38
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan/Lahan Kebakaran hutan dan lahan merupakan istilah yang relatif baru di Indonesia yakni tahun 1995 setelah terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 188/Kpts-II/1995 tentang Pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (Pusdalkarhutnas). Salah satu butir dari Keputusan Menteri Kehutanan tersebut adalah perintah kepada gubernur untuk membentuk pusat pengendalian kebakaran hutan daerah di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Para gubernur kemudian membentuk organisasi yang dimaksud, tetapi dengan memasukkan kata ‘lahan’ sehingga terbentuk pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan daerah (pusdalkarhutlada) di hampir setiap provinsi. Sejak itulah istilah kebakaran hutan dan lahan digunakan, yang di dalam disertasi ini disebut kebakaran hutan/lahan sesuai dengan istilah di dalam Penjelasan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007. Pembacaannya adalah “kebakaran hutan dan lahan.” 2.1.1. Pengertian dan Tren Kebakaran Hutan/Lahan Istilah kebakaran hutan/lahan digunakan secara eksklusif di Indonesia. Istilah tersebut digunakan untuk menegaskan perbedaan lokasi terjadinya kebakaran yaitu di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Suprayitno dan Syaufina (2008) membedakan kebakaran hutan dari kebakaran lahan berdasarkan lokasi terjadinya di mana kebakaran hutan merupakan kebakaran biomas yang terdapat di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di ladang atau lahan masyarakat atau lahan berhutan. Beberapa negara seperti Thailand, Amerika Serikat dan Kanada menggunakan istilah kebakaran hutan (forest fire) atau kebakaran lahan liar (wildland fire), sedangkan Australia menggunakan istilah kebakaran semak (bush fire). Kebakaran hutan/lahan dalam pengertian umum menurut Gaylor (1974) dan Saharjo (2003) mencakup dua macam yaitu kebakaran liar atau yang tidak diinginkan (wildfire atau unwnated fire) dan kebakaran yang diinginkan atau

II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

  • Upload
    lebao

  • View
    235

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran Hutan/Lahan

Kebakaran hutan dan lahan merupakan istilah yang relatif baru di Indonesia

yakni tahun 1995 setelah terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.

188/Kpts-II/1995 tentang Pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan

Nasional (Pusdalkarhutnas). Salah satu butir dari Keputusan Menteri Kehutanan

tersebut adalah perintah kepada gubernur untuk membentuk pusat pengendalian

kebakaran hutan daerah di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Para gubernur

kemudian membentuk organisasi yang dimaksud, tetapi dengan memasukkan kata

‘lahan’ sehingga terbentuk pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan daerah

(pusdalkarhutlada) di hampir setiap provinsi. Sejak itulah istilah kebakaran hutan

dan lahan digunakan, yang di dalam disertasi ini disebut kebakaran hutan/lahan

sesuai dengan istilah di dalam Penjelasan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007.

Pembacaannya adalah “kebakaran hutan dan lahan.”

2.1.1. Pengertian dan Tren Kebakaran Hutan/Lahan

Istilah kebakaran hutan/lahan digunakan secara eksklusif di Indonesia.

Istilah tersebut digunakan untuk menegaskan perbedaan lokasi terjadinya

kebakaran yaitu di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Suprayitno dan

Syaufina (2008) membedakan kebakaran hutan dari kebakaran lahan berdasarkan

lokasi terjadinya di mana kebakaran hutan merupakan kebakaran biomas yang

terdapat di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran

yang terjadi di ladang atau lahan masyarakat atau lahan berhutan. Beberapa

negara seperti Thailand, Amerika Serikat dan Kanada menggunakan istilah

kebakaran hutan (forest fire) atau kebakaran lahan liar (wildland fire), sedangkan

Australia menggunakan istilah kebakaran semak (bush fire).

Kebakaran hutan/lahan dalam pengertian umum menurut Gaylor (1974) dan

Saharjo (2003) mencakup dua macam yaitu kebakaran liar atau yang tidak

diinginkan (wildfire atau unwnated fire) dan kebakaran yang diinginkan atau

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

12

direncanakan atau pembakaran terkendali (controlled burning atau prescribed

burning).

Kejadian kebakaran hutan/lahan di Indonesia berkaitan erat dengan kondisi

lingkungan, terutama cuaca. Beberapa kejadian kebakaran besar atau yang

tersebar luas terjadi bersamaan dengan terjadinya fenomena El-Nino. Qadri

(2001) menjelaskan fenomena El-Nino sebagai suatu fenomena periodik yang

berkaitan dengan kondisi lautan di mana penghangatan yang kuat dan meluas

terjadi di lautan tropis bagian atas Pasifik timur. El-Nino berpengaruh pada

penguatan suatu arus hangat lautan, yang disebut arus balik ekuator di Pasifik

tengah, yang menyebabkan terganggunya mekanisme cuaca keseluruhan.

Kejadian El-Nino berkaitan dengan suatu perubahan dalam tekanan atmosfer yang

dikenal sebagai Southern Oscillation, dan oleh sebab itu fenomena tersebut secara

bersama-sama disebut sebagai El-Nino Southern Oscillation atau ENSO. ENSO

inilah yang menyebabkan musim kering yang lebih panjang bagi sebagian besar

wilayah Indonesia.

Musim kering yang lebih panjang memicu lebih banyaknya kejadian

kebakaran hutan/lahan. Qadri (2001) dan Suratmo (2003) mencatat bahwa El-

Nino yang terjadi pada tahun-tahun 1982-1983, 1994, dan 1997-1998 telah

mengakibatkan kebakaran yang relatif lebih luas dari pada kebakaran di luar

kondisi El-Nino. Hal ini dapat dilihat dari data yang disampaikan Bappenas

(1999) bahwa luas kebakaran di luar kondisi El-Nino rata-rata di bawah satu juta

hektar, sedangkan pada kondisi El-Nino jauh di atas satu juta, seperti data berikut:

1983 seluas 3,2 juta hektar, 1987 seluas 66 ribu hektar, 1991 seluas 500 ribu

hektar, 1994 seluas 4,87 juta hektar, dan 1997/1998 seluas 9,5 juta hektar.

Frekuensi dan intensitas El-Nino menurut para ilmuwan cenderung

meningkat. Pada abad ke-19, El-Nino muncul rata-rata setiap tujuh setengah tahun

dan pada abad ke-20 sekitar setiap lima tahun, sedangkan sekarang terjadi setiap

kurang dari lima tahun. Alasan terjadinya peningkatan frekuensi El-Nino tersebut

belum jelas (Qadri 2001). Peningkatan frekuensi terjadinya El-Nino tersebut dapat

mengindikasikan pula tren kenaikan frekuensi terjadinya kebakaran besar. Tren

kejadian kebakaran hutan/lahan di luar kondisi El-Nino pun beberapa tahun ke

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

13

depan tampaknya masih meningkat sejalan dengan meningkatnya faktor-faktor

penyebab kebakaran.

Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil

pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003) menjelaskan titik

panas sebagai hasil penginderaan jauh sistem termal dengan menggunakan citra

NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration – Advance

Very High Resolution Radiometer), sebuah satelit lingkungan yang bernaung di

bawah NESDIS (National Environmental Satelitte Data and Information

Services), Department of Commerce, Amerika Serikat. Titik-titik panas dipantau

melalui satelit tersebut pada saluran 3 dengan panjang gelombang 3,55 µm – 3,92

µm, saluran 4 dengan panjang gelombang 10,3µm – 11,3µm, dan saluran 5

dengan panjang gelombang 11,5 µm – 12,5µm, di mana pancaran energi termal

dari benda-benda yang bersuhu antara 550K – 1800K akan terekam. Titik panas

memang tidak selalu berarti kebakaran hutan/lahan (Hiroki & Prabowo 2003),

namun titik-titik tersebut dapat menjadi indikasi terjadinya kebakaran (Suprayitno

& Syaufina 2003).

2.1.2. Penyebab Kebakaran Hutan/Lahan

Penyebab kebakaran hutan/lahan di berbagai negara berbeda-beda.

Kebakaran di daerah-daerah sub-tropis seperti Amerika Serikat dan Kanada di

belahan utara dan Australia di belahan selatan disebabkan terutama oleh alam

yaitu petir (Gaylor 1974; Pyne et al. 1996; Qadri 2001), sedangkan di daerah-

daerah tropis kebakaran pada umumnya disebabkan oleh manusia (Suyanto &

Applegate 2001; Qadri 2001; Suratmo et al. 2003).

Suryanto dan Applegate (2001) mengelompokkan penyebab kebakaran

hutan/lahan di Indonesia ke dalam penyebab langsung dan penyebab tak-

langsung. Penyebab langsung kebakaran meliputi empat hal yaitu: (1) api

digunakan dalam pembukaan lahan, (2) api digunakan sebagai senjata dalam

permasalahan konflik tanah, (3) api menyebar secara tidak sengaja, dan (4) api

yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya. Penyebab tak langsung, yang juga

disebut oleh Bappenas (1999), Barber dan Schweithelm (2000), Qadri (2001), dan

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

14

Adinugroho et al. (2005) sebagai akar permasalahan atau penyebab mendasar

(underlying causes, atau primary causes) kebakaran hutan/lahan meliputi:

1. Penguasaan lahan, di mana pembakaran dipandang sebagai suatu cara untuk

menunjukkan klaim atas lahan;

2. Kebijakan alokasi penggunaan lahan yang tidak tepat, tidak adil, dan tidak

terkoordinasi. Hal ini sebagai kebalikan dari butir 1 di atas, di mana

pembakaran digunakan untuk mengusir penguasa lahan yang sudah ada yang

dianggap tidak sah pemilikannya;

3. Insentif dan disinsentif ekonomi, di mana pembakaran dipandang sebagai cara

yang mudah dan murah untuk konversi hutan menjadi non-hutan;

4. Degradasi hutan dan lahan yang mengakibatkan peningkatan kepekaan hutan

dan lahan terhadap bahaya kebakaran;

5. Dampak dari perubahan karakteristik kependudukan, di mana peningkatan

jumlah penduduk akibat tingginya tingkat migrasi mendorong pembukaan

hutan dan lahan dengan cara membakar;

6. Lemahnya kapasitas kelembagaan pada para pemangku kawasan hutan

mengakibatkan lemahnya insentif bagi masyarakat untuk menjaga hutan dari

bahaya kebakaran.

Bappenas (1999) yang mencatat dari berbagai literatur menyatakan adanya

pergeseran dalam hal penyebab prinsip dari kejadian-kejadian kebakaran

hutan/lahan, di mana pada masa lalu penyebab prinsip kebakaran adalah

perorangan dan sekarang bergeser pada perusahaan-perusahaan besar. Penyebab

prinsip kebakaran pada tahun 1982-1983 sampai dengan 1987 adalah para

spekulator lahan dan para peladang berpindah, sedangkan pada tahun 1991 – 1994

adalah kelalaian penggunaan api dalam penyiapan lahan-lahan pertanian dan pada

tahun 1997-1998 sampai dengan sekarang penyebabnya lebih didominasi oleh

pembakaran untuk konversi hutan menjadi lahan-lahan perkebunan besar terutama

karet dan kelapa sawit.

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

15

2.1.3. Dampak Kebakaran hutan/lahan

Kajian terhadap dampak kebakaran hutan/lahan cukup banyak. Dampak

tersebut dapat mengenai pada berbagai aspek, antara lain aspek ekonomi dan

aspek lingkungan (Suprayitno & Syaufina 2008), nilai estetis dan nilai ilmiah

serta politik dan sosial (Hasoloan 2001). Dampak kebakaran terhadap aspek

ekonomi dapat berupa kerugian dari berkurang atau hilangnya sumber daya

ekonomi, biaya penanganan kebakaran dan dampaknya, dan terganggunya fungsi

sosial ekonomi hutan dan lahan bagi masyarakat. Sementara itu, dari aspek

lingkungan, kebakaran hutan/lahan dapat berdampak terhadap:

(a) sifat fisik tanah antara lain struktur dan porositas tanah,

(b) sifat kimia tanah melalui pelepasan mineral, perubahan mikroklimat, dan

dekomposisi mineral liat dan penyederhanaan struktur organik menjadi bahan

inorganik,

(c) sifat biologi tanah berupa perubahan populasi organisme dan mikro-

organisme tanah,

(d) air melalui gangguan terhadap intersepsi atau peresapan air ke dalam tanah

melalui kanopi tumbuhan dan serasah; evapotranspirasi berupa penguapan

dari permukaan tanah, vegetasi, maupun badan-badan air; infiltrasi atau

masuknya air ke dalam tanah karena meningkatnya densitas tanah dan

menurunnya porositas tanah; dan simpanan air tanah baik dalam kuantitas

maupun kualitasnya,

(e) vegetasi berupa kematian tumbuhan dan kerusakan bagian-bagian tumbuhan,

(f) udara berupa peningkatan suhu udara dan perubahan komponen-komponen

kimia di atmosfer.

Kebakaran hutan/lahan yang terjadi di Indonesia juga telah menimbulkan

kerugian yang sangat besar. Perhitungan kerugian akibat kebakaran hutan/lahan

memang masih bersifat pendekatan baik dari data luasan kebakarannya maupun

metode penghitungannya. Kebakaran di Kalimantan Timur pada tahun 1982-1983,

misalnya, menurut perkiraan Goldammer et al. (1996, diacu dalam Qadri 2001)

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

16

mencapai luasan lima juta hektar dan menimbulkan kerugian total sekitar US$ 9,1

juta, sedangkan perkiraan Barber dan Schweithelm (2000) luasan tersebut sekitar

3,2 – 3,6 juta hektar. Kebakaran hutan/lahan tahun 1997-1998 yang juga terkenal

karena luasnya cakupan dampak asapnya dicatat dengan angka yang berbeda-

beda. The Singapore Center for Remote Imaging, Sensing and Processing

(CRISP) berdasarkan citra satelit SPOT (Sisteme Pour L’observation de la Terre)

mencatat luas kebakaran hutan/lahan tahun 1997 sekitar 1,5 juta ha di Sumatera

dan tiga juta ha di Kalimantan, sedangkan kebakaran tahun 1998 tercatat 2,5 juta

ha di Kalimantan Timur. Sementara WWF Indonesia menghitung antara 1,97 juta

dan 2,3 juta ha terbakar di Kalimantan antara Agustus – Desember 1997 (Barber

& Schwithelm 2000). Proyek kerja sama Dep. Kehutanan dengan Uni Eropa di

Sumatera Selatan (Forest Fire Prevention and Control Project/FFPCP)

menghitung luas kebakaran tahun 1997 berdasarkan citra satelit seluas 2,3 juta ha

hanya untuk Sumatera (Ramon & Wall 1998).

Mayell (2001) menyatakan bahwa hasil pengamatan dengan citra satelit dan

survei udara di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kebakaran yang terjadi

pada tahun 1998 di provinsi tersebut menghanguskan sekitar lima juta hektar

konsesi hutan, perkebunan dan lahan konversi pertanian. Berdasarkan data

tersebut, CIFOR (Center for International Forestry Research) memperkirakan

kerugian ekonomi bagi Indonesia mencapai US$ sembilan miliar. Jumlah tersebut

jauh lebih besar dari jumlah yang diperkirakan Qadri (2001). Qadri berdasarkan

pendugaan melalui distribusi spasial terhadap kawasan-kawasan yang terbakar

pada tahun 1997-1998 memperkirakan jumlah kerugian secara keseluruhan hanya

US$ enam milyar. Kerugian dihitung dari luasan yang terbakar yaitu enam juta

hektar di Kalimantan, lebih dari 1,5 hektar di Sumatera, sekitar satu juta hektar di

Irian Jaya, 400 ribu hektar di Sulawesi dan 100 ribu hektar di Jawa, serta dari

luasan tersebut 4,65 juta ha di antaranya adalah kawasan hutan.

BAPPENAS (1999) yang menghimpun data dari berbagai sumber melalui

proyek Perencanaan Pencegahan Kebakaran dan Pengelolaan Kekeringan di

BAPPENAS yang didanai oleh bantuan teknis dari Asian Development Bank

(ADB) pada tahun 1999 membukukan nilai-nilai kerugian yang berkisar antara

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

17

US$ 8,7 milyar dan US$ 9,7 milyar dan mengambil angka rata-rata sebesar US$

9,3 milyar (BAPPENAS 1999).

Di lingkungan global, catatan sejarah kebakaran di dunia menunjukkan

bahwa kebakaran telah berdampak pada dua sisi, baik yang menguntungkan

maupun yang merugikan. Di satu sisi, kebakaran berdampak positif terhadap

ketersediaan pakan bagi satwa liar maupun hewan ternak serta untuk pengendalian

hama dan penyakit tumbuhan, hewan dan manusia. Bowman (2003) dan Qadri

(2001) menceritakan bahwa pada masa prasejarah, api atau kebakaran banyak

digunakan dalam aktivitas manusia sehari-hari terkait dengan pemenuhan

kebutuhan hidupnya, antara lain dalam perburuan, perladangan dan pertanian.

Di sisi lain, kebakaran telah merusak begitu banyak aset perekonomian

masyarakat. Qadri (2001) menyebutkan beberapa contoh kerugian akibat

kebakaran hutan/lahan di masa lampau. Kebakaran di Brazil pada tahun 1963

menghanguskan 2 juta ha lahan, merusak lebih dari 5000 rumah dan 110 jiwa.

Kemudian pada tahun 1987 Brazil’s Legal Amazon yang luasnya 500 juta ha

terbakar seluas 20,5 juta ha di mana delapan juta di antaranya dianggap sebagai

deforestasi dari hutan yang lebat. Pada tahun 1998 kebakaran menghanguskan 3,2

– 3,5 juta ha lahan, 200 ribu ha di antaranya merupakan hutan lebat. Australia

juga mencatat kerugian dari kebakaran berupa korban jiwa manusia 76 orang, 300

ribu domba dan rusa mati dan lebih dari 2500 rumah terbakar pada tahun 1983.

Kebakaran yang fenomenal di Amerika Serikat pada tahun 1988 yang

menghanguskan hampir seluruh kawasan Taman Nasional Yellowstone,

menyebabkan kerugian di sektor pariwisata antara tahun 1988 dan 1990 mencapai

sekitar US$ 60 juta. Kebakaran hutan/lahan di Italia dalam periode 1970-2005

setiap tahunnya menghanguskan sekitar 45.000 hektar hutan. Contoh-contoh lain

menunjukkan dampak kebakaran hutan/lahan di berbagai negara seperti RRC,

Nicaragua, Afrika Barat, Rusia, Mexico dan Amerika Tengah dan Mongolia, di

mana kebakaran berdampak pada usaha peternakan akibat terbunuhnya ratusan

ribu hewan ternak seperti sapi, kambing, domba dan sebagainya.

Kerugian lain dari kebakaran hutan/lahan juga mencakup biaya-biaya yang

dikeluarkan baik secara langsung untuk operasi pemadaman kebakaran maupun

yang secara tak langsung keluar atau hilang atau terganggu akibat kebakaran

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

18

tersebut. Asap dari kebakaran hutan/lahan juga menimbulkan kerugian yang

sangat besar terhadap perekonomian. Kebakaran hutan/lahan pada tahun 1997-

1998 di wilayah Asia Tenggara, misalnya, telah menyebabkan polusi asap yang

mengganggu tidak kurang dari 70 juta orang di wilayah tersebut dan

menyebabkan kerugian bagi Indonesia sekitar US$ 9,3 milyar atau kurang lebih

Rp 5,96 trilyun setara dengan sekitar 70,1% dari nilai PDB sektor Kehutanan

tahun 1997 (BAPPENAS 1999; Qadri 2001).

Kerugian secara ekonomi akibat kebakaran tidak hanya berasal dari

kerusakan atau hilangnya sumberdaya hutan, melainkan juga akibat keluarnya

biaya-biaya untuk operasi pemadaman. BAPPENAS (1999) mencatat biaya

pemadaman kebakaran tahun 1997-1998 mencapai US$ 12 juta atau Rp 144

milyar. Pemerintah Amerika Serikat (AS) membelanjakan tidak kurang dari US$

1,6 milyar untuk mengatasi kebakaran hutan/lahan pada tahun 2002 saja,

sedangkan untuk pemadaman kebakaran hutan di Taman Nasional Yellowstone

pada tahun 1988 AS membelanjakan sekitar US$ 160 juta (Polzin et al. 1993,

diacu dalam Qadri 2001). Butry et al. (2001) menggolongkan biaya dan kerusakan

akibat kebakaran ke dalam tujuh kategori besar yaitu: biaya-biaya pra-

pemadaman, biaya pemadaman, belanja penanganan bencana (disaster relief

expenditures), kerugian dari kayu, kerusakan barang-barang milik, kehilangan

yang terkait dengan pariwisata, dan efek terhadap kesehatan manusia. Sebenarnya

masih banyak komponen-komponen kerugian yang lain seperti misalnya

hilangnya kesempatan memperoleh upah (lost wages), menurunnya kualitas

hidup, pembelanjaan bagi pemadaman jangka panjang, rehabilitasi lansekap, dan

degradasi lingkungan. NIFC (National Interagency Fire Center), lembaga

pengelola kebakaran hutan/lahan AS, dalam laporan tahun 2000 seperti dikutip

Butry et al. (2001) menyatakan bahwa pada periode 1994-1999 pemerintah

federal telah membelanjakan rata-rata US$ 500 juta per tahun untuk pemadaman

kebakaran.

Kerugian akibat kebakaran terhadap lingkungan hidup juga sangat besar.

Para ahli kehutanan dan lingkungan sepakat bahwa hutan tropis memiliki

kemampuan sangat tinggi dalam penyerapan karbon. Alikodra dan Syaukani

(2004) secara tegas menyatakan bahwa seandainya hutan tropis musnah maka

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

19

pemanasan global akan makin menjadi-jadi. Hal ini terkait dengan kemampuan

hutan menyerap CO2 yang cukup tinggi yakni sekitar 3 – 5 milyar ton per tahun,

sementara itu atmosfer bumi ketambahan CO2 sebanyak tiga milyar ton (Chomitz

et al. 2007) sampai dengan enam milyar ton setiap tahunnya. Penambahan CO2

Kebakaran juga mengancam kelestarian keanekaragaman hayati (kehati).

Sumarwoto (1994, diacu dalam Atmojo 2005) menyatakan bahwa hutan hujan

tropis (tropical rain forest) memiliki kehati begitu besar. Kehati tersebut sangat

penting untuk menjamin ketersediaan sumberdaya, khususnya pangan, bagi

kehidupan umat manusia. Daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, merupakan

daerah asal jenis pertanian tertentu yang disebut Pusat Vavilov. Pencagaran Pusat

Vavilov sangat penting karena memiliki nilai ekonomi tinggi. Kebakaran hutan

dapat menyebabkan hancurnya pusat-pusat Vavilov sehingga secara tak langsung

dapat mengancam kehidupan umat manusia.

tersebut dapat berasal dari pembakaran biomasa di kawasan hutan dan lahan.

Qadri (2001) mencatat bahwa pembakaran biomasa ditengarai sebagai sumber

emisi global yang signifikan dengan kontribusi sedikitnya 10% dari total karbon

dioksida dan 38% dari ozon troposfer. Emisi akibat pembakaran biomasa dapat

mencapai 220 – 13.500 gigaton (Tg) karbon dioksida, 120 – 680 Tg karbon mono-

oksida, 2 – 21 Tg nitro oksida, dan 11 – 53 Tg gas metana.

2.1.4. Pengendalian Kebakaran hutan/lahan

Kebakaran liar memerlukan pencegahan dan pemadaman sedangkan

kebakaran yang diinginkan justru dibuat atau dilakukan karena adanya

kepentingan tertentu. Kebakaran yang diinginkan perlu pengendalian agar dapat

terlaksana sesuai dengan yang diinginkan, sedangkan kebakaran liar perlu

pengendalian agar tidak terjadi, dan kalaupun terjadi terdapat pilihan-pilihan yaitu

dipadamkan ataukah cukup diawasi dan dibiarkan padam dengan sendirinya.

Pemahaman mengenai terkendalinya kebakaran hutan/lahan dengan demikian

menjadi sangat penting.

Kebakaran hutan/lahan merupakan suatu situasi darurat (Gaylor 1974) dan

termasuk salah satu dari jenis bencana menurut UU No. 24 tahun 2007, dan oleh

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

20

karena itu pengertian dari istilah “pengendalian kebakaran” dapat dirumuskan dari

berbagai pustaka mengenai situasi-situasi darurat. Situasi darurat, baik perang,

gangguan keamanan dan ketertiban (Mulyadikrama dan Tamzis 1990), bencana

(Bakornas PB 1999), maupun kebakaran (Gaylor 1974) dapat dikatakan terkendali

jika telah diketahui karakteristiknya sehingga penanganan situasi tersebut dapat

efektif dan efisien dan dampaknya tidak merugikan. Berdasarkan pengertian

mengenai pengendalian situasi darurat tersebut, dapat dirumuskan pengertian

mengenai kebakaran yang terkendali yaitu situasi di mana kebakaran hutan/lahan

telah dapat diketahui karakteristiknya dan dapat ditangani secara efektif dan

efisien sehingga dampaknya tidak merugikan. Efektif dan efisien yang dimaksud

di sini adalah bahwa penanganan kebakaran dilakukan dengan cepat dan tepat

langkah-langkahnya serta sasarannya sesuai dengan karakteristik kebakarannya.

Karakteristik kebakaran hutan/lahan mencakup selain kebakarannya itu

sendiri juga penyebab dan dampak kebakaran sebagaimana telah diuraikan di atas.

Pengendalian kebakaran hutan/lahan berkenaan dengan pengendalian penyebab,

pengendalian ketika kebakaran terjadi dan pengendalian dampak kebakaran. Para

pakar, seperti Kartodihardjo (2006), Adinugroho et al. (2005), Doscemascolo

(2004), Suratmo et al. (2003), Anggraeni dan Syumanda (2001), Qadri (2001),

Simorangkir (2001), Suyanto dan Applegate (2001), Barber dan Schweithelm

(2000), Bowen et al. (2000), Shulman (2000), dan KMNLH-UNDP (1998) telah

mengidentifikasi permasalahan di dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan di

Indonesia. Penulis melihat bahwa permasalahan kebakaran sebenarnya dapat

digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu permasalahan teknis dan non-teknis.

Permasalahan teknis berkaitan dengan unsur-unsur segitiga api, sedangkan

permasalahan non-teknis berkaitan dengan kelembagaan.

Kebakaran hutan/lahan secara teknis terjadi karena adanya tiga unsur api,

yang disebut segitiga api (fire triangle), yaitu bahan bakar, panas dan oksigen

dalam keadaan yang memadai pada waktu dan tempat yang sama (Adinugroho et

al. 2005; Saharjo 2003; Gaylor 1974) seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Di

Indonesia, kebakaran hutan/lahan lebih banyak disebabkan oleh api yang

digunakan dalam kegiatan manusia, terutama pada kegiatan penyiapan lahan

untuk bermacam kepentingan. Oleh karena itu, terkait dengan kebakaran

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

21

hutan/lahan diperkenalkan istilah segiempat kebakaran yang meliputi tiga unsur

dari segitiga api ditambah manusia sebagai unsur keempat.

Besarnya dampak dan kerugian akibat kebakaran ditentukan antara lain oleh

intensitas kebakaran, dan intensitas kebakaran ditentukan oleh tingkat

ketersediaan ketiga unsur segitiga api tersebut (Brown & Davis 1973).

Pengendalian kebakaran hutan/lahan secara teknis pada dasarnya adalah

mengusahakan agar ketiga unsur tersebut tidak berada pada kondisi yang

memadai untuk terjadinya kebakaran (Suprayitno & Syaufina 2008), sehingga

penyebab teknis dapat diatasi dengan metode pencegahan dan metode

pemadaman.

Pencegahan pada prinsipnya dilakukan dengan modifikasi unsur-unsur dari

segitiga api sehingga ketiganya tidak berada pada kondisi yang memadai untuk

terjadinya api dan melalui perlakuan terhadap unsur keempat dari segiempat

kebakaran yaitu manusia dengan meningkatkan pemahaman mengenai bahaya dan

risiko kebakaran hutan/lahan. Saharjo (2003) memberikan panduan bahwa dari

ketiga unsur api tersebut, oksigen merupakan unsur yang tersedia melimpah dan

sulit dikendalikan, maka pengendalian ditekankan pada dua unsur lainnya. Dari

segi bahan bakar, karakteristik yang perlu diketahui untuk mengendalikan

kebakaran adalah kadar airnya. Saharjo menyatakan bahwa bahan bakar tidak

terbakar bila kadar airnya di atas 25% dan akan mudah terbakar ketika kadar

Gambar 2 – Segitiga api (Sumber: Brown & Davis 1973; Saharjo 2003)

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

22

airnya di bawah 5%, sedangkan dari segi panas diperlukan suhu penyalaan antara

220°-250° C.

Pemadaman kebakaran dapat dilakukan baik dengan metode pemadaman

langsung (direct attack) yakni mematikan langsung pada titik atau garis nyala api

maupun dengan metode pemadaman tak langsung (indirect attack) yakni

mencegah perambatan api yang lebih luas dengan mendayagunakan sekat bakar

atau fire break dan membuat ilaran api atau fire line. Pemadaman dapat dilakukan

dari darat atau ground attack atau dipadukan dengan pemadaman dari udara atau

aerial attack (Adinugroho et al. 2005; Saharjo 2003; Sumantri 2003; Gaylor

1974). Keberhasilan pengendalian kebakaran secara teknis ditentukan pula oleh

dukungan dari upaya-upaya non-teknis berupa kelembagaan dan manajemen

pengendalian kebakaran yang baik.

2.2. Organisasi dan Manajemen

2.2.1. Pengertian

Pengertian istilah organisasi telah mengalami pergeseran (Cahayani 2003;

Drucker 1997). Organisasi menurut pengertian awal yang sederhana yaitu suatu

kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan

dan mau terlibat dengan peraturan yang ada. Sekarang organisasi lebih dikenal

sebagai alat dan wadah atau tempat untuk melakukan kegiatan bersama agar dapat

mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama (Siswanto 2009; Cahayani 2003).

Drucker (1997) menyatakan bahwa organisasi menurut definisi pertama yang

disebutnya sebagai teori pertama tentang organisasi di pertengahan abad ke-18,

adalah bagaimana pekerjaan yang berbeda dilakukan. Pengertian organisasi

tersebut kemudian bergeser yang dikatakan sebagai gerakan menuju organisasi

baru (moving toward the new organization) yang menegaskan bahwa organisasi

bukan sekadar sebuat alat. Organisasi menyatakan nilai-nilai, dan oleh karenanya

tidak ada organisasi yang ideal. Organisasi berbeda sesuai dengan tujuannya, jenis

pekerjaannya, orang-orangnya, dan budayanya.

Organisasi dapat diartikan dalam arti dinamis dan dalam arti statis

(Siswanto 2009). Organisasi dalam arti dinamis adalah suatu proses penetapan

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

23

dan pembagian kerja yang akan dilakukan, pembatasan tugas dan kewajiban,

otoritas dan tanggung jawab serta penetapan hubungan di antara elemen

organisasi. Organisasi dalam arti statis adalah suatu bagan atau struktur yang

berwujud dan bergerak demi tercapainya tujuan bersama. Louis A. Allen,

sebagaimana dikutip Hasibuan (2008) melihat organisasi seperti definisi Siswanto

(2009) untuk arti dinamis di mana organisasi merupakan proses penentuan dan

pengelompokan pekerjaan yang akan dikerjakan, menetapkan dan melimpahkan

wewenang dan tanggung jawab, dengan maksud untuk memungkinkan orang-

orang bekerja sama secara efektif dalam mencapai tujuan.

Hasibuan (2008) merangkum dari berbagai literatur bahwa sebuah

organisasi baru ada jika memiliki tujuh unsur yaitu: (1) manusia, (2) tempat

kedudukan, (3) tujuan, (4) pekerjaan, (5) struktur, (6) teknologi, artinya ada unsur

teknis, dan (7) lingkungan. Siswanto (2009) menyatakan bahwa suatu organisasi

memiliki sedikitnya tiga unsur yaitu (1) sekelompok orang, (2) interaksi dan kerja

sama, dan (3) tujuan bersama. Hasibuan (2008) lebih lanjut menguraikan bahwa

untuk terwujudnya suatu organisasi yang baik, efektif, efisien dan sesuai dengan

kebutuhan, organisasi harus memegang secara selektif asas-asas atau prinsip-

prinsip organisasi yang terdiri atas:

(1) asas tujuan (principle of organizational objectives) di mana tujuan

organisasi harus jelas dan rasional;

(2) asas kesatuan tujuan (principle of unity of objective), di mana organisasi

secara keseluruhan dan tiap-tiap bagiannya harus memiliki tujuan yang

sama;

(3) asas kesatuan perintah (principle of unity of command) di mana setiap

bawahan menerima perintah hanya dari satu atasan, tetapi seorang atasan

dapat memerintah beberapa orang bawahan;

(4) asas rentang kendali (principle of span of management) di mana seorang

pemimpin hanya dapat memimpin secara efektif sejumlah bawahan tertentu;

(5) asas pendelegasian wewenang (principle of delegation of authority) di mana

wewenang hendaknya didelegasikan kepada orang lain secara jelas dan

efektif sehingga orang yang diberi wewenang mengetahui wewenangnya;

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

24

(6) asas keseimbangan wewenang dan tanggung jawab (principle of parity of

authority and responsibility) di mana wewenang yang didelegasikan dan

tanggung jawab yang timbul karenanya harus sama besar;

(7) asas tanggung jawab (principle of responsibility) di mana

pertanggungjawaban dari bawahan terhadap atasan harus sesuai dengan

garis wewenang (line authority) dan pelimpahan wewenang;

(8) asas pembagian kerja (principle of departementation atau principle of

division of work) di mana pengelompokan tugas-tugas atau pekerjaan-

pekerjaan yang sama ke dalam satu unit hendaknya didasarkan atas eratnya

hubungan tugas tersebut;

(9) asas penempatan personalia (principle of personnel placement) yaitu

penempatan orang-orang pada setiap jabatan harus didasarkan atas

kecakapan, keahlian dan ketrampilannya;

(10) asas jenjang berangkai (principle of scalar chain) yakni saluran perintah atau

wewenang dari atas ke bawah maupun saluran pertanggungjawaban dari

bawahan ke atasan merupakan mata rantai vertikal yang jelas dan tidak

terputus-putus;

(11) asas efisiensi (principle of efficiency) di mana organisasi dalam mencapai

tujuannya harus dapat mencapai hasil yang optimal dengan pengorbanan

yang minimal;

(12) asas kesinambungan (principle of continuity) yakni organisasi harus

mengusahakan cara-cara untuk menjamin kelangsungan hidupnya;

(13) asas koordinasi (principle of coordination) yaitu bahwa organisasi harus

mensinkronkan dan mengintegrasikan segala tindakan supaya terarah

kepada sasaran yang ingin dicapai.

Organisasi berkaitan erat dengan manajemen. Organisasi merupakan wadah

atau alat sedangkan manajemen merupakan prosesnya dan kedua-duanya adalah

untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Hasibuan 2008). Manajemen adalah

proses penggunaan sumber daya organisasi secara efektif dan efisien untuk

mencapai tujuan melalui fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan (leading/influencing) dan pengawasan (Dubrin & Ireland 1993;

Gordon et al. 1990). Proses tersebut saling berkaitan dan berurutan (Siswanto

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

25

2009). Sumber daya organisasi dapat berupa sumber daya manusia, sumberdaya

finansial, sumber daya fisik dan sumber daya informasi (Dubrin & Ireland 1993).

Sifat gerak manajemen suatu organisasi ditentukan oleh bentuk

organisasinya (Siswanto 2009). Organisasi berdasarkan skala atau ukurannya

dapat berupa organisasi kecil, menengah, dan besar, sedangkan berdasarkan

tujuannya terdapat dua macam yaitu (1) organisasi publik atau sosial atau nirlaba

(non-profit organzation) yang tujuan utamanya untuk melayani kepentingan

umum dan tanpa perhitungan untung rugi, dan (2) organisasi perusahaan (business

organization) yakni organisasi yang didirikan untuk tujuan komersial dan semua

tindakannya bermotifkan laba (profit motive). Berdasarkan kaitan hubungannya

dengan pemerintah, organisasi dapat berupa organisasi resmi yaitu (1) organisasi

yang dibentuk oleh atau ada hubungannya dengan pemerintah dan atau harus

terdaftar pada Lembaran Negara, dan (2) organisasi tidak resmi yaitu organisasi

yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah dan tidak terdaftar pada

Lembaran Negara.

Setiap organisasi berhadapan dengan dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan

internal dan lingkungan eksternal (Siagian 2008). Kedua jenis lingkungan tersebut

seringkali begitu kompleks sejalan dengan semakin kompleksnya organisasi.

Lingkungan tersebut, antara lain semakin banyaknya pihak yang berkepentingan

baik pihak internal maupun pihak eksternal yang harus dipuaskan dan tantangan

eksternal yang dihadapi organisasi. Siagian (2008) menyarankan diterapkannya

manajemen stratejik untuk menghadapi situasi organisasi yang kompleks tersebut.

Manajemen stratejik adalah serangkaian keputusan dan tindakan mendasar

yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran

suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi tersebut (Siagian

2008). Esensi dari manajemen stratejik adalah bahwa manajemen puncak dari

suatu organisasi harus mampu merumuskan dan menentukan strategi

organisasinya sehingga organisasinya mampu mempertahankan eksistensinya

sekaligus mampu menyesuaikan diri dan berubah untuk meningkatkan efektivitas

dan produktivitasnya. Faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam manajemen

stratejik menurut Siagian (2009) antara lain; (a) tipe dan struktur organisasi, (b)

gaya manajerial, (c) kompleksitas lingkungan eksternal, (d) kompleksitas proses

produksi, dan (e) hakikat berbagai masalah yang dihadapi.

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

26

Siagian (2009) lebih lanjut menjelaskan ciri-ciri organisasi yang efektif dan

produktivitas atau kinerja tinggi antara lain: (1) mempunyai arah yang jelas untuk

ditempuhnya, (2) memiliki sumber daya manusia yang berpengetahuan dan

berketrampilan tinggi, (3) para pimpinannya memiliki komitmen kuat pada suatu

rencana stratejik, (4) berorientasi pada hasil dan memiliki kesadaran tinggi

tentang efektivitas dan produktivitas yang meningkat, (5) para pimpinannya

bersedia membuat komitmen yang mendalam pada strategi yang telah ditentukan

dan berupaya bersama seluruh komponen organisasi agar strategi tersebut

membuah hasil yang diharapkan.

Organisasi yang efektif yang memiliki cukup sumber daya tersedia dengan

berbagai aturan-aturannya (rules) menurut Torrington dan Weightmen (1994)

merupakan syarat bagi manajemen yang efektif. Torrington dan Weightmen

(1994) juga menggarisbawahi pentingnya orang-orang (people) dengan

kedudukan hirarkinya, di mana ada atasan (superiors) dan bawahan

(subordinates), yang memerlukan kerja sama (cooperation), sinkronisasi dan

komunikasi dalam menjalankan manajemen. Hal ini berarti bahwa sumber daya

manusia merupakan komponen penting baik di dalam organisasi maupun di dalam

manajemen.

Sebagaimana disebutkan di atas, manajemen merupakan suatu proses.

Siswanto (2009) mengartikan proses manajemen sebagai suatu rangkaian aktivitas

yang harus dilakukan oleh seorang manajer dalam suatu organisasi. Rangkaian

aktivitas tersebut merupakan fungsi seorang manajer, yang dapat dilihat dalam

dua arah yaitu fungsi ke dalam organisasi dan fungsi ke luar organisasi. Fungsi ke

dalam dapat dilihat dari dua sudut yaitu (1) fungsi dari sudut proses, dan (2)

fungsi dari sudut spesialisasi kerja. Fungsi ke luar organisasi meliputi aktivitas

yang berhubungan dengan pihak luar organisasi yang menyangkut masalah

yuridis, keuangan, administratif, hubungan antar manusia, dan sebagainya.

Fungsi manajemen dari sudut proses merupakan tahapan aktivitas. Beberapa

pakar manajemen menyebutkan tahapan aktivitas tersebut berbeda-beda.

Berdasarkan rangkuman Siswanto (2009) dan Hasibuan (2008), jumlah tahapan

tersebut berkisar dari dua tahapan sampai dengan tujuh tahapan. Dua tahapan

manajemen disampaikan oleh John D. Millet yaitu (1) directing, dan (2)

facilitating. Para pakar yang lain seperti G. R. Terry, Henry Fayol, John F. Mee,

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

27

Mc Namara, Luther Gullick, dan Oey Liang Lee, yang menyebutkan empat, lima,

enam atau tujuh tahapan memiliki kesamaan yaitu semuanya memasukkan tiga

tahapan dalam manajemen yakni planning (perencanaan), organizing

(pengorganisasian), dan controlling (pengendalian).

2.2.2. Pengorganisasian dan Peranan Organisasi

Pengertian organisasi berbeda dari pengertian pengorganisasian. Siagian

(2004) dan Cahayani (2003) mendefinisikan pengorganisasian (organizing)

sebagai salah satu dari empat fungsi manajemen yakni yang menentukan jenis

organisasi terbaik untuk mencapai tujuan dan mampu mengembangkan organisasi

tersebut, sedangkan organisasi sebagai hasil dari pengorganisasian merupakan alat

yang digunakan oleh manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Hasibuan (2008)

menjelaskan perbedaan pengertian kedua istilah tersebut menurutnya sendiri dan

menurut beberapa pakar manajemen. Soekarno dan Manulang (di dalam

Hasibuan, 2008), misalnya, memandang baik pengorganisasian maupun organisasi

sebagai fungsi manajemen, di mana pengorganisasian mengandung pengertian

organisasi dalam arti dinamis. Pengorganisasian sebagai suatu proses untuk

memperoleh organisasi yang menjadi alat dan wadah untuk melakukan aktivitas

dalam mencapai tujuan.

Hasibuan (2008) sendiri maupun Siswanto (2009) mendefinisikan

pengorganisasian sebagai suatu proses penentuan, pengelompokan, dan

pengaturan bermacam-macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan,

menempatkan orang-orang pada setiap aktivitas, menyediakan alat-alat yang

diperlukan, menetapkan wewenang yang secara relatif didelegasikan kepada

setiap individu yang akan melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Dalam konteks

penelitian disertasi ini, individu yang dimaksud bukan hanya dalam arti orang per

orang melainkan dapat pula organisasi-organisasi yang terlibat dalam

pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Pengorganisasian itu sendiri memerlukan beberapa tahapan. Siswanto

(2009) menyatakan bahwa pengorganisasian memerlukan enam tahapan yaitu: (1)

mengetahui dengan jelas tujuan yang hendak dicapai, (2) deskripsi pekerjaan yang

harus dioperasikan dalam aktivitas tertentu, (3) klasifikasi aktivitas dalam

Page 18: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

28

kesatuan yang praktis, (4) memberikan rumusan yang realistis mengenai

kewajiban yang hendak diselesaikan, sarana dan prasarana fisik serta lingkungan

yang diperlukan untuk setiap aktivitas atau kesatuan aktivitas yang hendak

dioperasikan, (5) penunjukan sumber daya manusia yang menguasai bidang

keahliannya, dan (6) mendelegasikan otoritas yang dianggap perlu kepada

bawahan yang ditunjuk.

Thomas (1997) menegaskan bahwa organisasi-organisasi di masa depan

akan beroperasi pada suatu lingkungan yang tidak pasti, sangat kompetitif, dan

kompleks. Situasi yang dihadapi organisasi akan sangat beragam (diverse), oleh

sebab itu organisasi harus mampu mengelola keberagaman tersebut bagi

keuntungan organisasi. Para manajer akan dituntut untuk terus-menerus

menangani lingkungan yang terus berubah melalui dua percampuran keberagaman

(diversity mixtures) yang sangat rumit yaitu: (1) percampuran yang terkait dengan

pergolakan lingkungan (environmental turbulence), dan (2) percampuran yang

terkait dengan transformasi dan perubahan organisasi (organizational

transformation and change). Pengelolaan keberagaman tersebut mensyaratkan

para pimpinan untuk memiliki baik pemahaman yang luas mengenai keberagaman

maupun kerangka kerja yang konseptual. Kunci dari pengelolaan keberagaman

adalah mengelola yang efektif (effective managing), di mana mengelola adalah

memberdayakan dan memampukan (to empower and enable), bukan memerintah

dan mengawasi (to command and control).

Keberhasilan sebuah organisasi maupun pengorganisasian dalam mencapai

tujuannya ditentukan antara lain oleh peranan dan pemerannya (roles and players)

dalam organisasi atau pengorganisasian tersebut (Wehmeyer et al. 2001; Colman

& Han, 2005). McNamara (20101

1

). Menurut McNamara (2010) peranan

merupakan sekumpulan tanggung jawab atau hasil-hasil yang diharapkan terkait

dengan suatu pekerjaan (job). Sebuah job mencakup beberapa peranan. Job

merupakan sekumpulan tugas dan tanggung jawab yang menjadi tanggung jawab

seorang pegawai atau karyawan untuk melaksanakannya.

http://www.managementhelp.org [31-12-2010]

Page 19: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

29

Peranan dalam organisasi menurut Brown dan Harvey (2006) terbagi atas

tiga kelompok fungsi yaitu: (1) fungsi-fungsi tugas kelompok (group task

functions) yang mencakup perilaku anggota yang secara langsung membantu

organisasi menyelesaikan tugasnya; (2) fungsi-fungsi pembangunan dan

pemeliharaan kelompok (group building and maintenance functions) yang

mencakup perilaku yang membantu organisasi tumbuh dan meningkatkan

hubungan-hubungan antar pribadi para anggotanya, dan (3) fungsi-fungsi individu

(individual functions) yakni perilaku yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan

individu dan yang disfungsional atau inkonsekuensial terhadap tugas dan

pemeliharaan organisasi.

Pembagian peranan menurut Brown dan Harvey (2006) merupakan hal yang

sangat penting dalam pengembangan tim (team development) dan agar tepat

dalam pembagian peranan maka diperlukan teknik analisis peranan (role analysis

technique atau RAT). RAT digunakan untuk mengklarifikasi ketidaksesuaian

peranan (role discrepancies), harapan peranan (role expectations) dan konsepsi

peranan (role conception). Diskrepansi peranan timbul antara apa yang diharapkan

dari seorang anggota tim dengan perilaku yang sebenarnya ia lakukan. Ekspektasi

peranan adalah perilaku yang diharapkan atau diprakirakan oleh para anggota tim

lainnya dari seorang anggota tim, sedangkan konsepsi peranan adalah gagasan

seseorang mengenai perilaku peranan yang tepat.

Setiap anggota tim seharusnya benar-benar memahami peranannya sendiri

serta peranan anggota-anggota lainnya. Kondisi yang ada adalah seperti yang

disebut oleh Brown dan Harvey (2006) sebagai role ambiguity di mana anggota

tim kurang paham terhadap peranan yang diharapkan dari anggota lain dengan

istilah, dan role conflict di mana terdapat suatu ketidaksesuaian antara ekspektasi

peranan dengan konsepsi peranan.

2.2.3. Hubungan Antar Organisasi

Pengelolaan pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia pada saat ini

dan ke depan tampaknya tetap akan melibatkan banyak organisasi. Pelibatan

banyak organisasi selain memerlukan pemahaman mengenai organisasi secara

Page 20: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

30

individual dan pengorganisasian sebagai bagian dari fungsi manajemen di dalam

suatu organisasi, juga memerlukan pemahaman mengenai hubungan antar

organisasi-organisasi yang terlibat.

Mulford dan Klonglan (1982) menegaskan bahwa organisasi tunggal yang

bekerja sendirian tidak dapat mengatasi permasalahan masa kini yang kompleks,

sekalipun ia memiliki sumberdaya yang mencukupi. Simbol-simbol organisasi

masa kini dan masa depan telah bergeser ke arah jejaring kerja atau networks

(Ulrich 1997). Pergeseran citra organisasi bukan pada morfologi dan strukturnya

tetapi lebih pada konsep kemampuannya (concept of capabilities). Ulrich

menguraikan lebih lanjut bahwa kemampuan atau kapabilitas organisasi

ditunjukkan oleh sumber daya berupa ketrampilan, kepandaian dan keahlian di

dalam suatu organisasi. Kapabilitas organisasi merupakan kumpulan dari

kompetensi-kompetensi indinvidu yang berubah menjadi kompetensi organisasi.

Organisasi masa depan harus membangun pola pikir untuk mampu dan mau

berbagai (share mindset), belajar untuk menangkap modal intelektual anggotanya,

menghilangkan batas-batas yang mengungkung organisasi, menciptakan kapasitas

untuk perubahan, dan menciptakan kemampuan belajar cepat (rapid learning

capability) di mana gagasan-gagasan baru terus diciptakan dan segera

disosialisasikan kepada seluruh bagian dari organisasi. Setiap organisasi mungkin

memiliki hanya sedikit kemampuan, oleh sebab itu pelibatan berbagai organisasi

akan lebih menguntungkan.

Hubungan antar organisasi dapat mengambil bentuk cooperation,

collaboration dan coordination. Di berbagai literatur istilah-istilah tersebut sering

saling dipertukarkan. Ketiganya seringkali diartikan sama dan merupakan lawan

dari competition. Mooi (2007), Faerman, McCaffrey dan Van Slyke (2001), dan

Mulfrod dan Klonglan (1982) menempatkan kolaborasi dan koordinasi sebagai

bentuk cooperation dan lawan dari kompetisi dan konflik. Mooi (2007) membatasi

pengertian cooperation, dan konflik, dalam konteks pemasaran barang dan jasa

sebagai bentuk hubungan satu lawan satu yakni penjual dan pembeli (buyer-seller

relationship). Jika hubungan tersebut sudah melibatkan tiga atau lebih pihak maka

dikatakan sebagai jaringan (network).

Page 21: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

31

Pembentukan jaringan antar-organisasi (interorganizational networks)

menurut Wehmeyer et al. (2001) diarahkan oleh beberapa tujuan yang secara

partial saling tumpang tindih, yaitu (1) pengurangan risiko, (2) ekonomis dari

skala dan/atau cakupan, (3) pertukaran teknologi, (4) penanganan atau pembatasan

persaingan, (5) penanganan kendala-kendala investasi atau perdagangan yang

dimandatkan oleh pemerintah, (6) fasilitasi ekspansi internasional dan pembukaan

pasar-pasar (global) baru, (7) pengaitan kontribusi-kontribusi komplementer dari

rekan-rekan dalam suatu sistem nilai (integrasi semu vertikal), dan (8) pencapaian

efek-efek sinergi. Wehmeyer et al. (2001) menggunakan organisasi virtual sebagai

contoh jaringan antar organisasi. Jaringan antar organisasi sangat ditentukan oleh

koordinasi dan dalam koordinasi tersebut terdapat peranan-peranan (roles) yang

harus dimainkan oleh masing-masing organisasi yang terlibat. Goransson dan

Schuh sebagaimana dikutip Wehmeyer et al. (2001) mengidentifikasi lima

peranan koordinasi (coordination roles). yaitu: (1) network coach, yang

bertanggung jawab atas pengelolaan gerbang (entry management), pengembangan

infrastruktur dan pemantapan hubungan antara rekan-rekan, (2) broker, yang

menangani manajemen hubungan pelanggan dan tugas-tugas pasar lainnya, (3)

task manager, yang mengonfigurasi rantai nilai tertentu (specific value chain), (4)

project manager, yang bertanggung jawab atas transaksi pesanan, manajemen

proses, dan perencanaan, dan (5) auditor, yang menangani aspek-aspek kompetisi,

terutama manajemen konflik. Pendekatan lain oleh Hess dan Schumann seperti

dikutip juga oleh Wehmeyer (2001) menyatakan hanya ada dua peranan

koordinasi yaitu (1) network coordinator yang menangani jaringan, dan (2) order

coordinator yang menangani jaringan pesanan dan pemrosesan pesanan serta

manajemen proyek.

Koordinasi dan ketergantungan merupakan konsep kunci kerja sama

(cooperation). Menurut Malone et al. (1999), koordinasi adalah mengelola

ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan (managing dependencies among

activities). Mekanisme koordinasi adalah mekanisme pengelolaan ketergantungan.

Malone et al. (1999) menggolongkan ketergantungan atas tiga bentuk dasar yaitu

aliran (flow dependencies), berbagi (sharing dependencies), dan kecocokan (fit

dependencies). Flow dependencies muncul ketika satu aktivitas menghasilkan

Page 22: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

32

sumberdaya yang akan digunakan oleh aktivitas lain. Sharing dependencies terjadi

ketika berbagai aktivitas menggunakan sumberdaya yang sama, dan fit

dependencies terjadi ketika berbagai aktivitas menghasilkan suatu sumberdaya

tunggal. Rancangan organisasi (organizational design) lanjut Malone et al. (1999),

dilakukan dengan mengelola ketergantungan yang pada dasarnya adalah

penetapan tugas atau peranan (task assignment, role assignment). Hal ini

menunjukkan bahwa sebuah organisasi, termasuk organisasi pengendalian

kebakaran hutan/lahan di Indonesia, harus dirancang berdasarkan tugas-tugas atau

peranan-peranan yang akan dilakukan.

Koordinasi menurut Bolland dan Wilson (1994) merupakan istilah yang

sering digunakan tanpa referensi yang tepat. Para peneliti sering melaporkan

tentang kurangnya koordinasi, tetapi penjelasannya tanpa menunjukkan suatu

dasar empiris bagi kesimpulannya, ataupun menunjukkan temuan-temuan empiris

yang akan diterima sebagai bukti koordinasi. Bolland dan Wilson lebih lanjut

mengungkapkan tentang telah adanya pergeseran paradigma koordinasi dari

pandangan bahwa koordinasi selalu dikaitkan dengan aturan-aturan, prosedur-

prosedur organisasi ke arah formulasi yang lebih kompleks di mana koordinasi

merupakan sebuah jejaring (network) yang terpadu yang dikenal sebagai

integrative coordination.

Bentuk lain dari hubungan antar organisasi yaitu kolaborasi. Longoria

(2005) menyatakan bahwa membakukan arti dari istilah “kolaborasi” sangat sulit

karena tidak adanya keseragaman pemahaman terhadap konsep kolaborasi.

Longoria (2005) kemudian menyatakan bahwa pengertian kolaborasi mencakup

empat ciri rasional yang dinamis. Pertama, kolaborasi dideskripsikan sebagai

suatu hubungan yang terjadi antara dua atau lebih entitas. Kedua, hubungan

tersebut dapat membentuk sebuah struktur yang lebih besar yang menghubungkan

para pemangku kepentingan (stakeholders) bersama-sama. Ciri ketiga dari

kolaborasi adalah adanya kualitas sinerjik dari hubungan tersebut, artinya

pencapaian suatu tujuan akan lebih mudah dilakukan oleh hubungan tersebut

dibandingkan jika dilakukan oleh masing-masing secara individual. Ciri keempat

yaitu hubungan berada dalam suatu struktur terikat (a bounded structure) dengan

sistem.

Page 23: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

33

Meijers dan Stead (2004) dalam konteks pembahasan tentang kebijakan

menawarkan konsep hubungan antar organisasi dalam pembuatan kebijakan yang

disebutnya policy integration. Integrasi kebijakan merupakan konsep teoritis

(theoretical concept) tentang manajemen isu-isu dalam pembuatan keputusan yang

melintasi batas-batas bidang kebijakan dan yang tidak mengacu pada tanggung

jawab kelembagaan dari departemen-departemen individual. Integrasi kebijakan

tidak hanya berbicara tentang manajemen tanggung jawab kebijakan di dalam

sebuah organisasi atau sektor, melainkan juga tentang integrasi sektor horizontal

(antara departemen-departemen dalam otoritas publik) dan integrasi vertikal antar

pemerintahan dalam pembuatan kebijakan. Persyaratan pokok bagi suatu

kebijakan dikatakan sebagai ‘integrated” adalah ‘comprehensiveness’ atau

‘kemenyeluruhan’ yakni perhatian terhadap suatu lingkup yang lebih luas dari

konsekuensi kebijakan dalam hal waktu, ruang, aktor, dan isu; agregasi yakni

suatu bentang minimal sejauh mana alternatif-alternatif kebijakan dievaluasi dari

suatu perspektif ‘keseluruhan’; dan konsistensi yakni sejauh mana suatu kebijakan

merasuki (penetrate) semua level kebijakan dan semua instansi pemerintahan.

Penjelasan tersebut dapat memberikan pandangan bahwa hubungan antar

organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia lebih dekat

kepada bentuk hubungan koordinasi, dan koordinasi yang tampaknya sesuai untuk

dibangun adalah koordinasi integratif. Kebenaran premis tersebut dapat dianalisis

menggunakan prosedur analisis yang digunakan Bolland dan Wilson (1994) dan

Malone et al. (1999). Prosedur yang digunakan Bolland dan Wilson (1994) untuk

menganalisis hubungan antar-organisasi dalam bidang kesehatan dan layanan

lanjut usia atau lansia (health and elderly services) tampaknya dapat juga

diaplikasikan untuk menganalisis hubungan antar organisasi dalam pengendalian

kebakaran hutan/lahan. Seperti halnya konsep yang dikembangkan Bolland dan

Wilson untuk layanan kesehatan dan lansia tersebut, pengendalian kebakaran

hutan/lahan juga melibatkan banyak organisasi, dan hubungan antar organisasi

yang terjadi tampaknya adalah juga hubungan koordinasi. Oleh sebab itu,

prosedur analisisnya serupa.

Bolland dan Wilson (1994) di dalam analisisnya mengidentifikasi bahwa

hubungan antar organisasi mencakup tiga fungsi umum yang khas bagi layanan

Page 24: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

34

kesehatan dan lansia yaitu: service delivery, administration, dan planning.

Ketiganya tidak hanya berlaku pada organisasi-organisasi seperti tersebut di atas,

melainkan dapat pula terjadi pada organisasi-organisasi lain. Ketiga fungsi

tersebut menurut Bolland dan Wilson dapat disejajarkan dengan tiga fungsi dalam

model proses kebijakan yakni planning sebagai agenda setting, administration

sebagai enactment, dan service delivery sebagai implementation.

Penyejajaran ketiga fungsi tersebut dengan tiga fungsi pengendalian

kebakaran yaitu pencegahan, pemadaman, dan pasca-kebakaran tampaknya tidak

tepat. Ketiga fungsi yang digunakan Bolland dan Wilson (1994) tampaknya lebih

tepat untuk diadopsi apa adanya. Service delivery dalam pengendalian kebakaran

hutan/lahan menggambarkan jenis-jenis layanan yang dapat diberikan atau

dilakukan oleh organisasi. Administration menggambarkan sumberdaya-

sumberdaya administrasi yang dapat diberikan oleh organisasi, sedangkan

planning menggambarkan keterlibatan organisasi dalam proses perencanaan

pengendalian kebakaran hutan.

2.2.4. Pengembangan Organisasi dan Efektivitas Organisasi

Pengembangan organisasi (organizational development/OD) adalah upaya

dan program jangka panjang yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan

organisasi dalam bertahan hidup melalui pengubahan proses-proses penyelesaian

masalah dan pembaruan (Brown & Harvey 2006). OD merupakan proses di mana

organisasi mengembangkan kapasitas internalnya untuk menjadi paling efektif

dalam mencapai misinya dan untuk bertahan hidup dalam jangka panjang (Philbin

& Mikush 2008). Organisasi harus efektif agar dapat bertahan hidup dan

berkembang.

Berbagai studi tentang efektivitas organisasi mengangkat empat isu penting

yaitu isu mengenai efektivitas atau kinerja, level analisis, pengukuran persepsi dan

kriteria pengukuran (Young Lee & Whitford 2008). Isu pertama membedakan

efektivitas dari kinerja.Wikipedia2

2 http://en.wikipedia.org/wiki/Effectiveness

mengartikan efektivitas sebagai melakukan

Page 25: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

35

hal-hal yang benar (doing “right” things), misalnya menetapkan target yang benar

untuk mencapai keseluruhan tujuan, sedangkan efisiensi dikatakan sebagai

melakukan hal-hal dengan benar (doing things “right”), misalnya dengan cara

yang terbaik dan paling ekonomis. Kinerja (performance), di sisi lain, dalam

konteks pengembangan organisasi (organizational development) dinyatakan

sebagai seberapa besar hasil yang dicapai dibandingkan dengan hasil yang

diinginkan (actual results vs desired results).

Level analisis dilihat dari dua dimensi yaitu locus of analysis dan focus of

analysis. Lokus yang dimaksud adalah tempat di mana efektivitas diukur,

sedangkan fokus adalah subyek yang diukur efektivitasnya, misalnya, individu

pegawai, sub unit organisasi, organisasi tunggal, beberapa organisasi, dan level-

level pemerintahan. Pengukuran persepsi mencakup ukuran obyektif dan ukuran

subyektif. Ukuran obyektif biasanya dibangun dari catatan-catatan dan arsip-arsip,

sedangkan ukuran subyektif dibangun dari respon survei yang diperoleh dari para

anggota organisasi ataupun dari luar organisasi. Young Lee dan Whitford (2008)

menjelaskan bahwa telah banyak penelitian mengenai kriteria bagi kinerja, tetapi

sedikit sekali penelitian mengenai kriteria pengukuran efektivitas, apalagi bagi

efektivitas organisasi pemerintah. Penelitian yang dilakukan Young Lee dan

Whitford tersebut adalah dalam konteks perbandingan efektivitas pemerintah dari

berbagai negara. Substansi dari empat isu yang digunakan tersebut dalam banyak

hal tampaknya tidak dapat diterapkan untuk penelitian tentang efektivitas

organisasi pemerintah di satu negara seperti yang akan penulis lakukan, tetapi

beberapa hal, termasuk gagasan mengenai empat isu tersebut, dapat diadopsi

dalam penelitian ini.

Muhammad (2004) dan Kasim (1993) menyatakan bahwa organisasi yang

efektif adalah organisasi yang mengidentifikasi dan mengembangkan suatu

pengertian yang jelas dan tegas nilai-nilai/kepercayaan, prioritas, dan arahan

sedemikian rupa sehingga setiap orang paham dan dapat berkontribusi. Penilaian

terhadap efektivitas organisasi dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan.

Kasim (1993) menilai organisasi dengan menggunakan empat model sebagai

landasannya yaitu: model tujuan rasional (rational goal model), model hubungan

Page 26: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

36

manusia (human relation model), model sistem terbuka (open system model), dan

model proses internal (internal process model).

Pengukuran efektivitas organisasi memang tidak mudah dan butuh

klarifikasi tentang efektivitas yang diacu yakni efektif dalam hal apanya, apakah

dalam hal pencapaian pendapatan tahunan, kemampuan bekerja sama dengan

yang lain dan sebagainya. Majalah Fortune (Kreitner dan Kinicki 1992) dalam

survei tahunan untuk Most Admired Corporation menerapkan 8 kriteria

efektivitas, yaitu kualitas manajemen, kualitas produk/jasa, keinovativan

(innovativeness), nilai investasi jangka panjang, kondisi finansial, kemampuan

untuk menarik minat, mengembangkan dan mempertahankan orang-orang

berbakat, tanggung jawab kepada masyarakat/lingkungan, dan penggunaan aset-

aset perusahaan.

Kreitner dan Kinicki (1992) memberikan panduan berupa empat pendekatan

untuk mengukur efektivitas organisasi yang meliputi (1) pencapaian tujuan, yakni

seberapa besar organisasi mencapai tujuan-tujuan yang telah dinyatakan

sebelumnya, (2) akuisisi sumberdaya, yakni seberapa besar organisasi mampu

menarik atau mendapatkan faktor-faktor produksi atau sumber daya yang

diperlukan, (3) proses internal atau disebut pendekatan sistem-sistem yang sehat

(healthy systems), di mana sebuah organisasi dinyatakan sehat jika informasi

mengalir dengan baik, pegawainya loyal, terdapat komitmen, kepuasan kerja dan

kepercayaan, atau dengan perkataan lain, organisasi memiliki konflik

disfungsional dan manufer politik merusak yang kecil, dan (4) kepuasan para

pengikut strategis (strategic constituencies), yaitu organisasi dapat memberikan

kepuasan setidak-tidaknya pada level terendah kepada mereka yang terlibat di

dalam organisasi, seperti misalnya para penyedia kebutuhan organisasi dan para

pemakai produk/jasa organisasi. Tanpa arahan yang lebih rinci pada masing-

masing pendekatan tersebut membuatnya tidak mudah untuk menerapkannya.

Pengukuran efektivitas organisasi yang tampaknya cukup baik untuk

diterapkan pada organisasi pemerintah adalah yang diajukan oleh Philbin dan

Mikush (2008). Mereka menekankan pentingnya visi, nilai dan misi yang

dikatakan sebagai jantungnya sebuah organisasi (the heart of an organization).

Efektivitas sebuah organisasi bergantung pada suatu pemahaman dan komitmen

Page 27: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

37

bersama terhadap visi, nilai-nilai dan misi. Inilah komponen inti dari efektivitas

organisasi. Komponen-komponen lainnya adalah: Governance (tata

pemerintahan), Strategic Thinking and Planning (pemikiran dan perencanaan

strategis), Program Development and Implementation (pengembangan dan

pelaksanaan program), Evaluation, Learning and Accountability (evaluasi,

pembelajaran dan akuntabilitas), Human Resource Management (manajemen

sumberdaya manusia), Organizational Culture (budaya organisasi), Management

Systems and Structures (sistem dan struktur manajemen), Legal Compliance,

Fiscal Management and Public Accountability (kepatuhan terhadap hukum,

manajemen fiskal dan akuntabilitas publik), Resource Development

(pengembangan sumberdaya), Constituent Relationships (hubungan konstituen),

dan Collaboration (kolaborasi).

Penilaian efektivitas organisasi berarti penilaian terhadap komponen-

komponen tersebut, dan hal tersebut sangat sulit dilakukan. Philbin dan Mikush

(2008) menyarankan bahwa dalam berbagai keterbatasan yang ada, penilaian

dapat dilakukan terhadap beberapa komponen saja. Hal yang terpenting adalah

komponen intinya yaitu visi, nilai-nilai dan misi. Organisasi akan efektif dan sehat

jika orang-orang di dalam organisasi memahami dan memegang teguh nilai-nilai,

visi dan misi organisasi tersebut. Komponen lain yang juga sangat penting

menurut Philbin dan Mikush (2008) adalah manajemen sumber daya manusia

(SDM). Organisasi yang efektif mengembangkan para staf, pimpinan dan relawan

yang memegang teguh dan mendukung nilai-nilai, visi dan misi organisasi.

Organisasi yang efektif mengembangkan sistem dan struktur bagi tata

pemerintahan, SDM, manajemen dan teknologi informasi, komunikasi, finansial,

pelatihan, perencanaan dan evaluasi dan lain-lain. Organisasi yang efektif

mempunyai rencana yang jelas tentang pengembangan sumberdaya dan kapasitas

SDM untuk melaksanakan rencana tersebut. Rencana menggambarkan

pengembangan sumberdaya pada jangka pendek (tahunan) dan jangka panjang

yang mencakup rencana pengadaan, penganggaran, staf yang terampil, dan sistem

pencatatan, komunikasi, evaluasi dan pelaporan yang efektif. Aspek lain dari

efektivitas organisasi yaitu kolaborasi dengan organisasi-organisasi lain.

Page 28: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

38

Organisasi yang efektif ditunjukkan oleh terbangunnya jaringan kerja kolaboratif

secara lokal, provinsi, nasional dan internasional.

Organisasi di masa depan tidak lagi menjadi entitas yang berdiri sendiri

yang beroperasi pada lingkungan yang relatif stabil, melainkan merupakan bagian

dari suatu sistem keterkaitan dan saling berhubungan yang berada pada suatu

keadaan yang terus dinamis. Oleh karena itu, organisasi masa kini dan masa depan

harus sehat (Beckhard 1997). Ia menyarankan 15 kriteria tentang organisasi yang

sehat, di antaranya yaitu organisasi tersebut mendefinisikan diri sebagai sebuah

sistem, beroperasi dalam suatu mode “bentuk mengikuti fungsi” yang berarti

pekerjaan yang akan dilakukan menentukan struktur dan mekanisme untuk

mengerjakan pekerjaan tersebut, dan secara eksplisit menghargai inovasi dan

kreativitas serta memiliki toleransi tinggi terhadap perbedaan gaya berpikir.

Berdasarkan beberapa uraian mengenai efektivitas organisasi di atas,

terutama komponen-komponen yang dikemukakan Philbin dan Mikush (2008)

dan standar good governance dari OPM & CIPFA (2004) dirangkum beberapa

kriteria bagi efektivitas organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan yang dapat

digunakan dalam penelitian ini. Kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Memiliki visi dan misi yang dinyatakan dengan jelas yang mencakup

pandangannya tentang terkendalinya kebakaran hutan/lahan di masa depan;

2. Memiliki struktur organisasi yang menggambarkan fungsi-fungsi

pengendalian kebakaran hutan/lahan yang mencakup pencegahan,

pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran serta dukungan manajemennya;

3. Memiliki sumber daya manusia yang memadai dalam kuantitas dan kualifikasi

untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen pengendalian kebakaran

hutan/lahan serta sistem pengembangan sumber daya manusia yang selalu

mendorong motivasi untuk bekerja lebih baik;

4. Memiliki sarana dan prasarana dalam jenis dan jumlah yang memadai untuk

menjalankan fungsi-fungsi manajemen pengendalian kebakaran;

5. Memiliki mekanisme kerja organisasi, baik mekanisme kerja internal maupun

eksternal, terutama dalam pembuatan kebijakan dan keputusan-keputusan

organisasi.

Page 29: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

39

Kriteria tersebut di atas digunakan untuk menilai efektivitas organisasi

secara internal. Jika organisasi yang diamati telah memenuhi kriteria tersebut di

atas, maka organisasi tersebut dapat dikatakan efektif secara internal. Hal ini

bermakna bahwa organisasi tersebut sebenarnya telah memiliki sumber daya yang

memadai untuk dapat mencapai tujuannya. Seandainya organisasi ternyata belum

dapat mencapai tujuannya, terdapat kemungkinan adanya faktor-faktor dari luar

organisasi yang mempengaruhi keberhasilan organisasi tersebut. Penelitian ini

akan mengkaji kriteria internal tersebut, sedangkan faktor-faktor eksternal dikaji

tersendiri, namun di dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut turut dilihat

melalui pengamatan terhadap peranan yang dilakukan oleh para pemangku

kepentingan dan mekanisme hubungan kerja eksternal. Pengukuran kelima

kriteria tersebut di atas sesuai dengan petunjuk dari Young Lee dan Whitford

(2008) dilakukan secara obyektif dari profil organisasi dan catatan-catatan serta

arsip-arsip yang ada dan secara subyektif dari respon survei yang diperoleh dari

para anggota organisasi ataupun dari luar organisasi.

2.3. Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan di Indonesia

dan Beberapa Negara

Kebakaran hutan/lahan di Indonesia menurut sejarah telah dikelola sejak

masa sebelum kemerdekaan. Direktorat Perlindungan Hutan dan Kebun (2003)

mencatat bahwa berbagai peraturan mengenai siaga di musim kemarau dan

penggunaan api telah diterbitkan di masa pemerintah kolonial Belanda tahun 1927

dan di awal kemerdekaan. Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan

kemudian mulai dibangun sejak berdirinya Departemen Kehutanan pada tahun

1983 dengan adanya Seksi Kebakaran Hutan (eselon IV) pada Direktorat

Perlindungan Hutan. Peningkatan level organisasi terjadi pada tahun 1994 dengan

dibentuknya Sub Direktorat Kebakaran Hutan (eselon III) di bawah Departemen

Kehutanan dan tahun 2000 dengan dibentuknya Direktorat Penanggulangan

Kebakaran Hutan dan Kebun di Departemen Kehutanan dan Direktorat

Pengendalian Kebakaran di Kantor Menteri Negara Kependudukan dan

Lingkungan Hidup (KLH). Pada tahun 2002 organisasi yang berada di bawah

Page 30: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

40

KLH dihapus dan organisasi yaang berada di Departemen Kehutanan diubah

namanya menjadi Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (Dit. PKH).

Kebakaran hutan/lahan di Indonesia secara nasional dikelola oleh beberapa

instansi atau organisasi menurut status kawasannya. Kebakaran di kawasan hutan

dikelola oleh Departemen Kehutanan yakni secara struktural oleh Direktorat

Pengendalian Kebakaran Hutan dan sebagai pelaksana di lapangan dibentuk

lembaga tersendiri menurut Pasal 22 PP No. 45 Tahun 2004 yaitu Brigade

Pengendalian Kebakaran Hutan Manggala Agni. Brigade tersebut dibentuk tahun

2002 sebelum terbitnya PP No. 45 Tahun 2004 dengan Keputusan Direktur

Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (DJ-PHKA) No. 21/Kpts/DJ-

IV/2002. Keputusan DJ-PHKA tersebut sampai saat ini belum diubah untuk

menyesuaikan dengan PP No. 45 tersebut. Brigade tersebut lebih ditujukan untuk

pengendalian kebakaran di kawasan konservasi, sedangkan untuk pengendalian

kebakaran di kawasan hutan yang lain diserahkan kepada pemangku kawasan

sesuai dengan kebijakan otonomi daerah. Selain itu, Pasal 24 PP No. 45 Tahun

2004 tersebut juga memerintahkan pembentukan Pusat Pengendalian Operasi

Kebakaran Hutan untuk koordinasi dan mobilisasi. Departemen Kehutanan pada

Februari 2008 membentuk satu organisasi baru lagi yaitu Tim Koordinasi

Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan.

Kebakaran di lahan pertanian dan perkebunan dikelola oleh Departemen

Pertanian, tetapi tidak ada lembaga yang secara eksplisit menangani kebakaran

lahan pertanian dan perkebunan. Kebakaran perkebunan ditangani sebagai bagian

dari tugas dan fungsi pada tingkat eselon terendah (eselon IV) yakni Seksi

Penanggulangan Gangguan Usaha. Kebakaran di lahan untuk fungsi-fungsi

lainnya yang dikelola oleh pengelola lahan yang bersangkutan.

Pembagian kewenangan pengelolaan kebakaran menurut skala

kebakarannya berdasarkan pada PP No. 4 Tahun 2001 dan PP No. 45 Tahun 2004.

Pemangku kawasan bertanggung jawab atas pengelolaan kebakaran di unit

kawasan pengelolaannya, sedangkan pada tingkat kabupaten oleh bupati dan pada

tingkat provinsi oleh gubernur. Jika skala kebakaran atau dampaknya terjadi lintas

provinsi dan lintas batas negara, maka kewenangan menurut kedua PP tersebut

ada pada Menteri Kehutanan. Sementara itu, UU No 24 Tahun 2007 memasukkan

Page 31: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

41

kebakaran sebagai salah satu jenis bencana sehingga penanganannya dilakukan

oleh lembaga baru yang diamanatkan oleh UU tersebut yaitu Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat nasional dan Badan Penanggulangan

Bencana Daerah di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.

Organisasi-organisasi tersebut di atas merupakan organisasi yang

menangani langsung kebakaran hutan/lahan. Organisasi-organisasi lain baik di

pemerintahan nasional maupun pemerintahan daerah terlibat dalam penanganan

urusan-urusan sesuai dengan bidang tugas pokok organisasi-organisasi tersebut.

Sebagai contoh, urusan dampak kebakaran terhadap kesehatan ditangani

Departemen Kesehatan di tingkat nasional dan Dinas Kesehatan di tingkat

provinsi dan tingkat kabupaten.

Pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia biasanya mengacu pada

beberapa negara yang dianggap telah memiliki pengorganisasian pengendalian

kebakaran hutan/lahan yang maju antara lain adalah Amerika Serikat, Kanada,

Australia dan Thailand. Negara-negara tersebut mengalami kebakaran hutan/lahan

yang luas dan terjadi hampir setiap tahun. Manajemen dan organisasi

pengendalian kebakaran yang telah berkembang membuat negara-negara tersebut

terlepas dari komplain dan mendapat permaafan (excuse) dari negara-negara lain

terutama negara tetangganya dan masyarakat dunia pada umumnya jika mereka

mengalami kebakaran hutan/lahan. Indonesia masih selalu mendapat komplain,

bahkan kecaman dari negara-negara tetangga dan masyarakat internasional jika

mengalami kebakaran hutan/lahan. Hal tersebut mungkin disebabkan antara lain

oleh anggapan bahwa Indonesia masih belum mampu mengendalikan kebakaran

hutan/lahannya (Qadri 2001; Barber dan Schweithelm 2000).

Amerika Serikat (AS) dan Kanada menerapkan sistem pengorganisasian

multi-lembaga. Di Amerika Serikat lembaga tersebut dinamakan National

Interagency Fire Center/NIFC (Anonim 2008a). NIFC terdiri dari lembaga-

lembaga pemerintah federal yang terkait dengan pengelolaan hutan atau lahan.

Misi utamanya adalah menjadi pusat dukungan negara bagi pengendalian

kebakaran hutan/lahan. Lembaga ini dipimpin oleh direktur yang diangkat dari

pegawai yang ditunjuk dari lembaga-lembaga tersebut secara bergilir. Masing-

masing lembaga yang memangku kawasan bertanggung jawab atas kebakaran di

Page 32: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

42

kawasannya. Jika lembaga tersebut suatu waktu tidak mampu mengendalikan

kebakaran di kawasannya atau kebakaran melanda lintas kawasan, maka ia dapat

meminta dukungan kepada NIFC.

Hal serupa terjadi di Kanada dengan lembaganya yang dinamakan Canadian

Interagency Forest Fire Centre atau CIFFC (Anonim 2008b). Perbedaannya dari

NIFC di AS adalah bahwa NIFC merupakan lembaga pemerintah sedangkan

CIFFC merupakan sebuah badan usaha (corporation) nirlaba swasta. Lembaga

yang dibentuk pada 2 Juni 1982 ini dikelola oleh dua level manajemen yang

mengarahkan operasinya, yaitu:

(1) The Board of Corporate Trustees yang terdiri dari wakil menteri-menteri

(Deputy-Ministers) yang bertanggung jawab atas kehutanan yang mewakili

setiap Provinsi, Teritori dan Pemerintah Federal. Kelompok ini menyiapkan

kebijakan, memberikan arahan dan persetujuan anggaran tahunan untuk

CIFFC, dan

(2) The Board of Directors yang terdiri dari para direktur yang bertanggung

jawab atas manajemen kebakaran hutan untuk setiap Provinsi, Teritori, dan

seorang wakil dari Pemerintah Federal. Kelompok ini menyiapkan anggaran

dan kebijakan-kebijakan serta mengendalikan operasi dan pembiayaan

CIFFC.

Program-program yang telah disetujui oleh Board of Directors dan Board of

Corporate Trustees dioperasikan dan dilaksanakan oleh staf pusat kebakaran (Fire

Centre staff) dan kelompok-kelompok kerja (working groups) yang dibentuk

untuk menangani tugas-tugas khusus. Di samping itu, Pemerintah Kanada

membentuk organisasi berupa Dewan Menteri-Menteri Kehutanan (Canadian

Council of Forest Ministers/CCFM) pada tahun 1985. Dewan yang beranggotakan

para menteri yang menangani kehutanan dari pemerintah provinsi, teritori dan

federal (nasional) tersebut menangani isu-isu nasional dan internasional serta

menyusun arahan untuk menjaga dan mengelola secara lestari hutan-hutan

Kanada. Kepemimpinan organisasi dilakukan bergilir untuk jangka waktu satu

tahun mulai Oktober sampai dengan September tahun berikutnya. Dewan Menteri

Page 33: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

43

tersebut juga menyusun strategi pengendalian kebakaran hutan nasional (Canadian

Wildland Fire Strategy/CWFS).

Negara di Asia yang memiliki permasalahan kebakaran hutan/lahan serupa

dengan Indonesia dan dipandang cukup maju dalam kelembagaannya adalah

Thailand. Thailand tidak memiliki undang-undang yang khusus mengatur

kebakaran hutan/lahan, namun beberapa undang-undang yang berkaitan dengan

kehutanan berisi bagian-bagian yang mengatur hukuman bagi orang-orang yang

melakukan pembakaran hutan (Anonim 2008c). Organisasi yang menangani

kegiatan pengendalian kebakaran hutan/lahan adalah Forest Fire Control Division

(FFCD) di bawah National Park, Wildlife and Plant Conservation Department.

FFCD di tingkat nasional dibagi menjadi 5 subdivisi, yaitu Strategy and Planning,

Information and Research, Training and Development, Special Operation, dan

Foreign Collaboration, di mana masing-masing subdivisi bekerja sesuai dengan

fungsinya yang tergambarkan oleh namanya. Operasional pemadaman berada di

bawah tanggung jawab dua subdivisi yaitu Special Operation, yang bertanggung

jawab atas pembentukan pos komando, melaksanakan rencana mobilisasi dan

operasi penyelamatan, dan Foreign Collaboration yang bertindak sebagai Pusat

Pemantauan Kebakaran Nasional dan badan yang ditunjuk untuk kerja sama lintas

negara, terutama dalam di bawah Protokol ASEAN Agreement on Transboundary

Haze Pollution.

2.4. Perangkat Analisis

Penelitian ini mengkaji pengorganisasian dengan menganalisis tiga masalah

yaitu peranan organisasi, hubungan antar organisasi, dan efektivitas organisasi.

Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat yaitu Interpretive

Structural Modeling (ISM), coordination network analysis dari Bolland dan

Wilson (1994) dan Analytical Hierarchy Process (AHP). Organisasi dan

pengorganisasian juga merupakan suatu sistem dan oleh sebab itu diperlukan juga

pemahaman mengenai sistem.

2.4.1. Interpretive Structural Modeling

Page 34: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

44

Interpretive Structural Modeling (ISM) merupakan sebuah metode yang

dapat diterapkan terhadap suatu sistem, misalnya suatu jejaring (network) atau

masyarakat (society) untuk lebih memahami hubungan-hubungan baik langsung

maupun tak langsung di antara komponen-komponen sistem tersebut. ISM

ditemukan oleh J. Warfield pada tahun 1973 untuk menganalisis sistem-sistem

sosial-ekonomi yang kompleks (Malone 1975). Eriyatno (2003) menyatakan

bahwa teknik ISM merupakan alat strukturisasi (structuring tool) untuk hubungan

langsung dengan permodelan deskriptif.

ISM adalah proses yang mentransformasikan model mental yang tidak

terang dan lemah penjelasannya menjadi model sistem yang tampak (visible) serta

didefinisikan secara jelas dan bermanfaat untuk beragam tujuan (Eriyatno 2003).

Karyana (2007) menggunakan teknik ISM untuk menganalisis posisi dan peranan

lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Ciliwung. Teknik yang serupa tampaknya dapat pula digunakan untuk

menganalisis posisi dan peranan organisasi-organisasi yang terlibat dalam

pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Langkah-langkah dalam teknik ISM dapat bermacam-macam sesuai dengan

kebutuhan analisisnya, namun pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian yaitu

penyusunan hirarki dan klasifikasi sub-sub elemen. Adapun langkah-langkah

penerapannya adalah sebagai berikut (Eriyatno 2003; Sing & Kant 2008):

(1) Identifikasi unsur-unsur yang relevan terhadap masalah atau isu. Hal ini

dapat dilakukan dengan survei;

(2) Bangun suatu hubungan kontekstual antara unsur-unsur dalam bentuk

pasangan-pasangan dari unsur-unsur tersebut yang akan diuji;

(3) Buatlah sebuah matrik SSIM (structural self-interaction matrix) dari unsur-

unsur yang menunjukkan hubungan berpasangan antara unsur-unsur dalam

sistem tersebut;

(4) Buatlah sebuah matrik ketercapaian (reachability matrix) dari SSIM tadi ,

dan cek transivitas matriks tersebut – transivitas dari hubungan kontekstual

tersebut menjadi asumsi dasar dalam ISM yang menyatakan bahwa jika A

berkaitan dengan B dan B berkaitan dengan C, maka A berkaitan dengan C;

Page 35: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

45

(5) Sekat-sekatlah reachability matrix menjadi beberapa level;

(6) Berdasarkan hubungan-hubungan yang ada dalam reachability matrix

tersebut di atas, gambarlah directed graph (digraph) dan hapuslah

sambungan-sambungan transitifnya;

(7) Konversi resultant digraph ke dalam sebuah model berbasis ISM dengan

mengganti node-node unsur dengan pernyataan-pernyataan; dan

(8) Telaah model tersebut untuk mengecek inkonsistensi konseptualnya dan

membuat modifikasi-modifikasi yang diperlukan.

Pelaksanaan langkah-langkah tersebut di atas relatif rumit kalau dikerjakan

secara manual. Untuk itu, teknik ISM menyediakan program komputer untuk

membantu proses yang rumit tersebut. Penentuan unsur-unsur dan hubungan antar

unsur-unsur tersebut diperoleh melalui survei dan pendapat pakar yang menguasai

permasalahan yang dikaji. ISM dapat menggambarkan hubungan-hubungan antar

komponen dalam sistem dan komponen-komponen tersebut dapat berupa

organisasi. Penelitian ini mengadopsi metode analisis dengan ISM seperti yang

digunakan Karyana (2007) dalam menganalisis posisi dan peranan organisasi.

2.4.2. Analytical Hierarchy Process

Analytical Hierarchy Process (AHP) diperkenalkan oleh Saaty pada tahun

1970 sebagai suatu cara baru untuk mengambil keputusan pada lingkungan atau

situasi yang kompleks atau tidak terstruktur (Nurani 2002; Saaty 1993). Situasi

tersebut terjadi jika data atau informasi statistik dari masalah yang dihadapi sangat

terbatas atau tidak ada sama sekali, dan kalaupun ada hanya bersifat kualitatif

yang mungkin hanya didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. Situasi

demikian tampaknya terjadi dalam organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan

di Indonesia di mana data dan informasi tentang organisasi dirasakan masih

sangat minim karena kurangnya penelitian dalam masalah tersebut.

AHP menurut Saaty (1993) merupakan suatu alat bantu untuk memecahkan

persoalan dengan analisis logis eksplisit. Terdapat tiga prinsip pemikiran analitik

dalam AHP yaitu (1) prinsip menyusun hirarki, (2) prinsip menetapkan prioritas,

dan (3) prinsip konsistensi logis. Dalam penelitian ini, AHP digunakan untuk

menentukan urutan tingkat kepentingan dan bobot dari komponen-komponen

Page 36: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

46

efektivitas organisasi. Penetapan urutan dan bobot tersebut sangat penting untuk

mengukur efektivitas organisasi dan untuk mengetahui faktor-faktor yang

berperan bagi efektivitas organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan.

2.5. Sistem dan Model Konseptual

Studi ini mengkaji organisasi dan pengorganisasian sebagai suatu sistem.

Winardi (2005) mengarahkan bahwa dalam memahami suatu organisasi, kita perlu

memandangnya dalam keseluruhan kompleksitasnya, bukan sekadar melalui

sebuah bidang fungsional atau komponen tertentu saja. Pengorganisasian

pengendalian kebakaran hutan/lahan merupakan sebuah sistem, yang tercermin

dari sifat-sifat dasar sistem yang dapat diterapkan pada pengorganisasian tersebut.

Suatu sistem menurut Winardi (2005), yang mengutip teori tentang

pemikiran sistemik dari Churchman, memiliki lima sifat dasar. Pertama, suatu

sistem memiliki sasaran atau tujuan dan upaya untuk mencapainya. Kedua, sistem

memiliki lingkungan yang mencakup segala sesuatu yang terletak di luar

pengendalian sistem yang bersangkutan dan segala sesuatu yang mendeterminasi

performa sistem tersebut. Ketiga, sistem memerlukan sumber daya, yakni semua

alat yang tersedia bagi sistem yang bersangkutan untuk melaksanakan

kegiatannya dalam mencapai tujuan. Keempat, sistem mempunyai komponen-

komponen, yakni misi, pekerjaan atau aktivitas-aktivitas yang harus dilaksanakan

oleh sistem yang bersangkutan guna mencapai sasaran-sasarannya. Komponen-

komponen juga bisa dalam bentuk departementasi. Kelima, sistem memerlukan

manajemen terutama untuk dua fungsi yaitu perencanaan dan pengawasan.

Kajian tentang sistem sebenarnya telah ada sejak dulu, di mana para arsitek

Mesir telah menggunakan sistem pengukuran dalam konstruksi piramida,

astronom Pholenician memelajari sistem perbintangan, dan ahli filsafat Yunani,

Plato, telah memelajari sistem kemasyarakatan (Eriyatno 2003). Namun demikian,

era sistem baru berkembang setelah Perang Dunia Kedua di mana suatu

pengetahuan sistematik dan multidisiplin berkembang untuk operasi militer dan

bisnis. Eriyatno lebih lanjut menegaskan bahwa sistem pada masa kini merupakan

ilmu yang dilembagakan di dalam institusi akademis dan merupakan suatu bidang

Page 37: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

47

keahlian sehingga muncul para ahli sistem. Perhimpunan atau organisasi para ahli

sistem mulai dibentuk sejak tahun 1966 di Amerika Serikat.

Sebuah sistem adalah himpunan atau gugus elemen yang saling terkait

(Purnomo 2005). Sistem merupakan suatu susunan dari bagian-bagian yang saling

berhubungan yang bekerja bersama-sama melalui berbagai cara (Pidwirny 2006).

Sistem memiliki suatu struktur yang ditentukan oleh bagian-bagiannya dan

proses-prosesnya. Lebih lanjut Pidwirny (2006) menjelaskan bahwa di dalam

batas-batas sebuah sistem dapat ditemukan tiga hal: (1) unsur-unsur, yakni

berbagai macam bagian untuk membangun sistem, (2) atribut-atribut, yakni

karakter dari unsur-unsur yang dapat dikenali dan diukur, seperti misalnya jumlah,

ukuran, dan sebagainya, dan (3) hubungan-hubungan, yakni asosiasi-asosiasi

yang terjadi antara unsur-unsur dengan atribut-atribut, yang didasarkan pada

sebab dan akibat.

Manetch dan Park dalam Eriyatno (2003) mendefinisikan sistem sebagai

suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk

mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sistem terdiri atas

kelompok-kelompok aktivitas yang berinteraksi dan saling berhubungan.

Kelompok-kelompok tersebut dapat merupakan subsistem-subsistem dari sebuah

sistem yang besar. Organisasi merupakan sistem sosial yang kompleks dan

pengurangan bagian-bagian dari keseluruhan akan mengurangi efektivitas

keseluruhan dari organisasi.3

Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia juga

dapat dipandang sebagai “sistem di dalam sistem” sesuai pandangan Winardi

(2005). Banyak organisasi terlibat di dalam pengendalian kebakaran di mana

Smith (2010) juga menyarankan pentingnya

memandang organisasi sebagai sebuah sistem, di mana organisasi haruslah

dipandang sebagai sebuah kesatuan bukan bagian-bagian. Pemahaman terhadap

organisasi dengan cara pandang sistem (system view) akan memberikan

pemahaman yang baik mengenai pentingnya hubungan-hubungan antara proses-

proses yang terjadi di dalam organisasi, antara para pegawai atau anggota

organisasi, dan antara tindakan-tindakan dan hasil-hasilnya.

3 http://en.wikipedia.org/wiki/Systems_theory, [2 Agust 2010]

Page 38: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan dapat pula dilihat dari hasil pantauan titik-titik panas (hotspots). Hiroki dan Prabowo (2003)

48

pengorganisasiannya merupakan sebuah sistem dan organisasi-organisasi yang

terlibat di dalamnya masing-masing juga merupakan suatu sistem. Sebuah sistem

adalah sekumpulan bagian-bagian yang saling terhubungkan, bekerja secara

independen maupun bersama-sama dalam mencapai tujuan bersama di dalam

suatu lingkungan yang kompleks.

Penelitian disertasi ini ingin membuat model dari sistem pengorganisasian

bagi pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia. Model adalah abstraksi

dari sebuah sistem (Purnomo 2005). Sistem merupakan sesuatu yang terdapat di

dunia nyata, dan model adalah abstraksinya, dan agar model dapat

menggambarkan kondisi yang senyatanya maka diperlukan perumusan abstraksi

yang jelas. Perumusan tersebut memerhatikan prinsip dasar penyusunan sebuah

organisasi ataupun sistem pengorganisasian, yang mencakup lima bagian dasar

(Winardi 2005) yaitu: (1) inti yang beroperasi (the operating core) yakni mereka

yang melaksanakan pekerjaan dasar, (2) puncak strategi (the strategic apex) yakni

para manajer puncak yang diberi tanggung jawab menyeluruh sehubungan dengan

beroperasinya organisasi yang bersangkutan, (3) garis tengah (the middle line)

yakni para manajer yang menghubungkan ‘inti yang beroperasi’ dengan ‘puncak

strategis’, (4) teknostruktur (the technostructure) yaitu para ahli analisis yang

bertanggung jawab untuk menciptakan bentuk standarisasi tertentu di dalam

organisasi yang bersangkutan, dan (5) staf yang memberikan bantuan (the

supporting staff) yaitu para karyawan yang berada pada kesatuan staf, yang

memberikan bantuan tidak langsung bagi organisasi yang bersangkutan.