205
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah terjadinya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang, memiliki fungsi politik yang sangat strategis yaitu sebagai lembaga penentu arah kebijakan ketatanegaraan Republik Negara Indonesia. Dengan reformasi memberikan harapan besar bagi terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan berpendapat. Semuanya itu diharapkan makin mendekatkan bangsa pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu gerakan reformasi diharapkan mampu mendorong perubahan mental bangsa Indonesia, baik pemimpin maupun rakyat sehingga mampu menjadi bangsa yang menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan, serta persaudaraan. 1

Isi - Program Pasca Sarjana - Universitas Udayana

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setelah terjadinya perubahan Undang-Undang Dasar 1945

wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai

pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang, memiliki fungsi politik

yang sangat strategis yaitu sebagai lembaga penentu arah kebijakan

ketatanegaraan Republik Negara Indonesia. Dengan reformasi

memberikan harapan besar bagi terjadinya perubahan menuju

penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, dan memiliki

akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya

kebebasan berpendapat. Semuanya itu diharapkan makin mendekatkan

bangsa pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Untuk itu gerakan reformasi diharapkan mampu mendorong

perubahan mental bangsa Indonesia, baik pemimpin maupun rakyat

sehingga mampu menjadi bangsa yang menganut dan menjunjung tinggi

nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan,

serta persaudaraan.

1

2

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat

utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat

pemerintah untuk pengelolaan perekonomian negara. Sebagai alat

pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi namun

juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak

legislasi, Anggaran dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih

berperan dalam mengawasi APBN sehingga APBN benar-benar dapat

secara efektif menjadi instrumen untuk mensejahterakan rakyat dan

pengelolaan perekonomian negara dengan baik.g

Pengelolaan keuangan diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Bab VIII. Oleh

karena itu, dapat dipahami rumusan pasal yang mengatugr keuangan

negara disusun sangat singkat. Namun, ini tidak berarti pasal tersebut

tidak mengandung makna secara filosofis, yuridis, maupun historis

Dalam pasal 23. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 Konsepsi keuangan Negara memberikan pemahaman filosofi

yang tinggi terhadap kedudukan keuangan Negara yang ditentukan

APBN sebagai bentuk penjelmaan kedaulatan. Dengan demikian hakekat

public revenue dan expenditure keuangan Negara dalam APBN adalah

merupakan kedaulatan. Pada waktu itu khususnya mengenai keuangan,

benar-benar berdasarkan kepentingan penyelenggaraan Negara dan

3

bangsa, tanpa mengandung nuasa politik partai tertentu, apalagi

kepentingan golongan yang haus kekuasaan.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, menegaskan Negara Indonesia adalah Negara Hukum

berarti negara memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan tujuannya

berupa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kendala yang

dihadapi adalah bagaimana cara memperoleh pembiayaan yang

dibenarkan oleh hukum, untuk merealisasikan tujuan tersebut. Oleh

karena itu, yang terkait dengan keuangan negara merupakan sumber

hukum konstitusional sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara

Republik Indonesia 1945 adalah sebagai berikut.;

Pasal 23 Ayat (1); Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai

wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan

setiap tahun dengan Undang-Undang dan

dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab

untuk sebesar kemakmuran rakyat.

Ayat (2); Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk

dibahas bersama DPR dengan memperhatikan

pertimbangan DPD.

Ayat (3); Apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-

Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

4

yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah

menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara tahun lalu.

Pasal 23 ayat (1) tersebut memiliki hak begrooting DPR yang

mana dalam hal penetapan pendapatan dan belanja negara kedudukan

DPR lebih kuat daripada pemerintah yang artinya menunjukan secara

filosofis yuridis, hal ini merupakan tanda dari kedaulatan rakyat. Dengan

demikian konsepsi keuangan negara, hakekat APBN adalah kedaulatan

rakyat yang diamanatkan kepada DPR. Hal ini berarti titik berat tujuan

anggaran negara merupakan autorisatie dari volkvertegenwoordiging

kepada pemerintah untuk mengadakan pengeluaran atau pembiayaan.

Dengan menyatakan APBN adalah mactiging berarti harus ada

tanggung jawab yang selayaknya diberikan kepada yang memberi

machtiging Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 kuasa diberikan kepada DPR untuk dilaksanakan oleh

pemerintah oleh sebab itu pemerintah dalam pelaksanaan APBN harus

mempertanggungjawabkan kepada DPR.

Karena itu pemerintah dalam suatu negara yang menganut paham

demokrasi mengajukan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan

Belanja Negara yang telah disusunnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat

guna memperoleh pembahasan dan pengesahan. Mekanismenya adalah

sebagai berikut ; Pemerintahan menyampaikan amanat anggaran (budget

5

message) kepada Dewan Perwakilan Rakyat biasanya dalam suatu sidang

paripurna dewan tersebut beberapa bulan sebelum tahun anggaran yang

bersangkutan tiba. Dalam amanat itulah pemerintah menjelaskan program

kerjanya untuk tahun anggaran yang akan datang disertai argumentasi

mengapa program tersebut diputuskan untuk dilaksanakan, berapa biayanya

serta sumber-sumber dan perkiraan jumlah penerimaan. Segera setelah

Pemerintah menyampaikan Rancangan Undang-Undang Anggaran

Pendapatan Belanja Negara tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat melalui

komisi-komisi yang terdapat didalamnya melakukan pembahasan yang

mendalam. Sangat mungkin dalam pembahasan yang dilakukan Dewan

Perwakilan Rakyat melalui komisi-komisinya mengundang pejabat

pemerintah yang menjadi mitra kerjanya untuk berbagai kepentingan,

seperti :

a. Menyatukan persepsi tentang pentingnya program yang akan dilaksaanakan.b. Meminta penjelasan lebih lanjut tentang rincian anggaran yang diajukan.c. Informasi lain yang diperlukan oleh dewan guna menjamin bahwa program pemerintah tersebut benar-benar dikaitkan dengan tujuan negara bangsa yang bersangkutan.1

Setelah pembahasan selesai dilakukan, Rancangan Undang-Undang

APBN itu disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Anggaran Negara

yang dapat disingkat menjadi Anggaran Negara yang isinya dan angka-

angkanya dapat sama dengan yang diajukan oleh pemerintah dalam

1Azmy Achir,1976 Masalah Pengurusan Keuangan Negara Suatu Pengantar Teknis, Buku I Bandung; CV Yulianti, , hlm. 34.

6

Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara, tetapi

mungkin pula dengan perubahan-perubahan tertentu yang telah disepakati

bersama. Dengan pengesahan undang-undang yang menjadi pegangan bagi

pemerintah dan bahkan seluruh aparat negara untuk menyelenggarakan

berbagai kegiatannya.

Anggaran Negara adalah suatu dokumen yang memuat perkiraan

penerimaan dan pengeluaran serta rincian kegiatan-kegiatan di bidang

pemerintahan negara yang berasal dari pemerintah untuk jangka waktu

satu tahun. Jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran negara

kadangkala direncanakan dengan cara berimbang untuk tahun anggaran

negara yang bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh

mana kemampuan pemerintah mengelola anggaran negara sehingga tidak

menimbulkan defisit terhadap anggaran negara termaksud.

Anggaran negara yang ditetapkan dalam bentuk undang-undang

mengandung unsur-unsur antara lain :

1. Dokumen hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat;

2. Rencana penerimaan negara baik dari sektor pajak, bukan pajak, dan hibah;

3. Rencana pengeluaran negara baik bersifat rutin maupun pembangunan;

4. Kebijakan negara terhadap kegiatan-kegiatan di bidang pemerintahan yang memperoleh prioritas atau tidak memperoleh prioritas;

5. Masa berlaku hanya satu tahun kecuali diberlakukan untuk tahun anggaran negara ke depan.2

2Muhammad Djafar Saidi,2008 Hukum Keuangan Negara, PT. Rajagrafindo Persada Jakarta, , hlm. 104

7

Kelima unsur anggaran negara di atas merupakan satu kesatuan

tak terpisahkan sehingga menggambarkan kemampuan negara dalam

jangka waktu satu tahun untuk mewujudkan tujuannya. Unsur-unsur yang

terdapat dalam anggaraan negara merupakan hal-hal yang bersifat

esensial dan tidak dapat dikesampingkan dalam bernegara. Oleh karena

itu, anggaran negara tidak dapat dipisahkan dengan negara yang

bertujuan untuk memakmurkan rakyat terlepas kemiskinan dan

kemeralatan.

Dalam rangka mewujudkan good governance dalam

penyelenggaraan pemerintah negara guna mendukung keinginan untuk

menciptakan pemerintah yang bersih, akuntabel dan transparan dalam

pengelolaan keuangan negara maka DPR memiliki fungsi-fungsi dalam

hal ini diatur dalam pasal 20 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan DPR memiliki fungsi

legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

Disamping itu menurut para ahli hukum Indonesia yaitu Bintan

R.Saragih3 DPR mempunyai 3 fungsi yaitu (1) fungsi perundang-

undangan, (2) fungsi pengawasan dan (3) fungsi pendidikan politik.

Fungsi perundang-undangan mencakup pembentukan undang-undang

seperti UU Pemilu, pembentukan UU tentang APBN, dan ratifikasi

perjanjian-perjanjian dengan negara lain. Fungsi pengawasan dijalankan

3Bintan R. Saragih1991, Peranan DPR GR Periode 1965 dalam Menegakkan Kehidupan Ketatanegaraan yang Konstitusional Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945,penerbit Universitas Padjadjaran Bandung hlm 108 .

8

untuk mengawasi eksekutif agar berfungsi menurut undang-undang yang

dibentuk oleh DPR. Fungsi Pendidikan Politik dilakukan melalui

pembahasan-pembahasan kebijaksanaan pemerintah di DPR yang

kemudian dimuat serta diulas dalam media massa sehingga rakyat dapat

mengikutinya dan secara tidak langsung rakyat dididik ke arah warga

negara yang sadar akan hak dan kewajibannya. Alfian4 berpendapat

bahwa DPR mempunyai 4 fungsi yaitu (1) Fungsi Legislatif, (2) fungsi

pengawasan/kontrol, (3) fungsi wakil rakyat/penyalur aspirasi dan

kepentingan rakyat dan (4) fungsi lain-lain.

BN.Marbun5 menyatakan bahwa DPR mempunyai 5 fungsi yaitu

(1) Bersama-sama dengan presiden membentuk undang-undang, (2)

Bersama-sama dengan presiden menetapkan APBN, (3) melakukan

pengawasan atas pelaksanaan UU, APBN dan kebijaksanaan pemerintah,

(4) membahas hasil pemeriksaan atas pertanggung-jawaban keuangan

negara yang diberitahukan oleh BPK, dan (5) melaksanakan hal-hal yang

ditugaskan oleh MPR. Khusus untuk fungsi anggaran, diatur dalam Pasal

23 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945; Apabila DPR tidak mensetujui rancangan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah

menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun lalu.

Disamping itu perlu ada pengaturan yang mencakup di dalam Pasal 3 4Alfian & Nazaruddin Sjamsuddin 1992 (eds). Masa Depan Kehidupan Politik

Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, , hlm. 2925BN.Marbun,1992 DPR RI Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta, PT.

Gramedia Pustaka Utama, , hlm. 177

9

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara ; Ayat (2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan

pertanggungjawaban dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara setiap tahun perlu ditetapkan dengan undang-undang; dan Ayat

(4) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mempunyai fungsi

otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan

pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pemerintah

berkewajiban menyampaikan laporan realisasi penggunaan anggaran tiap

semester anggaran kepada DPR. Informasi yang disampaikan dalam

laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara pada semester awal dan penyesuaian

atau perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada semester

berikutnya. Atas dasar itu maka laporan pertanggung jawaban keuangan

negara perlu memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan

mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah ditetapkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 23E

Ayat (1) ; Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang

keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan negara yang

bebas dan mandiri. Hasil dari audit BPK akan dilaporkan kepada DPR

sebab uang negara tersebut adalah uang rakyat.

10

Terkait dengan pengelolaan anggaran APBN oleh DPR mulai dari

landasan hukumnya yaitu ; Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 sampai

Pasal 23E dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Jo. Undang-Undang

No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD

dan DPRD, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemeriksaan dan

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka akan timbul beberapa

permasalahan yang erat kaitannya dengan judul tesis ini. Adapun

permasalahannya yaitu :

1. Apa saja wewenang DPR dalam fungsi Penetapan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara menurut Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan prinsip-prinsip

demokrasi ?

2. Bagaimanakah mekanisme wewenang DPR berkaitan dengan fungsi

pengawasan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dalam pengelolaan keuangan negara ?

11

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Dari penelitian ini dalam rangka pengembangkan pemikiran

konseptual atau mendasar tentang wewenang DPR dalam

penetapan dan pengawasan APBN sebagai salah satu lembaga

pengawas dalam bidang keuangan negara menurut sistem

pemerintahan di Indonesia.

1.3.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini

dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang bersifat khusus, sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami sumber wewenang DPR

dalam penetapan APBN

2. Untuk mengetahui dan memahami apakah wewenang DPR

sebagai lembaga legislatif sesuai dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 dalam penetapan dan

pengawasan APBN yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan

negara.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat dicapai melalui penelitian dengan

dua pokok permasalahan ini pada hakekatnya yaitu manfaat akademis

yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis seperti berikut :

12

1. Manfaat Teoritis

Bagi kepentingan akademis, hasil penelitian ini akan dapat

memberikan sumbangan untuk pengembangan ilmu hukum

khususnya pengembangan hukum keuangan negara.

2. Manfaat Praktis

Dilain pihak tesis ini bermanfaat praktis yang dapat

disumbangkan kepada beberapa individu ataupun lembaga yaitu :

a. Untuk pengguna praktis adalah sebagai masukan (input)

bagi pihak pemerintah Negara Indonesia agar hasil penelitian

nantinya dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum

dan pembinaan hukum.

b. Untuk pihak Pemerintah Indonesia agar lebih berhati-hati

serta cermat dalam menyikapi undang-undang yang dibuat,

sehingga tidak menimbulkan sesuatu masalah dikemudian hari

terutama dibidang hukum keuangan negara.

c. Bagi penulis adalah untuk memenuhi persyaratan

memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana

Universitas Udayana Bali.

1.5 Landasan Teoritis

1.5.1 Teori Pengawasan

13

Di dalam negara demokrasi, menurut H.La Ode Husen6

menyebutkan bahwa di Belanda pengawasan didefinisikan : ”...........

as being informed about, cheking, judging and possibly redressing

the way in wich a competence has been or will be made use of

(pemberiaan informasi, pemeriksaan, menilai dan mungkin cara

memperbaiki sesuai dengan kewenangan).

Pengawasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan untuk

mencegah agar sesuatu perbuatan/keputusan organisasi/pejabat

pemerintah tidak merugikan masyarakat dan bertentangan dengan aturan

yang ada. Pengawasan ini sangat diperlukan agar perbuatan pejabat publik

(pejabat pemerintah) benar-benar sesuai dengan kebutuhan, kemanfaatan

dan sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga bisa mengurangi

tindakan otoriter dan penyalahgunaan wewenang dari pejabat pemerintah.

Sedangkan menurut Diana Halim Koencoro7, menyebutkan

pengawasan dalam perspektif HAN adalah mencegah timbulnya

segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang telah

digariskan (preventif) dan menindak atau memperbaiki

penyimpangan yang terjadi (represif).

Pengawasan pada dasarnya diarahkan pada semua tindakan

publik dari pejabat yang berwenang harus sesuai dan berdasarkan

6H.La Ode Husen,2005 Hubungan Fungsi Pengawasan DPR Dengan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, CV. Utomo. Bandung, , Hlm. 94.

7S.F.Marbun 2004 dkk, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press Jogjakarta, , hlm. 267.

14

pada aturan hukum yang berlaku dan setiap tindakan atau keputusan

yang diambil oleh otoritas publik harus memenuhi syarat dan kriteria

bahwa tindakan atau keputusan yang diambil harus logis dan sah

menurut hukum artinya bahwa wewenang untuk melakukan tindakan

telah memenuhi persyaratan yang sesuai dengan nilai-nilai tertentu

bermanfaat atau secara material betul-betul dibenarkan oleh hukum.

Fungsi pengawasan pelaksanaan APBN dilakukan oleh pengawasan

fungsional baik eksternal maupun internal pemerintah.

Pengawasan eksternal dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) yang menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR Sementara itu

pengawasan internal dilakukan oleh inspektorat jenderal/inspektorat utama pada

masing-masing departemen/lembaga Badan Pengawas Keuangan dan

pembangunan (BPKP) pada semua departemen/lembaga (termasuk BUMN).

Pengawasan yang dilakukan oleh pengawas internal maupun eksternal tersebut

diatas bersifat post audit.

Untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan

oleh DPR atau parlemen merupakan sesuatu yang mutlak harus ada,

karena dalam sistem representatif government pengawasan

merupakan kekuasaan asli (original power) parlemen. Oleh karena

itu sesungguhnya DPR lebih berfungsi sebagai pengontrol terhadap

kekuasaan pemerintah daripada objek lembaga perwakilan rakyat

yang memiliki fungsi legislatif, anggaran dan pengawasan. Fungsi

15

pengawasan menjadi titik krusial penciptaan tata kepemerintahan

yang baik (good government) karena mempersempit ruang terjadinya

perubahan pemerintahan yang tercela yang frekuensinya lebih

banyak terjadi dalam pemerintah. Diantara tiga fungsi DPR

(anggaran, pengawasan, legislasi) maka fungsi kontrol/pengawasan

merupakan fungsi DPR yang sampai saat ini memiliki banyak

penafsiran dan perbedaan dalam implementasinya ada yang menilai

bahwa pengawasan yang dilakukan pada era perubahan terlalu ketat

atau malahan terlalu longgar padahal check and balance dibutuhkan

bagi penyelenggara pemerintah yang baik (good government).

Dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap

eksekutif, DPR juga kurang profesional karena minimnya pendidikan

dan pengetahuan yang dimiliki anggota DPR, kurang begitu mengerti

mengenai kompleknya birokrasi yang ada dalam tubuh eksekutif

sehingga pengawasan yang dilakukan oleh DPR tidak efektif. Fungsi

birokrasi diharapkan dapat melaksanakan tugas pelayanan kepada

masyarakat secara maksimal dalam arti berdaya guna dan berhasil

guna. Sehingga keberadaan pemerintah sebagai pengemong dan

pengayom masih juga diharapkan berbagai kebutuhan dan

kepentingan masyarakat banyak dapat dipenuhi sebagaimana

mestinya secara adil, layak, rasional dan profesional. 8

8Ateng Sarifudin,1996 Butir-Butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintah yang Layak. PT. Citra Aditya Bhakti Bandung, , hlm. 12.

16

Pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap eksekutif

terkesan hanya formalitas semata karena dalam pelaksanaan

pengawasan jarang sekali ditemukan penyimpangan atau bahkan

tidak ada sama sekali sehingga dapat dikatakan dengan minimnya

pendidikan dan keahlian yang dimiliki oleh DPR bagaimana bisa

melakukan pengawasan terhadap eksekutif yang bisa dikatakan lebih

ahli dan mempunyai kualitas yang lebih baik daripada anggota DPR.

Dengan demikian tugas dan wewenang pengawasan

dimaksud dalam ketentuan ini harus dibedakan dengan tugas

pengawasan yang dilakukan oleh DPR berada dalam dimensi politik

sedangkan tugas pengawasan yang dilakukan pengawas fungsional

berada dalam dimensi administrasi,jika anggota DPR dianggap

melakukan korupsi akibat hukumnya pidana. Hal ini berarti tugas

pengawasan oleh DPR lebih menekankan pada segi hubungan antara

penggunaan kekuasaan oleh eksekutif dengan kondisi kehidupan

rakyat di Indonesia.

Tanpa adanya fungsi pengawasan yang efektif dari DPR

perwujudan pemerintah yang bersih dan demokratis akan sulit

dicapai, malahan akan mengganggu proses pembangunan dan

penyelenggaraan pemerintah karena penyimpangan banyak terjadi

bertolak dari hukum dan masih lemahnya pengawasan DPR yang

melatarbelakangi hal tersebut.

17

Berpijak dari hal di atas, jelas fungsi DPR dalam struktur

pemerintahan menunjukkan bias dan kabur akan visi dan misi DPR

sebagai lembaga parlemen atas wakil rakyat. Ketidak jelasan DPR

dalam berperan terhadap sistem pemerintahan secara genuine

merupakan problem utama bagi publik dan ketidakjelasan dalam

sistem kinerja di tubuh DPR akan berpengaruh lemah sekali terhadap

idealisme DPR. Menurut Syahrul Kirom9,

“Ada beberapa faktor kenapa sistem DPR semakin melemah ; Pertama, kelemahan yang sangat parah terletak ketika negara Indonesia menganut pada sistem pembagian kekuasaan (devision of power) dan pemisahan kekuasaan (separation of power). Gagasan yang diusung oleh Montesque yang sesungguhnya paradigma itu tidak kondusif untuk diimplementasikan di Indonesia sebab ketika paradigma itu digunakan maka akan terjadi adalah perebutan kekuasaan antara fungsi legislatif, yudikatif dan eksekutif, yang ke semua pada akhirnya fungsi itu bekerja sendiri-sendiri. Tanpa mengutamakan kerjasama dalam membangun integritas yang tinggi untuk memperbaiki bangsa Indonesia.

Kedua, ketika dikaitkan dengan prinsip demokrasi atau kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan rakyat maka dalam konsep pemisahan dan pembagian tersebut haruslah dikembangkan pandangan bahwa kedaulatan yang ada di tangan rakyat harus dibagi-bagi dan dipisah-pisahkan dengan tujuan untuk menjalin kebersamaan. Bukan tambah menjalankan fungsinya sendiri-sendiri sehingga dapat diharapkan ketiga cabang kekuasaan tersebut bisa tetap berada dalam keadaan seimbang dan diatur oleh mekanisme hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain yang biasa disebut dengan prinsip check and balance.

Ketiga, ketiadaan visi DPR secara kolektif dalam menyelamatkan negeri ini dari segala bentuk kapitalisme dan neoliberalisme yang makin menggurita dalam bangsa Indonesia merupakan permasalahan yang multi komplek. Selain itu, mereka juga tidaak mempunyai konsistensi dan visi yang riil tujuan dari anggota DPR. Ini hanyalah untuk kepentingan politik dan kelompok dalam memperebutkan tahta kursi kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian para anggota DPR jangan hanya berpikir bagaimana bisa

9Syahrul Kirom,2010 Melemahnya fungsi DPR Bali Post, Senin 28 Juni0, hlm. 6.

18

mencapai kekuasaan. Akan tetapi, bagaimana cara mengatasi suatu permasalahan negara kita dan menggunakan kekuasaan tersebut untuk memenuhi kepentingan rakyat Indonesia.

Ketika seseorang masih mengedepankan kepentingan

pribadi dan golongan justru akan menciptakan perlawanan dan

pertentangan akan tetapi jika kepentingan tersebut diarahkan kepada

kepentingan politik maka kehendak tersebut akan menjadi kehendak

umum yang bisa diterima oleh rakyat secara keseluruhan (res

publica). Untuk memahami bagaimana kehendak rakyat maka

meminjam istilah Rousseau apa yang disebut dengan vertue

(keutamaan) seseorang haruslah dapat membedakan kepentingan

yang sifatnya pribadi dan kepentingan umum. Atas dasar tersebut

untuk pengelolaan lembaga negara berdasarkan nilai-nilai demokrasi

diperlukan moralitas, kemurnian hati, kejujuran, dan bebas dari rasa

pamrih serta kepentingan tertentu.

1.5.2 Teori Wewenang

Untuk mempertajam pembahasan nantinya terhadap

permasalahan wewenang DPR dalam penetapan dan pengawasan

anggaran maka dalam sub bahasan ini akan diketengahkan uraian

tentang teori wewenang. Pengertian fungsi terkandung wewenang

dan tugas. Agar fungsi suatu badan dapat terlaksana kepadanya perlu

19

diberikan wewenang dan tugas tertentu, dengan cacatan bahwa tugas

wajib dilaksanakan sedangkan wewenang tidak selalu.10 Dimana

secara teoritik kewenangan/wewenang yang bersumber dari

peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui 3 (tiga)

cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.

Philipus M. Hadjon, membagi cara memperoleh wewenang

atas dua cara utama, yaitu 1) atribusi; b) delegasi; dan kadang-

kadang juga mandat.11 Atribusi merupakan wewenang untuk

membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada

Undang-undang dalam arti material. Atribusi ini dikatakan juga

sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang

pemerintahan. Dari pengertian tersebut jelas Nampak bahwa

kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintahan

adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung

dari peraturan perundang-undangan, dengan kata lain dengan atribusi

berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan

itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Delegasi

diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh

pejabat pemerintahan kepada pihak lain tersebut. Dengan kata

penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dari

10A.S.S. Tambunan,1998 Fungsi DPR RI Menurut UUD 1945, Suatu Studi analisis mengenai pengaturannya tahun 1966-1997 Disertasi ,Sekolah Tinggi Hukum Militer Jakarta hlm 19.. 111 Philipus M. Hadjon, 2005 Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia Penerbit Gajah Mada University Press Yogyakarta .

20

yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi

(delegetaris).

Suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain :

a. Delegasi harus definitive, artinya delegans tidak dapat lagi

menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.

b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada

ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.

c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarchi

kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.

d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans

berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan

wewenang tersebut.

e. Peraturan kebijakan (bebudsregel) artinya delegans memberikan

intruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.12

Wewenang pemerintah tidak hanya meliputi wewenang

dalam rangka melaksanakan tugasnya dan distribusi wewenang

utamanya ditetapkan dalam kontitusi, pembentukkan wewenang

pemerintah didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh

peraturan perundang- undangan

DPR mempunyai wewenang atribusi asli dalam hal

menetapkan Undang-undang. APBN Disamping itu DPR harus

12Ibid, hal. 94.

21

memperhatikan dan menampung aspirasi rakyat serta menyuarakan

hati nurani rakyat demi untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Suwoto Mulyosudarmo dengan menggunakan istilah

kekuasaan mengemukakan bahwa, ada dua macam pemberian

kekuasaan yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan

perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan

secara derivatif dibedakan atas delegasi dan mandat.13

Atribusi adalah pembentukan dan pemberian wewenang

tertentu kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang

adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-

undangan. Pembentukan dan distribusi wewenang terutama

ditetapkan di dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara RI

tahun 1945. Pembentukan wewenang pemerintahan ditetapkan

dengan peraturan perundang-undangan. Disini terjadi pemberian

wewenang baru oleh suatu ketentuan peraturan perundang-undangan

sehingga dilahirkan suatu wewenang baru.

Dengan demikian, pembentukan wewenang yang

berdasarkan pada atribusi nampak dari ciri-ciri sebagai berikut :

a. Melahirkan wewenang baru;b. Dilakukan oleh suatu badan yang pembentukkannya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Legislator yang berkompeten utuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan dibedakan atas original legislator seperti MPR menetapkan Undang-Undang

13Suwoto, Mulyosudarmo,1997 Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, , hlm. 39-48.

22

Dasar Negara RI tahun 1945 dan Presiden bersama DPR membuat undang-undang dan delegated legislator, seperti Presiden menetapkan peraturan pemerintah yang menciptakan wewenang pemerintahan kepada organ tertentu.14

Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat

suatu keputusan oleh pejabat pemerintahan (delegans) kepada pihak

lain (delegetaris) dan wewenang itu menjadi tanggung jawab

delegetaris. Dengan demikian, pada delegasi selalu didahului oleh

adanya atribusi wewenang.

Namun demikian, mandat dapat terjadi kepada bukan

bawahan, tetapi hal ini baru dianggaap sah apabila :

a. Mandataris mau menerima

pemberian mandat tersebut;

b. Wewenang itu merupakan

wewenang; sehari-hari dari mandans;

c. Peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan tidak bertentangan dengan bentuk

pemberian mandat tersebut. Oleh karena itu, unsur-unsur

dari mandat (pemberian kuasa) adalah :

1. Hanya dapat dilakukan oleh organ yang

memperoleh wewenang secara atributif atau oleh

pemegang delegasi;

14Indroharto,2004 Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, , hlm. 17.

23

2. Tidak membawa konsekuensi bagi mandataris

untuk bertanggung jawab kepada pihak ketiga, namun

dapat diwajibkan untuk memberikan laporan atas

pelaksanaan wewenang kepada mandans;

3. Mandataris harus bertindak atas nama mandans;

4. Pelimpahan wewenang kepada pihak ketiga hanya

atas seizin mandans.

Berdasarkan pada teori itu, maka harus dibedakan antara

pembentuk wewenang yang diperoleh secara atributif dengan

pembentuk wewenang yang diperoleh secara delegasi.

Dari paparan kerangka teori diatas maka terlihat jelas

bahwa pemerintah mempunyai kewenangan yang luas dalam

melaksanakan pembangunan, menerapkan dan melaksanakan hukum

dan peraturan perundang-undangan, pengawasan, maupun penegakan

hukum, dengan kata lain pemerintah dalam melaksanakan tugasnya

sebagai publik service harus tunduk pada hukum, sebagai

konsekuensi dari paham negara yang berdasarkan atas hukum.

Konsep hukum lain dari negara berdasarkan atas hukum

adalah adanya jaminan penegakan hukum dan tercapainya tujuan

hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus

24

mendapat perhatian, yakni keadilan, kemanfaatan atau hasil guna

(doelmatigheid), dan kepastian hukum.15

1.5.3 Teori Demokrasi

Para ahli di bidang politik dan hukum dalam memberikan

definisi tentang demokrasi bermacam-macam. Istilah demokrasi

berasal dari bahasa Yunani yang asal katanya adalah demos berarti

rakyat dan kratia yang berarti kekuasaan. Dengan demikian maka

demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk

rakyat.

Menurut I Dewa Gede Atmadja16, mengatakan bahwa ;

Pemerintahan daerah dan Otonomi Daerah di Indonesia berdasarkan

Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (perubahan ke-2) didasarkan pada prinsip demokrasi. Sesuai

Kamus Hukum Inggris-Latin (Black’s Law Dictionary), Atmadja

mengartikan demokrasi sebagai berikut ;

”That form of goverment in which the sovereign power

resides in and is, exercised by the whole body of free citizens

directly or indirectly throught a sistem of representation, as

distinguished from a monarchie, aristocracy, or oligarchy”. (Yaitu

Bentuk pemerintahan yang mana kedaulatan dari keseluruhan

15Sudikno Mertokusumo 1993 Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, , hlm. 1.

16I Dewa Gede Atmaja 2004, Sistem Pemilihan Langsung dan Pertanggungjawaban Kepala Daerah, Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, , hlm. 11

25

lembaga pemerintah, ditentukan oleh rakyat yang bebas, baik

langsung maupun tidak langsung melalui dari sistem perwakilan

yang berbeda dengan monarki, aristokrasi atau oligarki)”.

Sedangkan menurut Franz Magins-Suseno SJ17, kelebihan

demokrasi Yunani atas tradisi-tradisi demokrasi tadi terletak dalam

dua hal. Pertama, mereka mengembangkan suatu sistem kelembagaan

canggih yang secara eksplisit didasarkaan pada gagasan kekuasaan di

tangan rakyat. Kedua, prinsip demokrasi mereka sadari dan mereka

repleksikan secara eksplisit-filosofis, dengan mempertimbangkan pro

dan kontranya serta dengan memperbandingkan bentuk kenegaraan

demokrasi dengan bentuk-bentuk pemerintahan lain seperti

kekuasaan satu orang dan kekuasaan di tangan elit.

Berangkat dari teori demokrasi mendasarkan kekuasaan

pada kehendak rakyat, jika kekuasaan tersebut harus menurut atau

sejalan dengan kehendak rakyat, menurut Bagir Manan18 ada dua

pengertian dari kehendak rakyat sebagai berikut :

1. Kehendak rakyat seluruhnya yang dinamakan volente de

tous.

2. Kehendak sebagian dari rakyat yang dinamakan volente

generale.

17Franz Magins-Suseno SJ,1995 Mencari Sosok Demokrasi, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, , hlm. 34-35.

18Bagir Manan1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan di Indonesia, Indonesia Co, Jakarta, , hlm. 3.

26

Artinya kehendak rakyat seluruhnya atau volente de tous hanya

dipergunakan oleh rakyat seluruhnya sekali saja. Yaitu pada saat

Negara hendak dibentuk melalui perjanjian masyarakat. Maksud

dari Volente de tous adalah untuk memberikan sandaran agar

negara dapat berdiri sendiri dengan abadi, karena seluruh rakyat

telah menyetujuinya, jika Negara sudah berdiri berdasarkan

persetujuan masyarakat maka persetujuan itu tidak dapat dicabut

kembali. Kehendak dari sebagian rakyat atau volente generale

melalui keputusan suara terbanyak perlakuan setelah negara

sudah berdiri supaya negara bisa berjalan.

Demokrasi secara singkat diartikan sebagai suatu sistem politik

dimana kekuasaan politik berada di tangan rakyat. Secara histories

demokrasi sebagai bentuk pemerintahan tumbuh pertama kali dalam

negara kota Athena di Yunani antara tahun 450-250 s.m. Menurut

Pericles, salah seorang negarawan Athena demokrasi mempunyai ciri

sebagai berikut : pemerintahan oleh rakyat dan partisipasi rakyat secara

langsung, persamaaan di muka hukum, pengakuan terhadap kemajemukan

bakat, perhatian, serta pandangan, pengakuan terhadap kebebasan

pribadi.19

Esensi demokrasi adalah pengakuan bahwa sumber kedaulatan

tertinggi pada suatu negara adalah kehendak rakyat. Sebagai implementasi

19Majalah Wawasan Hukum, HAM dan Politik, 2006, Edisi XXXIII Th. III Minggu Kedua Desember.

27

dari demokrasi, seluruh lembaga penyelenggara negara dirancang,

diorganisasi serta dioperasikan sebagai pemegang amanat dan kehendak

rakyat dan oleh karena itu bertanggung jawab kepada rakyat secara

langsung maupun tidak langsung.

A. Mukthie Fadjar20 menyebutkan bahwa demokrasi

perwujudannya adalah dengan adanya pemerintahan yang bersendikan

perwakilan rakyat, kekuasaan dan kewenangannya berasal dari rakyat dan

dilaksanakan melalui wakil-wakil serta bertanggungjawab penuh terhadap

rakyat. Oleh karenanya, demokrasi mensyaratkan adanya pemilihan umum

untuk memilih wakil-wakil rakyat tersebut yang diselenggarakan secara

berkala dan bebas.

Pada hakikatnya bahwa pemerintahan yang demokratis, syarat

utamanya harus melibatkan rakyat baik secara langsung maupun melalui

wakil-wakil yang telah ditunjuk atau dipilih oleh rakyat melalui partai

politik dalam sistem pemilihan umum tersebut. Dalam menjalankan roda

pemerintahannya maupun merencanakan dan menyususn program-

program kegiatan dari pemerintah tersebut.

Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang

menggunakannya sebab dengan demokrasi, hak masyarakat untuk

menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu

hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu

memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional

20A. Mukthie Fadjar,2005 Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publising, Malang, , hlm. 76

28

implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Demokrasi sebagai

dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir

rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang

mengenai kehidupannya, termasuk dalam penilaian kebijakan negara. Jadi

negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan

kehendak dan kemauan rakyat/kedaulatan rakyat.

Munculah berbagai teori tentang bagaimana seharusnya dalam

menjalankan kedaulatan. Yang sering dipakai dalam jaman modern adalah

demokrasi, pemerintahan yang berdasarkan rakyat. Antara rakyat dan

kekuasaan negara sehari-hari, lazimnya berkembang atas 2 teori, yaitu :

1. Teori Demokrasi Langsung (direct democracy) dimana

kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat

sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya.

2. Teori Demokrasi tidak langsung (representative democracy). 21

Representasi sangat diperlukan bagi eksistensi otoritas politik di

samping beberapa hal pokok lainnya. Bagi para ahli politik tentang

kekuasaan, bahwa ia juga sangat tergantung pada beberapa tuntutan lain.

Dan biasanya berhubungan dengan konstitusionalisme: pembatasan

kekuasaan pemerintah dan kebebasan politik warga negara.

212

Jimly Asshiddiqie, 2003 Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah perubahan keempat UUD 1945 ,disampaikan dalam seminar yang dilakukan oleh BPHN dan DEPKEH dan HAM RI .Jakarta

29

Kemudian perkembangan lembaga perwakilan di duniapun

menjadi beragam dan berkembang. Hal ini sesuai dengan tuntutan zaman

dan dilekatkan pada kekuasaan membuat undang-undang.

Setelah berkembangnya ide demokrasi yang telah dimulai sejak

abad ke 19 maka konsep pemerintahan demokrasi menjadi suatu trend dan

isu global dalam dunia. Sehingga mayoritas negara menggunakan

demokrasi sebagai sistem politik dan negara mereka. Seperti apa yang

dikatakan oleh Moh Mahfud MD22, menyebutkan bahwa hampir semua

pengertian tentang demokrasi selalu memberikan posisi penting bagi

rakyat, kendali secara operasional implikasinya di berbagai negara

berbeda-beda artinya semua negara yang mengatasnamakan

pemerintahannya menganut sistem pemerintahan yang demokratis pasti

melibatkan kepentingan rakyat dalam pengambil kebijakannya baik itu

melalui wakil-wakilnya yang ada di lembaga perwakilan maupun secara

langsung.

Demokrasi memiliki perjalanan sejarah yang amat panjang,

keberadaan ide tentang demokrasi sudah dimulai 508 tahun sebelum

masehi. Perjalanan panjang tersebut telah pengantarkan demokrasi menuju

sebuah dinamika yang berkelanjutan, berevolusi sesuai dengan

perkembangan zaman dan kebutuhan para manusia yang menggunakan.

22Moh. Mahfud. MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, , hlm. 7.

30

Sri Sumantri23, melihat Demokrasi dalam dua segi yaitu yaitu

Demokrasi Materiial dan Demokrasi Formal.

Demokrasi dalam arti Materiial adalah demokrasi yang diwarnai

oleh falsafah atau idiologi yang dianut loeh suatu bangsa atau negara

perbedaan dalam demokrasi yang dianut oleh masing-masing negara

menunjukkan adanya perbedaan yang mendasar dalam demokrasi ini.

Oleh karena itu dikenal dengan Demokrasi Pancasila. Demokrasi

Terpimpin. Demokrasi Liberal. Demokrasi Sosialis. Demokrasi Rakyat

dan Demokrasi Sentralistik.

Demokrasi dalam arti formal mengalami perkembangan yaitu

dari Demokrasi langsung. Sebagaimana pernah dilaksanakan dalam

Negara Kota (City State) di Yunani kuno, menjadi Demokrasi tidak

langsung Demokrasi tidak langsung juga dinamakan Demokrasi

Perwakilan yaitu demokrasi yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang

duduk dalam lembaga/badan perwakilan rakyat.

Demokrasi dapat diartikan dengan dua makna menurut Sri

Sumantri yaitu Demokrasi Materiial, makna pengertian itu sendiri

(Pemerintahan dari dan oleh rakyat) yang dipengaruhi oleh falsafah negara

dan Demokrasi Formal dalam arti pelaksanaannya (yaitu Demokrasi

langsung dan Demokrasi perwakilan)

23Sri Sumantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, Hlm 9-10.

31

Afan Gafar24 memberikan pemahaman tentang demokrasi

menjadi dua yaitu Demokrasi Normatif yaitu merupakan sesuatu yang

ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara, yang diterjemehkan dalam

konstitusi masing-masing negara yang mengutamakan unsur-unsur dan

prinsip-prinsip dari suatu pemerintahan yang demokratis dan Demokrasi

Empirik yang mengutamakan pengaruh terjadinya atau terselenggaranya

pemerintahan yang demokratis tersebut.

Dalam mendifinisikan demokrasi dalam arti normatif

memberikan syarat suatu negara dapat dikatakan melaksanakan

pemerintah yang demokratis yaitu Pertama Adanya

Akuntasi/pertanggungjawaban bagi setiap pejabat pemerintah. Kedua,

Adanya rotasi kekuasaan artinya kekuasaan tidak dimonopoli oleh orang-

orang atau golongan tertentu untuk selamanya akan tetapi adanya

periodesasinya untuk dilakukan pergantian pemegang kekuasaan tersebut.

Ketiga, Adanya rekruitmen politik yaang terbuka artinya peluang untuk

menduduki suatu jabatan dalam kekuasaan tersebut bagi semua orang.

Keempat, Adanya pemilu yang teratur setiap warga negara suadah dewasa

berhak untuk memilih dan dipilih jabatan politik. Kelima, Masyarakat

menikmati hak-hak dasar Terutama Hak untuk menyatakan pendapat, hak

untuk berkumpul dan berserikat, serta hak untuk menikmati pers yang

bebas dari tekanan penguasa.

24Afan Gafar, 2002, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hlm. 3

32

Menurut Thomas Meyer25 menyatakan demokrasi perwakilan mempercayakan sepenuhnya pengambilan keputusan di tingkat parlemen oleh wakil-wakil yang dipilih. Demokrasi langsung akan mengalihkan sebanyak mungkin keputusan kepada rakyat yang berdaulat misalnya melalui plebisit, referendum, jajak pendapat rakyat dan keputusan rakyat atau mengembalikan sebanyak mungkin keputusan ke tingkat komunitas lokal. Pada suatu negara yang luas peluang diterapkannya demokrasi langsung sangat terbatas. Sidang paripurna yang menghadirkan seluruh rakyat tidak mungkin dilakukan. Plebisit hanya dapat dilakukan untuk beberapa permasalahan dan hanya dengan mempersiapkan waktu yang cukup untuk sebagian besar pengambilan keputusan pada tingkat regional dan nasional yang dapat dilakukan hanyalah demokrasi perwakilan. Tetapi demokrasi perwakilan murni sering kali menunjukkan kecendrungan mengabaikan kehendak rakyat dan mempersulit identifikasi serta partisipasi politik rakyat. Dalam banyak kasus pengalaman membuktikan bahwa kombinasi cerdas antara demokrasi perwakilan dan elemen-elemen demokrasi langsung yang relevan sangatlah bermanfaat. Untuk permasalahan tertentu sudah dirumuskan secara akurat dan terdapat metode yang terstruktur secara jelas untuk menanyakan pendapat rakyat, referendum dapat dilakukan. Selain itu ada juga kemungkinan untuk pembuatan sebanyak mungkin keputusan pada tingkat komunitas lokal.

Tugas dan wewenang yang dijalankan oleh setiap lembaga

perwakilan rakyat di dunia adalah sebagai berikut :

1. Sebagai lembaga perwakilan rakyat yang

mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh pemegang

kekuasaan eksekutif agar kekuasaan pemerintah tidak menindas

rakyat sehingga kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-

wenang.

2. Sebagai pemegang kekuasaan legislatif untuk

menjalankan keinginan rakyat dan diinterprestasikan dalam

25Thomas Meyer,2003 Demokrasi (Sebuah Pengantar Untuk Penerapan), Friedrich-Ebert-Stiftung, Kantor Perwakilan Indonesia, , hlm. 13-14.

33

undang-undang dan juga sebagai pembuat undang-undang dasar

(supreme legislative body of some nations).26

1.5.4 Konsep Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Yang dimaksud dengan anggaran (budget) adalah suatu

daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan

pengeluaran negara yang diharapkan dalam waktu tertentu yang

biasanya adalah satu tahun. Ada anggaran yang disusun berdasarkan

atas tahun kalender yaitu mulai tanggal 1 April dan tutup pada

tanggal 31 Maret sampai tahun yang berikutnya, tetapi ada pula

yang tidak dimulai pada tanggal 1 januari dan diakhiri pada tanggal

31 Desember Sejak tahun 1969.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di Indonesia

dimulai pada tanggal 1 januari dan tutup pada tanggal 31 Desember

dari tahun yang bersangkutan. Biasanya lembaga eksekutif yang

mempersiapkan rencana penerimaan dan pengeluaran/belanja

termasuk pos-posnya kemudian diajukan kepada lembaga legislatif

untuk dipertimbangkan dan kemudian diputuskan serta ditetapkan

sebagai undang-undang. Dalam UUD NRI 1945 Presiden

menetapkan Anggaran Pendapatan dan belanja negara (APBN)

setelah mendapat persetujuan DPR.

26 Ibid hlm 15

34

Pada pokoknya anggaran harus mencerminkan politik

pengeluaran pemerintah yang rasionil secara kuantitatif maupun

secara kualitatif sehingga akan terlihat bahwa :

1. Ada pertanggungjawaban atas pungutan pajak dan pungutan

lainnya oleh pemerintah, misalnya untuk memperlancar proses

pembangunan ekonomi.

2. Adanya hubungan yang erat antara fasilitas penggunaan

dana dan penarikannya.

3. Adanya pola pengeluaran pemerintah yang dapat dipakai

sebagai pertimbangan didalam menentukan pola penerimaan

pemerintah yang pada akhirnya menentukan pula tingkat

distribusi penghasilan dalam perekonomian.27

Dengan adanya reformasi tersebut mendapatkan landasan

hukum yang kuat dengan telah disahkan UU RI Nomor 17 Tahun

2003 Tentang Keuangan Negara, UU RI Nomor 1 Tahun 2004

Tentang Perbendaharaan Negara, UU RI Nomor 15 Tahun 2004

Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan

Negara dan UU RI Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan

Pemeriksaan Keuangan Negara.

Sebelum Undang-Undang tersebut diundangkan aturan yang

berlaku untuk Pengelolaan Keuangan Negara masih menggunakan

27Suparmoko,2003 Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, BPFE, Yogyakarta, , hlm. 48

35

peraturan peninggalan pemerintah Kolinial Belanda seperti Indische

Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW Stbl 1925

No.488 yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai

berlaku tahun 1867. Selain ICW ada juga Indische Bedrijvenwet

(IBW) Stbl No.419 jo. stbl No.445 dan Reglement Voorhet

Administratief Beheer (IAR) Stbl. 1933 No.320

Peraturan-peraturan seperti ICW, IAR, IBW dan RAB,

sengaja diciptakan dan dibuat oleh pemerintahan Kolonial Belanda

sebagai penguasa yang menjajah Indonesia saat itu dengan

pendekatan untuk kepentingan Negara Belanda atas Indonesia.

Paradigma negeri jajahan itulah yang sangat kental mewarnai

peraturan-peraturan itu. Ketika diterapkan kepada Negara yang

berdaulat dan merdeka seperti Indonesia saat ini, peraturan-

peraturan itu sudah tidak lagi relevan dan layak dijadikan pedoman

pengelolaan keuangan negara. Merubah seluruh peraturan diatas

dengan peraturan yang bersemangat independensi dan menjunjung

tinggi kedaulatan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.

Selain itu muatan yang terdapat di dalam aturan-aturan

kolonial itu sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, apalagi

tingkat komplekstitas permasalah saat ini jauh lebih tinggi dari

masa dulu. Oleh karena itu, walaupun masih berlaku sebagai aturan

perundang-undangan tetapi secara materiil sudah tidak dapat

36

dilaksanakan. Kekosongan perundang-undang ini membuat

lemahnya sistem pengelolaan keuangan negara, selama ini

kekosongan itu hanya dilengkapi dengan Keputusan Presiden, yang

terakhir diantaranya diatur oleh Keppres No.42 Tahun 2002 Tentang

Pedoman Pelaksanaan APBN dan Keppres No.80 Tahun 2003

Tentang Pengadaan Barang / jasa Pemerintah. Keputusan Presiden

di dalam tata hukum tidak terlalu mengikat sebagaimana suatu

Undang-Undang.

Dari kelemahan tata hukum itulah kemudian menjadi salah satu

penyebab banyaknya praktik penyimpangan dan KKN di dalam pengelolaan

keuangan negara selama ini. Puncaknya dengan terjadinya krisis moneter

pertengahan 1997 yang telah memporak-porandakan tatanan ekonomi yang

telah dibangun dengan susah payah oleh pemerintahan era orde baru ditandai

dengan anjloknya rupiah hingga menembus dari level Rp 6000 ke level Rp.

17000 per satu USD. Krisis berlanjut hingga menjadi krisis multidimensional

yang kemudian melahirkan era reformasi. Inilah yang memberikan

momentum terciptanya tata aturan baru dalam pengelolaan keuangan negara.

Dengan adanya paket keuangan negara tersebut yang telah

merumuskan empat prinsip dasar pengelolaan negara yaitu:

1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja

2. Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah

3. Pemberdayaan manajer professional dan

37

4. Adanya lembaga pemeriksaan eksternal yang kuat, professional dan

mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan.28

Perubahan mendasar yang diatur oleh Undang-Undang

No.17 Tahun 2003 yaitu :

1. Tentang pengertian dan ruang lingkup dari keuangan negara.

2. Asas-asas umum pengelolaan keuangan negara.

3. Kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan

keuangan negara.

4. Pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan

Menteri /Pimpinan lembaga.

5. Susunan APBN/dan APBD.

6. Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan

APBD.

7. Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan

Bank Sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing.

8. Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan

perusahaan daerah dan perusahaan swasta.

9. Badan pengelola dana masyarakat.

10. Penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan

pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.

28C.S.T Kansil & Christine S.T. Kansil,2006 Hukum Keuangan dan Penbendaharaan Negara, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, , hlm. 37.

38

Sedangkan perubahan mendasar dalam pengelolaan

perbendaharaan negara yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun

2004 yaitu :

1. Penerapan anggaran berbasis kinerja.

2. Pemberlakuan pengakuan dan

pengukuran pendapatan dan belanja negara berbasis akrual.

3. Munculnya jabatan fungsional

perbendaharaan negara.

4. Pemberian jasa giro atau bunga atas

dana pemerintah yang disimpan pada Bank Central.

5. Sertifikat Bank Indonesia yang selama

ini menjadi instrumen moneter akan digantikan oleh surat utang

negara.

Perumusan keuangan negara menggunakan beberapa pendekatan

yaitu dari obyek keuangan negara akan meliputi seluruh hal dan kewajiban

negara yang dapat dinilai dengan uang. Didalamnya termasuk berbagai

kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal, moneter

dan/atau kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu, segala sesuatu dapat

berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara

berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari subyek

keuangan negara meliputi negara dan/atau pemerintah pusat, pemerintah

39

daerah, perusahan negara/daerah dan badan lain yang ada kaitannya dengan

keuangan negara.

Keuangan negara dari proses mencakup seluruh rangkaian

kegiatan yang terkait dengan pengelolaan obyek diatas mulai dari

proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai

dengan pertanggungjawaban. Keuangan negara juga meliputi

seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan

dengan pemilikan dan penguasaan obyek sebagaimana tersebut

diatas untuk penyelenggaran pemerintahan negara.

Dari pendekatan tersebut diatas menurut UU No. 17 Tahun

2003 merumuskan sebagai berikut bahwa ; Keuangan negara adalah

semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,

serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang

dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak

dan kewajiban tersebut.

Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang

disetujui oleh DPR (pasal 1 angka 7 UU No.17 Tahun 2003)

Merujuk pasal 1 UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan

Negara, APBN dalam satu tahun Anggaran meliputi :

1. Hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambahan

nilai kekayaan bersih.

40

2. Kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang

nilai kekayaan bersih

3. Penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau

pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun

anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran

berikut.

Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui rekening Kas Umum negara ( Pasal 12 Ayat (2) UU No 1 Tahun 2004). Tahun Anggaran adalah periode pelaksanaan APBN selama 12 bulan sejak Tahun 2000, Indonesia menggunakan tahun kalender sebagai tahun anggaran, yaitu dari tanggal 1 januari sampai tanggal 31 Desember sebelumnya, tahun anggaran dimulai tanggal 1 April sampai dengan 31 maret tahun berikutnya. Penggunaan tahun anggaran ini kemudian dikukuhkan dalam UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara (Pasal 4 UU No.17/2003 dan Pasal 11 UU No 1/2004)

Sebagaimana ditegaskan dalam bagian penjelasan UU No

17/2003, anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen dan

kebijakan ekonomi sebagai fungsi akuntabilitas, pengeluaran

anggaran hendaknya dapat dipertanggungjawabkan dengan

menunjukkan hasil (result) berupa outcome atau setidaknya output

dari dibelanjakannya dana-dana publik tersebut.

Sebagai alat manajemen, sistem penganggaran selayaknya

dapat membantu aktifitas berkelanjutan untuk memperbaiki

efektifitas dan efisiensi program pemerintah. Sedangkan sebagai

instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk

41

mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian, sosial

budaya dan hukum serta pemerataan pendapatan dalam rangka

mencapai tujuan bernegara.

Peranan DPR dalam penganggaran dapat dijalankan

berdasarkan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Berdasarkan pasal 20A

UUD NRI 1945 DPR mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi legislasi,

fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

Fungsi Legislasi, Dalam menjalankan fungsi legislasinya.

DPR menetapkan dan menyetujui Rancangan Undang-Undang

Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang diajukan oleh

pemerintah, proses penetapan itu sendiri diatur dalam Peraturan

Tata Tertib DPR RI No.1 tahun 2009. Sebelum menetapkan dan

menyetujui Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan

Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah, DPR terlibat

secara intens dalam keseluruhan proses penyusunan dan penetapan

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Fungsi Anggaran, berkenaan dengan fungsi anggaran DPR

mempunyai hak budget sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Ayat (2)

UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa Rancangan Undang-

Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara diajukan oleh

Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan

pertimbangan DPD. DPR sesuai dengan hak budgetnya dapat

42

menyetujui ataupun tidak menyetujui Rancangan Undang-Undang

Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang diajukan oleh

pemerintah dan mengadakan pembahasan.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Anggaran

Pendapatan Belanja Negara secara bersama oleh DPR dan Presiden

selain dalam rangka melaksanakan fungsi legislasi juga

dimaksudkan agar DPR dapat mengetahui dan mengidentifikasikan

dengan jelas bahwa terhadap alokasi yang dicantumkan dalam

RAPBN tersebut tidak terjadi penyelewengan. Selain itu, DPR juga

mempunyai hak untuk mengajukan usul yang mengakibankan

perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan

Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara.

Dalam konteks peranan DPR dalam penganggaran

khususnya pada tahap penyusunan dan penetapan APBN. Menurut

Abdullah Zainie29 menyatakan beberapa hal diantaranya :

1.DPR harus mempunyai waktu khusus untuk membahas proses anggaran dengan mengkaji secara teliti sehingga proses tersebut bisa berjalan lancar.

2.DPR harus menguasai keseluruh struktur dan proses anggaran sehingga bisa memberikan peran yang maksimal terhadap proses anggaran.

3.DPR dengan didukung oleh Undang-Undang seharusnya mampu memberikan kontribusi lebih besar bukan hanya sekedar menerima atau menolak Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara. DPR seharusnya dapat mendiskusikan anggaran sebagai instrumen kebijakan dan untuk menjamin bahwa anggaran tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip

29Abdullah Zaini,2003 Peranan DPR Dalam Reformasi Pengelolaan Anggaran Negara, Jurnal Forum Inovasi Vol 5, Desember , hlm. 20.

43

yang tercantum dalam konstitusi. DPR juga harus bisa mengkaji dan menganalisis anggaran secara terperinci berdasarkan fungís-fungsi yang ada.

4.Anggaran seharusnya digunakan oleh pemerintah dan DPR untuk bertindak sebagai mitra yang berkepentingan dalam pencapaian tujuan yang sama.

5.Kepentingan tertinggi partai harus didahulukan diatas kepentingan partai.

Fungsi pengawasan, pengawasan yang dilakukan DPR

terdiri dari dua hal yaitu :

1. Pengawasan terhadap pemerintah dalam melaksanakan

undang-undang.

2. Pengawasan terhadap pemerintah dalam melaksanakan

APBN.

Pengawasan DPR terhadap pemerintah dalam melaksanakan

APBN dapat dilakukan melalui dua hal yaitu :

1. Melalui rapat-rapat kerja yang dilakukan oleh komisi-komisi

DPR dengan departemen-departemen pemerintah. Dalam rapat

kerja tersebut DPR dapat mengadakan pembahasan mengenai

berbagai hal dengan pemerintah. Selain itu, DPR juga membahas

hasil dengar pendapat komisi-komisi dengan masyarakat dan

akademisi. Fungsi pengawasan dan fungsi pengganggaran akan

berisikan ketika DPR melakukan pembahasan dengan pemerintah

untuk mensetujui Rancangan Undang-Undang APBN yang

diajukan oleh pemerintah.

44

2. Menerima dan membahas laporan dari BPK. Berdasarkan

Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 ditetapkan bahwa hasil pemeriksaan keuangan negara

diserahkan kepada DPR, DPD, DPRD sesuai dengan

kewenangannya. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK

akan digunakan oleh DPR untuk mengevaluasi

pertanggungjawaban pemerintah dalam pelaksanaan APBN.

Menurut Pasal 145 Peraturan Tata Tertib DPR, DPR membahas

hasil pemeriksaan tersebut yang diberitahukan oleh BPK dalam

bentuk hasil pemeriksaan semester yang kemudian disampaikan

dalam rapat paripurna DPR untuk dipergunakan sebagai bahan

pengawasan. Hasil pemerikasaan juga membantu DPR dalam

rangka memberikan persetujuan atas APBN yang diajukan oleh

pemerintah.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum

normatif, atau penelitian doktrinal, yang mempergunakan bahan-

bahan hukum berupa ; peraturan perundang-undangan sebagai hukum

primer; teori-teori hukum, hasil penelitian, tulisan (hasil karya) para

sarjana hukum dan dokumen hukum tertulis lainnya yang relevan

45

dengan obyek penelitian dan dokumen tertulis lainnya yang relevan,

sebagai bahan hukum sekunder; serta bahan-bahan hukum tertier

yang memberikan penjelasan atau petunjuk terhadap bahan hukum

primer. 30

1.6.2 Jenis Pendekatan

Dalam melaksanakan penelitian ini jenis pendekatan yang

dipakai adalah : pendekatan perundang-undangn (the statute

approach) adalah menganalisa peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dalam

penetapan dan pengawasan anggaran APBN bersama-sama dengan

pemerintah berdasarkan pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945).

Pendekatan analisis konsep hukum (analytical dan conceptual

approach) yaitu pendekatan ini dilakukan manakala peneliti tidak

beranjak dari aturan hukum untuk masalah yang diharapkan. Disini

penulis akan menganalisa permasalahan hukum yang menyangkut

wewenang DPR yang dikaitkan dengan konsep negara hukum yang

dianut di Indonesia serta dengan mengkaitkannya dengan teori-teori

30

30Roni Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 34

46

hukum. Pendekatan sejarah ukum (historical approach) dengan

mengkaji atau menelusuri perkembangan hukum yang ada kaitannya

dengan topik permasalahan dalam penulisan ini.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunakan adalah

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

− Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-

undangan yang ada kaitannya denga masalah penelitian

seperti : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 jo

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Susunan

dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD, serta peraturan

perundang-undangan lainnya yang ada kaitannya dengan

topik permasalahan yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun

2004 Tentang perbendaharaan Negara dan Undang-undang

Nomor 17 Tahun 2003 Tentang keuangan negara Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang pemeriksaan

pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan

Pemeriksa Keuangan.

− Bahan hukum sekunder, yaitu diambil dari kepustakaan yang

memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer

47

seperti rancangan undang-undang, literatur-literatur ilmu hukum

hasil-hasil penelitian dan pendapat-pendapat para ahli hukum.

1.6.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum.

Bahan hukum yang telah diperoleh, diinventarisasi dan

identifikasi untuk digunakan sebagai bahan dalam menganalisa

pokok permasalahan dalam penelitian ini. Identifikasi bahan bukum

baik primer maupun sekunder dilakukan secara kritis logis dan

sistematis dengan menggunakan sistem kepustakaan dengan

demikian bahan hukum akan digolongkan menurut bentuknya,

menurut jenis dan tingkatannya.

1.6.5 Teknik Analisis

Teknik analisis dalam penelitian hukum di dalam

menganalisis bahan-bahan hukum tersebut, dapat dilakukan secara;

deskripsi, interpretasi, kontruksi, evaluasi, argumentasi dan

sistematisasi, dalam kerangka berpikir yang diarahkan untuk dapat

memberikan jawaban atas rumusan masalah dan tujuan yang dikaji

dalam penelitian ini.

Teknik analisis bahan hukum di atas dapat dijelaskan

sebagai berikut.

a. Teknik deskripsi, yaitu uraian apa adanya

terhadap suatu kondisi atau posisi dan proposisi-proposisi hukum

48

dan non hukum.

b. Teknik interprestasi, yaitu teknik

menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum yang

terkait dengan pembahasan yang tidak jelas.

c. Teknik konstruksi, yaitu pembentukan

konstruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan

proposisi.

d. Teknik evaluasi, yaitu penilaian, tepat

atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, syah

atau tidak syah oleh penulis terhadap suatu pandangan atau

proposisi, pernyataan rumusan norma baik itu bahan hukum

primer maupun sekunder.

e. Teknik argumentasi, yaitu penilaian yang

dilakukan penulis yang dilakukan atas dasar penalaran hukum.

f. Teknik sistematisasi, yaitu penulis

berusaha mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau

proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang

sederajat maupun antara yang tidak sederajat.31

31Buku Pedoman,2003 Penulisan Penelitian Tesis Normatif, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar, , hlm. 10.

BAB II

LANDASAN YURIDIS KONSTITUSIONAL WEWENANG DPR

DALAM PENETAPAN DAN PENGAWASAN APBN

2.1. Sumber Wewenang DPR Terkait Dalam Melakukan Hak

Anggaran

Utrecht32 mengatakan bahwa para ahli memberikan istilah sumber

hukum berdasarkan sudut pandang keilmuwannya :

1. Ditinjau dari sudut pandang ahli sejarah, sumber hukum memiliki arti:− Sumber hukum dalam arti pengenalan hukum − Sumber hukum dalam arti sumber dari mana pembentuk ikatan

hukum memperoleh bahan dan dalam arti sistem-sistem hukum dari mana tumbuh positif suatu Negara. Sumber hukum ini berfungsi untuk menyelidiki perkembangan hukum dari masa ke masa hingga akan diketahui perkembangannya, pertumbuhan dan perubahan –perubahan antara hukum yang berlaku di suatu Negara

2. Ditinjau dari sudut para ahli filsafat sumber hukum diartikan sebagai sumber untuk menentukan isi hukum apakah isi hukum itu benar, adil sebagaimana mestinya ataukah masih terdapat kepincangan dan tidak ada rasa keadilan. Sumber untuk mengetahui kekuatan mengikat hukum yaitu untuk mengetahui mengapa orang taat pada hukum.

3. Ditinjau dari sudut pandang Sosiologi dan Anthropologi budaya yang dianggap sebagai sumber hukum adalah keadaan masyarakat itu sendiri dengan segala lembaga sosial yang ada didalamnya.

4. Ditinjau dari sudut pandang Religius yang merupakana sumber hukum adalah kitab –kitab suci atau ajaran agama itu.

5. Ditinjau dari sudut ahli Ekonomi yang menjadi sumber hukum adalah apa yang nampak dilapangan ekonomi.

6. Ditinjau dari sudut pandang ahli hukum sumber hukum memiliki arti; Sumber hukum formil yaitu sumber hukum yang dikenal dalam bentuknya. Karena bentuknya itulah sumber hukum formil diketahui dan ditaati sehingga hukum berlaku. Misalnya Undang-Undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum (doktrin).

32Titik Triwulan Tutik, 2006, Pokok-Pokok HukumTataNegara, Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta, hal 12.

49

50

Sumber hukum Materiil yaitu sumber hukum yang menentukan isi

hukum, Sumber hukum materiil diperlukan ketika akan menyelidiki asal

usul hukum dan menentukan isi hukum.33

Adapun yang dimaksud sumber hukum adalah segala apa saja

yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunya kekuatan bersifat

memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan

sanksi tegas dan nyata. Dalam ilmu hukum, sumber hukum juga dapat

dibedakan menjadi ; Pertama, Sumber pengenalan Hukum (kenbron van

hetrecht). Sumber hukum yang mengharuskan untuk menyelidiki asal dan

tempat diketemukannya hukum. Kedua, Sumber asal nilai-nilai yang

menyebabkan timbulnya atau lahirnya aturan hukum (welbron van het

reecht) yaitu sumber hukum yang mengharuskan untuk membahas asal

sumber nilai yang menyebabkan atau menjadi dasar aturan hukum

Badan legislatif mempunyai kewenangan untuk membuat aturan

hukum supaya ditaati oleh masyarakat apa yang dikatakan oleh;

"legislative competence" implies an institution's capacity to make rules that are binding on its membership, and to change those rules; to promote and monitor the application of the rules at all levels, including the national level; and to develop and codify international law on subjects related to its area of activity. Agreement on granting an international institution a measure of legislative competence usually becomes feasible when the adverse consequences of unregulated conduct of an activity within its operational scope.34

Artinya ;, "kewenangan legislatif" istilah menyiratkan kapasitas lembaga untuk membuat aturan yang mengikat keanggotaan, dan untuk mengubah aturan-aturan, untuk mempromosikan dan memantau penerapan aturan pada semua tingkatan, termasuk tingkat nasional; dan untuk mengembangkan dan mengkodifikasi hukum internasional tentang

33Ibid hal 12.34 http://unu.edu/unupress/unupbooks/uu15oe/uu15oe07.htm.Legislative Competence Order Politics and Government of Wales.

51

mata pelajaran yang terkait dengan wilayah yang kegiatan. Perjanjian tentang pemberian lembaga internasional ukuran kewenangan legislatif biasanya menjadi layak ketika merugikan konsekuensi dari melakukan yang tidak diatur suatu kegiatan dalam lingkup operasionalnya.

Aturan hukum yang sudah disepakati dan disetujui oleh lembaga

badan legislatif harus terapkan secara murni kepada seluruh warga

masyarakat tanpa kecuali karena kewenangan badan legislatif sangat kuat

dalam sistem pemerintahan Presidensiil yang murni seperti dianut oleh

Negara Amerika Serikat hal tersebut merupakan suatu yang wajar.

Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik. dalam

mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah mempunyai

kaidah-kaidah hukum yang jelas dan tidak bertentangan dengan Hukum

Tata Negara. Dengan begitu sumber hukum tata Negara Indonesia pada

dasarnya adalah segala bentuk dan wujud peraturan hukum tentang

ketatanegaraan yang berensensi dan bereksistensi di Indonesia dalam

suatu sistem dan tata urutan yang telah diatur.

1. Sumber Hukum Formil

Sumber Hukum Formil adalah sumber hukum yang dikenal dalam

bentuknya. Karena bentuknya itulah sumber hukum formil diketahui

dan ditaati sehingga hukum berlaku umum. Selama belum mempunyai

bentuk, suatu hukum baru merupakan perasaan hukum dalam

masyarakat atau baru merupakan cita-cita hukum, oleh karenanya

belum mempunyai kekuatan mengikat.35

35Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,1993, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti Jakarta hal45 .

52

Sumber-sumber hukum formil meliputi :

1. Undang-undang

2. Kebiasaan (Costum) dan Adat

3. Perjanjian antar Negara (Traktat/Treaty)

4. Keputusan –keputusan Hakim(Jurisprudensi)

5. Pendapat atau pandangan Ahli Hukum (Doktrin)

Undang-Undang mempunyai dua arti yaitu;

a. Undang-Undang dalam arti formil, ialah setiap keputusan

pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara

pembuatannya (terjadinya). Misalnya, pengertian undang-

undang, menurut ketentuan UUD 1945 hasil amandemen adalah

bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama

DPR.

b. Undang-Undang dalam arti materiil, ialah setiap keputusan

pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap

rakyat Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap

dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama.36 Apabila

kebiasaan tertentu diterima masyarakat dan kebiasaan itu selalu

berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan

yang perlawanan dianggap sebagai pelanggaran perasaan

hukum, timbullah suatu kebiasaan hukum, yang selanjutnya

dianggap sebagai hukum.

36Ibiid Hal. 48

53

2. Sumber Hukum Materiil

Sumber Hukum Materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum.

Sumber ini diperlukan ketika akan menyelidiki asal-usul hukum dan

menentukan isi hukum. Misalnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Indonesia yang kemudian menjadi falsafah Negara merupakan sumber hukum

dalam arti materiil yang tidak saja menjiwai bahkan dilaksanakan oleh setiap

peraturan hukum. Karena Pancasila merupakan alat energi untuk setiap peraturan

hukum yang berlaku, apakah ia bertentangan atau tidak dengan Pancasila,

sehingga peraturan hukum yang bertentangan dengan Pancasila tidak boleh

berlaku.

3. Sumber Tertib Hukum

Menursut Tap. No. V/MPR/1973 menyatakan bahwa Pancasila adalah

merupakan sumber dari segala sumber hukum Republik Indonesia dan

dinyatakan pula sebagai sumber tertib hukum Republik Indonesia,

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum artinta bahwa

pancasila adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum

serta moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari rakyat

Indonesia. Adapun manifestasi sumber dari segala sumber hukum

(sumber tertib hukum) bagi Republik Indonesia meliputi Proklamasi

Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Undang-

Undang Dasar Proklamasi dan Surat Perintah 11 maret 1966

54

JJH. Bruggink.37 mengatakan keberlakuan hukumya itu ; In de rechtstherie wordt de hierboven genoemde driedeling in empirische, normatieve en evaluatieve gelding vaak gemaaki. Datbetekent echter nietdat er geen andereindelingen voorkomen Ulrich klug maakteen uitgebreide indeling in negen geldingsbegrippen. Hij onderscheidt devolgende soorten gelding ;1. Juridische gelding. Hieronder verstaat klug ongeveer wat wij

hierboven als de positiviteit van een rechtsnorn hebben aangeduid 2. Ethissche gelding .Hiervan is sprake wanneer een rechtsnornm

een verplichtend karakter heft. Deze gelging zullen wij dadelijk een vorm van evaluative gelding noemen.

3. Ideale gelding. Een norm heeft deze gelding als hij op hogere morele normen is gebaseerd.

4. Reele gelding Hiervan is sprake als de normadressaten zich naar de rechtsnorm gedragen.Wij zullen deze gelding al seen vorm van empirische gelding typeren.

5. Ontologissche gelding. Een norm mist deze gelding ais zij is gepositiveerd door ewetgever die zich niet aan de fundamentele eisen van regelgeving houdt. Van deze gelding is slechts in bepaalde theorieen sprake.

6. Socio-relatieve gelding Een recht norm die geen juridische, ethische en reele gelding heft, maar toch iets voor de normadressaten voorstelt heft volgens klug slechts deze gelding.

7. Decoratieve gelding , Deze gelding bezit een rechtsnorm die enkel een symboolfunctione heft.

8. Esthetische gelding, Hiervan is sprake al seen rechtsnorm een zekere elegantie bezit.

9. Logische gelding, Een rechtsnorm die niet inneerlijk tegenstrijdig is,bezit deze vorm van gelding.

Geldingtheorie atau teori keberlakuan hukum yaitu terdapat beberapa landasan keberlakuan kaidah hukum untuk menentukan sahnya suatu kaidah hukum :

1. Keberlakuan hukum secara yuridis artinya kaidah hukum itu positif berlaku dan tingkatannya lebih tinggi.2) Keberlakuan etis, hal ini akan ada jika kaidah hukum mempunyai sifat mewajibkan dan mengikat keberlakuan ini disebut keberlakuan evaluatif. Apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.3) Keberlakuan Ideal suatu kaidah hukum memiliki kaidah moral yang lebih tinggi.4) Keberlakuan Riil keberlakuan kaidah hukum secara empiris didasarkan sistem tertib hukum secara keseluruhan.

37J J H Bruggink., 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Kluwer Deventer, Den Haag, Hlm. 102-103.

55

5) Keberlakuan Ontologis suatu kaidah hukum akan tidak memiliki keberlakuan jika dipositifkan oleh pembentuk Undang-Undang yang tidak berpegangan pada tuntutan-tuntutan fundamaental dalam pembentukan aturan. 6) Keberlakuan Dekoratif, keberlakuan kaidah hukum hanya memiliki fungsi lambing.7) Keberlakuan Estetis keberlakuan kaidah hukum memiliki elegansi tertentu. 8) Keberlakuan hukum secara sosiologis. Didasarkan pada adanya pengakuan atau penerimaan oleh masyarakat atau oleh mereka kepada siapa hukum tadi berlaku (teori pengakuan). Didasarkan pada paksaan berlakunyan oleh penguasa, terlepas dan masalah apakah masyarakat menerima atau menolaknya (teori kekuasaan)9) Keberlakuan hukum secara filosofis hukum itu sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai yang dianut dalam pergaulan hidup masyarakat dengan orientasi pada perdamian dan keadilan.

Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus

memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-

undang. Dengan demikian Wewenang adalah, yakni "Het vermogen tot

het verrichten van bepaalde rechtihandelingen",38 yaitu kemampuan

untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Mengenai

wewenang ini, H.D. Stout mengatakan bahwa : "Bevoegdheid is een

begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan warden omschreven

ah het gehed van regeh dot betrekking heeft op de verkrijging en

uitofening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke

rechtssubjecten in het bestuursrechtlijke rechtsverkeer" (Wewenang

adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan,

yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan

dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan

383 Ridwan HR., 2002, Hukum Administrasi Negara Penerbit UII Press Yogyakarta.hal17

56

oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik).39 Menurut

Mr. Yamin menyatakan : Dasar Negara ialah "bahwa Undang-undanglah

dan bukannya manusia yang harus memerintah. Dasar ini mengandung

arti, bahwa apabila suatu kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang

pegawai atau jawatan negara mendapat bantahan, maka haruslah

dibuktikan dari Undang-undang manakah kekuasaan itu diambil, dan

tiap-tiap Undang-undang yang berlaku haruslah pula dibuat secara yang

sah.40

Badan publik baik dalam bentuk negara, pemerintah, institusi,

Departemen untuk dapat menjalankan tugas-tugas memerlukan adanya

kewenangan. Kewenangan negara dapat dilihat pada konstitusi setiap

negara yang memberikan suatu legimitasi kepada aparat pemerintah

untuk dapat melakukan fungsinya. Demikian pula halnya badan-badan

publik lain, kewenangan minimal dapat dijumpai pada produk hukum

yang menjadi dasar pembentukannya. Secara teoritis, pengkajian

terhadap kewenangan badan-badan publik tersebut tidak terlepas dengan

Hukum Tata Negara.

Melalui Hukum Tata Negara dapat dijumpai susunan negara atau

organ dari negara (stoats, inrichtingrecht, orvanisatiererecht) beserta

kedudukan hukum dari warga negara berkaitan dengan hak-hak dasarnya.

Dalam organ atau susunan negara diatur diantaranya mengenai

393 Ibid.404 S. Gautama, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, h.22-23

57

pembagian kekuasaan dalam negara yang terbagi atas pembagian secara

horizontal dan vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara pada

umumnya dibagi atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan

kekuasaan yudikatif. Sedangkan secara vertikal, kekuasaan negara dibagi

atas kekuasaan Pemerintah Pusat dan kekuasaan pemerintahan di daerah,

Dalam beberapa sumber menerangkan, istilah kewenangan

(wewenang) disejajarkan dengan bevoegdheid dalam istilah hukum

Belanda, bahwa :"wewenang terdiri atas sekurang-sekurangnya

mempunyai 3 komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan komformitas

hukum.41 Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang

dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum

dimaksudkan, bahwa wewenang haruslah mempunyai dasar hukum,

sedangkan komponen konformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang

ini haruslah mempunyai standar.

Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi,

delegasi dan mandat. Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi

pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan

dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan

suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator yang

414 Soerjono Soekanto,1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pres, Jakarta Hal 145.

58

kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu

dibedakan antara:42

a.Yang berkedudukan sebagai original legislator, di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPK bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang.

b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah.

Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini van Wijk/Willem

Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut: 43

a. Atribusi : toekenning van een bestuursbevoegheid door en wetgever aan een berstuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah).

b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene berstuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).

c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya).

Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar

ketentuan Hukum Tata Negara. Hamid S. Attamimi dengan mengacu

kepustakaan Belanda mengemukakan atribusi ini sebagai penciptaan

kewenangan (baru) oleh konstitusi atau pembentuk wet (wetgever) yang

diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang

dibentuk baru untuk itu".44

424 Ridwan HR ,op ci thal 7I.434 Ibid , hal. 74444 A. Hamid S. Attamimi,Op cit hl 34..

59

Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah kewenangan

dan wewenang. Indroharto berpendapat pengertian wewenang dalam

artian yuridis sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat

hukum.45 Wewenang ini sangatlah diperlukan pemerintah, mengingat

pemerintah adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi negara.

Pemerintah untuk dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan

lancar perlu disertakan wewenang.

Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari

undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintahan

tidak dapat menganggap, bahwa ia memiliki sendiri wewenang

pemerintahan. Sebenarnya kewenangan hanya diberikan oleh Undang-

undang; pembuat Undang-undang dapat memberi wewenang

pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi dapat juga

kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus tertentu.

Dalam konstitusi Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 (setelah

amandemen yang keempat kalinya), ditemukan beberapa pasal yang

melahirkan kewenangan, baik diberikan kepada eksekutif, yudikatif

maupun legislatif dalam pasal-pasal tersebut. Kewenangan ditafsirkan

dengan memegang kekuasaan, berhak, dapat tidak dapat, menyatakan,

mengangkat, memberi, mengatur, menyatakan, menetapkan, fungsi, dapat

melakukan, kekuasaan, berwenang dan lain-lain dengan berbagai istilah, 454 Indroharto, op.cit hal 67

60

akan tetapi substansi dan maksudnya sama, yaitu kewenangan atau

mempunyai otoritas. Dinyatakan, bahwa wewenang bukan hanya power

belaka tetapi otoritas mencakup hak dan kekuasaan sekaligus.

Wewenang kekuasaan negara selain dalam pembukaan UUD 1945, juga

ditemukan pada pasal-pasal UUD 1945 yang berkaitan dengan keuangan

negara.

Meskipun UUD 1945 telah diamandemen, ternyata Pembukaan

UUD 1945 tetap dipertahankan karena memuat ketentuan yang bersifat

aturan dasar sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam arti

pandangan hidup tersebut berimplikasi pada keuangan negara dalam

rangka pencapaian tujuan negara. Adapun tujuan negara adalah

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Pencapaian tujuan negara selalu terkait dengan keuangan negara

sebagai bentuk pembiayaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan

negara yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara. Tanpa keuangan

negara, tujuan negara tidak dapat terselenggara sehingga hanya berupa

cita-cita hukum belaka. Untuk mendapatkan keuangan negara sebagai

bentuk pembiayaan tujuan negara, harus tetap berada dalam bingkai

hukum yang diperkenankan oleh UUD 1945.

61

Selain dalam Pembukaan UUD 1945, juga ditemukan pada pasal-

pasal UUD 1945 yang berkaitan dengan keuangan negara. Ketentuan-

ketentuan dalam UUD 1945 yang terkait dengan keuangan negara

merupakan sumber hukum konstitusional keuangan Negara.

Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 tersebut yang merupakan

sumber hukum keuangan negara memerlukan penjabaran lebih lanjut

dalam bentuk undang-undang. Berarti, perumus UUD 1945 memberikan

atribusi kepada pembuat undang-undang.

Undang-undang di atas merupakan dasar hukum operasional keuangan

negara yang diperuntukkan untuk mengelola keuangan negara agar tujuan negara

dapat tercapai. Sekalipun demikian, untuk tidak membuat kebijakan yang dapat

menyimpang dari undang-undang yang terkait dengan keuangan negara, hal tersebut

bergantung pada pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian

hukum terhadap pengelolaan keuangan negara yang berakhir pada pemeriksaan yang

dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

Mengenai hukum keuangan negara, berarti membicarakan ruang

lingkup keuangan negara dari aspek yuridis. Ruang lingkup keuangan

negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No 17 Th 2003 Tentang

Keuangan Negara yaitu

1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan

mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

62

3. Penerimaan negara;

4. Pengeluaran negara;

5. Penerimaan daerah;

6. Pengeluaran daerah;

7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh

pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak

lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerincahan dan/atau kepentingan umum;

9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas

yang diberikan pemerintah.

Ruang lingkup keuangan negara tersebut di atas dikelompokkan ke

dalam tiga bidang pengelolaan yang bertujuan untuk memberi

pengklasifikasian terhadap pengelolaan keuangan negara. Adapun

pengelompokan pengelolaan keuangan negara adalah:

1. Bidang pengelolaan pajak;

2. Bidang pengelolaan moneter;

3. Bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

Selain itu, ruang lingkup keuangan negara berdasarkan Pasal 2

huruf g UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara menimbulkan

kerancuan dari aspek yuridis. Kerancuan itu dapat dikategorikan sebagai

suatu hal yang menyimpang apabila dilakukan pengkajian dan

63

penelusuran peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Pasal 2 huruf

g UUKN yang menegaskan kekayaan negara/kekayaan daerah yang

dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang

barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk

kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

Ketentuan ini tidak mengikat secara yuridis tatkala dikaitkan

dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang

Badan Usaha Milik Negara (UUBUMN) bahwa perusahaan persero, yang

selanjutnya disebut persero adalah badan usaha milik negara yang

berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang

seluruh atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara

Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

Kemudian, Pasal 4 ayat (1) UU BUMN yang menegaskan modal badan

usaha milik negara merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang

dipisahkan. Sementara itu, penjelasannya menentukan bahwa yang

dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari

anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan

modal negara pada badan usaha milik negara untuk selanjutnya

pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem

anggaran pendapatan dan belanja negara, namun pembinaan dan

pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Di lain pihak, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2008 ten tang Perseroan Terbatas (UUPT), menegaskan bahwa perseroan

64

terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang

merupakan persekutuan modal, yang didirikan berdasarkan perjanjian,

melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi

dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-

undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Kemudian, Pasal 7 ayat (4)

UUPT yang menegaskan perseroan memperoleh status badan hukum

pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan

badan hukum perseroan.

Berdasarkan ketentuan, baik dalam UUBUMN maupun UUPT,

badan usaha milik negara merupakan badan hukum perseroan yang

pengesahannya dilakukan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia serta tunduk pada hukum privat. Di samping itu, badan

usaha milik negara memiliki kekayaan terpisah dengan kekayaan negara

maupun pemegang saham (pemilik), direksi (pengurus), dan komisaris

(pengawas). Meskipun negara memiliki saham paling sedikit 51% ketika

terdapat piutang pada badan usaha milik negara karena akibat dari

perjanjian yang dilakukan selaku entitas perusahaan, hak tersebut tidak

boleh dikelompokkan sebagai piutang negara sebagai konsekuensi

pemisahan kekayaan negara mengingat badan usaha milik negara tersebut

telah memiliki kekayaan tersendin bukan merupakan kekayaan negara

dalam kategori sebagai keuangan negara. Hal ini dimaksudkan agar

mekanisme pengelolaan, termasuk pengurusan piutang badan usaha milik

negara, dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat dan

65

tidak boleh mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Badan hukum publik dan privat memiliki perbedaan secara

prinsipil dalam pengelolaan keuangannya. Badan hukum publik dalam

mengelola keuangannya tunduk pada hukum publik, sedangkan badan

hukum privat dalam mengelola keuangannya tunduk pada hukum

privat.46 Sebagai contoh, negara sebagai badan hukum publik dalam

mengelola keuangannya tunduk pada peraturan yang terkait dengan

keuangan negara. Sementara itu, badan usaha milik negara sebagai

persero dalam mengelola keuangannya tunduk pada hukum perdata yang

terkait dengan harta kekayaan yang dimilikinya.

Demikian pula pada Pasai 2 huruf i UUKN ditegaskan bahwa kekayaan

pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh

negara. Ketentuan ini mengandung makna bahwa kekayaan pihak swasta,

tatkala memperoleh fasilitas dari negara, merupakan pula keuangan negara.

Ketika pihak swasta yang memperoleh fasilitas dari negara dalam pergaulan

hukum menimbulkan kerugian dan bahkan dinyatakan pailit, berarti negara

wajib bertanggang jawab atas beban.

Tatkala substansi UUD 1945 hasil amandemen yang terkait

dengan "hal keuangan" ditelusuri, terlihat bahwa hukum keuangan negara

memiliki kaidah hukum yang tertulis, yang berarti tidak mengenal

keberadaan kaidah hukum tidak tertulis. Bila demikian halnya, kaidah 464 Soeria Arifin Atmaja , 2009, Keuangan publik dalam Perspektif Hukum Teori, Kritik, dan Praktek, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 125

66

hukum tertulis seyogianya dimunculkan dalam suatu rumusan atau

pengertian terhadap hukum keuangan negara. Hukum keuangan negara

adalah sekumpulan kaidah hukum tertulis yang mengatur hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk uang dan

barang milik negara terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

tersebut.

Rumusan hukum keuangan negara tersebut sangat terkait dengan

pengertian keuangan negara yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN). Adapun pengertian

keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat

dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun

berupa barang yang dapat dijadikan milik negara yang berkaitan dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian keuangan negara

memiliki substansi yang dapat ditinjau dalam arti luas maupun dalam arti

sempit. Keuangan negara dalam arti luas mencakup: a) anggaran

pendapatan dan belanja negara; b) anggaran pendapatan dan belanja

daerah; dan c) keuangan negara pada badan usaha milik negara/badan

usaha milik daerah. Sementara itu, keuangan negara dalam arti sempit

hanya mencakup keuangan negara yang dikelola oleh tiap-tiap badan

hukum dan dipertanggungjawabkan masing-masing.

Berdasarkan konsep tersebut, pertanggungjawaban keuangan

negara merupakan konsekuensi logis dari kesediaan pemerintah

melaksanakan APBN yang telah disetujui oleh DPR. Dalam hal

67

pengelolaan keuangan negara atau APBN, pertanggungjawaban keuangan

negara dituangkan ke dalam Perhitungan Anggaran Negara sebagai kuasa

dari DPR kepada pemerintah memberikan dasar yang kuat yang berhak

menerima pertanggungjawaban keuangan negara adalah DPR. Secara

teoritis, hal ini tidak bertentangan dengan sistem Undang-Undang Dasar

Negara RI Tahun 1945 dimana kedaulatan sepenuhnya terletak pada

MPR.

Sementara itu pengaturan keuangan negara yang singkat dalam

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 mengandung muatan

masalah yuridis terhadap definisi keuangan negara, sehingga membuat

penafsiran yang berbeda-beda terhadap definisi tersebut. Namun dalam

kerangka teoritis hukum keuangan negara, berdasarkan Pasal 23 ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 jo. Pasal 23 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang dimaksud sebagai

keuangan negara adalah yang ditetapkan dalam Undang-Undang APBN.

Dengan dasar pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa keuangan

negara adalah APBN.

Secara konsepsional, sebenarnya definisi keuangan negara bersifat

platis dan tergantung pada sudut pandang. Sehingga apabila berbicara

keuangan negara dan sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara

adalah APBN. Sementara maksud keuangan dalam pemerintah daerah

yang dimaksud dengan keuangan merupakan APBD, demikian juga

dengan badan usaha milik negara dalam perusahaan jawatan, perusahaan

68

umum, dan perseroan terbatas. Dengan demikian, berdasarkan konsep

hukum keuangan negara tersebut, definisi keuangan negara dalam arti

luas meliputi APBN, APBD, keuangan negara pada semua badan usaha

milik negara. Akan tetapi definisi keuangan negara dalam arti sempit,

hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan

mempertanggung jawabkan. Perubahan materi muatan Pasal 23 Undang-

Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang ditetapkan oleh MPR dalam

perubahan ke 3 Undang-Undang Dasar Negara Rl Tahun 1945 menjadi

pembukuan kerumitan dalam pengaturan keuangan negara apabila

mendasarkan pada kerangka konsepsi hukum keuangan negara. Materi

muatan dalam perubahan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara RI

Tahun 1945 sangat tidak sesuai substantifnya serta cenderung

mengabaikan segi filosofis, yuridis dan sosiologis materi muatan suatu

Undang-Undang dasar. Ketidaksempurnaan hukum keuangan negara

telah mengesampingkan esensi dari kemandirian badan hukum otonomi

daerah. Hal ini disebabkan semua keuangan dalam APBD dan BUMN

serta BUMD disebut sebagai keuangan Negara. Padahal sangat jelas

dinyatakan bahwa ketentuan Perundang-undangan, pengelolaan dan

pertanggung jawaban keuangan tersebut berbeda dengan APBN sebagai

keuangan Negara.

Perubahan materi muatan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara

RI Tahun 1945 yang ditetapkan oleh MPR dalam Perubahan Ketiga

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menjadi pembuka

69

kerumitan dalam pengaturan keuangan negara apabila mendasarkan pada

kerangka konsepsi hukum keuangan negara. Materi muatan dalam

Perubahan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sangat

tidak memenuhi kadar ilmiah dari segi substansinya dan cenderung

mengabaikan segi filosofis, yuridis, dan sosiologis materi muatan suatau

undang-undang dasar, serta tidak memahami nilai historis yang

terkandung di dalamuya. Sebagai suatu contoh Pasal 23 ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan "APBN sebagai

perwujudan dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan tiap-tiap

tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan

bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" hanya

merupakan kalimat retorik yang tidak memenuhi segi filosofi anggaran.

Hal ini disebabkan APBN bukan sekedar perwujudan pengelolaan

keuangan negara, tetapi merupakan wujud kedaulatan rakyat yang

tercermin pada hak budget DPR.

Imperfektivitas atau ketidaksempurnaan hukum keuangan negara

Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 telah

mengesampingkan esensi kemandirian badan hukum dan otonomi daerah.

Hal ini disebabkan semua keuangan dalam APBD dan BUMN serta

BUMD disebut sebagai keuangan Negara. Padahal sangat jelas dan nyata

dari sudut sistern maupun ketentuan peraturan perundang-undangan,

pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan tersebut berbeda dengan

APBN sebagai keuangan negara.

70

Dengan demikian, secara tegas dari segi yuridis, dari kedudukan dan

fungsinya sangat berbeda antara keuangan negara, keuangan daerah maupun

keuangan BUMN dan BUMD. Pembedaan ini pun mempunyai implikasi

konsekuensi yuridis terhadap ruang lingkup dan kewenangan lembaga dan badan

yang melakukan manajemen pengawasan dan pemeriksaan keuangan terhadapnya.

Tentu tidak semua lembaga pemeriksa atau pengawas dalam lingkungan pemerintah

pusat atau pemerintah daerah maupun yang berada di luar pemerintah, mempunyai

kewenangan untuk melakukan pemeriksaan maupun pengawasan terhadap masing-

masing keuangan badan hukum tersebut. Demikian pula antara status badan hukum

publik dan badan hukum privat yang berbeda pengelola sebagai badan hukum privat,

berbeda dengan keuangan pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagai badan

hukum publik.

2.2. Dasar Wewenang DPR Dalam Penetapan APBN

Teori Trias Politika ini menghendaki pembagian kekuasaan dalam

tiga bidang pokok yang berdiri sendiri, lepas dari kekuasaan lainnya, dan

mempunyai satu fungsi saja yaitu :

a. Kekuasaan legislatif : membentuk Undang-Undang

b. Kekuasaan Eksekutif : menjalankan Undang-Undang atau

pemerintahan

c. Kekuasaan yudikatif : berfungsi peradilan

71

Pada prinsipnya tujuan teori trias politika adalah upaya membatasi kekuasaan

penguasa sehingga menjamin kemerdekaan dan menghindari rakyat dari keserakahan

penguasa. Menurut Montesqueu setiap penggabungan kekuasaan pada satu tangan

akan melahirkan kesewenang-wenangan oleh karena itu harus dipecah-pecahkan dan

dibagi-bagikan dalam beberapa tangan. Hal ini ditandaskan oleh K.C. Wheare47

bahwa :

This while a Constitution may establish the principal institution of

government such as the houses of the legislature, an executive council and a supreme

court,it is often leftto the ordinary law to prescribe the composition and mode of

appointment of these bodies.

Menurut Adam Smith sebagaimana dikutip A. Sonny Keraf, 48

pemisahan dan kemerdekaan itu perlu karena :

a. Kekuasaan Eksekutif cenderung korup atau tidak adil. Sejauh kekuasaan pemerintah berada ditangan satu orang atau satu lembaga saja, ada kemungkinan sangat besar bahwa ia akan menyalah gunakannya, karena tidak ada kekuasaan lain yang cukup untuk mengontrolnya.

b. Jika tidak ada pemisahan kekuasaan, kekuasaan eksekutif cenderung menjadi sangat kuat dan karena sulit sekali untuk menjamin adanya kebebasan bagi warga negaranya. Betapapun baiknya oknum pemerintahan, tidak punya kepentingan pribadi. Karena itu sangat mungkin mereka tidak melakukan ketidakadilan, bahkan tanpa disadarinya.

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menganut juga teori

trias politika dalam arti pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan

dalam arti materiil, sehingga adanya pembagian kekuasaan diharapkan

pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance) dapat terwujud. 47K.C. Wheare, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, New York

Toronto.hal 348A. Sonny Keraf, 1996, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah, Kanisius,

Yogyakarta, Hal 189-190.

72

Dengan perubahan UUD 1945 mempertegas konsep Negara hukum dan

mencantumkannya dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD Negara RI 1945 ; Negara

Indonesia adalah Negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah

Negara yang menempatkan hukum sebagai panglima didalam mengatur

kehidupan masyarakat Indonesia.

Mengacu pada konsep Negara hukum yang dikemukakan oleh

M.C. Burkens, ada empat unsur Negara hukum (rechsstaat), 49 yaitu :

1. Asas legalitas. Setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, undang-undang dalam arti formil dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan undang-undang merupakan bagian penting Negara hukum.

2. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan Negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.

3. Hak-hak dasar (Grondrechten) merupakan sasaran perlindungan dari pemerintah terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang.

4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintahan “rechtmatigeheidsoetsing”.

Sejalan dengan itu, A.V. Dicey mengemukakan prinsip-prinsip

Negara hukum (rule of law) yang lahir dalam naungan system hukum

Anglo Saxon :

1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu

tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absente of arbitrary

power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau

melanggar hukum.

49 Yohanes Usfunan, 1998, Kebebasan Berpendapat di Indonesia (Disertasi) Dalam Meraihgelar Doktor pada Program Pascasarjana UNAIR, Surabaya.

73

2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equity before

the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk

pejabat.

3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan

pengadilan. 50

Pada prinsipnya pendapat diatas adalah sama, setiap tindak

pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan

(Wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, undang-undang dalam arti

formil dan Undang–Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar

tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan undang-undang

merupakan bagian penting Negara hukum. Setiap kebijakan Negara dan

pemerintah dapat digugat oleh setiap orang atau warga Negara manakala

terjadi penyimpangan atau pelanggaran hukum terhadap hak-hak warga

Negara yang dijamin konstitusi.

Dalam sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia, pernah

dikeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk

Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan

Undang-Undang Dasar 1945.

Salah satu tujuan dikeluarkannya ketetapan tersebut, terjadi

kesemrawutan dalam penggunaan peraturan nerundang-undangan.

50 Ibid, hal 20

74

Misalnya saja keberadaan Penetapan Presiden dan peraturan Presiden.

Kedua peraturan perundangan tersebut mengatur materi yang sama

dengan materi undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Demikian juga

Peraturan-Peraturan Pemerintah, yang seharusnya sebagai peraturan

pelaksana dari Undang-Undang kenyataannya merupakan peraturan

pelaksana dari Peraturan Presiden.

Tumpang tindih peraturan perundang-undangan demikian

menimbulkan berbagai kerancuan terhadap materi muatan, tata urutan,

sumber hukum serta fungsi peraturan perundang-undangan.

Penertiban terhadap kerancuan peraturan perundang-undangan

hukum itulah yang menjadi agenda utama dikeluarkannya Ketetapan

MPRS No. XIX/MPRS/1966. Bentuk peraturan perundang-undangan

yang akan ditinjau kembali adalah Penetapan Presiden, Peraturan

presiden, Undang-Undang, dan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-

Undang. Peninjauan ini didasarkan atas alasan, bahwa adanya peraturan

perundang-undangan yang tidak mempunyai dasar hukum daiam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun isinya

tidak sesuai dengan atau bertentangan dengan isi Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menindaklanjuti hal ini maka

Presiden dilarang untuk mengeluarkan Penetapan Presiden dan Peraturan

Presiden. Penetapan Presiden yang sudah terlanjur dikeluarkan, yang

materinya sudah tidak sesuai dengan keadaan, dinyatakan tidak berlaku

75

atau dicabut dan yang materinya masih relevan, diubah dan diganti

dengan Undang-Undang.

Peraturan Presiden juga mengalami hal yang sama, bedanya hanya

pada prosedur penggantian atau pencabutannya yaitu dicabut dan diganti

dengan peraturan pemerintah.

Bersamaan dengan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966,

dikeluarkan pula Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang

Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tata tertib Hukum Republik

Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.

Ketetapan MPRS ini dinyatakan masih berlaku oleh Ketetapan Nomor

V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk yang Berupa Ketetapan-

Ketetapan MPRS Republik Indonesia jo. Ketetapan MPR Nomor

IX/MPR/1978 tentang perlunya penyempurnaan yang termaktub dalam

Pasal 3 Ketatapan MPR Nomor V/MPR/1973.

Pada Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/I966 dapat dilihat

bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan antara lain:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan MPR;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden;

7. Peraturan Pelaksana Lainnya seperti:

76

a. Peraturan Menteri;

b. Instruksi Menteri;

c. Dan lain-Iain.

Dengan keluarnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tantang

Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan, Ketetapan MPRS

Nomor XX/MPRS/1966 tersebut dinyatakan tidak berlaku. Dari materi

Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tersebut, ditemukan beberapa

bentuk peraturan perundang-undangan yang urutannya sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan MPR RI;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

5. Peraturan pemerintah;

6. Keputusan Presiden;

7. Peraturan Daerah.

Bentuk dan hirarkhi Peraturan Perundang-undangan tersebut di

atas tentu saja juga menjadi sumber hukum tata negara. Berdasarkan

hirarkhi di atas, dalam pasal 4 ayat (2) TAP MPR No.III/MPR/2000 itu

menentukan: "Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Menteri,

Bank Indonesia, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang

dibentuk oleh pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan

yang termuat dalam tata urut peraturan perundang-undangan ini. Apabila

rumusan pasal 4 ayat (2)TAP MPR NO III/MPR/2000; ini dibaca secara

77

harfiah, maka di dalamnya dapat dikatakan mengandung dua norma

sekaligus, yaitu: pertama, segala peraturan yang ditetapkan oleh

Mahkamah Agung, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga atau komisi

yang setingkat yang dibentuk oleh pemerintah, tidak boleh bertentangan

dengan ketentuan yang termuat dalam tata urut peraturan perundang-

undangan tersebut. Kedua, segala keputusan yang dibuat oleh badan-

badan atau lembaga tersebut tidak boleh bertentangan dalam ketentuan

yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut.51

Ketetapan MPR tersebut di atas sepertinya menyamakan saja

antara pengertian 'ketetapan' dan 'keputusan' sehingga menimbulkan

kerancuan. Apabila kita memahami arti peraturan (regels) dan keputusan

(beschiking), maka ketentuan pasal 4 ayat (2) tersebut tidaklah bersifat

paralel, dan karena itu tidak dapat pula ditafsirkan mengandung kedua

norma itu secara paralel pula. Jika kedua norma tersebut dipahami

bersifat paralel, tentu dapat menimbulkan masalah, misalnya, dikatakan

bahwa, "Keputusan Mahkamah Agung tidak boleh bertentangan dengan

Peraturan Pemerintah ataupun dengan Keputusan Presiden. Padahal

istilah keputusan Mahkamah Agung itu selama ini mempunyai pengertian

yang terkait dengan putusan atau vonis kasasi Mahkamah Agung. Adalah

malapateka yang luar biasa jika ketentuan pasal 4 ayat (2) TAP MPR

tersebut di atas diartikan demikian.

51

5

Morissan, 2006,Hukum Tata Negara RI Era Reformasi Penerbit Ramadina Prakasa Jakarta hal 33 .

78

Penggunaan istilah hukum atau nomenklatur hukum ini harus

ditertibkan terlebih dahulu untuk mengatasi kekisruhan dan kemungkinan

salah pengertian di masa depan. Untuk produk yang bersifat mengatur

(regeling) yang berisi aturan hukum (regels) sebaiknya digunakan

nomenklatur atau istilah peraturan yang berasal dari kata “atur”,

“mengatur”, “aturan”, dan “peraturan”. Sedangkan penetapan-penetapan

yang bersifat administratif dapat disebut dengan kata “keputusan” yang

bersifat administratif atau dalam bahasa Belanda disebut dengan

Beschiking.

Pembedaan antara keputusan (administratif) dan peraturan ini

harus terus dilakukan secara konsisten, mulai dari tingkatan yang

tertinggi hingga yang terendah. Peraturan yang tertinggi adalah Undang-

undang Dasar, di bawahnya adalah Undang-undang dan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang. Pada level presiden terdapat dua

bentuk peraturan yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden

yang sebaiknya dibedakan dengan Keputusan Presiden, Demikian pula di

tingkat provinsi, harus dibedakan antara Peraturan Daerah. Peraturan

Gubernur, dan Keputusan Gubernur, serta Peraturan Daerah dan

Peraturan Bupati/Walikota dan Keputusan Bupati/Walikota.

Dari uraian tersebut di atas maka tata urutan peraturan perundang-

undangan (yang juga menjadi sumber hukum tata negara) harus

dibedakan antara peraturan yang bersifat umum dan peraturan yang

bersifat khusus:

79

1. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat umum:

a) Undang-undang Dasar dan Perubahan Undang-undang Dasar

b) Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang (Perppu) serta peraturan lain yang setingkat

dengan undang-undang. yaitu ketetapan-ketetapan

MPR/MPRS yang bersifat mengatur (regels).

c) Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden

d) Peraturan Menteri atau pejabat setingkat menteri.

e) Peraturan Daerah Provinsi

f) Peraturan Gubernur

g) Peraturan Daerah Kabupaten/kota

h) Peraturan Bupati/Walikota

2. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus

a) Peraturan lembaga negara (lembaga tinggi negara) setingkat

presiden:

i. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat

ii. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah

iii. Peraturan Mahkamah Agung

iv. Peraturan Mahkamah Konstitusi

v. Peraturan Komisi Yudisial vi. Peraturan Badan Pemeriksa

Keuangan

b) Peraturan lembaga pemerintah yang bersifat khusus

(inpenden)

80

i. Peraturan Bank Indonesia

ii. Peraturan Kejaksaan Agung

iii. Peraturan Tentara Nasional Indonesia.

iv. Peraturan Kepolisian Republik Indonesia,

c) Peraturan lembaga-lembaga khusus yang bersifat independen

i. Peraturan Komisi Pemilihan Umum

ii. Peraturan Pemberantasan Korupsi

iii. Peraturan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia

iv. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia

v. Peraturan Pusat Pelaporan dan Analisa Trankasi Keuangan

vi. Peraturan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

vii. Dan sebagainya.

Perbedaan yang tegas antara peraturan dan keputusan atau antara

peraturan perundang-undangan dan keputusan administratif adalah sangat

penting. Peraturan perundang-undangan berisi norma-norma yang

bersifat abstrak dan umum serta dapat menjadi obyek 'judicial review',

sedangkan keputusan berisi norma yang bersifat konkrit dan individual

dan hanya dapat dijadikan obyek peradilan tata usaha negara. Disamping

itu, pembedaan antara peraturan umum dan peraturan khusus juga

penting karena peraturan umum tidak boleh melanggar prinsip hirarkhi

norma sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan yang

ditentukan; sedangan peraturan khusus tunduk pada prinsip lex spesialis

81

derogate lex generails, yaitu norma hukum yang bersifat khusus yang

dapat mengabaikan norma hukum yang bersifat umum.

Dalam hubungan dengan pengertian undang-undang dalam arti

material dan undang-undang dalam arti formal, perlu dipahami

perbedaannya dengan undang-undang material dan undang-undang

formal. Oleh karena dari sudut tata hukum dikenal adanya undang-

undang formal tidak material, undang-undang formal yang material,

undang-undang tidak formal tetapi material, dan undang-undang tidak

formal dan juga tidak material.

Adapun yang dimaksud dengan undang-undang formal tidak material

adalah peraturan yang terbentuknya dengan persetujuan DPR dan pengesahan

pemerintah (presiden), tetapi isinya tidak langsung mengikat penghidupan

rakyat. Misalnya adalah undang-undang tentang APBN dan undang-undang

tentang ratifikasi perjanjian dengan negara lain.

Undang-undang tidak formal tetapi material adalah peraturan yang

terbentuk tidak dengan persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah,

misalnya yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah, akan tetapi isinya

langsung mengikat penghidupan rakyat. Ini termasuk dalam pengertian

peraturan perundang-undangan.

Undang-undang formal yang material adalah undang-undang yang

dibentuk atas persetujuan DPR dan disahkan oleh Presiden, yang isinya

mengikat rakyat. Sedangkan undang-undang yang tidak formal dan tidak

82

material ialah yang isinya sama sekali tidak langsung mengikat

penghidupan rakyat.

Seperti halnya batasan tentang hukum, batasan mengenai

peraturan perundang-undangan pun ada berbagai pendapat. Bagir manan

dan Kuntara Magnan52 memberikan pengertian peraturan perundang-

undangan ialah setiap putusan tertulis yang dibuat, diterapkan dan

dikeluarkan oieh lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai

(menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.

Sigler.A.Jay53 menyatakan bahwa ; Departemental and Agency Initiatives. Departments and agencies are the most important sources of policy development in many fields Their legal authority to establish policy is twofold. The departments and agencies shape much of the important legislation proposed in congress. Executive officials often write the legislation. Agencies and departments moreover, make rules and regulations with the force of law and adjudicate cases which arise from their own rules and regulations. Executive agencies and regulatory boardr thus combine characteristies of legislative bodies, courts and even of interest group.(Departemen dan Instansi merupakan sumber yang paling penting dalam menetapkan kebijakan pada banyak bidang pembangunan Kewenangan hukum dalam menetapkan kebijakan ada dua. Departemen dan Instansi lembaga banyak membentuk Undang-undang yang penting diajukan dalam Kongres.Pejabat Eksekutif menulis Undang-Undang. Lembaga dan departemen selain itu dapat membuat aturan dan peraturan dengan kekuatan hukum dan mengadili kasus yang timbul dari aturan dan peraturannya.Lembaga Eksekutif dan Dewan pengatur peraturan undang-undang).

Rasanya agak sulit untuk menetapkan batasan mana yang paling

baik, yang jelas bahwa dari batasan dan pengertian peraturan perundang-

525 Bagir manan dan Kuntara Magnar, 1987, Peranan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, Bandung, hal. 13.

53Jay ASigler., 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books D.C Heath and Company Lexington, Massaehusetts Toronto, Hlm.15.

83

undangan sebagaimana dirumuskan di atas, dapat diidentifikasikan sifat-

sifat atau ciri-ciri dari suatu peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Peraturan perundang-undangan berupa keputusan tertulis. Jadi mempunyai bentuk atau format tertentu,

2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik di tingkat pusat maupun daerah. Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku, baik berdasarkan atribusi dan delegasi;

3. Peraturan perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingkah laku. Jadi, peraturan perundang-undangan bersifat mengatur (regulerend), tidak bersifat sekali jalan (enmahlig);

4. Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum (karena ditujukan kepada umum), artinya tidak ditujukan kepada seseorang atau individu tertentu (tidak bersifat individual)54

Kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif merupakan rekan

kerja bagi DPR, yang artinya presiden bekerja sama dengan DPR dalam

tugas legilstif, yaitu:

a. Membuat undang-undang, sebagaimana ketentuan Amandemen

UUD 1945 pasal 5 ayat 1: "Presiden berhak mengajukan

rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat."

Dan pasal 20 ayat 2: "Setiap rancangan undang-undang dibahas

oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden untuk mendapat

persetujuan bersama.

b. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pasal 23 ayat 2 menyatakan: "Rancangan undang-undang APBN

diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama dengan Dewan

Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan

545 Jimlly Asshiddiqqie2002 Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat FH UI Jakarta hal 41

84

Perwakilan Daerah." Dalam hal ini apabila DPR tidak

menyetujui rancangan APBN yang disulkan presiden maka

pemerintah menjalankan APBN tahun lalu.

Pasal 5 dan Pasal 23 tersebut memberikan pengertian bahwa

Amandemen UUD 1945 memberikan kekuasaan membuat APBN kepada

presiden untuk mendapat persetujuan bersama dengan DPR, dengan

demikian RUU APBN akan selalu datang dari presiden. Sedangkan

kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR untuk

mendapat persetujuan bersama dengan pemerintah, dengan demikian

inisiatif dan materi RUU akan datang pertama kali dari DPR.

Dalam ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen hak yang

dimiliki DPR dibandingkan dengan kewenangan utama membentuk

undang-undang yang dimiliki oleh presiden, memang dapat dikatakan

tidak seimbang. Hal ini terlihat jelas dalam hal pembentukan Peraturan

Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (Perpu). Pada ketentuan

lama, presiden diberi hak dan wewenang oleh UUD untuk menetapan

Perpu dan memberlakukannya selama satu tahun tanpa memerlukan

persetujuan DPR. Sedangkan dalam hal RUU yang diprakarsai oleh DPR

dan telah disahkan oleh DPR dapat ditolak presiden apabila presiden

tidak menyetujui RUU tersebut.

Bahkan lebih jauh lagi, dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan sebelum Amandemen UUD 1945, ada yang disebut sebagai

policy rules (beleidregels) yang dianggap dengan sendirinya berada di

85

tangan presiden yang dalam praktek tercerminkan dalam kewenangannya

untuk mengeluarkan Keputusan Presiden yang bersifat mandiri dalam arti

tidak dalam rangka melaksanakan perintah undang-undang. Dalam

praktek selama pemerintahan Orde Baru, justru jenis-jenis Keputusan

Presiden seperti ini banyak sekali jumlahnya, termasuk sebagian besar di

antaranya sesungguhnya memuat materi yang seharusnya dituangkan

dalam bentuk Undang-undang. Jimly Asshiddiqie55 menilai gejala ini

biasa disebut sebagai gejala Government by Keppres. Oleh karena itu

dapat dimengeri mengapa ketentuan pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1)

UUD 1945 perlu diubah menjadi rumusan sebagaimana perubahan

pertama UUD 1945. Perubahan ini menggambarkan telah terjadinya

pergeseran dalam penyelenggaraan kekuasaan legislatif dari presiden ke

lembaga DPR.

Namun demikian, untuk menyerahkan tugas legislasi sepenuhnya

kepada DPR adalah tidak realistis, karena legislasi itu sebagian terbesar

lebih bersifat teknis yang membutuhkan peran pemerintah. Bahkan

dewasa ini, makin disadari bahwa kekuasaan untuk membuat undang-

undang cenderung terus berkembang semakin teknis sifatnya, sedangkan

fungsi pengawasan dan pengendalian yang lebih bersifat politis

cenderung dianggap makin penting dalam upaya membangun citra

parlemen yang efektif untuk menggambarkan kesederajatannya dengan

pihak pemerintah. Karenanya Amandemen UUD 1945 mensyaratkan 55 Ibid.hal53

86

adanya kerjasama DPR dan pemerintah dalam menyusun suatu RUU

walaupun kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR.

Amandemen Pasal 20 UUD 1945 sebenarnya tidak membawa

perubahan apa-apa karena pada dasarnya setiap undang-undang harus

dibahas bersama dan harus mendapat persetujuan bersama antara DPR

dan Presiden. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan DPR

memegang kekuasaan membentuk undang-undang sepertinya tanpa

makna. Memegang kekuasaan seharusnya berarti dapat 'memaksakan

kehendak' atau berhak menentukan 'ya' atau 'tidak' sebagaimana yang

terjadi pada negara yang menganut sistem presidensil murni (seperti

Amerika Serikat) tetapi dalam hal ini, DPR tidak memiliki kekuasaan

untuk memaksakan pemberlakuan suatu undang-undang karena adanya

ketentuan persetujuan bersama tersebut.

Dalam sistem presidensil murni, pihak pemerintah (eksekutif)

tidak perlu ikut campur mengurusi undang-undang. Pembuatan undang-

undang merupakan sepenuhnya kekuasaan legislatif. Dasar filosofis

ketentuan ini dapat dianalogikan seperti sebuah perusahaan, dimana

pemilik perusahaanlah yang mengeluarkan aturan kerja di perusahaan

tersebut dan bukan pegawainya. Jika pegawai yang membuat aturan tentu

ia akan membuat aturan yang hanya menguntungkan diri mereka saja.

Jika si pegawai tidak suka dengan aturan itu maka ia dipersilahkan

mundur dari perusahaan itu. Namun tentu saja pemilik perusahaan dapat

menerima masukan dari pegawai soal peraturan itu, namun pegawai

87

hanya sekedar menyarankan bukan memegang peran yang sama penting

dengan pemilik. Pasal 20 UUD 1945 menempatkan pegawai (dalam hal

ini pemerintah) dan pemilik perusahaan (dalam hal ini DPR) dalam posisi

yang sejajar.

Perlu pula dipahami dengan tepat berkenaan dengan pengertian

persetujuan bersama antara DPR dan presiden dalam pembahasan suatu

RUU. Bagaimanakah sebenarnya bentuk pelaksanaan dari prinsip

persetujuan bersama itu dalam praktek Apakah persetujuan bersama itu

hanya dilakukan dalam persidangan atau bisa pula bersifat institusional

dalam arti persetujuan antara pemerintah dengan pimpinan DPR saja

Menurut Jimly Asshiddiqie yang dimaksud dengan istilah bersama-sama

adalah dalam persidangan bersama-sama antara pihak pemerintah dan

DPR.56 Pertanyaan yang perlu diajukan disini adalah apakah metode

untuk mencapai persetujuan bersama itu termasuk juga dengan jalan

pemungutan suara (voting) ataukah hanya melalui musyawarah dan

mufakat.

Jimly Asshiddiqie menilai pengertian persetujuan bersama ini

tidak berarti bahwa setiap RUU yang akan disetujui itu harus dapat

memuaskan kedua belah pihak. Dalam sistem demokrasi proses

pengambilan keputusan memang harus dihadiri bersama tetapi

keputusan yang diambil tidak berarti harus menyenangkan semua orang.

Sudah sewajarnya ada take and give dan bahkan ada yang kalah dan ada

565 Ibid, hal 38

88

yang menang. Dalam hal terjadi voting terhadap suatu RUU maka akan

terjadi dua hal; pertama, voting memenangkan RUU versi pemerintah

dan partai pendukung pemerintah; kedua, voting memenangkan RUU

versi partai oposisi.57

Berdasarkan UUD 1945 tampaknya hanya mengartikan persetujuan

bersama terhadap suatu RUU hanya dapat dicapai dengan kesepakatan

bersama (musyawarah/mufakat) tanpa harus melakukan pemungutan suara

(voting). Mekanisme voting memunculkan pihak menang dan kalah dan

dianggap tidak menggambarkan adanya persetujuan bersama. Jika terjadi

deadlock, dalam hal ini jika tidak tercapai persetujuan bersama. maka

rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan

Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

2.3 Landasan Yuridis Pengelolaan Keuangan Negara Dalam APBN

Landasan pengelolaan keuangan negara adalah Pasal 23C Undang

Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga: "hal-hal lain mengenai keuangan

negara ditetapkan melalui undang-undang". Berangkat dari landasan

konstitual itulah berbagai upaya dilakukan untuk dapat menghadirkan

Undang-undang Keuangan Negara. Tercatat 14 (empat belas) tim telah

dibentuk dengan tugas untuk menyusun RUU bidang Keuangan Negara

atau RUU tentang Perbendaharaan Negara. Ke-14 tim itu adalah:

NO TIM HASIL TAHUN

575 Ibid, hal 40

89

1 Panitia Achmad Natanegara

Konsep RUU Keuangan Republik Indonesia "UKRI"

1945-1947

2 Panitia Hermans Menyusun RUU Pokok tentang Pengurusan Keuangan Negara disingkat "UUPKN" (dalam bahasa Belanda)

1950-1957

3 Panitia Ahli Departemen Keuangan

Tidak menghasilkan konsep RUU

1959-1962

4 Panitia Ahli Departemen Keuangan dan Politisi

Tidak menghasilkan konsep RUU

1963-1965

5 Panitia Soedarmin Menyusun Konsep RUU tentang pengurusan Keuangan Negara

1969-1974

6 Panitia Gandhi Menyusun konsep RUU semula berjudul "Undang-undang tentang Cara Pengurusan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara" berubah menjadi "Undang-undang tentang Pengurusan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara", berubah menjadi "Undang-undang tentang Keuangan Negara" , berubah menjadi "Undang-undang tentang Pengurusan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara", dan akhirnya berubah menjadi "Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara"

1975-1983

7 Panitia Prof. Dr. Rochmat Soemitro

Panitia ini dibentuk oleh Departemen Kehakiman dan menyusun konsep RUU semula berjudul "Undang-undang

1983-1984

90

tentang Perbendaharaan Negara" kemudian menjadi "Undang-undang tentang Pokok-Pokok Perbendaharaan Negara"

8 Panitia Soegito Mengolah kembali RUU hasil panitia Gandhi yang kemudian diberi judul "Undang-undang tentang perbendaharaan Negara"

1984-1988

9 Tim Intern BadanPemeriksa Keuangan

Menyusun konsep RUU berjudul “Undang-undang tentang Keuangan Negara"

1990

10 Panitia Taufik Mengkaji ulang hasil Panitia Soegito dan hasilnya tetap diberi judul "Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara"

1989-1993

11 Tim Pengkajian dan Penyempurnaan RUU Perbendaharaan Negara

Mengkaji dan menyempurnakan RUU Perbendaharaan Negara hasil panitia Taufik dan tetap diberi judul "Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara", Namun hanya mengatur aspek pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran, yaitu sebagian dari siklus anggaran. Hal ini dilakukan karena RUU Perbendaharaan Negara ini rnerupakan bagian dari paket RUU bidang Keuangan Negara yang terdiri atas: a. RUU tentang Ketentuan

Pokok Keuangan Negara b. RUU tentang

Perbendaharaan Negara

1998-1999

91

12 Tim Counterpart RUU BPK

Menyusun RUU yang diberi judul "RUU tentang Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara"

1999

13 Tim Penyusunan RUU Ketentuan Pokok Keuangan Negara

Merupakan Tim Pemerintah bersama Badan Pemeriksa Keuangan berhasil menyusun kembali RUU hasil Tim Pengkajian dan Penyuempurnaan RUU Perbendaharaan Negara dan Tim RUU Bidang Keuangan Negara yang terdiri atas: a. RUU tentang Keuangan

Negara b. RUU tentang Perbendahara-

an Negara c. RUU tentang Pemeriksaan

Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan

Paket tersebut telah diajukan ke DPR

1999-2001

14 Komite Penyempurnaan Manajemen Keuangan

Melanjutkan tim Penyusunan RUU Ketentuan Pokok Keuangan Negara, dan telah menghasilkan UU Nomor 17Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

2001 -sekarang

Sumber: Prinsip Keuangan Negara, 200358

Hingga tahun 2003 yang lalu sebelum UU No.17/2003

diundangkan aturan yang berlaku untuk pengelolaan Keuangan Negara.

585 Syahruddin Rasul, 2003, Pengintegrasian Sistem akuntabilitas Kinerja dan Anggaran Dalam Perspektif UU No.17/2003 tentang Prinsip Keuangan Negara, Jakarta, hal. 41.

92

Perumusan keuangan negara menggunakan beberapa pendekatan,

yaitu:

1. Pendekatan dari sisi obyek;

2. Pendekatan dari sisi subyek;

3. Pendekatan dari sisi proses; dan,

4. Pendekatan dari sisi tujuan.

Dari sisi obyek Keuangan Negara akan meliputi seluruh hal dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, di dalamnya termasuk

berbagai kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal,

moneter dan atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain

itu segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat

dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

tersebut.

Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi negara, dan/atau

pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan

badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

Keuangan Negara dari sisi proses mencakup seluruh rangkaian

kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek di atas mulai dari

proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan

pertanggungjawaban.

Terakhir, keuangan negara juga meliputi seluruh kebijakan,

kegitan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/ atau

penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka

93

penyelenggaraan pemerintahan negara, pendekatan terakhir ini dilihat

dari sisi tujuan.

Dengan pendekatan sebagaimana diuraikan di atas, UU No.

17/2003 merumuskan sebagai berikut: Keuangan negara adalah "semua

hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala

sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan

milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

tersebut". (Pasal 1 huruf 1 UUNo. 17/2003).

Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut

diuraikan dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 meliputi:

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan

mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan

umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan Negara;

d. Pengeluaran Negara;

e. Penerimaan Daerah;

f. Pengeluaran Daerah;

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau

oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,

serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk

kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau daerah;

94

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam

rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau

kepentingan umum;

i.Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas

yang diberikan pemerintah.

Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas secara

ringkas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub

bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan

negara yang dipisahkan.

Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu:

a. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. Fungsi

pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi

penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, serta perkembangan

dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan

perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja

negara, pembiayaan, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan

perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama internasional dan

regional, penyusunan rencana pendapatan negara, hibah, belanja

negara dan pembiayaan jangka menengah, penyusunan statistik,

penelitian dan rekomendasi kebijakan di bidang fiskal,

keuangan, dan ekonomi.

b. Fungsi penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan,

perumusan, dan pelaksanaan kebijakan, serta perumusan standar,

95

norma, pedoman, kriteria, prosedur dan pemberian bimbingan

teknis dan evaluasi di bidang APBN.

c. Fungsi administrasi perpajakan.

d. Fungsi administrasi kepabeanan.

e. Fungsi perbendaharaan. Fungsi perbendaharaan meliputi

perumusan kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang

pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan

barang dan jasa instansi pemerintah serta akuntansi pemerintah

pusat dan daerah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran

negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan

pengeluaran, pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri,

pengelolaan piutang, pengelolaan barang milik/kekayaan negara

(BM/KN), penyelenggaraan akuntansi, pelaporan keuangan dan

sistem informasi manajemen keuangan pemerintah.

f. Fungsi pengawasan keuangan.

Sementara itu, bidang moneter meliputi sistem pembayaran,

sistem lalu lintas devisa, dan sistem nilai tukar. Adapun bidang

pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan meliputi pengelolaan

perusahaan negara/daerah.

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam

penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu

diselenggarakan secara professional, terbuka, dan bertanggung jawab

sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945.

96

Sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945

tersebut, UU No. 17/2003 menjabarkannya ke dalam asas-asas umum

yang telah lama dikenal dalam pengelolaan kekayaan negara, seperti asas

tahunan, asas universalitas, asas kesatuan dan asas spesialitas; maupun

asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-

kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain:

akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas,

keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan

keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan

pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan

pemerintahan. (Pasal 6 UU No. 17/2003)

Pada dasarnya Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang

kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari

kekuasaan pemerintahan. Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada

Menteri Keuangan yang kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan

wakil pemerintah dalam kepemilikan negara dalam kekayaan negara

yang dipisahkan. Sebagian kekuasaan lainnya diberikan kepada

menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang

lembaga/kementrian yang dipimpinnya.

Jika Presiden memiliki fungsi sebagai Chief Executive Officer

(CEO) maka Menteri Keuangan berperan dan berfungsi sebagai Chief

Financial Officer (CFO) sedangkan menteri/pimpinan lembaga berperan

97

sebagai Chief Operating Officers (COOs). Hubungan tersebut tergambar

seperti pada gambar berikut :

Delegasi Wewenang Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara

Pemisahan fungsi seperti di atas dimaksudkan untuk membuat

kejelasan dan kepastian dalam pembagian wewenang dan tanggung

jawab. Sebelumnya fungsi-fungsi tersebut belum terbagi secara tegas

sehingga seringkali terjadi tumpang tindih antar lembaga. Pemisahan ini

juga dilakukan untuk menegaskan terlaksananya mekanisme checks and

balances. Selain itu, dengan fokusnya fungsi masing-masing kementrian

atau lembaga diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme di dalam

penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah.

Menteri Keuangan dengan penegasan fungsi sebagai CFO akan

memiliki fungsi-fungsi antara lain:

1. Pengelolaan kebijakan fiskal;

2. Penganggaran;

3. Administrasi Perpajakan;

PRESIDENSebagai

ceo

MENTERI TEKNIS

Sebagai CFOcOo

MENTERI KEUANGAN

Sebagai COOScFo

98

4. Administrasi Kepabeanan;

5. Perbendaharaan (Treasury); dan

6. Pengawasan Keuangan.

Seperti halnya pemerintah pusat, pengelolaan keuangan daerah

juga menggunakan pendekatan pembagian fungsi yang tidak berbeda.

Gubernur/Bupati/Walikota akan memiliki fungsi sebagai pemegang

kekuasaan pengelolaan Keuangan Daerah atau CEO, dinas-dinas sebagai

COO, dan pengelola Keuangan Daerah sebagai CFO.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah

rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh

Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 1 angka 7, UU No. 17/2003). Merujuk

Pasal 12 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, APBN dalam

satu tahun anggaran meliputi:

a. Hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai

kekayaan bersih;

b. Kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang

nilai kekayaan bersih;

c. Penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran

yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang

bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui

rekening kas umum negara. (Pasal 12 ayat (2) UU No. 1/2004)

99

Tahun anggaran adalah periode pelaksanaan APBN selama 12

bulan. Sejak tahun 2000, Indonesia menggunakan tahun kalender sebagai

tahun anggaran, yaitu dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31

Desember. Sebelumnya, tahun anggaran dimulai tanggal 1 April sampai

dengan 31 Maret tahun berikutnya. Penggunaan tahun kalender sebagai

tahun anggaran ini kemudian dikukuhkan dalam UU Keuangan Negara

dan UU Perbendaharaan Negara (Pasal 4 UU No. 17/2003 dan Pasal 11

UU No. 1/2004).

Sebagaimana ditegaskan dalam Bagian Penjelasan UU No.

17/2003, anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan

ekonomi. Sebagai fungsi akuntabilitas, pengeluaran anggaran hendaknya

dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan hasil (result) berupa

outcome atau setidaknya output dari dibelanjakannya dana-dana publik

tersebut. Sebagai alat manajemen, sistem penganggaran selayaknya dapat

membantu aktivitas berkelanjutan untuk memperbaiki efektifitas dan

efisiensi program pemerintah. Sedangkan sebagai instrumen kebijakan

ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan

stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka

mencapai tujuan bernegara.55 Anggito Abimayu op cit hl 5

Merujuk Pasal 3 Ayat (4) UU No. 17/2003, APBN mempunyai

fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan

stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara

menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun

100

yang bersangkutan. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa

anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan

kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung

arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah

kegiatan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara

harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan

sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian.

Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara

harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi

mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk

memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental

perekonomian.

Struktur APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah, belanja

negara, keseimbangan primer, surplus/defisit, dan pembiayaan. Indonesia

telah mengubah komposisi APBN sesuai dengan standar statistik

keuangan pemerintah, Government Finance Statistics (GFS).

Pendapatan Negara dan Hibah. Penerimaan APBN diperoleh dari

berbagai sumber. Secara umum yaitu penerimaan pajak yang meliputi

pajak penghasilan (PPh), diatur dalam UU Nomor ;36 Tahun 2008 pajak

pertambahan nilai (PPN), diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pajak

Bumi dan Bangunan (PBB), diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1994

101

Pasal 18 Ayat (1) Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan

negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

dengan imbangan pembagian sekurang –kurangnya 90% (sembilan puluh

persen ) untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah

Tingkat I sebagai pendapatan daerah yang bersangkutan .

Ayat (2) Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) sebagian besar diberikan kepada Pemerintah

Daerah Tingkat II.

Ayat (3) Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak sebaimana

dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan

Pemerintah. Peraturan pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun

2000 Tentang Pembagian Hasil Penerima Pajak Bumi dan Bangunan

antara Pusat dan Daerah. Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 1997.

Pasal 23 ayat (1) Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen)

untuk Pemerintah Pusat dan 80%(delapan puluh persen) untuk

Pemerintah Daerah bersangkutan.

Ayat (2) Bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dibagi kepada seluruh Pemerintah Kabupaten /Kota secara

merata.

Ayat (3)Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dibagi dalam imbangan 20% (dua puluh persen) untuk

102

Pemerintah Provinsi yang bersangkutan dan 80%(delapan puluh persen)

untuk Pemerintah Kabupaten /Kota yang bersangkutan.

Cukai, dan Pajak lainnya, serta Pajak Perdagangan (bea masuk

dan pajak/pungutan ekspor) merupakan sumber penerimaan utama dari

APBN. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) meliputi

penerimaan dari sumber daya alam, setoran laba BUMN, dan penerimaan

bukan pajak lainnya, walaupun memberikan kontribusi yang lebih kecil

terhadap total penerimaan anggaran, jumlahnya semakin meningkat

secara signifikan tiap tahunnya. Berbeda dengan sistem penganggaran

sebelum tahun anggaran 2000, pada sistem penganggaran saat ini

sumber-sumber pembiayaan (pinjaman) tidak lagi dianggap sebagai

bagian dari penerimaan.

Dalam pengadministrasian penerimaan negara, departemen/

lembaga tidak boleh menggunakan penerimaan yang diperolehnya secara

langsung untuk membiayai kebutuhannya. Beberapa pengeculian dapat

diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.

Belanja Negara. Belanja negara terdiri atas anggaran belanja

pemerintah pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan

dana penyeimbang. Sebelum diundangkannya UU No. 17/2003, anggaran

belanja pemerintah pusat dibedakan atas pengeluaran rutin dan

pengeluaran pembangunan. UU No. 17/2003 mengintrodusing uniffied

budget sehingga tidak lagi ada pembedaan antara pengeluaran rutin dan

pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi

103

hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus . Sementara itu, dana

otonomi khusus dialokasikan untuk provinsi Daerah Istimewa Aceh dan

provinsi Papua.

Defisit dan Surplus. Defisit atau surplus merupakan selisih antara

penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran yang melebihi penerimaan

disebut defisit; sebaliknya, penerimaan yang melebihi pengeluaran

disebut surplus. Sejak TA 2000, Indonesia menerapkan anggaran defisit

menggantikan anggaran berimbang dan dinamis yang telah digunakan

selama lebih dari tiga puluh tahun.

Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu:

keseimbangan primer (primary balance) dan keseimbangan umum

(overall balance). Keseimbangan primer adalah total penerimaan

dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga. Keseimbangan

umum adalah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran

bunga.

Pembiayaan. Pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit

anggaran. Beberapa sumber pembiayaan yang penting saat ini adalah:

pembiayaan dalam negeri (perbankan dan non perbankan) serta

pembiayaan luar negeri (netto) yang merupakan selisih antara penarikan

utang luar negeri (bruto) dengan pembayaran cicilan pokok utang luar

negeri.

BAB III

WEWENANG DPR DALAM FUNGSI PENETAPAN APBN SESUAI

DENGAN PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI

3.1. Wewenang DPR Dalam Fungsi Penetapan Sesuai Dengan Prinsip

Demokrasi

Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa demokrasi yang

mensejahterakan rakyat yang saat ini menjadi tujuan bersama pasti tidak

akan membuka ruang sedikit pun bagi praktik-praktik korupsi yang

menyengsarakan rakyat. 59

Alam demokrasi menuntut berfungsinya secara tertib seluruh pilar

demokrasi dan perangkat hukum harus dapat berfungsi efektif.

Keseimbangan antara peran legislatif, eksekutif dan yudikatif harus

berjalan pada arah yang benar. Tak kalah pentingnya, penegakan hukum

harus konsisten dan tidak boleh pandang bulu. "Tata kelola pemerintahan

good governance harus berfungsi dengan baik dan kebebasan harus

berjalan bergandengan dengan rule of law. Seluruh pilar dan elemen itulah

yang dapat memastikan terpeliharanya kehidupan bernegara yang

demokratis, damai dan stabil.

Pada tingkat regional dan global, penyelesaian berbagai

permasalahan dan tantangan di abad ke-21 ini harus dijalankan secara

595 Susilo Bambang Yudhoyono,2010 Dalam Pidato Pembukaan BDF bertajuk : Dimokrasi Untuk Meningkatkan Perdamaian dan Stabilitas, Bali Post tanggal 10 Desember , hal. I

104

105

transparan dan demokratis. "Ketegangan yang terjadi dalam hubungan

internasional dewasa ini banyak yang disebabkan oleh adanya

ketidakpercayaan atau bahkan kesalahpahaman". Kerja sama antarkawasan

dalam tingkat regional maupun global seharusnya menganut prinsip-

prinsip demokrasi dan berkeadilan.

Sistem yang demokratis dan transparan sangat diperlukan juga pada

tingkat regional dan global. Hanya dengan menerapkan asas yang

berkeadilan, persamaan dan transparansi, maka perdamaian dan stabilitas

baik pada tingkat kawasan maupun global dapat diwujudkan dan dipelihara

bersama. "Salah satu dari esensi dari demokrasi adalah bagaimana kita

dapat memberdayakan seluruh elemen bangsa untuk meningkatkan harkat

dan martabat rakyat kita semua. Kita juga harus memastikan agar segenap

komponen bangsa dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi dan

pencapaian kesejahteraan bagi kita semua". Tidak ada formula yang baku

tentang bagaimana demokrasi dapat bergandengan dengan stabilitas karena

setiap negara mempunyai caranya sendiri. Selain itu, setiap negara masih

menghadapi situasi ekonomi dan politik internasional yang masih labil dan

terus bergulir dan perlu terus menjaga solidaritas untuk menyikapinya

dengan arif dan bijaksana. "Demokrasi terus tumbuh dan berkembang

dengan dinamikanya yang khas dan unik di berbagai negara,.

Menurut Susilo Bambang Yudhoyono, tidak ada istilah demokrasi

telah selesai karena demokrasi harus menghasilkan democratic devidend

yang dirasakan langsung utamanya oleh masyarakat di negara masing-

106

masing dan berimbas ke berbagai kawasan lainnya. Dikatakannya,

demokrasi merupakan sebuah proses untuk meningkatkan kesejahteraan,

keadilan, serta kesamaan hak dan kebebasan setiap umat manusia.

"Demokrasi harus dapat menciptakan rasa aman, tenteram, dan damai bagi

masyarakatnya”.60

CF Strong61 menyebutkan bahwa Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mayoritas anggota masyarakat dewasa komunitas politiknya turut berpartisipasi melalui perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah harus mempertanggung jawabkan segala tindakannya kepada kelompok mayoritas tersebut. Pada hakekatnya bahwa pemerintahan yang demokratis syarat utamanya harus melibatkan rakyat baik secara langsung maupun melalui wakil-wakilnya yang telahditunjuk atau dipilih oleh rakyat melalui partai politik dalam sistem pemilihan umum tersebut dalam menjalankan roda pemerintahannya maupun merencanakan dan menyusun program-program kegiatan dari pemerintah tersebut Bahwa pemerintahan yang demokratis itu yang mengsyaratkan keterlibatan masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan baik secara langsung maupun melalui wakil-wakilnya yang paling penting adanya kebebasan dari masyarakat untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhannya dan harus diperjuangankan secara bebas pula oleh wakil-wakil yang dipilih melalui pemilu yang bebas tersebut adanya pengawasan terhadap apa yang dilakukan oleh wakil wakil rakyat tersebut serta dapat dipertanggungjawabkan kepada rakya yang diwakilinya dan yang memilih.

Pada intinya bahwa prinsip-prinsip pokok Negara yang demokrasi

adalah :

Pertama hubungan demokrasi dan hukum, Bahwa hukum benar –

benar menjadi kehendak dan kebutuhan masyarakat (hukum yang

responsif) serta hukum tidak berlaku surut, hukum yang dibuat oleh

606 Ibid., hal 5061 C.F. Strong, 2008, Konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah dan

Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia Terjemahan SPA Teamwork Nusa Media, Bandung, Hlm. 17.

107

parlemen (lembaga perwakilan rakyat) adalah hukum yang benar-benar

dihendaki oleh masyarakat.

Kedua prinsip Legalitas, Hukum dibuat untuk mencegah tindakan

sewenang wenang dari pejabat pemerintah, Apa yang dilakukan oleh

pejabat pemerintah harus sesuai dengan hukum.

Ketiga Tentang Negara Hukum yang Demokratis, yang berkaitan

dengan peradilan yang mandiri (tanpa campur tangan dari pemerintah

maupun parlemen) baik menyangkut peradilan kriminal maupun peradilan

administrasi (uji ulang putusan administrasi). Hakim diangkat untuk

selamanya (tanpa campur tangan dari pandangan politik pemerintah

maupun parlemen) yang bisa membubarkan adalah Mahkamah Agung bila

ada situasi yang genting /ekstrim

Keempat Unsur materiil Negara Hukum yaitu pemerintah

melindungi hak-hak masyarakat, khususnya hak-hak masyarakat yang

klasik yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan

pers dan kebebasan berkumpul dan berserikat.

Didalam Pasal 23 ayat(1) dan ayat(3) Undang-Undang Dasar

Negara Repulik Indonesia tahun 1945 disebutkan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang.

Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang

diusulkan presiden, maka pemerintah menjalankan anggaran yang tahun

lalu.

108

Pasal tersebut memiliki hak Anggaran DPR, yang mana dalam hal

penetapan pendapatan dan belanja negara kedudukan DPR lebih kuat

daripada Pemerintah yang artinya menunjukan secara filosofis yuridis, hal

ini merupakan tanda dari kedaulatan rakyat. Dengan demikian konsepsi

keuangan Negara, hakikat APBN adalah kedaulatan rakyat yang

diamanatkan kepada DPR.

Dalam hal pertanggungjawaban keuangan Negara dapat dilihat dari

dua sisi yaitu :

1. Pertanggungjawaban keuangan Negara horizontal yaitu pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang diberikan pemerintah kepada DPR. Hal ini disebabkan sistem ketatanegaraan yang berdasarkan Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 telah menentukan kedudukan pemerintah dan DPR sederajat. Hal ini dilakukan dalam bentuk persetujuan terhadap RUU Perhitungan Angaran Negara.2 Pertanggungjawaban keuangan Vertikal, yaitu pertanggungjawab an keuangan yang dilakukan oleh setiap otoristor dari setiap departemen atau lembaga Negara non departemen yang menguasai bagian anggaran , termasuk didalamnya pertanggungjawaban bendaharawan kepada atasannya dan pertanggungjawaban para pimpinan proyek. Pertanggungjawaban keuangan ini pada akhirnya disampaikan kepada Presiden yang diwakili oleh Menteri keuangan selaku pejabat tertinggi pemegang tunggal keuangan Negara. 62

Berdasarkan konsep tersebut, pertanggungjawaban keuangan Negara merupakan

konsekuansi logis dari kesediaan pemerintah melaksanakan APBN yang telah disetujui

oleh DPR. Dalam hal pengelolaan keuangan Negara atau APBN, pertanggungjawaban

keuangan Negara dituangkan kedalam perhitungan anggaran Negara sebagai kuasa dari

DPR kepada pemerintah memberikan dasar yang kuat yang berhak menerima

pertanggungjawaban keuangan Negara adalah DPR.

62Muhammad Djafar Saidi, Op cit, hal. 47

109

Sitti Nurhajati Daud menyatakan ; The Secretary General of the Indonesian House of Representatives is the head of the Secretariat General Which is a supporting system in the execution of the tasks and functions of the Indonesian House of Representative. The Indonesian Constitution (1945) stipulates three functions of the Indonesian House of Representative, namely law-making (legislation) function, national budget determination function, and control function.

Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat lndonesia adalah Kepala Sekretariat Jenderal yang merupakan sistem pendukung dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat lndonesia. lndonesia Konstitusi (1945) menetapkan tiga fungsi dari Dewan Perwakilan Rakyat pembuat undang-undang (legislasi), fungsi anggaran nasional dan fungsi kontrol. 63

Untuk melaksanakan fungsi pengawasan, lembaga DPR dilengkapi

dengan hak untuk meminta keterangan (interpelasi), hak untuk menyelidiki

(angket), hak menyatakan pendapat (resolusi), hak untuk memperingatkan

tertulis (memorandum), dan bahkan hak untuk menuntut

pertanggungjawaban (impeachment). Dalam pelaksanaan fungsi legislasi,

DPR mempunyai hak/ kewajiban untuk mengajukan rancangan undang-

undang, hak amandemen atau hak untuk mengubah atau bahkan menolak

sama sekali rancangan undang-undang yangdiajukan oleh pemerintah.

DPR berhak mengajukan RAPBN dan berhak mengubah dengan

mengurangi ataupun menambah anggaran yang diajukan pemerintah.

Untuk dapat menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut secara

efektif maka DPR perlu diberikan sejumlah hak yaitu hak interpelasi, hak

angket dan hak menyatakan pendapat. Ketiga hak ini merupakan

kewenangan atau hak DPR sebagai suatu lembaga. Hak interpelasi adalah

hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah tentang sesuatu

63Sitti Nurhajati Daud, 2003, The Role Of The Secretary General Of The Indonesian House Of Representatives in The Era Reform in Indonesia, Geneva Meeting, Hal. 1

110

kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas; hak

angket adalah hak DPR untuk melakukan suatu penyelidikan terhadap

kebijakan pemerintah yang penting dan strategis yang diduga bertentangan

dengan peraturan perundangan; hak menyatakan pendapat adalah hak DPR

sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan

pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau

situasi dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya.

Anggota DPR juga memiliki hak dalam melaksanakan tugasnya.

Hak-hak ini dimiliki setiap anggota DPR sebagai individu atau

perorangan. Hak perseorangan anggota DPR itu adalah:

a. Hak mengajukan RUU. Penjelasan UU Susduk No 22 Tahun 2003 jo

no 27 Tahun 2009 menyebutkan bahwa hak anggota DPR untuk

mengajukan RUU dimaksudkan untuk mendorong, memacu

kreativitas, semangat dan kualitas anggota DPR dalam menyikapi

serta menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang

diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul RUU.

b. Hak mengajukan pertanyaan adalah hak anggota DPR untuk

menyampaikan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada

pemerintah bertalian dengan tugas dan wewenang DPR.

c. Hak menyampaikan usul atau pendapat adalah hak anggota DPR

untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa baik kepada

pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga ada jaminan

111

kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta

kredibilitasnya

d. Hak imunitas atau hak kekebalan hukum yaitu hak setiap anggota

DPR untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena

pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR

dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

e. Hak Protokoler yaitu hak anggota DPR untuk memperoleh

penghormatan berkenaan dengan jabatannya dalam acara-acara

kenegaraan atau acara resmi maupun dalam melaksanakan

tugasnya.

Khusus mengenai hak mengajukan RUU ini merupakan hak yang

jarang digunakan pada era sebelum reformasi karena inisiatif untuk

mengajukan RUU selalu datang dari pemerintah. Kondisi ini bisa terjadi

disebabkan oleh ketentuan pasal 5 ayat 1 UUD 1945 sebelum amandemen

yang menyatakan: "Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-

undang dengan persetujuan DPR."

Kata "memegang kekuasaan" dalam pasal ini mengandung arti semacam

kewajiban. Dengan demikian presiden mempunyai kewajiban untuk mengajukan suatu

RUU kepada DPR. Kesimpulan ini didasarkan kepada beberapa hal yaitu (1) presiden

sebagai eksekutif dan (2) presiden sebagai mandataris MPR. Sebagai eksekutif, sudah

barang tentu pemerintahlah yang lebih mengetahui undang-undang apa yang

112

dibutuhkan dalam rangka melaksanakan pemerintahan. Dan sebagai mandataris MPR

adakalanya presiden harus mengajukan RUU dalam rangka melaksanakan TAP MPR.

Amandemen UUD 1945 memindahkan kekuasaan membentuk

undang-undang ke tangan DPR. Dengan demikian pada era reformasi ini,

anggota DPR tidak bisa hanya bersikap menunggu saja RUU yang datang

dari pemerintah namun DPR harus dapat menyusun RUU sendiri sesuai

dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat, dengan demikian setiap anggota

DPR harus kreatif dan proaktif untuk mengetahui apa saja aspirasi dan

keinginan rakyat itu.

Dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan

peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu). Namun

Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang

berikut, dan jika tidak mendapat persetujuan maka Perpu itu harus dicabut.

Demikian pula halnya dalam menentukan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara harus mendapat persetujuan dari DPR. Jika DPR menolak

untuk memberikan persetujuan terhadap anggaran yang diusulkan oleh

pemerintah maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.

Didalam hal penetapan APBN, jika dikaitkan kedua pasal tersebut

antara pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia tahun

1945 dengan pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia

tahun 1945 mempunyai hubungan yang sangat erat, karena mencari

persetujuan antara DPR dengan presiden dalam penetapan APBN

merupakan wujud lahirnya undang-undang keuangan negara memberikan

113

pemahaman filosofis yang menentukan APBN sebagai bentuk penjelmaan

kedaulatan rakyat.

Namun dalam kerangka teoritis hukum keuangan negara,

berdasarkan pasal 23 ayat (1) dan ayat(3)Undang-Undang Dasar Negara

Repulik Indonesia tahun 1945 yang dimaksud sebagai keuangan negara

adalah yang ditetapkan dalam undang-undang APBN. Dengan dasar

pemikiran hal tersebut dapat dikatakan bahwa keuangan negara adalah

APBN.

Artinya dengan persetujuan DPR yang mewakili rakyat, persetujuan

DPR merupakan sesuatu yang mutlak sifatnya. Oleh karena itu tanpa

persetujuan dewan, anggaran negara tidak mungkin ditetapkan. Disinilah

letak kedaulatan rakyat yang diwakili oleh DPR dalam menyetujui

anggaran negara. Selain itu anggaran negara dapat dikatakan sebagai

otorisasi dari rakyat kepada eksekutif melalui perwakilannya yaitu DPR

dimana eksekutif dapat menggunakan pendapatan negara bagi pengeluaran

bagi pelaksanaan pemerintahannya.

Oleh karena itu dilihat dari kewenangan lembaga legislatif

berdasarkan hak budget yang dimilikinya apakah lembaga legislatif berhak

mengelola anggaran sendiri yang ditetapkan dalam suatu undang-undang

tersendiri, hal ini sah menurut hukum dan dapat dibenarkan dari segi teori

kedaulatan, namun dari segi teori otorisasi, tidak mungkin badan legislatif

memberi otorisasi pada dirinya sendiri. Berbeda dengan lembaga yudikatif

atau lembaga negara lainnya yang secara mendasar tidak memiliki hak

114

budget dan secara teoritis bukan untuk memperoleh otorisasi dari lembaga

legislatif, sebagaimana halnya lembaga eksekutif yang menjalankan roda

pemerintahan, administrasi negara dan melindungi serta meningkatkan

taraf kehidupan masyarakat.

Kondisi demikian justru dikonkretkan dengan Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai undang-undang, Pasal 23

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang tidak memperhatikan

kedudukan dan fungsi keuangan publik dari lembaga atau badan-badan

hukum yang ada. Kondisi demikian terjadi kerana Pasal 23 Perubahan ketiga

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 tidak memberikan rambu-

rambu yang secara yuridis dapat dipertanggungjawabkan.

Imperfektivitas ketentuan hukum keuangan negara karena produk

peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan negara tidak

mengandung landasan (a) filsafat yang merupakan latar belakang substansi

pemikiran pembuat undang-undang tentang keuangan Negara, ia pun harus

dirumuskan secara mendasar pada (b) ilmu pengetahuan (het dekken der

kennis) rumusannya ditata segera (c) landasan pemikiran ekonomis

(Ekonomische Denkgeselz), menghindari substansinya yang (d) diulang dan /

atau saling bertentangan antara pasal satu dengan pasal yang lainnya

(Wiederspruchlos), (e) cakupan rumusan substansi undang-undang harus

bersifat menyeluruh (het dekken van de rechtsstoj), serta harus mengandung

(f) estetika bahasa (taal aesteticd), (g) Bermanfaat sesuai dengan tujuannya

(doelmatig). Dengan demikian peraturan perundang-undangan keuangan

negara yang menjadi dasar hukum keuangan negara menghindar penggunaan

115

prinsip tersebut dalam menyusun undang-undang, apalagi sebuah undang-

undang dasar landasan filsafatnya adalah mutlak dan merupakan syarat

utama, disamping syarat-syarat lain yang diperlukan untuk sebuah

peraturan perundang-undangan.

Oleh sebab itu, perlu dikatakan secara tegas, materi Pasal 23

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2003 merupakan produk hukum yang asal jadi dan meteri

muatannya sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai produk hukum atau

undang-undang. Apalagi dari sudut ilmiah maupun filosofinya.

Seharusnya, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 mengatur pengelolaan

dan pertanggungjawaban keuangan publik uang lebih efektif dalam

melaksanakan tertib administrasi keuangan dengan akuntabilitas yang

tinggi. Demikian pula ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara

RI Tahun 1945 (Perubahan Ketiga) perlu diadakan kaji ulang agar

mempunyai bobot sebagai sebuah meteri muatan dalam undang-undang

dasar.

Secara teoritis DPR sebagai badan legislatif mempunyai dasar yang

kuat dan sah menurut hukum untuk melakukan perubahan dalam Undang-

Undang No. 17 Tahun 2003. Sementara itu, MPR mempunyai peran yang

signifikan untuk kembali dalam undang-undang dasar dan undang-undang

dapat memenuhi ketentuan teori hukum yang berlaku.

Disamping persoalan keuangan negara, hukum keuangan negara

dalam hal pemeriksaannya juga mengalami disorientasi yang sangat pelik.

116

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 melegitimasi perubahan

fungsi pemeriksaan BPK yang diatur oleh pasal 23 E Undang-Undang

Dasar Negara Repulik Indonesia tahun 1945 untuk memeriksa pengelolaan

dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu BPK yang

bebas dan mandiri yang tidak hanya ditujukan pada tanggung jawab

keuangan negara, tetapi juga pengelolaan keuangan negara. Peruhahan

demikian jelas menciptakan disorietasi fungsi BPK yang melebar ke segala

arah dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Dari segi hukum

keuangan publik, disorientasi fungsi pemeriksaan keuangan negara yang

terlalu luas akan melemahkan rentang kendali (span of control),

inmodernisasi, penyalahgunaan kewenangan, dan ketidakmampuan dalam

mencegah penyimpangan keuangan negara secara efektif. Disorientasi

pemeriksaan keuangan negara yang dilegitimasi Undang-Undang Dasar

Negara RI Tahun 1945 hanya akan mendorong ketidakberdayagunaan BPK

dalam menjangkau segi strategis tanggung jawab keuangan negara karena

berkutat menjelajah segi teknis pengelolaan keuangan negara.

Dengan demikian, tepat penyusun naskah asli Pasal 23 ayat (5)

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang menempatkan BPK

sebagai lembaga yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara agar

orientasi BPK tidak lepas dan pemeriksaan yang bersifat makro-strategis.

Penyusun naskah asli Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945

mempunyai pemahaman yang lebih strategis dan sangat memahami

prinsip dasar efektivitas kinerja organisasi. Dengan fungsinya sebagai

117

pemeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK menempatkan secara

sejajar kedudukannya sebagai lembaga negara. Sebagai lembaga negara

yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK merupakan

lembaga yang langsung mengawasi dan memeriksa kebijakan

keuangan negara (fiscal policy audit) yang dilakukan pemerintah.

Fungsinya yang sangat strategis dan terhormat tersebut menempatkan

BPK sebagai lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara

lainnya, tennasuk pemerintah, untuk menjaga obyektifitasnya.

Oleh sebab itu, secara yuridis pemberian fungsi pemeriksaan BPK

untuk memeriksa pcngelolaan keuangan ncgara melalui Pasal 23E ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 justru melemahkan

kedudukannya sebagai lembaga negara. Apabila mendasarkan pada konsep

hukum administrasi negara, BPK telah berubah dari bentuk organisasi

negara menjadi organisasi administrasi negara. Dengan demikian,

kedudukannya melemah sebagai bagian dari unsur pemerintah dan bukan

sebagai lembaga yang mandiri. Salah satu bukti perubahan bentuk tersebut

adalah dimungkinkannya BPK di setiap provinsi diatur dalam pasal 23 G ayat 1

Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia tahun 1945. BPK

berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap

provinsi.

Dari segi hukum administrasi negara, lembaga negara, guna

menjaga citra kewibawaan dan pengaruhnya, tidak mungkin membuka

perwakilannya di luar ibu kota negara. Hal ini dilakukan agar lembaga

118

negara tetap berfungsi hanya pada inti pokok tugasnya sebagai bagian dari

lingkup masalahnya (kernzaken en problemen) dan menjaga kualitas

kinerja dibandingkan hanya mengejar kuantitas. Berdasarkan hukum

keuangan publik, pengutamaan kuantitas dalam pemeriksaan menyebabkan

temuan atas penyimpangan keuangan negara dilakukan secara kebetulan

(by-chance) dan tidak secara sistematis (by-system).

Oleh sebab itu, kebertahanan BPK pada perubahan fungsinya

sebagai pemeriksa tanggung jawab sekaligus pengelolaan keuangan negara

dan kedudukannya yang "menurun" sebagai organisasi administrasi negara

mengingatkan kembali pada keberadaan Alegmene Rekenkamer (ARK),

lembaga pemeriksa zaman kolonial Belanda, yang merupakan lembaga di

bawah Kroon (Pemerintah Kerajaan Belanda). Dengan kedudukannya

tersebut, ARK memeriksa pengelolaan keuangan pemerintah dan

mempunyai perwakilan di setiap daerah. Oleh sebab itu, secara yuridis-

historis, fungsi dan kedudukan BPK berdasarkan Pasal 23 E ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 memuat kembali fungsi dan

kedudukannya seperti tahun yang lalu.

Apabila kekeliruan tersebut hanya bersifat lokal, dampaknya tidak

akan luas. Akan tetapi, apabila kekeliruan tersebut bersifat nasional,

dampaknya tidak hanya berlaku secara lokal atau nasional, juga akan

menyangkut secara internasional sepanjang yang berkaitan dengan negara.

Terlepas dari adanya kesengajaan atau tidak oleh pembuat amandemen

undang-undang dasar maupun ketiga paket undang-undang yang mengatur

119

keuangan negara, perubahan undang-undang dasar maupun paket ketiga

undang-undang tersebut terkesan mengarah kepada suatu konsentrasi

kekuasaan pemeriksaan tanpa memperhitungkan koneksitas hukum

tatanegara dan hukum administrasi negara maupun prinsip-prinsip umum

hukum yang berlaku.

Terkait dengan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan oleh

pemerintah diatur di dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang

keuangan Negara, yang mana dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan tentang

keuangan negara yaitu :

"Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut."

Selanjutnya, didalam pelaksanaannya yang dimaksud dengan

keuangan negara dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 17 Tahun 2003

adalah :

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan

uang, dan melakukan pinjaman;

b. Kewajihan negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan Negara;

d. Pengeluaran Negara;

e. Penerimaan Daerah;

f. Pengeluaran Daerah;

120

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh

pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak

lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas

yang diberikan pemerintah.

Didalam melaksanakan pemerintahan pengelolaan keuangan

sepenuhnya ada di tangan Presiden seperti yang tercantum dalam Pasal 6 ayat

(1) ; Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan

keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.

Namun dapat kita ketahui saat ini banyak sekali terjadi korupsi di

berbagai daerah yang melibatkan aparat pemerintah, termasuk para anggota

dewan. Pelanggaran hukum terhadap keuangan negara saat ini sangatlah

meresahkan, terutama penyelewengan keuangan yang bersumber dari APBN

ataupun APBD. Guna menjalankan pemerintahan maka dengan dana yang

dimiliki pemerintah menetapkan APBN/APBD setiap tahunnya.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat

utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat

pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat

pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun

juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak

legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang dimilikinya periu lebih

121

berperan dalam mengawal APBN sehingga APBN benar-benar dapat

secara efektif menjadi instrumen untuk mensejahterakan rakyat dan

mengelola perekonomian negara dengan baik. Dalam rangka mewujudkan

good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sejak

beberapa tahun yang lalu telah diintrodusir Reformasi Manajemen

Keuangan Pemerintah. Reformasi tersebut mendapatkan Landasan

hukum yang kuat dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Sistem dan proses pengelolaan APBN dalam kerangka manajemen

keuangan negara. Selain diuraikan pokok-pokok manajemen keuangan

negara serta proses APBN, diuraikan pula peranan DPR dalam pengelolaan

anggaran negara melalui fungsi-fungsi yang dimilikinya, yakni fungsi

legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

3.2 DPR Sebagai Wakil Rakyat Dalam Penyusunan dan Penetapan

APBN

Demokrasi di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang

adalah menganut demokrasi perwakilan, mengingat masyarakat

mempercayakan kepentingan pada wakil-wakil yang duduk di dalam

lembaga perwakilan tersebut (DRP/MPR) yang dipilih melalui Pemilu

yang diajukan oleh partai-partai peserta pemilu.

122

Miriam Budiardjo, menyebutkan perwakilan politik (political

representation) yaitu bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai

kewajiban atau kemampuan untuk berbicara dan bertindak atas nama

suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota badan legislatif pada

umumnya mewakili rakyat melalui partai politik.64

Pengertian perwakilan yaitu hubungan antara si wakil dengan yang

terwakili tidak hanya sekedar mewakili si wakil karena si terwakili tidak

bisa hadir atau tidak mempunyai kemampuan, akan tetapi ada keharusan

bagi si wakil memiliki kemampuan untuk berbicara dan bertindak demi

kepentingan si wakil.

Dalam konteks perwakilan politik, lembaga perwakilan rakyat atau

DPR adalah lembaga (DPR/MPR), yang mana orang-orang yang duduk

didalamnya memiliki kewajiban dan kemampuan untuk mewakili

kepentingan masyarakat pemiliknya atau kelompok lain dalam hal ini

partai politik yang mencalonkan sebagai wakil dalam rangka

menyampaikan aspirasi dan tuntutan dari masyarakat atau kelompok/partai

politik tersebut yang lebih besar disamping melaksanakan tugas dan

kewajiban yang dibebankan oleh peraturan perundang-undangan.

Jimly Asshiddiqie, membedakan tipe perwakilan dengan 2 (dua)

macam tipe perwakila yaitu :65

1. Perwakilan fisik (representation in presence) yaitu keterwakilan rakyat diwujudkan secara fisik yaitu denga terpilihnya seorang

646 Miriam Budiardjo, 2000, Dasar-Dasar Politik, Edisi Revisi, Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta, hal. 39.656 Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hal 43

123

wakil menjadi dalam keanggotaan parlemen, akan tetapi dalam praktek, sistem perwakilan fisik ini terbukti tidak atau belum tentu sungguh-sungguh menjamin tersalurnya aspirasi rakyat sebagaimana yang diharapkan. Banyak kemungkinan yang dapat terjadi dalam kenyataan, baik karena faktor pribadi (subyektif) para wakil rakyat sendiri ataupun karena faktor pilihan sistem yang dipraktekkan. Sistem yang dianut, baik berkenaan dengan sitem pemilihan umum maupun sistem kepartaian, sangat mempengaruhi esensi keterwakilan rakyat.

2. Perwakilan pemikiran (representation in ideas) yaitu, rakyat dapat menyalurkan aspirasinya tidak saja pada keterwakilan fisik (wakil mereka yang duduk di parlemen) akan tetapi aspirasi rakyat disalurkan melalui media massa baik cetak maupun elektronika, media tradisional dan media konvensional lainnya yang secara konsitusional juga dijamin dalam rangka hak asasi manusia.

Miriam Budiardjo66 menyebutkan perwakilan politik (Political

representation) yaitu bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai

kewajiban atau kemampuan untuk berbicara dan bertindak atas nama

kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota badan legislatif pada

umumnya mewakili rakyat melalui partai politik bahwa pengertian

perwakilan yaitu hubungan antara si wakil dengan yang terwakili tidak

hanya sekedar mewakili si wakil karena siterwakil tidak bisa hadir atau

tidak mempunyai kemampuan untuk berbicara dan berindak demi

kepentingan si wakil.

Dalam konteks perwakilan politik. Lembaga perwakilan rakyat atau

Dewan Perwakilan Rakyat adalah suatu lembaga (Dewan /Majelis) yang

mana orang-orang yang duduk didalam nya memiliki kewajiban dan

kemampuan untuk mewakili kepentingan masyarakat pemilihnya atau

66 Opcit. Hlm. 317.

124

kelompok lain dalam hal ini partai politik yang mencalonkan sebagai

wakil dalam rangka menyampaikan aspirasi dan tuntutan dari masyakat

atau kelompok /partai politik tersebut yang lebih besar disamping

melaksanakan tugas dan kewajiban yang dibebankan oleh peraturan

perundang –undangan.

Tipe perwakilan yang cocok untuk Indonesia adalah tipe perwakilan

fisik dan pemikiran. Artinya Wakil-wakil rakyat yang duduk di Lembaga

Perwakilan Rakyat/DPR harus bertindak disamping sesuai dengan

kemauan rakyat di daerah pemilihannya karena dia yang menerima dari

rakyat. Dia juga harus bertindak bebas sesuai dengan kemauan rakyat

banyak (diluar daerah pemilihannya) dan sesuai dengan program-program

partai yang sudah digariskan disampig melaksanakan apa yang diwajibkan

oleh peraturan perundang-undangan (dalam persepektif negara hukum),

wakil-wakil tersebut mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukan

kepada pemberi mandat. Mengingat wakil yang duduk di lembaga

perwakilan rakyat tersebut tidak berangkat dengan sendirinya akan tetapi

dicalonkan oleh partai politik, yang penting apa yang dilakukan oleh wakil

tersebut semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan dan keadilan rakyat

banyak dan biasanya hal ini sesuai dengan program-program partainya.

Disamping itu pers yang bebas dalam menyuarakan aspirasi masyarakat

juga Penting, hal ini untuk mengontrol juga bagi kebijakan eksekutif

maupun legislatif.

125

Jimly Asshiddiqie67, menyebutkan macam-macam bentuk

pengawasan atau kontrol oleh parlemen sebagai lembaga perwakilan

rakyat, secara teoritis dibedakan sebagai berikut :

1) Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (Control of policy

making )

2) Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (Control of policy

executing)

3) Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja Negara (Control of

budgeting)

4) Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja Negara

(Control of budget implementation)

5) Pengawasan terhadap kenerja pemerintahan (Control of government

performances)

6) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (Control of

political appointment of public officials)

Setiap lembaga umumnya memiliki fungsi. Fungsi yang dalam

bahasa latinnya" Functus” berasal dari kata" Fungtor" yang artinya cara

untuk melakukan (to perform), melaksanakan, menjalankan (administer).

Sedang menurut terminologi hukum Fungsi asal katanya Function artinya

tugas khusus dari suatu jabatan, atau lingkungan kegiatan yang dilakukan

oleh badan/ lembaga dalam rangka seluruh kegiatan negara. Oleh karena

itu fungsi mengandung wewenang dan tugas. Menurut Hukum Fungsi

67 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Konstitusi Press Jakarta, Hlm. 36.

126

adalah perwujudan tugas kepemerintahan dibidang tertentu yang

dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.

Fungsi perwakilan dalam konteks ini adalah fungsi lembaga perwakilan.

Agar fungsi suatu badan atau lembaga dapat teriaksana dengan baik maka

diberikan wewenang dan tugas tertentu, dengan catatan bahwa tugas wajib

dilaksanakan sedangkan wewenang tidak selalu.68

Koentjoro Poerbopranoto, 69 menyebutkan bahwa :

Maksud membentuk perwakilan ialah menentukan satu jalan yang mudah dalam rangka kenegaraan untuk membentuk dan menyatakan kehendak rakyat (volehte general), yang diperlukan sebagai dasar kekuasaan dalam sistim demokrasi itu untuk melakukan pemerintahan. Dan bentuk pemyataan kehendak rakyat oleh badan-badan perwakilan rakyat itu lazim disebut undang-undang. Badan perwakilan itu sendiri didalam ilmu kenegaraan pada umumya disebut "parlement" berdasarkan satu istilah Perancis (dari perkataan : " parter " ialah bicara).

Lembaga perwakilan dibuat dalam rangka pendemokrasian

kehendak rakyat, artinya apa yang menjadi kebutuhan dan kemauan rakyat

maka lembaga perwakilan / Parlemen inilah yang berkewajiban untuk

mewujudkannya.

Ada dua peran utama dari Lembaga Perwakilan Rakyat yaitu di satu

sisi sebaga lembaga atau dewan yang bertugas membuat undang-undang (a

law making institution), mau tidak mau lembaga ini dituntut untuk

merumusukan dan membuat Undang-Undang dalam menetapkan kebijakan

suatu bangsa, di sisi yang lain lembaga Perwakilan Rakyat adalah

68

6

Paimin Napitupulu, 1989, Peran dan Pertanggungjawaban DPR, Kajian di DPRD Propinsi DKI Jakarta.Op.Cit. hal. 37.69

6

Koentjoro Poerbopranoto, 1987, Sistim Pemerintahan Demokrasi. Eresco. Bandung, hal. 38-39.

127

sebuah badan perwakilan (a representative assembly) yang dipilih untuk

membantu dan memperjuangkan aspirasi rakyat pemilihnya. Fungsi

Lembaga Perwakilan Rakyat di masing-masing negara tidak selalu sama,

tergantung sistem pemerintahan yang diberlakukan atau demokrasi yang

dianutnya.

Toni Andrianus Pitu, menyebutkan ada enam fungsi penting yang

dilaksanakan oleh lembaga perwakilan rakyat, yaitu :

1. Perwakilan (representation ). Mengungkapkan keragaman dan par.dangan-pandangar. yang bertentangan dalam hat kepentingan regional, ekonomi, sosial, ras, agama dan lainnya yang ada dalam suatu negara.2. Pembuatan undang-undang (law making) Pembuatan undang-undang ialah menentukan ukuran-ukuran untuk membantu memecahkan permasalahan yang substantif.3. Pembangunan Konsensus (consensus building). Merupakan proses perundingan, dimana kepentingan-kepentingan disesuaikan.4. Mengawasi (overseeing). Mengawasi birokrasi berarti bahwa undang-undang dan kebijakan yang telah dibuat dewan harus secara tepat dilaksanakan dan mencapai apa yang dimaksudkan.5. Klarifikasi Kebijakan (policy clarification), Yaitu identifikasi dan publikasi persoalan-persoalan.70

Dalam perspektif pemerintah sekarang ini fungsi DPR sudah

melekat pada lembaga, yang mana anggota DPR mempunyai kewajiban

untuk memperjuangkan aspirasi yang diwakili, fungsi legislasi dan

pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah baik yang

ditetapkan bersama dengan DPR maupun karena kebebasan bertindak,

termasuk kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sudah ada

namun pelaksanaannya belum maksimal. Fungsi penetapan APBN yang

70

7

Toni Andrianus Pitu, 2006, Mengenai Teori Politik dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Penerbit Nusa, Bandung, hal. 133-134.

128

akan diterima atau ditolak sangatlah penting mengingat bisa diterima dan

tidaknya kebijakan pemerintah tergantung kebijakan DPR dalam

memahami akan program-program pemerintah dan kegiatan yang

direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat akan turut

serta mendukung dijalankannya program dan kegiatan tersebut, utamanya

yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Bahkan

masyarakat akan ikut pula untuk mengawasi jalannya program dan

kegiatan itu.

Jika DPR dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan

sangatlah penting, mengingat kebutuhan akan aturan hukum yang dapat

diterima dan didukung oleh masyarakat tidak aka mudah dibuat dengan

sempurna jikalau tanpa adanya naskah akademiknya serta sosialisasi

kepada masyarakat.

Apabila suatu peraturan yang akan disusun oleh DPR didahului

dengan disusunnya naskah akademik, maka kemungkinan ditolaknya suatu

peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan sangatlah kecil. Pasal

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menegaskan bahwa dalam

hal penetapan APBN kedudukan DPR adalah lebih kuat dari pada

pemerintah, ini tanda kedaulatan rakyat. Sejak tahun 1945 hingga tahun

1967 akan dapat diketahui bahwa hak anggaran ini termasuk kekuasaan

dibidang legislasi, baru DPRGR tahun 1967 – 1968 dan kemudian DPR

hasil pemilu tahun 1971 yang memisahkannya dan mendahulukan dari

kekuasaan legislasi DPR, tetapipada waktu yang bersamaan hak anggaran

129

itu dimasukkan juga ke dalam kekuasaan DPR dibidang pengawasan, sejak

DPR hasil pemilu tahun 1987 hingga DPR sekarang hak legislatif

didahulukan dari pada hak anggarannya.

Sekarang ini banyak melihat hak budget DPR dalam rangka hak

legislatifnya. Hak ini disebabkan APBN ditetapkan dalam bentuk undang-

undang, sehingga terjadi pendapat bahwa hukum anggaran merupakan

salah satu aspek dari hukum konstitusi, dilihat dari banyak segi, hukum

konstitusi bermula dari hukum anggaran.

Anggaran adalah suatu ringkasan dalam bentuk tabel-tabel yang

merupakan perkiraan untuk suatu jangka waktu tertentu yang meliputi

seluruh kebutuhan finansial negara dan seluruh sumber keuangan yang

perlu untuk meliputi :

– Kebutuhan, jadi anggaran adalah suatu koreksi data-data

financial dan bertujuan untuk : “mungkin mengadakan

perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran”.

– Memungkinkan mengadakan pengklasifikasian pengeluaran

serta pengevaluasian kepentingan dan skala prioritasnya.

– Memungkinkan penentuan dampaknya kepada situasi ekonomi

dan kepada rencana nasionalnya.

– Mempermudah pengawasan pelaksanaannya.71

Oleh karenanya dapatlah dipahami kalau ada yang menempatkan

hak anggaran ini sebagai kekuasaan DPR dibidang pemerintah, sebab

71

7

ASS. Tambunan, 1998, lot cit hal 89

130

bukanlah menentukan alokasi anggaran badan-badan pemerintahan juga

berarti menentukan ruang lingkup dan intensitas program-programnya.

Memang membahas rancangan APBN berarti membahas rancangan

kebijakan pemerintah secara keseluruhan, ada juga yang memasukkannya

ke dalam kekuasaan DPR dibidang legislatif, mungkin karena APBN

bukanlah suatu undang-undang dalam arti biasa yang memuat atau

menciptakan hak dan kewajiban, tetapi merupakan suatu undang-undang

pendelegasian kekuasaan (machtegingswet) untuk menggunakan uang. Hal

ini termasuk kekuasaan DPR dibidang pengawasan. Ada kemungkinan

bahwa DPR memasukkan dalam rangka kekuasaan pembentukan undang-

undang karena hanya melihat dari segi praktis saja, sebab dibidang

legislatif berlaku hak amandemen dan hak inisiatif sedangkan dibidang

anggaran DPR tidak pernah dapat mengutak-atik Rancangan Undang-

Undang APBN.

Memang harus diakui bahwa DPR (khususnya komisi APBN) telah

terlibat dalam pembahasan Rancangan APBN mulai dari tahap penyusunan

konsepnya tetapi karena kekurangan data tandingan, maka keterlibatannya

secara praktis hanya terbatas pada pembahasan tata bahasa saja. DPR kita

belum memiliki Bank data yang lengkap menandingi Bank data

Pemerintah, sehingga sangat mengecewakan DPR kita.

Namun demikian bukanlah berarti bahwa DPR tidak tinggal diam,

kalau dipelajari pemandangan-pemandangan umum para anggota DPR atas

nota keuangan dan rancangan APBN, akan terlihat bahwa pemandangan

131

umum itu pada hakekatnya merupakan statemen politik yang tidak jarang

mengandung kritik atau rasa kurang puas terhadap kebijakan pemerintah.

Proses penyusunan dan penetapan APBN oleh DPR merupakan

suatu Wewenang DPR berdasarkan hak anggaran yang dimiliki berhak

mengelola anggaran sendiri yang ditetapkan dalam suatu Undang-Undang

tersendiri, hal ini sah menurut hukum dan dapat dibenarkan dari teori

kedaulatan rakyat yang diikuti oleh Immanuel Kant yang menyatakan

bahwa tujuan Negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin

kebebasan dari pada para warga negaranya. Dalam pengertian bahwa

kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan

Terkait dengan teori kedaulatan rakyat biasanya dianut oleh Negara-negara

yang demokratis dimana kekuasaan dari orang yang memegang

pemerintahan didasarkan atas sikap dari rakyat yang diperintah dan

ketentuan yang mengatur biasanya dicantumkan dalam Undang-Undang

Dasar dari pada Negara.

Apabila dikaitkan dengan anggota DPR terpilih dan yang terpilih

oleh rakyat melalui pemilu mempunyai peran menampung dan

menyalurkan aspirasi rakyat untuk dijadikan kebijaksanaan pemerintah

yang dapat meningkatkan pertanggung jawaban kepada rakyat

Usul rancangan undang-undang yang berasal dari inisiatif DPR

dalam mengajukan APBN. Usul rancangan undang-undang yang diajukan

oleh para anggota DPR berdasarkan Pasal 21 UUD NRI 1945. Rancangan

undang-undang inisiatif DPR ini disertai penjelasan tertulis dengan

132

ditandatangani sekurang-kurangnya 30 anggota yang tidak hanya satu

fraksi. Tiap-tiap rancangan undang-undang ini diajukan kepada pimpinan

DPR dengan surat pengantar dan tanda tangan para pengusul dari masing-

masing fraksi. Kemudian diadakan sidang paripurna dan dalam siding

pimpinan DPR memberithaukan kepada anggotanya tentang adanya usul

rancangan undang-undang inisiatif serta membagikan kepada para

anggotanya, kemudian dalam rapat para pengusul diberikan kesempatan

untuk menerangkan tentang maksud dan tujuan dari rancangan undang-

undang dan anggota badaan musyawarah diberi kesempatan Tanya jawab

kepada pengusul. Setelah rancangan undang-undang inisiatif dapat

diterima sebagai rancangan undang-undang usul inisiatif maka DPR

menjelaskan kepada komisi ataau panitia khusus, yang khusus dibentuk

untuk membahas dan menyelesaikan rancangan undang-undang inisiatif

DPR. Kemudian disampaikan kepada pimpinan DPR untuk disampaikan

kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang

mewakili pemerintah dalam rangka pembahasan rancangan undang-undang

usul inisiatif DPR bersama-sama dengan DPR.

Dalam proses penyusunan rancangan undang-undang dari inisiatif

DPR. Moh. Kusnardi, Bintan.R. Saragih berpendapat bahwa72 ; dalam

ketentuan tata tertib DPR RI disebutkan bahwa tiap-tiap rancangan

undang-undang yang diajukan oleh para anggota DPR harus disertai

dengan memori penjelasan dan ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 30

72 Moh. Kusnardi dan Bintan.R. Saragih, 1998, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, Gramedia, Jakarta, hal.30.

133

orang anggota DPR yang tidak terdiri dari satu fraksi. Rancangan undang-

undang yang berasal dari inisiatif diiajukan kepada pimpinan DPR dengan

surat pengantar dan daftar tanda tangan para pengusul serta nama

fraksinya.

Selama usul rancangan undang-undang inisiatif belum diputuskan

menjadi rancangan undang-undang. Usul inisiatif DPR, para pengusul

berhak menarik usulannya kembali dengan syarat ditanda tangani oleh

semua pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada pimpinan DPR

yang kemudian membagikan kepada para anggota. Dalam hal ini menurut

Moh.Kusnardi dan Bintan.R. Saragih mengatakan bahwa para pengusul

selalu dapat mengubah atau menarik kembali rancangan unadang-undang

usul inisiatif tersebiut pada setiap tingkat pembicaraan sebelum disetujui

menjadi rancangan undang-undang.73 Jadi selama usul rancangan undang-

undang usul inisiatif DPR para pengusul berhak menarik kembali usulnya

tentunya daalam hal ini sebelum dibacarakan dalam badan musyawarah.

Proses pengesahan dan pengundangan suatu undang-undang. Semua

rancangan undang-undang baik yang datang dari pemerintah atau dari

inisiatif DPR pada hakikatnya diproses dan dibahas dalam 4 tingkatan

pembicaraan yaitu :

− Tingkat pertama rapat pleno terbuka

− Tingkat kedua rapat pleno terbuka

− Tingkat ketiga rapat komisi

73 Ibid, hal. 31.

134

− Tingkat keempat rapat pleno terbuka

Sehubungan dengan tahap pengesahan ini menurut C.S.T Kansil

berpendapat bahwa ; pembahasan rancangan undang-undang dilakukan

melalui empat tingkatan pembicaraan, kecuali apabila badan musyawarah

menentukan pembahasan dengan prosedur singkat, empat tingkat

pembicaraan sebagaimana dimaksud diatas :

− Tingkat pertama rapat paripurna

− Tingkat kedua rapat paripurna

− Tingkat ketiga rapat paripurna

− Tingkat keempat rapat paripurna74

Pembicaraan tingkat pertama merupakan penjelasan dalam rapat

pleno terbuka atas rancangan undang-undang baik dari pemerintah maupun

dari pengusul. Dalam pembicaraan tingkat kedua merupakan pandangan

umum dalam rapat pleno terbuka oleh anggota DPR tergantung dari

prakarsa pembuatan rancangan undang-undang, jawaban tanggapan dapat

diberikan kepada pemerintah atau kepada wakil para pengusul. Dalam

pembicaraan tingkat ketiga merupakan pembahasan dalam

komisi/gabungan komisi/panitia khusus, pembahasan dalam tingkat ini

dilakukan bersama-sama dengan pemerintah apabila rancangan undang-

undang diajukan oleh pemerintah kemudian bersama-sama dengan para

pengusul dan pemerintah apabila membahas undang-undang usul inisiatif

dan usul-usul lain di kalangan sendiri apabila dipandang perlu tanpa

74 C.S.T Kansil, lot cit, hal. 44.

135

mengurangi yang telah dikemukakan diatas. Dalam pembicaraan tingkat

ketiga ini akan menentukan apakah suatu rancangan undang-undang tiu

akan disetujui oleh DPR atau tidak. Dalam pembicaraan tingkat keempat

pengambil keputusan dengan rapat pleno terbuka dengan didahului

pendapat terakhir fraksi-fraksi yang sering ditambah dengan catatan-

catatan yang mengandung pendirian fraksinya dan apabila pada

kesempatan tersebut pemerintah memandang perlu memberikan sambutan

maka pemerintah dapat memberikan sambutannya. Dalam pembicaraan

tingkat keempat ini merupakan pengesahan rancangan undang-undang dari

pemerintah maupun dari usul inisiatif yang telah disetujui pada

pembicaraan tingkat ketiga. Jadi rancangan undang-undang yang telah

disetujui oleh DPR dan rancangan undang-undang usul inisiatif DPR oleh

pimpinan DPR dengan suatu surat pengantar disampaikan kepada Presiden.

Sekretaris kabinet/Negara menyiapkan undang-undang tersebut diatas

kertas Presiden untuk dimohon tanda tangan Presiden. Setelah di tanda

tangani Presiden berarti rancangan undang-undang itu telah disahkan

menjadi undang-undang dan sekretaris Negara mengundangkan rancangan

undang-undang tersebut. Bila kita lihat kedudukan DPR dalam

menjalankan fungsi legislatif bersama-sama dengan Presiden maka akan

tampak bahwa dalam hal pengajuan rancangan undang-undang, kedudukan

Presiden sebanding dengan kedudukan DPR. Jadi usul rancangan undang-

undang APBN dari DPR yang diajukan kepada Presiden harus mendapat

persetujuan dari Presiden karena rancangan undang-undang APBN itu

136

telah mendapatkan aspirasi dari rakyat Indonesia sehingga DPR sebagai

wakil rakyat akan membawakan aspirasi perubahan yang sangat besar

untuk kepentingan pembangunan dan mensejahterakan masyarakat

Indonesia secara keseluruhan agar APBN tersebut akan membawa dampak

yang sangat positif untuk Negara Indonesia.

3.3 Struktur APBN Dalam Mensejahterakan Rakyat

Dalam rangka mewujudkan good governance dalam

penyelenggaraan pemerintahan Negara. Sejak tahun yang lalu telah

diintrodusir reformasi Manajemen keuangan pemerintah. Reformasi

tersebut mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah disahkan

UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004

Tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 15 Tahun 2004 Tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Berikut

ini adalah pemaparan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan Negara yamg ditetapkan

tiap tahun dengan undang undang. Struktur APBN yang sekarang

dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia secara garis besar adalah sebagai

berikut

a. Pendapatan Negara dan Hibah

b. Belanja Negara

c. Keseimbangan Primer

d. Surplus/Defisit Anggaran

137

e. Pembiayaan

A. PENDAPATAN NEGARA dan HIBAH

I.Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Perpajakan Pajak Dalam Negeri

Pajak Dalam Negeri

i. Pajak Penghasilan

1) Minyak dan Gas

2) Non Minyak dan Gas

ii. Pajak Pertambahan Nilai

iii. Pajak Bumi dan Bangunan

iv. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

v. Cukai

vi. Pajak Lainnya

Pajak Perdagangan Internasional

i. Bea Masuk

ii. Pajak/Pungutan Ekspor

2. Penerimaan Bukan Pajak

Penerimaan Sumber Daya Alam

i. Minyak Bumi

ii. Gas Alam

iii. Pertambangan Umum

iv. Kehutanan

v. Perikanan

Bagian Laba BUMN PNBP Lainnya

II. Hibah

B. BELANJA NEGARA

I. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat

1. Pengeluaran Rutin

Belanja Pegawai

138

Belanja Barang

Pembayaran Bunga Hutang

i. Hutang Dalam Negeri

ii. Hutang Luar Negeri

Subsidi

i. Subsidi BBM

ii. Subsidi Non BBM

Pengeluaran Rutin Lainnya

2. Pengeluaran Pembangunan

Pembiayaan Pembangunan Rupiah

Pembiayaan Proyek

II. Dana Perimbangan

1. Dana Bagi Hasil

2. Dana Alokasi Umum

3. Dana Alokasi Khusus

III. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang

C. KESEIMBANGAN PRIMER

D. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A-B)

E. PEMBIAYAAN (E.I + E.II)

I. Dalam Negeri

1. Perbankan Dalam Negeri

2. Non-perbankan Dalam Negeri

Privatisasi

Penjualan Aset program restrukturisasi perbankan

Obligasi Negara (netto)

i. Penerbitan Obligasi Pemerintah

139

ii. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang/Obligasi DN

II. Luar Negeri

1. Pinjaman Proyek

2. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang LN

3. Pinjaman Program dan Penundaan Cicilan Hutang

Proses penyusunan dan penetapan APBN dapat dikelompokkan

dalam dua tahap, yaitu: (1) pembicaraan pendahuluan antara pemerintah

dan DPR, dari bulan Februari sampai dengan pertengahan bulan Agustus

dan (2) pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN, dari pertengahan

bulan Agustus sampai dengan bulan Desember. Berikut ini diuraikan

secara singkat kedua tahapan dalam proses penyusunan APBN tersebut.

Pembicaraan Pendahuluan antara Pemerintah dan DPR. Tahap ini

diawali dengan beberapa kali pembahasan antara pemerintah dan DPR

untuk menentukan mekanisme dan jadwal pembahasan APBN. Kegiatan

dilanjutkan dengan persiapan rancangan APBN oleh pemerintah, antara

lain meliputi penentuan asumsi dasar APBN, perkiraan penerimaan dan

pengeluaran, skala prioritas dan penyusunan budget exercise untuk dibahas

lebih lanjut dalam rapat antara Panitia Anggaran dengan Menteri

Keuangan dengan atau tanpa Bappenas. Pada tahapan ini juga diadakan

rapat komisi antara masing-masing komisi (Komisi I s.d IX) dengan mitra

kerjanya (departemen/lembaga teknis). Tahapan ini diakhiri dengan proses

finalisasi penyusunan RAPBN oleh Pemerintah. Secara lebih rinci, tahapan

ini bisa dijelaskan sebagai berikut:

140

Menteri Keuangan dan Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS)

atas nama Presiden mempunyai tanggung jawab dalam mengkoordinasikan

Penyusunan APBN. Menteri Keuangan bertanggungjawab untuk

mengkoordinasikan penyusunan anggaran belanja rutin. Sementara itu

Bappenas bersama-sama dengan Menteri Keuangan bertanggung jawab

dalam mengkoordinasikan penyusunan anggaran belanja pembangunan.

Persiapan anggaran dimulai dengan assessment indikator fiskal

makro oleh Badan Analisa Fiskal, Departemen Keuangan. Selanjutnya

Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas menerbitkan Surat Edaran agar

departemen teknis mengajukan usulan anggaran rutin maupun

pembangunan. Usulan anggaran rutin diajukan ke Direktorat Jenderal

Anggaran pada bulan Juni. Daftar Usulan Kegiatan tersebut lebih terfokus

pada program costing dan perubahan harga. Direktorat Jenderal Anggaran

dan departemen teknis mereview Daftar Usulan Kegiatan tersebut dengan

titik tekan pada costing ketimbang policy. Pada bulan Agustus, Direktorat

Jenderal Anggaran menerbitkan pagu pengeluaran rutin sebagai dasar bagi

departemen teknis untuk menyusun anggaran rutin lebih detil.

Sementara itu, usulan anggaran pembangunan diajukan oleh

departemen teknis kepada Direktorat Jenderal Anggaran dan Bappenas.

Direktorat Jenderal Anggaran dan Bappenas mereview usulan anggaran

pembangunan tersebut berdasarkan Program Pembangunan Nasional dan

Rencana Pembangunan Tahunan. Menteri Keuangan memberikan

pertimbangan mengenai pagu anggaran pembangunan sebagai dasar

141

pembahasan antara Direktorat Jenderal Anggaran Bappenas, dan

departemen teknis. Selanjutnya pada bulan Agustus, Presiden mengajukan

Nota Keuangan dan RAPBN kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN. Tahapan ini dimulai

dengan Pidato Presiden sebagai pengantar RUU APBN dan Nota

Keuangan. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan baik antara Menteri

Keuangan dengan Panitia Anggaran, maupun antara komisi-komisi dengan

departemeen/lembaga teknis terkait. Hasil dari pembahasan ini adalah

Undang-undang APBN yang disahkan oleh DPR. UUAPBN kemudian

dirinci ke dalam satuan 3. Satuan 3 yang merupakan bagian tak

terpisahkan dari undang-undang tersebut adalah dokumen anggaran yang

menetapkan alokasi dana per departemen/lembaga, Sektor, Sub Sektor,

Program dan Proyek/Kegiatan.

Apabila DPR menolak RAPBN yang diajukan pemerintah tersebut,

maka pemerintah menggunakan APBN tahun sebelumnya. Hal itu berarti

pengeluaran maksimum yang dapat dilakukan pemerintah harus sama

dengan pengeluaran tahun lalu.

Berdasarkan satuan 3, Direktorat Jenderal Anggaran dan

Departemen/Lembaga membahas rincian pengeluaran rutin berdasarkan

pedoman penyusunan Dokumen Isian Anggaran dan indeks satuan biaya

yang disusun oleh tim interdep. Proses ini harus diselesaikan dari Oktober

sampai dengan Desember. Sedangkan untuk pengeluaran pembangunan,

Direktorat Jenderal Anggaran, Bappenas, dan departemen teknis

142

membahas rincian pengeluaran untuk tiap-tiap proyek. Hasil pembahasan

tersebut didokumentasikan ke dalam dokumen-dokumen berikut: (1) .

Dokumen Isian Anggaran merupakan dokumen anggaran yang berlaku

sebagai otorisasi untuk pengeluaran rutin pada masing-masing unit

organisasi pada Departemen/Lembaga yang dirinci ke dalam belanja

pegawai dan non pegawai. (2) Daftar Isian Pelaksana Anggaran.

merupakan dokumen anggaran yang berlaku sebagai otorisasi untuk

pengeluaran pembangunan untuk masing-masing proyek pada

Departemen/Lembaga yang dirinci ke dalam belanja modal dan penunjang.

(3) Surat Pengesahan Alokasi Anggaran Rutin adalah dokumen yang

menetapkan besaran alokasi anggaran rutin untuk setiap kantor/satuan

kerja departemen teknis di daerah yang selanjutnya akan dibahas antara

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran dan instansi vertikal

Departemen/Lembaga untuk kemudian dituangkan dalam Daftar Isian

Angaran. (4) Surat Pengesahan Alokasi Anggaran Pembangunan . adalah

dokumen yang menetapkan besaran alokasi anggaran pembangunan untuk

setiap proyek/bagian proyek yang selanjutnya akan dibahas antara Kantor

Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran dengan instansi vertikal/dinas

untuk kemudian dituangkan dalam daftar isian pelaksana anggaran . (5)

Surat Keputusan Otorisasi . adalah dokumen otorisasi untuk penyediaan

dana kepada Departemen, Lembaga, Pemerintah Daerah dan pihak lain

yang berhak baik untuk rutin maupun pembangunan yang tidak dapat

ditampung dengan daftar isian pelaksana anggaran.

143

Surat Keputusan Otoritas disampaikan oleh Direktorat Jenderal

Anggaran kepada Departemen/Lembaga. Berdasarkan dokumen-dokumen

tersebut, Departemen/Lembaga melaksanakan pengadaan barang dan jasa

dengan pihak ketiga. Tagihan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan

pengadaan barang dan jasa tersebut disampaikan kepada Kantor

Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Selanjutnya KPKN meneliti

keabsahan tagihan-tagihan dimaksud dan menerbitkan Surat Perintah

Membayar.

Untuk mengawasi pelaksanaan tugas KPKN tersebut, di lingkungan

Direktorat Jenderal Anggaran terdapat Kantor Verifikasi Pelaksanaan

Anggaran (KASIPA) yang bertanggung jawab untuk memverifikasi Surat

Perintah Membayar yang diterbitkan oleh KPKN.

Dalam rangka melaksanakan manajemen kas dan untuk mencegah

departemen/lembaga melakukan pengeluaran secara berlebihan pada awal

periode tahun anggaran, Menteri Keuangan membatasi jumlah pengeluaran

rutin untuk satu triwulan maksimal sama dengan seperempat dari jumlah

alokasi dana yang tersedia. Sedangkan untuk belanja pembangunan,

pencairan dana disesuaikan dengan tingkat kemajuan prestasi penyelesaian

proyek.

Berdasarkan realisasi penerimaan dan pengeluaran APBN dalam

tahun anggaran berjalan, Menteri Keuangan menyiapkan Rancangan

Undang-Undang Perhitungan Anggaran Negara (RUU PAN) dan diajukan

kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan.

144

Selanjutnya RUU PAN tersebut disampaikan kepada BPK untuk

diaudit. Presiden mengajukan RUU PAN yang telah diaudit oleh BPK

tersebut kepada DPR paling lambat 15 bulan setelah berakhirnya tahun

anggaran bersangkutan.

Setelah DPR menyetujui RUU PAN tersebut, Presiden mengesahkan

RUU PAN menjadi Undang-undang Perhitungan Anggaran (UU PAN).

Sebelum diuraikan proses APBN pasca UU No. 17/2003, kiranya perlu

diuraikan terlebih dahulu pokok-pokok reformasi dalam penganggaran

sebagaimana tertuang dalam UU No. 17/2003.

UU No. 17/2003 mereformasi secara signifikan sistem

penganggaran yang telah puluhan tahun diterapkan di Indonesia. Secara

singkat, faktor-faktor yang mendorong reformasi di bidang penganggaran

ini adalah:

1) Ada beberapa aspek dari proses penganggaran di Indonesia

yang menghambat pendistribusian dana anggaran ke berbagai program;

2) Perkiraan pendapatan dan proyeksi anggaran negara tidak disiapkan

dalam suatu kerangka makro;

3) Tidak ada suatu kerangka penyatuan anggaran (unified framework

for budgeting) mengingat anggaran rutin dan pembangunan

disiapkan secara terpisah;

4) Sistem penganggaran yang berlaku menimbulkan kurangnya

informasi mengenai hasil suatu program (program results)

5) Pelaksanaan anggaran dan monitoring masih menjadi hal yang lemah;

145

6) Susunan alokasi anggaran yang cukup terinci, secara tidak

langsung mencerminkan kontrol yang kuat, namun dalam

realisasinya ditengarai menimbulkan berbagai penyimpangan

(KKN) dan kebocoran anggaran. Pokok-pokok reformasi

penganggaran yang terpenting meliputi:

(1) Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif

jangka menengah;

(2) Memadukan (unifying) atau mengintegrasikan anggaran rutin

dan anggaran pembangunan;

(3) Penerapan anggaran berbasis kinerja. 75

Penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan

nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak

realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan

pemerintahan dalam era globalisasi. Perkembangan dinamis dalam

penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang

terdiri dari system penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai

dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure

Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.

Berdasarkan hal ini, UU No. 17/2003 mengintrodusir dilaksanakannya Kerangka

Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) ini.

Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term

Expenditure Framework) merupakan kerangka pengeluaran jangka

75

7

Anggito Abimayu 2004 Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang Tindih Kompas mei 2004

146

menengah meliputi periode tiga sampai lima tahun. Kerangka tersebut

merupakan pendekatan atas-bawah (top-down approach), yaitu estimasi

ketersediaan sumber daya pengeluaran publik sesuai dengan kerangka

ekonomi makro. Sementara itu, pendekatan bawah ke atas (bottom-up

approach) yaitu biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka melaksanakan

kebijakan, program, dan kegiatan, serta kerangka kerja yang

merekonsiliasikan keseluruhan biaya dengan sumber-sumber daya yang

tersedia sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu: "untuk memastikan bahwa

pemerintah mampu untuk melakukan prioritas-prioritas rekonstruksi dan

pembangunan dalam konteks estimasi pengeluaran tiga tahunan yang

konsisten dengan suatu kerangka makroekonomi yang baik".

Siklus MTEF. MTEF terdiri dari dua sub proses, yaitu penetapan

target fiskal (setting fiscal targets) dan alokasi sumber-sumber daya pada

pilihan strategis (allocation of resources to strategic). Kemudian, sub

proses penetapan target fiskal juga dibagi ke dalam dua sub-sub proses,

yaitu pembaharuan kondisi ekonomi dan fiskal serta pernyataan kerangka

fiscal. Sub proses alokasi sumber-sumber daya pada pilihan strategis juga

dibagi menjadi dua sub-sub proses, yaitu pernyataan kebijakan anggaran

dan review fundamental. Ringkasnya, dalam proses pengambilan

keputusan, proses dan sub proses tersebut bukan merupakan hal yang

berdiri sendiri, tetapi terkait satu dengan yang lainnya.

Secara sederhana, siklus MTEF dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pembaharuan kondisi ekonomi dan fiskal merupakan langkah pertama dalam

147

siklus persiapan anggaran. Langkah tersebut diikuti dengan langkah selanjutnya,

yaitu kabinet menetapkan tujuan jangka panjang mengenai kebijakan fiskal dan

kebijakan ekonomi makro. Tujuan-tujuan ini kemudian dijabarkan ke dalam

tujuan-tujuan jangka pendek. Penetapan target fiskal diikuti alokasi sumber-

sumber daya pada strategi-strategi yang ditetapkan. Kabinet kemudian

menetapkan prioritas anggaran. Prioritas anggaran merupakan negosiasi strategis

di antara berbagai sektor dalam proses alokasi sumber daya.

Merujuk keuangan negara, dengan diterapkannya MTEF akan dapat

dicapai tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Meningkatkan keseimbangan ekonomi makro dengan membangun

kerangka kerja sumber daya yang konsisten dan realistis;

2. Meningkatkan alokasi sumber daya kepada prioritas yang strategis

di antara dan di dalam organisasi;

3. Meningkatkan komitmen untuk memberikan kemampuan prediksi,

baik kebijakan maupun pendanaan, sehingga instansi pemerintah

dapat membuat rencana dan program yang berkelanjutan;

4. Memberikan batasan yang jelas kepada instansi pemerintah, meningkatkan

otonomi, dan memberikan penghargaan kepada instansi pemerintah yang

menggunakan dana secara efisien dan efektif;

5. Meningkatkan akuntabilitas dan kredibilitas secara politis dalam

rangka menghasilkan outcome yang diinginkan.

BAB IV

MEKANISME FUNGSI PENGAWASAN DPR BERKAITAN

DENGAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

4.1 Mekanisme DPR Dalam Fungsi Pengawasan Terhadap

Pengelolaan Keuangan Negara

DPR selain sebagai badan legislatif juga DPR sebagai lembaga

kontrol (pengawas) terhadap jalannya pemerintahan. Fungsi pengawasan

oleh DPR diatur dalam pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah ;

DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan

dan dalam penjelasan UUD NRI tahun 1945 yang mempunyai arti yang

sangat penting karena DPR dapat mengusulkan kepada MPR untuk

meminta pertanggungan jawaban dari Presiden dalam sidang istimewa

apabila Presiden dianggap telah melanggar ketentuan yang ada.

Fungsi kontrol oleh DPR menurut Ismail Suny menyatakan bahwa ;

Real parliamentary control dapat dilakukan dalam tiga bentuk ; control of

executive, control of expenditure dan control of taxation by parliament

dalam hal ini diatur sebagai berikut :

1. Control of executive menetapkan hak-hak DPR yaitu;a. Mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota.b. Meminta keterangan (Interpelasi)c. Mengadakan penyilidikan ( Angket )d. Mengajukan perubahan (Amandemen)e. Mengajukan usul pernyataan pendapatf. Mengajukan /menganjurkan seseorang jika ditentukan oleh

suatu perundang-undangan

148

149

2. Control of expenditure, UUD 1945 pasal 23 ayat 1 beserta penjelasannya mengatur hak DPR untuk bersama-sama pemerintah menetapkan APBN. Dihubungkan dengan adanya Badan Pemeriksa Keuangan yang ditugaskan memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara ,dimana hasil pemeriksaan itu harus diberitahukan kepada DPR maka pengawasan APBN ini sebenarnya dapat dilakukan secara efektif.

3. Control of taxation, UUD 1945 pasal 23 A pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang.dengan demikian segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagai pajak dan lain-lainnya harus ditetapkan dengan persetujuan DPR.76

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam

penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu

diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai

dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar.

Sesuai dengan amanat Pasal 23 C Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun

1945, Undang-Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan

aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar tersebut

ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama

dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas

universaliias, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru

sebagai pencerminan best practises (penerapan kaidah-kaidah yang baik)

dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain:

a. Akuntabilitas berorientasi hasil,

b. Profesionatitas,

76 Ismail Suny, 2004, Kedudukan MPR, DPR dan DPD Pasca Amandemen 1945, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, hal. 13.

150

c. Proporsionalitas,

d. Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara,

e. Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan

mandiri.

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin

terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan sebagaimana telah

dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-undang

tentang keuangan negara, pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi

acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus

dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Disamping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi

secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan

negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan

dengan cara luar biasa, Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana

korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, yaitu dalam pasal 23 E

ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menyatakan untuk

memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara

diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri, ayat

(2) Hasil Pemeriksaan Keuangan Negara diserahkan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

151

Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya, ayat (3) Hasil pemeriksaan

tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai

dengan undang-undang.

Menurut Moh.Kusnardi,Harmaily Ibrahim77 menyatakan; untuk

menerima tanggung jawab pemerintah terhadap pemeriksaan keuangan

Negara itu perlu adanya suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan

kekuasaan pemerintah, maka suatu badan pemeriksaan keuangan yang

tunduk pada pemerintah tidak dapat melakukan kewajibannya dengan baik

dan badan itu bukan suatu badan yang berdiri ditas pemerintah.

Dalam pasal tersebut di atas dapat dicermati lebih lanjut yaitu

bahwa terdapat 3 pengertian yaitu kegiatan tindak pidana korupsi,

pengertian keuangan negara dan perekonomian negara. Lebih lanjut

pengertian keuangan negara disebutkan dalam bagian penjelasan umum

undang-undang tindak pidana korupsi yaitu bahwa: "keuangan negara

adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan

atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan

negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung-

jawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di

daerah.

b. Berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban

Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,

77 Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim lot cit, hal. 43

152

yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal

negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga

berdasarkan perjanjian dengan negara.

Pada bagian yang sama yaitu penjelasan umum Undang-Undang No.

31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian

negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha

bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara

mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah baik di tingkat

pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran

dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.

Sedangkan kepada masyarakat, akuntabilitas penyelenggaraan

pemerintahan dilakukan melalui berbagai media informasi yang

memungkinkan akses seluas-luasnya bagi masyarakat. Perubahan tersebut,

merupakan implikasi dari amandemen Undang-Undang Dasar Negara RI

Tahun 1945 yang berdampak pada perubahan sistem pemerintahan.

Sementara itu, dalam perspektif amanah dan substansi kepemerintahan,

penyampaian progress kinerja pemerintah kepada DPR, merupakan

refleksi dari nilai-nilai demokrasi yang diwujudkan pada DPR, sebagai

mitra kerja pemerintah yang mengemban fungsi lembaga wakil rakyat.

Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam

rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup

agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari

153

tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan daerah, pembaharuan

berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari Undang-

Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sampai ke tingkat Peraturan Daerah

dan pembaharuan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku

masyarakat hukum ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan

perkembangan zaman.

Dengan perkataan lain dalam agenda reformasi hukum telah

tercakup pengertian reformasi kelembagaan (institutional reform),

reformasi perundang-undangan (instrumental reform), dan reformasi

budaya hukum (cultural reform). Reformasi hukum harus pula dimulai dari

kondisi pemerintah yang baik. Pemerintahan yang sehat dan tegas akan

mendukung apapun langkah reformasi yang diamanatkan. Pemerintah

sebagai subjek hukum yang berarti pula dapat melakukan perbuatan

hukum, maka pemerintah sangat berpotensi melakukan penyimpangan atau

pelanggaran hukum. Pemerintahan adalah berkenaan dengan sistem.

fungsi, cara perbuatan, kegiatan, urusan atau tindakan memerintah yang

dilakukan atau diselenggarakan atau dilaksanakan oleh 'pemerintah' dalam

arti luas (semua lembaga Negara) maupun dalam arti sempit (presiden

beserta jajaran atau aparaturnya). Eksekutif adalah cabang kekuasaan

Negara yang melaksanakan kebijakan publik (kenegaraan dan atau

pemerintahan) melalui peraturan perundang-undangan yang telah

ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun atas inisiatif sendiri.

154

Secara teoritis, presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan

yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara.

Sebagai organ negara pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara.

Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik

di lapangan pengaturan (regeleri) maupun dalam lapangan pelayanan

(bestuureri). 'Administrasi' (Negara) adalah badan atau jabatan dalam

lapangan kekuasaan eksekutif yang mempunyai kekuasaan mandiri

berdasarkan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan pemerintahan

baik di lapangan pengaturan, maupun penyelenggaraan administrasi

negara. Kembali pada pernyataan bahwa setiap orang selalu dapat

melakukan kesalahan, maka diperlukan suatu pengawasan baik internal

maupun eksternal. Salah satu instrumen pengawasan itu adalah melalui

dan oleh hukum, dan karena secara konstitusional pemerintah adalah

pemegang otoritas membentuk dan melaksanakan hukum, maka patut

diwaspadai segala sesuatu yang berpotensi untuk terjadinya pelanggaran

hukum oleh pemerintah.

Cita-cita reformasi untuk mendudukan hukum di tempat tertinggi

(supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga

detik ini tak pernah terealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal

mimpi dan angan-angan (utopia). Begitulah kira-kira statement yang

pantas diungkapkan untuk mendeskriptifkan realitas hukum yang ada dan

sedang terjadi saat ini di Indonesia. Bila dicermati suramnya wajah hukum

merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement)

155

yang stagnan dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya

diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan

hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual

beli putusan hakim, atau kualisi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam

perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat

ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan

hukum yang kacau seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang

pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347

s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya

mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya

dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are

caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).

Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum

dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran di berbagai

bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya).

Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa

hormat, dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis

dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan

cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri

(eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan

masyarakat terhadap hukum yang ada. Jika dikaji dan ditelaah secara

mendalam, setidaknya terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum

di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu :

156

a. Pertama, lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat kampanye.

b. Kedua, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat.

c. Ketiga, rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.

d. Keempat, minimnya sarana dan prasarana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum.

e. Kelima, tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.

f. Keenam, paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).

g. Ketujuh, kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis.78

Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan

hukum sebagaimana diuraikan di atas. Langkah dan strategi yang sangat

mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan

tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum

yang ada. Dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur (three elements of legal

system yaitu, struktur (structure), substansi (substance) dan kultur hukum (legal

culture). Dalam konteks Indonesia, reformasi terhadap ketiga unsur sistem

hukum tersebut sangat mutlak untuk dilakukan. 79

787 Soerjono Soekanto,2008 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,, hal. 46.797 Laurence M Friedman, 1969, The Legal System A Social Science Perspective , Russell Sage Foundation, New York, Hlm. 2-3.

157

Terkait dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan

terhadap institusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan,

kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan

penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan

terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera

dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah

birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum.

Memang benar apa yang dikemukan oleh Max Weber (1864-1920)

bahwa salah satu ciri dari hukum modern adalah hukum yang sangat

birokratis. Namun, birokrasi yang ada harus respon terhadap realitas sosial

masyarakat. sehingga dapat melayani masyarakat pencari keadilan

(justitiabelen) dengan baik.

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum dan tidak

berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini menunjukkan bahwa semenjak

Indonesia merdeka berkeyakinan untuk menggunakan konsep negara

Hukum. Akibat dari memilihnya konsep negara hukum adalah dimana

semua aspek kehidupan yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan

pemerintahan Negara Republik Indonesia harus tunduk pada norma-norma

hukum. Hukum mesti memainkan perannya secara mendasar sebagai titik

sentral dalam seluruh kehidupan bermasyarakat.80

80

8

Ismail Saleh, 1995, "Pembinaan Cita Hunum dan Penerapan Asas- Asas hukum Nasional Sejak Orde Baru", Majalah Hukum Nasional, No 1,1995, Edisi Khusus, BPHN, hal: 15

158

Gambaran dan fenomena perjalanan sejarah hukum Indonesia masih

menunjukan adanya ketidakseimbangan antara pelaksanaan fungsi hukum

dengan perkembangan substansi dan strukturnya. Jika program kodifikasi

dan unifikasi hukum dijadikan ukuran, maka pembangunan struktur dan

substansi hukumnya telah berjalan baik, namun dari sisi lain dapat dilihat

fungsi hukum cenderung merosot.81 Ketidaksinkronan pertumbuhan antar

fungsi, substansi dan struktur hukum disebabkan adanya faktor- faktor

yang tidak dan atau kurang mendukung bekerjanya sistem hukum di

Indonesia.

Terkait dengan hal diatas tersebut, dengan melihat fenomena yang

berkembang di jaman korupsi dan penyalahgunaan wewenang telah

menjadi suatu budaya. Pelanggaran terhadap hukum dan nilai-nilai moral

serta norma-norma hukum semakin semerbak. Terkait dengan pengelolaan

keuangan APBN oleh pemerintah, telah berkembang suatu budaya kotor

berupa penyalahgunaan wewenang, serta korupsi, dimana hal ini telah

menjadi budaya. Masalah budaya hukum merupakan salah satu agenda

reformasi hukum yang harus ditangani dan ditanggapi secara serius,

disamping aspek-aspek hukum lainnya. Pengalaman masa lalu bangsa

Indonesia yang hanya menekankan pada aspek yuridis formal, tanpa

menekankan pada pembangunan perilaku hukum dan moralitas hukum

masyarakat, sehingga bangsa Indonesia jatuh ke dalam masalah-masalah

81

8

Moh.Mahfud MD, 2000, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Garna Media, hal.2-3

159

serius.82 Hal ini dapat terlihat dengan jelas dimana hampir di

sebagian wilayah administratif di Indonesia, para anggota Dewan

Perwakilan Rakyat tersandung masalah korupsi dan penyalahgunaan

wewenang.

Pengedepanan aturan hukum adalah pilihan yang paling rasional

guna mencegah terjadinya berbagai penyimpangan tersebut. Secara singkat

dapat dikatakan bahwa segala aktivitas pemerintah harus tetap dalam

kendali pengawasan yang memadai (adeguate). Keberadaan pemerintah

yang selalu dalam pengawasan mengandung makna bahwa pemerintah

harus tunduk pada hukum. Upaya yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan

mengefektifkan pengawasan baik melalui pengawasan lembaga peradilan

maupun masyarakat serta berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang

baik.

Pelaksanaan pemerintahan yang baik pada gilirannya juga akan membuat

masyarakat memperoleh dan merasakan ketentraman lahir batin, berupa: (a)

Kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada kekuatan fisik

dan non fisik; (b) Sepanjang tidak melanggar hak dan merugikan orang lain

maka masyarakat dapat secara bebas menjalankan apa yang diyakininya sebagai

kebenaran, serta dapat secara bebas pula mengembangkan bakat dan

kesenangannya; (c) Merasakan diperlakukan secara wajar. berperikemanusiaan,

adil dan beradab sekalipun melakukan kesalahan.

82

8

Satjipto Rahardjo,1998 "Keleluasaan Reformasi Hukum", Artikel dalam Kompas,

160

Demi menjamin dan memberikan landasan hukum bahwa perbuatan

pemerintahan (besluurhendeling) yang dilakukan oleh pemerintah sebagai

suatu perbuatan yang sah (legitimate dan justified), dapat

dipertanggungjawabkan (accountable and responsible) dan bertanggung

jawab (liable), maka setiap perbuatan pemerintahan itu harus berdasarkan

atas hukum yang adil, bermartabat dan demokratis, Perkembangan

masyarakat akhir ini, memaksa sistem politik yang dahulu mencengkeram

dengan keras untuk menyesuaikan diri dengan penghormatan kepada hak-

hak asasi manusia. Sistem politik yang demokratis menuntut suatu

kekuasaan kehakiman yang merdeka yang tentunya juga memiliki kualitas

dan pengawasan yang baik. Perkembangan ini secara langsung juga

merupakan tuntutan dunia internasional untuk mengurangi inefisiensi dari

pemerintahan yang sentralisasi dan kebutuhan kepastian hukum dalam

melaksanakan kinerja ekonomi. Kondisi pemerintahan telah

memperlihatkan ketidaktegasan policy pemerintah dalam memberikan

pengawasan terhadap para aparat penegak hukum dalam memberantas

korupsi dan kejahatan lain yang berkaitan dengan kerugian negara.

Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali hukum hanya dipergunakan

sebagai alat untuk mengatur rakyat belaka dan jarang dijadikan acuan bagi

diri sendiri oleh pemerintah dan pemegang kekuasaan lainnya. Hal inilah

yang pertama-tama harus disadari oleh semua pihak agar dapat mencapai

kondisi kenegaraan yang mapan dan rakyat sejahtera yakni bahwa hukum

harus diperlakukan sebagai panglima dalam Negara hukum.

161

Sesungguhnya, dengan kerangka normatif tersebut, kita tidaklah

begitu melihat problem tekstualitas hukum yang mensyaratkan sejumlah

prinsip dalam mengelola keuangan negara. Namun dalam prakteknya,

pastilah timbul pertanyaan, mengapa begitu banyak di berbagai daerah

terjadi korupsi (mark-up) anggaran (apalagi disebut korupsi berjama'ah),

praktik suap-menyuap dalam proses penyusunannya, tidak terbuka dan

partisipatif, tidak peka terhadap anggaran yang memenuhi kebutuhan dasar

rakyat miskin, tidak bisa dipertanggungjawabkan, cenderung banyak

pemborosan seperti anggaran dengan alasan studi banding, dan sekedar

mementingkan sekelompok elit politik yang duduk di kursi parlemen dan

birokrasi. Kondisi buruknya pengelolaan keuangan ditambah parah dengan

konspirasi untuk mengimpunitas pelaku korupsi dan membebaskannya

tanpa sedikitpun tersentuh hukum (law disenforcement conspiracy).

Dengan alasan bahwa selain paradigm hukum keuangan negara yang tidak

dijalankan (atau mungkin pula tidak dipahami), kemudian diperkuat

dengan situasi law disenforcement conspiracy yang membuat problem

keuangan negara kian akut. Dengan alasan itu bukanlah hal yang baru dan

(memang) tak terbantahkan, apalagi disandarkan pada praktek-praktek

penyalahgunaan keuangan negara di masa lalu, dimana keuangan negara

senantiasa menjadi bahan bakar mesin politik kekuasaan Soeharto di masa

Orde Baru. Apa yang kita dapati hari ini, tidaklah jauh dari warisannya,

hanya saja bergeser ke politik kekuasaan lokal.

162

Meskipun demikian, ada pula politik liberal yang masuk melalui

sejumlah pintu kekuasaan di pusat dan daerah melalui desain baru yang

diinjeksikan dengan menggunakan prinsip-prinsip, yang uniknya, teks

(hukum) dan lafalnya mirip, namun kerangka ideologi dan tujuan di balik

prinsip-prinsip tersebut jauh berbeda dan bahkan bertentangan dengan

paradigma hukum keuangan negara.

Bertitik tolak dari norma hukum suatu APBN selayaknya

pembuatan anggaran pendapatan dan belanja negara memperhatikan

prinsip-prinsip anggaran yang berikut: keadilan anggaran; efisiensi dan

efektivitas anggaran; anggaran berimbang dan defisit; disiplin anggaran;

transparansi atau keterbukaan dan akuntabilitas anggaran sesuai

dengan'pertanggung jawaban keuangan sebagaimana dianjurkan oleh

pemerintah Baginya, penyusunan APBN yang sesuai dengan arahan

fundamental 'good governance' merupakan tuntutan sekaligus

pengembangan bagi upaya peningkatan kinerja Pemerintah.

Kemudian, prinsip ini dibingkai dalam Good Financial Governance

(GFG), yang memiliki karakter: Participation (partisipatoris); Rule of Law

(berdasar hukum); Transparency (keterbukaan); Responsiveness

(bertanggungjawab); Concensus orientation (berorientasi kesepakatan);

Equity (keadilan atau kesetaraan); Effectiveness and Efficiency (tepat

guna dan berhasil guna); Accountability (berperhitungan); Strategic vision

(memiliki visi strategis). 83 Dan tujuannya, sebagai agenda utama:

83

8

Soekarwo (2005), Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Primip-Prinsip Good Financial Governance. Surabaya: Airlangga University Press.

163

a. To create awareness and willingness on the part of the society

to establish the condition of good governance.

b. To enact organic laws under the constitution that are consistent

with its intent;

c. To reinforce the implementation and management of change,

especially reforms in public service and education;

d. To urgently solve the problems of corruption and misconduct in

the public and private business sectors,

e. To accelerate the setting of standards for business operation. 84

Nampaknya, kreasi-kreasi prinsip berikut karakter dan tujuannya

yang disebutkan tersebut, apalagi dengan kutipan pada cara pandang IMF

dan World Bank dalam urusan keuangan negara adalah kurang tepat

dengan paradigma hukum keuangan negara yang dimiliki Indonesia atas

dasar konstitusi.

Good financial governance, tidak ubahnya induk diskursusnya good

governance, kelihatan baik dan rapi dalam prosesi ilmiahnya, namun

sangatlah bias kepentingan neo-liberalisme yang menegaskan prinsip-

prinsip liberal untuk tujuan mendorong pasar bebas dan menarik secara

sistematik peran negara dalam urusan publik. Dengan begitu, disain besar

pengelolaan keuangan negara dengan mengandalkan prinsip-prinsip

tersebut bukanlah dalam rangka mencegah korupsi dan kesewenangan

untuk mengurangi kemiskinan, melainkan mendisiplinkan tata kelola dan

84

8

Ibid, hal. 228.

164

administrasi keuangan negara untuk sekedar menjawab prasyarat politik

ekonomi liberalisasi pasar. Urusan keuangan negara menjadi penting

utamanya mendorong upaya percepatan pembangunan dan penyejahteraan

masyarakat secara luas. Sebagian besar akan mempercayai bahwa

kebijakan pemerintah akan membawa dampak besar bagi perkembangan

pembangunan. Namun, persoalan kemudian adalah, bagaimanakah

paradigma pembangunan yang dikehendaki oleh penguasa, dan bagaimana

seharusnya keuangan negara menopang proses pembangunan tersebut.

Paradigma yang menegaskan bahwa sejumlah konsepsi kebijakan

pemerintah yang didorong untuk keperluan good governance dan

pembangunan (decentralization for good governance and development)

sangatlah dipengaruhi oleh pemikiran ideologi pembangunan ala World

Bank dan IMF. Lebih ekstrem lagi untuk melihat ekses negatif dari good

governance, sejumlah studi telah membongkarnya dalam perspektif kritik

atas dominasi World Bank dan lembaga keuangan internasional lainnya

yang memaksakan politik ekonominya dalam konstruksi pembangunan

hukum di negara-negara selatan, dan sejumlah analisis kritis di berbagai

negara dunia. The absence (yang tiada) dari diskursus good governance

berikut turunannya dalam urusan keuangan negara semacam 'good

financial governance' adalah tata kelola keuangan tersebut harus

berdimensi pertanggungjawaban hak asasi manusia. Paradigma

penyejahteraan rakyat di awal yang disinggung adalah kunci masuk bagi

proses-proses pemajuan hak-hak asasi, khususnya tanggung jawab negara

165

untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga

negara.

Hasil dari pada pengawasan BPK terhadap pengelolaan keuangan

negara dilaporkan kepada DPR, jika terjadi penyimpangan atau korupsi,

pelanggaran hukum terhadap keuangan negara akan disampaikan kepada

presiden atau pemerintah dan presiden atau pemerintah akan

menindaklanjuti kepada Jaksa Agung meneruskan kepada pihak kepolisian

Republik Indonesia, sedangkan hasil dari BPKP (Badan Pengawas

Keuangan dan Pembangunan) dari evaluasi pengawasan keuangan negara

diserahkan kepada presiden dan ditindaklanjuti, jika terjadi penyimpangan

hukum akan diserahkan pada pihak kepolisian serta jaksa ditempat mana

terjadi pelanggaran hukum tersebut.

Jika memperhatikan mekanisme pengawasan keuangan negara yang

demikian ketat dari setiap departemen pemerintah maupun perusahaan

negara yang selalu ada pengawasan, toh juga masih ada korupsi. Memang

sangat susah untuk diberantas, walaupun demikian kita harus berjuang

untuk memakmurkan rakyat.

Pada dasarnya kelebihan penerapan mekanisme pengawasan dan

pemeriksaan berjenjang dan terpadu akan menghasilkan adalah :

1. Memperkecil span of control2. Menjadikan pengawasan/pemeriksaan lebih efektif dan efisien3. Mengurangi tumpang tindih pengawasan/pemeriksaan yang

hanya membebani secara rutinitas birokrasi yang diperiksanya.4. Memperkecil inputnya obyek pengawasan/pemeriksaan

166

5. Menciptakan sistem check and recheck pengawasan/pemeriksaan pada setiap strata dalam mempersiapkan hasil laporan lebih terjamin.

6. Menciptakan transparansi hasil/laporan pengawasan/ pemeriksaan.

7. Memperlancar akses informasi adanya penyimpangan pengawasan/pemeriksaan

8. Memperkecil peluang KKN9. Meningkatkan responsibility dan accountability pengawas/

pemeriksa10.Mendeteksi korupsi lebih dini11.Menciptakan pengawasan/pemeriksaan yang lebih terfokus.12.Sejalan dengan konsep otonomi daerah dimana pengawas/

pemeriksa dapat dilakukan oleh aparat daerah, tetapi konsep uji ulang pemeriksaan tetap didelegasikan, apabila terdapat asymmetric information.

13.Siklus dan mekanisme pengawasan pemeriksaan berjalan secara otomatis tanpa adanya hambatan/distorsi yang disebabkan perebutan lahan pemeriksaan maupun penolakan terhadap pemeriksaan.

14.Terbentuk integraled control system dalam suatu negara kesatuan.85

Dari hasil yang diharapkan dalam mekanisme pengawasan keuangan

negara akan menjadi evaluasi dari para wakil rakyat yaitu DPR dalam

menetapkan APBN tahun akan datang. Hasil pemeriksaan tentang

tanggung jawab dari pada kebijaksanaan pemerintah dalam penggunaan

keuangan Negara diberitahukan kepada DPR dapat dinilai dari dua segi.

Menurut Moh. Kusnardi, Bintang R Saragih menyatakan ; 1) Apakah

penggunaan anggaran keuangan itu telah mencapai manfaat yang dituju

oleh anggaran itu; 2) Apakah penggunaannya itu sesuai dengan peraturan

perundang-undangan .86

85 Soerie Arifin Atmadja , 2009, Op cit, hal 8786 Moh. Kusnardi dan Bintang R Saragih, Op cit, hal. 18.

167

Jadi segala pengeluaran dan pendapatan yang pelaksanaannya

dilakukan oleh pemerintah harus dipertanggung jawabkan penggunaannya

karena menyangkut kepentingan dan nasib rakyat.

4.2 Fungsi Pengawasan DPR Yang Berkaitan Dengan Pengawasan

BPK

Black,s Law Dictionary dijelaskan tentang Check dan Balances ;

The theory of governmental power and functions whereby each branch of

government has the obility to counter the actions of any other branch, so

that no single branch can control the entire government, for example the

executive branch can check the legislature by efercising its veto power,

but the legislature can, by a sufficien majority override any veto. (Teori

tentang kekuasaan pemerintah dan fungsinya, dimana setiap cabang

pemerintah memiliki kemampuan untuk menjawab tindakan dari setiap

cabang, sehingga tidak ada satu cabang pun yang dapat mengawasi

keseluruhan pemerintah.87

Sebagai contoh cabang eksekutif dapat memeriksa legislatif dengan

kekuatan vetonya dengan suara mayoritas. Keseimbangan ini merupakan

suatu upaya kontrol untuk mencapai keseimbangan dengan melakukan

pengawasan dari masing-masing cabang kekuasaan untuk menghindari

tindakan sewenang –wenang dan penyalahgunaan kekuasaan.

87 Henry Campbell Black, 1999, Black’s Law Dictionary, 6 Ed, Paul Minn, West Publishing, Hlm. 231

168

Penerapan prinsip check and balances ini tidak hanya diterapkan

dalam Negara yang menggunakan sistem pemerintahan Presidensiil

(Amerika Serikat) tapi juga pada Negara yang menganut sistem

parlementer juga terdapat prinsip check and belances tersebut sebagai

contoh, Negara Belanda sebagai Negara Kerajaan, penerapan balances

terjadi ketika pembuat UUD dan UU memberikan kekuasaan kepada

lembaga Negara lainnya dan adaya kewajiban penerima kekuasaan untuk

bertanggungjawab kepada pemberi kekuasaan dan hak itu dipandang

sebagai check, oleh karena itu antara pemberi kekuasaan dan penerima

kekuasaan terdapat hubungan pengawasan dari lembaga pemberi

kekuasaan kepada penerima kekuasaan (hubungan yang vertikal).

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk

menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas

tujuan yang akan dicapai. Melalui pengawasan diharapkan dapat

membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai

tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui

pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan

atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan.

Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan

dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam

pelaksanaan kerja tersebut.

Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana

terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab

169

ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen

pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola

pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk

menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam

konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good

governance itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan

merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi

warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan

suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal

control) maupun pengawasan ekstern (external control). Di samping

mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).

Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan

pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen, di mana

pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari

pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya." Dalam ilmu manajemen,

pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen.

Dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai:

Pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang

diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang

dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan atau suatu usaha agar

suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah

ditentukan, dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya

170

hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui

yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya. Sementara itu,

dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai proses

kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau

diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau

diperintahkan.

Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya

penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat

dilakukan adalah:

a. Mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan;

b. Menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;

c. Mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana,

Pada dasarnya ada beberapa jenis pengawasan yang dapat

dilakukan, yaitu:

Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang

atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang

bersangkutan." Pengawasan dalam bentuk ini dapat dilakukan dengan cara

pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control)

atau pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh inspektorat jenderal

pada setiap departemen dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah yang

ada di Indonesia, dengan menempatkannya di bawah pengawasan

Departemen Dalam Negeri.

171

Pengawasan intern dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator

Ekonomi Selain itu juga terdapat Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) yang merupakan pelaksana teknis operasional

pengawasan :

a. pengawasan preventif dan represif;

b. pengawasan aktif dan pasif;

c. pengawasan kebenaran formil menurut hak (rechtimatigheid) dan

pemeriksaan kebenaran materiil mengenai maksud tujuan

pengeluaran (doelmatigheid).

Dalam kaitannya dengan keuangan negara, pengawasan ditujukan

untuk menghindari terjadinya "korupsi, penyelewengan, dan pemborosan

anggaran negara yang tertuju pada aparatur atau pegawai negeri," Dengan

dijalankannya pengawasan tersebut diharapkan pengelolaan dan

pertanggungjawaban anggaran negara dapat berjalan sebagaimana

direncanakan.

Dalam aspek pengawasan keuangan negara, DPR mempunyai

kepentingan kuat untuk melakukan pengawasan terhadapnya. Hal demikian

disebabkan "uang yang digunakan membiayai kegiatan-kegiatan negara

adalah diperoleh dari rakyat." Penjelasan UUD 1945 menegaskan ; Oleh

karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya

sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat,

sebagai pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang,

yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

172

Persetujuan DPR terhadap anggaran negara yang diajukan

pemerintah sebenarnya mempunyai makna pengawasan pula. Hal demikian

disebabkan persetujuan yang diberikan DPR bukan berarti membebaskan

pemerintah melakukan segala aktivitas yang berkaitan dengan anggaran

negara. Adanya pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran negara

sebenarnya diarahkan kemudian pada upaya, "menindaklanjuti hasil

pengawasan, sehingga ada sanksi hukum."

Sementara itu, pembagian macam pengawasan terbagi atas dasar

pengawasan intern yang berarti" Sementara itu, pengawasan eksternal

dimaksudkan sebagai "pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan

yang ada di luar lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.

Pengawasan dalam bentuk ini dilakukan oleh suatu badan yang ditetapkan

oleh pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan; "Untuk

memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan

Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

Pasal 23 G menentukan bahwa: (1) Badan Pemeriksa Keuangan

berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap

provinsi, (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan

diatur dengan undang-undang.

Dari ketentuan tersebut di atas setidaknya terdapat dua

perkembangan baru pada BPK yaitu menyangkut perubahan bentuk

organisasi secara struktural dan menyangkut perluasan jangkauan tugas

secara fungsional. Sebelumnya BPK hanya memiliki beberapa kantor

173

perwakilan di beberapa provinsi saja karena kedudukan kelembagaannya

memang hanya terkait dengan fungsi pengawasan oleh DPR terhadap

kinerja pemerintahan di tingkat pusat saja. BPK tidak mempunyai

hubungan dengan DPRD dan pengertian keuangan negara yang menjadi

obyek pemeriksaan hanya terbatas pada pengertian APBN saja. Karena

pelaksanaan APBN itu terdapat juga di daerah-daerah maka diperlukan ada

kantor perwakilan BPK di daerah-daerah tertentu.

Dari segi jangkauan fungsi pemeriksaan tugas BPK sekarang

menjadi makin luas. Ada tiga perluasan yang dapat dicatat di sini:88

1) Perluasan dari pemeriksaan atas pelaksanaan APBN menjadi

pemeriksaan atas pelaksanaan APBN dan APBD serta

pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dalam arti luas.

2) Perluasan dalam arti hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak

saja dilaporkan kepada DPR di tingkat pusat tetapi juga kepada

DPD, DPRD Kabupaten/ kota sesuai dengan tingkat

kewenangan masing-masing.

3) Perluasan juga terjadi pada lembaga atau badan-badan hukum

yang menjadi obyek pemeriksaan oleh BPK yaitu dari

sebelumnya hanya terbatas pada lembaga negara dan/atau

pemerintahan yang merupakan subyek hukum tata negara

dan/atau subyek hukum administrasi negara meluas hingga

mencakup pula organ-organ yang merupakan subyek hukum

88

8

Moh.Kusnardi ,dan Bintan R Saragih lot cit hal 26.

174

perdata seperti perusahaan dacrah, BUMN, ataupun perusahaan

swasta di mana di dalamnya terdapat kekayaan negara.

Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan

bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola

dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan

negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mewujudkan hal tersebut di atas,

saat ini ada Undnag-Undang yang mengatur masalah keuangan negara

yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (PPATJKN).

Undang-undang tentang PPTJKN juga menegaskan mengenai

lingkup kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan bahwa seluruh

pemeriksaan yang menyangkut unsur keuangan negara menjadi

kewenangan BPK. Sementara, terhadap kekayaan negara yang dipisahkan,

sepertiyang berada di Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk

perseroaan terbatas (PT), undang-undang ini mengatakan harus diperiksa

oleh sebuah kantor akuntan publik, namun laporan keuangannya harus

dilaporkan ke BPK, untuk selanjutnya dilaporkan kepada DPR.

Salah satu hal yang penting dari Undang-undang PPTJKN adalah

penegasan dari definisi pemeriksaan keuangan di mana disebutkan bahwa

pemeriksaan keuangan adalah, proses identifikasi, analisis secara

independen, obyektif dan profesional, terhadap informasi yang terkait

dengan laporan keuangan negara. Undang-undang PPTJKN juga

175

memberikan pengaturan mengenai hukum acara pemeriksaan terhadap

pengelolaan keuangan negara dengan memberikan kewenangan yang lebih

besar kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengambil

tindakan pemulihan terhadap kerugian negara yang terjadi. Tindakan itu

dapat dilakukan jika BPK menemukan kerugian negara dari hasil auditnya.

Melalui kewenangan itu, BPK dapat meminta ganti kerugian bagi pejabat

bendahara negara atas kekurangan kas atau barang dalam persediaan yang

merugikan keuangan negara atau daerah.89

Berdasarkan Pasal 22 Ayat (1) UU PPTJKN menetapkan, BPK

berwenang menerbitkan surat keputusan (SK) penetapan batas waktu

pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas atau barang dalam

persediaan yang merugikan keuangan negara atau daerah. Akan tetapi,

Ayat (2) nya menetapkan, bendahara dapat mengajukan keberatan atau

pembelaan diri kepada BPK dalam waktu 14 hari kerja.

Undang-undang PPTJKN juga mencantumkan ketentuan pidana

yang diatur dalam pasal 24 dan pasal 26. Dalam ketentuan pidana, bukan

saja seseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya memberikan

dokumen atau tidak memberikan informasi soal keuangan negara,

pemeriksa (BPK) pun yang melakukan pemeriksaan diluar kewenangannya

dapat dipidana. Ancaman pidana berkisar antara satu hingga tiga tahun,

dan denda antara Rp 500 juta sampai dengan Rp 1 miliar.

89

8

Sambutan Menteri Keuangan RI Boediono 2004 Sesuai DPR menyetujui RUU PPTJKN sebagai undang-undang di Sidang Paripurna DPR, Jakarta., hal. 50

176

Dalam bidang keuangan negara ini dikenal pula lembaga lain yaitu

Badan Pengawas Keuangan dan Pembanguan (BPKP) yang dibentuk oleh

pemerintah. Di satu segi BPKP merupakan lembaga internal auditor atas

kegiatan pemerintahan dan pembangunan, tetapi terhadap instansi

pemerintahan yang diperiksa sekaligus merupakan lembaga eksternal

auditor.

Dibandingkan dengan BPKP yang merupakan bentukan pemerintah

Orde Baru dan tidak dikenal dalam UUD maka struktur organisasi BPK

jauh lebih kecil. BPKP memiliki struktur organisasi yang menjangkau ke

seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia

sementara BPK lebih terbatas.

Untuk menghadapi dualisme pemeriksaan oleh BPK dan BPKB

itulah maka pasal 23E ayat ( 1) UUD 1945 menegaskan bahwa untuk

memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara

diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. Di sini

tegas dikatakan hanya ada satu badan yang bebas dan mandiri, karena itu

BPKP dengan sendirinya harus dilikuidasi dan digantikan fungsinya

dengan BPK yang berkedudukan di ibukota negara dan memiliki

perwakilan di setiap provinsi.

Namun pandangan tersebut di atas kurang mendalami aspek

pemeriksaan keuangan (auditing) yang umum berlaku. Setiap perusahaan

atau lembaga tentu saja harus memiliki auditor internal yang bertanggung

jawab untuk mempersiapkan laporan keuangan yang akan menunjukkan

177

kondisi perusahaan dan sekaligus berfungsi sebagai pengawas dalam hal

penggunaan dana perusahaan. Namun demikian hasil kerja auditor internal

ini (BPKP), juga harus diawasi oleh auditor eksternal - dan ini merupakan

tugas BPK karena ada kecenderungan manajemen memiliki hubungan

kerja yang dekat dengan auditor internal sehingga dapat menimbulkan

kolusi terlebih bagi lembaga atau instansi milik pemerintah.

The financial supervisor, the members of the commission, the auditor of state, and any person authorized to act on behalf of or assist them shall not be personally liable or subject to any suit, judgment, or claim for damages resulting from the exercise of or failure to exercise the powers, duties, and functions granted to them in regard to their functioning under this chapter, but the commission, the financial supervisor, the auditor of state, and those other persons shall be subject to mandamus proceedings to compel performance of their duties under this chapter and with respect to any debt obligations issued pursuant or subject to this chapter.90

Pengawas keuangan, para anggota komisi, auditor negara, dan setiap orang yang berwenang untuk bertindak atas nama atau membantu tidak akan bertanggung jawab secara pribadi atau tunduk pada penghakiman, gugatan, atau klaim atas kerusakan yang diakibatkan dari pelaksanaan atau kegagalan untuk menjalankan kekuasaan, tugas, dan fungsi yang diberikan berdasarkan fungsi, tetapi komisi, pengawas keuangan, auditor negara, dan orang-orang lain harus tunduk pada proses birokrasi memaksa kinerja.

Konsekuensinya, dapat BPK memberikan menguji hasil

pemeriksaan yang dilakukan aparat pengawasan intern pemerintah, untuk

kemudian disampaikan kepada DPR. Adapun maksud pemeriksaan

diserahkan kepada DPR disebabkan DPR yang memberikan delegasi

kepada pemerintah untuk menjalankan undang-undang APBN. Dengan

demikian, tepat sekiranya pengawasan yang dilaksanakan oleh BPK

90 http://codes.ohio.gov/orc/118.05.Financial Planning and Supervision Commission.

178

merupakan, "pengawasan ekstern, sehingga faktor obyektivitasnya yang

merupakan salah satu norma dari pemeriksaan dapat terjamin.”

Sementara itu, pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai,

"pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu

dilaksanakan, sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan.

Lazimnya, pengawasan ini dilakukan pemerintah dengan maksud untuk

menghindari adanya penyimpangan pelaksanaan keuangan negara yang

akan membebankan dan merugikan negara lebih besar. Di sisi lain,

pengawasan ini juga dimaksudkan agar sistem pelaksanaan anggaran dapat

berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Pengawasan preventif akan lebih

bermanfaat dan bermakna jika dilakukan oleh atasan langsung, sehingga

penyimpangan yang kemungkinan dilakukan akan terdeteksi lebih awal.

Di sisi lain, pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan

terhadap suatu kegiatan setelah kegiatan itu dilakukan.

Pengawasan keuangan model ini lazimnya dilakukan pada akhir

tahun anggaran, di mana anggaran yang telah ditentukan kemudian

disampaikan laporannya. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan dan

pengawasannya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan.

Selain itu, pengawasan dekat (aktif) dilakukan sebagai bentuk

"pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan yang bersangkutan.

Hal ini berbeda dengan pengawasan jauh (pasif) yang melakukan

pengawasan melalui "penelitian dan pengujian terhadap surat-surat

pertanggungjawaban yang disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan

179

pengeluaran. Di sisi lain, pengawasan berdasarkan pemeriksaan kebenaran

formil menurut hak (rechmatigheid) adalah "pemeriksaan terhadap

pengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan, tidak kadaluarsa, dan

hak itu terbukti kebenarannya." Sementara, hak berdasarkan pemeriksaan

kebenaran materil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid)

adalah "pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah memenuhi prinsip

ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diperlukan dan beban biaya yang

serendah mungkin."

Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh unit

pengawas intern organisasi yang diawasi di mana tugasnya adalah

membantu fungsi pengawasan pimpinan organisasi serta membantu

menyusun laporan pelaksanaan kegiatan organisasi. Pengawasan ini

lazimnya dilakukan instansi pemerintahan dengan membentuk suatu

organisasi khusus yang menangani secara menyeluruh pengawasan

terhadap pelaksanaan anggaran negara. Konsep pengawasan ini dibutuhkan

dengan maksud agar penyimpangan pelaksanaan anggaran lebih cepat

diatasi oleh unit intern yang dekat dengan organisasi tersebut.

Di dalam organisasi pemerintahan negara, Presiden yang dibentuk

kabinet menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan undang-undang.

Salah satu pelaksanaan pemerintahan tersebut adalah melaksanakan UU

APBN, yang secara terpusat dan terintegrasi dilakukan oleh Departemen

Keuangan. Guna menjalankan pengawasan terhadap keuangan negara yang

dilakukan pemerintah, dibentuk suatu badan yang khusus melakukan

180

pengawasan, yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

(BPKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 31 tahun 1984 tentang

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Selain itu, di

dalam pemerintahan juga dibentuk berbagai aparat pengawasan fungsional

pemerintah, baik di pusat seperti inspektorat jenderal pembangunan,

inspektorat jenderal departemen/unit pengawasan lembaga. Juga,

pengawasan fungsional pemerintahan di tingkat daerah seperti inspektorat

wilayah daerah tingkat I dan tingkat II.91

Banyaknya lembaga pengawasan dalam struktur kelembagaan

pemerintahan sebenarnya tidak mengandung efektivitas dalam proses

pelaksanaannya. Hal demikian disebabkan kemungkinan terjadinya tumpah

tindih sangat besar yang akibat adanya dalam suatu waktu yang bersamaan

atau dalam jangka waktu yang dekat, dua aparat pengawasan fungsional

atau lebih melakukan pemeriksaan terhadap suatu instansi/proyek tertentu

dengan sasaran yang sama.92

Sebenarnya, tumpang tindih demikian tidak akan terjadi jika

terdapat pengelompokan atas dasar kewenangan unit pengawas intern yang

ada. Sebab, sesuai dengan struktur pengawasan yang dianut dalam ICW

1925, di mana pelaksanaan APBN didasarkan atas administratief beheer

dan comptabel beheer, maka pengawas intern akan membagi atas salah

satu di antaranya atau kedua-duanya. Dengan tugas pemeriksaan yang

91

9

Ibid., hal 6092

9

Gandhi, 2000, Sistem Pemeriksaan Keuangan Negara, (makalah yang disampaikan dalam lokakaryaReformasi system Pengelolaan Keuangan Negara), Jakarta, hal 14.

181

dibedakan tersebut sebenarnya akan terdeskripsikan suatu pola

pengawasan berjenjang. Pengawasan tersebut pada dasarnya dilakukan di

mana aparat pengawasan yang lebih tinggi tingkatnya secara hierarkis

organisatoris melaksanakan tugas yang lebih luas pendekatannya atau

lebih makro wawasannya daripada aparat pengawasan yang lebih rendah.

Dengan perkataan lain, sasaran pengawasan antar-aparat pengawasan

berbeda satu sama lain, tergantung mana yang lebih ekstern dan mana

yang lebih intern.93

Selama ini, penjenjangan pengawasan keuangan negara tampaknya

belum dapat diwujudkan secara optimal disebabkan "tidak adanya

kebijaksanaan pengawasan secara nasional dan tidak adanya alat yang

dapat dipakai untuk melakukan koordinasi pelaksanaan pengawasan,"94

Akan tetapi, kemudian pemerintah mengambil langkah yang sedikit maju

dengan menugaskan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, untuk

melakukan koordinasi pengawasan pembangunan (wasbang). Selain itu,

Presiden memberikan tugas kepada Wakil Presiden untuk melakukan

pengawasan pembangunan, yang salah satu bagian di antaranya adalah

mengenai pengawasan keuangan negara.

Dalam hal pengawasan intern keuangan negara, kedudukan BPKP

cukup potensial untuk menjalankan tugas mempersiapkan perumusan

kebijakan pengawasan keuangan dan pembangunan. Selain itu juga

93

9

Dani Sudarsono, 2000"Interaksi Eksternal Auditor Pemerintah dan Internal Auditor Pemerintah: antara Harapan dan Kenyataan," (makalah yang disampaikan dalam Seminar Reinventing Auditor Internal Pemerintah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan, Jakarta, hal. 2.94

9

Gandhi, Op.cit., hal. 49.

182

menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan

keuangan. Guna mendukung tugas BPKP tersebut, BPKP dapat melakukan

pemeriksaan setempat, meminta keterangan mengenai tindak lanjut hasil

pemeriksaan yang dilakukan BPKP atau aparat pengawas lainnya. Juga

meminta keterangan pada semua pejabat yang terkait erat dengan obyek

pemeriksaan. Hasil pemeriksaan BPKP kemudian disampaikan langsung

kepada menteri atau pejabat instansi yang diawasi.

Apabila ditelaah secara mendalam eksistensi pengawasan intern

keuangan negara sebenarnya ditujukan pada upaya membantu presiden

dalam bidang pemeriksaan dan pengendalian lingkup pemerintahan negara.

Sebagai kepala pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan,

presiden tidak dapat senantiasa melakukan pengawasan, Oleh sebab itu,

presiden meminta bantuan aparatur pemerintahan juga untuk melakukan

fungsi pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan. Dengan

statusnya sebagai aparatur pemerintahan, yang juga aparat pengawas

intern, pihaknya "tidak boleh mengeluarkan pernyataan pendapat yang

dapat dijadikan dasar bagi masyarakat umum dalam mengambil suatu

keputusan."95

Sementara itu, berbeda dengan BPK yang menyerahkan hasil

laporan pengawasannya kepada DPR, aparat pemeriksa intern

pemerintahan tidak dapat menyampaikan laporan hasil pemeriksanaannya

langsung kepada DPR, tetapi jika DPR berkeinginan atas hasil

95

9

Gandhi 2000, "Ibid, hal. 4.

183

pemeriksaan BPKP, pemerintahlah yang menyampaikannya kepada DPR.96

Hal demikian dimaksudkan agar dapat dibedakan posisi pemeriksaan BPK

dan BPKP agar tidak terjadi kesalahkaprahan dalam proses penilaian

kinerja pelaksanaan APBN oleh DPR.

Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh unit

pengawasan yang berada di luar unit organisasi yang diawasi. Dalam hal

ini di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang

merupakan lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh kekuasaan

manapun. Dalam menjalankan tugasnya, BPK tidak mengabaikan hasil

laporan pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, sehingga sudah

sepantasnya di antara keduanya perlu terwujud harmonisasi dalam proses

pengawasan keuangan negara. Proses harmonisasi demikian tidak

mengurangi independensi BPK untuk tidak memihak dan menilai secara

obyektif aktivitas pemerintah. BPK ini merupakan semacam alat dari DPR

Penyelewengan yang dimaksud disini dapat berupa kewajiban pemerintah

untuk tidak menyimpang dari pasal –pasal APBN ,dapat juga mengenai

kewajiban pemerintah untuk menggunakan uang Negara yang sebaik-

baiknya dan betul betul bermanfaat bagi nusa dan bangsa ,tugas pokok

BPK adalah memeriksa tanggung jawab keuangan Negara . Dalam

pelaksanaan tugas tersebut BPK mempunyai beberapa fungsi yang oleh

Moh. Kusnardi dan Bintang R Saragih menyatakan sebagai berikut :

96

9

Ibid., hal 62

184

1. Fungsi operatif yaitu melakukan pemeriksaan pengawasan dan

penelitian atas penguasaan dan pengurusan keuangan Negara.

2. Fungsi yudikatif yaitu melakukam tuntutan perbendaharaan dan

tuntutan ganti rugi terhdap bendaharawan dan pegawai negeri bukan

bendaharawan yang kerana perbuatannya melanggar hukum atau

melalaikan kewajiban menimbulkan kerugian besar bagi negara

3. Fungsi member rekomendasi yaitu member pertimbangan kepada

pemerintah tentang keuangan Negara .97

Dalam menjalankan tugas pengawasan keuangan negara, beberapa

pandangan dikemukakan bahwa BPK tidak selayaknya melakukan kontrol

atas semua bentuk keuangan negara, termasuk di dalamnya kekayaan

negara. Akan lebih bermakna jika BPK melakukan fungsi pengawasan

keuangan yang bersifat "makro strategis" yang mempunyai dampak sosial

ekonomis yang luas." Konsekuensinya, BPK tidak perlu bersusah payah

melakukan pengawasan keuangan negara dengan rentang yang tidak

terbatas. Akan tetapi, cukup pada pengujian atas hasil pemeriksaan

keuangan yang dilakukan aparat intern pengawas pemerintah dan

pengawasan terhadap pelaksanaan APBN.

Hasil pemeriksaan BPK yang 'diberitahukan' kepada DPR, sebenarnya

mengandung makna yuridis yang kurang tegas dipandang dari pemakaian

istilahnya. Dengan demikian, perlu ada perubahan kata 'diberitahukan' menjadi

'dilaporkan' kepada DPR. Hal demikian juga akan membawa dampak psikologis

97 Moh. Kusnardi dan Bintang R Saragih, Op cit, hal. 24.

185

kepada DPR untuk segera menindaklanjuti temuan pemeriksaan dan

pengawasan BPK, sehingga dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Pelaksanaan tindak lanjut ini dilakukan secepat mungkin untuk menyelesaikan

masalah dan mencegah penyimpangan yang akan merugikan posisi keuangan

negara. Apabila dalam temuan pemeriksaan terdapat indikasi terjadinya

penyelewengan, laporan tersebut dapat disampaikan kepada Kejaksaan Agung

untuk ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur hukum.

4.3 Akibat Hukum Penolakan Penetapan APBN Oleh DPR.

Setelah kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli

1959, DPR hasil pemilihan umum tahun 1956 tetap berfungsi sebagai DPR

tetapi tidak lama kemudian dibubarkan oleh Presiden karena menolak

Rancangan APBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah (presiden).

Tindakan presiden ini secara jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang

baru setahun diberlakukan kembali, presiden kemudian membentuk MPRS

dan DPRGR serta mengangkat para anggotanya.

Pimpinan MPRS dan pimpinan DPRGR diangkat menjadi Menteri

sehingga berada di bawah perintahnya, kemudian keputusan berdasarkan

pemungutan suara dinyatakan bertentangan dengan demokrasi berdasarkan

UUD 1945. Keputusan harus berdasarkan kepada pemufakatan bulat,

apabila hal itu tidak dapat tercapai, maka permasalahannya diserahkan

kepada pimpinan. Semua keputusan yang tidak disetujui pimpinan DPRGR

danyang tidak direstui oleh presiden dianggap batal. DPRGR secara

186

praktis diatur oleh suara yang menentukan, sehingga demokrasi tidak ada

sama sekali.

Pada masa sebelum amandemen, pemberhentian Presiden dapat

dilakukan jika DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh telah

melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-undang

Dasar atau MPR. Tidak ada kriteria yang jelas apa yang dimaksud dengan

sungguh-sungguh telah melanggar haluan negara ini, hanya suatu

anggapan DPR bahwa pelanggaran haluan negara itu telah terjadi. Karena

seluruh anggota DPR merupakan anggota MPR maka DPR dapat

mengusulkan kepada MPR untuk menggelar sidang istimewa untuk

meminta pertanggungjawaban Presiden. Dan jika pertanggungjawaban itu

ditolak maka MPR dapat memberhentikan presiden.

Dalam sejarah ketatanegaraan sudah empat kali MPR

memberhentikan presiden, yang pertama adalah Presiden Soekarno, kedua

Presiden Soeharto, Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid

(Gus Dur). Presiden Soekarno diberhentikan melalui Sidang Istimewa

MPRS pada tahun 1966; Presiden Soeharto berhenti setelah Ketua

MPR/DPR Harmoko pada tahun 1998 mengumumkan permintaan MPR

agar Soeharto mengundurkan diri menyusul desakan demonstrasi

mahasiswa pada waktu itu; Presiden Habibie berhenti setelah MPR

menyatakan menolak pertanggungjawabannya pada Sidang Istimewa MPR

1999; dan Presiden Abdurrahman Wahid dilengserkan oleh MPR melalui

187

keputusan pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001 karena dinilai terlibat

dalam kasus penyelewengan dana Bulog dan bantuan dari Sultan Brunei.

Empat presiden Indonesia diberhentikan dengan cara “dipaksa”.

Pemberhenian keempat presiden tersebut ternyata lebih disebabkan faktor

atau pertimbangan politis karena kebijakan yang dilakukan presiden yang

dinilai parlemen sebagai sesuatu yang salah. Alasan pemberhentian

presiden menurut Amandemen UUD 1945 lebih menekankan pada hal-

halyang bersifat kriminal yang dilakukan presiden, sementara kebijakan

yang dikeluarkan presiden tidak dapat dijadikan alasan bagi MPR untuk

memberhentikannya. Pemberhentian presiden dalam Amandemen

UUD1945 lebih mirip dengan cara pemberhentian presiden pada

pemerintahan sistem presidensil sedangkan sebelum amandemen

merupakan cara pemberhentian gaya pemerintahan parlementer.98

Jika DPR menolak penetapan APBN berarti tidak membawa aspirasi

rakyat yang diwakili sehingga Negara Indonesia akan terjadi gejolak yang

sangat luar biasa dibidang perekonomian karena penolakan penetapan

tersebut., Adapun penolakan APBN oleh DPR sebab APBN yang diajukan

Presiden sangat kurang menggali sumber-sumber keuangan Negara

sehingga perhitungan angka-angka anggarannya sangat tidak layak untuk

diwujudkan sama rakya Indonesia secara keseluruhan baik itu mengenai

pembagian di sektor departemen maupun non departemen serta kelembaga-

lembaga Negara yang kurang menunjang untuk diimplementasikan yang

98

9

Morissan lot cit hal 88,

188

akan menimbulkan kemiskinan yang berkepanjangan untuk seluruh rakyat

Indonesia;

Pelanggaran hukum oleh pemerintah dalam hal ini terkait dengan

pengelolaan keuangan itu menurut Felix A. Nigro dapat dikategorikan

dalam 9 bentuk pelanggaran yaitu:

(a) Ketidakjujuran (dishonesty);

(b) Berperilaku tidak etis (unetical behavior);

(c) Mengesampingkan hukum (overidding the law);

(d) Memperlakukan pegawai secara tidak patut (unfair

treatment of employees);

(e) Melanggar prosedur hukum (violations of procedural due

process);

(f) Tidak menjalin kerjasama yang baik dengan pihak legislatif

(failure to respect legislative intent);

(g) Pemborosan dalam penggunaan sumber daya (gress inefficency);

(h) Menutup-nutupi kesalahan yang dilakukan oleh aparatur

(covering up mistakes);

(i) Kegagalan untuk melakukan inisiatif dan torobosan yang

positif (failure to show inisiative).99

Dengan adanya penolakan penetapan APBN oleh DPR akan

membawa akibat hukum yang sangat rentan terhadap kedudukan Presiden

dan atau Wakil Presiden atas impeachment bahwa pemberhentian Presiden

99

9

Soerjono Soekanto,2008 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum Penerbit PT Raja Grafindo Persada Jakarta hal47 .

189

dan wakil Presiden dalam masa jabatannya harus didahului dengan

prosedur yudisial artinya putusan untuk memberhentikan Presiden dan

Wakil Presiden sepenuhnya merupakan keputusan politik yaitu dilakukan

oleh DPR dan MPR. Dengan demikian dalam hal impeachment prinsip

supremasi hukum berhadapan dengan prinsip supremasi politik jika

demikian, apakah supremasi hukum akan dianulir dengan supremasi

politik ataukah putusan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden

melalui prosedur impeachment itu tetap sesuai dengan prinsip supremasi

hukum berarti sebagai suatu peraturan yang tertinggi atau hukum

merupakan suatu kekuasaan tertinggi. Menurut K Wantjik Saleh100

;Undang Undang Dasar adalah peraturan perundang-undangan yang

tertinggi dalam suatu Negara, yang menjadi dasar segala peraturan

perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa semua peraturan perundang-

undangan harus tunduk pada undang-undang dasar atau tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang dasar dimana Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan peraturan perundangan

tertinggi di Indonesia.

Dengan demikian ,supremasi hukum berarti superioritas hukum,

dimana tidak boleh ada kesewenang-wenangan. Seseorang hanya boleh

dihukum jika melanggar hukum, tidak untuk yang lain. Oleh karena itu,

hukum tidak boleh menjadi alat tetapi harus menjadi tujuan, yaitu untuk

melindungi kepentingan rakyat. Hukum harus dilihat pula sebagai akal

100 K. Wantjik Saleh, 2004, Perkembangan Perundang-undangan di Indonesia, Rhineka Cipta, Jakarta, Hal. 10.

190

atau kecerdasan yang tidak dapat dipengaruhi oleh keinginan, apalagi

nafsu dari yang berkuasa ,yang akan sanggup mencegah para penguasa

dari kesewenang-wenangan.

Dalam kaitannya dengan pemberhentian Presiden ,UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan di dalam Pasal 7A Undang-

Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menyatakan; Presiden dan/atau wakil

presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul

DPR, apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum. Mengenai

pelanggaran hukum apa saja yang diancam pemberhentian disebutkan sebagai

berikut:

1. Berkhianat terhadap negara

2. Korupsi

3. Penyuapan

4. Tindak pidana berat

5. Melakukan perbuatan tercela

6. Tidak memenuhi syarat lagi

Pelanggaran hukum tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu telah

benar-benar dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebelum

dapat diberhentikan. Lembaga yang berwenang untuk membuktikan

kesalahan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah Mahkamah

Konstitusi.Jadi tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan pada pendapat

DPR ,melainkan juga berdasarkan pada hukum .Prinsip ini ditegaskan di

dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia

191

adalah Negara Hukum , ketentuan ini menunjukkan bahwa UUD 1945

merupakan manisfestasi dari hukum yang tertinggi ( Supremation of law )

yang ditaati oleh rakyat, pemerintah ,penguasa sekali pun dan badan

pembuat UUD. Menurut Jimly Asshiddiqie101 kehadiran Mahkamah

Konstitusi dalam proses impeachment justru dimaksudkan untuk

memperkuat prinsip supremasi hukum .Walaupun kehadiran intitusi

impeachment dikatakan menimbulkan keanehan ,seolah olah hanya

Presiden saja yang dapat melakukan pelanggaran hukum .

Di dalam Pasal 24C ayat (1) yang menyatakan bahwa; Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-

undang dasar ,memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang

kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar ,memutus pembubaran

partai politik ,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pasal 24C ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan: "Mahkamah

Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai

dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut

Undang-Undang Dasar. Namun harus di ingat bahwa dalam hal ini putusan

Mahkamah Konstitusi tidak bersifat final apa tertera dalam Pasal 24C ayat

(1) UUD NRI TAHUN 1945

101 Jimly Asshiddiqie, 2004, Kedudukan dan Peranan MK Dalam Sistem Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD 1945 DalamMakalah Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia FH Unair, SurabayaHal. 17, .

192

Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi tidak bersifat

mengikat pada saat diucapkan ,melainkan masih ada upaya lain mengenai

akibat hukum pertanggungjawaban Presiden dan /atau Wakil Presiden.

Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memberhentikan

Presiden dan wakil Presiden sebab dipilih dalam satu pasangan langsung

oleh rakyat. Selain itu anggota-anggota Mahkamah Konstitusi diangkat

oleh Presiden, dari calon yang diajukan oleh DPR, Mahkamah Agung dan

Presiden sendiri. Oleh karena itu putusan Mahkamah Konstitusi

disampaikan kepada MPR melalui DPR.

Berdasarkan pada Pasal 3 ayat (3) UUD NRI tahun 1945 bahwa

MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan /atau Wakil Presiden

dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang maka MPR lah yang

berwenang untuk memberikan keputusan terhadap usul DPR yang telah

diperiksa, diadili dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini

sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota

DPR dan anggota DPD yang seluruhnya dipilih oleh rakyat melalui

pemilihan umum. Oleh karena itu, MPR wajib menyelenggarakan sidang

istimewa untuk itu keputusan harus diambil dalam sidang Istimewa yang

dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui

oleh minimal 2/3 dari jumlah yang anggota yang hadir. Dalam hal ini

ditentukan oleh Pasal 7B UUDNRI Tahun 1945 disebutkan tata cara

pemberhetian Presiden/dan atau Wakil Presiden diatur sebagai berikut:

193

1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat

diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu

mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk

memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;

dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden

tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

2) Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah

melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.

3) Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya

dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari

jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang

dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan

memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut

paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu

diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

194

5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;

dan/atau terbukti Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,

DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan

usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada

MPR.

6) MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul

DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul

tersebut.

7) Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang

dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan

disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang

hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi

kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna

MPR

Memperhatikan komposisi keanggotaan MPR sebagaian besar

terdiri dari anggota DPR yakni 2/3 dari jumlah anggota MPR dan DPR

mempunyai andil terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ,dimana tiga

orang hakim nya berasal dari DPR maka tidak sulit bagi MPR untuk

195

menerima usulan DPR. Selain itu sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (2)

dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Indonesia adalah Negara hukum

dan kedaulatan rakyat dijalankan menurut UUD, maka MPR dalam

memutus usul DPR tidak dapat melepaskan diri dari prinsip-prinsip Negara

hukum.Berdasarkan pada prinsip ini maka dapat diprediksi jika MPR akan

mengabulkan usulan DPR.

Jika usul DPR diterima, bahwa presiden dan/atau wakil presiden

terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan

tercela, dan/atau terbukti presiden dan atau wakil presiden tidak lagi

memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden, maka presiden

dan /atau wakil presiden diberhentikan. Jika usul DPR tidak diterima, maka

presiden dan / atau wakil presiden terus menjabat.

Secara yuridis penolakan penetapan APBN oleh DPR merupakan

kelemahan atau kekurangan dari pada anggota DPR sendiri karena DPR tidak

mempunyai kewenangan membuat Undang-Undang APBN, dan DPR tidak

mempunyai data bank tentang keuangan negara terutama pemasukan sumber-

sumber keuangan negara serta pengeluaran program-program pembangunan dan

lain-lain Pemerintah mengetahui mengenai seluk beluk keuangan negara serta

pemakainya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Faktor kualitas anggota merupakan faktor penting dalam

mengoptimalkan peran dan fungsi DPR. Peran dan fungsi yang lebih besar

dari anggota DPR tidak akan mungkin dicapai bila para anggota lembaga

196

tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Kualitas anggota DPR kita

selama ini berada di bawah kualitas eksekutif karena, anggota DPR kita

belum sepenuhnya dapat mengimbangi kemampuan pemerintah untuk

melaksanakan fungsinya. Kualitas dimaksud ditinjau dari segi karier politik

dan tingkat pendidikan formal.

Dari hasil pengamatan pada sidang-sidang DPR misalnya pada saat

rapat kerja komisi-komisi DPR dengan pemerintah, nampak kualitas para

anggota DPR ini dalam berdiskusi, mengajukan pertanyaan kepada

pemerintah belum sebagaimana diharapkan. Tuntutan bagi adanya kualitas

yang tinggi bagi anggota DPR menghasilkan persyaratan untuk menjadi

anggota DPR. Persyaratan itu adalah bahwa setiap anggota DPR

haruslah mempunyai ciri-ciri intelektual.

Anggota DPR adalah bagian dari elite politik yang tindak tanduknya

selalu disorot. Oleh karena itu keberanian dan kemauan para anggota DPR

harus didukung oleh kualitas yang tinggi. Tanpa ada kemampuan yang

memadai, seorang anggota DPR akan mengalami kesulitan dalam berdialog

dan bertukar pikiran dengan pihak Eksekutif.

Untuk menjadi seorang pemimpin politik, seseorang harus

memenuhi syarat: kapasitas, ekseptabilitas dan popularitas. Akibatnya,

banyak anggota DPR kita yang lebih berperan seperti seorang birokrat, yang

berfikir bahwa harus dilayani rakyat, bukan sebaliknya.102

102

1

Riswandha Himawan, 1992, Peningkatan Peran Legislatif DPR Seminar Ketatanegaraan, Jurusan FH UII, Yogyakarta, hal8

197

Dalam kondisi seperti itu jika anggota DPR dihadapkan dengan unsur

eksekutif yang orang-orangnya telah mempunyai pengalaman selama

bertahun-tahun dibidang tugasnya, maka dukungan wawasan, penguasaan

materi pada data sesuai dengan materi Rancangan APBN, akan

menghambat peran DPR untuk mempunyai prakarsa dalam penyusunan

rancangan APBN. Dalam kondisi seperti ini lahirnya rancangan APBN

untuk setiap tahun cenderung akan lebih mengandalkan pada prakarsa

eksekutif sesuai dengan bidang tugasnya. Dengan kata lain keberadaan DPR

dalam melaksanakan kewenangan dalam membentuk Rancangan APBN

cenderung terbatas pada melakukan pembahasan setelah rancangan APBN

tersebut diusulkan ke DPR dan mendapat kesepakatan untuk dibahas dalam

rapat-rapat DPR.

Selain itu, untuk dapat berperan lebih banyak dalam penyusunan

rancangan APBN diperlukan kemampuan teknis perancang peraturan

perundang-undangan. Berkaitan dengan ini, pihak eksekutif lebih

mempunyai sumber daya manusia yang berpengalaman.

BAB V

P E N U T U P

5.1. Kesimpulan

Dari uraian pada bab-bab tersebut maka dapatlah ditarik suatu

kesimpulan bahwa ;

1. Sumber wewenang DPR ada pada sumber hukum formil yakni Pasal 23

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , bahwa

setiap rancangan Undang-Undang APBN yang diajukan oleh Presiden akan

dibahas bersama-sama DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama

artinya adanya kesepakatan untuk musyawarah mufakat dalam penetapan

APBN merupakan wujud lahirnya Undang-Undang Keuangan Negara

memberikan pemahaman filosofis yuridis sebagai bentuk penjelmaan

kedaulatan rakyat.

2.Dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 , DPR memiliki fungsi legislasi fungsi anggaran dan

fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan yang bersama-sama dengan DPR

dan BPK yang mempunyai hubungan melakukan pemeriksaan pengelolaan

keuangan negara, hasil dari pemeriksaan itu diserahkan kepada DPR dan

DPD serta DPRD sedangkan oleh DPR hasil pemeriksaan tersebut untuk

mengevaluasi APBN untuk tahun akan datang.

198

199

5.2. Saran

1. Terkait dengan penetapan APBN dalam pengelolaan keuangan negara

perlu adanya tolok ukur peraturan perundangan-undangan tentang

aspirasi rakyat yang terwakili oleh DPR.

2. Perlu adanya jaminan kepastian hukum dalam melakukan penegakan

hukum yang dilakukan oleh aparatur negara dalam hal ini BPK

terhadap banyaknya penyimpangan dan pelanggaran dalam pengelolaan

keuangan negara.

200

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

A. Hamid S. Attamimi, 1992, Teori Perundang-undangan Indonesia, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada FH UI, Jakarta.

Fadjar Mukthie A, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publising, Malang.

Keraf Sonny A , 1996, Pasar Bebas ,Keadilan dan Peran Pemerintahan Kanisius Yogyakarta.

ZainiAbdullah , Peranan DPR Dalam Reformasi Pengelolaan Anggaran Negara, Jurnal Forum Inovasi Vol 5, Desember 2003.

Gafar Afan , 2002, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Alfian & Sjamsuddin Nazaruddin (eds), 1988, Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia, Rajawali Pers, Jakart

Atmaja Arifin Soeria , 2009, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tambunan ASS , 1998, Fungsi DPR RI Menurut Undang-Undang 1945 Suatu Studi Analisis Mengenai pengaturannya Tahun 1966 – 1997, Penerbit Sekolah tinggi Hukum Militer.

Sarifudin Ateng , 1996, Butir-Butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintah yang Layak. PT. Citra Aditya Bhakti Bandung.

Atmadja I Dewa Gede, 2004, Sistem Pemilihan Langsung dan Pertanggungjawaban Kepala Daerah, Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali.

Achir Azmy , 1976, Masalah Pengurusan Keuangan Negara Suatu Pengantar Teknis, ; CV Yulianti, Buku I Bandung.

Marbun B.N, dkk, 2004, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press Jogjakarta.

Manan Bagir , 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan di Indonesia, Indonesia Co, Jakarta.

201

Manan Bagir dan Magnar Kuntara , 1987, Peranan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, Bandung.

Saragih Bintan R. , Peranan DPR GR Periode 1965 dalam Menegakkan Kehidupan Ketatanegaraan yang Konstitusional Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung.

Bruggink.J.J.H, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Kluwer Deventer, Den Haag.

Buku Pedoman, 2003, Penulisan Penelitian Tesis Normatif, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar.

Kansil C.S.T & Kansil Christine S.T. , 2006, Hukum Keuangan dan Penbendaharaan Negara, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Magins Franz -Suseno SJ, 1995, Mencari Sosok Demokrasi, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta.

Husen La Ode , 2005, Hubungan Fungsi Pengawasan DPR Dengan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, CV. Utomo. Bandung.

Hadjon Philipus, M.dkk., 2005, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Indroharto, 2006, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Saleh Ismail , 1995, "Pembinaan Cita Hunum dan Penerapan Asas- Asas hukum Nasional Sejak Orde Baru", Majalah Hukum Nasional, No.1 1995, Edisi Khusus, BPHN.

Suny Ismail , 2004, Kedudukan MPR, DPR dan DPD Pasca Amandemen 1945, Fakultas Hukum Unair, Surabaya.

Asshiddiqioe Jimly , 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta

Asshiddiqioe Jimly , 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Konstitusi, Press Jakarta.

Poerbopranoto Koentjoro , 1987, Sistem Pemerintahan Demokrasi. Eresco. Bandung.

Wheare K.C, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, New York Toronto.

202

Friedman Laurence M , 1969, The Legal System A Social Science Perspective, Russell Sage Foundation, New York.

Budiardjo Miriam dan Ambong Ibrahim , (eds), 1993, Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Raja Grafndo Persada.

Budiardjo Miriam , 1987, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Budiardjo Miriam , 2000, Dasar-Dasar Politik, Edisi Revisi, Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta.

Kusnardi Moh. dan Saragih Bintan.R. , 1998, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, Gramedia, Jakarta.

Kusnardi Moh. dan Ibrahim Harmaily ,1993, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti Jakarta.

Mahfud Moh MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Mahfud Moh. MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta.

Mahfud Moh. MD, 2000, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Garna Media.

Morissan, Hukum Tata Negara RI Era Reformasi, Penerbit Ramadina Prakarsa, Jakarta.

Saidi Djafar Muhammad, 2008, Hukum Keuangan Negara, PT. Rajagrafindo Persada Jakarta..

Napitupulu Paiman , 2003, Peran dan Pertanggungjawaban DPR Kajian Di DPRD Provinsi, Jakarta, Universitas Padjajaran, Bandung.

Hadjon Philipus M, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuursbevoegheid), dalam “Pro Justitia”.

Himawan Riswandha, ,1992, Peningkatan Peran Legislatif DPR Seminar Ketatanegaraan, Jurusan FH UII, Yogyakarta

Gautama,S, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.

Saleh, K. Wantjik, 1974, Perkembangan Perundang-Undangan di Indonesia, Rhineka, Jakarta.

203

Sambutan Menteri Keuangan RI Boediono seusai DPR menyetujui RUU PPTJKN sebagai undang-undang di Sidang Paripurna DPR, Juni 2004.

Rahardjo Satjipto , 1998, "Keleluasaan Reformasi Hukum", Artikel dalam Kompas, 8 Mei.

Sigler.A.Jay, 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books D.C Heath and Company Lexington, Massaehusetts Toronto.

Soekarwo (2005), Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Primip-Prinsip Good Financial Governance. Surabaya: Airlangga University Press.

Soekanto Soerjono ,1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pres, Jakarta.

Soekanto Soerjono , 2008, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sumantri Sri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung.

Strong CF, 2008, Konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung

Suparmoko, 2003, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, BPFE, Yogyakarta.

Yudhoyono Bambang Susilo , 2010, Dalam Pidato Pembukaan BDF bertajuk : Demokrasi Untuk Meningkatkan Perdamaian dan Stabilitas, Bali Post tanggal 10 Desember 2010.

Mulyosudarmo Suwoto, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kirom Syahrul , Melemahnya fungsi DPR Bali Post, Senin 28 Juni 2010..

Meyer Thomas , 2003, Demokrasi (Sebuah Pengantar Untuk Penerapan), Friedrich-Ebert-Stiftung, Kantor Perwakilan Indonesia.

Pitu Andrianus Toni, 2006, Mengenai Teori Politik dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Penerbit Nusa, Bandung.

204

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Jo Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Keuangan Negara.

Makalah/Artikel/Jurnal

Abimanyu Anggito , 2004, Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang Tindih, Kompas, Mei 2004.

Sudarsono Dani, 2000, Interaksi Eksternal Auditor Pemerintah dan Internal Auditor Pemerintah: antara Harapan dan Kenyataan, (Makalah yang disampaikan dalam Seminar Reinventing Auditor Internal Pemerintah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan, Jakarta 7 Juni)

Gandhi, 2000, "Sistem Pemeriksaan Keuangan Negara," (Makalah yang disampaikan dalam lokakarya "Reformasi Sistem Pengelolaan Keuangan Negara, Jakarta, 17 Mei).

Campbell Black Henry, 1999, Black’s Law Dictionary, 6 Ed, Paul Minn, West Publishing.

Asshiddiqie Jimly , 2000, Institusi Kepresidenan Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Makalah), Jakarta.

Asshiddiqioe Jimly, 2003, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945(Makalah) Disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar Bali.

205

Majalah Wawasan Hukum, HAM dan Politik, 2006, Edisi XXXIII Th. III Minggu Kedua Desember

Daud Nurhajati Sitti, 2003, The Role Of The Secretary General Of The Indonesian House Of Representatives in The Era Reform in Indonesia, Geneva Meeting.

Rasul Syahruddin , 2003, Pengintegrasian Sistem akuntabilitas Kinerja dan Anggaran Dalam Perspektif UU No.17/2003 tentang Prinsip Keuangan Negara, Jakarta.

UsfunanYohanes, 1998, Kebebasan Berpendapat di Indonesia (Disertasi) Dalam Meraihgelar Doktor pada Program Pascasarjana UNAIR, Surabaya.Asshiddiqie Jimly ,2004,Kedudukan dan Peranan MK dalam Sistem

Ketatanegaraan Pasca Amendemen UUD 1945 dalam Makalah Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia FH UNAIR Surabaya.

http://unu.edu/unupress/unupbooks/uu15oe/uu15oe07.htm, Legislative Competence Order.

http://codes.ohio.gov/orc/118.05, Financial Planning and Supervision Commission.