1
Sosok | 21 RABU, 8 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA T ANK tentara itu sudah berlumut dan ditum- buhi ilalang. Seorang tentara yang meng- genggam senapan di tangan kanannya pun ikut dilumuti. Kaku seperti mati. Gestur si tentara terlihat se- perti orang yang sedang berte- riak. Tangan kiri dikepal ke atas dan mulutnya terbuka lebar. Menganga. Di dalam mulut itu, ada se- ekor burung mungil bersarang. Sang induk yang berwarna hi- tam dan kuning terlihat terbang menghampiri sambil membawa seekor cacing untuk makan. Kartun yang dibuat Jitet Koestana ini baru saja meme- nangi gold prize dalam ajang The 9th Kyoto International Cartoon Exhibition di Kyoto, Jepang, Agustus 2010. Jitet membuat kartun tentara berlumut itu sebagai respons- nya terhadap perang. “Saya sangat membenci perang, ter- utama dampaknya. Rumah hancur, anak kehilangan orang tua, dan keluarga tercerai berai. Tank dan prajurit perang meru- pakan senjata pemusnah. Saya lalu berpikir, kira-kira bagai- mana memusnahkan senjata pemusnah itu?” ujar Jitet yang ditemui di Bentara Budaya Ja- karta, Jumat (3/9). Sarana memusnahkan simbol perang itu lantas tak diwujud- kan dengan kekerasan yang sama. Alih-alih menggunakan senjata dan bom, Jitet meng- gunakan lamparan lumut yang hijau serta burung dan anaknya. “Ini simbol kebebasan dan harapan akan kehidupan gene- rasi baru,” ujarnya. Beribadah Kemenangan di Kyoto kali ini bukanlah yang pertama bagi Jitet. Sejak 1990, ia yang beker- ja sebagai ilustrator harian Kompas itu telah banyak mene- rima penghargaan interna- sional. Kartun-kartunnya dini- lai memiliki pesan yang dalam Christine Franciska Sejarah hidupnya sudah dibanjiri dengan deretan penghargaan kartun internasional. Itu menjadi caranya mengabdi lewat profesi. Sambil diam-diam mengoleksi uang jelek. JITET KOESTANA Baca, Lihat, Dengar Apa yang bisa diberikan oleh selembar kartun sederhana yang tercetak di koran? Bagi Yasuo Yoshitomi, kar- tunis dan Ketua Komite Seleksi The 9th Kyoto International Cartoon Exhibition, kartun pu- nya makna lebih. “Maknanya sangat dalam. Kita harus ber- pikir dan melihat ke dalam diri kita untuk mengerti,” ujarnya. Kedalaman makna itulah yang akhirnya membuat karya kartun Jitet Koestana meme- nangkan gold prize dalam The 9th Kyoto International Car- toon Exhibition. Selain itu, juga ditunjang dengan teknik detail yang kuat dan dianggap lebih bersifat kartunal daripada pe- saing terdekatnya, yaitu karya Pawel Kuczynski dari Polan- dia. Menurut catatan Efix Mulya- di, penulis seni, gambar Jitet tak sekadar enak dipandang, tapi juga kartun yang tajam meng- kritik sekaligus memberi hu- mor yang bernas. Pada Kyoto International Cartoon Exhibition kali ini, ter- dapat 716 karya dari 267 kartu- nis di 55 negara di dunia. Tema- nya mengangkat isu lingkung- an yang terangkum dalam pertanyaan What is The Best Way to Develop Our Planet?. Yasuo menyambut baik ke- menangan Jitet dan sangat mengapresiasi kartunis muda Indonesia. Dalam pameran ini, lebih dari 15 kartunis Indonesia berpartisipasi. Jumlah yang terbilang banyak jika dibanding- kan dengan peserta dari nega- ra-negara lain. “They are won- dan tajam, menukik langsung ke persoalan. Tahun ini saja, misalnya, Jitet telah memenangi special prize di ajang 16th International Anka- ra 7-77 Cartoon Festival di Tur- ki, Baja Cartoon Competition 2010 di Hungaria, Ken Sprague Fund International Political Cartoon Competition di Ing- gris, dan 2nd PC Rath Memo- rial International Web Cartoon Contest di India. Awalnya, ia mengakui uang- lah motivasi utamanya mengi- kuti rangkaian kompetisi lokal dan internasional. Namun, se- iring berjalannya waktu, motif lama itu lalu mulai sirna. “Saya mulai berpikir, apa uang yang saya cari. Toh saya makan cu- ma sepiring. Kalau lebih pun sudah gak muat di perut.” Lantas, baginya kini, bekerja sebagai ilustrator dan mengi- kuti banyak kompetisi merupa- kan sebuah sarana pengabdian dan ibadah. “Menyuarakan suara mereka yang lemah lewat kartun. Semakin luas kartun itu diperlihatkan, semakin banyak orang yang tahu,” jelasnya. Putus sekolah Jitet sudah gemar menggam- bar sejak kecil. Menggambar apa saja dan di mana saja, ter- masuk di dinding dan di tanah. Seingatnya, coretan-coretan gambar itu dimulai dengan menjiplak karakter wayang. Di usianya yang ke-18, ia lalu memutuskan untuk keluar dari STM Dokter Cipto di Sema- rang. Ketika itu, pergaulan di sekolah yang selalu tawuran dengan sekolah lain membuat- nya lelah. “Kalau enggak ikut berantem, saya dimusuhi sama teman. Tapi kalau ikut, kok saya jadi begini? Saya kan ha- rusnya belajar,” ujar Jitet yang mengaku pernah ditangkap tentara dan dijemur karena ikut tawuran itu. Karena itu, keputusan untuk keluar di kelas 2 SMK dirasa tepat. Maklum, saat itu keluar- ganya tergolong kurang mam- pu. Ayahnya berjualan baju bekas di pasar, sedangkan ibu- nya mencari tambahan uang dengan menjual es lilin dan buah potong. “Biar saya memberi kesem- patan adik-adik saya untuk sekolah,” ujar anak pertama dari lima bersaudara itu. Selepas sekolah, ia lalu ber- jualan buku bekas. Saat itulah Jitet bertemu dengan Slamet Bajuri yang memperkenalkan- nya dengan Semarang Cartoon Club. Momen ini dirasa sebagai sebuah titik balik bagi kehidup- annya. Di sana, pria kelahiran 4 Ja- nuari, 42 tahun silam, ini belajar banyak hal mengenai kartun. Tentang koran mana saja yang menerima ilustrasi lepas, bagai- mana mengirimnya, dan ada lomba apa saja yang bisa dii- kuti. “Di situ saya memutuskan ini hidup saya, susah senang saya ya ada di sini,” katanya. Benyak belajar Menjadi seorang kartunis tak hanya bermodal keahlian gam- bar, pengetahuan dan wawasan pun harus terus diperluas. Jitet pun demikian. Ia banyak mem- baca berita hingga buku-buku Depak Chopra, Jidu Krisna- murti, hingga pemikiran Kon- Secercah Harap dalam Ironi derful, young, have a great idea and technique,” kata Yasuo. Senada dengan itu, Jitet juga menganggap kartunis muda dalam negeri punya masa de- pan. Kendalanya, banyak yang belumm apan. “Kartunis jadi hitung-hitung- an uang kalau mau ikut kompe- tisi. Padahal, enggak bisa gitu. Mentalnya yang harus kuat dan harus banyak mencoba,” jelas Jitet. Namun, masa depan kartun di Indonesia bisa dibilang cer- ah. Tak seperti di Jepang, yang menurut Yasuo, minim apre- siasi. Kebanyakan kartunis su- dah berusia lebih dari 40 tahun. “Anak muda sekarang malas. Ketika mereka melihat kartun dan tak mengerti, mereka akan pergi dan mengabaikannya.” Bagi Yasuo, menjadi juri dari sebuah kompetisi kartun punya tantangan tersendiri. Tiap nega- ra memiliki ciri yang berbeda- beda. Untuk sekadar mengerti maknanya pun Yasuo kerap kesulitan. “Ada kartun dari Prancis yang tidak saya mengerti arti- nya. Baru tiga tahun kemudian saya mengerti maknanya. Dan ketika saya mengerti, saya senang sekali,” tutur Yasuo. Kartun memiliki dua ciri uta- ma, yaitu menghadirkan ironi dan bersifat satire. Sifat inilah yang kemudian akan mengge- rakkan hati dan membuat kita becermin terhadap diri sendiri. Juga pada akhirnya menimbul- kan harapan. Bahwa belum terlambat bagi kita untuk memperbaikinya.( */M-4) fucius, Lao Tze, dan Buddha. “Harus pandai. Banyak baca, lihat, dan dengar. Kita tidak mungkin membuat kartun yang bagus kalau kita tak mengerti masalahnya,” kata Jitet. Kartun yang bagus tak hanya punya teknik yang bagus. Ia mengibaratkannya sebagai sebuah makhluk yang tak ha- nya berdaging, berdarah, dan bertulang. Tapi juga harus me- miliki roh dan hati. “Tidak cu- ma mengandung pesan, tapi gagasannya mengungkapkan cinta kasih dan membela ke- langsungan hidup manusia.” Kini, 23 tahun sudah Ia ber- karya. Kesulitan menemukan ide baru juga kerap terjadi. Na- mun, Jitet mengaku tak pernah bosan menggambar. “Kartun itu istri pertama saya. Tiap hari yang saya elus-elus itu ya gam- bar saya,” canda pria yang punya empat anak ini. Uang jelek Selain menggambar, Jitet ju- ga mengoleksi uang jelek. Jadi, kalau Anda kebetulan punya uang jelek dan bertemu dengan pria ini, jangan sungkan untuk menukarkan uang jelek itu. Jitet dengan senang hati menerima uang lusuh itu dan mengganti- nya dengan yang masih bagus. “Saya koleksi uang jelek,” ujar- nya. Ia tak sampai hati mem- buang uang walau keadaannya sudah robek-robek dan bau. “Duit itu dicari orang susah payah, lo. Orang susah-susah berkeringat untuk dapat itu,” katanya. Mengingat uang ini, lantas pikiran pun teringat dengan perjuangan orang tua Jitet dulu. Waktu itu, modal bapaknya tak lebih dari Rp2 juta untuk berda- gang. Peluh keringat dan beban yang dipikul teramat berat. Na- mun, bapak yang suka marah- marah dan pusing itu sukses menghidupi keluarga dan me- nyekolahkan adik-adiknya. “Saya masih kalah hebat sama bapak,” ujarnya. (M-4) christine@ mediaindonesia.com MI/ ADAM DWI KARYA JUARA: Karya-karya dari ajang Kyoto International Cartoon Exhibition yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (3/9). Pameran ini berlanjut di Bali, 9 September sampai 15 Oktober 2010.

JITET KOESTANA Baca, Lihat, Dengar - ftp.unpad.ac.id filepikir dan melihat ke dalam diri ... Tema-nya mengangkat isu lingkung- ... menjiplak karakter wayang. Di usianya yang ke-18,

Embed Size (px)

Citation preview

Sosok | 21RABU, 8 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

TANK tentara itu sudah berlumut dan ditum-buhi ilalang. Seorang tentara yang meng-

geng gam senapan di tangan kanannya pun ikut dilumuti. Kaku seperti mati.

Gestur si tentara terlihat se-per ti orang yang sedang berte-riak. Tangan kiri dikepal ke atas dan mulutnya terbuka le bar. Menganga.

Di dalam mulut itu, ada se-ekor burung mungil bersarang. Sang induk yang berwarna hi-tam dan kuning terlihat terbang meng hampiri sambil membawa seekor cacing untuk makan.

Kartun yang dibuat Jitet Koes tana ini baru saja meme-nangi gold prize dalam ajang The 9th Kyoto International Cartoon Exhibition di Kyoto, Je pang, Agustus 2010.

Jitet membuat kartun tentara berlumut itu sebagai respons-nya terhadap perang. “Saya sa ngat membenci perang, ter-uta ma dampaknya. Rumah han cur, anak kehilangan orang tua, dan keluarga tercerai berai. Tank dan prajurit perang meru-pakan senjata pemusnah. Saya lalu berpikir, kira-kira bagai-ma na memusnahkan senjata pe musnah itu?” ujar Jitet yang ditemui di Bentara Budaya Ja-kar ta, Jumat (3/9).

Sarana memusnahkan simbol perang itu lantas tak diwujud-kan dengan kekerasan yang sama. Alih-alih menggunakan senjata dan bom, Jitet meng-gunakan lamparan lumut yang hijau serta burung dan anaknya. “Ini simbol kebebasan dan harapan akan kehidupan gene-rasi baru,” ujarnya.

BeribadahKemenangan di Kyoto kali

ini bukanlah yang pertama bagi Jitet. Sejak 1990, ia yang beker-ja sebagai ilustrator hari an Kom pas itu telah banyak mene-ri ma penghargaan interna-sional. Kartun-kartunnya dini-lai memiliki pesan yang dalam

Christine Franciska

Sejarah hidupnya sudah dibanjiri dengan deretan

penghargaan kartun

internasional. Itu menjadi caranya mengabdi lewat profesi. Sambil

diam-diam mengoleksi uang

jelek.

J I T E T K O E S T A N A

Baca, Lihat, Dengar

Apa yang bisa diberikan oleh selembar kartun sederhana yang tercetak di koran?

Bagi Yasuo Yoshitomi, kar-tunis dan Ketua Komite Seleksi The 9th Kyoto International Car toon Exhibition, kartun pu-nya makna lebih. “Mak nanya sangat dalam. Kita harus ber-pikir dan melihat ke dalam diri kita untuk mengerti,” ujar nya.

Kedalaman makna itulah yang akhirnya membuat karya kar tun Jitet Koestana meme-nangkan gold prize dalam The 9th Kyoto International Car-toon Exhibition. Selain itu, juga ditunjang dengan teknik detail yang kuat dan dianggap lebih bersifat kartunal daripada pe-saing terdekatnya, yaitu karya Pawel Kuczynski dari Polan-dia.

Menurut catatan Efi x Mulya-di, penulis seni, gambar Jitet tak sekadar enak dipandang, tapi juga kartun yang tajam meng-kritik sekaligus memberi hu-mor yang ber nas.

Pada Kyoto International Cartoon Exhibition kali ini, ter-dapat 716 karya dari 267 kartu-nis di 55 negara di dunia. Tema-nya mengangkat isu lingkung-an yang terangkum dalam per tanyaan What is The Best Way to Develop Our Planet?.

Yasuo menyambut baik ke-me nangan Jitet dan sangat meng apresiasi kartunis muda In donesia. Dalam pameran ini, le bih dari 15 kartunis Indonesia ber partisipasi. Jumlah yang terbilang banyak jika dibanding-kan dengan peserta dari nega-ra-negara lain. “They are won-

dan tajam, menukik langsung ke persoalan.

Tahun ini saja, misalnya, Jitet telah memenangi special prize di ajang 16th International Anka-ra 7-77 Cartoon Festival di Tur-ki, Baja Cartoon Competition 2010 di Hungaria, Ken Sprague Fund International Political Cartoon Competition di Ing-gris, dan 2nd PC Rath Memo-rial International Web Cartoon Contest di India.

Awalnya, ia mengakui uang-lah motivasi utamanya mengi-kuti rangkaian kompetisi lokal dan internasional. Namun, se-iring berjalannya waktu, motif la ma itu lalu mulai sirna. “Saya mulai berpikir, apa uang yang saya cari. Toh saya makan cu-ma sepiring. Kalau lebih pun su dah gak muat di perut.”

Lantas, baginya kini, bekerja

sebagai ilustrator dan mengi-kuti banyak kompetisi merupa-kan sebuah sarana pengabdi an dan ibadah. “Menyuarakan suara mereka yang lemah lewat kartun. Semakin luas kartun itu diperlihatkan, semakin banyak orang yang tahu,” je las nya.

Putus sekolahJitet sudah gemar menggam-

bar sejak kecil. Menggambar apa saja dan di mana saja, ter-ma suk di dinding dan di tanah. Seingatnya, coretan-coretan gambar itu dimulai dengan menjiplak karakter wayang.

Di usianya yang ke-18, ia lalu memutuskan untuk keluar dari STM Dokter Cipto di Sema-rang. Ketika itu, pergaulan di se kolah yang selalu tawuran dengan sekolah lain membuat-nya lelah. “Kalau enggak ikut

berantem, saya dimusuhi sama teman. Tapi kalau ikut, kok saya jadi begini? Saya kan ha-rus nya belajar,” ujar Jitet yang mengaku pernah ditangkap tentara dan dijemur karena ikut tawuran itu.

Karena itu, keputusan untuk keluar di kelas 2 SMK dirasa tepat. Maklum, saat itu keluar-ga nya tergolong kurang mam-pu. Ayahnya berjualan baju b e kas di pasar, sedangkan ibu-nya mencari tambahan uang dengan menjual es lilin dan buah potong.

“Biar saya memberi kesem-patan adik-adik saya untuk sekolah,” ujar anak pertama dari lima bersaudara itu.

Selepas sekolah, ia lalu ber-jualan buku bekas. Saat itulah Jitet bertemu dengan Slamet Bajuri yang memperkenalkan-

nya dengan Semarang Cartoon Club. Momen ini dirasa sebagai sebuah titik balik bagi kehidup-an nya.

Di sana, pria kelahiran 4 Ja-nuari, 42 tahun silam, ini belajar banyak hal mengenai kartun. Tentang koran mana saja yang menerima ilustrasi lepas, bagai-mana mengirimnya, dan ada lomba apa saja yang bisa dii-kuti. “Di situ saya memutuskan ini hidup saya, susah se nang saya ya ada di sini,” katanya.

Benyak belajarMenjadi seorang kartunis tak

hanya bermodal keahlian gam-bar, pengetahuan dan wawas an pun harus terus diperluas. Jitet pun demikian. Ia banyak mem-baca berita hingga buku-buku Depak Chopra, Jidu Krisna-murti, hing ga pemikiran Kon-

Secercah Harap dalam Ironiderful, young, have a great idea and technique,” kata Yasuo.

Senada dengan itu, Jitet juga menganggap kartunis muda da lam negeri punya masa de-pan. Kendalanya, banyak yang belum m a pan.

“Kartunis jadi hitung-hitung-an uang kalau mau ikut kompe-tisi. Padahal, enggak bisa gitu. Mentalnya yang harus kuat dan harus banyak mencoba,” jelas Jitet.

Namun, masa depan kartun di Indonesia bisa dibilang cer-ah. Tak seperti di Jepang, yang menurut Yasuo, minim apre-siasi. Kebanyak an kartunis su-dah berusia lebih dari 40 tahun. “Anak muda sekarang malas. Ketika mereka melihat kartun dan tak mengerti, mere ka akan pergi dan mengabaikannya.”

Bagi Yasuo, menjadi juri dari sebuah kompetisi kartun punya tantangan tersendiri. Tiap nega-ra memiliki ciri yang berbeda-be da. Untuk sekadar mengerti mak nanya pun Yasuo kerap ke sulitan.

“Ada kartun dari Pran cis yang tidak saya me nger ti arti-nya. Baru tiga tahun kemudian saya mengerti mak nanya. Dan ketika saya mengerti, saya senang sekali,” tutur Ya suo.

Kartun memiliki dua ciri uta-ma, yaitu menghadirkan ironi dan bersifat satire. Sifat inilah yang kemudian akan mengge-rakkan hati dan membuat kita becermin terhadap diri sendiri. Juga pada akhirnya menimbul-kan harapan. Bahwa belum ter lambat bagi kita untuk memper baikinya. ( */M-4)

fucius, Lao Tze, dan Buddha. “Harus pandai. Banyak baca, lihat, dan dengar. Kita tidak mung kin membuat kartun yang bagus kalau kita tak menger ti masalahnya,” kata Ji tet.

Kartun yang bagus tak hanya punya teknik yang bagus. Ia meng ibaratkannya sebagai sebuah makhluk yang tak ha-nya berdaging, berdarah, dan bertulang. Tapi juga harus me-miliki roh dan hati. “Tidak cu-ma mengandung pesan, tapi gagasannya mengungkapkan cinta kasih dan membela ke-langsungan hidup manusia.”

Kini, 23 tahun sudah Ia ber-karya. Kesulitan menemukan ide baru juga kerap terjadi. Na-mun, Jitet mengaku tak pernah bosan menggambar. “Kartun itu istri pertama saya. Tiap hari yang saya elus-elus itu ya gam-bar saya,” canda pria yang pu nya empat anak ini.

Uang jelekSelain menggambar, Jitet ju-

ga mengoleksi uang jelek. Jadi, kalau Anda kebetulan punya uang jelek dan bertemu dengan pria ini, jangan sungkan untuk menukarkan uang jelek itu. Jitet dengan senang hati menerima uang lusuh itu dan mengganti-nya dengan yang masih bagus. “Saya koleksi uang jelek,” ujar-nya. Ia tak sampai hati mem-buang uang walau keadaannya sudah robek-robek dan bau.

“Duit itu dicari orang susah pa yah, lo. Orang susah-susah berkeringat untuk dapat itu,” katanya.

Mengingat uang ini, lantas pikiran pun teringat dengan perjuangan orang tua Jitet dulu. Waktu itu, modal bapaknya tak lebih dari Rp2 juta untuk berda-gang. Peluh keringat dan beban yang dipikul teramat berat. Na-mun, bapak yang suka marah-marah dan pusing itu sukses menghidupi keluarga dan me-nyekolahkan adik-adiknya. “Saya masih kalah hebat sama bapak,” ujarnya. (M-4)

[email protected]

MI/ ADAM DWI

KARYA JUARA: Karya-karya dari ajang Kyoto International Cartoon Exhibition yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (3/9). Pameran ini berlanjut di Bali, 9 September sampai 15 Oktober 2010.