88
ISTORIA ISTORIA Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL dan EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Volume 7 Nomor 2 Edisi Maret 2010 ISSN: 1858-2621 Perspektif Spiritualisme dalam Pembelajaran Sejarah Sardiman AM. Pendidikan dalam Pemikiran Konfusius Ririn Darini Faktor-faktor Pendukung Kualitas Pembelajaran Sejarah di SMA Negeri 5 Yogyakarta Terry Irenewaty Runtuhnya Dikotomi Tradisionalis dan Modernis: Menilik Dinamika Sejarah NU dan Muhammadiyah Miftahuddin Benturan Antarperadaban (The Clash of Civilization) dalam Persian War 490-480 BC Sudrajat Dimensi-dimensi Kualitas Proses Pembelajaran Sejarah Aman Perspektif Spiritualisme dalam Pembelajaran Sejarah Sardiman AM. Pendidikan dalam Pemikiran Konfusius Ririn Darini Faktor-faktor Pendukung Kualitas Pembelajaran Sejarah di SMA Negeri 5 Yogyakarta Runtuhnya Dikotomi Tradisionalis dan Modernis: Menilik Dinamika Sejarah NU dan Muhammadiyah Miftahuddin Benturan Antarperadaban ( ) dalam Persian War 490-480 BC Sudrajat Dimensi-dimensi Kualitas Proses Pembelajaran Sejarah Aman Terry Irenewaty The Clash of Civilization

Istoria PDF

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Istoria was journal that expose research or opinion of lecturer or any scholar of History Department of Yogyakarta State University. Give me a feedback to improve the quality og our journal

Citation preview

Page 1: Istoria PDF

ISTORIAISTORIAJurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAHFAKULTAS ILMU SOSIAL dan EKONOMIUNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Volume 7 Nomor 2 Edisi Maret 2010 ISSN: 1858-2621

Perspektif Spiritualisme dalam Pembelajaran Sejarah Sardiman AM.

Pendidikan dalam Pemikiran KonfusiusRirin Darini

Faktor-faktor Pendukung Kualitas Pembelajaran Sejarahdi SMA Negeri 5 YogyakartaTerry Irenewaty

Runtuhnya Dikotomi Tradisionalis dan Modernis: MenilikDinamika Sejarah NU dan Muhammadiyah Miftahuddin

Benturan Antarperadaban (The Clash of Civilization) dalamPersian War 490-480 BCSudrajat

Dimensi-dimensi Kualitas Proses Pembelajaran SejarahAman

Perspektif Spiritualisme dalam Pembelajaran Sejarah Sardiman AM.

Pendidikan dalam Pemikiran KonfusiusRirin Darini

Faktor-faktor Pendukung Kualitas Pembelajaran Sejarahdi SMA Negeri 5 Yogyakarta

Runtuhnya Dikotomi Tradisionalis dan Modernis: MenilikDinamika Sejarah NU dan Muhammadiyah Miftahuddin

Benturan Antarperadaban ( ) dalamPersian War 490-480 BCSudrajat

Dimensi-dimensi Kualitas Proses Pembelajaran SejarahAman

Terry Irenewaty

The Clash of Civilization

Page 2: Istoria PDF

ISTORIA Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah

ISSN: 1858-2621

Alamat Redaksi:

Jurusan Pendidikan Sejarah FISE UNY Kampus Karangmalang Yogyakarta

Telp. (0274) 586168, ext 385

Terbit Pertama Kali Tanggal 1 September 2005 Frekuensi Terbit 2 kali setahun

Page 3: Istoria PDF

DEWAN REDAKSI

Pimpinan Redaksi: A. Daliman

Dewan Redaksi: Sardiman, AM.

Terry Irenewaty Harianti

Penyunting Ahli:

Djoko Suryo (UGM) Ahmad Syafi’i Maarif (UNY)

Husain Haikal (UNY) Suyatno Kartodirdjo (UNS)

Sekretaris Redaksi:

M. Nur Rokhman

Staff Redaksi: Supardi

Dyah Kumalasari Sudrajat

Taat Wulandari

Editor Bahasa: Aman

Alamat Redaksi: Jurusan Pendidikan Sejarah FISE UNY

Kampus Karangmalang Yogyakarta Telp. (0274) 586168, ext 385

Terbit Pertama Kali Tanggal 1 September 2005 Frekuensi Terbit 2 kali setahun

ISSN: 1858-2621

Page 4: Istoria PDF

PENGANTAR REDAKSI

Jurnal ISTORIA terbit dua kali dalam setahun pada bulan April dan

September. Istoria berusaha untuk menampilkan artikel-artikel ilmiah serta hasil-

hasil penelitian dalam bidang kesejarahan, baik keilmuan maupun kependidikan.

Dengan adanya media ini diharapkan hadirnya pemikiran serta paradigma baru

tentang kesejarahan dan pendidikan sejarah. Hal ini perlu mengingat adanya

kebutuhan untuk pembaharuan dalam bidang keilmuan, pendidikan maupun

metodologinya. Sejarah harus mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta adanya dinamika dalam kehidupan politik

ekonomi dan sosial budaya. Oleh karena itu pemikiran dan wawasan baru mutlak

dihadirkan, sehingga sejarah dan pendidikan sejarah semakin berkembang ke

arah yang lebih baik.

Dewan redaksi menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada para

penulis yang telah bersedia memberikan kontribusi pemikiran baik dalam bentuk

artikel maupun hasil penelitiannya. Tidak lupa juga terima kasih yang sedalam-

dalamnya kepada seluruh jajaran dewan redaksi yang telah bersungguh-sungguh

untuk menerbitkan jurnal ini. Kepada dosen-dosen Jurusan Pendidikan Sejarah

FISE UNY dewan redaksi juga mengucapkan terima kasih atas kerjasama yang

terjalin sehingga jurnal ini dapat terbit sesuai dengan jadwal yang telah

ditetapkan.

Last but not least, dewan redaksi mengharapkan sumbang saran, kritik,

serta masukan dari pembaca demi perbaikan pada edisi berikutnya. Kami

berharap, semoga kehadiran Istoria edisi kali ini memberikan manfaat yang

sebesar-besarnya.

Yogyakarta, April 2010

Tim Redaksi

Page 5: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

1

PERSPEKTIF SPIRITUALISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

Oleh: Sardiman AM.1

1 Dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah sekaligus dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi

Universitas Negeri Yogyakarta.

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi arti penting spritiualisme dalam pembelajaran khususnya pembelajaran sejarah. Seperti yang sudah lama terdengar, pembelajaran sejarah selama ini terkesan gersang, hampa, dan tidak punya makna. Pembelajaran sejarah terkesan hanya menjejalkan pengetahuan kosong yang tidak mempunyai arti bagi siswa. Padahal pembelajaran sejarah mengemban tugas yang sangat penting yaitu mengawal nilai-nilai nasionalisme dan nilai-nilai kemanusiaan yang sekarang ini sudah luntur ditelan waktu. Kondisi bangsa Indonesia sekarang ini sungguh memprihatinkan. Korupsi semakin merajalela di semua lapisan, kriminalitas dan kekerasan terjadi dimana-mana, pornografi dan pornoaksi tersebar secara massif, gaya hidup hedonistis, merupakan gejala yang memerlukan pemikiran dan pemecahan. Oleh karena itu, diperlukan sentuhan-sentuhan tertentu dalam pembelajaran sejarah sehingga siswa akan tersadar dengan sendirinya bahwa mereka merupakan makhluk Allah yang memiliki tugas mulia sebagai khalifah di muka bumi. Pembelajaran sejarah juga harus mampu membangun kesadaran sejarah sehingga siswa memiliki motivasi dan komitmen yang kuat sehingga karakter positif dapat terbentuk dengan sendirinya. Ini merupakan hal urgent yang harus mendapat perhatian dari kita semua. Kata kunci: pembelajaran sejarah, spiritualisme. Abstract This study was aimed to elaborate importance the spiritualism in learning of history. Learning of history have negative stigma such as: dried, bare, and unimportance. Whereas history has important duty was guard nationalism and humanity values which by whitish. Nowadays Indonesian has the great problem such as spread of corruption, criminality, and violence. We need particular touch in history learning so students have awareness as a leader in the universe. Learning of history must be erected students motivation and obligation so positive character was build. This was an urgent and needs attention to our teachers. Keyword: learning of history, spiritualism.

Page 6: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

2

Prawacana Mengapa seseorang menjadi korup-tor?, mengapa seseorang menjadi perusak lingkungan hutan di Indo-nesia? Salah satu jawabnya, karena mereka itu tidak memiliki kesadaran sejarah. Mereka lupa dan tidak menyadari bahwa bumi dan tanah air ini ditegakkan dengan darah dan air mata, dengan jiwa, raga dan harta. Mereka tidak sadar bahwa bumi, alam dan seisinya ini diciptakan oleh Tuhan Allah SWT., untuk kemaslahatan orang banyak, dititipkan untuk anak cucu kita. Harus diakui bahwa kesadaran sejarah di kalangan masyarakat kita mengalami degradasi. Kita sudah lupa pada dimensi kelampauan kita. Mengapa? Salah satu sebabnya pembelajaran sejarah kita bersifat kognitif, cenderung hafalan dan kurang bermakna dalam kehidupan keseharian, di samping dinamika kehidupan masyarakat yang cenderung konsumtif-materialistik. Secara tidak terasa sekularisasi sedang berkecamuk di lingkungan dan kehidupan kita. Nilai dan ruh spiritualisme dari setiap realitas sejarah yang tergambar dalam ayat-ayat Tuhan baik yang qauniyah maupun qauliyah, tidak lagi terbaca oleh masyarakat dan warga bangsa ini. Pembelajaran sejarah sebenar-nya tidak sekedar menjawab pertanyaan what to teach, tetapi bagaimana proses pembelajaran itu

dilangsungkan agar dapat menangkap dan mem-bangun nilai serta mentransformasi-kan pesan di balik realitas sejarah itu kepada peserta didik. Proses pembelajaran ini tidak sekedar peserta didik menguasai materi ajar, tetapi diharapkan dapat membantu pematangan kepribadian peserta didik sehingga mampu merespon dan beradaptasi dengan perkem-bangan sosio kebangsaan yang semakin kompleks serta tuntutan global yang semakin ”ngrangsek”. Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini ternyata belum seperti yang dicita-citakan. Peristiwa politik tahun 1998 yang telah mengakhiri kekuasaan Orde Baru dengan berbagai euforianya ternyata menyisakan luka mendalam di berbagai aspek kehidupan berma-syarakat, berbangsa, dan bernegara. Berbagai bentuk pelang-garan masih terus terjadi. Tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM, perilaku amoral dan runtuhnya budi pekerti luhur, anarkhisme dan ketidaksabaran, ketidakjujuran dan budaya nerabas, rentannya keman-dirian dan jati diri bangsa, terus menghiasai kehidupan bangsa kita. Semangat kebangsaan kita turun tajam dan di mata masyarakat internasional sepertinya kita telah kehilangan karakter sebagai bangsa ramah, arif dan religius yang selama beratus-ratus tahun bahkan ber-abad-abad kita bangun. Pada kondisi

Page 7: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

3

yang seperti ini nampaknya pendidikan karakter kebangsaan melalui pembelajaran sejarah dengan perspektif spiritualisme, menjadi amat strategis. Pada tulisan singkat ini mencoba ingin sharing pemahaman dan berbagi rasa tentang tema ” Perspektif spiri-tualisme dalam Pembelajaran Sejarah”. Menyoal Tujuan Pembelajaran Muara tujuan pembelajaran sejarah adalah berkembangnya kesadaran sejarah di kalangan peserta didik. Pembelajaran sejarah adalah suatu proses untuk membantu pengembangan potensi dan kepribadian peserta didik melalui pesan-pesan sejarah agar menjadi warga bangsa yang arif dan bermartabat. Sejarah dalam hal ini merupakan totalitas dari aktivitas manusia di masa lampau dan sifatnya dinamis.2

2 Walsh. (1967). Philosophy of History : An

Introduction. New York: Harper and Row Publisher. Hlm. 16.

Maksudnya, bahwa masa lampau itu bukan sesuatu final, tetapi bersifat ter-buka dan terus berkesinam-bungan dengan masa kini dan yang akan datang. Karena itu sejarah dapat diartikan sebagai ilmu yang meneliti dan mengkaji secara sistematis dari keseluruhan perkem-bangan masyarakat dan kemanusiaan di masa lampau dengan segala aspek kejadiannya, untuk kemudian dapat memberikan penilaian sebagai

pedoman penen-tuan keadaan sekarang, serta cermin untuk masa yang akan datang. Lebih jauh pengertian sejarah juga berkait dengan persoalan kemanusiaan dan sebuah teater di mana manusia menjadi pemain watak, berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan keteladanan yang sudah ada. Sejarah akan mendidik manusia untuk memahami “sangkan paran “ dan keberadaan dirinya sehingga dapat memperkuat iden-titas diri dan identitas nasional, atau identitas sebagai suatu bangsa.3 Dalam kaitan ini maka pem-belajaran sejarah berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah adalah suatu orientasi intelektual, dan suatu sikap jiwa untuk memahami keberadaan dirinya sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai suatu bangsa.4 Taufik Abdullah5 menegaskan bahwa kesadaran sejarah tidak lain adalah kesadaran diri. Kesadaran diri dapat dimaknai sadar akan keberadaan dirinya sebagai individu, sebagai makhluk sosial termasuk sadar sebagai bangsa dan sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan.6

3 Soedjatmoko. (1986). Dimensi Manusia

dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES. Hlm. 6. 4 Ibid., hlm. 7. 5 Taufik Abdullan. (1974). “Masalah Seja-

rah Daerah dan Kesadaran Sejarah”, Bulletin Yaperna No. 2 tahun I, Jakarta. Hlm. 10.

6 Sardiman, AM. (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm. 61.

Dalam konteks ini

Page 8: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

4

pada diri manusia sebenarnya ada dua dimensi, yakni dimensi “kehambaan dan kekhalifahan”. Dengan pemahaman tersebut, pembelajaran sejarah dituntut paling tidak dapat mengaktual-isasikan dua hal yakni: (1) pendidikan dan pembelajaran intelektual, (2) pendidikan dan pembelajaran moral bangsa, civil society yang demokratis dan bertanggungjawab kepada masa depan bangsa.7

Dengan mengembangkan dua hal : pendidikan intelektual dan pendidikan moral atau pendidikan kemanusiaan, maka arah pembe-

Hal yang pertama menuntut pembelajaran sejarah tidak hanya menyajikan penge-tahuan faktual, namun dituntut untuk memberikan latihan berfikir kritis, mampu menarik kesimpulan, memahami makna dari suatu peristiwa sejarah menurut kaidah dan norma keilmuan. Pertanyaan-pertanyaan mengenai mengapa dan bagaimana, penting untuk dikem-bangkan dalam proses pembela-jaran sejarah. Sementara itu hal yang kedua menunjuk pada pembelajaran sejarah yang berorientasi pada pendidikan kemanusiaan yang memperhatikan nilai-nilai luhur, norma-norma, religiositas, dan aspek kemanusiaan lainnya.

7 Djoko Suryo. (1991). “Pengembangan

Kajian Sejarah dalam Kurikulum SLTA” Makalah, disampaikan pada acara seminar dalam rangka Dies Natalis IKIP Semarang, 13 Maret 1991. Hlm. 11

lajaran sejarah diharapkan dapat mencapai tujuan yang menopang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pembelajaran sejarah akan dapat melandasi pendidikan kecer-dasan intelektual, sekaligus ikut mendasari pendidikan yang ber-orientasi pada kecerdasan emosi-onal bahkan kecerdasan spiritual dalam rangka meningkatkan marta-bat manusia Indonesia. Dalam pelaksanaan di sekolah, tujuan pembelajaran sejarah tersebut terkait dengan adanya tujuan yang dikenal dengan istilah instructional effects dan tujuan yang “mengikuti” atau tujuan lebih lanjut yang disebut nurturant effects.8

Mencermati rumusan tersebut, nampak jelas bahwa di samping aspek kognitif, dimensi afektif menempati porsi yang cukup penting dalam tujuan pembelajaran sejarah. Namun dalam kenyataannya timbul kritik bahwa pendidikan kita cenderung intelektualistik-kognitif. Apabila kecenderungan ini “keterusan” secara kultural dapat melahirkan kecenderungan baru, yakni adanya sekularisasi. Kalau itu terjadi maka orang akan lebih banyak berpikir sekarang bukan esok, dan mengambil paradigma “memiliki” bukan “menjadi”

(uraian selengkapnya lih.dalam Sardiman AM.,2005: 26).

9

8 Sardiman, Op. cit., hlm. 26. 9 Erich Fromm. (1987). Memiliki dan

Menjadi – Tentang Dua Modus Eksistensi (alih bahasa F. Soesilohardo), Jakarta: LP3ES.

(lih.

Page 9: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

5

Erich Fromm, 1987). Hal ini mulai menjadi kenyataan, masyarakat bahkan mungkin juga para pimpinan kita bangga, karena anak Indonesia memenangkan olimpiade matematika, atau kimia. Kita bangga bahwa anak-anak/peserta didik kita semua lulus ujian nasional (yang hanya diwakili oleh beberapa mata pelajaran). Para orang tua juga akan lebih senang kalau nilai matematika anaknya 10, sekalipun nilai agamanya kurang. Akibatnya, banyak masyarakat yang kurang memperhatikan bahwa pendidikan semestinya tidak hanya meningkat-kan kecerdasan intelektual tetapi yang sangat penting bagaimana membangun kepribadian peserta didik dan generasi muda yang bertaqwa, berakhlak mulia, memi-liki kemadirian dan kebanggaan nasional. Begitu juga dalam pembelajaran sejarah masih cukup memprihatin-kan. Pembelajaran sejarah lebih banyak hafalan dan bersifat kognitif. Akibatnya pembelajaran sejarah tidak mampu menjangkau kepada aspek-aspek moralitas, menyangkut kecerdasan emosional dan spiritual, pada hal sejarah sendiri sebuah moralitas, tegas Wang Gungwu. Pembelajaran sejarah kita masih jarang yang mampu memasuki wilayah ranah afektif, seperti sikap arif, menumbuhkan semangat kebangsaan, bangga terhadap bangsa dan negerinya, apalagi sampai

memahami hakikat dirinya sebagai manifestasi kesadaran sejarah yang paling tinggi. Pada hal nilai dan aspek-aspek itulah yang menjadi esensi dari tujuan pembelajaran sejarah. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya bagaimana mewujudkan tujuan tersebut. Membangun Spiritualisme. Membangun kesadaran sejarah pada diri setiap peserta didik pada hakikatnya membangun karakter anak bangsa. Bagaimana mengem-bangkan pembelajaran sejarah agar dapat membantu pembangunan karakter anak bangsa ini. Salah satu caranya antara lain dengan mengem-bangkan pembelajaran dengan perspektif spiritualisme. Dengan perspektif ini diharapkan pembe-lajaran sejarah akan senantiasa menjadi instrumen penting dalam upaya membangun karakter bangsa yang ramah, arif, empati dan religius atau insan yang beriman, cerdas dan berakhlak mulia sesuai nilai-nilai ke-Indonesiaan. Untuk membangun karakter bangsa yang demikian itu, sejumlah nilai yang perlu dikembangkan dan ditanamkan kepada peserta didik agar dapat dihayati dan diaplikasikan antara lain nilai: keimanan dan ketaqwaan; keadilan dan kesetaraan; nasionalisme dan patriotisme, kemandirian dan dan jati diri bangsa; demokrasi dan tanggung jawab; kearifan, toleransi dan menghormati sesama; di

Page 10: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

6

samping nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, kepedulian, serta keteladanan.10

Di dalam pelajaran sejarah banyak pokok bahasan atau topik-topik yang mengandung nilai-nilai kesejarahan tersebut. Misalnya ketika sedang membahas periode pra aksara, guru dapat membahas sejarah penciptaan manusia, termasuk mencari siapa manusia pertama, apa beda Adam sebagai khalifah di muka bumi dengan spesies megantropus ataupun pitekantropus. Pada waktu membahas periode Hindu-Budha dan Islam, guru dapat banyak menjelaskan tentang nilai-nilai ketaqwaan, keberagaman, toleransi dan saling menghargai, nilai-nilai keharmonisan, serta melalui karya-karya budayanya dapat dijadikan instrumen untuk menumbuhkan kebanggaan dan jati diri bangsa. Saat mengkaji materi ajar pada

Beberapa nilai ini sangat relevan dengan arah dan tujuan pembelajaran sejarah. Nilai-nilai itu dapat digali dan dikembangkan melalui pembe-lajaran sejarah. Dalam hal ini memang sangat diperlukan adanya kreativitas dari para guru sejarah. Para guru sejarah harus menggali dan mampu mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik.

10 Kabul Budiyono. (2007). Nilai-nilai

Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indone-sia, Bandung : Alfabeta. Hlm. 8

pereiode penjajahan, sangat tepat untuk mengaktuali-sasikan kembali nilai-nilai jati diri dan hak-hak individu atau hak-hak asasi manusia, nilai-nilai kemanu-siaan, bahkan secara dikotomis dapat diaktualisasikan nilai-nilai kemerdekaan. “Kemerekaan ialah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Satu kalimat dari Pembukaan UUD 1945 ini secara kreatif dapat dibahas satu atau dua kali pertemuan. Para peserta didik diajak untuk memahami dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan diri, nilai-nilai perikemanusiaan dan nilai keadilan untuk kemudian menjadi bagian dari sikap dan perilakunya. Dalam hal ini guru dituntut untuk mampu menjelaskan dan meyakinkan kepada peserta didik agar menyadarai bahwa tindakan kaum penjajah di bumi Nusantara sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keadilan sebagai hak-hak asasi manusia. Hak-hak individu yang paling asasi dirampas. Tidak ada kebebasan berserikat, tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat dan memeluk agama secara utuh. Padahal Tuhan menciptakan setiap bangsa, setiap manusia anggota masyarakat dalam keadaan sama, kecuali karena kadar keimanan-

Page 11: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

7

nnya. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna dengan kedudukan mulia yakni sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi yang bertugas membangun dunia demi kemaslahatan semua orang. Jadi penjajahan sangat jelas bertentangan dengan fitrah dan ciptaan Tuhan. Membahas topik-topik pada periode penjajahan ini, peserta didik juga dapat diajak untuk menghayati dan menumbukan sikap patriotisme, sikap dan tindakan anti penjajahan. Harus diyakinkan kepada peserta didik bahwa tindak penajajahan itu adalah perilaku dholim karena menyengsarakan rakyat banyak. Dalam konteks ini dapat diaktualisa-sikan konsep jihad, “ … dan barang siapa berjihad di jalan Tuhan, surga adalah pahalanya.” Pembahasan topik-topik yang berkenaan dengan periode perge-rakan nasional, guru perlu menekankan nilai-nilai nasionalisme, persatuan dan kesatuan di antara pluralisme atau keanekaragaman, toleransi dan saling menghargai. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan. Tuhan telah menciptakan ini semua sebagai kekayaan dan kekuatan bangsa. Tuhan telah mengajarkan kepada kita bahwa diciptakan-Nya manusia bersuku-suku dan golongan-golo-ngan agar kita saling mengenal dan menjalin tali silaturahim. Kalau sudah demikian

maka dengan didorongkan oleh keinginan luhur yakni cita-cita ingin merdeka, maka terwujudlah persatuan dan kebersa-maan. Usaha untuk mewujudkan persatuan ini berhasil dengan di-ikrarkannya Sumpah Pemuda yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa: Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi simbol kebersamaan dalam ke-anekaragaman dan sekaligus mem-berikan semangat untuk meng-galang persatuan demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan. Sumpah Pemuda adalah manifesto politik dan ujud nyata dari silaturakhim nasional, “Barang siapa yang mau menghidup-hidupkan silaturakhim maka akan dipanjangkan usianya dan diluaskan rezekinya.” Inilah konsep nasionalisme yang di-bimbing oleh nilai-nilai moral, nilai-nilai keagaaman yang oleh Toynbee dikatakan sebagai nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai universal agama-agama atas (higher reli-gions).11

11 Ahmad Syafii Ma’arif. (1989).

“Menggugat Toynbee”, dalam Eksponen, edisi 5 Maret 1989.

(lih. A. Syafii Maarif, 1989). Nasionalisme yang tidak dibimbing oleh nilai-nilai moral keagamaan, dapat terjebak pada dua kecenderungan. Pertama, nasionalisme yang sekuler, ekstrim berlebihan yang dapat melahirkan chauvinisme. Bentuk nasionalisme

Page 12: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

8

inilah yang dikritik oleh Toynbee, karena telah menyebabkan berkobarnya PD II yang menghancukan peradaban manusia. Kedua, nasionalisme yang lemah sehingga menjadikan pendukungnya tidak memiliki kebanggaan nasional dan jati diri bangsa. Dalam konteks ini guru secara kreatif dapat membahas materi ini, misalnya dengan topik “Telaah Teks Sumpah Pemuda”seperti telah diterangkan di atas. Selanjutnya untuk membahas topik-topik yang terkait dengan materi ajar pada periode kemerdekaan, guru dapat mengaktualisasikan dan menanam-kan nilai-nilai esensial yang relevan kepada para peserta didik, seperti nilai-nilai kemedekaan, keman-dirian dan kebebasan yang bertanggung jawab, nilai demokrasi, patriotisme, masalah kepemimpinan dan keteladanan. Agar lebih menumbuhkan kesadaran dan merangsang emosi peserta didik, guru sebagai fasilitator dan motivator dapat membelajarkan peserta didik untuk menelaah teks dan simbol-simbol kebangsaan. Misalnya mendiskusikan tentang teks Pembukaan UUD 1945 alinea 3, “ Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong-kan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia me-nyatakan dengan ini, kemer-

dekaannya”, mendiskusikan makna Sang Saka Merah Putih, mengkaji baris-baris pada Lagu “Indonesia Raya”. Kemudian juga bisa membahas biografi beberapa tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sudirman, untuk mendapatkan nilai-nilai kepemimpinan dan keteladanan. Di samping telaah tersebut, yang menarik para peserta didik juga dilatih untuk menyampaikan orasi seputar makna kemerdekaan. Contoh kata atau kalimat-kalimat yang penting untuk diorasikan misalnya: Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Kemerdekaan fitrah dan hak asasi manusia sebagai ciptaan Tuhan. Karena itu wajar kalau bangsa Indonesia berusaha dengan segala daya, dengan penuh pengorbanan baik jiwa, raga maupun harta. Dengan semboyan “merdeka atau mati” dan disertai dengan semangat jihad, bangsa Indonesia akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk sebuah kemerdekaan. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hal yang sangat asasi dan tahapan sangat penting bagi eksistensi suatu bangsa. Misalnya kita akan menanamkan nilai demokrasi. Di dalam upaya mengisi kemerdekaan itu setiap komponen bangsa ingin mewujudkan kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang lebih demokratis di segala bidang, sesuai

Page 13: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

9

dengan amanat pembukaan UUD 1945. Upaya untuk menciptakan suatu kehidupan yang demokratis telah dirintis sejak Indonesia baru merdeka oleh para pemimpin bangsa seperti Sjahrir, Mohammad Hatta, Sukarno, sampai kemudian dibuka lembaran demokrasi liberal dengan pemilunya yang cukup demokratis, dewasa, dan jurdil. Perjuangan demokrasi ini terus bergulir dengan persepsi para pemimpin seperti Presiden Sukarno di zaman Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpinnya, Presiden Suharto dengan Demokrasi Pancasilanya, bahkan sampai era reformasi bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia Baru, masyarakat madani, yakni masyarakat demokratis dengan hak-hak sipil yang kuat. Demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Artinya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, baik itu dilaksanakan secara langsung maupun melalui perwakilan. Implikasi dari konsep ini maka bila dilihat dari aspek kepemimpinan yang demokratis, maka seorang pemimpin yang berkuasa di dalam pemerintahan pada hakekatnya karena atas nama rakyat, karena ia mendapatkan amanat dari rakyat. Sebagai konsekuensinya maka pemimpin harus mengutamakan kepentingan rakyat, melindungi dan menyejah-terakan rakyat bukan menguta-makan kepentingan

pribadi, keluar-ga, dan kroni-kroninya. Kepemimpinan yang demokra-tis dan bertanggungjawab banyak ditemukan atau dicontohkan dalam pelajaran sejarah umat manusia. Misalnya kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyiddin, di samping tokoh-tokoh yang lain. Nabi Muhammad sendiri mengajarkan bahwa bagi para pemimpin yang meninggal dalam keadaaan menipu rakyat, tidak me-mikirkan kesejahteraan rakyat, maka ia haram mencium bau surga, apalagi memasukinya. Inilah salah satu model kepemim-pinan dunia yang mengembangkan kepemimpinan demokratis-moralis, kepemimpinan yang amanah, yang sangat penting untuk diajarkan kepada para peserta didik melalui pelajaran sejarah yang menarik, hi-dup dan menggairahkan. PENUTUP Demikian beberapa ilustrasi bagaimana mengembangkan materi dan melaksanakan pembelajaran sejarah dengan perspektif spiritualisme. Banyak materi pembelajaran yang dapat dimanfaatkan untuk membangun karakter bangsa, dengan melalui penanaman dan transformasi nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, akhlak mulia dan nilai-nilai luhur ke-Indonesia-an seperti nilai-nilai

Page 14: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

10

religiositas, kemanusiaan dan keadilan, sosialisme, nasionalisme, patriotisme, demokrasi, toleransi, kearifan, keteladanan. Tentu hal ini sangat menuntut keberanian dan kreativitas guru. Dan sebagai bagian dari upaya pengembangan profesionalismenya, guru perlu merubah pembelajaran sejarah yang kognitif menjadi pembelajaran yang lebih bermakna, kontekstual, dan menyentuh aspek-aspek afektif atau kecerdasan emosional, serta kecerdasan spiritual. Pembelajaran sejarah yang bersifat kognitif hanya akan melahirkan kepuasan dengan durasi sesaat, sebaliknya pembe-lajaran sejarah yang mampu melatih kecerdasan emosional dan spiritual, akan melahirkan kesadaran sejarah yang sejati. Inilah modal penting untuk mewujudkan bangsa yang berkarakter, bangsa berkepribadian dan mempunyai harga diri di hada-pan bangsa-bangsa lain. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafii Maarif, (1989).

“Menggugat Toynbee”, dalam Eksponen, edisi 5 Maret 1989.

Ahmad Syafii Maarif (1985), Al

Qur’an : Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka.

Djoko Suryo(1996). “Pengembangan

Kajian Sejarah dalam Kurikulum SLTA” Makalah, disampaikan pada acara seminar dalam rangka

Dies Natalis IKIP Semarang, 13 Maret 1991.

Erich Fromm, (1976). Memiliki dan

Menjadi – Tentang Dua Modus Eksistensi (alih bahasa F. Soesilohardo), Jakarta: LP3ES.

Kabul Budiyono, (2007). Nilai-nilai

Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, Bandung : Alfabeta.

Sardiman AM. (2005). Interaksi dan

Motivasi Belajar Mengajar . Jakarta: Rajawali Pers.

Soedjatmoko (1986). Dimensi

Manusia dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES.

Page 15: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

11

PENDIDIKAN DALAM PEMIKIRAN KONFUSIUS

Oleh:

Ririn Darini1

1 Dosen tetap pada jurusan Pendidikan Sejarah FISE Universitas Negeri Yogyakarta sejak

1999.

Abstrak

Konfusius adalah salah seorang pemikir besar dunia. Banyak hasil pemikirannya yang masih relevan sampai sekarang, salah satunya adalah pemikiran mengenai pendidikan. Bahkan beberapa pemikiran Konfusius di bidang pendidikan telah melampaui pemikiran dari zamannya. Baginya pendidikan adalah hak setiap orang tanpa memandang status sosial. Pendidikan juga menjadi kurang berharga bila tidak dibarengi dengan keseimbangan emosi, dan usaha untuk menghasilkan keseimbangan tersebut tergantung pada pendidikan li. Tulisan berikut ini akan mengulas lebih jauh mengenai hasil pemikiran Konfusius dalam bidang pendidikan berkaitan dengan peranannya sebagai seorang pendidik. Kata Kunci: Pendidikan, Konfusius. Abstract This study was elaborate Confusius view about education which was related by her role as an educator. Confusius (Kong Fu Tze) was the big thinker in the world which has view and reflection. Confusius opinions have relevance to conditions at current times. One of her opinions was about education that all of human has the right to get education without discrimination that based on social status. For Confusius, education without correspond by emotional balance be disvalues because educational not correspond with cognitive itself, but has another dimensions such as emotional. To gain balancing between cognitive and emotional depend on li education. Keyword: education, Confusius.

Page 16: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010

12

Pendahuluan Konfusius2

Di mata masyarakat China kecen-dekiawanan Konfusius tidak di-

lahir pada tahun 551 SM di sebuah Negara kecil, Lu, yang terletak di daerah yang sekarang dikenal sebagai Propinsi Shantung di China bagian timur. Dalam sejarah China, Konfusius adalah negarawan besar, pemikir besar, dan juga seorang pendidik. Pada masa hidup Konfusius negaranya sedang mengalami keka-cauan. Berbagai penyimpangan di-lakukan oleh pemerintah, disintegrasi negara, pemberontakan, dan terjadi begitu banyak kejahatan, serta banyak orang yang hidup tanpa aturan yang jelas. Kondisi sosial China pada saat itu menunjukkan ketidakteraturan, degradasi moral dan anarki intelek-tual. Dalam situasi demikian Konfusius menghasilkan berbagai gagasan pemi-kiran sebagai tanggapan atas per-masalahan sosial yang dihadapi negaranya.

Meskipun gagasan-gagasannya tidak mendapatkan perhatian pada masa hidupnya, dan bahkan pada masa kekuasaan Dinasti Chin ajaran Konfusius justru mengalami penindasan, tetapi hasil pemikiran Konfusius telah memberikan kon-tribusi yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya China. Etika dan moral mewarnai pemikiran-pemikirannya, termasuk juga pemikirannya mengenai pendi-dikan.

2 Selain Konfusius, penyebutan yang

sering digunakan adalah Confucius, Kung Fu Tze, atau Kong Hu Cu.

ragukan lagi. Mereka menghorma-tinya sebagai pelindung dan teladan bagi semua golongan sarjana birokrat. Pendidikan di China mendapatkan posisi yang sangat penting sejak berabad-abad sebelum masehi hingga sesudahnya. Paling tidak dapat diketahui bahwa birokrat kekaisaran sudah dipenuhi oleh sarjana-sarjana China, sehingga jelas bahwa mereka yang termasuk golongan sarjana bisa memperoleh akses kemana-mana, termasuk di lingkungan kekaisaran. Berkaitan dengan bidang pendidikan, Konfusius telah memberikan begitu banyak pengaruhnya.

Menurut Dawson3

Konfusius merupakan orang pertama dalam sejarah Cina yang memberi pelajaran kepada murid

, inti pemikiran Konfusius terpadu dalam sebuah sistem sosial, etika, dan intelektual. Salah satu prestasi besarnya adalah memberikan kesempatan seluas-luas-nya kepada orang kebanyakan untuk mengenal kebudayaan dan pendidikan yang sebelumnya merupakan mono-poli kaum bangsawan. Selanjutnya tulisan berikut ini akan mengkaji hasil pemikiran Konfusius dalam bidang pendidikan, antara lain meliputi tujuan dan metode pengajaran serta ajaran-ajarannya mengenai pendidi-kan moral berkaitan dengan penga-lamannya sendiri sebagai seorang pendidik.

Konfusius Sebagai seorang Pendidik

3 Raymond Dawson, Konghucu: Penata

Budaya Kerajaan Langit, Jakarta: Temprint, 1999, hlm. 15.

Page 17: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010

13

dalam jumlah yang besar. Muridnya berjumlah ribuan orang, dan beberapa puluh diantara mereka menjadi pemikir dan sarjana termasyur.4

Kelompok pendidikan Kon-fusius merupakan sekolah swasta pertama yang dipakai sebagai sarana pendidikan tinggi dalam sejarah Cina. Konfusius tidak hanya melatih orang-orang yang dipercayakan kepadanya tetapi juga mendidik mereka dalam pengertian untuk mengembangkan serta meningkatkan taraf pemikiran serta kesusilaan, memperluas, mem-perkuat, serta menertibkannya.

Angka tersebut mungkin terlalu berlebihan jumlahnya, tetapi tidak diragukan lagi bahwa Konfusius adalah seorang guru yang sangat ber-pengaruh.

5

Sebenarnya fungsi persekolahan yang telah berjalan dengan apa yang telah dilakukan oleh Konfusius sama saja, yaitu bahwa kedua-duanya dimaksudkan untuk memberi bekal kepada muridnya agar dapat menjadi pegawai pemerintah. Tetapi dalam pandangan yang biasa pegawai seperti itu hanya diharapkan menjadi alat bagi penguasa atasannya, sekedar melaksanakan apa yang diinginkan penguasa atasannya agar mengerjakan dan mengelola pemerintahan dengan cara-cara yang lazim. Berbeda dengan hal tersebut, Konfusius mengharapkan agar para

4 Fung Yu Lan, Sejarah Ringkas Filsafat

Cina: Sejak Confusius sampai Han Fei Tzu, (Yogyakarta: Liberty, 1990), hlm. 49.

5 H.G. Creel, Alam Pikiran Cina, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm. 30.

muridnya dapat memainkan peran yang dinamis untuk merombak pemerintahan di mana pun mereka terlibat di dalamnya dan membuatnya agar memenuhi kebutuhan rakyat. Untuk itu para murid tidak hanya cukup sekedar diberi latihan dalam teknik-teknik yang biasa melainkan harus mengembangkan setinggi mungkin prakarsa, watak, dan kecerdasan mereka. Hal yang lebih penting bahwa Konfusius meng-hendaki muridnya menjadi “manusia utuh” yang berguna bagi negara serta masyarakat.

Dalam menyampaikan ajaran-ajarannya, Konfusius senantiasa menekankan nilai moral yang terkan-dung di dalamnya. Dengan demikian ia bukan sekedar penyiar ajaran melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru. Ia selalu menganjurkan agar manusia berpikir sendiri. Ia bersedia membantu dan mengajar tentang bagaimana cara berpikir tetapi jawabannya harus ditemukan sendiri.6

Konfusius menerima murid-murid dari lapisan masyarakat yang tertinggi maupun dari lapisan yang terendah karena Konfusius yakin bahwa setiap orang dapat menjadi chun tzu

7

6 Dawson, op.cit., hlm. 27. 7 Chun tzu adalah manusia ideal yang

telah sampai pada puncak kebijakan.

tanpa memperhatikan masalah keturunan. Menurutnya di bidang pendidikan tidak boleh terjadi adanya pembedaan menurut kelas-kelas masyarakat dan dengan pendi-

Page 18: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010

14

dikan pula diharapkan dapat meng-hapuskan perbedaan kelas tersebut.

Mengenai sikapnya yang lapang dada dalam menerima murid, ia mengatakan: “Saya tidak pernah menolak memberi pelajaran kepada siapa pun, meskipun ia datang kepadaku dengan berjalan kaki dan sebagai imbalan pelajaran yang diterimanya, ia memberikan tidak lebih dari sebungkus daging kering”.8 Dalam kenyataannya di antara para muridnya terdapat anggota kaum bangsawan bersama dengan orang yang sangat miskin. Sebagai seorang guru Konfusius tidak bersikap pilih kasih, tetapi bila ia memiliki kecenderungan maka ia berkecen-derungan terhadap orang-orang yang kurang mampu.9

Prinsip bahwa pendidikan harus dengan mudah tersedia untuk semua orang yang mencarinya, sebe-narnya mengikuti gagasan bahwa semua manusia dilahirkan sama, dalam arti bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan bawaan untuk berkembang menjadi orang pandai. Konfusius diyakini sebagai orang pertama di Cina yang menerima prinsip ini. Ia lebih tertarik pada hasrat muridnya untuk belajar

Meskipun demikian Konfusius juga menuntut dengan ketat syarat-syarat yang menyangkut ke-mampuan akal mereka.

8 Creel, op.cit., hlm. 31. 9 Di kemudian hari salah seorang

muridnya yang sangat miskin mampu menjadi pegawai dengan kedudukan yang tinggi. Kedudukan yang sangat berpengaruh tersebut diraih bukan sebagai hasil warisan melainkan hasil usahanya sendiri. Ibid., hlm. 31.

daripada status sosial mereka, dan kebanyakan muridnya berasal dari latar belakang kelas bawah. Apa yang dilakukan Konfusius menunjukkan bahwa pemikiran suatu sistem pendidikan nasional sudah dibuat bagi bangsa Cina sebelum bangsa-bangsa lain memiliki konsep seperti itu.

Sebagai hasil belajar mereka dengan Konfusius, para murid betapa pun miskinnya telah dibekali dengan pengetahuan untuk memegang jabatan penting. Demikian pula di akhir Kekaisaran Cina, ketika sistem ujian pamong praja mempunyai kedudukan kuat, maka orang-orang dari kelas bawah memiliki kesem-patan untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan karena pintu masuk menjadi pegawai sipil melalui ujian kompetitif terbuka bagi semua laki-laki tanpa memandang status sosial.10

Konfusius sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi manusia, karena baginya pendidikan dapat mengubah serta menghapuskan kebodohan yang terdapat dalam ma-syarakat. Pendidikan baginya adalah jalan yang akan mengantarkan suatu negeri mencapai kemakmuran. Mela-lui jalur pendidikan Konfusius berusaha memengaruhi orang-orang

10 Dawson, op.cit., hlm. 28. Namun

demikian di sisi lain, Konfusius tidak mementingkan pendidikan bagi kaum perempuan bahkan pandangannya cenderung merendahkan kedudukan perempuan di Cina. Pendidikan bagi kaum perempuan lebih ditujukan bagi kepentingan kaum laki-laki. Lihat Ririn Darini, “Perempuan dalam Budaya Cina Kuno”, dalam Istoria, Vol. 2, No. 1, September 2006, hlm. 47.

Page 19: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010

15

muda yang diharapkan akan menjadi penguasa. Ia berpendapat bahwa pemerintah harus dibangun dalam rangka mewujudkan kesejahteraan serta kebahagiaan seluruh rakyat. Hal itu hanya dapat terwujud bila dipegang oleh orang-orang yang cakap dan pandai. Konfusius secara tegas menekankan perlunya diselenggara-kan pendidikan semesta karena warga negara yang berpengetahuan atau terdidik merupakan landasan yang sangat diperlukan bagi suatu negara.

Bagi Konfusius pendidikan tidak hanya berarti mengajar dalam pengertian sempit, melainkan segala hal yang dapat melatih karakter dan tingkah laku individu atau mening-katkan pengetahuan dan keahlian se-seorang adalah juga bentuk dari pendidikan. Dengan demikian pendi-dikan juga terdapat dalam disiplin keluarga, berburu, perkumpulan sosial dan dialog pribadi.11

Ajaran Konfusius pada dasarnya lebih menekankan pada masalah manusia dan kehidupan di dunia ini. Ajaran-ajarannya lebih

Konfusius berkecimpung di dunia pendidikan tidak sekedar demi pendidikan belaka melainkan mempersiapkan para muridnya terjun ke dunia kerja untuk bekerja dan berjuang demi prinsip-prinsip yang mereka anut. Inti Ajaran Konfusius

11 Sprenger, “Confusius and Modern-

ization in China: An Educational Perspective” dalam Krieger, Silke and Trauzettel, Rolf, Confucianism and the Modernization of China, (Mainz: Hase & Koehler Verlag, 1991), hlm. 457.

banyak membahas masalah pendidikan moral. Konsepsi-konsepsi yang mendasar dalam ajaran filsafat dan dalam pendidikannya adalah sebagai berikut: 1. Li (tata karma/etiket/budi peker-

ti). Li adalah pedoman yang harus ditaati oleh manusia dalam berhu-bungan satu dengan yang lainnya. Konfusius mengartikan li sebagai ritus atau upacara-upacara atau ketentuan kepantasan.12

Konsepsi li merupakan hal yang luar biasa pentingnya dalam pendidikan Konfusius. Para ahli psikiatri mengatakan bahwa pen-didikan kita meskipun sangat meningkatkan kecerdasan kita sering tampak gagal menghasilkan pribadi yang seimbang, yang mampu menduduki tempatnya sebagai anggota masyarakat yang berbahagia dan berguna. Konfusius memandang bahwa peningkatan kecerdasan kurang berharga bila tidak dibarengi dengan keseim-bangan emosi. Usaha untuk meng-hasilkan keseimbangan tersebut tergantung pada pendidikan dalam li.

Li ber-fungsi sebagai pedoman dalam hidup manusia dan sebagai tolok ukur bagi manusia untuk berbuat dan bertingkah laku. Dengan menjalankan li manusia akan tertib terutama bagi dirinya sendiri dan juga dilandasi cinta kasih terhadap sesame manusia.

13

12 Creel, op.cit., hlm. 32. 13 Ibid., hlm. 34.

Page 20: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010

16

2. Tao (jalan/cara) Ada tiga makna berkaitan dengan tao. Pertama, tao adalah jalan dari kenyataan terakhir. Tao ini tidak dapat ditangkap karena melampaui jangkauan panca indera. Kedua, tao adalah jalan alam semesta sebagai kaidah, irama, dan kekuatan pendorong seluruh alam dan asas penta di belakang semua yang ada. Ketiga, tao menunjuk pada jalan bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya agar selaras dengan cara kerja alam semesta. Sistem pemikiran Konfusius menggunakan istilah Tao dalam kerangka moralitas, perangkat aturan, atau asas perilaku dalam arti sosial dan politik. Jalan yang diajarkan Konfusius berarti jalan atau cara bertindak, suatu tindakan yang dijiwai oleh cita-cita perikeadilan dan kepantasan serta rasa kasih terhadap sesama manusia.

3. Jen (perikemanusiaan) Menurut Konfusius perikemanusiaan terwujud dalam bentuk mengasihi manusia-manusia lainnya. Manusia yang benar-benar mampu mengasihi manusia lainnya adalah manusia yang mampu melaksanakan kewajibannya dalam masyarakat. “Jangan berbuat sesuatu terhadap orang lain yang engkau sendiri tidak menginginkannya terjadi terhadapmu” sebagai jalan untuk mengamalkan jen. Artinya prinsip yang memakai diri sendiri sebagai

tolok ukur untuk mengatur perilakunya.14

4. Chun Tzu (Manusia Bijak)

Konfusius menyatakan bahwa orang yang mampu menjadi pemimpin dan memangku jabatan pemerintahan adalah orang yang memiliki keagungan watak dan kepribadian yang baik yang disebut Chun Tzu. Secara singkat pemerintahan yang ideal adalah sebuah agen yang menjamin keteladanan orang yang bermoral tinggi ditujukan kepada masyarakat. Karena tugas penting pemerintah adalah mengubah rakyatnya melalui pendidikan, dan karena hal ini meliputi pengenalan dan peniruan pada para tokoh panutan maka orang yang memegang kekuasaan adalah orang yang bertindak selaku panutan bagi rakyat karena ketinggian moralnya.15

5. Cheng Ming (Penyesuaian Nama)

Cheng Ming bertujuan untuk menyelaraskan antara nama dengan tindakan. Individu seharusnya menyesuaikan diri dengan kewajiban-kewajiban berkaitan dengan posisinya dalam masyarakat. Manusia harus mengetahui dengan cermat posisinya dalam hidup dan masyarakat sekitarnya. Kewajiban dan tanggung jawab yang diberikan kepada seseorang harus ditepati sesuai dengan nama yang

14 Fung Yu Lan, op.cit., hlm. 55. 15 Dawson, op.cit., hlm. 83.

Page 21: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010

17

disandangnya. Bila terjadi penyim-pangan nama-nama maka akan terjadi kekacauan. Ketidaksesuaian nama dengan aktualita akan mela-hirkan anarki pikiran dan degradasi moral dalam diri para cendekiawan. Contoh, hakekat idaman penguasa seharusnya dimiliki orang-orang yang diberi nama penguasa atau dalam catatan Cina disebut sebagai ’jalan bagi penguasa’.16

6. Hsiao (Bakti Anak)

Ia memiliki kewajiban dan tanggung jawab sebagai penguasa. Seorang pe-nguasa adalah seorang yang mengatur rakyat. Mengatur adalah meluruskan. Jika seorang penguasa membuat rakyatnya jadi menyim-pang maka ia tidak layak disebut penguasa. Namanya harus diubah sesuai dengan aktualitanya, atau aktualitanya yang diubah agar sesuai dengan nama sebagai penguasa.

Bakti anak kepada orang tua merupakan akar kebajikan dan sumber dari semua pengajaran. Bakti akan mendorong ambisi seseorang untuk belajar keras agar lulus dalam ujian dan memasuki sebuah karier birokratis sehingga kemasyurannya dapat diketahui sampai generasi berikutnya dan memantulkan kemuliaan bagi orang tua mereka. Konsep ini kemudian dikenal se-bagai pemelihara stabilitas sosial yang unggul karena mempererat

16 Fung Yu Lan, loc.cit.

sistem keluarga dan sistem marga yang sangat menentukan tata tertib dan persatuan negara.

Belajar dan Mengajar Konfusius merupakan pribadi yang

gemar belajar. Kegemaran tersebut diketahui dari Kitab Analect/Bunga Rampai 7.2., “secara diam-diam kukumpulkan ilmu pengetahuan. Aku belajar dan tidak pernah bosan. Aku mengajar orang lain dan tidak pernah jemu–karena hal-hal seperti ini muncul secara alami pada diriku.”17

Konfusius merupakan pribadi yang gemar belajar. Baginya belajar mengandung arti pengumpulan pengetahuan untuk kepentingan mem-bimbing tingkah laku seseorang. Konfusius sendiri kemudian dianggap sebagai teladan moral yang merupakan objek pelajaran atau peniruan. Menurut Konfusius demi-

Sejak usia 15 tahun ia mengabdikan hidupnya untuk belajar dan mem-bagikan hasil belajarnya bagi orang lain yang terlahir sebagai masyarakat kelas bawah.

Prinsip belajar sampai mati dan hanya kematianlah yang menghen-tikan kegiatan belajar merupakan prinsip yang sudah ada dan ditanamkan sejak Konfusius. Belajar ini harus sudah tertanam sejak masa kanak-kanak dan tidak boleh menun-danya sampai usia tua. Belajar adalah pekerjaan sepanjang hayat dan Cina telah memberikan status pada kegiatan belajar lebih dari masyarakat mana pun.

17 Dawson, op.cit., hlm. 14.

Page 22: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010

18

kian pentingnya belajar sehingga ditekankan enam kualitas dalam belajar, yaitu:

1. Kebajikan tanpa belajar meng-akibatkan ketololan

2. Kesadaran tanpa belajar menga-kibatkan pemborosan

3. Keyakinan tanpa belajar meng-akibatkan kejahatan

4. Keterusterangan tanpa belajar mengakibatkan ketidaksabaran

5. Keberanian tanpa belajar mengakibatkan ketidaktenteraman

6. Kekuatan tanpa belajar meng-akibatkan kesombongan.18

Tujuan belajar adalah untuk mencapai kebenaran. Dengan meng-ikuti prinsip mencari kebenaran, belajar itu adalah untuk memperoleh kebenaran. Orang yang bertanya tentang kebenaran harus lebih dihargai ketimbang mereka yang bertanya tentang uang dan kedudukan. Meskipun kekayaan dan penghargaan merupakan dua hal yang diunggulkan oleh manusia, tetapi keduanya hendaknya diperoleh dengan cara-cara yang benar. Demi-kian pentingnya belajar dan mencari kebenaran, sampai-sampai ia mengatakan ‘bila seseorang telah mempelajari kebenaran di pagi hari maka cukup baginya dan ia bisa mati di sore harinya tanpa menyesal’.

19

18 Cheng Hanbang, “Confucian Ethics and

Moral Education of Contemporary Students”, dalam Krieger, Silke, and Trautzettel, Rolf, Confucianism and the Modernization of China, Mainz: Hase & Koehler Verlag, 1991, hlm. 196.

19 Ibid.

Pendekatan mengajar Konfusius merefleksikan tujuan pembelajaran-nya. Dalam keinginannya melihat muridnya berkembang menjadi manusia bijak dan memiliki kualitas kemanusiaan, dia menerima muridnya dengan apa adanya, mencoba me-mahami mereka dan dengan sabar membimbing mereka. Bimbingan dilakukan melalui beberapa tahap, supaya para murid memperoleh pengalaman hidup yang berarti dan memperoleh kualifikasi tertentu sesuai dengan peran mereka dalam masyarakat. Menurut Sprengler pen-dekatan ini mirip dengan metode mengajar yang dikembangkan seka-rang yaitu metode heuristik.

Konfusius menekankan pentingnya dimensi psikomotorik dalam pendi-dikan. Bahan-bahan yang penting untuk dipelajari adalah puisi, upacara keagamaan, dan musik sebagaimana tertulis dalam Analect 8.8.: ‘orang dirangsang dengan puisi, dibentuk dengan upacara, dan disempurnakan dengan musik.’20

20 Dawson, op.cit., hlm. 32.

Bagi Konfusius semua mata pelajaran bahkan kesusasteraan diusahakan dengan tujuan praksisnya. Menurutnya puisi dianggap dapat mempertinggi perasa-an seseorang dan memudahkannya dalam melaksanakan tugas sosial yang menjadi tanggung jawab utamanya dengan lebih baik, karena tujuan akhir dari pendidikan adalah mendapatkan salah satu jabatan dalam pemerintahan. Musik juga mempunyai pengaruh besar terhadap jiwa dan

Page 23: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010

19

perasaan manusia, yang dapat mem-perhalus budi pekerti dan tingkah laku manusia.

Para murid diwajibkan untuk berlatih mengajar sehingga ketika mereka meninggalkan sekolah mereka mempunyai kemampuan mengajar. Berbagai metode belajar yang diguna-kan adalah metode dialog, tanya jawab, pemecahan masalah, dan dis-kusi kelompok.

Nilai-nilai moral selalu disam-paikan kepada murid-muridnya secara integratif dengan memadukan antara belajar, berpikir, dan praktek. Konfusius mempraktekkan sikap dan tingkah laku seorang teladan. Ketela-danan dari seorang guru meru-pakan unsur penting yang menjadi kunci keberhasilan pendidikan afektif. Guru dalam pandangan Konfusius adalah seorang yang berperangai lemah lembut namun teguh hati, memerintah tetapi tidak secara kasar, dan disegani tetapi ramah.21

Konfusius juga menekankan pentingnya pertemanan di antara sesama murid, mengembangkan hu-bungan yang baik, dan mengem-bangkan sikap kritis dan harmonis. Para murid juga diminta untuk tidak

Sebaliknya Konfusius mene-

kankan bahwa siswa harus meng-hormati gurunya. Para murid harus mencintai gurunya seperti halnya menncintai bapaknya. Namun demikian meskipun hormat kepada guru, para murid harus tetap bersikap kritis terhadap guru mereka.

21 Ibid., hlm. 17.

melupakan kejujuran dalam mencapai segala yang diinginkan. Pemeliharaan moral harus diintegrasikan dalam pendidikan, dan hal ini dipandang sebagai cara yang penting untuk mengembangkan karakter seseorang. Penutup

Konfusius sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi manusia, karena baginya pendidikan dapat mengubah serta menghapuskan kebodohan yang ada dalam masyarakat. Pendidikan merupakan hak setiap orang tanpa melihat status kekayaannya.

Pendidikan adalah hal yang men-dasar bagi penyelenggaraan suatu pemerintahan yang baik, adil, dan makmur. Pendidikan merupakan jalan yang akan mengantarkan suatu negeri mencapai kemakmurannya.

Banyak prinsip dan praktek pendidikan Konfusius yang masih relevan sampai saat ini, antara lain mengenai teori belajar dan mengajar, pendekatan pengajaran, hubungan antara guru dengan murid, maupun pentingnya kepribadian seorang guru. Agar tujuan pendidikan tercapai, Konfusius menerapkan metode pembelajaran yang variatif, meliputi metode ceramah, tanya jawab, dialog, pemecahan masalah, dan diskusi kelompok.

Pada saat yang bersamaan, nilai-nilai moral selalu ditekankan kepada murid-muridnya secara integratif dengan memadukan antara belajar, berfikir, dan praktek. Ia pun sangat menekankan pentingnya model atau tokoh dalam pendidikannya, yaitu

Page 24: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010

20

dengan menempatkan guru sebagai suri tauladan yang baik.

Referensi

Cheng Hanbang, “Confucian Ethics and Moral Education of Contemporary Students”, dalam Krieger, Silke, and Trautzettel, Rolf, (ed.), Confucianism and the Modernization of China, Mainz: Hase & Koehler Verlag, 1991.

Creel, H.G., Alam Pikiran Cina, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Dawson, Raymond, Konghucu: Penata Budaya Kerajaan Langit, Jakarta: PT Temprint, 1999.

Fung Yu Lan, Sejarah Ringkas Filsafat Cina: Sejak Konfusius Sampai Han Fei Tzu, Yogyakarta: Liberty, 1990.

Krieger, Silke, and Trautzettel, Rolf,(ed.), Confucianism and the Modernization of China, Mainz: Hase & Koehler Verlag, 1991.

Lin Yutang, Penguasa Bijak: Berguru pada Demokrasi Cina Kuno, Jakarta: Curiosita, 2004.

Ririn Darini, “Perempuan dalam Budaya Cina Kuno”, dalam Istoria, Volume 2, Nomor 1, September 2006.

Sprenger, Arnold, “Confusius and Modernization in China: An Educational Perspective” dalam Krieger, Silke and Trauzettel, Rolf, (ed.), Confucianism and the

Modernization of China, Mainz: Hase & Koehler Verlag, 1991.

Page 25: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

21

FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG

KUALITAS PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMA 5 YOGYAKARTA

Oleh: Terry Irenewaty1

1 Dosen tetap dan sekaligus ketua jurusan Pendidikan Sejarah FISE Universitas Negeri

Yogyakarta.

Abstrak

Pembelajaran sejarah memiliki karakteristik khusus dalam tujuan pencapaiannya terutama menyangkut tertanamkannya nilai-nilai kesadaran sejarah dan nasionalisme, di samping kemampuan akademik siswa. Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut, maka perlu pembelajaran yang inovatif sehingga perlu pendukung agar pembelajaran sejarah menjadi berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika pembelajaran sejarah di SMA 5 Yogyakarta selama ini, dan mengetahui faktor-faktor yang mendukung kualitas pembelajaran sejarah di SMA tersebut. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa SMA 5 Yogyakarta tergolong sekolah yang memiliki tingkat keberhasilan tinggi dalam proses pembelajaran maupun dalam realitas outputnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif- deskriptif yang bersifat naturalistik. Sedangkan strategi yang digunakan mengingat penelitian tersebut sudah direncanakan secara terperinci dalam proposal sebelum peneliti terjun ke lapangan, maka strateginya yang cocok adalah embedded research (penelitian terpancang). Adapun langkah-langkahnya adalah 1) pengumpulan sumber melalui wawancara, observasi, dan teknik dokumentasi); 2) mereduksi data dengan tujuan untuk menyederhanakan dan mengkategorisasi data; 3) menyajikan data dalam bentuk deskripsi memorial; 4) menarik kesimpulan sebagai hasil interpretasi; 5) mengajukan rekomendasi berupa implikasi; dan 6) menyusun laporan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika pembelajaran sejarah di SMA 5 Yogyakarta selama ini menunjukkan keanekaragaman pencerminan dimana proses pembelajaran sudah berlangsung cukup baik. Proses pembelajaran sejarah menunjukkan adanya kualitas proses dan hasil pembelajaran. Penilaian yang dilaksanakan oleh guru juga sudah mencakup penilaian proses dan produk pembelajaran. Selanjutnya melalui penelitian ini ditemukan faktor-faktor yang mendukung kualitas pembelajaran di SMA 5 Yogyakarta tersebut yakni adanya kompetensi guru yang sudah memiliki kompetensi dengan baik; adanya sikap siswa yang positif terhadap pelajaran sejarah; adanya motivasi yang cukup tinggi untuk berprestasi dalam mata pelajaran sejarah; sarana pembelajaran yang cukup memadai; dan iklim kelas yang mendukung proses pembelajaran sejarah. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan landasan atau pedoman bagi pimpinan sekolah maupun guru pada umumnya untuk senantiasa memerhatikan faktor-faktor yang mendukung terwujudnya kualitas pembelajaran. Kata Kunci: pembelajaran, kualitas, sejarah.

Page 26: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

22

Pengantar Keberhasilan tujuan pendidikan

(output), sangat ditentukan oleh implementasinya (proses), dan imple-mentasinya sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan segala hal (input) yang diperlukan untuk berlangsungnya implementasi. Keyakinan ini berangkat dari kenyataan bahwa kehidupan diciptakan oleh-Nya serba sistem (utuh dan benar) dengan catatan utuh dan benar menurut hukum-hukum kete-tapan-Nya (Slamet, 2005: 1). Jika demikian halnya, tidak boleh berpikir dan bertindak secara parsial apalagi parosial dalam melaksanakan pendi-dikan dan pembelajaran. Sebaliknya, perlu berpikir dan bertindak secara holistik, integratif, terpadu dalam rangka untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran.

Dalam rangka pengembangan pembelajaran sejarah agar lebih fungsional dan terintegrasi dengan berbagai bidang keilmuan lainnya, maka terdapat berbagai bidang yang seyogianya mendapat perhatian, yaitu: pertama, untuk menjawab tantangan masa depan, kreativitas dan daya inovatif diperlukan agar suatu bangsa bukan hanya sekedar manjadi konsumen IPTEK, konsumen budaya, maupun penerima nilai-nilai dari luar secara pasif, melainkan memiliki keunggulan kompetitif dalam hal penguasaan IPTEK. Oleh karenanya, sikap, motivasi, dan kreativitas perlu dikembangkan melalui penciptaan situasi proses belajar mengajar yang dinamis di mana pengajar mendorong vitalitas dan kreativitas peserta didik

untuk mengembangkan diri. Kedua, peserta didik akan dapat mengembangkan daya kreativitas-nya apabila proses belajar mengajar dilaksanakan secara terprogram, sistemis dan sistematis, serta ditopang oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Ketiga, dalam proses pengembangan kema-tangan intelektualnya, peserta didik perlu dipacu kemampuan berfikirnya secara logis dan sistematis. Dalam proses belajar mengajar, pengajar harus memberi arahan yang jelas agar peserta didik dapat memecahkan suatu persoalan secara logis dan ilmiah. Keempat, peserta didik harus diberi internalisasi dan keteladanan, dimana mereka dapat berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Fenomena ini dalam hal-hal tertentu dapat membentuk semangat loyalitas, toleransi, dan kemampuan adap-tabilitas yang tinggi. Dalam pendekatan ini perlu diselaraskan dengan kegiatan proses belajar mengajar yang memberi peluang kepada mereka untuk ber-prakarsa secara dinamis dan kreatif. Oleh karena itu, diperlukan kinerja guru yang mendukung pencapaian kualitas tersebut.

Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang dinamika pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah yang tergolong sekolah berkualitas selama ini, maka penelitian ini akan dilaksanakan di SMA 5 Yogyakarta, dengan asumsi bahwa SMA tersebut dapat menggeneralisasi sekolah-sekolah berkualitas lainnya. Adapun fokus penelitian ini adalah menyangkut

Page 27: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

23

faktor-faktor yang mendukung kualitas pembelajaran sejarah di SMA. Kualitas Pembelajaran Sejarah Keberhasilan program pembela-jaran sangat ditentukan oleh tinggi rendah-nya kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran, aktivitas dan kreativitas guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar akan berkualitas apabila didukung oleh guru yang professional memiliki kompetensi professional, pedagogik, kepribadian, dan sosial (UU Guru dan Dosen Pasal 10). Di samping itu, kualitas pembelajaran juga dapat maksimal jika didukung oleh siswa yang berkualitas (cerdas, memiliki motivasi belajar yang tinggi dan sikap positif dalam belajar), dan didukung sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai. Guru yang profesional akan memungkinkan memiliki kinerja yang baik, begitu pula dengan siswa yang berkualitas memungkinan siswa memiliki perilaku yang positif dalam kegiatan belajar mengajar. Interaksi belajar mengajar antara guru dan siswa yang positif akan mewujudkan budaya kelas yang positif dan impresif atau iklim kelas (classroom climate) yang mendukung untuk proses belajar siswa. Dengan demikian, seluruh pendukung kegiatan belajar mengajar harus tersedia sebagaimana dikatakan Cox (2006: 8) bahwa: ”the quality of an instructional program is comparised of three elements, materials (and equipment), activities, and people”.

Untuk mengetahui tingkat kualitas pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar, maka perlu diketahui dan dirumuskan indikator-indikator kuali-tas pembelajaran. Morrison, Mokashi & Cotter (2006: 4-21) dalam risetnya telah merumuskan 44 indikator kualitas pembelajaran yang reduksi kedalam 10 indikator. Kesepuluh indikator kualitas pembelajaran tersebut meliputi: 1) Rich and stimulating physical environment; 2) Classroom climate condusive to learning; 3) Clear and high expectation for all student; 4) Coherent, focused instruction; 5) Thoughtful discourse; 6) Authentic learning; 7) Regular diagnostic assessment for learning; 8) Reading and writing as essential activities; 9) Mathematical reasoning; 10) Effective use of technology. 1. Sikap dan Motivasi Siswa

Menurut Edward (dalam Eko Pramono, 1993: 61), sikap dinyatakan sebagai derajat afeksi baik positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek psikologis. Adapun yang dimaksud dengan objek psikologis adalah sembarang simbol, ungkapan, pribadi (person), slogan, lembaga (institusi), cita-cita atau ide, norma-norma, nilai-nilai dimana terhadapnya setiap orang dapat berbeda tingkat afeksinya, baik positif maupun negatif. Sementara Zimbardo (dalam Pramono, 1993: 62), menjelaskan sikap sebagai suatu kesiapan mental atau predisposisi implisit yang berpengaruh secara umum dan konsisten atas respon-respon evaluatif serta meliputi komponen-

Page 28: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

24

komponen kognitif, afektif, dan perilaku.

Sedangkan motivasi sebagai-mana digambarkan oleh J.E. Ormrod (2003: 368-369) menguraikan bahwa: Motivation has several effect on students’ learning and behavior:It directs behavior toward particular goal.It leads to increased effort and energy.It increases initiation of, and persistence in activities.It enhances cognitive processing. It lead to improved performance.( Motivasi memiliki beberapa efek terhadap belajar siswa: motivasi mempenga-ruhi secara langsung terhadap perilaku yang diarahkan pada tujuan tertentu. Motivasi mendorong meningkatnya semangat dan usaha. Motivasi meningkatkan ketekunan dalam kegiatan. Motivasi memper-tinggi proses berpikir. Motivasi mendorong perbaikan kinerja).

Motivasi belajar merupakan factor psikis yang bersifat non-intelektual. Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Seorang yang memiliki intelegensia cukup tinggi boleh jadi gagal karena kekurangan motivasi. Mengenai hal ini, tidak saja mempersalahkan pihak siswa, sebab mungkin saja guru tidak berhasil dalam memberi motivasi yang mampu memberikan semangat dan kegiatan siswa untuk belajar. Dengan demikian tugas guru adalah bagaimana mendorong para siswa

agar pada dirinya tumbuh motivasi (Sardiman AM, 2007: 75-76).

2. Sarana Pembelajaran

Di samping faktor kemampuan pengajar, pengembangan strategi belajar mengajar, sangat berkaitan erat dengan tersedianya fasilitas dan kelengkapan kegiatan belajar mengajar, baik yang bersifat statis (seperti gambar, model, dan lain sebagainya) ataupun yang bersifat dinamis (seperti kehidupan yang nyata di sekitar peserta didik) (Widja, 1989: 37). Ini berarti, dalam pengembangan strategi pembela-jaran sejarah, harus sudah diperhitungkan pula fasilitas atau sarana yang ada (perlu diadakan), sebab tanpa memperhitungkan itu semua, suatu strategi yang betapapun direncanakan dengan baik akan tidak efektif pula hasilnya. Juga dengan sendirinya diperhitungkan alokasi-alokasi waktu yang tersedia. Oleh karena itu, pengembangan suatu strategi pembelajaran sejarah berkaitan erat dengan usaha membuat perencanan pembelajaran (course planing), di mana segala unsur-unsur yang menunjang strategi tersebut diperhitungkan dan dipersiapkan sehingga sasaran yang hendak dicapai melalui suatu strategi, dapat terwujud dengan sebaik-baiknya.

Proses belajar mengajar akan berlangsung dengan baik dan berkualitas apabila didukung sarana pembelajaran yang memadai. Sarana pembelajaran dapat berupa tempat

Page 29: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

25

atau ruang kegiatan pembelajaran beserta kelengkapannya, yang diorientasikan untuk memudahkan terjadinya kegiatan pembelajaran. Terdapat dua sarana pembelajaran yang harus tersedia, yakni perabot kelas atau alat pembelajaran dan media pembelajaran. Menurut Cruickshank (1990: 11), sarana pembelajaran yang mempengaruhi kualitas proses pembelajaran terdiri atas ukuran kelas, luas ruang kelas, suhu udara, cahaya, suara, dan media pembelajaran. Media pembelajaran dapat klasifikasi menjadi 4 macam, yakni: a) media pandang diproyek-sikan, seperti: OHP, slide, projector dan filmstrip; b) media pandang yang tidak diproyeksikan, seperti gambar diam, grafis, model, benda asli; c) media dengar, seperti piringan hitam, pita kaset dan radio; d) media pandang dengar, seperti televisi dan film (Ibrahim Bafadal, 2003: 13-14). Kelengkapan dan optimalisasi pemanfaatan media pembelajaran penting peranannya dalam mencapai efektivitas program pembelajaran.

3. Iklim Kelas dan Kinerja Guru

Iklim kelas merupakan salah satu indikator penting yang berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran, di samping faktor-faktor pendukung lainnya. Dikatakan Hyman dalam (Hadiyanto & Subiyanto 2003: 8) dijelaskan bahwa iklim pembelajaran yang kondusif antara lain dapat mendukung: (1) interaksi yang bermanfaat di antara peserta didik, (2) memperjelas pengalaman-

pengalaman guru dan peserta didik, (3) menumbuhkan semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung dengan baik, dan (4) mendukung saling pengertian antara guru dan peserta didik. Dijelaskan lebih lanjut oleh Moos dalam ( Hadiyanto & Subiyanto 2003: 8) bahwa iklim sosial dapat berpengaruh terhadap kepuasan peserta didik dalam belajar, dan dapat menumbuhkembangan pribadi. Berdasarkan pendapat tersebut jelas bahwa iklim kelas sangat berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran, dan pada gilirannya berarti berpengaruh juga terhadap hasil pembelajaran.

Faktor guru merupakan salah satu variabel input yang berpengaruh terhadap pencapaian kualitas pembelajaran. Proses pembelajaran akan menunjukkan kualitas tinggi apabila didukung oleh segala kesiapan input termasuk kinerja guru yang maksimal dalam kegiatan belajar mengajar. Nana Sudjana (2002: 42) dalam penelitiannya menyampaikan tesis bahwa 76,6% hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kinerja guru, dengan rincian: kompetensi guru mengajar membe-rikan sumbangan 32,43%, penguasa-an materi pelajaran memberikan sumbangan 32,38% dan sikap guru terhadap mata pelajaran mem-berikan sumbangan 8,60%.

Faktor guru adalah faktor yang sangat mempengaruhi terutama dilihat dari kemampuan guru mengajar serta kelayakan guru itu sendiri. Data Pusat Statistik

Page 30: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

26

Pendidikan Balitbang Depdiknas 2000/2001 menunjukkan bahwa persentase guru yang layak mengajar terhadap jumlah guru yang ada secara nasional adalah 63.79%. Artinya masih terdapat sekitar 36.21% guru SMA yang tidak layak mengajar baik dilihat dari kompetensi maupun kualifikasi pendidikannya. Perhatian yang belum sungguh-sungguh terhadap sumber daya pendidikan khususnya guru-guru baik dalam hal peningkatan mutu, kesejahteraan, dan kedudukan sosialnya, proses pendidikan dan perkembangan masyarakat akan lebih memperlebar kesenjangan kualitas guru-guru itu sendiri.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA 5 Yogyakarta, dan difokuskan pada dinamika pembelajaran sejarah selama ini, dan faktor-faktor pendukung kualitas pembelajaran sejarah. Berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam studi ini, yang lebih mengutamakan pada masalah makna/persepsi, maka jenis penelitian dengan strateginya yang relevan adalah studi kualitatif. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap berbagai informasi kualitatif dan kauantitatif dengan deskripsi-analisis yang teliti dan penuh makna. Pada tiap-tiap obyek akan dilihat kecenderungan, pola pikir, ketidakteraturan, serta tampilan perilaku dan integrasinya sebagaimana dalam studi kasus genetik (Muhadjir, 1996: 243). Karena permasalahan dan fokus penelitian

sudah ditentukan dalam proposal sebelum terjun ke lapangan, maka jenis strategi penelitian ini secara lebih spesifik dapat disebut sebagai studi terpancang (embedded study research)(Yin, 1987: 136). Sampling menggunakan purposive sampling, validasinya menggunakan triangulasi dan informant review, dan analisisnya menggunakan analisis interaktif.

Hasil Penelitian dan Pembahasan 1.Profil SMA Negeri 5 Yogyakarta Berawal dari prakarsa para tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat di Yogyakarta yang antara lain Bapak R. DS. Hadiwidjono, Bapak JudjanaL, Prof. Ir Haryono, Prof. Ir Supardi, Prof. Suhardi, SH, pada tanggal 17 september 1949, SMA Negeri 5 Yogyakarta secara resmi dapat didirikan dengan nama Sekolah Menengah Umum Atas Bagian Yuridis Ekonomi (SMA/AC) dan menempati gedung SMA Putri Stella Duce Yogyakarta. Pada tanggal 27 Oktover 1949, melalui surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 210 B, SMA C memperoleh status menjadi SMA Bagian C Negeri. Sebagai kepala sekolah adalah Bapak R.D.S Hadiwijana. Tanggal 31 maret 1950 pimpinan sekolah yang diserah terimakan kepada Bapak Suwito Puspo Kusumo, yang selanjutnya diserahkan kepada Bapak RA Djoko Tirto, SH. Dibawah pimpinan Bapak R.A Djoko, SH SMA bagian C berkembang pesat.

Tanggal 21 Juli 1952 melalui SK Menteri Pendidikn& Keudayaan nomor 3094/B, SMA/C dipecah menjadi 2 sekolah yaitu:

Page 31: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

27

1) MA Bagian C Negeri dibawah pimpinan Bapak Parwanto SH yang menempati gedung di Jalan Pogung No 2 Kotabaru, Yogyakarta, masuk pada siang hari (sekarang menjadi SMA N 5 Yogyakarta).

2) SMA Bagian C Negeri II dipimpin Bapak RA Djoko Tirtono SH yang menempati gedung yang sama tetapi masuk pada pagi hari (sekarang menjadi SMA N 6 Yogyakarta). Untuk mengantisipasi kemajuan

jaman dengan menyiapkan siswa untuk dapat melanjutkan ke Perguruan tinggi, maka pada tanggal 1 gustus 1959 SMA Negeri V Bagian C dijadikan SMA Negeri V bagian A-C. Pada tahun tersebut berhasil dibakukan : 1) peraturan dan tata tertib sekolah; 2) Lagu Mars Puspanegara; 3) Lambang sekolah “Puspanegara“ yang memiliki tugas suci “Trus Hakarya Ruming Praja“ mengandung makna agar nantinya para siswa SMA N 5 Yogyakarta terus berkarya demi keharuman Negara dan Bangsa.

Sejak resmi berdiri sampai saat ini, SMA N 5 Yogyakarta telah mengalami berkali-kali pergantian Kepala Sekolah. Setiap kepemimpinan membawa perubahan kearah peningkatan. Lebih dari 10 orang kepala sekolah pernah menjabat dan memimpin di SMA N 5 Yogyakarta. Pada tanggal 11 Juli 1999, SMA N 5 Yogyakarta diserah terimakan kepada Bapak Drs Panut S, karena kepala sekolah sebelumnya yaitu Bapak Drs

N Ngabdurahim menjalani masa purna tugas. Bapak Drs. Panut S menggantikan posisi beliau untuk beberapa saat hingga datang kepala sekolah tetap yang baru.

Kepala sekolah yang baru datang pada bulan Desember 1999 yaitu Bapak Drs Ilham. Pada periode ini. Bapak Drs. H Ilham memiliki program utama meningkatkan ketakwaan sehingga pada saat itu salah satu wujudnya adalah diresmikannya masjid SMA N 5 Yogyakarta dengan nama masjid DARUSSALAM PUSPA-NEGARA. Beliau menjabat hingga purna tugas. Pada bulan Desember 2001 Bapak Drs Timbul Mulyono, kepala sekolah SMA N 7 Yogyakarta ditunjuk untuk menggantikan sementara posisi kepala sekolah. Tanggal 25 Maret 2002 kepala sekolah dijabat oleh Bapak Drs. H Abu Suwardi. Program beliau adalah pembangunan etos kerja pada semua guru dan karyawan dan membangun kedisiplinan pada para siswa.

2. Visi dan Misi Visi

Berusaha menciptkan manusia yang memiliki citra moral, citra keceendekiawanan, citra kemandirian dan berwawasan linkungan berdasarkan atas ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Misi 1) Terbentuknya insan pelajar

yang memiliki moral, perilaku yang baik, berbudi pekerti yang luhur berbudaya bangsa Indonesia dan berakhlakul

Page 32: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

28

karimah berdasarkan aturan-aturan yang berlaku baik di kalangan masyarakat, sekolah, negara maupun agama.

2) Terbentuknya generasi yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi berjiwa patriotis, nasionalis tanpa mengabaikan nilai-nilai norma serta nilai-nilai luhur kebangsaan maupun keagamaan.

3) Terbentuknya generasi yang berjiwa mandiri, senang beraktivitas dan berkreatifitas untuk menatap kehidupan masa depan yang lebih cerah dalam menghadapi berbagai tantangan di era globalisasi.

Faktor Pendukung Kualitas Pembe-lajaran Sejarah

Dalam proses pembelajaran sejarah, SMA 5 Yogyakarta sudah mengacu dan menerapkan pada pencapaian tujuan pembelajaran sejarah sebagaimana rambu-rambu di atas. Pencapaian tujuan pembelajaran selama ini tidak hanya terfokus pada kecakapan akademik saja, melainkan juga sudah menyentuh ranah kesadaran sejarah dan nasionalisme. Di samping itu di SMA 5 Yogyakarta juga menerapkan prinsip Penilaian Berbasis Kelas (PBK), sehingga teknik penilaian tidak hanya menerapkan tes dan penilaian akhir saja, melainkan juga dengan non-tes dan penilaian proses dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, penilaian pembelajaran sejarah dilaksanakan secara komprehensif dan

berkesinambungan. Hal ini tentunya dapat berhasil karena dukungan kompetensi guru sejarah, iklim kelas, motivasi dan sikap siswa, serta sarana pembelajaran sejarah.

Dalam hal ini, faktor yang cukup dominan dalam menentukan keberhasilan program pembelajaran sejarah adalah kualitas pembelajaran. Dengan demikian, kualitas pelaksanaan pembelajaran akan sangat tergantung pada sarana dan prasarana pembelajaran, aktivitas guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran dan personal yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran baik itu guru dan siswa. Kualitas pembelajaran akan lebih baik apabila melibatkan guru yang berkualitas (mempunyai kompetensi dalam bidangnya), siswa yang berkualitas (cerdas, mempunyai motivasi belajar yang tinggi dan mempunyai sikap yang positif dalam belajar) dan dengan didukung sarana dan prasarana atau fasilitas pembelajaran yang cukup baik, baik dari segi ketersediaan maupun pemanfaatan (utility)nya. Guru yang berkualitas akan memungkinkan mempunyai kinerja yang baik, begitu juga dengan siswa yang berkualitas memungkinan siswa mempunyai perilaku yang positif dalam kegiatan pembelajaran. Interaksi antara keduanya memungkinkan terwujudnya iklim kelas (classroom climate) yang cukup kondusif untuk proses belajar siswa.

Kualitas pembelajaran merupakan ukuran yang menunjukkan seberapa tinggi kualitas interaksi antara guru

Page 33: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

29

dengan siswa yang terjadi dalam tempat pembelajaran (ruang kelas) untuk mencapai tujuan pembelajaran atau mewujudkan kompetensi tertentu. Interaksi tersebut melibatkan guru dan siswa yang dilakukan dalam lingkungan tertentu dengan dukungan sarana dan prasarana tertentu. Dengan demikian keberhasilan proses pembelajaran atau kualitas pembelajaran akan tergantung dan dipengaruhi oleh: guru, siswa, fasilitas pembelajaran, lingkungan kelas, dan iklim kelas.

Sebagaimana dipaparkan dalam kajian teori di atas, kualitas pembe-lajaran dikatakan baik manakala lingkungan fisik mampu menumbuhkan semangat siswa untuk belajar; iklim kelas kondusif ; guru menyampaikan pelajaran dengan jelas; 4) pelajaran disampaikan secara sistematis dan terfokus; guru menyajikan materi dengan bijaksana; pembelajaran ber-sifat riil; ada penilaian diagnostik yang kontinyu; adanya budaya mem-baca dan menulis; menggunakan pertim-bangan rasional dalam meme-cahkan masalah; menggunakan tekno-logi pembelajaran, baik untuk mengajar maupun kegiatan belajar siswa. Keberhasilan dalam pembelajaran tidak hanya dipengaruhi oleh guru dan lingkungan saja, tetapi faktor siswa cukup berperan, oleh karena itu dalam ini dimasukkan dua aspek baru dari sisi siswa, yaitu sikap dan motivasi belajar siswa. Di SMA 5 Yogyakarta, indikator yang menjadi pendukung peningkatan kualitas pembelajaran sejarah adalah sebagai berikut:

a. Kompetensi Guru Salah satu faktor yang mem-pengaruhi kualitas pembelajaran adalah variabel guru. Guru mempunyai pengaruh yang cukup dominan terhadap kualitas pembelajaran, karena gurulah yang bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran di kelas, bahkan sebagai penyelenggara pendidikan di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang selama ini dilaksanakan, kompetensi guru SMA 5 Yogyakarta sudah dianggap: a) Menguasai bidang studi atau

bahan ajar dengan baik b) Memahami karakteristik peserta

didik secara komprehensif c) Menguasai pengelolaan

pembelajaran dengan baik d) Menguasai metode dan strategi

pembelajaran dengan inovatif e) Menguasai penilaian hasil

belajar siswa secara cermat f) Memiliki kepribadian dan

wawasan pengembangan profesi Dalam melaksanakan tugasnya,

guru sudah dapat berfungsi sebagai pengajar, pelatih, pembimbing, dan sebagai professional (Ketentuan Umum pasal 1, Undang - Undang Guru dan Dosen). Untuk menilai kinerja guru di sini, dapat dilihat dari cara mereka melaksanakan tugas di dalam kelas, mengembangkan karier profesionalnya, dan hasil karya mereka, baik mereka sebagai guru maupun sebagai professional di bidang pendidikan. Karya guru ditunjukkan karya ilmiah, seperti

Page 34: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

30

hasil penelitian, buku bahan ajar, artikel dalam majalah maupun jurnal ilmiah dan juga karya lain seperti teknologi pembelajaran, alat peraga dalam pembelajaran dan sebagainya.

Secara umum baik G1 maupun G2 di SMA 5 Yogyakarta memiliki kompetensi yang memadai sebagaimana yang distandarkan pemerintah. G1 bahkan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi profesi seperti PGRI, MSI, dan MGMP. Berdasarkan observasi dan suvervisi di dalam kelas, pengua-saan materi pelajaran sudah cukup memadai. Begitu pula dengan keterampilan didaktik metodik sudah menunjukkan adanya inovasi pembelajaran yang sudah melibat-kan siswa secara aktif dan kreatif, sehingga pembelajaran sejarah cukup impresif. Guru memiliki inisiatif untuk menyampaikan materi pelajaran yang masih bersifat kontroversif, dengan berbagai metode seperti aktif debat sehingga tidak selalu terpaku pada paradigma pemerintah. Di samping itu, guru memiliki keberanian untuk menyampaikan fakta apa adanya, dan selanjutnya ada upaya penanaman makna dan nilai yang bermanfaat bagi para siswa. Karena memang pada dasarnya, siswa dapat belajar tidak saja pada peristiwa-peristiwa yang baik, melainkan dapat pula pada peristiwa buruk, yang diambil manfaatnya bagi kehidupannya.

Dalam kegiatan pembelajaran, guru telah menerapkan berbagai metode pembelajaran secara dinamis seperti metode ceramah bervariasi, diskusi, pembelajaran luar kelas atau wisata sejarah, sampai pembelajaran berbasis proyek. Mulai tampak perubahan paradigma pembelajaran yang semula berbasis pada guru sekarang menjadi pembelajaran berbasis pada siswa. Dalam membuat perencanaan juga guru telah menerapkan penyusunan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang terarah dan memiliki tingkat kesesuaian tinggi dengan pelaksanaannya. Guru juga aktif dalam mengembangkan diri terutama mengembangkan profesionalitas melalui MGMP, MSI, PGRI, dan organisasi profesi lain. Begitu pula guru memberi akses yang luas untuk berkonsultasi di luar pembelajaran. Terkait dengan media pembelajaran, guru juga telah menggunakan media yang dapat membantu kegiatan pembelajaran seperti OHP, Peta, gambar, dan lain sebagainya.

b. Sarana dan Sumber Pembelajaran

Sejarah Media pembelajaran merupakan

komponen instruksional yang meliputi pesan, orang dan peralatan. Media tidak hanya terbatas pada arti sempit sebagai alat bantu saja, tetapi justru bermakna umum, baik itu sebagai alat bantu atau justru berfungsi sebagai bagian dari metode

Page 35: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

31

pembelajaran yang akan mengarahkan pemahaman siswa menjadi lebih baik. Media yang digunakan sebagai alat bantu umumnya berupa benda tak bergerak yaitu buku teks, modul yang kesemua itu hanya terbatas sebagai alat bantu bagi guru untuk memaparkan materi. Apapun media yang digunakan sebenarnya tidak menjadi masalah asalkan pilihan media yang digunakan mampu mengantarkan siswa untuk memahami bahan ajar untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Secara umum ada 6 bentuk tipe media, yaitu gambar diam (still pictures), Rekaman suara (audio recording), gambar bergerak (Motion Pictures), Televisi, real things, simulation and models, programmed and computer assisted. Sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi dari keenam media tersebut perlu ditambah dengan internet dimana aplikasi dari teknologi ini diantaranya adalah e-learning.

Kegiatan pembelajaran akan dapat berlangsung dengan lancar apabila didukung sarana dan sumber pembelajaran yang memadai seperti ketersediaan media di atas. Sarana dan sumber pembelajaran meliputi segala sesuatu yang memudahkan terjadinya proses pembelajaran, meliputi tempat atau ruang kegiatan pembelajaran beserta kelengkapan-nya. Media pembelajaran untuk kepentingan efektivitas pembelajaran di kelas dapat dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu: a) media pandang diproyeksikan, seperti: OHP,

slide, projector dan filmstrip; b) media pandang yang tidak diproyeksikan, seperti gambar diam, grafis, model, benda asli; c) media dengar, seperti piringan hitam, pita kaset dan radio; d) media pandang dengar, seperti televisi dan film. Keberadaan dan pemanfaatan media pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Di SMA 5 Yogyakarta sarana pendukung memang belum sepenuhnya memadai. Jumlah OHP misalnya masih sangat terbatas dan media-media lain belum sebanding dengan jumlah guru maupun siswa. Media mutakhir misalnya, SMA 5 Yogyakarta hanya memiliki 3 laptop dan 1 LCD. Suatu jumlah yang masih kecil jika dibandingkan dengan jumlah guru dan kelas/siswa.

c. Budaya Akademik Proses pembelajaran erat sekali

kaitannya dengan lingkungan atau suasana di mana proses itu berlang-sung. Meskipun prestasi belajar juga dipengaruhi oleh banyak aspek seperti gaya belajar, fasilitas yang tersedia, pengaruh budaya akademik masih sangat penting. Hal ini beralasan karena ketika para peserta didik belajar di ruangan kelas, lingkungan kelas, baik itu lingkungan fisik maupun non fisik kemungkinan mendukung mereka atau bahkan malah mengganggu mereka. Budaya akademik yang kondusif antara lain dapat mendukung: interaksi yang bermanfaat di antara peserta didik; memperjelas pengalaman-pengala-man guru dan peserta didik;

Page 36: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

32

menumbuhkan semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung dengan baik; dan mendukung saling pengertian antara guru dan peserta didik.

Di samping itu budaya akademik atau suasana kelas dan lingkungan kelas mempunyai pengaruh yang penting terhadap kepuasan peserta didik, belajar, dan pertumbuh-an/perkembangan pribadi. Kedua pendapat itu sangat beralasan karena hal-hal tersebut di atas pada gilirannya akan mempengaruhi prestasi belajar peserta didik. Di SMA 5 Yogyakarta, budaya akademik menunjukkan suasana yang kondusif. Sosialitas antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan bahkan antara guru dengan guru menunjukkan keanekaragam pencerminan yang cukup harmoni. Meskipun masih ada kelompok-kelompok pada guru misalnya antara guru PNS dengan GTT, tapi hubungan diantara keduanya menunjukkan suasana yang baik. Begitu pula di dalam kelas adanya sikap sosial siswa yang positif terhadap pembelajaran sejarah menambah suasana akademik yang kondusif.

d. Sikap Siswa terhadap Pelajaran

Sejarah Sikap siswa terhadap pelajaran

sejarah, menunjukkan sikap yang cukup positif. Berdasarkan wawancara terhadap R1, R2, R3, dan R4, maka dapat disimpulkan bahwa mereka sudah memiliki sikap yang positif terhadap pelajaran Sejarah.

Memang, sikap siswa dalam kegiatan pembelajaran mempunyai peran yang cukup dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Sikap siswa terhadap Sejarah dimaksudkan sebagai tendensi mental yang diaktualkan atau diverbalkan terhadap mata pelajaran sejarah yang didasarkan pada pemahaman dan keyakinan serta perasaannya terhadap sejarah. Objek yang disikapi adalah sikapnmata pelajaran sejarah. Berkaitan dengan komponen-komponen sikap, maka sikap terhadap pelajaran sejarah dapat dijelaskan sebagai berikut. Komponen kognisi

Komponen ini merupakan bagian sikap siswa yang timbul berdasarkan pemahaman maupun keyakinannya terhadap pelajaran sejarah. Siswa yang menganggap pelajaran sejarah tidak terlalu penting karena yang dipelajari dalam pelajaran sejarah hanya hafalan, memiliki perasaan dan kecenderungan tingkah laku yang berbeda dalam menghadapi pelajaran sejarah dibandingkan dengan siswa yang menganggap pelajaran sejarah sangat penting karena bermanfaat dalam masyarakat.

Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa komponen kognisi menjawab pertanyaan apa yang diketahui, dipahami dan diyakini siswa terhadap pelajaran sejarah. Jawaban siswa SMA 5 Yogyakarta terhadap komponen kognisi menunjukkan bahwa siswa cukup menyenangi pelajaran sejarah.

Page 37: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

33

Komponen afeksi Komponen ini merupakan bagian

sikap siswa yang timbul berdasarkan apa yang dirasakan siswa terhadap pelajaran sejarah. Komponen ini menjawab apa yang dirasakan siswa ketika menghadapi pelajaran sejarah. Perasaan siswa terhadap pelajaran sejarah dapat muncul karena faktor kognisi maupun faktor-faktor tertentu yang sangat sulit diketahui. Seorang siswa merasa senang atau tidak senang, suka atau tidak suka terhadap pelajaran sejarah, baik terhadap materinya, gurunya maupun manfaatnya. Hal ini termasuk komponen afeksi. Ini juga menunjukkan rasa cukup senang siswa terhadap pelajaran sejarah.

Komponen konasi Berdasarkan komponen kognisi

dan afeksi nampak adanya kecen-derungan untuk bertindak maupun bertingkah laku sebagai reaksi terhadap kegiatan pembelajaran Sejarah. Siswa yang memperlihatkan tingkah laku seperti suka bertanya, aktif mengikuti pelajaran sejarah, kebiasaan mempersiapkan alat-alat dan buku-buku sejarah sebelum berangkat sekolah, senang mengerjakan soal yang berhubungan dengan sejarah, dan sebagainya merupakan contoh-contoh yang tergolong komponen konasi. Berdasarkan hasil observasi, maka kecenderungan sikap konasi siswa dalam pembelajaran sejarah termasuk dalam kategori positif, atau memiliki kemampuan konasi dengan baik.

Motivasi Belajar Siswa Seperti halnya dengan sikap siswa

terhadap pelajaran Sejarah, motivasi belajar siswa juga menunjukkan kategori cukup tinggi dalam mempelajari Sejarah. Menurut R1, R2, XR, R4, mereka merasa motivasi belajarnya cukup tinggi karena didaktik dan metodik yang diterapkan oleh guru tidak membosankan, dan bahkan banyak melibatkan siswa dalam berbagai aktivitas. Begitu pula dengan pemahaman akan arti penting materi sejarah juga menimbulkan adanya motivasi belajar sejarah. Sejarah dianggap penting dan berguna bagi kehidupannya. Dalam kegiatan belajar mengajar, motivasi belajar siswa memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap keberhasilan proses maupun hasil belajar siswa. Salah satu indikator kualitas pembelajaran adalah adanya semangat maupun motivasi belajar dari para siswa.

Dalam banyak hal pengertian motivasi dan minat digunakan secara silih berganti, bahkan dalam pendi-dikan dan psikologi acapkali penggu-naannya disamakan. Dalam penger-tian umum minat merupakan daya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas guna mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian minat merupakan suatu potensi yang ada pada individu yang sifatnya laten atau potensi yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman, sedangkan motivasi adalah kondisi yang muncul dalam diri individu yang disebabkan oleh interaksi antara motif dengan

Page 38: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

34

kejadian-kejadian yang diamati oleh individu, sehingga mendorong mengaktifkan perilaku menjadi tindakan nyata.

Mereka yang memiliki motivasi tinggi, dapat diidentifikasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) memperlihatkan berbagai tanda aktivitas fisiologis yang tinggi, 2) menunjukkan kewaspadaan yang tinggi, 3) berorientasi pada keberhasilan dan sensitif terhadap tanda-tanda yang berkaitan dengan peningkatan prestasi kerja, 4) memiliki tanggung jawab secara pribadi atas kinerjanya, 5) menyukai umpan balik berupa penghargaan dan bukan insentif untuk peningkatan kinerjanya, 6) inovatif mencari hal-hal yang baru dan efisien untuk peningkatan kinerjanya. Dalam pembelajaran sejarah di SMA 5 Yogyakarta, siswa menunjukkan motivasi yang cukup tinggi.

Tingginya motivasi siswa dalam pembelajaran sejarah dapat pula ditunjukkan dengan baiknya nilai ulangan sejarah baik harian maupun ulangan semester. Dalam hal lain, prestasi akademik siswa juga cukup tinggi seperti ditunjukkan melalui prestasi dibidang lomba-lomba yang bernuansa sejarah seperti lomba cerdas-cermat sejarah, artikel sejarah, lawatan sejarah, lomba bercerita sejarah, dan lain sebagainya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa proses

pembelajaran Sejarah di SMA 5 Yogyakarta sebagai implementasi kurikulum nasional selama ini sudah menunjukkan kualitas yang baik. Adanya faktor yang mendukung terhadap kualitas pembelajaran sejarah mrnjadikan materi sejarah dapat diselenggarakan secara optimal. Indikator-indikator itu dapat bersifat internal maupun eksternal, yang berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberhasilan proses maupun output. Dengan demikian diperlukan cara pikir sistem yang mengevaluasi secara berkelanjutan penerapan KTSP Sejarah secara cermat, yakni berdasarkan sudut pandang sistem yang meliputi konteks, input, proses, dan output, sehingga pembelajaran sejarah dapat memiliki kapabilitas dan kualitas yang baik.

Indikator-indikator yang menjadi pendukung dalam implementasi KTSP sejarah terutama dalam proses pembelajaran sejarah di SMA 5 Yogya-karta yakni meliputi: memadainya kompetensi guru baik yang menyang-kut kompetensi akademik, pedagogik, sosial, maupun kepribadian; adanya sarana pembelajaran yang dimiliki oleh sekolah meskipun masih terbatas; atsmospir atau budaya akademik yang kondusif; cukup positifnya sikap siswa terhadap pelajaran sejarah; dan motivasi siswa dalam belajar sejarah siswa yang cukup tinggi. Dengan demikian, indikator-indikator tersebut perlu ditingkatkan dan menjadi perhatian serius oleh seluruh komponen sekolah secara sinergis, agar segala potensi

Page 39: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

35

tersebut terus menjadi indikator pendukung untuk keberhasilan kegiatan atau program pembelajaran.

Kepustakaan Bela H.Banathy. (1992). A Systems View

of Education: Concepts and Principles for Effective Practice. (Englewood Cliffs: Educational Technology.

Cox, J. (2006). The quality of an instructional program. National Education Association-Alaska. Diambil dari pada tanggal 23 Pebruari 2006, dari http://www.ak.nea.org./excellence/coxquality.

Cruickshank, D.R. (1990). Research that informs teachers and teacher educators. Bicomington. Indiana: Phi Delta Kappa Educational Foundation

Dadang Supardan. (2001). “Kreativitas Guru Sejarah dalam Proses Pembelajaran: Studi Kasus di SMU Kotamadya Bandung”, dalam Historia No. 3 Volume II. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.

Darling, L. & Hammond. (2000). Teacher quality and student achievement: A Review of state policy evidence. Education Policy Analysis Archives. Volume 8 Number 1. Diambil pada tanggal 17 Pebruari 2006 dari http://epas.asu.edu/epas/v8n1

Davidoff, LL. (1988). “Introduction To Psychology”, alih bahasa Mari Juniati, Psikologi Suatu Pengantar Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Hadiyanto & Subiyanto. (2003). Pengembalian kebebasan guru

untuk mengkreasi iklim kelas dalam manajemen berbasis sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan no. 040. Januari 2003. diambil pada tanggal 6 September 2006 dari http://www.depdiknas.go.id.

Helius Sjamsuddin. (2005). Model-model Pengajaran Sejarah: Beberapa Alternatif untuk SLTA. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.

Ibrahim Bafadal. (2003). Manajemen perlengkapan sekolah. Teori dan aplikasinya. Jakarta: Bumi Aksara.

Krippendorff, Klaus. (1991). Content Analysis: Introduction Its Theory and Methodology”, Alih Bahasa Farid Wajidi, Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. Jakarta: Rajawali.

Manullang. (1991). Pengembangan motivasi berprestasi. Jakarta: Pusat Produktivitas Nasional. Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia.

Miles, M.B. and Huberman, A.M. (1984). Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. Beverly Hills CA: Sage Publications.

Moleong, L.J. (1999). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Mulyasa, E. (2007). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Morrison, D.M. & Mokashi K. & Cotter, K. (2006). Instructional quality indicators: Research foundations. Cambrigde. Diambil pada tanggal 17 Maret 2006 dari www.co.nect.net

Page 40: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

36

Nana Sudjana dan Ahmad Rivai. (2005). Media pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Noeng Muhadjir. (1992). Pengukuran kepribadian. Yogyakarta: Rake Sarasin

Ormrod, J.E. (2003). Educational psychology, Developing learners. Fourth edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Patton, M.Q. (1980). Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills, CA.: Sage Publication.

Sardiman AM. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Radja Grafindo Persada.

Schacter, J. (2006). Teacher performance-based accountability : why, what and how. Santa Moica : Miken Family Foundation. Diambil pada tanggal 15 Pebruari 2006 dari http://www.mff.org/pubs/ performance-assessment. pdf.

Spradley, J.P. (1980). Participant Observation. New York, N.Y: holt, Rinehart, and Winston.

Soedjatmoko. 1976. “Kesadaaran Sejarah dalam Pembangunan”. Prisma No. 7. Jakarta.

Sutopo, H.B. (1995). Kritik Seni Holistik Sebagai Model Pendekatan Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

Sutopo, H.B. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Jurusan Seni Rupa Fakultas Sastra UNS.

Supardan, Dadan. 2001. “Kreativitas Guru Sejarah dalam Proses Pembelajaran: Studi Kasus di SMU Kotamadya Bandung”, dalam

Historia: Jurnal Pendidikan Sejarah, No.3 Vol.II. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.

Surakhmad, Winarno. 2000. Metodologi Pengajaran Nasional. Jakarta: UHAMKA.

Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

Waluyo, H.J. 2000. “Hermeneutik Sebagai Pusat Pendekatan Kualitatif”, dalam Historika, No.11. Surakarta: PPS UNJ KPK UNS.

Widja, I. Gde. (1989. Dasar-dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud.

Widoyoko, S.E.P. (2007). Pengembangan Model Evaluasi Pembelajaran IPS SMP. Yogyakarta: PPS UNY.

Winarno Surakhmad, 2000. Metodologi Pengajaran Nasional. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Profesor Hamka.

Winkel, W.S. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo.

Wiriaatmadja, Rochiati. 2004. “Multicultural Perspective in Teachhing History to the Chinese Indonesian Studies”, dalam Historia: Jurnal Pendidikan Sejarah, No.9 Vol.V. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.

Yin, R.K. 1987. Case Study Research: Design and Methods. Beverly Hills, CA: Sage Publication.

Page 41: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

37

RUNTUHNYA DIKOTOMI TRADISIONALIS DAN MODERNIS:

MENILIK DINAMIKA SEJARAH NAHDATUL ULAMA DAN MUHAMMADIAYAH

Oleh:

Miftahuddin1

1 Dosen tetap pada Jurusan Pendidikan Sejarah, FISE Universitas Negeri Yogyakarta sejak

2003.

Abstrak NU dan Muhammadiyah dalam pandangan yang umum disebut tradisionalis dan modernis. Tradisional karena dalam praktek keagamaan, kalangan NU hanya mengikuti pendapat dan menjalankan praktek keagamaan para ulama terdahulu, sehingga yang ada hanyalah taklid dan menolak ijtidah. Sebaliknya, Muhammadiyah terkenal modern karena golongan ini mencoba membawa Islam agar sesuai dengan tuntutan dan keadaan zaman. Namun sekarang dikotomi tersebut perlu dipertanyakan kembali. Kenyataan membuktikan bahwa untuk konteks sekarang ternyata sulit untuk mengatakan bahwa NU tradisional, terutama dalam hal pemikiran keagamaan. Berpikir kritis sebagai salah satu ciri modern, tampaknya telah dipraktekkan sehingga wajar apabila di kalangan NU sekarang ini muncul istilah ”pemaknaan ulang ahlus Sunnah Waljamaah” dan ”pemaknaan ulang konsep bermazdhab”. Yang nyata, dalam segala hal praktek keagamaan dan pemikiran keagamaan, menurut kalangan NU ini, boleh dipertanyakan kembali dan bahkan digugat. Kata Kunci: Modern, Muhammadiyah, NU, tradisional. Abstract General view called the Nahdatul Ulama as a traditionalist, and the Muham-madiyah as a modernist. Nahdatul Ulama called as a traditionalist because they were implemented riligious rituals doctrined by clergymen which have taklid and against ijtihad. On the other hand, Muhammadiyah popular by modernist tried to brought Islam adapt with flowering conditions. Historical analysis view that these dicotomy must be questioned. Hard to said that the Nahdatul Ulama was a traditionalist because their riligious thinking very critical. In the Nahdatul Ulama appear terminology remeaning ahlusunnah wal jama’ah and remeaning riligious stream. In the riligious ritual and riligious thinking these dicotomy must be questioned. Keyword: modern, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, traditional.

Page 42: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

38

Pendahuluan

Tidaklah berlebihan apabila

dikatakan bahwa sejak berdirinya

sampai sekarang, Muhammadiyah dan

NU (Nahdatul Ulama) tergolong

organisasi terbesar di Indonesia.

Bahkan, sebagian pengamat mengklaim

keduanya merupakan organisasi kaum

Muslim terbesar di seluruh dunia. Lebih

dari itu, keduanya sekaligus menjadi

organisasi tertua, yang eksistensinya

tidak pernah terputus sejak dilahirkan

(Azyumardi Azra, 1999: 146). Tentu saja

dinamika pun mewarnai perjalanan

kedua organisasi ini, sehingga wajar

apabila kajian terhadap kedua

organisasi ini tidak pernah ada

habisnya.

Selanjutnya, perlu ditegaskan

bahwa sejak kelahirannya, banyak para

ahli menggolongkan NU sebagai

organisasi tradisional sedangkan

Muhammadiyah sebagai organisasi

modern. Hal ini didasarkan,

sebagaimana diungkapkan Deliar Noer,

bahwa ketradisionalan NU disebabkan

organisasi ini lebih banyak

menghiraukan soal-soal agama, din atau

ibadat belaka. Bagi NU Islam seakan

sama dengan fiqh, dan dalam hubungan

ini mereka mengakui taklid dan

menolak ijtihad. Tak ketinggalan,

banyak praktek ritual yang dilakukan

NU dicampuradukan dengan budaya-

budaya yang sudah ada. Sebaliknya,

Muhammadiyah sering disebut sebagai

golongan pembaharu dikarenakan lebih

memberi perhatian pada sifat Islam

pada umumnya. Bagi Muhammadiyah

Islam adalah sesuai dengan tuntutan

dan keadaan zaman. Islam juga berarti

kemajuan, agama itu tidak akan

menghambat usaha mencari ilmu

pengetahuan, perkembangan sain, dan

kedudukan wanita. Kalangan ini juga

terkenal dengan gerakan puritan

(pembersihan dari praktek-praktek

ritual yang tidak ada dasar nasnya)

(Deliar Noer, 1995: 320 – 322).

Anggapan di atas mungkin dapat

dibenarkan untik konteks NU sebelum

tahun 1980-an. Namun, jika mencermati

dinamika yang ada, khususnya dewasa

ini, tampaknya perlu mengkaji ulang

dengan mempertanyakan kembali masih

relevankah dikotomi modernis dan

tradisionalis apabila dirujukkan pada

organisasi besar kaum muslimin, NU

dan Muhammadiah. Sebagaimana dapat

dilihat, bahwa sebagian pengamat mulai

menggugat polarisasi istilah modernis

dan tradisionalis atau modern dan

tradisional bila digunakan untuk

mengamati perkembangan pemikiran

NU dewasa ini, dan sebaliknya bahkan

mempertanyakan kemoderenan

Muhammadiyah. Terutama, sejak

kembali ke Khittah 1926, di bawah

kepemimpinan Abdurrahman Wahid,

NU bergerak melakukan perubahan-

perubahan, baik dari segi visi, orientasi,

maupun strategi (Mujamil Qomar, 2002:

27).

Melihat fenomena tersebut, kajian

ini mencoba menengok kembali

dinamika sejarah kedua organisasi

tersebut, terutama menyoroti tentang

perjalanan dan perubahan di tubuh NU.

Terkait dengan perjalanan NU dewasa

ini, tampaknya perlu mempertanyakan

kembali betulkah NU telah mengalami

banyak perubahan, terutama dalam hal

Page 43: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

39

pemikiran Islam, sehingga kurang tepat

apabila label tradisional disandangnya.

Demikian pula, apakah betul bahwa

sesuatu yang tetap melestarikan tradisi

adalah kolot dan anti kemodernan, dan

sebaliknya, bagaimana dengan

kemordernan Muhammadiyah itu

sendiri.

Muhammadiyah Mordenis, NU

Tradisionalis

Secara keorganisasian

Muhammadiyah lebih dulu lahir di

banding dengan NU. Dalam sejarah

tercatat bahwa Muhammadiyah lahir

pada tanggal 18 November 1912 di

Yogyakarta dengan pendiri K.H. Ahmad

Dahlan. Tujuan organisasi ini adalah

menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi

Muhammad saw. kepada penduduk

bumiputra dan memajukan agama Islam

terhadap para anggota-anggotanya. Agar

tujuan tersebut tercapai, organisasi itu

bermaksud mendirikan lembaga-

lembaga pendidikan, mengadakan

rapat-rapat tabligh yang akan

membicarakan permasalahan Islam,

mendirikan wakaf dan masjid-masjid,

serta menerbitkan buku-buku, surat-

surat kabar, dan majalah-majalah

(Deliar Noer, 86). Atas dasar itulah,

Muhammadiyah sering disebut sebagai

organisasi pembaharuan (reformis) atau

dalam penggolongan sosial sering

disebut dengan kata-kata wong

Muhammadiyah, orang modern (Nur

Syam, 2005: 256).

Beberapa wilayah pembaharuan

yang ditempuh organisai ini, misalnya,

dalam bidang keagamaan adalah

menekankan pada usaha-usaha untuk

mengembalikan kemurnian Islam dari

pengaruh-pengaruh yang salah dengan

mendasarkan pada al-Quran dan Hadits.

Dalam konteks ini, biasanya pemurnian

diarahkan kepada praktek ajaran Islam

yang telah tercampur dengan tradisi-

tradisi lokal, karena praktek Islam

semacam ini dipandang dekat dengan

takhayul, bid’ah, dan khurafat yang

tentu saja, menurut organisasi ini,

menyimpang dari genuinitas Islam.

Dalam hal ini, Amin Rais pernah

mengatakan bahwa

“tauhid menuntut pemurnian atau

purifikasi keyakinan setiap orang

beriman dengan jalan menjauhkan

diri dari setiap gejala TBK (takhayul,

bid’ah, dan khurafat), karena setiap

gejala TBK berarti elah menjauhkan

martabat manusia ke lembah yang

paling nista. Tidak mengherankan

bila Muhammadiyah kemudian

mempunyai kepekaan tajam

terhadap hal-hal yang dikategorikan

TBK (Amin Rais, 1996: 4).

Oleh karena itu, Muhammadiyah

dengan gigih mempertahankan

pendapat bahwa pintu ijtihad masih

tetap terbuka dan menolak ide tentang

taklid.

Dalam bidang sosial dan

kemasyarakatan, usaha yang dirintis

Muhammadiyah adalah mendirikan

rumah sakit poliklinik, rumah yatim

piatu yang dikelola melalui lembaga-

lembaga dan bukan secara individual

sebagaimana yang dilakukan orang

pada umumnya di dalam memelihara

anak yatim piatu. Sementara itu, dalam

bidang pendidikan, pembaharuan yang

Page 44: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

40

dimaksud adalah mengadakan

perubahan-perubahan dengan

menciptakan bentuk-bentuk baru yang

berwujud nilai batin dan cara atau

teknik baru dalam lingkungan

pendidikan dan pengajaran yang tetap

memenuhi tuntutan masa dengan dasar

pada pedoman yang tetap dari prinsip-

prinsip ajaran Islam (A. Jainuri, 1990: 51

– 65).

Karena dalam konteks

pembaharuan pemikiran agama,

Muhammadiyah senantiasa menyatakan

dan melekatkan dimensi ajaran

“kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunah

dengan dimensi “ijtihad” dan “tajdid”

sosial keagamaan, maka anggota

perserikatan ini umumnya tidak

bermazhab tertentu, hal ini merupakan

cermin mekanisme kerja ijtihad yang

kritis terhadap segala bentuk

historisitas kelembagaan agama dan

kelembagaan pemahaman fiqih. Lewat

ijtihad dan tajdid kebudayaan,

Muhammadiyah dengan sengaja meniru

dan melaksanakan sistem pendidikan

“sekolah”, untuk tidak menyebutnya

dengan sisitem pendidikan Barat, yang

mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan

secara lebih utuh dan komprehensif,

baik dalam wilayah natural maupun

behavioral sciences, tanpa

meninggalkan ilmu-ilmu agama (Amin

Abdullah, 1995: 109 – 111).

Berbeda dengan Muhammadiyah,

sejak kelahirannya NU terkenal dengan

kelompok yang disebut “kalangan

tradisionalis”. Hal ini tidak terlepas dari

munculnya organisasi ini memang

dalam rangka mempertahankan

praktek-praktek keagamaan yang

banyak menjunjung tradisi.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah,

bahwa ketika Raja Ibnu Saud hendak

menerapkan asas tunggal yakni mazhab

Wahabi di Mekah serta hendak

menghancurkan semua peninggalan

sejarah Islam maupun pra Islam yang

selama ini banyak diziarahi karena

dianggap bid’ah, maka gagasan kaum

Wahabi tersebut mendapat sambutan

hangat dari kaum yang terkenal

modernis di Indonesia, baik kalangan

Muhammadiyah di bawah Pimpinan

Ahmad Dahlan maupun PSII dibawah

pimpinan HOS Tjokroaminoto. Namun,

sebaliknya, kalangan pesantren yang

selama ini membela keberagaman, yang

kemudian menjelma dalam organisasi

NU, menolak pembatasan bermazhab

dan penghancuran warisan peradaban

tersebut (Sejarah NU, INTERNET\NU

online.htm).

Dalam Anggaran Dasar NU tahun

1927 juga dirumuskan, bahwa

organisasi ini bertujuan untuk

memperkuat kesatuan kaum muslimin

kepada salah satu dari mazhab empat

dan melakukan kegiatan-kegiatan yang

menguntungkan bagi para anggotanya

sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan

antara lain: satu, memperkuat persatuan

antara sesama ulama yang masih setia

pada ajaran-ajaran mazhab; dua,

memberikan bimbingan tentang jenis-

jenis buku (kitab) yang diajarkan pada

lembaga-lembaga pendidikan Islam;

tiga, menyebarkan ajaran-ajaran Islam

yang sesuai dengan tuntutan mazhab

empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan

Hambali); empat, memperluas jumlah

Page 45: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

41

madrasah dan memperbaiki

organisasinya; dan lima, membantu

pembangunan masjid-masjid, langgar,

dan pondok pesantren (Dhofier, 1994:

97 – 98).

Mengacu hal tersebut, tidaklah

aneh apabila para Indonesianis (sebutan

akrab bagi peneliti mancanegara),

termasuk juga kalangan yang menyebut

dirinya modernis, menyebut NU sebagai

kalangan tradisionalis. Tradisional

dalam arti yang vital adalah kehidupan

keagamaan, yaitu trasmisi nilai-nilai

keagamaan melalui tradisi keagamaan

dan pendidikan. Sementara itu,

tradisional dalam pengertian kata yang

sebenarnya, yakni melekukan trasmisi

dari satu generasi ke generasi

berikutnya.

Oleh karena itu, penyandangan

"tradisionalis" bukanlah tanpa alasan.

Memang NU besar dan dibesarkan

dalam tradisi (al-turats). Tradisi yang

tergambar dalam keilmuan klasik (kitab

kuning) dan praktik-praktik keagamaan

yang berbau lokalitas, telah menjadi

bagian terpenting dalam pandangan

hidup kalangan kaum nahdliyin secara

umum. Mereka berasal dari tradisi, oleh

tradisi, dan untuk tradisi. Begitulah,

kalangan nahdliyin menancapkan

identitasnya dalam lingkaran tradisi.

Tradisi adalah harta karun yang harus

diapresiasi sebaik mungkin untuk

mempertahankan identitas dan

membaca tanda-tanda zaman.

Sementara itu, pesantren menjadi saksi

sejarah kenyataan tersebut. Pesantren

menjadi institusi pendidikan keagamaan

yang sangat baik untuk melestarikan

tradisi sekaligus mengembangkannya.

(Kompas Minggu, 28 November 2004).

Dalam hal ini perlu ditekankan,

bahwa perbedaan pemahaman

keagamaanlah yang pada dasarnya telah

mulai melibatkan kedua kelompok

tersebut (Muhammadiyah dan NU)

dalam perdebatan yang bukan hanya

sebentar, akan tetapi dapat dikatakan

sangat melelahkan dan

memprihatinkan. Namun, sebenarnya

perbedaan yang terjadi antara mereka

lebih pada persoalan-persoalan

metodologis dalam mendekati ajaran

Islam daripada persoalan lainnya.

Bahkan belum pernah terjadi

pertentangan di antara keduanya dalam

masalah yang prinsip. Oleh karena itu,

jika dikotomi tradisionalis-modernis

dihubungkan dengan cara berpikir dan

memahami agama, maka suatu

organisasi keagamaan disebut modernis

karena cara memahami ajaran agama

dengan mengutamakan nalar sehingga

mampu mengikuti perubahan-

perubahan. Sementara itu, suatu

organisasi keagamaan disebut

tradisional, karena dalam memahami

ajaran agama adalah dengan

mempertimbangkan tradisi di kalangan

masyarakat Islam, sehingga kurang

mampu mengikuti perubahan-

perubahan. (Mujamil Qomar, 2002: 26).

Sekarang, bagaimana dengan NU

sendiri, apakah dalam tubuh organisasi

ini ada gejala dalam cara memahami

ajaran agama dengan mengutamakan

nalar yang mampu mengikuti

perubahan-perubahan, sehingga label

modernis patut disandangnya?

Page 46: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

42

Menyoal Kembali Dikotomi Tradisional-

Modern

Sebagai kerangka berpikir,

sebelumnya mungkin perlu dipertegas

terlebih dahulu arti kata modern.

Modern, sebagaimana terdapat dalam

"Kamus Besar Bahasa Indonesia" berarti

sikap dan cara berpikir serta bertindak

yang sesuai dengan tuntutan zaman

(Depdikbud, 1997: 662). Modern dapat

juga diartikan dengan kata dinamis,

yang mempunyai arti di samping

energik dan totalitas juga kemampuan

untuk beradaptasi dan merespon secara

kreatif lingkungan yang sulit.

Ditegaskan, bahwa dinamisasi pada

dasarnya mencakup dua proses, yaitu

penggalakkan kembali nilai-nilai hidup

positif yang telah ada, di samping

mencakup pula pergantian nilai-nilai

lama dengan nilai-nilai baru yang

dianggap lebih sempurna. Sementara

itu, proses pergantian nilai tersebut

dapat dinamakan dengan modernisasi

(Greg Barton, 1997: 176).

Diungkapkan pula, bahwa salah satu

ciri manusia modern adalah terbuka

pada pengalaman-pengalaman yang

baru dan tidak mencurigai pendapat

baru atau pikiran-pikiran baru. Dia

selalu terbuka dan terangsang untuk

mengetahui hal-hal yang baru.

Sebaliknya, manusia tradisional bersifat

tertutup dari gagasan-gagasan baru,

tidak toleran terhadap pendapat baru,

bergantung sekali pada otoritas, dan

percaya pada takhayul (Jalaluddin

Rakhmat, 2005: 122-123).

Dari pengertian modern tersebut

dapatkah, dalam perjalanan sekarang

ini, NU menyandang gelar modern

sebagaimana Muhammadiyah? Tentu

saja, jika memandang NU dari mulai

berdirinya (tahun 1926) hingga kira-

kira tahun 1970-an, yaitu organisasi

yang didirikan dan diperkuat oleh ulama

yang pada umumnya berpandangan

konservatif, berpendidikan pesantren,

dan toleran dengan tradisi keagamaan

lokal asalkan, menurut mereka, tidak

bertentangan dengan ajaran Islam, maka

pandangan bahwa NU berpemahaman

dan berpemikiran tradisional secara

umum bisa mendapat pembenaran.

Ditambah lagi, pada kurun itu memang

dalam praktek keagamaan masih kental

dengan taklid khususnya hanya

terhadap pendapat Imam Syafi’i,

walaupun dalam teorinya NU mengakui

empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki,

Syafi’i, dan Hambali.

Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa

pandangan semacam itu kurang tepat

apabila dialamatkan kepada NU setelah

memasuki tahun 1989-an, karena pada

tahun-tahun ini dalam tubuh organisasi

ini mengalami perubahan yang

signifikan. Perubahan tersebut dapat

dilihat, bahwa berbarengan dengan

depolitisasi, maka tumbuh kembali

minat baru dalam pengembangan

bidang pendidikan dan tradisi

intelektualisme Islam. Pada awalnya

gairah intelektualitas NU memang

terkesan datar, namun hingga tahun

1980-an tampak gairah yang meluap-

luap seiring dengan kehadiran figur

Abdurrahman Wahid dan Ahmad Shidiq.

Jadi, setidaknya sampai dengan

Muktamar ke-26 di Semarang, tahun

1979, dapat dibenarkan apabila banyak

kalangan yang masih melihat NU

Page 47: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

43

sebagai organisasi ulama dengan

pengikutnya di pedesaan yang secara

agama adalah tradisional, secara

intelektual sederhana, secara politis

oportunis, dan secara kulturan sinkritis.

Akan tetapi, lima tahun kemudian,

setelah Muktamar Situbondo 1984 yang

menghasilkan keputusan kembalinya

NU ke Kittah 1926, NU ternyata mampu

menyerap nilai-nilai modern.

Penyerapan nilai-nilai modern ini

didasari dalam kerangka tradisi ilmu

keagamaan dan adaptasi modern

dengan struktur politik dewasa itu

(Arief Mudatsir, 1984: 131-132).

Kembali ke Kittah 1926, berarti

NU harus kembali menjadi organisasi

sosial keagaman dan tidak lagi

berhubungan dengan politik. Kondisi

inilah yang menjadikan, terutama

generasi muda NU, tidak lagi sibuk

dengan kegiatan politik, tetapi beralih

kepada kajian-kajian ilmiah, penelitian,

seminar, dan aksi sosial. Oleh karena itu,

sejak generasi muda NU berminat

terhadap kajian, berkembanglah

pembaharuan wacana di kalangan NU

dengan berbagai gagasan pemikiran,

melalui tulisan-tulisan dan jurnal,

majalah, surat kabar, dan internet

(Shonhaji, 2004: 37). Tampaknya,

ungkapan Nurcholish Majid juga perlu

untuk disimak, bahwa

“orang-orang muda NU yang akhir-

akhir ini saya dengar dan saya lihat,

banyak menelurkan karya-karya

tulis, baik di media maupun dalam

betuk buku. Fenomena ini tentu saja

patut disyukuri, karena selama ini

NU dikenal sebagai kelompok kolot,

tradisionalis dan anti kemodernan.

Maksudnya, geliat pemikiran yang

terjadi di tengah-tengah orang-orang

muda NU ini membuktikan bahwa

tradisi tidak selamanya buruk dan

anti kemodernan (Nurcholish Majid,

2004: x)”.

Memang, dengan kembalinya ke

Kittah 1926 dalam muktamar Situbondo

1984 dan tampilnya Abdurrahman

Wahid sebagai ketua Tanfidziah

(eksekutif) serta Ahmad Shiddiq sebagai

ketua Syuriah (legislatif) dapat diartikan

suatu bagian penting dari kampanye

pembaharuan dalam NU. Hal ini

menandai dimulainya era baru bagi NU,

yakni adanya proses perubahan dan

pembaruan. Di sisi lain, hal ini juga

merupakan pengalaman unik, karena

bersamaan pada saat Iran memberikan

contoh yang cukup menarik bagi minat

sebagian masyarakat Indonesia tentang

pembentukan negara Islam dan ketika

terjemahan karya-karya Sayid Qutab,

Maududi, Ali Syari’ati dan lainnya yang

diidentikkan dengan radikalisme dibaca

banyak orang, tetapi secara paradoks

sebuah organisasi Islam tradisional di

Indonesia dipimpin oleh orang-orang

yang terbuka yang menolak sebuah

bentuk fanatisme keagamaan dan

berupaya melakukan penyesuaian

keagamaan dengan modernitas

(Shonhaji, 2004: 42).

Demikian pula, penting untuk

dicatat bahwa pada muktamar NU ke-27

1984 ditandai dengan diterimanya

Pancasila sebagai asas tunggal, sehingga

menandai dimulainya babak baru dalam

perjalanan organisasi politik dan

kemasyarakatan. Pandangan ini

Page 48: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

44

didasarkan karena Pancasila bagi umat

Islam Indonesia adalah wajib

hukumnya. Dalam hal ini, NU menganut

pendirian bahwa Islam adalah agama

yang fitriah (sifat asal atau murni),

sehingga sepanjang suatu nilai tidak

bertentangan dengan keyakinan Islam,

ia dapat diarahkan dan dikembangkan

agar selaras dengan tujuan-tujuan di

dalam Islam. Dengan demikian, ketika

Islam diterima oleh masyarakat, ia tidak

harus mengganti nilai-nilai yang

terdapat di dalam masyarakat, tetapi ia

akan bersikap menyempurnakan segala

kebaikan yang dimiliki masyarakat.

Berangkat dari konsep fitrah, membuat

NU bersifat inklusif, mengakui nilai-nilai

yang baik yang sudah ada di dalam

masyarakat untuk mengembangkan

Islam (Martin van Bruinessen, 1997:

89).

Setelah tahun 1980-an, NU memang

tampak progresi, baik dalam hal

pemikiran keagamaan, sosial, politik,

maupun kultur. Beberapa pemikir dan

peneliti telah menilai bahwa NU

ternyata tidak selamanya statis,

sebagaimana digambarkan oleh

kalangan modernis. Tradisional yang

dibawa NU tidak sebagaimana yang

digambarkan, yaitu kolot atau anti pada

orang luar. NU memang sebagai

kelompok tradisional, namun kurang

tepat untuk era sekarang ini memberi

penilaian bahwa NU adalah golongan

konservatif, kolot, dan tidak mampu

menghadapi perkembangan zaman.

Justru dengan sifatnya yang tradisional

itu (ahl al-sunnah wa al-jamaah), NU

membuktikan bahwa dirinya memiliki

banyak rujukan untuk menghadapi

berbagai perkambangan dan tantangan.

Sebagaimana diungkapkan, bahwa

NU yang selama ini dianggap sebagai

organisasi tradisional dengan basis

pesantren justru memperlihatkan

gairah pro-gresivitas berpikir, diban-

dingkan dengan organisasi modern

yang malah tampak stagnan dan

resisten. Kitab kuning yang telah

ditulis ulama berabad-abad lalu dan

dijadikan salah satu referensi utama

nahdhiyin ternyata justru membuka

wawasan yang membentang luas

dalam mencermati perubahan sosial.

Pemahaman agama bergerak tidak

lagi secara tekstualis, tetapi

kontekstual. Tentunya ini perlu

dipandang sebagai kemajuan di

dalam NU. Kemajuan peradaban

selalu lahir dalam suasana

kebebasan pikir (Said Aqil Siradj,

Kompas: 2003).

Di samping itu, NU mempunyai dasar

dan kekayaan intelektual luar biasa yang

senantiasa diwariskan dari satu

generasi ke generasi berikut melalui

lembaga pesantren. Inilah modal

kultural intelektual NU untuk

berdialektika dengan modernitas. (Said

Aqil Siradj, Kompas: 2003)

Suatu hal yang penting, bahwa

tradisionalisme NU dalam bidang

keagamaan dan pendidikan tidaklah

berarti bahwa muatan yang dipelajari

dan di transmisikan juga bersifat

tradisional, dalam arti repetis buta

terhadap hal-hal yang berbau masa lalu.

Bagaimanapun, apa yang dipelajari dan

ditransmisikan adalah suatu sistem

ideal di mana individu-individu dapat

Page 49: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

45

menyesuaikan diri mereka dan mampu

menghadapi realitas sosial. Bentuk

transmisi bisa jadi tradisional, tetapi apa

yang ditrasmisikan bisa radikal. Inilah

salah satu alasan mengapa

tradisionalisme NU tidak menghalangi,

melainkan justru meningkatkan

radikalisme organisasinya dan

menggalakan sikap radikal politiknya

dalam merespon situasi-situasi tertentu

(Mitsuo Nakamura, 1997 : 73).

Dalam catatan Azra diungkapkan, NU

dikenal sebagai organisasi

“tradisionalis”, bahkan kelahirannya

merupakan reaksi atas perkembangan

Muhammadiyah yang sering dikatego-

risasikan sebagai organisasi Muslim

“modernis.” Tradisionalisme ini terletak

pada kenyataan bahwa ia pada

hakekatnya bertujuan untuk

meneruskan dan memelihara tradisi

“Aswaja” (ahl al-sunnah wa al-jamaah)

dalam lingkup keempat mazhab fiqih

Sunni dan aliran teologi (kalam) Asy’ari.

Namun, kerangka tradisi aswaja ini

menjadikan NU cenderung dapat

bersikap inklusif (merangkul dan

menyerap keragaman di dalam Sunni itu

sendiri) ketimbang bersikap ekslusif,

yakni menyisikan diri dalam salah satu

aliran Sunni (Azyumardi Azra, 2002:

141). Hal ini dengan apa yang pernah

disimpulkan oleh Greg Barton bahwa

"tradisionalisme Islam di Indonesia

sangat memberi harapan untuk

melahirkan generasi neo-modernis

yang berwawasan pluralis, inklusif,

dan liberal. Yaitu, pemikir-pemikir

yang menekankan ijtihad

kontekstual, komitmen meng-

kombinasikan pendidikan Barat dan

tradisi kesarjanaan Islam klasik,

kejujuran yang terbuka, dan

penolakan terhadap dogmatis demi

apresiasi pada pluralisme yang lahir

dari keyakinan bahwa harus ada

pemisahan antara agama dan negara

demi tegaknya nilai-nilai demokrasi"

(http://www.pesantrenonline.com)

Greg Barton juga mengung-kapkan,

dengan sifat inklusifnya, NU sangat

menghargai warisan dan tradisi ulama,

baik yang ditransmisikan secara lisan

dan praktikal maupun secara tertulis

melalui kitab kuning (turath).

Konsekwensinya, NU memiliki kakayaan

warisan keagamaan yang luar biasa,

yang tersimpan dalam sekian banyak

kitab kuning, yang tentu saja

memberinya ruang gerak lebih luas

dalam merespon berbagai perkem-

bangan, bukan hanya dalam bidang

keagamaan, tetapi juga bidang sosial,

politik, kultural, dan lain-lain

(http://www.pesantrenonline.com).

Setelah munculnya Abdurrahman

Wahid memimpin NU, terlepas dari

kontroversi tentang kepribadiannya, NU

terkesan lebih responsif dan

“modernis”, atau bahkan “lebih radikal”

ketimbang Muhammadiyah. Ulama-

ulama NU secara teratur mengadakan

bahts al-masa’il untuk mengeluarkan

ketentuan-ketentuan hukum

berdasarkan perkembangan baru, dan

tidak jarang keputusan-keputusan yang

mereka hasilkan dalam segi-segi

tertentu sangat modernis. Misalnya, soal

bunga bank dan kerja sama bisnis

dengan pengusaha non-Muslim. Jumhur

ulama NU sepakat menunda atau

Page 50: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

46

mengesampingkan bunga bank, untuk

kemudian mendirikan Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) Nusumma (NU dan

Summa Group, sebuah konglomerasi

non-Muslim) (Azyumardi Azra, 2002:

143).

Jika pada masa awal, kalangan

nahdiyin yang terkenal dengan

penganut pandangan-pandangan fiqih

empat mazhab (mazhab fiqih ahl al-

sunnah wa al-jamaah), yaitu Hanafi,

Maliki, Syafi’i, dan Hambali, walaupun

secara faktual mengalami reduksi dan

hanya dibatasi pada pandangan-

pandangan fiqih mazhab Syafi’i, yang

kemudian mengacu dan berpegang

kepada kitab (kitab-kitab yang tidak

bertentangan dengan akidah ahl al-

sunnah wa al-jamaah), namun pada era

sekarang terutama setelah muncul

generasi baru, NU tampak progresif dan

tampak meninggalkan ketradisionalan-

nya.

Mereka melihat dengan jernih

keterasingan pikiran-pikiran tradisional

pesantren dari proses modernitas yang

terus tumbuh dan berkambang dalam

gelombang yang sangat dahsyat. Kitab-

kitab mu’tabar yang selama ini

didoktrinkan sebagai rujukan yang

mampu menjawab segala-galanya bagi

problem kehidupan masyarakat

ternyata tidak terbukti, sehingga

disadari atau tidak, para ulama NU telah

menggugat sendiri tradisinya (Husein

Muhammad, 2004: 78-80).

Dalam hal ini adalah penting untuk

mencermati terkait pengambilan

keputusan bahtsul masa’il yang

dihasilkan oleh Munas NU di Lampung

pada tahun 1992. Dalam sistem

pengambilan keputusan bahtsul masa’il

tersebut, kajian dan pembacaan atas

teks tidak semata-mata diarahkan untuk

mendapatkan jawaban literal, harfiah,

qauli, melainkan juga membaca secara

kritis atas aspek yang dikaji dengan

mengunakan analisis sosial budaya.

Munas ini menyebutnya sebagai analisis

kontekstual dan melalui pendekatan

manhaji (metodologi) (Husein

Muhammad, 83).

Hal tersebut menandakan adanya

redefinisi arti bermazhab. Artinya, di

kalangan NU dewasa ini ada pemikiran

yang dapat dikatakan progresif bahwa

mengartikan bermazhab itu bukan

lantas mengambil pendapat imam

mazhab dari kata perkata (fi al-aqwal),

akan tetapi metodologinyalah (fi al-

manhaj) yang diambil, bahkan

mengembangkan metodologi yang

sudah digunakan para imam mazhab

bukan lagi mengikuti metodologinya (A.

Qodri Azizy, 2003: 24-25). Misalnya,

Said Agil Siradj mengungkapkan bahwa

ketika taklid kepada Imam Syafi'i, maka

yang diikuti adalah manhaj-nya. Artinya,

dalam bertaklid agar melakukan taklid

kritis atau melakukan kritik pemahaman

yang tidak relevan. Jadi, pada dasarnya

tetap sebagai pengukut Syafi'i, namun

mengkritisinya (Mujamil Qomar, 2002:

193).

Kemudian, dapat dilihat pula bahwa

NU semakin tampak memperlihatkan

perkembangan dalam pemikiran setelah

kemunculan kaum Nahdiyin baru pasca

Abdurrahman Wahid. Sejak

kemunculannya, generasi muda NU

berminat terhadap kajian yang terus

Page 51: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

47

tumbuh dan berkembang. Kemudian

mereka melakukan pembaharuan

wacana dengan berbagai gagasan dan

pemikiran melalui tulisan-tulisan dalam

jurnal, majalah, surat kabar, dan

internet. Oleh karena itu, untuk

melaksanakan program-program dan

mempublikasikannya, mereka

mendirikan lembaga-lembaga kajian,

seperti Lembaga Studi Agama dan

Demokrasi (eLSAD) di Surabaya,

Lembaga Kijian Islam dan Sosial di

Yogyakarta, dan Lembaga

Pengembangan Sumberdaya Manusia

(Lakpesdam) di Jakarta (Shonhaji

Sholeh, 2004: 37).

Terkait dengan kalangan muda NU,

perlu juga menengok ungkapan

Jalaluddin Rakhmat, bahwa

“yang menarik belakangan ini justru

orang-orang NU. Dengan bagus,

mereka mempertahankan inquisitive

mind-nya (rasa ingin tahu, ingin

bertanya, ingin mempersoalkan, atau

ingin mempermasalahkan). Pada

sebagian orang NU, terutama anak-

anak mudanya (PMII), saya melihat

pemikiran yang inquisitive dan

liberal, bahkan lebih liberal dari

orang-orang Muhammadiyah. Dulu,

kata James Peakock, inquisitive mind

adalah kepribadian Muhammadiyah.

Sekarang menurut saya, inquisitive

mind hanya kepribadian Amin Rais

saja; yang lainnya tidak (Jalaluddin

Rakhmat, 2005: 113).”

Demikian pula bahwa dalam NU,

wacana liberalisasi, sebagai suatu

konsep yang digunakan bagi gerakan

pembaharuan Islam dewasa ini,1 telah

diakantonginya. Oleh karena itu,

tidaklah aneh apabila Mujamil Qomar

memberi judul bukunya, yang

merupakan hasil kajian atas

penelitiannya terhadap NU dewasa ini,

dengan “NU Liberal” (Mujamil Qomar:

2002). Tekait dengan ini, Azyumardi

Azra mengungkapkan, bahwa memang

dapat dibenarkan terdapat sejumlah

pemikir NU yang cenderung berpikiran

liberal dalam arti adaptif dalam

merespon tantangan intelektual yang

tidak lagi tradisional dalam konotasi

peyoratif (Azyumardi Azra, 2002: 19-

20).

Pada era sekarang ini, tampaknya

sebagian kalangan nahdiyin yang dapat

dikatakan memegang kuat al-Kutub al-

Sofro’ dalam istilah Amin Abdullah, atau

sepadan dengan tradisi keilmuan Islam

klasik dan tradisi keilmuan pesantren

telah beranjak untuk tidak menganggap

bahwa tradisi keilmuan yang selama ini

mereka pegangi “sebagai produk jadi”,

“produk instan”, “produk siap pakai”.

Pada sebagian kalangan nahdiyin ini,

tampak telah merasa perlu untuk

meninjau kembali secara kritis

rumusan-rumusan yang telah ada

sebelumnya (M. Amin Abdullah, 2004:

31), yang terdapat dalam tradisi

keilmuan Islam klasik. Dengan

1Hamid Zarkasyi mengungkapkan, sebagai-

mana dikutip oleh Adian Husaini, bahwa gerakan pembaharuan Islam kini berlanjut menjadi liberalisasi Islam dalam wujud yang lebih terbuka dalam membela konsep-konsep westwrnisasi dan membongkar konsep-konsep dasar Islam. Lihat Adian Husaini, “37 Tahun Pembaharuan Islam di Indonesia”, Republika, 26 Januari 2007.

Page 52: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

48

demikian, bukan “produk jadi”

pemikiran Al-Ghazali dalam bidang

teologi atau “produk jadi” pemikiran

Imam Al-Syafi’i dalam bidang fiqih yang

diambil, misalnya, akan tetapi yang

diambil adalah sitem berpikir,

pendekatan, atau metodologinya.

Kalangan ini, telah dapat mendialogan

literatur al-Kutub al-Sofro’ dengan

literatur al-Kutub al-baidlo (buku-buku

putih) (M. Amin Abdullah, 2004: 44).

Di sisi lain, Muhammadiyah,

sebagaimana diungkapkan Azra

(Azyumardi Azra, 2000: 108), betul

bahwa pada tingkat praktis merupakan

organisasi modernis, namun betulkah

dapat disamakan dalam tingkat

idiologisnya. Dalam prakteknya,

meskipun Muhammadiyah selalu

mengklaim bahwa secara idiologis ia

mengikuti gagasan tokoh-tokoh

“modernis”, seperti al-Afghani, Abduh,

dan Ridha, tetapi jika dilacak lebih jauh

akar-akar idiologinya terletak pada

gagasan tajdid (pembaruan) Ibn

Taimiyyah.

Dengan kerangka idiologi semacam

itu, Muhammadiyah pada haekatnya

ingin menerapkan Islam, sebagaimana

pernah dipraktekkan oleh sahabat

sahabat uatama Nabi (ashab al-salaf).

Atas dasar ini, Muhammadiyah

termasuk dalam golongan gerakan

salafiyah, atau neosalafiyah. Dengan

karakteristik idiologis tadi, salafisme

yang menekankan pada sentralistik

kemurnian doktrin tawhid (keesaan

Tuhan), dengan kembali kepada Al-

Qur’an dan hadits atau sering pula

disebut sebagai gerakan purifikasi.

Konsekwensi logis dari penekanan ini

adalah penolakan terhadap bid’ah,

khurafat, praktek-praktek lain yang

dianggap menyimpang, dan inovasi-

inovasi lain dalam ibadah, karena

dipandang tidak bersumber dari Al-

Qur’an dan hadits(Azyumardi Azra,

2000: 108).

Simpulan

Dalam perjalanan dan kenyataannya,

NU sebagai organisai masyarakat dan

keagamaan bukanlah suatu organisasi

yang bercirikan tradisional, yaitu

terbelakang, serba statis, dan mandeg

baik dalam hal pemikiran maupun

praktek keagamaan dan organisasi.

Sekarang ini di kalangan NU dapat

dikatakan terbuka, berobah, dan

bergerak sebagaimana ciri modern. Oleh

karena itu, kurang tepat untuk era

sekarang ini memberi penilaian bahwa

NU adalah golongan konservatif, kolot,

dan tidak mampu menghadapi

perkembangan zaman.

DAFTAR PUSTAKA

Adian Husaini, “37 Tahun Pembaharuan

Islam di Indonesia”, Republika, 26

Januari 2007.

Amin Abdullah. (2004). Filsafat Kalam di

Era Posmodernisme. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

-------------------. (1995). “Religiositas

Kebudayaan: Sumbangan

Muhammadiyah dalam

pembangunan Bangsa.” Dalam

Keputusan Muktamar

Page 53: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

49

Muhammadiyah ke-43. Yogyakarta:

Suara Muhammadiyah.

Amin Rais, “Tauhid Sosial: Doktrin

Perjuangan Muhammadiyah”,

Inovasi, No. 1, Th. VII/1996.

Arief Mudatsir. 1984. “Dari Situbondo

Menuju NU Baru: Sebuah Catatan

Awal.” Prisma, LP3ES.

Azyumardi Azra. (1999). Menuju

Masyarakat Madani; Gagasan, Fakta,

dan Tantangan. Bandung:

Rosdakarya.

Azyumardi Azra. (2002). “Liberalisasi

Pemikiran NU”. Kata Pengantar

dalam Mujamil Qomar. (2002). NU

“Liberal” dari Tradisionalisme

Ahlussunah ke Universalisme Islam.

Bandung: Mizan.

Deliar Noer. (1995). Gerakan Modern

Islam di Indonesia 1900 – 1942.

Jakarta: LP3ES.

Greg Fealy dan Greg Barton. (1997).

Tradisionalisme Radikal:

Persinggungan Nahdatul Ulama-

Negara. (Yogyakarta: LKiS).

Husein Muhammad. 2004. “Kitab

Mu’tabar dan Ghayr Mu’tabar Versus

Arus Liberatif Generasi Baru NU”.

Afkar, Edisi No. 17.

Jainuri, A.. (1990). Muhammadiyah;

Gerakan Reformasi Islam di Jawa

Pada Awal Abad Keduapuluh.

(Surabaya:Bina Ilmu).

Jalaluddin Rakhmat, (2005), Rekayasa

Sosial; Reformasi, Revolusi, atau

Manusia Besar?, Bandung:

Rosdakarya.

Kajian Santri,

Martin van Bruinessen. “Konjungtur

Sosial Politik di Jagat NU Paska

Khittah 26: Pergulatan NU Dekade

90-an. Dalam Ellyyasa KH. Dharwis

(ed.). Gus Dur dan Masyarakat Sipil.

Yogyakarta: LKiS.

Mitsuo Nakamura. “Tradisionalisme

Radikal; Catatan Muktamar

Semarang 1979.” Dalam Greg Fealy

dan Greg Barton. 1997.

Tradisionalisme Radikal;

Persinggungan Nahdatul Ulama dan

Negara. Yogyakarta: LKiS.

Mujamil Qomar. (2002). NU “Liberal”

dari Tradisionalisme Ahlussunah ke

Universalisme Islam. Bandung:

Mizan.

Nurcholish Majid, “NU antara Tradisi

dan Relevansi Pemikiran” , dalam

Kata Pengantar Zuhairi Misrawi

(ed.), (2004), Menggugat Tradisi;

Pergulatan Pemikiran Anak Muda

NU, Jakarta: Kompas.

Nur Syam, 2005, Islam Pesisir,

Yogyakarta: LKiS.

Said Aqil Siradj. “NU, Tradisi dan

Kebebasan Pikir.” Kompas: Rabu, 29

Oktober 2003.

Very Verdiansyah. “Tradisionalisme dan

Liberalisme NU.” Kompas. Minggu,

28 November 2004.

Zamakhsyari Dhofier. 1994. Tradisi

Pesantren; Studi tentang Pandangan

Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.

Page 54: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

50

CLASH OF CIVILIZATION DALAM PERSIAN WAR (490 BC-480 BC)

Oleh:

Sudrajat1

1 Dosen muda pada Jurusan Pendidikan Sejarah FISE Universitas Negeri Yogyakarta sejak

tahun 2006.

Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi pertempuran besar antara bangsa Yunani melawan Persia yang dikenal dengan Nama Persian War. Peradaban merupakan faktor penting sebagai sumber konflik di masa lalu. Budaya, filsafat, dan teknologi merupakan capaian yang luar biasa dari bangsa Yunani. Sementara itu peradaban Persia merupakan masterpiece dari budaya Timur yang ingin memperluas kekuasaan ke Asia Barat di bawah kekuasaan Darius. Samuel P Huntington merumuskan sebuah hipotesis bahwa sumber konflik yang paling fundamental dalam dunia baru bukan lagi ideologi atau politik. Pengelom-pokan umat manusia berdasarkan warna kulit, bahasa, agama, dan budaya menumbuhkan perasaan emosional kolektif dan dapat menjadi sumber konflik. Persian War yang terjadi pada tahun 490-480 BC merupakan representasi dari hipothesis tersebut. Kata kunci: benturan antar peradaban, Persian War.

Abstract This article was to elaborate the big battles between Greece and Persian in the past called by historian as Persian War. The civilization was one of the most influential factors as source of conflict in the past. The art, philosophy, and technologies by which Greece people were highly endeavors for humankind for several centuries. On the contrary, Persians civilization will be masterpiece for Eastern world. Darius, king of Persians, was the ambitious man, wishes to conquer the West Asian and Greece to aggrandize her emporium and brought the Persian into the biggest in the world. Samuel P Huntington makes a hypothesis that the fundamental source of conflict in the new world will not be primarily ideological or economy. The great divisions among humankind based on linguistic, race, religion, and cultural identity flowering sense of collective emotional. This sense can be dominating source of conflict. The Persian War was took place in 490-480 BC represent of this hypothesis. Keywords: the Clash of civilization, Persian War.

Page 55: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

51

Latar Belakang Masalah Keberanian Iran dalam menentang

bangsa Barat mengingatkan kita pada peristiwa abad ke-5 SM. Pertentangan antara Persia melawan Yunani merupakan representasi dari benturan antar peradaban yaitu peradaban Barat (Yunani) dengan peradaban Timur (Persia). Benturan tersebut mengerucut ke dalam sebuah peperangan besar dalam sejarah umat manusia yaitu Perang Persia (Persian War).

Pada saat itu, Iran yang masih bernama Persia merupakan sebuah imperium besar yang menguasai wilayah di Asia Barat, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Persia juga mempunyai pengaruh yang kuat dalam percaturan politik di Laut Aegea. Pada saat yang bersamaan Yunani juga merupakan sebuah kekuatan yang sedang menanjak performanya.

Pada saat itu Yunani juga memiliki pengaruh yang kuat dalam percaturan politik di Laut Aegea. Yunani-Persia akhirnya terlibat dalam peperangan dalam rangka memperebutkan pengaruh di kawasan tersebut yang kemudian dikenal dengan Persian War. Persia War yang terjadi pada tahun 490-480 SM merupakan salah satu peperangan besar dalam sejarah peradaban umat manusia yang berhasil direkonstruksi oleh seorang sejarawan Yunani bernama Herodotus (484-425 SM.).

Tulisan Herodotus yang berjudul Histories merupakan studi yang menggunakan obervasi dan wawancara untuk merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah. Wawancara dan observasi

dilakukan di wilayah-wilayah yang menjadi ajang pertempuran prajurit Yunani-Persia, yaitu Yunani, Persia, Asia Barat dan Mesir.

Perang Yunani-Persia merupakan representasi dari persaingan antara dua bangsa yang memiliki perbedaan peradaban dan kebudayaan. Di samping itu perang Yunani-Persia juga menampilkan motif ekonomi dan politik yang bermuara dari keinginan Darius I untuk menguasai perdagangan dan hegemoni di Laut Aegea. Sejak berdirinya pada tahun 549 SM bangsa Persia berusaha memperluas wilayah-nya.

Satu per satu kerajaan-kerajaan di Mesopotamia berhasil dikuasai mulai dari Caldea, Babylonia, Mesir, dan lain-lain. Pada masa Darius I kekuasaan Persia telah meliputi Asia Barat, Asia Tengah dan hampir mendekati Asia Selatan. Di Asia Barat, Persia berhasil menguasai daerah Turki sekarang dan beberapa wilayah pantai Asia Kecil seperti Miletus.2

Pada umumnya wilayah-wilayah pantai Asia Kecil, waktu itu dihuni oleh bangsa Yunani terutama suku bangsa Ionia, Aeolia, Phyrgia, dan lain-lain. Bangsa Yunani merupakan sebuah bangsa yang berjiwa merdeka. Mereka pergi meninggalkan tanah asalnya di Balkan dalam rangka untuk membebaskan diri dari kungkungan adat dan tradisi yang membe-lenggunya. Di tanah yang ditujunya

2 Easton, Stewart C. (1963). The Heritage of

the Past: From the Earliest Times to the Close of the Middle Ages, New York: Holt, Rinehart & Winston. Hlm. 102.

Page 56: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

52

mereka mengembangkan tradisi yang berakar dari kebebasan dan kemerdekaan yang mereka anut. Oleh sebab itu ketika mereka berada di bawah kekuasaan bangsa Persia yang memperlakukan mereka dengan represif, mereka merasa sangat tertekan.

Oleh karenanya tidak meng-herankan apabila Aristagoras pada tahun 495 SM meminta bangsa Yunani yang notabene merupakan fatherland bangsa Ionia untuk menghadapi bangsa Persia. Kemauan Athena untuk membantu Miletus tidak hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi semata-mata, akan tetapi faktor persamaan budaya juga turut memberikan andil yang sangat sig-nifikan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka peneliti berusaha untuk mela-kukan penelitian dalam rangka mencari faktor benturan peradaban (clash of civilization) dalam perang Yunani-Persia. Peradaban Yunani

Peradaban Yunani merupakan salah satu peradaban yang mencapai tingkat kemajuan yang spektakuler di dunia kuno. Peradaban spektakuler lainnya antara lain: Mesir, Mesopotamia, India dan China. Kalau Mesir, Mesopotamia, dan China merupakan peradaban di lembah sungai, maka Yunani merupakan peradaban yang berkembang di laut.

Pada zaman kuno, Laut Tengah merupakan pusat perdagangan dan pertumbuhan ekonomi yang utama. Letaknya yang berada di tengah-tengah antara Eropa, Afrika, dan Asia

memungkinkan terjadinya kontak perdagangan, politik, dan kultural antar kawasan. Karenanya tidak mengherankan apabila di kawasan Laut Tengah berkembang peradaban yang maju, sejak peradaban Minoa, Mycenae, Yunani, dan kemudian Romawi.

Athena merupakan salah satu city state yang menjadi icon kemajuan peradaban Yunani. Karakteristik budaya Yunani yang sampai saat ini menjadi icon budaya Barat adalah kebebasan dan demokrasi. Hal tersebut tergambar dalam pidato Leotychides sesaat sebelum terjadi pertempuran di Mycale sebagai berikut:

Men of Ionia, listen, if you can hear me, to what I have to say. The Persians, in any case, won’t understand a word of it. When the battle begins, let each man of you first remember Freedom – and secondly our password, Hera. … Either the Persians would not know what he had said and the Ionians would be persuaded to leave them, or if words were reported to the Persians they would mistrust their Greek subjects.3

Dalam hal ini Pericles menyatakan bahwa pemungutan suara, jaminan persamaan bagi warga, dan pengakuan atas perbedaan diantara individu merupakan pilar terpenting dalam peradaban Yunani.

4

3 Herodotus. (1972). The Histories

(terjemahan Aubrey de Selincourt). Harmondsworth: Penguin Books., hlm. 615.

4 Toynbee, AJ. (1963). Greek Civilization and Character. New York: Mentor Book, hlm. 38.

Sedemikian

Page 57: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

53

bangganya bangsa Athena dengan demokrasi, persamaan hak, dan pencapaian budayanya sehingga mereka menyebut bagian dunia yang didiami oleh masyarakat yang beradab dengan sebutan oikoumene.5

Suatu hal yang membedakan bangsa Yunani berbeda dengan komunitas manusia lainnya adalah polis. Menurut mereka polis mempunyai arti yang lebih dari sekedar kota. Polis adalah negara yang merdeka dan berdaulat dalam makna yang sesungguhnya. Polis membuat undang-undang yang berlaku di dalam kota, sedangkan keluar polis menyatakan perang kepada polis lain bila dianggap perlu.

Mereka menyebut masyara-katnya

beradab, dan menganggap bangsa lain sebagai orang aneh dan asing. Di telinga bangsa Yunani kata-kata yang terdengar dari ucapan orang aneh tersebut berbunyi bar-bar, bar-bar, sehingga mereka dianggap sebagai bangsa bar-bar yang berarti bangsa di luar bangsa Yunani.

6

Perbedaan dalam diri bangsa Yunani sedemikian mendasar, karena pemerintahan dijalankan dengan

Polis memerintah dirinya sendiri.

Yang diperintah adalah yang meme-rintah. Seperti yang dipaparkan oleh Aristoteles bahwa warga kota berganti-ganti diperintah dan memerintah.

5 Toynbee, AJ. (2004), Sejarah Umat

Manusia: Uraian Analitis, Kronologis, Naratif dan Komparatif. Yogyakarta: Tiara Wacana. hlm. 37.

6 Stone, IF. (1991). Peradilan Sokrates: Skandal Terbesar Dalam Demokrasi Athena (terj. Rahmah Asa Harun), Jakarta: PT Pustaka Utama Grafitti., hlm. 8.

semacam perselisihan. Setiap warga berhak memilih dan berbicara di dalam majelis yang membuat undang-undang. Mereka juga berhak duduk sebagai juri di pengadilan. Bahkan banyak pegawai kantor yang direkrut melalui undian hanya demi memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh warga kota untuk ambil bagian dalam pemerintahan.7

Peradaban Yunani tidak dapat dipisahkan dengan agama atau kepercayaannya. Pesta olahraga Olimpiade maupun pertunjukan drama di amphitheatre hanyalah merupakan perkembangan lebih lanjut dari upacara keagamaa. Demikian juga dengan arsitektur dan kesusasteraan yang mempunyai makna keagamaan yang tinggi. Aspek keagamaan dalam peradaban Yunani tidak hanya semata-mata agama, tetapi juga mencerminkan aspek-aspek kehidupan lainnya.

8

7 Ibid., hlm. 9 8 Sugihardjo Soemobroto, & Budiawan.

(1989). Sejarah Peradaban Barat Klasik: Dari Prasejarah Hingga Runtuhnya Romawi. Yogyakarta: Liberty., hlm. 71.

Mereka tidak membuat batas yang

jelas antara agama dan negara, tetapi mengidentikkan satu dengan lainnya. Perasaan keagamaan dan patriotisme sering diekspresikan sebagai kesetiaan kepada agama maupun negara. Undang-undang yang penting disyahkan oleh majelis untuk kemudian diukir di batu serta disimpan di Acropolis. Peradaban Persia

Page 58: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

54

Persia merupakan salah satu elemen peradaban Timur yang berlokasi di Iran sekarang. Iran terletak di daerah lembah Mesopotamia, sebuah kawasan dengan peradaban yang maju pada saat itu. Oleh kebanyakan ahli daerah tersebut dikenal dengan “the cradle of civilization” atau lahirnya peradaban. Sementara istilah lain yang sering disebutkan antara lain “the fertile crescent’ untuk menyebut daerah yang subur, sementara julukan “the Levant” menunjuk kepada arah (dimana bangsa Arab menyebut masyriq).

Imperium Persia didirikan oleh Cyrus pada 549 BC. Imperium Persia didirikan oleh Cyrus pada tahun 549 SM. Setelah berhasil mendirikan kekaisaran, Cyrus berusaha untuk menguasai wilayah-wilayah di sekitar-nya. Pertama kali bangsa Persia mengalahkan Chaldea, kemudian mem-perluas wilayahnya dengan menyerang Babylonia. Perluasan wilayah dilanjut-kan oleh Cambyses dengan meng-aneksasi Mesir. 9

Pada masa Darius I kekuasaan Persia telah membentang luas dari Laut Kaspia, India sampai ke Timur Tengah. Kerajaan Persia merupakan sebuah kerajaan dalam arti modern karena di dalam kerajaan ini ditemukan negara-negara yang sebe-narnya merdeka, namun memelihara individualitas, adat-istiadat maupun hukum-hukumnya sendiri. Kerajaan Persia memberikan kontribusi yang signifikan terhadap bangsa-bangsa yang dikuasainya serta pada saat yang bersamaan membiarkan

9 Stewart. Op. cit., hlm.102.

masing-masing bangsa dengan karakter, sifat dan budayanya sendiri.10

Untuk menjaga loyalitas satraps raja mengirimkan beberapa orang kepercayaannya untuk mengawasiya.

Secara politis, kekuasaan Persia atas

wilayah-wilayah yang dikuasainya dijalankan secara terpusat. Untuk kepentingan administratif, wilayah Persia di bagi ke dalam beberapa provinsi yang dikepalai oleh seorang satraps. Satraps merupakan kepala adminisrasi dan memimpin pasukan apabila sedang terjadi peperangan. Tanggung jawab lain dari satraps adalah mengumpulkan pajak.

11

Inti dari Zoroastrianism adalah perjuangan antara pencipta dunia (Ahuramazda) sebagai dewa api (the god of light) melawan Ahriman (the god

Akibat dari sistem kekuasaan yang demikian adalah digunakannya tindakan-tindakan represif oleh aparat kekuasaan. Kadang-kadang terjadi perampasan barang atau hasil panen untuk memenuhi kuota pajak yang ditetapkan oleh raja. Tugas keamanan yang dibebankan kepada satraps juga menyebabkan satraps bertindak kejam dalam menangani berbagai masalah.

Untuk memahami peradaban suatu bangsa, kita harus memahami agama atau kepercayaan yang dianut oleh penduduknya. Pada umumnya agama bangsa Persia adalah Zoroastrianism dengan kitab suci yang disebut dengan Zend Avesta.

10 Hegel, GWF. (2001). Filsafat Sejarah (terj.

Cuk Ananta Wijaya), Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hlm. 256.

11 Stewart., Op. cit., hlm. 102.

Page 59: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

55

of darkness) sebagai dewa kegelapan. Tugas manusia adalah membantu dewa api dalam perjuangannya melawan dewa kegelapan. Seluruh raja Persia mendukung perjuangan Ahuramazda dengan mendukung peranan dewa api di muka bumi, menegakkan keadilan dan berperan menurut kebenaran.12

Bangsa Yunani menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan. Mereka bermigrasi dari daerah asal mereka

Dengan kepercayaan inilah raja-raja

Persia mendapatkan legitimasi atas kekuasaan yang dipegangnya. Rakyat mematuhi seluruh kebijakan raja karena menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh raja sudah benar dalam rangka membantu dewa api dalam mewujudkan keadilan di muka bumi ini.

Inilah salah satu karakteristik pemerintahan di dunia Timur, yang tentu berbeda dengan dunia Barat (Yunani) yang mendasarkan pemerin-tahannya prinsip-prinsip demokrasi dengan mengutamakan kebebasan serta terpenuhinya hak rakyatnya. Latar Belakang Persian War

Di bawah kekuasaan Darius I, Persia merupakan sebuah kekuatan baru yang berusaha memperluas wilayah kekuasaanya. Setelah berhasil menguasai Lydia, wilayah kekuasaan Persia meluas sampai di daerah pantai Asia Kecil. Penguasaan Persia atas wilayah-wilayah di Asia Kecil yang dihuni oleh bangsa Yunani, khususnya suku Ionia, dirasakan sebagai sebuah penindasan.

12 Ibid., hlm. 105.

dengan tujuan untuk mendapat menikmati kebebasan tersebut.13

Miletus kemudian mencari bantuan ke Athena, daerah asal mereka (bangsa Ionia dan Achaia) yang tetap dianggap sebagai Fatherland. Athena memberikan bantuan 30.000 tentara dengan 20 buah kapal perang.

Dapat dikatakan bahwa kebebasan dan kemerdekaan merupakan jiwa mereka, sehingga penguasaan Persia dianggap sebagai perampasan atas jiwa kebebasan dan kemerdekaan mereka. Akibatnya koloni-koloni Yunani di Asia Kecil melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Persia. Salah satu pemberontakan tersebut dilakukan oleh Aristagoras dari Miletus pada tahun 495 SM. Aristagoras menyadari bahwa Persia dibawah kekuasaan Darius I merupakan sebuah imperium yang besar dan memiliki kekuatan militer yang cukup disegani. Untuk menghadapinya, maka Aristagoras meminta bantuan kepada Yunani, khususnya kepada Sparta yang dikenal memiliki kemampuan militer yang hebat. Akan tetapi Sparta menolak memberikan bantuan karena menyadari bahwa mereka tidak akan sanggup untuk menghadapi kekuatan militer Persia.

14

Dengan bantuan dari Athena, Aristagoras melakukan pemberontakan dengan menyerang tentara Persia di

13 Romein, J.M. (1956). Aera Eropa:

Peradaban Eropa Sebagai Penyimpangan dari Pola Umum. Jakarta: NV. Ganaco. hlm. 25.

14 Herodotus. (1972). The Histories (terjemahan Aubrey de Selincourt). Harmondsworth: Penguin Books., hlm. 379.

Page 60: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

56

Lade pada tahun 495 SM. Akan tetapi pemberontakan Miletus dapat ditumpas oleh Darius I. Meskipun telah berhasil menghancurkan Miletus, tetapi Darius I belum merasa puas. Ia ingin memberikan balasan terhadap Athena yang telah berani membantu kaum pemberontak. Darius berkeyakinan bahwa suatu saat nanti Yunani akan kembali membantu saudara-saudara mereka di Asia Kecil untuk melepaskan diri dari kekuasaan Persia. Episode Pertama (490 SM)

Pada tahun 490 SM pasukan Persia di bawah pimpinan Datis dan Artaphernes berangkat dari Pulau Samos berlayar menyusuri Laut Aegea dan mendarat di Pulau Delos. Setelah merampas dan menghancurkan beberapa pulau, pasukan Persia bergerak menuju ke pantai Euboea dengan tujuan menduduki kota Eritrea. Setelah berhasil menaklukkan kota dagang Eritrea, pasukan Persia bermaksud menyeberangi ke Attica dengan tujuan utama Athena.

Atas nasehat Hippias, tiran Yunani yang menjadi penasehat Darius I, pasukan Persia bermalam di Marathon, sebuah tempat yang jaraknya sekitar 35 kilometer dari Athena. Marathon dijadikan basis serangan pasukan Persia ke Athena karena letaknya yang dekat dengan Athena sehingga mempermudah komunikasi. Di samping itu di Marathon pasukan Persia juga dapat mengerahkan pasukan kavallerinya, karena daerah ini merupakan dataran rendah.

Mendengar pendaratan pasukan Persia di Marathon, Athena berusaha mencari bantuan ke polis-polis Yunani lainnya. Athena mengirimkan Phedipiades ke Sparta guna meminta bantuan pasukan untuk menghadapi pasukan Persia. Namun Sparta tidak bersedia berperang sebelum bulan purnama, karena menurut kepercayaan mereka pertempuran sebelum bulan purnama akan mendatangkan kekalahan.15

Tidak pernah terjadi dalam sejarah kita, Athena dalam keadaan bahaya seperti sekarang ini. Seandainya kita dikuasai oleh Persia, maka Hippias akan memulihkan kekuasaannya, dan ada sedikit keraguan apakah kesengsaraan akan terjadi. Namun apabila berperang dan menang, kota kita ini akan menjadi terkenal diantara kota-kota di Yunani.

Setelah melakukan persiapan

selama 7 hari pasukan Athena di bawah pimpinan Callimachus dan Miltiades bergerak ke Marathon. Miltiades menyatakan:

16

Pidato Miltiades tersebut berhasil membakar semangat pasukan Yunani sehingga meskipun kalah dalam jumlah pasukan, mereka dapat memukul pasukan Persia ke bibir pantai Euboea dan mengalahkan mereka. Dalam pertempuran tersebut sebanyak 6400 orang pasukan Persia tewas, sedangkan Yunani kehilangan 192 orang

15 Ibid., hlm. 425. 16 Ibid., hlm. 428.

Page 61: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

57

prajuritnya. Akhirnya pasukan Persia mengundurkan diri dari Marathon melalui jalan laut. Pasukan Persia terus bergerak mundur melalui tanjung Sunium dan kembali ke Asia Barat.17

Kita, bangsa Persia mempunyai sebuah jalan hidup yang diwarisi dari para leluhur untuk diikuti. ... Ini merupakan bimbingan Tuhan dan apabila diikuti kita akan mendapat kemakmuran yang besar. ... Saya akan menyeberangi Hellespont dan

Sementara itu pasukan dari Sparta

yang datang beberapa hari setelah pertempuran hanya dapat menyaksi-kan Marathon yang sudah kosong. Kemenangan Athena atas Persia menaikkan prestise dan wibawa Athena di mata polis-polis Yunani yang lain. Miltiades disanjung oleh hampir seluruh polis Yunani karena kecakapan dan kecerdasannya dalam memimpin pasukan Athena. Episode Kedua (480 SM)

Sepeninggal Darius, kekaisaran Persia diambilalih oleh puteranya, Xerxes. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan di Mesir, rasa percaya diri Xerxes sedemikian tingginya. Sebagai orang Persia yang mempunyai agama dan jalan hidup yang diwarisi dari para leluhurnya, Xerxes sangat tersinggung dengan kekalahan bangsa Persia atas Athena di Marathon.

17 Wheeler, Kevin. (2001). “The Persian

Wars” tersedia dalam www.geocities.com/ caesarkevin/battle/greekbattle didownload pada tanggal 20 Juni 2007. Pertempuran tersebut terjadi pada tanggal 10 September 490 SM.

berjalan melalui Eropa ke Yunani, dan menghukum Athena atas penghinaan yang mereka lakukan kepada ayahku dan kepada kita.18

Persiapan untuk melakukan serangan kembali ke Yunani telah dilakukan sejak tahun 483 SM. Xerxes memerintahkan kepada seluruh satraps (provinsi) untuk mengirimkan tentaranya guna berperang melawan Yunani. Pada tahun 481 SM pasukan Persia berkumpul di Sardis, ibukota Lydia, yang dijadikan pangkalan militer oleh Persia. Pasukan Persia kali ini dipimpin oleh Mardonius, Achaemenes, Masistes, dan Artemesia.

19

Angkatan darat Persia bergerak ke arah barat daya berusaha menye-berangi Laut Marmora dengan membangun jembatan darurat. Diper-lukan kira-kira 300 buah kapal untuk membangun jembatan penyeberangan ini.

20

Gerakan pasukan Persia yang sangat cepat tersebut membuat polis-polis di Yunani merasa cemas. Mereka kemudian mengadakan musyawarah di Corinthia yang memutuskan untuk menghadang pasukan Persia di Thermophylae. Pasukan Yunani, yang dipimpin oleh Leonidas, raja Sparta,

Selama 7 hari penuh seluruh pasukan Persia berhasil diseberangkan melalui jembatan tersebut.

18 Herodotus, Op. cit., hlm. 444. 19 Ibid., 466-470. 20 Wheeler,. Op. cit.

Page 62: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

58

menghadang pasukan Persia di Thermophylae pada tahun 480 SM.21

Pada saat angkatan darat Persia memasuki Attica dan Athena, angkatan lautnya bergerak memasuki perairan Artemisium. Sebenarnya angkatan laut Yunani di bawah pimpinan Eurybiades telah siaga di Artemisium untuk mencegatnya. Serangan pertama

Pada awalnya pasukan Yunani mendapat tempat yang strategis sehingga lebih menguasai medan pertempuran. Akan tetapi secara tiba-tiba pasukan Persia berhasil menusuk pertahanan pasukan Yunani dengan cara mendaki jalan sempit di pegunungan. Ephialtes, seorang Yunani yang memberitahukan adanya jalan tersebut kepada Xerxes. Dengan gerakan tersebut maka pasukan Yunani menjadi terkepung. Dalam pertempuran tersebut raja Leonidas dan sebagian besar pasukan Yunani terbunuh. Kemenangan ini membuka jalan ke Athena yang jaraknya tinggal 85 mil atau kurang dari 2 hari bila ditempuh dengan perjalanan darat.

Setelah jatuhnya Thermophylae, angkatan darat Persia bergerak memasuki Boeotia dan Attica. Athena berhasil diduduki tanpa perlawanan yang berarti. Sesuai dengan sumpahnya, maka Xerxes meme-rintahkan pasukannya untuk meng-hancurkan dan membakar kota tersebut. Penduduk Athena berusaha menyelamatkan diri ke Peloponnesos, sedangkan sebagian penduduk lainnya berlindung Acropolis.

21 Ibid., pertempuran di Thermophylae

menurut perhitungan kalender Yulian terjadi pada tanggal 17-19 September 480 SM.

angkatan laut Yunani terhadap angkatan laut Persia dilancarkan pada tahun 480 SM.22

Pertempuran di Salamis pada tahun 480 SM. merupakan titik balik (turning

Pertempuran antara angkatan laut

Persia menghadapi angkatan laut Yunani di Artemisium berlangsung selama tiga hari. Dengan taktiknya yang cukup jitu, angkatan laut Yunani dapat memancing sebagian besar kapal-kapal Persia untuk bergerak ke Teluk Salamis. Titik Balik Kemenangan Yunani Salamis merupakan sebuah pulau kecil yang terletak di Teluk Saronic. Letak Pulau Salamis tidak menguntungkan dalam strategi militer, karena diapit oleh Semenanjung Attica, Semenanjung Peloponnesos, Pegunungan Aegaleos, dan Pulau Aegina di sebelah selatan. Angkatan laut Persia yang tidak memahami wilayah perairan di Yunani, berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Mereka terjebak di perairan yang sempit di Pulau Salamis dengan Pegunungan Aegaleos di belakang mereka. Hal ini menyebabkan angkatan laut Persia tidak dapat mengerahkan kekuatannya secara maksimal. Sementara itu angkatan laut Yunani berada di dalam posisi yang menguntungkan. Mereka berada di wilayah perairan yang luas sehingga dapat mengerahkan kekuatannya secara maksimal serta mengembang-kan taktik perangnya.

22 Ibid., berdasarkan perhitungan kalender

Yulian peristiwa tersebut kemungkinan besar terjadi tanggal 17 -20 September 480 SM.

Page 63: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

59

point) yang amat menentukan.23

Xerxes yang menyaksikan pertempuran tersebut dari Pegu-nungan Aegaleos memutuskan untuk menerobos formasi kapal-kapal Yunani dan langsung mundur. Keputusan ini diambil untuk menghindari kerugian

Bagi bangsa Yunani, pertempuran di Salamis merupakan awal kebangkitannya sehingga mereka dapat meraih kemenangan dalam pertempuran-pertempuran berikut-nya. Sementara itu bagi bangsa Persia pertempuran ini merupakan awal dari kekalahannya, sehingga memaksa Xerxes untuk segera meninggalkan Yunani. Kekuatan pasukan Yunani yang berjumlah 380 kapal perang ber-hadapan dengan 800 kapal perang Persia.

Dalam pertempuran di Salamis ini angkatan laut Persia mengalami kekalahan karena kesalahan taktik dan strategi. Mereka berada di perairan yang sempit sehingga tidak dapat membentuk formasi serangan sesuai dengan taktik perang yang direncanakan. Di samping itu mereka juga mendapat serangan dari darat oleh angkatan darat Yunani dibawah pimpinan Aristides yang berhasil didaratkan di Psyttaleia, Hal ini menyebabkan pasukan Persia berada dalam keadaan yang sangat kritis karena harus menghadapi pasukan darat dan laut dalam waktu yang bersamaan. Posisi mereka terjepit sehingga banyak prajurit Persia menjadi korban.

23 Ibid., pertempuran di Salamis terjadi

selama tiga hari yaitu mulai tanggal 29 September sampai tanggal 2 Oktober 480 SM.

lebih besar yang akan dialami pasukannya. Xerxes memulai gerakan mundurnya pada malam hari dengan rute yang sama pada waktu mereka berangkat ke Yunani. Setelah melalui perjalanan yang berat selama 48 hari, akhirnya Xerxes sampai di Hellespon.24

Menurut Huttington, pasca runtuhnya komunisme, persoalan pokok yang menjadi sebab meletusnya konflik bukan lagi persoalan ideologi, politik maupun persoalan ekonomi, tetapi peradaban. Budaya, bahasa, agama atau kepercayaan serta pengalaman historis merupakan elemen-elemen penting yang men-dasari dan membentuk sebuah peradaban. Sebuah peradaban adalah bentuk budaya yang paling tinggi dari suatu kelompok masyarakat dan tataran

Kemenangan bangsa Yunani dalam

pertempuran di Salamis menum-buhkan moral dan semangat juang mereka. Setelah berhasil memukul mundur angkatan laut Persia di Salamis, pasukan Yunani menghimpun kekuatan untuk menghancurkan angkatan darat Persia yang masih bertahan di Attica. Melalui beberapa pertempuran antara lain di Plataea, Mycale dan lain-lain, pasukan Yunani dapat mengalahkan pasukan Persia. Kemenangan ini dianggap sebagai kemenangan peradaban Barat yang memiliki karakteristik kebebasan dan demokrasi atas peradaban Timur dengan karakteristik despotisme. Simpulan

24 Ibid., diperkirakan Xerxes sampai di

Hellespon pada tanggal 15 November 480 SM.

Page 64: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

60

yang paling luas dari identitas budaya kelompok masyarakat manusia yang dibedakan secara nyata dari makhluk-makhluk lainnya.

Menurut ahli sosiologi konflik baik yang terjadi melalui peperangan maupun perundingan dapat menyebabkan timbulnya kelompok baru dan mengembangkan identitas strukturalnya. Namun ketika konflik mengemuka dengan out-groups, maka hal ini dapat menyebabkan kuatnya identitas diri para anggota kelompoknya. Perang Yunani-Persia merupakan representasi dari persaingan antara dua bangsa yang memiliki perbedaan peradaban dan kebudayaan. Masing-masing kelompok sangat yakin dengan kebenaran dan kekuatan pranata-pranata sosialnya. Hal inilah yang sebenarnya patut untuk dicatat sebagai perang antarperadaban.

Peperangan itu sendiri berlangsung dalam dua episode yaitu pertama terjadi pada tahun 490 SM. dan kedua terjadi sepuluh tahun kemudian. Dalam dua episode peperangan tersebut, bangsa Yunani berhasil mengalahkan bangsa Persia. Herodotus dengan lengkap dan detail mencatat kisah peperangan tersebut dalam karyanya ”The Historie” khususnya mulai bagian 7 sampai bagian 9.

Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah dengan kemenangan tersebut berarti bangsa Yunani memiliki tingkat peradaban yang lebih tinggi dibandingkan dengan Persia. Pertanyaan ini menjadi sangat menarik apabila dikaitkan dengan apa

yang dilakukan oleh Alexander the Great kira-kira seabad sesudahnya. Daftar Pustaka Buku Bambang Purwanto. (2006). Gagalnya

Historiografi Indonesiasentris. Yogyakarta: Ombak.

Easton, Stewart C. (1955). The Heritage

of the Past: From the Earliest Times to the Close of the Middle Ages. New York: Holt Rineheart and Winston.

Farmer, Paul. (1951), The European

World: A Historical Introduction, New York:: Alfred A Knopf.

Gootschalk, Louis. (1986). Mengerti

Sejarah. Jakarta: UI Press. Herodotus. (1977). The Historie

(translated by Audbrey de Selincourt), Harmondsworth: Penguin Books.

Huttington, Samuel P. (2005). Benturan

Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia (terj. M. Sadat Ismail), Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Kuntowijoyo, (2005), Peran Borjuasi

Dalam Transformasi Eropa, Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Kuntowijoyo. (2003). Metodologi

Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kuntowijoyo. (2008). Penjelasan

Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Page 65: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010

61

Poloma, Margaret M,. (2004). Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo.

Romein, JM., (1956). Aera Eropa:

Peradaban Eropa sebagai Penyimpangan Pola Umum, Jakarta: CV Ganaco.

Sugihardjo Soemobroto, & Budiawan.

(1989). Sejarah Peradaban Barat Klasik: Dari Prasejarah Hingga Runtuhnya Romawi. Yogyakarta: Liberty.

Thucydides, (1957). The History of The

Peloponesian War, London: J.M. Dent & Sons Ltd.

Toynbee, AJ. (1963). Greek Civilization

and Character. New York: Mentor Book.

Toynbee, AJ. (2004), Sejarah Umat

Manusia: Uraian Analitis, Kronologis, Naratif dan Komparatif. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Terbitan dan Internet

Herodotus. (1942). “The Persian Wars” (translated by George Rawlinson) tersedia dalam gopher://gopher.vt.edu:10010/10/33 didownload pada tanggal 10 April 2008.

Huntington, Samuel P. (1993) “The Clash of Civilizations And the Remaking of World Order” tersedia dalam

http://www.washingtonpost.com/wpsrv/style/longterm/books/chap1/clashofcivilizations.htm didownload pada tanggal 20 Juni 2008.

Katimin (2007). “Menuju Tata Dunia

Baru: Hubungan Barat Islam (Perspektif Historis-Politis)”, Analytica Islamica, Vol. 9, No. 1, 2007. hlm. 162-168.

Wheeler, Kevin. (2001). “The Persian

Wars” tersedia dalam www.geocities.com/ caesarkevin/battle/greekbattle didownload pada tanggal 20 Juni 2007.

Page 66: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

62

DIMENSI-DIMENSI KUALITAS

PROSES PEMBELAJARAN SEJARAH

Oleh: Aman1

1 Pengajar pada Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan

Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.

Abstrak

Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran, aktivitas dan kreativitas guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar akan berkualitas apabila didukung oleh guru yang professional memiliki kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial sesuai dengan tuntutan yang tertuang di dalam UU Guru dan Dosen Pasal 10. Di samping itu, kualitas proses pembelajaran juga dapat maksimal jika didukung oleh siswa yang berkualitas (cerdas, memiliki motivasi belajar yang tinggi dan sikap positif dalam belajar), dan didukung sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai. Guru yang profesional akan memungkinkan memiliki kinerja yang baik, begitu pula dengan siswa yang berkualitas memungkinan siswa memiliki perilaku yang positif dalam kegiatan belajar mengajar. Interaksi belajar mengajar antara guru dan siswa yang positif akan mewujudkan budaya kelas yang positif dan impresif atau suasana pembelajaran (classroom climate) yang mendukung untuk proses belajar siswa. Kata Kunci: Kualitas pembelajaran, Pembelajaran, Sejarah Abstract An accomplishment of learning implementation depends on learning quality. Learning quality depends on availability of learning facility, student activities, and teacher’s creativities. If support by professional teachers, learning activity will be qualified. Professional teachers which have competencies such as competency of pedagogy, personality, and social appropriate with UU Guru dan Dosen. Despite learning facilities and professional teachers, qualified students have major part for learning qualities. A positive interaction between students and teachers could be flower classroom climate that support learning process. Keyword: learning quality, learning, history.

Page 67: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

63

Pendahuluan Konsep pembelajaran, sering juga

disebut dengan ”instruction” yang terdiri dari dua kata yakni kegiatan belajar dan mengajar. Dalam konsepsi umum, belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada yang berlangsung pada diri seseorang.

Belajar merupakan perubahan yang terjadi pada diri seseorang sebagai hasil pengalaman. Peru-bahan sebagai hasil kegiatan pembelajaran dapat mencakup perubahan pengetahuannya, kecaka-pan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan dan lain sebagainya.

Demikian pula dengan mengajar yang pada dasarnya merupakan suatu proses, yang meliputi proses mengatur dan mengorganisir lingkungan belajar siswa yang tujuannya adalah menumbuhkan dan memotivasi siswa untuk belajar.

Mengajar merupakan suatu proses mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam kegiatan belajar mengajar terdapat dua kegiatan yang terjadi dalam satu kesatuan waktu dengan pelaku yang berbeda, yakni siswa belajar dan guru yang mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.

Oleh karena itu dalam kegiatan belajar mengajar terjadi hubungan dua arah antara guru dengan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Dengan demikian, eksistensi guru dan siswa yang saling mendukung dalam kegiatan pembelajaran merupakan suatu faktor yang harus ada dalam proses pembelajaran.

Mengajar merupakan suatu aktivitas profesional yang memerlukan keterampilan tingkat tinggi dan mencakup hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan-keputusan. Pengajar dituntut untuk mampu mengelola kegiatan pembelajaran, yakni dalam hal: merencanakan, mengatur, mengarahkan, dan mengevaluasi.

Keberhasilan kegiatan pembe-lajaran sangat tergantung pada kompetensi guru dalam meren-canakan, yang mencakup antara lain menentukan tujuan belajar peserta didik, bagaimana caranya agar peserta didik mencapai tujuan tersebut, sarana apa yang diperlukan, dan lain sebagainya.

Dalam hal mengatur, yang dilakukan pada waktu implementasi apa yang telah direncanakan dan mencakup pengetahuan tentang bentuk dan macam kegiatan yang harus dilaksanakan, bagaimana semua komponen dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan.

Pengajar bertugas untuk meng-arahkan, memberikan motivasi, dan memberikan inspirasi kepada peserta didik untuk belajar. Memang benar tanpa pengarahan pun masih dapat juga terjadi proses belajar, tetapi dengan adanya pengarahan yang baik dari pengajar maka proses belajar

Page 68: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

64

dapat berjalan dengan lancar. Sedangkan dalam hal mengevaluasi, termasuk penilaian akhir, hal ini dimaksudkan apakah perencanaan, pengaturan, dan pengarahannya dapat berjalan dengan baik atau masih perlu diperbaiki.

Dalam proses belajar mengajar, pengajar perlu mengadakan keputusan-keputusan, misalnya metode apakah yang perlu dipakai untuk mengajar mata pelajaran tertentu, alat dan media apakah yang diperlukan untuk membantu peserta didik membuat suatu catatan, melakukan praktikum, menyusun makalah diskusi, atau cukup hanya dengan mendengar ceramah pengajar saja. Dalam proses belajar mengajar pengajar selalu dihadapkan pada bagaimana melakukannya, dan mengapa hal tersebut perlu dilakukan. Begitu juga dalam hal evaluasi atau penilaian dihadapkan pada bagaimana sistem penilaian yang digunakan, bagaimana kriterianya, dan bagaimana pula kondisi peserta didik sebagai subjek belajar yang memerlukan nilai itu.

Paradigma Baru Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran sejarah sebagai sarana pendidikan bangsa, terutama dalam aplikasi sejarah normatif, Djoko Suryo (2005: 3) merumuskan beberapa indikator terkait dengan pembelajaran sejarah tersebut yaitu: (1) pembelajaran sejarah memiliki tujuan, substansi, dan sasaran pada segi-segi yang bersifat normatif; (2) nilai dan makna sejarah diarahkan

pada kepentingan tujuan pendidikan daripada akademik atau ilmiah murni; (3) aplikasi pembelajaran sejarah bersifat pragmatik, sehingga dimensi dan substansi dipilih dan disesuaikan dengan tujuan, makna, dan nilai pendidikan yang hendak dicapai yakni sesuai dengan tujuan pendidikan; (4) pembelajaran sejarah secara normatif harus relevan dengan rumusan tujuan pendidikan nasional; (5) pembelajaran sejarah harus memuat unsur pokok: instruction, intellectual training, dan pembelajaran moral bangsa dan civil society yang demokratis dan bertanggung jawab pada masa depan bangsa; (6) pembelajaran sejarah tidak hanya menyajikan pengetahuan fakta pengalaman kolektif dari masa lampau, tetapi harus memberikan latihan berpikir kritis dalam memetik makna dan nilai dari peristiwa sejarah yang dipelajarinya; (7) interpretasi sejarah merupakan latihan berpikir secara intelektual kepada para peserta didik (learning process dan reasoning) dalam pembelajaran sejarah; (8) pembelajaran sejarah berorientasi pada humanistic dan verstehn (understanding), meaning, historical consciousness bukan sekedar pengetahuan kognitif dari pengetahuan (knowledge) dari bahan sejarah; (9) nilai dan makna peristiwa kemanusiaan sebagai nilai-nilai universal di samping nilai particular; (10) virtue, religiusitas, dan keluhuran kemanusiaan universal, dan nilai-nilai patriotisme, nasionalisme, dan kewarganegaraan,

Page 69: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

65

serta nilai-nilai demokratis yang berwawasan nasional, penting dalam penyajian pembelajaran sejarah; (11) pembelajaran sejarah tidak saja mendasari pembentukan kecerdasan atau intelektuilitas, tetapi pembentukan martabat manusia yang tinggi; dan (12) relevansi pembelajaran sejarah dengan orientasi pembangunan nasional berwawasan kemanusiaan dan kebudayaan.

Djemari Mardapi (2003 b: 8) mengatakan bahwa keberhasilan program pembelajaran selalu dilihat dari hasil belajar yang dicapai. Evaluasi pembelajaran memerlukan data tentang pelaksanaan pembe-lajaran dan tingkat keterca-paian tujuannya. Hal ini tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi, tetapi juga di pendidikan dasar dan menengah.

Evaluasi pembelajaran seringkali hanya didasarkan pada penilaian aspek hasil belajar, sementara implementasi program pembelajaran di kelas atau kualitas pembelajaran yang berlangsung maupun input program pembelajaran jarang tersentuh kegiatan penilaian.

Penilaian terhadap hasil belajar selama ini pada umumnya juga terbatas pada output, sedangkan outcome jarang tersentuh kegiatan penilaian. Penilaian hasil belajar masih terbatas pada output pembelajaran, belum menjangkau outcome dari program pembelajaran. Output pembelajaran yang dinilai juga masih terfokus pada aspek kognitif,

sedangkan aspek afektif kurang mendapat perhatian. Demikian pula dengan pembelajaran sejarah selama ini yang hanya terfokus pada hard skill atau academic skill, kurang memperhatikan penilaian afektif yakni tentang nasionalisme, kepribadian, kesadaran sejarah, dan kepribadian sebagai hasil belajar sejarah. Dampaknya, pembelajaran sejarah menjadi kering kurang menyentuh aspek yang substantif. Kualitas Pembelajaran Sejarah

Dengan demikian, seluruh pendukung kegiatan belajar mengajar harus tersedia karena akan mendukung proses sebagaimana dikatakan Cox (2006: 8) bahwa: ”the quality of an instructional program is comparised of three elements, materials (and equipment), activities, and people”. Secara garis besar, terdapat dua variabel yang dapat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa, yakni ketersediaan dan dukungan input serta kualitas pembelajaran. Input terdiri dari siswa, guru, dan sarana serta prasarana pembelajaran.

Kualitas pembelajaran adalah ukuran yang menunjukkan seberapa tinggi kualitas interaksi guru dengan siswa dalam proses pembelajaran dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. Kegiatan belajar mengajar tersebut dilaksanakan dalam suasana tertentu dengan dukungan sarana dan prasarana pembelajaran tertentu tertentu pula. Oleh karena itu, keberhasilan proses pembelajaran

Page 70: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

66

sangat tergantung pada: guru, siswa, sarana pembelajaran, lingkungan kelas, dan budaya kelas. Semua indikator tersebut harus saling mendukung dalam sebuah sistem kegiatan pembelajaran yang berkualitas.

Untuk mengetahui tingkat kualitas pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar, maka perlu diketahui dan dirumuskan indikator-indikator kualitas pembelajaran. Morrison, Mokashi & Cotter (2006: 4-21) dalam risetnya telah merumuskan 44 indikator kualitas pembelajaran yang reduksi kedalam 10 indikator. Kesepuluh indikator kualitas pembelajaran tersebut meliputi: 1) Rich and stimulating physical environment; 2) Classroom climate condusive to learning; 3) Clear and high expectation for all student; 4) Coherent, focused instruction; 5) Thoughtful discourse; 6) Authentic learning; 7) Regular diagnostic assessment for learning; 8) Reading and writing as essential activities; 9) Mathematical reasoning; 10) Effective use of technology.

Kualitas pembelajaran berda-sarkan pendapat di atas dikatakan baik apabila: 1) lingkungan fisik mampu menumbuhkan semangat siswa untuk belajar; 2) suasana pembelajaran kondusif untuk belajar; 3) guru menyampaikan pelajaran dengan jelas dan semua siswa mempunyai keinginan untuk berhasil; 4) guru menyampaikan pelajaran secara sistematis dan terfokus; 5) guru menyajikan materi dengan

bijaksana; 6) pembelajaran bersifat riil (autentik dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan siswa); 7) ada penilaian diagnostik yang dilakukan secara periodik ; 8) membaca dan menulis sebagai kegiatan yang esensial dalam pembelajaran; 9) menggunakan pertimbangan yang rasional dalam memecahkan masalah; 10) menggunakan teknologi pembelajaran, baik untuk mengajar maupun kegiatan belajar siswa.

Pertimbangan kedua adalah bahwa kesepuluh indikator tersebut di atas kurang memperhatikan indikator siswa, dan lebih terfokus pada indikator guru dan lingkungan fisik. Padahal, keberhasilan kegiatan pembelajaran tidak hanya dipengaruhi oleh guru dan lingkungan fisik saja, melainkan juga faktor siswa yang lebih mendukung, dengan demikian dalam penelitian pengembangan ini perlu dimasukkan dua unsur baru dari sisi siswa, yakni mengenai sikap siswa terhadap pelajaran sejarah dan motivasi belajar siswa. Selanjutnya indikator-indikator yang telah dimodifikasi tersebut dapat dikaji lebih jelas lagi sebagai berikut. Kinerja Guru Sejarah

Faktor guru merupakan salah satu komponen input yang berpengaruh terhadap pencapaian kualitas pembelajaran. Proses pembelajaran akan menunjukkan kualitas tinggi apabila didukung oleh segala kesiapan input termasuk kinerja guru yang maksimal dalam kegiatan belajar

Page 71: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

67

mengajar. Faktor guru adalah faktor yang sangat mempengaruhi terutama dilihat dari kemampuan guru mengajar serta kelayakan guru itu sendiri. Data Pusat Statistik Pendidikan Balitbang Depdiknas 2000/2001 menunjukkan bahwa persentase guru yang layak mengajar terhadap jumlah guru yang ada secara nasional adalah 63.79%. Artinya masih terdapat sekitar 36.21% guru SMA yang tidak layak mengajar baik dilihat dari kompetensi maupun kualifikasi pendidikannya. Perhatian yang belum sungguh-sungguh terhadap sumber daya pendidikan khususnya guru-guru baik dalam hal peningkatan mutu, kesejahteraan, dan kedudukan sosialnya, proses pendidikan dan perkembangan masyarakat akan lebih memperlebar kesenjangan kualitas guru-guru itu sendiri.

Dalam pembelajaran sejarah, Wiriaatmadja (1992: 66) menyatakan bahwa variabel guru merupakan faktor yang penting bagi keberhasilan pembelajaran sejarah. Guru sejarah yang tidak memiliki kinerja baik seperti tidak mampu mengaktifkan siswanya menyebabkan pembelajaran sejarah kurang berhasil untuk penghayatan nilai-nilai secara mendalam.

Hal serupa disampaikan oleh Taufik Abdulah dalam Supardan (2001: 67), bahwa pada umumnya guru sejarah belum menunjukkan kinerja yang baik, terbukti dengan masih banyaknya guru sejarah SMA yang dalam proses pembelajarannya

masih suka menyampaikan ”tumpukan” informasi tentang nama-nama tokoh, tanggal suatu peristiwa, dan isi perjanjian sebanyak mungkin, bukan bagaimana semua itu diartikan bagi peserta didiknya.

Tentunya dalam konsepsi ini sebenarnya kualitas pembelajaran sejarah sebagaimana disampaikan oleh Helius Sjamsuddin (2005: 33) salah satunya harus didukung oleh kinerja guru yang menuntut banyak pikiran, tenaga, dan waktu bagi guru untuk persiapan, pelaksanaan, dan sampai kepada evaluasinya.

Mengacu pada beberapa konsepsi di atas, maka dapat dikemukakan bahwa kinerja guru adalah faktor penting dalam mewujudkan kualitas pembelajaran. Ini berarti bahwa jika guru memiliki kinerja yang baik, maka akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran, begitu juga sebaliknya. Konsekuensinya adalah, ketika kualitas pembelajaran meningkat, maka hasil belajar siswa juga akan meningkat.

Guru yang memiliki kinerja yang baik, akan mampu menyampaikan pelajaran dengan baik dan bermakna, mampu mampu memotivasi peserta didik, terampil dalam memanfaatkan media, mampu membimbing dan mengarahkan siswa dalam pembelajaran sehingga siswa akan memiliki semangat dalam belajar, senang dalam proses pembelajaran, dan merasa mudah memahami materi pelajaran yang sampaikan oleh guru.

Page 72: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

68

Materi Pelajaran Sejarah Kajian materi pembelajaran

sejarah menurut Djoko Suryo (2005: 2), sebaiknya bertolak pada beberapa wilayah kajian yaitu: 1) sejarah pemikiran dan filsafat keagamaan sebagai sumber eksplanasi tentang perubahan dan kelangsungan kehidupan makhluk; 2) sejarah peradaban dan kebudayaan sebagai sumber pemahaman nilai dan makna kelangsungan dan perubahan hidup manusia dalam berdialog dengan lingkungan alam sekitar dan zamannya; 3) sejarah nasional dan sejarah lokal atau sejarah Indonesia makro dan mikro merupakan landasan penting bagi proses revitalisasi dan rekonstruksi masyarakat bangsa dan negara bangsa masa kini dan masa depan; 4) sejarah sosial, atau sejarah masyarakat atau sejarah dari bawah (history from bellow) yang berpusat pada golongan tertentu, organisasi kemasyarakatan, dan orang kecil akan melengkapi gambaran dinamika dan proses perkembangan masyarakat Indonesia secara luas dan lengkap serta kontinu; 5) sejarah konstitusional Indonesia memberikan landasan pemahaman tentang demokrasi dan pembentukan masyarakat madani (civil society).

Sedangkan dalam menyusun kurikulum sejarah atau standar isi yang sesuai dengan perubahan zaman, maka legalitas pendidikan sejarah dalam kurikulum pendidikan nasional harus menekankan aspek-aspek penting materi pelajaran

sejarah, di mana kurikulum harus menekankan: pentingnya pembel-ajaran sejarah sebagai sarana pendidikan bangsa; sebagai sarana pembangunan bangsa secara mendasar; menanamkan national consciousness dan Indonesianhood sebagai sarana menanamkan semangat nasionalisme; perspektif sejarah the past-present-future sebagai sarana menanamkan semangat nasionalisme; historical consciousness pada masa revolusi kemerdekaan, membentuk semangat nasionalisme dan solidaritas rakyat dalam mempertahankan negara RI; pengalaman sejarah bangsa sebagai pengetahuan penting dalam penyelenggaraan pendidikan bangsa; perlunya pengakuan pemerintah akan pentingnya pendidikan sejarah sebagai sarana untuk membentuk jati diri dan integritas bangsa; dan rumusan sejarah sebagai mata pelajaran yang menanamkan pengatahuan dan nilai-nilai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga masa kini (Djoko Suryo, 2005: 2).

Oleh karena itu, pembelajaran sejarah harus mampu mendorong siswa berpikir kritis-analisis dalam memanfaatkan pengetahuan tentang masa lampau untuk memahami kehidupan masa kini dan yang akan datang; mengembangkan kemampuan intelektual dan keterampilan untuk memahami proses perubahan dan keberlanjutan; dan berfungsi sebagai sarana untuk menanamkan kesadaran

Page 73: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

69

akan adanya perubahan dalam kehidupan masyarakat melalui dimensi waktu (Djoko Suryo, 2005: 3).

Pemilihan materi dan pengembangan tujuan pembelajaran sejarah tidak dapat hanya dipandang sebagai rutinitas. Di samping memerlukan pemahaman mengenai hakikat belajar sejarah dan wawasan mengenai nilai edukatif sejarah dalam kaitan dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, juga memerlukan kesungguhan dan ketekunan untuk melaksanakannya. Masalah ini menjadi semakin penting apabila seorang pengajar sejarah hendak mengembangkan atau melaksanakan strategi atau pendekatan baru dalam pembelajarannya, seperti halnya pendekatan garis besar kronologis dengan pendekatan tematis (Taufik Abdulah, 1996: 10).

Penetapan tujuan pembelajaran dan pemilihan materi pelajaran tidak akan membuahkan hasil secara optimal jika tidak dibarengi dengan pemilihan strategi dan metode mengajar yang tepat. Dalam pada itu, faktor lain yang perlu mendapat perhatian dalam memilih strategi dan metode mengajar adalah ada atau tidaknya sarana fungsional untuk mengetrapkan strategi dan metode tersebut. Metode diskusi mungkin tidak lebih baik dari metode ceramah, apabila jumlah peserta didiknya besar dan belum memiliki fondasi pengetahuan yang memadai mengenai materi yang akan

disampaikan. Oleh sebab itulah pembelajaran sejarah dimana aspek kognitif yang selalu menuntut fakta keras, dan dimensi moral yang memerlukan imajinasi teleologis, perlu diintegrasikan secara kohern-integratif, tanpa mengabaikan kaidah keilmuannya (Syafii Maarif, 1995: 1).

Metode Pembelajaran Sejarah

Metode menurut Winarno Surakhmad (Wiryawan, 2001: 15), merupakan cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini berlaku bagi guru (metode mengajar) dan bagi siswa (metode belajar). Makin baik metode yang digunakan, maka semakin efektif pula pencapaian tujuan pembelajaran. Tetapi kadang-kadang metode dibedakan dengan teknik, dimana metode bersifat prosedural, sedangkan teknik barsifat implementatif. Baik metode maupun teknik pembelajaran, merupakan bagian dari strategi pembelajaran. Gerlach and Ely (1980: 186) dalam pemilihan metode pembelajaran, harus mempertimbangkan kriteria-kriteria yakni efisiensi, efektivitas, dan kriteria lain seperti tingkat keterlibatan siswa.

Temuan National Assessment of Educational Progress pada 1987, Diane Ravitch dan Chester Finn (Wilson, 2001: 231) menggambarkan kelas sejarah khas sebagai tempat murid menyimak pelajaran yang diberikan guru, menggunakan buku teks, dan mengerjakan ujian, kadang-kadang mereka disuguhi film, kadang-

Page 74: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

70

kadang mereka juga menghapal pelajaran atau membaca kisah tentang kejadian atau orang. Jarang mereka belajar bersama dengan murid kelas lain, menggunakan dokumen asli, menulis karangan, atau membahas makna dari apa yang mereka pelajari. Hal itu mengindikasikan bahwa pembelajaran sejarah sebaiknya dibangun oleh banyak kekuatan atau variasi matode pembelajaran sehingga fakta sejarah dapat dijelaskan dan maknanya dapat ditemukan.

Dalam pembelajaran sejarah, pendekatan konstruktivisme memungkinkan peserta didik melakukan dialog kritis dengan subjek pembelajar, menggali informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber untuk melakukan klasifikasi dan prediksi serta menganalisis masalah-masalah sejarah termasuk masalah sosial yang kontroversial yang dihadapinya (Nana Supriatna, 2007: 93-94). Melalui pendekatan konstruktivistik, pengalaman masa lalu masyarakat bangsa dapat dianalisis dan ditarik hubungannya dengan masalah kontemporer. Para peserta didik dapat memanfaatkan pengalaman belajar sebelumnya untuk mengkonstruksi pengetahuan baru, mengujicoba dan mengubahnya, serta menarik hubungan antara pengalaman masa lalu dengan kenyataan sosial sehari-hari. Cara berpikir konstruktivistik sehari-hari yang dikembangkan oleh Denzin dan

Lincoln (1994: 312) dapat dirujuk dalam mengkonstruksi pengetahuan siswa:

“In a fairly unremarkable sense, we all constructivits if we believe that the mind is active in the construction of knowledge. Most of us would agree that knowing is not passive a simple imprinting of sense data on the mind but active; mind does something with these impressions, at the very least form abstractions or concepts. In this sense, constructivism means that human being do not find or discover knowledge so much as construct or make it. We invent concepts, models, and schemes to make sense of experience and, further, we continually test and modify these constructions in the light of new experience”.

Dalam pada itu, metode

pembelajaran merupakan bagian integral dari strategi pembelajaran yang merupakan langkah-langkah taktis yang perlu diambil oleh pengajar sejarah dalam menunjang strategi yang hendak dikembangkan. Dengan sendirinya perlu pula disadari bahwa seperti halnya dalam hubungan strategi mengajar, sasaran akhir dari pelaksanaan metode mengajar tidak lain dari apa yang tercantum dalam perencanaan suatu pembelajaran (course planing).

Sarana Pembelajaran Sejarah

Di samping faktor kemampuan pengajar, pengembangan strategi belajar mengajar, sangat berkaitan

Page 75: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

71

erat dengan tersedianya fasilitas dan kelengkapan kegiatan belajar mengajar atau sarana pembelajaran, baik yang bersifat statis (seperti gambar, model, dan lain sebagainya) ataupun yang bersifat dinamis (seperti kehidupan yang nyata di sekitar peserta didik) (Widja, 1989: 37). Ini berarti, dalam pengembangan strategi pembelajaran sejarah, harus sudah diperhitungkan pula fasilitas atau sarana yang ada (perlu diadakan), sebab tanpa memperhitungkan itu semua, suatu strategi yang betapapun direncanakan dengan baik akan tidak efektif pula hasilnya. Juga dengan sendirinya diperhitungkan alokasi-alokasi waktu yang tersedia. Oleh karena itu, pengembangan suatu strategi pembelajaran sejarah berkaitan erat dengan usaha membuat perencanan pembelajaran (course planing), di mana segala unsur-unsur yang menunjang strategi tersebut diperhitungkan dan dipersiapkan sehingga sasaran yang hendak dicapai melalui suatu strategi, dapat terwujud dengan sebaik-baiknya.

Pemilihan strategi belajar mengajar itu, sebaiknya dilaksanakan atas pertimbangan yang matang, seperti tujuan yang ingin dicapai atau materi pembelajaran yang akan disampaikan. Di samping itu, harus memperhatikan juga kemampuan pengajar dan peserta didik yang memainkan peranan dalam proses belajar mengajar, bentuk kegiatan yang dilakukan, serta sarana dan prasarana yang tersedia (Widja, 1989:

37). Faktor-faktor tersebut, sebenarnya saling mempengaruhi secara bervariasi sehingga setiap peristiwa belajar memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Keunikan inilah yang mengakibatkan tujuan belajar dapat tercapai secara berbeda antara lingkungan belajar yang satu dengan lingkungan belajar yang lain.

Proses belajar mengajar akan berlangsung dengan baik dan berkualitas apabila didukung sarana pembelajaran yang memadai. Sarana pembelajaran dapat berupa tempat atau ruang kegiatan pembelajaran beserta kelengkapannya, yang diorientasikan untuk memudahkan terjadinya kegiatan pembelajaran. Terdapat dua sarana pembelajaran yang harus tersedia, yakni perabot kelas atau alat pembelajaran dan media pembelajaran. Menurut Cruickshank (1990: 11), sarana pembelajaran yang mempengaruhi kualitas proses pembelajaran terdiri atas ukuran kelas, luas ruang kelas, suhu udara, cahaya, suara, dan media pembelajaran. Media pembelajaran dapat klasifikasi menjadi 4 macam, yakni: a) media pandang diproyeksikan, seperti: OHP, slide, projector dan filmstrip; b) media pandang yang tidak diproyeksikan, seperti gambar diam, grafis, model, benda asli; c) media dengar, seperti piringan hitam, pita kaset dan radio; d) media pandang dengar, seperti televisi dan film (Ibrahim Bafadal, 2003: 13-14). Kelengkapan dan optimalisasi pemanfaatan media

Page 76: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

72

pembelajaran penting peranannya dalam mencapai efektivitas program pembelajaran.

Media pembelajaran memiliki fungsi utama sebagai alat bantu mengajar, berpengaruh terhadap terciptanya suasana, kondisi, budaya, dan lingkungan belajar yang dikelola oleh guru. Penggunaan media pembelajaran dalam proses pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar siswa. Nana Sudjana (2005: 2-3 ) menyampaikan bahwa optimalisasi pemanfaatan media pembelajaran dapat mempertinggi kualitas proses dan hasil belajar siswa. Hal ini terjadi karena: a) penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar; b) bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa; c) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan; d) siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, karena tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain-lain. Dengan demikian, optimalisasi penggunaan media pembelajaran dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.

Suasana Pembelajaran Suasana pembelajaran merupakan

salah satu indikator penting yang berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran, di samping faktor-faktor pendukung lainnya. Dikatakan Hyman dalam (Hadiyanto & Subiyanto 2003: 8) dijelaskan bahwa iklim pembelajaran yang kondusif antara lain dapat mendukung: (1) interaksi yang bermanfaat di antara peserta didik, (2) memperjelas pengalaman-pengalaman guru dan peserta didik, (3) menumbuhkan semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung dengan baik, dan (4) mendukung saling pengertian antara guru dan peserta didik. Dijelaskan lebih lanjut oleh Moos dalam (Hadiyanto & Subiyanto 2003: 8) bahwa iklim sosial dapat berpengaruh terhadap kepuasan peserta didik dalam belajar, dan dapat menumbuhkembangan pribadi. Berdasarkan pendapat tersebut jelas bahwa suasana pembelajaran sangat berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran, dan pada gilirannya berarti berpengaruh juga terhadap hasil pembelajaran.

Kemudian Edmonds dalam (Morrison, Mokashi, & Cotter, 2006: 6) dalam penelitiannya menyampaikan tesis bahwa “An orderly classroom conducive to learning is strongly correlated with student achievement”. Suasana pembelajaran yang tertib dan kondusif untuk belajar mempunyai hubungan yang kuat dengan prestasi belajar siswa. Fraser dalam

Page 77: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

73

(Hadiyanto & Subiyanto 2003: 9) mendokumentasikan lebih dari 45 penelitian yang membuktikan adanya hubungan yang positif antara suasana pembelajaran dengan prestasi belajar peserta didik. Penelitian-penelitian itu menggunakan berbagai macam alat ukur suasana pembelajaran seperti Learning Environment Inventory (LEI), Classroom Environment Scales (CES), Individualized Classroom Environment Questionnaire (ICEQ), dan instrumen-instrumen lain yang digunakan di beberapa negara maju maupun berkembang.

Guru yang mengajar dengan penuh kehangatan, bersikap komunikatif dan familiar dengan siswa, menghargai setiap pertanyaan dan perbedaan karakteristik siswa, akan menumbuhkan kepercayaan diri siswa, pelajaran menjadi lebih menarik dan siswa merasa menikmati (enjoy) dengan kegiatan pembelajaran yang bersangkutan, pada akhirnya akan meningkatkan prestasi belajar siswa ke level yang lebih tinggi (Ormrod, 2003: 482). Hasil penelitian Mangindaan, Sembiring, & Livingstone dalam (Wahyudi. 2003: 1) menjelaskan bahwa terdapat korelasi yang positif dan sifnifikan antara prestasi siswa di suatu kelas dengan suasana batin atau lingkungan psikososial yang tercipta di kelas tersebut. Demikian juga Berliner dalam (Hadiyanto & Subiyanto 2003: 8) mengatakan bahwa suasana pembelajaran yang ditandai dengan kehangatan, demokrasi, dan keramahtamahan

dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi prestasi belajar peserta didik.

Sikap Siswa

Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku dan pribadi anak didik, guru harus lebih bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk itu diperlukan kecakapan dalam mengarahkan motivasi dan berpikir dengan tidak lupa menggunakan peribadi guru itu sendiri sebagai contoh atau model. Dalam interaksi belajar mengajar guru akan senantiasa diobservasi, dilihat, didengar, ditiru semua perilakunya oleh para siswanya. Dari proses observasi siswa dapat saja siswa meniru perilaku gurunya, sehingga diharapkan terjadi proses internalisasi yang dapat menumbuhkan sikap dan proses penghayatan pada setiap diri siswa untuk kemudian diamalkan (Sardiman AM, 2007: 28).

Pembentukan sikap mental dan perilaku anak didik, tidak akan terlepas dari soal penanaman nilai-nilai, transper of values. Oleh karena itu, guru tidak sekedar pengajar, tetapi betul-betul sebagai pendidik yang akan memindahkan nilai-nilai itu kepada anak didiknya. Dengan dilandasi nilai-nilai itu, anak atau peserta didik akan tumbuh kesadaran dan kemauannya, untuk mempraktikan segala sesuatu yang sudah dipelajarinya. Cara berinteraksi atau metode-metode yang dapat digunakan misalnya dengan diskusi,

Page 78: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

74

demonstrasi, sosiodrama, maupun role playing.

Berdasarkan berbagai pengertian di depan dapat dikemukakan bahwa sikap yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sikap berupa tendensi mental yang dapat diaktualkan baik secara verbal maupun tindakan dan kecenderungan afektif ke arah positif maupun negatif terhadap suatu objek. Pengertian tersebut memuat tiga komponen sikap, yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan, pemahaman maupun keyakinan tentang objek, afeksi berkenaan dengan perasaan dalam menanggapi objek dan konasi berkenaan dengan kecenderungan berbuat atau bertingkah laku sehubungan dengan objek.

Dalam kaitannya dengan pelajaran sejarah, maka sikap peserta didik pada dasarnya sangat bervariasi dari sangat menyukai hingga sangat tidak menyukai. Kemungkinan adanya sebagian peserta didik yang menganggap pelajaran sejarah sebagai pelajaran yang membosankan, bukanlah suatu hal yang mustahil. Hal ini mengakibatkan peserta didik kurang bergairah untuk mengikuti pelajaran sejarah di sekolah, tidak memiliki motivasi untuk mempelajari sejarah, dan pada gilirannya mereka tidak mampu memahami makna sejarah bagi kehidupannya, baik masa kini maupun yang akan datang. Sikap peserta didik semacam ini dapat dijadikan indikator bahwa mereka

tidak memiliki kesadaran sejarah dan menganggap belajar sejarah bukan sebagai kebutuhan.

Sikap positif siswa dalam pembelajaran sejarah, memiliki sumbangan positif terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran sejarah. Siswa yang mempunyai sikap positif selama kegiatan belajar mengajar pada dasarnya memiliki semangat dan motivasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang sikapnya negatif. Pada dasarnya, motivasi belajar yang tinggi dari peserta didik, akan diikuti oleh instensitas belajar yang lebih baik sehingga pada gilirannya dapat memperoleh prestasi belajar yang lebih tinggi. Oleh karena itu, kualitas proses dan hasil pembelajaran sejarah juga dipengaruhi sikap siswa terhadap pelajaran sejarah selama kegiatan belajar mengajar berlangsung.

Dalam upaya mengembangkan atau membentuk sikap positif di kalangan peserta didik terhadap pelajaran sejarah, di samping dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip atau teori-teori tentang perubahan sikap, baik yang memberi tekanan pada komponen kognitif, afektif, maupun konatif, juga perlu disertai dengan proses pembiasaan dan pengaturan kondisi imbalan agar perubahan sikap bertahan relatif lama dan dapat dilihat secara nyata (Pramono, 1993: 69). Hal ini senada dengan saran yang dikemukakan Cronbach bahwa upaya

Page 79: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

75

mempengaruhi sikap melalui pembelajaran di kelas seyogianya dilakukan dengan berbagai taktik yang dapat diterapkan secara tunggal atau kombinasi.

Sedangkan sikap kritis dalam pembelajaran sejarah, harus menjadi ciri utama dalam pembelajaran sejarah. Kritis secara semantik dimaknai sebagai suatu sikap yang tidak lekas percaya, selalu berusaha menemukan kekurangan atau kekeliruan, dan tajam dalam penganalisisan (Depdiknas, 2002: 601). Namun demikian, sikap kritis memerlukan keterampilan-keterampilan intelegensia termasuk keterampilan dalam bertanya. Keterampilan-keterampilan tersebut harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran sejarah. Melalui sikap kritis, pengetahuan baru dapat dikonstruksi dalam proses pembelajaran dan siswa diberdayakan (empowered), sebagai mitra guru dalam mengembangkan pengetahuan. Dengan demikian, pegetahuan yang dimiliki siswa tidak hanya ditemukan (discovered), atau bahkan diwariskan, melainkan juga dibentuk, diciptakan, diproduksi, dan dikembangkan (Thomas A Schwandt, dalam Denzin and Lincoln, 1996: 142-160).

Motivasi Belajar Sejarah

Proses motivasi bisa diawali oleh kesadaran seseorang atas tidak terpenuhinya suatu kebutuhan. Kemudian, orang tersebut menetapkan suatu tujuan, yang

menurutnya akan memuaskan kebutuhan tadi. Tentu saja, kemudian orang tersebut menentukan tindakan yang diharapkan akan mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Bisa juga, seseorang diberi suatu tujuan tertentu dan dibangkitkan harapannya bahwa pencapaian tersebut akan menenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi. Orang tersebut akan mengambil suatu tindakan dan kebutuhannya bila terpuaskan (Michael Armstrong dan Helen Murlis, 2003: 50).

Dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapinya. Karena itulah terdapat perbedaan dalam kekuatan motivasi yang ditunjukkan oleh seseorang dalam menghadapi situasi tertentu dibandingkan dengan orang-orang lain yang menghadapi situasi yang sama. Bahkan seseorang akan menunjukkan dorongan tertentu dalam menghadapi situasi yang berbeda dan dalam waktu yang berlainan pula. Motivasi berbeda seseorang dengan orang lain dan dalam diri seseorang pada waktu yang berlainan (Sondang P. Siagian, 2004: 137).

Orang bisa dimotivasi dengan imbalan dan insentif yang memungkinkan untuk memuaskan kebutuhannya atau memberinya tujuan yang harus dicapai (sepanjang tujuan tersebut masuk akal dan bisa dicapai). Tetapi kaitan antara kebutuhan individu dan tujuan yang

Page 80: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

76

ditetapkan sangat luas kemungkinan dan variasinya sehingga sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin, untuk diperkirakan secara tepat imbalan atau insentif apa yang mempengaruhi perilaku individu. Konteks sosial juga ikut mempengaruhi tingkat motivasi. Konteks sosial ini mencakup budaya organisasi secara umum, gaya manajemen, dan pengaruh individu atau tim terhadap individu (Michael Armstrong dan Helen Murlis, 2003: 50).

Dalam teori psikoanalitik Freud, dikemukakan adanya beberapa ciri-ciri motivasi yang ada pada diri seseorang yakni menyangkut: 1) tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai); 2) ulet menghadapi kesulitas (tidak mudah putus asa); 3) menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah; 4) lebih senang bekerja mandiri; 5) cepat bosan pada tugas-tugas rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif); 6) dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakni akan sesuatu); 7) tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu; dan 8) senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.

Apabila orang sudah memiliki ciri-ciri tersebut di atas, berarti orang tersebut selalu memiliki motivasi yang kuat. Ciri-ciri motivasi itu akan sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar akan berhasil dengan baik,

kalau siswa tekun mengerjakan tugas, ulet dalam memecahkan berbagai masalah dan hambatan secara mandiri. Siswa yang belajar dengan baik tidak akan terjebak pada sesuatu yang rutinitas dan mekanis. Siswa harus mampu mempertahankan pendapatnya, kalau ia sudah yakin dan dipandangnya cukup rasional. Bahkan lebih lanjut siswa harus juga peka dan responsif terhadap berbagai masalah umum, dan bagaimana memikirkan pemecahannya. Hal-hal itu semua harus dipahami benar oleh guru, agar dalam berinteraksi dengan siswanya dapat memberikan motivasinya yang tepat dan optimal (Sardiman AM, 2007: 84).

Motivasi belajar siswa dalam penelitian ini difokuskan pada motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi dimaknai sebagai dorongan untuk menyelesaikan suatu tugas dengan maksimal berdasarkan standar tertentu yang merupakan ukuran keberhasilan atas tugas-tugas yang dikerjakan seseorang. Dengan demikian standar keberhasilan merupakan kerangka acuan bagi individu yang bersangkutan pada saat ia belajar, menjalankan tugas, memecahkan masalah maupun mempelajari sesuatu. Adapun ciri-ciri motivasi berprestasi dapat direduksi menjadi empat komponen indikator yakni:1) berorientasi pada keberhasilan, 2) bertanggung jawab, 3) inovatif, dan 4) mengantisipasi kegagalan. Keempat indikator ini dianggap dapat mewakili indikator-indikator lain sebagai hasil reduksi.

Page 81: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

77

Keempat indikator tersebut dapat dijelaskan sub-sub indikatornya sebagai berikut. Berorientasi pada keberhasilan meliputi perilaku-perilaku individu yang mengarah pada upaya meraih prestasi atau sikap sensitivitas terhadap tanda-tanda yang berkaitan dengan peningkatan prestasi. Bertanggung jawab dalam suatu tugas mencakup hal-hal: kesempurnaan tugas, percaya diri serta tanggung jawab dalam melakukan suatu pekerjaan. Inovatif mengandung arti adanya keinginan untuk menemukan sesuatu cara yang berbeda dari sebelumnya untuk mencapai suatu keberhasilan, termasuk juga keinginan berkompetisi dengan prestasi diri sebelumnya atau dengan prestasi orang lain sehingga mendapatkan umpan balik. Kemampuan mengantisipasi kegagalan mengandung unsur kewaspadaan, yaitu ketelitian atau kecermatan untuk berusaha menanggulangi berbagai penghambat pencapai keberhasilan, sehingga suatu kegagalan dapat diminimalisir kemungkinannya.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa motivation is an essential condition of learning yang bertalian dengan suatu tujuan. Hasil belajar akan menjadi optimal kalau ada motivasi. Dengan demikian, dapat diidentifikasi fungsi motivasi bagi manusia yakni: 1) mendorong manusia untuk berbuat, jadi dalam hal ini motivasi merupakan penggerak atau motor yang melepaskan energi;

2) menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai; dan 3) menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai suatu tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Penutup

Realitas yang selama ini terjadi, para pendidik hanya berkonsentrasi pada disseminasi materi tanpa mempertimbangkan bagaimana proses tersebut mempengaruhi peserta didik dan membentuk lingkungan pembelajaran. Sistem umpan balik yang efektif bermaksud menjembatani gap yang ada antara pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran dan pembelajaran. Pendidik selayaknya meluangkan waktu diakhir sessi kuliah untuk kesimpulan umum dan mengadakan dialog dengan peserta didik. Pola semacam ini memungkinkan terciptanya proses belajar mengajar yang kondusif.

Untuk itu, pembelajaran sejarah yang bersifat destruktif sebagaimana sering dijumpai di lapangan perlu diubah. Apabila sejarah hendak tetap berfungsi dalam pendidikan, maka harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi sosial dewasa ini. Jika studi sejarah terbatas pada pengetahuan fakta-fakta, akan menjadi steril dan mematikan segala minat terhadap sejarah.

Page 82: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

78

Pembelajaran sejarah yang terlalu mengedepankan aspek kognitif, tidak akan banyak pengaruhnya dalam rangka memantapkan apa yang sering disebut sebagai jati diri dan kepribadian bangsa. Pembelajaran sejarah nasional yang antara lain bertujuan untuk mengukuhkan kepribadian bangsa dan integritas nasional sebagai bagian dari tujuan pergerakan nasional yang dirumuskan secara padat dalam Sumpah Pemuda 1928 diperlukan pemilihan strategi dan metode mengajar yang tepat. Aspek kognitif dan aspek moral perlu dianyam secara koherensi dan integratif, masing-masing saling menguatkan, tanpa mengorbankan watak ilmiahnya.

Seorang pengajar sejarah seyogianya memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah-masalah kemanusiaan da kebudayaan serta sebagai pengabdi perubahan dan kebenaran. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari belajar sejarah, dimana materi pembelajaran sejarah berhubunagn erat dengan manusia dan permasalahannya. Tanpa menghubungkan dengan masalah-masalah kemanusiaan, maka pembelajaran sejarah akan menjadi media penyampaian informasi yang kering dan tidak bermakna.

Pada initinya, tujuan belajar adalah untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan penanaman sikap mental atau nilai-nilai. Pencapaian tujuan belajar berarti akan menghasilkan hasil

belajar. Adapun Hasil pembelajaran meliputi: 1) hal ikhwal keilmuan dan pengetahuan, konsep dan fakta (kognitif); 2) hal ikhwal personal, kepribadian atau sikap (afektif); dan 3) hal ikhwal kelakuan, keterampilan (psikomotorik). Ketiga hasil di atas dalam pembelajaran merupakan tiga hal yang secara perencanaan dan programatik terpisah, namun dalam kenyataannya pada diri siswa akan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.

Ketiganya itu dalam kegiatan belajar mengajar, masing-masing direncanakan sesuai dengan butir-butir bahan pelajaran (content). Karena semua itu bermuara pada anak didik, maka setelah terjadi proses internalisasi, terbentuklah suatu kepribadian yang utuh. Untuk itu semua, diperlukan sistem lingkungan yang mendukung. Kepustakaan:

Ahmad Syafii Maarif. (1995).

”Historiografi dan pengajaran sejarah Indonesia”. Makalah dalam seminar nasional tentang “demitologi pemahaman sejarah masa kini dalam rangka pendewasaan pengetahuan sejarah bangsa”. Padang: FPIPS IKIP Padang.

Amstrong Michael and Helen Murlis. (2003). Reward management: a hand book of remuneration strategy and practice. Jakarta: Gramedia.

Cox, J. (2006). The quality of an instructional program. National Education Association-Alaska.

Page 83: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

79

Diambil dari pada tanggal 23 Januari 2007, dari http://www.ak.nea.org./excellence/coxquality.

Cruickshank, D.R. (1990). Research that informs teachers and teacher educators. Bicomington. Indiana: Phi Delta Kappa Educational Foundation.

Dadang Supardan. (2001). “Kreativitas guru sejarah dalam proses pembelajaran: studi kasus di SMU Kotamadya Bandung”, dalam historia no. 3 volume II. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.

Darling, L. & Hammond. (2000). Teacher quality and student achievement: a review of state policy evidence. Education policy analysis archives. Volume 8 Number 1. Diambil pada tanggal 17 Pebruari 2006 dari http://epas.asu.edu/epas/v8n1.

Denzin, Norman K. and Yvanna S. Lincoln (eds). (1994). Handbook of qualitative research. London: Sage Publication.

Depdiknas. (2003 a). Kurikulum 2004 dan optimalisasi sistem evaluasi pendidikan di sekolah. Makalah disampaikan pada seminar nasional kurikulum 2004 berbasis kompetensi, tanggal 10 Januari 2003 di UAD.

Djoko Suryo. (1989). ” Kesadaran sejarah: sebuah tinjauan”. Dalam historika no.2 tahun ke I. Surakarta: PPS FPS IKIP Jakarta KPK UNS Surakarta.

Djoko Suryo. (2005). ”Paradigma sejarah di Indonesia dan kurikulum sejarah”, dalam makalah seminar nasional dan temu alumni program

studi pendidikan sejarah Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta: PPS UNS.

Gerlach V.S. at.al. (1980). Teaching and media: a systematic approch. New Jersey: Englewood Cliffs.

Hadiyanto & Subiyanto. (2003). Pengembalian kebebasan guru untuk mengkreasi iklim kelas dalam manajemen berbasis sekolah. Jurnal pendidikan dan kebudayaan no. 040. Januari 2003. diambil pada tanggal 6 September 2007 dari http://www.depdiknas.go.id.

Helius Sjamsuddin. (2005). Model-model pengajaran sejarah: beberapa alternatif untuk SLTA. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.

I Gde Widja. (1989). Pengantar ilmu sejarah: sejarah dalam perspektif pendidikan. Semarang: Satya Wacana.

I Gde Widja.(1989. Dasar-dasar pengembangan strategi serta metode pengajaran sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Johson, D.W. & Johson, R.T. (2002). Meaningful assessment, a manageable and cooperative process. Boston: Allyn and Bacon.

Manullang. (1991). Pengembangan motivasi berprestasi. Jakarta: Pusat Produktivitas Nasional. Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia.

Morrison, D.M. & Mokashi K. & Cotter, K. (2006). Instructional quality indicators: research foundations. Cambrigde. Diakses pada tanggal 17 Maret 2007 dari www.co.nect.net.

Page 84: Istoria PDF

ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010

80

Nana Sudjana dan Ahmad Rivai. (2005). Media pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Nana Supriatna. (2001). “Pengajaran sejarah yang konstruktivistik”. Dalam historia, jurnal pendidikan sejarah, nomor.3. volume II, Juni 2001. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Rochiati Wiriaatmaja. (2004). “Multicultural perspective in teachhing history to the Chinese Indonesian Studies”, dalam historia: jurnal pendidikan sejarah, no.9 vol.v. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.

Sardiman AM. (2007). Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: Rajawali Press.

Sarifudin, W. (1989). Konsep dan masalah pengajaran ilmu sosial di sekolah menengah. Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud.

Sondang P. Siagian (2004). Teori motivasi dan aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sri Anitah Wiryawan. (2001). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Taufik Abdulah. (1996). “Perdebatan sejarah dan tragedi 1965”, dalam jurnal sejarah 9: pemikiran, rekonstruksi, dan persepsi. Jakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia.

Wahyudi. (2003). “Penyusunan dan validasi kuesioner iklim lingkungan pembelajaran di kelas”.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan no. 043. Juli 2003. diambil pada tanggal 6 September 2006 dari http://www.depdiknas. go.id

Winarno Surakhmad. (2000). Metodologi pengajaran nasional. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.

.

Page 85: Istoria PDF

81

TENTANG PENULIS

Sardiman, AM. lahir di Klaten pada tanggal 23 Mei 1951. Menamatkan S1 pada Jurusan Pendidikan Sejarah FKIS IKIP Yogyakarta tahun 1976, sedangkan S2 dalam bidang pendidikan sejarah UNS diselesaikan pada tahun 1990. Aktif menulis dalam berbagai jurnal dan surat kabar nasional. Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain: Panglima Besar Jenderal Sudirman: Kader Muhammadiyah (Adicita), Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Rajawali). Saat ini beliau menjabat dekan FISE UNY sejak tahun 2004. Beliau tinggal di Ngropoh, Gg. Menur 78 RT 23, Condongcatur, Depok Sleman Yogyakarta.

Ririn Darini, lahir tahun 1974, menjadi dosen tetap pada Jurusan Pendidikan Sejarah FISE UNY sejak tahun 1999. Pendidikan S1 dan S2 diselesaikan pada Jurusan Sejarah Universitas Gajahmada Yogyakarta. Berbagai tulisannya telah banyak dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah nasional. Mata kuliah keahlian: Sejarah Asia Timur di samping mengampu beberapa mata kuliah yaitu: Sejarah Indonesia, Kearsipan, dan lain-lain.

Terry Irenewaty, lahir tahun 1956, menyelesaikan S1 pada Jurusan Pendidikan Sejarah FKIS IKIP Yogyakarta, sedangkan S2 dalam bidang sejarah diselesaikannya di Universitas Gajahmada Yogyakarta pada tahun 2003. Mata kuliah yang diampu antara lain: Sejarah Afrika, Sejarah Australia-Oceania, Metode Sejarah dan Sejarah Lisan. Banyak melakukan penelitian dan pengabdian dengan karya ilmiah yang dipublikasikan melalui jurnal maupun surat kabar nasional. Sejak tahun 2003 sampai saat ini menjabat sebagai ketua jurusan Pendidikan Sejarah. Saat ini tinggal di Bakungan, Wedomartani, Ngemplak, Sleman.

Miftahudin, lahir tahun 1974, menyelesaikan S1 pada Jurusan sejarah IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1999, sedangkan S2 diselesaikan pada tahun 2003 dari Universitas Gajahmada Yogyakarta. Menjadi dosen tetap pada Jurusan Pendidikan Sejarah UNY sejak tahun 2003 dengan mata kuliah keahlian: Sejarah Kebudayaan Islam dan Sejarah Asia Barat. Banyak melakukan penelitian dan menulis di beberapa jurnal ilmiah nasional maupun surat kabar nasional.

Page 86: Istoria PDF

82

Sudrajat, lahir di Bantul 1973, menyelesaikan S1 pada Jurusan Pendidikan Sejarah IKIP Yogyakarta pada tahun 1999. Pendidikan S2 dalam bidang Pendidikan IPS di Universitas Negeri Yogyakarta diselesaikan pada tahun 2010. Menjadi dosen tetap pada Jurusan Pendidikan Sejarah UNY sejak tahun 2006 setelah sebelumnya mengajar di beberapa sekolah baik SD, SMP, maupun SMA. Mata kuliah yang diampu saat ini antara lain: Sejarah Eropa, Prasejarah Indonesia, dan Dasar-dasar Ilmu Sosial.

Aman, lahir di Brebes pada 15 Oktober 1974. Menyelesaikan S1 pada Jurusan Pendidikan Sejarah IKIP Yogyakarta pada tahun 1999, S2 pada Jurusan Sejarah UNS diselesaikannya pada tahun 2002, sedangkan doktor dalam bidang evaluasi dan penelitian pendidikan diselesaikannya di UNY pada tahun 2010. Banyak melakukan penelitian serta menulis di beberapa jurnal dan surat kabar nasional. Mata kuliah yang diampu antara lain: Evaluasi Pembelajaran Sejarah, Statistika, Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan, Seminar Sejarah, dan lain-lain.

Page 87: Istoria PDF

83

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

JURNAL ISTORIA

1. Redaksi menerima naskah berupa hasil pemikiran, analisis ilmiah, kajian teori,

maupun hasil penelitian bidang sejarah dan pendidikan sejarah.

2. Naskah dapat disajikan dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

3. Naskah belum pernah diterbitkan oleh media lain, baik media cetak maupun

elektronik.

4. Panjang tulisan berkisar antara 10-25 halaman dalam kertas ukuran A4

dengan spasi ganda.

5. Naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Inggris, bila naskah ditulis

dalam bahasa Indinesia, dan dalam bahasa Indonesia bila naskah ditulis dalam

bahasa Inggris. Abstrak disertai dengan kata kunci yang merupakan variabel

dalam naskah.

6. Sistematika penulisan sebagai berikut:

a. Judul

b. Abstrak disertai kata kunci

c. Pendahuluan

d. Isi atau pembahasan

e. Penutup dan simpulan

f. Daftar pustaka

g. Biodata penulis

7. Penulisan referensi menggunakan catatan kaki (foot note).

8. Redaksi berhak mengedit tata bahasa maupun naskah yang dimuat tanpa

mengurangi maksud dan tujuan tulisan.

9. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya.

10. Naskah yang diterima oleh dewan redaksi akan direview oleh tim ahli dan

dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Diterima tanpa revisi

b. Diterima dengan revisi

Page 88: Istoria PDF

84

c. Tidak diterima dengan berbagai pertimbangan.

11. Naskah dikirim kepada redaksi Istoria rangkap 2 dalam format print out yang

disertai soft copy dala format CD, disket, atau media lainnya.

12. Kepada penulis yang naskahnya dimuat akan diberikan 2 eksemplar jurnal

sebagai bukti.

13. Naskah yang tidak dimuat dikembalikan kecuali disertai dengan perangko

secukupnya.

14. Naskah dikirimkan kepada redaksi paling lambat 2 bulan sebelum penerbitan.