25
ICASERD WORKING PAPER No. 12 DAMPAK PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KARET RAKYAT TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI RIAU Ikin Sadikin dan Rudi Irawan Agustus 2003 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

  • Upload
    duongtu

  • View
    229

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

ICASERD WORKING PAPER No. 12

DAMPAK PEMBANGUNANPERKEBUNAN KARET RAKYATTERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI RIAUIkin Sadikin dan Rudi Irawan

Agustus 2003

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian

Page 2: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

ICASERD WORKING PAPER No. 12

DAMPAK PEMBANGUNANPERKEBUNAN KARET RAKYATTERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI RIAUIkin Sadikin dan Rudi Irawan

Agustus 2003

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari dan Agus Suwito. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]

No. Dok.009/12/1/03

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian

Page 3: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

1

DAMPAK PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KARET RAKYAT TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI RIAU

Oleh : Ikin Sadikin1 dan Rudi Irawan2

1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor2 Fakultas Pertanian Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, Riau

ABSTRACT

Meaning sense of this paper is to explain and to analyze development process (in smallholder rubber sub sector) that have done by the government in Riau Province. Agricultural system which plantation system is a compatible model with in local people. Afterwards for to explain reality and to phenomenon analysis and what dynamic happen in that development, so analysis and its examine pressured to literacy study and others theory and to use information’s. The development problems appear because of the modernization strategy that applied by the government less accommodating local potential’s, with the result that local societies think that the development are not for them. And finally, development programs less popular in the societies and can not supported by the people, so consequences social change not yet.

Key word : Development, smallholder rubber, farmer income

ABSTRAK

Tulisan berikut memaparkan dan menganalisis bagaimana proses pembangunan (di sub sektor perkebunan karet rakyat) yang telah dilakukan pemerintah selama ini di Propinsi Riau. Dimana sistem pertanian dengan sistem perkebunan merupakan model yang sudah menjadi budaya masyarakat setempat. Untuk memaparkan realitas dan menganalisis fenomena serta dinamika yang terjadi dalam pembangunan tersebut, analisis dan kajiannya lebih ditekankan pada studi literatur (pustaka) dan berbagai teori dengan memanfaatkan segala informasi dan data yang ada. Dalam pembangunan tersebut, ternyata persoalannya muncul lebih banyak disebabkan olehstrategi modernisasi yang diterapkan oleh Pemerintah kurang mengakomodasi potensi lokal. Sehingga masyarakat setempat merasa bahwa pembangunan itu bukan untuk dirinya. Akhirnya program pembangunan pemerintah kurang populer dan kurang mendapat dukungan sehingga belum bisa menghasilkan perubahan seperti yang diharapkan.

Kata kunci : Pembangunan, perkebunan karet, pendapatan petani

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Selama ini telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan

kesejahteraan petani di pedesaan. Kebijaksanaan ini diterapkan karena adanya kenyataan bahwa

mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong “miskin” dan umumnya

menggantungkan hidupnya dari kemurahan alam atau bermatapencaharian di sektor pertanian. Salah

satu upaya yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi

Page 4: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

2

kemiskinan petani adalah melalui pengembangan daerah pedesaan dengan cara membangun

perkebunan karet rakyat. Hal ini cukup beralasan,

karena berdasarkan data sejak tahun 1964 hingga 1988 luas areal, produksi dan produktivitas karet

rakyat di Indonesia selalu mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Mubyarto dan Dewanta,

1991).

Perkebunan karet rakyat banyak tersebar di wilayah Indonesia, termasuk di propinsi Riau,

yang sudah membudaya dalam kehidupannya. Umumnya diusahakan oleh petani rakyat dalam skala

kecil (sempit) dan dengan system tradisional. Sedangkan yang diusahakan oleh perusahaan

pemerintah/swasta umumnya dalam skala besar dan modern. Namun demikian, bila dilihat dari

proporsi luasannya, kebun karet milik rakyat lebih dominan, sehingga usaha itu patut diperhitungkan,

karena cukup menentukan bagi dunia perkaretan Indonesia.

Pada tahun 2001 luas total perkebunan karet rakyat (PR) di Riau mencapai 412.998 ha atau

95,82 persen dari luas total seluruh perkebunan karet, sementara luas PR di Indonesia mencapai

sekitar 86 persen dari luas total 3,61 juta hektar (Dirjen Perkebunan, 2001). Ini merupakan areal lahan

perkebunan karet yang terbesar di dunia (meskipun sebagian besar merupakan perkebunan karet

rakyat yang tidak dikelola dengan baik). Pengelolaannya dilakukan secara sederhana; setelah bibit

karet ditanam kemudian dibiarkan begitu saja tanpa perawatan yang memadai, sehingga

produktivitasnya dikategorikan masih rendah (3,39 kw/ha/th). Disamping itu, yang lebih

memprihatinkan lagi adalah mutu olahan karet yang dihasilkan masih berkualitas rendah. Hal ini

umumnya disebabkan oleh teknologi yang dimiliki dan kemampuan (keterampilan) petani rendah,

sehingga sampai di pasaran internasional pun karet Indonesia terkenal sebagai karet yang bermutu

rendah. Sebaliknya negara jiran kita, seperti Thailand dan Malaysia masih mampu mempertahankan

mutu karetnya, sehingga sampai sekarang masih menguasai pasaran karet dunia.

Adanya realitas itu membuat posisi Indonesia sebagai negara penghasil karet alam terbesar di

dunia turun. Padahal pada periode sebelum PD II hingga tahun 1956 Indonesia berhasil menjadi

produsen karet terbesar di dunia dan mencapai masa jaya karet alam. Kemudian, meski setelah itu ada

“boom” harga karet alam dunia yang cukup tinggi, namun booming harga karet tersebut hanya

mampu meningkatkan jumlah luasan kebun karet rakyat saja. Tapi belum mampu meningkatkan

kualitas bokar yang dihasilkan oleh rakyat. Oleh karenanya, informasi/data dari Dirjen Perkebunan

(2001) menunjukkan, bahwa posisi Indonesia sejak 1990 hingga tahun 2000 tetap berada di posisi

kedua setelah Thailand sebagai produsen karet alam di dunia.

Menurut Mubyarto dan Dewanta (1991), meskipun dalam berbagai tulisan banyak diyakinkan

tentang peranan besar dari industri karet yang memproduksi barang-barang konsumsi vital bagi

masyarakat modern (ban mobil/sepeda/pesawat terbang, dsb), namun kunjungan ke pusat-pusat

produksi karet rakyat di Sumatera dan Kalimantan masih merisaukan, karena keadaan kemiskinan

Page 5: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

3

yang serius masih mewarnai kehidupan para petani karet. Pendek kata, selama ini masih banyak

usaha pembangunan perkebunan karet rakyat yang telah dilakukan oleh pemerintah belum mampu

mengangkat derajat kehidupan petani ke tingkat yang lebih sejahtera. Dengan kata lain pembangunan

itu masih membuat petani karet rakyat yang jumlahnya lebih 1 juta orang dan hampir menghidupi 10

juta orang Indonesia masih tetap hidup dalam serba kemiskinan.

Dalam rangka untuk mengembalikan posisi Indonesia sebagai produsen karet alam terbesar di

dunia dan memperbesar peranan subsektor perkebunan dalam menyumbang devisa negara, maka

pemerintah perlu melakukan usaha pembangunan perkebunan karet rakyat, baik yang sudah ada

maupun membangun yang baru. Pembangunan perkebunan karet rakyat itu tujuannya adalah untuk

meningkatkan jumlah produksi atau bokar yang pada akhirnya sangat diharapkan akan meningkatkan

kesejahteraan petani.

Banyak usaha yang telah dilakukan pemerintah berkaitan dengan pembangunan dan

pengembangan perkebunan karet rakyat, seperti melalui SRDP1, PIR/NES2, TCSDP3, PRPTE4, dsb..

Langkah atau strategi pembangunan (proyek) perkebunan yang ditempuh oleh pemerintah pada saat

itu bertujuan untuk meningkatkan devisa negara melaui ekspor yang diharapkan dapat mempercepat

laju pertumbuhan ekonomi. Sehingga usaha yang dilakukan pun banyak mengambil langkah

modernisasi, dengan mengadopsi dan menggunakan berbagai teknologi di bidang pertanian, misalnya

pemakian bibit unggul, pupuk, pengendalian hama/penyakit, pemeliharan kebun dan berbagai teknik

pengolahan karet.

Propinsi Riau merupakan salah satu propinsi penghasil utama komoditas perkebunan karet,

dimana sebagian besar dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas

penduduk Riau yang notabene adalah petani perkebunan dengan tingkat pendapatan masih rendah.

Penyebab utamanya adalah, produktivitas karet rakyat yang dihasilkan petani masih rendah, yaitu

hanya sekitar 300-500kg/ha/thn. Kenyataan ini sangat ironis, sebab dengan berbagai proyek yang

telah dikembangkan oleh pemerintah sepertinya belum memperlihatkan hasil yang signifikan

terhadap taraf hidup petani atau kesejahteraannya, meskipun sumbangan sektor perkebunan terhadap

pendapatan daerah maupun nasional sangat besar (Rusli dkk 1996).

Berdasarkan realitas itu, khususnya yang berkaitan dengan rendahnya kesejahteraan petani

perkebunan rakyat, maka tulisan ini hendak melihat sejauh mana pembangunan yang telah dilakukan

pemerintah dan bagaimana langkah yang telah diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan

kesejahhteraan rakyatnya. Dalam rangka melihat hasil pembangunan yang ada di propinsi Riau, maka

1 Smallholder Rubber Development Project. 2 Perkebunan Inti Rakyat/Nucleus Estate Smallholder.3 Three Crops Smallholder Development Project.5 Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor.

Page 6: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

4

informasi dan data dalam tulisan ini banyak diambil dari studi kepustakaan, terutama laporan-laporan

hasil penelitian yang berkaitan dengan topik tulisan ini.

Perumusan Masalah

Pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah khususnya di subsektor perkebunan belum

begitu banyak berarti dalam rangka meningkatkan kemakmuran kehidupan para petani. Hal ini

menunjukkan bahwa persoalan pembangunan, khususnya dalam perkebunan karet rakyat tidaklah

cukup hanya sekedar meningkatkan produksi. Artinya strategi pembangunan yang diterapkan

pemerintah selama ini mengacu pada paradigma modernisasi yang berlandaskan pada asumsi-asumsi

ekonomi neo-klasik, dimana manusia dianggap rasional dan terangsang oleh insentif material, sebab

dalam kenyataan kehidupan social dan ekonomi petani selama ini belum menunjukkan hasil seperti

yang diharapkan. Dengan demikian pemecahan berbagai persoalan yang dihadapi dalam

pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sudah seharusnya memperhatikan dan

mempertimbangkan berbagai potensi sumberdaya lokal yang dimiliki masyarakat setempat, sebab hal

itu telah melembaga dan beradaptasi dengan lingkungannya.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang perlu untuk diketahui dan dicari

jawabannya adalah pertama, sejauh mana sebenarnya usaha pembangunan perkebunan karet rakyat

yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani, dan kedua, apakah

pembangunan perkebunan juga mampu menciptakan perubahan (sosial, kultural) yang lebih baik bagi

masyarakat. Dengan kata lain, apakah usaha pembangunan perkebunan rakyat yang dilakukan oleh

pemerintah tersebut sudah melibatkan berbagai potensi sosial dan budaya masyarakat setempat serta

menciptakan suatu perubahan, misalnya tradisi-tradisi, lembaga-lembaga norma, dan adat masyarakat.

Selanjutnya apakah pembangunan tersebut juga turut memberdayakan lembaga lokal atau kelompok

sosial yang menunjang pembangunan perkebunan karet tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan adalah sebuah kata kunci yang selama ini sering disosialisasikan oleh

pemerintah sebagai lembaga untuk menyejahterakan rakyat; seolah-olah berbagai persoalan mendasar

yang berkembang dan berkaitan dengan kehidupan masyarakat akan dapat diselesaikan dengan

adanya pembangunan. Dalam pelaksanaannya, strategi atau pilihan kebijaksanaan yang dipilih dan

dilakukan oleh pemerintah di suatu Negara ternyata berlainan coraknya, sebab istilah pembangunan

itu bisa dimaknai secara berbeda oleh semua orang, tidak terkecuali pemerintah dan masyarakat.

Banyak hal yang bisa menyebabkan perbedaan dalam pemaknaan pembangunan tersebut. Salah

satunya adalah karena adanya perbedaan cara suatu masyarakat atau bangsa untuk mengejar masa

Page 7: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

5

depan yang lebih baik, yang tentu alasannya selalu didasarkan pada potensi dan kemampuan modal

sumberdaya yang dimilki oleh masing-masing negara dan masyarakat.

Berkaitan dengan hal pemaknaan terhadap konsep pembangunan itu, maka terlebih dulu

kiranya perlu dikemukakan beberapa makna yang terkandung dalam istilah pembangunan. Sebab

dalam upaya untuk menyejahterakan rakyat, istilah pembangunan sering dimaknai dan diasosiasikan

dengan modernisasi (modernization), pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan perubahan sosial

(social change).

Menurut Schoorl (1980), definisi modernisasi adalah penerapan pengetahuan ilmiah yang ada

pada semua aktivitas, semua bidang kehidupan atau semua aspek masyarakat. Pendapat Schoorl ini

dapat diartikan bahwa jika suatu masyarakat atau bangsa ingin membangun maka harus

menghilangkan semua unsur yang tidak rasional. Dengan kata lain segala sesuatu yang sifatnya

tradisional harus dapat dihindari, karena persoalan ini akan dapat menghambat langkah modernisasi

yang dilakukan pada tahap selanjutnya. Konsep Schoorl ini tidak berbeda jauh dengan apa yang

dikemukakan oleh Wilbert Moorre dalam Long (1987). Menurutnya konsep modernisasi adalah suatu

transformasi secara menyeluruh masyarakat tradisional atau masyarakat pra-modern menjadi

masyarakat yang corak teknologi serta organisasi sosialnya seperti yang terdapat di negara-negara

dunia Barat yang maju, makmur dari segi ekonomi dan relatif stabil dari segi politik.

Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan pertama, problem keterbelakangan di segala

aspek/ kehidupan yang ada di Dunia Ketiga dapat diselesaikan dengan pembangunan yang

menerapkan strategi modernisasi. Artinya mereka memandang bahwa kerumitan persoalan di Dunia

Ketiga seperti masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan sejenisnya akan dapat di atasi

dengan modernisasi, seperti halnya yang telah dilakukan oleh Dunia Barat sebelumnya. Dengan

demikian aspek yang paling menonjol dalam modernisasi ini adalah perubahan teknik produksi

(industri) dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern. Karena inspirasi modernisasi di negara Barat

itu dihasilkan dari adanya revolusi industri yang terjadi di Inggris. Dimana setelah revolusi industri

tersebut, muncul pemahaman bahwa seluruh aspek persoalan kehidupan akan dapat diselesaikan

dengan penerapan ilmu pengetahuan, termasuk penggunaan teknologi. Kedua adalah bahwa

pembangunan juga mengindikasikan adanya suatu transformasi atau perubahan dari satu jenis ke jenis

lainnya, misalnya dalam bidang ekonomi.

Proses pembangunan yang dilaksanakan dengan strategi modernisasi, kemudian diasumsikan

juga akan mampu menggerakan sektor ekonomi. Karena dengan berkembangnya teknologi dan

industri, maka sektor perekonomian dengan sendirinya akan bergiat aktif mengikuti laju kecepatan

sektor industri. Oleh karena itu pembangunan dengan strategi modernisasi tidak akan mampu

mengisolasi faktor ekonomi yang dengan sendirinya akan mengikuti langkah dan arah perubahan

proses tersebut. Tetapi justru sebaliknya, seperti yang diungkapkan oleh Smelser dalam Long (1987),

Page 8: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

6

bahwa usaha ini adalah suatu upaya untuk memadukan dan memberikan perubahan sosial ekonomi.

Karena pada dasarnya pembangunan ekonomi (di pedesaan) yang berlangsung akan memberikan

implikasi seperti: (a) modernisasi teknologi akan membawa perubahan dari teknik-teknik tradisional

kepada aplikasi ilmu pengetahuan (rasionalitas yang tinggi); dan (b) munculnya pertanian komersial,

dimana proses ini dicirikan dengan adanya pergeseran dari sisitim pertanian subsisten menuju ke

pertanian sistim pasar.

Proses ini secara linier akan mampu meningkatkan output (produksi) setiap individu atau

kelompok masyarakat. Sebab peningkatan output akan mempengaruhi kehidupan masyarakat atau

suatu bangsa menuju ke arah yang lebih baik (sejahtera). Dengan kata lain meningkatnya pendapatan

per kapita penduduk merupakan suatu tanda terhapusnya persoalan-persoalan keterbelakangan yang

terjadi di negara-negara Dunia Ketiga. Oleh karena itu, masih banyak negara atau pemerintahan di

Dunia Ketiga yang memahami makna pembangunan hanya sebatas sebagai pertumbuhan ekonomi

(economic growth). Pembangunan disebut berhasil jika indikator ekonomi meningkat, jadi

berhasilnya pembangunan hanya dilihat dari sisi kenaikan pendapatan nasional riel dalam jangka

waktu tertentu (Thirwall dalam Ndraha, 1990).

Sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa proses modernisasi berkaitan dengan perubahan

social; sebab perubahan sosial menurut Soemardjan (1962) adalah perubahan lembaga-lembaga

(institutions) masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk nilai sosial, sikap dan pola

perilaku kelompok. Artinya kelancaran modernisasi dapat tercapai jika adanya perubahan sikap

masyarakat lembaga-lembaga sosial terhadap nilai-nilai yang terbawa oleh langkah modernisasi itu.

Dengan kata lain perubahan sikap masyarakat dan lembaga-lembaga sosial merupakan prasyarat

modernisasi, dan sesungguhnya modernisasi itu akan menghasilkan perubahan.

Berbeda dengan perubahan yang terjadi di negara Barat. Perubahan sosial yang terjadi di Dunia

Ketiga awalnya lebih banyak digerakkan, dirangsang dan diakibatkan oleh adanya keterlibatan

pengaruh berbagai kekuatan ekstrateresterial, yaitu kekuatan yang berasal dari luar desa atau

kekuasaan atas desa (Long, 1987). Oleh karena itu pemerintahan di negara-negara Dunia Ketiga

kemudian sering membuat lembaga tertentu (formal) di tingkat desa untuk memacu modernisasi,

pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial itu. Sesungguhnya persoalan ini yang paling penting

untuk dikembangkan di negara-negera terbelakang. Karena dengan adanya perubahan sosial tersebut

keberlanjutan sebuah proyek pembangunan yang awalnya dari pemerintah akan dapat terus

dilanjutkan, meskipun pihak pemerintah dikemudian hari tidak lagi terlibat secara langsung dalam

kegiatan tersebut.

Selanjutnya proses pembangunan untuk mewujudkan perubahan itu tentu tidak akan luput dari

suatu hambatan ataupun tantangan yang berasal dari unsur dalam desa sendiri. Menurut Horowitz

dalam Ndraha (1980), pada dasarnya terdapat dua faktor yang menghambat perubahan sosial, yaitu

Page 9: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

7

yang bersifat kolektif (collective resistance) dan yang bersifat individual. Tantangan yang bersifat

kolektif ini biasanya dilakukan atas dasar demi keamanan dan ketertiban, sedangkan tantangan

bersifat individual biasanya bersifat intelektual. Kedua tantangan ini dilatari oleh ketakutan akan

hancurnya tradisi sebagai milik masyarakat yang telah dipegang sejak lama. Berbeda dengan

pendapat yang dikemukakan oleh Evers (1988), bahwa tantangan perubahan sosial dalam masyarakat

Dunia Ketiga justru datang dari kaum elite yang biasanya dianggap sebagai agen perubahan. Terlebih

lagi, jika perubahan tersebut merugikan kepentingan kaum elite yang bersangkutan.

Disinilah penting adanya unsur fleksibelltas social agar proses pembangunan yang dilakukan

melalui modernisasi dapat berlanjut dan memberi manfaat bagi masyarakat banyak; sebab menurut

Eisenstadt dalam Long (1987), modernisasi dapat dilanjutkan hanya kalau masyarakat dapat

mengembangkan unsur fleksibelitas, berusaha menyelesaikan masalah-masalah baru dan problematik

yang selalu berubah serta mau menerima lingkungan institusi sentral. Meskipun demikian diharapkan

institusi sentral yang dibangun di pedesaan bersifat lebih adaptif dengan kondisi lokal dimana institusi

itu berada.

Jadi dengan beragamnya makna yang terkandung dari konsep ataupun teori-teori pembanguan

tersebut akan digunakan untuk menganalisis suatu teorema pembangunan yang dipilih oleh

pemerintah menjadi suatu kebijaksanaan dalam melakukan strategi pembangunan perkebunan karet

rakyat di propinsi Riau, yang tentunya telah memiliki pengaruh dan menimbulkan dampak terhadap

kehidupan sosial masyarakat petani karet. Pembahasan selanjutnya akan merekontruksi teorema suatu

proses pembangunan perkebunan karet rakyat di propinsi Riau dari sisi sosiologi, yang dimulai

dengan ulasan sejarah perkaretan di Riau.

PEMBAHASAN

Sejarah Perkebunan Karet Rakyat dan Kondisi Petani di Riau

Menjelaskan persoalan kapan sesungguhnya tanaman karet dikenal dan mulai dibudiayakan

oleh masyarakat, khususnya di propinsi Riau, maka hal ini tentu juga tidak bisa dilepaskan dari

sejarah perkaretan di Indonesia. Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan

Belanda. Awalnya karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman baru untuk dikoleksi (Tim

Penulis PS, 1992). Selanjutnya tanaman karet dikembangkan menjadi tanaman perkebunan dan

tersebar di beberapa daerah.

Adanya krisis tembakau dan kopi yang pada waktu itu menjadi komoditas andalan pemerintah

kolonial Hindia Belanda (HB), maka selanjutnya pemerintahan HB tertarik untuk mengembangkan

dan membangun perkebunan karet. Pada tahun 1864 perkebunan karet mulai diperkenalkan dan

Page 10: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

8

dikembangkan di Indonesia. Perkebunan karet pertama dibuka oleh Hofland (perusahaan Belanda) di

daerah Pamanukan dan Ciasem Jawa Barat. Jenis tanaman karet yang diusahakan pada waktu itu

adalah karet rambung atau Ficus elastica. Sedangkan jenis karet Hevea brasiliensis baru di tanam di

Sumatera Timur pada tahun 1902. Perkembangan tanaman karet di Indonesia ini lebih berkembang

setelah Netherlands Indies membuka pintu bagi para investor luar, terutama dari Inggris, Belanda dan

Belgia serta Amerika (Tim Penulis PS, 1992).

Selanjutnya Tim penulis mengemukakan, seiring dengan hal tersebut, maka pemerintah HB

untuk pertama kalinya memperkenalkan sistem perkebunan besar (modern) yang dibuka di daerah

Indragiri pada tahun 1893. Selanjutnya disusul oleh perkebunan-perkebunan lainnya. Pada tahun 1915

saja, di seluruh Kepulauan Riau, Indragiri dan Kuantan terdapat 12 onderneming.5 Tanah- tanah

erfpacht6 yang luas di Japura, Kelawat, Sungai Lalak, Sungai Parit Gading, Air Molek dan Sungai

Sagu dimanfaatkan untuk perkebunan dan ditanami dengan tanaman karet.

Di sisi lain, perkebunan karet rakyat juga berkembang seiring dengan perkembangan

permintaan karet alam, terutama adanya pengaruh “boom” harga karet alam setelah PD II.

Perkebunan karet yang dikelola oleh rakyat (perkebunan rakyat) sudah terlebih dahulu di kenal

masyarakat Riau, bahkan jauh sebelum diperkenalkan oleh pemerintah colonial HB. Mereka

mendapatkan benih atau bibit tanaman karet dari para jemaah haji yang singgah di Malaysia atau

Singapura. Selain itu pedagang-pedagang Cina (Malaysia dan Singapura) yang membeli produksi

karet rakyat, juga sering membawakan benih-benih karet untuk ditanam. Oleh karena itu bahwa

tanaman karet telah lebih dahulu berkembang di tengah masyarakat Riau dan bahkan sudah

merupakan bagian dari budaya kehidupan mereka. Keadaan ini juga didukung oleh kondisi alam

Riau, sehingga masyarakat pun akhirnya lebih mengenal sistem pertanian kebun. Selain itu sistem

pertanian perkebunan bagi masyarakat Riau juga merupakan suatu bentuk adaptasi di bidang

pertanian, karena disamping iklim, kondisi tanah Riau tidak sesubur tanah di Jawa yang mudah untuk

ditanami tanaman pangan lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika disebut oleh Rusli dkk (1996),

subsektor perkebunan di propinsi Riau melaju lebih cepat dibandingkan dengan sektor pertanian

lainnya.

Jadi singkatnya budaya pertanian yang mendasari seluruh kehidupan penduduk di propinsi

Riau adalah kehidupan pertanian yang berpusat pada lahan kering. Tanaman-tanaman utama yang

telah lama menjadi kesukaan dan seting budaya mereka adalah tanaman karet dan kelapa. Sedangkan

untuk tanaman kelapa sawit baru berkembang kemudian pada zaman prakemerdekaan. Kebanyakan

perkebunan kelapa sawit yang ada di propinsi Riau dikelola oleh pemerintah (BUMN) ataupun

5 Perkebunan pemerintah Hindia Belanda 6 Tanah yang disewa oleh perusahaan swasta dari pemerintahan Hindia Belanda untuk perkebunan.

Page 11: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

9

perusahaan swasta besar yang melibatkan hanya segelintir penduduk tenaga kerja buruh harian atau

kerja borongan kasar.

Kondisi Sosial Ekonomi Petani Karet dan Wajah Desa: Realitas Empiris

Asumsi-asumsi umum yang sering dipakai selama ini adalah keadaan sosial ekonomi petani

karet mempunyai hubungan dengan hasil produksi karet rakyat. Ini berarti bahwa usaha peningkatan

produksi dan mutu karet rakyat secara otomatis akan meningkatkan kondisi sosial ekonominya.

Dengan kata lain peningkatan produksi dan mutu hasil kebun menjadi kurang efektif jika keadaan

sosial ekonomi petani karet tidak ditingkatkan. Untuk itu usaha yang paling cepat dan sering

dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi petani karet adalah dengan

meningkatkan pendapatan.

Kalau dilihat besarnya pendapatan petani karet tradisional di Riau yang dihimpun dari data

Dinas Perkebunan Propinsi Riau tahun 1991 dalam hasil penelitian Rusli dkk (1996), rata-rata

pendapatan per bulan hanya mencapai Rp 28.230. Kenyataan seperti ini sesungguhnya sudah bisa

secara gamblang dibaca bahwa pendapatan sebesar itu tentu akan menyulitkan petani karet rakyat

untuk memelihara kebunnya agar mampu menghasilkan produksi karet yang lebih baik. Jangankan

memelihara kebun, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari pun sangat sulit. Pada akhirnya

keadaan sosial ekonomi petani karet yang masih kurang memadai, dilihat dari sisi pendapatan dan

distribusinya berakibat pada pemeliharaan tanaman karet yang kurang intensif. Dan pada gilirannya

tentu produksi karet rakyat pun tidak akan mampu memberikan harga yang layak bagi petani untuk

kehidupannya. Kondisi demikian sesungguhnya terjadi juga pada petani karet rakyat di propinsi

lainnya, seperti Jambi, Sumsel, Kalbar, dan Sumbar (Thahar, 2000).

Kondisi dan situasi sosial ekonomi petani yang sangat rawan (terdesak oleh kebutuhan

ekonomi rumah tangga) ini sering dimanfaatkan oleh pihak luar (toke, tengkulak) untuk memberikan

bantuan finansial kepada para petani, sehingga akibatnya lama kelamaan para petani karet akan

semakin sulit keluar dari ikatan hutang-piutang. Dengan kata lain petani tidak pernah bisa memiliki

posisi tawar sesuai dengan harga yang sesungguhnya berlaku di pasaran. Jika kondisi seperti ini terus

berlangsung, maka petani karet tidak akan mampu menghilangkan masalahnya sendiri, yaitu untuk

keluar dari lingkaran kemiskinan yang selalu melilitnya.

Kenyataan kondisi sosial ekonomi petani karet ini sebetulnya hanya menggambarkan

bagaimana sesungguhnya wajah petani karet di desa tersebut. Kondisi empiris di berbagai pedesaan di

propinsi Riau ini, sesungguhnya juga tidak jauh berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Artinya,

kehidupan masyarakat pedesaan di propinsi Riau yang masih didominasi oleh para petani karet rakyat

(basis agraris), kehidupannya masih dalam kondisi serba kekurangan dan derajat kesejahteraanya

masih rendah. Gambaran ini juga didukung oleh data yang dihimpun oleh Rusli dkk (1996), bahwa

Page 12: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

10

jumlah desa miskin yang terdapat di propinsi Riau tahun 1990 berjumlah 291 buah desa dari total

1.142 desa dan sebelas tahun kemudian jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan Riau mencapai

405,9 ribu orang (BPS, 2001). Mungkin kalau diadakan penelitian dan kajian lebih lanjut, tidak

mustahil jumlah desa miskin ini akan semakin bertambah jumlahnya, karena adanya “badai” krisis

multi dimensi berkepanjangan yang menerpa Indonesia yang hingga sekarang belum juga hilang.

Pemasaran Karet Rakyat : Jaringan Bisnis Karet di Tingkat Bawah

Rendahnya harga karet yang diterima oleh petani selama ini sering dituduhkan karena jeleknya

kualitas produksi karet rakyat. Sehingga petani tidak dapat menerima pendapatan yang cukup

memadai dan pada akhirnya tidak mampu mencapai kehidupan yang layak. Persoalan yang menimpa

petani karet ini sebenarnya tidak boleh hanya dilihat dari sisi dampak rendahnya mutu karet yang

dihasilkan petani karet rakyat. Namun perlu dilihat juga dari sisi atau faktor penyebab lainnya,

misalnya ditinjau dari sisi hubungan sosial antara petani dengan pihak lain yang ada di tingkat lokal.

Artinya, persoalan rendahnya harga (pendapatan) dan kehidupan petani tidak hanya disebabkan oleh

persoalan iklim alam dan teknologi semata, tapi yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan situasi

dan kondisi (iklim) sosial masyarakat di tingkat bawah yang kurang memadai. Iklim sosial yang

dimaksud adalah adanya kenyataan bahwa penentuan harga karet di tingkat bawah justeru sering

ditentukan oleh keterikatan hubungan sosial antara petani kecil, petani besar dengan pedagang karet

di tingkat lokal. Jadi dengan demikian harga yang diterima petani juga ditentukan oleh lemahnya

posisi tawar petani di dalam sistim penentuan harga dan pemasaran karet rakyat di tingkat lokal.

Kenyataan seperti ini, di pedesaan sulit sekali untuk dihindarkan. Keinginan yang besar dari

petani untuk tetap menjaga keeratan hubungan sosial sering memaksa dan menghilangkan rasionalitas

petani dalam berbisnis. Artinya, kebanyakan petani di pedesaan lebih cenderung untuk menomor-

satukan hubungan resiprositas sosial dibandingkan dengan keuntungan dalam bisnis karetnya.

Padahal bisnis karet tersebut merupakan penyokong kehidupan ekonomi keluarga. Realitas seperti ini

bukan sesuatu yang mustahil adanya, karena sampai saat ini, di pedesaan masih banyak dijumpai para

toke atau petani besar (induk somang), disamping berperan sebagai pembeli karet, juga masih

mempunyai hubungan kekerabatan dekat dengan petani produsen. Misalnya, selain sebagai toke,

pembeli itu juga berperan sebagai mertua/famili, atau pemberi dana bagi kehidupan rumah tangga dan

lain sebagainya. Jadi hubungan patron-client tersebut sudah bercampur aduk dengan hubungan sosial

kekeluargaan. Dimana resiprositas dan keterikatan sosial ini pada akhirnya akan menyulitkan posisi

petani dalam proses tawar menawar atau penentuan harga bagi produksi karetnya. Karenanya

kebanyakan mereka, suka atau tidak, terpaksa atau rela, mereka pasrah dan menerima harga yang

telah ditentukan (sepihak) oleh para toke atau induk somang-nya.

Page 13: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

11

Selain itu rantai pemasaran karet juga menentukan pendapatan yang diterima petani. Kenyataan

yang ada menunjukkan bahwa rantai tataniaga karet itu cukup panjang (banyak pedagang yang

terlibat). Kondisi ini sesungguhnya sudah merupakan suatu fenomena lama. Petani dalam

memasarkan produksi karetnya tidak pernah bisa langsung kepada pabrik atau pedagang eksportir.

Paling kurang mereka harus melalui dua orang pedagang perantara yaitu pedagang di tingkat desa dan

pedagang di tingkat kecamatan. Namun rantai tataniaga yang pendek ini jarang sekali dijumpai,

karena umumnya sentra produksi karet rakyat di Riau masih relatif jauh dari pusat kota dengan

kondisi jaringan transportasi yang kurang baik. Akhirnya petani harus melalui rantai pemasaran yang

panjang, mulai dari pedagang ditingkat kelompok, ke pedagang di tingkat desa, lalu ke pedagang di

tingkat kecamatan, terus kepada agen komisi, baru masuk ke pabrik pengolahan atau eksportir karet.

Panjangnya rantai tataniaga itu tentu akan berakibat kepada rendahnya harga jual di tingkat

petani, sehingga pada gilirannya petani hanya bisa menerima harga karet sadapan yang rendah pula.

Mubyarto dan Dewanta (1991) menyebutkan bahwa dengan adanya rantai tataniaga yang panjang

tersebut petani karet di Sumatera dan Kalimantan hanya menerima sekitar 25-30% dari harga ekspor

karet alam. Dibandingkan dengan pendapatan petani karet di negara jiran Malaysia, petani Riau jauh

tertinggal, karena petani negara jiran itu mampu menerima paling sedikit 70-80% dari harga ekspor

karet alam. Jadi tidak mustahil bila kondisi sosial ekonomi atau kehidupan petani karet di pedesaan

masih rendah. Meskipun produksi karet rakyat sudah tinggi, tetapi kondisi sosial ini tidak segera

diperbaiki maka peningkatan produksi itu akan menjadi sia-sia (tidak efektif hasilnya). Untuk itu

bagian berikut akan memaparkan bagaimana pembangunan perkebunan karet rakyat yang seharusnya

dilakukan oleh pemerintah guna memperbaiki kondisi petani.

PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KARET RAKYAT DI RIAU

Strategi Kebijaksanaan Pembangunan

Adanya kenyataan bahwa kondisi sosial dan ekonomi petani di pedesaan kurang

menguntungkan maka Pemerintah Indonesia dewasa ini semakin intensif melaksanakan berbagai

program pembangunan di daerah pedesaan. Kartodirdjo (1990) menyebut istilah itu dengan syndrome

pedesaan. Jadi, jika akan memecahkan berbagai persoalan di pedesaan, maka harus bertitik tolak dari

syndrome tersebut. Menurutnya syndrome pedesaan ada dua jenis, yaitu syndrome kemiskinan

(berkaitan dengan rendahnya produktivitas, pengangguran, tuan tanah, kurang gizi-saling

berhubungan) dan syndrome inertia (adanya sifat serba patuh, pasivisme, fatalisme dan

ketergantungan-sudah lama berakar). Kedua syndrome ini sesungguhnya merupakan persoalan pokok

yang sudah lama ada di pedesaan yang perlu segera dipecahkan dalam usaha pembangunan. Dengan

usaha mengatasi kedua syndrome tersebut diharapkan semua sumberdaya alam dan manusia yang

Page 14: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

12

sangat potensial di negeri ini dapat digali dan dikembangkan untuk mempertinggi martabat kehidupan

rakyat.

Untuk segera mengatasi persoalan pedesaan di Riau, sejak tahun 1970-an pemerintah daerah

dan pusat telah melakukan pembangunan dengan menerapkan strategi modernisasi dan secepat

mungkin melakukan pembangunan perkebunan karet rakyat. Secara umum strategi yang diterapkan

untuk membangun perkebunan karet rakyat itu adalah: pertama, pemerintah membentuk pusat-pusat

pengolahan karet di beberapa daerah sentra produksi, dengan tujuan menampung dan mengolah lateks

dari hasil perkebunan rakyat. Program ini dimaksudkan untuk memperbaiki mutu olahan karet

rakyat. Yang kedua adalah dengan melakukan pembinaan perkebunan rakyat dengan membentuk unit

pelaksana proyek (UPP). Untuk propinsi Riau, program ini banyak dilaksanakan dan lebih dikenal

dengan istilah proyek SRDP. Sistem ini diharapkan mampu berfungsi sebagai pembina petani karet

secara menyeluruh yang meliputi masalah penanaman hingga persoalan pemasaran.

Strategi dan program pembangunan yang diterapkan pemerintah tersebut selain untuk

memperbaiki kondisi petani, dalam jangka panjang juga diasumsikan mampu meningkatkan laju

pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial petani. Strategi dan program pertama segera dilakukan

dengan membentuk pusat-pusat pengolahan karet di beberapa daerah sentra produks karet. Proyek ini

dilaksanakan hampir di seluruh daerah yang menjadi sentra-sentara produksi karet rakyat di Riau.

Untuk membangun sentra-sentra pengolahan ini tentu pemerintah tidak sedikit mengeluarkan dana.

Diharapkan dengan cepat terselesaikannya program ini, kondisi kehidupan petani dan kemiskinan di

pedesaan akan segera teratasi.

Di tahap-tahap awal pelaksanaan program yang pertama ini banyak sekali petani yang

“merespon” baik program pemerintah itu. Karena untuk menyukseskan program tersebut, pemerintah

mengeluarkan seluruh daya dan upayanya, dan tidak jarang unsur-unsur pemaksaan dilakukan agar

petani berkenan membawa ojol-nya ke pusat pengolahan yang dibangun oleh pemerintah. Yang

terpenting pada saat itu adalah target pembangunan tercapai, tidak peduli keluhan petani seperti apa.

Pola seperti ini sebenarnya adalah pola yang tidak dikehendaki oleh petani. Karena dalam

pelaksanaan program ini, pemerintah cenderung untuk memaksakan kepentingannya yang ingin

berusaha untuk mengejar target pembangunan yang telah dicanangkan terlebih dahulu.

Selain itu dalam pelaksanaan program ini para petani juga mendapat kesulitan untuk mematuhi

peraturan yang menetapkan harus memenuhi kriteria standar kadar karet kering tertentu yang telah

ditetapkan pemerintah. Biasanya petani dalam berusahatani karet tidak pernah memperhatikan

kriteria standar kadar karet kering ini. Tetapi setelah masuknya program pemerintah ini, justru banyak

sekali peraturan yang dianggap merugikan kegiatan usahatani karet mereka (seperti penentuan syarat

kadar karet kering). Hal ini jelas membingungkan petani, karena selama pengalamannya berkebun

Page 15: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

13

karet, persoalan ini tidak pernah menjadi hambatan, dan kenyataannya ojol mereka juga laku terjual

atau dibeli oleh para tengkulak.

Oleh karena itu, program pemerintah ini pada akhirnya kalah bersaing dengan para tengkulak

dan induk somang dalam menampung produksi karet rakyat. para tengkulak dan induk somang lebih

banyak mengetahui apa yang diinginkan oleh para petani, karena mereka telah lama menjalin

hubungan sosial dengan mereka. Pemerintah dalam usaha untuk menyejahterakan rakyatnya juga

hanya mengetahui dan mengejar targetnya sendiri. Sementara, Pemerintah justru sering menganggap

para tengkulak dan induk somang sebagai musuh petani dan musuh pemerintah dalam pemasaran

karet rakyat. Padahal sesungguhnya hubungan antara petani dan para tengkulak serta induk somang,

bukanlah hanya sekedar hubungan antara petani dan pedagang semata, bahkan lebih dari itu, ikatan

sosial mereka sudah begitu kuat dan mengakar lebih lama.

Jelas bahwa, lama kelamaan program pemerintah yang demikian ini tidak lagi mendapat respon

positif dari para petani karet di Riau. Dengan kata lain program tersebut gagal dalam memenuhi

sasaran pembangunan yang sesungguhnya. Para petani sudah mengetahui bahwa program tersebut

lebih banyak untuk memenuhi kepentingan dan keinginan pemerintah yaitu mengejar devisa dan

untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Keinginan pemerintah yang menggebu dalam

menciptakan pertumbuhan ekonomi inilah pada akhirnya sering melupakan kepentingan utamanya,

yaitu mensejahterakan rakyatnya. Akhirnya petani pun merasakan bahwa pembangunan sentra-sentra

penampungan karet yang dibuat oleh pemerintah selama ini belum menyentuh kepentingannya,

apalagi meningkatkan taraf kehidupannya.

Selanjutnya kegagalan program yang pertama tersebut, mendorong pemerintah untuk

mengembangkan strategi yang lain, yitu strategi kedua yang melakukan pembinaan perkebunan

rakyat dengan membentuk unit pelaksana proyek (UPP). Usaha ini diharapkan oleh pemerintah

mampu mengakomodasi secara menyeluruh kepentingan pihak-pihak yang terlibat. Salah satu usaha

ini di Riau dikenal dengan istilah proyek SRDP. Proyek SRDP utamanya ditujukan untuk

membangun dan mengembangkan perkebunan karet rakyat. Sebagaimana program yang pertama,

proyek SRDP ini juga kental dengan nuansa modernisasi dalam sentuhan pembangunannya. Oleh

karena itu tidak mustahil lagi bahwa untuk melaksanakan dana kelancaran proyek ini perlu memenuhi

persyaratan tertentu yang diharuskan oleh sistem tersebut.

Dalam target pembangunan proyek SRDP ditargetkan bahwa pendapatan petani harus mampu

mencapai minimal US $1.500 per tahun. Dengan kata lain proyek ini dikatakan berhasil jika para

petani yang dibinanya mampu menghasilkan pendapatan dalam setahun sebesar US $ 1.500. Untuk

itu setiap petani yang ingin menjadi anggota SRDP harus memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan

tersebut antara lain petani harus mempunyai kebun karet minimal seluas 2 ha, berusia tidak lebih dari

45 tahun, jarak antara kebun dengan rumah tidak lebih dari 1 km dsb.

Page 16: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

14

Selain itu dalam pelaksanaan pembangunan dan pengembangan perkebunan karet rakyat

berikutnya para petani juga masih dipusingkan dengan persyaratan teknik budidaya yang menurut

mereka masih “asing”. Persyaratan ini bagi proyek memang sudah tidak bisa dihindarkan lagi,

artinya memang sudah given harus dilaksanakan. Karena modernisasi perkebunan rakyat yang

dilakukan oleh pemerintah menggunakan teknologi baru, bibit unggul, pupuk lengkap, pengendalian

hama/penyakit sampai teknik penyadapan sudah ada aturan baku.

Singkatnya, proyek SRDP ini riwayatnya hampir sama dengan program pertama, yaitu gagal di

tengah jalan. Beragamnya persyaratan yang ditetapkan oleh proyek bukan membuat petani senang

dan terbantu, justru mereka semakin merasa berat untuk memenuhinya. Pemerintah sering kurang

memperhatikan kendala sosial yang dihadapi petani karet di tingkat lokal. Misalnya tentang

persyaratan usia yang telah digariskan oleh proyek. Kebanyakan yang mengelola perkebunan karet

rakyat adalah para petani yang usianya sudah relatif tua. Para generasi muda kebanyakan lebih suka

merantau ke luar desa atau sekolah ke pusat keramaian kota. Selain itu ada juga kendala dalam teknik

penyadapan dan pemeliharaan.

Umumnya petani kesulitan untuk menyadap dua kali sehari seperti yang ditentukan oleh

proyek. Petani lebih senang menyadap kebun karet sesuaikan dengan kebutuhan ekonomi

keluarganya. Artinya jika rumah tangga kekurangan uang atau anaknya yang sekolah meminta biaya;

mereka baru rajin melakukan penyadapan kebun guna memenuhi kepentingan keluarganya.

Singkatnya dalam proses pembangunan perkebunan tersebut pemerintah masih kurang

memperhatikan kendala-kendala social, kunci yang dihadapi petani. Selain itu pemerintah juga

kurang memperhatikan kebiasaan yang telah dilakukan petani secara turun temurun. Malah, terkesan

pemerintah cenderung memberantas budaya petani yang telah mentradisi tersebut. Dengan demikian

tujuan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang cenderung menerapkan strategi

modernisasi di berbagai bidang kehidupan masyarakat justru akhirnya menjadi bumerang.

Sektor perkebunan karet rakyat dibangun dengan mengintroduksi berbagai macam teknologi

yang mutakhir, semua persoalan yang berkaitan dengan rendahnya produksi dan produktivitas lahan

perkebunan dipecahkan secara teoritis yang dianggap paling rasional dan semua hal yang bersipat

tidak logis diabaikan. Tindakan pengabaian dan penghilangan budaya masyarakat ini kemudian justru

sering menjadi bumerang dalam melaksanakan program pembangunan tersebut. Akibatnya, semua

jenis program dan institusi yang dibentuk oleh pemerintah (formal) untuk melaksanakan program itu

tidak mendapat dukungan dari rakyat dan akhirnya tidak populer sehingga mati di tengah jalan

sebelum tujuannya tercapai.

Page 17: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

15

Peranan Perkebuan Karet dalam Membangun Masyarakat Petani di Riau

Konsep pembangunan dewasa ini lebih banyak dimaknai oleh sebagian besar petani hanya

sebagai upaya untuk meningkatkan devisa negara dengan memperbesar atau meningkatkan laju

pertumbuhan ekonomi (economic growth). Artinya berhasil atau gagalnya program pembangunan

hanya diukur dari indikator ekonomi saja. Sebetulnya kalau saja pembangunan hanya dimaknai

sebatas itu, mungkin sejak zaman Orde Lama hingga Orde Baru pembangunan Indonesia sudah nyata

menunjukkan kemajuannya. Tapi kenyataan ini dapat dilihat dalam pembangunan perkebunan

nasional, khususnya dalam pembangunan perkebunan karet. Menurut Mubyarto dan Dewanta (1991),

sumbangan ekspor komoditas karet untuk devisa negara sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1925,

khususnya dari daerah Sumatera Timur. Sumbangan tersebut terus meningkat seiring dengan

peningkatan permintaan karet alam dunia. Pada awal masa Orde Baru (1971), sumbangan devisa

negara dari karet alam baru sebesar US $22 juta. Kalau dikaitkan dengan penerimaan ekspor nasional,

maka sumbangan dari sektor ini saja mencapai 16 persen. Pada tahun 1980 penerimaan devisa negara

dari sektor perkebunan telah meningkat menjadi US $1.113 juta.

Demikian pula halnya yang terjadi dengan pembangunan perkebunan karet rakyat di propinsi

Riau. Tujuan pembangunan perkebunan skala mikro adalah untuk meningkatkan produksi yang

selanjutnya diharapkan akan meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Sedangkan dalam skala

yang lebih besar (nasional/makro) pembangunan perkebunan itu tentu untuk meningkatkan

sumbangan devisa negara dari sektor perkebunan. Untuk itu, kemudian pemerintah mengadakan dan

melaksanakan berbagai proyek pembangunan perkebunan karet rakyat, seperti SRDP, PIR/NES dan

PRPTE. Menurut Rusli dkk (1996), sebagian besar komoditas perkebunan yang merupakan

komoditas ekspor dihasilkan oleh perkebunan rakyat yang produktivitasnya masih rendah. Memang

dengan adanya proyek-proyek perkebunan rakyat tersebut produktivitas karet rakyat dapat meningkat,

dari semula hanya berkisar 300-500kg/ha meningkat menjadi 800kg/ha/tahun.

Namun makna pembangunan sesungguhnya bukan hanya economic growth. Sebab jika

keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari peningkatan indikator ekonomi semata, maka hal

tersebut dapat menyesatkan. Pada dasarnya hakikat pembangunan tidaklah sesederhana itu. Sebab

salah satu makna pembangunan adalah mampu untuk mengadakan perubahan sosial di dalam

masyarakat dan pembebasan. Apakah keberhasilan pembangunan yang dilihat hanya dari indikaktor

ekonomi berdampak positif terhadap perubahan masyarakat sekitar dan menjadikan masyarakat lebih

otonom, mandiri dan kreatif. Hal ini perlu ditinjau dan dikaji lebih jauh secara menyeluruh dari

berbagai dimensi sesuai dengan tujuan pembangunan masyarakat seutuhnya.

Kalau mencermati makna pembangunan sebagai suatu agen perubahan sosial, maka perlu

dilihat apakah dengan adanya pembangunan itu juga akan membawa perubahan sosial. Sebab

perubahan sosial yang dimaksudkan tentu mengarah kepada suatu perubahan lembaga-lembaga

Page 18: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

16

(instituions) masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan yang mempengaruhi sistem sosial seperti

nilai sosial, sikap dan pola perilaku masyarakat pedesaan. Artinya pembangunan yang dapat dinilai

berhasil tentu tidak hanya mampu menunjukkan perubahan-perubahan terhadap indikator ekonomi

saja. Namun lebih jauh dari itu, sesungguhnya makna dan keberhasilan pembangunan akan langgeng

artinya jika pembangunan itu juga mampu untuk melakukan perubahan sosial seperti yang telah

disebutkan tadi. Jika pembangunan bertujuan untuk melakukan perubahan sosial, maka mutlak harus

melibatkan masyarakat setempat, termasuk mengacuhkan budaya dan norma yang berlaku, sehingga

dengan adanya pembangunan, mereka akan merasa diberdayakan, tidak hanya dijadikan sebagai

subyek pembangunan semata.

Kelembagaan tingkat desa yang dimaksudkan mencakup semua institusi yang ada di pedesaan,

baik yang merupakan lembaga-lembaga formal (organisasi-organisasi) maupun yang merupakan

lembaga-lembaga non-formal (kelompok dan pranata sosial). Sebenarnya pemerintah daerah Riau

menaruh perhatian yang besar untuk membina lembaga masyarakat dalam upaya untuk menggerakan

pembangunan di berbagai aktivitas kehidupan masyarakat. Dalam rangka menunjukkan

kepeduliannya, Pemerintah pusat dan Pemda selanjutnya mengatur (top-down planning) lembaga

masyarakat di pedesaan dengan mengeluarkan Undang-undang, Kepres/ Inpres, dan berbagai

peraturan daerah lainnya (seperti UU No. 5 Th. 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Kepres No. 4 th.

1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan koperasi/KUD). Selanjutnya diwujudkan dalam

lembaga-lembaga formal seperti LMD, LKMD, KUD, Kelompok Tani, Kelompok KB, Kelompok

Belajar dan sebagainya. Diantara semua lembaga formal bentukan Pemerintah itu yang diandalkan

untuk menggerakan pembangunan adalah LKMD dan KUD. LKMD merupakan perpanjangan tangan

pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di tataran yang paling bawah. Sedangkan KUD

diharapkan akan mampu menggairahkan sektor produktif di pedesaan.

Kalau melihat hasil penelitian Rusli dkk (1996) berkaitan dengan pembangunan yang diangkat

dari kasus profil Propinsi Riau, maka terlihat bahwa dari 19 LKMD di desa-desa penelitiannya

banyak yang tidak efektif. Keberadaan lembaga LKMD di pedesaan hanya sebatas memperlihatkan

papan namanya di halaman Kantor Desa. Sementara gagasan dan kegiatannya untuk menggerakan

masyarakat atau melakukan perubahan di desa masih jauh dari harapan. Demikian pula halnya dengan

KUD yang diharapkan mampu menjadi penggerak perekonomian desa, ternyata juga menunjukkan

belum dapat menjadi penggerak perekonomian di pedesaan. Banyak KUD yang belum mampu

berfungsi sebagai lembaga pemasaran di daerah pedesaan. Masalahnya banyak KUD tidak mampu

membuka jaringan (relasi) lebih luas sampai ke lokasi pusat produksi, dtempat produsen karet berada.

Rantai pemasaran hasil kebun berupa getah (petani Riau menyebutnya ojol) dari perkebunan rakyat

hingga pabrik pengolahan sepenuhnya masih dikuasai oleh para toke (tengkulak) yang mampu

Page 19: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

17

membuka jaringan kerja ke tingkat yang paling bawah dan mampu membentuk sistem patron-client

yang sudah mengakar kuat di tingkat produsen karet.

Perubahan sosial di pedesaan juga sulit terlaksana, karena pada umumnya lembaga-lembaga

formal bentukan Pemerintah itu juga kurang populer di tengah masyarakat, sehingga keikutsertaan

masyarakat pedesaan pun (misalnya menjadi anggota) sangat kecil. Realitas ini sebenarnya juga

cukup beralasan, karena banyak petani menyaksikan terjadi kasus (misalnya penyelewengan dana),

sehingga lembaga-lembaga formal bentukan Pemerintah di pedesaan reputasinya kurang baik. Bahkan

istilah KUD pun sering kali diplesetkan dengan sebutan Ketuo Untung Duluan. Fenomena-fenomena

yang berkembang inilah akhirnya semakin menyurutkan masyarakat untuk ikut aktif dalam proses

pembangunan. Ternyata masalahnya tidak hanya melanda lembaga LKMD dan KUD saja, namun

juga sampai kepada Kelompok Tani (KT). Penelitian Rusli dkk (1996) mencatat sekitar 80 persen KT

di propinsi Riau yang terdapat di ketiga kabupaten besar (Kampar, Bengkalis dan Indragiri Hilir)

ternyata masih merupakan KT pemula (Tabel 1). Padahal KT diharapkan sebagai lembaga kunci yang

mampu menggerakan pembangunan pertanian di pedesaan.

Tabel 1: Jumlah Kelompok Tani Menurut Kabupaten/Kodya dan Kelas Perkembangannya.

No. Kabupaten / Kodya Kelas

Pemula Lanjut Madya Utama Jumlah

1. Indragiri Hulu 381 155 25 - 561

2. Indragiri Hilir 1.083 183 63 11 1.340

3. Kepualauan Riau 63 23 - - 86

4. Kampar 756 241 57 - 1.054

5. Bengkalis 776 377 173 14 1.340

6. Pekanbaru 35 9 - - 44

Jumlah 3.093 988 318 25 4.424

Sumber: Kanwil Deptan Riau tahun 1992 dalam Rusli dkk.1996

Disamping lembaga-lembaga formal, juga ada lembaga non-formal yang telah tumbuh lama

berkembang di kalangan masyarakat. Namun ironisnya lembaga tradisional/lokal tersebut tidak

pernah atau diabaikan keterlibatannya dalam proses pembangunan. Malahan yang sering terjadi di

lapangan justru sebaliknya, banyak sekali kelompok tani hasil bentukan Pemerintah yang tidak

mampu berjalan sebagaimana mestinya. Karena kelompok formal tersebut dirasakan oleh masyarakat

petani bukan sebagai patner dalam bekerja, namun tidak lebih, hanya dipandang sebagai “tandingan

atau rival” saja, sehingga petani setempat pun merasa harus menjaga jarak dan mempertahankan

eksistensinya.

Page 20: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

18

Kalau dicermati, sesungguhnya kelompok non-formal tersebut sudah beradaptasi dan teruji

kemampuannya di dalam lingkungan masyarakat setempat. Karena perkembangannya lebih didorong

oleh adanya kebutuhan-bersama (seperti kelembagaan gotong royong yang didasarkan pada tradisi

batobo) yang merupakan ikatan turun temurun, maka sampai sekarang keberadaannya tetap masih

eksis. Padahal aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat mulai dari pengolahan tanah

sampai tahap pemanenan. Dalam hal ini, petani yang tergabung dalam kelompok batobo tidak pernah

mempersoalkan luas atau sempitnya lahan yang akan dikerjakannya. Tapi mereka secara

berkelompok mampu secara sukarela menanggung seluruh biaya natura yang dipergunakan selama

berlangsungnya kegiatan batobo. Jadi kalaulah Pemerintah mampu membaca kebiasaan-kebiasaan

masyarakat setempat dan berkolaborasi dengan lembaga-lembaga non-formal yang ada di pedesaan

secara simbiosis mutualistis, tidak mustahil pembangunan yang selama ini dilaksanakan dengan

gencar oleh Pemerintah akan mendapat sambutan yang bernilai positif dari masyarakat petani di

pedesaan Riau.

Upaya mempercepat dan memberikan stimulus kepada masyarakat di Riau agar mampu

meningkatkan produksi dan kesejahteraannya, selain lembaga-lembaga formal yang telah disebutkan

sebelumnya, saat ini Pemerintah juga telah melibatkan perusahaan negara (BUMN) dan swasta yang

kemudian membangun perkebunan karet. Awalnya pilihan ini sesungguhnya sudah baik, karena

perkebunan karet rakyat telah lebih lama membudaya dalam masyarakat Riau. Namun dalam

menetapkan langkah (strategi) selanjutnya untuk diterapkan di lapangan sering mengalami kendala

social yang serius. Misalnya dalam pembangunan sebuah perkebunan. Pemerintah biasanya tidak

pernah memikirkan bagaimana fungsi pengawasan bisa dijalankan dengan baik, seperti membangun

dan memperlancar sarana dan prasarana transportasi. Akhirnya perkebunan yang dibangun di lokasi

yang jauh dari pusat pengawasan pemerintah menjadi suatu daerah yang benar-benar “terisolasi”.

Sebab pembangunan yang telah dilaksanakan tanpa kontrol dari pemerintah tersebut juga tidak

melaksanakan fungsinya, yaitu melibatkan masyarakat untuk memberdayakan mereka. Dengan

demikian wajar kalau pihak perusahaan dituduh hanya berfikir untuk mengejar keuntungan

kelompoknya saja.

Akibat permasalahan isolasi tersebut jika tidak diantisipasi dengan cepat, maka tidak mustahil

kemudian pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah hanya akan membuat kesan yang negatif di

mata masyarakat. Artinya sebagaimana disebutkan oleh Rusli dkk (1996) bahwa akibat permasalahan

isolasi tersebut program pembangunan lebih terkesan hanya sebagai sinterklas yang membagi-

bagikan sarana dan dana, namun tidak memberikan dampak yang nyata dan mengakar pada

masyarakat. Selain itu hadirnya berbagai perusahaan swasta juga cenderung sebagai “kelompok luar”

yang keberadaannya kurang mengakar pada kehidupan masyarakat lokal (kurang berpengaruh

terhadap penciptaan lapangan kerja dan peluang berusaha bagi penduduk setempat). Justru hadirnya

Page 21: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

19

perusahaan swasta menimbulkan kecemburuan sosial masyakarat lokal, karena atas alasan etos kerja

yang kurang baik, akhirnya masyarakat setempat tidak dilibatkan pekerjaan. Bahkan langkah yang

ditempuh perusahaan pun akhirnya hanya merekrut tenaga kerja dari luar daerah yang dianggap lebih

mampu.

Orientasi Pembangunan Daerah: Sudut Pandang Baru

Wilayah propinsi Riau luasnya kurang lebih 94.562 km2 dan memiliki situasi geografis khusus,

karena propinsi ini terdiri dari banyak pulau besar dan kecil (sekitar 3.214 buah) dengan perairannya

yang luas (Depdikbud, 1993). Karena itu orientasi dalam membangun daerah (wilayah) untuk

meningkatkan kehidupan masyarakatnya juga memerlukan strategi dan kebijaksanaan tersendiri.

Dengan demikian sebaiknya strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang ditempuh juga harus

berdasarkan kenyataan yang ada itu. Artinya usaha pembangunan harus dilandasi dengan kenyataan

daerah yang sebenarnya dan menggunakan segala kemampuan (sumberdaya daerah) yang tersedia.

Bukan malah sebaliknya, dengan mencontek konsep pembangunan dari Barat menjadi suatu

keharusan dan kemampuan mencetak hutang dari luar negeri dianggap suatu prestasi gemilang. Selain

itu tujuan pembangunan yang hanya mengejar laju pertumbuhan ekonomi tinggi memang pada

dasarnya tidak selalu salah, tetapi pengalaman telah menunjukkan bahwa tujuan itu kemudian

membuat pandangan kita menjadi kabur dan lupa dengan persoalan pokok yang dihadapi rakyat, yaitu

kemiskinan dan ketimpangan. Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan pembangunan daerah yang

sesungguhnya, maka semua orientasi lama tersebut harus mulai ditinggalkan.

Berkaitan dengan hal itu maka pelaksanaan pembangunan propinsi Riau tentu harus melihat

dan memadukan berbagai aspek yang ada di wilayahnya. Kenyataan ini tidak dapat dihindari jika

kemudian propinsi Riau juga memiliki pembangunan yang sifatnya multidimensi. Artinya, di satu sisi

propinsi Riau mempunyai pembangunan yang berdimensi pertumbuhan sangat cepat, dan umumnya

ada pada sektor industri pertambangan, pengolahan minyak, dan pengolahan kayu. Namun dalam

kenyataannya industri-industri ini tidak begitu banyak memiliki pengaruh yang nyata terhadap

kehidupan masyarakat (kurang mampu memberikan pengaruh kepada pendapatan masyarakat dan

penyerapan tenaga kerja lokal). Sementara di sisi lain propinsi ini juga mengalami permasalahan

pembangunan masyarakat suku terasing seperti suku Sakai, Talang Mamak, dan Suku Laut, bahkan

akibat cepatnya pertumbuhan pembangunan seperti tersebut di atas, justru kemudian semakin

menyingkirkan dan menyengsarakan masyarakat terasing ini.

Demikian pula dengan pembangunan pertanian. Sebagaimana telah diungkapkan di atas

pembangunan pertanian, khususnya di subsektor perkebunan di daerah propinsi Riau juga

menghadapi permasalahan. Pembangunan di subsektor pertanian ini menghadapi permasalahan yang

khas dan kompleks, yaitu di satu sisi pembangunan dan perkembangan di subsektor perkebunan

Page 22: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

20

secara ekonomis menunjukkan atau berjalan relatif cepat, namun di pihak lain subsektor ini juga

masih belum mampu memberikan perubahan dalam kehidupan sosial (pendapatan dan kesejahteraan

rakyat) karena pembangunan itu sepertinya tidak didukung atau tidak membangun dan tidak

memberdayakan masyarakat serta lembaga-lembaga lokal yang sudah ada di dalam masyarakat.

Sehingga manfaat pembangunan subsektor ini pun akhirnya hanya bisa dirasakan oleh sebagian orang

saja, sementara masyarakat masih tetap belum mampu merasakan hasil pembangunan ini.

Oleh karena itu, dengan realitas yang ada, maka sebaiknya dalam mengatasi berbagai

kesenjangan dan kemiskinan yang masih dirasakan tersebut, paling tidak dalam hal ini

penanggulangannya juga perlu dilihat dalam dimensi; pertama, pembangunan dalam rangka

meningkatkan pertumbuhan ekonomi tentunya harus melalui pemanfaatan sumberdaya, terutama

yang dikuasai oleh kelompok-kelompok masyarakat kecil (petani); kedua, perlunya memberikan

kemudahan kepada kelompok miskin dan para petani untuk memperoleh dan memanfaatkan

(aksesbilitas) tanah, modal, dan berbagai infrastruktur serta input-input produktif lainnya dan ketiga,

perlu diingat adalah perlunya mengembangkan struktur sosial kelembagaan dalam meningkatkan

kemampuan masyarakat, khususnya untuk para petani dan kelompok miskin lainnya agar mereka

nantinya mampu mengatasi permasalahannya secara otonom, kreatif dan mandiri. Ketiga hal tersebut

dalam jangka panjang akan menciptakan kehidupan yang produktif dan diharapkan akan mampu

meningkatkan kesempatan dan kemampuan kerja serta pendapatan mereka.

Selain itu perlu juga diperhatikan bahwa, meningkatkan taraf kehidupan petani dan kelompok

masyarakat miskin lainnya merupakan bagian integral dari pembangunan yang sedang dilaksanakan

yang perlu dilihat dalam jangka panjang dan berkesinambungan serta sungguh-sungguh. Dalam hal

ini pengaruh aspek sosial dan kelembagaan semakin menekankan pentingnya proses pentahapan

kegiatan untuk menanggulangi persoalan tersebut. Oleh karena itu kegiatan untuk meningkatkan

kehidupan petani dan kelompok masyarakat miskin tidak dapat dilihat sebagai suatu perhitungan

untung dan rugi atau manfaat dan biaya yang diterima saja. Meskipun demikian strategi untuk

menanggulangi permasalahan tersebut masih perlu didasarkan pada usaha peningkatan kesempatan

kerja dan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Secara khusus strategi dan kebijaksanaan ini

sebaiknya ditujukan bagi masyarakat petani di pedesaan dan kelompok masyarakat miskin lainnya.

Intinya strategi dan kebijaksanaan pembangunan daerah yang perlu ditempuh adalah yang

mampu memacu kemandirian masyarakat. Meskipun pada awalnya memang harus melakukan

kemajuan ekonomi daerah (khususnya daerah tertinggal) sehingga bisa mengurangi kesenjangan

dalam masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan peluang pembangunan secara terus-

menerus. Sebagai konsekuensi dari strategi dari kebijaksanaan tersebut, tentu mengharuskan berbagai

lembaga formal (dinas dan instansi pemerintah) dan lembaga swasta serta masyarakat sebagai pelaku

Page 23: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

21

pembangunan untuk melihat kembali peran masing-masing dalam upaya mendukung pertumbuhan

ekonomi dan mewujudkan jalur-jalur pemerataan.

Program-program yang perlu dibuat untuk melaksanakan strategi dan kebijaksanaan itu

misalnya pertama, mengembangkan infrastruktur yang menghubungkan daerah sentra produksi

perkebunan (karet) dan mungkin juga daerah pedalaman dengan pusat pertumbuhan sehingga mampu

membuka isolasi daerah itu. Terbukanya isolasi akan melancarkan komunikasi, sehingga

memudahkan informasi, pendidikan, pengawasan dan sebagainya. Kedua, mengembangkan kegiatan

pertanian rakyat kembali melalui jalur yang benar, misalnya dengan pola intensifikasi dan penerapan

teknologi yang sesuai dengan kondisi lokal serta dibarengi dengan pemberdayaan lembaga agribisnis

yang ada dengan memperhatikan keterkaitan antar subsistem.

Selanjutnya yang ketiga, perlu mengembangkan swadaya lokal. Artinya membangun

kemampuan masyarakat agar mereka mampu mengatasi masalahnya sendiri dengan otonom, kreatif

dan mandiri. Untuk membangun ini, awalnya perlu pembinaan dari pihak (lembaga) atas desa yang

bersifat multisektoral. Hal ini dikarenakan pada kenyataan bahwa biasanya kepentingan masyarakat

(petani) di pedesaan tidak pernah tunggal, melainkan majemuk, sehingga memerlukan pelayanan

yang terpadu. Keswadayaan lokal ini juga menyangkut kelembagaan lokal, SDA dan SDM lokal serta

berbagai perencanaan di tingkat lokal pula. Kemudian kemungkinan yang keempat adalah perlu

memadukan seluruh kebijaksanan dan strategi itu dalam keputusan pemerintah (daerah) yang

mungkin dapat direfleksikan dalam perencanaan pembangunan daerah. Sehingga porsi untuk

mengatasi persoalan ketimpangan kehidupan masyarakat akan mendapat penekanan yang seimbang

dengan porsi kegiatan yang ditujukan untuk kegiatan pertumbuhan ekonomi.

KESIMPULAN

Wilayah propinsi Riau terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil serta wilayah perairan yang

luas. Dalam proses pembangunan wilayah (daerah) sering menghadapi berbagai masalah yang cukup

komplek. Selain luasnya wilayah, permasalahan muncul disebabkan oleh adanya keragaman

aksesbilitas antar daerah, teknologi, sumberdaya manusia dan keragaman perkembangan

pembangunan. Keadaan seperti ini terasa sekali di daerah pedesaan. Dimana sebagian besar

masyarakat Riau yang tinggal di pedesaan adalah sebagai petani karet rakyat dan umumnya masih

dalam kondisi yang memprihatinkan.

Sejauh ini strategi dan langkah kebijaksanaan pembangunan untuk membangun dan

mengembangkan perkebunan karet rakyat telah diusahakan oleh pemerintah, seperti pertama,

pemerintah membentuk pusat-pusat pengolahan karet di beberapa daerah sentra produksi dengan

tujuan menampung dan mengolah lateks dari hasil perkebunan rakyat dan untuk memperbaiki mutu

Page 24: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

22

olahannya. Kedua, melakukan pembinaan perkebunan rakyat dengan membentuk unit pelaksana

proyek (UPP). Untuk propinsi Riau, program ini kemudian banyak dilaksanakan dan lebih dikenal

dengan istilah proyek SRDP. Sistem ini diharapkan mampu berfungsi sebagai pembina petani karet

secara menyeluruh yang meliputi masalah budidaya sampai persoalan pemasaran.

Namun dalam perjalanannya pembangunan perkebunan (rakyat) tersebut belum banyak

memberikan manfaat kepada petani kebun, terlebih lagi bagi masyarakat miskin di pedesaan lainnya.

Hal ini umumnya disebabkan oleh strategi pembangunan perkebunan yang lebih condong/berorientasi

kepada meningkatkan produksi guna mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan memperbesar

devisa negara. Sementara, aspek persoalan sosial kemasyarakatan seperti lembaga-lembaga lokal dan

berbagai relasi produksi di tingkat lokal yang terkait langsung dengan upaya meningkatkan kehidupan

masyarakat di pedesaan justru tidak dibangun secara memadai. dan terkesan diabaikan.

Selain itu hadirnya perusahaan perkebunan modern yang besar, seperti BUMN dan swasta yang

diharapkan akan mampu memberikan stimulus pada masyarakat untuk lebih produktif, ternyata tidak

bisa memberikan “apa-apa”. Bahkan hadirnya berbagai perusahaan itu justru oleh masyarakat

dianggap sebagai “kelompok lain”. Sehingga berbagai program Pemerintah, termasuk yang berkaitan

dengan pembangunan perkebunan rakyat kurang populer dan tidak mendapatkan dukungan di tingkat

bawah, bahkan tidak jarang justeru mendapatkan penolakan dari masyarakat lokal. Dengan demikian

sasaran pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat malah melahirkan

ketimpangan (kemiskinan) dalam banyak aspek dan di berbagai daerah. Kondisi ini menunjukkan

bahwa program pembangunan pemerintah, khususnya di subsektor perkebunan rakyat belum

memperlihatkan keberhasilan yang benar dan nyata. Jadi, strategi pembangunan perkebunan karet

rakyat yang dilakukan oleh pemerintah selama ini belum mampu mencapai sasaran pembangunan

yang sesungguhnya, yaitu membangun dan menciptakan masyarakat (petani) agar mereka mampu

mengatasi segala persoalannya secara mandiri, kreatif dan otonom.

Oleh karena itu agar pembangunan dapat bergerak dengan baik dan berhasil seperti yang

diharapkan, maka (khususnya) pemerintah harus mampu mengakomodasikan berbagai modal dan

kekuatan yang ada di tingkat lokal, baik yang berupa SDA, SDM maupun modal-modal sosial lainnya

untuk menggerakan roda pembangunan tsb. Sebab keberhasilan pembangunan tidak hanya dinilai dari

meningkatnya indikator ekonomi saja. Namun yang lebih penting dari itu adalah pembangunan

mampu mengadakan perubahan sosial, yaitu membuat masyarakat menjadi mampu memecahkan

persoalannya secara otonom, kreatif dan mandiri. Jadi kalau sudah mencapai tingkatan yang demikian

boleh disebut bahwa pembangunan sudah memberikan nilai tambah nyata kepada rakyat dan bangsa

ini.

Page 25: ICASERD WORKING PAPER No. 12 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_12_2003.pdf · mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong

23

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2001. Statistik Penduduk Indonesia 2001. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Depdikbud. 1993. Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Upaya Pemeliharaan

Lingkungan Hidup di Daerah Riau. Depdikbud, Jakarta.

Dirjen Perkebunan, 2001. Statistik Perkebunan Karet Indonesia 1999-2001. Direktorat Jenderal

Perkebunan, Jakarta.

Evers Hans Dieter, 1988. Teori Masyarakat Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern.

Yayasan Obor. Jakarta.

Kartodirdjo, Sartono. 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Long, Norman, 1987. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. Bina Aksara. Jakarta.

Mubyarto dan Dewanta, Awan Setyawan. 1991. Karet Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media.

Yogyakarta

Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal

Landas. Rineka Cipta. Jakarta.

Rusli, Said dkk. 1996. Pembangunan dan Fenomena Kemiskinan Kasus Profil Riau. Grasindo.

Jakarta.

Soemardjan, Selo. 1962. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yayasan Obor. Jakarta.

Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara Sedang

Berkembang. Gramedia. Jakarta.

Suwarsono & Alvin So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan Indonesia. LP3ES. Jakarta.

Thahar Nasrul. 2000. Petani Karet Jambi Terbelenggu Kemiskinan. Harian Kompas, 25 Juli

2000, p.26, Jakarta.

Tim Penulis PS. 1992. Karet Strategi Pemasaran Tahun 2000, Budidaya dan Pengolahan.

Panebar Swadaya. Jakarta.