Upload
jack-sudrajat
View
540
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Istoria was journal that expose research or opinion of lecturer or any scholar of History Department of Yogyakarta State University. Give me a feedback to improve the quality og our journal
Citation preview
ISTORIAISTORIAJurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAHFAKULTAS ILMU SOSIAL dan EKONOMIUNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Volume 7 Nomor 2 Edisi Maret 2010 ISSN: 1858-2621
Perspektif Spiritualisme dalam Pembelajaran Sejarah Sardiman AM.
Pendidikan dalam Pemikiran KonfusiusRirin Darini
Faktor-faktor Pendukung Kualitas Pembelajaran Sejarahdi SMA Negeri 5 YogyakartaTerry Irenewaty
Runtuhnya Dikotomi Tradisionalis dan Modernis: MenilikDinamika Sejarah NU dan Muhammadiyah Miftahuddin
Benturan Antarperadaban (The Clash of Civilization) dalamPersian War 490-480 BCSudrajat
Dimensi-dimensi Kualitas Proses Pembelajaran SejarahAman
Perspektif Spiritualisme dalam Pembelajaran Sejarah Sardiman AM.
Pendidikan dalam Pemikiran KonfusiusRirin Darini
Faktor-faktor Pendukung Kualitas Pembelajaran Sejarahdi SMA Negeri 5 Yogyakarta
Runtuhnya Dikotomi Tradisionalis dan Modernis: MenilikDinamika Sejarah NU dan Muhammadiyah Miftahuddin
Benturan Antarperadaban ( ) dalamPersian War 490-480 BCSudrajat
Dimensi-dimensi Kualitas Proses Pembelajaran SejarahAman
Terry Irenewaty
The Clash of Civilization
ISTORIA Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah
ISSN: 1858-2621
Alamat Redaksi:
Jurusan Pendidikan Sejarah FISE UNY Kampus Karangmalang Yogyakarta
Telp. (0274) 586168, ext 385
Terbit Pertama Kali Tanggal 1 September 2005 Frekuensi Terbit 2 kali setahun
DEWAN REDAKSI
Pimpinan Redaksi: A. Daliman
Dewan Redaksi: Sardiman, AM.
Terry Irenewaty Harianti
Penyunting Ahli:
Djoko Suryo (UGM) Ahmad Syafi’i Maarif (UNY)
Husain Haikal (UNY) Suyatno Kartodirdjo (UNS)
Sekretaris Redaksi:
M. Nur Rokhman
Staff Redaksi: Supardi
Dyah Kumalasari Sudrajat
Taat Wulandari
Editor Bahasa: Aman
Alamat Redaksi: Jurusan Pendidikan Sejarah FISE UNY
Kampus Karangmalang Yogyakarta Telp. (0274) 586168, ext 385
Terbit Pertama Kali Tanggal 1 September 2005 Frekuensi Terbit 2 kali setahun
ISSN: 1858-2621
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal ISTORIA terbit dua kali dalam setahun pada bulan April dan
September. Istoria berusaha untuk menampilkan artikel-artikel ilmiah serta hasil-
hasil penelitian dalam bidang kesejarahan, baik keilmuan maupun kependidikan.
Dengan adanya media ini diharapkan hadirnya pemikiran serta paradigma baru
tentang kesejarahan dan pendidikan sejarah. Hal ini perlu mengingat adanya
kebutuhan untuk pembaharuan dalam bidang keilmuan, pendidikan maupun
metodologinya. Sejarah harus mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta adanya dinamika dalam kehidupan politik
ekonomi dan sosial budaya. Oleh karena itu pemikiran dan wawasan baru mutlak
dihadirkan, sehingga sejarah dan pendidikan sejarah semakin berkembang ke
arah yang lebih baik.
Dewan redaksi menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada para
penulis yang telah bersedia memberikan kontribusi pemikiran baik dalam bentuk
artikel maupun hasil penelitiannya. Tidak lupa juga terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada seluruh jajaran dewan redaksi yang telah bersungguh-sungguh
untuk menerbitkan jurnal ini. Kepada dosen-dosen Jurusan Pendidikan Sejarah
FISE UNY dewan redaksi juga mengucapkan terima kasih atas kerjasama yang
terjalin sehingga jurnal ini dapat terbit sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan.
Last but not least, dewan redaksi mengharapkan sumbang saran, kritik,
serta masukan dari pembaca demi perbaikan pada edisi berikutnya. Kami
berharap, semoga kehadiran Istoria edisi kali ini memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya.
Yogyakarta, April 2010
Tim Redaksi
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
1
PERSPEKTIF SPIRITUALISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Oleh: Sardiman AM.1
1 Dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah sekaligus dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi
Universitas Negeri Yogyakarta.
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi arti penting spritiualisme dalam pembelajaran khususnya pembelajaran sejarah. Seperti yang sudah lama terdengar, pembelajaran sejarah selama ini terkesan gersang, hampa, dan tidak punya makna. Pembelajaran sejarah terkesan hanya menjejalkan pengetahuan kosong yang tidak mempunyai arti bagi siswa. Padahal pembelajaran sejarah mengemban tugas yang sangat penting yaitu mengawal nilai-nilai nasionalisme dan nilai-nilai kemanusiaan yang sekarang ini sudah luntur ditelan waktu. Kondisi bangsa Indonesia sekarang ini sungguh memprihatinkan. Korupsi semakin merajalela di semua lapisan, kriminalitas dan kekerasan terjadi dimana-mana, pornografi dan pornoaksi tersebar secara massif, gaya hidup hedonistis, merupakan gejala yang memerlukan pemikiran dan pemecahan. Oleh karena itu, diperlukan sentuhan-sentuhan tertentu dalam pembelajaran sejarah sehingga siswa akan tersadar dengan sendirinya bahwa mereka merupakan makhluk Allah yang memiliki tugas mulia sebagai khalifah di muka bumi. Pembelajaran sejarah juga harus mampu membangun kesadaran sejarah sehingga siswa memiliki motivasi dan komitmen yang kuat sehingga karakter positif dapat terbentuk dengan sendirinya. Ini merupakan hal urgent yang harus mendapat perhatian dari kita semua. Kata kunci: pembelajaran sejarah, spiritualisme. Abstract This study was aimed to elaborate importance the spiritualism in learning of history. Learning of history have negative stigma such as: dried, bare, and unimportance. Whereas history has important duty was guard nationalism and humanity values which by whitish. Nowadays Indonesian has the great problem such as spread of corruption, criminality, and violence. We need particular touch in history learning so students have awareness as a leader in the universe. Learning of history must be erected students motivation and obligation so positive character was build. This was an urgent and needs attention to our teachers. Keyword: learning of history, spiritualism.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
2
Prawacana Mengapa seseorang menjadi korup-tor?, mengapa seseorang menjadi perusak lingkungan hutan di Indo-nesia? Salah satu jawabnya, karena mereka itu tidak memiliki kesadaran sejarah. Mereka lupa dan tidak menyadari bahwa bumi dan tanah air ini ditegakkan dengan darah dan air mata, dengan jiwa, raga dan harta. Mereka tidak sadar bahwa bumi, alam dan seisinya ini diciptakan oleh Tuhan Allah SWT., untuk kemaslahatan orang banyak, dititipkan untuk anak cucu kita. Harus diakui bahwa kesadaran sejarah di kalangan masyarakat kita mengalami degradasi. Kita sudah lupa pada dimensi kelampauan kita. Mengapa? Salah satu sebabnya pembelajaran sejarah kita bersifat kognitif, cenderung hafalan dan kurang bermakna dalam kehidupan keseharian, di samping dinamika kehidupan masyarakat yang cenderung konsumtif-materialistik. Secara tidak terasa sekularisasi sedang berkecamuk di lingkungan dan kehidupan kita. Nilai dan ruh spiritualisme dari setiap realitas sejarah yang tergambar dalam ayat-ayat Tuhan baik yang qauniyah maupun qauliyah, tidak lagi terbaca oleh masyarakat dan warga bangsa ini. Pembelajaran sejarah sebenar-nya tidak sekedar menjawab pertanyaan what to teach, tetapi bagaimana proses pembelajaran itu
dilangsungkan agar dapat menangkap dan mem-bangun nilai serta mentransformasi-kan pesan di balik realitas sejarah itu kepada peserta didik. Proses pembelajaran ini tidak sekedar peserta didik menguasai materi ajar, tetapi diharapkan dapat membantu pematangan kepribadian peserta didik sehingga mampu merespon dan beradaptasi dengan perkem-bangan sosio kebangsaan yang semakin kompleks serta tuntutan global yang semakin ”ngrangsek”. Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini ternyata belum seperti yang dicita-citakan. Peristiwa politik tahun 1998 yang telah mengakhiri kekuasaan Orde Baru dengan berbagai euforianya ternyata menyisakan luka mendalam di berbagai aspek kehidupan berma-syarakat, berbangsa, dan bernegara. Berbagai bentuk pelang-garan masih terus terjadi. Tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM, perilaku amoral dan runtuhnya budi pekerti luhur, anarkhisme dan ketidaksabaran, ketidakjujuran dan budaya nerabas, rentannya keman-dirian dan jati diri bangsa, terus menghiasai kehidupan bangsa kita. Semangat kebangsaan kita turun tajam dan di mata masyarakat internasional sepertinya kita telah kehilangan karakter sebagai bangsa ramah, arif dan religius yang selama beratus-ratus tahun bahkan ber-abad-abad kita bangun. Pada kondisi
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
3
yang seperti ini nampaknya pendidikan karakter kebangsaan melalui pembelajaran sejarah dengan perspektif spiritualisme, menjadi amat strategis. Pada tulisan singkat ini mencoba ingin sharing pemahaman dan berbagi rasa tentang tema ” Perspektif spiri-tualisme dalam Pembelajaran Sejarah”. Menyoal Tujuan Pembelajaran Muara tujuan pembelajaran sejarah adalah berkembangnya kesadaran sejarah di kalangan peserta didik. Pembelajaran sejarah adalah suatu proses untuk membantu pengembangan potensi dan kepribadian peserta didik melalui pesan-pesan sejarah agar menjadi warga bangsa yang arif dan bermartabat. Sejarah dalam hal ini merupakan totalitas dari aktivitas manusia di masa lampau dan sifatnya dinamis.2
2 Walsh. (1967). Philosophy of History : An
Introduction. New York: Harper and Row Publisher. Hlm. 16.
Maksudnya, bahwa masa lampau itu bukan sesuatu final, tetapi bersifat ter-buka dan terus berkesinam-bungan dengan masa kini dan yang akan datang. Karena itu sejarah dapat diartikan sebagai ilmu yang meneliti dan mengkaji secara sistematis dari keseluruhan perkem-bangan masyarakat dan kemanusiaan di masa lampau dengan segala aspek kejadiannya, untuk kemudian dapat memberikan penilaian sebagai
pedoman penen-tuan keadaan sekarang, serta cermin untuk masa yang akan datang. Lebih jauh pengertian sejarah juga berkait dengan persoalan kemanusiaan dan sebuah teater di mana manusia menjadi pemain watak, berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan keteladanan yang sudah ada. Sejarah akan mendidik manusia untuk memahami “sangkan paran “ dan keberadaan dirinya sehingga dapat memperkuat iden-titas diri dan identitas nasional, atau identitas sebagai suatu bangsa.3 Dalam kaitan ini maka pem-belajaran sejarah berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah adalah suatu orientasi intelektual, dan suatu sikap jiwa untuk memahami keberadaan dirinya sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai suatu bangsa.4 Taufik Abdullah5 menegaskan bahwa kesadaran sejarah tidak lain adalah kesadaran diri. Kesadaran diri dapat dimaknai sadar akan keberadaan dirinya sebagai individu, sebagai makhluk sosial termasuk sadar sebagai bangsa dan sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan.6
3 Soedjatmoko. (1986). Dimensi Manusia
dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES. Hlm. 6. 4 Ibid., hlm. 7. 5 Taufik Abdullan. (1974). “Masalah Seja-
rah Daerah dan Kesadaran Sejarah”, Bulletin Yaperna No. 2 tahun I, Jakarta. Hlm. 10.
6 Sardiman, AM. (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm. 61.
Dalam konteks ini
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
4
pada diri manusia sebenarnya ada dua dimensi, yakni dimensi “kehambaan dan kekhalifahan”. Dengan pemahaman tersebut, pembelajaran sejarah dituntut paling tidak dapat mengaktual-isasikan dua hal yakni: (1) pendidikan dan pembelajaran intelektual, (2) pendidikan dan pembelajaran moral bangsa, civil society yang demokratis dan bertanggungjawab kepada masa depan bangsa.7
Dengan mengembangkan dua hal : pendidikan intelektual dan pendidikan moral atau pendidikan kemanusiaan, maka arah pembe-
Hal yang pertama menuntut pembelajaran sejarah tidak hanya menyajikan penge-tahuan faktual, namun dituntut untuk memberikan latihan berfikir kritis, mampu menarik kesimpulan, memahami makna dari suatu peristiwa sejarah menurut kaidah dan norma keilmuan. Pertanyaan-pertanyaan mengenai mengapa dan bagaimana, penting untuk dikem-bangkan dalam proses pembela-jaran sejarah. Sementara itu hal yang kedua menunjuk pada pembelajaran sejarah yang berorientasi pada pendidikan kemanusiaan yang memperhatikan nilai-nilai luhur, norma-norma, religiositas, dan aspek kemanusiaan lainnya.
7 Djoko Suryo. (1991). “Pengembangan
Kajian Sejarah dalam Kurikulum SLTA” Makalah, disampaikan pada acara seminar dalam rangka Dies Natalis IKIP Semarang, 13 Maret 1991. Hlm. 11
lajaran sejarah diharapkan dapat mencapai tujuan yang menopang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pembelajaran sejarah akan dapat melandasi pendidikan kecer-dasan intelektual, sekaligus ikut mendasari pendidikan yang ber-orientasi pada kecerdasan emosi-onal bahkan kecerdasan spiritual dalam rangka meningkatkan marta-bat manusia Indonesia. Dalam pelaksanaan di sekolah, tujuan pembelajaran sejarah tersebut terkait dengan adanya tujuan yang dikenal dengan istilah instructional effects dan tujuan yang “mengikuti” atau tujuan lebih lanjut yang disebut nurturant effects.8
Mencermati rumusan tersebut, nampak jelas bahwa di samping aspek kognitif, dimensi afektif menempati porsi yang cukup penting dalam tujuan pembelajaran sejarah. Namun dalam kenyataannya timbul kritik bahwa pendidikan kita cenderung intelektualistik-kognitif. Apabila kecenderungan ini “keterusan” secara kultural dapat melahirkan kecenderungan baru, yakni adanya sekularisasi. Kalau itu terjadi maka orang akan lebih banyak berpikir sekarang bukan esok, dan mengambil paradigma “memiliki” bukan “menjadi”
(uraian selengkapnya lih.dalam Sardiman AM.,2005: 26).
9
8 Sardiman, Op. cit., hlm. 26. 9 Erich Fromm. (1987). Memiliki dan
Menjadi – Tentang Dua Modus Eksistensi (alih bahasa F. Soesilohardo), Jakarta: LP3ES.
(lih.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
5
Erich Fromm, 1987). Hal ini mulai menjadi kenyataan, masyarakat bahkan mungkin juga para pimpinan kita bangga, karena anak Indonesia memenangkan olimpiade matematika, atau kimia. Kita bangga bahwa anak-anak/peserta didik kita semua lulus ujian nasional (yang hanya diwakili oleh beberapa mata pelajaran). Para orang tua juga akan lebih senang kalau nilai matematika anaknya 10, sekalipun nilai agamanya kurang. Akibatnya, banyak masyarakat yang kurang memperhatikan bahwa pendidikan semestinya tidak hanya meningkat-kan kecerdasan intelektual tetapi yang sangat penting bagaimana membangun kepribadian peserta didik dan generasi muda yang bertaqwa, berakhlak mulia, memi-liki kemadirian dan kebanggaan nasional. Begitu juga dalam pembelajaran sejarah masih cukup memprihatin-kan. Pembelajaran sejarah lebih banyak hafalan dan bersifat kognitif. Akibatnya pembelajaran sejarah tidak mampu menjangkau kepada aspek-aspek moralitas, menyangkut kecerdasan emosional dan spiritual, pada hal sejarah sendiri sebuah moralitas, tegas Wang Gungwu. Pembelajaran sejarah kita masih jarang yang mampu memasuki wilayah ranah afektif, seperti sikap arif, menumbuhkan semangat kebangsaan, bangga terhadap bangsa dan negerinya, apalagi sampai
memahami hakikat dirinya sebagai manifestasi kesadaran sejarah yang paling tinggi. Pada hal nilai dan aspek-aspek itulah yang menjadi esensi dari tujuan pembelajaran sejarah. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya bagaimana mewujudkan tujuan tersebut. Membangun Spiritualisme. Membangun kesadaran sejarah pada diri setiap peserta didik pada hakikatnya membangun karakter anak bangsa. Bagaimana mengem-bangkan pembelajaran sejarah agar dapat membantu pembangunan karakter anak bangsa ini. Salah satu caranya antara lain dengan mengem-bangkan pembelajaran dengan perspektif spiritualisme. Dengan perspektif ini diharapkan pembe-lajaran sejarah akan senantiasa menjadi instrumen penting dalam upaya membangun karakter bangsa yang ramah, arif, empati dan religius atau insan yang beriman, cerdas dan berakhlak mulia sesuai nilai-nilai ke-Indonesiaan. Untuk membangun karakter bangsa yang demikian itu, sejumlah nilai yang perlu dikembangkan dan ditanamkan kepada peserta didik agar dapat dihayati dan diaplikasikan antara lain nilai: keimanan dan ketaqwaan; keadilan dan kesetaraan; nasionalisme dan patriotisme, kemandirian dan dan jati diri bangsa; demokrasi dan tanggung jawab; kearifan, toleransi dan menghormati sesama; di
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
6
samping nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, kepedulian, serta keteladanan.10
Di dalam pelajaran sejarah banyak pokok bahasan atau topik-topik yang mengandung nilai-nilai kesejarahan tersebut. Misalnya ketika sedang membahas periode pra aksara, guru dapat membahas sejarah penciptaan manusia, termasuk mencari siapa manusia pertama, apa beda Adam sebagai khalifah di muka bumi dengan spesies megantropus ataupun pitekantropus. Pada waktu membahas periode Hindu-Budha dan Islam, guru dapat banyak menjelaskan tentang nilai-nilai ketaqwaan, keberagaman, toleransi dan saling menghargai, nilai-nilai keharmonisan, serta melalui karya-karya budayanya dapat dijadikan instrumen untuk menumbuhkan kebanggaan dan jati diri bangsa. Saat mengkaji materi ajar pada
Beberapa nilai ini sangat relevan dengan arah dan tujuan pembelajaran sejarah. Nilai-nilai itu dapat digali dan dikembangkan melalui pembe-lajaran sejarah. Dalam hal ini memang sangat diperlukan adanya kreativitas dari para guru sejarah. Para guru sejarah harus menggali dan mampu mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik.
10 Kabul Budiyono. (2007). Nilai-nilai
Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indone-sia, Bandung : Alfabeta. Hlm. 8
pereiode penjajahan, sangat tepat untuk mengaktuali-sasikan kembali nilai-nilai jati diri dan hak-hak individu atau hak-hak asasi manusia, nilai-nilai kemanu-siaan, bahkan secara dikotomis dapat diaktualisasikan nilai-nilai kemerdekaan. “Kemerekaan ialah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Satu kalimat dari Pembukaan UUD 1945 ini secara kreatif dapat dibahas satu atau dua kali pertemuan. Para peserta didik diajak untuk memahami dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan diri, nilai-nilai perikemanusiaan dan nilai keadilan untuk kemudian menjadi bagian dari sikap dan perilakunya. Dalam hal ini guru dituntut untuk mampu menjelaskan dan meyakinkan kepada peserta didik agar menyadarai bahwa tindakan kaum penjajah di bumi Nusantara sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keadilan sebagai hak-hak asasi manusia. Hak-hak individu yang paling asasi dirampas. Tidak ada kebebasan berserikat, tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat dan memeluk agama secara utuh. Padahal Tuhan menciptakan setiap bangsa, setiap manusia anggota masyarakat dalam keadaan sama, kecuali karena kadar keimanan-
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
7
nnya. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna dengan kedudukan mulia yakni sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi yang bertugas membangun dunia demi kemaslahatan semua orang. Jadi penjajahan sangat jelas bertentangan dengan fitrah dan ciptaan Tuhan. Membahas topik-topik pada periode penjajahan ini, peserta didik juga dapat diajak untuk menghayati dan menumbukan sikap patriotisme, sikap dan tindakan anti penjajahan. Harus diyakinkan kepada peserta didik bahwa tindak penajajahan itu adalah perilaku dholim karena menyengsarakan rakyat banyak. Dalam konteks ini dapat diaktualisa-sikan konsep jihad, “ … dan barang siapa berjihad di jalan Tuhan, surga adalah pahalanya.” Pembahasan topik-topik yang berkenaan dengan periode perge-rakan nasional, guru perlu menekankan nilai-nilai nasionalisme, persatuan dan kesatuan di antara pluralisme atau keanekaragaman, toleransi dan saling menghargai. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan. Tuhan telah menciptakan ini semua sebagai kekayaan dan kekuatan bangsa. Tuhan telah mengajarkan kepada kita bahwa diciptakan-Nya manusia bersuku-suku dan golongan-golo-ngan agar kita saling mengenal dan menjalin tali silaturahim. Kalau sudah demikian
maka dengan didorongkan oleh keinginan luhur yakni cita-cita ingin merdeka, maka terwujudlah persatuan dan kebersa-maan. Usaha untuk mewujudkan persatuan ini berhasil dengan di-ikrarkannya Sumpah Pemuda yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa: Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi simbol kebersamaan dalam ke-anekaragaman dan sekaligus mem-berikan semangat untuk meng-galang persatuan demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan. Sumpah Pemuda adalah manifesto politik dan ujud nyata dari silaturakhim nasional, “Barang siapa yang mau menghidup-hidupkan silaturakhim maka akan dipanjangkan usianya dan diluaskan rezekinya.” Inilah konsep nasionalisme yang di-bimbing oleh nilai-nilai moral, nilai-nilai keagaaman yang oleh Toynbee dikatakan sebagai nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai universal agama-agama atas (higher reli-gions).11
11 Ahmad Syafii Ma’arif. (1989).
“Menggugat Toynbee”, dalam Eksponen, edisi 5 Maret 1989.
(lih. A. Syafii Maarif, 1989). Nasionalisme yang tidak dibimbing oleh nilai-nilai moral keagamaan, dapat terjebak pada dua kecenderungan. Pertama, nasionalisme yang sekuler, ekstrim berlebihan yang dapat melahirkan chauvinisme. Bentuk nasionalisme
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
8
inilah yang dikritik oleh Toynbee, karena telah menyebabkan berkobarnya PD II yang menghancukan peradaban manusia. Kedua, nasionalisme yang lemah sehingga menjadikan pendukungnya tidak memiliki kebanggaan nasional dan jati diri bangsa. Dalam konteks ini guru secara kreatif dapat membahas materi ini, misalnya dengan topik “Telaah Teks Sumpah Pemuda”seperti telah diterangkan di atas. Selanjutnya untuk membahas topik-topik yang terkait dengan materi ajar pada periode kemerdekaan, guru dapat mengaktualisasikan dan menanam-kan nilai-nilai esensial yang relevan kepada para peserta didik, seperti nilai-nilai kemedekaan, keman-dirian dan kebebasan yang bertanggung jawab, nilai demokrasi, patriotisme, masalah kepemimpinan dan keteladanan. Agar lebih menumbuhkan kesadaran dan merangsang emosi peserta didik, guru sebagai fasilitator dan motivator dapat membelajarkan peserta didik untuk menelaah teks dan simbol-simbol kebangsaan. Misalnya mendiskusikan tentang teks Pembukaan UUD 1945 alinea 3, “ Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong-kan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia me-nyatakan dengan ini, kemer-
dekaannya”, mendiskusikan makna Sang Saka Merah Putih, mengkaji baris-baris pada Lagu “Indonesia Raya”. Kemudian juga bisa membahas biografi beberapa tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sudirman, untuk mendapatkan nilai-nilai kepemimpinan dan keteladanan. Di samping telaah tersebut, yang menarik para peserta didik juga dilatih untuk menyampaikan orasi seputar makna kemerdekaan. Contoh kata atau kalimat-kalimat yang penting untuk diorasikan misalnya: Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Kemerdekaan fitrah dan hak asasi manusia sebagai ciptaan Tuhan. Karena itu wajar kalau bangsa Indonesia berusaha dengan segala daya, dengan penuh pengorbanan baik jiwa, raga maupun harta. Dengan semboyan “merdeka atau mati” dan disertai dengan semangat jihad, bangsa Indonesia akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk sebuah kemerdekaan. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hal yang sangat asasi dan tahapan sangat penting bagi eksistensi suatu bangsa. Misalnya kita akan menanamkan nilai demokrasi. Di dalam upaya mengisi kemerdekaan itu setiap komponen bangsa ingin mewujudkan kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang lebih demokratis di segala bidang, sesuai
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
9
dengan amanat pembukaan UUD 1945. Upaya untuk menciptakan suatu kehidupan yang demokratis telah dirintis sejak Indonesia baru merdeka oleh para pemimpin bangsa seperti Sjahrir, Mohammad Hatta, Sukarno, sampai kemudian dibuka lembaran demokrasi liberal dengan pemilunya yang cukup demokratis, dewasa, dan jurdil. Perjuangan demokrasi ini terus bergulir dengan persepsi para pemimpin seperti Presiden Sukarno di zaman Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpinnya, Presiden Suharto dengan Demokrasi Pancasilanya, bahkan sampai era reformasi bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia Baru, masyarakat madani, yakni masyarakat demokratis dengan hak-hak sipil yang kuat. Demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Artinya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, baik itu dilaksanakan secara langsung maupun melalui perwakilan. Implikasi dari konsep ini maka bila dilihat dari aspek kepemimpinan yang demokratis, maka seorang pemimpin yang berkuasa di dalam pemerintahan pada hakekatnya karena atas nama rakyat, karena ia mendapatkan amanat dari rakyat. Sebagai konsekuensinya maka pemimpin harus mengutamakan kepentingan rakyat, melindungi dan menyejah-terakan rakyat bukan menguta-makan kepentingan
pribadi, keluar-ga, dan kroni-kroninya. Kepemimpinan yang demokra-tis dan bertanggungjawab banyak ditemukan atau dicontohkan dalam pelajaran sejarah umat manusia. Misalnya kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyiddin, di samping tokoh-tokoh yang lain. Nabi Muhammad sendiri mengajarkan bahwa bagi para pemimpin yang meninggal dalam keadaaan menipu rakyat, tidak me-mikirkan kesejahteraan rakyat, maka ia haram mencium bau surga, apalagi memasukinya. Inilah salah satu model kepemim-pinan dunia yang mengembangkan kepemimpinan demokratis-moralis, kepemimpinan yang amanah, yang sangat penting untuk diajarkan kepada para peserta didik melalui pelajaran sejarah yang menarik, hi-dup dan menggairahkan. PENUTUP Demikian beberapa ilustrasi bagaimana mengembangkan materi dan melaksanakan pembelajaran sejarah dengan perspektif spiritualisme. Banyak materi pembelajaran yang dapat dimanfaatkan untuk membangun karakter bangsa, dengan melalui penanaman dan transformasi nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, akhlak mulia dan nilai-nilai luhur ke-Indonesia-an seperti nilai-nilai
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
10
religiositas, kemanusiaan dan keadilan, sosialisme, nasionalisme, patriotisme, demokrasi, toleransi, kearifan, keteladanan. Tentu hal ini sangat menuntut keberanian dan kreativitas guru. Dan sebagai bagian dari upaya pengembangan profesionalismenya, guru perlu merubah pembelajaran sejarah yang kognitif menjadi pembelajaran yang lebih bermakna, kontekstual, dan menyentuh aspek-aspek afektif atau kecerdasan emosional, serta kecerdasan spiritual. Pembelajaran sejarah yang bersifat kognitif hanya akan melahirkan kepuasan dengan durasi sesaat, sebaliknya pembe-lajaran sejarah yang mampu melatih kecerdasan emosional dan spiritual, akan melahirkan kesadaran sejarah yang sejati. Inilah modal penting untuk mewujudkan bangsa yang berkarakter, bangsa berkepribadian dan mempunyai harga diri di hada-pan bangsa-bangsa lain. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafii Maarif, (1989).
“Menggugat Toynbee”, dalam Eksponen, edisi 5 Maret 1989.
Ahmad Syafii Maarif (1985), Al
Qur’an : Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka.
Djoko Suryo(1996). “Pengembangan
Kajian Sejarah dalam Kurikulum SLTA” Makalah, disampaikan pada acara seminar dalam rangka
Dies Natalis IKIP Semarang, 13 Maret 1991.
Erich Fromm, (1976). Memiliki dan
Menjadi – Tentang Dua Modus Eksistensi (alih bahasa F. Soesilohardo), Jakarta: LP3ES.
Kabul Budiyono, (2007). Nilai-nilai
Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, Bandung : Alfabeta.
Sardiman AM. (2005). Interaksi dan
Motivasi Belajar Mengajar . Jakarta: Rajawali Pers.
Soedjatmoko (1986). Dimensi
Manusia dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
11
PENDIDIKAN DALAM PEMIKIRAN KONFUSIUS
Oleh:
Ririn Darini1
1 Dosen tetap pada jurusan Pendidikan Sejarah FISE Universitas Negeri Yogyakarta sejak
1999.
Abstrak
Konfusius adalah salah seorang pemikir besar dunia. Banyak hasil pemikirannya yang masih relevan sampai sekarang, salah satunya adalah pemikiran mengenai pendidikan. Bahkan beberapa pemikiran Konfusius di bidang pendidikan telah melampaui pemikiran dari zamannya. Baginya pendidikan adalah hak setiap orang tanpa memandang status sosial. Pendidikan juga menjadi kurang berharga bila tidak dibarengi dengan keseimbangan emosi, dan usaha untuk menghasilkan keseimbangan tersebut tergantung pada pendidikan li. Tulisan berikut ini akan mengulas lebih jauh mengenai hasil pemikiran Konfusius dalam bidang pendidikan berkaitan dengan peranannya sebagai seorang pendidik. Kata Kunci: Pendidikan, Konfusius. Abstract This study was elaborate Confusius view about education which was related by her role as an educator. Confusius (Kong Fu Tze) was the big thinker in the world which has view and reflection. Confusius opinions have relevance to conditions at current times. One of her opinions was about education that all of human has the right to get education without discrimination that based on social status. For Confusius, education without correspond by emotional balance be disvalues because educational not correspond with cognitive itself, but has another dimensions such as emotional. To gain balancing between cognitive and emotional depend on li education. Keyword: education, Confusius.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010
12
Pendahuluan Konfusius2
Di mata masyarakat China kecen-dekiawanan Konfusius tidak di-
lahir pada tahun 551 SM di sebuah Negara kecil, Lu, yang terletak di daerah yang sekarang dikenal sebagai Propinsi Shantung di China bagian timur. Dalam sejarah China, Konfusius adalah negarawan besar, pemikir besar, dan juga seorang pendidik. Pada masa hidup Konfusius negaranya sedang mengalami keka-cauan. Berbagai penyimpangan di-lakukan oleh pemerintah, disintegrasi negara, pemberontakan, dan terjadi begitu banyak kejahatan, serta banyak orang yang hidup tanpa aturan yang jelas. Kondisi sosial China pada saat itu menunjukkan ketidakteraturan, degradasi moral dan anarki intelek-tual. Dalam situasi demikian Konfusius menghasilkan berbagai gagasan pemi-kiran sebagai tanggapan atas per-masalahan sosial yang dihadapi negaranya.
Meskipun gagasan-gagasannya tidak mendapatkan perhatian pada masa hidupnya, dan bahkan pada masa kekuasaan Dinasti Chin ajaran Konfusius justru mengalami penindasan, tetapi hasil pemikiran Konfusius telah memberikan kon-tribusi yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya China. Etika dan moral mewarnai pemikiran-pemikirannya, termasuk juga pemikirannya mengenai pendi-dikan.
2 Selain Konfusius, penyebutan yang
sering digunakan adalah Confucius, Kung Fu Tze, atau Kong Hu Cu.
ragukan lagi. Mereka menghorma-tinya sebagai pelindung dan teladan bagi semua golongan sarjana birokrat. Pendidikan di China mendapatkan posisi yang sangat penting sejak berabad-abad sebelum masehi hingga sesudahnya. Paling tidak dapat diketahui bahwa birokrat kekaisaran sudah dipenuhi oleh sarjana-sarjana China, sehingga jelas bahwa mereka yang termasuk golongan sarjana bisa memperoleh akses kemana-mana, termasuk di lingkungan kekaisaran. Berkaitan dengan bidang pendidikan, Konfusius telah memberikan begitu banyak pengaruhnya.
Menurut Dawson3
Konfusius merupakan orang pertama dalam sejarah Cina yang memberi pelajaran kepada murid
, inti pemikiran Konfusius terpadu dalam sebuah sistem sosial, etika, dan intelektual. Salah satu prestasi besarnya adalah memberikan kesempatan seluas-luas-nya kepada orang kebanyakan untuk mengenal kebudayaan dan pendidikan yang sebelumnya merupakan mono-poli kaum bangsawan. Selanjutnya tulisan berikut ini akan mengkaji hasil pemikiran Konfusius dalam bidang pendidikan, antara lain meliputi tujuan dan metode pengajaran serta ajaran-ajarannya mengenai pendidi-kan moral berkaitan dengan penga-lamannya sendiri sebagai seorang pendidik.
Konfusius Sebagai seorang Pendidik
3 Raymond Dawson, Konghucu: Penata
Budaya Kerajaan Langit, Jakarta: Temprint, 1999, hlm. 15.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010
13
dalam jumlah yang besar. Muridnya berjumlah ribuan orang, dan beberapa puluh diantara mereka menjadi pemikir dan sarjana termasyur.4
Kelompok pendidikan Kon-fusius merupakan sekolah swasta pertama yang dipakai sebagai sarana pendidikan tinggi dalam sejarah Cina. Konfusius tidak hanya melatih orang-orang yang dipercayakan kepadanya tetapi juga mendidik mereka dalam pengertian untuk mengembangkan serta meningkatkan taraf pemikiran serta kesusilaan, memperluas, mem-perkuat, serta menertibkannya.
Angka tersebut mungkin terlalu berlebihan jumlahnya, tetapi tidak diragukan lagi bahwa Konfusius adalah seorang guru yang sangat ber-pengaruh.
5
Sebenarnya fungsi persekolahan yang telah berjalan dengan apa yang telah dilakukan oleh Konfusius sama saja, yaitu bahwa kedua-duanya dimaksudkan untuk memberi bekal kepada muridnya agar dapat menjadi pegawai pemerintah. Tetapi dalam pandangan yang biasa pegawai seperti itu hanya diharapkan menjadi alat bagi penguasa atasannya, sekedar melaksanakan apa yang diinginkan penguasa atasannya agar mengerjakan dan mengelola pemerintahan dengan cara-cara yang lazim. Berbeda dengan hal tersebut, Konfusius mengharapkan agar para
4 Fung Yu Lan, Sejarah Ringkas Filsafat
Cina: Sejak Confusius sampai Han Fei Tzu, (Yogyakarta: Liberty, 1990), hlm. 49.
5 H.G. Creel, Alam Pikiran Cina, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm. 30.
muridnya dapat memainkan peran yang dinamis untuk merombak pemerintahan di mana pun mereka terlibat di dalamnya dan membuatnya agar memenuhi kebutuhan rakyat. Untuk itu para murid tidak hanya cukup sekedar diberi latihan dalam teknik-teknik yang biasa melainkan harus mengembangkan setinggi mungkin prakarsa, watak, dan kecerdasan mereka. Hal yang lebih penting bahwa Konfusius meng-hendaki muridnya menjadi “manusia utuh” yang berguna bagi negara serta masyarakat.
Dalam menyampaikan ajaran-ajarannya, Konfusius senantiasa menekankan nilai moral yang terkan-dung di dalamnya. Dengan demikian ia bukan sekedar penyiar ajaran melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru. Ia selalu menganjurkan agar manusia berpikir sendiri. Ia bersedia membantu dan mengajar tentang bagaimana cara berpikir tetapi jawabannya harus ditemukan sendiri.6
Konfusius menerima murid-murid dari lapisan masyarakat yang tertinggi maupun dari lapisan yang terendah karena Konfusius yakin bahwa setiap orang dapat menjadi chun tzu
7
6 Dawson, op.cit., hlm. 27. 7 Chun tzu adalah manusia ideal yang
telah sampai pada puncak kebijakan.
tanpa memperhatikan masalah keturunan. Menurutnya di bidang pendidikan tidak boleh terjadi adanya pembedaan menurut kelas-kelas masyarakat dan dengan pendi-
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010
14
dikan pula diharapkan dapat meng-hapuskan perbedaan kelas tersebut.
Mengenai sikapnya yang lapang dada dalam menerima murid, ia mengatakan: “Saya tidak pernah menolak memberi pelajaran kepada siapa pun, meskipun ia datang kepadaku dengan berjalan kaki dan sebagai imbalan pelajaran yang diterimanya, ia memberikan tidak lebih dari sebungkus daging kering”.8 Dalam kenyataannya di antara para muridnya terdapat anggota kaum bangsawan bersama dengan orang yang sangat miskin. Sebagai seorang guru Konfusius tidak bersikap pilih kasih, tetapi bila ia memiliki kecenderungan maka ia berkecen-derungan terhadap orang-orang yang kurang mampu.9
Prinsip bahwa pendidikan harus dengan mudah tersedia untuk semua orang yang mencarinya, sebe-narnya mengikuti gagasan bahwa semua manusia dilahirkan sama, dalam arti bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan bawaan untuk berkembang menjadi orang pandai. Konfusius diyakini sebagai orang pertama di Cina yang menerima prinsip ini. Ia lebih tertarik pada hasrat muridnya untuk belajar
Meskipun demikian Konfusius juga menuntut dengan ketat syarat-syarat yang menyangkut ke-mampuan akal mereka.
8 Creel, op.cit., hlm. 31. 9 Di kemudian hari salah seorang
muridnya yang sangat miskin mampu menjadi pegawai dengan kedudukan yang tinggi. Kedudukan yang sangat berpengaruh tersebut diraih bukan sebagai hasil warisan melainkan hasil usahanya sendiri. Ibid., hlm. 31.
daripada status sosial mereka, dan kebanyakan muridnya berasal dari latar belakang kelas bawah. Apa yang dilakukan Konfusius menunjukkan bahwa pemikiran suatu sistem pendidikan nasional sudah dibuat bagi bangsa Cina sebelum bangsa-bangsa lain memiliki konsep seperti itu.
Sebagai hasil belajar mereka dengan Konfusius, para murid betapa pun miskinnya telah dibekali dengan pengetahuan untuk memegang jabatan penting. Demikian pula di akhir Kekaisaran Cina, ketika sistem ujian pamong praja mempunyai kedudukan kuat, maka orang-orang dari kelas bawah memiliki kesem-patan untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan karena pintu masuk menjadi pegawai sipil melalui ujian kompetitif terbuka bagi semua laki-laki tanpa memandang status sosial.10
Konfusius sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi manusia, karena baginya pendidikan dapat mengubah serta menghapuskan kebodohan yang terdapat dalam ma-syarakat. Pendidikan baginya adalah jalan yang akan mengantarkan suatu negeri mencapai kemakmuran. Mela-lui jalur pendidikan Konfusius berusaha memengaruhi orang-orang
10 Dawson, op.cit., hlm. 28. Namun
demikian di sisi lain, Konfusius tidak mementingkan pendidikan bagi kaum perempuan bahkan pandangannya cenderung merendahkan kedudukan perempuan di Cina. Pendidikan bagi kaum perempuan lebih ditujukan bagi kepentingan kaum laki-laki. Lihat Ririn Darini, “Perempuan dalam Budaya Cina Kuno”, dalam Istoria, Vol. 2, No. 1, September 2006, hlm. 47.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010
15
muda yang diharapkan akan menjadi penguasa. Ia berpendapat bahwa pemerintah harus dibangun dalam rangka mewujudkan kesejahteraan serta kebahagiaan seluruh rakyat. Hal itu hanya dapat terwujud bila dipegang oleh orang-orang yang cakap dan pandai. Konfusius secara tegas menekankan perlunya diselenggara-kan pendidikan semesta karena warga negara yang berpengetahuan atau terdidik merupakan landasan yang sangat diperlukan bagi suatu negara.
Bagi Konfusius pendidikan tidak hanya berarti mengajar dalam pengertian sempit, melainkan segala hal yang dapat melatih karakter dan tingkah laku individu atau mening-katkan pengetahuan dan keahlian se-seorang adalah juga bentuk dari pendidikan. Dengan demikian pendi-dikan juga terdapat dalam disiplin keluarga, berburu, perkumpulan sosial dan dialog pribadi.11
Ajaran Konfusius pada dasarnya lebih menekankan pada masalah manusia dan kehidupan di dunia ini. Ajaran-ajarannya lebih
Konfusius berkecimpung di dunia pendidikan tidak sekedar demi pendidikan belaka melainkan mempersiapkan para muridnya terjun ke dunia kerja untuk bekerja dan berjuang demi prinsip-prinsip yang mereka anut. Inti Ajaran Konfusius
11 Sprenger, “Confusius and Modern-
ization in China: An Educational Perspective” dalam Krieger, Silke and Trauzettel, Rolf, Confucianism and the Modernization of China, (Mainz: Hase & Koehler Verlag, 1991), hlm. 457.
banyak membahas masalah pendidikan moral. Konsepsi-konsepsi yang mendasar dalam ajaran filsafat dan dalam pendidikannya adalah sebagai berikut: 1. Li (tata karma/etiket/budi peker-
ti). Li adalah pedoman yang harus ditaati oleh manusia dalam berhu-bungan satu dengan yang lainnya. Konfusius mengartikan li sebagai ritus atau upacara-upacara atau ketentuan kepantasan.12
Konsepsi li merupakan hal yang luar biasa pentingnya dalam pendidikan Konfusius. Para ahli psikiatri mengatakan bahwa pen-didikan kita meskipun sangat meningkatkan kecerdasan kita sering tampak gagal menghasilkan pribadi yang seimbang, yang mampu menduduki tempatnya sebagai anggota masyarakat yang berbahagia dan berguna. Konfusius memandang bahwa peningkatan kecerdasan kurang berharga bila tidak dibarengi dengan keseim-bangan emosi. Usaha untuk meng-hasilkan keseimbangan tersebut tergantung pada pendidikan dalam li.
Li ber-fungsi sebagai pedoman dalam hidup manusia dan sebagai tolok ukur bagi manusia untuk berbuat dan bertingkah laku. Dengan menjalankan li manusia akan tertib terutama bagi dirinya sendiri dan juga dilandasi cinta kasih terhadap sesame manusia.
13
12 Creel, op.cit., hlm. 32. 13 Ibid., hlm. 34.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010
16
2. Tao (jalan/cara) Ada tiga makna berkaitan dengan tao. Pertama, tao adalah jalan dari kenyataan terakhir. Tao ini tidak dapat ditangkap karena melampaui jangkauan panca indera. Kedua, tao adalah jalan alam semesta sebagai kaidah, irama, dan kekuatan pendorong seluruh alam dan asas penta di belakang semua yang ada. Ketiga, tao menunjuk pada jalan bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya agar selaras dengan cara kerja alam semesta. Sistem pemikiran Konfusius menggunakan istilah Tao dalam kerangka moralitas, perangkat aturan, atau asas perilaku dalam arti sosial dan politik. Jalan yang diajarkan Konfusius berarti jalan atau cara bertindak, suatu tindakan yang dijiwai oleh cita-cita perikeadilan dan kepantasan serta rasa kasih terhadap sesama manusia.
3. Jen (perikemanusiaan) Menurut Konfusius perikemanusiaan terwujud dalam bentuk mengasihi manusia-manusia lainnya. Manusia yang benar-benar mampu mengasihi manusia lainnya adalah manusia yang mampu melaksanakan kewajibannya dalam masyarakat. “Jangan berbuat sesuatu terhadap orang lain yang engkau sendiri tidak menginginkannya terjadi terhadapmu” sebagai jalan untuk mengamalkan jen. Artinya prinsip yang memakai diri sendiri sebagai
tolok ukur untuk mengatur perilakunya.14
4. Chun Tzu (Manusia Bijak)
Konfusius menyatakan bahwa orang yang mampu menjadi pemimpin dan memangku jabatan pemerintahan adalah orang yang memiliki keagungan watak dan kepribadian yang baik yang disebut Chun Tzu. Secara singkat pemerintahan yang ideal adalah sebuah agen yang menjamin keteladanan orang yang bermoral tinggi ditujukan kepada masyarakat. Karena tugas penting pemerintah adalah mengubah rakyatnya melalui pendidikan, dan karena hal ini meliputi pengenalan dan peniruan pada para tokoh panutan maka orang yang memegang kekuasaan adalah orang yang bertindak selaku panutan bagi rakyat karena ketinggian moralnya.15
5. Cheng Ming (Penyesuaian Nama)
Cheng Ming bertujuan untuk menyelaraskan antara nama dengan tindakan. Individu seharusnya menyesuaikan diri dengan kewajiban-kewajiban berkaitan dengan posisinya dalam masyarakat. Manusia harus mengetahui dengan cermat posisinya dalam hidup dan masyarakat sekitarnya. Kewajiban dan tanggung jawab yang diberikan kepada seseorang harus ditepati sesuai dengan nama yang
14 Fung Yu Lan, op.cit., hlm. 55. 15 Dawson, op.cit., hlm. 83.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010
17
disandangnya. Bila terjadi penyim-pangan nama-nama maka akan terjadi kekacauan. Ketidaksesuaian nama dengan aktualita akan mela-hirkan anarki pikiran dan degradasi moral dalam diri para cendekiawan. Contoh, hakekat idaman penguasa seharusnya dimiliki orang-orang yang diberi nama penguasa atau dalam catatan Cina disebut sebagai ’jalan bagi penguasa’.16
6. Hsiao (Bakti Anak)
Ia memiliki kewajiban dan tanggung jawab sebagai penguasa. Seorang pe-nguasa adalah seorang yang mengatur rakyat. Mengatur adalah meluruskan. Jika seorang penguasa membuat rakyatnya jadi menyim-pang maka ia tidak layak disebut penguasa. Namanya harus diubah sesuai dengan aktualitanya, atau aktualitanya yang diubah agar sesuai dengan nama sebagai penguasa.
Bakti anak kepada orang tua merupakan akar kebajikan dan sumber dari semua pengajaran. Bakti akan mendorong ambisi seseorang untuk belajar keras agar lulus dalam ujian dan memasuki sebuah karier birokratis sehingga kemasyurannya dapat diketahui sampai generasi berikutnya dan memantulkan kemuliaan bagi orang tua mereka. Konsep ini kemudian dikenal se-bagai pemelihara stabilitas sosial yang unggul karena mempererat
16 Fung Yu Lan, loc.cit.
sistem keluarga dan sistem marga yang sangat menentukan tata tertib dan persatuan negara.
Belajar dan Mengajar Konfusius merupakan pribadi yang
gemar belajar. Kegemaran tersebut diketahui dari Kitab Analect/Bunga Rampai 7.2., “secara diam-diam kukumpulkan ilmu pengetahuan. Aku belajar dan tidak pernah bosan. Aku mengajar orang lain dan tidak pernah jemu–karena hal-hal seperti ini muncul secara alami pada diriku.”17
Konfusius merupakan pribadi yang gemar belajar. Baginya belajar mengandung arti pengumpulan pengetahuan untuk kepentingan mem-bimbing tingkah laku seseorang. Konfusius sendiri kemudian dianggap sebagai teladan moral yang merupakan objek pelajaran atau peniruan. Menurut Konfusius demi-
Sejak usia 15 tahun ia mengabdikan hidupnya untuk belajar dan mem-bagikan hasil belajarnya bagi orang lain yang terlahir sebagai masyarakat kelas bawah.
Prinsip belajar sampai mati dan hanya kematianlah yang menghen-tikan kegiatan belajar merupakan prinsip yang sudah ada dan ditanamkan sejak Konfusius. Belajar ini harus sudah tertanam sejak masa kanak-kanak dan tidak boleh menun-danya sampai usia tua. Belajar adalah pekerjaan sepanjang hayat dan Cina telah memberikan status pada kegiatan belajar lebih dari masyarakat mana pun.
17 Dawson, op.cit., hlm. 14.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010
18
kian pentingnya belajar sehingga ditekankan enam kualitas dalam belajar, yaitu:
1. Kebajikan tanpa belajar meng-akibatkan ketololan
2. Kesadaran tanpa belajar menga-kibatkan pemborosan
3. Keyakinan tanpa belajar meng-akibatkan kejahatan
4. Keterusterangan tanpa belajar mengakibatkan ketidaksabaran
5. Keberanian tanpa belajar mengakibatkan ketidaktenteraman
6. Kekuatan tanpa belajar meng-akibatkan kesombongan.18
Tujuan belajar adalah untuk mencapai kebenaran. Dengan meng-ikuti prinsip mencari kebenaran, belajar itu adalah untuk memperoleh kebenaran. Orang yang bertanya tentang kebenaran harus lebih dihargai ketimbang mereka yang bertanya tentang uang dan kedudukan. Meskipun kekayaan dan penghargaan merupakan dua hal yang diunggulkan oleh manusia, tetapi keduanya hendaknya diperoleh dengan cara-cara yang benar. Demi-kian pentingnya belajar dan mencari kebenaran, sampai-sampai ia mengatakan ‘bila seseorang telah mempelajari kebenaran di pagi hari maka cukup baginya dan ia bisa mati di sore harinya tanpa menyesal’.
19
18 Cheng Hanbang, “Confucian Ethics and
Moral Education of Contemporary Students”, dalam Krieger, Silke, and Trautzettel, Rolf, Confucianism and the Modernization of China, Mainz: Hase & Koehler Verlag, 1991, hlm. 196.
19 Ibid.
Pendekatan mengajar Konfusius merefleksikan tujuan pembelajaran-nya. Dalam keinginannya melihat muridnya berkembang menjadi manusia bijak dan memiliki kualitas kemanusiaan, dia menerima muridnya dengan apa adanya, mencoba me-mahami mereka dan dengan sabar membimbing mereka. Bimbingan dilakukan melalui beberapa tahap, supaya para murid memperoleh pengalaman hidup yang berarti dan memperoleh kualifikasi tertentu sesuai dengan peran mereka dalam masyarakat. Menurut Sprengler pen-dekatan ini mirip dengan metode mengajar yang dikembangkan seka-rang yaitu metode heuristik.
Konfusius menekankan pentingnya dimensi psikomotorik dalam pendi-dikan. Bahan-bahan yang penting untuk dipelajari adalah puisi, upacara keagamaan, dan musik sebagaimana tertulis dalam Analect 8.8.: ‘orang dirangsang dengan puisi, dibentuk dengan upacara, dan disempurnakan dengan musik.’20
20 Dawson, op.cit., hlm. 32.
Bagi Konfusius semua mata pelajaran bahkan kesusasteraan diusahakan dengan tujuan praksisnya. Menurutnya puisi dianggap dapat mempertinggi perasa-an seseorang dan memudahkannya dalam melaksanakan tugas sosial yang menjadi tanggung jawab utamanya dengan lebih baik, karena tujuan akhir dari pendidikan adalah mendapatkan salah satu jabatan dalam pemerintahan. Musik juga mempunyai pengaruh besar terhadap jiwa dan
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010
19
perasaan manusia, yang dapat mem-perhalus budi pekerti dan tingkah laku manusia.
Para murid diwajibkan untuk berlatih mengajar sehingga ketika mereka meninggalkan sekolah mereka mempunyai kemampuan mengajar. Berbagai metode belajar yang diguna-kan adalah metode dialog, tanya jawab, pemecahan masalah, dan dis-kusi kelompok.
Nilai-nilai moral selalu disam-paikan kepada murid-muridnya secara integratif dengan memadukan antara belajar, berpikir, dan praktek. Konfusius mempraktekkan sikap dan tingkah laku seorang teladan. Ketela-danan dari seorang guru meru-pakan unsur penting yang menjadi kunci keberhasilan pendidikan afektif. Guru dalam pandangan Konfusius adalah seorang yang berperangai lemah lembut namun teguh hati, memerintah tetapi tidak secara kasar, dan disegani tetapi ramah.21
Konfusius juga menekankan pentingnya pertemanan di antara sesama murid, mengembangkan hu-bungan yang baik, dan mengem-bangkan sikap kritis dan harmonis. Para murid juga diminta untuk tidak
Sebaliknya Konfusius mene-
kankan bahwa siswa harus meng-hormati gurunya. Para murid harus mencintai gurunya seperti halnya menncintai bapaknya. Namun demikian meskipun hormat kepada guru, para murid harus tetap bersikap kritis terhadap guru mereka.
21 Ibid., hlm. 17.
melupakan kejujuran dalam mencapai segala yang diinginkan. Pemeliharaan moral harus diintegrasikan dalam pendidikan, dan hal ini dipandang sebagai cara yang penting untuk mengembangkan karakter seseorang. Penutup
Konfusius sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi manusia, karena baginya pendidikan dapat mengubah serta menghapuskan kebodohan yang ada dalam masyarakat. Pendidikan merupakan hak setiap orang tanpa melihat status kekayaannya.
Pendidikan adalah hal yang men-dasar bagi penyelenggaraan suatu pemerintahan yang baik, adil, dan makmur. Pendidikan merupakan jalan yang akan mengantarkan suatu negeri mencapai kemakmurannya.
Banyak prinsip dan praktek pendidikan Konfusius yang masih relevan sampai saat ini, antara lain mengenai teori belajar dan mengajar, pendekatan pengajaran, hubungan antara guru dengan murid, maupun pentingnya kepribadian seorang guru. Agar tujuan pendidikan tercapai, Konfusius menerapkan metode pembelajaran yang variatif, meliputi metode ceramah, tanya jawab, dialog, pemecahan masalah, dan diskusi kelompok.
Pada saat yang bersamaan, nilai-nilai moral selalu ditekankan kepada murid-muridnya secara integratif dengan memadukan antara belajar, berfikir, dan praktek. Ia pun sangat menekankan pentingnya model atau tokoh dalam pendidikannya, yaitu
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2, APRIL 2010
20
dengan menempatkan guru sebagai suri tauladan yang baik.
Referensi
Cheng Hanbang, “Confucian Ethics and Moral Education of Contemporary Students”, dalam Krieger, Silke, and Trautzettel, Rolf, (ed.), Confucianism and the Modernization of China, Mainz: Hase & Koehler Verlag, 1991.
Creel, H.G., Alam Pikiran Cina, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Dawson, Raymond, Konghucu: Penata Budaya Kerajaan Langit, Jakarta: PT Temprint, 1999.
Fung Yu Lan, Sejarah Ringkas Filsafat Cina: Sejak Konfusius Sampai Han Fei Tzu, Yogyakarta: Liberty, 1990.
Krieger, Silke, and Trautzettel, Rolf,(ed.), Confucianism and the Modernization of China, Mainz: Hase & Koehler Verlag, 1991.
Lin Yutang, Penguasa Bijak: Berguru pada Demokrasi Cina Kuno, Jakarta: Curiosita, 2004.
Ririn Darini, “Perempuan dalam Budaya Cina Kuno”, dalam Istoria, Volume 2, Nomor 1, September 2006.
Sprenger, Arnold, “Confusius and Modernization in China: An Educational Perspective” dalam Krieger, Silke and Trauzettel, Rolf, (ed.), Confucianism and the
Modernization of China, Mainz: Hase & Koehler Verlag, 1991.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
21
FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG
KUALITAS PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMA 5 YOGYAKARTA
Oleh: Terry Irenewaty1
1 Dosen tetap dan sekaligus ketua jurusan Pendidikan Sejarah FISE Universitas Negeri
Yogyakarta.
Abstrak
Pembelajaran sejarah memiliki karakteristik khusus dalam tujuan pencapaiannya terutama menyangkut tertanamkannya nilai-nilai kesadaran sejarah dan nasionalisme, di samping kemampuan akademik siswa. Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut, maka perlu pembelajaran yang inovatif sehingga perlu pendukung agar pembelajaran sejarah menjadi berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika pembelajaran sejarah di SMA 5 Yogyakarta selama ini, dan mengetahui faktor-faktor yang mendukung kualitas pembelajaran sejarah di SMA tersebut. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa SMA 5 Yogyakarta tergolong sekolah yang memiliki tingkat keberhasilan tinggi dalam proses pembelajaran maupun dalam realitas outputnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif- deskriptif yang bersifat naturalistik. Sedangkan strategi yang digunakan mengingat penelitian tersebut sudah direncanakan secara terperinci dalam proposal sebelum peneliti terjun ke lapangan, maka strateginya yang cocok adalah embedded research (penelitian terpancang). Adapun langkah-langkahnya adalah 1) pengumpulan sumber melalui wawancara, observasi, dan teknik dokumentasi); 2) mereduksi data dengan tujuan untuk menyederhanakan dan mengkategorisasi data; 3) menyajikan data dalam bentuk deskripsi memorial; 4) menarik kesimpulan sebagai hasil interpretasi; 5) mengajukan rekomendasi berupa implikasi; dan 6) menyusun laporan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika pembelajaran sejarah di SMA 5 Yogyakarta selama ini menunjukkan keanekaragaman pencerminan dimana proses pembelajaran sudah berlangsung cukup baik. Proses pembelajaran sejarah menunjukkan adanya kualitas proses dan hasil pembelajaran. Penilaian yang dilaksanakan oleh guru juga sudah mencakup penilaian proses dan produk pembelajaran. Selanjutnya melalui penelitian ini ditemukan faktor-faktor yang mendukung kualitas pembelajaran di SMA 5 Yogyakarta tersebut yakni adanya kompetensi guru yang sudah memiliki kompetensi dengan baik; adanya sikap siswa yang positif terhadap pelajaran sejarah; adanya motivasi yang cukup tinggi untuk berprestasi dalam mata pelajaran sejarah; sarana pembelajaran yang cukup memadai; dan iklim kelas yang mendukung proses pembelajaran sejarah. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan landasan atau pedoman bagi pimpinan sekolah maupun guru pada umumnya untuk senantiasa memerhatikan faktor-faktor yang mendukung terwujudnya kualitas pembelajaran. Kata Kunci: pembelajaran, kualitas, sejarah.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
22
Pengantar Keberhasilan tujuan pendidikan
(output), sangat ditentukan oleh implementasinya (proses), dan imple-mentasinya sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan segala hal (input) yang diperlukan untuk berlangsungnya implementasi. Keyakinan ini berangkat dari kenyataan bahwa kehidupan diciptakan oleh-Nya serba sistem (utuh dan benar) dengan catatan utuh dan benar menurut hukum-hukum kete-tapan-Nya (Slamet, 2005: 1). Jika demikian halnya, tidak boleh berpikir dan bertindak secara parsial apalagi parosial dalam melaksanakan pendi-dikan dan pembelajaran. Sebaliknya, perlu berpikir dan bertindak secara holistik, integratif, terpadu dalam rangka untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran.
Dalam rangka pengembangan pembelajaran sejarah agar lebih fungsional dan terintegrasi dengan berbagai bidang keilmuan lainnya, maka terdapat berbagai bidang yang seyogianya mendapat perhatian, yaitu: pertama, untuk menjawab tantangan masa depan, kreativitas dan daya inovatif diperlukan agar suatu bangsa bukan hanya sekedar manjadi konsumen IPTEK, konsumen budaya, maupun penerima nilai-nilai dari luar secara pasif, melainkan memiliki keunggulan kompetitif dalam hal penguasaan IPTEK. Oleh karenanya, sikap, motivasi, dan kreativitas perlu dikembangkan melalui penciptaan situasi proses belajar mengajar yang dinamis di mana pengajar mendorong vitalitas dan kreativitas peserta didik
untuk mengembangkan diri. Kedua, peserta didik akan dapat mengembangkan daya kreativitas-nya apabila proses belajar mengajar dilaksanakan secara terprogram, sistemis dan sistematis, serta ditopang oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Ketiga, dalam proses pengembangan kema-tangan intelektualnya, peserta didik perlu dipacu kemampuan berfikirnya secara logis dan sistematis. Dalam proses belajar mengajar, pengajar harus memberi arahan yang jelas agar peserta didik dapat memecahkan suatu persoalan secara logis dan ilmiah. Keempat, peserta didik harus diberi internalisasi dan keteladanan, dimana mereka dapat berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Fenomena ini dalam hal-hal tertentu dapat membentuk semangat loyalitas, toleransi, dan kemampuan adap-tabilitas yang tinggi. Dalam pendekatan ini perlu diselaraskan dengan kegiatan proses belajar mengajar yang memberi peluang kepada mereka untuk ber-prakarsa secara dinamis dan kreatif. Oleh karena itu, diperlukan kinerja guru yang mendukung pencapaian kualitas tersebut.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang dinamika pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah yang tergolong sekolah berkualitas selama ini, maka penelitian ini akan dilaksanakan di SMA 5 Yogyakarta, dengan asumsi bahwa SMA tersebut dapat menggeneralisasi sekolah-sekolah berkualitas lainnya. Adapun fokus penelitian ini adalah menyangkut
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
23
faktor-faktor yang mendukung kualitas pembelajaran sejarah di SMA. Kualitas Pembelajaran Sejarah Keberhasilan program pembela-jaran sangat ditentukan oleh tinggi rendah-nya kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran, aktivitas dan kreativitas guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar akan berkualitas apabila didukung oleh guru yang professional memiliki kompetensi professional, pedagogik, kepribadian, dan sosial (UU Guru dan Dosen Pasal 10). Di samping itu, kualitas pembelajaran juga dapat maksimal jika didukung oleh siswa yang berkualitas (cerdas, memiliki motivasi belajar yang tinggi dan sikap positif dalam belajar), dan didukung sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai. Guru yang profesional akan memungkinkan memiliki kinerja yang baik, begitu pula dengan siswa yang berkualitas memungkinan siswa memiliki perilaku yang positif dalam kegiatan belajar mengajar. Interaksi belajar mengajar antara guru dan siswa yang positif akan mewujudkan budaya kelas yang positif dan impresif atau iklim kelas (classroom climate) yang mendukung untuk proses belajar siswa. Dengan demikian, seluruh pendukung kegiatan belajar mengajar harus tersedia sebagaimana dikatakan Cox (2006: 8) bahwa: ”the quality of an instructional program is comparised of three elements, materials (and equipment), activities, and people”.
Untuk mengetahui tingkat kualitas pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar, maka perlu diketahui dan dirumuskan indikator-indikator kuali-tas pembelajaran. Morrison, Mokashi & Cotter (2006: 4-21) dalam risetnya telah merumuskan 44 indikator kualitas pembelajaran yang reduksi kedalam 10 indikator. Kesepuluh indikator kualitas pembelajaran tersebut meliputi: 1) Rich and stimulating physical environment; 2) Classroom climate condusive to learning; 3) Clear and high expectation for all student; 4) Coherent, focused instruction; 5) Thoughtful discourse; 6) Authentic learning; 7) Regular diagnostic assessment for learning; 8) Reading and writing as essential activities; 9) Mathematical reasoning; 10) Effective use of technology. 1. Sikap dan Motivasi Siswa
Menurut Edward (dalam Eko Pramono, 1993: 61), sikap dinyatakan sebagai derajat afeksi baik positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek psikologis. Adapun yang dimaksud dengan objek psikologis adalah sembarang simbol, ungkapan, pribadi (person), slogan, lembaga (institusi), cita-cita atau ide, norma-norma, nilai-nilai dimana terhadapnya setiap orang dapat berbeda tingkat afeksinya, baik positif maupun negatif. Sementara Zimbardo (dalam Pramono, 1993: 62), menjelaskan sikap sebagai suatu kesiapan mental atau predisposisi implisit yang berpengaruh secara umum dan konsisten atas respon-respon evaluatif serta meliputi komponen-
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
24
komponen kognitif, afektif, dan perilaku.
Sedangkan motivasi sebagai-mana digambarkan oleh J.E. Ormrod (2003: 368-369) menguraikan bahwa: Motivation has several effect on students’ learning and behavior:It directs behavior toward particular goal.It leads to increased effort and energy.It increases initiation of, and persistence in activities.It enhances cognitive processing. It lead to improved performance.( Motivasi memiliki beberapa efek terhadap belajar siswa: motivasi mempenga-ruhi secara langsung terhadap perilaku yang diarahkan pada tujuan tertentu. Motivasi mendorong meningkatnya semangat dan usaha. Motivasi meningkatkan ketekunan dalam kegiatan. Motivasi memper-tinggi proses berpikir. Motivasi mendorong perbaikan kinerja).
Motivasi belajar merupakan factor psikis yang bersifat non-intelektual. Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Seorang yang memiliki intelegensia cukup tinggi boleh jadi gagal karena kekurangan motivasi. Mengenai hal ini, tidak saja mempersalahkan pihak siswa, sebab mungkin saja guru tidak berhasil dalam memberi motivasi yang mampu memberikan semangat dan kegiatan siswa untuk belajar. Dengan demikian tugas guru adalah bagaimana mendorong para siswa
agar pada dirinya tumbuh motivasi (Sardiman AM, 2007: 75-76).
2. Sarana Pembelajaran
Di samping faktor kemampuan pengajar, pengembangan strategi belajar mengajar, sangat berkaitan erat dengan tersedianya fasilitas dan kelengkapan kegiatan belajar mengajar, baik yang bersifat statis (seperti gambar, model, dan lain sebagainya) ataupun yang bersifat dinamis (seperti kehidupan yang nyata di sekitar peserta didik) (Widja, 1989: 37). Ini berarti, dalam pengembangan strategi pembela-jaran sejarah, harus sudah diperhitungkan pula fasilitas atau sarana yang ada (perlu diadakan), sebab tanpa memperhitungkan itu semua, suatu strategi yang betapapun direncanakan dengan baik akan tidak efektif pula hasilnya. Juga dengan sendirinya diperhitungkan alokasi-alokasi waktu yang tersedia. Oleh karena itu, pengembangan suatu strategi pembelajaran sejarah berkaitan erat dengan usaha membuat perencanan pembelajaran (course planing), di mana segala unsur-unsur yang menunjang strategi tersebut diperhitungkan dan dipersiapkan sehingga sasaran yang hendak dicapai melalui suatu strategi, dapat terwujud dengan sebaik-baiknya.
Proses belajar mengajar akan berlangsung dengan baik dan berkualitas apabila didukung sarana pembelajaran yang memadai. Sarana pembelajaran dapat berupa tempat
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
25
atau ruang kegiatan pembelajaran beserta kelengkapannya, yang diorientasikan untuk memudahkan terjadinya kegiatan pembelajaran. Terdapat dua sarana pembelajaran yang harus tersedia, yakni perabot kelas atau alat pembelajaran dan media pembelajaran. Menurut Cruickshank (1990: 11), sarana pembelajaran yang mempengaruhi kualitas proses pembelajaran terdiri atas ukuran kelas, luas ruang kelas, suhu udara, cahaya, suara, dan media pembelajaran. Media pembelajaran dapat klasifikasi menjadi 4 macam, yakni: a) media pandang diproyek-sikan, seperti: OHP, slide, projector dan filmstrip; b) media pandang yang tidak diproyeksikan, seperti gambar diam, grafis, model, benda asli; c) media dengar, seperti piringan hitam, pita kaset dan radio; d) media pandang dengar, seperti televisi dan film (Ibrahim Bafadal, 2003: 13-14). Kelengkapan dan optimalisasi pemanfaatan media pembelajaran penting peranannya dalam mencapai efektivitas program pembelajaran.
3. Iklim Kelas dan Kinerja Guru
Iklim kelas merupakan salah satu indikator penting yang berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran, di samping faktor-faktor pendukung lainnya. Dikatakan Hyman dalam (Hadiyanto & Subiyanto 2003: 8) dijelaskan bahwa iklim pembelajaran yang kondusif antara lain dapat mendukung: (1) interaksi yang bermanfaat di antara peserta didik, (2) memperjelas pengalaman-
pengalaman guru dan peserta didik, (3) menumbuhkan semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung dengan baik, dan (4) mendukung saling pengertian antara guru dan peserta didik. Dijelaskan lebih lanjut oleh Moos dalam ( Hadiyanto & Subiyanto 2003: 8) bahwa iklim sosial dapat berpengaruh terhadap kepuasan peserta didik dalam belajar, dan dapat menumbuhkembangan pribadi. Berdasarkan pendapat tersebut jelas bahwa iklim kelas sangat berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran, dan pada gilirannya berarti berpengaruh juga terhadap hasil pembelajaran.
Faktor guru merupakan salah satu variabel input yang berpengaruh terhadap pencapaian kualitas pembelajaran. Proses pembelajaran akan menunjukkan kualitas tinggi apabila didukung oleh segala kesiapan input termasuk kinerja guru yang maksimal dalam kegiatan belajar mengajar. Nana Sudjana (2002: 42) dalam penelitiannya menyampaikan tesis bahwa 76,6% hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kinerja guru, dengan rincian: kompetensi guru mengajar membe-rikan sumbangan 32,43%, penguasa-an materi pelajaran memberikan sumbangan 32,38% dan sikap guru terhadap mata pelajaran mem-berikan sumbangan 8,60%.
Faktor guru adalah faktor yang sangat mempengaruhi terutama dilihat dari kemampuan guru mengajar serta kelayakan guru itu sendiri. Data Pusat Statistik
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
26
Pendidikan Balitbang Depdiknas 2000/2001 menunjukkan bahwa persentase guru yang layak mengajar terhadap jumlah guru yang ada secara nasional adalah 63.79%. Artinya masih terdapat sekitar 36.21% guru SMA yang tidak layak mengajar baik dilihat dari kompetensi maupun kualifikasi pendidikannya. Perhatian yang belum sungguh-sungguh terhadap sumber daya pendidikan khususnya guru-guru baik dalam hal peningkatan mutu, kesejahteraan, dan kedudukan sosialnya, proses pendidikan dan perkembangan masyarakat akan lebih memperlebar kesenjangan kualitas guru-guru itu sendiri.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA 5 Yogyakarta, dan difokuskan pada dinamika pembelajaran sejarah selama ini, dan faktor-faktor pendukung kualitas pembelajaran sejarah. Berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam studi ini, yang lebih mengutamakan pada masalah makna/persepsi, maka jenis penelitian dengan strateginya yang relevan adalah studi kualitatif. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap berbagai informasi kualitatif dan kauantitatif dengan deskripsi-analisis yang teliti dan penuh makna. Pada tiap-tiap obyek akan dilihat kecenderungan, pola pikir, ketidakteraturan, serta tampilan perilaku dan integrasinya sebagaimana dalam studi kasus genetik (Muhadjir, 1996: 243). Karena permasalahan dan fokus penelitian
sudah ditentukan dalam proposal sebelum terjun ke lapangan, maka jenis strategi penelitian ini secara lebih spesifik dapat disebut sebagai studi terpancang (embedded study research)(Yin, 1987: 136). Sampling menggunakan purposive sampling, validasinya menggunakan triangulasi dan informant review, dan analisisnya menggunakan analisis interaktif.
Hasil Penelitian dan Pembahasan 1.Profil SMA Negeri 5 Yogyakarta Berawal dari prakarsa para tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat di Yogyakarta yang antara lain Bapak R. DS. Hadiwidjono, Bapak JudjanaL, Prof. Ir Haryono, Prof. Ir Supardi, Prof. Suhardi, SH, pada tanggal 17 september 1949, SMA Negeri 5 Yogyakarta secara resmi dapat didirikan dengan nama Sekolah Menengah Umum Atas Bagian Yuridis Ekonomi (SMA/AC) dan menempati gedung SMA Putri Stella Duce Yogyakarta. Pada tanggal 27 Oktover 1949, melalui surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 210 B, SMA C memperoleh status menjadi SMA Bagian C Negeri. Sebagai kepala sekolah adalah Bapak R.D.S Hadiwijana. Tanggal 31 maret 1950 pimpinan sekolah yang diserah terimakan kepada Bapak Suwito Puspo Kusumo, yang selanjutnya diserahkan kepada Bapak RA Djoko Tirto, SH. Dibawah pimpinan Bapak R.A Djoko, SH SMA bagian C berkembang pesat.
Tanggal 21 Juli 1952 melalui SK Menteri Pendidikn& Keudayaan nomor 3094/B, SMA/C dipecah menjadi 2 sekolah yaitu:
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
27
1) MA Bagian C Negeri dibawah pimpinan Bapak Parwanto SH yang menempati gedung di Jalan Pogung No 2 Kotabaru, Yogyakarta, masuk pada siang hari (sekarang menjadi SMA N 5 Yogyakarta).
2) SMA Bagian C Negeri II dipimpin Bapak RA Djoko Tirtono SH yang menempati gedung yang sama tetapi masuk pada pagi hari (sekarang menjadi SMA N 6 Yogyakarta). Untuk mengantisipasi kemajuan
jaman dengan menyiapkan siswa untuk dapat melanjutkan ke Perguruan tinggi, maka pada tanggal 1 gustus 1959 SMA Negeri V Bagian C dijadikan SMA Negeri V bagian A-C. Pada tahun tersebut berhasil dibakukan : 1) peraturan dan tata tertib sekolah; 2) Lagu Mars Puspanegara; 3) Lambang sekolah “Puspanegara“ yang memiliki tugas suci “Trus Hakarya Ruming Praja“ mengandung makna agar nantinya para siswa SMA N 5 Yogyakarta terus berkarya demi keharuman Negara dan Bangsa.
Sejak resmi berdiri sampai saat ini, SMA N 5 Yogyakarta telah mengalami berkali-kali pergantian Kepala Sekolah. Setiap kepemimpinan membawa perubahan kearah peningkatan. Lebih dari 10 orang kepala sekolah pernah menjabat dan memimpin di SMA N 5 Yogyakarta. Pada tanggal 11 Juli 1999, SMA N 5 Yogyakarta diserah terimakan kepada Bapak Drs Panut S, karena kepala sekolah sebelumnya yaitu Bapak Drs
N Ngabdurahim menjalani masa purna tugas. Bapak Drs. Panut S menggantikan posisi beliau untuk beberapa saat hingga datang kepala sekolah tetap yang baru.
Kepala sekolah yang baru datang pada bulan Desember 1999 yaitu Bapak Drs Ilham. Pada periode ini. Bapak Drs. H Ilham memiliki program utama meningkatkan ketakwaan sehingga pada saat itu salah satu wujudnya adalah diresmikannya masjid SMA N 5 Yogyakarta dengan nama masjid DARUSSALAM PUSPA-NEGARA. Beliau menjabat hingga purna tugas. Pada bulan Desember 2001 Bapak Drs Timbul Mulyono, kepala sekolah SMA N 7 Yogyakarta ditunjuk untuk menggantikan sementara posisi kepala sekolah. Tanggal 25 Maret 2002 kepala sekolah dijabat oleh Bapak Drs. H Abu Suwardi. Program beliau adalah pembangunan etos kerja pada semua guru dan karyawan dan membangun kedisiplinan pada para siswa.
2. Visi dan Misi Visi
Berusaha menciptkan manusia yang memiliki citra moral, citra keceendekiawanan, citra kemandirian dan berwawasan linkungan berdasarkan atas ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Misi 1) Terbentuknya insan pelajar
yang memiliki moral, perilaku yang baik, berbudi pekerti yang luhur berbudaya bangsa Indonesia dan berakhlakul
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
28
karimah berdasarkan aturan-aturan yang berlaku baik di kalangan masyarakat, sekolah, negara maupun agama.
2) Terbentuknya generasi yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi berjiwa patriotis, nasionalis tanpa mengabaikan nilai-nilai norma serta nilai-nilai luhur kebangsaan maupun keagamaan.
3) Terbentuknya generasi yang berjiwa mandiri, senang beraktivitas dan berkreatifitas untuk menatap kehidupan masa depan yang lebih cerah dalam menghadapi berbagai tantangan di era globalisasi.
Faktor Pendukung Kualitas Pembe-lajaran Sejarah
Dalam proses pembelajaran sejarah, SMA 5 Yogyakarta sudah mengacu dan menerapkan pada pencapaian tujuan pembelajaran sejarah sebagaimana rambu-rambu di atas. Pencapaian tujuan pembelajaran selama ini tidak hanya terfokus pada kecakapan akademik saja, melainkan juga sudah menyentuh ranah kesadaran sejarah dan nasionalisme. Di samping itu di SMA 5 Yogyakarta juga menerapkan prinsip Penilaian Berbasis Kelas (PBK), sehingga teknik penilaian tidak hanya menerapkan tes dan penilaian akhir saja, melainkan juga dengan non-tes dan penilaian proses dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, penilaian pembelajaran sejarah dilaksanakan secara komprehensif dan
berkesinambungan. Hal ini tentunya dapat berhasil karena dukungan kompetensi guru sejarah, iklim kelas, motivasi dan sikap siswa, serta sarana pembelajaran sejarah.
Dalam hal ini, faktor yang cukup dominan dalam menentukan keberhasilan program pembelajaran sejarah adalah kualitas pembelajaran. Dengan demikian, kualitas pelaksanaan pembelajaran akan sangat tergantung pada sarana dan prasarana pembelajaran, aktivitas guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran dan personal yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran baik itu guru dan siswa. Kualitas pembelajaran akan lebih baik apabila melibatkan guru yang berkualitas (mempunyai kompetensi dalam bidangnya), siswa yang berkualitas (cerdas, mempunyai motivasi belajar yang tinggi dan mempunyai sikap yang positif dalam belajar) dan dengan didukung sarana dan prasarana atau fasilitas pembelajaran yang cukup baik, baik dari segi ketersediaan maupun pemanfaatan (utility)nya. Guru yang berkualitas akan memungkinkan mempunyai kinerja yang baik, begitu juga dengan siswa yang berkualitas memungkinan siswa mempunyai perilaku yang positif dalam kegiatan pembelajaran. Interaksi antara keduanya memungkinkan terwujudnya iklim kelas (classroom climate) yang cukup kondusif untuk proses belajar siswa.
Kualitas pembelajaran merupakan ukuran yang menunjukkan seberapa tinggi kualitas interaksi antara guru
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
29
dengan siswa yang terjadi dalam tempat pembelajaran (ruang kelas) untuk mencapai tujuan pembelajaran atau mewujudkan kompetensi tertentu. Interaksi tersebut melibatkan guru dan siswa yang dilakukan dalam lingkungan tertentu dengan dukungan sarana dan prasarana tertentu. Dengan demikian keberhasilan proses pembelajaran atau kualitas pembelajaran akan tergantung dan dipengaruhi oleh: guru, siswa, fasilitas pembelajaran, lingkungan kelas, dan iklim kelas.
Sebagaimana dipaparkan dalam kajian teori di atas, kualitas pembe-lajaran dikatakan baik manakala lingkungan fisik mampu menumbuhkan semangat siswa untuk belajar; iklim kelas kondusif ; guru menyampaikan pelajaran dengan jelas; 4) pelajaran disampaikan secara sistematis dan terfokus; guru menyajikan materi dengan bijaksana; pembelajaran ber-sifat riil; ada penilaian diagnostik yang kontinyu; adanya budaya mem-baca dan menulis; menggunakan pertim-bangan rasional dalam meme-cahkan masalah; menggunakan tekno-logi pembelajaran, baik untuk mengajar maupun kegiatan belajar siswa. Keberhasilan dalam pembelajaran tidak hanya dipengaruhi oleh guru dan lingkungan saja, tetapi faktor siswa cukup berperan, oleh karena itu dalam ini dimasukkan dua aspek baru dari sisi siswa, yaitu sikap dan motivasi belajar siswa. Di SMA 5 Yogyakarta, indikator yang menjadi pendukung peningkatan kualitas pembelajaran sejarah adalah sebagai berikut:
a. Kompetensi Guru Salah satu faktor yang mem-pengaruhi kualitas pembelajaran adalah variabel guru. Guru mempunyai pengaruh yang cukup dominan terhadap kualitas pembelajaran, karena gurulah yang bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran di kelas, bahkan sebagai penyelenggara pendidikan di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang selama ini dilaksanakan, kompetensi guru SMA 5 Yogyakarta sudah dianggap: a) Menguasai bidang studi atau
bahan ajar dengan baik b) Memahami karakteristik peserta
didik secara komprehensif c) Menguasai pengelolaan
pembelajaran dengan baik d) Menguasai metode dan strategi
pembelajaran dengan inovatif e) Menguasai penilaian hasil
belajar siswa secara cermat f) Memiliki kepribadian dan
wawasan pengembangan profesi Dalam melaksanakan tugasnya,
guru sudah dapat berfungsi sebagai pengajar, pelatih, pembimbing, dan sebagai professional (Ketentuan Umum pasal 1, Undang - Undang Guru dan Dosen). Untuk menilai kinerja guru di sini, dapat dilihat dari cara mereka melaksanakan tugas di dalam kelas, mengembangkan karier profesionalnya, dan hasil karya mereka, baik mereka sebagai guru maupun sebagai professional di bidang pendidikan. Karya guru ditunjukkan karya ilmiah, seperti
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
30
hasil penelitian, buku bahan ajar, artikel dalam majalah maupun jurnal ilmiah dan juga karya lain seperti teknologi pembelajaran, alat peraga dalam pembelajaran dan sebagainya.
Secara umum baik G1 maupun G2 di SMA 5 Yogyakarta memiliki kompetensi yang memadai sebagaimana yang distandarkan pemerintah. G1 bahkan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi profesi seperti PGRI, MSI, dan MGMP. Berdasarkan observasi dan suvervisi di dalam kelas, pengua-saan materi pelajaran sudah cukup memadai. Begitu pula dengan keterampilan didaktik metodik sudah menunjukkan adanya inovasi pembelajaran yang sudah melibat-kan siswa secara aktif dan kreatif, sehingga pembelajaran sejarah cukup impresif. Guru memiliki inisiatif untuk menyampaikan materi pelajaran yang masih bersifat kontroversif, dengan berbagai metode seperti aktif debat sehingga tidak selalu terpaku pada paradigma pemerintah. Di samping itu, guru memiliki keberanian untuk menyampaikan fakta apa adanya, dan selanjutnya ada upaya penanaman makna dan nilai yang bermanfaat bagi para siswa. Karena memang pada dasarnya, siswa dapat belajar tidak saja pada peristiwa-peristiwa yang baik, melainkan dapat pula pada peristiwa buruk, yang diambil manfaatnya bagi kehidupannya.
Dalam kegiatan pembelajaran, guru telah menerapkan berbagai metode pembelajaran secara dinamis seperti metode ceramah bervariasi, diskusi, pembelajaran luar kelas atau wisata sejarah, sampai pembelajaran berbasis proyek. Mulai tampak perubahan paradigma pembelajaran yang semula berbasis pada guru sekarang menjadi pembelajaran berbasis pada siswa. Dalam membuat perencanaan juga guru telah menerapkan penyusunan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang terarah dan memiliki tingkat kesesuaian tinggi dengan pelaksanaannya. Guru juga aktif dalam mengembangkan diri terutama mengembangkan profesionalitas melalui MGMP, MSI, PGRI, dan organisasi profesi lain. Begitu pula guru memberi akses yang luas untuk berkonsultasi di luar pembelajaran. Terkait dengan media pembelajaran, guru juga telah menggunakan media yang dapat membantu kegiatan pembelajaran seperti OHP, Peta, gambar, dan lain sebagainya.
b. Sarana dan Sumber Pembelajaran
Sejarah Media pembelajaran merupakan
komponen instruksional yang meliputi pesan, orang dan peralatan. Media tidak hanya terbatas pada arti sempit sebagai alat bantu saja, tetapi justru bermakna umum, baik itu sebagai alat bantu atau justru berfungsi sebagai bagian dari metode
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
31
pembelajaran yang akan mengarahkan pemahaman siswa menjadi lebih baik. Media yang digunakan sebagai alat bantu umumnya berupa benda tak bergerak yaitu buku teks, modul yang kesemua itu hanya terbatas sebagai alat bantu bagi guru untuk memaparkan materi. Apapun media yang digunakan sebenarnya tidak menjadi masalah asalkan pilihan media yang digunakan mampu mengantarkan siswa untuk memahami bahan ajar untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Secara umum ada 6 bentuk tipe media, yaitu gambar diam (still pictures), Rekaman suara (audio recording), gambar bergerak (Motion Pictures), Televisi, real things, simulation and models, programmed and computer assisted. Sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi dari keenam media tersebut perlu ditambah dengan internet dimana aplikasi dari teknologi ini diantaranya adalah e-learning.
Kegiatan pembelajaran akan dapat berlangsung dengan lancar apabila didukung sarana dan sumber pembelajaran yang memadai seperti ketersediaan media di atas. Sarana dan sumber pembelajaran meliputi segala sesuatu yang memudahkan terjadinya proses pembelajaran, meliputi tempat atau ruang kegiatan pembelajaran beserta kelengkapan-nya. Media pembelajaran untuk kepentingan efektivitas pembelajaran di kelas dapat dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu: a) media pandang diproyeksikan, seperti: OHP,
slide, projector dan filmstrip; b) media pandang yang tidak diproyeksikan, seperti gambar diam, grafis, model, benda asli; c) media dengar, seperti piringan hitam, pita kaset dan radio; d) media pandang dengar, seperti televisi dan film. Keberadaan dan pemanfaatan media pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Di SMA 5 Yogyakarta sarana pendukung memang belum sepenuhnya memadai. Jumlah OHP misalnya masih sangat terbatas dan media-media lain belum sebanding dengan jumlah guru maupun siswa. Media mutakhir misalnya, SMA 5 Yogyakarta hanya memiliki 3 laptop dan 1 LCD. Suatu jumlah yang masih kecil jika dibandingkan dengan jumlah guru dan kelas/siswa.
c. Budaya Akademik Proses pembelajaran erat sekali
kaitannya dengan lingkungan atau suasana di mana proses itu berlang-sung. Meskipun prestasi belajar juga dipengaruhi oleh banyak aspek seperti gaya belajar, fasilitas yang tersedia, pengaruh budaya akademik masih sangat penting. Hal ini beralasan karena ketika para peserta didik belajar di ruangan kelas, lingkungan kelas, baik itu lingkungan fisik maupun non fisik kemungkinan mendukung mereka atau bahkan malah mengganggu mereka. Budaya akademik yang kondusif antara lain dapat mendukung: interaksi yang bermanfaat di antara peserta didik; memperjelas pengalaman-pengala-man guru dan peserta didik;
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
32
menumbuhkan semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung dengan baik; dan mendukung saling pengertian antara guru dan peserta didik.
Di samping itu budaya akademik atau suasana kelas dan lingkungan kelas mempunyai pengaruh yang penting terhadap kepuasan peserta didik, belajar, dan pertumbuh-an/perkembangan pribadi. Kedua pendapat itu sangat beralasan karena hal-hal tersebut di atas pada gilirannya akan mempengaruhi prestasi belajar peserta didik. Di SMA 5 Yogyakarta, budaya akademik menunjukkan suasana yang kondusif. Sosialitas antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan bahkan antara guru dengan guru menunjukkan keanekaragam pencerminan yang cukup harmoni. Meskipun masih ada kelompok-kelompok pada guru misalnya antara guru PNS dengan GTT, tapi hubungan diantara keduanya menunjukkan suasana yang baik. Begitu pula di dalam kelas adanya sikap sosial siswa yang positif terhadap pembelajaran sejarah menambah suasana akademik yang kondusif.
d. Sikap Siswa terhadap Pelajaran
Sejarah Sikap siswa terhadap pelajaran
sejarah, menunjukkan sikap yang cukup positif. Berdasarkan wawancara terhadap R1, R2, R3, dan R4, maka dapat disimpulkan bahwa mereka sudah memiliki sikap yang positif terhadap pelajaran Sejarah.
Memang, sikap siswa dalam kegiatan pembelajaran mempunyai peran yang cukup dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Sikap siswa terhadap Sejarah dimaksudkan sebagai tendensi mental yang diaktualkan atau diverbalkan terhadap mata pelajaran sejarah yang didasarkan pada pemahaman dan keyakinan serta perasaannya terhadap sejarah. Objek yang disikapi adalah sikapnmata pelajaran sejarah. Berkaitan dengan komponen-komponen sikap, maka sikap terhadap pelajaran sejarah dapat dijelaskan sebagai berikut. Komponen kognisi
Komponen ini merupakan bagian sikap siswa yang timbul berdasarkan pemahaman maupun keyakinannya terhadap pelajaran sejarah. Siswa yang menganggap pelajaran sejarah tidak terlalu penting karena yang dipelajari dalam pelajaran sejarah hanya hafalan, memiliki perasaan dan kecenderungan tingkah laku yang berbeda dalam menghadapi pelajaran sejarah dibandingkan dengan siswa yang menganggap pelajaran sejarah sangat penting karena bermanfaat dalam masyarakat.
Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa komponen kognisi menjawab pertanyaan apa yang diketahui, dipahami dan diyakini siswa terhadap pelajaran sejarah. Jawaban siswa SMA 5 Yogyakarta terhadap komponen kognisi menunjukkan bahwa siswa cukup menyenangi pelajaran sejarah.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
33
Komponen afeksi Komponen ini merupakan bagian
sikap siswa yang timbul berdasarkan apa yang dirasakan siswa terhadap pelajaran sejarah. Komponen ini menjawab apa yang dirasakan siswa ketika menghadapi pelajaran sejarah. Perasaan siswa terhadap pelajaran sejarah dapat muncul karena faktor kognisi maupun faktor-faktor tertentu yang sangat sulit diketahui. Seorang siswa merasa senang atau tidak senang, suka atau tidak suka terhadap pelajaran sejarah, baik terhadap materinya, gurunya maupun manfaatnya. Hal ini termasuk komponen afeksi. Ini juga menunjukkan rasa cukup senang siswa terhadap pelajaran sejarah.
Komponen konasi Berdasarkan komponen kognisi
dan afeksi nampak adanya kecen-derungan untuk bertindak maupun bertingkah laku sebagai reaksi terhadap kegiatan pembelajaran Sejarah. Siswa yang memperlihatkan tingkah laku seperti suka bertanya, aktif mengikuti pelajaran sejarah, kebiasaan mempersiapkan alat-alat dan buku-buku sejarah sebelum berangkat sekolah, senang mengerjakan soal yang berhubungan dengan sejarah, dan sebagainya merupakan contoh-contoh yang tergolong komponen konasi. Berdasarkan hasil observasi, maka kecenderungan sikap konasi siswa dalam pembelajaran sejarah termasuk dalam kategori positif, atau memiliki kemampuan konasi dengan baik.
Motivasi Belajar Siswa Seperti halnya dengan sikap siswa
terhadap pelajaran Sejarah, motivasi belajar siswa juga menunjukkan kategori cukup tinggi dalam mempelajari Sejarah. Menurut R1, R2, XR, R4, mereka merasa motivasi belajarnya cukup tinggi karena didaktik dan metodik yang diterapkan oleh guru tidak membosankan, dan bahkan banyak melibatkan siswa dalam berbagai aktivitas. Begitu pula dengan pemahaman akan arti penting materi sejarah juga menimbulkan adanya motivasi belajar sejarah. Sejarah dianggap penting dan berguna bagi kehidupannya. Dalam kegiatan belajar mengajar, motivasi belajar siswa memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap keberhasilan proses maupun hasil belajar siswa. Salah satu indikator kualitas pembelajaran adalah adanya semangat maupun motivasi belajar dari para siswa.
Dalam banyak hal pengertian motivasi dan minat digunakan secara silih berganti, bahkan dalam pendi-dikan dan psikologi acapkali penggu-naannya disamakan. Dalam penger-tian umum minat merupakan daya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas guna mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian minat merupakan suatu potensi yang ada pada individu yang sifatnya laten atau potensi yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman, sedangkan motivasi adalah kondisi yang muncul dalam diri individu yang disebabkan oleh interaksi antara motif dengan
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
34
kejadian-kejadian yang diamati oleh individu, sehingga mendorong mengaktifkan perilaku menjadi tindakan nyata.
Mereka yang memiliki motivasi tinggi, dapat diidentifikasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) memperlihatkan berbagai tanda aktivitas fisiologis yang tinggi, 2) menunjukkan kewaspadaan yang tinggi, 3) berorientasi pada keberhasilan dan sensitif terhadap tanda-tanda yang berkaitan dengan peningkatan prestasi kerja, 4) memiliki tanggung jawab secara pribadi atas kinerjanya, 5) menyukai umpan balik berupa penghargaan dan bukan insentif untuk peningkatan kinerjanya, 6) inovatif mencari hal-hal yang baru dan efisien untuk peningkatan kinerjanya. Dalam pembelajaran sejarah di SMA 5 Yogyakarta, siswa menunjukkan motivasi yang cukup tinggi.
Tingginya motivasi siswa dalam pembelajaran sejarah dapat pula ditunjukkan dengan baiknya nilai ulangan sejarah baik harian maupun ulangan semester. Dalam hal lain, prestasi akademik siswa juga cukup tinggi seperti ditunjukkan melalui prestasi dibidang lomba-lomba yang bernuansa sejarah seperti lomba cerdas-cermat sejarah, artikel sejarah, lawatan sejarah, lomba bercerita sejarah, dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa proses
pembelajaran Sejarah di SMA 5 Yogyakarta sebagai implementasi kurikulum nasional selama ini sudah menunjukkan kualitas yang baik. Adanya faktor yang mendukung terhadap kualitas pembelajaran sejarah mrnjadikan materi sejarah dapat diselenggarakan secara optimal. Indikator-indikator itu dapat bersifat internal maupun eksternal, yang berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberhasilan proses maupun output. Dengan demikian diperlukan cara pikir sistem yang mengevaluasi secara berkelanjutan penerapan KTSP Sejarah secara cermat, yakni berdasarkan sudut pandang sistem yang meliputi konteks, input, proses, dan output, sehingga pembelajaran sejarah dapat memiliki kapabilitas dan kualitas yang baik.
Indikator-indikator yang menjadi pendukung dalam implementasi KTSP sejarah terutama dalam proses pembelajaran sejarah di SMA 5 Yogya-karta yakni meliputi: memadainya kompetensi guru baik yang menyang-kut kompetensi akademik, pedagogik, sosial, maupun kepribadian; adanya sarana pembelajaran yang dimiliki oleh sekolah meskipun masih terbatas; atsmospir atau budaya akademik yang kondusif; cukup positifnya sikap siswa terhadap pelajaran sejarah; dan motivasi siswa dalam belajar sejarah siswa yang cukup tinggi. Dengan demikian, indikator-indikator tersebut perlu ditingkatkan dan menjadi perhatian serius oleh seluruh komponen sekolah secara sinergis, agar segala potensi
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
35
tersebut terus menjadi indikator pendukung untuk keberhasilan kegiatan atau program pembelajaran.
Kepustakaan Bela H.Banathy. (1992). A Systems View
of Education: Concepts and Principles for Effective Practice. (Englewood Cliffs: Educational Technology.
Cox, J. (2006). The quality of an instructional program. National Education Association-Alaska. Diambil dari pada tanggal 23 Pebruari 2006, dari http://www.ak.nea.org./excellence/coxquality.
Cruickshank, D.R. (1990). Research that informs teachers and teacher educators. Bicomington. Indiana: Phi Delta Kappa Educational Foundation
Dadang Supardan. (2001). “Kreativitas Guru Sejarah dalam Proses Pembelajaran: Studi Kasus di SMU Kotamadya Bandung”, dalam Historia No. 3 Volume II. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.
Darling, L. & Hammond. (2000). Teacher quality and student achievement: A Review of state policy evidence. Education Policy Analysis Archives. Volume 8 Number 1. Diambil pada tanggal 17 Pebruari 2006 dari http://epas.asu.edu/epas/v8n1
Davidoff, LL. (1988). “Introduction To Psychology”, alih bahasa Mari Juniati, Psikologi Suatu Pengantar Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Hadiyanto & Subiyanto. (2003). Pengembalian kebebasan guru
untuk mengkreasi iklim kelas dalam manajemen berbasis sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan no. 040. Januari 2003. diambil pada tanggal 6 September 2006 dari http://www.depdiknas.go.id.
Helius Sjamsuddin. (2005). Model-model Pengajaran Sejarah: Beberapa Alternatif untuk SLTA. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.
Ibrahim Bafadal. (2003). Manajemen perlengkapan sekolah. Teori dan aplikasinya. Jakarta: Bumi Aksara.
Krippendorff, Klaus. (1991). Content Analysis: Introduction Its Theory and Methodology”, Alih Bahasa Farid Wajidi, Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. Jakarta: Rajawali.
Manullang. (1991). Pengembangan motivasi berprestasi. Jakarta: Pusat Produktivitas Nasional. Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia.
Miles, M.B. and Huberman, A.M. (1984). Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. Beverly Hills CA: Sage Publications.
Moleong, L.J. (1999). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mulyasa, E. (2007). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Morrison, D.M. & Mokashi K. & Cotter, K. (2006). Instructional quality indicators: Research foundations. Cambrigde. Diambil pada tanggal 17 Maret 2006 dari www.co.nect.net
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
36
Nana Sudjana dan Ahmad Rivai. (2005). Media pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Noeng Muhadjir. (1992). Pengukuran kepribadian. Yogyakarta: Rake Sarasin
Ormrod, J.E. (2003). Educational psychology, Developing learners. Fourth edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Patton, M.Q. (1980). Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills, CA.: Sage Publication.
Sardiman AM. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Radja Grafindo Persada.
Schacter, J. (2006). Teacher performance-based accountability : why, what and how. Santa Moica : Miken Family Foundation. Diambil pada tanggal 15 Pebruari 2006 dari http://www.mff.org/pubs/ performance-assessment. pdf.
Spradley, J.P. (1980). Participant Observation. New York, N.Y: holt, Rinehart, and Winston.
Soedjatmoko. 1976. “Kesadaaran Sejarah dalam Pembangunan”. Prisma No. 7. Jakarta.
Sutopo, H.B. (1995). Kritik Seni Holistik Sebagai Model Pendekatan Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Sutopo, H.B. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Jurusan Seni Rupa Fakultas Sastra UNS.
Supardan, Dadan. 2001. “Kreativitas Guru Sejarah dalam Proses Pembelajaran: Studi Kasus di SMU Kotamadya Bandung”, dalam
Historia: Jurnal Pendidikan Sejarah, No.3 Vol.II. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.
Surakhmad, Winarno. 2000. Metodologi Pengajaran Nasional. Jakarta: UHAMKA.
Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
Waluyo, H.J. 2000. “Hermeneutik Sebagai Pusat Pendekatan Kualitatif”, dalam Historika, No.11. Surakarta: PPS UNJ KPK UNS.
Widja, I. Gde. (1989. Dasar-dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
Widoyoko, S.E.P. (2007). Pengembangan Model Evaluasi Pembelajaran IPS SMP. Yogyakarta: PPS UNY.
Winarno Surakhmad, 2000. Metodologi Pengajaran Nasional. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Profesor Hamka.
Winkel, W.S. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2004. “Multicultural Perspective in Teachhing History to the Chinese Indonesian Studies”, dalam Historia: Jurnal Pendidikan Sejarah, No.9 Vol.V. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.
Yin, R.K. 1987. Case Study Research: Design and Methods. Beverly Hills, CA: Sage Publication.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
37
RUNTUHNYA DIKOTOMI TRADISIONALIS DAN MODERNIS:
MENILIK DINAMIKA SEJARAH NAHDATUL ULAMA DAN MUHAMMADIAYAH
Oleh:
Miftahuddin1
1 Dosen tetap pada Jurusan Pendidikan Sejarah, FISE Universitas Negeri Yogyakarta sejak
2003.
Abstrak NU dan Muhammadiyah dalam pandangan yang umum disebut tradisionalis dan modernis. Tradisional karena dalam praktek keagamaan, kalangan NU hanya mengikuti pendapat dan menjalankan praktek keagamaan para ulama terdahulu, sehingga yang ada hanyalah taklid dan menolak ijtidah. Sebaliknya, Muhammadiyah terkenal modern karena golongan ini mencoba membawa Islam agar sesuai dengan tuntutan dan keadaan zaman. Namun sekarang dikotomi tersebut perlu dipertanyakan kembali. Kenyataan membuktikan bahwa untuk konteks sekarang ternyata sulit untuk mengatakan bahwa NU tradisional, terutama dalam hal pemikiran keagamaan. Berpikir kritis sebagai salah satu ciri modern, tampaknya telah dipraktekkan sehingga wajar apabila di kalangan NU sekarang ini muncul istilah ”pemaknaan ulang ahlus Sunnah Waljamaah” dan ”pemaknaan ulang konsep bermazdhab”. Yang nyata, dalam segala hal praktek keagamaan dan pemikiran keagamaan, menurut kalangan NU ini, boleh dipertanyakan kembali dan bahkan digugat. Kata Kunci: Modern, Muhammadiyah, NU, tradisional. Abstract General view called the Nahdatul Ulama as a traditionalist, and the Muham-madiyah as a modernist. Nahdatul Ulama called as a traditionalist because they were implemented riligious rituals doctrined by clergymen which have taklid and against ijtihad. On the other hand, Muhammadiyah popular by modernist tried to brought Islam adapt with flowering conditions. Historical analysis view that these dicotomy must be questioned. Hard to said that the Nahdatul Ulama was a traditionalist because their riligious thinking very critical. In the Nahdatul Ulama appear terminology remeaning ahlusunnah wal jama’ah and remeaning riligious stream. In the riligious ritual and riligious thinking these dicotomy must be questioned. Keyword: modern, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, traditional.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
38
Pendahuluan
Tidaklah berlebihan apabila
dikatakan bahwa sejak berdirinya
sampai sekarang, Muhammadiyah dan
NU (Nahdatul Ulama) tergolong
organisasi terbesar di Indonesia.
Bahkan, sebagian pengamat mengklaim
keduanya merupakan organisasi kaum
Muslim terbesar di seluruh dunia. Lebih
dari itu, keduanya sekaligus menjadi
organisasi tertua, yang eksistensinya
tidak pernah terputus sejak dilahirkan
(Azyumardi Azra, 1999: 146). Tentu saja
dinamika pun mewarnai perjalanan
kedua organisasi ini, sehingga wajar
apabila kajian terhadap kedua
organisasi ini tidak pernah ada
habisnya.
Selanjutnya, perlu ditegaskan
bahwa sejak kelahirannya, banyak para
ahli menggolongkan NU sebagai
organisasi tradisional sedangkan
Muhammadiyah sebagai organisasi
modern. Hal ini didasarkan,
sebagaimana diungkapkan Deliar Noer,
bahwa ketradisionalan NU disebabkan
organisasi ini lebih banyak
menghiraukan soal-soal agama, din atau
ibadat belaka. Bagi NU Islam seakan
sama dengan fiqh, dan dalam hubungan
ini mereka mengakui taklid dan
menolak ijtihad. Tak ketinggalan,
banyak praktek ritual yang dilakukan
NU dicampuradukan dengan budaya-
budaya yang sudah ada. Sebaliknya,
Muhammadiyah sering disebut sebagai
golongan pembaharu dikarenakan lebih
memberi perhatian pada sifat Islam
pada umumnya. Bagi Muhammadiyah
Islam adalah sesuai dengan tuntutan
dan keadaan zaman. Islam juga berarti
kemajuan, agama itu tidak akan
menghambat usaha mencari ilmu
pengetahuan, perkembangan sain, dan
kedudukan wanita. Kalangan ini juga
terkenal dengan gerakan puritan
(pembersihan dari praktek-praktek
ritual yang tidak ada dasar nasnya)
(Deliar Noer, 1995: 320 – 322).
Anggapan di atas mungkin dapat
dibenarkan untik konteks NU sebelum
tahun 1980-an. Namun, jika mencermati
dinamika yang ada, khususnya dewasa
ini, tampaknya perlu mengkaji ulang
dengan mempertanyakan kembali masih
relevankah dikotomi modernis dan
tradisionalis apabila dirujukkan pada
organisasi besar kaum muslimin, NU
dan Muhammadiah. Sebagaimana dapat
dilihat, bahwa sebagian pengamat mulai
menggugat polarisasi istilah modernis
dan tradisionalis atau modern dan
tradisional bila digunakan untuk
mengamati perkembangan pemikiran
NU dewasa ini, dan sebaliknya bahkan
mempertanyakan kemoderenan
Muhammadiyah. Terutama, sejak
kembali ke Khittah 1926, di bawah
kepemimpinan Abdurrahman Wahid,
NU bergerak melakukan perubahan-
perubahan, baik dari segi visi, orientasi,
maupun strategi (Mujamil Qomar, 2002:
27).
Melihat fenomena tersebut, kajian
ini mencoba menengok kembali
dinamika sejarah kedua organisasi
tersebut, terutama menyoroti tentang
perjalanan dan perubahan di tubuh NU.
Terkait dengan perjalanan NU dewasa
ini, tampaknya perlu mempertanyakan
kembali betulkah NU telah mengalami
banyak perubahan, terutama dalam hal
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
39
pemikiran Islam, sehingga kurang tepat
apabila label tradisional disandangnya.
Demikian pula, apakah betul bahwa
sesuatu yang tetap melestarikan tradisi
adalah kolot dan anti kemodernan, dan
sebaliknya, bagaimana dengan
kemordernan Muhammadiyah itu
sendiri.
Muhammadiyah Mordenis, NU
Tradisionalis
Secara keorganisasian
Muhammadiyah lebih dulu lahir di
banding dengan NU. Dalam sejarah
tercatat bahwa Muhammadiyah lahir
pada tanggal 18 November 1912 di
Yogyakarta dengan pendiri K.H. Ahmad
Dahlan. Tujuan organisasi ini adalah
menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi
Muhammad saw. kepada penduduk
bumiputra dan memajukan agama Islam
terhadap para anggota-anggotanya. Agar
tujuan tersebut tercapai, organisasi itu
bermaksud mendirikan lembaga-
lembaga pendidikan, mengadakan
rapat-rapat tabligh yang akan
membicarakan permasalahan Islam,
mendirikan wakaf dan masjid-masjid,
serta menerbitkan buku-buku, surat-
surat kabar, dan majalah-majalah
(Deliar Noer, 86). Atas dasar itulah,
Muhammadiyah sering disebut sebagai
organisasi pembaharuan (reformis) atau
dalam penggolongan sosial sering
disebut dengan kata-kata wong
Muhammadiyah, orang modern (Nur
Syam, 2005: 256).
Beberapa wilayah pembaharuan
yang ditempuh organisai ini, misalnya,
dalam bidang keagamaan adalah
menekankan pada usaha-usaha untuk
mengembalikan kemurnian Islam dari
pengaruh-pengaruh yang salah dengan
mendasarkan pada al-Quran dan Hadits.
Dalam konteks ini, biasanya pemurnian
diarahkan kepada praktek ajaran Islam
yang telah tercampur dengan tradisi-
tradisi lokal, karena praktek Islam
semacam ini dipandang dekat dengan
takhayul, bid’ah, dan khurafat yang
tentu saja, menurut organisasi ini,
menyimpang dari genuinitas Islam.
Dalam hal ini, Amin Rais pernah
mengatakan bahwa
“tauhid menuntut pemurnian atau
purifikasi keyakinan setiap orang
beriman dengan jalan menjauhkan
diri dari setiap gejala TBK (takhayul,
bid’ah, dan khurafat), karena setiap
gejala TBK berarti elah menjauhkan
martabat manusia ke lembah yang
paling nista. Tidak mengherankan
bila Muhammadiyah kemudian
mempunyai kepekaan tajam
terhadap hal-hal yang dikategorikan
TBK (Amin Rais, 1996: 4).
Oleh karena itu, Muhammadiyah
dengan gigih mempertahankan
pendapat bahwa pintu ijtihad masih
tetap terbuka dan menolak ide tentang
taklid.
Dalam bidang sosial dan
kemasyarakatan, usaha yang dirintis
Muhammadiyah adalah mendirikan
rumah sakit poliklinik, rumah yatim
piatu yang dikelola melalui lembaga-
lembaga dan bukan secara individual
sebagaimana yang dilakukan orang
pada umumnya di dalam memelihara
anak yatim piatu. Sementara itu, dalam
bidang pendidikan, pembaharuan yang
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
40
dimaksud adalah mengadakan
perubahan-perubahan dengan
menciptakan bentuk-bentuk baru yang
berwujud nilai batin dan cara atau
teknik baru dalam lingkungan
pendidikan dan pengajaran yang tetap
memenuhi tuntutan masa dengan dasar
pada pedoman yang tetap dari prinsip-
prinsip ajaran Islam (A. Jainuri, 1990: 51
– 65).
Karena dalam konteks
pembaharuan pemikiran agama,
Muhammadiyah senantiasa menyatakan
dan melekatkan dimensi ajaran
“kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunah
dengan dimensi “ijtihad” dan “tajdid”
sosial keagamaan, maka anggota
perserikatan ini umumnya tidak
bermazhab tertentu, hal ini merupakan
cermin mekanisme kerja ijtihad yang
kritis terhadap segala bentuk
historisitas kelembagaan agama dan
kelembagaan pemahaman fiqih. Lewat
ijtihad dan tajdid kebudayaan,
Muhammadiyah dengan sengaja meniru
dan melaksanakan sistem pendidikan
“sekolah”, untuk tidak menyebutnya
dengan sisitem pendidikan Barat, yang
mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan
secara lebih utuh dan komprehensif,
baik dalam wilayah natural maupun
behavioral sciences, tanpa
meninggalkan ilmu-ilmu agama (Amin
Abdullah, 1995: 109 – 111).
Berbeda dengan Muhammadiyah,
sejak kelahirannya NU terkenal dengan
kelompok yang disebut “kalangan
tradisionalis”. Hal ini tidak terlepas dari
munculnya organisasi ini memang
dalam rangka mempertahankan
praktek-praktek keagamaan yang
banyak menjunjung tradisi.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah,
bahwa ketika Raja Ibnu Saud hendak
menerapkan asas tunggal yakni mazhab
Wahabi di Mekah serta hendak
menghancurkan semua peninggalan
sejarah Islam maupun pra Islam yang
selama ini banyak diziarahi karena
dianggap bid’ah, maka gagasan kaum
Wahabi tersebut mendapat sambutan
hangat dari kaum yang terkenal
modernis di Indonesia, baik kalangan
Muhammadiyah di bawah Pimpinan
Ahmad Dahlan maupun PSII dibawah
pimpinan HOS Tjokroaminoto. Namun,
sebaliknya, kalangan pesantren yang
selama ini membela keberagaman, yang
kemudian menjelma dalam organisasi
NU, menolak pembatasan bermazhab
dan penghancuran warisan peradaban
tersebut (Sejarah NU, INTERNET\NU
online.htm).
Dalam Anggaran Dasar NU tahun
1927 juga dirumuskan, bahwa
organisasi ini bertujuan untuk
memperkuat kesatuan kaum muslimin
kepada salah satu dari mazhab empat
dan melakukan kegiatan-kegiatan yang
menguntungkan bagi para anggotanya
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
antara lain: satu, memperkuat persatuan
antara sesama ulama yang masih setia
pada ajaran-ajaran mazhab; dua,
memberikan bimbingan tentang jenis-
jenis buku (kitab) yang diajarkan pada
lembaga-lembaga pendidikan Islam;
tiga, menyebarkan ajaran-ajaran Islam
yang sesuai dengan tuntutan mazhab
empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali); empat, memperluas jumlah
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
41
madrasah dan memperbaiki
organisasinya; dan lima, membantu
pembangunan masjid-masjid, langgar,
dan pondok pesantren (Dhofier, 1994:
97 – 98).
Mengacu hal tersebut, tidaklah
aneh apabila para Indonesianis (sebutan
akrab bagi peneliti mancanegara),
termasuk juga kalangan yang menyebut
dirinya modernis, menyebut NU sebagai
kalangan tradisionalis. Tradisional
dalam arti yang vital adalah kehidupan
keagamaan, yaitu trasmisi nilai-nilai
keagamaan melalui tradisi keagamaan
dan pendidikan. Sementara itu,
tradisional dalam pengertian kata yang
sebenarnya, yakni melekukan trasmisi
dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Oleh karena itu, penyandangan
"tradisionalis" bukanlah tanpa alasan.
Memang NU besar dan dibesarkan
dalam tradisi (al-turats). Tradisi yang
tergambar dalam keilmuan klasik (kitab
kuning) dan praktik-praktik keagamaan
yang berbau lokalitas, telah menjadi
bagian terpenting dalam pandangan
hidup kalangan kaum nahdliyin secara
umum. Mereka berasal dari tradisi, oleh
tradisi, dan untuk tradisi. Begitulah,
kalangan nahdliyin menancapkan
identitasnya dalam lingkaran tradisi.
Tradisi adalah harta karun yang harus
diapresiasi sebaik mungkin untuk
mempertahankan identitas dan
membaca tanda-tanda zaman.
Sementara itu, pesantren menjadi saksi
sejarah kenyataan tersebut. Pesantren
menjadi institusi pendidikan keagamaan
yang sangat baik untuk melestarikan
tradisi sekaligus mengembangkannya.
(Kompas Minggu, 28 November 2004).
Dalam hal ini perlu ditekankan,
bahwa perbedaan pemahaman
keagamaanlah yang pada dasarnya telah
mulai melibatkan kedua kelompok
tersebut (Muhammadiyah dan NU)
dalam perdebatan yang bukan hanya
sebentar, akan tetapi dapat dikatakan
sangat melelahkan dan
memprihatinkan. Namun, sebenarnya
perbedaan yang terjadi antara mereka
lebih pada persoalan-persoalan
metodologis dalam mendekati ajaran
Islam daripada persoalan lainnya.
Bahkan belum pernah terjadi
pertentangan di antara keduanya dalam
masalah yang prinsip. Oleh karena itu,
jika dikotomi tradisionalis-modernis
dihubungkan dengan cara berpikir dan
memahami agama, maka suatu
organisasi keagamaan disebut modernis
karena cara memahami ajaran agama
dengan mengutamakan nalar sehingga
mampu mengikuti perubahan-
perubahan. Sementara itu, suatu
organisasi keagamaan disebut
tradisional, karena dalam memahami
ajaran agama adalah dengan
mempertimbangkan tradisi di kalangan
masyarakat Islam, sehingga kurang
mampu mengikuti perubahan-
perubahan. (Mujamil Qomar, 2002: 26).
Sekarang, bagaimana dengan NU
sendiri, apakah dalam tubuh organisasi
ini ada gejala dalam cara memahami
ajaran agama dengan mengutamakan
nalar yang mampu mengikuti
perubahan-perubahan, sehingga label
modernis patut disandangnya?
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
42
Menyoal Kembali Dikotomi Tradisional-
Modern
Sebagai kerangka berpikir,
sebelumnya mungkin perlu dipertegas
terlebih dahulu arti kata modern.
Modern, sebagaimana terdapat dalam
"Kamus Besar Bahasa Indonesia" berarti
sikap dan cara berpikir serta bertindak
yang sesuai dengan tuntutan zaman
(Depdikbud, 1997: 662). Modern dapat
juga diartikan dengan kata dinamis,
yang mempunyai arti di samping
energik dan totalitas juga kemampuan
untuk beradaptasi dan merespon secara
kreatif lingkungan yang sulit.
Ditegaskan, bahwa dinamisasi pada
dasarnya mencakup dua proses, yaitu
penggalakkan kembali nilai-nilai hidup
positif yang telah ada, di samping
mencakup pula pergantian nilai-nilai
lama dengan nilai-nilai baru yang
dianggap lebih sempurna. Sementara
itu, proses pergantian nilai tersebut
dapat dinamakan dengan modernisasi
(Greg Barton, 1997: 176).
Diungkapkan pula, bahwa salah satu
ciri manusia modern adalah terbuka
pada pengalaman-pengalaman yang
baru dan tidak mencurigai pendapat
baru atau pikiran-pikiran baru. Dia
selalu terbuka dan terangsang untuk
mengetahui hal-hal yang baru.
Sebaliknya, manusia tradisional bersifat
tertutup dari gagasan-gagasan baru,
tidak toleran terhadap pendapat baru,
bergantung sekali pada otoritas, dan
percaya pada takhayul (Jalaluddin
Rakhmat, 2005: 122-123).
Dari pengertian modern tersebut
dapatkah, dalam perjalanan sekarang
ini, NU menyandang gelar modern
sebagaimana Muhammadiyah? Tentu
saja, jika memandang NU dari mulai
berdirinya (tahun 1926) hingga kira-
kira tahun 1970-an, yaitu organisasi
yang didirikan dan diperkuat oleh ulama
yang pada umumnya berpandangan
konservatif, berpendidikan pesantren,
dan toleran dengan tradisi keagamaan
lokal asalkan, menurut mereka, tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, maka
pandangan bahwa NU berpemahaman
dan berpemikiran tradisional secara
umum bisa mendapat pembenaran.
Ditambah lagi, pada kurun itu memang
dalam praktek keagamaan masih kental
dengan taklid khususnya hanya
terhadap pendapat Imam Syafi’i,
walaupun dalam teorinya NU mengakui
empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hambali.
Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa
pandangan semacam itu kurang tepat
apabila dialamatkan kepada NU setelah
memasuki tahun 1989-an, karena pada
tahun-tahun ini dalam tubuh organisasi
ini mengalami perubahan yang
signifikan. Perubahan tersebut dapat
dilihat, bahwa berbarengan dengan
depolitisasi, maka tumbuh kembali
minat baru dalam pengembangan
bidang pendidikan dan tradisi
intelektualisme Islam. Pada awalnya
gairah intelektualitas NU memang
terkesan datar, namun hingga tahun
1980-an tampak gairah yang meluap-
luap seiring dengan kehadiran figur
Abdurrahman Wahid dan Ahmad Shidiq.
Jadi, setidaknya sampai dengan
Muktamar ke-26 di Semarang, tahun
1979, dapat dibenarkan apabila banyak
kalangan yang masih melihat NU
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
43
sebagai organisasi ulama dengan
pengikutnya di pedesaan yang secara
agama adalah tradisional, secara
intelektual sederhana, secara politis
oportunis, dan secara kulturan sinkritis.
Akan tetapi, lima tahun kemudian,
setelah Muktamar Situbondo 1984 yang
menghasilkan keputusan kembalinya
NU ke Kittah 1926, NU ternyata mampu
menyerap nilai-nilai modern.
Penyerapan nilai-nilai modern ini
didasari dalam kerangka tradisi ilmu
keagamaan dan adaptasi modern
dengan struktur politik dewasa itu
(Arief Mudatsir, 1984: 131-132).
Kembali ke Kittah 1926, berarti
NU harus kembali menjadi organisasi
sosial keagaman dan tidak lagi
berhubungan dengan politik. Kondisi
inilah yang menjadikan, terutama
generasi muda NU, tidak lagi sibuk
dengan kegiatan politik, tetapi beralih
kepada kajian-kajian ilmiah, penelitian,
seminar, dan aksi sosial. Oleh karena itu,
sejak generasi muda NU berminat
terhadap kajian, berkembanglah
pembaharuan wacana di kalangan NU
dengan berbagai gagasan pemikiran,
melalui tulisan-tulisan dan jurnal,
majalah, surat kabar, dan internet
(Shonhaji, 2004: 37). Tampaknya,
ungkapan Nurcholish Majid juga perlu
untuk disimak, bahwa
“orang-orang muda NU yang akhir-
akhir ini saya dengar dan saya lihat,
banyak menelurkan karya-karya
tulis, baik di media maupun dalam
betuk buku. Fenomena ini tentu saja
patut disyukuri, karena selama ini
NU dikenal sebagai kelompok kolot,
tradisionalis dan anti kemodernan.
Maksudnya, geliat pemikiran yang
terjadi di tengah-tengah orang-orang
muda NU ini membuktikan bahwa
tradisi tidak selamanya buruk dan
anti kemodernan (Nurcholish Majid,
2004: x)”.
Memang, dengan kembalinya ke
Kittah 1926 dalam muktamar Situbondo
1984 dan tampilnya Abdurrahman
Wahid sebagai ketua Tanfidziah
(eksekutif) serta Ahmad Shiddiq sebagai
ketua Syuriah (legislatif) dapat diartikan
suatu bagian penting dari kampanye
pembaharuan dalam NU. Hal ini
menandai dimulainya era baru bagi NU,
yakni adanya proses perubahan dan
pembaruan. Di sisi lain, hal ini juga
merupakan pengalaman unik, karena
bersamaan pada saat Iran memberikan
contoh yang cukup menarik bagi minat
sebagian masyarakat Indonesia tentang
pembentukan negara Islam dan ketika
terjemahan karya-karya Sayid Qutab,
Maududi, Ali Syari’ati dan lainnya yang
diidentikkan dengan radikalisme dibaca
banyak orang, tetapi secara paradoks
sebuah organisasi Islam tradisional di
Indonesia dipimpin oleh orang-orang
yang terbuka yang menolak sebuah
bentuk fanatisme keagamaan dan
berupaya melakukan penyesuaian
keagamaan dengan modernitas
(Shonhaji, 2004: 42).
Demikian pula, penting untuk
dicatat bahwa pada muktamar NU ke-27
1984 ditandai dengan diterimanya
Pancasila sebagai asas tunggal, sehingga
menandai dimulainya babak baru dalam
perjalanan organisasi politik dan
kemasyarakatan. Pandangan ini
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
44
didasarkan karena Pancasila bagi umat
Islam Indonesia adalah wajib
hukumnya. Dalam hal ini, NU menganut
pendirian bahwa Islam adalah agama
yang fitriah (sifat asal atau murni),
sehingga sepanjang suatu nilai tidak
bertentangan dengan keyakinan Islam,
ia dapat diarahkan dan dikembangkan
agar selaras dengan tujuan-tujuan di
dalam Islam. Dengan demikian, ketika
Islam diterima oleh masyarakat, ia tidak
harus mengganti nilai-nilai yang
terdapat di dalam masyarakat, tetapi ia
akan bersikap menyempurnakan segala
kebaikan yang dimiliki masyarakat.
Berangkat dari konsep fitrah, membuat
NU bersifat inklusif, mengakui nilai-nilai
yang baik yang sudah ada di dalam
masyarakat untuk mengembangkan
Islam (Martin van Bruinessen, 1997:
89).
Setelah tahun 1980-an, NU memang
tampak progresi, baik dalam hal
pemikiran keagamaan, sosial, politik,
maupun kultur. Beberapa pemikir dan
peneliti telah menilai bahwa NU
ternyata tidak selamanya statis,
sebagaimana digambarkan oleh
kalangan modernis. Tradisional yang
dibawa NU tidak sebagaimana yang
digambarkan, yaitu kolot atau anti pada
orang luar. NU memang sebagai
kelompok tradisional, namun kurang
tepat untuk era sekarang ini memberi
penilaian bahwa NU adalah golongan
konservatif, kolot, dan tidak mampu
menghadapi perkembangan zaman.
Justru dengan sifatnya yang tradisional
itu (ahl al-sunnah wa al-jamaah), NU
membuktikan bahwa dirinya memiliki
banyak rujukan untuk menghadapi
berbagai perkambangan dan tantangan.
Sebagaimana diungkapkan, bahwa
NU yang selama ini dianggap sebagai
organisasi tradisional dengan basis
pesantren justru memperlihatkan
gairah pro-gresivitas berpikir, diban-
dingkan dengan organisasi modern
yang malah tampak stagnan dan
resisten. Kitab kuning yang telah
ditulis ulama berabad-abad lalu dan
dijadikan salah satu referensi utama
nahdhiyin ternyata justru membuka
wawasan yang membentang luas
dalam mencermati perubahan sosial.
Pemahaman agama bergerak tidak
lagi secara tekstualis, tetapi
kontekstual. Tentunya ini perlu
dipandang sebagai kemajuan di
dalam NU. Kemajuan peradaban
selalu lahir dalam suasana
kebebasan pikir (Said Aqil Siradj,
Kompas: 2003).
Di samping itu, NU mempunyai dasar
dan kekayaan intelektual luar biasa yang
senantiasa diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikut melalui
lembaga pesantren. Inilah modal
kultural intelektual NU untuk
berdialektika dengan modernitas. (Said
Aqil Siradj, Kompas: 2003)
Suatu hal yang penting, bahwa
tradisionalisme NU dalam bidang
keagamaan dan pendidikan tidaklah
berarti bahwa muatan yang dipelajari
dan di transmisikan juga bersifat
tradisional, dalam arti repetis buta
terhadap hal-hal yang berbau masa lalu.
Bagaimanapun, apa yang dipelajari dan
ditransmisikan adalah suatu sistem
ideal di mana individu-individu dapat
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
45
menyesuaikan diri mereka dan mampu
menghadapi realitas sosial. Bentuk
transmisi bisa jadi tradisional, tetapi apa
yang ditrasmisikan bisa radikal. Inilah
salah satu alasan mengapa
tradisionalisme NU tidak menghalangi,
melainkan justru meningkatkan
radikalisme organisasinya dan
menggalakan sikap radikal politiknya
dalam merespon situasi-situasi tertentu
(Mitsuo Nakamura, 1997 : 73).
Dalam catatan Azra diungkapkan, NU
dikenal sebagai organisasi
“tradisionalis”, bahkan kelahirannya
merupakan reaksi atas perkembangan
Muhammadiyah yang sering dikatego-
risasikan sebagai organisasi Muslim
“modernis.” Tradisionalisme ini terletak
pada kenyataan bahwa ia pada
hakekatnya bertujuan untuk
meneruskan dan memelihara tradisi
“Aswaja” (ahl al-sunnah wa al-jamaah)
dalam lingkup keempat mazhab fiqih
Sunni dan aliran teologi (kalam) Asy’ari.
Namun, kerangka tradisi aswaja ini
menjadikan NU cenderung dapat
bersikap inklusif (merangkul dan
menyerap keragaman di dalam Sunni itu
sendiri) ketimbang bersikap ekslusif,
yakni menyisikan diri dalam salah satu
aliran Sunni (Azyumardi Azra, 2002:
141). Hal ini dengan apa yang pernah
disimpulkan oleh Greg Barton bahwa
"tradisionalisme Islam di Indonesia
sangat memberi harapan untuk
melahirkan generasi neo-modernis
yang berwawasan pluralis, inklusif,
dan liberal. Yaitu, pemikir-pemikir
yang menekankan ijtihad
kontekstual, komitmen meng-
kombinasikan pendidikan Barat dan
tradisi kesarjanaan Islam klasik,
kejujuran yang terbuka, dan
penolakan terhadap dogmatis demi
apresiasi pada pluralisme yang lahir
dari keyakinan bahwa harus ada
pemisahan antara agama dan negara
demi tegaknya nilai-nilai demokrasi"
(http://www.pesantrenonline.com)
Greg Barton juga mengung-kapkan,
dengan sifat inklusifnya, NU sangat
menghargai warisan dan tradisi ulama,
baik yang ditransmisikan secara lisan
dan praktikal maupun secara tertulis
melalui kitab kuning (turath).
Konsekwensinya, NU memiliki kakayaan
warisan keagamaan yang luar biasa,
yang tersimpan dalam sekian banyak
kitab kuning, yang tentu saja
memberinya ruang gerak lebih luas
dalam merespon berbagai perkem-
bangan, bukan hanya dalam bidang
keagamaan, tetapi juga bidang sosial,
politik, kultural, dan lain-lain
(http://www.pesantrenonline.com).
Setelah munculnya Abdurrahman
Wahid memimpin NU, terlepas dari
kontroversi tentang kepribadiannya, NU
terkesan lebih responsif dan
“modernis”, atau bahkan “lebih radikal”
ketimbang Muhammadiyah. Ulama-
ulama NU secara teratur mengadakan
bahts al-masa’il untuk mengeluarkan
ketentuan-ketentuan hukum
berdasarkan perkembangan baru, dan
tidak jarang keputusan-keputusan yang
mereka hasilkan dalam segi-segi
tertentu sangat modernis. Misalnya, soal
bunga bank dan kerja sama bisnis
dengan pengusaha non-Muslim. Jumhur
ulama NU sepakat menunda atau
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
46
mengesampingkan bunga bank, untuk
kemudian mendirikan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) Nusumma (NU dan
Summa Group, sebuah konglomerasi
non-Muslim) (Azyumardi Azra, 2002:
143).
Jika pada masa awal, kalangan
nahdiyin yang terkenal dengan
penganut pandangan-pandangan fiqih
empat mazhab (mazhab fiqih ahl al-
sunnah wa al-jamaah), yaitu Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hambali, walaupun
secara faktual mengalami reduksi dan
hanya dibatasi pada pandangan-
pandangan fiqih mazhab Syafi’i, yang
kemudian mengacu dan berpegang
kepada kitab (kitab-kitab yang tidak
bertentangan dengan akidah ahl al-
sunnah wa al-jamaah), namun pada era
sekarang terutama setelah muncul
generasi baru, NU tampak progresif dan
tampak meninggalkan ketradisionalan-
nya.
Mereka melihat dengan jernih
keterasingan pikiran-pikiran tradisional
pesantren dari proses modernitas yang
terus tumbuh dan berkambang dalam
gelombang yang sangat dahsyat. Kitab-
kitab mu’tabar yang selama ini
didoktrinkan sebagai rujukan yang
mampu menjawab segala-galanya bagi
problem kehidupan masyarakat
ternyata tidak terbukti, sehingga
disadari atau tidak, para ulama NU telah
menggugat sendiri tradisinya (Husein
Muhammad, 2004: 78-80).
Dalam hal ini adalah penting untuk
mencermati terkait pengambilan
keputusan bahtsul masa’il yang
dihasilkan oleh Munas NU di Lampung
pada tahun 1992. Dalam sistem
pengambilan keputusan bahtsul masa’il
tersebut, kajian dan pembacaan atas
teks tidak semata-mata diarahkan untuk
mendapatkan jawaban literal, harfiah,
qauli, melainkan juga membaca secara
kritis atas aspek yang dikaji dengan
mengunakan analisis sosial budaya.
Munas ini menyebutnya sebagai analisis
kontekstual dan melalui pendekatan
manhaji (metodologi) (Husein
Muhammad, 83).
Hal tersebut menandakan adanya
redefinisi arti bermazhab. Artinya, di
kalangan NU dewasa ini ada pemikiran
yang dapat dikatakan progresif bahwa
mengartikan bermazhab itu bukan
lantas mengambil pendapat imam
mazhab dari kata perkata (fi al-aqwal),
akan tetapi metodologinyalah (fi al-
manhaj) yang diambil, bahkan
mengembangkan metodologi yang
sudah digunakan para imam mazhab
bukan lagi mengikuti metodologinya (A.
Qodri Azizy, 2003: 24-25). Misalnya,
Said Agil Siradj mengungkapkan bahwa
ketika taklid kepada Imam Syafi'i, maka
yang diikuti adalah manhaj-nya. Artinya,
dalam bertaklid agar melakukan taklid
kritis atau melakukan kritik pemahaman
yang tidak relevan. Jadi, pada dasarnya
tetap sebagai pengukut Syafi'i, namun
mengkritisinya (Mujamil Qomar, 2002:
193).
Kemudian, dapat dilihat pula bahwa
NU semakin tampak memperlihatkan
perkembangan dalam pemikiran setelah
kemunculan kaum Nahdiyin baru pasca
Abdurrahman Wahid. Sejak
kemunculannya, generasi muda NU
berminat terhadap kajian yang terus
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
47
tumbuh dan berkembang. Kemudian
mereka melakukan pembaharuan
wacana dengan berbagai gagasan dan
pemikiran melalui tulisan-tulisan dalam
jurnal, majalah, surat kabar, dan
internet. Oleh karena itu, untuk
melaksanakan program-program dan
mempublikasikannya, mereka
mendirikan lembaga-lembaga kajian,
seperti Lembaga Studi Agama dan
Demokrasi (eLSAD) di Surabaya,
Lembaga Kijian Islam dan Sosial di
Yogyakarta, dan Lembaga
Pengembangan Sumberdaya Manusia
(Lakpesdam) di Jakarta (Shonhaji
Sholeh, 2004: 37).
Terkait dengan kalangan muda NU,
perlu juga menengok ungkapan
Jalaluddin Rakhmat, bahwa
“yang menarik belakangan ini justru
orang-orang NU. Dengan bagus,
mereka mempertahankan inquisitive
mind-nya (rasa ingin tahu, ingin
bertanya, ingin mempersoalkan, atau
ingin mempermasalahkan). Pada
sebagian orang NU, terutama anak-
anak mudanya (PMII), saya melihat
pemikiran yang inquisitive dan
liberal, bahkan lebih liberal dari
orang-orang Muhammadiyah. Dulu,
kata James Peakock, inquisitive mind
adalah kepribadian Muhammadiyah.
Sekarang menurut saya, inquisitive
mind hanya kepribadian Amin Rais
saja; yang lainnya tidak (Jalaluddin
Rakhmat, 2005: 113).”
Demikian pula bahwa dalam NU,
wacana liberalisasi, sebagai suatu
konsep yang digunakan bagi gerakan
pembaharuan Islam dewasa ini,1 telah
diakantonginya. Oleh karena itu,
tidaklah aneh apabila Mujamil Qomar
memberi judul bukunya, yang
merupakan hasil kajian atas
penelitiannya terhadap NU dewasa ini,
dengan “NU Liberal” (Mujamil Qomar:
2002). Tekait dengan ini, Azyumardi
Azra mengungkapkan, bahwa memang
dapat dibenarkan terdapat sejumlah
pemikir NU yang cenderung berpikiran
liberal dalam arti adaptif dalam
merespon tantangan intelektual yang
tidak lagi tradisional dalam konotasi
peyoratif (Azyumardi Azra, 2002: 19-
20).
Pada era sekarang ini, tampaknya
sebagian kalangan nahdiyin yang dapat
dikatakan memegang kuat al-Kutub al-
Sofro’ dalam istilah Amin Abdullah, atau
sepadan dengan tradisi keilmuan Islam
klasik dan tradisi keilmuan pesantren
telah beranjak untuk tidak menganggap
bahwa tradisi keilmuan yang selama ini
mereka pegangi “sebagai produk jadi”,
“produk instan”, “produk siap pakai”.
Pada sebagian kalangan nahdiyin ini,
tampak telah merasa perlu untuk
meninjau kembali secara kritis
rumusan-rumusan yang telah ada
sebelumnya (M. Amin Abdullah, 2004:
31), yang terdapat dalam tradisi
keilmuan Islam klasik. Dengan
1Hamid Zarkasyi mengungkapkan, sebagai-
mana dikutip oleh Adian Husaini, bahwa gerakan pembaharuan Islam kini berlanjut menjadi liberalisasi Islam dalam wujud yang lebih terbuka dalam membela konsep-konsep westwrnisasi dan membongkar konsep-konsep dasar Islam. Lihat Adian Husaini, “37 Tahun Pembaharuan Islam di Indonesia”, Republika, 26 Januari 2007.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
48
demikian, bukan “produk jadi”
pemikiran Al-Ghazali dalam bidang
teologi atau “produk jadi” pemikiran
Imam Al-Syafi’i dalam bidang fiqih yang
diambil, misalnya, akan tetapi yang
diambil adalah sitem berpikir,
pendekatan, atau metodologinya.
Kalangan ini, telah dapat mendialogan
literatur al-Kutub al-Sofro’ dengan
literatur al-Kutub al-baidlo (buku-buku
putih) (M. Amin Abdullah, 2004: 44).
Di sisi lain, Muhammadiyah,
sebagaimana diungkapkan Azra
(Azyumardi Azra, 2000: 108), betul
bahwa pada tingkat praktis merupakan
organisasi modernis, namun betulkah
dapat disamakan dalam tingkat
idiologisnya. Dalam prakteknya,
meskipun Muhammadiyah selalu
mengklaim bahwa secara idiologis ia
mengikuti gagasan tokoh-tokoh
“modernis”, seperti al-Afghani, Abduh,
dan Ridha, tetapi jika dilacak lebih jauh
akar-akar idiologinya terletak pada
gagasan tajdid (pembaruan) Ibn
Taimiyyah.
Dengan kerangka idiologi semacam
itu, Muhammadiyah pada haekatnya
ingin menerapkan Islam, sebagaimana
pernah dipraktekkan oleh sahabat
sahabat uatama Nabi (ashab al-salaf).
Atas dasar ini, Muhammadiyah
termasuk dalam golongan gerakan
salafiyah, atau neosalafiyah. Dengan
karakteristik idiologis tadi, salafisme
yang menekankan pada sentralistik
kemurnian doktrin tawhid (keesaan
Tuhan), dengan kembali kepada Al-
Qur’an dan hadits atau sering pula
disebut sebagai gerakan purifikasi.
Konsekwensi logis dari penekanan ini
adalah penolakan terhadap bid’ah,
khurafat, praktek-praktek lain yang
dianggap menyimpang, dan inovasi-
inovasi lain dalam ibadah, karena
dipandang tidak bersumber dari Al-
Qur’an dan hadits(Azyumardi Azra,
2000: 108).
Simpulan
Dalam perjalanan dan kenyataannya,
NU sebagai organisai masyarakat dan
keagamaan bukanlah suatu organisasi
yang bercirikan tradisional, yaitu
terbelakang, serba statis, dan mandeg
baik dalam hal pemikiran maupun
praktek keagamaan dan organisasi.
Sekarang ini di kalangan NU dapat
dikatakan terbuka, berobah, dan
bergerak sebagaimana ciri modern. Oleh
karena itu, kurang tepat untuk era
sekarang ini memberi penilaian bahwa
NU adalah golongan konservatif, kolot,
dan tidak mampu menghadapi
perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Adian Husaini, “37 Tahun Pembaharuan
Islam di Indonesia”, Republika, 26
Januari 2007.
Amin Abdullah. (2004). Filsafat Kalam di
Era Posmodernisme. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
-------------------. (1995). “Religiositas
Kebudayaan: Sumbangan
Muhammadiyah dalam
pembangunan Bangsa.” Dalam
Keputusan Muktamar
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
49
Muhammadiyah ke-43. Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah.
Amin Rais, “Tauhid Sosial: Doktrin
Perjuangan Muhammadiyah”,
Inovasi, No. 1, Th. VII/1996.
Arief Mudatsir. 1984. “Dari Situbondo
Menuju NU Baru: Sebuah Catatan
Awal.” Prisma, LP3ES.
Azyumardi Azra. (1999). Menuju
Masyarakat Madani; Gagasan, Fakta,
dan Tantangan. Bandung:
Rosdakarya.
Azyumardi Azra. (2002). “Liberalisasi
Pemikiran NU”. Kata Pengantar
dalam Mujamil Qomar. (2002). NU
“Liberal” dari Tradisionalisme
Ahlussunah ke Universalisme Islam.
Bandung: Mizan.
Deliar Noer. (1995). Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900 – 1942.
Jakarta: LP3ES.
Greg Fealy dan Greg Barton. (1997).
Tradisionalisme Radikal:
Persinggungan Nahdatul Ulama-
Negara. (Yogyakarta: LKiS).
Husein Muhammad. 2004. “Kitab
Mu’tabar dan Ghayr Mu’tabar Versus
Arus Liberatif Generasi Baru NU”.
Afkar, Edisi No. 17.
Jainuri, A.. (1990). Muhammadiyah;
Gerakan Reformasi Islam di Jawa
Pada Awal Abad Keduapuluh.
(Surabaya:Bina Ilmu).
Jalaluddin Rakhmat, (2005), Rekayasa
Sosial; Reformasi, Revolusi, atau
Manusia Besar?, Bandung:
Rosdakarya.
Kajian Santri,
Martin van Bruinessen. “Konjungtur
Sosial Politik di Jagat NU Paska
Khittah 26: Pergulatan NU Dekade
90-an. Dalam Ellyyasa KH. Dharwis
(ed.). Gus Dur dan Masyarakat Sipil.
Yogyakarta: LKiS.
Mitsuo Nakamura. “Tradisionalisme
Radikal; Catatan Muktamar
Semarang 1979.” Dalam Greg Fealy
dan Greg Barton. 1997.
Tradisionalisme Radikal;
Persinggungan Nahdatul Ulama dan
Negara. Yogyakarta: LKiS.
Mujamil Qomar. (2002). NU “Liberal”
dari Tradisionalisme Ahlussunah ke
Universalisme Islam. Bandung:
Mizan.
Nurcholish Majid, “NU antara Tradisi
dan Relevansi Pemikiran” , dalam
Kata Pengantar Zuhairi Misrawi
(ed.), (2004), Menggugat Tradisi;
Pergulatan Pemikiran Anak Muda
NU, Jakarta: Kompas.
Nur Syam, 2005, Islam Pesisir,
Yogyakarta: LKiS.
Said Aqil Siradj. “NU, Tradisi dan
Kebebasan Pikir.” Kompas: Rabu, 29
Oktober 2003.
Very Verdiansyah. “Tradisionalisme dan
Liberalisme NU.” Kompas. Minggu,
28 November 2004.
Zamakhsyari Dhofier. 1994. Tradisi
Pesantren; Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
50
CLASH OF CIVILIZATION DALAM PERSIAN WAR (490 BC-480 BC)
Oleh:
Sudrajat1
1 Dosen muda pada Jurusan Pendidikan Sejarah FISE Universitas Negeri Yogyakarta sejak
tahun 2006.
Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi pertempuran besar antara bangsa Yunani melawan Persia yang dikenal dengan Nama Persian War. Peradaban merupakan faktor penting sebagai sumber konflik di masa lalu. Budaya, filsafat, dan teknologi merupakan capaian yang luar biasa dari bangsa Yunani. Sementara itu peradaban Persia merupakan masterpiece dari budaya Timur yang ingin memperluas kekuasaan ke Asia Barat di bawah kekuasaan Darius. Samuel P Huntington merumuskan sebuah hipotesis bahwa sumber konflik yang paling fundamental dalam dunia baru bukan lagi ideologi atau politik. Pengelom-pokan umat manusia berdasarkan warna kulit, bahasa, agama, dan budaya menumbuhkan perasaan emosional kolektif dan dapat menjadi sumber konflik. Persian War yang terjadi pada tahun 490-480 BC merupakan representasi dari hipothesis tersebut. Kata kunci: benturan antar peradaban, Persian War.
Abstract This article was to elaborate the big battles between Greece and Persian in the past called by historian as Persian War. The civilization was one of the most influential factors as source of conflict in the past. The art, philosophy, and technologies by which Greece people were highly endeavors for humankind for several centuries. On the contrary, Persians civilization will be masterpiece for Eastern world. Darius, king of Persians, was the ambitious man, wishes to conquer the West Asian and Greece to aggrandize her emporium and brought the Persian into the biggest in the world. Samuel P Huntington makes a hypothesis that the fundamental source of conflict in the new world will not be primarily ideological or economy. The great divisions among humankind based on linguistic, race, religion, and cultural identity flowering sense of collective emotional. This sense can be dominating source of conflict. The Persian War was took place in 490-480 BC represent of this hypothesis. Keywords: the Clash of civilization, Persian War.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
51
Latar Belakang Masalah Keberanian Iran dalam menentang
bangsa Barat mengingatkan kita pada peristiwa abad ke-5 SM. Pertentangan antara Persia melawan Yunani merupakan representasi dari benturan antar peradaban yaitu peradaban Barat (Yunani) dengan peradaban Timur (Persia). Benturan tersebut mengerucut ke dalam sebuah peperangan besar dalam sejarah umat manusia yaitu Perang Persia (Persian War).
Pada saat itu, Iran yang masih bernama Persia merupakan sebuah imperium besar yang menguasai wilayah di Asia Barat, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Persia juga mempunyai pengaruh yang kuat dalam percaturan politik di Laut Aegea. Pada saat yang bersamaan Yunani juga merupakan sebuah kekuatan yang sedang menanjak performanya.
Pada saat itu Yunani juga memiliki pengaruh yang kuat dalam percaturan politik di Laut Aegea. Yunani-Persia akhirnya terlibat dalam peperangan dalam rangka memperebutkan pengaruh di kawasan tersebut yang kemudian dikenal dengan Persian War. Persia War yang terjadi pada tahun 490-480 SM merupakan salah satu peperangan besar dalam sejarah peradaban umat manusia yang berhasil direkonstruksi oleh seorang sejarawan Yunani bernama Herodotus (484-425 SM.).
Tulisan Herodotus yang berjudul Histories merupakan studi yang menggunakan obervasi dan wawancara untuk merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah. Wawancara dan observasi
dilakukan di wilayah-wilayah yang menjadi ajang pertempuran prajurit Yunani-Persia, yaitu Yunani, Persia, Asia Barat dan Mesir.
Perang Yunani-Persia merupakan representasi dari persaingan antara dua bangsa yang memiliki perbedaan peradaban dan kebudayaan. Di samping itu perang Yunani-Persia juga menampilkan motif ekonomi dan politik yang bermuara dari keinginan Darius I untuk menguasai perdagangan dan hegemoni di Laut Aegea. Sejak berdirinya pada tahun 549 SM bangsa Persia berusaha memperluas wilayah-nya.
Satu per satu kerajaan-kerajaan di Mesopotamia berhasil dikuasai mulai dari Caldea, Babylonia, Mesir, dan lain-lain. Pada masa Darius I kekuasaan Persia telah meliputi Asia Barat, Asia Tengah dan hampir mendekati Asia Selatan. Di Asia Barat, Persia berhasil menguasai daerah Turki sekarang dan beberapa wilayah pantai Asia Kecil seperti Miletus.2
Pada umumnya wilayah-wilayah pantai Asia Kecil, waktu itu dihuni oleh bangsa Yunani terutama suku bangsa Ionia, Aeolia, Phyrgia, dan lain-lain. Bangsa Yunani merupakan sebuah bangsa yang berjiwa merdeka. Mereka pergi meninggalkan tanah asalnya di Balkan dalam rangka untuk membebaskan diri dari kungkungan adat dan tradisi yang membe-lenggunya. Di tanah yang ditujunya
2 Easton, Stewart C. (1963). The Heritage of
the Past: From the Earliest Times to the Close of the Middle Ages, New York: Holt, Rinehart & Winston. Hlm. 102.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
52
mereka mengembangkan tradisi yang berakar dari kebebasan dan kemerdekaan yang mereka anut. Oleh sebab itu ketika mereka berada di bawah kekuasaan bangsa Persia yang memperlakukan mereka dengan represif, mereka merasa sangat tertekan.
Oleh karenanya tidak meng-herankan apabila Aristagoras pada tahun 495 SM meminta bangsa Yunani yang notabene merupakan fatherland bangsa Ionia untuk menghadapi bangsa Persia. Kemauan Athena untuk membantu Miletus tidak hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi semata-mata, akan tetapi faktor persamaan budaya juga turut memberikan andil yang sangat sig-nifikan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka peneliti berusaha untuk mela-kukan penelitian dalam rangka mencari faktor benturan peradaban (clash of civilization) dalam perang Yunani-Persia. Peradaban Yunani
Peradaban Yunani merupakan salah satu peradaban yang mencapai tingkat kemajuan yang spektakuler di dunia kuno. Peradaban spektakuler lainnya antara lain: Mesir, Mesopotamia, India dan China. Kalau Mesir, Mesopotamia, dan China merupakan peradaban di lembah sungai, maka Yunani merupakan peradaban yang berkembang di laut.
Pada zaman kuno, Laut Tengah merupakan pusat perdagangan dan pertumbuhan ekonomi yang utama. Letaknya yang berada di tengah-tengah antara Eropa, Afrika, dan Asia
memungkinkan terjadinya kontak perdagangan, politik, dan kultural antar kawasan. Karenanya tidak mengherankan apabila di kawasan Laut Tengah berkembang peradaban yang maju, sejak peradaban Minoa, Mycenae, Yunani, dan kemudian Romawi.
Athena merupakan salah satu city state yang menjadi icon kemajuan peradaban Yunani. Karakteristik budaya Yunani yang sampai saat ini menjadi icon budaya Barat adalah kebebasan dan demokrasi. Hal tersebut tergambar dalam pidato Leotychides sesaat sebelum terjadi pertempuran di Mycale sebagai berikut:
Men of Ionia, listen, if you can hear me, to what I have to say. The Persians, in any case, won’t understand a word of it. When the battle begins, let each man of you first remember Freedom – and secondly our password, Hera. … Either the Persians would not know what he had said and the Ionians would be persuaded to leave them, or if words were reported to the Persians they would mistrust their Greek subjects.3
Dalam hal ini Pericles menyatakan bahwa pemungutan suara, jaminan persamaan bagi warga, dan pengakuan atas perbedaan diantara individu merupakan pilar terpenting dalam peradaban Yunani.
4
3 Herodotus. (1972). The Histories
(terjemahan Aubrey de Selincourt). Harmondsworth: Penguin Books., hlm. 615.
4 Toynbee, AJ. (1963). Greek Civilization and Character. New York: Mentor Book, hlm. 38.
Sedemikian
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
53
bangganya bangsa Athena dengan demokrasi, persamaan hak, dan pencapaian budayanya sehingga mereka menyebut bagian dunia yang didiami oleh masyarakat yang beradab dengan sebutan oikoumene.5
Suatu hal yang membedakan bangsa Yunani berbeda dengan komunitas manusia lainnya adalah polis. Menurut mereka polis mempunyai arti yang lebih dari sekedar kota. Polis adalah negara yang merdeka dan berdaulat dalam makna yang sesungguhnya. Polis membuat undang-undang yang berlaku di dalam kota, sedangkan keluar polis menyatakan perang kepada polis lain bila dianggap perlu.
Mereka menyebut masyara-katnya
beradab, dan menganggap bangsa lain sebagai orang aneh dan asing. Di telinga bangsa Yunani kata-kata yang terdengar dari ucapan orang aneh tersebut berbunyi bar-bar, bar-bar, sehingga mereka dianggap sebagai bangsa bar-bar yang berarti bangsa di luar bangsa Yunani.
6
Perbedaan dalam diri bangsa Yunani sedemikian mendasar, karena pemerintahan dijalankan dengan
Polis memerintah dirinya sendiri.
Yang diperintah adalah yang meme-rintah. Seperti yang dipaparkan oleh Aristoteles bahwa warga kota berganti-ganti diperintah dan memerintah.
5 Toynbee, AJ. (2004), Sejarah Umat
Manusia: Uraian Analitis, Kronologis, Naratif dan Komparatif. Yogyakarta: Tiara Wacana. hlm. 37.
6 Stone, IF. (1991). Peradilan Sokrates: Skandal Terbesar Dalam Demokrasi Athena (terj. Rahmah Asa Harun), Jakarta: PT Pustaka Utama Grafitti., hlm. 8.
semacam perselisihan. Setiap warga berhak memilih dan berbicara di dalam majelis yang membuat undang-undang. Mereka juga berhak duduk sebagai juri di pengadilan. Bahkan banyak pegawai kantor yang direkrut melalui undian hanya demi memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh warga kota untuk ambil bagian dalam pemerintahan.7
Peradaban Yunani tidak dapat dipisahkan dengan agama atau kepercayaannya. Pesta olahraga Olimpiade maupun pertunjukan drama di amphitheatre hanyalah merupakan perkembangan lebih lanjut dari upacara keagamaa. Demikian juga dengan arsitektur dan kesusasteraan yang mempunyai makna keagamaan yang tinggi. Aspek keagamaan dalam peradaban Yunani tidak hanya semata-mata agama, tetapi juga mencerminkan aspek-aspek kehidupan lainnya.
8
7 Ibid., hlm. 9 8 Sugihardjo Soemobroto, & Budiawan.
(1989). Sejarah Peradaban Barat Klasik: Dari Prasejarah Hingga Runtuhnya Romawi. Yogyakarta: Liberty., hlm. 71.
Mereka tidak membuat batas yang
jelas antara agama dan negara, tetapi mengidentikkan satu dengan lainnya. Perasaan keagamaan dan patriotisme sering diekspresikan sebagai kesetiaan kepada agama maupun negara. Undang-undang yang penting disyahkan oleh majelis untuk kemudian diukir di batu serta disimpan di Acropolis. Peradaban Persia
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
54
Persia merupakan salah satu elemen peradaban Timur yang berlokasi di Iran sekarang. Iran terletak di daerah lembah Mesopotamia, sebuah kawasan dengan peradaban yang maju pada saat itu. Oleh kebanyakan ahli daerah tersebut dikenal dengan “the cradle of civilization” atau lahirnya peradaban. Sementara istilah lain yang sering disebutkan antara lain “the fertile crescent’ untuk menyebut daerah yang subur, sementara julukan “the Levant” menunjuk kepada arah (dimana bangsa Arab menyebut masyriq).
Imperium Persia didirikan oleh Cyrus pada 549 BC. Imperium Persia didirikan oleh Cyrus pada tahun 549 SM. Setelah berhasil mendirikan kekaisaran, Cyrus berusaha untuk menguasai wilayah-wilayah di sekitar-nya. Pertama kali bangsa Persia mengalahkan Chaldea, kemudian mem-perluas wilayahnya dengan menyerang Babylonia. Perluasan wilayah dilanjut-kan oleh Cambyses dengan meng-aneksasi Mesir. 9
Pada masa Darius I kekuasaan Persia telah membentang luas dari Laut Kaspia, India sampai ke Timur Tengah. Kerajaan Persia merupakan sebuah kerajaan dalam arti modern karena di dalam kerajaan ini ditemukan negara-negara yang sebe-narnya merdeka, namun memelihara individualitas, adat-istiadat maupun hukum-hukumnya sendiri. Kerajaan Persia memberikan kontribusi yang signifikan terhadap bangsa-bangsa yang dikuasainya serta pada saat yang bersamaan membiarkan
9 Stewart. Op. cit., hlm.102.
masing-masing bangsa dengan karakter, sifat dan budayanya sendiri.10
Untuk menjaga loyalitas satraps raja mengirimkan beberapa orang kepercayaannya untuk mengawasiya.
Secara politis, kekuasaan Persia atas
wilayah-wilayah yang dikuasainya dijalankan secara terpusat. Untuk kepentingan administratif, wilayah Persia di bagi ke dalam beberapa provinsi yang dikepalai oleh seorang satraps. Satraps merupakan kepala adminisrasi dan memimpin pasukan apabila sedang terjadi peperangan. Tanggung jawab lain dari satraps adalah mengumpulkan pajak.
11
Inti dari Zoroastrianism adalah perjuangan antara pencipta dunia (Ahuramazda) sebagai dewa api (the god of light) melawan Ahriman (the god
Akibat dari sistem kekuasaan yang demikian adalah digunakannya tindakan-tindakan represif oleh aparat kekuasaan. Kadang-kadang terjadi perampasan barang atau hasil panen untuk memenuhi kuota pajak yang ditetapkan oleh raja. Tugas keamanan yang dibebankan kepada satraps juga menyebabkan satraps bertindak kejam dalam menangani berbagai masalah.
Untuk memahami peradaban suatu bangsa, kita harus memahami agama atau kepercayaan yang dianut oleh penduduknya. Pada umumnya agama bangsa Persia adalah Zoroastrianism dengan kitab suci yang disebut dengan Zend Avesta.
10 Hegel, GWF. (2001). Filsafat Sejarah (terj.
Cuk Ananta Wijaya), Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hlm. 256.
11 Stewart., Op. cit., hlm. 102.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
55
of darkness) sebagai dewa kegelapan. Tugas manusia adalah membantu dewa api dalam perjuangannya melawan dewa kegelapan. Seluruh raja Persia mendukung perjuangan Ahuramazda dengan mendukung peranan dewa api di muka bumi, menegakkan keadilan dan berperan menurut kebenaran.12
Bangsa Yunani menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan. Mereka bermigrasi dari daerah asal mereka
Dengan kepercayaan inilah raja-raja
Persia mendapatkan legitimasi atas kekuasaan yang dipegangnya. Rakyat mematuhi seluruh kebijakan raja karena menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh raja sudah benar dalam rangka membantu dewa api dalam mewujudkan keadilan di muka bumi ini.
Inilah salah satu karakteristik pemerintahan di dunia Timur, yang tentu berbeda dengan dunia Barat (Yunani) yang mendasarkan pemerin-tahannya prinsip-prinsip demokrasi dengan mengutamakan kebebasan serta terpenuhinya hak rakyatnya. Latar Belakang Persian War
Di bawah kekuasaan Darius I, Persia merupakan sebuah kekuatan baru yang berusaha memperluas wilayah kekuasaanya. Setelah berhasil menguasai Lydia, wilayah kekuasaan Persia meluas sampai di daerah pantai Asia Kecil. Penguasaan Persia atas wilayah-wilayah di Asia Kecil yang dihuni oleh bangsa Yunani, khususnya suku Ionia, dirasakan sebagai sebuah penindasan.
12 Ibid., hlm. 105.
dengan tujuan untuk mendapat menikmati kebebasan tersebut.13
Miletus kemudian mencari bantuan ke Athena, daerah asal mereka (bangsa Ionia dan Achaia) yang tetap dianggap sebagai Fatherland. Athena memberikan bantuan 30.000 tentara dengan 20 buah kapal perang.
Dapat dikatakan bahwa kebebasan dan kemerdekaan merupakan jiwa mereka, sehingga penguasaan Persia dianggap sebagai perampasan atas jiwa kebebasan dan kemerdekaan mereka. Akibatnya koloni-koloni Yunani di Asia Kecil melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Persia. Salah satu pemberontakan tersebut dilakukan oleh Aristagoras dari Miletus pada tahun 495 SM. Aristagoras menyadari bahwa Persia dibawah kekuasaan Darius I merupakan sebuah imperium yang besar dan memiliki kekuatan militer yang cukup disegani. Untuk menghadapinya, maka Aristagoras meminta bantuan kepada Yunani, khususnya kepada Sparta yang dikenal memiliki kemampuan militer yang hebat. Akan tetapi Sparta menolak memberikan bantuan karena menyadari bahwa mereka tidak akan sanggup untuk menghadapi kekuatan militer Persia.
14
Dengan bantuan dari Athena, Aristagoras melakukan pemberontakan dengan menyerang tentara Persia di
13 Romein, J.M. (1956). Aera Eropa:
Peradaban Eropa Sebagai Penyimpangan dari Pola Umum. Jakarta: NV. Ganaco. hlm. 25.
14 Herodotus. (1972). The Histories (terjemahan Aubrey de Selincourt). Harmondsworth: Penguin Books., hlm. 379.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
56
Lade pada tahun 495 SM. Akan tetapi pemberontakan Miletus dapat ditumpas oleh Darius I. Meskipun telah berhasil menghancurkan Miletus, tetapi Darius I belum merasa puas. Ia ingin memberikan balasan terhadap Athena yang telah berani membantu kaum pemberontak. Darius berkeyakinan bahwa suatu saat nanti Yunani akan kembali membantu saudara-saudara mereka di Asia Kecil untuk melepaskan diri dari kekuasaan Persia. Episode Pertama (490 SM)
Pada tahun 490 SM pasukan Persia di bawah pimpinan Datis dan Artaphernes berangkat dari Pulau Samos berlayar menyusuri Laut Aegea dan mendarat di Pulau Delos. Setelah merampas dan menghancurkan beberapa pulau, pasukan Persia bergerak menuju ke pantai Euboea dengan tujuan menduduki kota Eritrea. Setelah berhasil menaklukkan kota dagang Eritrea, pasukan Persia bermaksud menyeberangi ke Attica dengan tujuan utama Athena.
Atas nasehat Hippias, tiran Yunani yang menjadi penasehat Darius I, pasukan Persia bermalam di Marathon, sebuah tempat yang jaraknya sekitar 35 kilometer dari Athena. Marathon dijadikan basis serangan pasukan Persia ke Athena karena letaknya yang dekat dengan Athena sehingga mempermudah komunikasi. Di samping itu di Marathon pasukan Persia juga dapat mengerahkan pasukan kavallerinya, karena daerah ini merupakan dataran rendah.
Mendengar pendaratan pasukan Persia di Marathon, Athena berusaha mencari bantuan ke polis-polis Yunani lainnya. Athena mengirimkan Phedipiades ke Sparta guna meminta bantuan pasukan untuk menghadapi pasukan Persia. Namun Sparta tidak bersedia berperang sebelum bulan purnama, karena menurut kepercayaan mereka pertempuran sebelum bulan purnama akan mendatangkan kekalahan.15
Tidak pernah terjadi dalam sejarah kita, Athena dalam keadaan bahaya seperti sekarang ini. Seandainya kita dikuasai oleh Persia, maka Hippias akan memulihkan kekuasaannya, dan ada sedikit keraguan apakah kesengsaraan akan terjadi. Namun apabila berperang dan menang, kota kita ini akan menjadi terkenal diantara kota-kota di Yunani.
Setelah melakukan persiapan
selama 7 hari pasukan Athena di bawah pimpinan Callimachus dan Miltiades bergerak ke Marathon. Miltiades menyatakan:
16
Pidato Miltiades tersebut berhasil membakar semangat pasukan Yunani sehingga meskipun kalah dalam jumlah pasukan, mereka dapat memukul pasukan Persia ke bibir pantai Euboea dan mengalahkan mereka. Dalam pertempuran tersebut sebanyak 6400 orang pasukan Persia tewas, sedangkan Yunani kehilangan 192 orang
15 Ibid., hlm. 425. 16 Ibid., hlm. 428.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
57
prajuritnya. Akhirnya pasukan Persia mengundurkan diri dari Marathon melalui jalan laut. Pasukan Persia terus bergerak mundur melalui tanjung Sunium dan kembali ke Asia Barat.17
Kita, bangsa Persia mempunyai sebuah jalan hidup yang diwarisi dari para leluhur untuk diikuti. ... Ini merupakan bimbingan Tuhan dan apabila diikuti kita akan mendapat kemakmuran yang besar. ... Saya akan menyeberangi Hellespont dan
Sementara itu pasukan dari Sparta
yang datang beberapa hari setelah pertempuran hanya dapat menyaksi-kan Marathon yang sudah kosong. Kemenangan Athena atas Persia menaikkan prestise dan wibawa Athena di mata polis-polis Yunani yang lain. Miltiades disanjung oleh hampir seluruh polis Yunani karena kecakapan dan kecerdasannya dalam memimpin pasukan Athena. Episode Kedua (480 SM)
Sepeninggal Darius, kekaisaran Persia diambilalih oleh puteranya, Xerxes. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan di Mesir, rasa percaya diri Xerxes sedemikian tingginya. Sebagai orang Persia yang mempunyai agama dan jalan hidup yang diwarisi dari para leluhurnya, Xerxes sangat tersinggung dengan kekalahan bangsa Persia atas Athena di Marathon.
17 Wheeler, Kevin. (2001). “The Persian
Wars” tersedia dalam www.geocities.com/ caesarkevin/battle/greekbattle didownload pada tanggal 20 Juni 2007. Pertempuran tersebut terjadi pada tanggal 10 September 490 SM.
berjalan melalui Eropa ke Yunani, dan menghukum Athena atas penghinaan yang mereka lakukan kepada ayahku dan kepada kita.18
Persiapan untuk melakukan serangan kembali ke Yunani telah dilakukan sejak tahun 483 SM. Xerxes memerintahkan kepada seluruh satraps (provinsi) untuk mengirimkan tentaranya guna berperang melawan Yunani. Pada tahun 481 SM pasukan Persia berkumpul di Sardis, ibukota Lydia, yang dijadikan pangkalan militer oleh Persia. Pasukan Persia kali ini dipimpin oleh Mardonius, Achaemenes, Masistes, dan Artemesia.
19
Angkatan darat Persia bergerak ke arah barat daya berusaha menye-berangi Laut Marmora dengan membangun jembatan darurat. Diper-lukan kira-kira 300 buah kapal untuk membangun jembatan penyeberangan ini.
20
Gerakan pasukan Persia yang sangat cepat tersebut membuat polis-polis di Yunani merasa cemas. Mereka kemudian mengadakan musyawarah di Corinthia yang memutuskan untuk menghadang pasukan Persia di Thermophylae. Pasukan Yunani, yang dipimpin oleh Leonidas, raja Sparta,
Selama 7 hari penuh seluruh pasukan Persia berhasil diseberangkan melalui jembatan tersebut.
18 Herodotus, Op. cit., hlm. 444. 19 Ibid., 466-470. 20 Wheeler,. Op. cit.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
58
menghadang pasukan Persia di Thermophylae pada tahun 480 SM.21
Pada saat angkatan darat Persia memasuki Attica dan Athena, angkatan lautnya bergerak memasuki perairan Artemisium. Sebenarnya angkatan laut Yunani di bawah pimpinan Eurybiades telah siaga di Artemisium untuk mencegatnya. Serangan pertama
Pada awalnya pasukan Yunani mendapat tempat yang strategis sehingga lebih menguasai medan pertempuran. Akan tetapi secara tiba-tiba pasukan Persia berhasil menusuk pertahanan pasukan Yunani dengan cara mendaki jalan sempit di pegunungan. Ephialtes, seorang Yunani yang memberitahukan adanya jalan tersebut kepada Xerxes. Dengan gerakan tersebut maka pasukan Yunani menjadi terkepung. Dalam pertempuran tersebut raja Leonidas dan sebagian besar pasukan Yunani terbunuh. Kemenangan ini membuka jalan ke Athena yang jaraknya tinggal 85 mil atau kurang dari 2 hari bila ditempuh dengan perjalanan darat.
Setelah jatuhnya Thermophylae, angkatan darat Persia bergerak memasuki Boeotia dan Attica. Athena berhasil diduduki tanpa perlawanan yang berarti. Sesuai dengan sumpahnya, maka Xerxes meme-rintahkan pasukannya untuk meng-hancurkan dan membakar kota tersebut. Penduduk Athena berusaha menyelamatkan diri ke Peloponnesos, sedangkan sebagian penduduk lainnya berlindung Acropolis.
21 Ibid., pertempuran di Thermophylae
menurut perhitungan kalender Yulian terjadi pada tanggal 17-19 September 480 SM.
angkatan laut Yunani terhadap angkatan laut Persia dilancarkan pada tahun 480 SM.22
Pertempuran di Salamis pada tahun 480 SM. merupakan titik balik (turning
Pertempuran antara angkatan laut
Persia menghadapi angkatan laut Yunani di Artemisium berlangsung selama tiga hari. Dengan taktiknya yang cukup jitu, angkatan laut Yunani dapat memancing sebagian besar kapal-kapal Persia untuk bergerak ke Teluk Salamis. Titik Balik Kemenangan Yunani Salamis merupakan sebuah pulau kecil yang terletak di Teluk Saronic. Letak Pulau Salamis tidak menguntungkan dalam strategi militer, karena diapit oleh Semenanjung Attica, Semenanjung Peloponnesos, Pegunungan Aegaleos, dan Pulau Aegina di sebelah selatan. Angkatan laut Persia yang tidak memahami wilayah perairan di Yunani, berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Mereka terjebak di perairan yang sempit di Pulau Salamis dengan Pegunungan Aegaleos di belakang mereka. Hal ini menyebabkan angkatan laut Persia tidak dapat mengerahkan kekuatannya secara maksimal. Sementara itu angkatan laut Yunani berada di dalam posisi yang menguntungkan. Mereka berada di wilayah perairan yang luas sehingga dapat mengerahkan kekuatannya secara maksimal serta mengembang-kan taktik perangnya.
22 Ibid., berdasarkan perhitungan kalender
Yulian peristiwa tersebut kemungkinan besar terjadi tanggal 17 -20 September 480 SM.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
59
point) yang amat menentukan.23
Xerxes yang menyaksikan pertempuran tersebut dari Pegu-nungan Aegaleos memutuskan untuk menerobos formasi kapal-kapal Yunani dan langsung mundur. Keputusan ini diambil untuk menghindari kerugian
Bagi bangsa Yunani, pertempuran di Salamis merupakan awal kebangkitannya sehingga mereka dapat meraih kemenangan dalam pertempuran-pertempuran berikut-nya. Sementara itu bagi bangsa Persia pertempuran ini merupakan awal dari kekalahannya, sehingga memaksa Xerxes untuk segera meninggalkan Yunani. Kekuatan pasukan Yunani yang berjumlah 380 kapal perang ber-hadapan dengan 800 kapal perang Persia.
Dalam pertempuran di Salamis ini angkatan laut Persia mengalami kekalahan karena kesalahan taktik dan strategi. Mereka berada di perairan yang sempit sehingga tidak dapat membentuk formasi serangan sesuai dengan taktik perang yang direncanakan. Di samping itu mereka juga mendapat serangan dari darat oleh angkatan darat Yunani dibawah pimpinan Aristides yang berhasil didaratkan di Psyttaleia, Hal ini menyebabkan pasukan Persia berada dalam keadaan yang sangat kritis karena harus menghadapi pasukan darat dan laut dalam waktu yang bersamaan. Posisi mereka terjepit sehingga banyak prajurit Persia menjadi korban.
23 Ibid., pertempuran di Salamis terjadi
selama tiga hari yaitu mulai tanggal 29 September sampai tanggal 2 Oktober 480 SM.
lebih besar yang akan dialami pasukannya. Xerxes memulai gerakan mundurnya pada malam hari dengan rute yang sama pada waktu mereka berangkat ke Yunani. Setelah melalui perjalanan yang berat selama 48 hari, akhirnya Xerxes sampai di Hellespon.24
Menurut Huttington, pasca runtuhnya komunisme, persoalan pokok yang menjadi sebab meletusnya konflik bukan lagi persoalan ideologi, politik maupun persoalan ekonomi, tetapi peradaban. Budaya, bahasa, agama atau kepercayaan serta pengalaman historis merupakan elemen-elemen penting yang men-dasari dan membentuk sebuah peradaban. Sebuah peradaban adalah bentuk budaya yang paling tinggi dari suatu kelompok masyarakat dan tataran
Kemenangan bangsa Yunani dalam
pertempuran di Salamis menum-buhkan moral dan semangat juang mereka. Setelah berhasil memukul mundur angkatan laut Persia di Salamis, pasukan Yunani menghimpun kekuatan untuk menghancurkan angkatan darat Persia yang masih bertahan di Attica. Melalui beberapa pertempuran antara lain di Plataea, Mycale dan lain-lain, pasukan Yunani dapat mengalahkan pasukan Persia. Kemenangan ini dianggap sebagai kemenangan peradaban Barat yang memiliki karakteristik kebebasan dan demokrasi atas peradaban Timur dengan karakteristik despotisme. Simpulan
24 Ibid., diperkirakan Xerxes sampai di
Hellespon pada tanggal 15 November 480 SM.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
60
yang paling luas dari identitas budaya kelompok masyarakat manusia yang dibedakan secara nyata dari makhluk-makhluk lainnya.
Menurut ahli sosiologi konflik baik yang terjadi melalui peperangan maupun perundingan dapat menyebabkan timbulnya kelompok baru dan mengembangkan identitas strukturalnya. Namun ketika konflik mengemuka dengan out-groups, maka hal ini dapat menyebabkan kuatnya identitas diri para anggota kelompoknya. Perang Yunani-Persia merupakan representasi dari persaingan antara dua bangsa yang memiliki perbedaan peradaban dan kebudayaan. Masing-masing kelompok sangat yakin dengan kebenaran dan kekuatan pranata-pranata sosialnya. Hal inilah yang sebenarnya patut untuk dicatat sebagai perang antarperadaban.
Peperangan itu sendiri berlangsung dalam dua episode yaitu pertama terjadi pada tahun 490 SM. dan kedua terjadi sepuluh tahun kemudian. Dalam dua episode peperangan tersebut, bangsa Yunani berhasil mengalahkan bangsa Persia. Herodotus dengan lengkap dan detail mencatat kisah peperangan tersebut dalam karyanya ”The Historie” khususnya mulai bagian 7 sampai bagian 9.
Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah dengan kemenangan tersebut berarti bangsa Yunani memiliki tingkat peradaban yang lebih tinggi dibandingkan dengan Persia. Pertanyaan ini menjadi sangat menarik apabila dikaitkan dengan apa
yang dilakukan oleh Alexander the Great kira-kira seabad sesudahnya. Daftar Pustaka Buku Bambang Purwanto. (2006). Gagalnya
Historiografi Indonesiasentris. Yogyakarta: Ombak.
Easton, Stewart C. (1955). The Heritage
of the Past: From the Earliest Times to the Close of the Middle Ages. New York: Holt Rineheart and Winston.
Farmer, Paul. (1951), The European
World: A Historical Introduction, New York:: Alfred A Knopf.
Gootschalk, Louis. (1986). Mengerti
Sejarah. Jakarta: UI Press. Herodotus. (1977). The Historie
(translated by Audbrey de Selincourt), Harmondsworth: Penguin Books.
Huttington, Samuel P. (2005). Benturan
Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia (terj. M. Sadat Ismail), Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Kuntowijoyo, (2005), Peran Borjuasi
Dalam Transformasi Eropa, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Kuntowijoyo. (2003). Metodologi
Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kuntowijoyo. (2008). Penjelasan
Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 ARPIL 2010
61
Poloma, Margaret M,. (2004). Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo.
Romein, JM., (1956). Aera Eropa:
Peradaban Eropa sebagai Penyimpangan Pola Umum, Jakarta: CV Ganaco.
Sugihardjo Soemobroto, & Budiawan.
(1989). Sejarah Peradaban Barat Klasik: Dari Prasejarah Hingga Runtuhnya Romawi. Yogyakarta: Liberty.
Thucydides, (1957). The History of The
Peloponesian War, London: J.M. Dent & Sons Ltd.
Toynbee, AJ. (1963). Greek Civilization
and Character. New York: Mentor Book.
Toynbee, AJ. (2004), Sejarah Umat
Manusia: Uraian Analitis, Kronologis, Naratif dan Komparatif. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Terbitan dan Internet
Herodotus. (1942). “The Persian Wars” (translated by George Rawlinson) tersedia dalam gopher://gopher.vt.edu:10010/10/33 didownload pada tanggal 10 April 2008.
Huntington, Samuel P. (1993) “The Clash of Civilizations And the Remaking of World Order” tersedia dalam
http://www.washingtonpost.com/wpsrv/style/longterm/books/chap1/clashofcivilizations.htm didownload pada tanggal 20 Juni 2008.
Katimin (2007). “Menuju Tata Dunia
Baru: Hubungan Barat Islam (Perspektif Historis-Politis)”, Analytica Islamica, Vol. 9, No. 1, 2007. hlm. 162-168.
Wheeler, Kevin. (2001). “The Persian
Wars” tersedia dalam www.geocities.com/ caesarkevin/battle/greekbattle didownload pada tanggal 20 Juni 2007.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
62
DIMENSI-DIMENSI KUALITAS
PROSES PEMBELAJARAN SEJARAH
Oleh: Aman1
1 Pengajar pada Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan
Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
Abstrak
Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran, aktivitas dan kreativitas guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar akan berkualitas apabila didukung oleh guru yang professional memiliki kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial sesuai dengan tuntutan yang tertuang di dalam UU Guru dan Dosen Pasal 10. Di samping itu, kualitas proses pembelajaran juga dapat maksimal jika didukung oleh siswa yang berkualitas (cerdas, memiliki motivasi belajar yang tinggi dan sikap positif dalam belajar), dan didukung sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai. Guru yang profesional akan memungkinkan memiliki kinerja yang baik, begitu pula dengan siswa yang berkualitas memungkinan siswa memiliki perilaku yang positif dalam kegiatan belajar mengajar. Interaksi belajar mengajar antara guru dan siswa yang positif akan mewujudkan budaya kelas yang positif dan impresif atau suasana pembelajaran (classroom climate) yang mendukung untuk proses belajar siswa. Kata Kunci: Kualitas pembelajaran, Pembelajaran, Sejarah Abstract An accomplishment of learning implementation depends on learning quality. Learning quality depends on availability of learning facility, student activities, and teacher’s creativities. If support by professional teachers, learning activity will be qualified. Professional teachers which have competencies such as competency of pedagogy, personality, and social appropriate with UU Guru dan Dosen. Despite learning facilities and professional teachers, qualified students have major part for learning qualities. A positive interaction between students and teachers could be flower classroom climate that support learning process. Keyword: learning quality, learning, history.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
63
Pendahuluan Konsep pembelajaran, sering juga
disebut dengan ”instruction” yang terdiri dari dua kata yakni kegiatan belajar dan mengajar. Dalam konsepsi umum, belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada yang berlangsung pada diri seseorang.
Belajar merupakan perubahan yang terjadi pada diri seseorang sebagai hasil pengalaman. Peru-bahan sebagai hasil kegiatan pembelajaran dapat mencakup perubahan pengetahuannya, kecaka-pan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan dan lain sebagainya.
Demikian pula dengan mengajar yang pada dasarnya merupakan suatu proses, yang meliputi proses mengatur dan mengorganisir lingkungan belajar siswa yang tujuannya adalah menumbuhkan dan memotivasi siswa untuk belajar.
Mengajar merupakan suatu proses mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam kegiatan belajar mengajar terdapat dua kegiatan yang terjadi dalam satu kesatuan waktu dengan pelaku yang berbeda, yakni siswa belajar dan guru yang mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.
Oleh karena itu dalam kegiatan belajar mengajar terjadi hubungan dua arah antara guru dengan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Dengan demikian, eksistensi guru dan siswa yang saling mendukung dalam kegiatan pembelajaran merupakan suatu faktor yang harus ada dalam proses pembelajaran.
Mengajar merupakan suatu aktivitas profesional yang memerlukan keterampilan tingkat tinggi dan mencakup hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan-keputusan. Pengajar dituntut untuk mampu mengelola kegiatan pembelajaran, yakni dalam hal: merencanakan, mengatur, mengarahkan, dan mengevaluasi.
Keberhasilan kegiatan pembe-lajaran sangat tergantung pada kompetensi guru dalam meren-canakan, yang mencakup antara lain menentukan tujuan belajar peserta didik, bagaimana caranya agar peserta didik mencapai tujuan tersebut, sarana apa yang diperlukan, dan lain sebagainya.
Dalam hal mengatur, yang dilakukan pada waktu implementasi apa yang telah direncanakan dan mencakup pengetahuan tentang bentuk dan macam kegiatan yang harus dilaksanakan, bagaimana semua komponen dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan.
Pengajar bertugas untuk meng-arahkan, memberikan motivasi, dan memberikan inspirasi kepada peserta didik untuk belajar. Memang benar tanpa pengarahan pun masih dapat juga terjadi proses belajar, tetapi dengan adanya pengarahan yang baik dari pengajar maka proses belajar
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
64
dapat berjalan dengan lancar. Sedangkan dalam hal mengevaluasi, termasuk penilaian akhir, hal ini dimaksudkan apakah perencanaan, pengaturan, dan pengarahannya dapat berjalan dengan baik atau masih perlu diperbaiki.
Dalam proses belajar mengajar, pengajar perlu mengadakan keputusan-keputusan, misalnya metode apakah yang perlu dipakai untuk mengajar mata pelajaran tertentu, alat dan media apakah yang diperlukan untuk membantu peserta didik membuat suatu catatan, melakukan praktikum, menyusun makalah diskusi, atau cukup hanya dengan mendengar ceramah pengajar saja. Dalam proses belajar mengajar pengajar selalu dihadapkan pada bagaimana melakukannya, dan mengapa hal tersebut perlu dilakukan. Begitu juga dalam hal evaluasi atau penilaian dihadapkan pada bagaimana sistem penilaian yang digunakan, bagaimana kriterianya, dan bagaimana pula kondisi peserta didik sebagai subjek belajar yang memerlukan nilai itu.
Paradigma Baru Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah sebagai sarana pendidikan bangsa, terutama dalam aplikasi sejarah normatif, Djoko Suryo (2005: 3) merumuskan beberapa indikator terkait dengan pembelajaran sejarah tersebut yaitu: (1) pembelajaran sejarah memiliki tujuan, substansi, dan sasaran pada segi-segi yang bersifat normatif; (2) nilai dan makna sejarah diarahkan
pada kepentingan tujuan pendidikan daripada akademik atau ilmiah murni; (3) aplikasi pembelajaran sejarah bersifat pragmatik, sehingga dimensi dan substansi dipilih dan disesuaikan dengan tujuan, makna, dan nilai pendidikan yang hendak dicapai yakni sesuai dengan tujuan pendidikan; (4) pembelajaran sejarah secara normatif harus relevan dengan rumusan tujuan pendidikan nasional; (5) pembelajaran sejarah harus memuat unsur pokok: instruction, intellectual training, dan pembelajaran moral bangsa dan civil society yang demokratis dan bertanggung jawab pada masa depan bangsa; (6) pembelajaran sejarah tidak hanya menyajikan pengetahuan fakta pengalaman kolektif dari masa lampau, tetapi harus memberikan latihan berpikir kritis dalam memetik makna dan nilai dari peristiwa sejarah yang dipelajarinya; (7) interpretasi sejarah merupakan latihan berpikir secara intelektual kepada para peserta didik (learning process dan reasoning) dalam pembelajaran sejarah; (8) pembelajaran sejarah berorientasi pada humanistic dan verstehn (understanding), meaning, historical consciousness bukan sekedar pengetahuan kognitif dari pengetahuan (knowledge) dari bahan sejarah; (9) nilai dan makna peristiwa kemanusiaan sebagai nilai-nilai universal di samping nilai particular; (10) virtue, religiusitas, dan keluhuran kemanusiaan universal, dan nilai-nilai patriotisme, nasionalisme, dan kewarganegaraan,
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
65
serta nilai-nilai demokratis yang berwawasan nasional, penting dalam penyajian pembelajaran sejarah; (11) pembelajaran sejarah tidak saja mendasari pembentukan kecerdasan atau intelektuilitas, tetapi pembentukan martabat manusia yang tinggi; dan (12) relevansi pembelajaran sejarah dengan orientasi pembangunan nasional berwawasan kemanusiaan dan kebudayaan.
Djemari Mardapi (2003 b: 8) mengatakan bahwa keberhasilan program pembelajaran selalu dilihat dari hasil belajar yang dicapai. Evaluasi pembelajaran memerlukan data tentang pelaksanaan pembe-lajaran dan tingkat keterca-paian tujuannya. Hal ini tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi, tetapi juga di pendidikan dasar dan menengah.
Evaluasi pembelajaran seringkali hanya didasarkan pada penilaian aspek hasil belajar, sementara implementasi program pembelajaran di kelas atau kualitas pembelajaran yang berlangsung maupun input program pembelajaran jarang tersentuh kegiatan penilaian.
Penilaian terhadap hasil belajar selama ini pada umumnya juga terbatas pada output, sedangkan outcome jarang tersentuh kegiatan penilaian. Penilaian hasil belajar masih terbatas pada output pembelajaran, belum menjangkau outcome dari program pembelajaran. Output pembelajaran yang dinilai juga masih terfokus pada aspek kognitif,
sedangkan aspek afektif kurang mendapat perhatian. Demikian pula dengan pembelajaran sejarah selama ini yang hanya terfokus pada hard skill atau academic skill, kurang memperhatikan penilaian afektif yakni tentang nasionalisme, kepribadian, kesadaran sejarah, dan kepribadian sebagai hasil belajar sejarah. Dampaknya, pembelajaran sejarah menjadi kering kurang menyentuh aspek yang substantif. Kualitas Pembelajaran Sejarah
Dengan demikian, seluruh pendukung kegiatan belajar mengajar harus tersedia karena akan mendukung proses sebagaimana dikatakan Cox (2006: 8) bahwa: ”the quality of an instructional program is comparised of three elements, materials (and equipment), activities, and people”. Secara garis besar, terdapat dua variabel yang dapat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa, yakni ketersediaan dan dukungan input serta kualitas pembelajaran. Input terdiri dari siswa, guru, dan sarana serta prasarana pembelajaran.
Kualitas pembelajaran adalah ukuran yang menunjukkan seberapa tinggi kualitas interaksi guru dengan siswa dalam proses pembelajaran dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. Kegiatan belajar mengajar tersebut dilaksanakan dalam suasana tertentu dengan dukungan sarana dan prasarana pembelajaran tertentu tertentu pula. Oleh karena itu, keberhasilan proses pembelajaran
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
66
sangat tergantung pada: guru, siswa, sarana pembelajaran, lingkungan kelas, dan budaya kelas. Semua indikator tersebut harus saling mendukung dalam sebuah sistem kegiatan pembelajaran yang berkualitas.
Untuk mengetahui tingkat kualitas pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar, maka perlu diketahui dan dirumuskan indikator-indikator kualitas pembelajaran. Morrison, Mokashi & Cotter (2006: 4-21) dalam risetnya telah merumuskan 44 indikator kualitas pembelajaran yang reduksi kedalam 10 indikator. Kesepuluh indikator kualitas pembelajaran tersebut meliputi: 1) Rich and stimulating physical environment; 2) Classroom climate condusive to learning; 3) Clear and high expectation for all student; 4) Coherent, focused instruction; 5) Thoughtful discourse; 6) Authentic learning; 7) Regular diagnostic assessment for learning; 8) Reading and writing as essential activities; 9) Mathematical reasoning; 10) Effective use of technology.
Kualitas pembelajaran berda-sarkan pendapat di atas dikatakan baik apabila: 1) lingkungan fisik mampu menumbuhkan semangat siswa untuk belajar; 2) suasana pembelajaran kondusif untuk belajar; 3) guru menyampaikan pelajaran dengan jelas dan semua siswa mempunyai keinginan untuk berhasil; 4) guru menyampaikan pelajaran secara sistematis dan terfokus; 5) guru menyajikan materi dengan
bijaksana; 6) pembelajaran bersifat riil (autentik dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan siswa); 7) ada penilaian diagnostik yang dilakukan secara periodik ; 8) membaca dan menulis sebagai kegiatan yang esensial dalam pembelajaran; 9) menggunakan pertimbangan yang rasional dalam memecahkan masalah; 10) menggunakan teknologi pembelajaran, baik untuk mengajar maupun kegiatan belajar siswa.
Pertimbangan kedua adalah bahwa kesepuluh indikator tersebut di atas kurang memperhatikan indikator siswa, dan lebih terfokus pada indikator guru dan lingkungan fisik. Padahal, keberhasilan kegiatan pembelajaran tidak hanya dipengaruhi oleh guru dan lingkungan fisik saja, melainkan juga faktor siswa yang lebih mendukung, dengan demikian dalam penelitian pengembangan ini perlu dimasukkan dua unsur baru dari sisi siswa, yakni mengenai sikap siswa terhadap pelajaran sejarah dan motivasi belajar siswa. Selanjutnya indikator-indikator yang telah dimodifikasi tersebut dapat dikaji lebih jelas lagi sebagai berikut. Kinerja Guru Sejarah
Faktor guru merupakan salah satu komponen input yang berpengaruh terhadap pencapaian kualitas pembelajaran. Proses pembelajaran akan menunjukkan kualitas tinggi apabila didukung oleh segala kesiapan input termasuk kinerja guru yang maksimal dalam kegiatan belajar
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
67
mengajar. Faktor guru adalah faktor yang sangat mempengaruhi terutama dilihat dari kemampuan guru mengajar serta kelayakan guru itu sendiri. Data Pusat Statistik Pendidikan Balitbang Depdiknas 2000/2001 menunjukkan bahwa persentase guru yang layak mengajar terhadap jumlah guru yang ada secara nasional adalah 63.79%. Artinya masih terdapat sekitar 36.21% guru SMA yang tidak layak mengajar baik dilihat dari kompetensi maupun kualifikasi pendidikannya. Perhatian yang belum sungguh-sungguh terhadap sumber daya pendidikan khususnya guru-guru baik dalam hal peningkatan mutu, kesejahteraan, dan kedudukan sosialnya, proses pendidikan dan perkembangan masyarakat akan lebih memperlebar kesenjangan kualitas guru-guru itu sendiri.
Dalam pembelajaran sejarah, Wiriaatmadja (1992: 66) menyatakan bahwa variabel guru merupakan faktor yang penting bagi keberhasilan pembelajaran sejarah. Guru sejarah yang tidak memiliki kinerja baik seperti tidak mampu mengaktifkan siswanya menyebabkan pembelajaran sejarah kurang berhasil untuk penghayatan nilai-nilai secara mendalam.
Hal serupa disampaikan oleh Taufik Abdulah dalam Supardan (2001: 67), bahwa pada umumnya guru sejarah belum menunjukkan kinerja yang baik, terbukti dengan masih banyaknya guru sejarah SMA yang dalam proses pembelajarannya
masih suka menyampaikan ”tumpukan” informasi tentang nama-nama tokoh, tanggal suatu peristiwa, dan isi perjanjian sebanyak mungkin, bukan bagaimana semua itu diartikan bagi peserta didiknya.
Tentunya dalam konsepsi ini sebenarnya kualitas pembelajaran sejarah sebagaimana disampaikan oleh Helius Sjamsuddin (2005: 33) salah satunya harus didukung oleh kinerja guru yang menuntut banyak pikiran, tenaga, dan waktu bagi guru untuk persiapan, pelaksanaan, dan sampai kepada evaluasinya.
Mengacu pada beberapa konsepsi di atas, maka dapat dikemukakan bahwa kinerja guru adalah faktor penting dalam mewujudkan kualitas pembelajaran. Ini berarti bahwa jika guru memiliki kinerja yang baik, maka akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran, begitu juga sebaliknya. Konsekuensinya adalah, ketika kualitas pembelajaran meningkat, maka hasil belajar siswa juga akan meningkat.
Guru yang memiliki kinerja yang baik, akan mampu menyampaikan pelajaran dengan baik dan bermakna, mampu mampu memotivasi peserta didik, terampil dalam memanfaatkan media, mampu membimbing dan mengarahkan siswa dalam pembelajaran sehingga siswa akan memiliki semangat dalam belajar, senang dalam proses pembelajaran, dan merasa mudah memahami materi pelajaran yang sampaikan oleh guru.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
68
Materi Pelajaran Sejarah Kajian materi pembelajaran
sejarah menurut Djoko Suryo (2005: 2), sebaiknya bertolak pada beberapa wilayah kajian yaitu: 1) sejarah pemikiran dan filsafat keagamaan sebagai sumber eksplanasi tentang perubahan dan kelangsungan kehidupan makhluk; 2) sejarah peradaban dan kebudayaan sebagai sumber pemahaman nilai dan makna kelangsungan dan perubahan hidup manusia dalam berdialog dengan lingkungan alam sekitar dan zamannya; 3) sejarah nasional dan sejarah lokal atau sejarah Indonesia makro dan mikro merupakan landasan penting bagi proses revitalisasi dan rekonstruksi masyarakat bangsa dan negara bangsa masa kini dan masa depan; 4) sejarah sosial, atau sejarah masyarakat atau sejarah dari bawah (history from bellow) yang berpusat pada golongan tertentu, organisasi kemasyarakatan, dan orang kecil akan melengkapi gambaran dinamika dan proses perkembangan masyarakat Indonesia secara luas dan lengkap serta kontinu; 5) sejarah konstitusional Indonesia memberikan landasan pemahaman tentang demokrasi dan pembentukan masyarakat madani (civil society).
Sedangkan dalam menyusun kurikulum sejarah atau standar isi yang sesuai dengan perubahan zaman, maka legalitas pendidikan sejarah dalam kurikulum pendidikan nasional harus menekankan aspek-aspek penting materi pelajaran
sejarah, di mana kurikulum harus menekankan: pentingnya pembel-ajaran sejarah sebagai sarana pendidikan bangsa; sebagai sarana pembangunan bangsa secara mendasar; menanamkan national consciousness dan Indonesianhood sebagai sarana menanamkan semangat nasionalisme; perspektif sejarah the past-present-future sebagai sarana menanamkan semangat nasionalisme; historical consciousness pada masa revolusi kemerdekaan, membentuk semangat nasionalisme dan solidaritas rakyat dalam mempertahankan negara RI; pengalaman sejarah bangsa sebagai pengetahuan penting dalam penyelenggaraan pendidikan bangsa; perlunya pengakuan pemerintah akan pentingnya pendidikan sejarah sebagai sarana untuk membentuk jati diri dan integritas bangsa; dan rumusan sejarah sebagai mata pelajaran yang menanamkan pengatahuan dan nilai-nilai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga masa kini (Djoko Suryo, 2005: 2).
Oleh karena itu, pembelajaran sejarah harus mampu mendorong siswa berpikir kritis-analisis dalam memanfaatkan pengetahuan tentang masa lampau untuk memahami kehidupan masa kini dan yang akan datang; mengembangkan kemampuan intelektual dan keterampilan untuk memahami proses perubahan dan keberlanjutan; dan berfungsi sebagai sarana untuk menanamkan kesadaran
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
69
akan adanya perubahan dalam kehidupan masyarakat melalui dimensi waktu (Djoko Suryo, 2005: 3).
Pemilihan materi dan pengembangan tujuan pembelajaran sejarah tidak dapat hanya dipandang sebagai rutinitas. Di samping memerlukan pemahaman mengenai hakikat belajar sejarah dan wawasan mengenai nilai edukatif sejarah dalam kaitan dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, juga memerlukan kesungguhan dan ketekunan untuk melaksanakannya. Masalah ini menjadi semakin penting apabila seorang pengajar sejarah hendak mengembangkan atau melaksanakan strategi atau pendekatan baru dalam pembelajarannya, seperti halnya pendekatan garis besar kronologis dengan pendekatan tematis (Taufik Abdulah, 1996: 10).
Penetapan tujuan pembelajaran dan pemilihan materi pelajaran tidak akan membuahkan hasil secara optimal jika tidak dibarengi dengan pemilihan strategi dan metode mengajar yang tepat. Dalam pada itu, faktor lain yang perlu mendapat perhatian dalam memilih strategi dan metode mengajar adalah ada atau tidaknya sarana fungsional untuk mengetrapkan strategi dan metode tersebut. Metode diskusi mungkin tidak lebih baik dari metode ceramah, apabila jumlah peserta didiknya besar dan belum memiliki fondasi pengetahuan yang memadai mengenai materi yang akan
disampaikan. Oleh sebab itulah pembelajaran sejarah dimana aspek kognitif yang selalu menuntut fakta keras, dan dimensi moral yang memerlukan imajinasi teleologis, perlu diintegrasikan secara kohern-integratif, tanpa mengabaikan kaidah keilmuannya (Syafii Maarif, 1995: 1).
Metode Pembelajaran Sejarah
Metode menurut Winarno Surakhmad (Wiryawan, 2001: 15), merupakan cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini berlaku bagi guru (metode mengajar) dan bagi siswa (metode belajar). Makin baik metode yang digunakan, maka semakin efektif pula pencapaian tujuan pembelajaran. Tetapi kadang-kadang metode dibedakan dengan teknik, dimana metode bersifat prosedural, sedangkan teknik barsifat implementatif. Baik metode maupun teknik pembelajaran, merupakan bagian dari strategi pembelajaran. Gerlach and Ely (1980: 186) dalam pemilihan metode pembelajaran, harus mempertimbangkan kriteria-kriteria yakni efisiensi, efektivitas, dan kriteria lain seperti tingkat keterlibatan siswa.
Temuan National Assessment of Educational Progress pada 1987, Diane Ravitch dan Chester Finn (Wilson, 2001: 231) menggambarkan kelas sejarah khas sebagai tempat murid menyimak pelajaran yang diberikan guru, menggunakan buku teks, dan mengerjakan ujian, kadang-kadang mereka disuguhi film, kadang-
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
70
kadang mereka juga menghapal pelajaran atau membaca kisah tentang kejadian atau orang. Jarang mereka belajar bersama dengan murid kelas lain, menggunakan dokumen asli, menulis karangan, atau membahas makna dari apa yang mereka pelajari. Hal itu mengindikasikan bahwa pembelajaran sejarah sebaiknya dibangun oleh banyak kekuatan atau variasi matode pembelajaran sehingga fakta sejarah dapat dijelaskan dan maknanya dapat ditemukan.
Dalam pembelajaran sejarah, pendekatan konstruktivisme memungkinkan peserta didik melakukan dialog kritis dengan subjek pembelajar, menggali informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber untuk melakukan klasifikasi dan prediksi serta menganalisis masalah-masalah sejarah termasuk masalah sosial yang kontroversial yang dihadapinya (Nana Supriatna, 2007: 93-94). Melalui pendekatan konstruktivistik, pengalaman masa lalu masyarakat bangsa dapat dianalisis dan ditarik hubungannya dengan masalah kontemporer. Para peserta didik dapat memanfaatkan pengalaman belajar sebelumnya untuk mengkonstruksi pengetahuan baru, mengujicoba dan mengubahnya, serta menarik hubungan antara pengalaman masa lalu dengan kenyataan sosial sehari-hari. Cara berpikir konstruktivistik sehari-hari yang dikembangkan oleh Denzin dan
Lincoln (1994: 312) dapat dirujuk dalam mengkonstruksi pengetahuan siswa:
“In a fairly unremarkable sense, we all constructivits if we believe that the mind is active in the construction of knowledge. Most of us would agree that knowing is not passive a simple imprinting of sense data on the mind but active; mind does something with these impressions, at the very least form abstractions or concepts. In this sense, constructivism means that human being do not find or discover knowledge so much as construct or make it. We invent concepts, models, and schemes to make sense of experience and, further, we continually test and modify these constructions in the light of new experience”.
Dalam pada itu, metode
pembelajaran merupakan bagian integral dari strategi pembelajaran yang merupakan langkah-langkah taktis yang perlu diambil oleh pengajar sejarah dalam menunjang strategi yang hendak dikembangkan. Dengan sendirinya perlu pula disadari bahwa seperti halnya dalam hubungan strategi mengajar, sasaran akhir dari pelaksanaan metode mengajar tidak lain dari apa yang tercantum dalam perencanaan suatu pembelajaran (course planing).
Sarana Pembelajaran Sejarah
Di samping faktor kemampuan pengajar, pengembangan strategi belajar mengajar, sangat berkaitan
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
71
erat dengan tersedianya fasilitas dan kelengkapan kegiatan belajar mengajar atau sarana pembelajaran, baik yang bersifat statis (seperti gambar, model, dan lain sebagainya) ataupun yang bersifat dinamis (seperti kehidupan yang nyata di sekitar peserta didik) (Widja, 1989: 37). Ini berarti, dalam pengembangan strategi pembelajaran sejarah, harus sudah diperhitungkan pula fasilitas atau sarana yang ada (perlu diadakan), sebab tanpa memperhitungkan itu semua, suatu strategi yang betapapun direncanakan dengan baik akan tidak efektif pula hasilnya. Juga dengan sendirinya diperhitungkan alokasi-alokasi waktu yang tersedia. Oleh karena itu, pengembangan suatu strategi pembelajaran sejarah berkaitan erat dengan usaha membuat perencanan pembelajaran (course planing), di mana segala unsur-unsur yang menunjang strategi tersebut diperhitungkan dan dipersiapkan sehingga sasaran yang hendak dicapai melalui suatu strategi, dapat terwujud dengan sebaik-baiknya.
Pemilihan strategi belajar mengajar itu, sebaiknya dilaksanakan atas pertimbangan yang matang, seperti tujuan yang ingin dicapai atau materi pembelajaran yang akan disampaikan. Di samping itu, harus memperhatikan juga kemampuan pengajar dan peserta didik yang memainkan peranan dalam proses belajar mengajar, bentuk kegiatan yang dilakukan, serta sarana dan prasarana yang tersedia (Widja, 1989:
37). Faktor-faktor tersebut, sebenarnya saling mempengaruhi secara bervariasi sehingga setiap peristiwa belajar memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Keunikan inilah yang mengakibatkan tujuan belajar dapat tercapai secara berbeda antara lingkungan belajar yang satu dengan lingkungan belajar yang lain.
Proses belajar mengajar akan berlangsung dengan baik dan berkualitas apabila didukung sarana pembelajaran yang memadai. Sarana pembelajaran dapat berupa tempat atau ruang kegiatan pembelajaran beserta kelengkapannya, yang diorientasikan untuk memudahkan terjadinya kegiatan pembelajaran. Terdapat dua sarana pembelajaran yang harus tersedia, yakni perabot kelas atau alat pembelajaran dan media pembelajaran. Menurut Cruickshank (1990: 11), sarana pembelajaran yang mempengaruhi kualitas proses pembelajaran terdiri atas ukuran kelas, luas ruang kelas, suhu udara, cahaya, suara, dan media pembelajaran. Media pembelajaran dapat klasifikasi menjadi 4 macam, yakni: a) media pandang diproyeksikan, seperti: OHP, slide, projector dan filmstrip; b) media pandang yang tidak diproyeksikan, seperti gambar diam, grafis, model, benda asli; c) media dengar, seperti piringan hitam, pita kaset dan radio; d) media pandang dengar, seperti televisi dan film (Ibrahim Bafadal, 2003: 13-14). Kelengkapan dan optimalisasi pemanfaatan media
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
72
pembelajaran penting peranannya dalam mencapai efektivitas program pembelajaran.
Media pembelajaran memiliki fungsi utama sebagai alat bantu mengajar, berpengaruh terhadap terciptanya suasana, kondisi, budaya, dan lingkungan belajar yang dikelola oleh guru. Penggunaan media pembelajaran dalam proses pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar siswa. Nana Sudjana (2005: 2-3 ) menyampaikan bahwa optimalisasi pemanfaatan media pembelajaran dapat mempertinggi kualitas proses dan hasil belajar siswa. Hal ini terjadi karena: a) penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar; b) bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa; c) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan; d) siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, karena tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain-lain. Dengan demikian, optimalisasi penggunaan media pembelajaran dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.
Suasana Pembelajaran Suasana pembelajaran merupakan
salah satu indikator penting yang berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran, di samping faktor-faktor pendukung lainnya. Dikatakan Hyman dalam (Hadiyanto & Subiyanto 2003: 8) dijelaskan bahwa iklim pembelajaran yang kondusif antara lain dapat mendukung: (1) interaksi yang bermanfaat di antara peserta didik, (2) memperjelas pengalaman-pengalaman guru dan peserta didik, (3) menumbuhkan semangat yang memungkinkan kegiatan-kegiatan di kelas berlangsung dengan baik, dan (4) mendukung saling pengertian antara guru dan peserta didik. Dijelaskan lebih lanjut oleh Moos dalam (Hadiyanto & Subiyanto 2003: 8) bahwa iklim sosial dapat berpengaruh terhadap kepuasan peserta didik dalam belajar, dan dapat menumbuhkembangan pribadi. Berdasarkan pendapat tersebut jelas bahwa suasana pembelajaran sangat berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran, dan pada gilirannya berarti berpengaruh juga terhadap hasil pembelajaran.
Kemudian Edmonds dalam (Morrison, Mokashi, & Cotter, 2006: 6) dalam penelitiannya menyampaikan tesis bahwa “An orderly classroom conducive to learning is strongly correlated with student achievement”. Suasana pembelajaran yang tertib dan kondusif untuk belajar mempunyai hubungan yang kuat dengan prestasi belajar siswa. Fraser dalam
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
73
(Hadiyanto & Subiyanto 2003: 9) mendokumentasikan lebih dari 45 penelitian yang membuktikan adanya hubungan yang positif antara suasana pembelajaran dengan prestasi belajar peserta didik. Penelitian-penelitian itu menggunakan berbagai macam alat ukur suasana pembelajaran seperti Learning Environment Inventory (LEI), Classroom Environment Scales (CES), Individualized Classroom Environment Questionnaire (ICEQ), dan instrumen-instrumen lain yang digunakan di beberapa negara maju maupun berkembang.
Guru yang mengajar dengan penuh kehangatan, bersikap komunikatif dan familiar dengan siswa, menghargai setiap pertanyaan dan perbedaan karakteristik siswa, akan menumbuhkan kepercayaan diri siswa, pelajaran menjadi lebih menarik dan siswa merasa menikmati (enjoy) dengan kegiatan pembelajaran yang bersangkutan, pada akhirnya akan meningkatkan prestasi belajar siswa ke level yang lebih tinggi (Ormrod, 2003: 482). Hasil penelitian Mangindaan, Sembiring, & Livingstone dalam (Wahyudi. 2003: 1) menjelaskan bahwa terdapat korelasi yang positif dan sifnifikan antara prestasi siswa di suatu kelas dengan suasana batin atau lingkungan psikososial yang tercipta di kelas tersebut. Demikian juga Berliner dalam (Hadiyanto & Subiyanto 2003: 8) mengatakan bahwa suasana pembelajaran yang ditandai dengan kehangatan, demokrasi, dan keramahtamahan
dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi prestasi belajar peserta didik.
Sikap Siswa
Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku dan pribadi anak didik, guru harus lebih bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk itu diperlukan kecakapan dalam mengarahkan motivasi dan berpikir dengan tidak lupa menggunakan peribadi guru itu sendiri sebagai contoh atau model. Dalam interaksi belajar mengajar guru akan senantiasa diobservasi, dilihat, didengar, ditiru semua perilakunya oleh para siswanya. Dari proses observasi siswa dapat saja siswa meniru perilaku gurunya, sehingga diharapkan terjadi proses internalisasi yang dapat menumbuhkan sikap dan proses penghayatan pada setiap diri siswa untuk kemudian diamalkan (Sardiman AM, 2007: 28).
Pembentukan sikap mental dan perilaku anak didik, tidak akan terlepas dari soal penanaman nilai-nilai, transper of values. Oleh karena itu, guru tidak sekedar pengajar, tetapi betul-betul sebagai pendidik yang akan memindahkan nilai-nilai itu kepada anak didiknya. Dengan dilandasi nilai-nilai itu, anak atau peserta didik akan tumbuh kesadaran dan kemauannya, untuk mempraktikan segala sesuatu yang sudah dipelajarinya. Cara berinteraksi atau metode-metode yang dapat digunakan misalnya dengan diskusi,
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
74
demonstrasi, sosiodrama, maupun role playing.
Berdasarkan berbagai pengertian di depan dapat dikemukakan bahwa sikap yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sikap berupa tendensi mental yang dapat diaktualkan baik secara verbal maupun tindakan dan kecenderungan afektif ke arah positif maupun negatif terhadap suatu objek. Pengertian tersebut memuat tiga komponen sikap, yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan, pemahaman maupun keyakinan tentang objek, afeksi berkenaan dengan perasaan dalam menanggapi objek dan konasi berkenaan dengan kecenderungan berbuat atau bertingkah laku sehubungan dengan objek.
Dalam kaitannya dengan pelajaran sejarah, maka sikap peserta didik pada dasarnya sangat bervariasi dari sangat menyukai hingga sangat tidak menyukai. Kemungkinan adanya sebagian peserta didik yang menganggap pelajaran sejarah sebagai pelajaran yang membosankan, bukanlah suatu hal yang mustahil. Hal ini mengakibatkan peserta didik kurang bergairah untuk mengikuti pelajaran sejarah di sekolah, tidak memiliki motivasi untuk mempelajari sejarah, dan pada gilirannya mereka tidak mampu memahami makna sejarah bagi kehidupannya, baik masa kini maupun yang akan datang. Sikap peserta didik semacam ini dapat dijadikan indikator bahwa mereka
tidak memiliki kesadaran sejarah dan menganggap belajar sejarah bukan sebagai kebutuhan.
Sikap positif siswa dalam pembelajaran sejarah, memiliki sumbangan positif terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran sejarah. Siswa yang mempunyai sikap positif selama kegiatan belajar mengajar pada dasarnya memiliki semangat dan motivasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang sikapnya negatif. Pada dasarnya, motivasi belajar yang tinggi dari peserta didik, akan diikuti oleh instensitas belajar yang lebih baik sehingga pada gilirannya dapat memperoleh prestasi belajar yang lebih tinggi. Oleh karena itu, kualitas proses dan hasil pembelajaran sejarah juga dipengaruhi sikap siswa terhadap pelajaran sejarah selama kegiatan belajar mengajar berlangsung.
Dalam upaya mengembangkan atau membentuk sikap positif di kalangan peserta didik terhadap pelajaran sejarah, di samping dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip atau teori-teori tentang perubahan sikap, baik yang memberi tekanan pada komponen kognitif, afektif, maupun konatif, juga perlu disertai dengan proses pembiasaan dan pengaturan kondisi imbalan agar perubahan sikap bertahan relatif lama dan dapat dilihat secara nyata (Pramono, 1993: 69). Hal ini senada dengan saran yang dikemukakan Cronbach bahwa upaya
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
75
mempengaruhi sikap melalui pembelajaran di kelas seyogianya dilakukan dengan berbagai taktik yang dapat diterapkan secara tunggal atau kombinasi.
Sedangkan sikap kritis dalam pembelajaran sejarah, harus menjadi ciri utama dalam pembelajaran sejarah. Kritis secara semantik dimaknai sebagai suatu sikap yang tidak lekas percaya, selalu berusaha menemukan kekurangan atau kekeliruan, dan tajam dalam penganalisisan (Depdiknas, 2002: 601). Namun demikian, sikap kritis memerlukan keterampilan-keterampilan intelegensia termasuk keterampilan dalam bertanya. Keterampilan-keterampilan tersebut harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran sejarah. Melalui sikap kritis, pengetahuan baru dapat dikonstruksi dalam proses pembelajaran dan siswa diberdayakan (empowered), sebagai mitra guru dalam mengembangkan pengetahuan. Dengan demikian, pegetahuan yang dimiliki siswa tidak hanya ditemukan (discovered), atau bahkan diwariskan, melainkan juga dibentuk, diciptakan, diproduksi, dan dikembangkan (Thomas A Schwandt, dalam Denzin and Lincoln, 1996: 142-160).
Motivasi Belajar Sejarah
Proses motivasi bisa diawali oleh kesadaran seseorang atas tidak terpenuhinya suatu kebutuhan. Kemudian, orang tersebut menetapkan suatu tujuan, yang
menurutnya akan memuaskan kebutuhan tadi. Tentu saja, kemudian orang tersebut menentukan tindakan yang diharapkan akan mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Bisa juga, seseorang diberi suatu tujuan tertentu dan dibangkitkan harapannya bahwa pencapaian tersebut akan menenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi. Orang tersebut akan mengambil suatu tindakan dan kebutuhannya bila terpuaskan (Michael Armstrong dan Helen Murlis, 2003: 50).
Dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapinya. Karena itulah terdapat perbedaan dalam kekuatan motivasi yang ditunjukkan oleh seseorang dalam menghadapi situasi tertentu dibandingkan dengan orang-orang lain yang menghadapi situasi yang sama. Bahkan seseorang akan menunjukkan dorongan tertentu dalam menghadapi situasi yang berbeda dan dalam waktu yang berlainan pula. Motivasi berbeda seseorang dengan orang lain dan dalam diri seseorang pada waktu yang berlainan (Sondang P. Siagian, 2004: 137).
Orang bisa dimotivasi dengan imbalan dan insentif yang memungkinkan untuk memuaskan kebutuhannya atau memberinya tujuan yang harus dicapai (sepanjang tujuan tersebut masuk akal dan bisa dicapai). Tetapi kaitan antara kebutuhan individu dan tujuan yang
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
76
ditetapkan sangat luas kemungkinan dan variasinya sehingga sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin, untuk diperkirakan secara tepat imbalan atau insentif apa yang mempengaruhi perilaku individu. Konteks sosial juga ikut mempengaruhi tingkat motivasi. Konteks sosial ini mencakup budaya organisasi secara umum, gaya manajemen, dan pengaruh individu atau tim terhadap individu (Michael Armstrong dan Helen Murlis, 2003: 50).
Dalam teori psikoanalitik Freud, dikemukakan adanya beberapa ciri-ciri motivasi yang ada pada diri seseorang yakni menyangkut: 1) tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai); 2) ulet menghadapi kesulitas (tidak mudah putus asa); 3) menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah; 4) lebih senang bekerja mandiri; 5) cepat bosan pada tugas-tugas rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif); 6) dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakni akan sesuatu); 7) tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu; dan 8) senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.
Apabila orang sudah memiliki ciri-ciri tersebut di atas, berarti orang tersebut selalu memiliki motivasi yang kuat. Ciri-ciri motivasi itu akan sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar akan berhasil dengan baik,
kalau siswa tekun mengerjakan tugas, ulet dalam memecahkan berbagai masalah dan hambatan secara mandiri. Siswa yang belajar dengan baik tidak akan terjebak pada sesuatu yang rutinitas dan mekanis. Siswa harus mampu mempertahankan pendapatnya, kalau ia sudah yakin dan dipandangnya cukup rasional. Bahkan lebih lanjut siswa harus juga peka dan responsif terhadap berbagai masalah umum, dan bagaimana memikirkan pemecahannya. Hal-hal itu semua harus dipahami benar oleh guru, agar dalam berinteraksi dengan siswanya dapat memberikan motivasinya yang tepat dan optimal (Sardiman AM, 2007: 84).
Motivasi belajar siswa dalam penelitian ini difokuskan pada motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi dimaknai sebagai dorongan untuk menyelesaikan suatu tugas dengan maksimal berdasarkan standar tertentu yang merupakan ukuran keberhasilan atas tugas-tugas yang dikerjakan seseorang. Dengan demikian standar keberhasilan merupakan kerangka acuan bagi individu yang bersangkutan pada saat ia belajar, menjalankan tugas, memecahkan masalah maupun mempelajari sesuatu. Adapun ciri-ciri motivasi berprestasi dapat direduksi menjadi empat komponen indikator yakni:1) berorientasi pada keberhasilan, 2) bertanggung jawab, 3) inovatif, dan 4) mengantisipasi kegagalan. Keempat indikator ini dianggap dapat mewakili indikator-indikator lain sebagai hasil reduksi.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
77
Keempat indikator tersebut dapat dijelaskan sub-sub indikatornya sebagai berikut. Berorientasi pada keberhasilan meliputi perilaku-perilaku individu yang mengarah pada upaya meraih prestasi atau sikap sensitivitas terhadap tanda-tanda yang berkaitan dengan peningkatan prestasi. Bertanggung jawab dalam suatu tugas mencakup hal-hal: kesempurnaan tugas, percaya diri serta tanggung jawab dalam melakukan suatu pekerjaan. Inovatif mengandung arti adanya keinginan untuk menemukan sesuatu cara yang berbeda dari sebelumnya untuk mencapai suatu keberhasilan, termasuk juga keinginan berkompetisi dengan prestasi diri sebelumnya atau dengan prestasi orang lain sehingga mendapatkan umpan balik. Kemampuan mengantisipasi kegagalan mengandung unsur kewaspadaan, yaitu ketelitian atau kecermatan untuk berusaha menanggulangi berbagai penghambat pencapai keberhasilan, sehingga suatu kegagalan dapat diminimalisir kemungkinannya.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa motivation is an essential condition of learning yang bertalian dengan suatu tujuan. Hasil belajar akan menjadi optimal kalau ada motivasi. Dengan demikian, dapat diidentifikasi fungsi motivasi bagi manusia yakni: 1) mendorong manusia untuk berbuat, jadi dalam hal ini motivasi merupakan penggerak atau motor yang melepaskan energi;
2) menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai; dan 3) menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai suatu tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Penutup
Realitas yang selama ini terjadi, para pendidik hanya berkonsentrasi pada disseminasi materi tanpa mempertimbangkan bagaimana proses tersebut mempengaruhi peserta didik dan membentuk lingkungan pembelajaran. Sistem umpan balik yang efektif bermaksud menjembatani gap yang ada antara pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran dan pembelajaran. Pendidik selayaknya meluangkan waktu diakhir sessi kuliah untuk kesimpulan umum dan mengadakan dialog dengan peserta didik. Pola semacam ini memungkinkan terciptanya proses belajar mengajar yang kondusif.
Untuk itu, pembelajaran sejarah yang bersifat destruktif sebagaimana sering dijumpai di lapangan perlu diubah. Apabila sejarah hendak tetap berfungsi dalam pendidikan, maka harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi sosial dewasa ini. Jika studi sejarah terbatas pada pengetahuan fakta-fakta, akan menjadi steril dan mematikan segala minat terhadap sejarah.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
78
Pembelajaran sejarah yang terlalu mengedepankan aspek kognitif, tidak akan banyak pengaruhnya dalam rangka memantapkan apa yang sering disebut sebagai jati diri dan kepribadian bangsa. Pembelajaran sejarah nasional yang antara lain bertujuan untuk mengukuhkan kepribadian bangsa dan integritas nasional sebagai bagian dari tujuan pergerakan nasional yang dirumuskan secara padat dalam Sumpah Pemuda 1928 diperlukan pemilihan strategi dan metode mengajar yang tepat. Aspek kognitif dan aspek moral perlu dianyam secara koherensi dan integratif, masing-masing saling menguatkan, tanpa mengorbankan watak ilmiahnya.
Seorang pengajar sejarah seyogianya memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah-masalah kemanusiaan da kebudayaan serta sebagai pengabdi perubahan dan kebenaran. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari belajar sejarah, dimana materi pembelajaran sejarah berhubunagn erat dengan manusia dan permasalahannya. Tanpa menghubungkan dengan masalah-masalah kemanusiaan, maka pembelajaran sejarah akan menjadi media penyampaian informasi yang kering dan tidak bermakna.
Pada initinya, tujuan belajar adalah untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan penanaman sikap mental atau nilai-nilai. Pencapaian tujuan belajar berarti akan menghasilkan hasil
belajar. Adapun Hasil pembelajaran meliputi: 1) hal ikhwal keilmuan dan pengetahuan, konsep dan fakta (kognitif); 2) hal ikhwal personal, kepribadian atau sikap (afektif); dan 3) hal ikhwal kelakuan, keterampilan (psikomotorik). Ketiga hasil di atas dalam pembelajaran merupakan tiga hal yang secara perencanaan dan programatik terpisah, namun dalam kenyataannya pada diri siswa akan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
Ketiganya itu dalam kegiatan belajar mengajar, masing-masing direncanakan sesuai dengan butir-butir bahan pelajaran (content). Karena semua itu bermuara pada anak didik, maka setelah terjadi proses internalisasi, terbentuklah suatu kepribadian yang utuh. Untuk itu semua, diperlukan sistem lingkungan yang mendukung. Kepustakaan:
Ahmad Syafii Maarif. (1995).
”Historiografi dan pengajaran sejarah Indonesia”. Makalah dalam seminar nasional tentang “demitologi pemahaman sejarah masa kini dalam rangka pendewasaan pengetahuan sejarah bangsa”. Padang: FPIPS IKIP Padang.
Amstrong Michael and Helen Murlis. (2003). Reward management: a hand book of remuneration strategy and practice. Jakarta: Gramedia.
Cox, J. (2006). The quality of an instructional program. National Education Association-Alaska.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
79
Diambil dari pada tanggal 23 Januari 2007, dari http://www.ak.nea.org./excellence/coxquality.
Cruickshank, D.R. (1990). Research that informs teachers and teacher educators. Bicomington. Indiana: Phi Delta Kappa Educational Foundation.
Dadang Supardan. (2001). “Kreativitas guru sejarah dalam proses pembelajaran: studi kasus di SMU Kotamadya Bandung”, dalam historia no. 3 volume II. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.
Darling, L. & Hammond. (2000). Teacher quality and student achievement: a review of state policy evidence. Education policy analysis archives. Volume 8 Number 1. Diambil pada tanggal 17 Pebruari 2006 dari http://epas.asu.edu/epas/v8n1.
Denzin, Norman K. and Yvanna S. Lincoln (eds). (1994). Handbook of qualitative research. London: Sage Publication.
Depdiknas. (2003 a). Kurikulum 2004 dan optimalisasi sistem evaluasi pendidikan di sekolah. Makalah disampaikan pada seminar nasional kurikulum 2004 berbasis kompetensi, tanggal 10 Januari 2003 di UAD.
Djoko Suryo. (1989). ” Kesadaran sejarah: sebuah tinjauan”. Dalam historika no.2 tahun ke I. Surakarta: PPS FPS IKIP Jakarta KPK UNS Surakarta.
Djoko Suryo. (2005). ”Paradigma sejarah di Indonesia dan kurikulum sejarah”, dalam makalah seminar nasional dan temu alumni program
studi pendidikan sejarah Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta: PPS UNS.
Gerlach V.S. at.al. (1980). Teaching and media: a systematic approch. New Jersey: Englewood Cliffs.
Hadiyanto & Subiyanto. (2003). Pengembalian kebebasan guru untuk mengkreasi iklim kelas dalam manajemen berbasis sekolah. Jurnal pendidikan dan kebudayaan no. 040. Januari 2003. diambil pada tanggal 6 September 2007 dari http://www.depdiknas.go.id.
Helius Sjamsuddin. (2005). Model-model pengajaran sejarah: beberapa alternatif untuk SLTA. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.
I Gde Widja. (1989). Pengantar ilmu sejarah: sejarah dalam perspektif pendidikan. Semarang: Satya Wacana.
I Gde Widja.(1989. Dasar-dasar pengembangan strategi serta metode pengajaran sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Johson, D.W. & Johson, R.T. (2002). Meaningful assessment, a manageable and cooperative process. Boston: Allyn and Bacon.
Manullang. (1991). Pengembangan motivasi berprestasi. Jakarta: Pusat Produktivitas Nasional. Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia.
Morrison, D.M. & Mokashi K. & Cotter, K. (2006). Instructional quality indicators: research foundations. Cambrigde. Diakses pada tanggal 17 Maret 2007 dari www.co.nect.net.
ISTORIA VOLUME 7 NOMOR 2 APRIL 2010
80
Nana Sudjana dan Ahmad Rivai. (2005). Media pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Nana Supriatna. (2001). “Pengajaran sejarah yang konstruktivistik”. Dalam historia, jurnal pendidikan sejarah, nomor.3. volume II, Juni 2001. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.
Rochiati Wiriaatmaja. (2004). “Multicultural perspective in teachhing history to the Chinese Indonesian Studies”, dalam historia: jurnal pendidikan sejarah, no.9 vol.v. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.
Sardiman AM. (2007). Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: Rajawali Press.
Sarifudin, W. (1989). Konsep dan masalah pengajaran ilmu sosial di sekolah menengah. Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Sondang P. Siagian (2004). Teori motivasi dan aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sri Anitah Wiryawan. (2001). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Taufik Abdulah. (1996). “Perdebatan sejarah dan tragedi 1965”, dalam jurnal sejarah 9: pemikiran, rekonstruksi, dan persepsi. Jakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia.
Wahyudi. (2003). “Penyusunan dan validasi kuesioner iklim lingkungan pembelajaran di kelas”.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan no. 043. Juli 2003. diambil pada tanggal 6 September 2006 dari http://www.depdiknas. go.id
Winarno Surakhmad. (2000). Metodologi pengajaran nasional. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.
.
81
TENTANG PENULIS
Sardiman, AM. lahir di Klaten pada tanggal 23 Mei 1951. Menamatkan S1 pada Jurusan Pendidikan Sejarah FKIS IKIP Yogyakarta tahun 1976, sedangkan S2 dalam bidang pendidikan sejarah UNS diselesaikan pada tahun 1990. Aktif menulis dalam berbagai jurnal dan surat kabar nasional. Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain: Panglima Besar Jenderal Sudirman: Kader Muhammadiyah (Adicita), Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Rajawali). Saat ini beliau menjabat dekan FISE UNY sejak tahun 2004. Beliau tinggal di Ngropoh, Gg. Menur 78 RT 23, Condongcatur, Depok Sleman Yogyakarta.
Ririn Darini, lahir tahun 1974, menjadi dosen tetap pada Jurusan Pendidikan Sejarah FISE UNY sejak tahun 1999. Pendidikan S1 dan S2 diselesaikan pada Jurusan Sejarah Universitas Gajahmada Yogyakarta. Berbagai tulisannya telah banyak dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah nasional. Mata kuliah keahlian: Sejarah Asia Timur di samping mengampu beberapa mata kuliah yaitu: Sejarah Indonesia, Kearsipan, dan lain-lain.
Terry Irenewaty, lahir tahun 1956, menyelesaikan S1 pada Jurusan Pendidikan Sejarah FKIS IKIP Yogyakarta, sedangkan S2 dalam bidang sejarah diselesaikannya di Universitas Gajahmada Yogyakarta pada tahun 2003. Mata kuliah yang diampu antara lain: Sejarah Afrika, Sejarah Australia-Oceania, Metode Sejarah dan Sejarah Lisan. Banyak melakukan penelitian dan pengabdian dengan karya ilmiah yang dipublikasikan melalui jurnal maupun surat kabar nasional. Sejak tahun 2003 sampai saat ini menjabat sebagai ketua jurusan Pendidikan Sejarah. Saat ini tinggal di Bakungan, Wedomartani, Ngemplak, Sleman.
Miftahudin, lahir tahun 1974, menyelesaikan S1 pada Jurusan sejarah IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1999, sedangkan S2 diselesaikan pada tahun 2003 dari Universitas Gajahmada Yogyakarta. Menjadi dosen tetap pada Jurusan Pendidikan Sejarah UNY sejak tahun 2003 dengan mata kuliah keahlian: Sejarah Kebudayaan Islam dan Sejarah Asia Barat. Banyak melakukan penelitian dan menulis di beberapa jurnal ilmiah nasional maupun surat kabar nasional.
82
Sudrajat, lahir di Bantul 1973, menyelesaikan S1 pada Jurusan Pendidikan Sejarah IKIP Yogyakarta pada tahun 1999. Pendidikan S2 dalam bidang Pendidikan IPS di Universitas Negeri Yogyakarta diselesaikan pada tahun 2010. Menjadi dosen tetap pada Jurusan Pendidikan Sejarah UNY sejak tahun 2006 setelah sebelumnya mengajar di beberapa sekolah baik SD, SMP, maupun SMA. Mata kuliah yang diampu saat ini antara lain: Sejarah Eropa, Prasejarah Indonesia, dan Dasar-dasar Ilmu Sosial.
Aman, lahir di Brebes pada 15 Oktober 1974. Menyelesaikan S1 pada Jurusan Pendidikan Sejarah IKIP Yogyakarta pada tahun 1999, S2 pada Jurusan Sejarah UNS diselesaikannya pada tahun 2002, sedangkan doktor dalam bidang evaluasi dan penelitian pendidikan diselesaikannya di UNY pada tahun 2010. Banyak melakukan penelitian serta menulis di beberapa jurnal dan surat kabar nasional. Mata kuliah yang diampu antara lain: Evaluasi Pembelajaran Sejarah, Statistika, Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan, Seminar Sejarah, dan lain-lain.
83
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
JURNAL ISTORIA
1. Redaksi menerima naskah berupa hasil pemikiran, analisis ilmiah, kajian teori,
maupun hasil penelitian bidang sejarah dan pendidikan sejarah.
2. Naskah dapat disajikan dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
3. Naskah belum pernah diterbitkan oleh media lain, baik media cetak maupun
elektronik.
4. Panjang tulisan berkisar antara 10-25 halaman dalam kertas ukuran A4
dengan spasi ganda.
5. Naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Inggris, bila naskah ditulis
dalam bahasa Indinesia, dan dalam bahasa Indonesia bila naskah ditulis dalam
bahasa Inggris. Abstrak disertai dengan kata kunci yang merupakan variabel
dalam naskah.
6. Sistematika penulisan sebagai berikut:
a. Judul
b. Abstrak disertai kata kunci
c. Pendahuluan
d. Isi atau pembahasan
e. Penutup dan simpulan
f. Daftar pustaka
g. Biodata penulis
7. Penulisan referensi menggunakan catatan kaki (foot note).
8. Redaksi berhak mengedit tata bahasa maupun naskah yang dimuat tanpa
mengurangi maksud dan tujuan tulisan.
9. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya.
10. Naskah yang diterima oleh dewan redaksi akan direview oleh tim ahli dan
dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Diterima tanpa revisi
b. Diterima dengan revisi
84
c. Tidak diterima dengan berbagai pertimbangan.
11. Naskah dikirim kepada redaksi Istoria rangkap 2 dalam format print out yang
disertai soft copy dala format CD, disket, atau media lainnya.
12. Kepada penulis yang naskahnya dimuat akan diberikan 2 eksemplar jurnal
sebagai bukti.
13. Naskah yang tidak dimuat dikembalikan kecuali disertai dengan perangko
secukupnya.
14. Naskah dikirimkan kepada redaksi paling lambat 2 bulan sebelum penerbitan.