37
BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak. (Brunner & Suddarth, 2001 : 2010). Cedera kepala adalah cedera kepala (terbuka dan tertutup) yang terjadi karena: fraktur tengkorak, komusio (gegar serebri), kontusio (memar / laserasi) dan perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intra serebral, batang otak). (Doenges, 1999 : 270). Cedera kepala adalah trauma yang terjadi karena adanya pukulan / benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. (Tucker, 1998). Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. (Price, 1995 : 1015). Cedera kepala gangguan traumatik yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai / tanpa disertai perdarahan interstisial dan tidak mengganggu jaringan otak. (www.medicastoro.com ). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat 6

Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

skripsi

Citation preview

Page 1: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

BAB II

KONSEP DASAR

A. Pengertian

Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak

dan otak. (Brunner & Suddarth, 2001 : 2010).

Cedera kepala adalah cedera kepala (terbuka dan tertutup) yang terjadi

karena: fraktur tengkorak, komusio (gegar serebri), kontusio (memar /

laserasi) dan perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intra

serebral, batang otak). (Doenges, 1999 : 270).

Cedera kepala adalah trauma yang terjadi karena adanya pukulan /

benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran.

(Tucker, 1998).

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang

tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun

tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang

mengakibatkan gangguan fungsi otak. (Price, 1995 : 1015).

Cedera kepala gangguan traumatik yang menyebabkan gangguan

fungsi otak disertai / tanpa disertai perdarahan interstisial dan tidak

mengganggu jaringan otak. (www.medicastoro.com).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera

kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik

secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat

6

Page 2: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

2

mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan

kematian.

Macam-macam cedera kepala

Cedera kepala dibagi menjadi:

1. Cedera kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau

luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh

velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat

terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak

dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam /

tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen

memiliki abses langsung ke otak.

2. Cedera kepala tertutup

Benturan kranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan

yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,

kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan

tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio

(memar) dan laserasi.

(Brunner & Suddarth, 2001 : 2211; Long, 1990 : 203)

Klasifikasi cedera kepala berdasarkan nilai GCS:

1. Cedera kepala ringan

Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai

dengan: nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada

fraktur tengkorak, kontusio / hematoma.

Page 3: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

3

2. Cedera kepala sedang

Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat

mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung).

3. Cedera kepala berat

Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio

serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral.

(Hudack dan Gallo, 1996 : 226)

B. Anatomi

Tengkorak

Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang

kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar,

diploe dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang

kuat sedangkan diploe merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan

dalam membentuk rongga / fosa: fosa anterior (didalamnya terdapat lobus

frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis, parietalis, oksipitalis), fosa

posterior (berisi otak tengah dan sereblum).

Meningen

Adalah selaput yang menutupi otak dan medula spinalis yang

berfungsi sebagai pelindung. Pendukung jaringan-jaringan dibawahnya,

meningen terdiri dari:

Page 4: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

4

1. Durameter (lapisan sebelah luar)

Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan

kuat. Durameter ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan

darah vena ke otak.

2. Arakhnoid (lapisan tengah)

Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter

membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi

susunan saraf sentral.

3. Piameter (lapisan sebelah dalam)

Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,

piameter berhubungan dengan araknoid melalui struktur-struktur jaringan

ikat yang disebut trabekel.

(Ganong, 2002)

Otak

Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:

a. Sereblum

Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol.

Disini terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik

dan motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia.

Sereblum dibagi menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau

celah dalam yang disebut fisura longitudinalis mayor. Bagian luar

hemisferium serebri terdiri dari substansial grisea yang disebut sebagai

Page 5: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

5

kortek serebri, terletak diatas substansial alba yang merupakan bagian

dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla. Kedua hemisfer

saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut korpus

kalosum. Di dalam substansial alba tertanam masa substansial grisea yang

disebut ganglia basalis. Pusat aktifitas sensorik dan motorik pada masing-

masing hemisfer dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan bagian

tubuh yang berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur bagian

tubuh sebelah kiri dan hemisferium kiri mengatur bagian tubuh sebelah

kanan. Konsep fungsional ini disebut pengendalian kontra lateral.

Setiap hemisfer dibagi dalam lobus dan terdiri dari 4, yaitu:

Lobus Frontalis : Kontrol motorik gerakan volunteer, terutama fungsi

bicara, kontrol berbagai emosi, moral tingkah laku

dan etika.

Lobus Temporal : Pendengaran, keseimbangan, emosi dan memori.

Lobus Oksipitalis : Visual senter, mengenal objek.

Lobus Parietalis : Fungsi sensori umum, rasa (pengecapan)

Page 6: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

6

Gambar 1 : Anatomi bagian-bagian Otak.

Page 7: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

7

Kerusakan Pada Bagian-Bagian Otak Tertentu

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri) biasanya

akan mempengaruhi kemampuan berpikir, emosi dan perilaku seseorang.

Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggung jawab atas perilaku

tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan

yang terjadi.

1. Kerusakan Lobus Frontalis

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan

keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat

tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat

tangan, daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap

aktifitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku

dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan

lokasi kerusakan fisik yang terjadi.

Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya

tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang

menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang

lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang

inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau

samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah

teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan

kejam, penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.

Page 8: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

8

2. Kerusakan Lobus Parientalis

Lobus parientalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari

bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil

kemampuan matematika dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus

parientalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya

dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian

depan lobus parientalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang

berlawanan.

Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya

kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut

apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa

mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya

atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan

bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau

jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak

mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.

3. Kerusakan Lobus Temporalis

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi

menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus

temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan

mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan

pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan

akan suara dan bentuk.

Page 9: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

9

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan

gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam

dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita

dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan

mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat

kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah

seksual.

(Mediastore.Com)

b. Sereblum

Sereblum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh

durameter yang menyerupai atap tenda, yaitu tentonium yang memisahkan

dari bagian posterior serebrum. Serebrum terdiri dari bagian tengah

(vermis) dan 2 hemisfer lateral. Serebrum dihubungkan dengan batang

otak oleh tiga berkas serabut yang dinamakan pedunkulus. Pedunkulus

serebri superior berhubungan dengan kedua hemisfer otak sedangkan

pedunkulus serebri inferior berisi serabut-serabut traktus spino sereberalis

dorsalis dan berhubungan dengan medulla oblongata. Semua aktifitas

serebrum dibawah kesadaran fungsi utamanya adalah sebagai pusat reflek

yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah

tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan

sikap tubuh.

Page 10: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

10

c. Brainstem

Ke arah kaudal batang otak berlanjut sebagai medulla spinalis dan

ke rostral berhubungan langsung dengan pusat-pusat otak yang lebih

tinggi. Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medulla

oblongata, pors dan mesenfalon (otak tengah). Di seluruh batang otak

banyak ditemukan jaras-jaras yang berjalan naik dan turun. Batang otak

merupakan pusat penyampaian dan reflek yang penting dari SSP.

Selain nervus alfaktorius dan optikus, nuclei nervus kranialis, juga

terletak dari batang otak. Seringkali terdapat satu saraf kranialis atau lebih

yang turut terlibat dalam lesi batang otak. Letak dan penyebaran lesi ini

dapat dideteksi menggunakan pemeriksaan fungsi saraf kranialis. Nervus

kranialis I (alfaktorius) dan II (optikus) merupakan jaras SSP, nervus

optikus dapat terkena pada penyakit-penyakit SSP (misal sclerosis

multiple dan tumor).

(Sylvia A. Price & Lorrain M. Wilson, 2006)

Saraf-Saraf Otak:

a. Nervus Alfaktorius (Nervus Kranialis I)

Nervus alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian diolah

lebih lanjut. Dengan mata tertutup dan pada saat yang sama satu lubang

hidung ditutup, penderita diminta membedakan zat aromatis lemah seperti

vanila, cau de cologne, dan cengkeh. Fungsi saraf pembau.

Page 11: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

11

b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)

Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju plasma optikum,

kemudian melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis untuk

dikenali dan diinterpretasikan. Fungsi: Bola mata untuk penglihatan.

c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)

Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola mata).

Fungsi: sebagai penggerak bola mata.

d. Nervus Troklearis (Nervus Kranialis IV)

Sifatnya motorik, fungsi memutar mata, sebagai penggerak mata.

e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)

Nervus Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik dengan

memberikan persarafan ke otot temporalis dan maseter, yang merupakan

otot-otot pengunyah.

Nervus trigeminus dibagi menjadi 3 cabang utama:

- Nervus oftalmikus sifatnya motorik dan sensorik.

Fungsi: Kulit kepala dan kelopak mata atas.

- Nervus maksilaris sifatnya sensorik.

Fungsi : Rahang atas, palatum dan hidung.

- Nervus mandibularis sifatnya motorik dan sensorik.

Fungsi : Rahang bawah dan lidah.

f. Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)

Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital.

Fungsi: Sebagai saraf penggoyang bola mata.

Page 12: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

12

g. Nervus Facialis (Nervus Nervus Kranialis VII)

Sifatnya motorik dan sensorik, saraf ini membawa serabut sensorik yang

menghantar pengecapan bagian anterior lidan dan serabut motorik yang

mensarafi semua otot ekspresi wajah, termasuk tersenyum, mengerutkan

dahi dan menyeringai.

Fungsi: Otot lidah menggerakkan lidah dan selaput lendir rongga mulut.

h. Nervus Auditorius (Nervus Kranialis VIII)

Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari

pendengaran dari telinga ke otak. Fungsinya: Sebagai saraf pendengar.

i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)

Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah.

j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)

Sifatnya majemuk, fungsinya: Sebagai saraf perasa.

k. Nervus Assesoris (Nervus Kranialis XI)

Sifatnya motorik, fungsinya: Sebagai saraf tambahan.

l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)

Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot lidah.

(Patofisiologi, 2005)

Fisiologi

Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan

darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma

intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera

biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma

Page 13: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

13

subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tengkorak

(hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat

pada CT Scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan

menimbulkan gejala dalam beberapa menit.

Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering kali pada usia

lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah

beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak,

menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan

otak. Hematoma yang luas akan menyebabkan otak bagian atas atau batang

otak mengalami herniasi.

Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai

koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan

pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi

kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

1. Hematoma Epidural

Berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens

dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah

merobek arteri darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi

sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa

segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit

kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan

lebih parah dari sebelumnya.

Page 14: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

14

Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk,

kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan

biasanya tergantung kepada CT Scan darurat. Hematoma epidural diatasi

sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak

untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan

penyumbatan sumber perdarahan.

2. Hematoma Subdural

Berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan

bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat

kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma

subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya

dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran

perdarahan ini adalah:

- Sakit kepala yang menetap

- Rasa mengantuk yang hilang-timbul

- Linglung

- Perubahan ingatan

- Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan

Page 15: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

15

Gambar II : Hematoma subdural dan otak

C. Etiologi / Prediposisi

1. Trauma tajam

Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak,

misalnya tertembak peluru / benda tajam.

2. Trauma tumpul

Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat

sifatnya.

3. Cedera akselerasi

Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan

maupun bukan dari pukulan.

Page 16: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

16

4. Kontak benturan (Gonjatan langsung)

Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu obyek.

5. Kecelakaan lalu lintas

6. Jatuh

7. Kecelakaan industri

8. Serangan yang disebabkan karena olah raga

9. Perkelahian

(Smeltzer, 2001 : 2210; Long, 1996 : 203)

D. Patofisiologi

Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar

pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan

terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak ada pada area

cedera, dan konsekuensinya meliputi hiperemia. Peningkatan / kenaikan salah

satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tdiak

ada aliran cairan otak dan sirkulasi pada otak, sehingga lesi yang terjadi

menggeser dan mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus menerus

meningkat akibatnya tekanan pada ruang kranium terus menerus meningkat.

Maka aliran darah dalam otak menurun dan terjadilah perfusi yang tidak

adekuat, sehingga terjadi masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi yang

tidak adekuat dapat menimbulkan tingkatan yang gawat, yang berdampak

adanya vasodilatasi dan edema otak. Edema akan terus bertambah menekan /

Page 17: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

17

mendesak terhadap jaringan saraf, sehingga terjadi peningkatan tekanan intra

kranial. (Price, 2005).

Edema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan TIK yang akan

menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak. Dampak dari cedera

kepala:

1. Pola pernafasan

Trauma serebral ditandai dengan peningkatan TIK, yang

menyebabkan hipoksia jaringan dan kesadaran menurun. Dan biasanya

menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal, sehingga

menyebabkan kerusakan pertukaran gas (gagal nafas) dan atau resiko

ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang akan menyebabkan laju

mortalitas tinggi pada klien cedera kepala. Cedera serebral juga

menyebabkan herniasi hemisfer serebral sehingga terjadi pernafasan chyne

stoke, selain itu herniasi juga menyebabkan kompresi otak tengah dan

hipoventilasi neurogenik central.

(Long, 1996; Smeltzer 2001; Price, 1996)

2. Mobilitas Fisik

Akibat trauma dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh,

sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu juga dapat

menyebabkan kontrol volunter terhadap gerakan terganggu dalam

memenuhi perawatan diri dalam kehidupan sehari-hari dan terjadi

gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, sehingga

menyebabkan masalah kerusakan mobilitas fisik.

(Doenges, 2000; Price, 2005)

Page 18: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

18

3. Keseimbangan Cairan

Trauma kepala yang berat akan mempunyai masalah untuk

mempertahankan status hidrasi hidrat yang seimbang, sehingga respon

terhadap status berkurang dalam keadaan stress psikologis makin banyak

hormon anti diuretik dan main banyak aldosteron diproduksi sehingga

mengakibatkan retensi cairan dan natrium pada trauma yang menyebabkan

fraktur tengkorak akan terjadi kerusakan pada kelenjar hipofisis /

hipotalamus dan peningkatan TIK. Pada keadaan ini terjadi disfungsi dan

penyimpanan ADH sehingga terjadi penurunan jumlah air dan

menimbulkan dehidrasi.

(Price, 2005).

4. Aktifitas Menelan

Adanya trauma menyebabkan gangguan area motorik dan sensorik dari

hemisfer cerebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya

makanan pada sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk memanipulasinya

dengan gerakan pipi. Selain reflek menelan dan batang otak mungkin

hiperaktif / menurun sampai hilang sama sekali.

(Smeltzer, 2001; Price, 2005)

5. Kemampuan Komunikasi

Pada pasien dengan trauma cerebral disertai gangguan komunikasi,

disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan pada penderita cedera

kepala, kerusakan ini diakibatkan dari kombinasi efek-efek disorganisasi

dan kekacauan proses bahasa dan gangguan. Bila ada pasien yang telah

Page 19: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

19

mengalami trauma pada area hemisfer cerebral dominan dapat

menunjukkan kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam

beberapa hal bahkan mungkin semua bentuk bahasa sehingga dapat

menyebabkan gangguan komunikasi verbal.

(Price, 2005).

6. Gastrointestinal

Setelah trauma kepala perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang

ditemukan, tetapi setelah 3 hari pasca trauma terdapat respon yang bisa

dan merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulasi fagus yang dapat

menyebabkan hiperkardium. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis

untuk mengeluarkan kartikosteroid dalam menangani cedera cerebral.

Hiperkardium terjadi peningkatan pengeluaran katekolamin dalam

menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung.

(Price, 2005)

E. Manifestasi Klinik

1. Cedera kepala ringan

a. Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan

sebagian besar pasien mengalami penyembuhan total dalam beberapa

jam atau hari.

b. Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau

perasaannya berkurang dan cemas, kesulitan belajar dan kesulitan

bekerja. (www. Mediastore)

Page 20: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

20

2. Cedera kepala sedang

a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan

atau bahkan koma.

b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit

neurologik, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan

pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan

gangguan pergerakan.

(Brunner & Suddarth, 2001; www. Mediatore)

3. Cedera kepala berat

a. Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan

sesudah terjadinya penurunan kesehatan (www. Mediastore)

b. Pupil tak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cdera

terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

(www. Angelfive)

F. Komplikasi

Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematome

intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak. Komplikasi dari

cedera kepala adalah:

1. Peningkatan TIK

2. Iskemia

3. Infark

4. Kerusakan otak irreversibel

Page 21: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

21

5. Kematian

6. Paralisis saraf fokal seperti anomsia (tidak dapat mencium bau-bauan)

7. Infeksi sistemik (pneumonia, ISK, septikemia)

8. Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis,

abses otak)

9. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi-sendi)

(Smeltzer, 2001; Tucker, 1998)

G. Penataksanaan

1. Dexamethason / kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis

sesuai dengan berat ringannya trauma.

2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi

vasodilatasi

3. Pemberian analgetik

4. Pengobatan anti edema dengan laruitan hipertonis yaitu manitol 20%

glukosa 40% atau gliserol.

5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk

infeksi anaerob diberikan metronidazole.

6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam

pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan

lunak.

7. Pembedahan

(Smeltzer, 2001; Long, 1996)

Page 22: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

22

H. Pengkajian Fokus dan Pemeriksaan Penunjang

Pengkajian fokus menurut Doenges (2000) dan Engram (1998) :

1. Aktifitas dan Istirahat

Gejala merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan, perubahan

kesadaran, letarghi, hemiparesis, quadreplagia, ataksia, cara berjalan tak

tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan

tonus otot dan spastik otot.

2. Sirkulasi

Gejala: Perubahan tekanan darah (hipertensi), perubahan frekuensi jantung

(bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi dan distritmia).

3. Integritas Ego

Gejala: Perubahan tingkah laku / kepribadian (demam).

Tanda: Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan

impulsif.

4. Eliminasi

Gejala: Inkontinensia kandung kemih.

5. Makanan / Cairan

Gejala : Mual, muntah dan mengalami penurunan selera makan.

Tanda: Muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur

keluar, dan disfagia).

6. Neurosensorik

Gejala: Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,

vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, rasa baal dan

Page 23: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

23

ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, displopia,

kehilangan sebagian lapang pandang, fotofotobia, gangguan pengecapan

dan penciuman.

Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental

(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,

pengaruh emosi tingkah laku dan emosi). Perubahan pupil (respon

terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti

cahaya, kehilangan pengindraan seperti: pengecapan, penciuman dan

pendengaran, wajah tidak simetris, lemah dan tidak seimbang. Reflek

tendon dalam tidak ada / lemah, apiaksia, hemiparesis, quadreplagia,

postur (dekortikasi deselerasi), kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan

dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh dan kesulitan menentukan

posisi tubuh.

7. Nyeri / Kenyamanan

Gejala: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda dan

biasanya lama.

Tanda: Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang

hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat dan merintih).

8. Pernafasan

Tanda: Perubahan pola nafas (apneu yang diselingi oleh hiperventilasi),

nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronkhi, mengi positif (kemungkinan

karena aspirasi).

Page 24: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

24

9. Keamanan

Gejala: Trauma karena kecelakaan. Tanda: Fraktur / dislokasi dan

gangguan penglihatan.

Kulit: Laserasi, abrasi, perubahan warna seperti “racoon eye” rasa gatal di

sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan

(drainase) dari telinga / hidung.

Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan

secara umum mengalami paralisis. Demam gangguan dalam regulasi suhu

tubuh.

10. Interaksi Sosial

Tanda: Afasia motorik / sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.

11. Penyuluhan / Pembelajaran

Gejala: Penggunaan alkohol / obat lain.

Rencana pemulangan: Membutuhkan bantuan pada perawatan diri,

ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan,

pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang / penempatan

fasilitas lainnya di rumah.

Pemeriksaan Penunjang

1. CT Scan (tanpa / dengan kontras) : mengidentifikasi adanya sol,

hemoragik, menentukan ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

2. MRI (Magnetic Resonance Imaging): sama dengan CT Scan dengan /

tanpa kontras. Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan

Page 25: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

25

bila bercampur frekuensi radio radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh

akan menghasilkan citra MRI yang berguna dalam mendiagnosis tumor,

infark dan kelainan pada pembuluh darah.

3. Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti

pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan trauma. Digunakan

untuk mengidentifikasi dan menentukan kelainan serebral vaskuler.

4. Angiografi Substraksi Digital

Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik

komputerisasi untuk mempelihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari

tulang dan jaringan lunak di sekitarnya.

5. EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang

patologis. EEG (elektroensefalogram) mengukur aktifitas listrik lapisan

superfisial korteks serebri melalui elekroda yang dipasang di luar

tengkorak pasien.

6. ENG (Elektronistagmogram) merupakan pemeriksaan elekro fisiologis

vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan sistem

saraf pusat.

7. Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur).

Pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya

fragmen tulang.

8. BAEK (Brain Auditon Euoked Tomografi) : Menentukan fungsi korteks

dan batang otak.

Page 26: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

26

9. PET (Positron Emmision Tomografi): Menunjukkan perubahan aktifitas

metabolisme batang otak.

10. Fungsi lumbal, CSS: Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan

subaraknoid.

11. GDA (Gas Darah Arteri): Mengetahui adanya masalah ventilasi atau

oksigenasi yang akan meningkatkan TIK.

12. Kimia / elekrolit darah: Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan

dalam peningkatan TIK / perubahan mental.

13. Pemeriksaan toksilogi: Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab

terhadap penurunan kesadaran.

14. Kadar anti konvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat

terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

(Doenges 2000; Price & Wilson 2006)

Page 27: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

32 32

Tidak mampu menyampaikan kata-kata

Gangguan komunikasi

verbal

Kekacauan pola bahasa

I. Pathway Keperawatan

Kerusakan hemisfer motorik

Penurunan kekuatan dan tahanan otot

Gangguan mobilitas fisik

Trauma pada jaringan lunak

Rusaknya jaringan kepala

Luka terbuka

Resiko tinggi terhadap infeksi

Robekan dan distorsi

Jaringan sekitar tertekan

Gangguan nyaman nyeri

Benturan kepala

Trauma kepala

Trauma akibat deselerasi / akselerasi

Cidera jaringan otak

Hematoma

- Perubahan pd cairan lutra dan ekstra sel oedem

- Peningkatan suplai darah ke daerah trauma vasodilatasi

Tekanan intra kranial ↑

Aliran darah ke otak ↓

Perubahan perfusi jaringan serebral

Merangsang hipotalamus

Hipotalamus terviksasi (pada diensefalon)

↓ Produksi ADH

d ld

Retensi Na + H2O

Gangguan keseimbangan

cairan dan elektrolit

Merangsang inferior hipofise

Mengeluarkan steroid & adrenal

Perubahan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh

Sekresi HCl digaster ↑

Mual, muntah

Hipoksia jaringan

Kerusakan pertukaran gas

Pola nafas tidak efektif

Pernafasan dangkal

Penurunan kesadaran

Gangguan persepsi sensori

Page 28: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

33

J. Diagnosa Keperawatan

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia dan edema

serebral ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon motorik

atau sensorik, gelisah, perubahan tanda-tanda vital. (Doenges, 1999).

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi dan kerusakan

neurovaskuler ditandai dengan kelemahan atau paralisis otot pernafasan.

(Doenges, 1999).

3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan

ADH dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan edema,

dehidrasi, sindrom kompartemen dan hemoragi. (Carpenito, 2006).

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan

asam lambung, mual, muntah dan anoreksia ditandai dengan penurunan BB,

penurunan masa atau tonus otot buruk. (Carpenito, 2006).

5. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral

dan edema otak ditandai dengan tengangan maskuler, wajah menahan nyeri dan

perubahan tanda-tanda vital. (Engram, 1998).

6. Resiko infeksi berhubungan dengan perdarahan serebral ditandai dengan respon

inflamasi tertekan, hipertemia. (Doenges, 1999).

7. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus otot dan

penurunan kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan

koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot atau control otot.

(Doenges, 1999).

Page 29: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

34

8. Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan penurunan kesadaran ditandai

dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan terhadap respon

rangsang. (Doenges, 1999).

9. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan

kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan menyebutkan kata-

kata. (Carpenito, 2006).

K. Fokus Intervensi

1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia dan edema serebral

ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon motorik /

sensorik, gelisah, perubahan tanda vital. (Doenges, 2001).

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tingkat kesadaran

membaik.

Kriteria Hasil : Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbiakan, tanda-

tanda vital (TTV) kembali normal dan tanda-tanda peningkatan

tekanan intra kranial (TIK).

Intervensi:

a. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma atau penurunan perfusi

jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.

Rasional : Untuk mengetahui penyebab cedera, untuk memantau tekanan

TIK dan atau pembedahan.

b. Pantau status neurologik secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar

Page 30: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

35

Rasional : Untuk mengetahui perubahan nilai GCS, mengkaji adanya

kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan

TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi.

c. Pantau TTV

Rasional : Ketidakstabilan TTV mempengaruhi tingkat kesadaran.

d. Pertahankan kepala pada posisi tengah atau pada posisi netral

Rasional : Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jogularis

dan menghambat aliran darah vena

e. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat.

Rasional : Petunjuk nonverbal ini mengidentifikasi adanya peningkatan

TIK atau menandakan adanya nyeri.

f. Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi.

Rasional : Pembatasan cairan dapat menurunkan edema serebral.

g. Berikan obat sesuai indikasi.

Rasional : Dapat menurunkan komplikasi.

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan

persepsi dan obstruksi trakeobronkial ditandai dengan kelemahan atau paralisis

otot pernafasan. (Doenges, 1999).

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali

normal.

Kriteria Hasil : Mempertahankan pola pernafasan efektif, bebas sanasis, Nafas

normal (16-24 x / mnt), irama regular, bunyi nafas normal, GDA

normal, PH darah normal (7,35-7,45). PaO2 (80-100 mmHg),

Page 31: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

36

PaCO2 (35-40 mmHg), HCO2 (22-26). Saturasi oksigen (95-

98%).

Intervensi:

a. Pantau frekuensi pernafasan, irama dan kedalaman pernafasan.

Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi, pulmonal atau

menandakan lokasi / luasnya keterlibatan otak.

b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan, posisi miring sesuai indikasi

Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru dan menurunkan adanya

kemungkinan lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas

c. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik

Rasional : Untuk membersihkan jalan nafas, penghisapan dibutuhkan jika

pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi, dan tidak dapat

membersihkan jalan nafas sendiri.

d. Auskultasi bunyi nafas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara

tambahan yang tidak normal

Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis

kongesti atau obstruksi jalan nafas.

e. Kolaborasi pemberian oksigen.

Rasional : Menentukan kecukupan pernafasan, memaksimalkan oksigen

pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia.

3. Gangguan keseimbangan cairan dan elekrolit berhubungan dengan peningkatan

ADH dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan edema,

dehidrasi, sindrom, kompartemen dan hemoragi. (Carpenito, 2006).

Page 32: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

37

Tujuan : Tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan.

Kriteria Hasil : Asupan intake dan output seimbang, tidak terjadi edema dan

dehidrasi.

Intervensi:

a. Pantau berat badan (BB)

Rasional : Satu liter retensi sama dengan penambahan satu kg berat badan.

b. Pantau kecepatan infus

Rasional : Pemberian berlebihan menimbulkan kelebihan cairan.

c. Pantau input dan output cairan

Rasional : Kelebihan cairan dapat menimbulkan edema.

d. Berikan cairan oral dengan hati-hati

Rasional : Untuk mengatasi edema serebral.

e. Kolaborasi pemberian diuresis

Rasional : Untuk menstabilkan cairan

4. Perubahan nutrisi kebutuhan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

peningkatan asam lambung, mual, muntah dan anoreksia ditandai dengan

penurunan BB, penurunan masa otot, tonus otot buruk. (Carpenito, 2006).

Tujuan : Kebutuhan akan nutrisi tidak terganggu.

Kriteria Hasil : BB meningkat, tidak mengalami tanda-tanda mal nutrisi, nilai

laboratorium dalam batas normal.

Intervensi:

a. Kaji kemampuan klien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi

sekresi.

Page 33: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

38

Rasional : Faktor ini dapat menentukan pemilihan terhadap jenis makanan.

b. Auskultasi bising usus

Rasional : Fungsi saluran pencernaan biasanya baik pada kasus cedera

kepala.

c. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien lewat NGT

Rasional : Menurunkan resiko regurgitasi / terjadi aspirasi.

d. Tingkatkan kenyamanan

Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat meningkatkan nafsu makan.

e. Kolaborasi pemberian makan lewat NGT

Rasional : Makan lewat NGT diperlukan pada awal pemberian.

5. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral

dan edema otak ditandai dengan tengangan maskuler, wajah menahan nyeri dan

perubahan TTV. (Engram, 1998).

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat berkurang

atau hilang.

Kriteria Hasil : Nyeri berkurang atau hilang, TTV dalam batas normal.

Intervensi:

a. Kaji karakteristik nyeri (P, Q, R, S, T)

Rasional : Untuk mengetahui letak dan cara mengatasinya.

b. Buat posisi senyaman mungkin

Rasional : Menurunkan tingkat nyeri

c. Pertahankan tirah baring

Page 34: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

39

Rasional : Tirah baring dapat mengurangi pemakaian oksigen jaringan dan

menurunkan resiko meningkatnya TIK.

d. Kurangi stimulus yang dapat merangsang nyeri

Rasional : Stress dapat menyebabkan sakit kepala dan menyebabkan

kejang.

e. Kolaborasi pemberian obat analgetik

Rasional : Menurunkan rasa nyeri.

6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan perdarahan serebral ditandai dengan

respon inflamasi tertekan, hipertemia. (Doenges, 1999).

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak ada tanda-tanda

infeksi.

Kriteria Hasil : Tidak terdapat tanda-tanda infeksi dan mencapai penyembuhan

luka tepat waktu.

Intervensi:

a. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan.

Rasional : Untuk menurunkan terjadinya infeksi nasokomial

b. Observasi daerah yang mengalami luka / kerusakan, daerah yang terpasang

alat invasi

Rasional : Deteksi dini terjadinya perkembangan infeksi, memungkinkan

untuk melakukan tindakan dengan segera dan mencegah

komplikasi.

c. Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran

Page 35: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

40

Rasional : Suhu yang tinggi dapat mengidentifikasi terjadinya infeksi yang

selanjutnya memerlukan tindakan dengan segera.

d. Kolaborasi pemberian obat anti biotik

Rasional : Menurunkan terjadinya infeksi nasokomial

e. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium

Rasional : Untuk mengetahui adanya resiko infeksi melalui hasil

laboratorium darah.

7. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kepala, pusing dan vertigo

ditandai dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan koordinasi, keterbatasan

rentang gerak, penurunan kekuatan atau kontrol otak. (Doenges, 1998).

Tujuan : Mempertahankan posisi yang optimal.

Kriteria Hasil : - Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.

- Mendemonstrasikan teknik yang memungkinkan dilakukan

aktifitas

Intervensi:

a. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-

4)

Rasional : Untuk mengetahui tingkat imobilisasi pasien.

b. Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi

Rasional : Perubahan posisi dapat meningkatkan sirkulasi pada seluruh

tubuh.

Page 36: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

41

c. Bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak

Rasional : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi / posisi normal

ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.

d. Sokong kepala dan badan,, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika pasien

berada pada kursi roda

Rasional : Mempertahankan kenyamanan, keamanan dan postur tubuh yang

normal

8. Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan penurunan kesadaran ditandai

dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan terhadap respon

rangsang. (Doenges, 1999).

Tujuan : Kesadaran mulai membaik dan fungsi persepsi membaik

Kriteria Hasil : Kesadaran mulai membaik dan nilai GCS meningkat.

Intervensi:

a. Kaji kesadaran sensorik pasien seperti sentuhan

Rasional : Untuk mengetahui peningkatan kesadaran pasien atau penurunan

sensitivitas untuk berespon.

b. Pantau perubahan orientasi klien

Rasional : Fungsi serebral bagian atas biasanya berpengaruh adanya

gangguan sirkulasi.

c. Catat adanya perubahan spesifik yang terjadi pada pasien.

Rasional : Membantu melokalisasi daerah otak yang mengalami gangguan

dan mengidentifikasi tanda perkembangan terhadap peningkatan

fungsi fisiologis

Page 37: Jtptunimus Gdl Ciptowatig 5193 2 Bab2

42

d. Berikan stimulasi yang bermanfaat bagi klien

Rasional : Untuk menstimulasi pasien koma dengan baik selama melatih

fungsi kognitif.

9. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan edema otak

ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan menyebutkan kata-kata.

(Carpenito, 2006).

Tujuan : Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi.

Kriteria Hasil : Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi dan

pasien dapat menunjukkan komunikasi dengan baik.

Intervensi:

a. Kaji derajat disfungsi

Rasional : Membantu menentukan daerah / derajat kerusakan serebral yang

terjadi dan kesulitan pasien dalam proses komunikasi.

b. Bedakan antara afasia dengan disatria

Rasional : Intervensi yang dipilih tergantung tipe kerusakan.

c. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana seperti buka mata

Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik.

d. Anjurkan keluarga untuk berkomunikasi dengan pasien

Rasional : Untuk merangsang komunikasi pasien, mengurangi isolasi sosial

dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif.