Upload
phungdang
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
Sistematika Tumbuhan Sungkai Sayur (Albertisia papuana Becc)
Berdasarkan hasil identifikasi daun, batang dan akar tumbuhan Sungkai Sayur
yang dilakukan di Herbarium Bogoreinse Biologi-LIPI Cibinong (hasil determinasi
pada Lampiran 1), hasilnya menunjukkan bahwa sampel penelitian ini dikenal dengan
nama latin Albertisia papuana Becc, dengan sistematika sebagai berikut :
Devisi : Sprematophyta
Sub devisi : Angispermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Menisspermales
Suku : Menispermaceae
Jenis : Albertisia papuana Becc.
Morfologi
Tumbuhan sungkai sayur (Albertisia papuana Becc) merupakan tumbuhan perdu
yang tumbuh liar di tempat-tempat subur dan lembab pada daerah perbukitan atau
dataran tinggi, tingginya 2-5 meter. Menurut Heyne (1987) tumbuhan ini menjalar
dengan cara membelitkan batangnya. Daun berbentuk lonjong dengan ujung lancip
berwarna hijau tua dengan tulang daun berbentuk ellips. Batang berwarna hijau muda,
memiliki jarak tangkai daun yang rapat. Tumbuhan ini memiliki akar tunggang yang
keras. Morfologi dan akar tumbuhan ini disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Daun dan akar tumbuhan Albertisia Papuana Becc
Distribusi
Genus Albertisia spp kira-kira ada delapan belas spesies. Lima spesies terdapat
di Asia Tenggara, sebelas berada di daerah tropis, dan subtropis Afrika dan satu lagi di
daerah Afrika Selatan pada utara KwaZulu-Natal dan Mozambique (Wet 2005). Di
Indonesia salah satu speciesnya Albertisia papuana Becc terdapat di Sumatera nama
lokalnya sukang dan balait, sedangkan di Kalimantan Tengah dengan nama sungkai
sayur dan ndeso.
Etnobotani tumbuhan
Etnobotani adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
secara menyeluruh antara masyarakat lokal dan alam lingkungannya meliputi
pengetahuan tentang sumber daya alam tumbuhan. Biasanya pemanfaatan tumbuhan
tersebut dihubungkan dengan konsep manusia mengenai pentingnya tumbuhan, obat dan
sebaliknya, juga berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat mengenai tumbuhan
tersebut.
Pemanfaatan ekstrak akar Albertisia delagoensis di Afrika (Wet 2005 ) :
• Mengobati cacingan, menghilangkan rasa sakit pada saat menstruasi,
• Memperbaiki fungsi seksual laki-laki
• Menghilangkan sesak napas
• Meredakan sakit badan dan influensa
• Mengobati luka bakar dengan menaruh abu akar pada luka bakar
• Mengobati sakit punggung
• Memperlancar pencernaan bayi, dengan air rebusan akar dan daunnya
• Menjaga kesehatan bayi dalam kandungan dengan cara meminum air akar oleh wanita
yang sedang hamil.
• Untuk menyembuhkan diare dan muntah
• Untuk memperbaiki nafsu makan
Pemanfaatan daun Albertisia papuana Becc sehari-harinya sebagai penyedap
makanan atau penguat rasa oleh masyarakat lokal Kalimantan Tengah
(http://www.Albertecia.becc), dan akar dimanfaatkan sebagai obat penurun tekanan
darah tinggi (anti hipertensi).
Kandungan bioaktif
Bahan aktif adalah zat yang termasuk metabolit sekunder yang bersifat aktif secara
biologi. Aktivitasnya antara lain sebagai antimikroba yaitu suatu zat yang dapat
membunuh mikroba seperti bakteri, khamir, dan kapang yang dapat digunakan untuk
industri pangan dan farmasi. Zat bioaktif tumbuhan antara lain dapat berasal dari
golongan terpenoid, fenolik dan alkaloid (Vickery & Vickery 1981, Mann 1987).
Hasil penelitian pada 224 tumbuhan dari suku menispermaceae tahun 1996,
teridentifikasi ada 1858 alkaloid. Berdasarkan identifikasi senyawa pada Albertisia
delagoensis, adanya alkaloid baru yaitu O-methylcocsoline, cocsoline, cocsuline,
cycleanine dan dicentrin.. Uji ekstrak metanol pada daun dan akar tumbuhan jenis ini
ternyata memberikan potensi sebagai anti plasmodium dan anti toksit (Wet 2005).
Lohombo-Ekomba et al. (2004) telah melakukan pengujian aktivitas senyawa alkaloid
sebagai anti bakterial, anti jamur, anti plasmodium dan anti toksit dari tumbuhan jenis
Albertisia villosa, diidentifikasi adanya senyawa alkaloid
bisbenzyltetrahidroisoquinoline, yaitu cycleanine, cocsoline dan N-
desmethylcycleanine. Senyawa yang memiliki aktivitas yang tinggi terhadap parasit
Plasmodium falciparum adalah cycleanine. Sementara, menurut penelitian Marie et al.
(1987), pada tumbuhan Albertisia papuana terdapat empat senyawa alkaloid
bisbenzylisoquinoline baru, yaitu 2,2-bisnorphaeanthine, pangkoramine, pangkorimine
dan norcocsuline. Struktur senyawa tersebut ditampilkan pada Gambar 2.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2 Senyawa alkaloid bisbenzylisoquinoline: (a) norcocsuline, (b) cycleanine, (c) cocsoline, (d) pangkoramine (Sumber: Marie et al. 1987, Lohombo-Ekomba et al. 2004, Wet 2005).
Alkaloid
Pengertian alkaloid
Alkaloid berasal dari kata ”alkali” yang berarti basa dan ”oid” yang berarti
menyerupai. Alkaloid dapat diartikan sebagai senyawa yang menyerupai basa
(Fessenden & Fessenden 1997). Alkaloid adalah senyawa organik siklik yang
C34H34O6N2
mengandung atom N, umumnya merupakan bagian dari cincin heterosiklik (sebagai
gugus amina atau amida) dan bersifat basa (Fax & Whitersell 1994). Senyawa tersebut
dapat diperoleh dari ekstraksi kulit kayu, akar, daun, batang dan buah-buah pada
tumbuhan (Solmons 2004). Penggolongan senyawa ini belum seragam, seperti
penggolongan berdasarkan bentuk cincin heterosiklik nitrogen, yaitu pirolidin,
piperidin, isokuinolin, kuinolin, dan indol. Selain itu, ada penggolongan menurut
biogenesisnya, yaitu alkaloid alisiklik, aromatik fenilalanin, dan aromatik indol.
Substituen oksigen ditemukan sebagai gugus phenol (Ph-OH), metilendioksi (-OCH2-O)
atau metoksi (-OCH3) pada posisi para dan meta dari cincin aromatik.
Penyebaran alkaloid
Menurut Achmadi (1986), bahwa alkaloid merupakan salah satu golongan
senyawa utama, diantara golongan senyawa organik, alkaloid merupakan golongan
senyawa yang terbesar jumlahnya, baik jumlah senyawa maupun penyebarannya dalam
dunia tumbuhan. Pada tumbuhan, alkaloid ditemukan pada tumbuhan dikotiledon, yaitu
suku Apocynaceae, Composite, Lequinosae, Loganiaceae, menispermaceae,
Papaveraceae, Ranunculaceae, Rubiaceae, Rutaceae dan Solanaceae. Pada tumbuhan
monokotledon, yaitu Amaryllidaceae dan Liliaceae (Harbone 1996). Alkaloid
ditemukan hampir pada semua bagian tumbuhan. Secara umum tidak mungkin
mengatakan bahwa alkaloid suatu bagian tumbuhan lebih besar dibandingkan bagian
lainnya. Pada awal pertumbuhan alkaloid tersebar merata pada seluruh jaringan
tumbuhan, dengan bertambah usia tumbuhan maka alkaloid akan mengalami proses
translokasi ke bagian lain dari tumbuhan, dan menumpuk pada bagian tersebut.
Biasanya alkaloid ini terkonsentrasi pada kulit kayu, daun, akar, dan bakal buah.
Sifat fisik dan kimia alkaloid
Alkaloid merupakan bahan alam yang mengandung nitrogen, biasanya merupakan
bagian dari suatu sistem siklik. Senyawa ini terdistribusi pada banyak tumbuhan dan
mungkin merupakan senyawa yang paling baik diketahui sifat dan potensi
farmakologinya. Oleh karena itu banyak obat yang didasarkan pada senyawa ini.
Biosintesis alkaloid berasal dari asam amino, terpena, atau senyawa aromatik tergantung
dari struktur spesifik alkaloid. Keberadaan alkaloid yang sangat beraneka ragam
menyebabkan senyawa ini lebih sering didapatkan dari tumbuhan langsung daripada
didapatkan dari produk sintesis (Kaufman et al. 1999).
Alkaloid merupakan senyawa dengan sifat alami basa dan reaksi dengan asam
mineral membentuk garam larut air. Sifat basa ini disebabkan karena adanya atom
nitrogen. Keberadaan nitrogen ini dapat berada dalam bentuk primer, sekunder atau
tersier. Sifat kebasaan dari alkaloid juga dipengaruhi oleh struktur molekul, keberadaan,
dan letak gugus fungsi lain. Alkaloid kebanyakan berbentuk padatan kristalin dan berasa
pahit (Sarker & Nahar 2007).
Struktur alkaloid dapat digolongkan menjadi beberapa jenis berdasarkan sistem
cincin atau kerangka struktur. Jenis-jenis tersebut antara lain adalah aporfina (turunan
tirosina), betaina, imidazola, indola (turunan triptofan), triptamina, ergolina, β-
karbolina, indolizidina, isokuinolina (turunan tirosina), makrosiklik spermina dan
spermidina, norlupinana (turunan lisina), fenetilamina (turunan fenilalanina), purina,
pridina dan turunan asam nikotinat, pirol dan pirolidina (turunan ornitina), pirolizidina,
kuinolina (turunan triptofan/asam antranilat), terpenoida/steroida terpenoida, steroida,
dan tropan (turunan ornitina) (Kaufman et al. 1999, Sarker & Nahar 2007).
Alkaloid yang berstruktur kompleks biasanya mempunyai warna, seperti berberina
dan serpentina yang berwarna kuning (Robinson 1995 & Harbone 1996). Alkaloid yang
sangat beraneka ragam menyebabkan senyawa ini lebih sering didapatkan dari
tumbuhan langsung daripada didapatkan dari produk sintesis (Kaufman et al. 1999).
Sifat basa dari alkaloid tergantung pada ketersediaan pasangan elektron bebas
nitrogen dan kearomatikan cincin heterosiklik yang mengandung nitrogen. Atom
nitrogen pada alkaloid hampir semuanya berada dalam bentuk –NR2 (amina) atau –CO-
NR2 (amida) dan tidak pernah dalam bentuk –NO2 (nitro) dan –N=N- (diazo). Sifat fisik
dan kimia alkaloid ini menentukan prosedur isolasi dan pemurnian suatu alkaloid
(Achmadi 1986).
Alkaloid bisbenzylisoquinoline
Alkaloid bisbenzylisoquinoline mempunyai turunan yang mempunyai peranan
penting sebagai obat, seperti ditampilkan pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1 Senyawa bioaktif dari turunan alkaloid bisbenzylisoquinoline
Turunan Alkaloid bisbenzylisoquinoline
Fungsi Tumbuhan Pustaka
2,2-bisnorphaeanthine, pangkoramine, pangkorimine dan norcocsuline.
A. papuana Marie et al. (1987)
Dauricine Cytotoxicity M. dauricum He et al. 1996 di acu oleh Alexandrove et al. 2000
Cycleanine, cocsoline dan N-desmethylcycleanine
Anti P. falciparum
A. villosa Lohombo-Ekomba et al. (2004 )
O-methylcocsoline, cocsoline, cocsuline, cycleanine dan dicentrine
Anti P. falciparum
A. delagoensis Wet (2005)
Barbosa-Filho dan Da-Cunha (2000) menyatakan bahwa spesies Albertisia
laurifolia Yamato mempunyai 6 senyawa bioaktif jenis alkaloid bisbenzylisoquinoline,
yaitu apateline, aromoline, cocsoline, cocsuline, dapholine dan N-methylapateline.
Plasmodium falciparum
P. falciparum adalah protozoa parasit, salah satu spesies Plasmodium yang
menyebabkan penyakit malaria pada manusia. Protozoa ini masuk tubuh manusia
melalui gigitan nyamuk anopheles betina. P. falciparum menyebabkan infeksi paling
berbahaya dan memiliki tingkat komplikasi dan mortalitas malaria tertinggi.
Semua jenis plasmodium memiliki siklus hidup yang sama yaitu sebagian di
dalam tubuh manusia atau human (siklus aseksual) dan sebagian di tubuh anopheles
(siklus seksual) (Campbell et al. 1997, Arlan 2006, Tjay & Raharja 2007, Sutamihardja
et al. 2009). Gambar siklus hidup plasmodium tersebut disajikan pada Gambar 3,
angka 1 sampai 7 pada gambar merupakan urutan tahapan siklus yang dijelaskan di
bawah ini.
4 5 6
3 2 1 7
Gambar 3 Siklus hidup plasmodium di tubuh manusia
(Sumber : http://www.majalah-farmacia.com/images/articles/m/0603_13.jpg)
Siklus yang kedua yaitu siklus seksual (sporogoni) dalam tubuh nyamuk sebagai
berikut: (1) Siklus ini dimulai dengan nyamuk Anopheles betina menggigit orang yang
terinfeksi malaria dan mengambil gametosit plasmodium bersama dengan darah. (2)
Gamet akan terbentuk dari gametosit jantan dan betina, sehingga fertilisasi terjadi dalam
saluran pencernaan nyamuk tersebut, kemudian terbentuk zigot. Zigot adalah satu-
satunya tahapan diploid dalam siklus hidupnya. (3) Oocyts yang berasal dari zigot
berkembang dalam dinding perut nyamuk. Ribuan sporozoit berkembang dalam oosista
dan kemudian bermigrasi ke kelenjar lidah nyamuk tersebut. (4) Nyamuk yang
terinfeksi menyengat orang lain, menginfeksi korban dengan sprotozoit Plasmodium
Siklus aseksual (skizogoni) pada tubuh manusia ada dua tahap, yaitu siklus hati
(fase eritrosit) (5) Pada siklus ini nyamuk betina yang terinfeksi parasit, menggigit
manusia dan dengan ludahnya “menyuntik “ sprotozoit ke dalam darah. Protozoit
masuk ke dalam sel hati korban mengikuti peredaran darah. Merozoit akan berinteraksi
dengan eritrosit yang tidak terinfeksi. Invasi eritrosit oleh parasit malaria merupakan
proses yang terdiri tiga tahap yaitu (Pasvol 1992), recognition/pengenalan,
attachment/perlekatan, dan proses endositosis. Setelah beberapa hari, sporotozit
mengalami pembelahan berkali-kali untuk menjadi merozoit, yang kemudian
menggunakan kompleks apikalnya itu untuk menembus sel darah merah korban. (6)
Merozoit tumbuh dan membelah secara aseksual sehingga menghasilkan banyak sekali
merozoit baru, yang secara berulang-ulang memecahkan sel darah dengan interval 48
atau 72 jam (tergantung pada spesiesnya). Interval demam ini menyebabkan penderita
mengalami demam dan menggigil secara periodik. Beberapa merozoit menginfeksi sel
darah merah baru. (7) Beberapa merozoit membelah membentuk gametosit, yang
menyelesaikan siklus kehidupannya dalam seekor nyamuk betina.
P. falciparum dapat resisten terhadap obat malaria karena mempunyai parasit ada
gen yang resisten dan sensitif terhadap obat tertentu, sehingga gen yang satu lebih
dominan dari pada gen yang lain. Berdampak menimbulkan adanya galur yang resisten
dan sensitif. Teori kedua, gen mengalami mutasi dalam tubuh parasit yang
memungkinkan parasit tersebut menjadi resisten terhadap suatu obat dengan dosis
tertentu (Tuti 1992).
Penentuan resistensi atau tidaknya P. falciparum dapat dilakukan dengan cara in
vivo dan in vitro. Cara in vivo dapat menunjukkan derajat resistensi parasit yang
dinyatakan dalam tiga tingkatan yakni RI (resistensi derajat 1), RII, dan RIII. Cara in
vitro hasilnya dinyatakan sebagai sensitifitas atau resistensi parasit, tanpa adanya
penjenjangan tingkatan. Kelebihan uji ini pada beberapa jenis obat dapat diuji secara
bersamaan (Tuti 1992).
Keuntungannya (Purwaningsih 2003), penggunaan biakan memungkinkan untuk
mempelajari aktivitas intrinsik obat secara lebih hemat dan lebih cepat, membutuhkan
obat dalam jumlah kecil, pengaruh metabolisme hospes dihilangkan, efektivitas obat
dapat langsung diamati, memudahkan penapisan obat malaria baru, dimungkinkan
pemberian dosis yang tinggi, dan memungkinkan pembuatan vaksin malaria.
Separasi
Ekstraksi adalah satu proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan
kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda, biasanya air atau
pelarut organik (Meloan 1999). Metode pemisahan yang biasa digunakan antara lain
adalah maserasi, perkolasi, infusi, soxhletasi dan destilasi.
Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan
tumbuhan seperti akar, biji, dan daun adalah melakukan ekstraksi secara kontinyu
serbuk bahan dengan suatu pelarut menggunakan alat Soxhlet. Pelarut yang digunakan
berganti-ganti, mulai dari pelarut non polar sampai pelarut polar yang disesuaikan
dengan sifat polaritas komponen yang akan diekstrak (Harbone 1996).
Tahap pemurnian suatu senyawa yang tercampur di dalam suatu ekstrak dapat
dipisahkan dengan cara tertentu, diantaranya yang umum digunakan adalah teknik
Kromatografi Kolom (KK), Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT). Teknik kromatografi untuk memisahkan suatu campuran
komponen dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan didalam
eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fase diam dan
interaksi pelarut dengan fase gerak (Harbone 1996, Gritter et al. 1991, Hostetman et
al.1997).
Pemisahan secara kromatografi dari berbagai senyawa dalam suatu bahan
didasarkan pada perbedaan kecepatan migrasi dan penyebaran dari molekul-molekul
senyawa yang merupakan hasil kesetimbangan distribusi dari senyawa-senyawa dalam
bahan antara fase diam dan fase gerak. Perbedaan kecepatan migrasi berhubungan
dengan perbedaan kecepatan gerak dari senyawa-senyawa yang berbeda sepanjang
kolom. Migrasi merupakan hasil distribusi keseimbangan dari senyawa-senyawa antara
fase diam dan fase gerak (Gritter et al. 1991).
Kromatografi adalah dasar teknik pemisahan multistage pada perbedaan antara
komponen penyerap permukaan atau pelarut pada cairan (Meloan 1999). Kromatografi
digunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi komponen-komponen.
Kromatografi bekerja berdasarkan prinsip, bahwa semua kromatografi memiliki fase
diam (dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa
cairan atau gas). Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-
komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda
bergerak pada laju yang berbeda.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pilihan untuk pemisahan
semua kandungan yang larut dalam lipid, yaitu lipid, karotenoid, kuinon sederhana, dan
klorofil (Robinson 1991). Kromatografi lapis tipis memiliki kelebihan dibandingkan
teknik kromatografi lainnya, yaitu keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaan.
Keserbagunaan KLT disebabkan oleh kenyataan bahwa sejumlah penyerap yang
berbeda-beda dapat disaputkan pada pelat kaca atau penyangga lain dan digunakan
untuk kromatografi. Walaupun silika gel paling banyak digunakan, lapisan dapat pula
dibuat dari aluminium oksida, damar penukar ion, magnesium fosfat, poliamnida,
sephadex, polivinil pirolidon, selulosa dan campuran dua bahan diatas atau lebih
(Gritter et al. 1991). Kecepatan KLT yang lebih besar disebabkan oleh sifat penyerap
yang lebih padat bila disaput pada pelat dan memberikan keuntungan dalam menelaah
senyawa labil. Kepekaan KLT disebabkan dapat memisahkan bahan yang jumlahnya
lebih sedikit dari ukuran μg (Harbone 1996)
Prinsip-prinsip KLT yang utama adalah adsorben, pengembangan, dan deteksi
(Meloan 1996), teknik-teknik KLT yang penting meliputi persiapan plat,
pengembangan, dan visualisasi. Christie (1982) menyatakan bahwa silika gel adalah
adsorben yang paling umum digunakan untuk berbagai tujuan dan biasanya
mengandung kalsium sulfat yang berfungsi sebagai pengikat untuk meningkatkan daya
adhesi lapisan pada plat. Proses kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis
atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang
keras.
Kromatografi Kolom Kilas
Kromatografi Kolom Kilas atau Flash Chromatography (FC) merupakan
kromatografi sederhana dengan adanya tekanan rendah (umumnya < 20 psi) aplikasinya
yaitu memaksa eluen dengan larutan melalui kolom dengan lebih cepat. Proses tersebut
merupakan suatu kualitas sedang, dimana kecepatan pemisahan 10-15 menit dan
menghasilkan kemurnian tinggi (Gritter et al. 1999 dan Meloan 1999). Contoh
penggunan FC pada isolasi senyawa kuinon dan terpenoid dari Toona sinensis
(Rusiniadi 2006). Prinsip proses kerjanya sama dengan kromatografi kolom klasik,
adanya perbedaan migrasi komponen fase diam dan gerak. Perbedaan hanya pada
tekanan dan pengaturan sistim pompa otomatis. Fraksi yang diperoleh dilakukan
pemeriksaan spot dengan KLT. Hasil diperoleh spot tunggal dan berbentuk kristal,
berarti telah diperoleh senyawa tunggal (Gritter et al. 1991).