107
TESIS INDEKS MITOSIS DAN INDEKS PROLIFERASI PROTEIN Ki-67 LEBIH TINGGI PADA KARSINOMA SEL BASAL TIPE AGRESIF DIBANDINGKAN TIPE NON AGRESIF PUTU RATNA DARMAYANI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016

INDEKS MITOSIS DAN INDEKS PROLIFERASI …...difficulty in histopathologic diagnosis encourage efforts to find factors which plays a role in tumor aggressiveness. One method to determine

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

TESIS

INDEKS MITOSIS DAN INDEKS PROLIFERASI

PROTEIN Ki-67 LEBIH TINGGI PADA KARSINOMA

SEL BASAL TIPE AGRESIF DIBANDINGKAN TIPE

NON AGRESIF

PUTU RATNA DARMAYANI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

i

TESIS

INDEKS MITOSIS DAN INDEKS PROLIFERASI

PROTEIN Ki-67 LEBIH TINGGI PADA KARSINOMA

SEL BASAL TIPE AGRESIF DIBANDINGKAN TIPE

NON AGRESIF

PUTU RATNA DARMAYANI

NIM 114098202

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

ii

TESIS

INDEKS MITOSIS DAN INDEKS PROLIFERASI

PROTEIN Ki-67 LEBIH TINGGI PADA KARSINOMA

SEL BASAL TIPE AGRESIF DIBANDINGKAN TIPE

NON AGRESIF

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

PUTU RATNA DARMAYANI

NIM 114098202

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

iii

Lembar Persetujuan Pembimbing

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 10 November 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. A.A.A.N Susraini, Sp.PA(K) dr.Moestikaningsih,Sp.PA(K)

NIP.195903131989012001 NIP.194508021969022001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr.dr.G.N Indraguna Pinatih,MS.c,Sp.GK Prof.Dr.dr.A.A Raka Sudewi,SpS(K)

NIP.195805211985031002 NIP 195902151985102001

iv

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai

oleh Panitia Penguji pada

Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

Pada Tanggal 3 Nopember 2016

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

No : 5217/UNI4.4/HK/2016

Tanggal : 26 Oktober 2016

Panitia Penguji usulan Penelitian Tesis adalah

Ketua : dr. A.A.A.N. Susraini SpPA (K)

Anggota :

1. dr. Moestikaningsih, SpPA(K)

2. dr. Ketut Mulyadi SpPA(K)

3. Dr.dr. I.G.A Sri Mahendra Dewi SpPA (K)

4. Dr.dr. I Made Muliarta M.Kes

v

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama tama perkenanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida

Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan yang Maha Esa, karena hanya atas asung wara

nugrahaNya/kurnia Nya, karya akhir ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih

kepada dr. A.A.A.N. Susraini, SpPA (K) selaku pembimbing I dan dr.

Moestikaningsih, SpPA(K) sebagai pembimbing II, yang telah memberikan

bimbingan dan saran saran dari awal sampai karya akhir ini terselesaikan. Penulis

minta maaf karena dalam proses penyelesaian karya akhir ini penulis banyak

membuat kesalahan sehingga membuat pembimbing merasa tidak nyaman.

Ucapan yang sama juga kami sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana

Prof.Dr. dr. I Ketut Suastika SpPD(K), Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K). M. Kes, Direktur Program

Pascasarjana Prof.Dr.dr.A.A Raka Sudewi, SpS(K), serta Ketua Program Studi

Ilmu Biomedik, Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc. yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa pada program

pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini pula kami sampaikan rasa

terima kasih yang dalam kepada tim penguji, dr. Ketut Mulyadi SpPA(K), Dr. dr.

I.G.A. Sri Mahendra Dewi, SpPA(K), Dr.dr. I Made Muliarta M.Kes. yang telah

memberikan masukan, sanggahan, saran dan koreksi sehinngga karya akhir ini

dapat terwujud seperti ini. Kepada dr. I Wayan Sudana, M.Kes , Direktur Utama

Rumah Sakit Sanglah Denpasar, penulis sampaikan ucapan terima kasih karena

vii

telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis selama mengikuti

pendidikan di Rumah Sakit Sanglah. Penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada dr. Luh Putu Iin Indrayani Maker, SpPA(K) sebagai Kepala Instalasi

laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Sanglah dan dr AAAN Susraini

SpPA(K) sebagai Kepala Bagian Lab Patologi Rumah Sakit Sanglah Denpasar,

yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan

penelitian.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang tulus

kepada dr. Herman Saputra, SpPA (K), dr. Ni Made Mahastuti, SpPA, dr. Dewi

Rahayu SpPA dan dr. Maharini Rahayu SpPA, serta rekan-rekan sesama residen

yang banyak memberikan masukan dan saran serta dorongan semangat kepada

penulis, terutama dr. Herlina Eka Shinta, dr. I.B Caka Gunantara dan dr. Yolanda

Isabela Simon. Ucapan yang sama juga kami berikan kepada seluruh staf pengajar

dan senior di Lab. Patologi Rumah Sakit Sanglah Denpasar, serta seluruh staf

karyawan dan rekan-rekan sejawat residen Patologi Anatomi atas kerjasamanya

selama penulis menyelesaikan karya akhir ini.

Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada

suami tercinta I Gusti Gede Made Gustem Lasida, S.E serta anak-anakku tercinta I

Gusti Putu Abiseka Darmawaji Lasidha dan Gusti Ayu Made Brindavana Ranjani

Lasidha atas pengertian dan dukungannya selama penulis mengikuti pendidikan

spesialisasi ini. Terima kasih yang besar penulis sampaikan kepada orang tua dr. I

Wayan Sudarma dan Ibu Ketut Sri Rahayuningsih S.Pd serta adik tercinta dr. I

Made Darma Junaedi atas doa dan dukungannya. Terima kasih juga saya ucapkan

viii

kepada kedua mertua saya I Gusti Nyoman Sulastya (almarhum) dan Gusti Ayu

Nyoman Masadi serta seluruh keluarga besar atas dukungannya dan dorongan

semangatnya, serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Semoga Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu

melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.

ix

ABSTRAK

INDEKS MITOSIS DAN INDEKS PROLIFERASI PROTEIN Ki-67 LEBIH

TINGGI PADA KARSINOMA BASAL TIPE AGRESIF DIBANDINGKAN

TIPE NON AGRESIF

Karsinoma sel basal (KSB) adalah kanker kulit yang paling sering dan

insidennya semakin meningkat. Umumnya tumbuh lambat, namun ada beberapa

subtipe agresif yang bersifat destruktif, sering rekuren dan bermetastasis. Adanya

kesulitan dalam penegakan diagnosis KSB scera histopatologis mendorong upaya

untuk menemukan faktor-faktor yang berperan dalam agresivitas tumor. Salah

satu cara menilai agresivitas tumor adalah dengan menilai laju proliferasi sel

dengan menghitung indeks mitosis dan menilai indeks proliferasi protein Ki-67.

Keduanya sering digunakan dalam menentukan agresivitas dari beberapa tumor.

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan indeks mitosis dan indeks

proliferasi protein Ki67 lebih tinggi pada KSB tipe agresif, dibandingkan non

agresif.

Penelitian ini menggunakan metode analitik potong lintang. Empat puluh

enam sampel jaringan biopsi dari blok parafin dari pasien KSB, terdiri dari 23

kasus KSB agresif dan 23 kasus KSB non agresif, dipilih secara consecutive

sampling di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Denpasar dan

Laboratorium Patologi Anatomi Swasta di Denpasar dari tanggal 1 Januari 2011

sampai dengan 31 Desember 2015. Dilakukan penghitungan indeks mitosis dan

pulasan imunohistokimia Ki-67. Analisis hubungan indeks mitosis dengan

agresivitas KSB dilakukan dengan uji independent samples t-test sedangkan

indeks proliferasi protein Ki-67 dianalisis dengan uji chi-square dengan tingkat

kemaknaan α=0.05

Hasil penelitian menunjukkan indeks mitosis dan indeks proliferasi Ki67

pada KSB agresif lebih tinggi dibandingkan non agresif dan perbedaan ini

bermakna secara statistik (p=0,03 untuk indeks mitosis dan p=0,032 untuk indeks

proliferasi Ki-67).

Dari penelitian ini dapat dibuat kesimpulan bahwa indeks mitosis dan

indeks proliferasi Ki67 yang tinggi dapat digunakan untuk menilai agresivitas

dari KSB serta perlu disertakan pada pemeriksaan histopatologi rutin.

Kata kunci: karsinoma sel basal, agresif, non agresif, indeks mitosis, indeks

proliferasi protein Ki-67.

x

ABSTRACT

MITOTIC INDEX AND Ki-67 PROLIFERATIVE INDEX ARE HIGHER

IN AGGRESSIVE TYPE BASAL CELL CARCINOMA THAN NON

AGGRESSIVE TYPE

Basal cell carcinoma (BCC) is the most common type of skin cancer and

its incidence is still rising. Its usually slow-growing tumor, but several subtype of

BCC tend to grow aggressively, often recurring and even metastasize. The

difficulty in histopathologic diagnosis encourage efforts to find factors which

plays a role in tumor aggressiveness. One method to determine agressiveness of

tumor is evaluating cell proliferation. Activity of cell proliferation can be detected

by counting mitotic index and evaluate proliferative index of Ki-67 protein. Both

often used to determine tumor aggressiveness. The aim of this study to prove

mitotic index and Ki-67 proliferative index in aggressive type BCC higher than in

non aggressive type.

This study was a cross sectional analytical method. Forty six samples

parafin blocks of 23 aggressive and 23 non aggressive basal cell carcinomas was

chosen by consecutive sampling method from Pathology Anatomy Department

Udayana University/ RSUP Sanglah Denpasar and Private Pathology Anatomy

Laboratory in Denpasar from 1st January 2011 to 31

st December 2015. Next,

mitotic index was count and sample from paraffin block stained with Ki-67

immunohistochemistry. Mitotic index was analyzed with independent samples t-

test, while Ki-67 proliferative index was analyzed by chi-square test with

significancy level at α=0.05.

The result showed mitotic index and Ki-67 proliferative index were

significantly higher in aggressive BCC than non aggressive (p=0.03 for mitotic

index and p=0.032 for Ki-67 proliferative index).

High mitotic index and high Ki-67 proliferative index can be used to

examine agressiveness of BCC and need to be included in histopathological

report.

Keywords: basal cell carcinoma, aggressive, non aggressive, mitotic index, Ki-67

proliferative index.

xi

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ..................................................................................... i

SAMPUL DALAM .................................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ......................................... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT............................................ v

UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................. ix

ABSTRACT ............................................................................................... x

DAFTAR ISI .............................................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii

DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv

DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvi

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 7

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 7

1.3.1 Tujuan Umum .......................................................... 7

1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................... 7

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 8

1.4.1. Manfaat Akademik ................................................... 8

1.4.2. Manfaat Praktis ........................................................ 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................... 9

2.1 Karsinoma Sel Basal ............................................................ 9

2.1.1 Definisi ...................................................................... 9

2.1.2 Insiden Karsinoma Sel Basal .................................... 9

2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko ........................................ 10

2.1.4 Karsinogenesis KSB ................................................. 12

2.1.5 Gambaran Klinis ....................................................... 15

2.1.6 Gambaran Histopatologi ........................................... 20

2.1.7 Diagnosis ................................................................... 28

2.1.8 Diagnosis Banding ..................................................... 28

2.1.9 Terapi ....................................................................... 29

2.2 Indeks mitosis ..................................................................... 30

2.3 Struktur dan fungsi Ki-67 .................................................... 33

2.4 Imunohistokimia Ki-67 ........................................................ 35

2.5 Ki-67 dan KSB .................................................................... 38

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1.Kerangka Berpikir ............................................................... 40

3.2 Konsep Penelitian ................................................................ 43

3.3 Hipotesis Penelitian ............................................................... 44

BAB IV METODE PENELITIAN .......................................................... 45

4.1 Rancangan Penelitian .......................................................... 45

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 46

4.3 Ruang Lingkup Penelitian ................................................... 46

xii

4.4 Penentuan Sumber Data ...................................................... 45

4.4.1 Populasi ..................................................................... 45

4.4.2 Sampel ....................................................................... 47

4.4.3 Kriteria Inklusi .......................................................... 47

4.4.4 Kriteria Eksklusi ........................................................ 48

4.4.5 Besar Sampel ............................................................. 48

4.4.6 Teknik Pengambilan Sampel...................................... 49

4.5 Variabel Penelitian .............................................................. 49

4.5.1 Klasifikasi Variabel ................................................... 49

4.5.2 Definisi Operasional Variabel ................................... 49

4.6 Bahan Penelitian .................................................................. 53

4.7 Instrumen Penelitian ............................................................ 54

4.8 Prosedur Penelitian .............................................................. 55

4.8.1 Cara Pengumpulan Data ............................................. 55

4.8.2 Prosedur Pemeriksaan Bahan .................................... 55

4.8.3 Alur Penelitian .......................................................... 60

4.9 Analisis data ........................................................................ 61

BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................. 62

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ........................................... 62

5.2 Indeks Mitosis ...................................................................... 68

5.3 Indeks Proliferasi Protein Ki-67 .......................................... 69

BAB VI PEMBAHASAN ....................................................................... 68

6.1 Indeks Mitosis dengan Agresifitas KSB ............................... 71

6.3 Indeks Proliferasi Protein Ki-67 dengan Agresifitas KSB ... 72

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 77

7.1 Simpulan ............................................................................... 77

7.2 Saran ..................................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 78

LAMPIRAN……………… ........................................................................ 82

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sonic Hedgehog (SHH) ........................................................... 12

Gambar 2.2 Kerusakan akibat induksi sinar UV.......................................... 15

Gambar 2.3 Gambaran klinis KSB ............................................................. 19

Gambar 2.4 Gambaran histopatologi KSB .................................................. 26

Gambar 2.5 KSB dengan berbagai variasi diferensiasi................................ 27

Gambar 2.6 Fase-fase mitosis ..................................................................... 32

Gambar 2.7 Skema siklus sel ...................................................................... 35

Gambar 2.8 Pulasan positif Ki-67 pada KSB .............................................. 37

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian .................................................... 43

Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian .................................................... 45

Gambar 4.2 Alur penelitian .......................................................................... 60

Gambar 5.1 Grafik distribusi sampel berdasarkan lokasi ............................ 65

Gambar 5.2 Indeks proliferasi protein Ki-67 ............................................... 70

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Faktor risiko tinggi untuk KSB rekuren ..................................... 17

Tabel 5.1 Gambaran karakteristik sampel penelitian

berdasarkan variabel umur .......................................................... 63

Tabel 5.2 Distribus sampel berdasarkan jenis kelamin .............................. 63

Tabel 5.3 Gambaran karakteristik sampel penelitian

berdasarkan ukuran tumor........................................................... 64

Tabel 5.4 Gambaran karakteristik sampel penelitian

berdasarkan gambaran makroskopis ........................................... 66

Tabel 5.5 Distribusi sampel berdasarkan diagnosis histopatologi .............. 67

Tabel 5.6 Hasil analisis indeks mitosis ....................................................... 68

Tabel 5.7 Hasil analisis indeks Ki-67 ......................................................... 69

xv

DAFTAR SINGKATAN

BCNS = Basal Cell Nevus Syndrome

BCL = B Cell Lymphoma

CT scan = Computerized Tomography Scanning

DNA = Deoxyribonucleic Acid

GLI = Glioma

GIST = Gastrointestinal Stromal Tumor

Ki-67 = Protein Kiev-67

KSB = Karsinoma Sel Basal

KDa = Kilo Dalton

Kb = Kilo Basa

MMS = Moh’s Micrographic Surgery

PTCH1 = Patched Homologue 1

SE = Surgical Excision

SHH = Sonic Hedgehog

SMO = Smoothened

UV = Ultra violet

UVA = Ultraviolet A

UVB = Ultraviolet B

xvi

LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keterangan Kelaikan Etik .............................................. 82

Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian ................................................................. 83

Lampiran 3. Amandemen Surat Keterangan Kelaikan Etik ........................ 84

Lampiran 4 Amademen Surat Ijin Penelitian .............................................. 85

Lampiran 5 Data Sampel Penelitian ........................................................... 86

Lampiran 6 Analisis Statistik ...................................................................... 88

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma sel basal (KSB) adalah tumor kulit ganas yang paling sering

ditemukan. Meskipun sebagian tumor ini tumbuh lambat, namun sebagian KSB

bersifat agresif dan dapat menimbulkan kematian. Faktor risiko dari tumor ini

diduga berkaitan dengan pengaruh radiasi sinar ultraviolet, terutama pada wilayah

yang dekat ekuator bumi. Kanker ini sering ditemukan pada ras orang kulit putih

(Kaukasia) yang secara alamiah kurang memiliki pertahanan terhadap paparan

radiasi sinar ultraviolet. Adanya pengaruh iklim yang semakin memanas akibat

pemanasan global dan penipisan lapisan ozon semakin meningkatkan risiko

terpapar radiasi sinar ultraviolet sehingga memicu peningkatan insiden KSB.

Secara definisi, karsinoma sel basal (KSB) merupakan kelompok tumor

ganas kutaneus yang ditandai oleh adanya sel-sel basal (germinatif) yang

membentuk struktur lobulus, kolom, atau lembaran (Kossard et al., 2006). Tumor

ini merupakan kanker kulit yang paling sering dan insidennya semakin meningkat

(Mosterd et al., 2009). KSB sering berkembang pada ras Kaukasia dengan risiko

rata-rata sekitar 30%. Insiden tertinggi ditemukan di Australia yaitu 1383 kasus

baru per 100.000 populasi per tahun (Samarasinghe et al., 2006). Rata-rata KSB

meningkat pada kelompok usia tua. Di Indonesia, insiden kanker kulit pada tahun

2011 menempati peringkat ke lima dari 10 tumor tersering di Indonesia. Di Bali,

kanker kulit menempati peringkat ke enam dari 10 tumor tersering di Bali pada

tahun 2011 (Dit Yan Med, 2011).

2

Etiologi dari kanker ini multifaktorial dan merupakan kombinasi dari

faktor genotipik, fenotipik, dan lingkungan. Namun faktor risiko yang signifikan

adalah radiasi sinar ultraviolet. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya insiden pada

daerah di dekat ekuator (Samarasinghe et al .,2006). Karsinoma sel basal terutama

terjadi pada kulit yang terpapar matahari, akibat kegagalan perbaikan stem cells

keratinositik karena kerusakan DNA oleh sinar matahari (Patterson et al., 2006).

Daerah wajah dan leher merupakan lokasi yang paling sering mengalami KSB

(Telfer et al., 2008).

Gen yang diduga berkaitan dengan KSB adalah Patched homologue 1

(PTCH), smoothened (SMO) dan p53. Gen PTCH merupakan tumor-supressor

protein yang berperan dalam jalur sinyal Sonic Hedgehog. Adanya mutasi pada

gen PTCH1 menyebabkan terbentuknya protein cacat yang tidak dapat berikatan

dengan SMO maupun menonaktifkan SMO. Akibatnya SMO menjadi aktif dan

menimbulkan proliferasi sel (Crowson, 2006; Goppner and Leverkus, 2010).

Kerusakan yang diinduksi oleh sinar UV menyebabkan terbentuknya p53 mutant,

menyebabkan siklus sel tidak terhenti sehingga perbaikan DNA tidak terjadi dan

sel tidak mengalami jalur apoptosis. Akibatnya terjadi replikasi sel dan bila

disertai instabilitas genomik lain dapat mengarah pada perkembangan keganasan.

Faktor fisik yang sering dihubungkan sebagai faktor risiko KSB yakni orang

dengan kompleksi kulit putih tipe-I dan tipe II, termasuk rambut berwarna merah

atau pirang, atau mata yang berwarna cerah, disertai freckling (Yalcin et al.,

2011). Faktor risiko yang lain adalah radiasi ionisasi, fotokemoterapi intensif, dan

intoksikasi arsenik (Selim et al., 2009).

3

Secara umum, tumor ini biasanya tumbuh lambat dan bersifat lokal

destruktif dan jarang bermetastasis dengan angka rata-rata metastasis < 0,1%

(Ionescu et al., 2006). Namun ada beberapa subtipe karsinoma sel basal yang

bersifat agresif yakni dapat menginfiltrasi jaringan yang lebih dalam, sering

rekuren dan mampu bermetastasis (Bartos et al., 2012). Keterlambatan

penanganan KSB dapat menimbulkan destruksi jaringan luas, perubahan bentuk,

perluasan ke tulang rawan, otot, tulang bahkan dapat meluas ke intrakranial dan

pada akhirnya menimbulkan kematian (Samarasinghe et al., 2006). Karsinoma sel

basal juga dapat menimbulkan jaringan parut dan berkaitan dengan beberapa

sindrom penyakit seperti basal cell nevus (Gorlin-Goltz) syndrome dan

xeroderma pigmentosum. Kematian yang ditimbulkan oleh kanker kulit termasuk

karsinoma sel basal memang rendah yaitu sekitar 5-10% namun akibat yang

ditimbulkan oleh terapi sangat besar yaitu dapat menimbulkan cacat kosmetik

sehingga menimbulkan efek psikologis yang merugikan pada pasien (Bolshakov

et al., 2008).

Karsinoma sel basal merupakan salah satu kanker yang memiliki beberapa

subtipe dengan gambaran histomorfologi yang bervariasi. Berdasarkan sifat

biologis dan prognosis, KSB dibagi menjadi dua kelompok subtipe histologis

yakni tipe non agresif dan agresif . Yang termasuk subtipe histologis non agresif

yaitu superfisal, dan nodular (Bartos et al., 2012). Sedangkan yang termasuk

subtipe histologis agresif yaitu morfea, infiltratif, metatipikal dan mikronodular

(Crowson, 2006; Bartos et al., 2012; Kauvar et al., 2015). Adapun faktor resiko

klinis yang berkaitan dengan perangai tumor yang agresif antara lain lokasi di

4

wajah, ukuran tumor yang besar, riwayat sindrom genetik, riwayat radiasi dan

imunosupresi (Kauvar et al., 2015).

Penegakan diagnosis KSB ditentukan berdasarkan klinis, pemeriksaan

dermatoscopy atau dermoscopy, dan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan

histopatologi sangat penting untuk menentukan subtipe KSB agresif dan non

agresif karena berpengaruh dalam menentukan terapi dan prognosis pasien.

Namun kadangkala ditemui kesulitan dalam menegakkan diagnosis secara

histopatologi karena beberapa kasus KSB memiliki kesamaan dengan lesi yang

lain. Akibatnya bisa terjadi kesalahan diagnosis dan penentuan subtipe. Selain itu

sering ditemukan kurang lengkapnya pelaporan KSB terkait parameter yang

berkaitan dengan agresivitas tumor seperti indeks mitosis, kedalaman invasi, dan

invasi perineural.

Kesulitan dalam penegakan diagnosis KSB secara histopatologis

mendorong upaya-upaya lain untuk menemukan faktor prognostik dan prediktif

yang berperan dalam pertumbuhan agresif tumor. Untuk itu diperlukan suatu

upaya untuk mengidentifikasi faktor resiko yang berperan dalam perkembangan

KSB menjadi lesi yang lebih agresif, dengan potensi untuk rekurensi dan

metastasis. Dengan adanya perkembangan teknologi molekuler patologi dan

biologi maka terdapat upaya untuk mengidentifikasi beberapa biomarker pada

jaringan tumor yang berperan dalam pertumbuhan agresif tumor dengan

pemeriksaan imunohistokimia (Bartos et al., 2012, Haroon et al., 2013).

Salah satu hallmark penting perkembangan tumor secara biologi adalah

proliferasi sel. Parameter ini sering dikaitkan dengan agresivitas tumor dan

5

sebagai faktor prognosis perkembangan tumor (Haroon et al., 2013). Derajat

proliferasi sel yang tinggi secara umum berhubungan dengan pertumbuhan tumor

yang cepat dan perangai biologis serta klinis yang lebih agresif (Bartos et al.,

2012). Aktivitas proliferasi sel dapat diketahui dengan metode yang paling

sederhana yaitu menghitung indeks mitosis. Indeks mitosis telah menjadi “gold

standar” dalam menentukan agresivitas dari beberapa tumor (Devianti et al,

2012). Indeks mitosis juga digunakan dalam menentukan derajat diferensiasi dari

beberapa tumor seperti kanker payudara dan tumor neuroendokrin. Namun pada

KSB sangat jarang diteliti mengenai hubungan indeks mitosis dengan agresivitas

tumor. Satu penelitian mengenai indeks mitosis pada KSB yakni penelitian Pirici

pada tahun 2011 yang menyebutkan bahwa indeks mitosis yang tinggi pada KSB

berkaitan dengan agresivitas tumor.

Aktivitas proliferasi dari kanker juga dapat dideteksi dengan pemeriksaan

imunohistokimia menggunakan antibodi yang melawan antigen Ki-67. Antigen

Ki-67 adalah salah satu penanda proliferatif sel yang paling reliabel (Selim et al.,

2009). Antigen ini merupakan protein non-histon yang diekspresikan pada semua

fase siklus sel aktif. Ki-67 saat ini merupakan penanda aktivitas proliferatif

tumor yang lebih baik dibandingkan aktivitas mitosis (Kramer et al., 2014).

Penilaian ekspresi protein Ki-67 dinilai dalam bentuk indeks proliferasi. Ekspresi

Ki-67 dikaitkan dengan derajat diferensiasi pada kebanyakan tumor. Beberapa

penelitian menunjukkan ekspresi Ki-67 paling tinggi pada karsinoma

berdiferensiasi buruk (Devianti et al., 2012). Ekspresi Ki-67 pada sel neoplastik

digunakan sebagai pengukuran kuantitatif untuk mengetahui status proliferasi dan

6

termasuk dalam indikator prognostik dasar dalam laporan histopatologi rutin

(Bartos et al., 2012).

Beberapa penelitian mengenai hubungan ekspresi Ki-67 dengan varian

histologis karsinoma sel basal telah dilakukan dan dengan hasil yang masih

menjadi perdebatan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tumor KSB tipe

agresif memiliki ekspresi Ki-67 yang lebih tinggi dan berperan sebagai faktor

prognostik (Chuprov, 2008; Selim et al., 2009; Rosakawati, 2010). Namun

terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan hasil yang berlawanan yakni

bahwa tidak adanya perbedaan signifikan ekspresi Ki-67 pada KSB tipe non

agresif dan agresif sehingga tidak berperan sebagai faktor prognostik (Correa et

al., 2009; Kramer et al., 2014).

Jarangnya penelitian mengenai indeks mitosis terkait dengan agresivitas

KSB dan adanya kontroversi mengenai peran ekspresi Ki-67 sebagai penentu

agresivitas pada KSB menjadi latar belakang untuk melakukan penelitian ini.

7

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas, maka rumusan masalah

pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah indeks mitosis lebih tinggi pada KSB tipe agresif dibandingkan

KSB tipe non agresif?

2. Apakah indeks proliferasi protein Ki-67 lebih tinggi pada KSB tipe agresif

dibandingkan KSB tipe non agresif?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum:

Untuk menilai peran indeks proliferasi sel sebagai salah satu faktor prognostik

dan prediktif pada KSB tipe agresif dan tipe non agresif.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk membuktikan bahwa indeks mitosis lebih tinggi pada KSB tipe agresif

dibandingkan tipe non agresif.

2. Untuk membuktikan bahwa indeks proliferasi protein Ki-67 lebih tinggi pada

KSB tipe agresif dibandingkan tipe non agresif.

8

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Apabila penelitian ini terbukti, maka indeks mitosis dan indeks proliferasi protein

Ki-67 yang tinggi dapat dipakai untuk menjelaskan mekanisme sifat agresif dari

KSB.

1.4.2 Manfaat Praktis

Dapat digunakan sebagai faktor prognostik dan prediktif yakni jika KSB tipe

agresif memiliki indeks mitosis dan indeks proliferasi Ki-67 yang lebih tinggi

maka akan mempunyai prognosis yang lebih buruk, rekurensi yang lebih tinggi

dan kecenderungan bermetastasis, karena itu perlu dilakukan follow up pasien

serta penanganan pasien yang lebih intensif.

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Karsinoma Sel Basal

2.1.1 Definisi

Karsinoma sel basal (KSB) adalah kelompok tumor ganas kutaneus yang

ditandai dengan gambaran morfologi sel-sel germinatif yang tersusun dalam

bentuk lobulus, kolom atau pita (Kossard et al.,2006). Pada tahun 1903,

Krompecher pertama kali menamakan tumor sebagai sel basal karena memiliki

kemiripan dengan sel keratinosit basal epidermal (Patterson and Wick 2006).

Tumor ini berasal dari lapisan terbawah epidermis maupun dari lapisan terluar

dari akar folikel rambut (Weedon, 2006).

2.1.2 Insiden Karsinoma Sel Basal

Karsinoma sel basal (KSB) hingga saat ini merupakan keganasan kutaneus

yang tersering, meliputi 70% keganasan yang melibatkan kulit (Patterson and

Wick, 2006). Angka insiden KSB meningkat 10% per tahun di seluruh dunia

(Cigna et al., 2010). KSB paling sering terjadi pada kulit yang terpapar sinar

matahari. Insiden KSB bervariasi di seluruh dunia, lebih tinggi pada daerah yang

mendekati ekuator. Insiden tertinggi ditemukan di Australia yaitu 1383 kasus baru

per 100.000 populasi per tahun. KSB bisa terjadi pada semua tipe kulit namun

lebih sering terjadi pada individu dengan kulit terang (kulit tipe 1 atau 2) seperti

pada ras Kaukasia dan pada orang albino yang secara genetik tidak memiliki

pigmen melanin sebagai pertahanan alamiah terhadap sinar matahari (Yalcin et

10

al., 2011. Pada ras Kaukasia tumor ini berkembang dengan risiko rata-rata 30%

(Samarasinghe et al., 2006).

Tumor ini paling sering dialami oleh usia paruh baya hingga orangtua namun

bisa juga terjadi pada usia dewasa muda. KSB yang berkembang pada anak-anak

biasanya berkaitan dengan sindrom yaitu basal cell nevus syndrome (Gorlin-Goltz

syndrome) dan xeroderma pigmentosum (Crowson, 2006; Kauvar et al, 2015).

Sekitar 5-15% kasus KSB terjadi pada usia antara 20 dan 40 tahun. KSB dengan

pertumbuhan agresif sering ditemukan pada pasien usia muda kurang dari 35

tahun, dibandingkan dengan pasien yang lebih tua (Yalcin et al., 2011).

Di Indonesia, kanker kulit menempati peringkat ke lima dari 10 tumor

tersering di Indonesia pada tahun 2011 dan mencapai 1246 kasus, terdiri dari 595

kasus laki-laki dan 618 kasus wanita. Di Bali, kanker kulit menempati peringkat

ke enam dari 10 tumor tersering di Bali pada tahun 2011 yaitu sebanyak 62 kasus.

Dari 62 kasus tersebut terdiri dari 34 penderita laki-laki dan 28 penderita wanita

dengan prevalensi tertinggi pada usia 55-64 tahun yakni sebanyak 21 kasus (Dit

Yan Med, 2011).

2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi dari kanker ini adalah multifaktorial dan merupakan kombinasi dari

faktor genotipik, fenotipik, dan lingkungan. Namun faktor risiko yang signifikan

adalah radiasi sinar ultraviolet (Samarasinghe et al., 2006). Radiasi UVB dapat

menyebabkan kerusakan langsung pada DNA dan RNA dengan menginduksi

pembentukan ikatan kovalen antara pirimidin yang berdekatan sehingga terjadi

pembentukan produk mutagenik. UVA kurang mutagenik dibandingkan UVB dan

11

menyebabkan kerusakan DNA secara tidak langsung melalui stres foto-oksidatif,

menimbulkan pembentukan spesies oksigen reaktif, yang berinteraksi dengan

lipid, protein dan DNA (Cigna et al., 2010). Perkembangan KSB dipengaruhi oleh

durasi (sejak anak-anak, atau dewasa), pola (intermiten atau kontinyu), dan

jumlah (paparan sinar matahari kumulatif) (Goppner and Leverkus, 2010).

Berdasarkan hasil analisis genetik ditemukan mutasi pada PTCH1, (terletak

pada kromosom 9q22.30) sebagai penyebab basal cell nevus syndrome (BCNS),

yakni suatu kelainan autosomal dominan yang jarang dimana pada pasien yang

mengalami sindrom ini akan berkembang menjadi KSB multipel sejak masa

kanak-kanak. PTCH1 mengkode protein yang berfungsi sebagai inhibitor pada

jalur sinyal hedgehog. KSB timbul apabila terjadi abnormalitas pada jalur sinyal

tersebut. Terdapat mutasi smoothened pada 10% KSB yang mengkode suatu

protein yang fungsinya dihambat oleh protein patched 1 (Kossard et al., 2006).

Mutasi pada p53 ditemukan pada 50% kasus KSB sporadik (Crowson, 2006).

Faktor fisik yang sering dihubungkan sebagai faktor risiko KSB yakni orang

dengan kompleksi kulit putih tipe-I dan tipe II. Kompleksi kulit tipe I termasuk

rambut berwarna merah atau pirang, atau mata yang berwarna cerah, disertai

freckling. Individu ini dengan kulit yang mudah terbakar, dan tidak pernah

menjadi coklat setelah berjemur. Orang dengan kompleksi kulit tipe 2 berkulit

terang, mudah terbakar dan sedikit coklat setelah berjemur (Yalcin et al., 2011).

Paparan arsenik, radiasi ionisasi, penggunaan oral metoksalen (psoralen), dan

terapi imunosupresi seperti penerima transplantasi organ juga merupakan faktor

risiko terjadinya KSB (Goppner and Leverkus, 2010).

12

KSB biasanya terjadi pada kulit yang terpapar matahari. Sekitar 85% KSB

terjadi pada daerah kepala yang terpapar matahari dan leher (Frankel and

Goldenberg, 2011). Hal ini mengindikasikan kegagalan stem cells keratinositik

untuk memperbaiki kerusakan DNA akibat solar. Namun terdapat KSB yang

muncul pada area yang terlindung dari matahari seperti abdomen, punggung,

bokong, perineum, genitalia, ekstremitas proksimal, permukaan plantar dan area

interdigital (Patterson and Wick, 2006). Pasien dengan lokasi KSB yang tidak

biasa tersebut sebagian memiliki riwayat radioterapi pada kondisi yang tidak

berkaitan (Elder et al., 2006).

2.1.4 Karsinogenesis KSB

Gangguan pada jalur sinyal Sonic hedgehog (SHH) yang berperan dalam

perkembangan vertebra muncul baik pada KSB heredofamilial dan juga pada KSB

sporadik. Gen PTCH mengkode reseptor untuk protein yang memproduksi gen

sonic hedgehog, yaitu keluarga dari gen hedgehog (HH) yang menentukan

polaritas selama perkembangan embrional (Kumar et al., 2013). Protein sonic HH

(SHH) berikatan dengan tumor-supressor protein Patched homologue 1 (PTCH1)

yang terletak pada kromosom 9q22-q31. Pada kondisi normal, kebanyakan pada

orang dewasa, jalur hedgehog ditekan secara aktif oleh PTCH1 yang secara

konstan menghambat smoothened (SMO). SMO adalah protein transmembran

lainnya yang mentransmisikan sinyal sebagai mekanisme down regulated. Target

downstream dari SMO termasuk keluarga faktor transkripsi glioma (GLI). Mutasi

pada gen PTCH1 menimbulkan terbentuknya protein cacat yang tidak dapat

13

berikatan dengan SMO maupun menonaktifkan SMO. Akibatnya SMO menjadi

aktif dan menimbulkan proliferasi sel. Hal ini disajikan pada gambar 2.1. Mutasi

pada SHH, SMO, dan GLI dapat menimbulkan perubahan pada jalur sinyal SHH

(Crowson, 2006; Goppner and Leverkus, 2010; Kumar et al., 2014).

Gambar 2.1

Sonic Hedgehog (SHH) berinteraksi dengan reseptor kompleks protein

transmembran Patched homologue 1 (PTCH1) dan protein smoothened (SMO).

Ikatan antara SHH dengan PTCH1 menghambat SMO untuk menghantarkan

sinyal ke inti yaitu faktor transkripsi glioma (GLI). Kehilangan fungsional dari

PTCH1 menimbulkan sinyal transduksi oleh SMO dan mengaktivasi gen target

(Madan et al., 2010).

KSB juga mengekspresikan protein p53 dan hal ini terutama terjadi pada

varian pertumbuhan agresif. Mutasi pada p53 ditemukan pada 50% kasus KSB

sporadik. Mutasi p53 juga ditemukan pada mayoritas karsinoma sel basal yang

terjadi pada pasien xeroderma pigmentosum. Xeroderma pigmentosum

merupakan suatu penyakit kelainan autosom resesif ditandai oleh fotosensitifitas,

perubahan pigmen, penuaan kulit prematur dan perkembangan tumor kutaneus

14

ganas akibat hipersensitiftas seluler terhadap radiasi ultraviolet. Pada xeroderma

pigmentosum terjadi defek pada nucleotide excision repair (NER) sehingga

tedapat gangguan pada perbaikan DNA karena radiasi sinar ultraviolet. Saat ini

ada 8 tipe xeroderma pigmentosum yakni XPA hingga XPG serta tipe dominan

(Subhas et al., 2013).

Kerusakan yang diinduksi oleh sinar UV menyebabkan konversi dari p53

wild-type menjadi p53 mutant. P53 wild-type menimbulkan penghentian siklus sel

melalui produk jalur gen p21/retinoblastoma sehingga terjadi perbaikan DNA.

Protein ini juga memicu apoptosis pada sel rusak yang tidak dapat diperbaiki

melalui sistem bcl/bax. Sebaliknya P53 mutant tidak menimbulkan penghentian

siklus sel. Sebagai konsekuensinya, perbaikan DNA tidak terjadi dan sel tidak

mengalami jalur apoptosis, sehingga dapat bereplikasi dan dengan adanya

instabilitas genomik lain dapat mengarah pada perkembangan keganasan. Hal ini

disajikan pada gambar 2.2 (Crowson, 2006; Heller, 2012).

15

Gambar 2.2.

Kerusakan akibat induksi sinar UV menyebabkan konversi p53 wild-type menjadi

menjadi p53 mutant yang tidak menimbulkan penghentian siklus sel sehingga

terjadi proliferasi sel yang bisa mengarah menjadi keganasan (Crowson, 2006).

2.1.5 Gambaran Klinis

Lokasi predileksi karsinoma sel basal yaitu pada area badan yang terpapar

sinar matahari. Area yang paling sering adalah kepala dan leher yaitu sekitar 85%

kasus (Frankel and Goldenberg, 2011). Lokasi lain yaitu badan (15 % kasus),

lengan dan tungkai. KSB juga dapat muncul pada area yang tidak terpapar

matahari termasuk aksila, payudara, area perianal, genitalia, telapak tangan dan

telapak kaki (Patterson and Wick, 2006).

Secara umum perkembangan kanker ini memerlukan waktu yang lama,

pertumbuhannya lambat, tetapi memiliki kecenderungan lokal destruktif dan

dengan metastasis sangat jarang yakni berkisar 0,1 % dengan lokasi metastatik

pada paru dan skeletal (Samarasinghe et al., 2006). Angka kematian KSB yang

termasuk keganasan kutaneus non melanoma umumnya rendah, hanya sekitar 5-

10% per tahun, akan tetapi akibat yang timbul dari terapinya dapat menimbulkan

efek psikologis yang buruk bagi pasien antara lain cacat kosmetik terutama bila

16

lesinya terletak di daerah kepala dan leher, kehilangan fungsi, dan biaya

pengobatan yang mahal (Bolshakov et al., 2008). Tumor ini menimbulkan akibat

yang buruk bila terlambat ditangani yakni menimbulkan destruksi jaringan luas,

perubahan bentuk, perluasan ke tulang rawan, otot, tulang bahkan dapat meluas ke

intrakranial dan pada akhirnya menimbulkan kematian (Samarasinghe et al.,

2006). Bila tumor ini sudah bermetastasis ke kelenjar limfonodi regional, tulang,

hati, dan paru, maka prognosisnya menjadi buruk dengan rata-rata angka survival

hanya 3,6 tahun setelah diagnosis (Heller et al., 2012).

Adapun faktor risiko tinggi untuk KSB dengan pertumbuhan agresif yang

cenderung rekurensi dan bermetastasis yaitu meliputi lokasi, ukuran, batas,

subtipe patologis, keterlibatan perineural dan lesi primer atau rekuren (Kauvar et

al., 2015).

17

Tabel 2.1. Faktor risiko untuk KSB rekuren (Kauvar et al., 2015)

Faktor tumor

- KSB dengan lokasi anatomis risiko tinggi (area topeng pada wajah

termasuk wajah bagian sentral, region periokular, kelopak mata, alis,

hidung, perioral, bibir, pipi, mandibula, telinga, preaurikular, post-

aurikuler, tangan, kaki, genitalia)

- KSB dengan diameter > 1 cm pada lokasi risiko sedang (pipi, dahi, scalp,

leher)

- KSB dengan diameter > 2 cm pada daerah dada dan ekstremitas

- KSB dengan batas tidak tegas

- KSB dengan pola histologis agresif (morfea, infiltratif, mikronodular,

metatipikal/basoskuamus)

- KSB dengan keterlibatan perineural

- KSB rekuren

Faktor pasien

- KSB pada lokasi terapi radiasi, luka bakar

- KSB pada pasien < 40 tahun

- KSB pada pasien imunosupresi

- KSB pada pasien dengan sindrom genetik

- KSB pada jaringan parut kronik, ulkus, inflamasi

- KSB pada pasien dengan riwayat tumor dengan perangai agresif

18

Manifestasi klinis dari KSB bervariasi, mulai dari lesi papulonodular dengan

permukaan mengkilat, lesi ulkus destruktif (ulkus roden), lesi dengan warna pucat

dengan berbagai derajat indurasi, fokus eritema dengan telangiaktasia, atau nodul

kistik. Pernah juga dilaporkan lesi yang berukuran besar dengan diameter > 20 cm

(Vantuchova and Curik, 2006).

Kebanyakan kasus KSB menunjukkan gambaran klasik lesi nodular terdiri

dari papul atau nodul dengan telangiektasia dan tepi menggulung, terkadang

dengan ulserasi (Kossard et al., 2006). Beberapa lesi memberikan gambaran

seperti kista karena berwarna jernih dan konsistensi kenyal. (Vantuchova and

Curik, 2006).

Pada bentuk superfisial, lesi berupa makular eritema berbatas tegas dengan

tepi mengkilat atau erosi superfisial sentral, sering multipel dengan diameter

ukuran bervariasi mulai dari beberapa millimeter hingga lebih dari 10 cm

(Kossard et al., 2006). Pada KSB nodular dan superfisial dapat mengalami

pigmentasi sehingga menyerupai melanoma maligna (Elder et al., 2006). Bentuk

lain dari variasi klinis yaitu bentuk morfea atau sklerosing, yaitu lesi sikatrik

berbatas tidak tegas , berwarna kuning atau putih, menyerupai skleroderma.

Tumor ini biasanya dengan permukaan rata dengan manifestasi klinis tergantung

ukuran komponen fibrotik (Vantuchova and Curik, 2006). Gambaran klinis dari

KSB disajikan pada gambar 2.3.

19

Gambar 2.3. Gambaran Klinis

A.Ulkus roden, berupa ulkus destruktif dan tepi tidak rata seperti gigitan tikus

B.KSB Superfisial berupa makular eritema batas tegas, tepi mengkilat C. KSB

Morpheiform/ Infiltrative berupa lesi sikatrik batas tidak tegas D. KSB nodular

dengan hiperpigmentasi E. KSB Nodular berupa lesi papul/nodul dengan

telangiektasia, F.KSB Nodulokistik, berupa kista berwarna jernih, kenyal

(Dikutip dari Crowson 2006; Samarasinghe et al., 2006; Yalcin et al., 2011).

A

A

B

A

C D

E F

20

2.1.6 Gambaran Histopatologi

Diagnostik histologis dan klasifikasi KSB sangat penting untuk menentukan

tipe tumor dan perangai biologis. Berdasarkan klasifikasi WHO tumor kulit tahun

2006, KSB (kode ICD-O 8090/3) dibagi menjadi superfisial, nodular,

mikronodular, infiltrating, fibroepithelial, KSB dengan diferensiasi adneksa,

basoskuamus, keratotik dan varian lain (adenoid, morfea, infundibulokistik,

pigmented) (Kossard et al., 2006).

1. KSB superfisial (Kode ICD-O 8091/3)

KSB superfisial sering ditemukan pada usia yang lebih muda dan meliputi

10-15% KSB (Vantuchova and Curik, 2006). KSB ini sering terjadi pada

dada. KSB tipe ini ditandai oleh lobulus sel basal yang berproyeksi dari

epidermis atau dari folikel dan duktus ekrin ke arah dermis serta

dikelilingi oleh stroma miksoid longgar. Lobulus biasanya terbatas pada

papilari dermis. Mitosis dan sel apoptotik biasanya jarang. Sering disertai

dengan sebaran limfosit (Crowson, 2006; Kossard et al., 2006)

2. KSB nodular (Kode ICD-O 8097/3)

KSB nodular merupakan bentuk yang paling sering KSB ditemukan,

meliputi 30-75% dari keseluruhan KSB (Vantuchova and Curik, 2006).

Beberapa observer menyebutnya dengan KSB nodulokistik. Tipe KSB ini

menunjukkan papul atau nodul mengkilat dengan tepi menggulung dan

telangiektasia. Bentuk nodular KSB ditandai dengan sel- sel basaloid yang

membentuk lobulus besar dengan susunan palisading di bagian perifer dan

sel yang tersusun tidak teratur di bagian sentral, pada papilari dermis atau

21

retikuler demis disertai retraksi slit-like dari stroma di sekitarnya. Lobulus

tersebut bisa berkaitan dengan degenerasi musinus disertai kista atau

dengan pola adenoid (kribriform). Stroma di sekitarnya menunjukkan

perubahan miksoid. Mitosis dan nekrosis sel individual jarang. Dapat

ditemukan diferensiasi sebaseus maupun ekrin, dan pada sepertiga kasus

menunjukkan komponen superfisial. Pigmentasi melanin pada sel tumor

dan pada histiosit normal dapat pula ditemukan. Bagian dermis bisa

menunjukkan solar elastosis (Crowson, 2006; Kossard et al., 2006,

Vantuchova and Curik, 2006).

3. KSB mikronodular (Kode ICD-O8090/3)

KSB mikronoduler ini bisa bermanifestasi sebagai lesi indurasi

menyerupai plak dengan kontur berbatas tidak tegas. Lokasi paling sering

di punggung. Lesi ini bisa sulit diangkat sehingga memiliki insiden

rekuren yang meningkat. KSB mikronoduler bermanifestasi sebagai sarang

tumor dengan kontur nodular dan ukuran yang sama, hanya berukuran

kecil dan terdistribusi luas terkadang asimetris. Sarang-sarang tumor kecil

monoton ini disertai proliferasi stromal menyerupai pertumbuhan infiltratif

KSB. Sarang tumor itu rata-rata seukuran follicular bulbs serta meluas ke

dermis dan/atau subkutis. Ruang retraksi jarang. Bisa terjadi perluasan

perineural. Adanya stroma miksoid atau kolagen menunjukkan lesi ini bisa

merupakan tahap intermediet antara subtipe nodular dan agresif (Crowson,

2006; Kossard et al., 2006).

22

4. KSB infiltrating (Kode ICD-O 8092/3)

KSB biasanya berupa plak pucat dengan indurasi dan batas tidak tegas.

Tumor ini biasa ditemukan pada dada bagian atas atau wajah. Subtipe

infiltratif menunjukkan gambaran sarang sel tumor tersusun dalam

lembaran,kolom atau pita dengan bentuk dan ukuran yang ireguler, sering

dengan gambaran angulasi pada bagian perifer, fokus-fokus retraksi slit-

like dan aktivitas mitosis yang sering serta terdapat nekrosis sel neoplastik

individual. Gambaran tipikal berupa sel tumor yang membentuk lembaran

memanjang dengan ketebalan 5-8 sel. Sekitar sepertiga kasus bercampur

dengan komponen nodular. Infiltrasi perineural sering ditemukan pada

varian ini, seperti halnya KSB morfea. Tumor ini biasanya berbatas tidak

tegas dan menunjukkan invasi pada subkutis dan jaringan otot di

sekitarnya. (Crowson, 2006; Kossard et al., 2006, Vantuchova and Curik,

2006).

5. KSB fibroepitelial (8093/3)

Tumor ini muncul sebagai nodul eritema yang meninggi menyerupai

keratosis seboroik. Lesi ini sering ditemukan di punggung dan jarang

multiple. Radioterapi menjadi salah satu pemicu timbulnya tumor ini.

Gambaran histopatologi ditandai dengan sel-sel basaloid yang membentuk

lembaran bercabang yang meluas dari epidermis membentuk pola tertentu.

Lembaran sel basaloid tersebut dikelilingi stroma fibrovaskular (Kossard

et al., 2006).

23

6. KSB dengan diferensiasi adneksa (Kode ICD-O 8098/3)

Varian ini ditandai dengan keberadaan diferensiasi adneksa termasuk

elemen basaloid buds, duktal, sebaseuus, apokrin, ekrin, dan trichilemmal.

Diferensiasi folikular lebih prominen pada KSB superfisial. Tumor ini

harus dibedakan dengan karsinoma kelenjar keringat yang memilikir risiko

lebih tinggi untuk bermetastasis (Kossard et al., 2006).

7. KSB basoskuamus/ metatipikal (Kode ICD-O8094/3)

KSB metatipikal juga disebut sebagai karsinoma basoskuamus oleh

beberapa penulis. Tumor ini merupakan bentuk agresif KSB yang

infiltratif berupa sel tumor membentuk pola palisading perifer dengan

gambaran morfologi basal yang bercampur dengan area yang membentuk

intercelullar bridge dan/atau keratinisasi sitoplasmik. Inti memiliki

kromatin vesikuler, pleomorfik dengan susunan palisading yang

menghilang. Tumor ini harus dibedakan dengan KSB keratotik yang lebih

sering pada KSB nodular dengan diferensiasi skuamus sentral. KSB

metatipikal juga subtipe KSB yang sering dikelirukan dengan karsinoma

sel skuamosa (Crowson, 2006, Kossard et al., 2006)

8. KSB keratotik (Kode ICD-O 8090/3)

Varian ini muncul sebagai kista keratin kecil yang mengkilat. Gambaran

tumor ini memiliki keseluruhan arsitektur KSB nodular hanya saja

terdapat bagian yang mengandung keratinisasi laminar dengan tipe

infundibular, hialin atau trichilemmal. Selain itu terdapat sel bayangan

24

dengan keratinisasi yang menyerupai diferensiasi pilomatrikomal

(Kossard et al., 2006).

9. Varian lain

Varian lain mencakup kurang dari 10% karsinoma sel basal. Termasuk di

dalamnya yaitu morfea. KSB morfea atau sclerosing ditandai dengan

lembaran sel basal dengaan ketebalan 1 sampai 2 sel di antara stroma

kolagen padat, menyerupai stroma pada perubahan kulit morfea. Sel

individual nekrosis dan aktivitas mitosis tinggi. Retraksi slit-like dari

stroma biasanya lebih jarang dibandingkan KSB nodular dan superficial.

Batas sel biasanya tidak jelas, menunjukkan invasi luas pada retikuler

dermis dan jaringan subkutaneus. (Crowson, 2006; Patterson and Wick,

2006).

Agresivitas pada KSB ditandai oleh sejumlah faktor risiko, termasuk

pemilihan terapi definitif sebelumnya, stadium T4, gambaran histologis subtipe

agresif, dan invasi perineural (Koyfman et al., 2014). Secara umum, rekurensi

pada KSB ditemukan pada KSB yang sejak awal merupakan KSB agresif, dan

pada kebanyakan kasus dapat diprediksi dari gambaran histologis tumor awal

(Weedon, 2006).

Berdasarkan konsensus penanganan kanker kulit non melanoma tahun 2015,

KSB dibagi menjadi subtipe histologis dengan perangai pertumbuhan agresif dan

non agresif (Kauvar et al, 2015). Perlunya pembagian subtipe secara histologis

karena KSB dengan subtipe histologis agresif lebih cenderung untuk mengalami

rekuren bila tidak dilakukan eradikasi komplit. Yang termasuk subtipe histologis

25

non agresif yaitu superfisal, dan nodular (Bartos et al., 2012). Sedangkan yang

termasuk subtipe histologis non agresif yaitu morfea, infiltratif, metatipikal atau

basoskuamus dan mikronodular (Crowson, 2006; Bartos et al., 2012, Kauvar et

al., 2015).

Faktor-faktor predisposisi histopatologik yang terkait dengan metastasis

tumor yaitu kedalaman invasi (T4 pada klasifikasi TNM), dengan batas “spiky”

ireguler, invasi perineural, ulserasi superfisial atau erosi, invasi vaskuler, dan

kepadatan sel radang (Ionescu et al., 2006).

KSB juga memiliki berbagai variasi diferensiasi jalur sel spesifik yang tidak

mempengaruhi prognosis. Yang termasuk di dalamnya yaitu keratotic BCC,

infundibulocystic BCC, BCC with eccrine differentiation, BCC with sebaceous

differentiation, the fibroepithelioma of Pinkus Selain itu terdapat pula KSB

dengan tipe campuran (mixed type) (Kossard et al., 2006; Crowson, 2006).

Gambaran histopatologi KSB agresif dan non agresif disajikan pada gambar 2.4.

Sedangkan gambaran KSB dengan berbagai variasi diferensiasi yang tidak

mempengaruhi prognosis dapat dilihat pada gambar 2.5.

26

Gambar 2.4.

Gambaran Histopatologi KSB Agresif dan Non Agresif

A.KSB Superfisial, B.KSB Nodular, C. KSB Morfea, D. KSB infiltratif E. KSB

metatipikal, F.KSB mikronodular, H&E 100x (Dikutip dari Crowson 2006;

Kossard et al., 2006; Rosai J., 2011; Lima et al., 2012).

A

A

C

A

D

A

B

A

F

A

E

A

27

Gambar 2.5

KSB dengan berbagai variasi diferensiasi yang tidak mempengaruhi prognosis.

A. KSB Fibroepitelial B. KSB Basaloid Folikular Hamartoma C. KSB Adenoid

D. KSB Diferensiasi Sebaseus E. KSB Keratotik G. KSB Nodular dengan

Diferensiasi Folikular, H&E 100x dan 400x (Dikutip dari Kossard et al., 2006).

F

A

E

A

C D

A B

28

2.1.7 Diagnosis

Penentuan diagnosis KSB ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan

histopatologi dari biopsi kulit. Biopsi kulit yang dapat dilakukan yaitu dengan

cara deep shave, punch, incisional atau excisional biopsy. Teknik pencitraan

seperti computed tomography atau magnetic resonance imaging scanning

dilakukan pada kasus-kasus dimana terdapat keterlibatan tulang atau ketika tumor

telah menginvasi saraf utama,orbita atau kelenjar parotis (Telfer et al., 2008).

Dermoscopy atau dermartoscopy merupakan metode non invasif yang dapat

digunakan untuk mengenali lesi berpigmen pada kulit seperti membedakan KSB

berpigmen dengan melanoma maligna. Dengan menggunakan dermoscopy, KSB

berpigmen biasanya memiliki pola asimetris dan relatif hipomelanotik (Trigoni et

al., 2012).

2.1.8 Diagnosis Banding

Adanya berbagai bentuk yang berbeda dari KSB menimbulkan banyak

kemungkinan diagnosis banding dari karsinoma sel basal , yaitu sebagai berikut:

a. Karsinoma sel basal subtipe superfisial:

a.1 Seborrhoic keratoses menunjukkan gambaran arsitektur plak, meliputi

epitel basal tanpa atipia dan mitosis, adanya pseudohorn cyst.

a.2 Bowen disease memberikan gambaran bentukan intercellular bridge,

keratinisasi sitoplasmik, mitosis lebih banyak dan atipik.

b. Karsinoma sel basal subtipe nodular:

b.1 Squamous cell carcinoma menunjukkan gambaran diferensiasi skuamus

29

dengan intercellular bridging , dan keratin pearl. Dibedakan dengan KSB

dengan pemeriksaan marker BerEP4 yang terpulas positif pada KSB

b.2 Trichoepithelioma memberikan gambaran sel-sel basal yang membentuk

struktur folikel rambut primitif dengan stroma fibromiksoid, tanpa aktivitas

mitosis, maupun sel nekrosis individual, biasanya mengelilingi struktur

kistik berisi keratin sentral.

c. Karsinoma sel basal subtipe morfea:

c.1 Jaringan parut

c.2 Desmoplastic trichoepithelioma: menunjukkan lekukan permukaan

epidermis disertai proliferasi sel basal , kista keratin dengan mitosis jarang.

(Yalcin et al., 2012; Crowson, 2006).

2.1.9 Terapi

Tujuan utama dari terapi adalah untuk eradikasi tumor sekaligus

memperhatikan kosmetik pasien (Telfer et al., 2008). Pemilihan terapi

berdasarkan lokasi, ukuran dan tipe pertumbuhan KSB, yakni termasuk tipe non

agresif (superfisial, noduler) atau pertumbuhan agresif (infiltratif, basoskuamus).

KSB dengan gambaran histologi campuran diterapi menurut gambaran subtipe

paling agresif (Mosterd et al., 2009).

Terapi surgical excision (SE) merupakan gold standard untuk terapi KSB.

Sedangkan Moh’s Micrographic Surgery (MMS) merupakan terapi pilihan untuk

KSB rekuren di bagian wajah serta KSB dengan subtipe agresif. Untuk terapi

alternatif non invasif pada KSB nodular dan KSB subtipe agresif bisa dilakukan

30

radioterapi. Kuretase dan kauterisasi merupakan terapi pilihan untuk KSB dengan

risiko rendah. Cryotherapy juga merupakan terapi yang bagus untuk lesi risiko

rendah serta memberikan hasil kosmetik yang bagus. (Weddon, 2006) Pada

beberapa kasus KSB superfisial dapat diberikan terapi non invasif seperti

Photodynamic therapy (PDT) atau imiquimod (Mosterd et al., 2009).

2.2 Indeks Mitosis

Setiap sel mengalami proses yang meliputi proliferasi, diferensiasi stem cells

embrional dan destruksi selektif melalui program kematian sel yang disebut

apoptosis. Proses ini diatur melalui pesan yang dibawa oleh DNA. Kegiatan yang

terjadi dari satu pembelahan sel ke pembelahan sel berikutnya disebut siklus

hidup (daur) sel. Siklus sel terdiri dari 2 periode yaitu periode interfase atau

periode non pembelahan dan periode pembelahan sel (M) yang menghasilkan sel-

sel baru. Interfase terdiri atas tiga fase, yaitu: G1 (Gap pertama), S (Sintesis

DNA), dan G2 (Gap kedua), Pada fase G1, sel anak mengalami pertumbuhan,

pada fase S terjadi replikasi dan transkripsi DNA; sedangkan pada fase G2,

merupakan fase post sintesis, dimana sel mempersiapkan diri untuk membelah.

Pembelahan sel meliputi dua tahapan yaitu : mitosis dan sitokinesis (Cannizaro,

2006; Walczak et al., 2010).

Kunci dari proliferasi sel adalah pembelahan sel. Ada dua bentuk pembelahan

sel. Salah satunya terjadi pada pembentukan gamet (misalnya spermatozoa dan

ovum) melalui meiosis dan yang lainnya terjadi pada sel somatik disebut mitosis.

Tujuan dari mitosis adalah reproduksi dari sel somatik. Mitosis merupakan

31

langkah-langkah yang terjadi pada pembelahan inti. Mitosis adalah proses

kompleks yang terdiri dari terbukanya membran inti, kondensasi kromatin dan

pemisahan kromosom.

Mitosis terdiri dari beberapa fase yaitu fase profase, prometafase, metafase,

anafase dan telofase. Pada fase profase, Profase merupakan transisi dari fase G2

ke fase pembelahan inti atau mitosis (M) dari siklus sel. Profase adalah stadium

pertama dari mitosis. Kromatin yang menyebar selama interfase secara perlahan-

lahan terkondensasi menjadi kromosom yang mantap. Membran inti mulai

berdegenerasi dan secara perlahan-lahan inti menjadi tidak tampak, dan terjadilah

pembentukan spindel mikrotubul. Prometafase dimulai dari disrupsi pada

membran inti. Kromosom-kromosom bermigrasi ke arah pusat spindel. Metafase

adalah periode dimana sentromer dari setiap kromosom berkumpul pada bagian

tengah spindel pada bidang ekuator. Pada saat metafase, sentromer- sentromer

diduplikasi dan setiap kromatid menjadi kromosom yang berdiri sendiri atau

independen. Anafase ditandai dengan terjadinya pemisahan kromatid membentuk

anak kromosom yang bergerak menuju kutub spindel yang berlawanan. Pada

akhirnya, membran inti kembali terbentuk pada telofase. (Cannizaro, 2006;

Walczak et al., 2010). Hal ini disajikan pada gambar 2.6.

32

Gambar 2.6

Fase-fase pada mitosis terdiri dari profase, prometafase, metafase,

anafase dan telofase (Walczak et al., 2010).

Proliferasi telah dikenali sebagai “hallmark” dari kanker dan merupakan

faktor prognostik kanker (Haroon et al., 2013). Evaluasi dari derajat proliferasi sel

dalam jaringan tumor digunakan untuk menilai progresifitas tumor (Devianti et

al., 2012). Salah satu metode yang paling sederhana dan masih digunakan hingga

saat ini adalah menghitung jumlah mitosis dalam jumlah lapangan pandang

tertentu (biasanya 10) pada lapangan pandang besar (400x). Penilaian indeks

mitosis telah digunakan sebagai “gold standard” dalam menilai agresivitas tumor

(Pirici et al., 2012). Metode ini merupakan aplikasi yang berguna untuk evaluasi

neoplasma mesenkimal (misalnya tumor otot polos), karsinoma payudara,

neuroblastoma dan GIST (Kramer et al., 2010).

33

Karsinoma sel basal adalah tumor yang dapat dinilai indeks mitosisnya pada

mikroskop cahaya. Indeks mitosis yang tinggi berkaitan dengan agresivitas tumor.

Indeks mitosis adalah gambaran mitosis yang dihitung pada area yang diseleksi

berdasarkan kriteria sebagai berikut: (1) area dengan selularitas baik, terutama di

bagian perifer tumor dimana kemungkinan terjadi pertumbuhan aktif dari tumor,

serta area tanpa adanya nekrosis, inflamasi atau kalsifikasi, (2) densitas tinggi

dari gambaran mitosis, penghitungan dilakukan pada 10 lapangan pandang pada

pembesaran 400x. Pemilihan lapangan pandang dilakukan secara random

meander (berbelok-belok secara teratur dengan arah belokan mencapai setengah

lingkaran), (3) gambaran mitosis diidentifikasi berdasarkan kriteria Van Diest et

al. tahun 1992 berdasarkan hasil Multicenter Morphometric Mammary Carcinoma

Project, yaitu hanya sel dengan gambaran morfologi jelas dari metafase, anafase,

dan telofase yang dihitung, dengan menghindari inti apoptotik dan hiperkromatik

(Lakhani et al., 201, Al-Janabi et al., 2013). Indeks mitosis dinilai dalam bentuk

jumlah mitosis per 10 lapangan pandang besar (High Power Field).

Penelitian mengenai indeks mitosis serta kaitannya dengan agresivitas KSB

masih sangat jarang. Tercatat satu penelitian dari Pirici dkk pada tahun 2011

menyebutkan bahwa KSB invasif menunjukkan indeks mitosis yang lebih tinggi.

2.3 Struktur dan Fungsi Ki-67

Proliferasi sel adalah kunci utama progresi tumor. Hal ini dapat diukur dengan

pemeriksaan antigen Ki-67 inti (Devianti et al., 2012). Protein Ki-67 adalah suatu

protein inti non-histon yang diekspresikan selama fase aktif siklus sel (Cernea et

34

al., 2006). Antigen ditemukan pertama kali pada tahun 1980-an di kota Kiel oleh

Gerdes dan kawan-kawan (sehingga disebut sebagai “Ki”). Antigen ini diperoleh

dari tubuh tikus yang telah disuntik dengan antigen inti yang berasal dari cell line

yang diturunkan dari Limfoma Hodgkin pada manusia. Angka 67 berasal dari

nomor urut kloning ke 67 dari 96 piringan yang diberi label pada penelitian

tersebut. (Yerushalmi et al., 2010).

Ki-67 memiliki dua isoform dengan berat molekul 359 kD dan 320 kD. Gen

ini terletak pada kromosom 10q25. Antibodi Ki-67 digunakan untuk mendeteksi

proliferasi Ki-67. Pada saat mitosis, Ki-67 terletak pada permukaan kromatin yang

terkondensasi dan setelah pembelahan sel, Ki-67 terletak pada nukleoplasma

kemudian berakhir di nukleoli. Sel mengekspresi antigen ini selama fase aktif

yakni G1,S,G2,M, namun tidak terekspresi pada fase istirahat (G0). Hal ini

disajikan pada gambar 2.6. Ki-67 terekspresi selama fase akhir G1-M pada siklus

sel dan mencapai puncaknya pada fase interfase G2-M. Waktu paruh Ki-67

berkisar1-1,5 jam. (Selim et al., 2009).

Ekspresi Ki-67 berhubungan dengan derajat diferensiasi pada kebanyakan

tumor (Devianti et al., 2012). Beberapa penulis yang telah menganalisis nilai

prognostik dari Ki-67 sebagai marker tumor menyimpulkan bahwa protein Ki-67

kemungkinan berperan penting sebagai faktor prognostik dari berbagai tipe

kanker (Bartos et al., 2012).

35

Gambar 2.7.

Skema siklus sel. Protein Ki-67 diekpsresikan pada semua siklus kecuali fase G0

(Fase istirahat) (Dikutip dari Anonim, 2015).

2.4 Imunohistokimia Ki-67

Imunohistokimia merupakan suatu metode untuk mengidentifikasi antigen

spesifik pada jaringan atau sel dengan menggunakan pengenalan antigen-antibodi.

Tempat pengikatan antara antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi dengan

penanda yang biasanya dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara

langsung menggunakan mikroskop cahaya. Penanda tersebut dapat berupa

senyawa komponen berfluoresensi atau enzim aktif (Dabbs, 2014).

Secara umum terdapat dua metode dasar identifikasi antigen dalam jaringan

dengan imunohistokimia, yaitu metode langsung (direct method) dan tidak

langsung (indirect method).

a. Metode langsung (direct method)

Metode langsung merupakan metode perlekatan label pada suatu antibodi

dengan bahan kimia dan secara langsung mengaplikasikan label ini ke jaringan.

Metode ini hanya melibatkan satu jenis antibodi, yaitu antibodi yang terlabel,

36

contohnya rodhamin. Metode ini cepat dan mudah dilakukan, namun memerlukan

antibodi primer dengan konsentrasi tinggi dibandingkan dengan metode indirek.

b. Metode tidak langsung (indirect method).

Metode ini menggunakan dua macam antibodi, yakni antibodi primer (tidak

berlabel) dan antibodi sekunder (berlabel). Antibodi primer berfungsi mengenali

antigen yang diidentifikasi pada jaringan (first layer), sedangkan antibodi

sekunder akan berikatan dengan antibodi primer (second layer). Antibodi kedua

merupakan anti-antibodi primer. Pelabelan antibodi sekunder dilanjutkan dengan

penambahan substrat berupa kromogen yakni suatu gugus fungsi senyawa

kimiawi yang dapat membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa

tertentu. Penggunaan kromogen fluorescent dye seperti rodhamin dan Texas-red

disebut metode immunofluorescence, sedangkan penggunaan kromogen enzim

seperti peroksidase, alkali fosfatase, atau glukosa oksidase disebut metode

immunoenzyme (Dabss, 2014).

Imunohistokimia menjadi teknik pilihan untuk menentukan penanda biologik

karena relatif mudah, murah dan dapat diterapkan pada sediaan rutin

histopatologik. Salah satu penanda biologis yang bisa dideteksi dengan

pemeriksaan imunohistokimia adalah Ki-67. Pada sediaan histopatologi pasien

akan diberikan suatu antibodi yang bereaksi dengan molekul Ki-67, lalu diberikan

reagen khusus sehingga didapatkan perubahan warna bila terjadi ikatan antigen

dan antibodi. Selanjutnya preparat imunohistokimia tersebut dilihat di bawah

mikroskop cahaya untuk melihat fraksi pertumbuhan selnya (Rosakawati, 2010).

37

Sel yang mengekspresikan Ki-67 terlihat berwarna coklat pada inti sel, seperti

yang disajikan pada gambar 2.7. Penilaian aktivitas proliferasi Ki-67 dibuat

berdasarkan analisis persentase sel tumor yang terpulas positif dihitung pada

minimal 500 sel pada pembesaran 400x. Penghitungan dilakukan secara acak pada

lima lapangan pandang yang menunjukkan pewarnaan dengan densitas terpadat

(hot spot) menggunakan mikroskop elektrik merk Olympus tipe CX21 dengan

pembesaran 400x. Persentase sel yang terpulas positif pada setiap lapangan

pandang kemudian dikalkulasi lalu ditentukan reratanya. Ekpresi Ki-67 dinilai

dalam bentuk aktivitas proliferasi (indeks) yang diberi skor sebagai berikut: 0-5%

sel positif= negatif, 6-25% =+1, 26-50% =+2, >50% = +3. (Bartos et al., 2012,

Nielsen, 2015).

Gambar 2.8

Contoh pengecatan Ki-67 positif pada KSB, terpulas warna coklat pada inti sel,

pada pembesaran 400x (Dikutip dari Selim et al., 2009).

38

2.5 Ki-67 dan KSB

Berbeda dengan karsinoma yang lain, KSB kulit ditandai oleh persentase

tinggi dari sel tumor yang relatif aktif berproliferasi (Bartos et al., 2012).

Berdasarkan beberapa studi yang dipublikasikan (Ionescu et al., 2006; Correa et

al., 2009), rata-rata fraksi pertumbuhan KSB bisa dideteksi secara

imunohistokimia oleh antibodi terhadap antigen Ki-67, yaitu antara 20-41%.

Beberapa keganasan manusia yang paling serius dan agresif seperti glioblastoma

multiforme, melanoma malignan, atau sarkoma jaringan lunak menunjukkan

ekspresi Ki-67 sekitar 25%. (Mahvash et al., 2011), dan 27% (Nasr and El-

Zammar, 2008) Bahkan aktivitas proliferatif dari KSB kutaneus melebihi

prognostik dari penyakit kanker serius lainnya (Bartos et al., 2012). Pengamatan

ini menimbulkan suatu kemungkinan adanya pengaruh berbeda pada evolusi dan

perangai biologis dari neoplasia. Kebanyakan penulis menemukan bahwa fraksi

pertumbuhan bervariasi di antara tipe histomorfologi KSB (Ionescu et al., 2006)

Adanya fakta bahwa persentase proliferatif sel pada KSB kulit relatif tinggi

perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini tidak sesuai dengan temuan klinis

dimana neoplasia yang tumbuh lambat dan memiliki potensi metastasis minimal

Fenomena ini disebabkan karena terdapat durasi memanjang pada siklus sel atau

adanya kehilangan sel secara kontinu disertai regenerasi permanen (Bartos et al.,

2012). Perbedaan perangai biologis dan progresi kutaneus KSB menjelaskan

adanya ketidakseimbangan antara mekanisme proliferasi dan apoptosis sel tumor

(Correa et al., 2009).

39

Saat ini terdapat data yang bertentangan mengenai peran ekspresi Ki-67

sebagai faktor prognostik. Beberapa penulis (Chuprov 2008; Selim et al., 2009;

Rosakawati, 2010) menemukan bahwa perluasan ekspresi Ki-67 sebagai indikator

dari keparahan penyakit dan berguna sebagai faktor prognostik. Peneliti yang lain

(Cernea et al., 2006; Correa et al., 2009, Kramer et al., 2014) menyimpulkan

bahwa tidak terdapat hubungan statistik bermakna antara KSB dengan fraksi

pertumbuhan yang secara prognosis bagus dan buruk, dan indeks Ki-67 tidak bisa

dipertimbangkan sebagai marker prognostik yang bagus.

40

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Karsinoma sel basal merupakan kanker kulit yang paling sering ditemukan.

Etiologi dari kanker ini multifaktorial dan merupakan kombinasi dari faktor

genotipik, fenotipik, dan lingkungan. Namun faktor resiko yang signifikan adalah

radiasi sinar ultraviolet. Gen yang diduga berkaitan dengan KSB adalah Patched

homologue 1 (PTCH), smoothened (SMO) dan p53. Sementara faktor fisik yang

sering dhubungkan sebagai faktor resiko KSB adalah orang dengan kompleksi

kulit putih tipe-I dan II termasuk rambut berwarna merah atau pirang, atau mata

yang berwarna cerah, freckling. Paparan arsenik, radiasi ionisasi, penggunaan oral

metoksalen (psoralen), dan terapi imunosupresi seperti penerima transplantasi

organ juga merupakan faktor resiko terjadinya KSB.

Lokasi yang tersering yaitu pada wajah dan leher. Tumor ini tumbuh lambat

dan bersifat lokal destruktif dan jarang bermetastasis. Namun ada beberapa tipe

tumor yang bersifat agresif yaitu invasi ke jaringan yang lebih dalam,

bermetastasis lokal dan jauh, serta menyebabkan angka kesakitan dan kematian

yang signifikan. Selain itu tipe agresif memiliki rekurensi tinggi. Hal ini sebagai

alasan pentingnya untuk mendiagnosis KSB lebih awal dalam penatalaksanaan

KSB tipe agresif.

Pemeriksaan histopatologi sangat penting untuk menentukan tipe KSB agresif

dan non agresif karena berpengaruh dalam menentukan terapi dan prognosis

pasien. Namun kadangkala terdapat kesulitan dalam menegakkan diagnosis secara

41

histopatologi karena beberapa kasus KSB memiliki kesamaan dengan lesi yang

lain. Selain itu sering ditemukan kurang lengkapnya pelaporan KSB terkait

parameter yang berkaitan dengan agresivitas tumor.

Kesulitan dalam penegakan diagnosis KSB secara histopatologis dan adanya

tuntutan untuk mengidentifikasi KSB yang secara prognostik lebih buruk dan

berpengaruh serius terhadap status kesehatan pasien mendorong suatu upaya

untuk mengidentifikasi faktor resiko yang berperan dalam perkembangan KSB

menjadi lesi yang lebih agresif. Dengan adanya perkembangan teknologi

molekuler patologi dan biologi maka terdapat upaya untuk mengidentifikasi

beberapa biomarker pada jaringan tumor yang berperan dalam agresivitas tumor.

Kombinasi dari faktor genotipik, fenotipik, lingkungan dan faktor resiko lain

terutama paparan sinar UV menimbulkan terjadinya mutasi DNA yang mengarah

pada terjadinya KSB. Adanya gangguan pada jalur sinyal Sonic Hedgehog dan

terbentuknya p53 mutant akibat induksi sinar UV memicu terjadinya proliferasi

sel yang berlebihan dan mengarah pada timbulnya keganasan.

Pada proliferasi sel terjadi siklus sel yang berlangsung secara kontinu dan

berulang. Kunci dari proliferasi sel adalah pembelahan sel. Mitosis merupakan

langkah-langkah yang terjadi pada pembelahan inti. Proliferasi sel yang

berlebihan ditunjukkan dengan peningkatan jumlah mitosis sel. Hal ini terlihat

dari indeks mitosis tumor pada pemeriksaan histopatologi. Agresivitas KSB

ditunjukkan dari peningkatan indeks mitosis.

Sel mengekspresi antigen Ki-67 selama fase aktif dari siklus sel yakni

G1,S,G2,M, namun tidak terekspresi pada fase istirahat (G0). Pada saat mitosis,

42

Ki-67 terletak pada permukaan kromatin yang terkondensasi dan setelah

pembelahan sel, Ki-67 terletak pada nukleoplasma kemudian berakhir di nukleoli.

Peningkatan laju proliferasi sel berkaitan dengan agresivitas dari KSB dan hal ini

ditunjukkan dengan peningkatan ekspresi Ki-67.

Metode yang paling sederhana dan masih digunakan hingga saat ini untuk

menilai laju proliferasi sel adalah menghitung indeks mitosis yakni jumlah mitosis

dalam jumlah lapangan pandang tertentu (biasanya 10) pada lapangan pandang

besar (400x). Penilaian indeks mitosis telah digunakan sebagai “gold standard”

dalam menilai agresivitas tumor dan sering digunakan sebagai penentu derajat

keganasan tumor. Sayangnya penelitian mengenai peran indeks mitosis terhadap

agresivitas karsinoma sel basal masih sangat sedikit.

Selain indeks mitosis, Ki-67 juga sering digunakan sebagai salah satu marker

proliferasi sel yang dianggap paling reliabel serta bisa diterima secara umum.

Penanda Ki-67 sudah banyak dipakai untuk berbagai jenis tumor. Banyak

penelitian yang menemukan bahwa ekspresi Ki-67 pada KSB tipe agresif lebih

tinggi dibandingkan non agresif. Namun ada pula penelitian yang menemukan

bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara ekspresi Ki-67 tipe agresif

dibandingkan non agresif. Maka perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui

peran indeks mitosis dan ekspresi Ki-67 berupa indeks proliferasi Ki-67 terhadap

agresivitas KSB.

43

3.2 Konsep Penelitian

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian.

- Faktor Genotipik

(mutasi PTCH-

1,SMO,P53)

-Faktor Fenotipik

(kompleksi kulit tipe-

I dan II)

Tipe Agresif Tipe Non Agresif

Indeks Mitosis Indeks proliferasi Ki-67

Karsinoma Sel Basal

-Faktor Lingkungan

(Radiasi sinar UV)

- Faktor risiko lain

(arsenik, radiasi,

psoralen, terapi

imunosupresi)

Indeks Mitosis Indeks proliferasi Ki-67

Analisis Data

44

3.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Indeks mitosis lebih tinggi pada KSB tipe agresif dibandingkan KSB tipe

non agresif.

2. Indeks proliferasi protein Ki-67 lebih tinggi pada KSB tipe agresif

dibandingkan KSB tipe non agresif.

45

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional menggunakan

rancangan potong lintang (cross-sectional study). Skema rancangan penelitian

dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian

Sampel

KSB yang

diteliti

KSB

agresif

Indeks Proliferasi

Protein Ki-67

Indeks mitosis

Indeks Proliferasi

Protein Ki-67

Indeks mitosis

KSB non

agresif

46

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian /SMF Patologi Anatomi FK Unud / RSUP

Sanglah Denpasar dan di Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah

Mada/RSUP Sardjito, Yogyakarta dari 1 April 2016-31 Oktober 2016.

4.3 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dimulai dengan rediagnosis sediaan histopatologi dari bahan biopsi

insisional dan eksisional penderita karsinoma sel basal agresif dan karsinoma sel

basal non agresif yang diperiksa secara histopatologi di laboratorium Patologi

Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah dan laboratorium Patologi Anatomi swasta P.M

P.M di Denpasar oleh peneliti dan 2 orang ahli patologi, kemudian ditentukan

sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk pengelompokan data.

Lalu dilakukan pemotongan blok parafin untuk dilakukan pulasan

imunohistokimia di Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah

Mada/RSUP Sardjito, Yogyakarta. Selanjutnya dilakukan interpretasi dan

penghitungan indeks mitosis dan indeks proliferasi Ki-67 berupa aktivitas

proliferasi (indeks) protein Ki-67 pada karsinoma sel basal agresif dan karsinoma

sel basal non agresif. Langkah terakhir dilakukan analisis data.

47

4.4 Penentuan Sumber Data

4.4.1 Populasi

4.4.1.1. Populasi target

Populasi penelitian ini adalah semua sediaan blok parafin dari penderita KSB

agresif dan KSB non agresif yang diperiksa secara histopatologi dari hasil biopsi

eksisional dan insisional di Bali.

4.4.1.2. Populasi terjangkau

Populasi penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari penderita KSB agresif

dan KSB non agresif yang diperiksa secara histopatologi dari hasil biopsi

insisional dan eksisional di Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP

Sanglah Denpasar dan di laboratorium Patologi Anatomi swasta P.M di Denpasar.

4.4.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari penderita KSB agresif

dan non agresif yang telah diperiksa secara histopatologi dari hasil biopsi dan

operasi di Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Denpasar dan

laboratorium Patologi Anatomi swasta P.M di Denpasar dari tanggal 1 Januari

2011 sampai dengan 31 Desember 2015 yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi.

4.4.3 Kriteria Inklusi

1. Sediaan berasal dari bahan biopsi eksisional dan insisional pasien KSB

yang diperiksa di Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP

48

Denpasar dan laboratorium Patologi Anatomi swasta P.M di Denpasar

dari tanggal 1 Januari 2011-31 Desember 2015.

2. Sediaan merupakan tumor primer

4.4.4 Kriteria Eksklusi

1. Kasus dengan diagnosis histopatologi KSB yang belum pasti (masih

ada diagnosis banding).

2. Blok parafin yang rusak, jamuran dan jaringan tumornya habis

4.4.5 Besar Sampel

Pada penelitian ini besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis untuk

dua proporsi populasi (two-sided test small proportions) (Sastroasmoro dan

Ismail, 2014) :

n =

* √ ( ) √ ( ) ( )+

( )

Keterangan:

n :besar sampel

:perbedaan minimal yang secara klinis bermakna

:proporsi populasi 1 yang diharapkan = 0,60 (Rosakawati, 2010)

:proporsi populasi 2 yang diharapkan =0,20(Rosakawati, 2010)

α :tingkat kemaknaan yakni 5%=0,05

β :5-20%, biasanya 20% =0,2, 1-β=0,8

Zα :Z skor untuk α sebesar 0,05 adalah 1,96

49

Zβ : Z skor untuk β sebesar 0,8 adalah 0,842

Berdasarkan rumus di atas maka didapatkan jumlah sampel minimal pada

masing-masing kelompok adalah 23. Jadi n total minimal yakni 46.

4.4.6 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara berikut :

a. Dari populasi sediaan blok parafin diadakan pemilihan sampel berdasarkan

kriteria inklusi dan eksklusi.

b. Populasi terjangkau yang memenuhi syarat diambil secara consecutive

sampling untuk mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan, yaitu sebanyak

minimal 46 blok parafin.

4.5 Variabel Penelitian

4.5.1 Klasifikasi Variabel

1. Variabel tergantung : KSB agresif dan non agresif

2. Variabel bebas : Indeks mitosis dan indeks proliferasi

protein Ki-67

4.5.2 Definisi Operasional Variabel

1. KSB agresif adalah: kanker kulit yang berasal dari sel germinatif ditandai

dengan adanya sel-sel basaloid yang tersusun dalam bentuk lobulus, kolom

atau pita, yang mempunyai tipe morfologi:

50

1.1 Morfea berupa gambaran lembaran sel basaloid dengan ketebalan 1-2

sel di antara stroma kolagen padat.

1.2 Infiltratif berupa gambaran sarang sel tumor yang membentuk lebaran

memanjang dengan ketebalan 5-8 sel, bentuk dan ukuran ireguler,

disertai angulasi di bagian perifer, fokus-fokus retraksi slit-like dan

aktivitas mitosis sering.

1.3 Metatipikal/basoskuamus berupa gambaran sel tumor yang

membentuk pola palisading perifer dengan gambaran morfologi

basaloid bercampur dengan area yang membentuk intercellular bridge

dan/atau keratinisasi.

1.4 Mikronoduler berupa gambaran sarang tumor dengan kontur nodular,

berukuran sama, kecil dan terdistribuasi luas.

1.5 Nodular-infiltratif berupa gambaran sarang tumor yang sebagian

menunjukkan gambaran nodular, yakni sel-sel yang membentuk

pulau-pulau dengan susunan palisading di perifer dan susunan tidak

teratur di sentral, disertai retraksi slit-like dan stroma dengan

perubahan miksoid, dan sebagian menunjukkan gambaran sarang sel

tumor yang membentuk lebaran memanjang dengan ketebalan 5-8 sel,

bentuk dan ukuran ireguler, disertai angulasi di bagian perifer, fokus-

fokus retraksi slit-like dan aktivitas mitosis sering.

Interpretasi histomorfologis ini dilihat dengan pulasan Hematoksilin dan

Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21,

51

pembesaran 40x, 100x, dan 400x oleh peneliti dan dua orang ahli Patologi

Anatomi.

2. KSB non agresif : kanker kulit yang berasal dari sel germinatif ditandai

dengan adanya sel-sel basaloid yang tersusun dalam bentuk lobulus, kolom

atau pita, yang mempunyai tipe morfologi sebagai berikut:

2.1 Nodular yakni berupa sel-sel yang membentuk pulau-pulau dengan

susunan palisading di perifer dan susunan tidak teratur di sentral,

dsiertai retraksi slit-like dan stroma dengan perubahan miksoid

2.2 Superfisial yakni berupa lobulus sel basaloid yang berproyeksi dari

epidermis atau dari folikel dan duktus ekrin ke arah dermis serta

dikelilingi stroma miksoid longgar.

Interpretasi histomorfologis ini dilihat dengan pulasan Hematoksilin dan

Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21,

pembesaran 40x, 100x, dan 400x oleh peneliti dan dua orang ahli Patologi

Anatomi.

3. Indeks mitosis adalah gambaran mitosis yang dihitung pada area yang

diseleksi berdasarkan kriteria sebagai berikut: (1) area dengan selularitas

baik, terutama di bagian perifer tumor dimana kemungkinan terjadi

pertumbuhan aktif dari tumor, serta area tanpa adanya nekrosis, inflamasi

atau kalsifikasi, (2) densitas tinggi dari gambaran mitosis, penghitungan

dilakukan pada 10 lapangan pandang pada pembesaran 400x. Pemilihan

lapangan pandang dilakukan secara random meander (berbelok-belok

secara teratur dengan arah belokan mencapai setengah lingkaran), (3)

52

gambaran mitosis diidentifikasi berdasarkan kriteria Van Diest et al. tahun

1992 berdasarkan hasil Multicenter Morphometric Mammary Carcinoma

Project, yaitu hanya sel dengan gambaran morfologi jelas dari metafase,

anafase, dan telofase yang dihitung, dengan menghindari inti apoptotik

dan hiperkromatik. Indeks mitosis dinilai dalam bentuk jumlah mitosis per

10 lapangan pandang besar (High Power Field).

4. Indeks proliferasi protein Ki-67: adalah penilaian protein Ki-67 secara

imunohistokimia menggunakan antibodi primer monoklonal Ki-67 dari

Biocare CRM325A. Interpretasi Ki-67 dilakukan oleh dua orang pengamat

(peneliti dan pembimbing yang merupakan konsultan patologi anatomi

secara bersamaan). Sel yang mengindeks proliferasikan Ki-67 terlihat

berwarna coklat pada inti sel. Penilaian aktivitas proliferasi Ki-67 dibuat

berdasarkan analisis persentase sel tumor yang terpulas positif dihitung

pada minimal 500 sel pada pembesaran 400x. Penghitungan dilakukan

dengan alat hitung tangan (hand counter) merk Joyko pada lima lapangan

pandang yang menunjukkan pewarnaan dengan densitas terpadat (hot spot)

menggunakan mikroskop elektrik merk Olympus tipe CX21 dengan

pembesaran 400x [HPF: field diameter, 0,50 mm, field area 0,274 mm].

Persentase sel yang terpulas positif pada setiap lapangan pandang

kemudian dikalkulasi lalu ditentukan reratanya. Ekpresi Ki-67 dinilai

dalam bentuk aktivitas proliferasi (indeks) yang diberi skor sebagai

berikut: 0-5% sel positif= negatif, 6-25% =+1, 26-50% =+2, >50% = +3.

53

4.6 Bahan Penelitian

1. Bahan pemeriksaan histopatologi berupa blok parafin dari bahan biopsi

insisional dan eksisional pasien yang menderita karsinoma sel basal

agresif dan non agresif yang diperiksa secara histopatologi di

Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah serta

laboratorium Patologi Anatomi swasta P.M di Denpasar dan slide dengan

pengecatan H&E.

2. Bahan pemeriksaan imunohistokimia berupa blok parafin dari bahan

biopsi insisional dan eksisional pasien yang menderita karsinoma sel basal

agresif dan non agresif yang diperiksa secara histopatologi di

Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah dan

laboratorium Patologi Anatomi swasta P.M di Denpasar untuk pengecatan

imunohistokimia Ki-67 menggunakan antibodi primer monoklonal Ki-67

dari Biocare CRM325A.

3. Bahan untuk pengecatan rutin hematoksilin dan eosin meliputi:

a. Larutan hematoksilin Harris

b. Alkohol 50% hingga alkohol absolut.

c. Xilol.

d. Hcl 0,4%

e. Litium karbonat 5%

4. Bahan pengecatan imunohistokimia Ki-67 meliputi:

a. Phosphate buffer saline (PBS).

b. Xilol

54

c. Alkohol 70% sampai alkohol absolut

d. Aquadest

e. Buffer sitrat

f. Antibodi monoklonal Ki-67 dari Biocare CRM325A, dilusi 1: 100 atau 1:

200, dengan klon SP6, kontrol positif tonsil atau lapisan basal epidermis

g. Biotinylated Anti Polyvalent

h. DAB (3,3’-diaminobenzidine).

i. Streptavidin Peroxidase.

j. Pulasan hematoksilin Harris

4.7 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah:

1. Buku Registrasi Pemeriksaan Histopatologi Laboratorium Patologi

Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah dan Laboratorium Patologi Anatomi

swasta P.M tahun 2011 hingga 2015 untuk mencari data pasien yang

menderita karsinoma sel basal agresif dan non agresif dari tahun 2011

hingga tahun 2015.

2. Mikrotom Leica 2125 RM

3. Oven microwave

4. Gelas obyek merk Sail Brand

5. Gelas obyek yang telah dilapisi dengan poly-L-lysine, merk Sigma, ukuran

lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm

6. Pipet mikro.

55

7. Staining jar.

8. Inkubator dan aluminium chamber.

9. Rotator.

10. Mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21 untuk melihat indeks

proliferasi Ki-67 pada sediaan karsinoma sel basal agresif dan non agresif.

4.8 Prosedur Penelitian

4.8.1 Cara Pengumpulan Data

1. Pengumpulan data pasien dan sediaan preparat biopsi insisional dan

eksisional pasien KSB yang diperiksa secara histopatologi dari 1 Januari

2011 sampai 31 Desember 2015 di Laboratorium Patologi Anatomi FK

UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar dan laboratorium Patologi Anatomi

swasta P.M di Denpasar.

2. Preparat hasil pulasan Hematoksilin dan Eosin (H&E) sesuai nomor-

nomor diatas dikumpulkan dan dievaluasi ulang oleh peneliti dan dua

ahli patologi untuk memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga

didapat dua kelompok data yaitu KSB agresif dan KSB non agresif.

4.8.2 Prosedur Pemeriksaan Bahan

1. Prosedur pulasan H&E sesuai dengan prosedur pulasan yang rutin

dikerjakan di Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah,

Denpasar:

56

a. Potong ulang blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2125 RM

dengan ketebalan 4 μm, kemudian ditempelkan pada gelas obyek

merk Sail Brand dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan

tebal 1,2 mm.

b. Deparafinisasi dengan dicelupkan pada xilol sebanyak 4 kali masing

masing celupan selama masing-masing 3-5 menit.

c. Rehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan kosentrasi menurun

menggunakan alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 75%, dan alkohol

50%, selama masing-masing 3-5 menit.

d. Cuci dengan air mengalir selama 5-10 menit.

e. Rendam preparat dalam larutan hematoksilin Harris selama 10-15

menit

f. Cuci lagi dengan air mengalir selama 20 menit

g. Celupkan dalam Hcl 0,4% sebanyak 1-2 celup

h. Cuci dengan air mengalir selama 5-10 menit

i. Celupkan dalam Litium karbonat 5% sebanyak 3 celup

j. Cuci lagi dengan air mengalir selama 5-10 menit

k. Rendam dalam larutan Eosin selama 15 detik-2 menit

l. Dilanjutkan dengan dehidrasi dengan alkohol dengan konsentrasi

meningkat mulai dari alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 80% dan

alkohol absolut analitik secara berturut-turut, masing-masing selama

3-5 menit.

57

m. Lalu rendam dalam xilol sebanyak 4x, masing-masing selama 3-5

menit

n. Mounting menggunakan entelan dan preparat ditutup dengan kaca

penutup

o. Beri label

2. Mengumpulkan blok parafin dari sediaan H&E terpilih.

3. Melakukan pulasan imunohistokimia Ki-67 sesuai prosedur pengecatan

imunohistokimia rutin Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah,

Denpasar.

a. Siapkan blok yang akan dicat imunohistokimia

b. Potong blok sesuai dengan permintaan yang diinginkan serta kontrol

positif (+)

c. Tiriskan slide sebentar kemudian ditekan menggunakan kertas saring

pelan-pelan. Panaskan sebentar di atas hot plate dan disimpan dalam

incubator suhu 45 derajat Celcius selama semalam

d. Deparafinisasi dengan urutan xilol, xilol, xilol, xilol, alkohol 95%,

alkohol 95%, alkohol 95%, alkohol 95% dan air, masing-masing

selama 2 menit

e. Cuci dengan aquades, rotator selama 5 menit

f. Dilanjutkan dengan penetesan H2O2 3% selama 20 menit dalam

Chamber.

58

g. Slide ditempatkan pada wadah lalu dilanjutkan dengan cuci

aquadest sambil digoyang-goyang selama 5 menit dan dilanjutkan

dengan pencucian memakai PBS selama 5 menit pada rotator.

h. Untuk pemeriksaan dengan perlakuan enzim buffer citrate dan

EDTA, slide dipanaskan di dalam microwave dengan urutatn

pemanasan dari paling tinggi suhu selama 10 menit sampai suhu

rendah selama 5 menit dan dinginkan selama 30 menit

i. Slide kemudian dicuci dengan PBS selama 5 menit pada rotator

j. Slide dilap dengan kassa lalu dilakukan penetesan Ultra V blok

selama 5 menit

k. Dilanjutkan dengan penetesan antibodi Ki-67 100 μl antibodi primer

menggunakan antibodi monoklonal Ki-67 dari Biocare CRM325A

yang telah diencerkan (pengenceran 1:100) selama 30 menit pada

suhu kamar atau semalam pada suhu 40C.

l. Slide dicuci dengan PBS sebanyak 5 menit pada rotator sebanyak

dua kali.

m. Diteruskan dengan penambahan Biotin (kuning)/Biotinylated Anti

Polyvalent , diamkan selama 15 menit.

n. Dicuci kembali dengan PBS selama 5 menit pada rotator sebanyak

dua kali.

o. Diteteskan dengan Streptavidin (merah), diamkan selama 10 menit.

p. Dicuci dengan PBS baru pada rotator selama 4 menit

q. Ditetesi kromogen selama 10 menit

59

r. Disiram dengan air kran 1x, lalu dicuci kembali dengan air mengalir

selama 10 menit.

s. Ditetesi dengan HE Mayer selama 4 menit saja. Dicuci dengan air

mengalir sampai bersih.

t. Dicelupkan sebentar pada alkohol bertingkat dilanjutkan dengan

xilol analitik sebanyak 4 tahapan.

u. Mounting menggunakan entelan dan slide ditutup dengan deck glass.

4. Interpretasi indeks proliferasi Ki-67 berdasarkan presentase sel yang tercat

positif dan penghitungan dilakukan oleh peneliti dan seorang ahli Patologi

Anatomi di Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD RSUP Sanglah,

Denpasar, dengan menggunakan mikroskop olympus CX 21.

60

4.8.3 Alur Penelitian

Skema alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Alur Penelitian

Mencari nomor-nomor sediaan KSB dari 1 Januari 2011 sampai

30 Desember 2015 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Pengumpulan sediaan pulasan H&E

Seleksi,dan rediagnosis sediaan mikroskopis yang memenuhi

kriteria definisi operasional variabel subtipe agresif dan non

agresif serta penghitungan indeks mitosis

Memilih preparat sebagai dasar untuk memilih blok parafin

untuk pulasan imunohistokimia Ki-67

Blok parafin dipotong 4µm

Pengecatan imunohistokimia Ki-67

Interpretasi hasil pulasan Ki-67

Analisis data

Mencari dan mengumpulkan blok parafin

Pencatatan dan pengumpulan data

Simpulan

61

4.9 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows

dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Analisis statistik deskriptif dengan hasil analisis statistik disajikan dalam

tabel distribusi tunggal..

2. Untuk menilai hubungan indeks proliferasi Ki-67 dengan agresifitas KSB

maka dibuat analisis beda proporsi (perbandingan proporsi) dengan

membuat tabulasi silang 2x2.

3. Untuk menilai hubungan agresifitas KSB dengan indeks mitosis maka

dilakukan analisis perbandingan rerata. Bila data sebaran indeks mitosis

berdistribusi normal maka dilakukan independent t-test, sedangkan bila

data sebaran berdistribusi tidak normal maka dilakukan uji non

parametrik dari Mann-Whitney test. Sedangkan uji normalitas

menggunakan Shapiro Wilk test.

4. Tingkat kemaknaan dalam penelitian ini ditetapkan sebesar α = 0,05.

62

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Selama periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2015, berdasarkan

data pasien yang diperiksa di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP

Sanglah dan Laboratorium Patologi Anatomi Swasta di Denpasar, didapatkan

sebanyak 39 pasien dengan diagnosis karsinoma sel basal agresif dan sebanyak 63

pasien dengan diagnosis karsinoma sel basal non agresif yang diambil dengan

biopsi. Berdasarkan perhitungan besar sampel menurut rumus uji hipotesis untuk

dua proporsi populasi (two-sided test small proportions), dibutuhkan jumlah

sampel minimal 23 kasus karsinoma sel basal agresif dan 23 kasus karsinoma sel

basal non agresif. Sampel yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi

yang telah ditetapkan, kemudian dilakukan pengecatan imunohistokimia

pemeriksaan protein Ki-67.

Dalam penelitian ini, data indeks mitosis terlebih dahulu dilakukan uji

normalitas tes Shapiro-Wilk. Bila data berdistribusi normal digunakan uji t-

independent untuk mengetahui perbedaan nilai reratanya. Sedangkan untuk data

berdistribusi tidak normal digunakan uji non parametrik dari Mann-Whitney.

Sementara untuk data indeks proliferasi Ki-67 dilakukan uji chi-square.

Gambaran karakteristik sampel penelitian berdasarkan umur disajikan pada Tabel

5.1.

63

Tabel 5.1

Gambaran Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Variabel Umur

Variabel

Kelompok

Agresif Non Agresif

Umur (Mean±SD) 61,22±14,06 62,61 ±10,94

Rerata umur pasien dalam penelitian ini adalah 61,91 tahun dengan

standar deviasi 14,06. Rentang umur kasus KSB pada penelitian ini adalah 32

sampai 85 tahun. Pada penelitian ini, KSB agresif memiliki rerata umur 61,22

tahun dengan standar deviasi 14,06. Sedangkan KSB non agresif memiliki rerata

umur 62,61 dengan standar deviasi 10,94.

Tabel 5.2

Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Variabel

Kelompok

Agresif Non Agresif

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

11(47,8%)

12(52,2%)

13(56,5%)

10(43,5%)

Tabel 5.2 menyajikan distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin. Data

penelitian yang digunakan terdapat 24 laki-laki dan 22 perempuan. Pada

64

kelompok agresif, terdapat 11 laki-laki dan 12 perempuan. Sementara pada

kelompok non agresif terdapat 13 laki-laki dan 10 perempuan.

Tabel 5.3

Gambaran Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Ukuran Tumor

Ukuran tumor

Kelompok

Agresif Non Agresif

<1 cm 0(0%)

0(0%)

1-3 cm 22(95,6%) 22(95,6%)

>3 cm 1(4,4%) 1(4,4%)

Jumlah Total 23(100%) 23(100%)

Mean±SD 2,08±0,52 2,00±0,55

Ukuran tumor merupakan salah satu faktor resiko untuk rekurensi KSB.

KSB dengan diameter > 1 cm pada lokasi di wajah yaitu pipi, dahi, kulit kepala

dan leher, lebih cenderung untuk mengalami rekurensi (Kauvar et al., 2015). Pada

penelitian ini rerata ukuran tumor pada kelompok agresif 2,08 cm dengan standar

deviasi 0,52. Kelompok non agresif memiliki rerata 2,00 cm dengan standar

deviasi 0,55. Hal ini tersaji pada tabel 5.3.

65

Gambar 5.1.

Grafik Distribusi Sampel Berdasarkan Lokasi

Karsinoma sel basal terutama terjadi pada kulit yang terpapar matahari, akibat

kegagalan perbaikan stem cells keratinosit karena kerusakan DNA oleh sinar

matahari (Patterson et al., 2006). Daerah wajah dan leher merupakan lokasi yang

paling sering mengalami KSB (Telfer et l., 2008). Pada penelitian ini. Lokasi KSB

paling banyak ditemukan pada daerah nasal yakni sebanyak 18 kasus (39%),

diikuti oleh daerah palpebra yakni sebanyak 8 kasus (18%). Hal ini tersaji pada

gambar 5.1.

Nasal 39%

Punggung 2% Axilla

2% Mentalis

2%

Palpebra 18%

Pipi 7%

Dahi 4%

Dada 2%

Maksila 7%

Oksipital 4%

Aurikula 9%

Labia 4%

66

Tabel 5.4

Gambaran Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Gambaran Makroskopis

Makroskopis

Kelompok

Agresif Non Agresif

Nodul 11 (47,8%)

14 (60,9%)

Ulkus 10 (43,5%) 9 (39,1%)

Plak 1 (4,3%) 0 (0%)

Tabel 5.4 menyajikan gambaran karakteristik sampel penelitian berdasarkan

gambaran makroskopis. Pada kelompok agresif dan non agresif, gambaran

makroskopis terbanyak berupa nodul. Sementara gambaran makroskopis ulkus

lebih banyak pada kelompok agresif dibandingkan kelompok non agresif.

Gambaran makroskpis plak hanya ditemukan pada kelompok agresif.

67

Tabel 5.5.

Distribusi Sampel Berdasarkan Diagnosis Histopatologi

Tipe Histopatologi Jumlah Persentase

AGRESIF

KSB Infiltratif 8 17,4

KSB Morpheform 1 2,2

KSB Basoskuamus/metatypical 7 15,2

KSB Nodular-Infiltratif 7 15,2

NON AGRESIF

KSB Nodular 22 47,8

KSB Superfisial 1 2,2

JUMLAH 46 100

Berdasarkan diagnosis HPA didapatkan bahwa kasus terbanyak pada

kelompok agresif adalah KSB infiltratif sebanyak 8 kasus (17,4%). Sedangkan

pada kelompok non agresif adalah KSB nodular sebanyak 22 (47,8%) kasus. Tipe

histologis KSB yang paling sering ditemukan adalah tipe nodular yaitu sekitar 30-

75% dari keseluruhan KSB. Sedangkan tipe infiltratif mencakup 10% dari

keseluruhan KSB (Vantuchova and Curik, 2006). Hal ini tersaji pada tabel 5.5.

68

5.2 Indeks Mitosis

Tabel 5.6.

Hasil Analisis Perbandingan Indeks Mitosis berdasarkan Agresifitas KSB

Variabel

Kelompok

p

Agresif Non Agresif

Indeks mitosis (/10 HPF)

(Mean±SD)

21,9±10,34 16,0±7,09 0,030

Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa rerata indeks mitosis pada

kelompok agresif lebih tinggi dibandingkan dengan non agresif, yaitu 21,9

Sedangkan rerata indeks mitosis pada kelompok non agresif adalah 16,0

Berdasarkan uji normalitas data Shapiro-Wilk didapatkan data berdistribusi

normal sehingga dilakukan analisis independent samples t-test. Hasil analisis data

dengan independent samples t-test didapatkan nilai p=0,030 (p<0,05). Hal ini

menunjukkan terdapat perbedaan bermakna indeks mitosis antara kedua kelompok

yakni indeks mitosis kelompok agresif lebih tinggi dibandingkan kelompok non

agresif.

69

5.3 Indeks Proliferasi Protein Ki-67

Tabel 5.7.

Hasil Analisis Perbandingan Indeks Proliferasi Ki-67

berdasarkan Agresifitas KSB

Indeks Proliferasi

Protein Ki-67

Kelompok

Agresif

Kelompok Non

Agresif

Df

(degree of

freedom)

p

Negatif (0-5%) 0 (0%) 5 (21.7%)

+1(6-25%) 11 (47,8%) 13 (56,5%) 3 0,032

+2(26-50%) 10 (43,5%) 5 (21,7%)

+3(>50%) 2 (8,7%) 0 (0%)

Tabel 5.7 menunjukkan indeks proliferasi protein Ki-67. Hasil penelitian

ini didapatkan bahwa indeks proliferasi protein Ki-67 baik pada kelompok agresif

dan non agresif terbanyak pada indeks proliferasi 1. Indeks proliferasi tertinggi 3

didapatkan pada KSB agresif subtipe histologis infiltratif. Berdasarkan analisis

data dengan chi-square-test , maka terdapat perbedaan bermakna indeks

proliferasi Ki-67 pada kelompok agresif dan non agresif (p=0,032). Hal ini berarti

indeks proliferasi Ki-67 lebih tinggi pada kelompok agresif dibandingkan

kelompok non agresif.

70

Gambar 5.2.

A.Indeks proliferasi protein Ki-67 negatif pada pada KSB noduler B. Indeks

proliferasi protein Ki-67 +1 pada KSB infiltratif C.Indeks proliferasi Ki-67 +2

pada KSB noduler, D. Indeks proliferasi protein Ki-67 +3 pada KSB infiltratif

(Pembesaran 100x, insert pembesaran 400x).

A

C

A

B

D

A

71

BAB VI

PEMBAHASAN HASIL

6.1 Indeks Mitosis dengan Agresifitas KSB

Proliferasi sel adalah inti dari pembelahan sel. Ada dua bentuk pembelahan sel.

Salah satunya terjadi pada pembentukan gamet (misalnya spermatozoa dan ovum)

melalui meiosis dan yang lainnya terjadi pada sel somatik disebut mitosis. Tujuan

dari mitosis adalah reproduksi dari sel somatik. Mitosis merupakan langkah-

langkah yang terjadi pada pembelahan inti. Mitosis adalah proses kompleks yang

terdiri dari terbukanya membran inti, kondensasi kromatin dan pemisahan

kromosom. Mitosis terdiri dari beberapa fase yaitu fase profase, prometafase,

metafase, anafase dan telofase.

Laju proliferasi sel adalah salah satu hallmark dari kanker. Metode analisis

yang sederhana dan bermanfaat dalam menilai laju proliferasi sel adalah indeks

mitosis. Parameter ini sering dikaitkan dengan agresifitas tumor dan sebagai

faktor prognosis perkembangan tumor (Haroon et al., 2013). Derajat proliferasi

sel yang tinggi secara umum berhubungan dengan pertumbuhan tumor yang cepat

dan perangai biologis serta klinis yang lebih agresif (Bartos et al., 2012). Peran

indeks mitosis pada tingkat harapan hidup pasien telah dibuktikan pada beberapa

kanker. Indeks mitosis telah digunakan dalam menentukan grading kanker

payudara dan ovarium. Bahkan indeks mitosis telah digunakan pada penentuan

Staging System America Joint Committee On Cancer (AJCC) edisi ke tujuh untuk

tumor melanoma maligna, tumor gastrointestinal dan tumor neuroendokrin di

72

traktus gastrointestinal (Yun Ha et al., 2016). Namun pada KSB sangat jarang

diteliti mengenai hubungan indeks mitosis dengan agre sifitas tumor.

Pada penelitian ini, rerata indeks mitosis pada kelompok agresif lebih

tinggi dibandingkan dengan non agresif, yaitu 21,9. Sedangkan rerata indeks

mitosis pada kelompok non agresif adalah 16,0 Berdasarkan hasil analisis data

dengan uji independent t-test maka didapatkan nilai p=0,030 (p<0,05). Hal ini

menunjukkan terdapat perbedaan bermakna indeks mitosis antara kedua kelompok

yakni indeks mitosis kelompok agresif lebih tinggi dibandingkan kelompok non

agresif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pirici pada tahun 2011 yang

menyebutkan bahwa indeks mitosis KSB berkaitan dengan agresifitas tumor

(Pirici et al., 2011). Penelitian yang dilakukan Kramer dan kawan kawan

menemukan bahwa terdapat korelasi stastistik yang bermakna antara indeks

proliferatif dengan aktivitas mitosis (Kramer et al., 2013).

6.2 Indeks Proliferasi Ki-67 dengan Agresifitas KSB

Aktivitas proliferasi dari kanker juga dapat dideteksi dengan pemeriksaan

imunohistokimia menggunakan antibodi yang melawan antigen Ki-67. Antigen

Ki-67 adalah salah satu penanda proliferatif sel yang paling reliabel (Selim et al.,

2009). Antigen ini merupakan protein non-histon yang diekspresikan pada semua

fase siklus sel aktif. Ki-67 saat ini merupakan penanda aktivitas proliferatif

tumor yang lebih baik dibandingkan aktivitas mitosis (Kramer et al., 2014).

Ekspresi Ki-67 dikaitkan dengan agresifitas pada kebanyakan tumor. Beberapa

penelitian menunjukkan ekspresi Ki-67 paling tinggi pada karsinoma

73

berdiferensiasi buruk (Devianti et al., 2012). Ekspresi Ki-67 pada sel neoplastik

digunakan sebagai pengukuran kuantitatif untuk mengetahui status proliferasi dan

termasuk dalam indikator prognostik dasar dalam laporan histopatologi rutin

(Bartos et al., 2012).

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa indeks proliferasi protein Ki-67 baik

pada kelompok agresif dan non agresif terbanyak pada indeks proliferasi 1. Indeks

proliferasi tertinggi 3 didapatkan pada KSB agresif subtipe histologis infiltratif.

Berdasarkan analisis data, terdapat perbedaan bermakna indeks proliferasi Ki-67

pada kelompok agresif dan non agresif (p=0,032). Hal ini berarti indeks

proliferasi Ki-67 lebih tinggi pada kelompok agresif dibandingkan kelompok non

agresif.

Kebanyakan dari tumor jinak tumbuh secara lambat dan kebanyakan tumor

ganas tumbuh secara cepat dan pada akhirnya menyebar secara lokal dan

bermetastastis (Kumar et al., 2013). Tumor dengan pertumbuhan agresif

memiliki laju proliferasi yang lebih tinggi. Laju pertumbuhan dari tumor ini

berkaitan dengan peningkatan ekspresi protein Ki-67. Semakin tinggi laju

pertumbuhan sel tumor maka semakin tinggi pula ekspresi dari protein Ki-67 dan

hal ini menyebabkan pertumbuhan tumor yang lebih agresif.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tumor KSB tipe agresif memiliki

ekspresi Ki-67 yang lebih tinggi dan berperan sebagai faktor prognostik. Leon dan

kawan kawan menyimpulkan bahwa Ki67 terbukti sebagai penanda prediktif dan

prognostik independen (Leon et al., 2006). Penelitian yang dilakukan Chuprov

dan kawan kawan menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

74

peningkatan indeks Ki-67 pada KSB tipe infiltratif (Chuprov, 2008). Penelitian

Selim dan kawan kawan menemukan bahwa ekspresi Ki-67 lebih tinggi pada KSB

tipe agresif dan rekuren (Selim et al., 2009). Hasil yang serupa diperoleh pada

penelitian Rosakawati pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa ekspresi Ki-67

pada tipe agresif lebih tinggi dibandingkan tipe non agresif dan hal ini bermakna

secara statistik.

Penelitian mengenai peran Ki-67 sebagai penentu derajat diferensiasi dan

faktor prognosis juga terbukti bermakna pada penelitian tumor-tumor lain.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rao dan kawan-kawan pada tahun

2009, dibuat kesimpulan bahwa Ki-67 berperan dalam menentukan agresifitas dari

meningioma (Rao et al., 2009). Penelitian yang dilakukan Keam dan kawan-

kawan menyimpulkan bahwa tingginya ekspresi Ki-67 pada pasien karsinoma

payudara triple negative memiliki perangai klinis yang lebih agresif (Keam et al,

2011). Youssef dan kawan-kawan pada tahun 2012 menyatakan bahwa Ki-67

dapat digunakan sebagai faktor prognosis pada karsinoma hepatoseluler (Youssef

et al., 2012). Marques dan kawan-kawan pada tahun 2014 menemukan ekspresi

Ki-67 yang sangat tinggi berkaitan dengan agresifitas dari lesi pituitari (Marques

et al., 2014).

Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang bertentangan. Penelitian

yang dilakukan oleh Mateoiu dan kawan kawan menyimpulkan bahwa tidak

terdapat perbedaan yang bermakna antara fraksi pertumbuhan ekspresi protein Ki-

67 antara subtipe histologis agresif dan non agresif (Mateoiu et al., 2011). Bartos

dan kawan kawan menemukan bahwa rerata eskpresi Ki-67 tertinggi ditemukan

75

pada KSB subtipe infiltratif (38,1%) dan subtipe morfea (37%). Sementara rerata

ekspresi Ki-67 terendah ditemukan pada subtipe nodular (21,7%). Namun tidak

terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada ekspresi Ki-67 KSB tipe non

agresif dan agresif sehingga tidak berperan sebagai faktor prognostik. Bartos dan

kawan kawan juga menyebutkan bahwa kuantifikasi sederhana aktivitas

proliferasi dari KSB dengan menggunakan protein Ki-67 tidak dapat digunakan

untuk memprediksi perangai biologis, evolusi dan clinical outcome dari

keganasan ini. Hal ini karena terdapat variabilitas dalam pengecatan Ki-67

sehingga tidak bisa digunakan sebagai faktor prognostik yang reliabel (Bartos et

al., 2012). Penelitian Kramer dan kawan kawan menyimpulkan bahwa tidak

terdapat korelasi antara indeks proliferasi Ki-67 dengan subtipe histologis.

Perbedaan hasil yang didapat ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa

faktor, antara lain adanya perbedaan besar sampel yang digunakan, serta teknik

pulasan, cara interpretasi Ki-67 yang berbeda, maupun kesalahan dalam menilai

ekspresi Ki67. Selain itu belum adanya kesepakatan internasional dalam

menentukan cara penilaian ekspresi Ki-67 dan menentukan nilai cut off point dari

Ki-67.

76

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

7.1.1 Indeks mitosis pada Karsinoma Sel Basal tipe agresif lebih tinggi

dibandingkan tipe non agresif.

7.1.2 Indeks proliferasi protein Ki-67 pada Karsinoma Sel Basal tipe agresif lebih

tinggi dibandingkan tipe non agresif.

7.2 Saran

7.2.1 Indeks mitosis dan indeks proliferasi Ki67 yang tinggi dapat digunakan

untuk menilai agresifitas dari KSB dan hal ini bisa disertakan dalam laporan

histopatologi rutin

7.3.2 Perlu dilakukan standarisasi dari penggunaan penanda biologis Ki-67 mulai

dari teknik pre-analitik, analitik, hingga interpretasi dan penentuan cut off

point.

77

DAFTAR PUSTAKA

Al-Janabi, S., Van Slooten H., Visses, M., Van Der Ploeg, T., Van Diest, P.J.,

Jiwa, M. 2013. Evaluation of Mitotic Activity Index in Breast Cancer

using Whole Slide Digital Image. DOI: 10.1371/journal.pone.0082576

(serial online), December 30th

2013., [cited 2016 March 16]. Available

from:

http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0082576

Anonim. 2015. Fuctional Profilling. [cited 2016 Feb 16]. Available from:

http://immunecarta.com/en/immune-monitoring-services-

technology/functional-profiling.html

Bartos, V., Adamicova, K., Kullova, M., Pec, M. 2012. Immunohistochemical

Evaluation of Proliferative Activity (Ki-67 Index) in Different

Histological Types of Cutaneus Basal Cell Carcinoma. Section Cellular

and Molecular Biology , 67/3: 610-615.

Bolshakov, S., Walker, C.M., Storm, S.S., Selvan, M.S., Clayman, G.L., Naggar,

A.E., Lippman, S.M., Kripke, M.L., Ananthaswamy, H.N. 2008. P53

Mutations in Human Agressive and Non Aggressive Basal and Squamous

Cell Carcinoma. American association for Cancer Research, 9: 228-234.

Cannizzaro, L.A.2006. Principles of Cytogenetics. In: Koss, L.P., Melamed M.R.,

editors. Koss’s Diagnostic Cytology and it’s Histopathologic Bases 5th

Ed.Lippincot Williams and Wilkins. p. 79-118.

Cigna, E., Tarallo, M., Maruccia, M., Sorvillo, V., Pollastrini, A., Scuderi, N.

2010. Basal Cell Carcinoma: 10 Years of Experience. Journal of Skin

Cancer, 10: 1-5.

Chuprov, I.N.2008. Immunomorphology Features of Cutaneus Basal Cell

Carcinoma. Vopr Onkol, 54: 715-719.

Colditz, C., Chia, K.S. 2011. Invasive Breast Carcinoma: Introduction and

General Features. In: Lakhani, S.R., Ellis, I.O., Schnitt, S.J., Tan, P.H.,

Van de Vijver, M.J.2011. WHO Classification of Tumours of the Breast.

Lyon-IARC. p 14-31.

Correa, M.P.D., Ferreira, A.P., Gollner, A.M., Rodrigues, M.F., Guerra, M.C.S.

2009. Marker Expression of Cell Proliferation and Apoptosis in Basal

Cell Carcinoma. An. Bras. Dermatol, 84(6): 1-15.

Crowson, A.N. 2006. Basal Cell Carcinoma: Biology, Morphology and Clinical

Implications. Modpathol, 19: 127-147.

Dabss, D.J.2014. Techniques of Immunohistochemistry: Principles, Pitfalls, and

Standardization. In: Diagnostic Immunohistochemistry, Theranostic and

Genomic Apllications 4th

Ed. Elsevier- Saunders. p 1-38.

Devianti, L., Aswiyanti, A., Edison. 2012. Peningkatan Ekspresi Ki-67 Tidak

Berhubungan Dengan Parameter Prognostik Histopatologik Karsinoma

Payudara Invasif di Sumatera Barat. Majalah Patologi Indonesia, 21 (3):

10-16.

Direktorat Jendral Pelayanan Medik. 2011. Kanker di Indonesia Tahun 2011. Data

Histopatologik. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I.

78

Elder, D.E. 2006. Basal Cell Carcinoma. In: Elenitsas R., Johnson B.L., Murphy

G.F.,editors. Lever’s Histopathology of the Skin 9th

Ed. Lippincot Williams

and Wilkins. p 836-848.

Frankel, A., Goldenberg, G. 2011. Presentation and Treatments of Basal Cell

Carcinoma: A Review. Cutaneus Oncology Today. 5-9.

Goppner, D., Leverkus, M.2011. Basal Cell Carcinoma: from the Molecular

Understanding of the Pathogenesis to Targeted Therapy of Progressive

Disease. Journal of skin cancer , 2011: 1-8.

Ha, S.Y., Choi M., Lee T., Park C.K. 2016. The Prognostic Role of Mitotic Index

in Hepatocellular Carcinoma Patients after Curative Hepatectomy. Cancer

Res Trest, 48(1):180-189.

Haroon, S., Hasmi, A.A., Khurshid, A., Kanpurwala, M.A., Mutjuba S., Malik B.,

Faridi N.2013. Ki-67 Index in Breast Cancer: Correlation with Other

Prognostic Markers and Potential in Pakistani Patients. Asian pacific

journal of cancer prevention, 14: 4353-4358.

Heller, E.R., Gor, A., Wang, D., Qiang Hu., Lucchese, A., Kanduc, D., Katdare,

L., Liu, S., Sinha, A.A. 2013. Molecular Signatures of Basal Cell

Carcinoma Susceptibility and Pathogenesis: A Genomic Approach.

International Journal of Oncology, 42: 583-596.

Ionescu, D.N., Arida, M., Jukic, D.M. 2006. Metastatic Basal Cell Carcinoma.

Arch Pathol Lab Med, 130: 45-51.

Kauvar, A.N.B., Cronin, T.J., Roenigk, R., Hruza, G., Bennet R.2015. Consensus

for Nonmelanoma Skin Cancer Treatment: Basal Cell Carcinoma,

Including a Cost Analysis of Treatment Methods. Dermatol Surgery

2015,0: 1-22.

Keam B., Im S.A., Lee K.H., Han S.W., Oh D.Y., Kim J.H., Lee S.H., Han w.,

Kim D.W., Kim T.Y., Park I.A., Noh D.Y., Heo D.S., Bang Y.J. Ki-67 can

be used for further classification in triple negative breast cancer into two

subtypes with different response and prognosis. Breast Cancer Research

2011. 13:R22.

Kossard, S., Epstein, E.H. Jr., Cerio, R., Yu, L.L., Weedon D. 2006. Basal Cell

Carcinoma. In: LeBoit P.E., Burg G., Weedon D., Sarasin A., editors.

WHO: Pathology and Genetics of Skin Tumours. Lyon: IARC. p.13-19.

Kramer, E., Herman, O., Frand J., Leibou L., Schreiber L., Vaknine H.2014. Ki-

67 as Biologic Marker of Basal Cell Carcinoma: A Retrospective Study.

IMAJ, 16: 229-231.

Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C. 2013. Basal cell carcinoma. In: Robbins

Basic Pathology 9th

Ed. p 864-865.

Lima, N.L,Verli F.D., Marinho, S.A. 2012. Basosquamous Carcinoma:

Histopathological Features. Indian J Dermatol , 57(5): 382-383.

Leon A., CeausuZ., Ceausu M., Ardaleanu C., Mehedinpi T.2006. Assesment of

The Aggressive Feature of Basal Cell Carcinoma in The Oral and

Maxillofacial Region. OHDMBSC, 5(4):62-267.

Madan, V., Lear, J.T., Szeimies, R.M. 2010. Non-melanoma Skin Cancer. The

Lancet, 375 (9715): 673-685.

79

Mahvash, M., Hugo, H.H., Maslehaty, H., Mehdorn, H.M., Stark, A.M. 2011.

Glioblastoma Multiforme in Children: Report of 13 Cases and Review of

the Literature. Pediatr. Neurol.45: 178-180.

Mateoiu M., Pirici A., Bogdan F. 2011. Immunohistochemical Nuclear Staining or

P53, pcna,Ki-67 and BCL-2 in Different Histologic Variants of Basal Cell

Carcinoma. Rom J.Morphol Embryol. 52(Suppl. 1): 315-319.

Marques P., Mara M., Calado C., Martins A., Monteiro J., Leite V. 2014.

Aggressive Pituitary Lesion with A remarkably High Ki-6. Arg Bras

Endocrinol Metabol. 58(6): 656-60.

Mosterd, K., Arits, A.H., Thissen, M.R., Kelleners-smetts, N.W. 2009.

Histology-based Treatment of Basal Cell Carcinoma. Acta Derm Venereol,

89:454-458.

Nasr M.R., El-Zammar O. 2008.Comparison of Phh3,Ki-67, Surviving

Immunoreactivity in Benign and Malignant Melanocytic Lesions. Am J

Dermatopathol.30:117-122.

Nielsen T.O.2015. Standardize Ki-67 Assesment in Breast Cancer. [cited 2016

Feb. 16]. Available from:

http://image.slidesharecdn.com/ceqty4ofrk69ybdxnwk0-signature.

Patterson J.W., Wick M.R.2006. Basal Cell Carcinoma in: Nonmelanocytic

Tumors of the Skin. AFIP Atlas of Tumor Pathology 4th

series. American

Registry of Pathology. p 46-55.

Pirici, A., Pirici, E., Voinescu, D., Cruce, M., Bogdan, F.2011. Assesment of Cell

Proliferation/Death Balance and Inflammation in Different Histological

Variants of Basal Cell Carcinomas. Annals of RSCB, XVI (1): 254-261.

Rao S., Sadiya N., Doraiswami S., Prathiba D. Characterization of

morphologically benign biologically aggressive meningiomas. Neurology

India 2009. Vol 57: 6.

Rosakawati, 2010. Ki-67 sebagai Petanda Proliferasi pada Karsinoma Sel Basal

Tipe Agresif dan Non Agresif. Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran

Program Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Onkologi, Jakarta.

Rosai, J.2011. Basal cell carcinoma. In: Rosai and Ackerman’s Surgical

Pathology, 10th

Ed, Volume 2. Mosby Elsevier, British. p 134-137.

Samarasinghe, V., Madan, V., Lear, J. T. 2011. Focus on Basal Cell Carcinoma.

Journal of Skin Cancer, 12: 1-5.

Selim, A.G.,Ashmawy, A.E., Gheida, S., Elnaby, N.A., Tatawy, R.E. 2009. Basal

Cell Carcinoma: Possible Role of Some Proliferative and Apoptotic

Factors. J Egypt Wom dermatol Soc, 6(1): 16-27.

Standar Operasional Prosedur Pulasan H & E Laboratorium Patologi Anatomi

Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. 2012.

Standar Operasional Prosedur Pengecatan Rutin Imunohistokimia Laboratorium

Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. 2012.

Subhash, M., Reddy J., Babu S., Balan, P. 2013. Xeroderma Pigmentosum: Man

Deprived of His Right to Light. The Scientific World Journal Volume

2013.(serial online), 2013., [cited 2016 Mar 18]. Available from:

http;//dx.doi.org/10.1155/2013/534752.

80

Telfer, N.R., Colver, G.B., Morton, C.A.2008. Guidelines for the Management of

Basal Cell Carcinoma. British Journal of Dermatology,159 (1): 35-48.

Trigoni, A., Lazaridou, E., Apalla, Z., Vakirlis, E., Chrysomallis, F.,

Varytimiadis, D., Ioannides, D. 2012. Dermaoscopic Features in the

Diagnosis of Different Type of Basal Cell Carcinoma. Hippokratia, 16 (1):

29-34.

Walczak, C.E., Cai S., Khodjakov A. 2010. Mechanisms of Chromosome

Behaviour During Mitosis. Nature Reviews Moleculer Cell Biology 11 :

91-102.

Weedon, D. 2010. Basal Cell Carcinoma. In: Weedon’s Skin of Pathology 3rd

Ed,

Volume 2. Churchil Livingstone Elsevier, London. p 682-291.

19. Vantuchova Y., Curik R. 2006. Histological Type of Basal Cell Carcinoma.

Script Media (BRNC) 79(5-6): 261-270.

Yalcin, T., Kutlubay, Z., Engin, B., Serdaroglu, S. 2011. Basal Cell Carcinoma,

Skin Cancer Overview (serial online). (cited 2015 Nov 9). Available from:

http://cdn.intechweb.org/pdfs/25260.pdf.

Yerushalmi, R., Woods, R., Ravdin, P.M. 2010. Ki-67 in Breast Cancer:

Prognostic and Predictive Potential. Lancet Oncol 11: 174-183.

Youssef M.I., Maghraby H., Youssef E.A., El-Sayed M.M. Expression of Ki 67

in hepatocelluler carcinoma induced by diethylnitrosamine in mice and its

correlation with histopathological alterations. Journal of Applied

Pharmaceutical Science 2012. 02(03): 52-59.

81

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik

82

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian

83

Lampiran 3. Amandemen Surat Kelaikan Etik

84

Lampiran 4. Amandemen Surat Ijin Penelitian

85

Lampiran 5. Data Sampel Penelitian

No PA

Umur,

JK Lokasi Diagnosis PA

IM(/10

HPF)

Ukuran

tumor

(cm) Makroskopis

Indeks

Ki67

1 3111PP13 48, L Nasal Infiltratif 10 3 nodul 1

2 3288PP13 59,L Nasal Nodular 15 1.2 nodul 2

3 3769PP13 46,L Dahi Nodular 22 1.5 ulkus 1

4 3821PP13 63,P Nasal Infiltratif 35 2.5 ulkus 2

5 3957PP13 35,P Pipi Morfea 5 1 nodul 2

6 4238PP13 70,L Nasal Nodular 8 2 nodul 1

7 4903PP13 41,L Punggung Nodular 8 2 nodul 1

8 4907PP13 63,P Nasal Basoskuamus 20 2.5 nodul 2

9 5137PP13 65,L Dahi Infiltratif 32 3.7 ulkus 3

10 5176PP13 48,P Palpebra Nodular 34 1 nodul 2

11 5319PP13 32,L Nasal Infiltratif 18 2 nodul 1

12 5380PP13 53,L Palpebra Nodular 18 4.2 nodul 2

13 533PP14 66,P Palpebra Nodular 11 2 ulkus 1

14 686PP14 57,P Nasal Nodular 16 2 ulkus 1

15 747PP14 76,L Dada Superfisial 12 2 nodul 0

16 839PP14 47,L Nasal

Nodular+Infiltr

atif 24 2 ulkus 2

17 953PP14 68,L Pipi Nodular 18 2 nodul 0

18 1113PP14 57,P Nasal Nodular 21 2 ulkus 2

19 1161PP14 81,L Nasal

Nodular+Infiltr

atif 10 2 ulkus 1

20 1837PP14 49,P Palpebra Nodular 5 2 ulkus 0

21 2047PP14 85,L Maksila Nodular 21 2 ulkus 1

22 2305PP14 61,P Oksipital Basoskuamus 13 2 nodul 1

23 2680PP14 69,L aurikula Nodular 28 2 nodul 2

24 2705PP14 60,P aurikula Nodular 21 2 nodul 0

25 2708PP14 75,P Palpebra Nodular 11 2 ulkus 1

26 3191PP14 66,L Maksila

Nodular+Infiltr

atif 24 2 ulkus 2

27 3237PP14 76,L Palpebra

Nodular+Infiltr

atif 22 2 ulkus 1

28 3639PP14 81,L Nasal

Nodular+Infiltr

atif 19 2 ulkus 1

29 4555PP14 68,L Nasal Nodular 12 2 nodul 1

30 5058PP14 83,L Palpebra Infiltratif 21 2 nodul 1

31 5271PP14 73,P Mentalis Basoskuamus 40 2 ulkus 2

32 462PP15 76,L Nasal Nodular 7 2 nodul 1

33 720PP15 47,P Oksipital Basoskuamus 52 2 nodul 1

34 980PP15 58,P Labia Infiltratif 21 2 ulkus 2

35 1145PP15 61,P Nasal Infiltratif 22 2 nodul 1

86

36 1531PP15 73,L Labia Nodular 8 2 nodul 1

37 1592PP15 59,P Nasal Nodular 18 2 ulkus 1

38 2449PP15 57,P Nasal

Nodular+Infiltr

atif 15 2 nodul 2

39 2455PP15 59,P Nasal Nodular 21 2 nodul 1

40 2489PP15 50,P Palpebra Infiltratif 16 2 nodul 3

41 3338PP15 61,L Aurikula Nodular 19 2 nodul 0

42 4774PP15 65,P Pipi Nodular 14 2 ulkus 1

43 5302PP15 52,P Maksila Basoskuamus 21 2 ulkus 1

44 199PH14 72,L Aksila Basoskuamus 28 2 ulkus 1

45 417PH14 61,P Aurikula

Nodular+Infiltr

atif 18 2 nodul 2

46 366PH 15 76,L Nasal Basoskuamus 17 1.2 plak 2

Keterangan:

L= laki-laki

P= Perempuan

I M = Indeks Mitosis

HPF = High Power Field (Lapangan Pandang Besar)

C

87

Lampiran 6. Analisis Statistik

6.1 Rerata Umur Sampel Penelitian

Group Statistics

Agresif N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Umur agresif 23 61.22 14.065 2.933

nonagresif 23 62.61 10.949 2.283

Group Statistics

JK N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Umur 1 24 65.50 14.328 2.925

2 22 58.00 8.848 1.886

6.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin

JK * Agresif Crosstabulation

Agresif

Total agresif nonagresif

JK laki laki Count 11 13 24

% within JK 45.8% 54.2% 100.0%

% within Agresif 47.8% 56.5% 52.2%

% of Total 23.9% 28.3% 52.2%

perempuan Count 12 10 22

% within JK 54.5% 45.5% 100.0%

% within Agresif 52.2% 43.5% 47.8%

% of Total 26.1% 21.7% 47.8%

Total Count 23 23 46

% within JK 50.0% 50.0% 100.0%

% within Agresif 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

88

6.3 Uji Normalitas Variabel

Tests of Normality

Agresif

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Mitosis agresif .201 23 .017 .912 23 .045

nonagresif .112 23 .200* .951 23 .313

Ukuran (cm) agresif .390 23 .000 .699 23 .000

nonagresif .453 23 .000 .498 23 .000

% Ki-67 agresif .199 23 .018 .891 23 .017

nonagresif .109 23 .200* .938 23 .164

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

6.4 Analisis Data Indeks Proliferasi Protein Ki-67 dengan Chi Square test

Ki-67 * Agresif Crosstabulation

Agresif

Total agresif nonagresif

Ki-67 negatif Count 0 5 5

% within Ki-67 .0% 100.0% 100.0%

% within Agresif .0% 21.7% 10.9%

% of Total .0% 10.9% 10.9%

1 Count 11 13 24

% within Ki-67 45.8% 54.2% 100.0%

% within Agresif 47.8% 56.5% 52.2%

% of Total 23.9% 28.3% 52.2%

2 Count 10 5 15

% within Ki-67 66.7% 33.3% 100.0%

% within Agresif 43.5% 21.7% 32.6%

% of Total 21.7% 10.9% 32.6%

89

3 Count 2 0 2

% within Ki-67 100.0% .0% 100.0%

% within Agresif 8.7% .0% 4.3%

% of Total 4.3% .0% 4.3%

Total Count 23 23 46

% within Ki-67 50.0% 50.0% 100.0%

% within Agresif 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Pearson Chi-Square 8.833a 3 .032

Likelihood Ratio 11.570 3 .009

Linear-by-Linear Association 8.077 1 .004

N of Valid Cases 46

a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum

expected count is 1.00.

6.5 Rerata Variabel Indeks Mitosis

Report

Mitosis

Agresif Mean N Std. Deviation

agresif 21.87 23 10.341

nonagresif 16.00 23 7.090

Total 18.93 46 9.255

90

6.6 Analisis Data Indeks Mitosis dengan Independent Samples t T-test