Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
2
INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL
DI KAWASAN ASIA TENGGARA*)
Oleh
IBM Suastika Jaya**)
*) Disampaikan pada Seminar Nasional Tahunan XVI Hasil Penelitian Perikanan dan
Kelautan, di UGM Yogyakarta, 6 Juli 2019
**) Regional Fisheries Policy Network SEAFDEC 2018 ([email protected])
Abstract
Fisheries resources benefit for the global food demand and livelihood of 500 million people,
is too big to ignore. Depleting of its capability to support, was caused by irrational utilization other
than destructive ways, require more attention and proper action. The guideline for fisheries
management was stipulated by UN more than 30 years ago, as voluntary and legal binding
instruments, but the following up implementation by the countries in national or regional level should
be endorsed. While ensuring sustainability, Southeast Asia region contributes significantly to the
world of fish supply. This lucrative sector relies on the natural resources and that should be
protected. The paper seek to document lesson learned about MCS initiative for transboundary species
management in Southeast Asia that could reflects the journey of SEAFDEC-Sweden project on MCS.
Many obstacles should be overcome to ensure the MCS cooperation conception can be obtained. Ten
countries in the region already governed with its legal basis and institutional establishment, and some
of them started with a national plan of action to comply the instruments. However, the active
participation, if only depend on the national-based management, any kind of shared stock (high
migratory, straddling, trans-boundary) could not be controlled. The possibility to control beyond the
national jurisdiction only through multilateral or regional cooperation, clustering the ecosystem-
based entity. There are 5 milestone steps following the process, every step has their specific
challenge. The valuable experience, in this case, is the readiness of the countries to share and the
national commitment to join in the cooperation.The understanding of the national working group
about the cooperation can be done without prejudice to the sovereignty.
Keywords: SEAFDEC-Sweden Project, fisheries management, MCS, trans-boundary species,
Southeast Asia
1. Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi tidak selalu berkembang sejalan dengan konservasi, khususnya
dalam eksploitasi perikanan. Pembaharuan armada perikanan dan peralatan pencarian ikan
yang semakin canggih nyata meningkatkan kapasitas tangkap serta meningkatka risiko
overfishing. Berbarengan dengan peningkatan permintaan akan produk perikanan tersebut,
lemahnya kendali atas pemanfaatan sumberdaya ini dapat mengancam eksistensi dan manfaat
untuk generasi mendatang. Penurunan stock ikan global dan tingkat kesehatan laut menjadi
keprihatinan yang besar bagi insan perikanan. Kurangnya manajemen, akibat perlakuan
sebagai milik bersama, membawa konsekuensi tragedy of the common menjadi kenyataan.
Hal ini mutlak harus ditinjau dan difahami khalayak umum, mengingat 500 juta orang (8%
dari penduduk dunia) menggantungkan nasib di sector ini. Pemanfaatan yang tidak lestari
3
tidak saja berakibat punahnya ikan dan sumberdaya bermanfaat yang lain, tetapi juga
hilangnya kesempatan untuk mendapat sumber nutrisi murah untuk umat manusia.
PBB mendeklarasikan dan mengambil langkah nyata semenjak penetapan konvensi
PBB tentang hukum laut (UNCLOS) tahun 1982. Berbagai instrument dan pengaturan
international berkembang mengikuti konvensi tersebut. Untuk merealisasikan implementasi
kode etik ini oleh Negara-negara anggota PBB, dibutuhkan waktu yang panjang, yang
membutuhkan dorongan terutama Negara-negara berkembang. Inisiatif dari Negara maju
untuk memfasilitasi pelaksanaan manajemen perikanan dapat mempercepat adopsi guidance
yang ada dengan cara lebih seksama. Salah satu bagian penting dalam manajemen perikanan
adalah MCS. Untuk selanjutnya, pengelola perikanan tidak dapat mengambil keputusan dan
pengendalian tanpa kegiatan MCS yang efektif.
Di berbagai Negara berkembang, seperti Negara-negara Asia Tenggara, implementasi
international instrument telah dikembangkan pada level national, karena alasan apapun, akan
tetapi memiliki keterbatasan untuk mengendalikan sumberdaya di luar batas kedaulatannya,
yang mana stok ikan pelintas batas, migrasi, transboundary memiliki habitat kritis selama
siklus hidupnya untuk berpijah, pengasuhan/ pendederan anakan (nursery), migrasi, sebelum
meraka ditangkap di fishing ground. Jalan untuk mengelola sumberdaya seperti ini satu
satunya melalui kerjasama regional. Kerjasama ini lebihmudah dengan adanya SEAFDEC
yang telah lebih 50 tahun terwujud. Institusi ini bersama ASEAN menyepakati resolusi Fish
for the People 2020: adaptation to a changing environment. Paradigma pun mengalami
transformasi yaitu dari penguatan kapasitas dan pengembangan teknologi penangkapan ke
manajemen perikanan untuk pemanfaatan yang rasionaldan penguatan kelembagaan untuk
perbaikan sumberdaya.
Pembentukan jejaring MCS tingkat regional sangat menentukan untuk penguatan
kemampuan dalam MCS national melalui koordinasi dan kerjasama, dengan sasaran
melawan, mengurangi, dan mengeliminasi IUU fishing dan aktivitas-aktivitas destruktif yang
mempengaruhi kelestarian sumberdaya ikan. Upaya keras SEAFDEC-Sweden Project untuk
membentuk MCS regional atau sub regional, dapat menjadi salah satu pelajaran penting.
Ambisinya yang besar untukmencapai sasaran tersebut menghadapkannya pada berbagai
masalah yang dapat menjadi pelajaran bagi upaya di tempat lain.
2. Isu global dalam pengelolaan perikanan
Ikan dan produk perikanan tergolong sumberdaya alam terbarui yang memiliki peran
dalam kehidupan manusia sebagai mata pencaharian, sumber protein hewani, komoditas
bernilai ekonomi tinggi. Segala ancaman terhadap keberadaan dan fungsinya akan menjadi
perhatian masyarakat dunia. Sebagai sumberdaya milik bersama, kekayaan ini menghadapi
berbagai tantangan kelestarian. Dibutuhkan pengaturan bertaraf internasional dengan
petunjuk efektif dalam mengatur, melalui pertimbangan keilmuan, disertai kemauan politik
yang kuat, dapat diterapkan di tingkat local, nasional, dan regional. Pemahaman terhadap
berbagai instrument pengaturan ini merupakan langkah awal bagi institusi yang bertanggung
jawab di tiap Negara.
Badan PBB urusan program lingkungan hidup (UNEP) memprediksi sekitar 35 juta
orang secara langsung terlibat dalam kegiatan perikanan tangkap di dunia, setara dengan 120
juta orang beserta keluarganya. Sekitar 500 juta (8% penduduk dunia) mbil bagian dalam
bisnis tidak langsung seperti pengemasan, pengolahan, transportasi (Guardian, 2010). The
Pew Charitable Trust (2011) melaporkan bahwa sector perikanan mempekerjakan 260 juta
orang, 50 juta yang terlibat langsung (44% skala kecil) dan 210 juta lainnya terlibat tidak
4
langsung. Sementara FAO mengklaim 35 juta dan 105 juta orang yang terlibat secara
langsung dan tidak langsung.
Sebagai sumber pangan utama, protein hewani ikan dapat mensubstitusi kebutuhan
protein dengan harga terjangkau. Sebagaimana diprediksi oleh FAO sebanyak 40 juta ton per
tahun. Peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita, memicu peningkatan
eksploitas sumberdaya ini. FAO (2016) melaporkan konsumsi ikan tahun 2015 melampaui 20
kg/th/kapita, meningkat dari 9,9 kg dan 14,4 kg pada tahun 1960s dan 1990s. Mengikuti
peningkatan permintaan dan citra produk seafood yang makin baik menjadikan produknya
semakin komersial dan industrial. Penyaluran berbagai subsidi untuk meningkatkan
kemampuan menangkap oleh nelayan skala kecil, pengembangan kapal ikan dan modernisasi
alat tangkap secara nyata meningkatkan laju penangkapan.
Sebagaimana dilaporkan dalam the global fisheries exploitation status (FAO, 2014),
produksi perikanan tangkap dunia sekitar 82,6 juta ton tahun 2011, dan menurun menjadi
79,7 juta ton tahun 2012. Penaksiran terhadap stok ikan yang ditangkap menunjukkan bahwa
71,2% yang ditangkap tahun 2011 masih dalam jumlah yang secara biologis pada kisaran
MSY,sedangkan 28,8% yang lain terindikasi tidak lestari atau melebihi jumlah tangkap yang
diperbolehkan. Untuk bagian yang lestari 61,3% mengindikasikan telah mengalami jumlah
maksimal yang diperbolehkan dan 9,9% terindikasi masih di bawah maksimal.
Sirriraksophon (2018) menunjukkan komposisi status eksploitasi ikan dunia sebagaimana
terlihat pada Gambar 1. Pada gambar tesebut dapat dilihat sebanyak 25% sumberdaya
tangkap membutuhkan manajemen yang kuat untuk mengembalikan stok pada kondisi yang
tidak mengancam kelestarian. Sebanyak 52% sumberdaya yang membutuhkan manajemen
untuk menjaga eksploitasi tetap berada dalam kisaran maximum sustainable yield (MSY).
Gambar 1. Status stok ikan dunia (Sirriraksophon, 2018- unpublished)
Badan PBB urusan lingkungan (UNEP) yang mencanangkan inisiatif ekonomi hijau,
memprediksi 30% perikanan laut telah mengalami kehancuran, yaitu memproduksi kurang
dari 10% dari kemampuan awalnya, dan tahun 2050 semua stok ikan menjadi tidak layak
eksploitasi secara ekonomi atau bahkan punah. (Pilkington, 2010). Beddington et al. (2007)
menggambarkan reference points berbagai tipe sumberdaya dan status stok ikan kaitannya
dengan manajemen yang dibutuhkan, sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Terdapat 3
tingkatan biomassa ikan yang dapat berkembang biak dengan 3 tingkat mortalitas akibat
5
tangkapan. Manajemen menargetkan reference point pada biomassa yang memungkinkan
dapat dihasilkan anakan dengan jumlah maksimal dan lestari (Biomass MSY). Pemegang
otoritas pengelola perikanan harus menghindari situasi biomassa/ stok dalam keadaan di
bawah ambang batas dan mengendalikan mortalitas akibat tangkapan yang menargetkan
tingkat stok dalam kondisi berisiko rendah.
Pada saat kemampuan menangkap ikan (fishing capacity) jauh di bawah target
mortality, sebagaimana kejadian 5 dekade sebelumnya, paradigm umum lembaga local
maupun international adalah peningkatan produksi tangkapan untuk memperoleh manfaat
ekonomi yang lebih besar. Setelah upaya peningkaatan mencapai kapasitas yang sangat
tinggi, kebanyakan lokasi perairan mengalami tangkapan berlebih (over fished), kemudian
paradigm berubah ke arah pengelolaan perikanan yang optimal. Saat ini setelah 25%
sumberdaya mengalami kelebihan tangkap, hasil yang sangat menurun, bahkan dengan
peningkatan effort berlipat, paradigma pun berubah menjadi pengelolaan berbasis konservasi.
Di kawasan Asia Tenggara, SEAFDEC melalui Strategi Plan nya, mengharminisasikan dan
mengkoordinasikan kegiatan sesuai dengan paradigm yang berubah tersebut, yaitu
suatainable fisheries development, sebuah tuntunan bagi seluruh Negara anggota SEAFDEC.
Selanjutnya ASEAN-SEAFDEC Fisheries Consultative Group melahirkan sebuah Strategic
Plan berkenaan dengan isu pelestarian (Silapajarn, et al., 2017).
Gambar 2. Berbagi status stok untuk berbagai kondisi biomassa dan mortalitas tangkapan
3. MCS dalam Pengelolaan Perikanan
United Nation Convention on the Law of Sea (UNCLOS) 1982 telah menyatakan
secara tersirat pentingnya pengelolaan perikanan yang dinyatakan dalam the preamble part
dan pada PART V, dalam article 61, 62, 63, and 64, menyatakan "Recognizing the
desirability of establishing through this Convention, with due regard for the sovereignty of all
States, a legal order for the seas and oceans which will facilitate international
communication, and will promote the peaceful uses of the seas and oceans, the equitable and
efficient utilization of their resources, the conservation of their living resources, and the
6
study, protection and preservation of the marine environment". Instrumen ini menjadi
pengaturan global pertama dalam konservasi, proteksi, dan pemanfaatan laut dengan segala
sumber dayanya. Tahun 1995 PBB mengadopsi instrumen lain yaitu UN Fish Stock
Agreement, berkaitan dengan pengelolaan ikan beruaya lintas batas, yang efektif
diimplementasikan 11 Desember tahun 2001, 30 hari setelah 30 negara meratifikasi (FAO,
2016)
Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7, pasal 7.1.
menggaris bawahi “States and all those engaged in fisheries management should, through an
appropriate policy, legal and institutional framework, adopt measures for the long-term
conservation and sustainable use of fisheries resources. Conservation and management
measures, whether at local, national, sub-regional or regional levels, should be based on the
best scientific evidence available and be designed to ensure the long-term sustainability of
fishery resources at levels which promote the objective of their optimum utilization and
maintain their availability for present and future generations; short-term considerations
should not compromise these objectives"
Pasal 7.2.1 menyatakan “Recognizing that long-term sustainable use of fisheries
resources is the overriding objective of conservation and management, States and sub-
regional or regional fisheries management organizations and arrangements should, inter
alia, adopt appropriate measures, based on the best scientific evidence available, which are
designed to maintain or restore stocks at levels capable of producing maximum sustainable
yield, as qualified by relevant environmental and economic factors, including the special
requirements of developing countries”. And 7.2.2 Such measures should provide inter alia
that:
a. excess fishing capacity is avoided and exploitation of the stocks remains economically
viable;
b. the economic conditions under which fishing industries operate promote responsible
fisheries;
c. the interests of fishers, including those engaged in subsistence, small-scale and artisanal
fisheries, are taken into account;
d. biodiversity of aquatic habitats and ecosystems is conserved and endangered species are
protected;
e. depleted stocks are allowed to recover or, where appropriate, are actively restored;
f. adverse environmental impacts on the resources from human activities are assessed and,
where appropriate, corrected; and
g. pollution, waste, discards, catch by lost or abandoned gear, catch of non-target species,
both fish and non- fish species, and impacts on associated or dependent species are
minimized, through measures including, to the extent practicable, the development and
use of selective, environmentally safe and cost-effective fishing gear and techniques.
Terkait dengan Pengelolaan Perikanan setelah CCRF, FAO mendorong Plan of Action on
the Management of Fishing Capacity 1999 (IPO-Capacity) yang memasukkan sejumlah
langkah yang dilakukan dalam mengelola Fishing Capacity, yaitu: (1) Assessment dan
monitoring fishing capacity; (2) Penyiapan dan implementasi national plant of action
(NPOA-Capacity); (3) Pertimbangan international (regional) dan rekomendasi langkah-
langkah untuk mengelola fishing capacity (Amornpiyakrit and Siriraksophon, 2016).
7
Di sector perikanan, pengelola perikanan memiliki sejumlah tujuan (OECD, 2013).
Kepentingan untuk mendukung sasaran masyarakat dan tujuan, diharapkan menunjang: (1)
tujuan ekonomi seperti menghasilkan pertumbuhan dan peluang usaha; (2) tujuan social
seperti melestarikan masyarakat pedesaan; (3) tujuan lingkungan seperti menyediakan habitat
laut dan kawasan pesisir. Arnason (2016) menekankan penangkapan ikan sebagai keiatan
produksi sehingga pengelolaan perikanan harus dilihat dari cara pandang tersebut.
Pengelolaan perikanan yang baik mendukung industry perikanan untuk memproduksi the
maximum sustainable net output. Namun demikian masalah umum yang menjadi
konsekuensinya adalah:
1) berlebihnya armada tangkap dan effortnya;
2) Stok ikan yang terlalu sedikit;
3) Keuntungan yang tipis dan pendapatan pekerja yang tidak berarti
4) Kontribusi yang nyaris tak berarti bagi GDP;
5) Ancaman bagi kelestarian perikanan
Cochrane (2002) memaparkan ringkasan tugas pengelola perikanan, sebagaimana
definisi yang digunakan dalam Technical Guidelines: “The integrated process of information
gathering, analysis, planning, consultation, decision-making, allocation of resources and
formulation and implementation, with enforcement as necessary, of regulations or rules
which govern fisheries activities in order to ensure the continued productivity of the
resources and the accomplishment of other fisheries objectives” Ini menunjukkan adanya
beberapa pihak yang terlibat dalam satu kesatuan tugas untuk mencapai tujuan. Para pihak
dalam pengelolaan perikanan meliputi:
(1) Dewan otoritas sebagi administrator (kementerian terkait)
(2) Grup analis (expert, kelompok ilmiah)
(3) Enumerator atau kolektor data
(4) Asosiasi nelayan
(5) Penyelia hukum dan aspek legal
(6) Institusi pengawas
(7) Dewan keamanan
(8) NGO dan media
Mereka bekerja untuk sasaran bersama, meliputi:
(1) Mempertahankan kondisi spesies target pada batas atau di atas level yang layak bagi
keberlanjutan produktivitas (secara biologis)
(2) Meminimumkan dampak penangkapan terhadap lingkungan fisik dan pada biota non
target (by catch), serta spesie lain yang terkait secara biologis
(3) Memaksimumkan net income nelayan; dan
(4) Memaksimalkan kesempatan kerja untuk masyarakat yang mata pencahariannya
bergantung pada perikanan
Dalam jangka pendek mereka bekerja untuk tujuan: (1) menjaga stok sepanjang waktu
di atas 50% dari rata-rata tanpa eksploitasi, secara biologis; (2) menjaga ikan-ikan non target,
terkait dan memiliki ketergantungan, tetap di atas 50% dari rerata biomassa dalam keadaan
tanpa kegiatan penangkapan, secara ekologis. Pada diagram representasi fungsi dan autoritas
dalam manajemen perikanan (Gambar 3) siklus kerja mulai dari planning diikuti oleh seluruh
stake holder untuk menemukan kesesuaian antara perencanaan dengan implementasi
didasarkan pada informasi dan data sebelumnya. Setelah seluruh komponen setuju dan
memutuskan pengaturan manajemen untuk periode berikutnya, team legislasi
8
menindaklanjuti bentuk regulasi sesuai implementasi yang diharapkan. Tim MCS akan
meyakinkan bahwa seluruh aktivitas memiliki kesesuaian dengan regulasi, segala
penyimpangan ditangani oleh security untuk penegakan aturan.
Gambar 3. Diagramatik fungsi dan tanggung jawab sebuah manajemen perikanan (Cochrane,
2002)
Monitoring, Control, dan Surveillance disingkat MCS memiliki pengertian sesuai
definisi yang dimuat dalam The Regional Guidelines for Responsible Fisheries Management
in Southeast Asia (SEAFDEC, 2003). Monitoring mengandung pengertian kebutuhan
observasi terus menerus, pengumpulan, pengukuran, analisis data dan informasi mengenai
aktivitas perikanan. Control merupakan upaya spesifik berkaitan dengan regulasi (legal frame
work) atas eksploitasi, pemanfaatan, dan pemindahan sumberdaya dapat terjadi. Surveillance
meliputi tipe observasi yang diperlukan untuk mempertahankan ketaatan terhadap aturan.
Pada umumnya istilah MCS secara bersamaan tidak terpisahkan membuat dampak yang lebih
besar dalam pengelolaan perikanan, khususnya dalam implementasi regulasi yang sedang
berlaku. Flewwelling (2001) memberikan gambaran mengenai posisi MCS dalam
pengelolaan perikanan seperti terlihat pada Gambar 4.
9
Gambar 4. Hubungan antara pengelolaan perikanan dan MCS (Flewwelling, 2001)
Untuk sumberdaya alam, manajemen untuk tujuan tertentu hanya dimungkinkan
dilakukan oleh pemerintah, dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Institusi yang
menjadi bagian dari organisasi ini harus mengendalikan pemanfaatan, fungsi, eksploitasi,
untuk meyakinkan pemanfaatan ikan untuk generasi sekarang tidak mengurangi manfaat
untuk generasi yang akan datang. Di tingkat nasional setiap Negara memiliki authoritas untuk
mengelola sumberdaya alamnya di bawah undang-undang. Di tingkat dunia FAO
mendeklarasikan international instrument yang dikenal dengan Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) pada tahun 1995, pada article 7 mengatur pengelolaan
perikanan (FAO, 1995). Pengelolaan perikanan di tingkat negara, sub-regional, dan regional
harus memberikan penjelasan untuk konservasi dan pengaturan manajemen dan memberi
keyakinan bahwa hukum, aturan, dan penerapan aspek legal yang lain disebar luaskan secara
efektif.
Secara teknis instrument ini dilengkapi dengan technical guideline for responsible
fisheries, pada bagian 4 menguraikan pengelolaan perikanan (FAO, 2002). Pada guideline ini
MCS dihadirkan lebih untuk pengelolaan perikanan di zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Setelah banyak kisah ketidak berhasilan manajemen pada pengendalian ketaatan, mereka
memerlukan pendekatan lebih untuk meyakinkan pengaturan dalam manajemen dapat
mencapai tujuan. MCS sebagai sebuah system memiliki peran sebagai konsep baru yang
terintegrasi dalam pengelolaan perikanan. Dengan system MCS, manajemen dapat
menggunakan umpan balik monitoring untuk evaluasi ilmiah, selain system penegakan aturan
untuk ketaatan. Dalam mekanisme pelaksanaan, unit MCS mengimplementasikan strategi
untuk mendukung manajemen pasca perencanaan dan seluruh pengaturan dan tujuan yang
secara terang difahami oleh stake holders. Untuk penegakan hukum, unit MCS juga
dilengkapi dengan investigator/ pengawas perikanan yang berlesensi untuk penegakan hukum
(FAO, 2002). Di Indonesia dikenal dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang
Perikanan.
4. Penerapan MCS di tingkat nasional dan inisiatif kerjasama regional
Yleana and Velasco (2012) menjelaskan kerangka kerja rekomendasi FAO untuk system
MCS sebagai berikut:
10
a. Penegakan aturan dan mekanisme control
b. Mewujudkan system pengumpulan data (monitoring pelabuhan, pengawasan, inspeksi
di kapal)
c. Mengembangkan system komunikasi penunjang
d. Melakukan pengintaian udara
e. Mengadopsi teknologi yang cocok (VMS, citra satelit, penelusuran dg inframerah)
f. Mewujudkan komitmen nelayan dan industry
g. Mendorong kerjasama bilateral, sub-regional, dan regional dengan dukungan system
MCS
h. Mempekerjakan staf kompeten dan professional untuk semua implementasi
Jelas dinyatakan pada huruf g, Mendorong kerjasama bilateral, sub-regional, dan
regional dengan dukungan system MCS. Kerjasama bilateral mungkin telah berlangsung di
beberapa Negara seperti Indonesia-Malaysia menyepakati MoU (Widodo, 2017), namun
tidak mengacu pada system MCS. Indonesia, Philippines, dan Thailand adalah Negara-negara
yang progresif dalam meningkatkan kemampuan untuk mengimplementasikan MCS. Hal ini
tercermin dari mandate dan kemauan politik seperti terlihat pada Tabel 1. Negara-negara
tersebut secara aktif mengikuti dinamika perhatian dunia dengan meratifikasi international
instruments dan didukung oleh institusi yang memiliki kemampuan. International Plan of
Action illegal, unreported, unregulated fishing (IPOA-IUU) yang merupakan bagian CCRF
telah diadopsi oleh Indonesia dengan mewujudkan National Plan of Action (NPOA-IUU)
Indonesia 2012-2016 (MMAF, 2012). Penegakan hukum yang kuat oleh Satgas 115 sejak
tahun 2015, disertai Ditjen PSDKP KKP nyata mengurangi IUU fishing di wilayah perairan
Indonesia. Mekanisme dan fungsi lembaga-lembaga terkait seperti terlihat dalam Gambar 4.
Thailand mengembangkan sebuah system monitoring yang lebih baik untuk
mendukung kegiatan MCS. Sebuah kantor yang bernama Fisheries Monitoring Center
(FMC), terintegrasi dan berada di komplek Departemen Perikanan Thailand di Bangkok.
Menggunakan teknologi digital dan citra satelit, menjanjikan surveillance yang efektif untuk
mengawasi kapal ikan komersial yang beroperasi di perairan Thailand dan sekitarnya. Pada
tahun 2015 penggunaan VMS (vessel monitoring system) sudah beroperasi penuh di
Thailand. Posisi seluruh kapal ikan komersial yang teregistrasi terdeteksi secara real time di
layar monitor yang ada di FMC, seperti terlihat pada Gambar 5. Di bawah Departemen
Perikanan, mereka bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu tanpa henti. Khusus untuk armada
kapal ikan dan kapal angkut asing, untuk kepentingan transshipment mereka
mengembangkan perangkat lunak untuk surveillance, yang dinamakan ERS (electronic
reporting system) dan EMS (electronic monitoring system). Untuk transshipment ke luar
negeri, pengawasan di atas kapal (on board monitoring) juga dilakukan dengan camera
CCTV 360o, terkoneksi secara digital. Penegakan hukum perikanan juga didukung oleh
beberapa instansi seperti Thai Maritime Enforcement Coordination Center (Thai MECC),
Department of Marine and Coastal Resources (DMCR), Marine Police, dan Marine
Departement.
Philippines mewujudkan pusat koordinasi dan operasi MCS di the Navotas Fish Port
complex dan terhubung ke 15 Regional Monitoring Center di seluruh negeri. Untuk
surveillance dan penegakan hukum, mereka terintegrasi ke dalam Fisheries Resources
Protection and Law Enforcement Unit Quick Response Team (FRP-LEU QRT) Bureau of
Fisheries and Aquatic Resources (BFAR). Bekerjasama dengan Philippines Coast Guard
(PCG), Angkatan Laut, dan Departemen Luar Negeri. Di tingkat local/ Municipal mereka
11
membangun Fisheries and Aquatic Resource Management Council (FARMC) dilengkapi
dengan kapal patrol MCS yang dioperasikan oleh BFAR Law Enforcer.
12
Tabel 1. Adopsi dan implementasi MCS dan pengelolaan perikanan di Negara-negara
ASEAN (disarikan dari berbagai sumber)
Gambar 4. Mekanisme operasional MCS di Indonesia (MMAF, 2012)
13
Gambar 5. Kegiatan harian di ruang utama Thai Fisheries Monitoring Center
Pada masa sebelumnya aktivitas MCS hanya menonjol untuk memerangi praktek IUU
di wilayah perairan teritori. Untuk wilayah berbatasan dengan Negara tetangga, kerjasama
atau MoU yang menjadi kesepakatan umumnya sebatas menghindari konflik antar nelayan
dan antar petugas, keamanan dan keselamatan nelayan. Akhir-akhir ini pengelolaan perikanan
terkait dengan ikan-ikan pelintas batas (shared stock) mulai mendapatkan atensi lebih. Ikan-
ikan yang tergolong transboundary species, straddling stock, high migratory stock, high sea
exclusive stock, pengelolaannya telah diatur dalam UNCLOS pada Pasal 63 (1) berbunyi
“Where the same stock or stocks of associated species occur within the exclusive economic
zones of two or more coastal States, these States shall seek, either directly or through
appropriate sub-regional or regional organizations, to agree upon measures necessary to
coordinate and ensure the conservation and development of such stocks without prejudice to
other provisions of this Part” Jadi mutlak dibutuhkan kerjasama regional untuk meyakinkan
konservasi dan pengembangan species tersebut. Pada Pasal 63 (2) disebutkan “Where the
same stock or stocks of associated species occur both within the exclusive economic zone and
in an area beyond and adjacent to the zone, the coastal State, and the States fishing for such
stocks in the adjacent area shall seek, either directly or through appropriate sub-regional or
regional organizations, to agree upon measures necessary for the conservation of these
stocks in the adjacent area". Negara-negara yang memiliki armada penangkap di sekitar high
sea yang memanfaatkan ikan pelintas batas harus mengikuti kesepakatan berbasis regional
untuk pengelolaan yang bertanggung jawab. Pengelolaan bersama ini dilakukan mengingat
keterbatasan kedaulatan Negara untuk mengelola hingga batas juridiksi.
Di kawasan Asia Tenggara, Negara-negara yang tergabung sebagai anggota
SEAFDEC memiliki peluang dapat mengelola spesies pelintas batas ini, walau terdapat
kesenjangan antar Negara dalam hal kemampuan. Setiap Negara memilki dasar hukum dan
instansi pemerintah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sector perikanan. SEAFDEC
memilki pengalaman lebih dari 50 tahun dalam pengembangan capacitu building dan
pertukaran pengalaman antar Negara. Selain itu SEAFDEC juga menjalin kerjasama dengan
berbagai organisasi dunia seperti FAO, APEC, ASEAN, IPFC, INFOFISH, Mekong River
Commission, NACA, Worldfish Center, dalam memperkuat good governance khususnya
14
dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang rasional di kawasan Asia Tenggara (Menasveta,
2018). Hanya saja diperlukan stimulasi untuk mendorong dan mempromosikan implementasi
berbasis regional tersebut.
5. Langkah-langkah mewujudkan kerjasama MCS sub-regional
Perspektif umum masyarakat tentang hakekat kegiatan MCS hanya pada control ( C) dan
surveillance (S) yang terkesan hanya ngurusi pengaturan dan pengawasan, sehingga dalam
urusan ini setiap Negara merasa sudah memiliki prosedur dan tidak memerlukan kerjasama
demi kedaulatan negara (Flewwelling, 2001). Monitoring (M) sebagai bagian penting yang
menjadi dasar evaluasi C dan S membutuhkan upaya yang lebih dan lebih efisien melalui
kerjasama, terutama untuk pengelolaan sumberdaya ikan lintas batas. Kegiatan pengumpulan
data dan analisis dalam M yang bila dikerjasamakan dalam sub-regional memberi manfaat
dalam pengelolaan perikanan yang lebih baik (Anonim, 2018a). Sebagaimana dinyatakan
dalam salah satu dokumen concept paper yang disusun oleh Jacob Hargberg bahwa keinginan
kuat muncul dari negara-negara Teluk Thailand dan Laut Andaman dengan adanya penilaian
kritis negara-negara pengimpor ikan di Eropa dan Amerika Utara mengenai status
pengelolaan ikan di Negara pengekspor yang tidak mengikuti prinsip pelestarian sumberdaya.
SEAFDEC dapat memfasilitasi kerjasama sub-regional dan regional untuk mengurangi
tekanan negara pengimpor dengan red card atau yellow card.
Hal penting yang harus disadari dalam kerjasama MCS di tingkat regional adalah
pengelolaan perikanan yang melibatkan wilayah di luar batas otoritas negara, untuk ikan-ikan
pelintas batas. Hal ini menuntut kebijakan dan komitmen yang ditetapkan oleh pejabat tingkat
tinggi di setiap negara yang terlibat untuk meyakinkan bahwa negaranya terlibat dan
mengikatkan diri dalam kerjasama tanpa prasangka kedaulatan yang berkurang. Termasuk
kesediaan untuk membiayai infrastruktur dan manajemen pendukung kerjasama. Oleh karena
itu konsep dan desain kerjasama harus benar-benar matang mulai dari platform hingga hal-hal
yang harus disetujui semua pihak sebelum kerjasama dijalankan. Pemahaman yang memadai
dari para pengambil keputusan masing-masing negara mengenai international instrument
yang telah diratifikasi yang mengikat (legal binding) seperti UNCLOS, FAO Compliance
Agreement; The UN Fish Stocks Agreement; FAO Code of Conduct for Responsible
Fisheries; FAO Agreement on Port State Measures; FAO Small-Scale Fisheries Guidelines;
IMO Conventions (safety, pollution); ILO Conventions (working conditions) (Torrel, 2017).
Sebagai kawasan penghasil ikan, Asia Tenggara adalah salah satu kawasan strategis
untuk memulai kerjasama. Kerjasama ini menjanjikan prospek yang baik bagi industry
perikanan yang berkelanjutan melalui MCS yang efisien. Terdiri atas 10 negara anggota yaitu
Brunei, Cambodia, Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore,
Thailand, dan Viet Nam dengan bentangan kawasan dari Samodera Hindia, Pacifik, dan Laut
Andaman. Terlalu besar untuk dibuat menjadi satu entitas pengelolaan perikanan. Oleh
karena itu, kawasan tersebut dibagi ke dalam sub-region seperti terlihat pada Gambar 6.
Untuk tahap awal SEAFDEC-Sweden Project memfasilitasi 3 sub-region yaitu Northen
Andaman, Southern Andaman, dan Gulf of Thailand. Pada sub-region Northern Andaman
terdapat 2 negara yaitu Myanmar dan Thailand, untuk Southern Andaman ada Malaysia-
Indonesia-Thailand, untuk Gulf of Thailand ada Cambodia, Thailand dan Viet Nam. Target
komoditas ikan yang menjadi sasaran pengelolaan adalah Anchovy, Mackerel, dan Neritic
Tuna.
15
Gambar 6. Wilayah kerjasama MCS sub-regional
Langkah-langkah yang diambil untuk mewujudkan kesepakatan kerja sama MCS
dalam tiap sub-region adalah sebagai berikut:
Langkah 1. Tinjauan status pengelolaan perikanan actual dan permasalahan umum
Langkah pertama ini dilakukan jauh sebelum inisiatif kerjasama MCS ini muncul.
Pada tahun 2015 sebuah regional technical meeting di Malaysia atas dukungan Japanese
Trust Fund (JTF) dan SEAFDEC-Sweden Project dilakukan identifikasi isu, masalah,
peluang, dan informasi kunci yang dijadikan dasar penyusunan Regional Plan of Action
capacity (RPOA-capacity). Pertemuan awal ini dilanjutkan dengan berbagai pertemuan dan
workshop seperti: sub-regional consultative workshop of the northern Andaman Sea/Myeik
archipelago 2017; the sub-regional consultation on the development of MCS in the Gulf of
Thailand 2017; sub-regional consultative meeting on the joint fisheries management around
the southern Andaman Sea 2017. Hasil-hasil pertemuan tersebut melahirkan pemikiran dan
kesadaran tentang perlunya koordinasi MCS untuk pengelolaan perikanan yang lebih baik.
Negara-negara peserta meminta SEAFDEC menyusun peta jalan dan rencana kerja terkait
penjajagan kerjasama MCS untuk transboundary stock.
Langkah 2. Penyusunan peta jalan dan rencana kerja
Peta jalan (roadmap) dan rencana kerja yang dikembangkan oleh SEAFDEC terdiri
atas 2 bagian aktivitas yaitu: (1) transboundary spesies (meliputi spawning area, migratory
path, fishing season, fishing area, closed seasons); (2) fishing capacity dan MCS (meliputi
country fisheries regulation, fisheries MCS). Serangkaian meeting dilakukan secara bertahap
untuk memperoleh output. Keluaran dari setiap aktivitas menjadi arahan dalam kerjasama
MCS pada 3 sub-region yaitu: Gulf of Thailand, Northern Andaman Sea, Southern Andaman
Sea.
Dua kelompok kerja dari masing-masing negara yaitu: Technical working group
(TWG) + focal point yang ditunjuk dan National Technical Group (NTG). Dalam work plan
setiap group melaksanakan kegiatan yang terpisah pada awal dan bergabung dalam penetapan
keputusan bentuk kerjasama pada forum multilateral. Kedua group dari masing-masing
16
negara harus memiliki pemahaman yang sama mengenai batas-batas informasi maupun
tanggung jawab yang dapat dikerjasamakan tanpa mengurangi kedaulatan negaranya.
Langkah 3. Menggali informasi mengenai: data biologis dan ekologis spesies target,
pengelolaan perikanan masing-masing negara
Pada tahap ini TWG dari masing-masing negara menyampaikan informasi terkait data
ilmiah dari lembaga penelitian mengenai berbagai aspek biologis ekologis, eksploitasi dan
present status sumberdaya yang akan dikelola. Dalam hal ini 3 kelompok komoditas:
Anchovy, Mackerel, dan neritic tuna, sebagaimana tercantum dalam roadmap. Selain itu juga
disampaikan aspek manajemen perikanan secara umum dan terkait komoditas target
kerjasama. Peraturan yang melandasi, kebijakan eksploitasi, wilayah pengelolaan,
pengendalian fishing capacity, dan berbagai standar yang digunakan dalam pengaturannya.
Tim ahli dari Marine Fisheries Research and Development Management Department
SEAFDEC juga menjadi nara sumber dalam diskusi. Training Departement SEAFDEC
mengelaborasi informasi ke dalam Sistem informasi geografis menjadi peta tematik.
Dalam tahapan ini target informasi minimum yang dapat dijadikan dasar kerjasama
dari hasil diskusi tidak memadai. Banyak informasi yang perlu dilengkapi oleh masing-
masing delegasi, selain perlu justifikasi mengenai kapasitas alat tangkap, satuan effort, lokasi
fishing ground, musim pemijahan, dan pola migrasi. Komunikasi jarak jauh antara delegasi
dengan SEAFDEC dilangsungkan melalui tele conference untuk memastikan informasi dapat
diperoleh sebelum tahap selanjutnya. Kendala yang mungkin dihadapi dalam tahap ini adalah
kesediaan sumber data untuk berbagi kepada SEAFDEC dengan berbagai alasan, termasuk
kebijakan pemerintah dalam hal informasi.
Langkah 4. Konsultasi tingkat nasional antar lembaga
Berbagai lembaga yang terkait dengan pengawasan dan penindakan diperlukan
masukannya terkait kerja sama MCS antar negara. Lembaga tersebut kalau di Indonesia
termasuk Satgas 115, Bea cukai, Ditjen PSDKP-KKP, Pol Airud, Angkatan Laut, Dinas
daerah yang menjadi lingkup wilayah kerjasama. National Technical Group yang
beranggotakan perwakilan dari lembaga-lembaga terkait bertugas menyiapkan: (1) institusi
yang menjadi national representative; (2) system kerja/ mekanisme/ SOP dalam implementasi
MCS; (3) informasi yang dapat dipertukarkan dengan negara tetangga; (4) Informasi yang
tidak akan dipertukarkan. Prioritas nasional untuk pelaksanaan M, C, dan S ditabulasi dalam
matrix seperti terlihat pada Tabel 2.
Table 2. Matrix informasi yang dapat dipertukarkan hasil kesepakatan NTG
Monitoring Control Surveillance
Number of fishing vessel by
gear
Regulation on the issuance
of the fishing licenses
Foreign fishing vessel and
carrier vessel inspection
(PSM)
Fishing vessel registration VMS and AIS system
Statistical catch by species and
by gear
Fishing vessel inspection Transshipment vessel
Fish biology Fishing port for domestic
17
and foreign vessel
Law and policy on MCS
Langkah 5. Pemilihan kebutuhan bersama antar negara yang dapat dipertukarkan dan untuk
saling melengkapi
Setelah semua negara yang menjadi bagian dalam sub-regional menyiapkan
keputusan nasionalnya berkaitan dengan: pertukaran informasi, leading institution tiap negara
yang menjadi acces point, forum bilateral atau multilateral dapat dimulai. Proyek
memfasilitasi pertemuan untuk forum tersebut dengan tujuan:
- Mengidentifikasi persoalan MCS tiap negara yang sama-sama menjadi prioritas
- Mengungkap kerjasama yang telah dilakukan dalam hal pengawasan perikanan
- Menginventarisasi hal-hal yang perlu dijadikan sasaran kerjasama untuk diusulkan
kepada national authority
- Menyepakati mekanisme kerjasama MCS sub-regional apabila semua negara
menyepakati terwujudnya MCS sub-regional
Untuk kasus sub-regional Northern Andaman Sea, antara Myanmar dan Thailand disepakati
tidak m
6. Kesimpulan dan Saran
Pembentukan kerjasama MCS untuk negara-negara berkembang yang berdampingan
dalam regional marine ecosystem memerlukan prakondisi seperti pertemuan pendahuluan
agar setiap delegasi memperoleh informasi yang cukup menyangkut isu yang mendorong,
selain informasi mengenai hakekat MCS untuk kepentingan jangka panjang dan global.
Berbagai kendala dalam tiap langkah untuk mencapai tujuan harus diantisipasi, seperti
perubahan regim pemerintahan dan kebijakan barunya. Kedekatan antara perwakilan negara
dengan manajer proyek/ coordinator perlu dijaga untuk mengatasi kekurangan informasi dan
kecepatan pelaksanaan rencana kerja oleh masing-masing negara. Peta jalan dan rencana
kerja tidak akan cukup memadai tanpa diperkuat dengan penjelasan tambahan seperti concept
paper dan komunikasi yang intensif. Lima langkah yang telah ditempuh belum memberikan
kepastian sebuah koordinasi MCS terlaksana. Langkah selanjutnya adalah sebuah forum
setingkat menteri untuk memformalkan kerjasama multilateral.
7. 7. References
Amornpiyakrit, T and Siriraksophon, S. 2016. Management of fishing capacity for
sustainable fisheries: RPOA-Capacity. Fish for the people vol. 14, number 2 (special
issue)
Arnason, R., 2016. Fisheries management: basic principles. Fisheries and aquaculture vol. V.
Encyclopedia of life support systems (EOLSS)
Beddington, J.R.; D.J. Agnew; and C.W. Clark, 2007. Current problems in the management
of marine fisheries. Science 316, 1713.
Cochrane, 2002. A fishery manager’s guidebook. Management measure and their application.
FAO Fisheries technical paper. No 424. Rome, FAO 2002. 231p.
18
Doulman, D.J., 1994. Technical assistance in fisheries monitoring, control, and surveillance;
a historical perspective of FAO’s role. FAO fisheries circular. No. 882. 22pp.
FAO, 1995. Code of conduct for responsible fisheries. UN-FAO document
FAO, 2002. A fishery manager’s guidebook. Wiley-Blackwell.
http://www.fao.org/docrep/015/i0053e/i0053e.pdf
FAO, 2014. FAO Compliance Agreement. http://www.fao.org/iuu-fishing/international-
framework/fao-compliance-agreement/en/
FAO, 2016. The United Nations Agreement for the Implementation of the Provisions of the
United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to
the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory
Fish Stocks (in force as from 11 December 2001) Overview
Fisheries government of Brunei Darussalam http://www.fisheries.gov.bn/Theme/Home.aspx
Fisheries management of Lao PDR https://www.worldfishcenter.org/department-livestock-
and-fisheries-ministry-agriculture-and-forestry-lao-pdr
Fisheries management of Myanmar https://www.worldfishcenter.org/department-fisheries-
myanmar
Flewwelling, P. 1999. An introduction to monitoring, control, and surveillance system for
capture fisheries. FAO Fisheries Technical Paper 338http://imcsnet.org/about-us/
Flewwelling, P. 2001. Fisheries management and MCS in South Asia: comparative analysis.
FAO/FISHCODE Project, GCP/INT/648/NOR: Field Report C-6 (En) Rome, FAO, 2001:56p.
http://www.fao.org/3/a-x9363e.PDF
Menasveta, D. 2018. Toward the sustainability of Southeast Asia Fisheries: the role of
SEAFDEC during the past 50 years and beyond. Fish for the people vol 15, No.2
OECD, 2013. The OECD Handbook for fisheries manager's. Principles and practice for
policy design. Organization of economic cooperation and development. 2013.
Pilkington, E., 2010. Saving global fish stocks would cost 20 million jobs, says UN.
https://www.theguardian.com/environment/2010/may/17/saving-fish-stocks-cost-jobs
SEAFDEC, 2003. Regional guidelines for responsible fisheries in southeast Asia.
MFRDMD/SP/3. SEAFDEC
SEAFDEC, 2017. ASEAN regional plan of action for the management of fishing capacity
(RPOA-Capacity), Southeast Asian Fisheries Development Center. Bangkok,
Thailand 34 pp.
SEAFDEC, 2018 Report of the third sub-regional consultative workshop of the northern
Andaman sea/ Myeik archipelago, in Bangkok, Thailand, 16-17 November 2017,
Southeast Asian Fisheries Development Center.
Silapajarn, K; V.T. Sulit; and N. Tongdee, 2017. Transforming fisheries development of
southeast Asia: SEAFDEC in accord with the UN sustainable development goals. Fish
for the people vol. 15 number 1.
Siriraksophon, 2018. Overview of IUU fishing trends, international cooperation and global/
regional initiatives to combat IUU fishing. Regional training on PSM implementation
in Southeast Asia, Bangkok, 20-23 February 2018
Siriraksophon, S. 2017. Sustainable management of neritic tuna in southeast Asia: longtail
tuna kawakawa in focus. Fish for the people, vol 15, no. 2.
The Guardian, 2010. Saving global fish stocks would cost 20 million jobs, says UN.
https://www.theguardian.com/environment/2010/may/17/saving-fish-stocks-cost-jobs
19
The Pew Charitable Trust, 2011. Ending illegal fishing project. http://www.pewtrusts.org/en
/projects/ ending-illegal-fishing-project
Torell, M., 2017. Building upon sub-regional arrangements for joint management of fishery
resources in the southeast Asian region. Fish for the people vol. 15, November 2:2017
Torell, M., 2017. Improving fisheries management in Southeast Asia in support of the
sustaiable development goals. Fish for the people vol. 15, number 1
UNCTAD, 2016. Sustainable fisheries: international trade, trade policy, and regulatory issue.
United Nations Conference on Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks,
http://www.un.org/depts/los/fish_stocks_conference/fish_stocks_conference.htm#Agr
eement
Widodo, 2017. ImplentasiMoU common guidelines
indonesiamalaysiatentangperlindungannelayandalampenanganan illegal fishing di
selatMalaka. JurnalPertahanandanBelaNegaraVol 7 no 2 (2017)
Yleana, J.S. and P.E.L.Velasco, 2012. Monitoring, control, and surveillance (MCS) in
Southeast Asia: a review of the