115
Proposal Tugas Akhir IDENTIFIKASI FAKTOR KECELAKAAN BERDASARKAN GEOMETRIK RUAS JALAN MEDAN - KABANJAHE (Study Kasus) Disusun Oleh: Bisara Lundu Lumbantoruan 010310046 Disetujui Oleh: Koordinator Tugas Akhir Ir. Charles Sitindaon,MT Disahkan Oleh: Ketua Jurusan Ir. Oloan Sitohang,MT

Identifikasi Faktor Kecelakaanberdasarkan Geometrik Ruas Jalan Medan

Embed Size (px)

Citation preview

EVALUASI GEOMETRIK RUAS JALAN MEDAN - KABANJAHE

Proposal Tugas Akhir

IDENTIFIKASI FAKTOR KECELAKAAN BERDASARKAN GEOMETRIK RUAS JALAN MEDAN - KABANJAHE

(Study Kasus)

Disusun Oleh:

Bisara Lundu Lumbantoruan

010310046

Disetujui Oleh:

Koordinator Tugas Akhir

Ir. Charles Sitindaon,MT

Disahkan Oleh:

Ketua Jurusan

Ir. Oloan Sitohang,MT

UNIVERSITAS KATOLIK SANTO THOMAS

FAKULTAS TEKNIK JURUSAN SIPIL

SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

BAB I

PENDAHULUANI.1. Latar Belakang

Peran sektor perhubungan darat sangat penting dalam pembangunan kawasan tertinggal sekaligus memajukan dan mempercepat pertumbuhan kawasan tersebut oleh karena itu pembangunan prasarana perhubungan darat (jalan raya) sangat dibutuhkan dan diarahkan untuk memperlancar arus perpindahan barang dan jasa serta meningkatkan mobilitas manusia ke seluruh wilayah tanah air.

Untuk memenuhi fungsi tersebut, jalan raya sebagai prasarana perhubungan lalu lintas darat harus lancar, aman dan nyaman bagi pemakainya serta memenuhi syarat teknis dan ekonomis sesuai fungsi, volume dan sifat-sifat lalu lintas yang dilayani.

Ruas jalan Medan Kabanjahe merupakan ruas jalan yang sangat penting karena poros ini menghubungkan ibukota Propinsi dengan ibukota Kabupaten. Hal tersebut memperlihatkan bahwa ruas Medan Kabanjahe jalan merupakan prasarana perhubungan yang vital dan harus mendapat perhatian dalam menunjang pembangunan yang sedang digalakkan.

Adanya dugaan bahwa alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal pada segmen-segmen tertentu dari ruas jalan tersebut tidak memenuhi persyaratan teknik jika ditinjau dari sisi perencanaan geometrik sehingga prinsip perjalanan aman, nyaman dan ekonomis tidak tercapai.

Adanya perkembangan lalu lintas yang cukup tinggi dengan kondisi eksisting jalan yang diperkirakan tidak dapat melayani kendaraan sesuai dengan kecepatan rencana yang dianjurkan (berdasarkan hirarki jalan) maka dilakukanlah suatu penelitian agar permasalahan ini dapat dikaji secara ilmiah sehingga nantinya dapat diperoleh suatu hasil dan memberikan rekomendasi guna perbaikan bentuk geomentri dari ruas jalan tersebut.

I.2. Rumusan Masalah

Pada beberapa lokasi yang ditinjau karena diduga tidak sesuai dengan kriteria standar perencanaan geometrik jalan yang berkaitan dengan alinyemen horizontal dan vertikal, hal tersebut diperkuat dengan data banyaknya kecelakaan yang terjadi di sepanjang lokasi yang ditinjau lebih dari 50% kecelakaan tersebut mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka parah, sehingga timbul pertanyaan apakah alinyemen horizontal dan vertikal pada lokasi yang ditinjau sudah sesuai dengan kriteria standar perencanaan geometrik jalan yang memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan bagi para pengguna jalan ?I.3. Lingkup Pembahasan.

1.Batasan Wilayah Studia. Lokasi penelitian hanya dilakukan pada daerah tertentu yang diduga tidak memenuhi standar perencanaan geometrik (alinyemen vertikal maupun alinyemen horizontal),dan sering terjadi kecelakaan.b. Yang terdiri dalam segmen berikut ini Pada km 37 sampai 39 ( Sta 0+000 - Sta 2+000) Pada km 41 Sampai 43 ( Sta 2+000-Sta 4+000 )2.Batasan Materi

-Materi yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu parameter perencanaan geometrik jalan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.

-Hasil pengukuran yang dilakukan di lapangan disertai dengan penggambaran tidak membahas mengenai masalah penampang melintang (cross section) dan penampang memanjang (long section) yang berkaitan dengan galian dan timbunan.

I.4. Tujuan dan Maksud Penelitian

Tujuan penelitian: untuk mengetahui kondisi eksisting geometrik jalan dan merencanakan kembali jalan yang ideal sesuai dengan hirarki fungsionalnya pada lokasi yang ditinjau berdasarkan tata cara dan kriteria perencanaan geometrik jalan dalam kaitannya dengan kondisi yang lebih baik agar setiap pemakai jalan dapat melewatinya dengan aman, nyaman dan ekonomis dengan resiko kecelakaan yang sekecil mungkin.Maksud penelitian:

1. Dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Propinsi Sumtera Utara atau instansi terkait agar dapat melakukan penanganan apabila ternyata didapatkan bahwa kondisi geometrik pada lokasi yang ditinjau tidak sesuai dengan perencanaan geometrik yang seharusnya agar jalan tersebut dapat melayani pengguna jalan dengan baik sehingga rasa aman, nyaman dan ekonomis dapat dirasakan oleh para pengguna jalan tersebut.

2. Memberikan informasi mengenai kondisi geometrik masa kini dari ruas jalan Medan Kabanjahe kepada khlayak terutama bagi para pemerhati bidang transportasi.

1. Survei awal: untuk mengetahui secara langsung ruas jalan yang menjadi objek penelitian tentang hal-hal yang diperlukan sebelum dilakukan pengambilan data primer dan sekunder.

2. Data Sekunder:

a. Mengumpulkan data peta sistem jaringan jalan yang ditinjau secara umum.

b. Mengumpulkan data mengenai hirarki jalan yang ditinjau.

c. Mengumpulkan data LHR

d. Mengumpulkan data mengenai tata guna lahan di sepanjang lokasi yang menjadi objek penelitian.

e. Mengumpulkan data mengenai kecelakaan lalu lintas yang terjadi di sepanjang ruas jalan yang menjadi lokasi penelitian.

f. Mengumpulkan laporan-laporan hasil studi sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan yang menjadi obyek penelitian.

3. Data Primer:a. Pengukuran ruas jalan pada segmen-segmen tertentu (kritis) yang menjadi obyek penelitian dengan menggunakan alat ukur Waterpass dan alat ukur Theodolith.

b. Melakukan survey kecepatan kendaraan di tikungan.

4. Studi Pustaka: penelusuran pada beberapa literatur yang berhubungan dengan tata cara perencaan geometrik jalan serta membandingkannya dengan kenyataan di lapangan.

5. Teknik Analisa Data:a. Analisis angka kecelakaan lalu-lintas (Severity Index dan Equivalent Accident Nunber)

b. Analisis LHR

c. Analisis tata guna lahan

d. Analisis alinyemen horisontal.

e. Analisis alinyemen vertikal

DAFTAR PUSTAKA

Aberor Dahwan, ------------, Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan Raya, Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta

Anonim, 1995, Keselamatan Lalu-Lintas Ditinjau Dari Perencanaan Geometri Jalan, Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta.

Karnadi, H.S., 1970, Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta

Ruslan Diwiryo, 1979, Pengantar Teknik Jalan Raya, Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta.

Silvia Sukirman, 1994, Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan, Nova, Bandung.

Suharsono Martakim, 1996, Tata Cara Perencanaan Teknik Lansekap Jalan, Direktorat Jenderal Bina Marga

Silvia Sukirman, 1999, Jakarta.

BAB IISTUDI KEPUSTAKAAN2.1. Sejarah dan Fungsi JalanTransportasi secara umum dicirikan dengan digunakannya berbagai moda tranportasi oleh manusia untuk melakukan mobilitas kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Moda transportasi yang ada, bila ditinjau dari geografis fisik adalah transportasi darat, laut, sungai, danau dan udara.Transportasi darat meliputi jalan raya dan jalan rel, transportasi udara diwakili oleh pesawat terbang sedangkan transportasi air ( laut, sungai, danau.) meliputi perahu, speedboat, jet-coaster, ferry dan lain sebagainya.Jalan raya sejak mulai dirintis, hanya berupa lintas lalu lalang manusia untuk mencari nafkah dengan jalan kaki, atau menggunakan kendaraan sederhana beroda tanpa mesin. Makin lama perkembangan jalan berkembang dengan pesat, seiring dengan perkembangan teknologi yang melahirkan kendaraan bermesin mulai dari roda dua, tiga, empat atau sampai lebih dari roda empat. Dari semula jalan hanyalah sebagai alat bantu manusia mencari kebutuhan berkembang menjadisarana pelayanan jasa angkutan manusia, barang dan bahkan menjadi sarana pengembangan wilayah dan peningkatan ekonomi. Dengan pesatnya perkembangan jalan ini, yang semula hanya dibuat asal jadi saja belakangan mulai dipikirkan syarat-syarat jalan, agar dapat melayanipengguna jalan dengan nyaman, aman dan cepat.Persyaratan geometrik jalan, adalah salah satu dari persyaratan yang ada untuk memberikan kenyamanan , keamanan dan kecepatan. Banyak syrat lain diluar syarat geometrik ini, yang merupakan persyaratan konstruksi jalam secara umum meliputi antara lain persyaratan struktur jalan, persyaratan bahan jalan, pelaksanaan jalan dan lain-lain

Secara umum Konstuksi Jalan Raya tidak hanya terbatas pada geometri jalan saja , namun untuk pegangan dasar bagi pemerhati, pelaksana,pengawas, dan siapapun yang berkepentingan dalam disiplin ilmu ini. Geometrik Jalan Raya merupakan bekal awal untuk mendalami dan memahami pengertian dasar dari suatu bentuk konstruksi yaitu konstruksi Jalan Raya, sesudahnya baru didekati lagi dengan pendekatan stuktur, yang lebih mengarah kepada bentuk fisik dan kekuatan konstruksi jalan, yang memerlukan penelaahan yang lebih matang dan akurat.

2.2. Klasifikasi jalan2.2.1.Klasifikasi menurut volume dan fungsi (PPGJR No. 13 tahun 1970)Jalam dibagi dalam kelas-kelas yang penetapannya kecuali didasarkan pada fungsinya juga dipertimbangkan pada besarnya volume lalu lintas yang diharapkanakan menggunakan jalan yang bersangkutan.

Volume lalu lintas dinyatakan dalam satuan mobil penumoang (smp) yang besarnya menunjukkan jumlah lalu lintas harian rata-rata.

Klasifikasi jalan tersebut yaitu:

KlasifikasiLalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) dalam smp

FungsiKelas

Utama

Sekunder

PenghubungI

II A

II B

II C

III >20.000

6.000 sampai 20.000

1.500 sampai 8.000

< 2.000

-

Kelas I:

Kelas Jalan ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan untuk dapat melayani lalu lintas cepat dan berat. Dalam komposisi lalu lintasnya tak terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini merupakan jalan-jalan raya yang berjalur banyak dengan konstruksi perkerasan dari jenis yang terbaik dalam arti tingginya tingkatan pelayanan terhadap lalu lintas.

Kelas II:

Kelas jalan ini mencakup semua jalan jalan sekunder. Dalam komposisi lalu lintasnya terdapat lalu lintas lambat. Selanjutnya berdasarkan komposisis dan sifat lalu lintasnya dibagi dalam tiga kelas, yaitu: IIA, IIB dan IIC.

Kelas IIA:

Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan konstruksi permukaaan jalan dari jenis aspal beton ( hot mix ) atau yang setarap, dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan tak bermotor. Untuk lalu lintas lambat, harus disediakan jalur tersendiri

Kelas IIB:

Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan dari penetrasi berganda atau yang setarap dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat, tapi tanpa kendaraan tak bermotor.

Kelas IIC:

Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan dari jenis penetrasi tunggal dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.

Kelas III:

Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung dan merupakan konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua. Konstruksi permukaan jalan yang paling tingga adalah pelaburan dengan aspal2.2.2.Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi /Peranan (A). Sistem Jaringan Jalan Primer Jalan Arteri Primer

Jalan Kolektor Primer

Jalan Lokal Primer

(B). Sistem Jaringan Jalan Sekunder

Jalan Arteri Sekunder

Jalan Kolektor Sekunder

Jalan Lokal Sekunder

(A). Sistem Jaringan Jalan Primer

Sistem Jaringan Jalan Primer adalah jalan yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi dalam struktur pengembangan wilayah, dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Didalam satu wilayah pengembangan, sistem jaringan jalan primer, menghubungkan kota jenjang kesatu, kedua, ketiga dan jenjang dibawahnya,secara terus menerus sampai ke persil.

2. Antar satuan wilayah pengembangan, sistem jaringan primer menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu. Jalan Arteri primer, menghubungkan kota jenjang kesatu, yang terletak berdampingan , atau menghubungkan kota jenjang kesatu, dengan kota jenjang kedua.

Jalan kolektor primer, menghubungkan kota jenjang kedua,dengan kota jenjang kedua,atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang ketiga, atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga.

Jalan lokal primer, menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil,atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan persil.

Sistem jaringan primer, disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi sebagai berikut.A.1. Jalan Arteri Primer

a. Didesain paling rendah dengan kecepatan 60 km/jam.

b.Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.

c. Kapasitas lebih besar dari pada Volume lalu lintas rata-rata.

d. Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang-alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal.

e. jumlah jalan masuk, ke jalan arteri primer, dibatasi secara efisien sehingga kecepatan 60 km/jam dan kapasitas besar tetap terpenuhi.

f. Persimpangan pada jalan arteri primer harus dapat memenuhi ketentuan kecepatan dan volume lalu lintas.

A.2. Jalan Kolektor Primer.a. Didesain untuk kecepatan rencana paling rendah 40 km/jam.

b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.

c. Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.

d. Jumlah jalan masuk dibatasi, dan direncanakan sehingga dapat dipenuhi kecepatan paling rendah 40 km/jam.

e. Jalan kolektor primer, tidak terputus walaupun memasuki kota.

A.3. Jalan Lokal Primer.

a. Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam.

b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 6m.

c. Jalan lokal primer tidak terputus, walaupun memasuki desa.(B). Sistem Jaringan Jalan Sekunder

Sistem Jaringan jalan Sekunder. Adalah jalan yang menghubungkan kawasan-kawasan fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan dalam satu wilayah perkotaan. Jalan arteri sekunder, menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu,atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.

Jalan kolektor Sekunder, menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua, atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.

Jalan lokal sekunder, menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan,atau menghubungkan kawasan sekunder ketiga dengan perumahan.

Sistem jaringan jalan sekunder, mengikuti peraturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan- kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan, dengan batasan sebagai berikut:B.1. Jalan Arteri Sekunder

a. Di desai berdasarkan kecepatan paling rendah 30 km/jam.

b. Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.

c. Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.

d. Pada jalan arteri sekunder, lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.

e. Persimpangan jalan dengan pengaturan tertentu harus memenuhi kecepatan tidak kurang dari 30 km/jam.

B.2. Jalan Kolektor Sekunder.

a. Di desain berdasarkan kecepatan paling rendah 20 km/jam.

b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 5 meter.B.3. Jalan lokal sekunder.

a. Di desain berdasarkan kecepatan paling rendah 10 km/jam.

b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 5 meter.

c. Dengan kecepatan paling rendah 10 km/ jam, bukan diperuntukkan untuk roda tiga atau lebih.

d. yang tidak diperuntukkan kendaraan roda tiga atau lebih harus mempunyai lebar jalan tidak kurang dari 3,5 meter.

2.2.3. klasifikasi Jalan Menurut Wewenag Pembinaan.

Jaringan jalan menurut wewenang pembinaan terdiri dari:

(A). Jalan Nasional

Jalan Arteri Primer,

Jalan Kolektor Primer, yang menghubungkan anatar ibukota propinsi.

Jalan selai dari yang termasuk arteri/kolektor primer, yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan nasional,yakni jalan yang tidak dominan, tapi mempunyai peranan menjamin kesatuan dan keutuhan nasional, melayani daerah-daerah yang rawan dan lain-lain.

(B). Jalan Provinsi.

Jalan kolektor Primer, yang menghubungkan ibukota propinsi, dengan ibukota Kabupaten atau Kotamadya.

Jalan kolektor Primer, yang menghubungkan antar ibukota Kabupaten/Kotamadya.

Jalan selain dari yang disebut diatas, yang mempungai nilai strategis terhadap kepentingan provinsi, yakni jalan yang biarpun tidak dominan terhadap perkembangan ekonomi. Tapi mempungan peranan tertentu, dalam menjamin terselenggaranya pemerintah yang baik dalam Pemerintahan Daerah tingkat I dan terpenuhinya kebutuhan kebutuhan sosial lainnya.

(C). Jalan Kabupaten.

Jalan Kolektor Primer,yang tidak termasuk dalam kelompok Jalan Nasional dan kelompok Jalan Provinsi. Jalan Lokal Primer.

Jalan Sekunder lain, selain sebagaimana dimaksud sebagaimana Jalan Nasional, dan Jalan Provinsi.

Jalan selain dari yang disebutkan diatas, yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan Kabupaten,yakni jalan yang walaupun tidak dominan terhadap pengembangan ekonomi,tapi mempunyai peranan tertentu dalam menjamin terselenggaranya pemerintahan dalam Pemerintah Daerah.(D). Jalan Kotamadya

Jaringan jalan sekunder dalam Kotamadya.

(E). Jalan Desa.

Jaringan jalan sekunder di dalam desa, yang merupakan hasi swadaya masyarakat, baik yang ada di desa ataupun di kelurahan.

(F). Jalan Khusus

Jalan yang dipelihara oleh Instansi/Badan Hukum/Perorangan untuk melayani kepentingan masing-masing.

2.2.4. klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan.

Klasifikasi Jalan menurut kelas jalan dapat dilihat pada tabel 2.2.3a. (untuk jalan antar kota) dan tabel 2.2.3b. (untuk jalan perkotaan ) dan tabe 2.2.3c. (untu jalan Kabupaten) sebagai berikut:Tabel 2.2.3a. Klasifikasi Jalan Antar Kota.

FungsiKelasMuatan Sumbu Terberat

ArteriI

II

IIIA>10

10

8

KolektorIIIA

IIIB8

LokalIIIC8

Sumber: TPJAK-No.038/T/BM/1997Tabel 2.2.3b. Klasifikasi Jalan Perkotaan

i). Jalan Tipe I ( Pengaturan Jalan Masuk: penuh)

FungsiKelas

Primer: - Arteri

- KolektorI

II

Sekunder : - ArteriII

Sumber: Standart Perencanaan Geometrik untuk Jalan perkotaan -1988 ii). Jalan Tipe II ( Pengaturan Jalan Masuk: Sebagian atau tanpa pengaturan)

FungsiVolume lalu lintas(smp)Kelas

Primer: - Arteri -Kolektor->10000

200006000

500

500201-500

50-200

50.0004-60,90-1

30.000- 50.0006-80,80-1

10.000-30.0006-80,80-1

5000-10.0008-100,60-0,80

1000-500010-120,60-0,80

, dimana superelevasi yang dibutuhkan kurang atau sama dengan 3%). Gambar diatas menunjukkan lengkung horizontal berbentuk busur lingkaran sederhana. Bagian lurus dari jalan ( di kiri TC dan dikanan CT) dinamakan bagian TANGEN. Titik peralihan dari bentuk tangen ke bentuk busur lingkaran (circle) dinamakn TC dan titik peralihan dari bentuk tangen ke busur lingkaran (circle) ke tangen dinamakan CT. Jika bagian yang lurus dari jalan diteruskan , maka akan memotong titik yang diberi nama dengan PI ( point of intersection), sedangkan sudut yang terbentuk oleh kedua garis lurus tersebut dinamakan sudut perpotongan yang bersimbol . Jarak antara TC PI diberi simbol Tc. Ketajaman lengkung dinyatakan ileh radius Rc. Seandainya lengkung tersebut dibuat simetris maka garis 0 PI merupakan garis bagi sudut TC-0 CT. Jarak antara titik PI dan busur lingkaran dinamakan Ec, panjang busur lingkaran dinamakan Lc.

Tc= Rc. Tg. ...........................................................(2.16)

Ec=

Ec= Tc. Tg ................................................................(2.17)

Lc=, dalam derajat ........................(2.18)

Lc= 0,01745 . Rc, dalam derajat..........................(2.18a)

Lc= Rc.

dalam radial...........................(2.18b)

Karena lengkung hanya berbentuk lingkaran saja, maka pencapaian superelevasi dilakuka sebagian pada jalan yang lurus dan sebagian lagi pada bagian lengkung, sedangkan bagian lengkung peralihan tidak ada, maka daerah pencapain kemiringan disebut sebagai panjang peralihan fiktif ( Ls).

Bina Marga menenpatkan Ls di bagian lurus ( sebelah kiri TC atau sebelah kanan CT) dan Ls, ditempatkan di bagian lengkung ( sebelah kanan TC atau sebelah kiri CT, seperti gambar dibawah ini.

Catatan : ABC :

Gambar.2.4. pencapaian superelevasi menurut Bina Marga.2.5.2.2. Lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (spiral circle Spriral)

Gambar.2.4. Lengkung spiral circle spiral.

Lengkung TS SC adalah lengkung peralihan berbentuk spiral (clothoid) yang menghubungkan bagian lurus dengan radius tak terhingga di awal spiral (sebelah kiri TS) dan bagian berbentuk lingkaran dengan radius = Rc di akhir spiral (sebelah kanan SC). Titik TS adalah titik peralihan bagian lurus ke bagian berbentuk spiral dan titik SC adalh titik peralihan bagian spiral ke bagian lingkaran.

Rumus yang dipergunakan:

Koordinat sembarang titik P, dicari dengan rumus:

X = L ( 1 - )

Y =

Jika panjang lengkung peralihan dari TS ke SC adalah Ls dan R pada SC adalah Rc, maka rumus yang dipergunakan adalah:X = Ls ( 1 - )

Y =

Besarnya sudut spiral pada titik SC, adalah:

s =

s =

p =

k = Ls

untuk Ls = 1m, p = p* dan k = k* dan untuk Ls = Ls, p = p*. Ls dan k = k*. Ls

sudut pusat lingkaran = c, dan sudut spiral = sjika besar sudut perpotongan kedua tangen adalah , maka:

c = - s

Es = (Rc + p) Sec - Rc

Ts = ( Rc + p ) tg + k

Lc =

Pencapaian kemiringan pada lengkung spiral circle spiral, dilakukan secara linear, diawali bentuk normal sampai ke awal lengkung peralihan TS pada bagian lurus jalan, kemudian sampai superelevasi penuh, pada bagian akhir lengkung peralihan SC.

Gambar. 2.5. pencapaian superelevasi ( kemiringan ) pada tikungan Spiral circle spiral2.5.2.3. Lengkung Spiral - spiral

Lengkung horizontal berbentuk spiral spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Panjang busur lingkaran.Lc = 0, dan s = 1/2.Rc, yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar daripada Ls yang menghasilkan landai relatif minimum yang diisyaratkan.

Ls = (2.19)

Dengan sudut s =1/2.

Rumus lainnya dari lengkung spiral- circle spiral tetap dapat digunakan, dengan mengakomodir hal khusus diatas.

Pencapaian kemiringan pada spiral-spiral, seluruhnya dilakukan pada bagian spiral

Gambar. 2.5. pencapaian superelevasi pada tikungan lingkaran penuh.

2.5.3. Pelebaran perkerasan di tikungan.

Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju tikungan, seringkali tidak dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang yelah disediakan, disebabkan;1) Pada waktu membelok yang diberikan sudut beloka, hanya roda depan, sehingga roda belakang menjalani lintasan lebih ke dalam dari roda depan.

2) Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper depan dan belakang kendaraan mempunyai lintasan berbeda antara roda depan dan roda belakang.

3) Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan lintasannya untuk tetap pada lajur jalannya, terutama pada tikungan- tikungan yang tajam atau pada kecepatan yang tinggi, maka untuk menghindari hal diatas perlu diadakan pelebaran di tikungan.

Secara praktis, perkerasan harus diperlebar, bila radius lengkungan lebih kecil dari 120 m, untuk menjaga agar pandangan bebas kearah samping terhadap kendaraan-kendaraan lain, sedangkan pelebaran tidak diperlukan bilamana kecepatan rencana kurang dari 30 km/jam.

Pencapaian pelebaran pada lengkung horizontal.

Pelebaran pada lengkung horizontal harus dilakukan secara perlahan-lahan dimulai dari awal lengkung ke bentuk lengkung penuh dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk memberikan bentuk lintasan yang baik bagi kendaraan yang hendak memasuki lengkung atau meninggalkannya. Pada lengkung-lengkung lingkaran sederhana, tanpa menggunakan lengkung peralihan fiktif, yaitu bertepatan dengan tempat perubahan kemiringan melintang, yaitu sesuai dengan pencapaian kemiringan, pencapaian pelebaran sebesar 75%-nya, diadakan pada bagian lengkung. Panjang pencapaian pelebaran dalam hal ini, sesuai dengan panjang pencapaian kemiringan, diadakan sepanjang busur peralihan yang bersangkutan.Apabila standart minimum, seperti disebutkan diatas, sulit untuk dicapai tanpa melaksanakan perbaikan-perbaikan yang berarti, maka harus dipertimbangkan cara penyelesaian lain, misalnya:

Apabila panjang kritis melebihi standart yang ada, dapat diusahakan untuk memperlebar jalan, atau menyediakan tempat perhentian sementara, untuk digunakan sewaktu-waktu pada saat darurat. Pada suatu lengkung cembung, bilamana jarak pandangan yang dihitung, untuk suatu kecepatan rencana, terlalu pendek, maka harus dipasang tanda lalu lintas, pada kedua sisi lengkung cembung tersebut, untuk memberikan peringatan pada pengendara.

2.5.4. Tikungan gabungan.

Dalam merencanakan suatu, kemungkinan akan ditemui perencanaan tikungan gabungan, yang didasarkan pada kondisi topografi pada route jalan yang direncanakan yang tidak dapat dihindari, yaitu: Tikungan gabungan searah.

Tikungan gabungan berbalik.

2.5.4.1. Tikungan gabungan searah.

Tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih tikungan dengan arah putaran yang sama, dengan jari-jari berbeda. Tikungan gabungan hendaknya dihindari, jika R: R>2:3. Jika R: R>2/3, gabungan tikungan harus dilengkapi bagian lurus atau clothoide, sepanjang paling tidak 30 meter.

Gambar 2.6. Tikungan gabungan searah

Gambar 2.7. Tikungan gabungan searah dengan sisipan.

2.5.4.2. Tikungan gabungan berbalik.

Tikungan berbalik arah yaitu gabungan dua tikungan dengan arah putaran yang berbeda, biasa juga disebut lengkung S.

Gambar 2.8. Tikungan berbalik arah.

Tikungan gabungan berbalik arah secara tiba-tiba, sedapat mungkin harus dihindari, karena dalam kondisi ini pengemudi akan sulit mempertahankankendaraan pada lajurnya. Jika terpaksa dapat dilakukan dengan menambahkan bagian sisipan lurus atau spiral diantaranya sekurang-kurangnya 30m.

Gambar 2.8. Tikungan berbalik arah dengan sisipan.

2.6. Alinemen Vertikal.Alinemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal bidang perkerasan permukaan jalan melalui sumbu jalan, yang umumnya biasa disebut dengan profil/ penampang memanjang jalan.

Dalam perencanaan alinemen vertikal sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: kondisi tannah dasar, keadaan medan, fungsi jalan, muka air banjir, muka air tanah, kelandaian yang masih memungkinkan.

Selain hal diatas sering dijumpai kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan), sehingga terdapat suatu kombinasi yang berupa lengkung cembung dan lengkung cekung serta akan ditemui pula kelandaian = 0, yang berarti datar.

2.6.1. Kelandaian alinemen Vertikal.

a. Landai minimum.

Untuk tanah timbunan yang tidak menggunakan kerb, maka lereng melintang jalan dianggap sudah cukup untuk mengalirkan air diatas badan jalan yang selanjutnya dibuang ke lereng jalan. Untuk jalan-jalan di atas tanah timbunan dengan medan datar dan menggunakan kerb, kelandaian yang dianjurkan adalah sebesar 0,15%, yang dapat membantu mengalirkan air dari atas badan jalan dan membuangnya ke saluran tepi atau saluran pembuangan. Sedangkan untuk jalan-jalan di daerah galian atau jalan yang memakai kerb, kelandaian jalan minimum yang dianjurkan adalah 0,30 0,50 %. Lereng melintang jalan hanya cukup untuk mengalirkan air hujan yang jatuh untuk membuat kemiringan dasar saluran samping, untuk membuang air permukaan sepanjang jalan. b. Landai maksimum.

Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk menjaga agar kendaraan dapat bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh dan mampu bergerak, dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.Tabel 2.12. Kelandaian maksimum yang diijinkan.

Vr (km/jam)120 110 100 80 60 50 40 15.000 SMP/hari, dan persentase truk >15%.d. Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana.

e. Lajur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan dengan serongan sepanjang 45 meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter.

f. Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,50 km.

2.6.2. Lengkung Vertikal.

Pergantian dari suatu kelandaian ke kelandaian berikutnya, dilakukan dengan mempergunakan lengkung Vertikal. Lengkung vertikal direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi keamanan, kenyamanan dan drainase.

Jenis lengkung vertikal dilihat dari titik perpotongan kedua bagian yang lurus (tangens) adalah:

1). Lengkung vertikal cekung, adalah suatu lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada di bawah permukaan jalan.

2). Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan.

Gambar 2.8. Tipikal lengkung vertikal bentu parabola.

Rumus yang dipergunakan:

X = ....................................................(2.20)

Y = ..............................................(2.21)

Dimana:

X = jarak titik P ke titik yang ditinjau pada stasiun (Sta)

Y = perbedaan elevasi antara titik P dan titik yang ditinjau pada stasiun (m).

L = panjang lengkung vertikal parabola, yang merupakan jarak proyeksi dari titik A dan titik Q (sta)

g= kelandaian tangen dari titik P (%)g= kelandaian tangen dari titik Q (%)

rumus diatas, dipergunakan untuk lengkung simetris. (g

EMBED Equation.3 g) = A = perbedaan aljabar untuk kelandaian (%). Kelandaian mendaki (pendakian), diberi tanda (+), sedangkan kelandaian menurun (penurunan) diberi tanda (-), dengan ketentuan pendakian atau penurunan ditinjau dari kiri ke kanan.

EV = .......................................................................(2.21)

Untuk: x = 1/2L; y = E

Gambar 2.9. Jenis lengkung vertikal dilihat dari PVI.

Catatan: lengkung vertikal type a,b,c, dinamakan lengkung vertikal cekung, sedangkan type d,e,f, dinamakan lengkung vertikal cmbung.2.6.2. Lengkung Vertikal Cembung.

Tabel 2.13. ketentuan tinggi untuk jenis jarak pandang

Untuk jarak pandangh(m) tinggi matah(m) tinggi objek

- henti (Jh)

- mendahului (Jd)1,05

1,050,15

1,05

1. Panjang L, berdasarkan Jarak pandang henti (Jh)

Jh < L, maka L = .....................................................(2.22)

Jh > L, maka L = 2 Jh -.................................................(2.23)

2. Panjang L, berdasarkan Jarak pandang mendahului (Jd)

Jd < L, maka L = ....................................................(2.24)

Jd > L,maka L = 2................................................(2.25)

Minimum panjang horizontal dari lengkung vertikal cembung, berdasarkan rumus 2.20, bila digunakan untuk kecepatan rendah V = 20 30 km/jam, menjadi

L = ............................................................................(4.25)

Batas bawah perjalanan , didasarkan pada kecepatan rencana dan jarak perjalanan selama 3 detik, demikian juga untuk lengkung vertikal cekung.

2.6.3. Lengkung Vertikal Cekung.

Dalam menentukan panjang lengkung vertikal cekung,harus memperhatikan antara lain:

Jarak penyinaran lampu kendaraan.

Jarak pandangan bebas di bawah bangunan.

Persyaratan drainase.

Kenyamanan mengemudi.

Keluwesan bentuk.

Jarak penyinaran lanpu kendaraan.

Jangkauan lampu depan kendaraan pada lengkung vertikal cekung merupakan batas jarak pandangan yang dapat dilihat oleh pengemudi pada malam hari. Di dalam perencanaan umumnya tinggi lampu depan diambil setinggi 60cm, dengan sudut penyebaran sebesar 1o. Letak penyinaran lampu dapat dibedakan dalam 2 keadaan yaitu:1. Jarak pandangan akibat penyinaran lampu depan < L

2. Jarak penyinaran akibat penyinaran lampu depan > L

Jarak pandangan bebas dibawah bangunan pada lengkung vertikal cekung.

Jarak pandangan bebas pengemudi pada jalan raya yang melintasi bangunan-bangunan lainnya seperti jalan raya lainnya, jembatan penyeberangan, viaduct,aquaduct seringkali terhalangoleh bagian bawah dari bangunan tersebut. Panjang lengkung vertikal cekung minimum diperhitungkan berdasarkan jarak pandangan henti minimum dengan mengambil tinggi mata pengemudi kendaraan truk, yaitu 1,80 meter dan tinggi objek 0,50 meter ( tinggi lampu belakang kendaraan).ruang bebas vertikal minimum 5m. Sedangkan dalam perencanaan disarankan untuk mengambil ruang bebas 5,50 meter, untuk memberi kemungkinan adanya lapis tambahan (overlay) di kemudian hari.

Kenyamanan mengemudi pada lengkung vertikal cekung.

Adanya gaya sentrifugal dan gravitasi pada lengkung vertikal cekung, menimbulkan rasa tidak nyaman kepada pengemudi, yang akan menyebabkan percepatan sentripetal. Percepatan sentripetal yang bersangkutan adalah:

A = A.V2 / 1300 L

Dimana:a= percepatan sentipetal (m/det)

V= kecepatan rencana (km/jam)

A= perbedaan aljabar landai

L= panjang lengkung vertikal cekung

Panjang lengkung vertikal cekung minimum adalah ditentukan oleh percepatan sentripetal, yang dibatasi tidak melebihi 0,30 m/det2, dengan demikian rumus diatas menjadi:

L = ...............................................................(2.26)

Persyaratan drainase.

Landai minimum untuk keperluan drainase adalah 0,5%. Pada lengkung vertikal cekung, dimana ada bagian hampir datar, pada puncak lengkung, diperlukan pengkajian khusus untuk hal ini. Untuk jalan- jalan yang tidak mempunyai kerb, bagian yang mendatar tersebut, tidak terlalu memberikan masalah karena fungsi lereng jalan sudah menjamin kelancaran drainase. Untuk jalan-jalan menggunakan kerb, dengan diberikan kelandaian 0,5% pada jarak 20 meter dari puncak lereng sudah memadai.

Jadi, syarat panjang maksimum adalah:

L = 40 A......................................................(2.27)

Keluwesan bentuk jalan pada lengkung cekung

Keluwesan bentuk jalan, dihubungkan terhadap kecepatan, yaitu menurut AASTHO : L = 3V, dimana L = panjang minimum lengkung dalam feet, dan V= kecepatan rencana, dalam mph. Sehingga bila L dalam meter, dan V dalam km/jam, didapatkan:

L = 0,6 V.........................................................(2.27)

Nilainya adalah pendek jika perbedaan kelandaiannya kecil, hal ini akan mengakibatkan alinemen vertikal kelihatan melengkung. Untuk menghindari hal tersebut maka, panjang lengkung vertikal cekung diambil 3 detik perjalanan.

Maka dalam perencanaan alinemen vertikal perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut.

1) Pada alinemen vertikal yang relatif datar dan lurus perlu dihindari adanya hidden clip, yaitu lengkung-lengkung vertikal cekung yang pendek dan tidak terlihat mata dari jarak yang jauh.

2) Pada landai menurun yang panjang dan tajam, sebaiknya diikuti oleh pendakian , sehinnga kecepatan kendaraan yang terlalu besar dapat dikurangi.

3) jika direncanakan serangkaian kelandaian, maka sebaiknya kelandaian yang paling curam diletakkan di bagian awal, yang diikuti oleh kelandaian yang lebih kecil.

4) sedapat mungkin dihindari perencanaan lengkung vertikal yang sejenis ( cembung atau cekung) dengan hanya dipisahkan oleh tangen yang pendek.

2.6. Pencegahan kecelakaan jalan raya.

Kecelakaan kendaraaan bermotor di seluruh dunia memakan korban yang luar biasa besarnya, dan akibat kecelakaan ini banyak sekali kerugian material. Tetapi walaupun banyak desakan masyarakat dan usaha badan pemerintah untuk mengurangi kecelakaan seperti memerintahkan penggunaan sabuk pengaman, batas kecepatan, penghalang median, rambu pengatur dan peringatan, pagar pengaman, perlengkapan keselamata peredam benturan tepi jalan,tiang rambu yang mudah patah dan sebagainya namun sampai sekarang kecelakaam kendaraan adalah masalah yang paling kritis yang belum terselesaikan.

Ada tiga faktor faktor yang sering menyebabkan tejadinya kecelakaan yaitu pengemudi, kendaraan, lingkungan ( cuaca, desain jalan)Pengemudi ( Driver)

Adanya kecelakaan menunjukkan bahwa pengendaraan yang tidak baik, seringkali disertai dengan pelanggaran hukum. Banyak sekali kecelakaan terjadi akibat membuat keputusan yang keliru. Aspek aspek yang sering menyebabkan tejadinya kecelakaan antara lain:

1. Karakteristik fisik pengemudi.

Manusia memiliki aneka warna kemampuan, dari penelitian yang pernah dilakukan di Amerika yaitu pengemudi yang telah mempunyai SIM. Sejumlah pengemudi tersebut dimamafaatkan untuk menetapkan standart desain jalan raya. Tetapi, apakah ada orang yang tidak memiliki kemampuan ini atau kemampuan lainnya atau memiliki kekurangan serupa sehingga tidak berhak untuk mengemudi dalam hal mengurangi kecelakaan. Satu pertanyaan adalah menyangkut usia, dalam bertambahnya usia, refleks pengemudi menjadi lebih lambat dan kemampuan fisik tertentu akan menurun namun biasanya orang yang lebih tua akan lebih berhati- hati hati dalam menentukan keputusan saat mengendarai kendaraan.2. Pendidikan pengemudi.

Banyak sekali kecelakaan terjadi akibat kurangnya pengetahuan pengemudi dalam hal mengenai aturan rambu lalu lintas. Maka untuk itu kiranya pengemudi dilatih dalam hal mengemudi sabagai contoh pendidikan sebelum mendapatkan SIM, ini akan megurangi erjadinya kecelakaan. 3. Kerangka pemikiran pengemudi

Terdapat bukti yang kuat bahwa pengendaraan yang aman, tertib dan sopan adalah berhubungan erat dengan timbulnya emosi, kecukupan sosial, dan sikap terhadap pengambilan resiko. Orang yang sering mengalami kecelakaan mungkin agresif dan tidak toleran pada lainnya, mereka cenderung benci akan kewenangan, meraka cenderung melebih-lebihkan opini tentang kemampuan mereka dan mereka agaknya tidak memiliki tanggungjawab serta bertindak impulsif dan tanpa pemikiran terlebih dahulu.4. Kondisi pengemudi sementara.

Kelelahan dan perasaan ngantuk mengurangi kemampuan serang pengemudi mengendarai kendaraan secara aman maka kesimpulan seperti ini nampaknya sudah jelas, namun demikian baik tindakan maupun pendidikan dan pemaksaan mungkin diperlukan apabila jumlah kecelakaaan ingin dikurangi.

Pengemudi yang peminumdan pejalan kaki mengakibatkan masalah yang paling serius dalam kecelakaan. Efek alkohol adalah kompleks dan sangat bervariasi di tiap individu, kadar alkohol dalam darah yang sedikit bisa memberikan ketenangan, namun apabila berlebih maka akan mengakibatkan ketidakmampuan mengkooordinasikan visual scanning (penginderaan) dan mengendalikan kendaraan, alkohol juga bisa mempengaruhi penglihatan. Alkohol juga dapat penekan, yaitu dengan mempengaruhi bagian otak yang menghasilkan penekanan diri, sehingga menyebabkan perubahan perilaku yang meningkatkan keyakinan pengemudi akan kemampuan mereka, sehingga selanjutnya mereka berani mengambil kesempatan yang dalam biasa tidak bisa mereka lakukan. Maka untuk itu pendekatan yang perlu dilakukan adalah berlaku keras yaitu dengan proses hukum.5. Kecepatan (Sped)

Kecepatan yang terlalu besar merupakan faktor terjadinya kecelakaan , jika terjadi sebuah kecelakaan ini akan berdampak ke tingkat keparahan si pengemudi karena makin cepat maka makin kuat pula benturan yang disebabkan akibat kecelakaan itu.

6. Perijinan mengemudi.

Pemberian ijin mengemudi adalah wewenang dari kepolisian, yang bertujuan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat. Tetapi karena transporstasi dengan mobil adalah penting bagi kehidupan dan mencari penghasilan, maka hak untuk mengemudi adalah merupakan pengakuan dan perlindungan hukum.

7. Pelaksanaan rambu lalu lintas.

Umumnya telah disadari bahwa kekwatiran akan penahanan dan hukuman menyebabkan pengemudi mematuhi undang-undang dan peraturan lalu lintas. Maka dengan demikian apabila rambu-rambu itu ditaati maka kemungkinan akan terjadinya kecelakaan bisa dikurangi.Kendaraan ( The Vehicle)

Usaha- usaha yang dilakukan oleh pabrik mobil adalah menghasilkan kendaraan yang lebih aman dan tidak terlalu rusak apabila terjadi kecelakaan, aspek- aspek masalah pratabrakan dan selama tabrakan termasuk dalam usaha ini. Meskipun dalam kacamata umum dapat dilihat bahwa kekurangan dalam desain kendaraaan dan ban bukanlah penyebab utama dalam terjadinya kecelakaan.

Desain jalan raya sehubungan dengan kecelakaan.

Kecelakaan adalah satu diantara perhatian utama dalam seluruh tahapan perencanaan, ekonomi, pembiayaan, desain, pengoperasian, dan pemeliharaan jalan raya. Pendekatan spesifik yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecelakaan adalah membuat jalan dan jalan raya yang ada menjadi lebih aman. Teknik untuk menentukan ruas jalan atau lokasi dimana sering terjadi kecelakaan telah kita bahas di depan maka timbullah masalah bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Untuk lokasi setempat, analisis yang teliti dari kecelakaan masa lalu, mungkin memakai diagram tabrakan dan kondisi, dan menghasilkan pendekatan yang lebih mungkin.Latar Belakang

Data Sekunder

Peta Lokasi Ruas Jalan Medan- Kabanjahe

Data hirarki jalan

Data tata guna lahan

Data LHR

Data Kecelakaan

Data Primer

Data crossection

Data menenai situasi jalan

Rumusan masalah

Studi pustaka

Survey Pendahuluan

Pengumpulan Data

Kompilasi data

Analisa Data

Kesimpulan Dan Saran

I.5. Metode Penelitian

Do

25 m

R

R

D = EMBED Equation.3

D = EMBED Equation.3 ..(2.12)

R dalam meter

_1319938065.unknown

_1320396911.unknown

_1320479419.unknown

_1320484544.unknown

_1320681911.unknown

_1320692227.unknown

_1320695011.unknown

_1321029814.unknown

_1321033365.unknown

_1321068913.unknown

_1321035415.unknown

_1321032952.unknown

_1321028214.unknown

_1321028573.unknown

_1321028118.unknown

_1320694457.unknown

_1320694892.unknown

_1320694424.unknown

_1320688113.unknown

_1320688716.unknown

_1320692150.unknown

_1320688538.unknown

_1320688577.unknown

_1320687958.unknown

_1320555045.unknown

_1320555092.unknown

_1320510007.unknown

_1320554960.unknown

_1320479679.unknown

_1320480583.unknown

_1320479611.unknown

_1320478736.unknown

_1320478996.unknown

_1320479311.unknown

_1320478976.unknown

_1320402022.unknown

_1320478657.unknown

_1320397118.unknown

_1320386629.unknown

_1320387023.unknown

_1320388384.unknown

_1320396436.unknown

_1320387576.unknown

_1320387598.unknown

_1320386935.unknown

_1320386982.unknown

_1320386788.unknown

_1320293244.unknown

_1320386260.unknown

_1320386408.unknown

_1320343465.unknown

_1320279392.unknown

_1320292259.unknown

_1320293059.unknown

_1320292178.unknown

_1320279228.unknown

_1319839687.unknown

_1319868672.unknown

_1319869151.unknown

_1319869388.unknown

_1319869281.unknown

_1319869301.unknown

_1319869201.unknown

_1319869132.unknown

_1319868578.unknown

_1319868607.unknown

_1319868515.unknown

_1319838714.unknown

_1319839185.unknown

_1319839353.unknown

_1319839089.unknown

_1319838341.unknown

_1319838482.unknown

_1319798116.unknown