35
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan Agribisnis Ayam Ras Perkembangan perunggasan Indonesia dari tahun 1965 hingga sekarang berjalan dengan tingkat pertumbuhan yang cukup berhasil. Misi penyediaan pangannya telah mampu ikut menyumbang dan membangun sumber daya manusia. Tidak kurang dari 200 juta penduduk Indonesia telah mampu mengkonsumsi rata-rata 11 kg/kapita/tahun hasil unggas dari hasil sebesar 2.5 trilyun kg/tahun. Berarti pula, di bidang ekonomi, tidak kurang dari 20 trilyun rupiah uang masyarakat beredar untuk membelanjakan hasil-hasil unggas dan ini semua berarti hasil dari investasi, teknologi, kesepakatan kerja/kesempatan berusaha yang tumbuh di dalam masyarakat (Oetoro, 2002). Program pemerintah dalam mengembangkan peternakan ayam ras terlihat dari adanya program Bimbingan Massal (Bimas) ayam yang dimulai pada 1976. Program ini dilakukan mirip dengan Bimas padi yang ditujukan untuk swasembada beras. Program dimulai dengan membangun paket proyek di Bogor dan Yogyakarta. Mengingat proyek percontohan ini dinilai berhasil, maka program ini dilanjutkan untuk daerah-daerah lain. Sampai dengan 1977/1978, program Bimas ini telah meluas ke 18 lokasi dengan jumlah proyek mencapai 2 325 paket dengan nilai kredit sebesar Rp. 813.75 milyar. Hasil analisis memperlihatkan bahwa program pemberian kredit Bimas ayam ras tersebut ternyata menguntungkan bagi petani. Oleh karena itu, program tersebut kemudian dilanjutkan dengan program Bimas broiler (ayam ras pedaging) sejak tahun 1980. Pada program Bimas ayam broiler ini para peternak kecil yang 14

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

  • Upload
    lydat

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

14

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Kebijakan Agribisnis Ayam Ras

Perkembangan perunggasan Indonesia dari tahun 1965 hingga sekarang

berjalan dengan tingkat pertumbuhan yang cukup berhasil. Misi penyediaan

pangannya telah mampu ikut menyumbang dan membangun sumber daya

manusia. Tidak kurang dari 200 juta penduduk Indonesia telah mampu

mengkonsumsi rata-rata 11 kg/kapita/tahun hasil unggas dari hasil sebesar 2.5

trilyun kg/tahun. Berarti pula, di bidang ekonomi, tidak kurang dari 20 trilyun

rupiah uang masyarakat beredar untuk membelanjakan hasil-hasil unggas dan ini

semua berarti hasil dari investasi, teknologi, kesepakatan kerja/kesempatan

berusaha yang tumbuh di dalam masyarakat (Oetoro, 2002).

Program pemerintah dalam mengembangkan peternakan ayam ras terlihat

dari adanya program Bimbingan Massal (Bimas) ayam yang dimulai pada 1976.

Program ini dilakukan mirip dengan Bimas padi yang ditujukan untuk

swasembada beras. Program dimulai dengan membangun paket proyek di Bogor

dan Yogyakarta. Mengingat proyek percontohan ini dinilai berhasil, maka

program ini dilanjutkan untuk daerah-daerah lain. Sampai dengan 1977/1978,

program Bimas ini telah meluas ke 18 lokasi dengan jumlah proyek mencapai

2 325 paket dengan nilai kredit sebesar Rp. 813.75 milyar.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa program pemberian kredit Bimas

ayam ras tersebut ternyata menguntungkan bagi petani. Oleh karena itu, program

tersebut kemudian dilanjutkan dengan program Bimas broiler (ayam ras pedaging)

sejak tahun 1980. Pada program Bimas ayam broiler ini para peternak kecil yang

14

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

15

dinilai layak, mendapatkan kredit dan diberi jatah paket berupa 500 ekor ayam/

periode atau 2 500 ekor ayam/tahun (tiap periode terdiri dari 7- 8 minggu).

Program Bimas ayam ras broiler maupun ayam ras petelur ini ternyata

berkembang dengan baik karena dapat mendatangkan keuntungan dengan baik

yang menarik bagi peternak peserta Bimas. Walaupun demikian, dalam perjalanan

lebih lanjut, program ini mulai menemui sejumlah masalah di lapangan, terutama

mulai memasuki pelita III (1979-1984), seiring dengan munculnya masalah

pemasaran daging dan telur ayam. Masalah mulai timbul karena dalam kurun

waktu tersebut peternak yang mengelola ayam ras ternyata bukan hanya peserta

Bimas, tetapi meluas ke peternak mandiri yang lahir dari unsur wiraswasta murni

tanpa bantuan kredit dan fasilitas lainnya dari pemerintah.

Banyak di antara peternak mandiri ini memelihara ayam ras dalam jumlah

besar yang mencapai puluhan hingga ratusan ribu dan jutaan ekor. Masalah utama

yang timbul adalah kurangnya bahan baku pakan ternak, terutama pada saat

musim kemarau tiba. Pada saat itu harga pakan ternak menjadi mahal sementara

harga jual daging dan telur ayam relatif stagnan. Dilain pihak, karena

manajemennya yang lebih baik, peternak skala besar mampu menjual produk

daging dan telur ayam dengan harga yang lebih murah dibanding peternak kecil.

Akibatnya, mulai timbul kemelut berupa pertentangan antara peternak kecil

dengan peternak besar.

Sebagai respon terhadap kemelut tersebut, maka pemerintah kemudian

menetapkan sebuah Keputusan Presiden, yakni Keppres No. 50/1981 tanggal

2 November 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras dengan inti

materi sebagai berikut:

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

16

1. Perorangan atau badan hukum yang menjalankan usaha peternakan ayam

petelur hanya diperkenankan mengelola jumlah ayam dewasa sebanyak-

banyaknya 5 ribu ekor, sedangkan untuk ayam pedaging maksimum 750 ekor

per minggu

2. Perorangan atau badan hukum yang mengelola ayam petelur atau pedaging

melebihi jumlah yang telah ditentukan, harus mengurangi secara bertahap

sampai dengan batas jumlah yang ditentukan

3. Untuk menjamin tersedianya produksi telur dan daging ayam ras, maka

dilakukan usaha-usaha sebagai berikut:

a. Meningkatkan usaha peternakan ayam ras yang sudah ada untuk mencapai

skala usaha peternakan kecil yang maksimal

b. Mendorong terbentuknya peternakan-peternakan ayam ras baru, baik

melalui Bimas maupun non Bimas.

Keppres No 50/1981 ini pada hakekatnya merupakan upaya restrukturisasi

dan stabilisasi di bidang perunggasan setelah terjadinya ketimpangan struktur

usaha dan munculnya pertentangan antara peternak kecil dengan peternak besar.

Namun demikian, pelaksanaan Keppres ini tenyata tidak terlalu sesuai dengan

yang diharapkan. Akibat banyaknya pelanggaran yang terjadi, maka Menteri

Pertanian RI kemudian menerbitkan SK Mentan No. TN 406/Kpts/5/1984

tertanggal 28 Mei 1984. SK Mentan tersebut pada intinya mengatur pola

kerjasama tertutup yang saling menguntungkan antara perusahaan peternakan

sebagai inti dengan peternak sebagai plasma, yang kemudian dikenal sebagai pola

Perusahaan Inti Rakyat (PIR).

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

17

Dalam perkembangannnya, pola PIR ini ternyata belum juga mampu

meredam gejolak di lapangan sehingga dengan berbagai upaya konsolidasi dengan

masyarakat perunggasan, pada tahun 1990, Keppres No 50/1981 dicabut dan

diganti dengan Keppres No 22/1990, yang berisi tentang Kebijakan Pembinaan

Usaha Peternakan Ayam Ras. Untuk mendukung pelaksanaannya, diterbitkan pula

SK Menteri Pertanian No 362/Kpts/TN/120/1990 tentang Ketentuan dan Tatacara

Pelaksanaan Pemberian Izin dan Pendaftaran Usaha Peternakan.

Keppres No 22/1990 pada hakekatnya merupakan upaya deregulasi

tentang bidang perunggasan. Skala usaha yang pada Keppres sebelumnya dibatasi

maka pada Keppres yang baru tersebut tidak lagi diatur. Pengaturan skala usaha

hanya dilakukan pada SK Mentan No 362/1990, yang berisi tentang tatacara

perizinan, bukan pembatasan. Dalam SK Mentan tersebut dinyatakan bahwa

untuk usaha peternakan yang jumlahnya 10 ribu ekor petelur dewasa atau

dibawahnya, maka dimasukkan sebagai kategori peternakan rakyat, yang

pendiriannya tidak memerlukan izin, melainkan hanya cukup dengan

mendaftarkannya saja. Sedangkan untuk ayam pedaging, jumlah maksimum 15

ribu ekor per siklus, dikategorikan sebagai peternakan rakyat, dan bila melebihi

jumlah tersebut, maka dikategorikan sebagai perusahaan peternakan.

Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi

berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama ayam ras karena

pada saat itulah siapapun boleh mengusahakan peternakan ayam ras, asal

memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dengan diberlakukannya Keppres No.

22/1990, maka muncul banyak peternakan ayam ras dalam skala besar yang

dikelola dengan cara-cara modern, baik dalam hal budidaya maupun dalam

pemasarannya.

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

18

2.2. Keterkaitan Agroindustri Pakan Ternak dengan Budidaya Ayam Ras

Industri pakan ayam ras mempunyai keterkaitan ke belakang (backward

linkage) dan kaitan ke depan (forward linkage) yang cukup panjang. Kaitan ke

belakang dari industri pakan ayam ras adalah kebutuhan akan hasil-hasil pertanian

tanaman pangan sebagai masukan (input), baik yang sudah terolah maupun belum.

Selain daripada itu, industri pakan ayam ras juga memerlukan hasil-hasil industri

lain sebagai pelengkap (supplement) bagi pakan ayam ras. Sedangkan kaitan ke

depan berhubungan dengan penggunaan hasil produksi pakan bagi institusi

berikutnya. Dalam hal ini hasil olahan industri pakan digunakan oleh institusi

budidaya ayam ras yang dikelola secara komersial. Selanjutnya hasil budidaya

ayam ras digunakan sebagai masukan bagi industri lain atau dikonsumsi langsung

oleh konsumen. Dengan demikian apabila industri pakan ayam ras didudukkan

dalam sistem agribisnis tanaman pangan ia berada pada posisi sebagai sub-sistem

agroindustri dan bila didudukkan dalam sistem agribisnis ayam ras ia berada pada

posisi sebagai sub-sistem penyediaan sarana produksi ternak (sapronak).

Keterkaitan ini secara sederhana dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada

Gambar 1.

Dari Gambar 1 nampak bahwa industri pakan ayam ras sangat tergantung

pada beberapa hasil pertanian tanaman pangan. Sedangkan hasil pertanian

tanaman pangan tergantung pada tingkat kesuburan dan kecocokan lahan serta

musim. Apabila produksi tanaman pangan terganggu oleh musim atau oleh hama,

maka harga dari tanaman pangan tersebut akan bergejolak. Gejolak harga bahan

baku pakan akan berpengaruh terhadap harga pakan ayam ras dan pada gilirannya

akan mempengaruhi biaya produksi budidaya ayam ras. Apabila harga pakan

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

19

Jagung Kuning

Bungkil Kc. Kedele

Bungkil Kc.Tanah

Dedak Tepung Ikan

Wheat Pollard

RapeseedMeal

Industri Pakan A. Ras

Industri Peralatan Kandang

Dedak DOC

Poultry Shop

Agroindustri Hasil Budidaya

Ayam Ras

Usaha Ternak Ayam Ras

Industri Obat2 an

P a s a r

Gambar 1. Sistem Agribisnis Ayam Ras

Sumber : Alim, 1996

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

20

bergejolak naik dan tidak diikuti oleh kenaikan harga hasil ternak ayam ras, maka

para peternak akan menderita rugi.

Selain daripada itu, Gambar 1 memperlihatkan pula bahwa ada empat pola

usaha ternak (budidaya) ayam ras, yakni : (1) usaha ternak ayam ras menyediakan

sendiri seluruh sapronaknya baik langsung maupun melalui perusahaan afiliasi,

(2) usaha ternak ayam menyediakan sendiri sebagian sapronaknya, misalnya

usaha ternak menghasilkan sendiri pakan ayam ras tetapi tidak menyediakan DOC

atau sebaliknya, (3) usaha ternak yang membeli sendiri seluruh sapronaknya

langsung dari pabrik, dan (4) usaha ternak ayam ras yang membeli

seluruh sapronaknya melalui poultry shop. Dari empat pola usaha ini, pola satu

dan dua mempunyai peluang yang lebih baik dalam berbagai kondisi pasar.

Sedangkan usaha ternak pola empat berada pada posisi bersaing yang lemah dan

sangat peka terhadap perubahan harga sapronak. Dalam keadaan harga sapronak

naik, sedangkan harga produk ayam ras tidak naik, maka usaha ternak pola

keempat ini akan sangat menderita.

Peternakan Rakyat (usaha ternak ayam ras skala kecil) pada umumnya

termasuk dalam kategori usaha ternak pola keempat. Dengan demikian,

sesungguhnya Peternakan Rakyat pada umumnya berada pada kondisi pasar yang

rentan terhadap perubahan harga.

Kerumitan-kerumitan yang dialami oleh dunia usaha ayam ras bersumber

dari dua arah, yakni dari luar dan dari dalam dunia usaha ayam ras sendiri. Yang

bersumber dari luar setidak-tidaknya ada tiga sumber yang dominan, yaitu :

(1) berasal dari goncangan harga bahan baku utama pakan ayam ras, (2) berasal

dari goncangan harga produk (daging dan telur) ayam ras, dan (3) berasal dari

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

21

pola konsumsi masyarakat (selera konsumen). Sedangkan yang bersumber dari

dalam dunia usaha ayam ras sendiri, sekurang-kurangnya ada tiga . yaitu: (1) mutu

sarana produksi budidaya ayam ras, (2) pola tataniaga ayam ras, dan (3) kemitraan

secara padu antara semua sub-sistem dalam sistem agribisnis ayam ras.

2.3. Perkembangan Industri Pakan Ternak

Perkembangan industri pakan ternak, khususnya pakan ayam ras, tidak

terlepas dari budidaya ayam ras itu sendiri. Korelasi antara keduanya sangat kuat,

sebab output dari industri pakan dikonsumsi oleh ayam ras sebagai sumber utama

kebutuhan gizi. Disisi lain kemampuan produksi ayam ras tergantung pula pada

unsur-unsur gizi yang dikonsumsinya. Ketika ayam ras mulai memasyarakat di

Indonesia dirasakan perlu untuk mendirikan pabrik pakan. Tahun 1972 dipandang

sebagai titik awal berdirinya usaha ternak ayam ras secara serius, dan pada tahun

ini didirikanlah pabrik-pabrik pakan skala menengah di Jakarta. Pabrik-pabrik

pakan kala itu memasarkan hasil produksinya pada kalangan peternak ayam ras

yang masih terbatas. Namun demikian, tahun 1976 peranan pabrik-pabrik pakan

semakin jelas dan mencapai puncaknya pada tahun 1980-1981 dengan berdirinya

puluhan pabrik pakan, diantaranya banyak yang berskala besar.

Salah satu faktor penyebab berhentinya banyak usaha dalam industri

unggas nasional adalah karena ketergantungan bahan baku pakan dan bibit serta

pinjaman modal pada impor. Dalam krisis moneter dan ekonomi, harga bahan

baku impor melambung, pengembalian utang membengkak, dan pengadaan impor

terpaksa dihentikan. Setelah krisis, ternyata pabrik pakan belum pulih ke posisi

semula. Produksi pakan terpaksa diturunkan sebesar 60 persen, dan akibat lebih

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

22

jauh harga pakan melambung sehingga banyak perusahaan yang terpaksa

menghentikan usahanya.

Perkembangan jumlah pabrik pakan, kapasitas terpasang dan kapasitas

terpakai pabrik pakan di Indonesia periode 1990-2001 disajikan pada Tabel 1.

Dalam periode tersebut, rata-rata jumlah pabrik pakan ternak di Indonesia

sebanyak 61 buah, dengan rata-rata total kapasitas 6.3 juta ton atau 102.1 ribu ton

per pabrik.

Tabel 1. Perkembangan Jumlah dan Kapasitas Pabrik Pakan Indonesia Tahun 1990-2001

Kapasitas

Tahun

Jumlah Pabrik (unit)

Terpasang (000 ton)

Rataan Terpasang (000 ton/pabrik)

Terpakai ( % )

1990 59 2 945 49.9 54.26

1991 59 2 945 49.9 64.07

1992 68 2 949 43.4 61.07

1993 56 3 305 59.0 76.73

1994 56 4 785 85.4 69.80

1995 58 5 278 91.0 63.47

1996 59 6 839 115.9 62.82

1997 63 8 250 131.0 53.88

1998 67 9 089 135.7 22.95

1999 67 9 089 135.7 30.52

2000 61 10 019 164.2 44.88

2001 61 10 019 164.2 44.84 Rataan r (%/th)

61.20 0.63

6 293 12.52

102.1 11.91

54.12 -5.22

Sumber: Statistik Peternakan (diolah) dalam Kariyasa, 2003

Walau jumlah pabrik pakan terbanyak berada pada tahun 1998 dan 1999

(67 buah), namun demikian ternyata total kapasitas terpasang justru terbesar

berada pada tahun 2000 dan 2001, dimana jumlah pabrik pada tahun tersebut

hanya sebanyak 61 buah. Kalau dilihat dari perkembangannya, baik jumlahnya,

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

23

total kapasitas maupun rata-rata kapasitas per pabrik pakan periode 1990-2001

mengalami peningkatan berturut-turut 0.63 persen, 12.52 persen dan 11.91 persen

per tahun (Kariyasa, 2003).

Sementara itu, rata-rata kapasitas terpakai dari pabrik pakan selama

periode 1990-2001 hanya sekitar 54.12 persen, itu pun terjadi kecenderungan

menurun sebesar 5.22 persen per tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa hampir

sekitar 45.88 persen terjadi idle capacity, sehingga hal ini diduga sebagai salah

satu kenapa biaya produksi pakan di Indonesia relatif masih tinggi.

Tabel 2. Perkembangan Produksi Pakan dan Penggunaannya di Indonesia, Tahun 1992-2003

Kebutuhan Ternak ayam ras Tahun

Produksi (000 ton) Jumlah (000 ton) Pangsa (%) Lainnyaa (%)

1992 1 806 1 774 98.23 1.77

1993 2 536 2 409 94.99 5.01

1994 3 340 2 841 85.06 14.94

1995 3 350 3 145 93.88 6.12

1996 4 296 3 448 80.26 19.74

1997 4 445 3 017 67.87 32.13

1998 2 086 1 665 79.82 20.18

1999 2 774 1 526 55.01 44.99

2000 4 497 2 497 55.53 44.47

2001 4 991 3 598 72.10 27.90

2002 5 511 2 577 46.80 53.20

2003 10 026 5 382 53.70 46.30 Rataan r (%/th)

4 138 41.40

2 823 18.50

73.60 -4.10

26.40 228.70

Keterangan: a termasuk untuk kebutuhan selain ternak ayam ras dan stok Sumber : Statistik Peternakan (2004)

Perkembangan produksi pakan dan penggunaannya di Indonesia periode

1992-2003 menunjukkan bahwa selama periode tersebut rata-rata produksi pakan

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

24

di Indonesia mencapai 4.1 juta ton, dimana setiap tahunnya cenderung mengalami

peningkatan sebesar 41.40 persen (Tabel 2.). Dari segi penggunaannya, tampak

bahwa pada tahun 1992-1995 lebih dari 93 persen dari total produksi pakan

digunakan untuk memenuhi permintaan peternak ayam ras, sisanya sekitar

6 persen untuk memenuhi permintaan lainnya. Dalam periode 1992-2003 rata-rata

penggunaan pakan untuk ternak ayam ras 2.8 juta ton atau sekitar 73.60 persen.

Walaupun dari segi jumlah permintaan pakan dari peternak ayam ras

mengalami peningkatan sebesar 18.50 persen per tahun, namun dari sisi

pangsanya terhadap total penawaran mengalami penurunan sebesar 4.10 persen

per tahun. Sementara itu, pangsa permintaan lainnya (peternakan lainnya dan

stok) mengalami peningkatan tajam sekitar 228.70 persen pertahun.

Kecenderungan pertumbuhan industri pakan menuju bentuk monopoli

dapat pula dilihat dari porsi produksi pakan dari sekelompok pabrik pakan dalam

industri. Porsi produksi pakan dari pabrik pakan yang hanya berjumlah 12 persen

atau secara absolut berjumlah 8 pabrik pakan memiliki pangsa pasar sebesar 65

sampai 83 persen. Dengan demikian, ke delapan pabrik pakan tersebut dapat

dikatakan sebagai pengendali pasar pakan. Pada kenyataannya ke delapan pabrik

pakan tersebut bergabung dalam organisasi GPMT yang mempertegas adanya

kartel diantara mereka.

Hasil kajian Yusdja dan Saptana (1995) mengungkapkan bahwa ada

kecenderungan pertumbuhan pabrik pakan ke arah bentuk monopoli, yang sampai

saat ini sudah dalam bentuk oligopoli. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh :

(1) proporsi produksi pakan dari pabrik pakan berskala besar yang berjumlah 8

buah (12 persen) memiliki pangsa pasar sebesar 65-83 persen, (2) hasil estimasi

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

25

keuntungan pabrik pakan (1993) Rp. 265/kg pakan petelur dan Rp. 287/kg pakan

broiler atau sekitar 42-44 persen dari harga jual pakan, (3) bahkan beberapa

perusahaan peternakan skala besar melakukan integrasi vertikal, seperti

perusahaan PT. Japfa Comfeed, PT. Charoen Phokphand, PT. Cargill, PT. Anwar

Sierad, Group Subur, PT. Multi Breeder, dll, dan (4) pada kenyataannya ke

delapan pabrik pakan skala besar ini berada dalam satu organisasi GPMT

(Gabungan Pengusaha Makanan Ternak) yang mempertegas adanya kartel di

antara mereka.

GPMT (Gabungan Pengusaha Makanan Ternak) dikenal sebagai media

yang memperjuangkan nasib pabrik pakan dan mengadakan persekutuan dalam

mengatur harga pakan. Menurut analisis pasar Warta Pertanian (1996) terdapat

dua perusahaan besar yang menguasai lebih setengah pangsa pasar pakan unggas

yang tersedia. Diperkirakan mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam

menentukan harga pakan selama ini. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2000 terdapat

61 perusahaan pakan ternak seluruh Indonesia dengan kapasitas produksi

10 018 791 ton. Semakin dominannya perusahaan skala besar dapat ditunjukkan

bahwa ditahun 1999 PT. Charoen Pokphand Indonesia (CPI) mempunyai

kapasitas produksi pakan sebesar 2 410 000 ton pertahun. Selanjutnya

dikemukakan oleh pihak PT. CPI bahwa pangsa pasarnya saat ini mencapai 38

persen untuk pakan unggas. Suatu pangsa pasar yang sangat potensial untuk

menjadi leader dalam perusahaan oligopoli.

2.4. Permasalahan dan Tantangan Industri Pakan Ternak

Tingkat keuntungan pabrik pakan ditentukan oleh biaya bahan baku

makanan ternak yang digunakan (dan bagaimana meramunya menjadi pakan yang

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

26

memenuhi syarat), biaya produksi pakan, dan biaya pemasaran. Keberhasilan

pabrik pakan memperoleh keuntungan yang maksimum ditentukan oleh banyak

faktor. Yusdja dan Pasandaran (1996) memperlihatkan bahwa biaya bahan baku

makanan ternak merupakan biaya terbesar bagi pabrik pakan, yakni 78.8 persen

dari total biaya. Sedangkan biaya memproduksi adalah 7.8 persen dan pemasaran

4.4 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa biaya produksi pakan sangat

rendah. Dengan kata lain, biaya investasi relatif kecil sehingga sebenarnya

perusahaan baru tidak akan menghadapi kesulitan jika ingin mendirikan pabrik

pakan. Masalahnya adalah kemampuan dalam menguasai bahan baku.

Sekitar 85-90 persen produksi pakan di Indonesia ditujukan untuk

membuat pakan unggas, yaitu ayam ras pedaging (broiler) dan ayam ras petelur

(layer). Dengan meningkatnya produksi unggas maka produksi pakan juga terus

meningkat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya produksi pakan di awal

tahun 1970an ketika ayam ras pertama kali dimasukkan ke Indonesia.

Industri pakan ayam ras memerlukan bahan baku lebih dari 15 jenis. Dari

sekian banyak jenis bahan baku yang diperlukan, yang paling sering menimbulkan

gejolak harga pakan adalah jagung kuning, bungkil kacang kedele dan tepung

ikan. Dalam komposisi pakan ayam ras, pihak pabrik memperkirakan kontribusi

jagung kuning berkisar antara 30-55 persen, bungkil kedele antara 10-18 persen

dan tepung ikan sebesar 5 persen.

Melihat komposisi pakan sebagaimana diperkirakan oleh pihak pabrik,

jelaslah bahwa jagung kuning mengambil porsi terbesar dalam formula pakan

ayam ras, kemudian disusul dengan bungkil kedele. Hal ini jelas dikarenakan

pakan ayam membutuhkan sumber energi yang diperoleh dari jagung. Memang

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

27

sumber energi bisa diperoleh dari bahan lain seperti sorgum, singkong maupun

minyak. Akan tetapi dengan keterbatasan jumlah, harga dan nilai gizi, maka

jagung masih merupakan bahan baku utama untuk membuat ransum ayam.

Dengan demikian tidak mengherankan apabila terjadi guncangan harga dari kedua

bahan baku utama ini harga pakan ayam ras pun ikut terguncang. Oleh karena itu

produksi dan tataniaga kedua bahan baku ini perlu dicermati.

Kebutuhan bahan baku jagung kuning dari sisi kuantitas belum dapat

dipenuhi dari dalam negeri dan kekurangan ini seringkali cukup besar.

Pengalaman menunjukkan bahwa untuk mengatasi kekurangan pasokan jagung

dari dalam negeri dilakukan impor, yang kadang-kadang jumlahnya cukup besar

dan dengan harga yang relatif tinggi dibanding harga jagung domestik.

Tabel 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Jagung di Indonesia

(ton)

Tahun Produksi Jagung

Ekspor Jagung

Impor Jagung

Net Impor

Permintaan Jagung

1993 6 459 737 52 090 494 446 442 356 6 902 093

1994 6 868 885 28 880 1 109 253 1 080 373 7 949 258

1995 8 245 902 74 879 969 145 894 266 9 140 168

1996 9 307 423 17 505 587 603 570 098 9 877 521

1997 9 161 362 18 956 1 098 353 1 087 397 10 248 759

1998 10 169 488 632 515 313 463 -319 052 9 850 436

1999 9 204 036 90 647 618 060 527 413 9 731 449

2000 9 677 000 28 066 1 264 575 1 236 509 10 913 509

2001 9 347 192 90 474 1 035 797 945 323 10 292 515

2002 9 654 105 14 285 1 149 844 1 135 559 10 789 664

2003 10 886 442 34 172 1 371 126 1 336 954 12 223 396

2004 11 225 243 51 479 1 115 093 1 063 614 12 288 857 Sumber : Statistik Pertanian (2005)

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

28

Tabel 3 menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan jagung ini dalam

beberapa tahun terakhir tidak sejalan dengan laju peningkatan produksi di dalam

negeri, sehingga mengakibatkan diperlukannya impor jagung yang makin besar.

Hal yang menjadi kendala untuk meningkatkan produksi jagung Indonesia adalah

produktivitas yang masih rendah, yaitu sekitar 2.4 – 2.9 ton/ha.

Secara umum penggunaan jagung di Indonesia dapat dikelompokkan

menjadi empat yaitu : (1) konsumsi langsung, (2) bahan baku pakan ternak, (3)

bahan baku industri pangan dan (4) kebutuhan lainnya. Perkembangan

penggunaan jagung di Indonesia periode 1993-2003 disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Penggunaan Jagung di Indonesia, Tahun 1993-2003

Konsumsia Pakanb Industri Pangan dan lainnya Tahun Volume

(000 ton) Pangsa

(%) Volume (000 ton)

Pangsa (%)

Volume (000 ton)

Pangsa (%)

1993 864 13.45 2 298 35.77 3 261 50.78

1994 723 9.67 2 359 31.56 4 392 58.76

1995 567 6.60 2 420 28.18 5 601 65.22

1996 416 4.47 3 315 35.61 5 578 59.92

1997 460 4.96 3 075 33.16 5 738 61.88

1998 516 5.57 1 294 13.96 7 461 80.47

1999 563 6.15 1 717 18.77 6 868 75.07

2000 573 5.57 2 285 22.23 7 421 72.20

2001 582 6.12 2 518 26.47 6 414 67.41

2002 823 7.63 6 538 60.60 3 428 31.77

2003 718 5.88 6 942 56.80 4 562 37.32

Rataan 619 6.91 3 160 33.01 5 520 60.07

r (%/th) -1.69 -5.63 20.20 5.88 3.99 -2.65

Sumber : a SUSENAS (diolah) b Statistik Peternakan berbagai series (diolah)

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

29

Rata-rata penggunaan jagung untuk konsumsi langsung relatif sedikit yaitu

619 ribu ton per tahun atau hanya 6.91 persen dari total penggunaan jagung,

bahkan cenderung mengalami penurunan masing-masing 1.69 persen dan 5.63

persen per tahun menurut volume dan pangsa. Seperti dikutip dalam Kariyasa

(2003), sampai dengan tahun 2001, penggunaan jagung terbesar adalah untuk

kebutuhan industri pangan. Namun setelah tahun 2001, penggunaan jagung

terbesar beralih untuk kebutuhan industri pakan. Sementara itu, rata-rata

penggunaan jagung untuk industri pakan periode 1993-2003 sekitar 3.1 juta ton

atau 33.01 persen dari total penggunaan jagung. Baik dari segi volume maupun

pangsa, penggunaan jagung untuk bahan baku pakan mengalami peningkatan

masing-masing 20.20 persen dan 5.88 persen per tahun.

Tujuan utama dilakukan impor jagung adalah dalam upaya untuk

memenuhi kekurangan kebutuhan jagung dalam negeri khususnya untuk bahan

baku pakan. Sementara itu, penggunaan jagung impor untuk bahan baku industri

makanan dan non makanan masih relatif terbatas, diperkirakan hanya sekitar 15

persen. Pada Tabel 5 disajikan perkembangan komposisi penggunaan jagung

impor dan produksi domestik periode 1993-2003. Pada tahun 1993 dari total

jagung yang digunakan dalam pembuatan pakan ternak, pangsa penggunaan

jagung impor masih sangat kecil yaitu hanya 18.29 persen. Artinya hampir sekitar

81.71 persen masih menggunakan jagung domestik sehingga dapat dikatakan

bahwa jagung impor hanya sebagai pelengkap saja.

Mulai tahun 1994, ketergantungan pabrik pakan Indonesia terhadap jagung

impor sangat tinggi, dimana pada tahun tersebut sekitar 40.29 persen dipenuhi

dari jagung impor, bahkan tahun 2000 penggunaan jagung impor dan jagung

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

30

domestik dalam pembuatan pakan ternak hampir berimbang (47.04 persen dan

52.96 persen). Kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan pabrik pakan yang

semakin tinggi terhadap jagung impor kurang menguntungkan bagi perkembangan

industri pakan dan peternakan di Indonesia, apalagi dalam sepuluh tahun terakhir

volume jagung yang diperdagangkan dalam pasar dunia sangat kecil (Kasryno,

2002).

Tabel 5. Komposisi Penggunaan Jagung Impor dan Domestik dalam Pembuatan Pakan Ternak di Indonesia, Tahun 1993-2003

(%)

Komposisi Jagung Tahun

Impor Domestik

1993 18.29 81.71

1994 40.29 59.71

1995 34.04 65.96

1996 15.82 84.18

1997 30.36 69.64

1998 20.59 79.41

1999 30.60 69.40

2000 47.04 52.96

2001 34.97 65.03

2002 7.60 92.40

2003 11.60 88.40

Rataan 26.47 73.53

r (%/th) -3.66 0.82 Sumber : Tabel 3 dan 4, dimana penggunaan jagung impor untuk non pakan sebesar 15% (diolah)

Namun mulai tahun 2002 penggunaan jagung impor dalam pakan

mengalami penurunan yang signifikan. Pada Tabel 5 juga terlihat bahwa selama

periode 1993-2003 pangsa penggunaan jagung impor mengalami penurunan yaitu

3.66 persen per tahun, sebaliknya pangsa penggunaan jagung produksi domestik

cenderung mengalami peningkatan sebesar 0.82 persen per tahun. Keadaan ini

Page 18: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

31

memperlihatkan bahwa produksi jagung Indonesia mulai meningkat dengan

gencarnya penanaman jagung hibrida varietas unggul, karena dari data luas panen

jagung sampai dengan tahun 2005 tidak ada peningkatan signifikan pada luas

panen tanaman jagung. Jagung hibrida varietas unggul sendiri diperkirakan

produktivitasnya berkisar 6 – 8 ton per hektar, yang jika dibandingkan dengan

produktivitas jagung varietas biasa yang hanya berkisar 3 ton per hektar.

Lain halnya dengan kedelai. Indonesia hanya menghasilkan sedikit

tanaman keluarga kacang-kacangan yang satu ini. Buktinya, produksi kedelai

Indonesia, bahkan Asia secara keseluruhan, tergolong rendah dan hampir semua

negara Asia mengandalkan pasokan impor untuk kebutuhan kedelainya. Impor

kedelai Indonesia mencapai lebih dari dua juta ton per tahunnya. Belum lagi

bungkil kedelai yang merupakan by product kedelai dan komponen penting kedua

dalam penyusunan ransum pakan ternak. Sejak tahun 2000, impor bungkil kedelai

tercatat diatas 1 juta ton per tahun. Perkembangan produksi, ekspor dan impor

kedelai Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia

(ton)

Tahun Produksi Kedelai

Ekspor Kedelai

Impor Kedelai

Net Impor

Permintaan Kedelai

1998 1 305 640 0 343 124 343 124 1 648 764

1999 1 382 848 16 1 301 755 1 301 739 2 684 587

2000 1 018 000 521 1 277 685 1 277 164 2 295 164

2001 826 932 1 188 1 136 419 1 135 231 1 962 163

2002 673 056 0 1 325 833 1 325 833 1 998 889

2003 672 000 13 624 2 773 667 2 760 043 3 432 043

2004 723 000 18 381 2 881 735 2 863 354 3 586 354 Sumber: Statistik Pertanian (2005)

Page 19: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

32

Sementara itu, Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Makanan Ternak

(GPMT) Fenni Firman Gunadi mengatakan bahwa kenaikan harga pakan dari

Rp. 2 300/kg menjadi Rp. 2 750/kg disebabkan naiknya harga bahan baku pakan

ternak selama periode Januari hingga Maret 20041. Misalnya jagung dari

Rp. 1 100/kg menjadi Rp. 1 200/kg, bungkil kedelai dari 310 menjadi 390 dollar

AS/ton, meat bone meal (MBM) dari 300 menjadi 405 dollar AS/ton. Kenaikan

harga MBM lebih banyak disebabkan berhentinya impor dari AS dan Kanada

karena wabah Mad Cow, sehingga pasokan terbatas dan impor hanya dari

Australia dan Selandia Baru. Selama semester I 2004 produksi pakan ternak

mengalami penurunan sekitar 20 persen hanya 3.6 juta ton dibandingkan semester

I (satu) 2003 sebanyak 3.8 juta ton. Penurunan tersebut karena turunnya konsumsi

pakan ternak akibat wabah Avian Influenza (AI).

Selanjutnya diakui bahwa industri pakan ternak kesulitan mencari bahan

baku pakan ternak, terutama jagung, setelah Cina menghentikan ekspor jagung

mereka. Saat ini negara yang menjadi tujuan impor lainnya adalah Thailand dan

India. Sebenarnya industri pakan lebih menyukai jagung lokal karena mutunya

lebih baik yaitu kadar betakaroten dan proteinnya lebih tinggi. Namun, meski

produksi jagung nasional mencapai 9.8 juta ton masih sulit untuk memenuhi

kebutuhan industri pakan ternak yang mencapai 300 ribu ton/bulan. Alasannya,

panen yang tidak berlangsung kontinu dalam setahun dan daerah sentra produksi

jagung tidak berdekatan dengan industri pakan ternak sehingga harga jagung

impor lebih murah dibandingkan jagung lokal karena mahalnya transportasi.

________________

1 Bali Post (2004). Harga Pakan Melonjak, Peternak Demo : Dikaji Dewan Peternakan Ayam. Kamis, 29 April 2004.

Page 20: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

33

2.5. Kebijaksanaan Integrasi Vertikal

Industri unggas nasional terdiri atas beberapa segmen kegiatan yang satu

sama lain memiliki ketergantungan yang sangat besar karena menyangkut

kebutuhan biologis. Segmen pertama adalah budidaya, kemudian segmen pabrik

pakan, pembibitan, farmasi, industri rumah potong, dan selanjutnya pengemasan.

Menurut Nesheim (1979), urutan segmen produksi terintegrasi berada dalam satu

unit perusahaan, bahkan juga berada dalam satu lokasi perusahaan. Transfer

output intermediate sangat hemat dalam biaya angkutan, kemasan, resiko

kematian/ kerusakan dalam perjalanan, resiko penghematan tenaga kerja, dan

tidak ada margin keuntungan pada setiap segmen. Dengan demikian struktur

produksi vertikal semacam itu memberikan hasil akhir yang lebih efisien

dibandingkan jika segmen tersebut berserakan, baik menurut perusahaan maupun

berdasarkan lokasi perusahaan.

Indonesia memiliki corak perkembangan industri unggas yang banyak

didorong oleh pengaruh kebijaksanaan pemerintah. Sebelum tahun 1970, seluruh

rangkaian produksi berada dalam satu unit usaha tetapi dalam ukuran skala kecil

yakni usaha rakyat. Tetapi kemudian perkembangan industri unggas tumbuh

menurut segmen-segmen tersendiri, maka kita mengenal adanya perusahaan

pabrik pakan yang menghasilkan pakan untuk perusahaan pembibitan dan

perusahaan budidaya. Demikian juga kita memiliki perusahaan pembibitan untuk

menghasilkan bibit untuk perusahaan peternakan. Sehingga apa yang dimaksud

dengan peternakan adalah terbatas pada budidaya itu sendiri. Akibatnya

konsumen hasil akhir harus membayar mahal biaya-biaya ekonomi yang

ditimbulkannya.

Page 21: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

34

Kemudian setelah tahun 1990 ada kecenderungan industri nasional

membentuk integrasi vertikal, tetapi baru dalam bentuk kesatuan finansial yang

terdiri atas beberapa perusahaan yang tidak terintegrasi baik dalam satu

perusahaan, apalagi dalam satu lokasi. Saat ini kita mengenal beberapa grup yang

memiliki 5 sampai 7 perusahaan yang keseluruhannya merupakan segmen-segmen

agribisnis unggas. Berbagai sumber informasi melaporkan antara lain Bisnis

Indonesia (1994), Business Survey and Report (1995), dan Poultry Indonesia

(1994) serta didukung oleh data statistik Direktorat Peternakan (1993, 1994 dan

1995) bahwa beberapa perusahaan pabrik pakan skala besar melakukan integrasi

secara vertikal dalam satu kesatuan finansial meskipun dalam bentuk anak-anak

perusahaan. Bahkan beberapa diantaranya melakukan integrasi secara sempurna

dari hulu sampai ke hilir. Contoh perusahaan yang melakukan integrasi sempurna

ini adalah Charoen Pokphand grup, Cargill, Sierad dan terakhir Grup Subur yang

cikal bakalnya adalah perusahaan pakan, pada tahun 1997 meresmikan perusahaan

ketujuh yang bergerak dalam bidang industri peternakan (Poultry Indonesia, 1997)

Secara nasional usaha semacam ini tidak efisien karena hanya

menguntungkan bagi pemilik modal tetapi biaya produksi menjadi lebih tinggi

dan menjadi beban bagi konsumen. Dalam sistem peternakan yang terintegrasi,

semestinya keuntungan perusahaan diperoleh dari pengolahan lebih lanjut (further

processing), bukan dari pemeliharaan ayam. Ukuran pemeliharaan ayam per

peternaknya menjadi semakin besar. Djarsanto (1997) menyatakan bahwa masing-

masing sub-sistem dalam industri peternakan mau menang sendiri, tidak mau

berpadu. Keadaan ini sama sekali tidak memberikan dampak positif

terhadap penurunan biaya, malah meningkat. Dengan kata lain harga output tidak

Page 22: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

35

berubah antara sebelum dan sesudah integrasi. Seharusnya, dengan integrasi,

harga output akan lebih rendah.

Integrasi seperti ini telah memberikan keuntungan secara akumulasi dari

setiap sub-sistem, sehingga memberi keuntungan yang besar bagi pemilik modal.

Apalagi, dengan menguasai pangsa pasar yang besar, maka perusahaan induk

finansial dapat mengatur pasar sehingga menimbulkan suatu integrasi yang

merugikan peternak yang berada diluar integrasi tersebut.

Kini ada masalah pokok yang timbul kepermukaan yakni integrasi vertikal

semu. Integrasi vertikal yang terjadi saat ini masih jauh dari sempurna. Pada

sisi lain integrasi semu ini cenderung tumbuh membentuk monopoli atau

oligopoli. Thailand negara Asia yang sudah maju dalam industri broilernya, telah

sejak semula membangun secara terintegrasi, tetapi terjerumus kedalam bentuk

monopoli (Panayotou, 1989 dalam Yusdja et al, 2000). Sekalipun integrasi tidak

saja merupakan suatu keharusan, tetapi memang harus begitu, namun tidak harus

disertai watak monopoli.

Salah satu faktor pendorong terjadinya integrasi yang ada saat ini adalah

karena struktur perizinan. Struktur perizinan usaha yang ada saat ini tidak

menguntungkan sektor pertanian. Sebagai contoh, jika seorang pengusaha

bermaksud mendirikan usaha peternakan ayam, pabrik pakan untuk kebutuhan

sendiri, dan pembibitan, maka dia harus memiliki tiga buah surat izin. Hasilnya

adalah terciptanya tiga buah perusahaan yang terintegrasi secara semu.

Sebagaimana telah diperlihatkan bahwa integrasi semu ternyata mendorong

terjadinya peningkatan biaya. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya segera

melakukan deregulasi dalam bidang perizinan usaha peternakan. Sistem perizinan

Page 23: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

36

per sektor dan per komoditas yang berlaku saat ini tidak sesuai bagi membangun

industri ayam ras yang efisien.

Pasar Eceran Modern

Pasar Eceran Tradisional Ekspor

Koperasi Pemasaran

Pasar RT, Hotel, Rumah Makan, Konsumen Khusus

Peternak Skala Menengah

Koperasi Produksi

Pabrik Pakan Pembibitan Pabrik Obat Lainnya

Sumber Bahan Baku Pertanian

Gambar 2. Urutan Segmen Produksi Terintegrasi

Sumber : Yusdja et al, 2000

Page 24: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

37

2.6. Pendekatan Ekonomi Kelembagaan Terhadap Perilaku Industri

Kajian terhadap perilaku suatu lembaga ekonomi sangat tergantung pada

konsep pemikiran ekonomi yang mendasarinya. Saat ini terdapat dua aliran

pemikiran besar yang mewarnai hampir setiap kajian ekonomi mikro modern

(Spechler, 1990), yaitu pendekatan neo-klasik dan pendekatan ekonomi

kelembagaan (institusional). Pendekatan neo-klasik menekankan pada asumsi-

asumsi dasar yang telah mapan dan berbagai perangkat teori yang telah lengkap

dan mantap, terutama dalam menjelaskan berbagai perilaku perusahaan, perilaku

konsumen, perilaku pasar, dan hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan

masyarakat; sebagai hasil dari proses berbagai kajian yang panjang. Neo-klasik

mendasari pemikiran tentang perilaku ekonomi pada beberapa perspektif dasar

yaitu : (a) adanya keseimbangan pasar bersaing sempurna dan ketidaksempurnaan

pasar hanya merupakan pengecualian, (b) faktor (produksi) mendapat imbalan

sesuai dengan nilai dan kontribusi marjinalnya terhadap produksi, hal yang dapat

mempengaruhi kondisi tersebut umumnya diabaikan, (c) selera diasumsikan tetap

dan universal, (d) faktor organisasi dan manajemen diabaikan, (e) pengaruh politis

dan sosial dianggap minimal, dan (f) masalah pemerataan ditangani secara

terpisah dari efisiensi.

Dilain pihak pendekatan ekonomi kelembagaan justru berusaha untuk

mendalami hal-hal yang dinilai sebagai kelemahan dalam pendekatan neo-klasik.

Berangkat dari pemikiran Thorstein Veblen (1857-1929), dan dalam pengaruh

pemikiran beberapa guru ekonomi dan sosiolog Eropa, seperti Gustav Schmoller

(1839-1917), Max Weber (1864-1920) dan Werner Sombart (1883-1941);

pemikiran ekonomi kelembagaan justru berkembang di Amerika, walaupun salah

Page 25: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

38

satu penulis kelembagaan terkemuka, yaitu John Kenneth Galbraith (1908-....)

menolak untuk dikatakan sebagai “orang kelembagaan”. Walaupun beberapa

bentuk mekanisme kajian yang dilakukan mungkin juga menggunakan teknik

yang dikembangkan oleh neo-klasik, perspektif ekonomi kelembagaan yang

dikembangkan para pemikir di atas menegaskan pentingnya beberapa hal yang

tidak terdapat pada pendekatan neo-klasik (Spechler, 1990).

Pertama, fokus kajian ekonomi kelembagaan ditujukan pada lembaga atau

organisasi sebagai unit analisa. Dalam hal ini yang dimaksud kelembagaan adalah

pengaturan-pengaturan sosial tentang hubungan antar individu dan kelompok.

Ekonomi kelembagaan menempatkan norma, peraturan, kesepakatan dan berbagai

bentuk serupa; yang kemudian tercermin dalam bentuk struktur hak (property

rights) dan hal-hal yang diakui bersama (common denominator), sebagai faktor

penentu dalam pengambilan keputusan ekonomi. Perbedaan unsur kelembagaan

tersebut akan membedakan kriteria pencapaian tujuan suatu kegiatan ekonomi.

Hal berbeda dengan pendekatan neo-klasik yang umumnya memandang

rasionalitas dari pencapaian keuntungan maksimum dan kriteria hedonistik

lainnya. Kedua, kegiatan ekonomi dipandang sebagai suatu proses evolusi yang

berkelanjutan menuju pencapaian tujuan tertentu (bukan sekedar hanya mencari

keseimbangan), dan tujuan tersebut bukan hanya keuntungan maksimum. Proses

evolusi dari lembaga ekonomi tersebut mirip dengan proses evolusi berdasarkan

teori Darwin. Kondisi lembaga pada tahap berikut ditentukan oleh kemampuan

lembaga yang bersangkutan beradaptasi dengan perkembangan kondisi

lingkungan. Ketiga, setiap lembaga dan aktivitas ekonomi dapat memiliki tujuan

yang berbeda atau memiliki beberapa tujuan. Dan keempat, ekonomi

Page 26: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

39

kelembagaan menekankan pentingnya memperhatikan berbagai orientasi normatif

(sosial, politik, dan sebagainya) yang dapat mempengaruhi tujuan atau perilaku

suatu kegiatan ekonomi.

Salah satu pendekatan yang dikembangkan oleh pendekatan ekonomi

kelembagaan adalah bahwa kelembagaan memandang perilaku sebagai bagian

dari rangkaian Struktur – Perilaku - Kinerja (Structure – Conduct - Performance).

Struktur dianggap akan menentukan pola perilaku, dan pola perilaku akan

mempengaruhi kinerja, serta pada akhirnya kinerja akan mempengaruhi kondisi

struktur kelembagaan ekonomi yang bersangkutan (Cook, 1995; Schmid, 1987

dalam Krisnamurthi, 1998). Oleh sebab itu kajian terhadap perilaku usaha perlu

dimulai dengan memahami struktur kelembagaan atau dapat pula diartikan

sebagai berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku; yang kemudian

dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola perilaku lembaga serta berbagai

penjelasan mengapa perilaku tersebut terbentuk; serta dilanjutkan dengan usaha

untuk memahami keterkaitan perilaku dengan keragaan yang ditimbulkannya.

Dalam satu sistem yang berkelanjutan (proses), kinerja pada gilirannya kemudian

akan mempengaruhi struktur kelembagaan karena unsur-unsur dari struktur

berkembang sebagai akibat tingkat kinerja yang diperoleh. Jika seluruh proses

tersebut mengarah kepada tujuan yang telah disepakati oleh unsur-unsur dalam

lembaga maka kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dinilai menunjukkan

kemajuan.

Dalam konteks struktur, terdapat satu aspek yang dinilai oleh para pemikir

ekonomi kelembagaan memiliki pengaruh yang besar, yaitu aspek hak (rights atau

property rights). Perbedaan atau perubahan struktur hak-hak pelaku dalam setiap

Page 27: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

40

kelembagaan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku,

dengan memperhatikan karakteristik interdepedensi dan karakteristik sumberdaya

(Schmid, 1987 dalam Krisnamurthi, 1998).

2.7. Tinjauan Studi Terdahulu

2.7.1. Studi Mengenai Industri Pakan Ternak

Hasil penelitian Rusastra et al (1990) tentang keunggulan komparatif

produksi pakan ternak di Lampung dan Jawa Barat menemukan bahwa dinamika

harga pakan ternak sangat dipengaruhi oleh gejolak harga bahan baku, bahkan

pakan mempunyai pangsa antara 70-80 persen dari biaya produksi, sehingga

pembenahan dalam industri perunggasan maupun peternakan akan sangat

dipengaruhi oleh keberhasilan dalam pembenahan sub-sektor tanaman pangan.

Temuan serupa juga diperoleh dari hasil kajian Hutabarat et al (1993) di

empat propinsi (DKI, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan) dan Sajuti

(2001), dimana jagung merupakan bahan baku utama, dengan pangsa 40-60

persen dari bahan baku pabrik pakan ternak. Besarnya komponen jagung dalam

bahan baku pakan ternak disebabkan karena harganya relatif murah, mudah

diproduksi dalam jumlah banyak, mengandung kalori yang tinggi dan sangat

disukai ternak. Oleh sebab itu upaya untuk mengganti jagung dengan bahan lain

belum berhasil hingga saat ini. Temuan ini juga diperkuat oleh hasil kajian

Tangendjaja et al (2002) yang menunjukkan bahwa peranan jagung dalam

produksi pakan ternak sangat penting dan posisinya belum bisa digantikan secara

sempurna oleh bahan baku lainnya.

Page 28: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

41

Pada tahun 1996, Alim meneliti tentang efisiensi skala usaha pabrik pakan

dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dan pendugaan laba dengan

metode SUR (Seemingly Unrelated Regression). Penelitian ini memanfaatkan

pool data, yang terdiri dari data penampang lintang dari tiga pabrik yang berlokasi

di wilayah Bogor dan Bekasi, serta data bulanan selama tiga tahun (1992-1994),

sehingga jumlah pengamatan adalah 108 titik data. Kesimpulan dari penelitian ini

menyatakan bahwa harga jagung kuning sangat dominan dalam mempengaruhi

tingkat 1aba dan efisiensi usaha. Hal ini disebabkan jagung kuning mempunyai

pangsa yang relatif tinggi dalam penyusunan pangsa pakan ternak dan belum

tersedia bahan substitusi yang mempunyai kandungan gizi yang setara.

Penelitian Yusdja dan Pasandaran (1996) dengan menggunakan metode

linear programming menghasilkan temuan yang sangat mendukung hasil-hasil

penelitian di atas. Penelitian ini menyimpulkan bahwa jagung merupakan bahan

baku utama dari industri pakan ternak. Pangsa jagung sebagai bahan baku utama

pakan ternak mencapai 56-62 persen dari keseluruhan bahan baku pakan ternak.

Sementara biaya pakan mencapai 87.8 persen dari keseluruhan biaya produksi

daging ayam.

Hasil penelitian Purba (1999) tentang keterkaitan pasar jagung dan pakan

ternak ayam ras di Indonesia : suatu analisis simulasi dengan menggunakan data

deret waktu periode 1969-1996 dengan sistem persamaan simultan dengan

menggunakan metode 2SLS menunjukkan bahwa produksi pakan ternak sesuai

dengan teori ekonomi secara nyata dipengaruhi oleh peubah selisih harga pakan

dan jagung, tingkat suku bunga dan populasi ayam ras. Akan tetapi, baik jangka

pendek maupun jangka panjang produksi pakan ternak kurang respon terhadap

Page 29: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

42

perubahan dari peubah-peubah tersebut. Sementara itu, peubah-peubah yang

berpengaruh nyata terhadap permintaan pakan ternak adalah rasio harga pakan

terhadap harga ayam ras dan populasi ayam ras.

Selain itu, Yusdja et al (2000) meneliti struktur industri unggas nasional

yang meliputi produksi, peternak dan struktur industri pakan. Adapun responden

yang diteliti selain peternak adalah pedagang, pabrik pakan, pengolahan,

kelembagaan dan instansi pemerintah terkait di tiga propinsi yaitu Jawa Barat,

Jawa Timur dan Lampung. Pengkajian ilmiah teoritis dilakukan untuk melihat

perubahan struktur industri sebelum dan sesudah krisis moneter. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran struktur produksi dari waktu ke

waktu. Dikemukakan bahwa pada periode 1970-an, usaha peternakan ayam ras

100 persen dikuasai oleh peternakan rakyat dengan dukungan kebijakan PMA.

Namun pada periode 1990-an sebagian besar pangsa produksi dikuasai oleh

perusahaan peternakan skala besar (60 persen), skala menengah (20 persen) dan

skala kecil tinggal menguasai 20 persen.

Sejalan dengan Purba, Kariyasa (2003) meneliti perilaku dan keterkaitan

pasar jagung, pakan dan daging ayam ras di Indonesia, mengevaluasi dampak

kebijakan domestik dan faktor eksternal terhadap kesejahteraan para pelaku pasar

serta melakukan proyeksi produksi dan permintaan domestik terhadap ketiga

komoditi tersebut. Penelitian ini menggunakan data sekunder deret waktu 1980-

2001 dan dianalisis melalui pendekatan ekonometrika. Hasil pendugaan

menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara pasar jagung, pakan dan daging ayam

domestik, serta antara pasar domestik dan dunia lewat harga jagung (domestik,

impor dan dunia), harga pakan domestik, harga daging ayam (domestik, impor

Page 30: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

43

dan dunia). Kebijakan subsidi suku bunga kredit usahatani dan harga pupuk

disarankan sebagai alternatif utama dalam pengembangan pasar jagung, pakan dan

daging ayam domestik.

2.7.2. Studi Mengenai Structure-Conduct-Performance

Salah satu penelitian mengenai kinerja ekonomi dengan menggunakan

pendekatan Structure Conduct Performance (SCP) dilakukan oleh Acharya (1998)

pada pasar produk-produk pertanian di India. Penekanan dalam penelitian ini

adalah keterkaitan antara sektor on farm dan off farm yang dihubungkan oleh

sebuah sistem pemasaran produk pertanian. Sistem pemasaran diyakini

memegang peranan penting dalam menentukan harga yang merupakan sinyal bagi

produsen dan konsumen, dan kemudian kinerja sistem ini sangat ditentukan oleh

perilaku dan struktur pasar itu sendiri. Variabel-variabel yang diteliti adalah

pengukuran regulasi, infrastruktur sistem pemasaran, harga yang ditetapkan oleh

pemerintah, agen-agen dalam pasar, ekspor-impor dan kebijakan ekonomi makro.

Hasil yang didapatkan adalah keseluruhan variabel yang diteliti berpengaruh

nyata terhadap dinamika pasar produk pertanian. Karakteristik struktural pasar

produk pertanian menunjukkan dominasi lembaga-lembaga yang terorganisasi

atas lembaga-lembaga yang tidak terorganisasi dengan konsekuensi timbulnya

potensi terciptanya praktek monopoli atau oligopoli. Saran sebagai hasil dari

penelitian ini adalah perlunya meningkatkan linkages antara petani dengan sektor

ritel, pembangunan infrastruktur di pedesaan dan perlunya perhatian pada proses

grading dan pengontrolan kualitas untuk meningkatkan kinerja pasar.

Page 31: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

44

Viaenne and Gellynck (1995) menggunakan SCP untuk mengevaluasi

pertumbuhan dan situasi terkini industri makanan di Eropa, terutama perusahaan-

perusahaan yang berada di Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis. Penelitian ini

menggunakan variabel konsentrasi industri dan intensitas penggunaan tenaga

kerja sebagai indikator struktur, nilai tambah dan investasi sebagai indikator

perilaku, serta produktivitas, tingkat pertumbuhan dan profitabilitas sebagai

indikator kinerja. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan variabel-variabel

didalam structure, conduct, performance. Hasil penelitian menunjukkan Perancis

memiliki struktur industri yang paling terintegrasi dibandingkan dengan negara

yang lain, sementara Inggris dan Jerman mengalami pertumbuhan yang negatif.

Namun Belanda dan Jerman memiliki tingkat profitabilitas yang tertinggi di

antara negara yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pasar makanan Eropa

sangat ditentukan oleh keterkaitan struktur usaha, perilaku dan kinerja dalam

industri tersebut.

Vlachvei and Oustapassidis (1998) melakukan penelitian untuk membuat

hipotesis mengenai hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja pada industri

makanan di Yunani. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi parameter

tingkat profitabilitas yang dipengaruhi oleh konsentrasi industri dan iklan pada 38

manufaktur dalam industri pangan dengan menggunakan metode estimasi 3SLS.

Indikator struktur diwakili oleh indeks konsentrasi perusahaan, indikator perilaku

diwakili oleh rasio antara pengiklanan dengan total penjualan, dan tingkat

profitabilitas sebagai indikator kinerja. Hasil yang didapatkan adalah bahwa

intensitas pemasangan iklan dan ekspor berpengaruh nyata dalam meningkatkan

tingkat profitabilitas. Selanjutnya kedua variabel tersebut dipengaruhi oleh tingkat

Page 32: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

45

konsentrasi perusahaan, dan pada sebelumnya konsentrasi tersebut sangat

dipengaruhi oleh economies of scale perusahaan yang bersangkutan. Rekomendasi

yang dinyatakan oleh peneliti adalah bahwa pengiklanan dan diferensiasi produk

merupakan variabel utama yang sangat mempengaruhi profitabilitas. Hubungan

antara pemasangan iklan dan tingkat konsentrasi menunjukan bahwa perusahaan

yang memiliki pangsa produk yang besar lebih efektif untuk menggunakan media

periklanan dibandingkan dengan perusahaan dengan pangsa yang kecil.

Krisnamurthi (1998) menggunakan SCP untuk mengetahui perilaku usaha

KUD pada setiap tingkat perkembangan kelembagaan KUD. Analisis hubungan

struktur, perilaku dan kinerja koperasi menggunakan pendekatan ekonometrika

dengan persamaan simultan. Penelitian ini menggunakan variabel modal dan

volume usaha sebagai indikator struktur, orientasi usaha dan kegiatan usaha utama

serta penggunaan modal luar sebagai indikator perilaku serta produktivitas, SHU

dan volume usaha total sebagai indikator kinerja. Disimpulkan bahwa tingkat

perkembangan koperasi sangat ditentukan oleh orientasi usaha, pengembangan

usaha utama yang berbasis agribisnis pada subsistem produksi dan pemasaran

terutama yang non program dan mampu menciptakan integrasi usaha serta dengan

mencapai tingkat jumlah anggota yang optimal.

Sayaka (2003) menganalisis struktur pasar, perilaku dan kinerja industri

benih jagung di provinsi Jawa Timur, menggunakan data primer dan sekunder.

Data primer dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan milik pemerintah dan

swasta serta distributor benih jagung. Dimensi dari struktur pasar adalah derajat

konsentrasi penjual dan pembeli, diferensiasi produk, barriers to entry and exit

serta pengetahuan pasar. Perilaku pasar dievaluasi menggunakan pendekatan

Page 33: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

46

kelembagaan dan fungsional. Kinerja pasar mencakup efisiensi teknis, efisiensi

harga dan progressiveness. Analisis deskriptif dan statistik digunakan untuk

menentukan struktur, perilaku dan kinerja dari industri. Hasil penelitian

mengungkapkan bahwa struktur industri benih jagung di Jawa Timur adalah

sangat oligopolistik. Tiga perusahaan multinasional mendominasi industri.

Investasi yang besar dan terus menerus penemuan varietas baru merupakan

hambatan masuk yang dominan di industri benih jagung meskipun laba tinggi

mencegah produsen meninggalkan industri. Iklan dan jasa servis konsumen

merupakan faktor utama pilihan konsumen terhadap benih. Produsen benih

mendapat laba tinggi disamping resiko dari produk yang banyak tidak terjual. Di

tingkat pedagang besar, pasar benih jagung adalah sangat oligopolistik yang

ditandai dengan konsentrasi lebih dari 40 persen. Disisi lain pedagang pengecer

relatif kompetitif. Pedagang besar membeli dan menjual benih pada harga yang

lebih rendah dan mendapat laba yang lebih tinggi dibanding pedagang pengecer.

Secara umum, pasar benih jagung tidak efisien.

Selanjutnya Hakobyan (2004) meneliti jaringan pemasaran susu sapi di

Armenia, menggunakan analisis structure-conduct-performance. Analisis

sebagian besar terkonsentrasi pada rantai pemasaran yaitu koperasi dan pengolah

(pabrik susu). SCP digunakan untuk mengidentifikasi faktor yang menentukan

daya saing dari suatu pasar, meneliti perilaku dari perusahaan dan menaksir

sukses dari suatu industri dalam pencapaian tujuan. Penelitian menggunakan data

dan informasi dari dokumen internal USDA Marketing Assistance Project

(USDA-MAP), wawancara personal dan data publikasi. Indikator structure

diwakili oleh struktur kepemilikan, ukuran distribusi dan konsentrasi, serta

Page 34: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

47

integrasi dan kerjasama. Conduct diwakili oleh aktivitas pemasaran, kebijakan

harga dan kebijakan produk. Sementara performance dilihat dari pendapatan

peternak, pencapaian dan problem yang dihadapi. Adapun masing-masing

komponen di dalam SCP dibahas secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa masalah utama yang menghalangi peningkatan lebih lanjut

dari pabrik susu adalah ketiadaan modal untuk modernisasi dari peralatan yang

ketinggalan zaman dan mutu dari susu mentah. Problem banyak terdapat di area

pemasaran, diantaranya yang utama menghambat kemajuan dari susu yang

dipasarkan koperasi adalah rendahnya harga susu mentah serta ketiadaan ransum

dan bibit berkualitas tinggi.

Resende (2005) meneliti keterkaitan hubungan SCP dalam konteks

industri manufaktur di Brazil tahun 1996. Untuk tujuan itu, dipertimbangkan suatu

sistem dengan empat persamaan yaitu konsentrasi, iklan, R&D, dan tingkat

keuntungan yang diestimasi menggunakan model persamaan simultan. Sebagai

tambahan untuk explanatory variabel, diproksi dari barriers to entry dan kondisi-

kondisi permintaan, juga memasukkan variabel skema insentif dan praktek

organisatoris. Dari hasil penelitian mengindikasikan suatu peran penting untuk

variabel yang berhubungan dengan barriers to entry dalam mempengaruhi

struktur pasar, suatu efek non linear dan penting dari konsentrasi periklanan, suatu

dampak relevan dari firm-size terhadap penggunaan R&D dan akhirnya suatu

dampak positif yang signifikan dari konsentrasi terhadap tingkat keuntungan dan

hasil yang sama dengan sebelumnya pada negara maju. Sebagai tambahan, tidak

ada peran penting yang terdeteksi untuk praktek organisatoris dan skema insentif

pada hubungan SCP.

Page 35: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kebijakan … II... · Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama

48

Penelitian yang dilakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya, karena variabel-variabel yang ada di dalam masing-masing

komponen struktur, perilaku dan kinerja dari industri pakan ternak ayam

dianalisis secara simultan untuk melihat keterkaitan antar komponen tersebut.

Selain itu dilakukan analisis simulasi untuk melihat perkembangan industri pakan

serta merumuskan kebijakan bagi pemerintah untuk mendorong perkembangan

industri pakan di Indonesia.