15
Varicella – zooster Walaupun masih diperdebatkan, terdapat bukti bahwa infeksi vaeisella bertambah parah selama kehamilan. Paryani dan Arvin (1986) melaporkan bahwa 4 dari 43 wanita hamil yang terinfeksi atau sekitar 10%, mengalami pneumonitis. Dua dari wanita ini memerlukan ventilator dan satu meninggal. Infeksi herpes zooster pada ibu hamil lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua atau mengalami gangguan kekebalan (immunocompromised). Pencegahan Pemberian imunoglobulin varisela-zooster (VZIG) akan mencegah atau memperlemah infeksi varisella pada orang rentan yang terpajan apabila diberikan dalam 96 jam dengan dosis 125 U per 10 kg, i.m. Efek pada janin Cacar air pada wanita hamil selama paruh pertama gestasi dapat menyebabkan malformasi kongenital akibat infeksi transplasenta, berupa korioretinitis, atrofi korteks serebri, hidronefrosis dan defek kulit serta tulang tungkai. Resiko tertinggi terletak pada usia gestasi antara 13 dan 20 minggu. Pajanan pada usia kehamilan yang lebih belakangan menyebabkan lesi varisella kongenital, dan bayi kadang-kadang mengalami herpes zooster pada usia beberapa bulan (Chiang dkk, 1995). Janin yang terpajan virus tepat sebelum dan saat persalinan ketika antibodi ibu belum terbentuk, mengalami ancaman

Infeksi Pada Kehamilan

Embed Size (px)

Citation preview

Varicella zoosterWalaupun masih diperdebatkan, terdapat bukti bahwa infeksi vaeisella bertambah parah selama kehamilan. Paryani dan Arvin (1986) melaporkan bahwa 4 dari 43 wanita hamil yang terinfeksi atau sekitar 10%, mengalami pneumonitis. Dua dari wanita ini memerlukan ventilator dan satu meninggal. Infeksi herpes zooster pada ibu hamil lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua atau mengalami gangguan kekebalan (immunocompromised).

PencegahanPemberian imunoglobulin varisela-zooster (VZIG) akan mencegah atau memperlemah infeksi varisella pada orang rentan yang terpajan apabila diberikan dalam 96 jam dengan dosis 125 U per 10 kg, i.m.

Efek pada janinCacar air pada wanita hamil selama paruh pertama gestasi dapat menyebabkan malformasi kongenital akibat infeksi transplasenta, berupa korioretinitis, atrofi korteks serebri, hidronefrosis dan defek kulit serta tulang tungkai.Resiko tertinggi terletak pada usia gestasi antara 13 dan 20 minggu. Pajanan pada usia kehamilan yang lebih belakangan menyebabkan lesi varisella kongenital, dan bayi kadang-kadang mengalami herpes zooster pada usia beberapa bulan (Chiang dkk, 1995). Janin yang terpajan virus tepat sebelum dan saat persalinan ketika antibodi ibu belum terbentuk, mengalami ancaman serius, bayi akan mengalami infeksi viseral dan susunan syaraf pusat diseminata, yang sering kali mematikan.

2.InfluenzaPenyakit ini disebabkan oleh virus dari familiOrthomyxoviridae, meliputi influenza tipe A dan tipe B. Influenza A lebih serius dari pada B. Penyakit ini tidak mengancam nyawa bagi orang dewasa sehat, kecuali apabila timbul pneumonia, prognosis menjadi serius. Haris (1919) melaporkan angka kematian kasar ibu hamil sebesar 27 %, yang meningkat menjadi 50% apabila terjadi pneumonia.

PencegahanCenter for Disease Control and Prevention(1998) menganjurkan vaksinasi terhadap influenza bagi semua wanita hamil setelah trimester pertama. Berapa pun usia gestasi, wanita dengan penyakit medis kronik, misalnya dibetes atau jantung, divaksinasi. Amantadin berespon baik dan spesifik terhadap virus-virus influenza A apabila diberikan dalam 48 jam setelah awitan gejala.

Efek pada janinBelum ada bukti kuat bahwa virus influenza A menyebabkan malformasi kongenital atau kelainan pada bayi.

3.ParotitisParotitis adalah penyakit infeksi pada orang dewasa yang jarang dijumpai yang disebabkan oleh paramiksovirus RNA. Virus terutama menginfeksi kelenjar liur, tetapi juga dapat mengenai gonad, meningen, pankreas dan organ lain. Parotitis selama kehamilan tidak lebi parah dibanding pada orang dewasa tidak hamil dan tidak terdapat bukti bahwa virus bersifat teratogenik (Ouhilal, 2000). Vaksin Jeryl-Lynn (virus hidup yang dilemahkan) dan vaksin MMR kontraindikasi bagi wanit haml.

Efek pada janinTidak ada bukti kuat bahwa infeksi parotitis meningkatkan angka kematian janin maupun anomali mayor pada janin. Parotitis kongenital sangat jarang dijumpai.

4.Rubeola (campak)Virus tampaknya tidak bersifat teratogenik, tetapi terjadi peningkatan frekuensi abortus dan BBLR pada kehamilan dengan penyulit campak (Siegel dan Fuerst, 1966). Apabila seorang wanita menderita campak sesaat sebelum melahirkan , timbul resiko infeksi serius yang cukup besar pada neonatus, terutama pada bayi preterm. Imunisasi pasif dapat dicapai dengan pemberian globulin serum imun 5 ml i.m dalam 3 hari setelah terpajan. Vaksinasi aktif tidak diberikan selama kehamilan, tetapi wanita yang rentan secara rutin divaksinasi postpartum.

5.RubellaRubela atau campak Jerman, yaitu suatu penyakit yangbiasanya tidak begitu penting pada keadaan tidak hamil,pernah menjadi penyebab langsung hasil-akhir kehamilan yang jelek dan bahkan lebih serius lagi, penyebab malformasi kongenital berat.Hubungan antara rubela maternal danmalformasi kongenital serius, pertama-tama dikenali olehGregg (1942), seorang ahli oftalmologi Australia.

PencegahanUntuk memberantas penyakit infeksi ini sama sekali, pendekatan berikut dianjurkanuntuk mengimunisasikan populasi dewasa, khususnya populasi wanita usia reproduktif:Pendidikan bagi para petugas pelayanan kesehatandan masyarakat luas mengenai bahaya infeksi rubella.Vaksinasi bagi para ibu yang rentan sebagai bagiandari perawatan medis dan obstetrik rutinVaksinasi bagi semua wanita yang datang ke klinik keluarga berencanaPengenalan dan vaksinasi bagi wanita yang belummemiliki kekebalan sesudahmelahirkan bayi ataumengalami abortusVaksinasi bagi wanita yang tidak hamil dan mempunyai kerentanan yang diketahui lewat pemeriksaan serologi sebelum perkawinanJaminan imunitas bagi semua petugas rumab sakityang dapat terpapar pasien rubelaatau yang mengalami kontak dengan ibu hamilVaksinasi rubela dianjurkan agar tidak dilakukan sesaatsebelum kehamilan atau pada saat kehamilan, mengingatvaksin tersebut merupakan virus hidup yang dilemahkan.The Centers for Disease Control(1987b) telah mempertahankan pencatatan sejak tabun 1971 untuk memantau efekvaksinasi terhadap janin. Sampai tahun 1986, 1.176 wanitayang rentan terhadap infeksi rubela telab diimunisasi dalamwaktu 3 bulan sejak pembuahan dan untungnya tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pemberian vaksin tersebut menimbulkan malformasi pada bayi atau janin. Kasuskasus di mana wanita yang rentan diimunisasi selama kehamilannya harus dilaporkan ke bagian pencatatan ini(Centers for Disease Control,Atlanta, Georgia, 404-329-1870).

DiagnosisDiagnosis rubela kadangkala sulit ditegakkan. Bukan hanyagambaran klinisnya yang serupa dengan penyakit lain, namun juga kasus-kasus subklinis dengan viremia dan infeksipada embrio serta janin tidak tcrdapat. Tidak adanya antibodi terhadap rubela menunjukkan defisiensi imunitas.Adanya antibodi menandakan respon imun terhadap viremia rubela, yang mungkin sudah diperoleh di suatu tempatsejak beberapa minggu atau bertahun-tahun sebelumnya.Jika antibodi rubela maternal terlihat pada saat terpaparrubela atau sebelumnya, maka kekhawatiran ibu bisa ditenteramkan karena kemungkinan janin terkena infeksi tersebut sangat kecil.Orang yang tidak kebal dan mendapatkan viremiaakan memperlihatkan titer antibodi yang puncaknyaterjadi 1 hingga 2 minggu sesudah dimulainya gejala ruam,atau 2 hingga 3 minggu sesudah onset viremia, mengingatviremia secara klinis terlihat lebih dabulu sebagai penyakityang nyata sekitar 1 minggu sebelumnya. Karena itu kecepatan respon antibodi dapat mempersulit diagnosis, kecuali bila serum sudah diantbil dahulu dalam waktu beberapa hari sesudah dimulainya gejala ruam. Jika, misalnya,spesimen pertama diambil 10 hari sesudah ruam, maka deteksi antibodi tidak akan berhasil membedakan antara keduakemungkinan ini: (1) bahwa penyakit yang baru saja terjadibenar-benar rubela; atau (2) bahwa penyakit tersebut bukanrubela, namun orang tersebut sudah kebal terhadap rubela.Terlihatnya IgM yang spesifik pada ibu hamil menunjukkansuatu infeksi primer dalam waktu beberapa bulan.Tes yang paling sering digunakan adalah HI (hemaglutination inhibition) tes.Pada tes ini terlihat rubela antibodi menghalangi aglutinasi dari sel darah merah oleh virus rubela. Pereriksaan ini membutuhkan waktu dan teknik yang kompleks sehingga digantikan dengan dengan teknik pemeriksaan yang lain.Metode yang baru berupa ELISA (enzyme linked immunoabsorbent assay), PHA (passive agglutination), IFA (Immunofluoresence assay), RIA (radioimmunoassay), dan radial immunodiffusion tes.

Sindrom Rubella KongenitalPada rubela seperti halnya pada infeksi virus yang lain, konsep tentang bayi yang terinfeksi versus bayi yang terjangkit harus dipahami. Rubela merupakan teratogenyang poten, dan 80 % dari ibu yang mendapatkaninfeksi rubela serta ruam dalam usia kehamilan 12 mingguakan mempunyai janin dengan infeksi kongenital (Millerdkk., 1982).Pada kehamilan minggu ke-13 hingga ke-14,insiden ini besarnya 54 persen, dan pada akhir trimesterkedua 25 persen. Dengan semakin tinggi usia kehamilan,semakin kecil kemungkinan bagi infeksi tersebut untukmenimbulkan kelainan kongenital. Sebagai contoh, cacatrubela terlihat padasemuabayi yang terbukti menderitainfeksi intrauteri sebelum usia gestasional 11 minggu, namun hanya 35 persen bayi yang terinfeksi pada usia gestasional 13 hingga 16 minggu. Meskipun tidak terlihat cacatpada 63 anak yang terinfeksi setelah usia gestasional 16minggu, namun anak-anak tersebut diikuti perkembangannya dalam waktu 2 tahun, danextended rubellasyndromedenganpanensefalitis progresif dan diabetes tipe1 mungkin baru terlihat secara klinis setelah usia dua puluh atau tiga pulub tahun. Kernungkinan sepertiga dari bayiyang asimtomatik pada saat lahir akan memperlihatkancedera pertumbuhan tersebut(American College of Obstetricians and Gynecologists,1988).Sindroma rubela kongenital mencakup satu atau lebihabnormnalitas berikut:1.Kelainan mata, termasuk katarak, glaukoma, mikroftalmia dan berbagai abnormalitaslainnya2.Penyakit jantung, termasukpatent ductus arteriosusdefek septum jantung dan stenosis arteri3.Pulmonalis4.Cacat pendengaran5.Cacat sistem saraf pusat termasuk meningoensefalitis6.Retardasi pertumbuhan janin7.Trombositopenia dan anemia8.Hepatosplenomegali dan ikterus9.Pneumonitis interstisialis difusa kronis10.Perubahan tulang11.Abnormalitas kromosom

6. SitomegalovirusSitomegalovirus merupakan organisme yang ada di mana-mana serta pada hakekatnya menginfeksi sebagian besar manusia, bukti adanya infeksi janin ditemukan di antara 0,5 2 % dari semua neonatus. Sesudah terjadinyainfeksi primer yang biasanya asimtomatik, 10 % infeksi pada janin menimbulkan simtomatik saat kelahiran dan 5-25 % meninggalkan sekuele. Pada beberapa negara infeksi CMV 1 % didapatkan infeksi in utro dan 10-15 % pada masa prenatal(5)Virus tersebutmenjadi laten dan terdapat reaktivasi periodik dengan pelepasan virus meskipun ada antibodi di dalam serum. Antibodi humoral diproduksi, namun imunitas yang diperantarai oleh sel tampaknya merupakan mekanisme primer untukterjadinya kesembuhan, dan keadaan kekebalan yang terganggu baik terjadi secara alami maupun akibat pemakaianobat-obatan akan meningkatkan kecenderungan timbulnya infeksi sitomegalovirus yang serius. Diperkirakan bahwaberkurangnya surveilans imun yang diperantarai oleh sel,menyebabkan janin-bayi tersebut berada dalam risiko yangtinggi untuk terjadinya sekuele pada infeksi ini.

Infeksi MaternalTidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kehamilan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sitomegalovirus maternal. Infeksi kebanyakan asimptomatik, tetapi 15 % mempunyai mononucleosis like syndrome dengan gejala: demam, paringitis, limpodenopathy, dan polyartritis.Jadi, infeksi primer yang ditularkan kepada janin pada sekitar 40 persen kasus, lebihsering berkaitan dengan morbiditas parah (Stagno dkk.,1986). Meskipun infeksi transplasental tidak universal, janin yang terinfeksi lebih besar kemungkinannya disertaidengan infcksi maternal selama paruh-pertama kehamilan.Sebagaimana virus herpes lainnya, imunitas maternalterhadap sitomegalovirus tidak mencegah timbulnya rekurensi (reaktivasi) dan juga tidak mencegah terjadinya infeksikongenital. Dalam kenyataannya, mengingat sebagian besarinfeksi selama kehamilan bersifat rekuren, mayoritas neonatus yang terinfeksi secara kongenital dilahirkan dari wanita-wanita ini. Untungnya, infeksi kongenital yang terjadiakibat infeksi rekuren lebih jarang disertai dengan sekuele yang terlihat secara klinis dari pada infeksi kongenital yangdisebabkan oleh infcksi primer.

Infeksi KongenitalInfeksi sitomegalovirus kongenital yang disebutpenyakitinklusi sitomegalik,menimbulkan suatu sindrom yang mencakup berat badan lahir rendah, mikrosefalus, kalsifikasiintrakranial, korioretinitis, retardasi mental serta motorik,gangguan sensorineural, hepatosplenomegali, ikterus, anemia hemolitik dan purpura trombositopenik.Angka mortalitas di antara bayi yang terinfeksi secara kongenital ini dapat mencapai 20 30 %, dan lebih 90 % bayi yang berhasilhidup ternyata mendcrita retardasi mental, gangguan pendengaran, gangguan perkembangan psikoniotorik, epilepsyatau pun gangguan sistern saraf pusat lainnya (Pass dkk., 1980).

DiagnosisPrenatal diagnosis efek infeksi pada janin dapat deteksi dengan USG dan Magnetic Resonace Imaging dengan ditemukan mikrosephal, vetriculomegali dan serebral kalsifikasi..Gold standar diagnosis infeksi CMV adalah kutur virus.Diagnosis infeksi primer dibuat berdasarkan peningkatan titer IgG sebesar empat kali lipat pada serum, baik dalamkeadaan akut maupun konvalesensi yang diukur sekaligus,atau dibuat dengan mendeteksi antibodi 1gM terhadap sitomegalovirus di dalam serum maternal. Sayangnya, tidaksatupun di antara kedua metode ini yang benar-benar akuratdalam memastikan infeksi maternal. Celakanya tidak ada metode yang handal untuk memeriksa efekdari infeksi janin tersebut, termasuk pemeriksaan sonografi ataukultur cairan amnion untuk menemukan sitomegalovirus.USG dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi CMV tetapi terbatas dimana janin sudah mengalami gejala yang berat

7. Streptokokus grup BGroup Streptoccocus B (GBS) adalah penyebab dari infeksi kongenital yang bInfeksi rat pada neonatus pada setiap 1000 kelahiran hidup atau 12.000 sampai 15.000 bayi setiap tahunnya di Amerika. Ini menjadi penyebab korioamnionitis, post partum endometritis dan sepsis pada ibu serta penyebab terpenting terjadinya asfiksia intra uterine.(5)Dalam tahun 1970-an, infeksistreptokokusgrup B pada neonatus mengalami peningkatanluar biasa, tetapi kemudian pada banyak rumah sakit terjadipenurunan frekuensi infeksi tersebut. Penyebab terjadinyapeningkatan yang mencolok atau penurunan berikutnyatidak dengan jelas. Transmisi intrapartum streptokokus grup B dari traktusgenitalis maternal dengan kolonisasi kuman tersebut kepadajanin, dapat menimbulkan sepsis berat pads bayi segerasesudah dilahirkan. Tergantung pada populasi yang diteliti,sebanyak 10 hingga 40 persen ibu data stadium kehamilanlanjut mengalami kolonisasi streptokokus grup B dalamtraktus genitalis bagian distal, dan separuh dari bayi yang baru dilahirkan akan terkena infeksi ini serta mengalamikolonisasi kuman tersebut. Antibodi yang ditransmisikandari ibu akan melindungi kebanyakan bayi ini; tetapi, 1hingga 2 persen dari bayi tersebut akan menderita kelainansecara klinis. Bayi-bayi prematur atau dengan berat badanlahir yang rendah merupakan bayi yang menghadapi risiko paling tinggi, namun lebih separuh dari kasus-kasus sepsisstreptokokus neonatal ternyata berupa neonatus yangaterm. Bagi bayi yang mengalami infeksi ini, angka mortalitasnya mendekati 25 persen.Pada septikemia akibat streptokokus grup B yangmenandaipenyakit dengan onset dini,tanda-tanda sakityang serius biasanya terjadi dalam waktu 48 jam sesudahbayi lahir. Yang khas, selaput ketuban sudah pecah beberapa saat sebelum persalinan, atau persalinan tersebut terjadi sebelum waktunya. Bayi dengan berat badan lahir yangrendah menghadapi kemungkinan lcbih besar untukmenderita infeksi klinis serius.Tanda-tanda infeksi denganonset dini mencakup gawat pernafasan, apnea dan syok.Karena itu, dari awal dokter harus sudah dapat membedakan antara kelainan akibat gawat pernafasan idiopatik dantakipnea sepintas pada neonatus. Pengobatan segera dengan pemberian antibiotik di saroping penanganan masalahrespirasinya, harus dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi. Angka mortalitas pada penyakit dengan onset yang dini bervariasi dari 30 hingga 90 persen,dan prognosis untuk bayi prematur lebih burukPenyakit dengan onset lanjutbiasanya terlihat sehagaimeningitis yang timbul sate minggu atau lebih sesudah lahir. Meskipun serotipe pada penyakit dengan onset dinibervariasi antara bayi yang satu dengan lainnya, nantunmikroorganisme yang paling sering ditemukan dalam tubuhbayi adalah mikroorganisme yang sama seperti yang tcrdapat di dalam vagina ibu. Kendati demikian, kasus-kasus meningitis paling sering discbabkan oleh mikroorganismeserotipe III. Angka mortalitasnya, meskipun cukup tinggi, lebih rendah pada meningitis dengan onset lanjut dari padasepsis dengan onset dini.

DiagnosisDiagnosis yang terbaik adalah dengan kolonisasi antepartum dari kolonisasi ibu yang diambil dari sepertiga bawah vagina dan daerah anorektal untuk dilakukan kultur, yang tidak adekuat untuk intrapartum skrenning.Pada pasien yang sedang bersalin diagnosis cepat dengan melakukan sediaan hapus dari vagina. Karena sensitifitasnya yang rendah maka tes deteksi GBS ini hanya dilakukan pada pada pasien dengan resiko tinggi adanya sepsis neonatus dan memerlukan pengobatan segera.

8. ListeriosisOrganisme ini adalah gram positip dimana 1 sampai 5 persen dari dewasa memiliki lesteria yang ditemukan di feses. Transmisi ditemukan dari makanan yang terkontaminasi atau susu yang busuk.Sering ditemukan pada penderita usia muda- tua, wanita hamil, penderita dengan daya tahan yang turun. Pada wanita hamil hanya berupa asimtomatik seperti panas badan influenza. Wanita dengan listeriosis dapat menyebabkan fetal infeksi yang terlihat beruapa disseminated granulomatous lesion. Pada bayi kemungkinan untuk terkena infeksi ini sebesar 50 persen. manifestasi pada bayi setelah tiga atau empat minggu setelah lahir. Infeksi ini serupa dengan dengan yang disebabkan oleh grup B haemolytic.streptococcus.

9. Morbus HansenPenyakit lepra (kusta) ditularkan oleh penderita lepra setelah hubungan erat dan lama. Biasanya penularan terjadi dalam masa kanak-kanak, akan tetapi mas latennya sangat lama , masa inkubasinya bervariasi dari beberapa bulan sampai beberapa tahun. Infeksi laten menjadi nyata atau penyakitnya menjadi lebih jelas oleh faktor-faktor yang menjadi daya tahan penderita, seperti purbertas , kehamilan, dan 6 bulan pertama setelah kelahiran , karena itu penderita sebaiknya tidak menjadi hamil. Dalam penanganan lepra dalam kehamilan yang penting ialah pencegahan anak terhadap infeksi. Mycobacterium dapat dijumpai dalam plasenta dan tali pusat. Walaupun demikian, seperti halnya dengan tuberculosis, infeksi kongenital sangat jarang. Duncan (1980), melaporkan dalam penelitiannya terhadap penderita lepra yang hamil, bahwa bayi yang dilahirkan lebih sering mengalami pertumbuhan janin yang terhambat dan plasentanyapun berukuran lebih kecil dari normal.Pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut mengalami keterlambatan pula. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh status imunitas yang rendah pada ibu. Bila seorang ibu mengalami infeksi lepra, pemisahan anak-anak dari ibunya sejak kelahiran sangat dianjurkan, sampai ibunya sembuh benar. Apabila tidak, maka 25 % kemungkinan anaknya menderita lepra. Pengobatan memerlukan waktu yang sangat lama (sampai beberapa tahun). Sekarang diberikan dengan obat-obat sulfa (diaminodietilsulfon), juga dalam kehamilan. Berdasarkan penelitian diketahui pula bahwa ibu yang menderita lepra dan mendapat poengobatan sulfa, dapat kontak dengan bayinya pada saat menyusui saja. Dengan cara ini penularan tidak akan terjadi.