Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
INDEKS MITOSIS DAN INDEKS PROLIFERASI
PROTEIN Ki-67 LEBIH TINGGI PADA KARSINOMA
SEL BASAL TIPE AGRESIF DIBANDINGKAN TIPE
NON AGRESIF
PUTU RATNA DARMAYANI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
i
TESIS
INDEKS MITOSIS DAN INDEKS PROLIFERASI
PROTEIN Ki-67 LEBIH TINGGI PADA KARSINOMA
SEL BASAL TIPE AGRESIF DIBANDINGKAN TIPE
NON AGRESIF
PUTU RATNA DARMAYANI
NIM 114098202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ii
TESIS
INDEKS MITOSIS DAN INDEKS PROLIFERASI
PROTEIN Ki-67 LEBIH TINGGI PADA KARSINOMA
SEL BASAL TIPE AGRESIF DIBANDINGKAN TIPE
NON AGRESIF
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
PUTU RATNA DARMAYANI
NIM 114098202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
iii
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 10 November 2016
Pembimbing I, Pembimbing II,
dr. A.A.A.N Susraini, Sp.PA(K) dr.Moestikaningsih,Sp.PA(K)
NIP.195903131989012001 NIP.194508021969022001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana
Dr.dr.G.N Indraguna Pinatih,MS.c,Sp.GK Prof.Dr.dr.A.A Raka Sudewi,SpS(K)
NIP.195805211985031002 NIP 195902151985102001
iv
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai
oleh Panitia Penguji pada
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
Pada Tanggal 3 Nopember 2016
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No : 5217/UNI4.4/HK/2016
Tanggal : 26 Oktober 2016
Panitia Penguji usulan Penelitian Tesis adalah
Ketua : dr. A.A.A.N. Susraini SpPA (K)
Anggota :
1. dr. Moestikaningsih, SpPA(K)
2. dr. Ketut Mulyadi SpPA(K)
3. Dr.dr. I.G.A Sri Mahendra Dewi SpPA (K)
4. Dr.dr. I Made Muliarta M.Kes
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama tama perkenanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida
Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan yang Maha Esa, karena hanya atas asung wara
nugrahaNya/kurnia Nya, karya akhir ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih
kepada dr. A.A.A.N. Susraini, SpPA (K) selaku pembimbing I dan dr.
Moestikaningsih, SpPA(K) sebagai pembimbing II, yang telah memberikan
bimbingan dan saran saran dari awal sampai karya akhir ini terselesaikan. Penulis
minta maaf karena dalam proses penyelesaian karya akhir ini penulis banyak
membuat kesalahan sehingga membuat pembimbing merasa tidak nyaman.
Ucapan yang sama juga kami sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana
Prof.Dr. dr. I Ketut Suastika SpPD(K), Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K). M. Kes, Direktur Program
Pascasarjana Prof.Dr.dr.A.A Raka Sudewi, SpS(K), serta Ketua Program Studi
Ilmu Biomedik, Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc. yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa pada program
pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini pula kami sampaikan rasa
terima kasih yang dalam kepada tim penguji, dr. Ketut Mulyadi SpPA(K), Dr. dr.
I.G.A. Sri Mahendra Dewi, SpPA(K), Dr.dr. I Made Muliarta M.Kes. yang telah
memberikan masukan, sanggahan, saran dan koreksi sehinngga karya akhir ini
dapat terwujud seperti ini. Kepada dr. I Wayan Sudana, M.Kes , Direktur Utama
Rumah Sakit Sanglah Denpasar, penulis sampaikan ucapan terima kasih karena
vii
telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis selama mengikuti
pendidikan di Rumah Sakit Sanglah. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada dr. Luh Putu Iin Indrayani Maker, SpPA(K) sebagai Kepala Instalasi
laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Sanglah dan dr AAAN Susraini
SpPA(K) sebagai Kepala Bagian Lab Patologi Rumah Sakit Sanglah Denpasar,
yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
penelitian.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang tulus
kepada dr. Herman Saputra, SpPA (K), dr. Ni Made Mahastuti, SpPA, dr. Dewi
Rahayu SpPA dan dr. Maharini Rahayu SpPA, serta rekan-rekan sesama residen
yang banyak memberikan masukan dan saran serta dorongan semangat kepada
penulis, terutama dr. Herlina Eka Shinta, dr. I.B Caka Gunantara dan dr. Yolanda
Isabela Simon. Ucapan yang sama juga kami berikan kepada seluruh staf pengajar
dan senior di Lab. Patologi Rumah Sakit Sanglah Denpasar, serta seluruh staf
karyawan dan rekan-rekan sejawat residen Patologi Anatomi atas kerjasamanya
selama penulis menyelesaikan karya akhir ini.
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
suami tercinta I Gusti Gede Made Gustem Lasida, S.E serta anak-anakku tercinta I
Gusti Putu Abiseka Darmawaji Lasidha dan Gusti Ayu Made Brindavana Ranjani
Lasidha atas pengertian dan dukungannya selama penulis mengikuti pendidikan
spesialisasi ini. Terima kasih yang besar penulis sampaikan kepada orang tua dr. I
Wayan Sudarma dan Ibu Ketut Sri Rahayuningsih S.Pd serta adik tercinta dr. I
Made Darma Junaedi atas doa dan dukungannya. Terima kasih juga saya ucapkan
viii
kepada kedua mertua saya I Gusti Nyoman Sulastya (almarhum) dan Gusti Ayu
Nyoman Masadi serta seluruh keluarga besar atas dukungannya dan dorongan
semangatnya, serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Semoga Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.
ix
ABSTRAK
INDEKS MITOSIS DAN INDEKS PROLIFERASI PROTEIN Ki-67 LEBIH
TINGGI PADA KARSINOMA BASAL TIPE AGRESIF DIBANDINGKAN
TIPE NON AGRESIF
Karsinoma sel basal (KSB) adalah kanker kulit yang paling sering dan
insidennya semakin meningkat. Umumnya tumbuh lambat, namun ada beberapa
subtipe agresif yang bersifat destruktif, sering rekuren dan bermetastasis. Adanya
kesulitan dalam penegakan diagnosis KSB scera histopatologis mendorong upaya
untuk menemukan faktor-faktor yang berperan dalam agresivitas tumor. Salah
satu cara menilai agresivitas tumor adalah dengan menilai laju proliferasi sel
dengan menghitung indeks mitosis dan menilai indeks proliferasi protein Ki-67.
Keduanya sering digunakan dalam menentukan agresivitas dari beberapa tumor.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan indeks mitosis dan indeks
proliferasi protein Ki67 lebih tinggi pada KSB tipe agresif, dibandingkan non
agresif.
Penelitian ini menggunakan metode analitik potong lintang. Empat puluh
enam sampel jaringan biopsi dari blok parafin dari pasien KSB, terdiri dari 23
kasus KSB agresif dan 23 kasus KSB non agresif, dipilih secara consecutive
sampling di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Denpasar dan
Laboratorium Patologi Anatomi Swasta di Denpasar dari tanggal 1 Januari 2011
sampai dengan 31 Desember 2015. Dilakukan penghitungan indeks mitosis dan
pulasan imunohistokimia Ki-67. Analisis hubungan indeks mitosis dengan
agresivitas KSB dilakukan dengan uji independent samples t-test sedangkan
indeks proliferasi protein Ki-67 dianalisis dengan uji chi-square dengan tingkat
kemaknaan α=0.05
Hasil penelitian menunjukkan indeks mitosis dan indeks proliferasi Ki67
pada KSB agresif lebih tinggi dibandingkan non agresif dan perbedaan ini
bermakna secara statistik (p=0,03 untuk indeks mitosis dan p=0,032 untuk indeks
proliferasi Ki-67).
Dari penelitian ini dapat dibuat kesimpulan bahwa indeks mitosis dan
indeks proliferasi Ki67 yang tinggi dapat digunakan untuk menilai agresivitas
dari KSB serta perlu disertakan pada pemeriksaan histopatologi rutin.
Kata kunci: karsinoma sel basal, agresif, non agresif, indeks mitosis, indeks
proliferasi protein Ki-67.
x
ABSTRACT
MITOTIC INDEX AND Ki-67 PROLIFERATIVE INDEX ARE HIGHER
IN AGGRESSIVE TYPE BASAL CELL CARCINOMA THAN NON
AGGRESSIVE TYPE
Basal cell carcinoma (BCC) is the most common type of skin cancer and
its incidence is still rising. Its usually slow-growing tumor, but several subtype of
BCC tend to grow aggressively, often recurring and even metastasize. The
difficulty in histopathologic diagnosis encourage efforts to find factors which
plays a role in tumor aggressiveness. One method to determine agressiveness of
tumor is evaluating cell proliferation. Activity of cell proliferation can be detected
by counting mitotic index and evaluate proliferative index of Ki-67 protein. Both
often used to determine tumor aggressiveness. The aim of this study to prove
mitotic index and Ki-67 proliferative index in aggressive type BCC higher than in
non aggressive type.
This study was a cross sectional analytical method. Forty six samples
parafin blocks of 23 aggressive and 23 non aggressive basal cell carcinomas was
chosen by consecutive sampling method from Pathology Anatomy Department
Udayana University/ RSUP Sanglah Denpasar and Private Pathology Anatomy
Laboratory in Denpasar from 1st January 2011 to 31
st December 2015. Next,
mitotic index was count and sample from paraffin block stained with Ki-67
immunohistochemistry. Mitotic index was analyzed with independent samples t-
test, while Ki-67 proliferative index was analyzed by chi-square test with
significancy level at α=0.05.
The result showed mitotic index and Ki-67 proliferative index were
significantly higher in aggressive BCC than non aggressive (p=0.03 for mitotic
index and p=0.032 for Ki-67 proliferative index).
High mitotic index and high Ki-67 proliferative index can be used to
examine agressiveness of BCC and need to be included in histopathological
report.
Keywords: basal cell carcinoma, aggressive, non aggressive, mitotic index, Ki-67
proliferative index.
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ..................................................................................... i
SAMPUL DALAM .................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ......................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT............................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................. ix
ABSTRACT ............................................................................................... x
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 7
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 7
1.3.1 Tujuan Umum .......................................................... 7
1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 8
1.4.1. Manfaat Akademik ................................................... 8
1.4.2. Manfaat Praktis ........................................................ 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................... 9
2.1 Karsinoma Sel Basal ............................................................ 9
2.1.1 Definisi ...................................................................... 9
2.1.2 Insiden Karsinoma Sel Basal .................................... 9
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko ........................................ 10
2.1.4 Karsinogenesis KSB ................................................. 12
2.1.5 Gambaran Klinis ....................................................... 15
2.1.6 Gambaran Histopatologi ........................................... 20
2.1.7 Diagnosis ................................................................... 28
2.1.8 Diagnosis Banding ..................................................... 28
2.1.9 Terapi ....................................................................... 29
2.2 Indeks mitosis ..................................................................... 30
2.3 Struktur dan fungsi Ki-67 .................................................... 33
2.4 Imunohistokimia Ki-67 ........................................................ 35
2.5 Ki-67 dan KSB .................................................................... 38
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1.Kerangka Berpikir ............................................................... 40
3.2 Konsep Penelitian ................................................................ 43
3.3 Hipotesis Penelitian ............................................................... 44
BAB IV METODE PENELITIAN .......................................................... 45
4.1 Rancangan Penelitian .......................................................... 45
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 46
4.3 Ruang Lingkup Penelitian ................................................... 46
xii
4.4 Penentuan Sumber Data ...................................................... 45
4.4.1 Populasi ..................................................................... 45
4.4.2 Sampel ....................................................................... 47
4.4.3 Kriteria Inklusi .......................................................... 47
4.4.4 Kriteria Eksklusi ........................................................ 48
4.4.5 Besar Sampel ............................................................. 48
4.4.6 Teknik Pengambilan Sampel...................................... 49
4.5 Variabel Penelitian .............................................................. 49
4.5.1 Klasifikasi Variabel ................................................... 49
4.5.2 Definisi Operasional Variabel ................................... 49
4.6 Bahan Penelitian .................................................................. 53
4.7 Instrumen Penelitian ............................................................ 54
4.8 Prosedur Penelitian .............................................................. 55
4.8.1 Cara Pengumpulan Data ............................................. 55
4.8.2 Prosedur Pemeriksaan Bahan .................................... 55
4.8.3 Alur Penelitian .......................................................... 60
4.9 Analisis data ........................................................................ 61
BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................. 62
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ........................................... 62
5.2 Indeks Mitosis ...................................................................... 68
5.3 Indeks Proliferasi Protein Ki-67 .......................................... 69
BAB VI PEMBAHASAN ....................................................................... 68
6.1 Indeks Mitosis dengan Agresifitas KSB ............................... 71
6.3 Indeks Proliferasi Protein Ki-67 dengan Agresifitas KSB ... 72
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 77
7.1 Simpulan ............................................................................... 77
7.2 Saran ..................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 78
LAMPIRAN……………… ........................................................................ 82
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Sonic Hedgehog (SHH) ........................................................... 12
Gambar 2.2 Kerusakan akibat induksi sinar UV.......................................... 15
Gambar 2.3 Gambaran klinis KSB ............................................................. 19
Gambar 2.4 Gambaran histopatologi KSB .................................................. 26
Gambar 2.5 KSB dengan berbagai variasi diferensiasi................................ 27
Gambar 2.6 Fase-fase mitosis ..................................................................... 32
Gambar 2.7 Skema siklus sel ...................................................................... 35
Gambar 2.8 Pulasan positif Ki-67 pada KSB .............................................. 37
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian .................................................... 43
Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian .................................................... 45
Gambar 4.2 Alur penelitian .......................................................................... 60
Gambar 5.1 Grafik distribusi sampel berdasarkan lokasi ............................ 65
Gambar 5.2 Indeks proliferasi protein Ki-67 ............................................... 70
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Faktor risiko tinggi untuk KSB rekuren ..................................... 17
Tabel 5.1 Gambaran karakteristik sampel penelitian
berdasarkan variabel umur .......................................................... 63
Tabel 5.2 Distribus sampel berdasarkan jenis kelamin .............................. 63
Tabel 5.3 Gambaran karakteristik sampel penelitian
berdasarkan ukuran tumor........................................................... 64
Tabel 5.4 Gambaran karakteristik sampel penelitian
berdasarkan gambaran makroskopis ........................................... 66
Tabel 5.5 Distribusi sampel berdasarkan diagnosis histopatologi .............. 67
Tabel 5.6 Hasil analisis indeks mitosis ....................................................... 68
Tabel 5.7 Hasil analisis indeks Ki-67 ......................................................... 69
xv
DAFTAR SINGKATAN
BCNS = Basal Cell Nevus Syndrome
BCL = B Cell Lymphoma
CT scan = Computerized Tomography Scanning
DNA = Deoxyribonucleic Acid
GLI = Glioma
GIST = Gastrointestinal Stromal Tumor
Ki-67 = Protein Kiev-67
KSB = Karsinoma Sel Basal
KDa = Kilo Dalton
Kb = Kilo Basa
MMS = Moh’s Micrographic Surgery
PTCH1 = Patched Homologue 1
SE = Surgical Excision
SHH = Sonic Hedgehog
SMO = Smoothened
UV = Ultra violet
UVA = Ultraviolet A
UVB = Ultraviolet B
xvi
LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Kelaikan Etik .............................................. 82
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian ................................................................. 83
Lampiran 3. Amandemen Surat Keterangan Kelaikan Etik ........................ 84
Lampiran 4 Amademen Surat Ijin Penelitian .............................................. 85
Lampiran 5 Data Sampel Penelitian ........................................................... 86
Lampiran 6 Analisis Statistik ...................................................................... 88
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma sel basal (KSB) adalah tumor kulit ganas yang paling sering
ditemukan. Meskipun sebagian tumor ini tumbuh lambat, namun sebagian KSB
bersifat agresif dan dapat menimbulkan kematian. Faktor risiko dari tumor ini
diduga berkaitan dengan pengaruh radiasi sinar ultraviolet, terutama pada wilayah
yang dekat ekuator bumi. Kanker ini sering ditemukan pada ras orang kulit putih
(Kaukasia) yang secara alamiah kurang memiliki pertahanan terhadap paparan
radiasi sinar ultraviolet. Adanya pengaruh iklim yang semakin memanas akibat
pemanasan global dan penipisan lapisan ozon semakin meningkatkan risiko
terpapar radiasi sinar ultraviolet sehingga memicu peningkatan insiden KSB.
Secara definisi, karsinoma sel basal (KSB) merupakan kelompok tumor
ganas kutaneus yang ditandai oleh adanya sel-sel basal (germinatif) yang
membentuk struktur lobulus, kolom, atau lembaran (Kossard et al., 2006). Tumor
ini merupakan kanker kulit yang paling sering dan insidennya semakin meningkat
(Mosterd et al., 2009). KSB sering berkembang pada ras Kaukasia dengan risiko
rata-rata sekitar 30%. Insiden tertinggi ditemukan di Australia yaitu 1383 kasus
baru per 100.000 populasi per tahun (Samarasinghe et al., 2006). Rata-rata KSB
meningkat pada kelompok usia tua. Di Indonesia, insiden kanker kulit pada tahun
2011 menempati peringkat ke lima dari 10 tumor tersering di Indonesia. Di Bali,
kanker kulit menempati peringkat ke enam dari 10 tumor tersering di Bali pada
tahun 2011 (Dit Yan Med, 2011).
2
Etiologi dari kanker ini multifaktorial dan merupakan kombinasi dari
faktor genotipik, fenotipik, dan lingkungan. Namun faktor risiko yang signifikan
adalah radiasi sinar ultraviolet. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya insiden pada
daerah di dekat ekuator (Samarasinghe et al .,2006). Karsinoma sel basal terutama
terjadi pada kulit yang terpapar matahari, akibat kegagalan perbaikan stem cells
keratinositik karena kerusakan DNA oleh sinar matahari (Patterson et al., 2006).
Daerah wajah dan leher merupakan lokasi yang paling sering mengalami KSB
(Telfer et al., 2008).
Gen yang diduga berkaitan dengan KSB adalah Patched homologue 1
(PTCH), smoothened (SMO) dan p53. Gen PTCH merupakan tumor-supressor
protein yang berperan dalam jalur sinyal Sonic Hedgehog. Adanya mutasi pada
gen PTCH1 menyebabkan terbentuknya protein cacat yang tidak dapat berikatan
dengan SMO maupun menonaktifkan SMO. Akibatnya SMO menjadi aktif dan
menimbulkan proliferasi sel (Crowson, 2006; Goppner and Leverkus, 2010).
Kerusakan yang diinduksi oleh sinar UV menyebabkan terbentuknya p53 mutant,
menyebabkan siklus sel tidak terhenti sehingga perbaikan DNA tidak terjadi dan
sel tidak mengalami jalur apoptosis. Akibatnya terjadi replikasi sel dan bila
disertai instabilitas genomik lain dapat mengarah pada perkembangan keganasan.
Faktor fisik yang sering dihubungkan sebagai faktor risiko KSB yakni orang
dengan kompleksi kulit putih tipe-I dan tipe II, termasuk rambut berwarna merah
atau pirang, atau mata yang berwarna cerah, disertai freckling (Yalcin et al.,
2011). Faktor risiko yang lain adalah radiasi ionisasi, fotokemoterapi intensif, dan
intoksikasi arsenik (Selim et al., 2009).
3
Secara umum, tumor ini biasanya tumbuh lambat dan bersifat lokal
destruktif dan jarang bermetastasis dengan angka rata-rata metastasis < 0,1%
(Ionescu et al., 2006). Namun ada beberapa subtipe karsinoma sel basal yang
bersifat agresif yakni dapat menginfiltrasi jaringan yang lebih dalam, sering
rekuren dan mampu bermetastasis (Bartos et al., 2012). Keterlambatan
penanganan KSB dapat menimbulkan destruksi jaringan luas, perubahan bentuk,
perluasan ke tulang rawan, otot, tulang bahkan dapat meluas ke intrakranial dan
pada akhirnya menimbulkan kematian (Samarasinghe et al., 2006). Karsinoma sel
basal juga dapat menimbulkan jaringan parut dan berkaitan dengan beberapa
sindrom penyakit seperti basal cell nevus (Gorlin-Goltz) syndrome dan
xeroderma pigmentosum. Kematian yang ditimbulkan oleh kanker kulit termasuk
karsinoma sel basal memang rendah yaitu sekitar 5-10% namun akibat yang
ditimbulkan oleh terapi sangat besar yaitu dapat menimbulkan cacat kosmetik
sehingga menimbulkan efek psikologis yang merugikan pada pasien (Bolshakov
et al., 2008).
Karsinoma sel basal merupakan salah satu kanker yang memiliki beberapa
subtipe dengan gambaran histomorfologi yang bervariasi. Berdasarkan sifat
biologis dan prognosis, KSB dibagi menjadi dua kelompok subtipe histologis
yakni tipe non agresif dan agresif . Yang termasuk subtipe histologis non agresif
yaitu superfisal, dan nodular (Bartos et al., 2012). Sedangkan yang termasuk
subtipe histologis agresif yaitu morfea, infiltratif, metatipikal dan mikronodular
(Crowson, 2006; Bartos et al., 2012; Kauvar et al., 2015). Adapun faktor resiko
klinis yang berkaitan dengan perangai tumor yang agresif antara lain lokasi di
4
wajah, ukuran tumor yang besar, riwayat sindrom genetik, riwayat radiasi dan
imunosupresi (Kauvar et al., 2015).
Penegakan diagnosis KSB ditentukan berdasarkan klinis, pemeriksaan
dermatoscopy atau dermoscopy, dan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan
histopatologi sangat penting untuk menentukan subtipe KSB agresif dan non
agresif karena berpengaruh dalam menentukan terapi dan prognosis pasien.
Namun kadangkala ditemui kesulitan dalam menegakkan diagnosis secara
histopatologi karena beberapa kasus KSB memiliki kesamaan dengan lesi yang
lain. Akibatnya bisa terjadi kesalahan diagnosis dan penentuan subtipe. Selain itu
sering ditemukan kurang lengkapnya pelaporan KSB terkait parameter yang
berkaitan dengan agresivitas tumor seperti indeks mitosis, kedalaman invasi, dan
invasi perineural.
Kesulitan dalam penegakan diagnosis KSB secara histopatologis
mendorong upaya-upaya lain untuk menemukan faktor prognostik dan prediktif
yang berperan dalam pertumbuhan agresif tumor. Untuk itu diperlukan suatu
upaya untuk mengidentifikasi faktor resiko yang berperan dalam perkembangan
KSB menjadi lesi yang lebih agresif, dengan potensi untuk rekurensi dan
metastasis. Dengan adanya perkembangan teknologi molekuler patologi dan
biologi maka terdapat upaya untuk mengidentifikasi beberapa biomarker pada
jaringan tumor yang berperan dalam pertumbuhan agresif tumor dengan
pemeriksaan imunohistokimia (Bartos et al., 2012, Haroon et al., 2013).
Salah satu hallmark penting perkembangan tumor secara biologi adalah
proliferasi sel. Parameter ini sering dikaitkan dengan agresivitas tumor dan
5
sebagai faktor prognosis perkembangan tumor (Haroon et al., 2013). Derajat
proliferasi sel yang tinggi secara umum berhubungan dengan pertumbuhan tumor
yang cepat dan perangai biologis serta klinis yang lebih agresif (Bartos et al.,
2012). Aktivitas proliferasi sel dapat diketahui dengan metode yang paling
sederhana yaitu menghitung indeks mitosis. Indeks mitosis telah menjadi “gold
standar” dalam menentukan agresivitas dari beberapa tumor (Devianti et al,
2012). Indeks mitosis juga digunakan dalam menentukan derajat diferensiasi dari
beberapa tumor seperti kanker payudara dan tumor neuroendokrin. Namun pada
KSB sangat jarang diteliti mengenai hubungan indeks mitosis dengan agresivitas
tumor. Satu penelitian mengenai indeks mitosis pada KSB yakni penelitian Pirici
pada tahun 2011 yang menyebutkan bahwa indeks mitosis yang tinggi pada KSB
berkaitan dengan agresivitas tumor.
Aktivitas proliferasi dari kanker juga dapat dideteksi dengan pemeriksaan
imunohistokimia menggunakan antibodi yang melawan antigen Ki-67. Antigen
Ki-67 adalah salah satu penanda proliferatif sel yang paling reliabel (Selim et al.,
2009). Antigen ini merupakan protein non-histon yang diekspresikan pada semua
fase siklus sel aktif. Ki-67 saat ini merupakan penanda aktivitas proliferatif
tumor yang lebih baik dibandingkan aktivitas mitosis (Kramer et al., 2014).
Penilaian ekspresi protein Ki-67 dinilai dalam bentuk indeks proliferasi. Ekspresi
Ki-67 dikaitkan dengan derajat diferensiasi pada kebanyakan tumor. Beberapa
penelitian menunjukkan ekspresi Ki-67 paling tinggi pada karsinoma
berdiferensiasi buruk (Devianti et al., 2012). Ekspresi Ki-67 pada sel neoplastik
digunakan sebagai pengukuran kuantitatif untuk mengetahui status proliferasi dan
6
termasuk dalam indikator prognostik dasar dalam laporan histopatologi rutin
(Bartos et al., 2012).
Beberapa penelitian mengenai hubungan ekspresi Ki-67 dengan varian
histologis karsinoma sel basal telah dilakukan dan dengan hasil yang masih
menjadi perdebatan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tumor KSB tipe
agresif memiliki ekspresi Ki-67 yang lebih tinggi dan berperan sebagai faktor
prognostik (Chuprov, 2008; Selim et al., 2009; Rosakawati, 2010). Namun
terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan hasil yang berlawanan yakni
bahwa tidak adanya perbedaan signifikan ekspresi Ki-67 pada KSB tipe non
agresif dan agresif sehingga tidak berperan sebagai faktor prognostik (Correa et
al., 2009; Kramer et al., 2014).
Jarangnya penelitian mengenai indeks mitosis terkait dengan agresivitas
KSB dan adanya kontroversi mengenai peran ekspresi Ki-67 sebagai penentu
agresivitas pada KSB menjadi latar belakang untuk melakukan penelitian ini.
7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas, maka rumusan masalah
pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah indeks mitosis lebih tinggi pada KSB tipe agresif dibandingkan
KSB tipe non agresif?
2. Apakah indeks proliferasi protein Ki-67 lebih tinggi pada KSB tipe agresif
dibandingkan KSB tipe non agresif?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum:
Untuk menilai peran indeks proliferasi sel sebagai salah satu faktor prognostik
dan prediktif pada KSB tipe agresif dan tipe non agresif.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk membuktikan bahwa indeks mitosis lebih tinggi pada KSB tipe agresif
dibandingkan tipe non agresif.
2. Untuk membuktikan bahwa indeks proliferasi protein Ki-67 lebih tinggi pada
KSB tipe agresif dibandingkan tipe non agresif.
8
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
Apabila penelitian ini terbukti, maka indeks mitosis dan indeks proliferasi protein
Ki-67 yang tinggi dapat dipakai untuk menjelaskan mekanisme sifat agresif dari
KSB.
1.4.2 Manfaat Praktis
Dapat digunakan sebagai faktor prognostik dan prediktif yakni jika KSB tipe
agresif memiliki indeks mitosis dan indeks proliferasi Ki-67 yang lebih tinggi
maka akan mempunyai prognosis yang lebih buruk, rekurensi yang lebih tinggi
dan kecenderungan bermetastasis, karena itu perlu dilakukan follow up pasien
serta penanganan pasien yang lebih intensif.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Karsinoma Sel Basal
2.1.1 Definisi
Karsinoma sel basal (KSB) adalah kelompok tumor ganas kutaneus yang
ditandai dengan gambaran morfologi sel-sel germinatif yang tersusun dalam
bentuk lobulus, kolom atau pita (Kossard et al.,2006). Pada tahun 1903,
Krompecher pertama kali menamakan tumor sebagai sel basal karena memiliki
kemiripan dengan sel keratinosit basal epidermal (Patterson and Wick 2006).
Tumor ini berasal dari lapisan terbawah epidermis maupun dari lapisan terluar
dari akar folikel rambut (Weedon, 2006).
2.1.2 Insiden Karsinoma Sel Basal
Karsinoma sel basal (KSB) hingga saat ini merupakan keganasan kutaneus
yang tersering, meliputi 70% keganasan yang melibatkan kulit (Patterson and
Wick, 2006). Angka insiden KSB meningkat 10% per tahun di seluruh dunia
(Cigna et al., 2010). KSB paling sering terjadi pada kulit yang terpapar sinar
matahari. Insiden KSB bervariasi di seluruh dunia, lebih tinggi pada daerah yang
mendekati ekuator. Insiden tertinggi ditemukan di Australia yaitu 1383 kasus baru
per 100.000 populasi per tahun. KSB bisa terjadi pada semua tipe kulit namun
lebih sering terjadi pada individu dengan kulit terang (kulit tipe 1 atau 2) seperti
pada ras Kaukasia dan pada orang albino yang secara genetik tidak memiliki
pigmen melanin sebagai pertahanan alamiah terhadap sinar matahari (Yalcin et
10
al., 2011. Pada ras Kaukasia tumor ini berkembang dengan risiko rata-rata 30%
(Samarasinghe et al., 2006).
Tumor ini paling sering dialami oleh usia paruh baya hingga orangtua namun
bisa juga terjadi pada usia dewasa muda. KSB yang berkembang pada anak-anak
biasanya berkaitan dengan sindrom yaitu basal cell nevus syndrome (Gorlin-Goltz
syndrome) dan xeroderma pigmentosum (Crowson, 2006; Kauvar et al, 2015).
Sekitar 5-15% kasus KSB terjadi pada usia antara 20 dan 40 tahun. KSB dengan
pertumbuhan agresif sering ditemukan pada pasien usia muda kurang dari 35
tahun, dibandingkan dengan pasien yang lebih tua (Yalcin et al., 2011).
Di Indonesia, kanker kulit menempati peringkat ke lima dari 10 tumor
tersering di Indonesia pada tahun 2011 dan mencapai 1246 kasus, terdiri dari 595
kasus laki-laki dan 618 kasus wanita. Di Bali, kanker kulit menempati peringkat
ke enam dari 10 tumor tersering di Bali pada tahun 2011 yaitu sebanyak 62 kasus.
Dari 62 kasus tersebut terdiri dari 34 penderita laki-laki dan 28 penderita wanita
dengan prevalensi tertinggi pada usia 55-64 tahun yakni sebanyak 21 kasus (Dit
Yan Med, 2011).
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi dari kanker ini adalah multifaktorial dan merupakan kombinasi dari
faktor genotipik, fenotipik, dan lingkungan. Namun faktor risiko yang signifikan
adalah radiasi sinar ultraviolet (Samarasinghe et al., 2006). Radiasi UVB dapat
menyebabkan kerusakan langsung pada DNA dan RNA dengan menginduksi
pembentukan ikatan kovalen antara pirimidin yang berdekatan sehingga terjadi
pembentukan produk mutagenik. UVA kurang mutagenik dibandingkan UVB dan
11
menyebabkan kerusakan DNA secara tidak langsung melalui stres foto-oksidatif,
menimbulkan pembentukan spesies oksigen reaktif, yang berinteraksi dengan
lipid, protein dan DNA (Cigna et al., 2010). Perkembangan KSB dipengaruhi oleh
durasi (sejak anak-anak, atau dewasa), pola (intermiten atau kontinyu), dan
jumlah (paparan sinar matahari kumulatif) (Goppner and Leverkus, 2010).
Berdasarkan hasil analisis genetik ditemukan mutasi pada PTCH1, (terletak
pada kromosom 9q22.30) sebagai penyebab basal cell nevus syndrome (BCNS),
yakni suatu kelainan autosomal dominan yang jarang dimana pada pasien yang
mengalami sindrom ini akan berkembang menjadi KSB multipel sejak masa
kanak-kanak. PTCH1 mengkode protein yang berfungsi sebagai inhibitor pada
jalur sinyal hedgehog. KSB timbul apabila terjadi abnormalitas pada jalur sinyal
tersebut. Terdapat mutasi smoothened pada 10% KSB yang mengkode suatu
protein yang fungsinya dihambat oleh protein patched 1 (Kossard et al., 2006).
Mutasi pada p53 ditemukan pada 50% kasus KSB sporadik (Crowson, 2006).
Faktor fisik yang sering dihubungkan sebagai faktor risiko KSB yakni orang
dengan kompleksi kulit putih tipe-I dan tipe II. Kompleksi kulit tipe I termasuk
rambut berwarna merah atau pirang, atau mata yang berwarna cerah, disertai
freckling. Individu ini dengan kulit yang mudah terbakar, dan tidak pernah
menjadi coklat setelah berjemur. Orang dengan kompleksi kulit tipe 2 berkulit
terang, mudah terbakar dan sedikit coklat setelah berjemur (Yalcin et al., 2011).
Paparan arsenik, radiasi ionisasi, penggunaan oral metoksalen (psoralen), dan
terapi imunosupresi seperti penerima transplantasi organ juga merupakan faktor
risiko terjadinya KSB (Goppner and Leverkus, 2010).
12
KSB biasanya terjadi pada kulit yang terpapar matahari. Sekitar 85% KSB
terjadi pada daerah kepala yang terpapar matahari dan leher (Frankel and
Goldenberg, 2011). Hal ini mengindikasikan kegagalan stem cells keratinositik
untuk memperbaiki kerusakan DNA akibat solar. Namun terdapat KSB yang
muncul pada area yang terlindung dari matahari seperti abdomen, punggung,
bokong, perineum, genitalia, ekstremitas proksimal, permukaan plantar dan area
interdigital (Patterson and Wick, 2006). Pasien dengan lokasi KSB yang tidak
biasa tersebut sebagian memiliki riwayat radioterapi pada kondisi yang tidak
berkaitan (Elder et al., 2006).
2.1.4 Karsinogenesis KSB
Gangguan pada jalur sinyal Sonic hedgehog (SHH) yang berperan dalam
perkembangan vertebra muncul baik pada KSB heredofamilial dan juga pada KSB
sporadik. Gen PTCH mengkode reseptor untuk protein yang memproduksi gen
sonic hedgehog, yaitu keluarga dari gen hedgehog (HH) yang menentukan
polaritas selama perkembangan embrional (Kumar et al., 2013). Protein sonic HH
(SHH) berikatan dengan tumor-supressor protein Patched homologue 1 (PTCH1)
yang terletak pada kromosom 9q22-q31. Pada kondisi normal, kebanyakan pada
orang dewasa, jalur hedgehog ditekan secara aktif oleh PTCH1 yang secara
konstan menghambat smoothened (SMO). SMO adalah protein transmembran
lainnya yang mentransmisikan sinyal sebagai mekanisme down regulated. Target
downstream dari SMO termasuk keluarga faktor transkripsi glioma (GLI). Mutasi
pada gen PTCH1 menimbulkan terbentuknya protein cacat yang tidak dapat
13
berikatan dengan SMO maupun menonaktifkan SMO. Akibatnya SMO menjadi
aktif dan menimbulkan proliferasi sel. Hal ini disajikan pada gambar 2.1. Mutasi
pada SHH, SMO, dan GLI dapat menimbulkan perubahan pada jalur sinyal SHH
(Crowson, 2006; Goppner and Leverkus, 2010; Kumar et al., 2014).
Gambar 2.1
Sonic Hedgehog (SHH) berinteraksi dengan reseptor kompleks protein
transmembran Patched homologue 1 (PTCH1) dan protein smoothened (SMO).
Ikatan antara SHH dengan PTCH1 menghambat SMO untuk menghantarkan
sinyal ke inti yaitu faktor transkripsi glioma (GLI). Kehilangan fungsional dari
PTCH1 menimbulkan sinyal transduksi oleh SMO dan mengaktivasi gen target
(Madan et al., 2010).
KSB juga mengekspresikan protein p53 dan hal ini terutama terjadi pada
varian pertumbuhan agresif. Mutasi pada p53 ditemukan pada 50% kasus KSB
sporadik. Mutasi p53 juga ditemukan pada mayoritas karsinoma sel basal yang
terjadi pada pasien xeroderma pigmentosum. Xeroderma pigmentosum
merupakan suatu penyakit kelainan autosom resesif ditandai oleh fotosensitifitas,
perubahan pigmen, penuaan kulit prematur dan perkembangan tumor kutaneus
14
ganas akibat hipersensitiftas seluler terhadap radiasi ultraviolet. Pada xeroderma
pigmentosum terjadi defek pada nucleotide excision repair (NER) sehingga
tedapat gangguan pada perbaikan DNA karena radiasi sinar ultraviolet. Saat ini
ada 8 tipe xeroderma pigmentosum yakni XPA hingga XPG serta tipe dominan
(Subhas et al., 2013).
Kerusakan yang diinduksi oleh sinar UV menyebabkan konversi dari p53
wild-type menjadi p53 mutant. P53 wild-type menimbulkan penghentian siklus sel
melalui produk jalur gen p21/retinoblastoma sehingga terjadi perbaikan DNA.
Protein ini juga memicu apoptosis pada sel rusak yang tidak dapat diperbaiki
melalui sistem bcl/bax. Sebaliknya P53 mutant tidak menimbulkan penghentian
siklus sel. Sebagai konsekuensinya, perbaikan DNA tidak terjadi dan sel tidak
mengalami jalur apoptosis, sehingga dapat bereplikasi dan dengan adanya
instabilitas genomik lain dapat mengarah pada perkembangan keganasan. Hal ini
disajikan pada gambar 2.2 (Crowson, 2006; Heller, 2012).
15
Gambar 2.2.
Kerusakan akibat induksi sinar UV menyebabkan konversi p53 wild-type menjadi
menjadi p53 mutant yang tidak menimbulkan penghentian siklus sel sehingga
terjadi proliferasi sel yang bisa mengarah menjadi keganasan (Crowson, 2006).
2.1.5 Gambaran Klinis
Lokasi predileksi karsinoma sel basal yaitu pada area badan yang terpapar
sinar matahari. Area yang paling sering adalah kepala dan leher yaitu sekitar 85%
kasus (Frankel and Goldenberg, 2011). Lokasi lain yaitu badan (15 % kasus),
lengan dan tungkai. KSB juga dapat muncul pada area yang tidak terpapar
matahari termasuk aksila, payudara, area perianal, genitalia, telapak tangan dan
telapak kaki (Patterson and Wick, 2006).
Secara umum perkembangan kanker ini memerlukan waktu yang lama,
pertumbuhannya lambat, tetapi memiliki kecenderungan lokal destruktif dan
dengan metastasis sangat jarang yakni berkisar 0,1 % dengan lokasi metastatik
pada paru dan skeletal (Samarasinghe et al., 2006). Angka kematian KSB yang
termasuk keganasan kutaneus non melanoma umumnya rendah, hanya sekitar 5-
10% per tahun, akan tetapi akibat yang timbul dari terapinya dapat menimbulkan
efek psikologis yang buruk bagi pasien antara lain cacat kosmetik terutama bila
16
lesinya terletak di daerah kepala dan leher, kehilangan fungsi, dan biaya
pengobatan yang mahal (Bolshakov et al., 2008). Tumor ini menimbulkan akibat
yang buruk bila terlambat ditangani yakni menimbulkan destruksi jaringan luas,
perubahan bentuk, perluasan ke tulang rawan, otot, tulang bahkan dapat meluas ke
intrakranial dan pada akhirnya menimbulkan kematian (Samarasinghe et al.,
2006). Bila tumor ini sudah bermetastasis ke kelenjar limfonodi regional, tulang,
hati, dan paru, maka prognosisnya menjadi buruk dengan rata-rata angka survival
hanya 3,6 tahun setelah diagnosis (Heller et al., 2012).
Adapun faktor risiko tinggi untuk KSB dengan pertumbuhan agresif yang
cenderung rekurensi dan bermetastasis yaitu meliputi lokasi, ukuran, batas,
subtipe patologis, keterlibatan perineural dan lesi primer atau rekuren (Kauvar et
al., 2015).
17
Tabel 2.1. Faktor risiko untuk KSB rekuren (Kauvar et al., 2015)
Faktor tumor
- KSB dengan lokasi anatomis risiko tinggi (area topeng pada wajah
termasuk wajah bagian sentral, region periokular, kelopak mata, alis,
hidung, perioral, bibir, pipi, mandibula, telinga, preaurikular, post-
aurikuler, tangan, kaki, genitalia)
- KSB dengan diameter > 1 cm pada lokasi risiko sedang (pipi, dahi, scalp,
leher)
- KSB dengan diameter > 2 cm pada daerah dada dan ekstremitas
- KSB dengan batas tidak tegas
- KSB dengan pola histologis agresif (morfea, infiltratif, mikronodular,
metatipikal/basoskuamus)
- KSB dengan keterlibatan perineural
- KSB rekuren
Faktor pasien
- KSB pada lokasi terapi radiasi, luka bakar
- KSB pada pasien < 40 tahun
- KSB pada pasien imunosupresi
- KSB pada pasien dengan sindrom genetik
- KSB pada jaringan parut kronik, ulkus, inflamasi
- KSB pada pasien dengan riwayat tumor dengan perangai agresif
18
Manifestasi klinis dari KSB bervariasi, mulai dari lesi papulonodular dengan
permukaan mengkilat, lesi ulkus destruktif (ulkus roden), lesi dengan warna pucat
dengan berbagai derajat indurasi, fokus eritema dengan telangiaktasia, atau nodul
kistik. Pernah juga dilaporkan lesi yang berukuran besar dengan diameter > 20 cm
(Vantuchova and Curik, 2006).
Kebanyakan kasus KSB menunjukkan gambaran klasik lesi nodular terdiri
dari papul atau nodul dengan telangiektasia dan tepi menggulung, terkadang
dengan ulserasi (Kossard et al., 2006). Beberapa lesi memberikan gambaran
seperti kista karena berwarna jernih dan konsistensi kenyal. (Vantuchova and
Curik, 2006).
Pada bentuk superfisial, lesi berupa makular eritema berbatas tegas dengan
tepi mengkilat atau erosi superfisial sentral, sering multipel dengan diameter
ukuran bervariasi mulai dari beberapa millimeter hingga lebih dari 10 cm
(Kossard et al., 2006). Pada KSB nodular dan superfisial dapat mengalami
pigmentasi sehingga menyerupai melanoma maligna (Elder et al., 2006). Bentuk
lain dari variasi klinis yaitu bentuk morfea atau sklerosing, yaitu lesi sikatrik
berbatas tidak tegas , berwarna kuning atau putih, menyerupai skleroderma.
Tumor ini biasanya dengan permukaan rata dengan manifestasi klinis tergantung
ukuran komponen fibrotik (Vantuchova and Curik, 2006). Gambaran klinis dari
KSB disajikan pada gambar 2.3.
19
Gambar 2.3. Gambaran Klinis
A.Ulkus roden, berupa ulkus destruktif dan tepi tidak rata seperti gigitan tikus
B.KSB Superfisial berupa makular eritema batas tegas, tepi mengkilat C. KSB
Morpheiform/ Infiltrative berupa lesi sikatrik batas tidak tegas D. KSB nodular
dengan hiperpigmentasi E. KSB Nodular berupa lesi papul/nodul dengan
telangiektasia, F.KSB Nodulokistik, berupa kista berwarna jernih, kenyal
(Dikutip dari Crowson 2006; Samarasinghe et al., 2006; Yalcin et al., 2011).
A
A
B
A
C D
E F
20
2.1.6 Gambaran Histopatologi
Diagnostik histologis dan klasifikasi KSB sangat penting untuk menentukan
tipe tumor dan perangai biologis. Berdasarkan klasifikasi WHO tumor kulit tahun
2006, KSB (kode ICD-O 8090/3) dibagi menjadi superfisial, nodular,
mikronodular, infiltrating, fibroepithelial, KSB dengan diferensiasi adneksa,
basoskuamus, keratotik dan varian lain (adenoid, morfea, infundibulokistik,
pigmented) (Kossard et al., 2006).
1. KSB superfisial (Kode ICD-O 8091/3)
KSB superfisial sering ditemukan pada usia yang lebih muda dan meliputi
10-15% KSB (Vantuchova and Curik, 2006). KSB ini sering terjadi pada
dada. KSB tipe ini ditandai oleh lobulus sel basal yang berproyeksi dari
epidermis atau dari folikel dan duktus ekrin ke arah dermis serta
dikelilingi oleh stroma miksoid longgar. Lobulus biasanya terbatas pada
papilari dermis. Mitosis dan sel apoptotik biasanya jarang. Sering disertai
dengan sebaran limfosit (Crowson, 2006; Kossard et al., 2006)
2. KSB nodular (Kode ICD-O 8097/3)
KSB nodular merupakan bentuk yang paling sering KSB ditemukan,
meliputi 30-75% dari keseluruhan KSB (Vantuchova and Curik, 2006).
Beberapa observer menyebutnya dengan KSB nodulokistik. Tipe KSB ini
menunjukkan papul atau nodul mengkilat dengan tepi menggulung dan
telangiektasia. Bentuk nodular KSB ditandai dengan sel- sel basaloid yang
membentuk lobulus besar dengan susunan palisading di bagian perifer dan
sel yang tersusun tidak teratur di bagian sentral, pada papilari dermis atau
21
retikuler demis disertai retraksi slit-like dari stroma di sekitarnya. Lobulus
tersebut bisa berkaitan dengan degenerasi musinus disertai kista atau
dengan pola adenoid (kribriform). Stroma di sekitarnya menunjukkan
perubahan miksoid. Mitosis dan nekrosis sel individual jarang. Dapat
ditemukan diferensiasi sebaseus maupun ekrin, dan pada sepertiga kasus
menunjukkan komponen superfisial. Pigmentasi melanin pada sel tumor
dan pada histiosit normal dapat pula ditemukan. Bagian dermis bisa
menunjukkan solar elastosis (Crowson, 2006; Kossard et al., 2006,
Vantuchova and Curik, 2006).
3. KSB mikronodular (Kode ICD-O8090/3)
KSB mikronoduler ini bisa bermanifestasi sebagai lesi indurasi
menyerupai plak dengan kontur berbatas tidak tegas. Lokasi paling sering
di punggung. Lesi ini bisa sulit diangkat sehingga memiliki insiden
rekuren yang meningkat. KSB mikronoduler bermanifestasi sebagai sarang
tumor dengan kontur nodular dan ukuran yang sama, hanya berukuran
kecil dan terdistribusi luas terkadang asimetris. Sarang-sarang tumor kecil
monoton ini disertai proliferasi stromal menyerupai pertumbuhan infiltratif
KSB. Sarang tumor itu rata-rata seukuran follicular bulbs serta meluas ke
dermis dan/atau subkutis. Ruang retraksi jarang. Bisa terjadi perluasan
perineural. Adanya stroma miksoid atau kolagen menunjukkan lesi ini bisa
merupakan tahap intermediet antara subtipe nodular dan agresif (Crowson,
2006; Kossard et al., 2006).
22
4. KSB infiltrating (Kode ICD-O 8092/3)
KSB biasanya berupa plak pucat dengan indurasi dan batas tidak tegas.
Tumor ini biasa ditemukan pada dada bagian atas atau wajah. Subtipe
infiltratif menunjukkan gambaran sarang sel tumor tersusun dalam
lembaran,kolom atau pita dengan bentuk dan ukuran yang ireguler, sering
dengan gambaran angulasi pada bagian perifer, fokus-fokus retraksi slit-
like dan aktivitas mitosis yang sering serta terdapat nekrosis sel neoplastik
individual. Gambaran tipikal berupa sel tumor yang membentuk lembaran
memanjang dengan ketebalan 5-8 sel. Sekitar sepertiga kasus bercampur
dengan komponen nodular. Infiltrasi perineural sering ditemukan pada
varian ini, seperti halnya KSB morfea. Tumor ini biasanya berbatas tidak
tegas dan menunjukkan invasi pada subkutis dan jaringan otot di
sekitarnya. (Crowson, 2006; Kossard et al., 2006, Vantuchova and Curik,
2006).
5. KSB fibroepitelial (8093/3)
Tumor ini muncul sebagai nodul eritema yang meninggi menyerupai
keratosis seboroik. Lesi ini sering ditemukan di punggung dan jarang
multiple. Radioterapi menjadi salah satu pemicu timbulnya tumor ini.
Gambaran histopatologi ditandai dengan sel-sel basaloid yang membentuk
lembaran bercabang yang meluas dari epidermis membentuk pola tertentu.
Lembaran sel basaloid tersebut dikelilingi stroma fibrovaskular (Kossard
et al., 2006).
23
6. KSB dengan diferensiasi adneksa (Kode ICD-O 8098/3)
Varian ini ditandai dengan keberadaan diferensiasi adneksa termasuk
elemen basaloid buds, duktal, sebaseuus, apokrin, ekrin, dan trichilemmal.
Diferensiasi folikular lebih prominen pada KSB superfisial. Tumor ini
harus dibedakan dengan karsinoma kelenjar keringat yang memilikir risiko
lebih tinggi untuk bermetastasis (Kossard et al., 2006).
7. KSB basoskuamus/ metatipikal (Kode ICD-O8094/3)
KSB metatipikal juga disebut sebagai karsinoma basoskuamus oleh
beberapa penulis. Tumor ini merupakan bentuk agresif KSB yang
infiltratif berupa sel tumor membentuk pola palisading perifer dengan
gambaran morfologi basal yang bercampur dengan area yang membentuk
intercelullar bridge dan/atau keratinisasi sitoplasmik. Inti memiliki
kromatin vesikuler, pleomorfik dengan susunan palisading yang
menghilang. Tumor ini harus dibedakan dengan KSB keratotik yang lebih
sering pada KSB nodular dengan diferensiasi skuamus sentral. KSB
metatipikal juga subtipe KSB yang sering dikelirukan dengan karsinoma
sel skuamosa (Crowson, 2006, Kossard et al., 2006)
8. KSB keratotik (Kode ICD-O 8090/3)
Varian ini muncul sebagai kista keratin kecil yang mengkilat. Gambaran
tumor ini memiliki keseluruhan arsitektur KSB nodular hanya saja
terdapat bagian yang mengandung keratinisasi laminar dengan tipe
infundibular, hialin atau trichilemmal. Selain itu terdapat sel bayangan
24
dengan keratinisasi yang menyerupai diferensiasi pilomatrikomal
(Kossard et al., 2006).
9. Varian lain
Varian lain mencakup kurang dari 10% karsinoma sel basal. Termasuk di
dalamnya yaitu morfea. KSB morfea atau sclerosing ditandai dengan
lembaran sel basal dengaan ketebalan 1 sampai 2 sel di antara stroma
kolagen padat, menyerupai stroma pada perubahan kulit morfea. Sel
individual nekrosis dan aktivitas mitosis tinggi. Retraksi slit-like dari
stroma biasanya lebih jarang dibandingkan KSB nodular dan superficial.
Batas sel biasanya tidak jelas, menunjukkan invasi luas pada retikuler
dermis dan jaringan subkutaneus. (Crowson, 2006; Patterson and Wick,
2006).
Agresivitas pada KSB ditandai oleh sejumlah faktor risiko, termasuk
pemilihan terapi definitif sebelumnya, stadium T4, gambaran histologis subtipe
agresif, dan invasi perineural (Koyfman et al., 2014). Secara umum, rekurensi
pada KSB ditemukan pada KSB yang sejak awal merupakan KSB agresif, dan
pada kebanyakan kasus dapat diprediksi dari gambaran histologis tumor awal
(Weedon, 2006).
Berdasarkan konsensus penanganan kanker kulit non melanoma tahun 2015,
KSB dibagi menjadi subtipe histologis dengan perangai pertumbuhan agresif dan
non agresif (Kauvar et al, 2015). Perlunya pembagian subtipe secara histologis
karena KSB dengan subtipe histologis agresif lebih cenderung untuk mengalami
rekuren bila tidak dilakukan eradikasi komplit. Yang termasuk subtipe histologis
25
non agresif yaitu superfisal, dan nodular (Bartos et al., 2012). Sedangkan yang
termasuk subtipe histologis non agresif yaitu morfea, infiltratif, metatipikal atau
basoskuamus dan mikronodular (Crowson, 2006; Bartos et al., 2012, Kauvar et
al., 2015).
Faktor-faktor predisposisi histopatologik yang terkait dengan metastasis
tumor yaitu kedalaman invasi (T4 pada klasifikasi TNM), dengan batas “spiky”
ireguler, invasi perineural, ulserasi superfisial atau erosi, invasi vaskuler, dan
kepadatan sel radang (Ionescu et al., 2006).
KSB juga memiliki berbagai variasi diferensiasi jalur sel spesifik yang tidak
mempengaruhi prognosis. Yang termasuk di dalamnya yaitu keratotic BCC,
infundibulocystic BCC, BCC with eccrine differentiation, BCC with sebaceous
differentiation, the fibroepithelioma of Pinkus Selain itu terdapat pula KSB
dengan tipe campuran (mixed type) (Kossard et al., 2006; Crowson, 2006).
Gambaran histopatologi KSB agresif dan non agresif disajikan pada gambar 2.4.
Sedangkan gambaran KSB dengan berbagai variasi diferensiasi yang tidak
mempengaruhi prognosis dapat dilihat pada gambar 2.5.
26
Gambar 2.4.
Gambaran Histopatologi KSB Agresif dan Non Agresif
A.KSB Superfisial, B.KSB Nodular, C. KSB Morfea, D. KSB infiltratif E. KSB
metatipikal, F.KSB mikronodular, H&E 100x (Dikutip dari Crowson 2006;
Kossard et al., 2006; Rosai J., 2011; Lima et al., 2012).
A
A
C
A
D
A
B
A
F
A
E
A
27
Gambar 2.5
KSB dengan berbagai variasi diferensiasi yang tidak mempengaruhi prognosis.
A. KSB Fibroepitelial B. KSB Basaloid Folikular Hamartoma C. KSB Adenoid
D. KSB Diferensiasi Sebaseus E. KSB Keratotik G. KSB Nodular dengan
Diferensiasi Folikular, H&E 100x dan 400x (Dikutip dari Kossard et al., 2006).
F
A
E
A
C D
A B
28
2.1.7 Diagnosis
Penentuan diagnosis KSB ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
histopatologi dari biopsi kulit. Biopsi kulit yang dapat dilakukan yaitu dengan
cara deep shave, punch, incisional atau excisional biopsy. Teknik pencitraan
seperti computed tomography atau magnetic resonance imaging scanning
dilakukan pada kasus-kasus dimana terdapat keterlibatan tulang atau ketika tumor
telah menginvasi saraf utama,orbita atau kelenjar parotis (Telfer et al., 2008).
Dermoscopy atau dermartoscopy merupakan metode non invasif yang dapat
digunakan untuk mengenali lesi berpigmen pada kulit seperti membedakan KSB
berpigmen dengan melanoma maligna. Dengan menggunakan dermoscopy, KSB
berpigmen biasanya memiliki pola asimetris dan relatif hipomelanotik (Trigoni et
al., 2012).
2.1.8 Diagnosis Banding
Adanya berbagai bentuk yang berbeda dari KSB menimbulkan banyak
kemungkinan diagnosis banding dari karsinoma sel basal , yaitu sebagai berikut:
a. Karsinoma sel basal subtipe superfisial:
a.1 Seborrhoic keratoses menunjukkan gambaran arsitektur plak, meliputi
epitel basal tanpa atipia dan mitosis, adanya pseudohorn cyst.
a.2 Bowen disease memberikan gambaran bentukan intercellular bridge,
keratinisasi sitoplasmik, mitosis lebih banyak dan atipik.
b. Karsinoma sel basal subtipe nodular:
b.1 Squamous cell carcinoma menunjukkan gambaran diferensiasi skuamus
29
dengan intercellular bridging , dan keratin pearl. Dibedakan dengan KSB
dengan pemeriksaan marker BerEP4 yang terpulas positif pada KSB
b.2 Trichoepithelioma memberikan gambaran sel-sel basal yang membentuk
struktur folikel rambut primitif dengan stroma fibromiksoid, tanpa aktivitas
mitosis, maupun sel nekrosis individual, biasanya mengelilingi struktur
kistik berisi keratin sentral.
c. Karsinoma sel basal subtipe morfea:
c.1 Jaringan parut
c.2 Desmoplastic trichoepithelioma: menunjukkan lekukan permukaan
epidermis disertai proliferasi sel basal , kista keratin dengan mitosis jarang.
(Yalcin et al., 2012; Crowson, 2006).
2.1.9 Terapi
Tujuan utama dari terapi adalah untuk eradikasi tumor sekaligus
memperhatikan kosmetik pasien (Telfer et al., 2008). Pemilihan terapi
berdasarkan lokasi, ukuran dan tipe pertumbuhan KSB, yakni termasuk tipe non
agresif (superfisial, noduler) atau pertumbuhan agresif (infiltratif, basoskuamus).
KSB dengan gambaran histologi campuran diterapi menurut gambaran subtipe
paling agresif (Mosterd et al., 2009).
Terapi surgical excision (SE) merupakan gold standard untuk terapi KSB.
Sedangkan Moh’s Micrographic Surgery (MMS) merupakan terapi pilihan untuk
KSB rekuren di bagian wajah serta KSB dengan subtipe agresif. Untuk terapi
alternatif non invasif pada KSB nodular dan KSB subtipe agresif bisa dilakukan
30
radioterapi. Kuretase dan kauterisasi merupakan terapi pilihan untuk KSB dengan
risiko rendah. Cryotherapy juga merupakan terapi yang bagus untuk lesi risiko
rendah serta memberikan hasil kosmetik yang bagus. (Weddon, 2006) Pada
beberapa kasus KSB superfisial dapat diberikan terapi non invasif seperti
Photodynamic therapy (PDT) atau imiquimod (Mosterd et al., 2009).
2.2 Indeks Mitosis
Setiap sel mengalami proses yang meliputi proliferasi, diferensiasi stem cells
embrional dan destruksi selektif melalui program kematian sel yang disebut
apoptosis. Proses ini diatur melalui pesan yang dibawa oleh DNA. Kegiatan yang
terjadi dari satu pembelahan sel ke pembelahan sel berikutnya disebut siklus
hidup (daur) sel. Siklus sel terdiri dari 2 periode yaitu periode interfase atau
periode non pembelahan dan periode pembelahan sel (M) yang menghasilkan sel-
sel baru. Interfase terdiri atas tiga fase, yaitu: G1 (Gap pertama), S (Sintesis
DNA), dan G2 (Gap kedua), Pada fase G1, sel anak mengalami pertumbuhan,
pada fase S terjadi replikasi dan transkripsi DNA; sedangkan pada fase G2,
merupakan fase post sintesis, dimana sel mempersiapkan diri untuk membelah.
Pembelahan sel meliputi dua tahapan yaitu : mitosis dan sitokinesis (Cannizaro,
2006; Walczak et al., 2010).
Kunci dari proliferasi sel adalah pembelahan sel. Ada dua bentuk pembelahan
sel. Salah satunya terjadi pada pembentukan gamet (misalnya spermatozoa dan
ovum) melalui meiosis dan yang lainnya terjadi pada sel somatik disebut mitosis.
Tujuan dari mitosis adalah reproduksi dari sel somatik. Mitosis merupakan
31
langkah-langkah yang terjadi pada pembelahan inti. Mitosis adalah proses
kompleks yang terdiri dari terbukanya membran inti, kondensasi kromatin dan
pemisahan kromosom.
Mitosis terdiri dari beberapa fase yaitu fase profase, prometafase, metafase,
anafase dan telofase. Pada fase profase, Profase merupakan transisi dari fase G2
ke fase pembelahan inti atau mitosis (M) dari siklus sel. Profase adalah stadium
pertama dari mitosis. Kromatin yang menyebar selama interfase secara perlahan-
lahan terkondensasi menjadi kromosom yang mantap. Membran inti mulai
berdegenerasi dan secara perlahan-lahan inti menjadi tidak tampak, dan terjadilah
pembentukan spindel mikrotubul. Prometafase dimulai dari disrupsi pada
membran inti. Kromosom-kromosom bermigrasi ke arah pusat spindel. Metafase
adalah periode dimana sentromer dari setiap kromosom berkumpul pada bagian
tengah spindel pada bidang ekuator. Pada saat metafase, sentromer- sentromer
diduplikasi dan setiap kromatid menjadi kromosom yang berdiri sendiri atau
independen. Anafase ditandai dengan terjadinya pemisahan kromatid membentuk
anak kromosom yang bergerak menuju kutub spindel yang berlawanan. Pada
akhirnya, membran inti kembali terbentuk pada telofase. (Cannizaro, 2006;
Walczak et al., 2010). Hal ini disajikan pada gambar 2.6.
32
Gambar 2.6
Fase-fase pada mitosis terdiri dari profase, prometafase, metafase,
anafase dan telofase (Walczak et al., 2010).
Proliferasi telah dikenali sebagai “hallmark” dari kanker dan merupakan
faktor prognostik kanker (Haroon et al., 2013). Evaluasi dari derajat proliferasi sel
dalam jaringan tumor digunakan untuk menilai progresifitas tumor (Devianti et
al., 2012). Salah satu metode yang paling sederhana dan masih digunakan hingga
saat ini adalah menghitung jumlah mitosis dalam jumlah lapangan pandang
tertentu (biasanya 10) pada lapangan pandang besar (400x). Penilaian indeks
mitosis telah digunakan sebagai “gold standard” dalam menilai agresivitas tumor
(Pirici et al., 2012). Metode ini merupakan aplikasi yang berguna untuk evaluasi
neoplasma mesenkimal (misalnya tumor otot polos), karsinoma payudara,
neuroblastoma dan GIST (Kramer et al., 2010).
33
Karsinoma sel basal adalah tumor yang dapat dinilai indeks mitosisnya pada
mikroskop cahaya. Indeks mitosis yang tinggi berkaitan dengan agresivitas tumor.
Indeks mitosis adalah gambaran mitosis yang dihitung pada area yang diseleksi
berdasarkan kriteria sebagai berikut: (1) area dengan selularitas baik, terutama di
bagian perifer tumor dimana kemungkinan terjadi pertumbuhan aktif dari tumor,
serta area tanpa adanya nekrosis, inflamasi atau kalsifikasi, (2) densitas tinggi
dari gambaran mitosis, penghitungan dilakukan pada 10 lapangan pandang pada
pembesaran 400x. Pemilihan lapangan pandang dilakukan secara random
meander (berbelok-belok secara teratur dengan arah belokan mencapai setengah
lingkaran), (3) gambaran mitosis diidentifikasi berdasarkan kriteria Van Diest et
al. tahun 1992 berdasarkan hasil Multicenter Morphometric Mammary Carcinoma
Project, yaitu hanya sel dengan gambaran morfologi jelas dari metafase, anafase,
dan telofase yang dihitung, dengan menghindari inti apoptotik dan hiperkromatik
(Lakhani et al., 201, Al-Janabi et al., 2013). Indeks mitosis dinilai dalam bentuk
jumlah mitosis per 10 lapangan pandang besar (High Power Field).
Penelitian mengenai indeks mitosis serta kaitannya dengan agresivitas KSB
masih sangat jarang. Tercatat satu penelitian dari Pirici dkk pada tahun 2011
menyebutkan bahwa KSB invasif menunjukkan indeks mitosis yang lebih tinggi.
2.3 Struktur dan Fungsi Ki-67
Proliferasi sel adalah kunci utama progresi tumor. Hal ini dapat diukur dengan
pemeriksaan antigen Ki-67 inti (Devianti et al., 2012). Protein Ki-67 adalah suatu
protein inti non-histon yang diekspresikan selama fase aktif siklus sel (Cernea et
34
al., 2006). Antigen ditemukan pertama kali pada tahun 1980-an di kota Kiel oleh
Gerdes dan kawan-kawan (sehingga disebut sebagai “Ki”). Antigen ini diperoleh
dari tubuh tikus yang telah disuntik dengan antigen inti yang berasal dari cell line
yang diturunkan dari Limfoma Hodgkin pada manusia. Angka 67 berasal dari
nomor urut kloning ke 67 dari 96 piringan yang diberi label pada penelitian
tersebut. (Yerushalmi et al., 2010).
Ki-67 memiliki dua isoform dengan berat molekul 359 kD dan 320 kD. Gen
ini terletak pada kromosom 10q25. Antibodi Ki-67 digunakan untuk mendeteksi
proliferasi Ki-67. Pada saat mitosis, Ki-67 terletak pada permukaan kromatin yang
terkondensasi dan setelah pembelahan sel, Ki-67 terletak pada nukleoplasma
kemudian berakhir di nukleoli. Sel mengekspresi antigen ini selama fase aktif
yakni G1,S,G2,M, namun tidak terekspresi pada fase istirahat (G0). Hal ini
disajikan pada gambar 2.6. Ki-67 terekspresi selama fase akhir G1-M pada siklus
sel dan mencapai puncaknya pada fase interfase G2-M. Waktu paruh Ki-67
berkisar1-1,5 jam. (Selim et al., 2009).
Ekspresi Ki-67 berhubungan dengan derajat diferensiasi pada kebanyakan
tumor (Devianti et al., 2012). Beberapa penulis yang telah menganalisis nilai
prognostik dari Ki-67 sebagai marker tumor menyimpulkan bahwa protein Ki-67
kemungkinan berperan penting sebagai faktor prognostik dari berbagai tipe
kanker (Bartos et al., 2012).
35
Gambar 2.7.
Skema siklus sel. Protein Ki-67 diekpsresikan pada semua siklus kecuali fase G0
(Fase istirahat) (Dikutip dari Anonim, 2015).
2.4 Imunohistokimia Ki-67
Imunohistokimia merupakan suatu metode untuk mengidentifikasi antigen
spesifik pada jaringan atau sel dengan menggunakan pengenalan antigen-antibodi.
Tempat pengikatan antara antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi dengan
penanda yang biasanya dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara
langsung menggunakan mikroskop cahaya. Penanda tersebut dapat berupa
senyawa komponen berfluoresensi atau enzim aktif (Dabbs, 2014).
Secara umum terdapat dua metode dasar identifikasi antigen dalam jaringan
dengan imunohistokimia, yaitu metode langsung (direct method) dan tidak
langsung (indirect method).
a. Metode langsung (direct method)
Metode langsung merupakan metode perlekatan label pada suatu antibodi
dengan bahan kimia dan secara langsung mengaplikasikan label ini ke jaringan.
Metode ini hanya melibatkan satu jenis antibodi, yaitu antibodi yang terlabel,
36
contohnya rodhamin. Metode ini cepat dan mudah dilakukan, namun memerlukan
antibodi primer dengan konsentrasi tinggi dibandingkan dengan metode indirek.
b. Metode tidak langsung (indirect method).
Metode ini menggunakan dua macam antibodi, yakni antibodi primer (tidak
berlabel) dan antibodi sekunder (berlabel). Antibodi primer berfungsi mengenali
antigen yang diidentifikasi pada jaringan (first layer), sedangkan antibodi
sekunder akan berikatan dengan antibodi primer (second layer). Antibodi kedua
merupakan anti-antibodi primer. Pelabelan antibodi sekunder dilanjutkan dengan
penambahan substrat berupa kromogen yakni suatu gugus fungsi senyawa
kimiawi yang dapat membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa
tertentu. Penggunaan kromogen fluorescent dye seperti rodhamin dan Texas-red
disebut metode immunofluorescence, sedangkan penggunaan kromogen enzim
seperti peroksidase, alkali fosfatase, atau glukosa oksidase disebut metode
immunoenzyme (Dabss, 2014).
Imunohistokimia menjadi teknik pilihan untuk menentukan penanda biologik
karena relatif mudah, murah dan dapat diterapkan pada sediaan rutin
histopatologik. Salah satu penanda biologis yang bisa dideteksi dengan
pemeriksaan imunohistokimia adalah Ki-67. Pada sediaan histopatologi pasien
akan diberikan suatu antibodi yang bereaksi dengan molekul Ki-67, lalu diberikan
reagen khusus sehingga didapatkan perubahan warna bila terjadi ikatan antigen
dan antibodi. Selanjutnya preparat imunohistokimia tersebut dilihat di bawah
mikroskop cahaya untuk melihat fraksi pertumbuhan selnya (Rosakawati, 2010).
37
Sel yang mengekspresikan Ki-67 terlihat berwarna coklat pada inti sel, seperti
yang disajikan pada gambar 2.7. Penilaian aktivitas proliferasi Ki-67 dibuat
berdasarkan analisis persentase sel tumor yang terpulas positif dihitung pada
minimal 500 sel pada pembesaran 400x. Penghitungan dilakukan secara acak pada
lima lapangan pandang yang menunjukkan pewarnaan dengan densitas terpadat
(hot spot) menggunakan mikroskop elektrik merk Olympus tipe CX21 dengan
pembesaran 400x. Persentase sel yang terpulas positif pada setiap lapangan
pandang kemudian dikalkulasi lalu ditentukan reratanya. Ekpresi Ki-67 dinilai
dalam bentuk aktivitas proliferasi (indeks) yang diberi skor sebagai berikut: 0-5%
sel positif= negatif, 6-25% =+1, 26-50% =+2, >50% = +3. (Bartos et al., 2012,
Nielsen, 2015).
Gambar 2.8
Contoh pengecatan Ki-67 positif pada KSB, terpulas warna coklat pada inti sel,
pada pembesaran 400x (Dikutip dari Selim et al., 2009).
38
2.5 Ki-67 dan KSB
Berbeda dengan karsinoma yang lain, KSB kulit ditandai oleh persentase
tinggi dari sel tumor yang relatif aktif berproliferasi (Bartos et al., 2012).
Berdasarkan beberapa studi yang dipublikasikan (Ionescu et al., 2006; Correa et
al., 2009), rata-rata fraksi pertumbuhan KSB bisa dideteksi secara
imunohistokimia oleh antibodi terhadap antigen Ki-67, yaitu antara 20-41%.
Beberapa keganasan manusia yang paling serius dan agresif seperti glioblastoma
multiforme, melanoma malignan, atau sarkoma jaringan lunak menunjukkan
ekspresi Ki-67 sekitar 25%. (Mahvash et al., 2011), dan 27% (Nasr and El-
Zammar, 2008) Bahkan aktivitas proliferatif dari KSB kutaneus melebihi
prognostik dari penyakit kanker serius lainnya (Bartos et al., 2012). Pengamatan
ini menimbulkan suatu kemungkinan adanya pengaruh berbeda pada evolusi dan
perangai biologis dari neoplasia. Kebanyakan penulis menemukan bahwa fraksi
pertumbuhan bervariasi di antara tipe histomorfologi KSB (Ionescu et al., 2006)
Adanya fakta bahwa persentase proliferatif sel pada KSB kulit relatif tinggi
perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini tidak sesuai dengan temuan klinis
dimana neoplasia yang tumbuh lambat dan memiliki potensi metastasis minimal
Fenomena ini disebabkan karena terdapat durasi memanjang pada siklus sel atau
adanya kehilangan sel secara kontinu disertai regenerasi permanen (Bartos et al.,
2012). Perbedaan perangai biologis dan progresi kutaneus KSB menjelaskan
adanya ketidakseimbangan antara mekanisme proliferasi dan apoptosis sel tumor
(Correa et al., 2009).
39
Saat ini terdapat data yang bertentangan mengenai peran ekspresi Ki-67
sebagai faktor prognostik. Beberapa penulis (Chuprov 2008; Selim et al., 2009;
Rosakawati, 2010) menemukan bahwa perluasan ekspresi Ki-67 sebagai indikator
dari keparahan penyakit dan berguna sebagai faktor prognostik. Peneliti yang lain
(Cernea et al., 2006; Correa et al., 2009, Kramer et al., 2014) menyimpulkan
bahwa tidak terdapat hubungan statistik bermakna antara KSB dengan fraksi
pertumbuhan yang secara prognosis bagus dan buruk, dan indeks Ki-67 tidak bisa
dipertimbangkan sebagai marker prognostik yang bagus.
40
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Karsinoma sel basal merupakan kanker kulit yang paling sering ditemukan.
Etiologi dari kanker ini multifaktorial dan merupakan kombinasi dari faktor
genotipik, fenotipik, dan lingkungan. Namun faktor resiko yang signifikan adalah
radiasi sinar ultraviolet. Gen yang diduga berkaitan dengan KSB adalah Patched
homologue 1 (PTCH), smoothened (SMO) dan p53. Sementara faktor fisik yang
sering dhubungkan sebagai faktor resiko KSB adalah orang dengan kompleksi
kulit putih tipe-I dan II termasuk rambut berwarna merah atau pirang, atau mata
yang berwarna cerah, freckling. Paparan arsenik, radiasi ionisasi, penggunaan oral
metoksalen (psoralen), dan terapi imunosupresi seperti penerima transplantasi
organ juga merupakan faktor resiko terjadinya KSB.
Lokasi yang tersering yaitu pada wajah dan leher. Tumor ini tumbuh lambat
dan bersifat lokal destruktif dan jarang bermetastasis. Namun ada beberapa tipe
tumor yang bersifat agresif yaitu invasi ke jaringan yang lebih dalam,
bermetastasis lokal dan jauh, serta menyebabkan angka kesakitan dan kematian
yang signifikan. Selain itu tipe agresif memiliki rekurensi tinggi. Hal ini sebagai
alasan pentingnya untuk mendiagnosis KSB lebih awal dalam penatalaksanaan
KSB tipe agresif.
Pemeriksaan histopatologi sangat penting untuk menentukan tipe KSB agresif
dan non agresif karena berpengaruh dalam menentukan terapi dan prognosis
pasien. Namun kadangkala terdapat kesulitan dalam menegakkan diagnosis secara
41
histopatologi karena beberapa kasus KSB memiliki kesamaan dengan lesi yang
lain. Selain itu sering ditemukan kurang lengkapnya pelaporan KSB terkait
parameter yang berkaitan dengan agresivitas tumor.
Kesulitan dalam penegakan diagnosis KSB secara histopatologis dan adanya
tuntutan untuk mengidentifikasi KSB yang secara prognostik lebih buruk dan
berpengaruh serius terhadap status kesehatan pasien mendorong suatu upaya
untuk mengidentifikasi faktor resiko yang berperan dalam perkembangan KSB
menjadi lesi yang lebih agresif. Dengan adanya perkembangan teknologi
molekuler patologi dan biologi maka terdapat upaya untuk mengidentifikasi
beberapa biomarker pada jaringan tumor yang berperan dalam agresivitas tumor.
Kombinasi dari faktor genotipik, fenotipik, lingkungan dan faktor resiko lain
terutama paparan sinar UV menimbulkan terjadinya mutasi DNA yang mengarah
pada terjadinya KSB. Adanya gangguan pada jalur sinyal Sonic Hedgehog dan
terbentuknya p53 mutant akibat induksi sinar UV memicu terjadinya proliferasi
sel yang berlebihan dan mengarah pada timbulnya keganasan.
Pada proliferasi sel terjadi siklus sel yang berlangsung secara kontinu dan
berulang. Kunci dari proliferasi sel adalah pembelahan sel. Mitosis merupakan
langkah-langkah yang terjadi pada pembelahan inti. Proliferasi sel yang
berlebihan ditunjukkan dengan peningkatan jumlah mitosis sel. Hal ini terlihat
dari indeks mitosis tumor pada pemeriksaan histopatologi. Agresivitas KSB
ditunjukkan dari peningkatan indeks mitosis.
Sel mengekspresi antigen Ki-67 selama fase aktif dari siklus sel yakni
G1,S,G2,M, namun tidak terekspresi pada fase istirahat (G0). Pada saat mitosis,
42
Ki-67 terletak pada permukaan kromatin yang terkondensasi dan setelah
pembelahan sel, Ki-67 terletak pada nukleoplasma kemudian berakhir di nukleoli.
Peningkatan laju proliferasi sel berkaitan dengan agresivitas dari KSB dan hal ini
ditunjukkan dengan peningkatan ekspresi Ki-67.
Metode yang paling sederhana dan masih digunakan hingga saat ini untuk
menilai laju proliferasi sel adalah menghitung indeks mitosis yakni jumlah mitosis
dalam jumlah lapangan pandang tertentu (biasanya 10) pada lapangan pandang
besar (400x). Penilaian indeks mitosis telah digunakan sebagai “gold standard”
dalam menilai agresivitas tumor dan sering digunakan sebagai penentu derajat
keganasan tumor. Sayangnya penelitian mengenai peran indeks mitosis terhadap
agresivitas karsinoma sel basal masih sangat sedikit.
Selain indeks mitosis, Ki-67 juga sering digunakan sebagai salah satu marker
proliferasi sel yang dianggap paling reliabel serta bisa diterima secara umum.
Penanda Ki-67 sudah banyak dipakai untuk berbagai jenis tumor. Banyak
penelitian yang menemukan bahwa ekspresi Ki-67 pada KSB tipe agresif lebih
tinggi dibandingkan non agresif. Namun ada pula penelitian yang menemukan
bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara ekspresi Ki-67 tipe agresif
dibandingkan non agresif. Maka perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui
peran indeks mitosis dan ekspresi Ki-67 berupa indeks proliferasi Ki-67 terhadap
agresivitas KSB.
43
3.2 Konsep Penelitian
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian.
- Faktor Genotipik
(mutasi PTCH-
1,SMO,P53)
-Faktor Fenotipik
(kompleksi kulit tipe-
I dan II)
Tipe Agresif Tipe Non Agresif
Indeks Mitosis Indeks proliferasi Ki-67
Karsinoma Sel Basal
-Faktor Lingkungan
(Radiasi sinar UV)
- Faktor risiko lain
(arsenik, radiasi,
psoralen, terapi
imunosupresi)
Indeks Mitosis Indeks proliferasi Ki-67
Analisis Data
44
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Indeks mitosis lebih tinggi pada KSB tipe agresif dibandingkan KSB tipe
non agresif.
2. Indeks proliferasi protein Ki-67 lebih tinggi pada KSB tipe agresif
dibandingkan KSB tipe non agresif.
45
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional menggunakan
rancangan potong lintang (cross-sectional study). Skema rancangan penelitian
dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian
Sampel
KSB yang
diteliti
KSB
agresif
Indeks Proliferasi
Protein Ki-67
Indeks mitosis
Indeks Proliferasi
Protein Ki-67
Indeks mitosis
KSB non
agresif
46
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian /SMF Patologi Anatomi FK Unud / RSUP
Sanglah Denpasar dan di Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah
Mada/RSUP Sardjito, Yogyakarta dari 1 April 2016-31 Oktober 2016.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dimulai dengan rediagnosis sediaan histopatologi dari bahan biopsi
insisional dan eksisional penderita karsinoma sel basal agresif dan karsinoma sel
basal non agresif yang diperiksa secara histopatologi di laboratorium Patologi
Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah dan laboratorium Patologi Anatomi swasta P.M
P.M di Denpasar oleh peneliti dan 2 orang ahli patologi, kemudian ditentukan
sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk pengelompokan data.
Lalu dilakukan pemotongan blok parafin untuk dilakukan pulasan
imunohistokimia di Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah
Mada/RSUP Sardjito, Yogyakarta. Selanjutnya dilakukan interpretasi dan
penghitungan indeks mitosis dan indeks proliferasi Ki-67 berupa aktivitas
proliferasi (indeks) protein Ki-67 pada karsinoma sel basal agresif dan karsinoma
sel basal non agresif. Langkah terakhir dilakukan analisis data.
47
4.4 Penentuan Sumber Data
4.4.1 Populasi
4.4.1.1. Populasi target
Populasi penelitian ini adalah semua sediaan blok parafin dari penderita KSB
agresif dan KSB non agresif yang diperiksa secara histopatologi dari hasil biopsi
eksisional dan insisional di Bali.
4.4.1.2. Populasi terjangkau
Populasi penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari penderita KSB agresif
dan KSB non agresif yang diperiksa secara histopatologi dari hasil biopsi
insisional dan eksisional di Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar dan di laboratorium Patologi Anatomi swasta P.M di Denpasar.
4.4.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari penderita KSB agresif
dan non agresif yang telah diperiksa secara histopatologi dari hasil biopsi dan
operasi di Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Denpasar dan
laboratorium Patologi Anatomi swasta P.M di Denpasar dari tanggal 1 Januari
2011 sampai dengan 31 Desember 2015 yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.
4.4.3 Kriteria Inklusi
1. Sediaan berasal dari bahan biopsi eksisional dan insisional pasien KSB
yang diperiksa di Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP
48
Denpasar dan laboratorium Patologi Anatomi swasta P.M di Denpasar
dari tanggal 1 Januari 2011-31 Desember 2015.
2. Sediaan merupakan tumor primer
4.4.4 Kriteria Eksklusi
1. Kasus dengan diagnosis histopatologi KSB yang belum pasti (masih
ada diagnosis banding).
2. Blok parafin yang rusak, jamuran dan jaringan tumornya habis
4.4.5 Besar Sampel
Pada penelitian ini besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis untuk
dua proporsi populasi (two-sided test small proportions) (Sastroasmoro dan
Ismail, 2014) :
n =
* √ ( ) √ ( ) ( )+
( )
Keterangan:
n :besar sampel
:perbedaan minimal yang secara klinis bermakna
:proporsi populasi 1 yang diharapkan = 0,60 (Rosakawati, 2010)
:proporsi populasi 2 yang diharapkan =0,20(Rosakawati, 2010)
α :tingkat kemaknaan yakni 5%=0,05
β :5-20%, biasanya 20% =0,2, 1-β=0,8
Zα :Z skor untuk α sebesar 0,05 adalah 1,96
49
Zβ : Z skor untuk β sebesar 0,8 adalah 0,842
Berdasarkan rumus di atas maka didapatkan jumlah sampel minimal pada
masing-masing kelompok adalah 23. Jadi n total minimal yakni 46.
4.4.6 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara berikut :
a. Dari populasi sediaan blok parafin diadakan pemilihan sampel berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi.
b. Populasi terjangkau yang memenuhi syarat diambil secara consecutive
sampling untuk mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan, yaitu sebanyak
minimal 46 blok parafin.
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Klasifikasi Variabel
1. Variabel tergantung : KSB agresif dan non agresif
2. Variabel bebas : Indeks mitosis dan indeks proliferasi
protein Ki-67
4.5.2 Definisi Operasional Variabel
1. KSB agresif adalah: kanker kulit yang berasal dari sel germinatif ditandai
dengan adanya sel-sel basaloid yang tersusun dalam bentuk lobulus, kolom
atau pita, yang mempunyai tipe morfologi:
50
1.1 Morfea berupa gambaran lembaran sel basaloid dengan ketebalan 1-2
sel di antara stroma kolagen padat.
1.2 Infiltratif berupa gambaran sarang sel tumor yang membentuk lebaran
memanjang dengan ketebalan 5-8 sel, bentuk dan ukuran ireguler,
disertai angulasi di bagian perifer, fokus-fokus retraksi slit-like dan
aktivitas mitosis sering.
1.3 Metatipikal/basoskuamus berupa gambaran sel tumor yang
membentuk pola palisading perifer dengan gambaran morfologi
basaloid bercampur dengan area yang membentuk intercellular bridge
dan/atau keratinisasi.
1.4 Mikronoduler berupa gambaran sarang tumor dengan kontur nodular,
berukuran sama, kecil dan terdistribuasi luas.
1.5 Nodular-infiltratif berupa gambaran sarang tumor yang sebagian
menunjukkan gambaran nodular, yakni sel-sel yang membentuk
pulau-pulau dengan susunan palisading di perifer dan susunan tidak
teratur di sentral, disertai retraksi slit-like dan stroma dengan
perubahan miksoid, dan sebagian menunjukkan gambaran sarang sel
tumor yang membentuk lebaran memanjang dengan ketebalan 5-8 sel,
bentuk dan ukuran ireguler, disertai angulasi di bagian perifer, fokus-
fokus retraksi slit-like dan aktivitas mitosis sering.
Interpretasi histomorfologis ini dilihat dengan pulasan Hematoksilin dan
Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21,
51
pembesaran 40x, 100x, dan 400x oleh peneliti dan dua orang ahli Patologi
Anatomi.
2. KSB non agresif : kanker kulit yang berasal dari sel germinatif ditandai
dengan adanya sel-sel basaloid yang tersusun dalam bentuk lobulus, kolom
atau pita, yang mempunyai tipe morfologi sebagai berikut:
2.1 Nodular yakni berupa sel-sel yang membentuk pulau-pulau dengan
susunan palisading di perifer dan susunan tidak teratur di sentral,
dsiertai retraksi slit-like dan stroma dengan perubahan miksoid
2.2 Superfisial yakni berupa lobulus sel basaloid yang berproyeksi dari
epidermis atau dari folikel dan duktus ekrin ke arah dermis serta
dikelilingi stroma miksoid longgar.
Interpretasi histomorfologis ini dilihat dengan pulasan Hematoksilin dan
Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21,
pembesaran 40x, 100x, dan 400x oleh peneliti dan dua orang ahli Patologi
Anatomi.
3. Indeks mitosis adalah gambaran mitosis yang dihitung pada area yang
diseleksi berdasarkan kriteria sebagai berikut: (1) area dengan selularitas
baik, terutama di bagian perifer tumor dimana kemungkinan terjadi
pertumbuhan aktif dari tumor, serta area tanpa adanya nekrosis, inflamasi
atau kalsifikasi, (2) densitas tinggi dari gambaran mitosis, penghitungan
dilakukan pada 10 lapangan pandang pada pembesaran 400x. Pemilihan
lapangan pandang dilakukan secara random meander (berbelok-belok
secara teratur dengan arah belokan mencapai setengah lingkaran), (3)
52
gambaran mitosis diidentifikasi berdasarkan kriteria Van Diest et al. tahun
1992 berdasarkan hasil Multicenter Morphometric Mammary Carcinoma
Project, yaitu hanya sel dengan gambaran morfologi jelas dari metafase,
anafase, dan telofase yang dihitung, dengan menghindari inti apoptotik
dan hiperkromatik. Indeks mitosis dinilai dalam bentuk jumlah mitosis per
10 lapangan pandang besar (High Power Field).
4. Indeks proliferasi protein Ki-67: adalah penilaian protein Ki-67 secara
imunohistokimia menggunakan antibodi primer monoklonal Ki-67 dari
Biocare CRM325A. Interpretasi Ki-67 dilakukan oleh dua orang pengamat
(peneliti dan pembimbing yang merupakan konsultan patologi anatomi
secara bersamaan). Sel yang mengindeks proliferasikan Ki-67 terlihat
berwarna coklat pada inti sel. Penilaian aktivitas proliferasi Ki-67 dibuat
berdasarkan analisis persentase sel tumor yang terpulas positif dihitung
pada minimal 500 sel pada pembesaran 400x. Penghitungan dilakukan
dengan alat hitung tangan (hand counter) merk Joyko pada lima lapangan
pandang yang menunjukkan pewarnaan dengan densitas terpadat (hot spot)
menggunakan mikroskop elektrik merk Olympus tipe CX21 dengan
pembesaran 400x [HPF: field diameter, 0,50 mm, field area 0,274 mm].
Persentase sel yang terpulas positif pada setiap lapangan pandang
kemudian dikalkulasi lalu ditentukan reratanya. Ekpresi Ki-67 dinilai
dalam bentuk aktivitas proliferasi (indeks) yang diberi skor sebagai
berikut: 0-5% sel positif= negatif, 6-25% =+1, 26-50% =+2, >50% = +3.
53
4.6 Bahan Penelitian
1. Bahan pemeriksaan histopatologi berupa blok parafin dari bahan biopsi
insisional dan eksisional pasien yang menderita karsinoma sel basal
agresif dan non agresif yang diperiksa secara histopatologi di
Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah serta
laboratorium Patologi Anatomi swasta P.M di Denpasar dan slide dengan
pengecatan H&E.
2. Bahan pemeriksaan imunohistokimia berupa blok parafin dari bahan
biopsi insisional dan eksisional pasien yang menderita karsinoma sel basal
agresif dan non agresif yang diperiksa secara histopatologi di
Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah dan
laboratorium Patologi Anatomi swasta P.M di Denpasar untuk pengecatan
imunohistokimia Ki-67 menggunakan antibodi primer monoklonal Ki-67
dari Biocare CRM325A.
3. Bahan untuk pengecatan rutin hematoksilin dan eosin meliputi:
a. Larutan hematoksilin Harris
b. Alkohol 50% hingga alkohol absolut.
c. Xilol.
d. Hcl 0,4%
e. Litium karbonat 5%
4. Bahan pengecatan imunohistokimia Ki-67 meliputi:
a. Phosphate buffer saline (PBS).
b. Xilol
54
c. Alkohol 70% sampai alkohol absolut
d. Aquadest
e. Buffer sitrat
f. Antibodi monoklonal Ki-67 dari Biocare CRM325A, dilusi 1: 100 atau 1:
200, dengan klon SP6, kontrol positif tonsil atau lapisan basal epidermis
g. Biotinylated Anti Polyvalent
h. DAB (3,3’-diaminobenzidine).
i. Streptavidin Peroxidase.
j. Pulasan hematoksilin Harris
4.7 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah:
1. Buku Registrasi Pemeriksaan Histopatologi Laboratorium Patologi
Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah dan Laboratorium Patologi Anatomi
swasta P.M tahun 2011 hingga 2015 untuk mencari data pasien yang
menderita karsinoma sel basal agresif dan non agresif dari tahun 2011
hingga tahun 2015.
2. Mikrotom Leica 2125 RM
3. Oven microwave
4. Gelas obyek merk Sail Brand
5. Gelas obyek yang telah dilapisi dengan poly-L-lysine, merk Sigma, ukuran
lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm
6. Pipet mikro.
55
7. Staining jar.
8. Inkubator dan aluminium chamber.
9. Rotator.
10. Mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21 untuk melihat indeks
proliferasi Ki-67 pada sediaan karsinoma sel basal agresif dan non agresif.
4.8 Prosedur Penelitian
4.8.1 Cara Pengumpulan Data
1. Pengumpulan data pasien dan sediaan preparat biopsi insisional dan
eksisional pasien KSB yang diperiksa secara histopatologi dari 1 Januari
2011 sampai 31 Desember 2015 di Laboratorium Patologi Anatomi FK
UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar dan laboratorium Patologi Anatomi
swasta P.M di Denpasar.
2. Preparat hasil pulasan Hematoksilin dan Eosin (H&E) sesuai nomor-
nomor diatas dikumpulkan dan dievaluasi ulang oleh peneliti dan dua
ahli patologi untuk memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga
didapat dua kelompok data yaitu KSB agresif dan KSB non agresif.
4.8.2 Prosedur Pemeriksaan Bahan
1. Prosedur pulasan H&E sesuai dengan prosedur pulasan yang rutin
dikerjakan di Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah,
Denpasar:
56
a. Potong ulang blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2125 RM
dengan ketebalan 4 μm, kemudian ditempelkan pada gelas obyek
merk Sail Brand dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan
tebal 1,2 mm.
b. Deparafinisasi dengan dicelupkan pada xilol sebanyak 4 kali masing
masing celupan selama masing-masing 3-5 menit.
c. Rehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan kosentrasi menurun
menggunakan alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 75%, dan alkohol
50%, selama masing-masing 3-5 menit.
d. Cuci dengan air mengalir selama 5-10 menit.
e. Rendam preparat dalam larutan hematoksilin Harris selama 10-15
menit
f. Cuci lagi dengan air mengalir selama 20 menit
g. Celupkan dalam Hcl 0,4% sebanyak 1-2 celup
h. Cuci dengan air mengalir selama 5-10 menit
i. Celupkan dalam Litium karbonat 5% sebanyak 3 celup
j. Cuci lagi dengan air mengalir selama 5-10 menit
k. Rendam dalam larutan Eosin selama 15 detik-2 menit
l. Dilanjutkan dengan dehidrasi dengan alkohol dengan konsentrasi
meningkat mulai dari alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 80% dan
alkohol absolut analitik secara berturut-turut, masing-masing selama
3-5 menit.
57
m. Lalu rendam dalam xilol sebanyak 4x, masing-masing selama 3-5
menit
n. Mounting menggunakan entelan dan preparat ditutup dengan kaca
penutup
o. Beri label
2. Mengumpulkan blok parafin dari sediaan H&E terpilih.
3. Melakukan pulasan imunohistokimia Ki-67 sesuai prosedur pengecatan
imunohistokimia rutin Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah,
Denpasar.
a. Siapkan blok yang akan dicat imunohistokimia
b. Potong blok sesuai dengan permintaan yang diinginkan serta kontrol
positif (+)
c. Tiriskan slide sebentar kemudian ditekan menggunakan kertas saring
pelan-pelan. Panaskan sebentar di atas hot plate dan disimpan dalam
incubator suhu 45 derajat Celcius selama semalam
d. Deparafinisasi dengan urutan xilol, xilol, xilol, xilol, alkohol 95%,
alkohol 95%, alkohol 95%, alkohol 95% dan air, masing-masing
selama 2 menit
e. Cuci dengan aquades, rotator selama 5 menit
f. Dilanjutkan dengan penetesan H2O2 3% selama 20 menit dalam
Chamber.
58
g. Slide ditempatkan pada wadah lalu dilanjutkan dengan cuci
aquadest sambil digoyang-goyang selama 5 menit dan dilanjutkan
dengan pencucian memakai PBS selama 5 menit pada rotator.
h. Untuk pemeriksaan dengan perlakuan enzim buffer citrate dan
EDTA, slide dipanaskan di dalam microwave dengan urutatn
pemanasan dari paling tinggi suhu selama 10 menit sampai suhu
rendah selama 5 menit dan dinginkan selama 30 menit
i. Slide kemudian dicuci dengan PBS selama 5 menit pada rotator
j. Slide dilap dengan kassa lalu dilakukan penetesan Ultra V blok
selama 5 menit
k. Dilanjutkan dengan penetesan antibodi Ki-67 100 μl antibodi primer
menggunakan antibodi monoklonal Ki-67 dari Biocare CRM325A
yang telah diencerkan (pengenceran 1:100) selama 30 menit pada
suhu kamar atau semalam pada suhu 40C.
l. Slide dicuci dengan PBS sebanyak 5 menit pada rotator sebanyak
dua kali.
m. Diteruskan dengan penambahan Biotin (kuning)/Biotinylated Anti
Polyvalent , diamkan selama 15 menit.
n. Dicuci kembali dengan PBS selama 5 menit pada rotator sebanyak
dua kali.
o. Diteteskan dengan Streptavidin (merah), diamkan selama 10 menit.
p. Dicuci dengan PBS baru pada rotator selama 4 menit
q. Ditetesi kromogen selama 10 menit
59
r. Disiram dengan air kran 1x, lalu dicuci kembali dengan air mengalir
selama 10 menit.
s. Ditetesi dengan HE Mayer selama 4 menit saja. Dicuci dengan air
mengalir sampai bersih.
t. Dicelupkan sebentar pada alkohol bertingkat dilanjutkan dengan
xilol analitik sebanyak 4 tahapan.
u. Mounting menggunakan entelan dan slide ditutup dengan deck glass.
4. Interpretasi indeks proliferasi Ki-67 berdasarkan presentase sel yang tercat
positif dan penghitungan dilakukan oleh peneliti dan seorang ahli Patologi
Anatomi di Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD RSUP Sanglah,
Denpasar, dengan menggunakan mikroskop olympus CX 21.
60
4.8.3 Alur Penelitian
Skema alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Alur Penelitian
Mencari nomor-nomor sediaan KSB dari 1 Januari 2011 sampai
30 Desember 2015 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Pengumpulan sediaan pulasan H&E
Seleksi,dan rediagnosis sediaan mikroskopis yang memenuhi
kriteria definisi operasional variabel subtipe agresif dan non
agresif serta penghitungan indeks mitosis
Memilih preparat sebagai dasar untuk memilih blok parafin
untuk pulasan imunohistokimia Ki-67
Blok parafin dipotong 4µm
Pengecatan imunohistokimia Ki-67
Interpretasi hasil pulasan Ki-67
Analisis data
Mencari dan mengumpulkan blok parafin
Pencatatan dan pengumpulan data
Simpulan
61
4.9 Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Analisis statistik deskriptif dengan hasil analisis statistik disajikan dalam
tabel distribusi tunggal..
2. Untuk menilai hubungan indeks proliferasi Ki-67 dengan agresifitas KSB
maka dibuat analisis beda proporsi (perbandingan proporsi) dengan
membuat tabulasi silang 2x2.
3. Untuk menilai hubungan agresifitas KSB dengan indeks mitosis maka
dilakukan analisis perbandingan rerata. Bila data sebaran indeks mitosis
berdistribusi normal maka dilakukan independent t-test, sedangkan bila
data sebaran berdistribusi tidak normal maka dilakukan uji non
parametrik dari Mann-Whitney test. Sedangkan uji normalitas
menggunakan Shapiro Wilk test.
4. Tingkat kemaknaan dalam penelitian ini ditetapkan sebesar α = 0,05.
62
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Selama periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2015, berdasarkan
data pasien yang diperiksa di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP
Sanglah dan Laboratorium Patologi Anatomi Swasta di Denpasar, didapatkan
sebanyak 39 pasien dengan diagnosis karsinoma sel basal agresif dan sebanyak 63
pasien dengan diagnosis karsinoma sel basal non agresif yang diambil dengan
biopsi. Berdasarkan perhitungan besar sampel menurut rumus uji hipotesis untuk
dua proporsi populasi (two-sided test small proportions), dibutuhkan jumlah
sampel minimal 23 kasus karsinoma sel basal agresif dan 23 kasus karsinoma sel
basal non agresif. Sampel yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi
yang telah ditetapkan, kemudian dilakukan pengecatan imunohistokimia
pemeriksaan protein Ki-67.
Dalam penelitian ini, data indeks mitosis terlebih dahulu dilakukan uji
normalitas tes Shapiro-Wilk. Bila data berdistribusi normal digunakan uji t-
independent untuk mengetahui perbedaan nilai reratanya. Sedangkan untuk data
berdistribusi tidak normal digunakan uji non parametrik dari Mann-Whitney.
Sementara untuk data indeks proliferasi Ki-67 dilakukan uji chi-square.
Gambaran karakteristik sampel penelitian berdasarkan umur disajikan pada Tabel
5.1.
63
Tabel 5.1
Gambaran Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Variabel Umur
Variabel
Kelompok
Agresif Non Agresif
Umur (Mean±SD) 61,22±14,06 62,61 ±10,94
Rerata umur pasien dalam penelitian ini adalah 61,91 tahun dengan
standar deviasi 14,06. Rentang umur kasus KSB pada penelitian ini adalah 32
sampai 85 tahun. Pada penelitian ini, KSB agresif memiliki rerata umur 61,22
tahun dengan standar deviasi 14,06. Sedangkan KSB non agresif memiliki rerata
umur 62,61 dengan standar deviasi 10,94.
Tabel 5.2
Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Variabel
Kelompok
Agresif Non Agresif
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
11(47,8%)
12(52,2%)
13(56,5%)
10(43,5%)
Tabel 5.2 menyajikan distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin. Data
penelitian yang digunakan terdapat 24 laki-laki dan 22 perempuan. Pada
64
kelompok agresif, terdapat 11 laki-laki dan 12 perempuan. Sementara pada
kelompok non agresif terdapat 13 laki-laki dan 10 perempuan.
Tabel 5.3
Gambaran Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Ukuran Tumor
Ukuran tumor
Kelompok
Agresif Non Agresif
<1 cm 0(0%)
0(0%)
1-3 cm 22(95,6%) 22(95,6%)
>3 cm 1(4,4%) 1(4,4%)
Jumlah Total 23(100%) 23(100%)
Mean±SD 2,08±0,52 2,00±0,55
Ukuran tumor merupakan salah satu faktor resiko untuk rekurensi KSB.
KSB dengan diameter > 1 cm pada lokasi di wajah yaitu pipi, dahi, kulit kepala
dan leher, lebih cenderung untuk mengalami rekurensi (Kauvar et al., 2015). Pada
penelitian ini rerata ukuran tumor pada kelompok agresif 2,08 cm dengan standar
deviasi 0,52. Kelompok non agresif memiliki rerata 2,00 cm dengan standar
deviasi 0,55. Hal ini tersaji pada tabel 5.3.
65
Gambar 5.1.
Grafik Distribusi Sampel Berdasarkan Lokasi
Karsinoma sel basal terutama terjadi pada kulit yang terpapar matahari, akibat
kegagalan perbaikan stem cells keratinosit karena kerusakan DNA oleh sinar
matahari (Patterson et al., 2006). Daerah wajah dan leher merupakan lokasi yang
paling sering mengalami KSB (Telfer et l., 2008). Pada penelitian ini. Lokasi KSB
paling banyak ditemukan pada daerah nasal yakni sebanyak 18 kasus (39%),
diikuti oleh daerah palpebra yakni sebanyak 8 kasus (18%). Hal ini tersaji pada
gambar 5.1.
Nasal 39%
Punggung 2% Axilla
2% Mentalis
2%
Palpebra 18%
Pipi 7%
Dahi 4%
Dada 2%
Maksila 7%
Oksipital 4%
Aurikula 9%
Labia 4%
66
Tabel 5.4
Gambaran Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Gambaran Makroskopis
Makroskopis
Kelompok
Agresif Non Agresif
Nodul 11 (47,8%)
14 (60,9%)
Ulkus 10 (43,5%) 9 (39,1%)
Plak 1 (4,3%) 0 (0%)
Tabel 5.4 menyajikan gambaran karakteristik sampel penelitian berdasarkan
gambaran makroskopis. Pada kelompok agresif dan non agresif, gambaran
makroskopis terbanyak berupa nodul. Sementara gambaran makroskopis ulkus
lebih banyak pada kelompok agresif dibandingkan kelompok non agresif.
Gambaran makroskpis plak hanya ditemukan pada kelompok agresif.
67
Tabel 5.5.
Distribusi Sampel Berdasarkan Diagnosis Histopatologi
Tipe Histopatologi Jumlah Persentase
AGRESIF
KSB Infiltratif 8 17,4
KSB Morpheform 1 2,2
KSB Basoskuamus/metatypical 7 15,2
KSB Nodular-Infiltratif 7 15,2
NON AGRESIF
KSB Nodular 22 47,8
KSB Superfisial 1 2,2
JUMLAH 46 100
Berdasarkan diagnosis HPA didapatkan bahwa kasus terbanyak pada
kelompok agresif adalah KSB infiltratif sebanyak 8 kasus (17,4%). Sedangkan
pada kelompok non agresif adalah KSB nodular sebanyak 22 (47,8%) kasus. Tipe
histologis KSB yang paling sering ditemukan adalah tipe nodular yaitu sekitar 30-
75% dari keseluruhan KSB. Sedangkan tipe infiltratif mencakup 10% dari
keseluruhan KSB (Vantuchova and Curik, 2006). Hal ini tersaji pada tabel 5.5.
68
5.2 Indeks Mitosis
Tabel 5.6.
Hasil Analisis Perbandingan Indeks Mitosis berdasarkan Agresifitas KSB
Variabel
Kelompok
p
Agresif Non Agresif
Indeks mitosis (/10 HPF)
(Mean±SD)
21,9±10,34 16,0±7,09 0,030
Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa rerata indeks mitosis pada
kelompok agresif lebih tinggi dibandingkan dengan non agresif, yaitu 21,9
Sedangkan rerata indeks mitosis pada kelompok non agresif adalah 16,0
Berdasarkan uji normalitas data Shapiro-Wilk didapatkan data berdistribusi
normal sehingga dilakukan analisis independent samples t-test. Hasil analisis data
dengan independent samples t-test didapatkan nilai p=0,030 (p<0,05). Hal ini
menunjukkan terdapat perbedaan bermakna indeks mitosis antara kedua kelompok
yakni indeks mitosis kelompok agresif lebih tinggi dibandingkan kelompok non
agresif.
69
5.3 Indeks Proliferasi Protein Ki-67
Tabel 5.7.
Hasil Analisis Perbandingan Indeks Proliferasi Ki-67
berdasarkan Agresifitas KSB
Indeks Proliferasi
Protein Ki-67
Kelompok
Agresif
Kelompok Non
Agresif
Df
(degree of
freedom)
p
Negatif (0-5%) 0 (0%) 5 (21.7%)
+1(6-25%) 11 (47,8%) 13 (56,5%) 3 0,032
+2(26-50%) 10 (43,5%) 5 (21,7%)
+3(>50%) 2 (8,7%) 0 (0%)
Tabel 5.7 menunjukkan indeks proliferasi protein Ki-67. Hasil penelitian
ini didapatkan bahwa indeks proliferasi protein Ki-67 baik pada kelompok agresif
dan non agresif terbanyak pada indeks proliferasi 1. Indeks proliferasi tertinggi 3
didapatkan pada KSB agresif subtipe histologis infiltratif. Berdasarkan analisis
data dengan chi-square-test , maka terdapat perbedaan bermakna indeks
proliferasi Ki-67 pada kelompok agresif dan non agresif (p=0,032). Hal ini berarti
indeks proliferasi Ki-67 lebih tinggi pada kelompok agresif dibandingkan
kelompok non agresif.
70
Gambar 5.2.
A.Indeks proliferasi protein Ki-67 negatif pada pada KSB noduler B. Indeks
proliferasi protein Ki-67 +1 pada KSB infiltratif C.Indeks proliferasi Ki-67 +2
pada KSB noduler, D. Indeks proliferasi protein Ki-67 +3 pada KSB infiltratif
(Pembesaran 100x, insert pembesaran 400x).
A
C
A
B
D
A
71
BAB VI
PEMBAHASAN HASIL
6.1 Indeks Mitosis dengan Agresifitas KSB
Proliferasi sel adalah inti dari pembelahan sel. Ada dua bentuk pembelahan sel.
Salah satunya terjadi pada pembentukan gamet (misalnya spermatozoa dan ovum)
melalui meiosis dan yang lainnya terjadi pada sel somatik disebut mitosis. Tujuan
dari mitosis adalah reproduksi dari sel somatik. Mitosis merupakan langkah-
langkah yang terjadi pada pembelahan inti. Mitosis adalah proses kompleks yang
terdiri dari terbukanya membran inti, kondensasi kromatin dan pemisahan
kromosom. Mitosis terdiri dari beberapa fase yaitu fase profase, prometafase,
metafase, anafase dan telofase.
Laju proliferasi sel adalah salah satu hallmark dari kanker. Metode analisis
yang sederhana dan bermanfaat dalam menilai laju proliferasi sel adalah indeks
mitosis. Parameter ini sering dikaitkan dengan agresifitas tumor dan sebagai
faktor prognosis perkembangan tumor (Haroon et al., 2013). Derajat proliferasi
sel yang tinggi secara umum berhubungan dengan pertumbuhan tumor yang cepat
dan perangai biologis serta klinis yang lebih agresif (Bartos et al., 2012). Peran
indeks mitosis pada tingkat harapan hidup pasien telah dibuktikan pada beberapa
kanker. Indeks mitosis telah digunakan dalam menentukan grading kanker
payudara dan ovarium. Bahkan indeks mitosis telah digunakan pada penentuan
Staging System America Joint Committee On Cancer (AJCC) edisi ke tujuh untuk
tumor melanoma maligna, tumor gastrointestinal dan tumor neuroendokrin di
72
traktus gastrointestinal (Yun Ha et al., 2016). Namun pada KSB sangat jarang
diteliti mengenai hubungan indeks mitosis dengan agre sifitas tumor.
Pada penelitian ini, rerata indeks mitosis pada kelompok agresif lebih
tinggi dibandingkan dengan non agresif, yaitu 21,9. Sedangkan rerata indeks
mitosis pada kelompok non agresif adalah 16,0 Berdasarkan hasil analisis data
dengan uji independent t-test maka didapatkan nilai p=0,030 (p<0,05). Hal ini
menunjukkan terdapat perbedaan bermakna indeks mitosis antara kedua kelompok
yakni indeks mitosis kelompok agresif lebih tinggi dibandingkan kelompok non
agresif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pirici pada tahun 2011 yang
menyebutkan bahwa indeks mitosis KSB berkaitan dengan agresifitas tumor
(Pirici et al., 2011). Penelitian yang dilakukan Kramer dan kawan kawan
menemukan bahwa terdapat korelasi stastistik yang bermakna antara indeks
proliferatif dengan aktivitas mitosis (Kramer et al., 2013).
6.2 Indeks Proliferasi Ki-67 dengan Agresifitas KSB
Aktivitas proliferasi dari kanker juga dapat dideteksi dengan pemeriksaan
imunohistokimia menggunakan antibodi yang melawan antigen Ki-67. Antigen
Ki-67 adalah salah satu penanda proliferatif sel yang paling reliabel (Selim et al.,
2009). Antigen ini merupakan protein non-histon yang diekspresikan pada semua
fase siklus sel aktif. Ki-67 saat ini merupakan penanda aktivitas proliferatif
tumor yang lebih baik dibandingkan aktivitas mitosis (Kramer et al., 2014).
Ekspresi Ki-67 dikaitkan dengan agresifitas pada kebanyakan tumor. Beberapa
penelitian menunjukkan ekspresi Ki-67 paling tinggi pada karsinoma
73
berdiferensiasi buruk (Devianti et al., 2012). Ekspresi Ki-67 pada sel neoplastik
digunakan sebagai pengukuran kuantitatif untuk mengetahui status proliferasi dan
termasuk dalam indikator prognostik dasar dalam laporan histopatologi rutin
(Bartos et al., 2012).
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa indeks proliferasi protein Ki-67 baik
pada kelompok agresif dan non agresif terbanyak pada indeks proliferasi 1. Indeks
proliferasi tertinggi 3 didapatkan pada KSB agresif subtipe histologis infiltratif.
Berdasarkan analisis data, terdapat perbedaan bermakna indeks proliferasi Ki-67
pada kelompok agresif dan non agresif (p=0,032). Hal ini berarti indeks
proliferasi Ki-67 lebih tinggi pada kelompok agresif dibandingkan kelompok non
agresif.
Kebanyakan dari tumor jinak tumbuh secara lambat dan kebanyakan tumor
ganas tumbuh secara cepat dan pada akhirnya menyebar secara lokal dan
bermetastastis (Kumar et al., 2013). Tumor dengan pertumbuhan agresif
memiliki laju proliferasi yang lebih tinggi. Laju pertumbuhan dari tumor ini
berkaitan dengan peningkatan ekspresi protein Ki-67. Semakin tinggi laju
pertumbuhan sel tumor maka semakin tinggi pula ekspresi dari protein Ki-67 dan
hal ini menyebabkan pertumbuhan tumor yang lebih agresif.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tumor KSB tipe agresif memiliki
ekspresi Ki-67 yang lebih tinggi dan berperan sebagai faktor prognostik. Leon dan
kawan kawan menyimpulkan bahwa Ki67 terbukti sebagai penanda prediktif dan
prognostik independen (Leon et al., 2006). Penelitian yang dilakukan Chuprov
dan kawan kawan menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
74
peningkatan indeks Ki-67 pada KSB tipe infiltratif (Chuprov, 2008). Penelitian
Selim dan kawan kawan menemukan bahwa ekspresi Ki-67 lebih tinggi pada KSB
tipe agresif dan rekuren (Selim et al., 2009). Hasil yang serupa diperoleh pada
penelitian Rosakawati pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa ekspresi Ki-67
pada tipe agresif lebih tinggi dibandingkan tipe non agresif dan hal ini bermakna
secara statistik.
Penelitian mengenai peran Ki-67 sebagai penentu derajat diferensiasi dan
faktor prognosis juga terbukti bermakna pada penelitian tumor-tumor lain.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rao dan kawan-kawan pada tahun
2009, dibuat kesimpulan bahwa Ki-67 berperan dalam menentukan agresifitas dari
meningioma (Rao et al., 2009). Penelitian yang dilakukan Keam dan kawan-
kawan menyimpulkan bahwa tingginya ekspresi Ki-67 pada pasien karsinoma
payudara triple negative memiliki perangai klinis yang lebih agresif (Keam et al,
2011). Youssef dan kawan-kawan pada tahun 2012 menyatakan bahwa Ki-67
dapat digunakan sebagai faktor prognosis pada karsinoma hepatoseluler (Youssef
et al., 2012). Marques dan kawan-kawan pada tahun 2014 menemukan ekspresi
Ki-67 yang sangat tinggi berkaitan dengan agresifitas dari lesi pituitari (Marques
et al., 2014).
Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang bertentangan. Penelitian
yang dilakukan oleh Mateoiu dan kawan kawan menyimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang bermakna antara fraksi pertumbuhan ekspresi protein Ki-
67 antara subtipe histologis agresif dan non agresif (Mateoiu et al., 2011). Bartos
dan kawan kawan menemukan bahwa rerata eskpresi Ki-67 tertinggi ditemukan
75
pada KSB subtipe infiltratif (38,1%) dan subtipe morfea (37%). Sementara rerata
ekspresi Ki-67 terendah ditemukan pada subtipe nodular (21,7%). Namun tidak
terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada ekspresi Ki-67 KSB tipe non
agresif dan agresif sehingga tidak berperan sebagai faktor prognostik. Bartos dan
kawan kawan juga menyebutkan bahwa kuantifikasi sederhana aktivitas
proliferasi dari KSB dengan menggunakan protein Ki-67 tidak dapat digunakan
untuk memprediksi perangai biologis, evolusi dan clinical outcome dari
keganasan ini. Hal ini karena terdapat variabilitas dalam pengecatan Ki-67
sehingga tidak bisa digunakan sebagai faktor prognostik yang reliabel (Bartos et
al., 2012). Penelitian Kramer dan kawan kawan menyimpulkan bahwa tidak
terdapat korelasi antara indeks proliferasi Ki-67 dengan subtipe histologis.
Perbedaan hasil yang didapat ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain adanya perbedaan besar sampel yang digunakan, serta teknik
pulasan, cara interpretasi Ki-67 yang berbeda, maupun kesalahan dalam menilai
ekspresi Ki67. Selain itu belum adanya kesepakatan internasional dalam
menentukan cara penilaian ekspresi Ki-67 dan menentukan nilai cut off point dari
Ki-67.
76
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
7.1.1 Indeks mitosis pada Karsinoma Sel Basal tipe agresif lebih tinggi
dibandingkan tipe non agresif.
7.1.2 Indeks proliferasi protein Ki-67 pada Karsinoma Sel Basal tipe agresif lebih
tinggi dibandingkan tipe non agresif.
7.2 Saran
7.2.1 Indeks mitosis dan indeks proliferasi Ki67 yang tinggi dapat digunakan
untuk menilai agresifitas dari KSB dan hal ini bisa disertakan dalam laporan
histopatologi rutin
7.3.2 Perlu dilakukan standarisasi dari penggunaan penanda biologis Ki-67 mulai
dari teknik pre-analitik, analitik, hingga interpretasi dan penentuan cut off
point.
77
DAFTAR PUSTAKA
Al-Janabi, S., Van Slooten H., Visses, M., Van Der Ploeg, T., Van Diest, P.J.,
Jiwa, M. 2013. Evaluation of Mitotic Activity Index in Breast Cancer
using Whole Slide Digital Image. DOI: 10.1371/journal.pone.0082576
(serial online), December 30th
2013., [cited 2016 March 16]. Available
from:
http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0082576
Anonim. 2015. Fuctional Profilling. [cited 2016 Feb 16]. Available from:
http://immunecarta.com/en/immune-monitoring-services-
technology/functional-profiling.html
Bartos, V., Adamicova, K., Kullova, M., Pec, M. 2012. Immunohistochemical
Evaluation of Proliferative Activity (Ki-67 Index) in Different
Histological Types of Cutaneus Basal Cell Carcinoma. Section Cellular
and Molecular Biology , 67/3: 610-615.
Bolshakov, S., Walker, C.M., Storm, S.S., Selvan, M.S., Clayman, G.L., Naggar,
A.E., Lippman, S.M., Kripke, M.L., Ananthaswamy, H.N. 2008. P53
Mutations in Human Agressive and Non Aggressive Basal and Squamous
Cell Carcinoma. American association for Cancer Research, 9: 228-234.
Cannizzaro, L.A.2006. Principles of Cytogenetics. In: Koss, L.P., Melamed M.R.,
editors. Koss’s Diagnostic Cytology and it’s Histopathologic Bases 5th
Ed.Lippincot Williams and Wilkins. p. 79-118.
Cigna, E., Tarallo, M., Maruccia, M., Sorvillo, V., Pollastrini, A., Scuderi, N.
2010. Basal Cell Carcinoma: 10 Years of Experience. Journal of Skin
Cancer, 10: 1-5.
Chuprov, I.N.2008. Immunomorphology Features of Cutaneus Basal Cell
Carcinoma. Vopr Onkol, 54: 715-719.
Colditz, C., Chia, K.S. 2011. Invasive Breast Carcinoma: Introduction and
General Features. In: Lakhani, S.R., Ellis, I.O., Schnitt, S.J., Tan, P.H.,
Van de Vijver, M.J.2011. WHO Classification of Tumours of the Breast.
Lyon-IARC. p 14-31.
Correa, M.P.D., Ferreira, A.P., Gollner, A.M., Rodrigues, M.F., Guerra, M.C.S.
2009. Marker Expression of Cell Proliferation and Apoptosis in Basal
Cell Carcinoma. An. Bras. Dermatol, 84(6): 1-15.
Crowson, A.N. 2006. Basal Cell Carcinoma: Biology, Morphology and Clinical
Implications. Modpathol, 19: 127-147.
Dabss, D.J.2014. Techniques of Immunohistochemistry: Principles, Pitfalls, and
Standardization. In: Diagnostic Immunohistochemistry, Theranostic and
Genomic Apllications 4th
Ed. Elsevier- Saunders. p 1-38.
Devianti, L., Aswiyanti, A., Edison. 2012. Peningkatan Ekspresi Ki-67 Tidak
Berhubungan Dengan Parameter Prognostik Histopatologik Karsinoma
Payudara Invasif di Sumatera Barat. Majalah Patologi Indonesia, 21 (3):
10-16.
Direktorat Jendral Pelayanan Medik. 2011. Kanker di Indonesia Tahun 2011. Data
Histopatologik. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I.
78
Elder, D.E. 2006. Basal Cell Carcinoma. In: Elenitsas R., Johnson B.L., Murphy
G.F.,editors. Lever’s Histopathology of the Skin 9th
Ed. Lippincot Williams
and Wilkins. p 836-848.
Frankel, A., Goldenberg, G. 2011. Presentation and Treatments of Basal Cell
Carcinoma: A Review. Cutaneus Oncology Today. 5-9.
Goppner, D., Leverkus, M.2011. Basal Cell Carcinoma: from the Molecular
Understanding of the Pathogenesis to Targeted Therapy of Progressive
Disease. Journal of skin cancer , 2011: 1-8.
Ha, S.Y., Choi M., Lee T., Park C.K. 2016. The Prognostic Role of Mitotic Index
in Hepatocellular Carcinoma Patients after Curative Hepatectomy. Cancer
Res Trest, 48(1):180-189.
Haroon, S., Hasmi, A.A., Khurshid, A., Kanpurwala, M.A., Mutjuba S., Malik B.,
Faridi N.2013. Ki-67 Index in Breast Cancer: Correlation with Other
Prognostic Markers and Potential in Pakistani Patients. Asian pacific
journal of cancer prevention, 14: 4353-4358.
Heller, E.R., Gor, A., Wang, D., Qiang Hu., Lucchese, A., Kanduc, D., Katdare,
L., Liu, S., Sinha, A.A. 2013. Molecular Signatures of Basal Cell
Carcinoma Susceptibility and Pathogenesis: A Genomic Approach.
International Journal of Oncology, 42: 583-596.
Ionescu, D.N., Arida, M., Jukic, D.M. 2006. Metastatic Basal Cell Carcinoma.
Arch Pathol Lab Med, 130: 45-51.
Kauvar, A.N.B., Cronin, T.J., Roenigk, R., Hruza, G., Bennet R.2015. Consensus
for Nonmelanoma Skin Cancer Treatment: Basal Cell Carcinoma,
Including a Cost Analysis of Treatment Methods. Dermatol Surgery
2015,0: 1-22.
Keam B., Im S.A., Lee K.H., Han S.W., Oh D.Y., Kim J.H., Lee S.H., Han w.,
Kim D.W., Kim T.Y., Park I.A., Noh D.Y., Heo D.S., Bang Y.J. Ki-67 can
be used for further classification in triple negative breast cancer into two
subtypes with different response and prognosis. Breast Cancer Research
2011. 13:R22.
Kossard, S., Epstein, E.H. Jr., Cerio, R., Yu, L.L., Weedon D. 2006. Basal Cell
Carcinoma. In: LeBoit P.E., Burg G., Weedon D., Sarasin A., editors.
WHO: Pathology and Genetics of Skin Tumours. Lyon: IARC. p.13-19.
Kramer, E., Herman, O., Frand J., Leibou L., Schreiber L., Vaknine H.2014. Ki-
67 as Biologic Marker of Basal Cell Carcinoma: A Retrospective Study.
IMAJ, 16: 229-231.
Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C. 2013. Basal cell carcinoma. In: Robbins
Basic Pathology 9th
Ed. p 864-865.
Lima, N.L,Verli F.D., Marinho, S.A. 2012. Basosquamous Carcinoma:
Histopathological Features. Indian J Dermatol , 57(5): 382-383.
Leon A., CeausuZ., Ceausu M., Ardaleanu C., Mehedinpi T.2006. Assesment of
The Aggressive Feature of Basal Cell Carcinoma in The Oral and
Maxillofacial Region. OHDMBSC, 5(4):62-267.
Madan, V., Lear, J.T., Szeimies, R.M. 2010. Non-melanoma Skin Cancer. The
Lancet, 375 (9715): 673-685.
79
Mahvash, M., Hugo, H.H., Maslehaty, H., Mehdorn, H.M., Stark, A.M. 2011.
Glioblastoma Multiforme in Children: Report of 13 Cases and Review of
the Literature. Pediatr. Neurol.45: 178-180.
Mateoiu M., Pirici A., Bogdan F. 2011. Immunohistochemical Nuclear Staining or
P53, pcna,Ki-67 and BCL-2 in Different Histologic Variants of Basal Cell
Carcinoma. Rom J.Morphol Embryol. 52(Suppl. 1): 315-319.
Marques P., Mara M., Calado C., Martins A., Monteiro J., Leite V. 2014.
Aggressive Pituitary Lesion with A remarkably High Ki-6. Arg Bras
Endocrinol Metabol. 58(6): 656-60.
Mosterd, K., Arits, A.H., Thissen, M.R., Kelleners-smetts, N.W. 2009.
Histology-based Treatment of Basal Cell Carcinoma. Acta Derm Venereol,
89:454-458.
Nasr M.R., El-Zammar O. 2008.Comparison of Phh3,Ki-67, Surviving
Immunoreactivity in Benign and Malignant Melanocytic Lesions. Am J
Dermatopathol.30:117-122.
Nielsen T.O.2015. Standardize Ki-67 Assesment in Breast Cancer. [cited 2016
Feb. 16]. Available from:
http://image.slidesharecdn.com/ceqty4ofrk69ybdxnwk0-signature.
Patterson J.W., Wick M.R.2006. Basal Cell Carcinoma in: Nonmelanocytic
Tumors of the Skin. AFIP Atlas of Tumor Pathology 4th
series. American
Registry of Pathology. p 46-55.
Pirici, A., Pirici, E., Voinescu, D., Cruce, M., Bogdan, F.2011. Assesment of Cell
Proliferation/Death Balance and Inflammation in Different Histological
Variants of Basal Cell Carcinomas. Annals of RSCB, XVI (1): 254-261.
Rao S., Sadiya N., Doraiswami S., Prathiba D. Characterization of
morphologically benign biologically aggressive meningiomas. Neurology
India 2009. Vol 57: 6.
Rosakawati, 2010. Ki-67 sebagai Petanda Proliferasi pada Karsinoma Sel Basal
Tipe Agresif dan Non Agresif. Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran
Program Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Onkologi, Jakarta.
Rosai, J.2011. Basal cell carcinoma. In: Rosai and Ackerman’s Surgical
Pathology, 10th
Ed, Volume 2. Mosby Elsevier, British. p 134-137.
Samarasinghe, V., Madan, V., Lear, J. T. 2011. Focus on Basal Cell Carcinoma.
Journal of Skin Cancer, 12: 1-5.
Selim, A.G.,Ashmawy, A.E., Gheida, S., Elnaby, N.A., Tatawy, R.E. 2009. Basal
Cell Carcinoma: Possible Role of Some Proliferative and Apoptotic
Factors. J Egypt Wom dermatol Soc, 6(1): 16-27.
Standar Operasional Prosedur Pulasan H & E Laboratorium Patologi Anatomi
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. 2012.
Standar Operasional Prosedur Pengecatan Rutin Imunohistokimia Laboratorium
Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. 2012.
Subhash, M., Reddy J., Babu S., Balan, P. 2013. Xeroderma Pigmentosum: Man
Deprived of His Right to Light. The Scientific World Journal Volume
2013.(serial online), 2013., [cited 2016 Mar 18]. Available from:
http;//dx.doi.org/10.1155/2013/534752.
80
Telfer, N.R., Colver, G.B., Morton, C.A.2008. Guidelines for the Management of
Basal Cell Carcinoma. British Journal of Dermatology,159 (1): 35-48.
Trigoni, A., Lazaridou, E., Apalla, Z., Vakirlis, E., Chrysomallis, F.,
Varytimiadis, D., Ioannides, D. 2012. Dermaoscopic Features in the
Diagnosis of Different Type of Basal Cell Carcinoma. Hippokratia, 16 (1):
29-34.
Walczak, C.E., Cai S., Khodjakov A. 2010. Mechanisms of Chromosome
Behaviour During Mitosis. Nature Reviews Moleculer Cell Biology 11 :
91-102.
Weedon, D. 2010. Basal Cell Carcinoma. In: Weedon’s Skin of Pathology 3rd
Ed,
Volume 2. Churchil Livingstone Elsevier, London. p 682-291.
19. Vantuchova Y., Curik R. 2006. Histological Type of Basal Cell Carcinoma.
Script Media (BRNC) 79(5-6): 261-270.
Yalcin, T., Kutlubay, Z., Engin, B., Serdaroglu, S. 2011. Basal Cell Carcinoma,
Skin Cancer Overview (serial online). (cited 2015 Nov 9). Available from:
http://cdn.intechweb.org/pdfs/25260.pdf.
Yerushalmi, R., Woods, R., Ravdin, P.M. 2010. Ki-67 in Breast Cancer:
Prognostic and Predictive Potential. Lancet Oncol 11: 174-183.
Youssef M.I., Maghraby H., Youssef E.A., El-Sayed M.M. Expression of Ki 67
in hepatocelluler carcinoma induced by diethylnitrosamine in mice and its
correlation with histopathological alterations. Journal of Applied
Pharmaceutical Science 2012. 02(03): 52-59.
85
Lampiran 5. Data Sampel Penelitian
No PA
Umur,
JK Lokasi Diagnosis PA
IM(/10
HPF)
Ukuran
tumor
(cm) Makroskopis
Indeks
Ki67
1 3111PP13 48, L Nasal Infiltratif 10 3 nodul 1
2 3288PP13 59,L Nasal Nodular 15 1.2 nodul 2
3 3769PP13 46,L Dahi Nodular 22 1.5 ulkus 1
4 3821PP13 63,P Nasal Infiltratif 35 2.5 ulkus 2
5 3957PP13 35,P Pipi Morfea 5 1 nodul 2
6 4238PP13 70,L Nasal Nodular 8 2 nodul 1
7 4903PP13 41,L Punggung Nodular 8 2 nodul 1
8 4907PP13 63,P Nasal Basoskuamus 20 2.5 nodul 2
9 5137PP13 65,L Dahi Infiltratif 32 3.7 ulkus 3
10 5176PP13 48,P Palpebra Nodular 34 1 nodul 2
11 5319PP13 32,L Nasal Infiltratif 18 2 nodul 1
12 5380PP13 53,L Palpebra Nodular 18 4.2 nodul 2
13 533PP14 66,P Palpebra Nodular 11 2 ulkus 1
14 686PP14 57,P Nasal Nodular 16 2 ulkus 1
15 747PP14 76,L Dada Superfisial 12 2 nodul 0
16 839PP14 47,L Nasal
Nodular+Infiltr
atif 24 2 ulkus 2
17 953PP14 68,L Pipi Nodular 18 2 nodul 0
18 1113PP14 57,P Nasal Nodular 21 2 ulkus 2
19 1161PP14 81,L Nasal
Nodular+Infiltr
atif 10 2 ulkus 1
20 1837PP14 49,P Palpebra Nodular 5 2 ulkus 0
21 2047PP14 85,L Maksila Nodular 21 2 ulkus 1
22 2305PP14 61,P Oksipital Basoskuamus 13 2 nodul 1
23 2680PP14 69,L aurikula Nodular 28 2 nodul 2
24 2705PP14 60,P aurikula Nodular 21 2 nodul 0
25 2708PP14 75,P Palpebra Nodular 11 2 ulkus 1
26 3191PP14 66,L Maksila
Nodular+Infiltr
atif 24 2 ulkus 2
27 3237PP14 76,L Palpebra
Nodular+Infiltr
atif 22 2 ulkus 1
28 3639PP14 81,L Nasal
Nodular+Infiltr
atif 19 2 ulkus 1
29 4555PP14 68,L Nasal Nodular 12 2 nodul 1
30 5058PP14 83,L Palpebra Infiltratif 21 2 nodul 1
31 5271PP14 73,P Mentalis Basoskuamus 40 2 ulkus 2
32 462PP15 76,L Nasal Nodular 7 2 nodul 1
33 720PP15 47,P Oksipital Basoskuamus 52 2 nodul 1
34 980PP15 58,P Labia Infiltratif 21 2 ulkus 2
35 1145PP15 61,P Nasal Infiltratif 22 2 nodul 1
86
36 1531PP15 73,L Labia Nodular 8 2 nodul 1
37 1592PP15 59,P Nasal Nodular 18 2 ulkus 1
38 2449PP15 57,P Nasal
Nodular+Infiltr
atif 15 2 nodul 2
39 2455PP15 59,P Nasal Nodular 21 2 nodul 1
40 2489PP15 50,P Palpebra Infiltratif 16 2 nodul 3
41 3338PP15 61,L Aurikula Nodular 19 2 nodul 0
42 4774PP15 65,P Pipi Nodular 14 2 ulkus 1
43 5302PP15 52,P Maksila Basoskuamus 21 2 ulkus 1
44 199PH14 72,L Aksila Basoskuamus 28 2 ulkus 1
45 417PH14 61,P Aurikula
Nodular+Infiltr
atif 18 2 nodul 2
46 366PH 15 76,L Nasal Basoskuamus 17 1.2 plak 2
Keterangan:
L= laki-laki
P= Perempuan
I M = Indeks Mitosis
HPF = High Power Field (Lapangan Pandang Besar)
C
87
Lampiran 6. Analisis Statistik
6.1 Rerata Umur Sampel Penelitian
Group Statistics
Agresif N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Umur agresif 23 61.22 14.065 2.933
nonagresif 23 62.61 10.949 2.283
Group Statistics
JK N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Umur 1 24 65.50 14.328 2.925
2 22 58.00 8.848 1.886
6.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin
JK * Agresif Crosstabulation
Agresif
Total agresif nonagresif
JK laki laki Count 11 13 24
% within JK 45.8% 54.2% 100.0%
% within Agresif 47.8% 56.5% 52.2%
% of Total 23.9% 28.3% 52.2%
perempuan Count 12 10 22
% within JK 54.5% 45.5% 100.0%
% within Agresif 52.2% 43.5% 47.8%
% of Total 26.1% 21.7% 47.8%
Total Count 23 23 46
% within JK 50.0% 50.0% 100.0%
% within Agresif 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%
88
6.3 Uji Normalitas Variabel
Tests of Normality
Agresif
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Mitosis agresif .201 23 .017 .912 23 .045
nonagresif .112 23 .200* .951 23 .313
Ukuran (cm) agresif .390 23 .000 .699 23 .000
nonagresif .453 23 .000 .498 23 .000
% Ki-67 agresif .199 23 .018 .891 23 .017
nonagresif .109 23 .200* .938 23 .164
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
6.4 Analisis Data Indeks Proliferasi Protein Ki-67 dengan Chi Square test
Ki-67 * Agresif Crosstabulation
Agresif
Total agresif nonagresif
Ki-67 negatif Count 0 5 5
% within Ki-67 .0% 100.0% 100.0%
% within Agresif .0% 21.7% 10.9%
% of Total .0% 10.9% 10.9%
1 Count 11 13 24
% within Ki-67 45.8% 54.2% 100.0%
% within Agresif 47.8% 56.5% 52.2%
% of Total 23.9% 28.3% 52.2%
2 Count 10 5 15
% within Ki-67 66.7% 33.3% 100.0%
% within Agresif 43.5% 21.7% 32.6%
% of Total 21.7% 10.9% 32.6%
89
3 Count 2 0 2
% within Ki-67 100.0% .0% 100.0%
% within Agresif 8.7% .0% 4.3%
% of Total 4.3% .0% 4.3%
Total Count 23 23 46
% within Ki-67 50.0% 50.0% 100.0%
% within Agresif 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 50.0% 50.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 8.833a 3 .032
Likelihood Ratio 11.570 3 .009
Linear-by-Linear Association 8.077 1 .004
N of Valid Cases 46
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 1.00.
6.5 Rerata Variabel Indeks Mitosis
Report
Mitosis
Agresif Mean N Std. Deviation
agresif 21.87 23 10.341
nonagresif 16.00 23 7.090
Total 18.93 46 9.255