37
13 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kematian ibu 2.1.1 Definisi kematian ibu Kematian ibu adalah jumlah kematian ibu selama periode waktu tertentu per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu adalah kematian seorang wanita saat hamil atau dalam 42 hari pengakhiran kehamilan, terlepas dari durasi dan tempat kehamilan, dari setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau penanganannya tetapi bukan dari penyebab kecelakaan atau insidental (WHO, 2010). Berdasarkan definisi WHO tersebut menggambarkan adanya hubungan akibat dan sebab antara kehamilan dan kematian maternal. Ibu yang hamil mungkin mengalami keguguran atau kehamilan ektopik terganggu, atau ibu yang hamil mungkin meninggal dunia sebelum melahirkan atau ibu yang hamil telah melahirkan seorang bayi dalam keadaan hidup atau mati yang diikuti dengan komplikasi kehamilan persalinan dan nifas yang menyebabkan kematian maternal. Kematian dan kesakitan pada ibu hamil dan bersalin serta bayi baru lahir sejak lama telah menjadi masalah, khususnya di negara-negara berkembang. Sekitar 25-50% kematian perempuan usia subur disebabkan oleh hal yang berkaitan dengan kehamilan. Kematian saat melahirkan menjadi faktor utama mortalitas perempuan pada masa puncak produktivitasnya.

BAB II - sinta.unud.ac.id€¦ · perdarahan antepartum dan postpartum, preeklamsia/eklamsia, infeksi, persalinan macet, dan kematian pada kehamilan muda. (2 ). Kematian obstetri

  • Upload
    others

  • View
    24

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kematian ibu

2.1.1 Definisi kematian ibu

Kematian ibu adalah jumlah kematian ibu selama periode waktu tertentu per

100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu adalah kematian seorang wanita saat hamil

atau dalam 42 hari pengakhiran kehamilan, terlepas dari durasi dan tempat kehamilan,

dari setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau

penanganannya tetapi bukan dari penyebab kecelakaan atau insidental (WHO, 2010).

Berdasarkan definisi WHO tersebut menggambarkan adanya hubungan akibat

dan sebab antara kehamilan dan kematian maternal. Ibu yang hamil mungkin

mengalami keguguran atau kehamilan ektopik terganggu, atau ibu yang hamil

mungkin meninggal dunia sebelum melahirkan atau ibu yang hamil telah melahirkan

seorang bayi dalam keadaan hidup atau mati yang diikuti dengan komplikasi

kehamilan persalinan dan nifas yang menyebabkan kematian maternal.

Kematian dan kesakitan pada ibu hamil dan bersalin serta bayi baru lahir sejak

lama telah menjadi masalah, khususnya di negara-negara berkembang. Sekitar 25-50%

kematian perempuan usia subur disebabkan oleh hal yang berkaitan dengan

kehamilan. Kematian saat melahirkan menjadi faktor utama mortalitas perempuan

pada masa puncak produktivitasnya.

14

Walaupun kematian ibu telah lama menjadi masalah di negara-negara

berkembang, baru pada tahun 1987 untuk pertama kali diadakan Konferensi

Internasional tentang kematian ibu di Nairobi Kenya. Pada tahun 1990 dilangsungkan

World Summit for children di New York, USA yang antara lain bersepakat untuk

menurunkan angka kematian ibu menjadi separuh pada tahun 2000. (Saifudin, 2005).

2.1.2 Penyebab kematian ibu

Penyebab kematian dan kesakitan ibu dan bayi telah dikenal sejak dulu dan

tidak berubah banyak. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan post partum,

eklampsia, infeksi, aborsi tidak aman, partus macet, dan sebab-sebab lain seperti

kehamilan ektopik dan mola hidatidosa. Keadaan ini diperkuat dengan kurang gizi,

malaria, dan penyakit-penyakit lain seperti tuberkulosis, penyakit jantung, hepatitis,

asma, atau HIV. Pada kehamilan remaja lebih sering terjadi komplikasi seperti anemia

dan persalinan preterm. Sementara itu, terdapat berbagai hambatan yang mengurangi

akses memperoleh pelayanan kesehatan maternal bagi remaja, kemiskinan,

kebodohan, kesenjangan hak asasi pada remaja perempuan, kawin pada usia muda,

dan kehamilan yang tidak diinginkan. Kematian pada bayi baru lahir disebabkan oleh

tidak adekuatnya dan tidak tepatnya asuhan pada kehamilan dan persalinan, khususnya

pada saat-saat kritis persalinan. Konsumsi alkohol dan merokok merupakan penyebab

kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir yang seharusnya dapat dicegah. Ibu

perokok berhubungan dengan komplokasi seperti perdarahan, ketuban pecah dini, dan

persalinan preterm. Juga dapat berakibat pertumbuhan janin terhambat, berat badan

lahir rendah, serta kematian janin. Konsumsi alkohol selama kehamilan berhubungan

15

dengan abortus, lahir mati, prematuritas, dan kelainan bawaan fetal alcohol syndrome.

(Saifudin, 2005).

Menurut Saifudin (2002) kematian ibu dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

(1). Kematian obstetri langsung (direct obstetric death) yaitu kematian ibu yang

disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas yang timbul akibat

tindakan atau kelalaian dalam penanganan. Komplikasi yang dimaksud antara lain

perdarahan antepartum dan postpartum, preeklamsia/eklamsia, infeksi, persalinan

macet, dan kematian pada kehamilan muda. (2). Kematian obstetri tidak langsung

(indirect obstetric death) adalah kematian ibu yang disebabkan oleh suatu penyakit

yang sudah diderita sebelum kehamilan atau persalinan yang berkembang dan

bertambah berat yang tidak berkaitan dengan penyebab obstetri langsung. Kematian

obstetri tidak langsung ini misalnya disebabkan oleh penyakit jantung, hipertensi,

hepatitis, malaria, anemia, tuberkulosis, HIV/AIDS, diabetes dan lain-lain.

Penyebab kematian ibu yang diakibatkan oleh kecelakaan atau kebetulan

tidak di klasifikasikan ke dalam kematian ibu yang ada hubungannya dengan

kehamilan, persalinan dan nifas. Kematian yang dihubungkan dengan kehamilan

International Classifation of Deases (ICD-10) memudahkan identifikasi penyebab

kematian ibu ke dalam kategori baru yang disebut pregnancy related death yaitu

kematian wanita selama hamil atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan dan

tidak tergantung dari penyebab kematian lain.

Batasan 42 hari ini dapat berubah karena telah diketahui bahwa dengan

adanya prosedur-prosedur dan teknologi baru maka terjadinya kematian dapat

diperlama dan ditunda sehingga ICD-10 juga memasukkan suatu kategori baru yang

16

disebut kematian maternal terlambat (late maternal death) yaitu kematian wanita

akibat penyebab obstetric langsung atau tidak langsung yang terjadi lebih dari 42 hari

tetapi kurang dari satu tahun setelah berakhirnya kehamilan (WHO et al, 2010).

2.1.3 Epidemiologi Kematian ibu

Walaupun berbagai upaya telah dilaksanakan, angka kematian ibu di berbagai

Negara berkembang masih tetap atau penurunannya sangat lambat. Safe Motherhood

Technical Consultation yang diadakan di Colombo, 1997 mengidentifikasi beberapa

isu kunci sebagai berikut:

a. Kurang jelasnya prioritas serta intervensi program Safe Motherhood sehingga

kurang terarah dan kurang efektif.

b. Kurangnya informasi tentang intervensi yang mempunyai dampak bermakna dan

segera dalam menurunkan kematian ibu.

c. Strategi Safe Motherhood kadang-kadang terlalu luas, mulai dari meningkatkan

status perempuan, memperbaiki undang-undang, memperluas pelayanan kesehatan

maternal, dan memperluas pelayanan emergensi.

d. Beberapa program yang khusus dalam pelayanan kesehatan maternal ternyata

dikemudian hari tidak atau kurang efektif, seperti penapisan risiko pada asuhan

antenatal dan pelatihan dukun.

e. Tidak dilakukannya intervensi yang sebenarnya efektif seperti penanganan

komplikasi aborsi karena masih dianggap sebagai isu yang sensitif.

f. Tidak tersedianya panduan teknis atau program, kurikulum pelatihan dan sumber

lain secara luas.

g. Kurangnya komitmen politik dari penentu kebijakan.

17

h. Kurangnya koordinasi dan komitmen diantara pemerintah dan lembaga donor.

(Saifudin, 2005).

Menurut perkiraan WHO setiap tahun terjadi 500.000 kematian ibu yang

berhubungan dengan kehamilan dan persalinan, 99% di antaranya terjadi di Negara-

negara berkembang. Lebih dari separuhnya (300.000) terjadi di Asia, yang hampir 3/4-

nya di Asia Selatan. Risiko kematian maternal di negara maju 1 diantara 15-50, yang

berarti peningkatan 200-250 kali.

Kematian maternal merupakan fungsi dari berbagai hal, bukan hanya dari

faktor-faktor pelayanan kesehatan saja. Kehamilan dan persalinan yang terlalu dini,

kemiskinan, ketidaktahuan, kebodohan, budaya diam kaum wanita, dan rendahnya

status wanita pada hal-hal tertentu. Transportasi yang sulit, ketidakmampuan

membayar pelayanan yang baik, dan pantangan tertentu pada wanita hamil juga ikut

berperan. ( Hadijono, 2006).

Kematian ibu atau AKI di daerah berkembang sebesar 240 adalah 15 kali lebih

tinggi dari pada di negara maju yaitu 16 per 100.000 kelahiran hidup atau 99%

(284.000) kematian ibu secara global dan mayoritas di antaranya berada di sub-Sahara

Afrika (162.000 kematian ibu) dan Asia Selatan (83.000 kematian ibu).

Sub-Sahara Afrika memiliki angka kematian ibu (AKI) tertinggi yaitu 500

kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (KH), sedangkan Asia Timur memiliki yang

terendah di antara negara berkembang yaitu 37 kematian ibu per 100.000 KH. Urutan

AKI di negara berkembang adalah Asia Selatan 220/100.000 KH, Oceania

200/100.000 KH, South-East Asia 150/100.000 KH, Amerika Latin dan Karibia

18

80/100.000 KH, Afrika Utara 78/100.000 KH, Asia Barat 71/100.000 KH, Caucasus

dan Asia Tengah 46/100.000 KH.

Meskipun sebagian besar negara-negara Afrika sub-Sahara memiliki AKI tinggi

namun ada beberapa nergara yang memiliki AKI rendah berkisar antara 20-99/100.000

KH seperti: Mauritius (60/100.000 KH), Sao Tome Principe (70/100.000 KH) dan

Cabo Verde (79/100.000 KH) sedangkan negara-negara di Afrika yang dikategorikan

AKI moderat (100-299/100.000 KH) antara lain: Botswana 160/100.000 KH, Djibouti

200/100.000 KH, Namibia 200/100.000 KH, Gabon 230/100.000 KH, Equatorial

Guinea 240/100.000 KH, Eritrea 240/100.000 KH dan Madagaskar 240/100.000 KH.

(WHO et al., 2010).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu hamil diklasifikasi sebagai

berikut:

2.1.4 Faktor Medis

Faktor medis yang dipengaruhi oleh status reproduksi dan status kesehatan

ibu antara lain: umur, paritas, jarak kehamilan dan penyakit ibu, anemia dan kurang

gizi.

19

2.1.4.1 Umur ibu

Umur ibu saat kehamilan terakhir dihitung dalam tahun berdasarkan tanggal

lahir atau ulang tahun terakhir yang ada hubungannya dengan faktor risiko dalam

kehamilan. Indeks kehamilan risiko tinggi adalah usia ibu pada waktu hamil terlalu

muda yaitu kurang dari 16 tahun atau lebih dari 35 tahun (Fortney dalam Manuaba

2001).

Total fertility rate (TFR) adalah jumlah total anak yang mungkin akan dimiliki

oleh seorang wanita sampai akhir periode reproduksinya selama usia suburnya 15-49

tahun, atau disebut juga dengan rata-rata jumlah kelahiran per wanita. (Merrill RM,

2014).

2.1.4.2 Paritas

Paritas adalah jumlah kehamilan yang memperoleh janin yang dilahirkan.

Paritas yang tinggi memungkinkan terjadinya penyulit kehamilan dan persalinan

diantaranya dapat menyebabkan terganggunya transport O2 dari ibu ke janin sehingga

terjadi asfiksia yang dapat dinilai dari APGAR Score menit pertama setelah lahir.

(Manuba, 2010).

Menurut Saifudin (2002) paritas/jumlah kehamilan 2 sampai 3 adalah paritas

yang paling aman dilihat dari sudut kematian ibu. Paritas kurang dari satu dan usia

ibu terlalu muda di kategorikan berisiko tinggi karena ibu belum siap secara mental

maupun secara medis sedangkan paritas diatas empat dan usia ibu terlalu tua secara

fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan.

20

2.1.4.3 Jarak kehamilan

Jarak kehamilan yang terlalu dekat atau kurang dari dua tahun berisiko

terhadap kematian maternal dan tergolong dalam kelompok risiko tinggi untuk

mengalami perdarahan post partum. Jarak kehamilan yang disarankan pada umumnya

adalah dua tahun agar memungkinkan tubuh wanita dapat pulih dari kebutuhan ekstra

pada masa kehamilan dan laktasi. (Djaja dkk, (2001).

2.1.5 Faktor Non Medis

Faktor non medis berkaitan dengan perilaku kesehatan ibu, status ibu dalam

keluarga, status sosial ekonomi dan budaya yang menghambat upaya penurunan

kesakitan dan kematian ibu adalah sebagai berikut: Kurangnya kesadaran ibu untuk

mendapatkan pelayanan ANC/ante natal care, terbatasnya pengetahuan ibu tentang

bahaya kehamilan resiko tinggi, ketidak berdayaan sebagian besar ibu hamil di daerah

terpencil maupun di perkotaan dalam pengambilan keputusan untuk dirujuk.

2.1.5.1 Perilaku Kesehatan Ibu

Perilaku kesehatan ibu (health behavior) adalah respon seseorang terhadap

stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang

mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan dan pelayanan

kesehatan. (Skiner dalam Notoatmodjo, 2014).

2.1.5.2 Status ibu dalam keluarga.

Status ibu dalam keluarga berkaitan dengan status pendidikan, pekerjaan dan

pendapatan begitu juga berkaitan dengan ketidakmampuan ibu mengambil keputusan

dalam keluarga. Pengambilan keputusan dalam keluarga sangat mempengaruhi

21

keterlambatan dalam merujuk ibu ke fasilitas kesehatan yang lebih baik. Masih sering

ditemukan kasus yang terlambat dirujuk karena masalah ketersediaan transportasi dan

biaya juga masih merupakan kendala dalam upaya penyelamatan dan rujukan ke

Rumah Sakit sehingga pemanfaatan pusat rujukan primer masih rendah

(underutilized). Hal ini dipengaruhi oleh faktor sosiobudaya, ketidaktahuan, dan

ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan. (Manuaba

dkk, 2005).

2.1.5.3 Status kesehatan ibu .

Status kesehatan ibu hamil merupakan suatu proses yang membutuhkan

perawatan khusus agar dapat berlangsung dengan baik. Resiko kehamilan ini bersifat

dinamis karena ibu hamil yang pada mulanya normal, secara tiba-tiba dapat berisiko

tinggi. Jika status kesehatan ibu hamil buruk, misalnya menderita anemia maka bayi

yang dilahirkan berisiko lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR

ini memilki risiko kesakitan seperti infeksi saluran nafas bagian bawah dan kematian

yang lebih tinggi dari pada bayi yang dilahirkan dengan berat badan normal. Bagi ibu

sendiri anemia ini meningkatkan risiko pendarahan pada saat persalinan dan pasca

persalinan, gangguan kesehatan bahkan resiko kematian (Kusmiyati, 2009).

Menurut Lubis (2003) ibu hamil yang menderita Kekurangan Energi

Kronik (KEK) dan anemia mempunyai risiko kesakitan yang lebih besar terutama

pada trimester ke tiga kehamilan di bandingkan dengan ibu hamil normal. Akibatnya

mereka mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR,

kematian saat persalinan, perdarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan

22

mudah mengalami gangguan kesehatan. Bayi yang dilahirkan dengan BBLR

umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru, sehingga dapat

berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat

menganggu kelangsungan hidupnya. Selain itu juga ibu hamil dengan KEK akan

meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap infeksi

saluran pernafasan bagian bawah, gangguan belajar, serta masalah perilaku. Seorang

ibu hamil juga memerlukan tambahan zat gizi besi rata-rata 20 mg per hari, sedangkan

kebutuhan sebelum hamil atau pada kondisi normal rata-rata 26 mg per hari (Najoan

dkk., 2011).

2.1.6 Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan

Menurut Dubois dan Miley (2005), sistem pelayanan kesehatan merupakan

jaringan pelayanan interdisipliner, komprehensif dan kompleks, terdiri dari aktivitas

diagnosis, treatmen, rehabilitasi, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan untuk

masyarakat pada seluruh kelompok umur dan dalam berbagai keadaan. Pelayanan

kesehatan adalah sebuah upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-

sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan baik secara

perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat.

23

Faktor-faktor yang mempengaruhi Sistem Pelayanan Kesehatan antara lain :

1. Pergeseran masyarakat dan konsumen.

Hal ini sebagai akibat dari peningkatan pengetahuan dan kesadaran konsumen

terhadap peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan upaya pengobatan. Sebagai

masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang masalah kesehatan yang meningkat,

maka mereka mempunyai kesadaran yang lebih besar yang berdampak pada gaya

hidup terhadap kesehatan. Hal ini mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan

pelayanan kesehatan juga meningkat.

2. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru.

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain dapat meningkatkan

pelayanan kesehatan karena adanya peralatan kedokteran yang lebih canggih dan

memadai walau di sisi yang lain juga berdampak pada beberapa hal seperti

meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, melambungnya biaya kesehatan dan

dibutuhkannya tenaga profesional akibat pengetahuan dan peralatan yang lebih

modern.

3. Issu legal dan etik.

Sebagai masyarakat yang sadar terhadap haknya untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan dan pengobatan, issu etik dan hukum semakin meningkat ketika mereka

menerima pelayanan kesehatan. Pemberian pelayanan kesehatan yang kurang

memadai dan kurang manusiawi sehingga persoalan hukum kerap akan

membayanginya.

24

4. Ekonomi

Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan barangkali hanya dapat

dirasakan oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan untuk memperoleh

fasilitas pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, namun bagi klien dengan status

ekonomi rendah tidak akan mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna

karena tidak dapat menjangkau biaya pelayanan kesehatan.

5. Politik

Kebijakan pemerintah dalam sistem pelayanan kesehatan akan berpengaruh

pada kebijakan tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang diberikan dan

siapa yang menanggung biaya pelayanan kesehatan karena sistem terbentuk dari

subsistem yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Sistem terdiri dari:

input, proses, output, dampak, umpan balik dan lingkungan. a) Input merupakan

subsistem yang akan memberikan segala masukan untuk berfungsinya sebuah sistem.

Input sistem pelayanan kesehatan: potensi masyarakat, tenaga dan sarana kesehatan,

dan sebagainya. b) Proses kegiatan yang mengubah sebuah masukan menjadi sebuah

hasil yang diharapkan dari sistem tersebut. Proses dalam pelayanan kesehatan:

berbagai kegiatan dalam pelayanan kesehatan. c) Output merupakan hasil yang

diperoleh dari sebuah proses output pelayanan kesehatan yang berkualitas serta

terjangkau sehingga masyarakat sembuh dan sehat. d) Dampak merupakan akibat dari

output/hasil suatu sistem, terjadi dalam waktu yang relatif lama. Dampak sistem

Pelayanan kesehatan adalah masyarakat sehat, angka kesakitan & kematian menurun.

e) Umpan balik/feedback merupakan suatu hasil yang sekaligus menjadi masukan.

25

Terjadi dari sebuah sistem yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi sebagai

umpan balik dalam pelayanan kesehatan dan kualitas tenaga kesehatan. f) Lingkungan

merupakan semua keadaan di luar sistem tetapi dapat mempengaruhi pelayanan

kesehatan (Murniati, 2012).

2.1.6.1 Jangkauan pelayanan kesehatan

Adalah keterjangkauan lokasi pelayanan kesehatan dimana tempat pelayanan yang

tidak strategis sulit dicapai oleh para ibu menyebabkan berkurangnya akses ibu hamil

terhadap pelayanan kesehatan. Akses terhadap tempat pelayanan kesehatan dapat

dilihat dari beberapa faktor seperti lokasi dimana ibu dapat memperoleh pemeriksaan

ANC, pelayanan kontrasepsi, pelayanan kesehatan primer atau pelayanan kesehatan

rujukan yang tersedia di masyarakat. Pemeriksaan ANC dilakukan minimal 4 kali

selama kehamilan dengan ketentuan 1 kali pada trimester pertama (usia kehamilan

belum 14 minggu) 1 kali selama trimester kedua (usia kehamilan antara 14 sampai 28

minggu) dan 2 kali selama trimester ketiga (usia kehamilan antara 28 sampai dengan

36 minggu). Pemeriksaan ANC dilakukan dengan standar “ 7 T ” yaitu meliputi:

timbang berat badan, ukur tekanan darah, ukur tinggi fundus uteri, pemberian

imunisasi Tetanus Toxoid, pemberian tablet zat besi, tes terhadap penyakit menular

sexual dan temu wicara dalam rangka persiapan rujukan. (Depkes RI, 2004).

Tujuan dari antenatal care adalah menjaring ibu hamil secara teratur selama

masa kehamilan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko

komplikasi selama kehamilan atau persalinan. Sebuah studi oleh Abraham & Joseph

(1985) menemukan bahwa sekitar 87% kehamilan berisiko tinggi di identifikasi

26

menerima antenatal care dengan baik namun sekitar 15% dari kasus berisiko tinggi

tidak menerima antenatal care dengan baik selama pemeriksaan rutin kehamilan.

Menurut Rooney (2001) bahwa tujuan utama dari antenatal care adalah untuk

memperhatikan serta memperoleh hasil yang aman dan sehat bagi ibu dan anak pada

akhir kehamilan, namun peningkatan kesehatan ibu selama masa kehamilan dan

persalinan masih dipertanyakan. Sebuah tinjauan komprehensif studi juga

menunjukkan bahwa prosedur rutin pelayanan antenatal care memiliki pengaruh yang

kurang maksimal terhadap kesakitan dan kematian ibu.

Jumlah kunjungan antenatal care mungkin tidak mencerminkan gambaran

yang benar, seperti skrining faktor resiko tertentu yang memerlukan kunjungan rutin

selama periode waktu tertentu (trimester kehamilan). Sebuah studi yang dilakukan

oleh Bulatao & Ross pada tahun 2002 di 49 negara-negara berkembang menunjukkan

bahwa dalam implementasi antenatal care program yang paling mendapat perhatian

adalah imunisasi tetanus, hipertensi, pemberian makanan tambahan di banding dengan

konseling atau promosi kesehatan untuk memperkenalkan kepada ibu hamil tentang

tanda-tanda bahaya yang biasa terjadi selama kehamilan. (Faudjan et al 2006).

27

2.1.6.2 Sitem Rujukan

Ada dua pengertian Sistem Rujukan yaitu pengertian konseptual yang bersifat

universal dan diterima semua negara di dunia dan pengertian (Teknik) Operasional

harus disesuaikan dengan keadaan di negara masing-masing.

1. Pengertian Konseptual Rujukan.

Sistem Rujukan adalah suatu sistem pelayanan kesehatan di mana terjadi pelimpahan

tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang timbul, baik

secara horizontal maupun vertikal, baik untuk kegiatan pengiriman penderita,

pendidikan, maupun penelitian.

2. Pengertian (Teknik) Operasional.

Sistem Rujukan merupakan suatu tatanan, dimana berbagai komponen dalam jaringan

pelayanan kesehatan reproduksi dapat berinteraksi dua arah timbal balik, antara

parteira/bidan di desa, parteira/bidan dan dokter centro saude/Puskesmas di pelayanan

kesehatan dasar, dengan para dokter spesialis di hospital/rumah sakit

municipio/kabupaten, untuk mencapai rasionalisasi penggunaan sumber daya

kesehatan, dalam upaya penyelamatan ibu dan bayi baru lahir, melalui penanganan ibu

risiko tinggi dan gawat darurat obstetri, secara profesional, efisien, efektif, rasional

dan relevan. Dalam Sistem Rujukan, sarana dan prasarana alat yang berteknologi

cangih, dipusatkan pada suatu tempat, yaitu Hospital (RS) Kabupaten atau Hospital

(RS) Nasional.

Sistem rujukan adalah suatu sistem pelayanan kesehatan di mana terjadi

pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang

28

timbul, baik secara horizontal maupun vertikal, baik untuk kegiatan pengiriman

penderita, pendidikan, maupun penelitian. (Poedji Rochjati, 2005).

Kematian ibu di negara berkembang pada umumnya berkaitan dengan

setidaknya satu dari tiga keterlambatan (The Three Delay Models). Keterlambatan

pertama adalah keterlambatan dalam pengambilan keputusan untuk mencari perawatan

pada tenaga kesehatan professional apabila terjadi komplikasi obstetrik. Ibu yang

mengalami komplikasi dalam waktu tidak lebih

dari 30 menit harus segera dirujuk untuk mendapatkan penanganan, akan tetapi ini

seringkali terjadi keterlambatan karena berbagai alasan misalnya harus menunggu

suami atau mertua yang sedang tidak berada di tempat untuk mengambil keputusan

guna mencari pertolongan pada tenaga kesehatan.

Keterlambatan kedua terjadi setelah mendapat keputusan untuk dirujuk ke

fasilitas kesehatan namun keterlambatan ini terjadi akibat kesulitan transportasi.

Kendala geografis di lapangan mengakibatkan rumah sakit rujukan sulit dicapai dalam

waktu 2 jam dan merupakan waktu maksimal yang diperlukan untuk menyelamatkan

ibu dalam keadaan gawat darurat obstetrik.

Keterlambatan ketiga biasanya terlambat dalam memperoleh pelayanan

perawatan di fasilitas kesehatan. Ibu yang bersangkutan harus menunggu beberapa jam

di fasilitas kesehatan sebelum mendapat pelayanan dari petugas kesehatan karena

manajemen staf yang kurang baik misalnya: ibu kesulitan memperoleh darah untuk

keperluan transfusi dan tindakan operasi. Pelaksanaan sistem pelayanan kebidanan

yang baik didasarkan pada regionalisasi pelayanan perinatal dimana ibu hamil harus

29

mempunyai kesempatan mendapatkan penanganan dalam waktu 30 menit dan

pelayanan operatif dalam waktu tidak lebih dari satu jam dan bayi harus dapat segera

dilahirkan. (Joko Pratomo, 2003).

Faktor nonmedis yang besar pengaruhnya terhadap terjadinya Rujukan

Terlambat adalah:

a.Komplikasi persalinan yang tak terduga

Dalam keadaan ini sering keluarga menjadi panik sehingga tidak segera dapat

mengambil keputusan apakah penderita akan dirujuk atau tidak. Keterlambatan

pengambilan keputusan ini mungkin karena faktor sosiobudaya, biaya, transportasi dan

lingkungan.

b. Penolong pertama, jumlah penolong dan lama pertolongan di luar rumah sakit.

c. Pertolongan “estafet”

d. Geografis.

2.1.6.3 Penolong persalinan

Salah satu faktor tingginya AKI di RDTL disebabkan karena masih rendahnya

cakupan pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan yaitu 29% sedangkan 70%

persalinan ditolong oleh bukan tenaga kesehatan dan 1% tidak diketahui penolongnya.

(WHO, 2010).

Penolong persalinan yang terlatih merupakan salah satu teknik yang paling

penting dalam menurunkan AKI. Sebagian besar komplikasi obstetri terjadi pada saat

persalinan berlangsung. Angka kematian ibu akan dapat diturunkan secara adekuat

30

apabila 15% kelahiran ditangani oleh dokter dan 85% ditangani oleh bidan. Rasio ini

paling efektif bila bidan dapat menangani persalinan normal dan dapat secara efektif

merujuk 15% persalinan yang mengalami komplikasi kepada dokter. (Ika., 2014).

Selain faktor-faktor tersebut diatas menurut McCarthy (1992)

mengemukakan bahwa ada tiga faktor determinan yang berperan penting

mempengaruhi proses terjadinya kematian ibu hamil antara lain: determinan dekat,

determinan antara dan determinan jauh. (Saifudin, 2005) .

2.2 Determinan dekat

Adalah proses yang paling dekat terhadap kejadian kematian ibu yaitu

kehamilan itu sendiri dan komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan nifas

(komplikasi obstetri). Wanita yang hamil memiliki risiko untuk mengalami komplikasi

baik komplikasi kehamilan maupun persalinan sedangkan wanita yang tidak hamil

tidak memiliki risiko tersebut.

2.2.1 Komplikasi kehamilan

Komplikasi kehamilan merupakan penyebab langsung kematian ibu yang

sering terjadi adalah perdarahan, preeklamsia atau eklamsia dan infeksi.

a. Perdarahan

Pada masa kehamilan muda dan kehamilan lanjut biasanya terjadi perdarahan

yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu (KET) dan abortus. Di negara-

negara berkembang angka kejadian kehamilan ektopik terkesan meningkat menjadi

sekitar 1 : 80 sampai 150 kehamilan. Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi

bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri.

31

Sebagian besar kehamilan ektopik (ectopic gestation) terjadi di tuba falopii namun

kadang-kadang ovum yang sudah dibuahi dapat mengadakan implantasi pada

permukaan ovarium, servik uteri atau yang sangat jarang adalah pada omentum.

Beberapa istilah yang berkaitan dengan kehamilan ektopik antara lain: (1).

Kehamilan ektopik terganggu adalah kehamilan ektopik yang membahayakan

wanita. (2). Kehamilan heterotopik adalah kehamilan intrauterin yang berdekatan

dengan kehamilan ektopik. (3). Kehamilan ektopik kombinasi (combined ectopic

pregnancy) adalah kehamilan intrauterin yang bersamaan dengan kehamilan

ekstrauterin. (4). Kehamilan ektopik rangkap (compound ectopic pregnancy) adalah

kehamilan intrauterin dan ekstrauterin lebih dulu terjadi, tapi janin sudah mati dan

menjadi litopedion (janin yang sudah membatu).

Penyebab kehamilan ektopik belum diketahui secara pasti. Namun demikian,

penyebab kehamilan ektopik yang paling sering adalah faktor tuba (95%). Di bawah

ini merupakan penyebab kehamilan ektopik:

1. Faktor tuba, meliputi: penyempitan lumen tuba, gangguan silia tuba, operasi

dan sterilisasi tuba yang tidak sempurna, endometriosis tuba, tumor.

2. Faktor ovum, meliputi: rapid cell devision, migrasi eksternal dan internal

ovum, perlekatan membran granulose.

3. Penyakit radang panggul

4. Kegagalan kontrasepsi

5. Efek hormonal, meliputi: penggunaan kontrasepsi minum pil, dan

32

6. Riwayat terminasi kehamilan sebelumnya.

Faktor resiko kehamilan ektopik diantaranya adalah: endometriosis; riwayat

radang panggul, riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, riwayat pembedahan tuba,

riwayat infertilitas, riwayat pemakaian IUD belum lama berselang, riwayat penyakit

menular seksual (PMS) seperti: gonore dan klamidia, faktor usia hamil di atas 35

tahun, riwayat kebiasaan buruk (merokok) dan pasien dalam proses fertilisasi in vitro.

Gejala dan tanda kehamilan ektopik adalah sebagai berikut: Ibu hamil yang

mengalami kehamilan ektopik akan merasakan gejala pada usia kehamilan 6-10

minggu. Adapun gejala dan tanda yang dirasakan antara lain: amenorea/tidak haid,

nyeri perut bagian bawah, perdarahan per vaginam iregular (biasanya dalam bentuk

bercak-bercak darah), rasa sakit pada salah satu sisi panggul, tampak pucat, tekanan

darah rendah, denyut nadi meningkat, ibu hamil mengalami pingsan dan terkadang

disertai nyeri bahu akibat iritasi diafragma dari hemoperitoneum. Selain perdarahan

akibat kehamilan ektopik terganggu ada perdarahan yang disebabkan oleh abortus

karena berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum kehamilan

tersebut berusia 20 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram atau buah kehamilan

belum mampu hidup diluar kandungan. (Rahmawati, 2011).

Perdarahan pada kehamilan lanjut atau perdarahan antepartum biasanya

terjadi pada kehamilan trimester ketiga disebabkan adanya kelainan plasenta yaitu

plasenta previa dan solutsio plasenta. Plasenta previa perdarahan yang terjadi pada

implantasi plasenta yang menutupi sebagian atau seluruh osteum uteri internum.

33

Plasenta previa dibagi menjadi plasenta previa totalis, lateralis, marginalis

dan plasenta previa letak rendah sedangkan solusio plasenta adalah perdarahan yang

terjadi akibat lepasnya plasenta dari insersinya di fundus uteri sebelum waktu

persalinan. Solusio plasenta dibagi menjadi solusio plasenta ringan dengan

perdarahan kurang dari 500 cc, solusio sedang dengan perdarahan sekitar 1000 cc

dan solusio plasenta berat suatu keadaan dimana plasenta sudah lepas melebihi 2/3

bagian, perut nyeri dan tegang, bagian janin sulit diraba seperti papan, darah dapat

masuk otot rahim, uterus couvelaire yang menyebabkan atoni uteri serta perdarahan

pascapartus dan terdapat gangguan pembekuan darah fibrinogen kurang dari 100

mg% sampai 150 mg%. (Manuaba, 2001).

b. Perdarahan post partum

Perdarahan pasca persalinan (post partum) adalah perdarahan pervaginam

500 ml atau lebih sesudah anak lahir. Perdarahan pasca persalianan dapat disebabkan

oleh atoni uteri sisa plasenta, retensio plasenta, inversion uteri, robekan pada jalan

lahir dan gangguan pembekuan darah. Haemorargic Post Partum (HPP) adalah

hilangnya darah lebih dari 500 ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi.

Perdarahan Post partum diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: 1).

Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrage) atau perdarahan

post partum primer atau perdarahan Pasca Persalinan Segera. Perdarahan pasca

persalinan primer terjadi 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca

persalinan primer adalah atoni uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan

lahir dan inversion uteri.

34

2). Perdarahan masa nifas atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau Perdarahan Pasca

Persalinan Lambat. Perdarahan Persalinan Sekunder terjadi setelah 24 jam pertama.

Perdarahan pasca persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan

rahim yang tidak baik atau sisa plasenta yang tertinggal. (Rahmawati, 2011).

Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu

disebabkan oleh pendarahan, proporsinya berkisar antara kurang dari 10 persen sampai

hampir 60 persen. Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami

pendarahan pasca persalinan, namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang

berat (anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan.

(WHO, 2010).

c. Aborsi

Aborsi adalah penghentian kehamilan dengan alasan apapun sebelum hasil

konsepsi dapat bertahan hidup di luar kandungan ibunya. (WHO, 1994). Sedangkan

dunia kedokteran berpendapat bahwa janin yang lahir dengan berat badan kurang dari

atau sama dengan 500 gram tidak mungkin hidup di luar kandungan, karena janin

yang berat badan 500 gram sama dengan usia kehamilan 22 minggu, maka kelahiran

janin dibawah umur 22 minggu dianggap sebagai aborsi.

35

Ada dua jenis aborsi yaitu Aborsi spontaneous dan aborsi provocatos.

1. Abortus Spontaneous atau dikenal sebagai keguguran merupakan proses keluarnya

embrio atau fetos akibat kecelakaan, ketidaksengajaan atau penyebab alami lainnya

yang mengakibatkan terhentinya kehamilan sebelum minggu ke- 22. Aborsi spontan

merupakan proses terjadi sendiri tanpa campur tangan manusia. Secara global 10-50%

kehamilan berakhir dengan keguguran tergantung usia dan kesehatan perempuan

hamil. Kebanyakan keguguran terjadi di masa awal kehamilan dan pada kebanyakan

kasus biasanya perempuan bahkan tidak menyadari dirinya sedang hamil.

Berdasarkan pengeluaran hasil konsepsi aborsi spontan terbagi menjadi, 2.

Abortus incompletus yaitu pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan

sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal di dalam uterus, abortus

completus yaitu pengeluaran keseluruhan buah kehamilan dari rahim dan keadaan

demikian tidak memerlukan pengobatan. Semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan dan

missed abortion adalah keadaan dimana hasil pembuahan yang telah mati tertahan

dalam rahim selama delapan minggu atau lebih dan pasien biasanya tidak menderita

gejala kecuali tidak mendapat haid. Kebanyakan akan berakhir dengan pengeluaran

buah kehamilan secara spontan dengan gejala yang sama dengan abortus yang lain.

(Inna Hudaya, 2009).

3. Abortus provocatus adalah proses penghentian kehamilan sebelum janin dapat

hidup di luar kandungan yang dilakukan dengan sengaja dengan tujuan tertentu.

Abortus provocatus dapat dikategorikan menjadi (a) Abortus therapeuticus yaitu

abortus yang dilakukan dengan disertai indikasi medik, dengan alasan bila kehamilan

36

dilanjutkan akan dapat membahayakan jiwa si ibu (berdasarkan indikasi medis).

Biasanya diperlukan persetujuan dari 2 sampai 3 orang dokter ahli, (b) Abortus

Provokatus Kriminalis, abortus yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik

(ilegal). Perilaku ini sifatnya ilegal dan seringkali dilakukan secara sembunyi-

sembunyi oleh tenaga tradisional.

d. Pre eklamisia dan Eklamsia.

Pre-eklamsia adalah suatu kondisi yang bisa dialami oleh setiap wanita hamil.

Penyakit ini ditandai dengan meningkatnya tekanan darah yang diikuti oleh

peningkatan kadar protein di dalam urine. Wanita hamil dengan preeklampsia juga

akan mengalami pembengkakan pada kaki dan tangan. Preeklampsia umumnya

muncul pada pertengahan umur kehamilan, meskipun pada beberapa kasus ada yang

ditemukan pada awal masa kehamilan.

Preeklamsia dibagi dalam dua bagian yaitu preeklamsia ringan dan preeklamsia

berat. Preeklamsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinurea dan edema

setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini timbul

sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblas. Sedangkan Pre-eklamsia

berat adalah komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110

mmHg atau lebih disertai proteinuria dan edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih

(Rahmawati, 2011).

37

Eklamsia merupakan kondisi lanjutan dari preeklampsia yang tidak teratasi

dengan baik. Selain mengalami gejala preeklampsia, pada wanita yang terkena

eklampsia juga sering mengalami kejang kejang. Eklampsia dapat menyebabkan koma

atau bahkan kematian baik sebelum, saat atau setelah melahirkan. Penyebab pasti dari

kelainan ini masih belum diketahui, namun beberapa penelitian menyebutkan ada

beberapa faktor yang dapat menunjang terjadinya preeklamsia dan eklamsia. Faktor

faktor tersebut antara lain, gizi buruk, kegemukan dan gangguan aliran darah ke rahim.

Faktor resiko terjadinya preeklamsia antara lain: pada umumnya terjadi pada

kehamilan yang pertama kali, kehamilan di usia remaja dan kehamilan pada wanita

diatas 40 tahun. Faktor resiko yang lain adalah : riwayat tekanan darah tinggi yang

khronis sebelum kehamilan, riwayat mengalami preeklampsia sebelumnya, riwayat

preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan, kegemukan, mengandung lebih dari

satu orang bayi, riwayat kencing manis, kelainan ginjal, lupus atau rematoid arthritis.

e. Infeksi pada kehamilan.

Infeksi pada kehamilan adalah infeksi jalan lahir yang terjadi pada kehamilan

muda dan tua. Infeksi pada kehamilan muda adalah infeksi jalan lahir yang terjadi

pada kehamilan kurang dari 20 sampai 22 minggu yang disebabkan adanya abortus

yang terinfeksi. Sedangkan infeksi jalan lahir pada kehamilan pada kehamilan tua

adalah infeksi yang terjadi pada trimester kedua dan ketiga. Infeksi jalan lahir ini

dapat terjadi akibat ketuban pecah sebelum waktunya, infeksi saluran kencing

misalnya sistitis, nefritis atau akibat penyakit sistemik seperti: malaria, demam tifoid,

38

hepatitis dan lain-lain. Keadaan ini berbahaya karena dapat menyebabkan terjadinya

sepsis yang dapat menyumbang kematian ibu sebesar 15%. (WHO, 2003).

f. Infeksi pada nifas

Infeksi nifas merupakan keadaan yang mencakup semua peradangan yang

disebabkan oleh masuknya kuman-kuman ke dalam alat genital pada waktu persalinan

dan nifas. Kuman penyebab infeksi dapat masuk ke dalam saluran genital dengan

berbagai cara antara lain melalui tangan penolong persalian yang tidak bersih atau

penggunaan instrumen yang kotor. Mula-mula infeksi terbatas pada uterus dimana

terdapat rasa nyeri dan nyeri tekan pada perut bagian bawah dengan cairan vagina

yang berbau busuk. Demam disertai nyeri perut yang bertambah, muntah, nyeri kepala

dan kehilangan nafsu makan menandakan terjadinya penyebaran infeksi ke tempat

lain. Selanjutnya dapat terjadi abses di tuba falopii, panggul dan difragma bagian

bawah. Pada kasus yang berat infeksi dapat menyebar ke dalam aliran darah

(septicemia) menimbulkan abses dalam otak dan otot ginjal. Jika infeksi tidak

dikendalikan selanjutnya dapat terjadi gangguan mental dan koma. Infeksi nifas

menyebabkan morbiditas dan mortalitas bagi ibu pasca persalinan. Kematian terjadi

karena berbagai komplikasi termasuk syok, gagal ginjal, gagal hati dan anemia.

Insidensi infeksi nifas terjadi antara 2-8% dari seluruh wanita hamil dan memberikan

kontribusi sebesar 8% terhadap kejadian kematian maternal setiap tahunnya. Faktor

predisposisi infeksi nifas antara lain kurang gizi, anemia, higyene persalinan yang

buruk, kelelahan ibu, sosial ekonomi rendah, proses persalinan yang bermasalah

39

seperti partus lama atau partus macet, persalinan traumatik, manipulasi berlebihan dan

kurang baiknya proses pencegahan infeksi.

2.3 Determinan antara

Determinan antara mencakup status kesehatan ibu, status reproduksi, akses ke

pelayanan kesehatan, perilaku perawatan/penggunaan pelayanan kesehatan dan faktor-

faktor lain yang tidak diketahui atau tidak terduga.

2.3.1 Status kesehatan ibu

Status kesehatan ibu yang berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal

meliputi status gizi, anemia, penyakit yang diderita ibu dan riwayat komplikasi pada

kehamilan dan persalinan sebelumnya. Status gizi ibu hamil dapat dilihat dari hasil

pengukuran terhadap lingkar lengan atas (LILA). Pengukuran lingkar lengan atas

bertujuan untuk mendeteksi apakah ibu hamil termasuk kategori kurang energi kronis

(KEK) atau tidak. Ibu dengan status gizi buruk memiliki resiko untuk terjadinya

perdarahan dan infeksi pada masa nifas. Anemia merupakan maslah penting yang

harus diperhatikan selama kehamilan. Seorang ibu hamil dikatakan menderita anemia

bila kadar haemoglobin (Hb) kurang dari 11g/dl. Berbagai sebab anemia yang saling

berkaitan antara lain intake yang kurang adekuat, malaria, parasit, defisiensi zat besi,

asam folat dan vitamin A. Kurang lebih 50% dari seluruh ibu hamil di seluruh dunia

menderita anemia. Wanita yang menderita anemia berat akan lebih rentan terhadap

infeksi selama kehamilan dan persalinan akan meningkatkan risiko kematian akibat

perdarahan dan akan memiliki risiko komplikasi operatif bila dibutuhkan persalinan

dengan seksio sesaria. Penyebab kematian maternal tidak langsung lainnya antara lain

40

malaria, hepatitis, HIV/AIDS, diabetes mellitus dan bronkopneumonia. Riwayat

obstetrik yang buruk seperti persalinan dengan tindakan, perdarahan, partus lama dan

bekas seksio sesaria akan mempengaruhi kematian maternal. (Saifudin, 2005).

2.3.2 Status reproduksi ibu

Status reproduksi yang berperan penting terhadap kejadian kematian maternal

adalah usia ibu hamil, jumlah paritas, jarak kehamilan dan status perkawinan ibu. Usia

di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun merupakan usia berisiko untuk hamil dan

melahirkan. Risiko paling besar terdapat pada ibu hamil berusia ≤ 14 tahun.

Komplikasi yang sering timbul pada kehamilan di usia muda adalah anemia, partus

prematur, partus macet. Akses ke pelayanan kesehatan yang kurang untuk

mendapatkan perawatan kehamilan dan persalinan merupakan penyebab yang penting

bagi terjadinya kematian maternal di usia muda. Kemiskinan dan ibu hamil yang tidak

berpendidikan atau buta huruf maupun ketidak setaraan kedudukan antara pria dan

wanita, pernikahan usia muda dan kehamilan yang tidak diinginkan akan

memperburuk keadaan ini.

Kehamilan diatas usia 35 tahun menyebabkan wanita terpapar pada komplikasi

medik dan obstetrik seperti risiko terjadinya hipertensi kehamilan, diabetes, penyakit

kardiovaskuler, penyakit ginjal dan gangguan fungsi paru. Kejadian perdarahan pada

usia kehamilan lanjut meningkat pada wanita yang hamil di usia > 35 tahun dengan

peningkatan insidensi perdarahan akibat solusio plasenta dan plasenta previa.

41

Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian

maternal. Paritas kurang dari satu atau belum pernah melahirkan atau baru melahirkan

petama kali dan paritas labih 4 kali memiliki angka kematian maternal lebih tinggi.

2.4 Determinan jauh

Determinan jauh mempengaruhi kejadian kematian ibu melalui pengaruhnya

terhadap determinan antara yang meliputi faktor sosio-kultural dan faktor ekonomi,

seperti status wanita dalam keluarga dan masyarakat, status keluarga dalam

masyarakat dan status masyarakat, (Arulita IF, 2007)

Faktor sosio-kultural dan faktor ekonomi seperti status wanita dalam

keluarga dan masyarakat merupakan determinan antara yang mempengaruhi kejadian

kematian ibu walaupun diklasifikasikan dalam determinan jauh. Disamping itu

determinan dekat secara langsung dipengaruhi oleh determinan antara yaitu status

kesehatan ibu, status reproduksi, akses ke pelayanan kesehatan, perilaku pelayanan

kesehatan atau pengunaan pelayanan kesehatan dan faktor-faktor lain yang tidak

diketahui atau tidak terduga. Proses yang paling dekat terhadap kematian ibu disebut

sebagai determinan dekat yaitu kehamilan itu sendiri dan komplikasi yang terjadi

dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas yang dikenal dengan komplikasi obstertri.

(Royston, 1998).

42

Model perubahan perilaku dari Lawrence Green mengatakan bahwa kesehatan

individu atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan

faktor-faktor di luar perilaku ( non-perilaku). Selanjutnya, faktor perilaku ini ditentukan

tiga kelompok faktor: faktor-faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor

pendorong. Faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan, sikap,

kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri

individu dan masyarakat. Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya sarana

pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya, sedangkan faktor pendorong

(reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Menurut Green

pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan

ketiga kelompok faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan

perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap kesehatan pada

umumnya. Sebagai contoh model Green ini dapat digunakan untuk menganalisis

program imunisasi di Indonesia. Pemerintah menyediakan sarana obat dan petugas

imunisasi di setiap desa (faktor pendukung), para dokter, perawat dan petugas

imunisasi memberikan penyuluhan (pendidikan kesehatan) dan mendekati para ibu

yang anaknya memerlukan imunisasi (faktor pendorong), sehingga ibu-ibu menjadi

paham atas pentingnya mencegah penyakit melalui imunisasi (faktor predisposisi). Ini

semua diarahkan untuk mencapai perilaku positif, yaitu membawa anak ke posyandu,

Puskesmas atau praktek dokter swasta untuk imunisasi. Namun disamping perilaku, ada

pula aspek non-perilaku yang dapat mempengaruhi pencapaian kesehatan

individu/masyarakat, misalnya sulitnya mencapai sarana pelayanan kesehatan,

mahalnya biaya transport dan pengobatan, dan lain-lainnya. (Solita, 1993).

43

Menurut Kelman (2005), proses perubahan sikap dan perilaku individu

dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi, kemudian baru menjadi internalisasi.

Mula-mula individu mematuhi anjuran/instruksi petugas tanpa kerelaan untuk

melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sangsi

jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia

mematuhi anjuran tersebut. Tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance). Biasanya

perubahan yang terjadi dalam tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan itu

dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetatpi begitu pengawasan itu

mengendur/hilang, perilaku itupun ditinggalkan. Pengawasan itu tidaklah perlu berupa

kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap

ancaman sangsi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut.

Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidak pahaman tentang

pentingnya perilaku yang baru itu, dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda

jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau

tokoh yang mengajurkan perubahan tersebut (change agent). Biasanya kepatuhan ini

timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi tokoh tersebut, sehingga ingin

menirukan tindakannya tanpa memahami sepenuhnya arti dan manfaat dari tindakan

tersebut. Proses ini disebut identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku

individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam compliance, namun motivasi ini

belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat

mengkaitkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya sehingga jika

ditinggalkan oleh tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu lagi melanjutkan

perilaku tersebut.

44

Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut

terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai

positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai kehidupannya.

(Solita, 1993).

Selain faktor sikap dan perilaku yeng berkontribusi pada penyebab kematian ibu

hamil meurut Saifudin ada faktor penyebab kematian lain yang perlu mendapat

perhatian. Penyebab kematian ibu digolongkan menjadi (1). Penyebab

kematian langsung (direct obstetric death) yaitu kematian ibu yang disebabkan

langsung oleh penyulit obstetrik pada masa kehamilan, persalinan dan nifas atau

kematian ibu yang disebabkan oleh suatu tindakan atau berbagai hal yang terjadi akibat

tindakan yang dilakukan selama hamil, persalinan dan nifas dan (2). Penyebab

kematian tidak langsung (indirect obstetric death) yaitu kematian ibu yang disebabkan

oleh suatu penyakit yang berkembang dan bertambah berat akibat kehamilan dan

persalinan atau nifas. (Saiffudin, 2002).

William dkk. (2010) melakukan studi kualitatif tentang keterlibatan suami

dalam pemberian perawatan di daerah terpencil Bangladesh. Studi ini memberikan

bukti baru tentang keterlibatan laki-laki dalam pelayanan persalinan di daerah terpencil

Bangladesh. Temuan ini memiliki implikasi yang baik bagi penangugjawab program

melalui strategi pendidikan yang efektif dan tidak bertentangan dengan budaya

setempat untuk melibatkan suami dalam pelayanan kesehatan maternal.

Di Nepal sebagian besar kelahiran berlangsung di rumah terutama di daerah

terpencil dan tidak ditolong oleh tenaga kesehatan yang trampil. Tujuan utama

45

penilitian ini adalah untuk mengetahui masalah apa yang membatasi tenaga kesehatan

untuk mengakses ke daerah terpencil guna memberi pelayanan kesehatan kepada

masyarakat terutama untuk membantu persalinan

dan perawatan kepada ibu hamil di daerah pedesaan. Penelitian ini dilakukan pada

tahun 2006 dengan rancangan cross-sectional, dan yang menjadi target adalah 150

wanita yang memiliki kelahiran hidup dalam 24 bulan sebelum survey dilakukan. Data

diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Sampel adalah

perempuan menikah dengan usia 15-49 tahun yaitu 46 (31%) wanita melahirkan bayi

mereka di rumah sakit dan 104 (69%) yang melahirkan di rumah. (Roman Shrestha,

2012).

Pada tahun (2007) di Peru para dokter untuk Hak Asasi Manusia

menyebutkan kematian ibu yang terjadi sering disebakan oleh Penundaan Mematikan:

tidak ada pendekatan berbasis hak untuk keselamatan ibu, terdapat dokumentasi

pelayanan kasus yang tidak adil terhadap perempuan pribumi seperti contoh ibu hamil

di daerah pedesaan sulit mendapatkan pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat

yang sebenarnya tidak sampai menyebabkan kematian ibu tidak perlu. Masalah

kematian ibu adalah masalah sosial, penyebab kematian ibu diketahui oleh semua

orang teatpi tidak tersedia solusi untuk semua ibu hamil.

Ada empat alasasn utama yang menyebabkan penundaan dalam penanganan

masalah ibu hamil antara lain: kurangnya pengetahuan mengenali risiko kehamilan,

terlambat memutuskan untuk merujuk, terlambat sampai ke fasilitas kesehatan karena

46

kurangnya transportasi, dan waktu yang dibutuhkan oleh staf di Puskesmas untuk

memutuskan bagaimana untuk merespon. (Fraser and Barbara, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Islam (2004), mengenai faktor yang

berhubungan dengan komplikasi persalinan pada daerah penelitian ini 993 wanita

hamil yang diseleksi yang paling sedikit satu kali menerima ante natal care (ANC)

selama masa kehamilan. Dilaporkan juga bahwa setiap tahun sekitar 500.000 wanita

hamil meninggal dunia berkaitan dengan masalah komplikasi selama masa kehamilan

dan hal ini 99% terjadi di negara-negara berkembang. Di Bangladesh hampir semua

wanita hamil di daerah terpencil dilayani oleh dukun bersalin dan hal ini sangat

mempengaruhi meningkatnya angka Maternal Mortality Ratio.

Di Nepal masalah utama yang dirasakan oleh masyarakat di daerah terpencil

dalam mengakses ke fasilitas kesehatan adalah jarak, kurangnya transportasi,

kurangnya kesadaran terhadap persalinan, dan biaya. Alasan utama untuk mencari

perawatan adalah persalinan yang lama, retensi plasenta, dan perdarahan yang

berlebihan. Hanya seperempat wanita mencari perawatan setelah masalah terjadi dan

alasan utama mencari perawatan akhir adalah wanita hamil atau keluarga kurang

menyadari bahwa ada masalah serius mengenai jarak ke fasilitas kesehatan dan kurang

transportasi dan lain lain. Dengan demikian persalinan yang di lakukan oleh tenaga

tidak terlatih masih merupakan pilihan terbaik bagi masyarakat di daerah terpencil di

Nepal. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang ada erat hubungannya dengan

pelayanan dari tenaga kesehatan yang ikut diidentifikasi meliputi usia, etnis, pekerjaan

suami dan pekerjaan istri, jumlah kehamilan dan anak-anak, penggunaan ANC dan

47

pengalaman maslah selama kehamilan. Oleh karena itu tersedianya tenaga kesehatan

trampil di daerah terpencil untuk menyadarkan ibu hamil dalam proses persalinan di

daerah terpencil adalah solusi yang terbaik, (Amalraj et.al, 2006).

Kehamilan dan persalinan di dalam lingkaran hidup manusia diharapkan

karena prokreasi manusia dalam kehidupan melalui keturunannya. Pandangan umum

lainnya bahwa kehamilan dan persalinan memiliki potensi-potensi yang patologik bagi

wanita karena periode ini dilalui dengan kondisi-kondisi yang rawan dan rentan,

lemah, perdarahan dan banyaknya keluar cairan tubuh yang secara ekstrim dapat

berakibat kematian. Potensi dan kondisi patologik ini dapat mengganggu fungsi social

seseorang berkaitan dengan kompleks peranan yang dimainkannya sehingga

keberlangsungan kehidupan sosial dalam komunitasnya terancam (Foster Anderson,

1986).

Kondisi-kondisi umum dari peristiwa kehamilan dan persalinan tersebut

diinterpretasikan berbeda menurut kebudayaan yang berbeda. Pada banyak masyarakat

pedesaan di negara-negara Asia misalnya pengalaman ini bermuatan magis

keagamaan, bersifat personal dan merupakan pengalaman yang akrab bagi anggota

keluarga lainnya. Perawatan sejak awal kehamilan terjadi hingga pasca persalinan

biasa dilakukan di rumah dengan dibantu seorang dukun bayi. Pada kesempatan itu

anggota keluarga seperti ibu, suami, serta saudara dan kerabat memainkan peranan

tertentu sebagai penyembuh. Fenomena ini memperlihatkan bahwa peristiwa

kehamilan dan persalinan sebagai suatu gejala social (Foster Anderson, 2005).

48

Berikut ini adalah gambaran maternal moratlity rate dan maternal mortality

ratio di selururh dunia yang dilaporkan oleh WHO pada tahun 2010 sebagai berikut:

2.5 Peta Maternal mortality rate worldwide

Gambar 2.5 Peta Maternal Mortality Rate World Wide (WHO, 2010).

Gambar 2.6. Maternal Mortality Ratio World Wide (WHO, 2010).

2.7. Peta 13 lokasi penelitian di República Democrática de Timor-Leste

49

Gambar 2.7 Sumber: Sistema Informasaun da Saúde RDTL, 2011

Gambar 2.8 Uma lulik / rumah adat Timor-Leste.