Jenis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

wow

Citation preview

Jenis-jenis Hutan di Indonesia

I. Berdasarkan Biogeografi

Kepulauan Nusantara adalah relief alam yang terbentuk dari proses pertemuan antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng bumi itu masih terus saling mendekat. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering terjadi di negeri kepulauan ini.Sejarah pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk khatulistiwa itu menghasilkan tiga kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul. Masing-masing kawasan biogeografi adalah cerminan dari sebaran bentuk kehidupan berdasarkan perbedaan permukaan fisik buminya. Kawasan Paparan Sunda (di bagian barat)Paparan Sunda adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Oriental (Benua Asia) dan berada di sisi barat Garis Wallace. Garis Wallace merupakan suatu garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sunda dan di bagian lebih timur Indonesia. Garis ini bergerak dari utara ke selatan, antara Kalimantan dan Sulawesi, serta antara Bali dan Lombok. Garis ini mengikuti nama biolog Alfred Russel Wallace yang, pada 1858, memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali lebih mirip dengan yang ada di daratan Benua Asia. Kawasan Paparan Sahul (di bagian timur)Paparan Sahul adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Australesia (Benua Australia) dan berada di sisi timur Garis Weber. Garis Weber adalah sebuah garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sahul dan di bagian lebih barat Indonesia. Garis ini membujur dari utara ke selatan antara Kepulauan Maluku dan Papua serta antara Nusa Tenggara Timur dan Australia. Garis ini mengikuti nama biolog Max Weber yang, sekitar 1902, memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di kawasan ini lebih serupa dengan yang ada di Benua Australia. Kawasan Wallace / Laut Dalam (di bagian tengah)Lempeng bumi pinggiran Asia Timur ini bergerak di sela Garis Wallace dan Garis Weber. Kawasan ini mencakup Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), dan Kepulauan Maluku. Flora fauna di kawasan ini banyak merupakan jenis-jenis endemik (hanya ditemukan di tempat bersangkutan, tidak ditemukan di bagian lain manapun di dunia). Namun, kawasan ini juga memiliki unsur-unsur baik dari Kawasan Oriental maupun dari Kawasan Australesia. Wallace berpendapat bahwa laut tertutup es pada Zaman Es sehingga tumbuhan dan satwa di Asia dan Australia dapat menyeberang dan berkumpul di Nusantara. Walaupun jenis flora fauna Asia tetap lebih banyak terdapat di bagian barat dan jenis flora fauna Australia di bagian timur, hal ini dikarenakan Kawasan Wallace dulu merupakan palung laut yang sangat dalam sehingga fauna sukar untuk melintasinya dan flora berhenti menyebar.

II. Berdasarkan iklim

Dari letak garis lintangnya, Indonesia memang termasuk daerah beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklim kepulauan ini lebih beragam. Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim, yaitu: Daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatera; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi. Daerah tipe iklim B (basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; sebagian besar Papua. Daerah tipe iklim C (agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini mencakup Jawa Timur; sebagian Pulau Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara; bagian paling ujung selatan Papua.Berdasarkan perbedaan iklim ini, Indonesia memiliki hutan gambut, hutan hujan tropis, dan hutan muson.Hutan gambut ada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai dan sungai besar Kalimantan, dan sebagian besar pantai selatan Papua.Hutan hujan tropis menempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini menutupi sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua. Di bagian barat Indonesia, lapisan tajuk tertinggi hutan dipenuhi famili Dipterocarpaceae (terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Hopea). Lapisan tajuk di bawahnya ditempati oleh famili Lauraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, dan Guttiferaceae. Di bagian timur, genus utamanya adalah Pometia, Instia, Palaquium, Parinari, Agathis, dan Kalappia.Hutan muson tumbuh di daerah tipe iklim C atau D, yaitu di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, sebagian NTT, bagian tenggara Maluku, dan sebagian pantai selatan Irian Jaya. Spesies pohon di hutan ini seperti jati (Tectona grandis), walikukun (Actinophora fragrans), ekaliptus (Eucalyptus alba), cendana (Santalum album), dan kayuputih (Melaleuca leucadendron).

III. Berdasarkan sifat tanahnyaBerdasarkan sifat tanah, jenis hutan di Indonesia mencakup hutan pantai, hutan mangrove, dan hutan rawa. Hutan pantai terdapat sepanjang pantai yang kering, berpasir, dan tidak landai, seperti di pantai selatan Jawa. Spesies pohonnya seperti ketapang (Terminalia catappa), waru (Hibiscus tiliaceus), cemara laut (Casuarina equisetifolia), dan pandan (Pandanus tectorius). Hutan mangrove Indonesia mencapai 776.000 ha dan tersebar di sepanjang pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan, dan pantai selatan Papua. Jenis-jenis pohon utamanya berasal dari genus Avicennia, Sonneratia, dan Rhizopheria. Hutan rawa terdapat di hampir semua pulau, terutama Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Spesies pohon rawa misalnya adalah nyatoh (Palaquium leiocarpum), kempas (Koompassia spp), dan ramin (Gonystylus spp).IV. Berdasarkan pemanfaatan lahan

Luas hutan Indonesia terus menciut, sebagaimana diperlihatkan oleh tabel berikut: Luas Penetapan Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan Tahun Luas (Hektar) 1950 162,0 juta 1992 118,7 juta 2003 110,0 juta 2005 93,92 jutaBerdasarkan hasil penafsiran citra satelit, kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92 juta hektar pada 2005 itu dapat dirinci pemanfaatannya sebagai berikut:1. Hutan tetap : 88,27 juta ha2. Hutan konservasi : 15,37 juta ha3. Hutan lindung : 22,10 juta ha4. Hutan produksi terbatas : 18,18 juta ha5. Hutan produksi tetap : 20,62 juta ha6. Hutan produksi yang dapat dikonversi : 10,69 juta ha.7. Areal Penggunaan Lain (non-kawasan hutan) : 7,96 juta ha.Lahan hutan terluas ada di Papua (32,36 juta ha), diikuti berturut-turut oleh Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatera (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta ha).

Sejarah Hutan di Indonesia

Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo. Luas kawasan hutannya sekitar 120,4 juta ha atau sekitar 68% dari total luas wilayah daratan (Baplan 2002). Hutan Indonesia merupakan habitat bagi spesies flora dan fauna penting dunia. TercatatHutan Indonesia menjadi habitat bagi 17% spesies burung, 16% reptile , 16% amphibi, 12% mamalia dan 10% tanaman di dunia.Forest Watch Indonesia mencatat laju deforestasi pada periode 2000-2009 adalah 1.515.892,66 Ha/tahun dengan luas deforestasi yang mencapai 15.158.926,59 Ha (periode 2000-2009) serta tutupan hutan (forest cover) Indonesia pada tahun 2009 yang hanya menyisakan sekitar 88.170.440,19 Ha (FWI, 2011).

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada tahun 2010 memperkirakan bahwa luas tutupan hutan Indonesia berkurang dari 118,5 juta ha pada tahun 1990 menjadi 94,4 juta ha pada tahun 2010 atau berkurang sekitar 24,1 juta hektar selama 20 tahun. Sekitar 77% dari kawasan tersebut merupakan hutan tropis primer dengan keanekaragaman hayati dan kepadatan karbon terbesar.

SejarahSejarah pengelolaan hutan nasional dibagi ke dalam lima periode, yaitu:

1.Periode Pra-Pejajahan Hingga Pejajahan BelandaPada masa sebelum penjajahan Belanda, pengelolaan kehutanan diatur oleh hukum adat masing-masing komunitas adat masyarakat. Von Savigny menyatakan bahwa hukum mengikuti jiwa/semangat rakyat (volkgeist) dari masyarakat dimana tempat hukum itu berasal. Karenavolkgeistmasing-masing masyarakat berlainan, maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan. Hukum yang dimaksudkan dan dikenal pada masa itu adalah hukum adat.

2.Masa kolonial hingga tahun 1945-an,Deforestasi di Indonesia mempunyai sejarah panjang, semasa penjajahan Belanda deforestasi terjadi karena kebijakan yang mengijinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi, pembuatan kapal, ijin pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian, yang memaksakan perubahan fungsi hutan menjadi kebun tebu, kopi, nila dan karet (Mursidin et al. 1997).Setelah lebih dari 200 tahun lamanya hutan alam jati dieksploitasi secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memasok bahan baku industri-industri kapal kayu milik pengusaha Cina dan Belanda. Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalami degradasi yang sangat serius, sehingga mulai mengancam kelangsungan hidup perusahaan-perusahaan kapal kayu yang mengandalkan pasokan kayu jati dari kawasan hutan.Selama masa penjajahan Jepang, tidak ada usaha rehabilitasi hutan yang dilakukan, bahkan degradasi hutan semakin meningkat dari tahun 1942 sampai 1945. Sebagian besar degradasi pada zaman Jepang disebabkan oleh penebangan hutan jati dan hutan alam sebanyak dua kali lipat jatah tebangan tahunan untuk membiayai perang, amunisi mesin perang, menanam tanaman pangan untuk mencukupi persediaan makanan bagi tentara Jepang.

3.Tahun 1945 hingga tahun 1970-an (Masa Pemerintahan Orde Lama)Sejak awal tahun 1950-an, pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan rehabilitasi yang pertama adalah Gerakan Karang Kitri, dimulai pada bulan Oktober 1951 yang merupakan sebuah kampanye nasional atau himbauan kepada masyarakat untuk menanam pohon di pekarangan rumahnya (Mursidin et al. 1997).

4.tahun 1960-an hingga tahun 1998-an,Deforestasi menjadi masalah yang serius pada awal tahun 1970-an; seiring dengan kebijakan pemerintah oder baru untuk meningkatkan ekonomi nasional dengan mengeluarkan ijin penebangan kayu untuk pengusaha di hutan Pulau Jawa.Selama tahun 1970-an, Indonesia merupakan negara eksportir kayu tropis terbesar di dunia yang mengekspor sekitar 300 juta m3 ke pasar internasional (Barr 2001). Pemerintah telah mengalokasikan lebih dari 60 juta ha hutan kepada perusahaan HPH selama lebih dari 30 tahun (Barr 2001).Kebijakan over eksploitasi orde baru tersebut mewariskan konflik-konflik yang berkepanjangan dan tidak berkesudahaan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan antara masyarakat local dengan pemegang HPH, masyarakat local dengan pendatang, masyarakat local dengan pemerintah. Konflik tersebut menjurus pada pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

5.Tahun 1998 sampai sekarangTahun 1998 merupakan tahun penting dalam perubahan politik di Indonesia.Setelah 32 tahun berkuasa, akhirnya Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto mundur, dan berturut-turut (1998 2004) digantikan oleh Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Soesilo Bambang Yudoyono (2004 2009; 2009-2014). Pemerintahan baru ini dinamakan dengan Orde Reformasi.Perubahan situasi politik ini diikuti semakin gencarnya tuntutan dari masyarakat atas manfaat dari hutan, yang ditandai dengan meningkatnya kasus perambahan dalam kawasan hutan (Scotland 2000; Potter dan Lee 1998). Kasus konflik seperti tuntutan yang tumpang tindih atas sumberdaya hutan antar kelompok masyarakat dan pemerintah daerah atau perusahaan kehutanan sering terjadi hampir di setiap propinsi (Potter dan Lee, 1998).Orde Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan reformasi konstutisi, legislasi, birokrasi dan demokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK).Selama awal era otonomi daerah, angka kerusakan hutan meningkat dari 1,87 juta hektar menjadi 2,83 juta hektar. Pemerintah daerah kabupaten/kota diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengelola hutan yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi ledakan pemberian izin konsesi skala kecil yang mengakibatkan meningkatnya laju kerusakan hutan.

TUGAS PENGANTAR ILMU KEHUTANAN

DANIEL U. P. SIMAMORA

PROGAM STUDI KEHUTANANFAKULTAS PERTANIANUNDANA2014