Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO, 2014)
melaporkan jumlah kasus penderita kusta di dunia pada tiga bulan pertama di
tahun 2013 terdaftar sebanyak 189.018 kasus sementara jumlah kasus baru
yang terdeteksi pada tahun 2012 sebanyak 232.857 kasus.
Pada tahun 2012 Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL) Kemenkes RI melaporkan di Indonesia
terdapat jumlah kasus baru kusta sebanyak 23.169 kasus. Sulawesi Selatan
pada tahun 2013 dilaporkan terdapat 746 kasus, serta data Kota Makassar sendiri
terdapat 128 kasus baru pada tahun 2013.
Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan
permasalahan yang sangat kompleks dan permasalahan kemanusiaan seutuhnya.
Masalah yang dihadapi penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya
masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini masyarakat
berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah tersebut akan
mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena
masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna
sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan
kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat (Daili, 2005).
1
2
Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah
terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta
mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular
yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa
daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang
ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis
tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
sosial (Ratnawati, 2008).
Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi
dengan unit pelayanan kesehatan. Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini
sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam.
Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarganya, masyarakat dan
negara (Daili, 2005).
Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa penyakit mempunyai
kedudukan yang khusus diantara penyakit-penyakit lain. Hal ini disebabkan oleh
karena adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta).
Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan
cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Dari sudut pengalaman nilai budaya
sehubungan dengan upaya pengendalian leprophobia yang bermanifestasi sebagai
rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan yang rasional. Terdapat
kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah kesehatan ke
masalah sosial (Wicaksono, 2011).
3
Data dari Dinas Kesehatan Nagan Raya, menunjukkan bahwa penyakit
kusta cukup memerlukan perhatian khsusus dalam penanganannya. Hal ini
diperlihatkan oleh data terkait penyebaran penyakit kusta disetiap kecamatan yang
ada di kabupaten tersebut. Penyebab utama penyakit kusta adalah karena kondisi
kumuh lingkungan rumah maupun kebersihan diri saat bekerja. Angka penderita
penyakit kusta terbanyak terdapat dikecamatan kuala pesisir dari total jumlah
penyakit yang ada dikabupaten nagan raya (Dinkes Nagan Raya, 2015).
Berdasarkan hasil survey pendahuluan menunjukkan bahwa jumlah
penderita kusta yang ada di Kabupaten Nagan Raya pada tahun 2012 sebanyak 34
orang, pada tahun 2013 sebanyak 73 orang, tahun 2014 sebanyak 65 orang, dan
tahun 2015 sebanyak 47 orang. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa terjadi
penambahan penderita dari tahun ke tahun, namun puncak kenaikan jumlah
penderita terdapat di tahun 2013 yaitu sebanyak 73 orang. Dengan demikian
jumlah secara keseluruhan dari tahun 2012 sampai dengan 2015 sebanyak 219
orang penderita.
Puskesmas Padang Panyang merupakan Puskesmas yang berada di
wilayah Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya. Hasil survey awal
terhadap penduduk di daerah yang menjadi lokasi penelitian, menunjukkan bahwa
Puskesmas ini membawahi 12 Desa dengan total jumlah penduduk sebanyak
11.582 jiwa. Selanjutnya, jumlah kunjungan pasien selama Januari sampai dengan
Desember 2014 sebanyak 14.127 pasien. Sedangkan periode Januari sampai
dengan Oktober 2015 sebanyak 11.624 orang. Dari jumlah tersebut, untuk jumlah
penderita penyakit kusta itu sendiri adalah sebanyak 12 orang. Dengan rincian 5
4
orang pada Tahun 2014 dan 7 orang pada Tahun 2015. Para Penderita berada di
Desa LT. Ben, Desa Jati Rejo, Kuala Trang, dan Padang Panyang.
Sejalan dengan penjelasan pada uraian tersebut, maka peneliti pada
kesempatan ini merasa tertarik untuk melakukan kajian dan penelitian
tentang“Analisis Kejadian Penyakit Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Padang
Panyang Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya”.
1.2 Rumusan Masalah
Sejalan dengan permasalahan latar belakang yang telah dijabarkan di atas,
maka dapat dirumuskan masalahnya bahwa bagaimanakah analisis kejadian
penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang Kecamatan Kuala
Pesisir Kabupaten Nagan Raya?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui analisis kejadian
penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang Kecamatan Kuala
Pesisir Kabupaten Nagan Raya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan kebersihan individu (personal hygiene) dengan
kejadian penyakit kusta.
2. Untuk mengetahui hubungan riwayat kontak dengan kejadian penyakit
kusta.
3. Untuk mengetahui hubungan lingkungan dengan kejadian penyakit kusta.
5
4. Untuk mengetahui hubungan solusi dan kebijakan dengan kejadian penyakit
kusta.
5. Untuk mengetahui kejadian penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas
Padang Panyang.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Sebagai wahana bagi peneliti dalam penerapan dan pengembangan ilmu
pengetahuan yang dimiliki dengan kenyataan yang ada di lapangan.
2. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang“Analisis
Kejadian Penyakit Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang
Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya”.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berisikan
tentang Analisis Kejadian Penyakit Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas
Padang Panyang Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya.
2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain, yang akan melakukan penelitian
berkaitan dengan penelitian ini.
6
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Kusta
2.1.1 Definisi Penyakit Kusta
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard
Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus
Hansen (Daili, 2005).
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe
penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan
atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak
ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit,
saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di
masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu
mudah, seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan
dengan kusta (Daili, 2005).
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit
dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian
anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
7
Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya
panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien
mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Tanda-tanda seseorang
menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada
bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian
raut muka, dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang
tidak selalu tampak. Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang
menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka
ditekan dengan jari tidak terasa sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di
daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak
memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan
penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki
tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita (Daili, 2005).
Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah
bilamana ada bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa,
permukaan bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh
rambut/bulu, bercak pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan saraf tepi
pada satu tempat, hasil pemeriksaan bakteriologis negatif (-), Tipe kusta ini
tidak menular. Sedangkan Kusta tipe Multi Bacillary atau disebut juga kusta
basah adalah bilamana bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau
merata diseluruh kulit badan, terjadi penebalan dan pembengkakan pada
bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat, kerusakan banyak saraf tepi dan
8
hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe seperti ini sangat mudah
menular (Hasibuan, 2000).
2.1.2 Sejarah
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal
oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India. Pada 1995, Penyakit
kusta atau lepra menjadi salah satu penyakit tertua yang hingga kini awet
bertahan di dunia. Dari catatan yang ditemukan di India, penderita kusta sudah
ditemukan sejak tahun 600 Sebelum Masehi. Dalam buku City of Joy (Negeri
Bahagia) karya Dominique, mantan reporter untuk sejumlah penerbitan di
Prancis pada dekade 1960-an hingga 1970-an, kusta menjadi penyakit yang
'populer' dan menjadi bagian dari kehidupan miskin di Calcutta, India. Namun,
kuman penyebab kusta kali pertama baru ditemukan pada tahun 1873 oleh
Armauer Hansen di Norwegia. Karena itu penyakit ini juga sering disebut
penyakit Hansen. Saat ini penyakit kusta banyak terdapat di Benua Afrika,
Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan (Amiruddin, 2012).
Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi
dalam 3 (tiga) zaman yaitu zaman purbakala, zaman pertengahan dan zaman
moderen. Pada zaman purbakala karena belum ditemukan obat yang sesuai
untuk pengobatan penderita kusta, maka penderita tersebut telah terjadi
pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu,
disamping itu masyarakat menjauhi mereka karena merasa jijik. Pada zaman
pertengan penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksa tinggal di
9
Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta seumur hidup (Amiruddin,
2012).
1) Zaman Purbakala
Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat
diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah
kusta yang sudah dikenal didalam kitab Weda, di Tiongkok 600 SM, di
Nesopotamia 400 SM. Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi
pengasingan secara spontan penderita merasa rendah diri dan malu,
disamping masyarakat menjauhi penderita karena merasa jijik dan takut
(Amiruddin, 2012).
2) Zaman Pertengahan
Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan
ketatanegaraan dan sistem feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan
masyarakat sangat patuh dan takut terhadap penguasa dan hak azasi manusia
tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada penderita kusta
yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab penyakit
dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita kusta diasingkan lebih
ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria/Koloni Perkampungan penderita
kusta untuk seumur hidup (Amiruddin, 2012).
3) Zaman Modern.
Menurut Amiruddin (2012) dengan ditemukannya kuman kusta oleh
G.H. Hansen pada tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk
10
mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya. Pengobatan yang
efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan
diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri
penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi
kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat
pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah mempelopori perubahan
sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap
dilakukan dengan pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan selanjutnya
adalah sebagai berikut :
a) Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai pengobatan penderita kusta.
b) Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di
puskesmas.
c) Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat Kombinasi
Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan rekomendasi World Health
Organisation (Depkes RI, 2006).
2.1.3 Etiologi (Penyebab) Penyakit Kusta
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobactorium Leprae dimana untuk
pertama kali ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen pada tahun 1973.
Mycobactorium Leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar
pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari system retikulo endothelial. Waktu
pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam
kondisi tropis) kuman kusta dari secret nasal dapat bertahan sampai 9 hari
11
(Desikan 1977, Hasting, 1985). Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta
pada tikus adalah pada suhu 27-30° C (Departemen Kesehatan RI, 2006).
2.1.4 Tempat Perkembangbiakan Bakteri Mycobactorium leprae
Mycobactorium leprae adalah basil obligat intraseluler yang terutama
dapat berkembang biak di dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit. Basil ini
dapat ditemukan dimana-mana, misalnya di dalam tanah, air, udara, dan pada
manusia (terdapat di permukaan kulit, rongga hidung, dan tenggorokan). Basil ini
dapat berkembang biak di dalam otot polos, otot erektor pili, otot dan endotel
kapiler, otot di skrotumm, dan otot iris di mata. Basil ini juga dapat ditemukan
dalam folikel rambut, kelenjar keringat, sekret hidung, mukosa hidung, dan daerah
erosi atau ulkus pada penderita tipeboderline dan lepromatous. Dan sampai saat
ini yang diketahui bahwa satu-satunya hospes kuman M. leprae adalah manusia.
Pada seorang penderita kusta, kuman ini dapat diisolasi dari kerokan kulit, selaput
lendeir (terutama hidung) dan endotel pembuluh darah.
M. leprae merupakan basil Gram positif karena sitoplasma basil ini
mempunyai struktur yang sama dengan gram positif yang lain, yaitu mengandung
DNA dan RNA dan berkembang biak secara binary fision dan membutuhkan
waktu 11-13 hari.
Beberapa kriteria identifikasi, ada 5 sifat khas M. leprae, yakni:
1. M. leprae merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakan pada
media buatan.
2. Sifat tahan asam M. leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
12
3. M.leprae merupakan satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa
(D-Dihydroxyphenylalanin).
4. M.leprae adalah satu-satunya spesies mikrobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer.
5. Ektrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen-komponen
antigenik yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit
positif pada penderita tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.
2.1.5 Epidemiologi Penyakit Kusta
1. Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus
terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham
penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja (Amiruddin, 2012).
2. Epidemiologi Kusta di Indonesia
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang
kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini
disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-
pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia
diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat.
Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga
dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan
agamanya dan berdagang.
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di
Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini
13
membuat Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai
eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh World Health Organisation
yaitu tahun 2000 (Amiruddin, 2012).
2.1.6 Gejala dan Bentuk-bentuk Penyakit Kusta
a. Gejala Penyakit Kusta
Gejala dan tanda kusta sukar diamati dan muncul sangat lambat. Beberapa
di antaranya adalah:
1. Mati rasa. Tidak bisa merasakan perubahan suhu hingga kehilangan sensasi
sentuhan dan rasa sakit pada kulit.
2. Pembesaran pembuluh darah, biasanya di sekitar siku dan lutut.
3. Perubahan bentuk atau kelainan pada wajah.
4. Hidung tersumbat atau terjadi mimisan.
5. Muncul luka tapi tidak terasa sakit.
6. Kerusakan mata. Mata menjadi kering dan jarang mengedip biasanya
dirasakan sebelum muncul tukak berukuran besar.
7. Lemah otot atau kelumpuhan.
8. Hilangnya jari jemari.
b. Klasifikasi Penyakit Kusta
1) Jenis klasifikasi yang umum
a) Klasifikasi Internasional (1953)
Indeterminate (I)
Tuberkuloid (T)
Borderline-Dimorphous (B)
14
Lepromatosa (L)
b) Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).
Tuberkoloid (TT)
Boderline tubercoloid (BT)
Mid-berderline (BB)
Borderline lepromatous (BL)
Lepromatosa (LL)
c) Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan
modifikasi WHO (1988).
Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif
menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi
Madrid.
Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria
Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta
dengan BTA positif.
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan
sebagai berikut :
Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB
apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini.
Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru
berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.
15
2.1.7 Penyebab Penyakit Kusta
Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana
microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan
asam (BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan
tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu
dinamakan sebagai basil "tahan asam". Selain banyak membentuk safrifit, terdapat
juga golongan organisme patogen (misalnya Mycrobacterium tuberculosis,
Mycrobakterium leprae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan
menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion. Mycobacterium leprae belum dapat
dikultur pada laboratorium.
Kuman Mycobacterium Leprae menular kepada manusia melalui kontak
langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman membelah
dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun.
Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul
antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota
tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
2.1.8 Jenis – Jenis / Tipe Penyakit Kusta
1. Jenis Pausi Bacillary
16
Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah bilamana
ada bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan
bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu, bercak
pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan saraf tepi pada satu tempat, hasil
pemeriksaan bakteriologis negatif (-), Tipe kusta ini tidak menular.
2. Jenis Multi Bacillary
Kusta tipe Multi Bacillary atau disebut juga kusta basah adalah bilamana
bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan,
terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5
tempat, kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+).
Tipe seperti ini sangat mudah menular.
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai
kulit, saraf, dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat
dikelompokkan lagi menjadi kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta
lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline
leprosy).
1. Kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), ditandai dengan satu atau lebih
hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang tidak berasa (anestetik).
2. Kusta lepormatosa (penyakit Hansen multibasiler), dihubungkan dengan lesi,
nodul, plak kulit simetris, dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada
mukosa hidung yang menyebabkan penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan
epistaksis (hidung berdarah) namun pendeteksian terhadap kerusakan saraf
sering kali terlambat.
17
3. Kusta multibasiler (borderline leprosy), dengan tingkat keparahan yang sedang,
adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta
tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan; bagian yang
besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan
kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat
menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid.
2.1.9 Cara Penularan
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas,
penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang
lama tampaknya sangat berperan dalam penularan kusta (Entjang, 2004).
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda
tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita,
yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan
penyakit kusta adalah:
1. Melalui sekresi hidung, basil yang berasal dari sekresi hidung penderita yang
sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus di bawah umur 15
tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan
adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Penularan terjadi apabila Mycobacterium yang solid (hidup) keluar dari
tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara
pasti bagaimana cara penularan dari bakteri Mycobacterium yang menyebabkan
penyakit kusta ini, secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak
18
yang intim dan lama dengan penderita. Yang jelas seorang penderita yang sudah
minum obat tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain.
Para ahli mengatakan bahwa penyakit Kusta dapat ditularkan melalui
saluran pernafasan dan juga melalui kulit. Walau tidak terdapat hukum-hukum
pasti penularan Kusta ini, perlu diketahui bahwa jalan keluar dari kuman Kusta ini
adalah melalui selaput lendir hidung penderita. Namun ada beberapa artikel yang
menyatakan bahwa penularan Kusta ini melalui sekret hidung penderita yang telah
mengering dimana basil dapat hidup 2 -7 hari.
Cara penularan lain yang umumnya diungkapkan adalah melalui kulit ke
kulit, namun dengan syarat tertentu. Karena tidak semua sentuhan kulit ke kulit itu
dapat menyebabkan penularan.Sampai saat ini masih belum ditemukan vaksinasi
terhadap Kusta, namun berdasarkan beberapa sumber, dikatakan bahwa apabila
kuman Kusta tersebut masih utuh bentuknya maka memiliki kemungkinan
penularan lebih besar daripada bentuk kuman yang telah hancur akibat
pengobatan. Sehingga, perlu ditekankan bahwa pengobatan merupakan jalan
untuk mencegah penularan penyakit Kusta ini.
Tetapi Pengaruh masuknya M. Leprae terhadap manusia sehingga timbul
penyakit kusta bergantung beberapa faktor yaitu:
1. Faktor Imunitas/Daya Tahan Tubuh Seseorang
Sebagian besar (±95%) manusia kebal terhadap penyakit kusta.
2. Faktor Sumber Penularan
Sumber penularan pnderita kusta tipe MB yg tidak diobati atau tak berobat
teratur.
19
3. Faktor Kuman Kusta
Kemampuan hidup M. leprae pada suhu yang rendah. Diluar tubuh manusia
hidup antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau keadaan cuaca yang lembab.
2.1.10 Ciri-Ciri Penyakit Kusta
Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit
mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa
kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa karena
kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya
waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh
dalam jangka waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air
yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain
seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta
dua kali lebih tinggi dari wanita (Entjang, 2004).
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kusta
2.2.1 Kebersihan Individu (Personal Hygiene)
Menurut teori yang dikemukakan oleh Tietjen (2004), cuci tangan adalah
proses membuang kotoran dan debu secara mekanis dari kulit kedua belah tangan
dengan memakai sabun dan air. Kesehatan dan kebersihan dapat mengurangi
20
jumlah mikroorganisme penyebab penyakit pada kedua tangan dan lengan serta
meminimalisasi kontaminasi silang.
Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Entjang (2004)
penularan penyakit menurut sebagian ahli melalui saluran pernafasan dan kulit
(kontak langsung yang lama dan erat), kuman mencapai permukaan kulit melalui
folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga melalui air susu sehingga penyakit
kusta dapat dicegah dengan perbaikan personal hygiene.
Perilaku sehat adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas dasar
kesadaran yang mana perilaku atau kegiatan tersebut berkaitan dengan upaya
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, serta mencangkup perilaku dalam
pencegahan menghindari dari berbagai macam penyakit, penyebab penyakit atau
masalah kesehatan untuk meningkatkan status kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
2.2.2 Riwayat Kontak
Menurut Entjang (2004), penularan penyakit menurut sebagian ahli
melalui saluran pernafasan dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat),
kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan
diduga melalui air susu sehingga penyakit kusta dapat dicegah dengan perbaikan
personal hygiene.
Hal ini terjadi karena kontak merupakan suatu media untuk menularkan
penyakit kusta ini dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk
kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu,
Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan. Dua pintu keluar dari
M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung.
21
Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah
organisme di dermis kulit.
2.2.3 Lingkungan
Daili (2005), mengatakan bahwa lingkungan merupakan faktor
penyumbang terbesar kejadian penyakit, kemudian perilaku, pelayanan kesehatan
dan genetik. Lingkungan dapat menjadi tempat berkembangbiaknya berbagai
bakteri, termasuk bakteri kusta. Kondisi rumah merupakan bagian dari lingkungan
fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan individu dan masyarakat. Rumah yang
menjadi tempat tinggal harus memenuhi syarat kesehatan seperti ventilasi rumah
yang baik, kepadatan rumah yang sesuai dan lantai rumah yang terbuat bukan dari
tanah.
Report of the International Leprosy Association Technical Forum di
Paris pada 22-28 Februari 2002, dilaporkan adanya Mycrobacterium leprae pada
debu, air untuk mandi dan mencuci di rumah penderita. Perlunya kondisi fisik
rumah yang memenuhi syarat kesehatan agar dapat mencegah penyebaran
Mycrobacterium leprae di lingkungan. Kondisi fisik rumah mencakup jenis bahan
bangunan rumah seperti jenis dinding dan lantai. Jenis bahan bangunan rumah
akan mempengaruhi jumlah debu dalam rumah, Mycrobacterium leprae juga
dapat bertahan hidup ditanah hingga 46 hari. Kepadatan hunian juga
menjadi faktor risiko penularan penyakit kusta, hal ini disebabkan karena
penderita akan banyak kontak dengan non penderita sehingga akan
menyebabkan menularnya penyakit kusta ke anggota keluarga yang lain
(Amiruddin, 2012).
22
2.3 Kerangka Teori
Berdasarkan teori dari Notoatmodjo (2007), yang menyatakan bahwa
beberapa faktor-faktor yang hubungan dengan penyakit kusta. Untuk lebih jelas
dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar: 2.1 Kerangka Teori
- Kebersihan Individu ( Personal Hygiene)- Riwayat Kontak- Lingkungan- Solusi dan Kebijakan
Kejadian Penyakit Kusta
23
2.4 Alur Pikir
Gambar 2.2 Alur Pikir
PermasalahanTerdapat 12 orang penderita penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya
Variabel Independen
- Kebersihan Individu (Personal Hygiene)- Riwayat Kontak- Lingkungan - Solusi dan Kebijakan
Variabel Dependen
Kejadian Penyakit Kusta
Hasil PenelitanAnalisis penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya
Metode Wawancara
24
BAB IIIMETODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Pendekatan fenomenologi merupakan tradisi penelitian kualitatif
yang berakar pada filosofi dan psikologi, dan berfokus pada pengalaman hidup
manusia (sosiologi). Pendekatan fenomenologi hampir serupa dengan pendekatan
hermeneutics yang menggunakan pengalaman hidup sebagai alat untuk
memahami secara lebih baik tentang sosial budaya khususunya dalam bidang
kesehatan (Notoadmadjo, 2007).
Penelitian ini akan berdiskusi tentang suatu objek kajian dangan
memahami inti pengalaman dari suatu fenomena. Peneliti akan mengkaji secara
mendalam isu sentral dari struktur utama suatu objek kajian dan selalu bertanya
"apa pengalaman utama yang akan dijelaskan informan tentang subjek kajian
penelitian". Peneliti memulai kajiannya dengan ide filosofikal yang
menggambarkan tema utama. Translasi dilakukan dengan memasuki wawasan
persepsi informan, melihat bagaimana mereka melalui suatu pengalaman,
kehidupan dan memperlihatkan fenomena serta mencari makna dari pengalaman
informan (Notoadmadjo, 2007).
25
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang
Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh.
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian pelaksanaannya direncanakan mulai tanggal 17 Februari
sampai dengan 03 Maret 2016.
3.2.3 Informan Penelitian
Informan yang digunakan dalam penelitan ini sebagai berikut :
1. Informan Kunci (Petugas Kesehatan Bidang Penyakit Kusta) 1 orang
2. Informan Pokok (Penderita) 3 orang
3. Informan Utama (Kepala Puskesmas) 1 orang
Total 5 orang
Jadi total keseluruhan informan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini
adalah sebanyak 5 orang tokoh dari Instansi maupun masyarakat.
3.3 Jenis dan Sumber Data
1. Data Primer.
Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara
terkait dengan analisis penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas
Pandang Panyang Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya
24
26
selama Tahun 2015 Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
instrumen wawancara.
2. Data Sekunder.
Data sekunder adalah data yang didapatkan pada pihak kedua yaitu
Puskesmas Padang Panyang dan Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 3 macam teknik pengumpulan
data, lebih jelasnya dapat dilihat pada diuraikan berikut:
a) Pengamatan (Observasi)
Menurut Sugiono (2010), observasi atau pengamatan langsung merupakan
salah satu teknik pengumpulan data dimana peneliti terjun langsung ke lapangan
sebagai partisipan atau nonpartisipan. Dengan teknik observasi, peneliti dapat
memperoleh gambaran langsung dan mengetahui keadaan yang sesungguhnya
yang terjadi di lapangan.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti akan mengobservasi hal-hal atau
unsur-unsur yang berkaitan dengan analisis penyakit kusta di Wilayah Kerja
Puskesmas Pandang Panyang Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya.
b) Wawancara Mendalam (Indept interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, yang dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) atau yang mengajukan
pertanyaan, dan yang diwawancarai (informan) atau yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu (Moleong, 2006). Informan adalah orang yang memberikan
27
informasi dalam pengertian tentang akte kelahiran, maka informan dapat
dikatakan sama dengan responden apabila pemberian keterangannya karena
dipancing oleh pihak peneliti. Istilah-istilah informan ini banyak digunakan dalam
penelitian kualitatif.
Sejalan dengan pernyataan di atas, maka yang akan peneliti wawancarai
adalah menyangkut dengan analisis penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas
Pandang Panyang Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya. Informan
yang akan di wawancara ini ditetapkan secara sengaja (Purposive Sampling).
Purposive Sampling adalah prosedur pengambilan atau penetapan orang atau
informan yang akan diwawancarai secara sengaja.
Perihal yang akan diwawancarai seperti bagaimanakah analisis penyakit
kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Pandang Panyang Kecamatan Kuala Pesisir
Kabupaten Nagan Raya.
c) Studi Pustaka dan Dokumentasi
Studi pustaka dapat diartikan sebagai teknik pengumpulan data dengan
menggunakan bahan-bahan yang telah tersedia pada lembaga tertentu baik berupa
literatur, Jurnal harian, maupun laporan kegiatan ilmiah dan lain sebagainya
(Sugiono, 2010).
Dokumentasi adalah kegiatan mengaabadikan hasil kegiatan penelitian
dengan cara mengambil dan menyimpan kegiatan hasil penelitian yang telah
dilakukan. Dengan alasan dapat memperkuat setiap pengumpan data yang menjadi
fokus dalam kegiatan tersebut.
28
3.5 Definisi Istilah
Tabel 3.1 Variabel Penelitian
NoIstitilah
Independen
Definisi Istilah Cara Ukur Alat Ukur Informan
1.
Kebersihan Individu (Personal Hygiene)
Kebersihan dari setiap orang untuk menjaga keseahatan
Wawancara Pedoman Wawancara
Petugas Penderita
2.
Riwayat Kontak
kontak langsung yang lama dan erat (kulit, nafas, keringat dan lain-lain)
Wawancara Pedoman Wawancara
Petugas Penderita
3. Lingkungan Kondisi tempat tinggal para
pendirita. Wawancara Pedoman Wawancara
Petugas Penderita
4. Solusi dan Kebijakan
Program Penanganan dan pencegahan penyakit kusta Wawancara Pedoman
WawancaraPetugas Penderita
No Istilah Dependen Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Informan
1.
Kejadian Penyakit Kusta
Terjadinya penyakit kusta di daerah penelitian Wawancara Pedoman
Wawancara
Petugas MasyarakatPenderita
3.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
3.6.1 Pengolahan Data
Setelah semua data di kumpulkan di lakukan pengolahan data dengan cara:
a. Editing
Data yang telah dikumpulkan diperiksa kebenaran dan kelengkapannya.
b. Coding
Data yang telah diedit, kemudian dirubah dalam bentuk kode atau angka, nama
respoden diubah menjadi kode responden.
c. Transfering
29
Data yang telah diberi kode, kemudian disusun secara berurutan ke dalam
bentuk tabel (Budiarto, 2002).
d) Tabulating
Tabulating, yaitu pengelompokan responden berdasarkan skategori yang telah
dibuat berdasarkan kategori yang telah dibuat sesuai variabel dan sub variabel
yang diukur dan selanjutnya dimasukkan kedalam tabel distribusi frekuensi.
3.6.2 Teknik Analisis Data
Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif. Analisis
data secara induktif ini digunakan karena beberapa alasan. Pertama, proses
induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak sebagaimana yang
terdapat dalam data. Kedua, analisis induktif lebih dapat membuat hubungan
peneliti dengan informan menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akuntabel. Ketiga,
analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat
keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya.
Keempat, analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang
mempertajam hubungan-hubungan. Kelima, analisis demikian dapat
memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik
(Moleong, 2006).
Miles dan Huberman (2007), menambahkan bahwa analisa data dalam
penelitian secara teknis dilaksanakan secara induktif yaitu analisa yang dimulai:
reduksi data,analisa data, verifikasi data, dan sajian data.
30
Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif, dimana
pembahasan penelitian serta hasilnya diuraikan melalui kata-kata berdasarkan data
empiris yang diperoleh. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data yang
bersifat kualitati, maka analisisdata yang digunakan non statistik (Miles dan
Huberman, 2007).
Analisis data dalam penelitian kualitatif berlangsung secara interaktif,
dimana pada setiap tahapan kegiatan tidak berjalan sendiri-sendiri. meskipun
tahapan penelitian dilakukan sesuai dengan kegiatan yang direncanakan, akan
tetapi kegiatan ini harus dilakukan secara berulang antara kegiatan pengumpulan
data, reduksi data, penyajian data, serta verifikasi atau penarikan suatu
kesimpulan.
Masih Menurut Miles dan Huberman (2007), untuk menganalisis data
dalam penelitian ini digunakan langkah-langkah atau alur yang terjadi bersamaan
yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan
atau alur verifikasi data. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada uraian berikut
ini:
a. Reduksi Data
Hasil penelitian dari lapangan sebagai bahan mentah (sebelum diolah)
dirangkum, direduksi, kemudian disusun agar lebih sistematis, yang difokuskan
pada hasil-hasil penelitian yang disusun secara sistematis untuk mempermudah
peneliti dalam mencari kembali data yang diperoleh apabila diperlukan kembali.
Berdasarkan data-data tersebut, peneliti membuat catatan atau rangkuman yang
disusun secara sistematis.
31
b. Penyajian Data
Penyajian data adalah pengumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Miles dan
Huberman, 2007).
c. Verifikasi Data dan Penarikan Kesimpulan
Verifikasi data adalah sebagian dari suatu kegiatan utuh, artiya makna–
makna yang muncul dari data telah disajikan dan diuji kebenarannya,
kekokohannya dan kecocokannya (Miles dan Huberman, 2007). Penarikan
kesimpulan berdasarkan pada pemahaman terhadap data yang disajikan dan dibuat
dalam pernyataan singkat dan mudah dipahami dengan mengacu pada pokok
permasalahan yang diteliti.
Untuk lebih jelasnya terkait dengan proses analisis interaktif dapat
digambarkan dalam skema berikut ini :
Gambar 3.1 Analisis Data Kualitatif (Miles dan Hubermen, 2007).
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian data
Penarikan kesimpulan/verifikasi
32
3.7 Pengujian Kredibilitas Data (Validitas)
Pengujian kredibilitas data dapat diartikan sebagai kepercayaan terhadap
data hasil penelitian antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan,
peningkatan ketekunan dalam penelitian, dengan cross chek melalui daftar
pengamatan, dan dengan informan yang lainnya. Selain itu, juga dapat
menggunakan triangulasi. Uji ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang
lebih mendalam. Dengan demikian nantinya penelitian ini dapat lebih dipercaya
(Sugiono 2010), Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Keabsahan atas hasil-hasil penelitian dilakukan melalui (Sugiono 2010) :
1) Meningkatkan kualitas keterlibatan peneliti dalam kegiatan penelitian di
lapangan;
2) Pengamatan secara terus-menerus.
3) Pelibatan teman sejawat untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik
dalam proses penelitian, menggunakan bahan refernsi untuk meningkatkan nilai
kepercayaan akan kebenaran data yang diperoleh dalam bentuk rekaman,
tulisan, artikel, majalah dan sumber lainnya.
4) Member chek/pengecekan terhadap hasil-hasil yang diperoleh guna perbaikan
dan tambahan dengan kemungkinan kekeliruan atau kesalahan dalam
memberikan data yang dibutuhkan peneliti.
5) Triangulasi, baik metode dan sumber untuk mengetahui kebenaran data dengan
membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain, dilakukan
untuk mempertajam tilikan kita terhadap hubungan sejumlah data.
Adapun pengujian kredibilitas data adalah sebagai berikut :
33
a. Perpanjangan Pengamatan
Perpanjangan pengamatan perlu dilakukan karena berdasarkan pengamatan
yang telah dilakukan. dirasakan data yang diperoleh kurang memadai. Menurut
(Moleong, 2006) perpanjangan pengamatan berarti peneliti tinggal di lapangan
penelitian sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai.
b. Tingkat Ketekunan
Peningkatan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih
mendalam untuk memperoleh kepastian data.
c. Triangulasi
Triangulasi merupakan metode dan sumber untuk mengetahui kebenaran
data dengan membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain,
dilakukan untuk mempertajam tilikan kita terhadap hubungan sejumlah data
(Sugiono, 2010).
a) Triangulasi Sumber Data
Pada triangulasi sumber data, data dicek kredibilitasnya dari berbagai
sumber data yang berbeda dengan teknik yang sama. Sumber data antara bawahan
dan atasan dan teman. Analisis triangulasi sumber data ditunjukkan pada gambar
berikut :
Pemimpin Teman
Masyarakat
Gambar 3.2 Triangulasi Sumber Data.
34
Berdasarkan keterangan Gambar 3.2 di atas, bahwa dalam memperoleh
data dari sumber data melalui kombinasi maupun hubungan antara pemimpin
dalam hal ini adalah kepala puskesmas dan para pimpinan daerah maupun
masyarakat sebagai pihak yang menjadi mayoritas dalam memperoleh informasi,
serta teman yang dapat dijadikan sumber pendukung dalam memperoleh data yang
dinginkan. Sehingga ketiga sumber data ini berkaitan dan saling berhubungan
antara satu dengan yang lainnya untuk kesempurnaan sebuah data yang dinginkan.
b) Triangulasi Teknik Pengumpulan Data
Pada triangulasi teknik Pengumpulan data, data dicek kredibilitasnya
dengan menggunakan berbagai teknik yang berbeda dengan sumber data yang
sama. berbeda dengan teknik yang sama. sumber data antara bawahan dan atasan
dan teman. Triangulasi teknik pengumpulan data dapat dilihat pada gambar di
bawah ini :
Gambar 3.3 Triangulasi Teknik Pengumpulan Sumber Data.
Gambar 3.3 di atas menunjukkan bahwa dalam pengumpulan data di
lakukan melalui tiga kombinasi, yakni melalui observasi, wawancara, dan Studi
Pustaka. Observasi guna mengetahui secara langsung kondisi di lapangan dan
dipertegas oleh hasil wawancara terhadap responden terkait permasalahan yang
ada, dari data yang ada lalu diperjelas oleh teori para ahli melalui studi pustaka
Observasi Wawancara
Studi Pustaka
35
tersebut. dengan demikian maka akan diperoleh suatu kesimpulan yang utuh
terhadap data yang telah dikumpulkan.
c) Triangulasi Waktu Pengumpulan Data
Pada triangulasi waktu pengumpulan data, data dicek kredibilitasnya
dengan waktu yang berbeda-beda namun dengan sumber data dan teknik yang
sama. Triangulasi menjadilan data yang diperoleh dalam penelitian menjadi lebih
konsisten, tuntas dan pasti, serta meningkatkan kekuatan data (Sugiono, 2010).
Triangulasi waktu pengumpulan data dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 3.4 Triangulasi Waktu Pengumpulan Data.
a. Pembandingan Data Pengamatan
a) Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.
Sumber data berasal dari wawancara, dibandingkan antara pengamatan di
lapangan seperti pelaksanaan program secara nyata dan hasil wawancara
dengan informan itu sendiri. Tujuannya adalah untuk menemukan kesamaan
dalam mengungkap suatu permasalahan.
b) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi.
Pagi Siang
Sore
36
Dalam teknik ini membandingkan antara responden A dan responden B
dengan menggunakan pedoman wawancara yang sama, tujuannya adalah
agar hasil penelitian sesuai dengan fokus penelitian.
d. Transferabilitas
Bahwa hasil penelitian dapat diaplikasikan oleh pemakai penelitian,
penelitian ini memperoleh tingkat yang tinggi, dan jelas, sehingga para pembaca
memproleh gambaran dan pemahaman yang jelas tentang kontek dan fokus
penelitian.
e. Dependabilitas dan Conformabilitas
Dilakukan secara audit trail/berupa komunikasi dengan pembimbing dan
pakar lain dalam bidangnya guna membicarakan permasalahan yang dihadapi
dalam penelitian berkaitan dengan data yang harus dikumpulkan.
Cara ini dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan kefektifan data yang
telah dikumpulkan, agar pada saat dianalisis memiliki ketepatan dan kebenaran
yang sesungguhnya. Sehingga dalam proses analisis dan pengolahan data dapat
berjalan sesuai harapan.
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang
4.1.1 Keadaan Geografis
Puskesmas Padang Panyang terletak di Gampong Padang Panyang
Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya, dengan luas wilayah 15km x 7
km (105 km2) atau seluas 10.500 hektar. Secara geografi wilayah kerja puskesmas
padang panyang merupakan daerah tropis dan daerah pesisir. Adapun batas-batas
wilayah kerja puskesmas padang panyang adalah :
1. Sebelah utara berbatasan dengan Wilayah Kerja Puskesmas Padang Rubek.
2. Sebelah Selatan Berbatasan Dengan Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Jaya.
3. Sebelah Timur Berbatasan dengan Wilayah Kerja Puskesmas Ujong Fatihah.
4. Sebelah barat berbatasan dengan Lautan Hindia.
4.1.2 Sarana dan Prasarana
Puskesmas Padang Panyang terdiri dari dua Puskesmas Pembantu (Pustu)
diantaranya :
1. Pustu Kubang Gajah
38
2. Pustu Kuala Tuha
4.1.3 Keadaan Penduduk
Keadaan penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang terbagi
ke dalam beberapa gampong. Puskesmas Padang Panyang membawahi 12
Gampong, Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian Tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1.Jumlah Penduduk diWilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang, Tahun 2015
No Nama Gampong Jumlah Penduduk Lk Pr Jumlah
KK
Jumlah Penduduk
Miskin
Jumlah KK
Miskin1 Kuala Trang 1.480 730 750 450 340 1502 Arongan 1.008 492 516 243 390 573 Purwodadi 1.419 710 709 437 392 1414 Purwosari 1.044 525 519 275 175 495 Jatirejo 920 453 467 250 94 246 Lueng T. Ben 515 256 259 136 105 387 Langkak 1.370 705 665 397 973 2638 Kuala Tuha 569 312 257 278 323 1259 Kubang Gajah 906 439 467 457 213 18510 Padang Panyang 1.233 618 615 470 847 7811 Lueng Mane 867 430 437 226 223 9012 Cot Rambong 464 239 225 133 258 60
11.795 5.909 5.886 3752 4.333 1.260Sumber : Data Monografi Puskesmas Padang Panyang, Tahun 2015.
Berdasarkan penjelasan pada Tabel 4.1 di atas, dapat diketahui bahwa
jumlah penduduk di wilayah kerja puskesmas padang panyang berjumlah 11.795
jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 5.909 jiwa dan perempuan sebanyak 5.886
jiwa. Dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 3.752 KK, sedangkan jumlah
penduduk miskin sebanyak 4.333 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 1.260.
Jika dilihat dari jumlah penduduk terbanyak terdapat di Gampong Langkak
dengan jumlah penduduk banyak 1.370 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk terkecil
terdapat di Gampong Cot Rambong sebanyak 464 jiwa.
37
39
4.1.4 Prevalensi Kasus dan Penemuan Kasus Baru Kusta
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah sangat kompleks, bukan hanya dari segi medis, namun meluas hingga
masalah sosial, ekonomi, budaya dan ketahanan nasional. Penemuan penderita
kusta baru secara dini masih rendah, proporsi penderita kusta yang masih tinggi
merupakan masalah yang masih dihadapi di puskesmas pandang panyang.
Data Tahun 2015 menunjukkan masih ada penemuan kasus baru dan
mengobati penderita kusta. Puskesmas Padang Panyang termasuk dalam
Puskesmas dengan High Endemic Kasus Kusta. Dengan prevalensi 4,40/10.000
penduduk, Case Detection Rate (CDR) 44,03/100.000 penduduk.
Di sisi lain, pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara sengaja (purposive sampling). Jadi peneliti tidak menilai positif maupun
negatif jawaban yang diberikan oleh . informan yang ditentukan oleh peneliti
merupakan orang-orang yang menurut peneliti mampu mewakili dalam pemberian
informasi lengkap yang dibutuhkan oleh peneliti.
Tabel 4.2. Informan PenelitianNo.
KodeInforman Pendidikan
1. IU1 S1 Kedokteran2. IU2 D-III Keperawatan3. IP1 SMA4. IP2 SMA5. IP3 SMP
Sumber : Puskesmas Padang Panyang, 2015
Berdasarkan Tabel 4.2 diatas, dapat diketahui bahwa informan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang memiliki pemahaman
yang jelas tentang penyakit kusta, khususnya kepala puskesmas (IU1) dan Petugas
40
yang menangani penyakit kusta (IU2), serta para penderita yang mengalami
penyakit kusta (IP1, IP2 dan IP3).
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Kebersihan Individu (Personal Hygiene)
Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan pertanyaan tentang
Kebersihan Individu pada penderita penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas
Padang Panyang bersama para penderita (IP1, IP2, dan IP3). Berikut ini petikan
pertanyaan dan jawaban dari informan.
Bagaimanakah kebersihan anggota keluarga saling menjaga kebersihan masing-
masing?
“Jaga kebersihan, ya mandi, habis tu jangan ada sampah (harus bersih)”, mandi tiga kali sehari pokok harus bersih jangan sampai ada kotoran.”(IP1)
“Kalau kerbersihan bersih kali gak, kotor kali”.(IP2)
“Dirumah ya biasa kayak apa, seperti biasanya kalau soal itu bersih kami buang sampah langsung jauh dari rumah”.(IP3)
Berdasarkan jawaban dari ketiga informan pokok tersebut, membuktikan
bahwa betapa pentingnya kebersihan invidu maupun keluarga dalam melindungi
diri dari berbagai jenis penyakit khususnya penyakit kusta.
Pertanyaan selanjut adalah berapa kali mandi dalam 1 hari?
“tiga kali, pagi, siang, sore”. (IP1)
“Mandi dua kali pagi sore kadang gak menentu juga, kadang tiga kali”.(IP2)
“Kadang-kadang 3, kadang 4 gak tentu, yang nama nya juga mandi”.(IP3)
41
Dari ketiga jawababan tersebut, mandi merupakan salah satu cara penting
untuk membersihkan tubuh dari berbagai macam kuman penyakit sehingga tubuh
menjadi tetap segar dan sehat.
Pertanyaan terakhir, adakah Bapak/Ibu memperingati anggota keluarga tentang
menjaga kebersihan?
“Kedepan harus bersih, mandi harus gosok sampai bersih, iya kan, duduk jangan di tempat yang kotor.” (IP1)
“Masalah kebersihan kami buk jaga masing, urus masing”. (IP2)
“biasa aja seperti orang pada umumnya, ya, biasa aja pakaian nya toh pakaian nya oo gak kami satu hari 2 kali pakai pagi nanti malam ganti pakai lagi, ganti lagi berarti 1 hari 2 kali pakai”. (IP3)
Jawaban dari ketiga informan di atas menunjukkan bahwa betap
pentingnya anggota saling memperingati sesama anggota keluarga dalam menjaga
kebersihan. Sehingga setiap anggota keluarga menjadi sehat dan dapat tercegah
dari berbagai jenis penyakit.
4.2.2 Riwayat Kontak
Hasil wawancara yang telah peneliti lakukan tentang riwayat kontak pada
penderita penyakit kusta di wilayah kerja puskesmas padang panyang bersama
para penderita (IP1, IP2, dan IP3). Berikut ini petikan pertanyaan dan jawaban
dari informan.
Bagimanakah pergaulan sesama anggota keluarga?
“Biasa saja gak mesti begini begitu”. (IP1)
“Komunikasi kami tidak ada masalah kalau ada masalah di tanyak”. (IP2)
42
“ya kayak biasa,ya tahu sendiri he..he..he.,ya kadang-kadang 1 hari 2 kali nyapu, 3 kali sampah nya dibuang kadang-kadang dikumpul nanti dibuang”. (IP3)
Dari ketiga jawaban informan di atas, menunjukkan bahwa pergaulan
dalam keluarga perlu dijaga dengan baik walau tidak harus terlalu menjaga jarak,
sehingga pada akhirnya baik yang menderita maupun keluarga yang tidak terkena
saling menjaga satu sama lainnya.
Bagaimanakah sistem pemakaian pakaian antara anggota keluarga?
“Oo ga sampai dua kali.” (IP1)“Habis mandi ganti baju, kalau habis berkeringat di cuci, di setrika”. (IP2)
“Ya, kadang-kadang, oo bersih rumahnya pun nyapu 1 hari 2 kali nyapu”.(IP3)
Dari ketiga jawaban informan tersebut menunjukkan bahwa pentingnya
penggunaan pakaian yang teratur dan menggantinya apabila selesai mandi, dan
dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari.
Bagaimanakah kebiasaan komunikasi sehari-hari antar anggota keluarga?
“Alhamdulillah nyaman, sangat nyaman”. (IP1)
“Nyaman tidak ada masalah”. (IP2)
“Nyaman, karena rumahnya bersih”. (IP3)
Hasil jawaban dari responden tersebut menunjukkan bahwa komunikasi
sehari-hari antar anggota keluarga sangat penting dalam menjaga kebersamaan
agar tercipta suasana tetap nyaman.
4.2.3 Lingkungan
43
Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan tentang lingkungan pada
penderita penyakit kusta di wilayah kerja puskesmas padang panyang bersama
para penderita (IP1, IP2, dan IP3). Berikut ini petikan pertanyaan dan jawaban
dari informan.
Bagaimanakah lingkungan yang bapak/ibu tempati?
“Oo terjaga, terawat, kan bisa lihat sendiri”. (IP1)
“Bersih kali gak kotor kali pun gak ya”. (IP2)
“Nanti apa kalau ada nampak kotor-kotor nyapu habis itu nanti kalau
sudah sore anak saya itu saya suruh nyapu sarang laba-laba, ini sudah
berhari-hari gak disapu-sapu, sarang laba-laba”. (IP3)
Dari jawaban informan tersebut menunjukkan bahwa lingkungan yang
bersih sangat baik bagi kehidupan, dan perlu terus dijaga sehingga dapat
mencegah terjadinya berbagai penyakit khususnya kusta.
Apakah Bapak/Ibu merasa nyaman hidup dengan kondisi lingkungan saat ini?
Alhamdulillah nyaman, sangat nyaman”. (IP1)
“Alhamdullilah nyaman” (IP2)
“Ya, kadang-kadang, oo bersih rumahnya pun nyapu 1 hari 2 kali nyapu”.
(IP3)
Hasil jawaban ketiga informan di atas, menunjukkan bahwa lingkungan
yang mereka tempati cukup bersih, dan masih terus dijaga dalam menjaga
kesehatan keluarga.
Apakah Bapak/Ibu merasa perlu menjaga kebersihan lingkungan yang ada saat
ini?
44
“Perlu karena buat diri masing-masing”. (IP1)
“perlu, biasa aja seperti orang pada umum nya”. (IP2)
“perlu, terawat, kan bisa lihat sendiri”. (IP3)
Hasil jawaban ketiga informan menyatakan bahwa perlunya menjaga
kebersihan lingkungan agar hidup lebih sehat. Sehingga penyakit pun tidak mudah
menyerang anggota keluarga yang ada di rumah.
4.2.4 Kejadian Penyakit Kusta
Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan tentang kejadian
penyakit kusta pada penderita penyakit kusta di wilayah kerja puskesmas padang
panyang bersama para penderita (IP1, IP2, dan IP3). Berikut ini petikan
pertanyaan dan jawaban dari informan.
Bagaimanakah kejadian penyakit kusta di dalam keluarga Bapak/Ibu?
“Kan udah saya katakan sebelumnya, awal-awalnya dengan nonton TV, sesudah itu dia membaca-baca buku, sesudah itu baca buku dibilang sama saya, mak tangan saya ini tidak terasa lagi, ini berarti penykit kusta (…tutur anak yang menderita kusta pada ibunya), di bilang sama dia. tapi saya tidak percaya karena dia selalu bersih ya kan ? setelah itu di rumah sekolah dia di periksa oleh mentri kusta, di bilang oleh mentri itu sudah betul penyakit kusta, setelah itu disuruh minum obat”.(IP1)
“Nyaman buk awal penyakit pada saat kecil diserang penyakit sebelum ini di serang apa kutu air, kutu air penyakit kulit dari kecil seperti kurap kemudian timbul seperti panu tidak keluar keringat yang sakit itu tidak keluar keringat, kering dia,bulu nya gak ada kalau bulu ada gak terasa jangan kan bulu kalau kenak pisau gak terasa tiba-tiba waktu mandi sudah luka disini,kadang waktu bangun sering gak terasa” (IP2)
“Ooo kenanya dikali belakang rumah di rumah nenek itu, kan ada disitu dianya belum berumah tangga. Habis tu kita ke Banda Aceh lah berobat habis itulah dia langsung dia 2 tahun kenak ini kena itu berobat dulu kamu biar apa, biar sembuh, nanti gitu udah sembuh ya udah”. (IP3)
45
Dari ketiga jawaban tersebut menunjukkan bahwa masing-masing
informan terkena penyakit kusta dengan cara yang berbeda-beda kebersihan
individu yang di derita oleh informan (IP2), penyebab penyakit kusta yang
disebabkan oleh riwayat kontak terjadi pada (IP1), dan penyakit kusta yang
disebabkan oleh lingkungan di derita oleh (IP3). Dengan demikian pentingnya
menjaga kebersihan individu, menjaga jarak secara bijak dengan penderita kusta,
dan menghindari lingkungan yang kotor.
Bagaimanakah cara Bapak/Ibu dalam mengobati penyakit kusta?
“Karena dia berkawan - kawan menularlah karena kawan dia memang ada penyakit kusta jadi menular penyakit kusta, mukin dari keringat, karena kemana-mana bersama, pergi sekolah bersama, naik sepeda motor bersama kawan akrab, jadi menularlah penyakit kusta”. (IP1)
“Yang waktu itu, turutin minum obat, saya fikir sudah sembuh gak saya minum lagi”. (IP2)
“Ya berobatlah, sayang kamu apa masih muda, aku bilang kayak gitu”.(IP3)
Dari ketiga jawaban informan diatas, penyembuhan dilakukan dengan cara
minum obat tiap hari secara teratur dan berlangsung selama satu tahun. Namun
ada sebagian penderita yang tidak teratur dalam meminum obat, sehingga
menghambat proses penyembuhan.
Bagaimanakah cara Bapak/Ibu melakukan pencegahan penularan penyakit kusta
di dalam keuarga?
“setahun rajin, memang kemauannya sendiri, kita katakana jangan lagi berkawan dengan kawan tu, jaga kebersihan, kalau bersih memang bersih".(IP1)
“Jaga diri masing-masing saja”. (IP2)
46
“Kan dari dokter juga kasi obat dari dokterlah ini bukan memang khusus dari Amerika (dokter dari Amarika pada saat setalah Tsunami)”. (IP3)
Jawaban di atas menunjukkan bahwa pentingnya melakukan pencegahan
penularan penyakit kusta. Agar tidak menular pada seluruh anggota keluarga, di
samping itu saling mengingatkan sesame anggota keluarga.
4.2.5 Solusi dan Kebijakan
Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan tentang solusi dan
kebijakan yang diberikan pada penderita penyakit kusta yang terjadi di Wilayah
Kerja Puskesmas Padang Panyang bersama kepala Puskesmas dan Petugas
Penyakit Kusta (IU1 dan IU2). Berikut ini kutipan pertanyaan jawaban dari
Informan :
Apakah ada petugas khusus dalam menangani penyakit kusta yang terjadi di
Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang?
“Ada, kita buat SK untuk petugas kustanya”. (IU1)
Bagaimanakah tingkat serangan penyakit kusta yang terjadi di Wilayah Kerja
Puskesmas Padang Panyang?
“Tingkat serangannya biasa saja, tetapi biasanya itu pasiennya, pasien yang sudah lama”. (IU1)
“tidak begitu banyak penderita kusta, hanya orang-orang yang telah mengalami saja yang terserang penyakit tersebut”. (IU1)
Bagaimanakah solusi yang diberikan pada para penderita penyakit kusta yang
terjadi di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang?
“Selain pengobatan kita juga melakukan penyuluhan, kita berkunjung ke rumah penderita kusta”. (IU1)
“kita berkunjung ke rumah penderita kusta memang sudah ada jadwalnya, bersamaan dengan petugas bagian penyakit kusta”. (IU1)
47
Bagaimanakah penderita kusta berinteraksi dengan masyarakat?
“Penderita kusta berinteraksi di dalam masyarakat biasa saja, mereka bergaul seperti biasa”. (IU1)
“dengan berkomunikasi dan kita beri penyuluhan”. (IU1)
Bagaimanakah penderita kusta berinteraksi dengan keluarga?
“Jadi selain dimasyarakat, berinteraksi di dalam rumah.Jadi kita memberi penyuluhan, seperti kepada isteri dan anaknya kalau bisa tempat makan dan minumnya diasingkan/khusus”. (IU1)
“Seperti penderita lainnya, agar tidak ada perbedaan”. (IU1)Adakah monitoring atau evaluasi terhadap penderita kusta di lingkungan wilayah
kerja Bapak?
“Ada, kami, petugas kustanya berkunjung ke rumah penderita kusta setiap 1 minggu sekali. Untuk melihat penderita kusta itu perkembangannya baik-baik saja”. (IU1)
“penderita yang amsih sakit atau sudah sembuh kita periksa kembali, untuk memastikan kesembuhannya”. (IU1)
Adakah perlakuan khusus terhadap penderita kusta?
“Perlakuan khusus tidak ada, kita buat seperti biasa. Karena kalau kita buat nanti perlakuan khusus dia merasa malu atau minder. Jadi kita buat seperti biasa saja”. (IU1)
“Seperti penderita lainnya, agar tidak ada perbedaan”. (IU1)
Adakah penderita kusta yang sudah bebas atau sembuh dari penyakit kusta?
“Ada, banyak, jadi kemarin ada 15 orang yang menderita kusta di puskesmas kami sekarang kalau ga salah tinggal 5 orang lagi”. (IU1)
“yang sudah sembuh tidak lagi minum obat, tetapi kami periksa juga agar penyakit tersebut tidak kambuh lagi”. (IU1)
Apakah yang Bapak ketahui tentang perkembangan ril wabah penyakit kusta yang
terjadi di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang?
48
“Disini perkembangan ril tentang penyakit kusta sudah dalam kategori kurang. kenapa, Hal ini dikarenakan sudah diatasi semua. Tergantung masalah pasien yang masih kurang disiplin dalam meminum obat”. (IU2)
Berapakah jumlah penderita yang terserang penyakit kusta yang terjadi di Wilayah
Kerja Puskesmas Padang Panyang?
“Jumlah yang terserang yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas sebanyak 12 orang untuk keseluruhan, dalam masa pengobatan sebanyak 8 orang dan 4 orang penderita telah sembuh”. (IU2)
Apakah terjadi peningkatan jumlah dari tahun ke tahu terkait penderita penyakit
kusta yang terjadi di wilayah kerja puskesmas Padang Panyang?
“Untuk tahun 2015-2016 tidak ada lagi penambahan pasien kusta, Cuma yang ada pasien lama dalam proses pengobatan”. (IU2)
Bagaimanakah sistem pendataan terkait jumlah penderita Puskesmas Padang
Panyang Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya?
“Sistem pendataannya kami melakukan melalui fasilitas kesehatan (faskes) terdekat yang ada di desa (Polindes)”. (IU2)
Solusi apakah yang Bapak berikan saat berhadapan langsung dengan penderita
penyakit kusta di wilayah kerja puskesmas Padang Panyang?
“yaitu menganjurkan pasien untuk berperilaku bersih dilingkungannya atau tempat tinggalnya dan patuh minum obat”. (IU2)
Kebijakan apakah yang telah dilakukan oleh dinas kesehatan Kabupaten Nagan
Raya melalui Puskesmas Padang Panyang dalam menangani penyakit kusta?
“melakukan promosi kesehatan (promkes) yang ada di Desa yang mempunyai pasien kusta. Pemeriksaan kulit yang terinfeksi bercak putih lebih dari lima”.(IU2)
Adakah kebijakan yang ditetapkan bersifat berkelanjutan dan diterima di kalangan
masyarakat dalam pencegahan penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas
Padang Panyang?
49
“Hal ini sangat diwajibkan untuk dilaksanakan oleh Petugas Puskesmas Padang Panyang dalam mengatasi penyakit kusta tentu akan dilanjutkan sampai tuntas dalam mengantisipasi penyakit ini”. (IU2)
Dilingkungan mana saja (Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang) yang
terkena penyakit kusta?
“Desa Cot Rambong, Lueng Teuku Ben, Desa Kuala Trang, Jati Rejo, Langkak dan Kubang Gajah”. (IU2)
Apakah penderita kusta merasa nyaman dengan lingkungannya ?
“tidak nyaman, rumah belum memenuhi syarat kesehatan”. (IU2)Adakah Bapak memeperingati penderita kusta tentang kebersihan individu?
“ada, karena hal demikian yang harus disampaikan”. (IU2)
Berdasarkan jawaban dari kedua informan utama diatas, bahwa kebijakan
dari pemerintah setempat dalam memberikan solusi dan kebijakan untuk
mencegah maupun dengan jalan melakukan promosi kesehatan dan mengobati
penyakit kusta dilakukan dengan cara menganjurkan minum obat bagi penderita
secara rutin setiap harinya selama satu tahun, menjaga kebersihan individu dan
lingkungan. Apabila ada anggota keluarga yang terkena penyakit kusta maka
harus menjaga jarak secara bijaksana dengan memisahkan baik makanan,
minuman, serta pakaian secara terpisah agar tidak menyebabkan penularan
penyakit kusta tersebut.
4.3 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan di atas, dapat diketahui
bahwa kejadian penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang
Kecamatan Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya, hasil wawancara peneliti
dengan kepala puskesmas padang panyang dan petugas bagian penyakit kusta,
50
secara umum kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah setempat,
khususnya puskesmas padang panyang, dalam kaitannya dengan penyakit kusta
telah dilaksanakan sesuai harapan. Namun demikian, dari 12 penderita yang
mengalami penyakit kusta, baru 4 penderita yang telah sembuh dari program
pengobatan yang telah dijalankan. Sedangkan 8 penderita lainnya masih dalam
proses penyembuhan.
Hasil wawancara peneliti terhadap 3 orang informan pendukung
(penderita), menyatakan bahwa dari 4 variabel yang mencakup kebersihan
individu (Personal Hygiene), riwayat kontak, lingkungan dan kejadian penyakit
kusta, menunjukkan bahwa penderita yang mengalami penyakit kusta mempunyai
perilaku hidup yang kurang bersih secara individu atau disebabkan oleh pergaulan
yang kurang memperhatikan kawan bermain, seperti halnya terjadi pada Informan
Pendukung 1 (IP1), penyebab terjadinya penyakit kusta karena berteman dengan
penderita lainnya yang menderita penyakit kusta. Pada Informan Pendukung 2
(IP2) penyebab terjadinya penyakit kusta disebabkan oleh kebersihan individu
yang kurang bersih, dan penederita ketiga Informan Pendukung 3 (IP3) menderita
penyakit kusta disebabkan oleh lingkungan sekitarnya yang kurang bersih.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dari ketiga variabel yang ada secara
langsung berhubungan terhadap kejadian penyakit kusta. Sehingga secara umum,
kejadian penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang Kecamatan
Kuala Pesisir Kabupaten Nagan Raya.
4.3.1 Kebersihan Individu (Personal Hygiene)
51
Kebersihan individu dalam kehidupan sehari-hari merupakan hal yang
sangat penting dilakukan, hal ini dilakukan untuk mencegah maupun mengurangi
tingkat serangan maupun penyebaran penyakit kusta.
Hasil observasi dan wawancara yang telah peneliti lakukan, menunjukkan
bahwa kebersihan individu dari penderita masih kurang bersih, hal ini diperoleh
dari jawaban penderita yang mengatakan sering kali kurang menjaga kebersihan
tubuhnya saat setelah selesai bekerja. Kebiasaan itu berlanjut secara terus menerus
sehingga pada akhirnya terjadilah penyakit kusta pada dirinya.
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Suryanda, (2012) aspek fisik
penyakit kusta akan berdampak pada lesi dikulit dan kecacatan tubuh
penderita Mycobacterium leprae sebagai bakteri penyebab penyakit kusta dapat
mengakibatkan kerusakan saraf sensori, otonom, dan motorik. Pada saraf sensori
akan terjadi anestesi sehingga terjadi luka tusuk, luka sayat, dan luka bakar. Pada
saraf otonom akan terjadi kekeringan kulit yang dapat mengakibatkan kulit
mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.
Notoatmodjo (2010) bahwa perilaku sehat adalah semua perilaku
kesehatan yang dilakukan atas dasar kesadaran yang mana perilaku atau kegiatan
tersebut berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan,
serta mencangkup perilaku dalam pencegahan menghindari dari berbagai macam
penyakit, penyebab penyakit atau masalah kesehatan untuk meningkatkan status
kesehatan.
4.3.2 Riwayat Kontak
52
Lamanya berhubungan atau riwayat kontak antara keluarga dengan
penderita merupakan suatu hal yang perlu menjadi perhatian. Hal ini
dikarenakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadi penularan
penyakit kusta. Dasar pernyataan tersebut sesuai dengan hasil wawancara
peneliti dengan penderita, penyebab terjadinya penderita mengalami
penyakit kusta disebabkan oleh temannya menderita penyakit kusta,
temannya telah terlebih dahulu terkena penyakit kusta. Lamanya penderita
berteman dengan penderita sebelumnya baik secara sentuhan kulit maupun
sistem pernapasan saat berkomunikasi serta bersentuhan pakaian menjadi
penyebab perpindahan (penularan) penyakit kusta tersebut.
Di dukung oleh pernyataan Entjang (2004), penularan penyakit
menurut sebagian ahli melalui saluran pernafasan dan kulit (kontak
langsung yang lama dan erat), kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel
rambut, kelenjar keringat, dan diduga melalui air susu sehingga penyakit kusta
dapat dicegah dengan perbaikan personal hygiene.
Hal ini terjadi karena kontak merupakan suatu media untuk menularkan
penyakit kusta ini dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk
kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu,
Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan. Dua pintu keluar dari
M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung.
Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah
organism di dermis kulit (Entjang, 2004).
4.3.3 Lingkungan
53
Pentingnya menjaga kebersihan lingkungan untuk mempertahankan
kesehatan kita juga sangat penting dilakukan. Kenyataan yang ada bahwa dari
hasil penelitian yang telah peneliti lakukan berupa hasil wawancara dengan salah
satu penderita yang mengalami penyakit kusta, menyatakan bahwa penyebab
penyakit kusta yang dideritanya merupakan faktor air sungai yang kurang bersih
dilakukan untuk pemandian secera terus-menerus. Sehingga pada akhirnya
penderita mendapatkan penyakit kusta tersebut.
Pernyataan tersebut sesuai dengan yang dikatan Daili (2005) bahwa
lingkungan merupakan faktor penyumbang terbesar kejadian penyakit, kemudian
perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik. Lingkungan dapat menjadi tempat
berkembangbiaknya berbagai bakteri, termasuk bakteri kusta. Kondisi rumah
merupakan bagian dari lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan
individu dan masyarakat. Rumah yang menjadi tempat tinggal harus memenuhi
syarat kesehatan seperti ventilasi rumah yang baik, kepadatan rumah yang sesuai
dan lantai rumah yang terbuat bukan dari tanah.
Report of the International Leprosy Association Technical Forum di
Paris pada 22-28 Februari 2002, dilaporkan adanya Mycrobacterium leprae pada
debu, air untuk mandi dan mencuci di rumah penderita. Perlunya kondisi fisik
rumah yang memenuhi syarat kesehatan agar dapat mencegah penyebaran
Mycrobacterium leprae di lingkungan. Kondisi fisik rumah mencakup jenis bahan
bangunan rumah seperti jenis dinding dan lantai. Jenis bahan bangunan rumah
akan mempengaruhi jumlah debu dalam rumah, Mycrobacterium leprae juga
dapat bertahan hidup ditanah hingga 46 hari. Kepadatan hunian juga
54
menjadi faktor risiko penularan penyakit kusta, hal ini disebabkan karena
penderita akan banyak kontak dengan non penderita sehingga akan
menyebabkan menularnya penyakit kusta ke anggota keluarga yang lain
(Amiruddin, 2012).
4.3.4 Kejadian Penyakit Kusta
Kejadian penyakit kusta dimana saja dapat terjadi, namun demikian
kejadian penyakit tersebut tidak serta-merta dapat terjadi begitu saja, hal ini
dikarenakan penyakit kusta dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya : Kebersihan Individu (Personal Hygiene), Riwayat Kontak, dan
Lingkungan, namun demikian faktor tersebut akan terjadi apabila kesemuanya
berada diluar standar kesehatan yang telah ditetapkan.
Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan terdapat kejadian
penyakit kusta sebanyak 12 orang penderita. Dari jumlah penderita yang selama
ini sebanyak 12 tersebut, telah mengalami kesembuhan sebanyak 4 orang, dan
yang masih dalam proses perawatan dan pengobatan sebanyak 8 orang.
4.3.5 Solusi dan Kebijakan
Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang, memiliki tugas dan wewenang
dalam penanganan kesehatan dilingkungan kerjanya. Khususnya 12 Gampong
yang menjadi cakupan wilayah kerja dari para petugas kesehatan. Dalam program
penyuluhan di bidang kesehatan, petugas memiliki kewajiban dalam memberikan
informasi maupun promosi penting di bidang kesehatan. Baik dalam tujuan
mencegah maupun untuk mengobati penyakit yang di derita oleh para warga.
55
Di samping itu, dalam penanganan penyakit kusta yang di alami oleh
warga, pihak petugas memiliki tugas dan wewenang khusus dalam
penanganannya. Dalam pelaksanaan tugasnya, pihak bagian kusta diberi SK
khusus sebagai petugas kesehatan bidang kusta. Dan bertanggung jawab dalam
pemberian informasi dan pelaporan tentang berapa jumlah penderita yang masih
sakit maupun penderita yang telah sembuh.
Dalam proses pengobatan, pihak petugas secara rutin mengingatkan bagi
para penderita untuk mematuhi anjuran yang telah diberikan. Sehingga penyakit
kusta yang dialami oleh penderita secara berangsur dapat sembuh. Sehingga dari
jumlah penderita yang selama ini sebanyak 12 orang penderita, telah mengalami
kesembuhan sebanyak 4 orang, dan yang masih dalam proses perawatan dan
pengobatan sebanyak 8 orang.
Selain itu, untuk mencegah penyakit kusta ini menular pada anggota
keluarga maupun masyarakat. Para penderita dan anggota keluarga diberi
penyuluhan tentang pentingnya kebersihan individu (personal hygiene), riwayat
kontak yang menyangkut dengan pergaulan di dalam keluarga, menjaga
lingkungan agar tetap terjaga sanitasinya sehingga tidak penyebabkan terjadinya
penularan maupun penyebaran penyakit kusta secara umum di masyarakat tersebut
khususnya maupun wilayah kerja puskesmas padang panyang pada umumnya.
Depkes RI (2006) menyatakan bahwa penyakit kusta akan berdampak
pada kelangsungan hidup keluarga. Dampak yang muncul dalam keluarga
diantaranya keluarga panik saat salah satu anggota keluarga mendapat
diagnose penyakit kusta, berusaha untuk mencari pertolongan ke dukun, keluarga
56
takut akan tertular penyakit kusta sehingga tidak jarang penderita kusta diusir
dari rumah, keluarga takut diasingkan oleh masyarakat dan jika anggota
keluarga yang menderita kusta adalah kepala keluarga, akan berdampak pada
sosial ekonomi keluarga tersebut. Dampak yang dirasakan oleh keluarga
akan mempengaruhi keluarga dalam memberikan perawatan kepada penderita
kusta.
Sejalan dengan pernyataan di atas, Depkes RI (2006) menyatakan bahwa
selain berdampak pada keluarga, penyakit kusta juga akan berdampak pada
lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal penderita kusta. Dampak yang
muncul yaitu masyarakat merasa jijik dan takut terhadap penderita kusta,
masyarakat menjauhi penderita kusta dan keluarganya, dan masyarakat
merasa terganggu dengan adanya penderita kusta sehingga berusaha untuk
menyingkirkan dan mengisolasi penderita kusta.
Hutabarat (2008) pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang
sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki risiko tertular karena
berada di sekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan
tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta.
Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah
proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang
belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah
keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat).
57
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa analisis kejadian
penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang Kecamatan Kuala
Pesisir Kabupaten Nagan Raya :
1. Kebersihan individu (personal hygiene), hasil observasi dan wawancara yang
telah peneliti lakukan, menunjukkan bahwa kebersihan individu dari penderita
masih kurang bersih, hal ini diperoleh dari jawaban penderita bahwa sering
kali kurang menjaga kebersihan tubuhnya saat setelah selesai bekerja.
Kebiasaan itu berlanjut secara terus menerus sehingga pada akhirnya terjadilah
penyakit kusta.
2. Riwayat kontak, hasil wawancara peneliti dengan penderita, penyebab
terjadinya penderita mengalami penyakit kusta disebabkan oleh temannya
58
menderita penyakit kusta, temannya telah terlebih dahulu terkena
penyakit kusta. Lamanya penderita berteman dengan penderita
sebelumnya baik secara sentuhan kulit maupun sistem pernapasan saat
berkomunikasi serta bersentuhan pakaian menjadi penyebab perpindahan
(penularan) penyakit kusta.
3. Lingkungan, hasil wawancara dengan salah satu penderita yang mengalami
penyakit kusta, menyatakan bahwa penyebab penyakit kusta yang dideritanya
merupakan faktor air sungai yang kurang bersih dilakukan untuk pemandian
secera terus-menerus. Sehingga pada akhirnya penderita mendapatkan
penyakit kusta.
4. Telah terjadi penyakit kusta diwilayah kerja puskesmas padang panyang, hasil
wawancara yang telah peneliti lakukan terdapat kejadian penyakit kusta
sebanyak 12 orang penderita. Dari jumlah penderita yang selama ini sebanyak
12 tersebut, telah mengalami kesembuhan sebanyak 4 orang, dan yang masih
dalam proses perawatan dan pengobatan sebanyak 8 orang.
5. Solusi dan kebijakan dengan kejadian penyakit kusta, untuk mencegah
penyakit kusta ini menular pada anggota keluarga maupun masyarakat. Para
penderita dan anggota keluarga diberi penyuluhan tentang pentingnya
kebersihan individu (personal hygiene), riwayat kontak yang menyangkut
dengan pergaulan di dalam keluarga, menjaga lingkungan agar tetap terjaga
sanitasinya sehingga tidak penyebabkan terjadinya penularan maupun
penyebaran penyakit kusta secara umum di masyarakat tersebut khususnya
maupun wilayah kerja puskesmas padang panyang pada umumnya.
57
59
5.2 Saran
1. Bagi Pemerintah setempat umumnya Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya
dan khususnya di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Panyang perlu
menetapkan dan menerapkan kebijakan yang relefan dengan kondisi penyakit
yang di derita para warga.
2. Bagi masyarakat setempat diharapkan menjaga kebersihan diri, rumah,
maupun lingkungan tempat tinggal sebagai upaya mencegah penularan
maupun penyebaran penyakit kusta.
3. Bagi para penderita khususnya, hendaklah menjaga kebersihan diri,
lingkungan dan lain sebagainya sebagai upaya mencegah penularan maupun
penyebaran penyakit kusta.
4. Bagi keluarga penderita, hendaklah memberikan dukungan bagi penderita
terutama dalam menjaga kebersihan dirinya, rutin meminum obat serta
menjaga kebersihan lingkungan. Sehingga mampu mengurangi atau
menyembuhkan penyakit kusta tersebut.
5. Bagi Peneliti Lain, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengkaji lebih
mendalam terkait dengan faktor-faktor lain yang perlu dianalisis terkait
dengan kejadian penyakit kusta.
60
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, D.M. 2012. Penyakit Kusta (Sebuah Pendekatan Klinis). Surabaya: Brilian Internasional.
Budiarto, E. 2002. Biostatistik Kedokteran. Jakarta : EGC.
Daili, E. S. 2005. Kusta. Hal.73-78. Dalam: A. Djuanda (Ed), Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : FK-UI.
Departemen Kesehatan R.I. 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan XVIII. Tidak Dipublikasikan. Jakarta : Depkes RI.
Entjang, Indan. 2004. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Guyton & Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (terjemahan). Jakarta : EGC.
Hutabarat, B. (2008). Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Asahan Tahun 2007. Medan : Tesis Progran Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pasca Sarjana USU.
Machfoedz. 2009. Metodelogi Penelitian. Yogyakarta : Fitramaya.
Miles. M.B. dan A. Michael Huberman. 2007. Analisis dan Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta : UI Press.
61
Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi Cetakan Kedua Puluh Dua. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Moorhead S,J.M, Maas M, Swanson, E. 2006. Nursing Outcomes Classification. United States of America : Mosby.
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA). 2010. Diagnosis Keperawatan 2009-2011. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, S. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Nurmasari, M. 2010. Pola Pemilihan Obat dan Outcome Terapi Gastroenteritis Akut (GEA) Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta Januari - Juni Tahun 2008. Jawa Tengah : Universitas Muhammadiyah.
Ratnawati, D. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Ny. J Dengan Gastroenteritis di Bangsal Anggrek RSUD Sukoharjo. Jawa Tengah : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sugiono. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Bandung : Alfabeta.
Suryanda. 2012. Persepsi Masyarakat Terhadap Penyakit Kusta : Studi Kasus di Kecamatan Cambai Prabumulih. Yogyakarta: Tesis. Sarjana, UGM.
Tietjen, L. 2004. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dengan Sumberdaya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
WHO, 2014. Penyakit Kusta. WHO.
Wicaksono, A.D. 2011. Pemilihan Obat dan Outcome Terapi Gastroenteritis Akut Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2009. Jawa Tengah : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Winarsih, B.D. 2011. Efektivitas Mutu Berbasis Praktek, Intervensi Peningkatan Multimodal Untuk Gastroenteritis Pada Anak. Jakarta : Universitas Indonesia.
60
62
Lampiran Dokumentasi Kegiatan Penelitian
Puskesmas Padang Panyang
Wawancara Bersama Kepala Puskesmas Padang Padang Panyang
63
Wawancara Bersama Petugas Bagian Penyakit Kusta
Wawancara Bersama Penderita Penyakit Kusta
64
Wawancara Bersama Penderita Penyakit Kusta
Wawancara Bersama Penderita Penyakit Kusta
65
Gambar Penderita Penyakit Kusta
66