12
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Leptophryne cruentata Tschudi, 1838 Kodok merah Leptophryne cruentata Tschudi, 1838 termasuk dalam kelas amphibia. Secara taksonomi kodok merah dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Kelas Amphibia, Ordo Anura, Famili Bufonidae, Genus Leptophryne dan Spesies Leptophryne cruentata Tschudi, 1838 (Iskandar 1998). Jenis katak lain yang termasuk dalam satu marga dengan L. cruentata adalah L. borbonica. Spesies ini juga dikenal dengan nama Bufo cruentatus atau Cacophryne cruentata (Iskandar 1998). Spesies L. cruentata dikenal dengan nama kodok merah, yang mengacu pada bercak kecil yang berwarna merah yang menjadi ciri jenis ini. Kodok merah berukuran kecil ramping, mempunyai sepasang kelenjar parotoid kecil yang kadang-kadang tidak jelas. Bagian atas kepala tidak mempunyai alur bertulang, moncong meruncing, gendang telinga kecil dan tidak jelas. Ujung jari tangan dan kaki agak membengkak. Jari kaki ketiga dan kelima membentuk jaringan sampai ke benjolan sub artikuler. Bagian kulit punggung berbintik-bintik kecil, sedangkan bagian perut halus dengan sedikit bintik-bintik kecil (van Kampen 1923; Liem 1971; Iskandar 1998; Kurniati 2003). Ukuran kodok merah sangat bergantung pada jenis kelaminnya, yakni pada umumnya individu jantan lebih kecil dibanding individu betina. Ukuran SVL (Snout Venth Length) kodok merah, yakni panjang dari moncong sampai tulang ekor tersebut seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan ukuran SVL kodok merah di TNGGP dan TNGHS Pencacah SVL Liem (1971) 20,0 29,8 mm 25,0 39,0 mm Iskandar (1998) 20,0 30,0 mm 25,0 40,0 mm Kurniati (2003) 25,0 30,0 mm - Kusrini et al. (2007b) 20,0 30,0 mm 25,0 - 40,0 mm

II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

  • Upload
    lamdan

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Morfologi Leptophryne cruentata Tschudi, 1838 Kodok merah Leptophryne cruentata Tschudi, 1838 termasuk dalam kelas

amphibia. Secara taksonomi kodok merah dapat diklasifikasikan kedalam

Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Kelas Amphibia,

Ordo Anura, Famili Bufonidae, Genus Leptophryne dan Spesies Leptophryne

cruentata Tschudi, 1838 (Iskandar 1998). Jenis katak lain yang termasuk dalam

satu marga dengan L. cruentata adalah L. borbonica. Spesies ini juga dikenal

dengan nama Bufo cruentatus atau Cacophryne cruentata (Iskandar 1998).

Spesies L. cruentata dikenal dengan nama kodok merah, yang mengacu

pada bercak kecil yang berwarna merah yang menjadi ciri jenis ini. Kodok merah

berukuran kecil ramping, mempunyai sepasang kelenjar parotoid kecil yang

kadang-kadang tidak jelas. Bagian atas kepala tidak mempunyai alur bertulang,

moncong meruncing, gendang telinga kecil dan tidak jelas. Ujung jari tangan dan

kaki agak membengkak. Jari kaki ketiga dan kelima membentuk jaringan sampai

ke benjolan sub artikuler. Bagian kulit punggung berbintik-bintik kecil, sedangkan

bagian perut halus dengan sedikit bintik-bintik kecil (van Kampen 1923; Liem

1971; Iskandar 1998; Kurniati 2003).

Ukuran kodok merah sangat bergantung pada jenis kelaminnya, yakni pada

umumnya individu jantan lebih kecil dibanding individu betina. Ukuran SVL

(Snout Venth Length) kodok merah, yakni panjang dari moncong sampai tulang

ekor tersebut seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan ukuran SVL kodok merah di TNGGP dan TNGHS

Pencacah SVL

♂ ♀

Liem (1971) 20,0 – 29,8 mm 25,0 – 39,0 mm

Iskandar (1998) 20,0 – 30,0 mm 25,0 – 40,0 mm

Kurniati (2003) 25,0 – 30,0 mm -

Kusrini et al. (2007b) 20,0 – 30,0 mm 25,0 - 40,0 mm

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

B. Habitat dan Penyebaran

Habitat adalah suatu komunitas biotik atau serangkaian komunitas-

komunitas biotik yang ditempati oleh binatang atau populasi kehidupan. Habitat

yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama

musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai

macam jenis termasuk makanan, perlindungan, dan faktor-faktor lainnya yang

diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan

reproduksinya secara berhasil (Bailey 1984). Krebs (1978) menyatakan bahwa

habitat merupakan kisaran (range) lingkungan dimana spesies berada. Definisi

lain dinyatakan oleh Goin & Goin (1971) bahwa habitat tidak hanya

menyediakan kebutuhan hidup suatu organisme melainkan tentang dimana dan

bagaimana satwa tersebut dapat hidup.

Menurut Alikodra (2002), suatu habitat merupakan hasil interaksi dari

komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik terdiri atas: air, udara,

iklim, topografi, tanah, dan ruang; sedangkan komponen biotik terdiri atas:

vegetasi, mikro fauna, makro fauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup

satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar

tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi

lainnya. Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar,

sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar 2003). Sebagian katak

beradaptasi agar dapat hidup di pohon. Walaupun sangat tergantung pada air,

katak pohon seringkali tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon melakukan

kawin dan menyimpan telurnya di vegetasi/pohon di atas air. Saat menetas berudu

katak akan jatuh ke dalam air (Duellman & Heatwole 1998). Selain itu, juga

terdapat katak yang menyimpan telurnya di lubang berair pada kayu dan tanah, di

punggung betina atau membawa ke daerah dekat air (Duellman & Trueb 1994).

Data penyebaran kodok merah disajikan pada Tabel 2.

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

Tabel 2 Data penyebaran kodok merah

TAHUN KOLEKSI

TOTAL

LOKASI 1932 1959 1964 1972 1977 1978 1984 2003 2004

Bogor 1 5 1 7

Curug

Cibeureum 5 118 1 6 2 132

Halimun 2 2

Lebak Saat 31 31

Perbawati 8 8

Salak 3 3

Sukabumi 1 1

TOTAL 1 5 149 1 22 1 1 2 2 184

Sumber: Kusrini et.al. 2007c

Habitat kodok merah yang terdapat di Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango juga merupakan sungai-sungai berbatu yang berarus cukup deras dan

hanya dijumpai dalam hutan primer (Liem 1971). Hal yang sama juga dikemukan

oleh Kurniati (2003) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kodok merah

terdapat di dalam hutan primer pada ketinggian 1500 meter dari permukaan laut,

pada kantung-kantung air sungai kecil berbatu dengan arus cukup deras.

1. Komponen Fisik

a. Ketinggian Tempat

Kenaikan ketinggian suatu tempat, diikuti dengan penurunan dalam

kekayaan jenisnya (MacKinnon 1986). Perubahan besar dalam komposisi jenis

terjadi bersamaan dengan adanya peralihan dari habitat dataran rendah ke habitat

pegunungan. Semakin tinggi letaknya, komposisi jenis dan struktur hutan berubah

menjadi terbatas (Alikodra 2002).

Seperti di seluruh daerah di dunia, penurunan suhu akibat peningkatan

elevasi akan menimbulkan efek zonasi atau efek lingkar yang kasar dalam posisi

tegak seperti garis lintang dari khatulistiwa sampai kutub-kutub utara dan selatan

(van Steenis 2006). van Steenis (2006), juga menyebutkan bahwa pembagian

zonasi berdasarkan ketinggian terbentuk karena perbedaan kondisi suhu dan iklim.

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

Hal ini mengakibatkan perbedaan komposisi baik flora dan fauna pada setiap

zonasi. TNGGP memiliki 3 zonasi atau tipe hutan, yaitu sub montana (100-1500

mdpl), montana (1500-2400 mdpl) dan sub alpin (>2400 m dpl) (BTNGP 1996).

Hutan submontana memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi.

Ketinggian juga berpengaruh pada penyebaran amfibi. Hasil ulasan Morrison

& Hero (2003) menunjukkan bahwa populasi amfibi pada daerah yang tinggi

cenderung untuk memiliki periode aktivitas dan musim kawin yang pendek, fase

larva atau berudu yang lebih panjang, masa metamorfosis atau perubahan bentuk

yang lebih lama, masa dewasa yang lama sehingga mencapai kematangan

reproduksi pada umur yang lebih tua, jumlah telur tergantung ukuran tubuh serta

menghasilkan telur yang lebih besar.

b. Suhu

Temperatur merupakan faktor yang penting di wilayah biosfer, karena

pengaruhnya sangat besar pada segala bentuk kehidupan. Beberapa kegiatan

organisme seperti reproduksi, pertumbuhan dan kematian dipengaruhi oleh suhu

lingkungannya (Alikodra 2002). Disamping itu, temperatur pada umumnya

mempengaruhi perilaku satwaliar serta berpengaruh terhadap ukuran tubuh serta

bagian-bagiannya (Alikodra 2002). Organisme berdarah panas yang memiliki

organ yang dapat memproduksi dan mengelola suhu tubuhnya seperti mamalia

biasanya beraktivitas di siang hari sedangkan organisme yang tidak memiliki

mekanisme khusus pengaturan suhu tubuhnya biasanya beraktivitas di malam hari

(nokturnal) seperti pada amfibi dan sebagian dari kelas reptil.

Kebanyakan amfibi dapat beraktivitas pada kondisi suhu yang beragam.

Banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan suhu pada amfibi, tergantung pada

jenis, umur dan fase kehidupan, serta pengalaman suhu harian pada masing-

masing individu yang berbeda (Stebbins & Cohen 1995). Suhu pada amfibi

dipengaruhi oleh lingkungannya karena amfibi tidak memiliki organ khusus untuk

memproduksi panas dan mengatur panas pada tubuhnya. Oleh karena itu suhu

juga mempengaruhi kehidupan dan penyebaran amfibi.

Amfibi memiliki kisaran toleransi suhu yang besar. Perbedaan toleransi ini

mengakibatkan perbedaan kebutuhan suhu yang berbeda pada lingkungannya.

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis

lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa jenis salamander

dapat ditemukan beraktivitas pada suhu sekitar 00C bahkan dibawah 0

0C

(Duellman & Trueb 1994), dan beberapa jenis amfibi lainnya dapat hidup diatas

suhu 280C bahkan ada satu jenis amfibi yang dapat hidup pada suhu 40

0C yakni

jenis African Foam-Nest Frog (Chiromantis) (Shoemaker et al. 1989 dalam

Stebbins & Cohen 1995).

Menurut Kusrini (2007a) suhu udara di Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango berkisar antara 100-23

0C dan kelembabannya 43-100%.

c. Jarak dari sungai atau sumber air

Amfibi hidup di dua alam. Sebagian hidupnya berada di lingkungan berair

dan sebagian lagi hidup di darat. Dalam masa perkembangbiakan dari berudu

sampai katak berkaki kebanyakan ordo anura hidup di dalam air. Heyer et al.

(1994) menyatakan bahwa kebanyakan dari larva amfibi hidup di habitat akuatik,

termasuk air yang mengalir (sungai besar dan kecil), air yang tidak mengalir

(kolam dan danau), serta tempat lainnya seperti lubang pohon, ketiak daun, dan

lainnya. Larva anura yang hidup di terestrial biasanya menempati daerah dengan

iklim mikro yang mengandung kelembaban tinggi seperti lumut, di bawah atau di

dalam kayu yang membusuk dan di lubang pohon. Selama di dalam air, larva

bernafas dengan insang dan akan bernafas dengan paru-paru ketika sudah keluar

dari air menuju darat. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi air bagi kehidupan

amfibi khususnya katak dan kodok sangat penting.

2. Komponen Biotik

a. Penutupan tajuk

Penutupan memiliki pengaruh yang kuat terhadap kodok. Kodok

bersembunyi di daerah yang gelap seperti di bawah rimbunan daun, di lubang-

lubang pohon dan sebagainya yang tidak tersentuh sinar matahari. Penutupan

lahan berhubungan langsung dengan suhu dan kelembaban relatif. Hutan dengan

penutupan tajuk yang tinggi dapat menyediakan iklim mikro yang lebih dingin

karena menyediakan naungan dan mencegah penguapan yang berlebihan (Casey

2001). van Steenis (2006) menyebutkan bahwa vegetasi terutama hutan, sangat

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

penting peranannya bagi perbaikan iklim yang menguntungkan lahan, bagi

pembentukan tanah, pencegahan erosi angin, dan pembentukan relung ekologi

tertentu bagi tanaman.

b. Makanan

Menurut Alikodra (2002), semua organisme memerlukan sumber energi

melalui makanan. Organisme yang makanannya beranekaragam akan lebih mudah

untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Menurut Jaafar (1994),

katak merupakan satwa karnivor yang memanfaatkan jenis serangga sebagai

pakan Jenis-jenis serangga yang dimanfaatkan juga beragam. Menurut Duelman

& Trueb (1994) amfibi hanya memakan jenis serangga yang bergerak. Stebbins &

Cohen (1997) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis katak yang memakan

jenis mangsa dengan pergerakan yang lambat. Umumnya setiap jenis katak

memiliki mekanisme yang berbeda-beda dalam berburu mangsa tergantung pada

jenisnya. Jenis katak yang memiliki perawakan gemuk dan mulut yang lebar

biasanya mencari mangsa dengan cara diam dan menunggu mangsa dan biasanya

memanfaatkan jenis pakan dengan ukuran besar dan memanfaatkan dalam jumlah

sedikit (Duelman & Trueb 1994; Stebbins & Cohen 1997). Jenis katak yang

memiliki perawakan yang ramping dengan mulut yang meruncing biasanya aktif

dalam berburu mangsa dan memanfaatkan mangsa dalam jumlah yang banyak

dengan ukuran pakan kecil (Duelman & Trueb 1994; Stebbins & Cohen 1997).

Katak memanfaatkan beranekaragam jenis serangga dan tidak bersifat

khusus. Hal tersebut merupakan salah satu mekanisme setiap jenis katak dalam

melangsungkan kehidupannya (Young 1962). Kusrini et al. (2007c) menyebutkan

jenis makanan kodok merah yang ditemukan dalam perut terdiri dari

Hymenoptera (semut, 60.38%), Coleoptera (7.55%), Orthoptera (6.60%), Diptera

(6.60%), Lepidoptera (4.72%), Hemiptera (1.89%), Collembola (1.89%), Isopoda

(0.94%), tumbuhan dan tanah (total 8.49%).

C. Pemilihan Habitat Pemilihan habitat yang sesuai merupakan suatu tindakan yang dilakukan

satwaliar dalam rangka memperoleh serangkaian kondisi yang menguntungkan

bagi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidupnya (Bolen & Robinson

1995). Individu yang berevolusi secara ideal akan menilai keterkaitan antara

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

korbanan dan keuntungan serta memilih habitat yang dapat memberikan jaminan

keberhasilan reproduksi. Individu yang memiliki korbanan rendah akan

mengeksploitasi relung yang miskin meskipun peluang hidupnya di tempat lain

lebih besar. Faktor yang mendorong terjadinya pemilihan habitat berhubungan

dengan laju predasi, toleransi fisiologis dan interaksi sosial. Adapun kondisi

mikro habitat tidak menentukan terjadinya pemilihan habitat (Morris 1987).

Morris (1987) menyatakan bahwa satwaliar tidak menggunakan seluruh

kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa

bagian secara selektif. Pemilihan habitat merupakan suatu hal yang penting bagi

satwaliar karena mereka dapat bergerak secara mudah dari satu habitat ke habitat

lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi atau menempati tempat baru

yang menguntungkan. Beberapa spesies satwaliar menggunakan habitat secara

selektif dalam rangka meminimumkan interaksi negatif (seperti predasi dan

kompetisi) dan memaksimumkan interaksi positif (seperti ketersediaan mangsa).

Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni:

ketersediaan mangsa (pakan), menghindari pesaing dan menghindari predator.

Shannon et al. (1975) menyatakan bahwa pemilihan habitat merupakan

ekspresi respon yang kompleks pada satwaliar terhadap sejumlah besar variabel

yang saling terkait yang menghasilkan lingkungan yang sesuai bagi satwaliar.

Variabel tersebut dapat bersifat intrinsik, yakni tergantung pada status fisiologis

dan perilaku satwaliar atau ekstrinsik yang tergantung pada faktor-faktor abiotik

dan biotik dari lingkungannya.

D. Sistem Informasi Geografis (SIG)

1. Definisi

Definisi Sistem Informasi Geografis (SIG) selalu berkembang, bertambah

dan bervariasi. Hal ini terlihat dari banyaknya definisi SIG yang beredar. Selain

itu, SIG juga merupakan suatu bidang kajian ilmu dan teknologi yang relatif baru,

digunakan oleh berbagai disiplin ilmu dan berkembang cukup dengan cepat

(Prahasta, 2001). Menurut Nuarsa (2005), SIG merupakan suatu alat yang dapat

digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses dan output) data spasial

atau data bereferensi geografis. SIG adalah sistem yang dapat mendukung

pengambilan keputusan spasial dan mampu mengintegrasikan deskripsi lokasi

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

dengan karakteristik fenomena yang ditemukan di lokasi tersebut. Hal yang

hampir sama di kemukanan oleh Ekadinata et al. (2008) bahwa SIG adalah sebuah

sistem atau teknologi berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk

mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menganalisis, serta menyajikan data

dan informasi dari suatu obyek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau

keberadaannya di permukaan bumi. Pada dasaranya SIG dapat dirinci menjadi

beberapa subsistem yang saling berkaitan yang mencakup input data, manajemen

data, pemrosesan atau analisis data, pelaporan (output) dan hasil analisa.

Menurut Prahasta (2001), ada beberapa hal yang menyebabkan penggunaan

konsep-konsep SIG menjad menarik untuk digunakan dalam berbagai disiplin

ilmu, beberapa diantaranya adalah :

1. SIG cukup efektif dalam membantu proses-proses pembentukan,

pengembangan atau perbaikan mengenai gambaran lingkungan yang telah

dimiliki oleh setiap orang yang menggunakannya dan selalu berdampingan

dengan lingkungan fisik dunia nyata yang penuh dengan kesank-kesan visual.

2. SIG merupakan alat bantu yang menarik dan menantang dalam meningkatkan

pemahaman, pembelajaran dan pendidikan mengenai konsep-konsep lokasi,

ruang, dan unsur-unsur geografis dipermukaan bumi berikut data-data

atributnya.

3. SIG mampu menjawab baik pertanyan spasial maupun non spasial.

Stow (1993) menjelaskan peranan SIG dalam memahami fungsi ekologi

dan pengaruh manusia terhadap struktur ekologi sebagai berikut :

1. menyediakan sebuah struktur data untuk penyimpana dan pengelolaan data

ekosistem untuk wilayah yang cukup luas secara efisien;

2. memungkinkan adanya penggabungan dan pemisahan data pada berbagai

skala;

3. dapat digunakan untuk menentukan plot studi dan atau wilayah yang sensitif;

4. mendukung analisis statistik spasial dari penyebaran ekologi;

5. meningkatkan kemampuan ekstraksi informasi penginderaan jauh; dan

6. menyediakan input data/parameter untuk pemodelan ekosistem.

Pemetaan serta analisa keruangan yang terkomputerisasi telah

dikembangkan secara terus-menerus di berbagai bidang, salah satu diantaranya

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

adalah bidang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Teknologi

yang berbasiskan sistem informasi geografi ini telah menjadi sarana atau alat

bantu satndar yang digunakan untuk mendukung proses pengambilan keputusan

dan pembuatan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam (Ekadinata et al.,

2008).

Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh tentang

suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data data yang diperoleh

dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena

yang dikaji (Lilesand & Kiefer 1990). Komponen dasar suatu sistem penginderaan

jarak jauh lokal ditunjukkan dengan adanya hal berikut: suatu sumber tenaga yang

beragam, atmosfer yang tidak mengganggu, sensor sempurna, serangkaian

interaksi yang unik antara tenaga dengan benda di muka bumi, sistem pengolahan

data tepat waktu, berbagai penggunaan data.

Perkembangan teknologi penginderaan jauh saat ini atau dimasa yang akan

datang memberikan kemungkinan memperoleh data untuk inventarisasi

sumberdaya alam yang baru, cepat dan akurat. Satelit penginderaan jauh yang

sering digunakan untuk melihat penutupan lahan adalah Satelit Landsat. Citra

Landsat komposit warna cocok digunakan untuk menggunakan cakupan lahan dan

penggunaannya. Salah satu sensor dari satelit landsat adalah sensor TM (Thematic

Mapper) yang memiliki resolusi spasial 30x30 meter dengan karakteristik

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik Spektral Landsat Thematic Mapper

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

Band Panjang

Gelombang Kegunaan

Band 1 0,45-0,52 μm Untuk penetrasi tubuh air, pemetaan perairan pantai,

membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan

berdaun lebar dan konifer

Band 2 0,52-0,60 μm Untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak

bagi vegetasi guna penilaian ketahanan.

Band 3 0,63-0,69 μm Band absorbsi klorofil yang penting untuk diskriminasi

vegetasi.

Band 4 0,76-0,90 μm Menentukan kandungan biomassa dan deliniasi tubuh air.

Band 5 1,55-1,75 μm Menunjukkan kandungan kelembaban vegetasi dan tanah

juga bermanfaat untuk membedakan salju dengan awan.

Band 6 10,40-12,50 μm Band infra merah termal yang penggunaannya untuk

analisa penekanan vegetasi, diskriminasi kelembaban

tanah dan pemetaan tanah

Band 7 2,08-2,35 μm Band yang diseleksi karena potensi untuk membedakan

tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.

Sumber: Lo (1995)

2. SIG dan penginderaan jauh

Sistem Informasi Geografi dan penginderaan jauh memiliki keterkaitan

yang dinyatakan oleh Howard (1996) bahwa informasi yang diturunkan dari

analisis citra penginderaan jauh dilakukan untuk diintegrasikan dengan data yang

disimpan dalam bank data SIG. Masukan dari data penginderaan jauh biasanya

harus dilengkapi dengan intervensi manusia pada analisisnya.

Perkembangan integrasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis

adalah estimasi bahwa aliran data memiliki arah yang sama. Aliran yang

sebaliknya tidak diinginkan tetapi juga realistis diperlukan dalam analisis

penginderaan jauh. Hambatan utama dalam pembiayaan ini adalah biaya untuk

membuat basis data digital SIG. Namun hal tersebut dapat ditekan dengan cara

peningkatan dan perbaikan tersedianya perangkat keras dan perangkat lunak serta

peta-peta digital yang telah tersedia dalam bentuk digital.

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

E. Aplikasi SIG Untuk Konservasi Satwa Liar Terutama Amfibi

Keunggulan-keunggulan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai sebuah

perangkat sistem yang mudah dioperasikan dengan kemampuan untuk

mengumpulkan, menyimpan dan memunculkan lagi, mentransformasi dan

menampilkan data spasial dari dunia nyata untuk sebuah maksud atau tujuan

tertentu telah membuat SIG sebagai perangkat yang sangat berguna dalam analisa

spasial dan telah diaplikasikan dalam berbagai kegiatan, tidak hanya sekedar

pemetaan namun juga pemanfaatannya dalam pengelolaan sumberdaya alam

maupun konservasi.

Lang (1998) menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam,

SIG sangat berperan penting dalam menyediakan kerangka kerja analisis untuk

membantu komunitas masyarakat dalam mencari permasalahan-permasalahan

yang umum terjadi dan mendiskusikan masalah pembangunannya. SIG dapat

digunakan dalam menentukan kesesuaian wilayah untuk pertanian,

mengidentifikasi wilayah-wilayah yang terjadi deforestasi, menganalisis dampak

asap polusi udara dan pergerakannya, mengidentifikasi perubahan lahan,

mendukung wilayah reklamasi lahan bekas tambang, perlindungan wilayah pantai

dari pencemaran, pengelolaan habitat hutan maupun untuk penentuan kawasan

sebagai habitat satwa langka.

Metode penampalan manual dari penentuan kelimpahan suatu spesies dapat

dilakukan secara otomatis dengan SIG. Batas-batas di peta dapat diketahui dengan

menggabungkan data tentang distribusi faktor-faktor habitat dan dapat digunakan

untuk mengidentifikasi komunitas yang jarang. Peta kelimpahan jenis dan peta

vegetasi dapat digabungkan untuk membuat peta penggunaan lahan dan peta

kesesuaian lahan digunakan untuk mengetahui keadaan saat ini dan kemungkinan

potensi penurunan keanekaragaman hayati.

Kastanya (2001) dalam penelitiannya tentang karakeristik lanskap Elang

Jawa (Spizaetus bartelsi), memanfaatkan program Patch Analyst dalam sistem

informasi geografis untuk menduga karakteristik lanskap Elang Jawa di wilayah

Pulau Jawa bagian barat. Sedangkan Muntasib (2002) juga memanfaatkan

kemampuan analisis spasial SIG dalam menumpangsusunkan data spasial

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa

menggunakan model pembobotan. Muntasib mengkombinasikan tiap parameter

habitat berdasarkan komponen fisik, biologi dan sosialnya untuk mengetahui pola

penggunaan ruang habitat Badak Jawa (Rhinoceros sundaicus) di Taman Nasional

Ujung Kulon.

Penelitian di bidang amfibi sangat diperlukan karena laporan terakhir

menyebutkan populasi amfibi telah menurun drastis hampir di seluruh dunia

akibat kerusakan habitat, kehilangan habitat, fragmentasi habitat, dan perubahan

iklim global (Pellet 2005). Oleh karena itu, penelitian berbasis SIG sangat

diperlukan untuk mempelajari pola spasial yang dilakukan, karena amfibi

memiliki siklus hidup yang kompleks dan menempati habitat yang beragam.

Munger et al. (1998) meneliti tentang prediksi keberadaan Columbia Spotted Frog

(Rana luteiventris) and Pacific Tree Frog (Hyla regilla) dengan menggunakan

SIG. Parris (2000) meneliti salah satu jenis katak yang terancam punah di

Queensland Australia dengan menggunakan aplikasi SIG dan pemodelan spasial

untuk melihat distribusi spasial dan preferensi habitat katak pohon Litoria

pearsonia dan menganalisanya secara statistik.. Lubis (2008) melakukan

penelitian pemodelan spasial habitat katak Jawa (Rhacophorus javanus)

mengunakan SIG dan penginderaan jarak jauh untuk menentukan kesesuaian

katak jawa.