27
Kajian Reproduksi Ikan Bete (Leiognathus equulus, Forsskal 1775) di Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan. Reproductive Studies of Common Ponyfish (Leiognathus equulus, Forsskål 1775) at Tempe Lake, Wajo Regency, South Sulawesi Province. Joeharnani Tresnati*) *) Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin Abstract Tempe Lake in Wajo Regency, South Sulawesi Province, including the lake is quite fertile and have an important role in social and economic life of the surrounding community because it has the potential of fishery resources are fairly reliable. One type of fish found in lake fish Tempe is ponyfish (Leiognathus sp) or a local language known as "bale bete". This fish is highly favored by the people of Tempe Lake. But with the scarcity of fish this happens rarely caught by fishermen in the community so that the sale value surrounding the lake is quite expensive, where each tail for Rp 10,000. The scarcity of fish has been quite alarming so necessary to study its reproduction. The purpose of this study was to see Gonad Maturity Stage and Gonad Maturity Index of common ponyfish in Tempe Lake, Wajo District. The usefulness of this study in order to provide the necessary information and can be considered as a basis for the conservation of fishery resources of common ponyfish in Tempe Lake, Wajo District. The research was conducted in January to June 2010 with intervals of 2 weeks on Tempe Lake, Wajo Regency, South Sulawesi. Fish samples were observed at the sampling starts with a total length measurement is measured from the front of the head to tip of tail at the rear by using a ruler measuring 1 mm thoroughness. Body weight was weighed using digital scales 0.01 g thoroughness. Furthermore, the fish sample is then observed its dissected gonad to determine sex and morphology with

J.tresnati - Kajian Reproduksi Ikan Bete

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Reproduksi Ikan Bete

Citation preview

Kajian Reproduksi Ikan Bete (Leiognathus equulus, Forsskal 1775) di Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan.

Reproductive Studies of Common Ponyfish (Leiognathus equulus, Forsskål 1775) at Tempe Lake, Wajo Regency, South Sulawesi Province.

Joeharnani Tresnati*)

*) Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin

Abstract

Tempe Lake in Wajo Regency, South Sulawesi Province, including the lake is quite fertile and have an important role in social and economic life of the surrounding community because it has the potential of fishery resources are fairly reliable. One type of fish found in lake fish Tempe is ponyfish (Leiognathus sp) or a local language known as "bale bete". This fish is highly favored by the people of Tempe Lake. But with the scarcity of fish this happens rarely caught by fishermen in the community so that the sale value surrounding the lake is quite expensive, where each tail for Rp 10,000. The scarcity of fish has been quite alarming so necessary to study its reproduction.

The purpose of this study was to see Gonad Maturity Stage and Gonad Maturity Index of common ponyfish in Tempe Lake, Wajo District. The usefulness of this study in order to provide the necessary information and can be considered as a basis for the conservation of fishery resources of common ponyfish in Tempe Lake, Wajo District. The research was conducted in January to June 2010 with intervals of 2 weeks on Tempe Lake, Wajo Regency, South Sulawesi. Fish samples were observed at the sampling starts with a total length measurement is measured from the front of the head to tip of tail at the rear by using a ruler measuring 1 mm thoroughness. Body weight was weighed using digital scales 0.01 g thoroughness. Furthermore, the fish sample is then observed its dissected gonad to determine sex and morphology with reference of common ponyfish (Leiognathus equulus, Forsskål 1775) made by Rahardjo (2004). After determining the Gonad Maturity Stage, gonad weights were measured using an electric scale 0.001 g thoroughness then inserted into the bottle and are given a solution of formalin to continue the observations histologically at the Laboratory of Histology, Fish Quarantine Center, Makassar.

The conclusion from the research conducted is: The morphology and supported also histology results, there are 5 Gonad Maturity Stages of common ponyfish (Leiognathus equulus Forsskål, 1775) males and females, there are of Stage I to V. Gonad maturity index value of common ponyfish male are relatively smaller than females at every stage of gonad maturity. Histological observations showed the different levels of maturity of the ovocytes in a single gonad that can be known as a partial spawner.. 

PENDAHULUAN

Danau Tempe adalah salah satu danau yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan.

Danau ini merupakan danau penghasil ikan air tawar terbesar di Sulawesi Selatan. Suplai air

berasal dari dua sungai besar yaitu sungai yang bersumber dari Pegunungan Latimojong dan

dari sungai Walanae di Pegunungan Lompobattang. Selain itu ada beberapa sungai kecil yang

masuk ke danau tersebut yaitu sungai Kalola, Lancirang dan Batu-batu. Pembuangan air

danau hanya melalui sungai Cenranae yang bermuara di Teluk Bone.

Ikan bete (Leiognathus sp) adalah salah satu jenis ikan yang terdapat di Danau Tempe.

Masyarakat di sekitar danau Tempe sangat menggemarinya, sehingga mulai langka diperoleh.

Akibatnya, harganya menjadi cukup mahal, yaitu sekitar Rp10.000/ekor. Agar keberadaan ikan ini

tetap lestari di alam, diperlukan pengelolaan tentang aspek biologinya seperti Tingkat Kematangan

Gonad (TKG) secara morfologi dan histologi dan Indeks Kematangan Gonad.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat TKG (Tingkat Kematangan Gonad) secara

morfologi dan histologi serta Indeks Kematangan Gonad pada Ikan Bete di Danau Tempe,

Kabupaten Wajo.

Kegunaan dilakukannya penelitian ini agar dapat memberikan informasi yang penting

serta dapat menjadi bahan pertimbangan sebagai dasar untuk pelestarian sumberdaya

perikanan ikan bete di Danau Tempe, Kabupaten Wajo

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2010 hingga Juni 2010 di Danau

Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, kemudian analisis preparat histologi

dilaksanakan di Laboratorium Histologi Balai Karantina Ikan Makassar.

A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah cool box, mistar besi berketelitian 0,5 mm, botol sampel,

lap halus dan kasar, pipet tetes. Bahan yang digunakan adalah ikan Bete sebagai sampel yang

diamati, larutan Bouins sebagai bahan fiksatif, Alkohol 100%, 95%,70% sebagai media

washing,dehidrasi dan rehidrasi, Xylene teknis untuk pembersih/penjernih jaringan, Parafin

(lilin) sebagai media menanam jaringan agar mudah dipotong, Haematoxilin dan Eosin untuk

bahan pewarna, Aquades sebagai pembantu proses pewarnaan dan pengenceran, Kertas label

untuk penandaan sampel, Alkohol asam untuk membantu proses pewarnaan, Tissue roll

sebagai pembersih, Entelan sebagai media perekat.

B. Metode Pengambilan ikan contoh

Pengambilan ikan contoh dilakukan selama 6 bulan, dari hasil tangkapan nelayan

yang di daratkan di TPI 45 Kabupaten Wajo dengan menggunakan alat tangkap jaring apung

permukaan yang menggunakan pemberat timah. Ukuran mata jaring (mesh size) yang

digunakan berkisar 5 hingga 7 cm. Tasi dan nilon yang digunakan yaitu No. 3 dan

menggunakan perahu sebagai alat bantu. Ikan ini diambil secara keseluruhan dari hasil

tangkapan nelayan kemudian dimasukkan ke dalam cool box.

Ikan contoh diamati di tempat pengambilan sampel diawali dengan pengukuran

panjang total yaitu diukur mulai dari ujung depan bagian kepala sampai ke ujung sirip ekor

paling belakang dengan menggunakan mistar ukur berketelitian 1 mm. Bobot tubuh

ditimbang dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 0,01 g.

Selanjutnya ikan contoh dibedah dengan menggunakan alat bedah (gunting bedah,

scalpel dan pinset) kemudian diamati gonadnya untuk menentukan jenis kelamin dan TKG

secara morfologi dengan acuan klasifikasi TKG dari Rahardjo (2004) tentang Klasifikasi

tingkat kematangan gonad secara morfologi Ikan Petek (Leiognathus equlus, Forsskal 1775).

Setelah menentukan TKG, bobot gonad diukur dengan menggunakan timbangan elektrik

berketelitian 0,001 g kemudian gonad dimasukkan kebotol roll dan diberikan larutan formalin

untuk melanjutkan pengamatan secara histologi di Laboratorium Histologi Balai Karantina

Ikan Makassar.

C. Analisis Data

1. Tingkat Kematangan Gonad

Hasil pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan secara morfologi disajikan

dalam bentuk tabel untuk setiap perkembangan gonad sedangkan pengamatan yang secara

histologi ditampilkan dalam bentuk gambar (foto).

2. Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad (IKG) adalah suatu nilai dalam persen yang merupakan

perbandingan antara bobot gonad dan bobot tubuh ikan (termasuk gonad) dikalikan 100% :

dimana : IKG = Indeks Kematangan Gonad (%),

Bg = bobot gonad (g), BT = bobot tubuh (g).

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tingkat Kematangan Gonad Secara Morfologi

Dari hasil penelitian selama 6 bulan, jumlah keseluruhan ikan bete (Leiognathus

equulus Forsskal, 1775) yang diperoleh sebanyak 170 ekor dimana ikan bete jantan sebanyak

75 ekor dan ikan bete betina sebanyak 95 ekor.

Ikan Jantan

Tingkat Kematangan Gonad ikan bete (Leiognathus equulus Forsskal, 1775) jantan

yang diperoleh selama penelitian adalah TKG I, II, III, IV, dan V. Pada TKG I, panjang

testis berkisar antara 11 – 20 mm, bobot testis 0.18 - 0.92 g dan IKG berkisar antara 0.1781 -

0.5542 %. Testis terdiri atas dua lembar seperti kipas, satu lembar belum tumbuh sempurna

dengan ukuran lebih kecil daripada lembar lainnya, berwama putih kecoklatan dengan

permukaan licin. Hal ini sama dengan hasil penelitian Rahardjo (2004) dimana testis terdiri

atas dua lembar menyerupai kipas, satu lembar belum tumbuh sempurna dengan ukuran yang

relatif lebih kecil daripada lembar lainnya, berada di ujung rongga tubuh dekat anus,

berwama putih kecoklatan dengan permukaan licin.

Pada TKG II, panjang testis berkisar 20 – 27 mm, bobot testis 0.14 - 2.00 g dan IKG

berkisar 0.1357-1.2150 %. Ukuran testis lebih besar dari TKG I dan berwama putih dengan

permukaan sedikit bergerigi. Hal ini sama dengan hasil penelitian Rahardjo (2004), ukuran

testis lebih besar, sepasang organ tumbuh sempurna dan berukuran sama besar. Testis

berwama putih dengan permukaan sedikit bergerigi..

Pada TKG III, panjang testis berkisar 29 - 35 mm, bobot testis 0.63 - 1.42g dan IKG

berkisar 0.3720 - 1.4823 %. Warna testis makin putih dan permukaannya bergerigi terlihat

jelas. Hal ini sama dengan hasil penelitian Rahardjo (2004), warna testis makin putih dan

permukaan testis yang bergerigi terlihat jelas. Testis menempati kurang dari seperlima rongga

tubuh di ujung posterior di dekat anus.

Pada TKG IV, panjang testis berkisar 43 - 45 mm, bobot testis 1.38 - 3.00 g dan IKG

berkisar 0.8185 - 2.7590 %. Ukuran testis lebih besar dan lebih pejal. Testis berwama putih

susu dan menempati hampir seperempat rongga perut di dekat anus. Hal ini sama dengan

hasil penelitian Rahardjo (2004), ukuran testis lebih besar dan lebih pejal. Testis berwama

putih susu dan menempati hampir seperempat rongga tubuh di ujung posterior di dekat anus.

Pada TKG V, panjang testis berkisar 32 – 40 mm, bobot testis 0.38 - 1.26 g dan IKG

berkisar 0.3574-1.0733 %. Sebagian testis mengkerut, berwarna putih seperti susu, ukuran

testis semakin kecil. Hal ini sama dengan hasil penelitian Rahardjo (2004), testis kempis pada

bagian uiung posterior.

Ikan Betina

Dari hasil pengamatan secara morfologi ditemukan karakteristik gonad ikan bete

(Leiognathus equulus Forsskal, 1775) betina pada TKG I, II, III, IV, dan V. Pada TKG I,

panjang ovari berkisar 15 - 20 mm, bobot ovari 0.41 - 0.65 g dengan kisaran IKG sekitar

0.2988-1.6447%. Butir telur belum terlihat oleh mata biasa. Ovari berwana putih kekuningan

dan pemukaan licin dan ukuran kecil serta berbentuk bulat oval dan tunggal . Hal ini sama

dengan hasil penelitian Rahardjo (2004), ovari berwana putih kekuningan dan pemukaan

licin. Ukuran ovari relatif kecil dan berbentuk bulat oval dan tunggal. Butir telur belum

terlihat oleh mata biasa. Ovari berada di ujung posterior di dekat anus.

Pada TKG II, panjang ovari berkisar 20 – 28 mm, bobot ovari 0.33 - 1.49 g sedangkan

kisaran IKG sekitar 0.1934 - 2.6848 %. Ukuran ovari lebih besar dan berwama kekuningan.

berbentuk bulat oval serta telur belum terlihat jelas oleh mata biasa. Hal ini sama dengan

hasil penelitian Rahadjo (2004), ukuran ovarium lebih besar dan berwama kekuningan.

Ovarium berbentuk bulat oval. Di bagian anterior ovarium terbentuk lekukan pendek. Telur

belum terlihat jelas oleh mata biasa. Diameter telur berkisar mtara 36-468 µm. Di bagian

tengah dari kedua sisi lateral terdapat titik merah bakal pembuluh darah.

Pada TKG III, panjang ovari berkisar 32 - 39 mm, bobot ovari 0.71 - 4.10 g sedangkan

kisaran IKG sekitar 0.4033 - 3.5627 %. Ovari berwarna kuning terang, Butir telur mulai

terlihat oleh mata biasa dan pembuluh darah sudah tampak jelas di kedua sisi lateral ovari.

Hal ini sama dengan hasil penelitian Rahardjo (2004), ovarium berwarna kuning terang. Butir

telur mulai terlihat oleh mata biasa dengan diameter berkisar antara 36-540 µm. Pembuluh

darah sudah tampak jelas di kedua sisi lateral ovarium. Ovarium menempati hamper

seperempat rongga tubuh di ujung posterior di dekat anus.

Pada TKG IV, panjang ovari berkisar 40 - 49 mm, bobot ovari 1.81 - 11.52 g

sedangkan kisaran IKG sekitar 2.1436 - 6.6340 %. Ovari bertambah besar ukurannya dan

berwarna kuning kemerahan. Jumlah pembuluh darah lebih banyak daripada ovarium pada

TKG III. Butir telur terlihat jelas karena selaput gonad transparan. Hal ini sama dengan hasil

penelitian Rahardjo (2004), ovarium bertambah besar ukurannya dan berwarna kuning

kemerahan. Jumlah pembuluh darah lebih banyak daripada ovarium pada TKG III. Butir telur

terlihat jelas karena selaput gonad transparan, diameternya berkisar antara 36-816 µm.

Ovarium menempati hampir sepertiga rongga perut dan mendesak usus ke bagian depan.

Bentuk ovarium bulat oval dengan lekukan yangjelas di bagian anterior, menandakan bahwa

pasangan organ menyatu.

Pada TKG V, panjang ovari berkisar 46 - 51 mm, bobot ovari 0.97 - 2.04 g sedangkan

kisaran IKGnya sekitar 0.4185 - 0.7856 %. Gonad mengempis pada bagian posterior. Hal ini

sama dengan hasil penelitian Rahardjo (2004), ovarium mengempis dibagian posteriornya,

terdapat pada ikan yang sudah selesar memijah.

Menurut Rahardjo (2004), ovarium pada ikan petek mulai berkembang pada saat ikan

berukuran 50 mm. Ovarium berbentuk tunggal pada awal perkembangan (TKG I). Pada tahap

berikutnya, ujung anterior ovarium melekuk ke dalam seolah membagi ujung anterior

menjadi dua cabang. Lekukan ini tidak berubah sampai akhir perkembangan ovarium

sehingga dapat dikatakan bentuk ovarium tidak menyerupai sepasang organ kembar,

melainkan organ kembar yang termodifikasi bentuknya.

Perbedaan jenis kelamin ditentukan oleh faktor dalam dan luar. Faktor dalam berupa

jenis kelamin dan hormon sedangkan faktor luar ditentukan oleh suhu, pakan, intensitas

cahaya, pH, nitrogen dan metabolitnya, alkalinitas, kesadahan, dan zat buangan yang

berbahaya bagi kehidupan ikan. Faktor luar yang sering dilakukan untuk menentukan jenis

kelamin ikan dalam budidaya adalah pakan (Watanabe, 1984, Masandre, 2010). Faktor

lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap penentuan jenis kelamin adalah suhu. Suhu

tinggi membuat masa sensitif ikan lebih cepat terjadi. Ini berarti ikan lebih senang memijah

pada suhu tinggi. Suhu juga mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung

terhadap diferensiasi kelamin (Smith et al dalam Masandre, 2010).

Indeks Kematangan Gonad (IKG)

Pada ikan jantan kisaran IKG terkecil dilihat pada TKG I sekitar 0.2988 - 1.6447 %

dengan nilai rata-rata IKG 0.3266 ± 0.1140 % dan yang terbesar pada TKG IV dengan

kisaran IKG 0.8185 - 2.7590 % dan rata-rata 1.7892 ± 1.3728 %, kemudian terjadi penurunan

pada TKG V dengan kisaran IKG 0.3574 - 1.0733 dan rata-rata 0.3800 ± 0.5062 %

sedangkan pada ikan bete betina yang tertinggi pada TKG I dengan kisaran IKG 0.2988 -

1.6447 % dan nilai rata-rata 0.6373 ± 0.6716 % dan yang terbesar pada TKG IV dengan

kisaran IKG 2.1436 - 6.6340 % dan rata-rata 4.0157 ± 1.2519 %, kemudian terjadi

penurunan pada TKG V dengan kisaran IKG 0.4185 - 0.7856 % dan rata-rata 0.6021 ±

0.2597 %. IKG ikan bete jantan dan betina dari TKG I sampai TKG IV terus meningkat dan

kemudian mengalami penurunan pada TKG V dikarenakan ikan bete jantan dan betina telah

mengalami pemijahan pada TKG V.

B. Tingkat Kematangan Gonad Secara Histologi

Ikan Betina

Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopik yang dilakukan, karakter

mikroskopik gonad yang ditemukan terdiri dari TKG II, III, IV dan V dapat dilihat pada

Gambar 1 dan 2.

Pada TKG II, ditemukan oogonia menyebar di dalam ovari dan mengalami

pembelahan mitosis beberapa kali untuk menghasilkan oosit (Gambar 1). Tahap ini juga

disebut tahap diferentiatif yaitu tahap dimana oogonia berdiferensi menjadi oosit, Oosit akan

mengalami beberapa fase. Dimana fase awal yaitu previtelogenesis, dimana ukuran oosit

menjadi lebih besar tanpa terjadi akumulasi material kuning telur (yolk).

Selanjutnya vitellogenesis awal. Vitellogenesis ditandai dengan semakin

bertambahnya volume sitoplasma yang berasal dari luar sel yaitu kuning telur atau

vitellogenin (Fujaya 2004), dimana ukuran oosit menjadi lebih besar dan nukleus lebih besar

dengan sendirinya oosit mengatur posisinya didalam ovari. Pada gambar terlihat dua tahap

perkembangan telur yang berbeda yaitu tahap I (Oogonia) dan tahap IIb (Oosit perinukleolar

(oosit sekunder). Hal ini sama dengan hasil penelitian Rahardjo (2004), sebagian besar

oogonium telah berubah menjadi oosit primer. Diameter sel telur antara24-288µm, kantung

kuning telur mulai terbentuk di lapisan perifer sitoplasma (dekat membrane sel). Disebut

sebagai tahap awal vitellogenesis.

Oosit ditandai oleh nukleus yang besar, berada pada bagian perifer dan di dalamnya

tersebar beberapa nukleus. Sel-sel folikel berperan dalam memproduksi butir-butir kuning

telur, pembentukan khorion, transportasi ion dan molekul dalam oosit, ovulasi dan memiliki

kapasitas fagositas serta memproduksi hormon gonad (Jong-Brink et al. 1983 dalam Kantun

2004). Sel-sel folikel bisa ditemukan pada setiap perkembangan ovari dan berlangsung secara

terus-menerus sampai musim pemijahan (Takashima dan Hibiya 1996 dalam Rosdiana,

2009).

Pada TKG III (Gambar 4), ukuran sel telur bertambah besar, lipid globul telah banyak

terbentuk. Menurut Richter dan Rustidja (1985 dalam Fujaya 1999) bahwa pada tahap III

oosit mulai tumbuh (200 – 700 µm), dan membentuk globul telur dalam jumlah besar.

Dengan pengumpulan kuning telur tersebut, maka proses vitelogenesis berakhir pada tahap

III. Pada gambar ditemukan dua tahap perkembangan telur yang berbeda yaitu tahap III

(Oosit alveoli kortikal) dan IV (Oosit matang). Hal ini sama dengan hasil penelitian

Rahardjo, 2004 dimana Oosit sekunderjumlahnya semakin bertambah dan letaklya semakin

mendekati lumen ovarium. Diameter sel telur yang teramati berkisar antara 24 – 324 µm. Di

beberapa bagian masih terlihat oogonium. Sebagian oosit sekunder telah berkembang

menjadr ootid. Butir kuning telur (tolk egg) dan vacuola minyak menyebar dan sekitar inti sel

mengarah ke tepi.

Pada TKG IV (Gambar 2) ukuran sel telur bertambah besar. Sel telur berwarna

kekuning-kuningan, yang menandakan telur matang. Amplop vitelin semakin menipis.

Menurut Tresnati (2001) dalam Rosdiana (2009), dominasi oosit yang matang pada fase ini

diduga karena pembentukan vitelin sudah berakhir. Vitelin berbentuk seperti gelembung yang

sangat besar, zona radiata menipis yang mengindifikasi bahwa isi ovari semakin banyak dan

padat sehingga mendesak dinding ovari dan oosit sudah siap dipijahkan.

Kuning telur semakin banyak dan memenuhi sebagian besar sitoplasma. Fujaya (1999)

mengatakan bahwa selama proses vitellogenesis perkembangan retikulum endoplasma kurang

merata di dalam sel-sel granulosa dan theca. Pada saat itu gobul-gobul kuning telur

bergabung pada bagian tengah sel, selain itu terdapat beberapa sel-sel yang mengalami atresia

akibat dari proses regresi selama vitellogenesis. Pada gambar terlihat empat tahap

perkembangan telur yang berbeda yaitu tahap I (oogonia), IIa (Oosit dengan nukleolus

kromatin (oosit primer), IIb (Oosit perinukleolar (oosit sekunder)), III (Oosit alveoli kortikal)

dan IV (Oosit matang). Hal ini sama dengan hasil penelitian Rahardjo, 2004 dimana Ovarium

didominasi oleh ootid dan ovum. Diameler sel telur antara 24 – 384 µm. Vitellogenesis telah

selesai, inti bermigrasi ke tepi mendekati mikropil dan melebur ke dinding sel.

Og F

St

Op

TKG II

Pembesaran 4X

Og

Op Om

Lg

Oak

Y

Nu TKG III

Pembesaran 4 XGambar 1. Histologi ovari ikan bete, Leiognathus equulus Forsskal 1775, betina pada tingkat

kematangan gonad II dan III. Pewarnaan Mayer’s Haematoxylin.

Keterangan : St = Sitoplasma; Nu = Nukleus; Og = Oogonia; Op = Oosit dengan nukleolus kromatin (oosit primer); Op = Oosit perinukleolar (oosit sekunder); Oak = Oosit alveoli kortikal; Lg = Lipid globul; Y= Yolk (kuning telur); Om = Oosit matang; F = Folikel.

Nu

Op Y Og

Av

Oak Os

Om TKG IV

Pembesaran 10X

Lg

Ao

TKG V

Pembesaran 10X

Gambar 2. Histologi ovari ikan ikan bete, Leiognathus equulus Forsskal, 1775 betina pada tingkat kematangan gonad III dan IV. Pewarnaan Mayer’s Haematoxylin.

Keterangan : Lg = Lipid globul; Y= Yolk (kuning telur); Av = Amplop vitelin (Khorion); Ao = Oosit atresi; O. Oogonia; Op. Oosit dengan nukleolus kromatin (oosit primer); Os. Oosit perinukleolar (oosit sekunder); Oak = Oosit alveoli kortikal; Om = Oosit matang.

TKG V (Gambar 2) telah nampak oosit atresi yaitu telur yang belum sempat

dikeluarkan pada tahap pemijahan. Pada gambar terlihat dua tahap perkembangan telur yang

berbeda yaitu tahap IV (Oosit matang) dan tahap V (Oosit berovulasi).

Berdasarkan hasil secara histologi untuk menentukan tingkat kematangan gonad (TKG)

mengalami perbedaan dengan hasil secara morfologi. Hal ini ditemukan pada TKG I betina

secara morfologi dan tidak adanya ditemukan TKG I betina secara histologi. Melainkan yang

dianggap TKG I betina secara morfologi setelah dihistologi yang ditemukan TKG V jantan.

Hal ini disebabkan karakteristik morfologi TKG I betina hampir sama dengan karakteristik

morfologi TKG V jantan sebab warna dan kondisi gonad sama.

Ikan jantan

Pada TKG I, secara histologi terlihat pada tahap ini testis mengandung sel

spermatogonia, Spermatogonia dapat membelah secara mitosit untuk menghasilkan

spermatogonia lagi atau mengalami diferensiasi sel menjadi spermatosit primer (Pochon-

Masson, 1983 dalam Korl et al.,1992). tampak pula spermatosit primer yang telah

berkembang menjadi spermatosit sekunder, sebagian spermatosit sekunder berkembang

menjadi spermatid (Gambar 3).

Pada TKG II, testis terdapat spermatid. Keberadaan spermatid ini bukan pembentukan

baru, melainkan lanjutan dari pembentukan tahap sebelumnya (Gambar 3). Hal ini sama

dengan hasil penelitian Rahardjo, 2004 dimana Testis lebih berkembang daripada TKG I.

Pada TKG III, spermatogonia telah berubah menjadi menjadi sel spermatid. Jumlah

spermatid terus bertambah dan sebagian telah berubah menjadi spermatozoa dewasa dan

jumlahnya akan bertambah (Gambar 4).

Pada TKG IV, testis pada stadium ini menunjukkan spermatid yang sudah berkembang

menjadi spermatozoa (Gambar 4). Spermatozoa berasal dari spermatid yang telah mengalami

Spg

Sps

TKG I

Pembesaran 10X

Spt

TKG II Pembesaran 10X

Spt

TKG II

Pembesaran 40X

Gambar 3. Histologi testis ikan bete, Leiognathus equulus Forsskal 1775 Jantan pada tingkat kematangan gonad I dan II. Pewarnaan Mayer’s Haematoxylin.

Keterangan: spg = spermatogonia; Spt = spermatid; Sps = Spermatosit.

Spt

Spz

TKG III Pembesaran 40X

Spz

TKG IV Pembesaran 40X

Spt

Spz

TKG V

Pembesaran 10X

Gambar 4. Histologi testis ikan bete, Leiognathus equulus Forsskal, 1775 jantan pada tingkat kematangan gonad V. Pewarnaan Mayer’s Haematoxylin.

Keterangan : Spt = spermatid; Spz = Spermatozoa

diferensiasi melalui proses spermiogenesis. Pada fase matang ukuran menjadi semakin kecil

sehingga hanya tampak bagian kepala seperti bintik-bintik kecil.

Pada TKG IV, testis pada stadium ini menunjukkan spermatid yang sudah berkembang

menjadi spermatozoa (Gambar 4). Spermatozoa berasal dari spermatid yang telah mengalami

diferensiasi melalui proses spermiogenesis. Pada TKG V, Spermatozoa pada stadium ini

makin berwarna gelap karena kepala sperma tahap demi tahap terus menerus menyerap warna

(Gambar 4).

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan :

1. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) pada ikan bete (Leiognathus equulus Forsskal,

1775) jantan dan betina diperoleh lengkap yaitu TKG I, II, III, IV, dan V .

2. Ikan bete jantan mempunyai Indeks Kematangan Gonad (IKG) yang relatif lebih kecil

dibandingkan ikan bete betina pada setiap tingkat kematangan gonad (TKG).

3. Pola pemijahannya adalah partial spawner (mengeluarkan telur secara sedikit – sedikit

atau sebagian), dilihat dari tingkat kematangan telur yang terdapat di dalam ovari.

B. Saran

Perlu segera dilakukan pembudidayaan ikan bete (Leiognathus equulus Forsskal, 1775)

untuk membantu keberlangsungan spesies ini agar tetap terjaga kelestariannya di danau

Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

Allen Gerry, 1999, Marine Fishes of South-East Asia, Periplus, Singapore

Effendie, M.I., 2002. Biologi Perikanan. Perikanan IPB. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 163 hal.

Fujaya, Y. 2002. Fisiologi Ikan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Kottelat, M., J. A. Whitten., N. S. Kartikasari and S. Wirjoatmodjo, 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Dalhousie University. Canada.

Marsandre, J.Pemeriksaan Gonad. www.google.com/ Specialinformation/08/05/07/htm. (diakses tanggal 24 mei 2010).

Nugroho. J. S. 2006. Optimalisasi Pemanfaatan Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) danUbi Jalar (Ipomoea batatas L.) Untuk Substitusi Parsial Tepung Terigu DalamPembuatan Biskuit. IPB. Bogor.

Peristiwady,Teguh.2006.Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia PetunjukIdentifikasi.Jakarta,Indonesia:LIPI

Rahardjo, M. dkk. 2004. Aspek Pemijahan Ikan Petek Leiognathus equulus Forsskal,1775 (Fam. Leiognathidae) di Pesisir Mayangan Sumbang, Jawa Barat. IPBBogor

Rosdiana, I. 2009. Studi Tingkat Kematangan Gonad Secara Morfologi dan Histologi Ikan Manggabai (Glossogobius Giuris) di Danau Limboto Kabupaten Gorontalo. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Rosliah. 2009. Morfologi dan Struktur jaringan Gonad Ikan Nilem (Osteochillus hasseltii), Valenciennes, 1842) di Danau Sidendreng Kabupaten Sidrap. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Saadah, Shafei, D. S. 1999. Beberapa Aspek Biologi Ikan Petek Leiognathus sptendens Cuvier di Perairan Teluk Labuan Banten IPB. Bogor.

Supriadi. 2006. Studi Kematangan Gonad Ikan Sepat Siam ( Trichogaster pectoralis, Regan 1910) secara morfologi dan histology di perairan Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi – selatan. Universitas Hasanuddin. Makassar

Takshima, F. Dan Hibiya, T. 1995. An Atlas of Fish Histologi Normal and Fathological Features, Second Edition. Kodansha Ltd. Tokyo.

Taslim. R. S. 2003. Danau Tempe Tatkala "Mangkuk Ikan" Mengering. www.kompas.com/kompas.cetak/03/04/07teropong/187153.htm. (diakses tanggal 26 april 2010)

Widodo, J. 1988. Penyebaran Beberapa Sumber Perikanan di Indonesia. Jakarta.