16
Jurnal Pesan Moral Ditengah Perilaku Masyarakat Urban: Analisis Semiotika Film “Jakarta Maghrib” Karya Salman Aristo Disusun Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Diajukan Oleh: Bimo Hakito D1214018 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

ika Film “Jakarta Maghrib” Karya Salman Aristo BIMO HAKITO PRINT.pdf · menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian lain kepada masyarakat

  • Upload
    lamtruc

  • View
    224

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Jurnal

Pesan Moral Ditengah Perilaku Masyarakat Urban:

Analisis Semiotika Film “Jakarta Maghrib” Karya Salman Aristo

Disusun Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Sebelas Maret

Diajukan Oleh:

Bimo Hakito

D1214018

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2016

1

Pesan Moral Ditengah Perilaku Masyarakat Urban:

Analisis Semiotika Film “Jakarta Maghrib” Karya Salman Aristo

Bimo Hakito

Widyantoro

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

Jakarta became one of the cities in Indonesia contained urban society.

Along with the times and rapid globalization, the culture that comes from outside

can easily permeate the souls of Jakarta people who eventually will form a new

culture by itself. Jakarta Maghrib summarizes the "Maghrib" as a special time

that has long spread suppositions into the community. He tried to catch the sunset

not only as a religious phenomenon but as a typical part of the urban community

in Jakarta, then compile them into a five-link the story as a narrative delivery

strategy.

People living in large cities both in the elite housing and apartments are

very intimately with the individualist behavior. In contrast to the rural

communities who still likes to cooperate and help each other to solve a problem

or to achieve certain goals. The bustle of everyday life and a different lifestyle

with rural communities that make urban community seem indifferent and uncaring

toward others.

This study aims to determine the depth of the moral message which is

illustrated through a film titled Jakarta Maghrib so hopefully people can get a

clear picture of the moral message in the middle of the urban people's behavior

through the film Jakarta Maghrib. This type of research is qualitative descriptive

approach semiotic analysis, with data collection through scene-Jakarta Maghrib

movie scene in which there are elements that illustrate the moral message. Data

analysis technique uses semiotic analysis of Roland Barthes technique in which

researchers see their moral message through three aspects: the meaning of

denotation, connotation meaning and myths that exist in each scene and dialogue

in the film.

Keywords: Semiotics, Moral Message, Urban Society, Film

2

Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, film telah

menjadi suatu media komunikasi massa yang sangat populer di kalangan

masyarakat. Film juga memiliki peran sebagai sarana yang digunakan untuk

menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan

sajian lain kepada masyarakat umum. (McQuail, 1996:13).

Definisi film menurut UU No.33 Tahun 2009 tentang perfilman adalah

karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa

yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat

dipertunjukan. (Effendy, 2014:61). Film merupakan salah satu media komunikasi

dan termasuk dalam kategori pesan dalam lima unsur komunikasi yang

dikemukakan Leswell. Kelima unsur tersebut adalah Source (sumber), Message

(pesan), Channel (saluran), Receiver (penerima), dan Effect (efek). (Uchjana

Effendy, 2001:11)

Ketika kita melihat film Jakarta Maghrib, film dengan durasi 75 menit ini

memiliki tingkat kerumitan yang cukup kompleks. Dengan adanya produser,

sutradara, aktor, artistik, hingga ilustrasi musik diharapkan mampu menghibur

para penonton, memberikan pencerahan, dan menyampaikan pesan-pesan

komunikasi didalamnya.

Dalam penelitian film berjudul Jakarta Maghrib ini, peneliti menggunakan

pendekatan kualitatif dengan menghasilkan data deskriptif dimana peneliti

mendeskripsikan atau mengkonstruksi dari teori-teori yang ada secara mendalam

terhadap objek penelitian. Selain itu, peneliti tertarik untuk meneliti film Jakarta

Maghrib karena ada suatu realita sosial beserta kompleksitas persoalan-persoalan

sosial yang terjadi di masyarakat. Khususnya masyarakat urban.

Atas dasar itulah peneliti tertarik untuk meneliti pesan moral dalam film

“Jakarta Maghrib” terhadap gaya hidup masyarakat urban. Dimana kebanyakan

film-film masa kini hanya mementingkan kebutuhan komersial tanpa

menyampaikan sebuah pesan, isu sosial, maupun pesan moral yang bisa diambil

hikmahnya.

3

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, apa saja pesan moral yang ditampilkan

dalam film Jakarta Maghrib?

Telaah Pustaka

1. Komunikasi Massa

Menurut Onong Uchjana Effendy, komunikasi adalah proses pernyataan

antar manusia. Yang dinyatakan adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada

orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya. (Effendy,

1993:28).

Pesan yang terdapat dalam komunikasi seperangkat simbol verbal maupun

simbol nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan, atau maksud dari

komunikator. Pesan menurut Onong Effendy adalah “suatu komponen dalam

proses komunikasi berupa paduan dari pikiran dan perasaan seseorang dengan

menggunakan lambang, bahasa/lambang-lambang lainnya disampaikan kepada

orang lain” (Effendy, 1989:224).

2. Komunikasi Verbal dan Non Verbal

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah

lisan maupun tertulis.Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan

antarmanusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi,

pemikiran, gagasan atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan

informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling

berdebat dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan

penting. (Hardjana, 2003:22).

Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam

bentuk nonverbal. Tanpa kata-kata.Dalam hidup nyata komunikasi nonverbal

ternyata jauh lebih banyak dipakai daripada komunikasi verbal, dengan katakata.

(Hardjana, 2003:26).

4

3. Sejarah dan Definisi Film

Film merupakan salah satu media komunikasi massayang sudah ada sejak

abad 18. Kebanyakan film diciptakan sebagai sarana entertaining atau hiburan,

namun di sisi lain film juga dibuat sebagai sarana edukasi bagi masyarakat.

Thomas Alfa Edison adalah orang pertama yang mengembangkan kamera citra

bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang sedang

merekam asistennya ketika bersin. (Danesi, 2010 : 133).

4. Film sebagai Komunikasi Massa

Sekarang, film tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni tetapi lebih

sebagai “komunikasi massa” (Jowett dan Linton, 1981) dan “praktik sosial”

(Turner, 1991). Kedua perspektif tersebut lebih melihat kompleksitas aspek film

sebagai medium komunikasi massa yang beroperasi di masyarakat (Irawanto,

1999:11).

Dari sudut pandang komunikasi massa, film memandang komunikasi

sebagai penyampaian pesan dan produksi serta pertukaran makna. Film dimaknai

dari pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi film yang memahami

hakekat, fungsi dan efeknya. Artinya, film berperan sebagai proses komunikasi

(Mulyana, 2002: 243).

Film mempunyai kekuatan untuk mengkontruksikan pesan lewat bahasa audio

visual. Realitas atau fakta yang berada dalam film seolah-olah muncul sebagai

representasi peristiwa yang objectif, jujur, adil, transparan. Penonton hanya

menjadi mayoritas yang diam ketika menonton film. Kekuatan film sebagai media

massa dibandingkan dengan jenis media massa lainnya adalah (Ardianto, 2007 :

145-147).

5. Film sebagai Representasi Realitas Masyarakat

Film mampu menangkap gejala-gejala dan perubahan yang terjadi dalam

masyarakat yang kemudian disajikan kembali kepada masyarakat untuk mendapat

5

apresiasi. Sebagai salah satu media komunikasi, film mengandung berbagai pesan

yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Pesan-pesan tersebut dibangun dari

berbagai macam tanda yang terdapat dalam film (Irawanto, 1999:14).

Film dalam merepresentasikan realitas akan selalu terpengaruh oleh lingkup

sosial dan ideologi dimana film tersebut dibuat dan akan berpengaruh kembali

terhadap kondisi masyarakatnya. Dalam waktu yang bersamaan, film

mengukuhkan suatu interaksi reflektif antara reflektif sinematik dan pengalaman

kehidupan riil yang ada diluar film itu sendiri. Interaksi ini adalah interaksi antara

masyarakatbdan film yaitu masyarakat dapat belajar dari film, film dapat

merefleksikan kehidupan masyarakatnya. Film dapat juga memberdayakan

masyarakat melalui tema kehidupan masyarakat yang diangkat kedalam film itu

sendiri (Irawanto, 1999:15).

Ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengkaji adanya hubungan

antara film dengan kultur masyarakat, yaitu secara textual dan contextual (Turner,

1995: 153). Pendekatan tekstual berfokus pada teks-teks film. Film sebagai

sebuah teks dipahami sebagai ekspresi dari aspek-aspek tertentu pada kultur

masyarakatnya. Isi film yang ada di masyarakat, cenderung mempertahankan

struktur sosial yang sudah ada dengan cara mereproduksi makna-makna yang

berasal dari nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan kelompok-kelompok dominan

dalam masyarakat (Irawanto, 1999:16).

6. Sinematografi

Sinematografi merupakan teknik yang digunakan dalam pembuatan sebuah

film (Pratista, 2008 : 105-110).

a. Kamera

Pergerakan kamera juga mampu menunjukkan situasi atau lingkungan

sekitar subjek kamera. Komposisi gambar juga digunakan untuk

menunjukkan penekanan pada tokoh yang dianggap penting dengan

menunjukkan gambar secara dominan/komposisi yang lebih besar dari

yang lain (Turner, 1999:59-62)

6

b. Pencahayaan (Lighting)

Tata cahaya dalam film secara umum dapat dikelompokkan menjadi

empat unsur yakni, kualitas, arah, sumber serta warna. Keempat unsur

tersebut sangat mempengaruhi dalam membentuk suasana serta mood dalam

film (Pratista, 2008:75-78).

c. Tata Suara (Audio)

Suara dalam film dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yakni dialog,

musik dan efek suara. Dialog adalah bahasa komunikasi verbal yang

digunakan untuk semua karakter di dalam maupun luar cerita film (narasi).

Sementara musik adalah seluruh iringan musik serta lagu, baik yang ada

didalam maupun luar cerita film (musik latar). Sementara efek suara adalah

semua suara yang dihasilkan oleh semua objek yang ada di dalam maupun

luar cerita film (Pratista, 2008:149).

7. Moral

Moral berasal dari kata Latin mores yang artinya tata cara dalam kehidupan,

adat istiadat, kebiasaan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang

berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Moral merupakan kaidah norma

dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan

kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standard baik-buruk yang

ditentukan bagi individu nilai- nilai sosial budaya dimana individu sebagai

anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan

seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan

seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai

penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan (Ali dan Asrori, 2012: 136).

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai moral

dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya. Baik yang terdapat

dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis,

pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia

7

dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi

perkembangan nilai moral dan sikap individu yang tumbuh dan berkembang di

dalamnya (Ali dan Asrori, 2012: 146).

8. Perilaku

Robert Kwick (1974), menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau

perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.

(dikutip dari Notoatmodjo, 2003). Perilaku yang dimaksudkan oleh penulis disini

lebih kepada cerminan perilaku masyarakat urban dalam film “Jakarta Maghrib”.

Skinner (1938) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi

seseorang terhadap stimulus/ rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi

melalui proses adanya organisme. Dan kemudian organisme tersebut merespon,

maka teori Skinner ini disebut “S-O-R” atau stimulus-organisme-respon.

9. Masyarakat Urban

Masyarakat urban adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain

dalam kehidupannya, sekelompok manusia yang saling membutuhkan tersebut

akan membentuk suatu kehidupan bersama yang disebut dengan masyarakat.

Masyarakat itu sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan hidup manusia

yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya

berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Soekamto,

2006).

10. Semiotika Roland Barthes

a. Pengertian Semiotika Roland Barthes

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.

Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia

ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam

8

istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana

kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam

hal ini di campuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). (Sobur,

2009 : 15).

Ciri khas semiotika Barthes terletak pada penggalian lebih jauh dari

penandaan untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian

masyarakat. Menurutnya, semiotika adalah “ilmu mengenai bentuk”. Studi ini

mengkaji signifikasi yang terpisah dari isinya. Semiotika tidak hanya meneliti

mengenai signifier dan signified, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka

(Sobur, 2004:123). Barthes menyarankan sebuah pluralitas makna dan interpretasi

yang pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri mengingatkan adanya perbedaan-

perbedaan yang dimiliki manusia, sejarah, dan kebudayaan masing-masing

(Kurniawan, 2001:117)

Jika teori semiotika Roland Barthes ini dikaitkan dengan karya audio visual,

maka setiap pesan yang disampaikan melalui karya tersebut merupakan pertemuan

antara signifier dengan signified. Lewat unsur verbal visual, diperoleh tingkatan

makna, yakni makna denotative yang di dapat pada semiosis tingkat pertama dan

makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Dengan kata lain,

denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan

konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Pendekatan semiotik terletak

pada tingkatan kedua atau pada tingkat signified, makna pesan dapat dipahami

secara utuh (Tinarbuko, 2008: 15).

9

Metodologi

Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif

dengan pendekatan semiotika komunikasi. Metode kualitatif merujuk pada

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi, apa yang ditulis dan

dikatakan oleh orang dan tingkah laku yang diamati. Penelitian deskriptif

bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat sifat individu, keadaan, gejala,

atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain

dimasyarakat (Koentjaraningrat, 1994:29).

Sajian dan Analisis Data

A. Scene 2

Time Code : 00.07.52 – 00.08.37

Shot a shot b

Pada scene 2, medium close up, adegan terjadi didalam kamar antara

Iman yang berprofesi sebagai satpam komplek dan Nur sebagai ibu rumah tangga.

Keduanya telah bersiap untuk bercinta layaknya pasangan suami istri. Namun

pada shot a nampak Iman dan Nur tidak jadi melakukan aktivitas bercinta

dikarenakan keduanya mendengar adzan Maghrib yang telah berkumandang.

Sempat terjadi kebingungan diantara keduanya. Antara ingin melanjutkan bercinta

atau tidak. Karena telah mendengar suara adzan Maghrib.

Pada dasarnya suara dalam film dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis,

yakni dialog, musik dan efek suara. Dialog adalah bahasa komunikasi verbal yang

digunakan untuk semua karakter di dalam maupun luar cerita film (narasi).

10

Sementara musik adalah seluruh iringan musik serta lagu, baik yang ada didalam

maupun luar cerita film (musik latar). Sementara efek suara adalah semua suara

yang dihasilkan oleh semua objek yang ada di dalam maupun luar cerita film

(Pratista, 2008:149).

“Ketika malam turun, dekatkanlah anak-anak kalian kepadamu, karena

waktu itu syaithan berkeliaran, sejam kemudian kalian dapat melepaskan mereka.

Dan tutuplah pintu-pintu rumahmu dan sebutlah nama Allah. Padamkanlah lampu

dan sebutlah nama Allah. Tutuplah minumanmu dan sebutlah nama Allah.

Tutuplah juga bejanamu dan sebutlah nama Allah. Sekalipun hanya dengan

meletakkan sesuatu di atasnya.” (HR. Bukhari).

Dari pengamatan analisis denotasi dan konotasi pada scene 2, bahwa

diantara sekian banyak masyarakat urban di Jakarta yang secara perlahan mulai

acuh terhadap lingkungan dan kejadian disekitar, masih ada seklumit generasi

yang berpegang teguh kepada keyakinannya. Sebagai contoh Ibu Nur yang

memegang tradisi kultur Islam, mengingatkan kepada Nur dan Iman jika bayi

tidak baik ditinggal sendirian dalam kondisi tertidur ketika Maghrib.

B. Scene 5

Time Code : 00.15.54 – 00.20.00

Shot a Shot b

Pada scene ini menampilkan adegan dan percakapan antara Baung dengan

Babe. Baung sempat mengkritik aktivitas Babe karena musholla yang dirawatnya

setiap hari tidak pernah dipedulikan oleh warga setempat. Dari perkataan Baung

11

tersebut dapat diketahui jika tingkat kepedulian masyarakat Jakarta sangat rendah

terhadap lingkungan sekitar, bahkan musholla dikomplek mereka sendiri

sekalipun. Namun kemudian timbul jawaban dari Babe yaitu “Baung.. warung

tidak bisa dibawa mati Ung.. tidak bisa..”. Babe pun nampak santai menjawab

pertanyaan Baung. Babe seolah-olah tanpa beban merawat musholla dan

mengerjakan dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Jawaban dari Babe menyimpan

makna jika kehidupan ini tidak hanya tentang duniawi saja. Hidup didunia tidak

akan abadi dan tidak bisa membawa mati harta benda yang kita miliki selama

hidup.

Ditengah-tengah scene ini Baung juga sempat melontarkan pertanyaan

kepada Babe yaitu “Emang Babe takut mati?”. Lalu Babe menjawab “Saya tidak

takut mati, saya takut kalo belum bikin apa-apa yang bener, saya keburu mati..

Itu yang saya takutkan Ung..” Backsound dalam adegan ini berubah menjadi

alunan piano dengan nada rendah yang memiliki makna terkesan sedih, haru,

derita dan juga kesengsaraan. Penggunaan nada-nada rendah dalam adegan

digunakan untuk mendukung pembentukan atmosfir yang terkesan dengan

perasaan-perasaan kekecewaan serta kesedihan. Srisayekti (2013: 3) menjelaskan

bahwa tangga nada minor sering digunakan untuk adegan sedih dan tangga nada

mayor untuk adegan bahagia.

Setelah menyadari Babe telah meninggal dunia dan hanya ada Baung yang

berada disekitar mushola, akhirnya Baung memberanikan diri untuk

mengumandangkan adzan. Hingga akhirnya warga berduyun-duyun ingin

memukuli seseorang yang sedang adzan tak lain adalah Baung dengan berkata

“Siapa lagi itu yang di mushola, kita hajar aja ayo! Pelecehan ini, dasar anak

kunyuk!” dari pernyataan warga tersebut menggambarkan jika warga masyarakat

di Jakarta mudah terprovokasi keadaan tanpa mengetahui fakta yang ada.

Dari lambang verbal dan nonverbal Scene ini kita bisa melihat sikap

keberanian yang ditampilkan Baung ketika ia memiliki inisiatif untuk

memberanikan diri mengumandangkan adzan. Padahal Baung masih berpakaian

ala preman dan tanpa pikir panjang langsung menuju mushola untuk

mengumandangkan adzan Maghrib. Keberanian memiliki kata dasar berani yang

12

berarti bukan tidak adanya rasa takut, tetapi bagaimana seseorang mampu

mengatasi rasa takut hingga melahirkan suatu tindakan berani menghadapi apa

yang ada di depannya (Chip R. Bell & Billijack R. Bell, 2003: 241).

Pada saat Babe meninggal dunia dan diketahui oleh Baung, seketika

muncul alunan nada music Islami setelah Baung mengumandangkan adzan

Maghrib. Menurut Pratista (2008: 154) dalam bukunya yang berjudul Memahami

Film, “Musik merupakan elemen yang berperan penting dalam memperkuat

mood, nuansa, serta suasana sebuah film.”

C. Scene 7

Time Code : 00.17.34 – 00.23.10

Shot a Shot b

Shot c Shot d

Karena kesal menunggu, Ivan mulai beraksi mengarang cerita horror

kepada pemilik playstation, Ence Bagus. Namun ia tidak takut. Kemudian ia

menakut-nakuti anak-anak yang sedang bermain playstation itu. Dalam adegan

13

ini, seketika muncul backsound bertema horor. Ivan mengarang cerita tentang

hantu yang datang ketika menjelang maghrib. Anggapan yang berkembang

disebagian masyarakat jika setan akan berkeliaran ketika Maghrib. Maka dari itu

sebaiknya meninggalkan hal-hal yang tidak penting dan kembali kerumah masing-

masing.

Dengan contoh ini, Barthes ingin memperlihatkan bahwa gejala suatu

budaya dapat memperoleh konotasi sesuai dengan sudut pandang suatu

masyarakat. Jika konotasi itu sudah mantap, maka ia menjadi mitos, sedangkan

mitos yang sudah mantap akan menjadi ideologi (Barthes, dalam Rusmana, 2005).

Ekspresi suara dan wajah sama-sama penting dalam mengkomunikasikan

ekspresi emosi pada diri seseorang kepada lawan bicaranya (M. Darwis Hude,

2006: 48-51).

Pada scene 7 ditemukan bahwa ada mitos yang berkembang didalam

masyarakat tentang adanya setan atau jin yang berkeliaran ketika Maghrib.

Namun masih banyak masyarakat urban yang memiliki moral rendah serta

terkesan kurang peduli dengan hal-hal yang berbau reliji.

"Jika malam datang menjelang, atau kalian berada di sore hari, maka

tahanlah anak-anak kalian, karena sesungguhnya ketika itu setan sedang

bertebaran. Jika telah berlalu sesaat dari waktu malam, maka lepaskan mereka.

Tutuplah pintu dan berzikirlah kepada Allah, karena sesungguhnya setan tidak

dapat membuka pintu yang tertutup. Tutup pula wadah minuman dan makanan

kalian dan berzikirlah kepada Allah, walaupun dengan sekedar meletakkan

sesuatu di atasnya, matikanlah lampu-lampu kalian." (HR. Bukhari, No. 3280,

Muslim, No. 2012).

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan intrepretasi yang dilakukan terhadap film

“Jakarta Maghrib” dengan menggunakan metode analisis semiotika Roland

Barthes, pada akhirnya penulis menemukan serangkaian simbol-simbol serta

makna pesan moral yang terkandung dalam objek penelitian tersebut. Berikut ini

kesimpulannya :

14

Film “Jakarta Maghrib” merupakan sebuah film yang merepresentasikan

tentang adanya pesan moral terutama dalam perilaku masyarakat urban. Perilaku

masyarakat kelas menengah seperti Iman dan Nur dalam masyarakat urban, faktor

perekonomian menjadi salah satu penyebab konflik rumah tangga. Perekonomian

keluarga yang serba pas-pasan membuat perilaku dan gaya hidup masyarakat

kelas menengah ini harus lebih giat dalam mencari nafkah sehingga kurangnya

ruang dan waktu untuk sejenak bersama keluarga hal itu sebagian dari siklus

kehidupan di kota Jakarta.

Lemahnya nilai reliji dan kurangnya pula pendidikan agama dan moral serta

didukung lingkungan yang negatif hal itu memicu terbentuknya pribadi-pribadi

seperti Baung sebagai seorang preman. Pada film “Jakarta Maghrib” lah sebagian

aspek perilaku masyarakat urban divisualisasikan agar menjadi cerminan dan

menjadi pesan moral bagi masyarakat manapun untuk mengambil suatu hal yang

positif dan membuang hal-hal yang negatif dalam gaya hidup keseharian.

Saran

Film “Jakarta Maghrib” secara lugas dan baik mencerminkan gaya hidup

masyarakat urban saat ini dimana peristiwa-peristiwa yang kompleks ada dalam

film tersebut mulai dari persoalan rumah tangga sampai para pemuda-pemudi

menjadi penganut modernisme, seolah menyadarkan kita akan pentingnya apa

yang terjadi disekeliling kita menjadi sebuah pembelajaran dan kontrol bagaimana

sebagai makhluk sosial harus bisa menyaring segala pergaulan dan menjaga

keluarga kita dari hal-hal yang negatif.

Untuk media massa khususnya film, media sebagai fungsi informasi dan

fungsi kontrol. Dewasa ini film sebagai media massa yang efektif yaitu harus

lebih banyak mengangkat isu-isu dan pesan moral.

15

Daftar Pustaka

Ali, Mohammad dan M. Asrori. (2012). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta

Didik. Jakarta: Bumi Aksara.

Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala. (2007). Komunikasi Massa: Suatu

Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Danesi, Marcel. (2010). Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.

Effendy, Onong Uchjana. 2001. Ilmu Komunikasi dan Praktek. Bandung :

ROSDA.

Hardjana, Agus. M. (2003). Komunikasi Intrapersonal Dan Interpersonal.

Yogyakarta: Kanisius.

Irawanto, Budi. (1999). Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam

Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.

Koentjaraningrat. (1994). Metode – Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:

Gramedia

Mc Quail, Denis. (1996). Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta:

Erlangga.

Mulyana, D. (2008). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Notoatmodjo S., (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta.

Pratista, Himawan. (2008). Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.

Skinner, B.F. (1938). The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis.

Cambridge. Massachusetts: B.F. Skinner Foundation.

Sobur, Alex. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Rosda Karya.

Soerjono Soekanto. (2007). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Sutopo, HB. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

Tinarbuko, Sumbo. (2008). Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.

Turner, Graeme. (1999). Film as Social Practise. London and New York:

Routledge.

Wiryanto. (2000). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Grasindo.

Pengertian Adzan.

(http://www.google.com/#q=pengertian+adzan). Diakses pada pukul 16:14 WIB,

20 Oktober 2016.

Mitos tentang Maghrib.

http://www.infoyunik.com/2015/02/mitos-larangan-keluar-saat-maghrib-

bisa.html. Diakses pada pukul 16:34 WIB, 20 Oktober 2016.