22
PENCUCIAN CITRA SDM WARISAN KOLONIAL, PELETAKAN PARADIGMA SDM BAKU: MUNGKINKAH?* Okh: Taufiq Ismai/** Abstract This article tries to present a new paradigm of human resources, instead of maintaining the old one which ispart ofcolonial heritage. This oldparadigm pays more attention or respect to status, rights, and one who is inpower. More over this paradigm disregards the importance of educa tion, ly giving little attention on it especially in matter of fund. By eliminating many of these outdated ideas, the Indonesians have to work hard to create the new one ly respecting the'local genius ideas, best tradition, religion and creating the new paradigm which pays respect to the process education instead ofthe result only. The new paradigm pays more attention to poor, and the needy ones, the duties of the leaden, and providing enough fund to the education. ^LJLI^ Lpt-ijjT t" - -li la sjbl-l ^JJi ^^ ad Jajjj (Jj JJ 2jr2 aJVIIj ^U-1 p }?t: «j <-l! ^pj \1a ^ . JjSfl J1 y\3 2^yS\ iijj djip' ®CA ^1 Kata kunci: pendidikan, sumber daya manusia, dan paradigma bam * Semula tulisan ini merupakan pidato Dies NatalfsTce 41 Universitas Negeii Yogyakarta. Pidato Taufik ini disajikan pada Sabtu 21 Mei 2005, di Auditorium UNY, di Jalan Kolombo Yogya. ** Sekalipun lulusan dr. hewan, Taufiq Ismail lebih dikenal sebagai seorang sastrawan. Berbagai karya sastra yang telah dihasilkan telah membawanya ke berbagai negara, termasuk AS dan negeri jiran Malaysia. Berbagai prestasi yang dicapainya ini telah membuat sastrawan ini diberi gelar kehormatan Dr. (HQ di bidang Pendidikan Sastra oleh UNY. Dalam rangka penerimaan Dr. (HQ, di depan Rapat Terbuka Senat UNY pada Sabtu 8 Februari 2003, Taufiq Ismail menyajikan "Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca, Tak Pincang Mengarang", yang memukau para pendengar, seperti halnya pidato Dies

iijj - Universitas Islam Indonesia

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: iijj - Universitas Islam Indonesia

PENCUCIAN CITRA SDM WARISAN KOLONIAL,PELETAKAN PARADIGMA SDM BAKU:

MUNGKINKAH?*

Okh: Taufiq Ismai/**Abstract

This article tries to present a new paradigm ofhuman resources, instead ofmaintaining the oldone which ispart ofcolonial heritage. This oldparadigmpays more attention orrespect to status,rights, and one who is inpower. More over this paradigm disregards the importance ofeducation, lygiving little attention on it especially in matter offund. By eliminating many oftheseoutdated ideas, the Indonesians have to work hard to create the new one ly respecting the'localgenius ideas, best tradition, religion and creating the new paradigm which pays respect to theprocess education instead ofthe result only. The newparadigmpays more attention to poor, andthe needy ones, the duties ofthe leaden, andproviding enoughfund to the education.

^LJLI^ Lpt-ijjT t" - -li la

sjbl-l ^JJi^^ a d

Jajjj (Jj JJ 2jr2

aJVIIj ^U-1 p}?t: «j <-l! ^pj

\1a ^ .JjSfl J 1y\3 2^yS\ iijj

djip' ®CA ^1

Kata kunci: pendidikan, sumber daya manusia, dan paradigma bam

* Semula tulisan ini merupakan pidato Dies NatalfsTce 41 Universitas Negeii Yogyakarta. PidatoTaufik ini disajikan pada Sabtu 21 Mei 2005, di Auditorium UNY, diJalan Kolombo Yogya.

** Sekalipun lulusan dr. hewan, Taufiq Ismail lebih dikenal sebagai seorang sastrawan. Berbagaikarya sastra yang telah dihasilkan telah membawanya ke berbagai negara, termasuk AS dan negeri jiranMalaysia. Berbagaiprestasi yang dicapainya ini telah membuat sastrawan ini diberi gelar kehormatan Dr.(HQ di bidang Pendidikan Sastra oleh UNY. Dalam rangka penerimaan Dr. (HQ, di depan RapatTerbuka Senat UNY pada Sabtu 8Februari 2003, Taufiq Ismail menyajikan "Agar Anak Bangsa TakRabun Membaca, Tak PincangMengarang", yang memukau para pendengar, seperti halnya pidato Dies

Page 2: iijj - Universitas Islam Indonesia

2 Millah Vol. V, No. 1, Agustus 2005

A. Pendahuluan

Tema kita hari ini adalah "Implementasi Sistem Pendidikan Nasional dalamPeningkatan Profesionalisme Sumber Daya Insani." Dua perkara utama yangdiisyaratkan oleh judul di atas. Periamay implementasi sistem pendidikan nasional(di dalamnya tersirat dua persoalan, yaitu (1) penerapan Sistem Pendidikan Nasional(Sisdiknas), dan (2) isi, muatan apa saja yang terkandung dalam Sisdiknas itu sendir^dan kedua, peningkatan profesionalisme sumber daya insani mengandung tigapersoalan, yaitu (1) peningkatan profesionalisme, (2) pengertian dan sasaran yanghendak dicapai oleh seorang profesional yang menempatkan sebuah profesi apa punsebagai sarana mengembangkan diri dan meningkatkan taraf hidup, dan (3) perkarasumber daya-insani,^ yang lazim disebut sumber daya manusia, SDM. Untukselanjumya saya menggunakan istilah Sumber Daya Manusia (SDM).

Datanglah pertanyaan ini: siapapelaku semuaitu dan untuk tujuan apa?Sumbersegala persoalan ini pastilah manusia. Sedang persoalan yang dihadapi manusia imterus mengalir tiada henti, timbul-tenggelam dan muncul lagi, berkelok-kelok, danbercabang-cabang. Pada akhirnya segala persoalan itu sampailah pada sebuah muarayang juga bernama manusia.Jadi, se^la masalah manusia itu, sumber dan muaranyasatu: manusia itu sendirL Manusialah yang mendptakan masalah dan manusia pulayang seolah-olah hendak menyelesaikan masalahnya, padahal ketika diamenyelesaikan satu masalah, dia sebenarnya justru melahirkan masalah baru. Kataseorang filsuf, "kehidupan adalah rangkaian masalah. Menyelesaikan masalah yangsatu berarti siap menghadapi masalah berikutnya."

Meskipun masalah manusia itu bersumber dan bermuara sama, yaitu manusia,masalahyangmelatarbelakanginya dan tujuan yangmelatardepaninya pastilahsangatbergantung pada konteks sosial budaya sejarah manusianya itu sendiri. Bukankahmanusia Indonesia berbeda dengan manusiaJepang, Amerika, atau bangsa lain yangmempunyai sejarah, budaya, kepercayaan, sikap dan pandangan hidup yang masing-masing berbeda? Inilah perkara hakiki yang patut dicermati benar ketika kitamembicarakan manusia sebagai sumber daya.

Ketika kita membicarakan implementasi Sisdiknas yang dikaitkan denganSDM, ketika itulah kita seyogianya meUhat konteks manusianya dalam perspektifyang lebih mendasar. Begitu juga ketika kita membicarakan peningkatanprofesionalisme SDM, kita mesti menempatkannya dalam konteks manusia Indo-

' IstilahSumberDayaInsani digunakan H. AchmadS.Ruky (2003), SDMBerkualitas: MengitbabVisiMe»jadiBealitas,]7&i2itz: Gramedia, p. 8.Diaberpendapat, bahwa istilah SumberDaya Insanilebihtepat sebagai pengindonesiaan istilah Inggris, human resource. Istilah itu dapat disandlngkan denganistilah sumber daya yang lain yang dimiliki suatu negara, yaitu sumber daya alami (^natural resources).Sayangnya, dalam uraian Ruky selanjumya, istilah Sumber Daya Insanitidak digunakan lagi danmemilihmemakai istilahSumber Daya Manusia (SDM).Judul bukunya sendiri menggunakan istilahSDM, danbukanSDI.Sejauh pengamatan penulis, buku-buku yang lain, juga menggunakan istilah SDM.

Page 3: iijj - Universitas Islam Indonesia

^encucian Citra SDM Warisan Kolomal

nesia. Pertimbangannya, antara lain, bahwa manusia Indonesia dilahirkan dandibesarkan dalam budaya masyarakatnya yang berbeda dengan budaya danmasyarakat bangsa Iain. Aspek sosio-budaya inilah yang mestinya diikutkan menjadisalah satu parameter untuk dicoba memahaminya sebagai sumber daya atau modal.Di samping itu, bagaimanapun juga, manusia bukanlah sekadar makhluk ekonomiatau mahluk sosial semata-mata. Bukankah di sana melekat juga problem budaya,ideologi, dan nation building yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Tentulah masihbanyak alasan yang dapat kita ajukan. Tetapi, setidak-tidaknya, perkara SDM mestijuga dilihat dari perspektif yanglain- yanglebih substansial dan lebih mendasar.

B. Masalah Mendasar

Berpuluh, bahkan mungkin beratus buku telah membicarakan penhal SDM,yang berkembang sebagai ilmu yang maju. Sebagai konsep, teori, analisis, dan kajian,niscaya semua itu akan sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuantentang potensi manusia, pemanfaatan dan pengembangan potensi, usahapeningkatan kualitas, dan kebermanfaatannya bagi sebesar-besarnya kesejahteraanmanusia. Mengingat manusia sebagai makhluk ekonomi, dan dalam dunia modem,manusia telah terjerat oleh berbagai macam kebutuhan - primer, sekunder, tersier -yang menciptakan ketergantungan antar sesamanya. Semua itu pasti juga bergunabagi sistem manajemen dan operasionalisasinya di berbagai perusahaan, instansi,institusi, atau mungkin juga dalam perencanaan SDM birokrasi pemerintahan. Tidakdiragukan lagi, berbagai tulisan tersebut menjadi sangat akademis. Dan itu tentusaja bermanfaat untuk ajang diskusi keilmuan di dunia akademik.^

Problem mendasar SDM Indonesia sesungguhnya berkaitan dengan sikap,mental, tata nilai, orientasi, pandangan hidup, dan kebudayaan yang melatarbe-lakangi dan melahirkannya. la berkaitan erat dengan sejarah pembentukan nationbangsa ini.

Mochtar Lubis secara pedih mengemukakan ciri-ciri manusia Indonesia yangantara lain, (1) munafik, (2) segan dan enggan bertanggung jawab, (3) berjiwa feodal,(4) percaya tahayul, (5) artistik, (6) berwatak lemah (cengeng), (7) tidak hemat, (8)kurang gigih, (9) dan tidak terbiasa bekerja keras.^ la masih memerinci lebih lanjut'tentang sejumlah ciri negatif manusia Indonesia. Meski di sana-sini ada juga ciri

2Sejumlah buku yang membicarakan Sumber Daya Manusia (SDIvQ sebagian besar hanyamenempatkannya dalam kerangka ekonomi makro dan ekonomi mikro. Dua buku di antaranya, yaitu (1)Pengembangan KualitasSDMdariPerspektifPIO pepok: Bagian PIO Fakultas Psikologi UI,2001), sebuahkumpulan artikel yang dieditori Bertina Sjahbadhyni, B.K. Indarwahyanti Graito, dan RufUs Patty Wutunmenyorotinya dari aspek psikologi, dan (2) Mefawan GlobalisasiPeinterpretasiAJaran IslarnhztyA A. QodriAzizy (2004), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, menempatkan SDM dalam konteks ajaran Islam. Dengandemikian, kedua buku ini memberi perspektif lain dalam melihat dan menempatkan SDM.

^Mochtar Lubis (1977), ManusiaIndonesia: Sebuah Pertanggungjamaban,]2kaixxld2.yxs Press. Dikurip

Page 4: iijj - Universitas Islam Indonesia

4 Millah Vol. V, No. 1,Agustm 2005

positifnya, setidak-tidaknya apa yang dikatakannya sebagai kecenderungan umumyang melekat dalam din manusia Indonesia. Tentu saja kita boleh semju atau bolehtidak setuju atas pandangan itu. Tetapi pertanyaannya: dari mana Mochtar Lubispunya pandan^n seperti itu?

Ternyata, beberapa hal yang dikemukakan Mochtar Lubis ada jugakesejajarannya dengan pandangan Koentjaraningrat/ Menurut Bapak AntropologiIndonesia ini, sisinegatif manusia Indonesia berkaitan dengan mentaliteit (mentalitas).Menurutnya, masyarakat Indonesia dapat dibedakan dalam dua bagian besar,masyarakat pedesaan dan perkotaan. Kecenderungan masyarakat pedesaan adalahsikapnya yang komformistis, gotong royong, orientasi ke masa kini, dan bekerjakeras dengan tujuan semata-mata untuk makan.

Sementara masyarakat kota beranggapan bahwa manusia bekerja untukmendapatkan kedudukan, kekuasaan, dan lambang-Iambang lahiriah darikemakmuran. Orientasinya ditentukan oleh masa lampau. Sedangkan dalamhubungannya dengan sesama warga masyarakat perkotaan,mereka berorientasi padaatasanataupimpinan. Simbol-simbol statusmenjadi bagman pentingbagimasyarakatperkotaan.

BagiKoenqaraningrat, sikap mentalyangsepertiitu sesungguhnya sudahsejakUma terbentuk, mengendap dan lengket menempel dalam alam pikiran. Sumbemyaadalah sistem nilai budaya yang turun-temurun dalam beberapa generasi. Setelahkemerdekaan, situasi perang dan kekacauan kehidupan sosial budaya, ikut pulamempengaruhi sikap mentalmasyarakat Indonesia. Menurumya, sedikitnya ada limamentalitas negatif bangsa Indonesia, yaitu (1) meremehkan mutu, (2) cenderungmencari jalan pintas (menerabas), (3) tidak percaya did, (4) tidak berdisiplin, dan(5) mengabaikan tanggung jawab.

Jikaditerjemahkan lebih lanjut sikap yang meremehkan mutudapatkita cermatidari cara manusia Indonesia umumnya yang cenderung mengerjakan sesuatu asaljadi, selesai, dan setelah itu dianggap bukanlah persoalannya lagi. Yang penting,pekerjaan itu dapatselesai, terlepas dari apakah pekerjaannya itu bermutuatau tidak.Jika hasil pekerjaannya itu memuaskan, ya syukur, jika mengecewakan, ya tidakapa-apa. Toh tanggung jawab terhadap pekerjaan itu sudah selesai. Maka, lihat sajaberbagai proyek pembangunan yang dipertontonkan di negeri ini. Jalan-jalan cepatrusak, jembatan ambruk, sekolah-sekolah Inpres cuma dapat bertahan antara empatsampai enam tahun. Itulah hasil pembangunan pemerintah Indonesia selama berkuasa.Memang, tiba-tiba di tahun 1970-an jalan di mana-mana diaspal rata sampai ke

juga oleh A. S. Munandar (2001), "Sumber Daya Manusia dalam Rangka Pembangunan Nasional,"BertinaSjahbadhyni, dkk., (Ed.),op. cit.^ pp. xxiv—xxv.

•* Koentjaraningrat (1974), Kebudajaan, MentalitetdanPembatigman,]2k2iTt2i\ Gramedia. Lihat jugaA.S. Munandar(2001), op. a'f., pp. xxiv—xxv.

Page 5: iijj - Universitas Islam Indonesia

Pencudan Citra SDM Warisan Kolonial

desa-desa, gedung-gedung berdingagah, dan jembatan bertebaran melangkahi sungai-sungai.

Tetapi, semuanya itu tidak bertahan puluhan tahun. Belum habis jari sebelahtangan dihitung, jalanan itu harus dltambal, karena kubangan air bertebaran di sekujurbadannya, gedung-gedung itu berwajah kusam, lantainya retak-retak, gugusanperumahan rakyat terpaksa mesti segera direhabAnnxs^Mi rumah tipe 21 dan tipe 36itu sesungguhnya belum layak hum. Rangkaian cerita pilu itii masih amat panjang,bagaimana kualitas pekerjaan diselesaikan dengan semangat asal jadi. Akibatnya,kita hampir kehilangan kepercayaan pada semuanya, termasuk juga kepada sebagianaparat pemerintah.

Sikap yang suka menerabas, mencari jalan pintas terjadi di hampir semuastruktur sosial dan birokrasi. Istilah main belakang, orang dalam, semua bisa diatur^ satumeja satu amplop, urusan diselesaikan dengan cara damai, sesungguhnya merupakanrepresentasi dari kebiasaan main terabas ita Dalam hal ini, mjuan atau hasil adalahsegala-galanya, meskipun harus melalui proses yang tidak benar. Disinilah, kebiasaansuap-menyuap tumbuh subur. Keadaan ini kemudian seolah-olah memperolehlegitimasi ketika kita berurusan dengan aparat birokrasi pemerintah. Jangan heranjika seseorang yang hendak mengurus sesuatu di instansi pemerintah, dia harusmenyiapkan setumpuk amplop yang akan disebarkan di sejumlah meja dan ke atassejumlah tangan, Batas antara snap dan ungkapan terima kasih, sudah sangat sulitdibedakan. Kolusi sudah dianggap sebagai bagian dari pekerjaan, dan orang yangtidak melakukan itu dianggap melawan arus zaman. Dapat dibayangkan sukarnyaguru yang bermgas mengajarkan budi pekerti, menyampaikannya kepada siswa-siswanya di kelas tentang fenomena ink

Sikap tidak percaya din {minderwaardi^ hampir merata melekat pada diri sebagianbesar masyarakat Indonesia, Pengagungan yang berlebihan terhadap bangsa Barattermasuk memamah secara membuta-tuU segala sesuatu - teori, konsep, gaya hidup,mode, dari yang ilmiah sampai yang urakan - yang datang dari Barat, sebenarnyamerupakan kompensasi dari rasa minderwaardig itu. Mengapa bangsa ini cenderungkagum secara berlebihan pada segala sesuatu yang datang dari Barat dibandingkandengan yang datang dari budaya Timur? Banyak orang yang lebih percaya padaorang Barat dibandingkan pada orang Timur. Jika demikian, di mana pula tempamyakepercayaan kepada bangsa sendiri?

Sikap tidak disiplin juga hampir merata dalam diri masyarakat kita. Istilahy^wkaret, vonis dapat ditenmkan di belakang meja, sidang pleno DPR yang tak pernahlengkap, membuang sampah sembarang, lebih takut kepada polisi dibandingkankepada peraturan, terlambat dalam pengerjaan banyak hal, tawuran yang dilakukansejumlah anggota DPR, adalah sebagian dari ciri lenturnya disiplin bangsa ini. Taatasas dan konsekuen pada peraturan dianggap bersikap kakm, tidak manusiawi, tidak

Page 6: iijj - Universitas Islam Indonesia

6 Miliah \^oL V, No. 1, A-gmtus 2005

bertenggahg rasa, dan sok-disipUn. la akan menjadi bahan olok-olok dan mungkinsekali akan disingkirkan dari pekerjaan atau jabatan strategis.

Sikap mengabaikan tanggung jawab, tidak amanah, khianat, korupsi massaldan penyelewengan yang dilakukan anggota-anggota DPR dan DPRD, sertapenyalahgunaan jabatan adalah beberapacontohkasus pengabaian terhadap tanggungjawab. Sejumlah contoh lain niscaya akan lebih panjang lagi jika dideretkan di sini.

Kehancuran mentalitas (akhlak) bangsa ini, pernah dirumuskan secara puitikdalam dua lank sajakberikut ini: "Langit akhldk mbuh, di atas negeriku berserak-serak #Hukiim tak tegak^ dqyong berderak-derak? Pertanyaannya kemudian: mengapa sikap-sikapnegatifitu sepertinya telah menjadi bagiandari kehidupansebagian masyarakatIndonesia?ApakahmemangbangsaIndonesia sudahditakdirkan mempunyai l^akterburuk sepertiitu?Pasri adasesuatuyangtak beresHal?im proses pembentukan bangsaini. Dalam konteks itulah kita perlu melacaknya, mencari dan mencoba menemukanakar masalahnya, membongkar sumbemya agar kita dapat mengajukan solusi, ataupemecahan, yang tepat dan menerapkan terapi 3^g sesuai dengan penyakit kronisyang menimpa bangsa ink

C Scarabyang Yielam: SDM Kaum TerjajahMembicarakan perihalSDMmemangseyogianya menyentuhpula aspeksikap

dan mentalitas manusianya.Dan itu berkattan dengan masyarakatyang membentukperilaku sosialnya, dengan lingkungan yang mempengaruhi cara pandang danorieniasi, dengan budayayang ikut menentukan tata nilai, sikap, dan mentalitasnya,dan dengan agamayangmenjadidasar ideologiteolog^, norma, moralitas, pandanganhidup, sikap dan perilaku religiusitasnya. Keseluruhannya itu berjalin kelindan lalumengejawantah dalambentuk tindakperbuatanyangdi belakangnya berkaitandengan-beberapa Hal yang disebutkan tadL _

Demikianlah, SDM Indonesia tidaklah terlepas dari persoalan agama, budaya,dan tradisi masyarakat yang menggelinding di dalam proses pembentukan bangsaini. Ini berkaitan dengan masa lalu, sejarah yang membentuknya. Apabila SDM Indonesia ini ditelusuri ke belakang, nyatalah bahwa hampir semua sikap yang buruksebagaimana yang disebutkan Mochtar Lubis dan Koentjaraningrat, penyebabnyaberkaitan dengan pembentukan mentalitas bangsa ini di masa lalu. Salah satunyaadalah warisan yang ditanamkan pengiaasa kolonial yang menempatkan bangsa dikepulauan Nusantara ini sebagai bangsa terjajah.

Selama bertahun-tahun sebelum penjajah Barat datang, citra positif bangsaIndonesia tercatat dalam berita perjalanan musafir dari Gujarat^ pedagang-pedagangCina, ulama Timur Tengah, dan para pelayar Portugis. Konon, penduduk di wilayah

^Selengkapnya, adadidalam antologi puisiTaufiq Ismail (2004), (Akn)JadiOranglndonesia,Jakarta: Yayasan Indonesia, pp. 19—22.

Page 7: iijj - Universitas Islam Indonesia

Vencucian Citra SDM Warisan Kolonial

Nusantara terkenal sebagai bangsa yang telaten dan gigih membangun kemegahanBorobudur dan candi-candi lainnya, piawai mendirikan masjid-masjid agung denganarsitekturnya yang indah, lincah dalam menjalin kerja sama perdagangan denganArab, India, Cina, atau Portugis, dan cerdas berdiplomasi membuka jaringanintelektual Muslim dari Timur Tengah, terus menyebar ke Makasar, Banjarmasin,Betawi, Banten, Palembang sampai Aceh.^

Selepas Portugis, Sepanyol, Belanda danInggris datang danmenguasai "wilayahNusantara, citra posidf bangsa ini dibenamkan sedemikian rupa sebagai bangsaterbelakang, teraniaya, dan pecundang secara fisik dan mental. Bersamaan denganitu, kedatangan bangsa Belanda (Barat) didtrakan sebagai juru selamat, mesias yangakan mengangkat bangsa pribumi dari lembah kegelapan menuju cahaya peradabandan kebudayaan modern.

Jika disimpulkan, SDM di negeriini, sesungguhnya telah dibonsai, dikerdilkan,dan didtrakan sedemikian rupa oleh peranan poUtik kolonial yang kemudian ditirusecara membuta-tuli oleh sekelompok masyarakat yang merasa diri sebagai bagianelit birokrasi kolonial. Sejak abad ke-18, pemerintah kolonial Belanda berusahamembangun dtra positif bagi keberadaannya di Nusantara. Perfama, menanamkanpengaruhnya di kalangan para penguasa. Kedua, membentuk sikap, gaya hidup, dancara berpikir para penguasa dalam hubungan dengan birokrasi pemerintahan. Sejakitulah, ^^penjusupan pandanganpandangan Barat ke dalam masyarakatpenguasaJawa mulai

B̂agaimana pihak kolonial Belanda mengerdilkan peranan para ulama besar kita, seperti SyeikhYusuf (Makasar),Syeikh Mohammad Arsyad al-Banjari (Banjarmasin), Syekh Nawawi al-Bantani (Banten)sampai ke Hamaah Fansuri (Aceh), tampak dari usaha mereka menempatkan para ulama itu sebagaitokoh-tokoh yang hanya berkuQtdalam soal-soal keagamaan (Islam). Dari sebagian besar sumber yangditulis pihak Belanda, hampir-hampir tak ada yang menyinggung peranan para ulama itu dalam bidangkemasyarakatan dan pemerintahan. Para ulama itu seolah-olah hanya berurusan dengan bidang agama •dan hidupnya semata-mata diabdikan untuk kehidupan akhirat. Lihat A2yumardi Azra (\995),Jar7ngaaVlamaTimurTengahdanKepulauanNusantaraAbadXVndanXVUI, Bandung: Mizan.

Buku ini mengungkapkan peranan para ulama TimurTengah, dan terutama para ulama di kepulauanNusantara ini sebagai tokoh-tokoh intelektual, pemildr yangkarya-karyanya banyakpula yangmenyinggungbidangsosial, polidk, pendidikan, dan pemerintahan. Lihat juga politik kolonial Belanda terhadap Islam,sebagaimana yang diungkapkan secara mendalam oleh H. Aqib Suminto (1996), Politik Islam HhdiaBehmia:HetKantoortJoorI/tlamiscbeZakerj,}akaia: LP3ES. Secara sistematik Belanda melakukan pemasungan,pembatasan, dan penyusupan melalui lembaga-Iembaga peradilan, pendidikan, keagamaan, dan birokrasipemerintahan.

Meskipun dalam soal agama pemerintah Belanda menyatakan bersikap netral, dalam kenyataannyaterjadi diskriminasi yang amat mencolok perlakuan Belanda terhadap Islam. Berbagai ordonansi danperaturan diberlakukan, seperti Ordonansi Guru Islam (1905) peraturan Peradilan Agama (1882),Pengangkatan Penghulu (1905), Ordonansi Perkawinan (1905, 1929. 1932), Pengawasan terhadapPendidikan Islam (1905, 1925), Pengawasan terhadap Kas Masjid (1893), dan Pengawasan terhadapIbadah Hajl (1933). Guru-guru Islam juga dikenai wajib lapor secara berkala sambil menceritakan apa sajayang diajarkannya danberapa jumlah muridnya.

Page 8: iijj - Universitas Islam Indonesia

8 Millah Vol. Y, Ni?. 1, Agusius 2005

meningkat dengan pembukaan berbagai lembaga pendidikan gaya haratP^ Menanamkanpengaruh dan mengubah cara berpikir dan sikap hidup elit penguasa, dilakukan jugalewat pelibatan mereka dalam birokrasi pemetintahan.

Dari sanalah lahir dua kelompok sosial, yaitu (1) kelompok elit birokrasi dangolongan yang merasa diri sebagai kaum bangsawan, ambtenaar^ Dari sana pulakemudian mentalitas feodal melekat sebagai sikap hidup, dan (2) kelompokpegawairendah yang menjadi bagian dari birokrasi pemetintah kolonial. Mereka umumnyabekerja dalam kedudukan paling bawah dalam struktur birokrasi pemerintah, sepertiopas, mandor, jurutulis, mantri air, mantri hutan atau pegawai administrasi dikawedanan atau kecamatan. Kedua kelompok sosial inilah yang berusahamelanggengkan gaya hidup feodalismenya.

Sementara itu, masyarakat di bawah kedua kelompok sosial itu, yaitumasyarakat kebanyakan, dalam kehidupannya sehari-had tidak pemah terlepas daritekanan pihak pengiaasa, termasuk tekanan dari kedua kelompok sosial di atasnya.Senantiasa mereka itu menjadi pecundang, kalah secara nista, teraniaya secaraekonomi, terbelakang dalam pendidikan, dan terjajah fisik serta psikisnya. Darikeadaan itulah, lahir mentalitas kaum terjajah yang kemudian mengalir terus menjaditradisi dari satu generasi ke generasi berikumya. Mentalitas inilah yang sampaisekarang terus melekat, menempel menjadi sikap hidup sebagian besar masyarakatIndonesia.

' Savitri PrastitiScherer (1985), Kfselarasan danKganggalan: Pmikiran-PemikimnPr^aj/iNasionalis^ojw.,4BB/./4/wi/X?f,tetj.JiinanS.Rumbo,Jakarta;SinarHarapan, p.43.

®Periksabuku Robert van Niel (19Z^,MjinculnyaSBtModemIndone^ teij. Zahara DeliarNoer,Jakarta: Pusaka Jaya. Bnkuinimengungkapkan banyak halyangmelatarbelakangi perubahan sosial diIndonesiapadaawal abadke-20. Salah satu&ktoryangmemun^dnkan munculnya golongan elite piibumiintadalahmelalui jalurpendidikan. Golonganpiiyayi dijawadan menakdiSundayangbukanketurunanraja, salah satufektomya lahirdanprosespendidikan itu.Sebagian besardarimereka kerap menempatkandiri sebagaigolongan yang bcrkedudukan tinggidan berkuasa. Dalam posisi yangmenempatistatussosialyang tinggi inilah mereka berusahamenjaga wibawa, pengaruh, dangaya hidup. Sikap itulah yanglalumempedakukan masyarakat dibawahnya sebagai orangj^ng dapatdiperlakukan sesuka had.

Sebuahbuku yangmelukiskan betapakehidupan elitptiyayi, birokrat, dan kaum menak j'angberusaha mempertahankan simbol-simbol statusnya yang padaakhimya menempatkan rakyat sebagaikaumfprrindas^ tetaniaya denganmentalsebagai kaumterjajah, dapatkitacetmatidalamdisertasi NinaH.Lubis (1998) yang kemudian diterbitkan sebagai bukuberjudul, Kehidupan Kat/m Menak Priangan 1800-1942^ Bandung: Pusat InformasiKebudayaan Sunda.

Dalamkonteks kehidupan sekarang sudah ridak pada tempamya lagi jikamasyarakat masihberpandangan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) konon mempunyai masa depan yang cerah, dapatbekeqa nyaman dansantai meskipun penghasilannya pas-pasan, dapat menikmari masa pensiunan dengantenang lantaran punya tunjangan pensiun, dan ditempatkan sebagai pegawai pemerintah, abdinegara,ambtenaar. Citra yang berkaitan dengan status sirabol inilah yang melekat disebagian besarmasyarakat kitaterhadap PNS. Itulah warisan pandangan kolonial Belanda yang jelas sudah tidak relevan lagi, bahkanmenyesatkan.

Page 9: iijj - Universitas Islam Indonesia

Pencucian Citra SDM Warisan Kolomal

Dalam masyarakat elit birokrasi tradisional, txadisi pemberian upeti, menjilatatasan, mengusung segala sesuatu dengan pertdmbangan asal hapak (atasan) senang,dan menekan serta memeras masyarakat bawah untuk kesejahteraan pimpinan,dianggap sebagai perbuatan yang wajar, karena memang dari sononya begitu. Paraelit birokrasi itu yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah kolonial,memperoleh legitimasi kekuasaan karena dia merupakan bagian dari pemerintahyang berkuasa. Dengan kekuasaannya itu, dia dapat menarik pajak, menerima upeti,dan menjaga stabilitas keamanan wilayahnya. Jika terjadi huru-hara, dia juga dapatmeminta bantuan pada pemerintah kolonial. Hingga kini, pengaruh tradisi ituseperriterus tumbuh suburdi dalam kehidupan birokrasi pemerintahan kita.

Pada zaman Orde Bam, hampir semua pejabat pusat Jakarta) yang datang kedaerah menempatkan diri sebagai kepanjangan tangan "Sang Penguasa" yang bisaseenaknya menentukan nasib pejabat daerah. Sentralisme luar biasa dominan. Dimasa reformasi, sentralisasi ini diperbaiki dengan desentralisasi, yakni otonomidaerah. Alih-alih menjadi baik, sentralisasi korupsi kini malah menggurita menjadidesentralisasi kompsL Kim, selepas otonomi daerah diberlakukan, para pejabat didaerahlah yang merasa paling berkuasa dan menempatkan diri sebagai "raja-raja"kecil.

Meskipun demikian, dibandingkan dengan mentalitas feodal yang lazimnyatumbuh di kalangan aparat birokrasi, mentalitas sebagai kaum terjajah, jauh lebihmerata serta terus mengepungpemikirannya melalui berbagaiilmu pengetahuan yangdatang dan Barat, gaya hidup dengan selera konsumtif, dan jeratan hutang melaluiberbagai bantuan luar negeri. Mental sebagai bangsa kuli, sebagai kaum terjajah,telah menjadi mental maldn berkarat dalam pemikiran sebagian besar bangsa ini.

Dalam hal inilah, pembicaraan mengenai SDM, pertama-tama yang harusdilakukan adalah mencuci bersih kedua mentalitas itu, mengubah paradigma gayahidup, dan membangun citra dunia pendidikan (ilmu pengetahuan) sebagai kebutuhanyang mutlak dicapai jika berharap memperoleh kemajuan. Tentu saja usaha itu akanmemerlukan waktu yang amat lama, seperti juga kolonialisme menanamkanmentalitas itu kepada bangsa Indonesia selama tiga abad mereka bercokol diNusantara.

Salah satu prestasi luar biasa yang ditanamkan kolonial Belanda kepadabangsa Indonesia adalah mentalitas sebagai kaum terjajah itu. Tengoklah sejarahmasa lalu kita. Belanda secara sistematis - lewat berbagai organnya - terus-menerusriada henti melakukan pencucian otak bangsa pribumi.

Periama, melalui struktur sosial masyarakat. Dalam struktur masyarakat waktuitu, kelas sosial yang tertinggi dalam hierarki tersebut ditempati oleh masyarakatBelanda dan kulit putih. Di bawahnya, masyarakat Indo-Belanda. Lalu berturut-turut ke bawahnya, masyarakat Timur Asing (Arab, Cina, dan India), golongan priyayi,

Page 10: iijj - Universitas Islam Indonesia

10 Millah Vol V, No. 1, Agustus 2005

dan terakhir berada dalam posisi terbawah adalah bumiputrayang disebut - dengannada melecehkan - inlanders.^]]kii iaki-laki inlanders atau priyayi maumenikahi wanitaban^a kulitputih atau Indo, maka langkah pertama yangharus dilakukannya adalahmeminta persamaan hak ke pengadilan. Bagaimana mungkin bangsa pribumi - tuanrumah - meminta persamaan hak kepadabangsa pendatang, bangsa asing, jika tidakbermaksud menciptakan dtra bagibangsa pribumi sebagai bangsa inferior, terjajah,dan rendah.^®

Kedua^ melalui sistem pendidikan. Dibukanya kran pendidikan, terutamaselepas pemerintah kolonial Belanda mendapat tekanan melalui politik etis,sesungguhnya sebagaikamuflase belakadan niat mereka mendapat keuntunganyangsebesar-besarnya. Didirikannya sejumlah sekolahuntuk pribumi jelas dapat dianggapmengangkat citra Belanda sebagd penjajah yang kelak diharapkan tahu membalasbudi pada pribumi, sebagaimana yang diamanatkan oleh politik etis." Kenyataannya,kebijaksanaan pendidikan kolonial dijalankan secara setengah hati.

Pendidikan mulai dari tingkat bawah sampai yang tertinggi tidaklahdimaksudkan untuk mencerd^kan orang-orang (mutic^ Indonesia, melainkantak lebih daripada sekadar memberi kesempatan kepada keluarga golongantertentu yang dipercaya untuk ikut serta mempertahankan kelangsungankekuasaan koloniaL^^

Selainitu, tujuan politik pendidikan kolonial dimaksudkan jugauntuk mencetaktenagamenengahbawahuntuk mengisi posisi-poisi pekerjaandiberbagaiperkebunandan pabrik-pabrik. Hal teisebut tampak dari didirikannya sekolah-sekolah di daerah-daerah yangberdekatan dengan pabrik.Dengan beberapa orang penduduk pnbumi

' Robert van Niel (1984), op. at., pp. 30-33.Menurutvan Niel,pada tahun 1900,98 % pribumiadalahpetani, sisanya,2 % adalah priyayi. Dalam kelompok masyaiakat petani, sebagiankedl termasukpara pemilik tanah, sebagian besarnyaadalahmerekayang tak memiliki tanah dan bekerja pada pemiliktanah dengan penghasilan berupa padi hasil panen yang besarnya sesuai dengan kesepakatan petanipenggarap dengan pemilik l^ah.

'"Untuk memberil^alitas adanj^ struktursosial yangsepertiitu,p>emerintah Belanda membuatsejumlah undang-undang, peraturan, dan ordonansi. Jadi, semacam pengkastaan - pengelompokanstrata sosial- yangsecara hukum dibenarkanoleh undang-undang

"Tujuan politiketis bersifatrangkap, yaitu (1) meningkatkan kesejahteraan pendudukpribumi,dan (2) menumbuhkan otonomi dan desentralisasi poUtikdi Hindia Belanda. Kenyataannya, usaha-usaha untuk mencapai tujuan itu sama sekalitidakdilaksanakan. Pembukaan sekolah,misalnya, sebagianbesar muiidnyaberasaldarigolongan priyayiSedangkanrakyatbiasaHihiarkan dalamkebodohan.Usahameningkatkan kesejahteraan bangsapribumi, jugasebenamya hanya ditujukan untuk golongan priyayiItupun dilaksanakan setengahhati Pembukaan lapangan keijadidalambirokrasi pemetintahan, misalnya,para priyayi itu hanya dapat menduduki pekeqaan sebagai jum tulis, mandor, polisi, sipir, dan opaskantot.PosisipekerjaanyangIdiih tinggidari itu,tetapdip^ang olehorangBelanda. LihatAkiiaNagaaumi(1989),Bangkitr '̂a NasionaSsm Indonesia, ]a.karXz: Grafiti Pers,pp. 26-40.

'^Mestika Zed (1991), 'Tendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan: SuatuPerspektif Sejarah," dalamSejarah, No. 1,Jakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia bekerja samadenganGramedia,p. 19.

Page 11: iijj - Universitas Islam Indonesia

Vencucian Citra SDM Warisan Kolonial 11

yang dapat menikmati pendidikan rendah itu, sesungguhnya Belanda dapatmemperoleh tenaga menengah - yang murah - untuk menjalankan perusahaan-perusahaannya. Jadinya, pendidikan diarahkan agar penduduk pribumi dapat menjadikuii bagi perusahaan Belanda. Di samping itu, pendidikan bagi kaum bangsawanpribumi, juga membutuhkan pengorbanan yang luar biasa. Perhatikan kutipan-kutipan bedkut:

... tingkat uang sekolah tertinggi bagi anak-anak Eropa adalah 8 gulden perbulan. Anak-anak Eropa yang pendapatan orang tuanya kurang dari 150 gulden per bulan diterima tanpa bayar, dan biasanya lebih setengah anak-anakEropa dikecualikan [dibebaskan, TI] dari pembayaran uang sekolah.Sebaliknya, anak-anak Jawa harus membayar, [tanpa ada peraturan untukpengecualian pembayaran] 15 ^Iden per bulan, hampir dua kali lipatpembayarp tertinggi anak-anak Eropa. Uang sekolah sekali lagi dinaikkandua kail Upat dart )umlah itu bagi anak-anak Jawa dari golongan menengahdan atas.Karena besamya uang sekolah dihitung berdasarkan persentase tertentu d^iriEendapatan orang tua, untuk dapat oSterima, maka orang tua Jawa haruserpenghasilan seridaknya 400 gulden. Jumlah gaji seperti itu adalah sangat

jarang [didapatkan] di kmngan Jawa.^^Biaya pendidikan yang amat mahal itulah yang dikeluhkan dr. Wahidin

Soedirohoesodo,... oleh karena setiap kesempatan untuk melanjutkan pelajaran senantiasadisertai pengorbanan keuangan yang besar, maka pada kenyataannyapengembangan pengetahuan [pendidikan, TI] telah merupakan milik khususorang-orang yang paUng berada saja."Polink pendidikan koloni^ Bd^d^ selain bertujuan untuk seolah-olah hendakmembebaskan bangsa pribumi dari kebodohan, juga mengandung dua tujuan,yaitu (1) melakukan "pembaratan" melalui sekolah-sekoTah sekuler, dan (2)menyisihkan kekuatan Islam sebagai sebuah ideologi yang telah mengakarkuat dalam did sebagian besar penduduk pribumi. Perhatikan dua kutipanberilmt yang memperlihatkan hal tersebut:Bagaimanapun juM, sekolah-sekolah sekuler yang dikembangkan pemerintah[kolonial Belanda] bukanlah hasil pertumbuhan lokal, melainkan hasilmanipulasi kebudayaan modem Barat yang berakar pada negeri asal penjajah[Belanda], baik organisasinya, maupun kurikulumnya.'̂Ketika konferensi zending keempat di Batavia tahun 1885, Colijn memberikanformulasi tentang ard pendidikan Barat untuk memecah umat Islam. lamengib^atkan kehadiran sekolah-sekolah Barat bagi Islam adalah sepertipergantian dan terik panas matahari ke hujan lebat bagi tanah keras. Hujan ituakan merupakan suatu elemen yang akan membuyarkan kesatuan Islam.

Savitri Prastid Scherer (1985). op. at, p.44."Soewardi Soerjaningrat (1981), '*Mengenang Wahidin Soedirohoesodo," dalam Pitut Soeharto

dan A. Zainoel Ihsan, Cahaja di Jakarta: Jayasakti, pp. 11-24. Artikel ini aslinya berbahasaBelanda dimuat dzhm Neder/andsch Indie Oude/iNieuwI (1916-1917), p. 265.

'Thilip G. Albach and Gail P. KeUy (eds.) (1978), Education and Colonialism, New York: Longman,p. 4.yangdikurip Mestika Zed (1991), op. cit., p. 20.

Page 12: iijj - Universitas Islam Indonesia

12 Miliah V^oL V^, No. 1,Agustus 2005

Kekompakan dan kekerasannya akan berantakan.^^Disadari betul, bahwa pendidikan akan sangat berpengaruh bagi lahirnya

kesadaran bangsa pribumi. Oleh karena itu, dibandingkan dengan jumlah rakyatIndonesia waktu itu, terlalu amat sedikit masyarakat yang dapat menikmatipendidikan.

K£tiga, melalui kurikulum di sekolah. Seperti dikatakan Abdoel Moeis,'̂ disemua peringkat sekolah, pelajaran sejatah bangsa Timur (Abdoel Moeismenyebutnya sebagai pelajaran pengetahuan alam), sama sekali tidak diberikan,apalagi pelajaran sejarah bangsa pribumi. Para pahlawan Belanda, Eropa, atauAmerika diajarkan begitu mendalam dan luas, memukau, dan mengagumkan,sementara nama-nama Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, tidakpernah disinggung sedikit pun. Bahkan, para pahlawan Indonesia itu disebutnyasebagd pemberontak. Dengan begitu, muncul dtra bangsaBarat yang ditaburi parapahlawan, sementara para pahlawan pribumi, ditenggelamkan.

Hal yang sama diberlakukan dalam mata pelajaran geografi. Secarameyakinkan, seorangguru Belanda akan menerangelaskan berbagai kota di NegeriKincir itu, berikut asal-usul penduduknya, jalan-jalan, parit, sungai, laut, pabrik-pabrik, pusat pendidikan, pemerintahan, perdagangan, pelabuhan dan bandara, batas-batas negara, serta berbagai hal yang mengungkapkan seluruh isi negeri di bawahlaut itu, dengan menggunakan peta berukuran raksasa, dua kali tiga meter. Tetapi,ketika guru berkebangsaan Belanda itu menerangkan pulau-pulau di Indonesia, diaakan menggunakan peta Indonesia berukuran mini, satu kali dua meter. Bisadibayan^can, bagaimana tiba-tibaNederiand yang luas wilayahnya tidak lebih besardari sebuah propinsi di Indonesia - sebutlah Jawa Barat - bisa melahirk an dtra(imagi) sebagainegarayang luasnyadua kali lipat dari Indonesia? Itulah yangdilakukanpemerintah kolonial Belanda. Pendtraan menjadi bagian penting. Dan duniapendidikan salah satu salurannya untuk membangun dan mendptakan dtra itu.

D. Mentalitas Ambtenaafj Mentalitas Pegawa: NegeriDari uraian di atas, sedikimyaada dua hal mendasar yangdigunakan pemerintah

kolonial Belanda dalam menjalankan kekuasaannya di Indonesia, yaitu melaluipemanipulasian pendidikan dan pemutarbalikan dtra. Artinya, masalah pendidikanmerupakan bagian penting dalam memberi penyadaran atas kualitasdan elan sebuahbangsa. Dan pihak kolonial Belanda memanfaatkannya untuk kepentinganmelmggengkan kekuasaan di negeri jajahan, dan bukan untuk menjadikan bangsa

"'H.AqibSuminto (1996), Po/iiik Islam Hindia belanda: HetKantoor voorlnlandsche Jakarta;LP3ES, (Cetakan III, Get 1,1985), p. 45.

"Abdoel Moeis (1981), "Nasionalisme," Pitut Soeharto dan A. Zainoel Ihsan (Ed.), dalamPermata Terbenam, Jakarta;Aksarajayasakti,p. 79-85.ArtikelAbdoel Moeisiniaslinya berjudul "PerasaanTjintapadaBangsadanTanahAir,Nasionalisme," dimuatdi suratkabar 16 Oktober 1917.

Page 13: iijj - Universitas Islam Indonesia

Pencucian Citra SDM Warisan Kolonial 13

pribumi dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Kemudian, melalui berbagaiperangkatnya, penciptaan strarifikasi sosial, pengekangan terhadap apapiin yangberkaitan dengan Islam, dan melalui kurikulum di dunia pendidikan, pihak kolonialBelanda menciptakan dan membangun citra dirihya sebagai bangsa yang besar danmaju, superior, modern, beradab dan berbudaya tinggi. Melalioi berbagai perangkamyaitu pula, pihak kolonial Belanda menciptakan dan membangun citra yang sebaliknyaterhadap bangsa pribumi. Jadilah bangsa pribumi muncul dengan citranya yang serbanegatif: terbelakang, miskin, bodoh, tidak beradab, inferior, pasrah terhadap nasib,dan menikmati statusnya sebagai manusia kuli.

Itulah latar belakang sejarah budaya SDM Indonesia yang kemudian sisinegatifhya tercermin dari mentalitas sebagaimana yang dikemukakan Mochtar Lubisdan Koentjaraningrat. Jika kedua empu itu - Kuntjaraningrat dan Mochtar Lubis -membuat perincian tentang sikap dan mentalitas negatif orang Indonesia, makaprestasi yang diperlihatkan kolonial Belanda dapat kita lihat dari representasimasyarakat yang begitu silau dan tersihir oleh apapun yang bersifat fisikal: simbol-simbol status, kemewahan, konsumtif, dan hasrat untuk memperoleh segalanya secaraserba instan, serba segera.

Sebuah penelitian yang dilakukan organisasi profesi dengan latar belakangpsikologi, bernama Psikologi Industri dan Organisasi (PIG) Fakultas PsikologiUniversitas Indonesia atas pegawai negeri sipil di sebuah lembaga tinggi negara,'®memperlihatkan betapa mentalitas para pegawai di sana nyaris tidak berbedajauh dengan mentalitas para ambtenaar dan elit birokrasi pada zaman kolonialBelanda. Bagaimana mungkin para pegawai - yang menjadi responden dalampenelitian itu -yang berpendidikan relatif memadai (setingkat sarjana 78,47 %,master atau magister 9,62 %, akademi 5,38 %, dan SLTA 6,53 %) denganintelegensi di atas tingkat rata-rata, kurang (tidak) memiliki sense of competencedan sense ofpersonal control.

Jika sebagian besar pegawai itu tidak memiliki kedua hal tersebut, lalu atasdasar kualifikasi, kapasitas, dan kapabilitas apa mereka memilih pekerjaan di lembagaitu, jika bukan atas dasar simbol status dan asal menjadi pegawai negeri? Tidak adakesadaran profesionalisme dalam din para pegawai itu. Mereka bekerja dengan satutujuan, yaitu naik pangkat untuk meningkatkan karier. Jadi, tak ada keinginan untukmeningkatkan kualitas diri dan kuaUtas pekerjaan. Maka, menjadi sangat wajar jikasebagian besar pegawai itu menyatakan bahwa pelatihan pegawai semata-mata sebagaikeharusan agar dapat naik pangkat dan meniti karier yang lebih tinggi, meskipunpelatihan itu sesuai dan disadari dapat menunjang dengan bidang pekerjaannya.Tetapi, jika pelatihan itu tidak sesuai dengan bidang pekerjaannya, mereka ikut

Urip A. Mokoginta, Bertina Sjahbadhyni, dan B.K. Indarwahyanri Graito (2001), "KondisiSDM Sebuah Lembaga Tinggi Negara," Berdna Sjahbadhyni, dkk, op. at., pp. 317—332.

Page 14: iijj - Universitas Islam Indonesia

14 Uillah Vol. V Via. 1, Agustm 2005

pelatihan dengan tujuan sekadar untuk kenaikan pangkaLKesimpulan penelitianitu akhimya berhasilmengidentifikasienam karakteristik

yang melekat dalam did para pegawai LembagaTinggi Negara, sebagai berikut:(1) sense ofpersonal control rendah,(2) sense of self-determination rendah,(3) sense of trust rendah,(4) kapabilitas belajar belum berkembang,(5) sangat lambat dalam bereaksi {slow-startei), dan(Q toleransi terhadap ambiguitas cukup memadaL''Karakteristikyang juga menjadi cm elite birokrat, amhtenaar^ tampak pula dan

minat mereka pada bidang pekerjaan. Hampir semua responden itu menyatakanbahwa mereka berkeinginan menjadi auditor, 'pemeriksa* satu bidang pekerjaan yangtersirat mencerminkan sebuah kuasa untuk memeriksa apapun. Auditor akan sangatdisegani lantaran jabatannya, danbukanlantaran kapasitas dan kualitas pekerjaannya.Bukankah model pekerjaan ini melekat dalam did elit birokrat - ambtenaar - zamankolonial?

Penelitian im boleh jadi tidak mewakili karaktedstik Pegawai Neged Sipil(PNS) secara keseluruhan. Tetapi, jika di lembaga tinggi n^ara saja, karakteristikpara pegawainya seperti itu, bagaimana dengan p^wai neged sipil yang bekerja didepartemen, pemerintahan daerah, kepolisian atau lembaga-lembaga di ba\t^hnya?Jadi, jika banyak pihakberkeluh-kesah tentang etoskerja PNS,sementara masyarakatumum berharap a^r mereka dapat masuk dan bekerja di sana, akar masalahnyalebih disebabkan oleh pandangan kolonial yangmasih melekat dalam did sebagianbesarmasyarakat kita. Slogan PNS sebagai "abdi negara," sebaiknya memangdigantimenjadi "abdi rakyat", agar berubah dtra sebagian kedl (tapi sangat buruk) PNSyang lebihmemperlihatkan wajah sebagai pemeras rakyat Denganpenggantian slogan itu kiblat berbakti ddak lagi kepada negara, tapi betul-betul digeser berkiblatkepada rakyat.

Lihatlah, bagaimana banyak orang mengecam pelayanan buruk petugasbirokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat Ijelet. lambat dibuat-buat dalammenyelesaikan satu pekerjaan, sering tinggi had dalam berhadapan dengan publikyang harus berposisi rendah, tak lagi segan-segan atau menyindir, tapi langsungmenyebut uang semir. Pekerjaan semacam ini toh tetap saja berduyun-duyun dtlamarorang, bahkan sampai menyuap ke kidkekanan agar ditedma dalam formasL Gejalaapakah gerangan inPItulah, citra pegawai neged sebagai ambtenaar, gaya elit birokrat

" Ibid, p. 331. Dankeenam karakteristik itu, hanya butir enam yang dapat dianggap positi£ Tetapi,toleransi itucenderungdigunakan untuk bertenggang rasa pada masalah negatif.Jadi, merebaknya kolusi,misalnya, merupakan bentuk toleransi terhadap ambiguitas itu. Istilah TST {tabusamatahti) sesungguhnyajuga merupakan representasi dari toleransi yang dimanfaatkan untuk kepentingan negatif.

Page 15: iijj - Universitas Islam Indonesia

Vencucian Citra SDM Warisan Kolonial 15

yang masih saja melekat dalam sebagian besar masyarakat kita. Pasalnya, konsepbekerja tidak didasari pada profesionalitas. Bekerja bagi kebanyakan orang adalahsebuah kegiatan rutin, datang ke sebuah tempat yang tetap dari jam sekian sampaijam sekian, kemudian menghasilkan uang dalam jumlah tertentu sebagai jasamelaksanakan tugasnya selama satu bulan. Jumlah itu jelas tidak besar, tidakmemadai, tapi peluang untuk mencari yang besar, akan terbuka pada suam had.Itulah cara berpikir amhtenaar yang menuntut rutinitas, dan kesetiaan. Di sana takada konsep profesionalitas, tak ada apresiasi atas kreativitas.

Itulah sebagian kecil dari problem SDM kita. Pencitraan dan pemanipulasianyang dibangun pemerintah kolonial, rupanya terlalu kuat menempel dan berkaratdalam alam pikiran kolektif masyarakat kita. Oleh karena itu, pemberdayaan SDMIndonesia, pertama-tama harus dimulai dari pencucian hembali pandangan serta nilaikolonialistik yang lama lekat di tubnh bangsa, yang penuh manipulasi dan kamujlase itu.Dengan kesadaran itulah, kita dapat menga\i^ sebuah babakbaru, paradigma baruatau cara berpikir baru dalam memandang SDM kita secara proporsional. Dalamhal ini, tidak berlebihan jika kita menempatkan konsep SDM berdasarkan hakikatdan fitrah manusia sebagai khalifah di bumi, sebagai makhluk yang bertanggungjawabkepada dirinyasendiri,masyarakat, sesama makhluk, ^^l^^m semesta, dan Tuhan.

E. Jlmu sebagai Potensi Dasar SDMPembicaraan bagian ini saya mulai dengan mengutip al-Quran, Surat ar-Ra'd,

ayat 11:'lAllah tidak akan mengubah nasib suatu kaum ^ndividu), jika kaum (individu) itusendiri tidak bemsaba melakukanperubahan." ^S, 13: 11)Apa maknanya ayat ini dalam konteks pembicaraan SDM? Pernyataan ayat

itu ekspUsit menekankan pentingnya makna berusaha bagi sebuah bangsa (atauindividu), jika dia hendak memperbaiki harkat, martabat, dan kualitas hidupnya.Artinya, Allah memberi peluang bagi siapa pun untuk mengubah nasib, mengangkatmartabat dan meningkatkan kesejahteraannya. Tetapi, tentu saja perubahan imtidakserta-merta datang dari langit lewat serangkaian doa belaka. Harus ada proses. Didalam proses itulah, pertama-tama yang harus dilakukan manusia adalahmeningkatkan kualitas dirinya, meningkatkan kualitas SDM. Bagaimanapun juga,setiap individu manusia mempunyai potensi melakukan perubahan. Paling tidak,melakukan perubahan bagi dirinp sendiri. Potensi inilah yang harus disadari sebagaisumber daya, sebagai kuaUtas dm, sebagai kekayaan terpendam yang akan menjadikekuatan jika kita sendiri berusaha menggalinya.

Tidak ada perubahan tanpa tindakan, tanpa perbuatan. Jadi bertindak danberbuat merupakan syarat mudak melakukan perubahan. la menjadi sunatuUah.Alat legitimasi. Sebagai pembenar bahwa perubahan itu logis, masuk akal, dan ada

Page 16: iijj - Universitas Islam Indonesia

16 Millah Vol. V, No. 1, Agustns 2005

hubungan sebab-akibatnya (kausalitas). Hubungan sebab-akibat tlndak perbuatandan sarana perubahan adalah proses, meskipun dalam beberapa kasus hasilnyakadangkala memperlihatkan perkecualian.

Jika substansi perubahan adalah tindakan untuk berbuat^ maka tak akan adaperubahan pada diri seseorang jika dia hanya diam berkhayal, berharap kejatuhanhoks dari avvan. Konsep kunftrfa kun dalam al-Quran '^adi,makajadilah" bagl manusiabukanlah jadi tanpa perbuatan. Jadi, maka jadilah itu, setelah melalui prosesperbuatan. Setiap individu diberi peluang melakukan perubahan —minimal bagidirinya sendiri. Dalam konteks hubungan antar-individu, perubahan itu adalahkompetisi, persaingan mengangkat harkat diri. Oleh karena itulah, konsep khalifahdi bumi harus dimaknai sebagai sebuah persaingan, kompetisi bag; setiap individuuntuk melakukan perubahan sekecU apapun perubahannya, dengan tetap beradadalam aturan permainan yangbenar menurut ketentuan Tuhan.

Tiga jenis mannsia yang dapatmelakukan perubahan dalam sebuah komumtasatau kaum Jjangsa): (1) perintis (inovati^, (2) pemimpin kharismatik, (3) berilmu.

Dalam lingkup yang lebih khusus yang menyangkut seorang individu, setiapmanusia pada hakikamya seorang perintis, sekurang-kurangnya bagi dirinya sendiri,pemimpin, setidak-tidaknya bagi dirinya sendiri, tetapi belum tentu sarat ilmu dandapat mempengaruhi khalayak yang lebih luas. Konsep khalifah dibumi sesungguhnyamenunrnt ketiga hal itu: perintis, pemimpin, dan mempunyai penguasaan ilmu.

Dalam masyarakat tradisional, seorang perintis, inovator, pembaharu, cukupdidasarkan pada pengalaman, keterampilan, dan kecakapan. Tetapi, dalammasyarakat modem, tuntutan ilmu menjadi syarat utama.^ Bukankah ada pepatah,bahwa siapa yang menguasai ilmu, dia akan menguasai **dunia'*. Itulah yang terjadidalam masyarakat modeminl Dalam arus globalisasi, penguasaan ilmu itubermaknajuga sebagai penguasaan informasi. Tanpa itu, dia akan tergusur dan tenggelam dibawah bayang-bayang mereka yang menguasai ilmu dan informasi. al-Quranmenegaskan;

'Allah akan meninggkan orang-orangjang beriman dan orang-orangjang diberi ilmubeberapa derajat. Allah mengetahui apajang kamu herjakanA (QS Al-Mujadilah,11)-Selanjutnya, ayat pertama yang diturunkan Allah, "Iqra' ..." juga implisit

merupakan perintah untuk mencari ilmu. Dengan demikian, mencari ilmu^engetahuan) sesungguhnya merupakan kewajiban manusia. Walau kita balik-balikhalaman Al-Quran secara acak, dalam lembaran itu, kita akan menemukan ayat-ayatyang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.Jadi, jelas, Islam sangat mementingkanilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan bagi manusia di muka bumi

®CA. vanPeursen (1976), Strate^ Ktbudayaatu Jakarta/Yogyakarta: BPKGunung Mulia danKanisius,p.178-191.

Page 17: iijj - Universitas Islam Indonesia

Pena/cian Citra SDM Warisan Kolonial 17

ini, laksana pintu masuk untuk meningkatkan kualitas dirinya. Dengan kualitas itupula, dia berada dalam posisi yang lebih tinggi dibandingkan manusia lainnya yangtidak berilmu. '̂ Jadi, salah satu esensi SDM bagi Islam adalah ilmu.

Dalam masyarakat tradisional, SDM menuntut dua hal, yaitu (1) kecakapanatau keterampilan, dan (2) pengalaman. Sedangkan dalam masyarakat modern, SDMmenuntut tiga hal, yaitu (1) kecakapan atau keterampilan, (2) pengalaman, dan (3)pengetahuan (ilmu). Dari ketiga hal itu, jika kita hanya mempunyai kecakapan atauketerampilan, kita akan sampai pada keahlian seorang praktisi, atau tukang.Sementara itu, pengalaman tanpa keterampilan dan ilmu, hanya akan mengantarkanseseorang matang dalam bidang tertentu, tetapi belum tentu mempunyai kemampuanuntuk mengembangkan diri secara cepat. la tergolong manusia slow-starter. Dalamhal itulah, penguasaan ilmu sekaligus akan mengatasi keduanya. Oleh karena im,peningkatan kualitas SDM, fondasi utamanya harus didasarkan pada penguasaanilmu. Dengan cara itu, proses belajar keterampilannya akan menjadi lebih mudah,dan bersamaan dengan itu, sekaligus juga mempunyai pengalaman tentang bidangyang bersangkutan.

Sejarah telah mencatat, perjalanan peradaban Barat terutama selepas masuknyakekayaan intelektual dunia Muslim seperti membuka jalan bagi tumbuhnya kesadaranpentingnya peranan ilmu pengetahuan. Puncaknya terjadi pada zaman rasionalismeyang selalu memberi tempat pada segala sesuatu yang harus dapat dijelaskan atasdasar akal sehat, rasio, dan logika. Segala sesuatu harus memenuhi tuntutanrasionalitas.^ Cara pandang inilah yang sampai sekarang kemudian menjadi salahsatu bagian dari tradisi intelektual Barat

Dalam perjalanan selanjutnya, terbuktilah pengetahuan itu sesungguhnya salahsatu aspek kekuasaan, Tetapi, pendewaan terhadap rasio, tanpa dibarengi kesadaranberiman, hanya akan menghasilkan manusia yang menolak keberadaan Tuhan, ataumanusia yang tak perlu memikirkan nilai-nilai spiritualitas agama. Kalimat Einsteinamat tersohor bahwa sains tanpa agama itu buta, agama tanpa sains itu pincang."Itulah yang terjadi pada zaman rasionalisme, saat golongan gereja membunuhi parailmuwan, sementara para ilmuwan tidak hanya menolak peranan gereja, tetapi jugamenafikan keberadaan Tuhan.^

Mari kita menoleh keJepang. PerkembanganJepang hingga mencapai keadaanseperti sekarang ini tidak terlepas dad kesadaran mereka akan pentingnya ilmu untukmencapai kemajuan, untuk mengejar ketertinggalan. Restorasi Meiji yang terjadi diJepang sesungguhnya merupakan kebangkitan kembali negeri Sakura itu padakesadaran akan ilmu. Sebelumnya, pada zaman Edo, memang mereka hidup dalam

Kaitan ilmu dan SDM, dibahas sangat baik oleh A. Qodri Azizy (2003), op. at., pp. 85-124.^ Keith Wilkes (1 ^^2),Agama dan Ilmu 'Pengetahuan^ Jakarta: Sinar Harapan^J^/^/.,pp. 85-109.

Page 18: iijj - Universitas Islam Indonesia

18 Millah Vol V, No. 1, Agustus 2005

kemapanan di bawahkekuasaan Tokugawa. Dengan politikisolasinya,Jepang merasabisahidup tanpa harus melakiikan hubungan dagangdenganbangsaIain. Belakangan,ketika beberapa armada asing - terutama armada Amerika - datang denganpersenjataannya yang lebih modern, Jepang tak sanggup lagi bertahan. Kekalahanitu memaksanya menandatangani Perjanjian Kanagawa, sebuah perjanjianPersahabatan Amerika-Jepang (Nichiben Wasbinfyaku) yang isinya sangat merugikanpihak Jepang. Dari sana muncul kesadaran pentingnya mengembangkan ilmupengetahuan.Maka, awal memasukizamanMeiji,Jepang mengirimkan begitubanyakilmuwan ke berbagai negara maju. Ketika mereka kembali ke Jepang, para ilmuwanitu mengembangkan sendiri ilmunya untuk kepentingan negara dan bangsanya.Hampir semua buku asing yang datang ke Jepang, mereka tej^emahkan ke dalambahasaJepang dengan cepat Ilmu eksakta, kedokteran,sosial-budaya, sastra, filsafat,dan ekonomi, bersama-sama maju pesat Hasilnya adalah lompatan jauh ke depan.Jepangmenjadi sebuah negara terkuat diAsia. Konflik Perang Dunia telah menyeretJepang melakukan seran^caian invasi ke berbagai negara tetangganya. Qna, Rusia,bahkan Amerika, diserbunya. Kawasan Asia Ten^ara, diteklukkan dan dijarahnya.Ketika bom atom dijamhkan di Hirosima dan Nagasaki, Jepang terpaksamengakhiripetualangannya.

Apa yang dikatakan KaisarJepang waktu itu saat dia melihat ribuan korbanjatuh dan kedua kota itu rata dengan tanah? 'Tinggal berapa orang lagikah guruyangmasihhidup?" Itulahpertanyaan pertamayangdilontarkan seorang kaisar ketikamelihat bangsanya hancur oleh kekuatan mahadahsyat. Mengapa guru yangditanyakannya, dan bukan tentara,pejabatpemerintah,hakim,atau seniman? Kenapaguru? Itulah ekspresi seorang kaisar ^emimpin) yang sangat menyadari, betapapentingnya ilmu pengetahuan. Guru adalah ujung tombak yang memungkinkan ilmupengetahuan itu berkembang subur dan menyebar memasuki segenap alam pikiranwarga bangsanya. Guru adalah sumber pengetahuan yang mengantarkan seoranganak manusia yang tidak tahu menjadi tahu. Gurulah yang sebenarnya akanmengantarkan segala bangsa mencapai kemajuan. Pertanyaannya kini: Mengapabangsa Indonesia masih juga terpuruk? Adakah yang salah padadin paraguru kita?Di mana letak kesalahannya?

SDM dengan PerspektiJ dan Varadigma BaruBerdasarkan uraian di atas, tampaklah bahwa problem utama SDM kita

menyangkut dua hal: (1) problem budaya yang ditanamkan pihak kolonial Belandasecara keliru, dan(2) problem lemahnya kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuanbagi kemajuan dan mengejar ketertinggalan. Maka, langkah yang sangat mendesakharus dilakukan adalah pencucian carapandang kolonial yang masih melekat dalamdiri sebagian besar warga masyarakat kita.

Page 19: iijj - Universitas Islam Indonesia

Penctidan Citra SDM Warisan Kolonial 19

Dalamusahamencuci bersih peninggalan kolonial Belanda sehubungan denganSDM kita, beberapa hal berikut ini, Idranya patut dipikirkan.

Periama, melalui pemberian penghargaan pada profesi. Perlu ditumbuhkankesadaran bahwa profesi apa pun pada hakikatnya adalah pekerjaan. Dengan caraitu, orangtidakakanmenilai oranglaindari jabatan, kedudukan, pekerjaan, melainkandari profesinya. Bukankah profesi dokter, polisi, politdkus, dosen, hakim, petinju,petani, buruh, sopir, pembantu rumah tangga, atau profesi apapun yang tidakmelanggar norma agama, hukum, dan susila, pada hakikatnya sama sebagai sebuahpekerjaan yang halal dan sah. Lalu, mengapa harus ada pembedaan bahwa profesiy^ng satukedudukannya lebih tinggi dari yang lain? Itulah pandangan kolonial yangmelihat apapun dengan cara pandang stratifikasi sosial dan diskriminatif.

Tumbuhnya kesadaran bahwa profesi adalah pekerjaan, tidak hanya akanmengubah cara pandang masyarakat terhadap konsep pekerjaan, melainkan jugaakan menumbuhkan apresiasi yang sama terhadap profesi apapun, sejauh tidakmelanggar norma agama, hukum, dan susila. Maka, seorang majikan tidak akanmemperlakukan pembantu rumah tangganya secara sewenang-wenang karena diamempunyai kesadaran bahwa profesi sebagai pembantu punadalah pekerjaan yangmenuntut profesionalitas, dan bukan sekadar setia dan loyaL Seorang petani yangmempunyai kesadaran profesionalitas niscaya juga akan meningkatkan kualitaspekerjaannya, dan tidak sekadar bekerja sebagai petani yang cukup hidup asal tidakkelaparan.

Jika segenap masyarakat mempunyai kesadaran bahwa profesi adalah pekerjaan,maka sangat mungkin penilaian dan apresiasi terhadap pekerjaan apapun, tidak dilihatdari jenis pekerjaannya, melainkan dari hasil dan kualitas kerjanya. Penilaiannyasemata-mata pada prestasi, dan bukan pada jenis pekerjaannya. Sebaliknya,masyarakat tidak perlu memberi penghargaan, bahkan jil^ mungkin, memberi sanksisosial kepada siapapun yang bekerja tidak profesional dan melanggar norma agama,hukum, dan susila. Hakim, dokter, polisi, pengusaha, camat, gubernur, jika ada bagiandari pekerjaannya membodohi masyarakat, bukankah itu berarti mereka tidak bekerjasecara profesional? Pada orang-orang yang seperti itu, mengapa pula kita harus tetaphormat dan memberi penghargaan? Bukankah mereka bekerja tidak profesional?

Kedua, melalui pemberian penghargaan pada prestasi hasil budaya danpemikiran. Penghargaan pada hasil budaya akan memperkaya ruhani dan itumenyangkut persoalan moral dan hati nurani. Bukankah kekaguman kita padakemegahan Candi Borobudur, pada kaligrafi yang tertulis pada bangunan masjid-masjid kuno, menumbuhkan rasa bangga yang kemudian menjalar pada rasa hormatkita pada prestasi para luluhur? Demikian juga, kepiawaian dalang dalam memainkanwayang, kekompakan para penari Aceh yang meliuk-liuk, bergerak sama penuhkeindahan dan daya pukau, atau para pemain akrobat yang tubuhnya begitu lentur

Page 20: iijj - Universitas Islam Indonesia

20 Miilah \/oL Ni?. 1, Agustus 2005

dan lincah, menumbuhkan kekaguman yang tanpa sadar menyelusup pada kesadarankita untuk menghargaiprestasi atas kerja keras.Banyak contoh dapat Idtakemukakan.Dalam hal inilah pentingnya penghargaan pada prestasi budaya dapat menumbuhkanrasa cinta, kagum, bangga, dan memberi penyadaran bahwa prestasi menjadi sesuatuyang penting. Semua itu hanya dapat dicapai melalui kerja keras.

Ketigay melalui pemberian penghargaan kepada karya-karya hasil pemikiran.Bukankah karya-karyadari buah pemikiran itu merupakan prestasi sebuah kreativitas?Dengan memberi apresiasi pada buah pemikiran, kita akan memberi tempat padapemikiran apapun. Dalam konteks ini, penghargaan terhadap buah pemikiran akanmelancarkan proses demokratisasi. Perbedaan pendapat tidak harus membawaperpecahan, tapi keberagaman. Semua itu berarti kekayaan.

Dalam konteks yang lebih khusus, buah pemikiran merupakan karyaintelektuak Sejauhihi, sudah proporsionalkah kita menghargai karya-karya intelektualyang dihasilkan para pemikk Hta? Jadi, penghargaan pada karya intelektual, tidakhanya akan memuluskan jalan pada penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dankreativitas seseorang, tetapi jugamenciptakan kompetisi untuk memikirkan apapununtuk kemaslahatan bangsa dan umat manusia. Hanya melalui para pemikirlah,berbagai karya kreati^ akan bermunculan.

Keempaty melaluipenumbuhan kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan,utaman)^membacabuku dan menulis karangan. Bagaimanapun, perananilmu sebagailangkah untuk mencapai kemajuan dan mengejar ketertinggalan, mesti menjadibagian wacana kehidupan sehari-hari. Bmu harus ditempatkan sebagai kebutuhanruhani yang primer. Dalam konteks SDM, ilmu adalah modal dasar untukmeningkatkan kualitas SDM.Hanya denganilmu, SDM akan menjadiapital (moda^yang mempunyai nilgi lebih dan harga yang tinggl

Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, makapenggalian ayat-ayat yang berkaitan dengan pentingnya ilmu harus menjadi bagiand{<ri khutbahJumat dan dakwah agama. Yang dimaksud ilmudalam Quran,bukanlahsekadar ilmu akhirat^ melainkan juga ilmu dunia yang justru penting sebagai bekalkehidupan akhirat. Hanya dengan ilmu, seseorang akan dapat meningkatkanderajatnya lebih tinggi dibandingkan dengan orangyang tidak berilmu. Dengan ilmupula penghargaan kita kepada sesama manusia, kepada alam semesta, dan kepadaTuhan, justru akan meningkat Dengan kesadaran itu, keberimanan kita juga akanmeningkat.

Kelimay mengingat guru merupakan ujung tombak penyebarluasan ilmupengetahuan, maka penghargaan padaguruyang terutama bukan pada pekerjaannya,melainkan pada profesinya. Secara profesional, kelompok guru adalah salah satuagen perubahan yang sangat penting. Maka, dia harus bekerja secara profesional,dan bukan bekerja secara rutin, monoton, dan klise. Guru yang profesional adalah

Page 21: iijj - Universitas Islam Indonesia

Vencucian Citra SDM Warisan Kblonial 21

mereka yang setiap saat memperbahanoi metode mengajarnya, menambahwawasanilmu pengetahuannya, danmenyadari profesinya sebagai agen perubahan dan ujungtombak penyebarluasan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, citra guru sebagai"pahlawan tanpa tanda jasa," jelas merupakan pelecehan terhadap profesi guru.Guru adalah pahlawan yang justru harusdiberi tanda jasa. Tanda jasanya, bisaberupapeningkatan kesejahteraan, peningkatan gaji, pemberian fasilitas untuk menambahwawasan dan ilmu pengetahuannya, atau member! kebebasan untuk meningkatkanprofesionalitasnya. Harus ada kesadaran profesional bahwa pekerjaan seorang guruadalah pekerjaan profesional yang harus dUkuti dengan peningkatan kualitas diridan tanggung jawab terhadap profesi.

Perlihatk^ siapakah yang memulai menumbuhkan kesadaran nasional bangsainP Haji Agus Salim, Wahidin Sudirohusodo, Ki Hadjar Dewantara, Abdul Muis,Ahmad Dahlan, Ahmad Surkati, Abdullah Hinduan, AR Baswedan, Sutan TakdirAlisjahbana, Muhammad Natsir, Hasyim As/ari, Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir,dan sederetan nama para tokoh pergerakan kita adalah guru, mantan guru, atausangat menjunjung tinggi peranan guru.Merekalah yang tiada hentimenyebarluaskanarti pendidikan bagi bangsa pribumi. Jadi, penghargaan terhadap guru, duniapendidikan, dan ilmu pengetahuan, harus menjadi bagian integral dari usaha kitamengangkat martabat, meningkatkan kualitas, dan mengejar ketertinggalan kitasebagai sebuah bangsa. Di sanalah peranan guru menjadi sangat menentukan.

-Itulah paradigma baru dalam usaha mengangkat SDM kita.

G. VenutupBagaimanakah paradigma im dikairkan dengan Sistem Pendidikan Nasional

kita? Sistem apapun, kurikulum macam apapun, metode pengajaran model apapun,pada haldkamya hanyalah sarana. la ibarat kendaraan yang sopirnya adalah guru.Masalahnya kini, kendaraan yang luar biasa hebatnya, jika sopirnya tak mempunyaipengetahuan untuk menjalankannya, ia akan tetap menjadi sebuah kendaraan yangsekadar indah dipandang mata. Jadi, sistem apapun, muaranya tetap jatuh padakepiawaian guru. Di sinilah, profesionalitas guru penting artinya untuk menjalankankendaraan yang bermuatan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, guru yang piawai danmenguasai ilmu pengetahuan secara mumpuni, niscaya tidak bakal terlalu repotmenjalankan kendaraan itu, karena dia dapat menyiasati sendiri sejauh ia tidakmenyimpang dari profesionalitasnya sebagai guru.

Bahwa diperlukan adanya sistem pendidikan nasional, tenm saja itu penting.Bahwa muncul apa yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi, tenm saja imjuga penting. Tetapi, ia akan tetap menjadi masalah mengganjal jika kualitas gurunyasendiri terabaikan. Oleh karena im, kini cara berpikir kita harus dengan cara pandangbaru, yaim memutar fokus lensa kamera kita lebih tajam terhadap kualitas guru dan

Page 22: iijj - Universitas Islam Indonesia

22 Millah V^oL JVa /, Agustus 2005

menempatkan pekerjaan guru secara profesional. Semboyan "guru pahlawan tanpatanda jasa," harus disingkirkan jauh-jauh, dan diganti dengan "guru pahlawan yangharus diberi tanda jasa" yang seperti dinyatakan tadi, daiam peningkatankesejahteraan dan peningkatan kualitasnya. Pasukan paling depan dalam formasipertempuran mengatasi kebodohan ini adalah guru.

Pencucian citra SDM warisan kolonial ini tidak akan mudah. Akibat kerusakan

yang ditinggalkannya luar biasa. Kita harus mempercepat waktunya, sebelum sangatterlambaL Kita harus bersedia menata bersama cara pandang baru SDM kita, yangbermartabat,bagibangsabenar-benarmemberimanfaatdan di bawah naunganridha-Nya