah asal yang tinggal di kawasan

agropolitan pertanian Dumoga, dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Persentase Penduduk Menurut Etnik

No. Etnik Jumlah Etnik (%)

1 Mongondow 34,00

2 Minahasa 35,00

3 Jawa 17,66

4 Bali 11,24

5 Lain - lain 2,10

Jumlah 100

Sumber Data : Kantor Kecamatan Dumoga Utara

Memang sejak terbukanya dataran Dumoga sebagai daerah pertanian,

terutama persawahan, perkebunan, dan tambang emas telah terjadi migrasi

penduduk ke wilayah tersebut secara besar-besaran, seperti adanya transmigrasi

umum dan spontan dari Jawa, Bali dan Minahasa, serta pencari kerja.

Kedatangan para transmigran tersebut sudah pasti memiliki latar belakang

kehidupan yang berbeda dengan penduduk asli Mongondow, baik dari aspek

budaya, agama, adat istiadat, ekonomi, dan bahasa sehingga mencerminkan pola

22

kehidupan bermasyarakat yang berbeda satu dengan yang lainnya sebagai

identitas diri maupun kelompok, seperti indentias bertani subak bagi etnik Bali.

Dengan adanya program transmigrasi di wilayah dataran Dumoga oleh

pemerintah daerah, provinsi, dan pusat telah mampu melakukan beberapa

pembangunan fisik, diantaranya pembangunan prasarana jalan untuk

menghubungkan wilayah transmigrasi Dumoga dengan daerah lain, terutama

akses jalan ke kota Kabupaten dan kota Provinsi. Sarana-sarana lainnya jang

sangat diperhatikan oleh pemerintah daerah, provinsi, dan pusat, seperti sarana

pendidikan, kesehatan, irigasi, dan listrik sehingga kawasan transmigrasi

Dumoga mengalami perkembangan dalam berbagai aspek yang tergolong tinggi,

terutama dalam aspek pertanian tanah basah, bahkan Dumoga merupakan sentra

penghasil beras terbesar di Kabupaten Bolaang Mongondow dan Sulawesi Utara

(Wawancara dengan I Nyoman Marayasa, Mei 2014).

3. Mata Pencaharian, Teknologi, dan Sistem Pengetahuan

Berdasarkan tradisi dan bukti sejarah, masyarakat etnik Bali sejak dahulu kala

telah melakukan aktivitas bertani sampai saat sekarang. Ini berarti bahwa sebelum

berangkat menjadi transmigran ke dataran Dumuga Kabupaten Bolaang

Mongondow, Sulawesi Utara sesungguh masyarakat etnik Bali sudah memiliki

skil/keterampilan bertani di lahan basah maupun lahan kering, seperti apa yang

telah terungkap dalam prasasti Pandak Badung dan Klungkung A, masing-masing

berangka tahun 903 dan 994 telah mengenal istilah kasuwakan, yang dapat

diidentik dengan kata ‘subak’ di Bali sekarang (Ardika, 1994:26).

Aktivitas bertani di lahan basah maupun di lahan kering sudah menjadi mata

pencaharian utama masyarakat etnik Bali, walaupun sekarang sudah berada di

luar daerah Bali (bertransmigrasi) masih tetap dilanjutkan dan dikembangkan

social budaya mereka sesuai dengan kondisi social budaya masyarakat setempat.

Para transmigran etnik Bali yang berada di kawasan transmigrasi Dumoga

Kabupaten Bolaang Mongondow tidak mengalami kesulitan untuk

mengembangkan pertanian dengan sistem subak, karena kondisi geografisnya,

23

social, budaya, dan alam dan lingkungannya tidak jauh berbeda dengan kondisi

daerah Bali. Berbekal pengetahuan dan keahlian bertani yang diwarisi secara

turun-temurun oleh leluhurnya, masyarakat transmigran etnik Bali di kawasan

agropolitan Dumoga Bolaang Mongondow dapat mencapai keberhasilan dalam

bidang pertanian, bahkan pemerintah Bolaang Mongondow dan masyarakat

setempat mengakui keberhasilan etnik Bali dalam hal bertani mapun aspek

lainnya. Keberhasilan tersebut memang tidak terlepas dari sosial dan budaya kerja

etnik Bali yang ulet, tekun, dan didukung dengan penguasaan pengetahuan

pertanian (sistem subak) yang baik, sehingga tingkat kesejahteraan etnik Bali

paling tinggi diantara etnik-etnik lainnya yang ada di Dumoga (Nani, 2003:83).

Bagi masyarakat etnik Bali yang beragama Hindu, kepercayaan terhadap

sistem astronomi (wariga) yang sangat erat hubungannya dengan sistem

pertanian, seperti menentukan hari baik untuk membuat saluran air, mulai

membuka lahan, menanam, dan panen masih tetap dipergunakan. Oleh karena itu,

setiap tahapan pengolahan tanah kering maupun tanah basah selalu diikuti oleh

suatu upacara yang terkait dengan agama Hindu. Bagi etnik Bali maupun etnik

lain yang tidak seiman (bukan Hindu) tetap juga mengikuti upacara keagamaan

yang dilakukan oleh etnik Bali (upacara Hindu) dengan cara ikut berpartisipasi

dan menanggung biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ritual tersebut, namun

mereka tidak ikut beribadah secara tradisi Hindu (Wawancara dengan I Wayan

Kayun Sarjana, Mei 2014).

Seiring dengan perkembangan zaman, kesejahteraan etnik Bali semakin

meningkat, terutama sektor ekonomi dan pendidikan menyebabkan terjadinya

pergeseran dalam sistem mata pencaharian. Etnik Bali yang semula 100%

menggantungkan hidup dari sektor agraris (pertanian), namun dalam dua dekade

terakhir telah mengalami pergeseran ke sektor non pertanian, seperti pegawai

negeri, pedagang/pengusaha, pertukangan, dan peternak. Hasil penelitian Punia

(2007:45) mengungkapkan bahwa masyarakat transmigran etnik Bali yang tinggal

di kawasan agropolitan Dumoga Bolaang Mongondow tinggal 85 % yang

24

berpencaharian bertani, sisanya yang 15 % sudah beralih ke sektor lain, seperti

pegawai negeri, polisi, tentara, pedagang, dan pertukangan.

Pergeseran mata pencaharian masyarakat etnik Bali di Bolaang Mongondow

(Dumoga) dari sektor pertanian ke sektor lain karena semakin sempitnya lahan

pertanian yang dimiliki oleh para petani, apa lagi adanya perubahan pola pikir

masyarakat itu sendiri untuk meningkatkan tarap hidup yang lebih baik, sehingga

mereka berupaya untuk mencari profesi yang lain. Contoh yang menarik untuk

dikemukakan berkaitan dengan pergeseran mata pencaharian etnik Bali dari

sektor pertanian ke sektor non pertanian bahwa masyarakat yang sudah secara

turun temurun menjadi petani berkeinginan anak-anaknya bukan lagi berprofesi

sebagai petani, tetapi berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri, pengusaha,

dan pertukangan (Wawancara dengan I Ketut Merta, Mei 2014). Realitas di

masyarakat membuktikan bahwa sudah banyak etnik Bali yang meninggalkan

profesinya sebagi petani.

4. Pola Hubungan Etnik Bali

Kehadiran para transmigran dari berbagai etnik dengan latar belakang

kehidupan agama, budaya, adat istiadat, dan ekonomi yang berbeda di kawasan

transmigrasi Dumoga telah terjadi pembauran antaretnik, terutama masyarakat

transmigran dengan penduduk asli Mongondow maupun etnik-etnik lainnya

sesame transmigran. Pembauran antaretnik, budaya, adat istiadat di kawasan

agropolitan Dumoga telah memberikan perubahan-perubahan perilaku dalam pola

hubungan kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi, sehingga melahirkan sebuah

integrasi sosial yang terimplementasi dalam berbagai bentuk, fungus, dan makna.

Interaksi sosial dalam konteks kehidupan masyarakat transmigran tercermin

dalam sebuah toleransi antara anggota masyarakat, antarbudaya, antaragama,

antaretnik, kerjasama antaranggota masyarakat/etnik, dan proses asimilasi atau

adaptasi telah terjadi dalam masyarakat transmigran Dumoga. Integrasi sosial

selalu tampak terjadi dalam kontak kehidupan bermasyarakat, terutama dalam

kehidupan masyarakat tradisional, seperti yang terjadi pada masyarakat

25

transmigran yang ada di kawasan transmigrasi Dumoga Kabupaten Bolaang

Mongondow sebagai berikut.

a. Interaksi Sosial

Masyarakat transmigrasi di kawasan Dumoga yang berasal dari

berbagai daerah dan etnik di Indonesia telah tergabung dalam suatu

kehidupan masyarakat baru dengan latar belakang kehidupan social dan

budaya yang berbeda-beda. Di samping itu, masyarakat transmigrasi yang

sudah beraneka ragam social dan budayanya diharapkan mampu berbaur

dengan masyarakat asli Mongondow maupun sesame trasnmigran yang

memiliki budaya tersendiri.

Interaksi sosial yang terjadi di kawasan transmigrasi Dumoga dapat

berupa kontak antara sesama masyarakat transmigran, dan antara transmigran

dengan masyarakat asli Mongondow. Menurut hasil penelitian Asief

(2002:105) bahwa kehidupan masyarakat transmigran di Dumoga cendrung

membentuk kelompok berdasarkan daerah asal, misalnya masyarakat etnik

Bali cendrung membentuk kelompok tersendiri, karena mereka merasa

mempunyai budaya, adat istiadat, dan agama yang sama. Sementara

masyarakat etnik Jawa dan etnik Minahasa membentuk kelompk tersendiri,

akan tetapi masing-masing etnik telah melakukan kontak sosial dengan etnik-

etnik lain sesama transmigran maupu dengan penduduk asli Mongondow.

Pembauran masyarakat etnik Bali dengan masyarakat etnik

Mongondow dan etnik lain mendorong interaksi sosial dan saling

menghargai selalu terjadi di kawasan transmigrasi Dumoga. Kawasan

transmigrasi Dumoga adalah daerah produsen palawija, terutama padi,

dengan dukungan prasarana dan sarana transportasi yang cukup baik

sehingga intensitas interaksi sosialnya semakin intensif dan terbuka. Kondisi

tersebut telah terjadi diberbagai tempat, seperti pasar tradisional, areal

pertanian, fasilitas umum (Sekolah), KUD, dan fasilitas-fasilitas sosial

lainnya.

26

b. Toleransi

Interaksi sosial sesama etnik maupun antaretnik adalah salah satu

syarat untuk melahirkan sikap toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.

Sikap toleransi di kawasan transmigrasi Dumoga lebih disebabkan adanya

perbedaan sosial budaya masing-masing kelompok (etnik) seperti budaya,

bahasa, adat istiadat, dan agama, serta dilandasi oleh masing-masing kearifan

lokal yang telah tertanam sejak kecil dan turun temurun.

Masyarakat di kawasan transmigrasi Dumoga sangat beragam, baik

dalam aspek agama, budaya, dan adat istiadat sehingga setiap etnik dapat

menghormati dan menghargai agama maupun buadaya yang dimiliki oleh

etnik lain, misalnya bila ada pertemuan resmi di kantor desa atau kecamatan

yang dihadiri oleh berbagai etnik dan agama, maka bahasa yang

dipergunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa malayu Manado, bahkan

semua salam agama diucakan oleh pemimpin rapat sedangkan kalau rapatnya

bersifat intern etnik maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali, melayu

Manado dan Indonesia, sebagaimana terungkap dalam kutipan berikut ini.

“Ketika aparat desa maupun kecamatan melaksanakan pertemuan dengan

warganya atau aparat dibawahnya, sarana komunikasi yang dipergunakan

adalah bahasa Indonesia dan malayu Manado serta mengucapkan salam

semua agama yang ada di wilayahnya. Namun ketika rapat yang sifatnya

intern etnik menggunakan bahasa campuran “ (Wawancara dengan kepala

Desa Werdhi Agung Selatan, Mei 2014).

Sikap toleransi antaretnik di kawasan Dumoga sangat bagus, misalnya

menghargai dan menghormati model pakaian etnik lain dalam acara-acara

tertentu. Menghargai dan menghormati social dan budaya etnik lain adalah

suatu cerminan masyarakat yang multikultur dengan mengedepankan sikap

toleransi dan kesamaan derajat. Sesungguhnya sikap toleransi etnik Bali

maupun etnik lain sudah tercermin jelas pada kearifan-kearifan lokal masing-

masing etnik, seperti etnik Bali memiliki kearifan lokal : tat twan asi,

27

menyama braya, rwa bhineda, tri hita karana, etnik Mongondow memiliki

kearifan lokal : mototompian, mototabian bo, mototanoban, dan etnik

Minahasa dengan kearifan lokalnya : pakatuan wo pakalawiran dan torang

samua ba sudara, dan lainya.

Kearifan lokal dari masing-masing etnik di kawasan Dumoga bersatu

khususnya dan Kabupaten Bolaang Mongondow umumnya telah

terinplementasikan dalam aspek kehidupan bermasyarakat, sehingga

kehidupan bermasyarakat yang multikultural di Bolaang Mongondow dapat

terujud dengan baik, misalnya ; masyarakat transmigrasi yang berbeda

budaya dan agama dapat mewujudkan kebersamaan dalam kelompok tani

(subak).

Toleransi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat di kawasan

Dumoga tampak dari sikap hidup beragama, seperti yang tercermin pada

pendirian tempat ibadah agama Hindu, Kristen, dan Islam yang berada dalam

satu wilayah, hanya dibatasi dengan bagar. Sikap toleransi lain yang telah

dicerminkan oleh masyarakat beragama di kawasan Dumoga dan umumnya

di Bolaang Mongondow, antara lain menghadiri acara serimonial keagamaan,

kedukaan, dan kegiatan sosial lainnya. Bahkan untuk menciptakan suasana

rukun dan damai dikalangan masyarakat Sulawesi Utara umumnya, dan

khususnya di Dumoga telah dibentuk suatu organisasi resmi oleh Pemerintah

yang bernama Koperasi Unit Desa (KUD) Werdhi Yasa, Badan Kerja Sama

Antar Umat Beragama (BKSAUA), dan dalam bentuk yang lainnya.

c. Kerjasama

Sifat gotong royong yang melekat pada setiap etnik ialah suatu bentuk

kerjasama yang selalu tercermin dalam kehidupan masyarakat pedesaan dan

perkotaan. Kerjasama yang terwujud dalam masyarakat transmigran di

kawasan Dumoga lebih mengarah pada kegiatan agribisnis, karena wilayah

ini merupakan daerah sentra produksi tanaman palawija, misalnya kerjasama

dalam perbaikan saluran irigasi, pengadaan sarana produksi, dan pemasaran

28

hasil komoditi. Namun tidak menutup kemungkinan kerjasama dalam bidang

sosial lainnya, di antaranya membantu masyarakat yang mengalami bencana

banjir, tanah longsor, dan musibah lainnya.

Kerjasama antaretnik terjadi dengan intensif pada pemeliharaan dan

perbaikan saluran irigasi sesuai dengan batas-batas kelompok (pekaseh

dalam sistem subak) yang telah ditentukan oleh pemerintah. Di sisi lain, juga

terjadi kerjasama yang bersifat sementara dan kepentingan-kepentingan

pribadi maupun kelompok, seperti kelompok menanam padi di sawah,

kelompok menyabit padi, dan menjadi kelompok koperasi. Hal ini didukung

oleh hasil penelitian Asief (2001:110) bahwa ada dua bentuk kerjasama yang

ada di di daerah transmigrasi Bolaang Mongondow, antara lain : 1)

kerjasama dengan sifat mengharapkan hasil ( bersifat ekonomis ), dan 2)

kerjasama yang bersifat membantu/menolong yang dilakukan secara

sukarela, terutama yang ada kaitannya dengan kegiatan sosial. Kedua bentuk

kerjasama tersebut telah terjadi dalam kehidupan masyarakat di kawasan

transmigran etnik Bali Bolaang Mongondow.

Secara intern etnik Bali, kerjasama yang berkaitan dengan kegiatan

sosial kemasyarakatan, terutama yang terhimpun dalam organisasi banjar

adat masih berjalan dengan baik, seperti gotong royong membersihkan

lingkungan banjar/desa, membersihkan lingkungan pura maupun pada saat

melakukan upacara keagamaan, dan pelaksanaan upacara kematian.

Sementara gotong royong yang lainnya sudah banyak yang dikomersilkan

atau diuangkan sesuai dengan kesepakatan, seperti membuat rumah tinggal,

membajak sawah, menanam padi, mengangkat hasil panen, memanjat kelapa,

dan sejenisnya (Wawancara dengan I Wayan Loki, Mei 2014).

d. Asimilasi

Etnik Bali sudah bermukim di kawasan transmigrasi Bolaang

Mongondow (Dumoga) sejak tahun 1963, menyebabkan lahirnya anggota

masyarakat generasi baru yang merupakan kombinasi dari etnik-etnik yang

29

ada di Dumoga maupun disekitarnya. Interaksi antaretnik sudah berlangsung

± 51 tahun sudah pasti memberikan berbagai perubahan dalam berbagai

aspek kehidupan sosial etnik yang ada. Etnik Bali misalnya, dari generasi

pertama hingga generasi ketiga sudah mengerti bahasa etnik lainnya,

demikian juga sebaliknya banya etnik Bali yang tidak mengerti bahasa Bali.

Proses asimilasi tidak hanya terbatas pada aspek bahasa saja, akan tetapi

telah terjadi perkawinan campur antara etnik Bali dengan etnik setempat

(penduduk asli) atau sesama transmigran dengan etnik yang berbeda.

Perkawinan campur itu dapat terjadi karena adanya interaksi masyarakat

antaretnik yang dilandasi oleh sikap toleransi dan kerjasama yang baik.

Perkawinan campur menurut hasil penelitian Arief (2001:114) di kawasan

transmigran Dumoga, mengungkapkan bahwa 54,79% masyarakat sangat

setuju adanya perkawinan antaretnik, 37,23% setuju, dan 5,32% kurang

setuju.

Berdasarkan kenyataan tersebut, bahwa masalah agama, etnik, ras, dan

antargolongan (SARA) di kawasan transmigrasi Bolaang Mongondow bukan

merupakan suatu hambatan dalam melakukan proses asimilasi, akan tetapi

merupakan suatu dorongan untuk menciptakan masyarakat yang plural dan

multikultur. Robert Park (dalam Liliweri, 2009:158) menyatakan bahwa

kebanyakan kaum imigran (transmigran) memilih langsung melakukan

asimilasi dengan penduduk setempat, dengan alasan dapat melanggengkan

relasi daripada akomodasi yang kerapkali menghasilkan kebersamaan yang

tidak stabil.

B. Pengetahuan Dan Keterampilan Petani

Sistem pengetahuan masyarakat etnik Bali telah mulai berkembang sejak

zaman prasejarah, terbukti dengan berbagai temuan arkeologis berupa alat-alat

yang dibuat dari batu di desa Sembiran dan Terunyan, walaupun bentuknya masih

sangat sederhana (kasar). Alat-alat dari batu itu ada yang berbentuk kapak

30

genggam, kapak perimbas, tombak pemburu, serut genggam, dan sebagainya.

Temuan arkeologis di kedua tempat tersebut belum ditemukan fosil-fosil manusia

sebagai pendukung dari alat-alat batu tersebut. Satu hal yang menarik dari temuan

di Sembiran dan Terunyan mempunyai persamaan dengan temuan di daerah-

daerah lainnya di Indonesia seperti di Pacitan Jawa Timur, di Sumatra,

Kalimantan Selatan, dan Flores, diperkirakan berasal dari akhir plestosin (Darsana

dalam Geriya, 2008:79).

Sejalan dengan perkembangan alam pikiran masyarakat etnik Bali dan

sekaligus tuntutan zaman, pengetahuan masyarakat Bali juga turut berkembang,

misalnya pembuatan alat-alat rumah tangga, yang awalnya dibuat dari batu,

kemudian dibuat dari tulang, kulit kerang, logam, perunggu, dan besi. Demikian

juga pola kehidupan masyarakat Bali mengalami perkembangan sesuai dengan

perjalanan waktu, seperti dari hidup nomaden (berpindah-pindah) dan berburu

sampai pada pola hidup menetap dengan bercocok tanam dan bermasyarakat.

Fenomena di atas, membuktikan bahwa perkembangan pengetahuan etnik Bali

terjadi secara kumulatif dan berjenjang seperti yang diungkapkan oleh ahli

sosiologi Auguste Comte (dalam Muslih, 2004:23-24) bahwa pekembangan

pengetahuan manusia terjadi secara linier (berjejang), yaitu tahapan teologis,

tahapan metafisika, dan tahapan positif (ilmiah), sedangkan menurut Khun (dalam

Ritzer, 1992:4) bahwa pengetahuan manusia berkembang secara kumulatif

dipandang sebagai mitos yang harus dihilangkan, karena pengetahuan itu

berkembang secara revolusi.

Berdasarkan kedua pendapat ilmuwan tersebut di atas (Comte dan Khun),

peneliti lebih cenderung untuk mengikuti pola pikir yang dikembangkan oleh

Comte bila dikaitkan dengan pengetahuan orang Bali sebagai satu sistem sosial-

budaya, karena dalam tradisi (agama Hindu) budaya Bali, pengetahuan itu

hendaknya diperoleh secara berjenjang atau bertahapan sesuai dengan umur dan

kemampuan berpikir umat manusia. Tingkatan pengembangan pengetahuan

tradisi Bali yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu telah terimplementasi dalam

31

ajaran Catur Asrama, yaitu konsep hidup untuk menjalankan dan menyukseskan

empat tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusa Artha (dharma, artha,

kama, dan moksa). Catur asrama sebagai tahapan hidup manusia untuk

menjalankan dan menyukseskan empat tujuan itu secara bertahapan, sehingga

konsep catur asrama dapat dikatakan sebagai pola pembentukan generasi muda

etnik Bali. Catur asrama terdiri atas (1) generasi brahmacari asrama, yaitu

tahapan hidup berguru, (2) generasi grhastha asrama, yaitu tahapan hidup

berumah tangga melakukan perkawinan, (3) generasi wanaprastha asrama, yaitu

tahapan hidup untuk membagi berbagai pengalaman hidup pada generasi

brahmacari dan grhastha asrama, dan (4) generasi sanyasin/biksuka asrama,

yaitu tahapan hidup mempersiapkan diri untuk melepaskan sang diri (atman) dari

belengguan kehidupan duniawi (Wiana,2007:11-15).

Tiap-tiap tahapan hidup generasi tersebut di atas memilik kewajiban

(swadharma) yang berbeda-beda dalam mencapai empat tujuan hidup manusia

(dharma, artha, kama, dan moksa) tersebut. Perbedaan kewajiban (swadharma)

itulah yang mendorong terjadinya hubungan yang harmonis dan saling lengkap

melengkapi antara generasi dengan generasi yang lainnya, baik dalam lingkungan

intern maupun ekstern. Misalnya, seorang brahmacari asrama tidak akan sukses

tanpa grhastha asrama, demikian pula, grhastha asrama dianggap gagal kalau

brahmacari asrama yang dibinanya gagal mewujudkan kewajiban sebagai

brahmacari, karena grhastha asrama kewajiban utamanya adalah melahirkan,

memelihara, dan mendidik brahmacari yang menjadi tanggung-jawabnya (Wiana,

2007:134). Landasan dasar pengembangan dan penerapan pengetahuan (ilmu

pengetahuan) etnik Bali adalah nilai keharmonisan dan nilai keseimbangan antara

unsur yang satu dengan unsur yang lainnya. Nilai keharmonisan terejawantahkan

dalam konsep rwa bhineda (oposisi biner) bahwa etnik Bali memiliki

pengetahuan tentang benar-salah, baik-buruk, yang sering ditentukan oleh ruang

(desa), waktu (kala), dan kondisi riil di lapangan (patra). Adapun nilai

keseimbangan tercermin dalam konsep tri hita karana (tiga penyebab

32

kebahagian), yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya (parhyangan), hubungan

manusia dengan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan

alam lingkungannya (palemahan). Ketika hubungan manusia dengan Tuhan,

manusia, dan alam berjalan secara seimbang maka kedamaian, ketentraman,

kesejahteran, dan kebahagian hidup akan terwujud dengan sempurna (Ardika,

2008:47). Dengan demikian, mengkaji dan menganalisis secara mendalam bentuk

praktik pengetahuan tradisional etnik Bali harus melalui beberapa aspek.

1. Pengetahuan Tentang Tata Ruang Pertanian

Tata ruang pemukiman etnik Bali di daerah transmigrasi Bolaang

Mongondow yang tercermin di desa tradisional sebagai lingkungan buatan

sangat terkait dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat yang tidak bisa

terlepas dari sendi-sendi adat-istiadat dan agama Hindu. Peranan dan

pengaruh agama Hindu dalam penataan lingkungan buatan untuk pemukiman,

peternakan, dan lahan pertanian sangatlah besar, karena berdasarkan konsep

ajaran agama Hindu, tata ruang pemukiman, pertanian, dan peternakan itu

merupakan miniatur dari bhuana agung (makrokosmos) dan bhuana alit

(mikrokosmos), dalam kaitan ini bhuana agung adalah lingkungan buatan

untuk tempat tinggal, manusia, binatang, dan juga tempat bertani, sementara

bhuana alit adalah manusia yang mendirikan dan menggunakan wadah/tata

ruang pemukiman tersebut (Subandi dalam Dwijendra, 2009:1).

Konsep bhuana agung dan bhuana alit yang dijadikan landasan tata

ruang pemukiman dan pengaturan tata ruang pertanian etnik Bali didasarkan

pada ide kesatuan. Manusia harus melakukan penyatuan terhadap alam secara

serasi, selaras, dan seimbang, sehingga dari ide kesatuan tersebut lahirlah

kesadaran untuk menjaga kelestarian alam lingkungan, dan manusia itu

sendiri adalah identik dengan alam. Sifat identik manusia dengan alam,

menurut Dharmayudha dan Santika (1989:12) dapat dilihat dari pembidangan

secara dikotomis, yaitu dalam diri manusia terdapat unsur Ataman (purusa)

sebagai unsur aktif yang menghidupkan manusia dan unsur prakerti sebagai

33

unsur badan kasar manusia yang bersifat pasif. Demikian juga alam semesta

terdiri atas unsur Paramatman (Tuhan) sebagai purusa dan bumi sebagai

unsur prakerti. Atman dan Paramatman menurut kepercayaan etnik Bali yang

beragama Hindu adalah sama, sehingga dalam ajaran agama Hindu ada

adigium yang berbunyi “Bahman Atman Aikyam” yang artinya Bahman

(Tuhan) dengan Atman (Roh) yang menghidupkan manusia adalah sama.

Berdasarkan filosofi kosmis tersebut di atas, etnik Bali dalam

bertindak dan berbuat selalu mempergunakan alam sebagai pola acuan

(paradigma), terutama dalam membuat tata ruang pemukiman, pertanian, dan

perternakan, karena alam itu merupakan ketentuan-ketentuan yang objektif

(Nasroen dalam Dharmayudha dan santika, 1989:13). Apabila ketentuan-

ketentuan objektif dari alam tersebut tidak diimplementasikan dalam tata

ruang pemukiman, pertanian, dan peternakan maka kemungkinan besar dapat

menimbulkan ekses-ekses negatif yang dirasakan oleh manusia sebagai

penghuni tata ruang tesebut, misalnya sakit-sakitan, perasaan gusar dan tidak

enak, warga masyarakat sering konflik, dan sejenisnya sehingga keserasian

hidup manusia tidak dapat diwujudkan atau hasil panen tidak menjadi bagus

atau ternak tidak mau besar, dan sejenisnya.

Sehubungan dengan hal tersebu, keserasian hubungan manusia dengan

alam lingkungan dapat diumpamakan seperti “kadi manik ring cecupu atau

janin dalam rahim ibu” yang maknanya bahwa manusia hidup dilingkupi oleh

alam dan dari alamlah manusia mendapatkan kebutuhan hidup sandang dan

pangan. Berdasarkan makna tersebut, manusia memiliki kebebasan untuk

mengambil apa saja dari alam untuk kepentingan hidupnya. Manusia juga

memiliki kewajiban untuk menjaga dan memelihara alam dari kerusakan,

sebab bila alam sebagai sumber kehidupan dirusak sama dengan merusak

dirinya sendiri sebagaimana terdapat dalam filosofi tat twan asi (engkau

adalah dia atau dia adalah engkau).

34

Perumpamaan “manik dan cecupu” tersebut dapat dijadikan panutan

dalam kehidupan keluarga maupun bermasyarakat, misalnya manusia

perorangan sebagai manik dan rumah tangga sebagai cecupu atau rumah

tangga sebagai manik sementara banjar adat/desa adat sebagai cecupu.

Ilustrasi manik dan cecupu merupakan gambaran bahwa manusia sebagai

makhluk yang berakal budhi sudah sewajarnya menciptakan hubungan yang

serasi antara ruang publik sebagai wadah dan manusia sebagai isi dari ruang

publik tersebut, artinya bentuk wadah (tata ruang pemukiman) tempat melihat

sifat dan keadaan alam yang harus disesuaikan dengan kondisi manusia

sebagai isi dari alam, sehingga manusia merasa nyaman dan tenteram dalam

menjalankan kehidupan sehari-harinya.

Tata ruang pemukiman, pertanian, dan peternakan masyarakat etnik

Bali, di samping menerapkan filosofi kosmis bhuana agnung dan bhuana alit

sebagaimana diuraikan di atas, juga menerapkan konsep hulu-teben dan tri

mandala. Konsep hulu-teben tercermin dalam wilayah desat/banjar adat, tata

ruang rumah tinggal, dan tata ruang pura kahyangan tiga di tiap-tiap desa

adat/banjar adat, misalnya tata ruang desa/banjar adat yang ada di daerah

transmigrasi masih menerapkan konsep hulu-teben, yaitu Utara-Selatan atau

Timur-Barat (kaje-kelod atau kangin kauh). Arah Utara dan Timur merupakan

simbol hulu/kesucian/sakral, sedangkan arah Selatan dan Barat merupakan

simbol teben/kotor/profan. Implementasi dari konsep hulu-teben tersebut

tampak jelas di tingkat desa/banjar adat dalam bentuk penempatan

bangunan/palinggih pura kahyangan tiga (pura puseh, bale agung, dan

dalem) dan di tingkat keluarga tampak penempatan bangunan atau palinggih

merajan/sanggah, serta arah tempat tidur etnik Bali selalu kepala di arah

Timur atau Utara.

Sementara konsep tri mandala juga diterapkan dalam penataan tata

ruang pemukiman, pura kahyangan tiga yang terdapat dalam wilayah

desa/banjar adat, dan tempat rumah tinggal, misalnya tata ruang pemukiman

35

dalam desa/banjar adat dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian utama

mandala sebagai tempat ibadah (parhyangan), bagian madya mandala

sebagai tempat hunian (pawongan), dan bagian kanistaning mandala sebagai

lahan pertanian (palemahan), sedangkan dalam konteks tempat tinggal,

pekarangan rumah juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian utama

mandalan sebagai tempat ibadah keluarga/sanggah, madyaning mandalan

sebagai tempat bangunan rumah, dan kanistaning mandala sebagai tempat

memelihara binatang. Konsep mandala dalam kehidupan etnik Bali (Hindu)

memiliki makna filosofi yang sangat tinggi, yaitu sebagai lingkaran diagram

yang memiliki kekuatan magis, terutama yang ada kaitannya dengan ritual

keagamaan. Selain itu, konsep mandala juga merupakan suatu konsep yang

ada kaitannya dengan sistem politik India dan Bali, yang mengacu pada

hubungan raja dengan wilayah kekuasaan yang diwujudkan dalam bentuk

lingkaran. Raja yang berada di luar lingkaran dianggap sebagai musuh,

sedangkan mereka yang berada di dalam lingkaran dipandang sebagai sekutu

(Higham dalam Geriya, 2008:123).

Pengamatan peneliti di lapangan menunjukkan bahwa penerapan

konsep tri mandala oleh etnik Bali di Bolaang Mongondow sudah mengalami

sedikit pergeseran, seperti pura puseh dan bale agung diletakkan di tengah

desa/bajar adat (madya mandala) dan pura dalem masih diletakkan di hilir

(teben) desa/banjar adat (kanista mandala). Implementasi dari konsep tri

mandala di lingkungan keluarga transmigrasi etnik Bali (Hindu) Bolaang

Mongondow juga sudah mengalami banyak pergeseran, seperti

sanggah/merajan posisinya berbeda-beda sesuai dengan keinginan (rasa)

pemiliknya. Oleh karena demikian, posisi sanggah/merajan tidak selalu di

arah timur laut (kaja kangin), karena konsep yang diterapkan bukan lagi

konsep hulu-hilir atau luan-teben tetapi menggunakan konsep hulu jalan,

perempatan (catuspata) dan rasa/hati nurani (atmanastusti). Satu hal yang

ditemukan oleh peneliti di lapangan, bahwa sanggah/merajan etnik Bali yang

36

semestinya bisa ditempatkan di arah Timur Laut (kaja kangin), mengingat

posisi pekarangan rumahnya berada di sebelah Barat jalan, tetapi

kenyataannya tidak ditempatkan di Timur Laut. Hal seperti itu sesungguhnya

sudah sejalan dengan culture studies, terutama teori dekonstruksi yang

dikembangkan oleh Derrida, bahwa kebenaran bukan lagi bersifat tunggal,

akan tetapi berifat jamak dan dinamis tergantung dari yang memaknai

(subjek).

Pola tata ruang Desa/Banjar Adat maupun desa dinas etnik Bali di

daerah transmigrasi Bolaang Mongondow, terutama yang terdapat di

Kecamatan Dumoga Utara sudah dijadikan panutan (diadopsi) oleh desa-desa

lain yang bukan penduduknya etnik Bali, seperti yang diungkapkan oleh

mantan Camat Dumoga Utara sebagaimana terungkap dalam petikan

wawancara berikut ini.

“Pemerintah kecamatan Dumoga Utara memberikan kebebasan pada semuaetnik yang bermukim di wilayahnya untuk mengekspresikan budaya dankearifan lokalnya masing-masing sebagai identitas etnik dan pedomanbertingkah secara fisik dan nonfisik sehingga kerukunan, kedamaian, danketentraman tetap terjamin dan terpelihara. Namun, khusus untuk batas-batasdesa yang berada di wilayah Kecamatan Dumoga Utara telah disepakati olehkepala desa (Sangadi) dan tokoh-tokoh masyarakat untuk mengadopsi budayafisik Bali, berupa Candi Bentar. Itu sebagai tanda bahwa masyarakatKecamatan Dumoga Utara sangat terbuka dan fleksibel dalam identitasbudaya, sebagai identitas tapal batas desa-desa yang berada di wilyahkecamatan “ (Wawancara dengan Eko Sutianto, Mei 2014)

Bertolak dari penuturan informan tersebut, bahwa tata ruang teritorial

(wilayah desa) dan benda budaya (Candi Bentar) etnik Bali di Bolaang

Mongondow memiliki nilai estetika yang sangat tinggi, sehingga etnik lain

tertarik untuk mengadopsinya sebagai tapal batas desa atau pintu gerbang

rumah tinggal. Fenomena seperti ini bila dipandang dari teori interaksionisme

simbolik bahwa manusia bertindak atas dasar makna yang dimiliki oleh

subjek atau benda tersebut, sehingga makna tersebut merupakan proses dari

hasil interaksi yang melibatkan individu dan kelompok. Di sisi lain,

37

fenomena ini merupakan salah satu bentuk kehormatan dan sekaligus suatu

kebebasan yang diberikan oleh pemerintah dan etnik lain kepada etnik Bali

untuk mengekspresikan serta merepresentasikan identitas ke-Baliannya secara

wajar. Mengingat, identitas dilihat secara cultural studies bersifat jamak dan

tidak pernah stabil, artinya setiap orang atau kelompok akan mengalami

perubahan sepanjang waktu dan tidak peduli perubahan itu bersifat aktif atau

pasif (Yusuf, 2005:18).

2. Pengetahuan Tentang Astronomi

Pengetahuan tentang astronomi yang diwarisi oleh etnik Bali

sesungguhnya merupakan bagian dari ajaran agama Hindu, terutama yang

terdapat dalam bagian kitab suci Weda Smerti, yaitu kitab upaweda. Kitab

upaweda tersebut terdiri atas beberapa bagian, antara lain kitab ayur weda

(berisi tentang ilmu pengobatan), kitab arthasastra (berisi tentang ilmu

pemerintahan dan politik), kitab ganarwa (berisi tentang ilmu seni dan

arsitektur), kitab wyakarana (berisi tentang tata bahasa), kitab nirukta (berisi

tentang asal-usul kata/etemologi), kitab astronomi (berisi tentang ilmu

pengetahuan hari baik dan buruk dalam melakukan aktivitas), dan kitab kalpa

(berisi tentang ilmu ritual keagamaan).

Kitab astronomi di kalangan etnik Bali lebih dikenal dengan istilah

“wariga dewasa atau pedewasaan “ yang berisi tentang perhitungan hari baik

dan buruknya waktu (ala hayuning dewasa) dalam melakukan aktivitas

kehidupan, termasuk di dalamnya dengan kegiatan pertanian. Penentuan hari

baik dan buruk tersebut bertitik tolak dari situasi-situasi atau gerak alam yang

diperlihatkan oleh bhuana agung (alam semesta), termasuk juga di dalamnya

siklus perputaran waktu, hari, bulan, dan seterusnya (Dharmayudha dan

Santika, 1989:16), sehingga dengan berpedoman pada perhitungan wariga ini,

seseorang (yang mengerti) dapat menentukan kapan saat yang baik untuk

melakukan pembajakan sawah, menanam padi, memetik padi, dan sejeniskan.

Penggunaan hari baik dan buruk oleh etnik Bali Bolaang Momgondow yang

38

beragama Hindu dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari masih tetap

terlaksana. Hal ini diakui oleh seorang tokoh adat dan agama Hindu Desa

Werdhi Agung I Nyoman Marayasa sebagaimana terungkap dalam petikan

wawancara berikut ini.

“Transmigran etnik Bali Bolaang Mongondow yang masih taat beragamaHindu dalam melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari selalu didahuludengan ritual keagamaan dan memperhitungkan hari baik dan buruk untukpekerjaan yang akan dilakukan, misalnya hari yang baik untuk menanam padi,jagung, kacang, kelapa, dan melakukan ritual keagamaan, seperti upacarangaben, pernikahan, pembangunan rumah, pembanguna sanggah. Namunorang yang menguasai tentang padewasaan itu hanya sedikit sekali, sehinggadalam penentuan padewasaan dalam kegiatan sehari-hari seperti bertanisemuanya berpedoman pada kelender Bali, kecuali untuk kegiatan ritual adatdan keagamaan bertanya pada orang yang tahu dan sekaligus akanmenyelesaikan ritual tersebut” (Wawancara pada bulan Mei 2014).

Berdasarkan ungkapan informan di atas, ada satu hal yang menjadi

perhatinan peneliti dan sekaligus keprihatinan terhadap sikap dan perilaku

etnik Bali yang sangat kurang berminat untuk mendalami dan mempelajari

pengetahuan tentang padewasaan sebagai warisan budaya leluhur yang

memiliki nilai-nilai kehidupan yang sangat tinggi. Mereka yang tidak

mengerti tentang ilmu padewasaan/wariga selalu berpedoman atau

berpatokan pada kalender yang didatangkan dari Bali, karena di dalam

kalender tersebut sudah diuraikan secara lengkap tentang baik buruknya hari

(ala ayuning padewasaan), baik yang berkaitan dengan ritual keagamaan

maupun aktivitas kehidupan yang lainnya, seperti bertani.

Secara implisit, informan di atas juga mengisyarakatkan pada etnik

Bali yang beragama Hindu agar melakukan aktivitas pertanian sebaiknya

berpedoman pada ketentuan-ketentuan hari baik dan buruk (wariga dewasa).

Hari baik dan buruk mengandung ajakan dan makna bahwa setiap orang yang

akan melakukan tindakan sebaiknya direncanakan dan tidak semena-mena

terhadap alam lingkungan. Dengan demikian, keharmonisan hubungan

manusia dengan alam tetap terjaga dan terpelihara sepanjang zaman.

39

Akibatnya kesejahteraan dan kedamaian hidup manusia dan makhluk lainnya

dapat tercipta, misalnya ingkel wong saat tidak baik untuk melakukan upacara

manusia yadnya, ingkel sato saat tidak baik untuk menangkap/menyembelih

hewan, ingkel mina saat tidak baik untuk menangkap ikan, ingkel manuk saat

tidak cocok untuk kegiatan yang berkaitan dengan unggas, ingkel taru saat

tidak baik untuk menebang jenis pohon, dan ingkel buku saat tidak cocok

untuk menebang tanaman yang beruas (Dhamayudha dan Santika, 1989:16).

Namun, dalam praktiknya di lapangan bahwa semua larangan seperti tersebut

di atas, sebagian sudah tidak dijalankan lagi oleh eknik Bali Bolaang

Mongondow, kecuali yang berkaitan dengan ritual keagamaan dan praktik

bertani masih tetap dilaksanakan. Misalalnya, dalam bertani, dari awal hingga

akhir proses bertani selalu berpatokan pada wariga/padewasaan sehingga

hasil yang diperoleh berbeda dengan mereka yang tidak menggunakan

padewasaan. Hal ini diakui oleh salah satu informan non-etnik Bali (etnik

Jawa) dan sekaligus sebagai mantan Camat Dumoga Utara sebagaimana

terungkap dalam kutipan berikut ini.

“Para petani etnik Jawa dan etnik Bali yang berada dalam satu wilayahpertanian lahan basah (sawah) di Kecamatan Dumoga Utara hasil panennyatidak sama antaretnik Bali dengan etnik Jawa. Hasil panen etnik Bali selalulebih bagus atau lebih banyak dibandingkan dengan etnik Jawa, pada halproses pengolahan sawah dari awal sampai akhir hampir sama dengan yangdilakukan oleh etnik Bali, seperti membajak, memberikan pupuk,pemeliharaan, dan pengairannya” (Wawancara dengan Eko Sutianto, Mei2014).

Petikan wawancara tersebut, secara ekspilisit telah mengungkapkan

bahwa cara bertani dan proses pengolahan tanah sawah antara etnik Bali dan

etnik Jawa tidak jauh berbeda. Akan tetapi, kenyataannya hasil yang diperoleh

berbeda antara kedua etnik tersebut. Secara fisik memang sama proses

pengelolaannya tetapi secara nonfisik tidak sama mengelolanya, seperti kalau

etnik Bali bertani tidak pernah lepas dari sistem pengetahuan tradisional,

terutama yang berkaitan dengan hari baik dan buruk (wariga atau

40

padewasaan), dan memulainya dengan hari yang baik untuk bertani, serta

dibarengi dengan persembahan sesaji sebagai wujud nyata persembahan dan

permohonan pada Tuhan supaya memperoleh hasil yang melimpah.

C. Sistem Bertani Subak

Manusia dalam menjalankan fitrahnya sebagai makhluk sosial selalu

melakukan hubungan antara sesamanya, yang akhirnya membentuk suatu

masyarakat atau komunitas. Di samping itu, hubungan yang dilakukan dapat

berkembang akibat adanya adaptasi di lingkungan sekitarnya sebagai usaha untuk

saling mengadakan hubungan sehingga menjadi sebuah organisasi sosial sebagai

wujud pola interaksi antara sesama warga masyarakat. Pola tanggap manusia

terhadap lingkungan tersebut dapat melahirkan pola-pola atau bentuk-bentuk

kebudayaan etnik di beberapa daerah.Pola hubungan antara sesama manusia yang

bersifat resiprokal akan menjadi dasar dari interaksi sosial di kalangan masyarakat

(kelompok) dan sangat memungkinkan untuk terciptanya kelompok-kelompok

sosial. Kelompok sosial dapat diartikan sebagai suatu struktur sosial yang dapat

menciptakan pola-pola interaksi sosial antara sejumlah orang yang mempunyai

identitas nyata, cita-cita, tata nilai dalam berpikir, sikap dan tingkah laku nyata

yang tercermin dalam pola hubungan langsung dan tidak langsung (Shepard

dalam Wiasti dkk., 1993:2). Ciri-ciri yang dikemukakan oleh Shepard tersebut

banyak terlihat dalam ciri-ciri kehidupan masyarakat etnik Bali di Bolaang

Mongondow.

Lahirnya kelompok-kelompok sosial dalam kehidupan masyarakat Bali dan

masyarakat lainnya, karena adanya berbagai keperluan pokok kehidupan manusia,

misalnya kebutuhan akan mata pencaharian hidup menimbulkan lembaga

kemasyarakatan, seperti pertanian (subak bagi etnik Bali dan Mapalus bagi etnik

Minahasa), koperasi, dan industri. Kebutuhan akan pendidikan menimbulkan

lembaga kemasyarakatan, seperti pasraman, pesantren, taman kanak-kanak,

sekolah dasar, hingga perguruan tinggi. Kebutuhan untuk menyatakan rasa

41

keindahan menimbulkan lembaga kesusastraan, seni rupa, seni tari, dan masih

banyak contoh lagi (Soekanto, 1990:218).

Berdasarkan contoh di atas, bahwa lembaga kemasyarakatan dapat lahir di

setiap masyarakat tanpa memperdulikan apakah masyarakat (etnik) tersebut

mempunyai taraf budaya yang rendah atau tinggi. Dikatakan demikian, karena

setiap etnik mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok dan apabila dikelompok-

kelompokkan akan menjadi sebuah organisasi sosial kemasyarakatan. Menurut

Soekanto (1990:218) bahwa lembaga kemasyarakatan itu merupakan himpunan

norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di

dalam kehidupan masyarakat (etnik). Wiese dan Becker mengartikan lembaga

sosial sebagai jaringan proses-proses hubungan antarmanusia dan antarkelompok

manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut sesuai

dengan kepentingan individu dan kelompok (dalam Soekanto, 1990:219). Dengan

demikian, ada beberapa bentuk organisasi sosial etnik Bali yang dapat

direpresentasikan di wilayah transmigrasi Bolaang Mongondow, seperti Banjar

Adat, Subak, dan bangunan yang berkaitan dengan banjar adat maupun Subak,

namun yang menjadi fokus kajian penelitian adalah sistem bertani subak.

Masyarakat transmigran etnik Bali telah mendiami kawasan transmigrasi

Dumoga sejak tahun 1963. Kawasan tersebut terdiri atas daerah dataran yang

dikelilingi oleh gunung-gunung sehingga sangat cocok untuk mengembangkan

sistem pertanian tanah kering dan tanah basah, sebagai tanggapan aktif terhadap

alam. Kondisi geografis, iklim, dan lingkungan alam Bolaang Mongondow

(Dumoga) yang sangat menjanjikan dalam bidang pertanian. Oleh karena itu,

transmigran etnik Bali dapat mengembangkan keahlian bertaninya dengan baik di

daerah baru tersebut.

Keahlian (pengetahuan) bertani masyarakat transmigran Bali didapat secara

turun temurun dari nenek moyangnya di Bali. Temuan arkeologis di Bali

menunjukkan bahwa etnik Bali sudah mengembangkan budidaya tanaman padi

sejak awal abad masehi (2000 tahun lalu). Pembudidayaan tanaman padi tersebut

42

telah didukung oleh pemahaman teknologi logam pada awal abad masehi telah

mendorong peningkatan aktivitas bertani, yang pada akhirnya berimplikasi pada

perkembangan dan kemajuan masyarakat dan budaya Bali (Ardika dalam Geriya,

2008:125). Pengetahuan bertani dengan sistem irigasi telah dikenal oleh etnik

Bali sejak zaman Bali Kuno kurang lebih abad IX - XI Masehi. Pada saat itu

telah dikenal istilah ‘undagi pengarung’ yang berarti ‘ahli membuat saluran

irigasi (aungan)’ dan istilah ‘kesuwakan’ yang pengertiannya sama dengan subak

sekarang ( Geriya, 2008:126).

Bukti-bukti sejarah tersebut di atas, menandakan bahwa pertanian dalam arti

luas merupakan mata pencaharian pokok etnik Bali, baik yang ada di Bali

maupun di luar Bali, khususnya di Bolaang Mongondow. Pemerintah Pusat dan

Kabupaten Bolaang Mongondow sangat memperhatikan masalah pertanian,

karena kehadiran transmigran etnik Bali di wilayahnya adalah suatu usaha untuk

memanfaatkan lahan yang potensial untuk mengembangkan pertanian dan

mentransformasikan teknik bertani dari etnik Bali ke etnik Mongondow. Usaha

pemerintah Bolaang Mongondow untuk mendatangkan trasmigran etnik Bali di

wilayahnya tergolong berhasil dalam meningkatkan hasil pertanian budidaya padi

tanah kering dan basah. Hal ini diakui oleh tokoh agama/adat dan sekaligus

akademis etnik Mongondow sebagaimana terungkap dalam petikan wawancara

berikut ini.

“Kedatangan transmigran etnik Bali (etnik lain) di Bolaang Mongondowmemiliki pengaruh yang besar dalam pengembangan pertanian tanah kering dantanah basah. Mengingat transmigran Bali memiliki pengetahuan, keahlian/skill,dan keuletan dalam mengerjakan lahan pertanian (ladang dan sawah) sehinggadapat meningkatkan produksi pertanian, terutama budidaya tanaman padi. Dalamkurun waktu yang relatif singkat, Bolaang Mongondow (tahun 1980-an ) telahmenjadi lumbung berasnya Sulawesi Utara” (Wawancara dengan Bapak MadunUtiah, Mei 2014).

Ungkapan yang disampaikan oleh informan di atas, mengakui peran serta dari

transmigran etnik Bali dalam meningkatkan produksi pertanian, terutama

peningkatan produksi beras sehingga Kabupaten Bolaang Mongondow diberikan

43

julukan lumbung berasnya Sulawesi Utara. Keberhasilan Bolaang Mongondow

sebagai lumbung beras Sulawesi Utara bukan saja karena keahlian dan keuletan

etnik Bali dalam bertani, tetapi adanya kebebasan dan toleransi dari etnik

Mongondow pada transmigran Bali untuk mengekspresikan nilai-nilai sosial-

budaya bertaninya (sistem subak), bahkan sistem bertani yang dikembangkan

oleh warga Bali telah banyak diadopsi oleh masyarakat setempat, seperti pola

tanam dan penentuan hari baik.

Keberhasilan transmigran Bali dalam bidang pertanian di Bolaang

Mongondow bukan semata-mata karena keahlian dan etos kerja yang tinggi, tapi

sejauh mana mereka dapat menerapkan konsep nilai-nilai sosial-budaya

tradisional yang terdapat dalam masyarakat Bali, seperti kelompok tradisional

subak. Tradisi menurut Giddens (2003:18) adalah sebuah orientasi ke masa lalu,

dan masa lalu tersebut memiliki pengaruh besar pada masa sekarang. Artinya,

praktik-praktik yang telah mapan digunakan sebagai cara mengorganisasikan

waktu masa depan dan masa lalu dapat dimanfaatkan untuk merekonstruksi masa

depan yang lebih baik dan dinamis. Tradisi, sebagaimana dikatakan oleh Edward

Said (dalam Giddens, 2003:18) selalu berubah-ubah, tetapi ada sesuatu tentang

gagasan tradisi yang memiliki daya tahan jika bersifat tradisional, sebuah

kepercayaan atau praktik yang memiliki integritas dan keberlanjutan, yang

menghambat desakan perubahan.

Berdasarkan pengertian tradisi tersebut di atas, sistem tradisional subak yang

dijalankan oleh masyarakat Bali Bolaang Mongondow sejalan dengan pemikiran

Giddens, Said, dan Halbwachs, karena kelompok tani tradisional subak tetap

menerima ide modern atau teknologi pertanian yang baru, sesuai dengan

perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Menurut Rogers (dalam Sutjipta

dkk, 1990:11) bahwa ada dua kontinum norma penting dalam kehidupan

masyarakat, yaitu tradisional dan modern. Sistem sosial yang modern lebih

berorientasi pada perubahan, teknologi maju, ilmiah, rasional, dan berempati,

sedangkan sistem tradisional memiliki ciri-ciri sebaliknya.

44

Pertanian sebagai mata pencaharian utama etnik Bali Bolaang Mongondow,

dalam implementasinya masih dilandasi oleh nilai-nilai sosial-budaya tradisional

Bali yaitu sistem subak, walaupun secara organisatoris tidak muncul istilah

subak, tetapi menggunakan istilah kelompok tani atau sanggar tani. Namun

prinsis-prinsip yang dijalankan tetap seperti yang terkandung dalam sistem

subak. Fenomena tersebut diakui oleh petani dan sekaligus sebagai ketua

kelompok Sari Nadi sebagaimana terungkap dalam petikan wawancara berikut

ini.

“Sistem subak yang berjalan di kawasan transmigrasi Bolaang Mongondowsudah mengadopsi sistem organisasi modern, tetapi dalam sistem pembagian airtetap menggunakan tradisional subak. Anggota kelompok terdiri atas etnik Balidan nonetnik Bali, dan kecenderungan etnik non-Bali menjalankan prinsip-prinsip sistem subak, walaupun ada yang mendongkol atau tidak menjalankansistem subak yang sudah disepakati, seperti pembagian air, gotong-royongmembersihkan saluran air, dan pertemuan rutin kelompok. Bagi yang melanggarkesepakatan atau aturan yang telah disepakati oleh semua anggota kelompok,maka mereka dikenakan sanksi” (Wawancara dengan I Wayan Kayun Sarjana,Mei 2014).

Uraian yang disampaikan oleh informan di atas, mengindikasikan bahwa

sistem pertanian yang dijalankan oleh etnik Bali di Bolaang Mongondow telah

mengadopsi sistem pertanian modern, baik dalam aspek pengolahan lahan,

penanaman maupun pemakaian pupuk. Akan tetapi, dalam aspek tertentu,

terutama pembagian air, penentuan hari baik, dan nama kelompok masih

menggunakan sistem subak sebagai identitas ke-Baliannya, walaupun sebagian

dari anggota kelompok bukan etnik Bali. Anggota kelompok yang bukan berasal

dari etnik Bali ada yang tidak mengikuti sistem subak tetapi sebagian besar yang

secara sukarela ikut menjalankan sistem bertani secara tradisional Bali (subak),

karena petani Bali dengan prinsip subaknya dipandang berhasil untuk

meningkatkan hasil produksinya di ladang dan di sawah.

Kelompok tani (subak), dilihat dari perspektif kebudayaan memiliki tiga

komponen atau wujud, yaitu komponen nilai budaya, komponen sistem sosial,

45

dan komponen fisik. Komponen nilai budaya dapat berupa nilai-nilai, norma-

norma, hukum, dan aturan khusus. Komponen sosial berupa pengelolaan

(pengorganisasian) atas komponen fisik, sedangkan komponen fisik dapat berupa

sarana dan prasarana yang dipergunakan unuk melakukan kegiatan anggota

kelompok. Ketiga komponen atau wujud dari kelompok tani atau sistem subak

tersebut, dalam kenyataan hidup dalam masyarakat tentu tidak dapat dipisahkan

satu dengan yang lainnya.

Subak atau kelompok tani yang diterapkan di Bolaang Mongondow oleh etnik

Bali, mempunyai landasan filosofi yang bersumber pada agama Hindu dan

kearifan lokal Bali, yaitu tri hita karana. Secara harafiah, tri hita karana berarti

tiga penyebab kebahagiaan, yang mengejawantah ke dalam tiga unsur. (1) Unsur

parhyangan, yaitu pola hubungan manusia dengan Penciptanya atau Tuhan, yang

termanifestasikan pada bangunan pura subak sebagai tempat untuk mewujudkan

rasa baktinya kehadapan Hyang Widhi Wasa (Dewi Sri) dan sekaligus sebagai

tempat menyelenggarakan upacara keagamaan. (2) Unsur pawongan, yaitu pola

hubungan yang harmonis antara warga subak. (3) Unsur palemahan yaitu wujud

lahan sawah serta semua sarana dan prasarana aktivitas warga subak (Sirtha,

2008:15).

Subak sebagai fenomena sosial-budaya memiliki tiga ciri. Pertama, sebagai

sistem nilai budaya, seperti nilai-nilai, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan

khusus. Sebagai contoh, anggaran dasar atau awig-awig subak, yang merupakan

ketentuan-ketentuan yang dibuat dan disepakati oleh anggota kelompok (warga

subak) sehingga ketentuan-ketentuan itu dapat dijadikan pedoman berperilaku

untuk mencapai ketertiban dan keharmonisan anggota (warga). Ke dua, sebagai

wujud sistem sosial yang merupakan pola aktivitas anggota kelompok, misalnya

kegiatan anggota kelompok (warga subak) dalam menata irigasi, mengolah lahan,

menanam bibit, memetik hasil panen, dan melakukan ritual di pura subak.

Kegiatan-kegiatan seperti itu merupakan pola perilaku dan proses interaksi yang

dilakukan oleh anggota kelompok secara berkesinambungan. Ke tiga, sebagai

46

wujud fisik, merupakan wujud budaya yang paling konkret dan sangat mudah

untuk dikenali, seperti jaringan irigasi, hamparan sawah, alat-alat untuk

mengerjakan sawah atau ladang, dan pura subak.

Ketiga wujud subak tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh tetapi telah

mengalami perubahan sebagai akibat adanya pembangunan dan dinamika

masyarakat. Komponen subak yang paling cepat mengalami perubahan ialah

komponen fisik, seperti alat pembajak, tidak lagi menggunakan alat tradisional

(tenggala/lampit) tetapi sudah menggunakan teknologi modern (traktor); pupuk,

tidak lagi menggunakan pupuk tradisional (kompos/lemekan) tetapi sudah

menggunakan pupuk modern (urea), pura subak dan sarana upakara masih relatif

tampak seperti semula tetapi telah mengalami penyederhanaan yang signifikan.

Bertautan dengan mata pencaharian etnik Bali Bolaang Mongondow, yang

paling tampak dan direpresentasikan dalam kehidupan sehari-hari ialah pertanian

dengan sistem subak. Dari sekian banyak ciri khas (identitas) subak atau

kelompok tani etnik Bali, hanya nama kelompok, pura subak dan ritual

keagamaan dan adat seperti upacara mapad toya, upacara biyu kukung, dan

upacara mantenin masih tampak jelas sebagai identitas pertanian orang Bali

(sistem subak) yang dilaksanakan di pura melanting atau pura subak,

sebagaimana terlihat dalam Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1 Pura dan Balai Pertemuan Kelompok TaniEtnik Bali Di Bolaang Mongondow

Sumber: Dokumentasi Punia, 2014

47

Unsur-unsur bertani dengan sistem subak sudah tampak mengalami

perubahan dan tidak berbeda jauh dengan teknik bertani yang dilakukan oleh

etnik lain, seperti pengolahan lahan, penanaman padi, penggunaan air, dan

pemanfaatan alat-alat teknologi modern, sebagaimana telihat dalam Gambar 2

dan Gambar 3 berikut ini.

Gambar 2 Alat Pembajak Modern (Traktor)Sumber: Dokumentasi Punia, 2014

Gambar 3 Alat Pembajak Tradisional (Tenggala)Sumber: Dokumentasi Punia, 2014

Jadi, berdasarkan fakta dan analisis hasil wawancara di lapangan

terbukti para petani etnik Bali telah menggunakan teknologi modern seperti

traktor sebagai alat pembajak pertama dan utama. Alat modern, seperti traktor

dan yang lainnya dipandang lebih menguntungkan dari segi waktu dalam

pengolahan lahan dan hasilnya jauh lebih luas dibandingkan menggunakan

alat pembajak tradisional. Alat pembajak tradisional memang masih

48

dipergunakan dalam pengolahan lahan sawah dan ladang hanya sifatnya

sebagai cadangan, misalnya ketika lahan sawah dan ladang yang diolah tidak

dapat dijangkau oleh alat traktor, terutama bagian pinggirnya, digunakanlah

alat pembajak tradisinal seperti tenggala/pajeko dan cangkul.

49

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan secara mendalam terkait

dengan Pembangunan Kemandirian Masyarakat Petani Padi pada Kawasan

Agropolitan Dumoga dalam Menunjang Percepatan Swasambada Pangan

Nasional dapat peneliti simpulkan sebagai berikut :

1. Secara umum masyarakat yang berada di kawasan agropolitan Dumoga,

terutama yang menjadi fokus kajian penelitian hamper semuanya

bermatapencaharian bertani, baik petani lahan basah maupun lahin kering

dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi sehingga keadaan

masyarakatnya tergolong sejahtera, terutama masyarakat transmigrasi etnik

Bali.

2. Masyarakat yang berada di kawasan agropolitan Dumoga, terutama

masyarakat etnik Bali memiliki pengetahuan dan ketrampilan bertani yang

sangat tinggi sebagaimana yang terdapat dalm sistem subak sehingga diantara

etnik yang ada di kawasan agropolitan Dumoga masyarakat etnik Bali

dipandang paling berhasil dalam hal bertani.

3. Keberhasilan pembangunan kemandirian masyarakat petani di kawasan

agropolitan Dumoga diakibatkan oleh penerapan sistem bertani tradisional

subak, keuletan para petani, dan potensi lahan yang sangat mendukung,

sehingga sampai saat ini kawasan Dumoga dipandang sebagai lumbung

berasnya Sulawesi Utara.

B. Saran

1. Pemerintah kabupaten maupun provinsi sebagaiknya mempertahankan

kawasan agropolitan Dumoga tetap dipertahankan sebagai daerah pertanian

dengan mempertahankan kelestarian alam lingkungan, sehingga debit air tetap

stabil.

50

2. Untuk dapat mempetahankan kawasan agropolitan Dumuga sebagai lumbung

berasnya Sulawesi Utara, pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat dapat

membangun dan meningkatkan sarana dan prasarana pertanian seperti

perbaikan irigasi dan pembangunan bendungan yang baru. Karena saat ini air

irigasi sudah tidak cukup untuk mengairi lahan sawah yang ada.

3. Pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat diharapkan dapat menambah

tenaga teknis dan penyuluh lapangan dalam bidang bertanian, memberikan

bantuan bibit unggul, dan menyiapkan bantuan-bantuan dana lunak sehingga

para petani bias terlepas dari sistem ijon.

4. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti ada kecenderungan masyarakat petani

di Kawasan Dumoga, terutama masyarakat etnik Bali kurang memperhatikan

cara teknik bertani dengan sistem subak sehingga hasil produksi juga semakin

menurun. Untuk itu kiranya masyarakat bisa kembali menerapkan sistem

bertani subak secara utuh, karena subak itu sudah menjadi “Cagar Budaya

Dunia”.

5. Sehubungan dengan sistem bertani subak telah menjadi Cagar Budaya Dunia

pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat bias mensosialisasikan kepada

semua masyarakatm karena bertani dengan sistem subak dipandang berhasil

untuk membangun kemandirian dan meningkatkan hasil produksi pertanian.

51

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan. 1994. Pertanian Pada Masa Bali Kuno, Suatu Kajian Efigrafi,Laporan Penelitian, Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Asief, Noor. 2002. Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Integrasi SosialMasyarakat Transmigrasi Di Kawasan Dumoga Kabupaten BolaangMongondow, Tesis Program Pascasarjana Unsrat Manado.

Budiasa, I Wayan. 2005. Subak dan Keberlanjutan Sistem Pertanian Beririgasi diBali. Dalam Pitana, I Gde dan Gede Setiawan AP (Eds). Revitalisasi Subakdalam Memasuki Era Globalisasi. Yogyakarta: Andi Offset.

Budiasa, I Wayan. 2007. Optimization of Groundwater Irrigation-Based FarmingSystem Towards Sustainable Agriculture in North Coastal Plain, Bali.Unpublish PhD Thesis, Agricultural Economics Study Program, Gadjah MadaGraduate School, Yogyakarta.

Budiasa, I Wayan; I Nyoman Gede Ustriyana; dan IGAA Lies Anggreni. 2009.Persepsi Masyarakat Terhadap Kemungkinan Pengembangan LumbungDesa di Kabupaten Tabanan, Bali. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian danAgribisnis (SOCA) Vol. 9 No. 3 November 2009, Program Studi AgribisnisFakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.

Dharmayuda, I Made dan I Wayan Koti Santika. 1989. Filsafat Adat Bali, Denpasar:Upada Sastra.

Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. 1995. Subak dan Museum Subak di Bali. ProyekPemantapan Lembaga Adat Tersebar di 9 Dati II TA 1995/1996.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali. 2008. Kebijakan PembangunanPertanian Tanaman Pangan di Bali Dalam Rangka MemantapkanKetahanan pangan dan Meningkatkan Pendapatan Petani.

Giddens, Antony. 2003. Masyarakat Post Tradisional, Yogyakarta: IRCiSoD.Geriya, I Wayan. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI,

Surabaya: Paramita.

Kanwil DPU Propinsi Bali. 1989. Subak. Denpasar. KEPMENKEU RI, Nomor298/KMK.02/2003 Tentang Pedoman Penyediaan Dana Pengelolaan IrigasiKabupaten/Kota. Jakarta

52

Liliweri, Alo. 2007. Makna Budaya Dalam komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta:LKiS.

Muslih, Mohammad. 2003. Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigmadan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.

Nani, Asripan. 2003. Analisis Pendapatan dan Kesejahteraan Petani padi Sawah DiKabupaten Bolaang Mongondow, Tesis Program Magister SumberdayaManusia Pascasarjana Unsrat.

Pitana, I Gde. 1993. Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali: Sebuah DeskripsiUmum. Dalam I Gde Pitana (ed): Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali.Denpasar: Upada Sastra.

Punia, I Nengah.2007. Kajian Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Desa Werdhiaagung Kecamatan Dumoga Kaupaten Bolaang Mongondow SulawesiUtara, Tesis Program Magister pascasarjana Unsrat.

Punia, I Nengah. 2011. Representasi Identitas Etnik Bali Dalam MasyarakatMultikultur Di Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara.Disertasi Pascasarjana Inversitas Udayana Denpasar.

Richard, G.Lipsey, peter O.Steiner, Pengantar Ilmu Ekonomi Jilid 1,2.Edisi ke enam,Jakarta. Rineka Cipta

Ritzer, George. 2008. Teori Sosiologi Post-Modern (terjemahan), Yogyakarta: KreasiWacana.

Sadono, Sukirno. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Bina Grafika

Soediyono, R. 1981. Ekonomi Makro Jilid 1,2. Yogyakarta. Liberty.

Samuelson. 1982. Ekonomi Makro. Jakarta. Erlangga

Soekanto, Soerjono. 1997. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.

Sirtha, I Nyoman. 2008. Subak, Konsep Pertanian Religius Perspektif Hukum,Budaya, dan Agama Hindu, Surabaya: Paramita.

Sucipta, I Nyoman.dkk. 1990. Perubahan Perilaku Tradisional Petani,Hubungannya dengan Efisiensi Usaha Tani dan Mutu Hidup Petani, HasilLaporan Penelitian Fakultas Pertanian Unud.

53

Sugino, T., 2003. Identification of Pulling Factors for Enhancing the SustainableDevelopment of Diverse Agriculture in Selected Asian Countries. PalawijaNews The CGPRT Centre Newsletter. Bogor: CGPRT Centre PublicationSection, 20 (3): 1-6.

Suherman, A. 2003. Pola Pengembangan Usaha Ekonomi di Daerah IrigasiMelalui Pembangunan Usahatani Terpadu, dan PengembanganKelembagaan yang Berbasis Agribisnis. Disampaikan pada SeminarNasional dan Musyawarah Anggota Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia,Jakarta.

Susila, J. 1993. Mandala Mathika Subak: Suatu Usaha Konservasi. Dalam I GdePitana (ed) Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali. Denpasar: Upada Sastra.

Wiana, I Ketut. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu, Surabaya: Paramita.

Wiasti, Ni Made. 1993. Eksistensi dan Fungsi Lembaga Sosial Tradisional padamasyarakat Bali, Laporan Penelitian, Fakultas sastra Universitas Udayana.

Winardi. 1987. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro. Bandung. Alumi

54

1. Lampiran Foto :

Pengolahan Lahan Sudah Siap Tanam :

Lahan Baru Ditanam Bibit :

55

Padi Sudah Mendekatai panen :

56

Merontok Hasil Panen :

Pengolahan Emas Di Tengah Sawah :

57

Jemur Gabah Di Gilingan :

Gabah Siap Digiling :

Tempat Pemujaan Dewi Sri :

58

Lahan Pasca panen :

Irigasi Airnya Semakin Mengecil :

59

Karyawan Gilingan Gabah dan Anggota Peneliti :

Petani Mencabut Rumput :

Petani Istirahat Mengangkat Karung Gabah :

60

Tempat Gilingan Gabah :

Sumur Bor untuk Mengairi Sawah :

Percobaan Bibit Baru dan Penggunaan Obat Anti Hama :

61

Rumah dan Kantor Desa Kembang Mertha :

Pura Taman :