17
Bab II Kerangka Geologi Regional Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 6 BAB II KERANGKA GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI DAN GEOMORFOLOGI REGIONAL Pulau Sulawesi mempunyai luas sekitar 172.000 km 2 , dan bila digabung dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya kira-kira 188.000 km 2 . Bentuknya menyerupai huruf k dengan empat cabang atau lengan yang sempit, dipisahkan oleh teluk-teluk yang dalam, dan menyatu di bagian tengah pulau. Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi daerah Sulawesi menjadi tujuh bagian, yaitu Lengan Utara, Lengan Timur, Kepulauan Banggai, Lengan Tenggara, Kepulauan Buton dan Pulau Tukang Besi, Lengan Selatan, dan Sulawesi Tengah. Secara fisiografis tersebut Kabupaten Bonehau berada di Sulawesi bagian tengah. Sulawesi Tengah merupakan pusat percabangan lengan- lengan Sulawesi. Di sebelah timurlaut Sulawesi tengah dibatasi oleh garis baratlaut-tenggara dari Dongala melalui Parigi dan Lemoro sampai Teluk Tomori. Di sebelah tenggara dibatasi oleh garis baratdaya-timurlaut dari Majene melalui Palopo ke Dongi di Teluk Tomori. Pada peta geomorfologi lembar Mamuju (Ratman dan Atmawinata, 1993) daerah penelitian terletak di daerah pegunungan. Daerah pegunungan ini mendominasi peta lembar mamuju, hanya sebagian kecil yang berupa perbukitan bergelombang dan dataran rendah (Gambar 2.1). Daerah Pegunungan Morfologi ini menempati hampir dua pertiga luas daerah yang dipetakan, yaitu bagian tengah, utara, timurlaut, dan selatan. Daerah ini umumnya berlereng terjal dan curam, puncak bukitnya berkisar dari 800 sampai 3.000 mdpl. Pola aliran berkembang tidak mengikuti aliran tertentu, tetapi menyesuaikan keadaan tanah bawahnya. Di banyak tempat terdapat air terjun, yang menunjukkan ciri

Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

geologi

Citation preview

Page 1: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 6

BAB II

KERANGKA GEOLOGI REGIONAL

2.1 FISIOGRAFI DAN GEOMORFOLOGI REGIONAL

Pulau Sulawesi mempunyai luas sekitar 172.000 km2, dan bila digabung

dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya kira-kira 188.000 km2. Bentuknya

menyerupai huruf k dengan empat cabang atau lengan yang sempit, dipisahkan

oleh teluk-teluk yang dalam, dan menyatu di bagian tengah pulau.

Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi daerah Sulawesi menjadi tujuh

bagian, yaitu Lengan Utara, Lengan Timur, Kepulauan Banggai, Lengan

Tenggara, Kepulauan Buton dan Pulau Tukang Besi, Lengan Selatan, dan

Sulawesi Tengah. Secara fisiografis tersebut Kabupaten Bonehau berada di

Sulawesi bagian tengah. Sulawesi Tengah merupakan pusat percabangan lengan-

lengan Sulawesi. Di sebelah timurlaut Sulawesi tengah dibatasi oleh garis

baratlaut-tenggara dari Dongala melalui Parigi dan Lemoro sampai Teluk Tomori.

Di sebelah tenggara dibatasi oleh garis baratdaya-timurlaut dari Majene melalui

Palopo ke Dongi di Teluk Tomori.

Pada peta geomorfologi lembar Mamuju (Ratman dan Atmawinata, 1993)

daerah penelitian terletak di daerah pegunungan. Daerah pegunungan ini

mendominasi peta lembar mamuju, hanya sebagian kecil yang berupa perbukitan

bergelombang dan dataran rendah (Gambar 2.1).

Daerah Pegunungan

Morfologi ini menempati hampir dua pertiga luas daerah yang dipetakan,

yaitu bagian tengah, utara, timurlaut, dan selatan. Daerah ini umumnya berlereng

terjal dan curam, puncak bukitnya berkisar dari 800 sampai 3.000 mdpl. Pola

aliran berkembang tidak mengikuti aliran tertentu, tetapi menyesuaikan keadaan

tanah bawahnya. Di banyak tempat terdapat air terjun, yang menunjukkan ciri

Page 2: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 7

kemudaan daerah ini. Ciri lain berupa lembah yang sempit dan curam. Di sekitar

Barupu dan Panggala, terdapat suatu morfologi berpola aliran memencar. Lereng

bukit umumnya terjal dan membentuk ngarai.

Gambar 2.1 Peta geomorfologi lembar Mamuju (Ratman & Atmawinata, 1993)

Daerah perbukitan bergelombang

Morfologi ini terdapat di bagian baratdaya Lembar, yaitu antara Teluk

Lebani dan Teluk Mamuju. Tinggi perbukitan berkisar antara 500 sampai 600 m

di atas permukaan laut. Daerah ini berpola saliran meranting.

Daerah Dataran Rendah

Dataran rendah menempati bagian barat lembar peta, yaitu sepanjang

pantai mulai dari Kaluku sampai Babana (daerah S. Budongbudong). Morfologi

ini terbentuk di daerah muara sunggai besar, yaitu S. Budongbudong, S. Lumu, S.

Karama, dan S. Kaluku. Umumnya berpola aliran meranting (dendritik) dan

beberapa sungai bermeander.

Page 3: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 8

2.2 TEKTONIK REGIONAL

Pulau Sulawesi terletak pada batas tenggara Paparan Sunda, inti benua

yang stabil dari Lempeng Eurasia tenggara (Hutchison, 1989 dalam Coffield dkk.,

1993). Pulau ini terbentuk di sepanjang zona tumbukan Neogen antara Lempeng

Eurasia dan fragmen mikro-kontinen yang berasal Lempeng Australia-India

(Hamilton, 1970 dalam Coffield dkk., 1993). Empat lengan Sulawesi membentuk

propinsi megatektonik yang berbeda. Lengan utara terdiri dari batuan busur

vulkanik yang berhubungan dengan subduksi Lempeng Laut Maluku ke arah

barat pada Paleogen Akhir sampai Neogen (Jezek dkk., 1981 dalam Coffield dkk.,

1993). Lengan timur dan tenggara terdiri dari batuan metamorf dan ofiolit yang

terobduksi selama Miosen (Smith dan Silver, 1991; Parkinson, 1991 dalam

Coffield dkk., 1993). Lengan selatan didominasi oleh batuan vulkanik dan

plutonik Miosen dan yang lebih muda membentuk jalur magmatik (Katili, 1978

dalam Coffield dkk., 1993)

Tatanan geologi dan perkembangan tektonik dari jaman Kapur sampai

Neogen untuk wilayah Sulawesi bagian Barat, mempunyai kesamaan dengan

Kalimantan Tenggara dan Jawa Tengah. Pada Kapur Akhir - Awal Tersier

(Paleosen), Sulawesi Selatan dan Tengah, masih merupakan bagian dari daratan

Kalimantan, sebagai bagian dari kepingan kerak-benua yang berasal dari benua

raksasa Gondwana di selatan yang bergerak ke utara bersama India dan Mergui,

yang kemudian bertumbukan dengan Jalur Subduksi Luh-Ulo - Meratus. Namun

ada juga yang berpendapat bahwa Sulawesi Bagian Barat dan Timur merupakan

busur kembar (volkanik dan non-volkanik) yang merupakan bagian dari satu

sistim interaksi konvergen dengan arah subduksi ke Barat. Dalam hal seperti ini,

maka Sulawesi bagian Barat merupakan busur magmatiknya seperti yang

digambarkan oleh Katili (1984).

Pola tektonik regional saat ini didominasi oleh sesar geser dan sesar anjak

(Gambar 2.2). Sesar Palu-Koro merupakan sesar geser mengiri, terbentang sejauh

750 km (Tjia, 1973). Arah pergerakan dari sesar ini berhubungan dengan Sistem

Page 4: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 9

Sesar Sorong di Irian Jaya melalui Sesar Balantak, Sesar Matano-Buru Selatan. Di

selatan Sesar Palu-Koro bergabung dengan Sesar Lawanopo, Sesar Kolaka, dan

Sesar Kabanea (Simandjuntak, 1993a dalam Priadi, 2000). Sesar Anjak Batui

terjadi akibat tumbukan antara Platform Banggai-Sula dengan Jalur Ofiolit

Sulawesi bagian Timur saat Neogen (Simandjuntak, 1993a dalam Priadi, 2000).

Sesar ini membatasi jalur ofiolit pada hanging wall dari mikro-kontinen di foot

wall. Sesar Anjak Poso merupakan kontak struktur antara Busur Metamorf

Sulawesi tengah dan Busur Magmatik Sulawesi Barat (Bemmelen, 1949). Sesar

ini mengangkat metamorf tekanan tinggi dari kedalaman zona Benioff ke atas

busur magmatik pada saat Neogen.

2.2.1 Kerangka Tektonik Sulawesi

Berdasarkan tektonostratigrafinya, Calvert membagi Sulawesi menjadi 5

provinsi tektonik (Gambar 2.2), yaitu Busur Magmatik Sulawesi Utara, Busur

Plutono-Vulkanik Sulawesi Barat, Jalur Metamorf Sulawesi Tengah, Ofiolit

Sulawesi Timur, dan fragmen-fragmen mikrokontinen.

Gambar 2.2 Tektono-stratigrafi Sulawesi (dimodifikasi Calvert & Hall 2003).

Kolaka Fault

Poso Thrust

Page 5: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 10

Busur Plutono-Vulkanik Sulawesi Barat dan Busur Magmatik Sulawesi Utara

Daerah ini dicirikan oleh batuan Tersier Pluto-volkanik berasosiasi dengan

sedimen berumur Tersier dan Kuarter (Sukamto, 1975 dalam Sukamto &

Simandjuntak, 1981). Sulawesi Utara mempunyai ciri-ciri busur volkanik dengan

batuan dasar “kerak-samudra”, sedangkan Sulawesi Barat justru memperlihatkan

kesamaan dengan unsur-unsur “kerak-benua”, yang terdiri dari batuan sedimen

berumur Kapur-Tersier yang terlipat kuat dan diterobos oleh batuan beku

granodiorit dan diorit. (Sukamto, 1978 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Batuan plutonik terdiri dari batuan granitik – dioritik dari Miosen Akhir –

Pleistosen, batuan volkanik umumnya adalah kalk-alkalin dan sedikit batuan

alkali dengan kisaran umur dari Paleosen – Pleistosen, meskipun gunung api

masih aktif di bagian utara provinsi. Sedimen laut dan volkanoklastik terendapkan

secara berkala selama Paleosen – Holosen. Pada bagian selatan batuan Tersier

diendapkan di atas sikuen tebal dari “flysch” Kapur Akhir. Sedimen ini memiliki

ketebalan lebih dari 2000 m dan terletak di atas kompleks mélange (Sukamto,

1981). Endapan flysch terendapkan secara menerus dari Kapur Akhir hingga

Eosen pada bagian utara dan kemungkinan hadir sikuen sedimen yang diendapkan

pada cekungan depan busur.

Jalur Metamorf Sulawesi Tengah dan Ofiolit Sulawesi Timur

Daerah ini disusun oleh ofiolit yang berasosiasi dengan sedimen pelagic

Mesozoikum dan mélange pada bagian timur, dan batuan metamorf pada bagian

barat. Ofiolit secara luas terdiri dari dunit, harzburgit, lerzolit, werhlit, serpentinit

dan sedikit gabro, diabas, basaltt, dan diorit (Soeria-Atmaja dkk., 1972 dalam

Sukamto & Simandjuntak, 1981). Sikuen ini berkembang dengan baik di utara;

bagian tengah dan selatan ofiolit secara umum tidak lengkap atau kacau

(Simandjuntak, 1981 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981). Sedimen pelagic

terdiri dari karbonat, rijang radiolaria dan lempung merah yang terendapkan pada

Jura hingga Kapur Akhir. Batuan mélange tersingkap di bagian tengah tersusun

Page 6: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 11

oleh blok ofiolit, sedimen pelagic dan metamorf, dalam matrik dari lempung

merah red scaly clay (Simandjuntak, 1980 dalam Sukamto & Simandjuntak,

1981). Batuan metamorf di bagian barat tersusun oleh bermacam jenis sekis,

dengan beraneka jenis dalam amfibol-epidot, glaukofan-lawsonit atau fasies

greenschist (de Roever, 1974 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Fragmen-Fragmen Mikrokontinen

Fragmen-fragmen benua, meliputi Banggai-Sula dan Buton, dipercaya

berasal dari bagian utara lempeng Benua Australia (Pigram dkk, 1985 dalam

Priadi, 2000). Fragmen tersebut kemungkinan terpisah dari lempeng benua

Australia saat Jura dan bergeser ke arah baratlaut.

Fragmen benua ini dicirikan oleh komplek batuan dasar batuan metamorf

Karbon dan batuan plutonik Perm - Trias, yang terletak di bawah kontinen

Mesozoik yang berasal dari suksesi sedimen yang mengandung ammonites,

belemnites, dan pelecypods (Sukamto, 1974 dalam Sukamto & Simandjuntak,

1981). Sikuen batuan klastik kasar yang kemungkinan berumur Trias Akhir dan

ditindih secara selaras oleh klastik halus dari Jura dan batuan karbonatan Kapur.

Detritus granit dari provinsi ini tersebar hingga ke Jalur Ofiolit Sulawesi Timur

2.2.2 Perkembangan Tektonik Sulawesi

Perkembangan tektonik Sulawesi bagian barat dan timur sangat berkaitan

dengan perkembangan tektonik Banggai-Sula (Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Perkembangan tektonik Sulawesi bagian barat juga berhubungan erat dengan

pemekaran selat Makkassar. Menurut Hall (2002 dalam Fraser dkk., 2003),

terdapat dua peristiwa penting pada Tersier di daerah ini. Pertama, rifting dan

pemekaran dasar laut pada Paleogen yang menciptakan ruang untuk pengendapan

material klastik yang berasal dari deroofing Kalimantan, dan yang kedua adalah

peristiwa kompresional yang dimulai sejak Miosen, menyebabkan perkembangan

Jalur Lipatan Sulawesi Barat (JLSB) selama Pliosen Awal (Gambar 2.3).

Page 7: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 12

Kompresi ini masih aktif hingga sekarang, menyebabkan pemendekan yang

progresif pada Cekungan Makassar Utara.

Kapur Akhir

Selama Kapur Akhir sikuen tebal sedimen bertipe flysch diendapkan di

daerah yang luas di sepanjang Daerah Sulawesi Bagian Barat. Sedimen ini

ditindih oleh kompleks melange di bagian selatan dan kompleks batuan dasar

metamorf di bagian tengah dan utara. Sedimen umumnya berasosiasi dengan lava

dan piroklastik yang mengindikasikan bahwa batuan ini berasal dari busur

kepulauan vulkanik dan diendapkan di daerah cekungan depan busur (Sukamto &

Simandjuntak, 1981).

Pada saat yang sama, daerah sulawesi bagian timur berkembang sebagai

cekungan laut dalam, tempat sedimen pelagic diendapkan sejak zaman Jura di atas

batuan dasar ofiolit. Sangat mungkin jika cekungan laut dalam Kapur ini

dipisahkan oleh sebuah palung dari Daerah Sulawesi Bagian Barat. Palung

tersebut kemungkinan akibat subduksi ke arah barat, tempat Melange Wasuponda

berakumulasi (Simandjuntak, 1980 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Subduksi ini menyebabkan terjadinya magmatisme di sepanjang Daerah Sulawesi

Bagian Barat. Batuan metamorf yang ada di Sulawesi bagian Barat diyakini

terjadi selama subduksi Kapur ini.

Daerah Banggai-Sula merupakan bagian dari paparan benua sejak

Mesozoikum Awal, dimana diendapkan klastik berumur Trias Akhir Akhir hingga

Kapur. Batuan dasar benua terdiri dari batuan metamorf zaman karbon dan

plutonik Permo-Trias (Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Page 8: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 13

Gam

bar

2.3

– Pa

leo-

reko

nstru

ksi A

sia

Teng

gara

(set

elah

Hal

l 200

2 da

lam

Fra

ser d

kk.,

2003

).

Page 9: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 14

Paleogen

Perkembangan sedimen bertipe flysch di Sulawesi bagian barat berhenti di

bagian selatannya, sementara di bagian utara masih berlanjut hingga Eosen

(Formasi Tinombo, Sukamto, 1975a, 1975c dalam Sukamto & Simandjuntak,

1981). Gunungapi aktif setempat selama Paleosen di bagian selatan dan selama

Eosen di bagian tengah dan utara. Pengendapan batuan karbonat (Formasi Tonasa)

terjadi di daerah yang luas di selatan selama Eosen hingga Miosen yang

mengindikasikan bahwa bagian daerah tersebut adalah paparan yang stabil.

Sejak Paleosen, sulawesi bagian timur mengalami shoaling dan

diendapkan batuan karbonat air-dangkal (Formasi Lerea, Simandjuntak, 1981).

Pengendapan batuan karbonat di daerah ini berlanjut hingga Miosen Awal

(Formasi Takaluku).

Di bagian barat Banggai-Sula, sikuen tebal karbonat bersisipan klastik

diendapkan di daerah yang luas. Karbonat ini diendapkan sampai Miosen Tengah

(Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Zona subduksi berkemiringan ke barat yang dimulai sejak zaman Kapur

menghasilkan vulkanik Tersier Awal di Daerah Sulawesi Bagian Barat, dan proses

shoaling laut di daerah Sulawesi Bagian Timur, begitu pula di Daerah Banggai-

Sula (Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Page 10: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 15

Figure 2.4 – Elemen tektonik Selat Makassar (Fraser dkk., 2003).

Di daerah Selat Makkassar terjadi peregangan kerak. Daerah Selat

Makassar bagian utara adalah bagian awal dari failed rift atau aulacogen, yang

terbentuk sebagai bagian selatan dari pusat pemekaran Laut Sulawesi (Gambar

2.4) (Schwan 1985 dalam Fraser dkk., 2003). Kombinasi guyot, kelurusan

gravitasi, fasies seismik, bersama dengan distribusi aliran panas yang dihasilkan

oleh Kacewicz dkk. (2002 dalam Fraser dkk., 2003), mendukung usulan pola

transform/ekstensional untuk peregangan kerak Eosen Tengah di laut dalam

Cekungan Makassar Utara (Gambar 2.5). Titik paling utara Selat Makassar yang

mengalami transform adalah Cekungan Muara dan Berau. Sumbu pemekaran

lantai samudera kemudian menyebar ke arah selatan. Mendekati Paternosfer

Platform sumbunya menyimpang ke arah timur dan kembali ke arah baratdaya

menuju Selat Makassar selatan.

Page 11: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 16

Figure 2.5 – Pola spreading: 42-38Ma (Fraser dkk., 2003).

Peristiwa ekstensional awal tersebut, diikuti oleh urutan-urutan peristiwa

transgresi selama Eosen Tengah dan Akhir. Peristiwa transgresif ini mewakili

kombinasi peristiwa eustatik dan tektonik (Pieters dkk., 1999 dalam Fraser dkk.,

2003).

Perluasan yang menerus dan diikuti pembebanan pada Eosen Akhir

(menghasilkan peningkatan akomodasi ruang yang signifikan), kelimpahan

material benua berbutir halus diendapkan di daerah yang luas pada Cekungan

Makassar Utara, berlanjut hingga Oligosen dan Miosen Awal. Suksesi

batulempung tebal yang dihasilkan membentuk media yang mobile untuk thin-

skinned basal detachment di bawah bagian selatan dari Jalur Lipatan Sulawesi

Barat, yang mulai ada selama Pliosen Awal (Fraser dkk., 2003).

Page 12: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 17

Neogen

Distribusi produk vulkanik yang luas menunjukkan terjadinya vulkanisme

yang kuat selama Miosen Tengah di Daerah Sulawesi Bagian Barat (Sukamto &

Simandjuntak, 1981). Batuan vulkanik yang awalnya diendapkan lingkungan

dasar laut dan kemudian setempat menjadi terestrial pada Pliosen. Vulkanisme

berhenti pada Kuarter Awal di selatan tetapi menerus sampai sekarang di bagian

utara. Menurut Yuwono (1987 dalam Priadi dkk., 1994) peristiwa magmatisme di

Sulawesi Barat selama 13 – 11 Ma berasal dari post-subductional melting dari

lempeng selama peristiwa subduksi sebelumnya

Magmatisme yang kuat di Daerah Sulawesi Bagian Barat selama Miosen

Tengah berkaitan dengan dengan proses tekanan batuan dalam Daerah sulawesi

Bagian Timur akibat gerakan benua-mikro Banggai-Sula ke arah barat (Sukamto

& Simandjuntak, 1981). Peristiwa tektonik ini mengangkat dan menganjak hampir

keseluruhan material di dalam Daerah Sulawesi Timur, batuan ofiolit teranjak dan

terimbrikasi dengan batuan yang berasosiasi termasuk melange. Pada bagian lain,

ofioit di bagian timur menyusup ke arah timur ke dalam sedimen Mesozoikum

dan Paleogen dari Daerah Banggai-Sula.

Selama pengangkatan seluruh daerah Sulawesi yang terjadi sejak Miosen

Tengah, sesar turun (block-faulting) terbentuk di berbagai tempat membentuk

cekungan-cekungan berbentuk graben. Saat Pliosen, seluruh area didominasi oleh

block faulting dan sesar utama seperti Sesar Palu-Koro (Tjia, 1973) tetap aktif.

Pergerakan epirogenic setelahnya membentuk morfologi Pulau Sulawesi yang

sekarang. Peristiwa tektonik ini menghasilkan cekungan laut dangkal dan sempit

di beberapa tempat dan beberapa cekungan darat terisolasi. Batuan klastik kasar

terendapkan di cekungan-cekungan ini dan membentuk Molasse Sulawesi.

Peristiwa tektonik Miosen Tengah juga membengkokkan daerah Sulawesi

bagian Barat seperti bentuk lengkungan yang sekarang dan menyingkapkan

batuan metamorf di bagian leher pulau.

Page 13: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 18

Figure 2.6 – Jalur Lipatan Sulawesi Barat (Fraser dkk., 2003).

Jalur Lipatan Sulawesi Barat (JLSB, Gambar 2.6) terletak tepat di sebelah

barat Sesar Palu-Koro, sebuah transform kerak besar dekstral dan setelah itu

sinistral, yang pada awalnya terjadi akibat pemekaran Laut Sulawesi saat Eosen.

Kompresi yang menerus menghasilkan struktur-struktur berarah barat dari JLSB,

sementara material mikro-kontinen yang awalnya berasal dari Lempeng Australia

(“material Australoid”) bergerak ke arah barat selama Miosen bertumbukan

dengan JLSB. Pada Pliosen awal, bagian timur dari batas peri-rift dari Cekungan

Makassar Utara membentuk komponen dasar laut dari JLSB. Benua mikro

Australia ini yang pertama adalah Buton, kemudian diikuti Tukang Besi. Arah

vektor tumbukan ini pada awalnya adalah utara-barat laut (dengan perhitungan

sekarang), tumbukan selanjutnya lebih berarah baratlaut. Variasi ini cukup

signifikan, mengingat arah stress yang datang (dari timur dan selatan)

mempengaruhi arah displacement kompresi yang sudah ada di JLSB.

Page 14: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 19

2.3 STRATIGRAFI REGIONAL

Berdasarkan Wahyono (2000 dalam Mangga dkk., 2004), geologi daerah

Bonehau dan sekitarnya didominasi oleh batuan beku dan metamorf, termasuk

batuan sedimen yang sedikit termetamorfkan (Gambar 2.7). Litologi

mengindikasikan adanya tektonik aktif di area ini.

Gambar 2.7. Peta Geologi regional (Wahyono, 2000 dalam Mangga dkk, 2004)

Batuan tertua di daerah penelitian adalah Formasi Latimojong, yang

berumur Kapur. Formasi ini terdiri dari batusabak, kuarsit, filit, batupasir malih,

batulanau malih dan pualam, setempat batulempung malih (Ratman &

Atmawinata, 1993). Formasi Latimojong ini terbentuk di lingkungan laut dalam

dan diendapkan tidak selaras di atas batuan dasar kompleks metamorf. Kompleks

Metamorf ini terdiri dari sekis mika, gneiss mika, filit, dan batusabak.

Menurut Djuri & Sudjatmiko (1975, dalam Sukamto & Simandjuntak,

1981), di Sulawesi bagian barat Formasi Latimojong merupakan sikuen flysch

yang berumur Kapur sampai Eosen . Pada Sulawesi barat bagian tengah, formasi

Page 15: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 20

diendapkan selama Kapur Akhir, berupa perselingan arenit berketebalan beberapa

sentimeter hingga puluhan sentimeter dengan batuserpih. Ciri-ciri turbidit terlihat

pada batuan ini. Lava andesit dan konglomerat hadir sebagai sisipan atau lensa.

Beberapa batuan pada formasi ini telah terubah menjadi batusabak, filit, dan

kuarsit. Formasi ini memiliki ketebalan lebih dari 1000 m dan diintrusi oleh dyke

dan stock batuan basaltik hingga granitik (Sukamto & Simandjuntak, 1981). Fosil

dari zaman Kapur terdapat dalam bongkah yang diperkirakan berasal dari formasi

ini (Brouwer, 1934 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Di atas Formasi Latimojong diendapkan Formasi Toraja (Tet) secara

tidak selaras. Menurut Ratman & Atmawinata (1993), formasi ini berumur Eosen

Tengah sampai Akhir. Komposisinya berupa perselingan batupasir kuarsa, serpih,

dan batulanau, bersisipan konglomerat kuarsa, batulempung karbonan,

batugamping, napal, batupasir hijau, batupasir gampingan dan batubara, setempat

dengan lapisan tipis resin dalam batulempung. Formasi Toraja mempunyai

Anggota Rantepao (Tetr) yang terdiri dari batugamping numulit yang berumur

Eosen Tengah – Akhir. Menurut Djuri & Sudjatmiko (1975 dalam Sukamto &

Simandjuntak, 1981) Formasi Toraja merupakan endapan laut dangkal, terdiri dari

perselingan batulempung merah dan quartzose arenite dengan sisipan

batugamping numulitik dan konglomerat. Pengendapannya menerus hingga

Oligosen. Coffield dkk (1993) berpendapat bahwa Formasi Toraja merupakan

endapan fluvial dan lacustrine dangkal.

Calvert dan Hall (2003) menaikkan status formasi Toraja menjadi Grup

Toraja, yang berumur Eosen Tengah hingga Oligosen Akhir. Grup ini terdiri dari

formasi Budungbudung dan Kalumpang. Formasi kalumpang merupakan batuan

sedimen laut marginal/ terrestrial yang terdiri dari sikuen shale, lapisan batubara

dan batupasir quartzose, diendapkan selama Eosen Tengah - Akhir. Formasi

Budungbudung diendapkan di lingkungan laut, berumur Eosen tengah hingga

Oligosen Akhir. Komposisinya berupa perselingan mudstone, batupasir quartzose,

batugamping dan sedikit konglomerat. Di sungai Karama Formasi Budungbudung

Page 16: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 21

memiliki posisi yang sejajar secara lateral sekaligus berada di atas Formasi

Kalumpang.

Formasi Toraja tertindih tak selaras oleh Formasi Sekala dan Batuan

Gunungapi Talaya. Aktivitas vulkanik ini kemudian diikuti oleh kehadiran

Formasi Sekala (Tmps) pada Miosen Tengah - Pliosen, yang dibentuk oleh

batupasir hijau, grewake, napal, batulempung dan tuf, sisipan lava bersusunan

andesit-basalt. Formasi sekala berhubungan menjemari dengan Batuan Gunungapi

Talaya (Batuan Vulkanik Talaya, Tmtv) yang terdiri dari breksi gunungapi, tuf

dan lava bersusunan andesit-basal, dengan sisipan batupasir dan napal, setempat

batubara. Batuan gunungapi Talaya mempunyai Anggota Tuf Beropa (Tmb)

yang terdiri dari perselingan tuf dan batupasir tufaan, dengan sisipan breksi

vulkanik dan batupasir wake (Ratman & Atmawinata, 1993).

Batuan Gunungapi Talaya menjari dengan Batuan Gunungapi Adang

(Tma) yang terutama bersusunan leusit-basalt, dan berhubungan menjemari

dengan Formasi Mamuju (Tmm) yang berumur Miosen Akhir. Formasi Mamuju

terdiri atas napal, batupasir gampingan, napal tufaan, dan batugamping pasiran

bersisipan tuf. Formasi ini mempunyai Anggota Tapalang (Tmmt) yang terdiri

dari batu gamping koral, batugamping bioklastik, dan napal yang banyak

mengandung moluska. Formasi Lariang terdiri dari batupasir gampingan dan

mikaan, batulempung, bersisipan kalkarenit, konglomerat dan tuf, umurnya

Miosen Akhir – Pliosen Awal.

Endapan termuda adalah aluvium (Qal) yang terdiri dari endapan endapan

sungai, pantai, dan antar gunung.

Page 17: Jbptitbpp Gdl Ferryyulia 33578 3 2009ta 2

Bab II Kerangka Geologi Regional

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 22

Gambar 2.8. Stratigrafi regional daerah penelitian.