16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ibuprofen 2.1.1 Sifat fisikokimia Ibuprofen ((±)-2-(p-isobutilfenil) asam propionat) dengan rumus molekul C 13 H 18 O 2 dan berat molekul 206,28. Rumus bangun ibuprofen seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. . Gambar 2.1 Rumus bangun ibuprofen Ibuprofen berupa serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas lemah. Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol, metanol, aseton dan dalam kloroform, sukar larut dalam etil asetat (Ditjen POM, 1995). Larut dalam larutan alkali hidroksida dan karbonat. Senyawa ini mempunyai titik lebur 75-77º C dengan pKa 4,4; 5,2 dan log P (oktanol/air) 4,0 (Moffat, et al., 2005). 2.1.2 Farmakokinetik Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat dicapai setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan protein plasma (Anderson, 2002). Pada manusia sehat volume distribusi relatif rendah yaitu (0,15 ± 0,02 L/kg). Waktu paruh plasma berkisar antara 2 - 4 jam. Kira-kira Universitas Sumatera Utara

ibuprofen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ibuprofen

Citation preview

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Ibuprofen

    2.1.1 Sifat fisikokimia

    Ibuprofen (()-2-(p-isobutilfenil) asam propionat) dengan rumus molekul

    C13H18O2 dan berat molekul 206,28. Rumus bangun ibuprofen seperti yang

    ditunjukkan pada Gambar 2.1.

    .

    Gambar 2.1 Rumus bangun ibuprofen

    Ibuprofen berupa serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas

    lemah. Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol,

    metanol, aseton dan dalam kloroform, sukar larut dalam etil asetat (Ditjen POM,

    1995). Larut dalam larutan alkali hidroksida dan karbonat. Senyawa ini mempunyai

    titik lebur 75-77 C dengan pKa 4,4; 5,2 dan log P (oktanol/air) 4,0 (Moffat, et al.,

    2005).

    2.1.2 Farmakokinetik

    Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan

    bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat dicapai

    setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan

    protein plasma (Anderson, 2002). Pada manusia sehat volume distribusi relatif rendah

    yaitu (0,15 0,02 L/kg). Waktu paruh plasma berkisar antara 2 - 4 jam. Kira-kira

    Universitas Sumatera Utara

  • 90% dari dosis yang diabsorpsi akan dieksresi melalui urin sebagai metabolit atau

    konyugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi

    (Stoelting, 2006; Sinatra, et al., 1992).

    2.1.3 Farmakodinamik

    Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesa prostaglandin dan

    menghambat siklooksigenase-I (COX I) dan siklooksigenase-II (COX II). Namun

    tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Dalam

    pengobatan dengan ibuprofen, terjadi penurunan pelepasan mediator dari granulosit,

    basofil dan sel mast, terjadi penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin,

    mempengaruhi produksi limfokin dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan

    menghambat agregasi platelet (Stoelting, 2006).

    2.1.4 Indikasi dan dosis terapi

    Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga

    sedang, khususnya nyeri oleh karena inflamasi seperti yang terdapat pada arthritis dan

    gout (Trevor, et al., 2005; Anderson, et al., 2002). Untuk mengurangi nyeri ringan

    hingga sedang dosis dewasa penggunaan ibuprofen per oral adalah 200-400 mg,

    untuk nyeri haid 400 mg per oral kalau perlu. Untuk arthritis rheumatoid 400-800 mg.

    Untuk demam pada anak-anak 5 mg/kg berat badan, untuk nyeri pada anak-anak 10

    mg/ kg berat badan, untuk arthritis juvenil 30-40 mg/ kg berat badan/hari (Anderson,

    et al., 2002).

    2.2 Absorpsi

    Yang dimaksud dengan absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah

    masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju peredaran darah tubuh

    setelah melewati sawar biologik.

    Universitas Sumatera Utara

  • Untuk dapat diserap, semua zat aktif harus terlarut lebih dahulu. Oleh sebab

    itu laju penyerapan merupakan fungsi dari laju pelarutan zat aktif didalam cairan

    tubuh (saluran cerna misalnya) dan laju difusi molekul-molekul yang terlarut dalam

    cairan tersebut melintasi membran seluler, sesuai dengan skema sebagai berikut:

    Proses penyerapan tersebut berkaitan dengan prinsip: sebelum melintasi

    membran biologik, zat aktif harus terlarut lebih dahulu didalam cairan disekitar

    membran.

    Bila zat aktif berada dalam suatu bentuk sediaan, maka sebelum melarut zat

    aktif harus terlepas dari sediaan, dan selanjutnya berdifusi dan diserap menurut

    tahapan sebagai berikut:

    Bila proses pelepasan terjadi sangat lambat, maka pelepasan akan

    mempengaruhi seluruh waktu dan tahapan proses pelarutan, difusi dan penyerapan zat

    aktif. Jadi tahapan yang paling lambat dari rangkaian predisposisi zat aktif sediaan

    obat didalam tubuh merupakan tahap penentu.

    Dengan demikian, penyerapan zat aktif akan bergantung pada : laju pelarutan

    zat aktif dalam cairan biologik disekitar membran, karakter fisikokimia yang dapat

    mempengaruhi proses penyerapan (pKa, koefisien partisi, stabilitas, dan lain-lain)

    (Aiache, et al., 1993).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.2.1 Membran sel

    Membran sel merupakan bagian sel yang mengandung komponen-komponen

    yang terorganisasi dan dapat berinteraksi dengan mikromolekul secara khas. Struktur

    membran biologis sangat kompleks dan dapat mempengaruhi intensitas dan masa

    kerja obat. Sesudah pemberian secara oral, obat harus melewati sel epitel saluran

    cerna, membran sistem peredaran tertentu, melewati membran kapiler menuju sel-sel

    organ atau reseptor obat.

    Menurut Siswandono dan Soekarjo (2000) membran sel terdiri dari

    komponen-komponen yang terorganisasi, yaitu:

    1. Lapisan lemak bimolekul.

    Tebal lapisan lemak bimolekul 35 , mengandung kolesterol netral dan

    fosfolipid terionkan, yang terdiri dari fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin,

    fosfatidilserin dan spingomielin. Berdasarkan sifat kepolarannya lapisan lemak

    bimolekul dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian non polar, terdiri dari rantai

    hidrokarbon, dan bagian polar yang terdiri dari gugus hidroksil kolesterol dan gugus

    gliserilfosfat fosfolipid.

    2. Protein.

    Bentuk protein bervariasi, ada yang besar, berat molekulnya 300.000 dan

    ada pula yang sangat kecil. Protein bersifat ampivil karena mengandung gugus

    hidrofil dan hidrofob.

    3. Mukopolisakarida.

    Jumlah mukopolisakarida pada membran biologis kecil dan strukturnya tidak

    dalam keadaan bebas tetapi dalam bentuk kombinasi dengan lemak, seperti

    glikolipilid, atau dengan protein, seperti glikoprotein.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.2.2 Struktur membran sel

    Penelitian Dawson dan Danielli (1936-1943) serta Stein dan Danielli (1956),

    mengemukakan suatu lembaran lipida protein sebagai model membran. Model

    membran tersebut terdiri dari dua basal lipida monomolekular (yang terdiri dari

    fosfolipida, tetapi juga kolesterol) yang kutub hidrofobnya menghadap ke bagian

    dalam, dan kutub hidrofilnya merupakan basal protein berada di fasa berair. Dua

    kutub hidrofil mengandung protein dan ujung fosfolipid yang polar (salah satu

    diantaranya yang berada pada permukaan luar mempunyai lapisan protein globular)

    mengelilingi daerah pusat hidrofob. Tetapi tampaknya susunan statis tersebut bukan

    merupakan protein dan lipida dalam membran seluler yang hidup. Struktur membran

    sel dapat dilihat pada Gambar 2.2.

    Dalam konsep mosaik cair, matrik membran terdiri atas dua lapisan lipida

    protein globular yang tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan menurut

    susunan yang teratur atau tidak teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan

    membran yang kontak dengan cairan intra atau ekstraseluler, sedangkan gugus non

    polar menghadap ke arah dalam. Pori-pori yang tampak pada sumbu utama protein

    globuler tebalnya 85 Angstrom. Model Mosaik Cair konsisten tentang eksistensi

    dari chanel-chanel ion khusus dan reseptor-reseptor di dalam dan di sepanjang

    permukaan membran (Syukri, 2002).

    Gambar 2.2 Stuktur membran sel

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.2.3 Cara penembusan obat melalui membran biologis

    Pada umumnya obat menembus membran biologis secara difusi. Mekanisme

    difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat fisika kimia obat dan sifat membran

    biologis.

    Cara penembusan obat ke dalam membran biologis dibagi atas:

    1. Difusi pasif

    Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi tiga,

    yaitu difusi pasif melalui pori (cara penyaringan), difusi pasif dengan cara melarut

    dalam lemak penyusun membran dan difusi pasif dengan fasilitas.

    a. Difusi Pasif Melalui Pori

    Penembusan air terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik atau

    osmotik; semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat

    melewati kanal membrane. Sebagian besar membran (membran seluler, epitel usus

    halus dan lain-lain) berukuran kecil (4-7oA) dan hanya dapat dilalui oleh molekul

    dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk senyawa yang

    bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang (Aiache, et

    al., 1993). Untuk lebih jelasnya difusi pasif melalui pori dapat dilihat pada Gambar

    2.3.

    Gambar 2.3 Difusi pasif melalui pori

    Universitas Sumatera Utara

  • b. Difusi Pasif dengan Cara Melarut pada Lemak Penyusun Membran

    Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia

    tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan di kedua sisi membran.

    Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan

    difusi transmembran terjadi lebih mudah. Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau

    asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk

    terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Hanya fraksi zat aktif yang

    terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi

    pasif.

    Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa kuat,

    derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk

    elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang

    sedikit terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak

    terionkan di dalam lemak, jumlah bentuk yang tak terionkan (satu-satunya yang

    bergantung pada konsentrasi), serta derajat ionisasi molekul.

    c. Difusi Pasif dengan Fasilitas

    Beberapa bahan obat dapat melewati membran sel karena ada tekanan

    osmosa, yang disebabkan adanya perbedaan kadar antar membran, pengangkutan ini

    berlangsung dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar yang lebih

    rendah dan berhenti setelah mencapai kesetimbangan, gerakan ini tidak memiliki

    energi dan terjadi secara spontan.

    Diduga molekul obat membentuk kompleks dengan suatu molekul pembawa

    dalam membran, yang bersifat mudah larut dalam lemak, sehingga dengan mudah

    bergerak menembus membran. Pada sisi membran yang lain kompleks akan terurai

    melepas molekul obat dan molekul pembawa bebas kembali ke tempat semula.

    Universitas Sumatera Utara

  • Pembawa dapat berupa enzim atau ion yang muatannya berlawanan dengan

    muatan molekul obat. Penembusan obat ke dalam membran biologis dapat berjalan

    dengan cepat bila ada katalisator enzim dan ukuran bentuk kompleks cukup kecil.

    Penyerapan pasif terjadi hingga tercapainya keseimbangan dan proses akan berhenti

    bila aliran darah tidak lagi mengangkut zat aktif dalam jumlah yang setara dengan

    jumlah yang diserap (Aiache, et al., 1993).

    2. Transpor Aktif

    Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini merupakan

    suatu bagian dari membran, berupa enzim atau paling tidak senyawa protein dengan

    molekul yang dapat membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks

    tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan

    lainnya, lalu pembawa kembali menuju permukaan asalnya (transpor selalu terjadi

    dalam arah tertentu, pada bagian usus perjalanan terjadi dari mukosa menuju serosa).

    Sistem transpor aktif bersifat jenuh, artinya jika semua molekul pembawa telah

    digunakan maka kapasitas maksimalnya tercapai. Sistem ini menunjukkan adanya

    suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu

    dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas sama pada pembawa

    tertentu, dan molekul yang mempunyai afinitas tinggi dapat menghambat kompetisi

    transpor dari molekul yang afinitasnya lebih rendah.

    Transpor dari satu sisi membran ke sisi yang lain dapat terjadi dengan

    mekanisme perbedaan konsentrasi. Transpor aktif ini memerlukan energi yang

    diperoleh dari hidrolisa adenosintrifosfat (ATP) di bawah pengaruh suatu ATP-ase.

    (Aiache, et al., 1993). Mekanisme transpor aktif dapat dilihat pada Gambar 2.4.

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2.4 Sistem pengangkutan aktif

    3. Pinositosis

    Pinositosis merupakan tipe khas pengangkutan aktif dari obat yang

    mempunyai ukuran molekul besar dan misel-misel seperti lemak, amilum, gliserin,

    vitamin A,D,E dan K. Pengangkutan ini digambarkan seperti sistem fagositosis pada

    bakteri (Siswandono dan Soekarjo, 2000)). Mekanisme pinositosis dapat dilihat pada

    Gambar 2.5.

    Gambar 2.5 Sistem pengangkutan secara pinositosis

    Kebanyakan dari obat melewati membran biologis dengan cara difusi pasif.

    Senyawa obat yang berbobot molekul kecil dengan bebas melewati mikroporus dari

    sel. Dengan catatan mungkin obat larut diluar fase membran plasma menembus

    membran dan masuk ke dalam sitoplasma sel. Karena bersifat lipid membran sel

    mempunyai daya afinitas yang lebih tinggi terhadap bentuk obat yang larut dalam

    Universitas Sumatera Utara

  • lipid. Obat asam lemah dan basa lemah mungkin berada dalam keadaan tak terion

    pada harga pH dari fasa berair pada bagian eksternal dan internal membran. Selama

    bentuk tak terion dari obat lebih mudah larut dalam lipid dari pada bentuk terion,

    bentuk tak terion larut ke dalam membran dan seterusnya maka difusi akan lebih

    cepat dari pada bentuk terion (Wolf, 1994)..

    2.3 Usus Halus

    Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu;

    duodenum, jejunum dan illeum yang bebas bergerak. Diameter usus halus beragam

    tergantung pada letaknya yaitu 2 3 cm dan panjang keseluruhan antara 5 - 9 m.

    Panjang tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan otot yang melingkari

    peritonium (Aiache, et al., 1993). Duodenum dengan panjang sekitar 25 cm, terikat

    erat pada dinding dorsal abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal.

    Jalannya berbentuk C, mengitari kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu

    dengan jejenum, yang terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium.

    Jejenum dapat digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan 2/5 bagian

    proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa 3/5 nya. Kelokan-kelokan

    jejenum menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian

    bawah rongga (Fawcett, 2002). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian

    atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula conniventes.

    Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan penuh

    dengan villi yang tingginya 0,75 1,00 mm dan selalu bergerak. Adanya villi ini

    lebih memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40 50 m (Aiache, et al,

    1993).

    Universitas Sumatera Utara

  • Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum, fungsi utama duodenum dan

    bagian pertama jejenum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua dari

    jejenum dan illeum ialah untuk absorpsi. pH usus halus meningkat dari duodenum 4-

    6, jejenum 6-7, illeum 7-8. pH dalam usus halus berperan besar dalam hal absorpsi

    obat sebagai akibat disolusi berbagai bentuk sediaan (Aiache, et al., 1993).

    Karakteristik anatomi dan fisiologi usus (dengan makrovilli dan

    mikrovillinya) lebih menguntungkan untuk penyerapan obat, seperti halnya juga

    penyerapan zat makanan.

    Pentingnya permukaan penyerapan terutama karena banyaknya lipatan-lipatan

    mukosa usus yang berupa valvula conniventes atau lipatan kerckring, yang terutama

    banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum. Di daerah tersebut villi-villi usus

    tertutup oleh epitel bagaikan sikat yang terdiri dari bulu-bulu halus (mikrovilli) dan

    mempunyai aktivitas yang kuat. Adanya anyaman kapiler darah dan getah bening

    pada setiap lipatan memungkinkan terjadinya penyerapan yang besar. Gerakan usus

    dan gerakan villi usus di sepanjang saluran cerna akan mendorong terjadinya

    penembusan menuju pembuluh darah. Keadaan pH serta tebal dinding yang beragam

    di setiap bagian usus menyebabkan perbedaan penembusan yang cukup besar pada

    molekul zat aktif terutama molekul asam yang penyerapannya dipengaruhi oleh pH

    lambung.

    Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya pelintasan

    membran dengan intensitas yang besar, dan disini lebih banyak terjadi difusi pasif.

    Difusi pasif berkaitan dengan sejumlah senyawa yang larut lemak atau fraksi-

    fraski tak terionkan yang larut lemak.

    Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena

    konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang usus akan meningkatkan gradien difusi,

    Universitas Sumatera Utara

  • hal yang sama terjadi pula pada bagian usus sebelah bawah dan pada penyerapan

    susjacent. Skema usus halus dengan villi dan perfusinya dapat dilihat pada Gambar

    2.6.

    Transpor aktif juga berperan di usus halus dan di sini terjadi persaingan

    terhadap pembawa yang sama atau terjadi penjenuhan sistem transpor yang dapat

    membatasi pelintasan membran. Pinositosis juga berperan terutama di ileum terhadap

    molekul-molekul yang tidak larut (Aiache, et al., 1993).

    Gambar 2.6 Skema usus halus dengan villi dan perfusinya

    2.4 Metode Kantung Terbalik (Everted Sac)

    Preformulasi melibatkan sejumlah pemeriksaan untuk menghasilkan informasi

    yang bermanfaat untuk tahap formulasi selanjutnya meliputi kestabilan fisikokimia

    dan kecocokan dosis obat secara biofarmasi.

    Penelitian awal biofarmasi dari senyawa obat juga dilakukan selama

    preformulasi. Uji-uji ini didesain untuk menelusuri karakteristik ketersediaan

    senyawa obat secara in vitro. Hasil penelitian ini mengkontribusikan suatu produk

    sediaan obat yang efektif, rasional, aman, dan ekonomis.

    Universitas Sumatera Utara

  • Suatu teknik dengan menggunakan everted intestinal sac dapat digunakan

    dalam mengevaluasi karakteristik absorpsi dari zat obat (Ansel,1989).

    Pada persiapannya, teknik everted sac menggunakan bagian dari intestin,

    disayat dari bagian omentum dan sirkulasi mesenterikum. Intestin ini dibalik

    sehingga permukaannya berada pada bagian luar dan ujung dari bagian ini diikat,

    larutan buffer dimasukkan melalui kateter pada bagian lainnya, dan bagian luar usus

    direndam dalam larutan berisis obat dengan suhu 37oC, dialiri oksigen 95% dan CO2

    50%. Kedua bagian, baik serosa maupun mukosa dapat dijadikan sampel untuk

    analisis.

    Everted sac merupakan teknik yang sederhana yang menghadirkan kerumitan

    yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan pengujian konsentrasi obat secara in

    vivo.

    Kondisi dari temperatur, oksigen, ketersediaan makanan sebagai sumber

    energi dapat diatur dalam metode ini, namun tidak ada lagi sirkulasi mesenterikum

    dan kehadiran obat secara total pada bagian dalam kantung pada difusi melalui serosa

    (Swarbrick and Boylan, 1992).

    2.5 Kinetika Laju Absorpsi

    a. Reaksi orde nol

    Laju peruraian obat secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut :

    Laju pengurangan konsentrasi =

    =k

    Dimana; Ca = Konsentrasi zat A yang bereaksi

    k = faktor perbandingan = laju reaksi

    t = waktu

    Universitas Sumatera Utara

  • Bila data dari suatu studi stabilitas mengikuti reaksi orde nol, grafik x (jumlah

    yang bereaksi) versus t (waktu) merupakan garis lurus dengan kelandaian menyamai

    k. Nilai k menyatakan jumlah obat yang terurai per satuan waktu, dan titik potong

    garis pada waktu nol sama dengan konstanta.

    b. Reaksi ode pertama

    Laju pengurangan konsentrasi = -

    =kCa

    Dengan memakai persamaan tersebut untuk reaksi orde pertama dihasilkan

    garis lurus bila dibuat grafik logaritma konsentrasi Ca terhadap waktu. Kecepatan

    atau konstanta laju reaksi, k, dapat dihitung dari kelandaian garis dikalikan 2,303

    (Armstrong, 1995).

    2.6 Pengeringan Beku (Freeze Dryer)

    Pengeringan beku (freeze drying) adalah salah satu metode pengeringan yang

    mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya

    untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas. Keunggulan pengeringan beku

    dibandingkan metode lainnya yaitu dapat mempertahankan stabilitas produk, dapat

    mempertahankan stabilitas struktur bahan dan dapat meningkatkan daya rehidrasi

    sehingga dapat kembali ke sifat fisiologis, organoleptik dan betuk fisik yang hampir

    sama dengan sebelum pengeringan (Tambunan dan Manalu, 2000).

    Untuk proses pengeringan beku, bahan yang dikeringkan terlebih dahulu

    dibekukan kemudian dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan tekanan rendah

    sehingga kandungan air yang sudah menjadi es akan langsung menjadi uap, dikenal

    dengan istilah sublimasi. Pengeringan menggunakan alat freeze dryer lebih baik

    dibandingkan dibandingkan dengan oven karena kadar airnya lebih rendah dan dapat

    digunakan untuk bahan yang tidak tahan dengan panas (Muchtadi, 1992).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.7 Spektrofotometri Ultraviolet - visibel

    Radiasi elektromagnetik, yang mana sinar ultraviolet dan sinar tampak

    merupakan salah satunya, dapat dianggap sebagai energi yang merambat dalam

    bentuk gelombang. Beberapa istilah dan hubungan digunakan untuk menggambarkan

    gelombang ini. Panjang gelombang merupakan jarak linier dari suatu titik pada satu

    gelombang ke titik yang bersebelahan pada gelombang yang berdekatan. Sinar

    ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200 - 400 nm, sementara sinar

    tampak mempunyai panjang gelombang 400 750 nm (Gandjar dan Rohman, 2009).

    Sinar ultraviolet dan sinar tampak memberikan energi yang cukup untuk

    terjadinya transisi elektronik. Dengan demikian, spektra ultraviolet dan spektra

    tampak dikatakan sebagai spektra elektronik. Keadaan energi yang paling rendah

    disebut dengan keadaan dasar (ground state). Transisi transisi elektronik akan

    meningkatkan energi molekuler dari keadaan dasar ke satu atau lebih tingkat energi

    tereksitasi (Gandjar dan Rohman, 2009).

    Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka

    molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai.

    Interaksi antara molekul dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan

    energi potensial elektron pada tingkat keadaan tereksitasi. Apabila pada molekul yang

    sederhana tadi hanya terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus yang terdapat

    pada molekul, maka hanya akan terjadi satu absorbsi. Pada kenyataannya, spektrum

    UV Vis yang merupakan korelasi antara absorbansi (sebagai ordinat) dan panjang

    gelombang (sebagai absis) bukan merupakan garis spektrum akan tetapi merupakan

    pita spektrum. Terbentuknya pita spektrum UV Vis tersebut disebabkan oleh

    terjadinya eksitasi elektronik lebih dari satu macam pada gugus molekul yang sangat

    kompleks (Gandjar dan Rohman, 2009).

    Universitas Sumatera Utara

  • Spektra UV Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus

    dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.

    a. Aspek Kualitatif

    Data spektra UV Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk

    identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung dengan cara

    lain seperti spektroskopi infra merah, resonansi magnet inti, dan spektroskopi massa,

    maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi/ analisis kualitatif suatu senyawa

    tersebut. Data yang diperoleh dari spektroskopi UV dan Vis adalah panjang

    gelombang maksimal, intensitas, efek pH, dan pelarut; yang kesemuanya itu dapat

    diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasikan (Gandjar dan Rohman,

    2009).

    b. Aspek Kuantitatif

    Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan

    (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi

    yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang

    diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap

    lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah foton yang

    melalui satu satuan luas penampang perdetik. Serapan dapat terjadi jika foton/radiasi

    yang mengenai cuplikan memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan

    untuk menyebabkan terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga mengalami

    penurunan dengan adanya penghamburan dan pemantulan cahaya, akan tetapi

    penurunan karena hal ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan.

    Hukum Lambert Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan

    zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Gandjar dan

    Rohman, 2009).

    Universitas Sumatera Utara