Author
vannhu
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
1
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA
KETERLAMBATAN DALAM PENYUSUNAN APBD
( Studi Kasus KabupatenWonosoboTahunAnggaran 2009-2012 )
Kurniawati Mutmainah
Fakultas Ekonomi, Universitas Sains Al-Quran Jawa Tengah di Wonosobo (UNSIQ)
Nanang Agus Suyono
Fakultas Ekonomi, Universitas Sains Al-Quran Jawa Tengah di Wonosobo (UNSIQ)
ABSTRACT
The purpose of this study was to identify the factors causing delays in the preparation
of the budget in Wonosobo District Government for Fiscal Year 2009-2012.
Respondents in this study is the Budget Committee of Parliament, Local Government
Budget Team (TAPD), the executive body BAPPEDA, Finance Division Secretariat of
Wonosobo, the Legislature of the House of Representatives and members of Wonosobo
District Local Government Unit (SKPD) in Wonosobo regency. The total sample of 45
people. Samples were taken by purposive sampling method. Data were analyzed with multiple
linear regression method.
Research shows that the educational background, performance, executive and
legislative relations, and leadership style negative effect on delay budgeting in Wonosobo
regency.
Keywords : Background Education, Performance, Executiveand Legislative Relations and
Leadership Style.
PENDAHULUAN
Menurut UU 33/2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, APBD adalah rencana keuangan yang dibuat pemerintah daerah secara
tahunan melalui pembahasan dan persetujuan antara DPRD dan pemerintah daerah dan
kemudian disahkan dalam peraturan daerah . APBD setiap tahunnya disusun oleh pemerintah
daerah dan untuk mendukung penyusunan APBD pemerintah pusat menerbitkan peraturan
yang menjadi landasan dalam menyusun APBD. Salah satunya aturan yang diterbitkan
tersebut adalah Permendagri 13/2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah.
Berdasarkan aturan tersebut telah diuraikan jadwal dalam menyusun APBD yang berlaku
bagi seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Namun, adanya aturan yang berisikan jadwal
tersebut belumlah mampu untuk mengatasi fenomena yang tengah terjadi dalam penyusunan
APBD di Indonesia. Fenomena tersebut menyorot perhatian publik karena fenomena ini
terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia. Fenomena memberikan gambaran adanya
keterlambatan dalam penyusunan APBD. Keterlambatan dalam penyusunan APBD ini telah
terjadi dalam kurun waktu yang lama, bahkan di masa reformasi banyak pemerintah daerah
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
2
yang masih terlambat dalam menyusun APBD. APBD yang mengalami keterlambatan dalam
penyusunan tersebut merupakan APBD yang terlambat ditetapkan atau disahkan oleh
pemerintah daerah bersama DPRD sebelum atau saat 31 Desember.
Menurut KPK (Harian Rakyat, 2012) pada tahun 2005 dari 33 provinsi di Indonesia
sebagian besar provinsi terlambat dalam mengesahkan APBD, yakni sebanyak 28 provinsi.
Lalu sisanya sebanyak 5 provinsi mengesahkan APBD sesuai jadwal, yaitu tidak melebihi 31
Desember. Selain itu, diketahui pula keterlambatan dalam penyusunan APBD juga terjadi di
tahun 2009. Berdasarkan data yang diperoleh dari (Seknas Fitra, 2010) dalam salah satu
website diketahui bahwa penetapan perda APBD untuk tahun 2009 sebanyak 68,24% atau
348 daerah ditetapkan dalam kurun waktu 1 Januari 31 Maret. Posisi kedua sebanyak
23,14% atau 118 daerah telah menetapkan APBD sesuai jadwal dan 44 daerah atau 8,63%
menetapkan APBD melebihi 31 Maret. Informasi yang tersaji tersebut memperlihatkan
bahwa sebagian besar daerah di Indonesia mengalami keterlambatan dalam penyusunan
APBD dengan ditandai terlambatnya penetapan perda APBD.
Keterlambatan penyusunan APBD telah melanda sebagian besar wilayah di Indonesia
dan hal itu telah berlangsung pada kurun waktu yang lama bahkan hingga saat ini. Kabupaten
Wonosobo merupakan salah satu daerah yang tergolong mengalami keterlambatan dalam
menyusun APBD khususnya APBD untuk tahun 2009-2012. APBD pada ketiga tahun
anggaran tersebut disahkan pada kurun waktu antara 1 Januari 31 Maret. Selain banyaknya
daerah yang mengalami keterlambatan dalam penetapan APBD, adanya keterlambatan APBD
dapat memberikan dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan dari keterlambatan dalam
penyusunan APBD adalah terlambatnya pelaksanaan program pemerintah daerah yang
umumnya sebagian besar pendanaan program tersebut berasal dari APBD. Program yang
terlambat dilaksanakan dapat berpengaruh pada pelayanan publik terhadap masyarakat.
APBD yang terlambat dalam proses penyusunannya dapat pula berpengaruh terhadap
perekonomian daerah. Hal tersebut terjadi karena ketika APBD terlambat ditetapkan melebihi
31 Desember, maka di masa APBD belum disahkan maka aliran dana dari sektor pemerintah
akan terhambat dan itu memberikan pengaruh pada aliran uang atau transaksi di daerah dan
pada akhirnya perekonomian daerah turut merasakan dampak dengan adanya kelesuan
ekonomi.
Data berikut ini menunjukkan keterlambatan penetapan anggaran di Kabupaten
Wonosobo :
No. APBD Penetapan Penetapan Sebelum /
Saat
Keterlambatan
1 2009 3 April 2009 31 Desember 2008 3 bulan lebih
2 2010 7 April 2010 31 Desember 2009 3 bulan lebih
3 2011 20 April 2011 31 Desember 2010 3 bulan lebih
4 2012 20 Januari 2012 31 Desember 2011 22 hari
Sumber data: Sekretaris Dewan Kabupaten Wonosobo
Latar belakang pendidikan dapat mempengaruhi keterlambatan dalam penyusunan
APBD. Latar belakang pendidikan menunjukkan kemampuan dan bidang ilmu yang dikuasai
oleh seseorang selama menempuh jalur pendidikan formal. Bidang ilmu yang dikuasai oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD hendaknya sejalan dengan kegiatan
penganggaran. Oleh karena itu, anggota dari organisasi sektor publik khususnya yang terlibat
dalam penyusunan APBD hendaknya memiliki dasar ilmu yang berkaitan dengan sistem
penyusunan anggaran. Selain itu latar belakang pendidikan memperlihatkan pula kompetensi
dan pemahaman yang dimiliki sumber daya manusia dalam pelaksanaan suatu kegiatan.
Kinerja berpengaruh terhadap keterlambatan dalam penyusunan APBD. Salah satu
instrumen penting dalam APBD adalah kinerja. Kinerja menunjukkan tingkat yang dicapai
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
3
dari pelaksanaan program dan kebijaksanaan untuk mewujudkan visi, misi, sasaran, tujuan
dari organisasi sektor publik, sebagaimana dinyatakan BPKP (2005). Kinerja memiliki peran
penting karena indikator ini berguna dalam penentuan kinerja yang dicapai dari pelaksanaan
APBD dan perlu diingat pula bahwa APBD disusun dengan berbasiskan pada kinerja. Kinerja
terdiri dari input, output, efisiensi, kualitas, dan outcome. Beberapa faktor yang harus
diperhatikan dalam menentukan indikator kinerja yang tepat adalah standar pelayanan
minimum, ketersediaan sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan, kelanjutan program, tingkat
inflasi, tingkat efisiensi, kendala di masa akan datang, dan dasar untuk menetapkan prioritas
anggaran.
Hubungan antara eksekutif dan legislatif juga dapat mempengaruhi keterlambatan
dalam penyusunan APBD. Tahapan penyusunan APBD diwarnai dengan hubungan yang
tercipta antara eksekutif dan legislatif karena dalam penyusunan APBD kedua pihak tersebut
berperan dan menunjukkan kesepakatan maupun kerja sama untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Hubungan yang baik dan selaras dapat mendorong penyusunan APBD yang
efektif dan efisien. Namun, bila terjadi sebaliknya hubungan APBD tidak berjalan dengan
baik dan dapat berpengaruh buruk pada penyusunan APBD. Salah satu bentuk hubungan
yang berpengaruh pada penyusunan APBD adalah hubungan keagenan.
Komitmen organisasi dapat berpengaruh terhadap keterlambatan dalam penyusunan
APBD. Komitmen adalah bentuk kesepakatan yang dibuat oleh pihak-pihak di dalam
organisasi untuk secara bersama melaksanakan tugas dan fungsi secara baik dalam rangka
mewujudkan visi, misi, sasaran, dan tujuan dari organisasi. Pada penyusunan APBD pihak-
pihak yang terlibat hendaknya memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan
penyusunan APBD secara tepat waktu serta melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan
dengan efektif dan efisien. Adanya komitmen memberikan gambaran bagi pihak yang terlibat
dalam penyusunan APBD untuk mengetahui secara jelas visi, misi, tujuan, dan sasaran yang
ingin dicapai dalam penyusunan APBD. Selain itu, melalui komitmen dapat menciptakan
motivasi dan kemauan bagi pihak penyusun APBD untuk menyelenggarakan tahapan
penyusunan APBD yang lebih baik, efektif, efisien, dan sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Gaya kepemimpinan (leader style) juga dapat mempengaruhi keterlambatan dalam
penyusunan APBD. Gaya kepemimpinan (leader style) merupakan cara pimpinan untuk
mempengaruhi orang lain atau bawahannya sedemikian rupa sehingga orang tersebut mau
melakukan kehendak pimpinan untuk mencapai tujuan meskipun secara pribadi hal tersebut
mungkin tidak disenangi. Gaya kepemimpinan dapat memberikan motivasi bagi pihak
penyusun APBD agar penyelenggaraan dalam penyusunan APBD dapat lebih baik.
APBD yang terlambat disahkan oleh pemerintah daerah dan DPRD dapat pula
memberi peluang munculnya korupsi, sebagaimana dinyatakan KPK (Harian Rakyat, 2012).
Peluang korupsi tersebut dapat muncul dikarenakan adanya usaha untuk mengalihkan dana
yang tersisa dari pelaksanaan program APBD ke dalam rekening pribadi. Dana yang tersisa
berasal dari dana sisa anggaran program yang tidak selesai dilakukan karena terlambat dalam
pelaksanaan proses awal. Pengalihan dana ke rekening pribadi tersebut membuka peluang
terjadi penyelewengan dana APBD untuk kepentingan pribadi sehingga terjadilah korupsi.
Pada akhirnya dampak yang muncul dari keterlambatan penyusunan APBD merugikan
masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hal-hal yang menjadi motivasi
dalam penelitian ini adalah, pertama, belum adanya penelitian yang terkait dengan penyebab
keterlambatan dalam penyusunan APBD di wilayah Kabupaten Wonosobo. Kedua,
keterlambatan dalam penyusunan APBD telah menjadi salah satu fenomena yang terjadi di
sebagian besar wilayah pemerintah daerah Indonesia dan hingga saat ini fenomena tersebut
terus terjadi setiap tahunnya. Ketiga, dampak yang ditimbulkan dari adanya keterlambatan
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
4
APBD dapat pada akhirnya merugikan masyarakat selaku penerima layanan publik dan hal
ini bertentangan dengan tujuan pemerintah yang selalu berusaha untuk memberikan
pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah latar
belakang pendidikan mempunyai pengaruh terhadap keterlambatan penyusunan APBD ? (2)
Apakah kinerja mempunyai pengaruh terhadap keterlambatan penyusunan APBD ? (3)
Apakah hubungan eksekutif dan legislatif mempunyai pengaruh terhadap keterlambatan
penyusunan APBD ? (4) Apakah komitmen organisasi mempunyai pengaruh terhadap
keterlambatan penyusunan APBD ? (5) Apakah gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh
terhadap keterlambatan penyusunan APBD ?
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh latar belakang pendidikan,
kinerja , hubungan eksekutif dan legislatif, komitmen dan gaya kepemimpinan terhadap
keterlambatan dalam penyusunan APBD.
TELAAH TEORI
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD )
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) adalah : rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. APBD
merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan
peraturan daerah. APBD adalah daftar terperinci mengenai pendapatan dan pengeluaran
daerah dalam waktu satu tahun yang telah disahkan DPRD.
Menurut Darise (2008), anggaran pemerintah merupakan dokumen formal hasil
kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk
melaksanakan kegiatan pemerintah dan pendapatan yang diharapkan untuk menutup
keperluan belanja atau pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan terjadi defisit atau
surplus. Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan UU nomor 33/2004, APBD merupakan
rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
Dengan demikian APBD merupakan alat yang sangat penting dalam lingkungan
pemerintah daerah. Dobell dan Ulrich (2002) seperti yang dikutip Latifah (2010),
menyatakan bahwa anggaran atau APBD merupakan alat utama pemerintah untuk
melaksanakan semua kewajiban, janji, dan semua kebijakannya ke dalam rencana-rencana
konkrit dan terintegrasi dalam tindakan apa yang akan diambil, hasil apa yang akan dicapai,
pada biaya berapa dan siapa yang akan membayar biaya-biaya tersebut.
Proses Penyusunan APBD
Penyusunan APBD merupakan proses penganggaran daerah dimana secara konseptual
terdiri atas formulasi kebijakan anggaran (budget policy formulation) dan perencanaan
operasional anggaran (budget operasional planning) (Darise, 2008). APBD yang
dipresentasikan setiap tahun oleh eksekutif, memberi informasi rinci kepada DPR/DPRD dan
masyarakat tentang program-program apa yang direncanakan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas kehidupan rakyat, dan bagaimana program-program tersebut dibiayai
(Mardiasmo, 2002).
Keterlambatan APBD
Keterlambatan APBD merupakan pengesahan APBD oleh yang berwenang (Gubernur
untuk APBD tingkat daerah dan Menteri Dalam Negeri untuk tingkat Provinsi) melebihi
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
5
batas waktu yang telah ditetapkan dalam Permendagri Nomor 13/2006 tentang pedoman
pengelolaan keuangan daerah.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Keuangan, pada tahun 2011
pemerintah pusat menunda penyaluran 25% Dana Alokasi Umum (DAU) pada 19 daerah
yang melakukan keterlambatan dalam penyampaian Informasi Keuangan Daerah (IKD). 13
daerah dari total keseluruhan 19 daerah tersebut adalah Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten
Bireuen, Kota Sabang, Kota Langsa, Kabupaten Batubara, Kabupaten Langkat, Kabupaten
Padang Lawas, Kota Bekasi, Kabupaten Jember, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Mappi,
Kabupaten Biak Numfor, dan Kabupaten Mamberamo Tengah (MediaIndonesia.com 2011).
Bahkan kejadian serupa terjadi pada tahun 2012, Direktorat Jendral Keuangan Daerah
menyatakan bahwa dari 524 Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia, baru 339 kabupaten dan
kota yang telah mempunyai APBD. Sisanya, 185 kabupaten dan kota belum bisa mencairkan
anggaran. Hal itu karena ratusan kabupaten dan kota belum mempunyai APBD. Adapun
APBD kabupaten dan kota yang belum disahkan ini tersebar di berbagai provinsi se-
Indonesia. Yaitu, Nangroe Aceh Darussalam ada 12 APBD, Sumatera Utara (Sumut) ada 21
APBD, Riau ada 9 APBD, Lampung ada 8 APBD, Jawa Barat (Jabar) ada 15 APBD, Jawa
Tengah (Jateng) ada 11 APBD, Jawa Timur (Jatim) ada 8 APBD, Nusa Tenggara Timur
(NTT) ada 12 APBD, Papua ada 23 APBD, dan Papua Barat ada 8 APBD yang belum
disahkan.
Adanya keterlambatan APBD ini, tentu memberikan dampak yang negatif terhadap
suatu daerah. Salah satu dampak yang akan ditimbulkan adalah terlambatnya pelaksanaan
program yang direncanakan oleh pemerintah daerah yang sebagian besar pendanaan program
berasal dari APBD dan pada akhirnya berimplikasi pada penyerapan anggaran tersebut.
Anggaran yang tidak terserap akibat adanya suatu program yang tidak terlaksana dapat
menyebabkan terjadinya korupsi sehingga sangat merugikan masyarakat. Ada beberapa
faktor penyebab keterlambatan dalam penyusunan APBD, diantaranya :
1. Latar Belakang Pendidikan Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja bermutu dan mampu
melaksanakan tugasnya dengan baik maka salah satu usaha yang dapat dilakukan yakni
dengan program pendidikan. Pelaksanaan pendidikan diarahkan kepada peningkatan
keterampilan, pengetahuan serta perubahan sikap atau perilaku kerja karyawan melalui
proses belajar yang diharapkan adanya perubahan pada peserta yakni kurang tahu
menjadi tahu serta dari sikap dan perilaku negatif menjadi positif dan sebagainya.
Pengertian pendidikan menurut Nitisemito ( 1998) :
Pendidikan adalah suatu kegiatan yang bermaksud untuk dapat memperbaiki
dan mengembangkan sikap, tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan bagi
karyawan, sesuai dengan keinginan dari perusahaan yang bersangkutan.
Sedangkan menurut Heidjrachman dan Suad Husnan ( 1997 ) :
Pendidikan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum
seseorang termasuk didalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan
memutuskan terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan mencapai
tujuan.
Dengan melihat definisi-definisi diatas, maka pendidikan dimaksudkan untuk
menambah pengetahuan dan bersifat teoritis.
2. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Pada dasarnya, pemerintah daerah selaku eksekutif (Gubernur, Bupati, atau
Walikota dan Perangkat Daerah) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
merupakan unsur penyelenggara pemerintah daerah yang mempunyai peran yang sama
penting dalam menjalankan pemerintahan (UU RI No. 32 tahun 2004). Dalam
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
6
penyusunan, pembahasan dan pengesahan APBD, kedua lembaga ini berperan dalam
suatu kesepakatan atau kerja sama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Hubungan
yang baik dan selaras serta komunikasi yang lancar dapat menciptakan penyusunan,
pembahasan dan pengesahan APBD yang efektif dan efisien. Namun, apabila kondisi
yang terjadi adalah sebaliknya yakni hubungan yang terjalin kurang baik dan
komunikasi yang tidak efektif akan berpengaruh buruk terhadap ketepatan penyusunan,
pembahasan dan pengesahan APBD.
3. Kinerja Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance).
Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005) bahwa istilah kinerja berasal
dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi
sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kulitas dan kuantitas
yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan,misi
dan visi organisasi yang teruang dalam strategic planning suatu organisasi. Istilah
kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu
maupun kelompok individu (Mahsun, Firma dan Heribertus, 2007).
Menurut Robbins (2001) kinerja adalah Performance, how well you do a
please of work and activity. Pengertian ini menunjukkan bahwa kinerja terlihat
dariaktivitas seseorang dalam melaksanakan pekerjaan, aktivitas ini menggambarkan
bagaimana seseorang berusaha dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan juga
merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan dengan kriteria yang telah
ditetapkan bersama.
4. Komitmen Organisasi Komitmen organisasi diartikan sebagai suatu perpaduan antara sikap dan
perilaku. Komitmen organisasi menyangkut tiga sikap yaitu rasa mengidentifikasi
dengan tujuan organisasi, rasa keterlibatan dengan tugas organisasi dan rasa kesetiaan
kepada organisasi (Trisnaningsih, 2007).
Hian Ayu (2010) menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan
identifikasi dari kekuatan individu dalam hubungan dengan organisasi yang meliputi
nilai-nilai dari tujuan organisasi. Semakin kuat nilai-nilai organisasi yang dipertahankan
karyawan dan semakin kuat keinginan karyawan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan perusahaan juga menunjukkan adanya komitmen organisasi yang tinggi.
Vandenberg (Trisnaningsih, 2007) mendefinisikan komitmen sebagai
penerimaan karyawan atas nilai-nilai organisasi (identification), keterlibatan secar
psikologis (psychological immersion), dan loyalitas (affection attachement). Komitmen
merupakan sebuah sikap dan perilaku yang saling mendorong (reinforce) antara satu
dengan yang lain. Karyawan yang komit terhadap organisasi akan menunjukkan sikap
dan perilaku yang positif terhadap lembaganya, karyawan akan memiliki jiwa untuk
tetap membela organisasinya, berusaha meningkatkan prestasi dan memiliki keyakinan
yang pasti untuk mewujudkan tujuan organisasi. Seperti yang dikemukakan Sumarno
(2005), komitmen organisasi yang kuat akan mendorong individu berusaha keras
mencapai tujuan organisasi. Selain itu komitmen organisasi yang tinggi akan
meningkatkan kinerja yang tinggi pula.
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
7
5. Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses, perilaku atau
hubungan yang membentuk pola tertentu yang menyebabkan suatu kelompok untuk
bertindak secara bersama-sama atau bekerja sama sesuai dengan aturan dan atau tujuan
bersama (Soedarmayanti, 2007). Konsep gaya kepemimpinan ini menunjukkan adanya
kombinasi bahasa, tindakan dan kebijakan tertentu, yang menggambarkan pola yang
cukup konsisten yang digunakan oleh pemimpin dalam membantu orang
lain/bawahan/kelompoknya dalam mencapai kinerja yang diinginkan bersama (Robbins,
2001).
Gibson (1996) mendefinisikan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma
perilaku yang digunakan seorang pimpinan pada saat pimpinan mempengaruhi perilaku
bawahannya. Seseorang yang menjalankan fungsi manajemen berkewajiban
memengaruhi karyawan yang dibawahinya agar mereka tetap melaksanakan tugas
dengan baik, memiliki dedikasi terhadap organisasi dan tetap merasa berkewajiban
untuk mencapai tujuan organisasi.
Kerangka Konseptual Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu : Variabel independen yang meliputi latar
belakang pendidikan, kinerja, hubungan eksekutif dan kegislatif, komitmen organisasi,serta
gaya kepemimpinan. Sedangkan variabel dependennya keterlambatan penyusunan APBD.
Latar belakang pendidikan menunjukkan kemampuan dan bidang ilmu yang dikuasai
oleh seseorang selama menempuh jalur pendidikan formal. Bidang ilmu yang dikuasai oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD hendaknya sejalan dengan kegiatan
penganggaran. Oleh karena itu, anggota dari organisasi sektor publik khususnya yang terlibat
dalam penyusunan APBD hendaknya memiliki dasar ilmu yang berkaitan dengan sistem
penyusunan anggaran. Selain itu latar belakang pendidikan memperlihatkan pula kompetensi
dan pemahaman yang dimiliki sumber daya manusia dalam pelaksanaan suatu kegiatan.
Salah satu instrumen penting dalam APBD adalah indikator kinerja. Indikator kinerja
menunjukkan tingkat yang dicapai dari pelaksanaan program dan kebijaksanaan untuk
mewujudkan visi, misi, sasaran, tujuan dari organisasi sektor publik, sebagaimana dinyatakan
BPKP (2005). Indikator kinerja memiliki peran penting karena indikator ini berguna dalam
penentuan kinerja yang dicapai dari pelaksanaan APBD dan perlu diingat pula bahwa APBD
disusun dengan berbasiskan pada kinerja.
Tahapan penyusunan APBD diwarnai dengan hubungan yang tercipta antara eksekutif
dan legislatif karena dalam penyusunan APBD kedua pihak tersebut berperan dan
menunjukkan kesepakatan maupun kerja sama untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Hubungan yang baik dan selaras dapat mendorong penyusunan APBD yang efektif dan
efisien. Namun, bila sebaliknya hubungan APBD tidak berjalan dengan baik dapat
berpengaruh buruk pada penyusunan APBD. Salah satu bentuk hubungan yang berpengaruh
pada penyusunan APBD adalah hubungan keagenan.
Komitmen organisasi adalah bentuk kesepakatan yang dibuat oleh pihak-pihak di
dalam organisasi untuk secara bersama melaksanakan tugas dan fungsi secara baik dalam
rangka mewujudkan visi, misi, sasaran, dan tujuan dari organisasi. Pada penyusunan APBD
pihak-pihak yang terlibat hendaknya memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan
penyusunan APBD secara tepat waktu serta melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan
dengan efektif dan efisien.
Gaya kepemimpinan (leader style) merupakan cara pimpinan untuk mempengaruhi
orang lain atau bawahannya sedemikian rupa sehingga orang tersebut mau melakukan
kehendak pimpinan untuk mencapai tujuan organisasi, meskipun secara pribadi hal tersebut
mungkin tidak disenangi. Diharapkan dengan gaya kepemimpinan yang baik, dapat
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
8
memberikan motivasi yang baik bagi pihak penyusun APBD, sehingga penyusunan APBD
dapat lebih baik dan tepat waktu.
Berdasarkan uraian diatas, maka diajukan model penelitian sebagai berikut :
Gambar 1
Model Penelitian
Sumber : Data primer diolah, 2014
METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
pendekatan kualitatif dengan rancangan Studi Kasus. Pendekatan kualitatif merupakan
suatu paradigma penelitian untuk mendiskripsikan peristiwa, perilaku orang atau suatu
keadaan pada tempat tertentu secara rinci dan mendalam dalam bentuk narasi. Studi kasus
menurut Kuncoro, M. (2003) studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu
latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa
tertentu . Djuharie (2007) membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan
dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci.
Berdasarkan batasan tersebut dapat dipahami bahwa batasan studi kasus meliputi: (1)
sasaran penelitiannya dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen; (2) sasaran-
sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau
konteksnya masing-masing dengan maksud untuk memahami berbagai kaitan yang ada di
antara variabel-variabelnya.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikuntoro, 2002 ). Populasi dalam
penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini diambil dengan metode purposive, yaitu pengambilan
LATAR BELAKANG
PENDIDIKAN
( X1 )
KINERJA
( X2 )
HUBUNGAN EKSEKUTIF
DAN LEGISLATIF
( X3 )
KOMITMEN ORGANISASI
( X4 )
KETERLAMBATAN
PENYUSUNAN APBD
( Y )
GAYA KEPEMIMPINAN
( X5 )
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
9
sampel berdasar pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sampel dalam penelitian ini adalah
Badan Anggaran DPRD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), badan Eksekutif
yakni BAPPEDA, Bagian Keuangan Setda Kabupaten Wonosobo, Badan Legislatif yakni
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wonosobo dan anggota Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD) di Kabupaten Wonosobo. Jenis data yang akan diolah dalam
penelitian ini bersumber dari data primer maupun sekunder.
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket (kuisioner).
Kuisioner adalah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui ( Arikuntoro,
2002 )
Jenis dan Sumber Data
Data primer dalam penelitian ini berupa informasi yang diperoleh dari hasil
wawancara tak terstruktur dengan informan serta hasil observasi yang diperoleh dari pihak
pemerintah daerah atau DPRD, sedangkan data sekunder yang dibutuhkan yaitu UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang pemerintah yang di dalamnya mengatur rincian tugas, wewenang, dan
fungsi eksekutif dan legislatif serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah yang di dalamnya mengatur kalender
penyusunan, pembahasan dan pengesahan APBD. Selain itu, data sekunder juga diperoleh
dari buku-buku yang mempunyai hubungan dengan masalah penelitian.
Teknik Analisis Data
1. Uji kualitas data a. Uji Validitas
Menurut Ghozali (2005) uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau
valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada
kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner
tersebut.Uji validitas yang digunakan adalah dengan menghitung korelasi antara skor
masing-masing butir pertanyaan dengan total skor setiap konstruknya.
b. Uji Reliabilitas Menurut Ghozali (2005), reliabilitas sebenarnya adalah alat untuk mengukur
suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel. Suatu kuesioner dikatakan
reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau
stabil dari waktu ke waktu.Pengujian reliabilitas berkaitan dengan masalah adanya
kepercayaan terhadap instrumen. Suatu instrumen dapat memiliki tingkat kepercayaan
yang tinggi (konsisten), jika hasil dari pengujian instrumen tersebut menunjukkan
hasil yang tepat. Dengan demikian, masalah reliabilitas instrumen berhubungan
dengan masalah ketepatan hasil.Uji reliabilitas ini menggunakan reliabilitas
konsistensi internal yaitu teknik cronbach alpha. Menurut Nunnally (1967) dalam
Ghozali (2006) apabila cronbach alpha dari hasil pengujian >0, 6 maka dapat
dikatakan bahwa konstruk atau variabel ini adalah reliabel.
2. Uji Asumsi Klasik. a. Uji Normalitas Data
Uji normalitas data bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Model regresi yang
baik seharusnya memiliki distribusi normal. Untuk menguji apakah distribusi data
normal dilakukan dengan cara analisis grafik (Ghozali, 2006).
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
10
b. Uji Multikolinieritas Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan
adanya korelasi antar variabel bebas (independen).Model regresi yang baik
seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel independen. Untuk melihat ada atau
tidaknya multikolinieritas maka dilakukan dengan melihat nilai tolerance dan
lawannya Variance Inflation Faktor (VIF). Apabila nilai VIF < 10 dan nilai tolerance
>0, 1 maka tidak terjadi multikolinieritas antar variabel (Ghozali, 2006)
c. Uji Heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengematan ke pengamatan yang
lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka
disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi
yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas.Untuk
melakukan pengujian terhadap asumsi ini dilakukan dengan menggunakan analisis
dengan grafik plots. Apabila titik-titik menyebar secara acak baik diatas maupun
dibawah angka nol pada sumbu y maka dinyatakan tidak terjadi heterokedastisitas
(Ghozali, 2006).
3. Uji Hipotesisi Model yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini
menggunakan analisis regresi berganda. Uji hipotesis dilakukan dengan program SPSS
17.0 for windows. Persamaan regresinya sebagai berikut:
Y = - 1X1 - 2X2- 3X3 4X4- 5X5 + e Keterangan :
Y = keterlambatan penyusunan anggaran
= konstanta = koefisien regresi X1 = latar belakang pendidikan
X2 = kinerja
X3 = hubungan eksekutif legslatif
X4 = komitmen organisasional
X5 = gaya kepemimpinan
e = error
Jika koefisien regresi signifikan dan negatif,maka latar belakang pendidikan, kinerja,
hubungan eksekutif legslatif, komitmen organisasi dan gaya kepemimpinan memiliki
pengaruh negative terhadap keterlambatan penyusunan anggaran. Pengujian hipotesis
dilakukan dengan menggunakan tingkat signifikansi 0,05. Jika tingkat signifikansi >
0,05 maka hipotesis ditolak, sebaliknya jika tingkat signifikansi < 0,05 maka hipotesis
diterima (Ghozali, 2006).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Wonosobo berjarak 120 km dari ibukota Jawa Tengah (Semarang) dan 520
km dari Ibu Kota Negara (Jakarta). Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu dari 35
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah yang terletak pada 70.43.13 dan 7
0.04.40 garis
Lintang Selatan (LS) serta 1090.43.19 dan 110
0.04.40 garis Bujur Timur (BT), dengan
luas 98.468 ha (984,68 km2) atau 3,03 % luas Jawa Tengah.
Secara administratif Wonosobo berbatasan langsung dengan enam kabupaten, yaitu:
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
11
a. Sebelah utara : Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Batang
b. Sebelah timur : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang c. Sebelah selatan : Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kebumen d. Sebelah barat : Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen.
Kabupaten Wonosobo memiliki luas 98.468 hektar (984,68 km2) atau 3,03% (persen)
dari luas Jawa Tengah dengan komposisi tata guna lahan terdiri atas tanah sawah mencakup
18.696,68 ha (18,99 %), tanah kering seluas 55.140,80 ha (55,99.%), hutan negara 18.909,72
ha (19.20.%), perkebunan negara/swasta 2.764,51 ha (2,80.%) dan lainnya seluas 2.968,07 ha
(3,01.%).
Visi Kabupaten Wonosobo yang tertuang dalam dalam RPJMD Tahun 2010 - 2015
adalah: Wonosobo Yang Lebih Maju Dan Sejahtera. Lebih maju memiliki pengertian
meningkatkan kemajuan pembangunan daerah dibidang sosial, ekonomi, politik dan hukum
menuju kemandirian daerah. Kemajuan dibidang sosial diukur dengan kualitas sumberdaya
manusia yang tercermin dari sumber daya manusia yang memiliki karakter dan kepribadian
bangsa, ahklak mulia, berkualitas, berpendidikan yang tinggi, dengan derajad kesehatan yang
baik dan produktivitas yang tinggi. Kemajuan dibidang ekonomi diukur dari kemakmuran
yang tercermin dari tingkat pendapatan yang tinggi dan distribusi yang merata. Kemajuan
dibidang politik dan hukum diukur dari semakin mantapnya lembaga politik dan hukum yang
tercermin dari berfungsinya lembaga politik dan kemasyarakatan sesuai konstitusi,
meningkatnya peran aktif masyarakat dalam segala aspek kehidupan.
Lebih sejahtera memiliki pengertian pembangunan daerah bukan hanya untuk
kemajuan dan kemandirian, tetapi juga untuk kesejahteraan, yaitu suatu kondisi yang semakin
baik dan damai dalam arti, dalam arti semakin adil dan tidak ada kekerasan dalam bentuk
apapun.
Misi Kabupaten Wonosobo tahun 2010 - 2015 sebagai berikut :
a. Melanjutkan praktik pemerintahan partisipatif dan demokratis menuju masyarakat yang lebih sejahtera.
b. Meningkatkan kemajuan pembangunan menuju kemandirian daerah c. Meningkatkan pelayanan sosial dasar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. d. Meningkatkan perekonomian daerah yang berbasis pada potensi unggulan daerah. e. Meningkatkan dimensi keadilan dan meniadakan kekerasan dalam semua bidang.
Analisis Data
1. Uji Validitas dan Reliabilitas a. Uji Validitas
Tabel 1
Uji Validitas
Variabel Kisaran Korelasi Signifikansi Keterangan
Keterlambatan Penyusunan
Anggaran 0,695**-0,812** 0,000 Valid
Latar Belakang Pendidikan 0,381**-0,725** 0,000 Valid
Kinerja 0,433**-0,625** 0,000 Valid
Hubungan Eksekutif
Legislatif 0,837**-0,909** 0,000 Valid
Komitmen Organisasi 0,890**-0,979** 0,000 Valid
Gaya Kepemimpinan 0,229**-0,790** 0,000 Valid
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
12
Dari table 1, dapat diketahui bahwa semua variabel dinyatakan valid karena
korelasi antara masing-masing indikator menunjukkan hasil yang signifikan.
b. Uji Reliabilitas Tabel 2
Uji Reliabilitas
Variabel Cronbach Alpha Keterangan
Keterlambatan Penyusunan Anggaran 0,790 Reliabel
Latar Belakang Pendidikan 0,710 Reliabel
Kinerja 0,671 Reliabel
Hubungan Eksekutif Legislatif 0,927 Reliabel
Komitmen Organisasi 0,971 Reliabel
Gaya Kepemimpinan 0,831 Reliabel
Dari tabel 2, dapat diketahui bahwa semua variabel dinyatakan reliabel karena
memiliki nilai cronbach alpha > 0,6.
2. Uji Asumsi Klasik a. Uji Normalitas Data
Tabel 3
Uji Normalitas Data One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 45
Normal Parametersa Mean .0000000
Std. Deviation 2.58061519
Most Extreme Differences Absolute .063
Positive .063
Negative -.037
Kolmogorov-Smirnov Z .423
Asymp. Sig. (2-tailed) .994
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Sumber: Lampiran 3, 2014
Dari tabel 3, dapat dilihat bahwa hasil perhitungan normalitas dengan
menggunakan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnof Test memiliki probabilitas
tingkat signifikansi di atas tingkat kepercayaan = 0,05 yaitu 0,994. Hal ini berarti dalam model regresi terdapat variabel residual atau variabel pengganggu yang
terdistribusi secara normal.
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
13
b. Uji Multikolinearitas
Tabel 4
Uji Multikolinearitas
B
S
S
U
Berdasarkan tabel 4 tersebut, terlihat bahwa tidak ada variabel independen
yang memiliki nilai Tolerance kurang dari 0,10. Selanjutnya hasil perhitungan VIF
juga menunjukkan hal yang sama yaitu tidak ada satupun variabel independen yang
memiliki nilai VIF lebih besar dari 10. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa tidak
terjadi multikolinieritas antar variabel independen dalam model regresi.
c. Uji Heterokedastisitas
Grafik 1
Grafik Heterokedastisitas
Dari grafik scatterplots terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta
tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa tidak terjadi heterokedastisitas pada model regresi.
Variabel Independen
Collinearity
Statistics Kesimpulan
Tolerance VIF
Latar Belakang Pendidikan 0,968 1,033 Tidak Ada
Multikolinieritas
Kinerja 0,793 1,262 Tidak Ada
Multikolinieritas
Hubungan Esekutif Legislatif 0,935 1,070 Tidak Ada
Multikolinieritas
Komitmen Organisasi 0,878 1,139 Tidak Ada
Multikolinieritas
Gaya Kepemimpinan 0,768 1,302 Tidak Ada
Multikolinieritas
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
14
3. Uj
i
H
i
p
o
t
e
s
i
s
Dari Tabel 5 dapat dibuat persamaan garis regresi:
Y = X1 X2- X3 X4- X5 + 2,74105
Berdasarkan persamaan tersebut dapat diperoleh hasil sbb:
1. Latar belakang pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD.
2. Kinerja mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan dalam penyusunan APBD.
3. Hubungan eksekutif dan legislatif mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD.
4. Komitmen organisasi mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD.
5. Gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD.
Pembahasan Hasil Penelitian
1. Pengaruh Latar Belakang Pendidikan terhadap Keterlambatan Penyusunan Anggaran
Tabel 5 menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan berpengaruh negatif
terhadap keterlambatan penyusunan anggaran. Artinya, semakin baik kemampuan dan
bidang ilmu yang dikuasai oleh seseorang selama menempuh jalur pendidikan, maka
terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD akan dapat dihindari. Latar
belakang pendidikan ini meliputi meliputi latar belakang pendidikan formal dan
informal. Dilihat dari latar belakang pendidikan formal diketahui bahwa masih
minimnya anggota SKPD ataupun anggota banggar yang memiliki latar belakang
pendidikan yang terkait dengan penyusunan anggaran. Disamping itu masih minimnya
pendidikan dan pelatihan terkait pengganggaran keuangan daerah yang diikuti oleh tim
penyusun APBD juga menjadi penyebab anggaran disusun tidak tepat waktu.
Uji Hipotesis
Tabel 5
Hasil Pengujian Hipotesis
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 31.948 4.522 7.065 .000
Latarbelpendd (X1) -.224 .107 -.226 -2.089 .043
Kinerja (x2) -.436 .177 -.294 -2.467 .018
hubExLegis (x3) -.235 .089 -.290 -2.641 .012
komitOrganisasi (x4) -.284 .082 -.395 -3.479 .001
GayaKepem (X5) -.312 .083 -.456 -3.758 .001
a. Dependent Variable: keterPenyAngg
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
15
2. Pengaruh Kinerja terhadap Keterlambatan Penyusunan Anggaran Tabel 5 menunjukkan bahwa kinerja berpengaruh negatif terhadap
keterlambatan penyusunan anggaran. Kinerja merupakan tingkat yang dicapai dari
pelaksanaan program dan kebijaksanaan untuk mewujudkan visi, misi dan sasaran dari
organisasi sektor publik. Artinya, semakin efektif dan efisien kinerja seseorang dalam
mencapai pelaksanaan program dan kebijakan maka keterlambatan dalam penyusunan
APBD dapat dihindarkan. Namun dalam prakteknya, masih banyak kendala yang
muncul diantaranya, kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah daerah untuk
menentukan indikator kinerja yang diperlukan dalam APBD, adanya kesulitan untuk
menterjemahkan indikator kinerja ke dalam elemen anggaran, serta adanya perubahan
peraturan perundangan yang menjadi pedoman penyusunan APBD. Berbagai kendala
tersebut yang diduga menjadi penyebab APBD yang disusun tidak tepat waktu.
3. Pengaruh Hubungan Eksekutif dan Legislatif terhadap Keterlambatan Penyusunan Anggaran
Tabel 5 menunjukkan bahwa hubungan eksekutif dan legislatif berpengaruh
negatif terhadap keterlambatan penyusunan anggaran. Artinya, semakin baik dan selaras
hubungan antara eksekutif dan legislatif akan dapat mendorong penyusunan APBD
yang efektif dan efisien serta tepat waktu. Namun, sebaliknya jika hubungan antara
eksekutif dan legislatif APBD tidak berjalan dengan baik dapat berpengaruh buruk pada
penyusunan APBD. Salah satu bentuk pengaruh buruk tersebut adalah keterlambatan
dalam penyusunan anggaran. Karena APBD disusun oleh 2 pihak yaitu pihak eksekutif
dan legislatif, maka perlu adanya hubungan yang baik, komunikasi yang lancar dalam
proses penyusunan, pembahasan dan pengesahan APBD yang efektif dan
efisien.Namun kenyataan menunjukkan bahwa antara pihak eksekutif dan legislatif
belum melakukan komunikasi dan koordinasi secara efektif, serta kurang mampu
bekerjasama dalam penyusunan anggaran.Disamping itu masih ditemui adanya
kesenjangan informasi antara kedua belah pihak sehingga pembagian dan pendelegasian
tugas dalam menyusun APBD belum jelas. Faktor-faktor ini yang diduga menjadi
penyebab APBD yang disusun tidak tepat waktu.
4. Pengaruh Komitmen terhadap Keterlambatan Penyusunan Anggaran Tabel 5 menunjukkan bahwa komitmen berpengaruh negatif terhadap
keterlambatan penyusunan anggaran. Komitmen organisasi adalah bentuk kesepakatan
yang dibuat oleh pihak-pihak di dalam organisasi untuk secara bersama melaksanakan
tugas dan fungsi secara baik dalam rangka mewujudkan visi, misi, sasaran, dan tujuan
dari organisasi. Pada penyusunan APBD pihak-pihak yang terlibat hendaknya memiliki
komitmen yang tinggi untuk melaksanakan penyusunan APBD secara tepat waktu serta
melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan dengan efektif dan efisien. Namun
praktek dilapangan menunjukkan masih kurangnya komitmen dari pihak-pihak
penyusun anggaran sehingga APBD yang disusun tidak tepat waktu.
5. Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Keterlambatan Penyusunan Anggaran Tabel 5 menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh negatif terhadap
keterlambatan penyusunan anggaran.UU No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah
telah merubah pola hubungan antara pusat dan daerah yang bersifat paternalistik dan
sentralistik menjadi hubungan yang bersifat kemitraan dan desentralistik. Ini artinya
undang-undang tersebut memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk
mengurus rumah tangganya sendiri termasuk diantaranya menyusun APBD yang tepat
waktu. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan masih kurangnya komunikasi
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
16
antara atasan, bawahan maupun rekan kerja sehingga APBD yang disusun tidak tepat
waktu.
Tabel 6
Pengujian Koefisien Determinasi
Model Summary
b
R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the
Estimate
1 .748a .559 .503 2.74105
a. Predictors: (Constant), GayaKepem, latarbelpendd, hubExLegis, komitOrganisasi, kinerja
b. Dependent Variable: keterPenyAngg
Sumber: lampiran 4, 2014
Pada tabel 6 terlihat bahwa koefisien determinasi menunjukkan nilai Adjusted R-
Square sebesar 0,503. Hal ini berarti bahwa 50,3% variasi keterlambatan penyusunan
anggaran dapat dijelaskan oleh variasi variabel latar belakang pendidikan, kinerja,
hubungan eksekutif legislative, komitmen organisasi dan gaya kepemimpinan.
Sedangkan 49.7% dapat dijelaskan oleh variabel lain.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan tabel 5 diperoleh hasil penelitian sebagai berikut:
1. Latar belakang pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD. Dilihat dari latar belakang pendidikan formal diketahui bahwa
masih minimnya anggota SKPD ataupun anggota banggar yang memiliki latar belakang
pendidikan yang terkait dengan penyusunan anggaran. Disamping itu masih minimnya
pendidikan dan pelatihan terkait pengganggaran keuangan daerah yang diikuti oleh tim
penyusun APBD juga menjadi penyebab anggaran disusun tidak tepat waktu.
2. Kinerja mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan dalam penyusunan APBD. Semakin efektif dan efisien kinerja seseorang dalam mencapai pelaksanaan program dan
kebijakan maka keterlambatan dalam penyusunan APBD dapat dihindarkan. Namun
dalam prakteknya, masih banyak kendala yang muncul diantaranya, kurangnya informasi
yang dimiliki pemerintah daerah untuk menentukan indikator kinerja yang diperlukan
dalam APBD, adanya kesulitan untuk menterjemahkan indikator kinerja ke dalam
elemen anggaran, serta adanya perubahan peraturan perundangan yang menjadi pedoman
penyusunan APBD. Berbagai kendala tersebut yang diduga menjadi penyebab APBD
yang disusun tidak tepat waktu.
3. Hubungan eksekutif dan legislatif mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD. Kenyataan menunjukkan bahwa antara pihak eksekutif dan legislatif
belum melakukan komunikasi dan koordinasi secara efektif, serta kurang mampu
bekerjasama dalam penyusunan anggaran.Disamping itu masih ditemui adanya
kesenjangan informasi antara kedua belah pihak sehingga pembagian dan pendelegasian
tugas dalam menyusun APBD belum jelas. Faktor-faktor ini yang diduga menjadi
penyebab APBD yang disusun tidak tepat waktu.
4. Komitmen organisasi mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD. Artinya, semakin tinggi komitmen seseorang terhadap visi, misi, tujuan, dan
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
17
sasaran yang ingin dicapai maka akan dapat menciptakan motivasi dan kemauan dalam
menyusun APBD secara tepat waktu serta melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan
dengan efektif dan efisien. Namun praktek dilapangan menunjukkan masih kurangnya
komitmen dari pihak-pihak penyusun anggaran sehingga APBD yang disusun tidak tepat
waktu.
5. Gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh negatif terhadap keterlambatan penyusunan APBD. Artinya, semakin baik cara memimpin seorang pimpinan akan mempengaruhi
penyusunan APBDyang tepat waktu. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan masih
kurangnya komunikasi antara atasan, bawahan maupun rekan kerja sehingga APBD
yang disusun tidak tepat waktu.
Keterbatasan
1. Jumlah sampel yang masih kecil, hanya meliputi sebagian anggota Badan Anggaran DPRD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), badan Eksekutif yakni BAPPEDA,
Bagian Keuangan Setda Kabupaten Wonosobo, Badan Legislatif yakni Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wonosobo dan anggota Satuan Kerja Pemerintah
Daerah (SKPD) di Kabupaten Wonosobo.
2. Koefisien determinasi menunjukkan nilai Adjusted R-Square sebesar 0,503. Ini menunjukkan bahwa masih ada variable-variabel independen lain yang memiliki
pengaruh cukup signifikan yang menyebabkan terjadinya keterlambatan dalam
penyusunan APBD di kabupaten Wonosobo.
Saran
Kesimpulan yang diperoleh tersebut memberikan implikasi bagi penyusunan APBD terutama
dalam kaitannya untuk mengatasi keterlambatan penyusunan APBD di wilayah Kabupaten
Wonosobo secara khusus. Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Dapat memperluas obyek penelitian dengan melibatkan seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD.
2. Bagi penelitian berikutnya perlu dikaji lebih mendalam variable-variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini yang kemungkinan mempengaruhi keterlambatan dalam
penyusunan APBD seperti ketidakpastian lingkungan, motivasi.
3. Pada tahapan penyusunan APBD selanjutnya membina hubungan yang harmonis dan bersinergi antara eksekutif maupun legislatif perlu dilakukan secara mendalam dan
menyeluruh. Kedua belah pihak tersebut harus memahami tujuan dari penyusunan
APBD bagi pelaksanaan pemerintahan dan setiap unsur yang terlibat haruslah
berkomitmen untuk memberikan yang terbaik dalam penyusunan APBD.
4. Kompetensi dan keahlian SDM harus menjadi perhatian utama bagi pemeritah daerah dalam penyusunan APBD dan dalam kegiatan lainnya. Penempatan pegawai hendaknya
didasarkan pada pertimbangan bahwa pihak yang bertugas tersebut memiliki keahlian
dan kompetensi terkait dengan tugas dan kegiatan yang harus dilakukan tersebut dengan
tujuan pelaksanaan yang efektif dan efisien. Selain itu, dalam proses perekrutan pegawai
pendidikan dan keahlian juga turut menjadi faktor utama syarat penerimaan pegawai
agar pegawai baru yang diterima sesuai dengan kebutuhan yang diterima organisasi
sektor publik.
5. Selain berdasarkan pada pendidikan formal yang sesuai dengan tugas dan kegiatan yang dilakukan, saran lainnya adalah perlunya peran pendidikan informal ditingkatkan lagi
sehubungan dengan pelaksanaan penganggaran daerah. Salah satu bentuk peningkatan
peran pendidikan informal adalah pemerintah daerah dapat secara mandiri
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan penganggaran
keuangan daerah. Hal tersebut dapat menambah kompetensi dan keahlian pihak yang
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
18
telah berlatar pendidikan terkait penganggaran keuangan daerah serta memberikan
tambahan ilmu baru bagi pihak yang belum berkompeten dalam hal tersebut.
6. Faktor-faktor yang telah teridentifikasi tersebut dapat menjadi dasar bagi pihak eksekutif maupun legislatif untuk merancang solusi penyelesaian terhadap permasahan
keterlambatan penyusunan APBD khususnya di wilayah Kabupaten Wonosobo.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syukriy dan Asmara, Jhon Andra. 2006. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam
Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di sektor Publik.
Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang.
Abdullah. 2011. Keterlambatan APBD: Mengapa? Siapa yang Dirugikan? (Online),
(http://syukriy.wordpress.com), diakses 14 Oktober 2013
Afriani, Iyan H.S. 2009. Metode penelitian Kualitatif. (Online), (http://www.penalaran-
unm.org), diakses 14 Oktober 2014
Ari Kuntoro 2003. Manajemen Penelitian. Edisi Baru, cetakan keenam. Jakarta : Penerbit PT.
Rineka Cipta.
BPKP. "Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja (Revisi).
.
Darise, Nurlan. 2008. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: PT Indeks
Djuharie, O. S. 2001. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis. Disertasi. Bandung : Yrama Widya.
Ghozali, Imam.2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gibson James. L, Ivancevich John M dan Donnely James H, Jr. 1996. Organisasi : Perilaku,
Struktur dan Proses. Terjemahan. Jilid 1. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta.
Halim, Abdul dan Abdullah, Syukriy. 2006. Penelitian tentang Hubungan dan Masalah
Keagenan di Pemerintah Daerah (Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan
Akuntansi). Jurnal Akuntansi Pemerintah. (Online), Vol 2, No.4
(http://www.academia.edu), diakses 5 Oktober 2013
Heidjrachman dan Suad Husnan. 1997. Manajemen Personalia. Edisi kedua, BPFE,
Yogyakarta
Hian Ayu Oceani Wibowo. 2010. Pengaruh Independensi Auditor, Komitmen Organisasi,
Gaya Kepemimpinan dan Pemahaman Good Governance terhadap Kinerja Auditor.
(Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di daerah istimewa Yogyakarta)
Jogiyanto. 2008. Pedoman Survei Kuesioner: Mengembangkan Kuesioner, Mengatasi Bias
dan Meningkatkan Respon. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta,
Latifah, P Nurul. 2010. Adakah Perilaku Oportunistik Dalam Aplikasi Agency Theory di
Sektor Publik?Artikel Ekonomi. (Online), Vol 5, No. 2 (http://isjd.pdii.lipi.go.id),
diakses 5 Oktober 2013
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
19
Mahsun, Mohammad, Firma Sulistyowati dan Heribertus A.P.2007. Akuntansi Sektor Publik.
Edisi kedua. BPFE : Yogyakarta.
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Evaluasi Kinerja SDM. Cetakan Pertama. PT. Refika
Aditama, Bandung.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta
Micom, 2011. 2 April 2011. Penundaan DAU 25% sebagai sanksi keterlambatan
Penyampaian IKD 2011.
Moleong, J Lexy. 2008. Metodologi penelitian Kualitatif .Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Mudrajad Kuncoro. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Nordiawan, Deddi. 2006. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2010 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
Rakyat Merdeka. 2012. APBD Belum Disahkan Pemerintah Daerah. (Online),
(http://djkd.depdagri.go.id), diakses 15 Oktober 2013
Ritonga, Irwan Taufiq dan Alam, Mansur Iskandar. 2010. Apakah Incumbent memanfaatkan
Anggaran Pendapatan dan belanja Daerah (APBD) Untuk Mencalonkan Kembali
Dalam Pemilihan Umum kepala Daerah (PEMILUKADA). Simposium Nasional
Akuntansi XIII. Purwokerto.
Robbins. 2001. Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Edisi Bahasa Indonesia.
PT Prenhalindo, Jakarta.
Soedarmayanti. 2007. Good Governance danGood Corporate Governance. Bagian Ketiga.
CV. Mandar Maju
Sumarno, J.2005. Pengaruh komitmen Organisasi dan Gaya Kepemimpinan terhadap
Hubungan antara Partisipasi Anggaran dan Kinerja Manajerial (Studi Empiris pada
kantor cabang perbankan Indonesia di Jakarta). SNA VIII Solo.
Syah, H Rahman. 2007. Hubungan Legislatif dan Eksekutif Daerah Dalam Proses Penetapan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Gowa. Menurut Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004. Karya Ilmiah. Makassar: Program Magister ilmu
Administrasi STIA LAN Makassar.
Taufiq Umar Abdalla. 2010. Penelitian tentang Analisis Kesiapan Administrasi Pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
(Studi Kasus Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta).
Volume 10 No. 2, Juli 2015 ISSN: 1907426X
20
Trisnaningsih, S. 2003. Pengaruh Komitmen terhadap Kepuasan Kerja Auditor : Motivasi
sebagai variabel intervening ( Studi empiris pada Kantor Akuntan Publik di Jawa
Timur). Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, (6) : 199-216
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.
Wangi, Chitra Ariesta pandan dan Ritonga, Irwan Taufiq. 2010. Identifikasi Faktor-Faktor
Penyebab Terjadinya Keterlambatan Dalam Penyusunan APBD (Studi Kasus
Kabupaten Rejang Lebong Tahun Anggaran 2008-2010). Simposium Nasional
Akuntansi XIII. Purwokerto.