ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KELAUTAN.docx

Embed Size (px)

Citation preview

ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

KEKAYAANlaut yang berlimpah dapat memberikan manfaat bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Namun, kenyataannya negara kepulauan terbesar di dunia ini tidak mampu mengelola sumber penghidupan yang terhampar luas di bumi khatulistiwa. Kurangnya kepedulian pemerintah dan pihak-pihak terkait terhadap pengembangan pengetahuan, teknologi, dan riset atas potensi kekayaan laut Indonesia, diduga kuat menjadi pangkal kebodohan bangsa ini.

Negara instan, itulah yang tercermin dari bangsa dengan jumlah penduduk mencapai seperempat miliar ini. Kurangnya kesadaran pemerintah pada penelitian dan riset teknologi terhadap kekayaan laut di bumi Ibu Pertiwi, menjadikan masyarakat di negeri ini tidak mengerti atas potensi sumber daya alam yang dimilikinya.Padahal, manfaatnya jangka panjang.

Bagai tikus mati di lumbung padi mungkin itulah pepatah yang cocok untuk negara besar ini. Jika dikalkulasi, potensi ekonomi sektor kelautan Indonesia bila digarap dengan benar bisa mencapai 800 miliar dolar AS atau setara dengan Rp7.200 triliun per tahun, alias enam kali lipat APBN 2011 atau setengah Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, sampai saat ini masih nol besar.

Ironisnya, potensi laut Indonesia justru menjadi surga riset kapal asing. Tujuannya tidak lain adalah untuk kepentingan perusahaan, lembaga atau negara yang ingin menguasai kekayaan nusantara. Banyak data dan potensi sumber daya alam dicuri.Pemerintah dengan sadar tahu.Namun, kurangnya anggaran dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk riset menjadi pembenaran atas kondisi ini.Tak heran, sejak era reformasi, riset dan pemetaan laut yang dilakukan pihak asing semakin marak.Mulai dari kedok kerjasama institusi pemerintah, sampai dengan yang jelas-jelas ilegal alias bodong tidak memiliki izin dari pemerintah Indonesia.

Kegiatan tersebut tanpa sadar membawa konsekuensi bocornya data negara yang seharusnya dirahasiakan. Informasi tentang medan laut dapat digunakan pihak asing untuk menentukan taktik dan strategi militer, jika mereka ingin menguasai wilayah Indonesia.

Sebenarnya negara telah memiliki peraturan kerjasama internasional di bidang penelitian dan pengembangan, dengan adanya PP (Peraturan Pemerintah) No 41/2006, tentang perizinan kegiatan penelitian dan pengembangan oleh pihak asing di Indonesia. Peraturan pemerintah ini menetapkan ketentuan, persyaratan, kewajiban dan larangan yang harus ditaati lembaga atau peneliti asing, mitra serta lembaga penjamin kegiatan penelitian.Peraturan tersebut harus dilaksanakan pemerintah untuk melindungi masyarakat, bangsa dan negara dari kemungkinan kerugian yang ditimbulkan penelitian pihak asing.

Seluruh penelitian harus mendapat izin dari lembaga penanggung jawab, yaitu Kementerian Riset dan Teknologi, melalui tim yang dibentuk Sekretariat Perizinan Peneliti Asing (TKPIPA). Tim ini merupakan pokja interdept yang anggotanya terdiri dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Mabes POLRI, BIN, LIPI, BPPT, serta kementerian lain yang disesuaikan dengan misi riset.

Selain itu, kapal survei asing yang akan digunakan di Indonesia juga harus memenuhi persyaratan yang ditentukan Kementerian Pertahanan. Karena kapal riset asing bukan sekadar lewat, tetapi membawa data informasi kondisi laut Indonesia.Jika tidak berhati-hati data laut Indonesia bisa berpindah tangan. Namun, pemerintah sendiri tidak konsekuen menjalankan peraturan tersebut. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya benturan antar peraturan yang ada.Sebagai contoh, Undang-undang No 22/2001 yang mengatur tentang minyak dan gas. Aturan ini memberikan peluang bagi pihak asing untuk melakukan kegiatan survei dan pemetaan lepas pantai dengan cara mudah, yaitu cukup memperoleh izin dari Dirjen Migas tanpa koordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan, seperti diatur peraturan sebelumnya. Padahal, sudah sangat jelas bahwa penggunaan peneliti dan kapal asing harus mendapat persetujuan Security Clearance dari pihak Kementerian Pertahanan.

Birokrasi yang rumit serta panjangnya waktu untuk proses perizinan inilah yang menjadi bahan pertimbangan bagi para pelaku (mitra kerja dan lembaga penjamin di Indonesia) pemenang tender mencari jalan lintas dengan cara mengambil celah-celah hukum agar survei laut tetap legal, tanpa melewati prosedur. Hal ini terjadi, karena bagi mereka yang dipikirkan adalah benefit yang harus diperoleh. Memotong jalur birokrasi berarti menghemat waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.Padahal untuk urusan survei laut yang menggunakan tenaga ahli asing dan kapal asing diwajibkan mendapatkan pertimbangan dari tim yang berada di bawah Kemenristek sebelum akhirnya memperoleh persetujuan Security Clearance dari Kemenhan.

Lalu, benarkah proses perizinan di Direktorat Wilayah Pertahanan Kemenhan memerlukan waktu lama seperti yang dikeluhkan para agen pelaksana kegiatan? Untuk mengurus SC (Security Clearance) di Kemenhan hanya butuh waktu paling lama tiga hari jika semua persyaratan seperti Diplomatic Clearance dari Kemenlu, PKKA (Permohonan Keagenan Kapal Asing) dari Kemenhub, kemudahan Khusus Bermukim (Dahsuskim) dari Imigrasi Kemenhukham serta persetujuan dari Sekretariat Perizinan peneliti Asing Kemenristek telah lengkap. Bukti inilah yang menunjukkan pihak mana yang seharusnya diwaspadai melihat peluang besar bocornya informasi data laut Indonesia.

Kapal-kapal seismik (kapal riset) bisa sangat leluasa menyapu bersih informasi dasar laut Indonesia. Datanya pun langsung dikirim via satelit ke negara di mana perusahaan tersebut menang tender.Apalagi fakta menunjukkan sejak dulu Indonesia memegang peranan penting dalam jalur perdagangan dunia. Semakin meningkatnya ketergantungan dunia akan laut, perairan Indonesia menjadi incaran penguasaan negara asing, terutama negara yang industrinya sangat tergantung pada minyak bumi dan transportasi laut.

Meningkatnya kebutuhan minyak bumi dibuktikan dengan semakin intensifnya survei seismik asing guna mencari wilayah-wilayah baru potensi minyak dan gas di dasar laut Indonesia. Wilayah nusantara pun menjadi terbuka dari segala arah dan rentan terhadap perkembangan lingkungan, baik global, regional maupun nasional.

Keunikan dan kompleksitas perairan Indonesia telah menjadi daya tarik para peneliti asing dari berbagai negara. Hampir semua tipe dasar topografi ditemukan di Indonesia, seperti continental shelves, continental , insular slope, basin laut dalam, palung dan relung. Potensi perairan pesisir dan teluk Indonesia juga sangat besar, namun pemahaman terhadap karakteristik dan perilaku oseanografi pada daerah tersebut masih minim. Indonesia justru tergantung terhadap data yang disediakan negara lain, lembaga dan organisasi internasional, seperti NOAA, CSIRO, ARGOS.

Ekspedisi penelitian laut Internasional pun banyak dilakukan mulai dari Ekspedisi Challenger (1872-1875), The Gazelle (1875), The Valdivia (1899), The Siboga (1899-1900), The Planet (1906-1907), The Snellius I (1929-1930), The Albatros (1948), The Spencer of Bird (1947-1950), The Galathea (1981) serta yang terakhir Deep Sea Explorer (2010) yang dilakukan kapal Angkatan Laut Amerika Serikat di Laut Sulawesi.

Siapa bilang tak ada orang pintar di negeri ini.Mereka banyak dan tersebar di sejumlah lembaga, tapi hanya diparkir.Perhatian pemerintah terhadap orang-orang cerdas, termasuk ilmuwan dan peneliti yang sangat minim, menjadikan bukan hanya data dan potensi alam yang dicuri, orang-orangnya juga ikut diboyong.

Bahaya laten datang, karena mereka jadi incaran. Para ilmuwan muda diiming-imingi berbagai fasilitas, tempat riset yang memadai, dan gaji besar, asalkan bekerja untuk mereka.Perburuan terhadap ilmuwan-ilmuwan tersebut sangat agresif. Selain datang ke kampus-kampus di luar negeri dan berburu mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil program doktoral, mereka juga datang ke sejumlah lembaga riset di Tanah Air.Mereka mengetahui, perhatian Pemerintah Indonesia terhadap ilmuwan dan peneliti sangat minim.Selain gaji kecil dan fasilitas penelitian sangat terbatas, peneliti juga sangat sulit mendapatkan hak paten atas penemuan yang sudah dilakukan. Mengetahui kelemahan ini, negara lain menawarkan fasilitas yang tidak diberikan pemerintah Indonesia.

Menurut sumber, perguruan tinggi di Malaysia sempat menawarkan gaji total (take home pay) 5.000 dolar AS (sekitar Rp45 juta) per bulan. Sebaliknya di Indonesia, gaji berikut tunjangan seorang profesor riset LIPI saat ini sekitar Rp5 juta per bulan. Jumlah tersebut jauh dibandingkan dengan profesi yang sama di Amerika Serikat yang diberikan gaji sekitar Rp90 juta per bulan atau di Jepang sekitar Rp600 juta. Adapun di Pakistan, gaji ilmuwan terkemuka bisa tiga kali dari gaji seorang menteri.

Namun selain gaji, yang sangat didambakan seorang peneliti adalah fasilitas riset yang memadai.Fasilitas ini sangat kurang di Indonesia. Tak heran jika pada 1990-1992, tercatat ada 177 peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang pindah ke swasta, instansi lain, dan keluar negeri. Selain fasilitas penelitian yang kurang, untuk mendapatkan hak paten di Indonesia juga sangat sulit, berbelit-belit, dan lama, bisa sampai sembilan tahun.Padahal, paten adalah kebanggaan dan pengakuan terhadap peneliti sekaligus tambahan keuangan dari royalti yang didapatkan. Selama 2001-2010, paten milik 237 juta penduduk Indonesia hanya 115.

Sejumlah lomba penelitian digelar, tetapi tak jelas kelanjutannya.Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang diselenggarakan sejak 1969, atau 42 tahun lalu, misalnya, hingga saat ini para juara tak terlacak keberadaannya. Begitu pula para juara Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) yang memasuki tahun ke-10 dan Pemilihan Peneliti Muda Indonesia (PPMI), yang terakhir dilaksanakan 2009, tidak dipantau perkembangan prestasi para penelitinya. Belum lagi para juara olimpiade Internasional.

Memang sejak 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar para juara olimpiade internasional difasilitasi untuk dapat kuliah hingga jenjang doktor. Kenyataannya, untuk mendapat beasiswa itu butuh waktu lama dan berbelit-belit sehingga banyak yang mencari beasiswa dari luar negeri.

Bukan cuma perhatian yang kurang.Anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk kegiatan penelitian sangat kecil. Selama 1999-2007, anggaran penelitian hanya sekitar 0,3 persen dari APBN. Kecilnya anggaran ini menyebabkan dana penelitian harus dibagi-bagi untuk 62.995 orang yang bergerak di bidang penelitian, yakni peneliti, teknisi, dan staf pendukung. Anggaran yang tidak sebanding menyebabkan penelitian tidak bisa berlanjut. Penelitian harus ditunda beberapa tahun menunggu kucuran dana selanjutnya.

Berbagai kendala ini, ditambah suasana lembaga penelitian yang tidak kondusif, menyebabkan peneliti-peneliti menerima tawaran dari luar negeri.Padahal, negara sebenarnya bisa memanfaatkan orang-orang berprestasi asalkan diberikan kesempatan.

Namun, kesempatan itu sangat kecil sehingga mereka memilih mengembangkan kemampuan di luar negeri. Di sisi lain, pemerintah berdalih tidak bisa memaksa orang-orang berprestasi kembali ke Indonesia. Mereka hanya berkomentar penerima beasiswa seharusnya pulang karena pendidikannya sudah dibiayai pemerintah.Keterbatasan sarana semestinya menjadi tantangan untuk tetap bekerja.Kondisi dan kebijakan negara atas kepentingan riset ini harus segera dibenahi.

Luas wilayah Indonesia mencapai 7,7 juta kilometer persegi, terdiri dari 25 persen teritorial daratan (1,9 juta km2) dan 75 persen teritorial laut (5,8 juta km2). Dari luas wilayah laut tersebut, 2,8 juta km2 merupakan perairan nusantara (perairan kepulauan), 0,3 juta km2 laut teritorial, serta 2,7 juta km2 zona ekonomi eksklusif (ZEE). Jumlah pulau besar dan kecil mencapai lebih dari 17.504 buah.

Potensi besar ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan terbesar dengan teritorial laut paling luas di dunia dan garis pantai sepanjang 81.000 km atau terpanjang kedua setelah Kanada.Hal ini memberi arti, bahwa sektor maritim memiliki peran penting bagi pembangunan.Namun, perhatian pemerintah terhadap potensi sumber daya laut yang terhampar luas tidak mendapat perhatian serius.

Minimnya perhatian pemerintah terhadap kepentingan riset dan penelitian, mendapat sorotan dari berbagai pihak.Salah satunya adalah Prof. Rokhmin Dahuri, Peneliti Senior PKSPL IPB.Menurut pria bersahaja ini, penelitian yang komperhensif di bidang kelautan dan perikanan sangat diperlukan agar arah gerak pembangunan Indonesia terarah. Selama ini pemerintah hanya mengandalkan arah pembangunanpada kepentingan anggaran, bukan bagaimana pembangunan bisa berjalan untuk kepentingan jangka panjang.

Yang kita tuju adalah satu negara yang maju, adil, makmur dan berdaulat. Kita pernah berjaya dan disegani di kawasan Asia sebagai negara maritim yang tangguh. Tapi, itu semua dilumpuhkan oleh penjajah. Yang dikembangkan justru membangun darat, sehingga laut dilupakan. Kondisi ini terus berlanjut hingga sekarang, ujar Rokhmin.

Berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan (KKP) di era Presiden Gus Dur, menurut Rokhmin, seharusnya menjadi momentum yang sangat baik dalam membangun dunia maritim. Namun, itu semua hanya tinggal impian. Sudah hampir 11 tahun kementerian tersebut berdiri hasilnya belum signifikan untuk membuktikan bahwa laut menjadi sumber kemakmuran bangsa.

Berbagai penelitian tidak dilaksanakan dengan baik.Hal ini disebabkan dua faktor, yaitu faktor struktural dan teknis. Soal teknis hal ini berhubungan dengan teknologi.Kalau dilihat dari sektor kelautan praktis, penggunaan teknologi dalam memberdayakan sumber daya laut masih sangat lemah, belum lagi variabel-variabel lain, seperti permodalan. Di pihak lain, Kepala Badan Litbang Kementerian Perhubungan, Denny Siahaan menilai, sebenarnya pemerintah telah banyak melakukan penelitian tentang potensi dan kebutuhan pembangunan di sektor laut.

Namun, implementasinya tidak dilaksanakan. Banyak penelitian yang telah kita lakukan, baik untuk pembangunan jangka panjang maupun jangka pendek. Namun, kembali lagi pada kepentingan kebijakan pemangku jabatan.Implementasi jadi tidak terlihat.

Khusus mengenai penelitian di bidang transportasi laut, ke depan Badan Litbang Kementerian Perhubungan akan melakukan berbagai penelitian dalam rangka mendukung pelaksanaan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), merevisi dokumen Sistem Transportasi Nasional (Sistranas), Tataran Transportasi Wilayah (Tatrawil) dan Tataran Transportasi lokal (Tatralok) sesuai dengan konsep pengembangan ekonomi dalam MP3EI.

Di sisi lain, menanggapi kecurigaan riset ilegal yang dilakukan pihak asing, Deputi Kepala Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT, Ridwan Djamaluddin menanggapinya dengan bijak. Ia sangat menyayangkan jika negara ini tidak memiliki data potensi laut. Selain kekayaan sumber daya alam tidak terperhatikan, Indonesia juga tidak bisa menginvetarisir berapa besar potensi laut yang dimilikinya. Sebagai orang teknis, perkembangan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) kita masih di belakang negara-negara maju. Di sisi lain kebutuhan terhadap informasi untuk diketahui sangat mendesak. Jadi saya mencoba berani menghadapi tantangan dengan membawa wacana bahwa sekarang kita tidak bertarung pada tataran penguasaan data. Tapi, bertarung pada tataran penguasaan informasi, ujar Ridwan.

Dalam melakukan riset biota laut, tidak mungkin para ahli di Indonesia melakukannya sendiri. Pertama, dana riset terbatas. Kedua, teknologi yang dimiliki masih sangat minim. Jadi bila ada negara lain yang punya teknologi dan membawa dananya sendiri, daripada kita sama-sama tidak tahu mendingan kita bekerjasama. Perlu diketahui, data yang sama bisa menjadi infromasi berbeda di tangan orang berbeda. Inilah yang menjadi tantangan terbesar kaum ilmuan.

Sebetulnya mekanisme dalam melakukan riset di laut harus mendapatkan izin khusus yang lebih spesifik. Selain itu, harus ada ahli dari dalam negeri dan petugas keamanan yang ikut terlibat dalam riset mereka. Sekarang sudah ada tim antar departemen atau antar lembaga yang dikoordinasikan oleh Kementerian Riset dan Teknologi.

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Hanura, Muradi Darmansyah mendesak pemerintah agar mengusut tuntas kasus kapal riset asing ilegal. Untuk mengadakan eksplorasi dan penelitian, sesuai aturan kapal-kapal asing harus mendapat izin terlebih dulu dari pemerintah Indonesia. Apalagi menyangkut kekayaan alam Indonesia, mereka harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jika dilanggar ini kriminal.Kami mengecam riset-riset ilegal tersebut. Ini suatu hal yang memperburuk negara kita di mata Internasional.

Kecaman juga datang dari mantan KSAL, Laksamana (purn) Bernard Kent Sondakh. Menurutnya, penelitian tidak hanya diatur UU Indonesia, tetapi juga diatur UU Internasional.Selama dirinya menjabat sebagai Komandan Staf Angkatan Laut tidak menemukan adanya indikasi kasus tersebut. Kecuali yang sudah diatur BPPT.

Jika ada kapal asing yang melakukan riset tanpa izin wajib hukumnya ditangkap. Jika perlu ditenggelamkan saja. Apalagi jika penelitian laut untuk mencari layer (lapisan SOFAR), di mana kapal selam yang masuk di jalur itu tidak bisa ditembus sonar. Layer itu rahasia negara yang paling penting. Pemetaan layerdigunakan untuk kepentingan militer agar operasi kapal selam tidak terdeteksi sonar kapal patroli air.

Ada juga kapal dari Amerika yang melakukan riset di perairan Indonesia, tapi itu kerjasama dengan BPPT.Jelas lanjut Kent, harus dicari tahu dan dilaporkan ke Angkatan Laut. Yang paling sering itu di wilayah Maluku, Ambon. BPPT bekerjasama dengan kapal Amerika dan Jepang untuk penelitian ikan dan terumbu karang.Kalau untuk tujuan militer, apalagi sampai data diperjualbelikan tanpa kompromi harus ditangkap.

Manfaat dan keuntungan dari penelitian itu sangat luar biasa, tapi keuntungan yang diambil sebagian besar untuk negara lain. Jika dibandingkan, menurut Bernard, kerugiannya justru lebih besar. Karena data penting diambil mereka. Sekarang baru sadar dan kaget. Dari dulunegara luar masih merupakan pihak yang paling diuntungkan.

Pemerintah harus tegas. TNI AL harusnya mengetahui kegiatan penelitian yang dilakukan secara ilegal.Kita punya kapal patroli begitu banyak, jika memang ada yang tahu, saran saya sebaiknya segera dilaporkan. Dalam UU jelas bahwa harus ada izin dan Security Clearance yang dikeluarkan, kata Bernard.

Hal senada dikatakan Pengamat Kelautan dari Universitas Diponegoro, Sahala Hutabarat. Ia menilai kegiatan ilegal sangat merugikan bangsa Indonesia, sehingga harus dilakukan pengusutan secara tuntas. Biasanya kan kalau kapal melakukan survei harus ada izin dari pihak-pihak terkait. Apalagi mengenai militer harus mendapat izin dari BIN, tentu dengan pengawasan Angkatan Laut, ujar Sahala.

Sahala melanjutkan, hasil penelitian harus menjadi data bersama, meski yang melakukan penelitian adalah kapal asing.Waktu penelitian kapal Amerika di Sulawesi itu juga jelas, ada izin dari BPPT. Tapi, selama itu ilegal tentunya harus ditangkap.

Riset Laut Ilegal Marak

Melihat potensi dan kekayaan alam Indonesia yang luar biasa, wilayah nusantara menjadi surga riset ilegal kapal asing. Tujuannya tidak lain adalah untuk kepentingan perusahaan, lembaga atau negara yang ingin menguasai bumi khatulistiwa. Banyak data dan potensi sumber daya alam dicuri karena ketidaktahuan dan ketidakpedulian bangsa ini.

Sejak era reformasi, survei dan pemetaan laut yang dilakukan pihak asing semakin marak terjadi. Mulai dari kedok kerjasama institusi pemerintah dengan pihak asing, sampai dengan yang jelas-jelas ilegal alias tidak memiliki izin dari pemerintah Indonesia.

Kegiatan tersebut tanpa sadar membawa konsekuensi bocornya data negara yang seharusnya dirahasiakan. Informasi tentang medan laut dapat digunakan pihak asing untuk menentukan taktik dan strategi militer, jika mereka ingin menguasai wilayah Indonesia.

Sebenarnya negara telah memiliki peraturan kerjasama internasional di bidang penelitian dan pengembangan, dengan adanya PP (peraturan pemerintah) No 41/2006, tentang perizinan kegiatan penelitian dan pengembangan oleh pihak asing di Indonesia. Peraturan pemerintah ini menetapkan ketentuan, persyaratan, kewajiban dan larangan yang harus ditaati lembaga atau peneliti asing, mitra serta lembaga penjamin kegiatan penelitian. Peraturan tersebut harus dilaksanakan pemerintah untuk melindungi masyarakat, bangsa dan negara dari kemungkinan kerugian yang ditimbulkan penelitian pihak asing.

Seluruh penelitian harus mendapat izin dari lembaga penanggung jawab, yaitu Kementerian Riset dan Teknologi, melalui tim yang dibentuk Sekretariat Perizinan Peneliti Asing (TKPIPA). Tim ini merupakan pokja interdept yang anggotanya terdiri dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan dan Keamanan, Mabes POLRI, BIN, LIPI, BPPT, serta kementerian lain yang disesuaikan dengan misi riset.

Selain itu, kapal survei asing yang akan digunakan di Indonesia juga harus memenuhi persyaratan yang ditentukan Kementrian Pertahanan dan Keamanan. Karena kapal riset asing bukan sekadar lewat, tetapi membawa data informasi kondisi laut Indonesia. Jika tidak berhati-hati data laut Indonesia bisa berpindah tangan.

Namun, pemerintah sendiri tidak konsekuen menjalankan peraturan tersebut.Kondisi ini diperparah dengan terjadinya benturan antar peraturan yang ada. Sebagai contoh, Undang-undang No 22/2001 yang mengatur tentang minyak dan gas. Aturan ini memberikan peluang bagi pihak asing untuk melakukan kegiatan survei dan pemetaan lepas pantai dengan cara mudah, yaitu cukup memperoleh izin dari Dirjen Migas tanpa koordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan, seperti yang diatur peraturan sebelumnya. Padahal, sudah sangat jelas bahwa penggunaan peneliti dan kapal asing harus mendapat persetujuan Security Clearance dari pihak Kementerian Pertahanan dan Keamanan.

Birokrasi yang rumit serta panjangnya waktu untuk proses perizinan inilah yang menjadi bahan pertimbangan bagi para pelaku (mitra kerja dan lembaga penjamin di Indonesia) pemenang tender mencari jalan pintas dengan cara mengambil celah-celah hukum agar survei laut tetap legal, tanpa melewati prosedur. Hal ini terjadi, karena bagi mereka yang dipikirkan adalah benefit yang harus diperoleh.Memotong jalur birokrasi berarti menghemat waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.

Perusahan penjamin PT Hugo Igor Energy misalnya, mitra pelaksana kegiatan survei migas lepas pantai asing yang beralamat di bilangan Kuningan, Jakarta ini lebih senang memuluskan kegiatan survei melalui perizinan dari Dirjen Migas dibandingkan melalui Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Kemenhan). Padahal untuk urusan survei laut yang menggunakan tenaga asing dan kapal asing diwajibkan mendapatkan pertimbangan dari tim yang berada di bawah Kemenristek sebelum akhirnya memperoleh persetujuan Security Clearance dari Kemenhan.

Lalu, benarkah proses perizinan di Direktorat Wilayah Pertahanan Kemenhan memerlukan waktu lama seperti yang dikeluhkan para agen pelaksana kegiatan. Seorang sumber yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, untuk mengurus SC (Security Clearance) di Kemhan hanya butuh waktu paling lama tiga hari jika semua persyaratan, seperti Diplomatic Clearance dari Kemenlu, PKKA (Permohonan Keagenan Kapal Asing) dari Kemenhub, kemudahan Khusus Bermukim (Dahsuskim) dari Imigrasi Kemenhukham serta persetujuan dari Sekretariat Perizinan peneliti Asing Kemenristek telah lengkap.

Bukti inilah yang menunjukkan pihak mana yang seharusnya diwaspadai melihat peluang besar bocornya informasi data laut Indonesia. Disebutkan sumber, bahwa kapal-kapal seismik (kapal riset) bisa sangat leluasa menyapu bersih informasi dasar laut Indonesia. Datanya pun langsung dikirim via satelit ke negara di mana perusahaan tersebut memenangi tender.

Apalagi fakta menunjukkan sejak dulu Indonesia memegang peranan penting dalam jalur perdagangan dunia. Semakin meningkatnya ketergantungan dunia akan laut, perairan Indonesia menjadi incaran penguasaan negara asing, terutama negara yang industrinya sangat tergantung pada minyak bumi dan transportasi laut. Meningkatnya kebutuhan minyak bumi dibuktikan dengan semakin intensifnya survei seismik asing guna mencari wilayah-wilayah baru potensi minyak dan gas di dasar laut Indonesia. Wilayah nusantara pun menjadi terbuka dari segala arah dan rentan terhadap perkembangan lingkungan, baik global, regional maupun nasional.

Mengutip apa yang pernah ditulis Oseanolog Prof Illahude, keunikan dan kompleksitas perairan Indonesia telah menjadi daya tarik para peneliti asing dari berbagai negara. Hampir semua tipe dasar topografi ditemukan di Indonesia, seperti continental shelves, continental , insular slope, basin laut dalam, palung dan relung.

'Ocean Energy' Solusi Krisis Energi

Sebagai negara kepulauan terbesar dengan karakteristik alam yang luar biasa, Indonesia memiliki sumber energi alternatif laut yang berlimpah. Ocean energy resources yang dimiliki Indonesia bisa dibilang terbaik dan terbesar di dunia. Namun, upaya dalam mengembangkan energi alternatif ini belum dikaji secara serius.

Cadangan minyak, sebagai sumber energi utama yang dimiliki Indonesia selama ini diperkirakan tinggal 25 tahun lagi. Selanjutnya, dari mana negara ini mendapatkan energi alternatif?Jawabannya adalah ada di laut. Wilayah Indonesia sekitar 7,7 juta kilometer persegi, terdiri dari 25 persen teritorial daratan (1,9 juta km2) dan 75 persen adalah teritorial laut (5,8 juta km2). Dari luas laut tersebut, 2,8 juta km2 merupakan perairan nusantara (perairan kepulauan) dan 0,3 juta km2 laut teritorial, serta 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Karena itu, ocean energy merupakan sumber energi baru yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Salah satunya listrik, di mana potensi energi laut ini mampu memenuhi empat kali kebutuhan dunia. Tidak mengherankan bila negara-negara maju berlomba memanfaatkan energi laut sebagai sumber energi alternatif.

Energi Pasang Surut (Tidal Energy)

Teknologi pembangkit listrik pasang surut (PLPS) mungkin sudah dikuasai penuh para ilmuwan di Indonesia. Karena, pada prinsipnya teknologi tersebut tidak berbeda dengan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), seperti yang diterapkan di waduk Jatiluhur dan waduk-waduk lainnya. Di mana air laut ketika pasang ditampung dalam suatu wilayah yang di bendung dan pada waktu pasang surut air laut dialirkan kembali ke laut.

Pemutaran turbin dilakukan dengan memanfaatkan aliran air ketika masuk ke dalam dam dan ketika keluar dari dan menuju laut. Kendala utama penerapan teknologi PLPS ini ada dua. Pertama, pemerintah belum pernah memanfaatkan energi pasang surut untuk menghasilkan listrik, sehingga tenaga ahli Indonesia yang telah menguasai teknolgi pembangkit listrik tenaga air belum pernah merancang dan menerapkan atau membangun secara langsung dari awal.

Kedua, untuk pembangunan wilayah ini akan merendam wilayah daratan yang luas. Apalagi bila harus merendam beberapa desa di sekitar muara atau kolam. Di sini akan muncul masalah sosial, bukan hanya masalah teknologi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan para ahli Indonesia untuk penerapan teknologi ini adalah efisiensi propeler ketika air masuk dan air keluar.Kalau di PLTA arah air penggerak turbin hanya satu arah, sedangkan pada pembangkit listrik pasang surut ini dari dua arah.Selain itu, yang patut menjadi perhatian, adalah material yang digunakan. Untuk air laut diperlukan material khusus disesuaikan dengan kadar garam dan kecepatan airnya.

Kapasitas listrik yang dihasilkan PLPS sebaiknya untuk kapasitas besar, di atas 50 Mega Watt, agar bisa ekonomis seperti PLTA. Sumber energi PLPS ini banyak berada wilayah timur Indonesia, mulai dari Ambon hingga ke Papua. Di wilayah ini kebutuhan listrik masih kecil dan membutuhkan power cable bawah laut yang sangat panjang untuk bisa membawa listrik ke pulau Sulawesi yang membutuhkan listrik dalam jumlah besar.

Di negara lain, beberapa pembangkit listrik sudah beroperasi menggunakan ide ini. Salah satu PLPS terbesar di dunia terdapat di muara sungai Rance di sebelah utara Prancis. Pembangkit listrik ini dibangun pada 1966, dengan kapasitas 240 Mega Watt. PLPS La Rance didesain dengan teknologi canggih dan beroperasi secara otomatis, sehingga hanya membutuhkan dua orang saja untuk pengoperasian pada akhir pekan dan malam hari. Sementara PLPS terbesar kedua di dunia terletak di Annapolis, Nova Scotia, Kanada dengan kapasitas yang mencapai 160 Mega Watt.

Energi Panas Laut (Ocean Thermal Energy Conversion)

Perbedaan temperatur di bawah laut sebenarnya telah menjadi ide pemanfaatan energi dari laut. Jika menyelam ke bawah permukaan, airnya akan semakin dingin. Temperatur di permukaan laut lebih hangat karena panas dari sinar matahari diserap air. Tapi, di bawah permukaan temperatur akan turun cukup drastis. Inilah sebabnya mengapa penyelam menggunakan pakaian khusus ketika menyelam jauh ke dasar laut. Pakaian tersebut dapat menangkap panas tubuh sehingga menjaga mereka tetap hangat.

Pembangkit listrik yang dapat memanfaatkan perbedaan temperatur tersebut untuk menghasilkan energi adalah Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC). Perbedaan temperatur antara permukaan yang hangat dengan air laut dalam yang dingin dibutuhkan minimal sebesar 77 derajat Fahrenheit (25C) agar dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik dengan baik. Adapun proyek-proyek demonstrasi dari OTEC sudah terdapat di Jepang, India, dan Hawaii.

Berdasarkan siklus yang digunakan, OTEC dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu siklus tertutup, siklus terbuka, dan siklus gabungan (hybrid). Pada alat OTEC dengan siklus tertutup, air laut permukaan yang hangat dimasukkan ke dalam alat penukar panas untuk menguapkan fluida, seperti amonia. Uap amonia akan memutar turbin yang menggerakkan generator.

Selanjutnya, dikondensasi dengan air laut yang lebih dingin dan dikembalikan untuk diuapkan kembali. Pada siklus terbuka, air laut permukaan yang hangat langsung diuapkan pada ruang khusus bertekanan rendah. Kukus yang dihasilkan digunakan sebagai fluida penggerak turbin bertekanan rendah. Kukus keluaran turbin selanjutnya dikondensasi dengan air laut yang lebih dingin dan sebagai hasilnya diperoleh air desalinasi. Pada siklus gabungan, air laut yang hangat masuk ke dalam ruang vakum untuk diuapkan dalam sekejap (flash-evaporated) menjadi kukus (seperti siklus terbuka). Kukus tersebut kemudian menguapkan fluida kerja yang memutar turbin (seperti siklus tertutup). Selanjutnya kukus kembali dikondensasi menjadi air desalinasi.

Fluida kerja yang populer digunakan adalah amonia karena tersedia dalam jumlah besar, murah, dan mudah ditransportasikan.Namun, amonia beracun dan mudah terbakar. Senyawa seperti CFC dan HCFC juga merupakan pilihan yang baik.Sayang, menimbulkan efek penipisan lapisan ozon. Hidrokarbon juga dapat digunakan, akan tetapi menjadi tidak ekonomis karena menjadikan OTEC sulit bersaing dengan pemanfaatan hidrokarbon secara langsung.

Selain itu, yang juga perlu diperhatikan adalah ukuran pembangkit listrik OTEC bergantung pada tekanan uap dari fluida kerja yang digunakan. Semakin tinggi tekanan uapnya maka semakin kecil ukuran turbin dan alat penukar panas yang dibutuhkan. Sementara ukuran tebal pipa dan alat penukar panas bertambah untuk menahan tingginya tekanan terutama pada bagian evaporator. Kelebihan dari OTEC adalah penggunaannya tidak menghasilkan gas rumah kaca ataupun limbah lainnya, tidak membutuhkan bahan bakar, biaya operasi rendah, dan produksi listrik stabil.

Di samping itu, penggunaannya juga dapat dikombinasikan dengan fungsi lainnya, seperti menghasilkan air pendingin, produksi air minum, suplai air untuk aquaculture, ekstraksi mineral, dan produksi hidrogen secara elektrolisis. Sementara kekurangannya, adalah belum ada analisa mengenai dampaknya terhadap lingkungan.Terlebih, jika menggunakan amonia sebagai bahan yang diuapkan menimbulkan potensi bahaya kebocoran. Belum lagi biaya pembangunannya yang tidak murah.

Energi Gelombang Laut (Wave Energy)

Peneliti Universitas Oregon, AS mempublikasikan temuan teknologi terbarunya yang diberi nama Permanent Magnet Linear Buoy. Nama Buoy karena pada prinsip dasarnya teknologi terbaru tersebut dipasang untuk memanfaatkan gelombang laut di permukaan.Berbeda dengan Buoy yang digunakan untuk mendeteksi gelombang laut yang menyimpan potensi tsunami.

Peneliti Oregon menjelaskan prinsip dasar Buoy penghasil listrik, yaitu dengan mengapungkannya di permukaan. Gelombang laut yang terus mengalun dan berirama bolak-balik dalam Buoy akan diubah menjadi gerakan harmonis listrik. Sekilas bila dilihat dari bentuknya, Buoy ini mirip dengan dinamo sepeda.Bentuknya silindris dengan perangkat penghasil listrik pada bagian dalamnya. Buoy diapungkan di permukaan laut dengan posisi sebagian tenggelam dan sebagian lagi mengapung.

Kuncinya, terdapat pada perangkat elektrik berupa koil (kuparan yang mengelilingi batang magnet di dalam Buoy). Saat ombak mencapai pelampung, maka pelampung tersebut akan bergerak naik dan turun secara relatif terhadap batang magnet sehingga bisa menimbulkan beda potensial dan listrik dibangkitkan. Dalam percobaan sistem ini diletakkan kurang lebih satu atau dua mil laut dari pantai. Kondisi ombak yang cukup kuat dan mengayun dengan gelombang yang besar akan menghasilkan listrik dengan tegangan yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Universitas Oregon, setiap pelampung mampu menghasilkan daya sebesar 250 kilowatt.

Penjelasan di atas menggunakan teknik koil yang bergerak naik turun, tetapi bisa juga dengan teknik batang magnet yang bergerak naik turun.Pilihan kedua dengan menggunakan pelampung, penempatan koil dan batang magnet bisa juga ditempatkan di dasar atau di permukaan laut.

Dibandingkan dengan energi angin atau matahari, energi gelombang laut kerapatannya jauh lebih tinggi. Peneliti yang sama dari OSU, Alan Wallace menyebutkan penyediaan energi gelombang ini dengan hanya 200 Buoy yang diapungkan, satu buah pelabuhan atau kota besar seperti Portland yang besarnya hampir dua kali Jakarta, sudah dapat memanfaatkan energinya dengan sangat melimpah tanpa harus menarik bayaran.

Di samping nilai ekonomis yang cukup menjanjikan ada hal-hal lain yang dapat memberikan keuntungan di bidang lingkungan hidup.Energi ini ramah lingkungan, tidak menimbulkan polusi suara, emisi CO2, maupun polusi visual dan sekaligus mampu memberikan ruang kepada kehidupan laut untuk membentuk koloni terumbu karang di sepanjang jangkar yang ditanam di dasar laut.Pada kasus-kasus seperti ini biasanya lebih menguntungkan karena ikan dan binatang laut selalu lebih banyak berkumpul.

Penempatan Buoy dengan ukuran yang tidak terlalu besar juga tidak mengganggu pelayaran.Rata-rata dengan besar Buoy kurang dari dua meter, kapal besar atau kecil bisa melihat objek tersebut dan dapat menghindarinya.

Energi Ganggang Laut

Alga atau dikenal sebagai tanaman ganggang termasuk tumbuhan yang bisa hidup di perairan mana saja. Selain tidak memerlukan air tawar untuk tumbuh, alga juga dapat ditanam di lahan yang tidak subur, dan perairan laut dangkal yang banyak terdapat di Indonesia. Walaupun tidak memerlukan lahan luas, potensi hayati yang dimiliki alga dinilai luar biasa oleh para ahli biologi. Beberapa waktu lalu, pemerintah Amerika Serikat mengumumkan akan mengambil sumber hayati tersebut sebagai salah satu cadangan untuk menggantikan BBM fosil, yang dalam waktu tidak lama diperhitungkan akan habis dari perut bumi.

Dalam operasionalnya, mikroalga menggunakan sinar matahari, air dan karbon dioksida untuk menghasilkan oksigen dan biofuel melalui fotosintesis. Tanaman, yang tampak tumbuh di permukaan air ini dapat dibudidayakan pada lahan marjinal atau di mesin-mesin khusus yang disebut inkubasi photobioreactors, yang menggunakan emisi karbon dioksida dari industri makanan.

Sesuai dengan hasil penelitian, ganggang disebut-sebut lebih produktif daripada tanaman lain karena mereka terus membuat bahan bakar terlepas dari cuacanya. Semua kebutuhan bahan bakar transportasi Amerika Serikat secara teori bisa dipenuhi oleh ganggang yang dibudidayakan di suatu daerah seukuran nagara Belgia. Tanaman ini merupakan salah satu generasi kedua dari, yang dirancang untuk mengatasi kekurangan bahan bakar dari biji-bijian. Hebatnya, selain bisa dimanfaatkan sebagai biofuel atau bahan bakar minyak, alga juga ternyata bisa menjadi sumber listrik yang potensial dan cukup berharga bagi kehidupan masa depan manusia. Para ahli bioelektro dari Stanford University (AS) dan Yonsei University, Seoul, Korea Selatan beberapa waktu lalu ternyata berhasil menemukan sumber energi listrik masa depan yang dihasilkan dari sel alga.

Tanaman sederhana yang selama beberapa tahun diteliti oleh para ahli gabungan dari perguruan tinggi terkenal di kedua negara itu, mampu menghasilkan energi listrik.Sumber energi listrik dari tanaman sederhana ini sangat spektakuler karena bisa dikembangkan menjadi sumber listrik yang lebih besar untuk kebutuhan yang lebih luas dan lebih ekonomis. Dalam proses fotosintesis tanaman, ada proses konversi sinar matahari menjadi energi kimia. Ini merupakan langkah awal untuk menghasilkan energi listrik berefisiensi tinggi.Dari sel yang berfotosintesis inilah elektroda elektron dikumpulkan.Kemudian secara tidak langsung diberi energi dari cahaya matahari hingga menghasilkan arus listrik kecil.

Pada tahap penelitian ilmiah itu, Prof Ryu, rekannya dari Yonsei University membuktikan bisa memanen elektron listrik.Tanaman menggunakan fotosintesis untuk mengubah energi cahaya menjadi energi kimia, yang kemudian disimpan dalam ikatan gula yang mereka gunakan untuk makanan. Proses ini berlangsung dalam kloro-plas. Sinar matahari yang menembus kloroplas dan elektron, mengubahnya ke tingkat energi yang tinggi.Sementara rangkaian protein, secara cepat meraih mereka dan mengubahnya jadi listrik.

Elektron diturunkan pada serangkaian protein, yang berturut-turut menangkap lebih banyak energi elektron untuk mensintesis gula hingga semua elektron dihabiskan. Dalam penelitian ini, para peneliti menyadap elektron setelah mereka dimasak oleh cahaya dan berada di tingkat tertinggi energi. Mereka meletakkan elektroda emas dalam kloroplas sel alga, dan elektronnya dipindahkan untuk menghasilkan arus listrik kecil.

Produk sampingan dari fotosintesis adalah proton dan oksigen.Ini berpotensi jadi salah satu sumber energi bersih untuk pembangkit listrik.Yang jadi pertanyaan adalah, sampai sejauh mana tingkat ekonomisnya bila dieksploitasi secara besar? Untuk membangkitkan energi, ditarik elektron dari setiap sel hanya satu picoampere. Jumlah listrik yang sangat kecil ini, masih bisa diperkaya dengan photosyn-thesizing triliun sel selama satu jam.Pada tahap awal ini, energi yang dihasilkan hanya untuk menyamai energi yang tersimpan dalam baterai.

Air Mineral Laut Dalam

Indonesia memiliki 17.504 pulau yang tersebar sepanjang 5.100 km di daerah khatulistiwa dengan garis pantai mencapai 81.000 km dan luas laut 5.800.000 km2. Seluruh sumberdaya yang terkandung didalamnya, baik air laut-dalam (ALD) yang berada di kedalaman lebih dari 200 m, maupun air di permukaan merupakan hak serta kewenangan Indonesia dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Di antara pulau-pulau yang banyak itu terdapat pulau-pulau yang mempunyai daerah pesisir dekat dengan dasar laut yang landai dan tiba-tiba curam hingga kedalaman air 600 meter bahkan lebih.

Sekitar 40 persen dari total area perairan Indonesia adalah ALD yang tersebar mulai dari bagian barat hingga ke bagian timur nusantara. Dasar laut bervariasi dari yang relatif dangkal hingga palung laut dengan kedalaman ribuan meter. Keadaan ini juga mempengaruhi arah dan pergerakan arus laut. Pergerakan arus laut terkenal dengan sebutan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) - Indonesian Through Flow, sebagai suatu fenomena kelautan yang penting. Fenomena ini mengakibatkan proses upwelling yang membawa air yang kaya nutrisi dari lapisan ALD ke bagian permukaan. Di daerah upwelling ini produktivitas laut lebih kaya dibandingkan dengan daerah lainnya. ARLINDO ini juga membawa kandungan mineral.

Pembangunan industri ALD di Indonesia adalah suatu hal yang sangat tepat mengingat banyaknya daerah pantai yang memenuhi syarat sebagai lokasi industri ALD. Para peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB Bogor yang dimotori Prof. Dr. Bonar Pasaribu telah melakukan berbagai penelitian bekerjasama dengan perusahaan Jepang untuk mengeksplorasi potensi air mineral laut-dalam di perairan Indonesia. Hasil survei yang pernah dilakukan di perairan Indonesia seperti di perairan Gondol bagian utara pulau Bali, Selat Lombok, perairan sekitar Ujung Pandang, perairan sekitar Kupang, perairan Pelabuhan Ratu di selatan pulau Jawa, perairan Biak, menunjukkan bahwa perairan Indonesia sangat potensial untuk pengembangan industri ALD. Hal ini diungkapkan Dr Jonson Lumban Gaol dari IPB yang terlibat dalam eksplorasi air laut-dalam dengan pihak Jepang di perairan Biak.

Manfaat ALD

ALD dengan kandungan mineralnya ini setelah diolah dengan baik, sangat penting dan bermanfaat untuk suplai air minum bagi kelangsungan hidup dan kesehatan tubuh manusia. Penyediaan air mineral laut-dalam ini juga merupakan suatu kegiatan yang bersifat strategis untuk mengantisipasi kemungkinan krisis air bersih di masa mendatang. ALD setelah melalui proses desalinasi, juga memberi hasil sampingan, yaitu garam berkualitas tinggi. Di samping itu ALD dapat diaplikasikan untuk berbagai kegunaan, yaitu untuk budidaya perikanan, budidaya pertanian, bahan kosmetik, obat-obatan, spa, dan sebagai pendingin ruangan.

Salah satu kelebihan ALD ini adalah mengandung mineral yang sangat kaya dan dibutuhkan oleh tubuh manusia, berbeda dengan air murni dalam kemasan yang tidak mengandung mineral. Karena manfaatnya yang sangat baik, maka industri ALD telah berkembang di Hawaii dan Jepang sejak sekitar 20 tahun silam, dan sejak sekitar 5 tahun yang lalu Korea Selatan, Taiwan, dan India juga telah mengembangkan industri ALD ini. Di Jepang sendiri terdapat 13 merek air mineral laut-dalam sebagai Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang beredar di pasaran hingga sekarang.

Mengapa Air Laut Dalam

Air laut-dalam disedot dari kedalaman lebih dari 300 meter. Lapisan ini berada di bawah lapisan termoklin dan juga di bawah lapisan eufotik. Air di kedalaman sekitar 300 meter ini suhunya berkisar 10oC, bersih, kaya nutrien, kaya mineral dan stabil. Kondisi ALD ini berbeda dengan air laut di permukaan (di lapisan zona eufotik) yang sangat dipengaruhi proses yang terjadi di lapisan permukaan seperti fotosisntesis, pencemaran, suspensi sedimen dan blooming alga. Dengan demikian, ALD sangat layak untuk dijadikan sebagai sumber air minum

Pengembangan Industri ALD di Indonesia

Pengalaman Prof. Bonar Pasaribu yang menimba ilmu selama 8 tahun di Jepang dan melihat perkembangan industri maritim di sana sejak 35 tahun yang lewat, membuat beliau terinspirasi tidak hanya mengembangkan pendidikan ilmu dan teknologi kelautan di Indonesia, tetapi juga mengembangkan industri maritim. Salah satunya adalah adalah industri ALD. Bekerjasama dengan Mr Kimiya Homma, kolega dari almamaternya (Universitas Tokai, Jepang), mereka merintis industri ALD di Bali.

Sistem yang umum digunakan untuk menyedot air dari laut-dalam adalah sistem permanen (dengan instalasi pipa sedot) dan sistem bergerak (dengan menggunakan kapal). Sistem permanen umumnya digunakan untuk industri skala besar sedangkan sistem bergerak digunakan untuk industri skala laboratorium dan menengah.

Untuk sistem bergerak, maka peran kapal sangat penting. Untuk kapasitas produksi yang besarannya dalam skala laboratorium, maka diperlukan kapal berukuran hingga 100 GT. Kapal terbuat dari bahan kayu dengan konstruksi kuat dan layak laut dioperasikan di laut. Kelengkapan kapal terdiri dari mesin pompa penyedot air (intake pump), selang penyedot air (intake hose), kawat baja dan tali penyokong (support wire and rope), winch dan mesinnya, peralatan navigasi (GPS, Echosounder, Radar, Radio), peralatan keselamatan (perahu, pelampung, penanda sinyal), dan tangki-tangki penyimpanan ALD.

Setelah hampir 2 tahun melakukan kajian, maka tahun ketiga telah mulai dibangun industri ALD di Bali. Industri yang dibangun masih dalam skala laboratorium untuk menghasilkan 1000 liter air mineral laut-dalam per hari. Setelah melakukan pengujian laboratorium dan memperoleh berbagai perizinan, maka saat ini air mineral laut-dalam dalam bentuk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang pertama di Indonesia telah siap didistribusikan ke masyarakat. Produk AMDK ini di bawah PT Omega Tirta Kyowa dengan merek dagang Oceanic telah mulai dipasarkan di pulau Bali.

Artificial Fish Reef

Suatu malam sekitar 3 tahun silam, saya bersama rekan-rekan Jepang menikmati makan malam dengan hidangan cumi-cumi, lobster, ikan laut di sebuah restoran di pinggir pantai Hakodate di pulau Hokkaido yang terletak di bagian utara Jepang. Restoran itu berada di tingkat dua dan kami duduk langsung menatap ke laut. Saya melihat kapal-kapal yang sibuk menangkap ikan di laut itu, ramai sekali dengan lampu-lampu kapal yang memancarkan cahaya berbinar-binar. Apakah tiap malam kapal-kapal begitu banyak dan ramai menangkap ikan di perairan ini?

Begitu pertanyaan saya kepada teman Jepang itu, dan dijawab memang begitulah. Lalu saya tanya lagi, kalau melihat ramainya kapal-kapal menangkap ikan disitu, tentu timbul pikiran apakah ikan atau jenis biota lainnya tidak habis-habis? Teman saya itu menjawab bahwa ikannya tidak akan habis-habis, sebab Apartemen Ikan (Artificial Fish Reef) hampir setiap tahun di ditenggelamkan ke dasar laut. Apartemen Ikan itu menjamin suplai ikan dan biota lainnya dan hasilnya itulah yang kita nikmati malam ini, begitu dia jelaskan. Sayapun manggut-manggut disertai rasa kagum.

Begitulah pengalaman Bonar Pasaribu, profesor kelautan dari IPB Bogor dalam suatu kunjukangan riset ke negera Jepang beberapa waktu lalu. Pengalaman itu diceritakan Bonar dalam sebuah wawancara dengan Indonesia Maritime Magazine beberapa waktu lalu.

Menurut Bonar, Artificial Fish Reef (AFR) secara bebas diterjemahkan sebagai Karang Buatan untuk Ikan, maksudnya tempat hidup ikan atau habitat buatan untuk ikan maupun biota lainnya. AFR telah dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai tempat makan ikan (feeding ground), tempat pemijahan ikan (spawning ground), tempat hidup ikan dan biota lainnya atau disebut sebagai habitat, sebagai tempat persembunyian ikan (escape zone), sebagai alat untuk pengumpulan ikan.Fungsi AFR ini agak berbeda dengan Fish Aggregation Device (FAD).FAD yang berarti sebagai Alat Pengumpul Ikan, ditujukan lebih untuk pengumpulan ikan saja. Secara tradisional, FAD terbuat dari bahan daun-daunan (umumnya menggunakan daun kelapa) dirangkai dengan dengan batang-batang kayu.Alat ini di Indonesia disebut sebagai rumpon, di Filipina disebut payaos.

ARF dapat mengumpulkan ikan-ikan dan biota lainnya karena beberapa alasan, yaitu: 1) Tempat persembunyian ikan. Ikan-ikan berukuran kecil mempertahankan dirinya dengan bersembunyi terhadap ikan-ikan besar yang akan memangsanya, 2) Tempat beristirahat. Ikan-ikan beristirahat di ARF karena sulit berenang akibat kuatnya arus yang melaluinya, 3) Tempat pemijahan ikan dan biota lainnya, serta sebagai tempat tersedianya makanan, karena disana banyak rumput laut, plankton, dan biota kecil lainnya. Tanaman laut dan juga rumput laut bermanfaat sebagai tempat pemijahan, di samping itu terdapat plankton sebagai makanan untuk untuk kepiting, udang, teritip, dan lain-lain yang hidup di sekitar ARF tersebut, dan 4) Efek suara. Kepiting, udang, dan teritip mengeluarkan suara karena tekanan oleh arus laut. Suara yang timbul ini akan menarik ikan-ikan di sekitarnya berkumpul ke ARF.

Aplikasi AFR di Jepang

Bonar juga menjelaskan bahwa di Jepang, AFR ini mempunyai sejarah yang panjang, dimulai pada tahun 1804 di Jepang dengan menggunakan bangku pada kedalaman 20 meter dan metode ini berkembang terus sampai tahun 1925 dan bentuknya seperti rumpon yang umum dikenal di perairan kita. Dasar pemikiran untuk pembuatan rumpon adalah dengan kenyataan bahwa gunung laut merupakan habitat dari ikan di dalam laut, sehingga gunung laut itu merupakan Artificial Fish Reef atau Fish Aggregation Device atau Rumpon bagi ikan. Hasil-hasil rumpon tradisional dievaluasi dan muncul keinginan membuat rumpon dari bahan concrete. Hal itu disebabkan rumpon yang dibuat secara tradisional tidak tahan lama dan sulit dibentuk dalam berbagai desain. Tetapi dengan bahan concrete dapat dibentuk beragam jenis dan ketahanan bisa mencapai 30 tahun.

Pada 1954, secara tiba-tiba produksi ikan merosot di perairan pantai Jepang dan menjadi masalah utama yang menimbulkan pemikiran bagaimana cara untuk meningkatkan produksi ikan. Berbagai riset perikanan dilakukan, lalu peralatan AFR yang terbuat dari bahan concrete didesain dan dikonstruksi untuk membentuk habitat buatan bagi ikan di perairan pantai. Berbagai uji-coba dilakukan dan seiring perjalanan waktu, modifikasi terhadap peralatan AFR dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas peralatan.

Pada 1958, AFR mulai dikonstruksi di beberapa kota pelabuhan dan desa-desa nelayan. Hasil produksi ikan yang diperoleh meningkat secara signifikan. Selanjutnya, pada 1960 dirasakan kebutuhan mendesak untuk mengembangkan konstruksi AFR dalam skala besar di daerah perikanan pantai Jepang. Tidak tanggung-tanggung, di tahun 1976 pemerintah Jepang menerbitkan undang-undang tentang mempertahankan dan melestarikan sumberdaya ikan di perairan pantai. Di dalam Undang-undang itu tercantum pemanfaatan AFR dengan bahan concrete. Dewasa ini hampir semua daerah pantai Jepang dipenuhi AFR.

Kegiatan perikanan pantai di Jepang berjalan terus dengan menghasilkan produksi ikan yang cukup. Dana yang dikeluarkan pemerintah Jepang atau asosiasi perikanan untuk pembiayaan AFR dalam beberapa tahun belakangan ini, konon kabarnya berkisar 4-5 triliun rupiah per tahun.

Desain dan Konstruksi AFR

Peralatan AFR terbuat dari bahan semen, pasir dan kerangka besi diolah menjadi concrete. AFR didesain dalam berbagai bentuk sesuai dengan tujuan sebagai habitat buatan bagi ikan, cumi-cumi, lobster, kerang mata tujuh, dan biota lainnya. Desain AFR dapat dikelompokkan kepada tiga hal, yaitu 1) AFR untuk jenis-jenis ikan; 2) ARF untuk pemijahan; 3) ARF untuk tanaman laut.

ARF untuk jenis-jenis ikan didesain dengan bentuk silinder (cylindrical shape) yang sesuai sebagai habitat dan pengumpulan organisme laut karena efek lindungnya (shading effect). Bentuk lain adalah rectangular yang beratnya sekitar 10 ton, dan bentuk kerangka rumah dengan berat sekitar 30 ton.

ARF untuk pemijahan diklasifikasikan dalam 3 grup, yaitu 1) ARF untuk cumi-cumi, dengan bentuk dasar yang khas; 2) ARF untuk gurita dengan bentuk cakram; dan 3) ARF untuk ikan-ikan dengan formasi dasar tanaman laut atau rumput laut. ARF untuk tanaman laut di dasar laut disebut sebagai Marino-plantation ditujukan untuk beberapa kegunaan, baik sebagai habitat ikan, maupun untuk membentuk lingkungan tanaman laut yang juga bermanfaat untuk melindungi lingkungan pantai.

Desain dan konstruksi AFR yang diuraikan disini adalah produk paten Jepang, yaitu: 1) Cylinder (berat 11 ton, diameter 3 m), 2) Rectangular (berat 10 ton), 3) Multi reef untuk oyster (berat 6 ton, tinggi 2.5 meter), 4) Sepia untuk cumi2 dan bulubabi(berat 10 ton dan diameter 3 m), 5) Cradle untuk gurita (berat 4 ton diameter 2,20 m), 4) Ebisu untuk lobster (berat 5.5 ton, diameter 3 m), 6) Kainosu untuk tempat abalone (kerang mata tujuh) (berat 60 kg, diameter 49 cm), dan 7) Marino plantation berkegunaan ganda untuk rumput laut.

Konstruksi AFR sebenarnya tidak begitu susah kalau perlengkapannya semua tersedia, yaitu peralatan dan bahan untuk pembuatan concrete AFR. Jenis AFR yang akan dibuat dibentuk dulu tuangannya (molding), sehingga AFR dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak (mass production). Mengingat ukuran dan berat dari beberapa jenis AFR cukup besar, maka diperlukan derek pengangkut muatan yang kapasitasnya hingga 30 Ton. Untuk jenis AFR yang lebih kecil, maka kapasitas derek pengangkut disesuaikan ke ukuran yang juga kecil. Tempat produksi AFR hendaknya di daerah pantai pada pinggir perairan agak dalam sehingga kapal pengangkut ARF dapat merapat ke pantai, sehingga pemindahan produk ARF dari tempat produksi ke kapal dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Penumpukan AFR di setiap lokasi biasanya berkisar 100-300 buah disusun berdampingan di dasar laut ataupun disusun bertingkat. Jarak suatu lokasi kumpulan AFR dengan lokasi lainnya dipertimbangkan sesuai dengan hasil analisis keberadaan sumberdaya ikan di daerah perairan tersebut. Kedalaman air hingga ke dasar laut untuk penempatan AFR adalah paling tinggi 50 m.

Efek dari AFR sebagai habitat buatan adalah meningkatkan kuantitas sumberdaya ikan. AFR yg dipasang bertahun-tahun didalam laut akan ditempeli oleh rumput laut, plankton, dan biota lainnya, sehingga terbentuk suatu habitat yang cocok untuk ikan. Stok sumber daya ikan nantinya meningkat di daerah sekitar ARF ini. Fungsi ARF adalah untuk menggantikan habitat alami yang tidak rusak akibat tekanan penangkapan ikan atau lingkungan yang tergradasi.

Seluruh bentuk ARF yang diuraikan disini telah ditaruh di dasar laut di berbagai lokasi di perairan pantai Jepang. Kondisi nyata ARF tersebut dalam hubungannya untuk tujuan peningkatan produksi, baik sebagai pengumpulan ikan, pemijahan ikan dan perkembangan lingkungan tanaman laut, selalu dipantau dan dianalisis untuk memerkirakan efisiensi dan efektivitas ARF tersebut. Hasil yang diperoleh sangat memuaskan, sebab dari analisis yang dilakukan pada umumnya hasil tangkapan produk ikan atau biota lainnya dari daerah AFR adalah dua kali lipat lebih banyak dari hasil tangkapan dari daerah tanpa AFR.

Laut Jawa Perlu AFR

Perairan pantai Laut Jawa sudah lama disebut sebagai daerah perairan tangkap lebih (over-fishing), berada dalam kondisi perikanan yang kurang menguntungkan.Pada hal nelayan yang mendiami pantai utara Jawa sangat banyak dan mereka menggantungkan hidup dari kegiatan perikanan tangkap. Kerusakan terdapat di lingkungan pantai.Kegiatan penangkapan ikan sudah sangat padat tangkap.Habitat ikan, udang, cumi-cumi di sebagian besar perairan pantura sudah rusak.Daya dukung perairan menurun.Stok sumberdaya ikan menurun. Produktivitas juga menurun, berarti Catch Per Unit Effort (CPUE) juga menurun.

Keadaan perikanan tangkap di perairan pantai utara pulau Jawa ini hendaklah dikoreksi. Sumberdaya ikan haruslah diadakan agar bisa ditangkap oleh para nelayan. Pengadaan sumberdaya ikan itu salah satunya adalah dengan penempatan AFR dalam jumlah yang tidak terbatas. Jenis-jenis AFR yang ditempatkan disesuaikan dengan jenis-jenis ikan dan biota lainnya di bagian-bagian perairan tertentu di perairan pantai Laut Jawa.

Daerah penangkapan ikan (fishing ground) seperti di perairan pantai Laut Jawa ini haruslah dipertahankan dan ditingkatkan. Hal itu berarti juga mempertahankan kelangsungan kerja pelabuhan-pelabuhan perikanan dan desa-desa nelayan sebagai basis untuk kegiatan penangkapan ikan. Untuk itu upaya perlu dilakukan, yaitu 1) Memperbaiki struktur untuk pemanfaatan lestari sumberdaya ikan, yaitu salah satunya dengan penempatan AFR. 2) Keamanan dan suplai secara efektif dari produk ikan yang berkualitas tinggi, 3) Pengembangan daerah penangkapan ikan termasuk habitat jenis-jenis ikan, dan 4) Pengembangan desa-desa nelayan sebagai lingkungan hidup yang sesuai berintikan pengembangan industri perikanan.

Teknologi Akustik Kuak Rahasia Dasar Laut

Hasil penelitian Prof Indra Jaya, Guru Besar FPIK-IPB Bogor mengungkapkan bahwa dari ketinggian ribuan kilometer di atas permukaan bumi, dengan bantuan satelit, kita dapat memotret kepulauan Indonesia dan dapat segera terlihat bahwa 70 persen permukaan kepulauan tersebut merupakan bentangan laut. Demikian dominannya laut dalam konstalasi geografi Indonesia sehingga bentang kepulauan Indonesia yang luas ini merupakan sebuah benua maritim. Namun laut bukan suatu bidang datar melainkan ruang 3-dimensi yang kompleks, dengan dimensi vertikal (kedalaman) bervariasi dari perairan dangkal dengan kedalam perairan beberapa meter ke perairan laut dalam dengan kedalaman ratusan bahkan ribuan meter. Penetrasi energi cahaya matahari hanya dapat menjangkau lapisan kulit permukaan dari laut saja; demikian pula energi yang dipancarkan dari satelit untuk memotret laut hanya dapat menembus sebagian kecil dari kedalaman laut.Dengan demikian, sebagian besar merupakan laut kita merupakan ruang yang gelap gulita.

Untuk mengetahui obyek apa saja yang ada atau proses apa saja yang terjadi di laut, dari permukaan sampai ke dasar laut, digunakan teknologi akustik bawah air. Melalui teknologi ini dapat di ketahui obyek apa saja yang ada (misalnya ikan, mamalia laut, vegetasi bawah air, deposit mineral di dasar laut), berapa jumlahnya, kepadatannya, pada kedalaman berapa. Demikian pula dengan proses yang ada dalam laut, misalnya pergerakan massa air (arus), besar dan arah kecepatan arus dari waktu ke waktu dapat dipantau dan diketahui dengan bantuan teknologi akustik.

Teknologi Akustik Bawah Air

Teknologi akustik bawah air memanfaatkan sifat gelombang suara yang merambat sangat baik dalam medium air. Dalam air laut yang bersifat konduktif dan keruh kebanyakan gelombang elektromagnetik (gelombang cahaya dan radio) akan berkurang energinya (teratenuasi) dengan cepat dalam jarak beberapa ratus bahkan puluh meter saja. Jika penetrasi cahaya praktis hanya dapat mencapai beberapa puluh meter di bawah lapisan permukaan, maka gelombang suara dapat mencapai dasar laut sampai kedalaman ribuan meter. Selain itu gelombang suara dapat merambat dalam air puluhan ribu meter melintasi samudera luas.

Teknologi akustik bawah air menggunakan instrumen yang dilengkapi dengan transduser, piranti yang dapat mengubah energi listrik menjadi energi mekanik dan sebaliknya, sehingga dapat memancarkan dan menerima suara. Instrumen akustik berkembang seiring dengan perkembangan ilmu bahan, yang menghasilkan transduser berkualitas.Pada awalnya transduser dibuat dari bahan kuartz elektrostriktif kemudian digantikan oleh magnetostriktif yang berbahan dasar nikel, dan akhirnya berbahan piezoelektrik. Selanjutnya, transduser berberkas gelombang suara tunggal (single-beam) berkembang menjadi dual-beam dan akhirnya split-beam; dari frekuensi tunggal menjadi frekuensi ganda (multi-frequency). Untuk meningkatkan ketajaman (sensitivitas) deteksi transduser, dikembang sistem untaian (array) yang merajut rangkaian transduser tunggal menjadi satu kesatuan dan kemudian diikuti dengan pengembangan teknologi pembentukan berkas gelombang (beamforming). Demikian pula dari sisi pemindaian (scanning), telah dikembangkan side scan sonar. Gabungan dari frekensi berganda dan sistem side scan ini melahirkan sistem berkas gelombang suara berganda (multibeamsystem) yang sangat tajam mendeteksi kontur dasar perairan.

Instrumen akustik mulai dikembangkan pada akhir abad ke 19, jadi sudah lebih dari seabad, dan menjadi instrumen yang handal dalam bentuk echo-sounder sekitar 1925. Perkembangan yang nyata dicapai selama Perang Dunia II, terutama dipicu oleh perang bawah air (kapal selam). Seiring dengan perkembangan elektronika dan pemrosesan sinyal, berbagai variant instrumen akustik telah dikembangkan untuk berbagai aplikasi.

Aplikasi Teknologi Akustik Untuk Pengukuran Kedalaman Laut

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa suara merambat sangat baik dalam air. Sifat fisik suara ini dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai keperluan, antara lain untuk pengukuran ke dalam laut (bathymetri). Pemanfaatan sifat suara pertama kali dan sampai saat ini paling banyak digunakan untuk aplikasi bawah air adalah untuk mengukur kedalaman laut. Saat ini hampir semua kapal bermotor dilengkapi dengan alat pemeruman (echo-sounder) untuk memastikan kapal tidak kandas dengan memantau secara terus menerus jarak antara lunas kapal dan dasar perairan. Dengan berkembangnya teknik pemrosesan sinyal, energi suara yang dipancarkan kembali dapat dianalisis untuk mengetahui karakteristik sedimen dasar laut. Demikian pula dengan terumbu karang dan vegetasi bawah air yang melekat atau bagian dari dasar laut dapat dikuantifikasi.

Instrumen akustik untuk eksplorasi dasar laut ini adalah alat pemeruman (echosounder). Alat ini merekam waktu tunda, antara waktu pemancaran gelombang suara dengan waktu penerimaan pantulan gelombang suara dari dasar laut yang diterima oleh transduser, dan dengan mengetahui atau mengasumsikan kecepatan perambatan gelombang suara dalam air maka dapat dihitung kedalaman dari hasil perekaman waktu tunda tersebut. Walaupun secara prinsip pengukuran kedalaman laut ini tampak sederhana, namun dalam prakteknya tidak demikian. Pancaran gelombang suara yang mengenai dasar perairan dari alat pemeruman bertransduser tunggal akan mengenai permukaan dasar laut yang cukup luas.

Untuk dasar laut yang berkontur, kasar atau tidak rata maka hal ini dapat menimbulkan kegamangan (ambiguity) dalam pengukuran waktu tunda karena hanya pantulan yang kembali pertama kali yang digunakan dalam perhitungan kedalaman. Untuk mengatasi masalah ini luas permukaan dasar laut yang dikenai gelombang suara mesti dibuat lebih kecil atau sempit, misalnya dengan menggunakan untaian transduser penerima (hydrophone array) yang dapat memusatkan berkas energi suara yang diterima atau meningkatkan kepekaan penerimaan pada arah tertentu. Selanjutnya, jika pada masing-masing elemen dari untaian transduser penerima ini dibuat dapat merekam sendiri-sendiri pantulan gelombang yang diterima, maka pola kepekaan untaian transduser penerima dapat diubah dengan mudah dengan cara mengganti parameter pengolahan data yang direkam.

Dengan kata lain, untaian transduser penerima dapat diarahkan untuk mengamati sudut datang dari berbagai arah. Teknik inilah yang kini digunakan pada instrumen akustik Multi Beam Echo Sounder (MBES), yang merupakan state of the art instrumen survei bathymetri. Sebagai ilustrasi, dalam suatu survei bathymetri, dengan bantuan MBES, dapat dihasilkan peta tiga dimensi, dengan lebar sapuan 5-8 kali kedalaman perairan. Untuk menjangkau berbagai kedalaman laut digunakan frekuensi gelombang suara yang berbeda-beda, misalnya untuk kedalaman hingga 11.000 meter digunakan frekuensi yang relatif rendah, yakni 12 kHz, sedangkan untuk perairan dangkal (kurang dari 200 meter) digunakan 100-500 kHz. Akurasi dari pengukuran adalah sekitar 0,5 persen, atau dalam kisaran sentimeter untuk laut dangkal dan desimeter untuk laut dalam.

Aplikasi Teknologi Akustik untuk Identifikasi dan Klasifikasi Sedimen Dasar Laut

Identifikasi dan klasifikasi sedimen dasar laut sangat penting tidak hanya untuk keperluan pengkajian mineral dasar laut tetapi juga karena adanya asosiasi sedimen dasar laut dengan biota laut yang hidup di lingkungan dasar laut, seperti udang, kepiting, kerang-kerangan dan berbagai jenis ikan demersal.Sewaktu gelombang suara yang dipancarkan oleh instrumen akustik mengenai dasar laut, sebagian energi gelombang suara tersebut dipantulkan atau dihamburbalikkan. Besarnya intensitas pantulan suara dari dasar laut umumnya tergantung pada sudut datang gelombang suara, tingkat kekerasan (hardness), tingkat kekasaran (roughness) dasar laut, komposisi sedimen dasar laut dan frekuensi suara yang digunakan.

Akhir-akhir ini, salah satu pemicu perkembangan dan aplikasi teknologi akustik adalah adanya kebutuhan untuk pengelolaan sumberdaya laut berbasis ekosistem, dimana diperlukan antara lain peta klasifikasi sedimen dasar laut. Upaya identifikasi dan klasifikasi sedimen dasar laut dengan memetakan energi hambur balik akustik telah dilakukan beberapa peneliti Indonesia dan kompilasi hasil penelitian mengukuhkan bahwa teknologi akustik sangat potensial dijadikan salah instrumen baku untuk identifikasi dan klasifikasi sedimen dasar laut.

Aplikasi Teknologi Akustik untuk Identifikasi Terumbu Karang dan Vegetasi Bawah Air

Indonesia merupakan pusat terumbu karang dunia dengan keragaman hayati tertinggi. Diperlukan teknik pemantauan yang cepat, konsisten dan efektif. Di Indonesia, pemanfaatan teknologi akustik untuk identifikasi dan klasifikasi terumbu karang mulai berkembang, walaupun disadari masih diperlukan riset-riset yang lebih intensif mengingat kompleksitas dan keragaman yang tinggi dari terumbu karang yang ada. Sejauh ini, dengan memetakan intensitas gema pertama (E1) dan gema kedua (E2) dapat dilihat, secara akustik, sebaran beberapa bentuk pertumbuhan terumbu karang yang berbeda-beda tersebut. Klasifikasi berdasarkan parameter E1 dan E2 ini tentu dapat dikuantitatifkan dengan menerapkan analisis pengelompokan seperti clustering analysis, principal component analysis, dan lainnya.

Vegetasi bawah air berperan penting dalam menentukan produktivitas suatu perairan, khususnya perairan dangkal (shallow water).Vegetasi bawah air menjadi salah satu sumber pangan dan merupakan tempat memijah biota laut. Oleh karena itu, akurasi dan kecermatan yang tinggi dalam memetakan habitat dan vegetasi bawah air sangat penting dilakukan. Lamun (seagrass) merupakan salah satu vegetasi bawah air, hidup di sedimen dasar laut, dan akarnya tertanam ke dalam dasar perairan. Tekanan terhadap wilayah pesisir yang semakin kuat akhir-akhir ini dengan adanya pembangunan yang tak terkendali di wilayah pesisir menyebabkan luas padang lamun terus berkurang dan diperkirakan mengalami pengurangan sekitar dua persen pertahun.

Sifat fisik suara dapat digunakan untuk memetakan dan memantau perkembangan lamun dengan mengkaji hamburbalik suara yang diperoleh berdasarkan karakteristik sinyal gema yang dihamburbalikkan lamun. Salah satu teknologi akustik yang dikembangkan untuk pemetaan vegetasi bawah air adalah sonar (narrow multi-beam sonar) yang mampu menampilkan keadaan dasar perairan, baik secara horizontal maupun vertikal, sehingga dapat ditentukan densitas vegetasi bawah air. Untuk menentukan kedalaman dan keberadaan vegetasi bawah air dapat dilakukan berdasarkan bentuk gema (echo envelope). Jika terdapat vegetasi, maka dapat ditentukan jarak antara dasar perairan ke atas tutupan vegetasi atau puncak vegetasi. Sebagian besar gema yang berasal dari vegetasi lebih tinggi dari aras gema yang berasal dari penghamburbalik (backscattering) dasar. Analisis lebih lanjut dari gema dapat digunakan untuk membedakan antar spesies lamun.

Aplikasi Teknologi Akustik Untuk Deteksi dan Kuantifikasi Ikan

Deteksi ikan pertama kali dilaporkan oleh Kimura (1929). Teknologi instrumentasi akustik mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam 30 tahun terakhir, khususnya perkembangan transduser dari sistem berkas gelombang tunggal (single-beam), ke dwi (dual-beam) dan terakhir ke berkas gelombang terbagi (split-beam). Perkembangan transduser yang terakhir ini mampu mendeteksi posisi dan orientasi ikan tunggal dengan sangat akurat.Dengan demikian kecepatan dan lapisan renang ikan dapat dihitung dengan akurat pula.

Kemampuan teknologi akustik dalam mendeteksi posisi ikan tunggal tidak serta merta identik dengan kemampuan mengidentifikasi individu spesies ikan tersebut. Riset untuk identifikasi spesies ikan dengan teknologi akustik masih terus berlangsung dan saat ini hasil terbaik yang telah dicapai adalah dalam tahapan identifikasi spesies kawanan atau kelompok ikan. Pendugaan stok ikan di daerah tropis merupakan tantangan tersendiri, lebih kompleks dan rumit karena tingkat keanekaragaman spesies yang tinggi.Identifikasi kawanan ikan ini perlu dilengkapi dengan klasifikasi kawanan berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penentuan identifikasi, dan struktur kawanan yang menggambarkan secara rinci pembentukan kawanan ikan dalam kolom air.

Aplikasi Teknologi Akustik Untuk Komunikasi Bawah Air

Dalam laut, profil suhu dan tekanan dapat membentuk saluran suara (acoustic waveguide). Saluran suara ini dimanfaatkan dengan baik oleh kapal selam, paus dan mammalia laut lainnya untuk berkomunikasi jarak jauh, ribuan kilometer, dengan efektif. Selain itu, sifat suara ini dapat dimanfaatkan dalam komunikasi antar peralatan observasi laut (modem bawah air), misalnya untuk keperluan deteksi dini tsunami, yakni antara seismometer yang di pasang di dasar perairan pada kedalaman ratusan bahkan ribuan meter dengan pelampung permukaan, atau sebaliknya. Modem suara bawah air telah berkembang dengan baik dengan laju pengiriman data tertinggi dapat mencapai 38.400 baud.

Aplikasi Teknologi Akustik Untuk Pencitraan dan Penentuan Posisi Bawah Air

Aplikasi lain adalah pencitraan bawah air dengan side scan sonar. Aplikasi teknologi side scan sonar digunakan untuk mencari ranjau dalam operasi militer, khususnya dalam perang bawah air. Adapun untuk aplikasi sipil (non-militer), antara lain pencarian bangkai kapal tenggelam, arkeologi bawah air, pemantauan pipa bawah air, penemuan kotak hitam, dan survei dasar laut yang luas seperti paparan benua. Perkembangan terkini dari teknologi side scan sonar adalah teknologi synthetic aperture sonar yang memanfaatkan teknik synthetic array sehingga ketajaman (resolusi) pencitraan dapat meningkat secara nyata.

Teknologi akustik juga digunakan untuk penentuan posisi dan navigasi bagi wahana bawah air, seperti kapal selam, autonomous underwater vehicle (AUV) dan bagi penyelam. Posisi ditentukan dengan mengacu pada stasiun basis yang memancarkan pulsa akustik (ping), dimana pulsa ini mengaktifkan transponder dan setelah beberapa saat akan merespon dengan ping lainnya, biasanya dengan frekuensi yang berbeda yang kemudian diterima di stasiun basis. Jarak antara stasiun basis ke transponder dapat ditentukan dengan selisih waktu pemancaran dan penerimaan dan dengan mengetahui atau mengasumsikan kecepatan suara dalam air.

Apabila transponder ditempatkan pada dua atau lebih posisi maka posisi dalam ruang tiga dimensi dapat ditentukan dengan metode triangulasi.Tentunya semakin banyak transponder yang digunakan semakin akurat posisi yang diperoleh. Perkembangan terkini penentuan posisi bawah air antara lain meliputi pemanfaatan Long Base Line System (LBL) serta integrasi GPS dan sistem navigasi inersia untuk meminimalkan jumlah transponder yang digunakan.

Aplikasi Teknologi Akustik Untuk Pengukuran Arus

Sekitar 20 tahun lalu, arus laut umumnya diukur dengan menggunakan baling-baling (rotor) yang dilengkapi sayap untuk mengukur arah dan kecepatan arus. Berbeda dengan instrumen konvensional pengukur arus, pengukuran arus dengan instrumen akustik tidak menggunakan baling-baling dan sayap. Selain itu informasi arus yang diperoleh satu unit instrumen akustik tidak hanya pada satu titik atau posisi saja tetapi dapat memberikan informasi sepanjang kolom air (profil) secara serempak.

Pengukuran arus dengan suara dilakukan dengan memancarkan pulsa suara sempit dengan frekuensi tetap, dan jika mengenai partikel-partikel yang ada dan bergerak dalam air maka pulsa suara tersebut akan dihamburbalikan. Pulsa suara yang kembali ini diterima oleh transduser dan dideteksi frekuensinya. Jika air yang berisi partikel-partikel penghambur tersebut bergerak menjauhi posisi pemancar (sumber suara) maka frekuensi yang diterima akan lebih rendah; sebaliknya apabila air yang bergerak tersebut mendekati sumber suara maka frekuensi yang diterima akan lebih tinggi.

Perubahan atau pergeseran frekuensi ini berkaitan erat dengan arah arus. Adanya pengaruh perubahan frekuensi ini dikenal sebagai doppler effect. Instrumen akustik yang menggunakan prinsip Doppler ini dikenal sebagai ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler). Penentuan kecepatan dan arah arus dengan ADCP bersifat inherent, sedikit lebih rumit dari pengukuran arus dengan cara konvensional (misalnya, dengan baling-baling), sehingga memerlukan keahlian tersendiri. Untuk mendapatkan arah dan kecepatan arus maka digunakan empat transduser yang memancarkan suara.

Dengan kemampuan ADCP mengukur profil arus maka dimungkinkan memantau pergerakan arus dalam kolom air. Selain itu dengan kemampuan mengukur profil arus (kecepatan dan arah sepanjang kolom air) instrumen ini dapat mengukur transport massa air yang melewati lokasi pengukuran dengan akurat. Misalnya, hasil pengukuran terbaru di Selat Makassar yang merupakan lintasan utama Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Implikasi dari pengukuran yang lebih akurat dari ARLINDO ini akan dapat memberikan pemahaman dan kemampuan prediksi yang lebih baik tentang sistem iklim skala besar, khususnya iklim yang mempengaruhi benua maritim Indonesia.

ADCP kini merupakan salah satu instrumen baku pengukur arus. Untuk Indonesia, tantangan ke depan adalah bagaimana menjadikan instrumen ini lebih massal digunakan dengan tetap memperhatikan penanganan kualitas data.

Pengembangan Tekniologi Akustik Bawah Air di Indonesia

Dunia bawah air adalah dunia yang kompleks dan dinamis, baik secara keruangan (spatial) maupun kewaktuan (temporal). Dari uraian yang telah disampaikan terlihat bahwa teknologi akustik telah berkembang dengan pesat dan semakin efektif diterapkan dalam kegiatan eksplorasi, khususnya deteksi obyek dan proses dinamik di laut. Perkembangan dan aplikasi teknologi akustik dalam penginderaan sumberdaya dan dinamika laut Indonesia tentu akan memicu percepatan pembangunan benua maririm Indonesia. Walaupun demikian, terlepas dari pencapaian pengembangan teknologi akustik dan aplikasinya masih ada beberapa hal atau agenda riset yang masih perlu dijalankan dan dikembangkan di Indonesia yang memiliki sumber daya dan ekosistem tropis yang khas.

Menimbang potensi pengembangan dan luasnya penerapan teknologi akustik dalam eksplorasi maupun pemanfaatan sumberdaya laut Indonesia, perlu kiranya dikembangkan pusat unggulan (center of excellent), baik berupa Laboratorium National atau Pusat Riset Nasional dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi akustik. Laboratorium atau pusat riset nasional ini diharapkan dapat memimpin upaya nasional yang lebih terencana, sistematis dan efektif dalam pengembangan dan penerapan teknologi akustik, baik dalam mobilisasi pengembangan kepakaran, infrastruktur maupun mekanisme pendanaan program.

Transplantasi KarangSeorang Guru Besar Kelautan IPB, Prof Dedi Soedharma mengatakan, bahwa degradasi terumbu karang merupakan momok bagi bangsa Indonesia. Tiga dekade terakhir banyak sekali dana yang digelontorkan untuk kegiatan rehabilitasi terumbu karang. Salah satu usaha rehabilitasi yang cukup populer saat ini, dengan menggunakan metode transplantasi.

Transplantasi karang adalah pemisahan (fragmentasi) buatan pada bagian koloni atau bagian individu karang untuk ditumbuhkan di tempat lain menjadi individu atau koloni baru. Metode ini merupakan metode yang mudah dan murah yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk merehabilitasi maupun merestorasi ekosistem terumbu karang. Walaupun pada dasarnya terumbu karang dapat pulih secara alami namun sangat lambat, bisa memerlukan waktu puluhan tahun bahkan lebih tergantung dari tingkat kerusakannya.

Kerusakan karena faktor fisik seperti akibat pemboman ikan, pengambilan/penambangan pasir dan karang, pemutihan karang (coral bleaching), pemangsaan coral oleh predator (Acanthaster Plancii) relatif lebih mudah bila dibandingkan dengan kerusakan yang disebabkan pencemaran air laut oleh minyak, sedimentasi/pelumpuran, desalinasi dan lainnya.

Sejarah Transplantasi Karang di Indonesia

Jika melihat kilas balik sejarah kegiatan transplantasi di Indonesia maka butuh waktu tidak sedikit untuk meyakinkan para penggiat rehabilitasi dan pemerintah untuk menggunakan metode ini sebagai salah satu metode rehabilitasi. Adalah Institut Pertanian Bogor (IPB), Asosiasi Koral Kerang dan Ikan Hias Indonesia (AKKI) dan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) yang menjadi pionir dalam pengembangan metode transplantasi ini pada 1996. Kala itu masih tertanam pemikiran bahwa pertumbuhan karang sangat lambat yakni hanya berkisar antara 1-2 cm pertahun, sehingga sulit sekali mendapat pengakuan bahwa hasil penelitian tentang pertumbuhan karang hasil transplantasi dapat dipercaya dan pertumbuhan karang bisa mencapai 1-3 cm perbulan terutama untuk karang bercabang seperti jenis Acropora.

Penelitian awal berlangsung dari tahun 1996-2003 yang dilaksanakan oleh mahasiswa dan dosen IPB serta beberapa universitas lain, baik dari program strata satu (S1) sampai dengan strata tiga (S3) di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Hampir sekitar 50 jenis karang dari jenis karang bercabang dan beberapa jenis lainnya yang diteliti pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya selama periode tersebut. Hasil-hasil penelitian inilah akhirnya digunakan sebagai dasar untuk meyakinkan pemerintah dan dunia untuk mengakui bahwa transplantasi sebagai metode yang dapat digunakan untuk rehabilitasi karang di Indonsesia.

Selanjutnya, sejak tahun 2000 transplantasi disebarluaskan ke seluruh Indonesia. Kegiatan transplantasi pada awalnya dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah.Jutaan bibit karang sudah ditancapkan di laut pada ekosistem terumbu karang di seluruh Indonesia. Beberapa daerah mencatat cerita manis dari kegiatan transplantasi ini misalya di Desa Les di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Nelayan berhasil memperbaiki terumbu karang yang rusak dengan metode transplantasi. Lebih dari itu, jumlah ikan karang yang sebelumnya berkurang semakin lama semakin bertambah dan dapat ditangkap sebagai ikan hias yang mempunyai nilai tinggi di mancanegara.

Ekonomi, Rehabilitasi dan WisataSecara umum saat ini transplantasi karang digunakan untuk merehabilitasi ekosistem terumbu karang yang rusak dan penyediaan stok untuk perdagangan karang hias. Beberapa kegiatan transplantasi dilaksanakan di empat lokasi Kawasan Konservasi Laut dan Taman Nasional Laut, yaitu di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Taman Nasional Laut Bunaken, Taman Wisata Alam laut Teluk Kupang (NTT) dan Taman Wisata Alam Laut Gili Air, Gili Trawangan dan Gili Meno (NTB). Kegiatan untuk kebutuhan perdagangan karang hias telah dilakukan transplantasi karang di Kepulauan Seribu dan di Sulawesi Selatan.

Pada awalnya pemerintah melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konsevasi Alam (PHKA) hanya mengijinkan 24 jenis karang yang dapat diperdagangkan sebagai karang hias jenis-jenis tersebut pada umumnya merupakan karang dari genus Acropora dan Porites. Pada saat ini jumlah karang yang yang dapat ditransplantasikan sudah mencapai sebanyak 60 jenis karang dan dapat diperdagangkan untuk keperluan ekspor sebanyak 40 jenis dari berbagai bentuk pertumbuhan misalnya karang masif dari kelompok genus Favia, Alveopora, Goniastrea dan Lobophyllia; kelompok karang bercabang seperti Acropora dan Hydnopora; bentuk lembaran seperti Montipora. Kuota untuk pengambilan di alam dihapuskan bagi karang yang sudah berhasil ditransplantasikan sehingga masyarakat tidak boleh mengambil dari alam karang-karang tersebut.Kondisi ini mendukung kelestarian karang yang ada di alam dan sejalan dengan usaha rehabilitasi terumbu karang di Indonesia.

Salah satu cerita sukses tentang pemanfaatan transplantasi karang untuk penyediaan karang hias adalah di Kepulauan Seribu. Awal tahun 2001 perdagangan karang hasil transplantasi sudah mulai diperdagangkan oleh para nelayan serta dikirim keluar negeri oleh para eksportir. Pada 2008 kelompok jaringan monitor Kepulauan Seribu telah mencatat sebanyak 7000 fragmen karang yang dijual oleh nelayan untuk kepentingan perdagangan ,dimana jenis jenis karang yang banyak dijual adalah Acropora sp, Hydnophora Rigida dan Montipora sp.

Selain itu beberapa kelompok masyarakat memanfaatkan karang hasil transplantasi untuk dijual kepada wisatawan dengan program Adopsi Karang dimana setiap karang dihargai sebesar Rp 90.000 perkoloni/piece. Hal ini menunjukkan adanya harmonisasi antara upaya ekonomi nelayan, rehabilitasi dan kegiatan wisata. Kondisi seperti ini juga dapat ditemukan di daerah lain seperti di Bali dan Lombok.

Memperjuangkan HAKI

Transplantasi sudah menjadi bagian penting bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Jika dicatat dan didokumentasikan secara baik bukan tidak mungkin banyak sekali inovasi dan invensi (penemuan) yang terkait dengan transplantasi.Namun sayang tidak banyak dari peneliti atau praktisi di Indonesia yang berkecimpung dengan transplantasi mendaftarkan penemuannya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Sebaliknya beberapa peneliti asing sudah mulai mendaftarkan penemuannya dalam bentuk paten misalnya oleh Adegawa Takayuki dengan judul, Methods of Corals Transplantation.

Pengajuan Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam bentuk paten oleh warga negara indonesia sangat penting untuk melindungi para nelayan dan penduduk pesisir sebagai pengguna transplantasi. Paten yang telah terdaftar di Ditjen Paten Kemenkumham tentang transplantasi karang hanya satu yang berasal dari Indonesia yakni oleh Dedi Soedharma, Sulistiono dan Istiyanto Samijan dengan judul Proses Fragmentasi Buatan pada Budidaya Karang untuk Produksi Karang Masif dengan paten nomor ID P0029169.

Hasil temuan Dedi Soedharma dkk yang diajukan, adalah (1) jenis dan model bentuk pertumbuhan massif, submasif dan karang soliter,sedangkan Adegawa hanya pada karang bercabang; (2) Metoda pemotongan dengan memisahkan mulut polip; (3) adanya sistem pemeliharaan sementara di kolam tertutup(close system).

Kegiatan penelitian oleh para scientist IPB tersebut didanai oleh Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi (KMNRT) melalui hibah kompetitif Riset Unggulan Terpadu (RUT) pada tahun 2003 sd 2005,serta sumber dana dari Uni Eropa melalui Asean Regional Center for Biodiversity Conservation (ARCBC). Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa perlakuan transplantasi tidak menjadikan indukan baru tersebut (hasil transplant) menjadi mandul atau steril, hal ini dapat dibuktikan bahwa sistem reproduksinya berkembang secara normal yang dilihat dari perkembangan gonad karang yang ditransplantasi, walaupun sedikit mengalami kelambatan.

Tantangan Masa DepanManusia merupakan faktor yang utama dalam sukses atau tidaknya pengembangan transplantasi. Pemikiran dan pengetahuan yang mumpuni para ilmuwan dan praktisi lapangan diperlukan untuk terus mencoba dan mencoba agar manfaat transplantasi dapat dirasakan secara nyata hasilnya terutama oleh masyarakat pesisir.Jangan sampai transplantasi malah dianggap dapat merusak ekosistem terumbu karang yang telah ada.

Pengetahuan perlu didukung dengan kesadaran masyarakat yang tinggi akan pentingnya rehabilitasi karang. Akhir-akhir ini terlihat gejala adanya nelayan yang nakal yang tidak mengindahkan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan transplantasi karang. Sebagai contoh, nelayan menjual karang hasil transplantasi yang indukannya berasal langsung dari alam. Seharusnya nelayan memperbanyak karang indukan dahulu yang berfungsi sebagai donor utama untuk proses selanjutnya. Realita ini juga menjadi tantangan bagi peneliti, para praktisi dan aparat dalam mengembangkan metode pengawasan terhadap hasil transplantasi. Tantangan ke depan perlu terus dilakukan karena masih banyak jenis-jenis karang yang belum berhasil dilakukan dengan teknik transplantasi atau fragmentasi buatan, dengan demikian masih ditunggu inventor-inventor lainnya terutama para ilmuwan muda untuk mendapatkan paten-paten tekhnologi perbanyakan karang baik untuk didaftarkan pada Paten di Indonesia, maupun paten pada skala internasional.

Rumpon Elektronik Ciptaan IPB

Pengembangan teknologi penangkapan ikan pada masa yang akan datang tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan akan tetapi juga ditujukan untuk memperbaiki proses penangkapan (capture process), mengurangi pengaruh penangkapan (fishing impact) terhadap lingkungan dan keragaman hayati (bio-diversty) (Arimoto, 2000). Ke depan, para nelayan mungkin tidak akan lagi mengalami kesulitan ketika menangkap ikan. Para peneliti di Institut Pertanian Bogor (IPB) telah menciptakan teknologi penangkapan ikan baru.Rumpon elektronik.

Rumpon sendiri sebenarnya sudah tidak asing lagi di mata nelayan. Alat bantu dalam aktivitas penangkapan ikan yang digunakan untuk menarik ikan tersebut kerap digunakan setiap kali melaut. Isu internasional tentang penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan sudah di mulai sejak tahun 1999. Hal ini dipicu oleh alat tangkap purse seine yang berkembang pesat di Samudera Hindia bagian timur yang dioperasikan pada drifting aggregating device yang mampu menangkap ikan-ikan tuna berukuran kecil yang belum matang gonad. Terdapat pro dan kontra tentang hal ini karena rumpon sangat diyakini efektif untuk menangkap ikan. Konflik ini cepat atau lambat akan sampai di Indonesia, apalagi implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) telah mulai dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, di mana kegiatan proses penangkapan ikan, termasuk di dalamnya penggunaan rumpon akan diatur secara berwawasan lingkungan.

Hanya saja, memang kebanyakan rumpon bersifat pasif dan menetap. Misalnya rumpon yang dibuat dari pelepah pohon kelapa atau rongsokan beca yang ditenggelamkan. Jenis rumpon tradisional ini umumnya menggunakan satu jenis attraktor tertentu dan cenderung memiliki selektivitas target yang rendah atau hasil tangkapan sampingan (by-catch) yang tinggi. Dengan demikian rumpon ini tidak mampu melakukan pemilahan target yang diinginkan dari sisi jenis dan ukuran ikan. Di samping itu, daya tahan rumpon tradisional terbatas, misalnya daun kelapa yang ditempatkan di laut akan cepat lapuk dan terbawa oleh arus laut. Nah, rumpon yang kami ciptakan ini adalah rumpon elektronik, di mana kami mencoba memasukkan teknologi elektronika yang sifatnya aktif yang berfungsi untuk mengumpulkan ikan di suatu perairan, kata Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Indrajaya.

Indra Jaya mengatakan kalau tim yang dipimpinnya sangat luar biasa karena bisa memikirkan persoalan-persoalan perikanan saat ini. Mereka mencoba berkarya untuk kehidupan nelayan yang lebih dan untuk melindungi biota laut. Dari berbagai persoalan dan kajian masalah nelayan dalam penangkapan ikan dan tantangan masa depan, kami terus melakukan terobosan-terobosan untuk menjwab semuanya. Ide ini merupakan hal yang sangat berharga untuk masa yang akan datang, ujarnya.

Indra menjelaskan, rumpon ciptaan IPB menggunakan dua attractor atau penarik yaitu cahaya dan suara. Penggunaan dua attractor tersebut didasari hasil penelitian tentang tingkah laku ikan yang menunjukkan bahwa ada spesies ikan yang tertarik terhadap cahaya (fototaksis positif) dan ada juga ikan yang tertarik dengan suara (akustitaksis). Ikan yang memiliki ketertarikan terhadap intensitas cahaya dan frekuensi suara tertentu akan mendekat dan berkumpul.Berdasarkan fenomena tersebut, maka dirancang alat yang mampu membangkitkan intensitas cahaya dan frekuensi suara yang disukai oleh ikan, terangnya.

Penggunaan rumpon elektronik, lanjut Indra, sangat mudah. Alat bantu itu cukup ditenggelamkan ke dalam air laut hingga kedalaman maksimal lima meter. Tidak perlu lebih, karena biasanya di atas kedalaman lima meter itu cahaya berkurang atau bahkan gelap, papar Indra.

Manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah terkumpulnya ikan pada suatu daerah yang akan memudahkan nelayan untuk dapat melakukan operasi penangkapan ikan. Perkembangan selanjutnya akan menciptakan sebuah metoda penangkapan/fishing technique baru dimana aktivitas penangkapan ikan dapat dilakukan secara efektif dan efisien serta selektif. Hal ini memungkinkan karena ikan yang tertarik dengan cahaya dan suara tentunya hanya ikan-ikan jenis tertentu yang spesifik, kata Indra.

Rumpon elektronik itu sendiri, kata Indra, sebenarnya sudah dilakukan uji-coba pada 2008 lalu di Kepulauan Seribu dan hasilnya sangat memuaskan. Karena, dengan adanya bahan cahaya pada rumpon elektronik itu, ikan-ikan akan merasa nyaman saat mata mereka berinteraksi dengan cahaya. Dibandingkan dengan rumpon tradisional yang pembuatannya bisa mencapai Rp40 juta-an, rumpon elektronik lebih murah. Dari semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat rumpon elektronik hanya dibutuhkan Rp2,5 juta saja.

Meskipun produksi pembuatannya terbilang murah dari rumpon tradisional, rumpon elektronik belum dipasarkan secara massal.Itu karena, IPB hanya bergerak dalam hal pengembangan tekhnologi, sehingga aplikasinya masih terbatas. Karena itu, Indra terhadap hasil temuan-temuan tim peneliti yang dipimpinnya membuka diri kepada pihak yang hendak melakukan produksi massal. Kalau ada persusahaan yang mau, kita akan melakukan kerjasama dengan memberitahukan cara-caranya. Dan tentunya hak ciptanya adala tim peneliti IPB, tutur Indra.

Rumpon ElektronikTeknologinya Ramah Lingkungan

Teknologi perikanan terus berkembang untuk memudahkan manusia dalam melakukan ekplorasi da