Upload
doankhue
View
238
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
66
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum PLTA
4.1.1 PLTA Saguling dan Cirata di Propinsi Jawa Barat
Guna memanfaatkan debit air yang dialirkan Sungai Citarum, sungai
terpanjang dan terbesar di provinsi Jawa Barat luas 1.448.279,25 ha, pemerintah
membuat tiga bendungan dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di sungai
ini yaitu PLTA Saguling, PLTA Cirata, dan PLTA Ir. H. Djuanda (PLTA
Jatiluhur). Pengoperation ketiga waduk ini diintegrasikan dalam satu pola operasi
yang disebut “Pola operasi waduk kaskade Citarum” dengan pendekatan equal
sharing yang dilakukan setiap bulan Oktober oleh ketiga pengelola waduk, yaitu
Perum Jasa Tirta II (Waduk Jatiluhur), PT Pembangkit Jawa Bali (Waduk Cirata),
dan PT Indonesia Power (Waduk Saguling). PLTA yang menjadi objek penelitian
adalah PLTA Saguling dan PLTA Cirata.
A. PLTA Saguling
PLTA Saguling adalah salah satu unit bisnis pembangkitan di bawah PT.
Indonesia Power. PLTA Saguling yang mulai beroperasi tahun 1986 memiliki visi
menjadi perusahaan publik dengan kinerja kelas dunia dan bersahabat dengan
lingkungan. Misi PLTA Saguling melakukan usaha dalam bidang
ketenagalistrikan dan mengembangkan usaha-usaha lainnya yang berkaitan,
berdasarkan kaidah industri dan niaga yang sehat, guna menjamin keberadaan dan
pengembangan perusahaan dalam jangka panjang.
UPB Saguling mengelola 29 mesin pembangkit yang tersebar di Jawa Barat
dengan total kapasitas terpasang 797,36 MW. Keuntungan PLTA ini antara lain
waktu pengoperasian relatif lebih cepat (15 menit), biaya produksi lebih murah
karena menggunakan air, rotasi turbin rendah dan tidak mengeluarkan panas
sehingga peralatan jarang mengalami kerusakan. PLTA juga ramah lingkungan,
karena tidak adanya proses pembakaran sehingga tidak ada limbah bekas
pembakaran yang ditimbulkan. Dam (waduk) bertindak cultivation multifungsi,
seperti pengendalian banjir dan sistem irigasi sawah.
67
PLTA Saguling memanfaatkan air Sungai Citarum yang terbagi atas 11 sub
DAS. Tujuh diantara Sub Das tersebut mempengaruhi pola aliran Sungai Citarum
baik kuantitas maupun kualitasnya yaitu Sub DAS Citarik, Sub DAS Cirasea, Sub
DAS Cihaur, Sub DAS Ciminyak, Sub DAS Cisangkuy, Sub DAS Ciwidey, dan
Sub DAS Cikapundung. Sungai ini bermata air utama di Gunung Wayang, di
selatan Bandung pada ketinggian 2.182 m, dan bermuara ke Laut Jawa di daerah
Tanjung Karawang. Luas DAS sekitar 6.080 km2 dan panjang sungai sekitar 270
km (Marganingrum 2007).
Pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan diintegrasikan ke dalam
sistem manajemen perusahaan. Program penghijauan ditetapkan dalam road map
tahun 2003-2016. PLTA Saguling melibatkan masyarakat sekitar lokasi
pembangkitan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan sekaligus
sebagai bentuk partisipasi perusahaan membantu meningkatkan taraf hidup
masyarakat setempat.
PLTA bekerjasama dengan Kabupaten Bandung Barat menghimpun
kepedulian 56 perusahaan untuk berpartisipasi pada program penghijauan Dinas
Lingkungan Kabupaten dan melakukan kerjasama dengan Perhutani Kabupaten
pada acara Tepung Lawung. Kerjasama juga dilakukan dengan masyarakat
pendidikan lingkungan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan kepada
masyarakat di Kabupaten Bandung mengenai kelestarian lingkungan DAS sebagai
sumber kehidupan masyarakat sekitar DAS dan keberlangsungan operasional
Waduk Saguling.
B. PLTA Cirata
PT. Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) adalah anak perusahaan PT. PLN
(Persero) yang mengelola PLTA Cirata. PLTA Cirata beroperasi pada akhir
September 1988. Visi PT.PJB adalah menjadi perusahaan pembangkit tenaga
listrik Indonesia yang terkemuka dengan standar kelas dunia. Misi: (1)
Memproduksi tenaga listrik yang handal dan berdaya saing. (2) Meningkatkan
kinerja secara berkelanjutan melalui implementasi tata kelola pembangkitan dan
sinergi business partner dengan metoda best practice dan ramah linngkungan, (3)
68
Mengembangkan kepasitas dan kapabilitas SDM yang mempunyai kompetensi
teknik dan manjerial yang unggul serta berwawasan bisnis.
Dalam menjalankan bisnisnya, PT. PJB menerapkan tiga pilar strategis yaitu
pengelolaan aset (asset management), sistem manajemen SDM (human capital),
dan teknologi informasi sebagai business enabler. Tiga pilar strategis dijabarkan
ke dalam 10 sistem manajemen best practice yang antara lain: Manajemen aset,
Manajemen Risiko, Manajemen Mutu ISO 9001, Manajemen Lingkungan ISO
14001, dan K3 OHSAS 18000, Good Corporate Governance (GCG), Manajemen
Teknologi Informasi, Knowlegde Management, Manajemen SDM Berbasis
Kompetensi, Manajemen Baldrige, dan Manajemen House Keeping 5S.
Unit Pembangkitan Cirata berlokasi di Desa Cadas, Kecamatan Tegal Waru
Plered Purwakarta. PLTA terbesar di Asia Tenggara dengan bangunan Power
House 4 lantai di bawah tanah. Waduk Cirata memiliki luas 62 km2 dengan
elevasi muka air banjir 223 m, elevasi muka air normal 220 m dan elevasi muka
air rendah 205 m. Volume air waduk sebesar 2.165 juta meter3 dan efektif waduk
796 juta m3.
PLTA Cirata mengoperasikan 8 x 126 MW atau 1008 MW dan mampu
memproduksi listrik rata-rata sebesar 1.428 juta kilowatt jam per tahun yang
disalurkan melalui transmisi tegangan ekstra tinggi 500 KV ke sistem interkoneksi
Jawa Bali . Kemampuan memproduksi listrik PLTA ini setara dengan kemampuan
pembangkit termal yang menggunakan BBM 428 ton .Untuk menghasilkan energi
listrik sebesar 1.428 GWh, di operasikan 8 buah turbin dengan kapasitas masing–
masing 120.000 KW dengan putaran 187,5 RPM. Adapun tinggi air jatuh efektif
untuk memutar turbin 112,5 meter dengan debit air maksimum 135 m3/detik.
Penerapan sistem manajemen lingkungan di unit pembangkitan Cirata,
merupakan bagian tak terpisahkan dari proses produksi yang diwujudkan dalam
bentuk upaya pengelolaan lingkungan yang terencana, terintegrasi pada semua
bidang kegiatan dengan melibatkan seluruh komponen dalam manajemen unit
pembangkitan Cirata untuk kepentingan masyarakat, tuntutan pasar serta akrab
lingkungan dan sejalan dengan visi perusahaan yang ingin menjadikan perusahaan
ini peduli lingkungan.
69
4.1.2 PLTA Tanggari I dan II di Propinsi Sulawesi Utara
Energi listrik di Sulawesi Utara bersumber dari sistem pembangkitan PLTA
Tonsea Lama, PLTA Tanggari I, PLTA Tanggari II, PLTD Manado dan PLTD
Bitung. PLTA yang menjadi objek penelitian adalah PLTA Tanggari I dan II.
Kedua PLTA ini menggunakan sumber energi gravitasi “air terjun” Sungai
Tondano yang bersumber dari Danau Tondano dengan hulunya Desa Tolour dan
bermuara di Pantai Manado. Panjang Sungai Tondano hampir 40 km. Tahun 2006
Manajemen puncak PLTA Tanggari I dan Tanggari II memutuskan untuk
menerapkan sistem manajemen lingkungan pada pengelolaan dan pengoperasian
PLTA.
PLTA Tanggari I berlokasi di Desa Tanggari termasuk Kecamatan
Airmadidi Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Terletak pada
124º 56’ 11” BT dan 1º 21’ 26” LU. PLTA Tanggari I dibangun pada tahun 1984
dan beroperasi pada tahun 1987. PLTA Tanggari I memiliki dua unit mesin,
dengan kapasitas daya terpasang sebesar 18 MW.
PLTA Tanggari II berlokasi di Desa Tanggari Kecamatan Airmadidi
Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Terletak pada 124º 56’ 49”
BT dan 1º 22’ 16” LU. PLTA Tanggari II dibangun pada tahun 1995 dan mulai
beroperasi pada tahun 1998. PLTA Tanggari II mampu membangkitkan tenaga
listrik dengan kapasitas daya terpasang sebesar 19 MW dengan tegangan sebesar
13.2 KV. Tipe pambangkit run off river (aliran langsung), dengan headrace tunnel
yang mempunyai panjang 800 meter, diameter 2.6 meter, tinggi jatuh 103 meter,
dan debit maksimum sebesar 16,5 m3/detik.
Apabila Sungai Tondano sudah tidak mampu menyalurkan debit air sebesar
16 m3/s pada saat permukaan Danau Tondano mencapai elevasi 629,27 (Low
lower Level/LWL), maka pengoperasian PLTA menjadi terganggu. Pendangkalan
dasar sungai sejak mulut danau hingga pintu pengambilan (intake) PLTA Tonsea
lama baik yang ditimbulkan oleh bahan sedimen maupun tumbuhan ganggang
yang tumbuh subur sepanjang 2 - 3 kilometer di hulu sungai mempengaruhi
pengoperasian PLTA Tanggari. Debit air terus berkurang dapat menggangggu
perputaran turbin.
70
Sungai Tondano mulai dari mulut danau hingga PLTA Tonsea lama
melewati tengah kota Manado. Hampir di sepanjang tepi sungai telah dihuni oleh
penduduk. Tidak mengherankan Sungai Tondano juga merupakan tempat
pembuangan sampah baik oleh pemukim maupun oleh pasar kota. Sampah yang
diperkirakan 5 – 6 ton per hari sangat terasa gangguannya dalam pengoperasian
turbin.
Danau Tondano sejak dahulu merupakan sumber ikan tawar bagi penduduk.
Kini perkembangan nelayan meningkat dan penggunaan sistem “keramba” untuk
meningkatkan volume tanggakan ikan. Sistem keramba menggunakan tepian
danau untuk dijadikan tempat pemeliharaan ikan yang diberi makanan tertentu
(pellet dsb). Kondisi ini menyebabkan kadar nitrogen dalam air yang mendorong
pertumbuhan gulma air.
PLTA Tanggari juga mengalami permasalahan pasokan air akibat waktu
tempuh air dari Tonsea Lama sampai intake PLTA Tanggari. Lamanya waktu
tempuh disebabkan oleh kondisi dasar sungai yang terlalu banyak hambatan
berupa batuan dan sampah buangan disamping profil sungai yang tidak teratur.
4.2 Perubahan Penggunaan Lahan di Wilayah PLTA
4.2.1 Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Citarum
Analisis perubahan penggunaan lahan (landuse change) DAS dari citra
satelit 2001 dan 2007. Citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat ETM 7.
Secara umum hasil analisis perubahan penggunaan lahan memperlihatkan adanya
perubahan tutupan dan peruntukan lahan pada DAS Citarum di Jawa Barat. Peta
penutupan dan penggunaan lahan berdasarkan citra satelit dan hasil analisisnya
pada wilayah DAS Citarum tersebut ditampilkan dalam Gambar 13 berikut.
71
(a) (b)Gambar 13 Citra satelit pada DAS Citarum: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.
Gambar 13 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan citra satelit pada
tahun 2001 (a) dan 2007 (b) di wilayah DAS Citarum. DAS Citarum sendiri
meliputi DAS Citarum hulu di mana terdapat DAS Waduk Saguling dan DAS
Citarum hilir di mana DAS Waduk Cirata berada. Guna memudahkan pemahaman
selanjutnya, dalam peta penggunaan lahan kedua DAS ini dipisahkan menjadi
DAS Waduk Saguling (hulu) dan DAS Waduk Cirata (hilir), meskipun keduanya
merupakan satu sistem DAS yang berhubungan secara langsung. DAS Waduk
Saguling merupakan bagian dari DAS Waduk Cirata yang berada di bagian hulu.
Gambar 14 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS Saguling pada
tahun 2001 dan 2007 berdasarkan hasil interpretasi citra satelit. Sementara
Gambar 15 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS Cirata pada tahun 2001
dan 2007. Perbedaan penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2007 menjadi dasar
analisis perubahan lahan di DAS Citarum yang menjadi daerah tangkapan air
Waduk Saguling dan Cirata. Penggunaan lahan yang ditampilkan dalam kedua
peta tersebut terdiri dari berbagai kelas penutupan atau liputan lahan (land cover),
antara lain tutupan hutan, permukiman, sawah, semak belukar, tanah terbuka,
rawa, perkebunan, pertanian dan badan air (waduk), serta tutupan awan.
74
Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa luas DAS Waduk Saguling yang
berada pada wilayah paling hulu Sungai Citarum kurang lebih meliputi wilayah
seluas 222.830 ha. Sementara luas DAS Waduk Cirata meliputi wilayah sekitar
465.286 ha, di mana DAS Waduk Saguling tercakup di dalamnya. Hasil analisis
terhadap perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling disajikan
dalam Tabel 5.
Tabel 5 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling
Jenis Penggunaan
Lahan
Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn)
Hutan 38.139,80 17,12 12.531,77 5,62 (25.608,03) (4.268,01) (11,19)
Permukiman 39.782,58 17,85 41.458,90 18,61 1.676,32 279,39 0,70
Sawah 64.940,11 29,14 65.007,33 29,17 67,22 11,20 0,02
Semak belukar 1.060,72 0,48 30.604,91 13,73 29.544,19 4.924,03 464,22
Lahan terbuka 1.867,27 0,84 190,95 0,09 (1.676,32) (279,39) (14,96)
Pertanian lahan kering
72.864,11 32,70 43.252,87 19,41 (29.611,24) (4.935,21) (6,77)
Perkebunan 2.300,34 1,03 27.908,94 12,52 25.608,60 4.268,10 185,54
Rawa 521,49 0,23 520,81 0,23 (0,68) (0,11) (0,02)
Badan air 1.353,58 0,61 1.353,52 0,61 (0,06) (0,01) (0,00)
Total 222.830,00 100,00 222.830,00 100,00
Tabel 5 di atas menunjukkan terjadinya dinamika perubahan penggunaan
lahan pada DAS Waduk Saguling selama kurun waktu 6 tahun dari tahun 2001
hingga tahun 2007. Luas hutan di bagian hulu waduk pada tahun 2001 sebesar
38.139,80 ha atau sebesar 17,12% dari luas DAS. Luasan hutan berubah menjadi
hanya 5,62% atau sekitar 12.531 ha pada tahun 2007, sehingga diperkirakan
terjadi pengurangan luas hutan 11,19% setiap tahunnya. Hal ini disebabkan
terjadinya perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi berbagai penggunaan
lahan lainnya, terutama menjadi perkebunan. Luas perkebunan meningkat pesat
sekitar 185% setiap tahunnya, dari luas sekitar 2.300 ha pada tahun 2001 menjadi
sekitar 25.608 ha yang hampir seluruhnya berasal dari konversi terhadap hutan.
Sementara penggunaan lahan lainnya yang mengalami pengurangan adalah lahan
terbuka yang berkisar seluas 1.867 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 190 ha saja
75
pada tahun 2007. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan
terbuka pada tahun 2001 ini berubah menjadi lahan permukiman pada tahun 2007.
Penggunaan lahan lainnya yang mengalami pertumbuhan cukup pesat
adalah semak belukar yang tumbuh sekitar 462% setiap tahunnya, dari seluas
1.060 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 29.544 ha pada tahun 2007. Semak
belukar ini sebagian besar berasal dari lahan pertanian kering yang berubah dari
luas sekitar 72.864 ha pada tahun 2001 yang menyusut menjadi 43.252 ha pada
tahun 2007. Sementara penggunaan lahan lainnya relatif berubah secara perlahan,
seperti permukiman (0,7% per tahun), sawah dan rawa (0,02% per tahun), serta
relatif tidak berubah, seperti badan air (0,0007% per tahun).
Sementara Tabel 6 menunjukkan terjadinya dinamika perubahan
penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata pada kurun waktu yang sama.
Hampir sebagian luas DAS Waduk Cirata sebenarnya merupakan DAS Waduk
Saguling, yang berada di hulu Waduk Cirata. Hal ini menunjukkan dinamika
perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata, sebagian merupakan
sumbangan dari perubahan yang terjadi pada DAS Waduk saguling.
Tabel 6 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata
Jenis Penutupan Lahan
Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn)
Hutan 87.817,72 18,87 23.392,37 5,03 (64.425,35) (10.737,56) (12,23)
Permukiman 48.489,76 10,42 55.233,83 11,87 6.744,07 1.124,01 2,32
Sawah 135.217,40 29,06 135.348,93 29,09 131,53 21,92 0,02
Semak belukar 3.259,97 0,70 70.056,67 15,06 66.796,70 11.132,78 341,50
Lahan terbuka 6.935,02 1,49 190,95 0,04 (6.744,07) (1.124,01) (16,21)
Pertanian lahan kering 135.677,20 29,16 68.749,14 14,78 (66.928,06) (11.154,68) (8,22)
Perkebunan 34.523,69 7,42 98.949,60 21,27 64.425,91 10.737,65 31,10
Rawa 840,08 0,18 839,81 0,18 (0,27) (0,04) (0,01)
Badan air 11.534,08 2,48 11.533,88 2,48 (0,20) (0,03) (0,00)
Awan 991,08 0,21 990,82 0,21 (0,26) (0,04) (0,00)
Total 465.286,00 100,00 465.286,00 100,00 - - -
Hutan pada wilayah DAS Waduk Cirata memiliki luas sekitar 87.817 ha
atau sebesar 18,87% dari luas DAS pada tahun 2001. Luasan hutan berubah
menjadi hanya 5,03% atau sekitar 23.392 ha pada tahun 2007, sehingga
76
diperkirakan terjadi pengurangan luas hutan 12,23% setiap tahunnya. Seperti
halnya pada DAS Waduk Saguling, perubahan penggunaan lahan dari hutan
menjadi berbagai penggunaan lahan lainnya, terutama disebabkan konversi
terhadap lahan perkebunan. Hal ini mendorong peningkatan luas lahan
perkebunan dari luas sekitar 34.523 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 98.949
ha, atau meningkat sekitar 12,23% setiap tahunnya. Penggunaan lahan lainnya
yang mengalami pengurangan adalah lahan terbuka yang berkisar seluas 6.935 ha
pada tahun 2001 menjadi sekitar 190 ha saja pada tahun 2007. Hasil analisis
spasial menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan terbuka pada tahun 2001 ini
berubah menjadi lahan permukiman pada tahun 2007.
Seperti pada DAS Waduk saguling, semak belukar pada DAS Waduk Cirata
mengalami pertumbuhan cukup pesat dari sekitar 3.259 ha pada tahun 2001
menjadi sekitar 66.796 ha pada tahun 2007, atau tumbuh sekitar 341% setiap
tahunnya. Semak belukar ini sebagian besar berasal dari lahan pertanian kering
yang berubah dari luas sekitar 135.677 ha pada tahun 2001 yang menyusut
menjadi 68.749 ha pada tahun 2007. Penggunaan lahan lainnya relatif berubah
secara perlahan, seperti sawah (0,02% per tahun) dan rawa (0,01% per tahun),
serta relatif tidak berubah, seperti badan air (0,0007% per tahun). Sementara
permukiman di bagian hilir memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif lebih tinggi
dibandingkan bagian hulu (DAS Waduk Saguling). Hal ini terlihat dari tingkat
pertumbuhan permukiman secara keseluruhan di DAS Cirata sebesar 2,32% setiap
tahun, atau lebih tinggi dari DAS Waduk Saguling (0,7% per tahun).
Secara umum pengurangan luas hutan bisa meningkatkan laju degradasi
lahan, karena tutupan hutan bisa mencegah terjadinya peningkatan laju erosi dan
sedimentasi (Indriyanto 2008). Menurut PPSDAL UNPAD (2008), tingkat erosi
di DAS Citarum Hulu pada tahun 2001 sekitar 2,20 mm/tahun dan sedimentasi
4.296.268 m3/tahun. Pada tahun 2007, tingkat erosi meningkat menjadi 2,23
mm/tahun dan laju sedimentasi meningkat menjadi 4.315.404 m3/tahun.
Tingkat erosi dan laju sedimentasi yang tinggi dapat mengancam
keberlanjutan Waduk Saguling dan Waduk Cirata yang memasok air ke PLTA.
Sesuai perencanaan waduk, tingkat erosi dan laju sedimentasi yang diperbolehkan
secara berturut yaitu 2,10 mm/tahun dan 4.000.000 m3/tahun. Berdasarkan
77
prediksi PPSDAL UNPAD (2008), peningkatan sedimentasi akan mengurangi
kemampuan waduk untuk menampung air sebab sedimen akan terakumulasi baik
di dead storage dan life storage waduk. Peningkatan sedimen ini akan
mengurangi fungsi waduk sebagai penampung air.
Hutan dapat mempertahankan debit air sungai sehingga tidak akan banjir
pada musim hujan dan tidak akan kekeringan pada musim kemarau (Indriyanto
2008). Air dari Waduk Saguling berasal dari Sungai Cikapundung, Sungai
Cikeruh, Sungai Citarik, Sungai Cisangkuy, Sungai Ciwidey dan Sungai Cisarea.
Berdasarkan data tahun 1990-2010, debit air sungai sangat berfluktuasi. Debit air
minimum dan maksimum sungai ke Waduk Saguling yaitu 4,08 - 66,92 m3/dtk
dan 141,46 - 306,39 m3/dtk (PLTA Saguling 2011). Waduk Cirata memperoleh
air dari Sungai Cisokan, Sungai Cibalagung, Sungai Cimeta, Sungai Cikundul dan
Sungai Citarum. Debit minimum dan maksimum air sungai ke Waduk Cirata yaitu
31,18 - 103,02 m3/dtk dan 205,21- 488,66 m3/dtk (PLTA Cirata 2011).
4.2.2 Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Tondano
Gambar 16 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan citra satelit pada
tahun 2001 (a) dan 2007 (b) di wilayah DAS PLTA Tanggari dan II (DAS
Tondano). Gambar 17 dan 18 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS
Tondano pada tahun 2001 dan 2007 berdasarkan hasil interpretasi citra satelit.
Perbedaan penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2007 menjadi dasar analisis
perubahan lahan di DAS Tondano yang menjadi daerah tangkapan air PLTA
Tanggari I dan II.
Seperti pada peta penggunaan lahan DAS Citarum, penggunaan lahan yang
ditampilkan dalam kedua peta penggunaan lahan DAS Tondano juga terdiri dari
berbagai kelas penutupan lahan. Penggunaan lahan tersebut terdiri dari tutupan
hutan, permukiman, sawah, semak belukar, tanah terbuka, rawa, perkebunan,
pertanian dan badan air (waduk), serta tutupan awan. Penggunaan lahan
berdasarkan analisis terhadap citra satelit tersebut ditampilkan dalam peta
penggunaan lahan pada tahun 2001 dan tahun 2007. Perbedaan luas penggunaan
lahan antara kedua tahun tersebut menjadi dasar dalam memperkirakan terjadinya
perubahan penggunaan lahan di DAS Tondano setiap tahunnya.
78
(a) (b)Gambar 16 Citra satelit pada DAS Tondano: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.
Gambar 17 Penggunaan lahan DAS Tondano pada tahun 2001.
79
Gambar 18 Penggunaan lahan DAS Tondano pada tahun 2007.
Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa luas DAS Tondano di mana
PLTA Tanggari I dan II berada meliputi wilayah seluas 24.708 ha. Penampakan
tutupan lahan melalui citra satelit menunjukkan bahwa sebagian besar wilayahnya
tertutup oleh vegetasi (hijau). Sementara pemukiman (merah) tersebar di
beberapa wilayah, terutama terkonsentrasi di wilayah pesisir pantai pada bagian
utara lokasi studi dan di pesisir Danau Tondano yang ada di bagian selatan lokasi
studi. Hasil analisis terhadap perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano
yang mempengaruhi PLTA Tanggari I dan II disajikan dalam Tabel 7.
80
Tabel 7 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano
Jenis Penutupan Lahan
Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn)
Hutan 18.323,83 74,16 18.098,12 73,25 (225,71) (37,62) (0,0021)
Permukiman 2.000,39 8,10 2.198,62 8,90 198,23 33,04 0,0165
Sawah 1.739,37 7,04 1.739,38 7,04 0,01 0,00 0,000001
Semak belukar 794,91 3,22 796,41 3,22 1,50 0,25 0,0315
Lahan terbuka 789,03 3,19 551,05 2,23 (237,98) (39,66) (0,0503)
Bayangan Awan 18,90 0,08 17,40 0,07 (1,50) (0,25) (1,3228)
Badan air 15,85 0,06 15,56 0,06 (0,29) (0,05) (0,0030)
Awan 1.026,59 4,15 1.292,33 5,23 265,74 44,29 0,0431
Total 24.708,87 100,00 24.708,87 100,00
Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano selama kurun waktu 6
tahun dari tahun 2001 hingga tahun 2007 relatif tidak terlalu dinamis. Hal ini
dilihat dari sedikitnya prosentase perubahan penggunaan lahan setiap tahunnya.
Hasil analisis penggunaan lahan terhadap data citra satelit menunjukkan bahwa
pada tahun 2001, sebagian besar wilayah DAS Tondano ditutupi oleh hutan seluas
74,16% dari luas DAS secara keseluruhan. Selain hutan, wilayah ini juga
ditempati oleh permukiman (8,1%), sawah (7,04%), semak belukar (3,22%), lahan
terbuka (3,19%), badan air (0,06%), serta selebihnya ditutupi awan dan bayangan
awan. Penggunaan lahan pada tahun 2001 ini tidak berbeda jauh dengan
penggunaan lahan pada tahun 2007, sehingga bisa disimpulkan perubahan
penggunaan lahan yang terjadi di wilayah ini relatif kecil.
Luas hutan di DAS Tondano pada tahun 2001 sebesar 18.323 ha berubah
menjadi sekitar 18.098 ha pada tahun 2007, sehingga diperkirakan terjadi
pengurangan luas hutan hanya sekitar 0,0021% setiap tahunnya. Luas
permukiman relatif meningkat sekitar 0,0165% setiap tahunnya, dari luas sekitar
2.000 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 2.198 ha pada tahun 2007. Sementara
penggunaan lahan lainnya relatif berubah secara perlahan, seperti sawah
(0,000001% per tahun), semak belukar (0,0315 per tahun) dan lahan terbuka (-
0,0503% per tahun).
Jenis tanah di perbukitan sekitar danau Tonado adalah latosol sehingga
jumlah erosi diduga atas dasar curah hujan. Tingkat erosi di DAS Tondano pada
tahun 1992 telah mencapai 0,213 ton/ha di lahan bervegetasi, serta sebesar 24,932
81
ton/ha di lahan terbuka tanpa vegetasi. Sementara erosi yang masih dapat
ditoleransi sebesar 11,0 ton/ha. Jadi lahan harus tertutup vegetasi untuk
menghindari bahaya erosi (DPE 1992).
Sungai yang bermuara di Danau Tondano adalah Sungai Noogan, Sungai
Panasen, Sungai Ema. Kondisi debit air minimum Sungai Tondano yang masuk
ke PLTA saat ini berkisar 4,005 – 20,324 m3/dtk dan maksimum berkisar 53,351 -
181,225 m3/dtk. PLTA Tanggari I dan II hanya akan beroperasi jika debit air
Sungai Tondano minimum 16 m3/dtk. Debit Sungai Tondano dipengaruhi musim.
Wilayah Manado, Tondano, dan Airmadidi memiliki iklim dengan nisbah bulan
kering (bulan dengan curah hujan < 60 mm) berkisar 0 % – 14,30 %. Faktor lain
yang mempengaruhi debit air adanya rumput air di tepian danau sampai sejauh
500 meter dari danau dan erosi dari wilayah sekitarnya. Hal ini merupakan
sumber pendangkalan yang menghambat laju air (DPE 1992).
4.3 Kualitas Air Sungai di Wilayah PLTA
Kualitas air suatu perairan mencerminkan kualitas lingkungan. Kualitas air
waduk sangat dipengaruhi kualitas lingkungan catchment area di wilayah hulu,
perubahan penutupan lahan dan penggunaannya. Kualitas air ini akan
mempengaruhi dan menentukan kemampuan hidup jasad perairan tersebut dan
proses teknis/produksi pembangkit listrik. Kelayakan suatu perairan sebagai
lingkungan hidup dipengaruhi oleh sifat fisika kimia perairan tersebut (Krismono
et al. 1987; Kartamihardja et al. 1987). Data-data yang berkaitan dengan
karakteristik fisik dan kimia yang berpengaruh terhadap PLTA meliputi suhu,
TDS, TSS, Fe, COD, DO, H2S, pH, NO3-2, dan PO4
-3. Analisis kualitas air sungai
pada empat PLTA menggunakan uji T berpasangan dan metode deksriptif dengan
membandingkan kualitas air di wilayah PLTA dengan baku mutu kualitas air
kelas 4 (PP No.82/2001). Uji T dilakukan untuk mengetahui apakah ada
perbedaan kualitas air di inlet dan outlet PLTA. Bilamana nilai P < 0,05 maka H0
ditolak (Siregar 2004).
4.3.1 Kualitas air PLTA Saguling dan Cirata
82
Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA dilihat pada Tabel
8. Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Saguling menunjukkan bahwa secara
umum kualitas air di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Perbedaan secara
nyata (α=0,05) pada kualitas air di inlet dan outlet berdasarkan hasil uji T hanya
terlihat pada BOD pada tahun 2005, TSS pada tahun 2008, dan pH tahun 2008
dan tahun 2009.
Tabel 8 Hasil uji T kualitas air di PLTA Saguling
Parameter P-Value SagulingTahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010Suhu 0,560 0,396 0,426 0,787 0,166 0,076TDS 0,288 0,117 0,220 0,058 0,102 0,079TSS 0,620 0,409 0,365 0,031 0,112 0,191pH 0,433 0,213 0,453 0,021 0,005 0,199H2S 0,391 0,291 0,395 0,221 0,132 0,391NO3
-2 0,517 0,600 0,850 0,224 0,155 0,672PO4
-3 0,561 0,074 0,637 0,672 0,804 0,342DO - - 0,103 0,885 0,240 0,184COD 0,081 0,833 0,596 0,211 0,467 0,436BOD 0,039* 0,621 0,951 0,146 0,871 0,714Fe 0,275 0,155 0,078 0,473 0,537 0,116
Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data
Konsentrasi nilai rata-rata median TSS (3 mg/L) dan pH (7,1) di oulet lebih
rendah dibandingkan dengan TSS (4 mg/L) dan pH (7.9) di inlet pada tahun 2008.
Konsentrasi BOD di outlet (7,85 mg/L) lebih rendah dibandingkan dengan
konsentrasi rata-rata median BOD (8,75) di inlet pada tahun 2005 (Lampiran 1).
Walaupun ada parameter pada tahun yang berbeda tersebut menunjukkan adanya
perbedaan nyata (α=0,05) namun hal tersebut tidak menggambarkan hasil
keseluruhan tentang kualitas air waduk. Dari Tabel 8 hanya sekitar 6,25 % data
yang menunjukkan ada perbedaan nyata. Kualitas air yang tidak berbeda nyata
secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA
menunjukkan bahwa PLTA Saguling dalam kegiatan operasionalnya tidak
menurunkan kualitas air.
Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Cirata secara
umum menunjukkan kualitas air di PLTA Cirata di outlet sama dengan kualitas air
di inlet. Perbedaan secara nyata (α=0,05) kualitas air di inlet dan outlet hanya
terlihat pada konsentrasi TDS pada tahun 2010 dan phosfat pada tahun 2009.
83
Tabel 9 Hasil uji T kualitas air di PLTA Cirata
Parameter P-Value Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010Suhu 0,391 0,406 0,467 0,989 0,074 0,134TDS 0,116 0,759 0,217 0,163 0,110 0,007TSS 0,225 0,401 0,886 0,372 0,375 0,577pH 0,532 0,118 0,623 0,139 0,097 0,059H2S 0,391 - 0,227 0,333 0,459 0,193NO3
- 0,381 0,198 0,759 0,310 0,627 0,284PO4-3_ 0,103 0,153 0,571 0,722 0,034 0,470DO 0,861 0,779 0,373 0,192 0,018 0,832COD 0,960 0,904 0,207 0,781 0,080 0,638BOD 0,892 0,378 0,348 0,692 0,096 0,521Fe 0,319 0,389 0,735 0,428 0,108 0,541
Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data
Konsentrasi rata-rata median TDS (150 mg/L) di outlet Cirata pada tahun
2010 lebih tinggi dibandingkan konsentrasi TDS (112 mg/L) di inlet. Konsentrasi
phosfat (0,26 mg/L) di outlet lebih tinggi dibandingkan di inlet (0,23 mg/L) pada
2009 sebagaimana tertera pada Lampiran 2. Walaupun terdapat dua parameter
pada tahun yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata namun hal
tersebut tidak menggambarkan hasil keseluruhan tentang kualitas air waduk atau
hanya sekitar 3,08 % data yang menunjukkan ada perbedaan nyata. Dengan
demikian kualitas air tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan
sesudah dimanfaatkan oleh PLTA Cirata. Hal ini menunjukkan bahwa PLTA
Cirata dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air.
Analisis hasil uji T memperlihatkan secara statistik kualitas air (kelas IV) di
inlet dan outlet PLTA Saguling dan PLTA Cirata tidak berbeda nyata (α=0,05).
Proses konversi energi potensial air sungai menjadi energi mekanik kemudian
energi listrik di pembangkit tidak ada indikasi adanya tambahan material dalam
kegiatan konversi energi tersebut. Sehingga air yang keluar dari turbin
pembangkit listrik tenaga air tidak menambah beban lingkungan. Air yang keluar
dari turbin PLTA bukan merupakan sisa kegiatan PLTA (Penjelasan pasal 38 ayat
1 dari PP Nomor 82/2001).
Berdasarkan data sebaran kualitas air di Waduk Saguling dan Citara secara
keseluruhan masih di bawah ambang batas dari baku mutu untuk Kelas 4 (PP
No.82/2001), kecuali untuk parameter Biological Oxygen Demand (BOD).
84
Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis merupakan
jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat
diurai oleh mikroorganisma. Dinamika kualitas air inlet di Waduk Saguling untuk
parameter BOD tahun 2005, tahun 2007 hingga tahun 2010 adalah kurang baik.
Sebaran konsentrasi BOD telah melewati ambang batas dari baku mutu untuk
Kelas 4 (Lampiran 5). Hal tersebut juga terjadi di waduk di PLTA Cirata.
Dinamika kualitas air BOD di waduk di Cirata telah melewati ambang baku mutu
Kelas 4 dari PP No. 82/2001 pada tahun 2005, 2006, dan 2008 (Lampiran 6).
Perairan yang memiliki nilai BOD yang tinggi tidak cocok bagi kepentingan
perikanan dan pertanian.
PLTA harus memperhatikan dinamika kualitas air baik di inlet dan outlet,
sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA. Sesuai dengan komitmen
manajemen puncak untuk selalu memenuhi ketentuan yang berlaku dan mencegah
terjadinya polusi dan kerusakan lingkungan yang diikuti dengan melakukan
perbaikan secara berkelanjutan. Evaluasi kualitas air terhadap pemenuhan regulasi
(audit internal maupun tinjauan manajemen) tidak hanya difokuskan dampak
kualitas air terhadap operasional PLTA, PLTA sebagai pemanfaat sumberdaya
perlu memperhatikan keseimbangan ekosistem antara wilayah hulu dan hilir baik
dalam aspek ekonomi dan pelestarian lingkungan sehingga multifungsi air tetap
dapat dipertahankan. Konsentrasi Fe meskipun tidak ditetapkan persyaratan baku
mutunya dalam PP No. 82/2001, Fe yang teroksidasi di dalam air berwarna
kecoklatan dan tidak dapat larut dapat mengakibatkan penggunaan air menjadi
terbatas untuk keperluan fungsi lainnya.
Selain itu diketahui bahwa air yang terdapat pada waduk di PLTA
Saguling dan Cirata digunakan juga untuk aktivitas lain seperti untuk kegiatan
budidaya keramba jaring apung (KJA). Aktivitas KJA merupakan salah satu
bentuk untuk mengurangi dampak sosial ekonomi saat pendirian PLTA dan
pembangunan waduk dengan jumlah maksimum yang ditetapkan. Sisa limbah
pakan ikan dari kegiatan KJA akan menurunkan kualitas air waduk. Peningkatan
kontentrasi nitrat dan phosfat dapat terjadi karena masuknya bahan pencemar
yang mengandung unsur N dan P seperti dari pakan ikan. Limbah yang berasal
dari KJA (tahun 1996-2000) di Waduk Saguling mengandung 1.359.028 kg N dan
85
214.059 kg P, dan di Waduk Cirata mengandung 6.611.787 kg N dan 1.041.417
kg P (Garno 2002). Sementara peningkatan jumlah KJA terus meningkat hingga
berjumlah 7209 petak unit pada tahun 2010 di Waduk Saguling dan sebanyak
51418 unit di Waduk Cirata. Jumlah ini telah melewati kapasitas daya dukung
waduk. Daya dukung Waduk Saguling hanya dapat menampung 4514 unit petak
KJA (Maulana 2010), sedangkan daya dukung Waduk Cirata dapat menampung
sebanyak 24000 unit petak KJA (Hapsari 2010).
Hal penting lainnya adalah keberlangsungan fungsi waduk juga tergantung
pada kondisi keadaan lahan di sekitar daerah tangkapan air (DTA). Berbagai
penggunaan lahan sebagaimana diuraikan dalam analisis perubahan penutupan
lahan lahan dapat menghasilan berbagai bahan pencemar atau limbah yang akan
mengalir ke perairan waduk. Hal ini dapat memberikan dampak negatif terhadap
lingkungan perairan waduk.
Adanya dinamika kualitas air di kedua waduk tersebut menunjukkan bahwa
PLTA tidak bisa berhenti melakukan pengendalian terhadap kualitas air yang akan
dimanfaatkannya meskipun secara statistik kualitas air waduk di wilayah PLTA
Saguling dan Cirata masih sesuai untuk keperluan operasional PLTA. Pendekatan
sukarela untuk perlindungan lingkungan dan sumberdaya air perlu ditunjukkan
dengan adanya konsistensi untuk mempertahankan kualitas air dan melebihi
(beyond) ketentuan dan persyaratan yang berlaku atau yang ditetapkan pihak
yang berwenang. Selain itu, keberlanjutan sumberdaya air juga berarti
keberlanjutan operasional PLTA itu sendiri. Walaupun pelestarian kualitas air
inlet PLTA, terutama di bagian hulu, di luar kendali manajemen PLTA,
manajemen PLTA harus mengkomunikasikan kepada stakeholder terkait yang
memanfaatkan dan/atau berkepentingan terhadap sumberdaya air waduk.
4.3.2 Kualitas Air PLTA Tanggari I dan II
Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Tanggari I dapat
dilihat pada Tabel 10. Hasil uji T menunjukkan bahwa secara umum kualitas air di
outlet sama dengan kualitas air di inlet. Perbedaan secara nyata (α=0,05) pada
kualitas air di inlet dan outlet berdasarkan hasil uji T hanya terlihat pada
konsentrasi BOD pada tahun 2006 dan COD pada tahun 2009.
86
Tabel 10 Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Tanggari I
Parameter P-Value Tanggari I2005 2006 2007 2008 2009 2010
Suhu 0,500 0,252 0,224 - 0,151 0,675TDS 0,500 1,000 0,055 0,143 0,116 0,779TSS 0,305 0,642 0,295 0,062 0,387 0,170pH - 0,391 0,090 0,238 0,209 0,570H2S - - 0,393 - 0,541 -NO3
-2 0,063 0,391 0,483 0,236 0,478 0,313PO4
-3 - 0,391 - - - 0,807DO - - - - - -COD 0,514 0,206 0,248 0,134 0,013* -BOD 0,823 0,048* 0,340 0,204 0,379 -Fe - 0,100 0,346 - 0,232 0,604
Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data
Pada tahun 2005, konsentrasi rata-rata median BOD ( 5,93 mg/L) di oulet
lebih rendah dibandingkan dengan BOD (6,01 mg/L) di inlet. Sedangkan
konsentrasi rata-rata median COD (11,35 mg/L) di outlet lebih tinggi
dibandingkan dengan COD (10,40 mg/L) di inlet pada tahun 2009 sebagaimana
tertera pada Lampiran 3. Walaupun dua parameter yang pada tahun yang berbeda
tersebut menunjukkan adanya perbedaan nyata namun hal tersebut tidak
menggambarkan hasil keseluruhan tentang kualitas air waduk atau hanya sekitar
4,35 % data di wilayah PLTA Tanggari I yang menunjukkan ada perbedaan nyata
(α=0,05). Kualitas air di Tanggari I tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05)
sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA, menunjukkan bahwa
PLTATanggari I dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air
sungat yang dimanfaatkannya .
Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Tanggari II dapat
dilihat pada Tabel 11. Hasil uji T menunjukkan bahwa secara umum kualitas air di
PLTA Tanggari II di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Berdasarkan hasil
uji T perbedaan secara nyata (α=0,05) kualitas air di inlet dan outlet hanya terlihat
pada suhu dan COD pada tahun 2006, dan pH, BOD, NO3-2 pada tahun 2008.
Tabel 11 Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Tanggari II
Parameter P-Value 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Suhu 0,156 0,036 0,346 0,706 0,443 0,878TDS 0,070 0,008 0,241 0,202 0,456 0,626
87
TSS - 0,071 0,387 - 0,313 0,082pH 0,500 0,474 - 0,005 0,092 0,339H2S - - - - 0,421 -NO3
-2 0,698 0,718 - 0,002 0,171 0,949PO4
-3 - - - - - 0,252DO - - - - - -COD 0,358 0,121 0,123 0,237 0,391 -BOD 0,218 0,383 0,689 0,036 0,391 -Fe - 0,252 0,929 - 0,656 0,064
Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data
Konsentrasi rata-rata median pada tahun 2006 COD (25,85 mg/L) di oulet
Tanggari II adalah lebih tinggi dibandingkan COD (22,5 mg/L) di inlet.
Sementara pada tahun 2008, konsentrasi rata-rata median di outlet Tanggari II
untuk NO3-2, BOD dan pH lebih rendah dibandingkan di inlet sebagaimana
terlihat pada Lampiran 4. Dengan demikian Kualitas air di Tanggari II secara
umum tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah
dimanfaatkan oleh PLTA. Hal ini menunjukkan bahwa PLTA dalam kegiatan
operasionalnya tidak menurunkan kualitas air sungai yang dimanfaatkannya.
Secara keseluruhan kualitas air di inlet PLTA Tanggari I dan Tanggari II
masih di bawah ambang batas dari baku mutu untuk Kelas 4 dari PP No.82/2001
sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 7 dan 8. Namun demikian dinamika
kualitas air parameter COD dan Fe di PLTA Tanggari I dan Tanggari II
cenderung lebih tinggi di wilayah outlet dibandingkan di wilayah inlet meskipun
tetap masih di bawah baku mutu untuk Kelas 4 (PP No.82/2001). Adanya
kecenderungan konsentrasi COD dan Fe yang selalu lebih tinggi di wilayah outlet
dibandingkan dengan di inlet perlu di evaluasi lebih lanjut oleh manajemen PLTA.
Dinamika konsentrasi COD di outlet Tanggari I dan II (Gambar 19 dan 20) juga
cenderung lebih tinggi dibandingkan di wilayah inlet mungkin disebabkan adanya
aktivitas pemakaian bahan pelumas dalam pemeliharaan peralatan pembangkit
yang relatif tua (tahun 1984 dan tahun 1987). Kenaikan konsentrasi besi
kemungkinan terjadi karena adanya korosi pada mesin yang sudah relatif lama
(berumur kurang lebih 26 tahun). Konsentrasi Fe yang melebihi 0,3 ppm dapat
menyebabkan air bersifat toksik (Krismono et al. 1987, Kartamihardjo et al. 1987).
88
Gambar 19 Nilai median konsentrasi COD inlet-outlet di PLTA Tanggari I
tahun 2005-2010.
Gambar 20 Nilai median konsentrasi COD inlet-outlet di PLTA Tanggari IItahun 2005-2010.
Selain itu air sungai Tondano juga digunakan untuk aktivitas lainnya. Oleh
karena itu PLTA tetap harus memperhatikan kelestarian sumberdaya air tersebut
sehingga multifungsi sumberdaya air tetap terpelihara. Keberlanjutan sumberdaya
air juga berarti keberlanjutan operasional PLTA.
4.4 Institusi dan Regulasi Terkait Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Mengacu pada kebijakan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya air,
PLTA melakukan serangkaian program lingkungan dengan melakukan
perlindungan terhadap sumberdaya air secara berkelanjutan. Titik fokus kegiatan
0
5
10
15
20
25
2005 2006 2007 2008 2009 2010
CO
D (
mg/
L)
Tahun
COD_in
COD_out
0
5
10
15
20
25
30
2005 2006 2007 2008 2009 2010
COD
(mg/
L)
Tahun
COD_in
COD_out
89
konservasi sumberdaya air yang dilakukan PLTA yaitu pertama untuk menahan
aliran permukaan (run-off) yang sebesar-besarnya dan memberi kesempatan
selama-lamanya air untuk masuk ke dalam tanah (infiltrasi) atau tertahan di muka
tanah di daerah aliran sungai bagian hulu. Serangkian program lingkungan untuk
melindungi sumberdaya air secara berkelanjutan dilakukan melalui program
penghijauan di wilayah Green Belt Waduk PLTA hingga daerah batas konstruksi.
Pengelolaan vegetasi ini mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air,
sehingga wilayah yang ditanami dapat menyimpan air selama musin hujan dan
melepaskannya pada musim kemarau (Asdak, 2010). Kemampuan vegetasi
menangkap butir air hujan sehingga energi kinetik terserap dalam tanaman dan
tidak langsung ke tanah juga akan untuk memperkecil laju erosi (Suripin, 2001).
PLTA Saguling menanam 963.175 pohon di areal seluas 1.403 ha
sebagaimana ditetapkan Roadmad Program Penghijauan tahun 2003-2016. Jenis
pohon yang ditanam adalah pohon buah-buahan, kopi, aren dan jarak. PLTA
Cirata mulai tahun 2003 hingga 2011 (dikelola oleh BPWC) telah menanam
sebanyak 210.120 pohon dengan jenis tanaman buah-buhan, aren dan kayuan
seperti mahoni, mindi, angsana, karet dan trambesi. PLTA Tanggari I dan II
memiliki program 10.000 pohon per tahun.
Penghijauan di wilayah DAS (Green Belt) Waduk PLTA belum
menunjukkan pencapaian tujuan konservasi sumberdaya air secara signifikan
dibandingkan dengan penurunan daya dukung lingkungan akibat tingginya
perubahan tutupan di wilayah hulu PLTA. Untuk mencapai tujuan perlindungan
sumberdaya alam dan lingkungan, pendekatan voluntari memberi fleksibilitas
untuk mengembangkan cara untuk mencapai perlindungan lingkungan yang tentu
saja memperhitungan aspek ekonomi dan sosial dan secara teknis dapat dilakukan.
Pengendalian kualitas maupun kuantitas air sungai (waduk) tidak bisa
dikendalikan sendiri. Pemanfaataan sumberdaya air yang notabene sebagai barang
publik meminta PLTA perlu memahami perspektif dan concern stakeholder yang
memiliki kepentingan terhadap ekosistem dan sumberdaya air. Selain itu, strategi
dan teknik operasional pelaksanaannya harus mengacu pada regulasi yang telah
ditetapkan. Pemetaan tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder dijadikan
sebagai dasar membangun kelembagaan terkait pengelolaan sumberdaya air
90
PLTA. Sementara tinjauan regulasi (legal review) dijadikan dasar pelaksanaan
pengelolaan sumberdaya air PLTA yang taat aturan.
4.4.1 Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Stakeholder yang teridentifikasi terkait dengan pengelolaan sumberdaya air
PLTA meliputi Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum,
Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Perhutani/HTI, PLN, Dinas
Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Perusahaan Pengguna, Masyarakat,
Pemerintah Daerah, Investor, P3B dan LSM. Hasil justifikasi pakar mengenai
tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pencapaian program
pengelolaan sumberdaya air di PLTA ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12 Matrik analisis stakeholder perlindungan sumberdaya air di PLTA
Pemangku kepentinganTingkat
KepentinganTingkat
PengaruhKementerian Kehutanan Tinggi TinggiKementerian Pekerjaan Umum Tinggi TinggiPerhutani/HTI Tinggi TinggiKementerian ESDM Tinggi TinggiKementerian Kelautan dan Perikanan PLNKementerian Lingkungan Hidup (KLH)PLTA
TinggiTinggiTinggiTinggi
TinggiTinggiTinggiTinggi
Dinas Kehutanan Dinas Pekerjaan UmumKementerian PertanianDPRD
TinggiTinggiTinggiRendah
RendahRendahRendahTinggi
Perusahaan pengguna Tinggi RendahMasyarakat Tinggi RendahPemerintah Daerah Rendah TinggiInvestor Rendah TinggiLSMP3B
RendahRendah
Rendah Rendah
Sumber : data primer dari justifikasi pakar
Hasil pendapat pakar mengenai besarnya tingkat kepentingan dan pengaruh
masing-masing stakeholder dipetakan dalam empat kuadaran yaitu kuadaran I, II,
III, dan IV yang menunjukan posisi kepentingan dan pengaruh masing-masing
stakeholder. Melalui pemetaan ini, dapat diketahui peran masing-masing
91
stakeholder. Adapun posisi setiap
digambarkan seperti pada Gambar
Gambar 21 Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya
Gambar 21 menunjukkan
kepentingan (stakeholder) terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.
Ketiga kelompok pemangku kepentingan tersebut adalah
stakeholder sekunder dan stakeholder
stakeholders) atau stakeholder
pengaruh yang relatif lebih rendah dalam proses
Stakeholder sekunder (secondary stakeholders
pengaruh dalam proses penentuan kebijakan
Sementara stakeholder ekternal (
Masyarakat
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
0.00 1.00
Kep
enti
ngan
Stakeholders Primer
Stakeholders Sekunder
Stakeholders Eksternal
Adapun posisi setiap stakeholder berdasarkan hasil pemetaan
Gambar 21.
Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya.
menunjukkan bahwa terdapat 3 kelompok pemangku
terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.
Ketiga kelompok pemangku kepentingan tersebut adalah stakeholder primer,
stakeholder eksternal. Stakeholder primer (primary
stakeholder kunci memiliki tingkat kepentingan tinggi dengan
relatif lebih rendah dalam proses penentuan kebijakan
econdary stakeholders) memiliki tingkat kepentingan dan
pengaruh dalam proses penentuan kebijakan dengan proporsi relatif sama
ekternal (external stakeholders) memiliki tingkat
PLN (Persero)
PLTA
Kementerian ESDM
Kemenhut
Kementerian PU
Kementan KLH
Pemda
DPRD
Dinas PU
Dishut
Dinas LH
Masyarakat
Perusahaan Pengguna
LSM P3B
Kementerian KP
Perhutani
Investor
2.00 3.00 4.00 5.00
Pengaruh
Stakeholders
Stakeholders
Stakeholders
berdasarkan hasil pemetaan
Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat
terdapat 3 kelompok pemangku
terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.
primer,
rimary
tingkat kepentingan tinggi dengan
penentuan kebijakan.
ngan dan
sama.
tingkat
92
kepentingan relatif lebih rendah dengan pengaruh yang tinggi dalam proses
penentuan kebijakan.
Stakeholder kunci terdiri dari Kementerian Kehutanan, PLN (Persero),
PLTA, Perhutani/HTI, Dinas LH, Dinas Kehutanan, Dinas PU, Perusahaan
Pengguna dan masyarakat. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menjadi pihak
yang memiliki pengaruh dan tingkat kepentingan tertinggi. Hal ini diterkait
mungkinkan karena aspek pengelolaan sumberdaya air sangat dekat dengan
wilayah hulu DAS yang sebagian besar merupakan kawasan hutan yang menjadi
tupoksi Kemenhut. Kemenhut menjadi pihak yang paling berpengaruh dalam
proses penyusunan kebijakan strategis terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA,
karena output kebijakan Kemenhut mampu menjangkau semua pihak terkait.
Pada kelompok tengah stakeholder primer (kunci), PLTA menjadi pihak
yang paling berkepentingan, sehingga harus menjadi pihak yang proaktif pada
tataran operasional. PLTA perlu melakukan komunikasi eksternal dan kerjasama
dengan stakeholder kunci lain agar program perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air PLTA tercapai. Stakeholder yang memenuhi kriteria tersebut
yaitu Kemenhut, PLN dan Perhutani di tataran pusat, serta Dinas LH, Dinas
Kehutanan, Dinas PU, perusahaan pengguna, dan masyarakat pada tataran daerah.
Sementara masyarakat menjadi pihak kunci yang berkepentingan, tetapi
memiliki pengaruh yang relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
merupakan pihak kunci yang lebih banyak menerima dampak kebijakan
pengelolaan sumberdaya air. Oleh karena itu, setiap proses penyusunan dan
pengambilan kebijakan tetap harus melibatkan masyarakat yang akan menjadi
objek penerima dampak di tataran hilir pelaksanaan kebijakan. PLTA harus
melibatkan masyarakat agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan
kebijakan pada tataran operasional. Program lingkungan yang tidak melibatkan
masyarakat tidak akan berhasil. Mereka banyak bergantung pada sumberdaya
alam di wilayah ini untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kepentingan
masyarakat lebih dipengaruhi oleh kebutuhan mereka akan kelestarian
sumberdaya untuk menopang hidup mereka. Masyarakat sebagian besar bersedia
lahannya dijadikan lahan untuk rehabilitasi (Sundawati & Sanudin 2009).
93
Kementerian PU, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi
institusi pusat yang bisa mendukung program pengelolaan sumberdaya air
berbasis sukarela. Hal ini disebabkan, semua institusi pusat ini berada pada
kuadran stakeholder sekunder. Pada kuadran ini juga terdapat DPRD dan Pemda
sebagai lembaga daerah yang bisa mendukung keberhasilan program. Sementara
pihak swasta yang berada pada kuadran ini adalah pihak investor. Kelompok ini
penting untuk mendukung program konservasi SDA namum perlu pemberdayaan
dalam tataran operasional. PLTA harus mengajak dan meminta dukungan pihak-
pihak tersebut. Pemda dan investor patut diajak kerjasama dalam tataran
operasional. Pemda berperan sebagai fasilitator dan pemberian izin yang terkait
dengan program lingkungan. Investor meskipun memiliki tingkat kepentingan
yang rendah namun penting diperhatikan karena memiliki tingkat pengaruh dalam
pembentukan opini green product PLTA di pasar internasional.
LSM dan Pusat Penyaluran dan pengatur Beban (P3B) memiliki tingkat
kepentingan dan pengaruh yang relatif rendah dalam konservasi sumberdaya air.
PLTA perlu memperhatikan kebutuhan P3B terkait dengan kebutuhan energi
listrik yang dibuutuhkan. LSM dapat diajak untuk membantu memberikan
advokasi dan pelatihan kepada masyarakat.
PLTA perlu mengembangkan upaya untuk membangun potensi kolaborasi
yang dapat dikembangkan dari stakeholder ini. Upaya konservasi sumberdaya air
tidak dapat dikerjakan sendiri, tetapi membutuhkan upaya bersama dari berbagai
pihak. Sebagai pihak yang memanfaatkan sumberdaya air, PLTA perlu
mengetahui tipikal dan concern masing-masing stakeholder guna menetapkan
kunci keberhasihan. Secara umum stakeholder memiliki perhatian lebih pada
kredibilitas dan kemudahan aksesibilitas data, dan ingin mengetahui apakah
tujuan pengelolaan sumberdaya air PLTA sesuai dengan strategi lingkungan
mereka. Komunikasi eksternal perlu dilakukan lebih intensif dengan pemangku
kepentingan guna keberhasilan program lingkungan PLTA dan memperoleh
akseptasi mereka.
4.4.2 Tinjauan Regulasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
94
Peraturan perundang-undangan yang diacu oleh ke-empat PLTA dalam
melakukan perlindungan sumberdaya air pada tahap operasional adalah Undang-
undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, PP
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Nomor KEP-02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu
Lingkungan. Selain itu, terkait pengelolaan dan perlindungan kawasan yang lebih
luas (DAS hulu PLTA), PLTA juga harus megacu pada UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.
Secara umum UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terdiri dari
3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak
air. Hal ini menunjukkan bahwa untuk melakukan pengelolaan waduk dengan
melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian daya rusak air. Berdasarkan
UU ini, penetapan kebijakan pengelolaan sumberdaya air berada pada pemerintah
sesuai dengan wilayah penyebarannya. Wilayah sungai yang melintasi provinsi
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, wilayah sungai yang melintasi
kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, dan wilayah sungai
yang hanya ada di kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Sementara PP Nomor 42 Tahun 2008,
memberikan kewenangan kepada Dinas pada tingkat provinsi untuk membantu
wadah koordinasi pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai-sungai lintas
kabupaten/kota dalam penyusunan rancangan pola pengelolaan sumberdaya air.
Hal ini sejalan dengan arahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota
yang mengatur kewenangan otonomi daerah. Pengelolaan DAS Citarum di mana
PLTA Saguling dan Cirata berada yang melintasi dua kabupaten, menurut UU 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan tanggung jawab pemerintah
95
provinsi. Sementara DAS Tondano di mana PLTA Tanggari I dan II berada dalam
satu kabupaten yang sama.
Sebagai langkah antisipasi, UU Nomor 7 Tahun 2009 ini juga melarang
berbagai pihak untuk melakukan kegiatan yang bisa mengakibatkan daya rusak air.
Selain itu, UU ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk terlibat dalam
proses penentuan kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya air sekaligus
memperoleh manfaat dari pengelolaannya. Berbagai peran masyarakat terhadap
pengelolaan lingkungan juga diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 yang tentu
saja terkait dengan pengelolaan sumberdaya air sebagai salah satu aspek dari
lingkungan.
Kebijakan lain terkait pengelolaan sumber daya air adalah pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran yang diatur dalam PP Nomor 82 Tahun
2001 dan PP No 42 Tahun 2008. Pengelolaan kualitas air tersebut dilakukan
dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumberdaya
air. Perbaikan kualitas air pada sumber air dan prasarana sumberdaya air sendiri
diatur untuk dilakukan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai wewenang dan
tanggung jawabnya. Sementara itu, penerapan konsep daya dukung dan daya
tampung lingkungan perlu diimplementasikan dalam pengelolaan sumberdaya air,
karena merupakan bagian dari aspek lingkungan. Hal ini ditegaskan dalam UU
Nomor 32 Tahun 2009.
Pengelolaan yang terkait kawasan lindung dan budidaya yang berada pada
wilayah PLTA diatur dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU ini
mengatur juga tentang pembangunan berkelanjutan dengan mendefinisikan
keberlanjutan dalam konteks penataan ruang adalah diselenggarakan dengan
menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung
lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Selain itu,
kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan,
termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan
setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan.
Terkait dengan pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
PLTA berkomitmen untuk melakukan konservasi sumberdaya air sesuai dengan
konsepsi yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
96
Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-
02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Konservasi air
ditujukan untuk meningkatkan volume air, meningkatkan efisiensi penggunaannya,
memperbaiki kualitas sesuai dengan peruntukkannya, dan menjaga keberlanjutan
kemampuan sumberdaya air untuk mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya.
Gambaran berbagai hal tentang perlindungan dan pengelolaan sumberdaya
air dari aspek regulasi tersebut harus menjadi acuan dalam melakukan
implementasi kebijakan. Kondisi saat ini pada empat PLTA yang diteliti, masih
terjadi penurunan kualitas air akibat pemanfaatannya sebagai pembangkit tenaga
listrik. Hal ini terlihat dari hasil analisis deskriptif kualitas air pada inlet dan outlet
PLTA yang masih menunjukkan adanya penurunan kualitas air setelah
dimanfaatkan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan regulasi yang melarang
kegiatan yang bisa menyebabkan daya rusak air, termasuk penurunan kualitasnya.
Selain itu, pada sisi pengelolaan masih terjadi konflik kepentingan dan
lemahnya koordinasi antar berbagai stakeholder terkait sumberdaya air. Hal ini
bisa menghambat pencapaian pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan.
Masyarakat dan pihak swasta lainnya yang diberi peluang untuk mendapat
manfaat dari sumberdaya air juga masih melakukan kegiatan yang tidak sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Salah satunya pemanfaatan badan air
waduk/genangan untuk kegiatan budidaya ikan KJA. Saat ini, sudah terjadi
pemanfaatan Waduk Cirata dam Saguling untuk budidaya ikan KJA yang
melampaui batas daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Selain itu, ada
juga pemanfaatan waduk untuk budidaya ikan KJA yang tidak sesuai zonasi
peruntukannya.
Berbagai kesenjangan antara regulasi yang harus ditaati dengan kondisi saat
ini di lapangan menjadi gap yang harus dikurangi hingga dihilangkan. Hal ini
bisa dilakukan dengan melakukan penaatan terhadap berbagai peraturan yang
97
telah ditetapkan, serta inisiatif sukarela dari stakeholder guna
mengimplementasikan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air.
4.5 Nilai Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA
Perusahaan akan mengembangkan suatu program, bila benefit yang
diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Benefit akibat perlindungan
dan pengelolaan sumberdaya air diperoleh dari jasa yang diberikan ekosistem air
yang terlindungi. Jasa ekosistem memberikan use value dan non -use value. Use
value terdiri atas direct use value, indirect use value dan option value. Non-use
value terkait dengan existence value.
Nilai ekonomi dari akibat perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air
mempertimbangkan seluruh value yang dikandung dari program tersebut jarang
sekali dihitung. Berkaitan dengan program pelestaraian sumberdaya air di PLTA,
dilakukan analisis valuasi ekonomi akibat program lingkungan dengan mengambil
kasus di PLTA Saguling.
Analisis data menggunakan pendekatan Total Economic Value (TEV) yaitu
analisis kebijakan untuk menilai manfaat lingkungan secara ekonomis dengan
menggabungkan unsur dari berbagai disiplin ilmu yang bersifat deskriptif, valuatif
dan normatif. Nilai lingkungan tidak hanya bergantung pada nilai pemanfaatan
langsung, namun juga pada seluruh fungsi sumberdaya lain yang memberi nilai
(ekonomis dan non ekonomis) yang setinggi-tingginya.
Model ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaataan
sumberdaya yang dapat diukur secara nyata berdasarkan tolok ukur nilai moneter.
Potensi benefit use value dihitung dari market output yang langsung terkait
dengan PLTA yaitu nilai produksi listrik, market output tidak langsung dengan
PLTA akibat dampak positif dari program lingkungan yang dilakukan PLTA,
yaitu nilai produksi ikan, unprices benefit dihitung dari nilai ekowisata, serta
ecological function value dihitung dari potensi nilai karbon dari program
penghijauan, cadangan air tanah, dan cadangan air waduk. Sedangkan non-use
terdiri atas option value, bequest value dan existence value yang dinilai melalui
nilai pasar.
98
4.5.1 Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA Sagulingdan Cirata di Provinsi Jawa Barat
Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA di Provinsi Jawa
Barat terdiri dari nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung
(indirect use value), dan nilai bukan guna (non-use value). Nilai guna langsung
terdiri dari nilai produksi listrik, nilai produksi ikan, dan nilai ekowisata.
Sementara nilai guna tidak langsung yang juga merupakan nilai fungsi ekologis
(ecological function value) terdiri dari nilai serapan karbon, nilai cadangan air
tanah, dan nilai cadangan air waduk. Sementara nilai bukan guna terdiri dari nilai
pilihan dan nilai kelestarian.
A. PLTA Saguling
Nilai Guna Langsung
Nilai Produksi Listrik
Nilai produksi listrik merupakan keuntungan yang bisa diperoleh dari
penjualan energi listrik yang diproduksi oleh PLTA. Nilai keuntungan ini
ditentukan oleh jumlah produksi listrik yang bisa dijual dikurangi biaya
produksinya. Produksi listrik PLTA Saguling setiap tahunnya sebesar 2.158
GWh. Berdasarkan statistik listrik PLN, harga jual rata-rata per kWh
sebesar Rp 591,11 dengan biaya produksi Rp 463, maka bisa diperoleh
keuntungan sebesar Rp 276.008.200.000 atau Rp 276 milyar setiap
tahunnya.
Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA
Nilai ekonomi produksi ikan yang berasal dari usaha keramba jaring apung
(KJA) merupakan keuntungan yang bisa diperoleh dari penjualan ikan hasil
budidaya setiap tahunnya. Nilai keuntungan ini ditentukan oleh jumlah KJA,
jumlah produksi ikan, harga jual ikan, dan biaya usaha budidaya yang
dikeluarkan. Berdasarkan data pada Waduk Saguling terdapat 4.514 unit
KJA (Maulana 2010) dengan rata-rata produksi 2 ton per tahun ikan mas
dan ikan nila setiap unitnya. Harga jual ikan mas berkisar sebesar Rp 14.000
per kg dan harga jual ikan nila sebesar Rp 15.000 per kg. Jika biaya
produksi yang dikeluarkan Rp 28.731.610.000 per unit KJA setiap
99
tahunnya, maka bisa diperoleh keuntungan sebesar Rp 233.080.390.000 atau
Rp 233,08 milyar setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata
Nilai ekonomi ekowisata di Waduk Saguling dihitung dari besarnya biaya
perjalanan wisata yang dikeluarkan oleh setiap pengunjung yang datang
setiap tahunnya. Pengunjung yang datang umumnya wisatawan transit ke
wilayah ini dan rata rata hanya berkunjung 1 kali dalam setahun. Biaya
Pengeluaran terdiri atas biaya transportasi dan biaya akomodasi dan
konsumsi. Dari hasil kuesioner diperoleh bahwa biaya rata rata transportasi
sebesar Rp 116.000,- dan biaya akomodasi dan konsumsi sebesar Rp
33.000,-. Jadi biaya Pengeluaran sebesar Rp. 149.000,-/orang.
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan diperoleh data bahwa rata-
rata pengunjung yang datang ke waduk Saguling pada hari-hari biasa
(Senin-Jumat) berkisar 10 orang, sedangkan pada hari libur seperti hari
Sabtu dan Minggu dapat mencapai 20 orang pengunjung. Dari data tersebut
diketahui jumlah pengunjung rata-rata 4 orang per hari atau 1.460
pengunjung per tahun. Nilai ekonomi wisata di sekitar Waduk Saguling
yaitu sebesar Rp. 149.000 x 1.460 pengunjung = Rp 217, 54 juta = Rp.
0,217 milyar setiap tahunnya.
Nilai Guna Tidak Langsung
Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon)
Nilai ekonomi penyerapan karbon dapat dihitung berdasarkan besarnya
kandungan karbon yang tersimpan di dalam vegetasi hutan yang
dikonversikan dalam nilai finansial. Menurut Brown dan Peaece (1994)
dalam Widada (2004), hutan alam primer, hutan sekunder, dan hutan
terbuka memiliki kemampuan menyimpan masing-masing karbon sebesar
283 ton per hektar, 194 ton per hektar, dan 115 ton per hektar. Setiap 1 ton
karbon dapat dihargai dengan nilai finansial yang berkisar antara $1 US
sampai $28 US (Soemarwoto, 2001). Berdasarkan data ini, maka nilai
ekonomi penyerapan karbon di kawasan hutan sekitar Waduk Saguling
dapat dihitung. Untuk menghindari penilaian yang terlalu tinggi atau terlalu
100
rendah, maka nilai finansial yang diambil adalah nilai tengah dari yang
ditetapkan oleh Soemarwoto yaitu sebesar $19 US per ton.
Nilai ekonomi penyerapan karbon di sekitar Waduk Saguling , dapat
dihitung dengan asumsi sebagai berikut
1. Luas kawasan hutan di sekitar Waduk Saguling 1.403 hektar dimana
keseluruhan merupakan hutan sekunder.
2. Satu hektar hutan sekunder di kawasan hutan sekitar Waduk Saguling
menyimpan karbon sebesar menyimpan karbon sebesar 194,00 ton
karbon.
3. Nilai karbon sebesar $US 19 per ton dimana untuk $US 1 = Rp 9.425,85
Adapun nilai ekonomi serapan karbon di kawasan Waduk Saguling adalah =
1403 ha x 194,00 ton x $US 19 x Rp. 9425,85 = Rp 35,57 milyar setiap
tahunnya.
Nilai Cadangan Air Tanah
Jumlah cadangan air tanah di DAS Saguling pada dasarnya merupakan
sumber utama bagi air permukaan yang mengalir di Sungai Citarum hulu.
Secara tidak langsung air ini juga menjadi pemasok utama pembangkit
listrik PLTA Saguling. Sehingga cadangan air tanah ini memiliki potensi
ekonomi setara dengan jumlah pembangkitan energi listrik yang bisa
dihasilkannya. Besarnya potensi tersebut bisa dihitung dari volume air input
yang berasal dari curah hujan di seluruh DAS, dikurangi yang mengalir di
air permukaan (run off) dan penguapan yang terjadi di seluruh permukaan
DAS.
Berdasarkan data diketahui bahwa luas DAS Waduk Saguling adalah
222.830 ha, dengan rata-rata curah hujan sebesar 3.378 mm/tahun dan rata-
rata penguapan sebesar 1.116 mm/tahun, serta debit air permukaan sebesar
108 m3/detik. Volume cadangan air tanah dihitung dari volume input curah
hujan dikali luas DAS, dikurangi volume output penguapan dikali luas DAS
dan aliran permukaan. Setiap m3 cadangan air tanah ini berpotensi
menghasilkan energi listrik senilai Rp 202. Hasil perhitungan menunjukkan
volume cadangan air tanah tersebut bernilai sebesar Rp 330.174.373.200
atau Rp 330,17 milyar setiap tahunnya.
101
Nilai Cadangan Air Waduk
Seperti hanya cadangan air tanah, air yang tergenang dalam waduk juga
berpotensi untuk dikonversi menjadi energi listrik senilai Rp 202/m3.
Potensi ini bisa hilang jika volume air di waduk mengalami pengurangan
akibat sedimentasi. Sehingga volume sedimentasi yang masuk ke dalam
waduk berpotensi menghilangkan nilai ekonomi cadangan air waduk.
Besarnya nilai ekonomi cadangan air waduk sebanding dengan banyaknya
sedimen yang masuk ke waduk setiap tahunnya. Berdasarkan data PT
Indonesia Power (2010) diketahui rata-rata volume sedimen yang masuk ke
dalam Waduk Saguling sebesar 4,2 juta m3 setiap tahunnya. Sehingga nilai
cadangan air waduk yang hilang sebesar Rp 848,4 juta setiap tahunnya.
Nilai Bukan Guna
Nilai Pilihan
Nilai pilihan waduk adalah nilai pemanfaatan sumberdaya waduk untuk
pemanfaatan dimasa yang akan datang. Nilai pilihan waduk dihitung sama
dengan dengan nilai keberadaan di atas yaitu menggunakan metode
Contingent Valuation Method (CVM) yang didasarkan pada seberapa besar
seseorang atau masyarakat mau membayar (willingness to pay) untuk
melindungi sumberdaya waduk. Nilai pilihan ini dihitung berdasarkan
bagaimana manfaat sumberdaya alam yang terkandung dalam waduk dapat
dipertahankan sehingga dapat dimanfaatkan untuk masa yang akan datang.
Untuk mengumpulkan data berkaitan dengan nilai pilihan ini, disebarkan
kuisioner kepada responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden menyatakan bahwa
Waduk perlu dipertahankan manfaat yang terkandung di dalamnya terutama
untuk pemanfaatan dimasa yang akan datang. Terkait dengan kesediaan
membayar agar manfaat SDA dalam hutan sekitar waduk tetap
dipertahankan, sekitar 50% menyatakan bersedia membayar dan sisanya
(50%) menyatakan tidak bersedia membayar.
Adapun besar biaya yang bersedia dibayarkan untuk mempertahankan
manfaat Waduk Saguling adalah sekitar 75 % bersedia membayar sebesar
Rp. 5.000,- dan hanya sekitar 25 % bersedia membayar sebesar Rp. 10.000,-.
102
Dari kisaran kesediaan membayar tersebut, jika dirata-ratakan maka dapat
diketahui besaran kesediaan membayar setiap responden yaitu sebesar Rp.
12.500,00/orang
Berdasarkan data di atas, dihitung nilai pilihan waduk yaitu nilai manfaat
(WTP) dikalikan dengan jumlah penduduk di wilayah penelitian.
Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk di sekitar waduk sebanyak
618.479 jiwa, sehingga nilai pilihan Waduk Saguling = Rp 12.500 x
618.479 jiwa = Rp 7.730.987.500 atau Rp 7,73 milyar.
Nilai Kelestarian Waduk
Nilai kelestarian waduk juga dihitung dengan metode Contingent Valuation
Method (CVM). Nilai kelestarian waduk dihitung berdasarkan pentingnya
dilestarikan kawasan waduk terutama untuk mempertahankan fungsinya
sebagai kawasan konservasi air untuk operasional PLTA dan kebutuhan air
bagi masyarakat sekitar. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan
kuisioner untuk 120 responden. Informasi yang ingin digali dalam kuisioner
dituangkan dalam bentuk pertanyaan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden
menyatakan bahwa waduk perlu dilestarikan untuk mempertahankan
fungsinya sebagai kawasan konservasi air dan pemenuhan kebutuhan air
bagi masyarakat. Berkaitan dengan kesediaan membayar untuk melestarikan
fungsi Waduk, sekitar 62,5 % menyatakan bersedia membayar dan 37,2 %
menyatakan tidak bersedia membayar.
Adapun besar biaya yang bersedia dibayarkan untuk melestarikan Waduk
adalah sekitar 37,5 % bersedia membayar sebesar Rp. 5.000, sekitar 12,5 %
bersedia membayar sebesar Rp. 10.000 dan sekitar 12,5 % bersedia
membayar sebesar Rp. 15.000 serta sisanya yaitu sekitar 37,3 % tidak
bersedia membayar. Dari kisaran kesediaan membayar tersebut, jika dirata-
ratakan maka dapat diketahui besaran kesediaan membayar setiap responden
yaitu sebesar Rp. 15.000,00/orang .
Berdasarkan data di atas, dapat dihitung nilai kelestarian waduk yaitu nilai
kelestarian (WTP) dikalikan dengan jumlah kepala keluarga di wilayah
penelitian. Jumlah kepala keluarga sebanyak diasumsikan ¼ dari jumlah
103
penduduk atau setiap keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang. Nilai
Pelestarian Waduk = Rp 15.000,00 x (35.638 jiwa/4) = Rp 2.319.296.250
2,31 milyar setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Total
Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA
Saguling merupakan jumlah dari keseluruhan nilai guna langsung, nilai guna
tidak langsung, dan nilai bukan guna disajikan dalam Tabel 13.
Berdasarkan hasil penelitian seperti diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa
perlindungan dan pengeloaan sumberdaya air di PLTA dengan studi kasus di
PLTA Saguling memiliki nilai ekonomi yang cukup besar terkait pemanfaatan
jasa lingkungan waduk. Nilai ekonomi ini dihitung dari perbaikan sistem
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA dan perbaikan hubungan
antara perusahaan (PLTA) dengan masyarakat sekitar sebagai manfaat utama
yang diperoleh PLTA Saguling.
Tabel 13 Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Saguling
No Parameter Jumlah (Rp)1 Nilai Benefit Listrik 276.008.200.0002 Nilai Keuntungan Ikan 233.080.390.0003 Nilai Ekowisata 217.540.000
Nilai Guna Langsung 509.306.130.0004 Nilai Serapan Karbon 35.577.531.4945 Nilai Potensi Cadangan Air 330.174.373.2006 Nilai Potensi Kelestarian Air 848.400.000
Nilai Guna Tidak Langsung 366.600.304.6947 Option Value 7.730.987.5008 Preservation Value 2.319.296.250
Nilai Bukan Guna 10.050.283.750Nilai Ekonomi Total 885.956.718.444
Besar nilai ekonomi total (Total Economic Value) dari pengelolaan
sumberdaya air di PLTA Saguling mencapai Rp. 885.956.718.444 atau sekitar
Rp. 0,885 triliyun.
B. PLTA Cirata
104
Nilai Guna Langsung
Nilai Produksi Listrik
Berdasarkan perhitungan yang sama, maka potensi nilai ekonomi produksi
listrik PLTA Cirata yang bisa diperoleh sebesar Rp 182.385.400.000 atau
Rp 182,38 milyar setiap tahunnya. Nilai ini diperoleh karena PLTA Cirata
memproduksi rata-rata energi listrik sebesar 1.426 GWh setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA
Sementara potensi nilai ekonomi produksi ikan PLTA Cirata dipengaruhi
oleh daya dukung waduk terhadap jumlah KJA maksimum yang bisa
diusahakan, yaitu sejumlah 24.000 unit (Hapsari 2010). Jumlah ini
memungkinkan diperolehnya nilai ekonomi produksi budidaya perikanan
sebesar Rp 1.239.240.000.000 atau Rp 1,23 triliun setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata
Jmlah kunjungan wisatawan sebanyak 17.516 setiap tahun ke lokasi sekitar
PLTA Cirata berkontribusi terhadap nilai ekonomi kegiatan ekowista.
Berdasarkan jumlah wisatawan tersebut, maka potensi nilai ekonomi yang
bisa diperoleh dari kegiatan ekowisata di sekitar PLTA Cirata sebesar Rp
2.627.400.000 atau Rp 2,62 milyar setiap tahunnya.
Nilai Guna Tidak Langsung
Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon)
Luasan lahan yang telah direboisasi seluas 525 ha di sekitar PLTA Cirata
menghasilkan potensi nilai ekonomi penyerapan sebesar Rp 18.250.856.732
atau Rp 18,25 milyar setiap tahunnya.
Nilai Cadangan Air Tanah
DAS Waduk Cirata yang merupakan perluasan dari DAS Waduk Saguling
memiliki cadangan air tanah yang lebih banyak. DAS Cirata mencakup
wilayah seluas 465.286 ha dengan curah hujan rata-rata 2.557 mm/tahun
dan penguapan rata-rata 1.116 mm/tahun. Berdasarkan kondisi tersebut,
diperoleh potensi nilai ekonomi cadangan air tanah PLTA Cirata sebesar Rp
222.230.744.400 atau Rp 222,23 milyar setiap tahunnya.
Nilai Cadangan Air Waduk
105
Waduk Cirata yang berada di hilir Waduk Saguling tentu saja menerima
erosi dan sedimentasi yang lebih besar. Hal ini disebabkan luas DAS yang
lebih besar, sehingga perhitungan potensi nilai ekonomi cadangan air waduk
PLTA Cirata menghasilkan nilai sebesar Rp 961.520.000 atau Rp 0,96
milyar setiap tahunnya.
Nilai Bukan Guna
Nilai Pilihan
Jumlah penduduk di sekitar Waduk Cirata yang berjumlah sebesar 234.322
jiwa berpengaruh terhadap besarnya nilai pilihan. Berdasarkan perhitungan
potensi nilai pilihan PLTA Cirata sebesar Rp 2.929.025.000 atau Rp 2,92
milyar setiap tahunnya.
Nilai Kelestarian Waduk
Jumlah penduduk tersebut berkontribusi juga terhadap banyaknya kepala
keluarga (KK) yang bermukim di sekitar Waduk Cirata. Hal ini
menghasilkan perhitungan potensi nilai ekonomi kelestarian waduk PLTA
Cirata sebesar Rp 878.707.500 atau Rp 0,87 milyar setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Total
Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA
Cirata merupakan jumlah dari keseluruhan nilai guna langsung, nilai guna tidak
langsung, dan nilai bukan guna disajikan dalam Tabel 14.
Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa perlindungan dan pengeloaan
sumberdaya air di PLTA dengan studi kasus di PLTA Cirata juga memiliki
nilai ekonomi yang cukup besar terkait pemanfaatan jasa lingkungan waduk.
Nilai ekonomi ini dihitung dari perbaikan sistem perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air PLTA dan perbaikan hubungan antara perusahaan (PLTA)
dengan masyarakat sekitar sebagai manfaat utama yang diperoleh PLTA Cirata.
Besar nilai ekonomi total dari pengelolaan sumberdaya air di PLTA Cirata
mencapai Rp. 1.669.503.653.632 atau sekitar Rp. 1,66 triliyun.
Tabel 14 Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Cirata
No Parameter Jumlah (Rp)1 Nilai Benefit Listrik 182.385.400.000
106
2 Nilai Keuntungan Ikan 1.239.240.000.0003 Nilai Ekowisata 2.627.400.000
Nilai Guna Langsung 1.424.252.800.0004 Nilai Serapan Karbon 18.250.856.7325 Nilai Potensi Cadangan Air 222.230.744.4006 Nilai Potensi Kelestarian Air 961.520.000
Nilai Guna Tidak Langsung 241.443.121.1327 Option Value 2.929.025.0008 Preservation Value 878.707.500
Nilai Bukan Guna 3.807.732.500Nilai Ekonomi Total 1.669.503.653.632
4.5.2 Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTATanggari I dan Tanggari II di Provinsi Sulawesi Utara
Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA di Provinsi
Sulawesi Utara terdiri dari nilai NET PLTA Tanggari I dan II. Berbeda dengan
PLTA di Provinsi Jawa Barat, PLTA di Provinsi Sulawesi Utara hampir seluruh
parameternya memiliki fungsi ekonomi secara bersama. Fungsi ekonomi jasa
lingkungan yang dihitung terpisah hanya nilai produksi listrik masing-masing
PLTA. Sehingga nilai ekonomi total PLTA Tanggari I dan II merupakan jumlah
nilai ekonomi produksi listrik masing-masing PLTA ditambah nilai ekonomi
parameter lainnya secara bersama-sama. Persamaan dan teknik perhitungan yang
digunakan sama dengan yang dilakukan pada PLTA di Provinsi Jawa Barat.
Nilai Guna Langsung
Nilai Produksi Listrik
Berdasarkan perhitungan, potensi nilai ekonomi produksi listrik PLTA
Tanggari I yang bisa diperoleh sebesar Rp 1.164.350.440 atau Rp 1,16
milyar setiap tahunnya. Sementara potensi nilai ekonomi produksi listrik
PLTA Tanggari II adalah sebesar Rp 1.391.374.859 atau Rp 1,39 milyar
setiap tahunnya. Sehingga total nilai produksi listrik untuk PLTA Tanggari
I dan II adalah sebesar Rp 2.555.725.299 atau Rp 2,55 milyar per tahunnya.
Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA
Potensi nilai ekonomi produksi ikan PLTA Tanggari I dan II dengan
keberadaan KJA sebanyak 6000 unit. Hal ini menghasilkan potensi nilai
107
ekonomi produksi ikan sebesar Rp 235.350.000.000 atau Rp 0,23 triliun
setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata
Potensi nilai ekonomi yang bisa diperoleh dari kegiatan ekowisata di sekitar
PLTA Tanggari I dan II sebesar Rp 9.317.430.000 atau Rp 9,31 milyar
setiap tahunnya. Hal ini diperoleh berdasarkan rata-rata jumlah wisatawan
yang berkunjung sebanyak 34.509 orang setiap tahunnya. Selain itu, hal ini
diperoleh dari besarnya pengeluaran wisatawan yang berupa biaya
transportasi dan biaya akomodasi selama melakukan kunjungan wisata.
Nilai Guna Tidak Langsung
Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon)
Saat ini di sekitar PLTA Tanggari I dan II telah dilakukan penghijauan
seluas 125 ha. Luas areal penghijauan tersebut menghasilkan potensi nilai
ekonomi penyerapan karbon di sekitar PLTA Tanggari I dan II sebesar Rp
4.342.960.388 atau Rp 4,34 milyar setiap tahunnya.
Nilai Cadangan Air Tanah
Potensi nilai ekonomi cadangan air tanah PLTA Tanggari I dan II berada
pada DAS Tondano seluas 24.708 ha. DAS seluas ini dengan tingkat curah
hujan tahunan rata-rata sebesar 1.936 mm menghasilkan potensi ekonomi
cadangan air tanah senilai Rp 481.745.760 atau Rp 0,48 milyar setiap
tahunnya.
Nilai Cadangan Air Sungai
Sementara cadangan air sungai yang menjadi potensi ekonomi PLTA
Tanggari I dan II senilai Rp 404.000.000 atau Rp 0,40 milyar setiap
tahunnya.
Nilai Bukan Guna
Nilai Pilihan
Nilai pilihan pada PLTA Tanggari I dan II dihitung dari rata-rata WTP
sebesar Rp 12.500 dikalikan dengan jumlah penduduk di sekitar PLTA.
Hasil perhitungan menunjukkan potensi nilai pilihan sebesar Rp
331.975.000 atau Rp 0,33 milyar setiap tahunnya.
108
Nilai Kelestarian Waduk
Berdasarkan perhitungan yang sama dengan nilai pilihan, tetapi terhadap
jumlah KK di sekitar PLTA Tanggari I dan II diperoleh nilai ekonomi
kelestarian menurut penduduk diperoleh sebesar Rp 99.592.500 atau Rp
0,09 milyar setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Total
Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA
Tanggari I dan II disajikan dalam Tabel 15.
Tabel 15 Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Tanggari I dan II
No Parameter Jumlah (Rp)1 Nilai Benefit Listrik 2.555.725.2992 Nilai Keuntungan Ikan 235.350.000.0003 Nilai Ekowisata 9.317.430.000
Nilai Guna Langsung 247.223.155.2994 Nilai Serapan Karbon 4.342.960.3885 Nilai Potensi Cadangan Air 481.745.7606 Nilai Potensi Kelestarian Air 404.000.000
Nilai Guna Tidak Langsung 5.228.706.148 7 Option Value 331.975.0008 Preservation Value 99.592.500
Nilai Bukan Guna 431.567.500Nilai Ekonomi Total 251.492.054.088
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa perlindungan dan pengeloaan
sumberdaya air di PLTA dengan studi kasus di PLTA Tanggari I dan II juga
memiliki nilai ekonomi yang relatif besar terkait pemanfaatan jasa lingkungan
sumberdaya air, meskipun tidak sebesar PLTA di Provinsi Jawa Barat. Hal ini
disebabkan kapasitas produksi listrik dan potensi ekonomi lainnya yang
memiliki skala lebih kecil. Nilai ekonomi total dari pengelolaan sumberdaya
air di PLTA Tanggari I dan II mencapai Rp. 251.492.054.088 atau sekitar Rp.
0,25 triliyun.
109
4.6 Prioritas Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Upaya penyelamatan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama,
sebab fenomena ini menyentuh semua lapisan masyarakat dan institusi dan
kehidupan selanjutnya. Kesadaran akan pentingnya kualitas lingkungan juga
merupakan tanggungjawab global, sehingga berbagai kesepakatan dunia
dilakukan untuk meningkatkan kinerja lingkungan.
Tekanan konsumen, tekanan pemerintah dan kekuatan pasar dan
kepentingan individu organisasi terhadap perlindungan lingkungan memotivasi
penerapan sistem manajemen lingkungan (Uchida 2004). Perlindungan
lingkungan berbasis pendekatan sukarela semakin diminati oleh pengambil
keputusan sebagai tool untuk mengajak pencemar berpartisipasi dalam
perlindungan lingkungan (Segerson & Thomas, 1998). Kehadiran kebijakan
sukarela untuk mengurangi ketidakfleksibelan kebijakan mandatori dapat menjadi
salah satu alternatif yang bersinergi dalam mempercepat perlindungan lingkungan.
Kebijakan perlindungan berbasis sukarela perlu dirumuskan untuk implementasi
ke depan, mengingat dalam penerapannya banyak pihak yang terkait.
Untuk merumuskan desain kebijakan ini menggunakan teknik analisis
hirarki proses (AHP). Teknik AHP umumnya dikembangkan untuk memecahkan
persoalan yang tidak terstruktur dan komplek dalam kerangka berfikir yang
terorganisir sehingga pengambilan keputusan yang efektif dan menyeluruh dapat
dilakukan.
4.6.1 Struktur AHP dan Nilai Eigen
Dalam merumuskan desain kebijakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA, terlebih dahulu disusun hierarki
kebijakan untuk mendukung pengambilan keputusan desain kebijakan tersebut.
Hierarki kebijakan tersebut disusun berdasarkan justifikasi pakar dimana pakar
menetapkan lima level hierarki yaitu :
Level pertama merupakan fokus kebijakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
Level kedua merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi/memotivasi
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA yang
110
terdiri atas tekanan pemerintah, tekanan global, tekanan masyarakat, tekanan
pembeli dan kepentingan PLTA.
Level ketiga adalah aktor yang berperan dalam pengembangan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA
antara lain pemerintah, masyarakat, pembeli, investor, dan industri
Level keempat adalah tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan
kebijakan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA terdiri
atas perlindungan lingkungan, kontinuitas PLTA, pengakuan publik, dan
liabilitas lingkungan.
Level kelima adalah alternatif kebijakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA yang meliputi penguatan
infrastruktur kelembagaan dan institusional, pemberian insentif dan disinsentif,
peningkatan nilai lingkungan internal.
Setiap elemen pada setiap level selanjutnya diboboti oleh pakar dengan
menggunakan nilai bobot seperti yang telah ditetapkan oleh Saaty (1993).
Pengolahan data untuk menentukan elemen prioritas dalam pengambilan
keputusan kebijakan perlindungan lingkungan berbasis sukarela menggunakan
software Criterium Decision Plus (CDP) versi 3,0.
Hasil sintesis menghasilkan nilai eigen (bobot) untuk setiap pilihan yang
ada di dalam struktur AHP. Untuk memudahkan dalam interpretasi hasil terhadap
nilei eigen maka nilai tersebut dimasukkan dalam struktur AHP secara kumulatif
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 22.
Hasil sistesis AHP atas pendapat pakar menunjukkan bahwa faktor yang
berperan memotivasi pengembangan dan implementasi kebijakan sukarela
(voluntari) di PLTA adalah tekanan pemerintah dengan nilai eigen 0,462.
Kemudian tekanan global dengan bobot 0,198. Sedangkan tekanan masyarakat,
kepentingan PLTA dan tekanan pembeli memiliki nilai eigen masing sebesar
0.143; 0,111 dan 0,087.
111
Gambar 22 Struktur AHP dan nilai eigen pada hirarki model disain kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
112
4.6.2 Konstribusi Peran Setiap Level
Konstribusi peran dari masing masing level yaitu level faktor, level aktor
dan level tujuan kemudian dianalisis terhadap pengembangan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA sebagai
berikut:
Pertama, konstribusi peran faktor dalam disain insentif dan disinsentif
kebijakan Perlindungan lingkungan berbasis sukarela, pakar melihat bahwa faktor
yang paling berpengaruh adalah tekanan pemerintah (0,201), tekanan global
(0,087), tekanan masyarakat (0,063), kepentingan PLTA (0,048) dan tekanan
pembeli (0,038). Nilai konstribusi faktor dalam menetapkan alternatif kebijakan
perlindungan lingkungan berbasis sukarela ditunjukkan pada Tabel 16 dan
Gambar 23.
Tabel 16 Nilai kontribusi faktor dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela
Alternatif kebijakan
Nilai Konstribusi Faktor
Tekanan Pemerintah
Tekanan Global
Tekanan Masyarakat
Kepentingan
PLTA
Tekanan Pembeli
Insentif & Disinsentif 0,201 0,087 0,063 0,048 0,038Penguatan Infrastruktur kelembagaan
0,172 0,073 0,053 0,042 0,032
Peningkatan Nilai Lingkungan Internal
0,088 0,038 0,028 0,021 0,017
sumber : hasil analisis, 2011
Gambar 23 Kontribusi faktor terhadap alternatif kebijakan.
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
Insentif & Disinsentif Penguatan Inf kelembagaan Peningkatan Nilai Ling Internal
T. Pemerintah
T. Global
T. Masyarakat
K. PLTA
T. Pembeli
Contributions to Perlindungan Lingk Berbasis Sukarela fromLevel:Faktor
113
Kedua, kontribusi peran aktor dalam disain kebijakan perlindungan
lingkungan berbasis sukarela bahwa pemerintah, pembeli, perusahaan lain dan
PLTA lebih mengutamakan alternatif insentif dan disinsentif dengan nilai masing
masing sebesar 0,188; 0,057; 0,037 dan 0,021. Sedangkan masyarakat dan
investor lebih cenderung menginginkan penguatan infrastruktur kelembagaan dan
institusional dengan nilai masing-masing 0,102 dan 0,051. Adapun nilai
konstribusi peran aktor hasil analisis pendapat pakar secara rinci disajikan pada
Tabel 17 dan Gambar 24.
Tabel 17 Nilai kontribusi aktor dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela
Alternatif kebijakan
Nilai Kontribusi AktorPemerintah Masyarakat Pembeli Investor Perusahaan
lainnyaPLTA
Insentif & Disinsentif 0,188 0,087 0,057 0.048 0,037 0,021
Penguatan Infrastruktur kelembagaan
0,139 0,102 0,045 0,051 0,021 0,014
Peningkatan Nilai Lingkungan Internal
0,082 0,038 0,025 0,021 0,016 0,008
sumber : hasil analisis, 2011
Gambar 24 Kontribusi aktor terhadap alternatif kebijakan.
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
Insentif & Disinsentif Penguatan Inf kelembagaan Peningkatan Nilai Ling Internal
Pemerintah
Masyarakat
Pembeli
Investor
Perusahaan lain
PLTA
Contributions to Perlindungan Lingk Berbasis Sukarela fromLevel:Aktor
114
Ketiga, berbagai tujuan yang diharapkan dalam mendisain kebijakan
perlindungan dan pengelolaan sumber daya air adalah perlindungan lingkungan,
liabilitas lingkungan, kontinuitas PLTA, dan pengakuan publik. Hasil analisis
atas justifikasi pakar menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan perlindungan
lingkungan memerlukan kebijakan insentif dan disintentif. Sedangkan untuk
mencapai tujuan kuntinuitas PLTA, pengakuan publik dan liabilitas lingkungan
yang paling diperlukan adalah penguatan infrastruktur kelembagaan. Adapun hasil
analisis secara rinci seperti pada Tabel 18 dan Gambar 25.
Tabel 18 Nilai kontribusi tujuan dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela
Alternatif Kebijakan
Nilai Kontribusi TujuanPerlindungan Lingkungan
Kontinuitas PLTA
Pengakuan Publik
Liabilitas Lingkungan
Insentif & Disinsentif 0,317 0,052 0,041 0,026
Penguatan Infrastruktur kelembagaan
0,033 0,116 0,122 0,102
Peningkatan Nilai Lingkungan Internal
0,145 0,017 0,018 0,011
Sumber : hasil analisis, 2011
Gambar 25 Kontribusi tujuan terhadap alternatif kebijakan.
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
Insentif & Disinsentif Penguatan Inf kelembagaanPeningkatan Nilai Ling Internal
Perlind. Lingkungan
Kuntinuitas PLTA
Pengakuan Publik
Liabilitas Lingkungan
Contributions to Perlindungan Lingk Berbasis Sukarela from Level:Tujuan
115
4.6.3 Pengembangan Keputusan Alternatif Kebijakan
Hasil sintesis AHP menetapkan bahwa alternatif kebijakan yang paling
tinggi untuk dipilih adalah kebijakan insentif dan disinsentif. Hal ini terlihat dari
nilai bobot yang lebih besar dibandingkan dengan alternatif lainnya yaitu sebesar
0,436. Alternatif selanjutnya adalah penguatan infrastruktur kelembagaan dan
institusional dengan nilai bobot 0,372 dan iikuti dengan peningkatan nilai
lingkungan internal dengan bobot 0,080.
Nilai dan ranking alternatif kebijakan ditunjukkan pada Tabel 19.
Sedangkan gambaran secara menyeluruh antar pilihan kebijakan yang ada
ditunjukkan pada grafis histogram. Nilai skor keputusan tertinggi ditunjukkan
dengan diagram batang terpanjang yaitu insentif dan disinsentif. Gambaran
menyeluruh antar pilihan kebijakan dalam bentuk grafis histogram ditunjukkan
pada Gambar 26, sedangkan dalam bentuk scatter plot pada Gambar 27.
Tabel 19 Nilai alternatif kebijakan perlindungan lingkungan sukarela
Level Alternatif Bobot Ranking
Insentif & disinsentif 0,436 I
Penguatan infrastruktur kelembagaan 0,372 II
Peningkatan nilai lingkungan internal 0,192 III
Konsistensi ratio = 0,080Sumber : hasil analisis, 2011
Gambar 26 Pengambilan keputusan dengan cara histogram dalam penetapan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
116
Gambar 27 Pengambilan keputusan dengan cara scatter plot dalam penetapan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
Analisa di atas memperlihatkan bahwa kebijakan terbaik dalam desain
pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis
sukarela di PLTA adalah dengan menerapkan kebijakan memberikan insentif dan
disinsentif dibandingkan dengan kebijakan pengembangan infrastuktur
kelembangaan dan institusional, dan penguatan valuasi lingkungan internal.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebagaimana diuraikan di
atas, dapat disimpulkan bahwa alternatif desain kebijakan perlindungan dan
pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela pada kasus PLTA adalah insentif
dan disinsentif (0,436), diikuti penguatan infrastruktur kelembagaan dan
institusional (0,372) dan Penguatan nilai lingkungan internal (0,192). Untuk
memperkuat instensif dan disintentif, maka faktor yang paling berpengaruh adalah
tekanan pemerintah (0,462) dibandingkan dengan tekanan global (0,198), tekanan
masyarakat (0,143), kepentingan PLTA (0,111) dan tekanan pembeli (0,087).
Pemerintah, pembeli, perusahaan dan PLTA lebih mengutamakan alternatif
insentif dan disinsentif dalam desain kebijakan, sedangkan masyarakat dan
investor cenderung menginginkan penguatan infrastruktur kelembagaan dan
institusional. Kebijakan insentif dan disinsentif merupakan tool regulasi yang
fundamental untuk mencapai perlindungan lingkungan berbasis sukarela.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Decision Score
Peningkatan Nilai Ling Internal
Insentif & Disinsentif
Penguatan Inf kelembagaan
117
Penguatan infrastruktur kelembagaan dan isntitusional diperlukan untuk mencapai
tujuan kuntinuitas PLTA, pengakuan publik dan liabilitas lingkungan.
Hasil di atas memperlihatkan faktor yang paling mempengaruhi PLTA
untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air secara sukarela
adalah tekanan pemerintah. Daya tekan masyarakat dan pembeli belum banyak
mempengaruhi organisasi (PLTA) untuk melaksanakan program perlindungan
sukarela. Hal ini dimungkinkan tekanan pemerintah telah terdiskripsikan dalam
suatu tata aturan legislasi secara jelas dan dapat menjadi acuan organisasi (PLTA)
untuk melaksanakan suatu tindakan. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian
Uchida (2004) yang menyebutkan bahwa tekanan pemerintah memotivasi
perusahaan di Jepang untuk mengembangkan perlindungan lingkungan. Tekanan
pemerintah dalam bentuk regulasi dan penyelenggaraannya merupakan dorongan
utama praktek perlindungan lingkungan sumberdaya alam (Delmas et al. 2004).
Pemerintah juga masih menjadi aktor utama untuk mendukung pencapaian
tujuan perlindungan lingkungan sumberdaya air. Sektor swasta masih belum
menjadi aktor utama untuk menggulirkan program perlindungan berbasis sukarela.
Konsepsi pendekatan sukarela yang menekankan upaya proaktif perusahaan untuk
merespon ketentuan regulasi, kebutuhan masyarakat dan pasar yang kemudian
diterjemahkan dalam perencanaan strategisnya belum sepenuhnya dipahami.
Keputusan penerapan inisiatif sukarela sangat penting untuk dipahami oleh
pengambil keputusan dalam organisasi. Benefit inisiatif sukarela belum
diterjemahkan secara luas oleh perusahaan dalam kontek sosial ekonomi yang
lebih luas. Sehingga keuntungan tidak hanya terkait dengan peningkatan efisiensi
penggunaan sumberdaya dan proses produksi, serta corporate image. Perbaikan
sumberdaya air yang dilakukan juga berkontribusi terhadap kesejahteraan
masyarakat dan dapat meningkatkan keterlibatan perusahaan untuk memberikan
input terhadap penyempurnaan regulasi saat ini untuk pelaksanaan yang lebih baik
(Lyon et al. 1998).
Peran pemerintah dan tekanan regulasi yang tinggi dalam pengembangan
kebijakan sukarela saat ini, bisa digunakan untuk penyusunan program bersama
antara pemerintah dan perusahaan dalam bentuk perjanjian negosiasi. Regulasi
menjadi landasan untuk pengembangan kebijakan sukarela dan sebagai target
118
lingkungan yang harus disetujui oleh perusahaan dalam periode waktu tertentu.
Perjanjian ini juga dapat digunakan sebagai acuan untuk mempromosikan
program insentif dan disinsentif untuk mencapai tujuan perlindungan lingkungan
dan pembangunan berkelanjutan.
4.7 Model Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Secara umum dari aspek lingkungan, PLTA sangat bergantung dengan
kualitas dan kuantitas sumberdaya air yang menjadi pasokan bagi pembangkitan
energi listriknya. Sementara kuantitas air sangat bergantung dari sumbernya di
bagian hulu PLTA. Keberadaan dan kontinuitas kuantitas air ini sangat
dipengaruhi kondisi penutupan dan penggunaan lahan di hulu PLTA. Perubahan
penggunaan lahan akan sangat berpengaruh terhadap karakteristik air permukaan
dan air bawah permukaan yang bisa diserap lahan. Hal ini akan berpengaruh
secara langsung terhadap kuantitas dan kontinuitas air pasokan bagi PLTA.
Selain itu, kinerja PLTA juga masih dipengaruhi oleh kualitas air yang akan
dialirkan ke dalam turbin pembangkit listrik. Kualitas air akan sangat
berpengaruh terhadap mesin pembangkitan yang dialiri air. Sifat kimia yang
korosif dan cemaran sedimen bisa mempengaruhi kinerja dan usia teknis mesin
pembangkit listrik.
Aspek sosial yang terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA adalah
hubungan antara pengelola PLTA dengan semua stakeholder terkait. Hubungan
ini terkait komunikasi yang terjalin antar stakeholder serta kolaborasi dalam
melakukan pengelolaan yang berbasis sukarela.
Selain aspek sosial, terdapat juga aspek ekonomi baik dari pengelolaan
PLTA, maupun dari jasa lingkungan sumberdaya air yang bisa dimanfaatkan oleh
semua stakeholder. Pengelola PLTA bisa mendapatkan manfaat ekonomi dengan
mengkonversi tenaga air menjadi tenaga listrik yang bisa dijual kepada lembaga
penyalur tenaga listrik kepada konsumen. Selisih antara biaya yang dikeluarkan
untuk pembangkitan dengan nilai energi listrik yang dihasilkan bisa menjadi
keuntungan pengelola PLTA. Sementara jasa lingkungan sumberdaya air bisa
bersifat langsung maupun tidak langsung. Manfaat jasa lingkungan air, antara lain
sebagai sarana ekowisata, budidaya perikanan, dan manfaat ekologis lainnya.
119
Ketiga aspek terkait pengelolaan PLTA dan interaksinya tersebut
disimplifikasi menjadi model dinamik pengelolaan sumberdaya air PLTA. Model
dinamik ini mencakup sub-model sosial terkait aspek stakeholder, sub-model
lingkungan terkait kualitas air dan perubahan penggunaan lahan, dan sub-model
nilai ekonomi jasa lingkungannya. Untuk memahami sistem tersebut dilakukan
simplifikasi awal melalui diagram lingkar sebab-akibat (causal loop), seperti
disajikan pada Gambar 28. Gambar tersebut menunjukkan setiap sub-model
memiliki keterkaitan sebab-akibat.
Gambar 28 Diagram simpul-kausal (causal loop) model pengelolaan sumberdaya air PLTA.
Semua sub-model tersebut ditransformasi menjadi stock flow diagram (SFD)
sebagai penjabaran causal loop di atas disajikan dalam Gambar 29. Perilaku sub-
model dijabarkan dalam aliran energi dan informasi dalam SFD dengan
pendekatan matematis. Penyusunan SFD dan pendekatan matematisnya dilakukan
dengan bantuan perangkat lunak Powesim Studio 2005E.
Model dirancang berdasarkan hasil pembahasan berbagai aspek pada bab-
bab sebelumnya. Aspek yang mendasari rancang bangun model adalah basis data
dan basis knowledge (pengetahuan pakar dan stakeholder) yang telah dibahas
sebelumnya.
120
Gambar 29 Stock flow diagram model pengelolaan sumberdaya air PLTAberbasis sukarela.
Basis data terutama diterapkan pada elemen-elemen yang menyangkut
kondisi fisik lingkungan dan nilai ekonomi langsung terkait pengelolaan PLTA.
Elemen tersebut terdiri dari perubahan penggunaan lahan dan kuantitas
sumberdaya air, serta nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air. Sementara basis
knowledge diterapkan pada nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air dan
sistem keterkaitan berbagai elemen pengelolaan dari berbagai aspek berdasarkan
persepsi pakar dan stakeholder.
Model terbagi atas beberapa sub-model, yaitu sub-model sosial, sub-model
lingkungan dan sub-model ekonomi. Berbagai asumsi diterapkan untuk
memenuhi kelengkapan model secara keseluruhan, sehingga bisa dilakukan
simulasi terhadap model tersebut. Model ini dibangun berdasarkan data dan
knowledge di sekitar PLTA Saguling, karena memiliki basis data terlengkap untuk
semua sub-model yang dibangun. Simulasi model dilakukan terhadap data aktual
sejak tahun 2001 dan proyeksinya antara tahun 2010 hingga tahun 2021.
121
Tampilan menu model pengelolaan sumber daya air PLTA berbasis sukarela
dibuat guna memudahkan alur simulasi yang akan dilakukan. Menu model
tersebut menampilkan judul dengan hyperlink pada setiap sub-menu yang akan
ditampilkan dalam simulasi.
4.7.1 Sub-model Sosial
Sub-model sosial dibangun berdasarkan pertumbuhan penduduk yang terjadi
di sekitar PLTA. Selain itu sub-model ini terkait dengan sub-model ekonomi,
khususnya penyisihan dana CSR oleh perusahaan yang ditujukan untuk
pemberdayaan masyarakat. Dinamika pendanaan CSR tersebut diprediksi akan
mempengaruhi indeks pemberdayaan masyarakat.
Hasil simulasi model terhadap komponen sosial menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan jumlah penduduk. Penduduk sekitar PLTA berjumlah sekitar
717.770 jiwa pada tahun 2011 dan akan meningkat terus hingga mencapai jumlah
sekitar 833.001 jiwa pada tahun 2021 (Gambar 30).
Peningkatan jumlah penduduk tersebut akan memberikan tekanan terhadap
penggunaan sumberdaya alam yang ada di sekitar PLTA. Salah satunya adalah
meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemenuhan kehidupan penduduk.
Kebutuhan tersebut antara lain lahan untuk permukiman yang terus meningkat
seiiring meningkatnya jumlah penduduk. Penggunaan lahan untuk permukiman
ini akan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di sekitar PLTA.
Gambar 30 Hasil simulasi jumlah penduduk.
Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210
300,000
600,000
Tahun
Pe
nd
ud
uk
122
Hasil simulasi dinamika pendanaan CSR (corporate social responsibility)
dan indeks pemberdayaan masyarakat menunjukkan kaitan yang sangat signifikan.
Penurunan nilai CSR secara langsung akan menekan indeks pemberdayaan
masyarakat.
4.7.2 Sub-model Lingkungan
Sub-model lingkungan terutama direpresentasikan oleh aspek penggunaan
lahan pada DAS hulu PLTA. Hasil simulasi penggunaan lahan menunjukkan luas
lahan semak belukar meningkat secara pesat dari 1.060 ha pada tahun 2001
menjadi seluas 108.141 ha pada tahun 2011, tetapi akan melambat
pertumbuhannya hingga mencapai luas sekitar 110.989 ha pada tahun 2021. Hal
ini merupakan konversi terhadap berbagai penggunaan lahan lainnya, terutama
lahan terbuka dan pertanian lahan kering. Peningkatan luas perkebunan juga
berkembang pesat dari 2.300 ha pada tahun 2001 menjadi seluas 31.007 ha pada
tahun 2021. Peningkatan luas perkebunan ini terutama menurunkan luasan hutan
secara signifikan. Semula lahan terbuka meningkat pada tahun 2001 hingga tahun
2006, tetapi menurun drastis hingga diperkirakan habis menjadi lahan terbangun
pada tahun 2011. Penggunaan lahan yang relatif kecil perubahannya adalah
sawah dan permukiman. Hasil simulasi perubahan penggunaan lahan secara
lengkap disajikan pada Gambar 31 dan Tabel 20.
Gambar 31 Hasil simulasi perubahan penggunaan lahan.
Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210
50,000
100,000
Hutan
Permukiman
Pertanian Lahan Kering
Sawah
Lahan Terbuka
Semak
Perkebunan
Tahun
Lu
as (
ha
)
123
Tabel 20 Hasil simulasi perubahan penggunaan lahan.
Sumber : hasil analisis, 2011
Hasil simulasi penggunaan lahan tersebut juga akan mempengaruhi kondisi
sumberdaya air yang terkonservasi pada lahan tersebut. Perubahan penggunaan
lahan akan mengubah karakteristik air permukaan dan bawah permukaan.
Perubahan karakteristik sumberdaya air juga akan mempengaruhi nilai jasa
lingkungan yang dihasilkannya. Hal ini disebabkan jasa lingkungan sumberdaya
air dipengaruhi kualitas, kuantitas dan kontinuitas air yang dimanfaatkan.
4.7.3 Sub-model Ekonomi
Sub model ekonomi direpresentasikan oleh nilai ekonomi jasa lingkungan
sumber daya air PLTA berbasis sukarela. Nilai total jasa lingkungan terbagi atas
nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use
value) dan nilai bukan guna (non-use value). Nilai guna langsung jasa lingkungan
terdiri dari nilai keuntungan produksi listrik dan budidaya ikan, dan nilai
ekowisata. Nilai guna tidak langsung terdiri dari nilai serapan karbon, nilai
cadangan air tanah, dan nilai cadangan air waduk/sungai. Sementara nilai bukan
guna jasa lingkungan terdiri dari nilai pilihan dan nilai kelestarian.
Hasil simulasi nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air disajikan pada
Gambar 32. Nilai keuntungan dari produksi listrik, produksi budidaya ikan dan
ekowisata diperkirakan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Hal ini
disebabkan terjadinya degradasi sumberdaya alam yang berakibat pada kerusakan
sumberdaya air secara langsung. Menurunnya kuantitas, kualitas, dan kontinuitas
sumberdaya air akan menurunkan nilai produksi listrik dan budidaya ikan secara
langsung. Selain itu, kerusakan sumberdaya alam secara keseluruhan juga akan
mengurangi nilai ekowisata di sekitar kawasan PLTA. Secara ekonomis, hal ini
akan menurunkan nilai guna langsung dari jasa lingkungan sumberdaya air dari
Rp 511 miliar pada tahun 2011 menjadi Rp 505 miliar pada tahun 2021.
Time Hutan Permukiman Sawah Semak Lahan Terbuka Pertanian Lahan Kering Perkebunan
Jan 01, 2001
Jan 01, 2006
Jan 01, 2011
Jan 01, 2016
Jan 01, 2021
38,139.80
15,114.14
5,989.47
2,373.52
940.59
39,782.58
40,762.82
41,767.22
42,796.36
43,850.86
64,940.11
64,998.58
65,057.10
65,115.67
65,174.29
1,060.72
17,409.69
108,141.82
110,670.05
110,989.86
8,452.20
14,993.78
0.00
0.00
0.00
66,280.20
49,240.84
40,694.02
37,307.06
35,964.87
2,300.00
18,435.76
26,529.34
29,736.68
31,007.70
124
Gambar 32 Hasil simulasi nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air.
Sementara nilai guna tak langsung mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun meskipun pada kisaran pertumbuhan yang relatif kecil. Hal ini disebabkan
nilai cadangan air tanah dan cadangan air waduk dihitung secara rata-rata per
tahun, sehingga tidak mengalami peningkatan nilai dari tahun ke tahun. Hal yang
mendorong pertumbuhan hanya berasal dari peningkatan nilai serapan karbon
yang bergantung dari peningkatan harga karbon dari tahun ke tahun. Secara
keseluruhan. Nilai guna setiap jasa lingkungan disajikan secara lengkap pada dan
Tabel 21.
Tabel 21 Hasil simulasi nilai guna langsung (a) dan tidak langsung (b) jasa lingkungan sumberdaya air
(a)
(b)Sumber: hasil analisis, 2011
Hasil simulasi nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air disajikan
Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210
100,000,000,000
200,000,000,000
300,000,000,000
400,000,000,000
500,000,000,000
Benefit Listrik
Benefit Ikan
Nilai Ekowisata
Nilai Guna Langsung
Nilai Serapan Karbon
Nilai Air Tanah
Nilai Air Waduk
Nilai Guna Tak-Langsung
Tahun
Nila
i Ek
on
om
i (R
p)
Time Benefit Listrik Benefit Ikan Nilai Ekowisata Nilai Guna Langsung
Jan 01, 2001
Jan 01, 2006
Jan 01, 2011
Jan 01, 2016
Jan 01, 2021
280,948,440,280.44
279,763,437,467.97
278,583,432,838.31
277,408,405,309.80
276,238,333,889.69
233,080,390,000.00
231,976,102,124.16
230,876,471,986.35
229,781,479,940.88
228,691,106,424.89
217,540,000.00
228,636,726.30
240,299,497.16
252,557,186.55
265,440,141.29
514,246,370,280.44
511,968,176,318.42
509,700,204,321.82
507,442,442,437.23
505,194,880,455.87
Time Nilai Serapan Karbon Nilai Air Tanah Nilai Air Waduk Nilai Guna Tak-Langsung
Jan 01, 2001
Jan 01, 2006
Jan 01, 2011
Jan 01, 2016
Jan 01, 2021
35,577,531,494.40
37,392,343,158.36
39,299,728,456.23
41,304,409,573.70
43,411,349,575.40
330,174,373,200.00
330,174,373,200.00
330,174,373,200.00
330,174,373,200.00
330,174,373,200.00
848,400,000.00
848,400,000.00
848,400,000.00
848,400,000.00
848,400,000.00
366,600,304,694.40
368,415,116,358.36
370,322,501,656.23
372,327,182,773.70
374,434,122,775.40
125
pada Gambar 33. Nilai bukan guna jasa lingkungan cenderung akan terus
meningkat dari Rp 11 miliar pada tahun 2011 menjadi Rp 13 miliar pada tahun
2021. Hal ini disebabkan nilai jasa lingkungan pilihan dan kelestarian juga
cenderung meningkat terus. Nilai bukan guna setiap jasa lingkungan disajikan
secara lengkap pada dan Tabel 22.
Gambar 33 Hasil simulasi nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air.
Tabel 22 Hasil simulasi nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air
Sumber : hasil analisis, 2011
Secara keseluruhan nilai total ekonomi (total economic value – TEV) tetap
meningkat karena adanya peningkatan nilai guna dan nilai bukan guna. TEV
diperkirakan akan meningkat dari Rp 894 miliar pada tahun 2011 menjadi Rp 895
miliar pada tahun 2021. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ekonomi total sebagian
besar disumbang oleh nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air. Hasil simulasi
nilai guna, nilai bukan guna, dan nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya
air disajikan pada Tabel 23.
Hasil simulasi nilai jasa lingkungan sumberdaya air menunjukkan bahwa air
Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210
5,000,000,000
10,000,000,000
Nilai Pilihan
Nilai Kelestarian
Nilai Bukan Guna
Tahun
Nila
i E
ko
no
mi (
Rp
)
Time Nilai Pilihan Nilai Kelestarian Nilai Bukan Guna
Jan 01, 2001
Jan 01, 2006
Jan 01, 2011
Jan 01, 2016
Jan 01, 2021
7,730,987,500.00
8,328,469,167.98
8,972,126,611.51
9,665,528,479.40
10,412,519,219.95
2,319,296,250.00
2,498,540,750.39
2,691,637,983.45
2,899,658,543.82
3,123,755,765.99
10,050,283,750.00
10,827,009,918.37
11,663,764,594.96
12,565,187,023.23
13,536,274,985.94
126
bisa sangat bernilai ekonomis tinggi dari aspek lingkungan, meskipun tidak
seluruhnya secara langsung dalam bentuk uang tunai. Meskipun demikian
penggunaan langsung jasa lingkungan air, seperti pembangkit produksi listrik,
produksi budidaya ikan, dan pemanfaatan oleh industri bisa mendukung
perlindungan dan pengelolaannya. Adanya penyisihan keuntungan produksi
listrik dan budidaya ikan secara sukarela dalam bentuk CSR diharapkan mampu
mendukung program perlindungan sumberdaya air. Oleh karena itu, nilai
ekonomi jasa lingkungan sumberdaya air ini harus disosialisasikan dan
didiseminasikan kepada seluruh stakeholder untuk meningkatkan pemahaman
tentang pentingnya nilai ekonomi sumberdaya air.
Tabel 23 Hasil simulasi nilai total jasa lingkungan sumberdaya air
Sumber : hasil analisis, 2011
Sesuai dengan asumsi penyisihan dana perusahaan sebesar 2% dari dana
keuntungan bersih, maka dari produksi listrik dan budidaya ikan diperkirakan
dapat menghasilkan dana CSR sebesar Rp 15 milyar per tahunnya. Dana ini bisa
digunakan untuk mendukung pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air dalam
berbagai program aksi. Program-program tersebut antara lain untuk konservasi
wilayah DAS hulu PLTA melalui penghijauan, sosialisasi konservasi,
pemberdayaan masyarakat, penurunan beban pencemar dan lain sebagainya.
4.7.4 Skenario Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Degradasi lahan akan terus berlangsung jika dibiarkan seperti kondisi yang
ada saat ini. Jika program perlindungan dan pengelolaan lingkungan bisa
diimplementasikan, maka akan ada perbaikan lingkungan. Skenario disusun
terhadap perbaikan penggunaan lahan sebagai hulu masalah dalam pengelolaan
sumberdaya air. Skenario dibuat terdiri dari skenario saat ini (existing), skenario
moderat, dan skenario optimis.
Time Nilai Guna Langsung Nilai Guna Tak-Langsung Nilai Bukan Guna TEV
Jan 01, 2001
Jan 01, 2006
Jan 01, 2011
Jan 01, 2016
Jan 01, 2021
514,246,370,280
511,968,176,318
509,700,204,322
507,442,442,437
505,194,880,456
368,767,413,200
370,692,769,177
372,716,337,660
374,843,128,472
377,078,406,989
10,050,283,750
10,827,009,918
11,663,764,595
12,565,187,023
13,536,274,986
893,064,067,230
893,487,955,414
894,080,306,576
894,850,757,932
895,809,562,431
127
Skenario existing merupakan proyeksi kondisi aktual jika tidak dilakukan
intervensi. Skenario moderat merupakan proyeksi existing dengan pencapaian
perbaikan kondisi lingkungan pada tingkat sedang. Sementara skenario optimis
dibangun dengan asumsi bisa terjadi pencapaian perbaikan lingkungan yang
cukup baik.
Skenario disimulasikan terhadap sub-model lingkungan terutama pada aspek
perubahan penggunaan lahan. Kondisi eksisting menunjukkan adanya penurunan
luas hutan sebesar 16,9% per tahun dan peningkatan luas lahan perkebunan
sebesar 51,5% per tahunnya. Jika program reboisasi yang dapat menahan laju
penggundulan hutan sebesar 10% pada skenario moderat dan sebesar 15% pada
skenario optimis, maka akan terjadi perbaikan kondisi lingkungan. Hasil simulasi
dengan asumsi tersebut disajikan pada Gambar 34 dan Tabel 24.
Skenario dilakukan terutama terhadap perubahan penggunaan lahan hutan
dan perkebunan yang berdasarkan interpretasi spasial saling mempengaruhi.
Hasil simulasi dengan beberapa skenario tersebut menunjukkan bahwa masih
terjadi laju pengurangan luas hutan, tetapi terjadi pengurangan secara signifikan
pada skenario moderat dan lebih besar lagi pada skenario optimis. Hal ini juga
berimplikasi pada pengurangan laju pertumbuhan lahan perkebunan yang
dibangun dari konversi lahan hutan.
Gambar 34 Hasil simulasi skenario penggunaan lahan.
Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210
10,000
20,000
30,000
Hutan
Mod_Hutan
Opt_Hutan
Perkebunan
Mod_Perkebunan
Opt_ Perkebunan
Tahun
Lu
as (
ha
)
128
Jika bisa dilakukan pengurangan laju konversi hutan menjadi lahan
perkebunan sebesar 10% setiap tahunnya, maka laju pengurangan hutan akan
berkurang menjadi sekitar 6,9% dari kondisi awal sebesar 16,9% setiap tahunnya.
Hal ini akan berimplikasi pada pengurangan laju pertumbuhan lahan perkebunan
dari hasil konversi hutan.
Tabel 24 Hasil simulasi skenario perubahan penggunaan lahan
Kondisi eksisting saat ini diperkirakan akan mengurangi luas hutan dari
5.989 ha pada tahun 2011 menjadi hanya 940 ha pada tahun 2021. Skenario
moderat diprediksikan mampu mempertahankan hutan menjadi 2.615 ha hingga
tahun 2021. Sementara skenario optimis diperkirakan mampu mempertahankan
hutan hingga 4.977 ha pada tahun 2021. Hal ini berimplikasi pada berkurangnya
pertumbuhan luas perkebunan yang seharusnya mencapai 31.007 pada tahun 2021,
diprediksikan akan menjadi 29.522 ha pada skenario moderat dan menjadi 27.427
ha pada skenario optimis.
4.7.5 Validasi Model
Simulasi model sebelumnya diuji dengan melakukan validasi terhadap
struktur dan kinerja outputnya. Validasi dilakukan untuk mendapatkan hasil
kesimpulan yang benar berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan
(Hartrisari 2007) terhadap model pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.
Menurut Muhammadi et al. (2001), validasi dilakukan melalui perbandingan
validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku
kinerja model sesuai dengan data empiris.
Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan
sifat kesalahan dapat digunakan: 1) absolute mean error (AME) adalah
penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai
Time Hutan Mod_Hutan Opt_Hutan Perkebunan Mod_Perkebunan Opt_ Perkebunan
Jan 01, 2001
Jan 01, 2006
Jan 01, 2011
Jan 01, 2016
Jan 01, 2021
38,139.80
15,114.14
5,989.47
2,373.52
940.59
38,139.80
15,114.14
5,989.47
3,739.28
2,615.39
38,139.80
15,114.14
5,989.47
4,977.25
4,977.25
2,300.00
18,435.76
26,529.34
29,736.68
31,007.70
2,300.00
18,435.76
26,529.34
28,525.26
29,522.15
2,300.00
18,435.76
26,529.34
27,427.18
27,427.18
129
actual, 2) absolute variation error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi
(variance) simuasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima
adalah antara 1 -10%.
Validasi yang digunakan dalam simulasi model pengelolaan sumberdaya air
berbasis sukarela di PLTA adalah AME. Validasi ini dilakukan dengan memakai
persamaan seperti di bawah ini.
AME = %100xA
AS ;
N
SiS
N
AiA
S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan interval waktu
pengamatan. Validasi dilakukan terhadap dengan membandingkan besarnya
jumlah penduduk hasil simulasi model dengan data jumlah penduduk aktual.
Validasi berupa perbandingan jumlah pendududuk aktual dan simulasi disajikan
pada Gambar 35.
Gambar 35 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan simulasi.
Berdasarkan hasil perbandingan tersebut terlihat bahwa perilaku model
pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA memenuhi batas toleransi
yang ditentukan. Hasil uji validasi berdasarkan jumlah penduduk (Gambar 36)
menunjukkan bahwa, AME menyimpang setiap tahunnya sebesar antara 0,1%
01 02 03 04 05 06550,000
600,000
650,000
Penduduk Simulasi
Penduduk Aktual
Tahun
Jum
lah
Pe
ndu
duk
(ji
wa
)
130
hingga 3,1% atau rata-rata sebesar 1,83% untuk pertambahan penduduk dari data
aktual. Batas penyimpangan variabel pada parameter AME adalah <10%, yang
menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan
yang terjadi secara aktual pada sistem yang dimodelkan.
Gambar 36 AME dari hasil validasi jumlah penduduk aktual dan simulasi.
4.8 Model Konseptual Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Pengelolaan sumberdaya air PLTA perlu didukung adanya institusi
pengelola atau lembaga pengelolanya (manager), kebijakan atau tata cara
pengelolaannya (management), serta anggaran yang menunjang kelancaran
pengelolaanya (money). Secara institusional telah dilakukan analisis stakeholder
untuk mendukung sistem kelembagaan terkait pengelolaan sumberdaya air
berbasis sukarela. Sistem pengelolaan diadaptasi dari hasil analisis kinerja
sumberdaya air dan penggunaan lahan sekitar PLTA. Selain itu, sistem
pengelolaan akan dilandasi regulasi yang sudah ada, yaitu regulasi pemerintah
(UU sumberdaya air) pada tataran strategis dan tren pengelolaan lingkungan
global yang menekankan kesukarelaan (voluntary). Mekanisme ini akan tercapai
secara optimal jika bisa dikomunikasikan kepada semua stakeholder oleh PLTA
(komunikasi eksternal). Sementara pendanaan bisa dikembangkan dari nilai jasa
lingkungan sumberdaya air. Pendanaan bisa dikelola terkait dengan keuntungan
01 02 03 04 05 060
5
10
AME Penduduk
Batas AME
Tahun
AM
E (
%)
131
penggunaan sumberdaya air secara langsung oleh PLTA, melalui skema biaya
pengelolaan lingkungan dan sosial secara sukarela (CSR). Sumberdaya ekonomi
lain yang bisa diberdayakan adalah penggunaan langsung dan tidak langsung.
Berdasarkan hasil analisis stakeholder diketahui bahwa secara strategis
Kementerian Kehutanan diharapkan mampu menjadi pendorong perumusan dan
penetapan kebijakan formal yang bisa melindungi DAS hulu sebagai wilayah
yang menjadi sumber dari air yang memasok PLTA. Sementara PLTA
diharapkan mampu menjadi leading sector pada tataran operasional dengan
berperan aktif dalam mendorong dan bekerja sama dengan stakeholder lain untuk
mencapai keberhasilan pengelolaan sumberdaya air.
Kebijakan pengelolaan akan dituangkan dalam bentuk model konseptual
pengelolaan yang terdiri dari penentuan pengelola kawasan dan penyusunan
sistem pengelolaannya yang memenuhi prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Berdasarkan sistem manajemen lingkungan (SML) dalam
pengelolaan sumberdaya air terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh
masing-masing aspek. Aspek-aspek tersebut terdiri dari kepentingan lingkungan
hidup, kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial. Selain itu diperlukan aspek
operasional sebagai langkah awal dalam mendorong kebijakan pada ketiga aspek
lainnya. Aspek lingkungan hidup menginginkan terciptanya pelestarian
lingkungan dan tercapainnya upaya peningkatan kualitas dan kuantitas, serta
kontinuitas sumberdaya air. Aspek ekonomi mengharapkan adanya pemanfaatan
sumberdaya air yang menguntungkan, serta tercapainya efisiensi dan efektivitas
kerja institusi pengelola. Sementara aspek sosial bertujuan terwujudnya
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, serta terciptanya komunikasi dan
kolaborasi berbagai pihak terkait.
Setiap kepentingan sektor tersebut bisa dielaborasi menjadi sebuah sistem
pengelolaan yang menjaga kesetimbangan setiap kepentingan, sehingga tercipta
sebuah optimalisasi pengelolaan yang bisa mewadahi semua tujuan tanpa saling
meniadakan antar sektor. Hal ini bisa diwujudkan secara operasional dalam
bentuk strategi kebijakan yang terintegrasi untuk mendorong semua pencapaian
tersebut. Kebijakan operasional ini diwujudkan dalam berbagai bentuk program
yang merupakan bagian dari empat aspek (Gambar 37).
132
Gambar 37 Model konseptual pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela.
Kebijakan dalam aspek operasional terdiri dari: (1) program pemenuhan
regulasi; (2) program penataan kelembagaan; serta (3) program implementasi
insentif dan disinsentif. Kebijakan dalam aspek sosial terdiri dari: (1) program
peningkatan komunikasi eksternal; dan (2) program pemberdayaan masyarakat.
Kebijakan dalam aspek ekonomi terdiri dari: (1) program peningkatan nilai jasa
lingkungan sumberdaya air. Kebijakan dalam aspek lingkungan terdiri dari: (1)
program perbaikan penggunaan lahan; dan (2) program peningkatan kualitas dan
kuantitas sumberdaya air. Setiap program saling terkait satu sama lain, sehingga
pencapaian masing-masing program akan berpengaruh terhadap efektivitas
133
pencapaian tujuan pengelolaan secara keseluruhan.
Tekanan pemerintah memiliki pengaruh besar untuk pengembangan
kebijakan perlindungan lingkungan sukarela. Pemerintah dapat memiliki daya
tawar tinggi untuk mendorong perusahaan menerapkan sistem manajemen
lingkungan. Kebijakan insentif seperti penurunan pajak atau subsidi penguatan
kapasitas bagi perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang baik.
Disinsentif dapat dikembangkan melalui mekanisme pengaturan liabilitas
lingkungan. Tentu saja kebijakan insentif dan disinsentif diperkuat dengan
perjanjian voluntary sebagaimana dilakukan di banyak negara seperti Negara Uni
Eropa.
Pengembangan infrastruktur kelembagaan dan institusional pendekatan
sukarela kelihatannya dapat meningkatkan pengakuan masyarakat termasuk
investor. Independensi lembaga dan transparansi pelaksanaan perlu dikembangkan
dalam infrastuktur termasuk memberi ruang bagi stakeholder dalam
pengembangan infrastuktur ini.
Sementara dari sisi pendanaan, pengelola PLTA berperan aktif sebagai
leading sektor secara operasional menyisihkan sebagain keuntungannya untuk
pengelolaan secara berkelanjutan. Mekanisme yang digunakan melalui biaya
sukarela (Corporate Sosial Responsibility – CSR) maupun skema pengelolaan
nilai jasa lingkungan lainnya berdasarkan kesadaran dan partisipasi semua pihak.
4.9 Implikasi Kebijakan
Hasil analisis statistik dan analisis spasial menunjukkan bahwa terjadi
dinamika kualitas air dan penggunaan lahan di lokasi dan sekitar PLTA.
Implementasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis
sukarela bisa diterapkan guna mencapai keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya
air di PLTA tersebut. Berdasarkan analisis stakeholder, terdapat berbagai pihak
(stakeholder) yang berkepentingan dengan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Kondisi penggunaan lahan dan
kualitas air menjadi dasar penyusunan kebijakan perlindungan dan pengelolaan
yang akan dijalankan oleh stakeholder terkait di lapangan. Selain itu, kebijakan
dan pengelola yang akan terlibat harus memenuhi regulasi yang sesuai dengan
134
hasil legal review terhadap regulasi terkait perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela. Kebijakan tersebut dilengkapi dengan berbagai
prioritas kebijakan berdasarkan pandangan para pakar (knowledge based) yang
diperoleh dari hasil proses hirarki analitik (AHP). Hasil berbagai analisis tersebut
dijadikan sintesa untuk menyusun kebijakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela. Implementasi kebijakan ini akan berimplikasi
terhadap berbagai aspek yang perlu dikaji secara cermat dan komprehensif.
Implikasi penerapan kebijakan tersebut mendorong perlunya penyusunan
strategi untuk memperkuat sistem yang telah dirancang guna meningkatkan
efektivitas pencapaian tujuan. Manajemen konsensus perlu dilakukan secara
implementatif dalam menentukan keputusan bersama berdasarkan kesepakatan
antar pihak guna mencapai tujuan bersama. Hal ini untuk mengeliminasi
ketidaksetaraan, ego sektoral dan konflik kepentingan di antara para pihak yang
terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA. Pemberdayaan masyarakat guna
meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar PLTA menjadi fokus utama dalam
menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya air. Penyusunan tahapan
program dan penanggung jawabnya secara jelas dan transparan berdasarkan
kesepakatan akan menghasilkan implementasi yang optimal saat pelaksanaannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah arti penting sumberdaya air sebagai
bagian dari ekosistem yang menyeluruh di wilayah PLTA. Meskipun visi dan misi
utama pengelola PLTA adalah memproduksi listrik sesuai target yang telah
dicanangkan, tetapi perlu diingat dampak dari eksploitasi sumberdaya air tersebut.
Pemahaman tentang dampak lingkungan bisa membawa pengelolaan ke arah yang
lebih berkelanjutan dengan memperhatikan aspek-aspek lainnya yang terkait.
Produksi yang berlimpah untuk meningkatkan nilai ekonomi juga harus
memperhatikan aspek lainnya, seperti aspek sosial dan lingkungan. Keuntungan
pada aspek ekonomi harus bisa mendorong perbaikan aspek lainnya, seperti
pemberdayaan masyarakat pada aspek sosial dan perbaikan kondisi penggunaan
lahan pada aspek lingkungan.
Selain implikasi strategis yang bersifat umum tersebut, perlu juga dilakukan
perumusan implikasi kebijakan operasional yang sesuai dengan karakteristik
masing-masing lokasi PLTA. Meskipun secara umum terjadi degradasi lahan dan
135
kelemahan pengelolaan pada semua lokasi PLTA, tetapi karakteristik besaran
kerusakan dan sistem pengelolaan yang ada pada setiap lokasi berbeda satu sama
lain. Hal ini akan menjadi landasan implikasi kebijakan secara lebih operasional
dan teknis untuk setiap lokasi PLTA.
Perubahan penggunaan lahan yang masif pada lokasi PLTA di Jawa Barat
(Saguling dan Cirata) memberikan implikasi kebijakan yang lebih mengarah pada
teknis rehabilitasi lahan terutama pada DAS hulu PLTA. Program-program yang
mengarah pada perbaikan kondisi lahan harus didorong secara aktif baik oleh
aktor kunci di pemerintahan pusat (Kemenhut), maupun aktor kunci di tataran
operasional (PLTA). Penggalakan rehabilitasi lahan melalui kegiatan reboisasi
guna menambah luasan lahan bervegetasi, terutama hutan akan sangat mendukung
perbaikan lahan dan mengurangi ancaman erosi dan sedimentasi ke dalam Waduk
Saguling dan Cirata. Pengurangan ancaman erosi dan sedimentasi akan
meningkatkan umur teknis waduk dan efektifitas pembangkitan listrik. Selain itu,
hal ini akan meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air yang
menjadi pasokan air bagi PLTA Saguling dan Cirata.
Sementara perubahan penggunaan lahan pada DAS hulu PLTA Tanggari I
dan II juga terjadi seperti di Jawa Barat. Namun besaran perubahan lahannya
masih dalam tahap perkembangan dan belum semasif yang terjadi di Jawa Barat.
Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang bisa mendorong pencegahan perubahan
penggunaan lahan dari lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun. Penegakan
aturan dan pengetatan ijin pembangunan pada kawasan lindung yang menjadi
daerah resapan air pada DAS hulu PLTA perlu terus digalakan. Selain itu,
komunikasi eksternal dengan masyarakat pada bagian DAS hulu perlu
diintensifkan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya konservasi lahan
terhadap keberadaan sumberdaya air. Hal lain yang bisa dilakukan adalah
mendorong kegiatan reboisasi lahan sebagai langkah perbaikan terhadap kondisi
yang ada.
Perbaikan kualitas sumberdaya air juga bisa dilakukan secara internal oleh
jajaran PLTA, melalui peningkatan kinerja operasional PLTA secara keseluruhan.
Untuk PLTA Saguling dan Cirata bisa dilakukan dengan meningkatkan sistem
operasional pembangkitan listrik, baik dengan mengoptimalkan teknologi dari
136
peralatan yang ada, maupun dengan meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia
sebagai pengelolanya. Hal ini diharapkan akan memperbaiki tingkat kualitas air
yang masuk ke dalam sistem PLTA dan dialirkan lagi pada badan air alaminya.
Indikator perbaikan bisa dimonitor pada perbandingan parameter-parameter
kualitas air yang masuk ke dalam inlet dan yang keluar dari outlet PLTA.
Sementara kondisi pada PLTA Tanggari I dan II yang menggunakan
peralatan yang relatif lebih tua, diperlukan berbagai peremajaan guna
meningkatkan kinerja peralatan PLTA. Peningkatan kapasitas sumberdaya
manusia secara mendasar perlu dilakukan terhadap pengelola PLTA. Hal ini
disebabkan sumberdaya pengelola PLTA relatif belum secara optimal memahami
arti penting perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela
terkait kepentingannya sebagai pengelola PLTA.
Berdasarkan hasil analisis nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya
air diperoleh karakteristik setiap PLTA yang berbeda secara signifikan. Pada
PLTA Saguling nilai ekonomi hasil budidaya perikanan dan ekowisata relatif
kecil dibandingkan nilai ekonomi lainnya. Sementara pada PLTA Cirata, serta
PLTA Tanggari I dan II, nilai ekonomi hasil budidaya perikanan dan ekowisata
relatif lebih menonjol dibandingkan nilai ekonomi lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa PLTA Saguling belum menjadi lokasi budidaya ikan dan tujuan wisata
yang relatif besar. Kondisi ini disebabkan karena letak dan akses ke PLTA
Saguling relatif tidak mudah untuk kegiatan budidaya ikan dan wisata. Selain itu
luas genangan Waduk Saguling relatif kecil karena berada pada daerah genangan
dataran tinggi dengan karakteristik jurang sempit sebagai daerah genangannya.
Kebalikannya dengan PLTA Saguling, PLTA Cirata serta Tanggari I dan II
memiliki karakteristik genangan dan akses yang mendukung kegiatan budidaya
perikanan dan ekowisata.
Implikasinya KJA pada Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II
berkembang secara masif dengan jumlah relatif besar. Selain itu kedua lokasi
PLTA ini banyak dikunjungi wisatawan dan bersinergi dengan aktifitas budidaya
ikan KJA. Oleh karena itu, kebijakan yang harus didorong adalah pengelolaan
aktifitas KJA dan ekowisata yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II. Mengingat jumlah KJA yang