Click here to load reader
Upload
sofinakusnadi
View
44
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS JOURNAL READING
EFEK SAMPING NAUSEA DAN MUNTAH DARI ANALGESIK
OPIOID PADA TERAPI NYERI KRONIK: MEKANISME, IMPLIKASI,
DAN PILIHAN MANAJEMEN
Disusun Oleh :
SOFINA KUSNADI NIM G9911112132
Pembimbing :
dr. Bambang N., Sp. An
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FK UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2012
Efek Samping Nausea dan Muntah dari Analgesik Opioid Pada
Terapi Nyeri Kronik: Mekanisme, Implikasi, dan Pilihan
Manajemen
Porreca, F. dan Ossipov, M. H.
American Academy of Pain Medicine 1526-2375/09/$15.00/654 654–662.
doi:10.1111/j.1526-4637.2009.00583.x
ABSTRAK
Tujuan: Efek gastrointestinal seperti nausea dan muntah sering terjadi karena
penggunaan analgesik opioid sehingga menyebabkan ketidaknyamanan dan
ketidakpuasan terhadap terapi pada pasien. Tinjauan ini mempelajari mekanisme
terjadinya efek samping tersebut, pengaruhnya terhadap hasil terapi pada pasien
dengan nyeri kronik, dan strategi untuk mengatasinya.
Hasil: Sejumlah mekanisme yang menjelaskan bagaimana opioid dapat
menimbulkan nausea dan muntah telah teridentifikasi. Mekanisme tersebut
melibatkan baik saraf sentral dan perifer termasuk pusat muntah, zona rangsangan
kemoreseptor, korteks serebri, dan apparatus vestibular otak, serta traktus
gastrointestinal itu sendiri. Nausea dan muntah memberikan pengaruh negatif
pada efektivitas terapi dan kesuksesan manajemen pasien karena simptom tersebut
membatasi dosis analgesik efektif yang dapat dicapai dan sering menjadi alasan
tidak dilanjutkannya pengobatan nyeri menggunakan opioid atau terjadi hilangnya
dosis. Meskipun berbagai strategi seperti agen anti emetik atau penukar opioid
dapat digunakan untuk mengontrol berbagai efek samping opioid ini, tidak ada
pilihan yang ideal karena upaya tersebut tidak selalu efektif dan menimbulkan
biaya tambahan serta ketidaknyamanan. Agen analgesik hemat opioid dapat
menjadi alternatif untuk mencegah nausea dan muntah karena responnya dalam
jalur sinyal mu-opioid untuk menginduksi analgesia rendah.
Kesimpulan: Efek samping nausea dan muntah membatasi efikasi analgesik dari
berbagai terapi opioid. Oleh karena itu dibutuhkan pengembangan analgesik
berbasis opioid yang dapat meredakan efek-efek yang tidak dapat ditoleransi
tersebut.
Pendahuluan
Nyeri kronik merupakan suatu kondisi yang melemahkan yang terjadi
pada sejumlah besar populasi manusia. Di Eropa, seperlima penduduk dewasanya
mengalami nyeri kronik (seperti yang dilaporkan di survei Eropa menggunakan
46.394 responden) [1] dan prevalensi serupa juga didapatkan di berbagai populasi
lain di dunia [2-5]. Namun, pada sejumlah pasien, terapi yang dijalani
menimbulkan ketidakpuasan [1,6-8]. Sesuai dengan masalah kesehatan yang
meningkat terkait manajemen nyeri kronik, penggunaan terapi analgesik opioid
meluas meliputi manajemen untuk nyeri kronik maligna dan non maligna [9].
Meskipun beberapa pasien dapat mencapai kesembuhan dari nyeri dengan
terapi opioid tanpa mengalami efek samping [10], banyak pasien yang tidak
diterapi secara adekuat karena alasan tolerabilitas berupa masalah adiksi [11]
meskipun saat ini risiko adiksi pada nyeri kronik belum dapat dijelaskan. Suatu
alasan penting untuk tidak melanjutkan terapi opioid adalah karena profil
tolerabilitas dari obat ini, khususnya opioid kuat seperti morfin. Alasan utama
dihentikannya terapi analgesik opioid adalah efek samping gastrointestinal (GI)
seperti nausea, muntah, dan konstipasi juga efek samping ke sistem syaraf pusat
[12]. Insidensi nausea dan muntah pada pasien yang diterapi opioid untuk nyeri
kronik pada suatu uji klinis dilaporkan sebanyak 10-50% [13-16]. Meskipun efek
samping GI lain dari opioid seperti konstipasi dapat dicegah dan dikontrol dengan
laxan, peningkatan konsumsi serat, dan pelunak feses [11], efek nausea dan
muntah lebih sulit untuk dikontrol pada sebagian besar pasien [17]. Pada beberapa
pasien bahkan nyeri itu sendiri dapat menyebabkan mual dan muntah. Oleh
karenanya, dibutuhkan pengembangan obat analgesik baru dengan profil
kemanfaatan-risiko yang lebih baik untuk manajemen nyeri kronik.
Tinjauan ini akan mereview data mengenai nausea dan muntah terkait
penggunaan opioid, mengapa efek sampingnya menjadi masalah untuk klinisi dan
pasien, serta pilihan untuk memperbaiki efisiensi penggunaan analgesik opioid
pada nyeri kronik. Pencarian literatur dari Medline dilakukan dengan kombinasi
kata kunci: nausea/muntah dan opioid dan nyeri. Artikel yang dianalisis dalam
tinjauan ini diseleksi secara manual berdasarkan relevansinya dengan efek
samping nausea dan muntah yang terjadi selama terapi nyeri kronik. Referensi
lain juga digunkan untuk mendukung analisis.
Mekanisme Efek Emetogenik
Berbagai stimulus yang menyebabkan nausea dan muntah bekerja di
“pusat muntah” di medulla oblongata. Pusat ini bukanlah suatu lokus khusus di
otak tetapi merupakan kumpulan neuron yang terorganisir secara longgar (nukleus
kontrol sensorik dan motorik yang terletak terutama di medulla tetapi juga
terdapat di spinal), yang dapat diaktivasi secara berurutan dan terkoordinasi [18].
Nausea dan muntah dapat distimulasi atau ditekan melalui kemoreseptor di pusat
muntah [19] yang dapat menerima input dari berbagai lokasi [20]. Nausea dan
muntah biasanya diawali dari stimulus iritan perifer yang beraksi di traktus
gastrointestinal, yang kemudian diubah menjadi sinyal sensorik lalu
ditransmisikan secara sentral ke pusat muntah melalui syaraf aferen vagal dan
simpatik. Meskipun demikian, sensasi yang sama dapat pula diinduksi melalui
stimulasi langsung pada area otak tertentu [21].
Pusat muntah menerima input dari empat area utama yaitu zona rangsang
kemoreseptor/ chemoreceptor trigger zone (CTZ) untuk muntah, traktus
gastrointestinal, apparatus vestibular di lobus temporalis, dan korteks serebri
(gambar 1) [20]. Opioid merangsang efek emetogenik melalui beberapa
mekanisme yang meliputi stimulasi langsung pada CTZ, penghambatan motilitas
saluran cerna, dan stimulasi apparatus vestibularis. Peran korteks serebri dalam
nausea yang diinduksi opioid tidak jelas, tetapi dapat berkaitan dengan riwayat
episode nausea dan atau muntah setelah terapi opioid yang pernah dialami
sebelumnya [20]. Efek emetogenik tersebut dimediasi melalui interaksi dengan
reseptor-reseptor spesifik opioid (subtipe mu, delta, dan kappa) di otak dan
sumsum tulang, dan pada beberapa kasus, di saraf perifer [22,23].
Korteks
Pusat muntah H1 dan AchmChemoreceptor trigger zone (CTZ) D2 dan 5-HT3 Apparatus vestibularis H1 dan Achm
Nervus vagus dan traktus gastrointestinal 5-HT3
Gambar 1. Input sensoris ke dalam ‘pusat muntah’ di otak. D2= Dopaminergik
D2; 5-HT3= serotonin tipe 3; H1= Histamin tipe 1; Achm= Asetilkolin muskarinik.
Diadaptasi seizing Herdon et al. [20].
Stimulasi Opioid pada CTZ
Neuron-neuron yang membentuk CTZ ditemukan pada area postrema pada
dasar ventrikel keempat. Adanya permeabilitas barrier darah-otak pada CTZ
berarti bahwa neuron-neuron tersebut dapat distimulasi secara langsung oleh
banyak toksin, metabolit atau obat, termasuk opioid, yang berada dalam sirkulasi
sistemik [20]. Mekanisme stimulasi yang diinduksi opioid pada CTZ terjadi
melalui aktivasi reseptor opioid mu dan delta [24] dan signalisasi ke pusat muntah
terjadi terutama melalui reseptor D2 dopamin dan melalui reseptor serotonin (5-
HT3) pada CTZ [20]. Emesis yang dipicu opioid yang dimediasi melalui CTZ
dapat berkurang dengan pemberian opioid berulang, dimana berkembangnya
toleransi terhadap emesis kemungkinan berkaitan dengan tipe opioid yang
diberikan [25-27].
Penghambatan Motilitas Saluran Cerna oleh Opioid
Reseptor opioid baik sentral maupun perifer berperan dalam
penghambatan motilitas saluran cerna. Namun, mekanisme utama penghambatan
motilitas saluran cerna tersebut adalah melalui aktivasi reseptor mu di saluran
cerna [28] yang akan menimbulkan berkurangnya waktu transit di saluran cerna
akibat berkurangnya aktivitas otot sirkular dan longitudinal di usus yang berfungsi
dalam persistaltik usus. Meskipun demikian, agonis reseptor kappa dapat pula
menghambat motilitas saluran cerna [29], dan oleh karenanya berperan dalam
fenomena ini. Signalisasi ke pusat muntah dari saluran cerna terjadi melalui jalur
signalisasi serotonergik [20]. Inhibisi opioid terhadap motilitas saluran cerna
dapat menyebabkan distensi saluran cerna, peningkatan durasi pengosongan
saluran cerna, dan konstipasi, yang menghasilkan stimulasi terhadap
mekanoreseptor dan kemoreseptor visceral. Hal ini seringkali berperan dalam
nausea dan muntah pada pasien dengan tingkat penyakit terminal yang menerima
pengobatan opioid [20].
Stimulasi Opioid Terhadap Apparatus Vestibularis
Apparatus vestibularis terletak di bagian tulang labirin di lobus temporalis,
dan berperan dalam mendeteksi perubahan dalam equilibrium. Apparatus
vestibularis distimulasi secara langsung oleh sebagian besar opioid, meskipun
mekanismenya masih dipelajari [20]. Saat ini telah dipostulasikan bahwa reseptor
mu pada epitel vestibularis bertanggungjawab dalam stimulasi yang diinduksi
opioid pasa apparatus vestibularis [30], tetapi reseptor kappa dan delta juga
terletak dalam telinga bagian dalam [31]. Input sensorik ke pusat muntah terjadi
melalui jalur histamin H1 dan kolinergik AChm [19,20]. Emesis dapat lebih sering
terjadi pada pasien rawat jalan, dimana nausea terjadi karena stimulasi pergerakan
yang cepat dan dehidrasi [19].
Kompleksitas Efek-Efek Opioid
Mekanisme emetogenik terjadi pada opioid tertentu tergantung pada
spesifisitas opioid tersebut terhadap reseptor mu, delta, atau kappa. Sebagai
contoh, agonis reseptor opioid mu diketahui berhubungan dengan nausea dan
muntah, tetapi agonis reseptor opioid kappa dapat tidak berkaitan dengan nausea
dan muntah [32]. Kondisi klinis seringkali terkomplikasi oleh berbagai
mekanisme emetogenik terkait opioid. Mekanisme tersebut dapat berbeda dari
satu pasien dengan pasien yang lain, dimana lebih dari satu mekanisme dapat
terjadi pada seorang pasien dalam waktu bersamaan, dan mekanisme tersebut
dapat berubah pada penggunaan opioid jangka pendek dan jangka panjang.
Contohnya, efek emetogenik yang disebabkan stimulasi CTZ medular seringkali
menurun secara cepat [22,27]. Meskipun demikian, pada beberapa pasien efek
samping berupa nausea dan muntah dapat persisten pada terapi jangka panjang
[33]. Selain itu, toleransi analgesik (penurunan efek pereda nyeri dari opioid)
umumnya bermanifestasi seiring berjalannya waktu karena adaptasi selular dan
molekular, termasuk perubahan neuroplastik [22,27,34-36]. Akibatnya,
peningkatan dosis sering dilakukan untuk mempertahankan tingkat pereda nyeri,
tetapi langkah ini cenderung meningkatkan risiko terjadinya nausea dan muntah,
sama halnya dengan berbagai efek samping lain. Peningkatan dosis harus
dikontrol agar dapat mempertahankan efikasi opioid dengan tetap membatasi
risiko terjadinya efek samping [37].
Dosis yang lebih tinggi dari opioid (seperti morfin), sebaliknya dapat
mereduksi nausea dan muntah melalui interaksinya dengan reseptor opioid mu di
pusat muntah dibanding CTZ [38,39]. Oleh karena itu, hubungan antara
penggunaan opioid dan insidensi nausea dan muntah bersifat kompleks. Faktor
pengkomplikasi lain yang bersifat potensial meliputi pemilihan opioid. Meskipun
insidensi nausea dan muntah sedikit bervariasi berdasarkan tipe analgesik opioid
yang digunakanm beberapa opioid dilaporkan menginduksi lebih sedikit nausea
dan muntah dibanding yang yang lain [40], meskipun digunakan pada dosis yang
sama [41]. Contohnya, morfin oral berhubungan dengan insidensi yang lebih
tinggi dari nausea dibanding opioid lain atau modalitas terapi lain [41].
Implikasi Bagi Klinisi dan Pasien
Sudut Pandang Klinisi
Dari sudut pandang klinisi, merupakan suatu hal yang penting untuk
mengenali penyebab dasar dari nausea dan muntah dari beberapa mekanisme
kausatif pada setiap pasien sehingga terapi yang efektif dapat dipilih (Tabel 1).
Stimulasi opioid pada CTZ yang menyebabkan nausea dan muntah dapat diatasi
dengan antagonis reseptor dopamin seperti fenotiazin (misalnya proklorperazin)
atau butirofenon (misalnya haloperidol dan droperidol), meskipun antagonisme
dopamine dengan agen-agen tersebut dapat menimbulkan efek samping berupa
rasa kantuk, konstipasi, distonia, parkinsonisme, diskinesia tardivus, torsades de
pointes, dan sindroma neuroleptik maligna [20,42,43]. Antagonis reseptor
serotonin (misalnya dolasteron, granisteron, dan ondansetron) juga efektif untuk
mencegah nausea dan muntah yang diakibatkan stimulasi opioid pada CTZ, dan
berhubungan dengan profil tolerabilitas yang baik [17,20]. Meskipun obat-obatan
ini disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi nausea dan
muntah, obat-obatan tersebut belum secara khusus disetujui penggunannya untuk
nausea dan muntah yang diinduksi opioid.
Tabel 1. Obat untuk mengatasi nausea (digunakan secara paliatif)
Kelas Obat Mekanisme Aksi Respon
Nausea
Butirofenon Blokade D2 pada CTZ Iritasi kimia,
visceral
Fenotiazin dan derivatnya
(klorpromazin, proklorperazin,
thietilperazin)
Blokade D2 pada CTZ dan traktus GI Vestibular
Antihistamin (siklizin,
difenhidramin, hidroksizin, meklizin,
prometazin)
Blokade H1 di pusat muntah dan apparatus
vestibular
Vestibular
Agen antikolinergik (hyosin,
skopolamin)
Blokade muskarinik pada pusat muntah dan
traktus GI
Vestibular
Antagonis serotonin (dolasetron,
granisetron, ondansetron)
Blokade 5-HT3 di traktus GI dan CTZ Statis
gastrik
Agen prokinetik (metoklopramid) Blokade D2 pada traktus GI dan CTZ;
stimulasi 5-HT4 di traktus GI; Blokade 5-HT3
di CTZ dan traktus GI (dosis tinggi)
Statis
gastrik
Benzodiazepin (lorazepam) Agonis GABA Nausea
antisipatorik
D2 = dopaminergik D2; CTZ = chemoreceptor trigger zone; GI = gastrointestinal; H1 = histamine tipe 1; 5-HT = serotonin; GABA = ɤ-aminobutyric acid. Diadaptasi seizin Herndon et al. [20].
Metoklopramid beraksi langsung pada saluran cerna dan oleh karenanya
efektif dalam melawan nausea dan muntah yang diakibatkan kondisi statis pada
saluran cerna [39] dan sering dijadikan terapi lini pertama untuk nausea yang
diinduksi opioid karena profil efek sampingnya dan mekanisme aksinya [20].
Oleh karenanya, jika nausea yang terjadi berhubungan dengan satietas, kembung
dan muntah postprandial, dimana semuanya merupakan tanda dari keterlambatan
pengosongan lambung, metoklopramid merupakan terapi inisial yang dapat
digunakan [13]. Metoklopramid dapat mengurangi waktu transit saluran cerna
melalui peningkatan respon asetilkolin pada saluran cerna, dan oleh karenanya
bermanfaat pada pasien dengan nausea yang terkait dengan konstipasi [20,44].
Metoklopramid juga dapat menghambat reseptor dopamine dan serotonin perifer,
dan selain itu, dapat menghambat reseptor D2 pada CTZ pada dosis tinggi [20].
Beberapa kelas agen efektif dalam mengatasi simptom seperti vertigo dari
vestibular. Antagonis histamin (misalnya cyclizine) bekerja aktif pada pusat
muntah dan juga apparatus vestibular sehingga keduanya bermanfaat dalam terapi
nausea yang berkaitan dengan pergerakan tubuh atau vertigo. Sebaliknya, obat
antikolinergik (misalnya skopolamin) merangsang efek antiemetik melalui
inhibisinya terhadap signalisasi asetilkolin secara langsung pada pusat muntah
[13,20,45,46]. Efek samping yang terkait dengan agen antihistamin dan
antikolinergik dapat menggangu (misalnya xerostomia, konstipasi, pandangan
kabur, dan konfusi), tetapi pada dosis rendah obat-obatan tersebut secara umum
dapat ditoleransi dengan baik.
Pada beberapa kasus, agen antiemetik tunggal cukup untuk mengatasi
nausea dan muntah, tetapi tidak selalu demikian, dan kadang kombinasi lebih dari
satu antiemetik dibutuhkan [43]. Contohnya, blockade terkombinasi pada reseptor
dopamine dan serotonin oleh haloperidol dan ondansetron, masing-masing dapat
dibutuhkan untuk mengatasi nausea dan vomitus [43,47]. Pilihan lain meliputi
penggantian terapi menggunakan antiemetik lain atau opioid lain [13,48],
penggunaan antagonis reseptor opioid dosis rendah seperti nalokson [49], dan
juga intervensi non farmakologis. Intervensi non farmakologis meliputi
peningkatan akses dengan udara segar, membatasi intake makanan (misalnya
menghindari gula, garam, lemak, dan makanan pedas), memberikan pengalih
perhatian (misalnya berbicara, music, membaca, dan lain sebagainya) dan teknik
relaksasi seperti pernafasan ritmis dan membayangkan gambaran visual [19].
Sayangnya, terdapat kekurangan pada data uji klinis mengenai penggunaan
antiemetik pada pasien dengan nausea dan vomitus yang diinduksi opioid, dan
bahkan data yang terbatas itu bersifak equivokal. Suatu review sistematik terhadap
terapi nyeri kronik pada 67 percobaan yang melibatkan 3.991 pasien (dengan
nyeri kanker atau non kanker) menemukan tujuh penelitian dan tiga kasus
mengenai agen antiemetik, dan menunjukkan variasi efikasi antiemetik yang luas,
dengan banyak penelitian berukuran kecil (empat atau tujuh penelitian yang
menggunakan kurang dari 20 pasien) [43]. Selain itu, sebuah uji terandomisasi,
double-blind, menggunakan kontrol berupa placebo mengenai ondansetron dan
metoklopramid pada 92 pasien gagal menunjukkan penurunan emesis yang
signifikan pada kelompok yang diberi perlakuan dibanding kelompok yang diberi
placebo [50].
Selain masalah tolerabilitas pada penggunaan opioid, sebagian besar
antiemesis memiliki masalah tolerabilitas tersendiri [43]. Selain itu, sebelum
terapi terhadap nausea dan vomitus yang diinduksi opioid dapat dimulai, obat-
obat emetogenik lain yang digunakan pada pasien dengan nyeri kronik (misalnya
digoksi, antibiotik, zat besi, dan sitoksik) harus diturunkan secara bertahap
dosisnya atau tidak dilanjutkan pemberiannya jika memungkinkan karena dapat
menimbulkan masalah lebih lanjut [43].
Saat ini telah ada pengembangan terbaru pada terapi antiemetik.
Contohnya, risperidon, suatu antipsikotik atipik yang memblok reseptor D2
dopaminergik dan 5-HT2 serotonergik diketahui dapat bekerja sebagai antiemetik
efektif pada terapi nausea dan muntah yang diinduksi opioid yang bersifat
refrakter pada pasien kanker (N=20) [51]. Selain itu, suatu uji terandomisasi,
double-blind, dan menggunakan kontrol berupa placebo menunjukkan bahwa
penggunaan dosis rendah nalokson yang merupakan antagonis reseptor opioid
efektif dalam mengurangi nausea yang diinduksi morfin pada anak dan dewasa
(N=46) tanpa mempengaruhi analgesia secara signifikan [49].
Secara garis besar, bukti yang mengindikasikan bahwa efek samping terapi
opioid pada pasien dengan nyeri kronik yang berupa nausea dan muntah
membatasi tercapainya efek kontrol nyeri yang efektif dan kepuasan pasien
secara signifikan. Pada sebuah survei terhadap 569 dokter umum di Inggris, 74%
di antaranya menyatakan bahwa efek samping medikasi nyeri membatasi
tercapainya kontrol nyeri yang efektif pada pasien dengan nyeri non kanker
kronik. Selain itu, 58% dokter umum tersebut menemukan tingkat kepuasan
pasien yang rendah (juga terkait dengan tolerabilitas), dan 96% dokter umum
meyakini bahwa terapi dapat diperbaiki [52].
Sudut Pandang Pasien
Dari sudut pandang pasien, nausea dan muntah merupakan efek samping
yang paling mengganggu dan menimbulkan stress [53]. Beberapa studi
menunjukkan efek negatif dari nausea dan vomitus yang diinduksi opioid pada
outcome fungsionalitas dan kualitas hidup pasien [54-56]. Selain itu, nausea dan
muntah merupakan efek samping yang sering ditemukan pada pasien dengan nyeri
kronik non kanker yang menerima pengobatan analgesik opioid. Studi
metaanalisis oleh Moore dan McQuay yang meliputi 34 uji mengenai penggunaan
opioid pada nyeri non kanker kronik dengan 5.546 pasien menunjukkan bahwa
kekeringan mulut (25%), nausea (21%), dan konstipasi (15%) merupakan efek
samping yang paling sering terjadi, dimana 22% pasien tidak melanjutkan terapi
sebagai akibat efek samping ini [16]. Suatu review sistematik terhadap uji opioid
untuk nyeri non kanker kronik yang terandomisasi dan menggunakan kontol
plasebo menunjukkan bahwa nausea terjadi pada 32% pasien dan muntah terjadi
pada 15% pasien (pada kelopok plasebo, 32% 12% mengalami nausea dan 3%
mengalami muntah) [57]. Maka dari itu didapatkan risiko relatif (95% confidence
interval [CI]) 2,7 (2,1-3,6) untuk nausea dan 6,1 (3,3-11,0) untuk muntah pada
pasien ini. Dihentikannya pengobatan karena efek samping pada pasien yang
mendapatkan opioid didapatkan senayak 24% (risiko relative 1,4 [95%CI 1,1-1,9]
dibanding plasebo), dan hanya 44% yang masih melanjutkan terapi hingga akhir
uji [57]. Selain itu, nausea dan muntah tidak selalu merupakan efek jangka
pendek, seperti yang ditunjukkan pada suatu studi selama 3 tahun di Amerika
Serikat dimana 219 pasien mendapatkan oxycodone jangka panjang (durasi rata-
rata 541,5 hari; dosis rata-rata 52,5 ± 38,5 mg/ hari) [33].
Pada studi ini, nausea dan muntah dilaporkan terdapat pada masing-
masing 12% dan 7% pasien [33]. Pada sebagian besar pasien, laporan adanya efek
samping menurun sesuai durasi terapi, tetapi pada sebagian kecil kasus, nausea
dan muntah masih terjadi setelah tiga tahun [33].
Efek samping pengobatan untuk nyeri kronik menjadi perhatian besar
pasien, seperti yang ditunjukkan oleh sebuah survei di Eropa pada pasien dengan
nyeri kronik [1]. Dua pertiga responden penelitian khawatir dengan efek samping
dari pengobatan nyeri yang mereka jalani [1]. Kekhawatiran serupa juga
ditunjukkan di survei Roadblocks to Relief yang dilakukan oleh American Pain
Society [58]. Selain itu, pasien sering mengeluhkan nausea dan muntah sebagai
alasan untuk tidak melanjutkan pengobatan analgesik mereka. Pada dua studi
komparatif oxycodone lepas sedang dan lepas terkontrol yang diberikan pada
pasien dengan nyeri non kanker kronik atau nyeri kanker, alasan penghentian
pengobatan yang paling sering dinyatakan pada pasien dengan nyeri non kanker
adalah nausea dan muntah [59].
Implikasi Terhadap Biaya
Masalah biaya yang diakibatkan tolerabilitas yang rendah terhadap terapi
opioid untuk nyeri kronik mulai mendapat perhatian [56,60-62]. Biaya obat
membentuk proporsi kecil dari total beban ekonomi karena biaya untuk kesehatan
umumnya menghabiskan lebih dari 70% jumlah biaya kesehatan yang dihabiskan
[60]. Meskipun demikian biaya untuk menangani nausea dan vomitus yang
berkaitan dengan terapi opioid akan menimbulkan biaya tambahan untuk obat
antiemetik dan waktu yang dibutuhkan staf kesehatan untuk mendiagnosis,
meresepkan, dan memberikan agen antiemetik ini, sebagai tambahan terhadap
biaya yang dibutuhkan untuk mengganti terapi ke opioid lain jika efek samping
tidak teratasi [56,61,62]. Biaya-biaya lain yang terkait tolerabilitas yang rendah
terhadap opioid adalah pereda nyeri tambahan (misalnya tanpa analgesik non
opioid), karena dosis opioid yang dapat ditoleransi dapat terbatas oleh karena efek
sampingnya yang berupa nausea dan muntah [56, 61, 62]. Selain itu, efek samping
tersebut dapat menyebabkan kepuasan terapi dan sikap pasien yang rendah karena
mereka menganggap nyeri yang mereka alami tidak ditangani dengan baik oleh
dokter (28% pasien pada sebuah survei di Eropa melaporkan bahwa dokter
mereka tidak tahu bagaimana mengontrol nyeri yang mereka alami, dan 40%
pasien dengan nyeri kronik menganggap nyeri mereka tidak dimanajemen dengan
baik) [1] sehingga menyebabkan pasien berganti-ganti dokter untuk mencari
manajemen nyeri yang lebih baik. Biaya yang ditimbulkan oleh sikap tidak puas
pada pasien dengan nyeri kronik juga diperhitungkan [62,63].
Upaya Memperbaiki Rasio Risiko-Keuntungan dari Analgesik Opioid
Penelitian kecil telah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir untuk
mengembangkan analgesik hemat opioid dengan profil risiko-keuntungan yang
lebih baik. Pada beberapa kasus, analgesik ajuvan hemat opioid digunakan untuk
mereduksi dosis opioid tetapi upaya ini masih jauh dari solusi yang ideal [64].
Meskipun demikian, intervensi non farmakologis yang secara spesifik memiliki
target proses kognitif dapat efektif digunakan bersama analgesia untuk pasien
dengan nyeri kronik. Oleh karena itu, studi terkini terhadap persepsi pasien
mengenai nyeri kronik menunjukkan bahwa efek terapi dapat ditingkatkan dengan
intervensi yang secara spesifik bertarget pada proses kognitif (misalnya program
multidisipliner seperti olahraga, relaksasi, edukasi mengenai nyeri, manajemen
tidur, dan aktivitas penstruktur kognitif) [65].
Penelitian telah mengarahkan pada pengembangan beberapa terapi
analgesik berbasis opioid tipe baru yang mana beberapa diantaranya secara
spesifik didesain untuk membatasi efek samping yang dapat terjadi. Preparat baru
dari opioid, seperti pelekat fentanyl transdermal, dapat digunakkan untuk
memasukkan opioid secara terkontrol melalui subkutan melalui reservoir fentanyl
yang terletak di balik suatu membrane pengontrol. Konstipasi, nausea, dan
muntah tetap merupakan efek samping yang paling sering ditemukan dari sistem
ini, meskipun insidensinya lebih rendah dibanding pemberian morfin secara
sistemik [66-69]. Meskipun demikian, tidak terdapat perbedaan antara nausea dan
muntah [66,68,70,71]. Jika sistem pemberian opioid secara transdermal dievaluasi
dan dibandingkan dengan pemberian opioid secara oral dan intratekal, opioid
intratekal menunjukkan tingkat withdrawal paling rendah terkait efek samping
[72]. Meskipun demikian, pemberian obat secara intratekal jarang dilakukan pada
banyak pasien.
Satu strategi terapi baru telah dikembangkan berupa antagonis reseptor
opioid aksi perifer dengan tujuan secara selektif menghambat reseptor opioid mu
di perifer yaitu di traktus GI tanpa mempengaruhi analgesi sentral yang diinduksi
opioid. Dua antagonis opioid mu yang bekerja di perifer yaitu alvimopan dan
metilnaltrekson, baru-baru ini disetujui oleh FDA untuk mengurangi disfungsi
saluran cerna yang diinduksi opioid [73,74]. Meskipun hasil dari studi
pendahuluan menjanjikan, sebuah review sistematik terhadap agen-agen untuk
meredakan konstipasi akibat opioid menyimpulkan bahwa data yang ada tidak
cukup untuk mengetahui apakah agen-agen tersebut afektif atau tidak [75]. Suatu
pertimbangan bahwa agen antiemetik dengan kemampuan terbatas dalam
melewati barier darah-otak memiliki efikasi yang rendah dalam mengatasi nausea
dan muntah yang dimediasi melalui mekanisme sentral. Selain itu yang saat ini
masih diteliti adalah kombinasi oral tetap dari agonis dan antagonis reseptor
opioid seperti oxycodone lepas lambat dan naltrekson [76,77]. Obat-obat ini
didesain untuk mengurangi efek samping GI melalui aksi penghambatan perifer
pada reseptor opioid saluran cerna [78]. Meskipun agen-agen tersebut memiliki
bioavailabilitas sistemik yang rendah, dampak negatif pada efek analgesik dari
prduk kombinasi karena komponen antagonis tidak dapat dikesampingkan [79].
Kombinasi agen tersebut secara memberikan fleksibilitas penetapan dosis yang
lebih rendah dibandingkan penggunaan antaagonis yang terpisah.
Suatu pendekatan yang baik adalah dengan mengkombinasikan lebih dari
satu prinsip analgesik dalam satu molekul sehingga kedua mekanismenya akan
berdampingan secara farmakologis. Konsep ini direalisasikan pada tapentadol,
suatu komponen yang didesain dengan tujuan mengkombinasikan dua aksi
analgesik yaitu aktivitas agonis reseptor dengan inhibisi pengambilan kembali
norepinefrin. Data dari studi preklinik mengindikasikan bahwa kombinasi dari
kedua aksi analgesik ini cenderung tidak menghasilkan efek samping yang
dimediasi opioid, misalnya pada spesies model emesis yang paling sering
digunakan, yaitu ferret [80], tapentadol dapat menimbulkan episode mual dan
muntah yang lebih sedikit dibanding morfin [81]. Hal ini menunjukkan
kemungkinan adanya kemanfaatan terapi yang potensial melebihi analgesik opioid
klasik yang ada saati ini. Agen ini juga menawarkan tolerabilitas yang lebih baik
dan efikasi analgesik yang ekuivalen.
Kesimpulan
Kesimpulannya, opioid menimbulkan nausea dan muntah pada banyak
pasien melalui mekanisme yang beragam dan kompleks. Nausea dan muntah
merupakan efek samping umum dari analgesia opioid, dan menyebabkan distress
pada pasien, sehingga menyebabkan penurunan kualitas hidup yang signifikan.
Efek samping demikian seringkali sulit diatasi, dapat persisten, dan merupakan
penyebab utama ketidakpuasan pasien terhadap pengobatan terhadap nyeri.Selain
itu, masalah tersebut terkait dengan bertambahnya beban anggran kesehatan.
Beberapa pendekatan didesain untuk mencapai solusi perbaikan efikasi analgesik
dengan menghilangkan efek samping potensial, terutama nausea dan muntah,
yang menimbulkan peredaan nyeri yang tidak adekuat.