19
1

INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

1

Page 2: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

2

INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL

DI KAWASAN ASIA TENGGARA*)

Oleh

IBM Suastika Jaya**)

*) Disampaikan pada Seminar Nasional Tahunan XVI Hasil Penelitian Perikanan dan

Kelautan, di UGM Yogyakarta, 6 Juli 2019

**) Regional Fisheries Policy Network SEAFDEC 2018 ([email protected])

Abstract

Fisheries resources benefit for the global food demand and livelihood of 500 million people,

is too big to ignore. Depleting of its capability to support, was caused by irrational utilization other

than destructive ways, require more attention and proper action. The guideline for fisheries

management was stipulated by UN more than 30 years ago, as voluntary and legal binding

instruments, but the following up implementation by the countries in national or regional level should

be endorsed. While ensuring sustainability, Southeast Asia region contributes significantly to the

world of fish supply. This lucrative sector relies on the natural resources and that should be

protected. The paper seek to document lesson learned about MCS initiative for transboundary species

management in Southeast Asia that could reflects the journey of SEAFDEC-Sweden project on MCS.

Many obstacles should be overcome to ensure the MCS cooperation conception can be obtained. Ten

countries in the region already governed with its legal basis and institutional establishment, and some

of them started with a national plan of action to comply the instruments. However, the active

participation, if only depend on the national-based management, any kind of shared stock (high

migratory, straddling, trans-boundary) could not be controlled. The possibility to control beyond the

national jurisdiction only through multilateral or regional cooperation, clustering the ecosystem-

based entity. There are 5 milestone steps following the process, every step has their specific

challenge. The valuable experience, in this case, is the readiness of the countries to share and the

national commitment to join in the cooperation.The understanding of the national working group

about the cooperation can be done without prejudice to the sovereignty.

Keywords: SEAFDEC-Sweden Project, fisheries management, MCS, trans-boundary species,

Southeast Asia

1. Pendahuluan

Pertumbuhan ekonomi tidak selalu berkembang sejalan dengan konservasi, khususnya

dalam eksploitasi perikanan. Pembaharuan armada perikanan dan peralatan pencarian ikan

yang semakin canggih nyata meningkatkan kapasitas tangkap serta meningkatka risiko

overfishing. Berbarengan dengan peningkatan permintaan akan produk perikanan tersebut,

lemahnya kendali atas pemanfaatan sumberdaya ini dapat mengancam eksistensi dan manfaat

untuk generasi mendatang. Penurunan stock ikan global dan tingkat kesehatan laut menjadi

keprihatinan yang besar bagi insan perikanan. Kurangnya manajemen, akibat perlakuan

sebagai milik bersama, membawa konsekuensi tragedy of the common menjadi kenyataan.

Hal ini mutlak harus ditinjau dan difahami khalayak umum, mengingat 500 juta orang (8%

dari penduduk dunia) menggantungkan nasib di sector ini. Pemanfaatan yang tidak lestari

Page 3: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

3

tidak saja berakibat punahnya ikan dan sumberdaya bermanfaat yang lain, tetapi juga

hilangnya kesempatan untuk mendapat sumber nutrisi murah untuk umat manusia.

PBB mendeklarasikan dan mengambil langkah nyata semenjak penetapan konvensi

PBB tentang hukum laut (UNCLOS) tahun 1982. Berbagai instrument dan pengaturan

international berkembang mengikuti konvensi tersebut. Untuk merealisasikan implementasi

kode etik ini oleh Negara-negara anggota PBB, dibutuhkan waktu yang panjang, yang

membutuhkan dorongan terutama Negara-negara berkembang. Inisiatif dari Negara maju

untuk memfasilitasi pelaksanaan manajemen perikanan dapat mempercepat adopsi guidance

yang ada dengan cara lebih seksama. Salah satu bagian penting dalam manajemen perikanan

adalah MCS. Untuk selanjutnya, pengelola perikanan tidak dapat mengambil keputusan dan

pengendalian tanpa kegiatan MCS yang efektif.

Di berbagai Negara berkembang, seperti Negara-negara Asia Tenggara, implementasi

international instrument telah dikembangkan pada level national, karena alasan apapun, akan

tetapi memiliki keterbatasan untuk mengendalikan sumberdaya di luar batas kedaulatannya,

yang mana stok ikan pelintas batas, migrasi, transboundary memiliki habitat kritis selama

siklus hidupnya untuk berpijah, pengasuhan/ pendederan anakan (nursery), migrasi, sebelum

meraka ditangkap di fishing ground. Jalan untuk mengelola sumberdaya seperti ini satu

satunya melalui kerjasama regional. Kerjasama ini lebihmudah dengan adanya SEAFDEC

yang telah lebih 50 tahun terwujud. Institusi ini bersama ASEAN menyepakati resolusi Fish

for the People 2020: adaptation to a changing environment. Paradigma pun mengalami

transformasi yaitu dari penguatan kapasitas dan pengembangan teknologi penangkapan ke

manajemen perikanan untuk pemanfaatan yang rasionaldan penguatan kelembagaan untuk

perbaikan sumberdaya.

Pembentukan jejaring MCS tingkat regional sangat menentukan untuk penguatan

kemampuan dalam MCS national melalui koordinasi dan kerjasama, dengan sasaran

melawan, mengurangi, dan mengeliminasi IUU fishing dan aktivitas-aktivitas destruktif yang

mempengaruhi kelestarian sumberdaya ikan. Upaya keras SEAFDEC-Sweden Project untuk

membentuk MCS regional atau sub regional, dapat menjadi salah satu pelajaran penting.

Ambisinya yang besar untukmencapai sasaran tersebut menghadapkannya pada berbagai

masalah yang dapat menjadi pelajaran bagi upaya di tempat lain.

2. Isu global dalam pengelolaan perikanan

Ikan dan produk perikanan tergolong sumberdaya alam terbarui yang memiliki peran

dalam kehidupan manusia sebagai mata pencaharian, sumber protein hewani, komoditas

bernilai ekonomi tinggi. Segala ancaman terhadap keberadaan dan fungsinya akan menjadi

perhatian masyarakat dunia. Sebagai sumberdaya milik bersama, kekayaan ini menghadapi

berbagai tantangan kelestarian. Dibutuhkan pengaturan bertaraf internasional dengan

petunjuk efektif dalam mengatur, melalui pertimbangan keilmuan, disertai kemauan politik

yang kuat, dapat diterapkan di tingkat local, nasional, dan regional. Pemahaman terhadap

berbagai instrument pengaturan ini merupakan langkah awal bagi institusi yang bertanggung

jawab di tiap Negara.

Badan PBB urusan program lingkungan hidup (UNEP) memprediksi sekitar 35 juta

orang secara langsung terlibat dalam kegiatan perikanan tangkap di dunia, setara dengan 120

juta orang beserta keluarganya. Sekitar 500 juta (8% penduduk dunia) mbil bagian dalam

bisnis tidak langsung seperti pengemasan, pengolahan, transportasi (Guardian, 2010). The

Pew Charitable Trust (2011) melaporkan bahwa sector perikanan mempekerjakan 260 juta

orang, 50 juta yang terlibat langsung (44% skala kecil) dan 210 juta lainnya terlibat tidak

Page 4: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

4

langsung. Sementara FAO mengklaim 35 juta dan 105 juta orang yang terlibat secara

langsung dan tidak langsung.

Sebagai sumber pangan utama, protein hewani ikan dapat mensubstitusi kebutuhan

protein dengan harga terjangkau. Sebagaimana diprediksi oleh FAO sebanyak 40 juta ton per

tahun. Peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita, memicu peningkatan

eksploitas sumberdaya ini. FAO (2016) melaporkan konsumsi ikan tahun 2015 melampaui 20

kg/th/kapita, meningkat dari 9,9 kg dan 14,4 kg pada tahun 1960s dan 1990s. Mengikuti

peningkatan permintaan dan citra produk seafood yang makin baik menjadikan produknya

semakin komersial dan industrial. Penyaluran berbagai subsidi untuk meningkatkan

kemampuan menangkap oleh nelayan skala kecil, pengembangan kapal ikan dan modernisasi

alat tangkap secara nyata meningkatkan laju penangkapan.

Sebagaimana dilaporkan dalam the global fisheries exploitation status (FAO, 2014),

produksi perikanan tangkap dunia sekitar 82,6 juta ton tahun 2011, dan menurun menjadi

79,7 juta ton tahun 2012. Penaksiran terhadap stok ikan yang ditangkap menunjukkan bahwa

71,2% yang ditangkap tahun 2011 masih dalam jumlah yang secara biologis pada kisaran

MSY,sedangkan 28,8% yang lain terindikasi tidak lestari atau melebihi jumlah tangkap yang

diperbolehkan. Untuk bagian yang lestari 61,3% mengindikasikan telah mengalami jumlah

maksimal yang diperbolehkan dan 9,9% terindikasi masih di bawah maksimal.

Sirriraksophon (2018) menunjukkan komposisi status eksploitasi ikan dunia sebagaimana

terlihat pada Gambar 1. Pada gambar tesebut dapat dilihat sebanyak 25% sumberdaya

tangkap membutuhkan manajemen yang kuat untuk mengembalikan stok pada kondisi yang

tidak mengancam kelestarian. Sebanyak 52% sumberdaya yang membutuhkan manajemen

untuk menjaga eksploitasi tetap berada dalam kisaran maximum sustainable yield (MSY).

Gambar 1. Status stok ikan dunia (Sirriraksophon, 2018- unpublished)

Badan PBB urusan lingkungan (UNEP) yang mencanangkan inisiatif ekonomi hijau,

memprediksi 30% perikanan laut telah mengalami kehancuran, yaitu memproduksi kurang

dari 10% dari kemampuan awalnya, dan tahun 2050 semua stok ikan menjadi tidak layak

eksploitasi secara ekonomi atau bahkan punah. (Pilkington, 2010). Beddington et al. (2007)

menggambarkan reference points berbagai tipe sumberdaya dan status stok ikan kaitannya

dengan manajemen yang dibutuhkan, sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Terdapat 3

tingkatan biomassa ikan yang dapat berkembang biak dengan 3 tingkat mortalitas akibat

Page 5: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

5

tangkapan. Manajemen menargetkan reference point pada biomassa yang memungkinkan

dapat dihasilkan anakan dengan jumlah maksimal dan lestari (Biomass MSY). Pemegang

otoritas pengelola perikanan harus menghindari situasi biomassa/ stok dalam keadaan di

bawah ambang batas dan mengendalikan mortalitas akibat tangkapan yang menargetkan

tingkat stok dalam kondisi berisiko rendah.

Pada saat kemampuan menangkap ikan (fishing capacity) jauh di bawah target

mortality, sebagaimana kejadian 5 dekade sebelumnya, paradigm umum lembaga local

maupun international adalah peningkatan produksi tangkapan untuk memperoleh manfaat

ekonomi yang lebih besar. Setelah upaya peningkaatan mencapai kapasitas yang sangat

tinggi, kebanyakan lokasi perairan mengalami tangkapan berlebih (over fished), kemudian

paradigm berubah ke arah pengelolaan perikanan yang optimal. Saat ini setelah 25%

sumberdaya mengalami kelebihan tangkap, hasil yang sangat menurun, bahkan dengan

peningkatan effort berlipat, paradigma pun berubah menjadi pengelolaan berbasis konservasi.

Di kawasan Asia Tenggara, SEAFDEC melalui Strategi Plan nya, mengharminisasikan dan

mengkoordinasikan kegiatan sesuai dengan paradigm yang berubah tersebut, yaitu

suatainable fisheries development, sebuah tuntunan bagi seluruh Negara anggota SEAFDEC.

Selanjutnya ASEAN-SEAFDEC Fisheries Consultative Group melahirkan sebuah Strategic

Plan berkenaan dengan isu pelestarian (Silapajarn, et al., 2017).

Gambar 2. Berbagi status stok untuk berbagai kondisi biomassa dan mortalitas tangkapan

3. MCS dalam Pengelolaan Perikanan

United Nation Convention on the Law of Sea (UNCLOS) 1982 telah menyatakan

secara tersirat pentingnya pengelolaan perikanan yang dinyatakan dalam the preamble part

dan pada PART V, dalam article 61, 62, 63, and 64, menyatakan "Recognizing the

desirability of establishing through this Convention, with due regard for the sovereignty of all

States, a legal order for the seas and oceans which will facilitate international

communication, and will promote the peaceful uses of the seas and oceans, the equitable and

efficient utilization of their resources, the conservation of their living resources, and the

Page 6: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

6

study, protection and preservation of the marine environment". Instrumen ini menjadi

pengaturan global pertama dalam konservasi, proteksi, dan pemanfaatan laut dengan segala

sumber dayanya. Tahun 1995 PBB mengadopsi instrumen lain yaitu UN Fish Stock

Agreement, berkaitan dengan pengelolaan ikan beruaya lintas batas, yang efektif

diimplementasikan 11 Desember tahun 2001, 30 hari setelah 30 negara meratifikasi (FAO,

2016)

Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7, pasal 7.1.

menggaris bawahi “States and all those engaged in fisheries management should, through an

appropriate policy, legal and institutional framework, adopt measures for the long-term

conservation and sustainable use of fisheries resources. Conservation and management

measures, whether at local, national, sub-regional or regional levels, should be based on the

best scientific evidence available and be designed to ensure the long-term sustainability of

fishery resources at levels which promote the objective of their optimum utilization and

maintain their availability for present and future generations; short-term considerations

should not compromise these objectives"

Pasal 7.2.1 menyatakan “Recognizing that long-term sustainable use of fisheries

resources is the overriding objective of conservation and management, States and sub-

regional or regional fisheries management organizations and arrangements should, inter

alia, adopt appropriate measures, based on the best scientific evidence available, which are

designed to maintain or restore stocks at levels capable of producing maximum sustainable

yield, as qualified by relevant environmental and economic factors, including the special

requirements of developing countries”. And 7.2.2 Such measures should provide inter alia

that:

a. excess fishing capacity is avoided and exploitation of the stocks remains economically

viable;

b. the economic conditions under which fishing industries operate promote responsible

fisheries;

c. the interests of fishers, including those engaged in subsistence, small-scale and artisanal

fisheries, are taken into account;

d. biodiversity of aquatic habitats and ecosystems is conserved and endangered species are

protected;

e. depleted stocks are allowed to recover or, where appropriate, are actively restored;

f. adverse environmental impacts on the resources from human activities are assessed and,

where appropriate, corrected; and

g. pollution, waste, discards, catch by lost or abandoned gear, catch of non-target species,

both fish and non- fish species, and impacts on associated or dependent species are

minimized, through measures including, to the extent practicable, the development and

use of selective, environmentally safe and cost-effective fishing gear and techniques.

Terkait dengan Pengelolaan Perikanan setelah CCRF, FAO mendorong Plan of Action on

the Management of Fishing Capacity 1999 (IPO-Capacity) yang memasukkan sejumlah

langkah yang dilakukan dalam mengelola Fishing Capacity, yaitu: (1) Assessment dan

monitoring fishing capacity; (2) Penyiapan dan implementasi national plant of action

(NPOA-Capacity); (3) Pertimbangan international (regional) dan rekomendasi langkah-

langkah untuk mengelola fishing capacity (Amornpiyakrit and Siriraksophon, 2016).

Page 7: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

7

Di sector perikanan, pengelola perikanan memiliki sejumlah tujuan (OECD, 2013).

Kepentingan untuk mendukung sasaran masyarakat dan tujuan, diharapkan menunjang: (1)

tujuan ekonomi seperti menghasilkan pertumbuhan dan peluang usaha; (2) tujuan social

seperti melestarikan masyarakat pedesaan; (3) tujuan lingkungan seperti menyediakan habitat

laut dan kawasan pesisir. Arnason (2016) menekankan penangkapan ikan sebagai keiatan

produksi sehingga pengelolaan perikanan harus dilihat dari cara pandang tersebut.

Pengelolaan perikanan yang baik mendukung industry perikanan untuk memproduksi the

maximum sustainable net output. Namun demikian masalah umum yang menjadi

konsekuensinya adalah:

1) berlebihnya armada tangkap dan effortnya;

2) Stok ikan yang terlalu sedikit;

3) Keuntungan yang tipis dan pendapatan pekerja yang tidak berarti

4) Kontribusi yang nyaris tak berarti bagi GDP;

5) Ancaman bagi kelestarian perikanan

Cochrane (2002) memaparkan ringkasan tugas pengelola perikanan, sebagaimana

definisi yang digunakan dalam Technical Guidelines: “The integrated process of information

gathering, analysis, planning, consultation, decision-making, allocation of resources and

formulation and implementation, with enforcement as necessary, of regulations or rules

which govern fisheries activities in order to ensure the continued productivity of the

resources and the accomplishment of other fisheries objectives” Ini menunjukkan adanya

beberapa pihak yang terlibat dalam satu kesatuan tugas untuk mencapai tujuan. Para pihak

dalam pengelolaan perikanan meliputi:

(1) Dewan otoritas sebagi administrator (kementerian terkait)

(2) Grup analis (expert, kelompok ilmiah)

(3) Enumerator atau kolektor data

(4) Asosiasi nelayan

(5) Penyelia hukum dan aspek legal

(6) Institusi pengawas

(7) Dewan keamanan

(8) NGO dan media

Mereka bekerja untuk sasaran bersama, meliputi:

(1) Mempertahankan kondisi spesies target pada batas atau di atas level yang layak bagi

keberlanjutan produktivitas (secara biologis)

(2) Meminimumkan dampak penangkapan terhadap lingkungan fisik dan pada biota non

target (by catch), serta spesie lain yang terkait secara biologis

(3) Memaksimumkan net income nelayan; dan

(4) Memaksimalkan kesempatan kerja untuk masyarakat yang mata pencahariannya

bergantung pada perikanan

Dalam jangka pendek mereka bekerja untuk tujuan: (1) menjaga stok sepanjang waktu

di atas 50% dari rata-rata tanpa eksploitasi, secara biologis; (2) menjaga ikan-ikan non target,

terkait dan memiliki ketergantungan, tetap di atas 50% dari rerata biomassa dalam keadaan

tanpa kegiatan penangkapan, secara ekologis. Pada diagram representasi fungsi dan autoritas

dalam manajemen perikanan (Gambar 3) siklus kerja mulai dari planning diikuti oleh seluruh

stake holder untuk menemukan kesesuaian antara perencanaan dengan implementasi

didasarkan pada informasi dan data sebelumnya. Setelah seluruh komponen setuju dan

memutuskan pengaturan manajemen untuk periode berikutnya, team legislasi

Page 8: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

8

menindaklanjuti bentuk regulasi sesuai implementasi yang diharapkan. Tim MCS akan

meyakinkan bahwa seluruh aktivitas memiliki kesesuaian dengan regulasi, segala

penyimpangan ditangani oleh security untuk penegakan aturan.

Gambar 3. Diagramatik fungsi dan tanggung jawab sebuah manajemen perikanan (Cochrane,

2002)

Monitoring, Control, dan Surveillance disingkat MCS memiliki pengertian sesuai

definisi yang dimuat dalam The Regional Guidelines for Responsible Fisheries Management

in Southeast Asia (SEAFDEC, 2003). Monitoring mengandung pengertian kebutuhan

observasi terus menerus, pengumpulan, pengukuran, analisis data dan informasi mengenai

aktivitas perikanan. Control merupakan upaya spesifik berkaitan dengan regulasi (legal frame

work) atas eksploitasi, pemanfaatan, dan pemindahan sumberdaya dapat terjadi. Surveillance

meliputi tipe observasi yang diperlukan untuk mempertahankan ketaatan terhadap aturan.

Pada umumnya istilah MCS secara bersamaan tidak terpisahkan membuat dampak yang lebih

besar dalam pengelolaan perikanan, khususnya dalam implementasi regulasi yang sedang

berlaku. Flewwelling (2001) memberikan gambaran mengenai posisi MCS dalam

pengelolaan perikanan seperti terlihat pada Gambar 4.

Page 9: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

9

Gambar 4. Hubungan antara pengelolaan perikanan dan MCS (Flewwelling, 2001)

Untuk sumberdaya alam, manajemen untuk tujuan tertentu hanya dimungkinkan

dilakukan oleh pemerintah, dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Institusi yang

menjadi bagian dari organisasi ini harus mengendalikan pemanfaatan, fungsi, eksploitasi,

untuk meyakinkan pemanfaatan ikan untuk generasi sekarang tidak mengurangi manfaat

untuk generasi yang akan datang. Di tingkat nasional setiap Negara memiliki authoritas untuk

mengelola sumberdaya alamnya di bawah undang-undang. Di tingkat dunia FAO

mendeklarasikan international instrument yang dikenal dengan Code of Conduct for

Responsible Fisheries (CCRF) pada tahun 1995, pada article 7 mengatur pengelolaan

perikanan (FAO, 1995). Pengelolaan perikanan di tingkat negara, sub-regional, dan regional

harus memberikan penjelasan untuk konservasi dan pengaturan manajemen dan memberi

keyakinan bahwa hukum, aturan, dan penerapan aspek legal yang lain disebar luaskan secara

efektif.

Secara teknis instrument ini dilengkapi dengan technical guideline for responsible

fisheries, pada bagian 4 menguraikan pengelolaan perikanan (FAO, 2002). Pada guideline ini

MCS dihadirkan lebih untuk pengelolaan perikanan di zona ekonomi eksklusif (ZEE).

Setelah banyak kisah ketidak berhasilan manajemen pada pengendalian ketaatan, mereka

memerlukan pendekatan lebih untuk meyakinkan pengaturan dalam manajemen dapat

mencapai tujuan. MCS sebagai sebuah system memiliki peran sebagai konsep baru yang

terintegrasi dalam pengelolaan perikanan. Dengan system MCS, manajemen dapat

menggunakan umpan balik monitoring untuk evaluasi ilmiah, selain system penegakan aturan

untuk ketaatan. Dalam mekanisme pelaksanaan, unit MCS mengimplementasikan strategi

untuk mendukung manajemen pasca perencanaan dan seluruh pengaturan dan tujuan yang

secara terang difahami oleh stake holders. Untuk penegakan hukum, unit MCS juga

dilengkapi dengan investigator/ pengawas perikanan yang berlesensi untuk penegakan hukum

(FAO, 2002). Di Indonesia dikenal dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang

Perikanan.

4. Penerapan MCS di tingkat nasional dan inisiatif kerjasama regional

Yleana and Velasco (2012) menjelaskan kerangka kerja rekomendasi FAO untuk system

MCS sebagai berikut:

Page 10: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

10

a. Penegakan aturan dan mekanisme control

b. Mewujudkan system pengumpulan data (monitoring pelabuhan, pengawasan, inspeksi

di kapal)

c. Mengembangkan system komunikasi penunjang

d. Melakukan pengintaian udara

e. Mengadopsi teknologi yang cocok (VMS, citra satelit, penelusuran dg inframerah)

f. Mewujudkan komitmen nelayan dan industry

g. Mendorong kerjasama bilateral, sub-regional, dan regional dengan dukungan system

MCS

h. Mempekerjakan staf kompeten dan professional untuk semua implementasi

Jelas dinyatakan pada huruf g, Mendorong kerjasama bilateral, sub-regional, dan

regional dengan dukungan system MCS. Kerjasama bilateral mungkin telah berlangsung di

beberapa Negara seperti Indonesia-Malaysia menyepakati MoU (Widodo, 2017), namun

tidak mengacu pada system MCS. Indonesia, Philippines, dan Thailand adalah Negara-negara

yang progresif dalam meningkatkan kemampuan untuk mengimplementasikan MCS. Hal ini

tercermin dari mandate dan kemauan politik seperti terlihat pada Tabel 1. Negara-negara

tersebut secara aktif mengikuti dinamika perhatian dunia dengan meratifikasi international

instruments dan didukung oleh institusi yang memiliki kemampuan. International Plan of

Action illegal, unreported, unregulated fishing (IPOA-IUU) yang merupakan bagian CCRF

telah diadopsi oleh Indonesia dengan mewujudkan National Plan of Action (NPOA-IUU)

Indonesia 2012-2016 (MMAF, 2012). Penegakan hukum yang kuat oleh Satgas 115 sejak

tahun 2015, disertai Ditjen PSDKP KKP nyata mengurangi IUU fishing di wilayah perairan

Indonesia. Mekanisme dan fungsi lembaga-lembaga terkait seperti terlihat dalam Gambar 4.

Thailand mengembangkan sebuah system monitoring yang lebih baik untuk

mendukung kegiatan MCS. Sebuah kantor yang bernama Fisheries Monitoring Center

(FMC), terintegrasi dan berada di komplek Departemen Perikanan Thailand di Bangkok.

Menggunakan teknologi digital dan citra satelit, menjanjikan surveillance yang efektif untuk

mengawasi kapal ikan komersial yang beroperasi di perairan Thailand dan sekitarnya. Pada

tahun 2015 penggunaan VMS (vessel monitoring system) sudah beroperasi penuh di

Thailand. Posisi seluruh kapal ikan komersial yang teregistrasi terdeteksi secara real time di

layar monitor yang ada di FMC, seperti terlihat pada Gambar 5. Di bawah Departemen

Perikanan, mereka bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu tanpa henti. Khusus untuk armada

kapal ikan dan kapal angkut asing, untuk kepentingan transshipment mereka

mengembangkan perangkat lunak untuk surveillance, yang dinamakan ERS (electronic

reporting system) dan EMS (electronic monitoring system). Untuk transshipment ke luar

negeri, pengawasan di atas kapal (on board monitoring) juga dilakukan dengan camera

CCTV 360o, terkoneksi secara digital. Penegakan hukum perikanan juga didukung oleh

beberapa instansi seperti Thai Maritime Enforcement Coordination Center (Thai MECC),

Department of Marine and Coastal Resources (DMCR), Marine Police, dan Marine

Departement.

Philippines mewujudkan pusat koordinasi dan operasi MCS di the Navotas Fish Port

complex dan terhubung ke 15 Regional Monitoring Center di seluruh negeri. Untuk

surveillance dan penegakan hukum, mereka terintegrasi ke dalam Fisheries Resources

Protection and Law Enforcement Unit Quick Response Team (FRP-LEU QRT) Bureau of

Fisheries and Aquatic Resources (BFAR). Bekerjasama dengan Philippines Coast Guard

(PCG), Angkatan Laut, dan Departemen Luar Negeri. Di tingkat local/ Municipal mereka

Page 11: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

11

membangun Fisheries and Aquatic Resource Management Council (FARMC) dilengkapi

dengan kapal patrol MCS yang dioperasikan oleh BFAR Law Enforcer.

Page 12: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

12

Tabel 1. Adopsi dan implementasi MCS dan pengelolaan perikanan di Negara-negara

ASEAN (disarikan dari berbagai sumber)

Gambar 4. Mekanisme operasional MCS di Indonesia (MMAF, 2012)

Page 13: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

13

Gambar 5. Kegiatan harian di ruang utama Thai Fisheries Monitoring Center

Pada masa sebelumnya aktivitas MCS hanya menonjol untuk memerangi praktek IUU

di wilayah perairan teritori. Untuk wilayah berbatasan dengan Negara tetangga, kerjasama

atau MoU yang menjadi kesepakatan umumnya sebatas menghindari konflik antar nelayan

dan antar petugas, keamanan dan keselamatan nelayan. Akhir-akhir ini pengelolaan perikanan

terkait dengan ikan-ikan pelintas batas (shared stock) mulai mendapatkan atensi lebih. Ikan-

ikan yang tergolong transboundary species, straddling stock, high migratory stock, high sea

exclusive stock, pengelolaannya telah diatur dalam UNCLOS pada Pasal 63 (1) berbunyi

“Where the same stock or stocks of associated species occur within the exclusive economic

zones of two or more coastal States, these States shall seek, either directly or through

appropriate sub-regional or regional organizations, to agree upon measures necessary to

coordinate and ensure the conservation and development of such stocks without prejudice to

other provisions of this Part” Jadi mutlak dibutuhkan kerjasama regional untuk meyakinkan

konservasi dan pengembangan species tersebut. Pada Pasal 63 (2) disebutkan “Where the

same stock or stocks of associated species occur both within the exclusive economic zone and

in an area beyond and adjacent to the zone, the coastal State, and the States fishing for such

stocks in the adjacent area shall seek, either directly or through appropriate sub-regional or

regional organizations, to agree upon measures necessary for the conservation of these

stocks in the adjacent area". Negara-negara yang memiliki armada penangkap di sekitar high

sea yang memanfaatkan ikan pelintas batas harus mengikuti kesepakatan berbasis regional

untuk pengelolaan yang bertanggung jawab. Pengelolaan bersama ini dilakukan mengingat

keterbatasan kedaulatan Negara untuk mengelola hingga batas juridiksi.

Di kawasan Asia Tenggara, Negara-negara yang tergabung sebagai anggota

SEAFDEC memiliki peluang dapat mengelola spesies pelintas batas ini, walau terdapat

kesenjangan antar Negara dalam hal kemampuan. Setiap Negara memilki dasar hukum dan

instansi pemerintah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sector perikanan. SEAFDEC

memilki pengalaman lebih dari 50 tahun dalam pengembangan capacitu building dan

pertukaran pengalaman antar Negara. Selain itu SEAFDEC juga menjalin kerjasama dengan

berbagai organisasi dunia seperti FAO, APEC, ASEAN, IPFC, INFOFISH, Mekong River

Commission, NACA, Worldfish Center, dalam memperkuat good governance khususnya

Page 14: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

14

dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang rasional di kawasan Asia Tenggara (Menasveta,

2018). Hanya saja diperlukan stimulasi untuk mendorong dan mempromosikan implementasi

berbasis regional tersebut.

5. Langkah-langkah mewujudkan kerjasama MCS sub-regional

Perspektif umum masyarakat tentang hakekat kegiatan MCS hanya pada control ( C) dan

surveillance (S) yang terkesan hanya ngurusi pengaturan dan pengawasan, sehingga dalam

urusan ini setiap Negara merasa sudah memiliki prosedur dan tidak memerlukan kerjasama

demi kedaulatan negara (Flewwelling, 2001). Monitoring (M) sebagai bagian penting yang

menjadi dasar evaluasi C dan S membutuhkan upaya yang lebih dan lebih efisien melalui

kerjasama, terutama untuk pengelolaan sumberdaya ikan lintas batas. Kegiatan pengumpulan

data dan analisis dalam M yang bila dikerjasamakan dalam sub-regional memberi manfaat

dalam pengelolaan perikanan yang lebih baik (Anonim, 2018a). Sebagaimana dinyatakan

dalam salah satu dokumen concept paper yang disusun oleh Jacob Hargberg bahwa keinginan

kuat muncul dari negara-negara Teluk Thailand dan Laut Andaman dengan adanya penilaian

kritis negara-negara pengimpor ikan di Eropa dan Amerika Utara mengenai status

pengelolaan ikan di Negara pengekspor yang tidak mengikuti prinsip pelestarian sumberdaya.

SEAFDEC dapat memfasilitasi kerjasama sub-regional dan regional untuk mengurangi

tekanan negara pengimpor dengan red card atau yellow card.

Hal penting yang harus disadari dalam kerjasama MCS di tingkat regional adalah

pengelolaan perikanan yang melibatkan wilayah di luar batas otoritas negara, untuk ikan-ikan

pelintas batas. Hal ini menuntut kebijakan dan komitmen yang ditetapkan oleh pejabat tingkat

tinggi di setiap negara yang terlibat untuk meyakinkan bahwa negaranya terlibat dan

mengikatkan diri dalam kerjasama tanpa prasangka kedaulatan yang berkurang. Termasuk

kesediaan untuk membiayai infrastruktur dan manajemen pendukung kerjasama. Oleh karena

itu konsep dan desain kerjasama harus benar-benar matang mulai dari platform hingga hal-hal

yang harus disetujui semua pihak sebelum kerjasama dijalankan. Pemahaman yang memadai

dari para pengambil keputusan masing-masing negara mengenai international instrument

yang telah diratifikasi yang mengikat (legal binding) seperti UNCLOS, FAO Compliance

Agreement; The UN Fish Stocks Agreement; FAO Code of Conduct for Responsible

Fisheries; FAO Agreement on Port State Measures; FAO Small-Scale Fisheries Guidelines;

IMO Conventions (safety, pollution); ILO Conventions (working conditions) (Torrel, 2017).

Sebagai kawasan penghasil ikan, Asia Tenggara adalah salah satu kawasan strategis

untuk memulai kerjasama. Kerjasama ini menjanjikan prospek yang baik bagi industry

perikanan yang berkelanjutan melalui MCS yang efisien. Terdiri atas 10 negara anggota yaitu

Brunei, Cambodia, Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore,

Thailand, dan Viet Nam dengan bentangan kawasan dari Samodera Hindia, Pacifik, dan Laut

Andaman. Terlalu besar untuk dibuat menjadi satu entitas pengelolaan perikanan. Oleh

karena itu, kawasan tersebut dibagi ke dalam sub-region seperti terlihat pada Gambar 6.

Untuk tahap awal SEAFDEC-Sweden Project memfasilitasi 3 sub-region yaitu Northen

Andaman, Southern Andaman, dan Gulf of Thailand. Pada sub-region Northern Andaman

terdapat 2 negara yaitu Myanmar dan Thailand, untuk Southern Andaman ada Malaysia-

Indonesia-Thailand, untuk Gulf of Thailand ada Cambodia, Thailand dan Viet Nam. Target

komoditas ikan yang menjadi sasaran pengelolaan adalah Anchovy, Mackerel, dan Neritic

Tuna.

Page 15: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

15

Gambar 6. Wilayah kerjasama MCS sub-regional

Langkah-langkah yang diambil untuk mewujudkan kesepakatan kerja sama MCS

dalam tiap sub-region adalah sebagai berikut:

Langkah 1. Tinjauan status pengelolaan perikanan actual dan permasalahan umum

Langkah pertama ini dilakukan jauh sebelum inisiatif kerjasama MCS ini muncul.

Pada tahun 2015 sebuah regional technical meeting di Malaysia atas dukungan Japanese

Trust Fund (JTF) dan SEAFDEC-Sweden Project dilakukan identifikasi isu, masalah,

peluang, dan informasi kunci yang dijadikan dasar penyusunan Regional Plan of Action

capacity (RPOA-capacity). Pertemuan awal ini dilanjutkan dengan berbagai pertemuan dan

workshop seperti: sub-regional consultative workshop of the northern Andaman Sea/Myeik

archipelago 2017; the sub-regional consultation on the development of MCS in the Gulf of

Thailand 2017; sub-regional consultative meeting on the joint fisheries management around

the southern Andaman Sea 2017. Hasil-hasil pertemuan tersebut melahirkan pemikiran dan

kesadaran tentang perlunya koordinasi MCS untuk pengelolaan perikanan yang lebih baik.

Negara-negara peserta meminta SEAFDEC menyusun peta jalan dan rencana kerja terkait

penjajagan kerjasama MCS untuk transboundary stock.

Langkah 2. Penyusunan peta jalan dan rencana kerja

Peta jalan (roadmap) dan rencana kerja yang dikembangkan oleh SEAFDEC terdiri

atas 2 bagian aktivitas yaitu: (1) transboundary spesies (meliputi spawning area, migratory

path, fishing season, fishing area, closed seasons); (2) fishing capacity dan MCS (meliputi

country fisheries regulation, fisheries MCS). Serangkaian meeting dilakukan secara bertahap

untuk memperoleh output. Keluaran dari setiap aktivitas menjadi arahan dalam kerjasama

MCS pada 3 sub-region yaitu: Gulf of Thailand, Northern Andaman Sea, Southern Andaman

Sea.

Dua kelompok kerja dari masing-masing negara yaitu: Technical working group

(TWG) + focal point yang ditunjuk dan National Technical Group (NTG). Dalam work plan

setiap group melaksanakan kegiatan yang terpisah pada awal dan bergabung dalam penetapan

keputusan bentuk kerjasama pada forum multilateral. Kedua group dari masing-masing

Page 16: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

16

negara harus memiliki pemahaman yang sama mengenai batas-batas informasi maupun

tanggung jawab yang dapat dikerjasamakan tanpa mengurangi kedaulatan negaranya.

Langkah 3. Menggali informasi mengenai: data biologis dan ekologis spesies target,

pengelolaan perikanan masing-masing negara

Pada tahap ini TWG dari masing-masing negara menyampaikan informasi terkait data

ilmiah dari lembaga penelitian mengenai berbagai aspek biologis ekologis, eksploitasi dan

present status sumberdaya yang akan dikelola. Dalam hal ini 3 kelompok komoditas:

Anchovy, Mackerel, dan neritic tuna, sebagaimana tercantum dalam roadmap. Selain itu juga

disampaikan aspek manajemen perikanan secara umum dan terkait komoditas target

kerjasama. Peraturan yang melandasi, kebijakan eksploitasi, wilayah pengelolaan,

pengendalian fishing capacity, dan berbagai standar yang digunakan dalam pengaturannya.

Tim ahli dari Marine Fisheries Research and Development Management Department

SEAFDEC juga menjadi nara sumber dalam diskusi. Training Departement SEAFDEC

mengelaborasi informasi ke dalam Sistem informasi geografis menjadi peta tematik.

Dalam tahapan ini target informasi minimum yang dapat dijadikan dasar kerjasama

dari hasil diskusi tidak memadai. Banyak informasi yang perlu dilengkapi oleh masing-

masing delegasi, selain perlu justifikasi mengenai kapasitas alat tangkap, satuan effort, lokasi

fishing ground, musim pemijahan, dan pola migrasi. Komunikasi jarak jauh antara delegasi

dengan SEAFDEC dilangsungkan melalui tele conference untuk memastikan informasi dapat

diperoleh sebelum tahap selanjutnya. Kendala yang mungkin dihadapi dalam tahap ini adalah

kesediaan sumber data untuk berbagi kepada SEAFDEC dengan berbagai alasan, termasuk

kebijakan pemerintah dalam hal informasi.

Langkah 4. Konsultasi tingkat nasional antar lembaga

Berbagai lembaga yang terkait dengan pengawasan dan penindakan diperlukan

masukannya terkait kerja sama MCS antar negara. Lembaga tersebut kalau di Indonesia

termasuk Satgas 115, Bea cukai, Ditjen PSDKP-KKP, Pol Airud, Angkatan Laut, Dinas

daerah yang menjadi lingkup wilayah kerjasama. National Technical Group yang

beranggotakan perwakilan dari lembaga-lembaga terkait bertugas menyiapkan: (1) institusi

yang menjadi national representative; (2) system kerja/ mekanisme/ SOP dalam implementasi

MCS; (3) informasi yang dapat dipertukarkan dengan negara tetangga; (4) Informasi yang

tidak akan dipertukarkan. Prioritas nasional untuk pelaksanaan M, C, dan S ditabulasi dalam

matrix seperti terlihat pada Tabel 2.

Table 2. Matrix informasi yang dapat dipertukarkan hasil kesepakatan NTG

Monitoring Control Surveillance

Number of fishing vessel by

gear

Regulation on the issuance

of the fishing licenses

Foreign fishing vessel and

carrier vessel inspection

(PSM)

Fishing vessel registration VMS and AIS system

Statistical catch by species and

by gear

Fishing vessel inspection Transshipment vessel

Fish biology Fishing port for domestic

Page 17: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

17

and foreign vessel

Law and policy on MCS

Langkah 5. Pemilihan kebutuhan bersama antar negara yang dapat dipertukarkan dan untuk

saling melengkapi

Setelah semua negara yang menjadi bagian dalam sub-regional menyiapkan

keputusan nasionalnya berkaitan dengan: pertukaran informasi, leading institution tiap negara

yang menjadi acces point, forum bilateral atau multilateral dapat dimulai. Proyek

memfasilitasi pertemuan untuk forum tersebut dengan tujuan:

- Mengidentifikasi persoalan MCS tiap negara yang sama-sama menjadi prioritas

- Mengungkap kerjasama yang telah dilakukan dalam hal pengawasan perikanan

- Menginventarisasi hal-hal yang perlu dijadikan sasaran kerjasama untuk diusulkan

kepada national authority

- Menyepakati mekanisme kerjasama MCS sub-regional apabila semua negara

menyepakati terwujudnya MCS sub-regional

Untuk kasus sub-regional Northern Andaman Sea, antara Myanmar dan Thailand disepakati

tidak m

6. Kesimpulan dan Saran

Pembentukan kerjasama MCS untuk negara-negara berkembang yang berdampingan

dalam regional marine ecosystem memerlukan prakondisi seperti pertemuan pendahuluan

agar setiap delegasi memperoleh informasi yang cukup menyangkut isu yang mendorong,

selain informasi mengenai hakekat MCS untuk kepentingan jangka panjang dan global.

Berbagai kendala dalam tiap langkah untuk mencapai tujuan harus diantisipasi, seperti

perubahan regim pemerintahan dan kebijakan barunya. Kedekatan antara perwakilan negara

dengan manajer proyek/ coordinator perlu dijaga untuk mengatasi kekurangan informasi dan

kecepatan pelaksanaan rencana kerja oleh masing-masing negara. Peta jalan dan rencana

kerja tidak akan cukup memadai tanpa diperkuat dengan penjelasan tambahan seperti concept

paper dan komunikasi yang intensif. Lima langkah yang telah ditempuh belum memberikan

kepastian sebuah koordinasi MCS terlaksana. Langkah selanjutnya adalah sebuah forum

setingkat menteri untuk memformalkan kerjasama multilateral.

7. 7. References

Amornpiyakrit, T and Siriraksophon, S. 2016. Management of fishing capacity for

sustainable fisheries: RPOA-Capacity. Fish for the people vol. 14, number 2 (special

issue)

Arnason, R., 2016. Fisheries management: basic principles. Fisheries and aquaculture vol. V.

Encyclopedia of life support systems (EOLSS)

Beddington, J.R.; D.J. Agnew; and C.W. Clark, 2007. Current problems in the management

of marine fisheries. Science 316, 1713.

Cochrane, 2002. A fishery manager’s guidebook. Management measure and their application.

FAO Fisheries technical paper. No 424. Rome, FAO 2002. 231p.

Page 18: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

18

Doulman, D.J., 1994. Technical assistance in fisheries monitoring, control, and surveillance;

a historical perspective of FAO’s role. FAO fisheries circular. No. 882. 22pp.

FAO, 1995. Code of conduct for responsible fisheries. UN-FAO document

FAO, 2002. A fishery manager’s guidebook. Wiley-Blackwell.

http://www.fao.org/docrep/015/i0053e/i0053e.pdf

FAO, 2014. FAO Compliance Agreement. http://www.fao.org/iuu-fishing/international-

framework/fao-compliance-agreement/en/

FAO, 2016. The United Nations Agreement for the Implementation of the Provisions of the

United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to

the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory

Fish Stocks (in force as from 11 December 2001) Overview

Fisheries government of Brunei Darussalam http://www.fisheries.gov.bn/Theme/Home.aspx

Fisheries management of Lao PDR https://www.worldfishcenter.org/department-livestock-

and-fisheries-ministry-agriculture-and-forestry-lao-pdr

Fisheries management of Myanmar https://www.worldfishcenter.org/department-fisheries-

myanmar

Flewwelling, P. 1999. An introduction to monitoring, control, and surveillance system for

capture fisheries. FAO Fisheries Technical Paper 338http://imcsnet.org/about-us/

Flewwelling, P. 2001. Fisheries management and MCS in South Asia: comparative analysis.

FAO/FISHCODE Project, GCP/INT/648/NOR: Field Report C-6 (En) Rome, FAO, 2001:56p.

http://www.fao.org/3/a-x9363e.PDF

Menasveta, D. 2018. Toward the sustainability of Southeast Asia Fisheries: the role of

SEAFDEC during the past 50 years and beyond. Fish for the people vol 15, No.2

OECD, 2013. The OECD Handbook for fisheries manager's. Principles and practice for

policy design. Organization of economic cooperation and development. 2013.

Pilkington, E., 2010. Saving global fish stocks would cost 20 million jobs, says UN.

https://www.theguardian.com/environment/2010/may/17/saving-fish-stocks-cost-jobs

SEAFDEC, 2003. Regional guidelines for responsible fisheries in southeast Asia.

MFRDMD/SP/3. SEAFDEC

SEAFDEC, 2017. ASEAN regional plan of action for the management of fishing capacity

(RPOA-Capacity), Southeast Asian Fisheries Development Center. Bangkok,

Thailand 34 pp.

SEAFDEC, 2018 Report of the third sub-regional consultative workshop of the northern

Andaman sea/ Myeik archipelago, in Bangkok, Thailand, 16-17 November 2017,

Southeast Asian Fisheries Development Center.

Silapajarn, K; V.T. Sulit; and N. Tongdee, 2017. Transforming fisheries development of

southeast Asia: SEAFDEC in accord with the UN sustainable development goals. Fish

for the people vol. 15 number 1.

Siriraksophon, 2018. Overview of IUU fishing trends, international cooperation and global/

regional initiatives to combat IUU fishing. Regional training on PSM implementation

in Southeast Asia, Bangkok, 20-23 February 2018

Siriraksophon, S. 2017. Sustainable management of neritic tuna in southeast Asia: longtail

tuna kawakawa in focus. Fish for the people, vol 15, no. 2.

The Guardian, 2010. Saving global fish stocks would cost 20 million jobs, says UN.

https://www.theguardian.com/environment/2010/may/17/saving-fish-stocks-cost-jobs

Page 19: INISIATIF KERJASAMA MCS SUB-REGIONAL DI KAWASAN ASIA ...semnaskan-ugm.org/file/get/2019-Keynote-IBM... · Selanjutnya the code of conduct for responsible fisheries (CCRF) part 7,

19

The Pew Charitable Trust, 2011. Ending illegal fishing project. http://www.pewtrusts.org/en

/projects/ ending-illegal-fishing-project

Torell, M., 2017. Building upon sub-regional arrangements for joint management of fishery

resources in the southeast Asian region. Fish for the people vol. 15, November 2:2017

Torell, M., 2017. Improving fisheries management in Southeast Asia in support of the

sustaiable development goals. Fish for the people vol. 15, number 1

UNCTAD, 2016. Sustainable fisheries: international trade, trade policy, and regulatory issue.

United Nations Conference on Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks,

http://www.un.org/depts/los/fish_stocks_conference/fish_stocks_conference.htm#Agr

eement

Widodo, 2017. ImplentasiMoU common guidelines

indonesiamalaysiatentangperlindungannelayandalampenanganan illegal fishing di

selatMalaka. JurnalPertahanandanBelaNegaraVol 7 no 2 (2017)

Yleana, J.S. and P.E.L.Velasco, 2012. Monitoring, control, and surveillance (MCS) in

Southeast Asia: a review of the