Upload
andrea-k-iskandar
View
1.153
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
INFERIORITY OF SOCIAL SCIENCES IN INDONESIAN NATIONAL EDUCATION: A COMPARATIVE STUDY AMONG 8 SCHOOLS IN GREATER JAKARTA AREA BASED ON GESTALT PSYCHOLOGY AND PHILOSOPHY OF THE COSMONOMIC IDEA (DE WIJSBEGEERTE DER WETSIDEE)(xiv + 129 pages: 1 picture; 2 attachments)In Indonesian schools social sciences are considered inferior to the natural sciences. This study would examine whether this inferiority of the social sciences in Indonesia takes place because the act of schooling is administered to ensure students’ readiness to work, but forget that humans are not merely economic beings. There are other aspects within each human being which also need to be sharpened but apparently ignored by the education system in Indonesia. According to Gestalt Psychology, human experience tends to be meaningful and complete, while according to Dooyeweerd’s Philosophy of the Cosmonomic Idea, there are 15 aspects of human experience – all of which needs to be developed by education so people can experience their lives in full. This study is conducted by doing interviews to 2 teachers and 2 students in each of 6 national schools and 2 international schools in greater Jakarta area, each school having a particular set of characteristics so as to enable this study to come up with a certain picture of each distinct school’s view of their own education system. The German school is found to use a holistic approach and an integrated hidden curriculum to produce independent and responsible students while the French school combines the social sciences and natural sciences in a synergistic manner to produce students who have a strong sense of nationality and communality as French people. If the Indonesian government is serious about achieving the goal of national education it has prescribed, it is necessary to use both a strategic pattern of thought and strategion actions to take advantage of each sciences’ unique nature to help us attach value to our life experiences and shape a public space we want to achieve together, a democratic country and a highly civilized nation. It is found that neither the natural sciences nor social sciences an sich is an important consideration factor in selecting studies, but the main factors are the character formation gained during the study and the diploma obtained after the study.
Citation preview
TESIS
INFERIORITAS ILMU-ILMU SOSIAL
DALAM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA:
SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA 8 SEKOLAH
DI JABOTABEK BERDASARKAN PSIKOLOGI GESTALT
DAN FILSAFAT IDE KOSMONOMIS
Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik
guna memperoleh gelar Magister Pendidikan Strata Dua
Oleh:
Nama : ANDREA KARUNIA ISKANDAR
NPM : 6920060014
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
JAKARTA
2009
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Saya mahasiswa program studi Magister Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Pelita Harapan
Nama Mahasiswa : Andrea Karunia Iskandar
Nomor Pokok Mahasiswa : 6920060014
Konsentrasi : Teknologi Pendidikan
dengan ini menyatakan bahwa karya tulis tugas akhir yang saya buat dengan judul
“INFERIORITAS ILMU-ILMU SOSIAL DALAM PENDIDIKAN NASIONAL
INDONESIA: SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA 8 SEKOLAH DI
JABOTABEK BERDASARKAN PSIKOLOGI GESTALT DAN FILSAFAT IDE
KOSMONOMIS” adalah:
1) Dibuat dan diselesaikan sendiri, dengan menggunakan hasil kuliah, tinjauan lapangan dan
buku-buku serta jurnal acuan yang tertera di dalam referensi pada karya tulis tugas akhir
saya;
2) Bukan merupakan duplikasi karya tulis yang sudah dipublikasikan atau yang pernah
dipakai untuk mendapatkan gelar sarjana lain kecuali pada bagian-bagian sumber informasi
dicantumkan dengan cara referensi yang semestinya;
3) Bukan merupakan karya terjemahan dari kumpulan buku atau jurnal acuan yang tertera di
dalam referensi pada karya tulis tugas akhir saya.
Kalau terbukti saya tidak memenuhi apa yang telah dinyatakan di atas, maka karya tulis tugas
akhir ini batal.
Jakarta, 16 Mei 2009
Yang membuat pernyataan
Andrea Karunia Iskandar
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING TUGAS AKHIR
INFERIORITAS ILMU-ILMU SOSIAL
DALAM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA:
SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA 8 SEKOLAH
DI JABOTABEK BERDASARKAN PSIKOLOGI GESTALT
DAN FILSAFAT IDE KOSMONOMIS
Oleh:
Nama : ANDREA KARUNIA ISKANDAR
NPM : 6920060014
Program Studi : Magister Pendidikan
Konsentrasi : Teknologi Pendidikan
telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dan dipertahankan dalam ujian komprehensif
guna mencapai gelar Magister Pendidikan Strata Dua pada Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Pelita Harapan, Jakarta.
Jakarta, 16 Mei 2009
Menyetujui:
Pembimbing
Dr. F. Budi Hardiman
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PERSETUJUAN TIM PENGUJI TUGAS AKHIR
Pada 1 Juli 2009 telah diselenggarakan ujian Tugas Akhir untuk memenuhi sebagian persyaratan
akademik guna mencapai gelar Magister Pendidikan Strata Dua, Program Studi Magister
Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pelita Harapan atas:
Nama : ANDREA KARUNIA ISKANDAR
NPM : 6920060014
Konsentrasi : Teknologi Pendidikan
yang berjudul
INFERIORITAS ILMU-ILMU SOSIAL
DALAM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA:
SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA 8 SEKOLAH
DI JABOTABEK BERDASARKAN PSIKOLOGI GESTALT
DAN FILSAFAT IDE KOSMONOMIS
oleh tim penguji yang terdiri dari:
Nama Status Tanda Tangan
1. Dr. I Made Markus sebagai ketua sidang
2. Dr. F. Budi Hardiman sebagai pembimbing / anggota
penguji
3. Dr. Rijanto Purbojo sebagai anggota penguji
v
ABSTRACT
Andrea Karunia Iskandar (NPM: 6920060014)
TITLE:
INFERIORITY OF SOCIAL SCIENCES IN INDONESIAN NATIONAL EDUCATION: A
COMPARATIVE STUDY BETWEEN 8 SCHOOLS IN GREATER JAKARTA AREA
BASED ON GESTALT PSYCHOLOGY AND PHILOSOPHY OF THE COSMONOMIC
IDEA (DE WIJSBEGEERTE DER WETSIDEE)
(xiv + 129 pages: 1 picture; 2 attachments)
In Indonesian schools social sciences are considered inferior to the natural sciences. This study
would examine whether this inferiority of the social sciences in Indonesia takes place because the
act of schooling is administered to ensure students‘ readiness to work, but forget that humans are
not merely economic beings. There are other aspects within each human being which also need to
be sharpened but apparently ignored by the education system in Indonesia. According to Gestalt
Psychology, human experience tends to be meaningful and complete, while according to
Dooyeweerd‘s Philosophy of the Cosmonomic Idea, there are 15 aspects of human experience –
all of which needs to be developed by education so people can experience their lives in full. This
study is conducted by doing interviews to 2 teachers and 2 students in each of 6 national schools
and 2 international schools in greater Jakarta area, each school having a particular set of
characteristics so as to enable this study to come up with a certain picture of each distinct
school‘s view of their own education system. The German school is found to use a holistic
approach and an integrated hidden curriculum to produce independent and responsible students
while the French school combines the social sciences and natural sciences in a synergistic manner
to produce students who have a strong sense of nationality and communality as French people. If
the Indonesian government is serious about achieving the goal of national education it has
prescribed, it is necessary to use both a strategic pattern of thought and strategion actions to take
advantage of each sciences‘ unique nature to help us attach value to our life experiences and
shape a public space we want to achieve together, a democratic country and a highly civilized
nation. It is found that neither the natural sciences nor social sciences an sich is an important
consideration factor in selecting studies, but the main factors are the character formation gained
during the study and the diploma obtained after the study.
References: 19 (1984-2008)
vi
ABSTRAK
Andrea Karunia Iskandar (NPM: 6920060014)
JUDUL:
INFERIORITAS ILMU-ILMU SOSIAL DALAM PENDIDIKAN NASIONAL
INDONESIA: SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA 8 SEKOLAH DI
JABOTABEK BERDASARKAN PSIKOLOGI GESTALT DAN FILSAFAT IDE
KOSMONOMIS
(xiv + 129 halaman: 1 gambar; 2 lampiran)
Di sekolah-sekolah di Indonesia ilmu-ilmu sosial dipandang rendah dibandingkan dengan ilmu-
ilmu alam. Penelitian ini hendak menelaah apakah benar inferioritas ilmu-ilmu sosial di Indonesia
terjadi karena sekolah diadakan untuk membekali peserta didik menjadi siap kerja, tetapi
melupakan bahwa manusia bukan semata-mata makhluk ekonomi. Ada aspek-aspek dalam diri
manusia yang juga perlu diasah yang ternyata diabaikan oleh sistem pendidikan di Indonesia.
Menurut psikologi Gestalt, pengalaman manusia cenderung bermakna dan lengkap, sedangkan
menurut filsafat ide kosmonomis Dooyeweerd, ada 15 aspek dari pengalaman hidup manusia
yang semuanya perlu diperhatikan oleh pendidikan agar manusia dapat memaknai pengalaman
hidupnya secara utuh. Di dalam penelitian ini dilakukan wawancara masing-masing terhadap 2
orang guru dan 2 orang murid di 6 sekolah nasional dan 2 sekolah internasional di Jabotabek,
yang masing-masing memiliki ciri khas tertentu, untuk mengetahui pandangan mereka terhadap
pendidikan yang dilakukan di sekolah masing-masing. Didapati bahwa sekolah Jerman
menggunakan pendekatan pendidikan holistik dan hidden curriculum yang terintegrasi untuk
menghasilkan murid-murid yang mandiri dan bertanggung jawab sedangkan sekolah Prancis
menggunakan kurikulum yang menggabungkan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam secara
sinergis untuk menghasilkan murid-murid yang memiliki rasa kebangsaan dan kesadaran
bermasyarakat yang kuat. Jika pemerintah Indonesia hendak mencapai tujuan pendidikan
nasional yang dirumuskannya, maka perlu digunakan pola pikir dan tindakan yang strategis untuk
memanfaatkan masing-masing ilmu sesuai dengan naturnya, untuk membantu kita memaknai
pengalaman hidup kita dan membentuk ruang publik yang kita inginkan bersama, sebuah negara
yang demokratis dan sebuah bangsa yang berperadaban tinggi. Ditemukan bahwa ilmu alam atau
ilmu sosial an sich bukanlah faktor pertimbangan yang penting dalam memilih studi, melainkan
faktor yang terutama adalah pembentukan karakter dan ijazah yang didapatkan.
Referensi: 19 (1984-2008)
vii
KATA PENGANTAR
Tesis ini dilahirkan dari sebuah kegundahan mengenai tidak seimbangnya penghargaan
terhadap ilmu-ilmu sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia dan bahkan juga di
dalam dunia pendidikan. Melalui karya yang sederhana ini, diharapkan dilahirkan secercah
pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi ini, terlebih lagi jika ada peneliti-peneliti lain yang
mengadakan penyelidikan lebih jauh – demi pemahaman dan perbaikan pendidikan di Indonesia.
Tesis ini tidak akan dirampungkan tanpa bantuan, dukungan dan dorongan dari banyak
pihak. Untuk itu penulis hendak menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Alm. Prof. Dr. Nggandi Katu, selaku Ketua Program Studi M.Pd. UPH yang sejak tesis ini
masih berupa benih telah telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis dan
―mempertemukan‖ penulis dengan Dr. F Budi Hardiman.
2. Dr. I Made Markus, selaku Ketua Program Studi M.Pd. UPH saat ini, yang juga telah
memberikan dorongan dan semangat dalam setiap kesempatan.
3. Dr. F. Budi Hardiman, selaku pembimbing yang selama dua tahun tanpa lelah telah
menyediakan telinga, pikiran dan waktunya yang begitu berharga untuk menyokong penulis
melangkah dalam kegentaran ke dalam sebuah terra incognita.
4. Prof. Dr. I G.A.K. Wardani, yang dengan penuh kesabaran dan pengertian telah
mengizinkan penulis minggu demi minggu minta izin keluar lebih awal dari kelasnya untuk
melakukan konsultasi.
5. Jafet dan Wirawaty Iskandar, kedua orang tua yang telah menanamkan benih yang tak
ternilai harganya, rasa dahaga yang tak kunjung terpuaskan, terhadap ilmu dan pencarian
makna.
6. Christian dan Sherly Saputra yang telah memberikan dorongan, semangat dan dukungan-
dukungan yang sangat berharga melalui proses yang panjang ini. Juga bagi Perdana Sastra,
Budi Johanes, Evi Natalia dan rekan-rekan Pemuda Gereja Kristus Ketapang yang telah
menyediakan pilar-pilar sokongan yang sangat berharga di saat-saat yang berat – Handy &
Muliany Handoko, Ratna Sofian, Zindawati Alamsjah, Novilia Tjandra, Ferdie Irawan,
Yudi & Kartika Putra, Hengki & Amanda Sukardi, Hilton & Martha Tantra.
viii
7. Sahabat-sahabat di KTB Opus Dei dan KTB Passion yang tak kunjung lelah memberikan
semangat dan dorongan: Agustino Romulo, Alfin Tjandra, Antony Seno, Billy Sulistio,
Jefry Adisaputra, dan Ricky Susanto.
8. Rekan-rekan di Gereja Kristus Ketapang dan Sekolah Kristen Ketapang: Andreas M.
Makino, Anna Purnamawati, Astri Sinaga, Daesy H. Sanger, Daniel Lie, Ester Surjanto,
Natalia S. Rumende, Nico Tasiam, Ony E. Damayanti, Ratnawati M.S., Suhandojo
Tanusaputera.
9. Soeharsono Lie, seorang sahabat dan seorang pengusaha yang dengan sangat murah hati
telah memberikan dukungan-dukungan teknis yang luar biasa dan layanan purnajual yang
sangat andal sehingga memberikan ketenangan bahkan pada saat-saat yang kritis di dalam
penyusunan tesis ini.
10. Ken Asmarahagni yang telah memberikan dukungan administratif yang begitu sabar dan
luar biasa dalam proses penelitian yang berkepanjangan ini bahkan hingga hari-hari terakhir
sebelum pengunduran dirinya dari UPH. Juga bagi Irawati Sadikin yang kemudian
menggantikan beliau dalam memberikan dukungan administratif dalam masa-masa ujian
dan revisi tesis ini.
Semoga tesis ini berhasil menularkan kegelisahan terhadap kondisi pendidikan di Indonesia
yang bersikap diskriminatif terhadap ilmu-ilmu sosial hingga akhirnya dilahirkan suatu gerakan
yang nyata untuk membangkitkan Indonesia melalui pembangunan jati diri bangsa yang jernih
dan kokoh, melalui sebuah pendidikan yang seimbang dan holistik.
Jakarta, 15 Juli 2009
Andrea K. Iskandar
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
PERSETUJUAN TIM PENGUJI TUGAS AKHIR
ABSTRACT ........................................................................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
1.1 Duduk Masalah ............................................................................................................ 1
1.1.1 Pemilihan Program Pengajaran ............................................................................. 1
1.1.2 Sekolah dan Sistem Nilai dalam Masyarakat ........................................................ 2
1.1.3 Pendidikan dalam Struktur Masyarakat Indonesia ................................................ 4
1.2 Pertanyaan Penelitian ................................................................................................. 12
1.3 Hipotesis ..................................................................................................................... 13
1.4 Garis Besar Penelitian ................................................................................................ 15
1.4.1 Pengambilan Sampel dan Analisis Data ............................................................. 15
1.4.2 Pendekatan-Pendekatan yang Akan Digunakan.................................................. 16
x
1.4.3 Sistematika Pembahasan Penelitian .................................................................... 17
1.5 Batasan Penelitian ...................................................................................................... 18
BAB II LANDASAN TEORI .............................................................................................. 19
2.1 Pendahuluan ............................................................................................................... 19
2.1.1 Psikologi Gestalt ................................................................................................. 20
2.1.2 Filsafat Ide Kosmonomis .................................................................................... 21
2.2 Psikologi Gestalt dan Kontribusinya dalam Dunia Pendidikan ................................. 23
2.2.1 Psikologi Gestalt ................................................................................................. 23
2.2.2 Kontribusi Psikologi Gestalt dalam Dunia Pendidikan ...................................... 26
2.3.3 Psikologi Gestalt dan Pembenaran bagi Keberlangsungan Sekolah ................... 28
2.3 Filsafat Ide Kosmonomis dan Klasifikasi Ilmu .......................................................... 30
2.3.1 Filsafat Ide Kosmonomis .................................................................................... 30
2.3.2 Tatanan Ilmu-Ilmu dalam Filsafat Ide Kosmonomis .......................................... 33
2.3.3 Dampak Filsafat Ide Kosmonomis pada Pelaksanaan Pendidikan ..................... 37
2.4 Pendidikan Holistik vs. Pendidikan Positivisitik ....................................................... 39
2.5 Inferioritas IPS terhadap IPA dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia ....... 45
BAB III RANCANGAN PENELITIAN .............................................................................. 48
3.1 Pendahuluan ............................................................................................................... 48
3.2 Jenis Penelitian ........................................................................................................... 48
3.3 Sekolah Sampel .......................................................................................................... 48
xi
3.3.1 Sekolah-Sekolah Nasional .................................................................................. 49
3.3.2 Sekolah-Sekolah Internasional ............................................................................ 51
3.4 Responden .................................................................................................................. 51
3.5 Pokok-Pokok Penelitian ............................................................................................. 52
3.6 Pertanyaan Wawancara .............................................................................................. 53
3.6.1 Pertanyaan Wawancara kepada Guru di Sekolah Nasional ................................ 53
3.6.2 Pertanyaan Wawancara kepada Murid di Sekolah Nasional............................... 55
3.6.3 Pertanyaan Wawancara kepada Guru dan Murid di Sekolah Internasional ............ 57
3.7 Pengolahan Data......................................................................................................... 57
BAB IV DATA HASIL PENELITIAN ............................................................................... 59
4.1 Pendahuluan ............................................................................................................... 59
4.2 Wawancara di Sekolah-Sekolah Nasional ................................................................. 60
4.2.1 Wawancara di SMA Negeri 35 ........................................................................... 60
4.2.2 Wawancara di SMAK 3 BPK Penabur ............................................................... 66
4.2.3 Wawancara di Sekolah Pelita Harapan, Bukit Sentul ......................................... 71
4.2.4 Wawancara di SMA Katholik Tarakanita 1 ........................................................ 77
4.2.5 Wawancara di Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti ............................... 82
4.2.6 Wawancara di SMA Kristen Ketapang I ............................................................. 86
4.3 Wawancara di Sekolah-Sekolah Internasional ........................................................... 91
4.3.1 Wawancara di Deutsche Internationale Schule .................................................. 91
xii
4.3.2 Wawancara di Lycée International Français ...................................................... 98
4.4 Penutup ..................................................................................................................... 104
BAB V ANALISIS ............................................................................................................ 105
5.1 Tujuan Penyelenggaraan Sekolah ............................................................................ 105
5.1.1 Sekolah-Sekolah Nasional ................................................................................ 105
5.1.2 Sekolah-Sekolah Internasional .......................................................................... 107
5.2 Persepsi Kebernilaian Ilmu-Ilmu ............................................................................. 107
5.2.1 Sekolah-Sekolah Nasional ................................................................................ 107
5.2.2 Sekolah-Sekolah Internasional .......................................................................... 109
5.3 Sikap Ideal terhadap Ilmu-Ilmu ............................................................................... 110
5.4 Kontribusi Ilmu terhadap Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional ....................... 114
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 116
6.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 116
6.2 Saran ......................................................................................................................... 118
6.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................................................ 119
6.4 Saran untuk Penelitian Lanjutan .............................................................................. 121
6.5 Penutup ..................................................................................................................... 123
CATATAN AKHIR ........................................................................................................... 125
REFERENSI ...................................................................................................................... 128
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A TRANSKRIP WAWANCARA ............................................................... 130
A1. Wawancara di SMA Negeri 35 ............................................................................... 130
A1.1 Responden 11 .................................................................................................... 130
A1.2 Responden 12 .................................................................................................... 135
A1.3 Responden 13 .................................................................................................... 138
A1.4 Responden 14 .................................................................................................... 139
A2. Wawancara di SMAK 3 BPK Penabur ................................................................... 141
A2.1 Responden 21 .................................................................................................... 141
A2.2 Responden 22 .................................................................................................... 146
A2.3 Responden 23 .................................................................................................... 149
A2.4 Responden 24 .................................................................................................... 153
A3. Wawancara di Sekolah Pelita Harapan, Bukit Sentul ............................................. 156
A3.1 Responden 31 .................................................................................................... 156
A3.2 Responden 32 .................................................................................................... 159
A3.3 Responden 33 .................................................................................................... 161
A3.4 Responden 34 .................................................................................................... 164
A4. Wawancara di SMA Katholik Tarakanita 1 ............................................................ 167
A4.1 Responden 41 .................................................................................................... 167
A4.2 Responden 42 .................................................................................................... 172
A4.3 Responden 43 .................................................................................................... 176
A4.4 Responden 44 .................................................................................................... 179
xiv
A5. Wawancara di Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti ................................... 183
A5.1 Responden 51 .................................................................................................... 183
A5.2 Responden 52 .................................................................................................... 189
A5.3 Responden 53 .................................................................................................... 192
A5.4 Responden 54 .................................................................................................... 195
A6. Wawancara di SMA Kristen Ketapang I ................................................................. 197
A6.1 Responden 61 .................................................................................................... 197
A6.2 Responden 62 .................................................................................................... 202
A6.3 Responden 63 .................................................................................................... 205
A6.4 Responden 64 .................................................................................................... 208
A7. Wawancara di Deutsche Internationale Schule ....................................................... 210
A7.1 Responden 71 .................................................................................................... 210
A7.2 Responden 72 .................................................................................................... 214
A7.3 Responden 73 .................................................................................................... 219
A7.4 Responden 74 .................................................................................................... 222
A8. Wawancara di Lycée International Français ........................................................... 224
A8.1 Responden 81 .................................................................................................... 224
A8.2 Responden 82 .................................................................................................... 228
A8.3 Responden 83 dan 84 ........................................................................................ 230
LAMPIRAN B BAGAN SISTEM PENDIDIKAN ........................................................... 234
B1. Sistem Pendidikan Jerman ....................................................................................... 234
B2. Sistem Pendidikan Prancis ...................................................................................... 235
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Duduk Masalah
1.1.1 Pemilihan Program Pengajaran
Dalam sistem pendidikan di Indonesia, seorang murid wajib mengikuti semua bidang studi
yang disediakan di sekolah yang diikutinya. Pertama kalinya seorang murid memiliki kebebasan
memilih adalah di SMA kelas XI. Di tingkat itu disediakan tiga pilihan program pengajaran: IPA,
IPS atau Bahasa. Kendati ada tiga pilihan program pengajaran, program Bahasa jarang sekali
disediakan oleh sekolah-sekolah. Seorang murid dan orang tuanya pada umumnya hanya melihat
dua pilihan program pengajaran: IPA atau IPS.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa IPA jauh lebih diminati
daripada IPS. Seorang murid, terlepas dari bidang kemampuan akademiknya, pada umumnya
ingin masuk program pengajaran IPA. Masuk ke program IPA dipandang sebagai sesuatu yang
bergengsi, sesuatu yang memberikan kebanggaan tersendiri baik bagi murid itu sendiri maupun
bagi orang tuanya. Bukanlah suatu hal yang aneh bahwa orang tua murid mencampuri urusan
pemilihan program pengajaran bagi anaknya dan memaksa anaknya memilih program IPA,
bahkan memaksa pihak sekolah untuk menyediakan kursi bagi anaknya di program IPA, terlepas
dari kemampuan akademik dan minat anaknya.
Persepsi masyarakat yang memposisikan ilmu-ilmu alam sebagai superior dan ilmu-ilmu
sosial sebagai inferior terjadi tidak hanya pada tingkat pemilihan program pengajaran, tetapi juga
pada tingkat penghargaan terhadap bidang-bidang studi yang diajarkan di sekolah. Bidang-bidang
studi seperti Matematika, Fisika dan Kimia pada umumnya lebih dihargai dan dianggap patut
2
menjadi bidang studi yang disukai, ditakuti maupun diseriusi sebagai cara mewujudkan cita-cita
dibandingkan bidang-bidang studi seperti Sejarah, Pendidikan Kewarganegaraan serta Bahasa
dan Sastra.
1.1.2 Sekolah dan Sistem Nilai dalam Masyarakat
Neil Postman, dalam bukunya The End of Education: Redefining the Value of School,
mengutarakan: ―… At its best, schooling can be about how to make a life, which is quite different
from how to make a living.‖1 Di dalam bukunya itu Postman mengutarakan bagaimana sekolah
membantu membentuk paradigma sebuah masyarakat tentang apa yang penting dalam kehidupan
dan bagaimana membentuk kehidupan bermasyarakat itu sendiri. Paradigma apa yang dibentuk
ke dalam pola pikir murid-murid di sekolah kemudian akan mempengaruhi paradigma apa yang
dimiliki masyarakat pada generasi berikutnya.
Setiap sekolah, setiap sistem pendidikan, memiliki nilai-nilainya sendiri, hal-hal yang
dianggap penting bagi keberlangsungan sebuah masyarakat. Nilai-nilai itu disebut oleh Postman
sebagai gods (dengan ―g‖ kecil), ‗dewa-dewa‘ yang perwujudannya dapat dilihat dengan sangat
gamblang pada sekolah-sekolah yang didirikan dengan motif keagamaan, ―to serve and celebrate
the glory of God‖2 (dengan ―G‖ kapital):
3
… At the core of such schools, there is a transcendent, spiritual idea that gives purpose and
clarity to learning. Even the skeptics and nonbelievers know why they are there, what they
are supposed to be learning, and why they are resistant to it. Some also know why they
should leave.
Postman berargumen bahwa setiap masyarakat memiliki nilai yang membentuk motif
kenapa mereka menyekolahkan anak-anak mereka, kenapa mereka merancang suatu sistem
pendidikan yang khas dalam masyarakat mereka dan membentuk desakan yang baru ketika
mereka harus menyesuaikan kembali nilai-nilai yang diteruskan di dalam sistem pendidikan
3
mereka. Motif itu bukan saja motif keagamaan, tetapi ada juga motif-motif seperti: nasionalisme,
kepercayaan terhadap ekonomi pasar, utilitas ekonomi, dan konsumerisme.4
Motif adalah suatu hal yang tak kasat mata tetapi dapat dibaca dan dipahami melalui
keputusan-keputusan yang dibuat. Berdasarkan studi terhadap serangkaian keputusan yang
seseorang buat, dapat dipahami prioritas-prioritas yang ia miliki. Dari prioritas-prioritas itu
kemudian dapat dipahami motif dasar yang menggerakkan dia sehingga memiliki prioritas dan
keputusan yang telah diketahui sebelumnya. Ketika berbicara dalam konteks masyarakat,
masyarakat sebagai sebuah entitas sosial juga memiliki motif-motifnya sendiri yang dapat
diamati melalui dinamika sosial masyarakat itu. Dalam hal ini, dinamika sosial masyarakat itu
adalah dipandangnya program IPA sebagai program yang bergengsi sementara program IPS
dinomorduakan.
Jacques Demougin mengutarakannya demikian:5
L‘instruction, quand elle parraît dans les sociétés historiques, répond, elle, à des
préoccupations utilitaires en rapport étroit avec la structure de la société. Athènes et Rome
forment ainsi explicitement un type d‘homme particulier, spécifique des sociétés antiques :
un citoyen capable de parler en public et d‘exercer des magistratures variées ; Charlemagne
est essentiellement préoccupé, en rassemblant les débris de la culture latine, d‘assurer une
armature administrative minimale à son Empire fruste et hétérogène ; les clercs médiévaux
suivront l‘évolution géopolitique : du service féodal à l‘administration royale. L‘école
suppose donc un projet de société, qui la dépasse mais qui l‘intègre.6
Dengan adanya sikap masyarakat yang secara gamblang memandang IPA sebagai program
yang bergengsi – dan dengan demikian, yang superior – sementara IPS sebagai pilihan yang
inferior, yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang, kita dapat bertanya: apa yang menjadi
motif yang melandasi berlangsungnya sistem pendidikan negara ini? Di satu sisi, pertanyaan ini
hendak menyentuh motif apa yang membuat pemerintah Republik Indonesia menyelenggarakan
sebuah sistem pendidikan nasional sebagaimana yang ada saat ini. Di sisi lain, pertanyaan ini
juga hendak mempelajari bagaimana masyarakat sebagai konsumen dan penerima manfaat dari
4
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah meresponi pendidikan yang diselenggarakan
oleh pemerintah.
Respon masyarakat ini dapat diketahui antara lain dengan cara mereka memilih program
pengajaran di tingkat SMA, sebab di situlah pertama kalinya seorang murid maupun orang tuanya
menghadapi suatu kemungkinan memilih yang nyata dan memiliki dampak terhadap kelanjutan
studi maupun pemenuhan cita-cita keduanya, murid maupun orang tua murid.
Kenyataan bahwa program dan bidang studi dalam IPA sangat dihargai sementara IPS
kurang dihargai, tentu bisa memberikan pemahaman yang mencerahkan tentang pandangan
masyarakat Indonesia terhadap sistem pendidikan yang kini ada di Indonesia dan bagaimana
sistem pendidikan semacam ini bisa terbentuk sebagai hasil dari ―tawar-menawar‖ antara
pemerintah dan rakyatnya dalam sebuah dinamika sosial-kemasyarakatan.
1.1.3 Pendidikan dalam Struktur Masyarakat Indonesia
Menilik perjalanan sejarah Indonesia, suku-suku yang membentuk entitas yang kini kita
kenal sebagai ―Indonesia‖ telah mengenal model-model pendidikan tradisional berbasis pondok
dan pesantren dengan masuknya berbagai agama besar ke Indonesia sejak berabad-abad yang
lalu. Bahkan, dari sistem pendidikan Hindu-lah, sebagai yang tertua dari sistem-sistem terstruktur
yang kita kenal, kita mewarisi kata ―guru‖ yang hingga hari ini masih kita gunakan. Model-model
pendidikan itu hidup dan berkembang di Indonesia. Tetapi, karena natur kehidupan
bermasyarakat pada masa itu, model-model tersebut menggantungkan kehidupannya pada
struktur keagamaan. Sistem pendidikan merupakan bagian dari kehidupan beragama dan tidak
hadir maupun berkembang secara mandiri. Dilepaskan dari kehidupan beragama, pendidikan
akan mati. Orang tidak melihat adanya kebutuhan yang nyata bagi sebuah sistem pendidikan
5
selain untuk melayani keperluan orang dalam hidup beragama. Hal tersebut berlangsung generasi
demi generasi, selama berabad-abad.
Sementara itu, wilayah-wilayah yang kini menjadi bagian dari Indonesia berangsur-angsur
masuk ke bawah penjajahan oleh Belanda. Pada masa penjajahan Belanda itu Eropa telah
mengalami Abad Renaissance. Pendidikan yang terjadi di Eropa pada masa itu adalah produk
dari sebuah abad yang menolak kegelapan Abad Pertengahan dan mengagung-agungkan masa
Yunani Kuno dan Romawi, maka pendidikan Eropa pun merupakan pengejawantahan dari
sebuah kurikulum yang menggerakkan pendulum dari ekstremisme pendekatan yang sama sekali
tidak praktis dalam teologi di Abad Pertengahan (yang disebut juga sebagai Abad Kegelapan)
yang ditolaknya kepada pendekatan yang sangat praktis: ―bacaan karya-karya penulis kuno dan
pokok-pokok pelajaran seperti tata bahasa, retorika, sejarah dan filsafat moral‖7, sebuah
kurikulum humanistik. Pada Abad Renaissance, ―kurikulum humanistik‖ berarti kurikulum
yang:8
... Menaruh minat pada estetika, melihat kegunaan pengetahuan sejarah, dan yakin bahwa
tugas utama manusia ialah menikmati kehidupannya secara bijak dan mengabdi
masyarakatnya secara aktif.
Semangat yang berkobar-kobar di tengah kaum humanis yang mendefinisikan abad itu
adalah semangat yang berupaya untuk mendidik orang untuk menghasilkan kualitas terbaik yang
bisa dicapai orang, pertama-tama dalam kapasitasnya sebagai satu pribadi, tapi juga kemudian
berupaya untuk mempersiapkan orang itu untuk mengabdikan dirinya secara aktif untuk
kepentingan masyarakat yang lebih luas sebab kapasitas pribadi yang berkembang besar tanpa
diabdikan kepada masyarakat adalah sia-sia belaka.
Desiderius Erasmus adalah salah seorang tokoh besar Abad Renaissance ini. Sebagai
seorang humanis besar berkebangsaan Belanda, Erasmuslah yang menjadi ―penghubung‖ Italia di
6
Eropa bagian selatan di mana Abad Renaissance dilahirkan dan bertumbuh dengan pesatnya
dengan dunia Eropa Utara. Walaupun berkebangsaan Belanda, Erasmus dalam masa awal
hidupnya sebagai seorang humanis lebih banyak berkarya di Jerman yang lebih reseptif terhadap
humanisme daripada tanah airnya sendiri.9 Barulah di kemudian hari sebagaimana halnya di
seluruh Eropa, di Negeri Belanda pun humanisme pada akhirnya menjejakkan kakinya secara
kokoh.
Salah seorang humanis Belanda itu adalah Mr. Conrad Theodor van Deventer, seorang
pengacara Belanda dari Semarang yang pada usia 40 tahun kembali ke Nederland pada 1897.
Ialah tokoh yang mempropagandakan utang budi Belanda ―kepada rakyat Jawa (baca: Hindia-
Belanda)‖ dan segera ia menjadi tokoh terkemuka dalam pembaruan politik penjajahan di
Nusantara.10
Dibutuhkan waktu dua tahun dari saat Van Deventer menulis tentang utang budi itu dalam
majalah De Gids di tahun 1899 hingga saat Ratu Wilhelmina mengakui kebenaran argumen
beliau di tahun 1901.11
Politik etis itu mengambil wujud sebuah trilogi: ―educatie, irigatie,
emigratie.‖12
Tahun 1901 ini bertepatan dengan terbentuknya pemerintahan baru di bawah
Perdana Menteri Abraham Kuyper, seorang pendeta dan pendiri Partai Anti Revolusioner yang
memiliki pandangan yang sejalan dengan Van Deventer, dan ―sejak 1879 telah menolak secara
menyeluruh politik eksploitasi di Hindia-Belanda.‖13
Gayung pun bersambut.
Menyoroti sisi ―educatie‖ dari politik etis ini, pendidikan yang hingga saat itu sudah ada di
Hindia Belanda ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan zaman yang baru tersebut. Semua upaya
pendidikan yang telah ada tidak cukup untuk mempersiapkan para peserta didiknya untuk
memasuki dunia modern yang telah hadir di Hindia Belanda melalui kehadiran Belanda dengan
struktur administrasi pemerintahannya, pabrik-pabriknya dan institusi-institusi masyarakat
modern lainnya yang telah dibawa.14
7
Pendidikan dibutuhkan untuk kalangan Pribumi bukan saja untuk memahami ajaran
agamanya dan menghidupi ajaran agamanya itu sebagaimana yang telah berlangsung selama
generasi demi generasi, tetapi pendidikan juga dibutuhkan dengan maksud menyediakan sebuah
sarana mobilisasi sosial secara vertikal bagi kalangan ini. Tanpa penguasaan pengetahuan yang
memadai, kalangan Pribumi akan tetap menjadi orang-orang yang tertinggal di negerinya sendiri.
Maka, berbeda dengan sejarah perkembangan pendidikan yang telah terjadi secara progresif di
Eropa melewati kurun waktu berabad-abad lamanya, perkembangan pendidikan di Indonesia
mengalami lompatan yang luar biasa besar: masyarakat yang semula hanya mempedulikan
penghidupannya dari sektor agraria ini kini dituntut untuk mengerti struktur-struktur sosial
modern. Terjadi suatu keterkejutan peralihan budaya pada masyarakat ini.
Bagi masyarakat di Hindia Belanda pada masa itu, keterkejutan peralihan budaya antara
lain berarti terjadi diskontinuitas pemahaman terhadap pendidikan yang telah terjadi sebelumnya
dalam struktur-struktur kehidupan tradisional dengan pondok-pondok dan pesantren-
pesantrennya di satu pihak dengan pendidikan yang diberikan dengan memanfaatkan lembaga-
lembaga bernama ―sekolah‖ di dalam struktur kehidupan modern. Dua lembaga itu adalah
perwakilan dari dua kebudayaan yang berbeda, dua struktur sosial yang berbeda. ―Sekolah‖
adalah satu entitas sosial yang baru, yang tidak dipahami bersangkut-paut dengan pondok-pondok
dan pesantren-pesantren.
Pondok dan pesantren ada untuk mempersiapkan orang memasuki kehidupan dewasa yang
bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang utuh dan berkontribusi dalam kehidupan
bersama. Sekolah ada untuk mempersiapkan orang memiliki penghidupan yang memberikan
penghasilan sehingga ia bisa menopang kehidupannya dengan penghasilannya itu. Dua lembaga
yang berbeda dari dua struktur sosial yang berbeda.
8
Bagi orang yang bisa bersekolah, belajar sangat jelas dipahami bersangkut-paut dengan hal
penghidupan. ―Bisa‖, dalam konteks ini berarti mampu secara intelektual, terjangkau secara
keuangan serta diperbolehkan secara legal. Penghidupan yang layak dapat diperoleh dengan
kemampuan berdagang dengan banyak suku bangsa atau dengan menjadi ambtenaar, pegawai
pemerintah Hindia Belanda. Maka tak heran kurikulum-kurikulum yang pertama dalam sekolah-
sekolah di Indonesia memiliki muatan bahasa yang cukup banyak.15
Penekanan fungsi sekolah semata-mata pada ranah penghidupan dan bukan pada lingkup
kehidupan yang lebih luas didukung pula oleh ketidaksejalanan antara pergulatan publik yang
terjadi di Belanda dengan pengejawantahan kebijakan yang dibuat di Belanda ketika tiba di
Hindia. Maka, niat-niat baik yang ada di Negeri Belanda dengan politik etis ―educatie, irigatie,
emigratie‖-nya, ketika tiba saatnya dilaksanakan di Hindia menjadi sangat pragmatis, dilakukan
demi kepentingan kolonialisme dan kelanggengan penguasaan Hindia oleh Belanda. Apa yang di
Negeri Belanda disebut ―niat baik‖ untuk rakyat, sekalipun tetap dilaksanakan, hanyalah sekedar
untuk memenuhi kewajiban kepada atasan.16
Demikianlah sekolah-sekolah di Indonesia berkembang sebagai sesuatu yang asing, suatu
entitas sosial yang berkembang dengan dipicu oleh politik etis dari Pemerintah Belanda. Di satu
sisi, sekolah-sekolah hadir sebagai hasil perjuangan Van Deventer dan sejumlah orang lainnya,
orang-orang humanis yang dipengaruhi oleh Erasmus, sang humanis itu. Di sisi lain, lembaga-
lembaga bernama ―sekolah‖ ini tidak dipahami oleh masyarakat yang menikmatinya sebagai
kesinambungan maupun perkembangan dari lembaga-lembaga sejenis yang dikembangkan dalam
struktur-struktur sosial yang sudah ada, seperti pondok-pondok dan pesantren-pesantren. Singkat
kata, terjadi diskontinuitas pemahaman terhadap dua jenis lembaga yang sejenis yang dibesarkan
dalam struktur sosial yang berbeda.
9
Jadi, kita melihat bahwa pendidikan di Indonesia berkembang untuk memenuhi tuntutan
pekerjaan dan anak-anak dikirimkan bersekolah terutama agar mereka mampu menaiki tangga
mobilitas sosial. Pendidikan tidak terutama dimaksudkan untuk (dan juga tidak dipahami
memiliki fungsi untuk) mendidik orang-orang menjadi manusia yang beradab tinggi dan
berkebudayaan, tetapi terutama dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Hal inilah
yang terus mewarnai dunia pendidikan di Indonesia hingga jauh ke depan, hingga saat ini.
Ada satu kurun waktu dalam sejarah berbangsa di Indonesia ketika pendidikan memiliki
misi yang lebih mulia daripada sekedar mempersiapkan orang memiliki penghidupan yang layak.
Soedijarto menuliskan:17
Sejak kebangkitan nasional tahun 1908, para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia
dan kemudian para pendiri Republik tampak amat sadar akan pentingnya pendidikan nasional
bagi rakyat bangsa Indonesia. ... Melalui gerakan kebudayaan seperti Budi Utomo, Taman
Siswa, Muhammadiyah, para pendiri Republik memandang bahwa generasi muda harus
memasuki ambang kemerdekaan sebagai bangsa yang cerdas, selain dengan rasa kebangsaan
yang kuat.
Di tahun 1908 hadir sebuah gelombang yang mulai menampakkan benih-benih kebangsaan
di antara apa yang disebutkan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai ―bangsa-ganda Indisch‖,18
cikal-bakal kesadaran persatuan Indonesia. Pendidikan kini dipandang sebagai sebuah ―unsur
esensial bagi lahirnya generasi muda yang tinggi kadar kebangsaannya, terutama untuk
menghadapi kaum penjajah yang bercokol dan menguasai tanah air Indonesia,‖19
demikian tutur
Soedijarto lagi. Lembaga-lembaga pendidikan pada masa itu dikelola oleh lembaga-lembaga
swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga keagamaan sebagaimana disebutkan di atas.
Maka, di dalam periode 1908-1949 pendidikan yang dilakukan di banyak wilayah yang
kelak berada dalam wilayah negara Republik Indonesia adalah pendidikan yang bermuatan
pergerakan politik dan kebangsaan – lembaga-lembaga penyelenggaranya sendiri memiliki tujuan
10
penggerakan semangat kebangsaan di dalam diri para peserta didiknya sebagai raison d’être
lembaga-lembaga pendidikan tersebut.20
Memasuki tahun-tahun pergerakan nasional yang ditandai dengan proklamasi kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945 dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda
pada tahun 1949, negara muda Indonesia mulai bisa berbicara tentang sebuah sistem pendidikan
nasional. Ketika itulah penyelenggaran pendidikan demi lahirnya semangat kebangsaan mulai
luruh karena irelevansi. Periode di mana pendidikan tidak melulu berbicara mengenai masalah
penghidupan pun mulai menemui akhirnya.
Geger Riyanto dalam tulisannya di Harian Kompas berjudul ―Aku IPA maka Aku Ada‖
mengutarakan demikian:21
Pasca-kolonialisme, umumnya pemerintah negara-negara berkembang menitikberatkan
orientasi politiknya kepada ―pembangunan‖, yang sebenarnya lebih berkonotasi ekonomi.
Karena dengan orientasi itu, ketertinggalan dari dunia maju dapat terkejar dan pada akhirnya
memberikan satu legitimasi politik yang kuat.
Walhasil, sebagaimana disimpulkan pengamatan UNESCO terhadap geliat ilmu sosial di
Asia dan wilayah Pasifik, ilmu pasti ternyata lebih dianggap bisa melegitimasi kebijakan
negara. Tidak aneh bila terlihat lebih seksi di pelupuk mata pemerintah ketimbang ilmu-ilmu
lain yang memiliki fungsi kritis, membangun mentalitas dan kebudayaan.
Tak heran bila ilmu ekonomi, yakni cabang ilmu sosial yang banyak mengadopsi
perhitungan-perhitungan yang tampak pasti, kemudian dianggap sebagai ilmu yang prestisius.
Akibatnya, banyak cabang ilmu sosial dan humaniora, seperti antropologi, psikologi,
sosiologi, dan ilmu politik, menyandarkan kurikulum pengajarannya kepada metodologi
kuantitatif yang mengadopsi pendekatan dan perangkat penalaran dari ilmu pasti untuk
menganalisa fenomena manusia.
Soedijarto mencermati bahwa di dalam periode 1950 hingga 2008 telah di Indonesia telah
ada ―tiga kali perubahan [undang-undang] tentang sistem pendidikan, tujuh kali perubahan
kurikulum, dan tiga kali perubahan dalam sistem penentuan kelulusan (ujian akhir).‖22
Ada satu
hal yang menyedihkan yang terjadi di dalam kurun waktu lebih dari setengah abad tersebut.
Soedijarto membenarkan pendapat In‘am Al Mufti yang dipaparkan tentang kondisi negara-
negara berkembang.23
Banyak negara berkembang – dan Soedijarto menyetujui pula kondisi ini
11
untuk Indonesia – yang melakukan ekspansi secara signifikan dalam bidang pendidikan. Artinya,
pembangunan infrastruktur digenjot secara luar biasa dan juga tenaga guru disebar ke berbagai
daerah. Tetapi sayangnya hal itu tidak diimbangi dengan kualitas pendidikan yang baik: sekolah
yang kelebihan murid sehingga rasio guru terhadap murid menjadi sangat tinggi, anggaran yang
terbatas sehingga fasilitas sekolah maupun gaji guru tidak diperhatikan, juga metode pengajaran
yang ketinggalan zaman dan didasarkan pada metode menghafal sementara guru hanya dibebani
dengan berbagai beban administratif.
Kondisi demikian menghasilkan guru-guru yang tak mampu mengikuti perkembangan
ilmunya maupun mengikuti perkembangan pengetahuan kontemporer, termasuk di dalamnya
melalui media massa maupun media Internet. Semua faktor tersebut saling mempengaruhi,
menghasilkan pengajaran yang berbasiskan kegiatan menghafal belaka. Kegiatan belajar menjadi
kegiatan ―memindahkan pengetahuan‖ dari buku teks guru ke buku catatan murid. Ketika guru
tidak mampu memaparkan ilmunya secara bermakna, apalagi mengajukan argumen yang
meyakinkan murid-muridnya, memang memerintahkan murid menghafal adalah jalan keluar
yang efisien.
Maka, pelajaran ilmu-ilmu sosial berisikan hafalan-hafalan yang sangat banyak, pelajaran-
pelajaran yang berisikan hitungan melibatkan rumus-rumus yang dihafal dan pelajaran bahasa
sekalipun, yang pada mulanya merupakan pembenaran bagi diadakan sekolah-sekolah di wilayah
Hindia,24
hanya berisi hafalan rumus-rumus linguistik tanpa disertai pemahaman serta
kemampuan berbahasa yang baik.
Secara historis, sekolah di Indonesia hadir untuk membekali murid-murid dengan
keterampilan yang siap pakai di dunia kerja. Ketika di ruang kelas pembelajaran tidak dilakukan
secara bermakna maupun relevan, terjadilah diskontinuitas antara proses belajar dengan
kehidupan nyata para murid. Di tengah terjadinya diskontinuitas, maka ilmu-ilmu dinilai
12
berdasarkan kegunaan ekonomisnya. Ilmu-ilmu alam menampakkan diri sebagai ilmu yang lebih
bernilai ekonomis dalam dunia pekerjaan25
sehingga terjadi hierarki di dalam sikap orang
terhadap ilmu. Karena ilmu adalah cara manusia mengeksplorasi dan memahami pengalaman
hidupnya, maka sikap yang tidak proporsional terhadap berbagai ilmu akan membawa manusia
kepada ekses-ekses ke dalam ruang kehidupan bersama di dalam masyarakat.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Tesis ini hendak mencermati beberapa pertanyaan berikut:
1. Tujuan Penyelenggaraan Sekolah dari Sudut Pandang Berbagai Pihak yang
Berkepentingan, ‗Stakeholders‘ di Dalamnya
Apa sebenarnya yang merupakan tujuan orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah?
Dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan nasional26
yang tercantum dengan baik di
dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, apakah pemerintah melalui
kebijakan-kebijakannya berupaya untuk menginformasikan tujuan pendidikan ini secara
bermakna kepada masyarakat sehingga mereka memiliki paradigma yang sesuai ketika
mengirimkan seorang anak untuk bersekolah? Atau, jangan-jangan pemerintah lepas tangan
begitu saja membiarkan masyarakat berjalan sendiri dengan tujuan yang ada dalam
benaknya masing-masing?
2. Persepsi Kebernilaian Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial
Kenapa masyarakat memandang IPA superior sedangkan IPS inferior? Apakah ini
berkaitan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan? Atau berkaitan dengan potensi
penghasilan yang diperoleh murid setelah menyelesaikan pendidikan formalnya kelak?
Atau, ini semata didasarkan atas ketidaktahuan orang tua murid terhadap realita dunia
pekerjaan?
13
3. Sikap Ideal terhadap Ilmu-Ilmu
Dalam terang perbandingan dengan berbagai kebudayaan besar dan tujuan-tujuan
pendidikannya masing-masing, bagaimana idealnya sikap manusia saat ini terhadap ilmu-
ilmu yang semakin beraneka ragam? Dalam ruang lingkup yang lebih sempit, bagaimana
orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persekolahan di Indonesia menyikapi
pembedaan yang dilakukan oleh banyak orang terhadap IPA dan IPS dalam kaitannya
dengan tujuan pendidikan nasional Indonesia?
4. Kontribusi Ilmu terhadap Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional
Jika ternyata masyarakat dewasa ini tidak memiliki paradigma yang memadai untuk
memahami kesalingterkaitan di antara ilmu-ilmu dan peranan masing-masing ilmu dalam
kehidupan komunal, paradigma semacam apa yang perlu dikembangkan di antara anggota-
anggota masyarakat untuk mencapai tujuan pendidikan nasional Indonesia dengan upaya
yang optimal? Bagaimana sistem pendidikan nasional Jerman dan Prancis memampukan
masing-masing masyarakat itu menghasilkan lulusan-lulusan yang menjadi manusia yang
utuh, siap hidup mandiri dan berkontribusi dalam kehidupan bersama? Kesenjangan apa
yang nyata terlihat antara kedua sistem pendidikan itu dengan sistem pendidikan nasional
Indonesia?
1.3 Hipotesis
Untuk keperluan penelitian berikutnya, diduga bahwa:
1. Sekolah-sekolah di Indonesia diselenggarakan dengan fokus untuk menyiapkan lulusan-
lulusan yang ―siap pakai‖ di dunia pekerjaan. Dengan demikian, pendidikan yang
disediakan diarahkan untuk mengembangkan keterampilan murid dalam bidang-bidang
studi yang memiliki nilai jual yang tinggi di masyarakat yang tengah membangun ini
14
dengan mengenyampingkan keterampilan murid dalam bidang-bidang lainnya di dalam
aspek-aspek kehidupan manusia yang tidak memiliki kaitan yang langsung dan hubungan
yang gamblang dengan kompetensi orang dalam memperoleh penghidupannya.
2. Sebagai akibat dari hipotesis di atas, diduga bahwa potensi-potensi dalam diri murid yang
tidak berkaitan langsung dengan ―kesiapan pakai‖ di dunia pekerja menjadi diabaikan.
Pengabaian ini berarti proses pendidikan yang terjadi tidak mengembangkan murid menjadi
manusia yang utuh yang siap hidup mandiri dan berkontribusi dalam kehidupan bersama,
melainkan mempersiapkan mereka untuk hanya menjadi faktor-faktor produksi melalui
pekerjaannya.
Dalam kata-kata Postman, motif masyarakat Indonesia dalam pendidikan adalah motif
utilitas ekonomi:27
... The god of Econonomic Utility is rarely believed by students and certainly has almost no
power to inspire them. Generally, young people have too much curiosity about the world and
far too much vitality to be attracted to an idea that reduces them to a single dimension. ...
Many parents, in fact, are apt to like the idea of school as a primary training ground for future
employment, as do many corporate executives. This is why the story of Economic Utility is
told and retold in television commercials and political speeches as the reason why children
should go to school ....
Dan ia memaparkan bahaya pelaksanaan pendidikan berdasarkan motif utilitas ekonomi
demikian:28
Any education that is mainly about economic utility is far too limited to be useful, and, in any
case, so diminishes the world that it mocks one‘s humanity. At the very least, it diminishes
the idea of what a good learner is.
15
1.4 Garis Besar Penelitian
1.4.1 Pengambilan Sampel dan Analisis Data
Penelitian akan dilakukan dengan mengambil delapan sekolah di Jabotabek sebagai sampel:
enam sekolah nasional dan dua sekolah internasional. Sedapat mungkin, sekolah-sekolah nasional
dipilih untuk mewakili tradisi-tradisi yang khas dalam dunia persekolahan di Indonesia. Sekolah-
sekolah internasional dipilih dari sekolah-sekolah dari negara maju yang memiliki penghargaan
tinggi terhadap ilmu-ilmu sosial.
Di masing-masing sekolah akan dilakukan wawancara semi-terstruktur terhadap dua orang
guru dan dua orang murid. Dari hasil wawancara ini, jawaban-jawaban para responden akan
dikategorikan menurut kategori-kategori penelitian yang telah ditetapkan untuk kemudian
dianalisis.
Hasil analisis pandangan para responden dari keenam sekolah nasional akan dikontraskan
dengan hasil analisis pandangan para responden dari kedua sekolah internasional. Keduanya
kemudian akan dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang digunakan sebagai landasan
teori. Pada akhirnya hendak ditunjukkan akibat dari sikap yang menginferioritaskan ilmu-ilmu
sosial dalam upaya mengembangkan kemanusiaan yang utuh pada diri setiap anggota
masyarakatnya, juga dalam membentuk sebuah bangsa yang dewasa.
Sekolah-sekolah internasional dalam hal ini tidak dipandang sebagai model yang harus
diikuti oleh sistem pendidikan Indonesia, tetapi semata-mata sebagai pembanding untuk
membantu kita melihat bagaimana masyarakat-masyarakat lain bersikap dalam hal-hal yang
terkait dengan pertanyaan penelitian.
16
1.4.2 Pendekatan-Pendekatan yang Akan Digunakan
Untuk memampukan kita melihat hubungan antara pendidikan yang disediakan kepada
seorang anak dengan kehidupannya kelak sebagai seorang manusia dewasa, maka akan
digunakan pendekatan-pendekatan yang mengacu kepada pengalaman hidup manusia secara
menyeluruh dan bagaimana pengalaman hidup itu dimaknai demi terjadinya pengembangan
kemanusiaan yang utuh. Penggunaan pendekatan-pendekatan semacam ini penting karena:
1. Dapat digunakan untuk melihat pendidikan dalam konteks yang lebih luas, yaitu konteks
kehidupan. Konteks kehidupan inilah yang menjadi raison d’être seluruh pendidikan itu
sendiri. Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang mengacu kepada pengalaman
hidup manusia secara menyeluruh, maka pendidikan dapat dilihat dalam perspektif yang
strategis dan proporsional dalam konteksnya.
2. Ketika dilihat dalam perspektif yang strategis dan proporsional dalam konteksnya, maka
dapat dirumuskan pula di mana masih terdapat aspek-aspek yang kurang diperhatikan di
dalam pendidikan yang diselenggarakan sehingga membuat pendidikan itu tidak maksimal
dalam upayanya mengembangkan manusia yang utuh.
Dengan kata lain, ketika yang defektif diketahui, kita bisa meraba-raba dan merekonstruksi
―bagaimana yang seharusnya‖, tetapi ketika kita mengetahui apa yang sempurna diketahui, maka
dengan gamblang semua kekurangan dari yang defektif akan segera menjadi nyata. Karena itulah
pendekatan-pendekatan yang mengacu kepada pengalaman hidup manusia secara menyeluruh
dan bagaimana manusia mempersepsikan pengalaman hidupnya itu yang akan digunakan.
Pendekatan pertama yang akan digunakan adalah psikologi Gestalt. Dengan pendekatan ini
hendak ditunjukkan bahwa manusia cenderung memahami pengalaman secara komprehensif dan
stabil. Pengalaman yang dipahami secara demikian akan bertahan dan pengalaman yang kurang
17
komprehensif dan kurang stabil akan memudar pengaruhnya. Dalam konteks pendidikan, ini
berarti pendidikan yang diselenggarakan secara komprehensif dan memiliki kesinambungan
dengan kehidupan akan menjadi pendidikan yang efektif bagi penerimanya. Sementara itu,
pendidikan yang parsial dan fragmentaris akan kurang berguna bagi penerimanya.
Pendekatan kedua yang akan digunakan adalah filsafat ide kosmonomis. Dengan berpijak
pada psikologi Gestalt, tesis ini hendak menunjukkan bagaimana filsafat ide kosmonomis
membantu kita untuk melihat ilmu-ilmu sebagai bagian dari kompendium pengalaman hidup
manusia. Ilmu-ilmu ada untuk membantu manusia memahami satu segmen dari kehidupannya,
tetapi ilmu-ilmu itu tidak memiliki otonomi yang final pada dirinya sendiri. Setiap ilmu utuh pada
dirinya sendiri, tetapi sekaligus merujuk kepada ilmu lain melampaui dirinya sendiri sehingga
dengan seluruh kompendium yang utuh, manusia akan memiliki pengalaman hidup yang utuh
pula. Ketika manusia memberikan penekanan yang berlebihan pada ilmu-ilmu tertentu dan
mengabaikan ilmu-ilmu lainnya, maka kapasitasnya untuk memiliki pengalaman hidup yang utuh
juga akan menjadi terbatas.
1.4.3 Sistematika Pembahasan Penelitian
Di dalam pemaparan hasil penelitian ini, Bab II akan membahas mengenai kedua
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu psikologi Gestalt dan filsafat ide
kosmonomis. Selanjutnya Bab III akan memaparkan rancangan penelitian yang akan dilakukan,
termasuk rancangan panduan wawancara beserta metode yang akan digunakan dalam
menganalisis hasil penelitian ini.
Bab IV memaparkan analisis atas hasil penelitian yang telah diperoleh, sementara Bab V
akan memaparkan implikasi-implikasi dari hasil penelitian dalam konteks pertanyaan-pertanyaan
18
penelitian yang dipaparkan di atas. Di dalam bab inilah pertanyaan-pertanyaan penelitian itu akan
dijawab.
Dalam Bab VI dipaparkan kesimpulan penelitian beserta saran-saran tindak lanjut maupun
penelitian lanjutan atas penelitian yang telah dilakukan ini.
1.5 Batasan Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada studi kualitatif berupa wawancara terhadap responden-
responden di delapan sekolah yang masing-masing terdiri dari empat orang responden beserta
analisis hasil wawancara itu berdasarkan psikologi Gestalt dan filsafat ide kosmonomis.
Penelitian ini tidak mendalami studi kurikulum dalam arti tidak menelaah dokumen-dokumen
kurikulum walaupun interaksi pemikiran dan pembahasan dengan kurikulum dalam arti yang luas
tentu tak terhindarkan. Juga, penelitian ini tidak membahas psikologi Gestalt maupun filsafat ide
kosmonomis per se. Keduanya digunakan sebagai sarana untuk mendukung analisis terhadap
hasil penelitian ini. Wawancara-wawancara yang dilakukan dimaksudkan untuk memotret
gambaran atas sikap terhadap hipotesis yang diajukan dalam berbagai latar sekolah yang ada di
DKI Jakarta tanpa pretensi bahwa gambaran ini mencerminkan kondisi Indonesia secara umum.
Dengan demikian, kini pembahasan akan dialihkan kepada kedua pendekatan yang akan
digunakan melandasi analisis atas hasil penelitian ini, yaitu psikologi Gestalt dan filsafat ide
kosmonomis.
19
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pendahuluan
Dalam bab ini akan dibahas masing-masing pendekatan yang akan digunakan untuk
menganalisis permasalahan yang diteliti, yaitu psikologi Gestalt dan filsafat ide kosmonomis.
Dalam masing-masing pembahasan akan dipaparkan bagaimana kedua pendekatan ini
berkontribusi dalam dunia pendidikan, dilanjutkan dengan dampak yang dihasilkan berupa
pembedaan antara pendidikan yang holistik dengan pendidikan yang positivistik. Menutup bab
ini, akan dipaparkan juga inferioritas IPS terhadap IPA dalam sistem pendidikan nasional di
Indonesia.
Sebuah sistem pendidikan diselenggarakan untuk membentuk pola hidup dan pola pikir
anak-anak yang menjadi peserta didiknya sesuai karakteristik masyarakat tersebut.29
Dengan
membentuk pola hidup, anak-anak yang menjadi peserta didik itu akan diajarkan beradaptasi
dengan lingkungan geografis dan lingkungan sosialnya. Mereka akan mampu bertindak-tanduk
dan bersikap sesuai tuntutan keadaan alam tempat masyarakat mereka hidup sehingga
meningkatkan kemampuan mereka untuk bertahan hidup sebagai pribadi yang mandiri. Dengan
membentuk pola pikir, anak-anak itu diajarkan untuk memandang dunia sebagaimana layaknya
yang dipandang perlu oleh masyarakatnya. Maka, mereka akan mampu menjadi bagian yang aktif
dari masyarakatnya, menjadi seorang kontributor dan bukan sekedar penerima, sehingga dapat
bersama-sama dengan orang-orang lainnya dalam masyarakat itu menyokong dan membangun
masyarakatnya.
20
Karena itu, dalam upaya untuk mensinkronkan kembali antara praksis pendidikan dengan
idealisme yang diharapkan dari sebuah sistem pendidikan, dalam tesis ini akan ditinjau
pendekatan-pendekatan yang mencoba melihat bagaimana manusia memaknai pengalaman
hidupnya dan bagaimana pengalaman hidup yang dimaknai itu pada gilirannya akan
memampukan manusia menemukan kekayaan makna di dalam kehidupannya sendiri. Di sinilah
kedua pendekatan, psikologi Gestalt dan filsafat ide kosmonomis, akan digunakan.
2.1.1 Psikologi Gestalt
Psikologi Gestalt membedakan antara apa yang ada dan apa yang dialami, yang disebut
sebagai lingkungan geografi dan lingkungan persepsi. Tugas pendidikan adalah untuk membantu
manusia menemukan makna, pemahaman, dan pencerahan, ‗insight‘ di dalam menghadapi
lingkungan geografi dengan membentuk lingkungan persepsi yang baik. Dalam setiap
permasalahan yang manusia jumpai ada hal-hal yang esensial dan ada hal-hal yang periferal. Hal-
hal yang esensial mencakup menyederhanakan masalah melalui pemodelan, memikirkan dan
menimbang berbagai solusinya. Hal-hal esensial inilah yang harus diutamakan di dalam
pendidikan, vis-à-vis hal-hal teknis yang harus dilakukan, langkah demi langkah, setelah solusi
ditemukan.
Membedakan mana yang esensial dan mana yang periferal, berpikir kreatif dan mampu
menerapkan apa yang telah dipelajari di dalam konteks-konteks yang baru di dalam kehidupan
sangat penting dibelajarkan, menurut psikologi Gestalt. Bahkan, itulah bukti bahwa seorang
murid telah belajar. Seorang murid yang tidak mampu melakukan hal-hal tersebut hanya akan
mampu menghafal tetapi tanpa pemahaman, mampu mengulangi apa yang telah dilakukan di
kelas atau apa yang telah dilihatnya dilakukan gurunya, tetapi tidak mampu menerapkannya
dalam konteks yang baru. Murid yang demikian belum belajar, sebab pengulangan dapat
21
dilakukan oleh komputer dan mesin-mesin mekanik. Kemampuan mengulangi bukanlah
kemampuan yang penting untuk dipelajari oleh manusia.
Menggunakan pendekatan psikologi Gestalt ini, kita akan melihat bagaimana pembedaan
antara kenyataan dan persepsi, pemahaman atas keduanya, pemaknaan dan pencerahan adalah
hal-hal yang penting sekali untuk dilakukan oleh pendidikan dan bahwa hal-hal itulah yang
membuat pendidikan menjadi penting dan harus dipertahankan.
2.1.2 Filsafat Ide Kosmonomis
Filsafat ide kosmonomis yang dicetuskan oleh Herman Dooyeweerd menelaah pengalaman
hidup manusia dalam 15 aspek. Ketika ke-15 aspek ini dipahami, maka pengalaman hidup
manusia akan lengkap. Karena itu, ketika pendidikan diadakan untuk memampukan manusia
memahami pengalaman hidupnya, pendidikan perlu memperhatikan ke-15 aspek ini secara serius
dan memberikan upaya terbaiknya sehingga ke-15 aspek ini dapat dikembangkan secara
proporsional.
Dari pemahaman terhadap aspek-aspek filsafat ide kosmonomis akan didapati bahwa
aspek-aspek itu berkaitan dengan bidang-bidang studi yang dibelajarkan di sekolah. Masing-
masing aspek berkaitan dengan bidang-bidang studi tertentu. Ada aspek-aspek yang berkaitan
dengan satu bidang studi, ada yang berkaitan dengan lebih dari bidang studi dan ada juga bidang
studi yang mempelajari lebih dari satu aspek pengalaman hidup.
Sebagaimana pengalaman hidup manusia membentuk satu kesatuan yang utuh bagi orang
yang mengalaminya, begitu juga bidang-bidang studi ini, dapat dipandang sebagai elemen-
elemen yang membentuk satu kesatuan yang utuh dalam upaya manusia untuk memahami dan
memaknai seluruh pengalaman hidupnya. Karena itu, dari filsafat ide kosmonomis dapat
diargumenkan bagaimana pendidikan yang ideal, yang kembali disinkronkan dengan tujuannya
22
semula, perlu diselenggarakan dengan memberikan perhatian yang proporsional kepada setiap
bidang studi di dalam kompendium pengetahuan manusia.
Memberikan perhatian yang proporsional berarti menempatkan masing-masing bidang studi
pada tempatnya di dalam struktur ilmu dan pengetahuan, serta memperlakukan mereka sesuai
naturnya. Ilmu-ilmu alam diperlukan untuk memahami lingkungan fisik dalam kehidupan
manusia dan mereka dipelajari untuk keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
sehingga kualitas hidup manusia menjadi lebih baik, kehidupan menjadi lebih nyaman, lebih
mudah dengan cara yang dapat dipertahankan. Ilmu-ilmu sosial diperlukan untuk mempelajari
bagaimana manusia dan struktur-struktur sosial yang dibentuknya menjadi ada dan berinteraksi
serta berkembang sehingga kita dapat memahami diri kita sendiri dengan lebih baik dan kita
dimampukan untuk hidup bersama dengan orang-orang lain dan orang-orang yang lain dari diri
serta kelompok kita secara harmonis. Ketika semua ilmu ditempatkan pada tempatnya masing-
masing dan dihargai secara sepantasnya, maka pengalaman hidup manusia akan dipahami dengan
lebih baik dan tujuan pendidikan pun tercapai dengan lebih baik.
Di dalam Bab II ini akan dipaparkan lebih jauh tentang psikologi Gestalt serta
kontribusinya dalam dunia pendidikan dan bagaimana psikologi Gestalt dapat membantu kita
memahami pentingnya pendidikan untuk tetap memfokuskan diri pada hal-hal yang esensial,
yang membuat pendidikan tetap dibutuhkan oleh masyarakat. Kemudian akan dibahas filsafat ide
kosmonomis dan ke-15 aspek dari pengalaman hidup yang dipaparkannya. Di dalam bagian ini
pun akan dipaparkan bagiamana ke-15 aspek pengalaman hidup ini berhubungan satu dengan
yang lainnya dan dampaknya pada pemahaman kita terhadap ilmu-ilmu.
Kedua pendekatan tersebut kemudian akan dipergunakan bersama-sama untuk
mendefinisikan sebuah pendidikan yang holistis. Dominasi ilmu-ilmu alam yang terjadi atas
ilmu-ilmu sosial di dalam kurikulum nasional di Indonesia kemudian akan dipaparkan dan
23
dievaluasi menggunakan sejumlah kriteria berdasarkan pendidikan holistis yang telah dipaparkan.
Kini, kita akan beralih ke dalam psikologi Gestalt serta kontribusinya dalam dunia pendidikan.
2.2 Psikologi Gestalt dan Kontribusinya dalam Dunia Pendidikan30
2.2.1 Psikologi Gestalt
Max Wertheimer mencetuskan psikologi Gestalt melalui sebuah eksperimen inovatif yang
membuktikan bahwa apa yang orang lihat belum tentu sama dengan apa yang dilihatnya. Persepsi
visual yang dimiliki seseorang tidaklah identik dengan fenomena fisik yang ada. Gredler, dalam
bukunya Learning and Instruction: Theory into Practice menjelaskan bagaimana Wertheimer
bersama Kurt Koffka dan Wolfgang Köhler mengembangkan berbagai hukum tentang persepsi
dan menerapkannya dalam konteks belajar dan berpikir.
Dari penelitian mereka dicetuskanlah sebuah istilah Gestaltqualität. Kata ―Gestalt‖ sendiri
berasal dari bahasa Jerman yang lebih-kurang berarti bentuk atau pola. Jadi, Gestaltqualität dapat
dimaknai sebagai ―suatu kualitas yang dihasilkan oleh bentuk atau pola tertentu‖. Gredler
menjelaskan:31
The foundation for Gestalt psychology was established in an 1890 paper by a German named
Christian von Ehrenfels. He maintained that qualities appear in perception in addition to the
separate sensory elements. For example, when the same melody is played in different keys,
the tone sensation (sensory elements) change but the melody is recognized as the same.
Von Ehrenfels mengutarakan bahwa:32
... Understanding an experience requires the specification of the qualities of the experience in
addition to the sensory elements.
Pandangan ini dibawa oleh Wertheimer memasuki babak yang baru ketika sekitar 20 tahun
kemudian ia menemukan teknik dasar yang orang pakai untuk membuat film kartun: serangkaian
gambar yang dibuat pada kertas-kertas yang disusun berurutan dan diperlihatkan berturut-turut
24
secara cepat dapat membuat orang mempersepsikan adanya gerakan pada obyek yang
digambarkan di kertas-kertas tersebut. Persepsi ini disebut sebagai ―phi phenomenon‖ pada
publikasi penelitian tersebut yang diterbitkan pada tahun 1912.
Gredler mengemukakan pentingnya penemuan ―phi phenomenon‖ ini:33
The discovery was important because it demonstrated the relationships between stimulus
configurations and ―experienced wholes.‖ In other words, the relationships between stimulus
configurations and perceptions were not haphazard. Instead, they could be studied and
categorized.
Meramu pemaparan Von Ehrenfels dan Wertheimer, dapat disimpulkan bahwa apa yang
pada tahap pra-teoretis disebut manusia sebagai sebuah ―pengalaman‖ akan dapat dipahami
dengan lebih baik ketika pengalaman tersebut diuraikan ke dalam elemen-elemennya. Dengan
menguraikan pengalaman ke dalam elemen-elemennya, maka kita akan menghindarkan diri dari
kecenderungan untuk memperlakukan pengalaman semata-mata sebagai fungsi dari berbagai
indera manusia. Sebaliknya, pengalaman dapat dipahami dalam konteks sosial-budaya yang lebih
luas. Artinya, pengalaman (P) dapat dipahami sebagai fungsi berbagai indera manusia (I) yang
diberikan pemaknaan (M) atas dasar konteks sosial-budaya orang yang mengalaminya:
P = f(I) + M.
Perbedaan antara apa yang ada dan apa yang dipersepsikan orang sebagai ada dibedakan
oleh psikologi Gestalt dengan istilah lingkungan geografi dan lingkungan persepsi. Ketika di
lingkungan geografi ada lima bulatan yang diatur berjejer secara horizontal, kemudian di atas
bulatan ketiga dengan jarak yang sama diletakkan tiga bulatan berjejer ke atas dengan jarak yang
sama dan di bawah bulatan ketiga itu pula dengan jarak yang sama diletakkan tiga bulatan
berjejer ke bawah, maka berdasarkan lingkungan geografi hanya dihasilkan 11 bulatan. Tetapi,
lingkungan persepsi orang akan memandang 11 bulatan itu dan melihatnya sebagai satu unit,
yaitu tanda tambah. Penelitian-penelitian yang dilakukan Köhler34
menunjukkan bahwa
25
―organisms respond to ‗segregated sensory wholes‘ or Gestalten rather than to specific stimuli as
isolated and independent events.‖35
Pembedaan antara lingkungan geografi dan lingkungan persepsi membawa para psikolog
Gestalt kepada satu pertanyaan utama yang menurut mereka merupakan tugas utama psikologi,
―How does the individual psychologically perceive the geographical environment?‖36
Pertanyaan
ini dijawab dengan dua hukum. Hukum yang pertama disebut hukum Prägnanz: proses persepsi
yang berhasil dan bertahan adalah proses yang paling komprehensif dan paling stabil. Artinya,
ketika ada beberapa kemungkinan untuk melihat satu ke-ada-an, misalnya pada gambar-gambar
yang bisa dimaknai sebagai pemandangan-atau-bayi, gadis-atau-nenek dan sejenisnya, maka citra
yang akan lebih dominan dalam keberhasilannya meraih perhatian orang adalah citra yang bisa
memberikan makna atas keseluruhan gambar secara utuh. Citra yang hanya menggunakan
sebagian dari elemen-elemen yang ada dalam gambar akan cenderung diabaikan dan menjadi ‗tak
terlihat‘. Ketika kedua citra yang ada bisa terlihat oleh seseorang, maka citra yang lebih utuh
akan lebih sering nampak bagi orang itu sementara citra yang lainnya hanya akan tampak sekali-
sekali atau dengan upaya memfokuskan perhatian secara khusus.
Hukum yang kedua, yang terkait erat dengan hukum Prägnanz adalah hukum karakter
anggota. Hukum ini mengatakan bahwa aspek-aspek penting dari sebuah elemen yang merupakan
bagian dari sebuah struktur didefinisikan berdasarkan hubungannya dengan struktur itu secara
keseluruhan. Gredler mengutip Murphy memaparkan bagaimana sebuah elemen solid berbentuk
tanda tambah berwarna merah diletakkan di atas dasar berwarna abu-abu. Setelah melihat obyek
merah tersebut selama 20 detik, orang akan melihat obyek merah tersebut memiliki tepi berwarna
hijau. Orang itu kemudian diminta memperkirakan jika tepi elemen merah itu dicukil, warna apa
yang akan dihasilkan. Gredler, mengutip Murphy,37
mengutarakan:38
26
The logical answer is green, like the border. The Gestaltists, however, predict accurately that
the color will be red. The cross is an organized whole that forces the elements within it to
take on those attributes that support the total structure.
Ada empat karakteristik visual yang mempengaruhi persepsi yang diidentifikasikan oleh
Wertheimer:39
They are proximity, similarity, open direction, and simplicity. Specifically, the nearness of
elements to each other (proximity), shared features such as color (similarity), the tendency of
elements to complete a pattern (open direction), and the contributions of stimulus elements to
a total simple structure (simplicity) are factors that govern the perception of groups from
separate elements. ... Psychological events tend to be meaningful and complete, and the four
characteristics influence the completeness.
Sejauh ini dapat disimpulkan bahwa dalam upayanya untuk memahami lingkungan di
sekitarnya, manusia terpengaruh oleh berbagai hal sehingga apa yang dilihat belum tentu sama
dengan apa yang ada. Perbedaan antara keduanya bisa dijelaskan dengan faktor-faktor kedekatan
(proximity), keserupaan (similarity), pelengkapan (open direction) dan kesederhanaan
(simplicity). Dengan faktor-faktor ini, manusia berupaya untuk menyederhanakan apa yang
dialaminya sehingga apa yang ada diolah melalui pemaknaan menjadi sesederhana dan
sekomprehensif mungkin. Dengan demikian, pengalaman itu pun menjadi stabil.
2.2.2 Kontribusi Psikologi Gestalt dalam Dunia Pendidikan
Pemecahan masalah adalah satu bagian dari pendidikan yang menerima kontribusi yang
signifikan dari psikologi Gestalt. Köhler, dalam Gestalt Psychology yang diterbitkan di tahun
1929 dan dikutip oleh Gredler merekomendasikan bahwa rumusan dua langkah ―stimulus-
respon‖ dalam perilaku manusia lebih tepat dirumuskan sebagai rumusan tiga langkah ―stimulus
– persepsi – reaksi terhadap persepsi‖. Koffka kemudian mendukung pandangan Köhler ini
dengan tulisannya bahwa perilaku yang baru yang disebut sebagai respon atau hasil belajar tidak
27
muncul serta-merta sebagai akibat dari tindakan tertentu, tetapi respon itu muncul atas
serangkaian pengorganisasian dan reorganisasi atas persepsi-persepsi yang dimiliki individu
tersebut.
Sejalan dengan kedua koleganya Wertheimer kemudian membedakan antara pembelajaran
yang arbitrer atau asal-asalan dan pembelajaran yang bermakna. Ia menyimpulkan bahwa
―meaningful structures should not be learned in a senseless or rote manner.‖40
Hal ini nampak
sangat jelas pada anak-anak berumur 8 hingga 12 tahun yang ketika diberikan sebuah soal
cenderung langsung mengerti dan dapat menjawab dalam seketika atau mengatakan, ―Itu belum
diajarkan.‖ Pembelajaran yang asal-asalan atau hanya menggunakan metode menghafal akan
menghindarkan terjadinya pembelajaran yang sejati yang membawa murid ke dalam pemahaman
yang baru melalui serangkaian proses mengorganisasi dan me-reorganisasi pemahamannya
terhadap persoalan yang ada.
Dalam pemecahan masalah, psikologi Gestalt mengatakan bahwa pembelajaran telah
terjadi ketika seseorang telah mampu menerapkan apa yang dipelajarinya ke dalam situasi yang
baru. Ketika seorang murid baru mampu menghafalkan langkah-langkah yang harus dilakukan
atau mengikuti langkah-langkah yang diajarkan oleh gurunya, pembelajaran yang sesungguhnya
belum terjadi. Dalam menghadapi masalah lain yang serupa, murid itu perlu mengenali elemen-
elemen kunci yang ada pada kedua masalah – baik yang menjadi studi kasusnya maupun yang
kini tengah dihadapinya – kemudian membandingkan kedua permasalahan itu dan menerapkan
apa yang telah dipelajarinya langkah demi langkah untuk memecahkan masalah yang baru ini.
Kemampuan untuk mengenali elemen-elemen kunci dan menerapkan pemecahan masalah yang
telah dipelajari kepada situasi yang baru itu disebut sebagai ―transfer‖ dan itulah bukti bahwa
murid itu telah sungguh-sungguh mempelajari sesuatu.
28
Psikologi Gestalt juga mengemukakan bahwa pembelajaran perlu dilakukan dengan
mengacu kepada situasi yang nyata, distrukturkan dengan mengkombinasikan kemampuan murid
untuk menerapkan pemahamannya kepada situasi yang baru dan bantuan yang diberikan pada
saat-saat kritis untuk memungkinkannya mencapai momen pencerahan, ‗insight‘. Saat
mengajarkan mengenai luas persegi misalnya, ketika guru memberikan soal menggunakan latar
pertanian dengan ladang yang ingin diukur luasnya, maka murid akan dapat melihat bahwa apa
yang tengah dipelajarinya memiliki kaian dengan dunia nyata. Ketika murid tiba pada saat ia
tidak mampu keluar dari praduga-praduga yang dimilikinya dan terjebak pada pengulangan-
pengulangan langkah-langkah yang ia ketahui (functional fixedness), guru bisa memberikan
bantuan terstruktur tanpa memberikan jawabannya sehingga murid itu kemudian menemukan
bahwa ada suatu konsep atau pola atau jalan lain yang bisa dipakainya dalam pemecahan masalah
tersebut.41
Gredler menyampaikan kesimpulannya:42
Wertheimer did not recommend specific teaching methods based on Gestalt theory. However,
the implication from this example is that providing information that assists students to
reorganize their view of the problem should be an integral component in teaching problem
solving.
2.3.3 Psikologi Gestalt dan Pembenaran bagi Keberlangsungan Sekolah
Di sini kita tiba pada satu konsep yang mungkin merupakan kontribusi yang paling terkenal
dari psikologi Gestalt: pengalaman pencerahan, ‗insight experience‘ yang diperkenalkan oleh
Köhler:43
Problem set (referred to as stereotypy) occurs with poor students who may have the
appropriate skills but stick to one strategy, even when it is not successful (Kaplan &
Davidson, 1988).44
However, an incubation period sometimes permits the unproducttive
associations to weaken. Further, when students reach an impasse on problems that require
creative solutions, researchers suggest that taking a break accompanied by hints and self-
reflection can lead to insight (Seifert, Meyer, Davidson, Patalano, & Yariv, 1995).45
29
Jadi, pemecahan masalah yang diajarkan merupakan sebuah upaya pembiasaan yang
menanamkan pada murid disiplin untuk menemukan makna di dalam sebuah konsep; memahami
permasalahan yang dihadapi sehingga dapat membedakan elemen-elemen esensial dan periferal
dalam masalah itu, memodelkan masalah itu; dan mencapai momen pencerahan sehingga dapat
menerapkan apa yang telah dimengerti ke dalam situasi yang baru. Di dalam abad yang lalu,
salah satu keuntungan yang diperoleh orang yang bersekolah adalah perolehan informasi.
Semakin tinggi pendidikannya, semakin banyak informasi yang ia ketahui. Pada masa kini, ketika
komputer sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan akses kepada Internet bukan lagi
sebuah kemewahan, orang tidak lagi memerlukan sekolah untuk memperoleh informasi.
Informasi tersedia di mana-mana dan praktis dapat diakses oleh siapa saja. Maka, pembenaran
yang sangat penting bagi terus berlangsungnya sekolah-sekolah kita adalah ketika sekolah-
sekolah ini mampu mengasah kapasitas murid-murid dalam hal-hal yang esensial sehingga
murid-murid memperoleh ―makna, pemahaman dan pencerahan‖ dalam studinya yang dapat terus
ia kembangkan dan terapkan ke dalam berbagai situasi yang beragam.
Jika pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah hanya menawarkan pembelajaran
yang didasarkan pada kegiatan menghafal, mengulangi langkah-langkah yang diajarkan oleh guru
dan menekankan ketepatan jawaban dibandingkan dengan kemampuan menerapkan prosedur
yang telah dibelajarkan ke dalam situasi yang baru, maka sebenarnya sekolah itu menawarkan
suatu hal yang sangat bisa diperoleh tanpa murid-muridnya perlu bersekolah. Di tahun 1930-an,
ketika mesin meteran parkir dan mesin penjual koran mulai digunakan di Amerika Serikat, orang-
orang mengkhawatirkan nasib para tukang parkir dan penjaja koran. Di akhir tahun 1980-an,
ketika mesin-mesin ATM mulai banyak digunakan di Indonesia, para karyawan bank juga
mengalami kegelisahan yang sama. Tetapi, ternyata hadirnya mesin-mesin itu justru menawarkan
karier yang lebih kaya kepada para karyawan bank. Mereka bukan lagi sekedar penghitung uang
30
dalam melayani setoran dan tarikan dana para nasabah, tetapi pekerjaan mereka lebih kepada
pemberian layanan-layanan bernilai tambah. Kehadiran teknologi dalam kehidupan manusia
dapat membantu kita mengenali mana yang esensial yang harus manusia kuasai dan kerjakan dan
mana yang periferal, yang bisa diserahkan kepada mesin, sehingga kehidupan manusia pun
menjadi lebih bermakna.
Ketika teknologi semakin luas menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita dan Internet
menyeruak masuk ke dalam kehidupan semakin banyak orang, kita menemukan peranan sekolah
juga berhadapan dengan tantangan yang baru. Apakah sekolah mempersiapkan murid-muridnya
untuk menguasai hal-hal yang esensial ataukah sekolah sekedar mempersiapkan murid-muridnya
menguasai hal-hal yang periferal yang sebenarnya dapat diserahkan kepada mesin, yang dapat
diakses dengan mudah di Internet?
Kapasitas untuk menemukan makna, pemahaman dan tiba pada momen pencerahan pada
murid-murid adalah kontribusi yang penting dari psikologi Gestalt yang akan digunakan untuk
mengevaluasi praksis pendidikan yang terjadi. Kini kita akan beralih kepada filsafat ide
kosmonomis yang membahas bagaimana pengalaman hidup manusia diklasifikasikan ke dalam
berbagai aspek dan bagaimana semua aspek ini berhubungan dengan berbagai ilmu yang telah
manusia kembangkan.
2.3 Filsafat Ide Kosmonomis dan Klasifikasi Ilmu46
2.3.1 Filsafat Ide Kosmonomis
Sejauh ini telah dipaparkan bagaimana pendidikan berupaya untuk membentuk pola hidup
dan pola pikir para peserta didik sehingga mereka dapat memaknai pengalaman hidupnya dan
dengan demikian menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan dapat berkontribusi dalam
kehidupan bersama. Dalam upayanya untuk membelajarkan proses pemaknaan pengalaman
31
hidup, bagaimana hubungan antara pendidikan dengan pengalaman hidup? Bagaimanakah
hubungan antara berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah dengan pengalaman hidup
manusia?
Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menggunakan pendekatan filsafat ide kosmonomis
(De Wijsbegeerte der Wetsidee). Filsafat ini dicetuskan oleh seorang filsuf Belanda bernama
Herman Dooyeweerd. Dooyeweerd berargumen bahwa seluruh pengalaman manusia dapat
diselidiki dalam aspek-aspek yang spesifik. Aspek-aspek ini disebutnya sebagai ―aspek modalitas
kenyataan‖ yang disebut juga ―aspek waktu47
dari kenyataan‖, yaitu aspek-aspek dari
pengalaman hidup manusia. Pada mulanya Dooyeweerd bersama saudara iparnya D.H.Th.
Vollenhoven menjabarkan 14 aspek modalitas kenyataan ini: kuantitatif, spasial, kinematis, fisik,
biotik, sensori, logis, historis, linguistik, sosial, ekonomis, estetis, yustisi dan etis. Tetapi, di
kemudian hari aspek ke-15 ditambahkan: fidusiari atau pistis, yaitu aspek hidup beriman. Aspek-
aspek ini ditata menjadi satu rangkaian model antropologis yang ditelaah dan dijabarkannya di
dalam filsafat ide kosmonomis.
Masing-masing aspek ini dapat dipelajari secara tersendiri, sebab masing-masing memang
lengkap pada dirinya sendiri, tetapi masing-masing juga merujuk kepada aspek yang melampaui
dirinya. Misalnya, aspek yang paling umum dalam seluruh pengalaman manusia adalah aspek
kuantitatif. Aspek ini ditemukan dalam setiap pengalaman manusia, sebab segala sesuatu dalam
kehidupan manusia berkaitan dengan angka: jarak, volume, waktu, uang. Tentu, pengalaman
manusia tidak terkungkung melulu dalam aspek kuantitatif. Dengan menggunakan aspek
kuantitatif manusia menjadi bisa mengukur jarak dan volume. Tetapi, ketika manusia hendak
memanipulasi jarak dan volume tersebut, mau tidak mau manusia pasti bersentuhan dengan aspek
spasial sebab pengukuran jarak dan volume hanya bisa terjadi di dalam ruang. Kebutuhan
terhadap aspek spasial ini tidak membuat aspek kuantitatif menjadi cacat atau tidak lengkap.
32
Aspek kuantitatif sudah lengkap pada dirinya dan manusia bisa mempelajari aspek kuantitatif
sendiri tanpa perlu menggantungkan pemahamannya pada aspek spasial. Di sinilah dijumpai
bahwa aspek kuantitatif lengkap pada dirinya sendiri, tetapi juga merujuk kepada aspek
berikutnya dalam pengalaman manusia, yaitu aspek spasial.
Pemahaman yang baik pada aspek spasial akan memampukan manusia untuk memanipulasi
aspek yang ketiga, yaitu aspek kinematis. Dalam Kalkulus, ketika seorang murid telah menguasai
bidang dimensi dua, maka selanjutnya ia akan bisa memahami bahwa ketika sebuah lingkaran
diputar pada sebuah diameternya, akan dihasilkan bentuk bola. Ia juga akan bisa memahami
bahwa benda-benda yang ada dalam ruang memiliki satu properti, yaitu bisa bergerak. Maka,
pemahaman yang baik terhadap aspek spasial akan membawa manusia untuk mengerti aspek
kinematis. Tetapi, pemahaman kuantitatif yang baik tidak bisa membantu manusia memahami
aspek kinematis tanpa terlebih dulu ada pemahaman terhadap aspek spasial.
Pemahaman terhadap adanya urut-urutan inilah yang membawa Dooyeweerd dan
Vollenhoven kepada pengurutan kelima belas aspek waktu dari kenyataan. Dooyeweerd dan
Vollenhoven tidak memandang kelima belas aspek ini sebagai aspek yang berderet secara
hierarkis, tetapi hadir secara setara dalam pengalaman hidup manusia. Choi Yong-joon, seorang
yang menuliskan disertasi doktoralnya dengan mengangkat filsafat ide kosmonomis ini,
mengutarakannya demikian dalam disertasinya:48
The modal aspects differ from one another by the way in which they manifest themselves in
time. Thus the modal aspects can also be called time aspects. ... Each modal aspect is ordered
and determined by its own peculiar laws. That is why Dooyeweerd also called modal aspects
law-spheres. From the analytic to the pistical aspects, referred to by Dooyeweerd as cultural
sides, laws are called norms because they need to be "acknowledged" and "positivized" by
people and because they can be either obeyed or violated. "Natural laws" of the subanalytical
spheres, referred to as the natural sides, on the other hand, are obeyed involuntarily. Each
modal aspect is irreducible to the others, known as the principle of sphere sovereignty
(souvereiniteit in eigen kring).
33
Kelima belas aspek itu berbeda satu dengan yang lainnya dalam cara mereka
memanifestasikan diri dalam waktu, seperti prisma yang memecahkan seberkas cahaya matahari
ke dalam satu spektrum cahaya yang mengandung tujuh warna. Dengan caranya masing-masing,
kelima belas aspek modalitas kenyataan memaparkan apa yang manusia alami dengan caranya
masing-masing, sesuai bidang hukumnya masing-masing.
2.3.2 Tatanan Ilmu-Ilmu dalam Filsafat Ide Kosmonomis
Albert E. Greene, seorang guru yang memikirkan penerapan teori Dooyeweerd dalam dunia
pendidikan di Amerika Serikat, berupaya untuk membuat hubungan yang lebih gamblang antara
berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah dengan aspek-aspek modalitas kenyataan
Dooyewerd. Berikut adalah daftar tersebut.49
No. Aspek Bidang studi
15 Fidusiari (pistis) Teologi
14 Etis Etika, Moralitas
13 Yustisi Kewarganegaraan
12 Estetis Kesenian
11 Ekonomis Ekonomi
10 Sosial Sosiologi
9 Linguistik Bahasa
8 Historis Sejarah, Budaya
7 Logis Penalaran, Logika
34
No. Aspek Bidang studi
6 Sensori Psikologi
5 Biotik Biologi
4 Fisik Ilmu Kimia
3 Kinematis Fisika
2 Spasial Geometri
1 Kuantitatif Aritmetika
Ada bidang studi yang mencakup lebih dari satu aspek dan ada pula satu aspek yang
dicakup di lebih dari satu bidang studi. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa aspek-aspek 1
hingga 6 adalah aspek-aspek yang anormatif, lingkup hukumnya tak terhindarkan. Manusia
dengan kecerdasannya bisa berupaya untuk memanipulasi aspek-aspek ini, tetapi tidak bisa
memilih untuk tidak menaatinya. Aspek-aspek 7 hingga 15 adalah aspek-aspek yang manusia
bisa pilih untuk abaikan dan bahkan nafikan dalam kehidupannya. Inilah aspek-aspek yang
Dooyeweerd klasifikasikan sebagai normatif.
Dapat dipahami bahwa aspek-aspek anormatif memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi
ketika dipelajari dan diupayakan untuk dimanipulasi untuk kepentingan manusia. Penemuan-
penemuan dan perkembangan teknologi dicapai manusia dengan memanipulasi aspek-aspek
anormatif ini. Tak heran berbagai bidang studi yang mempelajari aspek-aspek ini dipandang
bergengsi karena hasil-hasil yang kasat mata yang dapat dicapai dengan memanfaatkan aspek-
aspek ini.
35
Aspek-aspek anormatif, sebaliknya, adalah aspek-aspek yang tak kasat mata dan tidak
secara langsung memberikan dampak yang nyata bagi kemajuan peradaban seperti penemuan-
penemuan dan perkembangan teknologi. Demikian pula dalam wacana-wacana ilmiah, pokok-
pokok perdebatan yang baru tidak serta-merta membuktikan bahwa pokok-pokok pemikiran yang
lama adalah salah dan kemudian ditinggalkan, seperti halnya pada teknik-teknik arsitektur lama
yang dipandang tidak efisien dan tak sedap dipandang mata lantas ditinggalkan. Perdebatan-
perdebatan yang terjadi dalam bidang-bidang sejarah, sosial, bahasa, etika dan agama bisa terus
saling memperkaya dan menambah kompendium ilmu dalam bidang itu tanpa harus ada yang
tergugurkan.
Tetapi, tak terpungkiri bahwa manusia pun memiliki aspek-aspek logis, historis, linguistik,
sosial, dan seterusnya hingga fidusiari. Manusia tidaklah lengkap jika hanya memiliki keenam
aspek pertama. Ketika pendidikan membelajarkan orang hanya pada aspek-aspek yang paling
dasar ini maka pendidikan itu tidaklah lengkap. Pendidikan semacam itu membekali para
muridnya untuk memanfaatkan alam tetapi tidak membekali murid-muridnya untuk hidup utuh,
baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
Model antropologi Dooyeweerd, yaitu kelima belas aspek modalitas kenyataan bersama
dengan teori filsafat ide kosmonomisnya digambarkan secara komprehensif oleh E.L. Hebden
Taylor sebagai berikut.50
36
Gambar 1. Ke-15 Aspek Modalitas Filsafat Ide Kosmonomis dalam Perspektif
Ilmu-Ilmu dan Fungsi-Fungsinya.
Dalam gambar di atas diperlihatkan bahwa fungsi tertinggi benda adalah aspek fisik, fungsi
tertinggi tumbuhan adalah aspek biotik dan fungsi tertinggi hewan adalah aspek sensori. Aspek-
aspek inilah yang membentuk ilmu-ilmu alam – sebab, dari situlah datangnya kata ―alam‖ dalam
ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu ini mempelajari aspek-aspek yang paling mendasar, yaitu aspek-aspek
yang ada dalam hampir semua makhluk hidup.
Dalam gambar yang sama Taylor memperlihatkan aspek-aspek yang dicakup oleh berbagai
lembaga manusia. Keluarga mencakup aspek biotik hingga etis. Semua lembaga sosial lainnya
memiliki aspek historis pada tingkat yang paling mendasar, walaupun puncaknya berbeda-beda.
Pada tatanan inilah ilmu-ilmu sosial dilahirkan, sebab inilah lembaga-lembaga yang menjadi
obyek studi ilmu-ilmu sosial: manusia beserta struktur-struktur sosialnya.
Model antropologi Dooyeweerd inilah yang digunakan sebagai rujukan di dalam penelitian
ini, dengan catatan yang sekali lagi perlu ditekankan bahwa susunan kelima belas aspek
AN
IMA
L
PL
AN
TS
TH
ING
S
SU
BJE
CT
FU
NC
TIO
NS
Faith
Ethical
Juridical
Aesthetic
Economic
Social
Lingual
Historical
Analytical
Psychical
Biological
Physical
Kinematic
Spatial
Arithmetical
An
orm
ativ
e L
aw S
ph
eres
No
rmat
ive
Law
Sp
her
es
Law Spheres
Dir
ecti
on
To
war
ds
Ori
fin
of
Mea
nin
g
MA
N
Ap
ost
ate
Dir
ecti
on
OB
JEC
T F
UN
CT
ION
S
TH
E F
AM
ILY
TH
E C
HU
RC
H
TH
E S
TA
TE
TH
E L
AB
OR
UN
ION
TH
E B
US
INE
SS
EN
TE
RP
RIS
E
The Word of God
Incarnate in
The Lord Jesus Christ
The Tribune Sovereign God‘s Law as the Boundary Between the Creation and the Creator
Foundational Functions
Leading Functions
37
modalitas tidaklah diperlakukan sebagai sebuah hierarki, melainkan sebagai aspek-aspek yang
setara satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang ada di antara kelima belas aspek ini adalah
ruang lingkup hukum masing-masing aspek, sehingga penempatan aspek tertentu pada posisi
yang lebih tinggi di dalam gambar ini menunjukkan lebih kompleksnya aspek ini, tetapi tidak
menunjukkan bahwa aspek yang lebih tinggi lebih penting di dalam pengalaman hidup manusia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aspek iman lebih kompleks daripada aspek historis dan
aspek historis lebih kompleks daripada aspek aritmetis, tetapi aspek yang satu tidak bisa
menafikan keberadaan aspek yang lainnya.
2.3.3 Dampak Filsafat Ide Kosmonomis pada Pelaksanaan Pendidikan
Ketika aspek-aspek ini diterima sebagai perwakilan dari pengalaman hidup manusia yang
saling melengkapi untuk memberikan manusia pengalaman hidup yang lengkap, maka
dampaknya adalah ilmu-ilmu yang mempelajari masing-masing aspek ini juga akan dipandang
sebagai ilmu-ilmu yang berdiri sejajar dan saling melengkapi untuk memampukan manusia
memahami dan memaknai pengalaman hidupnya secara lengkap. Ilmu-ilmu tidak lagi melulu
dipandang sebagai sarana untuk memanipulasi alam dan menghasilkan kemajuan-kemajuan
teknologis, tetapi juga ilmu-ilmu kembali dipahami memiliki kegunaan yang lebih luas, yaitu
untuk memahami dan memaknai seluruh pengalaman hidup manusia.
Pendidikan yang dilaksanakan dengan mengacu kepada kerangka pikir demikian akan
menghasilkan kurikulum yang berbeda dibandingkan dengan pendidikan yang dilaksanakan
melulu untuk membekali peserta didiknya untuk memiliki penghidupan yang layak. Pendidikan
yang disebut belakangan ini akan menjadi pendidikan yang didefinisikan oleh tuntutan zaman
tertentu dan mengedepankan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan peserta didiknya untuk
memenuhi tuntutan tersebut. Ketika tuntutan itu memiliki perhatian yang sangat tinggi pada
38
aspek-aspek anormatif seperti yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu alam, maka aspek-aspek
tersebut akan memperoleh perhatian yang sangat besar dengan mengorbankan pengembangan
aspek-aspek lainnya. Orang-orang yang dididik dengan cara seperti ini dipersiapkan menjadi
elemen dari sebuah sistem produksi global, satu dari banyak mata rantai produksi-konsumsi umat
manusia, tetapi belum tentu bisa menghayati seluruh kemanusiaannya di dalam hidup yang utuh.
Sebaliknya, pendidikan yang mengacu kepada upaya untuk memahami dan memaknai
seluruh pengalaman hidup manusia akan menggunakan pendekatan yang lebih proporsional di
antara berbagai ilmu yang disodorkan dalam bentuk berbagai bidang studi di sekolah. Pendidikan
yang demikian akan memberikan perhatian yang berimbang antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
sosial, antara aspek-aspek anormatif dan aspek-aspek normatif dalam kehidupan manusia.
Dengan demikian akan dihasilkan manusia-manusia yang utuh, yang mandiri dan dapat
berkontribusi dalam kehidupan bersama. Orang-orang yang memperoleh pendidikan yang
demikian niscaya akan lebih mampu hidup secara seimbang dan menikmati kekayaan hidup
dengan beragam aspeknya. Orang-orang ini tidak sekedar hidup dengan menjadi elemen dari
sistem produksi global. Sebaliknya, mereka mampu melihat dengan lebih jernih ke dalam
permasalahan-permasalahan kemanusiaan dan isu-isu yang esensial di dalam hidup karena
memiliki pemahaman tentang kemanusiaan yang utuh serta struktur-struktur sosial yang manusia
miliki tanpa perlu terjebak melulu ke dalam dunia pekerjaan dan penghidupan.
Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan acuan pada masalah penghidupan akan terlihat
memiliki penekanan yang berlebih pada ilmu-ilmu alam, sementara mengabaikan ilmu-ilmu
sosial. Kurikulum yang demikian juga memiliki penekanan yang besar pada sistem ujian yang
mementingkan hasil akhir daripada pada proses. Jika hal ini dilakukan, maka perhatian hanya
diberikan kepada enam aspek pertama dari filsafat ide kosmonomis ini dengan mengorbankan
aspek-aspek lainnya. Hal ini bisa berakibat pada dihasilkannya orang-orang yang sangat pandai
39
secara teknis tetapi tidak memiliki kehidupan sosial yang sebanding dengan kepandaian
teknisnya, orang-orang yang mampu menghasilkan kemajuan teknologi tetapi miskin dalam
perspektif kemanusiaannya sehingga teknologi yang dihasilkan bisa malah merugikan umat
manusia daripada menguntungkan.
Filsafat ide kosmonomis, pada akhirnya, ketika diterapkan dalam pendidikan, akan
memampukan para perencana pendidikan untuk kembali melihat tujuan awal penyelenggaraan
pendidikan dalam sebuah kerangka yang lebih lengkap, yang mengklasifikasikan pengalaman
hidup manusia ke dalam 15 aspek. Dengan adanya ke-15 aspek ini, akan lebih mudah dilakukan
pemetaan antara bidang-bidang studi yang perlu dibelajarkan kepada murid-murid di sekolah
secara sinkron dengan penyiapan mereka untuk memiliki pengalaman hidup yang utuh, yang
memampukan mereka hidup mandiri dan bertanggung jawab, menjadi orang yang berkontribusi
dalam kehidupan bersama. Kedua model pendidikan yang telah disebutkan itu bisa
diperbandingkan sebagai pendidikan yang holistik dan pendidikan yang positivistik.
2.4 Pendidikan Holistik vs. Pendidikan Positivisitik
Pendidikan yang positivistik adalah pendidikan yang menaruh perhatian yang sangat tinggi
pada ilmu-ilmu alam, yaitu bidang-bidang studi Matematika dan IPA (MIPA). Pendidikan
positivistik mengedepankan ilmu-ilmu alam ini dengan memberikan porsi jam pelajaran yang
sangat banyak kepada bidang-bidang studi Matematika dan IPA dibandingkan kepada ilmu-ilmu
sosial. Juga, pendidikan positivistik cenderung untuk melihat hasil akhirnya melalui ujian-ujian
dibandingkan melihat proses yang terjadi di dalam pembelajaran.
Dengan adanya penekanan yang sistemik terhadap ilmu-ilmu alam ini, maka gengsi yang
dimiliki ilmu-ilmu alam ini pun meningkat di mata masyarakat awam, termasuk di antaranya para
40
murid dan orang tua murid. Di dalam pendidikan positivistik, diyakini apa yang bisa diukur itulah
yang unggul; apa yang tidak melibatkan angka, hanyalah ilmu-ilmu kelas dua.
Di sisi lain, ada pula pendidikan yang holistik. Pendidikan ini mengedepankan pendekatan
dengan keprihatinan yang lebih luas. Bukan saja ia menaruh perhatian pada ilmu-ilmu alam,
tetapi ia juga menaruh perhatian pada ilmu-ilmu sosial. Ketika murid-murid memperoleh
pelajaran dalam spektrum yang lengkap, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, bisa saja
ilmu-ilmu alam tetap memperoleh jumlah jam pelajaran yang lebih banyak tetapi tidak secara
signifikan.
Tetapi itu juga tidak berarti bahwa di dalam pendidikan yang holistik murid-murid
mempelajari semua bidang studi, melainkan perhatian diberikan agar murid-murid memiliki basis
keilmuan yang lengkap dan solid sehingga menjadi dasar yang kokoh bagi pembangunan
keseluruhan struktur ilmu yang didalaminya. Bisa saja murid diberikan pilihan untuk menekuni
bidang tertentu – sains, literatur, ekonomi – tetapi ada pelajaran-pelajaran wajib yang harus ia
kuasai juga seperti Matematika dasar, bahasa ibu dan Sejarah. Yang terpenting adalah bahwa baik
MIPA maupun ilmu-ilmu sosial sama-sama dibelajarkan dengan cara yang bermakna sehingga
tidak terjadi dikotomi bahwa IPA bernalar dan IPS hanya menghafal.
Psikologi Gestalt telah membantu kita melihat bahwa yang terpenting dari penyelenggaraan
sebuah sekolah adalah kemampuan untuk mengasah pada diri setiap murid kapasitas untuk
memaknai, memahami dan tiba pada momen pencerahan di dalam masalah-masalah yang
dihadapinya di dalam hidup. Sekolah hadir untuk mengembangkan kompetensi-kompetensi yang
diperlukan untuk mendukung pertumbuhan seorang anak hingga mencapai kepenuhan
kapasitasnya sebagai seorang manusia dewasa.
Dalam upaya sekolah untuk mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan, ada
batasan-batasan yang dijumpai. Yang paling kentara dari semua batasan itu adalah adanya
41
batasan waktu. Sekolah hanya memiliki akses atas waktu yang terbatas setiap minggunya dalam
kehidupan seorang anak. Juga, ada batasan lamanya pendidikan wajib bagi setiap anak. Pada
umumnya seorang anak hanya diwajibkan berada di sekolah pada usia 7 hingga 15 atau 18 tahun.
Ini membentuk batasan-batasan bagi sekolah untuk menetapkan apa yang ingin dicapainya dalam
kurun waktu tertentu. Kemudian, adalah adanya batasan wewenang dengan pihak-pihak lain.
Dalam kehidupannya seorang anak juga mempunyai pengaruh dari orang tua, keluarga besar,
komunitas dan berbagai lembaga sosial yang ada di sekitarnya. Upaya-upaya yang dilakukan oleh
sekolah tidak berada dalam vakum, tetapi terjadi dalam interaksi dengan lembaga-lembaga sosial
ini.
Karena batasan-batasan yang ada, sementara ada begitu banyak kompetensi yang perlu
dikembangkan pada diri seorang anak, sekolah harus bisa memilah antara kompetensi-
kompetensi yang esensial dengan kompetensi-kompetensi yang tidak esensial, yaitu yang
periferal. Kepada kompetensi-kompetensi yang esensial inilah waktu dan upaya dan tenaga perlu
difokuskan dan didedikasikan di dalam masa pendidikan wajib yang berlangsung 9 hingga 12
tahun itu.
Untuk menghasilkan seorang dewasa yang mandiri dan siap berkontribusi dalam kehidupan
bersama, mengacu kepada kelima belas aspek pengalaman hidup yang dipaparkan oleh
Dooyeweerd, orang perlu memiliki wawasan dan pemahaman dalam kelima belas aspek tersebut.
Sebuah sistem pendidikan bisa memiliki penekanan hanya pada aspek-aspek pertama dari kelima
belas aspek tersebut, yaitu aspek-aspek anormatif: aritmetika, spasial, kinematik dan seterusnya.
Tetapi, sebuah sistem pendidikan tidak mungkin memiliki penekanan hanya pada aspek-aspek
normatif sebab aspek-aspek normatif membutuhkan penguasaan terlebih dulu atas aspek-aspek
anormatif, walaupun secara minim.
42
Orang tidak mungkin menguasai aspek yuridis tanpa memahami aspek analitis dan aspek
analitis dibentuk berdasarkan aspek-aspek anormatif. Demikian pula orang tidak mungkin
menguasai aspek estetis tanpa memahami aspek-aspek aritmetis, spasial dan kinematis sebab
aspek-aspek inilah yang membentuk dasar-dasar keindahan: keragaman dan keserasian.
Maka, ancaman terhadap pendidikan yang holistik bukanlah pendidikan yang berat sebelah
kepada aspek-aspek anormatif saja atau aspek-aspek normatif saja; melainkan, ancaman terhadap
pendidikan yang holistik hanyalah pendidikan yang berat sebelah kepada aspek-aspek anormatif
saja. Sesungguhnya, teramat mudah manusia jatuh ke dalam kecenderungan ini karena manusia
hidup dan berfungsi pada aspek-aspek normatif. Lebih mudah melihat, menganalisis dan
mengevaluasi ke bawah daripada melihat, menganalisis dan mengevaluasi ke samping.
Upaya untuk memahami dan menganalisis alam, yaitu hal-hal yang membentuk aspek-
aspek anormatif dalam pengalaman hidup manusia, akan selamanya jauh lebih mudah dan lebih
eksak dibandingkan dengan upaya untuk memahami dan menganalisis manusia sendiri serta
struktur-struktur sosialnya. Yang disebut belakangan ini selamanya akan lebih banyak
mengandung ketidakpastian dan perdebatan, sebab yang hendak dipahami dan dianalisis
mencakup diri si pelaku itu sendiri.
Dengan pandangan yang demikian, maka sangat penting bahwa sekolah mengembangkan
dalam diri murid-muridnya kompetensi dasar pada setiap aspek kehidupan. Manusia harus
menguasai aspek-aspek anormatif dalam pengalaman hidupnya, tetapi manusia juga sangat perlu
memahami aspek-aspek normatif untuk dapat mencapai kepenuhan potensinya sebagai seorang
manusia.
Apakah pendidikan yang holistik ini lantas mengabaikan bahwa orang-orang memiliki
bakat dan minat yang berbeda-beda? Lantas, bagaimana dengan mereka yang memang memiliki
43
bakat dalam bidang-bidang studi yang mempelajari aspek-aspek anormatif dalam kehidupan
manusia?
Di dalam pendidikan yang holistik, yang perlu dibelajarkan oleh sekolah kepada semua
muridnya adalah elemen-elemen yang esensial dari kelima belas aspek pengalaman hidup. Dalam
aspek-aspek anormatif misalnya, hal mendasar yang dapat dibelajarkan adalah Matematika Dasar
tanpa perlu menyentuh Kalkulus atau Fisika Diskret. Dalam aspek-aspek anormatif misalnya, hal
mendasar yang dapat dibelajarkan adalah Logika dan Sejarah sehingga setiap murid dapat
melakukan analisis dengan baik atas seluruh pengalaman hidupnya dan dapat memahami
kehidupannya dalam konteks yang lebih luas, tanpa perlu Sosiologi atau Ilmu Hukum. Dengan
mengandalkan bidang-bidang studi yang umum ini sebagai dasar, selanjutnya setiap murid dapat
mendalami bidang studi yang menjadi bakat dan minatnya.
Dengan keterbatasan waktu dan sumber daya yang ada dalam sebuah proses pendidikan,
bahkan di dalam sebuah pendidikan yang holistik juga tetap diperlukan adanya spesialisasi
sehingga berdasarkan psikologi Gestalt, seorang murid dapat mempelajari satu topik secara
mendalam dan tiba pada pemahaman masalah, pemaknaan pengalaman hidup yang membawanya
kepada momen-momen pencerahan. Dengan dasar yang diberikan dalam bidang-bidang studi
yang umum, maka murid tersebut akan mampu meletakkan seluruh ilmu dan pengetahuannya
dalam konteks yang lebih luas – ia bisa menjadi seorang ahli tanpa kehilangan persepektif
kemanusiaannya.
Mengacu kembali kepada tujuan pendidikan yaitu untuk menghasilkan manusia-manusia
dewasa yang mandiri dan berkontribusi dalam kehidupan bersama, maka murid-murid yang
dihasilkan oleh sebuah sistem pendidikan yang holistik akan:
44
a. memiliki kehidupan dengan spektrum pengalaman yang kaya, artinya tidak hanya berkutat
dengan bidang pekerjaannya dan membuat keputusan-keputusan yang melulu dimotivasi
oleh motif ekonomi (demi penghidupannya) belaka;
b. mampu melihat keseluruhan pengalaman hidup manusia dan menganalisisnya dari berbagai
segi sehingga memiliki pemahaman dan pengertian yang lebih menyeluruh tentang manusia
dan struktur-struktur sosialnya, yang memampukan dirinya untuk lebih bijaksana dalam
mengambil keputusan dalam konteks sosial-kemasyarakatan;
c. memiliki kehidupan yang lebih seimbang antara sisi pribadi dan sosial, pengembangan
karier dan kehidupan sosial, pengembangan teknologi dan pemeliharaan lingkungan,
mendorong kemajuan dan memastikan ketahanan, ‗sustainability‘ seluruh sumber daya
yang terkait.
Karena setiap masyarakat mempunyai sistem pendidikannya yang khas, maka dampak yang
terjadi pada diri setiap orang, ketika diamati pada tingkat masyarakat, akan terjadi secara berlipat
ganda. Kita menjumpai masyarakat yang memiliki sumber daya alam yang kaya-raya tetapi hidup
dalam kemiskinan dan terus-menerus mengeruk kekayaannya dengan cara dan kecepatan yang
membuat kekayaan itu tak terbarui sehingga merugikan seluruh negara dan bahkan dunia. Kita
juga menjumpai masyarakat yang miskin dalam sumber daya alam tetapi bisa menggunakan apa
yang ada dengan bijaksana dan terbarui. Ada negara-negara di mana kesenian berkembang sangat
pesat dan ilmu pun berkembang sangat pesat. Ada negara-negara di mana keduanya berkembang
dengan sangat terbatas.
Ketika sebuah masyarakat atau negara memiliki sistem pendidikannya yang khas, maka
dampak dari sistem pendidikan itu akan nampak dengan sangat jelas dalam lingkup yang besar.
Maka, pemahaman terhadap seluruh pengalaman hidup manusia dan bagaimana murid-murid
45
dipersiapkan sebaik mungkin untuk mengakses seluruh pengalaman itu menjadi sangat penting
bagi kemajuan sebuah masyarakat, sebuah negara.
2.5 Inferioritas IPS terhadap IPA dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia
Di dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, inferioritas IPS terhadap IPA terlihat
dengan sangat jelas. Bukan saja pada saat pemilihan jurusan di mana banyak murid maupun
orang tua murid yang berlomba-lomba untuk mendapatkan ―kursi‖ di jurusan IPA, tetapi hal ini
juga nyata di dalam sikap guru-guru, penetapan sistem ujian nasional yang menentukan kelulusan
dari jenjang SMA dan ujian masuk Perguruan Tinggi negeri (UMPTN) yang sangat
menguntungkan para lulusan SMA dari jurusan IPA dan membatasi pilihan para lulusan SMA
dari jurusan IPS.
Ditilik dari psikologi Gestalt, pendekatan yang disyaratkan oleh psikologi Gestalt untuk
mencapai pemaknaan, pemahaman dan pencerahan adalah pendidikan yang menghindarkan
penghafalan dan menyediakan bantuan pada saat-saat kritis dalam proses belajar sehingga murid
dapat mencapai momen eurekanya secara mandiri dan bertahan. Pada kenyataannya, gejala yang
disebutkan oleh Soedijarto di atas masih terjadi, yaitu rendahnya tingkat ketersediaan tenaga
pendidik dan rendahnya pula fasilitas pendukung pelaksanaan pendidikan menyebabkan
pendidikan dilaksanakan seringkali dengan mengandalkan cara menghafal.
Tingginya tuntutan menghafal mengondisikan di sisi lain kurangnya kesempatan bagi
murid-murid untuk menerapkan apa yang telah dipelajarinya dalam masalah-masalah yang nyata
sesuai konteks kehidupan. Atau, bisa juga dilihat sebaliknya bahwa kurangnya kemampuan guru
untuk menyediakan soal-soal pemecahan masalah yang relevan membuat guru mengondisikan
murid untuk melulu menghafal dalam proses belajar yang disediakannya. Maka, tidak muncul
kebutuhan untuk memberikan bantuan pada momen-momen kritis yang akan membawa murid
46
kepada momen pencerahannya, ketika ia memahami sebuah konsep dan mampu menerapkan
konsep itu pada situasi yang baru.
Ketika pemahaman tidak dicapai, maka pencerahan pun tidak tercapai. Mungkin inilah
penyebab walaupun kita membangga-banggakan keunggulan pendidikan Matematika di SD-SD
kita dibandingkan pendidikan Matematika di SD-SD negara-negara Barat, tetapi belum ada
ilmuwan Indonesia yang berhasil memperoleh hadiah Nobel dalam bidang Sains.
Ditilik dari filsafat ide kosmonomis, penekanan yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia
sangat kuat memfokuskan perhatian pada keenam aspek pertama, yaitu aspek-aspek anormatif.
Penekanan yang berlebihan pada aspek-aspek anormatif dalam pengalaman manusia memiliki
risikonya sendiri, yaitu kurangnya kemampuan membuat penilaian-penilaian normatif. Keahlian
teknis yang dilahirkan dari penekanan yang berlebihan pada aspek-aspek anormatif, dibarengi
dengan kurangnya keterampilan dalam membuat penilaian normatif, bisa membawa dampak yang
mengerikan bagi kehidupan bersama.
Seseorang dengan karakteristik yang demikian akan memiliki keahlian untuk menghasilkan
kemajuan-kemajuan dalam teknologi yang bisa mendukung percepatan pembangunan dan
mendorong peningkatan kekayaan fisik masyarakat tetapi akan memiliki kepedulian yang minim
terhadap sisi-sisi tak kasat mata dari keputusannya, dampak-dampak sosial-kemasyarakatan serta
dampak buruk yang mungkin saja ditimbulkan pada lingkungan.
Memang, hal ini tidaklah membentuk suatu rumusan yang pasti. Bisa saja seseorang
memperoleh pendidikan yang lebih utuh ketika pada suatu masa dalam studinya ia bersekolah
pada sebuah lembaga berkurikulum yang lebih holistik atau ia diperlengkapi dengan kompetensi
itu dari keluarganya, atau secara otodidak ia melengkapi pertumbuhannya sendiri menjadi orang
dewasa yang lebih utuh. Tetapi, bahaya yang dikandung oleh sistem pendidikan Indonesia yang
demikian tetaplah laten.
47
Maka, kita melihat inferioritas IPS terhadap IPA dalam sistem pendidikan nasional
Indonesia bisa memiliki dampak yang berkepanjangan dan bukan sekedar perlakuan diskriminatif
di dalam sistem pendidikan itu sendiri. Kehidupan bermasyarakat dan berbangsa bisa terkena
ekses-eksesnya pula dalam jangka panjang. Kesenjangan penyebaran kekayaan, ketidaksetaraan
kesempatan untuk perbaikan kualitas hidup, perusakan alam, manipulasi struktur-struktur publik
dan lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk kepentingan pribadi, semua itu dapat dihasilkan dari
keterampilan penilaian normatif yang tidak diasah.
Bagaimana sebenarnya kondisi pendidikan di Indonesia dalam hal inferioritas IPS terhadap
IPA dan apa yang telah terjadi sebagai akibat dari inferioritas ini? Dalam bab berikutnya
rancangan penelitian tesis ini akan dibahas.
48
BAB III
RANCANGAN PENELITIAN
3.1 Pendahuluan
Dalam bab ini akan dipaparkan rancangan penelitian yang dilakukan. Pertama-tama
dipaparkan jenis penelitian yang dilakukan, sampel sekolah yang digunakan dalam penelitian,
serta bagaimana pemilihan responden-responden dilakukan di masing-masing sekolah.
Kemudian, pemaparan dilanjutkan kepada pokok-pokok penelitian, pertanyaan wawancara serta
pengolahan data yang akan dilakukan.
3.2 Jenis Penelitian
Untuk mempelajari lebih dalam mengenai inferioritas ilmu-ilmu sosial dalam pendidikan
nasional Indonesia, maka dilakukan penelitian kualitatif. Di dalam penelitian ini dipilih metode
wawancara semi-terstruktur untuk memperoleh gambaran yang lebih beragam dan juga lebih
pribadi dari berbagai jenis sekolah yang memiliki karakteristik berbeda-beda, serta gambaran
yang lebih mendalam tentang kondisi dunia pendidikan di Indonesia. Metode wawancara semi-
terstruktur dipandang lebih tepat karena dugaan-dugaan yang dimiliki pada saat wawancara dapat
ditanyakan dan dijabarkan dengan lebih rinci, juga pertanyaan dapat dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan penelitian.
3.3 Sekolah Sampel
Penelitian dilakukan pada jenjang SMA di mana terjadi proses pemilihan program
pengajaran yang pada saat penelitian dilakukan terjadi pada kenaikan kelas, dari kelas X ke kelas
49
XI. Sekolah-sekolah dipilih untuk mewakili karakteristik tertentu yang khas sehingga dapat
ditangkap sejumlah keragaman sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Sekolah-sekolah yang
dipilih untuk dijadikan sampel adalah sekolah-sekolah yang berada di wilayah Jabotabek. dan
sekitarnya.
Sekolah-sekolah yang dipilih untuk dijadikan sampel adalah sebagai berikut.
3.3.1 Sekolah-Sekolah Nasional
1. SMA Negeri 35. Sekolah negeri ini terletak di kawasan berpenduduk dari kelas ekonomi
menengah-bawah di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat. SMA Negeri 35 adalah sekolah
yang memiliki ―indeks efektivitas‖51
yang sangat baik, yang artinya dengan kualitas
masukan murid-murid yang sangat minim, sekolah ini bisa menghasilkan murid-murid
berprestasi sangat tinggi sehingga menjadi sekolah unggulan nasional bersama dengan
sekolah-sekolah lain yang kebanyakan memiliki murid dari kalangan menengah-ke-atas.
SMA Negeri 35 adalah salah satu dari sekolah-sekolah negeri yang sebelumnya
dipandang masyarakat sebagai sekolah kalangan bawah yang tidak mampu menghasilkan
murid berkualitas, tetapi dalam tahun-tahun belakangan ini pamornya terus meningkat
dengan pesat.
2. SMAK 3 BPK Penabur. Sekolah Kristen yang terletak di daerah Senen, sekolah ini terkenal
karena dikenal memiliki program pengajaran yang berimbang antara IPA dan IPS.
Keunggulan akademis serta prestasi yang merata di berbagai bidang, baik sains, ekonomi,
maupun olahraga merupakan kekuatan SMAK 3 BPK Penabur.
SMAK 3 BPK Penabur adalah salah satu sekolah yang sudah lama dikenal sebagai
sekolah papan atas di antara sekolah-sekolah lainnya di DKI Jakarta dalam prestasi
akademik dan dapat dijangkau oleh keluarga-keluarga kelas ekonomi menengah.
50
3. Sekolah Pelita Harapan Bukit Sentul. Sekolah yang terletak di daerah Bogor ini adalah
sekolah nasional plus yang sangat eksklusif yang menyelenggarakan program studi
berkurikulum International Baccalaureate (IB Curriculum) maupun kurikulum nasional.
4. SMA Katholik Tarakanita 1. SMA bergengsi khusus murid perempuan, walaupun terletak
di kawasan yang sangat rawan banjir tetapi peminat SMA ini sangat banyak. Sekolah ini
dikenal karena pembentukan karakter kepemimpinan pada murid-muridnya, banyaknya
pilihan kegiatan ekstra-kurikuler tanpa menomorduakan pelajaran serta pengembangan jiwa
kepemimpinan yang kuat.
SMA Katholik Tarakanita 1 adalah salah satu di antara sekolah-sekolah Katholik
yang secara tradisional dikenal sebagai sekolah-sekolah unggulan dengan spektrum
pendidikan yang holistik.
5. Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti. Sekolah Katholik campuran antara murid laki-
laki dan perempuan di mana diselenggarakan juga pendidikan para calon imam. Sekolah ini
dikenal sebagai sekolah milik ordo Yesuit dari Gereja Katholik Roma yang memiliki
perhatian baik kepada pembentukan keunggulan di bidang IPA maupun ilmu-ilmu
sosialnya.
6. SMA Kristen Ketapang I. Selama beberapa puluh tahun terakhir sekolah-sekolah Kristen di
Indonesia, baik Protestan maupun Katholik, dikenal sebagai sekolah-sekolah berkualitas
unggul, walaupun menggunakan kurikulum nasional. Tetapi dalam tahun-tahun terakhir
sekolah-sekolah ini mulai dikalahkan dalam pamornya oleh pendatang-pendatang baru
yang menyodorkan kurikulum internasional. SMA Kristen Ketapang I adalah salah satu
sekolah tradisional ini yang hingga saat ini menggunakan kurikulum nasional Indonesia
tanpa adanya diferensiasi lainnya yang khas.
51
3.3.2 Sekolah-Sekolah Internasional
1. Deutsche Internationale Schule. Sekolah berkurikulum nasional Jerman di Indonesia yang
juga menyelenggarakan Trilingual School dengan penggunaan bahasa 85% bahasa Jerman :
10% bahasa Inggris : 5% bahasa Indonesia yang saat penelitian dilakukan baru dibuka
hingga kelas III SD. Sekolah Jerman dikenal karena pendidikan holistiknya yang melihat
semua bidang studi dalam kaitan yang saling menyokong satu dengan lainnya. DIS terletak
di daerah BSD, Tangerang.
2. Lycée International Français. Sekolah berkurikulum Prancis di Indonesia, seluruh proses
belajar menggunakan bahasa Prancis. Sekolah Prancis dikenal karena penekanannya pada
ilmu-ilmu sosial tetapi juga karena elitismenya, sikap yang sangat membanggakan latar
belakang pendidikan seseorang.
3.4 Responden
Di masing-masing sekolah peneliti meminta kepala sekolah memilihkan empat orang
responden, terdiri dari dua orang guru dan dua orang murid. Untuk guru-guru, jika
memungkinkan maka kedua guru yang diwawancarai adalah wakil kepala sekolah bidang
kurikulum dan seorang guru bimbingan karier. Untuk murid-murid, jika memungkinkan maka
yang diwawancarai adalah seorang murid kelas XII IPA dan seorang murid kelas XII IPS atau
kelas XII Bahasa.
Mengingat wawancara dilaksanakan ketika banyak sekolah sudah mulai mempersiapkan
diri menghadapi ujian nasional, jika sekolah tidak mengizinkan dilakukan wawancara terhadap
murid kelas XII maka wawancara akan dilakukan terhadap murid kelas XI dengan prioritas yang
sama seperti dijabarkan di atas. Jika ternyata karena satu dan lain hal sekolah tidak bisa
52
mengizinkan wawancara baik dengan murid kelas XII maupun kelas XI, tidak tertutup
kemungkinan wawancara akan dilakukan dengan murid kelas X.
3.5 Pokok-Pokok Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan di Bab I dan landasan teori yang
dipaparkan di Bab II, maka pokok-pokok penelitian yang akan digunakan sebagai landasan
penyusunan pedoman wawancara adalah sebagai berikut:
1. Tujuan murid bersekolah dan persepsi terhadap tujuan penyelenggaraan sekolah.
2. Persepsi kebernilaian ilmu-ilmu – IPA, IPS dan Bahasa – pada saat pemilihan program
pengajaran
a) Persepsi terhadap kualifikasi guru-guru masing-masing program pengajaran secara
komparatif.
b) Persepsi terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan dalam kaitannya dengan program
pengajaran yang dijalani oleh seorang murid.
c) Korelasi antara program pengajaran yang dipelajari di SMA dengan jurusan yang
ditempuh saat masuk ke jenjang Perguruan Tinggi.
d) Kemampuan untuk berhasil secara akademik di sekolah yang sama, pada program
pengajaran yang berbeda.
3. Peranan studi formal yang ditempuh dalam mencapai cita-cita.
4. Persepsi terhadap peran pemerintah dalam mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap
ilmu-ilmu dan berbagai pilihan program pengajaran yang tersedia.
53
3.6 Pertanyaan Wawancara
Berdasarkan pokok-pokok penelitian di atas, maka dikembangkanlah pertanyaan-
pertanyaan wawancara berikut.
3.6.1 Pertanyaan Wawancara kepada Guru di Sekolah Nasional
1. Tujuan murid bersekolah dan persepsi terhadap tujuan penyelenggaraan sekolah.
a) Apakah komunitas sekolah ini memiliki ciri khas demografis tertentu?
b) Pada umumnya, apa tingkat pendidikan terakhir para orang tua murid?
c) Dari interaksi Anda dengan orang tua murid, apakah orang tua murid memahami
seluk-beluk dunia persekolahan dan memiliki perencanaan yang matang terhadap
pendidikan anaknya?
d) Dari pengamatan Anda, adakah korelasi antara tingkat pendidikan terakhir orang tua
murid dengan keterlibatan mereka dalam pendidikan anaknya? Jika Anda menjawab
‗Ya‘, bagaimana korelasinya?
e) Bagaimana hubungan kerjasama pihak sekolah dengan orang tua murid: apakah orang
tua murid membiarkan sekolah menyelenggarakan pendidikan tanpa ikut campur;
atau sekedar terlibat sejauh sekolah mengundang orang tua untuk terlibat tetapi orang
tua tidak berinisiatif untuk terlibat; atau orang tua berinisiatif untuk terlibat dalam
berbagai ranah kehidupan persekolahan anaknya?
2. Persepsi kebernilaian ilmu-ilmu – IPA, IPS dan Bahasa – pada saat pemilihan program
pengajaran.
a) Menurut Anda, apakah ilmu-ilmu alam dan sosial sama pentingnya dalam
pendidikan?
54
b) Menurut Anda, adakah perbedaan tingkat kualifikasi kompetensi guru-guru IPA, IPS
maupun Bahasa untuk diterima di sekolah ini? Adakah guru-guru IPA, IPS dan
Bahasa memiliki kompetensi yang setara dalam bidang keilmuannya masing-masing?
c) Adakah bidang studi tertentu yang disegani oleh murid-murid karena tingkat
kesulitannya untuk dikuasai dibandingkan bidang studi lainnya? Adakah guru bidang
studi tertentu yang disegani karena bidang studi yang diampunya? Atau, dalam
pengertian yang sama, adakah guru bidang studi yang dipandang remeh baik oleh
kolega maupun oleh muridnya karena bidang studi yang diampunya?
d) Sejauh mana peran guru BK dalam proses pemilihan program pengajaran oleh murid-
murid dalam kenaikan kelas dari kelas X ke kelas XI? Sejauh mana guru BK terlibat,
baik dengan murid-murid maupun dengan orang tua mereka, untuk memberikan
pemahaman terhadap proses yang tengah dijalani dan dampak-dampaknya terhadap
studi, kelanjutan studi dan peluang kerja setelah lulus dari SMA/Perguruan Tinggi?
e) Adakah kaitan antara pemilihan program pengajaran tertentu oleh murid-murid
dengan bidang pekerjaan yang hendak ditekuninya kelak? Jika Anda menjawab ‗Ya‘,
apa kaitannya?
f) Jika seorang murid berhasil secara akademik dalam program pengajaran IPA, apakah
ia pasti berhasil juga dalam program IPS? Dan vice versa?
3. Menurut Anda, apakah ada peranan pemerintah dalam mengarahkan murid-murid dan
orang tua mereka untuk memilih salah satu program pengajaran? Jika Anda menjawab
‗Ada‘, apa peranan itu? Apakah ada peranan lain yang Anda harapkan dari pemerintah?
55
3.6.2 Pertanyaan Wawancara kepada Murid di Sekolah Nasional
1. Tujuan murid bersekolah dan persepsi terhadap tujuan penyelenggaraan sekolah.52
a) Dari interaksi Anda dengan teman-teman Anda, apakah menurut Anda orang tua
murid di sekolah ini memahami seluk-beluk dunia persekolahan dan memiliki
perencanaan yang matang terhadap pendidikan anaknya?
b) Dari pengamatan Anda, adakah korelasi antara tingkat pendidikan terakhir orang tua
murid dengan keterlibatan mereka dalam pendidikan anaknya? Jika Anda menjawab
‗Ya‘, sejauh apa?
c) Bagaimana hubungan kerjasama pihak sekolah dengan orang tua murid: apakah orang
tua murid membiarkan sekolah menyelenggarakan pendidikan tanpa ikut campur;
atau sekedar terlibat sejauh sekolah mengundang orang tua untuk terlibat tetapi orang
tua tidak berinisiatif untuk terlibat; atau orang tua berinisiatif untuk terlibat dalam
berbagai ranah kehidupan persekolahan anaknya?
2. Persepsi kebernilaian ilmu-ilmu – IPA, IPS dan Bahasa – pada saat pemilihan program
pengajaran.
a) Menurut Anda, apakah ilmu-ilmu alam dan sosial sama pentingnya dalam
pendidikan?
b) Menurut Anda, adakah perbedaan tingkat kualifikasi kompetensi guru-guru IPA, IPS
maupun Bahasa untuk diterima di sekolah ini? Adakah guru-guru IPA, IPS dan
Bahasa memiliki kompetensi yang setara dalam bidang keilmuannya masing-masing?
c) Adakah bidang studi tertentu yang disegani oleh murid-murid karena tingkat
kesulitannya untuk dikuasai dibandingkan bidang studi lainnya? Adakah guru bidang
studi tertentu yang disegani karena bidang studi yang diampunya? Atau, dalam
56
pengertian yang sama, adakah guru bidang studi yang dipandang remeh baik oleh
kolega maupun oleh muridnya karena bidang studi yang diampunya?
d) Sejauh mana peran guru BK dalam proses pemilihan program pengajaran oleh murid-
murid dalam kenaikan kelas dari kelas X ke kelas XI? Sejauh mana guru BK terlibat,
baik dengan murid-murid maupun dengan orang tua mereka, untuk memberikan
pemahaman terhadap proses yang tengah dijalani dan dampak-dampaknya terhadap
studi, kelanjutan studi dan peluang kerja setelah lulus dari SMA/Perguruan Tinggi?
e) Adakah kaitan antara pemilihan program pengajaran tertentu oleh murid-murid
dengan bidang pekerjaan yang hendak ditekuninya kelak? Jika Anda menjawab ‗Ya‘,
apa kaitannya?
f) Jika seorang murid berhasil secara akademik dalam program pengajaran IPA, apakah
ia pasti berhasil juga dalam program IPS? Dan vice versa?
3. Peranan studi formal yang dijalani di SMA dalam mencapai cita-cita hidup.
a) Adakah satu hal besar yang menjadi cita-cita hidup Anda, yang ingin Anda kejar
dengan seluruh hidup Anda?
b) Bagaimana Anda memandang peranan studi formal yang Anda jalani ini dalam
mencapai cita-cita hidup Anda: apakah studi ini memang dibutuhkan untuk mencapai
cita-cita itu? Atau Anda menjalani studi ini sekedar sebagai kewajiban dan karena
tidak mengetahui adanya pilihan lain? Apakah sebenarnya ada bidang studi atau
program pengajaran lain yang lebih sesuai dengan cita-cita Anda tetapi karena satu
dan lain hal Anda tidak bisa menekuni bidang studi atau program pengajaran itu?
c) Jika Anda menjawab yang terakhir (―korban-berpengetahuan‖), ketika halangan yang
ada sudah berlalu, apakah Anda akan kembali kepada cita-cita Anda? Jika Anda
57
menjawab ‗Ya‘, bagaimana Anda berencana mengatasi kesenjangan yang diakibatkan
oleh jalur pendidikan yang tengah Anda tempuh ini?
4. Menurut Anda, apakah ada peranan pemerintah dalam mengarahkan murid-murid dan
orang tua mereka untuk memilih salah satu program pengajaran? Jika Anda menjawab
‗Ada‘, apa peranan itu? Apakah ada peranan lain yang Anda harapkan dari pemerintah?
3.6.3 Pertanyaan Wawancara kepada Guru dan Murid di Sekolah Internasional
1. Bagaimana pembagian jurusan di sekolah Anda dilakukan?
2. Apa yang menjadi pembeda utama antara jurusan-jurusan yang tersedia?
3. Bagaimana sikap murid dan orang tua murid terhadap jurusan-jurusan yang tersedia ini?
4. Apa hubungan antara jurusan-jurusan yang disediakan ini dengan peluang murid-murid di
jurusan yang bersangkutan untuk melanjutkan studi dan untuk bekerja?
5. Apa yang menjadi ciri khas sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah Anda ini?
3.7 Pengolahan Data
Hasil wawancara yang diperoleh akan ditranskrip, kemudian dari hasil wawancara itu akan
disarikan pendapat masing-masing responden yang dikelompokkan ke dalam masing-masing
pertanyaan penelitian. Berdasarkan masing-masing pokok penelitian tersebut akan dilihat pola-
pola yang muncul antara berbagai sekolah Indonesia dan juga keragaman yang terjadi di antara
sekolah-sekolah tersebut.
Dari hasil perbandingan di antara sekolah-sekolah Indonesia tersebut kemudian akan dicoba
untuk disimpulkan suatu pola sikap guru dan murid yang diteliti terhadap sekolah dan ilmu-ilmu
sosial. Hasil ini kemudian akan dibandingkan dengan sikap yang nampak dari wawancara dengan
para responden di sekolah Jerman dan sekolah Prancis.
58
Perbedaan yang nampak kembali akan diperbandingkan dengan idealisme yang telah
dipaparkan di atas dalam pendekatan psikologi Gestalt maupun filsafat ide kosmonomis. Dari
hasil yang nampak, akan disimpulkan posisi sekolah-sekolah Indonesia terhadap ilmu-ilmu sosial
serta dirumuskan apa yang menjadi kerugian potensial yang tengah diderita oleh sekolah-sekolah
di Indonesia dengan sikapnya itu.
Kesimpulan kemudian akan ditarik dan saran-saran diajukan untuk perbaikan sistem
pendidikan nasional di Indonesia. Kini kita akan beralih ke Bab IV, kepada data yang diperoleh
dari hasil wawancara ini.
59
BAB IV
DATA HASIL PENELITIAN
4.1 Pendahuluan
Di dalam bab ini, data hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk intisari hasil wawancara
per sekolah. Berdasarkan jawaban-jawaban yang diperoleh dari hasil wawancara dengan dua
orang guru dan dua orang murid di masing-masing sekolah sebagaimana telah dipaparkan di atas,
maka data akan disajikan secara naratif menurut indikator-indikator yang disajikan pada Bab III.
Jika ada temuan-temuan yang menarik dari hasil wawancara, hal itu akan dipaparkan dalam bab
ini. Begitu pula jika ada kesenjangan-kesenjangan yang terungkap dari antara wawancara-
wawancara yang dilakukan terhadap keempat responden di satu sekolah.
Untuk memudahkan perujukan, setiap responden akan diberikan nomor indeks yang
merujuk kepada indeks sekolahnya dan indeks pribadi responden. Angka ―1‖ pada posisi kedua
indeks R11, R12, R13, dan R14 menunjukkan bahwa keempat responden ini adalah responden-
responden dari sekolah pertama, sedangkan angka-angka di posisi ketiga merupakan indeks
individunya. Dua angka pertama (R11, R12) digunakan untuk guru dan dua angka berikutnya
(R13, R14) digunakan untuk murid. Hal yang sama berlaku untuk sekolah kedua (R21, R22, R23,
R24) hingga sekolah kedelapan (R81, R82, R83, R84). Transkrip wawancara secara lengkap
tersedia pada Lampiran A. Kode P pada transkrip berarti ―peneliti‖.
60
4.2 Wawancara di Sekolah-Sekolah Nasional
4.2.1 Wawancara di SMA Negeri 35
Guru-guru yang menjadi responden di SMA Negeri 35 adalah Wakil Kepala Sekolah
bidang Kurikulum (R11) dan seorang guru BK (R12), sedangkan murid-murid yang menjadi
responden adalah seorang murid kelas XII IPS (R13) dan seorang murid kelas XII Bahasa (R14).
Kombinasi kedua jurusan ini dipilih karena tidak adanya murid kelas XII IPA yang bisa
diwawancarai sehubungan dengan jadwal pelajaran dan persiapan ujian yang tengah
dilaksanakan.
4.2.1.1 Keadaan Sekolah
Karena sekolah ini terletak di daerah permukiman kelas menengah ke bawah, maka murid-
murid yang bersekolah di sekolah ini pun sebagian besar berasal dari kelas menengah ke bawah.
Secara keseluruhan hanya sekitar 5% dari murid yang berasal dari keluarga mampu dan 40-45%
dari lulusan sekolah ini yang mampu melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi. Di antara
profesi orang tua muridnya, terdapat profesi-profesi seperti tukang ojek, pembantu rumah tangga,
dan pedagang kali lima. Ada juga orang tua murid yang berpendidikan sarjana, walaupun sangat
jarang.
Bagi kebanyakan murid yang disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah ini, kemungkinan
besar jenjang SMA ini adalah jenjang pendidikan tertinggi yang mereka tempuh. Bagi
kebanyakan dari mereka, orang tua mereka tidak akan mampu membiayai pendidikan lebih jauh
dan mereka akan harus menafkahi diri mereka sesudah lulus dari SMA. Bagi 5% yang berasal
dari keluarga mampu, mereka dapat mengandalkan orang tua mereka untuk membiayai kuliah
sementara bagi mereka yang tidak berasal dari keluarga mampu tetapi ingin kuliah, mereka
61
meletakkan harapannya untuk dapat melanjutkan kuliah pada tersedianya jalur PMDK atau
beasiswa. Kedua kelompok inilah yang membentuk angka 40-45% yang disebutkan di atas.
4.2.1.2 Tujuan Bersekolah
Bagi murid-murid yang jelas-jelas orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan lebih
lanjut dan juga sulit mengharapkan beasiswa, studi mereka adalah sebuah upaya terakhir untuk
memperoleh ijazah setinggi-tingginya untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik ketika
mereka harus menafkahi dirinya sendiri kelak. Mempelajari ilmu-ilmu yang disodorkan di
sekolah adalah persoalan nomor dua.
Kondisi keluarga para murid sangat mempengaruhi keadaan ini. Tingginya persentase
orang tua yang berpendidikan rendah dan memiliki pekerjaan kasar berarti tidak ada orang-orang
berpendidikan di rumah mereka yang bisa membantu mengarahkan mereka untuk membuat
perencanaan bagi masa depan mereka sendiri. Kondisi rumah yang memprihatinkan dan dihuni
oleh jumlah orang yang banyak membuat suasana yang mereka jumpai di luar sekolah tidaklah
kondusif pula untuk belajar. R11 menyebutkan bagaimana ada murid-murid yang hidup di
bantaran kali dengan ukuran rumah yang hanya separuh ruang kelas mereka dan ditinggali
bersama oleh enam orang anggota keluarga.
Orang tua murid, dengan segala keterbatasannya, juga melihat bahwa sekolah adalah
sebuah oasis dalam kehidupan mereka, sebuah harapan bagi masa depan anak mereka dalam dua
segi. Segi yang pertama, dengan kehadiran SMA Negeri 35, mereka memperoleh akses kepada
pendidikan yang baik dengan biaya yang sangat terjangkau. Ada murid-murid yang bersekolah
dengan uang sekolah di bawah biaya rata-rata dan bahkan secara gratis. Dengan demikian mereka
mengharapkan anak-anak mereka akan dapat memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik
daripada diri mereka sendiri. Segi yang kedua, orang tua juga mengatakan kepada guru-guru
62
bahwa lebih baik anak mereka bersekolah daripada menganggur dan tidak ada pekerjaan serta
memiliki pergaulan yang salah. Jadi, sekolah juga dipandang sebagai sebuah alternatif
penyelamat dari kemungkinan pergaulan yang salah di masa remaja anak-anak mereka.
Kedua guru yang diwawancarai adalah guru-guru senior yang keduanya telah mengajar di
sekolah ini sejak tahun 1981. Mereka telah melihat SMA Negeri 35 beranjak dari sekolah yang
murid-muridnya sering terlibat perkelahian hingga menjadi sekolah unggulan. Menurut R11
penyelenggaraan pendidikan di sekolah ini memiliki tanggung jawab yang lebih daripada sekedar
memberikan ilmu sesuai tuntutan kurikulum. Di satu sisi, di sekolah ini sudah diciptakan sebuah
proses belajar yang luar biasa di mana murid-murid yang masuk dalam keterbatasan prestasinya
bisa dibina sehingga pada saat kelulusan prestasinya terbukti sebanding dengan SMA-SMA yang
memiliki masukan murid-murid dari kelas menengah-atas seperti SMA Negeri 70 dan 78.
Bahkan, ada seorang murid yang orang tuanya hanya tukang cuci berhasil dibina hingga menjadi
juara di tingkat olimpiade.
Tetapi itu tidaklah cukup bagi guru-guru di sekolah ini. Menyadari bahwa suatu jumlah
yang signifikan dari anak-anak murid mereka ini tidak akan melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, mereka pun membekali murid-murid ini dengan keterampilan praktis seperti
teknik-teknik reparasi alat-alat elektronik sehingga memberikan mereka bekal tambahan dalam
upaya mereka untuk hidup mandiri di tengah keterbatasan orang tua mereka.
Jadi, sejauh ini kita melihat bahwa tujuan penyelenggaraan sekolah di SMA Negeri 35 ini
sangat beragam dilihat dari berbagai kacamata pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Para orang
tua berpikir ini adalah harapan bagi anak mereka untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik,
tetapi juga sebagai pengaman agar anak mereka jangan sampai terjatuh ke pergaulan yang salah.
Di antara murid-murid ada yang bisa melihat masa SMA ini dalam kaitannya dengan rencana
masa depan mereka, tetapi ada juga yang hanya melihat pentingnya ijazah yang akan diperoleh
63
sebagai kunci untuk membuka kesempatna memperoleh penghidupan yang lebih baik. Bagi para
guru, ini adalah bentuk tanggung jawab mereka untuk membina murid yang mereka terima
dengan kualitas akademik yang terbatas di kelas X menjadi murid-murid unggulan di kelas XII,
tetapi juga secara realistis dibekali dengan keterampilan praktis karena sebagian besar dari murid-
murid ini akan langsung memasuki dunia kerja selepas SMA.
4.2.1.3 Kebernilaian Ilmu-Ilmu
Saat berbicara mengenai persepsi terhadap kebernilaian ilmu-ilmu, pendapat yang
diutarakan terbagi ke dalam dua kelompok. R12 menyetujui pandangan umum bahwa IPA secara
inheren lebih unggul sehingga menjadi lebih bergengsi dibandingkan IPS. Hal ini, menurutnya
terlihat dari keunggulan murid-murid IPA di dalam bernalar dan berpikir secara sistematis,
sementara murid-murid IPS cenderung lebih lambat di dalam berpikir.
Seorang murid, R14, ketika ditanyakan pertanyaan-pertanyaan seputar inferioritas ilmu-
ilmu sosial mengatakan bahwa IPA, IPS dan Bahasa sama saja, tetapi di dalam jawaban-jawaban
yang diutarakannya sejumlah ketidaksinkronan. Misalnya, ketika ditanyakan apakah di antara
teman-temannya di jurusan Bahasa ini ada yang disesalkan orang tuanya karena masuk jurusan
Bahasa, ia menjawab bahwa tidak ada. Tetapi, ketika ditanyakan apakah ada di antara teman-
temannya yang dipaksa orang tuanya pindah ke jurusan lain, ia menjawab, ―Ada. Banyak.‖
Nampaknya, ketidaksinkronan yang terjadi disebabkan oleh lemahnya penguasaan bahasa oleh
siswa ini dan terbatasnya kosa katanya. Ketika ditanya apakah ada perasaan terbuang di antara
murid-murid jurusan Bahasa, ia menjawab, ―Pertamanya, ya. Terus dirembukin, dibuat kayak …
gimana sih, pokoknya kita nggak boleh kalah … gitu deh.‖ Kendati jawaban yang diberikan oleh
R14, dari keseluruhan wawancara nampak bahwa sebenarnya keunggulan jurusan IPA
64
dibandingkan jurusan lainnya terasa, tetapi hal itu dicoba untuk disangkalinya karena ia adalah
bagian dari mereka yang merasa terbuang itu.
Pandangan lainnya, diutarakan oleh responden-responden R11 dan R13, menyatakan bahwa
di masyarakat umum memang pandangan itu ada dan di dalam komunitas sekolah pun ada, tetapi
tugas merekalah sebagai guru dan sebagai murid jurusan IPS untuk membuktikan bahwa
anggapan itu tidak benar. Mereka memandang bahwa komunitas sekolah tidak sepatutnya
menjadi korban dari label-label yang diberikan oleh pihak di luar sekolah.
SMA Negeri 35 memiliki komposisi guru yang proporsional, terdiri dari guru-guru senior
yang sudah mengajar 30-an tahun dan guru-guru yang muda pula. Sebagian besar dari guru-guru
muda yang diterima adalah para alumni dari SMA ini juga. Dari para murid didapati bahwa tidak
terjadi perbedaan persepsi terhadap kualitas guru-guru IPA, IPS dan Bahasa. Setiap guru dihargai
sebagai profesional-profesional yang kompeten dalam mata pelajaran yang diampunya. Maka,
faktor guru pun tidak mempengaruhi keputusan seorang murid maupun orang tuanya ketika
memilih jurusan di kelas X.
Ketika ditanyakan apakah benar kalau dikatakan, ―IPA bernalar, IPS menghafal,‖ hanya
R12 yang menyetujuinya sedangkan responden yang lain menyangkalnya. Mereka berpendapat
bahwa walaupun pelajaran IPS didominasi dengan menghafal tetapi banyak ada pelajaran-
pelajaran tertentu seperti Ekonomi dan Akuntansi yang membutuhkan penalaran yang berbeda
dari penalaran yang diajarkan di IPA. Lagi-lagi, kecuali R12, para responden beranggapan bahwa
IPA dan IPS memiliki bidang keahlian yang berbeda sehingga tidak bisa disamaratakan bahwa
dalam segala hal murid-murid jurusan IPA bisa dikatakan lebih hebat daripada murid-murid
jurusan IPS.
65
4.2.1.4 Peranan Studi dalam Meraih Cita-Cita
Pada saat pemilihan jurusan, ternyata kebanyakan murid belum memiliki gambaran yang
jelas ke mana ia akan melanjutkan studinya atau bagaimana jurusan yang dipilihnya bisa
membantu dia untuk menekuni bidang pekerjaan tertentu. Kedua murid yang diwawancarai,
hingga di kelas XII saat wawancara terjadi, juga belum memutuskan jurusan apa yang akan
diambilnya saat memasuki dunia Perguruan Tinggi. Pemilihan jurusan di Perguruan Tinggi
nampaknya memang terjadi pada kurun waktu yang sangat akhir dari masa studi seorang murid di
SMA. Tetapi, dari data alumni ditemui bahwa para murid dari jurusan IPA pun banyak yang
kemudian masuk ke fakultas ekonomi, suatu jurusan yang sebenarnya bisa diraih dengan
mengambil jurusan IPS di SMA.
Dari kedua orang murid yang diwawancarai, R13 dan R14 memiliki sikap dan harapan
yang berbeda terhadap sekolah. R13 memiliki orang tua yang mampu mengarahkan dia untuk
menimbang-nimbang berbagai kemungkinan studi lanjutan sejak dini sehingga ia sudah memiliki
perencanaan yang baik terhadap kelanjutan studinya dan bisa melihat studinya di SMA ini
sebagai bagian dari rencana masa depannya. R14, sebaliknya, pada kelas XII pun tidak bisa
menjabarkan dengan baik rencananya dan bagaimana ia melihat masa studinya ini sebagai
sesuatu yang penting untuk mendukung kehidupannya di masa mendatang. R14 memandang
bahwa yang penting adalah memperoleh ijazah. Setelah itu, selebihnya urusan belakangan. Ia
juga tidak melihat perlunya ada kesinambungan antara kuliah yang hendak ditempuhnya dengan
bidang pekerjaan yang hendak ia jalani.
4.2.1.5 Peran Pemerintah
Peran pemerintah di dalam pendidikan, menurut para responden, yang paling nyata adalah
seringnya pemerintah mengubah-ubah kurikulum dan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak
66
berpijak pada kenyataan dunia pendidikan. Pemerintah nampaknya juga tidak mempunyai
rencana jangka panjang terhadap pengelolaan kurikulum dari jurusan-jurusan yang ada dengan
tujuan yang lebih luas di luar dunia pendidikan. Pendidikan dikondisikan pemerintah lebih
sebagai sarana diseminasi informasi daripada sarana pembentukan pola pikir.
4.2.2 Wawancara di SMAK 3 BPK Penabur
Guru-guru yang diwawancarai adalah Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum (R21) dan
seorang guru senior (R22), sedangkan murid-murid yang diwawancarai adalah murid kelas XII
IPS (R23) dan kelas XII IPA (R24).
4.2.2.1 Keadaan Sekolah
Sekolah ini terletak di daerah Senen dan demografi orang tua muridnya kebanyakan adalah
para pengusaha yang berhasil dalam dunia bisnis, tetapi mereka sendiri tidak memiliki
pendidikan yang terlalu tinggi. Hal ini menimbulkan kombinasi tersedianya dana yang memadai
bagi anak-anak mereka untuk memperoleh sumber-sumber belajar yang baik dan juga peluang
untuk melanjutkan studi ke universitas-universitas yang baik, sementara para orang tua murid itu
sendiri kurang memahami seluk-beluk dunia pendidikan.
4.2.2.2 Tujuan Bersekolah
Dengan kondisi demografi di atas, maka tujuan pendidikan yang didapat dari para guru
maupun murid di sekolah ini sangat seragam: untuk mempersiapkan murid memasuki dunia
Perguruan Tinggi. Semua murid SMAK 3 BPK Penabur melanjutkan studinya ke jenjang
Perguruan Tinggi. Yang menjadi pertanyaan bagi murid-murid ini adalah ke jurusan apa dan di
universitas mana mereka harus melanjutkan studi mereka.
67
Murid-murid memilih jurusan mereka saat kenaikan kelas dari kelas X ke kelas XI. Di awal
tahun ajaran orang tua sudah diinformasikan apa persyaratan murid untuk masuk ke masing-
masing jurusan. Sepanjang tahun ajaran, ―dalam kondisi normal‖, orang tua bertemu dengan
pihak sekolah sebanyak tiga kali: pada saat pembagian rapor tengah semester ganjil, pembagian
rapor semester ganjil dan pembagian rapor tengah semester genap. Dalam masa itu wali kelas
maupun guru BK telah memiliki kesempatan berulang kali mendiskusikan perkembangan murid.
Sekolah ini menyediakan satu orang guru BK untuk masing-masing angkatan sehingga seorang
murid akan memiliki satu orang guru BK selama masa studinya yang terus memperhatikan dia
dan memantau perkembangannya. Pada saat penjurusan diadakan pada kenaikan kelas X ke kelas
XI, pendekatan yang bertahap ini diharapkan sudah cukup baik untuk menentukan jurusan terbaik
untuk murid.
4.2.2.3 Kebernilaian Ilmu-Ilmu
Satu hal yang unik di SMAK 3 BPK Penabur ini menjadi nyata melalui tiga dari empat
responden, yaitu R21, R22 dan R23, ialah keengganan murid-murid untuk mengambil jurusan
IPA. Baik R21 yang adalah guru Ekonomi maupun R22 yang adalah guru Biologi menyayangkan
banyaknya murid-murid yang sebenarnya berbakat di dalam pelajaran-pelajaran sains tetapi
memilih masuk IPS karena pendekatan mereka yang ―sangat realistis‖, yaitu mereka sudah tahu
bahwa akan melanjutkan studi ke fakultas ekonomi atau ke fakultas-fakultas lain yang tidak
membutuhkan pendidikan di jurusan IPA, sehingga mereka bisa lebih fokus sejak awal dan juga
mereka tidak perlu melalui tuntutan jurusan IPA yang lebih berat. R23 adalah salah satu murid
semacam itu, yang sebenarnya disarankan untuk masuk ke jurusan IPA tetapi malah memilih IPS.
Tetapi di sisi lain tak disangkali, ada juga murid-murid yang ingin masuk ke jurusan IPA
tetapi tidak diterima. R21 mengatakan:53
68
R21 : Kita harus sadar juga ya, ini istilahnya kan adaptasi juga. Kita juga musti tahu diri.
Tujuannya dia masuk sekolah itu pasti, siapa pun dia, ditanya maunya ke mana, pasti
jawabnya mau ke IPA. Kenapa? Karena IPA itu kan pilihannya jauh lebih leluasa
dibanding kalau dia IPS.
Hal itu jugalah yang diutarakan oleh R24, bahwa pada saat ia di kelas X ia ingin masuk IPA
bukan karena ia sudah yakin akan kuliah Kedokteran seperti halnya pada saat wawancara ini
dilangsungkan, tetapi karena dengan masuk ke jurusan IPA ia akan memiliki pilihan jurusan yang
lebih luas. R24 bahkan mengatakan nampaknya memang murid-murid yang memilih jurusan IPA
banyak yang belum tahu ia akan melanjutkan studinya ke bidang apa sehingga mereka masuk ke
jurusan IPA semata-mata sebagai pengaman agar ketika mereka mengetahui di mana bakat dan
minatnya mereka bisa menempuh bidang itu.
Menilik persepsi terhadap kebernilaian IPA dan IPS, R21 mengungkapkan bahwa fakta
yang tak terhindarkan adalah, ―Kalau kamu mau masuk IPA dan nggak bisa, kemudian kamu lari
ke IPS, kamu itu anak buangan.‖54
Tetapi itu tidak berarti bahwa IPS itu secara inheren adalah
jurusan buangan. IPA dan IPS adalah jurusan yang masing-masing memiliki wilayah
keilmuannya sendiri. Ditilik dari guru-gurunya, nampak bahwa murid-murid menghargai semua
guru secara setara. Baik guru-guru IPA maupun IPS dipandang sebagai guru-guru yang ahli di
bidangnya. ―Masing-masing jurusan punya ‗dewa‘-nya masing-masing,‖ demikian tutur R22.
Maka, faktor guru sebagai alasan memilih atau tidak memilih jurusan tertentu tidaklah terlalu
berpengaruh.
Dengan peranan guru BK yang intensif sebagaimana dipaparkan di atas dan faktor guru
yang tidak terlalu berpengaruh dalam pemilihan jurusan, maka perhatian berikutnya diarahkan
kepada orang tua murid. Ternyata, orang tua murid memiliki peranan yang cukup berarti dalam
pemilihan jurusan. Walaupun R23 menyatakan bahwa ia sudah memilih dengan jelas ke mana ia
akan melangkah baik di SMA maupun di Perguruan Tinggi dan pilihannya itu tidak banyak
69
dipengaruhi oleh guru-guru maupun orang tuanya, tetapi ia mengakui juga bahwa kondisinya itu
tidaklah dinikmati sejumlah temannya. Ada juga teman-temannya yang dipaksa oleh orang
tuanya untuk masuk ke jurusan IPA. R24 sendiri adalah salah satu murid yang dipaksa oleh orang
tuanya untuk memilih jurusan IPA dan kemudian kuliah di Fakultas Kedokteran. Hal ini
menunjukkan masih dominannya pandangan bahwa IPA adalah pilihan yang lebih baik dalam
studi di SMA, baik ―karena gengsinya‖ sebagaimana dituturkan oleh R21 maupun karena pintu
yang lebih lebar yang dibukakannya di Perguruan Tinggi, sebagaimana dituturkan oleh R24.
4.2.2.4 Peranan Studi dalam Meraih Cita-Cita
Kondisi ekonomi SMAK 3 BPK Penabur yang cukup mapan menambahkan satu variabel
ke dalam perbincangan yang terjadi, yaitu tempat les. Tempat les menjadi substitusi sekolah bagi
sejumlah murid dan orang tua murid. Dengan dihapuskannya peraturan yang membatasi jurusan
di SMA dalam mengakses jurusan-jurusan tertentu di Perguruan Tinggi, maka murid dari jurusan
IPS pun kini boleh mengikuti tes masuk Fakultas Teknik, Fakultas Kedokteran dan semua
fakultas lainnya yang sebelumnya hanya bisa diakses dengan ijazah SMA jurusan IPA. Kondisi
ini ternyata membuat murid-murid yang tidak diterima di IPA tetapi tetap ingin masuk ke FT
maupun FK untuk menjalani studi SMA-nya di jurusan IPS sambil mengikuti bimbingan belajar
yang mempersiapkannya untuk berhasil dalam tes masuk di Perguruan Tinggi.
Dalam kondisi yang demikian, maka SMA hanya dijalani untuk mendapatkan legalitas
berupa ijazah sedangkan penguasaan materi didapat dari tempat bimbingan belajar. Bahkan, ada
pula murid yang sengaja mengambil jurusan IPS sehingga memiliki tuntutan studi yang lebih
ringan dan mengimbanginya dengan bimbingan belajar yang memberikan materi tanpa banyak
menuntut latihan dan tugas. Dituturkan oleh R22, ―Kalau memang dia punya kemampuan, tidak
70
apa-apa ya. Karena prinsip dasarnya yang katanya SMA itu memberikan dasar nggak juga kok
ya. Karena di awal masuk PT mereka semua ilmu juga dimatrikulasi lagi kan?‖55
Jadi, dapat dikatakan banyak murid masuk ke jurusan IPA karena ia belum mengetahui
dengan jelas bidang apa yang hendak ditekuninya di Perguruan Tinggi dan dalam pekerjaan.
Dengan demikian mereka masuk ke IPA untuk berjaga-jaga saja dan banyak lulusan SMA
jurusan IPA yang kemudian melanjutkan ke fakultas ekonomi. Sebaliknya, ada juga murid-murid
yang masuk ke jurusan IPS, memanfaatkan kebijakan pemerintah yang membebaskan murid dari
jurusan apa pun di SMA untuk masuk ke jurusan apa pun di Perguruan Tinggi dengan
mengkoplemenkan studinya di SMA dengan bimbingan les. Dengan kondisi ini, artinya studi di
SMA dibutuhkan terutama untuk legalitas ijazahnya, tetapi penguasaan materi yang dibutuhkan
untuk melanjutkan studi di Perguruan Tinggi dapat dilepaskan dari ―paket‖ SMA itu dan
diperoleh dari tempat lain. Kalau begitu, apa kelebihannya seorang murid masuk ke jurusan IPA?
R21 mengatakan, ―Bagaimana pun juga, logika anak IPA berbeda dengan logika anak IPS.‖
Hal ini diimbangi di SMAK 3 BPK Penabur dengan penekanan yang kuat pada analisis di
dalam pelajaran. Baik para guru maupun murid yang diwawancarai menyatakan bahwa seorang
murid yang masuk ke jurusan IPA tidak berarti dia akan bisa mengerjakan soal-soal dari jurusan
IPS sebagaimana halnya sebaliknya. R21 sendiri mengatakan bahwa walaupun logika murid IPA
lebih terlatih daripada logika murid IPS, ia katakan ia menjamin bahwa soal-soal yang
diberikannya dalam pelajaran Ekonomi dan Akuntansi tidak bisa dengan fasih dikerjakan oleh
murid IPA karena dibutuhkan pola berpikir yang berbeda, pendekatan yang bukan matematis saja
tetapi juga ekonomis dan pendekatan akuntansi.
71
4.2.2.5 Peran Pemerintah
Menurut para responden, peranan pemerintah dalam pengaturan jurusan-jurusan yang ada
di SMA maupun di Perguruan Tinggi nampak penting justru dengan pembebasan pembatasan
akses jurusan di Perguruan Tinggi berdasarkan jurusan yang ditempuh seorang murid di SMA.
4.2.3 Wawancara di Sekolah Pelita Harapan, Bukit Sentul
Guru-guru yang diwawancarai di SPH Bukit Sentul adalah Wakil Kepala Sekolah (R31)
dan seorang guru ilmu-ilmu sosial (R32), sedangkan murid-murid yang diwawancarai adalah
seorang murid kelas XII IPS (R33) dan seorang murid kelas XII IPA (R34).
4.2.3.1 Keadaan Sekolah
SPH merupakan sebuah sekolah yang sangat elit dengan fasilitas sekolah yang terletak di
lahan yang berhektar-hektar, sementara jumlah murid per angkatannya hanya sekitar 50 orang.
Hampir semua murid yang bersekolah di SPH berencana melanjutkan studinya ke luar negeri.
4.2.3.2 Tujuan Bersekolah
Kedua murid yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka dipindahkan oleh orang
tuanya dari sekolah-sekolah lain yang mereka sendiri pandang lebih berkualitas dibandingkan
sekolah ini. R33 dipindahkan oleh orang tuanya ke sekolah ini karena status sekolah ini yang
adalah sekolah nasional plus dan karena ia akan dikirimkan ke luar negeri. R34 dipindahkan oleh
orang tuanya karena terlalu banyak terlibat dalam kegiatan ekstra kurikuler di sekolah
sebelumnya dan dianggap tidak bisa menyeimbangkan waktu belajar dan waktu untuk kegiatan
ekstra kurikuler. Jalur studi kedua murid ini sudah direncanakan dengan baik oleh orang tua
72
mereka masing-masing tanpa mereka sendiri terlibat dengan terlalu aktif dan kendati mereka
berpikir bahwa sekolah mereka sebelumnya adalah sekolah yang lebih unggul.
Menurut R31, dorongan orang tua kepada anak-anaknya di sekolah ini memang sangat
kuat. Orang tua seringkali sudah menyiapkan rencana yang sangat matang untuk anaknya,
termasuk antara lain mengirimkan anaknya selepas dari sekolah ini ke universitas-universitas
yang sangat bergengsi dan sangat mahal, seperti Harvard, padahal anaknya sendiri tidak memiliki
dorongan yang sekuat itu. R32 mengutarakan pandangan yang menarik mengenai sekolahnya
sendiri bahwa kalau orang tua mencari keunggulan akademis, mereka tidak akan mengirimkan
anak mereka ke sekolah ini, suatu pandangan yang sejalan dengan penuturan kedua murid yang
diwawancara. Jadi, menurut R32, orang tua yang mengirimkan anaknya ke sekolah ini mencari
pembentukan sebuah ―visi yang khas SPH‖ yang dijabarkannya sebagai cara memandang
masalah dan upaya memecahkan masalah itu dengan melihat tanggung jawab dan kontribusi
pribadi masing-masing dalam sistem yang bermasalah.
4.2.3.3 Kebernilaian Ilmu-Ilmu
Di SPH ditawarkan kurikulum IBO (International Baccalaureate Organization) dan
kurikulum nasional Indonesia. Berdasarkan kurikulum IBO, ada MYP (middle years programme)
yang setara dengan kelas VI-X di kurikulum nasional dan DP (diploma programme) yang setara
dengan kelas XI-XII. Maka, pada tingkat SMA, murid-murid menjumpai tiga pilihan: DP, IPA
atau IPS. Dengan adanya pilihan DP, maka DP menjadi jurusan yang dipandang lebih bergengsi
dibandingkan jurusan-jurusan yang tersedia pada Kurikulum Nasional.
Dalam wawancara yang dilakukan dengan R31, nampak sangat jelas bahwa keunggulan
IPA terhadap IPS adalah suatu hal yang diterima dengan sangat baik di SPH dan tidak ada suatu
upaya yang gamblang untuk mengatasi itu. Sebagai wakil kepala sekolah, R31 menyatakan:
73
R31 : Kalau anak bisa dan dia mau, bahasa Inggrisnya dan nilai-nilainya, maka dia akan
masuk ke IB Diploma. Kalau tidak bisa, dilihat lagi apakah bisa masuk IPA. Kalau dia
tidak bisa masuk IB Diploma maupun IPA, dia akan masuk IPS. Sebetulnya itu sendiri
sudah memperlihatkan bahwa seolah-olah IPS itu pilihan ketiga.
Hal yang sama terjadi juga di masyarakat luas sehingga tidak ada sesuatu yang istimewa pada
kenyataan ini, demikian tutur R31. Ada pengecualian-pengecualian pada murid-murid yang
sebenarnya bisa masuk ke dalam DP tetapi memilih IPA atau IPS karena berencana melanjutkan
studi ke bidang-bidang yang S1-nya harus diambil di Indonesia, yaitu kedokteran dan hukum.
Murid-murid yang diwawancarai mencerminkan dengan jelas apa yang juga diutarakan
oleh guru mereka. R33 misalnya, mengutarakan bahwa IPA dan IPS sebenarnya sama-sama
menghafal: ―IPA menghafal rumus, IPS menghafal buku‖56
. Menurutnya di IB-lah terjadi
pembelajaran yang tidak mengutamakan proses menghafal. R34 menyatakan bahwa dari
pelajaran-pelajaran gabungan antara IPA dan IPS, saat pertanyaan diajukan oleh guru, murid-
murid IPA cenderung berpikir dulu sebelum menjawab sedangkan murid-murid IPS menjawab
dulu sebelum berpikir.
Persepsi keunggulan IPA dibandingkan IPS dipandang terjadi karena IPA menuntut
keahlian menghitung yang lebih tinggi dibandingkan IPS, sedangkan pelajaran IPS cenderung
hanya hafal-menghafal yang bisa dilakukan oleh semua orang. Hal ini diperkuat lagi dengan
kenyataan bahwa jika ada murid yang bermasalah di sekolah dan membutuhkan konseling, maka
konselingnya akan dilakukan di jam pelajaran IPS. R31, seorang guru Kimia, menyatakan bahwa
hal itu terjadi karena dipandang murid bisa mengejar sendiri ketertinggalannya dari sebuah
pelajaran IPS sedangkan jika murid tertinggal dari pelajaran IPA akan sulit bagi murid itu untuk
mengejar ketertinggalannya sendiri. Ia sendiri sebagai guru Kimia tidak akan mengizinkan murid
untuk dipanggil di jam pelajarannya:57
74
P : Tapi ketika ada anak yang bermasalah ....
R31 : Ya, bisa dipanggil khusus, dikonseling.
P : Pada jam tertentu? Saat pulang sekolah?
R31 : Ya biasanya kita panggil dia di jam-jam social sciences karena dianggap dia bisa
menyusul sendiri ketertinggalannya. Kalau dipanggil di jam sciences, itu kan harus
diajarkan dulu baru bisa mengerti. Saya sendiri sebagai guru Chemistry, biasanya saya
juga tidak izinkan anak dipanggil pada jam saya. Kalau anaknya sudah lemah, masih
dipanggil di jam sciences, makin kasihan dia.
Hal ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa superioritas IPA terhadap IPS diterima sebagai
kenyataan apa adanya oleh sekolah dan diperkuat pula oleh sikap guru-guru dalam praktek
pendidikan sehari-hari.
R31 berpandangan bahwa keadaan ini bisa diatasi dengan cara memberikan Matematika
kepada murid-murid jurusan IPS, satu hal yang tengah dicoba oleh pemerintah. Dengan
Matematika diajarkan dan diujikan juga pada ujian nasional untuk kelas XII IPS, maka
kesetaraan itu menjadi dapat diwujudnyatakan. Wujud nyata dari kesetaraan itu antara lain adalah
diizinkannya murid-murid lulusan IPS untuk berkuliah di Fakultas Teknik dan fakultas-fakultas
lain yang sebelumnya hanya dibatasi untuk lulusan IPA. Jadi, kesetaraan dan ketidaksetaraan itu
ada pada Matematika:58
R31 : Sekarang, kecenderungan yang terakhir ini, orang dari pemerintah mungkin berpikir
juga bahwa anak IPS tidak boleh dianggap nomor dua. Mereka juga harus tahu
Matematika. Jadi dua tahun ke belakang mereka juga diajar Matematika lagi dan tahun
ini di-ebtanas-kan lagi. Jadi sepertinya ini upaya pemerintah untuk membuat anak IPS
menjadi setara dengan anak IPA. Jadi orang dari IPS juga boleh masuk arsitektur
karena dia sudah ada Matematika. Dulunya mungkin hanya IPA yang bisa.
Sebagai sebuah sekolah dengan jumlah murid yang terbilang sedikit, guru-guru yang
mengajar di SPH mengajar lintas kurikulum: baik di IPA, IPS, maupun IB Diploma juga. Dengan
demikian tidak dapat ditanyakan bagaimana persepsi murid-murid terhadap kualifikasi guru-guru
di masing-masing jurusan. Namun, SPH tidak menuntut guru-gurunya untuk memiliki latar
belakang pendidikan formal dalam ilmu pendidikan maupun Akta 4. Bahkan, seorang guru tidak
75
perlu memiliki latar belakang pendidikan formal sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya.
R31 mengatakan yang penting adalah ketika belajar, orang mengambil dasar ilmunya dan pada
saat bekerja ia terus belajar lagi; yang lebih penting adalah kompetensi guru yang bersangkutan
di bidang itu dan apakah ia ―terus update dengan apa yang current.‖
Jadi, di SPH keunggulan IPA dibandingkan IPS adalah suatu hal yang diterima apa adanya
sebagaimana yang terjadi di masyarakat. Kondisi ini tidak dicoba untuk diperbaiki, tetapi
perbandingan tersebut tidak terlalu drastis karena adanya pilihan DP pada kurikulum IBO yang
membuat perbedaan antara IPA dan IPS menjadi tidak terlalu kentara.
4.2.3.4 Peranan Studi dalam Meraih Cita-Cita
Berbicara mengenai keterkaitan dengan lapangan pekerjaan, bagi murid-murid SPH yang
berasal dari keluarga yang sangat mampu ternyata pendidikan mereka sangat banyak diurusi oleh
orang tua mereka yang sudah membuat perencanaan ke mana mereka akan studi dan apa yang
perlu mereka tekuni. Kondisi hidup mereka membuat guru-guru harus terus-menerus memberikan
motivasi yang besar agar murid-murid memiliki daya juang dan semangat belajar yang tinggi.
Korelasi antara pelajaran yang ditekuni dengan bidang pekerjaan yang ditekuni nampaknya
bukanlah suatu hal yang mendesak untuk diperhatikan oleh murid-murid ini karena adanya
kesempatan yang begitu besar untuk mencoba-coba berbagai hal di dalam kehidupan mereka
dengan sumber daya yang tersedia bagi mereka. R33 misalnya, dalam memutuskan untuk
mengambil jurusan IPS hanya berpikir bahwa ia akan melanjutkan studinya di luar negeri dan
bertanya apakah lulusan IPS bisa studi ke luar negeri. Mendapat jawaban ―ya‖, maka ia pun
mengambil jurusan IPS yang dipandangnya sebagai jurusan yang paling santai sehingga ia bisa
―menikmati masa muda‖-nya tanpa berpikir apa yang akan ia dalami kelak.
76
R34 yang berencana melanjutkan studinya di Indonesia mengutarakan pandangan orang tua
bahwa murid jurusan IPA dipandang lebih mudah melanjutkan studi:59
P : Kalau begitu, selain dari guru, apakah menurut Cindie dalam pemilihan jurusan ada
peranan orang tua?
R34 : Ada. Saya contohnya, kan peranan orang tua. Orang tua saya kurang mengizinkan saya
ke IPS.
P : Kenapa?
R34 : Karena kalau IPA dari segi kalo mau masuk kuliah lebih gampang mau masuk ke
mananya. Daripada susah nanti, mending sekarang saja susahnya.
P : Jadi bisa tidak kalau saya katakan pada umumnya anak-anak IPS mungkin justru lebih
tahu mereka mau ke jurusan mana daripada anak-anak IPA?
R34 : Nggak juga sih. Karena dapetnya IPS, ya ke IPS, tapi kayaknya kalau dapet IPA,
semua akan ke IPA.
Jadi, keadaan orang tua murid yang berasal dari kalangan sangat berada menyebabkan
tersedianya pilihan yang sangat banyak dalam kehidupan murid-murid dengan sumber daya yang
berlimpah. Hal ini membuat murid kurang terlibat di dalam perencanaan studinya sendiri dan
pertanyaan-pertanyaan mengenai korelasi antara studi yang tengah dijalani dengan rencana yang
mereka miliki menjadi tidak relevan. Kurikulum IBO yang ditawarkan merupakan nilai jual yang
penting bagi sekolah ini karena memungkinkan orang tua mempersiapkan anak mereka melalui
jalur pendidikan yang sudah mereka rencanakan, sementara sang anak hanya tinggal mengikuti
arahan orang tuanya dalam menempuh jalur-jalur pendidikan di luar negeri.
4.2.3.5 Peran Pemerintah
Peran pemerintah dalam pengelolaan pendidikan yang dirasakan positif adalah penambahan
mata pelajaran Matematika pada jurusan IPS di SMA sehingga meningkatkan kesetaraan gengsi
antara jurusan IPA dan IPS. Kehadiran Matematika dalam sebuah jurusan dipandang sebagai
pendefinisi seberapa bernilai jurusan tersebut dibandingkan jurusan lainnya.
77
4.2.4 Wawancara di SMA Katholik Tarakanita 1
Wawancara di SMA Katholik Tarakanita 1 dilakukan dengan Kepala Sekolah (R41), Wakil
Kepala Sekolah bidang Kesiswaan (R42), seorang murid kelas XII Bahasa (R43) dan seorang
murid kelas XI IPS (R44).
4.2.4.1 Keadaan Sekolah
SMA Tarakanita 1 adalah sekolah Katholik yang diselenggarakan khusus untuk murid-
murid perempuan. Terletak di kawasan yang sangat rawan banjir, sekolah ini setiap tahunnya
mengalami banjir yang parah. Tetapi, kendati demikian, minat orang tua murid untuk
menyekolahkan anaknya di tempat tetap sangat tinggi. Formulir pendaftaran yang terjual setiap
tahunnya selalu melampaui kapasitas belajar yang ada.
Menurut R41, para alumni SMA Tarakanita 1 di universitas-universitas dikenal sebagai
mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kepemimpinan yang kuat di samping keunggulan
akademis. Ini adalah salah satu kekuatan SMA Tarakanita 1. Hal ini dikondisikan menggunakan
kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang tersedia dalam pilihan yang sangat beragam (pada saat
wawancara ini dilakukan, ada 15 buah) dan harus dipilih oleh murid serta ditekuni secara serius.
Kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler sedemikian dikenal luas sehingga tidak hanya satu-dua murid
yang masuk ke SMA Tarakanita 1 bukan karena keunggulan akademisnya, tetapi karena kegiatan
ekstra kurikulernya.
4.2.4.2 Tujuan Bersekolah
Tujuan murid masuk ke sekolah ini terdiri dari tiga macam: 1) karena keunggulan
akademisnya secara umum, 2) karena ingin mengambil jurusan Bahasa yang memang sangat
terbatas pilihannya di Indonesia dan di sekolah ini ditawarkan sebuah jurusan Bahasa berkualitas
78
baik, dan 3) karena tertarik dengan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang ditawarkan. Hal-hal
ini diakui oleh para responden dalam wawancara ini.
Orang tua yang pada umumnya berpendidikan baik terlibat cukup dalam dalam pemilihan
jurusan untuk anak-anak mereka. Menurut R44, bagi orang tuanya bersekolah adalah sebuah
persiapan untuk masuk ke Perguruan Tinggi, tetapi tidak berarti sebuah persiapan yang spesifik
sesuai dengan jurusan yang akan ditekuni di Perguruan Tinggi. Masa SMA adalah sekedar masa
persiapan sebaik mungkin, untuk membuka peluang terhadap kemungkinan-kemungkinan yang
tersedia di masa depan:60
R43 : ... kan banyak orang tua yang ingin anaknya IPA atau banyak yang mikir anaknya
SPMB kan kalau dari jurusan IPA lebih gampang masuk ke semua jurusan kan,
mungkin gara-gara hal itu.
4.2.4.3 Kebernilaian Ilmu-Ilmu
Dalam hal penjurusan IPA dan IPS, sekolah ini pernah mengalami masa di mana
superioritas IPA benar-benar terasa dalam kehidupan di sekolah. Bukan saja hal itu dirasakan
oleh murid-murid, tetapi guru-guru IPS pun merasa dipandang sebagai guru-guru kelas dua
sehingga untuk menentukan penjurusan murid-murid, diperlukan dua rapat yang terpisah: rapat
kenaikan kelas oleh semua guru dan rapat penjurusan oleh guru-guru tertentu. Hingga saat
wawancara ini dilaksanakan, seorang murid responden, R43, mengungkapkan bahwa suasana
superioritas yang ditunjukkan oleh guru-guru IPA dibandingkan guru-guru lainnya masih
terasa:61
P : Selama ini kan suka ada pandangan IPA itu superior, bahkan Bahasa karena jarangnya,
jadi ada orang yang bahkan tidak tahu ada jurusan Bahasa. Apakah Nindi masih
merasakan ada pandangan seperti itu?
R43 : Ya banget. Maksudnya sampe sekarang pun dari pihak guru ada sih beberapa yang
ibaratnya, kayaknya, apa sih, dari pihak sekolah aja, ―Kalian jangan kecil hati ...‖, tapi
kenyataannya kan tuh pas penjurusannya kan mustinya dibuat sesuai minat, tapi dalam
praktek ada juga yang minatnya apa yah ... ya tahu sih maksudnya kalau maksud IPA
kan ke semua jurusan lain juga bisa, t‘rus yang jelekannya dikit ke IPS, t‘rus yang
nggak bisa ke mana-mana ke Bahasa.
79
...
P : Terlihatkah sikap beberapa guru itu dengan jelas?
R43 : Ada, kelihatan. Waktu kelas 1 kayak guru-guru IPA, kayak guru Kimia gitu, ―Ah,
remed-remed melulu sama saya, nanti saja remednya kalau udah masuk jurusan Bahasa
....‖ gitu kadang-kadang juga .... Jadinya kan kadang-kadang kalau di lain ada jurusan
Bahasa kan istilahnya kalau di sekolah-sekolah lain kan jadi mungkin pikirannya lebih
terbuka, tapi kan rata-rata sekolah lain nggak ada ... jadi kadang-kadang di-
underestimate.
P : Menurut Nindi kenapa tuh Bahasa di-underestimate, kenapa IPA tuh dianggap
superior?
R43 : Mungkin karena IPA tuh dianggap spesial dan nggak semua orang bisa kayak
Matematika aja, kan di semua jurusan juga masih jadi kendala.
Hal-hal yang membuat IPA menarik menurut para responden, adalah karena profesi-profesi
yang menarik bagi seorang anak kecil seperti dokter dan insinyur, banyak yang merupakan
profesi yang khas jurusan IPA. Alasan lainnya adalah karena juga tuntutan nilai yang lebih tinggi
untuk masuk ke IPA membuat jurusan itu menjadi lebih menantang. Dua alasan lain yang
berulang diutarakan para responden adalah bahwa IPA melibatkan pembekalan yang lebih kuat
dalam Matematika sebagai bekal yang dipandang penting, terlepas dari jurusan apa yang akan
dipilih di Perguruan Tinggi, suatu hal yang ―tidak semua orang bisa‖ dan terbuka luasnya peluang
di Perguruan Tinggi bagi mereka yang belum yakni benar jurusan apa yang akan mereka dalami
di sana.
Menurut para responden, persepsi murid terhadap perbedaan kualifikasi jurusan ini tidak
lagi terlalu terasa sebagaimana halnya hingga dua tahun sebelum wawancara ini dilakukan, tetapi
masih juga dapat dirasakan bagaimana guru-guru pun terkadang bersikap bahwa jurusan IPS dan
Bahasa adalah jurusan yang lebih inferior dibandingkan IPA, kendati kenyataan adanya murid-
murid yang khusus memilih SMA Tarakanita 1 karena bakat murid itu dalam bidang Bahasa.
R41 menjelaskan bahwa hal ini membentuk pula persepsi pada kualifikasi guru-guru yang
mengajar: guru-guru yang hanya mengajar IPA dipandang sebagai bagian dari kelompok yang
lebih elit daripada guru-guru yang hanya mengajar IPS dan Bahasa. Salah satu upaya yang tengah
80
dilakukan untuk membenahi masalah ini adalah pembauran jam mengajar guru di mana guru-
guru yang sebelumnya hanya mengajar IPA juga diberikan waktu untuk mengajar jurusan
lainnya, vice versa.
Seorang murid, R43, menyatakan bahwa kendati upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak
sekolah, pembedaan-pembedaan antara IPA dan IPS serta Bahasa masih terasa dalam kehidupan
sehari-hari di sekolah. Penjurusan yang dilakukan oleh sekolah dari kelas X ke kelas XI
misalnya, sangat terasa dibuat bukan berdasarkan minat, melainkan dibuat seperti seleksi
bertingkat, dari IPA ke IPS ke Bahasa. Para guru yang diwawancarai juga membenarkan bahwa
proses seleksi yang terjadi lebih banyak melibatkan pengolahan data daripada proses bimbingan
dan konseling, baik kepada murid maupun orang tua murid.
Menilik faktor orang tua murid, ternyata di sekolah ini tuntutan orang tua murid masih
sangat tinggi agar anak-anaknya masuk ke jurusan IPA. Orang tua murid bahkan rela memilih
anaknya tinggal kelas asalkan di tahun pelajaran berikutnya masuk ke jurusan IPA daripada naik
kelas tetap masuk ke jurusan lain. Menurut R41, hal ini juga bisa terkait dengan gengsi orang tua.
Faktor keterlibatan orang tua di dalam pendidikan anaknya dengan cara yang demikian, menurut
para responden, lebih banyak berkorelasi dengan tingkat pendidikan orang tua. Semakin tinggi
pendidikan orang tuanya, akan semakin baik ia bisa membimbing anaknya dan juga memberikan
kebebasan kepada anaknya untuk memilih jurusan yang sesuai dengan bakat dan minat anak itu.
Di sisi lain, tingkat kemapanan orang tua tidaklah terlalu berperan untuk menduga peran orang
tua di dalam pendidikan anaknya.
4.2.4.4 Peranan Studi dalam Meraih Cita-Cita
Menurut keterangan para responden, saat murid memilih jurusannya di Perguruan Tinggi,
ternyata seringkali murid-murid dari jurusan IPA pun memilih fakultas ekonomi untuk studinya.
81
Dalam penentuan jurusan di Perguruan Tinggi ini, sama sekali tidak ada paksaan dari orang tua
kepada anaknya untuk memilih jurusan eksakta. Hal ini nampaknya mencerminkan bahwa
kepentingan orang tua bukanlah pada ilmu-ilmu eksakta itu sendiri melainkan pada suatu proses
pembentukan di masa SMA yang berkaitan dengan citra jurusan IPA sebagai masa persiapan
untuk memperoleh keberhasilan dalam studi lanjut, jurusan apa pun yang ditekuni dalam studi
itu. R42 mengutarakan bahwa murid-murid jurusan IPA dipandang lebih mudah melanjutkan
studi, memiliki prospek karier yang lebih menjamin dan potensi penghasilan yang lebih tinggi:62
R42 : Karena sebenarnya orang tua, dan juga mungkin masyarakat, punya anggapan, asumsi
ya, kalau anak-anak IPA itu musti anaknya lebih pintar dibandingkan yang jurusan lain
dan mungkin istilahnya kalau nanti anaknya bisa IPA itu kan untuk meneruskan studi
atau nanti orientasinya kerja, ya mungkin yang IPA-IPA itu kan ya mungkin
penghasilannya tinggi. Dokter, insinyur, mungkin itu kan lebih tinggi dan prospek
kerjanya lebih menjamin. Ya, itu kan cuma persepsi. Nggak musti bener. ....
Hal ini nampaknya masih terkait erat dengan pemahaman orang bahwa keberhasilan
seseorang dalam hidup berkaitan erat dengan penguasaan Matematikanya. R42 sebagai guru
Ekonomi/Akuntansi, ketika ditanya apakah mungkin IPS dan Bahasa memiliki gengsi yang setara
dengan IPA, menjawab ―Mungkin saja‖ dan menyodorkan caranya, yaitu dengan membelajarkan
Matematika untuk murid-murid IPS melalui analisis sosial. Analisis sosial, menurut R42, adalah
sebuah pelajaran di mana murid-murid IPS dilatih untuk menggunakan metode-metode
matematis seperti Statistika untuk menelaah permasalahan-permasalahan sosial.63
Artinya, dapat disimpulkan dari pendapat ini bahwa kebernilaian IPS tidak dipahami
sebagai sesuatu yang hadir secara inheren pada ilmu-ilmu dan metode-metode ilmu itu,
melainkan pada metode positivistik yang walaupun asing dan berbeda ranah ilmu, ketika
dihadirkan bisa menambah penghargaan orang terhadap ilmu itu.
82
4.2.4.5 Peran Pemerintah
Peran pemerintah yang diharapkan dalam menangani kesetaraan di antara ilmu-ilmu,
menurut R42, adalah dengan lebih serius memasukkan materi-materi berbasis metode-metode
positivistik untuk menelaah permasalahan-permasalahan sosial. Dengan demikian orang akan
lebih menghargai ilmu-ilmu sosial, karena di dalamnya pun ada Matematika.
4.2.5 Wawancara di Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti
Fokus studi di Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti ini adalah pendidikan formal
yang diselenggarakan di Kolese Gonzaga terhadap para seminaris Wacana Bhakti. Karena itu,
guru-guru yang diwawancarai di kolese ini adalah Kepala Sekolah (R51) dan seorang guru ilmu
sosial (R52), bersama dua orang seminaris yang tengah duduk di kelas XI IPS (R53) dan XI IPA
(R54).
4.2.5.1 Keadaan Sekolah
Kolese Gonzaga dan Seminari Wacana Bhakti adalah dua lembaga yang hadir bersama-
sama di lokasi yang sama. Kolese Gonzaga merupakan sekolah yang dibuka untuk umum dengan
lama pendidikan tiga tahun sedangkan Seminari Wacana Bhakti adalah lembaga pendidikan para
calon imam setingkat dengan SMA dengan lama pendidikan empat tahun di mana para seminaris
diwajibkan untuk tinggal di asrama. Para responden menjelaskan bagaimana seminaris-seminaris
selepas SMP menempuh pendidikan eksklusif di Seminari Wacana Bhakti. Masa ini disebut
tahun ke-0. Berikutnya, pada tahun ke-1 baru para seminaris diikutsertakan dalam proses belajar
di Kolese Gonzaga bersama dengan murid-murid lainnya sementara tetap memperoleh
pendidikan seminari di sore harinya.
83
4.2.5.2 Tujuan Bersekolah
R41 menjelaskan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan di seminari adalah untuk
menyiapkan calon-calon imam sejak dini. Dalam proses pendidikan ini, para seminaris dibimbing
untuk merefleksikan panggilannya dan kariernya sebagai seorang imam. Sebagai sebuah lembaga
pendidikan yang didirikan oleh ordo Yesuit, salah satu ciri khas Gonzaga / Wacana Bhakti adalah
mengembangkan kemampuan anak berefleksi, menentukan pilihan ke depan juga ―dibarengi,
dikunci, dengan rigoritas studi,‖ demikian papar R51. Dengan demikian, pendekatan yang
digunakan dalam penyelenggaraan sekolah ini bukan hanya pada keunggulan akademis, ―tetapi
juga pembentukan hati nurani, mampu menilai baik-buruk, benar-salah.‖
4.2.5.3 Kebernilaian Ilmu-Ilmu
Dengan sistem pendidikan yang demikian, perbedaan antara IPA dan IPS tidak terlalu
signifikan. Dikatakan oleh R51, bukannya IPA bernalar dan IPS menghafal, melainkan IPA dan
IPS bernalar dengan cara dan metode yang berbeda. Dari perspektif para guru, ternyata murid-
murid lebih realistis dalam menilai bakat dan minatnya sendiri sehingga berani memutuskan
dengan jelas apakah tempat yang tepat untuknya adalah di jurusan IPA atau IPS. Tetapi,
permasalahan dengan pemilihan jurusan ini seringkali justru ditemui dengan orang tua murid
yang memaksakan anaknya untuk masuk ke jurusan IPA. R52 bahkan mengutarakan bagaimana
dalam budaya patriarkal tertentu orang tua sangat condong memilih anak laki-lakinya tidak naik
kelas daripada naik kelas ke jurusan IPS.
Orang tua, menurut R52, terkadang memaksakan anaknya masuk ke IPA bukan karena ada
rencana tertentu untuk masa depan anaknya ini tetapi sebagai kompensasi atas kegagalannya di
masa lalu. Tetapi, pada akhirnya, tutur R51:64
84
R51: .... Keberanian dalam mengambil keputusan sebenarnya adalah tanda proses
pendewasaan. Karena kanak-kanak mungkin mengatakan, ―Oh saya mau jadi dokter.‖
tapi itu bukan sebuah keputusan sebenarnya. Baru mimpi ya .... Bagaimana dari mimpi
mendarat sebagai keputusan. Mimpi yang ada harus dipijakkan dengan kemampuan,
yaitu plus-minusnya masing-masing orang. Ini adalah cerita yang lain. Proses pedagogi
kita mesti mengantar ke sana. Kalau proses pedagogi kita tidak mengantar ke sana,
apapun timbunan pengetahuan, apa pun yang kita berikan ke anak-anak, tidak berati
banyak.
Perbedaan antara IPA dan IPS ini nampaknya bisa ditelusuri hingga ke FKIP-FKIP yang
ada di Indonesia. Para guru responden ini mengakui lebih mudah mendapatkan guru-guru eksakta
yang berkualitas dibandingkan dengan guru-guru ilmu-ilmu sosial yang berkualitas. Di sekolah
ini sendiri ada guru-guru ilmu-ilmu sosial yang memang masuk ke IKIP karena tahu benar ingin
menjadi guru sehingga hasilnya pun mereka menjadi guru yang baik, yang berkualitas, yang
unggul dalam pembelajaran. Tetapi seringkali orang-orang yang masuk ke FKIP adalah orang-
orang yang sudah ditolak di mana-mana sehingga untuk kuliah satu-satunya pilihan yang tersedia
adalah FKIP. Dengan kondisi yang ada di sekolah ini, para responden menyatakan tidak ada
perbedaan kualitas yang nampak antara guru-guru IPA dan IPS.
Dari perspektif murid, salah satu hal yang menarik dinyatakan oleh R54, seorang seminaris
yang adalah murid jurusan IPA, walaupun ia tertarik untuk mendalami beberapa pelajaran di IPS
dan ingin mengambil jurusan IPS, pada akhirnya ia memilih jurusan IPA karena melihat para
kakak kelasnya yang jurusan IPS cenderung santai dan kurang disiplin dibandingkan dengan
mereka yang mengambil jurusan IPA. Perbedaan ini menjadi semakin penting baginya dari hari
ke hari ketika melihat perbedaan tuntutan tugas-tugas terhadap murid jurusan IPA dan IPS serta
tuntutan belajar mandiri yang lebih tinggi kepada murid-murid jurusan IPA. Disiplin yang
mengendur ketika memilih jurusan IPS merupakan satu isu yang sangat penting bagi R54
sehingga ia tidak memilih jurusan IPS:65
85
R53 : Sebenarnya saya nggak terlalu suka dengan pelajaran eksak dan juga nggak suka sama
sains, saya justru lebih suka malah suka belajar Akuntansi-Ekonomi gitu, tapi kan gitu
pas kelas I saya lihat anak IPA-nya pada disiplin-disiplin, giat-giat belajar sedangkan
anak IPS-nya pada main-main, jadi itu. Saya mengincar disiplin dan ketekunannya.
Bagi R53, seminaris yang menempuh pendidikannya di jurusan IPS, walaupun IPA dan IPS
sama saja, tetapi pandangan masyarakat umum bahwa IPA lebih unggul dibandingkan IPS juga
terasa. Bagi dia, antara lain yang sangat terasa di dalam kehidupan sekolah adalah kenyataan
bahwa pelajaran-pelajaran IPA lebih susah membuat jurusan IPA ―lebih keren, juga lebih
mengesankan bagi para murid putri dan memberikan kemudahan saat kuliah.‖
4.2.5.4 Peranan Studi dalam Meraih Cita-Cita
Karena penelitian diadakan terhadap seminaris Wacana Bhakti, maka pertanyaan-
pertanyaan berikutnya mengenai ketersediaan lapangan pekerjaan tidak ditanyakan. Namun
demikian, para seminaris yang diwawancara dapat melihat dengan baik korelasi antara studi yang
mereka ambil dengan rencana bidang pelayanan yang akan mereka tekuni seandainya mereka
tetap dalam jalur pendidikan sebagai imam, baik mereka mengambil jurusan IPA maupun IPS.
Bagi para seminaris Wacana Bhakti pendidikan yang diberikan pada tahun ke-0 adalah
pembekalan yang sangat baik untuk memberikan dasar penguasaan ilmu yang lebih kokoh
dibandingkan dengan murid-murid lainnya. Bahasa Latin yang harus dikuasai sejak awal
merupakan salah satu bekal yang sangat berharga. Bersamaan dengan kematangan usia mereka
yang satu tahun di atas rekan-rekan seangkatan mereka, pembekalan di seminari membuat para
seminaris unggul dalam kehidupan akademik di Gonzaga dibandingkan dengan rekan-rekan non-
seminaris mereka.
Jadi, di Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti, proses pendidikan yang diberikan
kerangka seminari membuat berbagai pertanyaan seputar ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
86
menjadi lebih sederhana karena adanya kesatuan jalur pendidikan calon imam yang telah baku.
Pertanyaan-pertanyaan tentang korelasi antara pendidikan di SMA dengan di Perguruan Tinggi
menjadi tidak relevan karena seluruh proses pendidikan itu telah dipersiapkan dan dirangkai
dalam satu alur. Permasalahan yang ada bersumber dari pandangan orang tua terhadap
kebermaknaan IPA dan IPS serta pasokan tenaga-tenaga guru yang berkomitmen untuk menjadi
guru dari FKIP-FKIP yang tersedia.
4.2.5.5 Peran Pemerintah
Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh ordo Yesuit, sistem
pendidikan di Gonzaga / Wacana Bhakti diwarnai secara kuat oleh kemampuan berefleksi
dibarengi dengan rigoritas studi. Sekolah dibangun sebagai komunitas pembelajar dan tempat
pembentukan hati nurani sehingga murid mampu menilai baik-buruk, benar-salah yang berbuah
kepada kepedulian sosial.
Dalam konteks itu, menurut R51, peran pemerintah yang diharapkan adalah pengawasan
yang terlalu ketat dan dipandang tidak pada tempatnya dalam pelaksanaan pendidikan sehari-hari.
Juga, untuk meningkatkan mutu penguasaan ilmu oleh murid-murid, yang dibutuhkan justru
adalah pengurangan jumlah mata pelajaran sehingga murid, apa pun jurusannya, dapat diasah
dalam kemampuan berefleksi.
4.2.6 Wawancara di SMA Kristen Ketapang I
Wawancara di SMA Kristen Ketapang I dilakukan dengan Kepala Sekolah (R61), mantan
Wakil Kepala Sekolah yang saat wawancara dilakukan telah menjadi Kepala Sekolah di unit lain
(R62), seorang murid kelas XII IPS (R63) dan seorang murid kelas XII IPA (R64).
87
4.2.6.1 Keadaan Sekolah
SMA Kristen Ketapang I terletak di daerah Kota, Jakarta Pusat. Orang tua murid sekolah
ini kebanyakan adalah pedagang yang latar belakang pendidikannya tidak terlalu tinggi. Sekolah
ini sendiri dikenal sebagai sekolah yang memiliki disiplin yang baik dan memiliki program
pendidikan karakter yang unik.
4.2.6.2 Tujuan Bersekolah
Dengan keadaan yang demikian, tutur R61, maka tujuan murid-murid bersekolah adalah
untuk mendapatkan pendidikan yang baik untuk meneruskan ke Perguruan Tinggi. Hampir semua
murid lulusan SMA ini melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan yang tidak melanjutkan pun entah
berasal dari keluarga yang mampu tetapi memandang pendidikan SMA sudah cukup untuk
meneruskan usaha orang tuanya atau bekerja dulu beberapa tahun sebelum melanjutkan
pendidikannya itu. Dari sisi orang tua, mereka mengirimkan anak-anaknya ke SMA Kristen
Ketapang I karena disiplinnya, program pendidikan karakter yang dikenal unik dan karena jarak
yang dekat dengan rumah mereka.
4.2.6.3 Kebernilaian Ilmu-Ilmu
Berbicara mengenai kebernilaian berbagai ilmu, di SMA Kristen Ketapang I keunggulan
IPA dibandingkan IPS adalah suatu hal yang nyata. IPA difavoritkan baik oleh murid maupun
orang tua murid karena dipercaya bahwa: 1) potensi karier dan penghasilan yang lebih tinggi
dibandingkan jurusan IPS, 2) banyaknya pilihan jurusan yang bisa diambil di Perguruan Tinggi,
dan 3) gengsi karena untuk masuk ke jurusan IPA lebih sulit dan pelajaran yang dihadapi pun
lebih sulit. Ketiga hal ini, ditekankan oleh R61 yang sebelumnya adalah guru BK, adalah hal-hal
yang dipercaya, tetapi belum tentu benar:66
88
R61 : Kalau menurut saya yang selama ini terjadi kenapa kok menjadi favorit tetap di IPA,
karena dilihat secara umum ya, secara umum, walaupun kenyataannya belum tentu,
kalau di jurusan IPA itu untuk kariernya ke depan itu katanya jauh lebih menghasilkan.
Penghasilannya jauh lebih tinggi, itu secara umum. Nah kemudian yang kedua ada
peluang kalau dia nggak memungkinkan untuk masuk ke IPA bisa masuk ke IPS.
P : Untuk kuliahnya?
R61 : Untuk kuliahnya, bidangnya jauh lebih banyak pilihannya. Tapi yang utamanya, tetap
karier ke depannya lebih menjanjikan. Ya mungkin sama gengsinya juga, karena
merasa begini, merasa posisi IPA lebih tinggi karena masuknya lebih susah kan, dan
pelajarannya kenyataannya memang jauh lebih susah. Nah, itu jadi gengsinya lebih
tinggi.
R62 berpandangan bahwa poin penting dari keunggulan IPA dibandingkan IPS adalah
kemampuan para lulusan IPA untuk masuk ke bidang-bidang IPS secara lebih luwes baik di
dalam kuliah maupun pekerjaan sementara untuk sebaliknya jauh lebih sulit. Di dalam jurusan-
jurusan di Perguruan Tinggi, para lulusan IPA lebih unggul, bahkan ketika mereka masuk ke
jurusan-jurusan IPS karena adanya daya juang dan pola pikir yang telah terbentuk pada tahun-
tahun mengambil jurusan IPA di SMA. Hal ini nyata mulai dari hasil tes masuk hingga hasil
ujiannya. Bukan saja di bangku Perguruan Tinggi, bagi R62 hal ini juga nampak dalam sikap
guru-guru IPA dan IPS di sekolah:67
R62 : Ya. Dan ibaratnya daya juangnya anak ini lebih tinggi anak di IPA dari anak IPS.
P : Tapi apakah itu terbukti di dunia kerja bahwa anak IPA lebih gampang atau
penghidupannya akan lebih baik dari anak IPS gitu?
R62 : Kalau misalnya bukti konkret itu nggak tahu deh ya, berapa persen, berapa persen itu
nggak tahu, cuma contoh ketika di bank nggak usah jauh-jauh deh itu banyak yang
orang IPA. Orang IPB di bank itu banyak. IPB lho, nah contoh kayak gitu jadi ya
secara nggak langsung IPA lah. Nah, orang IPS-nya ketika bersaing dengan orang IPA,
daya saing, daya berjuangnya orang IPS ini lemah. Akhirnya secara nggak langsung
yah inilah .... Kenapa? Secara nggak langsung kalau orang eksak udah pasti
kemampuannya, daya juangnya lebih tinggi, dia semangat. Nah itu daya juangnya udah
tinggi nah itu akhirnya terbawa sampai ke dunia pekerjaan. Dan itu kelihatan lah,
sistematis apa nggak itu keliatan banget. Guru pun beda, smartness-nya beda. Guru
IPA lebih terstruktur.
R62 mengatakan bahwa ia sendiri, seorang guru Biologi, menganjurkan murid-muridnya
untuk mengambil IPA jika bisa, walaupun cita-cita mereka sudah jelas bisa diraih melalui jurusan
IPS karena hal-hal tersebut.
89
Bagi orang tua, perkara anaknya masuk IPA atau IPS terkadang menjadi perkara besar.
Bahkan ada orang tua yang tak segan-segan memindahkan anaknya ke sekolah lain semata-mata
agar anaknya itu bisa masuk ke jurusan IPS. Tentu saja, ini adalah orang tua yang memiliki latar
belakang pendidikan yang terbatas sehingga tidak mengerti seluk-beluk dunia pendidikan. Tetapi,
demikian juga latar belakang kebanyakan orang tua murid di sekolah ini.
Menilik nilai-nilai pelajaran yang sama-sama diperoleh murid-murid IPA dan IPS, dalam
setiap mata pelajaran terbukti murid-murid IPA secara konsisten memperoleh nilai yang lebih
tinggi, bahkan dalam pelajaran-pelajaran IPS. Hal ini turut membentuk kesan adanya kelas
―buangan‖, baik di antara para murid, orang tua murid, bahkan guru sekalipun. R62 mengatakan,
―Kebanyakan orang memilih IPA karena tereliminasi, orang yang bodoh sekalipun, kalau boleh
masuk IPA, akan memilih masuk IPA‖. Di sinilah guru BK berperan memberikan pengertian,
baik kepada murid maupun kepada orang tuanya. Peranan guru BK bagi murid-murid dalam
memilih jurusan bahkan lebih penting daripada peran orang tua. Hal ini bisa dimengerti karena
keterbatasan kapasitas orang tua sebagaimana dijelaskan di atas.
Kedua murid yang diwawancarai menyatakan bahwa terlihat ada perbedaan kualitas antara
guru IPA dan guru IPS. Guru IPA, menurut R64, lebih disaring sementara guru IPS, asalkan dia
bisa mengajar, akan direkrut. R63 juga menyatakan hal serupa, ―Guru-guru eksakta lebih
berpengalaman daripada guru-guru di jurusan IPS.‖ Ketika seorang guru tidak hadir entah karena
sakit atau cuti, para murid responden menyatakan bahwa biasanya hanya diberikan tugas. R61
dan R62 menyatakan juga bahwa ketika dibutuhkan guru pengganti, maka guru IPA harus
digantikan oleh guru IPA sedangkan guru IPS bisa saja digantikan oleh siapa saja. ―Di antara
murid-murid,‖ demikian tutur R62, ―hal itu juga terbaca bahwa guru IPS bisa digantikan oleh
siapa saja.‖
90
4.2.6.4 Peranan Studi dalam Meraih Cita-Cita
Bagi murid-murid ini, pilihan jurusan dalam studi formal yang dijalani di SMA tidaklah
terlalu berpengaruh dalam mencapai cita-cita mereka. Yang lebih penting adalah bagaimana studi
di SMA mempersiapkan mereka untuk menempuh studi di Perguruan Tinggi. Baru pada tingkat
Perguruan Tinggi mereka perlu menekuni bidang yang akan menjadi fokus pekerjaan mereka.
R64 memandang masa SMA penting untuk membentuk kedisiplinan dan pola pikir serta
wawasan yang luas. Hal ini diperlukan untuk menghadapi banyaknya pilihan di Perguruan Tinggi
dan menempuh studi yang lebih mandiri di tingkat Perguruan Tinggi. Dengan demikian, studi di
SMA dipandang tidak terlalu penting dalam memberikan pembekalan dari segi rigoritas
keilmuan.
4.2.6.5 Peran Pemerintah
Para responden mengemukakan bahwa pemerintah dirasa memiliki sikap mengakomodasi
semua kepentingan dalam pendidikan sehingga pendidikan Indonesia tidak memiliki penekanan
yang khas. Ada terlalu banyak pelajaran yang diberikan kepada murid-murid dan juga begitu
banyak ujian nasional yang diberikan. Sikap ini dipandang hanya membebani murid dengan
berbagai beban belajar yang sebenarnya tidak diperlukan oleh murid.
Dengan sikap yang mendukung superioritas IPA terhadap IPS, peran yang diharapkan dari
pemerintah adalah pengurangan berbagai mata pelajaran IPS serta juga penghapusan berbagai
mata pelajaran seperti Sosiologi, Sejarah dan Geografi dari ujian nasional. R64 secara khusus
menyebutkan bahwa Sejarah tidak perlu dipelajari dan jam pelajaran Geografi perlu dikurangi,
sementara R62 menyebutkan lebih baik penjurusan dilakukan sejak kelas X agar studi yang
dijalani murid lebih terfokus.
91
Pengurangan beban belajar yang dianggap tak berguna ini diharapkan bisa meningkatkan
kualitas belajar murid-murid pada hal-hal yang esensial dibandingkan memaksa murid untuk
menguasai begitu banyak bidang yang tak berguna dalam kehidupan.
4.3 Wawancara di Sekolah-Sekolah Internasional
4.3.1 Wawancara di Deutsche Internationale Schule
4.3.1.1 Pembagian Jurusan
Deutsche Internationale Schule (DIS) di Indonesia melaksanakan pendidikannya
menggunakan kurikulum nasional Jerman. Sekolah dasar di Jerman yang disebut Grundschule
dilaksanakan hingga kelas IV. Sekolah menengah di Jerman terdiri dari tiga jenis: Gymnasium,
Realshule dan Hauptschule. Ketiga jenis sekolah menengah ini dimulai pada kelas V hingga
maksimum kelas XIII dengan kelas V sebagai masa orientasinya selama satu tahun untuk
menentukan ke sekolah yang mana seorang murid akan melanjutkan studinya.
4.3.1.2 Perbedaan Antar-Jurusan
R71 menjelaskan bahwa Gymnasium adalah sekolah yang menuntut kualifikasi paling
tinggi dari ketiganya dan juga menuntut masa studi yang lebih lama, hingga kelas XIII.
Gymnasium diadakan untuk mereka yang sejak awal telah kelihatan mampu berpikir kritis dan
unggul secara akademis. Dengan masuk ke Gymnasium seorang murid akan dapat melanjutkan
studinya ke Universität (universitas) maupun Hochschule (sekolah tinggi). Namun, pada
kenyataannya hanya sekitar 50% dari lulusan Gymnasium, menurut R71, yang melanjutkan
studinya baik ke Universität maupun ke Hochschule, selebihnya memutuskan untuk langsung
bekerja.
92
Realschule adalah pendidikan yang berlangsung hingga kelas X. Selepas dari Realschule
para lulusannya bisa melanjutkan ke pendidikan-pendidikan kejuruan sesuai dengan bakat dan
minat masing-masing. Lulusan Realschule kemudian dapat langsung bekerja. Hal yang sama juga
dialami oleh para lulusan Hauptschule yang hanya berlangsung hingga kelas IX dan sesudah itu
dapat langsung bekerja.
Lulusan-lulusan Realschule dan Hauptschule harus tetap melanjutkan studi mereka karena
adanya peraturan yang mewajibkan setiap orang tetap bersekolah hingga berumur 18 tahun.
Artinya, kalaupun mereka sudah lulus dari kedua sekolah itu dan memutuskan untuk bekerja,
mereka tetap harus menghadiri sekolah kejuruan atau sekolah malam hingga umur 18.
4.3.1.3 Sikap Murid dan Orang Tua Murid
Menurut penuturan R71, sistem pendidikan ini telah berlangsung sekitar 50 tahun, sejak
akhir Perang Dunia II. Pada mulanya orang tidak terlalu memusingkan antara Gymnasium,
Realschule, dan Hauptschule karena kesempatan kerja dan potensi penghasilan lulusan ketiga
sekolah ini tidak berbeda secara signifikan. R71 menyatakan bahwa masyarakat Jerman tidak
terlalu membeda-bedakan orang berdasarkan latar belakang pendidikannya. ―Yang penting di
Jerman adalah uangnya,‖ demikian tutur R71. Dan potensi penghasilan ini tidak terlalu dibedakan
oleh jenis sekolah asal seseorang. R72 menyatakan, seorang pegawai bank dan seorang montir
bisa sama-sama memiliki penghidupan yang baik dan kehidupan yang mapan asal keduanya
bekerja dengan tekun dan ulet.
Tetapi, dalam tahun-tahun belakangan ini ada kecenderungan bahwa dengan kondisi
ekonomi secara umum yang semakin mapan, orang tua memang menuntut agar sedapat mungkin
anaknya diterima di Gymnasium. Mengakomodasi hal ini, syarat masuk ke Gymnasium telah
93
sedikit dilonggarkan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sedikit banyak ini berhubungan
dengan gengsi orang tua juga, demikian tutur R71.
Faktor yang juga berpengaruh bagi minat orang tua murid terhadap ketiga jurusan ini
adalah keadaan perekonomian negara dan jumlah pengangguran. Ketika ada banyak
pengangguran dan satu perusahaan ingin mempekerjakan karyawan baru, dari antara lulusan
ketiga sekolah itu tentu lulusan Gymnasium-lah yang paling menarik untuk dipekerjakan. Tetapi
ketika jumlah pekerjaan yang tersedia cukup untuk semua orang, faktor latar belakang pendidikan
bukanlah suatu isu yang penting.
Karena pemilihan sekolah dilaksanakan pada usia yang sangat dini, yaitu sekitar 10-11
tahun di kelas V, maka proses pemilihan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh orang tua.
Seringkali orang tua ingin anaknya masuk ke Gymnasium bukan karena ingin anaknya
melanjutkan hingga ke Universität atau ke Hochschule, tetapi semata-mata sekedar untuk
berjaga-jaga agar masa depan anaknya tidak terhambat akibat dia masuk ke sekolah-sekolah yang
lebih rendah, tutur R71.
Selepas dari Gymnasium, melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi tidaklah
dipandang sebagai keniscayaan sebagaimana halnya di Indonesia. Hal ini disebabkan seorang
alumni Gymnasium sudah melewati batas atas usia wajib belajar, 18 tahun, sehingga bisa bekerja
menyusul teman-temannya yang lulusan Realschule dan Hauptschule, sementara jika ia
melanjutkan pendidikannya lagi maka itu berarti penundaan kesempatan untuk memperoleh
penghasilan. Seorang yang setelah lulus dari Perguruan Tinggi baru bekerja bisa tertinggal dari
teman-temannya yang lulusan Hauptschule sejauh 8 hingga 10 tahun dari segi penghasilan.
Dilihat dari sudut pandang penghasilan, maka melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi
bukan memberikan keuntungan kepada murid itu melainkan menyebabkan kerugian potensial
94
atas penghasilan selama 10 tahun. Maka, pendidikan tinggi ditempuh seseorang ketika ia
memang yakin bahwa itu adalah panggilan hidupnya.
R71 menjelaskan bahwa sistem pendidikan Jerman adalah sistem pendidikan yang sangat
terbuka. Artinya, seorang murid dari Hauptschule bisa saja suatu saat karena prestasinya
kemudian pindah ke Gymnasium; seorang yang sudah bekerja dan kemudian baru menyadari
kebutuhannya akan pendidikan bisa mengambil pendidikan di Gymnasium sehingga selepas dari
Gymnasium ia juga bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Sistem selepas kelas V, walaupun
terdiri dari Gymnasium, Realshule dan Hauptschule, tidaklah rigid dan searah secara vertikal
seperti sistem pendidikan di Indonesia yang terdiri dari SMP – SMA – Perguruan Tinggi. Ada
kemungkinan perpindahan horizontal juga di dalam sistem pendidikan Jerman, bahkan
kesempatan untuk kembali melengkapi pendidikan yang kurang setelah orang bekerja. Hal ini
perlu, tutur R71, karena ada murid yang sejak kelas V sudah terlihat kemampuan akademis dan
kematangan sikapnya sehingga bisa diizinkan masuk ke Gymnasium, tetapi ada juga orang yang
baru ―terbangun‖ di usia 14, misalnya. Hak atas orang-orang yang ―terlambat bangun‖ seperti ini,
tidak boleh disangkal dan mereka pun perlu diakomodasi:68
R71 : Biasanya ada satu testing kalau mereka lulus SD dan guru di sini, mereka tulis satu
rapor dan kalau mereka pilih sekolah mereka harus tes masuk di sini. Ini yang satu.
Dan biasanya saya sudah bisa lihat di SD apakah seseorang nanti lihat akan punya
masalah ....
P : Dari kemampuan akademiknya?
R71 : Ya ... juga, tapi apa, bukan dari nilai akademik, sebenarnya dari kepribadian. Pasti ada
beberapa anak yang perlu lebih lama dan mereka mungkin bangun dengan umur 15,
tapi untuk mereka sistem ini buka, kalau mereka di sini kurang bagus mereka bisa ke
Hauptschule dan mereka di sini kita lihat mereka bagus mereka bisa ke Realschule, di
Realshchule bagus, mereka bisa ke Gymnasium.
4.3.1.4 Hubungan antara Pendidikan dan Pekerjaan
Dengan sistem yang terbuka demikian, maka seorang anak yang memperoleh pendidikan
dalam sistem Jerman memiliki pilihan yang bebas di dalam pendidikannya dan juga selepas kelas
95
IX bisa memiliki kebebasan yang lebih tinggi dalam hal mengkombinasikan antara pekerjaan dan
pendidikan sesuai kebutuhannya sendiri. Ia tidak dipaksa untuk menyelesaikan pendidikan dulu
hingga satu tahap tertentu, kemudian masuk ke dunia pekerjaan dan setelah itu mengalami
kesulitan jika ingin kembali ke dunia pendidikan formal.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Jerman ini nampaknya memang mengakui
keragaman kematangan dan kebutuhan tiap-tiap orang terhadap pendidikan dan pekerjaan serta
kombinasi di antara keduanya. Maka, semua responden yang diwawancarai di sekolah Jerman
tidak mendikotomikan antara pendidikan dan pekerjaan. Keduanya dilihat saling melengkapi.
Pendidikan adalah upaya mempersiapkan orang menjadi manusia-manusia yang mandiri dan siap
bekerja. Ketika dalam pekerjaannya orang menyadari bahwa ia membutuhkan pendidikan ekstra
dalam segi tertentu untuk bisa terus maju dan semakin berhasil, dunia pendidikan terbuka untuk
menerima dia dengan pilihan yang sangat beragam sesuai dengan kebutuhan masing-masing
orang.
4.3.1.5 Ciri Khas Sistem Pendidikan Jerman
R72 menjelaskan bahwa sistem pendidikan Jerman disusun seperti piramida. Di dasarnya
diberikan pijakan yang luas dan kokoh berupa filsafat dan pengembangan kepribadian. Filsafat
diberikan melalui pelajaran Etika, sedangkan pengembangan kepribadian diberikan secara
terintegrasi melalui berbagai pendekatan dalam tiap-tiap mata pelajaran. ―Curriculum is not
everything,‖ demikian papar R72. Banyak dari upaya-upaya yang paling mendasar justru
dikembangkan melalui pendekatan lintas-pelajaran dan tidak tercantum di dalam dokumen
kurikulum, yang juga disebutnya sebagai ―hidden curriculum‖:69
R72 : Ya, it’s a hidden curriculum, jadi hidden curriculum yang dijalani sehari-hari. Jadi
kalau di sekolah Jerman, SMA begitu, jarang di sekolah ada peraturan seperti kalau di
sini tidak boleh pakai ini, pakai itu, rambutnya harus .... Itu kalau di Jerman tidak ada.
96
Bukannya tidak ada, tidak tertulis. Jadi biasanya anak-anak dituntut untuk bisa
mengerti apa yang bagus, apa yang tidak bagus, dan apa yang bisa
dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri. Jadi itu mungkin yang lebih membangun
dan yang berbeda dengan sistem kita di sini. Jadi, kalau kita mengatakan tentang
kurikulum, memang kalau ini kurikulum, it’s a curriculum, tapi curriculum is not
everything dari pendidikan itu. Ada sistem sosialnya juga yang penting.
Tuntutan untuk unggul dalam bidang olahraga dan bisa berkompetisi merupakan upaya
untuk membentuk keunggulan dalam karakter, tetapi juga dipandang sebagai upaya mendukung
keunggulan akademis dalam bidang sains. Olahraga tidak dibelajarkan semata-mata sebagai
pelajaran untuk mengeluarkan keringat atau melepaskan keletihan dari tuntutan pelajaran lainnya,
tetapi dibelajarkan secara serius sehingga ketika murid diajari berenang, ia bisa berenang
sebagaimana layaknya olahragawan. Ada pesan-pesan moral yang diberikan melalui pelajaran
olahraga. Begitu pula ketika murid dilatih untuk berdiri di atas satu kaki dengan posisi tangan
tertentu yang diberikan sebagai pemanasan sebelum berenang. Hal itu dilandaskan juga atas
keyakinan bahwa terlatihnya keseimbangan tubuh seseorang akan menunjang prestasi
akademisnya.70
Seorang guru Gymnasium dalam sistem pendidikan Jerman pertama-tama menempuh
pendidikan tinggi sebagaimana halnya setiap orang, dan setelah itu menempuh pendidikan
Pedagogi secara khusus. Berbeda dengan sistem FKIP di Indonesia di mana seorang lulusan
SMA bisa langsung mengambil satu jurusan yang spesifik di FKIP dan kemudian menjadi guru
dengan satu bidang keahlian, seorang guru dalam sistem pendidikan Jerman dituntut untuk
memiliki sekurang-kurangnya dua bidang keahlian untuk diampu. Hal ini dimaksudkan pertama-
tama untuk efisiensi organisasi sekolah, sehingga sekolah-sekolah kecil tidak perlu memboroskan
sumber dayanya untuk mempekerjakan terlalu banyak guru yang masing-masing mempunyai
sedikit jatah waktu mengajar. Yang kedua, ini juga dimaksudkan untuk membuka wawasan. R71
97
secara khusus menyebutkan, ―Supaya orang tidak berpikir bahwa Matematika atau pelajaran apa
pun yang paling penting.‖ Beliau sendiri mengampu bidang studi bahasa Jerman, Seni dan Etika.
Begitu pula dengan murid-murid. Walaupun Jerman dikenal dengan sistem pendidikan
Sains-nya yang dimulai sejak sangat awal di Grundschule dengan muatan yang padat, tetapi
pelajaran kesenian dan olahraga juga merupakan pelajaran yang diwajibkan bagi semua murid
untuk didalami.
4.3.1.6 Kesimpulan
Jadi, dari perspektif perbandingan dengan sistem pendidikan Indonesia dapat disimpulkan
bahwa pendidikan Jerman terdiri dari dua bagian: bagian yang pertama adalah pendidikan dasar
yang memberikan landasan pemikiran dan pengembangan kepribadian yang kuat dalam bentuk
hidden curriculum yang terkait erat antara satu pelajaran dengan pelajaran yang lainnya sehingga
olahraga dan kesenian pun dipandang sebagai bagian wajib dari pelajaran yang bukan saja
diambil untuk mengisi tuntutan jam pelajaran tetapi juga ―untuk didalami‖.
Bagian yang kedua adalah pendidikan menengah dan tinggi yang sangat rigid dalam
materinya tetapi sangat fleksibel dan terbuka sehingga memungkinkan setiap orang
memanfaatkan sistem pendidikan yang ada sesuai dengan kebutuhan dan fakta pertumbuhan
pribadinya masing-masing. Orang-orang tidak dimasukkan ke dalam satu sistem di mana ia
seperti berada di atas ban berjalan tanpa bisa berbuat apa-apa selain mengikuti alur yang telah
ditetapkan, tetapi ia bisa menjadi pelaku yang mandiri dalam menentukan apa kebutuhannya
dalam kehidupan dan pekerjaan dan bagaimana ia akan memanfaatkan sistem pendidikan yang
tersedia sesuai dengan kebutuhannya.
Baik dalam pendidikan untuk murid maupun pendidikan untuk guru ditemui sistem yang
mengondisikan orang untuk terpapar kepada berbagai disiplin ilmu, dari kesenian dan olahraga
98
hingga sains dan filsafat. Penerimaan atas seluruh spektrum ilmu ini membuat orang memiliki
wawasan yang terbuka serta kreativitas dalam bidang apa pun yang ditekuninya karena
perspektif-perspektif yang dimilikinya dari bidang-bidang ilmu lain yang terpapar kepada
wawasannya.
4.3.2 Wawancara di Lycée International Français
4.3.2.1 Pembagian Jurusan
Tingkat SMA dalam sistem pendidikan Prancis disebut sebagai lycée. Penomoran kelas di
tingkat SMP-SMA (collège-lycée) menggunakan penomoran terbalik: dimulai dari kelas VI
hingga kelas III di collège dan berlanjut dengan kelas seconde (kedua), première (pertama) dan
terminale (terakhir) di lycée. Selepas dari dari collège murid-murid dapat melanjutkan ke lycée
atau ke pendidikan kejuruan yang masing-masing berlangsung selama tiga tahun.
Di lycèe, murid-murid akan dijuruskan di kelas II, seperti halnya di Indonesia, ke dalam
tiga pilihan jurusan: Ekonomi dan Ilmu Sosial (ES), Sains (S) dan Literatur (L). Pilihan jurusan
ini kira-kira sama dengan sistem pendidikan Indonesia yang menawarkan IPA (S), IPS (ES) dan
Bahasa (L). Pemilihan jurusan ini, sebagaimana juga keputusan kenaikan kelas, ditentukan oleh
Dewan Kelas, conseille de classe, yang terdiri dari semua guru yang mengajar di kelas itu, 2
orang perwakilan murid, 2 orang perwakilan orang tua murid, semua guru yang mengajar di kelas
itu, kepala sekolah dan seorang wakil kepala sekolah. Jika orang tua tidak puas dengan keputusan
atas penjurusan anaknya, orang tua bisa mengajukan banding kepada sebuah dewan pendidikan
yang ada di pemerintahan.
LIF di Indonesia hanya menyelenggarakan jurusan-jurusan ES dan S karena tidak ada
cukup peminat untuk membuka jurusan L. Para lulusan LIF pada umumnya melanjutkan
99
pendidikannya ke Prancis, Amerika Serikat, Inggris dan beberapa di universitas internasional di
Indonesia.
4.3.2.2 Perbedaan Antar-Jurusan
Perbedaan antar-jurusan sebagaimana yang terjadi di Indonesia juga terjadi di Prancis.
Seorang guru responden yang diwawancarai, R81, menyatakan bahwa pada masa ia bersekolah,
sekitar 20 tahun yang lalu, setiap murid yang terbaik diwajibkan untuk masuk ke jurusan S.
Walaupun hal ini sudah tidak lagi diberlakukan, tetapi masih ada orang-orang tua yang
berpandangan demikian. Pada masa kini, jurusan-jurusan S dan ES sama-sama diminati secara
luas oleh murid maupun orang tua murid dan tidak terjadi pembedaan yang berarti di antara
kedua jurusan itu. Jurusan L cenderung lebih sedikit peminatnya walaupun tidak dipandang
inferior terhadap jurusan-jurusan lainnya.
Sistem pendidikan Prancis cenderung lebih rigid dibandingkan dengan sistem pendidikan
Jerman sehingga tidak memungkinkan orang meninggalkan sekolah untuk bekerja dan kembali
ke sekolah sesudahnya. Bahkan, sistem pendidikan Prancis dikenal sebagai sistem yang elitis di
mana sekolah yang menjadi tempat seseorang menempuh pendidikan akan melekat sebagai
pembentuk identitas orang itu, sumber gengsi yang dibawanya seumur hidup. R81 menyatakan
bahwa di antara orang-orang Prancis yang bekerja di luar Prancis sekalipun, ketika bertemu salah
satu pertanyaan yang biasa diajukan adalah di mana dulunya mereka bersekolah karena itu
menjadi bahan untuk menentukan posisi dan gengsi satu sama lain. Jadi, sekolah di mana
seseorang diterima untuk menjadi murid lebih penting daripada jurusan yang dijalaninya dalam
studi. Sistem pendidikan Prancis dikenal dengan seleksi-seleksi (les concours) yang kuat pada
setiap jenjangnya, sehingga ada sekolah persiapan tersendiri untuk menghadapi concours itu.
100
4.3.2.3 Sikap Murid dan Orang Tua Murid
Sistem pendidikan Prancis menetapkan bahwa seorang murid wajib belajar hingga usia 16
tahun dan usia 16 tahun itu bertepatan dengan tahun terakhir lycèe. Murid dan orang tua murid di
Prancis memiliki sikap yang berbeda terhadap pemilihan jurusan. Di antara ES dan S, walaupun
banyak murid yang dengan sadar memilih ES sebagai bidang yang mereka sukai, sebagaimana
halnya R83 dan R84 yang diwawancarai, tetapi pada diri orang-orang tua ada kebanggaan
tersendiri ketika anak-anak mereka masuk ke jurusan S.
Nampaknya ini menunjukkan terjadinya pergeseran paradigma yang baru-baru saja terjadi
dalam satu generasi terakhir. Secara keseluruhan para guru menyatakan ES dan S adalah dua
jurusan yang sama banyak peminatnya, bukan saja di LIF ini tetapi juga di sekolah-sekolah di
Prancis. Tetapi, di antara orang tua murid, mereka cenderung lebih menyukai jika anaknya masuk
ke jurusan S.
4.3.2.4 Hubungan antara Pendidikan dan Pekerjaan
Sistem pendidikan Prancis yang sangat mengandalkan persaingan untuk masuk ke sekolah-
sekolah lanjutan membuat gengsi masing-masing pribadi terkait kuat dengan sekolah asal
mereka. Pendidikan yang mereka tempuh akan mempengaruhi karier mereka, tetapi uniknya
sekolah tempat mereka menempuh pendidikan itu akan lebih berpengaruh dibandingkan dengan
jurusan yang mereka jalani. Perjuangan paling besar yang dijalani oleh para murid adalah dalam
upaya mereka untuk lolos dari concours yang dilaksanakan sebagai ujian saringan masuk ke
perguruan-Perguruan Tinggi yang terbaik yang bisa dijangkau, demi masa depan mereka.
101
4.3.2.5 Ciri Khas Sistem Pendidikan Prancis
Dalam dua puluh tahun terakhir telah terjadi dua kali perombakan besar di dalam sistem
pendidikan Prancis dengan perombakan terakhir terjadi di tahun 2005. Dengan perombakan yang
terakhir ini sistem pendidikan Prancis memfokuskan diri untuk mengembangkan tujuh
kompetensi pada diri murid: 1) penguasaan bahasa Prancis, 2) penguasaan aktif satu bahasa
asing, 3) perolehan budaya Matematika dan Sains, 4) kefasihan teknologi informasi, 5)
penguasaan humaniora, 6) kompetensi sosial dan kewarganegaraan, dan 7) pengembangan jiwa
yang otonom dan berinisiatif.71
Dari ketujuh poin di atas, penguasaan bahasa Prancis, penguasaan humaniora serta
kompetensi sosial dan kewarganegaraan adalah poin-poin penting yang telah ada sejak sistem-
sistem pendidikan sebelumnya. Masyarakat Prancis telah lama menaruh perhatian penting pada
penguasaan kebudayaan secara umum. Setiap murid, apa pun jurusan yang diambilnya, harus
pula mendalami Filsafat, Bahasa Prancis, Sejarah-Geografi, serta Bahasa Inggris. Semua
pelajaran ini memberikan bekal yang dirancang untuk menjadi fondasi culture générale,
demikian tutur R82. Dengan culture générale ini diharapkan bidang apa pun yang mereka dalami,
mereka akan dapat memijakkan bidang kompetensi mereka itu pada sebuah wawasan kebudayaan
yang memberikan konteks kepada bidang kompetensi itu. R82 lebih lanjut memaparkan bahwa
bidang-bidang culture générale diharapkan menghindarkan orang dari pola pikir yang picik dan
kepakaran yang sempit.
Setiap guru di dalam sistem pendidikan Prancis dituntut untuk menguasai satu bidang studi
saja, sebagaimana halnya di dalam sistem pendidikan di Indonesia, tetapi guru-guru tidak
mendalami bidang studi ini di sebuah jurusan khusus ilmu keguruan. Seperti halnya dalam sistem
pendidikan Jerman, mereka yang berminat menjadi guru tetap kuliah di jurusan yang hendak
diampunya dan baru kemudian mengikuti kelas persiapan untuk concours dan memperoleh
102
sertifikat profesional sebagai guru. Walaupun guru hanya menguasai satu bidang studi, kurikulum
Prancis memiliki kebanggaan dengan adanya kurikulum yang membuka wawasan murid kepada
ilmu secara luas dan tidak menspesialisasikan murid terlalu dini.
Dari pemaparan R82, terungkap keunikan lain dari sistem pendidikan Prancis, yaitu
penggabungan Sejarah dan Geografi ke dalam satu mata pelajaran dan pelajaran ini menjadi
pelajaran wajib untuk setiap murid di sepanjang masa studi mereka. Pelajaran Sejarah-Geografi
memberikan wawasan kewarganegaraan kepada murid-murid dan dipandang sebagai salah satu
pelajaran inti yang tak dapat diabaikan sebagai upaya pembangunan jati diri sebagai bangsa
Prancis. Walaupun diakui juga oleh para guru bahwa ilmu-ilmu sosial memiliki kegunaan yang
tak nampak secara langsung dalam pekerjaan dan pembangunan fisik, tetapi ilmu-ilmu sosial
dipandang memiliki fungsi yang penting sebagai fondasi dari struktur intelektual yang dimiliki
masing-masing orang serta struktur kebangsaan Prancis.
Sejarah, misalnya, dipandang bukan semata-mata sebuah pelajaran yang berisi fakta-fakta
tetapi sebuah upaya untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan mengasah keterampilan
menganalisis. Dengan menguasai Sejarah, orang akan dimampukan untuk memahami satu
keadaan dari berbagai sudut pandang, menganalisisnya secara tajam, berargumentasi dan
mengkritik sudut pandang yang ada serta menawarkan solusi atas isu yang dihadapi secara
komparatif sehingga bersama-sama dengan pihak-pihak lain bisa tiba pada satu pemahaman yang
lebih lengkap atas permasalahan yang dihadapi. Pelajaran Sejarah, dipandang dengan
pemahaman yang demikian, menjadi suatu ilmu yang fundamental untuk membentuk kesadaran
pribadi dan juga kesadaran publik. Penguasaan atas Sejarah akan memampukan orang untuk
menerapkan metodologi Sejarah dalam bidang ilmu apa pun yang digelutinya.
Bagi R82, seorang guru Sejarah-Geografi, mempelajari Sejarah pada dirinya sendiri juga
sangat mendasar untuk memampukan orang melihat dirinya di dalam konteks ruang dan waktu
103
sehingga tidak kehilangan akar budaya. Di dalam era dunia yang mengglobal ini, sejarah lokal
bukannya menjadi tidak perlu, tetapi justru semakin perlu. Murid-murid perlu diajarkan
menemukan diri mereka dalam konteks sejarah internasional, regional, nasional dan lokal. Untuk
negara dengan keragaman budaya seperti Indonesia dan Prancis, menurut R82, budaya lokal tetap
perlu diajarkan dan tidak menjadi lenyap di dalam budaya nasional sehingga tidak terjadi
pemiskinan budaya. Malah, beliau berpendapat pula bahwa inilah yang menyebabkan ilmu-ilmu
sosial disingkirkan selama masa Orde Baru di Indonesia:
R82 : Saya pikir di Indonesia ya, ini pribadi ya, sistem Indonesia tidak bersikap adil terhadap
ilmu. Ada ilmu-ilmu yang ingin diasingkan sebagai dampak dari potitik yang
dilakukan pada masa Soeharto. Jadi itu adalah bagian dari tindakan politik yang ingin
menjauhkan masyarakat dari pemahaman kultural yang mendasar. Dengan Sejarah dan
Geografi orang akan memiliki pemahaman budaya yang lebih luas dan diperlengkapi
untuk melakukan kritik budaya, tentu di antaranya juga kritik terhadap pemerintah,
tetapi itu dilakukan secara sukarela, berdasarkan kesadaran pribadi. Ilmu itu sendiri
bukanlah bagian dari entitas politik. Dan hari ini, tidak ada lagi sentimen politik, tetapi
apa yang sudah terjadi sudah menjadi kebiasaan sehingga terjadi kesinambungan yang
berkepanjangan.
Sejarah-Geografi. Sejarah adalah ilmu yang sangat bernilai untuk membantu kita
memahami semua ilmu lainnya. Sejarah semuanya. Sejarah Kedokteran. Sejarah
Ekonomi. Sejarah Matematika. Sejarah Politik. Dengan belajar sejarah, kita belajar
menganalisis, belajar bersikap kritis, melihat hal-hal yang mendasar dalam setiap studi.
R81, seorang guru bahasa Jerman membandingkan sistem pendidikan Jerman dan Prancis
dengan mengatakan bahwa dalam sistem pendidikan Jerman, sangat penting orang bisa
berefleksi; dalam sistem pendidikan Prancis, ada kombinasi antara menghafal dan berefleksi;
tetapi kemampuan berefleksi tetap adalah satu hal yang sangat penting untuk dikuasai oleh setiap
orang.
104
4.3.2.6 Kesimpulan
Jadi, dalam sistem pendidikan Prancis, keunikan yang ada adalah penekanan yang sangat
besar pada kebanggaan sebagai bangsa Prancis. Penekanan itu berbuah kepada upaya pendidikan
yang memberikan perhatian yang besar pula terhadap culture générale sebagai fondasi atas
struktur intelektual dan struktur kehidupan berbangsa. Ilmu-ilmu sosial diakui sebagai ilmu-ilmu
yang tidak memiliki kontribusi langsung terhadap pekerjaan dan pembangunan fisik, tetapi
disadari sebagai fondasi yang sangat penting bagi landasan kehidupan berbangsa.
4.4 Penutup
Dengan demikian hasil wawancara dengan para responden di kedelapan sekolah telah
dipaparkan. Kini kita akan beralih kepada analisis atas hasil wawancara ini di dalam Bab V.
105
BAB V
ANALISIS
Dalam bab ini hasil wawancara yang telah dipaparkan di dalam Bab IV akan dianalisis
secara tematik berdasarkan indikator-indikator penelitian yang disajikan di dalam Bab III. Hasil
ini juga akan dianalisis menggunakan kedua pendekatan yang dipaparkan di dalam Bab II untuk
membawa kita kepada jawaban-jawaban atas pertanyaan penelitian. Dengan demikian, pertama-
tama akan dipaparkan hasil penelitian atas tujuan penyelenggaraan sekolah, kemudian hasil
penelitian atas persepsi kebernilaian ilmu-ilmu. Ketiga, hasil penelitian atas sikap ideal terhadap
ilmu-ilmu dan terakhir hasil penelitian atas kontribusi ilmu terhadap tujuan pendidikan nasional.
5.1 Tujuan Penyelenggaraan Sekolah
5.1.1 Sekolah-Sekolah Nasional
Dalam wawancara yang dilakukan kepada para responden di sekolah-sekolah nasional
Indonesia, tujuan orang tua mengirimkan muridnya ke sekolah beragam menurut kondisi sosio-
ekonomi orang tua. Dua sekolah berada di ekstrem dari spektrum jawaban ini, yaitu SMA Negeri
35 yang orang tuanya mengirim anaknya bersekolah antara lain untuk menghindarkan anak-anak
mereka dari pergaulan yang salah dan SPH yang orang tuanya mengirimkan anak sebagai bagian
dari satu alur pendidikan yang telah mereka tetapkan untuk anak-anak mereka. Dua alasan ini,
walaupun beranjak dari titik yang berbeda, membuat anak-anak tidak terlibat secara aktif di
dalam proses pendidikan yang mereka sendiri jalani. Bagi murid-murid ini, mereka bukanlah
aktor yang aktif dalam kehidupan mereka sendiri, melainkan hanya diarahkan oleh orang tua
mereka di dalam ketidaktahuan dan terkadang dalam ketidakpedulian mereka.
106
Baik guru-guru di SMA Negeri 35 maupun di SPH sama-sama menyatakan bagaimana
murid-murid mereka perlu dimotivasi terus-menerus untuk menumbuhkan semangat dan
menyadarkan bahwa ada sesuatu yang bisa diperjuangkan dan diraih. Di kedua sekolah ini,
pemilihan jurusan bukanlah suatu isu yang esensial bagi murid-murid selain soal gengsi atau
kesantaian dalam menjalani studi yang berkaitan dengan jurusan yang mereka pilih. Murid-murid
tidak melihat bahwa studi yang mereka jalani adalah bagian dari kehidupan yang harus mereka
tempuh kelak dengan tanggung jawab pribadi yang melekat pada diri mereka di dalam studi ini.
Di SMA Negeri 35, guru-guru melakukan proses pendidikan untuk mempersiapkan murid-
murid mereka untuk siap bekerja kendati kurikulum yang mempersiapkan murid-murid ini untuk
siap melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini harus dilakukan karena
kondisi sosio-ekonomi masyarakat di mana mereka berada. Proses belajar yang demikian sangat
penting karena guru-guru ini berupaya untuk membawa murid-murid yang dalam keterbatasan
lingkungan dan sumber dayanya berubah dari sekedar seseorang yang memiliki sikap seorang
korban yang tak berdaya di dalam kehidupan mereka kepada keadaan di mana mereka memiliki
kesadaran bahwa ada sesuatu yang bisa diubah, yaitu mereka menjadi berpengetahuan dan untuk
beberapa orang yang beruntung, mereka bahkan bisa menjadi pelaku-pelaku yang aktif mengubah
kehidupan mereka, keluar dari perangkap kondisi sosio-ekonomi keluarga mereka.
Bagi murid-murid di SMA Tarakanita 1, ekstra kurikuler yang ditawarkan sekolah
merupakan daya tarik sendiri untuk menempuh pendidikannya di sekolah itu. Hal ini
dimanfaatkan oleh pihak sekolah untuk mengembangkan bakat kepemimpinan dan kemandirian
murid melalui kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang ditawarkannya. Di Kolese Gonzaga /
Seminari Wacana Bhakti, pendidikan yang ditujukan untuk para calon imam ini memiliki
pendekatan yang khas untuk mengembangkan kemampuan anak berefleksi dan menentukan
pilihan sehingga digunakan pendekatan yang holistik. Di kedua sekolah ini, murid-murid dididik
107
untuk berperan lebih aktif di dalam proses pendidikan mereka sendiri dan keluar sebagai
manusia-manusia mandiri yang bisa berkontribusi bagi orang di sekitarnya. Inilah murid-murid
yang bisa menjadi pelaku aktif di dalam kehidupan mereka, memilih dan memanfaatkan studi
sesuai dengan panggilan mereka dalam hidup.
Sekolah-sekolah lainnya menyelenggarakan pendidikan untuk mengantarkan anak-anaknya
ke bangku Perguruan Tinggi dengan bekal akademik yang kuat, tetapi dari wawancara yang
dilakukan tidak nampak adanya tujuan besar lainnya selain persiapan menuju bangku Perguruan
Tinggi.
5.1.2 Sekolah-Sekolah Internasional
Bagi DIS, tujuan penyelenggaraan sekolah yang terdengar sangat jelas melalui pernyataan
para guru maupun murid adalah kemandirian individu. Hal ini terjadi baik melalui hidden
curriculum, kurikulum lintas-pelajaran, hingga kepada pemberian tugas-tugas dan model belajar
di dalam kelas. Sekolah hadir untuk membentuk jati diri yang utuh pada diri masing-masing
murid sehingga menjadi pribadi yang mandiri sejak sedini mungkin.
Di LIF, tujuan penyelenggaraan sekolah yang terdengar sangat jelas melalui pernyataan
para guru maupun murid adalah pembangunan jiwa dan kebanggaan sebagai bangsa Prancis. Hal
ini dilakukan melalui ilmu-ilmu sosial yang diposisikan sebagai fondasi bagi ilmu-ilmu lainnya di
dalam pembentukan pola pikir para murid sepanjang masa studi.
5.2 Persepsi Kebernilaian Ilmu-Ilmu
5.2.1 Sekolah-Sekolah Nasional
Pernyataan yang terungkap berulang kali dari berbagai responden adalah bahwa IPA
dipandang superior terhadap IPS karena adanya sisi matematis yang dominan di dalam pelajaran-
108
pelajaran IPA dan nyaris tidak ada di dalam pelajaran-pelajaran IPS. Keterampilan berhitung
nampaknya adalah satu kompetensi yang sangat dihargai oleh masyarakat sehingga ilmu-ilmu
yang tidak mengembangkan keterampilan dipandang sebagai ilmu nomor dua.
Responden guru di SMA Tarakanita dan SPH yang merupakan kalangan ekonomi
menengah ke atas bahkan menyatakan bahwa IPS bisa saja memiliki gengsi yang setara dengan
IPA asalkan murid-murid IPS diajarkan Matematika untuk digunakan dalam analisis sosial.
Artinya, kalaupun IPS bisa dipandang setara dengan IPA, kesetaraan itu bukanlah sesuatu yang
inheren pada ilmu-ilmu sosial itu sendiri dengan metodologinya tetapi harus dicapai dengan
menggunakan metodologi ilmu-ilmu alam untuk menganalisis masalah ilmu-ilmu sosial. Ini
adalah pendekatan yang sangat positivistik.
Di SMAK 3 BPK Penabur, SPH, Tarakanita 1 dan Ketapang semua atau hampir semua
alumni mereka bisa dipastikan akan melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi sehingga
pemilihan jurusan berkaitan dengan jurusan yang hendak dipilih di Perguruan Tinggi. Di antara
sekolah-sekolah ini, murid-murid SMAK 3 BPK Penabur secara umum nampak paling realistis
memilih jurusan yang sejalan dengan rencana mereka untuk mendalami studi tertentu di
Perguruan Tinggi sehingga berani mengambil jurusan IPS. Di tempat lainnya, murid-murid
mengambil jurusan IPA entah karena paksaan orang tua atau untuk mencari aman karena belum
mengetahui jurusan apa yang hendak ditekuninya di Perguruan Tinggi.
Satu temuan yang menarik adalah munculnya fenomena tempat les sebagai komplemen dari
sekolah. Disebutkan di SMAK 3 BPK Penabur dan SPH bahwa kebijakan pemerintah
membebaskan murid dari jurusan apa pun di SMA untuk bebas memilih jurusan di Perguruan
Tinggi membuat hal terpending yang dibutuhkan dari pendidikan di SMA dan tidak bisa
didapatkan di tempat lain adalah ijazahnya. Untuk bisa masuk ke Perguruan Tinggi, murid-murid
bahkan bisa lebih mengandalkan bimbingan les yang menawarkan materi yang spesifik sesuai
109
kebutuhan murid untuk mengikuti ujian masuk di Perguruan Tinggi. Seorang murid yang hendak
masuk ke IPA karena ingin masuk ke Fakultas Kedokteran tetapi ditolak bisa tetap bersekolah di
jurusan IPS dan tetap masuk ke Fakultas Kedokteran dengan mengikuti bimbingan les. Bahkan,
seorang murid bisa juga sengaja memilih jurusan IPS yang tuntutan akademiknya lebih ringan
dan mengkomplemenkan studinya di jurusan IPS dengan bimbingan belajar untuk masuk ke
Perguruan Tinggi.
Jadi, dari sikap-sikap yang dijumpai ini dapat disimpulkan bahwa komunitas sekolah
sendiri tidak mempercayai bahwa IPA dan IPS bisa menduduki posisi yang setara dalam tataran
ilmu-ilmu. IPS hanya bisa setara dengan IPA jika menggunakan metodologi IPA. Tetapi, dalam
konteks pendidikan di SMA, yang paling bernilai bukanlah ilmu yang didapat dari IPA atau dari
IPS melainkan ijazahnya karena kompetensi atas ilmu itu sendiri bisa didapatkan secara à la
carte dari tempat bimbingan belajar.
5.2.2 Sekolah-Sekolah Internasional
DIS memiliki kurikulum Sains yang lebih kuat dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum
nasional lainnya. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa DIS mengabaikan ilmu-ilmu sosial.
Bahkan sebaliknya, sementara Sains merupakan bagian dari pelajaran konsentrasi pilihan, ilmu-
ilmu sosial dijadikan bagian dari pelajaran wajib. Setiap murid dipaparkan kepada suatu spektrum
ilmu, dari kesenian dan olahraga hingga sains dan filsafat. Penerimaan atas seluruh spektrum
ilmu ini dilakukan dengan membuat orang memiliki wawasan yang terbuka serta kreativitas
dalam bidang apa pun yang ditekuninya karena perspektif-perspektif yang dimilikinya dari
bidang-bidang ilmu lain yang terpapar kepada wawasannya. Hal yang sama menjadi nyata juga
melalui pendidikan guru yang dilakukan dengan mewajibkan guru setidaknya menguasai dua
bidang studi untuk diampu.
110
Salah satu hal yang paling dibanggakan oleh LIF adalah kurikulumnya yang memiliki
cakupan yang luas. Di dalam kurikulum LIF, disadari bahwa ilmu-ilmu sosial tidak memiliki
kontribusi yang langsung dan nyata terhadap pekerjaan dan pembangunan fisik, tetapi ilmu-ilmu
sosial sangat dihargai sebagai fondasi yang tak terabaikan dalam upaya pendidikan setiap murid
menjadi manusia Prancis dengan jiwa kebangsaan yang kuat. Maka, di dalam kurikulum Prancis,
sementara ilmu-ilmu alam tersedia sebagai salah satu pilihan konsentrasi studi, ilmu-ilmu sosial
diwajibkan untuk diambil oleh semua murid.
5.3 Sikap Ideal terhadap Ilmu-Ilmu
Di dalam rumusan tujuan pendidikan nasional Indonesia dinyatakan bahwa kita hendak
menghasilkan warga negara yang, antara lain, berakhlak mulia, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tetapi, dari hasil wawancara yang dilakukan di
dalam rangkaian penelitian ini terlihat bahwa sikap yang dihasilkan oleh sistem pendidikan
nasional Indonesia pada diri guru-guru dan murid-murid, juga para orang tua murid, adalah sikap
yang sangat pragmatis. Masa SMA dipandang semata-mata sebagai satu langkah yang harus
dilalui untuk tiba pada jenjang Perguruan Tinggi dan kemudian pada dunia pekerjaan. Tidak ada
satu hal penting yang bisa secara khusus diperoleh murid-murid dari masa SMA ini, kecuali dari
para responden di SMA Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti yang menekankan pentingnya
pengembangan keterampilan berefleksi dan bertanggung jawab.
Sebagaimana halnya dalam sistem pendidikan Jerman orang tua mengarahkan murid untuk
memilih Gymnasium, dalam sistem pendidikan Indonesia orang cenderung memaksa anaknya
memilih IPA ketimbang jurusan lainnya karena jurusan itu membuka pintu kesempatan yang
lebih luas. Tetapi, pada sistem pendidikan Jerman pemilihan itu dibuat pada kelas V sedangkan
pada sistem pendidikan Indonesia pemilihan itu dibuat pada kelas X, pada suatu usia yang jauh
111
lebih matang. Pada sistem pendidikan Jerman ada murid yang sudah harus menentukan
pilihannya untuk mandiri dan bekerja serta memilih sekolah kejuruannya sendiri selepas kelas IX.
Sistem Jerman nampak mengembangkan kemandirian yang besar pada diri murid, suatu hal yang
tercantum dalam tujuan pendidikan nasional kita tetapi tidak nampak di dalam proses pemilihan
jurusan di kelas X ini.
Jurusan ES di dalam sistem pendidikan Prancis tidak lebih santai daripada jurusan S. Ketika
murid memilih ES, ia pun harus mengasah keterampilan menganalisisnya dengan baik. Ketika
murid memilih S, ia pun harus belajar culture générale untuk memampukannya melakukan
analisis dalam bidang kompetensinya di S dengan baik. Kemampuan analisis yang diasah pada
masing-masing bidang adalah unik karena itu murid dipaparkan kepada kedua bidang ini
sehingga memiliki wawasan yang luas dalam berpikir dan memecahkan masalah. Masing-masing
ilmu memiliki metodologi dan kewibawaannya sendiri. ES tidak harus meminjam metodologi S
untuk dapat dihargai dengan baik.
Sikap-sikap yang dijumpai pada sistem pendidikan Jerman dan Prancis ini adalah sikap-
sikap yang menghargai baik ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam sesuai dengan porsinya masing-
masing dan pada tempatnya. Dari hasil yang mereka capai dalam pendidikan mereka
menggunakan perspektif ini, kita bisa mengatakan dengan yakin bahwa masing-masing ilmu
memiliki tempatnya sendiri di dalam tatanan ilmu-ilmu, masing-masing dapat memiliki
metodologi yang sah untuk ruang lingkupnya masing-masing tanpa harus diperbandingkan satu
sama lain.
Dari psikologi Gestalt kita belajar bahwa pendidikan terutama diperlukan untuk membawa
manusia kepada momen pencerahan. Tugas guru adalah menuntun murid-muridnya di dalam
proses pendidikan agar murid-muridnya tiba pada momen-momen penemuan-penemuan yang
membuat dia bertumbuh di dalam pemahaman terhadap dunia nyata. Guru hadir sebagai
112
penuntun yang membantu murid memaknai pengalaman yang baru ditemuinya itu sehingga bisa
diintegrasikan dengan baik dalam pemahaman muridnya terhadap dunia. Psikologi Gestalt secara
gamblang menolak metode pengajaran secara menghafal karena pembelajaran yang dihasilkan
dapat diperoleh tanpa perlu bersekolah.
Sistem pendidikan di DIS dan LIF menunjukkan bagaimana pembelajaran yang utuh dapat
dilakukan di sekolah. Sistem pendidikan DIS, khususnya, sangat baik menjabarkan apa yang
psikologi Gestalt katakan sebagai penguasaan hal-hal yang esensial bagi kehidupan. Integrasi
yang baik antara berbagai disiplin ilmu serta penekanan materi kurikuler pada hal-hal yang
esensial bagi pengembangan kepribadian yang mandiri dan bertanggung jawab sejak dini
merupakan pengejawantahan dari penggunaan ―psychological events‖ yang cenderung dimaknai
secara bermakna dan lengkap.
Dengan mengkombinasikan antara hidden curriculum secara terencana dan pelajaran-
pelajaran lintas-kurikulum, sistem pendidikan di DIS sebenarnya tengah memberikan
pengalaman-pengalaman yang bermakna dan lengkap, suatu upaya yang secara tidak sadar
mengondisikan murid sejak usia yang sangat dini kepada nilai-nilai yang disodorkan melalui
kurikulum-kurikulum itu, baik nyata maupun tesembunyi.
Jika pemerintah Indonesia hendak mencapai tujuan pendidikan nasional yang
dijabarkannya dengan sangat baik, maka bercermin dari psikologi Gestalt dan penerapannya pada
kurikulum DIS, pemerintah perlu dengan serius merancang hidden curriculum yang terintegrasi
dengan baik. Tentu, ini mewajibkan peran serta yang aktif dan dinamis dari guru-guru sebab
hanya guru-guru yang kompetenlah yang mampu menjalankan hidden curriculum tersebut.
Kurikulum Jerman bukanlah kurikulum yang mengandalkan dokumen-dokumen untuk
menjabarkan ―nilai-nilai‖ yang hendak ditanamkan pada diri murid-murid dan menatar guru-guru
untuk memahami nilai-nilai itu. Nilai-nilai tersebut hadir di dalam kehidupan para guru yang
113
memang telah melalui proses pendidikan yang matang, termasuk di antaranya dengan tuntutan
menguasai sekurang-kurangnya dua mata pelajaran untuk memperluas wawasannya.
Pendidikan Indonesia, untuk mencapai titik tolak yang serius, perlu mempertimbangkan
dengan baik-baik bagaimana menghasilkan guru-guru yang memiliki wawasan luas dan mampu
menyusun serta melaksanakan strategi pembelajaran yang holistik kepada murid-muridnya
ketimbang strategi yang fragmentaris hanya pada mata pelajaran yang diampunya sendiri.
Dari sisi lain, infrastruktur pendidikan yang digunakan di LIF nampaknya lebih menyerupai
sistem pendidikan yang kita miliki di Indonesia. Guru-guru yang hanya dituntut menguasai satu
bidang studi, sistem ujian pada setiap jenjang pendidikan, juga struktur pemilihan jurusan antara
ES (IPS), S (IPA) dan L (Bahasa). Menilik sistem pendidikan Prancis, pengondisian untuk
menghasilkan pembelajaran yang terintegrasi lebih terletak pada sistemnya daripada pada guru-
gurunya. Guru hanya dituntut untuk menguasai satu ilmu, tetapi murid-murid diwajibkan untuk
belajar Filsafat, bahasa Prancis, Sejarah-Geografi, serta bahasa Inggris.
Filsafat ide kosmonomis mengatakan bahwa ada aspek-aspek pengalaman hidup manusia
yang sangat esensial untuk mendefinisikan kemanusiaan kita dan ada pula aspek-aspek
pengalaman hidup manusia yang kita bagi bersama dengan makhluk hidup lainnya dan juga
benda-benda mati. Aspek-aspek yang pertama disebut aspek-aspek normatif dan aspek-aspek
yang kedua ini disebut aspek-aspek anormatif.
Menilik sistem pendidikan Prancis dari segi filsafat ide kosmonomis, nampak jelas bahwa
sistem pendidikan Prancis menempatkan aspek-aspek normatif sebagai landasan yang wajib
dikuasai oleh semua orang yang terlibat di dalam sistem pendidikannya. Fisafat menempati
urutan ke-14 pada aspek-aspek filsafat ide kosmonomis, bahasa Prancis sebagai bahasa ibu
adalah aspek ke-9 dan 12, materi yang dicakup dalam Sejarah-Geografi mencakup aspek-aspek
ke 7-11, sedangkan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional adalah aspek ke-9.
114
Sangat mudah dan alami bagi sistem pendidikan untuk mengutamakan aspek-aspek
anormatif dalam sistem pendidikannya sebagaimana telah dijabarkan dalam Bab II. Tetapi jika
pemerintah serius hendak mencapai tujuan nasional yang dirumuskannya, maka tak terhindarkan,
aspek-aspek normatiflah yang harus ditargetkan untuk dicapai sebagai landasan pendidikan yang
holistik untuk setiap murid dan setiap guru untuk diperjuangkan.
5.4 Kontribusi Ilmu terhadap Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional
Di dalam studi yang dilakukan nampak jelas bahwa para responden dari sekolah-sekolah
nasional, kecuali R51, tidak memiliki satu perspektif yang holistik dan gamblang terhadap
seluruh ilmu dan bagaimana ilmu-ilmu itu bisa hadir bersama secara setara untuk memampukan
manusia memaknai pengalaman hidupnya. Sebaliknya, perspektif yang holistik itu nampak jelas
pada para responden dari DIS dan LIF walaupun dengan cara yang berbeda.
DIS menggunakan sebuah pendekatan lintas-kurikulum yang disinergikan dengan hidden
curriculum pada tingkat dasar sehingga menjadi piramida yang kokoh bagi murid-murid untuk
mengambil studi mendalam di salah satu bidang pada tingkat Gymnasium. Walaupun memiliki
penekanan materi dalam Sains, DIS juga memberikan penekanan yang konsisten pada bidang-
bidang pendukung seperti olahraga, kesenian dan filsafat yang harus dikuasai oleh para murid
sementara para guru memiliki ide yang jelas bagaimana disiplin-disiplin ini berkontribusi bagi
pengembangan jati diri murid yang utuh.
Sementara itu, LIF menggunakan pendekatan yang menempatkan aspek-aspek normatif
filsafat ide kosmonomis sebagai landasan yang kokoh bagi pengembangan struktur intelektual
yang solid serta jiwa kebangsaan yang kuat. Dengan membangun aspek-aspek normatif inilah
sistem pendidikan Prancis dapat menjamin bahwa ia akan menghasilkan warga negara yang baik,
yang mampu ―menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖
115
Maka, paradigma yang perlu dikembangkan di antara anggota-anggota masyarakat untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah bahwa setiap ilmu yang ada, hadir dari
kebutuhan manusia untuk memahami dan memaknai pengalaman hidupnya. Karena itu, setiap
ilmu hadir dengan ruang lingkup dan pendekatannya masing-masing yang unik. Jika kita ingin
menciptakan manusia yang utuh, maka pengalaman hidup manusia pun perlu ditangani secara
utuh. Kita tidak bisa mengharapkan menghasilkan manusia yang utuh sementara hanya sebagian
dari sisi-sisi pengalaman kemanusiaan yang diasah.
Tugas pemerintah di dalam upaya mewujudnyatakan sistem pendidikan nasional adalah
dengan berpikir strategis dan bertindak secara strategis pula dalam konteks ilmu pendidikan.
Setiap ilmu memiliki tempatnya sendiri di dalam tatanan ilmu, pertanyaannya adalah bagaimana
kita memanfaatkan masing-masing ilmu itu sesuai dengan naturnya, untuk membantu kita
memaknai pengalaman hidup kita dan membentuk ruang publik yang kita inginkan bersama,
sebuah negara yang demokratis dan sebuah bangsa yang berperadaban tinggi.
Dengan pembahasan ini, maka kini kita akan memasuki Bab VI, kesimpulan dan saran.
116
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan di atas, maka kini pertanyaan-pertanyaan
penelitian yang diajukan akan dijawab sebagai kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan.
1. Superioritas IPA terhadap IPS nyata pada pandangan sejumlah guru maupun orang tua
murid, tetapi pada murid-murid kesan superioritas IPA terhadap IPS ini berkurang sangat
jauh. Murid-murid bisa bersikap lebih realistis terhadap perbedaan IPA dan IPS sebagai dua
disiplin ilmu yang berbeda untuk orang-orang dengan minat dan rencana hidup yang
berbeda.
2. Superioritas IPA terhadap IPS terjadi karena dua faktor: a) Matematika dipandang sebagai
ilmu kunci untuk menjadi pintar, dan b) tuntutan studi yang padat dan lebih menantang di
IPA sehingga membentuk disiplin dan etos yang lebih baik.
3. Faktor kedua (2b) tersebut mencuat karena masa-masa kelas XI dan XII di SMA dipandang
semata-mata hanya sebagai satu segmen dari masa studi yang harus dilalui dengan memilih
antara IPA atau IPS sebelum mereka bisa tiba di bangku Perguruan Tinggi. Kenyataannya,
secara umum para responden tidak merasa bahwa studi di tingkat SMA, entah IPA maupun
IPS, memiliki korelasi sedemikian jauh hingga kepada pekerjaan maupun potensi
penghasilan.
4. Di Perguruan Tinggi-lah isu-isu pekerjaan dan potensi penghasilan dibicarakan dan
kenyataannya di tingkat Perguruan Tinggi orang tua tidak lagi mengunggulkan Fakultas
Teknik maupun Kedokteran apalagi MIPA, melainkan Fakultas Ekonomi. Ini membuktikan
117
bahwa MIPA tidak diunggulkan demi MIPA itu sendiri. Pendidikan di SMA dipandang
terutama penting untuk membentuk karakter, kedisiplinan dan membukakan wawasan yang
luas, tetapi tidak untuk persiapan bekerja maupun melulu untuk memperoleh penghidupan
yang layak.
5. Sikap pragmatis terhadap pendidikan di SMA nampak dari pilihan bersekolah di jurusan
IPS (―agar santai‖) dan mengkombinasikannya dengan bimbingan belajar. Artinya, SMA
diperlukan untuk mendapatkan ijazahnya sedangkan penguasaan materi sebagai pijakan
untuk kuliah justru adalah hal sekunder yang bisa didapatkan dengan upaya mandiri atau
dari bimbingan les.
6. Jadi, dapat disimpulkan bahwa proses belajar di SMA bukanlah suatu hal yang dipandang
sangat berharga dan tak tergantikan. Hal ini dapat dipahami ketika pendidikan menekankan
fokusnya pada aspek-aspek anormatif dalam filsafat ide kosmonomis, maka penguasaan
materi dipandang jauh lebih penting dibandingkan diskusi yang terjadi untuk tiba pada
pemahaman bersama sehingga hasil belajar pun dipandang lebih penting dibandingkan
dengan proses belajarnya sendiri.
7. Perlu dicatat bahwa hasil wawancara dengan para responden di sekolah-sekolah Indonesia
tidaklah seragam. Secara umum dapat dikatakan ada dua suara yang disonan terhadap
keseluruhan respon, yaitu R21 dan R51. Kedua responden ini memberikan jawaban yang
menyerupai idealisme yang dipaparkan oleh para responden dari DIS dan LIF dalam sikap
mereka terhadap ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi jawaban mereka ini
nampaknya lebih berupa idealisme pribadi yang hendak mereka bentuk ke dalam dinamika
sekolah mereka masing-masing karena jawaban-jawaban dari tiga orang responden lainnya
di sekolah masing-masing tidak mengkonfirmasikan jawaban mereka.
118
6.2 Saran
1. Pemerintah perlu mengejawantahkan tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskannya
secara strategis ke dalam kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan tujuan itu sehingga
dihasilkan proses belajar yang bermakna bagi setiap murid.
2. Pengejawantahan itu dilakukan secara sistemik, termasuk di antaranya dengan
memperhatikan nilai inheren masing-masing ilmu sesuai dengan ruang lingkup ―hukum‖-
nya sebagaimana dipaparkan oleh Dooyeweerd dan juga memperhatikan pembentukan
hidden curriculum.
3. Dalam konteks hidden curriculum, pemerintah perlu dengan serius mengondisikan
terjadinya hidden curriculum yang terintegrasi dengan baik sehingga peranan sekolah
bukanlah sebagai tempat diseminasi informasi belaka, tetapi lebih mendekati apa yang
dikatakan oleh Rhenald Kasali:72
Kepintaran seseorang dalam dunia akademis bukan penentu tunggal dalam kesuksesan hidup.
Bahkan, bukan itu pula tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah untuk memperbaiki cara
berpikir seseorang, sekaligus membebaskan manusia dari berbagai belenggu mitos yang
mengikatnya.
4. Setiap orang yang berkepentingan di dalam dunia pendidikan, baik guru, orang tua murid,
maupun pemerintah, perlu belajar menghargai keunikan masing-masing ilmu sehingga
manusia bisa memahami dan memaknai pengalaman hidupnya dengan lebih utuh dan
menyeluruh. Apa yang dikatakan Heryanto dalam tulisannya Ideological Baggage and
Orientations of the Social Sciences in Indonesia, adalah suatu hal yang harus kita
tinggalkan:73
Viewed from an extreme vantage point, the social sciences in Indonesia have always openly
and almost totally been in the service of whatever government was in power. The change in
rulers over thesame state, from the formation of the colonial Dutch Indies state to that of the
Republic of Indonesia post-1998, has not brought with it any radical change in the character
119
or orientation of the interests of the government, nor in the policies used to promote the
development of the social sciences.
5. Di tengah kurangnya peran serta pemerintah secara strategis terhadap pencapaian tujuan
pendidikan nasional, maka sekolah-sekolah dapat berinisiatif mengemukakan program-
program unggulan yang sesuai dengan karakteristik siswanya untuk menjawab kebutuhan
masyarakat yang dilayaninya, seperti guru-guru SMAN 35 yang memberi pembekalan
vokasional murid-murid mereka dan program-program ekstra kurikuler SMA Tarakanita 1.
6. Insan-insan pendidikan yang memiliki idealisme mereka sebagaimana R21 dan R51 yang
dinyatakan dalam poin kesimpulan ke-7 perlu melakukan sinergi yang lebih luas untuk
mencapai momentum perubahan sehingga dapat terjadi perbaikan di dalam sistem
pendidikan Indonesia, untuk pendidikan yang berpusat pada murid.
6.3 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif berupa wawancara semi-terstruktur
sehingga, tidak seperti metode kuantitatif yang berupaya untuk memperoleh gambaran
menyeluruh atas suatu kondisi yang kemudian akan diperhitungkan mewakili seluruh populasi,
penelitian ini tidak berpretensi hendak menyajikan gambaran menyeluruh yang dianggap
mewakili seluruh populasi. Metode penelitian kuantitatif terkait erat dengan positivisme yang
berupaya untuk memperoleh gambaran yang seeksak mungkin dan didasarkan atas keyakinan
bahwa gambaran yang eksak itu memang dapat dipaparkan.74
Dengan memilih metode kualitatif, maka nilai penting penelitian ini bukanlah pada upaya
untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh atas kondisi masyarakat sesuai pertanyaan
penelitian yang dipaparkan, melainkan pada upaya untuk memperoleh pemahaman yang
120
mendalam pada diri sekelompok responden yang dipilih. Metode wawancara semi-terstruktur
memiliki kelemahan utama:75
Important and salient topics may be inadvertently omitted. Interviewer flexibility in
sequencing and wording questions can result in substantially different reesponses from
different perspectives, thus reducing the comparabiilty of responses.
Sedangkan, kekuatan dari metode ini adalah:76
The outline increases the comprehensiveness of the data and makes data collection somewhat
systematic for each respondent. Logical gaps in data can be anticipated and closed.
Interviews remain fairly conversational and situational.
Keterbatasan lainnya dari penelitian ini adalah pada keragaman sekolah responden.
Walaupun telah diupayakan tersedianya pilihan sekolah yang lebih beragam sebagai responden
untuk mewakili tradisi-tradisi yang khas dalam dunia persekolahan di Indonesia – seperti
madrasah atau sekolah Islam, sekolah negeri dari tingkat sosio-ekonomi yang berbeda serta
sekolah swasta yang tidak berbasis agama – tetapi ternyata banyak sekolah enggan membuka
dirinya untuk menjadi responden atas penelitian ini. Demikian juga pada sekolah-sekolah
internasional. Telah diupayakan lebih banyak sekolah internasional untuk menjadi pembanding,
tetapi banyak yang enggan membuka dirinya untuk menjadi responden.
Keterbatasan ketiga terletak pada urutan wawancara yang dilakukan pada sekolah-sekolah
responden. Wawancara pertama-tama dilakukan pada ke-6 sekolah nasional dan baru kemudian
dilakukan wawancara pada sekolah-sekolah internasional. Hal ini dimaksudkan untuk
membandingkan jawaban para responden di sekolah-sekolah nasional dengan para responden di
sekolah-sekolah internasional. Tetapi, ketika ternyata dalam wawancara pada sekolah-sekolah
internasional ditemukan hal-hal baru yang tak terduga sebelumnya, temuan-temuan ini tak dapat
lagi ditanyakan kembali kepada para responden di sekolah nasional, baik karena para murid yang
121
diwawancarai sudah menempuh ujian nasional sehingga tidak boleh dihubungi lagi dan juga
karena keterbatasan waktu penelitian.
6.4 Saran untuk Penelitian Lanjutan
Dari penelitian ini ternyata hipotesis pertama bahwa ―sekolah-sekolah di Indonesia
diselenggarakan dengan fokus untuk menyiapkan lulusan-lulusan yang ‗siap pakai‘ di dunia
pekerjaan‖ kurang tepat karena didapati bahwa yang terpenting dari sekolah adalah ijazahnya.
Kompetensi sendiri bukanlah satu hal yang penting untuk didapatkan di sekolah karena bisa
didapatkan dari tempat les.
Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh murid-murid dan
orang tua mereka mengandalkan tempat-tempat les dan guru-guru les privat untuk mencapai
keberhasilan di sekolah. Juga, dapat diteliti apakah keberhasilan di sekolah itu dicapai untuk
menguasai ilmu tertentu atau sekedar melalui jenjang pendidikan yang tengah dihadapi hingga
ijazah didapatkan. Jika tempat les dan guru les bisa memberikan keberhasilan yang baik di
sekolah, dapat diteliti juga apakah keberhasilan itu didasarkan atas kemampuan tempat les dan
guru les untuk mendidik murid menjadi kompeten dengan cara dan dalam bidang yang tidak
dikuasai oleh guru di sekolah atau semata-mata melalui penyiapan murid untuk menghadapi pola
ujian tertentu yang diberikan oleh sekolah. Hubungan antara les dan sekolah dapat menjadi topik
yang menarik dan cukup luas untuk dikaji lebih dalam sebagai cermin bagi lembaga-lembaga
pendidikan formal untuk mengetahui seberapa efektif lembaga-lembaga formal ini sebenarnya
dalam menjalankan fungsi yang seharusnya menjadi raison d’être-nya.
Elemen yang sangat penting dari sebuah sistem pendidikan adalah guru-gurunya. Dapat
diteliti bagaimana guru-guru masing-masing bidang studi menguasai ilmunya sebagai seorang
cendekiawan. Juga, lebih jauh lagi dapat diteliti seberapa baik guru itu menguasai metode-metode
122
ilmunya sehingga dapat menyajikan ilmunya secara menyeluruh, menarik dan mendalam tanpa
harus menggantungkan nasibnya melulu kepada metode ilmu-ilmu alam seperti Statistika. Dalam
kaitannya dengan kompetensi guru, proses penyiapan seseorang untuk menjadi guru bisa juga
menjadi bahan penelitian yang menarik karena permasalahan yang ada di hadapan ini sangat
mungkin merupakan masalah sistemik yang juga menyangkut model pendidikan guru yang
dilakukan di Indonesia.
Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk menyelidiki bagaimana bentuk konkret dari
sebuah model pendidikan holistik yang baik untuk bangsa Indonesia yang besar ini sehingga
model pendidikan ini dapat mengembangkan jati diri bangsa Indonesia yang di satu sisi siap
menjawab tantangan kemajuan zaman, tetapi di sisi lain juga berakar pada budaya bangsa.
Dengan demikian diharapkan Indonesia akan mempunyai modal yang lebih kuat untuk
menghasilkan sebuah kurikulum nasional yang kokoh dan efektif dalam mencapai tujuan
pendidikan nasional yang telah dirumuskan dengan baik. Kurikulum nasional yang
dikembangkan atas dasar penelitian akan jauh lebih baik dibandingkan kurikulum yang
dikembangkan dengan mengadopsi kurikulum lain yang telah berhasil di masyarakat lain tanpa
direfleksikan terlebih dulu, karena itu penelitian untuk mengenali kondisi yang lebih tepat
mengenai masyarakat Indonesia perlu dilakukan.
Penelitian lainnya yang dapat dilakukan sebagai tindak lanjut dari penelitian ini adalah
bagaimana penghargaan terhadap ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial mempengaruhi keputusan
lulusan SMA dalam menentukan studi lanjutannya dan menentukan kariernya hingga akhirnya
pada tingkat yang lebih luas akan mempengaruhi daya saing Indonesia di tengah kemajuan sains
dan teknologi serta juga menjadi faktor penentu masa depan peradaban bangsa ini.
Dalam hubungannya dengan perguruan tinggi, kesinambungan antara proses belajar di
SMA, ujian nasional yang diwajibkan kepada semua murid SMA, ujian masuk ke perguruan-
123
perguruan tinggi baik swasta maupun negeri, serta kompetensi dasar yang dituntut dari seorang
mahasiswa baru dapat diselidiki sebagai cermin untuk menilai kemenyeluruhan sistem
pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Pembandingan antara standar kompetensi
lulusan SMA dibandingkan dengan standar kompetensi awal mahasiswa dapat dilakukan melalui
penelitian kurikulum dari berbagai dokumen lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia maupun
Departemen Pendidikan Nasional RI.
Dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial sendiri, dapat diteliti mengapa penguasaan
metode-metode ilmu-ilmu sosial sangat kurang dikuasai oleh guru-guru di Indonesia. Sistem
perekrutan guru, penghargaan terhadap guru serta pandangan masyarakat terhadap profesi guru
dapat menjadi elemen-elemen yang diteliti. Penelitian yang lebih serius dan lebih luas dapat pula
dilakukan terhadap faktor-faktor dinamika politik di Indonesia.
Masih ada banyak hal lainnya yang perlu diteliti di dalam sistem pendidikan Indonesia
untuk mengenali masalah-masalah yang kita hadapi di dalam masyarakat yang majemuk dan
sangat besar ini. Tesis ini pun masih banyak memiliki kekurangan dan keterbatasan. Akan
cukuplah jika karya yang sangat terbatas ini dapat memicu penelitian-penelitian lain yang pada
gilirannya dapat membukakan mata masyarakat Indonesia bahwa masih ada begitu besar
kekayaan intelektual yang selama ini diabaikan demi pragmatisme hidup.
6.5 Penutup
Pendidikan hadir untuk mempersiapkan orang memasuki kehidupan dewasa yang
bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang utuh dan berkontribusi dalam kehidupan
bersama. Pendidikan yang diberikan kepada murid-murid akan dapat dikatakan berhasil ketika
murid-murid itu menjadi orang-orang yang berkontribusi dalam kehidupan bersama, bukan hanya
ketika mereka menjadi berhasil memperoleh ijazah dan memperoleh penghidupan dengan cara-
124
cara yang tidak mempedulikan – atau malah dengan merugikan – orang lain, juga lingkungan dan
masyarakat di sekitarnya. Semua itu menuntut upaya yang dilakukan secara sinergis dan sadar
dari pihak-pihak yang terlibat di dalam pendidikan ini untuk merancang pendidikan dengan tetap
mengingat orang-orang yang akan menerimanya, bahwa mereka adalah manusia yang utuh dan
keutuhan itu harus tetap dijaga dalam proses pendidikan yang terjadi.
125
CATATAN AKHIR
1 Neil Postman, The End of Education: Redefining the Value of School, (USA: Vintage,
1996), x. 2 Ibid., 4.
3 Ibid., 5.
4 Ibid., 19ff.
5 Chanet, Jean-François, et al., L’ABCdaire de l’École de la France (Paris: Flammarion –
ANCR, 1999), 10. 6 Bahasa Prancis: ―[Kegiatan] pengajaran dalam masyarakat-masyarakat di masa lalu
berkaitan dengan fungsi-fungsi yang spesifik dalam struktur masyarakat. Maka Atena dan Roma
secara eksplisit membentuk manusia-manusia [untuk menempati fungsi-fungsi] tertentu, khusus
untuk masyarakat [pada masa itu]: seorang warga negara yang mampu berbicara di depan publik
dan melakukan beragam tugas pejabat negara; Karel Agung dalam [upayanya melestarikan
peninggalan] budaya Latin secara khusus memberikan perhatian struktur administratif yang
minim bagi kekaisarannya yang usang pula heterogen; para pemuka agama abad pertengahan
mengikuti evolusi geopolitik: dari pelayanan feodal hingga administrasi kerajaan. Maka sekolah
harus menjadi proyek masyarakat yang melampauinya tapi juga menyatukannya.‖ 7 Hale, John R., Zaman Renaissance, (Jakarta: Tira Pustaka, 1984), 15.
8 Loc.cit.
9 Ibid., 163.
10 Simbolon, Parakitri T., Menjadi Indonesia, (Jakarta: Kompas, 1995), 171.
11 Ibid., 171, 179f.
12 Ibid., 172.
13 Ibid., 168.
14 Ibid., 186, 206ff.
15 Ibid., 184ff.
16 Ibid., 192ff.
17 Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta: Kompas, 2008), 46.
18 Toer, Pramoedya Ananta, Jejak Langkah, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2006).
19 Soedijarto, loc.cit.
20 Cf. Simbolon, Ibid., 215.
21 Geger Riyanto, ―Aku IPA maka Aku Ada‖, (Harian Kompas, 12 Mei 2007), 14.
22 Soedijarto, Ibid., 53.
23 Ibid., 47ff.
24 Simbolon, Ibid., 184f.
25 Cf. Postman, Ibid., 29ff.
26 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3
menyatakan, ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
126
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖ 27
Postman, Ibid., 29f. 28
Ibid., 31. 29
Gutek, Gerald L. ―History of Education.‖ Microsoft® Student 2009 [DVD]. (Redmond,
WA: Microsoft Corporation, 2008). 30
Bagian ini terutama didasarkan pada karya Margaret E. Gredler, Learning and
Instruction, edisi ke-3 dan ke-5. Penggunaan dua edisi ini disebabkan adanya pengeditan yang
dilakukan oleh Gredler sehingga sejumlah ilustrasi yang disediakan pada edisi ke-3 tidak lagi
dimuat pada edisi ke-5, vice versa. 31
Gredler, Margaret E., Learning and Instruction: Theory into Practice (Columbus, Ohio:
Pearson Merril Prentice Hall, 2004), 49. 32
Gredler, Margaret E., Learning and Instruction: Theory into Practice (Columbus, Ohio:
Pearson Merril Prentice Hall, 1997), 34. 33
Gredler (2004), loc.cit. 34
Dikutip oleh Gredler dari Köhler, W., ―Chapter VII. Intellingence in Apes‖; ―Chapter
VII. An Aspect of Gestalt Psychology‖. In C.Murchison (Ed.), Psychologies of 1925 (Worcester,
MA: Clark University Press, 1928), 174. 35
Gredler, Ibid., 50. 36
Gredler, Ibid., 52. 37
Dikutip oleh Gredler dari Murphy, G., Historical Introduction to Modern Psychology,
(New York: Harcourt, Brace, and World, 1949), 288. 38
Gredler, Ibid., 53. 39
Loc.cit. 40
Ibid., 59. 41
Ibid., 67f. 42
Ibid., 59. 43
Ibid., 68. 44
Dikutip oleh Gredler dari Kaplan, C.A.; Davidson, J.E., Hatching A Theory of Incubation
Effects (Tech. Rep. No. C.I.P. 472) (Pittsburgh: Carnegie Mellon University, Department of
Psychology, 1988). 45
Dikutip oleh Gredler dari Seifert, C.M.; Meyer, C.E.; Davidson, N.; Patalano, A.L.;
Yariv. I., ―Demystification of Cognitive Insight: Opportunistic Assimilation and the Prepared-
Mind Perspective‖. In R.J. Sternberg, J.E. Davidson (Eds.), The Nature of Insight (Cambridge,
MA: MIT Press, 1995). 46
Bagian ini terutama didasarkan pada disertasi Choi Yong-Joon berjudul Dialog and
Antithesis, yang ditulis pada tahun 2000. Diakses di Internet:
www.dooy.salford.ac.uk/papers/choi. 47
Choi Yong-joon, Dialog and Antithesis (http://www.dooy.salford.ac.uk/papers/choi,
diakses pada 22 Agustus 2008), § 37. 48
Ibid., § 37-38. 49
Disadur berdasarkan Albert E. Greene, Reclaiming the Future of Christian Education
(Colorado Springs: Purposeful Design Publications, 2003), 180. 50
Steve Bishop, Reformational Philosophy: An Introduction. Diakses di Internet:
www.allofliferedeemed. co.uk/introduction.htm.
127
51
Indeks efektivitas adalah suatu instrumen penilaian kinerja kepala sekolah dan guru-guru
secara komprehensif yang merupakan bagian dari laporan tahunan yang harus diserahkan oleh
sekolah kepada Departemen Pendidikan Nasional. Aspek-aspek yang dinilai mencapai puluhan
poin yang pada dasarnya hendak mengetahui bagaimana kontribusi proses belajar di sekolah
terhadap selisih prestasi murid antara pada saat ia masuk ke sekolah itu di kelas X dan saat ia
menamatkan studinya di kelas XII. 52
Pertanyaan wawancara no. 1a-c ini sama dengan pertanyaan untuk guru no. 1c-e. 53
Lampiran A2.1, hlm. 138. 54
Lampiran A2.1, hlm. 139. 55
Lampiran A2.2, hlm. 144. 56
Lampiran A3.1, hlm. 152. 57
Lamprian A3.1, hlm. 154. 58
Lampiran A3.1, hlm. 152. 59
Lampiran A3.4, hlm. 161. 60
Lampiran A4.3, hlm. 174. 61
Lampiran A4.2, hlm. 173. 62
Lampiran A4.2, hlm. 168. 63
Lampiran A4.2, hlm. 172. 64
Lampiran A5.1, hlm. 181. 65
Lampiran A5.3, hlm. 190. 66
Lampiran A6.2, hlm. 194. 67
Lampiran A6.2, hlm. 198. 68
Lampiran A7.1, hlm. 207. 69
Lampiran A7.2, hlm. 212. 70
Lampiran A7.2, hlm. 215. 71
UNESCO, World Data on Education. Edisi ke-6. Diakses di Internet:
http://www.ibe.unesco.org. 72
Rhenald Kasali, ―Pintar, tetapi Tertutup‖ (Harian Kompas, 19 Mei 2007), 6. 73
Ariel Heryanto, ―Ideological Baggage and Orientations of the Social Sciences in
Indonesia‖, dalam Hadiz dan Dhakidae (Eds.), Social Science and Power in Indonesia, (Jakarta &
Singapore: Equinox & ISEAS, 2005), 58. 74
Jack R. Fraenkel dan Norman E. Wallen, How to Design and Evaluate Research in
Education (USA: McGraw-Hill, 2005), 431f. 75
Dikutip oleh Fraenkel dan Wallen, 457, dari Patton, Michael Quinn, Qualitative
Evaluation and Research Methods, edisi ke-2 (Newbury Park, CA: Sage, 1990), 288f. 76
Ibid., 457.
128
REFERENSI
Bishop, Steve. Reformational Philosophy: An Introduction. Internet. URL: http://www.alloflife
redeemed.co.uk/introduction.htm. Diakses pada 22 Agustus 2008.
Chanet, Jean-François et al. L’ABCdaire de l’École de la France. Paris: Flammarion – ANCR,
1999.
Choi, Yong-joon. Dialog and Antithesis. Internet. URL: http://www.dooy.salford.co.uk/papers/
choi. Diakses pada 22 Agustus 2008.
Departemen Pendidikan Nasional RI. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Internet. URL: http://www.depdiknas.go.id. Diakses pada 3 Agustus
2005.
Fraenkel, Jack R.; Wallen, Norman E. How to Design and Evaluate Research in Education. Edisi
ke-6. USA: McGraw-Hill, 2005.
Gredler, Margaret E. Learning and Instruction: Theory into Practice. Edisi ke-3. Columbus,
Ohio: Pearson Merril Prentice Hall, 1997.
———. Learning and Instruction: Theory into Practice. Edisi ke-5. Columbus, Ohio: Pearson
Merril Prentice Hall, 2004.
Greene, Albert E. Reclaiming the Future of Christian Education. Edisi ke-2. Colorado Springs:
Purposeful Design Publications, 2003.
Guillaume, Marc. (Ed.) L’état des Sciences Sociales en France. Paris: Éditions la Découvert,
1986.
Gutek, Gerald L. ―History of Education.‖ Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA:
Microsoft Corporation, 2008.
Hadiz, Vedi R.; Dhakidae, Daniel. Social Science and Power in Indonesia. Jakarta & Singapore:
Equinox Publishing & Institute of Southeast Asian Studies, 2005.
Hale, John R. Zaman Renaissance. Jakarta: Tira Pustaka, 1984.
Rhenald Kasali. ―Pintar, tetapi Tertutup‖. Jakarta: Harian Kompas, 19 Mei 2007.
Posner, George J. Analyzing the Curriculum. Edisi ke-3. USA: McGraw-Hill Higher Education,
2003.
129
Postman, Neil. The End of Education: Redefining the Value of School. USA: Vintage, 1996.
Riyanto, Geger. ―Aku IPA maka Aku Ada‖. Jakarta: Harian Kompas, 12 Mei 2007.
Simbolon, Parakitri T. Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, 1995.
Toer, Pramoedya Ananta. Jejak Langkah. Jakarta: Lentera Dipantara, 2006.
UNESCO. World Data on Education. Edisi ke-6. Internet. URL: http://www.ibe.unesco.org.
Diakses pada 14 Mei 2007.
130
LAMPIRAN A
TRANSKRIP WAWANCARA
A1. Wawancara di SMA Negeri 35
A1.1 Responden 11
P : Bu Tuti adalah wakil kepala sekolah bidang kurikulum ya Bu?
R11 : Ya, betul.
P : Dan Ibu mengajar mata pelajaran?
R11 : Ekonomi. Kelas XII.
P : Oh, berarti kelas IPS ya Bu?
R11 : Betul.
P : Ibu mengajar di sekolah ini sudah berapa lama ya Bu?
R11 : Sejak tahun 1981. Waktu itu saya lulus IKIP, langsung mengajar di sini. Sebelumnya saya
pernah kuliah di Telkom …..
P : Telkom Bandung, Bu?
R11 : Ya, Telkom Bandung. Tapi kemudian harus dikirim ke Makasar, orang tua saya tidak
setuju. Saya kan lulus SMA tahun 1974. Setelah setahun di Telkom, lalu masuk ke IKIP
jurusan ekonomi perusahaan. Saya berpikir yah, kalau toh nanti tidak jadi guru, masih bisa
masuk ke perusahaan. Tapi ternyata memang panggilannya di sini.
P : Kenapa Ibu mau menjadi guru pada awalnya, Bu?
R11 : Ada dua hal. Yang pertama waktu di SMA saya membaca buku ―Di Bawah Bendera
Revolusi‖. Di situ Bung Karno mengatakan, ―Guru itu pasti bisa menjadi pemimpin, tapi
tidak semua pemimpin bisa menjadi guru.‖ Waktu itu saya langsung memutuskan akan
menjadi guru. Dan yang kedua, saya sangat terkesan dengan guru Biologi saya, saya kan
SMA-nya di 15, waktu itu masih di Ancol: keibuan, baik, sabar, lembut. Tahu ya, guru
zaman dulu kan penampilannya kayak apa … rambut disanggul, rapi ….
P : Ya, Bu. Berarti sudah 25 tahun ….
R11 : 27 tahun.
P : Oh ya, sudah 27 tahun ya Bu, Ibu menjadi guru di sekolah ini? Nah, sekarang kita berbicara
mengenai sekolah ini, Bu. Apa ya ciri khas demografi di SMA 35 ini?
R11 : Di sini Mas, yah begitulah kondisinya. Kondisi orang tua pada umumnya sangat terbatas …
kalau saya manggil orang tua, yah ada yang dia sebagai … ibunya, orang tuanya tukang
ojek, ada yang pembantu rumah tangga, ada yang penjual kaki lima. Yang orang mampu ke
atas paling 5%. Jadi saya juga kadang mem-push anak untuk belajar, kalau situasi
rumahnya saja separuh dari ruangan ini di pinggir kali itu, duduk satu keluarga dengan
empat anak ada. Bagaimana anak mau betah di rumah? Bagaimana anak mau belajar? Nah,
inilah milieu 35. Ini tantangan berat bagi guru-guru di kami.
P : Jadi kalau begitu pendidikan orang tua pada umumnya …
R11 : Yah begitulah. Kemarin ini habis tryout, saya manggil yang nilainya nggak mencapai
standar minimal, kan kelihatan ya orang yang ngerti dan nggak ngerti …. Saya bilang, ―Ini
nilai anak Ibu begini …‖ dia cuma bilang, ―Tapi anak saya berangkat ke sekolah kok Bu.‖
131
―Ibu tahu pulangnya jam berapa?‖ ―Nggak tahu.‖ Jadi ya memang tidak bisa mengikuti
perkembangan belajar anaknya, tidak bisa membimbing di rumah.
P : Karena pendidikannya yang rendah ya Bu?
R11 : Ya. Walaupun ada juga yang pendidikannya lumayan, S1 ….
P : Apakah murid-murid SMA 35 ini banyak yang melanjutkan dengan kuliah Bu?
R11 : Sekitar 40-45% yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Karena nggak mampu, nggak
mampu biaya.
P : O ya, berarti waktu di kelas XII mau kuliah, apakah yang besar itu pengaruh orang tua,
guru BK, atau teman-teman ....
R11 : BK dong ... karena orang tuanya sendiri kurang paham. Maka BK ada jam di intra,
memberikan gambaran, pengarahan anak itu bagaimana memilih jurusan kuliah, mana yang
cepat kerja .... Jadi di situlah peranan BK ya? Kemudian bagaimana supaya dia juga
menjelaskan bagaimana supaya masuk ke sistem PMDK ....
P : Dengan keterbatasan orang tua murid dengan pendidikan mereka, apakah sekolah punya
usaha tertentu Bu, agar murid setelah lulus siap bekerja, siap terjun ....
R11 : Ya, ada. Kita waktu itu ada kerjasama dengan BLK. Kita ambil 70 anak, kebanyakan anak
IPS, yang orang tuanya tidak mampu dan anak yang kira-kira tidak mungkin untuk
melanjutkan ke Perguruan Tinggi, diajarkan pelatihan teknik AC, teknik kmputer, tata
boga, jadi diharapkan bahwa anak ... IT juga ... anak yang tidak bisa melanjutkan kuliah
lagi diharapkan dia bisa mempunyai peluang.
P : Itu dibuka untuk semua jurusan ya Bu?
R11 : Ya, tapi IPA jarang. Karena kalau anak IPA, kalaupun dia benar-benar tidak mampu kuliah,
dia pintar, dia bisa cari beasiswa sendiri, ada anak kita yang sekarang kuliah di UGM,
denagn beasiswa. Harus dari kemampuan si anak karena orang tuanya kan nggak bisa ya ....
P : Menurut Ibu, apakah cukup besar pengaruh arahan orang tua terhadap anak dalam
studinya?
R11 : Pengaruh lah orang tua untuk mengarahkan. Kalau orang yang nggak ngerti ya, kelihatan
juga pola-polanya, kayak tadi itu, dipanggil juga ngomongnya nggak nyambung ... kalau
orang tua yang mengerti, dia bisa ikut mengarahkan anaknya di rumah ....
P : Saya lihat ada ruangan OSN di sekolah ini Bu, apakah sekolah ini juga ....
R11 : O, ya. Olimpiade Sains Nasional. Baru pembinaan, baru tingkat kotamadya. Dulu kan ada
yang juara olimpiade, untuk IT, itu anak IPA, ibunya tukang cuci.
P : Kalau begitu, apakah itu prestasi sekolah yang membuat dia bisa berhasil seperti itu?
R11 : Ya, anaknya juga motivasinya tinggi, anaknya pintar, sekolah mendukung. Begitu.
Sekarang kuncinya ya jadi anak juga.
P : Jadi kalau begitu menurut Ibu, ciri khas pelaksanaan pendidikan di sekolah ini apa Bu?
R11 : Ciri khas kita di dalam pembinaan. Di dalam proses.
P : Artinya ―proses‖ ini Bu?
R11 : Artinya begini. Input di sini itu kecil. Tapi bisa menghasilkan sesuatu yang besar. Nilai
produktivitasnya tinggi. Keunikan 35 itu, kenapa bisa jadi unggulan, karena keunikannya di
proses, proses bagaimana guru itu membina, mendidik anak, sehingga produktivitasnya
naik. Sekarang bandingkan Mas, SMA 70, inputnya itu sudah tinggi ... di sini kan inputnya
kecil, tapi dari hasil UN, peringkat kita nggak jauh-jauh amat, masih masuk lima besar,
masuk peringkat dua.
P : Waktu orang tua itu memasukkan anaknya ke sini, apakah dia juga tahu hal ini Bu?
R11 : O, tahu. Wilayah sini ya, wilayah Tanah Abang. Kalau orang tua yang aslinya wilayah
Tanah Abang, umumnya memilih sini dulu.
132
P : Jadi, dengan segala keterbatasan pendidikan mereka, mereka masih tahu sekolah yang baik.
R11 : Kadang-kadang bisa begini Mas, ―Bu, anak saya ini kemauan sekolahnya besar. Saya
nggak punya kerjaan apa-apa. Ibunya udah nggak ada. Dia bisa sekolah itu karena dibantu
transpor dari oom-nya.‖ Kita bisa apa? Kan kita nggak boleh menolak murid. Ada lho yang
dari kelas X sampai kelas XI, SPP saja tidak bayar, apalagi dana bangunan ….
P : Baik, Bu. Kita sudah menyinggung-nyinggu tentang IPA, IPS … Menurut Ibu, apakah
anak-anak melihat ada perbedaan kualitas atau kualifikasi antara guru-guru IPA dan IPS?
R11 : Tidak ada. Baik guru IPA, guru IPS, guru Bahasa, semua sama saja.
P : Kalau ada guru yang tidak masuk, bagaimana Ibu mencari penggantinya?
R11 : Kalau lama, cuti melahirkan misalnya ya?
P : Ya, misalnya cuti melahirkan.
R11 : Team teaching. Kita kan MGMP 2 minggu sekali paling nggak. Jadi bisa bergantian, seperti
juga di tryout ini. Walaupun sehari-hari guru itu tidak mengajar 15 murid itu, tapi saat
tryout kita bagi-bagi tugas. Semua kebagian membimgin. Kalau cuma sehari, ya kan nggak
enak ya, guru juga ada … otonominya sendiri … ya dia bisa kasih tugas, kan ada guru piket
….
P : Untuk rekrutmen guru, apakah sama mudahnya menemukan guru-guru IPA, IPS dan
Bahasa Bu?
R11 : Kita selama ini kelebihan sih. Ada 60 guru, sudah cukup semua di semua mata pelajaran.
Adanya kita yang nolak-nolakin. Soalnya banyak yang ngelamar mau jadi guru di sini. Oh,
gini Mas. Kalau guru di sini kebanyakan juga alumni sini. Ini, Pak Sur, dulunya murid saya
sekarang jadi teman.
P : Apakah semua guru harus dari IKIP atau punya Akta 4 Bu?
R11 : O, ya.
P : Bahkan sebelum mulai mengajar?
R11 : Ya. Tidak harus dari IKIP, asal punya Akta 4.
P : Menurut Ibu, apakah ada bidang studi tertentu yang disegani oleh murid-murid karena
tingkat kesulitannya untuk dikuasai dibandingkan bidang studi lainnya? Atau, guru bidang
studi tertentu yang disegani karena bidang studi yang diampunya?
R11 : Tidak ada. Maksudnya menganggap IPA itu lebih tinggi daripada IPS ya? Orang yang
menganggap IPA itu unggul justru salah. Sekarang seluruh kegiatan justru IPS itu yang
banyak mendukung. Kalau IPA itu kan hanya, ya memang mata pelajaran IPA itu,
Matematika, Fisika, Kimia, itu mata pelajaran yang merasa hebat kan ya? Padahal itu
sebenarnya hanya di situ. Tapi kalau humaniora dia tidak mencakup. Nah, kalau memang di
anak-anak itu kan, wah kalau dia anak IPA itu dia merasa dirinya hebat. Karena hebat apa?
Karena dia merasa dirinya pintar. Saya bisa masuk ke IPA karena saya pintar. Tapi, pada
umumnya begitu mereka lulus dari SMA, anak IPA itu pada saat mengambil perkuliahan
banyak yang jurusan IPS: akuntansi, ekonomi, …
P : FE lebih laku ya Bu?
R11 : Ya, begitu …. Yang kedua, karena begini, anak beranggapan kalau bisa masuk ke IPA nanti
kalau mau kuliah ke jurusan apa saja bisa, tidak dibatasi. Tapi kan pada saat ini kan tidak.
IPS juga bisa masuk ke jurusan kedokteran. Dulu kan seperti itu. Jadi memang ada gengsi
tersendiri. Gengsinya apa? Karena merasa pinter.
P : Tapi di antara anak-anak itu mungkin masih ada, sedikit-banyak anak2 masih merasa,
―Wah, saya IPA nih …‖?
R11 : Yah, itu mungkin masih ada ya. Kalau itu mungkin dari BK yang lebih bisa menjawab
lebih ya. Tapi kalau saya menyarankan ke anak-anak itu, yang tahu kemampuan kita itu diri
133
kita kan ya? Ada misalnya dia bisa ke IPA, bisa ke IPS. Kalau misalnya di IPS bisa
mengambil ranking 1 dan ke IPA, walaupun dia bisa, tetapi tidak bisa ranking 1, alangkah
baiknya kalau dia mengambil ke IPS. Nah, kalau nanti toh dia mau ke kedokteran, kan bisa
toh mengambil tambahan di luar gitu ya?
Nah, jadi itu kesatu dari anak. Kedua dari orang tua juga sih ya. Kadang-kadang orang tua
itu ya, apalagi kalau anaknya itu IPA dulunya, memaksa kehendak anaknya itu ke IPA.
P : Karena orang tuanya IPA, anaknya harus IPA juga?
R11 : Memang ada. Ada juga satu orang malah, anak itu waktu itu kebetulan nilainya kurang.
Untuk masuk IPA nilainya nggak masuk, ke IPS juga nggak memenuhi syarat, tapi dia naik
kelas, hanya bisa syarat ke Bahasa. Kalau anaknya saya lihat kayaknya sih dia mau
menerima itu, tapi orang tua itu nggak mau. Akhirnya dia mengorbankan si anak. Lebih
baik anaknya tinggal kelas dulu. Mengulang lagi di kelas X, t‘rus tahun berikutnya dia naik,
naik ke IPA. Memang bisa. Tapi ya sayang nilainya tetap saja pas-pasan.
P : Menurut Ibu, benar nggak kalau saya katakan, IPA itu kuat dalam penalaran, IPS kuat
dalam menghafal?
R11 : IPS itu jangan dianggap hanya menghafal. Kalau dia tidak kuat di konsep juga tidak bisa.
Konsep harus tahu. Saya katakan kepada anak, saya tidak mau jawaban esai itu persis ada
di buku. Silakan kamu jawab dengan nalar, kembangkan konsep kamu. Yang penting
nalarnya, kalau menghafal nggak akan bisa.
P : Kalau Ibu, penjurusan dari kelas X ke kelas XI itu gimana Bu? Apakah ada tes khusus?
R11 : Oh tidak, hanya dari nilai rapor saja. Jadi, untuk IPA: Fisika, Kimia, Biologi minimal 7.
Kemudian untuk ke IPS: Ekonomi, Geografi, Sosiologi minimal 7. Untuk ke Bahasa:
Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia.
P : Minimal 7 juga?
R11 : Ya.
P : Nilai Matematika tidak diperhitungkan Bu, saat penjurusan?
R11 : Karena begini: pada saat sebelum kita memakai sistem penilaian dengan SAS, sekolah
memakai kebijakan untuk ke IPA, ada syarat Matematika dimasukkan syarat utuh tetapi
karena di SAS itu Matematika tidak dimasukkan, ya kita mengikuti itu.
P : O, SAS sudah menentukan pelajaran-pelajaran itu?
R11 : Ya. Kalau dulu kita memakai perhitungan manual kebijakan dari sekolah sendiri, kita
memakai Matematika, Fisika, Kimia. Biologi juga tidak masuk. Tapi Dinas minta seperti
itu, ya kita mengikuti saja.
P : Pada saat murid-murid ini dijuruskan dari kelas X ke kelas XI, apakah ada pembimbingan
Bu?
R11 : Ada. Sebelumnya ada tes bakat dan minat, kemudian ada pernyataan atau pilihan dari
siswa, dari orang tua siswa, dia maunya apa ….
P : Itu sama Bu, dari siswa dan orang tua siswa?
R11 : Beda. Bisa saja, suka ada anak maunya IPS, orang tuanya maunya IPA. Kalau
pembimbingan, kita tidak ada pembimbingan khusus, tapi sejauh ini kalau ada anak yang
merasa kekurangan di pelajaran Matematika atau Fisika, dia mau meminta bimbingan dari
kami, kami menyediakan yang namanya klinik akademik. Klinik akademik itu di luar jam
pelajaran. Guru sih stand-by aja … guru sih siap aja ya … siap anaknya maunya kapan,
kemudian materinya apa yang dia kurang, tapi itu pelaksanaan itu bukan merupakan
pelaksanakan bimbingan khusus untuk penjurusan. Jadi kami serahkan itu sepenuhnya
kepada siswa.
P : Kalau dengan bimbingan itu siswa toh mampu ke jurusan yang lain, silakan diambil?
134
R11 : Ya. Jadi kan anak-anak bisa, ―Bu, saya Matematika kurang bisa.‖ OK, ya siap. Itu kita tidak
menentukan biaya.
P : Pada waktu anak memilih apakah jurusan IPA, IPS atau Bahasa, menurut Ibu apakah
mereka tahu juga nanti saya akan kuliah di jurusan apa ….
R11 : Anak-anak nggak. Jangankan yang itu. Yang kelas XII sekarang saja, ―Nggak tahu Bu, mau
ke mana.‖ Saya suka marah. Itu nggak bisa. Itu berarti kalian tidak bisa memanajemen diri.
Ya kan? Manajemen diri itu kan penting. Saya usia sekarang harus sekolah sampai di mana,
mau ambil jurusan apa, nanti lulus dari ini saya kuliah di mana, saya harus lulus tahun
berapa. Dan saya harus kerja tahun berapa, harus nikah kapan, kan kita harus punya. Saya
punya, saya tekankan kepada anak-anak, tapi anak-anak tuh memang itu, manajemen
dirinya yang nggak ada. Ada yang tahu ….
P : Tapi nggak banyak?
R11 : Tapi nggak banyak. Ya tadi itu Mas, kondisi orang tua, kondisi rumah ….
P : Nah, kalau begitu menurut Ibu, dengan sekitar 40-45% yang melanjutkan ke Perguruan
Tinggi tadi karena ketidakmampuan finansial, waktu mengambil IPA, apakah mereka
berpikir setelah ini mau ke mana?
R11 : Itu tadi 10% yang bisa.
P : Bukankah dengan masuk ke IPA, langsung bekerja, apa yang didapat di IPA juga tidak
terlalu terpakai Bu?
R11 : Ya. Dia itu, anak itu pada umumnya sekolah, ya, untuk ngisi waktu lah ya istilahnya, yang
berpikir dia ke depan mau apa, 20% udah bagus.
P : Ibu dari semua murid, jumlahnya …
R11 : Sekitar 600.
P : Dari 600-an murid, perbandingan IPA-IPS-Bahasanya bagaimana Bu?
R11 : IPA-nya 1 kelas. Kan per paralelnya 6 kelas. IPA 1 kelas, Bahasa 1 kelas, IPS 4 kelas.
Karena memang di sini kita IPA itu betul IPA, Mas. Kita tekan, memang Matematikanya
itu murni nilai segitu. Nggak pake diangkat, ya? Kadang di sekolah lain suka diangkat.
P : Jumlah muridnya per kelas berapa Bu?
R11 : IPA dan IPS, 36-39 orang siswa per kelas, kalau Bahasa hanya 25 atau kurang ….
P : Jurusan Bahasa ini kenapa sedikit ya Bu? Apakah karena peminatnya sedikit? Atau karena
difokuskan?
R11 : Begini ya, dari anak-anak sekelas itu, yang betul-betul mau ke jurusan Bahasa, paling 5
orang ya. Selebihnya karena memang di IPS nggak bisa, di IPA .... Karena apa? Karena
persepsi anak, Bahasa itu anak buangan, padahal tidak ya. Padahal kalau kita sudah terjun
ke masyarakat, kalau kita terjun kerja, bahasa itu nomor satu. Coba sekarang, ke mana-
mana bahasa Inggris ....
P : Bukankah pelajaran di Bahasa juga sulit Bu?
R11 : Memang. Karena ada bahasa Jepang, bahasa Prancis, bahasa Jerman.
P : Bahasa Arab juga ada ya Bu?
R11 : Kalau bahasa Arab di kelas X, semua dapat. Itu masuk ke Keterampilan, ya?
P : Lalu, kalau begitu, apakah murid-murid yang merasa ―terbuang‖ ini Bu, apakah mereka
bisa mengikuti kecepatan pelajaran di Bahasa dengan begitu banyaknya bahasa yang
dipelajari?
R11 : Nggak juga. Ada juga yang yah, begitulah, namanya anak-anak ....
P : Berarti saya simpulkan dari pembicaraan sebelumnya, yang melanjutkan ke bangku
Perguruan Tinggi kebanyakan anak IPA ya Bu?
135
R11 : Ah, nggak juga! Ada juga di IPA anak yang nggak mampu, jadi tidak kuliah. IPA dan IPS
yang kebanyakan melanjutkan kuliah.
P : Kalau begitu, kalau sudah tahu tidak bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi, kenapa
anaknya tidak dimasukkan ke SMK saja?
R11 : Pertama, karena mereka mendaftar melalui proses online. Kurang pengarahan di SMP, jadi
waktu memilih, orang tua tidak mengerti teknologi, salah pilih, tidak bisa ditarik lagi. Tapi
juga, memang masih ada ya pendapat masyarakat, kalau masuk SMK itu kurang bergengsi.
Kalau SMK itu kok kayaknya anak-anak yang nggak mampu. Padahal nggak ya? Justru kan
sekarang pemerintah lagi menggalakkan SMK kan? SMK sekarang maju-maju.
P : Sekarang mengenai peran pemerintah, Bu. Apakah pemerintah menunjukkan upaya yang
serius untuk mengondisikan pandangan yang proporsional terhadap IPA dan IPS sebagai
jurusan yang setara bagi murid-murid dan orang tua murid yang akan memilih jurusan?
R11 : Yah, pemerintah begitu ya …. Soal kurikulum, itu memang kembali lagi ke pemerintah ya
… kita kan yang di bawah cuma pelaksana …. Sekarang kan kurikulum sudah KTSP ya, itu
saja sekarang kita baru memahami penerapannya 70-80%, nanti pada tahun 2009 ke tahun
2012 itu sudah harus ke SKM. Berubah lagi ke SKM. Jadi kita ini baru belajar dua tahun,
belum memahami sudah pindah lagi. Waktu KBK coba … belum bisa memahami penuh,
sudah pindah ke KTSP, ini sudah mau pindah lagi ke SKM.
P : Menurut Ibu, kalau menilik kurikulum sekarang ini, apa yang paling mendesak untuk
diubah Bu?
R11 : Yang perlu sekarang dimasukkan adalah budi pekerti, selamanya, 2 jam seminggu. Ada
kebutuhan yang sangat serius untuk ada budi pekerti.
P : Apakah BK dan Pendidikan Agama tidak bisa meng-cover?
R11 : Ya, mestinya. Tapi itu mungkin kurang maksimal, artinya di sini Agama kan juga dikejar
materinya harus selesai ini, harus selesai itu. Sebenarnya budi pekerti itu juga bisa
dimasukkan ke dalam semua mata pelajaran, cuma kan kadang kita tidak terkejar waktunya.
Membahas materi ini saja belum selesai kita sudah dikejar materi lain. KWN, itu kan
mestinya bisa.
A1.2 Responden 12
P : Bu Siti, sebagai guru BK, apakah menurut Ibu orang tua di sini memiliki kerjasama yang
baik dengan guru-guru?
R12 : Ya, tergantung ya Mas. Beda-beda juga. Ada orang tua yang nurut-nurut saja, ada juga
yang banyak maunya.
P : Apakah pendidikan orang tua di sini baik?
R12 : Ada yang dokter.
P : Dari interaksi Ibu dengan orang tua murid, apakah orang tua murid memahami seluk-beluk
dunia persekolahan dan memiliki perencanaan yang matang terhadap pendidikan anaknya?
R12 : Ya, kalau pendidikannya baik, pada umumnya mereka cukup terlibat dan tahu
mengarahkan anaknya ke mana-mana saja nantinya. Seperti yang dokter itu. Semua
anaknya harus jadi dokter, walaupun ada juga anaknya yang praktikum saja bisa pingsan.
P : Jadi, orang tua cukup terlibat dengan pendidikan anak ya Bu? Termasuk dalam mengatur
jurusan yang harus diambil dalam studi?
R12 : Ya. Bisa begitu.
P : Kalau pendidikannya tinggi?
R12 : Ya.
136
P : Menurut Ibu, adakah perbedaan tingkat kualifikasi kompetensi guru-guru IPA, IPS maupun
Bahasa untuk diterima di sekolah ini? Adakah guru-guru IPA, IPS dan Bahasa memiliki
kompetensi yang setara dalam bidang keilmuannya masing-masing?
R12 : Ya, itu tergantung masing-masing orang.
P : Jadi, tidak ada stigma-stigma tertentu karena mata pelajaran yang diampu?
R12 : Nggak ada, dari orang ke orang saja.
P : Apakah menurut Ibu ada bidang studi tertentu yang disegani oleh murid-murid karena
tingkat kesulitannya untuk dikuasai dibandingkan bidang studi lainnya? Atau mungkin guru
bidang studi tertentu yang disegani karena bidang studi yang diampunya?
R12 : Anak-anak memang kayaknya lebih takut sama IPA ya, anak-anak IPA juga lebih, gimana
gitu …. Soalnya yang nggak bisa ke IPA t‘rus ke IPS, kalau nggak bisa juga, t‘rus ke
Bahasa.
P : Jadi, IPA dipandang paling unggul ya Bu?
R12 : Ya.
P : Kenapa begitu, menurut Ibu sebagai guru BK?
R12 : Ya memang dari dulunya sudah begitu ya. Memang IPA begitu. Daftar ke mana-mana kan
lebih gampang.
P : Maksud Ibu ―daftar ke mana-mana‖?
R12 : Daftar Perguruan Tinggi, dapat PMDK, beasiswa …. Bahkan untuk kuliah jurusan apa pun,
termasuk ilmu-ilmu sosial, juga anak IPA gampang masuknya. Pilihan kuliahnya lebih
gampang.
P : Menurut Ibu, persepsi anak-anak murid bahwa IPA itu unggul, apakah benar?
R12 : Memang saya akui, anak-anak IPA itu pemikirannya lebih tap, tap, tap.
P : Lebih sistematis Bu?
R12 : Lebih kuat. Juga ya, lebih sistematis. Jadi mereka merasa super mungkin ya.
P : Kalau begitu, apakah Ibu setuju kalau saya katakan, ―Anak IPA jago bernalar, anak IPS
menghafal.‖
R12 : Ya, memang. Anak IPS itu agak lambat.
P : Apakah Ibu mengajar kelas X?
R12 : Saya mengajar kelas 1, 2, 3. Kan di sini ada tiga guru BK. Kelasnya ada 6 kelas 1, t‘rus
kelas 2 dan 3-nya ada 1 IPA, 1 Bahasa, 4 IPS. Jadi kami seorang pegang 2 kelas di masing-
masing tingkat.
P : O, jadi Ibu terlibat juga di dalam proses penjurusan murid-murid ya Bu?
R12 : Ya.
P : Sejauh mana Ibu terlibat dalam proses mereka memilih jurusan Bu? Apakah ada
pengarahan khusus?
R12 : Ya kan sudah ada psikotes, hasil akademik dan pilihan orang tua.
P : Jadi tidak ada proses yang khusus lagi Bu?
R12 : Nggak ada.
P : Bagaimana dengan peranan orang tua murid Bu? Apakah mereka berperan aktif?
R12 : Ya ada aja, kalau orang tua yang ngerti, kadang-kadang juga memaksakan maunya. Pernah
ada yang sampai komplain-komplain ke Kanwil. Tapi ya tetap karena nilai akademiknya
tidak memenuhi.
P : Apakah Ibu sejak awal memang menjadi guru BK?
R12 : Awalnya saya ini guru PKK. Tapi korban produk percobaan. Ganti menteri, ganti
kebijakan. Dulu saya guru PKK, ketua MGMP Jakarta. Eh, pelajarannya dihapus, ya
terpaksa jadi guru BK.
137
P : Jadi latar belakang pendidikan Ibu?
R12 : Saya dari IKIP Yogyakarta, Sarjana Muda jurusan PKK. Baru belakangan, karena harus S1,
adanya S1 BK.
P : Dari peranan Ibu di sekolah ini, menurut Ibu, apa ciri khas pendidikan di sekolah ini Bu?
R12 : Keunggulannya. Inputnya dibandingkan dengan outputnya. Inputnya kecil, outputnya besar.
Guru-guru di sini sangat disiplin, bahkan walaupun tidak ada kepala sekolah, semuanya
tetap berjalan lancar.
P : Menurut Ibu, apakah ada peranan pemerintah untuk mengatasi ketidaksetaraan persepsi
masyarakat terhadap IPA dan IPS?
R12 : Nggak ada. Yang penting sebenarnya penataran ditingkatkan. Guru-guru perlu diberi
tambahan materi yang efektif. Guru sekarang terlalu banyak dibebani oleh administrasi.
Dari pemerintah, peningkatan mutu akademik guru perlu ditingkatkan, perbanyak
penataran-penataran. Itu yang penting.
A1.3 Responden 13
P : Rouli sebelumnya dari SMP mana?
R13 : Strada.
P : Dari SMP Strada kenapa mau masuk ke SMA 35?
R13 : Pertama sih dari Mama ya, ―Udah coba masuk situ aja, bagus.‖ Gitu kan? Udah, masuk.
T‘rus cobain di sini, bagus juga, disiplinnya ketat banget ya. Dulu tuh ngeliatin sekolah-
sekolah lain biasa yang anak-anaknya masuk jam 7 pulang jam 10, gitu kan? Kalau di sini
masuk musti on-time, kalau nggak on-time disuruh pulang, tugas-tugasnya juga banyak
banget, nilai-nilainya juga berbobot. Kalau misalnya nggak mencapai standar nilai, itu akan
remedial. Jadi seperti dipaksa, ―Belajar, belajar, belajar ….‖
P : Jadi orang tua Rouli sudah punya rencana ya, mengarahkan Rouli untuk studi ke mana saja
berikutnya?
R13 : Ya.
P : Setelah dari SMA ini, Rouli akan kuliah ke mana?
R13 : Kalau jurusannya belum tahu sih, Kak. Kalau universitasnya udah tahu … mau masuk ke
UI. Tapi jurusannya … mungkin Ilmu Komunikasi.
P : Orang tua setuju juga?
R13 : Nggak … orang tua maunya Akuntansi …. Duh, bingung nih ….
P : Kalau Rouli melihat dari interaksi dengan teman-teman, apakah menurut Rouli orang tua
murid di sekolah ini memahami seluk-beluk dunia persekolahan dan memiliki perencanaan
yang matang terhadap pendidikan anaknya?
R13 : Ya, ada juga. Sebagian. Tapi nggak tahu juga deh ….
P : Kalau di antara teman-teman Rouli sendiri, apakah ada yang mengalami dipaksa orang
tuanya masuk ke jurusan yang tidak dia inginkan?
R13 : Ya. Kebanyakan teman-teman, orang tuanya ingin dia masuk IPA. Ada beberapa yang
orang tuanya mau dia masuk IPS, tapi kebanyakan orang tua maunya anaknya masuk IPA.
P : Apakah sampai ada paksaan untuk masuk IPA?
R13 : Maksa sih nggak ya, paling kasih support aja, kalau nanti masuk IPA kamu bisa begini,
begini, begini …. Atau, ―Udah kamu ikut les ini aja, biar bisa masuk IPA.‖
P : Rouli waktu awal apakah memang sudah jelas akan masuk jurusan IPS?
R13 : Pertama aku sih maunya masuk IPA, karena mikirnya entar UAN-nya cuma Bahasa
Inggris, Matematika, Indonesia. Gitu kan? Kalau IPS: Matematika, Indonesia sama
138
Ekonomi. Mikirnya gitu. Keluarga juga maunya IPA. Tapi ternyata nggak bisa, ya udah
masuk IPS.
P : Rouli waktu memilih jurusan, apakah sudah tahu mau kuliah ke mana?
R13 : Nggak, belum ada itu. Tapi universitas sih sudah ada, ya tadi itu, maunya sih ke UI, tapi
jurusan apanya belum tahu.
P : Waktu itu kenapa mau ke IPA?
R13 : Dulu mikirnya IPA lebih unggul … wah, IPA, udah jago istilahnya kan? Di luar juga IPA
punya nama. Gitu kan? T‘rus orang tua juga OK ya udah ….
P : Menurut Rouli, kenapa IPA lebih unggul?
R13 : Berpikirnya gimana ya? Itu kan mainnya main rumus semua: Fisika, Kimia, main rumus
semua kan? Jadi logikanya mesti nalar, untuk menghitung gitu. Kalau IPS kan cuma hafal-
hafal-hafal, ngerti ….
P : Jadi, bener nggak kalau saya bilang, ―IPA lebih bernalar, IPS lebih menghafal‖?
R13 : Eh … nggak juga. Karena di IPS kita musti mikir juga kan? Kayak akuntansi gitu kita
musti main logika juga. Ekonomi, kita musti juga mesti mikirin, kalau buat perusahaan gitu
atau, apa ya namanya, kalau buat jadi untung gitu …. Jadi IPA-IPS sebenarnya sama, nalar
juga, tapi IPA kan banyak rumus, gitu-gitu deh, untuk jatuhnya jadi kayak teknik, dokter,
gitu ….
P : Tapi apakah teman-temanmu yang IPA banyak masuk ke Teknik?
R13 : Nggak juga. Kalau ngelihat kayak fakta yang sekarang ini, anak IPA lulus kebanyakan
ambil IPC kalau nggak ambil IPS. Banyak anak IPA yang masuk akuntansi, masuk ….
P : Ketika anak IPA mengambil IPC atau IPS, apakah mereka lebih unggul daripada anak IPS?
R13 : Nggak juga sih. Sebenernya ada juga anak IPS yang masuk ke kedokteran …. Jadi
sebenernya masuk ke Perguruan Tinggi banyak juga yang nggak sesuai dengan kelasnya
dia. Dia mau ambil apa sesuai dengan kemampuannya dia.
P : Jadi kalau ambil IPA, keuntungannya apa, apakah ada pintu yang lebih lebar terbuka? Atau
sama saja?
R13 : Hmm …. IPA … gimana ya? IPA dan IPS, sebenarnya sih luasan IPS ya, karena nggak
ngebohong juga, kita kan butuh duit, sedangkan perusahaan-perusahaan sekarang kan perlu
accounting, perlu marketing, perlu management, banyakan anak IPS yang diambil,
sedangkan anak IPA kan mungkin dokter, atau teknik, yang gitu-gitu yang mungkin harus
di perusahaan-perusahaan luar yang besar ….
P : Tapi tadi Rouli juga bilang bahwa anak IPA bisa masuk IPC, IPS, berarti di akuntansi,
manajemen kan juga ada anak-anak IPA?
R13 : Ya, mereka terbagi juga ….
P : OK, ketika pembagian jurusan apakah ada pengaruh citra yang ada terhadap guru-guru IPA
dan IPS? Apakah ada kewibawaan atau persepsi kualitas yang berbeda antara guru-guru
IPA dan IPS?
R13 : Nggak. Sama saja. Kalau masalah guru, itu nggak pengaruh.
P : Menurut kamu, apakah peranan guru BK penting dalam penjurusan?
R13 : Penting. Dia ngebantu kita buat … kita kan bingung, mau pilih yang mana, entar dia bisa
bantu kita, udah kamu masuk yang ini aja, nanti nilai kamu begini, begini …. Entar dari
nilai itu kan dia yang bisa lihat, kita plusnya di mana-mana aja ….
P : Seandainya ada guru yang tidak masuk, mengisi jam pelajarannya bagaimana?
R13 : Dikasih tugas. Dikasih tugas yang banyak … buat dikumpulin. Itu kalau nggak masuknya
cuma sehari, dua hari. Kalau nggak masuknya lama, digantiin sama guru-guru yang lain.
P : Apakah guru penggantinya pasti sebidang studi?
139
R13 : Ya, sebidang studi.
P : Pasti?
R13 : Pasti.
P : Tidak pernah terjadi guru satu bidang studi digantikan guru bidang studi yang lain?
R13 : Nggak pernah. Walaupun dia nggak ada, tetap digantiin teman-teman guru yang sama.
P : Rouli rencananya bekerja di bidang apa?
R13 : Aku sih maunya komunikasi, sebidang dengan kuliahnya.
P : Tapi orang tua belum setuju ya?
R13 : Ya, Mama-Papa maunya masuk akuntansi …. Bingung, maunya masuk apa ….
P : Menurut Rouli apakah penting kuliah sejurusan dengan bidang pekerjaan?
R13 : Penting banget, karena bisa membuat kita bekerja nggak maksimal, karena kalau bekerja di
bidang yang tidak sesuai, kerja kita nggak optimal dan juga belajar kita selama itu sia-sia.
P : Menurut Rouli, pentingkah faktor ―gengsi‖ waktu memilih universitas dan jurusan?
R13 : Menurut aku, manfaat juga penting, gengsi penting juga. Karena perusahaan kan biasanya
memilih universitas-universitas yang punya nama. Setidaknya kita mau melamar kerja,
lebih gampang juga. Soal diterima-nggak diterima itu urusan belakangan. Tapi kita bisa
dapetin perhatian mereka dulu dari nama universitas kita.
P : Gelar? Penting jugakah?
R13 : Penting, karena itu kan pengakuan dari universitas bahwa kita udah berhasil mencapai
kompetensi tertentu ….
P : Menurut Rouli, perbaikan-perbaikan apa yang paling penting untuk diadakan di sekolah?
R13 : Eh, apa ya … standar UAN jangan 6, cukup 4 aja.
P : UAN sebagai tolok ukur kelulusan, menurut kamu OK-kah?
R13 : OK. Nggak apa-apa sebagai tolok ukur, tapi jangan ketinggian nilainya … t‘rus perbanyak
penggunaan bahasa asing, program pertukaran pelajar ke luar negeri. Di sini sih yang udah
OK banget, kita nggak ada senioritas, Kak.
A1.4 Responden 14
P : Denny dari jurusan Bahasa, betul ya?
R14 : Ya.
P : Sebelumnya dari SMP mana?
R14 : 88.
P : Kenapa memilih bersekolah di 35?
R14 : Tadinya sih mau masuk 3, tapi nilainya nggak cukup.
P : Di SMA 3 kan tidak ada jurusan Bahasa? Apakah waktu dari SMP mau masuk SMA sudah
tahu Denny mau masuk jurusan mana?
R14 : Belum tahu, yang penting masuk SMA dulu.
P : Ketika di SMA 35 ini, sudah tahu ada 3 jurusan kan? Mau masuk ke jurusan apa?
R14 : Bahasa.
P : Kenapa?
R14 : Saya suka musik. Jadi biar bisa buat lagu pakai bahasa lain aja, gitu.
P : Setelah lulus SMA, apakah sudah tahu mau ke mana?
R14 : Belum tahu. Mau cari yang ada desain grafisnya.
P : Lho, kenapa desain grafis? Bukan bahasa atau musik?
R14 : Ya, menggambar bisa juga. Pokoknya yang ada seni-seninya.
P : Kenapa Denny tidak masuk ke IPS atau IPA?
140
R14 : Kurang bisa, sih.
P : Menurut Denny, benar nggak bahwa IPA lebih unggul, IPS kedua, kemudian Bahasa …
R14 : Nggak ada. Semuanya sama.
P : Kalau murid IPA diberikan soal pelajaran Bahasa dan murid Bahasa diberikan soal IPA,
apakah menurut Denny murid jurusan IPA akan lebih unggul dalam mengerjakan soal yang
diberikan dibandingkan murid jurusan Bahasa?
R14 : Nggak juga.
P : Apakah Denny setuju kalau saya katakan, ―IPA lebih bernalar, IPS lebih menghafal‖?
R14 : Nggak juga, tergantung dari orangnya.
P : Apakah di jurusan Bahasa banyak menghafalnya?
R14 : Pengertian. Yang penting pengertian.
P : Bahasa apa saja yang Denny sudah pelajari di jurusan Bahasa ini?
R14 : Bahasa Jerman, Prancis, Jepang sama Indonesia …. Ada sastranya juga sih.
P : Ketika pembagian jurusan apakah ada pengaruh citra yang ada terhadap guru-guru IPA dan
IPS? Apakah ada kewibawaan atau persepsi kualitas yang berbeda antara guru-guru IPA
dan IPS?
R14 : Tergantung dari sifat gurunya. Nggak dari guru ngajar apa, nggak.
P : Orang tua Denny keberatan Denny masuk Bahasa?
R14 : Orang tua, asal bisa nguasain, t‘rus gimana sih … nggak jeblok banget, apa aja boleh.
P : Pendidikan orang tua Denny apa ya?
R14 : SMA
P : Dua-duanya?
R14 : Ibu S1.
P : Jurusan apa?
R14 : Kurang tahu.
P : Apakah di antara teman-teman Denny sesama murid jurusan Bahasa ada perasaan terbuang
di antara jurusan-jurusan lainnya?
R14 : Pertamanya, ya. Terus dirembukin, dibuat kayak … gimana sih, pokoknya kita nggak boleh
kalah … gitu deh.
P : Apakah di antara teman-teman sejurusan ini ada yang orang tuanya menyesalkan dia masuk
jurusan Bahasa?
R14 : Nggak ada.
P : Tidak ada? Kalau begitu, apakah ada di antara teman-teman ini yang dipaksa orang tuanya
pindah ke jurusan lain?
R14 : Ada. Banyak. Dari Bahasa pindah ke IPS. Ada yang dari IPS pindah ke Bahasa.
P : Berarti orang tuanya melihat ada jurusan yang lebih baik kan?
R14 : Ya.
P : Kenapa seperti itu?
R14 : Kurang tahu juga. Pendapat orang kan beda-beda.
P : Menurut Denny, ciri khas SMA 35 ini apa?
R14 : Disiplin, sih.
P : Dalam apanya?
R14 : Apa ya …?
P : Waktu masuknya? Seragam? Penggunaan jam belajar, …?
R14 : Ya, semuanya deh.
P : Setelah dari SMA, Denny tadi katakan berencana kuliah. Setelah itu rencananya apa?
R14 : Habis kuliah, asal dapat pegangan, mau nyari kerja.
141
P : Kerjanya apa?
R14 : Tergantung bisanya apa sih.
P : Kalau begitu, waktu Denny memutuskan akan kuliah di Perguruan Tinggi tertentu atau
jurusan tertentu, pertimbangannya apa?
R14 : Yang penting punya pegangan … itu doang.
A2. Wawancara di SMAK 3 BPK Penabur
A2.1 Responden 21
P : Ibu Enche sudah berapa tahun ya Bu, menjadi guru?
R21 : Saya mulai 2001.
P : Berarti ini tahun ke-7 ya Bu?
R21 : Ya.
P : Langsung mengajar di sini ya Bu?
R21 : Ya.
P : Langsung mengajar Ekonomi juga?
R21 : Ya.
P : Berarti Ibu dari S.Pd. ya?
R21 : Saya latar belakangnya Ekonomi, S.E. Sudah pernah bekerja di perusahaan, kayaknya
nggak sesuai dengan jiwa saya. Karena pada awalnya saya memang ingin jadi guru, tapi
kan orang tua yang logis pasti nggak ingin anaknya jadi guru. Jadi saya pikir ya sudahlah,
ikuti orang tua, setelah ikutin orang tua sudah dua tahun kita coba saya pikir kan sudah
cukup menunjukkan ya? Setelah kita memutuskan jadi istri, jadi ibu, kayaknya nggak akan
mungkin ya kalau kita mau punya anak yang benar-benar mau kita didik dengan baik, kalau
kita kerja dengan ritme seperti yang dulu. Anak saya bukan anak saya lagi. Anak suster.
Ya, saya harus berani memutuskan. Saya berhenti bekerja. Tiga tahun vakum. Sampai anak
saya agak besar, saya mau masuk sini.
P : Ibu menjadi Koordinator Kurikulum sudah berapa lama Bu?
R21 : Ini tahun kedua.
P : Orang tua murid di SMAK 3 ini apakah memiliki ciri khas tertentu Bu?
R21 : Kebanyakan orang tuanya tidak berpendidikan baik, kebanyakan pengusaha, menjadi
pedagang karena udah turun-temurun, basic-nya bukan dari pendidikan. Jadi, ya memang
nggak tahu banyak mengenai dunia pendidikan.
P : Di SMA kan sebenarnya ada tiga jurusan Bu, tapi setahu saya di SMAK tidak ada jurusan
Bahasa ya Bu? Kenapa ya Bu?
R21 : Itu kebijakan dari Yayasan. Kita kan di-drop dari sana kebijakannya. Jadi soal jam
pelajaran pun sudah ada paket-paketnya, paling ada beberapa jam yang disediakan, sekolah
boleh isi sesuai dengan kekhasannya. Kalau SMAK 1, itu pasti diisi dengan Sains. Kalau di
sini sesuai jurusan, beda-beda.
P : Di sini jumlah IPA dan IPS berapa ya Bu?
R21 : 2 kelas IPA, 4 kelas IPS. Banyak murid yang sebenarnya bisa masuk IPA, tapi tidak berani.
P : Tidak berani?
R21 : Anak-anak sini tidak terlalu punya kenekatan yang besar, ya. Nggak tahu kenapa. Karena
mereka mungkin melihat kondisinya, kalau memang dia mau masuk Ekonomi, buat apa
142
sekarang di kelas III-nya atau di kelas II-nya susah-susah ambil Biologi, Fisika. Banyak
yang berpikir logisnya seperti itu.
P : Apakah ada Bu anak-anak yang mau masuk IPA, tapi tidak bisa dan akhirnya harus masuk
IPS.
R21 : Banyak, kalau kayak gitu mah banyak. Kalau yang nilainya tidak mencukupi, kemudian
harus masuk IPS banyak.
P : Dari seluruh populasi murid IPS, berarti ada murid-murid yang bisa ke IPA tapi memilih
IPS, juga ada murid-murid …
R21 : Reject? Yang mau masuk IPA, tapi nggak bisa?
P : Ya. Kira-kira berapa persen ya Bu, murid-murid yang reject ini?
R21 : Kita harus sadar juga ya, ini istilahnya kan adaptasi juga. Kita juga musti tahu diri.
Tujuannya dia masuk sekolah itu pasti, siapa pun dia, ditanya maunya ke mana, pasti
jawabnya mau ke IPA. Kenapa? Karena IPA itu kan pilihannya jauh lebih leluasa dibanding
kalau dia IPS.
P : Pilihan jurusannya?
R21 : Ya. Pilihan jurusannya untuk kuliah, karena untuk anak usia segitu kan masih belum tahu
mau jadi apa. Dia sendiri belum tahu mau jadi apa. Dalam kebimbangan seperti itu kita
cuma bisa sarankan, ―Kamu sanggup nggak? Kalau nilai kamu cukup, silakan kamu ambil
jurusan IPA. Setelah kamu lulus, kamu bisa juga mengambil jurusan IPS.‖ Itu yang saya
sarankan. Karena bagaimana pun juga, logika anak IPA berbeda dengan logika anak IPS.
Itu saya musti akui. Cara dia berpandang, cara dia menganalisis soal, itu pasti beda. Tapi
kalau memangnya kapasitas dia nggak mampu, karena kita juga tahu ya untuk Penabur kan
standarnya berbeda dengan sekolah biasa …. Kalau dia nggak bisa ngikutin pelajaran, dia
juga musti mikir dia musti merogoh kantong orang tuanya lagi untuk les tambahan. Kita
kasih alternatif seperti itu.
Saya bilang sama mereka, ―IPS itu bukan berarti dunia kiamat kan? Tapi, inilah hidup.
Kamu harus bisa memilih. Kalau tidak bisa A, ya kamu harus ambil B.‖ Jadi masalahnya di
B-nya itu, anak-anak yang nggak dapat, ya itulah yang tertampung di IPS. Tapi bukan
berarti semua yang di IPS anak-anak yang nggak dapat tempat, t‘rus lari ke IPS. Banyak
juga anak-anak yang memang sadar diri kapasitas dia sebenarnya masuk, tapi dia nggak
mau di situ, dia lebih nyaman di IPS-nya. Nah itu yang jadi kebanggaan kita di IPS.
P : Nah, yang sadar diri itu, apakah banyak Bu?
R21 : Nggak banyak. Ya, 10-15% sih ada.
Waktu saya mengajar kelas X, memberikan mereka soal-soal Ekonomi, Akuntansi.
Biasanya kan yang jadi perhatian kita anak-anak yang pintar dulu ya? Tapi saya tahu anak-
anak ini nantinya akan masuk ke IPA. Yang harusnya jadi perhatian saya adalah anak-anak
yang kurang ini, karena merekalah yang nantinya akan jadi murid-murid kita di IPS. Di
kelas X kan mereka biasanya masih belum fokus, kadang-kadang di kelas XII baru berbalik
180°.
Masalahnya, kalau mereka mau ambil beasiswa, PMDK, dan sebagainya, nilai itu kan
dilihat dari semester satu, padahal semester satu mereka nilainya banyak merahnya.
―Kenapa sih kamu nggak sadar? Kenapa kamu nggak berusaha dari sekarang?‖ Karena di
kelas XII mereka sudah sadar, ―O ya, saya belajar untuk ini. Saya mau masuk ke jurusan
ini.‖ Nah, di situ langsung berubah, fokus. Tapi waktu mereka ikut seleksi, saringan
pertama kan pasti nilai, dari semester 1, di kelas X, dan di situ mereka langsung kalah dari
anak-anak IPA. Dan sejujurnya saya enjoy banget kok di IPS, dibandingkan di IPA. Beda.
Auranya itu beda.
143
P : Apakah di SMAK ini juga ada kasus anak-anak yang tidak punya semangat belajar, sekolah
hanya sekedar untuk mengisi waktu Bu?
R21 : Ada aja sih. Di setiap sekolah juga pasti ada, tinggal masalah jumlahnya. Masalah yang
banyak kita hadapi, mungkin karena lingkungannya memang dari keluarga menengah ke
atas, adalah hubungan orang tua dengan anak yang tidak baik. Bertemu saja sehari mungkin
jarang sekali. Berhubungan lebih sering lewat telepon. Ada anak yang sakit, sesak napas,
waktu kita mau telepon orang tuanya, malah makin sesak napas. Orang tuanya pun hanya
mau kirim supir untuk menjemput dia. Jelas hubungannya sudah tidak baik. Ya, kita hanya
punya waktu tiga tahun untuk membenahi anak ini. Optimis sih kita bisa, tapi sangat
terbatas. Sudah SMA, pasti hubungan yang rusak ini sudah menjadi karang.
P : Pada saat kelas X, mereka akan penjurusan, prosesnya bagaimana ya Bu?
R21 : Biasanya guru BK sudah mengadakan penelusuran minat, juga ada tes bakat dan minat.
Kalau untuk akademiknya, waktu di MOS saya sudah memberikan mereka wawasan, ―Ini
lho, kalau kamu mau masuk IPA nilai kamu harus segini, kalau IPS nilai kamu harus
segini.‖ Biasanya kan kita fokus di IPA, kalau IPA nggak masuk ya mau nggak mau masuk
IPS. IPS nggak masuk juga, ya tinggal kelas. Itu fakta yang mau tidak mau harus
diperhadapkan ke mereka.
P : Berarti tidak ada tes khusus lagi ya Bu? Ketahuannya saat mereka terima rapor semester 2?
R21 : Ya.
P : Berarti di kelas X anak-anak sudah punya gambaran mengenai IPA dan IPS ya Bu? Bahwa
IPA itu lebih ….
R21 : Lebih hebat, lebih bergengsi, nilai gengsinya lebih tinggi.
P : Nah, dari perspektif mereka, menurut Ibu kenapa mereka sampai punya gambaran seperti
itu?
R21 : Ya mungkin karena tingkat kesulitannya ya? Anak-anak kan nggak berpikir ke depannya
mau bagaimana. Kalau yang lebih susah dia bisa masuk, wah hebat …. Anak SMA pasti
kan yang dilihat itu dulu. Yang kedua mungkin yang dilihat adalah tuntutan orang tua.
Orang tua pasti akan lebih bangga kalau ditanya, ―Anaknya di mana?‖ ―SMAK 3.‖ ―Ambil
jurusan apa?‖ ―IPA.‖ ―Wah hebat lho ….‖ Itu kan pasti membangkitkan kebanggaan
tersendiri kepada orang tua. Dua faktor itulah yang sebetulnya paling utama.
P : Dari orang tua sendiri, apakah karena hal yang sama, bahwa IPA lebih susah, atau karena
mereka melihat lebih jauh, murid jurusan IPA bisa ke mana studinya?
R21 : Kalau saya lihat sih, orang tua yang memahami kondisi pendidikan anak benar-benar,
nggak begitu. Tapi karena di sini banyak yang tidak berpendidikan baik, nggak tahu kan?
Beda ya kalau orang tuanya memang berpendidikan, dia pasti akan mengarahkan anaknya,
―O, kamu masuk ke sini karena masa depannya kan begini, begini ….‖
P : Berarti, pada orang tua murid, cukup kuat kesan bahwa IPS itu buangan ya Bu?
R21 : Ya, kayaknya sih sampai sekarang masih ya.
P : Apakah kita bisa menghilangkan persepsi bahwa jurusan-jurusan itu seperti air mancur Bu?
Dari IPA, kalau tidak diterima masuk ke IPS, kalau tidak diterima juga, kalau ada Bahasa,
masuk Bahasa ….
R21 : Tapi di SMAK 3 tidak begitu lho. Sebenarnya begini. Faktanya memang mereka itu
buangan. Itu fakta. Kita nggak bisa hindari. Apa pun persepsinya, dia harus sadar bahwa
―Kalau kamu mau masuk IPA dan nggak bisa, kemudian kamu lari ke IPS, kamu itu anak
buangan.‖ Jangan menambah beban lagi dengan membuat kesan bahwa anak IPS itu
urakan, nggak bisa diatur. Bagaimana caranya dengan ikut lomba, kejuaraan, ikut apa …
buktikan bahwa kamu pun bisa berprestasi.
144
Kita kan di Penabur yang pertama SMAK 1, kemudian SMAK 3. Kalau SMAK 1 itu
unggulannya Sains dan semuanya dia harus nomor 1. Dan dia kan tinggal mungutin yang
juara-juara. Anak inputnya bagus, hasilnya juga musti bagus. Kalau di SMAK 3 kan nggak.
Nah, yang nggak ini, yang bagusnya masuk ke IPA, sisanya masuk ke IPS. Itulah jatahnya
kita. Nah, bagaimana kita membangkitkan motivasi anak, yang merasa dirinya terbuang,
bisa bangkit. Dan saya nggak mau menekankan ke anak, IPS gampang lho, materinya
gampang. Itu yang saya nggak mau. Saya akan ubah paradigma itu. Jangan kamu berharap,
begitu di IPS, kamu bisa santai, bisa easy going, tidur-tidur, ulangan dapat bagus. Itu nggak
akan terjadi di SMAK 3.
Karena saya ngajar Ekonomi di kelas III, saya bisa katakan, ―Silakan kamu berikan soal
saya ke anak IPA, anak IPA nggak akan bisa kerjakan soal saya.‖ Karena logikanya beda.
―Kamu dituntut mengerjakan soal ini logikanya bukan cuma matematis tapi juga
ekonominya ada.‖ Kalau anak IPA kan pure matematis.
P : Jadi, apakah di sini tidak terjadi dikotomi, ―IPA bernalar, IPS menghafal?‖
R21 : Ya, itu yang saya mau. Dan itu sudah mulai terjadi belakangan ini. Yang bisa memberikan
esensi seperti itu adalah gurunya. Mau dijadikan apa anak ini, trademark-nya seperti apa,
kita yang memberikan warna, bukan masyarakat. Kalau SMAK 1 input-nya bagus ya
memang hasilnya pasti bagus. Kalau kita mau bersaing dengan SMAK 1, ya kita tunjukkan
bagaimana anak yang input-nya jelek bisa kita poles jadi bagus. Membangkitkan pride
anak, membuang kesan sebagai anak buangan, itu yang berat. ―Walaupun saya anak IPS,
saya punya sesuatu yang nggak dipunyai anak IPA.‖ Itu yang perlu dibentuk.
P : Bicara mengenai kondisi di masyarakat Bu. Apakah menurut Ibu IPA itu memang peluang
kerjanya lebih luas atau potensi penghasilannya lebih tinggi atau bagaimana sehingga IPA
lebih diminati?
R21 : Logic-nya aja kali, ya. Anak lebih diajarkan untuk memiliki sistematika yang lebih hebat.
IPS itu lebih ke sosialisasinya, jadi dia nggak terlalu ke pendekatan problem-solving, tapi
interaksi sosialnya bagiamana. Jadi nggak terlalu fokus ke hasil akhirnya. Jadi balik lagi
tergantung anaknya. Banyak juga anak IPA yang lari ke IPS waktu kuliahnya. Dan juga
biayanya, di FT, FK itu lebih mahal daripada FE.
P : Bagaimana pembinaan oleh guru BK? Apakah di dalam penjurusan guru BK memiliki
peranan yang penting Bu?
R21 : O, ya. Guru BK di sini ada tiga orang. Masing-masing orang menangani satu angkatan.
Jadi, dia ikut bersama dengan anak itu. Dari kelas X sampai kelas XII, kemudian dia
kembali lagi ke kelas XII.
P : Seandainya ada anak-anak yang memiliki minat-minat yang tidak populer, misalnya pada
Antropologi, Sosiologi, … apakah mereka akan tetap disarankan untuk menekuni minat
mereka untuk di SMA dan kuliah?
R21 : Anak kita ada tuh yang tahun lalu sampai ke China ambil Antropologi.
P : Dan orang tuanya OK saja?
R21 : Ya itu dia! Tapi sekarang orang tua tidak terlalu ikut campur kok ya? Lebih pengertian
terhadap minat anak. Yang sampai repot berurusan dengan guru BK itu waktu penjurusan
IPA atau IPS. Kalau untuk kuliah, rasanya sekarang orang tua sudah nggak terlalu ikut
campur. Dan memang anaknya juga tidak mau yang aneh-aneh. Mungkin juga anak sini
terlalu logis atau terlalu ekonominya matang atau gimana, udah jelas dia maunya mau ke
mana. Kebanyakan ya ke Ekonomi, kalau nggak IPA-nya Teknik, Kedokteran, Pangan. Ya
itu-itu aja deh. Yang nggak ada duitnya biasanya jarang peminatnya.
P : Apakah murid-murid melihat guru-guru IPA dan IPS sebagai guru-guru yang setara, Bu?
145
R21 : Itu dia. Yang memberi nilai pada diri kita ya diri kita sendiri. Di sini antara guru yang
senior dan guru yang muda pun kompaknya bagus. Kita benar-benar kompak, satu suara.
Jadi murid tidak bisa mengambil celah di situ.
P : Tadi Ibu katakan orang tua lebih banyak berperan waktu murid mau mengambil penjurusan
di SMA, daripada waktu mau kuliah. Apakah itu sudah terlihat sejak awal, di kelas X, atau
ada kaitannya dengan peranan guru BK Bu?
R21 : Saringan di kita ini bertingkat. Sebelum masuk KBM, di awal-awal bulan orang tua sudah
kita panggil. Jadi kita sudah share dulu, kira-kira yang akan anak mereka hadapi seperti
apa. Kalau anak itu normal, orang tua akan bertemu pihak Sekolah minimal 4 kali dalam 1
tahun ajaran: awal tahun pelajaran, mid semester, semester ganjil dan mid semester genap.
Nah, untuk semester akhir, anak itu naik-tidak naik, rapor akan kita berikan langsung ke
anaknya. Toh orang tua tidak punya peranan apa-apa lagi. Itu sudah keputusan akhir.
Kalaupun anak ini di tengah jalan ada masalah, guru BK tanpa perlu konsultasi dengan
pihak Sekolah dia akan langsung berhubungan dengan orang tua. Karena dia tiga tahun
menangani anak yang sama, jadi dia yang paling tahu. Di kelas II, orang tua akan diundang
lagi. Ada seminar untuk orang tua, ada KKO, semacam forum untuk orang tua saling
sharing.
P : Jadi pembinaan yang dilakukan kepada murid sudah sangat intensif dari berbagai saluran ya
Bu? BK, orang tua?
R21 : Ya, dan juga BK itu masuk ke kelas, menggunakan jam Agama. Setiap 3 jam pelajaran
Agama diseling 1 jam pelajaran BK. Dan juga tiap ada pelajaran kosong, BK langsung
mengisi. Juga ada konseling pribadi, konseling kelompok.
P : Apakah pada saat memilih jurusan, anak-anak ini sudah tahu benar nantinya mau kuliah ke
mana, mau bekerja jadi apa?
R21 : Beberapa orang bisa, tapi kebanyakan tidak bisa.
P : Bagaimana dengan pengaruh teman, Bu?
R21 : Nggak terlalu kuat ya. Justru yang kami takutkan itu dari anak-anak Penabur, susah
bergaul. Kalau di lomba-lomba tuh kelihatan sekali. Sementara anak-anak Negeri bisa
berbaur, dapat teman baru, ke sana-kemari, anak-anak kita itu ya diem-diem aja …. Capnya
seperti itu ya, terkotak-kotak, sulit berbaur. Padahal kan dalam kehidupan nanti ya
kepintaran terbatas gunanya, justru bisa bergaul itu yang penting.
P : Menurut Ibu, seberapa besar latar belakang pendidikan dan kondisi sosial-ekonomi orang
tua terhadap campur-tangannya dalam pendidikan anak?
R21 : Berpengaruh sih pasti, tapi tergantung ya. Kalau saya lihat di sini, ada orang yang berada,
tapi beradanya itu dalam pengertian uangnya banyak dan anaknya mau ambil apa saja
boleh. Tapi ada juga orang yang punya duit, dan berpendidikan juga, dia sudah
mengarahkan anaknya masuk ke mana. Jadi pendidikan sepertinya lebih berpengaruh
daripada uangnya. Kalau orang tua sudah memasukkan anaknya ke SMAK 3, pasti dia
punya tuntutan lebih kenapa sampai memasukkan anaknya ke sini. Jadi saya rasa sudah
tidak terlalu kolot lagi.
P : Jadi waktu ingin mengambil studi ….
R21 : Orang tua sekarang kebanyakan nggak tahu kok. ―Mam, aku mau ambil ini.‖ ―Itu apa?
Belajar apa? T‘rus, jadi apa?‖ Orang tua kan pasti nanyanya gitu. Mungkin zaman dia
sekolah dulu nggak ada pilihan itu. Tapi yang penting kan nantinya jadi apa, t‘rus gajinya
berapa? Pasti ujung-ujungnya duit. Jadi saya bilang, ―Kamu harus informasikan dengan
baik kepada orang tua.‖
146
P : Mengenai sikap Sekolah terhadap guru, Bu: apakah ada insentif-insentif atau penghargaan-
penghargaan yang bisa didapatkan oleh guru-guru yang mengajar MIPA atau bidang studi
UAN yang tidak bisa didapatkan oleh guru-guru lainnya? Entah uang, piagam, apa pun …
material maupun imaterial?
R21 : Itu sih pasti tetap ada. Tapi tidak beda terlalu jauh kok. Kan kita juga ada sistem poin
insentif yang menjadi dasar perhitungan bonus di akhir tahun. O ya, anak-anak juga ada
yang saya paksa-paksa masuk IPA dan dia tidak mau, maunya masuk IPS, karena takut
tidak naik kelas. Dan orang tuanya pun OK-OK saja. Jadi saya rasa orang tua sekarang
sudah lebih terbuka, ya.
P : Ketika ada guru yang berhalangan hadir atau cuti, bagaimana mencari penggantinya Bu?
R21 : Kalau cuti hamil, kan lapor ke yayasan, yayasan akan carikan pengganti, sebelum cuti ya
harus jelas serah-terimanya berdasarkan program guru itu … jadi sudah tahu guru
penggantinya harus mengajar dari mana sampai mana. Guru itu akan dicarikan dari Penabur
yang lain, kalau memang bisa guru intern juga sama, tetap saja harus mengacu kepada
program guru itu.
P : Apakah guru penggantinya pasti dari bidang studi yang sama Bu?
R21 : O ya, pasti. Nggak ada cerita guru bidang studi yang berbeda … kalau 1-2 hari, ya mungkin
hanya diberikan tugas, tapi kalau guru pengganti pasti dari biadng studi yang sama.
P : Dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang lain, apa keunikan sekolah ini Bu?
R21 : Disiplinnya. Bahkan dibandingkan dengan Penabur yang lain, tetap di sini disiplinnya lebih
kuat.
P : Apakah sebagai Koordinator Kurikulum Ibu merasa pemerintah memiliki campur tangan
yang berarti dalam pemilihan jurusan ini? Mungkin ada kepentingan agar murid-murid
lebih tertarik untuk masuk ke satu jurusan dibandingkan jurusan yang lain?
R21 : Pemerintah lebih banyak kepentingan politisnya daripada unsur pendidikannya. Tapi
memang negara berkembang, pasti masih banyak minat ke Ekonomi, belum ke yang lain-
lain. Kalau saya melihat, kenapa secara umum banyak anak yang sebenarnya tidak mampu
kuliah dan tidak akan kuliah, kok masih masuk ke SMA, ya itu sebenarnya karena banyak
penganggurannya. Yang tinggi saja, yang sudah S1 banyak pengangguran. Kalau yang S1
mau dibayar kayak SMA, buat apa ambil SMK? Lebih nggak laku lagi. Jadi, supaya laku,
ambil S1. Masuk SMA. Di SMA mau ambil IPA.
P : Apakah ada peranan lain yang Ibu harapkan dari pemerintah?
R21 : Yang mendesak sebenarnya mata pelajaran harus dikurangi supaya murid belajar lebih
fokus. Untuk apa ada pelajaran-pelajaran yang isinya sama diulang-ulang? Sejarah, PKn.,
Sosiologi … juga Sejarah itu materinya dari SD ke SMP ke SMA ya diulang-ulang, itu-itu
lagi. Tapi kalau kita ngomong sama pemerintah, ya ujung-ujungnya dibalikin ke kita lagi,
―Ya inilah Indonesia, Bu.‖ Jadi mau bagaimana lagi?
A2.2 Responden 22
P : Ibu Kus, sudah berapa lama menjadi guru Bu?
R22 : Sejak 1987. Sejak awal sudah di sekolah ini.
P : Mengajar?
R22 : Biologi. Kalau kelasnya berganti-ganti, tahun ini mengajar kelas XI IPA dan XII IPA.
P : Apakah menurut Ibu di antara murid ada persepsi bahwa IPA itu lebih tinggi, lebih
bergengsi, daripada IPS?
147
R22 : Nggak juga. Bahkan anak-anak yang pintar cenderung masuk IPS. Saya itu banyak
kehilangan anak-anak yang saya lihat di kelas X-nya itu bagus, mereka lari ke IPS. Saya
tanya, ―Kenapa?‖ Mereka takut: Fisika, Kimia, Matematika. Yang mereka takutkan itu.
P : Berarti bukan karena tidak mampu, tapi karena takut?
R22 : Ya. Banyak anak IPS yang seharusnya mereka ada di IPA.
P : Apakah ini ada hubungannya dengan cita-cita mereka Bu?
R22 : Ya mungkin memang kaitannya ke sana. Karena mereka kan maunya rata-rata akunting ya,
akhirnya ya sudah daripada capek-capek belajar ya sudah masuk IPS saja. Sebenarnya
mereka otaknya mampu.
P : Murid-murid Ibu sendiri yang masuk IPA, jago-jago Biologi, bahkan ikut di OSN, apakah
kuliahnya kemudian lanjut ke F-MIPA juga Bu?
R22 : Kebanyakan ke FE. Ada ke FT juga, tapi kebanyakan FE. Jarang sekali yang ke F-MIPA.
Mungkin mereka memandang ke depan, setelah lulus mau jadi apa? Pekerjaannya juga
susah ….
P : Jadi, kalau boleh saya simpulkan sementara, pemilihan jurusan ditentukan oleh pekerjaan
dan potensi penghasilannya?
R22 : Ya. Bagaimana masa depannya. Karena ujung-ujungnya mereka itu kan … kadang orang
tua sekarang juga salah ya, saya tanya sama murid, ―Kenapa kamu nggak mau ambil
fakultas kedokteran? Padahal untuk kamu itu kan gampang?‖ ―Nggak mau ah Bu,
kuliahnya lama. Udah gitu nanti dilempar lagi ke luar daerah.‖
P : Waktu anak-anak memilih jurusan, kan sepertinya bertingkat ya Bu, dari IPA, kalau tidak
diterima di IPA, masuk IPS, kemudian Bahasa ….
R22 : Ya sebenarnya dulu nggak begitu ya. Kalau dulu itu, A1, A2, A3, anak-anak bebas
memilih. Jadi sebenarnya kebanyakan anak-anak memilih dengan hati nuraninya. Cuma
kadang-kadang ada orang tua yang mengontrol anaknya harus masuk ke jurusan mana.
P : Apakah peranan orang tua murid cukup kuat dalam pemilihan jurusan ini Bu?
R22 : Terkadang saja. Semakin ke sini, orang tua pada umumnya cenderung lebih membebaskan.
P : Kalau melihat faktor keterdidikan orang tua dan kemapanan ekonomis orang tua, apakah di
antara dua faktor ini ada yang berpengaruh terhadap sikap orang tua dalam membebaskan
keputusan anak Bu?
R22 : Em, kalau saya lihat, kemapanan kok kayaknya nggak ya. Tapi memang orang tua yang
lebih terpelajar cenderung lebih memberikan kebebasan kepada anaknya untuk memilih
jurusan apa saja. Karena mereka kan juga lebih bisa mengarahkan ya.
P : Kalau orang tua, apakah mereka memiliki kerjasama yang baik dengan pihak sekolah Bu?
Dalam hal penjurusan, waktu anaknya memilih jurusan Bu, baik waktu di SMA maupun
untuk kuliah, apa ada peranan yang penting dari orang tua?
R22 : Mereka cukup mengarahkan anaknya ya, baik-buruknya, kemungkinan di masa depannya.
Tapi kebanyakan sih dicoba karena di sini kan bisa coba. Tiga bulan di IPA, kalau tidak
bisa, pas-pasan, boleh pindah ke IPS.
P : Apakah guru BK mempunyai peranan yang penting dalam pemilihan jurusan Bu?
R22 : Guru BK penting, karena selalu mengarahkan sesuai kemampuan murid. Dipantau dengan
baik, diikuti terus. Dan memang kalau mau masuk ke Perguruan Tinggi, mereka malah
konsultasi dengan guru BK-nya dulu.
P : Dari perspektif murid-murid, apakah ada perbedaan penghargaan terhadap guru-guru IPA
dan IPS? Mungkin ada yang dipandang sebagai ―dewa-dewa‖-nya di sekolah ini?
R22 : Nggak ya. Mashi-masing dua jurusan ini ada dewa-dewanya, ada killer-killer-nya jadi
mereka sama menghargai guru IPA dan IPS.
148
P : Kalau seorang guru berhalangan hadir Bu, atau cuti, bagaimana mencari penggantinya?
Apakah penggantinya ini harus guru semata pelajaran?
R22 : O, ya. Harus dari mata pelajaran yang sama. Tapi biasanya kan kalau cuti melahirkan, guru
yang mau melahirkan itu harus mencari pengganti sesuai bidang studinya. Kalau bisa dari
sesama Penabur boleh, kalau mau cari dari luar juga boleh, tentu yang punya reputasi yang
baik juga. Kemudian mereka harus sepakat dan sebelum hari cuti sudah serah-terima bagian
mana yang mau diserahkan. Kalau tidak masuk 1-2 hari ya cukup kasih tugas. Tapi yang
jelas harus guru dari mata pelajaran yang sama, kalau mau digantikan.
P : Baik pelajaran IPA maupun IPS, harus dari mata pelajaran yang sama Bu?
R22 : Ya. Tidak pengaruh, mau IPA mau IPS, harus dari mata pelajaran yang sama.
P : Apakah untuk menjadi guru IPA dan IPS di SMAK ada perbedaan kualifikasi Bu?
R22 : Sama saja. Karena kita semua kan harus membawa mereka tahun demi tahun, mengubah
dari yang buruk menjadi yang baik, sama saja untuk guru IPA dan IPS.
P : Ketika ada ajang-ajang perlombaan dan ujian nasional, kemudian murid berhasil
menunjukkan prestasi tertentu, apakah ada kesetaraan kesempatan untuk semua guru Bu?
R22 : Ada. Semua sama, kok.
P : Tapi kalau UN, kan tidak semua guru bisa mendapat kesempatan itu? Juga PKn., tidak ada
kompetisi-kompetisinya Bu?
R22 : Oh, maksudnya kalau ada prestasi seperti itu? Penghargaannya kan untuk anak ya, bukan
untuk guru. Kalau untuk guru, itu kita lihat konduitenya, jadi ada penghargaan di akhir
tahun bersamaan dengan konduite. Seperti saya, kalau misalnya berhasil membimbing
Biologi sampai ke tingkat olimpiade, nanti ya diperhitungkan di konduite. Memang untuk
tiap guru kesempatannya beda-beda: ada yang UN, ada yang kompetisi, banyak … tapi
semuanya punya kesempatan.
P : Apakah seorang murid dari jurusan IPA pasti bisa berhasil di jurusan IPS di sekolah ini Bu?
Dan sebaliknya, apakah juga bisa?
R22 : Nggak juga. Karena sekarang ada kan Perguruan Tinggi yang membolehkan dari IPS
masuk ke jurusan apa saja dan ternyata mereka itu di luar juga ikut bimbingan-bimbingan
tes, jadi di sekolah ambil IPS, ikut bimbingan di luar, lalu masuk ke kedokteran. Dan saya
pikir kalau memang dia punya kemampuan, tidak apa-apa ya. Karena prinsip dasarnya yang
katanya SMA itu memberikan dasar nggak juga kok ya. Karena di awal masuk PT mereka
semua ilmu juga dimatrikulasi lagi kan?
P : Apakah ada dikotomi bahwa ―IPA itu lebih bernalar, IPS cenderung lebih hanya menghafal
teori-teori?‖
R22 : Nggak ada. Malah saya pikir anak IPS lebih pintar berbicara, dalam hal bahasa,
berkomunikasi, dibandingkan anak IPA.
P : O ya? Apakah ada pelajaran tertentu Bu, yang membuat mereka begitu?
R22 : Mereka kan dapat Sosiologi kan? Sosiologi kan bagaimana mereka harus bisa
berkomunikasi, bersosialisasi dengan orang-orang kan? Kalau anak IPA itu kan nggak
dapet?
P : O berarti Sosiologi itu kuat di analisis juga ya Bu?
R22 : Ya. Dan memang anak IPS itu kalau berbicara lebih pandai.
P : Sekolah ini ciri khasnya apa ya Bu?
R22 : Disiplin yang luar biasa tinggi. Karena memang kepala sekolahnya dulu menerapkan
disiplin gaya Belanda …. Dan guru tuanya juga banyak, jadi guru-guru muda yang masuk
juga melihat, ―O, seharusnya begini.‖
149
P : Menurut Ibu, apakah pemerintah punya usaha tertentu untuk lebih membuat jurusan
tertentu menarik dibandingkan jurusan lainnya?
R22 : Tidak ada. Karena dari kelas X mereka dapat pelajarannya IPA dan IPS. Jam-jam juga
sama banyak. Cuma yang saya sayangkan dari pemerintah, ini kan pelajarannya sangat
banyak. Itu anak tuh merasa jadi terlampau beban seperti kalau dia sudah masuk
universitas, ada pelajaran-pelajaran yang kurang perlu … seperti PKn. Yang memberatkan
cuma itu.
A2.3 Responden 23
P : Saya mau nanya dulu sedikit tentang latar belakang di SMAK 3 ya. Fanny memang dari
SMP di Penabur ya?
R23 : Nggak. SMP-nya dari Santo Yosef, bukan dari Penabur.
P : Oh bukan dari Penabur, terus kenapa masuk ke Penabur?
R23 : Soalnya itu karena denger waktu SMP dari saudaraku yang masuk ke sini, sekarang udah
lulus. Waktu itu denger di sini kasih pendidikannya bagus, ya saya juga nggak kepikiran
bisa diterima karena waktu di SMP, saya pikir bukan unggulan kan? Jadi, coba-coba sama
temen. Kan saya nggak tes kan? Dilihat dari rapor kan, jadi dari ranking 1 sampai 3 nggak
perlu tes, masuknya di sini tanpa tes.
P : Waktu mau masuk ke SMAK 3 udah tahu mau masuk kuliah ke mana?
R23 : Waktu masuk pertama kali sih belum tahu tapi udah pasti mau ngambilnya IPS.
P : Kenapa?
R23 : Karena saya berminat di IPS, bukan … eh, waktu kelas 1 tuh nilai IPA saya tuh sangat
memenuhi dan guru-guru, wali kelas tuh menganjurin harusnya masuk IPA aja. Tapi saya
bilang saya nggak mau masuk ke yang jalur yang merurut saya gak di situ. Kalau menurut
saya kemampuan saya, bakat saya dan minat saya itu adanya di IPS.
P : Yang seperti apa tuh maksudnya ―IPS‖?
R23 : Yang seperti Akuntansi, Ekonomi, saya senang sekali dengan Ekonomi gitu. Kalau saya
yang nggak suka tuh kalau IPA ilmunya statis, kan? Saya tuh lebih suka yang bisa berubah
dengan zaman jadi bisa lebih diikuti gitu jadi saya memang berminatnya di IPS bukan
karena memang tidak mampu di IPA atau memang lebih unggul atau nggak ya, tapi
memang minatnya aja sih.
P : Kalau terhadap ilmu sosial lainya seperti Sejarah, Sosiologi, Antropologi, ada minat juga ke
situ?
R23 : Minatnya sih biasa aja, tapi saya sih memang sangat senang dengan pelajaran IPS. Kalau
Sosiologi itu kan memang kita kan hidupdi sekitar masyarakat, jadi bisa tahu. Kalau
Sejarah setidaknya tahulah dulu-dulunya bagaimana. Meskipun nggak begitu tertarik tapi
lebih emang interested-nya di IPS.
P : Jadi dari awal memang IPS ya? Kemudian di luar orang pada umumnya memandang IPA
lebih tinggi, betul ya?
R23 : Ya, paradigma masyarakat.
P : Menurut kamu kenapa terjadi seperti itu?
R23 : Nggak ngerti juga ya, mungkin para orang tua juga suka memaksa anaknya untuk masuk
IPA.
P : Orang tua kamu juga begitu?
R23 : Orang tua saya sih terserah, tapi dari temen-temen saya, saudara ya suka maksa, ―Udah,
masuk IPA aja,‖ tapi saya juga nggak ngerti kalau seandainya ditanya kenapa sih harus
150
dipaksa masuk IPA begitu, belum tentu yang masuk IPA tuh berhasil justru kita punya
perusahaan, mendirikan perusahaan, manajemen, itu pasti IPS dong? Dan kalau kita nanti
ingin membuat bangunan, berarti arsitek, itu anak IPA dong? Otomatis anak IPA yang kerja
nanti kan? Kita bisa kayak wirausaha, entrepreneur, kita menggaji anak-anak IPA untuk
berkerja. Saya bilang paradigma itu harus diubah gitu, bukan berati IPA lebih tinggi dan
IPS lebih rendah gitu. Kalau menurut saya tuh itu tergantung kemampuan orang. Kalau
orang itu mempunyai kemampuan di IPS pasti dia bisa berkembang di IPS, kalau memang
mampunya di IPA ya pasti bisa berkembang baik di IPA gitu. Kalau itu sih tergantung
anaknya sendiri minatnya di mana.
P : Sekarang kamu sudah tahu ke depannya mau masuk ke jurusan mana?
R23 : Saya di sini sudah diterima di Universitas Atma Jaya jurusan Akuntansi tapi saya kemaren
ini ditawari sekolah, ada PMDK di UI.
P : OK. Jurusan yang sama?
R23 : Ya.
P : Ada rencana studi ke luar negeri?
R23 : Nggak sih. Saya pikir saya lebih enjoy di Indonesia ya kayaknya, memang siapa tahu kita
bisa membantu negara ini, siapa tahu nantinya bisa jadi negara yang berhasil, memang
nggak berminat ke luar negeri.
P : Orang tua Fanny pengusaha?
R23 : Nggak, wirausaha.
P : Wirausaha dua-duanya?
R23 : Nggak. Papa doang. Kalau Mama sih biasanya cuma ngebantuin Papa dikit sih, ibu rumah
tangga biasa.
P : Menurut Fanny, ada bedanya nggak antara ketika orang tua ini latar belakang
pendidikannya, sosio-ekonominya, terhadap ekspektasi mereka ke anak-anaknya?
R23 : Ada. Secara umum ada kalau orang tua saya kan pendidikannya nggak terlalu tinggi kan,
cuma tamat SMA aja. Jadi memang kalau Papa sama Mama saya kalau soal pelajaran itu
mereka juga nggak terlalu ikut campur gitu lho. Terserah saja, yang penting kalau orang tua
cuma menekankan harus kasih contoh papa mama itu kan, pendidikan itu sangat penting
kan, dan kamu sudah besar. Jadi kamu harus tahu jalan apa yang harus kamu tempuh, ya
kalau minat kamu di sini ya udah kamu harus jalanilah. Tapi kalau kayak temen saya tuh
ya, orang tuanya seorang dokter, dia menuntut anaknya harus seperti dia harus ambil
jurusan IPA. Dia harus mengambil jurusan kedokteran supaya nanti bisa meneruskan
pekerjaan Papanya. Saya rasa sih ada pengaruhnya.
P : Apakah ada kecenderungannya orang yang lebih kaya, lebih berada, itu lebih memaksa
anaknya untuk mengambil jurusan tertentu atau bagaimana?
R23 : Mungkin ada sih kayak jurusan kedokteran itu kan otomatis mahal kan, kalau masuk itu tuh
mahal juga dan otomatis dari keluarga yang berada yang bisa masuk ke perguruan
kedokteran. Kalau dari keluarga pas-pasan nggak terlalu memungkinkan bisa masuk ke
jurusan seperti itu
P : Nah waktu kelas 10 nih ya, waktu mau memilih jurusan, di antara teman-teman yang
sebaya kan tentu ada persepsi juga tentang IPA seperti apa, IPS seperti apa begitu ya,
faktor-faktor yang berpengaruh itu apa sih saat mereka memandang IPA, IPS itu?
R23 : Em, faktor yang berpengaruh ya? Kalau kelas I sih, waktu mau pilih jurusan teman-teman
saya cuma bilang, ―Waduh kayaknya IPS susah nih, aduh kayaknya nggak mampun nih
pelajarannya.‖
P : IPA maksudnya?
151
R23 : Eh ya, IPA. Susah nih pelajarannya, nggak mampu nih, ya sudah masuk IPS aja deh.‖
Mereka memandang sepertinya tuh IPA pelajarannya lebih susah gitu, karena mereka yang
ada di IPS, kadang-kadang mereka nggak berminat, mereka nggak mau berusaha di IPA
gitu lho, seperti Matematika dengan rumus-rumusnya. Tapi ada satu lagi teman saya bilang,
―Ih, apa-apaan sih hafalan otak gua nggak sanggup menghafal, mendingan gua di IPA aja
deh ngitung-ngitungan.‖
P : Jadi ada dikotomi bahwa IPA itu lebih menghitung, IPS lebih menghafal. Benar tidak
dikotomi itu?
R23 : Dibilang bener sih nggak. Kan kalau IPA kan ada Biologi, dan di Biologi kan textbook kan?
Di IPS kita juga dapat Matematika, itu juga hitung-hitungan. Cuma bedanya kalau
Matematika di IPA itu lebih dalam dan kalau di IPS nggak begitu dalam, masih yang
lumayan. Tapi tetap saja di IPA dan IPS tuh tetap saja ada unsur hafalan dan hitungan,
cuma kalau IPA lebih beratnya di hitungan, IPS lebih beratnya di hafalan.
P : Nah pelajaran IPS ini sendiri selain Matematika dan Matematika Ekonomi, apakah isinya
itu pelajaran-pelajaran analitis juga, atau ….
R23 : Analitis, menurut saya. Seperti Geografi itu ya, itu kita harus menganalisis seperti wilayah
ini cenderungnya ke dataran tinggi atau apa? Wilayahnya pertanian atau apa? Kalau kita
belajar Ekonomi juga, bagaimana menurut Anda perkembangan dunia perbankan saat ini?
Itukan soal analisis juga kan? Jadi kita harus melihat, ―Oh ... jadi bank ini tingkat
kesehatannya seperti ini, jadi pengaruh investor asing seperti ini,‖ baru kita bisa menjawab,
seperti itu. Itu kan analisis ….
P : Kalau Sejarah dan Geografi bagaimana? Sejarah dan Geo., PKn., yang mungkin ....
R23 : Kalau sejarah itu kan kita cuma mempelajari masa lampau gitu, ya jadi kalau begitu belajar
cuma textbook gitu, nggak terlalu banyak analisis tapi kalau seperti Geografi, seperti
Matematika ataupun Ekonomi, Akuntansi …. Akuntansi itu juga sebenarnya logika kan?
Nggak bisa cuma pakai rumus ….
P : Berati kalau anak IPA dikasih soal itu belum tentu dia bisa ya?
R23 : Belum tentu, mungkin seperti anak IPS, dikasih soal IPA tapi kalau ribet-ribet juga belum
tentu bisa.
P : Berarti sebenarnya kan setara kalau di sini.
R23 : Setara kalau menurut saya.
P : Tapi kan ini kondisi SMAK 3 nih, menurut kamu di kondisi di luar sana begitu jugakah?
R23 : Nggak tau ya sampai sekarang menurut paradigma orang, IPA lebih diunggulin daripada
IPS, banyak orang yang menganggap kalau lulusan IPA jauh lebih berhasil daripada lulusan
IPS, tapi menurut saya sih nggak seperti itu, kita masih lihat kok orang-orang seperti
Donald Trump, menurut saya tidak berlatar belakang IPA tapi tetap bisa sukses, tergantung
kemauan dan kerja keras sih.
P : Setelah kamu lulus kuliah, nanti cita-citamu apa?
R23 : Saya pengen banget jadi auditor.
P : Auditor? Ada rencana untuk buka usaha sendiri?
R23 : Pengennya sih. Kan kalau kita bisa buka usaha sendiri, bisa mengurangi pengangguran.
Kan tergantung kemampuan, kemampuan modalnya juga. Ya, kalau memang mencukupi
….
P : Waktu kamu memilih jurusan, kan sudah jelas sekali dari awal ingin masuk IPS. Apakah
ada peranan dari orang-orang lain seperti guru BK, orang tua, keluarga?
R23 : Orang tua sih kayak tadi saya bilang, terserah aja, karena kalau kita suka dan berminatnya
di situ … kalau kita melakukan sesuatu yang kita suka, kan kita enjoy? ―Selama kamu suka
152
dan berminat, ya udah.‖ Banyak juga sih yang bertanya, ―Kenapa nggak ambil IPA aja,
Fan?‖ ―Nggak lah, memang gua berminatnya di IPA, tapi di IPS.‖ Bukan soal nilai, tapi
memang sukanya di IPS.
P : Jadi guru BK jadi tidak ada juga ya?
R23 : Dari guru BK juga ada. Waktu ambil rapor kan guru BK bilang, ―Masuk IPA aja, karena
nilainya mencukupi.‖
P : Tapi tidak ada guru yang menyarankan masuk IPS?
R23 : Nggak ada sih. Tapi teman-teman juga mendukung, ―Kalau lu sukanya masuk IPS, ngapain
masuk IPA?‖
P : Jadi sekedar untuk konfirmasi, tapi tidak ada yang ….
R23 : Nggak, mereka hanya kasih saran, tapi kan keputusan di tangan kita.
P : OK. Orang tua kan membebaskan, tapi apakah buat Fanny karena melihat orang tua
berhasil dalam bidang ini, kemudian jadi mempengaruhi keinginan untuk masuk ke IPS?
R23 : Nggak juga sih. Dari SMP memang suka pelajarannya IPS. Memang cenderungnya ke
ilmu-ilmu seperti Ekonomi, Geografi.
P : Apakah ada faktor guru yang membuat Fanny suka pelajaran-pelajaran ini?
R23 : Nggak juga. Dulu kan juga SMP-nya SMP biasa-biasa aja, bukan Penabur. Jadi ya
pelajarannya juga begitu-begitu aja …. Tapi memang kalau Ekonomi, gampang ngerti.
Baca-baca dikit udah ngerti.
P : Kalau di SMAK 3 ini apakah kamu melihat ada perbedaan antara kualitas guru IPA dan
guru IPS?
R23 : Nggak, ya. Semua guru di sini sangat menguasai, mereka sangat berkompeten di
bidangnya. Sudah senior-senior dan hebat-hebat semua. Kayak kamus berjalan.
P : Di antara teman-temanmu, apakah banyak yang diatur orang tuanya dalam penjurusan?
R23 : Kalau dari 100% ya, masih adalah 60% yang dipengaruhi oleh orang tuanya, masuk sini aja
….
P : Dengan menjadi auditor, kemudian membuka usaha sendiri, apa yang kamu mau capai?
R23 : Ya kalau auditor kan iming-imingnya gajinya besar, kemudian kalau misalnya bisa buka
usaha bisa untuk inves masa depan, waktu tua udah punya usaha sendiri, jadi nggak
bingung mau cari makan dari mana, udah ada pegangan sendiri, jadi selain bekerja berharap
punya usaha sendiri juga.
P : Sekarang mengeni guru. Pernah ada guru yang tidak masuk ya, entah karena cuti atau sakit?
R23 : Ya.
P : Nah, kalau ada guru pengganti, apakah menurut kamu guru pengganti itu memang orang
yang berkualifikasi di bidangnya, atau boleh sembarang guru masuk?
R23 : Nggak sembarang guru. Kan untuk satu mata pelajaran ada lebih dari satu guru. Jadi kalau
ada yang tidak masuk pasti penggantinya adalah guru mata pelajaran yang sama juga. Jadi
sudah pasti orang yang berkualifikasi di bidangnya juga.
P : Kalau kamu bertemu dengan teman-teman dari sekolah lain, apa sih yang paling bisa
dibanggakan dari SMAK 3 ini?
R23 : Kualitasnya dan kedisiplinannya.
P : Sekarang kan banyak lulusan S1 yang pengangguran. Menurut kamu, apakah orang harus
sekolah lebih tinggi lagi supaya tidak terjebak dalam masalah ini? Atau mungkin
sebaliknya, silakan ambil SMK asal siap kerja?
R23 : Terlepas dari itu semua, pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting sekali. Kita nggak
bisa lihat dari kondisi sekarang susah cari kerja. Andaikan pun dia punya kemampuan, dia
bisa buka usaha sendiri. Tapi kalau dia sendiri tidak punya latar pendidikan, apa yang mau
153
dia kembangkan? Apa yang mau dia usahakan untuk … jangankan untuk orang lain, untuk
diri sendiri saja susah, kalau dia tidak punya latar pendidikan yang bagus?
A2.4 Responden 24
P : Nicho sekarang di kelas XII IPA ya? Apakah sejak awal memang sudah tahu mau masuk
IPA?
R24 : Belum. Sampai kelas X masih bingung mau masuk mana.
P : Kalau masuk SMAK 3, kenapa memilih sekolah ini?
R24 : Soalnya … mungkin sih kalau mikir, pertama kali sih pengen masuk IPA, tapi nggak yakin,
jadi nggak berani ambil yang terlalu susah, ambilnya yang sedang-sedang saja. Kalau
SMUK I kan berat, jadi ya udah ambil SMAK 3 aja, tengah-tengah, juga nggak jelek-jelek
banget. Lumayan, kan?
P : Yang menonjol dari SMAK 3 apa sih?
R24 : Paling ya lebih nyantai, ya. Terus temen-temennya lebih friendly. Kata teman-teman, anak-
anak SMUK I lebih kutu buku, udah gitu tuh individualis gitu. Kalau di sini kan enak
teman-temannya ….
P : Waktu Nicho di kelas X, diputuskan boleh ambil IPA, kenapa mengambil IPA, kenapa
tidak mengambil IPS?
R24 : Jujurnya sih lebih suka IPS. Cuma waktu itu kan dibilangin boleh ambil dua-duanya. Jujur,
pas kelas I masih belum tahu mau jadi apa. Mungkin kalau IPA kan bisa ke IPS, sedangkan
kalau di IPS cuma bisa ke IPS aja. Lagian, kalau misalkan IPS, juga nggak terlalu kuat
menghafal sih.
P : O, jadi IPS itu konotasinya kuat dengan menghafal ya?
R24 : Tapi ada juga IPS yang tertentu kan cenderung pakai nulis, kayak esai, gitu, kayak cerita-
cerita. Kalau Nicho lebih suka nulis. Kalau ada esai sama PG, pasti esai lebih bagus.
P : Tapi memang ada kesan bahwa IPA lebih banyak bernalar, IPS lebih banyak menghafal?
R24 : Sebenarnya, nggak juga sih. Sebenarnya gimana ya? Kenapa waktu itu milih IPA ya?
P : Apakah dari sekolah ini ada lulusan IPS yang kemudian masuk ke Kimia murni atau ke
Kedokteran?
R24 : Pernah dengar sih, tapi pasti berat banget.
P : Nicho sudah tahu, nanti mau kuliah ke mana?
R24 : Masih bingung sih mau ke mana, cuma katanya kalau jadi dokter sih bagus. Soalnya kalau
dari psikotes, semuanya mau. Nah, bingung deh, jadinya mau ke mana. Cuma sih kalau dari
IPA, lebih ke Kedokteran. Kalau dari IPS, lebih prefer ke psikologi.
P : Apa ada pengaruh dari orang tua untuk ambil jurusan ini?
R24 : Kalau IPA sih, orang tua banget. Kalau dari saya sendiri mikir, sih maunya IPS. Cuma
pikir-pikir, ya IPA sih ada bagusnya juga sih. IPS juga ada bagusnya sih ….
P : Tapi kamu sebenarnya mau masuk IPS?
R24 : Ya.
P : Kalau antara Kedokteran dan Psikologi, orang tua ….
R24 : Orang tua sekolah kedokteran.
P : Dua-duanya dokter?
R24 : Ya.
P : Tapi apa mereka memaksa atau ….
R24 : Maksa.
P : Tapi kalau nggak Kedokteran, harus masuk Psikologi?
154
R24 : Kalau aku sih lebih maunya Psikologi, kalau nggak ke Media.
P : Tapi tidak diizinkan oleh orang tua?
R24 : Nggak. Nggak mungkin.
P : Kamu sendiri di antara teman-teman ada melihat nggak, apakah di antara IPA, IPS ada
gengsi-gengsi tersendiri waktu masuk IPA?
R24 : Kalau masuk IPA sih, awalnya berasa gengsi, tapi setelah lama-lama biasa aja, soalnya ada
yang anak IPS bisa dan anak IPA nggak bisa … seperti waktu untuk berorganisasi, belajar
hal-hal yang nggak didapat di kelas … ikutan di OSIS.
P : Kenapa bisa begitu ya? Apakah karena jam pelajarannya lebih sedikit, atau lebih santai?
R24 : Itu kan pelajarannya lebih umum, pengetahuan umum, mungkin kecuali Sejarah yang hafal
mati.
P : Apakah ada kesan bahwa anak-anak IPS adalah anak-anak buangan, yang tidak bisa masuk
ke IPA?
R24 : Nggak juga. Kan anak IPS sebenarnya yang tahu mau ke mana, jadi tahu tidak perlu masuk
ke IPA.
P : Jadi kalau yang IPA itu yang belum tahu mau masuk ke mana?
R24 : Ya, begitu deh. Soalnya teman-teman saya juga kebanyakan dari IPA masuknya ke jurusan-
jurusan IPS juga waktu kuliahnya.
P : Waktu memilih jurusan, orang tua mau Kedokteran, kamu mau Psikologi, apakah ada
peranan guru BK?
R24 : Awalnya sih ada, disuruh mikir-mikir lagi, yang terbaik bagaimana. Ya kalau mikir-mikir
sih, mau di-combine kan bisa, mungkin pertamanya Kedokteran, kemudian setelah itu
ambil Psikiatri. Tapi kalau di Kedokteran udah nggak bisa ambil Psikiatri, ya udah, di
Kedokteran aja. Soalnya kan sekarang katanya kalau kita bilang, ―Nggak mau, maunya
ambil ini, ambil itu.‖ Nanti dijawabinnya, ―Ya lu kan sekolah juga masih dibayarin orang
tua.‖ Ya udah, jadinya sekarang ikutin aja, nanti kalau udah selesai S1 baru usaha sendiri.
P : Di antara guru-guru yang kamu lihat, guru-guru IPA dan IPS, apakah kualifikasi mereka
sebagai guru itu setara?
R24 : Ya itu tergantung bidang masing-masing sih. Tapi memang tidak tertutup juga
kemungkinan orang IPA bisa IPS, orang IPS bisa IPA. Udah bisa jadi guru SMAK 3 udah
pasti bagus-bagus.
P : Menurut kamu, dari melihat teman-teman yang orang tuanya memberikan kebebasan lebih
dalam memilih jurusan, apakah ada faktor keterpelajaran orang tua atau faktor kemapanan
orang tua yang berperan?
R24 : Kalau menurut saya sih ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, roang tuanya
nggak terlalu perhatiin anaknya. Kedua, mungkin anaknya itu udah ngerti dia mau masuk
mana jadi bisa membuat orang tuanya memahami bakat dan minatnya dan rencana masa
depannya dan orang tuanya ngerti. Kalau dari paksaan sih tergantung. Tapi kalau bakatnya
udah kelihatan shi biasanya orang tuanya ngasih. Atau orang tuanya udah mendidik
anaknya sejak kecil, kalau udah gede musti jadi dokter, musti jadi ini …. Jadi anaknya
mindset-nya udah terbentuk begitu ….
P : Apakah orang tua yang lebih terpelajar lebih cenderung memaksa anaknya masuk ke
jurusan tertentu?
R24 : Nggak juga sih. Bahkan orang tua yang kurang terpelajar, kayak orang tua saya juga kurang
sebenarnya ….
P : Kan dokter?
R24 : Nggak. Orang tua saya SMA.
155
P : Lho, yang tadi ….
R24 : Nyuruh jadi dokter. Dua-duanya nyuruh jadi dokter.
P : OK.
R24 : Tapi orang tua saya sendiri, Ayah SMA, Ibu S1 Ekonomi. Jadi nggak ada dokter-dokternya.
Kata mereka, ―Kalau bisa sih melebihi kita,‖ gitu. Harapannya kayak gitu.
P : Tapi maksa?
R24 : Tapi maksa … itu dia.
P : Tapi kenapa memaksanya jadi dokter?
R24 : Soalnya kan kalau dokter: 1) pasti kepake, dari masa ke masa pasti ada dokter, 2) katanya
prospeknya lebih bagus, 3) kalau prestasinya baik, mungkin ke depannya bisa ditarik ke
luar negeri itu kan baik.
P : Kalau faktor kemapanan orang tua bagaimana?
R24 : Kalau menurut saya sih tergantung orang tuanya juga. Ada orang tua yang walaupun kaya
tetap memperhatikan anaknya, tapi ada juga yang cuek, jadi anaknya lebih depend ke harta
warisan, jadi nggak perlu susah-susah belajar. Ada juga orang tua yang mau anaknya
mengikuti jejaknya.
P : Kamu sendiri apakah memandang positif posisi kamu sendiri dengan orang tua yang
memaksa untuk masuk ke Kedokteran?
R24 : Kalau buat prospek ke depan sih positif, tapi kalau sekarang sih masih susah terima. Tapi
ke depannya sih musti bisa terima, soalnya kalau nggak terima, bingung juga ya kuliahnya
nggak enak.
P : Pernah nggak di SMAK 3 ini ada keadaan di mana guru tidak masuk dan digantikan oleh
guru lain?
R24 : Pernah, tapi jarang sekali.
P : Yang menggantikan apakah pasti guru mata pelajaran yang sama?
R24 : Ya.
P : Dengan rencana kamu studi ke Kedokteran, kemudian lanjut ke Psikiatri, apa yang
memotivasi kamu?
R24 : Saya ingin membuktikan di keluarga saya bahwa saya juga bisa melebihi mereka. Sepupu-
sepupu dan oom-oom saya tuh banyak yang jenius-jenius banget, banyak yang dokter, yang
nggak perlu belajar pun sudah jadi juara umum. Saya ingin nunjukin bahwa saya juga bisa,
nggak dihina-hina. T‘rus saya juga mau menolong orang-orang untuk bisa belajar lebih
baik. Kalau melihat teman-teman, ada yang belajar kayaknya susah banget, udah lama-lama
tapi nggak bagus hasilnya. Mungkin ada penelitian psikologi yang bisa dilakukan, metode-
metode yang bisa membantu mereka, mungkin sejak kecil, sehingga bisa belajar lebih baik.
P : Menurut kamu, apa yang paling dibanggakan dari sekolah ini?
R24 : Temen-temennya enak, kompak. Santai, nggak terlalu berat. Nilai-nilainya lebih bagus.
Guru-gurunya juga lumayan.
P : Apakah kamu merasakan adanya persepsi orang-orang bahwa IPA itu lebih baik ….
R24 : Ya, berasa. Di keluarga juga terasa banget.
P : Apakah menurut kamu benar bahwa di lingkungan kerja IPA lebih banyak punya peluang
dibandingkan IPS?
R24 : Kalau itu sih sama aja, cuma kan ada beberapa aspek seperti pola pikir dan logika yang di
IPA lebih terasah. Jadi kebutuhan itu lebih terpenuhi waktu kerja. Tapi juga orang IPS bisa
menang di aspek-aspek sosialnya, karena anak IPA cenderung individualis dibanding IPS.
Dan sekarang di kelas XII pun terasa di antara sesama anak IPA jadi lebih bersaing.
156
P : Apakah menurut kamu dari pemerintah ada upaya untuk membuat jurusan tertentu lebih
menarik?
R24 : Nggak ada. Itu cuma masyarakatnya aja.
P : Kenapa ya masyarakat bisa upnya pandangan seperti itu?
R24 : Karena IPA lebih susah masuk. Banyak orang punya mindset, yang lebih mahal lebih
bagus, yang lebih susah lebih bagus. Padahal belum tentu.
A3. Wawancara di Sekolah Pelita Harapan, Bukit Sentul
A3.1 Responden 31
P : Apakah di sini terjadi Bu, bahwa murid memandang IPA atau Sains lebih unggul daripada
IPS?
R31 : Pertama, kalau untuk sekolah kita mungkin perbedaannya adalah antara kurikulum nasional
dengan yang IB Diploma. Ada kalanya seolah-olah yang kurikulum nasional ini dipandang
rendah dibandingkan dengan kurikulum nasionalnya. Kemudian kalau dalam hal sains dan
non-sains-nya sendiri, itu kalau di sini kan disaring. Kalau anak bisa dan dia mau, bahasa
Inggrisnya dan nilai-nilainya, maka dia akan masuk ke IB Diploma. Kalau tidak bisa,
dilihat lagi apakah bisa masuk IPA. Kalau dia tidak bisa masuk IB Diploma maupun IPA,
dia akan masuk IPS. Sebetulnya itu sendiri sudah memperlihatkan bahwa seolah-olah IPS
itu pilihan ketiga. Tetapi ada satu hal yang menarik di sekolah ini dalam beberapa tahun
belakangan, sebetulnya sudah sejak tahun 1994, ada juga beberapa anak yang sengaja dan
ingin memilih IPS, walaupun mereka bisa masuk IPA.
Ada juga anak-anak yang memilih masuk jurusan IPA dan bukan ke IB Diploma bukan
karena mereka tidak mampu tapi karena pilihan mereka sendiri, misalnya mereka mau
masuk kedokteran di Indonesia kan? Atau mau masuk Kedokteran dulu di sini, baru nanti
S2 ke luar karena memang untuk Kedokteran S1-nya harus di Indonesia. Jadi dari anak-
anaknya sendiri ada kecenderungan, dan juga dari pihak sekolah, ya sudah kalau tidak bisa
masuk ke mana-mana, ke sini saja deh. Jadi kayaknya semua orang sudah menganggap hal
itu sebagai satu hal yang biasa.
Mau tahu sebabnya? Secara persisnya, saya belum pernah melakukan penelitian ke arah
itu. Tapi, berdasarkan pengalaman, IPA itu kan banyak menghitung-hitung, orang kan perlu
kemampuan untuk menghitung-hitung, sedangkan kalau IPS, menghafal kan semua orang
bisa, jadi dianggap gampang karena cukup menghitung, tidak perlu pakai logika, seperti itu.
Tapi di IB Diploma itu semuanya ada. Grup 1, grup 2 itu bahasa. Yang satu bahasa ibu,
satunya lagi bahasa asing. Grup 3 itu social sciences, di dalamnya ada humanities. Group 4
sciences. Itu semua mereka harus ambil.
Sekarang, kecenderungan yang terakhir ini, orang dari pemerintah mungkin berpikir juga
bahwa anak IPS tidak boleh dianggap nomor dua. Mereka juga harus tahu Matematika. Jadi
dua tahun ke belakang mereka juga diajar Matematika lagi dan tahun ini di-ebtanas-kan
lagi. Jadi sepertinya ini upaya pemerintah untuk membuat anak IPS menjadi setara dengan
anak IPA. Jadi orang dari IPS juga boleh masuk arsitektur karena dia sudah ada
Matematika. Dulunya mungkin hanya IPA yang bisa.
P : Jadi pembedanya adalah pada kemampuan berhitung ya Bu, pada Matematika? Sementara
ilmu-ilmu seperti Sosiologi, Antropologi, semua itu dianggap hanya hafalan?
R31 : Betul. Itu hafalan.
157
P : Jadi, di sini terjadi dikotomi bahwa yang IPA itu bernalar dan IPS itu hanya menghafal.
R31 : Betul. Ya.
P : Kalau begitu, apakah bisa saya katakan, ketika seorang murid IPA diberikan soal IPS, dia
akan lebih berhasil mengerjakannya dibandingkan ketika seorang murid IPS diberikan soal
IPA?
R31 : Kalau dari pengalaman sih memang begitu ya. Tergantung sekarang kemauan. Karena
orang kan beranggapan, kalau menghitung bisa, menghafal pasti bisa. Karena di Biologi
juga tak terhindarkan kan? Kalau ada anak IPA seperti itu biasanya terlihat Matematika,
dan Fisikanya bagus, sedangkan Biologinya jelek. Kalau anak IPS, rasanya sih nggak bisa
ya.
P : Selain persepsi yang sudah terbentuk, apakah murid-murid di sekolah ini juga melihat
dirinya dalam cap-cap yang ada ini? ―Wah, saya cuma IPS,‖ atau ―Wah, saya IPA nih‖?
R31 : Kembali lagi kepada individunya masing-masing. Tapi secara umum sih seperti itu. Mereka
melihat dirinya IPS, kemudian menjadi kurang serius. Tapi menurut saya sih seharusnya
mendingan karena dapat konfirmasi dari guru, dari koordinatornya, bahwa kalian ini
penting: ―Tahu nggak kalian bahwa di perusahaan nanti, yang jadi operator itu ya anak-
anak IPA, tapi yang duduk di meja, yang mengurus manajemen ya itu dari IPS?‖ Tapi
suntikan motivasi ini harus terus-menerus, karena dari masyarakat juga bentukan citra IPS
sudah begitu kan.
P : Apakah muncul juga rasa minder dari keberadaan mereka dengan teman-teman yang dari
jurusan lain Bu? Mungkin yang IPA dibandingkan dengan IB? Yang IPS dibandingkan
dengan IPA?
R31 : Nah, kalau di sini kan kebanyakan berasal dari golongan the haves ya, jadi ya itu bukan
suatu masalah lagi. Gengsinya sudah mereka dapatkan dari tempat lain, dari kekayaan
mereka, dari kesempatan-kesempatan yang mereka punya …. Terkadang, kalau memang
disinggung, terucap soal IPA dan IPS, bisa jadi terjadi salah ucap, misalnya IPA selalu
disebutkan duluan dibandingkan IPS, mereka komplain. Ada perasaan IPS itu inferior, tapi
pada umumnya sih tidak muncul.
P : Dari guru-gurunya, apakah murid-murid merasakan ada perbedaan antara guru-guru IPA
dan IPS? Misalnya, lebih senior, lebih kompeten, atau ada perbedaan-perbedaan lainnya?
R31 : Karena, kalaupun dikatakan sama, kenyataannya lebih sulit mendapatkan guru sciences.
Kalau guru social sciences kan bisa merangkap-rangkap: Sosiologi, Antropologi, Geografi,
begitu kan? Kalau sciences, nggak bisa begitu kan, ngajar Fisika, Biologi juga dan Kimia
juga? Tapi di antara guru-guru sendiri sebenarnya tidak ada pengkotak-kotakan seperti itu
kan? Tapi untuk rekrutmen memang hal itu terasa, lebih susah.
P : Lebih susah karena orangnya yang tersedia lebih sedikit Bu?
R31 : Mungkin karena orangnya yang memenuhi syarat karena kan harus Kristen, juga bisa
bahasa Inggris. Kalau social sciences, kita mau seleksi setengahnya juga masih banyak.
P : Apakah ini juga pengaruh dari ketersediaan lulusan IKIP-nya Bu?
R31 : Mungkin ketika sekolah orang mengambil dasar ilmunya, kemudian ketika bekerja kan dia
belajar lagi ….
P : O, jadi tidak harus sesuai dengan pendidikan formalnya? Yang penting kompetensinya,
begitu Bu?
R31 : Ya. Dan terus update dengan apa yang current.
P : Dengan kondisi orang tua yang sangat mapan di tempat ini Bu, apakah masih terlihat
perbedaan pola-pola pengasuhan dan campur tangan terhadap pendidikan anak? Apakah
158
ada korelasinya antara kemapanan atau pendidikan mereka dengan keterlibatan mereka di
dalam pendidikan anak-anak mereka Bu?
R31 : Ya, di sini ada juga orang tua yang memang karena ingin menyekolahkan anak mereka ke
luar negeri walaupun kondisi keuangannya agak pas-pasan tetapi mereka mengirimkan
anaknya bersekolah di sini sebagai persiapan. Di antara orang-orang yang mampu pun
terlihat secara umum ada dua pola. Ada yang memang meluangkan waktu mendampingi
anak dan mengenal bakat dan minat anak mereka. Ada juga yang tidak meluangkan waktu,
akhirnya tidak mengenali dan tidak tahu anaknya harus ke mana, jadi hanya menggunakan
ancaman-ancaman kepada anaknya. Ada kalanya memang ini berhasil.
P : Tapi, dalam hal pemilihan jurusan bagaimana Bu, apakah ada tuntutan-tuntutan tertentu ….
R31 : Nah, itu uniknya di sini. Tidak terjadi seperti itu tuh. Kalau kelompok yang pertama tadi
bimbingan terhadap anaknya pasti sudah in-tune, tapi yang lainnya pun pada umumnya
percaya mereka menyekolahkan anaknya di sini dan mereka percaya sekolah ini baik. Jadi
ya sudah, selebihnya diserahkan kepada pihak sekolah. Memang tidak terjadi orang tua
yang ngotot-ngotot anaknya mau masuk ke jurusan ini. Malah biasanya anaknya yang lebih
ngotot.
P : Kalau begitu, ketika anak harus memilih apakah akan ke IB atau tidak, dalam proses
pemilihan itu apakah ada bimbingan dari konselor atau hanya diproses berdasarkan nilai
mereka …?
R31 : Di grade 10 mereka sudah diberi tahu syarat-syarat untuk masuk masing-masing jurusan
apa saja. Nah, kemudian ada juga psikotes. Terakhir adalah rapat dewan guru. Konselor
yang ada adalah guru yang menjadi grade leader, jadi grade leader untuk kelas 10 itulah
yang membimbing anak-anak dalam memilih, kebanyakan ketemu di home room, tidak ada
sesi konseling khusus.
P : Tapi ketika ada anak yang bermasalah ….
R31 : Ya, bisa dipanggil khusus, dikonseling.
P : Pada jam tertentu? Saat pulang sekolah?
R31 : Ya biasanya kita panggil dia di jam-jam social sciences karena dianggap dia bisa menyusul
sendiri ketertinggalannya. Kalau dipanggil di jam sciences, itu kan harus diajarkan dulu
baru bisa mengerti. Saya sendiri sebagai guru Chemistry, biasanya saya juga tidak izinkan
anak dipanggil pada jam saya. Kalau anaknya sudah lemah, masih dipanggil di jam
sciences, makin kasihan dia.
P : Anak-anak ini, ketika mereka hendak memilih jurusan, apakah mereka sudah jelas Bu,
arahnya mau kuliah ke mana, mau jadi apa?
R31 : Sama juga. Tergantung. Ada anak yang grade 7 sudah jelas mau jadi apa. Bisa jadi karena
pengaruh profesi orang tuanya. Ada juga yang grade 10 sudah tahu, karena pengaruh
bimbingan dan dorongan dari pihak sekolah. Tetapi untuk yang kurikulum nasional, tidak
selalu. Karena sistemnya memang begitu, ke mana mereka masuk, nanti lihat di kelas XII
jadinya seperti apa. Jarang ya ada anak yang mengambil jurusan karena keinginannya
sendiri. Kebanyakan anak mengambil kuliah karena ikut teman-temannya, apa yang
disodorkan kepada dia, jadi tidak aktif mencari juga.
P : Keunikan dari SPH apa ya Bu?
R31 : Pertama sih pembelajarannya dalam bahasa Inggris. Tapi ini persentasenya berkurang
untuk yang kurikulum nasional. Kemudian yang kedua, sekolah Kristen.
159
A3.2 Responden 32
P : Jadi Pak Todung mengajar Business Studies dan Ekonomi. Itu grup 3 di IB ya Pak?
R32 : Ya.
P : Apakah di sini ada terlihat jenjang-jenjang gengsinya antara IB, IPA dan IPS Pak?
R32 : Kalau IPS dengan IPA biasa saja ya soalnya mereka yang memilih ya. Kalau IPA dan IPS
saya pilih, ―Kalau saya lebih senang memilih IPS, saya tidak IPA.‖ Tapi kalau tahun ini
agak berubah, banyak yang mereka mampu ke IB tapi mereka nggak mau ke IB.
P : Oh, kenapa tuh Pak?
R32 : Karena mereka arahnya mau ke universitas di Indonesia
P : Oh ya IB harus keluar ya, nggak diakui di sini.
R32 : Ya, nggak diakui di sini.
P : Kecuali UPH, dan beberapa?
R32 : Dan juga ada beberpa program di universitas negeri juga menerima IB sebenarnya, mereka
kan baru memakai jalur internasional itu, kan?
P : Jadi antara IPA dan IPS buat anak-anak sama aja ya Pak? Oke, kalau di IB lebih prestisius
apakah karena tuntutannya lebih tinggi atau bagaimana Pak?
R32 : Kalau rata-rata sih nggak, cuma karena mereka mau ke luar aja.
P : Jadi bukan karena kemampuan akademiknya?
R32 : Maksudnya?
P : Jadi bukan karena anaknya lebih pintar, maka dia bisa masuk ke IB.
R32 : Sebetulnya karena mereka maunya arahnya ke mana aja.
P : Berarti waktu mereka mau memilih sudah jelas, ―O, saya mau masuk IB atau IPA atau IPS
karena saya tahu mau kuliah di mana‖?
R32 : Mereka ada yang ngarahin, jadi mereka sebetulnya sama sekali nggak ada, jadi memang
sama sekali blank ya, paling-paling ada dari orang tuanya kita maunya ke mana. Nah di sini
ada yang namanyaa career counselling, CC.
P : Satu orang guru tertentu Pak?
R32 : Ya, satu orang yang spesial untuk itu, kebetulan dia juga guru. Dia yang meng-explore idea
anak-anak akhirnya arahnya ke mana.
P : Itu di level akhir ya Pak, apakah MYP akhir?
R32 : Ya, MYP akhir.
P : Jadi memang ada session di kelasnya ….
R32 : 10, 11, 12. Karena mereka mau pilih university kan? Jadi mereka masih tetap di Career
Counselling.
P : Ketika mau masuk ke IB atau IPA, IPS ada juga Pak?
R32 : Ada juga.
P : Ini adalah guru yang menangani konseling tapi juga mengajar di bidang lain?
R32 : Betul
P : Dan guru ini satu orang atau satu per angkatan pak?
R32 : Satu orang.
P : Satu orang ya Pak? Karena mungkin nggak terlalu banyak anaknya ya kalau di antara
murid-muruid sendiri kan sudah jelas IPA-IPS berbeda kan ya Pak, dan apakah murid-
murid itu sendiri merasakan pembedaan seperti itu Pak? ―Dia IPA, saya IPS.‖
R32 : Nggak juga ya, karena mereka pilih sendiri, beberapa murid di sini memang maunya
memilih IPS.
P : Kalau dari orang tuanya sendiri bagaimana Pak?
160
R32 : Kalau orang tuanya sih sebetulnya malah mereka yang National Programme mereka
maunya milih IPA, tapi anak-anaknya mau IPS ya mereka ikutin. Ada juga yang memang
lemah. Dia lihat dari hasil anaknya juga lemah dari MYP jadi nggak mungkin anaknya di
IPA ….
P : Jadi bisa terima anaknya IPS. Pernah terjadi nggak Pak, orang tua yang anaknya harus
masuk ke salah satu jurusan?
R32 : Ada. Satu-dua lah ….
P : Nah kalau begitu bagaimana Pak, apakah orang tuanya dikonseling juga atau ….
R32 : Kita kasih waktu sekitar 3 bulan.
P : Anaknya boleh coba yang dia mau, kalau anaknya tidak bisa harus pindah ke level ini.
R32 : Misalkan anaknya ngotot ke IB, kan salah satu persyaratan IB kan Inggrisnya kuat, kalau
selama menjalani pelajarannya nggak kuat, ya bisa karena masalah Inggrisnya dan itub
biasanya berefek sekali, tapi kembali ke motivasi ke anak-anak. Kembali lagi itu anomali,
satu-dua. Ada juga beberapa kasus yang sudah dikatakan bahwa kamu nggak bisa ke sana.
Saya bisa spesifik katakan untuk kelas 12 ini ada 4 orang sebenernya dikatakan nggak bisa,
2 masuk ke IPA, 2 lagi tetap ke IB. Yang satu rajin dan berhasil, yang satu lagi kita sudah
tahu akan fail.
P : Kalau menurut Bapak, di antara guru-guru di SPH apakah persyarakan atau kualifikasi
menjadi guru antara guru-guru IPA dengan guru-guru IPS itu sama beratnya nggak Pak?
Atau karena guru-guru tersebut susah dicari ….
R32 : Ya, ada. Tapi kalau pengalaman di sini saya nggak tau soalnya saya latar belakangnya
bukan dari guru, saya bukan dari IKIP atau dari M.Pd. Jadi yang pastinya di sini yang sulit
Fisika.
P : Fisika sulit cari gurunya?
R32 : Cari gurunya sulit, dan kebetulan Fisika ini juga turn-over-nya juga agak tinggi karena
bidang mereka di luar juga banyak. Kalau di tempat lain saya nggak liat ya, t‘rus dilihat
dari guru-guru humanities-nya, kayak saya latar belakang saya engineer, S2 baru saya
Manajemen. Ada juga yang lain-lain yang juga dari engineer, kemudian ambil M.M.-nya,
karena pengalaman kita juga mengatakan kalau teknik itu untuk mengambil yang
humanities nggak terlalu sulit, sedangkan sebaliknya saya lihat hampir nggak mungkin,
P : Apakah karena di eksakta kan banyak bernalar, banyak berhitung. Apakah karena di social
studies itu banyakan menghafalnya?
R32 : Kalau saya berpikir begini. Kalau dia latar belakangnya engineer lalu harus mengajar
sejarah mungkin berat, artinya dia sendiri nggak mau. Tapi kalau masih berhubungan
dengan hitung-hitungan seperti tadi, Ekonomi, akan dipertimbangkan.
P : Di antara IPA-IPS apakah ada dikotomi, bahwa IPA itu lebih banyak bernalar, IPS lebih
banyak menghafal?
R32 : Ya sih, tapi nggak terlalu terlampau juga sih, toh mereka masih mendapat Sejarah.
P : Di IPA?
R32 : Ya, saya pikir tidak terlalu berbeda. Saya pikir … Kimia juga masih ada hafalannya. Yang
betul-betul beda sekali mungkin di Fisika dan Matematika. IPA lebih sulit.
P : Dan untuk masuk IPS harus jago menghafal Pak?
R32 : Kayaknya sih begitu ya, tapi saya sih nggak. Soalnya sekarang juga Ekonomi juga nggak
ada hafalan lagi, hitungan malah, Ekonomi bukan hafalan lagi.
P : Menurut Bapak SPH Sentul ini, apa keunikannya yang khas?
R32 : Kalau National Programme-nya kita ada Critical Thinking, Career Counselling, kemudian
kita juga punya … apa lagi ya saya lupa tapi di situ saja sudah ada perbedaan. T‘rus
161
ekonomi yang di IPA ya, kalo diliat kita nggak terlampau menekankan sama dengan yang
di dalam silabus tapi kan tujuan kita untuk lulus kan, tapi kita perkaya juga dengan masalah
yang apa ya...
P : Yang aktual Pak?
R32 : Ya, yang aktual tapi juga terkait dengan masalah visi dengan SPH-nya itu sendiri. Misalnya
kita kasih kasus dengan kenapa sih di Indonesia ini perekonomiannya kok susah banget sih
ya? Mungkin nomor satu bukan karena kita pinter, bukan soal kita mengetahui ini atau itu,
masih ada satu lagi visi yang membuat kita kuat supaya jangan sampai korupsi. Satu kan,
t‘rus di dalam faktanya abahwa anak-anak tahunya itu cuma korupsi tapi kita juga harus
ngajarin nyontek itu juga korupsi, begitu kan? Supaya mereka tahu juga, jangan kita cuma
ngomong. Kita bisa bilang orang korupsi tapi kita nyontek. Dan kita bangga tuh, karena
kita tahu di luar artinya bagaimana model orang-orang, dalam artian kita tahu dalam ujian-
ujian negara itu banyak mereka yang berbuat curang. Kita nggak akan berbuat begitu. Itu
adalah kekuatan, kita tanamkan seperti itu.
P : Kalau di antara anak-anak itu sendiri Pak, apakah hal yang sama juga yang mereka
banggakan kepada teman-teman mereka?
R32 : Nggak mungkin yang kita harapkan mereka mengatakan SPH mengajar dia pintar. Kalau
kayak gitu, dia nggak akan masuk sini. Pasti masuk misalnya, Penabur. Pasti ada other side
yang seharusnya dibanggakan.
P : Berarti positioning-nya SPH tidak seperti Penabur yang membuat anak menjadi ….
R32 : Pintar? Ya. Walaupun ada juga satu-dua yang secara alami memang sudah ada
kemampuannya.
A3.3 Responden 33
P : Indra jurusan IPS ya, di SPH dari kapan?
R33 : Grade 8.
P : Grade 8, berarti sempat grade 7-nya di sekolah nasional?
R33 : Ya. Di IPK sejak SD.
P : Jadi setahun di SMP-nya kemudian pindah ke sini?
R33 : Ya.
P : Kenapa pindah ke SPH?
R33 : Karena lebih bagus SPH.
P : Dibandingkan IPK?
R33 : Ya, mereka bilang kan nasional plus kan?
P : Memang mau sendiri atau orang tua yang mau memindahkan ke sini?
R33 : Pertama kan ada teman yang sekolah di sini, terus kan orang tuanya ngomong sama orang
tua aku.
P : T‘rus waktu grade 9 ambil ujian kurikulum nggak untuk ujian Ebtanas-nya?
R33 : Itu grade 10 karena waktu grade 9 kan Megawati yang naik, katanya nggak usah ada
Ebtanas. Di grade 10 dia turun, ada lagi.
P : Tapi punya ijazah SMP?
R33 : Paket C ada, sama dengan SMP.
P : T‘rus nanti setelah lulus dari SPH ini mau lanjut ke mana nih?
R33 : Mungkin mau ke luar, ke Perth.
P : T‘rus kenapa waktu itu ambilnya IPS bukan ambil …
162
R33 : Itu karena faktor-faktor nilai yang lain.
P : Faktor nilainya kenapa?
R33 : Ya, nggak mencukupi aja untuk masuk IB.
P : Oh … apanya yang nggak mencukupi?
R33 : Personal project-nya dulu yang gagal.
P : Oh personal project, itu berarti itu at the end of MYP?
R33 : Ya, udah nilai-nilai yang terakhir, personal project-nya berantakan semua.
P : Kalo menurut Indra sendiri, di sini kan ada IB, IPS, IPA ya? Antara IB, IPS, IPA ini ada
perbedaan nggak yang terasa? Misalnya, IB lebih hebat atau seperti apa …?
R33 : Kalau menurut pelajaran sih IB lebih sibuk ya. Yang kedua IPA, kemudian IPS yang paling
nyantai.
P : Jadi sekalian dinikmati dong?
R33 : Ya, nikmati masa muda, masa sekolah.
P : Menurut Indra kan IB paling sibuk, kemudian IPA kedua dan IPS ketiga. Selain
kesibukannya ada yang beda lagi nggak, antara IB dan IPA dulu deh, perbedaan
signifikannya apa?
R33 : IB kan harus berpikir secara nalar kan? Kalau IPA kan hitung-hitungan harus kuat, sama
hafal-hafal rumus.
P : Jadi nggak perlu bernalar yang penting hafal rumus?
R33 : Kalau IPS harus hafalin satu buku.
P : Jadi menurut Indra, kalau saya simpulkan, IB itu yang paling pakai otak gitu, paling
bernalar, paling memeras otak?
R33 : Paling muter dia.
P : Kalau IPA, asal dia bisa menghafal rumusnya, bisa dikerjakan?
R33 : Kalau IPS, harus pintar menghafal.
P : Jadi di IPS nggak perlu penalaran dong?
R33 : Sedikit-sedikit doang, nggak begitu banyak kepake.
P : Benar nggak kalau saya katakan: di IPA itu lebih banyak bernalar, di IPS lebih banyak
menghafal?
R33 : Ya bisa dibilang begitu sih. Kalau IPA kan harus baca dan hafal rumus kan.
P : Kalau begitu, di antara guru-guru sendiri apakah ada presepsi seperti itu bahwa IB yang
paling hebat, IPA kedua, IPS ketiga?
R33 : Nggak sih. Kalau selama ini sih guru ngomong nggak ada bedanya.
P : Cuma murid-murid berasa? Kamu sendiri berasa?
R33 : Ya berasa, istilahnya yang nggak lulus masuk IPS. Ya, tapi terakhir-akhir dipikir-pikir ya
IPS juga lebih bagus kok.
P : Sekarang anak IPS dikasih soal IPA nih atau sebaliknya anak IPA dikasih soal IPS, apakah
anak IPA bisa lebih mengerjakan atau sama-sama nggak bisa atau bagaimana?
R33 : Kalau masalah Mat pasti IPA lebih bisa, kalau Ekonomi IPS pasti lebih bisa.
P : Waktu Indra memilih jurusan di MYP apakah sudah tahu nantinya akan kuliah apa atau
mau menjadi apa?
R33 : Wah, belum tahu.
P : Belum tahu kalau kuliahnya mau apa?
R33 : Sekarangnya sih maunya Bisnis.
P : Bisnis, berarti waktu memilih jurusan belum tahu?
R33 : Belum tahu.
P : Belum tahu. Yang penting milih IB waktu itu?
163
R33 : Maunya IPS.
P : Oh, maunya IPS? Memang nggak mau milih IB waktu awal?
R33 : Nggak sih karena kan udah denger dari pengalaman yang … nggak bisa menikmati masa
muda. Nggak bisa nyantai, berat jadinya.
P : Apakah waktu memilih jurusan, ada guru yang membimbing? Entah konselor atau home
room teacher?
R33 : Itu sih nggak ada, tapi waktu itu sempet disaranin untuk masuk IPA gitu.
P : Ohh….
R33 : Iya, disaranin masuk IPA, tapi ah maunya masuk IPS ah ….
P : Berarti sebenarnya boleh dong masuk IPA waktu itu?
R33 : Boleh. IB aja nggak boleh waktu itu.
P : Orang tua sendiri waktu itu nggak apa-apa kalau masuk IPS padahal bisa masuk IPA?
R33 : Bebas sih sebenarnya, tapi pas dengar bisa masuk IPA agak ngomel dikit sih.
P : Jadi waktu udah masuk IPS baru tahu kalau bisa masuk IPA?
R33 : Ya.
P : OK, jadi mereka memandang kalau bisa masuk IPA kenapa nggak masuk IPA? Menurut
Indra, kenapa sih orang-orang sering beranggapan seperti itu?
R33 : Kalau zaman dulu ya kalau IPA buka jalannya gedean buat kuliah kan? Kalo sekarang udah
nggak kan?
P : Kalau dari antara guru-gurunya sendiri apakah ada perbedaan guru-guru eksakta dengan
guru-guru sosial? Kualitasnya? Wibawanya?
R33 : Sama saja, mirip-mirip sih. Cuma pelajarannya aja.
P : Cuma pelajarannya aja yang beda. Seandainya ada guru ada yang nggak masuk nih, cuti
atau sakit.
R33 : Ada, sering.
P : Apakah penggantinya harus sesuai dengan bidang studikah atau cuma dikasih tugas atau
study hall?
R33 : Kasih tugas.
P : Kasih tugas biasanya? Bukan diganti guru lain?
R33 : Tergantung gurunya masing-masing
P : Atau study hall?
R33 : Jarang sih study hall, paling kalau dikasih tugas.
P : Kalau lihat dari teman-teman Indra, apakah ada yang dipaksa orang tuanya untuk masuk ke
jurusan tertentu?
R33 : Ada sih beberapa.
P : Kalau kejadiannya seperti itu apakah ada korelasinya antara kebebasan yang diberikan
kepada anaknya dengan tingkat pendidikan orang tua atau tingkat kemapanan orang tua?
R33 : Wah kalau di SPH susah ditebak juga ya kalau melihat orang. Kebanyakan sih orang tuanya
berada tapi terbalik ... biasanya kan kalau orang berada semua sudah disiapkan, tapi ini
orang tuanya berada tapi anaknya dilepas, jadi berantakan gitu, terserah mau ambil apa.
Kalau dari IPS sih nggak kelihatan.
P : Kalau begitu, dari SPH apa sih yang paling Indra banggakan?
R33 : Fasilitasnya sih. Gym-nya, AC-nya, Internetnya.
P : Sekarang kalau kita bicara tentang studi di Indonesia, menurut kamu apakah kita perlu studi
sampai S1, S2 atau S3?
R33 : Kalau bisa sih sampai S3.
P : Jadi kamu sendiri mau studi sampai S3?
164
R33 : Ya, nggak tahu juga sih. Kalau masih kuat ya.
P : Kenapa studi perlu tinggi-tinggi?
R33 : Yah, buat kebanggaan sih.
P : Jadi, bagaimana dengan kegunaannya?
R33 : Yah, nggak tahu juga kegunaannya apa. Yang penting S3.
P : Pengalaman belajar Indra sendiri bagaimana, apakah selama ini belajar dari MYP ke
jurusan IPS ....
R33 : Antara MYP dan IPS beda banget sih. Waktu MYP kan berat banget tuh, pas masuk ke IPS
tuh kayaknya tiba-tiba plong ... dulu tugas-tugasnya berat, sekarang kan cuma ngafal,
nggak usah bikin esai ...
P : O, dulu waktu MYP banyak bikin esai ya?
R33 : Ya. Kalau sekarang kan cukup baca-baca buku, t‘rus sekali-sekali keluarin kertas ulangan,
ulangan kebanyakan PG [pilihan ganda], sekali-sekali ada esai. Yah, semuanya masih
pengetahuan yang ada di buku, lah.
P : Indra masih berhubungan dengan teman-teman yang ada di IPK dulu?
R33 : Masih, beberapa.
P : Kalau dibandingkan dengan sekolahmu ini, apakah kualitasnya setara?
R33 : Kalau kualitasnya sih jauh ya.
P : Jauh? Masih jauh bagus sini?
R33 : Masih jauh bagus sana.
P : Lho, kok pindah ke sini?
R33 : Fasilitasnya yang bagus, tapi kalau untuk kurikulumnya, IPK jauh.
A3.4 Responden 34
P : Cindie sekolah di Pelita Harapan sejak kapan?
R34 : Sejak grade 11.
P : Berarti tidak pernah mengalami sekolah di kurikulum IB di sini ya?
R34 : Ya.
P : Dulu sekolahnya di mana?
R34 : Tarakanita.
P : Tarakanita berapa?
R34 : Satu.
P : Hanya kelas X ya?
R34 : Ya.
P : Jadi setahun di Tarki 1 t‘rus pindah ke sini?
R34 : Ya. Tadinya memang pengen ke Tarki 1, tapi Papa bilang saya nggak bisa ngimbangin
antara kegiatan dan pelajaran, lebih banyak ke kegiatan, jadi dipindahkan ke sini.
P : Waktu dari SMP kenapa memilih SMA Tarakanita 1?
R34 : Karena saya suka kegiatan, t‘rus di Tarki tuh saya lihat sebenarnya kegiatan dan
pelajarannya seimbang, jadi antara kreativitas dan pikirannya seimbang, makanya saya pilih
Tarki.
P : Ketika di Tarki, apakah Cindie sudah sempat memilih jurusan antara IPA, IPS dan Bahasa?
R34 : Sudah.
P : Berarti memang sudah tahu mau ke IPA ya?
R34 : Ya.
165
P : Kalau begitu, kenapa Cindie mau ke IPA?
R34 : Karena kalau IPA itu bisa masuk ke mana saja.
P : Apakah Cindie sudah tahu mau kuliah ke mana?
R34 : Jurusannya atau universitasnya?
P : Jurusannya.
R34 : Waktu pertama-tama sih Kedokteran, tapi kayaknya susah jadinya Psikologi aja deh.
P : Di Indonesia?
R34 : Ya.
P : Universitasnya di mana?
R34 : Kayaknya sih di UI Internasional, 2 tahun di sini, 2 tahun di luar.
P : Menurut kamu apakah di SPH ini terjadi perbedaan antara IPA, IPS, dan Diploma
Programme? Apakah melihat ada jurusan tertentu yang lebih bergengsi?
R34 : Dulu pertama-tama waktu baru penjurusan orang melihatnya kalu IPA lebih apa ... IB di
atasnya IPA, ... tapi setelah masuk ternyata masing-masing punya kesulitannya sendiri ...
dan punya kelebihan sendiri.
P : Kalau begitu, antara IB dan IPA, perbedaan paling besarnya apa?
R34 : Kalau IPA kan jelas jurusan nasional, jadi nggak ada bahasa Inggris. Kalau IB bahasa
Inggrisnya lebih apa ya ... lebih diutamain. T‘rus kalau IB belajarnya satu materi tapi
mendalam tapi kalau IPA banyak tapi nggak begitu mendalam.
P : Kalau antara IPA dan IPS, bedanya apa?
R34 : Apa ya? Kalau IPS lebih ke sosial kali ya, kalau IPA lebih ke alam-alam gitu ....
P : Apakah terjadi pembedaan ―IPA bernalar, IPS menghafal‖?
R34 : Mmm ...
P : Misalnya, kalau IPA lebih banyak berpikir sedangkan IPS yang penting menghafal?
R34 : Ya!
P : Ada pandangan seperti itu?
R34 : Ya.
P : Dan apakah menurut Cindie pandangan itu benar?
R34 : Ya. Kelihatan sih, kan ada sekarng kalau lagi ngerjain apa gitu, IPA dan IPS digabung, nah
di situ kelihatan sih kalo IPA lebih mikir, kalau IPS lihat, langsung ... gitu ....
P : Lebih spontan, langsung menjawab tanpa berpikir panjang?
R34 : Ya.
P : Waktu itu, Cindie kenapa nggak masuk ke Diploma Programme-nya waktu masuk ke sini?
R34 : Kata Papa-Mama saya sih, Diploma itu dia lebih khususin kalau mau sekolah di luar,
sedangkan saya pasti sudah mau sekolah di sini saja.
P : Tapi, terlepas dari itu, seandainya ada kemungkinan Cindie akan sekolah di luar, apakah
akan memilih ?
R34 : Kurang kayaknya. Saya akan tetap lebih memilih IPA?
P : Kenapa begitu?
R34 : Karena saya dari dulu kan sekolah nasional kan, jadi baru tahu ada IB di sini. Tahunya
cuma IPA, IPS, kalau yang International atau Diploma, apa tuh? Baru tahu gitu, ya udah
lah, ambil IPA aja
P : Kalau di sini melihat IPA lebih bernalar, IPS lebih menghafal, apakah ada pengaruh dari
guru-gurunya?
R34 : Nggak sih, kan guru-guru IPA ada juga yang mengajar IPS, berarti sama saja deh.
P : Kalau begitu, selain dari guru, apakah menurut Cindie dalam pemilihan jurusan ada
peranan orang tua?
166
R34 : Ada. Saya contohnya, kan peranan orang tua. Orang tua saya kurang mengizinkan saya ke
IPS.
P : Kenapa?
R34 : Karena kalau IPA dari segi kalo mau masuk kuliah lebih gampang mau masuk ke mananya.
Daripada susah nanti, mending sekarang saja susahnya.
P : Jadi bisa tidak kalau saya katakan pada umumnya anak-anak IPS mungkin justru lebih tahu
mereka mau ke jurusan mana daripada anak-anak IPA?
R34 : Nggak juga sih. Karena dapetnya IPS, ya ke IPS, tapi kayaknya kalau dapet IPA, semua
akan ke IPA.
P : Kalau menurut Cindie, di antara teman-teman di sini apakah ada pengaruh tingkat
pendidikan atau kemapanan orang tua terhadap pemberian kebebasan anaknya untuk
memilih ?
R34 : Nggak. Kalau saya ya, mungkin karena pengalaman Papa kali ya? Masuknya apa, dia ambil
jurusan IPA dia pikir begitu lulus IPA dia lihat ya, kok lulusan IPA bisa masuk mana aja,
dan dia ingin anaknya kayak gitu juga, malah lebih baik.
P : Oh, Papa juga dulu begitu, kalau mereka sendiri sarjana-sarjana ya, orang tua Cindie?
R34 : Ya.
P : Di antara temen-temen Cindie yang memilih IPA apakah sudah tahu nantinya mau kuliah di
jurusan apa dan ingin jadi apa?
R34 : Ya. Misalnya teman saya, dia diterima di IB tapi ingin jadi dokter, jadi tidak mungkin
ambil IPS juga, di Indo kan berarti butuh ijazah tadi ya dia nggak jadi ambil IB, ya udah
ambil IPA gitu.
P : Buat Cindie, apa yang paling dibanggakan dari sekolah di SPH ini?
R34 : Bahasa dan fasilitas.
P : Bahasanya kenapa?
R34 : Bilingual. Kalau ambil nasional, indonya 60, inggris 40.
P : Yang kedua, fasilitasnya, karena
R34 : Lengkap sekali.
P : Menurut Cindie, apa yang paling mendesak diperbaiki pemerintah dalam sistem pendidikan
nasional kita?
R34 : Beberapa hari yang lalu saya baca artikel, ujian nasional itu melabelkan anak pintar atau
tidak pintar, jadi sebaiknya itu yang diubah, jangan cuma gara-gara UN melabelkan anak.
Saya lebih setuju jika ada ujian sekolah
P : Dari antara masyarakat luas menurut Cindie apakah orang-orang melihat IPS itu lebih
rendah daripada IPA?
R34 : Kalau saya sih nggak segitu juga sih, kasihan anak IPS, sebenarnya anak IPS itu ada
untungnya ada kekurangannya, kalau anak IPA ditanya bisnis anak IPA belum tentu jagoan
anak IPS, jadi nggak bisa diukur rata gitu.
P : Ketika seorang murid IPA dikasih soal IPS, dibandingkan sebaliknya anak IPS dikasih soal
IPA, apakah anak IPA ini akan lebih bisa mengerjakan soalnya daripada anak IPS?
R34 : Kemungkinan besar ya, kan kalau anak IPS kan pelajarannya cuma apa yang ada di sekitar
aja kan, tapi kalau IPA harus ngafal rumus sedangkan anak IPS nggak dapat rumus itu jadi
kalau dikasih soal IPA dikasih IPS, IPS dikasih IPA, ya kayak dibilang tadi.
167
A4. Wawancara di SMA Katholik Tarakanita 1
A4.1 Responden 41
P : Sr. Imelda menjadi kepala sekolah di sini sudah tahun kedua kan ya?
R41 : Ya, tahun kedua. Aku itu kalau kepala sekolah sudah tahun kelima, tiga tahun di Tarki 2.
Sebelumnya saya di Filipina setahun sebelum di Jakarta. Sebelum di Filipina, tahun 2000-
2002 itu saya di Magelang, SMA Tarakanita Magelang.
P : Di Filipina, Suster memegang kongregasi?
R41 : Bukan, itu kursus kepemimpinan. Semuanya suster-suster C.B., tapi dari aneka negara.
P : Waktu di Magelang, Suster ....
R41 : Waktu di Magelang itu ... saya jadi guru, ya guru macam-macam.
P : Tapi tingkat SMA juga, Suster?
R41 : Ya, di SMA. Jadi ada guru yang waktu itu hamil, nah karena waktu di SMP sebelum di
Magelang, saya sudah di Dagen, saya empat tahun di sana, saya mengajar Sejarah,
kemudian mengajar Geografi, kemudian PPKn., kemudian untuk calon baptis.
P : Katekisasi?
R41 : Ya, itu di SMP selama empat tahun, lalu saya pindah ke Magelang. Di Magelang itu saya
ya ikut di UKS, aku ikut timnya di perpustakaan, t‘rus ikut timnya di BK, t‘rus ikut apa
namanya kalau promosi sekolah, jadi ikut paduan suara kalau kita ke gereja-gereja kalau
kita promosi.
P : Berarti Suster lebih ke arah tugas kantorannya, bukan langsung mengajar murid-murid?
R41 : Ya, saya mengajar kalau ada yang cuti, jadi guru pengganti.
P : Itu waktu empat tahun di Magelang?
R41 : Dua tahun. Yang empat tahun itu di SMP di Dagen. Di SMP itu saya ikut bendahara, t‘rus
ngajar ya itu, Sejarah, Geografi .... Nah, sebelum saya jadi suster itu kan sebenarnya saya
sudah ngajar.
P : Itu lulus dari pendidikan apa ya Suster? SPG?
R41 : Diploma III, Geografi. Kemudian aku ngajar, sampai tahun 1992 atau 1993 gitu.
P : Ngajar di level?
R41 : SMP, SMA.
P : Geografi?
R41 : Geografi, Kesenian, PPKn., tapi ya paling banyak Geografi, karena jarang guru Geografi.
P : Kalau Suster melihat di sini, ada nggak kecenderungan murid untuk memfavoritkan jurusan
tertentu untuk penjurusan?
R41 : Biasanya ada orang-orang ... kalau di sini, kalau dari sananya dia sudah pilih ingin ke
Bahasa, memang dia ingin ke Bahasa. Ada yang sudah seperti itu. Tapi ada juga yang
masih prioritasnya ke IPA.
P : Banyakkah yang seperti itu, Suster?
R41 : Banyak. Ada yang pernah, kemarin ya, setahun yang lalu kali ya, atau dua tahun lalu, saya
masuk ke sini, dia sebenarnya kalau masuk ke IPS itu dia bisa naik kelas, tapi karena dia
ingin ke IPA, dia ikut mengulang lagi kelas I, karena dia mau pingin ke IPA.
P : Karena dianya sendiri atau karena orang tuanya, Suster?
R41 : Kalau ini sih saya lihat karena dianya sendiri, jadi dia mau.
P : Dan dia tidak ada rasa malu mengulang ya?
R41 : Tidak. Memang dia yang mau. Dan saya melihat ... oh ... karena itu kan waktu sebelum
saya, saya nggak ikut menentukan bahwa dia itu sudah minta pindah jurusan ke IPA, kan
168
sebenarnya dia mampu ya, sebenarnya konsekuensinya kalau misalnya dia tidak bisa
mengikuti di IPA, kan toh nanti kita bisa memberikan dia peluang daripada dia harus
mengulang setahun, tapi ya yang dulu policy-nya. Makanya saya mendengarkan seperti itu,
kasihan juga ....
P : Guru BK-nya sendiri bagaimana, Suster? Apa tidak mengarahkan?
R41 : Saya tidak tahu dulu kan .... Kalau di saya, kalau misalnya di saya sekarang ini kan, karena
dibantu oleh SAS, kan sudah jelas, jadi kalau pengelaman mereka sebelumnya di sini
menentukan jurusan itu bisa jadi sangat alot, yah mungkin karena ada di antara guru-guru
itu sendiri bersitegang mempertahankan bidang studinya dan juga, apa namanya, grade-nya
....
P : Jadi gurunya juga merasa IPA itu lebih tinggi?
R41 : Ya, karena biasanya ada tuh masuk IPA, Matematikanya kita tentukan lagi lebih tinggi ....
P : Berarti justru di guru-gurunya terjadinya ya Suster?
R41 : Ada. Saya tidak tahu yang dulunya itu seperti apa, tetapi katanya mereka itu kalau rapat
penjurusan itu, rapat kenaikan sendiri, rapat penjurusan sendiri. Jadi dua kali rapat. Nah,
karena rapat kenaikan kelas juga banyak nanti ininya segala macam, lalu penjurusan juga
.... Kalau yang saya alami itu cepat, apalagi ada persyaratan dari SAS, kan sudah langsung
kelihatan ini mau ke mana. Cuma sekarang itu yang memudahkan SAS itu kan jelas kita
tidak bisa mengubah. Kalau kamu bisa ke IPA, IPS, Bahasa, kalau ada peluang tiga itu,
sekarang dari BK, BK kan sudah mendata sebelumnya keinginan orang tua ke mana,
keinginan dirinya sendiri seperti apa, kemudian dari hasil tes IQ-nya mengarahkan ke
mana. Jadi kita kan lihat mana yang paling dominan. Tapi kalau memang pertama kali
dilihat dari segi keputusan kemampuan akademik itu memang sudah tidak bisa, ya itu dia
memang harus bisa menerima begitu. Jadi tidak bisa namanya menawar nanti dicoba, uji
coba, nggak ada. Maka sebelum itu, sebelum penjurusan memang jauh-jauh hari kan kita
sudah pantau dan kita sudah beritahukan ke BK dan orang tua, nanti begini lho ... jadi tidak
terlalu banyak yang komplain. Tapi kalau misalnya tiba-tiba tidak ada yang begitu, tiba-
tiba, kan ....
Yang saya alami waktu itu di Pluit, sampai membuat surat pernyataan segala kalau dia
misalnya tidak mampu, tapi ngotot mau ke IPA, tapi tidak mampu. Kita hanya membuat
surat pernyataan karena dulu belum ada SAS, kita membuat pernyataan saja, kalau memang
OK, orang tua mengetahui, dan nanti konsekuensinya kalau tidak naik kelas atau tidak
lulus, begini. Sudah, akhirnya bisa menerima, ya jalan. Dengan adanya pernyataan itu kan
mau tidak mau di satu sisi, anak sendiri harus bertanggung jawab dan orang tua juga harus
bertanggung jawab dan tidak menyalahkan sekolah.
P : Menurut Suster, kalau di sini bahkan di antara gurunya nampak sekali superioritas IPA itu
terhadap ilmu-ilmu sosial, kenapa sampai terjadi seperti itu ya? Ada apa dengan IPA?
R41 : Ya sama saja kan kayak waktu saya mau ngambil jurusan dulu, sebenarnya kenapa saya
mengambil jurusan IPA, padahal kalau dilihat-lihat kan, akhirnya aku jurusan Geografi
kan? Orang kan cenderung mengatakan itu kan jurusan IPS, tapi kenapa aku mengambil
jurusan IPA dulu kan? Karena gengsinya kan di IPA?
P : Gengsinya itu kenapa sampai IPA lebih bergengsi ya, Suster? Apakah karena lebih
menantang, lebih sulit, lebih sedikit orang yang masuk, atau ....
R41 : Kalau sekarang saya lihat kan peluangnya, memang banyak peluang untuk masuk ke ...
meskipun sekarang Bahasa dan IPS juga peluangnya banyak, sementara yang jurusan IPA
ini, dia ambil jurusan IPA malah banyak mengambil jurusan IPS di Perguruan Tinggi.
Kenapa? Jadi karena kalau di IPA misalnya materi di Matematikanya itu kan lebih tinggi,
169
dan lebih sulit, nah kalau lebih sulit kan lebih menantang? Jadi mau tidak mau kan kalau
misalnya nanti mereka masuk ke ini ... ke Ekonomi atau Akuntansi, sama-sama hitung-
hitungan, kan jadinya lebih mudah menguasai.
P : Jadi, apakah ketika anak-anak ini memilih jurusan antara IPA dan IPS, mereka sudah
melihat kuliahnya apa nanti di S1, atau bahkan mereka sudah melihat dengan jelas mereka
akan menjadi apa, profesi apa yang akan mereka tekuni?
R41 : Kalau saya pikir sih mereka sekarang ini jauh-jauh hari karena sekarang sudah semakin
maju dan situasi Perguruan Tinggi dan program-program yang ditawarkan kan juga banyak.
Di samping mereka itu karena banyak juga yang ke luar negeri, jadi kalau yang saya lihat
itu bukan karena sejak awal sudah punya orientasinya ke mana, karena kita kan di sini
selalu ada Career Day, setiap tahun ada dan BK sudah mulai memperkenalkan, jadi nanti
arahnya ke mana kalau kamu begini .... Jadi peluang untuk universitas atau Perguruan
Tinggi yang ini ... lebih-lebih kalau ada alumninya di situ ya, ada yang mewartakan sepeerti
apa ....
P : O, jadi para alumni ini yang kembali ke sekolah untuk memberi tahu seperti apa dunia
jurusan ini?
R41 : Ya, apalagi kalau mereka bisa kan, peluangnya dari yang pintar-pintar ini masuk Perguruan
Tinggi negeri, jadi kalau misalnya kayak UI, Unpad., Undip., UGM, kayak gitu-gitu masih
... tentunya kan yang di sana orang yagn pintar-pintar. Jadi di satu sisi memang karena
bobot untuk IPA karena banyak hitung-hitungan, dari Fisika, Kimia, Matematika, lah itu
kan kalau daya hitungnya nggak kuat pasti kesulitan toh. Meskipun di IPS dan Bahasa
sebenarnya ada juga Matematika, tapi kan kalau Matematikanya lebih sederhana.
P : Ada nggak dikotomi ini, Suster: IPA itu bernalar, IPS cenderung hanya menghafal?
R41 : Kayaknya nggak sih. Kalau dibilang, IPS sekarang sih nggak menghafal. Banyak
analisisnya, karena dibantu dengan model pembelajarannya yang sudah beda. Mungkin
kalau zaman dulu memang begitu ya, tapi kalalu sekarang mereka masuk, ya mereka sudah
memilih. Ya mereka memilih IPA, atau IPS, atau Bahasa.
P : Menurut Suster ketika murid IPA disodorkan soal IPS dan sebaliknya murid IPS
disodorkan soal IPA, apakah murid IPA akan lebih berhasil mengerjakan soal-soal IPS
daripada sebaliknya?
R41 : Sejauh mereka yang sama bidang studinya, saya pikir pasti masih bisa. Kalau misalnya
masuk Sejarah nih, Sejarah untuk IPA, IPS, Bahasa, disuruh masuk, saya pikir OK-OK
saja. Nah, kalau Sosiologi yang jelas yang menguasai, yang mempelajari pasti lebih bisa
daripada yang IPA, ya toh? Kalau saya melihatnya, dari kreativitasnya mereka yang di sini,
karena memang di sini biasanya kan ... apa ... orang-orang itu bisa berkembang dari
kreativitasnya, bagaimana mereka mengelola sesuatu dan juga bagaimana memperhatikan
sesuatu, ya toh? Tapi ya saya melihat itu dari merekanya sendiri, karena tanpa kita suruh
juga kalau mereka itu bisa kreatif sendiri sebenarnya muncul dari mereka sendiri.
P : Jadi apakah bisa dikatakan pokok-pokok pelajaran IPS itu bisa muncul dari kehidupan
sehari-hari?
R41 : Ya, kalau mereka diarahkan ke sana, bisa menemukan itu dalam kehidupan sehari-hari.
P : Dan itu satu hal yang tidak terjadi pada pokok-pokok pelajaran IPA?
R41 : Ya. Mungkin itu salah satu makanya dikatakan IPA kelihatannya, menurut image-nya
semacam itu, tapi kalau saya lihat semuanya sama-sama penting, IPA, IPS, Bahasa, itu
sama. Karena biasanya mereka mengurutkan: pertama IPA, t‘rus IPS, terakhir Bahasa.
Memang Bahasa itu peminatnya lebih sedikit.
P : Paling banyak IPA?
170
R41 : Sekarang ini kita malah IPS paling banyak, kelas II-nya sekarang IPS-nya 4 kelas, kelas
IPA-nya cuma 2 kelas. Bahasanya tetap 1 dari zaman dahulu sampai zaman sekarang,
karena kita kan menampung orang-orang yang berminat ke Bahasa.
P : Jumlah muridnya per kelas sama, Suster?
R41 : Nggak. Kalau Bahasa, yang mau lulus ini saja cuma 8 orang, kalau yang lain kan sekitar 30
sekelas.
P : Apakah di sini peran guru BK besar di dalam proses penjurusan, Suster?
R41 : Lebih ke arah pengarahan berdasarkan data yang ada. Biasanya yang jadi masalah kalau dia
maunya ke IPA, tapi nilainya pas-pasan, di ambang batas, walaupun memang memenuhi.
Tapi biasanya sih itu jarang. Yang ada, dia bisa ke IPA, tapi maunya ke IPS.
P : Berarti murid sebenarnya sudah cukup jelas dia mau ke jurusan mana ya, Suster? Bukan
cuma terpengaruh oleh ....
R41 : Ya. Makanya sekarang sampai ada 4 kelas IPS dan 2 kelas IPA, seperti ini.
P : Apakah saya bisa katakan bahwa di antara murid-murid Suster di sini ada kesadaran bahwa
saya masuk ke IPA, IPS, Bahasa, karena pilihan saya dan rencana studi saya yang seperti
ini, dibandingkan di antara guru-gurunya, bahwa guru-gurunya justru yang terkooptasi
bahwa IPA lebih superior dibandingkan IPS?
R41 : Kalau dari segi gurunya ya, mungkin dari segi bidang studi mereka sendiri ya menganggap
seperti itu, tapi ya kalau sekarang nggak bisa. Mungkin IPA-nya ya menganggak seperti itu.
Jadi kita mengatakan ya sejajar. Jadi apa namanya, sekarang dibuat guru eksakta pun harus
tetap masuk mengajar di IPS dan di IPA juga, dan di Bahasa juga, supaya jangan merasa
hanya eksak ... jadi kita bagi, jadi balanced, jadi dia bisa mengalami semuanya. Zaman
dulu kan kalau dia guru IPA, ya IPA doang, nah dengan pembagian seperti sekarang itu
mengurangi rasa superior dan senior dan juga penggolongan-penggolongan, ya toh?
P : Suster, di antara murid-murid apakah ada persepsi bahwa guru IPA lebih OK dibandingkan
guru lainnya, atau juga hal serupa terhadap guru-guru bidang studi lain? Jadi bukan pribadi
gurunya, tetapi kelompok bidang studinya?
R41 : Kalau saya melihat sih, nggak. Karena memang gurunya sendiri kan sudah dibaurkan, jadi
anaknya sendiri kan sama saja ya? Sekarang ini kembali kepada pendampingan guru itu
sendiri, bagaimana dia meningkatkan profesionalitasnya dia untuk mengajar di kelas, jadi
lebih anak itu lebih melihat kepada gurunya, bagaimana memberikan materinya.
P : Apakah Suster pernah mengalami orang tua yang ngotot anaknya mau dimasukkan ke
jurusan tertentu? Itu bagaimana penanganannya? Atau orang tua dan anak mau ke jurusan
yang berbeda?
R41 : O, ya ada aja. Biasanya kita itu kan memberikan pengarahan. Apalagi kalau sudah jelas
begini ya? Kita jauh-jauh hari sudah menyampaikan waktu pertemuan orang tua, jangan
sampai nanti dalam penjurusan ada orang tua yang ngotot pada hari-H, maka mulai
sekarang kalau orang tua memang berkeinginan anaknya mau ke jurusan IPA dengan tujuan
nanti mungkin melanjutkan ke profesinya dia, profesinya Bapak/Ibu sendiri, berarti sejak
awal sudah harus didampingi, jadi nggak bisa cuma nanti mau nuntut. Kalau mau seperti
itu, tetap supaya realistis, tetap kita pembagian jurusan berdasarkan hasil nilai, jadi tidak
bisa mau ngotot. Kalau mau menarik anaknya dari sini, ya silakan. Biasanya kita
mengatakan seperti itu.
P : Menurut pengamatan Suster, apakah ada pengaruh yang signifikan antara tingkat sosio-
ekonomi orang tua atau tingkat pendidikan orang tua terhadap campur tangannya di dalam
pendidikan anak?
171
R41 : Kalau saya lihat di sini, orang tua memang care banget dengan pendidikan anaknya. Di sini
rata-rata orang tuanya berpendidikan, minimum itu guru. Ada satu-dua orang yang bukan
guru atau pedagang, tapi rata-rata orang berpendidikan. Nah, jadi sebenarnya kalau say
amelihat, keinginan orang tua itu lebih kepada mereka memfasilitasi minat anaknya. Tetapi
kenyataannya, banyak anak yang ikut ke profesi orang tuanya. Tergantung ke minat
anaknya sih, kalau saya lihat. Mereka di sini kan rata-rata dari keluarga menengah ke atas
dan berpendidikan.
P : Menurut Suster, di Tarakanita ini apakah ada perbedaan persyaratan untuk menjadi guru
MIPA dan guru ilmu-ilmu sosial?
R41 : Kita menerima, kita mengatakan, karena bukan kita sendiri yang menyaring ya, tapi dari
yayasan, kita sudah membuat permohonan nanti sekian kebutuhan guru di tahun ajaran
mendatang. Nah, mereka itu yang melakukan dari rekrutmen, seleksi dan sebagainya. Kita
di sini tinggal menindaklanjuti, apakah mau tetap dipakai atau tidak, dan juga kan guru baru
biasanya mulai dari kelas X dulu, begitu.
P : Apakah Suster pernah mengalami ada guru yang cuti hamil atau sakit berkepanjangan? Itu
bagaimana mencari penggantinya?
R41 : Jadi kita sudah mempersiapkan, dia mencari guru penggantinya dari luar, kemudian kita
ajak ngobrol, misalnya kan kesepakatan untuk insentifnya seperti apa 3 bulan itu. Kalau
memang dengan kondisi yang ada sudah OK, nanti kita tinggal lapor ke Yayasan. Jadi
kerjasama juga dengan yang mau cuti ini. Tapi kita sendiri juga tetap mencari.
P : Seandainya ada guru yang sakit bagaimana mengisi kelasnya, Suster? Apakah harus diisi
oleh guru yang sebidang studi atau bagaimana?
R41 : Kalau sakit itu paling kasih tugas. Tapi biasanya ada, mereka kan sudah tahu kondisi kita
yang banjir ini, kita kan waktu itu benar-benar ketat. Jadi kita juga nggak main-main
dengan liburan. Kalau orang udah selesai itu di Desember, biasanya Januari baru mulai
semester dua, kalau kita di Desember sudah langsung mulai semester dua. Jadi kalaupun
ada yang nggak masuk, izin urusan keluarga atau apa, harus switch dengan jam pelajaran
yang lain. Prinsipnya tidak boleh ada jam kosong untuk anak dan tidak boleh jam pelajaran
itu tidak diterima. Jadi ganti, nanti dia sendiri yang ngajar saat dia sudah bisa. Jadi harus
komunikasi dengan Piket, dengan Kurikulum, dengan anak.
P : Kalau menurut Suster, di Tarki I ini, keunggulan apa yang menjadi ciri khasnya, Suster?
R41 : Kalau yang menjadi ciri khas di sini yang saya dengar dan saya lihat selama kurang lebih
dua tahun ya, dari kegiatan-kegiatan ekstrakurikulernya, meskipun tidak meninggalkan
akademis karena kita di akademis juga tetap tetapi yang keluar itu yang kelihatan dari segi
leadership-nya. Kita ada 15 ekstrakurikuler. Dan semuanya itu jadi.
P : O, apakah ada anak SMP yang masuk sini cuma mau masuk ekskul.-nya, Suster?
R41 : Ada. Makanya itu, ada yang cuma mau ikut drumband, atau softball atau teater ... makanya
itu bisa aja nanti sore latihan, pagi ini tidak masuk ... tiba-tiba sore muncul untuk latihan.
Karena kan nggak bisa lulus punya ijazah dengan ekskul.
P : Apakah anak harus memilih 1 ekskul.?
R41 : Ya, harus memilih 1 ekskul. Wajib. Kalau untuk pindah biasanya susah. Juga kalau di
Tarakanita ini biasanya prestisenya itu muncul setelah mereka lulus, itu biasanya kelihatan
dari pengalaman berorganisasinya, sehingga kepemimpinannya itu kuat. Mereka biasa jadi
organisator, bukan cuma intelektualitasnya yang terasah.
P : Menurut Suster apakah pemerintah ada campur tangannya dalam pengondisian penjurusan,
sehingga membuat jurusan yang satu lebih menarik daripada jurusan lainnya?
172
R41 : Kalau pemerintah sih menurut saya nggak ya, mereka itu kan lebih memberikan peraturan-
peraturan. Masuk ke KTSP kan juga sudah murid sendiri, kalau itu benar-benar
dilaksanakan.
P : Kalau Suster punya kebebasan untuk mengutak-atik kurikulum, menurut Suster apa yang
paling mendesak untuk diperbaiki?
R41 : Ya, saya perlu waktu untuk memikirkan baik-baik apa yang perlu diperbaiki ... tapi
mungkin lebih ke arah pembaharuan-pembaharuan atas apa yang ada dan sekaligus
menanamkan nilai-nilai hidup yang berguna untuk masa depan dan tentu bukan seperti apa
yang ada di negara kita sekarang ini yang sudah kacau, nilai-nilai budi pekerti sebenarnya
itu kan penting. Atau, kalau kita sudah memperhatikan hidden curriculum mau tidak mau
kan itu akan mempengaruhi pribadinya, bagaimana dia bertindak. Kenyataannya yang
selama ini, kehadiran hidden curriculum-nya bagaimana, dampaknya pada dunia
pendidikan? Seperti itu lho .... Itu yang bisa saya sharingkan ....
P : Baik, Suster. Terima kasih atas waktunya.
A4.2 Responden 42
P : Pak Bin, Bapak sudah berapa lama mengajar?
R42 : Di sini sudah 4 tahun. Sebelumnya saya di Yogya, kebetulan di Akademi Tarakanita, 8
tahun.
P : Sebelumnya dari Sanata Dharma juga ya Pak?
R42 : Ya.
P : Bapak langsung mengajar Ekonomi-Akuntansi?
R42 : Ya, dan dulu juga ada Kewirausahaan, Pemasaran, juga Manajemen yang dalam rumpun
Ekonomi, karena rumpun Ekonominya saya yang pegang. Termasuk juga Pengantar
Ekonomi, Akuntansi Usaha 1 dan 2.
P : Pendidikan Bapak memang dari IKIP untuk guru Ekonomi ya Pak?
R42 : Ya.
P : Menjadi wakil kepala sekolah sudah berapa lama Pak?
R42 : Baru tahun ini. Karena waktu saya baru masuk itu kan baru ganti, 1 periode 3 tahun, lalu
ganti.
P : Berarti jabatan wakil kepala sekolah juga dirotasi ya Pak?
R42 : Ya, sebenarnya bisa dua periode.
P : Kan jarang ya Pak, ada sekolah yang membuka jurusan Bahasa?
R42 : Ya, untuk DKI jarang, hanya beberapa.
P : Sedangkan orang-orang berebut masuk jurusan IPA, termasuk mereka yang secara
akademik tidak bisa masuk jurusan IPA. Menurut Bapak kenanpa sampai terjadi IPA itu
begitu diunggulkan?
R42 : Karena sebenarnya orang tua, dan juga mungkin masyarakat, punya anggapan, asumsi ya,
kalau anak-anak IPA itu musti anaknya lebih pintar dibandingkan yang jurusan lain dan
mungkin istilahnya kalau nanti anaknya bisa IPA itu kan untuk meneruskan studi atau nanti
orientasinya kerja, ya mungkin yang IPA-IPA itu kan ya mungkin penghasilannya tinggi.
Dokter, insinyur, mungkin itu kan lebih tinggi dan prospek kerjanya lebih menjamin. Ya,
itu kan cuma persepsi. Nggak musti bener. Tapi menurut saya, kalau saya pernah
menyampaikan ke anak-anak IPS itu, ―Kalian jangan minder sama anak IPA. Memang
mungkin ada yang modelnya mereka lebih pintar, tapi nanti kalau dalam dunia kerja pun
173
siapa tahu kita memimpin anak-anak IPA, karena kita IPS kan, manajemennya. Nanti kita
akan me-manage insinyur-insinyurnya.‖
P : Jadi sebenarnya asumsi itu tidak berdasar juga ya, Pak?
R42 : Ya, tidak berdasar, hanya pandangan umum. Tapi itu juga bisa jadi menjadi gengsi, ada
juga di antara orang tua yang tidak menerima anaknya IPS, karena mau diwarisi ... kemarin
itu ada yang keluar akhirnya, karena orang tuanya ngotot mau masuk IPA, karena mau
diwarisi perusahaannya yang mengelola di bidang apa yang harus dari insinyur. Harus
engineering, nah kalau dari IPS kan susah, walaupun kami sebenarnya ada anak IPS yang
masuk Kedokteran, tapi dengan jalan di bulan-bulan terakhir dia harus les privat IPA. Tapi
dia punya motivasi tinggi. Karena sekarang di Perguruan Tinggi pun kan tidak memandang
jurusan, asal mampu masuk tes itu, pilihannya bisa saja.
P : Kalau sampai terjadi antara keinginan orang tua dan anak berbeda, bagaimana peranan guru
BK, Pak?
R42 : Guru BK itu nanti akan memberikan bantuan konseling kepada anak karena nantinya semua
akan dikembalikan kepada anak. BK akan diarahkan nanti penentunya kepada anak, karena
nanti yang akan menjalani kan anak. Kalau orang tuanya bisa diajak bicara, BK akan
masuk, juga kalau anaknya sungguh-sungguh tertekan. Karena itu akan mengganggu baik
proses yang sekarang maupun yang akan datang.
P : Apakah proses konseling yang terjadi dinilai efektif, Pak?
R42 : Saya kira cukup efektif ya, karena di sini juga ada proses pembimbingan kepada anak yang
bermasalah dan juga mulai dari kelas X sampai kelas III kita memberikan wacana dunia
Perguruan Tinggi sampai yang terakhir itu kita ada seminar pendidikan, juga mendatangkan
narasumber dengan para praktisi juga dengan berbagai latar pendidikan, itu kita undang
entah dokter, insinyur, sarjana hukum, juga yang dari Bahasa, itu ternyata profesi mereka
pun setelah bekerja itu tidak menjamin yang dari IPA musti berpenghasilan tinggi.
P : Dilihat dari kacamata murid, apakah menurut Bapak mereka melihat bahwa guru-guru IPA
dipandang memiliki karakteristik tertentu dibandingkan guru-guru IPS, dan juga
sebaliknya?
R42 : Kalau di sini nggak, cuma ini karena kalau saya melihat, kalau IPA itu karena ... agak beda
dalam bahasa penyampaian materinya. Kalau IPS akan banyak penjelasan, akan banyak
hafalan, apalagi Sejarah ya. Itu kan beda kalau dengan yang cuma beberapa rumus, t‘rus
aplikasi, penerapan, t‘rus praktek. Itu kan akan sedikit ngomong. Harus anak sendiri yang
mengolah berpikir. Ini agak beda dengan IPS. Justru karena anak sendiri yang harus
berpikir dan itu kan membutuhkan apa ya, perhatian dan konsentrasi penuh dibandingkan
yang IPS. Sehingga, seringkali anak-anak IPS akan terlihat lebih santai, lebih apa ... itu
terlihat. Kami melihat ke situ, sehingga tingkat kedisiplinan anak-anak IPS pun yah ... saya
pernah membandingkan dan anak-anak marah. Anak IPS-nya marah karena merasa
dibandingkan dengan anak IPA, ―Kan mereka lain Pak, kita kan ...‖, lain pelajarannya, gitu.
Saya tanya, ―Kalian itu masuk memang benar atau cuma karena nggak keterima di jurusan
IPA? Atau memang minatnya memang di IPS?‖, ya ada yang ketawa-ketawa begitu. Jadi ya
bener, ini karena nggak keterima di IPA, bukan karena minat.
P : Menurut catatan Bapak, apakah cukup banyak murid-murid yang seperti itu, masuk ke IPS
karena tidak diterima di IPA?
R42 : Ya kan kita lihat juga. Walaupun masuk di IPA, tapi kalau minatnya di IPS, tetap kami
masukkan ke IPS. Jadi mungkin cuma beberapa.
P : Kalau yang Bahasa bagaimana Pak? Apa jangan-jangan mereka malah lebih inferior lagi?
174
R42 : Bahasa, minat. Sehingga justru karena minat itu kami masih berani membuka jurusan
Bahasa. Memang ada yang tertolak di IPS, kemudian masuk ke Bahasa. Kita kan juga
kadang-kadang tarik-ulur, karena nanti penguasaan bahasanya bagaimana .... Jangan
disepelekan Bahasa itu, direndah-rendahkan.
P : Dari sisi orang tua murid Pak, apakah ada peranannya ketika orang tua ini lebih berada atau
lebih berpendidikan, terhadap kebebasan yang diberikan kepada anaknya dalam memilih
jurusan?
R42 : Wah, kalau saya sebagai wali menghadapi orang tua, ada orang tua yang benar-benar
memperhatikan anaknya, di mana memang begini, sebenarnya pilihan kenapa ke SMA,
kenapa tidak ke SMK itu kan harus ada dasarnya. Kalau SMK kan jalur profesi. Lulus,
kerja, bukan kuliah. Yang harus disadari orang tua kan harusnya kalau SMA, jalur
akademik, kan seharusnya kuliah, di mana kita harus secara bersama-sama mempersiapkan
anak ini, mengantar dia nanti sesuai untuk masuk ke Perguruan Tinggi mana, kan ya?
Memang ada orang tua yang mempersiapkan anaknya dan memperhatikan benar nilai-nilai
bidang studi, tapi juga ada beberapa orang yang istilahnya orientasinya lebih pada
pengembangan dari bakat dan tidak kepada intelektualnya, kepada keterampilan apa .... Ya
mungkin ada yang jadi artis atau apa ya, kan kami selain mengandalkan bidang akademik,
juga punya ekstrakurikuler, jadi andalan kami.
P : O, jadi ada juga orang tua yang lebih mementingkan ekskul.-nya?
R42 : Ya, saya kira begitu. Nah, di satu sisi kita juga harus memperhatikan bidang akademiknya.
Bertanya kepada walinya perkembangan anaknya.
P : Apakah orang tua semacam ini lebih berpendidikan Pak?
R42 : Kelihatannya ya. Dan kemarin juga saya menghadapi seorang dosen, ya mungkin
sebelumnya dia serahkan kepada istrinya dan mungkin istrinya kurang paham, jadi dia
sempat kaget. Nah sekarang orang tua ini harus dilihat ternyata harus dilihat dengan cara
yang berbeda, cara mendidiknya juga berbeda. Biasanya kan yang lebih banyak menemani
anaknya kan mamanya. Nah, ternyata mamanya ini pendidikannya kurang dan yang lebih
tinggi papanya. Cuma papanya dalam memperhatikan anaknya kurang. Kemarin saya
sempat menemukan orang tua juga yang kaget juga dengan hasil anaknya. Latar belakang
orang tua yang pendidikannya lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan. Kalau soal
berada atau tidak berada rasanya kurang berpengaruh ya.
P : Apakah Bapak pernah menemukan anak yang meminati dan ingin menyeriusi bidang-
bidang seperti Antropologi, Sosiologi ...?
R42 : Kalau selama saya wali biasanya anak-anak memilih jurusannya masih melihat profesinya,
yang marketable. Yang aneh-aneh belum menemukan saya. Jadi lebih kepada mana yang
jurusannya lebih dibutuhkan di pasar. Dan memang orientasinya yang duitnya banyak,
memang.
P : Mengenai gurunya Pak, apakah dari Yayasan Tarakanita ini ada pembedaan kualifikasi
dalam menjadi guru eksakta dan guru ilmu-ilmu sosial Pak?
R42 : Sama saja. Ya memang ada standar minimal misalnya dari ... kan guru itu harus kompeten
di bidangnya. Ya penguasaan kan paling tidak kita ukur dari IPK-nya, mata kuliah-mata
kuliah yang sesuai bidang yang diampu.
P : Kalau ada guru yang cuti melahirkan, atau sakit berkepanjangan, apakah penggantinya
harus dari bidang studi yang sama Pak?
R42 : Ya. Nggak boleh sembarang guru, nanti kacau itu, repot itu. Karena kita kan juga harus
jaga. Output-nya harus baik. Itu kan juga menjaga nama baik, citra Tarakanita. Kalau guru
Geografi disuruh mengajar Matematika atau Akuntansi kan juga aneh.
175
P : Waktu Bapak masuk IKIP apakah memang jurusan Ekonomi?
R42 : Awalnya saya itu jurusan Matematika, tapi ya kok istirahat nggak istirahat, semua masih
pada di kelas, akhirnya saya nggak tahan. Dan kebetulan IP saya juga pas-pasan, cuma
2,15. Kemudian pindah jurusan ke Ekonomi, ya jadi juara terus sampai lulus. Saya ini
termasuk aliran struktural, suka membahas-bahas yang masalah-masalah sosial, ekonomi
makro. Analisis sosial, penelitian, senang saya ... dan kelihatannya memang lebih enjoy
daripada di Matematika, rumus-rumus ....
P : Menurut Bapak, keunggulan khas Tarakanita I ini apa ya Pak?
R42 : Dulu saya tertarik karena yang memimpin suster, dan dengar-dengar kan C.B. dan saya
senang dengan karakter C.B. itu disiplin. Jadi saya karena waktu sejak kecil sudah biasa
dengan Romo, dengan C.B. ....
P : Kalau dari murid-murid, menurut Bapak apa yang mereka banggakan saat bertemu dengan
teman-temannya dari sekolah lain?
R42 : Kita unggul di dua-duanya: akademik dan ekstrakurikuler, satu hal yang tidak dimiliki oleh
sekolah-sekolah lain. Dalam keterbatasan kita sering banjir pun kita peringkatnya boleh
dibanggakan. Ekskul.-nya maju, tapi akademiknya juga nggak kalah.
P : Apakah menurut Bapak pemerintah menunjukkan adanya kepentingan tertentu dengan
mengondisikan murid untuk meminati jursan tertentu dibandingkan jurusan lainnya?
R42 : Pemerintah nggak begitu ambil pusing.
P : Dalam memilih jurusan apakah menurut Bapak masyarakat sudah bisa menilai kebergunaan
dan tujuan di balik masing-masing jurusan, ataukah masyarakat hanya menilai prestisenya,
atau melihat nama ....?
R42 : Wah, kelihatannya antara prestise dan kebergunaan, masyarakat kita masih berat sebelah,
berat banget, ke arah prestise. Kelihatannya masih ke situ, ya justru terjadi pendidikan yang
salah kan karena begitu, karena mungkin anaknya sebenarnya cocoknya di IPS tapi
dipaksakan ke IPA, justru hasilnya nggak optimal.
P : Apakah murid-murid yang IPA ini kuliahnya konsisten di jurusan IPA juga Pak?
R42 : Nah di situ akhirnya, karena tidak optimal, anak IPA kembali ke IPS kuliahnya, karena itu
tadi gengsinya. Ya akhirnya persiapannya lebih siap anak IPS, begitu kan?
P : Bagaimana anak IPS lebih siap ya Pak? Karena analisisnya?
R42 : Ya kalau analisis mungkin ya daya nalarnya masih kuat anak IPA. Untuk melakukan
hipotesis atau estimasi memang masih lebih kuat anak IPA karena biasa melakukan
eksperimen-eksperimen. Ya karena anak sosial, ilmu sosial itu juga berkembang kan ya.
Kadang-kadang tidak tepat untuk melakukan hipotesis. Tapi kalau anak IPA kan biasa
eksak-eksak gitu kan membuat satu estimasi yang lebih pasti, beda dengan anak sosial.
Biasa dengan menggunakan logika, menggunakan daya pikir. Daya analisis anak IPA
memang lebih tinggi dibandingkan anak IPS.
P : Apakah di IPS banyak menghafalnya Pak?
R42 : Justru karena banyak menghafal, nggak pernah melakukan estimasi, menghafal kan dari
yang sudah ada, tapi untuk memikirkan yang akan datang itu kan nggak begitu kuat. Nah
makanya anak IPS itu kalau nanti, tergantung anak IPS-nya, seharusnya bisa menggunakan
ilmu-ilmu eksak untuk analisis ilmu sosial. Statistika, Matematika, itu kan sebenarnya
digunakan juga di IPS untuk penerapannya. Karena masih di SMA itu mungkin belum
begitu banyak penggunaan penerapan-penerapannya, walaupun saya di Ekonomi juga
sudah mulai menerapkannya, tapi kan masih dasar, baru nanti diperdalam kalau sudah
kuliah. Nah, tetapi anak IPA itu sudah terbiasa dengan sejak SMA untuk melakukan
eksperimen, ada praktek juga di lab. Nah, ini kenapa mereka lebih maju. Sebenarnya nanti
176
kalau ketemu di bangku kuliah mungkin kalau anak IPS-nya tidak mampu menerapkan tadi
fungsi-fungsi, rumus-rumus Matematika, anak IPA bisa.
P : Kalau Bapak punya kewenangan untuk mengubah kurikulum, menurut Bapak apa yang
paling mendesak untuk diubah Pak?
R42 : Ya tadi, kalau saya mau mempersiapkan anak itu, kurangi hafalan. Untuk materi, perlu
dipersiapkan bentuk-bentuk analisis. Coba benar diterapkan bentuk ilmu IPA, itu
diterapkan di anak-anak IPS dan anak IPS nanti sudah dilatih untuk membuat hipotesis dan
analisis. Dan analisis sosial itu yang penting buat saya. Agar nantinya dia itu berguna, kita
kan tidak bisa hanya bercerita apa yang sudah terjadi, menghafal sejarah, kan menghafal aja
itu kan. Tapi juga harus didalami. Kita memang tidak boleh melupakan yang masa lalu, itu
juga menjadi acuan untuk masa depan. Tetapi justru meramalkan yang akan datang itu yang
penting, untuk menemukan entah itu solusi, entah menemukan follow up dari permasalahan
yang ada. Itu yang penting. Itu sekarang sangat kurang di IPS, makanya kalau perlu
diberikan pelajaran analisis sosial. Mata pelajaran analisis sosial. Kalau perlu penelitian,
ada praktek. Yang praktek tidak hanya IPA. Berikan juga praktek untuk IPS. Ada nggak
praktek untuk IPS? Nggak ada IPS kesempatan praktek! Kenapa anak IPS nggak ada waktu
untuk jam praktek? Memang ada seperti Agama, itu praktek, tapi tetap saja prakteknya itu
teori. Bahasa Indonesia juga ada praktek mengarang, tapi itu lain lagi. Yang penting itu
Ansos., Analisis Sosial. Itu yang diperlukan, karena anak-anak IPS itu bicaranya soal
sosial. Kita nggak pernah melihat situasi sosial itu bagaimana? Situasi ekonomi. Kita kan
textbook, kita nggak pernah tahu itu kondisi bagaimana.
P : Apakah kalau Analisis Sosial ini diberikan, akan berpengaruh terhadap prestise IPS Pak?
R42 : Ya! Akan menyaingi anak IPA untuk daya pikirnya itu .... Analisisnya ... nah itu memang
harus didukung dengan analisis Matematika-Statistika. Walaupun memang dengan analisis
Matematika itu tidak bisa menjawab analisis Ekonomi, tidak bisa dengan hitung-hitungan.
Ini yang nggak mudah untuk diterapkan oleh para praktisi. Justru sebenarnya anak IPA pun
belum bisa mengerjakan permasalahan sosial. IPA kan orientasinya lebih teknologi,
temukan apa lah, formula-formula, tapi masalah-masalah sosial, masalah perilaku, selera,
peradaban ... itu kan nggak gampang.
P : Mungkin dia harus menjadi perwujudan ―belas kasih‖ di visinya Tarakanita ya Pak?
R42 : Ya salah satunya itu, untuk menjadi pribadi yang berbela rasa. Untuk berbela rasanya itu
nggak mudah. Karena orang intelek kan cenderung tidak memegang masalah bela rasa.
Teknologi itu cenderung tidak memperhatikan bagaimana penggunaannya, tidak
berwawasan sosial, lingkungan sosial. Kadang menghancurkan. Nah kalau perlu anak IPA
pun perlu diberikan masalah-masalah sosial agar tidak melulu mengejar teknologi. Tapi
bagaimana dengan masalah kehidupan manusia?
A4.3 Responden 43
P : Nindi kelas XII jurusan Bahasa ya? Kalau boleh tahu, kenapa Nindi masuk SMA
Tarakanita 1 ini?
R43 : Awalnya sih masuk Tarakanita memang karena mau ngincer jurusan bahasanya, karena dari
awal kan di SMA yang punya jurusan bahasa sedikit sekali ya dan yang kualitasnya yang
bagus cuma sedikit ya, kebetulan SMP-nya dari Tarki juga kan, Tarki 5, jadi kebanyakan ya
orientasinya SMA ke sini. Yang kedua, memang mau nyari jurusan bahasa.
P : Kenapa mau ke Bahasa?
177
R43 : Karena kemampuan saya yang lebih dari yang lainnya memang di bahasa. Dan, waktu
SMP, kepikirannya kuliahnya mau ke Komunikasi gitu kan, jadi ya dari Bahasa.
P : Nah belajar di jurusan Bahasa kan selama kelas XI dan XII. Ketika kelas X ke kelas XI,
apakah ada penjurusan?
R43 : Nggak, hanya lihat nilai rapor.
P : Lihat nilai rapor, tetapi saat itu masih bisa memilih jurusan yang lain juga ya?
R43 : Ya.
P : Nindi sekarang ini kuliahnya mau ke mana?
R43 : Pengennya sih UI.
P : UI. Jurusan?
R43 : Politik.
P : Tidak jadi ...
R43 : Tidak jadi. Karena kebetulan kan orang tua aku di politik juga, jadi ngeliatnya seru ya, jadi
ada ya ... ngeliatnya dari bidang ya ... pengen juga ada tujuan, kalau aku kerja kan belum
tentu di politik juga, tapi aku yakin aja kalau kerja, dengan latar belakang politik, bisa
terpakai juga ke bidang-bidang lainnya.
P : Dalam dua tahun studi di Bahasa, apakah membantu nggak untuk pilihan kuliahmu nanti?
R43 : Membantu sih, soalnya kalau di mata pelajarannya itu kayak misalnya Sejarah dan dibantu
dengan model kurikulum itu kita jadi kayak dikasih ... kan udah nggak zaman guru doktrin
gitu, apalagi kalau Kewarganegaraan, banyak yang melibatkan bahan-bahan FISIP juga,
nggak cuma masalah politik itu kan, ada juga yang lain-lain. Jadi kayak nulis gitu, ngebantu
banget ya.
P : Selama ini kan suka ada pandangan IPA itu superior, bahkan Bahasa karena jarangnya, jadi
ada orang yang bahkan tidak tahu ada jurusan Bahasa. Apakah Nindi masih merasakan ada
pandangan seperti itu?
R43 : Ya banget. Maksudnya sampe sekarang pun dari pihak guru ada sih beberapa yang
ibaratnya, kayaknya, apa sih, dari pihak sekolah aja, ―Kalian jangan kecil hati ...‖, tapi
kenyataannya kan tuh pas penjurusannya kan mustinya dibuat sesuai minat, tapi dalam
praktek ada juga yang minatnya apa yah ... ya tahu sih maksudnya kalau maksud IPA kan
ke semua jurusan lain juga bisa, t‘rus yang jelekannya dikit ke IPS, t‘rus yang nggak bisa
ke mana-mana ke Bahasa.
P : Seperti air terjun?
R43 : Ya. Ke Bahasa gitu, tapi ternyata temen-temen aku juga ada yang dari awal memang
maunya ke Bahasa. Tapi yang aku sayangin tuh ada guru-guru yang kalau ada murid udah
nilainya nggak cukup dioperin ke bahasa jadi istilah kasarnya Bahasa tuh buangan.
P : Terlihatkah sikap beberapa guru itu dengan jelas?
R43 : Ada, kelihatan. Waktu kelas 1 kayak guru-guru IPA, kayak guru Kimia gitu, ―Ah, remed-
remed melulu sama saya, nanti saja remednya kalau udah masuk jurusan Bahasa ....‖ gitu
kadang-kadang juga .... Jadinya kan kadang-kadang kalau di lain ada jurusan Bahasa kan
istilahnya kalau di sekolah-sekolah lain kan jadi mungkin pikirannya lebih terbuka, tapi kan
rata-rata sekolah lain nggak ada ... jadi kadang-kadang di-underestimate.
P : Menurut Nindi kenapa tuh Bahasa di-underestimate, kenapa IPA tuh dianggap superior?
R43 : Mungkin karena IPA tuh dianggap spesial dan nggak semua orang bisa kayak Matematika
aja, kan di semua jurusan juga masih jadi kendala.
P : Tapi, apakah Bahasa semua orang bisa?
178
R43 : Nah, itu dia. Makanya, ini sih salahnya sikap dari pihak sekolah sih, ada yang kayak aku
bilang, jadinya kalau orang misalnya nggak bisa masuk IPA, IPS jadinya dimasukin ke
Bahasa gitu kayak gitu itu ....
P : Terkooptasi?
R43 : Ya, yang kedua karena nggak semua sekolah ada Bahasa. Kayaknya kalau dilihat kayak ada
pengaruh dari kebiasaan tradisi kita, kan banyak orang tua yang ingin anaknya IPA atau
banyak yang mikir anaknya SPMB kan kalau dari jurusan IPA lebih gampang masuk ke
semua jurusan kan, mungkin gara-gara hal itu.
P : Betul nggak ada dikotomi kalau anak IPA itu cenderung bernalar sedangkan anak IPS
sekedar menghafal?
R43 : Nggak, karena di Tarki sini kita kalau ngeliatnya IPA sih memang kalau hitung-hitungan
lebih jago, tapi ada juga lho temen aku yang masuk IPA karena nilai Bahasa dan nilai IPS-
nya merah. Maksudnya, jadi keliatan kemampuannya juga kan? Nggak tahu sih kalau yang
IPS, tapi kalau yang Bahasa, dari dua tahun aku di Bahasa, kebanyakan analisa.
P : Nah kalau kamu lihat di antara guru-guru ya, guru-guru eksakta/MIPA, IPS dan guru
Bahasa, apakah ada perbedaan kualitasnya? Mungkin guru-guru tertentu lebih unggul ....
R43 : Kayaknya tergantung deh, kayak perbandingannya kalau guru-guru IPA, memang tidak
semua, tapi kebanyakan mereka mengunggulkan bidangnya mereka banget, jadi agak-agak
underestimate terhadap IPS dan Bahasa ....
P : Bahkan ke sesama guru?
R43 : Ya, tapi kalau ke sesama guru mungkin mereka nggak berani ngomong lah .... Tapi kalau
perbedaan ngajarnya, guru-guru eksak pasti mereka lebih tegas, karena juga materinya
lebih banyak kali ya, kalau guru-guru sosial mereka itu aku sih rasanya lebih nyantai, masih
bisa diajak bercanda ....
P : Kalau memilih jurusan di kelas X, di antara temen-temen Nindia, apakah besar
pengaruhnya orang tua?
R43 : Besar sih, tapi kalau aku sendiri, Mama sih yang penting suka. Tapi banyak sih yang
maunya ini tapi sama orang tuanya nggak boleh, banyak juga yang kayak gitu.
P : Misalnya banyak yang mau ke IPS tapi orang tuanya maunya ke IPA gitu ya?
R43 : Ya, biasanya seperti itu.
P : Nah kalau dari pengamatan Nindi, dalam kasus seperti itu, apakah ada pengaruhnya ketika
orang tua itu lebih berada atau lebih berpendidikan, dalam mereka memberikan kebebasan
kepada anak-anaknya?
R43 : Kayaknya tergantung juga sih, maksudnya kebanyakan, kalau yang agak-agak kaya,
mereka bisa melihat nanti pekerjaannya kayak gini atau kayak gitu, tapi kalau yang
menengah ke bawah, ya udah lah nyarinya yang pasti-pasti aja.
P : Pasti penghasilannya?
R43 : Ya. Tapi ada juga sih yang nggak pengaruh, yang orang tuanya berada tapi pikirannya
kolot, yang penting asal cita-cita si orang tua itu kesampaian, yang dulu jadi cita-cita si
orang tua.
P : Menuntut Nindia, kalau teman-teman yang akan dikirim orang tuanya ke luar negeri,
apakah memiliki lebih banyak kebebasan dibandingkan mereka yang memang akan
disekolahkah di dalam negeri?
R43 : Nggak tahu juga ya, soalnya biasanya yang ke luar itu kan juga biasanya kuliahnya di luar
nggak ada hubungannya dengan jurusannya, biasanya kan ambil jurusan-jurusan yang
nggak ada di sini, kayak fashion gitu, atau apa ... yang di sini paling ada cuma sampai D3
....
179
P : Ketika ada guru tidak masuk dalam waktu lama, atau cuti, misalnya cuti melahirkan,
apakah ada guru pengganti atau diberi tugas saja?
R43 : Pasti ada guru pengganti. Kalau guru cuma nggak masuk sebentar sih, bisa aja dikasih tugas
t‘rus disuruh kumpulin gitu aja, tapi kalau cuti pasti ada guru pengganti.
P : Apakah guru penggantinya itu memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang studinya?
R43 : Sejauh ini cuma sekali sih, tapi ya, sesuai dengan bidangnya.
P : Bagian berikutnya, nih. Kalau Nindi ketemu temen-temen dari sekolah lain, apa yang
paling dibanggakan dari sekolah di Tarki ini?
R43 : Yang pertama, semua anak swasta pasti lebih bangga dibanding sekolah negeri sih. Terus
yang kedua, masih klise banget sih, tapi kalau anak Tarki ketemu anak lain, terutama anak
Negri tuh kita mempunyai style yang lain, kita kayak trend setter gitu. Juga, tingkat
pendidikannya jug lebih bagus. Bukan cuma dengan Negeri, tapi juga swasta lain, karena
kan istilahnya tujuhnya kita bisa dapet dapet 10-nya dia, jadi kita merasa lebih tinggi dari
dia.
P : Di antara sekolah-sekolah Katholik yang lainnya?
R43 : Ya kita ke mana-mana biasanya sih lebih banyak sosialisasinya, kalau yang lain kan
mungkin nggak terlalu banyak kenal yang di luar sekolahnya ... wujud sosialisasinya
misalnya kayak kemarin ini pensinya, respon masyarakatnya lebih kuat ....
P : Kalau bicara mengenai jurusan Bahasa. Hanya sedikit sekali sekolah yang membuka
jurusan ini, bahkan ada yang sudah punya, kemudian ditutup. Menurut Nindi, apakah
pemerintah punya arahan tertentu dengan tidak gencar mempromosikan jurusan Bahasa?
Apakah pemerintah punya target tertentu dengan membiarkan IPA lebih dominan
dibandingkan yang lainnya? Atau juga IPS .....
R43 : Apa ya, kalau aku lihat sendiri pemerintah sebenarnya belum concern ke arah itu, mereka
cuma sibuk ngejalanin dan mengubah-ubah kurikulum, belum ada care ke arah ini.
A4.4 Responden 44
P : Nicky SMP-nya dari SMP mana?
R44 : SMP Tarakanita 3.
P : Kemudian kenapa memilih sekolah di sini?
R44 : Karena udah kayak sekolah impian, memang dari dulu sudah ingin masuk sekolah sini.
Dari SMP kayaknya enak aja nyoba, biasanya heterogen sekarang nyoba yang homogen,
t‘rus kualitas pendidikannya bagus walaupun banjir, tapi diliat dari mutu kualitasnya bagus.
T‘rus yang namanya anak-anak Tarki itu bisa menyeimbangkan antara belajar danm antara
kayak melakukan dengan kegiatan, jadi saya pengen belajar di sini.
P : Apakah sejak awal memang berencana untuk masuk IPS?
R44 : Tadinya mau masuk IPA, pas naik-naikan kelas tadinya nilai saya seimbang, jadi mau
masuk IPA, IPS, Bahasa bisa masuk tiga-tiganya, tapi hasil tes IQ dan tes penjurusan itu
dapetnya IPS, setelah saya pikir-pikir kenapa saya nggak nyoba masuk IPS, bosen juga
masuk IPA, jadinya masuk IPS.
P : Setelah SMA mau masuk jurusan apa untuk kuliahnya?
R44 : Antara Ekonomi sama Hubungan Internasional.
P : Dulu waktu masuk IPA apakah sama cita-citanya?
R44 : Dulu pas masuk IPA maunya jadi dokter. Tapi karena sudah di IPS, ganti profesi.
P : Tapikan kan IPS masih bisa ngambil Kedokteran?
R44 : Tapi semakin ke sini semakin takut mau membelek orang, ngeliat darah ....
180
P : Sekarang kita berbicara masyarakat secara luas ya, an ada IPA, IPS, Bahasa dan orang
cenderung memilih IPA dong ya? Kalau Bahasa jarang .... Menurut kamu kenapa bisa jadi
seperti itu sih?
R44 : Kalo menurut saya, banyak orang yang ngomong misalkan gini, profesi yang menarik-
menarik itu seperti dokter, insinyur, arsitek, pasti semuanya dari IPA, jadi presepsi orang di
luar itu udah pasti bilang IPA itu no. 1, IPS no. 2, Bahasa no. 3. Jadi, Bahasa yang
dinomortigakan tuh nggak dianggap, padahal di luar sana bahasa tuh diperlukan kita, tanpa
bahasa tuh kita bisa ngapain sih? Jadi bahasa tuh penting.
P : Jadi sebenarnya ada profesi-profesi yang menarik yang bisa dicapai oleh IPA? Padahal ada
banyak profesi lain yang tidak diketahui orang banyak, begitu?
R44 : Ya.
P : Jadi karena ketidaktahuan orang juga?
R44 : Ya.
P : Kalo dari segi akademiknya, apakah karena masuk IPA lebih susah jugakah, jadi masuk
IPA lebih bergengsi?
R44 : Saya rasa ya, karena di sini kan syarat masuk IPA, harus Kima, Matematika, Biologi harus
bagus, setidaknya dapat nilai 7. Semakin ke sininya kita menemukan semakin banyak
hambatan belajar, jadi untuk mengejar nilai yang semuanya hitungan dan hafalan kan tuh
susah, jadi lebih tantangannya sih masuk IPA, tapi kalau masuk IPS atau Bahasa
seandainya kita nggak bisa ya sama saja beratnya.
P : Berarti di sini ada orang yang yang mau ke IPS, sedangkan ada yang mau masuk IPA
nggak kesampaian kan?
R44 : Iya
P : Orang-orang yang disebut belakangan ini, yang ―terbuang‖ dari IPA, apakah cukup banyak
di antara murid-murid IPS?
R44 : Kebanyakan kita sih nggak, kita bener-bener pengen masuk IPS ya akhirnya masuk IPS,
ada yang pada saat itu ingin masuk IPA tapi dimasukin ke IPS tapi mereka ada
pertimbangan, jadi mereka meminta memperbaiki nilai dengan gurunya. Ketika udah
bagus, bisa masuk IPA tapi kalau nggak boleh masuk IPA, harus masuk IPS diterima, dan
kebetulan mereka pinter juga di IPS.
P : Menurut kamu ada nggak orang yang bisa di IPA, tapi di IPS-nya nggak bisa?
R44 : Ada, karena orang kan beda-beda, misalnya gini, anak IPA kan eksakknya lebih apa ya ...
lebih maju, soal hitungan lebih maju tapi lemah di hafalan. Padahal anak IPS kan Sejarah,
Geografi, Sosiologi, semuanya kan harus ngafal, begitu juga dengan anak IPS dan anak
Bahasa juga.
P : Jadi ada dikotomi bahwa IPA lebih menganalisis, IPS lebih menghafal?
R44 : Ya.
P : Apakah di IPS ada cukup banyak muatan menganalisis juga?
R44 : Analisis sosial, terutama. Itu yang kuat dan sering dilakukan.
P : Dibandingkan dengan anak IPA, apakah mereka sama kuatnya dalam analisis sosial?
R44 : Dua-duanya sama kuat, tapi beda sudut pandang. Kalau dari anak IPA mungkin dipandang
dari perhitungannya, kalau anak IPS .... Misalkan gini, anak IPA nanyanya, ―Kok bisa ya
bola jatuh dari ketinggian segitu ke bawah?‖ Kalau kita gini, ―Apa sih yang bikin tuh bola
jatuh?‖, kalau kita lebih ke masalah sosial kehidupan, kalau anak IPA lebih ke hitung-
hitungan.
P : Nah kalau dari segi guru-gurunya, apakah menurut kamu ada perbedaan antaaa kualitas
guru-guru IPA dan IPS?
181
R44 : Nggak, saya rasa nggak ada.
P : Di antara guru-guru sendiri ada nggak yang merasa inferior, atau ada yang merasa lebih
superior? Mungkin secara verbal ....
R44 : Kalau di sini nggak ada guru-guru yang memperlakukan IPA is the best, IPS second ....
P : Di antara teman-teman Nicky, besar nggak pengaruh orang tua?
R44 : Cukup besar, tapi semuanya kembali kepada kita.
P : Pernah ada teman yang merasa terpaksa masuk ke jurusan tertentu?
R44 : Ada. Pasti tiap tahun ada kasus yang kayak gitu.
P : Dengan kondisi seperti itu, pengaruh nggak kalau orang tuanya lebih berpendidikan atau
lebih berada ...
R44 : Pengaruh banget. Biasanya orang tua punya obsesi, tapi nggak kesampaian, jadi anaknya
yang harus jadi dokter.
P : Kalau yang lebih berpendidikan, apakah dia memberikan kebebasan lebih kepada anaknya?
R44 : Saya rasa semakin tinggi pendidikannya, semakin maju, berarti dia semakin tahu dong
kalau semua itu tergantung kita yang menjalani, tapi kita juga nggak bisa mengubah
pandangan orang tua kita bahwa IPA itu yang terbaik kan? Semuanya itu kembali kepada
anaknya sendiri.
P : Peran guru BK besar nggak dalam hal ini?
R44 : Besar, karena kalau kita konseling itu kita bisa, dia mengarahkan, lebih baik kamu begini
....
P : Termasuk kepada orang tua?
R44 : Bisa, kalau orang tua itu ingin konseling dengan guru BK, karena dia tahu, kalau sekolah
sering ketemu kalau guru BK, bisa menjelaskan bahwa bisa lebih lancar omongannya, siapa
tahu orang tua bisa berubah pikiran dan disetujui gitu.
P : Nah kalau temen-temen kamu yang mau melanjutkan keluar negeri itu, apakah mempunyai
kebebasan lebih daripada mereka yang akan tetap di Indonesia?
R44 : Nggak juga sih karena kadang-kadang studi di luar negeri orang tua yang nyuruh, bukan
maunya anaknya.
P : Dan apakah jurusannya juga jurusan yang sama?
R44 : Ya.
P : Kalau teman-temanmu yang ada di jurusan IPA, apakah mereka mau masuk ke Teknik?
R44 : Nggak. Saya ada beberapa teman saya yang mau masuk ke Akuntanssi, ke Ekonomi.
P : Dari sudut pandang seorang murid, apakah untuk menjadi guru di sini ada perbedaan
kualitas antara menjadi guru IPA, IPS?
R44 : Perbedaan kualifikasi pasti ada, tapi kalau di lapangan rasanya semuanya sama saja. Sama
berat dan susahnya juga.
P : Seandainya mengalami ada guru yang nggak masuk beberapa hari atau ada guru yang cuti
melahirkan cukup lama, apakah guru penggantinya harus guru yang sama bidang studi atau
guru apa saja bisa masuk, atau ....
R44 : Saya rasa kalau IPA harus, kan kalau IPA nggak semua guru bisa Fisika, nggak semua guru
bisa Kimia, jadi harus sama-sama yang di satu pelajaran. Tapi kalau di IPS, di Bahasa, bisa
masuk semuanya.
P : Terjadi itu?
R44 : Ya.
P : Misalnya guru apa yang menggantikan guru apa?
R44 : Pak Anton, guru Sosiologi di IPS bisa, di Bahasa ... Antropologi. Gurunya sama dua-
duanya.
182
P : Jadi serumpun juga ya antropologi dengan sosiologi ya oke. Kalau kamu sendiri kuliah abis
ini mau ngambila jurusan apa?
R44 : Ekonomi atau Hubungan Internasional.
P : Setelah itu mau ngapain tuh?
R44 : Kerja.
P : Kerjanya mau yang bidang apa?
R44 : Ya, tentunya yang bidang yang satu lapangan dengan apa yang saya udah pilih.
P : Dalam kurun waktu yang lebih panjang, apa yang ingin kamu capai dalam hidupmu?
R44 : Bisnis.
P : Bisnisnya bidang apa?
R44 : Bisnis yang bidang saya suka bakery atau event organizer.
P : Dari visi Tarakanita kan ada kata ―berbelas kasih‖, terpikir nggak bagaimana mewujudkan
kata-kata itu dalam hidupmu nanti?
R44 : Jadi jangka panjangnya gini, kita kan belajar dari Tarki: ramah, tabah dan sederhana. Jadi,
kalau kita udah jadi kaya sekalipun kita tetep harus ramah, tabah dan sederhana. Jadi
walaupun kebanyakan anak-anak Tarki itu anak-anak mampu, tapi harus tetap
berpenampilan sederhana, t‘rus ramah sama orang, jadi pada saat kerja pun saya rasa itu
sudah terbawa .... ya mentalnya udah kayak gitu ... ya lihat nanti lah ...
P : Apa yang paling kamu banggakan dari Tarki 1 ini?
R44 : Seragam.
P : Kenapa seragam? Yang putih-putih ini?
R44 : Nggak, yang kotak-kotak. Dari jauh ... oh udah tahu anak Tarki, tapi yang kita banggakan
itu adalah kita anak cewek semua tapi kita bisa mandiri. Mungkin kita bisa ngalahin yang
cowok-cowok yang sombong-sombongan, jadi kalau kita sudah siap kita bisa lebih ... waw
... kita cewek tapi bisa ngalahin cowok.
P : Menurut kamu, apakah pemerintah terlibat dalam mengondisikan jurusan tertentu lebih
menarik daripada jurusan lainnya?
R44 : Pasti ada. Jadi kayak gini, jurusan IPA, pemerintah membantu dalam labolatoriumnya
ditingkatkan, kalau IPS dan Bahasa juga mustinya ditingkatkan semua, kalau laboratorium
Bahasanya lebih dibaguskan atau buku-buku anak Bahasa dan IPS tuh diseimbangkan jadi
nggak ada yang lebih menonjol gitu, jadi sama, gitu.
P : Jadi itu yang membuat orang milih masuk ke IPA ya?
R44 : Ya.
P : Seandainya kamu terpilih untuk menduduki jabatan yang bisa mengubah kurikulum, ada
nggak suatu hal yang akan kamu ubah dari kurikulum?
R44 : Pertama saya mau evaluasi dulu kurukulumnya, dari kurukulum yang pernah dijalanin sama
sekolah-sekolah di Indonesia itu mana yang paling bagus. Kalau memang ada yang terbaik,
itu akan dijalanin untuk kurun waktu tertentu dan nggak boleh cepat-cepat diganti.
P : Dari isi pelajarnanya sendiri, apakah ada yang mau diganti, dipandang tidak berguna?
R44 : Saya rasa semua pelajaran itu berguna, tapi mutu pendidikan itu yang harus diutamakan.
P : Sejarah dan Geografi, menurut kamu ada manfaatnya untuk kehidupan?
R44 : Ada.
P : Apa manfaatnya?
R44 : Tadi apa?
P : Sejarah dan Geografi.
183
R44 : Oh … ada dong ... itu kan kalau kita melakukan sesuatu kalau nggak tahu sejarahnya, pasti
kan basic-nya nggak kuat. Terus kalau Geografi, kita kan hidup di bumi, masa kita nggak
tahu bumi itu sendiri?
A5. Wawancara di Kolese Gonzaga / Seminari Wacana Bhakti
A5.1 Responden 51
P : Romo, seminari ini kan cukup lama berdiri ya?
R51 : Dari tahun ‘87.
P : Berarti, selama masa itu sudah mengalami beberapa kurikulum ....
R51 : Dari kurikulum ‘87, ‘94, 2004 dan sekarang KTSP ....
P : Melalui semua kurikulum itu, untuk seminarian, apakah ada kurikulum yang berbeda untuk
seminarian?
R51 : Oh, selalu ada.
P : Bobotnya berapa banyak ya?
R51 : Nggak banyak sih. Tapi kalau dibandingkan ... seminari itu kan 4 tahun ....
P : Ya.
R51 : Tahun pertama ini khusus.
P : Berarti itu setelah lulus SMP?
R51 : Setelah lulus SMP, ini khusus, nah kekususan mereka itu diberi bobot bahasa Latin yang
agak banyak untuk memperkuat humaniora. Humaniora itu bukan hanya seni tetapi
sebetulnya termasuk seni berbicara, termaksud juga bagaimana menghayati nilai-nilai
kemanusiaan lewat bahasa dan lain sebagainya. Maka bahasa Latin sebagai akar dari
bahasa-bahasa Eropa, ini mendapat bobot yang sangat banyak ya, pada tahun pertama ini.
Di samping itu anak-anak diberi bekal tambahan bahasa Inggris. Maklumlah seminari itu
kan datang dari macam-macam ya, dari Ciledug sampai Bekasi. Sangat beragam, jadi diberi
bekal bahasa Inggris. Lalu ada matrikulasi Matematika dan Fisika, memang itu kekuatan ...
sebenarnya kan kekuatan logika nomerik ya, logika matematis lalu itu juga kita kuatin
untuk anak-anak seminari.
Nah di samping itu masih ada sejumlah mata pelajaran lain tentu yang lebih menyangkut
ke arah masalah keagamaan. Kemudian mulai tahun kedua anak-anak seminari itu mulai
belajar bersama dengan anak-anak Gonzaga.
P : Berarti kelas X?
R51 : Ya, kelas X yang non-seminarian. Nah di samping mereka mendapatkan pelajaran pagi
bersama dengan anak-anak Gonzaga, sore hari khususnya haru Senin, Selasa, Rabu, Kamis,
masih ada pelajaran tambahan untuk anak-anak seminari ini.
P : Bahannya adalah ...
R51 : Bahannya khusus kami, staf seminari ....
P : Dari Teologi?
R51 : Ya, kurang lebih begitu, dan masih ada tambahan bahasa, supaya anak mampu lebih
mengekspresikan diri dan sebagainya, maklumlah para seminari nantinya kan diharapkan
harus mampu untuk memberikan khotbah yang sangat menarik kan?
P : Ya.
R51 : Nah, oleh karena itu lebih diberi bekal tambahan. Dan itu lebih menguntungkan karena
mereka ada di seminari kan, di asrama, tidak usah pergi ke mana-mana.
184
R51 : Lalu di samping anak-anak seminari itu bersama dengan anak-anak Gonzaga yang lain, ada
juga acara-acara mereka biasanya punya kebanggaan yang mereka terus pelihara adalah
orkes dan kalau Anda mau melihat orkes anak-anak seminari ini mulai nanti sore sampai
Minggu sore ada di Gereja Bunda Hati Kudus Kemakmuran, sedang main. Biasanya satu
tahun kita berikan kesempatan anak-anak seminari ki8ta untuk bermain di paroki-paroki ...
mereka mengiringi misa.
Kemudian mereka juga tinggal di rumah umat, diharapkan mereka punya interaksi dengan
umat dan anak-anak remaja di sana, ya menjadi semacam ajang promosi juga. Ya kan?
Dan, orkesnya biasanya main full.
P : Berarti setiap seminarian juga diharapkan menuguasai satu jenis alat musik setidaknya?
R51 : Ya, betul. Jadi mereka pada tahun pertama masuk seminari biasanya itu ada semacam
audisi dan guru-guru musik menentukan pilihan anak ini bisa masuk apa: violin, flute, obo
atau apa, atau bas, cello atau ini atau itu, atau timpani, atau drum atau apa. Jadi mereka
mengalami suatu proses seleksi dan penentuan untuk itu pada tahun pertama dia masuk.
Dan bersamaan itu juga mengalami proses latihan teus-menerus kan. Dan sekali lagi hidup
dia asrama itu bagi mereka mau nggak mau kesempatan berlatihnya lebih banyak. Nah,
kalau dari sisi kemampuan akedemis dibandingkan dengan anak-anak Gonzaga ya
beragam, ada yang tinggi ada yang rendah ada yang tengah.
P : Tidak bisa dikorelasikan begitu saja?
R51 : Nah itu rupanya juga sangat terkait dengan potensi yang ada di dalam diri anak-anak itu.
P : Kalau dari tahun kedua dari empat, mereka itu kan belajar dengan anak Gonzaga 45 jam per
minggu ya Romo...
R51 : Ya ... 42.
P : 42 ya, yang tambahan sorenya itu kira-kira berapa jam pelajaran ya Romo, atau dihitung
begitu?
R51 : Itu di luar.
P : Di luar ya, jadi nggak dihitung berapa jam ya, yang satu tahun itu juga dihitung jam
pelajaran?
R51 : Nggak. Jadi nggak itung jam-jam yang kayak ... ya bisa jadi dihitung tapi tidak
diperhitungkan di Gonzaga.
P : Yang tahun pertama itu bahasa latin itu proporsinya lebih, sangat besar ya Romo?
R51 : Sangat besar.
P : Oh, itu paling besar. Apakah dalam empat tahun itu mereka juga mendapat bahasa Yunani
dan Ibrani, Romo?
R51 : Nggak.
P : Berarti setelah empat tahun ini mereka diarahkan untuk masuk ke mana nih Romo, apa ada
studi lanjutnya lagi atau ....
R51 : Ada studi lanjut dan itu pilihan mereka. Ada yang masuk Praja Jakarta, atau masuk Yesuit,
atau masuk Fransiskan, atau masuk Xaverian, atau masuk ke yang lain.
P : Tapi selama ini semua masuk ke salah satu ya?
R51 : Ya, ada juga yang keluar. Ada yang mengundurkan diri, biasa itu.
P : Jadi pergumulan dari SMP masuk ke seminari ini apakah mereka menurut Romo apakah
lebih karena arahan dari orang tua atau Gereja, atau memang kebanyakan anak sudah cukup
mantap untuk meneruskan ke seminari sampai akhirnya full menjadi ....
R51 : Sangat beragam. Ada yang sudah cukup mantap, ya setengah, tapi pada akhirnya mereka
umumnya cukup matang untuk mengambil keputusan untuk mau ke mana, jadi prinsipnya
adalah sebenarnya proses pembinaan dalam tingkat menengah ini adalah harus bermuara
185
pada kemampuan pengambilan keputusan yang matang – pada tingkat anak. Matangnya
dalam arti bahwa ya sudah ini pilihan saya, dengan segala konsekuensi, dengan segala
resiko dan lain sebagainya. Untuk anak-anak Gonzaga adalah menentukan pilihan bidang
studi yang mau diambil, karier yang ke depan yang menjadi bayangan, yang satu dengn
yang lain berbeda. Untuk anak-anak yang seminari, ―Mereka akan menjadi iman macam
apa‖, ya kan? Menjadi pastor paroki atau menjadi pastor yang terbuka untuk macam-
macam karya, atau menjadi pastor di mana ... atau menjadi misionaris atau apa.
Semuanya itu membawa konsekuensi masing-masing, dan anak-anak diharapkan untuk
sungguh-sungguh mulai memikirkan, merenungkan, melihat kemampuan dirinya dan
seterusnya, sehingga pada waktu akhir pendidikan diharapkan mampu mengambil
keputusan dan itu keberanian dalam mengambil keputusan sebenarnya adalah tanda proses
pendewasaan. Karena kanak-kanak mungkin mengatakan, ―Oh saya mau jadi dokter.‖ tapi
itu bukan sebuah keputusan sebenarnya. Baru mimpi ya .... Bagaimana dari mimpi
mendarat sebagai keputusan. Mimpi yang ada harus dipijakkan dengan kemampuan, yaitu
plus-minusnya masing-masing orang. Ini adalah cerita yang lain. Proses pedagogi kita
mesti mengantar ke sana. Kalau proses pedagogi kita tidak mengantar ke sana, apapun
timbunan pengetahuan, apa pun yang kita berikan ke anak-anak, tidak berati banyak.
P : Di dalam pendidikan untuk seminarian ini apakah ada juga mata pelajaran filosofi atau
retorika?
R51 : Ya ... kita berikan lewat cara macam-macam.
P : Tidak khusus seperti ini ya?
R51 : Karena itu nanti di pendidikan tinggi ada. Itu di Filsafat. Paling Logika kita berikan.
P : Berapa banyak ya Romo, seminarian di sini?
R51 : Seminari ini, dari keseluruhan anak kita, 668 siswa Gonzaga, seminarisnya antara 60-70-an
anak.
P : Romo, di sini kenapa tidak membuka jurusan Bahasa, kalau memang pendidikan bahasa
cukup kuat di antara seminarian, apakah ....
R51 : Ya sebetulnya itu suatu peluang dan satu tantangan juga. Cuma kami berpikir begini, baik
IPA maupun IPS kemampuan bahasanya sungguh-sungguh harus kuat juga, nah itu yang
kami pikirkan selama ini kenapa tidak mengambil secara khusus Bahasa. Tapi itu sebuah
peluang sebenarnya, sebuah kemungkinan yang hanya sekarang ini kami masih berpikir
baik IPA maupun IPS dua-duanya kemampuan bahasa harus kuat.
P : Dan diberikan juta bahasa asing lainnya?
R51 : Bahasa Jepang, di luar kalau seminarian ada bahasa Latin, tapi itu di seminari.
P : Romo, kalau begitu, apakah di sini ada pandangan bahwa IPA lebih unggulkan, lebih
ulungkah, dibanding IPS?
R51 : Ya mungkin, tapi menurut saya tidak terlalu terasa ya. Ada, tapi tidak terlalu mencuat. IPA,
IPS itu sama jumlahnya ... malah IPS lebih banyak. IPA kami hanya 3 kelas. Di kelas XII
IPA-IPS jumlahnya sama.
P : Ketika memilih IPA-IPS, prosesnya bagaimana Romo, apakah mereka ada bimbingan
konseling dulu atau lihat nilai?
R51 : Ada tes waktu kelas X oleh guru Bimbingan Konseling, kemudian yang paling menentukan
adalah perolehan nilai.
P : Dan itu sama baik untuk seminarian maupun Gonzaga ....
R51 : Ya, perlakuannya sama.
P : Nah, kalau untuk seminarian apakah proporsi di satu jurusan lebih besar Romo, antara IPA
dan IPS, atau mungkin tidak korelasinyakah?
186
R51 : Kadang lebih banyak IPA, kadang lebih banyak IPS, nggak mesti ya. Tergantung yang
masuk juga kan ya?
P : Pernah terjadi Romo, orang tua ngotot anaknya harus masuk ke jurusan tertentu?
R51 : Ada.
P : Nah kalau gitu penangananya bagaimana, apakah dikonseling juga oleh guru BK-nya atau
....
R51 : Kadang-kadang lalu dites ulang. Pernah terjadi. Ini hasil tesnya seperti ini, bagaimana? ―Ya
nantinya pengen jadi ini, pengen jadi itu ...‖ OK. Nah, itu persis kanak-kanak kan?
Pengennya itu, kemampuannya gimana?
P : Lebih sering terjadi ke orang tuanyakah, daripada ke anaknya?
R51 : Itu yang sering terjadi.
P : Untuk di pelajarna sehari-hari Romo, apakah guru-guru IPA dengan guru-guru Geografi,
Sejarah, apakah ada standar kualitas yang sama Romo, karena ada sekolah-sekolah di mana
guru-guru Fisika, misalnya, lebih sulit dicari sehingga ....
R51 : Ya kalau kesulitan dicari, memang benar. Sekarang juga lebih sulit lagi mencari guru IPS
yang bermutu. Karena apa? Karena di program-program studi kependidikan IPS, yang
masuk sendiri adalah boleh dikatakan sisa-sisa yang tidak bisa masuk ke mana-mana.
Sekarang jujur saja, tanya ke peguruan tinggi yang punya FKIP, yang untuk program studi
sosial, apakah betul orang memang sadar memilih ke sana sejak awal, berapa persen. Saya
masih punya beberapa guru yang sejak awal memilih ini dan bidang IPS, Sejarah. Ini benar,
bagus hasilnya. Tapi, kalau yang buangan, nah ini menjadi masalah. Biasanya nanti di
lapangan juga nanti menjadi masalah. Saya masih punya beberapa guru yang benar-benar
guru IPS.
P : Di dalam pendidikan di Gonzaga ini apakah ada pengenalan berbagai profesi, Romo?
Apakah bimbingan karier atau ....
R51 : O ya, ada.
P : Di dalam jam pelajaran, Romo?
R51 : Ya, jadi pelajarannya ada.
P : Oh jadi ada pelajaran itu, dua jam seminggu atau ....
R51 : Satu jam seminggu.
P : Gurunya itu bagaimana Romo, apakah dia mengikuti muridnya, muridnya naik kelas dia
juga ikut, atau ....
R51 : Nggak. Kadang ada, tapi nggak selalu. Saya apa ... membuat ya, anak-anak musti juga
menyesuaikan dirinya nanti dengan ... kelenturan untuk menyesuaikan diri, itu senantiasa
diperlukan dalam setiap proses belajar-mengajar. Kalau nanti di Perguruan Tinggi nanti
juga nggak akan selamanya ketemu sama si A saja, di masyarakat juga harus berani
bertemu dengan berbagai macam orang. Nah, skill bekomunikasi dengan berbagai macam
orang itu juga menentukan, maka ada program-program live in, outbound, ....
P : Kemudian apakah terjadi dikotomi bahwa IPA itu lebih bernalar, IPS lebih banyak
menghafalnya?
R51 : Pada dasarnya orang mempunyai image seperti itu sebelumnya, tapi saya katakan
seharusnya tidak seperti itu. Karena penalarannya berbeda. Hanya memagn benar
penalaran-penalaran matematis itu logis, sistematis dan lain sebagainya, tetapi penalaran-
penalaran ilmu-ilmu sosial itu pun juga harus sistematis. Juga logika bahasa menjadi
penting di situ, dimanfaatkan. Maka, pada akhir kelas tiga, sebagai syarat mengikuti ujian
kami menerapkan anak harus membuata sebuah paper sesuai bidangnya. Satu karya ilmiah.
Yang IPA ya IPA, terserah ya Biologi, entah Fisika, entah Kimia, dengan library research,
187
dengan study tour. Kemudian yang IPS ya tentang IPS, entah itu Sejarah, entah masalah
politik, entah itu masalah ketatanegaraan, entah itu masalah apa.
P : Dan itu disidangkan atau dinilai?
R51 : Dinilai. Cuma kalau yang anak IPA kalau nggak salah disidangkan dalam konteks bahasa,
ujian bahasa, nanti ujian lisan bahasa.
P : Kalau begitu apakah berarti murid seminari akan lebih unggul Romo, karena sudah setahun
mendapat bahasa Latin, tahu bahasa lebih intensif juga ....
R51 : Agak susah digeneralisasi, tapi dalam untuk beberapa tahun terakhir memang tendensi ke
arah itu lebih nyata.
P : Romo sendiri sejak awalnya memang menjadi guru ya?
R51 : Saya memang sejak awal, sejak frater sudah menjadi guru di Kanisius, guru Agama dan staf
moderator, jadi untuk staf kita di Kolese itu kan ada yang namanya kepamongan, biasanya
meng-handle semua kegiatan kesiswaan.
P : Romo, apakah di kalangan seminarian ada pandangan juga, ―Ya sudah, tidak bisa masuk ke
mana-mana lagi, masuk ke seminari saja‖?
R51 : Saya rasa nggak ya, kalau ada seperti itu hidupnya nggak akan tahan. Karena itu orang
memilih terpaksa, bukan pilihan sendiri.
P : Kalau menurut Romo ciri khas Gonzaga itu sendiri apa Romo, yang paling unik dari
sekolah-sekolah lain?
R51 : Gonzaga sendiri adalah sebuah bentuk pendidikan yang kita terapkan sebagai bentuk
pendidikan Yesuit, di mana kalau tadi, salah satu ciri khas yang selalu saya kembangkan
adalah kemampuan anak berefleksi, merenungkan pilihan ke depan, tetap yang konkret
yang memang digeluti dengan apa kalau dalam bahasa Inggris mungkin disebut rigoritas
studi, tetapi pada tingkat anak. Nah, bagaimana ini dibentuk beraneka ragam sebetulnya,
sedemikian sehingga satu halnya adalah yang saya terus-menerus upayakan di sekolah,
sekolah itu tidak hanya sama dengan memenuhi tuntutan kurikulum saja, atau kurikulum
sendiri harus juga lebih terbuka kepada sebuah proses pedagogi yang lebih menyeluruh,
yang holistik.
Nah, proses pedagogi yang menyeluruh kan memang maunya menyentuh ranah-ranah
kognitif, ranah-ranah psikomotorik, attitude dan lain sebagainya. Bagaimana ini dibangun,
tidak cukup hanya proses belajar- mengajar di kelas saja kan? Maka, kegiatan-kegiatan
seperti misalnya outbound, live in, kegiatan retret/rekoleksi, bahkan sarasehan klasikan as a
commmunity of learners, itu juga diadakan khususnya di kelas X, kelas XI, satu tahun
sekali. Kemudian juga ada students-parents gathering seperti yang sekarang Anda bisa lihat
di ruang perpustakaan. Sebagai komunitas pembelajar. Jadi idenya adalah bagi kami,
sebagai komunitas Yesuit, kami melihat sekolah ini adalah komunitas pembelajar, dalam
bahasa Inggrisnya adalah community of learners.
Bahkan saya mengatakan kepada teman-teman guru, kita hanya akan menjadi guru yang
benar-benar guru, yang bisa dipercaya dalam memiliki kredibilitas pengajar yang kuat
kalau kita adalam pembelajar. Saya mengatakan, sekali kita berhenti belajar, ya sudah
berhentilah kita menjadi jadi guru. Ngajar yang mungkin ngajar, tapi ya sebenarnya sudah
mandek. Dan itu kan banyak terjadi di Indonesia. Maka saya selalu mendorong teman-
teman untuk juga menjadi ongoing learners, ini kan yang harus didorongkan juga kepada
anak-anak. Anda tidak cukup berhenti belajar ketika sudah mendapatkan ijazah, tetapi
harus menyiapkan anak-anak menjadi pembelajar seumur hidup, life-long learners. Nah,
membekali seperti itu saya merasa bahwa pada tingkat menengah seperti ini sebenarnya
pendekatan kita kan sciences, baik natural sciences maupun social sciences. Nah, mulailah
188
anak-anak berpikir ke arah mana di sana, dengan melihat, dengan memikirkan bakat yang
lebih menonjol ke arah mana. Maka, pada tingkat remaja seperti ini tetap kita berkeyakinan
bahwa anak bisa diajak menentukan pilihan.
Anda ingat, kalau kita sistem di Amerika, itu kan setelah kelas X kita, jadi kelas XI, XII,
ini sudah college. College itu berarti sudah undergraduate program, lalu setelah kelas XII
itu sudah masuk ke graduate program. Nah, kita baru mulai ke tingkat university,
sebenarnya telat, kan? Nah, maka pada saat itu sebenarnya buat kita di Indonesia kelas XII
sudah saatnya anak berani berani menentukan pilihan ke depan, nah itu yang kita bekali.
Menentukan pilihan sekali lagi bukan sekedar, ―Oh saya pilih ini,‖ nggak. Tapi, ―Saya pilih
ini, saya punya ini, kelemahan saya ini, kemampuan ini. Saya memikirkan karier saya ke
depan ini,‖ jadi punya visi. Tanpa sadar anak punya visi ke depan. Di lain pihak yang juga
kita selalu dengungkan dalam pendidikan khas Yesuit adalah bahwa anak bukan hanya
kompeten, memiliki kompetensi akademik, tetapi juga pembentukan hati nurani,
pembentukan kemampuan menilai yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah
secara moral. Dan itu terus-menerus kita galakkan, maka seperti nyontek itu kami
menganggap ini sebagai hal yang harus dipertegas, bahwa itu tidak ada.
P : Kalau dilakukan, sanksinya?
R51 : Nilainya nol. Kalau nilai ujian nol, itu sudah nggak lulus kan? Dan itu berat, sudah sangat
berat untuk anak-anak. Di samping bahwa anak tidak hanya kompeten dalam sains, anak
juga punya kepedulian sosial, maka ada live in, maka ada bazar untuk mereka yang boleh
dikatakan tidak mengalami nasib baik, atau yang masih secara ekomonis kurang mampu
dan seterusnya, dan itu biasa kita lakukan setiap tahun. Atau peduli itu dengan donor darah,
biasanya anak-anak sendiri yang mengerakkan sendiri di sini. Lalu live in meeka tinggal di
pedesaan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat perdesaan, dan mereka
merefleksikan hidupnya, betapa harus disyukuri. Orang Jakarta kan mudah, apa-apa kurang
melulu, tapi sekali melihat realita masyarakat, pantas banyak hal yang patut disyukuri,
menyukuri itu akan memberikan bekal juga kepada anak-anak untuk menghayati hidup
bersama dengan orang lain, tidak menjadi individualistis.
P : Apakah menurut Romo ketika anak-anak kelas XII ini siap lulus, mereka juga sudah
dengan mantap bisa menentukan akan ke jurusan mana ....
R51 : Biasanya macam-macam mengenai itu, ada anak-anak yang sejak kelas X, XI, sudah
mantap. Tapi ada juga anak-anak yang kelas XII masih bingung. Dan itu tidak soal
kepintaran akademis atau kebodohan akademis. Pinter itu juga kadang-kadang bisa
bingung. Ini bisa, ini bisa, lha mau ke mana? Yang kurang: ini nggak bisa, ini nggak bisa,
yang mana? Bingung .... Ya, menentukan mana yang paling menonjol dan mana yang
paling diminati dan mana yang sungguh. Saya kira itu masing-masing perlu proses
pendekatan pribadi, pendampingan yang pribadi.
P : Apakah murid-murid Romo di sini ada yang dari IPA kemudian masuk ke jurusan-jurusan
lainnya seperti FE?
R51 : Ya, ada. Ekonomi ada, Akuntansi juga ada. Ya memang sejak dulu saya katakan, itulah
masalahnya dnegan penjurusan. Anak IPA mau masuk k emana pun bisa, mau masuk
Ekonomi ya, Sejarah, atau apa pun. Anak IPS, mau masuk Teknik, nggak mungkin kan?
P : Kalau Romo tadi mengatakan bahwa di sekolah ini diajarkan berpikir kritis dalam semua
pelajaran. Apakah itu berarti pelajaran-pelajaran seperti PKn., Sejarah, Antropologi, apakah
itu berbeda dari yang diajarkan di sekolah-sekolah lain, mungkin di sekolah lain hanya
menghafal buku, di sini ada hal-hal yang unik?
R51 : Mereka banyak diajak untuk banyak presentasi.
189
P : Banyak presentasinya, dan ulangannya bukan hanya menghafal data?
R51 : Banyak presentasi.
A5.2 Responden 52
P : Pak Purwanto, apakah di Gonzaga ini terjadi bahwa murid lebih cenderung memilih IPA
atau IPS?
R52 : Pertama, kenyataannya kebanyakan murid bahkan orang tua kalau naik ke kelas II itu
maunya ke IPA, malah ada yang kalau nggak ke IPA mendingan nggak naik. Nah ini
kebetulan berkaitan dengan suku. Yang paling sering itu adalah yang namanya anak laki-
laki Bata, biasanya orang tuanya ngotot supaya anaknya ke IPA, nggak boleh ke IPS. Masih
terjadi seperti itu. Yang kedua adalah soal minat anak terhadap yang non-IPA itu
bergantung kepada guru di kelas. Sejauh guru bisa menarik dengan gaya yang mengajar
anak akan merindukan pelajaran yang non-eksakta, dalam tanda petik mungkin sebagai
penghiburan dari padat dan mungkin rumitnya yang IPA dan kemudian ada semacam
selingan yang menghibur bagi mereka.
P : Seperti oase ya Pak?
R52 : Ya betul, tergantung gurunya, maka kalau ada jam kosong, dia bertanya, ―Kok kosong
Pak?‖ Saya bertanya-tanya ada apa seperti itu, mungkin mereka tidak mau selama berhari-
hari setiap hari yang serba eksakta, ngitung dan sebagainya itu. Ada waktu yang mungkin
barangkali semacam hiburan atau yang semacam refreshing, penyegaran dan yang lain.
P : Jadi saat mereka memilih jurusan IPA dan IPS, apakah yang IPS memilih jurusannya
memilih jurusannya karena tidak mau terlalu beratkah?
R52 : Ada, ada juga anak yang pintar dan masuk ke IPS padahal dia bisa ke IPA, tapi kalau itu
kecil. Kalau jujur, mereka lebih banyak maunya ke IPA, persentasenya itu. Nah kalau pas
kenaikan ternyata nilainya nggak bisa ya mau nggak mau kamu hanya punya dua pilihan,
kalau nggak IPA ya IPS. Kami tidak punya bahasa dan lain sebagainya.
P : Jadi apakah yang IPS ini merasa sebagai anak buangankah Pak, atau ....
R52 : Itu image, tapi bagi kami sepertinya tidak karena memang dari segi nilai memenuhi itu,
hanya memang kalau ke IPA tidak bisa karena IPA standarnya lebih tinggi daripada IPS.
Nilai IPS min. 6, kalau nilai IPA min. 6,5, maka yang tidak min. 6,5 dan itu pun tidak boleh
ada remedial lebih dari dua mata pelajaran IPA, baru dia boleh naik ke IPA. Jadi ada
semacam yang lumayan lebih dari yang ke IPS.
P : Untuk para seminariam bagaimana Pak, apakah ada perbedaaan karakteristikkah dengan
yang Gonzaga sendiri, atau ... Bapak mengajar seminari juga?
R52 : Anak seminari pagi sampai siang bergabung dengan anak Gonzaga, baru sore sampai pagi
lagi mereka di asrama dan mereka dicampur, jadi ada yang di kelas X-1, X-2, ya yang kelas
IPA dicampur. Tapi yang kelas I satu dikelompokkan di kelas X-7, dicampur dengan anak
yang non-seminari karena jumlahnya kecil, cuma 11 apa tahun ini. Nah untuk yang
seminari itu kalau sendiri, terlalu sedikit dibanding tambahan dengan tambahan yang
seminari.
P : Apakah guru-guru Gonzaga dan Wacana Bhakti saling mengajar di tempat yang ...
R52 : Ada guru-guru Wacana Bhakti yang mengajar di Gonzaga dan juga sebaliknya yang
membantu untuk kelas 0 atau kelas KPP.
P : Kalau guru bahasa Latinnya ada sendiri Pak?
190
R52 : Dari mereka sendiri, bukan dari kita karena di sini tidak ada, adanya bahasa Inggris dan
Jepang. Bahasa Jepang untuk kelas X wajib, kelas XI hanya untuk IPS. Tadinya mau
diberikan Mandarin tapi akhirnya diberikan yang lebih siap, dalam arti juga gurunya, guru
Jepang kami lebih siap daripada Mandarin.
P : Kalau menurut Bapak, bagaimana orang tua dan masyarakat mempengaruhi anak saat
mereka harus memilih jurusan mereka?
R52 : Kalau saya bertanya kepada anak, mereka cenderung melihat apa yang dia capai, artinya
kalau memang dia harus IPA ya dia IPA, kalau IPS ya IPS. Tapi terkadang keluarga yang
notabene, menekankan kamu harus ke IPA ....
P : Berati anak lebih realistis ya Pak?
R52 : Ya, kan ada yang namanya tes minat dan bakat .... Dia tahu kemampuan saya di sini, tapi
orang tua tidak mau tahu, pokoknya harus. Atau ada juga yang katanya supaya gampang
milih jurusan Perguruan Tinggi, IPA kan katanya boleh bebas ke mana-mana?
P : Ya. Saat anak memilih jurusan IPA atau IPS apakah anak biasanya sudah mengerti Pak,
mereka akan kuliah ke jurusan mana?
R52 : Biasanya BP membantu untuk menyadarkan itu selama setahun mereka mengikuti pelajaran
BP per minggu selama 1 jam, untuk melihat saya lebih ke jurusan itu apa IPA atau IPS
dengan tadi melihat: satu nilai, dan dua tes bakat dan minat yang diberikan kepada mereka.
P : Berarti kata akhirnya dari guru sendiri dengan berdasarkan nilai?
R52 : Kami tidak memberikan kata akhir, tapi kalau kamu bisa ke IPA, bisa ke IPS, kamu boleh
memilih. Tapi kalau hanya bisa ke IPA kamu harus ke IPA atau sebaliknya. Maka, yang
menentukan adalah nilai.
P : Tapi apa mungkin Pak, ada anak yang bisa ke IPA tapi tidak bisa ke IPS?
R52 : Bisa. Dan sebaliknya. Ada anak yang hebat di eksakta kan, tapi menghafalnya malas? Dia
tidak bisa ke IPS, tapi bisa ke IPA tok.
P : Apakah di sini terjadi dikotomi Pak, bahwa IPA itu lebih bernalar, IPS itu lebih menghafal?
R52 : Kalau demikian, image itu kan mau nggak mau mempengaruhi mereka ya, dan
mempengaruhi guru juga. Kayak gurunya kalau mengajar di IPA ya happy, senang,
gampang, lancar, tapi kalau di IPS menjadi sulit, anak males belajar, cenderung ramai.
P : Gurunya sendiri punya image yang seperti itu?
R52 : Ya. Nggak semuanya ya, tapi cukup mewarnai.
P : Apakah ketika guru memberikan ulangan, apakah PKn., Sejarah, itu kan di sekolah-sekolah
lain umumnya cuma menghafal buku, apakah di Gonzaga ini berbeda apakah lebih
menganalisiskah atau bagaimana?
R52 : Kami kalau ulangan harian cenderung esai, uraian, jarang yang kemudian memberikan
pilihan ganda. Ulangan umum campuran antara yang PG, uraian dengan esai. Sehingga,
saya percaya betul jika dalam uraian anak akan terpaksa harus tidak hanya menghafal A, B,
C tapi juga menghafal. Juga tugas pembuatan makalah, mungkin paper kecil bagi mereka
ada juga, atau presentasi, guru memberikan topik, anak mencari bahan.
P : Itu pun menjadi tagihan-tagihan ya?
R52 : Betul .
P : Berati dikondisikan supaya anak tidak menghafal.
R52 : Ya, tapi juga akhirnya di kelas XII terpaksa menghadapi UN yang hanya bisa memilih A,
B, C atau D. Kadang-kadang prosesnya seperti ini tapi kemudian terpotong yang seperti ini
kan kasihan anak.
P : Apakah di kelas XII itu akhirnya anak menjadi terdemotivasi sehingga untuk, ―Ah, ya
sudahlah, Sejarah tidak ada UN-nya.‖
191
R52 : Kembali kepada gurunya Pak, ya tadi kalau gurunya bisa membuat anaknya rindu bukan
hanya semata-mata ... ya tadi kayak semacam oase tadi. Maka anak IPA, olahraga jangan
dihilangkan menjelang ujian seperti ini. Dia akan merasa lebih stres, kemudian tidak ada
pelajaran olahraga, tidak ada pelajaran non-eksakta. Itu masih perlu.
P : Kalau tadi Bapak mengatakan kan ada suku tertentu atau orang tua yang lebih ini, apakah
menurut Bapak ada juga faktor orang tua yang lebih berpendidikan atau lebih berada akan
lebih memberikan kebebasan kepada anaknya ....
R52 : Kayaknya ya. Ini menurut saya, mungkin untuk membayar orang tua yang nggak masuk ke
IPA anaknya dipaksa masuk ke IPA, sekarang anak saya harus yang tak giring ke IPA dan
apa yang dulu saya cita-citakan harus dicapai anak saya. Ada beberapa yang seperti itu.
P : Kalau ada hal semacam itu, apakah orang tuanya juga dikonseling Pak?
R52 : Ya, mau nggak mau, karena anaknya nggak mampu dan nggak berminat, dipaksain ke sini,
ada yang sampai dipaksakan orang tuanya, akhirnya nilainya jatuh sampai akhirnya pindah.
Ada yang sampai sengaja menjatuhkan nilai-nilainya, supaya orang tuanya tahu ini lho,
saya nggak ada bakat di sains. Aneh, tapi ya nyata, ada yang seperti itu.
P : Kalau dari status ekonomi?
R52 : Kayaknya memang ada korelasinya ya. Orang semakin berada semakin memaksa anaknya.
P : Dari segi gurunya nih Pak, apakah menurut Bapak untuk menjadi guru di sini
kualifikasinya sebanding, menjadi guru IPA maupun guru IPS?
R52 : Sama, kami punya standar untuk merekrut guru yang dikelola dengan HRD-nya. Ya di
kami para romonya yang mengelola itu, menyeleksi. Ada standar kesehatan dan ada juga
standar untuk akademik. Kami juga tahu bahwa anak-anak kami kadang-kadang beda
dengan anak yang lain apalagi dalam bentuk keberanian. Maka kalau dia melihat guru
kurang siap, ini dari sumber-sumber keisengan bagi anak. Pernah ada dari Perguruan Tinggi
di Jakarta, sejam mengajar, lalu dia mundur karena dia nggak kuat dia mundur karena
nggak kuat dengan keadaan Gonzaga. Maka, nggak cukup bekal akademik, juga harus kuat
mental untuk mengajar di sini.
P : Menurut Bapak ciri khas Gonzaga yang paling unik apa Pak?
R52 : Saya rasakan yang namanya kekeluargaan itu sangat penting ya baik guru, karyawan,
maupun anak-anak. Pengalaman yang pernah saya ada anak kami kecelakaan dari Carita.
Itu mereka bergantian menjenguk ke rumah sakit tanpa pandang kelas.Itu suatu pengalaman
yang sangat real ya. Yang kedua kalau ada acara yang ada anak yang kesulitan ekonomi
yang nggak bisa bayar, mereka patungan. Ini suatu yang real, kekeluargaan dan kerjasama
itu yang ada di tempat ini patut dibanggakan.
P : Bagi para seminarian, waktu mereka ini dijuruskan di kelas XI, XII, apakah mereka ada
beda kualitasnya atau beda kemampuan penalarannyakah atau bagaimana Pak?
R52 : Karena mereka lebih dulu setahun di tempat ini tentu kedwasaannya cenderung mereka
lebih matang, baik dari segi usia, juga psikologis.
P : Menurut Bapak, apakah pemerintah punya kepentingan-kepentingan dengan pendidikan
yang seperti sekarang ini, di mana SMA kan sepertinya kan IPA itu lebih dihargaikan
daripada IPS ....
R52 : Kayaknya cukup jelas itu, kabinet akan sangat diwarnai dengn menterinya itu dari lulusan
mana. Misalnya pada masa Habibie, sangat kental sekali bahwa pelajaran yang di sekolah
ingin dijuruskan hanya kepada yang berbau teknologi. Yang sosial kemudian dianggap
kurang penting, hanya yang berbau teknologi, yang berbau IPA, yang dianggap penting.
Maka ketika menteri pendidikannya Fuad Hassan, seorang psikolog, akan lebih seimbang
yang namanya IPA dan yang namanya non-IPA.
192
P : Ketika anak-anak mengambil studi di Perguruan Tinggi apakah mereka sudah melihat
dengan jelas saya mau jadi ini atau apa-apa profesi saya yang jelas kemudian karena profesi
ini saya ambil jurusan yang mana atau, sekarang kuliah dulu nanti kerja urusan lain?
R52 : Yang terbanyak mereka mantap saya mau ngambil ini, kenapa karena dari bagian BP itu
ada pendampingan yang sangat intens sehingga dia di kelas XII nanti dia digiring, bagi saya
yang paling pas apa sih. Kemudian dia menulis di sebuah lembar itu saya mengambil ini di
Perguruan Tinggi. Setelah 3 tahun dia kan mengatakan yang paling tepat adalah ini, ini
yang paling banyak terjadi pada anak kami. Kemudian orang akan jelas akan ke mana
tujuan saya, apa yang perlu saya ambil. Itu yang terbanyak.
P : Menurut Bapak, dari kurikulum saat ini, apa yang paling penting untuk diperbaiki diubah
dari kurikulum kita?
R52 : Yang terpenting adalah jumlah mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya lihat sangat
banyak, di kelas X sampai 17 pelajaran setiap minggunya. Saya rasa perlu adanya
pemangkasan. Gampangnya Mulok., apa sih pengaruhnya untuk anak? Kenapa nggak
digabung di pelajaran komputer, karena nanti ada ekskul., atau nanti ada pendalaman,
pengayaan, nggak usah pakai Mulok. Tapi Pemda DKI nggak mau tahu, yang penting ada
Mulok. Mulok.-nya apa terserah, ini kan hanya mau dikerjakan tapi tidak mau tahu ....
Bahkan di ujian, Mulok. itu dikembalikan ke sekolah, terserah sekolah mau diuji atau
nggak ini juga boleh kayak gitu, kalau mau dikerjakan konsekuen sampai akhir semua itu
ada ujiannya.
P : Bagaimana dengan PKn. dan Sejarah?
R52 : Itu sebuah pendasaran untuk menanamkan nilai-niali ke depan karena itu ada yang betul
masyarakat yang seperti itu.
P : Menurut Bapak, mengapa orang tidak menghargai pelajaran PKn. dan Sejarah?
R52 : Apa ya alasannya, mungkin juga sudah bergantung kepada negara juga, negara pun nggak
menghargai sejarah, peninggalan digusur, diganti dengan mall. Yang lebih menghargai
malah orang luar kan? Yang kedua juga kembali, soal guru, banyak guru Sejarah, mungkin
saya juga, yang utama melulu hafal tahun, hafal fakta, tapi tidak mengeksplorasi yang
namanya penalaran.
P : Menurut Bapak tujuan idealnya dari belajar Sejarah apa Pak?
R52 : Sebenarnya dari kami ya satu itu, penanaman jiwa bahwa saya bangga sebagai bangsa
Indonesia yang seperti ini, beda dari bangsa lain. Yang kedua, mencintai bangsa sendiri,
menanamkan jiwa kebangsaan. Kalau nggak tahu, dia mau mencinai apa, kalau nggak tahu
bahwa seluk-beluk bangsa sendiri? Nah, kembali lagi dengan pengemasan pembelajaran di
kelas, mempengaruhi bagaimana anak-anak mempunyai sikap dan perilaku.
Di dalam kurikulum Sejarah kita, dari materi manusia purba, loncat langsung ke Indonesia,
tidak membahas budaya lokal maupun dunia, nah ini cenderung menghasilkan sikap right
or wrong is my country.
P : Jadi tidak melihat sesuatu dalam konteks ya Pak?
R52 : Ya, semuanya serba Indonesia-sentris.
A5.3 Responden 53
P : Pergumulan Agus untuk masuk seminari, apakah sudah lama sebelum lulus dari SMP?
R53 : Ah, nggak, saya baru masuk terakhir-akhir .... udah kelas III baru saya tahu ada seminari.
Awalnya nggak sengaja aja, jadi kan temen saya ngajak saya ... tapi dia nggak diterima,
193
malah saya yang diterima. Berhubung saya pada waktu itu ngaret, saya nggak daftar ke
sekolah lain, saya masuk sini.
P : Jadi ada faktor nggak ke sekolah lain juga ya?
R53 : Ya.
P : Orang tua nggak keberatan?
R53 : Nggak. Justru pertama, ayah saya setuju banget.
P : Agus berapa bersaudara?
R53 : Dua, ada satu kakak laki-laki juga.
P : Apakah Agus sudah yakin akan tetap di jalur ini sampai jadi imam?
R53 : Nah waktu itu saya yakin tapi sekarang ini saya jadi nggak yakin karena saya udah di kelas
IPA tuh sibuk banget, jadi nggak sempat mikirin panggilan segala macem.
P : Jadi sebenarnya bukannya sudah memutuskan akan ke jalur lain, tapi karena kesibukan
studi, jadi tidak sempat menggumulkan lebih serius?
R53 : Ya, karena kesibukannya aja, jadi nggak yakin aja ....
P : Menurut Agus, di sekolah ini, baik Gonzaga maupun Wacana Bhakti, apakah ada jurusan
yang lebih dihargai, lebih prestisius?
R53 : Ada, pasti. Di sini pun ada. Cenderung anak IPA itu mandang anak IPS kurang kompeten,
karena mungkin ketika, contoh kasus aja, ketika anak IPA sedang sibuk-sibuk mau
besoknya mau ulangan Kimia, belajar sampai jam 12-jam 1, tapi anak-anak IPS-nya malah
nyantai-nyantai, baca komik. Nah itu, ulangan pun mereka nggak berniat untuk belajar.
Karena itu anak IPA tuh, walaupun nggak semuanya, ada yang memandang, anak IPS tuh
kurang ini ... kurang disiplin.
P : Perbandingannya dari anak seminari lebih banyak masuk IPA atau IPS?
R53 : IPS. Tapi pebandingannya kecil, paling 5:4 deh.
P : Nggak terlalu signifikan ya. Waktu di KPP atau di kelas I apakah sudah terlihat bahwa IPA
lebih disiplin, lebih sibuk?
R53 : O ya, pasti. Kita kan lihat kakak kelas. Jadi setiap tahun begitu.
P : Kenapa bisa terjadi sikap yang berbeda begitu ya?
R53 : Karena di IPA memang kita dituntut menuntut untuk mesti serius, gitu. Kalau kita nggak
serius, kita nggak bisa.
P : Menurut Agus bener nggak kalau saya katakan bahwa terjadi dikotomi, IPA itu lebih
bernalar, IPS itu lebih menghafal?
R53 : Ya, saya sih mikirnya gitu, karena secara fisik saya melihat anak IPS itu cuma membaca.
Seperti Sejarah, Ekonomi, itu kan cuma membaca sedangkan kalau kayak Kimia, Fisika,
kita nggak cuma ngafal rumus tapi kita juga harus ngerti kan?
P : Nah kalau gitu apakah ketika anak IPA dikasih soal anak IPS mereka akan lebih bisa
dibandingkan dengan anak-anak IPS dikasih soal anak IPA?
R53 : Oh pasti, anak IPA bisa ngerjain soal anak IPS. Jadi anak IPS juga suka minta diajarin juga
ke IPA kalau soal-soal Matematika.
P : Nah, kalau soal-soal yang lain? Pelajaran-pelajaran yang IPA nggak dapet nih kayak
Sosiologi, dikasih ke anak IPA, anak IPA akan lebih bisa membuat daripada anak IPS
dikasih soal-soal ....
R53 : Nggak tahu juga ya karena nggak pernah ... kecuali kalau Sejarah, Sejarah kan dua-duanya
ada. Seharusnya kan idealnya IPS rata-rata nilainya lebih bagus, tapi kenyataannya di kelas
II anak IPA lebih bagus nilai-nilainya.
P : Kalau begitu, terjadi penalaran nggak sih di IPS?
R53 : Mungkin di Sosiologinya kali. Ya, Sosiologi aja.
194
P : Menurut Agus, apakah masa di KPP membantu untuk studi di IPA ini?
R53 : O, ngebantu banget.
P : Ngebantunya dalam hal apa?
R53 : Ya misalkan contoh kecilnya, di Matematikan kan ada metode eliminasi, substitusi ... itu
kan SMP udah belajar itu dikit, nah di KPP itu kita udah belajar itu. Tapi nggak hanya itu,
jadi pelajaran kelas I kita pelajarin, sedangkan nanti kita udah masuk kelas I tinggal
mengulang, jadi gampang.
P : Bobot yang paling besar di KPP itu apa?
R53 : Jam yang paling banyak itu kalau pas jam 4 angkatan saya, KPP itu kayaknya pelajaran
eksak.
P : O, jadi bahasa Latin itu nggak terlalu banyak?
R53 : Nggak. Bahasa Latin itu juga banyak, ada 4 jam seminggu.
P : Kalau yang eksak?
R53 : Kalau yang eksak kalau digabung, Mat, Fisika, semua itu bisa 10 jam seminggu. Tapi yang
tahun ini beda. Bahasa asing tuh bisa 7 jam seminggu dan bisa 4 jam berturut-turut.
P : Agus sendiri, apakah sejak SMP dulu sudah tahu akan masuk ke IPA?
R53 : Waktu di SMP, nggak, belum mikirin.
P : Agus kenapa memilih IPA kalau begitu?
R53 : Sebenarnya saya nggak terlalu suka dengan pelajaran eksak dan juga nggak suka sama
sains, saya justru lebih suka malah suka belajar Akuntansi-Ekonomi gitu, tapi kan gitu pas
kelas I saya lihat anak IPA-nya pada disiplin-disiplin, giat-giat belajar sedangkan anak IPS-
nya pada main-main, jadi itu. Saya mengincar disiplin dan ketekunannya.
P : Jadi karena bobot pelajarannya, anak IPS terkondisi untuk lebih nyantai ya?
R53 : Maksudnya?
P : Karena kondisi bobot pelajaran lebih tinggi maka anak IPS terkondisi untuk lebih nyatai
ya?
R53 : Ya, agak ngiri juga sih.
P : Kalau orang tua masih memaksa nggak kamu harus IPA?
R53 : Nggak, nggak pernah seperti itu.
P : Kalau dilihat dari guru-gurunya, antara guru IPA dan guru IPS, apakah ada karakteristik
masing-masing bidang studi pada gurunya? Mungkin yang satu lebih tegas ....
R53 : Mungkin secara garis besar sih nggak ya, semuanya pada dasarnya guru itu baik, dan bisa
bersosialisasi dengan murid. Ya mungkin ada satu-dua orang yang terlalu kritis ya
orangnya ....
P : Merasa dibedakan antara seminarian dan murid Gonzaga lainnya?
R53 : Nggak pernah ada.
P : Apa ciri khas sekolah ini yang paling membanggakan buat Agus?
R53 : Komunitasnya siswanya, karena ini sekolahnya memang beda banget ini berbeda dengan
sekolah lain. Nggak hanya intelektual, tapi juga moral diajarin, segala macem udah diajarin.
Kita ... menyontek udah diajarin supaya nggak menyontek. Kita udah diajarin supaya
bersosialisasi, contohnya adik kelas dan kakak kelas juga saling menyapa. Itu ciri khasnya.
Misalnya juga kesadaran kalau pake handphone nggak di depan orang lain, di sini kita juga
punya kesadaran nggak membuat kesenjangan ....
P : Sudah tahu sama tahu gitu ya?
R53 : Ya.
P : Menurut Agus, apa yang paling mendesak untuk diperbaiki dari kurikulum Indonesia?
195
R53 : Pelajarannya cukup yang inti-inti aja, jadi kalau IPA ya cukup eksaknya aja, nggak usah
kayak PKn. atau bahasa Indonesia. T‘rus pakai moving class.
P : Kalau menurut Agus, apakah Sejarah dan Geografi itu ada gunanya?
R53 : Buat saya sebagai anak IPA sih Sejarah nggak diperlukan di IPA, tapi yang disayangkan
kenapa Geografi itu ada di IPS tapi nggak ada di IPA, karena Geografi kan berhubungan
dengan sains juga.
P : Teman-teman Agus dan kakak-kakak kelas yang di IPA ini apakah ketika memilih kuliah
apakah juga jurusannya sesuai dengan jurusan IPA atau ke jurusan-jurusan IPS?
R53 : Nah itu, saya banyak nemuin jstru masuk IPA ada yang masuk Akuntansi, Bisni, banyak
yang begitu. Malah nggak ada yang masuk Kimia, Bioteknologi.
P : Kalau begitu buat apa dulunya ambil IPA ya?
R53 : Ya mungkin kayak saya ...
P : Untuk disiplinnya?
R53: Ya, atau banyak juga yang masuk IPA karena gengsinya, maka itu di IPA nih banyak yang
remedial, temen-temennya.
P : Nah kalau begitu apakah anak IPS ini merasa seperti anak buangan nggak?
R53 : Nggak juga sih.
P : Ketika dari IPA kemudian masuk kuliah ke jurusan yang bukan IPA, apakah karena mereka
sudah bisa melihat dengan jelas mau mendalami profesi apa ....
R53 : Ada yang dari IPA masuk ke Akuntansi, Bisnis, itu karena mereka ngincer kan itu masuk
lapangan kerja yang luas, atau ada juga yang disuruh orang tuanya ya kurang lebih seperti
itu.
P : Agus sendiri ada panggilan tertentu setelah menjadi imam nanti, untuk melakukan karya
tertentu?
R53 : Ya kalau saya sih nggak jauh-jauh paling saya sih, kerja di tempat-tempat sederhana gitu,
karya khusus di tempat-tempat kecil gitu.
A5.4 Responden 54
P : Santo sekarang ada di tahun ke-2 di seminari ya? Sebelumnya dari SMP mana?
R54 : Saya dari SMP Negeri 63.
P : Kemudian kenapa masuk seminari? Apa karena panggilannya sudah jelaskah atau
bagaimana?
R54 : Awalnya ada frater, dia cerita-cerita, ―Nanti mau ke mana?‖ t‘rus dia nawarin masuk
seminari. Saya belum tahu seminari itu apaan. Itu kelas 3 semester 2 tuh. Dia cerita
seminari itu tempat pendidikan calon imam, ntar di sini ada macem-macem deh, dapet
temen yang enak gitu deh, ada asrama, akhirnya saya tertarik masuk seminari, ya udah pada
akhirnya di akhir kelas III saya daftar ke seminari ikut gelombang 2 di Wacana Bhakti.
Sebelumnya sih maunya ke Manado kan bareng dia, ikut, tapi katanya kejauhan terus nggak
jadi, terus belum daftar ke mana-mana, terus rencananya mau ke Malang, nggak jadi lagi,
terus ke Bogor nggak jadi, terus katanya di Jakarta lebih bagus di Wacana Bhakti kan, udah
gitu katanya tesnya lebih menantang, Matematikanya, bahasa Inggrisnya. Ya udah ke
Wancana Bakti aja, gelombang 2. Sebenernya agak takut juga karena gelombang pertama
tuh dari 80 yang diterima cuma 19, saya ikut gelombang 2 untungnya diterima gitu.
P : Orang tua nggak masalah?
R54 : Nggak masalah asal pilihannya saya bisa tanggung jawab sendiri, ya ambil aja.
196
P : Santo sendiri berapa bersaudara?
R54 : Tiga.
P : Yang keberapa?
R54 : Satu.
P : Adik-adik ....
R54 : Dua-duanya laki-laki.
P : Waktu ke seminari sudah tahu ya bakal empat tahun di seminaris?
R54 : Tadinya belum tahu. Waktu tes di sini baru tahu.
P : Tahunya setelah masuk?
R54 : Pas tes.
P : OK. Nggak apa-apa tuh, nggak masalah?
R54 : Ya.
P : Dan setelah ini mau lanjut ke mana nih, apakah terus menjadi imam ....
R54 : Ke seminari tinggi.
P : Kalau sekolah di tahun nol itu di KPP itu dapetnya pelajaran apa aja?
R54 : Sebenernya sama aja sih dapetnya kayak pelajaran umum, paling tambahannya kita dapat
Pengantar Kitab Suci, Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, bahasa Latin, Logika Bahasa, t‘rus
ada lagi Liturgi, Metodologi Belajar, terus apa lagi ...
P : Seminggu berapa jam pelajaran?
R54 : Sama kayak Gonzaga.
P : Yang paling banyak apa?
R54 : Yang jamnya banyak-banyak tuh bahasa Latin, Kitab Suci, Fisika, Matematika ....
P : Pelajarannya itu sedalam apa? Apakah membantu waktu masuk ke Gonzaga?
R54 : Kita kan dari berbagai macam latar belakang. Itu untuk membantu kita supaya sama
pengertiannya, juga jadi masuknya gampang jadi ngebantu juga. Materinya ngulang yang
SMP, tapi juga masuk ke materi kelas I SMA-nya.
P : Menurut Santo apakah di sini terjadi ada jurusan yang lebih unggul atau lebih difavoritkan
antara IPA dan IPS?
R54 : Kalau seangkatan sih sama aja, dia cuma lihat kemampuan dan minatnya. Kalau memang
minatnya di IPA, tapi kemampuannya pas-pasan, didukung rajin, dia bisa masuk.
P : Jadi tidak dilihat jurusan ini lebih hebat daripada yang ini?
R54 : Nggak, dilihat aja kita mampunya di mana, minatnya di mana, gitu.
P : Berarti, apakah tahun ke-nol itu membantu untuk penjurusan ke IPA/IPS dan untuk studi ke
kelas XI dan XII?
R54 : Kalau buat saya sih, kan saya jurusan IPS nih, cukup membantu juga sih apalagi pelajaran
bahasa Latinnya kan, banyak dari Sosiologi juga dari apa sih Sejarah, Geografi pasti pakai
bahasa Latin kan ada ....
P : Pelajaran sorenya sekarang berapa lama?
R54 : Satu setengah jam. Satu jam lima belas menit deh. Tiga kali seminggu, Senin, Selasa,
Kamis.
P : Pelajarannya apakah masih sama?
R54 : satu jam setengah
P : Beda. Kalau KPP tuh Pengantar Kitab Suci, bahasa Inggris, bahasa Latin. Kelas I bahasa
Latin, Tafsir Perjanjian baru, bahasa Inggris. Kelas II bahasa Inggris, bahasa Inggris, Tafsir
Perjanjian Lama. Kelas III Pendalaman Imam, bahasa Inggris, bahasa Inggris juga.
P : Sekarang kan Santo sudah mau kelas III ya, pergumulannya menjadi imam bagaimana,
apakah akan melanjutkan pendidikan ke calon imam atau bagaimana?
197
R54 : Kalau dilihat, dari angkatan saya kan tadinya 25, sekarang jadi 18.
P : Selebihnya ke mana?
R54 : Ya itu, beda jalan. Ada juga yang dikeluarkan karena tidak memenuhi tuntutan. Kalau
sekarang sih pergumulannya belum mulai nampak. Apakah akan terus atau ke mana, kuliah
ke mana, saling cerita. Cuma paling masih yang bercanda-bercanda gitu doang.
P : Di antara teman-teman yang di Gonzaga, bukan yang ikut KPP, apakah sikap terhadap IPA
dan IPS itu sama saja, seperti teman-teman yang di KPP?
R54 : Di antara teman-teman waktu kelas I sih lihatnya mereka lebih cenderung ke IPA sih.
Mereka mereka pikir, wah prestisnya lebih tinggi kan, jadi pada ke IPA, tapi sekarang
kabarnya nilainya pada di bawah standar.
P : Kenapa sih mereka sampai ada presepsi seperti itu? Santo melihat nggak, kenapa ....
R54 : Aku sih ngeliatnya ya, pertama kalau dari pandangan dari mereka yang saya perhatiin, wah
lebih keren kalau masuk IPA. Kalau dilihat dari cewek-cewek juga, ―Wah IPA, keren.‖ Ada
juga yang memandang kalau IPA kan nanti jurusan kuliahnya lebih gampang, kalau IPS
kan terbatas.
P : Ketika Santo lulus SMP apakah sudah memutuskan akan masuk IPA atau IPS?
R54 : Belum sih, tapi waktu itu guru saya udah nawarin, kayaknya cocoknya di IPA, dan awalnya
juga memang condong ke IPA-nya cuma pas masuk dari KPP ke kelas I berubah ke IPS,
mungkin karena pembentukan di KPP dan di kelas I-nya.
P : Betul nggak kalau saya katakan ada dikotomi bahwa IPA itu lebih bernalar IPS lebih
menghafal?
R54 : Nggak juga sih, soalnya di IPS kita bernalar juga, misalnya Sosiologi, kalau cuma modal
ngafal doang kita nggak bisa ngapa-ngapain, nggak bisa menganalisis suatu permasalahan
kan dari IPS, dan juga sebaliknya dari IPA, kalau mereka tidak menghafal rumus, atau di
Biologi kan, mereka juga nggak bakalan bisa.
P : Berati kalau anak IPA dikasih soal IPS, apakah mereka juga belum tentu bisa buat?
R54 : Ya.
P : Begitu juga sebaliknya?
R54 : Ya.
P : Kalau guru-gurunya misalkan kita kelompokkanlah ada guru-guru IPA, guru-guru IPS,
apakah ini sama kualitasnya atau ada kelompok guru yang dipandang lebih berkualitas ....
R54 : Tergantung sih dari setiap ... ini saya kurang tau, tapi memang ada guru yang kualitasnya
kurang menonjol, lebih ini. Istilahnya kalau pelajaran dia jadi butuh persiapan lebih
banyak. Ada juga sih ....
P : Baik. Terima kasih atas waktunya.
A6. Wawancara di SMA Kristen Ketapang I
A6.1 Responden 61
P : Di SMA kan ada tiga jurusan ya Bu, IPA, IPS, Bahasa. Tapi di antara ketiga jurusan itu ...
R61 : IPA kelihatan lebih unggul.
P : Unggul dan juga difavoritkan ya Bu. Walaupun anak tidak mampu masuk IPA tapi tetap
ngotot masuk IPA. Menurut pengalaman Ibu dari 22 tahun mengajar, kenapa hal itu bisa
terjadi?
198
R61 : Kalau menurut saya yang selama ini terjadi kenapa kok menjadi favorit tetap di IPA, karena
dilihat secara umum ya, secara umum, walaupun kenyataannya belum tentu, kalau di
jurusan IPA itu untuk kariernya ke depan itu katanya jauh lebih menghasilkan.
Penghasilannya jauh lebih tinggi, itu secara umum. Nah kemudian yang kedua ada peluang
kalau dia nggak memungkinkan untuk masuk ke IPA bisa masuk ke IPS.
P : Untuk kuliahnya?
R61 : Untuk kuliahnya, bidangnya jauh lebih banyak pilihannya. Tapi yang utamanya, tetap
karier ke depannya lebih menjanjikan. Ya mungkin sama gengsinya juga, karena merasa
begini, merasa posisi IPA lebih tinggi karena masuknya lebih susah kan, dan pelajarannya
kenyataannya memang jauh lebih susah. Nah, itu jadi gengsinya lebih tinggi.
P : Mengenai persepsi IPS sebagai ―orang buangan‖ kemudian gengsinya lebih tinggi, itu ada
di murid ya Bu?
R61 : Ya.
P : Kalau di antara orang tua murid apakah juga ada?
R61 : Kayaknya sih ada juga, gurunya aja secara tidak sadar ada memperlakukannya juga begitu.
―Coba kalau kamu nggak masuk di IPA, di IPS aja‖ kan seolah-olah seperti dapat ... kan
seolah-olah, ya udah nggak dapat di mana-mana, ya udah kamu ke IPS aja gitu,
kenyataannya begitu diberlakukan seperti itu. Memang juga kayaknya nggak fair juga,
kayak sekarang masuk IPA harus tes, nah itu kan menandakan kayak saya harus dengan tes.
Sebenarnya tujuannya dari sekolah itu adalah untuk menjaga supaya jangan anak-anak
berlomba masuk IPA tapi nggak mampu, akhirnya kita melalui tes. Kalau mau fair
sekarang IPA dites, IPS dites, tapi nggak nggak efektif kalau IPS juga dites, akhirnya cuma
IPA-nya aja ....
P : Jadi selain nilai rapor ada tes juga Bu? Tesnya apa saja Bu?
R61 : Empat pelajaran: Matematika, Fisika, Kimia, Biologi. Kenapa? Karena kalau ini
menyangkut masalah kurikulum, penilaian, tugas itu masuk ke penilaian. Saya mau ambil
murninya nilai. Kalau dia di kompetensinya itu secara murni. Kita ambil indikator sebagai
dasar yang harus dia kuasai masuk jurusan itu. Itu diadakan setelah semester 2, sebelum
naik ke kelas XI. Nah itu sebenarnya udah kelihatan bahwa kita udah ngerendahin IPS
sebenarnya. Iya dong, secara tidak sadarnya, padahal tujuan kita nggak gitu kan
sebenarnya?
P : Atau apa karena di IPA ini ada dituntut penalaran ya Bu? Apakah memungkinkan kalau di
IPS itu tidak dituntut penalaran dan analisis yang kuat, sehingga anak yang tidak kuat
menghafal jadi susah di IPS, mungkin ada anak yang jago di hitungan angka tapi dia nggak
mampu untuk menganalisis fakta-fakta sejarah misalnya, kan bisa aja dianya dikatakan
mampu masuk IPA tetapi tak mampu masuk IPS. Ini bagaimana Bu, apakah karena iklim
pelajarannya sendiri yang seperti itu Bu?
R61 : Ya nggak juga sih, karena sebenarnya karena IPS juga istilahnya menjanjikan itu secara
tidak langsung jurusan itu menjanjikan atau tidak itu berpengaruh kan? Ke depannya kan,
anak-anak udah bisa berpikir bahwa kalau ambil IPS arahnya itu nanti mau ambil jurusan
apa itu nanti jelas, berkaitan.
P : Maksudnya?
R61 : Berkaitan Perguruan Tinggi.
P : Dari IPS udah pasti Ekonomi.
R61 : Ya, ke mana-kemana, walau katanya bisa kekedokteran tapi itu kan nggak mungkin lah.
P : Nggak mungkin ya ....
R61 : Ya gitu-gitu, jadi udah jelas anak-anak udah ada tuh pemikiran dari kelas satu udah ada.
199
P : Atau apa itu karena mereka sendiri belum jelas saya mau ke mana?
R61 : Nah itu ada di dalam itu bisa terjadi, maka dia cari amannya ambil IPA, supaya peluangnya
ambil IPS itu masih bisa.
P : Dan banyak Bu, kayak gitu mungkin cukup banyak ya?
R61 : Ada banyaklah, makanya tergantung dengan pengarahan awalnya ya .... Karena
kenyataannya sekarang anak-anak IPA itu banyak yang ambil IPS untuk kuliahnya. Ada
kayak gitu karena dia pikir belum jelas mau ke mana gitu ngambilnya, IPA dia kan bisa.
Kita kan belum ada di Indonesia, kalau jurusan IPS itu nanti kuliahnya di mana dan
pekerjaannya itu nanti apa, itu bisa menjadi dasar yang jelas. Selama ini kan belum ada
jalur yang seperti itu, dan membuat jadi nggak jelas di sininya kan? Jadi orang membuka
Perguruan Tinggi kan nggak menganalisis kebutuhan apa di masyarakat, pekerjaan apa
yang cocok, kebutuhan-kebutuhan itu, jadi penyalurannya gampang, sampai sekarang kan
nggak jelas gitu. Akhirnya memang yang cuma ambil IPS, ambil misalnya bidang
manajemen membludak, kayak itu nanti ambil hukum nanti membludak, akhirnya
masuknya ambil pekerjaan yang mana-mana nggak jelas. Pekerjaannya sih, menurut saya.
P : Di sekolah ini, apakah peranan guru BK signifikan dalam membantu murid menentukan
masuk jurusan mana?
R61 : Peranannya ya cukup signifikan lah.
P : Dibanding orang tua?
R61 : Orang tua ... justru kandang-kadang kita bisa membantu menjembatani anak dengan orang
tua. Kadang-kadang kan pikiran orang tua masih berdasarkan latar belakang keluarga,
panjang kan, karier yang dipikirkan masih seperti itu sementara anak itu udah berkembang
kan? Anak udah jauh lebih maju, lebih tahu. Nah, itu kadang-kadang guru BK tuh ada
terlibat di dalam situ. Itu harus dikasih pandangan.
P : Tapi seandainya ada anak yang minatnya ke ilmunya aneh-aneh, misalnya Sosiologi,
Planologi, Arkeologi ... itu bagaimana Bu? Apakah memang disarankan ke situ atau ....
R61 : Saya cari tahu dulu latar belakangnya apa dia meminati bidang itu? Bila sampai bener-
bener dia meminati itu, dia meminati pun harus siap dulu, harus siap konsekuensi
finansialnya. Karier yang mau kamu pegang itu apa? Kalau cuma seneng doang, ya dia
nggak akan kuat. Tapi kalau sampai tahu ke pekerjaannya itu nanti kayak apa, di mana, dia
tahu, saya sih nggak apa-apa.
P : Kalau begitu pengaruh nggak misalnya anak ini entah suka bidang yang tidak lazim tadi
kemudian dia berencana untuk studi di luar negeri atau bahkan menetap di luar negeri,
apakah dengan dia keluar negeri itu membuat pilihannya terbuka lebih luas karena mungkn
bidang yang tak dihargai di sini, di sana lebih dihargai? Pernah terjadi seperti itu Bu?
R61 : Kalau yang sampai kayak gitu belum pernah
P : Belum pernah ya .... Belum pernah bidang yang begitu nggak. Sejauh ini kan kalau saya sih
di Ketapang saya bilang anak-anak jurusannya nggak ada yang aneh-aneh. Nggak berani
pilih yang aneh-aneh, justru terlalu seragam karena faktor lingkungan keluarga kan? Saya
sempet nawarin banyak, tapi nggak tertarik mereka, karena arahnya bidangnya itu. Baru
belakangan ini, makin ke sini anak-anak mulai terbuka, kalau dulu saya sampai bingung:
Ekonomi, Akuntansi, Manajemen. Akuntansi paling banyak. Kenapa? Orang tua
menganggap Akuntansi saat itu paling menjanjikan, tapi ada yang nggak mau, nah itu
dijembatani, nanti kita ambil, dikasih pandangan.
P : Kemudian mengenai peran orang tua murid nih Bu, kan tadi karena konteks sosial di sini
orang tua cenderung dominan dan dituruti, dia ngomong apa anaknya nurut aja begitu?
R61 : Nggak selalu sih.
200
P : Oh nggak selalu, tapi pada umumnya nggak sampe terjadi bentrok atau karena orang tua
mau apa anak mau apa begitu kan?
R61 : Nggak sampe sih, nggak sampe sih justru malah ada yang cukup sampai bertentagan
akhirnya jadi mungkin orang tuanya malah nggak apa-apa, nggak dominan banget.
P : Oh ....
R61 : Malah akhirnya begitu lulus nerusin usaha papanya.
P : Akhirnya kembali.
R61 : Ya.
P : Jadi maksudnya ke usaha orang tuanya ada, nggak jaminan. Nggak kalau orang tua
dominan begini itu mah. Kalau saya rasa orang tua selalu tanya minat orang tuanya apa,
itukan keliatan. Nah kalau dulu-dulu memang dominan sekali, tapi belakangan nggak ya,
lebih ke anaknya.
P : Kalau latar belakang orang tua berpengaruh nggak Bu, misalnya orang tuanya yang lebih
mapan, lebih terbuka atau lebih mempersilakan anaknya memilih jurusa, atau kalau orang
tuanya lebih berpendidikan?
R61 : Ya berpengaruh lah, kalau latar belakang orang tuanya lebih berpendidikan mungkin pola
pikirnya juga jauh berbeda dan itu menjadi pendampingan ke anaknya jauh beda. Ya kalau
anak di sini lebih banyak ngeliatin trennya. Itu tren-tren yang lagi in apa, ―O, sekarang lagi
tren Komunikasi, ke Komunikasi ....‖
P : Tapi ujungnya apakah mereka mendalami bidang itu? Atau ....
R61 : Akhirnya sih kayaknya sih ada, tetap disesuaikan dengan keberadaan dia juga, kalau dia
nggak mampu kan dia nggak mungkin ada karena menurut saya ya, karena saya nggak
pernah ngajar di tempat lain ya, anak sini cukup jeli untuk melihat pekembangan karier
berikutnya. Pemikiran panjangnya ada, jadi bukan asal milih gitu, kalau saya lihat kan
nggak begitu tahu kalau di sekolah-sekolah negeri saya dengar kan cuma ngikutin
temannya aja. Kalau anak kita kan nggak, kalau dia nggak suka ya, ―Ngapain saya ikutan
....‖
P : Kalau dari segi gurunya sendiri, apakah antara guru-guru MIPA dan ilmu-ilmu sosial ada
bedanya Bu? Misalnya kualifikasinya harus memiliki gelar apa atau harus pengalaman
berapa lama dulu?
R61 : Yang jelas mencari guru eksak itu lebih susah. Lebih gampangan orang-orang IPS.
Terkecuali bahasa Inggris, itu susah juga. Jadi kalau dapat, biasanya yah walaupun
diseleksi tapi nggak bisa idealis.
P : Kalau guru IPS cenderung lebih gampang?
R61 : Lebih banyak kali ya? Lebih banyak lulusanya kali ya?
P : Tapi apakah sesuai dengan bidangnya Bu?
R61 : Ya, sesuai dengan bidangnya. Kecuali mungkin beberapa yang memang belum ada
jurusannya seperti Sosiologi, jurusannya .... Tapi untuk yang IPA kalau ambil dari S.Pd.-
nya aja agak susah, makanya banyakan kan ambil yang S.Si. untuk IPA. Ada juga yang
S.Pd., tapi jarang ya mencari S.Pd. yang qualified. Kalau bukan S.Pd., di sisi lain,
masalahnya apa? Gajinya. Mentallah, mungkin kemampuannya jauh lebih tinggi.
P : Ketika di dalam kegiatan belajar sehari-hari, sampai ada guru yang berhalangan hadir untuk
jangka waktu lama misalnya karena sakit atau cuti melahirkan, kan itu ada guru pengganti,
apakah guru pengganti itu harus yang sebidang studi? Apakah ada perbedaan antara IPA
dan IPS?
R61 : Nggak harus sesuai dengan bidangnya sih. Kalau eksakta karena ada guru yang sakit untuk
waktu lama akhirnya kita mengambil dari sekolah lain, tapi kalau IPS kalau bisa cari guru
201
penggantinya orang-orang dalam sendiri kalau ada kan, kalau guru Geografi misalnya, itu
bisa ambil guru PKn. atau Sejarah.
P : Di antara guru-guru IPA dan IPS apakah ada kesempatan yang sama untuk memperoleh
penghargaan dari pihak sekolah atas prestasinya Bu? Misalnya untuk UN hanya ada
beberapa bidang studi, tapi apakah guru-guru pelajaran yang tidak di-UN-kan itu bisa ....
R61 : Ya, ada penghargaan untuk guru-guru bidang studi UN, tapi memang tidak semua guru bisa
memperoleh insentif itu, karena yang diberikan penghargaan hanya untuk prestasi di tingkat
nasional.
P : Jadi kalau guru PKn. jelas tidak mungkin dapat ya Bu?
R61 : O kalau mau lihat seperti itu, jelas guru IPS tetap lebih kering dari guru IPA. Belum lagi
kalau ngelesin ....
P : Motivasi orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah ini apa ya Bu? Apa ada orang
tua yang menyekolahkan anaknya di sini karena ingin mendorong anaknya menjadi juara-
juara di perlombaan-perlombaan besar ...
R61 : O, nggak. Kebanyakan orang tua memilih sekolah ini karena mau cari aman, jadi di sini kan
nggak pernah ada kasus narkoba, perkelahian atau sejenisnya. Orang tua malah bilang, ―Bu,
saya sih percaya kalau ilmunya di mana aja sama, tapi kalau di sini hati saya tenang, anak
saya pasti aman.‖
P : Kalau begitu, sikap orang tua terhadap ilmu-ilmu ini, dengan pemahaman bahwa IPA
peluang berhasilnya lebih besar dan kariernya lebih menjanjikan, penghasilannnya lebih
besar, apakah itu terbukti Bu?
R61 : Nggak, kenyataannya sih nggak musti begitu.
P : Kalau begitu, apakah pendidikan di IPS bisa dibuat lebih besar bobot analitisnya? Mungkin
dengan soal-soal analisis? Atau begini, pernah nggak Ibu menemui guru IPS yang begitu
kreatif sehingga bisa menghasilkan soal-soal analitis yang membuat anak tidak sekedar
menghafal.
R61 : Tapi ilmu sosial dianalisis pun tetep nggak sampe terlalu bagaimana gitu .... Memang
pernah ada guru yang membuat soal analitis di IPS, dan nilai anak-anak waktu pertama kali
menghadapi soal itu langsung jeblok, tapi setelah itu terbiasa dengan polanya, ya balik lagi
seperti biasa. Kita ambil contoh aja SPMB, kalau SPMB itu kan materinya di atas
kurikulum kan, mau ambil yang IPA, pasti anak IPA lebih bisa, mau ambil IPS, anak IPA
juga lebih bisa. Akhirnya ya anak IPS untuk mengungguli itu dia ikut bimbingan tes.
Kemampuan analisisnya IPA dan IPS memang berbeda.
P : Kalau Ibu punya kebebasan untuk mengubah kurikulum ini, Ibu mau melakukan apa?
R61 : Ada mata pelajaran yang bisa saya kurangin, saya mau mengunggulkan apa yang bisa
berkembang ke depannya, misalnya lebih menekankan ke komputer supaya anak siap
mengikuti perkembangan ilmu.
P : Kalau ilmu-ilmu sosialnya bagaimana Bu?
R61 : Kalau di Perguruan Tinggi, Sosiologi menurut saya nggak terlalu banyak juga dan mungkin
nggak boleh terlalu banyak, sebenarnya juga nggak perlu menjadi salah satu faktor dalam
ujian nasional.
P : Kalau Sejarah dan Geografi bagaimana Bu?
R61 : Itu sih Geografi nggak terlalu perlu. Sebaiknya dikurangi. Di Perguruan Tinggi, orang
ambil itu pun tidak menjanjikan apa-apa. Yah banyaklah yang musti di kurang-kurangin.
Sejarah masih perlu, tapi mungkin jamnya tidak perlu banyak-banyak, asal jangan sampai
meninggalkan sejarah, masih mengetahui sejarah, nanti nggak nasionalis lagi. Kalau Geo
memang sekarang sudah sedikit jamnya, tapi yang aneh malah ada ujian nasionalnya
202
mungkin karena bingung mau menguji apa di IPS, jadi dimunculkanlah Geografi di ujian
nasional. Kalau IPA kan memang bener ada 6 pelajaran, tapi kalau IPS kan nggak bisa
banyak, jadi paling nambah Matematika dasar.
A6.2 Responden 62
P : Ibu mengawali karier dengan menjadi guru Biologi selama 11 tahun ya Bu?
R62 : Ya.
P : Kemudian menjadi wakil kepala sekolah?
R62 : Ya, sampai 2005, kemudian menjadi kepala sekolah.
P : Di SMA sebenarnya ada tiga jurusan Bu: IPA, IPS, Bahasa. Kalau kita lihat secara umun
IPA sangat diminati? IPS kesannya agak buangan atau apa, Bahasa apalagi nyaris nggak
ada. Menurut Ibu kenapa sih murid-murid terlalu memandang tinggi IPA?
R62 : Jadi masalahnya ini gini, kalau apa namanya anak dari jurusan IPA ini bisa ngambil
ladangnya orang IPS. Istilahnya pekerjaannya atau mungkin kuliahnya. Tapi kalau orang
IPS nggak bisa ngambil IPA. Nggak mungkin anak IPS nggak bisa ngambil Kedokteran,
kecuali di Untar. Itu agak aneh menurut saya, resikonya terlalu besar. T‘rus gitu juga anak
IPA ambil Ekonomi bisa dia dan ternyata dari pengalaman dari mana ya saya lupa dari
UPH pernah nanya bagaimana daya saing, eh ... UPH apa Trisakti, lupa. Bagaimana daya
saing antara siswa keluaran IPS dengan siswa keluaran IPA jika di Ekonomi? Ternyata
yang memimpin itu semuanya adalah anak dari IPA. Atau, ketika mereka masuk Perguruan
Tinggi kan mereka pake tes. Grade atas itu selalu dipenuhi anak IPA, jadi secara nggak
langsung, menurut saya pribadi sih secara nggak langsung mempengaruhi pola pikir anak.
P : Sehingga lebih prestisius di IPA?
R62 : Ya. Dan ibaratnya daya juangnya anak ini lebih tinggi anak di IPA dari anak IPS.
P : Tapi apakah itu terbukti di dunia kerja bahwa anak IPA lebih gampang atau
penghidupannya akan lebih baik dari anak IPS gitu?
R62 : Kalau misalnya bukti konkret itu nggak tahu deh ya, berapa persen, berapa persen itu nggak
tahu, cuma contoh ketika di bank nggak usah jauh-jauh deh itu banyak yang orang IPA.
Orang IPB di bank itu banyak. IPB lho, nah contoh kayak gitu jadi ya secara nggak
langsung IPA lah. Nah, orang IPS-nya ketika bersaing dengan orang IPA, daya saing, daya
berjuangnya orang IPS ini lemah. Akhirnya secara nggak langsung yah inilah .... Kenapa?
Secara nggak langsung kalau orang eksak udah pasti kemampuannya, daya juangnya lebih
tinggi, dia semangat. Nah itu daya juangnya udah tinggi nah itu akhirnya terbawa sampai ke
dunia pekerjaan. Dan itu kelihatan lah, sistematis apa nggak itu keliatan banget. Guru pun
beda, smartness-nya beda. Guru IPA lebih terstruktur.
P : Dengan adanya seleksi IPA dan IPS, berapa banyak Bu, anak yang memang mau ke IPS
dan bukan karena ....
R62 : Tereliminasi? Sebetulnya nggak, dia mau masuk IPS bukan karena kemauan, kebanyakan
bukan. Tapi karena tereliminasi.
P : Jadi maksud Ibu, kalau bisa, semua orang akan masuk IPA?
R62 : Sebetulnya di sinilah peran guru BK ketika guru BK itu bisa men-support anak mendukung
anak di IPS, bahwa ―Anda di sini bukan karena Anda buangan, tapi memang kemampuan
Anda sampai di sini. Cobalah itu dimengerti ....‖ Nah itu yang membuat anak maju dan
memberikan pengertian bahwa nggak juga selalul anak IPS itu gagal atau di bawahnya IPA.
Nggak juga. Banyak juga anak IPS yang sukses, lebih sukses dari orang IPA. Nah, itu
maksudnya, itu peranan guru BK.
203
P : Tapi ketika anak ini sadar keterbatasannya, apakah dia mau ke IPA atau ke IPS karena dia
menyadari pekerjaan apa yang ingin dia sasari atau karena prestisenya sajakah?
R62 : Kalau di Ketapang I itu sebagian besar karena latar belakang cita-cita. Mereka sudah tahu
saya harus melangkah ke mana, makanya saya harus menempuh jalan ini. Begitu.
P : Mungkin nggak sih Bu untuk dibuat perspektif masyarakat kita ini supaya memahami
ketiga jurusan yang ada bukan seperti air terjun yang dari IPA, ke IPS, ke Bahasa, tapi
seperti tapi tiga pintu pilihan?
R62 : Masalahnya begini. Paradigma orang tua juga harus diubah. Orang tua orang tua murid ini
lebih menghargai, tolok ukurnya Matematika. Begitu juga orang-orang di atas kita ini.
Sekarang Matematikanya di mana? Ada di IPA kan? Ya sekarang katakanlah orang yang
masuk pintu IPA itulah yang paling sukses. Nah paradigma orang tua itu, dan biasanya itu
juga peran guru BK ketika dia men-support anaknya untuk di IPS karena kita lihat anak ini
mampunya di IPS, dia juga harus men-support orang tua.
P : Bagaimana ketika ada anak yang memiliki minat untuk mempelajari jurusan yang tidak
populer, seperti Antropologi, atau ....
R62 : Wah, orang tuanya, kalau bisa mah ditengking anak itu. Bener! Nah, di situlah peranan
guru BK.
P : Apakah guru BK bisa ...
R62 : Harus! Guru BK harus ngertiin ke orang tua bahwa ini minat anaknya, termasuk memberi
pengertian kepada orang tuanya bahwa anaknya bisa berhasil dengan masuk jurusan IPS,
kalau itu memang sesuai dengan minatnya. Buat apa dia masuk IPA tapi terpaksa?
P : Potensi penghasilan itu penting nggak Bu di sini?
R62 : Penting! Makanya itu harus dipaparkan baik kepada orang tua juga kepada anaknya. Dan,
orang tua juga tahu kalau anaknya masuk IPA, nanti nggak bisa masuk Kedokteran, masih
bisa masuk ke Ekonomi. Kalau masuk IPA, nanti mau ke Kedokteran, udah pasti nggak
bisa!
P : Jadi sebenarnya ini juga disebabkan anak dan orang tua belum tahu si anak mau kuliah di
jurusan apa?
R62 : Sebetulnya sudah, ada standar prioritas, tapi buat antisipasi kalau gagal.
P : Tapi kalau cita-citanya bisa didapat dari IPS?
R62 : Nggak mau orang tuanya, pasti tetep ngotot untuk ke IPA dulu.
P : Karena?
R62: Gengsinya. Ada orang tua yang lebih baik anaknya masuk ke sekolah lain dan masuk IPA
daripada naik kelas di sekolah yang sama tapi masuk IPS. Tapi menurut saya pemetaan
tentang minat siswa itu harus dari sedini mungkin, misalnya contohlah ―Kamu mau jadi
apa? Mau ke mana?‖
P : Kalau begitu, berarti orang tua masih dominan dalam memilih jurusan anak ya Bu?
R62 : Ya.
P : Dari latar belakang orang tua sendiri ada pengaruh nggak Bu, misalnya orang tua yang
lebih mapan atau lebih berpendidikan ....
R62 : Ada. Yang pasti bukan masalah mapan, pendidikan. Orang yang lebih berpendidikan itu
lebih ngasih kebebasan ke anaknya. Kalau orang yang nggak terlalu berpendidikan pasti
nggak mau tau, ―Lu kerja, dapet duitnya banyak.‖ Nah, menurut dia orang yang kerja dapet
duit banyak itu orang eksak.
P : T‘rus kenapa ya orang tua bisa berpandangan seperti itu? Kan banyak orang tua yang
memandang seperti itu, menurut Ibu kenapa mereka bisa berpandangan seperti itu?
204
R62 : Ya itu kembali ke Matematika, karena itu yang paling bergengsi, paling susah. Untuk kelas
I saja lihat, yang orang tua banggakan lihat itu nilai Matematika anaknya. Yayasan juga
begitu. Pertanyaannya, ―Berapa nilai Matematika di ujian?‖ Selalu yang ditanya itu kan?
Apa pernah yang ditanya, ―Berapa nilai Biologinya?‖ Nggak pernah kan?
P : Kalau begitu, ketika orang memiliki nilai Matematika yang baik, apakah bisa dipastikan ia
mampu melakukan analisis sosial dengan lebih baik Bu?
R62 : Tergantung kreativitas gurunya. Contoh ini ada guru Sejarah yang bisa maju selangkah dari
yang lainnya, dia memberikan tugas anak-anak membuat komik sejarah dan itu jadi nilai
ulangan, dan ternyata hasilnya itu lebih baik. Anak juga jadi lebih menguasai fakta sejarah
itu dengan mereka membuat komik. Dan ini juga jadi pembelajaran lintas kurikulum.
Mereka lebih menghayati kejadian itu dengan membuat komiknya.
P : Apakah mungkin seorang anak IPA yang jago tapi kalau masuk IPS dia akan gagal Bu?
R62 : Mungkin saja. Dia tidak menikmati. Ketika di sekolah ini, di IPA dia bisa belajar dengan
tenang, dengan serius, tapi kalau anak IPS itu banyak mainnya jadi waktu dia dipindah
seperti beda alam, dia nggak bisa survive di tempat seperti itu.
P : Jadi suasana belajarnya IPA banyak diamnya dan anak IPS banyak main-mainnya?
R62 : Memang ya.
P : Kalau dari segi gurunya Bu, untuk jadi guru MIPA dan jadi guru IPS apakah sama
persyaratannya? Atau ada yang lebih berat?
R62 : Sama saja. Gini lho ada praktisnya juga guru IPA, kenapa kalau guru IPA tuh bisa ngelesin
dapet duit kan? Dan ujung-ujungnya salary-nya orang eksak itu jauh lebih tinggi, kenapa?
Karena di luar bisa ngelesin. Nah sekarang kalau orang IPS mana bisa ngelesin?
P : Tapi kalau dengan salary kenapa pengaruhnya?
R62 : Income-nya. Jadi secara nggak langsung opini masyarakat, guru eksak lebih lagi.
P : Seandainya ada guru yang berhalangan hadir untuk waktu lama Bu, misalnya sakit
berkepanjangan atau cuti melahirkan, apakah penggantinya di sini harus guru yang
sebidang studi Bu?
R62 : Kalau IPA, ya. Harus diganti guru IPA juga. Kalau guru IPS bisa diganti guru IPA.
P : Apakah anak-anak menyadari kalau guru IPA kesannya lebih bergengsi, lebih sulit
digantikan?
R62 : Kebaca. Oleh anak-anak, juga oleh masyarakat. Sekarang juga untuk UAN, ada bimbel.
Bimbel untuk sekolah dari yayasan memberikan bimbel pelajaran kan Matematika, IPA,
bahasa Indonesia, bahasa Inggris. Kalau bimbel itu diberikan ke guru bidang studi akan ada
kecemburuan sosial dengan guru IPS. Enak ya guru IPA ada uang tambahanya karena ada
bimbel. Nah, untuk atisipasi itu saya nggak mau semuanya itu diukur dengan uang itu, jadi
istilahnya semua guru itu sama jadi nggak ada yang enak karena kamu di UN-kan, makanya
untuk bimbel ini saya kerja sama dengan guru luar. Tapi memang ada hal-hal semacam ini
yang hanya bisa didapat oleh guru IPA.
P : Ciri khas Ketapang yang menonjol apa ya Bu?
R62 : Dari zaman saya ya, sekolah ini tertib. Dan murid-muridnya pasti menghormati guru-
gurunya. Kalau kita bawa studi banding ke Bandung misalnya, dengan sekolah lain, itu
pasti nurut dengan gurunya. Bener-bener tertib. Dibilang nggak, ya nggak.
R62 : sainscamp itu yang menurut saya itu jarang yang dilakukan sekolah edufair yang membuat
sekolah, sekolah itu menjalin kerja sama dengan Perguruan Tinggi maksudnya Perguruan
Tinggi itu nggak semuanya percaya dengan
P : Bicara mengenai peranan pemerintah, menurut Ibu apakah pemerintah punya agenda
tertentu terhadap perlakuan terhadap ilmu-ilmu ini?
205
R62 : Ya. Misalnya dengan penyelenggaraan olimpiade sains, tapi tidak untuk semua ilmu
diadakan, itu kan menandakan ada ilmu yang lebih dihargai dan ada yang diabaikan.
Sejarah misalnya, apa yang pemerintah lakukan untuk membuat sejarah kita jadi pelajaran
yang bermakna? Belum konsisten hingga sekarang. Masih suka ganti-ganti. Anak jadi tidak
bisa menghargai para pendahulunya, penghargaan terhadap orang lain jadi rendah. Murid
juga jadi rawan tergelincir, terlalu sombong dia karena pola pikirnya tidak bisa
menempatkan dirinya dalam konteks yang lebih besar, untuk menghargai masyarakat dan
orang lain. Intinya samalah dengan budi pekerti.
A6.3 Responden 63
P : Apakah Marline tahu bahwa selain jurusan IPA dan IPS yang ada di sekolah ini, untuk
SMA sebenarnya ada jurusan Bahasa juga?
R63 : Nggak. Tahunya cuma IPA, IPS. Nggak pernah tahu ada sekolah yang buka jurusan
Bahasa.
P : Marline ketika kelas X, kenapa memilih masuk jurusan IPA?
R63 : Pertamanya memang saya nggak suka hafalan, jadi saya lebih prefer ke IPA dan lagi waktu
kelas X saya belum bisa nentuin mau masuk jurusan apa. Tapi kalau IPA saya kan bisa ke
semua jurusan, jadi gampang mau milih jurusan yang mana. Kalau IPS saya lebih sedikit,
jadi saya lebih prefer ke IPA.
P : Jurusan untuk kuliahnya ya?
R63 : Ya.
P : Kalau jurusan kuliahnya, sudah milih sekarang?
R63 : Jurusan Matematika.
P : Di mana?
R63 : Di UPH.
P : T‘rus mau jadi apa abis itu?
R63 : Ya tergantung nantinya, yang penting saya suka dulu pelajarannya, jadi ketika kuliah lebih
enjoy.
P : Waktu Marline memilih jurusan apakah ada arahan-arahan tertentu dari orang tua atau dari
guru BK?
R63 : Sama sekali nggak sih.
P : Sama sekali nggak, jadi semuanya atas keinginan sendiri?
R63 : Ya, sendiri. Soalnya kata Papa, ya terserah, mau minatnya apa, ya udah ambil aja.
P : Orang tua Marline apakah bekerja atau ada usaha sendiri?
R63 : Dua-duanya bekerja.
P : Apakah bagi mereka tidak ada masalah Marline masuk ke jurusan IPA atau IPS?
R63 : Nggak tuh. Yang penting belajarnya.
P : Menurut kamu apakah ada pandangan, baik di Ketapang maupun di luar, bahwa IPA lebih
bergengsi, lebih prestisius?
R63 : Banyaklah. Kan saya waktu kelas 10 juga saya denger-denger kalau masuk IPS kayaknya
dianggap lebih rendah, kalau masuk IPA kan logikanya lebih ini, bisa dibilang mungkin
lebih pinter dibanding anak IPS, tapi buat saya sebenernya sama-sama aja. Ya IPA, IPS kan
tergantung minat kita. Kalau minatnya ke mana, ya udah pilihlah itu, nggak usah mikir apa-
apa gitu. Soalnya nggak ada bedanya kalau kita bisa eksak, t‘rus kadang-kadang kita juga
nggak bisa Ekonomi kok.
206
P : Ada nggak orang yang nggak bisa eksak tapi bisa Sosiologi?
R63 : Saya, nggak bisa.
P : Kenapa nggak bisa Sosiologi?
R63 : Karena harus ngafal.
P : Apakah orang tuamu dua-duanya sarjana?
R63 : Nggak. Yang satu lulusan SMP, yang satu SMA.
P : Oh gitu ya, tapi mereka mendukung kamu mau ke mana aja ya?
R63 : Ya.
P : Sekarang kita lihat kan banyak nih, di mana-mana untuk masuk IPA, kayak di sini, kan
dites ya, waktu kelas X? Kemudian IPS kesannya itu banyak sekali, yang tidak bisa masuk
ke IPA, masuk ke IPS. Menurut kamu apakah itu mempengaruhi orang-orang masyarakat
luas untuk memandang anak IPS tuh cuma buangan?
R63 : Kadang-kadang sih denger gitu, soalnya yan IPA bisa dibilang adalah anak-anak terpilih, ya
minoritas deh dibanding anak-anak IPS. Cuma denger-denger gitu, Pak.
P : Ada orang-orang yang mau masuk IPA dan tidak bisa, maka dia kemudian masuk IPS. Tapi
ada juga orang-orang yang memang tidak niat sekolah dan hanya mencari jurusan yang
paling santai. Dari antara teman-teman kamu, setahu kamu, apakah benar gambaran itu
tentang jurusan IPS?
R63 : Kalau yang saya tahu sih ... maksudnya ... cuma sebagian kecil kok anak IPS yang
sebenarnya mau masuk IPA tapi nggak keterima. Kayaknya banyak juga sih kalau saya
dengar dari nilai-nilai mereka, t‘rus sikap mereka, yang misalnya yang ... memang nggak
niat sekolah.
P : Kalau di IPA sendiri bagaimana? Apakah ada yang mungkin karena begitu pintarnya maka
dia bisa masuk IPA, tapi sebenarnya juga tidak ada niat belajar?
R63 : Ya, kalau niat nggak niat sih banyak. Dateng ke sekolah ya ikutin aja, ya mungkin kalau
dibilang paksaan orang tua, padahal males sekolah.
P : Untuk Marline sendiri, apakah kamu berencana untuk sekolah sampai lebih dari S1?
R63 : Kalau memang ada kesempatan, kenapa nggak?
P : Sampai S2, S3 sekalipun ya?
R63 : Ya.
P : Jadi, tujuannya belajar setinggi itu apa?
R63 : Menurut saya, belajar, dalam hidup ini kan belajar itu memang penting. Kalau kita masih
bisa, ya kita belajar. Otak itu kan kalau kita nggak gunain, ya istilahnya kan bakal
terdegradasi, kalau kita gunakan, akan semakin berkembang. Itu aja sih.
P : Dari apa yang kamu lihat di kelas X, apakah terlihat ada perbedaan karakteristik antara
guru-guru IPA dan IPS?
R63 : Beda.
P : Apanya yang beda?
R63 : Guru-guru IPA kayaknya lebih, misalnya kayak guru-guru eksak itu, kayaknya lebih
dipikirin lagi, lebih menyaring lagi, kalau misalnya IPS, kalau masih bisa dibuat ngajar ya
udah, yang saya liat sih gitu.
P : Jadi pemilihan guru IPA lebih selektif ya?
R63 : Ya.
P : Apakah kamu pernah mengalami saat ada pelajaran kosong, gurunya berhalangan hadir?
R63 : Ya.
P : Biasanya bagaimana, apakah diberikan tugas atau digantikan oleh guru lain? Antara
pelajaran-pelajaran eksakta dan sosial, apakah sama?
207
R63 : Ya kalau di sekolah kan kalau nggak ada pelajarannya kan biasanya kita cuma dikasih tugas
doang, nggak diajar dengan yang lain.
P : Antara IPA dan IPS, ada perbedaannyakah?
R63 : Nggak.
P : Kamu di Ketapang sejak kapan?
R63 : TK.
P : Pernah terpikir untuk pindah sekolah?
R63 : Pernah. Tadinya waktu lulus SMP mau masuk ke 78, guru BK saya juga nyaranin masuk ke
78 aja, kalau bisa ke sekolah unggulan mendingan ke sekolah unggulan.
P : Teman-teman kamju sendiri ada yang mengikuti saran itu?
R63 : Ada, beberapa, ke 78. Tapi saya sendiri nggak dikasih sama kakek-nenek, sampai diomel-
omelin ....
P : Apakah kamu menyesal nggak jadi masuk ke 78 dan akhirnya masuk Ketapang?
R63 : Nggak juga sih. Kalau di Ketapang, kalau dibilang kan pendidikannya juga nggak jelek ya,
standarlah, maksudnya masih di atas rata-ratalah, masih bisa membuat kita menjadi, yah
maksudnya, lebih baiklah. Jadi ya nggak masalah. Ya mungkin jalannya Tuhan saya ke
sini, ya udah ikuti aja, gitu.
P : Kalau begitu, kalau kamu ngumpul-ngumpul nih sama temen-temen dari sekolah lain,
menurut kamu apa yang paling bisa dibanggain dari ketapang?
R63 : Saya rasa sih biasa-biasa aja sih ....
P : Menurut kamu, bagaimana arahan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan di
Indonesia ini? Apakah dalam kurikulum yang disusun dari SD, SMP, ke SMA, pemerintah
mempunyai kepentingan tertentu untuk mendorong orang masuk ke profesi-profesi tertentu
dan meminimalkan minat masuk ke profesi lainnya?
R63 : Yang selama ini saya lihat, pemerintah ya gitu-gitu aja, minatnya ke pendidikan kayaknya
terlalu kurang Pak. Kalau misalnya di memang berminat untuk mendidik masyarakat
otomatis seharusnya anak-anak yang kurang mampu yang mau sekolah harus disekolahkah.
Kalau sekarang gitu-gitu aja, yang penting ada yagn sekolah, yah yang penting
berpendidikan, tapi detail-detailnya, terkadang kan orang yang nggak mampu itu minat
belajar mereka pasti lebih dibandingkan dengan orang-orang yang punya uang untuk
belajar, gitu. Yang kayak gitu-gitu malah bisa lebih memajukan bangsa, dibanding orang-
orang yang mikirnya, ―Orang tua saya punya duit, ngapain saya sekolah tinggi-tinggi?‖
P : Kalau kamu punya kesempatan untuk mengubah kurikulum sesuka hatimu, menurut kamu
apa yang paling mendesak untuk diubah dari kurikulum kita sekarang?
R63 : Kalau jam pelajaran itu kita nggak perlu harus pulang sampai jam 3, kayaknya paling
mentok kita full belajar itu hanya sampe jam 12-an, karena kalau saya lihat-lihat, di atas
jam 12-an itu anak-anak tuh udah pada ngantuk, udah nggak niat belajar, jadi istilahnya di
atas jam 12 tuh, sampe jam 3 kita nggak dapet apa-apa, sama sekali nggak maksimal saat
kita belajar. Kalau saya, ya udah belajar ampe jam 12 aja gitu, tapi Sabtu masuk.
P : Dan kamu merasa kelelahan dengan keadaan seperti itu ya?
R63 : Kelelahan sekali.
P : Kalau pelajaran bagaimana? Adakah pelajaran yang dirasa tidak perlu?
R63 : Kadang-kadang saya mikir gitu tentang IPA, Sejarah walaupun cuma satu pelajaran ya
udah cuma itu-itu aja gitu, kayaknya nggak terlalu penting-penting amat gitu. Kalau
misalnya eksak, ya udah kita belajarnya itung-itungan aja gitu.
P : Geografi bagaimana?
208
R63 : Kalau Geografi sih kayaknya masih penting sih Pak, kan kita belajar tentang Bumi, kalua
Sejarah kan otomatis kita bisa update sendiri, dari berita, dari media massa. Kita tahu
Indonesia merdekanya kapan, yah fakta-fakta kayak gitu aja cukuplah. Nggak usah belajar
yang lebih detail-detailnya lagi.
P : Jadi intinya, Sejarah itu cuma hafalan?
R63 : Ya.
P : Ada menganalisisnya di dalam Sejarah?
R63 : Nggak ada.
P : Juga nggak ada hubungannya dengan sekarang dan masa depankah?
R63 : Ya.
P : Jadi buat kamu, lebih penting belajar eksaknya sajakah?
R63 : Ya, eksaknya saja. Mungkin ditambah agama, karena kita Kristen, untuk membangun iman
kita, gitu. Kalau komputer, olahraga ya untuk ... ya kalau kayak Mandarin kay memang
untuk era globalisasi menuntut kita untuk bisanya tiga bahasa, ya nggak masalah belajar
tiga bahasa. Kalau komputer kita otomatis harus belajar untuk teknologi. Kalau olahraga ya
masih penting untuk kesehatan kita. Yang menurut saya nggak penting lagi itu EC, English
Conversation, dia ngajar, ngajar sendiri, kayak nggak ada orang-orang, ngebuang satu jam
pelajaran untuk gitu doang.
A6.4 Responden 64
P : Apakah Jeffry tahu di SMA ada jurusan bahasa?
R64 : Tahu.
P : Pernah tahu ada teman yang mengambil jurusan Bahasa di SMA?
R64 : Kalau temen sih belum ada sih.
P : Jadi, semua orang yang dikenal ambilnya IPA atau IPS ya?
R64 : Ya.
P : Saya mendengar bahwa kamu sebenarnya boleh masuk IPA, tapi kamu memilih IPS.
Kenapa kamu memilih IPS?
R64 : Tujuan ke depannya, kuliahnya yang saya mau ambil nggak usah ke jurusan IPA.
P : O, jadi sudah tahu ya mau kuliah di jurusan apa?
R64 : Ya. Manajemen – SI, di BINUS.
P : Apakah kamu merasa bahwa di antara teman-teman bahwa IPA itu gengsinya lebih tinggi,
lebih prestisius, daripada IPS?
R64 : Sejauh ini sih nggak merasa ada yang begitu.
P : Menurut kamu sendiri apakah IPA dan IPS dari segi kurikulumnya, dari segi pelajarannya,
apakah memungkinkan, IPS itu dalam beberapa hal, lebih sulit daripada IPA?
R64 : Mungkin.
P : Jadi bisa saja ada anak yang bisa berhasil di IPA tapi tidak berhasil di IPS?
R64 : Bisa saja, kalau di IPS itu kan sosial, jadi kalau orangnya penyendiri atau individual jadi
susah bergabung, susah juga buat dia mengerti ilmu-ilmu sosial.
P : Seandainya kamu ini, walaupun sudah jelas mau ke Manajemen, tapi tetap masuk ke IPS,
apakah menurut kamu, itu bisa memberikan nilai tambah ketika ikut seleksi masuk
Perguruan Tinggi?
R64 : Pastinya sih ada. Biasanya kan orang lebih melihat IPA kan.
P : Dari segi orang tua, mereka membebaskan kamu untuk masuk yang mana saja?
209
R64 : Ya. Terserah.
P : Ketika dalam proses memilih jurusan ini di kelas X, apakah ada faktor masukan dari guru
BK?
R64 : Ada sih. Waktu pertama dia kan nanya, ―Mau masuk ke mana?‖ Saya bilang, ―Belum tahu,
IPA atau IPS.‖ Pada waktu itu sih saya mau ambil IPA, tapi setelah dipikir-pikir, cuma mau
ngambil manajemen, Kimia, Fisika begitu kan nggak perlu, ya akhirnya ngambil IPS aja.
P : Kalau kamu melihat kualitas guru-guru ilmu-ilmu sosial kamu misalnya Sejarah, Geo., di
kelas X, apakah kamu terpengaruh, karena gurunya seperti ini atau seperti itu, jadi saya
mengambil jurusan yang ini?
R64 : Agak pengaruh juga sih, kita lihat lah mana yang lebih bermutu.
P : Oh ... terus yang mana tuh?
R64 : Kalau IPA sih kalau yang sebelum-sebelumnya sih emang udah bagus ya tapi di IPS, ya
cuma ... gimana ya ....
P : Dengan masuk ke Manajemen, apa yang akan kamu lakukan setelah itu?
R64 : Cita-cita jadi businessman.
P : Sudahj tahu bisnisnya mau bidang apa?
R64 : Setelah lulus sih mau nerusin punya Papa dulu, dalam bidang baju gitu ....
P : Selama ini, pernah nggak mengalami ada guru yang sakit untuk waktu yang agak lama atau
cuti melahirkan, misalnya?
R64 : Ya, pernah.
P : Bagaimana sekolah mencari penggantinya? Apakah harus diganti oleh guru yang sebidang
studi atau boleh siapa saja, atau hanya diberikan tugas?
R64 : Pernah waktu itu guru Mat., gantinya guru Mat. juga. Penggantinya juga bisa jelasin. Tapi
biasanya sih kalau yang lebih banyak cuma jagain kelas cuma jagain kelas.
P : Kalau guru sosial bagaimana?
R64 : Itu pasti nggak ada penggantinya. Gurunya cuma satu-satu-satu.
P : Kenapa kamu memilih sekolah di Ketapang?
R64 : Pernah sih Papa-Mama bilang, di deket rumah banyak sekolah lain, tapi disiplinnya kurang
bagus, jadi mendingan di Ketapang aja, disiplinnya bagus.
P : Ketika kamu bertemu dengan teman-teman dari sekolah lain, apa yang paling kamu
banggakan dari Ketapang ini?
R64 : Kedisplinannya. Juga ibadahnya, seminimalnya ada ibadah tiap minggu. Kalau fasilitasnya
memang kurang.
P : Seandainya kamu punya kebebasan untuk mengubah kurikulum, menurut kamu apa yang
paling mendesak untuk diubah?
R64 : Kalau pelajaran maunya dikurangi, waktunya jangan terlalu panjang. Masuknya jam 7 udah
bagus sih, jadi disiplin, tapi sampai jam 1 aja. Setelah jam 1, masa jenuhnya udah tinggi.
Sabtu masuk nggak apa-apa, daripada sampai sore.
P : OK. Terima kasih atas waktunya.
210
A7. Wawancara di Deutsche Internationale Schule
Bagan sistem pendidikan Jerman yang digunakan dalam proses wawancara ini tersedia pada
lampiran B1.
A7.1 Responden 71
P : Pak Jürgen, saya mau memastikan dulu apa yang saya pahami tentang kurikulum Jerman
ini benar ya Pak, berdasarkan bagan ini Pak.
R71 : Anda sendiri mengerti bagan ini?
P : Ya, Pak. Yang ingin saya dalami, untuk di sistem Indonesia, itu adalah SMA-nya di mana
pada kelas X itu masih kurikulum umum dan pada kelas XI dan XII dibagi ke dalam tiga
jurusan: Alam, Bahasa dan Sosial. Dalam sistem Jerman, apakah benar Gymnasium itu
sama dengan SMA dalam sistem Indonesia Pak?
R71 : Ini SMA, tapi sistem seperti ini biasanya TK 3 tahun, SD biasanya 4 tahun, lalu biasanya
mereka pilih atau guru pilih mereka harus ikut yang Hauptschule, Realshule, atau
Gymnasium yang seperti SMA, tapi sudah mulai dari kelas V. Gymnasium mulai kelas V
sampai kelas XII. Hauptschule yang paling rendah, kemudian Realshule dan yang paling
tinggi Gymnasium. Biasanya jika seeorang sudah lulus sudah lulus SD dia harus
memutuskan mau ikut yangana. Kalau dia di Hauptschule dia punya nilai bagus, dia juga
boleh ke Realschule.
P : O, boleh berpindah?
R71 : Ya. Kalau nilai dia di Realshule bagus, dia boleh pindah ke Gymnasium ya. Tapi ada
beberapa persen yang hanya sampai Hauptschule. Ini selesai dengan kelas IX, lalu mereka
bekerja, langsung dengan sistem ... apa ... kalau di Jerman mereka harus sekolah sampai
umur 18, juga kalau mereka di kelas IX sudah keluar sekolah dan bekerja sesuatu, mereka
masih harus 1-3 hari seminggu ke sekolah. Dan ini sekolah khusus untuk ....
P : Vokasional?
R71 : Ya, benar.
P : Realschule sampai kelas X, Pak?
R71 : Ya, benar.
P : Dan Gesamtschule ini?
R71 : Gesamtschule ini sekarang hampir tidak ada lagi, ini adalah satu sistem di mana ada semua
macam sekolah di dalam satu sekolah.
P : Jadi jadi hanya pengorganisasiannya?
R71 : Ya dan di sana ada kursus A, B, C dan itu sama dengan Hauptschule, Realschule,
Gymnasium.
P : Di Gymnasium itu apa ada penjurusan lagi Pak?
R71 : Sebenarnya yang Gymnasium satu sekolah umum dengan pendidikan umum, tidak ada
jurusan.
P : Tidak ada jurusan
R71 : Yang jurusan juga ada, tapi tidak ada di atas gambar ini. Ada 3 macam Gymnasium.
Sebenarnya ada 4. Ada yang umum, ini kebanyakan. Ada juga yang kita bicara untuk
jurusan Ekonomi, jurusan Sosial dan jurusan Teknik.
P : Itu memilihnya sejak awal sejak dia masuk Gymnasium atau ....
211
R71 : Nggak, sebenarnya Gymnasium yang jurusan itu mereka hanya 3 tahun, seperti sistem di
sini, mulai dari kelas X.
P : Jadi seperti sekolah kejuruan?
R71 : Maksud merka memutuskan kalau mereka lulus Realschule, kebanyakan orang yang lulus
Realschule mereka pilih Gymnasium yang punya jurusan dan di sini bisa memutuskan
Gymnasium kalau lulus kelas IX mereka bisa pindah ke satu Gymnasium yang punya
jurusan, tapi di saatnya di Jerman hampir tidak ada lagi yang jurusan, karena bicara
hierarkhi, yang umum bisa ke mana-mana nanti. Semuanya buka, karena standar paling
tinggi dan harus tahu semuanya. Kalau mereka sudah di jurusan, hanya itu, dan mereka
tidak bisa ke setiap universitas juga.
P : Bapak Jürgen sendiri adalah kepala sekolah dari Gymnasium umum yang mencakup kelas
V-XII?
R71 : Ya.
P : Kalau di Indonesia ini Pak, kita bicara, bagaimana mungkin anak-anak dalam usia yang
sedemikian muda harus memilih antara Hauptschule, Realschule dan Gymnasium. Apakah
ada sistem yang dibuat untuk membantu anak-anak menemukan ....
R71 : Biasanya ada satu testing kalau mereka lulus SD dan guru di sini, mereka tulis satu rapor
dan kalau mereka pilih sekolah mereka harus tes masuk di sini. Ini yang satu. Dan biasanya
saya sudah bisa lihat di SD apakah seseorang nanti lihat akan punya masalah ....
P : Dari kemampuan akademiknya?
R71 : Ya ... juga, tapi apa, bukan dari nilai akademik, sebenarnya dari kepribadian. Pasti ada
beberapa anak yang perlu lebih lama dan mereka mungkin bangun dengan umur 15, tapi
untuk mereka sistem ini buka, kalau mereka di sini kurang bagus mereka bisa ke
Hauptschule dan mereka di sini kita lihat mereka bagus mereka bisa ke Realschule, di
Realshchule bagus, mereka bisa ke Gymnasium.
P : Pindah, apakah berarti mereka akan mengulang dari awal Pak?
R71 : Sistem ini buka sebenarnya, tapi untuk saya tidak tahu apakah sistem ini yang paling bagus
di Indonesia ya, yang SMP ... semuanya terbuka. Mungkin semua yang kita mengajar lebih
abstrak di Gymansium, mulai dari kelas V. Di Realschule ini lebih praktis dan mungkin di
Jerman, siapa nanti bekerja dalam suatu bidang yang lebih praktis, dia tidak perlu yang
abstrak, yang terlalu abstrak karena ini dari dulu dia mata pelajaran lebih dijuruskan ke
yang lebih praktis, tidak perlu harus tahu begitu banyak karena dia nanti juga tidak begitu
perlu. Dan, beberapa orang jadi tidak bahagia kalau mereka harus belajar ini.
P : Apakah Realschule untuk diploma, atau untuk studi lanjut lainnya Pak?
R71 : Bagaimana dengan Gymnasium Oberstufe, apakah ini juga bagian dari Gymnasium yang
tadi kita bicarakan Pak?
P : Nah begini, karena sistemnya sistem buka, misalkan orang lulus kelas IX lalu dia cari kerja,
setelah tiga tahun dia kembali ke sini, tapi dengan sistem beda. Kalau dia setelah kerja, jadi
ahli bengkel misalnya, dan dia mau ke Perguruan Tinggi, masih ada satu jalan untuk dia.
Tapi ini sedikit complicated karena tidak strict. Ini dibuat supaya orang bisa bekerja dan
setelah itu tetap bisa kembali ke sekolah.
R71 : Dari segi orang tua, Pak. Apakah orang tua merasa tekanan dalam memilih sekoalh untuk
anaknya, antara Hauptschule, Realschule dan Gymansium?
R71 : Ya pasti. Dan saya pikir di saatnya semua pasti mau ke Gymansium. Karena semuanya mau
ke Gymnasium sebenarnya standar Gymnasium juga turun sedikit. Ini juga sebenarnya
punya hubungan dengan situasi ekonomi dalam satu negara. Contohnya kalau tidak ada
begitu banyak tempat kerja dan seseorang cari kerjaan, oke dia dapat orang dari
212
Hauptschule, dari Realschule, dari Gymansium. Apa yang dia akan pilih? Ini masalahanya.
Kalau ada cukup tempat kerja, tidak masalah, tapi kalau .... Karena itu saatnya siapa yang
hanya ikut Hauptschule dan mungkin mau nanti kerja di bank, itu susah kalau dia mau nanti
untuk tukang-tukang cukup. Dan sebenarnya gaji nanti untuk tukang-tukang di Jerman
tinggi sekali. Dan dia sudah mulai kerja, sudah dapat uang pada 16 tahun, dan kalau dia
selesai Perguruan Tinggi, umur 24 baru mulai dapat uang, yang lain sudah kerja 10 tahun,
sudah punya gaji 10 tahun. Karena itu kalau seseorang sudah tahu saya suka mebel, atau
saya suka kasih keramik atau seperti ini ....
P : Jadi apakah dia lulus sekolah menengah atau lulus universitas, gajinya tidak jauh berbeda
Pak?
R71 : Tidak, sama sekali tidak. Tapi di saatnya kalau saya berpikir tentang situasi ekonomi dan
situasi pekerjaan ya, siapa yang lulus Perguruan Tinggi, diploma, tapi bukan diploma
seperti di Indonesia, diploma yang paling tinggi ....
P : Diploma seperti diplome di Prancis? Yang setara dengan magister di sini?
R71 : Ya.
P : Magister begitu ya?
R71 : Ya, belum pasti dia punya tempat bekerja.
P : Dan memang lulusan Gymnasium itu tidak siap bekerja, harus masuk Perguruan Tinggi
dulu?
R71 : Ya, benar.
P : Apakah di Gymnasium itu murid-murid juga mempunyai pelajaran pilihan atau semua
wajib, Pak?
R71 : Ada ... ini juga sedikit susah. Ada yang mereka harus ikut dan ada yang mereka boleh pilih.
Mereka harus ikut bahasa, bahasa Jerman dan Matematika dan ... lalu ada pilihan ya.
Mereka bisa memilih apa bahasa lebih penting atau sains lebih penting tapi ada satu yang
pelajaran ini mereka harus, ada yang mereka boleh pilih.
P : Dalam satu minggu itu ada berapa jam pelajaran ya Pak?
R71 : Biasanya 35.
P : Dari 35, yang wajib itu?
R71 : 15 ya.
P : Tadi Bapak mengatakan antara Hauptschule, orang menjadi tukang, atau lulusan sarjana,
tidak ada perbedaan pendapatan yang signifikan. Dan bahkan ada selisih 10 tahun bekerja
dengan gaji yang lumayan. Apakah itu berarti dalam mengambil jurusan, tidak ada
pertimbangan bahwa ada ilmu-ilmu yang lebih bergengsi daripada ilmu-ilmu lainnya?
R71 : Sebenarnya kalau saya pikir dengan pikiran orang tua ya, mereka di Jerman sebenarnya
tidak mau anak masuk Hauptschule karena ini paling rendah dan juga bagaimana mereka
interaksi, kehidupan sosialnya, tidak gaji. Karena juga yang tidak berhasil di Gymnasium
kemudian harus ke Realschule dan yang tidak berhasil di situ lalu ke Hauptscule. Jadi ini
seperti cangkir ....
P : Dan sistem ini sudah berlaku sangat lama ya Pak?
R71 : Ya, sudah lebih dari 50 tahun. Tapi dulu mungkin tidak begitu penting mau ke mana, tapi
sekarang jurusan di Gymnasium jadi lebih penting. Dulu mungkin ini hanya untuk orang
yang sungguh mau ke Perguruan Tinggi, mau jadi profesor, mereka ke Gymnasium dan
tidak banyak orang yang mau karena dari gaji tidak begitu penting. Harus tertarik dari
ilmunya. Tapi sekarang kebanyakan orang bicara mau ke Gymnasium, apalagi punya
hubungan dengan situasi ekonomi. Kalau tidak cukup banyak tempat kerja, nanti pilihan
biasanya ya orang yang punya pendidikan lebih tinggi lebih mudah.
213
P : Bapak mengajar mata pelajaran apa Pak?
R71 : Dalam sistem Jerman, setiap guru harus punya minimum dua. Lebih bagus. Saya punya
bahasa Jerman, tapi juga Seni dan Etika.
P : Berarti pendidikan guru itu tidak spesifik Pak, berupa satu jurusan tersendiri?
R71 : Selalu harus pilih dua. Alasannya untuk organisasi sekolah ini lebih mudah, satu, karena
untuk sekolah kecil mungkin hanya ada 15 jam bahasa ini, kan? Tidak cukup untuk satu
guru. Kalau guru punya pelajaran lain lebih mudah untuk organisasi. Yang kedua
sebenarnya kalau orang hanya belajar satu jurusan, sering orang tidak pikir dalam satu
jurusan. Kalau orang punya dua jurusan lebih buka pikirannya. Seperti orang yang hanya
pikir Matematika yang paling penting. Dua, kalau bisa tiga, walaupun kalau tidak biasanya
sudah sudah untuk atur waktu di Perguruan Tingginya.
P : Apakah pendidikan guru itu setingkat sarjana Pak, atau setelah ambil sarjana, baru ada
pendidikan tambahan khusus untuk menjadi guru?
R71 : Biasanya di zaman sekarang itu biasa orang kuliah seperti biasa, tidak ada yang beda,
sampai mereka lulus, lalu mereka baru sebenarnya mulai belajar hal-hal pedagogik dalam
waktu dua tahun mereka membuat praktik di sekolah dan ada sekolah. Ini sebenarnya satu
sistem di mana belajar ilmu dulu, baru ditambah pedagogiknya. Hanya kadang-kadang ada
praktik supaya punya pengalaman ini bagaimana nanti jadi gurunya, karena nanti belajar 5
tahun, pertama kali di depan murid wah takut.
P : Itu setelah sarjana ya, berati bukan program seperti magister tapi lebih ke ....
R71 : OK. Ini beda ya untuk guru Hauptschule, beda juga untuk Realschule. Ini untuk guru
Gymnasium. Karena mereka sebenarnya penting mereka punya ilmu bagus juga, mereka
mengerti apa yang baru dalam bidang itu, karena itu harus punya standar sama dengan
orang yang nanti mau jadi profesor, standar harus kira-kira sama dan karena itu mereka di
Gymansium belajar yang metoda-metoda kalau mereka lulus Perguruan Tingginya. Antara
Hauptschule dan Realschule sebenarnya lebih sambung. Guru di dua ini harus lebih banyak
belajar tentang metoda karena murid-murid di sini lebih susah. Kalau di Gymnasium harus
lebih cerdik dan harus mau belajar. Ya itu pikiran dulu, kalau sekarang memang kita
katakan semua juga harus mengerti tentang metoda.
P : Apakah dalam sistem pendidikan Jerman ada guru konselor Pak?
R71 : Dalam sistem Jerman tidak ada. Kita sekarang punya salah satu sistem di mana satu sekolah
punya guru yang kerja seperti psikolog. Tapi sistem konselor seperti di sekolah-sekolah
Inggris atau Prancis juga punya, tidak ada. Guru sebenarnya di sistem kita tidak seperti di
sistem Prancis. Di sistem Prancis, guru hanya mengajar. Kalau murid terlambat, ini bukan
hal dia. Ada petugas yang jagain. Dalam sini ini semuanya kerjaan dari guru, karena guru
seperti ayah. Dia juga mendidik. Konseling itu semua juga kerjaan dari satu guru.
P : Berati masing-masing murid akan punya satu guru yang seperti itu?
R71 : Ya.
P : Seperti wali kelas begitu ya Pak?
R71 : Ya, benar. Kalau dia menemukan masalah, dia ke guru kelas dulu. Kalau masih belum
menemukan solusi, masih ada satu guru yang dipilih oleh siswa-siswi, kalau ini tidak
berfungsi biasanya kalau di Jerman bisa ke psikolog.
P : Mengenai masyarakat Jerman, Pak. Dalam kesan saya, lima puluh tahun terakhir ini Jerman
sangat kuat dengan teknologi dan sains, tapi Jerman juga sangat terkenal dengan para filsuf
dan senimannya, juga Dresden terkenal sebagai kota pujangga dengan arsitektur yang
sangat indah. Sebelumnya, Inggris – terutama London – adalah tempat yang dikenal
214
sebagai masyarakat industri. Apakah masyarakat Jerman mengalami sebuah perubajam
besar sehingga menjadi ....
R71 : Saya pikir karena ini masih tradisi yang saya pikir teknik masih bagus ya, semua jurusan
Teknik masih bagus, bidang Kedokteran masih bagus sekali dan Seni juga kalau saya lihat
masih banyak, apakah ini musik atau gambar, masih banyak. Tapi saya pikir karena ada
sistem mereka dari kelas 5 mereka juga punya seni juga punya musik dan ini ... mereka
harus mengambil Seni itu untuk kreatif. Penting ya apakah dia berpikir kreatif dalam
Matematika atau apa pun tapi bisa belajar di sini bagaimana kalau ada masalah bisa
menemukan solusi, ini sesuatu yang mereka belajar dan nanti juga banyak Perguruan
Tinggi Seni yang bagus. Ini ada karena memang ada tradisi yang bagus di Jerman. Saya
pikir di mana Jerman tidak begitu bagus di bidang bahasa-bahasa sebenarnya. Tidak ada
tradisi dalam hal ini ya.
P : Pada masa, katakanlah, 100-200 tahun lalu ya Pak, apakah Jerman terkenal dengan
industrinya atau arsitekturnya ....
R71 : Industri saya nggak tahu, tapi untuk Arsitektur ya.
P : Arsitektur ya.
R71 : Ya, Arsitektur pasti. Tapi ini punya hubungan dengan Ingenieur. Untuk Arsitektur perlu
Ingenieur yang bagus dan orang yang pintar sains yang bagus juga, karena semuanya Seni
dan Arsitektur punya standar tinggi. Ada cukup banyak arsitek yang terkenal dari Jerman.
Saya juga harus pikirkan kenapa seperti ini. Saya pikir karena ada tradisi-tradisi dari
Perguruan Tinggi, juga terkenal ada banyak contohnya kalau ada arsitek yang bagus di
Jerman, juga bangunan yang bagus ....
P : Untuk menjadi seorang yang dipandang berhasil di Jerman, apakah harus mencapai tingkat
pendidikan tertentu Pak? Misalnya di Indonesia mungkin orang katakan, kalau belum jadi
sarjana, belum jadi ―orang‖?
R71 : Sebenarnya di Jerman, apa yang penting, uangnya. Benar, ya. Siapa yang punya banyak
uang, punya standar tinggi. Tapi karena apa satu ahli, katakanlah ahli bengkel, kalau dia
punya tempat sendiri, dia bisa kaya. Jadi itu tidak penting.
P : Kalau seseorang, setelah lulus Gymnasium apakah sebagian besar orang tetap mengambil
Universität?
R71 : Tidak semuanya. Mungkin setelah mereka lulus Gymnasium hanya 50%.
A7.2 Responden 72
P : Ibu Su Sie adalah kepala sekolah untuk ....
R72 : Trilingual.
P : Oh itu maksudnya bagaimana Bu, kalau trilingual itu tingkat SMA juga seperti
Gymnasium?
R72 : Nggak. Jadi trilingual itu yaitu sekolah yang bernaung di bawah DIS untuk warga negara
Indonesia dan kita mengajarkan dalam 3 bahasa, bahasa Indonesia, bahasa Jerman dan
bahasa Inggris.
P : Ibu Su Sie udah berapa lama mejadi guru?
R72 : Dua puluh tahun. Saya sendiri dulu di Jerman sebetulnya di Kindergarten juga dan
mengajar macam-macam ya, bukan hanya sebagai guru formal, Kindergarten itu adalah
Kindergarten sebelum masuk ke sekolah, jadi kalau kita bilang adalah TK B, persiapan
untuk masuk SD.
215
P : Anak-anak dalam sistem pendidikan Jerman sudah harus memilih antara Hauptschule,
Realshule, atau Gymnasium. Apakah kurikulum Jerman itu sama dalam muatannya dengan
kurikulum Indonesia Bu – dasar-dasar berhitung, bahasa ibu, dsb. – atau berbedakah
sehingga anak-anak ini siap memilih jalur pendidikan yang berbeda-beda pada usia 10
tahun di kelas V?
R72 : Mungkin kalau itu kita tidak membicarakan kurikulum ya, kita membicarakan lebih
menyeluruh, jadi anak-anak di sana lebih dewasa dan lebih mandiri untuk berpikir. Jadi,
apakah itu tergantung hanya dari kurikulum, itu mungkin saya kurang setuju ya, karena itu
juga dari lingkungan sosial di mana mereka hidup. Itu yang mungkin di mana anak-anak
kita belum siap untuk menentukan di usia 10 tahun, nanti bidang apa yang akan mereka
tekuni. Jadi kita mungkin lepas dari kurikulum. Tentu kurikulum itu mempengaruhi karena
kurikulum di Jerman itu dasarnya, basic-nya lebih luas. Karena saya juga punya
pengalaman di sekolah Singapore, sekolah internasional. Kalau di sistem lain, terlepas dari
apa yang bagus dan tidak bagus, semua sistem ada bagusnya, ada jeleknya, itu kalau sistem
Jerman itu lebih luas, dia dasarnya lebih banyak. Jadi menuju ke atasnya, kerucutnya lebih
pendek. Kalau sistem Amerika lebih lancip.
P : Jadi ....
R72 : Basic-nya tidak kuat, tapi dia langsung jadi orang.
P : Basic-nya itu maksud Ibu?
R72 : Pengetahuan umum, filosofi, itu ya .... Tapi kalau kita di sini lebih luas, Artinya kalau kita
di sini di Trilingual bedanya dengan sekolah nasional plus lainnya, terlepas dari bagus dan
tidak bagus, kita lebih menekankan kepada kemandirian dan personality building. Kalau
academic itu bisa kita kejar kalau sudah kelas II, kelas III. Tapi kalau personality building
itu tidak bisa dikejar. You missed it, and you’re lost. Jadi karena itu kita lebih
mementingkan di bawah ini, dari root, dari kepribadian, itu yang memungkinkan, selain
kurikulum yang bagus juga, untuk anak-anak itu kalau nanti usia 9 atau 10 tahun untuk bisa
menentukan apa yang kira-kira dia ingin tuju. Bukan hanya kurikulumnya saja.
P : Apa karena pendekatannya lebih dialogis Bu?
R72 : Mungkin karena mereka lebih mempunyai, apa ya, daya berpikir yang mandiri. Jadi bukan
karena orang tuanya punya pabrik nanti anaknya harus jadi pemilik pabrik? Jadi kalau di
sini kan kalau dia datang dari keluarga apa nanti anaknya akan jadi apa, tentu di Jerman
juga ada. Tetapi tentu ada juga orang yang menjadi dokter meskipun ayahnya itu tukang
tembok, umpamanya. Kalau di sini itu mustahil. Karena keadaan sosialnya, karena macam-
macam. Tetapi bukan itu saja. Saya rasa itu adalah kemandirian di antara diri yang
dibangun.
P : Berarti itu datang dari keluarga yang ....
R72 : Bukan hanya keluarga. Sekolah juga mempengaruhi, ya. Sekolah juga, keluarga juga,
lingkungan juga, sosial .... Itu yang mungkin berbeda dengan di Indonesia, di Jerman.
Kalau di Jerman kita harus mandiri. Kalau tidak mandiri tidak bisa karena anak mulai kelas
I sudah sekolah sendiri, tidak ada yang diantarkan. Mereka naik bus, jalan, underground.
Karena itu juga ada sistem sekolah yang tidak boleh terlalu jauh dari rumah supaya anak itu
bisa mandiri dan bisa mengikuti jalan ke sekolah sendiri. Itu adalah satu step yang di sini
tidak ada.
P : Saat ini di Indonesia sedang marak kurikulum dengan character building, tetapi seringkali
ternyata itu adalah pelajaran yang diberikan 1-2 jam seminggu atau dulu ada pelajaran budi
pekerti yang dikeluhkan banyak orang perlu diadakan lagi. Apakah di Jerman ada pelajaran
seperti itu atau ...?
216
R72 : Ya, it’s a hidden curriculum, jadi hidden curriculum yang dijalani sehari-hari. Jadi kalau di
sekolah Jerman, SMA begitu, jarang di sekolah ada peraturan seperti kalau di sini tidak
boleh pakai ini, pakai itu, rambutnya harus .... Itu kalau di Jerman tidak ada. Bukannya
tidak ada, tidak tertulis. Jadi biasanya anak-anak dituntut untuk bisa mengerti apa yang
bagus, apa yang tidak bagus, dan apa yang bisa dipertanggungjawabkan oleh dirinya
sendiri. Jadi itu mungkin yang lebih membangun dan yang berbeda dengan sistem kita di
sini. Jadi, kalau kita mengatakan tentang kurikulum, memang kalau ini kurikulum, it’s a
curriculum, tapi curriculum is not everything dari pendidikan itu. Ada sistem sosialnya juga
yang penting.
P : Di Jerman, Grundschule berakhir di kelas IV ya Bu?
R72 : Di Jerman ya? Ya.
P : Apakah ada sistem ―tidak naik kelas‖ Bu?
R72 : Sebetulnya di Jerman itu jarang sekali ada anak yang tidak naik kelas. Secara tertulis, bisa
terjadi. Tapi jarang sekali. Dan itu kita lihat bukan hanya dari kemampuan akademiknya
saja, tapi juga dari kemandirian secara usia. Jadi kadang-kadang ada anak yang bukan
waktunya. Bukan dia tidak bisa, belum waktunya. Itu biasanya kita menganjurkan kepada
orang tua untuk menahan satu tahun. Tapi kalau orang tua bilang tidak, ya sudah.
P : Di akhir dari Grundschule apakah juga dikenal ujian akhir Bu?
R72 : Kalau seperti di sini itu hanya ada SMA. Kalau ujian seperti di SD, SMP, itu tidak ada. Kita
hanya pakai seperti ulangan-ulangan harian, atau mungkin di sini disebutnya ulangan
umum ya? Ulangan-ulangan di dalam kelas. Angka-angka yang menentukan, jadi sekolah
sebenarnya lebih fleksibel, anak ini diarahkan ke mana.
P : Apakah di Grundschule diadakan pengenalan profesi-profesi Bu?
R72 : Pengenalan itu dilakukan dengan bermain. Misalnya bermain monopoli itu kan
memperkenalkan profesi bankir. Mungkin juga bukan menjurus untuk membuat dia
memilih menjadi profesi-profesi tertentu, tapi lebih ke profesi-profesi apa, tanggung
jawabnya itu apa. Ada misi tertentu bagi setiap profesi. Jadi apakah dia bekerja sebagai
kuli, mandor, itu juga punya tanggung jawab tertentu. Jadi tanggung jawab itu yang
ditanamkan. Bukan kalau profesi ini, t‘rus bisa jadi ini, t‘rus pendapatannya segini. Nggak.
Ya, lebih ke arah tanggung jawab sosialnya. Soal nantinya dia jadi apa, nggak tahu ya.
P : Bagaimana pemerintah Jerman menekankan tanggung jawab itu pada guru-guru supaya
pesan itu sampai?
R72 : Mungkin itu tanya telur dulu apa ayam dulu. Sama ya. Karena pendidikan untuk mereka
jadi guru itu sudah begitu, dari dulunya. When does it start, I don’t know. Jadi kita tidak
bisa tahu, tapi sebagai guru kita mempunyai tanggung jawab tertentu. Dan itu tentunya
kalau kita mempunyai tanggung jawab kita akan menyampaikan kepada anaknya tanpa kata
mungkin, ya.
P : Apakah di dalam dokumen-dokumen itu tercantum juga Bu, misalnya juga dalam penilaian
terhadap guru ....
R72 : Itu mungkin juga tidak tertulis ya, tapi itu adalah sesuatu yang harus. Syarat yang tidak
tertulis mungkin ya. Kalau seumpama di sekolah-sekolah di Jerman, di kita juga, anak-
anak, siswa kita, kalau sudah berusia 17 dia boleh memilih untuk merokok atau tidak, di
sekolah. Kita mempunyai tempat tertentu, usia tertentu. Jadi kalau mereka mau merokok,
terserah, disediakan tempat bagi mereka. Supaya yang kecil tidak ikut-ikutan jadi mereka
sedikit tersembunyi tempatnya. Dan kalau umpamanya mereka mau merokok di bawah usia
17 tahun orang tuanya harus menulis surat memberikan persetujuan. Karena umur 17 itu
tingkat kedewasaan ya, adult – not adult. Jadi itu adalah suatu tanggung jawab juga. Kalau
217
mereka merasa it’s good for me, ya go ahead. Tapi kan anak-anak kalau mereka diberi
kesempatan untuk merokok, justru yang merokok sedikit sekali. Kalau tidak boleh, justru
jadi banyak. Itu adalah salah satu contoh dari tanggung jawab tadi, apakah mereka bisa
membawa diri di sekolahan. Jadi kita tidak ada yang tertulis dan tidak ada mata
pelajarannya. Kecuali mungkin Moral Ethik. Itu memang ada pelajarannya. Tapi kalau
Moral Ethik itu lain lagi. Itu lebih luas lagi, tentang religion, tentang ini, tentang itu ....
P : Apakah termasuk filsafat juga Bu?
R72 : Ya. Tapi di beberapa Gymnasium ada yang memberikan filosofi sebagai satu pelajaran
tersendiri, itu terserah kepada sekolahnya. Jadi ada tambahan dari sekolahnya sendiri.
P : Apakah kebanggaan orang Jerman sebagai bangsa yang unggul dalam sains dan teknologi
itu masih tetap kentara Bu?
R72 : Saya rasa sisa-sisanya masih ada. Kita lihat Mercedes misalnya, kita tidak bisa pungkiri
keunggulan teknologi mereka. Tetapi itu bukan jadi satu tujuan. Kembali kepada yang
filosofis tadi, saya kaitkan kembali, bagi generasi muda itu tidak menjadi keharusan. Yang
penting adalah kesadaran tanggung jawab sosial mereka. Tentu ada yang berpikir, jadi
dokter penghasilannya lebih besar daripada jadi ini, jadi itu. Di mana-mana itu tentu ada.
Tetapi ada juga sekarang, daripada susah-susah ambil Gymnasium kemudian harus ujian
akhir, enak juga kalau sudah kerja lebih awal, bisa punya uang sendiri, kemudian nanti
tinggal melanjutkan sekolah malam, dan seterusnya seperti itu. Jadi tidak lagi seperti dulu,
mencari uang itu berarti harus punya titel. Jadi kalau di Jerman jarang sekali ditanya, kamu
tuh sebenarnya sekolahnya apa, itu jarang sekali ditanya di Jerman. Jadi orang tidak peduli
berteman dengan siapa, apakah dia tukang batu, tukang ledeng, tidak penting .... Itu tidak
menjadi indikasi pertama untuk berteman. Tentunya kita tidak bisa membohongi, kita
semua manusia, kita selalu mencari hal-hal yang lebih indah, ya kan .... Itu kita harus
mengakui, tapi itu bukan indikasi pertama untuk mencari teman.
P : Kalau menurut Ibu, bagaimana ya benang merahnya orang Jerman. Dulu kan mereka
terkenal dengan arsitektur dan pujangga-pujangganya, filsuf-filsufnya sementara Inggris
yang lebih terkenal dengan pusat industrinya. Apakah ada satu masa ketika mereka
berjuang untuk menjadi pusat industri kemudian mereka mengubah haluan?
R72 : Mungkin tidak mengubah haluan, tapi menjadi satu kebutuhan. Karena, satu negara yang
tidak punya industri adalah negara yang susah sekali untuk maju, ya kan? Jadi kita bukan
mengatakan bahwa Jerman mempunyai benang merah yang ingin mengantikan posisi
Inggris, tetapi Jerman mempunyai benang merah untuk lebih maju dan itu salah satunya ya
industrinya itu harus dimajukan. Ya, mungkin saya melihatnya dari sudut yang sedikit
berbeda, jadi bukan karena ―Kita harus menjadi ini ... supaya ...‖ ya tentunya itu selalu ada
politik, permainan, ya. Tetapi, secara umumnya ya hharus ada kebangganya. Mungkin
sekarang ada tendensi anak-anak secara, semuanya instan. Baca buku pun instan, kalau
perlu ringkasannya aja. Nah itu umpamanya cukup bahaya juga. Dan itu juga cukup
mempengaruhi Jerman. Bukan karena katanya di Jerman itu banyak filsuf maka semua wah
.... Nggak, di sana banyak juga yang tidak peduli ya? Jadi itu hanya bagian kecil, bagian elit
yang masih menjaga filsuf-filsufnya.
P : Ketika Jerman merasa harus maju dan masuk ke dunia industri, tetapi toh dia tidak
meninggalkan keunggulan budaya-budaya lamanya. Apakah itu didasari oleh suatu sistme
pendidikan yang memungkinkan mereka terus merasa, ―Kita maju dengan teknologi
modern, tetapi kita tetap menghargai yang lama.‖ Dibandingkan dengan Indonesia, kita
ingin maju dengan IPTN dkk.-nya tetapi merasa budaya kita ketinggalam zaman?
218
R72 : Itu mungkin ada tendensi ke situ juga ya. Jadi ada fase-fase tertentu juga. Biasa saya rasa
perkembangan di dunia seperti siklus, naik-turun. Mereka naik dengan industri, mereka
sedikit melupakan kulturnya. Melupakan bukan karena dengan sengaja, tapi mereka harus
mengejar industrinya. Setelah itu maju, mereka turun lagi, naik lagi. Mungkin mereka
merasa, ―O sekarang ini yang ketinggalan, harus digenjot lagi,‖ saya rasa siklus naik-turun
itu terjadi di mana-mana, juga di Jerman.
P : Apakah mungkin karena pengaruh Jerman memiliki waktu berabad-abad untuk melalui
fase-fase itu sementara Indonesia hanya punya waktu yang jauh lebih singkat Bu?
R72 : Mungkin itu bisa terjadi, karena start-nya kan juga berbeda, di tingkat yang berbeda ya.
Tapi di Jerman pun sekarang ada keluhan tentang komputer karena anak-anak jadi malas
membaca, lebih suka main game di komputer. Jadi mulai banyak program untuk
menggalakkan anak-anak membaca, library programme. Ya mungkin jadi kemampuan
bahasnaya jadi berkurang. Ada juga yang mengatakan, bahasa Jermannya orang Jerman
sendiri menurun, perbendaharaan katanya, estetika bahasanya, itu sudah menurun.
P : Apakah pendidikan yang Ibu lalui ini sama dengan yang Pak Jürgen?
R72 : Saya lain, karena saya kan sekolah sebagai orang asing dan saya itu sebetulnya sekolahnya
bagian Kindergarten dan Pedagogi Sosial, jadi asal saya bukan mainstream pedagogi.
P : Membandingkan sekolah Jerman dan Singapura Bu, apalagi Ibu pernah mengajar di
sekolah Singapura, menurut Ibu ....
R72 : Itu susah untuk dibicarakan, itu saya rasa, tetap saya rasa ya, setiap sistem itu mempunyai
keuntungan dan kerugian sendiri. Kalau di Jerman, karena pendidikan saya di Jerman,
tentunya saya lebih mengatakan sistem ini yang paling cocok untuk saya, untuk saya yang
paling fleksibel. Tapi karena saya pernah mengajar di sekolah Singapura dan saya mengajar
di tingkatan yang cukup tinggi, jadi V, VI, SMP I, II, dan saya mengajar Art. Saya melihat
anak-anak itu tidak kreatif. Karena dari Art kita bisa melihat anak-anak itu kreatif atau
tidak. Apakah itu sesuatu yang salah, saya tidak bisa mengatakan. Mungkin itu yang
diperlukan di Asia. Bisa jadi. Saya tidak tahu. Apakah itu kekurangan, I don’t know. Tapi
kalau saya tentunya, karena background saya dari Jerman, saya tentunya akan mengatakan
sesuatu yang kreatif adalah sesuatu yang paling bagus. Dan sistem-sistem ini memang
kalau Singapura ini strict, ada disiplin-disiplin tertentu tapi ya kehidupan di sini juga strict
dan ada disiplin tertentu kan? Berbeda dengan di Eropa. Karena itu mungkin kita tidak bisa
mengatakan sistem mana yang lebih bagus. Sistem Amerika di Amerika cocok. Sistem
Eropa di Eropa cocok. Sistem Asia di Asia cocok. Dan kalau saya sebagai orang tua, kalau
Anda tanya saya begitu, anak saya akan dicocokkan ke sistem mana, tentunya saya memilih
Eropa karena saya dibesarkan di Eropa, begitu kan? Karena menurut saya itu pengetahuan
umumnya luas, dan basic-nya kuat, nanti jurusannya itu baru bisa ditentukan kalau mereka
sudah lebih besar. Meskipun saya masuk universitas, tidak jarang mahasiswa switch karena
dia merasa, ―Ah ini tidak cocok,‖ lalu dia pindah.
R72 : Satu tambahan, di sekolah Jerman, berkompetisi itu adalah suatu bagian dari upaya untuk
membentuk keunggulan dalam karakter, tetapi bukan itu saja. Sikap yang kompetitif juga
dipandang sebagai upaya mendukung keunggulan akademis dalam sains. Olahraga itu tidak
semata-mata untuk berkeringat atau, tetapi mereka diajarkan kalau misalnya berenang, dia
harus bisa berenang seperti halnya olahragawan. Ada pesan-pesan moral yang diberikan
melalui pelajaran olahraga. Misalnya begitu mereka dikasih aba-aba, menceburkan diri ke
dalam kolam, dalam hitungan tertentu mereka harus bisa melepaskan baju luarnya.
Kemudian mereka juga dilatih untuk berdiri di atas satu kaki dengan posisi tangan tertentu.
Ini diberikan sebagai pemanasan sebelum berenang, tetapi kita juga tahu bahwa dengan
219
mereka bisa melakukan itu, keseimbangannya akan terlatih dan keseimbangan tubuh yang
terlatih dengan baik akan memiliki pengaruh positif, akan menunjang prestasi akademisnya.
Mungkin yang latihan keseimbangan itu diberikan sejak mereka kelas I SD, tetapi
dampaknya akan terlihat ketika mereka di Gymnasium. Hal-hal seperti ini penting juga,
bukan cuma kurikulum yang tertulis.
A7.3 Responden 73
P : Joseph di DIS sejak kapan?
R73 : Kelas VI. Waktu itu saya pindah masih kelas VIII.
P : Kelas VIII pindah kesini ?
R73 : Waktu saya pindah, saya kelas VIII. Tapi saya nggak boleh langsung ikut kelas VIII. Di
sini foreign, mereka tuh harus ikut 1 tahun Deutsch, full time, 7 jam sehari, one year dan
harus mulai dari pertama kelas VI lagi walaupun dia umurnya sudah tua.
P : Tapi kemudian bisa mengejar juga?
R73 : Kalau benar-benar pintar, bisa. Tapi kalau loncat kelas itu kadang-kadang susah sekali ya.
Untuk orang Jerman saja susah sekali, apalagi untuk orang asing, udah nggak bisa gitu.
P : Joseph sekarang di kelas XI ada berapa bahasa yang digunakan dalam pelajaran?
R73 : Sekarang tiga, jadi 80% bahasa Jerman, 15% bahasa Inggris, dan 5% bahasa Indonesia. Jadi
anak-anak Jerman nanti kan untuk pelajaran pilihannya mereka kan harus belajar bahasa
Prancis, kalau kita nggak usah ikut itu tapi Indonesia.
P : Boleh memilih tapi?
R73 : Sebenarnya boleh, tapi pernah anak-anak Indonesia kan mau lebih enak memilih bahasa
Prancis daripada bahasa Indonesia, kalau dapat chance kan, tapi ternyata bahasa Jerman
saja sudah susah, ngapain ambil yang Prancis lagi? Jadi disarankan ambil yang Indonesia.
P : Berarti Joseph sebelumnya di Indonesia juga?
R73 : Saya di Indonesia terus, dari kecil. Pertama sekolah Korea, Indonesia, Amerika, kemudian
yang keempat di sekolah ini.
P : Waktu di sekolah Indonesia lama?
R73 : Ya, paling lama. Kira-kira 6 tahun, mulai kelas IV. Di sini dari kelas VI sampai XI, sudah 5
tahun.
P : Di sini kan sampai kelas XIII, setelah itu mau melanjutkan ke mana?
R73 : Ke Jerman, mengambil Psikologi.
P : Berarti setelah XIII, langsung Universität?
R73 : Ya.
P : Di sini ada masa pengenalan profesi?
R73 : Paling namanya Ethik ya? Ethik tuh kita belajar filosofi dan dari sana saya mengalami
banyak hal baru yang bisa saya pakai untuk Psikologi.
P : Di dalam pelajaran di DIS ini apakah ada pelajaran pilihan?
R73 : Wajib. Tapi mulai kelas XI ada yang bisa dipilih.
P : Apa itu yang dipilih?
R73 : Jadi Sains itukan ada 3: Kimia, Fisika dan Biologi. Itu kalau di kelas XI salah satu bisa
dipilih dan tidak usah ikut pelajaran itu. Jadi ini semacam milih arah fokus dia. Jadi kalau
dia mau jadi dokter, bagaimana pun Biologi dan Kimia harus ikut. Tapi kebanyakan kelas
kita tuh semuanya nggak mau ikut Kimia karena memang gurunya susah sekali, tetapi ada
beberapa yang nggak ikut Prancis.
P : Joseph sekelas berapa orang?
220
R73 : Sekarang 14. Dulu pas kelas VI-IX, kelas kita yang paling banyak karena ada 22. Itu udah
hampir seperti sekolah di Indonesia yang 30, tapi banyak yang keluar karena ke Jerman
ataupun ke negara lain, jadi 14 sekarang.
P : Dari pengalaman 6 tahun di sekolah ini, apa yang paling membanggakan dari sekolah ini?
R73 : Ya secara keseluruhan, yang pertama enak ya bisa bahasa Jerman gitu ya, dan pertama
memang saya ke sekolah ini nggak ada tujuan, sebenarnya saya tuh kenapa ya pindah ke
sekolah ini padahal kan itu kan susah sekali. Tapi habis saya bisa bahasa Jerman dan saya
bisa berkomunikasi dengan orang Jerman saya merasa ada tuh chance di future saya untuk
... lebih banyak chance-nya dari orang lain, kalau orang lain cuma bisa satu bahasa, saya
bisa dua, enak kan? Dan kalau sekolah ini tuh maunya semuanya individual, jadi nggak ada
multiple choice, nggak ada dibantu guru satu-satu, semuanya nggak dibantu. Tapi kamu
kerja ini, udah stop. Kita harus yang nyelesaiain, kita yang bikin, dan nggak ada multiple
choice itu mereka emang yang mau mendalami itu yang walaupun kita susah ikut
pelajarannya saya tetep suka banget sistemnya sekolah ini dan, bagaimana ya, sekolahnya
kalau orang lain nanya sekolah di mana tuh, proud of my school aja, aku sekolah di Jerman.
―O, bisa bahasa Jerman?‖ Ya, jadi karena aku bisa bahasa Jerman, jadi saya bisa lebih
banyak chance untuk ... mengaktualisasikan diri.
P : Joseph bisa berapa bahasa?
R73 : Saya, 5: Indonesia, Korea, Jerman, Inggris dan bahasa Mandarin.
P : Orang tua sudah lama di sini ya?
R73 : Ya, sudah 22 tahun.
P : Di antara guru-guru, menurut Joseph, apakah ada karakteristik dari guru-guru berdasarkan
bidang studinya? Misalnya guru ilmu-ilmu sosial ada stereotipe seperti ini, atau guru-guru
ilmu-ilmu alam seperti ini?
R73 : Beda. Kalau di sekolah kita beda sekali. Guru-gurunya tuh nggak asal datang, ngajarin,
pergi. Kelihatannya sama, tapi kalau di sini ada guru Fisika dan Matematika, orangnya tuh
bener-bener mau bikin murid itu ngerti. Udah selesai, udah coba? Dia orangnya cepat
loncat. Tapi guru bahasa Jerman kita beda, kalau dia tuh, setiap kali bawa handout paper,
t‘rus dia siap-siapin semuanya, dia jelasin ini kenapa begini, sampai dia makai waktu
pelajaran lain, sampai udah ngerti baru boleh ke pelajaran berikutnya. Kalau guru Biologi
dia tuh sukanya eksperimen, sampai dia tuh bikin ruangan chemi-bio sendiri, dia suggest ke
sekolah untuk buat Biology Room dan Chemistry Room dan dia tuh udah bikin semua
eksperimen yang dia bisa dan kita dalemin, tapi memagn susah. Jadi semua guru ada
karakternya sendiri dan karena itu kita, murid-murid sekolah ini, jadi lebih mau dateng ke
sekolah dan ikut pelajaran itu daripada, kok dia lagi, dia lagi, tapi sekarang pelajaran dia,
enak banget dan ada karakternya, jadi kita tahu harus bagaimana.
P : Dan semuanys kompeten di bidangnya masing-masing ya?
R73 : Ya, semuanya memang jago-jago.
P : Apakah Joseph merasa sekolah Jerman ini tuntutan sains dan teknologinya lebih tinggi
daripada di sekolah-sekolah lain?
R73 : Sebenernya sih nggak begitu ya. Nggak begitu beda waktu saya sekolah di sekolah
Indonesia dan sekolah Korea, eh Korea nggak ada, soalnya waktu itu masih kecil di sekolah
Korea. Waktu saya di sekolah Indonesia dan Amerika mereka tuh emang sainsnya
mendalami juga dan Indonesia tuh nggak kalah jauh, apalagi Indonesia tuh lebih nggak ada
eksperimennya dan lebih mendalami itu into the point gitu, tapi kalau sekolah sini bagus,
tapi mereka tuh cara bikin ngertinya murid tuh beda. Kalau ngelihat buku misalnya buku
Biologi Indonesia dan buku Biologi Jerman tuh sebenarnya isinya sama, tapi cara
221
menjelaskannya benar-benar beda. Kalau orang Jerman tuh kayak bikin mudah sekali anak-
anaknya ngerti. Mereka tuh bikin eksperimen baru supaya anak-anak itu bener-bener
mengerti. Kalau Indonesia isinya sama, dan bagus, tapi mereka tuh lebih cuma ke tulisan,
poin-poinnya, anak-anak itu harus ngerti tanpa eksperimen. Jadi di sini tuh lebih banyak
chance untuk eksperimen, itu yang bagus.
P : Apakah dengan chance banyak eksperimen itu juga lebih menggugah rasa ingin tahulebih
banyak?
R73 : Lebih banyak.
P : Kemudian dari proses yang cukup panjang di Gymnasium ini dari kelas V sanpai kelas XIII
apakah ada guru untuk konseling? Untuk misalkan ada permasalahan apa di kelas atau
bingung mau memilih jurusan atau mau kuliah di mana ....
R73 : Ada, jadi itu tuh sebenernya guru tutor, mereka tuh punya pengetahuan soal universitas dan
sekolah-sekolah, jadi kalau kita ada masalah kita bilangnya ke dia. Waktu itu saya bilang,
saya tuh mau jadi psikolog, tapi nilai saya nggak begitu bagus. Nah dia bilang, ―Oh kalau
mau kayak gini, kayak gini,‖ kalau mau turun kelas, biar nilaimu bagus, atau seperti ini dan
itu. Mereka tuh jawabannya memang bikin puas gitu. Kita memang nggak perlu konselor
yang bener-bener cuman konselor gitu, guru-guru kita memang udah experienced, mereka
tuh udah cukup bisa jadi counsellor kita dan mereka setiap saat ada untuk membantu.
P : Menurut Joseph, apa ciri khas pendidikan Jerman yang Joseph jalani ini?
R73 : Orang Jerman tuh memagn paling paling jago untuk mikir yang mendalam, ya. Apakah itu
Sains, atau Jerman atau bahasa Inggris, itu nggak pengaruh. Jadi ada orang yang kalau
kasih tahu satu plus satu itu dua tahunya cuma satu plus satu, dua. Tapi kalau orang Jerman
kasih tahu satu plus satu dua mereka tuh tahu semua, dua minus satu itu satu, dan dua plus
satu itu bakal jadi tiga, mereka tahu semua. Hebat banget mereka, karena dari dulu mereka
belajarnya tanpa multiple choice. Apakah itu Sains atau nggak, kalau mereka belajar,
mereka tahu semua, nggak tahu kenapa. Bisa mereka langsung tahu begitu. Padahal kalau
saya sama teman-teman saya yang lain, ―Hah? Kok tahu?‖
P : Joseph setelah menjadi psikolog, apa yang mau dilakukan?
R73 : Sebenernya sih tujuan saya sih maunya dari dulu mau passion diri saya, soal diri saya dan
UNICEF tuh kok masih ada di dunia banyak orang yang miskin dan anak-anak di Afrika
masih meninggal setiap saat. Itu pertanyaan bagi saya, saya kalau bisa dengan psikolog ini
mau bener-benar, memang nggak tahu bisa terjadi nggak ya, bener-bener mau nolong soal
kemiskinan, bukan soal kemiskinan, tapi anak-anak di Afrika itu ada hak untuk hidup
seperti kita ini. Wish saya tuh, tujuan saya tuh kalau bisa dengan kemampuan saya yang
kecil ini memperbaiki, apa ya, membantu anak-anak yang nggak miskin, nggak bisa makan
dan sakit AIDS padahal mereka tuh bisa belajar mereka tuh bisa build new continent, new
future-lah di Afrika. Nggak cuma Asia, nggak cuma Amerika dan Eropa yang punya hak
untuk bangkit dan jadi kayak gini, cuma mereka tuh mulainya dengan kemiskinan, karena
itu yah susah bangkitnya. Kalau itu saya udah tercapai ya udah saya nggak punya wish lagi.
P : Udah lana belum punya wish kayak gini?
R73 : Dari kecil, ya.
P : Dari kecil?
R73 : Ya kayaknya dari kecil emang udah punya mimpi kayak gini, kalau lihat TV mikirnya, we
must help the kids, we must help the kids. Sekarang juga banyak anak-anak yang meninggal
dan nggak ada bedanya, malah tambah parah, dunianya tambah parah ....
P : Apa kontribusi pendidikan di DIS ini terhadap mimpi kamu?
222
R73 : Bahasa dan Ethik. Ya karena Bahasa itu enabling dan dari Ethik kita bisa mempelajari
kepercayaan orang dan dari kepercayaan itu masih bisa dibedakan lagi. Dari Ethik itu kita
bisa langsung ambil intinya, bisa lihat masalah lebih luas. Dan tujuan saya tuh bisa belajar
semua agama, nggak cuma satu, biar kan tahu bedanya apa, sebenarnya kan tujuannya satu,
hidup baik tanpa dosa, dan Tuhan mencintai kami, udah, nantinya kita ke surga. Tapi
kenapa kita ada banyak agama?
A7.4 Responden 74
P : Katharina dari kelas?
R74 : XIII. Itu berarti Gymnasium yang terakhir?
P : XIII itu berati gymnasium yang terakhir begitu?
R74 : Ya.
P : Katharina di sini sejak kelas?
R74 : Sejak Kindergarten, saya di sini Kindergarten-nya 3 tahun, dari pertama kali sekolah
sampai sekarang di sini.
P : Setelah ini rencananya akan melanjutkan kuliah di?
R74 : Vienna.
P : Jurusan?
R74 : Jurusan International Business.
P : Saya ingin berfokus ke Gymnasium, selama 6 tahun ya?
R74 : Ya, ada masa orientasi kelas V dan VI, kemudian masuk kelas VII sampai XIII, jadi 6
tahun.
P : Selama di Gymnasium ini pelajarannya kan ada yang wajib, ada yang pilihan ya?
R74 : Ya, tapi pelajaran pilihan itu baru bisa pilih kelas XII, XIII.
P : Hanya 2 tahun terakhir?
R74 : Ya, 2 tahun terakhir, yang lainnya nggak ada yang bisa dipilih.
P : Nah dalam seminggu ada berapa jam pelajaran?
R74 : 32 jam.
P : Ketika boleh memilih penjurusan, apakah ada kecenderungan di antara teman-teman
sekelas untuk memilih jurusan tertentu, misalnya ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu alam?
R74 : Sebenarnya kan penjurusan baru bisa di kelas XII dan XIII, jadi hanya dua tahun. Kalau
mau ilmu sosial yang ada cuma bahasa Prancis. Kalau yang lainnya, bis amemilih Fisika,
Kimia atau Biologi. Ada 4 pilihan. Dan kita pun harus ambil 3, keluarin 1. Jadi yang ambil
Sains, mereka pasti keluarin Prancis, tapi kalau yang ambil Prancis bisa memilih
mengeluarkan yang mana saja, salah satu dari tiga itu. Saya sih mengeluarkan Kimia, tapi
ada juga yang ambil Prancis, mengeluarkan Biologi, harus lihat dari angka-angkanya, yang
mana yang paling bisa.
P : Motivasi memilih mengeluarkan yang mana itu apa ya?
R74 : Motivasinya sih beda-beda ya. Kalau saya dari nilai sih bisa-bisa aja, tapi saya lebih
berminat ke bahasa karena kalau saya mau kuliah itu bisa dua bahasa, salah satunya
Prancis. Jadi saya sudah mikir panjang, karena kuliahnya mau itu. Tapi kalau yang lainnya
saya nggak tahu. Ada yang karena angka, ada yang karena apa ... saya juga nggak tahu.
P : Apakah di sini ada karakteristik tertentu yang menandai guru-guru ilmu alam dan
membedakan mereka dari guru-guru ilmu sosial, dan sebaliknya?
223
R74 : Ya ada lah. Pasti mereka ketahuan, oh yang kayak begini ini pasti guru-guru ilmu alam,
yang sains-sains gitu. Kalau yang udah guru-guru yang kayak begini, yang kacamata, pasti
guru Jerman, Literatur Inggris, kelihatanlah. Ada juga sih yang funky-funky jadi nggak
kelihatan begitu.
P : Nah kalau begitu, apakaha ada stigma tertentu yang melekat pada guru-guru ini, misalnya
perbedaan kualitas atau hal-hal lainnya?
R74 : Nggak bisa dibilang kayak gitu ya, semuanya sih kualitasnya tinggi, tapi memang sama-
sama tinggi. Kalau dari cara didaktika, cara mengajarnya sih bagus. Bagus juga bahwa cara
mengajarnya beda-beda, karena kalau Biologi atau Kimia kita lebih pakai PowerPoint
presentation, kalau literatur kita based on the text, jadi dari dua-dua sisi kita dapat, jadi kita
benar-benar berasa penuh, jadi merasa enak gitu kan.
P : Untuk Katharina, dari semua yang dialami di sekolah Jerman ini, apa yang paling
dibanggakan, poin yang lebih dibandingkan sekolah lain?
R74 : Dari sisi pendidikannya atau dari sisi ambiance sekolahnya?
P : Dua-duanya.
R74 : Kalau dari sisi pendidikannya sih saya sangat suka banget karena kalau misalnya kayak
Literatur, kita bisa belajar dari Literatur orang Jerman karena mereka kaya banget, yang
pinter-pinter, itu kaya banget. Atau kita masuk ke ilmu alam, kayak Einstein, jadi kita
nggak perlu ke Amerika, nggak perlu ke mana-mana. Dari negaranya sendiri itu kaya
banget, OK ini bisa jadi idola gue karena begini, begini. Jadi saya merasa enak aja. I think
it’s good. Dari cara diajarinnya juga bukan gurunya yang ngomong melulu tapi terus kita
disuruh ngafal, jadi dia tanya kita gitu bener nggak sih atau lu cuma ngafal doang karena
kalaupun kita ngafal doang, mungkin exam-nya bagus tapi kerjaan di kelasnya pasti dapet
minus, kalau kita ngafal doang, gurunya pasti akan tahu. T‘rus kalau dari sisi ambiance-nya
tuh enak, guru udah kayak teman, karena saking dikitnya kita, di kelas saya cuma 11 orang,
jadi bener-bener kayak temen dan semuanya bisa dapet attention gurunya, jadi gurunya
pasti akan nyadar kalau satunya nggak ngomong apa-apa atau ngantuk, jadi pasti kita yang
nggak tahu sebenarnya gurunya jadi nyambung. Kita community-nya juga kecil kita, nggak
yang senioritas. Kadang-kadang kalau lagi lunch break saya duduk dengan anak kelas IX,
ngobrol-ngobrol, dan dari dulu waktu kecil juga ngobrol sama anak gede juga nggak
masalah, jadi enak gitu. Nggak ada mayoritas lu harus tunduk sama gue gitu.
P : Apakah di sini ada sistem wali kelas?
R74 : Ada.
P : Guru konselor?
R74 : Untuk guru konselor setiap tahun kita memilih satu guru.
P : Murid ya yang memilih?
R74 : Ya, murid yang memilih, jadi kita tanya guru yang mana yang mau, karena kita kan sistem
OSIS kita juga punya, jadi pilih ketua OSIS. Ini cuma pilih ketua OSIS, t‘rus pilih wali
kelas, t‘rus mereka punya satu meeting gitu, baru dari pertemuan itu kita milih counselling
teacher-nya.
P : O, wali kelasnya juga dipilih?
R74 : Ya.
224
A8. Wawancara di Lycée International Français
Bagan sistem pendidikan Prancis yang digunakan dalam proses wawancara ini tersedia pada
lampiran B2.
A8.1 Responden 81
Transkrip ini merupakan terjemahan dari wawancara yang dilakukan dalam bahasa Prancis.
Istilah-istilah teknis tidak diterjemahkan. Bagan sistem pendidikan Prancis tersedia pada
R81 : Tugas utama saya adalah sebagai conseillère de principale d’education, komunikator antara
Sekolah dan murid-murid, saya menangani sistem, jadi saya bukan seorang yang sehari-hari
berfungsi sebagai spesialis dalam ilmu-ilmu sosial.
P : Seperti wakil kepala sekolah?
R81 : Ya, kira-kira seperti itu.
P : Tetapi Ibu mengajar bahasa Jerman?
R81 : Saya mengajar bahasa Jerman, baik untuk jurusan Sains maupun untuk jurusan Ilmu-Ilmu
Sosial, juga untuk kelas Literatur.
P : Fokus saya adalah pada Lycée. Apakah di sini hanya ada Lycée atau juga jenjang lainnya?
R81 : Tidak, di sini ada semua jenjang, mulai dari Maternelle sampai Lycée. Kami punya semua
jenjang, mulai dari pendidikan untuk anak berusia 3 tahun sampai jenjang Terminale.
P : Dan setelah Terminale, anak-anak ini melanjutkan studinya ke mana, Bu?
R81 : Bermacam-macam. Ada yang ke Prancis, tapi ada juga yang ke Amerika Serikat, ke
Inggris, ada juga yang tetap di sini, ke SGU.
P : Jurusan yang ada pada tingkat Terminale apa saja ya Bu?
R81 : Di sini kami ada jurusan ES (Économique et Sociale), S (Scientifique).
P : Jadi di sini ada dua jurusan?
R81 : Jadi, anak-anak memilih jurusan mereka setelah Seconde. Ya? Di sini kami memiliki
Terminale générale. Tidak ada Technologique. Kami punya Première générale, juga ada
Seconde générale. Jadi di sini, untuk jurusannya, kami punya ES dan S. Kami tidak punya
L (Lettres classique) karena tidak ada cukup murid yang berminat ke jurusan itu.
P : Seperti di Indonesia, jurusan ini juga tidak populer ya Bu?
R81 : Kita tidak ada banyak yang mau kuliah itu dan mungkin ada dua anak saja atau begitu, dan
itu tidak cukup. Jadi, setelah anak masuk dari Troisième, anak-anak sudah bisa memilih di
antara jurusan apa spemilihan jurusan dilakukan, bisa itu lebih Teknik seperti di sini STM
atau yang kita ada di sini, Seconde générale et technologique. Dan kita punya yang ini aja.
Setelah itu mereka bisa ke Première classique yang kita punya atau Première
technologique dan mereka mungkin sudah bisa jadi mekanik ....
P : Jadi, kalau melihat skema, anak-anak bisa memilih antara Baccalauréat, BEP dan CAP?
R81 : Kalau Bac. itu pada umumnya, pada umumnya ya, anak-anaknya lebih baik daripada yang
BEP atau CAP, tapi tidak selalu. Ada juga orang yang memang semata-mata karena tidak
suka sistem model sekolah, tapi hebat untuk jadi mekanik, jadi mereka lebih baik memang
siap bekerja sesuai minat mereka, walaupun Bac. itu lebih disukai. Yang dua lainnya ini
lebih praktis, lebih ke praktek, seperti bengkel. Mereka sistemnya seperti magang. Dua
minggu di bengkel, kemudian belajar teorinya, kemudian magang lagi, lebih praktikal.
225
Bicara mengenai sistem pendidikan secara umum, sistem Jerman misalnya, bagi mereka
magang itu sesuatu yang sangat penting. Mereka mengembangkan sistem pemagangan
yang sangat baik. Tidak demikian dengan sistem Prancis. Orang Prancis tidak menyukai
sistem magang.
P : Kalau begitu, bagaimana murid-murid memilih di antara sekolah-sekolah yang ditawarkan
ini?
R81 : Ada berbagai tahap orientasi, misalnya di dalam Collège mereka dipaparkan mengenai
berbagai sistem pendidikan yang berbeda antara CAP, BEP, Seconde. Jadi mereka tahu
semua kemungkinannya. Setelah itu mereka menimbang bakat dan minat akademiknya,
juga minatnya untuk bekerja, para guru lantas menganjurkan masing-masing murid untuk
masuk ke sekolah dan jurusan tertentu.
P : Bagaimana dengan para orang tua mereka? Apakah ada perasaan bangga ketika anak-anak
mereka masuk ke sekolah tertentu?
R81 : Tentu saja. Kalau bisa, semua masuk ke Bac., tapi kalau bicara soal persentase saya tidak
tahu, mungkin Pak Rigaux bisa memberitahu lebih detail soal angka-angka itu. Semakin
lama memang semakin banyak anak masuk ke Bac., mereka mengambil Bac., lalu baru
mengambil spesialisasi profesional.
P : Apakah sistem pendidikan ini gratis?
R81 : Ya, gratis.
P : Hingga SMA?
R81 : Hingga universitas! Tapi hingga SMA, orang tidak bisa memilih akan bersekolah di mana,
untuk sistem pemerintah. Kalau saya tinggal di Cipete, maka saya harus bersekolah di SMA
Cipete. Tapi selalu ada SMA paralel yang diselenggarakan oleh swasta, itu bisa memilih di
mana kita mau bersekolah, tetapi kita harus membayar lagi.
P : Ketika murid-murid harus memilih di antara jurusan-jurusan yang ada ...
R81 : Ya, ada ES atau S atau L ...
P : Ya, siapa yang membuat keputusan murid ini masuk ke mana?
R81 : Ah, keputusannya! Keputusan ini dibuat oleh conseille de classe yang terdiri dari guru, dua
murid dan dua orang tua, dan semua guru yang mengajar di kelas itu, seorang kepala
sekolah dan juga CPE, conseillère de principale d’education, yaitu saya. Kami membuat
keputusan apakah murid-murid ini masuk ES atau S atau L.
P : Dan hal itu didiskusikan bersama?
R81 : Ya.
P : Dan murid-murid yang ikut di dalam conseille de classe itu juga punya hak yang sama
untuk berbicara?
R81 : Ya. Mereka boleh melakukan pembelaan atas teman-temannya, menjelaskan kondisi
teman-temannya itu dan ikut terlibat dalam perdebatan untuk memutuskan jurusan dan
kenaikan kelas untuk kelas mereka.
P : Setelah keputusan itu dibuat ....
R81 : Setelah itu keputusan diserahkan kepada orang tua, mereka bisa memilih untuk menerima
atau tidak. Ada komisi juga yang menangani naik banding ketidakpuasan orang tua. Mereka
akan menimbang argumen orang tua murid, argumen murid itu sendiri, keputusan yang
dibuat oleh conseille de classe dan setelah itu membuat keputusan mereka.
P : Semua murid harus bersekolah hingga usia?
R81 : 16 tahun, wajib.
P : Apakah menurut Ibu gengsi itu sesuatu yang penting bagi orang tua?
226
R81 : Ya, tentu saja. Itu sangat menonjol. Apalagi di Indonesia. Di Prancis juga mungkin ada,
tapi tidak terlalu menonjol. Biasanya yang paling menonjol memang masuk ke Bac. jurusan
S. Itu yang paling kentara. Sama seperti sekolah-sekolah lain di Indonesia, nampaknya.
Tentu saja kita berupaya menjelaskan kepada orang tua murid dan juga kepada murid-
murid, bahwa S itu bukan segalanya. Lebih baik menjadi murid yang unggul di ES daripada
biasa-biasa saja di S, juga demikian kalau mereka bisa menjadi murid yang unggul di L.
Tetapi ada kesan bahwa bahwa yang S itu lebih unggul dan seringkali kami harus
memberikan penjelasan lagi kepada orang tua murid.
P : Murid-murid di sini apakah kebanyakan berasal dari Prancis Bu?
R81 : Ah, tidak. Ada banyak kebangsaan. Ada orang Italia, Maroko, Tunisia, negara-negara
berbahasa Prancis, juga orang Indonesia, mereka yang orang tuanya bekerja di kedutaan
besar Prancis.
P : Anda menyebutkan ada perbedaan citra antara S, ES dan L. Apakah hal yang sama terjadi
juga di Prancis?
R81 : Ya, banyak murid ingin masuk ke S, tapi persentasenya tidak terlalu menonjol seperti di
sini. Memang ada lebih sedikit L dibandingkan ES, tapi tidak terlalu berbeda jauh. ES dan
S kira-kira hampir sebanding jumlahnya, karena banyak orang yang tertarik belajar
Ekonomi dan itu ada di ES, sama seperti banyak orang tertarik ke S. Kalau orang mau
masuk ke dunia bisnis, mau jadi pengusaha, ya mereka akan memilih ES.
P : Jika orang ingin menjadi seorang guru, apakah ia harus memilih jurusan tertentu di
universitas?
R81 : Tidak. Mereka tetap mengambil Baccaulauréat générale, setelah itu orang mengambil
kelas persiapan dan lalu mengambil concours, untuk kemudian mendapatkan sertifikasi.
Pendidikan profesi ini melibatkan pendidikan pedagogi tapi orang juga harus mengajar
dalam masa persiapan ini.
P : Di dalam sistem pendidikan Jerman, setiap guru harus menguasai setidaknya dua bidang
studi ....
R81 : Ya, dua. Kalau kami di Prancis hanya satu bidang.
P : Di dalam sistem Indonesia, dengan satu bidang studi juga, itu terkadang menimbulkan
kesenjangan karena guru terlabeli dengan bidang yang dia ajar, sedangkan ilmu-ilmu sosial
dipandang bisa dikuasai cukup dengan membaca buku tanpa memerlukan gurunya, cukup
dengan menghafal. Juga, guru-guru MIPA bisa memberikan les tambahan sehingga dari
segi penghasilan pun, guru-guru MIPA memiliki pendapatan yang lebih besar. Gengsinya
berbeda antara guru-guru MIPA dan guru-guru ilmu-ilmu sosial.
R81 : O, ya ... saya mengerti. Tidak, itu tidak terjadi dalam sistem Prancis. Sama sekali tidak
terjadi. Kami menghargai ilmu-ilmu sosial, Sejarah dan Geografi, kebudayaan. Hingga
Baccaulauréat semua ilmu diajarkan secara setara. Misalnya seorang murid S dengan
Matematika, Fisika dan Biologi sebagai pelajaran utama, tetap harus belajar Filsafat, bahasa
Prancis, Sejarah-Geografi dan bahasa Inggris. Itu semua harus dipelajari karena sistem
Prancis menuntut semacam pemahaman sejarah secara umum. Jadi semu aguru saling
menghargai sebagai rekan kerja. Walaupun saya guru bahasa Jerman, saya tidak
mempunyai kesan bahwa pelajaran lainnya tidak berguna. Sama sekali tidak. Murid-murid
pun tahu bahwa walaupun pelajaran-pelajaran tidak memiliki jumlah jam pelajarna yang
sama, tetapi semuanya akan berguna kelak. Dengan Sejarah-Geografi mereka akan
mengenal kebudayaan dan itu akan menjadi bekal yang baik bagi mereka, apa pun jurusan
mereka. Dan di Prancis, tidak ada yang namanya les. Para guru memberikan yang terbaik
yang mereka bisa berikan dan tidak ada yang cuma membacakan buku. Mereka hadir untuk
227
mengajar. Memang ada hal-hal yang perlu dihafal, tetapi guru hadir untuk menjelaskan
maknanya, untuk membantu murid melihat dokumen yang dihafalkan dari perspektif yang
lebih kaya sehingga menghafal memampukan murid untuk menganalisis lebih mendalam.
P : Apakah di dalam sistem pendidikan Prancis terjadi dikotomi ....
R81 : Sebaliknya, ada pembedaan yang sangat jelas dalam hal concours dan latar belakang
pendidikan.
P : Jenjangnya?
R81 : Bukan jenjangnya. Tapi dari sekolah mana, sertifikasi apa yang didapat. Bukan soal tingkat
pendidikannya. Sistem pendidikan Prancis adalah sistem yang sangat elitis. Bagi saya, itu
sangat terasa. Itu selama karena concours itu. Selalu concours. Di mana-mana concours,
jadi orang-orang yang terbaik akan masuk ke universitas top, lalu berikutnya berurut, jadi
selalu persaingan di mana-mana dan sekali bisa masuk ke universitas yang top, kebanggaan
itu dibawa seumur hidup. Bisa saja sudah puluhan tahun lulus dari sekolah, kemudian dua
orang Prancis bertemu di Indonesia, masing-masing akan bertanya, ―Dulu lulusan sekolah
mana?‖ Dijawab, sekolah A, ―Wah, kurang bagus ya sekolahnya?‖ Jadi selalu yang terbaik
dari yang terbaik.
P : Apakah itu berpengaruh terhadap potensi gaji dan kariernya?
R81 : Gaji tidak. Karier, ya. Nanti kalau sudah ikut kelas persiapan, dan itu ada concours lagi.
P : O, ada concours lagi? Ada banyak concours?
R81 : Ya! Selalu ada concours, concours di mana-mana! Selalu yang paling bagus dari yang
bagusnya dan artinya, ya pasti bagus mereka. Kalau universitas, semua yang punya Bac.
pasti boleh masuk, tapi kalau concours nggak, hanya yang paling bagus. Kalau saya bikin
CAPES itu, Jerman ya, bukannya saya tidak bagus, tapi saya dari yang bisa, saya yang
kurang bagus, mereka ambil yang paling bagus. Paling susah dua tahun kelas préparatoire,
sesudah itu ya sudah. Tidak ada lagi. Dan kelas préparatoire itu sudah spesifik, nantinya
mau jurusan apa. Itu dua tahun cuma buat belajar buat dapat concours-nya, buat masuk ke
École yang paling bagus.
P : Apakah orang juga melihat gelar yang dicantumkan bersama dengan nama?
R81 : O, nggak. Nggak. Tapi kalau di CV-nya itu harus, o, saya dari École ini, École itu. Jadi
seperti di sini, ekspat.-ekspat. semua, jadi ada hierarkhinya, saling bertanya seperti tadi itu,
―O, lulus dari mana waktu kuliah itu?‖ Jadi ya itu yang elitisnya.
P : Menurut Ibu, apa yang paling unggul dari sistem pendidikan Prancis?
R81 : Membuka perspektif yang luas untuk semua orang. Kewajiban untuk semua orang, terlepas
dari jurusan yang dipilihnya, untuk mengambil juga pelajaran-pelajaran Sejarah-Geografi,
Filsafat ... sehingga jiwanya bisa terbuka secara luas (une ouverture d’esprit). Sebaliknya,
sistem Amerika, sangat terspesialis. Di Prancis, orang mengakui juga bahwa murid perlu
dibukakan perspektif yang luas, jangan terlalu cepat jadi spesialis. Pada akhirnya dia akan
menjadi spesialis dan untuk itu ada kelas persiapan, tapi dia juga harus tahu bahasa dan
kebudayaan Prancis. Menurut saya, itu yang paling penting dari sistem pendidikan Prancis.
P : Pemikiran apa ya yang melandasi hal itu Bu? Bukankah kalau orang jadi montir atau supir
atau juru masak, dia tidak akan membutuhkan filsafat itu?
R81 : Ya, tentu mereka tidak memerlukan filsafat, tapi ya itu untuk membuka jiwa mereka,
membuka wawasan mereka, sehingga apa pun profesi mereka, mereka bisa memandang
kehidupan secara luas. Juga, supaya mereka mengenal bangsanya, pemikiran-pemikiran
bangsanya. Sangat penting orang belajar latar belakang bangsanya, bangga dengan
bangsanya. Orang Prancis sangat mencintai Prancis dan bangga menjadi bangsa Prancis.
Sangat penting mengenal tanah airnya, menguasai bahasanya. Dan memang saya melihat di
228
Indonesia orang banyak sekali menghafal, tidak berefleksi. Di dalam sistem Prancis, orang
juga masih menghafal, tetapi juga banyak berefleksi. Kalau sistem Jerman, mereka sangat
condong ke refleksi, banyak sekali refleksi, lebih daripada sistem Prancis.
Saya berharap sistem Indonesia semakin baik, saya lihat belakangan memang sudah ada
perbaikan-perbaikan, anaknya sudah mulai boleh berbicara, tidak hanya gurunya yang
bicara. Saya pikir itu yang paling penting, bahwa murid berefleksi. Di dalam sistem
Indonesia, bukan saja murid hanya menghafal dan tidak boleh berbicara, tetapi juga tidak
dikasih tahu bagaimana bisanya. Kalau di sistem Prancis atau Jerman, kita coba diskusi,
kita ada dokumennya, apa artinya, apa yang bagus apa yang ... kalau di Indonesia, ini hafal,
tapi artinya apa, dan buat apa nanti. Dan itu harus diubah, supaya anak juga belajar
bertanggung jawab. Kalau saya lihat, ―O bukan saya, ini ....‖ Yang salah biasanya yang
lain, tidak bisa retrospeksi, ―O ya, ini memang saya yang salah, karena begini ....‖ Memang
boleh ya, bisa saja kita salah. Tetapi di Indonesia karena pendidikannya begitu, nggak ada
refleksi.
Apakah saya sudah menjawab dengan baik?
P : Ya. Terima kasih, Mme Carole.
R81 : Tapi pasti ... memang dulu, waktu saya kuliah, ―O pasti, itu harus Science‖, harus. Waktu
saya itu murid yang bagus, mau atau tidak mau, harus ikut Science dan itu memang kurang
bagus ya.
P : O sempat terjadi begitu juga di Prancis?
R81 : Ya, dulu, 20 tahun yang lalu. Sekarang OK, sudah mulai lebih open ya, tapi di belakang itu
masih ada sedikit ya. Bon!
P : Baik, Ibu. Terima kasih.
A8.2 Responden 82
Transkrip ini merupakan terjemahan dari wawancara yang dilakukan dalam bahasa Prancis.
Istilah-istilah teknis tidak diterjemahkan.
P : Pak Philippe, Bapak mengajar Sejarah-Geografi?
R82 : Ya, Sejarah-dan-Geografi.
P : Anda sudah lama tinggal di Indonesia?
R82 : 14 tahun.
P : Kalau demikian, mungkin Anda menyadari bahwa di antara orang Indonesia, Sejarah dan
Geografi adalah ilmu yang kurang dihargai?
R82 : Ya, itu sangat kentara. Setelah tsunami di Aceh, saya bersama teman-teman di Prancis dan
kolega-kolega dari Prancis yang ada di Indonesia membentuk satu yayasan untuk
membangun kembali sekolah-sekolah di Aceh. Kami membangun 37 sekolah. Kami juga
menyumbangkan buku-buku. Saya menemukan bahwa ada sedikit sekali bahan bacaan
mengenai Indonesia sendiri. Di Prancis, ketika kita berbicara mengenai sejarah, kita tidak
hanya bicara mengenai sejarah Prancis, tetapi juga sejarah secara umum, sejarah dunia.
P : Murid-murid, terlepas dari jurusannya, tetap harus mengambil Sejarah-Geografi?
R82 : Ya. Untuk SMP, mereka mendapatkan pelajaran ini 3 jam seminggu. Itu untuk Sejarah,
Geografi dan Pendidikan Kewarganegaraan. Mereka mulai dengan mempelajari peradaban
mula-mula, Mesir, masyarakat Ibrani dengan Abraham dan keturunannya, Yunani dan awal
mula demokrasi, Atena, lalu orang mempelajari Aleksander Agung dan Makedonia.
229
Kemudian Roma, perluasan ke Mediterania. Hal ini diakhiri dengan penyerangan bangsa
Barbar. Untuk Geografi, mereka belajar isu-isu yang umum seperti populasi dan demografi.
Dalam Pendidikan Kewarganegaran, mereka belajar tentang kewarganegaraan, hidup
bersama, berorganisasi, masyarakat, dan seterusnya. Itu di kelas I SMP.
Di SMP kelas II, sejarah dilanjutkan hingga abad-abad pertengahan. Untuk saya yang
mengajar di Indonesia, materinya disesuaikan seperti Sunda Kelapa, perjalanan sejarah
lokal, kerajaan-kerajaan setempat. Dalam Geografi, mereka belajar benua Afrika, China,
Asia, hingga materi khusus mengenai Indonesia, juga benua Amerika. Di kelas III materi
ini diteruskan hingga Perang Dunia I beserta aspek-aspek kultural dan kebangsaannya.
Dalam Geografi dibicarakan mengenai Eropa dan berbagai bangsanya, serta berbagai
pertanyaan tentang eksistensi Eropa. Selain itu juga dibicarakan isu-isu kontemporer di
masyarakat.
Di tingkat SMA, materi yang sama diulang secara kronologis tetapi dengan diskusi yang
lebih luas sesuai dengan kapasitas para murid.
P : Faktor apa yang membuat Sejarah-Geografi menjadi pelajaran yang sangat penting bagi
Prancis Pak?
R82 : Saya pikir di Indonesia ya, ini pribadi ya, sistem Indonesia tidak bersikap adil terhadap
ilmu. Ada ilmu-ilmu yang ingin diasingkan sebagai dampak dari potitik yang dilakukan
pada masa Soeharto. Jadi itu adalah bagian dari tindakan politik yang ingin menjauhkan
masyarakat dari pemahaman kultural yang mendasar. Dengan Sejarah dan Geografi orang
akan memiliki pemahaman budaya yang lebih luas dan diperlengkapi untuk melakukan
kritik budaya, tentu di antaranya juga kritik terhadap pemerintah, tetapi itu dilakukan secara
sukarela, berdasarkan kesadaran pribadi. Ilmu itu sendiri bukanlah bagian dari entitas
politik. Dan hari ini, tidak ada lagi sentimen politik, tetapi apa yang sudah terjadi sudah
menjadi kebiasaan sehingga terjadi kesinambungan yang berkepanjangan.
Sejarah-Geografi. Sejarah adalah ilmu yang sangat bernilai untuk membantu kita
memahami semua ilmu lainnya. Sejarah semuanya. Sejarah Kedokteran. Sejarah Ekonomi.
Sejarah Matematika. Sejarah Politik. Dengan belajar sejarah, kita belajar menganalisis,
belajar bersikap kritis, melihat hal-hal yang mendasar dalam setiap studi.
P : Jadi tujuan belajar Sejarah-Geografi adalah untuk membentuk cara berpikir?
R82 : Tepat sekali. Yang terutama adalah membentuk jiwa dan semangat yang khas dengan
bangsa Prancis. Dengan pelajaran ini orang akan mampu memahami situasi yang mereka
hadapi dan melatih dalam membuat penilaian-penilaian.
P : Bagaimana dengan pekerjaannya? Di Indonesia, orang yang lulus dari jurusan IPA, mereka
mempunyai peluang yang lebih luas untuk meneruskan studi, ke mana pun mereka ingin
melanjutkan studi mereka. Tetapi untuk orang-orang yang mempelajari ilmu-ilmu sosial,
ada lebih sedikit kesempatan. Apakah pandangan semacam itu terjadi di Prancis?
R82 : Sama saja. Ilmu-ilmu sosial dipandang memiliki kebergunaan yang tidak langsung,
seseorang yang belajar informatika misalnya, mungkin lebih mudah secara langsung
menemukan apa yang ingin dikerjakannya dan menekuni pekerjaannya itu. Tetapi untuk
orang-orang dari ilmu-ilmu sosial, pilihan kariernya tidak begitu jelas tercermin dan
terimplikasikan dari studi mereka.
P : Apakah ada kesan bahwa murid-murid jurusan S cenderung bernalar sedangkan murid-
murid ES dan L cenderung kurang bernalar dan lebih menghafal?
R82 : Menghafal? Tidak! Sama sekali tidak! Tidak mungkin! Sangat penting bahwa murid-murid
menemukan, memahami dan menguasai materi itu. Tidak dengan cara menghafal. Sama
230
sekali tidak. Ya, saya mengerti di sini banyak sekali metode menghafal yang digunakan,
tetapi itu tidak boleh lagi terjadi lebih lanjut. Dulu mungkin ada, abad ke-19 ....
P : Kapan pendidikan Prancis berubah, kalau begitu Pak?
R82 : Perubahan yang besar terjadi setelah Perang Dunia II, dan perubahan drastis berikutnya
terjadi lagi pada 1968. Setelah itu masih ada perubahan-perubahan, tetapi tidak ada
perubahan drastis.
P : Menurut Anda, bagaimana rasa kebangsaan Prancis di antara orang-orang Prancis?
R82 : Semangat kebangsaan bagi orang Prancis sangat kuat. Kesadaran sebagai bangsa Prancis
sangat kuat. Di sini masih sangat kuat perasaan sebagai orang Jawa, orang Sunda, orang
Aceh. Memang ada juga berbagai-bagai wilayah dan suku-suku kecil di Prancis, tetapi
nilai-nilai kesatuan sebagai orang Prancis itu kuat. Orang Prancis sangat patriotik.
P : Apakah menurut Anda sangat penting bahwa murid-murid, apa pun kebangsaannya, untuk
mengenal sejarahnya sendiri?
R82 : Ya, tentu saja. Dia perlu mengenal sejarah bangsanya. Dia perlu memahami. Memahami
konteksnya di dalam ruang dan waktu. Dengan adanya globalisasi, orang semakin perlu
memahami dunia secara luas tetapi juga pada saat yang bersamaan memahami kondisi yang
dekat dengan dia. Jadi di Indonesia, misalnya, tidak cukup hanya belajar sejarah Indonesia,
tetapi orang Papua juga perlu belajar sejarah dan geografi Papua; orang Sunda juga belajar
sejarah dan geografi Sunda. Itu terjadi di Prancis. Murid-murid mempelajari fenomena
globalisasi tetapi juga di masing-masing regional mereka mempelajari karakteristik
wilayahnya sendiri. Ketika orang hanya mempelajari satu sejarah nasional yang sama,
maka mereka justru akan menjadi terasing dari akar budayanya sendiri.
P : Di Prancis, bagaimana ....
R82 : Ah ya, itu juga pernah terjadi di Prancis pada Republik III. Mereka ingin menghapus
kebudayaan lokal. Nenek saya, ketika dia kecil, kalau dia berbicara bahasa lokal dia akan
dihapus. Tetapi hari ini dengan adanya program Sejarah-Geografi ada upaya untuk
memulihkan kembali pengakuan atas kekayaan budaya Prancis.
P : Baik Pak. Terima kasih.
A8.3 Responden 83 dan 84
P : Charlotte sudah sejak kecil sekolah di sini?
R83 : Sejak kecil.
P : Sejak Maternelle?
R83 : Ya.
P : Apakah karena orang tua ....
R83 : Karena di Indonesia aja, kerja. Aku lahir di sini. Papa kerja di sini sejak aku belum lahir.
P : Di sini satu angkatan berapa orang ya?
R83 : Tergantung sih, tapi kalau sekolah di sini memang kita muridnya sedikit, 20-an, nggak
pernah naik sampai 30.
P : Dari 20-an orang itu, teman-teman yang Prancis dan yang Indonesia kira-kira berapa
banyak proporsinya ya?
R83 : Banyakan sih mixed, ya. Mixed Indonesia-Prancis. Kalau yang Prancis aja sih dari 20-an
paling 5 orang.
P : Menurut Charlotte, yang paling unik dari sekolah ini apa?
R83 : Mungkin kecil ya.
231
P : Kecil?
R83 : Ya kan, kalau internasional pada gede, student-nya banyak jadi mereka nggak pada
mengenal kalau di sinikan sekolah kecil, jadi sama employee-employee-nya, guru-gurunya
juga kita pada kenal, anak-anaknya juga pada saling kenal.
P : Kalau menurut Miryam, apa?
R84 : Kalau menurut aku ya kecilnya, jadi kalau kita mau kenalan sama semua ya itu di sekolah
Prancis. Kalau di-compare sama sekolah JIS, ya mereka saling nggak kenal karena sangat
besar. Di sini kenal semuanya.
P : Jadi, kalau kecil dampaknya?
R83 : Solidaritasnya.
R84 : Ya, solidaritasnya pasti kuat.
P : Ya kalau Miriam juga sejak kecil di sini?
R84 : Pernah sih tahun ‗98 ya, waktu ada masalah itu, cuma 3 bulan sih, tapi itu juga baru
Maternelle.
P : Nah, sekarang kalian kelas berapa>
R84 : Kelas 2.
R83 : Kelas 2.
P : Berarti Lycée ya?
R84 : Premier.
P : Premier berarti belum ada penjurusan?
R84 : Sudah. Kita sama-sama.
P : Oh satu jurusan,oke penjurusannya apa saja?
R83 : Ada yang Sains (IPA), Economics, sama Litterature.
P : Tapi Litterature nggak dibuka kan ya?
R84 : Nggak dibuka, soalnya nggak ada yang minta.
P : Berati kalian ini yang Economics?
R84 : Ya.
R83 : Ya.
P : Pembagian peminatan ini bagaimana? Apakah ada jurusan yang diperebutkan oleh murid-
murid? Maksudnya, apakah peminatan ini terjadi secara sukarela, atau banyak yang
terpaksa masuk ke jurusan-jurusan tertentu karena satu dan lain hal?
R83 : Nggak. Bukan karena terpaksa, tapi karena milih. Saya misalnya, milih Economics karena
saya nggak suka Sains. Mereka juga gitu. Kelas Sains itu isinya 10 orang, kelas kita,
Economics juga isinya 8 orang. Jadi orang masuk apa, itu karena milih, karena memang
sukanya apa, tahu nantinya kerja maunya dalam bidang apa.
P : Teman-teman yang lulus dari sini apakah kuliah di sini juga?
R83 : Ada sih yang di sini, tapi kebanyakan ke Prancis, atau Australia.Sda sih yang disini juga ad
juga yang kebanyakan ke Australi.
P : Kalian sendiri bagaimana?
R83 : Saya sih mau ke Eropa.
P : Miriam juga?
R84 : Ya. Saya sih pengennya balik ke Eropa. Soalnya kan sudah tinggal di sini dari kecil ....
R83 : Ya, balik ke Eropa. Ganti dikit.
P : Jurusannya, kalau boleh tahu?
R84 : Hukum. Saya mau ambil International Law.
P : Menurut kalian, apakah rasa kebangsaan orang Prancis itu lebih tinggi daripada orang
Indonesia?
232
R83 : Nggak tahu ya, tapi kalau orang Prancis sih memang, their pride ....
R84 : Pride-nya lebih. I’m proud to be French.
P : Apa yang dibanggakan dari menjadi seorang Prancisd?
R84 : The culture is very, very rich, you know?
P : Very rich? How rich?
R84 : Part of many things, the past ... mungkin juga karena makanannya enak-enak, tempatnya
juga bagus, senang aja ...
R83 : T‘rus juga politics-nya, ada securité sociale ....
R84 : Orang dijamin masa depannya.
P : Charlotte, selain 3 bulan waktu kecil, pernah tinggal lama di Prancis?
R83 : Nggak.
P : Miriam, pernah tinggal lama di Prancis-kah?
R84 : Nggak.
P : Menurut kalian, terjadikah di LIF bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu yang difavoritkan
oleh sistem?
R83 : Kayaknya everything is important, cuma yang paling penting Prancisa, Geography and
History, sama Matematika.
P : Tiga itu yang paling penting?
R84 : Ya, tapi karena kita Economics ya Ekonomi juga penting. Kalau di Sains, ya kayak IPA
gitu juga penting. Kayaknya kalau yang kurang dipentingin sama guru-guru tuh kayak
bahasa Spanyol ... atau Inggris ....
R83 : Tapi penting juga sih ....
P : Berarti tiga itu wajib ya?
R84 : Ya, tiga itu wajib. Karena kalau di Collège yang dilihat ya tiga itu.
P : Kalau begitu, apakah guru pelajaran itu lantas jadi lebih dihargai?
R83 : Nggak juga.
R84 : Ya, sama aja.
P : Ada nggak pelajaran yang cukup dengan menghafal, cukup dengan membaca buku sendiri,
sudah bisa, ujiannya pasti bisa?
R84 : Inggris kali ya?
R83 : Ya, Inggris.
R84 : Ya, itu doang sih.
P : Inggris sebagai bahasa kedua, maksudnya?
R83 : Ya, Inggris sebagai bahasa kedua. Yang ketiga Spanyol atau Jerman.
R84 : Orang milih Spanyol atau Jerman, di kelas berapa ya?
R83 : Dua. SMP kelas 2.
P : Menurut kalian, apakah ada kelemahan tertentu dalam sistem pendidikan Prancis yang
mendesak harus diubah?
R84 : Kalau menurut saya sih, it’s not perfect, but it’s already very good.
R83 : Mungkin little things, tapi nggak berarti.
P : Kalau di sini kan hanya ada Seconde générale ya? Tidak ada CAP dan BEP? Seandainya
ada murid dari Collège yang tidak bisa masuk ke Seconde générale, apakah pernah terjadi
seperti itu?
R83 : Nggak. Semua orang pasti bisa masuk. Mungkin ada yang nggak naik kelas, tapi kalau
mereka mengulang lagi, pasti bisa.
P : Jadi lebih baik mengulang di sini daripada ke CAP di Prancis?
R83 : Ya tergantung ....
233
R84 : Ya tergantung dia mau apa kerjanya. Karena kan ada sekolah yang spesialnya ini, kayak
kita tahun lalu ada anak di sekolah kita dia pindah ke Prancis karena she wants to do, join
the army to become a pilot, dan dia harus join sekolah itu, baru dia bisa.
P : Dan itu dari Seconde générale tidak bisa?
R83 : Nggak. Dia itu Seconde générale.
P : Nah, kalau yang bukan Seconde générale, ketika orang bisa memilih, apakah orang akan
memilih BEP atau CAP juga, atau BEP dan CAP hanya dipilih ketika orang sudah tidak
bisa lagi masuk Seconde générale?
R84 : Ya, memang ada yang memang masuk ke sana karena nggak diterima di Seconde générale,
tapi ada juga yang memang masuk ke sekolah itu, misalnya ada BAP gitu yang untuk
mereka yang mau jadi kerja di salon, nah daripada mereka ngambil Seconde générale,
première, terminale, bac, mereka langsung masuk ke jalur gitu, jadi bisa langsung. Ada
yang untuk mekanik, ada yang untuk kerja-kerja begitu.
P : Jadi kalau untuk orang-orang yang tidak suka bersekolah ...
R84 : Kalau memang lebih bagus masuk situ, daripada bikin Bac, nggak dapet karena pas-pasan
dan ada yang memang cocok, kenapa nggak?
P : Apakah potensi penghasilan tidak menjadi pertimbangan? Atau, potensi penghasilan orang
yang masuk BEP / CAP dan Bac. itu tidak berbeda drastis?
R84 : Tergantung orangnya juga. Sebenarnya semua orang bisa masuk Seconde générale, itu the
law, semua orang berhak, cuma ya kalau nggak naik kelas, ya setahun lagi ....
R83 : Memang beda-beda kalau orang nggak lulus troisième dengan kalau orang udah dapat Bac,
tapi kalau mereka rajin dan mereka memang bisa, ya pasti bisa-bisa aja berhasil. Tapi ya
pasti ada aja yang masuk BEP cuma karena nggak keterima di Seconde générale.
P : Di dalam sistem pendidikan Prancis kan ada conseille de classe ya, apakah suara murid
memang sangat terwakili di sini? Apa fungsi kehadiran kedua murid itu?
R83 : They defend us. Kalau ada masalah, mereka ngomongin di depan guru. Atau mungkin kalau
gurunya nggak mau kasih dia naik kelas, les délégués ini coba defend, ―Ya, cuma dia kan
tahun ini ada masalah‖ atau apa ... ada krisis .... Mereka kayak wakilnya kelas.
P : Baik. Terima kasih atas waktunya.
234
LAMPIRAN B
BAGAN SISTEM PENDIDIKAN
B1. Sistem Pendidikan Jerman
Sumber: World Data on Education, UNESCO.
235
B2. Sistem Pendidikan Prancis
Sumber: World Data on Education, UNESCO.