26
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mediasi 1. Pengertian Mediasi Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukkan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. ‘Berada di tengah’ juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus mamapu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa. 5 Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya. Mediator berada pada posisi di tengah dan netral antara para pihak yang bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa. 5 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2011, hlm. 2.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mediasi 1. Pengertian Mediasidigilib.unila.ac.id/7381/89/BAB II.pdf · keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk ... Dalam Kamus

Embed Size (px)

Citation preview

   

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Mediasi

1. Pengertian Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti

berada di tengah. Makna ini menunjukkan pada peran yang ditampilkan pihak

ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan

menyelesaikan sengketa antara para pihak. ‘Berada di tengah’ juga bermakna

mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan

sengketa. Mediator harus mamapu menjaga kepentingan para pihak yang

bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust)

dari para pihak yang bersengketa.5

Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada

keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk

menyelesaikan perselisihannya. Mediator berada pada posisi di tengah dan netral

antara para pihak yang bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah

kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang

bersengketa.

                                                                                                                         5Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum

Nasional, Jakarta : Kencana, 2011, hlm. 2.

9    

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses

pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai

penasihat. Pengertian yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia

mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian

perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak

yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari

luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian

sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan

apa-apa dalam pengambilan keputusan.

Pengertian mediasi secara terminologi dapat dilihat dalam Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi

adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah pihak

netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari

berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus

dan memaksakan sebuah penyelesaian. Tetapi, banyak para ahli juga

mengungkapkan pengertian mediasi di antaranya Prof. Takdir Rahmadi yang

mengatakan bahwa mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua

pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak

netral yang tidak memiliki kewenangan memutus.6 Pihak mediator tersebut

disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial.

                                                                                                                         6Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta

: RajaGrafindo, 2010, hlm. 12

10    

Dengan demikian, dari definisi atau pengertian mediasi ini dapat diidentifikasikan

unsur-unsur esensial mediasi, yaitu7 :

1) Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan

berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak;

2) Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yaitu

mediator;

3) Mediator tidak memilikikewenangan memutus, tetapi hanya membantu

para pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat

diterima para pihak.

2. Tujuan dan Manfaat Mediasi

Mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa di luar

pengadilan. Tujuan dilakukan mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para

pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi dapat

mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen

dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan

kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau

pihak yang dikalahkan (win-win solution). Dalam mediasi para pihak yang

bersengketa pro aktif dan memiliki kewenangan penuh dalam pengambilan

keputusan. Mediator tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan,

tetapi ia hanya membantu para pihak dalam menjaga proses mediasi guna

mewujudkan kesepakatan damai mereka.

                                                                                                                         7 Eddi Junaidi, Op.Cit, hlm. 15

11    

Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, karena

para pihak telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan mereka

secara adil dan saling menguntungkan. Bahkan dalam mediasi yang gagal pun,

dimana para pihak belum mencapai kesepakatan, sebenarnya juga telah dirasakan

manfaatnya. Kesediaan para pihak bertemu dalam suatu proses mediasi, paling

tidak telah mampu mengklarifikasikan akar persengketaan dan mempersempit

perselisihan di antara mereka. Hal ini menunjukkan adanya keinginan para pihak

untuk menyelesaikan sengketa, namun mereka belum menemukan format tepat

yang dapat disepakati oleh kedua belah pihak.

Penyelesaian sengketa memang sulit dilakukan, namun bukan berarti tidak

mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Modal utama penyelesaian sengketa

adalah keinginan dan i’tikad baik para pihak dalam mengakhiri persengketaan

mereka. Keinginan dan i’tikad baik ini, kadang-kadang memerlukan bantuan

pihak ketiga dalam perwujudannya. Mediasi merupakan salah satu bentuk

penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga. Mediasi dapat memberikan

sejumlah keuntungan antara lain:

1) Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif

murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan

atau ke lembaga arbitrase.

2) Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan

mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka,

sehingga mediasi bukan hanya tertuju pada hakhak hukumnya.

3) Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara

langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.

12    

4) Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol

terhadap proses dan hasilnya.

5) Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit

diprediksi, dengan suatu kepastian melalui suatu konsensus.

6) Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan

saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa

karena mereka sendiri yang memutuskannya.

7) Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir

selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan

oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada lembaga arbitrase.

Dalam kaitan dengan keuntungan mediasi, para pihak dapat mempertanyakan

pada diri mereka masing-masing apakah mereka dapat hidup dengan hasil yang

dicapai melalui mediasi (meskipun mengecewakan atau lebih buruk daripada hal

yang diharapkan). Bila direnungkan lebih dalam bahwa hasil kesepakatan yang

diperoleh melalui jalur mediasi jauh lebih baik lagi, bila dibandingkan dengan

para pihak terus-menerus berada dalam persengketaan yang tidak pernah selesai,

meskipun persepakatan tersebut tidak seluruhnya mengakomodasikan keinginan

para pihak. Pernyataan win-win solution pada mediasi, umumnya datang bukan

dari istilah penyelesaian itu sendiri, tetapi dari kenyataan bahwa hasil

penyelesaian memungkinkan kedua belah pihak meletakkan perselisihan di

belakang mereka.

Pertemuan secara terpisah dengan para pihak dapat lebih meyakinkan pihak yang

lemah akan posisi mereka, sehingga mediator dapat berupaya mengatasinya

13    

melalui saran dan pendekatan yang dapat melancarkan proses penyelesaian

sengketa. Proses mediasi dan keahlian mediator menjadi sangat penting dalam

kaitannya dengan pencegahan dan penyalahgunaan kekuasaan.8

3. Unsur-Unsur Mediasi

Berawal dari ketidakpuasan akan proses pengadilan yang memakan waktu relatif

lama, biaya yang mahal, dan rasa ketidakpuasan pihak yang merasa sebagai pihak

yang kalah, dikembangkan mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa

di luar pengadilan. Penerapan mediasi diberbagai negara secara umum

mengandung unsur-unsur9:

1) Sebuah proses sengketa berdasarkan perundingan .

2) Adanya pihak ketiga yang bersifat netral yang disebut sebagai mediator

(penengah) terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di

dalam perundingan itu.

3) Mediator tersebut bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk

mencari penyelesaian atas masalah-masalah sengketa

4) Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat putusan selama proses

perundingan berlangsung

Mempunyai tujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat

diterima para pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.

                                                                                                                         

8Syahrizal Abbas, Op.Cit, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, hlm.27 9Gayuh Arya Hardika, Quo Vadis Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, Trade

Union Right Centre, 2004 hlm 4

14    

4. Prinsip-Prinsip Mediasi

Dalam berbagai literatur ditemukan sejumlah prinsip mediasi. Prinsip dasar (basic

principle) adalah landasan filosofis dari diselenggarakannya kegiatan mediasi.

Prinsip atau filosofi ini merupakan kerangka kerja yang harus diketehaui oleh

mediator, sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi

yang melatarbelakangi lahirnya institusi mediasi.10 David spenser dan Michael

Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima prinsip dasar mediasi.

Lima prinsip ini dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi. Kelima prinsip

tersebut adalah; prinsip kerahasiaan (confidentiality), prinsip sukarela (volunteer),

prinsip pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality), dan prinsip

solusi yang unik (a unique solution).

Prinsip pertama mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality. Kerahasiaan yang

dimaksudkan disini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan

yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak

boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing pihak. Demikian

juga sang mediator harus menjaga kerahasiaan dari isi mediasi tersebut, serta

sebaiknya menghancurkan seluruh dokumen diakhir sesi yang ia lakukan.

Mediator juga tidak dapat dipanggil sebagai saksi di pengadilan dalam kasus yang

ia prakarsai penyelesaiannya melalui mediasi. Masing-masing pihak yang bertikai

diharapkan saling menghormati kerahasiaan tiap-tiap isu dan kepentingan masing-

masing pihak. Jaminan ini harus diberikan masing-masing pihak, sehingga mereka

                                                                                                                         10 John Michael Hoynes, Cretchen L. Haynes dan Larry Sun Fang, Mediation: Positive

Conflict Management, New York: SUNY Press, 2004, hlm. 16

15    

dapat mengungkapkan masalahnya secara langsung dan terbuka. Hal ini penting

untuk menemukan kebutuhan dan kepentingan mereka secara nyata.

Prinsip kedua, volunteer (sukarela). Masing-masing pihak yang bertikai datang ke

mediasi atas keingina dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada

paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar. Prinsip kesukarelaan

ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerja sama untuk menemukan

jalan keluar dari persengketaan mereka, bila mereka datang ke tempat

perundingan atas pilihan mereka sendiri.

Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini didasarkan pada

asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai

kemampuan untuk menegosiasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai

kesepakatan yang mereka inginkan. Kemampuan mereka dalam hal ini harus

diakui dan dihargai, dan oleh karena itu setiap solusi dan jalan penyelesaiannya

sebaiknya tidak dipaksakan dari luar. Penyelesaian sengketa harus muncul dari

peemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih

memungkinkan para pihak untuk menerima solusinya.

Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Dalam konteks ini, peran seorang

mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para

pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses

berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak bertindak

layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau benarnya salah

satu pihak atau mendukung pendapat dari slah satunya, atau memaksakan

pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.

16    

Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasannya solusi yang

dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat

dihasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi akan lebih

banyak mengikuti keingina kedua belah pihak, yang terkait erat dengan konsep

pemberdayaan masing-masing pihak.

5. Para Pihak Dalam Mediasi

Dalam proses mediasi kehadiran dan partisipasi para pihak memegang peranan

penting dan menentukan berjalan tidaknya proses mediasi ke depan. Misalnya

para pihak adalah sebuah perusahaan swasta atau instansi pemerintah, maka

seharusnya yang mewakilinya adalah pegawai senior dengan kewenangan penuh

untuk bernegosiasi dan menyelesaikan perselisihan. Dalam kasus di mana pihak

tidak mungkin atau tidak praktis bagi otoritas puncak untuk hadir dalam mediasi,

misalnya menteri yang memimpin departemen atau chief executive officer (CEO)

sebuah perusahaan multinasional, maka wakil mereka harus diberikan

kewenangan yang layak untuk membuat sebuah komitmen yang secara

bertanggung jawab diharapkan dapat disetujui oleh pembuat keputusan akhir.

Tentang diperlukannya penasihat bagi para pihak, hal itu adalah masalah masing-

masing pihak. Setiap pihak bebas membawa siapa pun yang diharapkan dapat

mendukung, membantu, menasihati atau berbicara untuk itu. Dalam perselisihan

yang masih sederhana, satu atau kedua belah pihak mungkin lebih suka

menangani diskusi mereka sendiri dengan pengarah mediator yang netral dengan

atau tanpa kehadiran seorang teman atau pembantu lainnya.

17    

Untuk perselisihan yang kompleks, kedua belah pihak biasanya mengharapkan

penasihat profesional seperti pengacara, akuntan, atau ahli tertentu, yang dapat

membantu pencapaian perselisihan. Penasihat profesional diikutsertakan oleh

“kliennya” bertujuan un tuk memberikan nasihat dan dukungan kepadanya. Dalam

praktik, penasehat profesional kadang-kadang bertindak sebagai juru bicara pada

tahap tertentu atau pada aspek tertentu atau bahakan untuk keseluruhan

perselisihan itu.11

B. Sengketa Medis

1. Pengertian Sengketa Medis

Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict” dan “dispute”

yang keduanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di

antara kedua belah pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Conflict

sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yakni “konflik”, sedangkan

dispute dapat diterjemahkan dengan arti sengketa. Konflik adalah sebuah situasi

dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak dapat

berkembang dari sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya

memendam perasaan tidak puas atau keperihatinannya. Konflik, biasanya pihak

tertentu belum mengetahui atau menyadari adanya perselisihan, dan hanya

disadari oleh pihak yang bertikai. Perselisihan mulai mengemuka di mana salah

satu pihak atau para pihak yang terlibat telah melakukan tindakan-tindakan yang

menbuat pihak yang tidak terlibat mengetahui atau menyadari adanya suatu

                                                                                                                         11Syahrizal Abbas, Op.Cit, Jakarta : Kencana, 2011, hlm.36  

18    

permasalahan. Konflik berkembang atau berubah menjadi sebuah sengketa

apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau

keperihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai

penyebab kerugian atau pihak lain. Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari

konflik. Sebuah konflik yang tidak dapat terselesaikan akan menjadi sengketa.

Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara implisit

menyebutkan bahwa sengketa medis adalah sengketa yang terjadi karena

kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang

menjalankan praktik kedokteran. Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang

berbunyi: setiap orang yang mengetahui atau kepentingan dirugikan atas tindakan

dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan

secara tertulis kepada Ketua majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Dengan demikian sengketa medis merupakan sengketa yang terjadi antara

pengguna pelayanan medis dengan pelaku pelayanan medis dalam hal ini rumah

sakit dengan pasien.

Sengketa medis mengandung pengertian sengketa yang objeknya adalah

pelayanan medis. Pelayanan medis selalu melibatkan health provider (pemberi

layanan) dan health receiver (penerima layanan). Pelayanan medis tersebut

dilakukan dengan tujuan untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,

peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dalam

kaitan ini, baik rumah sakit maupun dokter yamg berpraktik di rumah sakit dapat

menjadi health provider, sedangkan pemahaman terhadap health receiver secara

umum adalah pasien.

19    

Sengketa medis tidak dimuat secara eksplisit dalam Undang-undang No. 36 tahun

2009 Tentang Kesehatan, tetapi UU tersebut mengatur mengenai ganti rugi akibat

kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Pasal 58 Undang-

undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menyatakan:

1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga

kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian

akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang

diterimanya.

2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau

pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Dalam Pasal 29 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan mengamanatkan penyelesaian sengketa dilakukan terlebih

dahulu dengan mediasi.

2. Sengketa Medis Dalam Hukum

Sengketa medis dalam hukum dikenal juga dengan istilah malpraktik. Sebenarnya

dari asal katanya malpraktik tidak hanya ditujukan pada profesi kesehatan saja

tetapi juga profesi pada umumnya, namun setelah secara umum mulai digunakan

di luar negeri maka istilah itu sekarang diasosiasikan atau ditujukan pada profesi

kesehatan. Pengertian malpraktik adalah any professional misconduct or

20    

unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil

practice or illegal or immoral conduct.12 Pemahaman malpraktik sampai sekarang

masih belum seragam. Dengan belum diaturnya malpraktik dalam peraturan

perundang-undangan yang ada sekarang ini (tidak mempunyai kepastian hukum),

penanganan dan penyelesaian masalah malpraktik juga menjadi tidak pasti.

Masalah tersebut ditambah dengan belum adanya (dan hampir tidak mungkin

dilakukan) standarisasi standar pelayanan profesi kesehatan. Hal itu disebabkan

masalah kesehatan amat kompleks, mulai dari dampak penerapan pelayanan

kesehatan pada tiap manusia yang berbeda-beda sampai dengan beragamnya

teknologi di tiap sarana pelayanan kesehatan dan kemampuan setiap komunitas

dokter atau tenaga kesehatan lainnya.

Tidak adanya standar pelayanan profesi kesehatan yang legal dan banyaknya

rumah sakit yang menerbitkan standar yang berbeda dengan rumah sakit lainnya

akan menyebabkan kesulitan dalam membedakan malpraktik dengan kelalaian,

kecelakaan dan kegagalan di lapangan. Lebih lanjut hal tersebut juga

menyebabkan pembuktian malpraktik akan semakin sulit jika pasien berpindah-

pindah rumah sakit.13

Dengan demikian yang paling tepat dan berhak menentukan pengingkaran atas

standar pelayanan profesi kesehatan adalah Komite Medik di rumah sakit yang

bersangkutan. Keadaan yang terjadi sekarang, sentimen korps kesehatan yang

saling melindungi sesama profesional akan menyulitkan upaya pengusutan yang

obyektif, sehingga kasus-kasus malpraktik tersebut hanya masuk “peti es” dan                                                                                                                          

12Black’s Law Dictionary, 7ed, Minnesota: West Publishing Company; 1999. 13http://albertdeprane.blogspot.com/2009/04/penerapan-mediasi-di-pengadilan diakses

pada senin 10 feruabri 2014 pukul 11.39 WIB

21    

tidak ditangani lagi. Hal tersebut mengakibatkan pihak pasien berpendapat bahwa

tenaga kesehatan kebal hukum dan selalu berlindung di balik etika tenaga

kesehatan agar terlepas dari tanggung jawab yang seharusnya.

Sebaliknya, kalangan kesehatan berpendapat bahwa pihak pasien sangat kuat

kedudukannya sehingga dapat dengan begitu saja menuntut atau menggugat

tenaga kesehatan untuk suatu hasil pengobatan yang negatif atau tidak memenuhi

harapan pasien. Padahal dampak tuntutan itu terkadang sudah merupakan

pembunuhan karakter atau character assassination terhadap tenaga kesehatan

yang dituntut atau digugat. Pada kenyataannya tidak selalu hasil negatif itu

merupakan kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan yang merawat. Bahkan

seringkali, pihak pasien (melalui pengacaranya) telah mempublikasikan kasus

yang digugatnya sebagai malpraktik, padahal hal itu dapat dikatakan sebagai

pelanggaran atas asas praduga tak bersalah, mengingat dalam beracara

dipengadilan gugatan malpraktik tersebut masih harus dibuktikan dan ditetapkan

melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Dapat disimpulkan bahwa untuk

menentukan perbuatan merupakan malpraktik atau tidak, harus dilakukan dengan

pendekatan (yang bersifat khusus) kedokteran atau kesehatan dan ilmu hukum

secara proporsional. Dalam hal tersebut profesinya menjadi terlalu sangat berhati-

hati dan timbul yang dinamakan negative defensive professional practice, yang

mengurangi kreatifitas dan dinamika profesional.

22    

C. Rumah Sakit

1. Pengertian Rumah Sakit

Rumah sakit dalam bahasa Inggris disebut hospital. Kata hospital berasa dari kata

bahasa Latin hospitali yang berarti tamu. Secara lebih luas kata itu bermakna

menjamu para tamu. Rumah Sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat

menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan

untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan

derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan yang

diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan

(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan

pemulihan kesehatan (rehabilitative) yang diselenggarakan secara menyeluruh,

terpadu dan berkesinambungan14.

Rumah Sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan alat

ilmiah khusus dan rumit dan difungsikan oleh berbagi kesatuan personel terlatih

dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medis modern, yang

semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan

pemeliharaan kesehatan yang baik.Rumah Sakit adalah institusi pelayanan

kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna yang menyedikan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan rawat darurat.

Menurut American Association Rumah Sakit adalah suatu institusi yang fungsi

utamanya adalah memberikan pelayanan kepada pasien, pelayanan tersebut

                                                                                                                         14Charles J.P.Siregar, Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan , Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC, 2003, hlm.7

23    

merupakan diagnostik dan terapeutik untuk berbagai jenis penyakit dan masalah

kesehatan baik yang bersifat bedah maupun non bedah.15 Menurut Pasal 1 ayat

(1) Undang–undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit :

“Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan

pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat ”.

Yang dimaksud dengan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat

adalah sebagai berikut :

1) Rawat inap adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi

pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi observasi, diagnosa,

pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik dengan menginap di ruang

rawat inap pada sarana kesehatan rumah sakit Pemerintah dan swasta,

serta puskesmas perawatan dan rumah bersalin, yang oleh karena

penyakitnya penderita harus menginap.16

2) Pelayanan rawat jalan adalah suatu bentuk dari pelayanan kedokteran.

Secara sederhana yang dimaksud dengan pelayanan rawat jalan adalah

pelayanan kedokteran yang disediakan untuk pasien tidak dalam bentuk

rawat inap.17 Pelayanan rawat jalan ini termasuk tidak hanya yang

diselenggarakan oleh sarana pelayanan kesehatan yang telah lazim dikenal

                                                                                                                         15Cecep Tribowo, Perizinan dan Akreditasi Rumah Sakit Sebuah Kajian Hukum

Kesehatan ,Yogyakarta:Nuha Medika,2012, hlm.31 16Jauhari, Analaisis Kebutuhan Tenaga Perawat Berdasarkan Beban Kerja di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Umum, Medan : PPS-USU Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, 2005, hlm. 32  

17Asmuni Suarni, Waktu Tunggu Pasien Pada Pelayanan Rekam Medis Rawat Jalan di Rumah Sakit, Bandung: Bina Cipta, 2008, hlm. 26

24    

rumah sakit atau klinik, tetapi juga yang diselenggarakan di rumah pasien

serta di rumah perawatan.

3) Pelayanan gawat darurat adalah bagian dari pelayanan kedokteran yang

dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera untuk menyelamatkan

kehidupannya. Instalasi kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

gawat darurat disebut Instalasi Gawat Darurat. Tergantung dari

kemampuan yang dimiliki, keberadaan instalansi gawat darurat (IGD)

tersebut dapat beraneka macam, namum yang lazim ditemukan adalah

yang tergabung dalam rumah sakit.18

2. Klasifikasi Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 18

bahwa rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaanya

yaitu, sebagai berikut :

1) Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan rumah sakit dikategorikan

dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.

a) Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua

bidang dan jenis penyakit;

b) Rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu

bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu,

golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

2) Sedangkan berdasarkan pengelolaanya rumah sakit dibagi menjadi Rumah

Sakit Publik dan Rumah Sakit Privat yaitu sebagai berikut :

                                                                                                                         18Ibid, hlm. 20  

25    

a) Rumah sakit publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah

Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba yang

diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum

atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan dengan tidak dapat dialihkan

menjadi Rumah Sakit Privat.

b) Rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit

yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.

3) Klasifikasi berdasarkan Kepemilikan terdiri atas Rumah Sakit pemerintah,

Rumah Sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatann

Klasifikasi berdasarkan kepemilikanterdiri atas Rumah Sakit pemerintah;

terdiri dari:

a) Rumah sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan,

Rumah Sakit Pemerintah Daerah, Rumah Sakit Militer, Rumah

Sakit BUMN, dan Rumah Sakit Swasta yang dikelolaoleh

masyarakat.

4) Klasifikasi berdasarkan jenis pelayanan

Klasifikasi berdasarkan jenis pelayanannya, rumah sakit terdiri atas:

Rumah Sakit Umum, memberi pelayanan kepada pasien dengan beragam

jenis penyakit dan Rumah Sakit Khusus, memberi pelayanan pengobatan

khusus untuk pasien dengan kondisi medik tertentu baik bedah maupun

non bedah. Contoh: rumah sakit kanker, rumah sakit bersalin.

26    

5) Klasifikasi berdasarkan lama tinggal

Berdasarkan lama tinggal, rumah sakit terdiri atas rumah sakit perawatan

jangka pendek yang merawat penderita kurang dari 30 hari dan rumah

sakit perawatan jangka panjang yang merawat penderita dalam waktu rata-

rata 30 hari.

6) Klasifikasi berdasarkan status akreditasi

Berdasarkan status akreditasi terdiri atas rumah sakit yang telah

diakreditasi dan rumah sakit yang belum diakreditasi. Rumah sakit telah

diakreditasi adalah rumah sakit yang telah diakui secara formal oleh suatu

badan sertifikasi yang diakui, yang menyatakan bahwa suatu rumah sakit

telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan tertentu.

7) Klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah

Rumah sakit Umum Pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan

menjadi Rumah sakit kelas A, B, C, dan D. Klasifikasi tersebut didasarkan

pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik dan peralatan.

a) Rumah sakit umum kelas A, adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik

luas dan subspesialistik luas.

b) Rumah sakit umum kelas B, adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-

kurangnya sebelas spesialistik dan subspesialistik terbatas.

c) Rumah sakit umum kelas C, adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik

dasar.

27    

d) Rumah sakit umum kelas D, adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik.

3. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Pada umumnya tugas Rumah Sakit adalah menyediakan keperluan untuk

pemeliharaan dan pemulihan kesehatan19. Selain hal tersebut tugas Rumah Sakit

adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna

dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan

secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta

melaksanakan rujukan. Guna melaksanakan tugasnya, Rumah Sakit mempunyai

berbagai fungsi yaitu menyelenggarakan pelayanan medis, pelayanan penunjang

medis, dan non medis, pelayanan dan asuhan keperawatan, penelitian dan

pengembangan serta administrasi umum dan keuangan.20

Berdasarkan Undang – Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit fungsi

Rumah Sakit adalah21 :

1) Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

dengan standar Rumah Sakit.

2) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan

medis.

3) Penyelengaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.                                                                                                                          

19Charles J.P.Siregar,Op.Cit,hlm.10 20Ibid, hlm.10 21Cecep Tribowo,Op. Cit, hlm. 34

28    

4) Penyelengaraaan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan kesehatan.

4. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit

Hak rumah sakit adalah kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki rumah sakit

untuk mendapatkan atau memutuskan untuk membuat sesuatu. Rumah sakit

mempunyai hak-hak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.44

Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 30 antara lain, sebagai berikut :

1) Menentukan jumlah, jenis, dan kulifikasi sumber daya manusia sesuai

dengan klasifikasi rumah sakit.

2) Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan

pelayanan.

3) Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

4) Menggugat pihak yang mengalami kerugian.

5) Mendapatkan pelindungan hukum.

6) Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit.

Kewajiban rumah sakit menurut Pasal 29 Undang-Undang Rumah Sakit No. 44

Tahun 2009, disebutkan bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban sebagai

berikut :

1) Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada

masyarakat.

29    

2) Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, nondiskriminasi

dan efektif mengutamakan kepentingan pasien.

3) Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan

kemampuan pelayanannya.

4) Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau

miskin.

5) Menyelenggarakan rekam medis.

6) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan

kewajiban pasien.

5. Pasien

Pasal I ayat (10) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran menyatakan :

“Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

menyatakan :

“Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit”.

Pasien adalah subjek memiliki pengaruh besar atas hasil akhir layanan bukan

hanya sekedar objek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat kepuasaan pasien

menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan ketidakpuasaan pasien

30    

dapat menjadi pangkal tuntutan hukum.22 Oleh karena harapan pasien sebagai

konsumen pelayanan medis meliputi23 :

1) Pemberian pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan

2) Membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap tanpa

membedakan unsur SARA (suku, agama, ras,dan antar golongan)

3) Jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan

4) Komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pasien.

Pasien mempunyai hak-hak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 32 Undang–

Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yaitu :

1) Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di

Rumah Sakit.

2) Memperoleh infomasi tentang hak dan kewajiban pasien.

3) Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur dan tanpa diskriminasi.

4) Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional.

5) Memperoleh layanan efektif dan efisien sehingga terhindar dari kerugian

fisik dan materi.

6) Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan.

7) Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginan dan

peraturan yang berlaku di Rumah Sakit.

                                                                                                                         22Indra Bastian Suryono, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Jakarta: Salemba Medika,

2011, hlm. 80 23Ibid

31    

8) Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain

yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar

Rumah Sakit.

9) Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk

data - data medisnya.

10) Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,

tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang

mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta

perkiraan biaya pengobatan.

11) Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan

oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.

12) Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.

13) Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya

selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.

14) Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan

di Rumah Sakit.

15) Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap

dirinya.

16) Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan

kepercayaan yang dianutnya.

17) Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga

memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara

perdata ataupun pidana.

32    

18) Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar

pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Kemudian Pasal 52 Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik

kedokteran juga menyebutkan hak-hak pasien sebagai berikut :

1) Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).

2) mendapatkan pendapat dokter atau dokter gigi lain.

3) Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.

4) Menolak tindakan medis.

5) Mendapat isi rekaman medis.

Kewajiban pasien menurut Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Praktik

Kedokteran dalam Pasal 53 menyebutkan sebagai berikut :

1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatannya.

2) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi.

3) Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehat, dan

memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Berdasarkan keterangan di atas, rumah sakit harus bertanggung jawab dalam

melaksanakan kewajibannya yang bertujuan untuk memberi kesehatan yang baik

dan perlindungan pelayanan yang baik kepada pasien. Dalam pelayanan, rumah

sakit harus memiliki standar pelayanan rumah sakit yaitu semua standar pelayanan

33    

yang berlaku di rumah sakit antara lain standar operasional prosedur, standar

pelayanan medis dan standar asuhan keperawatan.

Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit dirasa sudah cukup

dalam mengatur kewajiban rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan.

Namun yang perlu ditingkatkan adalah dalam hal praktik di lapangan agar dapat

menjalankan amanat sesuai dengan yang di atur dalam undang-undang tersebut

guna menghindari sengketa yang dapat timbul karena praktik yang tidak sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit. Kemudian yang perlu mendapat perhatian

bersama oleh seluruh pihak di rumah sakit adalah menyangkut pelaksanaan etika

profesi dan etika rumah sakit sehingga penyelenggaraan pelayanan kesehatan

secara beretika akan sangat mempermudah seluruh pihak dalam menegakkan

aturan-aturan hukum.