41
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pantai Pantai adalah daerah tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah, sedangkan pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan yang dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Daerah lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Lihat Gambar 2 (Triatmodjo, 1999).

II bab. batimetri

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinjauan pustaka kedalaman

Citation preview

Page 1: II bab. batimetri

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pantai

Pantai adalah daerah tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi

dan air surut terendah, sedangkan pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih

mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut.

Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan

yang dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Daerah lautan adalah daerah yang

terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut

terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Garis pantai adalah garis

batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana posisinya tidak tetap dan dapat

berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Lihat

Gambar 2 (Triatmodjo, 1999).

Gambar 2. Definisi dan Batasan Pantai.

Page 2: II bab. batimetri

Ditinjau dari profil pantai, Triatmodjo (1999) membagi daerah pantai dan dasar

laut dekat pantai menjadi empat wilayah yang berurutan dari darat ke laut yaitu

backshore, foreshore, inshore, dan offshore dapat dilihat dalam Gambar 3. Backshore

adalah salah satu bagian dari pantai yang berada pada perbatasan daratan dan laut,

daerah ini tidak terendam air laut kecuali pada saat muka air tinggi, foreshore

merupakan bagian pantai yang terletak di antara daerah garis pantai pada saat air

surut terendah dan daerah batas atas dari uprush pada saat air pasang tinggi, inshore

merupakan daerah dimana terjadinya gelombang pecah, memanjang dari surut

terendah sampai ke garis gelombang pecah, perbatasan daerah inshore dan forshore

adalah batas antara air laut muka air rendah dan permukaan pantai. Sedangkan

offshore adalah bagian laut yang terletak sangat jauh dari pantai (lepas pantai), yaitu

daerah dari garis gelombang pecah ke arah laut.

Gambar 3. Pembagian Daerah Pantai (Sumber : Triatmodjo, 1999).

Page 3: II bab. batimetri

2.2. Pemanfaatan pantai Indonesia

Indonesia memiliki lebih dari 3.700 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000

km. Wilayah pantai tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan manusia, seperti sebagai

pusat pemerintahan, pemukiman, industri, pelabuhan, pertambakan, pertanian

perikanan atau pariwisata dan lain sebagainya. Kegiatan-kegatan tersebut seringkali

menimbulkan tingkat kebutuhan lahan dan prasarana meningkat. Hal ini yang

mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang sangat merusak lingkungan,

seperti :

1. Erosi pantai, adalah mundurnya garis pantai yang dapat terjadi

dikarenakan secara alami oleh serangan gelombang dan juga dapat

disebabkan oleh adanya kegiatan manusia seperti penebangan pohon

mangrove, pengambilan karang, pembangunan pelabuhan dan lain

sebagainya.

2. Sedimentasi pantai, adalah majunya garis pantai yang disebabkan adanya

endapan sedimen yang terendap di pantai. Sedimentasi ini di satu pihak

merupakan keuntungan dikarenakan dapat menimbulkan lahan baru tetapi

di lain pihak dapat menyebabkan masalah lain yaitu masalah drainase

perkotaan di daerah pantai.

3. Pendangkalan atau pembelokan muara sungai, hal ini dapat menyebabkan

aliran sungai tersumbat dan pada akhirnya mengakibatkan bencana banjir

di daerah hulu.

4. Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah industri atau

pemukiman yang dapat merusak lingkungan.

Page 4: II bab. batimetri

5. Penurunan tanah dan intrusi air laut yang diakibatkan oleh pemompaan air

tanah yang berlebihan.

2.3. Pasang Surut Air Laut

Pasang surut adalah fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut

secara berkala yang disebabkan oleh gaya gravitasi dan gaya tarik benda-benda

astronomi terutama oleh bumi, bulan dan matahari. Pengaruh benda angkasa lainnya

dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh dan ukurannya lebih kecil. Faktor non

astronomi yang mempengaruhi pasang surut terutama di perairan semi tertutup seperti

teluk adalah bentuk garis pantai dan topografi dasar perairan (Musrifin, 2011).

Triatmodjo (1999) mengatakan bahwa pasang surut adalah perubahan muka air

laut yang dikarenakan adaya gaya taraik benda-benda di langit, terutama matahari dan

bulan terhadap air laut bumi.

Menurut Musrifin (2011), puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah

gelombang disebut pasang rendah. Perbedaan vertikal antara pasang tinggi dan

pasang rendah disebut rentang pasang surut (tidal range). Pasang surut adalah

gerakan naik turunnya permukaan air laut secara berirama yang disebabkan oleh gaya

tarik bulan dan matahari, dimana matahari mempunyai massa 27 juta kali lebih besar

dibandingkan dengan bulan, tetapi jaraknya sangat jauh dari bumi (149,6 juta km)

sedangkan bulan sebagai satelit bumi berjarak (381.160 km). Dalam mekanika alam

semesta jarak sangat menentukan dibandingkan dengan massa, oleh sebab itu bulan

lebih mempunyai peran besar dibandingkan matahari dalam menentukan pasut.

Secara perhitungan matematis daya tarik bulan kurang lebih sekitar 2,25 kali lebih

Page 5: II bab. batimetri

kuat dibandingkan matahari. Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau

lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya.

Pengetahuan mengenai pasang surut sangat penting digunakan dalam perencaan

bangunan pantai dan pelabuhan, elevasi air pasang dan surut sangat digunakan dalam

pembangunan bangunan tersebut (Triatmodjo,1999).

Pasang yang mempunyai tinggi maksimum disebut spring tide dan mempunyai

tinggi minimum disebut neap tide. Biasanya dalam satu bulan terjadi dua siklus

lengkap berhubungan dengan fase bulan (lihat Gambar 4). Spring tide terjadi pada

bulan baru (new moon) dan pada bulan penuh (full moon), sedangkan nipe tide terjadi

pada perempatan bulan pertama dan perempatan bulan ketiga. (Hutabarat dan Evans,

1985).

Gambar 4. Variasi Pasang Surut Karena Perubahan Posisi Bumi-Bulan-Matahari(Triatmodjo, 1999).

Tipe pasang surut ditentukan oleh frekuensi air pasang dengan surut setiap

harinya (lihat Gambar 5). Suatu perairan mengalami satu kali pasang dan satu kali

Page 6: II bab. batimetri

surut dalam satu hari, kawasan tersebut dikatakan bertipe pasang surut harian tunggal

(diurnal tides), namun jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari,

maka tipe pasang surutnya disebut tipe harian ganda (semi diurnal tides). Tipe pasang

surut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda disebut dengan tipe

campuran (mixed tides) dan tipe pasang surut ini digolongkan menjadi dua bagian

yaitu tipe campuran dominasi ganda dan tipe campuran dominasi tunggal. Selain

dengan melihat data pasang surut yang diplot dalam bentuk grafik, tipe pasang surut

juga dapat ditentukan berdasarkan bilangan formzahl (F) (Musrifin,2011).

Gambar 5. Tipe Pasang Surut (Sumber : Triatmodjo,1999).

Menurut Triatmodjo (1999) tipe pasang surut dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)

bentuk dasar berdasarkan pada nilai Formzahl (F) yang diperoleh dari persamaan:

Page 7: II bab. batimetri

F = K1+O1/M2+S2 (2.1)

Keterangan:

F : nilai formzahl

K1 dan O1 : konstanta pasang surut harian utama

M2 dan S2 : konstanta pasang surut ganda utama

Setelah mengetahui nilai Formzahl, maka tipe pasang surut dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

1. Pasang surut ganda (semi diurnal tides): F ≤ 0,25

2. Pasang surut campuran: 0,25 < F ≤ 3,00

a). Pasang surut campuran dominan ganda (mixed dominant semi diurnal) untuk

0,25 < F ≤ 0,50

b). Pasang surut campuran dominan tunggal (mixed dominant diurnal) untuk 0,50

< F ≤ 3,00

3. Pasang surut diurnal: F > 3,00

2.4. Batimetri

Pipkins, 1987 dalam Nugraha, 2013 mengatakan bahwa istilah batimetri

bahasa Yunani, yaitu bathos yang berarti kedalaman dan metry yang berarti ilmu

pengukuran. Sedangkan menurut Poerbandono dan Djunarsjah (2005) batimetri

merupakan kegiatan pengumpulan data kedalaman dasar laut dengan metode

penginderaan atau rekaman dari permukaan dasar perairan yang akan diolah untuk

menghasilkan relief dasar perairan, sehingga dapat digambarkan susunan dari garis-

garis kedalaman (kontur).

Page 8: II bab. batimetri

Gambar 6. Tipe-tipe Pasang Surut Air Laut di Indonesia (Wyrtky, 1961 dalam Triatmodjo, 1999).

Survei batimetri merupakan bagian dari survei hidrografi yang meliputi semua

kegiatan yang bertujuan untuk memberikan informasi berupa gambaran dan

keterangan yang jelas tentang perairan - perairan dan pantai sekitamya. Pengetahuan

mengenai akustik bawah laut merupakan suatu hal yang sangat penting bagi surveyor

hidrografi. Sifat-sifat dari perambatan akustik di bawah air yang sering digunakan

untuk mengukur kedalaman laut, ketebalan lapisan laut. Setiyono, 1996 dalam

Nugraha, 2013 menambahkan, batimetri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran

kedalaman lautan, laut atau tubuh perairan lainnya.

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dijelaskan pada SNI

7646:2010 mengenai Survei Hidrografi Menggunakan Single Beam (2010) batimetri

adalah teknik atau metode yang digunakan dalam penentuan kedalaman laut atau

Page 9: II bab. batimetri

profil dasar laut dari hasil analisa data kedalaman. Standar Nasional Indonesia (SNI)

7646:2010 mengenai Survei Hidrografi Menggunakan Single beam adalah pedoman

bagi para pelaksana survei hidrografi untuk keperluan pemetaan dasar agar

didapatkan data yang terjamin kualitasnya. Unsur utama pembuatan batimetri adalah

pengukuran jarak dan kedalaman.

Survei batimetri adalah proses penggambaran dasar perairan, proses tersebut

dimulai dari pengukuran, pengolahan, hingga visualisasi dasar perairan. Pengukuran

kedalaman dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk mewakili keseluruhan daerah

yang akan dipetakan, selanjutnya pembuatan garis kontur kedalaman diperoleh

dengan menginterpolasi titik-titik yang telah dilakukan pengukuran kedalaman

(Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Survei batimetri merupakan suatu proses

kegiatan pengukuran kedalaman yang ditujukan untuk memperoleh suatu gambaran

(model) dan bentuk permukaan dasar perairan (seabed surface) (Yanto,2007).

2.4.1.Pemetaan Batimetri

Pengukuran kedalaman dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk mewakili

keseluruhan daerah yang akan dipetakan. Pada titik-titik tersebut juga dilakukan

pengukuran untuk penentuan posisi. Titik-titik tempat dilakukannya pengukuran

untuk penentuan posisi dan kcdalaman disebut sebagai titik fiks perum. Pada setiap

titik-titik fiks perum harus juga dilakukan pencatatan waktu pengukuran untuk

reduksi hasil pengukuran karena pasang surut (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005)

Menurut Poerbandono dan Djunarsjah (2005) pemeruman adalah proses dan

aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh gambaran (model) bentuk permukaan

(topografi) dasar perairan (seabed surface). Gambaran dasar perairan dapat disajikan

Page 10: II bab. batimetri

dalam garis-garis kontur atau model permukaan digital. Menurut SNI 7646:2010

mengenai Survei Hidrografi Menggunakan Single Beam (2010) pemeruman adalah

kegiatan untuk menentukan kedalaman permukaan dasar laut atau benda-benda di

atasnya terhadap permukaan laut. Pengukuran kedalaman laut (batimetri) dilakukan

dengan dua metode, yaitu sebagai berikut :

1. Metode Mekanik

Metode mekanik merupakan metode yang paling awal yang pernah dilakukan

oleh manusia untuk mengukur kedalaman suatu peraitran (Poerbandono dan

Djunarsjah, 2005). Metode ini juga sering disebut dengan petode pengukuran

pengukuran kedalaman secara langsung. Peralatan yang dipakai untuk melakukan

pengukuran kedalaman dengan metode ini adalah tongkat ukur atau rantai ukur yang

dilakukan dengan bantuan wahana apung.

a. Menggunakan Tongkat Ukur

Bentuk dan penampilan tongkat ukur tidak jauh berbeda dengan rambu

ukur yang digunakan untuk pengukuran sipat datar. Pada tongkat ukur terdapat

garis-garis dan angka-angka tanda skala bacaan ukuran. Pengukuran

kedalaman dilakukan dengan menenggelamkan alat hingga menyentuh dasar

perairan. Kedudukan alat diusahakan tegak lurus terhadap permukaan air

(Gambar 7). Pengukuran menggunakan tongkat ukur terkadang mengharuskan

pengukur turun ke dalam air untuk melakukan pengukuran menggunakan

tongkat ukur (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).

Page 11: II bab. batimetri

Gambar 7. Pengkuran Kedalaman Laut Menggunakan Tongkat Ukur.

Dari pengukuran menggunakan tongkat ukur ini maka akan didapatkan

nilai kedalaman yang belum terkoreksi dengan nilai pasang surut di daerah

tersebut, sehingga dengan menggunakan kurva pasang surut yang telah

diketahui sebelumnya di kurangi dengan nilai kedalaman yang telah diukur,

sehingga semua titik kedalaman memiliki nilai referensi yang sama.

hmsl=h−(Itide−Iref −η) (2-2)

Keterangan :

hmsl : kedalaman yang telah dikoreksi dengan nilai pasang surut

h : kedalaman hasil pengukuran

Itide : titik referensi pengukuran

Iref : referensi kedalaman terhadap nilai MSL

η : nilai elevasi pasang surut

b. Menggunakan Rantai Ukur

Karena fleksibilitas bentuknya pengukuran kedalaman menggunakan

rantai ukur biasanya dipakai untuk melakukan pengukuran kedalaman perairan

Dasar Perairan

Muka Air Laut

Tongkat Ukur

Page 12: II bab. batimetri

yang rata-rata lebih dalam dari tongkat ukur (Gambar 8). Pada rantai ukur

terdapat tanda-tanda skala bacaan dengan warna warna tertentu. Bacaan warna-

warna kadang-kadang ditempatkan juga pada silinder penggulung rantai. Pada

ujung rantai (nol skala bacaan) diberi pemberat untuk menghindari sapuan arus

perairan dan menjaga agar rantai senantiasa relatif tegak. Pengukuran

kedalaman dilakukan dengan menenggelamkan alat hingga menyentuh dasar

perairan. Kedudukan alat diusahakan tegak lurus terhadap permukaan air

(Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).

2. Metode Akustik (Perum Gema)

Untuk melakukan pengkuran kedalaman digunakan echosounder atau perum

gema yang pertama kali dikembangkan di Jerman tahun 1920 (Lurton, 2002). Perum

gema (echosounder) adalah peralatan yang digunakan untuk menentukan kedalaman

air dengan cara mengukur interval waktu antara pemancaran gelombang suara dengan

penerimaan pantulannya (gema) dari dasar air (Standar Nasional Indonesia, 2010).

Alat perum gema menggunakan prinsip pengukuran jarak dengan

memanfaatkan gelombang akustik yang dipancarkan dari transduser. Transduser

adalah bagian dari alat perum gema yang mengubah energi listrik menjadi mekanik

untuk membangkitkan gelombang suara dan sebaliknya (Gambar 9). Gelombang

akustik tersebut merambat pada medium air dengan cepat rambat yang diketahui atau

dapat diprediksi hingga menyentuh dasar perairan dan dipantulkan kembali ke

transduser (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).

Page 13: II bab. batimetri

Gambar 8. Pengkuran Kedalaman Laut Menggunakan Rantai Ukur.

Menurut Poerbandono dan Djunarsjah (2005), perum gema menghitung selang

waktu sejak gelombang dipancarkan dan diterima kembali (t), sehingga jarak

perairan relatif terhadap transduser adalah:

du = ½ . (v . t) (2-3)

Keterangan:

du : kedalaman hasil ukuran dan

v : kecepatan gelombang akustik pada medium air

Besarnya koreksi pasang surut adalah nilai kedalaman yang telah terkoreksi

transducer dikoreksi dengan nilai reduksi yang sesuai kedudukan permukaan laut

pada waktu pengukuran. Reduksi (koreksi) pasng surut laut dirumuskan sebagai

berikut:

rt=TWLt−(MSL+Z0) (2-4)

Pemberat

Dasar Laut

Muka Air Laut

Rantai Ukur

Page 14: II bab. batimetri

Keterangan:

rt : besarnya reduksi yang diberikan kepada hasil pengukuran

kedalaman pada waktu t.

TWLt : kedudukan permukaan laut sebenarnya pada waktu t

MSL : muka air laut rata-rata

Z0 : kedalaman muka air surutan di bawah MS

Gambar 9. Pemeruman Metode Akustik (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).

Setelah itu ditentukan kedalaman sebenarnya :

D=dT−rt (2-5)

Keterangan:

D : Kedalaman sebenarnya

dT : Kedalaman terkoreksi tranducer

rt : reduksi pasang surut air laut

Page 15: II bab. batimetri

2.5. Single Beam Echosounder

Menurut SNI 7646:2010 mengenai Survei Hidrografi Menggunakan Single

Beam (2010) Single Beam Echosounder adalah alat ukur kedalaman perairan yang

menggunakan pancaran tunggal sebagai pengirim dan penerima sinyal gelombang

suara. Teknologi single beam echosounder sangat cocok untuk menampilkan profil

dasar laut dan banyak digunakan untuk pengukuran kedalaman dengan cepat pada

bawah kapal untuk membantu navigasi secara real-time. Sistem pada single beam

dibuat untuk mengumpulkan sampel kedalaman dari dasar laut pada salah satu pola

teratur dan tidak teratur (Timothy, 2010).

Menurut Kschaefer (2004) beberapa keuntungan pengukuran kedalaman laut

menggunakan single beam echosounder yaitu sebagai berikut :

1. Dataset berupa titik di sepanjang lintasan.

2. Biasa dugunakan oleh kalangan umum, penggunaan dan prosesnya sederhana serta

murah.

3. Akurat dalam pengukurannya.

4. Besar frekuensi rata-rata antara 20-400 kHz.

5. Memberikan jangkauan data relatif jarang sehingga memerlukan derajat yang lebih

besar dari interpolasi.

Menurut Soeprapto (2001) terdapat bermacam-macam jenis single beam

echosounder, namun pada umumnya echosounder memiliki komposisi dasar susunan

peralatan yang sama. Susunan komponen echosounder ditunjukkan pada Gambar 10

sebagai berikut:

Page 16: II bab. batimetri

Gambar 10. Komposisi Dasar Echosounder (Soeprapto, 2001).

Keterangan Gambar :

a. Unit perekam (recorder) berfungsi mengontrol pengiriman pulsa energi listrik

dari perangkat pulsa ke transducer pemancar dan menyajikan data hasil

pengukuran.

b. Pembangkit pulsa berfungsi sebagai pembangkit pulsa energi listrik.

c. Switching unit berfungsi melewatkan pulsa energi dalam jumlah yang

diperlukan dari pemebangkit pulsa ke transducer pemancar.

d. Transducer pemancar (Transmitting transducer) berfungsi mengubah pulsa

energi listrik yang diperoleh dari switching unit menjadi energi akustik,

kemudian memancarkannya ke dasar laut dalam bentuk pulsa gelombang

suara.

e. Transducer penerima (receiving transducer) berfungsi menerima pulsa-pulsa

gelombang suara yang dipantulkan oleh dasar laut, kemudian mengubahnya

menjadi sinyal-sinyal listrik.

UNIT PEREKAM PEMBANGKIT PULSA SWITCHING

PENGUAT PENERIMA

TRANSDUCER PENERIMA

TRANSDUCER PEMANCAR

Page 17: II bab. batimetri

f. Penguat penerima (receiving amplifier) berfungsi sebagai penguat sinyal-

sinyal listrik lemah yang diterima oleh transducer.

Karaktersitik echosounder bergantung pada frekuensi, bentuk, dan durasi serta

lebar sudut pemancar dari pulsa gelombang suara yang digunakannya. Echosounder

bekerja menggunakan sifat-sifat perambatan gelombang akustik yang biasa disebut

SONAR (Sound Navigatian and Ranging) yang dipancarkan dengan arah vertikal dari

permukaan laut ke dasar laut. Pulsa yang dipancarkan oleh echosounder menjalar

dalam air dalam bentuk gelombang suara atau gelombang tekanan (compression

wave). Frekuensi gelombang yang biasa digunakan pada echosounder yaitu berkisar

antara 1-300 kHz. Secara umum frekuensi pulsa gelombang yang digunakan pada

echosounder dibedakan atas frekuensi rendah (lebih kecil dari 15 kHz), frekuensi

menengah (15-50 kHz), dan frekuensi tinggi (lebih besar dari 50 kHz). Pulsa dengan

frekuensi rendah dapat mentransmisikan energi secara efisien dalam jarang yang jauh,

selain itu energi transmisinya tidak mudah terganggu oleh objek-objek padat di dalam

air. Karena sifat-sifatnya tersebut, frekuensi rendah ini umumnya digunakan untuk

pengambilan kedalaman laut dalam. Pulsa dengan frekuensi menengah umumnya

digunakan pada echosounder untuk perairan yang berkedalaman lebih dari 300 fm (1

fathom atau 1 fm = 1,828 m) (Sjamsir, 1989).

Pulsa gelombang berfrekuensi tinggi, energi transmisinya mudah terganggu di

dalam air, sehingga memiliki jarak rambat yang relatif lebih pendek. Pulsa

gelombang berfrekuensi tinggi umumnya digunakan untuk pengambilan data

kedalaman pada perairan dangkal, atau untuk keperluan usaha-usaha perikanan dan

pemanfaatan rumput laut. Echo-sounding banyak juaga digunakan oleh nelayan

Page 18: II bab. batimetri

karena ikan menghasilkan echo dan kawasan ikan atau hewan lain dapat dikenali

sebagai lapisan-lapisan sebaran dalam kolom air (Supangat, 2003). Echosounder

memancarkan pulsa gelombang ke segala arah di dalam air dengan energi yang sama.

Karena pantulan gelombang suara dalam pemeruman dalah gelombang suara yang

dipentulkan oleh dasar laut, maka tepat setiap transducer pada echosounder

dilengkapi dengan reflektor yang didesain sedemikian rupa sehingga pancaran pulsa

gelombangnya mempunyai bentuk dan lebar sudut pemancar (beam width) tertentu

(Soeprapto, 2001).

2.4.3.Lajur Perum

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dijelaskan pada SNI

7646:2010 mengenai Survei Hidrografi Menggunakan Single Beam (2010) lajur

perum adalah garis yang menggambarkan alur kegiatan kapal dalam pemeruman.

Pemeruman dilakukan dengan membuat profil (potongan) pengukuran kedalaman.

SNI 7646:2010 mengenai Survei Hidrografi Menggunakan Single Beam (2010) juga

menjelaskan bahwa sebelum pelaksanaan pemeruman harus dibuat lajur utama dan

lajur silang, lajur utama adalah lajur perum yang digunakan sebagai alur utama dalam

pemeruman, lajur silang adalah lajur perum yang berfungsi sebagai alur cek silang

dalam validasi data perum (Gambar 11). Lajur-lajur silang (cross sounding)

digunakan untuk memeriksa hasil pengukuran lajur-lajur utama. Lajur perum dapat

berupa garis-garis lurus, lingkaran-lingkaran konsentrik atau lainnya (Poerbandono

dan Djunarsjah, 2005).

Page 19: II bab. batimetri

Gambar 11. Contoh Lajur Perum (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).

2.4.4. Garis Kontur

Garis kontur adalah garis khayal di lapangan yang menghubungkan titik dengan

ketinggian atau kedalaman yang sama atau garis kontinyu di atas peta yang

memperlihatkan titik-titik di atas peta dengan ketinggian atau kedalaman yang sama.

Aplikasi lain dari garis kontur yaitu untuk memberikan informasi slope rata-rata

(kemiringan lereng rata-rata), irisan profil memanjang atau melintang permukaan

bumi (Santoso, 1998 dalam Nugraha, 2013). Garis kontur dapat dibentuk dengan

membuat proyeksi tegak garis-garis perpotongan bidang mendatar dengan permukaan

bumi ke bidang mendatar peta. Karena peta pada umumnya dibuat dengan skala

tertentu, maka untuk garis kontur ini juga akan menyesuaikan dengan skala peta

(Soeprapto, 1999 dalam Nugraha, 2013).

Menurut Poerbandono dan Djunarsjah (2005) gambaran dasar perairan dapat

disajikan dalam garis-garis kontur atau model permukaan digital. Garis kontur juga

memiliki sifat-sifat, yaitu sebagai berikut :

Daratan

Daratan

Perairan

Lajur Perum Silang

Lajur Perum Utama

Page 20: II bab. batimetri

1. Bentuk kurva tertutup

2. Tidak bercabang

3. Tidak berpotongan

4. Menjorok ke arah hulu jika melewati sungai

5. Menjorok ke arah jalan menurun jika melewati permukaan jalan

6. Tidak tergambar jika melewati bangunan

7. Penyajian interval garis kontur tergantung pada skala peta yang disajikan, jika

adatar maka interval garis kontur adalah 1/1000 dikalikan dengan nilai skala

peta, jika berbukit interval garis kontur adalah 1/500 dikalikan dengan skala peta,

jika bergunung maka interval garis kontur garis kontur adalah 1/200 dikalikan

dengan nilai skala peta.

8. Satu garis kontur mewakili satu ketinggian tertentu

9. Garis kontur bernilai lebih rendah mengelilingi garis kontur yang bernilai lebih

tinggi

10. Garis kontur yang berbentuk huruf “U” menandakan punggung gunung

11. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf “V” menandakan suatu

lembah/jurang.

2.4.5. Pembuatan Garis Kontur Batimetri

Menurut Poerbandono dan Djunarsjah (2005) garis-garis kontur kedalaman atau

model batimetri diperoleh dengan menginterpolasi titik-titik pengukuran kedalaman

pada lokasi yang dikaji. Teknik yang paling sederhana untuk membuat garis kontur

adalah dengan teknik triangulasi menggunakan interpolasi linier, yaitu dengan

menghitung nilai kedalaman di suatu titik dari tiga titik kedalaman yang terdekat

Page 21: II bab. batimetri

dengan titik tersebut dengan pembobotan menurut jarak. Dari angka-angka

kedalaman di setiap titik-titik grid, dapat dihubungkan dari titik-titik yang

mempunyai nilai kedalaman yang sama, ilustarasi teknik triangulasi menggunakan

interpolasi linier ditunjukkan pada Gambar 12.

Gambar 12. Interpolasi dengan Teknik Triangulasi (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005)

Krigging merupakan metode interpolasi yang paling sering digunakan pada

berbagai bidang ilmu. Menurut Van Beers dan Kleijnen (2004) hasil prediksi

menggunakan metode Krigging lebih akurat dari pada metode regresi. Menurut

Larguache (2006) metode Krigging memiliki beberapa keunggulan, yaitu sebagai

berikut :

1. Metode Krigging memadukan korelasi spasial antar data yang mana tidak

dilakukan oleh prosedur statistik klasik.

2. Memiliki kemampuan menguantifikasi variansi dari nilai yang diestimasi sehingga

tingkat presisinya dapat diketahui.

3. Metode Krigging tetap bisa digunakan meskipun tidak diketahui korelasi spasial

antar data.

Page 22: II bab. batimetri

Menurut Pramono (2008) tahapan dalam menggunakan Krigging yaitu: analisa

statistik dari data, pemodelan variogram, membuat hasil interpolasi dan menganalisa

nilai variance. Metode Krigging sangat tepat digunakan bila diketahui korelasi spasial

jarak dan orientasi dari data. Oleh sebab itu, metode ini sering digunakan dalam

bidang ketanahan dan geologi.

Metode Inverse Distance to a Power (IDP) merupakan interpolator yang

menggunakan pembobotan jarak dari titik. Asumsi yang digunakan pada metode ini

adalah bahwa nilai suatu titik yang lebih dekat dengan titik tersebut daripada titik-

titik yang letaknya jauh. Salah satu ciri dari metode IDP adalah munculnya efek

“mata sapi” di sekitar posisi pengamatan. Metode Minimum Curvature digunakan

secara luas di bidang ilmu kebumian. Metode ini menganalogikan permukaan yang

diinterpolasi sebagai bidang elastis yang dihamparkan ke seluruh titik data

sedemikian sehingga hanya sedikit lekukan yang terjadi. Metode Minimum Curvature

membuat permukaan sehalus mungkin untuk data yang diinterpolasi sehingga bukan

merupakan interpolator yang eksak (Keckler, 1994).

Metode Inverse Distance Weighted (IDW) adalah metode deterministik yang

sederhana dengan mempertimbangkan titik disekitarnya. Asumsi dari metode ini

adalah nilai interpolasi akan lebih mirip dengan data yang dekat daripada yang lebih

jauh. Bobot (weight) akan berubah secara linear sesuai dengan jaraknya dengan titik

pengambilan data. Bobot ini tidak akan dipengaruhi oleh letak dari titik pengambilan

data (NCGIA, 1997 dalam Pramono, 2008). Menurut Pramono (2008) metode IDW

biasanya digunakan dalam industri pertambangan karena mudah untuk digunakan.

Untuk mendapatkan hasil yang baik, data yang digunakan harus rapat yang

Page 23: II bab. batimetri

berhubungan dengan variasi lokal. Jika titik pengambilan data tidak rapat dan tidak

merata, hasilnya kemungkinan besar tidak sesuai dengan yang diinginkan. Setelah

melakukan interpolasi terhadap titik-titik pengukuran data (batimetri) maka akan

tebentuk garis-garis kontur.

2.4. Bangunan Pantai

Salah satu masalah utama yang terjadi di daerah pantai adalah erosi pantai.

Erosi pantai dapat mengakibatkan kerugian yang besar dikarenakan rusaknya

pemukiman dan fasilitas-fasilitas yang terdapat pada kawasan tersebut.untuk

mengurangi dampak dari erosi tersebut maka hal yang perlu dilakukan adalah

mencari penyebabnya dengan mengetahui penyebabnya selanjutnya dapat dilakukan

cara penanggulanganya yang sering dilakukan adalah dengan membuat bangunan

pelindung atau menambah suplai sedimen (Triatmodjo, 1999).

Menurut Triatmodjo (1999) bangunan pantai berguna untuk melindungi daerah

pantai terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh kekuatan gelombang dan arus laut.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melindunmgi pantai, antara lain

adalah:

1. Memperkuat pantai agar dapat menahan serangan gelombang,

2. Mengubah laju transport sedimen sepanjang pantai,

3. Mengurangi energi gelombang yang sampai ke pantai,

4. Reklamasi dengan menambah suplai sedimen ke pantai

Sesuai dengan fungsinya Triatmodjo (1999) mengklasifikasikan bangunan

pantai dalam tiga kelompok yaitu (Gambar 13) :

Page 24: II bab. batimetri

1. Konstruksi yang dibangun di pantai, sejajar dengan garis pantai.

Contoh dari bangunan pantai yang masuk dalam kategori ini adalah

revetment atau dinding pantai. Bangunan ini dibangun pada garis pantai

yang berfungsi untuk melindungi pantai langsung dari gelombang

2. Konstruksi yang dibangun tegak lurus pantai dan menyambung ke pantai

Contoh dari bangunan pantai yang masuk dalam kategori ini adalah

bangunan jetty dan groin. Groin adalah salah satu jenis bangunan pantai

yang dibangun menjorok dari pantai ke arah laut, yang berfungsi untuk

menangkap sedimen sepanjang pantai, sehingga transport sedimen

sepanjang pantai berkurang. Biasanya groin dibangun secara seri, yaitu

beberapa groin dibangun dengan jarak atara groin tertentu di sepanjang

pantai. Sedangkan Jetty adalah bangunan tegak lurus garis pantai yang

dibangun di sisi muara sungai. Bangunan ini berfungsi untuk menahan

sedimen yang bergerak sepanjang pantai dan mengendap di mulut sungai.

3. Konstruksi yang dibangundi lepas pantaidan kira-kira sejajar dengan garis

pantai.

Contoh bangunan pantai yang termasuk dalam kategori ini adalah

breakwater atau bangunan pemecah gelombang. Bangunan pemecah pantai

dibedakan menjadi dua macam, yaitu pemecah gelombang sambung pantai

dan lepas pantai. Bangunan pemecah gelombang lepas pantaibanyak

digunakan sebagai pelindung pantai terhadap erosi dengan menghancurkan

energi gelombang sebelum mencapai pantai, sehingga perairan di belakang

bangunan menjadi lebih tenang dan akhirnya terjadi pengendapan sedimen

Page 25: II bab. batimetri

di daerah tersebut. Sedangkan bangunan pemecah gelombang sambung

pantai biasanya digunakan untuk melindungi daerah pelabuhan dari

gangguan gelombang sehingga kapal-kapal dapat merapat ke dermaga.

Gambar 13. Beberapa Tipe Bangunan Pantai (Triatmodjo, 1999).

2.5. Semi Permeable Dam Hybrid Engineering

Pembangunan bangunan pantai Hybrid Engineering (Gambar 14) merupakan

salah satu solusi yang bersahabat dengan alam dengan tujuan untuk mendapatkan

keseimbangan sedimen pada daerah yang terjadi erosi pantai. Ide pembangunan ini

Page 26: II bab. batimetri

adalah kecilnya tingkat kelulus hidupan tanaman mangrove di daerah yang sudah

tererosi dan terkena pengaruh gelombang.

Gambar 14. Bangunan Pantai Hybrid Engineering

Ekosistem mangrove memiliki fungsi yang banyak dan merupakan salah satu

mata rantai kehidupan pesisir yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan

siklus Biologi di perairan (Rusila, 2006). Komunitas mangrove tumbuh di daerah

pasang surut, memiliki tolerasnsi dengan salinitas air laut, akar mangrove dapat

mengikat dan menstabilkan substrat lumpur sehingga dapat mempertahankan struktur

pantai dari erosi pantai (Davies dan Claridge, 1993 dalam Rusila, 2006).

Fungsi akar mangrove tersebut maka diupayakanlah dam yang tidak kedap air

yang dapat memerangkap sedimen sehingga mampu memberikan tambahan lahan

yang cocok untuk pertumbuhan mangrove, maka Hybrid Engineering merupakan

solusi yang memenuhi persyaratan tersebut, yaitu dam tidak kedap air dan dapat

memerangkap sedimen.

Page 27: II bab. batimetri

Gambar 15. Ilustrasi Pengaruh Gelombang dan Arus Terhadap Hard structure Pada Pantai Berlumpur ( Puspitasari, 2014)

Pembangunan bangunan pantai Hybrid Engineering di pantai berlumpur yang

telah tererosi sangat tepat, dikarenakan apabila menggunakan bangunan pantai Hard

Structure di daerah tersebut maka yang terjadi adalah ketika gelombang dan arus

datang dari arah laut pada saat terjadi air pasang dan menabrak struktur bangunan

kemudian kembali kearah laut dengan mengerosi lumpur, mengakibatkan Hard

Structure menjadi tidak stabil dan miring, jika diteruskan maka Hard Structure akan

rusak dan erosi pantai akan terjadi kembali (Verschare, 2013 dalam Puspitasari,

2014).