655
EDITORS Topo Santoso Eva Achjani Zulfa PEREMPUAN & ANAK HUKUM PERLINDUNGAN EDITOR Sulistyowati Irianto

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

EDITORSTopo Santoso

Eva Achjani Zulfa

PEREMPUAN & ANAK

HUKUM PERLINDUNGAN

EDITORSulistyowati Irianto

Page 2: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

i

Disclaimer

“This product is made possible by the generous support of

the American people through the United States Agency for International Development

(USAID). The contents are the responsibility of the authors and do not necessarily

reflect the views of USAID, the United States Government, or

The Asia Foundation or Kemitraan”

Page 3: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

ii

DAFTAR ISIBAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN YANG HILANG DARI SEJARAH

1.1 Pengantar 1.2 Perlunya Perpektif Perempuan dalam Sejarah 1.3 Gerakan Perempuan Global: Karakter dan

Konteks 1.4 Gerakan Perempuan Indonesia: Sejarah yang

Hilang 1.4.1 Masa Sebelum Kemerdekan 1.4.2 Masa Pendudukan Jepang 1.4.3 Masa Kemerdekaan dan Sesudahnya 1.4.4 Gerakan Perempuan Masa Orde Baru 1.4.5 Masa Transisi (pasca-Ode Baru) 1.5 Gerakan Perempuan di Bidang Akademik Hukum 1.6 Gerakan Perempuan Indonesia dalam Beberapa

Literatur Asing 1.6.1 Cora Vreede-de Steurs 1.6.2 Saskia E.Wieringa 1.6.3 Susan Blackburn 1.6.4 Elizabeth Martyn 1.6.5 Kathryn Robinson 1.7 Kesimpulan Daftar Pustaka Bab 1

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS 2.1 Pengantar 2.2 Prinsip-prinsip Dasar 2.2.1 Analisis Teks Hukum 2.2.2 Menganalisis Pratik Hukum 2.2.3 Wacana Metodologis 2.3 Beragam Aliran Teori Hukum Feminis 2.3.1 The Liberal, atau Equal-Opportunity

atau Formal Equality atau Symmetricist Feminism

23

6

10111315192023

2424273036394143

485153566265

65

Page 4: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

iii

2.3.2 The Assimilationist Feminism 2.3.3 The Bivalent atau Difference atau Special

Treatment Feminism 2.3.4 The Incorporationist Feminism 2.3.5 The Different-Voice atau Cultural, atau

Relational Feminism 2.3.6 The Dominance atau Radical Feminism 2.3.7 The Postmodernist Feminist 2.4 Tema-tema Umum Penalaran 2.5 Tema-tema Umum Wacana Metodologis 2.6 Diskusi 2.7 Kesimpulan Daftar Pustaka Bab 2

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER 3.1 Pengantar 3.2 Pengertian Gender 3.2.1 Perbedaan dan Pembedaan 3.2.2 Memahami Bagaimana Gender Beroperasi 3.3 Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender 3.3.1 Subordinasi 3.3.2 Marginalisasi 3.3.3 Kekerasan terhadap Perempuan 3.3.4 Pelabelan Negatif atau Stereotyping 3.3.5 Diskriminasi 3.4 Gender, Hukum dan Pembangunan 3.4.1 Pengarusutamaan Gender dalam Kebijakan

di Indonesia 3.5 Kesimpulan Daftar Pustaka Bab 3

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

4.1 Pengantar 4.2 Konsep dan Perdebatan Kunci 4.2.1 Wacana Pornografi dalam Perspektif

Perempuan

66

6667

6768697072747778

828586909595

101103109113115

115118119

122123

123

Page 5: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

iv

4.2.2 Feminis Anti-Pornografi 4.2.3 Feminis Pro Pornogafi 4.2.4 Pornografi Anak 4.3 Pornografi Dalam Legislasi dan Putusan

Pengadilan 4.3.1 Pembuatan Pornografi 4.3.2 Penyebarluasan Pornografi 4.3.3 Penggunaan Pornografi 4.3.4 Penyediaan Jasa Pornografi 4.3.5 Pertunjukan Muatan Pornografi di Muka

Umum 4.3.6 Pornografi Anak 4.4 Kesimpulan Daftar Pustaka Bab 4

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 5.1 Pengantar 5.2 Tinjauan Umum Kekerasan dalam Rumah Tangga 5.2.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga 5.2.2 Fakta Kekerasan dalam Rumah Tangga

Bukan Gejala yang Baru 5.2.3 Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah

Tangga: Mengapa Orang Melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga?

5.2.4 Intervensi Negara: Lingkup Campur Tangan Negara Melalui Hukum pada Umumnya

5.3 Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Hukum Indonesia

5.3.1 Ketentuan dalam KUHP sebagai Lex Generalis

5.3.2 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai Lex Specialis

5.3.3 Pembuktian 5.3.4 Perlindungan Korban dalam UU PKDRT 5.4 Kesimpulan Daftar Pustaka Bab 5

126129133

135148159175177

179180187189

194195195

201

211

218

220

220

224240241243245

Page 6: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

v

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

6.1 Pengantar 6.2 Perceraian dalam Kacamata Teori Hukum

Feminis 6.3 Perceraian Dalam Putusan Hakim 6.3.1 Ketidakrukunan sebagai Alasan Perceraian 6.3.2 Kekerasan sebagai Alasan perceraian 6.3.3 Perkawinan dengan Lebih Dari Satu Istri

dan Perceraian 6.3.4 Persoalan Kebendaan dalam Perceraian 6.3.5 Anak dalam Perceraian 6.4 Kesimpulan Daftar Pustaka Bab 6

BAB 7 PEREMPUAN MUSLIM DALAM HUKUM WARIS ISLAM DAN PRAKTEK PENYELESAIAN PERKARANYA 7.1 Pengantar 7.2 Konsep Dasar 7.2.1 Konsep Dasar: Kewarisan Islam: Kepastian Hukum dan Perlindungan Hak Perempuan 7.2.2 Asas-asas dalam Kewarisan Islam 7.2.3 Segregasi Pembagian Peran Gender dan Implikasinya dalam Logika Hukum Waris 7.3 Praktek Hukum Waris di Masyarakat Muslim Indonesia 7.4 Upaya-upaya Perempuan dalam Mengakses Keadilan dalam Kewarisan 7.5 Peraturan Perundangan Hukum Waris 7.5.1 Kedudukan Anak Perempuan dalam pasal 176 KHI 7.5.2 Kedudukan Istri/janda dalam Pasal 180 KHI 7.5.3 Kedudukan Ibu dalam Pasal 178 KHI 7.6 Akses Sumber Daya Waris Perempuan dan Anak dalam Hukum Waris Islam Indonesia

250

250258261267

272280282284286

290292

292294

296

298

304308

311312316

317

Page 7: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

vi

7.6.1 Perlindungan Hak Waris Selain Anak Kandung Pewaris 7.6.2 Perlindungan Hak Istri/Janda 7.6.3 Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak Melalui Mekanisme Musyawarah dan Mediasi 7.7 Studi Kasus Waris Islam di Pengadilan Agama 7.7.1 Prosedur Perkara Kewarisan di Pengadilan Agama 7.7.2 Rekonstruksi Kasus Gugat Waris di PA 7.8 Kesimpulan Daftar Pustaka Bab 7

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BEBERAPA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 8.1 Pengantar 8.2 Akses Perempuan kepada Sumberdaya Waris dalam Hukum Waris Adat 8.2.1 Masyarakat Batak 8.2.2 Masyarakat Tionghoa 8.2.3 Suku Sasak di Lombok 8.3 Kerangka Konseptual 8.4 Akses Perempuan terhadap Sumber Daya Waris dalam Hukum Waris Perdata Barat 8.4.1 Para Pihak yang Terlibat dalam Masalah Waris 8.4.2 Hak Waris Tidak Mengenal Pembedaan Jenis Kelamin 8.4.3 Munculnya Hak untuk Mewaris 8.4.4 Catatan Kritis Mengenai Pasal 832 dan 852 KUHPer 8.5 Studi Kasus 8.6 Kesimpulan Daftar Pustaka Bab 8

321325

323326

326328334339

344

346347350353358

360

360

363364

365367377379

Page 8: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

vii

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL 9.1 Pengantar 9.2 Mengenal Konsep dan Teori tentang Kejahatan Seksual 9.3 Data Kekerasan terhadap Perempuan 9.4 Legislasi: Instrumen Hukum Terkait Kejahatan Seksual terhadap Perempuan dan Anak 9.4.1 Aturan mengenai Kejahatan Seksual dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 9.4.2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana 9.4.3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUP KDRT) 9.4.4 UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 9.4.5 UU Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 Tahun 2012 9.5 Studi Kasus 9.5.1 Kasus Pidana Pemerkosaan terhadap Anak Kandung 9.5.2 Kasus Pencabulan terhadap Beberapa Anak Laki-laki 9.5.3 Kasus Pemerkosaan dengan Kekerasan dan Ancaman Kekerasan. 9.5.4 Persetubuhan dengan Bujukan dan Tipu Muslihat 9.5.5 Catatan bagi Keempat Kasus Secara Menyeluruh 9.6 Kesimpulan Daftar Pustaka Bab 9

BAB 10 ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM 10.1 Pengantar 10.2 Konsep Anak dalam Kajian Ilmu Hukum

382

383388

396

396

414

415418

419420

421

425

429

432

438440442

448450

Page 9: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

viii

10.3 Juvenile Delinquency dan Pertanggungjawaban Pidana 10.4 Perlindungan Hukum terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum 10.5 Dasar Hukum Sistem Peradilan Pidana Anak 10.6 Studi Kasus Pelaksanaan Peradilan Pidana Anak di Indonesia 10.7 Kesimpulan Daftar Pustaka Bab 10 BAB 11 PERDAGANGAN ANAK: BEBERAPA CATATAN HUKUM 11.1 Pengantar 11.2 Definisi Anak 11.3 Definisi Perdagangan Anak 11.4 Mengapa Anak Diperdagangkan di Dunia dan Indonesia? 11.5 Mengapa Anak Diperdagangkan? 11.6 Aturan Pidana tentang Perdagangan Anak 11.6.1 Konvensi Hak Anak 11.6.2 Konvensi ILO Nomor 182 tentang Penghapusan bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak 11.6.3 Kitab Undang Undang Hukum Pidana 11.6.4 UU No 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak 11.6.5 UUNo 21 Tahun 2007 tentang Pemberatan Tindak Pidana Perdagangan Orang 11.7 Studi Kasus 11.8 Kesimpulan Daftar Pustaka Bab 11

BAB 12 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL 12.1 Pengantar 12.2 Peraturan Terkait Perindungan Hak Pekerja/ Buruh Perempuan

452

457464

470476478

482484488

494496498499

499500

500

500507518519

522

526

Page 10: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

11.2.1 Konvensi Internasional Labor Organization (ILO) 12.2.2 Convention on the elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) Terkait Perempuan Bekerja 11.2.3 Norma Khusus Pekerja/Buruh Perempuan dalam UU Ketenagakerjaan Indonesia 12.3 Studi Kasus 12.3.1 Diskriminasi Pramugari 12.3.2 Upah Dipotong Saat Cuti Melahirkan 12.3.3 Pengabaian atas Hak Reproduksi Perempuan 12.3.4 Hasil Penelitian Terkait Pekerja/Buruh Perempuan 12.4 Refleksi dan Penutup Daftar Pustaka Bab 12 BAB 13 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA 13.1 Pengantar 13.2 Migrasi Pada Pekerja Migran 13.2.1 Pekerja Domestik Perempuan Migran 13.2.2 Feminisasi Pekerja Migran 13.3 Akses Keadilan bagi Pekerja Domestik Migran 13.4 Legislasi 13.5 Studi Kasus 13.5.1 Kasus Nirmala Bonat

13.5.2 Kasus Ruyati Daftar Pustaka Bab 13

DAFTAR PUSTAKA

528

536

539562563566

568

569573575

580581585591591595600600604607

609

Page 11: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

x

EditorSULISTYOWATI IRIANTOSulistyowati Irianto adalah professor dalam bidang antropologi hukum pada Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Ia menyelesaikan studi magister di Leiden Universiteit tahun 1990 dan Doktor di Universitas Indonesia tahun 2000 dalam bidang yang sama. Ia ikut mendirikan dan mengajar mata kuliah “Antropologi Hukum” dan “Perempuan dan Hukum” di FHUI sejak tahun 1992. Ia mengepalai Pusat Kajian Wanita dan Gender UI 2000-2013, dan Direktur Sekolah Pascasarjana Multidisipliner UI sejak 2013. Keterlibatannya dalam organisasi profesi adalah menjadi anggota Dewan dari the International Commission on Legal Pluralism sejak tahun 2006, dan the Asian Initiatives on Legal Pluralism sejak tahun 2004. Ia memberi perhatian pada studi gender dan hukum, dan studi Hukum & Masyarakat, dan melakukan banyak penelitian dalam bidang-bidang tersebut. Riset terakhir yang dilakukan dan menghasilkan beberapa penerbitan di antaranya adalah: (1) Access to Justice and Global Migration: Stories of Indonesian Women Domestic Migrant Worker in the UAE (2008-2011); (2) Negotiating and Contesting Inheritance Law: Socio-Legal Position of Indonesian Moslem Women (2009-2013).

Sulistyowati Irianto dapat dihubungi melalui email:

KontributorTITIEK KARTIKA HENDRASTITITitiek Kartika Hendrastiti adalah dosen pada Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Bengkulu. Ia menyelesaikan studi S1 pada Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada; studi S2 pada Politics of Alternative Development Strategies, Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda, dan menjadi Doktor dalam ilmu politik pada FISIP, Universitas Airlangga. Ia juga aktif pada organisasi massa perempuan, seperti Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI), menjadi representasi KPI pada Asia Pacific Forum for Women, Law and Development (APWLD), menjadi anggota Women, Law and Development International (WLDI), dan Regional Network on Poverty Eradication (RENPER). Ia banyak melakukan penelitian di seputar isu gerakan politik perempuan, migrasi, kekerasan, lingkungan, yang semuanya berada dalam ranah studi perempuan.

Page 12: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xi

HERNI SRI NURBAYANTIHerni Sri Nurbayanti menempuh pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Program Master di Institute of Social Studies (ISS) Belanda. Herni pernah bekerja di Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (1999-2011) dan sesekali menjadi dosen tamu untuk mata kuliah Wanita, Hukum dan Pembangunan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selama ini, Herni aktif di berbagai jaringan advokasi masyarakat sipil seperti Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) dan Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) yang mendorong berbagai macam peraturan perundang-undangan yang digagas dan didorong oleh masyarakat sipil. Ia juga terlibat dalam penelitian dan program yang berkaitan dengan reformasi hukum di bidang peradilan dan legislasi. Saat ini Herni bekerja di Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).

Herni Sri Nurbayanti dapat dihubungi melalui email: [email protected]

FARID HANGGAWANFarid Hanggawan menyelesaikan Sarjana Hukum (S.H) dan sedang menyelesaikan program magister di Universitas Indonesia. Farid Hanggawan adalah asisten dosen dan peneliti pada Pusat Kajian Wanita dan Jender di Universitas Indonesia. Sebelumnya, dia pernah juga bekerja sebagai peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) di Jakarta. Selain naskah yang terdapat dalam buku ini, Farid Hanggawan juga menghasilkan sejumlah makalah dan tulisan dibidang sosiologi hukum, perlindungan wanita dan lain-lain.

WIDATI WULANDARIWidati Wulandari, pengajar pada bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Memilik ketertarikan pada bidang Kriminologi, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana Internasional. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (1996), S2 di Law Faculty University of Sydney Australia (2003), dan saat ini sedang menempuh pendidikan S3 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Beberapa karya tulis yang diterbitkan antara lain: “Pengadilan Setengah Hati:Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HAM kasus Timor Timur”; “Pembangunan Hukum Pidana:Pluralisme Hukum dalam RKUHP” dalam Hukum Pidana Indonesia perkembangan dan pembaharuan (bab buku); dan “Pengenalan tentang International Criminal Court bagi Anggota DPR RI”.

Widati dapat dihubungai lewat email: [email protected]

Page 13: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xii

TIEN HANDAYANI NAFITien Handayani Nafi menyelesaikan Sarjana Hukum (S.H) dan program Magister (MSi) pada Universitas Indonesia dan mengasuh sejumlah mata kuliah, di antaranya, Ssilogi Hukum, Wanita dan Hukum, Antropologi Hukum dan mata kuliah lainnya. Tien Handayani Nafi juga aktif pada Pusat Kajian Wanita dan Jender (PKWJ) Universitas Indonesia.

Di samping bab yang terdapat dalam buku ini, Tien Handayani Nafi telah menghasilkan karya ilmiah lain, di antaranya: (i) Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (PKDRT) bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Asosiasi Staf Pengajar Peminat Hukum dan Jender se-Indonesia, (ii) Rangkuman buku konsep dan pola penyuluhan Hukum, tentang penyuluhan Hukum, (iii) Implementasi Pasal 13 dan Pasal 14 Konvensi Cedaw Di Indonesia, Sejauh manakah pelaksanaannya. Tien Handayani Nafi juga aktif dalam sejumlah seminar nasional, baik sebagai nara sumber maupun sebagai peserta.

IKLILAH MUZAYYANAH DINI FAJRIYAHIklilah Muzayyanah Dini Fajriyah menyelesaikan Sarjana Tafsir Hadis pada Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al Quran (IIQ) Jakarta, Program Master pada Program Studi Kajian Gender Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan sedang menyelesaikan program doctor di Departemen Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia.

Selain aktif di organisasi keagamaan perempuan Fatayat NU, salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama sejak tahun 2000, Iklilah juga telah menjadi tenaga pengajar di Program Studi Kajian Gender Program Pascasarjana UI sejak tahun 2007 dan di STAINU Jakarta sejak tahun 2005.

Selain naskah yang ada dalam buku ini, Iklilah telah menebitkan sejumlah karya ilmiah, di antaranya: (1) Stereotype Perempuan dan Ulama Fikih: Studi atas ’Illah al Hukm Fuqaha (Alasan Hukum Ulama Fikih) terhadap Hukum Ijbar (Juli 2013), dalam book chapter Menjaga Tradisi dan Menggapai Pahala: Potret Dialog Diskursif Islam dan Tradisi Lokal, Yogyakarta: TICI Publications, ISBN. 978-602-9994-450-6, (2) Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap Problematika dan Dampak Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Nusa Tenggara Barat (November 2013), Dalam book chapter Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, ISBN: 978-979-797-353-7. (3)

Page 14: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xiii

Realitas Pemenuhan Hak-hak Sipil Masyarakat Adat Kampung Dukuh Garut, artikel dalam Harmony: Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol. 12, No. 3, September-Desember 2013, ISSN 1412-663X, Terakreditasi LIPI, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, Jakarta, 2013. (4) Perempuan Muslim Sasak dalam Praktek Budaya Perkawinan Merarik: Sebuah Kajian Antropologi Perspektif Perempuan, artikel dalam Al Fikr: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 16 No. 3, September-Desember 2012, ISSN 1411-2140, Terakreditasi DIKTI KEMENDIKBUD, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan, 2012. (5) Thalak Ba’in Kubra: Antara Hukum dan Realitas, Artikel, dimuat dalam Jurnal Istiqra’: Jurnal Penelitian Islam Indonesia, Vol. 10 no. 02, tahun 2011, ISSN 1693-0096, Departemen Agama RI, 2011, (6) Perempuan dalam Perdebatan Hukum Ijbar, Artikel, dimuat dalam Jurnal Istiqra’: Jurnal Penelitian Islam Indonesia, Vol. 07 no. 1, tahun 2008, ISSN 1693-0096, Departemen Agama RI, 2008, dan sejumlah karya ilmiah lainnya.

Iklilah dapat dihubungi melalui email [email protected].

LIDWINA INGE NURTJAHYOLidwina Inge Nurtjahyo adalah pengajar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk matakuliah: Klinik Hukum Perempuan dan Anak, Manusia dan Masyarakat Indonesia, Hukum dan Masyarakat, Antropologi Hukum, Wanita dan Hukum, Metode Penelitian Sosio Legal, Metode Penelitian Hukum (program Pascasarjana). Selain itu yang bersangkutan juga mengajar di Departemen Antropologi FISIP UI untuk matakuliah Pluralisme Kebudayaan dan Hukum, serta Antropologi Hukum pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian. Selain mengajar, ia juga merupakan peneliti pada Pusat Kajian Wanita dan Jender bidang studi Hukum dan Masyarakat di FHUI. Saat ini Inge juga menjadi Ketua Badan Penerbit dan Jurnal Hukum dan Pembangunan FHUI. Organisasi yang diikuti antara lain Commission on Legal Pluralism dan International Union of Ethnology and Anthropology Studies. Penelitian terakhirnya adalah tentang ‘Penyelesaian terhadap Kasus-kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga Melalui Mekanisme Hukum Adat: Studi Kasus di Atambua dan Kupang, NTT’ yang dilakukan bersama dengan Ibu Tien Handayani dan Iva Kasuma (2012-2014). Dia merupakan lulusan dari Fakultas Hukum UI yang melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister di Departemen Antropologi FISIP UI dan terakhir memperoleh gelar doktor pada bidang dan tempat yang sama tahun 2014.

Page 15: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xiv

MARLINAMarlina menempuh pendidikan Sarjana Hukum (1998) di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, serta Program Master (2001) dan Program Doktoral (2006) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum USU, Marlina telah terlibat dalam beberapa kegiatan penelitian, antara lain: (1) Analisis Putusan Hakim Pengadilan Tingkat Pertama, 2009; (2) Alas Philosopis Pidana Kerja Sosial dalam Prespektif Kebijakan Kriminal 2009; (3) Analisis Putusan Hakim Pengadilan Tingkat Pertama (2010).

Marlina dapat dihubungi lewat email: [email protected].

ROSMALINDARosmalinda menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada tahun 1998. Setelah lebih dari 6 tahun bekerja di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) beliau mendapat dukungan beasiswa dari IIEF-Ford Foundation melanjutkan pendidikan S-2 pada program International Law and International Organization di Rijk Universiteit van Groningen, The Netherlands. Setelah memperoleh gelar LLM pada Agustus 2006 beliau kembali ke tanah air dan memulai karir sebagai salah satu staf pengajar di Fakultas Hukum USU pada tahun 2008.

Di samping menyumbang karya dalam penulisan buku ini, beliau juga telah memiliki beberapa hasil publikasi berupa buku maupun artikel yang ditulis berdasarkan hasil penelitian maupun tidak dan merupakan tulisan tim secara bersama maupun hanya dilakukan oleh Rosmalinda sendiri, antara lain: Kekerasan Terhadap Perempuan pada masyarakat Multi Etnik; Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM dan Ford Foundation, 2002; Menggagas tempat yang aman Bagi Perempuan; Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM dan Ford Foundation, 2002; Pendampingan dan Penanganan anak Korban Incest; PKPA and CIDA, 2002; Integrasi Gender untuk pendidikan Dasar (SLTP dan SLTA), Pesada 2006; Integrasi Gender untuk Pendidikan pra sekolah, Pesada, 2007; Buku Saku 1 s/d 4 Rangkaian Penyadaran Masyarakat (Kesehatan Perempuan, Stop Pernikahan Dini, Hak-Hak Perempuan dan Stop Kekerasan dalam Rumah Tangga), PKPA 2013; Kehamilan, Haruskah menjadi Hambatan Pendidikan, Analisa 25 July 2000; Teenage Pregnancy, Inside Indonesia, Australia, Juli 2003; Seks Pranikah dan Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi; Kalingga PKPA, Juli-Agustus 2003; Kehamilan, haruskah menghambat Pendidikan Anak Perempuan; Kalingga PKPA, Juli-Augustus 2003; Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan, Sebuah Pengantar; Equality, Jurnal Hukum, Volume 17, Nomor 1, Februari 2012.

Page 16: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xv

AGUSMIDAHAgusmidah menempuh pendidikan Sarjana Hukum (1999), Program Master (2001) dan Program Doktoral Ilmu Hukum (2007) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Agusmidah memulai karir sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum USU sejak tahun 2002. Di samping terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian, Agusmidah juga telah memiliki berbagai publikasi, antara lain: (1) Pengaruh Politik Ekonomi Terhadap Gerakan Buruh Indonesia, Yustitia, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Vol. 4 No.1 April 2010; (2) Kerja Kontrak dan Outsourcing, Pengaruh Kebijakan Fleksibilitas Ketenagakerjaan, Equality, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum USU, Vol. 16, No. 1 Februari 2011; (3) Nasib Tenaga Kerja Indonesia Dalam Iklim Fleksibilitas, Inspirasi, Tabloid, PT Bina Insan Negeri, Jakarta, Vol. 3, No. 43, 25 April 2012; (4) Dinamika Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, USU Press, Medan, 2010.

Agusmidah dapat dihubungi lewat email: [email protected]

LINA HASTUTILina Hastuti menempuh pendidikan Sarjana Hukum (1988), Program Master (1999) dan Program Doktoral (2012) di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR). Sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum UNAIR, Lina Hastuti telah menghasilkan sejumlah karya tulis, antara lain: (1) Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Bersenjata, Penelitian, 2005; (2) Pelaksanaan Fungsi dan Wewenang Perwakilan Konsuler di Indonesia (Studi Kasus di Perwakilan Konsuler di Surabaya), Penelitian, 2010; (3) Mandatory Consular Notification (MCN) sebagai Upaya Pemerintah Melindungi TKI di Luar Negeri, Penelitian, 2009; Strengthening Sovereignty and Complience through Creating an Effective National Mechanism for Prosecuting Individual in the Relation to War Crimes, International Indonesian Law Society Conference, Utrecht Belanda, 2010; (4) Petunjuk Teknis Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan WNI di Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri bekerjasama dengan Unit Kajian Hukum Perlindungan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2011; (5) Penguatan Hukum Menuju Tenaga Kerja Indonesia Berkualitas Di Luar Negeri, Penelitian, 2011; (6) Rancangan Model Pengadilan Nasional untuk Pelanggaran HAM yang Berat, Penelitian, 2011; (7) Pengadilan HAM sebagai Upaya Pertama dan Terakhir dalam Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM di Tingkat Nasional, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.12, No.3,September 2012; (8) Buku Ajar Hukum Humaniter Internasional; Program Hibah Buku Teks Dikti, 2013.

Lina Hastuti dapat dihubungi lewat email: [email protected]

Page 17: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xvi

Catatan Editor

Hukum dan Keadilan Bagi Perempuan dan Anak:Problema Yuridis dan Kasus Hukumnya

Sulistyowati Irianto

Buku yang tengah Anda baca ini ditulis dalam rangka mengadakan semakin banyak bacaan bagi para mahasiswa hukum, praktisi hukum, dan kalangan masyarakat luas, yang peduli pada masalah hukum yang

dihadapi perempuan dan anak. Kebutuhan membangun kesadaran, kepekaan dan memahami masalah perempuan dan anak dalam hukum, dirasakan sudah lama ada, terutama setelah wacana hak asasi perempuan dan anak semakin menjadi isu global dan mendapat perhatian dari badan-badan dunia dan masyarakat internasional. Sayangnya, ketersediaan bacaan yang komprehensif dalam bahasa Indonesia, boleh dikatakan langka. Membangun kesadaran bagi para mahasiswa hukum sejak mereka di bangku kuliah, tentang pentingnya memberi perhatian kepada hak asasi perempuan dan anak, yang sering tidak diperhitungkan dalam proses pembuatan legislasi dan kebijakan, adalah masalah yang krusial. Kelak mereka akan menjadi pemimpin dan penentu kebijakan dalam berbagai struktur penting di negeri ini. Nasib dan masa depan mereka yang tergolong sebagai kelompok rentan: orang miskin, perempuan, anak, dan kelompok minoritas lain, berada di tangan mereka.

Buku ini menuliskan berbagai isu perempuan dan anak yang biasa dijumpai dalam masyarakat, yaitu dalam ranah keluarga dan perkawinan, dunia kerja, dan beberapa tindak kejahatan terhadap perempuan dan anak baik di ranah domestik maupun publik. Tidak ada isu yang baru yang ditulis dalam buku ini, karena problem hukum dan kesukaran yang dihadapi perempuan dan anak dalam mengakses keadilan juga tidak berubah banyak dalam prakteknya dalam beberapa kurun waktu sejak Indonesia merdeka sampai hari ini. Tentu saja terdapat beragam isu hukum lain yang tidak tercakup dalam buku ini, karena keterbatasan waktu semata. Di antara keragaman isu hukum yang tidak tercakup itu adalah seperti masalah kesehatan reproduksi perempuan, hak politik perempuan, masalah pajak, korupsi, lingkungan, akses ekonomi perempuan,

Page 18: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xvii

akses kepada tanah dan harta milik, prostitusi, yang semuanya memiliki dimensi perempuan dan berdampak terhadap perempuan dan anak. Namun semua isu hukum yang dihadapi perempuan dan anak yang begitu beragam, telah diliput secara analitis dalam bab-bab awal terutama yang bercerita tentang gerakan perempuan Indonesia dan berbagai permasalahannya.

Buku ini memiliki karakter yang berbeda dalam penyajiannya, dibanding-kan dengan literatur yang pernah ada. Masing-masing tulisan tidak hanya memaparkan teori hukum dan norma-norma hukum, tetapi juga menyertakan kasus-kasus hukum, baik yang diselesaikan di pengadilan, maupun yang tidak berlanjut sampai ke persidangan dan didapat dari media massa. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa dan praktisi hukum dapat dengan mudah mengenali kasus hukumnya. Dalam kasus itu dapat ditelurusi dengan relatif cepat, siapa saja para pihak dalam perkara; bagaimana posisi kasusnya atau secara bagaimana perempuan dan anak berposisi menjadi korban hukum; apa argumentasi dari para pihak dalam persidangan, beserta Pasal-Pasal yang diacu. Hal yang paling krusial dalam membahas kasus hukum dalam perspektif keadilan adalah: bagaimana pertimbangan hakim, apa saja terobosan yang dilakukannya, terutama ketika substansi hukum tidak atau sedikit saja memberi celah bagi perempuan korban. Terakhir adalah bagaimana putusan hakim, apakah memungkinkan perempuan dan anak, mendapatkan keadilan, atau justru merugikannya.

Untuk memudahkan pembaca dalam memahami kasus yang dibahas, buku ini juga didesain secara khusus dengan harapan bahwa pembaca buku ini dapat melihat penerapan suatu teori dan norma peraturan perundang-undangan secara utuh sehingga dapat melihat dan menilai apakah pengadilan di Indonesia telah konsisten dalam penginterpretasikan teori dan rumusan pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan mengenai kasus-kasus yang ada dalam buku ini menggunakan “IRAC system” yang disusun berdasarkan: ‘issue-rules-analysis-conclusion’ (IRAC) atau dalam bahasa Indonesia disusun berdasarkan “isu-aturan-analisis-kesimpulan”. Hal ini penting untuk dilakukan agar pembaca bisa melihat secara nyata dan jelas apakah suatu putusan pengadilan dapat dikatakan baik atau tidak dalam menerapkan teori dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Oleh karena itu, para penulis diberi kebebasan untuk ‘menilai’ putusan hakim yang dijadikan contoh dalam bab-bab yang terdapat dalam buku ini. Dengan pendekatan tersebut diharapkan juga akan menjadi control bagi penegak hukum, khusus-nya jaksa dan hakim agar mereka berhati-hati dalam memutus

Page 19: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xviii

perkara karena putusan mereka akan ‘diuji’ dan dibahas dalam setiap perkuliahan di perguruan tinggi. Putusan yang baik akan ‘dipuji’ dan dijadikan ‘referensi’, tapi putusan yang tidak baik akan ‘dicaci’ dan ‘dikritisi’ oleh dunia akademik sehingga pada saatnya akan berkontribusi pada perbaikan sistem penegakan hukum bagi perempuan dan anak di Indonesia.

Kebutuhan memahami masalah perempuan dan anak dalam bidang hukum ini dapat dilihat dalam dua sisi. Pertama, fakta tentang perempuan dan anak yang menjadi korban dari berbagai tindak pelanggaran hukum, dan sukar mengakses keadilan, semakin mengemuka. Kesukaran mengakses ini terjadi karena masih banyaknya substansi hukum dalam berbagai produk legislasi dan kebijakan, yang menstrukturkan perempuan dan anak (korban) pada posisi yang tidak memungkinkan mereka untuk diperhitungkan realitas dan pengalamannya. Di samping ada berbagai produk legislasi dan kebijakan, Komnas Perempuan mencatat bahwa pada tahun 2014 terdapat sekitar 342 peraturan daerah yang dibuat justru pada masa Reformasi oleh pemerintah daerah, yang berdampak merugikan perempuan. Di antaranya terdapat dua Perda yang dimohonkan peninjauan kembali oleh masyarakat sipil ke Mahkamah Agung agar dibatalkan karena perda tersebut dianggap cacat hukum dan terbukti merugikan perempuan, namun kemudian ditolak oleh MA. Fenomena ini menunjukkan bahwa perumus legislasi dan kebijakan, praktisi dan penegak hukum termasuk hakim, teralienasi dari permasalahan perempuan dan anak.

Kedua, sungguhpun terdapat kebutuhan nyata dari masyarakat agar terdapat perlindungan hukum yang lebih pasti bagi perempuan dan anak, namun bagaimanakah komunitas akademik meresponnya ? Pada umumnya mata kuliah terkait substansi dan perspektif keadilan perempuan dan anak, ditempatkan secara terbatas dalam kurikulum hukum. Kedudukannya tidak dianggap terlalu penting, bahkan ada yang menganggap bahwa kuliah ini tidak sejalan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi, karena dari tinjauan monodisiplin, kuliah ini dianggap keluar dari pakem hukum “murni”. Di pihak lain, mahasiswa hukum memiliki posisi strategis untuk melakukan perubahan, khususnya dalam memperjuangkan kehidupan yang lebih adil bagi kelompok rentan. Jadi, apabila pengetahuan dan pemahaman ini tidak dapat diakses oleh mahasiswa di bangku kuliah, maka kita akan kehilangan kesempatan besar untuk membekali sarjana hukum dengan pengetahuan dan pemahaman yang penting tentang hak asasi perempuan dan anak. Termasuk di dalamnya adalah kesempatan berlatih bagi mahasiswa untuk bisa memberikan konsultasi dan bantuan hukum bagi (korban) perempuan dan anak.

Page 20: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xix

Dalam hal ini perlu disampaikan bahwa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, adalah yang pertama kali membidani lahirnya mata kuliah “Perempuan dan Hukum” pada tahun 1991. Kemudian sekelompok kecil perempuan professor dan akademisi di UI membuat suatu program yang disebut “Engendering Kurikulum Hukum”, yang mengupayakan agar kuliah semacam itu dapat disebarluaskan di fakultas hukum yang lain di tanah air. Hasil dari program tersebut setelah lebih dari 20 tahun adalah, dilahirkannya semakin banyak kuliah “Perempuan dan Hukum” atau ada juga yang menggabungkannya dengan persoalan anak, menjadi: “Perlindungan Hukum bagi Perempuan dan Anak”. Saat ini terdapat tidak kurang dari 40 mata kuliah semacam itu di antara 80 fakultas hukum mitra di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta. Di samping itu, tidak terbilang para dosen yang mengintegrasikan isu perempuan dan anak, dengan tujuan memperkenalkan, membangun kepekaan di kalangan mahasiswa hukum tentang instrument hukum yang melindungi perempuan dan anak.

Di kalangan para dosen, atas inisiatif mereka sendiri, bahkan dibentuk Asosiasi Pengajar Gender dan Hukum pada tahun 2004, yang memiliki kegiatan teratur setiap tahun untuk bertemu dan mempresentasikan hasil-hasil penelitian dan pengabdian masyarakat terkait perlindungan hukum bagi perempuan dan anak. Program ini selanjutnya juga menginspirasi munculnya program-program lain, di antaranya adalah kompetisi “Moot Court dengan Perspektif Keadilan Perempuan” di antara berbagai fakultas hukum di wilayah Jakarta dan sekitarnya, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Aceh. Selain itu terdapat banyak program pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh para dosen dari Asosiasi, di antaranya adalah menyediakan konsultasi dan bantuan hukum cuma-cuma bagi perempuan dan anak pencari keadilan.

Kendala untuk melanjutkan dan mengembangkan mata kuliah ini terletak pada ketersediaan dosen-dosen hukum yang memiliki pengetahuan, keahlian dan kepedulian terhadap masalah perempuan dan anak. Regenerasi di kalangan dosen muda menjadi kendala, terutama oleh berbagai kesulitan birokrasi yang dihadapi pendidikan tinggi dalam mengelola sumber daya dosen. Kendala lain yang justru lebih berat adalah, kurangnya pemahaman dan perspektif di kalangan para dosen atau pimpinan fakultas hukum tentang pentingnya perkuliahan di bidang ini.

Para penulis dalam buku ini pada umumnya adalah para dosen fakultas hukum di empat universitas yang tergabung dalam program penulisan buku yang diinisiasi oleh Asia Foundation dan Kemitraan, yaitu: Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga, dan Universitas Sumatera Utara.

Page 21: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xx

Seorang penulis juga berasal dari Universitas Bengkulu. Para penulis adalah para dosen yang mengajar berbagai bidang keahlian dalam ilmu hukum, dan beberapa di antaranya adalah yang memang memberi perhatian pada isu perempuan dan anak. Namun ada juga dosen yang memiliki keahlian dalam bidang studi gender, yang tidak berasal dari fakultas hukum.

Buku ini diawali oleh tiga tulisan yang bertujuan untuk memberi pengantar agar permasalahan hukum dapat dipahami konteksnya dalam sejarah dan kerangka konseptual. Tulisan pertama dibuat oleh Sulistyowati Irianto dan Titiek Kartika, yang memberi gambaran umum tentang sejarah gerakan perempuan di Indonesia, sejak sebelum jaman kemerdekaan sampai sesudah masa Orde Baru. Gerakan perempuan pada akhirnya memasuki ranah akademik termasuk fakultas hukum. Salah satu kritik utama dari para feminist adalah ketiadaan suara perempuan dalam penulisan sejarah. Akibatnya, representasi perempuan yang turut berjuang dalam mendirikan dan membangun bangsa, memperjuangkan hak politik dan hukum, tidak terekam secara memadai, bahkan tersembunyi. Pada situasi semacam itu, maka pengetahuan tentang sejarah bangsa menjadi tidak lengkap. Untunglah beberapa ilmuwan asing melakukan studi yang penting tentang sejarah gerakan perempuan Indonesia. Sementara tulisan yang dibuat oleh perempuan ilmuwan Indonesia sendiri, terserak dalam berbagai studi di tingkat lokal dan tidak mudah mengidentifikasinya. Hal yang paling penting dicatat tentang sejarah gerakan perempuan Indonesia dalam bidang hukum adalah perjuangan perempuan untuk menuntut hak politik dan persamaan kedudukan di muka hukum, yang dilakukan melalui organisasi perempuan yang mengirim mosi kepada pemerintah Belanda.

Tulisan kedua dalam buku ini adalah tentang Teori Hukum Feminist yang dibuat oleh Sulistyowati Irianto. Dalam bab ini dipaparkan tentang kebutuhan untuk memiliki teori tersendiri dalam melakukankan kajian hukum dari perspektif perempuan; apa inti gagasannya; dan bagaimana cara bekerjanya.

Mitos tentang objektivitas dan netralitas hukum dibongkar. Kemudian terhadap teks hukum diajukan sejumlah pertanyaan perempuan yang kritis, yang berangkat dari pertanyaan tentang bagaimanakah perempuan diposisikan dalam hukum; apakah pengalaman dan realitas perempuan diperhitungkan oleh para perumus hukum dan tertuang dalam produk hukum. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana suatu produk hukum menyumbang kepada terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Buku teks hukum modern selalu memuat teori hukum feminis sebagai salah satu alliran teori hukum yang penting dan sangat berpengaruh terhadap wacana keadilan global.

Page 22: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xxi

Herni Sri Nurbayanti menulis bab tiga, yang menjelaskan tentang beberapa konsep penting yang perlu dipahami oleh mahasiswa hukum dan praktisi hukum, yang peduli kepada isu perempuan dan anak. Ia menjelaskan beberapa konsep penting terkait gender dan keadilan gender, yang perlu dikuasai sebelum seseorang mempelajari hukum dari perspektif perempuan. Selanjutnya pada bab empat, Farid Hanggawan menulis tentang konsep dan pengertian yang mendasar untuk bisa memahami masalah perempuan, melalui tulisan tentang pornografi. Bagaimana perempuan diposisikan dalam pornografi dan hukum anti pornografi, yang mengonseptualisasi pornografi secara keliru sehingga tidak melindungi anak dari paparan pornografi, melainkan justru berpotensi mengkriminalisasi perempuan. Terdapat dua isu utama yang dibahas yaitu pornografi dan pornografi anak, yang keduanya memiliki konteks kesejarahan yang berbeda.

Dalam bab lima Widati Wulandari menulis tentang fenomena yang sangat umum yang sering dialami oleh perempuan, yaitu kekerasan dalam rumah tangga dengan berbagai permasalahan hukumnya. Tujuan dari penulisn ini adalah untuk memberi pemahaman yang multidimensi mengenai kekerasan domestik yang tidak hanya merupakan persoalan hukum tetapi juga persoalan sosial dan kultural. Dengan demikian dapat ditunjukkan bahwa penghukuman berupa pidana bukanlah satu-satunya solusi untuk menghilangkan kekerasan yang mengancam perempuan dan anak di ranah domestik. Tulisan ini pada intinya menjelaskan bahwa pokok persoalan dalam kekerasan domestik adalah adanya kerentanan anggota keluarga yang muncul akibat kebergantungan pada siapa pun yang memegang kekuasaan di dalam rumah tangga, secara berlanjut atau terus menerus.

Kekerasan domestik tidak jarang berakhir dalam suatu perceraian. Dalam bab enam, Tien Handayani Naffi menulis tentang masalah hukum yang dihadapi perempuan dan anak dalam perceraian. Isu perlindungan anak menjadi penting karena pada umumnya perceraian diikuti oleh persoalan kepentingan anak. Tulisan ini mendiskusikan tentang ketentuan atau prosedur perceraian yang menunjukkan bagaimanakah perempuan dan anak diposisikan dalam hukum, dan bagaimana hukum diimplementasikan melalui putusan hakim. Dalam kasus perceraian, penting melihat apakah perempuan dirugikan baik dalam proses hukumnya maupun dalam putusan hakim

Masalah hukum dan perempuan dalam hubungan-hubungan keluarga juga teridentifikasi melalui masalah kewarisan. Bab tujuh dalam buku ini mengetengahkan tulisan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriah. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menjelaskan kedudukan perempuan dalam hukum

Page 23: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xxii

waris Islam dan prakteknya dalam keseharian hidup masyarakat Indonesia. Bagaimana perempuan distrukturkan dalam dalam pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam dibahas secara mendalam, termasuk dampaknya terhadap akses keadilan perempuan dan anak. Dalam hal ini dipersoalkan, apakah pengalaman perempuan terkait aksesnya kepada waris, diperhitungkan dalam teks hukum maupun penerapannya; baik yang diselesaikan di pengadilan, maupun di luar pengadilan.

Bab delapan dalam buku ini, yang ditulis oleh Lidwina Nurcahyo, mengulas tentang kedudukan perempuan dan anak dalam hukum waris adat dan bagaimana praktek pelaksanaaannya, khususnya di kalangan masyarakat hukum adat Batak, Sasak di Lombok, dan etnis Tionghoa. Pembahasan juga dikaitkan dengan terdapatnya fakta pluralisme hukum waris di Indonesia. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya sejarah pembagian penduduk Indonesia ke dalam tiga golongan, beserta hukum dan pengadilannya masing-masing pada masa kolonial. Pembagian tersebut berdampak pada adanya segregasi hukum waris yang dapat digolongkan ke dalam hukum waris agama (Islam), hukum perdata Barat dan hukum adat.

Kedua bab berikutnya yaitu bab sembilan adalah menyangkut masalah hukum yang dihadapi oleh anak. Lidwina Nurcahyo menulis tentang kejahatan seksual terhadap anak, yang dilekati oleh sejumlah mitos yang berkembang dalam masyarakat yang justru merugikan korban. Di antara nya adalah: kejahatan seksual hanya menimpa anak perempuan saja, selalu terjadi pada malam hari, korban bukanlah perempuan baik-baik, dan terjadi semata-mata karena hasrat seksual sehingga solusi terbaiknya adalah menikahkan pelaku dengan korban. Dalam kenyataannya kejahatan seksual bisa menimpa siapa saja, dapat terjadi kapan saja, dan terjadi bukan karena masalah hasrat seksual semata, tetapi terutama karena adanya relasi kuasa yang timpang berdasarkan gender, umur, status sosial, etnisitas, agama, dalam ranah budaya patriarkis. Sementara itu anak dan perempuan yang menjadi korban kejahatan sosial termasuk pemerkosaan, sukar mendapatkan akses keadilan hukum, terutama karena beban pembuktian yang begitu beratnya sebagaimana dirumuskan dalam KUHAP.

Bab sepuluh ditulis Marlina dan Widati Wulandari yang memaparkan tentang perlindungan hukum yang seharusnya diberikan oleh sistem peradilan pidana Indonesia kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Tulisan ini memberikan ulasan umum tentang prinsip-prinsip hukum terpenting yang berkaitan dengan anak yang berkonflik dengan hukum di tataran internasional-nasional serta bagaimana prinsip tersebut diimplementasikan dalam prakteknya.

Page 24: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xxiii

Selanjutnya tulisan ini menunjukkan perbedaan penyimpangan perilaku pada anak dibandingkan orang dewasa. Dari kajian tersebut dijelaskan faktor-faktor penyebab mengapa anak dan/atau remaja berperilaku menyimpang dan kemudian dikembangkan kebijakan khusus yang dirasakan paling tepat untuk menangani anak sebagai pelaku kejahatan.

Masih tentang anak, bab sebelas yang ditulis oleh tiga orang penulis yaitu Rosmalinda, Agusmidah dan Marlina membahas tentang isu besar yang potensial dihadapi oleh anak, yaitu perdagangan anak dan berbagai permasalahan hukumnya. Tulisan mendiskusikan tentang perlindungan dan jaminan atas keadilan bagi korban perdagangan anak. Dalam hal ini dibutuhkan para ahli dan penegak hukum yang tidak hanya memiliki pengetahuan tentang konsep dan hukum tentang perdagangan anak, namun juga kemampuan menerapkan peraturan perundangan yang berpihak pada korban. Maksud berpihak pada korban adalah memenuhi hak anak yang karakternya bersifat sangat khusus bila dibandingkan dengan orang dewasa. Dalam hal ini yang dimaksud penulis adalah memberi hak restitusi kepada anak-anak korban perdagangan manusia.

Dua bab terakhir dalam buku ini berisi tentang masalah hukum yang dihadapi perempuan baik sebagai buruh di sektor formal maupun buruh migran yang sering dikategorikan sebagai sektor informal. Agusmidah menulis dalam bab dua belas tentang berbagai peraturan yang menjadi landasan dari perlindungan terhadap perempuan pekerja di sektor formal, termasuk instrument hukum internasional yang diratifikasi seperti Konvensi CEDAW. Namun dalam prakteknya, berbagai perisai hukum itu sukar untuk dapat diimplementasikan. Perempuan di dunia kerja masih mengalami berbagai bentuk diskriminasi dari sejak mulai rekrutment, penggajian yang tidak adil, tidak dinikmatinya hak keselamatan dan kesehatan kerja terutama terkait dengan fungsi reproduksinya. Semua bentuk diskriminasi itu bersumber pada budaya patriarkhi yang sangat kuat berakar di dunia kerja.

Bab terakhir ditulis oleh Lina Hastuti adalah mengenai perempuan pekerja domestik migran dan persoalan hukum yang dihadapi. Perempuan Indonesia ditempatkan dalam pekerjaan domestik yang dipandang rendah dan kotor, dan tidak layak ditempatkan sejajar dengan pekerjaan sektor formal. Perendahan ini terkait dengan bagaimana pekerjaan domestik dikonsepsikan secara sosial dan budaya, baik oleh masyarakat di negara tujuan maupun masyarakat Indonesia sendiri. Struktur sosial dan budaya masyarakat di negara tujuan maupun negara asal, sangat bisa menjelaskan mengapa para pekerja domestik migran Indonesia tidak terlindungi secara hukum. Sementara itu, para perempuan dengan

Page 25: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

xxiv

pendidikan dan ketrampilan yang terbatas itu menyumbang secara signifikan kepada perekonomian negara dalam rupa katup pengaman, ketika negara tidak mampu memberi mereka pekerjaan, salah satu hak asasi yang penting.

Buku ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran atau pemetaan yang umum tentang masalah hukum yang dihadapi oleh perempuan dan anak. Buku ini mengajak para pembaca untuk memahami persoalan hukum yang sangat khas yang dihadapi oleh perempuan dan anak, sehingga membutuhkan penanganan yang juga bersifat khas dan komprehensif. Dalam artian ini adalah, pengalaman dan realitas perempuan dan anak haruslah diperhitungkan dalam proses perumusan hukum dan kebijakan; dan penerapannya di pengadilan maupun di luar pengadilan.

Semoga buku ini dapat berkontribusi terhadap semakin banyak generasi muda di fakultas hukum di seluruh Indonesia yang merasa terpanggil untuk melanjutkan dan mengembangkan berbagai kegiatan akademik berupa perkuliahan dan penciptaan produksi pengetahuan terkait isu perempuan dan anak. Demikian juga kepada para praktisi hukum, semoga semakin banyak yang terpanggil untuk menjadikan diri peka dan peduli terhadap perempuan dan anak yang berposisi sebagai pencari keadilan. Di tangan para sarjana hukum dan praktisi hukum muda terletak harapan akan terjadinya perubahan ke arah yang lebih adil bagi kelompok rentan yang selama ini terpinggirkan. Masa depan bangsa Indonesia ditentukan oleh kemampuan menyejajarkan diri dengan bangsa lain, di antaranya dalam melahirkan berbagai kebijakan sosial yang menjembatani jurang antar kelas, dan memampukan kelompok rentan.

Akhirnya, buku ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi reformasi sistem peradilan di Indonesia, khususnya yang melibatkan perempuan dan anak sebagai kelompok rentan dalam masyarakat Indonesia.

Page 26: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA:

PERJUANGAN KESETARAAN DAN

KEADILAN YANG HILANG DARI

SEJARAHSulistyowati Irianto

Titiek Kartika Hendrastiti

Page 27: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

2

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan gerakan perempuan Indonesia dalam upayanya memajukan hak-hak perempuan, khususnya melalui bidang hukum. Tujuannya adalah agar perempuan bisa ikut merumuskan hukum dan selanjutnya dapat mendesakkan implementasinya, agar perempuan dapat menikmati hak-hak dasarnya. Gerakan perempuan di mana pun di dunia ini, meskipun terjadi dalam konteks geografi, sosial, politik, kultural, yang berbeda-beda, menampakkan karakter yang kurang lebih sama, yaitu memperjuangkan hak untuk mendapat pendidikan dan menentukan nasib melalui politik dan hukum. Tulisan ini akan mendeskripsikan gerakan perempuan Indonesia dari perspektif sejarah. Namun sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu bagaimana gerakan perempuan di Indonesia juga menjadi bagian dari gerakan perempuan global, karena memiliki kesamaan tujuan perjuangan. Beberapa tinjauan literatur asing terhadap gerakan perempuan Indonesia juga akan dipaparkan, untuk dapat mengetahui analisis para penulis terhadap gerakan tersebut. Analisis ini akan menjelaskan karakter dari gerakan perempuan Indonesia dan hubungannya dengan konteks kultural dan kekuasaan politik pada zamannya masing-masing.

Gerakan perempuan Indonesia tidak pernah tercatat secara memadai dalam sejarah. Tampak bahwa sejarah Indonesia dipenuhi oleh narasi besar tentang sejarah kolonial dengan tokoh-tokoh heroik, tempat dan tahun peristiwa,

1.1 Pengantar

BAB 1

Gerakan Perempuan Indonesia: Perjuangan Kesetaraan dan Keadilan Yang Hilang Dari Sejarah

1 Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum UI, pengajar mata kuliah “Wanita dan Hukum” di FHUI, dan ketua Pusat Kajian Wanita dan Gender, UI. Anggota Dewan dalam International Commission on Legal Pluralism sejak 2004

2 Doktor Ilmu Politik, pengajar di FISIP Universitas Bengkulu, aktivis di Koalisi Perempuan Indonesia, anggota Dewan APWLD

Sulistyowati Irianto1 dan Titiek Kartika Hendrastiti2

Page 28: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

3

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tetapi melupakan narasi tentang sejarah keseharian orang biasa, termasuk para perempuan. Sejarah Indonesia juga melupakan kisah pengalaman, termasuk pengalaman perempuan, yang berisi pembelajaran bagi generasi muda untuk kepentingan bangsa di masa yang akan datang. Sejarah sebagai sebuah teks adalah narasi politik, tergantung siapa yang membuat dan untuk kepentingan apa. Oleh karena itu, salah satu kritik dari gerakan feminis adalah terhadap teks sejarah, yang didominasi oleh perspektif dan norma kebenaran laki-laki.

Gerakan perempuan Indonesia menyimpan sejarahnya sendiri, yang tidak termuat dalam buku-buku pelajaran di sekolah dan oleh karenanya tidak dikenal luas oleh bangsa masyarakat Indonesia secara luas. Sejarah gerakan perempuan Indonesia jauh lebih luas daripada sekadar penyebutan Kartini, Dewi Sartika, Tjut Nyak Dien, Marta Tiahahu, dan sebagainya, beserta perayaannya. Gerakan perempuan yang tidak tercatat itu adalah yang skalanya terentang sejak sebelum kemerdekaan maupun pascakemerdekaan dan selanjutnya masa Orde Baru dan masa Reformasi. Masih ada sejumlah aktivitas gerakan perempuan yang tidak terdokumentasi dengan baik, atau sedikit saja diketahui oleh komunitas akademik maupun masyarakat luas. Kalaupun dituliskan, biasanya isu-isu gerakan perempuan terbatas yang ditulis dalam karya-karya ilmiah, termasuk disertasi dan tesis, yang tidak diterbitkan, atau laporan dari berbagai NGO perempuan dan Komnas Perempuan. Berbagai karya ilmiah tentang gerakan perempuan itu meliputi isu yang luas dan melintasi berbagai bidang ilmu (cross disciplinary) seperti ilmu politik, sosial, hukum, filsafat, sejarah, lingkungan, pendidikan dan banyak lagi.

Hal yang penting untuk dicatat adalah gerakan perempuan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari gerakan perempuan global. Oleh karena itu, sangat penting melihat bagaimanakah konteks gerakan perempuan global dan melihat di manakah posisi gerakan perempuan Indonesia dalam konstelasi global tersebut.

Kongres Perempuan Indonesia pertama diadakan di Yogyakarta pada 22 Desember tahun 1928. Sejak itu tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Namun sayangnya terjadi kekeliruan dalam memaknai Hari Ibu, karena dianggap sama seperti ‘Mother’s Day’ di Barat, yaitu penghormatan jasa-jasa ibu

3 Bagian dari tulisan ini banyak diambil dari Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Dinamika Sejarah Kebangsaan Indonesia: Suatu Catatan dalam Bidang Hukum (tidak diterbitkan, 2009)

1.2 Perlunya Perpektif Perempuan dalam Sejarah 3

Page 29: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

4

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

atas peran domestik mereka. Hari Ibu di Indonesia kurang dimaknai sebagai peringatan penting terhadap kebangkitan kaum perempuan Indonesia untuk bersatu dan memperjuangkan nasib para perempuan serta bangsanya. Apa yang salah dari pemaknaan ini? Bagaimana kaitannya dengan kurangnya perspektif perempuan dalam penulisan sejarah bangsa?

Salah satu unsur yang menjadi perhatian bersama di kalangan para sarjana hukum feminis adalah kritik terhadap sejarah. Mengutip Sinha, menurut kaum feminis, sejarah tradisional ditulis dari sudut pandang laki-laki, yang tidak menyertakan pandangan perempuan. Para ahli sejarah ini tidak mengadakan penelitian tentang peranan perempuan dalam penciptaan sejarah, membangun masyarakat dan bagaimana mereka hidup menurut caranya sendiri (his-story versus her-story). Pengikutsertaan perempuan dalam penulisan sejarah dimulai pada tahun 1970-an.

Penulisan sejarah baru berusaha keras untuk menunjukkan, pertama kesalahan sejarah yang tidak menyertakan pertimbangan tentang perempuan. Mereka mempersoalkan periodisasi tradisional dalam sejarah tanpa memper-hitungkan apa yang terjadi dengan perempuan.4 Sebagai contoh, periode Renaissance secara klasikal dianggap sebagai periode kelahiran kembali peradaban Barat, padahal pada masa itu masih ada perempuan yang dibakar hidup-hidup karena dianggap sebagai tukang sihir. Atau ada perempuan yang didomestifikasi sebagai istri kaum borjuis dan tidak diikutsertakan dalam perumusan revolusi “Liberty-Equality-Fraternity”.

Kedua, mereka menunjukkan bahwa sejarah yang ditulis oleh laki-laki menciptakan bias laki-laki dalam konsep-konsep mengenai sifat manusia, potensi gender dan pengaturan sosial. Oleh karenanya, semua itu dianggap melanggengkan patriarki 5

Revolusi Prancis (1789-1793) menegaskan hak-hak warga negara ter-hadap kekuasaan raja. Meskipun banyak perempuan memegang peranan dalam revolusi tersebut, tetapi kepentingan mereka diabaikan. Oleh karenanya, mereka menuntut kesetaraan dalam bidang politik, pendidikan, perbaikan hukum dalam perkawinan. Revolusi tahun 1789 tidak banyak memberi keuntungan bagi perempuan, karena banyak perkumpulan perempuan dilarang dan hukum perdata yang disahkan oleh Napoleon menunjukkan rendahnya kedudukan perempuan. Suami memiliki kekuasaan penuh terhadap istri, harta istri dan

4 Surya Prakash Sinha Jurisprudence Legal Philosopy ( USA West Publishing Company, 1993) hal. 321-325.5 Surya Prakash Sinha Jurisprudence Legal Philosopy ( USA West Publishing Company, 1993) hal. 322.

Page 30: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

5

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

anak-anaknya. Istri dilarang mengadakan transaksi secara hukum tanpa izin suami dan akan dihukum penjara selama dua tahun bila berzinah dan tertangkap basah, (sementara suami yang berzinah bebas dari hukuman). Suami juga boleh membunuhnya tanpa mendapat hukuman. Perempuan juga dilarang menghadiri rapat politik, bercelana panjang atau bila berjalan tanpa pendamping bisa ditangkap polisi karena dianggap pelacur.6

Dengan tidak menyertakan perempuan dalam penulisan sejarah, tidak akan didapat gambaran yang utuh mengenai sejarah masyarakat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap eksistensi perempuan hanya akan memberikan separuh dari sejarah masyarakat. Lihatlah sebuah contoh dari upaya pemberantasan kemiskinan di Bangladesh yang dimulai dengan memberikan kredit kecil kepada perempuan melalui Grameen Bank dan membuahkan hadiah Nobel Perdamaian bagi pelopornya, yaitu Muhammad Yunus. Hal ini membuktikan arti penting keberadaan perempuan dalam masyarakat, sehingga upaya pemberdayaan dan pembangunan dalam masyarakat tidak bisa dilakukan tanpa memperhatikan keberadaan dan kebutuhan perempuan.

Apa yang kita jalani hari ini adalah sejarah yang sedang ditulis, sejarah yang sedang terjadi.7 Oleh karena itu, apa yang terjadi hari ini bukanlah persoalan kekinian saja, tetapi merupakan kelanjutan dari apa yang pernah berlangsung dalam sejarah. Sebuah bukti dari kelanjutan pengabaian perempuan dalam sejarah dicerminkan melalui pengabaian perempuan dalam banyak pengambilan kebijakan di negeri ini. Ketidakadilan terhadap perempuan juga tercermin dalam kebijakan anggaran, sebagaimana yang dapat ditemukan di beberapa daerah. Alokasi anggaran untuk kepentingan perempuan (miskin) seperti layanan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan, tidak sebanding dengan kepentingan pejabat eksekutif dan legislatif di beberapa daerah.8

Mari kita lihat sebuah contoh berbeda, tentang upaya pemberantasan kemiskinan di Bangladesh. Usaha itu dimulai dengan memberikan kredit kecil kepada para perempuan melalui Grameen Bank, yang kemudian membuahkan hadiah Nobel Perdamaian untuk pelopornya, Muhammad Yunus. Usaha itu membuktikan arti penting keberadaan perempuan dalam masyarakat. Artinya, pemberdayaan dan pembangunan dalam masyarakat tidak bisa dilakukan tanpa memperhatikan keberadaan dan kebutuhan perempuan.

6 Sukanti Suryochondro, Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia, dalam Ihromi, TO (editor), Kajian Wanita dalam Pembangunan (Yayasan Obor Indonesia, 1995) hal. 31-32.

7 Henrieta L Moore, Feminism and Anthropology (USA University of Minnesota Press, 1994) hal 362-3758 Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan (Yayasan Obor

Indonesia Jakarta, 2006) hal. 34 -35.

Page 31: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

6

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

Henrietta Moore mengatakan apa yang kita jalani hari ini adalah sejarah yang sedang ditulis, sejarah yang sedang terjadi.9 Oleh karena itu, yang terjadi hari ini bukan hanya persolan kekinian, tetapi merupakan kelanjutan dari sejarah. Sebuah bukti pengabaian perempuan dalam sejarah, tercermin dalam pengabaian perempuan pada banyak pengambilan kebijakan masa selanjutnya di negeri ini. Mengutip buku penulis sebelumnya, disebutkan ketidakadilan terhadap perempuan juga tercermin dalam kebijakan anggaran, seperti ditemukan di beberapa daerah. Alokasi anggaran untuk kepentingan perempuan (miskin) seperti layanan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan, tidak sebanding dengan anggaran untuk membayar kepentingan pejabat eksekutif dan legislatif di beberapa daerah.10

Gerakan perempuan, atau biasanya saling dipertukarkan penyebutannya dengan gerakan feminis, sering dianggap sebagai bagian dari gerakan sosial baru atau NSMs (New Social Movements). Pada abad ke-20, gerakan feminis menjadi sumber identitas politik baru, serta diakui sebagai sebuah kekuatan penting dalam perubahan politik dunia. Seperti gerakan sosial lain, gerakan perempuan adakalanya harus berhadapan dengan kekuasaan negara (state), sehingga gerakan perempuan dapat dikatakan sebagai tindakan kolektif yang menjadi kekuatan politik melawan status quo. Gerakan perempuan merupakan suatu kelompok atau organisasi di luar arus utama sistem politik. Gerakan ini biasanya melakukan intervensi yang mengarah pada tujuan terjadinya perubahan kebijakan negara (Meyer, Scott and Marshall).11

Desai (2002) mengatakan hal yang hampir sama, pada umumnya pendekatan yang digunakan gerakan perempuan ada dua, yaitu yang bersifat kooperatif, atau konfrontatif terhadap negara.12 Gerakan perempuan menyadari konfrontasi dengan negara tidak bisa dihindari. Namun, biasanya gerakan perempuan bisa menggunakan peluang justru ketika ada ambiguitas negara akibat adanya konflik kepentingan. Negara sering bersikap ambigu dalam

9 Henrietta L Moore, Feminism and Anthropology ( USA University of Minnesota Press, 1994) hal. 362-375. 10 Sulistyowati Irianto Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan (Yayasan Obor

Indonesia Jakarta, 2006) hal. 34-35.11 David S Meyer, Opportunities and Identities Bridging-Building in The Study of Social Movements, dalam David S. Meyer,

Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State, Oxford (New York, Oxford University Press. 2002) hal.12 dan John Scott and Gordon Marshall Dictionary of Sociology (Oxford University Press, Oxford 2009) hal. 704-706.

1.3 Gerakan Perempuan Global: Karakter dan Konteks

Page 32: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

7

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

menghadapi kelompok perempuan di satu sisi, dan kelompok dominan yang tidak menginginkan perubahan bagi perempuan, di sisi lain. Ketika situasi negara vacuum, karena tidak kunjung menentukan sikap, maka ruang-ruang negara diperebutkan. Dalam situasi seperti itu, kelompok perempuan ikut dalam kontestasi melawan kelompok dominan. Kelompok dominan mendefinisikan kekuasaannya termasuk melalui pembuatan produk-produk hukum yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Kondisi itu meningkatkan kesadaran atas opresi perempuan.

Ciri gerakan perempuan biasanya bersifat heterogen, sehingga ada kemungkinan muncul konflik internal dan faksi di dalamnya. Semakin plural kepentingan anggota kelompok, risiko perpecahan internal makin tinggi. Berdasarkan teori lama, struktur organisasi terbangun atas terciptanya kesamaan, yang dibuat melalui konstruksi identitas. Namun pandangan baru memperlihatkan diskursus lain. Menurut Reger, mereka menyadari dan memahami akar perbedaan di antara para anggota dan menemukan kepentingan bersama atau ‘niché’ sebagai identitas kelompok. Dengan demikian, sifat heterogen anggota tidak dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan.13

Reger menyebut perjalanan sejarah perdebatan konsep feminisme dan faksi dalam organisasi gerakan perempuan kontemporer, malah memberi ruang diskusi mengenai hubungan antara kultur dan struktur. Justru dengan terjadinya faksi internal di dalamnya, gerakan perempuan akan melahirkan konstruksi identitas feminis baru. Secara hipotetis, identitas inilah yang kemudian bisa menurunkan konflik organisasi.

Penguatan organisasi dapat tercipta melalui hubungan antara konstruksi organisasi dan terbentuknya identitas kolektif di kalangan para aktivis, yang disebut mobilizing structures. Ketika individu bertemu dan berinteraksi dalam gerakan, maka terbentuk identitas kolektif, dan itu menjadi basis aksi kolektifnya. Kuncinya adalah kesamaam “niché” (kepentingan bersama). Dengan demikian, profil organisasi menjadi penting karena merepresentasikan gerakan.14

Gerakan perempuan yang bersejarah dapat diidentifikasi di beberapa negara.15 Gerakan perempuan itu misalnya, gerakan perempuan di Prancis tahun

12 Manisha Desai, Multiple Mediations: The State and The Women’s Movements in India, dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State (Oxford – New York, Oxford University Press, 2002)hal. 66–84.

13 Jo Reger, More Than One Feminism: Organizational Structure and the Construction of Collective Identity” dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State (Oxford University Press, Oxford New York, 2002) hal. 171–184.

14 Ibid. hal. 172.

Page 33: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

8

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

1870, ketika negara itu menjadi republik dan melepaskan diri dari kekuasaan raja dan gereja. Sementara di Inggris, gerakan perempuan ditandai oleh perjuangan memperoleh hak pilih, yang menghadapi tentangan keras. Tokoh-tokoh gerakan perempuan di Inggris mengatakan bahwa keadilan dapat dicapai melalui persamaan dalam bidang pendidikan dan persamaan di muka hukum.16

Gerakan perempuan di Amerika sudah dapat ditelusuri sejak Revolusi Amerika (1861-1863), dan ternyata perempuan berperan dalam gerakan me-nentang perbudakan tahun 1830. Namun, perempuan dilarang menjadi peserta dalam Konvensi Antiperbudakan Sedunia di London tahun 1840. Selanjutnya ada pertemuan yang membahas Konvensi Hak-hak Wanita di kota Seneca Falls, yang merupakan puncak perjuangan dengan tiga tuntutan persamaan. Tiga tuntutan tersebut, yaitu hak memiliki pendapatan dari hasil pekerjaan sendiri, hak atas anak-anak setelah perceraian dan hak pilih dalam pemilihan umum. Hak yang terakhir, hak pilih, setelah 70 tahun diperjuangkan baru didapat perempuan pada 1920 untuk seluruh Amerika Serikat.

Gerakan perempuan juga terjadi di negara-negara Asia seperti Jepang, India dan Filipina. Di Jepang, gerakan perempuan abad ke-19, ditandai dengan perjuangan untuk mencapai persamaan di dalam keluarga dan masyarakat, kesempatan pendidikan, penghapusan sistem selir dan pencabutan izin pelacuran. Di India gerakan perempuan berperan dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan tahun 1947, yang dipelopori Mahatma Gandhi.

Pendidikan Inggris dan gagasan revolusi Prancis mempengaruhi gerakan perempuan di India. Saat itu, terjadi gerakan menentang adat-istiadat yang tidak adil, terutama pembakaran istri karena mas kawin yang tidak lunas. Sementara itu gerakan perempuan Filipina mengalami pasang surut sejak penjajahan Spanyol dan Amerika Serikat. Kemajuan yang dicapai ditandai oleh keberhasilan mendapatkan hak pilih pada tahun 1937.

Gerakan perempuan yang terjadi di Jepang, India, dan Filipina juga ditandai oleh lahirnya organisasi-organisasi perempuan (yang pada masa-masa tertentu dilarang pemerintah). Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya gerakan perempuan tersebut antara lain adalah peristiwa politik (termasuk gerakan kemerdekaan), industrialisasi, semakin banyaknya perempuan yang berpendidik an dan adanya pengaruh Barat melalui pendidikan.17

15 Op.cit., Sulistyowati Irianto (2009). 16 Sukanti Suryochondro, Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia, dalam Ihromi, TO (editor), Kajian

Wanita dalam Pembangunan (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995), hal. 32.

Page 34: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

9

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Gerakan perempuan global yang paling mengesankan adalah perjuangan mereka untuk merumuskan berbagai macam instrumen hukum internasional melalui forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Perempuan yang bersuara paling lantang adalah delegasi dari negara-negara berkembang, yang nasib para perempuannya sangat menyedihkan. Mereka mendesakkan agenda yang berisi kepentingan perempuan dan berjuang agar dapat ikut merumuskan perisai hukum bagi perempuan. Bidang-bidang yang mereka perjuangkan bagi perempuan sangat beragam, tetapi bidang ketenagakerjaan, termasuk perlindungan bagi buruh migran dan buruh anak menjadi fokus serta mendapat perhatian besar.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 memang sudah memuat kewajiban moral bagi setiap warga dunia untuk menghormati perbedaan dan melarang diskriminasi atas dasar apa pun termasuk jenis kelamin. Namun pada masa itu belum disadari betul akan adanya masalah diskriminasi yang khusus yang dihadapi perempuan. Hal itu menyebabkan para perempuan dari banyak negara memperjuangkan nasibnya dan berhasil melahirkan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, tahun 1967.

Setelah berjuang puluhan tahun, akhirnya deklarasi tersebut berhasil ditingkatkan menjadi Konvensi, yaitu CEDAW Convention (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) pada tahun 1979. Di antara sekian banyak instrumen hukum internasional yang berhasil dilahirkan, Konvensi CEDAW adalah yang paling kuat dan monumental. Konvensi CEDAW memuat larangan diskriminasi terhadap perempuan di berbagai bidang secara komprehensif dan mewajibkan negara peserta menandatangani konvensi tersebut. Kewajiban tersebut untuk menjamin kepastian hukum di negara masing-masing agar sejalan dengan prinsip-prinsip CEDAW yaitu: (a) prinsip persamaan menuju persamaan substantif; (b) prinsip non-diskriminasi; dan (c) prinsip kewajiban negara. Konvensi inilah yang paling banyak diratifikasi, yaitu oleh 185 negara, termasuk Indonesia.

Kesadaran terhadap masalah yang lebih spesifik lagi, yaitu adanya kekerasan terhadap perempuan, baru mengemuka secara internasional beberapa tahun kemudian. Kesadaran itu misalnya terjadi terhadap praktek-praktek kultural dalam ranah domestik dan privat. Contohnya, kasus bride burning (pembakaran istri terkait mas kawin yang tidak lunas) di India atau kasus genital mulitation (pengrusakan organ reproduksi perempuan) di banyak negara di Afrika. Di

17 Ibid, hal. 39.

Page 35: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

10

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

samping itu, kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di ranah publik dan negara. Oleh karena itu, perempuan yang tergabung dalam delegasi negara-negara peserta berupaya dan berhasil melahirkan satu lagi instrumen hukum internasional, yaitu Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993.

Selanjutnya masih ada instrumen hukum yang dibuat terkait respon internasional terhadap masalah-masalah serius yang dihadapi perempuan. Instrumen hukum itu antara lain lahirnya Protokol PBB untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Tindak Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak (UN Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children). Instrumen di atas, sebagai tambahan terhadap Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional Terorganisir (UN Convention Against Transnational Organized Crime) tahun 2000. Masih banyak lagi instrumen hukum internasional yang dapat disebutkan dan dibuat tidak hanya di PBB, tetapi di kawasan, seperti ASEAN.

Bagian ini akan menggambarkan dan menjelaskan sejarah gerakan perempuan Indonesia di bidang hukum (yang berkaitan erat dengan politik). Selain itu, juga dibahas kendala-kendala dan strategi perempuan dalam menghadapinya. Sangat penting berbicara mengenai sejarah kebangsaan dari pengalaman dan perspektif perempuan, karena perempuan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah pergerakan nasional. Perempuan juga terlibat aktif dalam sejarah Indonesia, sejak dulu sampai sekarang.

Perjuangan perempuan pada masa awal, terutama yang diwujudkan melalui pendirian beragam organisasi perempuan, umumnya memiliki persamaan, yaitu bersendikan pada tujuan kebangsaan (dan kemerdekaan). Keikut sertaan perempuan dalam sejarah kebangsaan Indonesia pada masa itu dapat dibagi dalam beberapa tahap.

a. Masa perjuangan melawan penjajahan abad ke-19 dan ke- 20 (sebelum kemerdekaan atau masa kolonial)

b. Masa pendudukan Jepangc. Masa kemerdekaan dan sesudahnya

Setelah itu Gerakan Perempuan Indonesia dapat dilihat pada:a. Masa Orde Baru

1.4 Gerakan Perempuan Indonesia: Sejarah yang Hilang

Page 36: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

11

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

b. Masa transisi (Reformasi) dan pasca-Reformasi

Melalui relfeksi secara kesejarahan, akan dapat dijelaskan bahwa masalah kebangsaan, yang selalu aktual, adalah juga merupakan bagian dari masalah perempuan.

1.4.1 Masa Sebelum KemerdekaanGerakan perempuan muncul terutama karena kesadaran untuk

mendapat keadilan. Faktor-faktor yang mempengaruhi di antaranya adalah peristiwa politik, bertambah banyaknya perempuan yang berpendidikan, masalah yang berkaitan dengan industrialisasi, adanya gerakan perbaikan moral dalam masyarakat, gerakan kemerdekaan dan pengaruh dari dunia luar atau Barat.18

Sukanti Suryochondro menggambarkan keterlibatan perempuan dalam sejarah Indonesia, sudah ditemukan sejak abad ke-19. Bentuknya peperangan melawan penjajah di banyak daerah. Peperangan perempuan terintegrasi dalam peperangan yang menyeluruh melawan kolonialisme. Pada masa itu lahir nama-nama besar seperti Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Nyai Ageng Serang.

Perjuangan Kartini berupa semangat untuk maju melalui pendidikan mengilhami perjuangan perempuan pada abad ke-20, yang menjadi dasar nasionalisme pada masa itu. Organisasi perempuan banyak bermunculan di berbagai tempat sekitar 1900-an. Organisasi itu memperjuangkan nilai-nilai baru dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, serta mempertahankan budaya asli melawan aspek-aspek kebudayaan Barat yang dianggap tidak sesuai. Langkah perjuangan itu menunjukkan sifat nasionalisme pada organisasi-organisasi tersebut.

Pada Periode Perintis ini secara umum dapat dikatakan Gerakan Perempuan Indonesia memiliki ciri utama menekankan pada pendidikan atau lebih khususnya pendidikan model Barat, sebagai bekal untuk memajukan kaum dan bangsanya. Gerakan pendidikan kebanyakan diprakarsai kalangan elite bangsawan, karena mereka lebih dahulu diberi kesempatan oleh pemerintah untuk bisa memasuki sekolah-sekolah khusus untuk warga Eropa.

18 Ibid., hal. 125

Page 37: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

12

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

Pada masa itu, sekitar tahun 1915, menurut Sukanti Suryochondo terdapat organisasi bernama Poetri Mahardika yang berani menyampaikan mosi kepada Gubernur Jenderal, agar laki-laki dan perempuan diperlakukan sama di muka hukum.19 Langkah tersebut penting untuk dicatat dalam sejarah kebangsaan Indonesia, karena perempuan sudah memainkan peranannya dalam bidang hukum dan politik, jauh sebelum kemerdekaan.

Sumpah Pemuda 28 Oktober tahun 1928, berkaitan erat dengan Kongres Perempuan pertama tanggal 22 Desember tahun 1928. Kongres tersebut dijiwai oleh semangat persatuan nasional, dan melahirkan federasi organisasi perempuan, Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Organisasi PPPI kemudian berubah nama menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Pada Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928, juga terbentuk federasi yang terdiri atas berbagai organisasi perempuan. Mulai tahun 1929, oganisasi yang berganti nama menjadi PPII (Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia) itu, mem-perjuangkan hak-hak perempuan dalam empat bidang tersebut di bawah.

a. Bidang keluarga dan pendidikan, antara lain meliputi kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan (Islam), perlindungan perempuan dan anak-anak dalam perkawinan, mencegah perkawinan anak-anak, dan pendidikan bagi anak-anak (pembentukan badan yang memberi beasiswa bagi anak perempuan).

b. Bidang perburuhan, pada tahun 1935 terbentuk Badan Penyelidikan Perburuhan Kaum Perempuan yang dilatar-belakangi oleh nasib buruk perempuan di sektor perburuhan, khususnya pada industri batik.

c. Pemberantasan perdagangan anak perempuan (untuk menebus utang orang tua kepada pedagang Tionghoa, yang dikenal sebagai ‘Cina mindering’).

d. Bidang politik tahun 1941, dengan menyatakan berasaskan kebangsaan dan menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan Indonesia, serta membantu Gabungan Aksi Kemederkaan Indonesia (GAKI) yang bertujuan ‘Indonesia Berparlemen.’

19 Ibid.

Page 38: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

13

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Hal paling penting untuk dicatat dalam sejarah pada fase ini adalah, PPII mengirimkan mosi kepada pemerintah Hindia Belanda agar perempuan diberi hak pilih (tidak hanya dipilih) untuk menjadi anggota Dewan kota. Tuntutan juga disampaikan kepada Dewan Rakyat, Fraksi Nasional dan Gubernur Jenderal.

Peran perempuan dalam bidang politik terus meluas. Pada kongres tahun 1935, PPII menyatakan kewajiban utama kaum perempuan Indonesia adalah  ‘menjadi ibu bangsa,’ yang bercorak politik dan kebangsaan. Pernyataan PPII tersebut menunjukkan tugas perempuan tidak hanya di dalam rumah, tetapi juga menjaga kelestarian masyarakat bangsanya, kesejahteraannya, kebudayaannya, kehidupan spiritualnya dan rasa kemanusiaannya.20

Tujuan PPII untuk meningkatkan kedudukan perempuan mem punyai dasar yang luas, yaitu persatuan antara organisasi-organisasi perempuan, kebangsaan dalam arti cinta pada Tanah air dan bangsa, dan kenetralan terhadap semua agama sehingga mencakup organisasi perempuan dari berbagai agama. Dalam sejarahnya persatuan dianggap sangat penting dalam usaha memperbaiki nasib perempuan, dan perjuangan melawan penjajahan. 21

1.4.2 Masa Pendudukan JepangSalah satu tindakan pemerintah Jepang yang pertama dilakukan

adalah melarang semua organisasi yang ada dan membubarkannya. Bersamaan dengan itu, dengan bantuan orang-orang bekas pegawai dinas rahasia Belanda yang bernama P.l.D., mereka menangkap anggota elemen-elemen antifasis di kalangan bangsa indonesia. Tidak terkecuali, organisasi-organisasi perempuan juga dibubarkan. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru, dengan dalih untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia Timur Raya. Dengan propaganda itu, secara otomatis organisasi-organisasi yang tidak mau masuk perangkap kerja sama dengan penguasa fasis, terpaksa bergerak di bawah tanah.22

20 Ibid.21 Ibid.

Page 39: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

14

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

Beberapa pemimpin gerakan perempuan ikut dalam Fujinkai, satu-satunya organisasi yang diperbolehkan pemerintah Jepang pada masa itu. Pertimbangnya, pengalaman yang diperoleh dalam perkumpulan tersebut akan bermanfaat untuk persiapan kemerdekaan bangsa. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada urusan-urusan perempuan dan peningkatan keterampilan domestik selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para perempuan yang mempunnyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut masuk Fujinkai. Kenyataan ini mendorong munculnya dua jenis orientasi di kalangan aktivis perempuan yaitu mereka yang berkoöperasi dengan pemerintah Balatentara Dai Nippon dan yang non-koöperatif serta memilih bergerak diam-diam di bawah tanah. Tentara pendudukan Jepang juga membentuk pasukan tempur perempuan yang disebut ”Barisan Srikandi” yang anggotanya terdiri atas anak-anak gadis berumur antara 15-20 tahun dan belum menikah. Mereka dilatih kemiliteran untuk dapat maju ke medan perang membela Jepang, sewaktu-waktu dibutuhkan. Sepanjang ingatan saya, masih ada latihan-latihan militer bagi para gadis Indonesia bernama ”Sementai.” Untuk pemudanya bernama ”Seizendang”. Gerak badan atau ”Taigo” sangat digalakkan. Latihan kemiliteran di ”Seisendo” juga diajarkan untuk menggunakan senjata. Latihan -latihan kemiliteran yang diberikan Jepang ternyata di kemudian hari ada manfaatnya dalam perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaan Tanah air. Pada pokoknya, seluruh kehidupan masyarakat Indonesia dimiliterisir untuk kepentingan ekonomi perang Jepang dan untuk memperkuat angkatan perangnya dengan melatih tenaga-tenaga cadangan untuk digunakan sewaktu-waktu. Pada periode ini, sifat gerakan perempuan mengalami kemunduran, karena organisasi perempuan hanya boleh berdiri bila ada komando dari penguasa.23

Gerakan perempuan ‘menyusup’ melalui PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), yang berskala nasional berada di bawah pimpinan Bung Karno, Bung Hatta, KH Mas Mansur dan Ki Hajar Dewantara. PUTERA yang didirikan pada tahun 1943, baik yang di kantor pusat Jakarta maupun

22 Rusiyati,Op.Cit.,23 Ibid.

Page 40: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

15

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

cabang-cabangnya di kota-kota besar, memiliki bagian perempuan. Bagian ini bertugas memperhatikan kepentingan perempuan dan tugas-tugasnya menyediakan makanan sehat dalam masa perang. PUTERA juga mempunyai barisan sukarela sehingga banyak dari pendukungnya yang memiliki semangat nasionalisme.24

1.4.3 Masa Kemerdekaan dan SesudahnyaMasa kemerdekaan tidak lama dinikmati, akibat kedatangan

tentara Sekutu, yang ‘diboncengi’ oleh Belanda yang ingin berkuasa kembali. Dalam suasana inilah para perempuan bergerak. Di Jakarta dibentuk WANI (Wanita Republik Indonesia), yang menyediakan dapur umum dan menangani korban-korban kebakaran di kampung-kampung yang dibakar NICA. Mereka juga menjahit pakaian seragam untuk para gerilyawan dan menyediakan bendera Merah putih. Para perempuan ini mendirikan Tugu Kemerdekaan di halaman Pegangsaan Timur, No. 56. Mereka merayakan ulang tahun proklamasi, meskipun dihalangi tentara Sekutu.

Di kota-kota lain, dibentuk laskar-laskar perempuan atas prakarasa perempuan yang memperoleh latihan dari lembaga-lembaga militer Jepang. Keterampilan yang mereka dapat adalah menembak, menyusup wilayah musuh dan pekerjaan palang merah. Pasukan laskar perempuan ini tersebar dari Sumatra, Jawa dan Sulawesi.25 Kondisi ini menunjukkan perempuan pada masa itu mampu bahu-membahu dengan kaum laki-laki untuk berada di garis peperangan.

Masa-masa sebelum Republik Indonesia diakui kedaulatannya pada tahun 1949, kondisinya sangat berat akibat masalah ekonomi dan peperangan. Pada masa ini, kegiatan perempuan di bidang laskar, sosial dan politik luar biasa. Mereka menetapkan berbagai keputusan melalui beberapa kongres, di antaranya yang paling menonjol adalah yang ditetapkan pada tahun 1948, yaitu: (1) menegakkan Negara Republik Indonesia; (2) membawa perempuan Indonesia ke arah terlaksananya UUD 1945 Pasal 27 (persamaan hak warga negara); (3) menjelmakan

24 Suryochondo,Op.Cit.,25 Laskar yang terkenal adalah Barisan Putri di Jakarta, Laskar Wanita Indonesia (LASWI) di Bandung, Laskar Putri Indonesia

di Surakarta, Wanita Pembantu Perjuangan di Yogyakarta, Laskar Muslimat di Bukit Tinggi, Sabil Muslimat di Padang Panjang, Laskar sejenis juga terbentuk di Magelang, Madiun, Padang, Solok, Sawahlunto, dan ada pelajar wanita yang menggabungkan diri pada Tentara Pelajar dan Corps Mahasiswa (Suryochondro, 1995)

Page 41: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

16

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

dan melaksanakan keadilan sosial dan perdamaian dunia. Pernyataan tersebut menunjukkan adanya semangat nasionalisme yang tinggi, juga keyakinan pentingnya pergerakan perempuan dan persatuan.26

Rusiyati menggambarkan situasi gerakan perempuan di awal kemerdekaan. Menurutnya, Revolusi Agustus 1945 mendobrak ikatan-ikatan adat dan tradisi, yang sebelumnya menghambat gerak maju perempuan. Penderitaan dan penghinaan selama penjajahan dirasakan sudah cukup berat. Pada masa revolusi, urusan yang tidak penting tidak dihiraukan lagi. Seluruh rakyat merasa terpanggil untuk ikut berjuang membela dan mempertahankan kemerdekaan. Organisasi-organisasi perempuan kala itu juga mengutamakan perjuangan. Di garis belakang, mereka mendirikan dapur umum dan pos-pos Palang Merah. Di garis depan, perempuan berjuang melalui badan perjuangan maupun organisasi. Munculah laskar-laskar perempuan yang memiliki tugas luas, meliputi garis depan, medan pertempuran, melakukan kegiatan intel, menjadi kurir, menyediakan dan mengirimkan makanan ke garis depan, membawa kaum pengungsi, memberi penerangan dan banyak lagi.27

Perempuan pada masa setelah kemerdekaan disibukkan oleh revolusi fisik dan bidang sosial politik. Gerakan perempuan berkonsolidasi untuk menggalang persatuan yang kuat. Kongres pertama diadakan di Klaten pada bulan Desember tahun 1945. Tujuannya, menggalang dan membentuk badan persatuan. Saat itu lahir Persatuan Wanita Indonesia (Perwani) dan Wanita Negara Indonesia (Wani), yang kemudian dilebur menjadi badan fusi bernama Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari).

Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) diselenggarakan di Solo pada Februari tahun 1946. Beberapa bulan kemudian, yaitu Juni tahun 1946 diselenggarakan Kongres Wanita Indonesia ke-5 di Madiun. Sesuai kebijakan pemerintah untuk menanggulangi blokade ekonomi dan politik Barat, maka kongres memutuskan antara lain untuk mulai mengadakan hubungan dengan luar negeri. Itulah sebabnya, KOWANI menjadi anggota WIDF (Women’s International Democratic Federation). Organisasi itu memiliki jiwa dan tekad untuk ikut serta dalam pembangunan jaringan kerja sama Internasional, yang mendukung gerakan perempuan. Mereka

26 Ibid.27 Rusiyati,Op.Cit.,

Page 42: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

17

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

menyusun program kerja yang tidak hanya meliputi bidang pembelaan negara, tetapi juga bidang-bidang sosial, politik dan pendidikan, sesuai dengan tuntutan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada waktu itu.

Rusiyati mengidentifikasi arah perkembangan gerakan perempuan sampai tahun 1950, yang menurutnya mencakup beberapa hal.28

a. Gerakan perempuan merupakan kelanjutan perjuangan pada masa sebelumnya. Wawasan dan lingkup perhatian organisasi perempuan meluas tidak hanya pada masalah dan persoalan yang dihadapi perempuan saja, tetapi juga meliputi bidang-bidang lain seperti politik dan pemerintahan.

b. Munculnya keragaman organisasi perempuan. Selain organisasi yang ber afiliasi kepada partai politik atau yang berasaskan agama, muncul pula organisasi sosial seperti istri Angkatan Bersenjata dan organisasi profesi. Selain itu, asas demokrasi yang dipercaya sebagai dasar negara yang baru merdeka juga telah mendorong kaum perempuan membentuk partai politik, agar kepentinngan mereka terwakili.

c. Ruang gerak organisasi makin luas, tidak hanya lokal dan nasional tetapi juga internasional, ditandai dengan bergabungnya Kowani ke WIDF.

d. Sebagai akibat orientasi gerakan, kegiatan organisasi perempuan juga beragam, namun dapat dikagetorikan dalam dua kelompok besar. Pertama, organisasi yang kegiatannya dalam ranah kesejahteraan, seperti mengurusi masalah pendidikan, sosial ekonomi, ‘kewanitaan’ dan kegiatan karitatif. Anggota kategori pertama ini jauh lebih besar ketimbang organisasi jenis kedua, yang meliputi organisasi yang tergabung dalam Kowani, organisasi berasaskan agama dan organisasi profesi. Jumlah organisasi politik hanya tiga. Ciri domestik dan karitatif sejak awal telah melekat pada organisasi perempuan dan tetap bertahan sebagai ciri utama. Ciri tersebut membedakan organisasi perempuan dari organisasi massa umum yang didominasi laki-laki. Hal lain yang sangat penting, pada tahun 1955 perempuan Indonesia pertama kali ikut pemilihan umum. Dalam sejarah Indonesia,

28 Ibid.

Page 43: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

18

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

pemilu tahun itu tersebut dicatat sebagai yang paling demokratis dan berkualitas, sehingga sering dijadikan acuan perbandingan bagi pemilu pada masa-masa sekarang. Perempuan yang berhasil menjadi anggota DPR berjumlah 17 orang atau 7 % dari seluruh anggota yang berjumlah 255 orang.29

Di bidang politik terdapat catatan penting lain, yaitu pada tahun 1958, Indonesia meratifikasi Konventi PBB tentang hak politik perempuan melalui UU No. 68 Tahun 1958. Dalam Konvensi itu dinyatakan bahwa:

(Pasal 1) Perempuan mempunyai hak untuk memberikan suaranya dalam semua daerah pemilihan dengan syarat-syarat sama dengan laki-laki tanpa diskriminasi

(Pasal 2) Perempuan akan dapat dipilih untuk pemilihan dalam semua badan-badan pemilihan umum, yang didirikan pada tingkat nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan pria tanpa suatu diskriminasi,

(Pasal 3) Dan perempuan akan mempunyai hak untuk menjabat jabatan umum dan menjalankan semua tugas umum yang ditetapkan oleh hukum nasional dengan syarat-syarat sama dengan pria tanpa suatu diskriminasi

Gerakan perempuan terus berkembang pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu organisasi perempuan diikutsertakan dalam berbagai kegiatan untuk kepentingan negara, seperti pembebasan Irian Barat. Pada masa ini juga terbentuk Korps Wanita Angkatan Darat (KOWAD) tahun 1961, Korps Wanita Angkatan Laut (KOWAL) tahun 1963 dan Korps Wanita Angkatan Udara (WARA) tahun 1963. Sementara itu POLWAN sudah terbentuk sejak tahun 1948.30

1.4.4 Gerakan Perempuan Masa Orde Baru Pada awal masa Orde Baru, gerakan perempuan ‘dipolitisasi’

melalui dinyatakannya GERWANI sebagai organisasi terlarang. Gerwani dianggap terlibat dalam gerakan komunis.31 Sesudah itu

29 Suryochondo,Op.Cit.,30 Ibid.

Page 44: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

19

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

gerakan perempuan ‘dilemahkan’ dalam kerangka pikir ‘ibuisme,’ yang mengembalikan perempuan pada ranah domestik, pendamping setia suami. Pelemahan terjadi terutama melalui berbagai organisasi struktural, di mana istri diwajibkan menunjang karier (politik) suami.

Mengutip Wardah Hafidz dan Taty Krisnawaty, Rusiyati (1990) mengatakan, pengaturan dan kontrol akhirnya dilakukan pemerintah terhadap kaum perempuan yang jumlahnya lebih dari separuh jumlah penduduk.32 Untuk keperluan tersebut, pemerintah mengesahkan dan mendukung tiga organisasi utama: Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi. PKK diperuntukkan bagi para ibu rumah tangga yang bukan istri pegawai negeri atau tentara baik di desa mapun kota. Dharma Wanita adalah organisasi bagi para istri sipil, sedangkan Dharma Pertiwi adalah wadah berorganisasi bagi para istri tentara dan polisi. Kegiatan ketiga organisasi ini di samping untuk mengabdi program-program pemerintah, juga untuk kaum perempuan lainnya. Kegiatan tersebut berada di bawah koordinasi Menteri Negara Urusan Wanita. Gerakan organisasi bentukan pemerintah dan lembaga resmi yang mengoordinirnya ditunjang oleh peraturan pemerintah dan memiliki kekuatan dominan. Keberadaan kekuatan dominan tersebut menyulitkan daya hidup dan ruang gerak organisasi perempuan yang telah lama hidup di masyarakat. Pada akhirnya, pada masa Orde Baru muncul dua jenis organisasi perempuan, yaitu organisasi pemerintah dan non-pemerintah. Perkembangan tersebut menandai terjadinya polarisasi secara tegas dalam gerakan perempuan serta berlangsungnya proses penyempitan ruang gerak berorganisasi bagi kaum perempuan (Rusiyati, 1990).33

Namun pengaruh gerakan perempuan global tidak dapat dibendung. Sekitar tahun 1970 hinga 1980-an muncul gerakan perempuan yang dimotori oleh para aktivis perempuan dalam wadah Lembaga Swadaya Masyarakat. Sifat gerakan mereka berbeda dari pemikiran yang disosialisasikan oleh Orde Baru. Pada masa itu gerakan perempuan juga  berkembang luas, di antaranya melalui keikutsertaan

31 Saskia E Wieringa, The Perfumed Nightmare: Some notes on the Indonesian women’s movement (Den Haag: ISS, 1988)32 Wardah Hafid dan Tati Krisnawaty, Perempuan dan Pembangunan (Laporan NGO, 1989) 33 Rusiyati,Op.Cit.,

Page 45: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

20

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

para tokoh perempuan dalam berbagai konferensi perempuan dunia. Mereka ikut dalam proses yang melahirkan berbagai kesepakatan dan perumusan instrumen hukum, yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Salah satu tokoh perempuan Ibu Suwarni Salyo menyumbang sebuah rumusan dalam Konvensi CEDAW, yaitu Pasal 14, yang menyatakan kewajiban negara untuk memperhatikan perempuan pedesaan. Pada tahun 1984 Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Konvensi CEDAW (melalui UU No. 7 Tahun 1984).

1.4.5 Masa Transisi (pasca-Orde Baru)34

Pasca-Orde Baru ditandai gerakan perempuan yang makin menonjol. Mereka ikut melahirkan berbagai instrumen hukum yang penting, terkait isu keadilan dan kesetaraan bagi perempuan, seperti UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang di dalamnya (Pasal 45) secara khusus menyatakan bahwa Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia. Kemudian lahirlah Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming), yang memerintahkan kepada semua pimpinan puncak dari lembaga tinggi negara sipil dan militer, untuk mengarusutamakan gender dalam semua programnya. UU penting yang lahir kemudian adalah UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, yang sangat diperlukan oleh para penegak hukum dan masyarakat luas, khususnya untuk menangani anak-anak korban kekerasan.

Perjuangan perempuan dalam bidang politik telah melahirkan kebijakan kuota bagi perempuan untuk menempati kursi parlemen sebesar 30% (UU No.12 Tahun 2003 Pasal 65). Sayangnya dalam perumusan kuota bagi perempuan ini tidak secara jelas dikatakan,

34 Instrumen hukum penting pada masa Orde Baru selain yang sudah disebutkan di atas adalah di UU No.3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak. Pada masa Reformasi instrumen hukum yang dihasilkan cukup banyak di antaranya adalah: UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (Pasal 45 menyebutkan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia), UU No. 23 Tahun 2000 tentang Peradilan Anak, Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang gender mainstreaming dalam pembangunan nasional, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, Pasal 65 Ayat 1 mengatur kuota politik perempuan dalam parlemen, dan UU Pemilu No. 10 Tahun 2008 yang memberikan peluang lebih besar kepada perempuan untuk menempati kursi di parlemen pusat maupun daerah, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No.17 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi, dan UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik dan UU No. 13 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya. Peraturan Kapolri No.10 Tahun 2007 tentang pembentukan Unit Pelayanan Perempuan Anak (PPA) dari level Polres ke atas. Dalam hal ini ditegaskan bahwa Ruang Pelayanan Khusus (RPK) harus ada dalam unit PPA.

Page 46: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

21

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

partai politik wajib memenuhinya dan tidak ada sanksi bagi partai politik yang tidak memberikan 30% kursinya kepada perempuan. Tidak mengherankan, meskipun sudah ada kebijakan kuota, perempuan yang duduk di parlemen hanya 11,6 % (Pemilu 2004) dan 18 % (Pemilu 2009).

Selanjutnya terdapat putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008, yang mencabut Pasal 214, UU No. 10 Tahun 2008, tentang Pemilu, yang menjamin keterwakilan perempuan dengan sistem zipper.35 MK menyatakan sistem bersebut bertentangan dengan konstitusi dan lebih memilih pertimbangan ‘suara terbanyak’. Putusan di atas sesungguhnya berdampak melemahkan upaya affirmative action dalam mewujudkan perwakilan yang adil bagi perempuan di parlemen, sebagaimana ada di Konstitusi, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Putusan tidak sejalan dengan UU No.10 Tahun 2008 itu sendiri, khususnya Pasal 55 tentang akses perempuan untuk terpilih.

Setelah lebih dari tujuh tahun diperjuangkan, DPR dan pemerintah mengesahkan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kelahiran UU ini menjadi momentum yang penting bagi perjuangan perempuan, karena baru pertama kali lahir UU khusus (lex spesialis) mengatur soal perempuan.36 Namun sayangnya, UU Perlindungan Saksi No.13 Tahun 2006 yang lahir dua tahun sesudahnya, tidak memiliki perspektif perempuan. Padahal perempuan sangat membutuhkan perlindungan dalam bersaksi di persidangan, khususnya perempuan yang menjadi saksi sekaligus korban kekerasan, seiring dengan semakin banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.

UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan membawa perubahan yang cukup progresif bagi perempuan. Pasal yang dianggap paling penting dalam UU tentang Kewarganegaraan adalah yang berkaitan dengan kewarganegaraan anak dan perempuan. Anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran, baik yang tinggal di luar negeri maupun di Indonesia, semula otomatis mengikuti warga negara ayahnya

35 Dalam setiap tiga calon terdapat seorang calon perempuan untuk dipilih sebagai anggota legislatif.36 Ada yang berpendapat bahwa UU ini adalah lex specialis, tetapi sarjana hukum lain berpendapat bahwa UU ini bukan lex

specialis, karena kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga masih banyak terkait dengan KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana), dan dalam UU tersebut tidak dinyatakan secara khusus bahwa UU ini adalah lex specialis. Beberapa kelemahan dalam UU tsb menyebabkan sebagian dari penegak hukum merasa, dalam beberapa hal KUHP masih dapat digunakan.

Page 47: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

22

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

(ius sanguinis). Kondisi tersebut sangat menyusahkan ibu, terlebih bila terjadi perceraian dan anak mengikuti ibu kembali ke Tanah air. Melalui UU ini, anak dari perkawinan campuran diberi kebebasan sampai umur 18 tahun untuk memilih kewarganegaraannya sendiri. Perempuan yang kawin dengan orang asing, juga diberi kesempatan selama 3 tahun untuk menentukan kewarganegaraannya sendiri. Perempuan tersebut, bila tinggal di Indonesia juga boleh menjadi sponsor izin tinggal bagi suaminya selama 3 tahun.

Masih ada lagi berbagai produk hukum yang lahir dan memang sangat dibutuhkan dibutuhkan oleh perempuan pada masa pasca-Orde Baru. Di antaranya yang penting adalah UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, karena sebagian besar korban perdagangan orang adalah perempuan dan anak perempuan di bawah umur.

Namun sangat disayangkan, setelah adanya berbagai instrumen hukum yang progresif tersebut, masih ada banyak instrumen hukum yang berdampak merugikan perempuan. Di antaranya adalah UU Pornografi No. 44 Tahun 2008, yang justru berpotensi mengkriminalkan perempuan secara substansial. Pascaotonomi, banyak Peraturan Daerah yang merugikan perempuan dan patut dipertanyakan (Jurnal Perempuan, 2004, Women Research Institute, 2005, Komnas Perempuan, 2006).37

Catatan Komnas Perempuan, hingga tahun 2013, terdapat 282 Peraturan Daerah dan kebijakan publik yang diskriminatif terhadap perempuan. Tiba-tiba perempuan dilarang keluar malam, dibatasi cara berpakaian dan gayanya, serta tidak bebas mengekspresikan pemikiran dan keberadaan dirinya. Berbagai produk hukum tersebut mematahkan begitu saja berbagai upaya perempuan dalam memperoleh hak-hak dasarnya dan mencapai kemajuan. Berbagai produk legislasi tersebut mengembalikan perempuan ke zaman kegelapan. Aturan itu bahkan tidak dibuat di negara konservatif yang berbasis agama, tetapi justru terjadi di Indonesia yang plural dan sudah 68 tahun merdeka. Aturan dibuat di negara di mana rakyatnya pernah berjanji untuk hidup sebagai sebuah bangsa dengan dasar ‘berbeda-beda tetapi satu jua’ (Bhinneka Tunggal Ika).

37 Yayasan Jurnal Perempuan ‘Menggalang Perubahan. Perlunya Perspektif Gender Dalam Otonomi Daerah’ (2004) Jakarta: YJP dan WRI ‘Representasi Perempuan dalam Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah’ (2005) Women Research Institute.

Page 48: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

23

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Kajian terhadap isu-isu perempuan dan feminisme di ranah akademik di Indonesia berlangsung sejak pertengahan tahun 1980-an dengan ditandai munculnya berbagai perkuliahan mengenai isu perempuan dalam berbagai disiplin ilmu di universitas. Tokoh-tokoh ilmuwan perempuan di universitas tidak hanya menciptakan mata kuliah baru, tetapi juga mendirikan berbagai lembaga studi dan mengembangkan berbagai kajian mengenai permasalahan yang dihadapi perempuan. Masa ini menandai babak baru sejarah masuk dan berkembangnya studi perempuan di dunia akademik.

Studi perempuan juga memasuki ranah studi hukum yang dimulai awal tahun 1990. Saat itu mata kuliah, “Hukum dan Perempuan” mulai diajarkan di Universitas Indonesia untuk kali pertama. Gerakan pemikiran ini kemudian mendapat sambutan cukup hangat di berbagai fakultas hukum lain. Belasan tahun kemudian, ada sekitar 40 fakultas hukum di seluruh Indonesia yang memiliki mata kuliah serupa. Pekembangan ini mengingatkan kita pada kondisi di Amerika Serikat tahun 1970-an, ketika makin banyak mahasiswa perempuan masuk sekolah-sekolah hukum. Mereka melahirkan aliran pemikiran “feminist jurisprudence” dan “feminist legal theory”. Penyebaran ide-ide untuk mendirikan mata kuliah “Perempuan dan Hukum,” dan upaya memasukkan perspektif perempuan dalam berbagai per-kuliahan ke dalam kurikulum fakultas hukum, tidak lepas dari peranan suatu Kelompok Kerja, yaitu Convention Watch, yang merupakan Pusat Kajian Wanita dan Jender, UI.

Sejak tahun 1996, Convention Watch membangun program ”Engendering Kurikulum Fakultas Hukum”. Program tersebut bertujuan menumbuhkan kesadaran pentingnya seorang sarjana hukum mengenal isu-isu hukum dan perempuan sejak di bangku kuliah. Program ini memfasilitasi para pengajar Fakultas Hukum di seluruh nusantara, untuk mendirikan dan mengembangkan mata kuliah “Perempuan dan Hukum,” “Gender dan Hukum,” “Perlindungan Hukum bagi Perempuan dan Anak” dan berbagai judul lain. Meskipun judul mata kuliahnya beragam, tapi substansinya sama, yaitu mengajarkan isu-isu hukum dan perempuan dalam perspektif hukum yang kritis. Hukum tidak hanya diajarkan secara dogmatis, tapi pandangan kritis terhadap rumusan hukum juga dapat dilakukan. Selain itu, juga bisa menggunakan pengalaman perempuan sebagai bahan analisis bekerjanya hukum dalam kenyataan sosial.

1.5 Gerakan Perempuan di Bidang Akademik Hukum

Page 49: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

24

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

Sampai saat ini Convention Watch PKWJ UI, telah melakukan semiloka setidak-tidaknya di 40 Fakultas Hukum dan memiliki sekitar 80 mitra Fakultas Hukum di seluruh Indonesia. Pada September tahun 2004, dengan difasilitasi FH Universitas Diponegoro Semarang, lahirlah Asosiasi Pengajar dan Peminat masalah Hukum Berperspektif Keadilan Gender, yang anggotanya berasal dari 50 Fakultas Hukum.

Mahasiswa Fakultas Hukum merupakan kelompok yang strategis untuk diberi pemahaman tentang masalah perempuan dan hukum. Hal ini karena mereka kelak akan menjadi aparat penegak hukum dan duduk dalam posisi pengambil keputusan dalam bidang hukum. Upaya ke arah kesetaraan dan keadilan gender tidak akan terwujud bila tidak dilakukan pemberdayaan di kalangan calon dan penegak hukum lebih dahulu.

Bagaimana para penulis asing mengulas gerakan perempuan di Indonesia? Ada lima penulis yang pemikirannya akan dipaparkan di bagian ini, yaitu Cora Vreede-de Steurs, Saskia E. Wirienga, Susan Blackburn, Elizabeth Martin dan Katrhyn Robinson.

1.6.1 Cora Vreede-de SteursCora Vreede-De Steurs tahun 2008, menuliskan temuan penting

studinya tentang gerakan perempuan Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan atau pada sejarah kolonial. Ia mengatakan adanya evolusi unilinier dari gerakan perempuan di Masa Kolonial Indonesia,38 meski di sana sini juga terdapat situasi diskontinuitas. Evolusi kesadaran perempuan terhadap pembedaan, ketimpangan dan penindasan merupakan evolusi gerakan emansipasi perempuan.

Analisis Stuers menunjukkan ada realita heterogenitas gerakan perempuan Indonesia sejak masa kolonial, yang digambarkan sebagai pelangi. Keberagaman akar ideologi gerakan perempuan itu telah merangkai berbagai kontestasi dalam perjuangan. Kontestasi itu telah memecah gerakan perempuan Indonesia ke dalam tiga posisi: (a)

1.6 Gerakan Perempuan Indonesia dalam Beberapa Literatur Asing

38 Cora Vreede-De Steurs, The Indonesian Women: Struggles and Achievement (1960) Terjemahan buku tersebut ditebitkan oleh Kalyanamitra pada tahun 2008. Naskah artikel ini menggunakan buku terjemahan yang terbit tahun 2008.

Page 50: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

25

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

gerakan nasionalis liberal; (b) gerakan reformis agama dan (c) gerakan demokratis feminis Barat.

Stuers menemukan rentang kontinum evolusi sosial-budaya gerakan feminisme di Indonesia merupakan respon dari kekangan yang berasal dari nilai struktur kolonial. Studi Stuers menegaskan identitas emansipasi gerakan perempuan di Indonesia terbentuk dari pandangan polarisasi Barat dan kelas menengah.39 Polarisasi ternyata juga terus mewarnai keragaman gerakan perempuan Indonesia sampai sekarang, yaitu ketika gerakan perempuan di tingkat lokal berjuang mempertaruhkan ruang tradisional yang ‘terpisah’ dari gelombang gerakan feminisme perkotaan. Gerakan tersebut dimotori kelompok menengah terdidik.40

Sementara kenyataan dalam kehidupan sehari-hari identitas perempuan dalam komunitas perdesaan jauh terlihat berbeda dari komunitas kelas menengah dan atas. Identitas perempuan kelas bawah Indonesia menjadi poros dan elemen permanen yang tidak kentara dalam masyarakat, tetapi posisinya stabil. Polaritas antarelemen komunal dan sifat individualistis itulah yang membedakan dari polaritas Barat.41

Kesadaran perempuan dalam gerakan dimulai dari kesadaran kepemimpinan personal, meski terdapat hukum adat yang lebih mengutamakan kepentingan komunal dan sulit mengakui eksistensi kepemimpinan perempuan. Tjut Nya’ Dien misalnya, menjadi begitu dihormati dan dihargai oleh komunitas pejuang Aceh karena ia berjuang memimpin rakyat Aceh melawan kolonial, bukan hanya karena ia istri Tengku Cik Di Tiro.42

Mengenai Kartini, Stuers dengan tegas menyebutnya sebagai seorang feminis. Kontribusi Kartini untuk gerakan feminisme di Indonesia bukan hanya mitos yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial

39 Studi Stuers berfokus pada isu perkawinan bagi perempuan. Adat tidak pernah melindungi kepentingan individu, tetapi selalu mengatas-namakan kepentingan kelompok. Perkawinan adalah institusi yang memelihara eksistensi klan, itu sebabnya tumbuh nilai ‘perawan tua’ sebagai stigma dalam masyarakat. Adat menekan kepentingan individu, yaitu perempuan–jangan sampai telat kawin atau menjadi perawan tua. Juga isu kemandulan istri, menjadi tujuan kepentingan masyarakat atas pembenaran adanya perceraian dan poligami, yang menekan kepentingan individu.

40 Makna ‘terpisah’ dalam kalimat itu lebih dari sekedar konsep ‘heterogen’ nya Stuers, atau konsep ‘diskontinyu’ Rahayu (2008), terpisah menunjuk pada konsep ‘distorsi’ yang memisahkan kesadaran kritis dan self-belief perempuan karena adanya determinan kelas, etnis, ras, dan agama.

41 Stuers mengakui bahwa fenomena polaritas itu sama dengan fenomena sosial antara perempuan dan laki-laki; sangat kompleks dan plural di berbagai masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia.

Page 51: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

26

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

Belanda. Namun, pemikiran Kartini memberi inspirasi bagi generasi gerakan sesudahnya untuk terus memperjuangkan isu-isu kritis perempuan yang pernah disebut dalam surat-suratnya. Fenomena Kartini juga menunjukkan awal gerakan feminisme di masa kolonial Indonesia merespon isu-isu penting, seperti perkawinan, pluralisme dan perbedaan kelas sosial.43

Beberapa aktivis perempuan secara individu dan kedaerahan saat itu berjuang untuk isu yang relatif sama. Di antaranya Rahmah El Yunusia, aktivis perempuan dari Padang Panjang, Sumatra Barat, yang menginisiasi pendirian Sekolah Putri bernama Diniyah Puteri. Konsep yang diperkenalkan kepada publik tentang sekolah ini adalah sebuah sekolah yang komprehensif, yang memadukan substansi agama dan pengetahuan modern kepada para muridnya. Boarding school milik Rahmah El Yunusia tidak begitu terpublikasi karena keputusannya untuk menolak bantuan Pemerintah Kolonial Belanda, sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap kekuasaan kapitalisme kolonial.44

Dewi Sartika dari Jawa Barat juga berhasil mendirikan sembilan sekolah, antara tahun 1904 - 1912. Angka itu, setara dengan separuh dari seluruh sekolah di tanah Pasundan. Pemikiran Sartika termasuk pemikiran feminis liberal, yang mengangkat isu pendidikan non-formal, ketenagakerjaan, sektor informal dan perburuhan.

Stuers berhasil merekonstruksi identitas perempuan Indonesia, yang di dalamnya menjelaskan adanya proses internalisasi kesadaran personal perempuan. Rekonstruksi identitas perempuan tersebut dipandang sebagai modal pembentukan kesadaran emansipasi institusional yang tergambar pada organisasi gerakan beserta agenda

42 Selain itu, ada Putri Bundo Kandung adalah perempuan pejuang dari Sumatra Barat yang menyuarakan pendidikan, politik, dan kepemimpinan perempuan. Di Kalimantan, tercatat ada seorang perempuan bernama Adji Sitti; ia adalah seorang janda Sultan Kutai. Setelah bercerai dari Sultan, Adji Sitti ikut serta berperang. Kegigihannya mengangkat senjata bukti adanya kontribusi perempuan Dayak terhadap kepentingan publik. Juga memperlihatkan adanya kemerdekaan ikut serta dalam urusan publik (Steurs 2008).

43 Kelas sosial tersebut: (a) Kelompok perempuan miskin, punya persoalan akses pendidikan yang rendah; tetapi hidup perempuan kelas bawah lebih bebas; (b) Kelompok perempuan menengah; tidak sekolah karena tradisi, menafkahi sendiri dengan berbagai kegiatan ekonomi; (c) Kelompok perempuan santri: tidak bersekolah karena tradisi agama, memahami ajaran agama, membaca huruf Arab, punya kapasitas untuk menyelenggarakan kelompok belajar putri; (d) Kelompok perempuan priyayi: menikmati sekolah dasar, dipingit setelah umur. Secara de facto memang ada perbedaan kondisi kelompok perempuan berdasar kelas sosial ekonomi.

44 Pemikiran Rahmah El Yunusia berkonteks feminisme, yang manifestasi perjuangannya pada pendirian sekolah Diniyah Putri yang independen dan otonom dari dukungan pemerintah kolonial.

Page 52: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

27

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

45 Ruth Indiah Rahayu, Emansipasi Menuju Unilinear: Gerakan Feminis ‘Indonesia’ Paro Abad Ke-20”, dalam Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, (terjemahan) (Komunitas Bambu, Jakarta)

46 Ada beberapa tahapan dalam pendekatan antropologi feminis; antropologi feminis mengawali studinya dengan eksplorasi konsep-konsep dasar dan epistimologi feminis yang mempengaruhi peneliti. Posisi peneliti dalam penelitian juga merupakan bagian integral. Dalam peneliti itu, lokus dari kajian Wieringa melingkupi masa Orde Lama, yaitu antara tahun 1965/1966. Metode ini dianggap lebih komprehensif untuk studi konteks perempuan dibanding dengan pendekatan positivistis, sebab kajian positivis cenderung seksis dan buta akan kenyataan adanya ketimpangan dan penindasan gender (Wieringa 1999, h.3). Metodologi feminis memiliki agenda perubahan, termasuk perubahan atas relasi yang timpang dan hierakis antara peneliti (sebagai subjek) dan yang diteliti (sebagai objek). Metodologi feminis membedah sekat tersebut dan memosisikan kedua pihak sebagai subjek dalam penelitian.

isunya. Dalam penilaian Rahayu, tulisan Stuers itu memperkaya teori gerakan perempuan Indonesia, dan memberi sumbangan sangat besar terhadap teori feminisme.45

1.6.2 Saskia E. WieringaSejarah gerakan perempuan pascakolonial, khususnya masa Orde

Baru, ditulis pada Saskia E Wirienga tahun 1999, dalam satu disertasi, yang menggunakan pendekatan antropologi feminis46 dan berkontribusi besar terhadap pendokumentasian sejarah gerakan feminisme di Indonesia. Kontribusinya signifikan itu terletak pada penggunaan analisis gender untuk menakar keadilan pembangunan. Wieringa menyebut konsepsi gender merupakan ‘penemuan’ terbesar dari gerakan feminisme. Konsep itu muncul berkat kesadaran individual maupun kolektif terhadap begitu banyak pengalaman perempuan yang tidak diakui dalam kajian ilmu sosial.

Studi di atas menjelaskan tentang terjadinya politisasi identitas gerakan perempuan yang sedemikian rupa, sehingga melemahkan gerakan perempuan pada masa Orde Baru. Bahkan profil gerakan feminisme sosialis yang diwakili oleh gerakan Gerwani, baru dapat dipelajari masyarakat Indonesia setelah gerakan itu dikubur. Penelitian itu sekaligus merupakan sketsa hubungan antara negara dan gerakan perempuan di awal Orde Baru, yaitu sejarah antara tahun 1965-1966 yang disembunyikan oleh militer dan peneliti rezim. Menurut Wirienga, feminisme di Indonesia pascakemerdekaan justru meredup. Gerakan perempuan dikonsolidasikan melalui payung organisasi KOWANI. Organisasi ini memiliki agenda yang tidak ada sangkut-pautnya dengan ide-ide feminisme Barat.47

Bagi rezim Orde Baru, masalah perempuan dikunci melalui premis penggunaan bahasa yang netral gender, baik melalui perundang-

Page 53: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

28

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

47 Sebagai komparasi, penelitian Blackburn (2010) memperlihatkan bahwa tumbuhnya organisasi payung seperti KOWANI, menjadikan gerakan perempuan dekat dengan negara. Kerentanannya ketika negara mendukung penerapan hukum Syariah Islam, dan prinsip itu berdampak pada perempuan– maka sangat sulit untuk menempatkan posisi sebagai counterpart terhadap negara. Periode antara tahun 1958-1965 ditandai oleh gerakan perempuan yang secara signifikan mengalami kemunduran. Gerakan perempuan ditelan slogan ‘perempuan untuk bangsa’, kesatuan bangsa lebih utama, dan isu perempuan dipinggirkan demi solidaritas nasional. Hasilnya perlahan gerakan perempuan benar-benar disingkirkan, dan terus menghilang.

48 Saskia Eleonora Wieringa Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Kalyanamitra dan Garba Budaya, Jakarta, 1999) hal.27.

49 Madelon Djajadiningrat Ibuism and Priyayization: Path to Power? in Elsbeth Locher-Scholten and Anke Niehof (eds.) Indonesian Women in Focus ( KITLV, Foris Publication, Dordrecht, The Nederlands, 1987)

50 Yulia Suryakusuma, State Ibuism: the Social Construction of Womanhood in the Indonesian New Order (Komunitas Bambu, Depok Indonesia, 2011) dan ‘Women’s Movement and Organizations in a Historical Perspective, Research Project: Women and Development (1983-1985) Institute of Social Studies, The Haque.

51 Wieringa.Op.Cit.,66-67.

undangan maupun pada rumusan kebijakan program pembangunan. Jadi, tidak mengejutkan bila pada dekade 1980-1990an, secara formal perempuan tidak mungkin mendiskusikan dan berbicara mengenai emansipasi. Saat itu, yang relevan diperbincangkan adalah integrasi kaum perempuan ke dalam pembangunan.48

Pengalaman di masa Orde Baru menunjukkan ada kebijakan sistemik untuk menyingkirkan gerakan perempuan, dengan cara menumbuhkan ideologi ‘baru’ yang dikenal sebagai ‘ibuisme.’ Konsep ini pertama kali disebutkan oleh Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis tahun 1987.49 Kemudian dikembangkan menjadi ibuisme negara (state ibuism) oleh Yulia Suryakusuma.50 Ibuisme negara adalah konsep di mana perempuan sebagai istri dari laki-laki pejabat kelas menengah, bersikap tanpa pamrih melayani suami, keluarga, negara. Sebagai gantinya para istri pejabat tersebut menjadi bos bayangan dari suami mereka, dan mendominasi bawahan suami beserta keluarganya.

Wieringa menemukan kebanyakan gerakan perempuan dimaknai sebagai bentuk perlawanan yang bersinergi dengan aktivitas gerakan laki-laki (virisentris).51

Oleh karena itu, identitas, pola dan bentuk gerakan perempuan dilihat seperti gerakan sosial laki-laki. Gerakan perempuan tidak diakui sebagai aktivitas protes, dan perempuan ditempatkan di luar konteks sosio-historis. Menurutnya, pendekatan pos-strukturalisme sejarah, yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, dihadapkan pada makna perempuan sebagai kelompok yang unggul dalam kemanusiaan. Sementara laki-laki adalah yang mendominasi kebusukan kemanusiaan. Sejarah membenarkan pembedaan itu sebagai realitas pengalaman

Page 54: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

29

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

gerakan perempuan Barat, Utara dan kulit putih. Oleh karena itu, wajar bila tantangan dan tuntutan gerakan perempuan adalah tuntutan kesamaan. Termasuk kesamaaan pengakuan terhadap organisasi perempuan dan kegiatannya dalam masyarakat, kesamaan hak politik dan kesamaan akses pendidikan bagi perempuan. Pemikiran teoritis Wieringa tersebut mengacu pada argumen teoritis pos-strukturalis, yang menempatkan berbagai pengalaman dan kemajuan pengetahuan perempuan sebagai diskursus yang patut diperhitungkan dalam sains.

Feminisme dan marxisme pernah menjadi prinsip gerakan perempuan di era pascakolonial Indonesia. Tetapi, konteksnya terbalut oleh cita-cita Partai Komunis, di mana kepentingan isu perempuan secara politis juga bersifat marginal. Perjuangan perempuan ketika itu ada di bawah perjuangan kelas. Asumsinya, bila perjuangan Partai Komunis menang, maka subordinasi perempuan dalam keluarga dan masyarakat akan hilang. Sejak semula dibentuk desain gerakan kelompok proletariat yang berasumsi keberhasilan gerakan akan membahagiakan rakyat termasuk perempuan. Menurut Wieringa ada beberapa kelemahan dari diskursus marxisme.52

a. Hubungan suami-istri dimaknai dengan respon emosional dan rasa senang hati, dan merupakan bagian dari model budaya masyarakat Victorian dan tidak relevan.

b. Perempuan dan relasinya dalam rumah tangga tidak selalu signifikan dengan gambaran dan pola hubungan perempuan dalam masyarakat.

c. Eksploitasi perempuan dalam keluarga serupa dengan eksploitasi kapitalis. Solusinya, perempuan harus keluar dari batas rumah atau domestik, dan masuk dalam sektor produktif. Namun sejarah membuktikan, masuknya perempuan dalam sektor produksi selalu berujung pada sektor produksi sosial dalam konteks kapitalisme, yang di dalamnya terdapat penindasan seksual.

1.6.3 Susan Blackburn Hasil penelitian Susan Blackburn tahun 2010, merupakan naskah

literatur yang sangat bernilai tentang gerakan perempuan Indonesia di abad ke-20.53 Blackburn lebih berbicara tentang Nexus perempuan dan negara serta konstruksi ideologi gender. Beberapa pertanyaan yang

52 Ibid.

Page 55: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

30

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

diajukan dalam penelitiannya adalah: Seberapa jauh keterlibatan kaum perempuan dalam negara? Apa hasil keterlibatannya itu? Bagaimana negara menanggapi keterlibatan perempuan? Dan apa penyebab perubahan konstruksi ideologi gender negara di Indonesia? Menurut Blackburn (2010) gerakan perempuan bukan kesepakatan di kalangan perempuan, juga bukan rincian dan metode pembebasan perempuan. Gerakan perempuan di Indonesia sangat beragam. Sifat gerakan perempuan kurang berkembang secara merata karena penindasan pascakolonial juga beragam. Blackburn melihat gerakan perempuan Indonesia di abad ke-20 ditandai oleh dominasi perempuan Jawa, kelas menengah, urban dan terdidik.

Sama seperti catatan Cora Vreede-De Steurs, Blackburn menemukan sejarah gerakan perempuan di Indonesia berkaitan dengan kritik perempuan terhadap sistem feodalisme yang tidak adil dan menindas.54 Gelombang pertama pergerakan mengikuti cara pandang feminisme liberal, yang meletakkan pendidikan sebagai solusi kunci untuk menghentikan ketidakadilan dan dominasi. Harapannya, para perempuan terdidik akan mampu ikut dalam proses sosial-politik dan yang akan bisa mengikis eksploitasi kolonial terhadap pribumi.

Berbagai kekuatan organisasi perempuan di Indonesia yang muncul awal abad ke-20 adalah Putri Mardika, Wanito Oetomo, Aisiyah, Wanita Katholik dan lainnya yang ternyata juga memiliki hubungan dengan gerakan perempuan global. Isu perjuangannya antara lain: hak perempuan, kesetaraan, hak properti, hak kepemilikan perempuan dalam perkawinan, hak reproduksi, eksploitasi ekonomi, hak seksualitas perempuan, antikekerasan dan antipoligami. Isu-isu tersebut menggema sebagai bagian dari perjuangan gerakan global dan nasional.55 Pertumbuhan organisasi perempuan pascakemerdekaan, seperti Perwari, Gerwani dan Kowani punya identitas isu yang paralel dengan gerakan perempuan global di berbagai negara saat itu. Identitas tersebut terkait adanya kecenderungan gerakan memasuki ranah politik, kekuasaan dan pengambilan keputusan.56

53 Susan Blackburn, Women and the State in Modern Indonesia, (Cambridge University Press, 2004). Tulisan itu diterjemahkan dan diterbitkan oleh Kalyanamitra tahun 2010.

54 Seperti yang disuarakan oleh Kartini, Rasuna Said, Rahmah El Yunusiah dan Dewi Sartika.

Page 56: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

31

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

55 Alat advokasi organisasi gerakan itu dilakukan melalui penerbitan surat kabar, misalnya “Wanito Sworo” (Suara Perempuan). Terbitan independen itu dijalankan oleh Siti Soendari, seorang bangsawan. Sedangkan penulisnya ternyata bukan hanya kaum perempuan, melainkan juga banyak penulis laki-laki yang mendukung pemajuan perempuan pribumi. Tema substansi dari Wanito Sworo adalah isu feminisme yang konteks saat itu, seperti isu poligami, pendidikan bagi perempuan, kepemimpinan perempuan–pada prinsipnya ada tautan antara isu feminisme dengan isu nasionalisme, karena konteks nasionalisme, kemerdekaan, dan pembebasan pribumi kala itu sangat kental.

56 Salah satu instrumen perjuangan gerakan perempuan ketika itu adalah organisasi massa. Setelah Putri Mardika lahir, maka organisasi perempuan bermunculan di berbagai daerah. Sebagai contoh di Surabaya, di Sumatra Barat, seperti di Kota Padang, Padang Panjang, dan Bukittinggi, juga di Minahasa. Di sinilah ranah di mana gerakan perempuan makin beragam dan mulai menampakkan keberagamannya. Pelangi keberagaman itu masih tetap berlangsung hingga kini.

57 Fakih, Mansour Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Insist, Yogyakarta 2008).Lihat juga Ritzer, George dan Douglas J. Goodman Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta, 2004) dan, Lorraine Code Encyclopedia of Feminist Theories( World Reference, London, 2006)

Jika disimak lebih lanjut, gerakan perempuan periode 1980-an sampai akhir 1990, mengikuti tren isu melawan domestifikasi organisasi perempuan. Gerakan perempuan muncul kembali dengan isu progresif, seperti kekerasan terhadap perempuan dan perdagangan perempuan, yang juga disuarakan oleh gerakan perempuan global. Fokus perjuangan perempuan saat itu, melawan ketimpangan sosial dan kultural, karena kedua hal itu menjadi refleksi dari ketimpangan politik. Pada era 1990-an mulai berkembang agenda gerakan “Personal is political”. Gerakan ini memperluas makna diskriminasi dan kejahatan berbasis gender dari ruang domestik yang tertutup ke ruang publik dan disampaikan sebagai tanggung jawab negara.57

Blackburn tahun 2010, mencatat tiga model pemikiran gerakan perempuan di Indonesia, yaitu gerakan berbasis (a) prinsip keagamaan dan non- keagamaan; (b) kelas – ada kecenderungan berbicara atas nama kaum perempuan miskin; dan (c) geografis, dengan kondisi perkotaan dan perdesaan yang juga menjadi pangkal perbedaan. Di luar tiga arus itu, Blackburn menunjukkan studi gerakan perempuan yang berkonteks kedaerahan masih sangat jarang. Ada area yang tidak terwakili dalam gerakan perempuan di Indonesia, yaitu komunitas buruh tani, perempuan di daerah terpencil, perempuan Cina, perempuan cacat dan perempuan usia lanjut.

Selain terkait akar ideologi gerakan yang bervariasi, dinamika gerakan perempuan di Indonesia juga menarik. Pergantian rezim dan perubahan politik punya kontribusi terhadap peta gerakan perempuan. Dimulai periode prakemerdekaan, masa Pemerintahan Sukarno, era Orde Baru sampai dengan puncak reformasi. Sesungguhnya juga ada

Page 57: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

32

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

58 Sinaga, Identitas, Keperempuanan, dan Nasionalisme (2008) hal. 106-111. Tulisan ini menarik dijadikan referensi untuk melihat fenomena gerakan perempuan dan nasionalisme di Indonesia.

Dengan menggunakan teori feminisme poskolonial ditemukan dalam konteks nasionalisme, perempuan seperti ahistoris (tidak termasuk dalam sejarah). Dalam perlawanan terhadap musuh, termasuk penjajah, relasi sosial dan politik internal bahkan menjadi timpang. Perempuan juga menjadi lebih tertindas dan beridentitas sebagai si bisu. Meskipun berhasil dimitoskan menjadi kelompok penting bagi transaksi sejarah kaum nasionalis.

Mengutip pandangan feminis India, Sangari dan Vaid, Sinaga sepakat bahwa retorika nasionalis telah memanfaatkan gender dari perspektif ideologinya untuk memenjarakan dan membatasi perempuan secara sempit. Persoalan ini telah dikritik dan ditolak oleh histeriografi feminis. Kenyataanya, seperti kasus India, nasionalisme belum terputus dari kolonialisme baik secara politis dan epistemologis. Menurut Chatterjee, nasionalisme masih mendukung dan meneruskan warisan Eusentrisme dan Orientalisme. Nasionalisme Timur harus mengasimilasi sesuatu yang lain ke dalam budayanya sendiri sebelum mereka menjadi bangsa-bangsa modern. Nasionalisme Timur dipaksa memilih antara menjadi diri sendiri atau menjadi bangsa-bangsa modern yang “sedang menjadi.” Seolah-olah standar akal budi dan kemajuan universal pada hakikatnya dan secara intrinsik hanya ada pada Barat. Parahnya visi universalisme tersebut berjalan melalui proses yang mengandung kekerasan, paksaan, penghapusan ras, dan penghilangan keaslian. Dominasi Barat menggapai universalisme itu telah menggerus identitas Timur dan selalu dalam bayang-bayang Barat.

Nasionalisme Timur di era pascakolonial tidak mempertanyakan blue print Barat dalam rangka pengembangan masyarakat post-independent. Modernisasi, industrialisasi, internasionalisasi atas nama kemajuan wilayah bekas jajahan jelas merupakan kelanjutan dari kolonialisme. Dikatakan oleh Sinaga, sulit menghindari proses sejarah yang tak kebarat-baratan, dan sungguh sulit untuk mengklaim sejarah yang murni dan tak terkontaminasi sebelum pengrusakan sosial budaya kolonialisme.

Dalam konteks India, sebagian pemikiran dan bentuk-bentuk sikap obsesif terhadap Barat justru ada pada elit lokal, Sinaga berpendapat bahwa nasionalisme gagal berbicara atas nama manusia dan bangsa pribumi; justru sebaliknya nasionalisme membungkam dan menindas rakyat bawah, dan masyarakat kebanyakan atau kaum subaltern.

Kalaupun ada persenyawaan yang mengatasnamakan perpaduan antara rakyat dalam bangsa dan negara, akhirnya rakyat hanya menjadi sarana krusial bagi tujuan-tujuan nasionalisme yang lebih tinggi. Rakyat dilewati dan di suatu titik ditinggalkan. Nasionalisme sebagai alat legitimasi, maka menurut Chatterjee nasionalisme merupakan proyek deracination (penghilangan ras) dari prasejarah dengan alasan yang tidak jelas.

Kritik subaltern terhadap nasionalisme adalah nasionalisme membelenggu ruang subjek, dan menegasikan kreativitas lokal serta menghapus identitas orang asli. Nasionalisme juga dianggap gagal menghubungkan antara kekuatan popular perjuangan rakyat dengan kesadaran universalitas baru. Kritik subalternitas yang disuarakan oleh historiografi feminis tersebut menunjukkan bahwa posisi subaltern ada di ruang yang terpisah dalam sistem negara yang baru, terutama dari universalitas dan relasional.

kebutuhan untuk membangun kembali gerakan perempuan pasca-1998, karena gerakan ditantang oleh realita kemajuan informasi dan teknologi serta berkembangnya diskursus pos-feminisme.

Blackburn membahas problem hubungan nasionalisme dan gerakan perempuan. Ia mencatat, segera setelah kemerdekaan, isu perempuan tertutupi kepentingan gerakan nasionalisme, yang secara politis dianggap lebih mendesak dibanding isu perempuan. Kegagalan merumuskan isu perempuan dalam konteks nasionalisme dan pembebasan manusia dari penjajahan fisik dan sosio-kultural, telah menjebak gerakan perempuan ke arah isu nasionalisme yang maskulin.58

Titik temu relasi gerakan perempuan dan nasionalisme di Indonesia ada pada persoalan identitas, misalnya ketika organisasi gerakan perempuan dan gerakan nasionalisme menolak keikutsertaan orang asing (Eropa dan Cina). Kecuali, mereka melepaskan identitas ‘asing’-nya, dan menyatakan diri sebagai orang Indonesia. Catatan Blackburn itu penting, sebab identitas adalah isu sentral dalam sejarah

Page 58: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

33

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

gerakan perempuan.59 Representasi identitas gerakan perempuan di masa kolonial menunjukkan proporsi yang relatif kecil jumlahnya dalam kehidupan perempuan. Sementara, organisasi perempuan keagamaan lebih menjangkau komunitas perdesaan, misalnya Aisyiyah, perempuan PSII dan Putri Islam Makassar. Fokus perlawanan organisasi-organisasi perempuan tersebut, berkaitan dengan kolonialisme. Kebijakan kolonial itulah yang menyebabkan organisasi perempuan sulit menjangkau perempuan miskin perdesaan, bahkan sampai sekarang. Kebijakan kolonial digantikan oleh kebijakan pemerintah merdeka.

Gerakan perempuan untuk hak sipil di Indonesia, menurut Blakcburn berasal dari gerakan perempuan Belanda. Pengaruh konkretnya dapat dilihat dari hadirnya cabang the Dutch Women’s Suffrage Association (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht) di Indonesia tahun 1908. Tokohnya adalah Charlotte Jocab. Ia adalah adik dari aktivis hak sipil di Belanda Aletta Jacobs.60 Organisasi inilah yang mempromosikan hak pilih untuk perempuan koloni.61

Tinjauan terhadap karya Blackburn ini menunjukkan adanya dimensi kelas dalam gerakan untuk memperjuangkan hak pilih. Saat Pemerintah Belanda enggan memberi hak sipil bagi perempuan pribumi, Asosiasi Hak Sipil perempuan Belanda itu merekrut perempuan pribumi terpelajar untuk membuktikan bahwa perempuan pribumi pada strata itu menginginkan hak sipil. Mereka berasal dari organisasi perempuan yang berafiliasi dengan gerakan nasionalis. Padahal asosiasi tidak bersimpati terhadap gerakan nasionalis. Mereka mendekat pada gerakan nasional hanya karena kepentingan advokasi hak pilih perempuan. Menurut Blackburn, permulaan kontrak antara gerakan feminisme Belanda dan Indonesia diwarnai oleh persoalan kelas: 62

59 Isu identitas penting karena mengandung beberapa makna: pertama, bisa jadi gerakan perempuan telah menyadari kuatnya cengkeraman diskursus kolonialisme, imperialisme dan orientalisme. Artinya mereka sudah membawa diskursus poskolonial dalam gerakannya. Kedua, mereka hanya merupakan kepanjangan tangan dari gerakan nasionalisme, dan ketiga, sampai saat ini isu pluralisme dalam arti luas (melintas ras dan kepentingan politik perempuan) belum masuk dalam agenda gerakan perempuan Indonesia, karena inklusivisme rasial belum menjadi prinsip dasar gerakan.

60 Gerakan perempuan untuk hal sipil di Belanda kala itu sudah berjaring dengan gerakan perempuan untuk hak sipil internasional. Sehingga didirikannya focal point gerakan hak sipil untuk perempuan di tanah Indies merupakan momen penting. Gerakan perempuan Indonesia mulai masuk dalam jaringan gerakan feminisme internasional. Namun juga seharusnya disadari bahwa untuk itu gerakan mengikuti pemikiran dan kepentingan feminisme Barat.

61 Isu fokus gerakan perempuan sejak masa kolonial sampai sekarang adalah hak sipil berfokus pada hak demokratik bagi perempuan. Menurut Blackburn, gerakan perempuan harus dihubungkan dengan nasionalisme dan demokratisasi. Selanjutnya, ia menemukan bahwa isu yang relevan dengan gerakan menuntut hak sipil perempuan di Indonesia adalah representasi politik perempuan dan kepemimpinan.

Page 59: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

34

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

“…the attitude of many in the Association was condescending towards less-enlightened native sisters and their increasingly conservative stance mirrored that of the European community in the Indies in the late 1920s and 1930s…and finally government agreement, to active suffrage for educated women in the Indies”

Pada masa Orba, pemerintah melakukan tekanan melalui pemaknaan gender dan representasi perempuan yang diarahkan kepada ideologi domestikasi. Pada saat itu tercatat ada sejumlah tindakan.

a. Reformasi lembaga dan pemerintahan yang ‘demokratik’ tapi tak menerima tuntutan perempuan.

b. Menerima hak perempuan sebagai kelompok fungsional yang diwakili di dalam Parlemen, tetapi yang dipilih adalah perempuan kelas menengah perkotaan.63

c. Hak sipil bagi perempuan terabaikan, sampai ketika gelombang gerakan feminis menyuarakan pentingnya prinsip keterwakilan perempuan.

d. Pemerintah kurang tertarik pada masalah hak sipil perempuan, dan terjadi masa depolitisasi radikal, ketika seluruh hak politik dikebiri dan demokrasi yang diterima adalah demokrasi ke-Indonesiaan.

e. Tuntutan hak sipil perempuan identik dengan feminisme Barat, karena itu pemimpin gerakan perempuan menjauhi feminisme. Sedangkan di masa reformasi, meskipun gerakan perempuan memiliki posisi dalam dinamika politik dalam negeri, tetapi kepentingan perempuan tidak ditempatkan pada posisi sentral.

Kaum nasionalis memiliki diskursus yang sama dengan pejabat kolonial dalam memandang identitas perempuan, yaitu ‘perempuan membantu suami, memelihara anak-anak, dan bekerja untuk komunitas’. Ada benturan antara nasionalisme dengan gerakan perempuan, yaitu ketika nasionalisme memuat ideologi domestikasi, tetapi demi kondisi pergolakan nasionalisme, kepentingan perempuan terpaksa dikalahkan. Sikap perem-puan melunak dan tuntutan disesuaikan atas nama nasionalisme. Di dalam

62 Blackburn, Op.Cit., 85-86.63 Fenomena representasi perempuan Indonesia dari kelas menengah, berpendidikan Barat, dan perkotaan itu sama persis

dengan fenomena di masa kolonial.

Page 60: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

35

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

konteks konstruksi identitas nasional serta legitimasi negara-bangsa, ada kepentingan dominan yang membatasi kepentingan gerakan perempuan.

Di sisi lain, keterlibatan perempuan dalam gerakan nasionalisme bisa dipandang sebagai strategi. Pascakemerdekaan, gerakan perempuan pernah menggunakan partisipasinya untuk bahan lobi. Terutama untuk advokasi kepentingan perempuan, misalnya pada Undang-Undang Perkawinan. Meski demikian, dalam pembahasan Undang-Undang Perkawinan juga terjadi benturan misalnya, benturan sesama gerakan perempuan (terkait benturan kepentingan antara kelompok agama dan kelompok nasionalis).

Menurut Blackburn, benturan diskursus nasionalisme Indonesia dan feminisme sangat jelas. Bagi kaum nasionalis sangat sulit untuk menjalankan nasionalisme feminis, karena nasionalisme feminis melawan simbol identitas keibuan dan istri, yang oleh kaum nasionalis dipakai sebagai simbol perbedaan dan perlawanan terhadap Barat. Diskursus keibuan dan istri itulah yang menjadi kendala pemajuan hak perempuan. Di situlah terjadi benturan antara feminisme dan nasionalisme. Kekhawatiran kaum nasionalis berkaitan dengan disintegrasi keluarga, yang akan menjadi perusak fondasi bangsa.

Tinjauan terhadap sejarah gerakan perempuan ada kaitannya dengan proses konstruksi identitas. Perwujudan gerakan perempuan cenderung sempit, umumnya hanya menyangkut kepentingan dan pemikiran perempuan lokal, kelas bawah dan bukan menjadi isu identitas. Hal tersebut terkait dengan terbatasnya produksi pengetahuan tentang gerakan perempuan dan proses pencaharian konstruksi identitas gerakan yang belum ditemukan.

Temuan Blackburn menunjukkan untuk menghindari konotasi Barat, berkembang fitnah warisan Orde Baru tentang feminisme sebagai pandangan subversif dan berlawanan dengan budaya Indonesia.64 Padahal hampir semua gerakan perempuan di Indonesia memiliki dasar pemikiran feminisme, dengan cabang-cabang yang beraneka ragam. Menurut Blackburn tesis Maxine Molyneux sangat berguna dalam mencermati hal ini, yaitu membedakan ciri organisasi gerakan perempuan menjadi dua.65 Ciri pertama disebut praktis, gerakan yang tidak menentang status quo

64 Ibid. hal.26.

Page 61: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

36

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

yang secara dominan mengonstruksi ideologi gender. Kedua, gerakan yang menentang status quo, yang berciri feminisme. Tesis Molyneux tidak begitu mudah digunakan untuk melihat konteks gerakan perempuan di Indonesia, tetapi dapat dipakai untuk memaknai gerakan berdasarkan jenis-jenis isu yang mereka bawa dalam advokasi.

1.6.4 Elizabeth Martyn Sebagaimana Blackburn, studi Martyn tahun 2005, juga

menjelaskan tentang pertentangam nasionalisme versus feminism.66 Ia menguji masalah pembentukan bangsa dan aktivitas perempuan pada awal kemerdekaan. Ia juga mengajukan pertanyaan tentang bagaimana perempuan secara politis mengorganisasi kepentingannya di dalam pembentukan negara-bangsa yang baru. Di situ ada desain tentang perilaku dan identitas baru, tentang bagaimana pembentukan identitas gender dilakukan oleh negara dan perspektif nasionalisme.

Secara khusus, Martyn mempertanyakan makna demokratisasi untuk kaum perempuan dan hubungan perempuan terhadap kedaulatan nasional dalam konteks Indonesia baru.67 Untuk menjawab pertanyaan penelitiannya, ia membuat deskripsi tentang organisasi perempuan dan aktivitasnya, peran sosial ekonomi perempuan dan keberagaman kultur. Ia juga menggambarkan bagaimana nasionalisme dibangun di atas keberagaman, dan bagaimana konsep perilaku berbasis etnis dan kedaerahan berdampak terhadap perempuan.

Martyn membuktikan institusi negara gagal dalam pembangunan politik, terutama dalam menjawab kepentingan gender perempuan. Kegagalan itu diperkuat oleh fakta tentang perjuangan kaum nasionalis sampai tahun 1950-an. Menurut Martyn ada dua hal penting dalam pembangunan negara-bangsa di Indonesia, yaitu bagaimana (a) peran nasionalisme dalam mendefinisikan identitas gender dan (b) peran perspektif gender mendefinisikan identitas nasionalisme.68 Tulisan Martyn sering dianggap sebagai bukti manuskrip tentang peran sentral perempuan dalam menciptakan nilai ‘womanhood’ baru di Asia dan tantangan penciptaan kembali nilai keperempuanan.

65 Ibid. hal.28.66 Elizabeth Martyn The Women’s Movement in Post-colonial Indonesia Gender and nation in a new democracy (London – New

York, Routledge Curzon 2005) 67 Ibid.

Page 62: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

37

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Studi Martyn tahun 2005 menggunakan referensi Amrita Basu. Menurut pemikiran Basu ada penisbian terhadap perjuangan perempuan dunia ketiga yang memiliki pengalaman penjajahan. Pengalaman pascakolonial inilah yang tercecer dari khasanah kepustakaan gerakan perempuan. Padahal sampai saat ini pun gerakan perempuan dunia ketiga masih terus dalam tahap melangsungkan proses ‘menampakkan diri’ dan ‘mencari pengakuan akademik’ atas pengalaman gerakan. Variasi pengalaman dalam menjalani identitas hidup sebagai ‘the others’ dan label ‘monolitik’ perempuan dunia ketiga, justru menjadi pengayaan intelektualitas perempuan.

Berikut temuan Martyn pada tahun 2005, tentang identitas gerakan perempuan:69

a. Gerakan perempuan merupakan agen utama bagi partisipasi perempuan dan representasi perempuan dalam proses politik. Martyn menemukan nasionalisme punya peran mendalam dalam mendefinisikan identitas dan kepentingan gender, serta peran gender yang senapas dengan identitas nasional.

b. Identitas kolektif gerakan perempuan tercermin dalam organisasi perempuan berdasar identitas ideologi: Islam; Kristen; sosialis; komunis; nasionalis; profesional serta identitas perempuan sebagai istri. Oleh Martyn identitas yang beragam tadi dikelompokkan ke dalam tiga aliran, yaitu sekuler, sosialis dan Islam.

c. Identitas gender bisa dilihat dalam konteks identitas agama, afiliasi politik, profesi, kedaerahan dan kelas. Semua itu ada dalam kepentingan nasional. Oleh karenanya kepentingan gender dan perempuan dikonsepkan dan dipahami dalam konteks tersebut.

Ada perdebatan yang mendasar tentang hak sipil perempuan di masa kolonial, yaitu “who were citizens and what rights did they have?” Apakah subjek kolonial adalah warga negara? Pemerintah kolonial tidak pernah mengklaim semua orang yang tinggal di tanah Indies adalah warga negara dengan hak yang setara. Di masa itu, bukan hanya gender yang menentukan status sipil, tetapi juga ras. Martyn mencatat ketika pemerintah kolonial membagi penduduk menjadi tiga kategori: orang

68 Ibid.69 Ibid.

Page 63: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

38

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

Eropa; kaum oriental asing (Cina, Arab) dan pribumi, maka kategori kewarganegaraan tersebut ditentukan garis keturunan laki-laki, adalah suatu catatan yang sangat penting.

Di Indonesia, kewarganegaraan (citizenship) jelas merupakan konstruksi gender. Hubungan perempuan dengan kewarganegaraan dilihat melalui peran perempuan sebagai istri dan ibu. Identitas menjadi warga negara yang baik bagi perempuan adalah menjadi istri dan ibu yang baik. Konsep keibuan (womanhood) diperluas menjadi identitas masyarakat dan bangsa. Contohnya, Hari Ibu yang sedianya diperingati sebagai tonggak pergerakan perempuan Indonesia, justru dijelaskan sebagai perayaan terhadap hari-hari di mana para ibu menjalani hari-hari yang penuh tugas dan kewajiban. Perempuan Indonesia tidak hanya ibu dalam keluarga, tetapi juga ibu dari segenap masyarakat dan bangsa (2005: 206 70).

Sampai saat ini, identitas perempuan poskolonial Indonesia ada di dalam identitas nasional, yaitu identitas bayangan dari kaum elite, kelas menengah, terpelajar dan urban. Jadi temuan yang menarik dari studi Martyn itu adalah kesulitan menggunakan sistem politik yang ‘semu’ demokratis, untuk menciptakan perubahan identitas dan status hukum yang adil bagi perempuan.

Evaluasi Martyn terhadap gerakan perempuan Indonesia menunjukkan pengalaman perempuan Indonesia dalam gerakan masih tersembunyi. Ada tiga hal dalam argumentasinya.

a. Adanya dominasi pengalaman organisasi dan literatur gerakan perempuan Barat.71 Ada persepsi ‘tunggal’ tentang segala bentuk opresi perempuan dan gerakan perempuan melawan opresi kebanyakan meniru pengalaman Barat.72

b. Gerakan perempuan dari negara yang tidak berbahasa Inggris terisolir dari jaringan akademik dan aktivis. Oleh karena itu, jaringan internasional dan regional tidak mengetahui suara-suara gerakan mereka.73

70 Ibid. hal. 206.71 Termasuk ‘pemaksaan’ kategorisasi perjuangan gerakan perempuan non-Barat ke dalam gelombang feminisme Barat. 72 Pengalaman perlawanan perempuan untuk isu bukan mainstream tidak terdokumentasi dengan baik; bahkan sebagian

besar tidak ada.73 Maka gerakan perempuan Indonesia termasuk dalam dua problem ketertutupan itu.

Page 64: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

39

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

c. Gambaran tentang perempuan Indonesia sebagai aktor politik juga hilang dari kepustakaan politik dan sejarah Indonesia (Martyn, 2005: 8).74

Tidak mengherankan jika arena perjuangan gerakan perempuan justru pada diskursus besar negara tentang peran perempuan sebagai istri dan ibu. Di ranah itulah identitas keindonesiaan perempuan tersembunyi. Sebagai jalan keluar untuk mencapai perjuangan, dipilihlah isu irisan yang sama dengan kepentingan negara yaitu pendidikan, pelayanan informasi kesehatan dan klinik dan representasi bangsa Indonesia ke area internasional.

1.6.5 Kathryn RobinsonTulisan Robinson tahun 2008 tentang gerakan organisasi

perempuan Islam adalah salah satu dokumentasi sejarah pergerakan perempuan di masa pasca-Reformasi.75 Fokus studi Robinson adalah organisasi perempuan Islam, yang menurutnya memiliki posisi gerakan strategis pada momentum transisi demokrasi. Kajiannya menunjukkan gerakan feminisme Islam di Indonesia adalah gerakan yang terinspirasi oleh pemikiran Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud. Feminisme Islam termasuk dalam lingkup kajian hermeneutik dalam teks Islam yang mendukung ide kesetaraan gender dalam Islam.

Pada masa pergerakan nasionalisme, ada kontrovesi dan konflik antara gerakan nasionalis sekuler dan gerakan Islam. Gerakan nasionalis bersikukuh menyatakan gerakan demokrasi, keadilan sosial dan kemanusiaan adalah asli Indonesia. Gerakan itu bukan turunan pandangan pasca-pencerahan atau pasca-Revolusi Prancis, juga bukan neo-fundamentalisme atau neo-konservatisme (yang merupakan lawan dari peradaban Barat).

Feminisme Islam muncul sebagai konsekuensi dari sejarah peningkatan orang Indonesia yang menempuh studi Islam di negara-

74 Martyn, Op.Cit., hal.8.75 Kathryn Robinson “Islamic Cosmopolitics, Human Rights and Anti-Violence Strategies in Indonesia, dalam Pnina Werbner

(ed.) Anthropology and the New Cosmopolitanism Rooted, Feminis and Vernacular Perspectives ( Oxford International Publishers, Ltd, Oxford – New York, 2008) hal. 111-134.

Page 65: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

40

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

negara Timur Tengah, dengan menggunakan literatur dan mempelajari Islam dari teks berbahasa Inggris. Melalui proses dekonstruksi dan rekonstruksi semacam itulah menurut Robinson, pandangan feminisme Islam tersusun. Feminisme Islam, merupakan aliran penting dalam gerakan perempuan di Indonesia, sebab aliran ini menguji dasar posisi dan peran perempuan dalam masyarakat yang mayoritas Islam.

Robinson melihat Islam di Indonesia tidak berwajah tunggal, melainkan beragam. Setidaknya, terdapat Islam pribumi, Islam Timur Tengah dan Islam Barat. Di antara ketiganya, Islam pribumi memiliki konteks kosmopolitanisme, yaitu berkomitmen pada keadilan sosial (termasuk komitmen tentang kesetaraan gender), menghormati hak asasi manusia, toleransi, dan mengakui pluralisme. Nilai-nilai itu punya akar pertemuan pandangan antara pribumi dan Islam. Islam pribumi berasosiasi dengan Islam tradisionalis Nahdlatul Ulama (NU).76 Menurut Robinson, feminisme Islam mengendap secara kuat melalui agenda NU dan pengaruhnya mewarnai kebijakan Negara, misalnya terkait pengembangan kesetaraan gender, analisis gender dan pengarusutamaan gender.77

Identitas gerakan sosial di Indonesia adalah identitas kolektif. Di samping nasionalisme, menurut Robinson (2008), identitas kolektif dominan yang lain adalah kosmopolitik Islam.78 Kosmopolitik Islam merupakan cerminan nilai kosmopolitan, yaitu komitmen terhadap nilai kemanusiaan, kesatuan yang kompleks di atas kategori dan identifikasi bangsa, etnis, ras, kelas, agama, gender dan kedaerahan. Di dalam identitas itu ada komitmen keramahan pada semua umat dan komitmen pada pluralisme. Pandangan kosmopolitik Islam menerangkan Islam punya jalan demokrasi, kesetaraan dan keadilan sosial yang otentik, serta mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalam ajaran Al Quran. Menurut Robinson, hal ini menjadi jalan alternatif ke arah ideologi politik post-enlightenment Barat.79

76 Diberi label tradisional, karena ajaran Islam mengakomodasi praktek budaya lokal yang sudah ada jauh sebelum agama Islam masuk.

77 Meskipun organisasi perempuan Islam tetap berada di garis belakang ketika feminis sekuler di Indonesia menyuarakan isu kekerasan terhadap perempuan, sama seperti halnya agenda internasional. Mereka mengurusi isu agama dan sosial.

78 Robinson, Op.Cit.,79 Ibid.

Page 66: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

41

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Dalam perspektif global, gerakan perempuan di Indonesia dapat dilihat sebagai bagian dari gerakan perempuan yang terjadi di banyak negara. Gerakan perempuan Indonesia memiliki sejarah yang panjang, sejak sebelum kemerdekaan sampai hari ini. Meski tidak terlalu mendapat pengakuan, tidak tercatat dalam narasi besar sejarah, tetapi ‘suara’ dan eksistensi perempuan selalu bergaung pada setiap fase sejarah bangsa mana pun. Tuntutan terhadap persamaan di muka hukum dan hak politik sudah dilakukan pada masa sebelum kemerdekaan. Gugatan terhadap ketidakadilan dalam bidang perkawinan selalu muncul baik pada zaman sesudah kemerdekaan maupun Orde Baru. Pada masa Reformasi dapat kita saksikan bagaimana gerakan perempuan muncul secara lebih kuat dalam bidang politik dan hukum.

Tinjauan terhadap studi gerakan perempuan di atas tidak hanya memberi gambaran tentang sejarah gerakan perempuan Indonesia, tetapi juga menjelaskan tentang representasi gerakan perempuan dalam sejarah dan arena kontestasinya. Studi tersebut memuat penulisan sejarah dari perspektif feminis. Dalam hal ini, dapat ditemukan adanya analisis tentang pemetaan kedudukan gerakan perempuan vis a vis pemerintah kolonial, gerakan nasionalisme dan kekuasaan pascakemerdekaan.

Baik Martyn maupun Robinson menemukan hal penting, bahwa secara kesejarahan identitas gerakan perempuan Indonesia memiliki ciri identitas kolektif. Identitas kolektif itu pula yang membawa representasi gerakan perempuan ke arah identitas nasional, baik pada masa kolonial maupun poskolonial, meski sesungguhnya identitas nasional tersebut adalah identitas ‘semu,’ karena berciri elit, kelas menengah terpelajar dan urban.

Isu identitas menyebabkan gerakan perempuan sering berbenturan dengan narasi besar nasionalisme. Belajar dari karya Blackburn dan Martyn, tampak bahwa relasi gerakan perempuan dengan gerakan nasionalisme sama dengan relasi gerakan perempuan dengan gerakan sosial.80 Posisi kepentingan perempuan berada di bawah kepentingan narasi besar perlawanan kolektif yang bertajuk nasionalisme. Kepentingan perempuan tersimpan oleh dominasi nasionalisme. Maka, mereka pun mesti menyampaikan tuntutan secara prosedural serta elegan.

80 Relasi gerakan perempuan dan gerakan sosial yang ada di lokasi penelitian menunjukkan gambaran yang sama. Representasi gerakan perempuan seolah sama dengan gerakan sosial antitambang. Hanya saja setelah digali, mereka memiliki identitas sendiri, dan identitas gerakan itu mereka konstruksi dari kultur dan pengetahuannya sendiri.

1.7 Kesimpulan

Page 67: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

42

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

Mereka menyampaikan pertanyaan-pertanyaan perempuan terhadap hukum dan ikut dalam agenda perumusan reformasi hukum di setiap zamannya. Perempuan memastikan untuk memperoleh perisai yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar mereka dalam proses legislasi. Meski perisai hukum yang sudah ada masih menyisakan persoalan tentang bagaimana pelaksanaanya, namun setidaknya ‘kepastian hukum,’ betapa pun rentannya itu, sudah ada di tangan.

Page 68: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

43

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Daftar Pustaka Bab 1 Blackburn, Susan. (2004) “Women’s Suffrage and Democracy in Indonesia” dalam

Louise Edwards dan Mina Roces (eds.), Women’s Suffrage in Asia: Gender, Nationalism and Democracy. London-New York: Routledge Curzon.

Blackburn, Susan. (2010) Perempuan dan Negara dalam Era Indonesia Modern. Jakarta: Kalyanamitra.

Boudreau, Vincent. (2002) “State Repression and Democracy Protest in Three Southeast Asian Countries”, dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State. Oxford – New York: Oxford University Press.

Code, Lorraine. (2006) Encyclopedia of Feminist Theories. London: World Reference.

Cossman, Brenda. (1990) “What is Feminist Legal Theory”. The Thatched Patio No.1-2, July/August 1990.

Desai, Manisha. (2002) “Multiple Mediations: The State and The Women’s Movements in India”, dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State. Oxford – New York: Oxford University Press.

Djajadiningrat, Madelon. (1987) “Ibuism and Priyayization: Path to Power?”, dalam Elsbeth Locher-Scholten and Anke Niehof (eds.), Indonesian Women in Focus. KITLV. Dordrecht, The Nederlands: Foris Publication.

Fakih, Mansour. (2008) Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist.

Griffiths, Anne. (2001) “Remaking Law: Gender, Ethnography and Legal Discourse”, in Law & Society Review. Vol. 35, No. 2. Published by the Law and Society Association.

Hafid, Wardah dan Tati Krisnawaty. (1989) Perempuan dan Pembangunan. Laporan NGO.

Irianto, Sulistyowati. (2006) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Page 69: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

44

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

Martyn, Elizabeth. (2005) The Women’s Movement in Post-colonial Indonesia Gender and Nation in a New Democracy. London – New York: Routledge Curzon.

Meyer, David S. (2002) “Opportunities and Identities: Bridging-Building in The Study of Social Movements”, dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State. Oxford – New York: Oxford University Press.

Moore, Sally Falk. (1994) “The Ethnography of the Present and the Analysis of Process”, dalam Robert Borofsky, Assessing Cultural Anthropology. New York: McGraw –Hill, Inc.

Naples, Nancy A. (2002), “Materialist Feminist Discourse Analysis and Social Movement Research: Mapping the Changing Context for ‘Community Control’”, dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State. Oxford – New York: Oxford University Press.

Rahayu, Ruth Indiah. (2008) “Emansipasi Menuju Unilinear: Gerakan Feminis ‘Indonesia’ Paro Abad Ke-20”, dalam Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, terjemahan. Depok: Komunitas Bambu.

Reger, Jo. (2002) “More Than One Feminism: Organizational Structure and the Construction of Collective Identity”, dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State. Oxford – New York: Oxford University Press.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman (2004) Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.

Robinson, Kathryn. (2008) “Islamic Cosmopolitics, Human Rights and Anti-Violence Strategies in Indonesia”, dalam Pnina Werbner (ed.) Anthropology and the New Cosmopolitanism Rooted, Feminis and Vernacular Perspectives. Oxford – New York: Oxford International Publishers, Ltd.

Rusiyati. (1990) “Sepintas Gerakan Wanita Indonesia dalam Perkembangan Sejarah”. Makalah yang dipresentasikan pada pertemuan peringatan Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia, 22 Desember 1990 di Amsterdam.

Page 70: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

45

BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Scott, John dan Gordon Marshall. (2009) Dictionary of Sociology. Oxford: Oxford University Press.

Sinaga, Masco. (2008) “Nasionalisme, Gender, dan Identitas”, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (eds.), Hermeneutika Pasca-kolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sinha, Surya Prakash. (1993) Jurisprudence Legal Philosopy. USA: West Publishing Company.

Steurs, Cora Vreede-de. (2008) Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, terjemahan. Depok: Komunitas Bambu.

Suryakusuma, Yulia. (1988) “State Ibuism: the Social Construction of Womanhood in the Indonesian New Order”. Women’s Movement and Organizations in a Historical Perspective, Research Project 1983-1985 Women and Development. The Haque: Institute of Social Studies.

Suryakusuma, Yulia (2011) State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in the Indonesian New Order. Depok: Komunitas Bambu.

Suryochondro, Sukanti. (1995) “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia”, dalam Tapi Omas Ihromi (ed.), Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Weisberg, Kelly D. (1997) Feminist Legal Theory: Foundations. Philadelphia: Temple University Press.

Wieringa, Saskia Eleonora. (1999) Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya.

Wieringa, Saskia Eleonora. (1988) The Perfumed Nightmare: Some Notes on the Indonesian Women’s Movement. Den Haag: ISS.

Women Research Institute. (2005) Representasi Perempuan dalam Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah. Jakarta: WRI.

Yayasan Jurnal Perempuan. (2004) Menggalang Perubahan: Perlunya Perspektif Gender dalam Otonomi Daerah. Jakarta: YJP.

Page 71: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

46

Page 72: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

TEORI HUKUM FEMINIS

Sulistyowati Irianto

Page 73: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

48

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

Ada banyak pertanyaan perempuan terhadap hukum. Bagaimanakah perempuan diproyeksikan dalam hukum? Apakah pengalaman dan realitas perempuan diperhitungkan oleh hukum? Apakah hukum menguntungkan perempuan atau sebaliknya justru berkontribusi terhadap terjadinya diskriminasi terhadap perempuan? Bagaimana cara menganalis, apakah suatu produk hukum dan legislasi bersifat diskriminatif terhadap perempuan? Karakteristik apa yang dapat dikenali? Itulah pertanyaan perempuan terhadap hukum. Teori hukum feminis adalah referensi dan alat analisis yang paling dapat diandalkan untuk dapat menjelaskannya.

Tulisan ini akan menjelaskan tentang latar belakang munculnya aliran teori hukum feminis, inti gagasan, beberapa aliran pemikiran yang dapat digolongkan ke dalam paradigma teori hukum feminis. Kemudian akan dijelaskan juga bagaimana cara bekerjanya, cara menggunakan pendekatan tersebut dalam menganalisis teks hukum dan putusan hakim.

Pendekatan ini juga dapat menjelaskan bagaimanakah praktek hukum merugikan perempuan atau justru dapat menjadi ruang untuk memberi akses keadilan bagi perempuan. Pendekatan ini juga berguna untuk membangun argumentasi dalam rangka advokasi kesetaraan dan keadilan perempuan dalam perumusan dan implementasi hukum. Karena persoalan perempuan dipercaya bersumber pada hukum, maka dengan hukum pula dapat dilakukan upaya untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih adil bagi perempuan.

2.1 Pengantar

BAB 2

Teori Hukum FeminisSulistyowati Irianto1

1 Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pengajar dan bersama Prof Tapi Omas Ihromi adalah pendiri mata kuliah: “P erempuan dan Hukum” dan “Antropologi Hukum” di FHUI pada awal tahun 1992.

Page 74: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

49

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Kritik utama feminis terhadap hukum adalah soal prinsip ‘netralitas’ dan ‘objektivitas’ yang sangat diagungkan oleh para sarjana hukum arus utama. Adagium “berkedudukan sama di muka hukum” (equality before the law) beriringan dengan prinsip tersebut. Apakah hukum memang benar netral dan objektif? Apakah prinsip berkedudukan sama di muka hukum, benar-benar memberi keadilan kepada perempuan, khususnya kelompok yang marjinal dan tidak diuntungkan, termasuk kelompok perempuan miskin.

Dari berbagai kajian terhadap hukum tampak bahwa hukum tidak netral dan tidak objektif bahkan sejak dari perumusannya. Hukum adalah hasil tawar-menawar dan kompromi politik. Mereka yang memiliki suara, kapital atau kekuasaan yang paling besar adalah mereka yang suaranya direpresentasikan oleh hukum. Hukum bermuatan kepentingan, yaitu kepentingan dari kelompok yang berkuasa. Oleh karena itu dalam banyak konteks, kritik para feminis soal netralitas dan objektivitas hukum harus diperhitungkan. Bila sejak dalam perumusannya saja hukum sudah tidak netral dan objektif, bagaimana bekerjanya hukum dalam praktek?

Apakah prinsip berkedudukan sama di muka hukum, memberi peluang bagi perempuan untuk diposisikan setara dan adil? Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat relatif. Dalam konteks struktur sosial, politik, ekonomi dan kultural seperti apa hukum itu berada dan berlaku. Pada masyarakat yang setiap warga negaranya memiliki akses dan peluang yang sama terhadap sumber daya kesejahteraan, maka prinsip persamaan di muka hukum besar kemungkinannya dapat bekerja efektif. Namun dalam masyarakat yang di dalamnya terdapat begitu banyak lapisan kelas sosial-ekonomi, maka bila hukum dipraktekkan tanpa memperhitungkan situasi keterbelakangan kelompok rentan, justru akan menimbulkan korban hukum. Hal yang dibutuhkan adalah terobosan hukum berupa diperhitungkannya pengalaman dan realitas perempuan.

Dalam hal ini perlu disadari bahwa hukum tidak bisa dimaknai sebatas persoalan prosedur dan formalitas saja. Hukum harus diinterpretasi substansi dan esensinya, logika, serta tujuan-tujuan dasarnya. Sebab bila hukum diartikan sebatas prosedur formal maka akan banyak warga masyarakat miskin, perempuan dan anak-anak, akan dipenjarakan hanya karena ‘kriminalitas ringan’ seperti pencurian piring, burung, atau sandal jepit. Atau ada begitu banyak kasus pemerkosaan yang tidak dapat diproses karena sukarnya pembuktian yang sangat bersifat prosedural. Dalam hal seperti ini, perempuan korban menjadi pihak yang sangat dirugikan, bahkan dalam banyak kejadian, terjadi pembalikan fakta, yaitu perempuan korban didakwa dengan pencemaran nama baik oleh pelaku. Harus

Page 75: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

50

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

disadari bahwa keadilan prosedural tidak sama dengan keadilan substansial, atau keadilan hukum tidak identik dengan keadilan substantif. Justru hukum harus berfungsi sebagai jembatan untuk mendekatkan prosedur dan formalitas dengan keadilan substantif.

Sangat perlu diberi catatan penting di sini, bahwa bila kita berbicara tentang perempuan, maka yang dimaksudkan bukanlah semua perempuan. Tidak semua perempuan merupakan kelompok marjinal. Identitas perempuan tidak tunggal dan seragam. Identitas adalah persoalan bagaimana seseorang distrukturkan baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri.2 Identitas yang melekat atau dilekatkan dalam diri seseorang bersifat ganda berdasarkan ras, etnik, bangsa, agama, kelas, jenis kelamin dan berbagai latar belakang lain. Identitas perempuan akan sangat menentukan bagaimana ia diperlakukan. Meskipun sama-sama perempuan, kelompok perempuan kelas menengah dan berpendidikan, memiliki akses yang lebih kepada sumber daya daripada kelompok perempuan miskin. Pada umumnya perempuan kelas menengah memiliki relasi kuasa yang lebih setara dengan laki-laki yang berhadapan dengannya.

Identitas perempuan, ‘sebagai siapa’ dia distrukturkan, akan berimplikasi pada bagaimana relasinya ditentukan oleh para pihak dan institusi, bahkan negara. Perempuan dari kelompok yang tidak diuntungkan, dianggap sebagai the other, ‘liyan’, ‘orang lain’, karena berasal dari kelompok ras, etnik,bangsa, agama dan kelas yang berbeda. Semua itu bisa berimplikasi terhadap terjadinya pembedaan, pembatasan dan pengucilan dan itulah diskriminasi (lihat Konvensi CEDAW). Jadi perempuan mengalami diskriminasi, bahkan kekerasan, bukan semata-mata karena dia perempuan, tetapi karena persoalan identitas, yang menyebabkan dia dianggap sebagai ‘orang lain’, ‘liyan’ atau bahkan ‘subaltern’. 3

Penjelasan tentang identitas perempuan ini merupakan kritik terhadap teori-teori feminis yang lama, yang tidak memperhatikan keragaman identitas perempuan. Hal ini dimulai oleh kesadaran bahwa ternyata pengalaman perempuan kulit putih tidak sama dengan perempuan kulit berwarna. Mereka diperlakukan berbeda, meskipun sesama perempuan.4 Perempuan di berbagai wilayah di muka bumi ini memiliki karakteristik dan identitas yang berbeda, sehingga pengalamannya tidak sama.

2 Stephany Lawler, Identity: Sociological Perspective ( Cambridge, UK: Polity Press, 2008) 3 Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern Speak? Geographies of Postcolonialism (SAGE Publications UK, 2008) dalam

Sharp, J, Geographies of Post-colonialism, Bab 6. hal. 24-28.4 Henrietta L Moore, Feminism and Anthropology (University of Minnesota Press, USA. 1988)

Page 76: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

51

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Teori hukum feminis muncul sekitar akhir tahun 1970-an atau awal 1980-an dan merupakan salah satu aliran terpenting dalam aliran pemikiran ilmu hukum ‘baru’ saat ini. Beberapa sebutan melekat dalam pendekatan ini, seperti Feminist Jurisprudence, Feminist Legal Theory, women and the Law, Feminist Analysis of Law, Feminist Perspectives on Law, Feminist Legal Scholarship, Gendered Perspective on Law dan banyak lagi.

Latar belakang lahirnya pemikiran hukum feminis ini adalah pertama, sebagai akibat dari adanya gerakan perempuan tiga dekade yang lalu yang cukup besar dampaknya terhadap terjadinya dekonstruksi ilmu pengetahuan di berbagai cabang ilmu sosial. Banyak teori dan metodologi dibongkar, karena adanya kritik feminis terhadap ilmu pengetahuan yang bias laki-laki. Kritik tersebut menghasilkan tulisan di berbagai lapangan studi yang kemudian mempengaruhi pemikiran para sarjana hukum. Kedua, banyaknya perempuan yang memasuki sekolah hukum di Amerika menjelang tahun 1960-an dan membukakan mata para mahasiswa hukum perempuan tentang ketidakadilan teks hukum dalam memosisikan perempuan. Ketiga, sebagai akibat dari reaksi para perempuan yang berperkara di pengadilan dan mereka mengadakan tuntutan yang khas, sebagai akibat dari pemikiran Critical Legal Studies atau Teori Hukum Kritik.6 Karena latar belakang tersebut para sarjana hukum feminis mulai melancarkan kritik terhadap hukum melalui pandangan dan argumentasi yang didasarkan pada pengalaman perempuan.

Gagasan teori hukum feminis ini bermula dari suatu asumsi dasar mengenai hubungan antara perempuan dan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa hukum diinformasikan oleh laki-laki dan bertujuan memperkokoh hubungan sosial yang patriarkis. Hubungan yang dimaksud adalah yang didasarkan pada norma, pengalaman dan kekuasaan laki-laki, dan mengabaikan pengalaman perempuan. Hukum dipandang telah menyumbang kepada penindasan terhadap perempuan. Bagaimana cara membangun dan

2.2 Prinsip-prinsip Dasar 5

5 Sebagian dari bahan yang termuat di bagian ini diambil, diolah dan diperbarui secara signifikan dari tulisan sebelumnya, yang pernah dimuat dalam Irianto, Sulistyowati (2005), “Pendekatan Hukum Berperspektif Perempuan”, dalam Ihromi, Tapi Omas, Sulistyowati Irianto dan Achie Luhulima (editors), Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Bandung: Tarsito, cetakan ke-3, hal 92-112. Kebutuhan akan bacaan tentang Feminist Legal Theory dalam bahasa Indonesia, menjadi alasan pentingnya tulisan tersebut ditulis kembali dengan pembaharuan yang signifikan.

6 Katharine Bartlett T dan Rosanne Kennedy, Introduction dalam Bartlett Katherine dan Rosanne Kennedy (eds), Feminist Legal Theory. Readings in Law and Gender (Westview Press. Inc., USA, 1991, hal 1.

Kelly D Weisberg, Feminist Legal Theory: Foundations (Temple University Press, Philadephia, 1997), hal xv-xvii.

Page 77: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

52

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

melancarkan argumentasi? Caranya adalah dengan mengungkapkan ciri-ciri hukum yang tidak netral dan bagaimana hukum tersebut diimplementasikan dan berdampak merugikan perempuan. Selanjutnya diharapkan akan dapat ditemukan rekomendasi untuk mencapai perubahan dan perbaikan. Pada dasarnya teori hukum feminis mengacu pada satu bidang teori pengajaran dan praktek mengenai bagaimana hukum memproyeksikan perempuan dan berdampak terhadap perempuan.7

Sebenarnya apakah yang dilakukan kaum feminis berkaitan dengan hukum? Katerine Bartlett yang dikutip oleh Brenda Cossman menjawab pertanyaan tersebut:

Pertanyaan perempuan mengenai implikasi gender dan praktek sosial atau praktek hukum adalah: apakah perempuan tidak ikut diperhitungkan dalam perumusan hukum? Dengan cara bagaimana? Bagaimana dapat dilakukan koreksi terhadap pengabaian perempuan dalam teks hukum? Ketika kita menjawab pertanyaan perempuan terhadap hukum berarti kita sedang menguji apakah hukum telah gagal memperhitungkan pengalaman dan nilai-nilai khas perempuan; atau bagaimanakah standar hukum dan konsep hukum yang ada telah merugikan perempuan. Pertanyaan tersebut berasumsi bahwa ciri-ciri hukum bukan hanya tidak netral dalam arti yang umum, tetapi juga bersifat laki-laki dalam arti khusus. Tujuan dari pertanyaan perempuan itu adalah untuk mengungkapkan ciri-ciri tersebut dan bagaimana hukum bekerja, dan kemudian dapat memberi saran mengenai bagaimana hukum dapat dikoreksi. 8

Secara singkat, inti gagasan dari pendekatan hukum berperspektif feminis meliputi beberapa hal, yaitu: pertama, menganalisis teks hukum. Kedua, memeriksa praktek penerapan hukum, terutama di pengadilan. Ketiga, mengaplikasi konsekuensi metodologis dari pendekatan ini.

7 Brenda Cossman, (1990), What is Feminist Legal Theory?: Feminist Legal Theory (The Thatched Patio, July/August No 1-2, 1990), hal. 1.

8 Ibid., hal. 3.

Page 78: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

53

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

2.2.1 Menganalisis Teks Hukum Mempersoalkan perempuan dalam hukum adalah menguji,

apakah hukum telah gagal memperhitungkan pengalaman dan realitas perempuan. Atau betapa standar ganda yang terkandung dalam teks hukum dan konsep hukum, telah merugikan perempuan. Dengan cara bagaimana? Dan untuk kelompok perempuan yang mana? Pertanyaan terakhir itu sangat penting, mengacu pada penjelasan di atas, di mana perempuan memiliki pengalaman, sejarah dan realitas yang berbeda yang terefleksi dalam mulitiidentitasnya.

Sebagai contoh dapatlah diambil suatu pasal dalam UU Perkawinan No. 1/1974. Pasal 31, Ayat 3: “suami adalah kepala keluarga, istri adalah ibu rumah tangga”. Apa yang salah dengan pasal itu? Dalam suatu keluarga muda, di mana suami berpenghasilan cukup dan istri yang punya pendidikan tinggi dan keterampilan, tinggal di rumah atas kemauan sendiri, tidak dipaksa, karena berkeinginan mengurus anak yang masih kecil; pasal itu relatif tidak bermasalah. Adalah benar bahwa suami menjadi kepala keluarga, mencukupi semua kebutuhan keluarga dan istri mengurus rumah tangga.

Akan tetapi bagaimana dengan berjuta-juta perempuan lain, yang memasuki dunia kerja, mengisi berbagai lapangan pekerjaan dan jenjang profesi. Mereka bekerja dengan berbagai alasan seperti mencari penghasilan bagi keluarga, atau aktualisasi diri karena terdidik dan berketerampilan. Hak bekerja adalah hak konstitusional bagi perempuan. Pasal ini menjadi tidak realistis, karena tidak memperhitungkan pengalaman dan realitas perempuan yang bekerja.

Sesampainya di dunia kerja, pasal tersebut diadopsi oleh perusahaan tempat dia bekerja dan tertuang dalam perjanjian kerja yang wajib ditandatangani (secara sepihak) oleh calon pekerja perempuan. Dia tidak punya posisi tawar di situ, karena prinsipnya adalah “take it or leave it”. Ada banyak perempuan lain yang bersedia menggantikan, apabila ia keberatan untuk menandatangani perjanjian kerja tersebut.

Interpretasi terhadap pasal itu dari perspektif feminis adalah seperti di bawah ini.

(a) Hanya pekerja laki-laki yang memiliki keluarga, sedangkan perempuan tidak, karena dia hanya ibu rumah tangga; yang ikut suami. Secara asumtif (bukan realitas) perempuan dianggap memiliki suami yang punya penghasilan. Implikasinya adalah

Page 79: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

54

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

hanya laki-laki yang mendapat tunjangan keluarga dan perempuan tidak.

(b) Perempuan kawin dan punya anak, di dunia kerja dianggap sebagai lajang dan dia juga tidak mendapat akses fasilitas kesejahteraan dan kesehatan bagi anak-anaknya. Ia diperlakukan tidak sama dengan rekan sekerjanya yang laki-laki, yang mendapatkan fasilitas layanan kesehatan tersebut bagi istri dan anak-anaknya. Contohnya tunjangan melahirkan bagi istri karyawan laki-laki dan nihil bagi karyawan perempuan yang juga melahirkan.

(c) Perempuan bekerja hanya sebagai pencari nafkah tambahan; padahal ada banyak perempuan menggunakan penghasilannya untuk keperluan utama dalam keluarga. Dan ada banyak perempuan menjadi kepala keluarga, menghidupi keluarga, bahkan keluarga luasnya, karena berbagai sebab.

(d) Perempuan kawin dan punya anak, yang dianggap sebagai lajang, memiliki dampak kerugian lain. Seperti adanya program pemerintah tentang keluarga berencana, kesehatan reproduksi seperti kampanye anti-HIV/AIDS,yang targetnya adalah ‘ibu’, tidak ditujukan bagi perempuan pekerja. Hal ini mengakibatkan perempuan kehilangan akses terhadap pengetahuan dan layanan kesehatan atau kesejahteraan pada umumnya.

Inilah yang disebut sebagai pasal berstandar ganda dan tidak memperhitungkan pengalaman perempuan. Akibat dari perbedaan perlakuan yang berasal dari pasal tersebut, maka upah kumulatif perempuan bekerja adalah lebih rendah daripada laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Hal ini tentu saja melanggar hak konstitusional perempuan. Hal ini juga berarti pelanggaran terhadap Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 tentang persamaan upah untuk pekerjaan yang sama nilainya, yang sudah diratifikasi oleh negara kita. Pelanggaran lain adalah terhadap prinsip-prinsip Konvensi CEDAW yang sudah diratifikasi oleh negara kita melalui UU No. 7 Tahun 1984, yang dalam Pasal 11, yang mewajibkan negara-negara peserta untuk melarang terjadinya diskriminasi terhadap perempuan di dunia kerja. Pasal ini mengatur secara komprehensif kewajiban negara untuk menjamin bahwa perempuan tidak mengalami diskriminasi di tempat kerja, sejak dari rekrutmen, peningkatan kapasitas kemampuan, upah, tunjangan

Page 80: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

55

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

keluarga, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja yang melindungi fungsi reproduksi perempuan, penyediaan fasilitas penitipan anak dan pensiun.

Masih bisa diperiksa ketentuan lain dari begitu banyak regulasi dan peraturan hukum yang merugikan perempuan. Termasuk di dalamnya adalah peraturan daerah yang bersifat diskriminatif. Menurut catatan Komnas Perempuan, saat ini terdapat 282 Perda dan Kebijakan yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan.9 Cara memeriksanya adalah dengan menggunakan pertanyaan perempuan yang analitis seperti dalam box ini.

Pertanyaan Perempuan terhadap Teks Hukum

Analisis terhadap pasal-pasal tertentu dalam peraturan

perundang-undangan dilakukan dengan mencari konsep-

konsep, terminologi kunci dalam teks. Kemudian dengan meng-

gunakan pertanyaan-pertanyan kritikal berikut ini, konsep atau

kata kunci dalam pasal-pasal itu dapat diuji.

1. Bagaimana identitas dan imajinasi tentang perempuan,

termasuk seksualitas, kapasitas, peranan dan nilai-nilai

tentang perempuan diproyeksikan oleh hukum?

2. Apakah hukum merefleksikan realitas dan pengalaman

perempuan? Perempuan yang mana? (mengingat perempuan

bukanlah identitas yang tunggal dan seragam)

3. Isu apa yang diatur oleh hukum? Apakah seharusnya

pengalaman perempuan masuk ke dalam isu tersebut? Aspek

kehidupan perempuan yang mana yang terpengaruh?

4. Berdasarkan pengalaman dan realitas perempuan, apakah

hukum melindungi dan memberi keuntungan kepada

perempuan? Perempuan yang mana?

5. Apakah aspirasi dan perspektif perempuan diperhitungkan

oleh hukum?

9 Komnas Perempuan. Laporan Pemantauan Pelembagaaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia (2012)

Page 81: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

56

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

Putusan pengadilan juga bisa dianalisis dengan cara yang kurang lebih sama, untuk dapat menemukan bagaimanakah perempuan diposisikan oleh hakim. Buatlah rekonstruksi dari kasus hukum tertentu dengan cara mengidentifikasi (1) pihak-pihak yang bersengketa: dengan siapa perempuan bersengketa dan dalam hubungan apa; (2) sumber daya apa yang disengketakan, berapa besar; atau perkara apa (3) bagaimana argumentasi para pihak, termasuk penegak hukum; (4) pertimbangan hakim: bagaimana perempuan diproyeksikan oleh hakim, apakah pengala m an dan realitas perempuan yang khas diperhitungkan atau tidak’ (5) putusan hakim, apakah berisi terobosan yang memberi keadilan bagi perempuan, atau justru merugikannya karena pengalaman dan realitas perempuan diabaikan.

2.2.2 Menganalisis Praktek HukumMempersoalkan perempuan dalam hukum adalah dalam rangka

menerapkan metode kritis terhadap praktek penerapan hukum. Dengan kata lain, pendekatan ini mempertanyakan tentang implikasi gender dari hukum yang mengabaikan perempuan. Doing law bagi seorang feminis adalah melihat ada apa di balik rumusan-rumusan hukum yang ada, untuk dapat mengidentifikasi implikasi gender dari peraturan hukum serta mengamati asumsi-asumsi yang mendasarinya dan membantu memecahkan persoalan.10

Apabila teks hukum saja sudah bermasalah bagi perempuan, maka dapat dibayangkan bagaimana penerapan hukum dalam prakteknya. Contoh berikut ini adalah petikan dialog di suatu persidangan, yang menunjukkan bagaimana perempuan diposisikan.

-------------------------------------------------------

Yul (istri ) vs Ram (suami)Penembakan dengan air soft gun

Suatu kasus kekerasan dalam rumah tangga yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah seorang suami menembak istrinya dengan air soft gun. Senjata ini cukup berbahaya dan penggunaannya mengharuskan pemakaian alat-

10 Opcit. Cosman, hal. 3.

Page 82: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

57

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

alat keselamatan dan dilakukan di lapangan tembak yang khusus. Namun, suami menggunakannya di rumah untuk menembak istrinya. Untunglah peluru tersebut tidak mengenai bagian tubuh yang vital seperti jantung atau mata, tetapi mengenai paha istri.11 Ketua majelis hakim, yang kebetulan adalah seorang hakim perempuan, sedang memastikan siapa yang memegang pistol. Di awal persidangan, hakim tersebut mengatakan dia harus mencari kebenaran materiil. Oleh karena itu, dia akan mengonfrontasi pihak pelaku dan korban, yang menurut dia, memang sudah sewajarnya berada dalam suatu ruang persidangan.

“Jadi, pada saat Saudara ditembak itu, apakah Saudara melihat siapa yang pegang?” tanya ketua majelis hakim. Yul (korban, nama samaran), kemudian menjelaskan untuk kesekian kali tentang kejadian yang menimpa dirinya. Di akhir penjelasannya Yul mengatakan: “Setelah saya terkena tembakan, saya langsung berteriak aduh. Sakit. Langsung anak saya berteriak-teriak, papi...papi yang tembak,” katanya. “Dan pada waktu itu senjata dipegang oleh..?” tanya hakim ketua langsung. “Terdakwa,” jawab Yul singkat. Yul menyebut pelaku, yang adalah suaminya, sebagai terdakwa. Ia meniru majelis hakim dan jaksa dalam persidangan, yang menyebut suaminya dengan “terdakwa”.

Ternyata dalam berita acara pemeriksaan, keterangan Yul berbeda. “Kenapa Saudara memberikan keterangan seperti itu? Ini sudah dikonfrontir lho,” kejar hakim. “Jadi yang benar yang mana?” tanya hakim sekali lagi. Yul masih berketetapan dengan keterangannya di muka sidang. Hakim kemudian membacakan apa yang tertulis dalam berita acara pemeriksaan, yang menunjukkan bahwa korban tidak tahu siapa yang memegang pistol. Selesai membaca, kembali hakim bertanya: “Jadi, yang saya

11 Petikan dialog ini diambil dari suatu kasus persidangan yang diamati (Irianto & Cahyadi, 2008: hal. 106-139).

Page 83: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

58

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

tanyakan tadi yaitu ketika Saudara ditembak dan merasa sakit, apa yang Saudara lihat? Apakah Saudara melihat terdakwa memegang ini?” tanya hakim sambil menunjuk pistol yang menjadi barang bukti.

“Pada waktu ditembak, saya tidak melihat siapa yang menembak,” jawab Yul datar. “Iya. Pada saat Saudara ditembak, dan kemudian Saudara merasa sakit. Saudara ditembak dari belakang atau dari samping?” tanya hakim ketua. “Dari belakang,” jawab Yul singkat. “Yang memegang senjata ini siapa? Anak Anda atau terdakwa, atau senjata di tempat lain?” tanya hakim sekali lagi seraya berusaha menjelaskan. “Terdakwa,” jawab Yul. “Jadi, setelah ditembak dari belakang, lalu Saudara lihat tidak siapa yang menembak?” tanya hakim. Yul masih terdiam dan tidak langsung menjawab pertanyaan itu. “Saudara lihat atau tidak lihat,” tanya hakim sekali lagi. “Saya melihat,” jawab Yul singkat.

“Masa di sini—berita acara-- dikatakan Saudara tidak tahu,” tanya hakim lagi. Yul kemudian mengulangi penjelasannya tentang apa yang terjadi dan bagaimana perasaannya di kala itu. “Ah iya, karena spontan setelah Saudara kena tembak, Saudara spontan melihat siapa yang menembak,” simpul hakim ketua. “Dan ada terdakwa,” tambah hakim ketua. “Saya hanya ingin mengonfrontir ini kok, mumpung Saudara masih ada di situ,” kata hakim sambil menunjuk ke arah bangku pengunjung. “Kita kan mau mencari kebenaran materiil,” terang hakim sambil mempersilahkan Yul kembali ke tempat duduk pengunjung.

Jaksa dalam perkaran itu adalah juga seorang perempuan. Ia mengadakan tuntutan terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama tiga bulan. Namun kemudian majelis hakim memutuskan pidana satu bulan saja. Putusan itu dijatuhkan atas dasar pertimbangan yang dapat diikuti sebagai berikut.

Page 84: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

59

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Hakim membaca bagian analisis yuridis dalam putusan, yang meninjau dakwaan jaksa penuntut umum. “Menimbang, bahwa terdakwa oleh Penuntut Umum telah didakwa primair melanggar Pasal 44 Ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 atau subsidair melanggar Pasal 44 Ayat (4) UU RI No. 23 Tahun 2004,” ungkap hakim anggota. Pasal 44 Ayat (1) ini mengatur tentang kekerasan fisik yang dilakukan dalam rumah tangga. Sedangkan pasal 44 memberikan pengkhususan terhadap Pasal 44 Ayat (1), yaitu kekerasan fisik tersebut haruslah kekerasan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau mata pencarian atau kegiatan sehari-hari.

“Menimbang, bahwa karena bentuk surat dakwaan adalah bersifat alternatif, maka majelis akan memilih dakwaan yang mendekati fakta-fakta hukum yang telah terungkap di persidangan, yaitu majelis hakim akan memilih untuk meninjau dakwaan subsidair yaitu melanggar Pasal 44 Ayat 4 UU RI No. 23 Tahun 2004,” lanjut hakim

Ram (pelaku) divonis satu bulan penjara karena ia terbukti melanggar Pasal 44 Ayat 4, kekerasan fisik ringan, tidak mengakibatkan gangguan pekerjaan. Hakim mempertimbangkan bahwa hukuman yang diberikan kepada terdakwa merupakan hukuman yang sifatnya memberikan pelajaran kepada terdakwa bukan membalas tindakan terdakwa. Dengan vonis yang sedemikian itu, Majelis Hakim berharap bahwa, di masa yang akan datang terdakwa akan lebih berhati-hati dalam bertindak. Dan lagi, terdakwa masih diharapkan untuk dapat menafkahi keluarganya. Hakim mengetahui bahwa korban, mengajukan kasus pidana untuk kekerasan domestik yang dialaminya. Namun hakim melihat bahwa permohonan cerai masih dalam proses pengajuan, belum final. Hakim menganggap status suami istri masih tetap selama belum ada keputusan mengenai permohonan perceraian yang diajukan.

Page 85: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

60

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

Apa yang bisa dibaca dari putusan terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut? Tampak bahwa hakim menerapkan hukum dalam proses persidangan dengan sangat bersandar pada prinsip prosedural formal seperti yang dipersyaratkan dalam Hukum Acara. Dengan perspektif hukum feminis kita bisa melihat bagaimana perempuan diposisikan dalam proses hukum (persidangan) dan bagaimana dampaknya bagi perempuan korban, seperti di bawah ini.

(a) Pencarian kebenaran materiil, pembuktian, dengan mengonfrontasi pelaku dan korban dalam suatu ruang sidang, sangat tidak menguntungkan bagi (korban) perempuan. Karena pelaku adalah suaminya, orang yang (pernah) memiliki relasi sangat pribadi, maka bagaimanakah istri bisa memberi keterangan yang sesungguhnya dengan berbicara seluas-luasnya di muka publik persidangan, tanpa ada hambatan psikologis dan kultural?

(b) Alasan memutuskan pidana satu bulan sangat tidak adil. Hakim hanya mempertimbangkan bahwa luka tembak tidak menghalangi korban untuk beraktivitas, karena peluru mengenai paha. Hakim tidak memperhitungkan bahwa tindakan menembak itu potensial mengancam nyawa. Bagaimana bila peluru mengenai bagian tubuh yang vital seperti jantung, mata atau kepala?

(c) Dalam hal seorang perempuan korban kekerasan domestik berketetapan hati untuk mengajukan perceraian, maka ia harus menempuh dua kali proses persidangan, karena memang demikianlah yang digariskan dalam sistem peradilan (judiciary system) kita. Hakim perdata hanya memutuskan persoalan perdata, termasuk perceraian. Namun otoritasnya sampai di sini saja. Sementara itu tindak kejahatan kekerasan domestik itu sendiri menjadi tersembunyi. Perempuan korban hanya mendapatkan kepastian bahwa perceraiannya dikabulkan, tetapi tidak mendapat keadilan sepenuhnya, karena tindak kekerasan potensial tersembunyi. Sangat jarang perempuan korban kekerasan

Page 86: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

61

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

domestik memiliki kemampuan untuk mengadakan dua kali tuntutan perdata dan pidana sekaligus. Hanya dalam kasus kekerasan domestik yang sangat serius, seperti dalam kasus ini, perempuan bersedia menjalani sidang dua kali, perdata sekaligus pidana. Namun dalam persidangan pidana ini pun hukuman yang dituntutkan oleh jaksa dan yang dijatuhkan oleh hakim sangat minimal. Alasannya adalah hukuman penjeraan dan proses pengadilan perdata masih berlangsung, dan masih melihat kemungkinan bahwa pelaku masih bisa hidup bersama lagi dengan korban. Bagaimanakah bisa dipikirkan bahwa perempuan yang sudah mengalami penembakan yang sangat potensial membahayakan nyawanya, masih diharapkan bisa hidup berdampingan dengan pelakunya?

(d) Hakim juga tidak memperhatikan realitas perempuan, bahwa ada begitu banyak kasus perceraian dimohonkan di pengadilan. Sebagian besarnya adalah karena kekerasan domestik. Pengadilan perdata, terutama pengadilan agama menerima ratusan kasus perceraian setiap bulan di banyak wilayah di Indonesia, terutama kota-kota besar. Saat ini bahkan sudah lebih banyak kasus cerai gugat diajukan oleh perempuan, daripada permohonan cerai talak oleh laki-laki.12

Hakim yang memiliki perspektif perempuan, akan melakukan terobosan dengan cara memperhitungkan pengalaman korban. Dalam hal ini sangat diperlukan kepekaan gender dalam memaknai teks hukum dan prosedur persidangan. Hakim dengan perspektif perempuan tidak akan menempatkan korban dan pelaku dan mengonfrontasi keduanya seperti dalam kasus pidana biasa, dalam upayanya mencari kebenaran materiil. Hakim juga akan sangat mempertimbangkan potensi bahaya mengancam nyawa dan apalagi mengetahui bahwa korban sedang dalam proses pengajuan perceraian. Artinya, pertimbangan menjatuhkan

12 Sulistyowati Irianto, Contesting and Negotiating Inheritance Laws: Social Justice for (Moslem) Indonesian Women, Van Vollenhoven Institute, Leiden Law School & Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetehschappen (2013), Postdoc research

Page 87: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

62

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

hukuman satu bulan kepada pelaku dengan alasan bahwa perkara perceraian masih berlangsung dan ada kemungkinan putusannya menyatukan kembali pelaku dan korban senyampang kasus kekerasan domestik seserius itu; sangat merugikan korban. Seharusnya pengalaman dan realitas ini menjadi pertimbangan dan diperhitungkan dalam penentukan penjatuhan pidana.

Dalam era seperti ini, adagium bahwa hakim adalah sekadar sebagai corong undang-undang sudah banyak ditinggalkan karena tidak lagi dapat mengakomodasi perkembangan zaman dan rasa keadilan masyarakat.13 Putusan hakim, terlepas dari sistem hukum yang dianut dalam suatu negara, dianggap sebagai secondary legislation. Hakim melalui putusannya juga membuat hukum. Hakim sangat berkesempatan menggunakan putusannya sebagai ruang keadilan bagi pencari keadilan. Kekuasaan kehakiman seharusnya sangat memungkinkan hakim membuat terobosan baru. Terobosan hukum sangat diharapkan, apalagi dalam situasi di mana Kodifikasi Hukum sudah usang dan reformasi hukum dirasa sangat lambat jalannya untuk dapat memberikan akses keadilan bagi pencari keadilan.

2.2.3 Wacana Metodologis Cossman menulis, wacana metodologis dari teori hukum feminis

ini adalah penggunaan kasus-kasus pengalaman perempuan sebagai unit analisis untuk melihat hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki.14 Ciri ketiga inilah yang menjadi ciri khas dari teori hukum feminis, yang membedakannya dari aliran hukum arus utama pada umumnya, yaitu tidak berasal dari teori yang muluk-muluk, tetapi berdasarkan pengalaman perempuan. Analisis ini mempertanyakan apakah perempuan dapat menikmati hak-hak dasarnya dan memperoleh perlindungan hukum.

Ciri-ciri Penelitian Berperspektif Feminis15 Dalam penelitian feminis, pemilihan metode sangat erat

hubungannya dengan posisi epistemologi dan teoretis. Para peneliti

13 Aharon Barak, The Judge in a Democracy (Princeton University Press, USA, 2008)14 Cossman, Op.Cit., hal. 1-12.15 Sulistyowati Irianto & Lim Sing Meij Penelitian Hukum Feminis: Suatu Tinjauan Sosiolegal (Yayasan Obor Indonesia, 2010)

hal. 246-280.

Page 88: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

63

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

atau akademisi feminis cenderung memilih metode yang memiliki karakteristik tertentu, seperti yang dikemukakan di bawah ini:16

1. mengangkat pentingnya pengalaman perempuan,2. menolak adanya jarak atau pembedaan antara peneliti dan yang

diteliti untuk mengeliminir relasi kuasa yang dapat ditunjukkan oleh peneliti terhadap yang diteliti,

3. memungkinkan kelompok yang secara historis termarjinalkan untuk menyuarakan apa yang menjadi keprihatinan, kegalauan dan keinginan mereka,

4. menyadari peneliti menyandang bias-bias tertentu,5. menghindari orthodoxy dalam pemilihan metode penelitian,6. menolak “scientificity” metode tertentu, sebaliknya menggabung-

kan berbagai sumber yang non-konvensional.

Berdasarkan perbedaan antara metode penelitian konvensional dan metode penelitian feminis, akan dapat dikenali ciri-ciri metodologi feminis. Intinya, ada keberpihakan pada perempuan.17

1. Keberpihakan pada perempuan tersebut, seperti yang dimaksudkan seperti diuraikan di bawah ini.

a. Menunjukkan keberpihakan kepada perempuan sebagai ‘korban.’ Keberpihakan ini tergambar sejak memilih topik penelitian, yaitu dengan sengaja memilih permasalahan konseptual mau pun praktekal yang dihadapi perempuan. Keberpihakan juga tercermin dalam merumuskan masalah penelitian, membangun kerangka teori dan memilih metode penelitian.

b. Tujuan riset bukan semata-mata ‘tentang perempuan,’ tetapi ‘untuk perempuan.’ Riset biasanya akan melahirkan rekomendasi bagi perbaikan nasib perempuan.

c. Validitas riset dikaitkan dengan pengalaman perempuan sebagai indikator realitas

16 Tina Skinner, Marianne Hester, Ellen Malos (ed), Researching Gender Violence. Feminist Methodology in Action (Willan PublishingUS, 2005)

17 Saparinah Sadli & Marilyn Porter, Metodologi Penelitian Berperspektif Perempuan dalam Riset Sosial (Program Studi Kajian Wanita Pascasarjana, Universitas Indonesia,1999) hal. 4-7.

Page 89: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

64

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

2. Gender sebagai ‘tool of analysis’a. Relasi gender dipandang sebagai faktor yang berpengaruh

dalam menentukan persepsi dan kehidupan perempuan. Fokus riset adalah masalah khas perempuan sebagai konsekuensi relasi gender dan beragam identitas lain, yang menimbulkan ketimpangan relasi antara perempuan dan para aktor.

b. Penelitian berperspektif perempuan menekankan faktor empati dan kurang mengutamakan fakta objektif, yaitu fakta atau pengetahuan yang ditentukan oleh sesuatu atau aktor yang berada di luar diri perempuan. Kehadiran subjektivitas dirasakan dan dipahami.

c. Penelitian berperspektif perempuan menekankan faktor empati.d. Kecenderungan untuk memakai metode kualitatif, seperti Focus

Group Discussion, wawancara mendalam, observasi partisipasi untuk memahami pengalaman. Namun sebenarnya studi perempuan tidak secara kaku berpegang pada metode tertentu (kuantitatif atau kualitatif). Penelitian kuantitatif terkadang diperlukan untuk mencari sebaran dan memetakan masalah. Sedangkan penelitian kualitatif digunakan untuk memahami (understanding, verstehen) secara mendalam masalah yang diteliti.

Mengapa kaum feminis membutuhkan teori? Teori dibutuhkan untuk memahami hakikat dari banyak masalah yang dialami perempuan, ketika berhadapan dengan hukum. Generalisasi yang didasarkan pada pengalaman masa lalu dibutuhkan untuk memberi perhatian terhadap konteks dan detail. Generalisasi tersebut dilakukan ketika kita berupaya memahami dan menghargai perbedaan maupun persamaan, dalam situasi-situasi yang konkret. Bagi kaum feminis, teori tidak bersifat “out there”, tapi didasarkan pada pengalaman individual perempuan sehari-hari, yang biasa dan konkret. Pengalaman itu kemudian dimunculkan sebagai pengalaman yang dianut bersama, melalui obrolan perempuan.

Secara garis besar teori hukum feminis menurut Weisberg, mempunyai dua komponen utama, yaitu: Pertama, eksploitasi dan kritik pada tataran teoretis terhadap interaksi antara hukum dan gender. Kedua, penerapan analisis dan perspektif feminis terhadap lapangan hukum yang konkret seperti keluarga, dunia kerja, hal-hal terkait pidana, pornografi,

Page 90: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

65

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

kesehatan reproduksi dan pelecehan seksual. Tujuannya mengupayakan terjadinya reformasi dalam bidang hukum.18

Beragam pemikiran yang dapat digolongkan sebagai feminist jurisprudence

setidaknya meliputi: (a) the liberal, atau equal-opportunity atau formal equality atau symmetricist feminism; (b) the assimilationist feminism; (c) the bivalent atau difference atau special treatment feminism; (d) the incorporationist feminism; (e) the different-voice, atau cultural atau relational feminism; (f) the dominance; atau radical feminism dan (g) the post-modern feminism.19

2.3.1 The Liberal atau Equal-Opportunity atau Formal Equality atau Symmetricist Feminism

Tujuan utama pendekatan ini adalah mencapai persamaan formal perempuan. Tuntutannya, perempuan harus diperlakukan sama dengan laki-laki. Pendekatan ini mengangkat pemikiran mengenai inti konsep dari teori politik liberal, yaitu rasionalitas, hak, persamaan kesempatan dan berpendapat perempuan sama rasionalnya dengan laki-laki. Oleh karena itu, mereka harus mendapat kesempatan yang sama untuk menentukan pilihan. Pendekatan ini menolak asumsi tentang inferioritas perempuan dan menghapuskan perbedaan berdasarkan gender yang diakui dalam hukum. Dengan demikian, ini memungkinkan perempuan untuk bersaing secara sama di pasar dunia.

Kritik terhadap pendekatan Liberal adalah ia menunjukkan kepalsuannya ketika mengangkat maleness (kelaki-lakian) menjadi norma. Keberhasilan perempuan diukur dari kinerjanya berdasarkan pranata laki-laki, di mana pranata perempuan ditiadakan. Kritik tersebut berpendapat pendekatan ini menerima nalar yurisprudensi patriarkis. Oleh karena itu, pendekatan ini tidak dapat mencapai perubahan yang nyata mengenai status perempuan. Tuntutan persamaan antara laki-laki dan perempuan hanya melanggengkan nilai-nilai patriarkis, karena konsep perempuan terus dibuat oleh laki-laki.

2.3 Beragam Aliran Teori Hukum Feminis

18 Weisberg. Op.Cit., hal. XVIII.19 Aliran Pemikiran dalam Teori Feminis dalam tulisan ini diambil dari Surya Prakash Sinha, Jurisprudence Legal Philosopy

(West Publishing Company USA, 1993).

Page 91: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

66

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

Sebaliknya, pendukung pendekatan ini mempertahankan faktor diperluasnya kemungkinan bagi pengalaman perempuan sebagai pengganti terkikisnya norma laki-laki. Pendekatan ini dianggap berhasil, karena berbicara dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh sistem hukum. Keuntungan lain dari digunakannya pendekatan ini adalah bisa menarik orang-orang nonfeminis ke dalam pergerakan. Mereka tidak menolak perbedaan jenis kelamin, tapi berpendapat bahwa lebih baik solusi hukum yang tidak spesifik jenis kelamin diubah menjadi hukum yang lebih berfokus pada jenis kelamin.

2.3.2 The Assimilationist FeminismPendekatan ini menghendaki masyarakat non-sexist yang tidak

membuat pembedaan berdasarkan jenis kelamin baik dalam hukum, kelembagaan, maupun tingkat perorangan. Tidak ada relevansi antara perbedaan fisik dengan perencanaan sosial, yang mendistribusikan perhatian politik, institusional dan intepersonal.

Kritik terhadap pendekatan ini menunjukkan, bila mengguna-kan faktor kehamilan untuk membedakan laki-laki dan perempuan, dan menghapuskan pengalaman sosial dari kehamilan, justru akan meremehkan jenis kelamin. Dengan meminta masyarakat untuk men-ciptakan persamaan antara laki-laki dan perempuan, berarti meng-hindarkan perbedaan jenis kelamin. Tambahan lagi, pendekatan ini sama dengan pendekatan liberal, menerima kelaki-lakian sebagai norma.

2.3.3 The Bivalent atau Difference atau Special Treatment FeminismPendekatan ini menginginkan penegakan persamaan perempuan

sehingga dapat memenuhi norma laki-laki. Oleh karena itu, pendekatan ini menekankan perbedaan jenis kelamin. Pendekatan ini percaya, perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan perbedaan budaya, tetapi psikologis yang berkaitan dengan perbedaan fisiologis. Hukum, menurut pendekatan ini, harus memperhitungkan perbedaan kualitas tersebut. Perencanaan sosial, politik dan institusional, dalam hal tertentu bergantung pada perbedaan jenis kelamin. Perempuan dianggap layak mendapatkan perlakuan khusus atau tunjangan khusus karena mereka berbeda dari laki-laki. Argumen persamaan (sameness, equality) berada di belakang visi yang mendasari kondisi struktural, yang justru tidak menguntungkan bagi perempuan.

Page 92: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

67

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Kritik terhadap pendekatan ini adalah Pertama, sulit menentukan seperti apa perbedaan kualitas yang dimaksud. Permasalahan ini berkaitan dengan identifikasi perbedaan, memutuskan perbedaan mana yang relevan secara hukum dan memisahkan mana perbedaan yang nyata dan mana perbedaan yang bersifat stereotip. Kedua, pendekatan ini memperkuat asumsi stereotipikal mengenai kebergantungan perempuan, kurang memperhatikan peniadaan perempuan secara historis, dengan dasar perbedaan dalam kemampuan reproduktif. Ketiga, dengan menekankan kerugian perempuan sebagai hal yang tidak bisa diubah, pendekatan ini mengelakkan diri dengan melekatkan kondisi struktural yang mendasari pembedaan perempuan dan laki-laki

2.3.4 The Incorporationist Feminism

Pendekatan Incorporationist Feminism mengajukan cara pem-batasan yang tegas bagi hukum, untuk memperhitungkan perbedaan jenis kelamin. Dalam hal ini, pembatasan hanya untuk dua aspek unik dari perempuan yaitu kehamilan dan menyusui.

Kesulitan memahami pendekatan ini adalah ia mengaburkan fakta mengenai dominasi yang disebabkan oleh ketidakadilan jenis kelamin. Hal itu hanya dipandang sebagai hal irasional dan tidak membeberkan supremasi laki-laki sebagai suatu sistem sosial yang sempurna.

2.3.5 The Different-Voice atau Cultural, atau Relational FeminismPendekatan ini berfokus pada perbedaan antara laki-laki dan

perempuan disertai sikap mensyukuri perbedaan tersebut. Perempuan memiliki pengalaman hidup yang berbeda, sehingga mereka berbicara dengan suara yang berbeda dari laki-laki. Ketika laki-laki menekankan kompetisi, agresivitas dan mau menang sendiri, suara perempuan justru menekankan pemeliharaan, pengasuhan dan empati. Ketika laki-laki mencari individualisme yang otonom, perempuan mencari hubungan dan ikatan. Ketika laki-laki memandang makhluk hidup sebagai sesuatu yang jelas dan tidak berhubungan, kehidupan perempuan menunjukkan ikatan esensial mereka. Ketika laki-laki berfokus pada hierarki hak-hak yang abstrak, perempuan menghargai hubungan-hubungan dan membuat penyesuaian kontekstual berdasarkan hubungan-hubungan tersebut. Ketika kematangan bagi laki-laki tercapai karena pemisahan, bagi perempuan justru tercapai karena ikatan.

Page 93: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

68

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

Perbedaan antara perempuan dan laki-laki dianggap baik. Hal yang dicari adalah pengakuan terhadap nilai-nilai pengasuhan anak dan pemeliharaan, yang merupakan kontribusi perempuan terhadap masyarakat. Tujuannya adalah memberikan pengakuan yang sama pada suara moral perempuan. Perbedaan dicari dalam kondisi yang nyata, sehingga ada pengakuan terhadap adanya hubungan perempuan yang bernilai, seperti hubungan antara ibu dan anak. Keluhan yang disampaikan pada pendekatan ini bukan terletak pada kategori perempuan yang salah didefinisikan, melainkan tidak diakuinya kategori perempuan. Perspektif laki-laki dalam hukum seharusnya dibangun dengan memperhitungkan nilai-nilai feminin di atas. Dalam pengungkapan perbedaan suara mengenai pemeliharaan dan nilai-nilai komunal, pendekatan ini mengkritik sifat individualisme yang posesif, yang menyatu dalam kehidupan rumah tangga.

Ada beberapa kritik terhadap pendekatan ini. Pertama, pen-dekatan ini menunjukkan esensi yang menyesatkan, di mana dikatakan hanya kategori gender yang menentukan sikap laki-laki dan perempuan terkait luasnya permasalahan. Kedua, pendekatan ini cenderung memarjinalkan perempuan karena meniadakan nilai-nilai kompetisi dan kepentingan yang ada pada diri perempuan. Dampaknya adalah, peniadaan perempuan dalam usaha ekonomi, di mana ada nilai-nilai utama berupa kompetisi dan kepentingan diri sendiri. Ketiga, dengan pendekatan ini kategori perempuan tampaknya dapat ditemukan, baik secara alamiah maupun dibangun secara sosial. Secara alamiah suara tersebut menimbulkan pertanyaan, yaitu tentang bagaimana kita mengetahui bahwa itu adalah suara perempuan, karena tidak mungkin bagi perempuan berbicara bagi dirinya sendiri selama mereka masih menjadi korban subordinasi laki-laki. Lalu, jika dikonstruksi secara sosial, perbedaan suara hanyalah suara lain dari patriarki, karena suara tersebut dibangun untuk menanggapi laki-laki. Keempat, feminisme budaya menegaskan ciri-ciri yang hanya mengangkat kolaborasi perempuan dengan penindasnya.

2.3.6 The Dominance atau Radical FeminismPendekatan The Dominance atau Radical Feminism memandang

perempuan sebagai kelas, bukan makhluk individu seperti dalam liberal feminism. Pendekatan ini mengklaim kelas tersebut didominasi oleh kelas

Page 94: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

69

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

lainnya yaitu laki-laki. Ketimpangan gender atau perempuan dipandang sebagai konsekuensi dari subordinasi yang sistematik, tidak sebagai hasil dan diskriminasi irasional. Peran gender tradisional menerima hierarki gender yang didominasi secara seksual sebagai sesuatu yang natural. Laki-laki menghasilkan konstruksi sosial sekaligus seksualitas, supaya dapat melanggengkan hierarki gender tersebut.

Menurut pendekatan The Dominance atau Radical Feminism, gender adalah masalah kekuasaan. Oleh karena itu, menciptakan kategori hukum untuk mengakomodasi fakta tidaklah memuaskan. Dalam pen-dekatan ini, baik prinsip netralitas gender maupun prinsip perlindung an khusus bagi perempuan, merujuk pada kelaki-lakian (maleness) sebagai acuan. Apa yang dibutuhkan adalah rekonstruksi persamaan seksual ber dasarkan perbedaan perempuan dan laki-laki, bukan semata-mata mengakomodasi perbedaan tersebut. Oleh karena itu, identitas perbedaan perempuan menjadi sentral dalam perdebatan normatif.

Karena pendekatan ini percaya kelas sosial perempuan yang diciptakan berbeda dari laki-laki, ia menolak argumentasi persamaan liberal. Dengan masalah utama soal kekuasaan, maka ia mendekati masalah tersebut tidak dengan pandangan persamaan tetapi pandangan dominasi dan subordinasi seksual. Pendekatan ini meminta perubahan hukum dengan tujuan: (1) perlindungan perempuan dari pelecehan seksual, pemerkosaan, pemukulan oleh laki-laki dan sebagainya; (2) larangan pornografi, karena pornografi menyumbang pada terjadinya subordinasi terhadap perempuan secara seksual; (3) penyediaan kebebasan reproduktif dan hubungan seksual dengan sukarela.

2.3.7 The Postmodernist FeministPendekatan ini mengklaim tidak ada satu pun teori yang tepat

untuk semua perempuan dan tidak ada satu tujuan pun yang baik untuk semua perempuan. Perempuan memiliki manifestasi yang beragam. Feminitas dan maskulinitas berkaitan dengan wacana yang lebih luas tentang gender dan bukan merupakan wacana tunggal yang dibatasi. Kategori perempuan adalah suatu identitas yang tidak mungkin dibatasi. Pendekatan ini tidak berfokus pada kategori yang disebut perempuan, melainkan berfokus pada realitas perempuan yang dikondisikan.

Pendekatan ini menekankan pada solusi praktis dalam situasi yang konkret. Juga mengklaim adanya keuntungan bila menghindari

Page 95: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

70

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

esensi karena penolakannya terhadap kategori yang menyangkut ras atau gender. Ia menunjuk pada konteks dan berpendapat bahwa kategori semacam itu dapat bersifat determinative hanya dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, pendekatan ini tidak menerima hal-hal semacam woman’s voice sebagai perilaku yang determinative dalam suatu kompleks yang berkelindan antara faktor-faktor sosial dan psikologis dalam konteks-konteks yang ganda dan berbeda-beda

Meski tulisan mengenai pemikiran hukum feminis cukup ber-variasi, namun ada kesamaan pokok pikiran berdasarkan tema-tema umum, konsep, gagasan kunci dan metodologi. Pemikiran yang beragam itu disatukan oleh kepercayaan yang mendasar bahwa masyarakat bersifat patriarkal.

a. Kritik terhadap SejarahMenurut kaum feminis, sejarawan tradisional menulis sejarah dari

sudut pandang laki-laki, yang meniadakan sudut pandang perempuan. Mereka tidak meneliti peranan perempuan dalam menciptakan sejarah. Mereka tidak memperhitungkan peranan perempuan dalam membentuk struktur masyarakat dan bagaimana perempuan menjalani kehidupannya. Pertama, tulisan-tulisan sejarah tersebut membangun sejarah yang palsu, yang meniadakan pertimbangan perempuan. Contohnya, Zaman Renaissance dipandang sebagai periode kebangkitan kembali peradaban Barat, meski pada waktu itu ada perempuan-perempuan yang dibakar karena dianggap sebagai tukang sihir. Perempuan didomestikasi, dibatasi ruang geraknya hanya sebagai istri-istri kaum borjuis dan tidak diperhitungkan dalam gagasan revolusi “liberty-equality-fraternity.” Kedua, tulisan sejarah oleh laki-laki menciptakan bias laki-laki ketika berbicara mengenai konsep tentang manusia, potensi gender dan struktur sosial.

b. Kritik terhadap Yurisprudensi PatriarkiSarjana feminis merasa yurisprudensi aliran utama bersifat patriarkis.

Mereka menunjukkan bahwa doktrin hukum mendefinisi kaum laki-laki dan melindungi mereka, bukan melindungi perempuan. Mereka berpendapat

2.4 Tema-tema Umum Penalaran20

20 Ibid.

Page 96: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

71

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dengan mengabaikan perbedaan gender, pemberlakuan konsepsi hukum dapat mengekalkan kekuasaan patriarki.

Kaum feminis menunjukkan doktrin hukum, praktek hukum dan bahasa hukum yang memperlihatkan adanya sexism. Mereka berpendapat partriaki memiliki kekuasaan untuk memberi penamaan (label) dan kategori mengenai sesuatu yang bernilai atau tidak bernilai, dihitung atau tidak dihitung, dicatat atau tidak dicatat. Di samping itu bahasa diciptakan oleh laki-laki dan menegakkan nilai-nilai laki-laki. Kemudian hal-hal yang diciptakan itu dijadikan norma. Akibat selanjutnya, ada kecenderungan pembelaan hukum yang mencari aturan-aturan yang komprehensif berdasarkan norma laki-laki tersebut.

c. Kritik terhadap Determinasi BiologisMereka menolak determinasi biologis, karena penetapan tersebut

mempunyai konsekuensi membatasi kekuasaan perempuan dan pilihan mereka. Mereka mempertahankan argumen bahwa gender diciptakan secara sosial, bukan biologis. Jenis kelamin menentukan persoalan seperti genitalia atau kapasitas reproduktif, tetapi bukan persoalan psikologis, moral, ciri-ciri sosial yang diberikan kepada masing-masing gender.

d. Adopsi Dialektika Jenis Kelamin/GenderMereka menolak gaya patriakis yang mendua, yang membedakan jenis

kelamin dan gender. Mereka menunjukkan adanya hubungan dialektika serta interaksi di antara keduanya. Keduanya tidak bergantung satu sama lain secara absolut, tapi mereka berpendapat dikotomi patriarki mencegah kita untuk melihat adanya saling keterhubungan ini.

e. Beberapa Komitmen BersamaAgenda penelitian dari sarjana feminis bervariasi, tetapi merefleksikan

beberapa komitmen bersama. Pertama, secara politis mereka mencari persamaan antara laki-laki dan perempuan. Kedua, secara analitis, mereka membuat gender sebagai kategori analitis untuk tujuan merekonstruksi praktek hukum yang meniadakan kepentingan perempuan. Ketiga, secara metodologis, mereka menggunakan pengalaman-pengalaman perempuan untuk mendeskripsikan dunia dan menunjukkan transformasi yang dibutuhkan.

Mereka terutama mendasarkan pada wacana pengalaman untuk menganalisis persoalan-persoalan yang menjadi perhatian mereka, misalnya soal hierarki gender, objektivikasi seksual dan struktur sosial. Mereka juga menggunakan

Page 97: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

72

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

metode tersebut untuk menemukan seksualitas yang otentik dan realitas kondisi perempuan. Namun, pada tulisan-tulisan mereka, kadang tercermin kekhawatiran tentang apakah metode ini tidak terlalu individualistik.

Pendekatan teoretis yang beragam di atas, juga membahas konsekuensi metodologis. Wacana metodologi ini memperkuat metodologi dari teori hukum feminis yang sudah dituliskan sebelumnya. Meskipun terdapat variasi pemikiran dari aliran teori tersebut, namun mereka memiliki kesamaan ketika membicarakan aspek metodologi hukum feminis. Hal itu meliputi wacana pengalaman pembangkitan kesadaran, mempertanyakan masalah-masalah perempuan dan alasan praktis teknis.

a. Wacana yang Bersifat Pengalaman (Experiential Discourse)Dalam arti luas, feminis kritikal menggunakan wacana pengalaman

sebagai basis ilmu pengetahuan untuk menganalisis struktur sosial, hierarki gender dan objektivikasi seksual. Analisis ini menggunakan pengalaman nyata sebagai pokok kajian dan bukan menggunakan analisis deduktif dari prinsip abstrak menuju empiris, lalu kembali berputar pada skema-skema konseptual. Kemudian, pengalaman-pengalaman itu diintegrasikan ke dalam teori supaya dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengalaman tersebut. Akibat personal dari ketakadilan yang melembaga dinarasikan, fokus diarahkan pada pengalaman perempuan yang didominasi.

Terdapat beberapa persoalan dalam metode semacam itu. Contohnya, ketika mengatakan pengalaman perempuan, metode tersebut cenderung mengabaikan keanekaragaman yang muncul dari faktor-faktor seperti periode sejarah, kebudayaan, kelas, ras, usia, orientasi seksual, etnis dan sebagainya. Tambahan lagi, metode tersebut tidak memperhitungkan pengalaman perempuan yang tidak sejalan dengan premis-premis feminis. Masalah menjadi lebih serius, jika kita mempertimbangkan pertanyaan penelitian yang dibuat oleh sebagian peneliti yang mayoritas perempuan, yang memahami dunia secara berbeda, yang diadopsi oleh kaum feminis. Bahkan, kadangkala ada pertentangan di kalangan kaum feminis sendiri mengenai laporan pengalaman mana yang seharusnya

21 Ibid

2.5 Tema-tema Umum Wacana Metodologis 21

Page 98: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

73

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dikontrol. Selanjutnya, muncul pertanyaan di mana letak otoritas dari laporan pengalaman. Lebih khusus lagi pertanyaan dalam hal subordinasi, mengapa pengalaman gender lebih mendapat hak istimewa untuk diperhitungkan daripada misalnya, kelas, ras, etnisitas atau orientasi seksual.

b. Membangkitkan Kesadaran (Consciousness-Raising)Secara esensial, pembangkitan kesadaran tercapai dengan cara kaum

perempuan saling mendengarkan kisah-kisah pribadi di antara sesamanya dan mengangkat menjadi dominan cerita yang tenggelam dalam wacana secara terus-menerus. Dengan pembangkitan kesadaran maka lahirlah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman perempuan. Ilmu pengetahuan yang mempromosikan gambaran mengenai luasnya pengalaman perempuan, dan pemantapan konsekuensi yang nyata terkait makna kehidupan sosial. Penderitaan pribadi ditransformasikan ke dalam pengalaman tertekan yang bersifat kolektif. Pengalaman tersubordinasi yang dianut bersama menyebabkan terungkapnya ciri-ciri pengalaman yang didasarkan pada pembedaan kelas, dan hal ini membebaskan perempuan dari sikap menyalahkan diri sendiri.

Metode pembangkitan kesadaran beroperasi pada dua tingkat, yaitu tingkat pertumbuhan pribadi dan tingkat institusional. Dalam tingkat pertumbuhan pribadi, pengalaman individu diangkat dan diintegrasikan ke dalam teori. Sebaliknya, teori disahihkan atau dimodifikasi oleh pengalaman. Dengan demikian dimensi individu dan sosial dari pengalaman perempuan menjadi terhubung.

Pada tingkat institusional, metode yang bersifat umum memberi ruang kepada pengalaman tentang ketertindasan perempuan sehingga mengubah persepsi publik yang akhirnya menentang patriarki. Pandangan tentang pembangkitan kesadaran diajukan sebagai proporsi normatif dari proses hukum. Contohnya, proporsi mengenai pertumbuhan jumlah hakim perempuan yang akan memajukan proses hukum; atau pertumbuhan hakim perempuan yang diharapkan akan meningkatkan pengambilan keputusan yang kooperatif di antara para hakim.

Pembangkitan kesadaran di antara perempuan juga memiliki konsekuensi munculnya ketaksetujuan di antara mereka mengenai masalah-masalah hetero-seksualitas, keibuan, pornografi, ibu pengganti, wajib militer dan sebagainya.

c. Mengajukan Pertanyaan PerempuanPengajuan pertanyaan perempuan terdiri atas identifikasi komponen

gender dan implikasi gender dari aturan hukum yang dinyatakan netral, beserta

Page 99: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

74

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

implikasi prakteknya. Pertanyaan perempuan untuk menggali implikasi gender dilakukan dengan meneliti bagaimana hukum yang ada lebih menyukai nilai laki-laki daripada nilai-nilai perempuan. Selanjutnya adalah bagaimana hukum tersebut dapat dikoreksi. Koreksi dilakukan supaya dapat mengurangi atau meniadakan dampak kerugian bagi perempuan.

Metode ini tidak dirancang untuk mengungkapkan setiap atribut yang melekat pada perempuan, tetapi mengangkat rencana institusional terkait pencegahan subordinasi terhadap perempuan dalam keluarga, dunia kerja, pola pengasuhan anak dan sebagainya. Lebih jauh agar pengadilan ikut menolak nilai-nilai yang bersifat preseden dari suatu kasus yang merugikan perempuan. Metode ini juga bertujuan untuk membedakan atau menajamkan materi dan sensitif terhadap teks dan pertimbangan hukum yang merugikan perempuan. Hal lainnya, metode ini menyediakan suatu alat analisis untuk membongkar status quo dan mengungkapkan bias yang tersembunyi dalam hukum.

d. Alasan Praktis Feminis (Feminist Practical Reasoning)Secara substansial metode ini mengurangi situasi yang tidak dapat

diubah, dengan menggunakan pertanyaan terbuka mengenai apa, mengapa dan bagaimana sesuatu itu seharusnya dilakukan dalam konteks yang khusus bagi perempuan. Metode tersebut percaya bahwa yang menjadi masalah bukanlah konflik dikotomis antara perempuan dan laki-laki, yang dapat dipecahkan melalui dipilihnya salah satu prinsip ketimbang prinsip yang lain, tetapi juga problem-problem itu bersifat dilematis.

Metode tersebut menunjukkan adanya kebutuhan akan aturan-aturan yang sesuai dengan fakta baru, yang terjadi secara kebetulan, yang tidak dapat diramalkan sebelumnya. Dalam prosedur ini, diajukan pertanyaan untuk menolak aturan-aturan yang seolah-olah ditujukan untuk kepentingan masyarakat, tetapi sebenarnya menyembunyikan ketimpangan gender. Tujuannya, untuk mengungkap ketidakadilan gender. Alasan yang tersembunyi di belakang konteks dibongkar dan digunakan untuk mengangkat ketidakadilan.

Bagaimana kaum feminis menggunakan pendekatan hukum berperspektif perempuan untuk menganalisis kasus sehari-hari? Dengan pendekatan teori hukum feminis, hukum dikaji dengan mengonfirmasi pertanyaan tentang perempuan sebagai berikut.

2.6 Diskusi

Page 100: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

75

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

a. Bagaimanakah hukum memberi dampak pada perempuan dan memberi sumbangan terhadap terjadinya subordinasi terhadap perempuan?

b. Bagaimana hukum dapat digunakan untuk memajukan posisi sosial perempuan?

Pertanyaan pertama meliputi analisis terhadap substansi dan proses hukum, metodologi penalaran hukum dan tuntutan epistemologikal hukum terhadap objektivitas serta netralitas. Selanjutnya, pertanyaan kedua berkaitan dengan bagaimana hukum dapat digunakan untuk perjuangan kaum feminis menciptakan perubahan sosial. Pertanyaan kedua meliputi strategi khusus bagi reformasi hukum, seperti halnya peranan hukum dalam perubahan sosial pada umumnya.

Bagaimana penjelasan tentang hukum yang memberi dampak terhadap perempuan dan memberi sumbangan kepada subordinasi perempuan? Pendekatan hukum berperspektif perempuan memulainya dengan analisis terhadap peraturan-peraturan yang diskriminatif dalam praktek-praktek sosial. Hal tersebut meliputi analisis terhadap aturan yang secara eksplisit membuat perbedaan berdasarkan gender dan yang merugikan perempuan. Analisis tersebut dapat berfokus pada pengungkapan aturan dan praktek hukum. Sebagai contoh, aturan hukum yang melarang perempuan menggunakan hak pilih (pernah berlaku di Amerika Serikat), melarang perempuan bekerja sebagai pengacara (pernah berlaku di Kanada tahun 1847, 1941) dan menghukum secara lebih berat pelaku perzinahan perempuan daripada pelaku laki-laki.

Analisis tersebut akan mempertimbangkan alasan-alasan yang men-dasari perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan per-lakuan semacam itu sering dipertahankan dengan dalih untuk melindungi perempuan. Rasionalitas maupun dampak dari hukum tersebut diuji, untuk menentukan apakah aturan-aturan dan praktek menguntungkan atau merugikan perempuan.

Analisis tahap dua dilakukan terhadap metodologi hukum dan penalaran hukum. Sebagian sarjana hukum feminis berargumentasi metodologi penalaran hukum bersifat patriarkis. Mereka berpendapat perempuan menggunakan penalaran moral secara berbeda dari laki-laki, yaitu perempuan lebih sensitif terhadap konteks dan pengalaman dan cenderung kurang bersikap mengeneralisir dan berfokus pada abstraksi. Teori-teori mengenai perbedaan gender dalam penalaran moral mendapat kritik feminis karena penalaran hukum dan metodologinya didasarkan pada penalaran moral laki-laki.

Page 101: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

76

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

Sementara itu sarjana hukum feminis lainnya berpendapat bahwa metodologi kuno dari penalaran hukum tentang karakter masalah-masalah hukum, pemilihan preseden hukum dan interpretasi doktrin hukum, menyembunyikan persoalan politik yang mendasarinya. Penekanan terhadap prinsip-prinsip dan preseden dalam metodologi hukum tradisional dianggap konservatif. Fokus yang ketinggalan zaman itu memberi peluang pada dilestarikannya bias laki-laki dan mengabaikan pengalaman perempuan terhadap hukum.

Analisis tahap ketiga berkaitan dengan tantangan kaum feminis terhadap tuntutan epistemologi hukum terkait netralitas. Ada kaum feminis yang berpendapat bahwa kritik feminis terhadap sistem hukum secara nyata dimulai dengan dekonstruksi mengenai mitos tentang objektivitas dan netralitas. Pada tahap ini analisis yang dilakukan jauh melampaui analisis doktrinal, dan berupaya untuk menggali pertanyaan tentang hubungan antara perempuan, hukum dan penindasan. Feminisme Radikal dan Feminisme Sosialis, meskipun berbeda dalam asumsi awal, pada akhirnya memunculkan pertanyaan yang saling berkaitan. Bagaimana hubungan antara hukum dan negara, antara hukum dan ideologi dan berusaha membuat teori tentang dampak dari hubungan-hubungan tersebut terhadap perempuan.

Bagaimanakah hukum dapat digunakan untuk memajukan posisi perempuan? Bidang penelitian ini umumnya berfokus pada strategi yang dikembangkan untuk litigasi feminis dan reformasi hukum. Di bidang hukum pidana, hukum keluarga, hukum perburuhan, hukum kesejahteraan sosial dan sebagainya, sarjana hukum feminis melakukan advokasi terhadap reformasi hukum serta mengupayakan perubahan terhadap pendekatan interpretatif dari pengadilan. Sebagian sarjana memperhatikan pengembangan argumentasi hukum yang khusus, yang terkait tantangan konstitusional terhadap hukum yang diskriminatif. Sebagian sarjana lain langsung mengarahkan perhatian kepada pengadilan, mengartikulasikan jenis-jenis pendekatan interpretif dan bertujuan agar pengadilan menggunakan terobosan khusus dalam hukum untuk memberi keadilan. Sementara ada sarjana hukum yang berfokus kepada perumusan proposal khusus bagi kepentingan reformasi hukum.

Sarjana hukum feminis percaya strategi yang berfokus pada pertanyaan perempuan, dapat digunakan untuk mencapai perubahan sosial. Namun, pertanyaan mengenai apakah hukum dalam prakteknya menjadi alat yang berguna bagi perubahan sosial (law as a tool of social engineering), tetap menjadi permasalahan bagi teori berperspektif perempuan selama bertahun-tahun.

Page 102: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

77

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Teori hukum feminis memberi muatan cukup kuat dalam perkembangan teori hukum di kampus seluruh dunia. Wacana keadilan bagi perempuan (miskin) telah menjadi wacana global. Para akademisi dan peneliti hukum membutuhkan alat analisis yang tepat untuk memecahkan berbagai permasalahan hukum yang dihadapi perempuan. Untuk itulah teori hukum feminis menyediakan diri. Dengan mengajukan pertanyaan perempuan pada tataran substansi hukum, praktek hukum dan metodologi, diharapkan para peneliti dan akademisi mampu mengidentifikasi peraturan perundangan yang mengandung elemen diskriminatif terhadap perempuan.

Penelitian dan kajian dapat diteruskan pada tataran praktek penerapan hukum, khususnya di persidangan. Bagaimanakah perempuan, utamanya korban, ditempatkan oleh hukum melalui perlakuan, pertimbangan dan putusan hakim. Pada akhirnya penjelasan yang didapat dari hasil analisis ini, dapat digunakan untuk keperluan advokasi bagi reformasi hukum. Tujuan akhirnya adalah, perubahan masyarakat ke arah yang lebih adil bagi kelompok yang terpinggirkan dan tidak diuntungkan, khususnya perempuan.

2.7 Kesimpulan

Page 103: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

78

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS

Daftar Pustaka Bab 2

Barak, Aharon. (2008) The Judge in a Democracy. USA: Princeton University Press.

Bartlett, Katharine T. dan Rosanne Kennedy. (1991) “Introduction”, dalam Katherine T. Bartlett dan Rosanne Kennedy (eds.), Feminist Legal Theory. Readings in Law and Gender. USA: Westview Press. Inc.

Cossman, Brenda. (1990) “What is Feminist Legal Theory”. The Thatched Patio No.1-2 July/August 1990.

Irianto, Sulistyowati. (2005) “Pendekatan Hukum Berperspektif Perempuan” dalam Tapi Omas Ihromi, Sulistyowati Irianto & Achie Luhulima (eds.), Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Cetakan ke-3. Bandung: Alumni.

Irianto, Sulistyowati. (2013) Contesting and Negotiating Inheritance Laws: Social Justice for (Moslem) Indonesian Women. Penelitian pascodoktoral, akan diterbitkan. Van Vollenhoven Institute, Leiden Law School & Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetehschappen.

Irianto, Sulistyowati dan Antonius Cahyadi. (2008) Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati dan Lim Sing Meij. (2010) “Penelitian Hukum Feminis: Suatu Tinjauan Sosiolegal”, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Komnas Perempuan. (2012) Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia. Laporan Pemantauan Kondisi Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Provinsi. Jakarta: Komnas Perempuan.

Lawler, Stephany. (2008) Identity: Sociological Perspective. Cambridge, UK: Polity Press.

Moore, Henrietta L. (1988) Feminism and Anthropology. USA: University of Minnesota Press.

Page 104: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

79

BAB 2 TEORI HUKUM FEMINIS HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Sadli, Saparinah dan Marilyn Porter. (1999) Metodologi Penelitian Berperspektif Perempuan dalam Riset Sosial. Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia.

Sinha, Surya Prakash. (1993) Jurisprudence Legal Philosopy. USA: West Publishing Company.

Skinner, Tina dan Marianne Hester, Ellen Malos (eds.). (2005) Researching Gender Violence: Feminist Methodology in Action. USA: Willan Publishing.

Spivak, Gayatri Chakravorty. (2008) “Can the Subaltern Speak?”, dalam Sharp, J., Geographies of Post-colonialism. UK: SAGE Publications.

Suryochondro, Sukanti. (1995) “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia”, dalam Tapi Omas Ihromi (ed.), Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Weisberg, Kelly D. (1997) Feminist Legal Theory: Foundations. Philadephia: Temple University Press.

Page 105: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

80

Page 106: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM

DAN GENDERHerni Sri Nurbayanti

Page 107: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

82

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

3.1 Pengantar

BAB 3

Konsep-Konsep Utama Hukum dan Gender

Tulisan ini membahas beberapa konsep penting yang akan berguna terutama bagi pembaca di lingkungan ilmu hukum yang ingin mempelajari studi hukum dari perspektif perempuan. Beberapa konsep penting akan dijelaskan dengan disertai beberapa contoh. Sangat disadari bahwa diskriminasi terhadap perempuan yang bersumber pada konstruksi sosial dan budaya, sangat besar kemungkinannya mendapat formalisasi dalam berbagai produk hukum dan kebijakan. Oleh karena itu untuk bisa memahami persoalan diskriminasi terhadap perempuan dalam hukum, sangat penting untuk memahami konteks sosial dan budaya, yang merupakan ruang tempat bekerjanya hukum.

Pada waktu pembahasan UU no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang anggota DPR mengatakan bahwa perempuan itu tidak seperti sarung Bugis, yang semakin lama dipakai, semakin enak. Ini adalah argumentasi yang menunjukkan dukungan terhadap diperbolehkannya ketentuan poligami dalam UU tersebut. Komentar ini tentu saja tidak terlihat jelas dalam teks peraturan perundang-undangan namun dapat ditelusuri pada dokumen dan catatan selama pembahasan yang menjelaskan latar belakang sejarah, maksud dan tujuan dari teks hukum tersebut.

Page 108: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

83

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Pada saat ini Komnas Perempuan mencatat terdapat 342 kebijakan berupa peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan di berbagai tingkat di daerah yang berdampak diskriminatif, bahkan kriminalisasi terhadap perempuan. Adanya peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasi perempuan menunjukkan bahwa hukum ternyata tidak bergerak dalam ruang vakum.

Peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan kebijak-an di bidang hukum merupakan produk hukum, produk sosial dan produk politik. Sebagai produk sosial, peraturan perundang-undangan me refleksi-kan nilai-nilai, kondisi serta praktek-praktek sosial masyarakat pada wilayah dan waktu tertentu. Sementara itu, sebagai sebuah produk politik, peraturan perundang-undangan juga merupakan hasil pertarungan pelbagai kepentingan politik di parlemen dan seringkali dipengaruhi oleh situasi politik lokal, nasional maupun internasional serta perspektif yang dimiliki para anggota DPR/DPRD dan DPD.

Peraturan perundangan-undangan adalah produk politik yang menjadi kan parlemen seperti sebuah ‘arena pertarungan’ kepentingan, pemikiran dan perspektif berbagai elemen masyarakat, baik yang terepresentasikan maupun tidak di parlemen. Di dalamnya, tidak saja pemerintah dan DPR/DPRD yang memiliki kepentingan, namun juga partai politik yang berada di belakang anggota DPR/DPRD yang memiliki kepentingan, perspektif dan posisi yang berbeda-beda terhadap suatu persoalan. Pertarungan tersebut juga melibatkan kelompok-kelompok masyarakat seperti kelompok agama, organisasi perempuan, kelompok profesi dan sebagainya yang memiliki kepentingan dan mencoba mempengaruhi proses pembahasan. Dalam hal ini tampak bahwa proses pembahasan juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial dan politik masyarakat saat itu. Bila divisualisasikan dalam sebuah bagan, maka parlemen sebagai arena pertarungan dapat digambarkan sebagai berikut:

Page 109: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

84

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

Dari bagan tersebut, dapat dilihat terdapat banyak faktor nonhukum yang melatarbelakangi lahirnya suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, bagian ini akan menguraikan bagaimana faktor-faktor nonhukum tersebut terbentuk dan mempengaruhi instrumen, produk dan kebijakan hukum serta perilaku aparat penegak hukum bahkan budaya organisasi suatu institusi penegak hukum. Perspektif atau pandangan tentang gender dari pembentuk kebijakan dan aparat penegak hukum sebagai bagian dari anggota masyarakat berperan penting dalam cara bagaimana mereka memosisikan dan memproyeksikan perempuan dalam hukum dan kebijakan. Oleh karena itu, pembahasan pada bagian ini akan dimulai dengan pengertian mengenai gender dan perbedaannya dengan jenis kelamin. Juga bagaimana gender sebagai sebuah struktur sosial mempengaruhi relasi sosial dan kekuasaan di tingkat individu, kelompok, masyarakat, simbol-simbol budaya yang kemudian terefleksikan dalam peraturan dan kebijakan.

Bagian kedua bab ini akan menjelaskan permasalahan yang muncul ketika terjadi ketimpangan atau ketidakadilan gender yang merupakan pengantar

Page 110: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

85

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

3.2 Pengertian Gender

bagi tulisan selanjutnya dalam buku teks ini yang mengupas lebih dalam mengenai persoalan-persoalan ketidakadilan gender di Indonesia. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dibahas dalam bagian ini adalah subordinasi, marginalisasi, beban ganda, pelabelan negatif (stereotyping) dan kekerasan berbasis gender. Penjelasan setiap bentuk ketidakadilan gender tersebut dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi di Indonesia. Pembahasan sekaligus menjelaskan konsep-konsep kunci seperti pembakuan peran suami-istri, partisipasi perempuan dalam ruang publik terutama politik, buruh migran, seksualitas dan kekerasan terhadap perempuan, sebagai pengantar bab-bab selanjutnya yang membahas persoalan-persoalan tersebut secara lebih mendalam.

Pembahasan subordinasi dikaitkan dengan pembakuan peran suami-istri serta ketentuan poligami dalam UU Perkawinan dan dampaknya terhadap perempuan. Marginalisasi dan beban ganda dikaitkan dengan persoalan feminisasi kemiskinan. Kemudian juga dipersoalkan bagaimana negara memandang suatu sektor ekonomi sebagai sektor yang ‘produktif ’, sehingga tidak memperhitungkan produktivitas sektor domestik serta ketentuan tentang ketenagakerjaan dan perlindungan terhadap buruh migran. Pelabelan negatif dikaitkan dengan persoalan seksualitas perempuan dan kriminalitas terhadap tubuh perempuan dalam peraturan perundang-undangan, menjadi pengantar menuju bab selanjutnya, yaitu tentang pornografi. Terakhir, kekerasan berbasis gender memberikan pengantar mengenai tipologi kekerasan secara umum dan bagaimana analisis gender membantu memahami kekerasan berbasis gender, akan pengantar bagi bab selanjutnya yang membahas topik kekerasan terhadap perempuan.

Bagian ketiga akan mengurai pendekatan-pendekatan yang selama ini digunakan dalam memecahkan persoalan ketidakadilan gender tersebut dalam konteks gender, hukum dan pembangunan, termasuk bagaimana pendekatan tersebut diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan nasional di Indonesia.

Kata gender berasal dari bahasa Inggris kuno, gendre, yang bila ditelusuri, kata itu dipinjam dari bangsa Norman di era Prancis lama, genre yang mengakar dari bahasa Latin, genus. Artinya adalah macam, tipe atau jenis. Di dunia ilmu, seorang seksologis bernama John Money memperkenalkan istilah gender pada sekitar tahun 1950-an untuk membedakan dari jenis kelamin. Selanjutnya istilah gender dipopulerkan oleh para feminis pada era 1970-an.

Page 111: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

86

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

Para ilmuwan sosial kemudian mengembangkan pelbagai macam teori untuk menjelaskan pemahaman gender. Teori-teori ini diklasifikasikan oleh Barbara J. Risman ke dalam empat kelompok tradisi teoritis.1

1. Teori-teori yang memfokuskan kajiannya pada asal-muasal perbedaan jenis kelamin individual, baik dari aspek biologis maupun sosial.

2. Teori yang memfokuskan pada bagaimana struktur sosial dibandingkan dengan pembelajaran biologis atau individu berkontribusi dalam menciptakan perilaku-perilaku berbasis gender.

3. Teori-teori yang menekankan pada interaksi sosial dan ekspektasi orang lain terhadap individu-individu dengan menerapkan peran-peran gender tertentu ternyata menciptakan dan memproduksi ketidakadilan gender.

4. Teori-teori yang mencoba mengintegrasikan pendekatan-pendekatan sebelumnya dengan memperlakukan gender sebagai sebuah sistem stratifikasi sosial yang dikonstruksikan.

Di antara lautan teori sosial tersebut, secara sederhana ada dua kunci utama yang dapat membantu kita memahami gender. Pertama, memahami perbedaan jenis kelamin (secara biologis) dan bagaimana perbedaan-perbedaan itu dilihat, digunakan dan dijadikan dasar pembenar untuk melakukan pembedaan-pembedaan peran sosial antara perempuan dan laki-laki. Kedua, memahami bagaimana gender beroperasi di struktur sosial dan interaksi masyarakat mulai dari tingkat individu, keluarga, kelompok, hingga simbol-simbol budaya.

3.2.1 Perbedaan dan PembedaanSalah kaprah yang seringkali terjadi ketika memahami

gender adalah bahwa gender selalu dikaitkan dengan perempuan, sehingga persoalan gender dilihat sebagai persoalan perempuan saja. Kesalahpahaman ini terjadi karena gender seringkali diasosiasikan dengan jenis kelamin dan dalam hal ini hanya menekankan pada jenis kelamin perempuan. Padahal, gender dan jenis kelamin memiliki pengertian yang berbeda.

Jenis kelamin adalah perbedaan klasifikasi manusia berdasarkan organ biologis antara laki-laki dan perempuan, khususnya pada bagian reproduksi. Seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia

1 Barbara J. Risman, Gender as a Social Structure: Theory Wrestling with Activism, dalam Jurnal Gender & Society Vol. 18 No. 4, August 2004 diterbitkan oleh Sociologists for Women in Society hal. 429-450.

Page 112: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

87

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

memiliki penis, kantung zakar, buah zakar, sperma, prostat dan kromosom XY. Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina, ovarium (indung telur), sel telur, uterus (rahim) dan kromosom XX sehingga punya kapasitas untuk mengalami menstruasi, mengandung, melahirkan dan menopause. Melihat sifat dan karakteristik jenis kelamin, maka unsur-unsur yang cenderung melekat pada jenis kelamin adalah:

l ciptaan Tuhan;l yang memunculkan kodrat perempuan, yaitu menstruasi,

melahirkan dan menyusui;l tidak dapat berubah;l tidak dapat ditukar;l berlaku kapan dan di mana saja.

Namun, jenis kelamin yang membuat perbedaan antara manusia berdasarkan organ reproduksi yang dimilikinya menjadi perempuan dan laki-laki ini pada kenyataannya seringkali dijadikan dasar untuk membuat pembedaan peran sosial laki-laki dan perempuan di masyarakat. Contohnya, karena perempuan menstruasi, mengandung dan melahirkan, maka peran reproduksi dan domestik dianggap menjadi tanggung jawab perempuan, bukan laki-laki. Selain itu, karena perbedaan biologis, seperti jaringan otot yang lebih lemah dan kualitas gen yang lebih rendah dibanding laki-laki serta hormon yang berpengaruh terhadap kondisi emosinya, maka perempuan dianggap lemah baik secara fisik, intelektual maupun psikologis dan tidak memiliki kapasitas untuk menjadi penanggung jawab atau pemimpin keluarga. Sementara itu, karena laki-laki secara fisik dinilai lebih kuat, memiliki gen yang lebih berkualitas dibanding perempuan dan tidak memiliki hambatan ‘biologis’ lainnya, maka dianggap layak dan memiliki kemampuan untuk menyandang peran sebagai kepala keluarga, pemimpin dan pencari nafkah. Laki-laki yang dinilai tidak menunjukkan karakter ini dianggap tidak maskulin, sementara perempuan yang tidak mau tunduk pada keperempuanannya, dianggap tidak feminin dan bahkan dipertanyakan ‘keperempuanan’nya.

Perbedaan biologis dan psikis antara perempuan dan laki-laki inilah yang kemudian mendasari pembedaan bahkan pemisahan peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Pandangan ini kemudian

Page 113: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

88

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

disosialisasikan dalam masyarakat sehingga diterima sebagai sesuatu yang seharusnya berlaku dalam berinteraksi di masayarakat, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut diajarkan sejak kita dilahirkan. Pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial inilah yang disebut gender.

Kodrat merupakan suatu hal yang melekat dan tidak bisa diubah. Kodrat perempuan diartikan melekat pada menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui dan menopause, sementara laki-laki adalah mem-produksi sperma, berjakun dan berjenggot. Hal-hal yang bersifat kodrati ini tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.

Namun pada kenyataannya, peran mencari nafkah dan kepala rumah tangga ternyata bisa saja dijalankan oleh perempuan. Data yang dikumpulkan oleh Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) menunjukkan sekitar 17% dari 40 juta rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan.2 Mayoritas dari perempuan kepala keluarga ini merupakan janda dari kelompok menengah ke bawah. Mereka menjadi kepala keluarga karena bercerai, suami meninggal, ditinggal suami tidak ada kabar, suami bermigrasi ke negara lain, suami mengalami sakit permanen atau perempuan lajang yang bertanggung terhadap keluarga atau saudara. Namun demikian, peran mereka sebagai keluarga tidak diakui oleh negara karena pandangan masyarakat dan pemerintah pada umumnya hanya menempatkan dan mencatat laki-laki sebagai kepala keluarga. Salah satu akibat dari pandangan ini terhadap perempuan kepala keluarga adalah mereka luput dari perhatian pemerintah dan tidak memperoleh akses terhadap program pemerintah yang berusaha untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan keluarga.

Dengan demikian, gender bisa diasosiasikan sebagai jenis kelamin sosial yang dibentuk secara sosial dan budaya. Definisi gender dalam Women’s Studies Encyclopedia menguatkan hal tersebut di mana gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.3

2 Pikiran Rakyat, 2 Juni 2004, 40 Juta Jadi Kepala Keluarga, pada situs PEKKA dengan alamat tautan: http://www.pekka.or.id/8/index.php?option=com_content&view=article&id=119%3A40-juta-wanita-jadi-kepala-keluarga-&catid=43%3Apekka-in-the-news&Itemid=45&lang=in, diakses pada 15 Agustus 2013.

3 Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encyclopedia, (US: Greenwood Press, 1999).

Page 114: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

89

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Pada awalnya, jenis kelamin secara biologis dan jenis kelamin secara sosial (gender) ini belum bisa dibedakan. Hal ini terlihat dalam diskusi teori nature (alamiah atau kodrat alam) dan nurture (konstruksi budaya) dalam memandang gender secara sosiologis. Teori nature memandang gender sebagai kodrat alamiah yang tidak perlu dipermasalahkan, sehingga perbedaan tersebut bersifat universal dan tidak dapat dipertukarkan. Implikasi dari perbedaan yang alamiah itu adalah perempuan dan laki-laki memiliki peran dan tugas secara sosial yang berbeda. Sementara teori nurture melihat gender sebagai hasil rekayasa budaya dan bukan perbedaan yang bersifat kodrati sehingga perbedaan gender tidak berlaku universal dan dapat dipertukarkan. Implikasinya adalah identitas gender dari perempuan dan laki-laki ditentukan secara psikologis dan sosial yang berarti secara historis dan budaya.4

Saat ini, gender lebih diartikan sebagai jenis kelamin sosial yang berpedoman pada pandangan masyarakat yang kemudian berkembang menjadi norma sosial; gender memiliki sifat yang tidak tetap, dapat berkembang sesuai pengalaman, pengetahuan dan kedewasaan masyarakat serta dapat dipertukarkan. Sifatnya yang tidak tetap dan tergantung dari konteks wilayah masing-masing itu membuat gender dapat berubah dan berbeda dari waktu ke waktu, di suatu daerah dan daerah lainnya.

Di masyarakat Batak dengan sistem patrilineal, garis keturunan dan garis waris dihitung dari ayah atau laki-laki. Masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat dengan sistem kekerabatan matrililineal menghitung garis keturunan dan waris dari ibu. Sementara itu masyarakat Jawa dengan sistem kekerabatan bilateral atau parental garis keturunan bisa dihitung dari kedua belah pihak baik ayah maupun ibu. Ketiga sistem kekerabatan ini menempatkan perempuan dan laki-laki secara berbeda. Meski demikian budaya patriarki melekat dalam setiap kebudayaan dengan sistem kekerabatan yang mana pun. Sungguhpun demikian, karena tuntutan zaman, terjadi pergeseran posisi perempuan dan laki-laki. Contohnya, pada masyarakat Batak berlaku ketentuan hukum adat yang tidak memberi hak waris bagi perempuan. Namun sejak tahun 1961, ditandai oleh terbitnya Putusan Mahkamah Agung yang memberikan

4 Kamla Bhasin Bhasin, Kamla, What is a Girl, What is a Boy (Bindia Thapar: Jagori, 2002)

Page 115: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

90

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

hak waris bagi anak perempuan, terdapat pengaruh terhadap putusan pengadilan berikutnya dan dalam sebagian prakteknya.5

Prinsipnya, karakter yang melekat pada konsep gender adalah:l hasil konstruksi sosial dan budaya atau buatan manusia;l tidak bersifat kodrat;l dapat berubah;l dapat ditukar;l tergantung waktu dan budaya setempat.

3.2.2 Memahami Bagaimana Gender BeroperasiPerbedaan antara jenis kelamin dan gender secara singkat dapat

diuraikan sebagai berikut:6

Sex refers to the biological characteristics distinguishing male and female. This definition emphasizes male and female differences in chromosomes, anatomy, hormones, reproductive system, and other physiological components. Gender refers to those social, cultural and psychological traits linked to males and females through particular social contexts. Sex makes us male or female; gender makes us masculine and feminine. Sex is an ascribed status because a person is born with it, but gender is an achieved status because it must be learned.

Sebagai suatu hasil konstruksi sosial dan rekayasa budaya, gender diperoleh melalui proses ‘pembelajaran’ atau ‘internalisasi’ melalui sosialisasi yang berjenjang, dalam kurun waktu yang lama. Mosse berpendapat,7 pranata sosial yang kita masuki sebagai individu mulai dari keluarga pada saat lahir, lembaga pendidikan, pergaulan remaja, dunia kerja, kehidupan sosial, perkawinan dan sampai akhirnya kita membentuk keluarga sendiri, memberikan aturan-aturan dan pesan yang jelas kepada kita bagaimana menjadi laki-laki dan perempuan serta relasi yang ‘sudah sewajarnya’ di antara keduanya. Dengan demikian konsep gender pun

5 Sulistyowati Irianto, Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).6 The Sociology of Gender: Theoretical Perspective and Feminist Frameworks, Chapter 1: //www.learningace.com/doc/7706

457/8c2629aa016c4d27ebaa0d8427bc00e8/chapter-1-the-sociology-of-gender-theoretical-perspectives-and-feminist-frameworks (diunduh 25/02/2014).

7 Julia Cleve Mosse, Gender dan Pembangunan, (Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dan Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996), hal. 63.

Page 116: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

91

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

bergerak dalam empat level, yaitu: individu; keluarga; masyarakat yang kemudian dikukuhkan dalam bentuk simbol-simbol budaya.

Pada dasarnya, struktur suatu masyarakat terbentuk dari pola-pola yang relatif stabil yang memberitahukan bagaimana interaksi sosial di dalam masyarakat itu dijalankan. Pada level individu, sejak lahir kita mulai diperkenalkan dan diarahkan untuk ‘menjadi perempuan dan laki-laki’ sesuai dengan norma sosial dan budaya yang berlaku di lingkungan kita. ‘Pendidikan’ pertama ini terlihat dari warna baju perlengkapan bayi, yaitu merah muda untuk perempuan dan biru untuk laki-laki. Perbedaan perlakuan antara bayi laki-laki dan perempuan juga tampak pada perayaan atau ritual terhadap kelahiran anak laki-laki dengan menyembelih dua ekor kambing, dibandingkan anak perempuan yang hanya satu ekor kambing. Hal ini sebagai simbol atas bukan saja penghargaan dan status yang lebih tinggi terhadap anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, namun juga tanggung jawab yang lebih besar dari anak laki-laki yang diharapkan tumbuh kuat untuk melindungi anak perempuan yang lemah.

Ketika beranjak besar, sekolah, teman sepermainan dan media massa menjadi lembaga sosialisasi gender yang penting. Pandangan umum orang tua yang melihat anak sebagai sebuah ‘investasi’ juga berpengaruh dalam membentuk harapan dan ekspektasi masyarakat terhadap anak serta pola pendidikan yang diberikan mereka kepada anak-anak. Anak perempuan diharapkan akan mengemban peran sebagai seorang istri yang patuh dan selalu melayani suami, serta seorang ibu dan anak/menantu yang menjadi penopang dalam melakukan pekerjaan rumah tangga serta merawat anak, orang tua dan mertuanya. Sementara anak laki-laki diharapkan menjadi pemimpin keluarga yang ditaati oleh istri dan anak-anaknya serta menjadi tulang punggung dalam mencari nafkah.

Harapan ini yang kemudian mempengaruhi pola pendidikan yang berbeda bagi anak perempuan dan laki-laki. Anak perempuan diajari dan diarahkan untuk belajar memasak, mengurus keluarga, dan lain sebagainya. Mereka juga tidak diharapkan untuk mencapai sekolah tinggi atau hanya memasuki bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu yang dianggap “sesuai” untuk anak perempuan. Sementara anak laki-laki cenderung diarahkan untuk menguatkan dirinya, belajar bidang pengetahuan yang sekiranya mampu mendukung dia sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik dan bertanggung jawab serta tidak diperkenalkan tugas-tugas ‘rumah tangga’ yang sebenarnya bisa dikerjakannya di rumah.

Page 117: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

92

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

Di luar keluarga, anak perempuan dan laki-laki sebagai individu juga mengalami proses belajar dari anggota masyarakat yang berpengaruh, terhadap bagaimana ia memandang dirinya sebagai perempuan atau laki-laki, mengikuti relasi serta perilaku yang diarahkan oleh komunitas. Internalisasi ini memunculkan tuntutan sosial dan perlahan-lahan mempengaruhi laki-laki dan perempuan secara biologis dan psikologis. Seorang laki-laki dituntut bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala macam atribut ‘kelelakian’ lain yang ditentukan oleh masyarakat. Seorang perempuan dituntut untuk menjadi sosok yang cantik, anggun, emosional dan sebagainya.

Peran sosial laki-laki dan perempuan sebagai suami dan istri ini dikukuhkan dalam simbol-simbol dalam ritual pernikahan, misalnya pada adat Jawa. Salah satunya, dikenal dengan Wiji Dadi, di mana mempelai laki-laki menginjak telur ayam hingga pecah dengan kaki kanan kemudian dibasuh oleh penganti perempuan dengan air bunga. Prosesi ini merupakan simbol ketaatan seorang istri dalam melayani suaminya yang merupakan balasan atas jasanya sebagai seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Contoh lain terlihat pada ritual kacar-kucur atau tampa kaya atau tandur di mana pengantin laki-laki menuangkan kacang kedelai, kacang tanah, beras, jagung, beras ketan, bunga dan uang logam ke pangkuan perempuan sebagai simbol pemberian nafkah. Sebagai simbol istri yang baik dan menerima, pengantin perempuan menerima pemberian itu dengan membungkusnya dengan kain putih yang diletakkan di atas pangkuannya.8

Untuk memastikan tiap orang berperilaku sesuai tuntutan identitas gendernya, masyarakat pun memiliki suatu sistem kontrol sosial. Segala jenis ‘penyimpangan’ terhadap peran gender yang sudah menjadi bagian dari landasan kultural masyarakatnya, akan dinilai sebagai sesuatu yang negatif atau menentang budaya yang mapan. Salah satu dampaknya terhadap perempuan adalah yang disebut Collete Dowling sebagai Cinderella Complex, yaitu suatu rasa takut yang mencekam yang dialami kaum perempuan sehingga tidak berani dan merasa tidak mampu memanfaatkan potensi otak serta daya kreativitasnya secara penuh.9

8 Thomas Wiyasa Bratawijaya, Upacara Tradisional Masyarakat Jawa, (Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1988).9 Collete Dowling, The Cinderella Complex: Women’s Hidden Fear of Independence, (Pocket Books Nonfiction: June, 1982)

Page 118: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

93

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Memahami Bagaimana Gender BekerjaMenonton Film “Billy Elliot”

Kisah Billy Elliot

http://www.indosiar.com/sinopsis/billy-elliot_56117.html

Film drama keluarga arahan Stephen Daldry ini, sarat pesan moral

untuk keluarga yaitu jangan memaksakan kehendak kepada anak,

walaupun hal itu baik untuk dirinya dan kehidupan si anak nantinya.

Dikhawatirkan bila hal yang terjadi akan bertolak belakang dengan

cita-cita dan bakat si anak, kelak akan menjadi bumerang bagi si anak

itu sendiri.

Kisah ini berawal pada tahun 1984. Di sebuah kota tambang

di Inggris Utara, para pekerja tambang sedang melakukan mogok

kerja sehingga keadaan kota kecil semakin tegang dan tak terkendali.

Anak berusia 12 tahun bernama Billy Elliot (Jamie Bell) di mana

ayahnya, Jackie (Gary Lewis) seorang pemabuk dan kakaknya

seorang demonstran yang ikut melakukan pemogokan, ibunya sudah

meninggal dan neneknya tak memerdulikannya.

Billy tumbuh di tengah keluarga keras, tanpa sadar ia harus

dapat mengendalikan dirinya. Ayahnya menghendaki Billy menjadi

seorang petinju seperti kakeknya dan ia pun di masukkan di klub tinju.

Sebaliknya Billy tidak suka tinju, diam-diam uang latihan

tinju, ia pergunakan untuk membayar latihan tari balet. Umumnya,

semua temannya adalah perempuan dan tak mengherankan Billy

pun dicemooh oleh mereka. Dengan dorongan guru baletnya, Ny.

Wilkinson (Julie Walters), Billy pun terus berlatih. Namun hal itu

tidak berselang lama, karena ayahnya mengetahui keberadaan Billy

dan membuat kondisi rumahnya semakin buruk.

Akhirnya Ny. Wilkinson mengajak Billy mengikuti audisi

untuk ikut sekolah balet kerajaan tapi dia harus mengatakan hal

yang sebenarnya pada keluarganya. Bagaimana kisah selanjutnya?

Apakah Billy memilih Balet atau tetap menjadi petinju?

Page 119: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

94

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

Pertanyaan untuk diskusi Film Billy Elliot adalah sebagai berikut.

1. Mengapa keluarga Billy Elliot tidak memperbolehkan ia

mempelajari balet oleh keluarganya? Apa yang melatarbelakangi

pemikiran dan sikap mereka ini?

2. Setelah menonton film ini, coba pikirkan bagaimana gender

beroperasi di tingkat:

a. individu, yaitu Billy Elliot;

b. keluarga, yaitu di keluarga Billy Elliot (bapak, kakak dan Billy);

c. masyarakat, yaitu lingkungan teman kerja ayah Billy yang

merupakan kelas pekerja menengah ke bawah (penambang)?

d. simbol-simbol: bagaimana ‘sarung tinju’ dan baju ‘tutu’(baju

balet) digunakan sebagai simbol-simbol penekanan peran

gender dalam film ini?

Pembedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan itu secara tidak langsung berdampak pada relasi antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pembedaan tersebut tidak saja menginternalisasi bahwa dalam banyak hal perempuan dianggap lebih lemah dan tidak mampu dibandingkan laki-laki tetapi juga memberikan batasan-batasan terhadap perempuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Ketimpangan relasi ini tampak sejak di tingkat keluarga dan berdampak baik pada anak perempuan dan laki-laki. Contohnya, pada keluarga yang memiliki keterbatasan dana pendidikan dan harus memprioritaskan pendidikan anak-anaknya, maka pendidikan anak laki-laki lebih diutamakan dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki diberi keleluasaan dalam memilih bidang-bidang pengetahuan yang dianggap pas dan tepat sebagai bekal menjadi kepala rumah tangga kelak. Sementara ekspektasi terhadap pendidikan anak perempuan tidak terlalu tinggi, karena dianggap tidak memerlukan bekal pendidikan yang cukup untuk menjadi seorang istri dan ibu. Namun, laki-laki bisa juga terkena dampak terhadap pembedaan ini, misalnya saja dalam kasus Billy Elliot. Seni tari balet dianggap hanya cocok bagi perempuan dan merendahkan baik kelelakiannya maupun martabat keluarganya.

Pembedaan tersebut menciptakan relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki serta memunculkan ketidakadilan

Page 120: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

95

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

gender, yaitu antara lain bila salah satu jenis kelamin dirugikan dengan cara dibedakan derajatnya, dianggap tidak mampu, diperlakukan lebih rendah dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh penilaian-penilaian yang berstandar ganda karena faktor jenis kelamin secara biologis. Pandangan masyarakat ini seringkali menjadi latar belakang lahirnya suatu kebijakan atau peraturan perundang-undangan dan menggunakan tangan negara untuk mengukuhkan ketidakadilan gender tersebut.

3.3.1 SubordinasiBentuk ketidakadilan gender yang pertama adalah subordinasi,

yaitu perempuan ditempatkan pada posisi subordinat atau pelengkap terhadap laki-laki sebagai pemegang posisi ordinat, baik di ruang privat maupun publik. Contoh subordinasi yang terjadi di ruang privat adalah laki-laki ditempatkan sebagai pengambil keputusan yang utama di keluarga, daripada istri. Contoh subordinasi perempuan di ruang publik adalah akses dan partisipasi politik perempuan yang masih dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dan budaya partai politik di Indonesia. Hal ini berdampak pada masih rendahnya representasi politik perempuan di DPR, DPD dan DPRD sehingga akses dan partisipasi perempuan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan pun masih terbatas. Akibatnya kaum perempuan legislatif masih menjadi pengambil kebijakan yang kedua dibandingkan laki-laki.

a. Subordinasi di Ruang Privat: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)

Peran laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai isteri ibu rumah tangga dibakukan dalam Pasal 31 Ayat 3 dan Pasal 34 UU Perkawinan, meskipun dinyatakan sebelumnya bahwa keduanya memiliki hak dan kedudukan yang seimbang.

Pasal 31(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

3.3 Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender

Page 121: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

96

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga

Pasal 34(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

Selain itu, subordinasi juga ditunjukkan dalam ketentuan UU Perkawinan yang mengatur mengenai kebolehan poligami bagi suami. Pada Pasal 33 UU Perkawinan dinyatakan, “Suami isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.” Namun demikian, prinsip seharusnya bersifat resiprokal antar suami-istri ini tidak terlihat dalam ketentuan poligami yang diatur pada Pasal 3 dan 4 UU Perkawinan.

Pasal 3(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri,

seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri

lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana

tersebut dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud dalam Ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 4 Ayat 2 menunjukkan suami secara hukum tidak memiliki kewajiban untuk menaati Pasal 33 UU Perkawinan bila istrinya cacat badan, memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tidak dapat melahirkan

Page 122: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

97

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

keturunan atau menjalankan kewajibannya sebagai istri. Sementara se balik-nya, istri secara hukum masih terikat untuk menghormati Pasal 33 bila suaminya mengalami hal-hal yang tercantum pada Pasal 4 Ayat 2 tersebut.

Selain itu, pasal ini juga menunjukkan bahwa hukum negara hanya melihat perkawinan sebagai sarana untuk memperoleh keturunan dan melindungi hak laki-laki untuk memperoleh keturunan tersebut. Bila istri pertama tidak dapat menghasilkan keturunan, maka secara hukum suami ‘dilindungi haknya’ untuk berpoligami, mencari istri lain yang dapat memberikannya keturunan. Pasal ini juga melindungi kepentingan biologis suami, manakala istrinya tidak mampu memberikan hal itu karena cacat badan dan penyakit yang tidak dapat disembuhkannya. Namun sebaliknya, UU Perkawinan tidak memperhatikan kepentingan biologis si istri bila suaminya mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, karena sebagai seorang istri dituntut pengabdiannya dalam memberikan dukungan lahir dan batin serta wujud ketaatannya dalam melayani suami. Pada prinsipnya perkawinan diposisikan semata-mata untuk kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris atau keturunan bagi suami.

Namun, kenyataan berbicara lain. Data yang diajukan oleh LBH APIK menunjukkan jumlah perceraian akibat poligami selama tahun 1996-2001 yang tercatat di Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama meningkat:10

Kasus Perceraian Akibat Poligami Tidak Sehat di Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia (1996-2001)

 

10 Hukum online, Selasa, 25 November 2003, Poligami, Masalah Krusial dalam Revisi Undang-undang Perkawinan, pada tautan:http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9232/poligami-masalah-krusial-dalam-revisi-undangundang-perkawinan, diakses pada 25 Agustus 2013.

Page 123: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

98

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

Meskipun ketentuan mengenai perkawinan poligami dalam UU Perkawinan ditempatkan sebagai pintu darurat, pada kenyataannya poligami yang dilakukan di masyarakat banyak yang tidak berpegangan pada Pasal 4 Ayat 2 tersebut. Dari 58 kasus poligami yang ditangani tahun 2001-2003, memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan, termasuk ancaman teror dan penelantaran terhadap istri dan anak-anak. Sebanyak 35 kasus di antaranya adalah poligami yang dilakukan tanpa alasan yang sesuai dengan yang diatur dalam UU Perkawinan.

Fakta-fakta ini menyebabkan adanya dorongan untuk melaku-kan perubahan UU Perkawinan, namun hingga saat ini pro-kontra masih diperdebatkan. Perubahan UU Perkawinan tidak disetujui oleh banyak pihak, terutama oleh pengambil kebijakan dan pemangku agama. Permasalahan lain yang muncul dari UU Perkawinan ini adalah mengenai perceraian dan pewarisan. Dilihat dari sejarahnya, UU Perkawinan ini diproyeksikan sebagai peraturan perundang-undangan di tingkat nasional yang berusaha mengatasi berbagai sistem hukum yaitu hukum adat dan agama, yang berkaitan dengan perkawinan berikut perceraian dan pewarisan. Namun demikian, UU Perkawinan ini justru menimbulkan pelbagai masalah di masyarakat, terutama mengenai perceraian dan pewarisan yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.

b. Subordinasi di Ruang PublikPandangan masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai

penanggung jawab sektor domestik, tidak rasional dan emosional se-hingga dianggap tidak layak menjadi pemimpin, mengakibatkan jarang sekali perempuan memasuki sektor publik dan pengambilan kebijakan, salah satunya parlemen. Akibat langsung dari pembatasan secara sosial ini adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam partai politik dan representasi perempuan yang rendah di lembaga perwakilan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Data menunjukkan sejak Pemilu 1987 hingga tahun 1999, persentase perempuan di DPR sangat rendah, yaitu: 13% (1987); 12.5% (1992); 10.8% (1997) dan 9% (1999).11

Salah satu strategi yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan rendahnya representasi perempuan adalah kebijakan afirmatif

11 http://www.wydii.org/index.php/component/content/article/36/139.html (diakses 25 Februari 2014).

Page 124: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

99

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

atau tindakan khusus sementara yang ‘mendorong’ partai politik untuk mempromosikan perempuan dalam bidang politik. Berkat dorongan yang terus-menerus dari gerakan perempuan di Indonesia, ketentuan mengenai hal ini akhirnya diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan PerwakilanDaerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pasal 13 Ayat 3 UU No. 31 Tahun 2002 mengintroduksi perlunya keadilan gender dalam kepengurusan partai dan Pasal 65 Ayat 1 UU No. 12 Tahun 2003 menerapkan kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam susunan daftar calon anggota legislatif.

Namun demikian, kedua undang-undang memiliki keterbatasan, yaitu hanya mengatur tentang perlunya keadilan gender dalam kepengurusan partai politik dan terbatas pada pencalonan anggota pada pemilihan umum. Celah hukum yang terbuka di antaranya adalah belum mengatur penempatan nomor urut yang dapat menjamin keterpilihan perempuan dan tidak diikuti sanksi terhadap partai yang melanggar ketentuan tersebut. Hasil dari perjuangan tersebut, pada Pemilu 2004 jumlah representasi perempuan di parlemen hanya meningkat sedikit menjadi 61 orang atau 11% dari 550 anggota DPR.

Tampaknya perlu dilakukan penguatan secara terus-menerus terhadap ketentuan yang mendorong partisipasi perempuan dalam bidang politik. UU Pemilu ini kemudian diubah menjadi UU No.8 Tahun 2008 tentang Pemilu, UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, dan Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berikut adalah perbaikan yang dilakukan.a. Mengharuskan partai politik menempatkan sedikitnya 30%

perempuan dalam kepengurusan partai. l Pasal 2 Ayat 5 UU No. 2 Tahun 2008 menyatakan, “Kepengurusan

Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”

l Pasal 51 Ayat 2 menetapkan bahwa “Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) paling lama pada forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik

Page 125: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

100

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

pada kesempatan pertama sesuai dengan AD dan ART setelah Undang-Undang ini diundangkan.”

b. Pasal 55 Ayat 2 UU No. 10 Tahun 2008 mencantumkan masalah kuota secara tegas dengan ketentuan untuk mencantumkan nomor urut 1 sampai 3 harus ada calon perempuan.

Undang-Undang ini kemudian direvisi menjadi UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan ketentuan 30% kuota perempuan di kepengurusan tidak mengalami perubahan.

Namun demikian, enam dari sembilan partai yang lolos Parliamentary Threshold (PT) pada pemilihan umum tahun 2009 yang telah menyelenggarakan musyawarah nasional/kongres/muktamar sepanjang tahun 2009-2011, ternyata belum mampu menjalankan amanah Undang-Undang. Dari keenam partai tersebut, yaitu Partai Golongan Karya, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan, hanya Partai Persatuan Pembangunan yang telah memasukkan ketentuan kuota 30% di kepengurusan harian di seluruh jenjang kepengurusan.

Pada tahun 2012, celah hukum yang muncul terkait ketiadaan sanksi dicoba diperbaiki dalam Undang-Undang Pemilu No. 8 tahun 2012. Pasal 59 Ayat 2 undang-undang tersebut menyebutkan:

”Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut”.

Pasal 59 Ayat 3 pada undang-undang itu juga memuat ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR, DPD dan DPRD diatur dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lembaga ini dapat menambahkan sanksi bagi partai politik yang melanggar. Namun demikian, efektivitas pelaksanaannya tergantung pada keberanian dari KPU dan kemauan politik dari partai politik untuk mengubah struktur organisasi serta pemberdayaan sumber daya

Page 126: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

101

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

manusianya. Kedua faktor ini dibutuhkan bagi peningkatan kader-kader perempuan sehingga perempuan tidak lagi disubordinatkan dalam partai politik. Selain itu, partai politik juga perlu memiliki perspektif, sikap dan posisinya terhadap isu-isu perlindungan terhadap hak-hak perempuan.

3.3.2 MarginalisasiPemahaman yang melihat perbedaan perempuan dan laki-laki

yang menyebabkan pembedaan atau pemisahan peran domestik bagi perempuan dan peran publik bagi laki-laki menempatkan laki-laki lebih superior daripada perempuan. Superiotas ini tidak saja dilihat dari pemisahan wilayah publik dan privat atau domestiknya saja, namun juga dalam penentuan sektor apa yang dianggap sebagai ‘sektor produktif ’ dalam perspektif ekonomi nasional. Dalam hitungan produktivitas dan pendapatan nasional, sektor domestik seringkali tidak diakui oleh negara sebagai sektor produktif yang berkontribusi terhadap pendapatan dan produktivitas suatu negara.

Akibatnya, para perempuan yang berkontribusi besar dalam sektor domestik tidak dinilai sebagai kaum produktif dan menyebabkan posisinya termarginalisasi sehingga menjadi miskin. Jikapun kontribusi perempuan di sektor domestik dihargai, hal itu dianggap sebagai suatu pengabdian dan pelayanan yang seharusnya diberikan oleh para perempuan yang nantinya akan diganjar sebagai pahala, dan tidak memiliki nilai ekonomis apa pun. Dampak lanjutan dari memarginalkan perempuan di sektor domestik adalah keterbatasan perempuan dalam mengakses dan berpartisipasi dalam sumber daya ekonomi, kesempatan kerja dan modal.

Proses marginalisasi yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi terhadap anggota keluarga perempuan serta diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Contohnya, banyak suku bangsa di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan akses kepada sumber daya termasuk waris. Marginalisasi ini juga tampak dalam dunia ketenagakerjaan di mana laki-laki dianggap memiliki nilai ekonomis dan investasi yang lebih tinggi dibanding perempuan sehingga memiliki tingkat upah yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Akibatnya, jumlah pendapatan

Page 127: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

102

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

antara laki-laki dan perempuan berbeda. Untuk beban kerja yang sama, laki-laki memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Pada akhirnya, seorang perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah, tidak dianggap ‘bekerja’ karena jenis pekerjaan yang dilakukannya, seberapa pun banyaknya, dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang perempuan bekerja di sektor publik, maka penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja. Hal ini karena penghasilan seorang suami dianggap penghasilan yang utama sebagai ‘pencari nafkah utama’.

Marginalisasi ini pada kenyataannya seringkali bersinggungan dengan persoalan diskriminasi, misalnya dalam hal upah bekerja antara perempuan dan laki-laki. Mengenai persinggungan antara marginalisasi dan diskriminasi dalam hal upah bekerja, Ivan Illich12 mengungkapkan sebuah fakta di Amerika Serikat sebagai berikut:

Upah Perempuan Bekerja di Amerika Serikat

Selama bertahun-tahun, diskriminasi terhadap perempuan dalam

pekerjaan yang berupah, yang terkena pajak dan yang dilaporkan atau

dipantau secara resmi, kedalamannya tidak berubah tetapi volumenya

makin bertambah. Kini (tahun 1998) 51% perempuan di Amerika

Serikat bekerja di luar rumah, sementara tahun 1880 hanya tercatat

5%. Jika pada tahun 1880 dalam keseluruhan tenaga kerja di Amerika

hanya 15% yang perempuan sekarang mencapai 42%. Kini separuh

dari semua perempuan yang sudah kawin punya penghasilan sendiri

dari suatu pekerjaan luar rumah, sementara seabad silam hanya

5% yang memiliki pendapatan sendiri. Sekarang hukum membuka

kesempatan pendidikan serta karier bagi perempuan, sedangkan

pada tahun 1880 banyak yang tertutup baginya. Sekarang rata-rata

12 Ivan Illich, The Cultivation of Conspiracy, 1998, hal 16: http://www.davidtinapple.com/illich/1998_Illich-Conspiracy.PDF (diunduh 25 Februari 2014).

Page 128: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

103

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

perempuan menghabiskan 28 tahun sepanjang hidupnya untuk

bekerja sementara tahun 1880 angka rata-rata yang tercatat hanya

5 tahun. Hal ini seperti memperlihatkan langkah-langkah penting ke

arah kesetaraan ekonomis, tapi tunggu sampai Anda terapkan alat

ukur yang tepat. Upah rata-rata tahunan perempuan yang bekerja

penuh-waktu masih mandek pada rasio magis dibanding pendapatan

laki-laki, yakni 3:5 --- 59%, dengan kenaikan atau penurunan 3%

--- persis persentase seratus tahun silam. Kesempatan pendidikan,

ketersediaan perlindungan hukum, retorika revolusioner --- politis,

teknologis, atau seksual --- tak mengubah apa-apa sehubungan

dengan rendahnya pendapatan perempuan dibanding laki-laki.

3.3.3 Kekerasan terhadap PerempuanKekerasan dibedakan dengan agresi. Perbedaannya, agresi lebih

dilihat menurut perilaku yang mencakup inisiatif untuk melakukan suatu tindakan kekerasan oleh pelaku yang sadar dan bermaksud melukai atau mengendalikan target tindakannya melalui serangan fisik, verbal, seksual dan emosional. Sementara kekerasan lebih dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, baik itu luka atau cacat fisik hingga kematian, ataukah dampak psikologis, emosional dan seksual.13

Terdapat beberapa teori yang mencoba menjelaskan kekerasan secara umum, dilihat dari berbagai aspek. Moser dan Shrader memberikan tipologi kekerasan dilihat dari faktor pendorong utama, sadar atau tidak, untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan politik, ekonomi atau sosial melalui kekerasan, yaitu kekerasan politik, ekonomi dan sosial:14

13 Rachmad Hidayat dkk, Wajah Kekerasan: Analisis atas Data Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Rifka Annisa Tahun 2000-2006, (Yogyakarta: Rifka Annisa Women Crisis Center, 2009), hal 6.

14 Moser dan Shrader (1999) dalam Elizabeth Shrader, Methodologies to Measure the Gender Dimensions of Crime and Violence, dipublikasikan oleh Gender Unit Poverty Reduction and Economic Management Latin America and Caribbean Region The World Bank, 2001.

Page 129: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

104

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

Pendekatan lain yang digunakan oleh Moser dan Shrader (1999) dalam memetakan tipologi kekerasan adalah dilihat dari hubungan sebab-akibat dari kekerasan, yang dibagi menjadi15

15 Op.cit.

MicrosystemExosystemMacrosystem PersonalHistory

Kategori Kekerasan

Politik

Ekonomi

Sosial

Definisi

Tindakan melakukan kekerasan yang dimotivasi oleh sebuah keingingan, sadar atau tidak sadar,

untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan politik.

Tindakan melakukan kekerasan yang dimotivasi oleh sebuah keinginan, sadar atau tidak, untuk keuntungan ekonomi atau untuk memperoleh

atau mempertahankan kekuasaan ekonomi.

Tindakan melakukan kekerasan yang dimotivasi oleh keinginan, sadar atau tidak untuk

keuntungan sosial atau untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan sosial.

Konflik militer, pembunuhan politik, konflik bersenjata antara partai politik,

dll.

Kejahatan yang terjadi di jalan, pembajakan kendaraan, perampokan,

perdagangan narkoba, penculikan, tindakan kejahatan yang dilakukan

selama krisis ekonomi, dll.

Kekerasan domestik dan interpersonal, seperti kekerasan

tehadap pasangan, anak dan orang tua; pelecehan seksual terhadap

perempuan dan anak; pertengkaran yang di luar kendali; konflik kekerasan

yang berakar pada persoalan perbedaan etnis, gender atau umur.

Manifestasi

Page 130: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

105

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Dalam tipologi ini, kekerasan dilihat sebagai sesuatu yang memiliki banyak wajah bukan karena ada berbagai kategori kekerasan yang ada, namun juga karena kekerasan terjadi oleh berbagai sebab-akibat. Bukti empiris menunjukkan semua individu tidak secara seimbang berperilaku kekerasan, dan bahwa tingkat intensitas konflik kekerasan di masyarakat berbeda-beda dan tingkat toleransi terhadap kekerasan antarkelompok masyarakat juga berbeda. Kondisi-kondisi yang terkait dengan individu, keluarga, komunitas dan konteks yang lebih besar seperti skala nasional, semuanya lalu memainkan peranan penting dalam tindakan kekerasan atau viktimisasi. Oleh karena itu, untuk menangkap berbagai tingkat penyebab kekerasan ini maka tipologi kekerasan dibagi oleh Moser dan Shrader ke dalam kekerasan individual, interpersonal, institusional dan struktural.

Senada dengan pembagian tipologi yang mencoba menangkap berbagai elemen kekerasan menurut Moser dan Shrader tersebut, Thomas Santoso mengelompokkan teori kekerasan ke dalam tiga kelompok besar.16

a. Teori Kekerasan Sebagai Tindakan Aktor (Individu) atau Kelompok. Teori ini berpendapat bahwa manusia melakukan kekerasan karena adanya faktor bawaan seperti kelainan genetik atau fisiologis. Agresivitas perilaku seseorang dapat menyebabkan timbulnya kekerasan, misalnya kekerasan dalam rumah tangga dari seorang suami terhadap istri. Wujud kekerasan dapat dilakukan secara individu maupun kolektif. Kekerasan individu dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa pemukulan, penganiayaan ataupun kekerasan verbal berupa kata-kata kasar yang merendahkan martabat seseorang. Sedangkan kekerasan kolektif merupakan kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang atau sekelompok orang yang biasanya munculnya karena adanya benturan identitas suatu kelompok dengan kelompok lain, misalnya agama atau etnik. Lebih lanjut, teori ini berpendapat, kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang dilakukan dengan rasionalitas dan emosionalitas, sehingga individu-individu dalam suatu kelompok dianggap saling meniru sehingga rasionalitas

16 Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan, (Surabaya: Universitas Kristen Petra, 2002)

Page 131: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

106

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

dan emosionalitas sesamanya semakin kuat dan semakin besar yang terjadi karena persamaan nasib ataupun persamaan persepsi terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan bersama.

b. Teori Kekerasan Struktural, yang berpendapat kekerasan struktural terbentuk dalam suatu sistem sosial, bukan dari individu atau kelompok tertentu. Kekerasan dipandang tidak hanya dilakukan oleh aktor (individu) atau kelompok semata, tetapi juga dipengaruhi oleh suatu struktur seperti aparatur negara. Contohnya, bila seseorang atau kelompok memiliki kekuasaan ekonomi, maka ada kecenderungan untuk melakukan kekerasan.

c. Teori Kekerasan Sebagai Kaitan Antara Aktor dan Struktur, yaitu kekerasan yang terjadi karena konflik dari sesuatu yang telah ditentukan sehingga bersifat endemik bagi kehidupan masyarakat. Istilah kekerasan digunakan untuk mengembangkan perilaku, baik terbuka atau tertutup, bersifat menyerang atau bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Ada empat jenis kekerasan dari kekerasan model ini, yaitu:l kekerasan terbuka yang dapat dilihat, seperti perkelahian;l kekerasan tertutup, tersembunyi atau dilakukan secara tidak

langsung seperti pengancaman;l kekerasan agresif yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu,

seperti penjambretan) danl kekerasan defensif atau untuk melindungi diri.

Dengan memadukan berbagai pendekatan memetakan tipologi kekerasan ini, yaitu wilayah terjadinya kekerasan dan pelaku serta sebab-akibat munculnya kekerasan atau penganiayaan, maka peta atau tipologi kekerasan yang komprehensif dapat digambar ulang menjadi seperti di bawah ini.

Page 132: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

107

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Namun demikian, penjelasan tipologi kekerasan tersebut belum diperkaya oleh analisis gender sehingga belum mampu menjelaskan kekerasan berbasis gender. Mengapa hal ini perlu? Analisis gender sebagai sebuah konsep analisis berfungsi sebagai kerangka untuk mengum pulkan, menelaah dan menginterpretasikan informasi mengenai perbedaan-perbedaan antara kehidupan, pengalaman, perilaku, status, kesempatan dan batasan-batasan yang dialami oleh perempuan dan laki-laki. Analisis gender terhadap kekerasan juga membantu menelusuri faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, struktur budaya dan ideologi yang menjadi dasar untuk mempertahankan atau mentransformasikan pelabelan negatif yang berbasis gender, ketidakadilan gender dan pelanggaran.17

Dengan adanya analisa gender terhadap tindakan kekerasan, maka hal itu dapat dipahami dengan mempertimbangkan sejarah, konteks, arti, dampak dan konsekuensinya dari kacamata gender. Sebagai contoh, untuk memahami kekerasan dalam rumah tangga adalah mengenal bagaimana norma-norma sosial, peran, ekspektasi dari maskulinitas dan feminitas yang mempengaruhi relasi intim dan struktur keluarga terintegrasi dalam terjadinya dan pengalaman kekerasan dan penganiayaan yang dialami oleh korban, apakah dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Analisis gender terhadap kasus kekerasan juga memasukkan faktor-faktor lain yang saling bersinggungan, seperti etnis, kelas, orientasi seksual dan lainnya yang juga berdampak pada tindakan kekerasan atau penganiayaan yang dialami.18

Instrumen internasional yang menjelaskan kekerasan terhadap perempuan adalah Declaration on the Elimination on Violence against Women tahun 1993 yang merumuskan kekerasan terhadap perempuan dalam Pasal 1 sebagai:

“Tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan karena asumsi gendernya, yang menyebabkan atau akan menyebabkan penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis bagi perempuan, termasuk ancaman, pemaksaan atau pembatasan kebebasan bergerak, baik yang terjadi di dalam ataupun di luar rumah.”

17 Lesley Orr, The Case for A Gendered Analysis of Violence Against Women, 2007 dipublikasikan dalam situs www.ssrn.com, diakses pada 25 Agustus 2013.

18 Op.cit.

Page 133: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

108

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

Unsur kekerasan terhadap perempuan berdasarkan Pasal 1 tersebut adalah:

l setiap tindakan berdasarkan perbedan jenis kelamin;l yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau

penderitaan perempuan;l secara fisik, seksual, atau psikologis;l termasuk ancaman tindakan tertentu;l pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-

wenang;l baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi

(ranah domestik/privat).

Pasal 2 deklarasi tersebut menentukan bahwa kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada hal-hal seperti di bawah ini.a. Tindak kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi

dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas anak-anak perempuan dalam keluarga:l kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin;l pemerkosaan dalam perkawinan;l perusakan alat kelamin perempuan;l praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap

perempuan;l kekerasan di luar hubungan suami isteri;l kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi.

b. Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk:l pemerkosaan;l penyalahgunaan seksual;l pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, di lembaga

pendidikan, dan di mana pun;l perdagangan perempuan dan pelacuran paksa.

c. Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang dilakukan negara atau diabaikan oleh negara di mana pun terjadinya.

Page 134: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

109

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Beberapa organisasi perempuan yang mendampingi dan mengadvokasi kasus kekerasan terhadap perempuan membagi kekerasan terhadap perempuan menjadi 8 tindakan.19

1. Kekerasan terhadap Istri (KTI)2. Kekerasan dalam Pacaran (KDP)3. Pemerkosaan4. Pelecehan Seksual5. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)6. Kekerasan terhadap Anak (KTA)7. Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD)8. Kekerasan lainnya.

Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum secara komprehensif mengatur seluruh jenis kekerasan berbasis gender. Selanjutnya masalah kekerasan terhadap perempuan akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya dalam buku ini.

3.3.4 Pelabelan Negatif atau Stereotyping Stereotip atau pelabelan negatif adalah pelabelan atau penanda-

an terhadap suatu kelompok tertentu yang disebabkan oleh pemahaman sifat fisik yang tampak maupun dari sudut pandang gender. Salah satu pelabelan negatif terhadap perempuan yang kemudian berpengaruh terhadap muatan peraturan perundangan terutama bagaimana perempuan diposisikan adalah perempuan yang dicitrakan sebagai makhluk yang memiliki tubuh yang menggoda dan selalu dianggap sebagai penyebab utama tindak pidana asusila seperti pelacuran, pemerkosaan, pornografi dan lain sebagainya.

19 Rachmad Hidayat dkk, op.cit, hal 7-9.

Page 135: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

110

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

Contoh Peraturan Daerah yang Mengkriminalisasikan Tubuh Perempuan

Perda Kab Daerah Tingkat II Indramayu No. 7 Tahun 1999 tentang Prostitusi• Prostitusi’adalahmempergunakanbadansendirisebagai

Alat Pemuas Seksual untuk orang lain dengan mencapai keuntungan. (Pasal 1 Butir d)

• ‘Pelacuran’ adalah suatu perbuatan di mana seorangperempuan menyerahkan dirinya untuk berhubungan kelamin dengan lawan jenisnya dan menerima pembayaran baik berupa uang maupun bentuk lainnya. (Pasal 1 Butir e)

Perda Kotamadya Daerah Tk II Kupang No. 39 Tahun 1999 tentang Penertiban Tempat Pelacuran di Daerah Kota Kupang• Pelacuranadalahperilakuhubunganseksualyangdilaku­

kan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki atau lebih atau dengan siapa saja yang membutuhkan pemuasan keinginan seksual dengan imbalan pembayaran. (Pasal 1)

• Setiaporangyang tingkah lakunya teridentifikasi sebagaipelacur, tidak diperbolehkan berkeliaran atau berjalan hilir-mudik di jalan-jalan umum, jalur hijau atau berada di sekitar losmen, penginapan, atau yang sejenis dengan itu, warung, rumah makan, restoran atau rumah-rumah pertunjukan, salon kecantikan atau pusat kebugaran (Pasal 4 Ayat 2)

Stereotip berkembang karena adanya ketidakmampuan untuk memahami seksualitas perempuan sehingga yang terjadi adalah kriminalisasi terhadap tubuh perempuan yang semena-mena. Seksualitas perempuan perlu dipahami sebagai pandangan tentang tubuh perempuan yang merupakan konstruksi budaya; daya tarik seks perempuan serta pandangan perempuan tentang tubuhnya. Fenomena

Page 136: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

111

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

munculnya peraturan perundang-undangan yang mengkriminalisasi tubuh perempuan dan menempatkan perempuan sebagai pelaku atau penyebab utama segala tindak pidana asusila dan bukannya korban adalah karena adanya histerisasi terhadap tubuh perempuan.

Foucault menjelaskan ada tiga proses yang menggiring terjadinya histerisasi terhadap tubuh perempuan. Pertama, tubuh perempuan dianggap penuh seksualitas. Kedua, tubuh perempuan kemudian dijadikan objek praktek medis. Ketiga, tubuh perempuan dalam fungsi reproduktifnya dihubungkan secara organis dengan masyarakat, dikaitkan dengan keturunan yang diproduksi dan pendidikan terhadap keturunan tersebut. Akibatnya, tubuh perempuan dilihat sebagai suatu wilayah yang tidak seluruhnya bisa dijelaskan dan menimbulkan histerisasi bahwa tubuh tersebut harus dikontrol. Proses ini pada akhirnya menggiring pada pemahaman bahwa bila terjadi tindak pidana asusila, maka hal itu terjadi karena perempuan yang tidak mampu mengontrol tubuhnya sesuai yang dituntut oleh masyarakat.20

Namun demikian, terdapat banyak fakta yang menunjukkan bahwa pelabelan negatif mengenai perempuan yang tidak mampu mengontrol tubuhnya dan menjadi penyebab tindak pidana asusila tersebut adalah salah besar. Perempuan justru menjadi korban dengan dijadikan sebagai ‘komoditas’ dalam industri pelacuran dan pornografi yang melibatkan tindak pidana perdagangan perempuan (dan anak).

Data PBB tahun 2000 menunjukkan 700 ribu sampai dengan empat juta orang setiap tahun diperjualbelikan, yaitu dijual, dibeli, dikirim dan di paksa bekerja di luar kemauannya di seluruh dunia. Umumnya mereka di paksa bekerja sebagai pelacur, pekerja paksa, pembantu rumah tangga, bahkan pengemis. Dari data itu, lebih dari 2,3 juta perempuan bekerja di industri seks di luar keinginan mereka dan diperkirakan sekitar 40 % adalah anak di bawah umur. Secara spesifik, data Indonesia tahun 2011 menunjukkan sekitar 40.000 sampai 70.000 anak korban eksploitasi seksual di seluruh Indonesia. Di Pulau Jawa sendiri diperkirakan ada 21.000 anak yang terlibat prostitusi. Bahkan, setiap tahunnya, ada sekitar 3.000 wisatawan asal Singapura dan

20 Michel Foucault, The History of Sexuality, An Introduction, vol 1: http://www.sparknotes.com/philosophy/histofsex/section1.html (diakses 25 Februari 2014).

Page 137: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

112

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

Malaysia yang datang ke Batam untuk melakukan pariwisata seks. Sebanyak 30% atau sekitar 5.000-6.000 dari jumlah itu, merupakan remaja perempuan berusia sekitar usia 18 tahun.

Komnas Perempuan Temukan 282 Perda Diskriminatif

PADANG, KOMPAS.com

Jumat, 23 November 2012 | 05:39 WIB

Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas

Perempuan) menemukan sebanyak 282 peraturan daerah (perda) di

100 kabupaten dan kota di 28 provinsi yang mendiskreditkan kaum

hawa. “Sumatera Barat menempati peringkat kedua di bawah Jawa

Barat yan rajin mengeluarkan perda diskriminatif.”

Hal itu disampaikan Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam

Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan Husein

Muhammad dalam diskusi bersama Aliansi Jurnalis Independen

(AJI) Padang di Sekretariat Women Crisis Center (WCC) Nurani

Perempuan, di Padang, Kamis (22/11/2012).

“Kami meminta agar perda-perda diskriminatif terhadap

perempuan ini dihapuskan karena memberangus sebagian hak-hak

mereka,” katanya.

Dari 282 perda yang dipantau sejak 2008 itu, sekitar 207

di antaranya secara langsung diskriminatif terhadap perempuan,

seperti memaksakan cara berbusana dan ekspresi keagamaan,

meng kriminalkan perempuan lewat pengaturan prostitusi, dan

mem batasi ruang gerak perempuan lewat aturan jam malam dengan

mewajibkan perempuan didampingi bila bepergian. “Sumatra

Barat menempati peringkat kedua di bawah Jawa Barat yang ’rajin’

mengeluarkan perda diskriminatif tersebut,” katanya.

Komnas Perempuan mencatat, Provinsi Sumbar merupakan

daerah pertama yang mengeluarkan kebijakan diskriminatif. Hingga

Page 138: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

113

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Agustus 2012, terdapat sebanyak 33 kebijakan yang mendiskreditkan

wanita yang tersebar di 15 daerah. Perda itu terdapat di Kabupaten

Agam (2 perda), Bukittinggi (1), Limapuluh Kota (4), Padang (2),

Padang Panjang (2), Padang Pariaman (1), Pasaman (1), Pesisir

Selatan (4), Sawahlunto (1). Selain itu, Kabupaten Sijunjung (3),

Solok (2), Kota Solok (1), Tanah Datar (1), dan Provinsi Sumatera

Barat (5). “Sudah pernah diajukan uji materi ke Mahkamah Agung

namun ditolak,” kata Husein.

Husein menyebutkan, perda diskriminatif itu juga telah

menjadikan tiga perempuan sebagai korban. Mereka antara lain

seorang ibu rumah tangga di Tangerang, Banten, ditangkap oleh Satpol

PP karena diduga sebagai pekerja seks komersial saat malam hari di

luar rumah, padahal ia baru pulang dari bekerja. Akibatnya, timbul

stigma masyarakat yang menganggapnya sebagai PSK. Wanita itu

pun mengalami tekanan psikologis dan akhirnya meninggal. Selain

itu, wanita di Provinsi Aceh bunuh diri karena diduga menanggung

malu. Ia dicap sebagai pelacur setelah ditangkap Polisi Syariat Islam

Aceh yang mendapatinya keluar pada malam hari.

http://nasional.kompas.com/read/2012/11/23/05393810/Komnas.

Perempuan.Temukan.282.Perda.Diskriminatif

3.3.5 DiskriminasiKonvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Wanita atau yang lebih lanjut dikenal sebagai Konvensi CEDAW diadopsi Sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1978. Konvensi ini juga mewajibkan pada setiap negara peserta untuk mengutuk dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita agar dapat secara penuh semua hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan dasarnya. Pasal 1 CEDAW menyatakan:21

21 Hak Azasi Perempuan: Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta: Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2004), hal. 11-12.

Page 139: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

114

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apa pun lainnya oleh wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.

Tindakan yang disebut diskriminasi, menurut konstruksi Pasal 1 tersebut ada tiga, yakni pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, yang diikuti dengan unsur selanjutnya ‘yang dibuat’. Dengan demikian, tindakan pembedaan, pengucilan, dan pembatasan yang dilakukan tidak terjadi begitu saja, melainkan ‘dibuat’. Pengertian ‘dibuat’ ini dapat berbentuk kebijakan atau perumusan peraturan yang dibuat oleh pengambil keputusan, baik publik maupun privat. Artinya mencakup organ-organ dalam hierarki ketatanegaraan negara yang memiliki wewenang untuk membuat kebijakan dan peraturan dan entitas-entitas privat yang memiliki wewenang untuk membuat peraturan internal, seperti orang perorangan, perusahaan, organisasi kemasyarakatan, dan lain sebagainya.

Unsur selanjutnya pada Pasal 1 adalah tindakan diskriminasi tersebut didasarkan pada jenis kelamin dan harus memiliki pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apa pun lainnya.

Prinsip-prinsip dasar atas konvensi CEDAW meliputi hak-hal sebagai berikut:a. Prinsip persamaan substantif yang pada intinya menyangkut hal-hal

di bawah ini. l Kesempatan yang sama, menikmati manfaat yang sama dan

hasilnya.l Perlakuan yang sama, mendapat akses dan manfaat yang sama,

melalui penciptaan lingkungan yang kondusif, tindakan khusus sementara (affirmative action/ temporary special measures).

Page 140: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

115

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

l Hal yang sama dalam keluarga, kerja, upah, waris, kepemilikan, pengambilan keputusan dan partisipasi.

b. Prinsip Nondiskriminasi.

Diskriminasi juga dapat muncul tidak saja pada peraturan atau kebijakan yang memberikan pembatasan untuk melakukan sesuatu, tetapi juga aturan mengenai batas untuk melakukan sesuatu, misalnya saja ketentuan mengenai batas usia minimal untuk melakukan perkawinan di UU Perkawinan, yaitu 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Perempuan dianggap lebih dulu siap untuk melakukan perkawinan dibandingkan laki-laki, yang dituntut untuk lebih dewasa agar dapat memenuhi perannya sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Sementara perempuan dianggap tidak perlu mempersiapkan dirinya dewasa dalam hal pendidikan dan pekerjaan untuk bisa berperan sebagai istri dan ibu dalam berumah tangga.

Diskriminasi batas usia untuk melakukan perkawinan ini berdampak pada tingginya angka pernikahan dini. Hasil penelitian Plan Indonesia di delapan kabupaten di seluruh Indonesia selama Januari – April 2011 menunjukkan 33.5% anak usia 13-18 tahun pernah menikah dan mereka rata-rata menikah di usia 15-16 tahun. Wilayah penelitian mencakup Kabupaten Indramayu (Jawa Barat), Grobogan, Rembang (Jawa Tengah), Tabanan (Bali), Dompu (NTB), Timor Tengah Selatan, Sikka dan Lembata (NTT). Padahal, ketika bicara perkawinan, maka tidak saja bicara kesiapan mental sebagai suami atau istri, namun juga perlu melihat dari aspek kesehatan, yaitu kesiapan tubuh perempuan yang ideal untuk mengandung dan melahirkan dan beberapa aspek lainnya.

Berikut ini adalah kebijakan pengarusutamaan gender dalam pembangunan di Indonesia.

3.4.1 Pengarusutamaan Gender dalam Kebijakan di IndonesiaSebagai tindak lanjut dari UU No. 7 Tahun 1984

tentang  Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Diskriminasi terhadap Perempuan  (ratifikasi konvensi CEDAW), diterbitkan Surat Keputusan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita No.

3.4 Gender, Hukum dan Pembangunan

Page 141: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

116

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

02/Kep/MENUPW/IV/1991 tentang Pengesahan Pedoman Pelaksanaan Penanganan Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan Bangsa di Pusat dan Daerah. Selain itu juga terbit Instruksi Presiden RI No. 5 Tahun 1995 tentang Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan Daerah, Instruksi Mendagri No. 17 Tahun 1996 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengelolaan Program Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan di Daerah dan yang terbaru adalah Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

Sementara itu, Inpres No. 9 Tahun 2000 tersebut menerjemahkan pengarusutamaan gender sebagai:

...strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.

Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan strategi dan bukan tujuan, dalam mencapai kesetaraan gender. Inpres tersebut menjadi dasar dicanangkannya program PUG di berbagai Kementerian/Lembaga Negara di tingkat Pusat maupun di Pemerintahan Daerah.

Sebagai tindak lanjut implementasi PUG sebagai strategi Kesetaraan Gender, berbagai inisiatif telah dikeluarkan. Kementerian Hukum dan HAM telah menyusun Pedoman Legislasi dalam Perspektif HAM yang juga mencakup Gender-responsive legislation. Gender-budgeting telah menjadi kebijakan nasional dengan dikeluarkannya Peraturan Mendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG di Daerah Peraturan Menteri Keuangan No. 119 Tahun 2009 tentang masuknya anggaran yang berbasis gender di RKAKL yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 104 Tahun 2010. Tahun 2013, Pemerintah mengeluarkan Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender (Stranas PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) dengan tujuan untuk meningkatkan peran perempuan dalam kehidupan bangsa.

CEDAW menyebutkan bahwa yang menjadi aktor utamanya dalam mewujudkan kesetaraan gender adalah negara. Sebagai konsekuensinya, yang diberi kewajiban untuk melaksanakan usaha

Page 142: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

117

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

penghapusan diskriminasi terhadap perempuan adalah negara. Pasal 2 CEDAW menyebutkan bahwa negara memiliki sejumlah kewajiban sebagai berikut.

1. Menetapkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dan peraturan-peraturan lainnya, termasuk sanksi-sanksinya apabila perlu, yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan.

2. Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminasi.

3. Tidak melakukan tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut.

4. Mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan oleh setiap orang, organisasi atau perusahaan

5. Mengambil langkah-langkah yang sesuai, termasuk pembuatan peraturan perundang-undangan, untuk mengubah dan meng-hapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap perempuan

Berangkat dari 5 ketentuan umum tersebut, negara para pihak harus mengondisikan segala seluk-beluk ketatanegaraannya sejalan dengan prinsip CEDAW, utamanya yang memuat ketentuan detail ‘kewajiban negara’, yaitu Pasal 3 hingga Pasal 16.

Beberapa undang-undang sudah diterbitkan sebagai bentuk kewajiban negara untuk melaksanakan pembangungan yang ber-perspektif gender dan melindungi hak-hak perempuan, di antaranya:

l Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mendedikasikan satu bab khusus tentang hak asasi Perempuan.

l Undang-Undang Antidiskriminasi Ras. l UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. l UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Page 143: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

118

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

l UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.l UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. l UU No. 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan

TKI-LN.l UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. l UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Korban dan Saksi .l UU yang berkaitan dengan Pemilu: UU Pemilu (2007) dan UU

Parpol (2008).l UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang.l UU No. 26 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan perundang-

undangan lain.

Dalam tulisan ini telah dikemukakan beberapa konsep utama yang penting dipahami oleh para mahasiswa hukum yang akan belajar tentang masalah-masalah perempuan dalam hukum. Konsep-konsep itu akan meng-antarkan mereka dalam mempelajari berbagai persoalan perempuan yang ternyata bersumber pada hukum. Persoalan perempuan dan hukum dipelajari tidak hanya dalam tataran tekstualnya saja, tetapi juga dalam prakteknya.

Menumbuhkan kesadaran tentang kepekaan gender bagi mahasiswa hukum menjadi penting, karena kelak mereka akan menduduki posisi penting dalam proses pengambilan keputusan dalam bidang hukum, atau menjalani profesi dalam bidang hukum.

3.5 Kesimpulan

Page 144: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

119

BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Daftar Pustaka Bab 3

Bhasin, Kamla. (2002) What is a Girl, What is a Boy. Bindia Thapar: Jagori.

Hidayat, Rahmat dkk. (2009) Wajah Kekerasan: Analisis atas Data Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Rifka Annisa Tahun 2000-2006. Yogyakarta: Rifka Annisa Women Crisis Center.

Irianto, Sulistyowati. (2005) Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum: Studi mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Waris melalui Proses Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mosse, Julia Cleve. (1996) Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dan Pustaka Pelajar.

Risman, Barbara J. (2004) “Gender as a Social Structure: Theory Wrestling with Activism”, dalam Jurnal Gender & Society. Vol. 18, No. 4, August 2004. Sociologists for Women in Society.

Santoso, Thomas. (2002) Teori-teori Kekerasan. Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Shrader, Elizabeth. (2001) Methodologies to Measure the Gender Dimensions of Crime and Violence. Washington DC: Gender Unit Poverty Reduction and Economic Management Latin America and Caribbean Region The World Bank.

Tierney, Helen (ed.). (1999) Women’s Studies Encyclopedia. US: Greenwood Press.

Sumber digital

Foucault, Michel, The History of Sexuality, An Introduction, vol 1: http://www.sparknotes.com/philosophy/histofsex/section1.rhtml (diakses 25 Februari 2014)

Hukumonline, Selasa, 25 November 2003, Poligami, Masalah Krusial dalam Revisi Undang-undang Perkawinan, pada tautan: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9232/poligami-masalah-krusial-dalam-revisi-undangundang-perkawinan, diakses pada 25 Agustus 2013.

Page 145: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

120

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 3 KONSEP-KONSEP UTAMA HUKUM DAN GENDER

Ivan Illich, The Cultivation of Conspiracy, 1998, hal 16: http://www.davidtinapple.com/illich/1998_Illich-Conspiracy.PDF (diunduh 25 Februari 2014)

Komnas Perempuan: http://nasional.kompas.com/read/2012/11/23/05393810/Komnas.Perempuan.Temukan.282.Perda.Diskriminatif

Lesley Orr, The Case for A Gendered Analysis of Violence Against Women, 2007 dipublikasikan dalam situs www.ssrn.com, diakses pada 25 Agustus 2013.

Pikiran Rakyat, 2 Juni 2004, 40 Juta Jadi Kepala Keluarga, pada situs PEKKA dengan alamat tautan: http://www.pekka.or.id/8/index.php?option=com_content&view=article&id=119%3A40-juta-wanita-jadi-kepala-keluarga-&catid=43%3Apekka-in-the-news&Itemid=45&lang=in, diakses pada 15 Agustus 2013.

The Sociology of Gender: Theoretical Perspective and Feminist Frameworks, Chapter 1: //www.learningace.com/doc/7706457/8c2629aa016c4d27ebaa0d8427bc00e8/chapter-1-the-sociology-of-gender-theoretical-perspectives-and-feminist-frameworks (diakses 25 Februari 2014).

Page 146: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF

PEREMPUAN DAN ANAK

Farid Hanggawan

Page 147: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

122

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Wacana pornografi yang dibahas dalam bab ini terdiri atas dua hal, yaitu pornografi dan pornografi anak. Keduanya dipisahkan karena memiliki aspek kesejarahan yang berbeda. Wacana tentang pornografi anak dalam sejarahnya merupakan proses kriminalisasi perilaku kekerasan seksual terhadap anak. Tidak terlalu banyak perdebatan yang muncul dalam proses kriminalisasi itu. Beberapa hal yang mengemuka ketika berbicara soal pornografi anak antara lain terkait upaya pencegahan anak sebagai korban dari pornografi. Tidak ada perdebatan berarti mengenai porno atau tidaknya sebuah tampilan anak yang bermuatan seksual. Ada kecenderungan persoalan pembahasan pornografi yang menyangkut anak bukan mengenai porno atau tidak porno, melainkan terkait eksploitasi seksual dan ekonomi pada anak.

Sementara itu, wacana tentang pornografi orang dewasa telah menjadi topik perdebatan, mulai dari perdebatan moral hingga perdebatan dalam diskusi para feminis. Wacana pornografi telah membuat para feminis berdebat keras sepanjang paruh kedua abad ke-20, bahkan sampai hari ini. Perdebatan itu menunjukkan pornografi dalam perspektif perempuan pun tidak tunggal. Di sisi lain, dalam pandangan umum yang netral gender, pornografi kerap ditempatkan dalam wacana moralitas (publik). Bagaimana sebenarnya isu moral harus dimaknai ketika pornografi dibahas dalam kerangka kepentingan perempuan? Bagian pertama dalam bab ini akan mengurai hal tersebut sekaligus mengurai pluralitas wacana pornografi di kalangan feminis.

Selanjutnya, bagian kedua akan memaparkan cara membaca yang berperspektif perempuan terhadap teks-teks legislasi dan putusan pengadilan.

4.1 Pengantar

BAB 4

Pornografi dalam Perspektif Perempuan dan Anak

Page 148: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

123

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Teks legislasi yang akan disajikan bukan sekadar deretan kalimat peraturan tanpa aspek diskursif (penalaran). Meminjam istilah yang digunakan Sumner, teks legislasi yang dimaksud adalah artefak politiko-ideologis, yaitu sebuah fenomena hibrida politik dan ideologi.1 Di dalamnya mengandung jejak-jejak kuasa, yang dalam tulisan ini berwujud dalam bentuk kuasa patriarkal. Putusan pengadilan juga bukan sebuah teks yang netral. Di dalamnya tidak hanya berisi sederet kalimat yang mengurai unsur-unsur pasal dan definisi, tetapi juga bersemayam kekerasan dan dominasi, baik fisik maupun psikis, yang diselimuti bahasa-bahasa hukum yang formal.2 Dengan demikian, pembacaan kritis berperspektif perempuan menjadi mungkin dan wajib dilakukan.

4.2.1 Wacana Pornografi dalam Perspektif Perempuan Pornografi, dalam pemahaman umum, hampir selalu menjadi

subjek pembicaraan tentang moralitas. Pornografi kerap dipercaya sebagai sumber kehancuran bangsa dan degradasi kehidupan publik. Pandangan seperti itu tersebar luas dalam beberapa publikasi. Salah satu contohnya, sebuah buku berjudul “Stop Pornografi: Selamatkan Moral Bangsa” yang disunting Adi Tjahjono, dkk.3 Buku itu merupakan kumpulan tulisan hasil lokakarya bertajuk “Peranan Hukum Agama dan Media Massa dalam Menanggulangi Pornografi”. Mulai dari bagian sambutan hingga tulisan bagian terakhir, buku itu diwarnai anggapan moralitas adalah titik tolak dalam pembahasan pornografi. Ada sebuah tulisan dalam buku itu yang sekalipun menguraikan tema filsafat Barat kontemporer, pada akhirnya menganjurkan penggunaan peran agama yang tentunya mengandung muatan moralitas tertentu, untuk menanggulangi pornografi. Penggunaan peran agama itu diklaim untuk membentuk masyarakat yang produktif, kreatif dan bertanggung jawab.4 Lalu, kesimpulan dari tulisan terakhir buku itu, yang sebenarnya

4.2 Konsep dan Perdebatan Kunci

1 Colin Sumner, Reading Ideologies: an Investigation into the Marxist Theory of Ideology and Law, (London, New York, dan San Fransisco, Academic Press, 1979), hal. 267.

2 Lihat Sulistyowati Irianto dan Antonius Cahyadi, Runtuhnya Sekat Pidana dan Perdata: Studi Peradilan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, (Jakarta, PKWJ UI dan Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal. 24.

3 Adi Tjahjono, dkk, Stop Pornografi: Selamatkan Moral Bangsa, (Jakarta, Pengurus Pusat Wanita Islam dan Citra Pendidikan, 2004).

4 Yasraf Amir Piliang, ”Hyper-Pornography: Pornografi dalam Media dan Masyarakat Posmodern”, dalam Adi Tjahjono, dkk, Stop Pornografi: Selamatkan Moral Bangsa, (Jakarta, Pengurus Pusat Wanita Islam dan Citra Pendidikan, 2004), hal. 60.

Page 149: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

124

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

membahas historologi pornografi di Indonesia, pada akhirnya juga bermuara pada pentingnya agama dalam menanggulangi pornografi.5

Selain itu, dalam buku-buku hukum tentang pornografi di Indonesia juga cenderung menggunakan perspektif moral sebagai basis pembahasan pornografi. Sebagai contoh, Hamzah dan Suparni yang menyatakan penafsiran terhadap porno dan kesusilaan harus menggali nilai-nilai adat dan agama sebagai perwujudan dari dasar negara Pancasila.6 Beriringan dengan pendapat tersebut, Chazawi bahkan dengan tegas menyatakan tindak pidana pornografi adalah tindak pidana yang menyerang nilai-nilai akhlak dan kesusilaan umum.7

Contoh-contoh tersebut hanya sebagian kecil dari meluasnya pandangan pornografi sebagai sebuah isu moral. Pandangan-pandangan itu secara formal diadopsi dalam konsiderans Huruf a UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi:

“bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.”

Bunyi konsiderans tersebut jelas mencerminkan pandangan umum pornografi adalah isu moral, selain juga menyangkut etika, akhlak mulia dan kepribadian luhur bangsa. Bagi para feminis, pandangan-pandangan moralis di atas patut dicurigai. Moralitas, dalam perspektif para feminis, telah menjadi bentuk hegemoni nilai-nilai maskulin. Dalam bangunan moralitas terkandung dikotomi antara yang baik (good) dan buruk (evil). Persepsi moralis cenderung menyederhanakan pornografi sebagai aktivitas seksual yang tabu semata. Aktivitas yang tabu itu

5 Tjipta Lesmana, ”Historologi Pornografi di Indonesia”, dalam Adi Tjahjono, dkk, Stop Pornografi: Selamatkan Moral Bangsa, (Jakarta, Pengurus Pusat Wanita Islam dan Citra Pendidikan, 2004), hal. 181.

6 Andi Hamzah dan Niniek Suparni, Pornografi dan Pornoaksi dalam Hukum Pidana: Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2010), hal. 18.

7 Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi: Penyerangan terhadap Kepentingan Hukum Mengenai Tegaknya Tatanan Kehidupan Akhlak dan Moral Kesusilaan yang Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (Surabaya, ITS Press, 2009), hal. 7

Page 150: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

125

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

menjadi sebuah hal buruk dan dosa ketika ditampilkan ke ruang publik. Penanganan ini tidak membahas soal kepentingan pribadi, tetapi justru melindungi konsep-konsep mengawang-awang yang sulit dijelaskan.

MacKinnon menyangsikan argumen moral dapat melindungi dan memihak perempuan dalam hal pornografi. Baginya, moralitas hanya berkutat pada permasalahan dosa, bukan perlindungan terhadap yang lain (the other).8 Kecabulan (obscenity) yang merupakan nilai intrinsik atau melekat dalam pornografi adalah hal ihwal dosa dan keburukan tanpa pengecualian. Pandangan dikotomis seperti itu adalah pandangan yang netral gender. Dalam pandangan yang netral gender hegemoni patriarkal beroperasi. Apalagi, pelarangan pornografi berbasis moral tidak mengganti kerugian apa pun yang ditimbulkan industri pornografi bagi perempuan. Evans, yang menjadikan Australia sebagai pokok studi, mengemukakan hukum penyensoran Australia dengan tujuan melindungi publik dari material yang menyebabkan ‘kerugian moral’, gagal menangkap pengalaman-pengalaman yang nyata dari perempuan yang dirugikan (menjadi korban) akibat pornografi.9

Feminis memandang pornografi bukan dalam kerangka moralitas dan akhlak. Lebih-lebih jika moral dan akhlak dikaitkan dengan entitas kebangsaan yang abstrak, sehingga dengan mudahnya menyatakan sesuatu sebagai moral bangsa atau akhlak bangsa. Pornografi diyakini oleh sebagian feminis sebagai bentuk dominasi kekuasan maskulin terhadap perempuan dan perwujudan keinginan laki-laki yang merendahkan perempuan. Meskipun demikian, di kalangan feminis ada ketidaksatuan pendapat mengenai pornografi, meskipun sebagian besar sepakat pornografi tidak netral dari hasrat yang berpusat pada laki-laki.

Wacana pornografi di kalangan feminis lantas mengerucut ke dalam dua kubu utama, yaitu feminis antipornografi dan feminis propornografi. Kelompok pertama meyakini pornografi adalah esensi dari patriarki yang mengedepankan kuasa laki-laki dan menampilkan ketertaklukan perempuan.10 Sedangkan kelompok kedua, mengaitkan pornografi dengan kebebasan berekspresi dan pembebasan hasrat

8 Catharine MacKinnon, Not a Moral Issue, dalam D. Kelly Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives, (Philadephia, Temple University Press, 1996), hal. 40.

9 Michelle Evans, What’s Morality Got to Do With It?: The Gender-based Harms of Pornography, (2006) Southern Cross University Law Review Vol. 10, hal. 137.

10 Carol Smart, Feminism and the Power of Law, (London, Routledge, 1989), hal. 114.

Page 151: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

126

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

seksual bagi perempuan. Secara lebih detail, umumnya perdebatan antara yang propornografi dan yang antipornografi berujung pada perdebatan mengenai apakah pornografi merugikan perempuan atau tidak, apakah pornografi menyebabkan kekerasan perempuan atau tidak dan apakah pornografi perlu disensor atau tidak.11

4.2.2 Feminis AntipornografiPandangan antipornografi dalam feminisme terutama diusung

oleh mereka yang sering disebut sebagai feminis radikal. Gagasan feminis radikal beranjak dari respons terhadap pergerakan kelompok pembela hak-hak perempuan yang menekankan pada reformasi sistem. Reformasi itu mereka lakukan dengan mencoba masuk ke dalam sistem dengan cara bekerja untuk badan-badan pemerintah, komisi-komisi dan lain sebagainya.12 Feminis radikal kurang tertarik dengan cara-cara feminis reformis semacam itu. Oleh karena itu, feminis radikal dikenal juga sebagai feminis revolusioner, yang terkenal dengan slogan “personal is political.”

Feminis radikal menekankan pentingnya pemahaman akar masalah dari penindasan di dunia ini terletak pada ketimpangan relasi kuasa. Ketimpangan relasi kuasa mewujud pada subordinasi yang satu terhadap yang lain, dominasi yang satu atas yang lain. Penindasan yang menjadi sorotan adalah penindasan terhadap perempuan oleh kuasa maskulin yang hegemonik. Feminis radikal meyakini kontrol laki-laki terhadap baik kehidupan seksual maupun kehidupan reproduktif perempuan, penghormatan diri (laki-laki) dan penghargaan diri (laki-laki) adalah penindasan umat manusia yang paling fundamental.13 Yang patut dibahas di sini tentunya dua orang feminis radikal yang paling frontal menyatakan antipornografi yaitu Catharine MacKinnon dan Andrea Dworkin.

Dworkin menyebutkan pornografi beroperasi pada tiap komponen subordinasi sosial, yaitu hierarki, objektifikasi, penyerahan-diri dan kekerasan. Hierarki mengandaikan adanya hubungan atas

11 Ketiga perdebatan itu hanya sebagian dari perdebatan-perdebatan lain. Untuk lebih dalam mengenai mengenai perdebatan-perdebatan yang ada, lihat Helen Cothran (ed.), Opposing Viewpoints: Pornography, (San Diego, Greenhaven Press, 2002).

12 Rosemarie Tong, Feminist Thought: A Most Comprehensive Introduction, (Colorado, Westview, 2009), hal. 48.13 Tong, Feminist Thought... hal. 49.

Page 152: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

127

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

bawah dalam pornografi. Objektivikasi muncul ketika perempuan hadir sebagai tubuh, di mana tubuh tersebut dianggap sebagai komoditas belaka, bukan sebagai manusia utuh terdiri atas jiwa dan tubuh yang bermartabat. Penyerahan diri terjadi sebagai konsekuensi dari adanya hierarki. Perempuan dalam sebuah materi pornografi menyerahkan diri pada kuasa maskulin. Kekerasan, sebagai pengejawantahan dari kuasa maskulin, baik dalam bentuk fisik maupun simbolik terjadi pada perempuan dalam pornografi.14 Sementara itu, MacKinnon dengan tegas menyatakan perempuan tidak pernah memiliki martabat, keamanan, kompensasi sebagai janji dari prinsip kesetaraan sepanjang pornografi tetap ada.15

Meskipun tidak selalu berlabel radikal, beberapa feminis juga menegaskan posisinya yang anti terhadap pornografi. Cornell, misalnya, menyebut perempuan yang bekerja di ranah pornografi (dan juga prostitusi) dikendalikan oleh kesadaran palsu. Oleh karena itu, negara harus menyelamatkan mereka. “Negara menyelamatkan mereka dari diri mereka (sendiri),” tulis Cornell.16 John Stuart Mill, yang kerap menjadi acuan bagi feminis liberal, ternyata dalam beberapa tulisannya, secara implisit cukup memandang negatif pornografi. Pornografi baginya adalah bentuk dari subordinasi seksual perempuan. Sebagaimana dikemukakan Levin, Mill menyatakan kalaupun perempuan menerima peran subordinasi, bukan berarti penerimaan itu tidak bermasalah. Lebih lanjut Levin mengutip Dyzenhaus, yang menyatakan, Mill cukup peduli dengan kompleksitas modus operasi seksisme dan upaya menuju kebebasan serta otonomi yang juga mengandung kerugian (harm) berbasis gender.17

Kalangan proseks yang propornografi begitu yakin pornografi juga bisa menjadi sarana pemenuhan kepuasan bagi perempuan. Namun seorang feminis Perancis, Luce Irigaray, tidak begitu yakin pornografi menawarkan pemenuhan kepuasan. Di dalam sebuah kepuasan, menurut Irigaray, belum tentu ada kepuasan itu sendiri. Artinya, kepuasan itu tak lain hanya sebentuk demonstrasi dari kuasa maskulin. Dengan teknik-

14 Andrea Dworkin, Against the Male Flood: Cencorship, Pornography, and Equality, dalam Frances E. Olsen, Feminist Legal Theory I: Foundations and Outlooks, (New York, New York University Press, 1995) hal. 339-340.

15 Catharine MacKinnon, Francis Biddle’s Sister: Pornography, Civil Rights, and Speech, dalam D. Kelly Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives, (Philadephia, Temple University Press, 1996) hal. 74.

16 Drucilla Cornell, At the Heart of Feminism: Feminism, Sex, and Equality, (New Jersey, Princeton University Press, 1998) hal . 46.17 Abigail Levin, The Cost of Free Speech: Pornography, Hate Speech, and Their Challenge to Liberalism, (London, Palgrave

Macmillan, 2010) hal. 70-71.

Page 153: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

128

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

teknik yang diterapkan dalam (film) pornografi, maka menjadi sulit bagi perempuan menggapai apa yang diangankan sebagai kepuasan.18 Dengan dramatis, Irigaray menegaskan kepuasan yang diharapkan itu pada faktanya:19

“...menjadi semakin jarang dan mahal: si tuan (laki-laki, keterangan dari penulis) butuh keadaan itu untuk kenikmatannya, lagi dan lagi. Pornografi adalah kuasa dari seri-seri itu (reign of the series). Sekali lagi, jatuh korban lagi, pukulan lagi, kematian lagi...”

Kalangan feminis antipornografi begitu yakin ada hubungan antara pornografi dan kekerasan terhadap perempuan. Robin Morgan, misalnya, menyatakan “pornografi adalah teori, sedangkan pemerkosaan adalah prakteknya.”20 Pornografi juga diyakini mengandung struktur ‘sado-masokis’ (sadis dan masokis). Eisenstein, sebagaimana dikutip oleh Edwards, mengemukakan pornografi kadang tak lain adalah sebuah aktivitas bercorak sado-masokis, di mana kekerasan fisik menjadi sumber kepuasan seksual laki-laki. Maskulinitas adalah pembentuk utama karakter kekerasan seksual. Mengutip Benjamin dan Dworkin, Edwards menyimpulkan sadis, secara konotatif, merupakan perwujudan dari si maskulin, masokis adalah perwujudan dari si feminin.21

Michelle Evans, salah satu feminis antipornografi, mendukung model legislasi pornografi yang dikemukakan MacKinnon dan Dworkin. Evans, melalui studinya tentang regulasi pornografi di Australia, mengatakan model legislasi pornografi yang dibuat MacKinnon dan Dworkin harus diadopsi di Australia. Evans mengemukakan pentingnya model tersebut harus diterapkan karena “hal itu satu-satunya model legislasi yang menyasar kerugian yang nyata dialami perempuan akibat pornografi.”22

18 Luce Irigaray, Ce Sexe qui n’en est pas Un, terjemahan bahasa Inggris oleh Catherine Porter dan Carolyn Burke, This Sex which is Not One, (New York, Cornell University Press, 1985), hal. 199-200

19 Irigaray, Ce Sexe qui..., hal. 202.20 Tim Edwards, Erotics and Politics: Gay Male Sexuality, Masculinity, and Feminism, (London & New York, Routledge, 1994),

hal. 8421 Edwards, Erotics and Politics..., hal. 8022 Michelle Evans, Regulating Internet Pornography as an Issue of Sex Discrimination, (Thesis LL.M di Murdoch University,

Perth, Western Australia, September 2005) hal. 226.

Page 154: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

129

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

4.2.3 Feminis PropornografiSetidaknya ada dua kubu feminis yang tidak terlalu memandang

negatif pornografi, yaitu feminis proseks dan feminis liberal. Feminis proseks bahkan merayakan pornografi sebagai wahana pembebasan hasrat seksual perempuan. Sementara feminis liberal tidak an sich pro terhadap pornografi, melainkan fokus menentang penyensoran terhadap pornografi, karena bertentangan dengan prinsip kebebasan berbicara dan berekspresi. Feminis yang pro pornografi kerap diserang karena mengabaikan hubungan antara pornografi dan kekerasan seksual. Namun Malamuth, Addison dan Koss dalam penelitian mereka menyimpulkan relasi antara konsumsi pornografi dan tendensi agresi seksual terhadap perempuan tidak sebegitu deterministik sifatnya dan bergantung pada variabel-variabel lain. Pendapat itu diperkuat oleh temuan-temuan lain. Mereka membandingkan dengan hasil survei terhadap mayoritas laki-laki Amerika, yang menganggap pornografi tidak berhubungan dengan agresi seksual level tinggi, meskipun kecenderungan tersebut diekspresikan dalam perwujudan perilaku lain.23

Crawford, seorang feminis proseks, mengemukakan setidaknya ada 4 premis pokok dari tulisan-tulisan tentang pornografi. Tulisan-tulisan itu berhaluan Teori Hukum Feminis Gelombang Ketiga.24

a. Pornografi adalah sebuah bentuk ekspresi seksual. Dengan mengutip pendapat Minkowitz, Crawford menggambar-

kan pornografi bagi perempuan menyandang peran yang tidak berbahaya dalam memunculkan fantasi seksual. Minkowitz dengan tegas menolak segala pendapat yang menghubungkan antara konsumsi pornografi dan kekerasan terhadap perempuan. Minkowitz tidak sependapat dengan tokoh feminis radikal Catharine MacKinnon yang menyatakan tentara Serbia di-pengaruhi pornografi ketika memerkosa perempuan-perempuan Bosnia. Bagi Minkowitz, pernyataan MacKinnon itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena ada perbedaan antara

23 Neil M. Malamuth, Tamara Addison, dan Mary Koss, Pornography and Sexual Aggresion: Are There Reliable Effects and Can We Understand Them?, (2000) Annual Review of Sex Research Vol. 11, hal. 85.

24 Bridget J. Crawford, Toward a Third-Wave Feminist Legal Theory: Young Women, Pornography, and the Praxis of Pleasure, (Pace Law Faculty Publications. Paper 243, 2007) hal. 37-50.

Page 155: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

130

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

perasaan (birahi yang muncul akibat pornografi) dan tindakan. Tiap orang mungkin merasakan birahi yang sama, tetapi tidak selalu mewujud pada kekerasan. Alih-alih selalu berpikir negatif tentang pornografi, Crawford mengajak perempuan untuk jujur terhadap hasrat seksualnya melalui pornografi.

b. Pornografi adalah sebuah tipe pertunjukan yang menjadi subjek multi-interpretasi oleh para aktor dan konsumennya.

Pornografi adalah sebuah pertunjukan. Tanpa interpretasi dari orang yang melihatnya, pertunjukan itu tidak akan ada maknanya. Beranjak dari interpretasi itu, Crawford menyampaikan pandang-an Doyle dan Lacombe, dua tokoh pro-porn yang terkenal. Doyle dan Lacombe, mengatakan agar tak terburu-buru mengutuk pornografi karena beberapa perempuan menikmatinya. Beberapa aktris pornografi yang mereka wawancarai juga menyatakan menikmati peran pornografisnya. Mereka bisa mengeksplorasi erotisme diri dan mengundang tontonan. Bagi para pekerja pornografi, pertunjukan dimaknai sebagai sebuah tipe kekuasaan tersendiri dan pelibatan diri. Dengan pandangan semacam itu, tentu Doyle dan Lacombe menolak pandangan yang menyebut perempuan adalah korban dalam pornografi, sebab justru terkadang perempuan jadi berkuasa.

c. Pornografi adalah sebuah cara yang ‘tidak unik’ di mana perempuan dieksploitasi secara seksual dan ekonomis.

Analisis-analisis Melissa Klein menjadi ulasan Crawford dalam bagian ini. Klein sependapat dengan MacKinnon yang menyatakan pornografi tidak hanya mengajarkan bagaimana realitas dominasi laki-laki, tetapi juga menyuarakan pengalaman, yaitu sebuah jalan untuk memandang dan menggunakan perempuan. Klein juga sependapat perempuan dalam pornografi direpresi, dilanggar dan dijadikan objek. Namun demikian, Klein memandang eksploitasi dalam pornografi bukan sesuatu yang istimewa, karena secara umum eksploitasi itu ada di mana-mana. Bahkan Klein mengklaim eksploitasi itu menguntungkan secara ekonomis bagi perempuan. Seorang penari bugil yang diwawancarai Klein mengungkapkan, “dalam sistem ekonomi

Page 156: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

131

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

di mana perempuan menemui ketidaksetaraan dalam bekerja, pekerjaan yang berhubungan seks menjadi jalan keluar (bahkan dalam prosesnya perempuan bisa menikmati).” Dalam istilah Klein lainnya, pornografi bisa menjadi sarana perempuan untuk ‘mengeksploitasi ketereksploitasian mereka.’ Jika feminis radikal pesimistis dengan pornografi perempuan ‘menjadi apa yang dimaui laki-laki,’ maka feminis gelombang ketiga optimistis dengan pornografi, perempuan bisa ‘membuat konstruksi dirinya sendiri’.

d. Pornografi adalah bagian sehat dari keseluruhan agenda sex-positive.

Akhirnya, Crawford menyatakan agenda proseks dan sex-positive pada Teori Hukum Feminis Gelombang Ketiga, yang lebih mengemuka sebagai perayaan pornografi yang berpusat pada perempuan (female-centered pornography), ketimbang sebagai upaya untuk menyensor pornografi yang berpusat pada laki-laki (male-centered pornography).

Senada dengan pandangan di atas namun berbeda fondasi dengan feminis proseks adalah feminis liberal. Pemikiran liberal berakar dari keunikan manusia dalam kapasitas rasionalnya. Faktor rasionallah yang membedakan manusia dari binatang. Keyakinan terhadap rasionalitas itu bermuara pada penekanan otonomi individual.25 Dengan asumsi tiap manusia itu rasional, maka otonomi manusia dalam menjalani hidup bersifat mutlak. Semangat otonomi dan kebebasan itulah yang membuat feminis liberal menjadi kerangka berpikir dominan atau menempati posisi ‘common-sense’ dalam feminisme, bahkan cenderung menjadi label umum bagi mereka yang menyebut diri feminis.26

Kerangka hukum yang menjadi dasar bagi para feminis liberal, khususnya di Amerika Serikat, adalah First Amendment dari Konstitusi Amerika Serikat:

25 Rosemarie Tong, Feminist Thought: A Most Comprehensive Introduction, (Colorado, Westview, 2009), hal. 11.26 Jane Pilcher dan Imelda Whelehan, Fifty Key Concepts in Gender Studies, (London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage

Publications, 2004), hal. 49.

Page 157: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

132

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

“Congress shall make no law... abridging the freedom of speech, or of the press.” 27

Frederick menekankan pentingnya freedom of speech tersebut.28 Menurutnya, ada tiga alasan pokok tentang pentingnya hal tersebut.

Pertama, kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi sebagai sesuatu yang sangat prinsipil karena menjadi syarat bagi pengembangan personal dan kemajuan manusia. Orang dewasa mempunyai hak itu membuat konsep tentang hidupnya sendiri dan menentukan yang dianggap baik dalam hidupnya. Dalam hal pornografi, kalangan liberal meyakini manusia dewasa dapat memilah mana yang baik dan mana yang buruk terkait dengan materi-materi pornografi.

Kedua, kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi meng-untungkan bagi makhluk yang tak luput dari salah seperti manusia. Dalam kekurangannya itu dan dengan kebebasan tersebut, manusia dapat menemukan kebenaran dan jalan hidup yang lebih baik. Pornografi, apa pun persepsi negatif terhadapnya, menurut Frederick memberikan keuntungan bagi yang pernah melihatnya (meskipun tidak langsung), ketimbang yang tidak pernah atau berharap untuk tidak menonton.

Ketiga, dengan membuat aturan yang mengekang kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi terkait pornografi, belum tentu menjamin aturan itu tidak mengekang apa yang diperjuangkan pihak-pihak yang anti-pornografi. Frederick memberi contoh buku karya feminis anti-pornografi Andrea Dworkin yang justru disensor oleh regulasi anti-pornografi karena dianggap porno.

Jika feminis pro-sex, pro-porn, atau sex-positive betul-betul memihak pada pornografi, feminis liberal tidak begitu fanatik. Feminis liberal tidak terlalu sering menyatakan muatan suatu materi itu merugikan atau tidak. Bagian yang menjadi perhatian itu justru mengenai penyensoran (censorship) terhadap materi cabul dalam pornografi. Feminis liberal keberatan dengan penyensoran, karena bertentangan dengan prinsip kebebasan berbicara dan berekspresi. Selain itu, yang penting lagi upaya penyensoran akan menemui hambatan praktis dalam prakteknya. Sulit mendefinisikan pornografi adalah hal serius yang kerap

27 Cothran (ed.), Opposing Viewpoints..., hal. 7.28 Danny Frederick, Defending Pornography, (1996) Political Notes No. 124, hal. 1-2.

Page 158: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

133

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

membuat proses penyensoran menjadi sewenang-wenang. Hal ini karena tidak mungkin membuat definisi yang memuaskan. Secara makro dan jangka panjang, penyensoran juga berakibat pada keengganan orang untuk berekspresi dan berkreasi, karena khawatir akan disensor.29

4.2.4 Pornografi AnakPerdebatan mengenai pornografi dalam kaitannya dengan

perempuan dewasa begitu problematis. Hal sebaliknya berlaku untuk pornografi anak. Perempuan dewasa dipersepsikan sudah memiliki kesadaran dalam bertindak sehingga keterlibatannya dalam pornografi bisa menjadi perdebatan. Berbeda dari anak yang belum mengalami perkembangan emosional dan kesadaran layaknya perempuan dewasa. Jika perempuan bisa memiliki dan menggunakan pilihan-pilihan, anak cenderung tidak demikian.Tidak heran jika pornografi dewasa memunculkan perdebatan, sementara terhadap pornografi anak, mayoritas kalangan sepakat menyatakannya sebagai sebuah kejahatan. Asumsi dasarnya adalah ketidakseimbangan relasi kuasa antara anak dan pembuat film porno. Taylor dan Quayle, sebagai dikutip oleh Ost, menyatakan:30

“Dalam hal pornografi anak, termasuk juga perlakuan seksual semena-mena terhadap anak, kami menyimpulkan bahwa ada ketidakseimbangan kuasa antara anak dalam gambar dan orang dewasa yang memproduksinya, dalam arti bahwa si anak tidak dapat, dalam segala segi, ‘memilih’ untuk ada atau tidak di dalam gambar tersebut.”

Munculnya perilaku seksual yang melibatkan anak bukanlah hal baru, bahkan prostitusi anak sudah terjadi sejak zaman purba.31 Di zaman modern, sejarah pornografi anak dapat ditelusuri pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an. Buah dari hukum pornografi yang liberal di Eropa Barat saat itu telah membuka jalan bagi produksi komersial pornografi anak dalam bentuk film atau majalah. Sejak tahun 1970-an,

29 Lihat Stanford Encyclopedia of Philosophy, Pornography and Cencorship, http://plato.stanford.edu/entries/pornography-censorship/, diakses pada 1 Februari 2013.

30 Suzanne Ost, Child Pornography and Sexual Grooming: Legal and Societal Responses, (New York, Cambridge University Press, 2009), hal. 32.

31 Ost, Child Pornography..., hal. 25

Page 159: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

134

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

pornografi pertama kali dianggap sebagai masalah sosial yang nyata karena secara serius mengancam anak.32 Lalu mulai pertengahan tahun 1990-an, penyebaran pornografi anak melalui internet menjadi perhatian sosial di kalangan masyarakat.33

Beberapa instrumen hukum internasional dan regional mem-berikan respons atas maraknya peredaran pornografi anak.

1. Konvensi PBB tentang Hak Anak Tahun 1989 Pasal 1 Konvensi ini memberikan definisi anak sebagai, “manusia

yang berumur di bawah 18 tahun, kecuali ditentukan lain oleh hukum yang berlaku pada anak.” Selanjutnya, Pasal 34 Konvensi ini juga memberikan ketentuan negara peserta Konvensi wajib melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual, termasuk di antaranya:a. pembujukan atau pemaksaan terhadap anak untuk terlibat dalam

segala bentuk aktivitas seksual;b. eksploitasi anak dalam prostitusi atau praktek-praktek seksual

yang lain;c. eksploitasi anak dalam pertunjukan dan materi pornografi.

2. Protokol Opsional Konvensi PBB tentang Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak Tahun 2000.

Pasal 2 c Protokol ini memberikan definisi pornografi anak termasuk segala tampilan anak, baik yang nyata maupun yang disimulasikan, yang terlibat dalam aktivitas seksual; atau segala tampilan dari organ seksual anak yang ditujukan untuk tujuan seksual.

Dalam hal terjadi kejahatan pornografi anak lintas negara, menurut Protokol, pelaku dari kejahatan itu dapat diekstradisi. Ketika ternyata antara dua negara tidak memiliki perjanjian bilateral mengenai ekstradisi, maka Protokol dapat menjadi basis hukum untuk melakukan ekstradisi.

32 Ost, Child Pornography..., hal. 2933 Yaman Akdeniz, Internet Child Pornography and the Law: National and International Responses, (Hampshire, Ashgate

Publishing, 2008), hal. 1

Page 160: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

135

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Bagian ini akan menggelar berbagai tema pokok dalam hukum antipornografi di Indonesia. Dalam pembahasannya terdapat dua komponen, yakni legislasi mengenai pornografi di Indonesia dan putusan pengadilan terkait. Legislasi yang di dalamnya memuat ketentuan tentang pornografi antara lain:

1. UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (selanjutnya disingkat sebagai “UU Pornografi”),

2. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut sebagai “UU ITE”),

3. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut sebagai “UU Pers”),

4. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut sebagai “UU Perlindungan Anak”),

5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut sebagai “KUHP”),

6. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (selanjutnya disebut sebagai “UU Penyiaran”)

7. UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (selanjutnya disebut sebagai “UU Perfilman”),

8. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film (selanjutnya disebut sebagai “PP LSF”)

Sementara itu, putusan pengadilan yang akan menjadi bahan pembahasan adalah putusan baik yang sudah in kracht, maupun yang belum. Putusan-putusan itu disajikan dalam tabel-tabel berformat Issues-Rules-Analysis-Conclusion (IRAC).

Dengan terbitnya UU Pornografi, semestinya pemberantasan tindak pidana pornografi menjadi berpusat pada UU tersebut. Dalam prakteknya, beberapa undang-undang lain juga digunakan, setidaknya digunakan dalam dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum, seperti UU ITE, UU Perfilman, UU Perlindungan Anak dan KUHP. Untuk itu, dalam bagian ini, berbagai undang-undang itu akan turut dibahas. Meskipun banyak undang-undang mengatur tentang Pornografi, hanya beberapa yang memuat ketentuan pidana. Dari delapan yang sebelumnya disebutkan, UU Penyiaran dan PP LSF tidak memuat ketentuan pidana yang berpotensi berkaitan dengan masalah pornografi. Kedua peraturan tersebut hanya bersifat umum.

4.3 Pornografi dalam Legislasi dan Putusan Pengadilan

Page 161: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

136

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Seperti halnya sebuah barang di pasar, perputaran pornografi melalui tiga proses yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. UU Pornografi menggunakan istilah pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan. Namun, pada intinya sama saja. Perhatikan bagan di bawah ini:

Dari bagan dapat terlihat dari 8 peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berpotensi mengatur pornografi, 5 di antaranya mengatur pembuatan pornografi, 7 mengatur penyebarluasan pornografi dan hanya 1 yang mengatur penggunaan pornografi.

Dari 4 peraturan yang mengatur pembuatan hanya 3, yakni UU Pornografi, UU Perlindungan Anak dan KUHP, yang memiliki atau berpotensi memiliki ketentuan pidana. Dari 5 peraturan yang mengatur atau berpotensi mengatur penyebarluasan, 6 di antaranya memiliki ketentuan pidana. Dalam hal penggunaan, hanya UU Pornografi yang mengatur ketentuan pidana.

Mengapa disebutkan ‘berpotensi?’ Sejatinya, hanya UU Pornografi yang menyebut secara eksplisit perihal pornografi. Peraturan perundang-undangan lain tidak menyebutkan secara eksplisit, namun dapat menjerat pelaku pornografi

Page 162: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

137

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

karena mengandung unsur ‘melanggar kesusilaan.’ Untuk UU Perfilman bahkan tidak menyinggung soal kesusilaan. Istilah kesusilaan sangat elastis untuk ditafsirkan. Mulai dari pornografi, prostitusi, hingga tayangan sadis punya potensi untuk disebut sebagai melanggar kesusilaan. Definisi pornografi tentunya mengandung unsur ‘melanggar kesusilaan.’ Dalam beberapa putusan hakim pada bagian selanjutnya, persoalan kesusilaan itu terbukti menjadi isu krusial dalam pornografi.

Pembahasan pada bagian ini bertitik tolak dari pornografi sebagai tindak pidana, karena dalam prakteknya di Indonesia, pornografi memang dinyatakan sebagai kejahatan. Alhasil, sebagaimana pembahasan sebelumnya, karena ketentuan pidana tidak tunggal, maka UU Pornografi mempunyai potensi untuk beririsan dengan ketentuan pidana pada peraturan lainnya. Perhatikan bagan di bawah ini:

Page 163: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

138

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Pada bagan di atas, pornografi anak dipisahkan dari tindak pidana pornografi pada umumnya. Hal itu dapat dilihat dari peraturan di berbagai negara, prinsip-prinsip internasional dan UU Pornografi Indonesia. Di berbagai negara, pornografi anak menjadi perhatian bukan karena persoalan kecabulan semata, melainkan karena isu perlindungan anak. Di Amerika Serikat misalnya, pornografi anak diatur dalam sebuah bab undang-undang yang berjudul ‘Sexual Exploitation and Other Abuse of Children.’ Sementara itu di Inggris, pornografi anak masuk ke dalam pengaturan Protection of Children Act 1978.

Selanjutnya, pada optional protocol Konvensi Hak Anak Tahun 2000, pornografi anak menjadi salah satu dari tiga isu pokok perlindungan anak. Ketiga isu pokok itu adalah perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak. Di Indonesia, UU Pornografi membuat bab tersendiri tentang Pornografi Anak. UU Pornografi dalam menyoroti pornografi anak sebagai bagian dari pornografi secara umum disertai dengan pemberatan sanksi pidana. Pemberatan itu berupa penambahan 1/3 dari sanksi pidana pornografi biasa.

UU Perlindungan Anak justru tidak menyebutkan pornografi secara spesifik, tetapi menyebutkan soal eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi terhadap anak. Meskipun demikian, UU Perlindungan Anak dapat menjangkau tindak pidana pornografi anak karena inti dari pornografi anak adalah mengenai eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi.

Dari bagan di atas juga tampak hanya ada dua sumber legislasi untuk memidana pembuat pornografi, yaitu UU Pornografi dan KUHP. Dalam beberapa kasus yang dibahas pada bagian selanjutnya akan tampak keduanya dipakai oleh penegak hukum dan kadang dipakai secara bersama-sama. UU Pornografi sesungguhnya lebih mudah dalam pembuktian ketimbang KUHP. Ditambah lagi, sanksi pidana UU Pornografi jauh lebih berat ketimbang KUHP.

Tindak pidana penyebarluasan pornografi memiliki sejumlah aturan yang melingkupinya. Secara konvensional perbuatan itu diatur oleh KUHP yang pada intinya memberi sanksi pidana bagi orang yang menyebarluaskan sesuatu yang melanggar kesusilaan. Secara modern, UU ITE mengatur hal yang sama, hanya saja locus-nya bukan di dunia nyata, melainkan di dunia maya. UU Perfilman menggunakan titik tolak yang berbeda dalam memidana orang yang menyebarluaskan pornografi, yakni pada persoalan teknis. Persoalan itu me-nyangkut syarat apakah sebuah film yang disebarkan sudah disensor oleh LSF atau belum. Jika, sebuah film yang mengandung muatan pornografi sudah disensor dan didistribusikan, maka UU perfilman tidak dapat menjangkau perbuatan itu. Ada satu kasus nyata yang menarik soal itu, yang akan dibahas pada bagian berikutnya.

Page 164: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

139

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

UU Pornografi mendefinisikan penyebarluasan secara luas. Definisi penyebarluasan sepertinya mampu mencakup semua aturan mengenai penyebar-luasan yang ada sebelumnya. Pembahasan lebih lanjut mengenai apa saja yang disebut sebagai penyebarluasan dapat dilihat pada bagian selanjutnya.

Dari semua pembahasan di atas, UU Pornografi tampaknya menjadi aturan induk yang mengatasi semua aturan tentang pornografi. Dalam UU tersebut, pornografi ditempatkan sebagai barang dan juga sebagai bentuk jasa. Bahkan, lebih jauh lagi sebagai sebuah tampilan langsung. Hal tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Secara garis besar, UU Pornografi terdiri atas peraturan tentang pornografi dan pertunjukan muatan pornografi. Peraturan tentang pornografi terdiri atas dua kategori, yaitu pornografi sebagai barang dan pornografi sebagai jasa. Selanjutnya, menurut penjelasan Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang itu, tindak pornografi mencakup Pembuatan, Penyebarluasan dan Penggunaan.

Page 165: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

140

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Pertunjukan muatan pornografi adalah istilah yang digunakan untuk meringkas apa yang dimaksud oleh Pasal 10 UU Pornografi yaitu “memper-tontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.” Uraian lebih lanjut mengenai tindakan cabul di muka umum ini terdapat pada bagian f pada bab ini.

Masuknya Pertunjukan Cabul sebagai kegiatan yang diancam pidana patut menjadi perhatian. Pornografi pada hakikatnya mengandung unsur pokok, yakni grafis, yang bisa berbentuk foto, video dan seterusnya. Pertunjukan Cabul, sebagaimana yang diatur pada Pasal 10 tersebut, pada dasarnya adalah sebuah aktivitas yang dapat dilihat langsung tanpa perantaraan media apa pun, misalnya pertunjukan musik atau teater live. Namun, hal itu tidak mengherankan sebab definisi dalam Pasal 1 Angka 1 UU Pornografi sendiri ternyata menyebutkan pertunjukan di muka umum juga menjadi media untuk menampilkan pornografi. Perhatikan tabel di bawah ini:

(Alternatif)

Gambar SketsaIlustrasi

FotoTulisanSuaraBunyi

Gambar BergerakAnimasiKartun

PercakapanGerak Tubuh

Bentuk Pesan Lainnya

Melanggar norma kesusilaan dalam

masyarakat

Pasal 1 Angka 1(Definisi Pornografi)

Melalui berbagai bentuk media

dan/atau

Pertunjukan di muka umum

Membuat kecabulan

atau

Eksploitasi seksual

Dari tabel di atas, didapati definisi pornografi dalam UU Pornografi terdiri atas empat unsur yang kesemuanya harus terpenuhi, sehingga sesuatu dapat disebut pornografi. Kotak pertama pada tabel di atas adalah bentuk dari suatu materi. Namun, ada dua yang berbeda secara kategoris dengan yang lainnya, yaitu

Page 166: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

141

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

percakapan dan gerak tubuh. Suatu materi dapat berbentuk tampilan visual, audio atau audio-visual. Gambar, sketsa, ilustrasi dan foto adalah bentuk tampilan visual statis, meskipun kesemuanya dapat dihimpun dalam kata ‘gambar’ saja. Suara dan bunyi, meskipun cukup membingungkan mengapa keduanya dibedakan, adalah bentuk dari audio.

Sementara itu, gambar bergerak, animasi dan kartun adalah bentuk dari tampilan visual dinamis atau juga bisa audio visual. Bagaimana dengan percakapan dan gerak tubuh? Bukankah percakapan itu termasuk suara? Atau, bagaimana jika percakapan itu direkam dengan kamera? Bukankah gerak tubuh adalah tampilan visual? Penyebutan keduanya secara terpisah mengesankan pornografi dalam konstruksi UU Pornografi tidak terbatas pada tuangan dalam materi tertentu.

Jadi, tidak hanya suatu materi pornografi yang ditampilkan melalui media tertentu, melainkan bisa berupa aktivitas tertentu (percakapan atau gerak tubuh) yang dilakukan pada pertunjukan di muka umum. Keduanya harus memenuhi unsur selanjutnya, yaitu bisa memuat kecabulan atau bisa juga dieksploitasi secara seksual. Kedua unsur itu dipakai secara alternatif. Sangat disayangkan, UU Pornografi tidak menjelaskan secara gamblang apa yang dimaksud eksploitasi seksual dan kecabulan. Bandingkan dengan uraian di dalam kotak di bawah.

Obscenity dan Obscenity Test

Di berbagai peraturan tentang pornografi di dunia, definisi dari apa yang disebut sebagai materi yang obscene dan bagaimana membuktikannya dengan obscenity test adalah dua hal pokok dalam penanganan tindak pidana pornografi.

Kamus Inggris-Indonesia34 yang dihimpun oleh John M. Echols dan Hassan Shadily mengartikan obscene sebagai cabul atau carut. Karena carut adalah kata yang jarang digunakan dan kerap secara salah kaprah dipakai dalam istilah ‘carut-marut’, maka yang paling tepat adalah cabul. Dengan demikian, obscenity adalah kecabulan dan obscenity test adalah tes untuk mengukur kecabulan suatu materi.

34 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Edisi Pertama - Cetakan ke-24, (Ithaca, London, Jakarta: Cornell University Press dan Gramedia Pustaka Utama, 1989), hal. 400.

Page 167: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

142

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Dalam tradisi Anglo-Amerika, kecabulan adalah istilah hukum untuk pornografi. Jadi, suatu materi harus benar-benar cabul agar dapat disebut sebagai materi pornografi. Cabul atau tidaknya suatu materi tentu relatif, karena adanya relativitas spasio-temporal tentang makna kesusilaan. Oleh karena itu, dalam tradisi Anglo-Amerika dikenal adanya Obscenity Test, yang digunakan oleh hakim dan juri sebagai rule untuk memutus perkara pornografi. Ada beberapa perkembangan dari tes tersebut.35

Pertama, Hicklin Rule. Rule ini mengemuka pada perkara Regina v. Benjamin Hicklin (1867) di Inggris. Dalam perkara itu, kecabulan didefinisikan sebagai materi-yang-dipublikasikan (published materials) yang memiliki tendensi merusak akhlak dan akal (corrupt and deprave the mind) generasi muda dan orang dewasa. Meskipun definisi tersebut masih tidak jelas, Hicklin Rule bertahan lama dan menguat. Ketika itu, Inggris tengah berada pada ‘Era Victorian’ yang membuat hakim ketika itu mudah untuk menentukan bagaimana moral publik mendefinisikan ‘merusak akhlak dan akal.’ Hicklin Rule ini juga diterapkan di wilayah kolonial Amerika ketika itu, misalnya dalam perkara Commonwealth v. Jesse Sharpless.

Kedua, Whole-Work Rule. Meskipun sebelum rule ini muncul, telah ada nada-nada kritis terhadap Hicklin Rule, baru pada tahun 1933 rule itu mulai dipinggirkan, khususnya terkait materi yang berbentuk karya sastra. Whole-Work Rule muncul pada perkara United States v. One Book Called ‘Ulysses.’ Dalam perkara itu, suatu materi (karya sastra) harus dilihat secara keseluruhan atau ide holistik dari satu materi, bukan pada bagian-bagian tertentu saja. Jika Hicklin Rule diterapkan, hanya dengan melihat bagian-bagian itu, bisa dengan mudah dan sempit dinyatakan suatu materi disebut cabul. Hicklin Rule resmi disingkirkan pada perkara United States v. Levine.

35 Dihimpun dan disarikan dari Thomas C. Mackey, Pornography on Trial: A Handbook with Cases, Laws, and Materials, (Santa Barbara, Denver, Oxford: ABC-CLIO, 2002), hal. 13-35

Page 168: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

143

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Hicklin Rule dinyatakan terlalu sempit sehingga hakim dan lembaga peradilan tidak semestinya melestarikan cara berpikir sempit dan bersifat terlalu membatasi kehidupan manusia. Hakim Augustus Hand ketika itu menyatakan, “Sebuah karya harus dilihat secara keseluruhan; kemaslahatannya harus lebih dinomorsatukan ketimbang kemudaratannya.”

Ketiga, Roth Rule, Jacobellis Rule dan Memoirs Rule. Rule itu muncul dalam perkara Roth v. United States (1957). Roth Rule dengan resmi menggantikan Hicklin Rule dan memperbarui Whole-Work Rule. Ketiga Rule mendefinisikan materi cabul sebagai materi yang mengandung karakteristik sebagai berikut: a) secara keseluruhan materi itu didominasi oleh hal ihwal

yang menarik untuk kepentingan birahi dalam seks (appealed to a prurient interest in sex),

b) materi itu secara nyata offensive karena melecehkan standar masyarakat terkini,

c) materi itu sama sekali tidak mempertimbangkan nilai sosial (utterly without redeeming social value).

Keempat, Miller Rule. Hadirnya rule ini menandakan perubahan radikal dalam mendefinisikan kecabulan. Miller Rule muncul dari perkara Miller v. California (1973) dan dari perkara lain seperti Paris Adult Theater I et.al. v. Slaton, District Attorney, et. al. (1973). Miller Rule menggariskan untuk menentukan suatu materi cabul atau tidak, harus melalui sejumlah tes. Pertama, apakah rata-rata orang, dengan menerapkan standar masyarakat terkini, akan menemukan suatu materi secara keseluruhan terlalu menarik kepentingan birahi. Kedua, apakah suatu materi menampilkan atau mendeskripsikan dengan cara yang nyata-nyata offensive, tingkah laku seksual yang secara spesifik didefinisikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, apakah suatu materi secara keseluruhan kurang mengandung nilai sastrawi, seni, politik atau ilmu pengetahuan.

Page 169: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

144

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Beberapa ketentuan untuk melakukan tes kecabulan antara lain: a) kecabulan tidak dilindungi secara konstitusional;b) pengadilan menentukan standar (mengacu pada tiga

pertanyaan di atas); c) pencabut ketentuan yang menyatakan benar tidaknya

suatu materi mempertimbangkan nilai sosial (redeeming social value);

d) pemerintah harus membuat peraturan yang jelas dalam mendefinisikan tingkah laku seksual dan memberitahukan-nya ke publik;

e) standar masyarakat terkini (contemporary community standards) tidak bermakna ada standar nasional melainkan standar masyarakat berdasarkan lokalitas.

Pada kotak yang keempat dalam tabel Pasal 1 di atas tercantum unsur “melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.” UU Pornografi tidak memberi penjelasan apa yang dimaksud dengan norma kesusilaan dalam masyarakat dan masyarakat mana yang dimaksud pada definisi itu. Sudikno Mertokusumo menyebut kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu, bukan sebagai anggota masyarakat yang terorganisir.36 Jadi, batasan atau norma menurut kaidah kesusilaan itu bersumber dari tiap individu yaitu hasil olah rasa dan rasio dalam sanubari manusia. Adanya pemaknaan kesusilaan seperti itu membuat istilah ‘norma kesusilaan dalam masyarakat’ jadi lebih membingungkan untuk dicerna.

Lebih jauh lagi Sudikno Mertokusumo menyatakan seandainya terjadi pelanggaran kaidah kesusilaan, batin manusia itu sendiri yang memberi sanksi berupa malu, takut, menyesal dan lain-lain. Dengan demikian, sanksi bukan berasal kekuasaan di luar dirinya.37 UU Pornografi mendasarkan sanksinya pada

36 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hal. 737 Mertokusumo, ibid.

Page 170: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

145

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

norma kesusilaan dalam masyarakat, namun norma kesusilaan itu sejatinya adalah norma yang bersifat individual. Bagaimana pembuktian unsur keempat dari pornografi ini? Hakim mempunyai peran pamungkas untuk menafsirkannya.

Selain pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi yang disebutkan dalam Pasal 4 Ayat 1, UU Pornografi juga menyediakan ketentuan-ketentuan yang mengacu ke ‘peraturan perundang-undangan’ lain. Hal itu dapat dilihat di Pasal 13 Ayat 1 dan 2, serta Pasa l14, yang berbunyi:

Pasal 13 Ayat 1Pembuatan, penyebarluasan, atau penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat 1 wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.Frasa “selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat 1” dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.

Pasal 13 Ayat 2Pembuatan, penyebarluasan, atau penggunaan, pornografi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.Yang dimaksud dengan “di tempat dan dengan cara khusus” misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.

Pasal 14Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan penyebarluasan, atau penggunaan pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ilustrasi yang cukup menarik untuk menguraikan Pasal 13 Ayat 1 barangkali adalah kasus tindak pidana kesusilaan yang melibatkan Majalah Playboy versi Indonesia tahun 2006-2009. Majalah Playboy yang dikenal di seantero dunia, adalah majalah dewasa yang di dalamnya memuat foto-foto sebagian besar model perempuan. Para model tersebut menggunakan bikini dalam beberapa posenya. Bahkan pada edisi yang terbit di benua Eropa, para model perempuan itu berpose tanpa penutup dada. Selain Playboy, banyak majalah lainnya yang memuat foto

Page 171: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

146

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

dengan model perempuan yang tampil dalam pose serupa. Pada tahun 2006, Majalah Playboy dirintis keberadaannya di Indonesia. Hal tersebut menimbulkan protes beberapa kelompok dalam masyarakat. Akhirnya, Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Indonesia diajukan oleh kelompok yang menentang keberadaan majalah tersebut, ke meja hijau.

Pengadilan akhirnya memutus Playboy, dalam hal ini Pemimpin Redaksi Majalah itu Erwin Arnada, bersalah telah melakukan tindak pidana kesusilaan sebagaimana termaktub pada Pasal 283 Ayat 3:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam Ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan.”

Jika konten majalah seperti Playboy tidak termasuk, seperti yang diuraikan pada penjelasan Pasal 13 Ayat 1 misalnya, maka pengaturan konten majalah Playboy tunduk pada peraturan perundang-undangan lain. Mengacu pada perkara Playboy, maka majalah-majalah dewasa yang memuat foto-foto berbikini akan menemui ancaman Pasal 283 Ayat 3 KUHP.

Pada dasarnya tidak terlalu jauh berbeda, karena pasal itu juga mengandung unsur ‘melanggar kesusilaan.’ Jika Kasus Playboy menjadi preseden bagi putusan hakim di kemudian hari, maka Pasal 13 Ayat 1 menjadi pasal yang tidak berguna karena mengacu pada ketentuan pidana yang tak jauh beda dan pengecualian materi foto yang berbikini misalnya, pada akhirnya juga akan dianggap melanggar kesusilaan.

Selanjutnya, UU Pornografi, melalui Pasal 14 juga mengatur mengenai ‘pornografi’ untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan. Mengapa sebutan pornografi tetap melekat meski untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan? Bukankah itu berarti bagaimanapun gambar, tulisan, atau benda yang digunakan dalam pendidikan dan pelayanan kesehatan tetap pornografi, meski dikecualikan? Apakah boneka peraga anatomi

Page 172: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

147

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tubuh manusia yang telanjang bulat masih harus disebut sebagai pornografi?Bagian-bagian dalam bab ini selanjutnya akan menguraikan berbagai

tema dalam tindak pidana pornografi. Namun demikian, sebelumnya, berikut ini akan disajikan tabel sanksi pidana sebagai suplemen.

No

• Memproduksi• Membuat• Memperbanyak/ Menggandakan• Menyebarluaskan• Menyiarkan• Mengunduh• Mengimpor• Mengekspor• Menawarkan• Memperjualbelikan• Menyewakan• Meminjamkan• Menyediakan

Sanksi PidanaPerbuatan Penjara

MinimalPenjara

MaksimalDenda

MinimalDenda

Maksimal

6 bulan 12 tahun 250 juta 6 miliar

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Menyediakan jasa pornografi

• Meminjamkan• Mengunduh

6 bulan 6 tahun 250 juta 3 miliar

- 4 tahun - 2 miliar

• Memperdengarkan• Mempertontonkan• Memanfaatkan• Memiliki• Menyimpan

- 4 tahun - 2 miliar

• Mendanai• Memfasilitasi

Menjadiobjek/model

Menjadikan orang lain sebagaiobjek/mode

Melakukan pertunjukan muatan pornografi

Melibatkan anakdalam perbuatan 1-8

• Mengajak• Membujuk• Memanfaatkan• Membiarkan• Menyalahgunakan

kekuasaan• MemaksaAnak

Untuk Menggunakan produk/jasapornografi

2 tahun 15 tahun 1 miliar 7,5 miliar

- 10 tahun - 5 miliar

1 tahun 12 tahun 500 juta 6 miliar

1 tahun 12 tahun 500 juta 6 miliar

Ditambah1/3 Ditambah1/3 Ditambah1/3 Ditambah1/3

6 bulan 6 tahun 250 juta 3 miliar

Page 173: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

148

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

4.3.1 Pembuatan Pornografi

Ilustrasi di atas menunjukkan ada dua kemungkinan pasal yang dapat digunakan dalam menjerat pelaku pembuatan pornografi. Meskipun unsur-unsur kedua pasal berbeda jauh, namun ada unsur paling vital dari keduanya yang sama, yaitu ‘melanggar (norma) kesusilaan’. Jika asumsi umum dan preseden di dunia peradilan selama ini menyebutkan pornografi adalah sesuatu yang melanggar kesusilaan, maka Pasal 282 Ayat 1 dan 2 mungkin untuk diberlakukan. Di tambah lagi, di masa lalu, sebelum ada UU Pornografi, pasal itulah yang kerap menjerat pelaku pornografi.38 Berikut ini akan dikutipkan Pasal 282 Ayat 1 saja, karena pada dasarnya memiliki unsur pokok yang sama dengan pasal 282 Ayat 2. Perhatikan tulisan yang ditebalkan.

“Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun

38 Lihat Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND-HILL-CO, 1997) hal. 153.

Page 174: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

149

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.”

Dalam konteks pembuatan pornografi, bunyi pasal tersebut dapat berbunyi sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran, atau benda yang isinya melanggar kesusilaan.”

Jadi, pengaturan pembuatan pornografi dalam KUHP merupakan satu paket dengan penyebarluasan, karena kedua aktivitas itu harus terpenuhi satu sama lain agar Pasal 282 terbukti. Pembuatan pornografi dapat dipersalahkan ketika ada maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di muka umum. Ketika pornografi dibuat untuk kepentingan pribadi atau ditaruh di dalam ranah privat, maka perbuatan itu tidak salah menurut KUHP. Pembuatan pornografi, dengan demikian menurut KUHP, adalah perbuatan membuat sesuatu yang melanggar kesusilaan dengan maksud untuk dipublikasikan di muka umum. Menarik untuk membandingkan unsur ‘penyebarluasan’ dalam Pasal 282 tersebut dengan konsep ‘penyebarluasan’ dalam putusan pengadilan di Negara Bagian Pennsylvania, AS terkait dengan pembuatan pornografi.

Box 2 : Commonwealth v. Jesse Sharpless (1851)

Perkara Sharpless ini terjadi di Pennsylvania, Amerika Serikat.

Perkara ini dipercaya sebagai perkara hukum pertama di Amerika

Serikat yang menyangkut pornografi.39 Perkara ber mula ketika

Jesse Sharpless dan lima rekannya mengadakan eksibisi lukisan di

39 Lihat Thomas C. Mackey, Thomas C. Mackey, Pornography on Trial..., hal. 20.

Page 175: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

150

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

rumahnya. Lukisan-lukisan itu dikisahkan menggambarkan postur

perempuan yang ‘tidak senonoh’.

Pada tingkat pertama, Sharpless dinyatakan bersalah oleh

juri. Lalu, ia banding ke Mahkamah Agung Pennsylvania. Alasan

yang dikemukakan adalah hukuman yang diberikan kepadanya tidak

tepat, karena hukum saat itu hanya mengatur tentang pertunjukan

materi yang melanggar kesusilaan di ranah publik. Ia berargumen

pertunjukan itu dilakukan di rumah pribadi.

Hakim Agung Tilghman dalam perkara itu menyatakan,

“Sebuah perbuatan dapat dipidana karena mencederai moral publik,

bahkan jika perbuatan itu tidak dilakukan di muka umum, karena

itulah hakikat dari perbuatan pidana, ancaman terhadap moral

publik.”

Dalam kasus Sharpless ini, Hakim Agung Tilghman ber-pendapat bahwa sekalipun lukisan perempuan yang berpose ‘tidak senonoh’ itu dipamerkan di dalam rumah pribadi Sharpless, tindakan Sharpless itu patut dihukum. Alasan Tilghman, perbuatan Terdakwa mempertunjukkan gambar tersebut melukai moral publik. Lukisan Sharpless dikatakan telah mengandung pornografi, meskipun tidak ‘disebarluaskan’, karena lukisan tersebut menurut pertimbangan Hakim Agung dianggap merupakan ancaman terhadap moral.

Berbeda dari KUHP, UU Pornografi memisahkan antara pembuatan dan penyebarluasan. Bandingkan Pasal 282 tersebut dengan unsur Pasal 4 Ayat 1 UU Pornografi di bawah ini:

Page 176: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

151

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Mengacu pada konstruk atau konsep unsur-unsur pasal di atas, pembuatan (memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan) pornografi jelas dipisahkan dari penyebarluasannya. Meskipun si pembuat tidak bermaksud untuk menyebarluaskan, ia tetap dapat dipidana. Inilah yang membedakan antara Pasal 4 Ayat 1 UU Pornografi dan Pasal 282 KUHP. Tentunya, UU Pornografi dapat lebih mudah dalam melakukan pembuktian. Yang cukup mencengangkan, berdasarkan penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud ‘membuat’ tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Penjelasan itu tampaknya sejalan dengan spirit dalam Pasal 282 KUHP yang menghormati aktivitas privat tiap individu.

Meskipun tidak termasuk ke dalam kategori pembuatan, beberapa ketentuan UU Pornografi di bawah ini sejatinya menyasar ke pelaku yang terlibat dalam pembuatan:

Pasal 7Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Page 177: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

152

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Pasal 8Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.

Pasal 9 Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Ketiga pasal itu sejatinya mengatur mengenai aktor-aktor dalam tata alir proses pembuatan pornografi. Jika, Pasal 4 Ayat 1 menyasar pembuat secara langsung dari pornografi, maka tiga pasal di atas menyasar penyandang dana dan para aktor yang terlibat. Konstruk pasal-pasal tersebut dapat diilustrasikan dalam sebuah proses pembuatan sebuah film porno di bawah ini:

Pasal Kemungkinan yang dijerat oleh UU Pornografi

Pasal 4 Ayat 1

Pasal 7

Pasal 8

Pasal 9

Sutradara dan kru

Produser atau rumah produksi

Aktris/aktor

Manajemen (agency)aktris/aktor

Konstruk keempat pasal tersebut tampaknya hendak mengantisipasi pornografi yang ‘benar-benar pornografi.’ Dalam perkembangan terkini, misalnya di Amerika Serikat yang merupakan centrum industri pornografi dunia, pornografi bukanlah seperti yang muncul dalam ruang publik di Indonesia, seperti kasus sextape Ariel, Bandung Lautan Asmara, Belum Ada Judul dan video-video berdurasi pendek berformat ‘3gp’ yang kini berjumlah ribuan di Indonesia. Jadi, kini di Amerika Serikat, yang benar-benar pornografi adalah jutaan film porno yang diproduksi secara masif, terorganisasi profesional dan menguntungkan layaknya film-film Hollywood. Memang, tetap

Page 178: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

153

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

saja ada video-video sextape yang dibuat tanpa bermaksud untuk dikomersialisasikan, namun peredarannya tenggelam di antara film porno yang sebenarnya.

Di Indonesia, sejauh ini tidak ada kasus yang menyasar produksi pornografi profesional. Kasus yang ada kebanyakan pembuatan video amatir, yang kadang tujuan hakikinya bukan pembuatan video itu sendiri, melainkan ada maksud terselubung lain. Perhatikan kasus di bawah ini.

KASUS 1-------------------------------------------------

Kasus Deali vs Aslamia

(Tindak Pidana Pornografi: No. 450/Pid.B/2011/PN.Pkl)

Terdakwa: Muhammad Ali alias Ali alias Deali alias Sadam bin Saadi

SEJARAH PROSEDURAL Putusan In Kracht PN Pekalongan tanggal 14 Desember tahun 2011.

PERNYATAAN FAKTA lTerdakwa dan saksi korban, Tsuwaibatul Aslamia, sebelumnya ber-

pacaran, namun hubungan mereka kini sudah berakhir karena korban menyatakan putus.

l Pada hari minggu, 17 April tahun 2011 sekitar pukul 10.00 WIB, terdakwa berkunjung ke rumah korban. Pada pukul 17.00 WIB korban mengatakan kepada terdakwa bahwa ia akan mandi.

lTerdakwa kemudian menuju ke dapur untuk mengambil minum. Namun, ketika melewati kamar mandi, terdakwa melihat korban yang sedang mandi di kamar mandi yang hanya bertembok tapi tidak beratap.

lTerdakwa kemudian merekam korban yang sedang mandi meng-gunakan telepon genggam selama 13 detik.

lKorban yang melihat ada telepon genggam di atas kamar mandinya tidak menyetujui perbuatan itu.

lKorban meminta kepada terdakwa untuk tidak melakukan itu.l Beberapa hari kemudian terdakwa menunjukkan kepada korban

Page 179: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

154

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

rekaman tersebut sembari mengancam korban untuk mengembalikan telepon genggam dan uang yang pernah diberikan terdakwa semasa pacaran.

lTerdakwa juga menunjukkan rekaman itu kepada paman dan ayah korban.

lRekaman video di kamar mandi itu belum disebarluaskan oleh terdakwa karena terdakwa ditangkap aparat kepolisian terlebih dahulu.

ISU HUKUM Apakah terdakwa menurut hakim bersalah telah melakukan tindak pidana?

PERATURAN lPasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang PornografilPasal 32 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

ANALISIS lHakim menyatakan yang dimaksud “membuat” dalam pasal 29 UU

Pornografi memiliki makna yang jamak, bisa membuat untuk tujuan kepentingan pribadi, bisa juga membuat untuk kepentingan komersial dengan mendistribusikan secara luas.

lHakim menyatakan rekaman itu adalah produk pornografi berupa gambar bergerak (video) seorang perempuan yang sedang mandi dalam keadaan telanjang.

lHakim menyatakan terdakwa telah membuat pornografi di rumah korban dan setelah itu, terdakwa menyimpan rekaman itu dan pernah terdakwa pertontonkan kepada orang lain.

KESIMPULAN lHakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja membuat gambar pornografi yang memuat ketelanjangan.”

lHakim menjatuhkan pidana penjara 9 bulan dan denda Rp 250.000.000 subsidair 2 bulan kurungan.

-------------------------------------------------

Page 180: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

155

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Kasus di atas menunjukkan niat pelaku membuat video adalah untuk mengancam korban agar mengembalikan barang milik pelaku yang pernah dipinjamkan ketika keduanya masih berpacaran. Penuntut Umum dan Hakim lantas menggunakan Pasal 29 atau Pasal 32 UU Pornografi. Pasal 29 adalah ketentuan pidana yang mengacu sepenuhnya ke Pasal 4 Ayat 1, sementara pasal 32 mengacu pada Pasal 6. Karena Pasal 6 tidak masuk ke dalam kategori ‘pembuatan pornografi’, maka tidak akan dibahas pada bagian ini.

Jelas dalam perkara ini Pasal 282 tidak dapat digunakan karena nyata-nyata tidak ada fakta yang menunjukkan pelaku video tersebut di muka umum. Ia hanya menunjukkan video kepada korban dan keluarganya. Definisi perbuatan pada Pasal 282 KUHP itu tidak seluas definisi di UU Pornografi. Namun, definisi pornografi dan pembuatan pornografi yang sangat luas membuat kasus seperti ini dapat dijerat sebagai delik formil. Padahal, jika dilihat dari pernyataan faktanya, pembuatan video dalam kasus ini hanyalah cara untuk memeras korban, yang barangkali dapat masuk ke dalam konstruk Pasal 369 KUHP:

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Secara substansial, perbuatan pelaku barangkali dapat memenuhi unsur delik pemerasan tersebut. Hanya memang yang membingungkan adalah barang yang secara paksa diminta adalah milik pelaku itu sendiri. Namun hal pokok yang perlu dicatat adalah pembuatan pornografi dalam perkara ini hanyalah modus pelaku untuk memeras, di mana video tersebut bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik atau membuka rahasia bila disebarkan.

Page 181: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

156

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Dalam kasus ini, hakim tampak tidak menguraikan dan membuktikan tiap detail unsur dari delik pembuatan pornografi dan definisi pornografi. Pertama, tidak dibuktikan oleh hakim apakah materi di dalam video itu adalah pornografi, dengan tiap unsurnya, sebagaimana definisi di dalam pornografi UU Pornografi. Apakah Hakim menguji materi dalam video itu sebagai materi yang cabul atau eksploitasi seksual? Kedua, apakah hakim mempertimbangkan penjelasan Pasal 4 yang menyatakan tidak termasuk ‘membuat pornografi’ jika untuk dirinya sendiri atau kepentingan sendiri. Apakah pelaku membuat video tersebut untuk kepentingan sendiri? Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim dalam kasus tersebut menyatakan yang dimaksud “membuat” dalam Pasal 29 UU Pornografi memiliki makna yang jamak, bisa membuat untuk tujuan kepentingan pribadi, bisa juga membuat untuk kepentingan komersial dengan mendistribusikan secara luas.

Dari perspektif perempuan, dapat tergambar jelas dalam kasus ini pelaku (laki-laki) memanfaatkan ketubuhan korban sebagai perempuan untuk menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak seimbang. Si pelaku sebagai laki-laki menyadari dalam relasi gender yang ada dalam kasus, si perempuan dan keluarga akan merasa malu jika video yang berisi ketelanjangan si perempuan beredar luas. Oleh karena itu, keluarga korban merasa perlu untuk menghentikan tindakan pelaku agar tidak tersebar luas. Tampak jelas tubuh perempuan adalah aib, yang ketika terbuka ke publik aib itu bisa jadi pencemaran nama baik. Bagaimana jika yang menjadi objek dalam video itu laki-laki? Apakah mungkin kasusnya akan seperti ini?

Ada satu kasus, terjadi pada awal tahun 2000-an, sebelum diundangkannya UU Pornografi, yang lebih mendekati konstruk produksi pornografi dalam arti profesional sebagaimana penjelasan sebelumnya. Kasus itu adalah pembuatan ‘VCD casting iklan sabun mandi.’ Perhatikan tabel kasus 2 di bawah ini:

Page 182: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

157

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

KASUS 2

-------------------------------------------------

Kasus Casting Iklan Sabun(Tindak Pidana Kesusilaan: No. 219 K/Pid/2005)

lPengadilan Tingkat Kasasi dengan Terdakwa: Budi Setiawan

SEJARAH PROSEDURAL l Putusan PN Jakarta Pusat No. 671/Pid.B/2003/PN.Jkt.Pst. tanggal 20

November tahun 2003l Putusan Kasasi MA RI tanggal 4 Mei tahun 2005

PERNYATAAN FAKTA l Pada bulan September tahun 2000, terdakwa bertemu dengan saksi

Arifin (terdakwa pada perkara terpisah). Dalam pertemuan itu, saksi Arifin meminta terdakwa mencarikan model perempuan yang bersedia untuk casting iklan sabun mandi.

lTerdakwa menyanggupi permintaan itu dan berhasil mendapatkan beberapa model, yaitu Cut Nadira, Melvi, Kiki, Helen, Novi dan Rista.

l Saksi Arifin, melalui terdakwa, meminta para model untuk datang ke kantor PT Indochrona di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat.

lDi kantor PT Indochrona itu, dilakukan pengambilan gambar dalam rangka casting iklan sabun mandi oleh saksi George Irvan dan Revolano Togas yang bertindak sebagai pengarah gaya.

lTerdakwa sempat menjanjikan kepada para model untuk me nyunting adegan yang melanggar kesusilaan.

l Penyuntingan tidak dilakukan, saksi Arifin membawa hasil pengambil-an gambar terdakwa itu kepada saksi Bambang dan ditransfer ke bentuk kepingan VCD sebanyak 4 keping.

l Setelah itu, hasil casting itu muncul di internet sejak pertengahan tahun 2001 dan ketika dilakukan razia di Glodok, ditemukan sekitar 1800 VCD tersebut.

ISU HUKUM Apakah terdakwa menurut hakim bersalah melakukan tindak pidana?

Page 183: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

158

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

PERATURANl Pasal 282 Ayat 2 KUHPl Pasal 40 Huruf c UU No. 8 tahun 1992 tentang Filml Pasal 55 Ayat 1 KUHP

ANALISIS lHakim pada Pengadilan Tingkat Pertama menyatakan terdakwa tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan baik tindak pidana kesusilaan menurut KUHP maupun tindak pidana perfilman.

l Jaksa Penuntut Umum menyatakan banding karena putusan bebas tersebut bukanlah putusan bebas murni.

lHakim kasasi menerima putusan bebas tersebut adalah putusan bebas tidak murni, sehingga Jaksa dapat mengajukan kasasi.

lHakim menyatakan terdakwa memenuhi unsur Pasal 282 Ayat 2 KUHP, yakni menyiarkan gambar (bergerak) yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan.

lHakim menyatakan terdakwa tidak dapat dipisahkan dari saksi Arifin, karena merupakan satu kesatuan.

KESIMPULAN lHakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana

kesusilaan yang dilakukan secara bersama-sama.lHakim menjatuhkan pidana selama 6 bulan kepada terdakwa.

-------------------------------------------------

Kasus Casting Iklan Sabun itu lebih menggambarkan bagaimana pembuatan pornografi dalam arti profesional, meskipun ada muslihat dalam proses pembuatannya, karena awalnya acara pengambilan gambar dilakukan dalam rangka casting. Di dalamnya ada penyandang dana, sutradara (pengarah gaya) dan bagian distribusi. Sementara para model ternyata berpose di dalam video itu karena muslihat dari para pelaku, sehingga dapat dikecualikan sebagai pihak yang turut serta dalam kejahatan.

Hakim pada pengadilan tingkat pertama membebaskan pelaku. Penting untuk diingat, pelaku dalam Kasus 2 di atas merupakan bagian dari sindikat. Pelaku-pelaku lain disidangkan pada perkara yang

Page 184: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

159

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

berbeda. Jaksa Penuntut Umum lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan diterima: pelaku dipidana berdasarkan Pasal 282 KUHP karena hakim berkeyakinan pelaku adalah satu kesatuan dengan pelaku lain dalam Kasus Casting Iklan Sabun ini.

Jika kasus ini muncul ketika UU Pornografi sudah ada, maka pelaku kemungkinan besar akan dipidana sebagai orang yang menjadikan orang lain sebagai objek pornografi sebagaimana Pasal 9. Sementara itu, pelaku yang lain masing-masing kemungkinan akan dipidana sebagai pembuat (Pasal 4 Ayat 1) dan penyandang dana (Pasal 7).

4.3.2 Penyebarluasan PornografiPenyebarluasan pornografi adalah perbuatan yang paling

banyak bersinggungan dengan peraturan perundang-undangan lain. Yang paling klasik adalah ketentuan Pasal 282 KUHP dan yang terbaru adalah UU Pornografi dan UU ITE. Sebenarnya ada satu peraturan lagi yang pada masa lalu kerap dipakai sebagai senjata untuk mengontrol penyebarluasan benda-benda yang melanggar kesusilaan, yaitu UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang Cetakan. Pasal 1 Undang-undang itu berbunyi sebagai berikut:

Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang-barang cetakan yang mengganggu ketertiban umum.

[Penjelasan] Pengertian ‘mengganggu ketertiban umum’: tulisan dan gambar-gambar yang merugikan akhlak dan menunjukkan percabulan adalah contoh jenis lain dari pengertian tersebut.

Pada masa lalu, Jaksa Agung, melalui ketentuan di atas, telah beberapa kali menghentikan peredaran dari beberapa majalah terkenal, video dan beberapa laser disc.40 Ketentuan itu cukup menarik karena unsur kuncinya adalah pelanggaran terhadap ketertiban umum, bukan kesusilaan seperti yang digunakan hampir semua peraturan yang mengatur pornografi, mulai dari KUHP hingga UU ITE. Namun, karena ketentuan itu memberikan kewenangan sepihak kepada Jaksa Agung, dalam arti tanpa ada proses peradilan, maka tidak akan dibahas pada bagian ini.

40 Topo Santoso, Seksualitas..., hal. 149.

Page 185: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

160

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Beberapa peraturan perundang-undangan lain juga memuat ketentuan untuk mengontrol penyebarluasan pornografi, tetapi di dalam nya tidak mengatur mengenai ketentuan pidana untuk perbuatan itu. Kalaupun ada, sifat perbuatannya bukan termasuk membuat atau menyebarluaskan pornografi. Beberapa peraturan itu antara lain:

Pasal 5 UU PersPers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

Pasal 36 Ayat 5 UU PenyiaranIsi siaran dilarang:a. Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan/atau bohong;b. Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan

narkotika dan obat terlarang/atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan.

Pasal 46 Ayat 3 Huruf d UU PenyiaranSiaran iklan dilarang melakukan: hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama.

Pasal 48 Ayat 4 UU PenyiaranPedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan:a. Rasa hormat terhadap pandangan keagamaan;b. Rasa hormat terhadap hal pribadi;c. Kesopanan dan kesusilaan;d. Pembatasan adegan seks, kekerasan dan sadisme.

Pasal 19 Ayat3 PP LSFBagian-bagian yang perlu dipotong atau dihapus dalam suatu film dan reklame film dinilai dari segi sosial budaya, adalah:a. Adegan seorang pria dan wanita dalam keadaan atau mengesan-

kan telanjang bulat, baik dilihat dari depan, samping, atau dari belakang;

b. Close up alat vital, paha, buah dada, atau pantat, baik dengan

Page 186: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

161

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

penutup atau tanpa penutup;c. Adegan ciuman yang merangsang, baik oleh pasangan yang ber-

lainan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan dengan penuh birahi;

d. Adegan, gerakan, atau suara persenggamaan atau yang mem-berikan kesan persenggamaan, baik oleh manusia maupun oleh hewan, dalam sikap bagaimanapun, secara terang-terangan atau terselubung;

e. Gerakan atau perbuatan onani, lesbian, homo atau oral sex;f. Adegan melahirkan, baik manusia maupun hewan, yang dapat

menimbulkan birahi.

Ketentuan-ketentuan di atas tidak mengatur orang secara pribadi, melainkan mengatur perusahaan penyiaran, pers, atau sebagai panduan bagi Lembaga Sensor Film (LSF) dalam menyensor film. Meskipun tidak bermuara pada ketentuan pidana, aturan-aturan itu memuat apa yang juga dimuat dalam ketentuan-ketentuan pornografi. Ketentuan yang paling mencolok adalah ketentuan mengenai sensor film. Dari ketentuan itu didapati standar bagaimana materi itu cabul atau tidak. Apakah ketentuan itu dapat menjadi alat uji untuk obscenity test? (Lihat Kotak Obscenity dan Obscenity Test pada bagian sebelumnya)

Selanjutnya akan dipaparkan mengenai ketentuan-ketentuan yang berkonsekuensi pada proses peradilan pidana mengenai penyebar-luasan pornografi.

Tindak Pidana Penyebarluasan Pornografi:

a. Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi

b. Pasal 27 ayat (1) UU ITE

c. Pasal 40 Huruf c UU Perfilman

d. Pasal 281, 282, 283, 532, 533 KUHP

Page 187: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

162

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Sebagaimana dalam hal pembuatan pornografi, unsur utama yang membuat keempatnya saling beririsan adalah soal pelanggaran (norma) kesusilaan. Hanya UU Perfilman yang tidak menyebut soal pelanggaran kesusilaan, hanya mengatur mengenai ketentuan pidana terhadap film yang tidak disensor. Perhatikan unsur-unsur Pasal 4 Ayat 1 jo. Pasal 5 UU Pornografi dan Pasal 27 UU ITE pada tabel di bawah ini:

Tabel di atas terdiri dua pasal dalam UU Pornografi, yaitu Pasal 4 Ayat 1 dan Pasal 5. Keduanya dapat digabungkan dengan mengacu pada penjelasan Pasal 13 Ayat 1 UU Pornografi yang menyatakan ‘mengunduh’ dan ‘meminjamkan’ termasuk dalam kategori penyebarluasan pornografi.

UU Pornografi tidak menjelaskan tentang definisi perbuatan-perbuatan yang ada dalam tabel di atas. Untuk menjelaskan mengenai penyebarluasan pornografi itu, telah dipilih 3 kasus pengadilan mengenai perbuatan menyebarluaskan, menawarkan dan memperjualbelikan.

Kasus pertama adalah kasus yang sangat terkenal, yaitu kasus yang melibatkan musisi Nazriel Irham. Kasus itu menyeret banyak pihak dan bersinggungan dengan beberapa peraturan perundang-undangan. Salah satu pihak yang terlibat dalam penyebarluasan adalah Reza Rizaldi. Perhatikan tabel Kasus 3 di bawah ini:

(Alternatif)

MenyebarluaskanMenyiarkanMengunduhMengimporMengeksporMenawarkan

MemperjualbelikanMenyewakanMeminjamkanMenyediakan

(Alternatif)

Secara eksplisit memuat:

a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

b. Kekerasan seksual;

c. Masturbasi atau onani;

d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

e. Alat kelamin;

f. Pornografi anak.

Pasal 4 Ayat (1) jo. Pasal 5(Penyebarluasan)

Page 188: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

163

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

KASUS 3-------------------------------------------------

Kasus Reza Rizaldi(Tindak Pidana Pornografi: No. 68/Pid/2011/PT.Bdg)

l (Pengadilan Tingkat Banding)lTerdakwa: Reza Rizaldi alias Rejoy alias Joy bin Dody Imam Santoso

SEJARAH PROSEDURALl Putusan tanggal 31 Januari tahun 2011 di Pengadilan Negeri Bandung

No. 1402/Pid.B/2010/PN.Bdg.l Putusan tanggal 19 April tahun 2011 di Pengadilan Tinggi Bandung.

PERNYATAAN FAKTA lBulan Juli tahun 2006, terdakwa menerima external hard disk dari

saksi Nazriel Irham alias Ariel Peterpan di Studio Capung, Bandung. Saksi Nazriel Irham meminta terdakwa untuk menyunting salah satu file yang ada di dalam hard disk.

lTerdakwa, ketika itu, mendapati dua file yang berupa video persenggamaan antara saksi Nazriel Irham dengan saksi Luna Maya dan antara saksi Nazriel Irham dengan saksi Cut Tari Aminah Anasya.

l Setelah mengetahui ada dua file tersebut, terdakwa menggandakan dua file tersebut ke komputer di Studio Capung dan ke external hard disk milik terdakwa.

l Sesampainya di rumah, terdakwa memindahkan dua file tersebut ke komputer miliknya.

l Setelah memindahkan, terdakwa menonton kedua video tersebut.lBeberapa hari kemudian, terdakwa memberi tahu keberadaan dua

file tersebut kepada saksi Nazriel Irham. Saksi Nazriel Irham lantas memerintahkan kepada terdakwa untuk menghapus file yang sudah digandakan ke external hard disk terdakwa.

l Pada 20 Januari tahun 2010, saksi Anggit Gagah Pratama meng-gandakan dua file tersebut dari komputer terdakwa ke laptop miliknya.

l Setelah penggandaan itu, saksi Anggit Gagah Pratama memper-tontonkan video tersebut kepada saksi Rian Eryandez dan saksi Yoga.

Page 189: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

164

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

lKemudian, saksi Rian Eryandez mengunggah dua video tersebut ke Internet dan akhirnya tersebar luas.

ISU HUKUM Apakah terdakwa menurut hakim bersalah melakukan tindak pidana pornografi?

PERATURAN l Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografil Pasal 32 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografil Pasal 30 Ayat 2 jo. Pasal 46 Ayat 2 UU No. 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.l Pasal 27 Ayat 1 jo. Pasal 45 Ayat 2 UU No. 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.l Pasal 282 Ayat 1 KUHPl Pasal 56 ke 2 KUHP

ANALISIS lHakim menyatakan tindakan terdakwa menggandakan video

persenggamaan dan menyimpannya di komputer miliknya telah memberi kesempatan bagi pihak lain untuk menyebarluaskan muatan pornografi secara luas (pasal 56 ke 2 KUHP);

lHakim menyatakan yang melakukan penyebarluasan muatan pornografi bukanlah terdakwa, melainkan Rian Eryandez dkk. Terdakwa hanya melakukan ‘pembantuan’ berupa memberi kesempatan untuk terjadinya tindak pidana itu.

KESIMPULAN lHakim menguatkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama, dengan

menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memberi kesempatan kepada orang lain untuk menyebarkan pornografi.

lHakim merevisi pidana penjara Pengadilan Tingkat Pertama, dari sebelumnya 2 tahun penjara menjadi 2 tahun 6 bulan penjara.

-------------------------------------------------

Page 190: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

165

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Dalam kasus itu pelaku dinyatakan hakim bersalah telah melakukan tindak pidana penyebarluasan pornografi. Perbuatan spesifik yang dilakukan pelaku adalah menyebarluaskan. Hanya saja, pelaku tidak dihukum sebagai dader, melainkan hanya membantu melakukan (medeplichtig) berupa memberi kesempatan kepada pelaku lain sesuai Pasal 56 ke 2 KUHP.

Hakim menafsirkan menyebarluaskan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pelaku lain (Rian Eryandez, dkk), yaitu mengunggah ke situs internet yang menyediakan fasilitas file sharing. Pelaku dalam kasus ini hanya menggandakan video yang ada di dalam external harddisk milik Nazriel Irham (pemilik asal) ke komputer miliknya, lalu Rian Eryandez, dkk. menggandakan dan mengunggahnya ke internet. Tindakan itu ditafsirkan hakim sebagai perbuatan memberi kesempatan bagi orang lain untuk menyebarluaskan pornografi.

Kasus ke-2 menunjukkan bagaimana hakim menafsirkan ‘memperjualbelikan’ dalam tindak pidana penyebarluasan pornografi. Perhatikan tabel di bawah ini:

KASUS 4-------------------------------------------------

Kasus Jual Beli DVD Porno Andi Mulya

(Tindak Pidana Pornografi: No. 22/Pid.Sus/ 2010/PN.Pwt)

l (Pengadilan Tingkat Pertama)lTerdakwa: Andi Mulya Batubara bin Muhammad Ali Batubara

SEJARAH PROSEDURAL Putusan PN Purwokerto tanggal 14 Maret 2011

PERNYATAAN FAKTA l Saksi Herman memesan DVD yang berisi film porno kepada terdakwa

pada tanggal 11 Desember tahun 2010 pukul 18.00 WIB.lTerdakwa membeli 20 keping DVD berisi film porno dari saksi Jhoni

Parsaoran dengan harga Rp 4.500 per keping.

Page 191: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

166

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

lTerdakwa menjual 20 DVD porno itu dengan harga Rp 6.000 per keping pada tanggal 11 Desember tahun 2010 pukul 23.00 WIB kepada saksi Herman, dengan cara datang ke rumah saksi Herman.

lTerdakwa ditangkap oleh aparat kepolisian

ISU HUKUM Apakah terdakwa menurut hakim bersalah melakukan tindak pidana?

PERATURAN Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

ANALISIS lHakim menyatakan yang dimaksud dengan ‘memperjualbelikan’

adalah transaksi jual beli antara dua orang atau beberapa orang di mana terjadi kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang atau uang sebagai sarana transaksinya dengan maksud sama-sama ingin mendapatkan keuntungan.

lHakim menyatakan terdakwa mengetahui bahwa DVD yang ia perjualbelikan berisi muatan pornografi yang meliputi per-senggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan atau alat kelamin

lHakim menyatakan terdakwa tidak mempunyai izin untuk memper-jualbelikan, menawarkan, mengedarkan pornografi dari pihak yang berwenang.

KESIMPULAN lHakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana memperjualbelikan pornografi yang meliputi persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan atau alat kelamin

lHakim menjatuhkan pidana penjara selama 6 bulan.

--------------------------------------------------

Page 192: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

167

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Dalam Kasus 4, hakim menafsirkan ‘memperjualbelikan’ sebagai transaksi jual beli antara dua orang atau beberapa orang di mana terjadi kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang atau uang sebagai sarana transaksinya, dengan maksud sama-sama ingin mendapatkan keuntungan. Dalam kasus ini, hakim juga merinci muatan dari ratusan DVD yang diperjualbelikan. Rincian itu digunakan hakim untuk membuktikan apakah isi DVD itu bermateri pornografi berdasarkan definisi pornografi. Hakim juga merinci spesifikasi bentuk-bentuk materi pornografi apa saja yang ada dalam DVD.

Bandingkan Kasus 4 di atas dengan Kasus 5 di bawah ini, yang sama-sama merupakan kegiatan transaksi. Hal yang membedakan adalah pada Kasus 4 transaksi sudah tuntas dilaksanakan, sedangkan pada kasus di bawah ini transaksi belum tuntas dilaksanakan, atau masih berupa penawaran.

KASUS 5-------------------------------------------------

Video Siblek vs Sahrul bin Asbi

(Tindak Pidana Pornografi: No. 29/Pid.B/A/2011/PN.Pbg)

lTerdakwa: Sahrul bin Asbi

SEJARAH PROSEDURAL Putusan PN Purbalingga tanggal 14 Maret 2011

PERNYATAAN FAKTA lTerdakwa membeli DVD film porno dari seorang bernama Siblek di

Pasar Glodok, Jakarta, sebanyak 410 keping.l Sesampainya di Purbalingga, terdakwa menawarkan DVD porno

itu kepada saksi Ratno bin Asmari, saksi Amin Nuryanto dan saksi Kuswanto Teguh Santoso, namun ketiga saksi menolak untuk membeli.

lTerdakwa menawarkan DVD itu dengan cara berujar kepada para saksi, “ini ada barang.”

Page 193: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

168

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

lTerdakwa ditangkap oleh aparat kepolisian pada 11 Desember tahun 2010.

ISU HUKUM Apakah terdakwa menurut hakim bersalah melakukan tindak pidana?

PERATURAN Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

ANALISIS Hakim menyatakan bahwa tindakan terdakwa yang membuka tas berisi DVD Porno dan berujar, “ini ada barang”, telah memenuhi unsur ‘menawarkan’ dalam pasal 29 UU Pornografi

KESIMPULAN lHakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana menawarkan DVD Pornografi.lHakim menjatuhkan pidana penjara 6 bulan dan denda Rp 250.000.000

subsidair kurungan 1 bulan.

-------------------------------------------------

Pelaku dalam kasus 5 di atas pada dasarnya hendak menjual DVD yang bermuatan pornografi. Namun, ia terlanjur tertangkap tangan terlebih dahulu sehingga ia hanya sempat ‘menawarkan.’ Hakim pada kasus itu menafsirkan perbuatan pelaku yang membuka tas dan berujar kepada orang lain, “ini ada barang”, sebagai perbuatan ‘menawarkan’ pornografi. Jadi, tidak perlu dibuktikan apakah ada jual beli atau tidak, cukup menawarkan saja sudah dapat dijerat dengan UU Pornografi yang sanksi pidana setaraf dengan memperjualbelikan, atau bahkan setaraf dengan membuat pornografi.

Dari dua kasus di atas, yang membedakan antara memper-jualbelikan dan menawarkan adalah pada transaksi komersialnya. Di dalam penawaran, tidak perlu ada aspek komersial di dalam akivitasnya. Cukup dengan hanya berujar saja seseorang sudah dapat dikategorikan menawarkan pornografi, bahkan jika tawaran itu gratis atau tanpa biaya.

Page 194: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

169

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Selanjutnya, akan dipaparkan dua kasus yang tidak menggunakan UU Pornografi dalam penegakan hukum tindak pidana penyebarluasan pornografi. Pertama, akan diuraikan terlebih dahulu unsur-unsur Pasal 27 Ayat 1 UU ITE, lalu akan diuraikan contoh kasus di Pengadilan. Kedua, akan disajikan contoh kasus tindak pidana perfilman.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU ITE, informasi elektronik didefiniskan sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Lebih lanjut, Pasal 1 Angka 4 UU ITE juga memberikan definisi dokumen elektronik sebagai setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,

Mendistribusikan

dan/atau

mentransmisikan

dan/atau

Membuat dapat diaksesnya

Memiliki muatan yang melanggar

kesusilaan

Pasal 27 Ayat 1 UU ITE(Perbuatan yang dilarang)

Setiap orang Dengansengaja

Tanpa hak

Informasi elektronik

dan/atau

Dokumen elektronik

Page 195: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

170

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Berikut ini akan disajikan kasus 6 yang berhubungan dengan Pasal 27 Ayat 1 UU ITE:

KASUS 6--------------------------------------------------

Kasus Stefanus Arief Jual DVD Porno di Internet

(Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik: No. 2632 K/Pid.Sus/2009)

lTerdakwa: Stefanus Arief Dwi Sugiono

SEJARAH PROSEDURAL l Putusan PN Surabaya No. 1759/Pid.B/2009/PN.Sby tanggal 24 Juni 2009l Putusan PT Surabaya No. 533/PID/2009/PT.Sby tanggal 16 September

2009l Putusan Kasasi MA RI tanggal 28 Desember 2009

PERNYATAAN FAKTA lTerdakwa, melalui situs kaskus.us dan dengan email jualbokep69@

yahoo.com, menawarkan dan menjual film porno dalam bentuk kepingan DVD.

lApabila ada pengguna internet yang berminat, terdakwa mentransfer sejumlah uang untuk kepingan DVD yang akan dibeli.

l Setelah uang diterima, terdakwa dikirim oleh terdakwa melalui jasa titipan kilat.

lDi dalam penggeledahan oleh kepolisian, di rumah terdakwa ditemukan barang bukti berupa puluhan keping DVD dan file film porno dalam hard disk.

lTerdakwa diputus bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 27 Ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik oleh Pengadilan Tingkat Pertama.

lTerdakwa banding dan diterima oleh Pengadilan Tingkat Banding. Tidak mengubah putusan, hanya mengurangi masa pidana penjara.

Page 196: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

171

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

l Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi.

ISU HUKUM Apakah terdakwa menurut hakim bersalah melakukan tindak pidana?

PERATURAN l Pasal 27 Ayat 1 jo. Pasal 45 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronikl Pasal 282 Ayat 1 KUHP

ANALISIS lHakim tingkat pertama menyatakan perbuatan terdakwa memenuhi

unsur “dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

lHakim kasasi menyatakan Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum.

lHakim kasasi menyatakan mengenai berat ringannya pidana yang dijatuhkan merupakan wewenang judex factie.

KESIMPULAN lHakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik.lHakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dan denda

sebesar Rp 1.000.000 subsidair kurungan 3 bulan.

-------------------------------------------------

Kasus 6 adalah kasus yang perkaranya sampai tingkat kasasi. Pelaku dalam kasus itu dipidana karena telah melanggar Pasal 27 Ayat 1 UU ITE. Hakim menyatakan pelaku telah terbukti bersalah mendistribusikan dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Dokumen elektronik yang dimaksud adalah file film porno yang disimpan dalam kepingan DVD. Kemudian, dengan menyediakan alamat surat-elektronik (email) dan beriklan di situs kaskus, pelaku menawarkan dan melakukan transaksi jual beli DVD itu.

Page 197: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

172

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Hakim dalam kasus ini tidak membuktikan secara terang perbuatan mana – antara ‘mentransmisikan,’ ‘mendistribusikan,’ atau ‘membuat dapat diaksesnya,’ – yang telah dilakukan pelaku. Hakim juga tidak membuktikan termasuk ke dalam kategori dokumen elektronik yang manakah file-file film yang ada dalam DVD itu. Barangkali file-file film porno itu dimasukkan dalam kategori gambar (bergerak) yang kemudian didistribusikan melalui layanan jasa pengiriman barang. Tampak ada kerumitan dari kasus ini jika dimasukkan ke dalam tindak pidana sebagai Pasal 27 Ayat 1 UU ITE.

Lain halnya jika menggunakan ketentuan pidana penyebarluasan pornografi dalam UU Pornografi. Kasus ini terjadi pada tahun 2009, yang artinya UU Pornografi telah berlaku. Jika UU Pornografi diterapkan pada kasus ini, maka dengan mudah untuk membuktikan perbuatan ‘memperjualbelikan.’

Selanjutnya, kasus yang kedua adalah kasus tindak pidana perfilman. Kasus ini masih dalam kategori penyebarluasan pornografi, tetapi bentuknya adalah tindak pidana perfilman, yakni mengedarkan film tanpa sensor. Perhatikan tabel di bawah ini:

KASUS 7---------------------------------------------------

Penjualan DVD Porno

(Tindak Pidana Perfilman: No. 57/Pid.B/2009/PN.Spn.)

l Pengadilan Tingkat PertamalTerdakwa: Hendri alias Ayem bin Syamsuar

SEJARAH PROSEDURAL Putusan In Kracht tanggal 9 September tahun 2008 di PN Sungai Penuh

PERNYATAAN FAKTA lTerdakwa memperoleh DVD Film yang tidak disensor dari membeli

dengan seseorang di Bukit Tinggi dan Jakarta sebanyak 300 (tiga ratus) keping per bulannya dengan harga Rp 4.000,- (empat ribu rupiah) per kepingnya, dengan cara terdakwa memesan melalui telepon dan

Page 198: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

173

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

kemudian DVD Film yang tidak disensor tersebut di kirim melalui ekspedisi atau paket pos ke Sungai Penuh, setelah itu baru terdakwa mentransfer uang pembelian tersebut melalui ATM Bank BNI Cabang Sungai Penuh.

lTerdakwa membeli DVD Film yang tidak disensor tersebut sudah 3 (tiga) kali

lTerdakwa menjual DVD Film tidak disensor tersebut sudah 3 (tiga) bulanlTerdakwa pernah menonton DVD Film yang tidak disensor tersebutlTerdakwa menjual 150 DVD kepada saksi BasyarudinlTerdakwa ditangkap oleh anggota Polisi Polres Kerinci pada hari

Selasa tanggal 28 April tahun 2008, sekitar pukul 14.00 WIB di tempat Terdakwa berjualan DVD di toko Pangeran Musik di Jalan RE Marthadinata Kota Sungai Penuh.

lTerdakwa didakwa terbukti dengan sengaja mengedarkan film yang tidak disensor.

ISU HUKUM Apakah terdakwa bersalah menurut pertimbangan hakim?

PERATURAN Pasal 40 Huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman

ANALISIS lHakim, sejalan dengan pendapat ahli, menyatakan sesuai Pasal

33 Ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, untuk mewujudkan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, setiap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan wajib disensor,

lHakim menyatakan DVD film milik terdakwa tidak disensor karena tidak ada tanda lulus sensor dari Lembaga Sensor Film.

lHakim menyatakan perbuatan yang paling relevan dalam elemen sub unsur ’mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan film yang tidak disensor,’ yang telah dilakukan oleh terdakwa adalah, ’mengedarkan film yang tidak disensor, karena Terdakwa terbukti telah menjual DVD Film sebanyak 150 keping kepada saksi Basyarudin.

Page 199: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

174

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

lHakim menyatakan terdakwa mengetahui (wettens) bahwa kaset DVD Film yang tidak disensor sebanyak 670 (enam ratus tujuh puluh) tersebut tidak ada tanda lulus sensor dari Badan Sensor Film

lHakim menyatakan Terdakwa memang menghendaki (willens) untuk mengedarkan DVD Film yang tidak disensor sebanyak 670 (enam ratus tujuh puluh) keping tersebut yang tercermin dari perbuatan terdakwa yang dilakukan dengan kesadaran tanpa adanya tekanan dari siapa pun dengan cara terdakwa membeli DVD Film yang tidak disensor dengan seseorang di Bukit Tinggi dan Jakarta.

KESIMPULAN lHakim menyatakan terdakwa Hendri alias Ayem bin Syamsuar telah

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja mengedarkan film yang tidak disensor.”

lHakim menjatuhkan pidana 6 bulan penjara dan denda Rp 250.000, dengan percobaan 1 tahun.

-------------------------------------------------

Sudah jelas film dalam DVD yang dijual pelaku kepada orang lain adalah film yang tidak mungkin lulus sensor (lihat ketentuan PP LSF pada bagian sebelumnya). Jadi, jelas Pasal 40 Huruf c itu dapat diterapkan karena pembuktiannya mudah, yaitu apakah ada tanda lulus sensor dari LSF. Hal itu jika menganggap film bermuatan pornografi sebagai film sebagaimana UU perfilman.

Lain halnya jika menganggap film dalam DVD tersebut adalah materi pornografi. Tidak perlu melihat apakah ada tanda sensor atau tidak, sepanjang isinya dapat dibuktikan berupa kecabulan atau eksploitasi seksual, masuk ke dalam kategori pornografi. Dengan hanya mempersoalkan sensor atau tidak semata, justru bisa berpotensi untuk tidak terbuktinya tindak pidana ketika LSF memberi tanda sensor karena film tertentu dianggap tidak perlu disensor menurut PP LSF.

Dari pemaparan legislasi dan kasus pada bagian penyebarluasan pornografi ini tergambar jelas ada lebih dari satu peraturan yang dapat diaplikasikan ketika menghadapi sebuah kasus pornografi. Hal ini berpotensi membuat rumit penegak hukum. Oleh karena itu pemahaman atas tiap unsur pasal-pasal yang ada menjadi penting.

Page 200: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

175

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

4.3.3 Penggunaan PornografiPeraturan mengenai penggunaan pornografi barangkali yang

paling sulit diterapkan dalam UU Pornografi. Simak unsur-unsur Pasal 6 di bawah ini:

Penjelasan pasal itu menyebutkan yang dimaksud dengan ‘yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan’ misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan, atau terapi kesehatan seksual dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium dan sarana pendidikan lainnya. Lebih lanjut dijelaskan juga kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud.

Penjelasan Pasal 6 juga menyebutkan larangan ‘memiliki atau menyimpan’ tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Jadi, jika seseorang menyimpan film atau foto porno di komputer pribadinya, maka ia dikecualikan dari larangan menyimpan pornografi

(Alternatif)

Memperdengarkan

Mempertontonkan

Mamanfaatkan

Memiliki

Menyimpan

Kecuali yang diberikan

kewenangan oleh peraturan

perundang-undangan

Pasal 6(Penggunaan)

Setiap orang DilarangSebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1)

Pornografi

Page 201: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

176

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

sebagaimana Pasal 6. Inilah yang menyebabkan pasal ini sulit untuk diterapkan. Bukankah umumnya seseorang menyimpan pornografi itu untuk kepentingan sendiri? Perbuatan ‘menyimpan’ dan ‘memiliki’ sulit untuk dipidana.

Kemungkinan besar perbuatan tersebut dapat dipidana jika seperti pelaku pada kasus 3 yang dianggap memberi kesempatan orang lain untuk menyebarluaskan pornografi. Pelaku itu pada dasarnya menyimpan pornografi untuk kepentingan sendiri, namun komputer milik pelaku mudah atau dapat diakses oleh orang lain.

Perbuatan pada Pasal 6 yang paling memungkinkan untuk efektif adalah adalah ‘memperdengarkan’ atau ‘mempertontonkan’ pornografi. Sekilas perbuatan itu tampak seperti penyebarluasan pornografi. Faktor yang membedakan dengan penyebarluasan, mempertontonkan dan memperdengarkan tidak perlu memindahkan materi pornografi ke orang lain. Contoh nyata perbuatan itu ada di kasus 1.

Kasus Hipotesis untuk Latihan

1. Ada seseorang perempuan hetero yang menunjukkan foto telanjang dirinya kepada sahabatnya, seorang perempuan hetero. Menurut pendapat Anda, apakah perempuan yang menunjukkan foto itu dapat dipidana berdasarkan Pasal 6 UU Pornografi?

2. Seorang polisi sedang menempuh studi pascasarjana Ilmu Kepolisian di Universitas Probitas. Ketika sedang mengerjakan tugas makalah di perpustakaan, si polisi mendapati ada 3 buah buku yang sepenuhnya berisi gambaran persenggamaan secara tertulis di rak buku berklasifikasi ‘Sastra’. Jika Anda adalah si polisi itu, apa yang akan Anda lakukan, baik sebagai mahasiswa di Universitas Probitas maupun sebagai seorang penegak hukum? Uraikan jawaban Anda dalam bentuk tabel berformat IRAC.

Page 202: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

177

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

4.3.4 Penyediaan Jasa PornografiJasa pornografi didefinisikan oleh Pasal 1 Angka 2 UU

Pornografi sebagai berikut:

Apakah layanan pornografi itu? UU Pornografi tidak memberikan penjelasan mengenai layanan pornografi itu. Hal ini menjadi berbeda dari karakter pornografi pada bagian sebelumnya yang menganggap pornografi sebagai barang. UU Pornografi juga hendak menjerat penyedia layanan pornografi. Apakah perbuatan menyiarkan pornografi sebagai Pasal 4 Ayat 1 UU Pornografi tidak bisa menjerat penyedia itu?

Pada konteks menyiarkan sebagai bentuk penyebarluasan pornografi, orang yang menyaksikan siaran sifatnya pasif, tidak meminta atau membayar untuk disiarkannya suatu materi pornografi. Sementara itu, pada konteks penyediaan jasa siaran pornografi, orang yang ingin menyaksikan harus membayar sejumlah uang tertentu untuk dapat menyaksikan siaran pornografi itu. Hal ini juga berlaku pada barang cetakan, misalnya majalah, seseorang harus membayar sejumlah uang tertentu untuk dapat menyaksikan isi majalah itu. Bagaimana dengan pengguna jasa pornografi, apakah dapat dipidana? Tentu saja tidak.

Muatan pornografi seperti apa yang secara spesifik dilarang oleh UU Pornografi? Pasal 4 Ayat 2 mendefinisikan hal itu:

(Alternatif)

Melalui:Pertunjukan langsung

Televisi kabelTelevisi teresterial

RadioTelefonInternet

Komunikasi elektronik lainnyaSurat kabar

MajalahBarang cetakan lainnya

Definisi Jasa Pornografi

Segala jenis layanan pornografi

Disediakan oleh orang perseorangan

atau

Disediakan oleh korporasi

Page 203: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

178

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Poin a hingga d pada kotak paling kanan adalah kategori muatan jasa pornografi yang dilarang. Untuk lebih jelas mengenai definisi itu, kerjakan kasus hipotesis di bawah ini:

Kasus Hipotesis untuk Diskusi

1. Pada bagian belakang surat kabar Batavia Post termuat beberapa

iklan menyajikan jasa ‘plus-plus’ baik untuk laki-laki maupun

perempuan. Apakah yang termuat di surat kabar itu adalah jasa

pornografi? Uraikan jawaban Anda dengan format IRAC.

2. Melalui sebuah televisi digital berbayar, Anda menyaksikan sebuah

film yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi. Dalam film itu

Anda menyaksikan sex scene. Apakah Anda menyaksikan sebuah

jasa pornografi? Uraikan jawaban Anda dengan format IRAC.

3. Sebuah rumah bordil mengiklankan sejumlah pekerja seks mereka

melalui website. Iklan berupa tampilan foto-foto telanjang yang

jika fotonya diklik akan memberi info ‘spesifikasi’ tiap pekerja

seks. Apakah pemilik rumah bordil itu dapat dipidana berdasarkan

Pasal 4 Ayat 2 UU Pornografi? Uraikan jawaban Anda dengan

format IRAC.

(Alternatif)

a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;

c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau

d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Pasal 4 Ayat 2(Pelarangan Jasa Pornografi)

Setiap orang Dilarang Menyediakan jasa pornografi

Page 204: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

179

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

4.3.5 Pertunjukan Muatan Pornografi di Muka UmumSesungguhnya cukup janggal ada ketentuan mengenai

pertunjukan muatan pornografi dalam UU Pornografi. Makna pornografi memuat kata ‘grafis’ yang menyuratkan arti sebuah medium atau dengan demikian tidak mungkin ada ‘siaran langsung’ tanpa perantara suatu medium tertentu, mulai dari tulisan, gambar, video dan seterusnya. Namun, memang, arti itu telah disimpangi oleh definisi pornografi yang menyatakan bahwa pertunjukan juga termasuk media pornografi.

Berikut ini adalah ketentuan larangan pertunjukan muatan pornografi dalam UU Pornografi:

Beberapa hal di Pasal 10 tersebut cukup problematis. Pertama, tidak ada penjelasan satu pun di dalam UU Pornografi. Ketiadaan itu membuat penafsiran atasnya bisa menimbulkan masalah. Jika Pasal 10 menjadikan ‘dalam pertunjukan’ sebagai alternatif ‘di muka umum’, maka ‘dalam pertunjukan’ bisa bermakna ‘tidak di muka umum.’ Apakah ini artinya pertunjukan privat oleh segelintir orang bisa dipidana? Kedua, apakah definisi ‘mempertontonkan orang lain’? Juga tidak ada penjelasan satu pun dalam UU Pornografi. Ketiga, apakah Pasal 10 ini secara implisit hendak mengatur soal prostitusi?

Mempertontonkandiri

atau

Mempertontonkan orang lain

(Alternatif)

Menggambarkan ketelanjangan

Eksploitasi seksual

Persenggamaan

Muatan pornografi lainnya (kekerasan seksual,

masturbasi, atau onani)

Pasal 10(Pertunjukan Muatan Pornografi)

Setiap orang Dilarang

Dalam pertunjukan

atau

Di muka umum

Page 205: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

180

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Penjelasan mengenai hal-hal itu akan dilakukan melalui diskusi atas soal dan kasus hipotesis di bawah ini:

Soal dan Kasus Hipotesis untuk Diskusi

1. Hotel Sisalex mengadakan pertunjukan-reguler tarian bugil tiap

akhir pekan. Bagi mereka yang hendak menyaksikan pertunjukan

itu harus membayar sejumlah uang. Apakah pengelola Hotel

Sisalex dan para penari bugil dapat dipidana berdasarkan Pasal

10 UU jo. Pasal 36 UU Pornografi?

2. Sebuah swing club yang beranggotakan 11 orang mengadakan

pesta kecil-kecilan di salah satu rumah anggotanya. Di sela-sela

pesta itu, dua perempuan melakukan hubungan seksual dan

disaksikan oleh para peserta pesta. Apakah dua perempuan itu

dapat dipidana berdasarkan Pasal 10 jo. Pasal 36 UU Pornografi?

4.3.6 Pornografi AnakPeraturan mengenai pornografi anak yang spesifik adalah yang

pertama kali dalam sejarah legislasi di Indonesia. Peraturan itu dibuat sebagai satu kesatuan dengan pengaturan pornografi secara umum, yakni dihimpun dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dalam Optional Protocol dari Konvensi Hak Anak Tahun 2000, pornografi anak dijadikan satu paket dengan aturan mengenai Perdagangan Anak dan Prostitusi Anak.

Di Amerika Serikat, sebagai contoh, keberadaan peraturan (putusan pengadilan) yang memberi kekhususan pada anak muncul setelah peraturan mengenai pornografi secara umum. Di samping itu, legislasi yang menyasar pornografi anak terdapat pada Chapter 10 US Federal Code yang berjudul Sexual Exploitation and Other Abuse of Children, artinya pornografi anak adalah bagian dari strategi komprehensif untuk perlindungan anak. Inggris dan Wales menempatkan pornografi anak dalam posisi yang sama, yakni melalui Protection of Children Act 1978.41 Perhatikan bagan di bawah ini:

41 Akdeniz, hal. 96.

Page 206: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

181

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Bagan di atas menunjukkan dalam penegakan hukum pornografi anak, terdapat beberapa pilihan peraturan. Undang-Undang Perlindungan Anak, sebagai induk dari strategi perlindungan anak nasional, sejatinya memberi peraturan yang bisa menyerempet pengaturan pornografi anak. Kesemuanya adalah norma pemidanaan, yaitu:

Pasal 81 Ayat 1Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)

Pasal 82 UU PASetiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,

UU Pornografi

KUHPUU

Perlindungan Anak

Tindak Pidana Pornografi Anak:a. Pasal 81, 82, 88 UU

Perlindungan Anakb. Pasal 533 ayat 4 & 5 KUHPc. Pasal 11 , 12, UU Pornografi

Page 207: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

182

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 88 UU PASetiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 81 dapat menjerat produser pornografi anak, walapun tidak menimbang unsur grafis karena yang perlu dibuktikan adalah terbatas pada suatu keadaan di mana ada persetubuhan yang melibatkan anak. Lebih lanjut, persetubuhan itu harus dilakukan dengan paksaan melalui kekerasan dan ancaman kekerasan terlebih dahulu. Pembuktian Pasal 81 itu sulit dilakukan. Lebih sulit lagi ketika adegan persetubuhan itu direkam sebagai foto atau video.

Aturan yang paling mengena untuk menjerat pelaku pornografi anak adalah Pasal 82 dan Pasal 88. Ketentuan pada Pasal 88 mempunyai daya jangkau paling luas. Apabila sebuh produksi pornografi yang objeknya anak dikemas dalam DVD lalu dijual ke pasaran, maka eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi terjadi sekaligus. Sementara Pasal 82 mirip dengan Pasal 81, hanya saja ditambah unsur pembujukan, muslihat, atau pembiaran.

Sementara itu KUHP telah lebih dahulu memberikan pengaturan soal pornografi anak, meskipun terbatas pada hal menawarkan, memberikan, menyerahkan, memperlihatkan dan memperdengarkan pornografi. Ketentuan-ketentuan itu yaitu:

Pasal 533 Angka 4 KUHPBarangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan gambar atau benda yang (dapat membangkitkan nafsu birahi para

Page 208: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

183

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

remaja), pada seorang belum dewasa dan di bawah umur tujuh belas tahun;

Pasal 533 Angka 5 KUHPBarangsiapa memperdengarkan isi tulisan yang (dapat mem-bangkitkan nafsu birahi para remaja) di muka seorang yang belum dewasa dan di bawah umur tujuh belas tahun.

Unsur yang tampak menonjol dari kedua pasal itu adalah penentuan umur, yakni di bawah 17 tahun. UU Pornografi, pada Pasal 1 Angka 4, menentukan yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Lebih lanjut, UU Pornografi juga memberi definisi pornografi anak, yaitu:

Penjelasan Pasal 4 Ayat 1 Huruf f UU PornografiPornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.

Penjelasan pornografi anak cukup menarik karena ada alternatif definisi yang diberikan, yaitu pornografi orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak. Sepertinya penjelasan ini justru memunculkan penjelasan lebih lanjut. UU Pornografi tidak memberi penjelasan lebih lanjut.

Dalam konteks pemidanaan, ada dua kategori besar tindak pidana pornografi anak. Pertama, berdasarkan Pasal 11 UU Pornografi, tindak pidana pornografi biasa tapi melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9 atau Pasal 10 UU Pornografi. Hal yang membedakan dari tindak pidana pornografi biasa adalah sanksi pidana bagi pelaku Pasal 11 jo. Pasal 37 UU Pornografi, ditambah 1/3. Meskipun demikian, akan sangat sulit menggabungkan kesemua unsur dalam pasal itu. Kedua, tindak pornografi berdasarkan Pasal 12 UU Pornografi yang unsur-unsurnya sebagai berikut:

Page 209: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

184

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Ketentuan Pasal 12 itu mirip dengan ketentuan Pasal 533 Ayat 4 dan 5 KUHP. Yang membedakan dengan ketentuan Pasal 11 adalah ada keterlibatan anak atau tidak dalam proses pembuatan dan penyebarluasan pornografi. Pasal 12 tidak mengatur soal keterlibatan itu. Namun, yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika anak menyimpan dan memiliki pornografi untuk kepentingan sendiri? Apakah hal itu termasuk dikecualikan sebagaimana pengecualian Pasal 6 UU Pornografi?

Selanjutnya akan disajikan sebuah kasus pengadilan sebagai bahan diskusi. Simak kasus 8 pada tabel di bawah ini.

KASUS 8 --------------------------------------------------

Riga Antoni Putra vs Lidya

(Tindak Pidana Pornografi Anak No. 58/Pid.B/2011/PN.Tjp.)

l Pengadilan tingkat pertamalTerdakwa: Riga Antoni Putra

SEJARAH PROSEDURAL Putusan In Kracht tanggal 3 Oktober tahun 2011 di Pengadilan Tanjung Pati

(Alternatif)

Mengajak

Membujuk

Memanfaatkan

Membiarkan

Menyalahgunakan kekuasaan

memaksa anak

Menggunakan produk pornografi

atau

Menggunakan jasa pornografi

Pasal 12(Tindak Pidana Pornografi Anak)

Setiap orang Dilarang

Page 210: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

185

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

PERNYATAAN FAKTA l Saksi korban, bernama Lidya, berusia lebih kurang 16 tahun.lTerdakwa dan korban berpacaran sejak bulan November tahun 2010.lTerdakwa dan korban melakukan hubungan seksual pertama kali di

rumah saksi Ari. Saat itu, korban mau diajak berhubungan seksual dua kali karena Terdakwa mengatakan akan bertanggung jawab.

l Setelah berhubungan badan, Terdakwa memotret korban dengan menggunakan kamera handphone, lalu menyimpan foto tersebut.

l Seminggu kemudian, terdakwa dan korban melakukan hubungan seksual yang kedua dan ketiga kalinya. Korban bersedia karena terdakwa mengatakan akan bertanggung jawab dan meyakinkan korban tidak akan hamil. Ketika itu, terdakwa kembali memotret korban yang tengah telanjang.

lTerdakwa merekam adegan hubungan seksual dengan korban mulai dari hubungan seksual yang ketiga hingga kelima.

l Perekaman dilanjutkan pada hubungan seksual yang kesembilanl Foto-foto mesra antara terdakwa dan korban telah tersebar di situs

jejaring sosial Facebook.lDi warung Internet, Terdakwa memindahkan semua foto dan video

yang berisi hubungan seksual antara terdakwa dan korban dari handphone ke flashdisk

lTerdakwa menunjukkan foto dan video itu kepada beberapa saksi, yakni Ibu korban, Guru korban dan teman terdakwa.

ISU HUKUM Apakah menurut hakim terdakwa bersalah melakukan tindak pidana?

PERATURAN Pasal 4 Ayat 1 Huruf f jo. Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

ANALISIS lDengan dakwaan Penuntut Umum yang berbentuk alternatif, Hakim

menimbang untuk mengesampingkan Pasal 82 UU Perlindungan Anak yang juga didakwakan kepada pelaku.

lHakim menyatakan korban (orang yang ada dalam foto dan video

Page 211: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

186

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

hubungan seksual) masuk ke dalam kategori anak karena belum berusia 18 tahun.

lHakim menyatakan tindakan terdakwa yang merekam hubungan seksual terdakwa dan korban telah memenuhi unsur ‘membuat’ pornografi anak.

lHakim menyatakan tindakan terdakwa yang menunjukkan foto dan video hubungan seksual itu kepada beberapa saksi telah memenuhi unsur ‘menyebarluaskan’ pornografi anak.

lHal-hal yang memberatkan korban:a) Perbuatan terdakwa merusak masa depan korban yang masih

berusia muda;b) Perbuatan terdakwa bertentangan dengan nilai-nilai-nilai agama

dan norma-norma kesusilaan yang hidup dalam masyarakat Hal-hal yang meringankan korban:c) Terdakwa belum pernah dihukum; Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga tidak

mempersulit jalannya persidangan.

KESIMPULAN lHakim menyatakan terdakwa Riga Antoni Putra telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “membuat, menyebarluaskan, pornografi anak.”

lMenjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 7 tahun dan denda Rp 250.000.000 subsidair 6 bulan kurungan.

-------------------------------------------------

Hakim pada kasus 8 tidak menjunctokan Pasal 4 Ayat 1 dan Pasal 29 UU Pornografi dengan Pasal 11 UU jo. Pasal 37 UU Pornografi. Dengan demikian apakah cukup dengan dibuktikan unsur ‘memuat pornografi anak’ pada Pasal 4 Ayat 1 maka otomatis telah terbukti sebuah tindak pidana pornografi anak?

Hal yang juga menarik untuk didiskusikan adalah hakim mengeyampingkan Pasal 82 UU perlindungan Anak yang didakwakan secara alternatif oleh Penuntut Umum. Selanjutnya yang agak mencengangkan adalah ketika Hakim menafsirkan perbuatan ‘menunjuk kan foto dan video persenggamaan pelaku dan korban’

Page 212: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

187

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

sebagai perbuatan ‘menyebarluaskan’ berdasarkan Pasal 4 Ayat 1 jo. Pasal 29 UU Pornografi. Bukankah ‘memperdengarkan’ adalah unsur pada Pasal 6 jo. Pasal 32 UU Pornografi? Setidaknya hal itu dikemukakan oleh hakim pada Kasus 1.

Hakim dalam kasus ini telah mempertimbangkan aspek ‘perlindungan terhadap anak’. Hal itu dapat dilihat dari pertimbangan hakim dalam memberatkan sanksi bagi pelaku, yaitu “Perbuatan terdakwa merusak masa depan korban yang masih berusia muda.”

Persoalan pornografi dan pornografi anak kerap dipandang sebagai sebuah isu moral. Berbagai langkah untuk mengatasinya pun lantas hanya menggunakan kacamata moralitas. Dengan perspektif semacam itu, maka anak dan perempuan yang dirugikan karena moralitas tidak secara spesifik memahami bagaimana pengalaman anak dan perempuan. Moralitas hanya berurusan dengan kaidah dan stereotip yang justru kadang merugikan kepentingan perempuan dan anak. Untuk itu, legislasi dan kasus pornografi yang melibatkan perempuan dan anak harus dibicarakan dalam kerangka pengalaman perempuan dan anak itu sendiri. Telaah mengenai bagaimana perempuan dan anak diposisikan di dalam legislasi dan kasus menjadi hal krusial yang harus dilakukan.

Legislasi mengenai pornografi di Indonesia cenderung netral gender. Tidak ada peraturan yang berkaitan dengan pornografi yang menimbang pengalaman perempuan. Mulai dari UU Pornografi hingga KUHP, seluruhnya menjadikan moralitas sebagai konsiderans. Padahal, pornografi pada umumnya adalah isu perempuan, mengenai bagaimana ketubuhan perempuan menjadi persoalan tentang kecabulan. Di samping itu, legislasi yang ada masih cukup bermasalah dalam hal kejelasan makna tiap unsur pasal. Akhirnya, mau tidak mau, perihal kejelasan itu diserahkan pada pertimbangan hakim.

Namun sayangnya, beberapa hakim pada kasus yang dibahas di dalam bab ini tidak mengelaborasi dengan jelas beberapa unsur pasal yang didakwakan. Bahkan di dalam beberapa kasus, justru hakim bias dalam membuat pernyataan. Hampir di semua kasus, hakim tidak menimbang bagaimana pengalaman perempuan di dalam kasus pornografi, baik sebagai korban maupun pelaku. Pembahasan yang muncul justru selalu dibahas adalah tentang bagaimana pornografi merongrong moralitas publik, sehingga pelakunya harus dipidana. Dengan demikian, sungguh relevan jika menimbang kembali kecurigaan para

4.4 Kesimpulan

Page 213: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

188

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

feminis mengenai hegemoni nilai maskulin dalam moralitas. Hukum, baik legislasi maupun putusan pengadilan, yang merepresentasikan moralitas itupun akhirnya adalah hukum yang merepresentasikan nilai maskulin. Hukum, itu tidak akan pernah menguntungkan perempuan (dan mungkin juga anak) sampai kapan pun.

Page 214: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

189

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Daftar Pustaka Bab 4

Akdeniz, Yaman. (2008) Internet Child Pornography and the Law: National and International Responses.Hampshire: Ashgate Publishing.

Chazawi. (2009) Tindak Pidana Pornografi: Penyerangan terhadap Kepentingan Hukum Mengenai Tegaknya Tatanan Kehidupan Akhlak dan Moral Kesusilaan yang Menjunjung Tinggi Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Surabaya: ITS Press.

Cornell, Drucilla. (1998) At the Heart of Freedom: Feminism, Sex, and Equality. Princeton: Princeton University Press.

Corry, Sondra. (----) A Feminist Perspective of Pornography. Tesis pada Vermont College of Norwich University.

Cothran, Helen. (2002) Pornography. San Diego: Greenhaven Press.

Edwards, Tim. (1994) Erotics and Politics: Gay Male Sexuality, Masculinity, and Feminism. London and New York: Routledge.

Evans, Michelle. (2005) Regulating Internet Pornography as an Issue of Sex Discrimination. Tesis pada program LL.M. di Murdoch University.

Hall, Ann C. dan Mardia J. Bishop. (2007) Pop-Porn: Pornography in American Culture. Westport: Praeger Publishers.

Hamzah, Andi dan Niniek Suparni. (2010) Pornografi dan Pornoaksi dalam Hukum Pidana: Suatu Studi Perbandingan. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.

Hawkins, Gordon dan Franklin E. Zimringm. (1988) Pornography in a Free Society. New York: Cambridge University Press.

Hunter, Rosemary (ed.) (2008) Rethinking Equality Projects in Law. Oxford and Portland: Hart Publishing.

Irigaray, Luce. (1977) Ce Sexe qui n’en est pas un. Terjemahan bahasa Inggris oleh Catherine Porter dan Carolyn Burke. This Sex Which is Not One. New York: Cornell University Press.

Kammeyer, Kenneth C.W. (2008) A Hypersexual Society: Sexual Discourse, Erotica, and Pornography in America Today. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Page 215: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

190

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK

Levin, Abigail. (2010) The Cost of Free Speech: Pornography, Hate Speech, and Their Challenge to Liberalism. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Mackey, Thomas C. (2002) Pornography on Trial: A Handbook with Cases, Laws, and Documents. Santa Barbara: ABC-CLIO.

Ost, Suzanne. (2009) Child Pornography and Sexual Grooming: Legal and Societal Responses. New York: Cambridge University Press.

Parker, Richard dan Peter Aggleton (ed.) (1999) Culture, Society, and Sexuality: A Reader. London: UCL Press.

Pilcher, Jane dan Imelda Whelehan. (2004) Fifty Key Concepts in Gender Studies. London: Sage Publications.

Saunders, Crystal Richards. (1990) A Critical Examination of the Pornography Debate: Toward a Socialist Feminist Framework. Tesis di Departemen Sosiologi/Antropologi Simon Fraser University.

Smart, Carol. (1989) Feminism and the Power of Law. London and New York: Routledge.

Tjahjono, Adi dkk. (2004) Stop Pornografi: Selamatkan Moral Bangsa. Jakarta: Pengurus Pusat Wanita Islam dan Citra Pendidikan.

Tong, Rosemarie. (2009) Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Boulder: Westview Press.

Weisberg, Kelly D. (ed.) (1996) Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives. Philadephia: Temple University Press.

Artikel

Attwood, Feona. (2004) “Pornography and Objectification: Re-Reading “the Picture that Divided Britain”. Feminist Media Studies. Vol. 4, No. 1, 2004.

Crawford, Bridget J. (2007) “Toward a Third-Wave Feminist Legal Theory: Young Women, Pornography, and the Praxis of Pleasure”. Pace Law Faculty Publications. Paper 243.

Dworkin, Andrea. (1985) “Against the Male Flood: Censorship, Pornography, and Equality”. Harvard Women’s Law Journal 8.

Page 216: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

191

BAB 4 PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN DAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Ellis, Kate, Barbara O’Dair, dan Abby Tallmer. “Feminism and Pornography”. Feminist Review. No. 36, Autumn 1990.

Evans, Michele. (2006) “What’s Morality Got to Do with It?: The Gender-based Harms of Pornography”. Southern Cross University Law Review. Vol. 10.

Frederick, Danny. (1996) “Defending Pornography”. Political Notes No. 124.

Lacey, Nicola. (1993) “Theory into Practice? Pornography and the Public/Private Dichotomy”. Journal of Law and Society, 20.

Malamuth, Neil M., Tamara Addison dan Mary Kross. (2000) “Pornography and Sexual Aggression: Are There Reliable Effects and Can We Understand Them?” Annual Review of Sex Research. Vol. 11.

Yatim, Debra H. (2004) “Mengurai Fenomena (Perempuan dan) Pornografi”. Jurnal Perempuan. No. 38: “Pornografi”.

Sumber Internet

Stanford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu

Page 217: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

192

Page 218: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

KEKERASAN DALAM

RUMAH TANGGAWidati Wulandari

Page 219: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

194

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Fenomena Kekerasan dalam Rumah Tangga KDRT (domestic violence) dalam bab ini, akan ditelaah sebagai bentuk kejahatan khusus dari tindak pidana kekerasan. Tujuannya, untuk memberikan pemahaman multidimensi mengenai KDRT sebagai fenomena hukum sekaligus fenomena sosial. Pembaca dan mahasiswa diharapkan dapat memahami kekerasan dalam rumah tangga tidak cukup hanya diselesaikan oleh instrumen hukum. Sebab, penegakan hukum (pidana), tidak saja dalam kekerasan dalam rumah tangga, namun juga dalam bentuk-bentuk kejahatan lainnya, bukan merupakan satu-satunya solusi.

Di bagian awal akan dikemukakan sejumlah konsep kekerasan dalam rumah tangga. Pada bagian ini diulas tentang kekerasan dalam rumah tangga yang bukan semata-mata kekerasan yang tertuju pada perempuan ataupun anak. Pokok persoalan dalam kekerasan dalam rumah tangga adalah adanya kerentanan anggota keluarga yang muncul akibat kebergantungan pada siapa pun yang memegang kekuasaan di dalam rumah tangga, secara berlanjut atau terus-menerus. Berikutnya, akan dipaparkan gambaran kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia maupun di negara lain sebagai perbandingan. Perlu digarisbawahi KDRT merupakan ancaman konkret sehingga dibutuhkan intervensi negara dalam bentuk kriminalisasi kekerasan dalam rumah tangga.

Bab ini juga akan mengulas faktor-faktor penyebab munculnya kekerasan, mitos dan fakta tentang kekerasan dalam rumah tangga (tentang apa yang sebenarnya terjadi), karakteristik pelaku-korban serta sebaran kekerasan dalam rumah tangga. Pada bagian terakhir akan dipaparkan analisis peraturan perundang-undangan.

Bab ini dilengkapi dengan contoh kasus berikut analisisnya untuk menjelaskan konsep dasar maupun regulasinya untuk memudahkan pembaca

5.1 Pengantar

BAB 5

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Page 220: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

195

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

memahami dan menganalisis putusan-putusan pengadilan. Pembaca juga akan mendapatkan informasi latar belakang kasus, serta mampu membuat analisis hukum yang lebih mendalam, baik yang bersifat normatif maupun kriminologis. Kasus-kasus yang dipaparkan sebagian besar diperoleh dari direktori putusan Mahkamah Agung. Sayangnya, direktori putusan Mahkamah Agung tersebut tidak memuat keseluruhan pertimbangan hakim yang dijadikan dasar untuk memutus perkara.

5.2.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah TanggaPemaknaan dan definisi kekerasan dalam rumah tangga ber-

gantung pada konteks penggunaan istilah tersebut, serta terkait dengan pemahaman ruang lingkup domestik atau rumah tangga. Rumah tangga dapat diartikan secara sempit ataupun luas. Pemahaman ini akan serta-merta berpengaruh terhadap luas lingkup kekerasan yang dilakukan serta pihak yang hendak dilindungi. Dengan demikian, secara sederhana kekerasan dalam rumah tangga dimaknai sebagai beragam bentuk penggunaaan kekerasan atau ancaman kekerasan (fisik, psikis, emosional, seksual, penelantaran) yang dilakukan untuk mengendalikan pasangan, anak, atau anggota keluarga/orang lainnya, yang menetap atau berada dalam satu lingkup rumah tangga.

Ragam bentuk kekerasan itu muncul dalam pola hubungan kekuasaan di lingkup rumah tangga, antara anggota rumah tangga tersebut yang tidak seimbang (asimetris). Karena pola relasi dalam rumah tangga dibangun atas dasar kepercayaan, maka tatkala muncul kekerasan dalam rumah tangga, sebenarnya telah terjadi dua hal sekaligus, yaitu abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) dan abuse of trust (penyalahgunaan kepercayaan). Jadi, kekerasan bentuk ini bukan kejadian berdiri sendiri, melainkan terjadi dalam hubungan yang berlanjut, yang memunculkan kebergantungan dan kerentanan pada pihak korban. Secara konkret, KDRT tersebut merujuk pada bentuk-bentuk kekerasan seperti pemerkosaan atau kekerasan seksual lainnya terhadap istri (marital rape) atau anak bahkan pembantu rumah tangga oleh majikan. Bentuk lainnya, pemukulan atau penyiksaan (baik fisik maupun psikis/verbal), dalam pelbagai bentuk yang dilakukan seseorang terhadap anak atau istri/suami atau pasangan atau pembantu rumah tangga.

5.2 Tinjauan Umum Kekerasan dalam Rumah Tangga

Page 221: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

196

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Korban Bukan Hanya Perempuan dan Pelaku Bukan Hanya Laki-laki DewasaPada banyak kasus, kekerasan dalam rumah tangga yang ter-

ungkap dan dilaporkan, mayoritas korban adalah perempuan (istri atau anak). Namun demikian, korban kekerasan dalam rumah tangga, di samping istri, bisa juga menimpa anak (baik anak perempuan atau anak laki-laki), juga laki-laki dewasa (suami ataupun bukan). Bahkan dalam relasi keluarga di sejumlah masyarakat, sasaran kekerasan juga bisa menimpa pekerja rumah tangga (PRT perempuan ataupun laki-laki), juga sanak saudara yang kebetulan dititipkan untuk dirawat/diasuh.

Artinya, pada kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, pihak yang rentan atau yang berhadapan dengan pihak yang berkuasa (dalam ikatan keluarga) dan mendapat kepercayaan untuk berkuasa (tapi menyalah-gunakannya), tidak hanya perempuan. Kerentanan atau kebergantungan bisa jadi ada pada perempuan (istri, anak perempuan, pembantu rumah tangga, sanak saudara lain yang hidup dalam rumah tangga) ataupun laki-laki (anak, pembantu rumah tangga, sanak saudara). Intinya, siapa pun yang memiliki kebergantungan finansial, emosional, sosial-psikologis terhadap pemegang kekuasaan berisiko menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Kepala rumah tangga atau pemegang kekuasaan bisa juga bukan laki-laki dewasa (suami atau lainnya). Kedudukan tersebut dapat pula berada di tangan perempuan, misalnya pada orang tua tunggal perempuan dengan sejumlah anak, di mana ia berperan sebagai pencari nafkah sekaligus kepala keluarga. Bisa juga terjadi istri mengambil peran sebagai pencari nafkah sedangkan pihak laki-laki atau memutuskan menjadi bapak rumah tangga yang tidak bekerja di sektor formal, namun secara khusus mengelola rumah tangga dan merawat/mengasuh anak. Dalam hubungan demikian, bisa juga terjadi bapak rumah tangga secara finansial berkedudukan rentan terhadap istri sebagai pencari nafkah. Merujuk pada hasil penelitian di Inggris, seorang ibu bisa juga menjadi korban kekerasan (mother abuse) dari anaknya (terutama anak laki-laki).1 Di samping itu, posisi berkuasa juga bisa berada pada pembantu rumah tangga terhadap anak majikan yang masih kecil. Di sini akan terjadi kebergantungan secara fisik maupun emosional yang tinggi dari anak kecil terhadap orang yang dipercaya untuk mengasuh dan merawatnya.

1 Caroline Hunter, Judy Nixon, Sadie Parr, Mother Abuse: A Matter of Youth Justice, Child Welfare, or Domestic Violence, Journal of Law and Society, Vol 37, No 2, June 2010.

Page 222: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

197

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

KASUS 1

Kekerasan Fisik oleh Pembantu Rumah Tangga terhadap anak Majikan

---------------------------------------------------

Jaksa vs Asmi(Putusan No. 15/PID/2012/PT.PDG.)

SEJARAH PROSEDURAL l Putusan Pengadilan Negeri Pariaman No. 176/PID.SUS/2011/

PN.PRM, tanggal 20 Desember 2011, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Banding;

l Putusan Pengadilan Tinggi Padang No. 15/PID/2012/PT.PDG, tanggal 5 Maret 2012

PERNYATAAN FAKTA lTerdakwa adalah perempuan 20 tahun, berpendidikan sekolah dasar,

bekerja sebagai pembantu rumah tangga.lTerdakwa bekerja dan menetap di dalam rumah tangga saksi pelapor di

sejak Juli tahun 2011. Ia diberi tugas merawat anak yang berusia 3 tahun.l Berdasarkan keterangan para saksi (10 dan 13 tahun), mereka melihat

terdakwa beberapa kali melakukan kekerasan fisik pada korban sejak Juli tahun 2011, terdakwa kerap memukul, mencubit, menampar, menarik rambut dan menarik telinga korban, sehingga korban mendapatkan luka lecet dan lebam.

lKetika saksi pelapor menanyakan perihal luka dan lebam di tubuh korban, terdakwa sering mengatakan ‘tidak tahu’ sambil bersumpah ‘demi Allah’, sehingga saksi pelapor percaya terdakwa tidak tahu.

l Pada Agustus tahun 2011 saksi F (10 tahun) melaporkan perbuatan terdakwa kepada ibunya (saksi Y), kemudian saksi Y menyampaikan apa yang disampaikan anaknya kepada saksi pelapor, saksi pelapor kemudian menanyakan kebenaran hal tersebut kepada terdakwa dan terdakwa mengakui perbuatannya.

ISU Apakah pembantu rumah tangga memiliki kekuasaan sehingga dapat melakukan kekerasan dalam rumah tangga?

Page 223: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

198

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

ATURAN l Pasal 44 Ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tanggal Pasal 80 Ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anakl Pasal 351 Ayat 1 KUHP

ANALISIS l Jaksa Penuntut Umum mengajukan tiga dakwaan alternatif.

1. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga atau

2. Kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau peng-aniayaan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 80 Ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau

3. Penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 Ayat 1 KUHP.l Jaksa menuntut terdakwa terbukti bersalah melakukan kekerasan fisik

dalam lingkup rumah tangga dan menuntut terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi masa tahanan.

lHakim Pengadilan Negeri Pariaman memutus terdakwa bersalah melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dan menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dikurangi masa tahanan.

l Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding.l Pengadilan Tinggi Padang menerima permohonan banding yang

diajukan Jaksa Penuntut Umum dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Pariaman.

KESIMPULAN Terdakwa terbukti bersalah melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dan dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan dikurangi masa tahanan.

Page 224: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

199

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Catatan Kasus 1

Sebagaimana dikemukakan di atas, KDRT terjadi ketika salah satu anggota dalam lingkup rumah tangga menggunakan kekerasan dalam berbagai bentuk untuk mengendalikan anggota lainnya. KDRT merupakan kekerasan yang muncul dalam pola hubungan kekuasaan yang tidak seimbang (asimetris). Dalam kasus ini, terdapat relasi yang tidak seimbang antara pelaku (orang dewasa) dan korban (anak berusia 3 tahun) yang berada dalam asuhannya.

Dalam kasus juga tergambar KDRT bukan melulu dilakukan laki-laki atau kepala keluarga. Pembantu rumah tangga yang menetap dalam rumah tangga, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat 1c Undang Undang PKDRT, masuk dalam lingkup rumah tangga. Oleh karena itu, sekalipun tidak ada hubungan keluarga, kekerasan yang dilakukan oleh pembantu rumah tangga terhadap anggota keluarga dikualifikasikan sebagai KDRT, karena pembantu rumah tangga tersebut menetap dalam rumah tangga.

Intinya, korban potensial KDRT bukan hanya istri, dan pelaku hanya ayah atau suami yang secara resmi (setidaknya dalam hukum perkawinan Indonesia) didudukkan sebagai kepala keluarga. Korban adalah orang (terlepas dari gender) yang berada dalam posisi bergantung pada pelaku. Oleh karena itu, korban rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan yang diberikan kepada pelaku. Dengan demikian, penting untuk memahami fenomena kekerasan dalam rumah tangga secara utuh. Perspektif perlindungan terhadap perempuan atau kajian feminisme) saja akan berdampak pada pengabaian sejumlah hal lainnya, misalnya kemungkinan anak baik perempuan atau laki-laki atau bahkan laki-laki dewasa juga berisiko menjadi korban KDRT.2

Rumah Tangga sebagai Ranah Privat (Domestik)Konsep rumah tangga tidak sebangun dengan konsep keluarga.

Konsep keluarga pada umumnya merujuk pada “sekelompok orang yang dihubungkan oleh relasi keturunan, pernikahan atau adopsi.”3 Rumah tangga dapat diartikan secara sempit sebagai satu unit keluarga nuklir

2 Susan Schechter & Jeffrey L. Edleson, In the Best Interest of Women and Children: A Call for Collaboration Between Child Welfare and Domestic Violence Constituencies, Minnesota Center Against Violence and Abuse, 1994.

3 George Ritzer, Introduction to Sociology (Sage Publications, 2013), hal. 406.

Page 225: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

200

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(inti) ataupun secara luas, yaitu extended family, yang hidup bersama dalam lingkup rumah tangga. Bentuk-bentuk rumah tangga tradisional seperti pada Rumah Gadang di Sumatera Barat atau Rumah Panjang di Kalimantan, menunjukkan kebiasaan hidup bersama dalam keluarga besar. Pada keluarga modern di perkotaan, lingkup rumah tangga tidak selalu hanya mengacu pada relasi ayah-ibu-anak kandung, namun dapat meluas hingga pada anak tiri, sepupu-keponakan atau saudara jauh yang dititipkan atau diserahkan ayah ibu mereka.

Bagaimanapun luas lingkup rumah tangga, yang harus dipelihara dalam dalam ikatan tersebut adalah saling kebergantungan yang memun culkan kepercayaan yang lebih tinggi dan lebih intim, ketimbang hubungan saling kebergantungan dalam ikatan kemasyarakatan di luar rumah tangga. Kebergantungan dan hubungan kepercayaan ini paling mudah dilhat dalam hubungan anak-orang tua, suami-istri, kepala keluarga-anggota keluarga, termasuk ke dalamnya pembantu rumah tangga.

Di banyak negara lain pengertian domestik dalam konsep domestic violence memiliki lingkup yang lebih luas, termasuk relasi intim (partner atau dating relationship)4 terlepas dari fakta mengenai tempat tinggal. Dengan demikian, kehidupan bersama dalam satu rumah tangga dapat dibedakan dan dipisahkan dari kehidupan dalam masyarakat (community atau society) yang lebih bersifat terbuka (ranah publicum).

Dalam hal ini, rumah tangga sebagai ranah domestik dibedakan dari kehidupan dalam masyarakat (society atau publik). Ranah domestik juga kerap disebut ranah privat (privatum), dan khususnya pada masyarakat modern, diletakkan di luar jangkauan perhatian masyarakat dan negara. Umumnya, apa yang terjadi di dalam lingkup keluarga dianggap bukan urusan orang lain, apalagi masyarakat umum. Konsep kepala keluarga dan anggota keluarga sudah berdampak pada adanya otonomi keluarga di hadapan masyarakat dan negara. Meski demikian, negara tidak lepas tangan sepenuhnya.

Ketika rumah tangga dimaknai sebagai ranah privat, intervensi negara melalui hukum cenderung bersifat terbatas, misalnya dalam bentuk hukum orang dan hukum keluarga (perkawinan-perceraian).

4 Randal W. Summers & Allan M. Hoffman, Domestic Violence A Global View (Greenwood Press, 2002), hal. 12.

Page 226: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

201

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Keduanya bersifat sekadar regulatif atau memberikan syarat-syarat minimal, seperti pembatasan usia nikah, syarat-syarat perceraian, kewajiban umum orang tua dan lain-lain. Tapi penempatan keluarga ke dalam ranah privat, sehingga dianggap bukan kepentingan negara untuk mengaturnya secara ketat, tidak berlaku mutlak. Seberapa jauh intervensi negara dalam membentuk konsep ideal keluarga dan mitos yang terkait hal-hal tersebut, akan dibahas lebih lanjut di sub bab lain.

Untuk sementara cukup dikatakan intervensi negara melalui hukum seiring waktu bertambah luas. Sebagai contoh, dalam hukum keluarga pada awalnya hanya ditetapkan kewajiban umum orang tua untuk mendidik anak, kemudian melalui perundang-undangan lain ditetapkan aturan wajib belajar. Ketentuan tersebut tidak lagi bersifat regulatif, namun sudah menjadi imperative atau perintah.

Sifat privat atau keterpisahan dari ranah publik juga muncul dalam pemahaman di masyarakat, baik masyarakat Timur maupun Barat. Pemahaman itu menyebut istri atau pasangan yang baik, termasuk anggota keluarga lainnya yang hidup dalam satu rumah tangga, berkewajiban menjunjung tinggi kehormatan kepala keluarga sebagai pencari nafkah, termasuk keluarga (in-group) di hadapan masyarakat (out-group/society). Mereka, apa pun yang terjadi dalam lingkup keluarga, tidak sepatutnya membuka aib ke dunia luar. Itu pula sebabnya KDRT kerap kali tidak diungkap ke publik sebagai masalah yang harus diurus bersama. Di sini penggunaan kekerasan dalam lingkup rumah tangga dalam berbagai budaya dianggap normal.5 Masyarakat luar sering sulit menerima begitu saja kemungkinan kepala keluarga, apalagi jika memiliki status sosial-politik atau ekonomi tinggi ataupun yang secara moral wajib melindungi, mengayomi dan menjaga anggota keluarga, dapat berbuat jahat pada anggota keluarganya.

5.2.2 Fakta Kekerasan dalam Rumah Tangga Bukan Gejala yang BaruKekerasan dalam rumah tangga sebagai fenomena sosial

adalah masalah serius. KDRT dapat menghancurkan keselarasan dalam serta keutuhan rumah tangga. Rumah tangga bukan lagi tempat berlindung (sanctum; sanctuary) atau berteduh yang aman dari dunia

5 WHO, Summary Report ‘Multy-Country Study on Women’s Health and Domestic Violence against Women,’ (2005) WHO.

Page 227: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

202

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

luar, namun justru menjadi neraka bagi anggota keluarga. Pada tataran pribadi, kekerasan menimbulkan dampak psikologis permanen pada korban. Korban ketika membentuk keluarga sendiri, karena telah menginternalisasi nilai kekerasan sebagai hal yang biasa, cenderung melakukan hal serupa. Bahkan sekalipun ia memiliki pengetahuan dan mengerti perbuatan itu tercela. Selain itu, akibat kekerasan yang dialami, korban bisa terpicu melakukan kejahatan lain di dalam masyarakat, dengan kecenderungan satu kekerasan akan melestarikan dan memicu kekerasan lainnya.

KDRT adalah fenomena lintas budaya universal6 dan bukan merupakan hal baru dalam masyarakat di mana pun. Bentuk kekerasan ini, bukan suatu bentuk penyimpangan perilaku yang dapat dikaitkan dengan nilai budaya masyarakat yang berlaku di tempat atau waktu tertentu. Oleh karena itu, KDRT tidak layak dibenarkan sebagai bagian lumrah dari budaya masyarakat, sehingga dipandang wajar. Di samping itu, dengan penyimpangan perilaku ini, harus diatur sejauh mana negara dan masyarakat mesti campur tangan terkait urusan bagaimana anggota keluarga harus bersikap dalam membangun hubungan di dalamnya. Keduanya sudah selayaknya menjadi perhatian baik dari masyarakat (society) maupun negara (state).

Di Indonesia, meskipun reaksi dan kepedulian negara terhadap KDRT muncul relatif baru yaitu usai diundangkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Tahun 2004, tidak berarti KDRT merupakan fenomena baru. Yang baru muncul adalah perhatian dan kepedulian masyarakat serta negara terhadap fenomena ini sekalipun kekerasannya sudah lama ada.7 Pada tahun 1984, masyarakat Indonesia dikejutkan pemberitaan media massa tentang kasus kematian Arie Hanggara, anak laki-laki berusia 8 tahun, akibat kekerasan berlanjut yang dilakukan kedua orang tuanya. Walaupun ketika itu istilah KDRT belum muncul, masyarakat secara umum mencela pola pengasuhan dengan kekerasan pada kasus tersebut. Artinya, sudah ada pandangan umum bahwa orang tua tidak sepatutnya menyalahgunakan kepercayaan dan kekuasaan yang melekat pada mereka.

6 Ibid.7 Susan Schechter & Jeffrey L. Edleson, In the Best Interest of Women and Children: A Call for Collaboration Between Child

Welfare and Domestic Violence Constituencies, Minnesota Center Against Violence and Abuse, 1994.

Page 228: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

203

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Berbeda dari Indonesia, di sejumlah negara lain, perhatian masyarakat serta negara terhadap kekerasan dalam rumah tangga sudah muncul sejak lama. Di Inggris pada tahun 1871, masyarakat bereaksi terhadap kekerasan dalam keluarga dengan membentuk organisasi perlindungan anak (Societies for the Protection of Children). Aksi dipicu kasus Marry Ellen Wilson yang diperlakukan dengan sangat kejam oleh orang tua angkatnya. Hakim dalam kasus tersebut menyelamatkan korban dengan melakukan suatu terobosan hukum. Hakim menginterpretasikan kata animals (hewan) dalam aturan yang menentang kekejaman ter-hadap hewan (laws against cruelty to animals). Dengan intepretasi itu, hakim menggunakan aturan yang sama untuk anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua. Tentu hal tersebut bukan berarti anak layak disetarakan dengan binatang peliharaan. Namun intepretasi hakim mengarah pada: keduanya berada dalam posisi rentan dan berhadapan dengan pemilik/orang tua yang melalaikan kewajiban mereka untuk memelihara (mengasuh) dengan baik. Oleh karena itu, negara harus campur tangan. Setelah kasus Marry Ellen Wilson, pada tahun 1889, dibuat Undang-Undang Pencegahan Kekejaman terhadap Anak dan Perlindungan yang Lebih Baik bagi Anak (The Prevention of Cruelty to and Better Protection of Children Act).8

Selanjutnya pada awal tahun 1970-an, bersamaan dengan gelombang kedua gerakan feminisme dan gerakan sosial radikal lainnya di benua Eropa, perhatian terhadap KDRT dan upaya-upaya penanganannya makin menguat. Namun, baru sepuluh tahun belakangan KDRT dipandang dan ditangani secara serius sebagai permasalahan hukum pidana.9 Di Amerika Serikat kepedulian terhadap anak korban kekerasan melalui berbagai program pencegahan, telah ada lebih dari 100 tahun yang lalu. Namun baru pada tahun 1960-an, muncul gelombang baru gerakan kepedulian publik terhadap anak korban kekerasan dalam keluarga.10 Pada tahun 1970-an gerakan feminisme di Amerika Serikat juga mulai terfokus pada antipemerkosaan dan antikekerasan terhadap perempuan. Gerakan itu dilakukan dengan membentuk crisis center

8 Esther Saraga, Dangerous Places: The Family as a Site of Crime, dalam John Munice dan Eugene McLaughlin (eds), The Problem of Crime, (Sage Publication & Open University Press, 2002).

9 Keir Starmer, ‘Domestic Violence: The Facts, The Issues, The Future’ (2011) International Review of Law, Computers & Technology 25.

10 Susan Schechter & Jeffrey L. Edleson, Loc Cit.

Page 229: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

204

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

untuk memberi konseling dan edukasi antipemerkosaan serta kekerasan terhadap perempuan.11

Uraian di atas menjelaskan KDRT bukan fenomena yang muncul tiba-tiba akibat berkembangnya kebutuhan dan kepentingan baru masyarakat yang harus diakomodasi hukum. Ini berbeda dari cyber crime, yang memang merupakan jenis kejahatan baru. Kriminalisasi baru muncul setelah ada teknologi informasi. Seketika itu muncul pelbagai bentuk penyalahgunaan sarana ini demi tujuan-tujuan jahat. Sebaliknya, sekalipun belum disebut dengan istilah spesifik sebagai kekerasan dalam rumah tangga, peristiwanya sudah dapat ditemukan terjadi lama di berbagai belahan dunia. Bahkan di beberapa tempat seperti Inggris dan AS sudah dengan tegas dipandang sebagai masalah sosial yang membutuhkan intervensi negara.

Statistik Kekerasan dalam Rumah Tangga di IndonesiaDi Indonesia statistik kekerasan dalam rumah tangga dibuat,

antara lain, oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di tiap-tiap kepolisian daerah serta Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Namun statistik yang dibuat oleh kedua lembaga tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan keseluruhan kasus KDRT di Indonesia. Oleh karena itu, statistik keduanya tidak bisa digunakan untuk menyimpulkan tinggi-rendahnya angka, prevalensi maupun sebaran KDRT di Indonesia. Terlepas dari itu, statistik yang ada, tetap berguna untuk mendiskusikan tentang seberapa jauh negara dan masyarakat perlu mengintervensi KDRT.

Dan berikut adalah telaah terhadap statistik yang dikelola oleh kepolisian di pelbagai daerah di Indonesia.

11 Susan Schechter, The Roots of Battered Women’s Movement: Personal and Political, dalam Weisberg D Kelly. Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction (Temple University Press, 1996) hal. 298-299.

Page 230: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

205

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

PoldaNAD

Sumatera UtaraSumatera Barat

RiauKepriJambi

BengkuluBangka Belitung

Sumatera SelatanLampung

BantenJawa Barat

Jawa TengahJawa TimurMetro JayaBareskrim

DIYBali

Kalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan Timur

Kalimantan SelatanSulawesi Utara

GorontaloSulawesi Barat

Sulawesi TengahSulawesi TenggaraSulawesi Selatan

MalukuMaluku Utara

NTBNTT

Papua

Jumlah

2007------

27-----------

94---

11----------

132

2008------

18--

29-----------------------

47

2009---2--

11----

30-------

15-------------

58

2010---9--425

41----

14-

381---1-----------

115

2011--15-

391052810391---

981

15929-

7535-

30---1---1-

585

2012--------------

183----

63------------

84

2013---------------3----2------------

5

Data Jumlah Kasus KDRT

*Data jumlah kasus KDRT di Berbagai Kepolisian Daerah di Indonesia diperoleh dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak

Page 231: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

206

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Angka-angka yang muncul dalam statistik di atas sebenarnya hanya menggambarkan jumlah kasus yang dilaporkan ke kepolisian (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) saja. Kasus yang tidak dilaporkan karena tidak terdata, menjadi angka tersembunyi/angka gelap (fenomena gunung es). Perlu dicatat KDRT yang menimpa laki-laki dewasa (suami atau anak) tidak akan terdata di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di atas. Selain itu, dari statistik di atas tampak di sejumlah wilayah, tidak ada laporan adanya insiden kekerasan dalam rumah tangga. Tapi, bukan berarti di wilayah tersebut tidak terjadi KDRT. Dengan cara yang sama dapat dikatakan rendahnya laporan bukan berarti menggambarkan rendahnya angka KDRT yang sesungguhnya terjadi. Faktor hukum dan nonhukum yang menjadi penyebab rendahnya angka pelaporan peristiwa KDRT, terutama oleh korban, harus diteliti tersendiri dan tidak dapat disimpulkan dari statistik yang ada. Soal ini akan disinggung lebih lanjut di bawah.

Seperti disampaikan di atas, statistik KDRT juga dibuat oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Komisi ini adalah lembaga negara yang independen yang dibentuk pada tahun 1998 untuk mendorong penegakan hak asasi perempuan di Indonesia. Fokus perhatiannya pada hak asasi perempuan, tidak mengherankan bila statistik yang dikelola cenderung hanya mencerminkan jumlah kasus KDRT sebagai bentuk dari Kekerasan terhadap Perempuan (KTP). Artinya kasus KDRT yang korbannya bukan perempuan atau yang tidak diadukan ke Komnas Perempuan atau ditangani oleh lembaga mitra Komnas Perempuan tidak terdata.

Kasus KTP

*Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KTP) pada 2012, diperoleh dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan.

Page 232: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

207

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Keseluruhan jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) yang berhasil didata oleh Komnas Perempuan pada tahun 2012 adalah 216.156 kasus. Angka KTP tahun 2012 ini hampir 2 kali lipat dari angka tahun sebelumnya, 119.107. Kasus-kasus tersebut ditangani oleh 329 Pengadilan Agama, 87 Pengadilan Negeri dan Pengadilan Militer, 2 Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, serta 225 lembaga mitra pengada layanan di hampir semua provinsi di Indonesia. Mereka merespon dengan tepat waktu formulir yang disebarkan oleh Komnas Perempuan. Komnas Perempuan menyadari adanya fenomena gunung es pada KDRT, di luar angka yang tercatat. Fenomena gunung es ini dijelaskan dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan sebagai dampak dari banyaknya perempuan korban yang tidak mampu dan tidak berani menceritakan pengalaman kekerasannya. Lebih jauh, mereka tidak berani mendatangi lembaga pengada layanan untuk meminta pertolongan.

Gambar berikutnya adalah data Komnas Perempuan mengenai perbandingan angka kekerasan yang terjadi di ranah domestik, komunitas dan negara:

Dari diagram tergambar KDRT atau ranah privat (RP) merupakan jenis kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah kejadian tertinggi yakni mencapai 8.315 kasus atau 66% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdata. Kekerasan di ranah komunitas tercatat 34% (4,293 kasus) sedangkan kekerasan oleh negara kurang dari 1% (41 kasus). Data kekerasan tersebut diolah dari kasus-kasus yang yang

*Diagram Prosentase KDRT dari 12.649 kasus kekerasan terhadap perempuan diperoleh dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2012

Page 233: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

208

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

ditangani oleh lembaga mitra pengada layanan di hampir semua provinsi di Indonesia.

Olahan data pelaporan jenis KDRT yang dilaporkan kehadapan Komnas Perempuan tergambarkan dalam diagram berikut:

Dalam diagram di atas tergambar kekerasan psikis dan kekerasan fisik adalah jenis kekerasan yang paling tinggi di antara jenis-jenis KDRT lainnya. Kekerasan fisik dan psikis mencapai angka 46% dan 28% dari keseluruhan angka kekerasan yang dilaporkan dan ditangani oleh lembaga mitra pengada layanan. Diikuti oleh kekerasan seksual 17% dan kekerasan ekonomi 8%.

Jika data Komnas Perempuan di atas dijadikan satu-satunya titik tolak, dapat dipahami mengapa fokus pembahasan KDRT kemudian cenderung mengerucut pada kritik terhadap nilai atau budaya patriarki. Budaya itu melandasi pembuatan sekaligus penegakan hukum pada umumnya. Sistem hukum yang ada, secara umum dituding berpihak pada laki-laki (dewasa) dan meminggirkan bahkan mendiskriminasi perempuan.

Di lain pihak, data di atas, khususnya tentang pengakuan adanya kekerasan fisik dan pemerkosaan dalam hubungan rumah tangga, menunjukkan pentingnya melihat hubungan suami-istri dari kacamata berbeda. Tidak sekadar hubungan tradisional, laki-laki sebagai

*Diagram prosentase jenis KDRT yang dilaporkan ke Komnas Perempuan tahun 2012

Page 234: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

209

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

kepala keluarga sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga, yang didudukkan sebagai pihak yang wajib melayani.

Angka Gelap dalam Statistik KDRTTerlepas dari tidak tersedianya data kasus kekerasan dalam

rumah tangga yang memadai, tetap ada argumentasi KDRT adalah masalah sosial yang nyata ada dengan jumlah kejadian yang signifikan.Tetapi juga perlu melihat lebih jauh tentang KDRT sebagai salah satu kejahatan yang memiliki angka gelap (dark number) tinggi, karena KDRT dari ranah domestik yang cenderung tersembunyi dari hadapan publik. Statistik menunjukkan berdasarkan laporan dari 10 negara di dunia, antara 55-95% perempuan yang menjadi korban kekerasan fisik oleh pasangannya memilih tidak melaporkan kasusnya ke polisi maupun meminta pertolongan kepada LSM, rumah aman, pusat-pusat penampungan ataupun lembaga sosial lainnya.12

Umumnya pada kasus kekerasan dalam rumah tangga, korban enggan atau takut untuk bercerita pada orang di luar keluarga. Keengganan tersebut juga berpengaruh terhadap keputusan untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi sebagai penegak hukum (pidana). Lebih jauh lagi, alasan-alasan yang diajukan (yang akan dibahas di bawah) kiranya patut diperhitungkan oleh penegak hukum dalam keseluruhan proses hukum pidana.

Ada banyak sebab atau alasan mengapa korban enggan atau takut melapor, baik faktor eksternal mau faktor internal dari diri korban. Berbagai faktor internal yang menyebabkan korban enggan untuk melapor kekerasan dalam rumah tangga dipaparkan di bawah ini.13

a. Korban tidak sadar telah menjadi korban kejahatan. Korban KDRT seringkali tidak mengetahui (tidak memiliki kesadaran dan pengetahuan) apa yang dialaminya adalah suatu kejahatan. Relasi rumah tangga yang dibangun berdasarkan kasih sayang melahirkan rasa percaya dan kebergantungan yang tinggi pada anggotanya. Bentuk-bentuk hukuman fisik kerap dianggap wajar dalam budaya tertentu apabila dilakukan oleh pemegang kekuasaan terhadap

12 http://domesticviolencestatistics.org,diunduh pada 9 Juni 2013.13 Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara penulis dengan para korban KDRT dan keluarga korban yang

berkonsultasi di JaRI (Jaringan Relawan Independen) dan Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum Unpad sejak 2004.

Page 235: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

210

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

dependant. Anak percaya orang tuanya menyayanginya sehingga perlakuan orang tua terhadap anaknya, termasuk bentuk-bentuk penghukuman (berupa kekerasan fisik ataupun psikis) dipandang sebagai wujud dari perhatian atau rasa sayang, atau cara mendidik yang wajar. Demikian pula dalam budaya masyarakat tertentu, hukuman suami terhadap istri dipandang sebagai bentuk tanggung jawab dan rasa sayang suami sebagai kepala rumah tangga. Hukuman fisik majikan terhadap pembantu rumah tangga apabila pembantu melakukan kesalahan (seperti pemukulan, tidak diberi makan dan sebagainya) juga kerap dianggap wajar.

b. Faktor kebergantungan. Dalam hubungan rumah tangga, korban memiliki kebergantungan finansial atau emosional yang sangat tinggi pada pelaku. Oleh karena itu, korban enggan mengambil risiko melaporkan kekerasan yang menimpa dirinya karena korban khawatir keadaannya akan menjadi lebih buruk, bila kasus dilaporkan. Seorang anak tidak dapat begitu saja melarikan diri dari kekerasan di rumah. Demikian pula halnya dengan istri atau suami yang telah memiliki ikatan atau kebergantungan emosional (atau finansial) yang sangat tinggi terhadap pasangannya, tidak mudah untuk begitu saja pergi meninggalkan pasangannya.

c. Korban ingin mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Dalam berbagai kasus, banyak korban KDRT yang bersedia menanggung penderitaan demi keutuhan rumah tangga. Pertimbangan umumnya didasarkan pada keyakinan anak sangat membutuhkan kedua orang tuanya. Lebih jauh, korban percaya pada janji pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya, dan korban percaya bahwa keadaan akan membaik seiring berjalannya waktu.

Di samping itu, terdapat sejumlah faktor eksternal, yakni tekanan dari luar diri korban, yang mempengaruhi keyakinan korban. Akibatnya, korban enggan melaporkan kasus yang menimpanya.

a. Adanya ancaman dari pelaku. Dalam berbagai kasus, pelaku seringkali melakukan ancaman kekerasan fisik maupun emosional (emotional blackmail) terhadap korban. Korban seringkali takut melaporkan kasusnya karena pelaku mengancam akan memukul, tidak memberi uang belanja, bahkan mengancam akan membunuh korban. Dalam sejumlah kasus, bahkan pelaku mengancam akan

Page 236: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

211

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

bunuh diri apabila korban melaporkan kasus atau apabila korban meninggalkan pelaku, diiringi dengan janji kekerasan tidak akan terjadi lagi.

b. Tekanan keluarga/masyarakat merupakan faktor berikutnya yang me nyebabkan korban enggan melaporkan kasusnya. Kekhawatiran akan mendapatkan penilaian negatif dari keluarga besar atau masyarakat juga kerap menjadi penyebab korban tidak mengungkap kasusnya.Variasi dari sikap itu antara lain adalah rasa malu, rasa bersalah karena tidak menjalankan tugas sebagai istri yang baik, serta keyakinan tentang tanggung jawab untuk menutup aib keluarga.

c. Tidak (belum) kondusifnya sistem peradilan pidana yang ada dalam menangani kasus-kasus KDRT berdampak pada kekhawatiran korban akan perlakuan yang diskriminatif atau sikap memojokkan korban, atau tidak ditanganinya perkara secara serius. Perlu juga diperhitungkan tingkat kepercayaan masyarakat (dan khususnya pelaku) terhadap aparat penegak hukum dan upaya hukum yang akan diberdayakan.

Besarnya angka gelap atau rendahnya pelaporan mungkin saja disebabkan satu faktor. Tetapi juga dapat terjadi akibat kombinasi sejumlah faktor (internal-eksternal) yang bersama-sama mempengaruhi keputusan dan keberanian korban untuk mengadukan nasibnya ke dunia luar. Juga harus dicermati, pemilahan faktor internal-eksternal tidak bersifat kaku, misalnya rasa takut, rasa malu, wajib menutup aib yang muncul dalam diri korban bisa dibarengi faktor eksternal berupa budaya yang ditafsirkan seolah membenarkan KDRT. Faktor budaya atau tata nilai yang sama terhadap keluarga, peran anggota keluarga dan kedudukan kepala keluarga juga berpengaruh besar terhadap empati yang ditunjukkan penegak hukum ketika menangani laporan korban kekerasan dalam rumah tangga.

5.2.3 Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga: Mengapa Orang Melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga?

Berdasarkan pengamatan, penyebab umum terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga, antara lain adalah: konflik/pertengkaran; cemburu atau kecurigaan (antarpasangan); kekecewaan pelaku terhadap korban; terprovokasi oleh perilaku korban; balas dendam; tekanan

Page 237: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

212

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

sosial; tekanan ekonomi; sebagai cara untuk mempertahankan posisi/kekuasaan di dalam keluarga14 atau sebagai cara untuk memperoleh apa yang diinginkan. Hal yang terakhir misalnya sebagai sarana untuk mengendalikan pasangan, anak, pembantu rumah tangga, orang tua, kerabat dan lain-lain.

Namun penjelasan umum di atas tidak cukup untuk memaparkan akar masalah penyebab pelaku menyalahgunakan kepercayaan dan kekuasaan yang ada padanya, dengan melakukan kekerasan (fisik, psikis, emosional, seksual, penelantaran) terhadap anggota keluarga, yang karena kebergantungan secara emosional atau finansial berada dalam posisi rentan. Penjelasan lebih memadai tentang penyebab KDRT diperlukan untuk alasan lain, yaitu mencari jawaban terhadap pertanyaan intervensi hukum dan nonhukum seperti apa, yang dapat diupayakan untuk menangani kasus-kasus KDRT. Jawaban itu akan sangat bergantung pada bagaimana KDRT dipahami dan keberhasilan mencari akar penyebabnya. Sekadar reaksi pidana yang keras seperti memenjarakan pelaku dalam waktu yang lama, tidak akan serta-merta menyelesaikan masalah, karena ada pelbagai faktor pemicu kejahatan pada pelaku. Selain itu, intervensi negara dalam wujud reaksi pidana juga berpeluang memperburuk situasi-kondisi pada korban. Di sini muncul peran penting kajian kriminologis terhadap fenomena kekerasan dalam rumah tangga.

Perlunya Kajian Kriminologis: Etiologi Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kajian kriminologi secara umum meliputi kajian terhadap proses pembentukan hukum, proses pelanggaran hukum (sebab-sebab terjadinya kejahatan) dan reaksi atas pelanggaran hukum (kejahatan). Dengan mengenali akar masalah penyebab kejahatan, akan dapat diproyeksikan intervensi hukum dan nonhukum seperti apa yang dinilai paling tepat. Seberapa jauh tingkat ketercelaan perbuatan ini, mengingat akar penyebabnya, akan berpengaruh terhadap proses pembentukan hukum. Keputusan untuk merumuskan KDRT sebagai bukan kejahatan, kejahatan tersendiri, atau sekadar bagian dari penganiayaan akan dilandaskan pada pemahaman pembuat undang-undang terhadap akar

14 Richard L. Davis, Domestic Violence: Intervention, Prevention, Policies, And Solutions (CRC Press, 2008), hal. 17.

Page 238: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

213

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

penyebab dan karakteristik kejahatan KDRT.Pemahaman terhadap akar masalah yang melatarbelakangi

kemunculan KDRT juga berpengaruh terhadap pemilihan dan penentuan reaksi paling tepat terhadap pelanggaran hukum tersebut. Pertanyaannya kemudian, apakah reaksi pidana merupakan reaksi yang paling tepat untuk menyelesaikan KDRT? 15

Selain itu, perlu diperhatikan KDRT memiliki karakter yang berbeda. Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan yang tersembunyi. Pelaku dan korban memiliki hubungan yang dekat/intim atau ada saling kebergantungan. Berbeda dari kejahatan pada umumnya, dalam KDRT relasi intim demikian menyebabkan korban sulit untuk melepaskan diri dari relasi yang abusive atau kasar tersebut.

KDRT sebagaimana dikemukakan di atas adalah fenomena yang kompleks. Faktor-faktor genetik, pengalaman psikologis, serta faktor lingkungan dipandang sebagai sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadi KDRT.16 Sejumlah teori dalam kajian kriminologis dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab kekerasan ini. Di bawah akan ditelusuri satu persatu teori-teori yang relevan.

Biological positivism menjelaskan kejahatan atau penyimpangan perilaku dipengaruhi oleh faktor biologis.17 Agresivitas adalah sifat yang dibawa individu sejak lahir (faktor internal). Kekerasan yang terjadi sebagai akibat dari sifat agresif tersebut, dipandang sebagai bentuk individual pathology. Namun, dengan pendekatan bio-social pandangan tersebut dikoreksi, sehingga kemudian dikemukakan sifat agresif saja tidak akan melahirkan kekerasan/kejahatan tanpa adanya tekanan dari luar diri pelaku. Dengan kata lain, individu yang memiliki kecenderungan agresif atau pembawa gen agresif, tidak akan melakukan kekerasan tanpa adanya tekanan dari lingkungannya, seperti konflik, tekanan sosial, tekanan ekonomi, provokasi korban dan sebagainya. Dari perspektif ini dapat diusulkan, perlakuan yang lebih tepat bagi pelaku dan penghindaran tekanan eksternal, bisa menjadi solusi atau upaya mencegah terjadinya KDRT. Kita lihat contoh kasus berikut:

15 Rebecca S. Ross, ‘Because There Won’t be “Next time”: Why Justice Court is an Inappropriate Forum for Domestic Violence Cases” (2011), Journal of Law & Family Studies 13.

16 Gerry Heery, Preventing Violence in Relationship, (Jessica Kingsley Publishers, 2001), hal. 19-28.17 Rob White & Fiona Haines, Crime and Criminology an Introduction, (Oxford University Press, 2nd ed, 2001), hal. 43-45.

Page 239: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

214

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

KASUS 2

Kekekerasan fisik oleh istri terhadap suami

---------------------------------------------------

Jaksa vs Eni(Putusan Mahkamah Agung No. 2302/K/Pid.Sus/2010)

SEJARAH PROSEDURAL l Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 1030/Pid.B/2009/ PN.Sby.,

tanggal 20 Mei 2009, terdakwa mengajukan permohonan bandingl Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 431/Pid/2009/PT.SBY,

Jaksa Penuntut Umum maupun terdakwa mengajukan permohonan Kasasi

l Putusan Mahkamah Agung No. 2302/K/Pid.Sus/2010

FAKTA lTerdakwa dilaporkan oleh suaminya ke polisi atas perbuatannya yang

dilakukannya pada 27 Mei tahun 2008.lTerdakwa yang sedang mengendarai mobil dan melihat korban yang

juga mengemudikan mobil tiba-tiba memotong laju mobil yang dikemudikan korban sehingga korban berhenti tiba-tiba. Terdakwa kemudian keluar dari mobilnya mendekati pintu mobil korban sehingga korban keluar dari mobilnya dan terjadi percekcokan.

l Percekcokan yang terjadi adalah akibat dari permasalahan yang telah lama muncul dalam rumah tangga terdakwa dan korban, yakni masalah perselingkuhan korban serta perilaku korban sebagai suami yang telah menelantarkan terdakwa, tidak pernah memberi nafkah lahir dan batin pada terdakwa.

lTerdakwa kemudian menampar muka korban beberapa kali, mencakar leher dan tangan korban dengan kuku tangannya, serta selanjutnya mengambil pasir dan kerikil di jalanan dan memasukkannya ke dalam baju korban. Terdakwa baru menghentikan perbuatannya setelah ada petugas patroli datang.

lAkibat perbuatan terdakwa, korban mengalami luka memar dan bengkak di bagian muka, luka gores di bagian leher dan dada, luka gores akibat cakaran dan bekas darah mengering di jari kedua tangan kanan.

Page 240: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

215

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

ISU Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan fisik yang dilakukan istri terhadap suaminya?

ATURAN Pasal 44 Ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004Pasal 356 ke-1 KUHP

ANALISIS l Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan alternatif yakni dakwaan

kesatu kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, dan dakwaan kedua penganiayaan

l Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa bersalah melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga

l Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Tinggi Surabaya dan Mahkamah Agung memutus terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga

KESIMPULAN Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga dan karenanya dipidana dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.

---------------------------------------------------

Catatan kasus 2

Dalam kasus di atas, yang menarik diperhatikan adalah, pertama kekerasan dilakukan oleh istri terhadap suami yang berbeda dari bayangan tentang KDRT pada umumnya, yang digambarkan sebagai kekerasan oleh suami terhadap istri. Kedua, tindakan kekerasan fisik yang mengakibatkan luka ringan yang dilakukan oleh terdakwa, sebagaimana menjadi argumentasi dalam memori kasasi, terjadi akibat percekcokan. Percekcokan bermula dari perselingkuhan korban, kekerasan fisik dalam rumah tangga yang pernah dilakukan oleh korban, serta tindakan korban yang meninggalkan keluarga, tidak memberi nafkah lahir maupun batin pada terdakwa.

Page 241: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

216

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Sebagaimana dikemukakan pada bagian atas, KDRT kerap bukan merupakan persitiwa tunggal yang terjadi seketika, melainkan sifatnya kontekstual dan tidak berdiri sendiri. KDRT seringkali merupakan hasil dari akumulasi konflik atau kekerasan sebelumnya, bahkan akibat dari provokasi korban. Di sini, kita dapat mengesampingkan isu relasi kuasa asimetris sebagaimana diuraikan di bagian pengertian KDRT di atas. Selanjutnya kita lebih fokus pada agresivitas yang muncul akibat dipengaruhi provokasi korban sebagai penyebab terjadinya KDRT.

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 1030/Pid.B / 2009/ PN.Sby tidak diketahui dengan jelas apakah hakim telah mem-pertimbangkan fakta tersebut. Hakim seharusnya memper timbangkan fakta tersebut apabila keterangan saksi-saksi/terdakwa dan alat bukti lainnya menunjukkan adanya persesuaian. Namun demikian, pada putusan hakim yang menjatuhkan pidana empat bulan, tercermin sikap hakim yang berusaha memutus seadil-adilnya, dengan menjatuhkan pidana yang ringan, (bandingkan dengan ancaman pidana maksimum lima tahun penjara), meski semua unsur kekerasan fisik dalam rumah tangga terpenuhi.

Perspektif teori kontrol, menjelaskan kekerasan dalam rumah tangga dapat sebagai bentuk penyimpangan perilaku yang terjadi terutama akibat lemahnya kontrol individu (pelaku) serta ketiadaan kontrol eksternal (masyarakat).18 Tetapi, lemahnya kontrol individu saja tidak akan menghasilkan kejahatan apabila tidak ada kesempatan atau peluang untuk itu. Sebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga pada kondisi ini bisa dicegah dengan cara meningkatkan kontrol individu lewat internalisasi nilai (tidak menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, saling menghormati dll) serta memberdayakan kontrol eksternal untuk menghilangkan kesempatan. Sebagai ilustrasi, dengan merujuk pada Kasus 1 (kekerasan pembantu rumah tangga pada anak majikan), maka kekerasan dapat dihindarkan apabila kontrol eksternal cukup kuat.

Learning theory menjelaskan kejahatan atau penyimpangan perilaku sebagai hasil dari proses belajar dalam relasi yang intim.19 Dari perspektif ini, penggunaan kekerasan dalam hubungan rumah

18 George B. Vold et al., Theoretical Criminology (Oxford University Press, 5th ed, 2002), hal. 177-195.19 Tim Newburn, Criminology (Willan Publishing, 2007), hal. 193-195.

Page 242: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

217

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tangga dapat dijelaskan sebagai hasil dari proses belajar. Dengan kata lain, pelaku meniru perilaku orang lain (biasanya inferior meniru yang superior). Tidak sedikit ditemukan kasus yang membuktikan orang yang pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku KDRT atau kekerasan pada umumnya. Statistik menunjukkan seseorang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menggunakan kekerasan (menyaksikan kedua orang tuanya berada dalam relasi kekerasan), memiliki kecenderungan dua kali lipat melakukan kekerasan pada istrinya, dibandingkan dengan anak yang tidak dibesarkan dalam lingkungan abusive.20 Karena itu, dari perspektif ini pelaku harus diresosialisasi pada nilai yang berbeda. Artinya, pola asuh dalam keluarga menjadi penting untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di kemudian hari.

Lebih jauh, namun masih sejalan dengan learning theory, dari perspektif sub-kultur dan culture-conflict. Penjelasannya, dalam kelompok masyarakat tertentu kekerasan merupakan atau berkembang menjadi budaya.21 Kekerasan digunakan untuk mengendalikan orang lain, kekerasan diperlukan untuk menyelesaikan masalah dan penggunaan kekerasan karenanya tidak dipandang sebagai perilaku menyimpang. Dengan menggunakan logika ini, dapat dikemukakan pada budaya tertentu kekerasan dalam rumah tangga pun tidak dipandang sebagai bentuk penyimpangan perilaku. Oleh karena itu, dalam budaya kekerasan dalam rumah tangga boleh jadi merupakan bagian dari keseharian. Dengan menggunakan teori ini, penanggulangan yang dapat dilakukan terhadap KDRT yang merupakan bagian dari budaya masyarakat adalah dengan membenturkan masyarakat tersebut pada tata nilai yang berbeda. Pembenturan itu dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi berupa pengenalan dan penanaman nilai kekerasan dalam rumah tangga sebagai tindak kriminal. Cara lainnya, melalui kegiatan pemberdayaan berupa edukasi mengenai hak-hak kelompok rentan serta pemberdayaan kelompok rentan dan sebagainya.

Kajian feminisme dalam kriminologi menjelaskan kejahatan sebagai hasil dari budaya atau relasi patriarki dalam masyarakat yang berdampak pada kebergantungan ekonomi yang tinggi pada kaum laki-

20 http://domesticviolencestatistics.org, diunduh pada 9 Juni 2013.21 Tim Newburn, Op.Cit, hal. 196-206.

Page 243: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

218

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

laki. Kajian feminisme ini pada dasarnya menjelaskan tentang hubungan antara gender dan kekuasaan dalam membentuk relasi sosial.22 Kajian feminisme mempermasalahkan posisi struktural perempuan di dalam masyarakat. Argumentasi teori, sejarah menunjukkan perempuan telah demikian lama menjadi kelompok yang tereksploitasi, diabaikan hak-haknya dan perempuan merupakan korban dari struktur dominasi laki-laki. Akibatnya, perempuan kerap menjadi korban kekerasan. Kajian feminisme secara khusus menjelaskan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan akibat tekanan sosial dan kebergantungan ekonomi yang tinggi pada laki-laki, akibat kedudukan yang tidak seimbang. Di samping itu, dikemukakan pula kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan kerap bukan dilatarbelakangi oleh kemarahan, frustrasi ataupun emosi seketika dalam konflik keluarga. Melainkan kekerasan itu dilatarbelakangi kehendak untuk mengendalikan pasangannya.23 Di sinilah tergambar, KDRT terjadi dalam relasi yang tidak seimbang. Oleh karena itu, dari perspektif ini pemberdayaan perempuan di berbagai bidang untuk mencapai kesetaran posisi struktural dalam masyarakat, menjadi solusi penting untuk mengatasi masalah kekerasan dalam rumah tangga.

Dari sejumlah kajian kriminologis di atas, maka dapat dilihat kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah yang kompleks (multifaceted). Dengan demikian, penanganan KDRT perlu dilakukan melalui berbagai cara. Proses peradilan pidana sebagai salah satu sarana yang memiliki keterbatasan dalam menanggulangi masalah sosial, politik dan ekonomi, menempatkan penegakan hukum pidana sebagai salah satu bagian saja dari kebijakan penanggulangan KDRT yang lebih luas.

5.2.4 Intervensi Negara: Lingkup Campur Tangan Negara Melalui Hukum pada Umumnya

Dengan merujuk pada karakteristik alami KDRT yang tersembunyi, maka intervensi masyarakat atau negara menjadi penting untuk mengungkapnya. Pertanyaan pentingnya adalah sejauh mana

22 Loraine Gelsthrope, Feminism and Criminology, dalam Mike Maguire et al, The Oxford Handbook of Criminology (Oxford University Press, 1997), hal. 527.

23 Michael s. Kimmel, ‘Gender symmetry’ in domestic violence: a falsely-framed issue, dalam June Keeling & Tom Mason (eds), Domestic Violence a Multi-Professional Approach for Healthcare Practitioners, (Open University Press, 2008), hal. 30.

Page 244: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

219

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

intervensi negara dan bentuk intervensi apa yang diperlukan di ruang privat (domestik)?

Pada dasarnya intervensi negara di ruang privat sudah ada sejak lama. Karenanya perdebatan tentang perlu atau tidaknya intervensi negara di ruang privat menjadi tidak relavan lagi.24 Intinya, negara tidak sepenuhnya membiarkan keluarga sebagai ruang privat. Pembentukan keluarga dan pencitraannya tidak dapat dilepaskan dari kebijakan negara, seperti tercantum dalam hukum keluarga, hukum perkawinan, bahkan hukum perburuhan/ketenagakerjaan. Negara melalui hukum perkawinan mencitrakan bentuk keluarga ideal, termasuk peran dan tanggung jawab masing-masing anggota. Suami adalah kepala keluarga dan pencari nafkah sedangkan istri adalah ibu rumah tangga. Hak dan kewajiban anggota keluarga lainnya juga ditentukan oleh hukum. Anak dengan batas umur 16 tahun untuk perempuan dan untuk 18 tahun untuk laki-laki, menjadi tangggung jawab kepala keluarga dan istri, untuk membiayai, merawat dan mendidiknya. Batas umur ini yang menentukan kapan seorang anak dapat keluar dari tanggung jawab pemeliharaan dan perawatan orang tua.

Melalui Undang-Undang Pendidikan kemudian ditetapkan ‘wajib belajar sampai dengan umur 9 tahun. Instrumen-instrumen hukum (nasional-internasional) menetapkan hak anak serta dengan demikian kewajiban orang tua dalam keluarga.

Intervensi Negara Melalui Hukum Pidana, Bukan Satu-satunya SolusiDari kajian kriminologis di atas, secara sederhana dapat

dikemukakan sejumlah faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Faktor-faktor tersebut antara lain kondisi biologis-psikologis pelaku, yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yakni tekanan dari luar (tekanan ekonomi, tekanan sosial, provokasi dari korban). Faktor lainnya adalah lemahnya kontrol individu dan kontrol sosial, proses meniru/belajar, budaya kekerasan, konflik dalam keluarga dan kedudukan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban.

Berdasarkan kajian tersebut, maka penjatuhan pidana pada pelaku saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan KDRT, atau bisa jadi

24 Frances E. Olsen, The Myth of State Intervention in the Family, dalam Frances E. Olsen (ed), Feminist Legal Theory II: Positioning Feminist Theory Within the Law, (New York Univesity Press, 1995), hal. 835.

Page 245: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

220

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

bukan merupakan reaksi yang paling tepat. Upaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah KDRT antara lain melalui upaya nonpenal berupa treatment bagi pelaku yang memiliki bakat (kecenderungan) berperilaku agresif. Selain itu, dibutuhkan kebijakan-kebijakan pencegahan berupa kebijakan negara di bidang sosial dan ekonomi yang bisa mengurangi tekanan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Solusi lainnya berupa edukasi, konseling, sosialisasi norma, penguatan kontrol eksternal serta pemberdayaan kelompok rentan dalam berbagai bidang.

Sama halnya dengan kasus pemerkosaan pada umumnya, korban KDRT dipandang mengalami double victimization atau korban berganda. Pertama oleh pelaku, kedua oleh masyarakat dan oleh sistem penegakan hukum.25 Karena itu, berdasarkan hasil dari sejumlah penelitian, perlu dipertimbangan perlindungan korban dari risiko double victimization. Dalam proses penegakan hukum pidana, di samping rekomendasi tentang pentingnya upaya-upaya pencegahan, juga direkomendasikan bentuk penyelesaian masalah KDRT melalui mekanisme di luar pengadilan dengan menggunakan model restorative justice.26 Model ini mengedepankan pemulihan dan pemberdayaan korban ketimbang pembalasan pada pelaku, serta perukunan (reintegrasi) pelaku, korban dan masyarakat.27

5.3.1 Ketentuan dalam KUHP sebagai Lex GeneralisDalam KUHP, tersebar di dalam berbagai bab (kejahatan

terhadap nyawa, terhadap kesusilaan, penganiayaan, menyebabkan mati atau luka) dapat kita temukan sejumlah ketentuan umum yang mengancam dengan sanksi pidana perbuatan seperti pembunuhan dalam segala gradasinya (dengan rencana, dengan sengaja, karena salahnya, dstnya), dalam ragam bentuk (termasuk aborsi), penganiayaan (berat/ringan), pemerkosaan (terhadap perempuan dewasa atau anak) serta perbuatan cabul. Ketentuan-ketentuan demikian tertuju secara secara umum untuk melindungi ‘nyawa, integritas tubuh atau martabat’

25 Christine Littleton, Women’s Experience and the Problem of Transition: Perspectives on Male Battering Women, dalam Weisberg, D Kelly, Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction (Temple University Press, 1996), hal. 328.

26 Marilyn Fernandez, Restorative Justice for Domestic Violence Victims: An Integrated Approach to Their Hunger for Healing (Lexington Books, 2010), hal. 140.

27 John Bratihwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation, (Oxford University Press, 2002), hal. 12-17.

5.3 Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Hukum Indonesia

Page 246: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

221

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

manusia (pria/perempuan, dewasa ataupun tidak). Artinya, tidak secara khusus ditujukan untuk melindungi kelompok rentan (perempuan ataupun anak) dalam lingkup rumah tangga terhadap penyalahgunaan kekuasaan atau kepercayaan.

Beranjak dari itu pula, harus dipahami ketentuan-ketentuan di atas di dalam KUHP berlaku sebagai lex generalis terhadap Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang merupakan lex specialis. Secara teoritis, itu berarti ketentuan umum dalam KUHP mutatis mutandis berlaku terhadap UU PKDRT. Konsekuensi praktis dari itu juga akan muncul dan tampak dalam penyusunan surat dakwaan (alternatif ataupun kumulatif), ketika Jaksa Penuntut Umum menghadapi kasus-kasus KDRT. Sebagai contoh kita lihat pada kasus berikut:

KASUS 3

Kekerasan fisik oleh ayah terhadap anaknya ---------------------------------------------------

Jaksa vs Rachmat

(Putusan Mahkamah Agung no. 1102 K/Pid/2007, tanggal 22 Mei 2007)

SEJARAH PROSEDURAL l Putusan Pengadilan Negeri Situbondo, No. 362/Pid.B/2006/PN.STB,

tanggal 28 November 2006, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Permohonan Banding.

l Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, No. 27/PID/2006/PT.SBY, tanggal 15 Februari 2007, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Situbondo, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Permohonan Kasasi.

l Putusan Mahkamah Agung no. 1102 K/Pid/2007, tanggal 22 Mei 2007 menolak permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum.

FAKTA l Terdakwa adalah ayah kandung korban.l Korban (laki-laki, usia 5 tahun) menderita radang paru-paru.

Sebelumnya ia tinggal dan diasuh oleh neneknya dan kemudian

Page 247: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

222

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

diserahkan kepada terdakwa. Korban yang ternyata menderita radang paru akut (asma) hanya sempat tinggal 4 bulan dengan ayahnya.

l Terdakwa berusaha mengobati penyakit anaknya dengan cara melaku-kan terapi sendiri seperti yang ia pelajari dari televisi dan buku-buku tentang pengobatan. Upaya pengobatan sendiri, antara lain, diberikan dengan latihan pernapasan (menutup hidung beberapa detik sebelum makan), diguyur terus-menerus (dimandikan) selama satu jam.

l Korban ketika dimandikan di bawah air keran memberontak, lalu terjatuh dan kepalanya membentur lantai kamar mandi. Pada tanggal 5 Mei tahun 2006, korban diberi makan namun kemudian hidung dan mulutnya disumbat selama beberapa detik sehingga kemudian ia muntah dan mengotori tubuhnya.

l Visum et repertum menunjukkan terdapat memar pada kepala bagian atas samping kanan, luka lecet pada bahu belakang, lengan kiri dan kaki kiri dan pemeriksaan bagian dalam menunjukkan bahwa korban mengalami pendarahan di otak karena benturan benda tumpul dan serangan asma. Keterangan yang diberikan dokter tentang penyebab kematian adalah, pendarahan di otak akibat trauma benda tumpul dan serangan asma.

l Jaksa mengajukan dakwaan primair ”kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan matinya korban” (Pasal 5 jo Pasal 44 Ayat 3 UU PKDRT) dan dakwaan subsider “karena kealpaan menyebabkan matinya orang lain” (Pasal 359 KUHP).

ISU Apakah perbuatan terdakwa yang menyebabkan kematian korban (anak laki-lakinya berumur 5 tahun) merupakan KDRT yang diatur secara khusus dalam UUPKDRT ataukah tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP (karena kealpaannya menyebabkan kematian orang lain)?

ATURAN l Pasal 5 jo Pasal 44 Ayat 3 UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tanggal Pasal 359 KUHP

ANALISIS l Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan primair: kekerasan fisik

Page 248: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

223

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dalam lingkup rumah tangga yang menyebabkan matinya korban, subsidair: karena kealpaan menyebabkan matinya orang lain

l Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan berdasarkan dakwaan primair dan penjatuhan pidana 8 (delapan) tahun penjara dikurangi masa tahanan

l Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung mempertimbangkan tidak telah terjadi kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, melainkan sekadar kealpaan terdakwa yang menyebabkan kematian korban.

l Maka niatan dan perbuatan mengobati sendiri yang dilakukan terdakwa dianggap sebagai kealpaan atau kelalaian, bukan niat/maksud melakukan kekerasan. Dianggap di sini tidak ada willens (kehendak) atau wettens (pengetahuan) yang tertuju pada akibat (matinya korban).

KESIMPULAN Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “karena kealpaan menyebabkan matinya orang lain” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 359 KUHP dan terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan.

*Sumber: http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/511-putusan-badan-peradilan- tentang-tindak-pidana-kdrt.html

---------------------------------------------------

Catatan Kasus 3

Dari kasus di atas tampak KDRT didakwakan berlapis dengan tindak pidana karena kealpaan menyebabkan kematian orang lain. Di sini bukan persoalan lex generalis - lex specialis dalam pemberlakuan peraturan perundang-undangan, namun dakwaan primer (lex specialis) yang lalu didakwakan berlapis dengan dakwaan dari ketentuan pidana umum (lex generalis). Dalam proses pengadilan konsekuensi dari hal itu ialah bilamana dakwaan primer kemudian dianggap terbukti, dakwaan subsider tidak lagi perlu dibuktikan. Sebaliknya, bilamana dakwaan primer (yang dalam kasus ini ternyata dianggap tidak terbukti), maka hakim dapat memilih untuk menyatakan dakwaan subsider terbukti atau tidak. Ternyata terdakwa dipidana berdasarkan dakwaan subsider.

Page 249: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

224

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Dari fakta kasus selintas dapat dikatakan semua unsur dari delik KDRT (dakwaan primer) terpenuhi. Unsur-unsur yang dimaksud, setiap orang (terdakwa) yang melakukan kekerasan fisik (memandikan dengan terus-menerus selama satu jam, memaksa korban menahan napas) dalam lingkup rumah tangga (korban berada dalam lingkup rumah tangga pelaku) dan mengakibatkan matinya korban (visum dan keterangan dokter: korban meninggal dunia akibat benturan benda tumpul dan asma). Berdasarkan rumusan delik ini, kesengajaan bukan merupakan unsur, dan karenanya tidak perlu dibuktikan.

Hakim ternyata berpendapat lain. Meskipun tidak muncul dalam pertimbangan hakim, kemungkinan besar ada keraguan tentang hubungan sebab-akibat antara kematian dengan rangkaian perbuatan terdakwa. Lagipula dari fakta yang terungkap niatan terdakwa adalah untuk mengobati. Tidak ada niat untuk melakukan kekerasan. Apa yang terungkap dalam persidangan adalah kealpaan terdakwa, yaitu, kurang cermat berpikir, kurang pengetahuan atau bertindak kurang terarah.28 Kurang cermat berpikir dan kurang pengetahuan yang ada pada diri terdakwa dalam mengobati secara tepat anak penderita asma, jelas terungkap. Hal ini juga dapat kita kaitkan dengan kemungkinan riwayat hidup dan status sosial ekonomi terdakwa, bukan orang yang mengenyam pendidikan formal yang cukup tinggi. Juga tidak memiliki uang yang cukup untuk memutuskan membawa anak pergi berobat ke rumah sakit.

Dugaan lain adalah adanya pertimbangan hakim yang seringkali tidak terungkap secara tegas, tentang situasi sosial-ekonomi dari terdakwa dan berat/ringan dari ancaman pidana dakwaan primer-subsider. Ancaman hukuman yang termuat dalam dakwaan primer (KDRT: maksimum 15 tahun penjara) jauh lebih berat daripada yang tercantum dalam dakwaan subsider (kealpaan: maksimum 5 tahun penjara).

5.3.2 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai Lex Specialis

Pada bagian berikut ini akan diuraikan sejumlah hal mengenai kebijakan di bidang hukum pidana, baik materiil maupun formil, mengenai Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Indonesia.

28 Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Gramedia, 2003), hal.177.

Page 250: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

225

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Latar belakang pembentukan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pada tahun 2004 Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Di samping didasarkan pada pertimbangan kasus KDRT yang banyak terjadi di Indonesia, juga dilatarbelakangi kepedulian pemerintah pada hak asasi warga negaranya. Pada bagian pertimbangan Undang-Undang PKDRT dikemukakan antara lain:

“bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.”

Sejalan dengan itu dalam pertimbangan pada Penjelasan Umum undang-undang ini dikemukakan:

“Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.”

Selanjutnya dinyatakan pula, “bahwa karena itu UU PKDRT terkait erat dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Peratifikasian Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) serta Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.” Dengan demikian, UU PKDRT harus kita pandang sebagai satu bentuk keberpihakan negara (dalam wujud peraturan perundang-undangan) terhadap kelompok rentan dalam lingkup rumah tangga.

Dalam UU ditegaskan, kekerasan dalam rumah tangga merupakan: 1. pelanggaran hak asasi manusia; 2. kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan 3. diskriminasi. Namun demikian, KDRT yang dikategorikan dengan cara di atas harus kita cermati dengan hati-

Page 251: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

226

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

hati. Betul, dalam banyak kasus KDRT dengan korban perempuan, didasari sikap diskriminatif yang tertuju secara khusus terhadap perempuan. Undang-Undang PKDRT pun dalam Ketentuan Umumnya merumuskan KDRT sebagai “...kekerasan terhadap seseorang terutama perempuan...”.29 Namun, seperti diulas di atas, kekerasan dalam rumah tangga pada kenyataannya tidak hanya menimpa perempuan, namun terkait dengan posisi kerentanan anggota keluarga yang hidupnya secara finansial ataupun emosional, bergantung pada siapa pun yang dianggap berkuasa dalam rumah tangga.

Selanjutnya kategori KDRT sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan juga harus dipahami secara kontekstual. Konteks ini dapat kita peroleh dengan mencermati dua instrumen internasional mengenai hak asasi manusia. Kedua instrumen adalah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) dan Convention on the Rights of the Child. KDRT dalam konteks ini dianggap sebagai peniadaan hak-hak (asasi) dari serta pengabaian martabat perempuan dan anak sebagai kelompok rentan, yang justru hendak dilindungi oleh kedua konvensi internasional tersebut. Maka di sini yang hendak diatur adalah bentuk tanggung jawab negara di bawah kedua intrumen hukum HAM internasional tersebut.

Berkenaan dengan kategori KDRT sebagai bentuk diskriminasi, hal ini secara khusus dapat kita kaitkan dengan posisi rentan perempuan baik dewasa maupun anak, dalam keluarga. UU PKDRT dengan demikian dapat dipandang sebagai bentuk intervensi negara untuk mengoreksi bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang muncul di masyarakat dalam wujud KDRT.

Apa yang Dikriminalisasi dan Ancaman Pidana: KDRT sebagai lex Specialis

Dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang PKDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga didefinisikan sebagai:

“setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan,

29 Lihat ketentuan Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Page 252: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

227

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka

berat

setiap perbuatan yang mengaki-batkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemam-puan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan

psikis berat pada seseorang

Setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual

dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubun-

gan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, yang meliputi:Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup

rumah tangga tersebut;Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam

lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial

dan/atau tujuan tertentu.

Perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga,

padahal berdasarkan hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan

atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan

kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.Penelantaran juga

berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan kebergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar

rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Kekerasan fisik

Kekerasan psikis

Kekerasan seksual

Penelantaran Rumah Tangga

Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga (delik biasa)

(Pasal 44 Ayat 1)

Mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit/luka

berat (delik biasa)(Pasal 44 Ayat 2)

Mengakibatkan matinya korban (delik biasa)

(Pasal 44 Ayat 3)

Dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya dan tidak menimbulkan penyakit atau

halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-

hari (delik aduan)(Pasal 44 Ayat 4)

Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga (delik biasa)

(Pasal 45 Ayat 1)

Dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan atau kegiatan sehari-hari (delik aduan)(Pasal 45 Ayat 2)

Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga (delik

aduan)(Pasal 46)

Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya

melakukan hubungan seksual dengan orang lain dengan tu-juan komersial/tujuan tertentu

(delik biasa)(Pasal 47)

Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak

memberi harapan akan sem-buh sama sekali, mengalami

gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya 4 minggu terus-menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut,

gugur atau matinya janin dalam kandungan atau men-gakibatkan tidak berfungsinya

alat reproduksi (delik biasa)(Pasal 48)

Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tang-ganya padahal berdasarkan

hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena

persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan

kepada orang tersebut (delik biasa)

(Pasal 49 a)

Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah

tangganya yang mengalami kebergantungan ekonomi

karena dibatasi dan/atau dila-rang untuk bekerja yang layak

di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di

bawah kendali orang tersebut (delik biasa)(Pasal 49 b)

Penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal 15 juta

rupiah

Penjara maksimal 10tahun atau denda

maksimal 30juta rupiah

Penjara maks 15 tahun atau denda maks 45

juta rupiah

Penjara 4 bulan atau denda maks 5 juta

rupiah

Penjara maks 3 tahun atau denda maks 9 juta

rupiah

Penjara maks 4 bulan atau denda maks 3 juta

rupiah

Penjara maks 12 tahun atau denda maks 36

juta rupiah

Pidana min 4 tahun maks 15 tahun atau denda min 12 juta

rupiah maks 300 juta rupiah

Penjara min 5 tahun maks 20 tahun atau denda min 25 juta

rupiah maks 500 juta rupiah

Penjara maks 3 tahun atau denda maks 15

juta rupiah

Penjara maks 3 tahun atau denda maks 15

juta rupiah

Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Definisi Ancaman Pidana

yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”

Lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi:1. suami, istri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);2. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar dan besan), persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap dalam tumah tangga, dan/atau

3. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka waku selama berada dalam tumah tangga yang bersangkutan.

Bentuk dan ragam Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta ancaman pidananya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Page 253: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

228

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka

berat

setiap perbuatan yang mengaki-batkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemam-puan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan

psikis berat pada seseorang

Setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual

dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubun-

gan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, yang meliputi:Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup

rumah tangga tersebut;Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam

lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial

dan/atau tujuan tertentu.

Perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga,

padahal berdasarkan hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan

atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan

kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.Penelantaran juga

berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan kebergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar

rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Kekerasan fisik

Kekerasan psikis

Kekerasan seksual

Penelantaran Rumah Tangga

Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga (delik biasa)

(Pasal 44 Ayat 1)

Mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit/luka

berat (delik biasa)(Pasal 44 Ayat 2)

Mengakibatkan matinya korban (delik biasa)

(Pasal 44 Ayat 3)

Dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya dan tidak menimbulkan penyakit atau

halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-

hari (delik aduan)(Pasal 44 Ayat 4)

Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga (delik biasa)

(Pasal 45 Ayat 1)

Dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan atau kegiatan sehari-hari (delik aduan)(Pasal 45 Ayat 2)

Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga (delik

aduan)(Pasal 46)

Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya

melakukan hubungan seksual dengan orang lain dengan tu-juan komersial/tujuan tertentu

(delik biasa)(Pasal 47)

Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak

memberi harapan akan sem-buh sama sekali, mengalami

gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya 4 minggu terus-menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut,

gugur atau matinya janin dalam kandungan atau men-gakibatkan tidak berfungsinya

alat reproduksi (delik biasa)(Pasal 48)

Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tang-ganya padahal berdasarkan

hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena

persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan

kepada orang tersebut (delik biasa)

(Pasal 49 a)

Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah

tangganya yang mengalami kebergantungan ekonomi

karena dibatasi dan/atau dila-rang untuk bekerja yang layak

di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di

bawah kendali orang tersebut (delik biasa)(Pasal 49 b)

Penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal 15 juta

rupiah

Penjara maksimal 10tahun atau denda

maksimal 30juta rupiah

Penjara maks 15 tahun atau denda maks 45

juta rupiah

Penjara 4 bulan atau denda maks 5 juta

rupiah

Penjara maks 3 tahun atau denda maks 9 juta

rupiah

Penjara maks 4 bulan atau denda maks 3 juta

rupiah

Penjara maks 12 tahun atau denda maks 36

juta rupiah

Pidana min 4 tahun maks 15 tahun atau denda min 12 juta

rupiah maks 300 juta rupiah

Penjara min 5 tahun maks 20 tahun atau denda min 25 juta

rupiah maks 500 juta rupiah

Penjara maks 3 tahun atau denda maks 15

juta rupiah

Penjara maks 3 tahun atau denda maks 15

juta rupiah

Page 254: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

229

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Dalam UU PKDRT penting dicermati isu mengenai kualifikasi delik yakni: delik aduan dan delik biasa. Pada tabel di atas dapat dilihat, umumnya KDRT dirumuskan sebagai delik biasa. Namun sejumlah pasal merumuskan perbuatan dengan akibat tertentu sebagai delik aduan dan karenanya proses peradilan pidana hanya bisa berjalan ketika perbuatan tersebut dilaporkan oleh korban kepada polisi. Berikut adalah perbuatan yang dirumuskan sebagai delik aduan dalam UU PKDRT.

1. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, dan tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari (Pasal 44 Ayat 4).

2. Kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari (Pasal 45 Ayat 2).

3. Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga (Pasal 46).

Berikut dikemukakan sejumlah kasus KDRT untuk menjelaskan penerapan UUPKDRT dalam kasus kekerasan sebagai ketentuan yang bersifat khusus, KUHP yang bersifat umum serta peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Perkawinan.

KASUS 4Kekekerasan fisik oleh ibu terhadap anak tirinya

---------------------------------------------------

Jaksa vs Nurul(Putusan Mahkamah Agung No. 2271 K/Pid.Sus/2011)

SEJARAH PROSEDURAL l Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen, No. 885/ PID.Sus / 2010/PN.KPJ,

tanggal 22 November 2010, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Permohonan Banding

l Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 191/Pid/2011/PT.SBY, tanggal 13 April 2011, memperbaiki putusan PN Kepajen sekadar mengenai pidana yag dijatuhkan dan menguatkan putusan PN Kepanjen untuk selebihnya, Terdakwa mengajukan Permohonan Kasasi

Page 255: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

230

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

l Putusan Mahkamah Agung No. 2271 K/Pid.Sus/2011, menolak permohonan kasasi terdakwa.

FAKTA lKorban adalah anak tiri terdakwa (tidak disebutkan usianya) yang

telah tinggal serumah dengan terdakwa selama tiga bulanl Pada 9 Agustus tahun 2010 terdakwa menggedor pintu kamar korban

dengan keras dan setelah dibukakan pintu oleh korban, tanpa ada permasalahan sebelumnya, terdakwa memukul dahi korban dengan sebatang kayu

lAkibat perbuatan terdakwa, korban mengalami luka pada kepala bagian depan yang kemudian dijahit, serta mengalami memar pada pangkal hidung dan lecet pada hidung sebelah kanan

ISU lKapan dan bilamana disebutkan kondisi jatuh sakit atau luka berat

akibat kekerasan fisik dalam rumah tangga?l Luas lingkup mereka yang masuk ke dalam kategori rumah tangga:

apakah harus ada hubungan sedarah, terkait dengan lama tinggal dalam rumah tangga ataukah ditentukan berdasarkan kategori lain?

lApakah pencabutan laporan pidana menghapuskan kesalahan dan tanggung jawab pidana?

ATURAN l Pasal 44 Ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tanggal Pasal 44 Ayat 2 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga

ANALISIS l Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan primair ”kekerasan fisik

dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan luka berat” serta dakwaan subsidair “kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga”.

l Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan dakwaan subsidair dengan tuntutan pidana 1 tahun penjara dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan

lHakim dalam amarnya menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti

Page 256: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

231

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan luka berat sebagaimana dalam dakwaan primair

KESIMPULAN Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, dan terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan.

---------------------------------------------------

Catatan Kasus 4

Jaksa Penuntut Umum dalam kasus di atas mengajukan dakwaan dalam bentuk subsidair/berlapis (bukan kumulatif). Terdakwa seorang ibu rumah tangga dipersalahkan melanggar ketentuan Pasal 44 Ayat 2 UU PKDRT (kekerasan fisik dalam rumah tangga yang mengakibatkan korban jatuh sakit atau mendapat luka berat/dakwaan primair) atau Pasal 44 Ayat 1 UU PKDRT (kekerasan fisik dalam rumah tangga/dakwaan subsidair).

Tampaknya pengadilan mempertimbangkan luka yang diderita korban, yaitu luka pada kepala bagian depan yang kemudian dijahit, serta mengalami memar pada pangkal hidung dan lecet pada hidung sebelah kanan bukanlah luka berat. Namun, ternyata dalam putusan terdakwa hanya dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan fisik dan dikenakan hukuman penjara 6 bulan. Tidak ditemukan pertimbangan mengapa luka yang diderita korban tidak dianggap luka berat dan kemudian yang dinyatakan terbukti hanya dakwaan subsidair.

Selain itu dalam kasus di atas, jelas anak tiri yang tinggal serumah (tanpa memperhitungkan waktu, yaitu baru tiga bulan) dianggap masuk ke dalam lingkup rumah tangga terdakwa, yang sejalan dengan definisi rumah tangga yang terdapat dalam Penjelasan UU PKDRT. Faktor yang dianggap menentukan adalah, terdakwa-korban tinggal dalam satu rumah tangga.

Lebih lanjut, perumusan delik dalam Pasal 44 UU PKDRT adalah sebagai delik biasa, sehingga pencabutan laporan (perdamaian) tidak otomatis menghentikan proses pemeriksaan di pengadilan. Pemberian maaf serta kedudukan terdakwa sebagai ibu rumah tangga

Page 257: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

232

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

yang harus merawat anak-anaknya tidak diperhitungkan sebagai alasan kasasi yang dapat diterima. Dalam hal ini muncul persoalan seberapa jauh sebenarnya intervensi negara melalui sistem peradilan pidana dapat membantu menyelesaikan persoalan apa pun yang muncul antara anak tiri dengan keluarga atau istri baru ayah kandungnya.

KASUS 5Kekerasan seksual ayah terhadap anak tiri

---------------------------------------------------

Jaksa vs Ismail(Putusan Pengadilan Tinggi No. 07/PID/2013/PT-Mdn)

SEJARAH PROSEDURAL l Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidempuan No 433/Pid.B/2012/

PN-PSP, tanggal 5 November 2012, terdakwa mengajukan bandingl Putusan Pengadilan Tinggi Medan No 07/Pid/2013/Pt-Mdn, tanggal

9 Januari 2013

FAKTA lTerdakwa memaksa anak tirinya (usia 16 tahun) untuk bersetubuh

dengannya dan mengancam akan membunuh korban apabila melaporkan perbuatannya

lKorban ketakutan, satu minggu kemudian baru berani melaporkan perbuatan ayah tirinya

lKorban mengalami trauma akibat kekerasan seksual

ISU lApabila suatu perbuatan memenuhi unsur KDRT sekaligus juga

memenuhi unsur tindak pidana yang diatur dalam undang-undang lainnya yang juga merupakan lex specialis, bagaimana penerapan aturannya?

ATURAN l Pasal 81 Ayat Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

Page 258: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

233

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

l Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

l Pasal 46 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

ANALISIS l Jaksa mengajukan dakwaan kesatu primair dengan sengaja melakukan

kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan per setubuhan dengannya; subsidair dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan perbuatan cabul; atau kedua kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.

l Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa terbukti dengan sengaja memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya

l Pengadilan Negeri Padang Sidempuan dan Pengadilan Tinggi Medan memutus terdakwa bersalah atas perbuatan dengan sengaja memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

KESIMPULAN Terdakwa bersalah dengan sengaja memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya dan dijatuhi pidana penjara 12 (dua belas) tahun penjara dan denda Rp 60.000.000 (enam puluh juta) rupiah.

---------------------------------------------------

Catatan Kasus 5

Kasus ini menunjukkan kadang-kadang kita berhadapan dengan satu perbuatan yang dapat dikategorikan ke dalam sejumlah ketentuan pidana yang berbeda (dirumuskan dalam lebih dari satu ketentuan pidana). Perbuatan terdakwa memaksa anak tirinya yang berusia 16 tahun untuk bersetubuh dengannya (dengan disertai ancaman kekerasan) pada dasarnya dapat dicermati memenuhi unsur-unsur perbuatan “dengan sengaja atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan” sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP mengenai pemerkosaan (lex generalis).

Page 259: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

234

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Perbuatan dimaksud juga memenuhi unsur-unsur perbuatan “dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, me-maksa anak melakukan persetubuhan dengannya” sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di samping itu, perbuatan terdakwa juga memenuhi unsur-unsur perbuatan ‘kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga’ sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Jaksa Penuntut Umum menyusun dakwaan secara alternatif dan menuntut terdakwa terbukti dengan sengaja memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya. Hakim memutus terdakwa terbukti bersalah dengan sengaja memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya dan menjatuhkan hukuman pidana penjara 12 (dua belas) tahun dan denda 60.000.000 (enam puluh juta) rupiah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.

Dari kasus ini maka dapat dijelaskan meski terdakwa tidak dinyatakan terbukti bersalah melakukan kekerasan seksual dalam rumah tangga dan tidak dihukum berdasarkan Undang-Undang PKDRT, namun terdakwa tetap dinyatakan bersalah dan mendapatkan hukuman yang berat.30 Artinya, satu perbuataan bisa saja sekaligus memenuhi beberapa rumusan ketentuan pidana. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut Umum harus memilih pasal mana yang hendak dijadikan dasar penjatuhan pidananya.

KASUS 6Kekekerasan seksual ayah terhadap anak kandung

---------------------------------------------------

Jaksa vs Karto(Putusan Pengadilan Negeri Batang No. 05/Pid.Sus/2012/PN.BTG)

SEJARAH PROSEDURAL Putusan Pengadilan Negeri Batang No. No.. 05/Pid.Sus/2012/PN.BTG

30 Bandingkan ancaman maksimum ketentuan Pasal 81 Ayat 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah 15 tahun, dan ancaman maksimum Pasal 46 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah 12 tahun, sedangkan ancaman maksimum tindak pidana pemerkosaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 285 KUHP adalah 12 tahun.

Page 260: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

235

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

FAKTA lTerdakwa (49 tahun) adalah ayah kandung korban (15 tahun)lTerdakwa tinggal di rumah hanya bersama kedua anaknya, karena

istrinya telah 3 tahun bekerja di Jakarta dan hanya pulang satu bulan atau dua bulan sekali

lTerdakwa memaksa korban untuk melakukan persetubuhan dengan-nya. Terdakwa mengancam tidak akan memberi uang belanja kepada korban apabila korban tidak mau melakukan persetubuhan dengannya.

l Perbuatan tersebut dilakukan terdawa secara berulang (3 kali)lKorban hamil. Kehamilan korban akhirnya diketahui oleh ibunya dan

aparat desa sehingga terdakwa kemudian dilaporkan ke polisi.

ISU Apabila satu perbuatan memenuhi beberapa ketentuan hukum pidana (unsur-unsur dalam Pasal 81 Ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan unsur-unsur dalam Pasal 46 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dapatkah hakim memutus terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran atas kedua ketentuan tersebut?

ATURAN l Pasal 81 Ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anakl Pasal 46 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

ANALISIS

l Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan kumulatif yakni kesatu “dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya,” dan kedua “kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.”

l Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa terbukti dengan sengaja memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya dan melakukan kekerasan seksual dalam rumah tangga

lHakim Pengadilan Negeri Batang memutus terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan “memaksa seorang anak melakukan persetubuhan dan melakukan kekerasan seksual dalam rumah tangga,“

Page 261: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

236

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

KESIMPULAN Terdakwa bersalah “memaksa seorang anak melakukan persetubuhan dan melakukan kekerasan seksual dalam rumah tangga” dan dipidana 10 tahun penjara dan denda Rp. 60.000.000 subsidair 6 ( enam ) bulan kurungan.

---------------------------------------------------

Catatan Kasus 6

Sama halnya dengan kasus 4 di atas, dalam kasus ini terdakwa melakukan pemaksaan hubungan seksual dengan anak yang berada dalam lingkup rumah tangganya. Namun dalam kasus ini korban adalah anak kandung.

Menarik untuk dicermati dari kacamata hukum acara pidana, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan kumulatif atas satu perbuatan yang dilakukan terdakwa. Bandingkan dengan kasus 5, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan alternatif, artinya hanya ada satu perbuatan namun jaksa ragu apakah perbuatan tersebut memenuhi rumusan pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak atau Undang-Undang PKDRT.

Dalam kasus ini kemudian hakim pun memutus terdakwa bersalah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam kedua aturan tersebut. Dinyatakan dalam amar putusannya:

“terdakwa KS telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “memaksa seoarang anak melakukan persetubuhan dan melakukan kekerasan seksual dalam rumah tangga“; Menjatuhkan pidana kepada terdakwa KS dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) Tahun; dan Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta Rupiah) kurungan pengganti selama 6 (enam) Bulan.”

Namun demikian, meskipun terdakwa diputus dengan pasal kumulatif, ternyata hukuman yang dijatuhkan lebih ringan, bila dibandingkan dengan hukuman dalam kasus 4. Penting untuk memperhatikan pandangan/sikap hakim tentang nilai ketercelaan suatu

Page 262: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

237

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

perbuatan lewat perbandingan berat-ringannya sanksi pidana, yang dijatuhkan hakim terhadap kasus yang sejenis.

KASUS 7Penelantaran Rumah Tangga oleh Ayah

---------------------------------------------------

Jaksa vs Aldi(Putusan Mahkamah Agung No. 85 K/Pid.Sus/2007

tanggal 27 November 2007)

SEJARAH PROSEDURAL l Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.120/Pid.B/2007/PN.LP tanggal

16 April 2007, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasil Putusan Mahkamah Agung No. 85 K/Pid.Sus/2007 tanggal 27

November 2007

FAKTA lTerdakwa (laki-laki 48 tahun)lTerdakwa menikah dengan pelapor pada tahun 1978 dan memiliki 2

orang anak umur 26 tahun dan 7 tahunlTerdakwa menikah lagi pada tahun 1991 dan memiliki 3 orang anak

dari pernikahan kedua, padahal tidak pernah bercerai dari pernikahan pertama

l Sejak tahun 2004 terdakwa jarang puang ke rumah pelapor dan tidak pernah memberi nafkah/gajinya kepada pelapor, sehingga pelapor bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri

l Sejak tahun 2005 terdakwa tidak pernah menjenguk anaknya yang berusia 7 tahun, hingga anaknya menjadi sering sakit karena rindu pada ayahnya, dan menarik diri dari lingkungannya, tidak mau bergaul dengan teman-temannya, ia merasa malu karena sering ditanyai mengenai ayahnya.

ISU lApa kriteria penelantaran terhadap anak atau penelantaran terhadap

orang lain dalam lingkup rumah tangganya?

Page 263: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

238

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

lApakah kenyataan anak dan istri dalam keadaan sehat dan istri memiliki penghasilan dan dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya, menjadi bukti tidak terjadi penelantaran oleh terdakwa?

ATURAN l Pasal 77 Huruf b UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anakl Pasal 49 Huruf a Jo Pasal 9 Ayat 1 Jo Pasal 2 Ayat (1) Huruf a UU

No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

l Pasal 279 Ayat 1 ke-1 KUHP Jo UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

ANALISIS l Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan kumulatif yakni:

1. Melakukan tindakan penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan baik fisik, mental, maupun sosial yang dilakukan Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 77 Huruf b UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

2. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 49 Huruf a Jo Pasal 9 Ayat 1 Jo Pasal 2 Ayat 1 Huruf a UU No. 23 Tahun 2004;

3. Kawin sedang diketahuinya, bahwa perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya akan kawin lagi sebagaimana diatur dalam Pasal 279 Ayat 1 ke-1 KUHP Jo UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

l Jaksa menuntut terdakwa terbukti melakukan ketiga perbuatan di atas

lHakim PN Lubuk Pakam memutus terdakwa tidak terbukti melaku-kan perbuatan sebagaimana didakwakan, dan oleh karenanya mem-bebaskan terdakwa

lMahkamah Agung membatalkan Putusan PN Lubuk Pakam dan memutus sendiri menyatakan terdakwa terbukti melakukan Tindak Pidana “Penelantaran terhadap anak” dan “Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya serta “Melangsungkan perkawinan sedang diketahuinya perkawinan yang ada menjadi penghalang baginya untuk kawin lagi”.

Page 264: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

239

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

KESIMPULAN Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Penelantarkan terhadap anak” dan “Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya serta “Melangsungkan perkawinan sedang diketahuinya perkawinan yang ada menjadi penghalang baginya untuk kawin lagi”, dihukum dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan

---------------------------------------------------

Catatan Kasus 7

Meskipun telah dibatalkan lewat Putusan Mahkamah Agung, menarik untuk memperhatikan pertimbangan hakim PN Lubuk Pakam yang menyatakan tidak terjadi penelantaran terhadap anak maupun penelantaran orang lain (istri) yang berada dalam lingkup rumah tangga. Dalam pertimbangannya, hakim PN Lubuk Pakam menyatakan anak terdakwa tidak terlantar, berada dalam kondisi yang sehat baik secara fisik maupun mental dan cukup berprestasi di sekolahnya.

Lebih jauh dikemukakan sudah menjadi kewajiban ibu untuk mengasuh dan memberikan penghidupan yang layak bagi anak tersebut. Kemudian hakim juga menyatakan pelapor tidak terlantar karena pelapor bekerja sebagai PNS di POLDA Sumut dan tentunya mempunyai pendapatan/penghasilan sendiri. Ditambah lagi ia sehat secara jasmani dan rohani serta dapat merawat dirinya sendiri dan membiayai kehidupannya sendiri dari penghasilannya tersebut dan dari segi kehidupan sosialnya pelapor dapat menjalaninya dengan baik.

Rumusan Pasal mengenai penelantaran dalam rumah tangga berbunyi:

“Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.”

Page 265: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

240

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut dalam penjelasan UU PKDRT mengenai pengertian “menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga.” Namun dapat dikemukakan penelantaran dalam konteks ini adalah “tidak memenuhi kewajibannya untuk memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan,” terlepas dari fakta bahwa korban benar atau tidak berada dalam kondisi terlantar. Oleh karena itu, fakta korban dapat menghidupi dirinya sendiri tidak serta-merta meniadakan perbuatan menelantarkan dalam arti tidak memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang dalam rumah tangganya, baik secara fisik/jasmani maupun rohani.

5.3.3 PembuktianSatu hal menarik yang muncul dalam UU PKDRT adalah adanya

kesadaran pembuat undang-undang tentang sifat domestik/privat dari KDRT yang menyulitkan pembuktian. Berbeda dari apa yang menjadi asas dalam hukum pidana (unus testis nullus testis), dalam Undang-Undang PKDRT keterangan seorang saksi saja (saksi korban) sudah cukup. Namun pada saat yang sama, tidak berarti satu tuduhan (kesaksian korban di atas) sudah dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan pelaku. Keterangan satu saksi tetap harus disertai dan dikuatkan dengan alat-alat bukti sah lainnya (visum et repertum, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa).

Hal tersebut merupakan suatu kemajuan besar, mengingat sulitnya pembuktian tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP seperti misalnya pemerkosaan, perbuatan cabul, perbuatan asusila, persetubuhan dengan anak di bawah umur dan lain-lain yang terjadi di wilayah tertutup (ruang privat). Kerap kali pelaku dalam kasus-kasus tersebut bebas melenggang karena kesaksian hanya muncul dari korban, tidak ada orang lain yang mengetahui kejadian tersebut.

Namun demikian, di lain pihak mengemuka kenyataan sulitnya pembuktian kasus KDRT khususnya dalam kasus kekerasan psikis.31 Pembuktian kasus kekerasan psikis pada dasarnya tidak mudah. Pasal 7 UU PKDRT merumuskan kekerasan psikis sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya

31 http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt4b459ec464a39/kdrt.

Page 266: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

241

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Masalah yang muncul kemudian adalah indikator yang digunakan untuk menentukan terjadinya kekerasan psikis. Klaim korban mengenai kekerasan psikis yang dialaminya saja, tentu tidak cukup untuk membuktikan terjadinya kekerasan psikis. Perlu dukungan alat bukti lain, misalnya visum atau keterangan ahli (psikolog/psikiater).

5.3.4 Perlindungan Korban dalam UU PKDRTBerdasarkan kenyataan korban dalam kasus KDRT umumnya

adalah kelompok rentan dan berada dalam relasi kuasa yang tidak seimbang (asimetris) dengan pelaku, Undang-Undang PKDRT secara khusus mengatur perlindungan bagi korban. Perlindungan yang dimaksud ialah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban.

Di samping itu, Undang-Undang PKDRT juga mengatur mengenai pemberian perlindungan sementara, yakni perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain. Perlindungan serta pelayanan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga dilakukan baik oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, pembimbing rohani, relawan pendamping, pekerja sosial maupun tenaga kesehatan. Pemberian perlindungan sebagaimana diuraikan di atas dilihat dalam tabel berikut:

Kepolisian

Tenaga Kesehatan (setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan, sebagaimana diatur dalam UU tentang Kesehatan)

Pekerja Sosial (seseorang yang mempunyai kompetensi professional dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pengalaman praktik di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melasanakan tugas professional pekerjaan sosial)

Relawan Pendamping (orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan)

Pembimbing Rohani

Advokat

Pengadilan

Dalam waktu 1 x 24 jam sejak mengetahui/menerima laporan kekerasan, polisi wajib memberikan perlindungan sementara bagi korban (Pasal 16 Ayat 1)

Dalam 1 x 24 jam sejak pemberian perlindungan sementara, polisi wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadi-lan (Pasal 16 Ayat 3)

Memberi keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (Pasal 18)

Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi (Pasal 21 Ayat 1a)Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti (Pasal 21 Ayat 1 b)

Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban.Memberi informasi tentang hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.Mengantar korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif.Melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban

Menginformasikan kepada korban mengenai haknya untuk mendapatkan pendamping.

Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan di pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.

Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping.

Memberikan dengan aktif penguatan psikologis dan fisik kepada korban

Memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan kemberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban

Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan.

Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.

Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

Ketua Pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain.Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat:Menetapkan suatu kondisi khusus, yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau mengintimidasi korban.Mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.

Perlindungan/Pelayanan Bentuk

Page 267: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

242

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Ketentuan tentang perlindungan di atas diatur berbeda di luar KUHAP. Pendampingan korban tindak pidana di dalam KUHAP tidak diatur. Bahkan KUHAP sama sekali tidak mengatur hak-hak korban, terkecuali hak korban untuk menuntut ganti rugi secara perdata (melalui penggabungan perkara/voeging). Fokus KUHAP lebih pada hak-hak tersangka dan/atau terdakwa.

Sebaliknya di dalam UU PKDRT terdapat pengaturan dan perlindungan hak korban untuk mendapatkan pendampingan sejak

Kepolisian

Tenaga Kesehatan (setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan, sebagaimana diatur dalam UU tentang Kesehatan)

Pekerja Sosial (seseorang yang mempunyai kompetensi professional dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pengalaman praktek di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melasanakan tugas professional pekerjaan sosial)

Relawan Pendamping (orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan)

Pembimbing Rohani

Advokat

Pengadilan

Dalam waktu 1 x 24 jam sejak mengetahui/menerima laporan kekerasan, polisi wajib memberikan perlindungan sementara bagi korban (Pasal 16 Ayat 1)

Dalam 1 x 24 jam sejak pemberian perlindungan sementara, polisi wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadi-lan (Pasal 16 Ayat 3)

Memberi keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (Pasal 18)

Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi (Pasal 21 Ayat 1a)Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti (Pasal 21 Ayat 1 b)

Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban.Memberi informasi tentang hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.Mengantar korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif.Melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban

Menginformasikan kepada korban mengenai haknya untuk mendapatkan pendamping.

Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan di pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.

Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping.

Memberikan dengan aktif penguatan psikologis dan fisik kepada korban

Memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan kemberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban

Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan.

Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.

Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

Ketua Pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain.Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat:Menetapkan suatu kondisi khusus, yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau mengintimidasi korban.Mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.

Page 268: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

243

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tingkat penyidikan sampai ke pengadilan. Tujuannya, agar korban mampu secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya. Dalam hal ini harus diperhatikan tujuan pemeriksaan di pengadilan pidana, yaitu untuk mengungkap kebenaran materiil. Lalu berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan memutuskan kesalahan atau ketidakbersalahan terdakwa, dan hukuman yang harus dijatuhkan.

Berkaitan dengan itu pula, Undang-Undang PKDRT mengatur kewenangan hakim pidana untuk menerbitkan surat penetapan (atas permohonan korban atau kuasanya). Penetapan yang ditujukan memberikan perlindungan pada korban, sekaligus membatasi gerak pelaku (restraining order) untuk mendekati, memasuki rumah tinggal, membuntuti atau mengintimidasi korban. Pelanggaran terhadap penetapan tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang PKDRT, memberikan kepada polisi kewenangan untuk menangkap dan menahan pelaku. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 37 Ayat 1 dan 2, pengadilan berwenang memeriksa dugaan pelanggaran, perintah perlindungan dan mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang berisi, kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.

Menarik di sini untuk mempertanyakan seberapa jauh Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Undang Undang No 13 Tahun 2006) relevan dan dapat didayagunakan untuk melindungi saksi dan korban KDRT. Apalagi dengan penerbitan Undang-Undang PKDRT, seharusnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK mengambil alih semua tanggung jawab dan kewenangan perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana.32

Fenomena kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) sebagai bentuk kejahatan khusus dari tindak pidana kekerasan secara umum dalam pelbagai bentuknya, merupakan fenomena hukum sekaligus fenomena sosial. Fenomena ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Oleh karena itu, reaksi negara berupa pemidanaan terhadap pelaku bukan merupakan satu-satunya solusi bagi permasalahan ini.

32 Lihat Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia: Sebuah Pemetaan Awal (Koalisi Perlindungan Saksi, ICJR & ICW, 2007).

5.4 Kesimpulan

Page 269: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

244

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Kekerasan dalam rumah tangga bukan semata-mata kekerasan yang tertuju pada perempuan ataupun anak, pelaku juga bukan semata-mata kepala rumah tangga. Pokok persoalan dalam kekerasan dalam rumah tangga adalah adanya relasi yang tidak seimbang yakni kerentanan anggota keluarga yang muncul dari kebergantungan berlanjut pada siapa pun yang memiliki kekuasaan lebih di dalam lingkup rumah tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan bentuk kejahatan khusus (lex specialis) dari kejahatan yang telah diatur secara umum (lex generalis) dalam KUHP. Sebagai bentuk kejahatan khusus, kekerasan dalam rumah tangga pada dasarnya memiliki nilai ketercelaan yang lebih tinggi dibandingkan kekerasan pada umumnya. Hal ini terkait dengan logika rumah tangga merupakan unit sakral yang relasinya dibangun atas dasar saling percaya dan bergantung (finansial maupun emosional). Namun demikian, hal ini tidak tercermin dari sejumlah putusan pengadilan yang dirujuk dalam bab ini. Kecenderungan yang dapat ditangkap, sekalipun tidak muncul dalam pertimbangan putusan, hakim menjatuhkan pidana yang relatif ringan pada pelaku KDRT. Tidak tertutup kemungkinan sikap hakim yang demikian, lahir dari pertimbangan rumah tangga sebagai ranah privat dan pertimbangan untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga.

Sebagai ketentuan yang diatur secara khusus di luar KUHP, UU PKDRT juga mengatur sejumlah hal khusus di bidang hukum acara, berbeda dari apa yang secara umum di atur dalam KUHAP. Penganturan itu mencakup hukum pembuktian, yang menyimpang dari apa yang ditentukan dalam KUHAP dan pengaturan mengenai perlindungan dan pelayanan bagi korban yang juga tidak diatur dalam KUHAP. Hal-hal tersebut dapat kita maknai sebagai wujud dari tanggung jawab negara untuk melindungi korban (kelompok rentan).

Page 270: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

245

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Daftar Pustaka Bab 5

Putusan Pengadilan

l Jaksa vs Rachmat, Putusan Mahkamah Agung no. 1102 K/Pid/2007, tanggal 22 Mei 2007

l Jaksa vs Nurul, Putusan Mahkamah Agung No. 2271 K/Pid.Sus/2011

l Jaksa vs Eni, Putusan Mahkamah Agung No. 2302/K/Pid.Sus/2010

l Jaksa vs Aldi, Putusan Mahkamah Agung No. 85 K/Pid.Sus/2007 tanggal 27 November 2007

l Jaksa vs Ismail, Putusan Pengadilan Tinggi No. 07/PID/2013/PT-Mdn

l Jaksa vs Karto, Putusan Pengadilan Negeri Batang No.. 05/Pid.Sus/2012/PN.BTG

l Jaksa vs Asmi, Putusan No. 15/PID/2012/PT.PDG.

Buku

Braithwaite, John. (2002) Restorative Justice and Responsive Regulation. Oxford: Oxford University Press.

Davis, Richard L. (2008) Domestic Violence: Intervention, Prevention, Policies, and Solutions. CRC Press.

Fernandez, Marilyn. (2010) Restorative Justice for Domestic Violence Victims: An Integrated Approach to Their Hunger for Healing. Lexington Books.

Gelsthrope, Loraine. (1997) “Feminism and Criminology”, dalam Mike Maguire et al, The Oxford Handbook of Criminology. Oxford: Oxford University Press.

Heery, Gerry. (2001) Preventing Violence in Relationship. Jessica Kingsley Publishers.

Kimmel, Michael S. (2008) “Gender Symmetry’ in Domestic Violence: A Falsely-framed Issue”, dalam June Keeling dan Tom Mason (eds.), Domestic Violence a Multi-Professional Approach for Healthcare Practitioners. Open University Press.

Page 271: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

246

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Littleton, Christine. (1996) “Women’s Expereince and the Problem of Transition: Perspectives on Male Battering Women”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadelphia: Temple University Press.

Newburn, Tim.(2007) Criminology. USA: Willan Publishing.

Olsen, Frances E. (1995) “The Myth of State Intervention in the Family”, dalam Frances E. Olsen (ed.), Feminist Legal Theory II: Positioning Feminist Theory Within the Law. New York: New York University Press.

Remmelink, Jan. (2003) Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ritzer, George. (2013) Introduction to Sociology. London: Sage Publications.

Saraga, Esther. (2002) “Dangerous Places: The Family as a Site of Crime”, dalam John Munice dan Eugene McLaughlin (eds.), The Problem of Crime. London: Sage Publication & Open University.

Schechter, Susan dan Jeffrey L. Edleson. (1994) In the Best Interest of Women and Children: A Call for Collaboration Between Child Welfare and Domestic Violence Constituencies. Minnesota Center Against Violence and Abuse.

Schechter, Susan. (1996) “The Roots of Battered Women’s Movement: Personal and Political”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadelphia: Temple University Press.

Summers, Randal W. dan Allan M. Hoffman. (2002) Domestic Violence A Global View. Greenwood Press.

Vold, George B. et al. (2002) Theoretical Criminology. 5th ed. Oxford: Oxford University Press.

White, Rob dan Fiona Haines. (2001) Crime and Criminology an Introduction. 2nd ed. Oxford: Oxford University Press.

Page 272: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

247

BAB 5 KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Artikel dan Sumber lainnya

Hunter, Caroline, et al. (2010 “Mother Abuse: A Matter of Youth Justice, Child Welfare, or Domestic Violence”. Journal of Law and Society. Vol. 37, No. 2, June 2010.

Ross, Rebecca S. (2011) “Because There Won’t Be “Next time”: Why Justice Court is an Inappropriate Forum for Domestic Violence Cases”. Journal of Law & Family Studies 13.

Starmer, Keir. (2011) “Domestic Violence: The Facts, The Issues, The Future”. International Review of Law, Computers & Technology. No. 25.

Supriyadi, Widodo Eddyono. (2007) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia: Sebuah Pemetaan Awal. Jakarta: Koalisi Perlindungan Saksi, ICJR & ICW.

WHO. (2005) Summary Report WHO Multi-Countries Study on Women’s Health and Domestic Violence against Women.

http://domesticviolencestatistics.org, diunduh pada 9 Juni 2013.

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt4b459ec464a39/kdrt.

Page 273: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

248

Page 274: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

PEREMPUAN DAN ANAK

DALAM PERCERAIAN

Tien Handayani Nafi

Page 275: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

250

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

Bab ini mendiskusikan secara kritis masalah hukum perceraian, khususnya tentang ketentuan atau prosedur perceraian. Kajian dalam tulisan ini mencakup bagaimana perempuan diposisikan dalam hukum terkait perceraian dan bagaimana hukum diimplementasikan melalui putusan hakim. Dalam kasus perceraian, penting melihat apakah perempuan dirugikan baik dalam proses hukumnya maupun dalam putusan hakim. Selain itu, isu perlindungan anak juga menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini, karena umumnya perceraian diikuti persoalan kepentingan anak. Persoalan anak juga kerap menjadi perdebatan di antara dua pihak.

Perceraian sebagai salah satu peristiwa hukum dalam perkawinan memunculkan konsekuensi dan diskusi tentang hak dan kewajiban. Sebagai peristiwa hukum, perceraian tidak luput pula dari relasi kuasa yang berujung pada diskriminasi berbasis gender. Untuk memahami bentuk diskriminasinya, bagian ke-2, akan menguraikan perspektif Teori Hukum Feminis (Feminist Legal Theory) yang terkait dengan masalah perceraian. Teori itu menjadi pisau analisis paling mendasar dalam menilai hukum dari perspektif perempuan. Selanjutnya Bagian III akan menguraikan penerapan konsep-konsep dasar dalam Teori Hukum Feminis untuk membedah legislasi dan kasus pengadilan mengenai perceraian.

Ada satu asumsi dasar yang perlu dipahami sebelum membahas Teori Hukum Feminis, yaitu, hukum bukan sesuatu yang netral. Jika suatu hukum – baik undang-undang maupun putusan pengadilan – dibuat, maka tidak serta

6.1 Pengantar

BAB 6

Perempuan dan Anak Dalam Perceraian

6.2 Perceraian dalam Kacamata Teori Hukum Feminis

Page 276: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

251

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

merta hukum itu bebas dari nilai dan ideologi tertentu.1 Selalu ada faktor-faktor kuasa yang menyelubungi hukum sehingga hukum tidak pernah lahir secara netral.

Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005, adalah salah satu peraturan paling menyita perhatian untuk menggambarkan bahwa hukum yang tampak biasa saja, sesungguhnya mengandung stereotip dan kekerasan luar biasa. Perda tersebut pada dasarnya bermaksud mengatur pengendalian prostitusi dengan memberlakukan jam malam. Perda tersebut mengatur barangsiapa melewati jam malam itu dan ‘tampak seperti pekerja seks’ maka ia dapat dipidana.

Sekilas peraturan tersebut tampak biasa. Namun jika ditelisik lebih jauh, peraturan tersebut mengandung unsur stereotip dan kekerasan terhadap perempuan. Perda tersebut memang tidak menyebut jenis kelamin perempuan sebagai sasarannya, tetapi secara implisit dan dalam kenyataan penerapannya, perempuan yang sebenarnya hendak diatur. Prostitusi di ruang publik selama ini identik dengan perempuan pekerja seks yang menjajakan diri. Hampir tidak ada laki-laki yang menjalani profesi itu di ruang publik. Perda Kota Tangerang tersebut jelas membuat stereotip, jika perempuan ada di ruang publik pada tengah malam, maka ia akan diasosiasikan sebagai seorang pekerja seks, dan untuk itu perlu ditertibkan. Penertiban lantas dilakukan dengan jalan koersif yang menimbulkan dampak ikutan, seperti pengucilan secara sosial, depresi dan masalah psikologis lain.

Perspektif semacam itu mestinya juga digunakan untuk melihat hukum perceraian di Indonesia. Pembahasan perceraian nyatanya menjadi sangat kompleks karena ada dua dimensi yang melingkupinya.

Pertama, perceraian adalah peristiwa berakhirnya suatu perkawinan, yang melibatkan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dalam budaya patriarkis, diposisikan secara hierarkis lebih tinggi dari perempuan. Perempuan dijadikan subordinat dan kepadanya dilekatkan stereotip tertentu. Perempuan sulit keluar dari posisi tersebut, yang umumnya membuat perempuan mengafirmasi seakan-akan dirinya memang ‘dikodratkan’ menjadi jenis kelamin kelas dua.

Kedua, pada perceraian dilekatkan pelbagai hukum – norma dan ketentuan teknis – yang ketat, mulai dari aturan agama, negara, adat dan kebiasaan. Tetapi, hukum sebagai legislasi dan putusan hakim, bukan sesuatu yang netral. Hukum tidak bisa lepas dari konteks kepentingan kekuasaan, misalnya kuasa si kaya atas si miskin, kuasa si kuat atas si lemah serta kuasa si maskulin atas si feminin. Untuk

1 Stanford Encyclopedia of Philosophy, Law and Ideology, http://plato.stanford.edu/entries/law-ideology/, diakses pada 25 September 2013.

Page 277: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

252

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

yang terakhir disebut, hukum memang mengandung kuasa maskulin karena secara intrinsik bernuansa ‘falogosentris’atau patriarkis sejak awal pembentukan hingga pelaksanaan.2

Perceraian adalah satu bagian dari hukum perkawinan di Indonesia. Hingga Bab ini ditulis, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagai induk dari ketentuan hukum perkawinan di Indonesia, sedang dalam proses amandemen di DPR. Proses tersebut berlangsung dinamis, karena ada kepentingan kelompok konservatif yang mempertahankan pandangan mereka tentang perempuan. Padahal, perubahan UU Perkawinan sudah lama didengungkan, karena berbagai pasal di dalamnya menimbulkan dampak diskriminatif terhadap perempuan. Hasil beberapa penelitian juga menunjukkan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI mengandung ketentuan-ketentuan diskriminatif terhadap perempuan.3

--------------------------------------------------

Counter Legal Draft – Kompilasi Hukum Islam (CLD – KHI)

Pada 2003, oleh Pemerintah, KHI (Inpres No. 1 tahun 1991) hendak diformalkan menjadi Undang-Undang, melalui penyusunan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama (RUU HTPA). Lalu, CLD-KHI muncul sebagai rancangan tandingan. CLD-KHI diluncurkan ke publik oleh Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI pada 4 Oktober Tahun 2004. CLD-KHI menghadirkan ketentuan-ketentuan yang lebih adil gender, antara lain perempuan bisa menikahkan diri sendiri (tanpa wali) dan menjadi wali nikah, poligami dilarang, istri memiliki hak talak dan rujuk, dan kesetaraan hak dan kewajiban istri dalam perkawinan.

Muatan yang ada dalam KHI sesungguhnya adalah impor dan replika hukum dari produk fikih ulama zaman dahulu di negara-negara Arab. Oleh karenanya, KHI sudah

2 Farid Hanggawan, ‘Meneropong yang-lain: Dekonstruksi dan Ketakmungkinan Hukum yang Berkeadilan Gender,’ (2012) Jurnal Hukum Jentera Jakarta

3 Lihat misalnya Penelitian Agus Sarono dan Islamiyati, Wacana Gender terhadap Hukum Perkawinan di Indonesia: Analisa terhadap Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Poligami, dan Perceraian, (Semarang: Unit Perguruan Tinggi Mata Kuliah Umum Universitas Diponegoro, 2002)

Page 278: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

253

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tidak sesuai dengan kondisi kekinian, terlebih di Indonesia yang sudah mengikatkan diri dengan beberapa ketentuan konvensi internasional tentang kesetaraan gender. Apalagi, KHI bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Islam, yakni persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ikha), dan keadilan (al-adl).4

Tawaran-tawaran yang ada di dalam CLD-KHI mencoba menambal kekurangan KHI. Tetapi usaha pembaruan itu dianggap kontroversial, utamanya oleh kelompok-kelompok Islam garis keras. Akhirnya, CLD-KHI gagal di tengah jalan.

--------------------------------------------------

Pasal 1 CEDAW – yang sudah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 menyatakan, “Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apa pun lainnya oleh wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.”5

Tindakan yang disebut diskriminasi berdasarkan Pasal 1 ada tiga, yakni pembedaan, pengucilan, atau pembatasan. Pembedaan, pengucilan, dan pembatasan yang dilakukan tidak terjadi begitu saja, melainkan terjadi karena ‘dibuat.’ Dalam konstruksi kehidupan bernegara, pembuatan itu dapat berbentuk kebijakan atau perumusan peraturan yang dibuat penguasa, baik publik maupun privat. Otoritas publik mengacu pada organ-organ dalam hirarki ketatanegaraan, yang memiliki wewenang untuk membuat kebijakan dan peraturan. Sedangkan otoritas privat mengacu pada entitas-entitas privat yang memiliki wewenang untuk membuat peraturan internal, seperti orang perorangan, perusahaan, organisasi kemasyarakatan dan lain sebagainya.6

4 Marzuki Wahid, ‘Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indoneia Pasca-Orde Baru: Studi Politik Hukum atas CLD-KHI, presentasi hasil penelitian pada tanggal 1 Desember 2009, hal. 9.

5 Terjemahan pasal 1 CEDAW yang digunakan adalah yang dimuat dalam Hak Asasi Perempuan: Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta: Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2004), hal. 11-12

6 Pasal 2 Huruf e CEDAW menjangkau soal otoritas privat ini: “Negara peserta... melakukan langkah-tindak yang tepat untuk menghapus perlakuan diskriminasi terhadap perempuan oleh tiap orang, organisasi, atau perusahaan.”

Page 279: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

254

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

Semua peraturan di Indonesia yang dibuat sebelum CEDAW diratifikasi seharusnya diamandemen dan disesuaikan dengan CEDAW. Namun sayangnya, aturan-aturan diskriminatif tentang perkawinan masih dijumpai, seperti pada sebuah aturan peninggalan zaman kolonial yang dapat dianggap usang, yakni Pasal 105 KUH Perdata yang berbunyi,

“Setiap suami adalah menjadi kepala persatuan perkawinan. Sebagai kepala, ia wajib memberi bantuan kepada istrinya atau tampil untuknya di muka Hakim, dengan mengingat pengecualian-pengecualian yang diatur di bawah ini. Dia harus mengurus harta kekayaan pribadi si istri, kecuali bila disyaratkan yang sebaliknya. Dia harus mengurus harta kekayaan itu sebagai seorang kepala keluarga yang baik, dan karenanya bertanggung jawab atas segala kelalaian dalam pengurusan tersebut. Dia tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebankan harta kekayaan tak bergerak istrinya tanpa persetujuan si istri.”

Ketentuan pasal tersebut membuat perempuan menjadi subordinat. Dengan menyebut suami sebagai kepala keluarga, maka akan meneguhkan sub ordinasi perempuan sebagai istri. Pembagian peran antara suami warisan masa kolonial ini, tentu sudah tidak sesuai dengan prinsip Indonesia-merdeka yang antipenjajahan.

Secara lebih khusus, Pasal 106 KUH Perdata bahkan menentukan dan mengatur sikap istri/perempuan terhadap suaminya:

“Setiap istri harus patuh kepada suaminya. Dia wajib tinggal serumah dengan suaminya dan mengikutinya, di mana pun dianggapnya perlu untuk bertempat tinggal.”

Sedangkan mengenai bagaimana perempuan diposisikan terkait relasi kuasa yang timpang dengan suaminya tampak dalam Pasal 109 KUH Perdata sebagai berikut:

“Mengenai perbuatan atau perjanjian, yang dibuat oleh seorang istri karena apa saja yang menyangkut perbelanjaan rumah tangga biasa dan sehari-hari, juga mengenai perjanjian perburuhan yang diadakan olehnya sebagai majikan untuk keperluan rumah tangga, undang-undang menganggap bahwa ia telah mendapat persetujuan dan suaminya.”

Page 280: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

255

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Jadi, sudah sejak dulu perempuan disubordinasi oleh peraturan dalam lingkup hukum keluarga. Meskipun KUH Perdata hanya diperuntukkan bagi kalangan Eropa di Hindia Belanda di kala itu, warna patriarkisnya tetap diwarisi dalam hukum Republik Indonesia–yang konon dilingkupi semangat lepas dari cengkraman kolonial, di kemudian hari. Hal itu dapat dilihat dari pengejawantahannya dalam Pasal 31 Ayat 3 jo Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974:

Pasal 31 Ayat 3:Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

Pasal 34Ayat 1: Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala

sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Ayat 2: Istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.Ayat 3: Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing

dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Pasal-pasal tersebut mencerminkan ‘versi yang lebih mudah dibaca’ dari ketentuan-ketentuan KUH Perdata sebelumnya. Pasal 34 nyata-nyata membuat stereotip yang hingga kini tak mudah untuk dicairkan, yakni, laki-laki itu kuat sehingga menjadi aktor pelindung dan perempuan adalah aktor urusan domestik, dapur, sumur, kasur. Dengan diundangkannya Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tersebut, Indonesia telah mengafirmasi ketentuan yang diskriminatif dan secara resmi melakukan subordinasi dan domestikasi secara masif dan terstruktur terhadap perempuan Indonesia.

Melihat kondisi umum hukum perkawinan di Indonesia yang demikian diskriminatif dan penuh stereotip, maka harapan akan ketentuan dan putusan hakim yang sehat makin jauh dari impian. Dalam Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991) yang tak jauh berbeda. Corak subordinatif dalam KHI yang begitu ada pada Pasal 83 Ayat 1, “Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan hukum Islam.”

Bahkan ada ‘hukuman’ atas ketidakmampuan berbakti kepada suami sebagaimana ditentukan oleh pasal di atas, yakni sebagaimana termaktub pada Pasal 84.

1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan

Page 281: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

256

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 Ayat 1 kecuali dengan alasan yang sah.

2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya yang tersebut pada Pasal 80 Ayat 4 Huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

3) Kewajiban suami tersebut pada Ayat 2 di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.

4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.

Kompilasi Hukum Islam jelas memosisikan perempuan (istri) sebagai pelaksana kemauan suami. Pasal-pasal KHI di atas, utamanya soal nusyuz, menjadi napas utama dalam peristiwa perceraian. Selanjutnya, akan dipaparkan aturan penting lainnya mengenai dikotomi cerai talak dan cerai gugat dalam KHI.

Talak, berdasarkan KHI, adalah:

Pasal 117 Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131.

Pasal 118 Talak raj‘i adalah talak kesatu atau kedua, dalam talak ini suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.

Pasal 119Ayat 1: Talak ba‘in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.Ayat 2: Talak ba‘in shughra sebagaimana tersebut pada Ayat 1 adalah: (a) talak yang terjadi qabla ad-dukhul; (b) talak dengan tebusan atau khuluk; (c) talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Pada hakikatnya, berdasarkan KHI, inisiator utama dalam perceraian adalah suami, yakni dengan mekanisme talak. Namun demikian pengecualian dapat diberikan kepada perempuan dengan melakukan khuluk, yakni mengakhiri

Page 282: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

257

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

perkawinan dengan menebus mahar yang pada saat perkawinan pernah diberikan oleh suami. Istri dapat mengajukan cerai melalui mekanisme gugatan ke pengadilan. Karena istri tidak boleh menginisiasi perceraian, maka akibatnya sedikit ‘lebih buruk’ bagi Istri yang menggugat cerai. Berbeda dari yang istri ditalak, sesuai Pasal 158 KHI, jika perceraian bukan kehendak suami, maka istri tidak mendapatkan nafkah mut’ah.

Paparan mengenai gambaran umum aturan perceraian di atas jelas menunjukkan sejak awal, secara normatif, perempuan/istri sudah ditempatkan tidak setara dengan laki-laki/suami. Dengan demikian, perlu adanya kritik atas ketentuan-ketentuan perceraian dan putusan hakim yang ada agar terlihat watak patriarkis di dalamnya. Teori Hukum Feminis menawarkan alat membongkar itu. Chamallas, sebagaimana dikutip oleh Niken Savitri, menyatakan ada 5 hal penting dalam Teori Hukum Feminis yang nantinya dapat digunakan sebagai pisau analisis hukum dan putusan yang bias gender, yakni: pengalaman perempuan; adanya bias gender secara implisit; jeratan/ikatan ganda dan dilema dari perbedaan; reproduksi model dominasi laki-laki dan membuka pilihan-pilihan perempuan.7

Pertanyaan perempuan terhadap hukum akan digunakan untuk membaca ketidaksetaraan istri dan suami dengan menimbang ‘pengalaman perempuan’ dan ‘adanya bias gender secara implisit.’ Dengan menimbang pengalaman perempuan, usaha membongkar ketidaksetaraan dan diskriminasi dalam hukum dapat dilakukan. Sebagaimana paparan sebelumnya, hukum secara intrinsik mengandung muatan falogosentris–yang oleh Smart, hukum itu disebut kongruen dengan apa yang disebut sebagai ‘kebudayaan maskulin’.8

Dengan situasi itu, hukum yang cenderung universal akan sulit menampung pengalaman perempuan. Penekanan pada pengalaman perempuan berguna untuk mengidentifikasi apa-apa yang tidak dipahami dan direfleksikan oleh pengadilan dan peraturan perundang-undangan.9 Oleh karena itu, dengan menghidupkan kembali pengalaman perempuan sebagai sebuah alat analisis, maka yang tidak bisa digapai oleh hukum – yakni keadilan – akan dapat diraih.

Alat kedua adalah memahami bias gender yang implisit – atau ‘asking the woman question.’ Bias gender dapat disingkap dengan memperhitungkan dampak dari suatu hukum terhadap perempuan. Di samping itu, bias itu dapat digali dengan menempatkan perempuan sebagai fokus perhatian dalam membedah

7 Niken Savitri, Feminist Legal Theory dalam Teori Hukum, dalam Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 46.

8 Carol Smart, Feminism and the Power of Law, (London & New York: Routledge, 1989), hal. 2.9 Niken Savitri Op.Cit., hal. 46.

Page 283: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

258

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

suatu hukum, meskipun secara kasat mata tidak berhubungan langsung dengan isu gender.10 Dengan mengunci fokus semacam itu, maka secara otomatis stereotip, muatan subordinatif, atau diskriminasi berbasis gender dalam putusan hakim akan terungkap.

Bagian ini membahas dua hal. Pertama, ketentuan-ketentuan normatif– yakni UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam terkait perceraian yang berlaku di Indonesia. Kedua, putusan-putusan hakim. Bagian ini akan menguraikan bagaimana hakim dalam kenyataannya memosisikan perempuan dalam perceraian dan hak pemeliharaan anak dalam 5 poin pembahasan, yaitu:

1. Ketidakrukunan sebagai Alasan Perceraian2. Kekerasan sebagai Alasan perceraian3. Perkawinan dengan Lebih dari Satu Istri dan Perceraian4. Persoalan Kebendaan dalam Perceraian5. Anak dalam Perceraian

Alasan umum yang utama dari sebuah perceraian adalah ‘ketidakrukunan’ yang akan dibahas pada subbab berikutnya. Meskipun ‘kekerasan’ sebagai alasan perceraian dan ‘perkawinan dengan lebih dari satu istri’ juga cenderung berakibat pada ketidakrukunan yang akhirnya bisa berujung pada perceraian, tetapi aspek ketidakrukunan dibuatkan subbab tersendiri. Pengkhususan ini untuk melihat bagaimana praktek hukum mendefinisikan ketidakrukunan, selain yang disebabkan oleh kekerasan dan perkawinan dengan lebih dari satu istri.

Pada subbab selanjutnya dibahas bagaimana praktek hukum menerjemah-kan kekerasan sebagai alasan perceraian. Kemudian pada diskusi dalam bagian selanjutnya akan tergambar bagaimana poligami (perkawinan dengan lebih dari satu istri) dapat menimbulkan perceraian. Istilah poligami umumnya dipergunakan karena telah memenuhi ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975, yaitu mengenai syarat dan prosedur poligami. Namun demikian, di samping poligami, ternyata ada banyak bentuk perkawinan ‘nonlegal’ lain, seperti kawin lari, kawin siri dan seterusnya. Setelah itu akan dibahas praktek hukum dalam menentukan pembagian harta, pemberian nafkah setelah perceraian dan

6.3 Perceraian dalam Putusan Hakim

10 Niken Savitri Op.Cit., hal. 47.

Page 284: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

259

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

menentukan hak pemeliharaan anak. Tabel berikut adalah aturan pokok yang digunakan hakim untuk memutus

perkara perceraian melalui putusan mereka:

Pasal 39 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara

suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri

Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Penjelasan Pasal 39 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang mem-bahayakan terhadap pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

Alasan Perceraian

Page 285: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

260

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

Alasan Perceraian

Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang mem-bahayakan pihak yang lain;

e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

f. antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

g. suami melanggar taklik talak;h. peralihan agama atau murtad yang

menyebabkan terjadinya ketidakrukun-an dalam rumah tangga.

Page 286: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

261

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

6.3.1 Ketidakrukunan sebagai Alasan PerceraianIstilah ketidakrukunan sekilas tampak netral, sebuah konflik

horizontal belaka, yakni konflik antarmanusia. Namun, pemaknaan kritis berbasis gender terhadap sebuah konflik akan memunculkan kesadaran, yang tadinya dianggap konflik antarindividu kenyataannya bisa sangat luas. Apa yang dimaksud sebagai ketidakrukunan itu? Pada konflik antara buruh dan pengusaha, tanpa lensa yang kritis hanya akan dipandang sebagai konflik antarindividu. Namun, dengan kacamata yang lebih kritis, segera akan muncul kesadaran, bahwa dua tipe manusia itu ternyata salah satunya memiliki kuasa atas yang lain. Pengusaha, misalnya dalam aspek modal ekonomi, memiliki kuasa atas buruh. Ketika konflik muncul antara keduanya, maka yang terjadi adalah konflik vertikal, dan buruh cenderung tidak punya posisi tawar yang signifikan.

Begitu juga dengan ketidakrukunan dalam relasi antara laki-laki perempuan dalam relasi perkawinan. Secara umum, laki-laki dikonstruksikan sebagai pihak yang kuat, sementara perempuan sebaliknya. Laki-laki, dalam hubungan dengan perempuan, juga lebih banyak memiliki sumber daya sehingga mampu mengendalikan banyak hal. Salah satu yang dapat dikendalikan adalah penentuan batas-batas konflik atau dalam istilah hukum perceraian disebut ketidakrukunan. Dengan demikian, kadang sulit untuk menyatakan ketidakrukunan sebagai prakondisi perceraian, hanya merupakan konflik setara yang horizontal. Ada relasi kuasa bernaung dalam ketidakrukunan itu, sehingga laki-laki lebih diuntungkan:

KASUS 1-------------------------------------------------

Tri Soe vs Tina AbdulPerkara Cerai Talak: No. 249/Pdt.G/2007/PA.JP

(Pengadilan Tingkat Pertama)

lPemohon: Tri bin Soe lTermohon: Tina binti Abdul

SEJARAH PROSEDURAL Putusan tanggal 9 Januari tahun 2008 (in kracht) di PA Jakarta Pusat

Page 287: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

262

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

PERNYATAAN FAKTA l Pemohon dan Termohon telah melangsungkan perkawinan yang sah,

Sabtu, tanggal 24 Oktober tahun 1981, yang dicatatkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan.

l Pemohon dan Termohon, dalam perkawinannya, dikaruniai tiga orang anak kandung, yaitu:a. Gendis Siti Hatmani (perempuan);b. Bambang Panji Adhikumoro;c. Bambang Aditya Trihatmanto.

l Pemohon dan Termohon sudah tidak tinggal serumah lagi.l Sejak Januari tahun 2006, Pemohon dan Termohon sudah tidak

melakukan hubungan badan layaknya suami-istri.lAntara Pemohon dan Termohon tidak pernah ada keributan.lAntara Pemohon dan Termohon masih harmonis. Hal itu terlihat dari

acara ulang tahun perkawinan yang masih dirayakan secara bersama-sama dan berlebaran bersama.

l Pemohon dan Termohon masih mengikuti prosesi perkawinan anak mereka.

l Pemohon pernah menjatuhkan talak.l Pemohon telah menjalin hubungan dengan perempuan lain.l Pemohon bertekad menjatuhkan talak terhadap Termohon dan,

sebaliknya, Termohon tetap akan mempertahankan rumah tangganya dengan Pemohon.

ISU HUKUM Apakah permohonan talak Pemohon dapat diterima?

PERATURAN l Pasal 39 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974l Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975l Pasal 116 Huruf f Kompilasi Hukum Islam

ANALISIS lHakim menyatakan, salah satu unsur dari perkawinan adalah ikatan

batin. Apabila unsur itu sudah tidak ada lagi, maka sebenarnya suatu perkawinan sudah rapuh dan tidak harapan lagi untuk rukun sebagai suami-istri.

Page 288: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

263

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

lHakim menyatakan mempertahankan perkawinan seperti itu adalah suatu hal yang sia-sia karena dapat mengakibatkan dampak-dampak negatif bagi semua pihak dan dapat mengakibatkan akumulasi stress.

lHakim menyatakan ada hal-hal yang mendasar dan prinsipil sehingga Pemohon harus menentukan sikap untuk bercerai.

lHakim menyatakan terbukti telah terjadi pertengkaran dan per-selisihan yang terus-menerus antara Pemohon dan Termohon. Perselisihan dan pertengkaran tidak selalu digambarkan dengan adanya pertengkaran secara fisik atau melalui kata-kata, namun dapat saja suatu pertengkaran itu berupa tidak adanya saling komunikasi dan mendiamkan satu sama lain.

KESIMPULAN lHakim memutuskan Pemohon diizinkan untuk mengucapkan ikrar

talak atas Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Jakarta Pusat.lHakim menghukum Pemohon untuk membayar nafkah selama iddah

sebesar Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan mut’ah sebesar Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah)

-------------------------------------------------

Hakim seharusnya mengeksplorasi apa yang disebut dalam Pasal 39 Ayat 2 sebagai ‘alasan yang cukup’ dari sebuah fenomena ketidakrukunan dalam perceraian. Secara lebih detail, hakim harus mengeksplorasi alasan perceraian sebagaimana Pasal 19 Huruf f PP 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 Huruf f KHI, yaitu, “Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.”

Dalam kasus 1, secara garis besar hakim menyimpulkan gejala saling-diam dan tidak adanya ikatan batin si suami kepada istrinya, adalah alasan yang cukup untuk menyatakan bahwa rumah tangga disebut sudah tidak rukun. Ketentuan soal talak memang menyediakan ruang bagi suami untuk menyatakan secara sepihak bahwa ia sudah tidak memiliki ikatan batin. Seharusnya, dengan aturan yang timpang tersebut, hakim dapat menjalankan perannya untuk menyeimbangkan keadaan, yakni dengan menggali apakah ketiadaan ikatan batin itu ada pada si istri juga. Namun sayangnya, pengalaman si istri mengenai hal itu tampaknya

Page 289: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

264

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

tidak dianggap penting, dan hakim seringkali hanya mempertimbangkan pengalaman suami.

Pertengkaran dalam kasus 1 menurut hakim terjadi ketika ada gejala saling diam antara suami dan istri. Gejala saling diam antara suami dan istri tidak bisa dipandang sebagai peristiwa tanpa kausalitas. Dalam kasus 1 ada kemungkinan, gejala saling diam terjadi karena si suami mencintai perempuan lain. Dalam putusan hakim, persoalan itu terungkap, tetapi hakim tidak membahas hal itu lebih lanjut. Pengalaman istri dalam gejala saling diam ini juga tidak diartikulasikan dengan cukup dalam putusan hakim. Tampak bahwa sebagian besar pertimbangan hakim bersumber dari argumen yang diajukan oleh si suami. Lalu, dengan sederhana, hakim menyatakan gejala saling diam tersebut sebagai sebuah pertengkaran, yang selanjutnya disimpulkan sebagai ketidakrukunan rumah tangga.

Situasi yang serupa terjadi dalam kasus 2:

KASUS 2-------------------------------------------------

Indra vs YaniPerkara Cerai Talak: No. 1282/Pdt.G/2012/PA.JT

(Pengadilan Tingkat Pertama)

l Pemohon: Indra bin Suwa lTermohon: Yani binti Pam

SEJARAH PROSEDURAL Putusan tanggal 27 Desember 2012 (in kracht) di PA Jakarta Timur

PERNYATAAN FAKTA l Pemohon menikah dengan Termohon pada 9 Mei tahun 2009.lDari perkawinan tersebut, lahir seorang anak pada 30 Januari 2010.l Sejak Februari tahun 2010 hingga April tahun 2012, menurut

Pemohon, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus yang disebabkan, antara lain, karena Termohon tidak taat, tidak mendengar nasihat dari Pemohon dan Termohon sudah

Page 290: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

265

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

mengabaikan tugas sebagai ibu rumah tangga.l Sejak April tahun 2012 hingga perkara disidangkan, Pemohon dan

Termohon telah pisah rumah.lMenurut Termohon, Pemohon secara tiba-tiba menjadi dingin

terhadap Termohon dan sekali waktu menyatakan bahwa Pemohon tidak mencintai Termohon lagi–Pemohon pernah mengatakan bahwa selama perkawinan ia hanya pura-pura mencintai Termohon.

l Bahwa menurut Termohon, tidak pernah ada perselisihan yang terus- menerus antara dirinya dan Pemohon.

ISU HUKUM Apakah permohonan talak Pemohon dapat diterima?

PERATURAN l Pasal 39 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974l Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975l Pasal 116 Huruf f Kompilasi Hukum Islaml Pasal 105 Huruf a Kompilasi Hukum Islam

ANALISIS lHakim menyatakan, rumah tangga Pemohon dan Termohon

tidak rukun lagi (telah pecah) disebabkan antara Pemohon dengan Termohon telah terjadi perselisihan dan pertengkaran. Itu menyebabkan antara Pemohon dengan Termohon sejak bulan April tahun 2012 telah pisah rumah dan ranjang serta tidak ada melakukan (hubungan) suami-istri.

lHakim menyatakan antara Pemohon dan Termohon tidak ada lagi komunikasi (saling mendiamkan);

lHakim berkesimpulan, karena alasan-alasan di atas, rumah tangga antara Pemohon dan Termohon telah pecah, dan terjadi perselisihan dan pertengkaran, baik pertengkaran dengan mempergunakan mulut dan anggota badan lainnya, atau pertengkaran yang diwujudkan dengan saling mendiamkan dan saling tidak mau menegur serta tidak berkomunikasi dan berbicara.

lHakim menyatakan rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak dapat mewujudkan tujuan dan hakikat perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 untuk mewujudkan rumah

Page 291: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

266

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

tangga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmat….”, sesuai dengan maksud Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam “…. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa…” sejalan dengan maksud Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974…’ Al Quran surat Ar Rum Ayat 21 yang artinya “Dan di antara tanda-tanda kebesaranNya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya dan dijadikan di antara kamu kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaranNya bagi kaum yang berpikir”.

lHakim berpendapat tetap mempertahankan perkawinan Pemohon dengan Termohon tidak akan memberikan kemaslahatan, bahkan mungkin mendatangkan kemudaratan bagi Pemohon dan Termohon.

KESIMPULAN lHakim memutuskan Pemohon diizinkan untuk mengucapkan ikrar

talak satu raj’i terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Jakarta Timur.

lHakim menyatakan karena anak Termohon dan Pemohon masih kecil dan belum mumayyiz, maka pemeliharan dan pengasuhan anak (hadhanah) diserahkan kepada Termohon.

lHakim menghukum Pemohon untuk membayar nafkah selama iddah sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah), nafkah mut’ah sebesar Rp 13.000.000,- (tiga belas juta rupiah), dan biaya pemeliharaan anak sebesar Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah)

-------------------------------------------------

Dalam kasus 2, hakim juga tidak menggali pengalaman si istri secara lebih jauh dan tidak menimbang dampak perceraian bagi si istri. Hakim hanya mengutip argumen suami bahwa si istri sudah tidak berbakti dan menuruti nasihat suami. Hakim juga tidak menimbang kondisi mobilitas pasangan suami-istri dalam kasus 2. Keduanya kadang berbeda kota, sehingga kemungkinan pisah ranjang selalu ada. Selanjutnya, mirip dengan kasus 1, suami membuat pernyataan sepihak bahwa ia tidak mencintai si istri. Terkait hal itu, hakim tidak mengeksplorasi bagaimana pengalaman si istri.

Jika hakim dalam memutus hanya menimbang argumen

Page 292: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

267

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

sepihak si suami sebagaimana kasus 1 dan kasus 2, maka dapat dibayangkan betapa mudah perceraian terjadi. Hakim memandang jika hubungan perkawinan tetap dipertahankan, maka akan mendatangkan kemudlaratan bagi rumah tangga. Kemudaratan itu tentunya bagi suami. Apakah hakim juga menimbang kemudaratan dalam perspektif istri? Di dalam putusan tidak tampak pertimbangan itu.

Kasus dan 1 dan kasus 2 menunjukkan posisi subordinat perempuan. Bahkan kekerasan psikis kemungkinan dialami karena si suami menjalin hubungan dengan perempuan lain. Posisi subordinat itu disebut dengan terang dalam putusan hakim yang hanya menimbang argumen talak laki-laki. Perceraian yang idealnya adalah sebuah kesepakatan, namun dalam kasus 1 dan 2, adalah bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dominasi berwujud pada pemutusan sepihak oleh laki-laki, yang lalu disuarakan kembali oleh hakim.

Penyuaraan kembali dominasi patriarkis sebenarnya menjadi keniscayaan ketika secara normatif talak sepihak dimungkinkan dalam hukum perkawinan Indonesia. Wahyudi, seorang hakim Pengadilan Agama, melontarkan gagasan menarik. Ia menyatakan sebaiknya talak sepihak dihapuskan dalam rezim hukum perkawinan Indonesia. Baik suami atau istri, keduanya semestinya sama-sama mengajukan gugatan cerai sebagaimana ketentuan untuk istri saat ini. Artinya, semua diserahkan kepada hakim untuk memutus. Tidak seperti dalam permohonan talak yang tampaknya sekedar sebagai ‘tukang stempel’ semata. Menurut Wahyudi, sudah saatnya ketentuan perceraian di Indonesia menyesuaikan prinsip kesetaraan gender.11

6.3.2 Kekerasan sebagai Alasan PerceraianJika pertengkaran atau perselisihan adalah argumen andalan bagi

suami untuk mengajukan permohonan talak sebagaimana dalam dua kasus sebelumnya, maka adanya kekerasan dalam rumah tangga kerap menjadi alasan bagi istri untuk menggugat cerai suami. Kekerasan dalam perkawinan muncul karena kuasa yang tidak seimbang. Ada dominasi dalam ketidakseimbangan itu yang ada pada suami. Sementara istri, dalam beberapa legislasi perkawinan dan kasus, ditempatkan sebagai

11 Muhammad Isna Wahyudi, Kerancuan Putusan Perceraian di Lingkungan Peradilan Agama, hal. 9, artikel yang diunduh dari www.badilag.net, dan diakses pada Mei 2013.

Page 293: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

268

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

subordinat. Oleh karena itu, kekerasan banyak terjadi pada istri, yang akhirnya menjadi dasar untuk mengajukan gugatan cerai.

KASUS 3-------------------------------------------------

Arina vs ZonPerkara Cerai Gugat: No. 16/Pdt.G/2011/PA.Bkt

(Pengadilan Tingkat Pertama)

lPenggugat: Arina binti MokalTergugat: Zon bin Meyer

SEJARAH PROSEDURAL Putusan tanggal 1 Maret 2011 (in kracht) di PA Bukittinggi

PERNYATAAN FAKTA l Bahwa Penggugat adalah istri sah Tergugat yang menikah di... tanggal

... ... ... dibuktikan dengan Kutipan Akta Nikah No. .../.../.../... tanggal 20 Oktober 2008;

l Bahwa alasan Penggugat mengajukan gugatan cerai adalah karena Tergugat suka melakukan kekerasan fisik terhadap Penggugat, seperti menyepak dan mendorong Penggugat.

l Bahwa Tergugat mulai melakukan kekerasan fisik tersebut sejak Penggugat hamil tahun 2009;

l Bahwa puncak kekerasan yang dilakukan oleh Tergugat terjadi pada September tahun 2009, di mana saat Penggugat minta uang belanja kepada Tergugat, Tergugat menyepak Penggugat yang saat itu juga baru sebulan habis melahirkan. Setelah itu Tergugat kabur hingga sekarang.

ISU HUKUM Apakah gugatan cerai Penggugat dapat diterima?

PERATURAN l Pasal 39 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974l Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975l Pasal 116 Huruf f Kompilasi Hukum Islam

Page 294: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

269

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

ANALISIS lHakim menyatakan rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah

pecah, keutuhannya tidak mungkin dipertahankan lagi, dengan demikian alasan cerai yang dikemukakan Penggugat telah sesuai dengan maksud Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 Huruf f Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu gugatan Penggugat dapat dikabulkan

lHakim menyatakan antara Penggugat dan Tergugat tidak ada lagi ikatan batin karena salah satu pihak menyatakan tidak mau mempertahankan perkawinan lagi dan sudah minta cerai bahkan antara Penggugat dengan Tergugat sudah pisah tempat tinggal sudah lebih 1 tahun dan sampai sekarang tidak pernah bersatu kembali. Hal itu menunjukkan sudah ada bukti atau petunjuk.

lHakim menyatakan rumah tangga yang bersangkutan akan lebih banyak mudarat dari manfaatnya jika tetap dipertahankan.

KESIMPULAN Hakim menjatuhkan talak satu ba’in shugra Tergugat terhadap Penggugat.

-------------------------------------------------

Gugatan itu sudah semestinya dikabulkan. KDRT menunjukkan kegagalan dalam berumah tangga. Perceraian dengan demikian adalah salah satu cara ampuh untuk mengakhiri penindasan suami, selain diproses secara pidana. Yang menarik dari kasus 3 adalah hakim menggunakan Pasal 19 Huruf f PP 9/1975 jo. Pasal 116 Huruf f KHI, yakni pertengkaran dan perselisihan terus-menerus sebagai dasar alasan perceraian. Padahal, dari fakta dalam putusan, yang terjadi adalah si suami yang melakukan kekerasan, bukan pertengkaran suami-istri. Memang sangat dimungkinkan kekerasan itu terjadi setelah ada pertengkaran atau perselisihan. Lagipula, baik PP 9 Tahun 1975 dan KHI mengkhususkan alasan perceraian berupa kekerasan, yakni Pada Pasal 19 Huruf d untuk PP 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Huruf d untuk KHI, “Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.”

Page 295: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

270

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

Dalam putusannya, hakim tidak menyinggung sama sekali alasan perceraian itu. Seharusnya, jika hakim memiliki perspektif gender, tindakan suami mendorong dan menyepak si istri tidak bisa hanya dipandang sebagai pertengkaran, melainkan sebuah kekerasan. Konsekuensi dan situasi keduanya berbeda. Pertengkaran mengesankan keseimbangan, meskipun pada prakteknya suami lebih dominan. Sementara itu, kekerasan mengesankan dominasi kekuatan maskulin terhadap istri. Namun demikian, dalam kasus 3, hakim sudah menangkap bagaimana pengalaman perempuan dan memutuskan lebih baik berpisah ketimbang bersatu tapi menimbulkan mudarat.

Ada bentuk kekerasan lain, yang oleh hakim dianggap sebagai bentuk kekerasan yang dapat menjadi alasan untuk bercerai. Kita lihat dalam contoh berikut:

KASUS 4-------------------------------------------------

Kurnia vs ErwinPerkara Cerai Gugat: No. 309/Pdt.G/2013/PA.Skg

(Pengadilan Tingkat Pertama)

lPenggugat: Kurnia binti TogarlTergugat: Erwin bin Batara

SEJARAH PROSEDURAL Putusan tanggal 17 April 2013 (in kracht) di PA Sekang

PERNYATAAN FAKTAl Penggugat dan Tergugat adalah suami-istri yang sah, menikah pada

22 Oktober tahun 2008.l Setelah menikah, Penggugat dan Tergugat hidup rukun dan tinggal di

tempat tinggal orang tua masing-masing secara bergantian.lDari perkawinan tersebut, Penggugat dan Tergugat dikaruniai seorang

anak berusia 3 tahun.l Penggugat dan Tergugat sudah pisah tempat tinggal karena Tergugat

sering marah-marah, kadang memukul.l Selain itu, Penggugat dan Tergugat pisah tempat tinggal karena Tergugat

Page 296: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

271

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

suka minum-minuman keras dan keluar malam sampai larut.lTergugat juga mempunya kelainan seksual (hyper sex), tergugat baru

mendapat kepuasan dalam melakukan hubungan seksual apabila memukul Penggugat.

l Puncak perselisihan terjadi pada September tahun 2012 disebabkan Penggugat tidak dapat lagi melayani kebutuhan biologis Tergugat karena ingin dilayani setiap hari baik itu pagi, siang, dan malam hari. Apabila tidak dilayani, Tergugat marah-marah dan memukul.

ISU HUKUM Apakah gugatan cerai Penggugat dapat diterima?

PERATURAN l Pasal 39 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974l Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975l Pasal 116 Huruf f Kompilasi Hukum Islam

ANALISIS lHakim menyatakan “kegagalan Penggugat dan Tergugat mewujudkan

rumah tangga yang harmonis karena indikator tidak ada keseimbangan dalam membina rumah tangga termasuk karena Tergugat mengidap penyakit hyper sex, sementara penggugat tidak bisa mengimbanginya.”

lHakim menyatakan “akibat dari tidak adanya keseimbangan dalam hubungan suami-istri berekses pada seringnya Tergugat memukul/menendang Penggugat, sementara perempuan dan atau seorang istri in casu Penggugat selalu ingin dilindungi dan butuh perlindungan agar timbul rasa nyaman dan aman, dan hal itu menjadi tanggung jawab seorang suami sebagai kepala rumah tangga, namun hal itu dilalaikan oleh Tergugat...”

lHakim menyatakan “pecahnya rumah tangga Penggugat dan Tergugat adalah salah satu bentuk perselisihan rumah tangga yang tidak dapat didamaikan kembali.”

KESIMPULAN Hakim menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat terhadap Penggugat.

-------------------------------------------------

Page 297: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

272

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

Hakim dalam kasus 4 membuat terobosan, yaitu dengan menyatakan hiper-seksualitas sebagai sebuah bentuk kekerasan terhadap istri. Dalam kasus 4, yang mengajukan cerai adalah Istri. Pengalaman perempuan yang partikular ditampilkan oleh istri dalam kasus itu. Istri merasa tidak nyaman lagi dengan perilaku suami yang hiperseksual. Namun demikian, secara implisit terlihat bias dalam pernyataan hakim. Hakim, dalam pertimbangannya, secara tidak langsung ingin mengatakan, akibat ketidakmampuan istri melayani nafsu seks suami, maka itu menjadi penyebab ketidakseimbangan dalam hubungan keluarga mereka

“...karena indikator tidak ada keseimbangan dalam membina rumah tangga termasuk karena Tergugat mengidap penyakit hiper sex, sementara penggugat tidak bisa mengimbanginya.”

Jadi, bukan penderitaan/pengalaman partikular istri yang sebenarnya ditangkap oleh hakim, melainkan justru hegemoni hiperseksual si suami. Bahkan secara eksplisit hakim menyatakan faktor ketidaksanggupan istri yang menimbulkan istri disiksa. Seakan-akan menurut hakim, jika istri bisa mengimbangi hasrat seksual si suami, keseimbangan dalam berumah tangga akan terwujud. Pernyataan hakim itu nyata-nyata bias gender. Alih-alih menyatakan kekerasan oleh suami adalah penyebab perceraian, malah cenderung menyudutkan ketidakmampuan istri.

6.3.3 Perkawinan dengan Lebih dari Satu Istri dan PerceraianBentuk-bentuk perkawinan dengan penipuan tidak selalu identik

dengan poligami karena poligami dalam konstruksi hukum Indonesia mengandung konotasi legal.12 Seperti yang termaktub dalam pasal-pasal berikut ini:Pasal 3 UU Perkawinan

1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk

12 Lihat Pasal 3 Ayat 2, Pasal 4, dan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Page 298: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

273

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

Pasal 3 UU Perkawinan itu memberikan legalisasi bagi per-kawinan poligami. Dalam hal ini pasal-pasal dalam UU perkawinan yang menyangkut poligami tampak berstandar ganda. Persyaratan untuk menikah lagi hanya diberikan kepada suami, yaitu ketika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat melahirkan keturunan. Namun sama sekali tidak disebutkan bagaimana bila suami berada dalam kondisi serupa. Apa konsekuensinya? Persyaratan untuk melakukan poligami pun tampak sulit dipenuhi, tetapi sesungguhnya akan sangat mudah dimanipulasi. Persyaratan untuk mendapatkan persetujuan dari istri, sangat dapat dimanipulasi. Mengenai persyaratan untuk berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya, timbul pertanyaan bagaimanakah konsep adil dapat diwujudkan?

Di samping itu, masih ada bentuk-bentuk praktek perkawinan ‘dengan lebih dari satu istri’ lainnya yang dianggap tidak sah secara hukum, misalnya kawin siri, kawin liar, mut’ah, kawin kontrak dan sebagainya. Bagian ini memuat kasus-kasus perceraian yang disebabkan poligami berbasis penipuan dan poligami tanpa izin.

Perkawinan dengan penipuan dalam tiga contoh kasus berikut ini ternyata menjadi penyebab utama dari ketidakrukunan yang akhirnya berujung pada perceraian. Bukan pertengkaran atau perselisihan saja yang menjadi sebab perceraian, melainkan juga hasrat suami untuk kawin dengan cara-cara yang ilegal, yang yang menjadikan perempuan sebagai korban, sebagaimana digambarkan dalam kasus 5 di bawah ini.

KASUS 5-------------------------------------------------

Latif vs RojakPerkara Cerai Talak: No. 206/Pdt.G/2012/PA.Wsp

(Pengadilan Tingkat Pertama)

lPemohon: Latif bin UmarlTermohon: Siti binti Rojak

Page 299: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

274

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

SEJARAH PROSEDURAL Putusan tanggal 15 Mei 2012 (in kracht) di PA Watansoppeng

PERNYATAAN FAKTAl Pemohon adalah suami sah Termohon, menikah pada Rabu, 28

November tahun 2012.l Perkawinan Pemohon dengan Termohon adalah perkawinan poligami

tanpa melalui proses izin dari Pengadilan Agama, karena Pemohon mengaku jejaka.

l Pemohon lebih sering bersama istri pertamanya.l Selama 10 tahun perkawinan, Pemohon dan Termohon memeroleh 4

orang anak.l Pada mulanya rumah tangga Pemohon dan Termohon berjalan

baik, harmonis, dan rukun, tetapi kemudian terjadi perselisihan dan pertengkaran karena ternyata Termohon sebagai istri kedua merasa tidak tahan lagi dimadu, sehingga terus-menerus meminta cerai kepada Pemohon.

l Pemohon telah berupaya keras untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan Termohon, tetapi tidak berhasil dan Termohon tetap pada sikapnya meminta perceraian.

lKarena sikap Termohon yang demikian, Pemohon menjadi putus harapan untuk dapat memperbaiki kembali keutuhan rumah tangganya dengan Termohon.

lHakim menasihati Pemohon agar Pemohon mau bersabar sampai Termohon sadar, akan tetapi tidak berhasil dan Pemohon tetap berteguh untuk mohon izin talak;

ISU HUKUM Apakah hakim mengizinkan Pemohon mengikrarkan talak terhadap Termohon?

PERATURAN l Pasal 39 Ayat 2 UU No. 1 tahun 1974l Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975l Pasal 116 Huruf f Kompilasi Hukum Islam

Page 300: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

275

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

ANALISIS lHakim menyatakan rumah tangga antara Pemohon dan Termohon

telah pecah, dan hakim berkeyakinan rumah tangga Pemohon dengan Termohon telah tidak ada harapan akan dapat rukun kembali dalam rumah tangga, sehingga tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan.

lHakim berkeyakinan mempertahankan ikatan perkawinan dalam rumah tangga yang sedemikian rupa akan menimbulkan penderitaan lahir dan batin serta menimbulkan kemudaratan bagi kedua belah pihak.

KESIMPULAN Hakim mengizinkan Pemohon untuk mengikrarkan talak satu raj’i terhadap Termohon.

-------------------------------------------------

Dalam kasus 5, istri sudah tidak tahan dipoligami. Parahnya lagi, ternyata saat suami kawin dengan si istri, si suami mengaku jejaka. Dengan kata lain, si suami menipu istri. Uniknya, tidak kuatnya istri menjadi istri kedua malah menghasilkan talak dari suami. Penderitaan batin yang dirasakan perempuan dalam kasus ini juga tidak bisa ditangkap oleh hakim. Dengan mudah hakim menyatakan kepada si suami untuk lebih sabar menghadapi istri yang tidak sadar.

Berarti hakim dalam kasus 5 menganggap tekanan batin yang dialami istri dianggap sebagai sebuah ketidaksadaran. Artinya pula, hakim secara tidak langsung menyatakan jika si istri sadar, maka ia akan rela dipoligami, meskipun poligami itu juga tidak sah. Pernyataan hakim itu jelas mengandung bias gender yang sangat pekat. Hakim memosisikan dirinya di pihak laki-laki, tanpa menimbang pengalaman/penderitaan partikular si perempuan.

Kasus 6 di bawah ini juga berkaitan dengan perkawinan poligami:

Page 301: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

276

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

KASUS 6-------------------------------------------------

Fab vs DebPerkara Cerai Gugat: No. 116/Pdt.G/2013/PA.K

(Pengadilan Tingkat Pertama)

lPenggugat: Fab bin YudlTergugat: Deb binti Nisran

SEJARAH PROSEDURAL Putusan tanggal 10 April 2013 (in kracht) di PA Kendari

PERNYATAAN FAKTA l Penggugat dan Tergugat adalah suami-istri sah, telah melangsungkan

pernikahan pada 28 Juli tahun 2008.lKehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai goyah dan

terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus yang sulit diatasi sejak 24 Juli tahun 2011.

l Perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat semakin tajam dan memuncak pada 7 Juli tahun 2012.

lPerselisihan dan pertengkaran terjadi akibat Tergugat meninggal-kan Penggugat karena menikah dengan perempuan lain sejak 24 Juli.

lTergugat tidak pernah memberi nafkah lahir batin sejak Juli 2011.lTergugat sudah menjatuhkan kata cerai pada Penggugat secara

langsung pada Juli 2011.lTergugat pernah melakukan KDRT terhadap Penggugat sebanyak 2

kali.

ISU HUKUM Apakah gugatan cerai Penggugat dapat diterima?

PERATURAN l Pasal 39 Ayat 2 UU No. 1 tahun 1974l Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975l Pasal 116 Huruf f Kompilasi Hukum Islam

Page 302: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

277

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

ANALISIS lHakim menyatakan kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat

telah pecah dan sudah sulit untuk dirukunkan kembali.lHakim menyatakan kedua belah pihak lebih baik bercerai secara

hukum, karena Penggugat sudah tidak sanggup lagi mempertahankan perkawinannya bersama dengan Tergugat.

lHakim menyatakan antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada lagi ikatan lahir batin sehingga maksud dan tujuan perkawinan sudah tidak terpenuhi lagi.

KESIMPULAN Hakim menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat terhadap Penggugat.

-------------------------------------------------

Kasus 6 adalah simbol hegemoni laki-laki dalam perkawinan yang lengkap. Si suami meninggalkan istri untuk kawin dengan perempuan lain. Tentunya poligami itu tidak sah karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kemungkinan perkawinan si suami dengan perempuan lain itu dilakukan dengan kawin siri atau kawin dengan penipuan seperti pada kasus 5. Di samping berpoligami si suami juga melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Perkawinan dalam kasus ini tampak sebagai penindasan.

KASUS 7-------------------------------------------------

Tera vs Togi(Perkara Cerai Gugat: No. xxxx/Pdt.G/2007/PA.JS)

lPengadilan Tingkat PertamalPenggugat: Tera binti JamesonlTergugat: Togi bin Boi

SEJARAH PROSEDURAL Putusan tanggal 23 September 2008 (in kracht) di PA Jakarta Selatan.

Page 303: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

278

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

PERNYATAAN FAKTAl Penggugat dan Tergugat adalah suami-istri sah yang menikah pada

November tahun 1996.lDari perkawinan tersebut, Penggugat dan Tergugat dikaruniai tiga

orang anak.l Sejak November tahun 2006, Penggugat dan Tergugat pisah ranjang,

masih satu rumah, tetapi sudah tidak bertegur sapa.l Penyebab terjadinya perselisihan terebut adalah karena Penggugat

dibatasi berkarier oleh Tergugat.l Penyebab lain dari perselisihan tersebut adalah karena Tergugat telah

menikah siri dengan W.lTergugat menyatakan bahwa Penggugat sering pulang malam dan

minum-minuman keras.lAnak-anak Penggugat dan Tergugat dinyatakan oleh para saksi lebih

dekat dengan Tergugat ketimbang dengan Penggugat.lMenurut Tergugat, yang menjadi penyebab keretakan rumah tangga

adalah karena pembangkangan Penggugat kepada Tergugat selaku pemimpin keluarga.

lTenggugat menyatakan bahwa Penggugat tidak pantas memeroleh hak pengasuhan anak karena Penggugat bukan Ibu yang memperhatikan anak, sering keluar malam, dan mengonsumsi minuman keras.

ISU HUKUM Apakah gugatan cerai Penggugat dapat diterima?

PERATURAN l Pasal 39 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974l Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975l Pasal 116 Huruf f Kompilasi Hukum Islam

ANALISIS lHakim menyatakan terkait dengan pernikahan siri Tergugat, bukan

tentang benar atau tidaknya telah terjadi nikah siri, tetapi telah nyata terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat karena hal itu.

lHakim menyatakan sudah tidak ada kerukunan dan sangat sulit didamaikan antara Penggugat dan Tergugat karena semua bukti

Page 304: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

279

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

menunjukkan bahwa Tergugat sudah sangat membenci Penggugat;lHakim menyatakan hak pengasuhan anak seharusnya pada Ibu,

karena sudah memenuhi syarat, dan apa yang dilakukan oleh Penggugat belum dapat dikategorikan ke dalam keadaan yang dapat menyebabkan hilangnya hak pengasuhan (hadhanah) Penggugat terhadap anaknya.

KESIMPULAN lHakim menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat terhadap

Penggugat.lHakim menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak pemeliharaan

dan pengasuhan ketiga anak Penggugat dan Tergugat kepada Penggugat;

lHakim membebankan kepada Tergugat untuk membayar anak sebesar Rp 7.500.000 masing-masing anak setiap bulannya;

lHakim menetapkan bahwa harta bersama dibagi dua.

-------------------------------------------------

Kasus 7 di atas adalah salah satu kasus populer dan menyita perhatian publik. Baik secara eksplisit maupun implisit, publik menyaksikan hegemoni patriarkis yang nyata. Dalam kasus ini hakim menganggap, karena si suami kawin siri, maka muncullah ketidakrukunan dengan si istri. Hal yang menarik adalah hakim tidak menimbang perilaku bercorak kekerasan psikis oleh suami, yaitu melakukan kawin siri tanpa izin istri. Hakim sekadar menimbang permukaan masalah, yakni secara sekilas terjadi ketidakrukunan. Padahal, jika hakim memiliki pengetahuan tentang keadilan berperspektif gender, maka yang dipersoalan dalam pertimbangan hukumnya adalah soal kawin siri tanpa izin istri.

Namun demikian, terobosan penting telah dilakukan oleh hakim dalam kasus 7 tersebut. Dalam proses persidangan, tampak si suami hendak meneguhkan ‘penyimpangan si istri.’ Istri, dalam budaya patriarki tidak dipandang pantas untuk keluar malam dan harus patuh pada suami. Si suami mencoba meyakinkan hakim, bahwa si istri telah melampau ‘kodratnya’ sebagai ibu sebagaimana dikonstruksikan oleh UU Perkawinan dan KHI, oleh karenanya tidak boleh memegang hak

Page 305: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

280

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

pemeliharaan ketiga anaknya. Namun hakim berpendapat lain, segala perilaku si istri tidak mengurangi haknya untuk mengasuh anak. Akhirnya, hak asuh anak diserahkan kepada istri.

6.3.4 Persoalan Kebendaan dalam PerceraianDalam perceraian, terdapat tiga hal yang mempunyai nilai

ekonomi yang dapat dimintakan oleh perempuan sebagai haknya, khususnya dalam perkawinan Islam. Tiga hal tersebut meliputi hak pembagian atas harta bersama, nafkah iddah dan nafkah mut’ah. Nafkah iddah adalah nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada mantan istrinya selama menjalani masa iddah. Kewajiban itu termaktub dalam Pasal 152 KHI. Nafkah mut’ah, berdasarkan Pasal 149 KHI, juga menjadi kewajiban suami ketika terjadi perceraian dengan mekanisme talak. Sebelum membicarakan hak pembagian atas harta bersama, ada baiknya mengetahui apa itu harta bersama.

Pasal 35 UU PerkawinanHarta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama

perkawinan. Pasal 1 Huruf f Kompilasi Hukum Islam Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta

yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.

Dalam perkawinan, selain harta bersama dikenal juga harta bawaan. Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau istri sebelum perkawinan dilangsungkan atau harta yang diperoleh suami atau istri yang berasal dari hibah, warisan dan hadiah baik sebelum perkawinan maupun dalam perkawinan. Harta bawaan merupakan harta yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing. Pada prinsipnya tidak ada pencampuran harta bawaan menjadi harta bersama, namun apabila para pihak berkehendak lain maka harta bawaan dapat bercampur menjadi harta bersama. Dampak perceraian terhadap harta bersama, berdasarkan Pasal 97 KHI, adalah masing-masing suami dan istri berhak atas setengah bagian dari harta bersama.

Setelah perceraian diputus, bagi perempuan (istri) akan berlaku

Page 306: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

281

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

masa tunggu atau iddah. Masa iddah adalah masa menunggu bagi perempuan dengan tujuan untuk mengetahui kosongnya rahim, atau dalam rangka berkabung atas meninggalnya suami. Selain itu, masa iddah membantu dalam menjaga nasab atau mencegah terjadinya pencampuran benih. Dengan demikian, apabila perempuan yang dicerai hamil, maka anak dalam kandungannya memiliki hubungan darah terhadap ayahnya/suami terdahulu. Dalam masa iddah, suami memiliki tanggung jawab memberikan nafkah kepada mantan istri sampai masa iddah selesai.13 Selain nafkah iddah, suami yang menjatuhkan talak berkewajiban memberikan nafkah mut’ah kepada mantan istri.14 Pemberian nafkah mut’ah dilakukan sampai mantan istri menikah kembali.

Dalam KHI, pemberian nafkah iddah dan nafkah mut’ah menjadi wajib bila putusnya perkawinan didasarkan talak oleh suami. Sebaliknya, apabila putusnya perkawinan karena cerai gugat atau diajukan oleh istri maka pemberian nafkah iddah dan nafkah mut’ah menjadi tidak wajib atau sunnah. KHI secara implisit, jelas tidak menimbang pengalaman perempuan dan cenderung bias gender dalam mengatur kewajiban nafkah iddah dan nafkah mut’ah. Saat suami yang menjatuhkan talak, terdapat kewajiban suami dalam memberikan nafkah tersebut. Namun pada saat istri yang mengajukan gugatan cerai terhadap suami, maka suami tidak wajib memberikan nafkah tersebut. Untuk itu, perlu dipertimbangkan kebutuhan mereformasi ketentuan-ketentuan tersebut.

Perlindungan terhadap perempuan dalam pemberian nafkah iddah dan mut’ah itu menjadi penting, mengingat pada umumnya istri merupakan ibu rumah tangga yang belum memiliki kemandirian ekonomi, sebagai akibat konstruksi patriarkis yang membuat perempuan tergantung pada laki-laki. Peran mantan suami dalam memberikan nafkah tersebut merupakan kewajiban yang seharusnya dilakukan sampai mantan istri kawin kembali atau dapat mandiri secara ekonomi. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformasi terhadap pengaturan tentang

13 Pasal 149 KHI: “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: (b) memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‘in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil”, Pasal 152 KHI, “Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya”

14 Pasal 149 KHI: “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberi mut‘ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla ad-dukhul”

Page 307: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

282

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

kewajiban suami dalam pemberian nafkah iddah dan nafkah mut’ah dalam hukum perkawinan di Indonesia.

6.3.5 Anak dalam PerceraianSecara umum, bagi warga negara beragama Islam, hak asuh anak

di atur oleh KHI yaitu:

Pasal 105 KHIDalam hal terjadinya perceraian:

1) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

2) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Sejalan dengan itu, yurisprudensi Mahkamah Agung No. 102 K/Sip/1973 Tanggal 24 April Tahun 1975, menyatakan anak-anak yang masih di bawah umur (di bawah umur 12 tahun) tetap diasuh oleh pihak ibu atau di bawah perwalian ibu. Dalam hal si anak sudah mumayyiz, berdasarkan Pasal 156 Huruf b KHI, maka si anak berhak mendapatkan pemeliharaan (hadhanah) baik oleh ayahnya maupun ibunya. Selanjutnya, jika ternyata ibu dari si anak yang belum mumayyiz itu sudah meninggal, maka berdasarkan Pasal 156 Huruf a KHI, ada beberapa pihak yang dapat menjadi pengganti ibunya, yaitu:

a. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;b. ayah;c. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;d. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;e. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

Dalam kasus-kasus yang ada, tidak terdapat penyimpangan berarti dari ketentuan –ketetuan di atas, artinya hak asuh anak diputus oleh hakim tetap pada ibunya ketika masih di bawah umur. Termasuk dalam kasus 8 di bawah ini:

Page 308: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

283

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

KASUS 8-------------------------------------------------

Sandor vs RoniPerkara Gugatan Hak Pemeliharaan Anak

No. 1366/Pdt.G/2009/PA.Sit (Pengadilan Tingkat Pertama)

lPenggugat: Sandor binti RonilTergugat: Koba bin Tama

SEJARAH PROSEDURAL Putusan tanggal 29 Oktober 2009 (in kracht) di PA Situbondo

PERNYATAAN FAKTAl Penggugat dan Tergugat adalah suami-istri sah yang menikah pada 22

September tahun 2004.lDari perkawinan tersebut, Penggugat dan Tergugat dikaruniai 1 orang

anak.l Pada 1 September tahun 2009, antara Penggugat dan Tergugat telah

terjadi perceraian berdasarkan Putusan PA Situbondo No. 1366/Pdt.G/2009/PA.Sit

l Putusan Pengadilan tersebut memutuskan bahwa hak pengasuhan anak (hadhanah) ada pada Penggugat;

l Setelah Penggugat dan Tergugat bercerai, anak mereka diambil paksa oleh Tergugat, sedangkan Penggugat tidak dibolehkan merawatnya bahkan untuk bertemu anak tersebut pun dipersulit.

l Penggugat menyatakan bahwa Tergugat tidak berhak menjadi wali.

ISU HUKUM Apakah gugatan hak pemeliharaan anak dapat diterima?

PERATURAN Pasal 105 Huruf f Kompilasi Hukum Islam

ANALISIS lHakim menyatakan berdasarkan pasal 105 Huruf a Kompilasi Hukum

Page 309: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

284

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

Islam, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

lHakim menyatakan permintaan Penggugat agar Tergugat tidak berhak menjadi wali bertentangan dengan hukum islam dan peraturan perundangan karena yang berhak menjadi wali nikah anak perempuan adalah ayah kandungnya.

KESIMPULAN Hakim menetapkan hak pemeliharaan anak berada pada Penggugat.

-------------------------------------------------

Kasus di atas menjelaskan dampak perceraian terhadap anak. Hakim dalam kasus itu sudah mengikuti ketentuan KHI dan yurisprudensi yang ada terkait hak asuh anak. Secara de facto, sebenarnya anak tersebut berada dalam penguasaan ayahnya, padahal putusan perceraian sebelumnya memutus bahwa pengasuhan anak diserahkan pada Ibu. Namun demikian, hakim tetap menimbang pengalaman perempuan dan memutuskan anak harus berada dalam pengasuhan ibu.

Dalam kasus di atas juga tampak bagaimana laki-laki mem-pertontonkan hegemoni patriarkalnya. Meski, jelas ada putusan pengadilan yang memutus hak asuh anak ada pada pihak Ibu, tetapi tetap saja si bapak menguasai anak mereka secara de facto. Hakim telah dengan bijak memutus untuk mengembalikan hak asuh anak kepada ibunya.

Hukum tidak pernah lahir sebagai sesuatu yang netral. Di dalamnya selalu ada relasi kuasa yang menyebabkan perempuan menjadi subordinat dalam hubungannya dengan laki-laki. Begitu pula halnya dengan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim dalam peristiwa perceraian. Teori Hukum Feminis, yang dioperasikan sebagai pisau analisis utama dalam tulisan ini, memberikan kemungkinan untuk melakukan kritik atas peraturan-peraturan dan putusan-putusan tersebut. Masih banyak ketentuan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (dan peraturan di bawahnya) dan Kompilasi Hukum Islam yang memosisikan perempuan dalam relasi yang timpang.

6.4 Kesimpulan

Page 310: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

285

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Walaupun demikian, ada juga peraturan yang memperhatikan pengalaman perempuan. Dari 8 kasus yang dibahas pada tulisan ini, untuk sebagian besar hakim tidak mempertimbangkan pengalaman perempuan, baik secara implisit maupun eksplisit. Kepekaan hakim dalam melihat ketimpangan relasi antara suami dan istri dalam perkawinan patut dipertanyakan.

Page 311: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

286

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN

Daftar Pustaka Bab 6 Buku/Laporan PenelitianIrianto, Sulistyowati. (2006) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang

Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Pusat Kajian Wanita dan Jender. (2004) Hak Asasi Perempuan: Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia.

Sarono, Agus dan Islamiyati. (2002) Wacana Gender terhadap Hukum Perkawinan di Indonesia: Analisa terhadap Hak dan Kewajiban Suami Istri, Poligami, dan Perceraian. Semarang: Unit Perguruan Tinggi Mata Kuliah Umum Universitas Diponegoro.

Smart, Carol. (1989) Feminism and the Power of Law. London & New York: Routledge.

Artikel

Hanggawan, Farid. (2012) “Meneropong yang Lain: Dekonstruksi dan Ketakmungkinan Hukum yang Berkeadilan Gender”. Jurnal Hukum Jentera.

Wahid, Marzuki. (2009) Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indoneia Pasca-Orde Baru: Studi Politik Hukum atas CLD-KH. Presentasi hasil penelitian pada tanggal 1 Desember 2009.

Wahyudi, Muhammad Isna. (----) “Kerancuan Putusan Perceraian di Lingkungan Peradilan Agama”. Artikel yang diunduh dari www.badilag.net, dan diakses pada Mei 2013.

Peraturan Perundang-UndanganIndonesia.Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974.

Indonesia. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Page 312: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

287

BAB 6 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PERCERAIAN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Perjanjian InternasionalKonvensi CEDAW sebagaimana diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984.

Sumber InternetStanford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu.

Page 313: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

288

Page 314: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM

HUKUM WARIS ISLAM DAN

PRAKTEKNYAIklilah Muzayyanah Dini Fajriyah

Page 315: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

290

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menjelaskan kedudukan perempuan dalam hukum waris Islam dan prakteknya dalam keseharian hidup masyarakat Indonesia. Dari perspektif feminis kritikal dipersoalkan bagaimana posisi perempuan dalam hukum waris Islam. Masalah-masalah dalam pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam khususnya, dibahas mendalam, termasuk dampaknya terhadap akses keadilan perempuan dan anak. Dalam hal ini dipersoalkan apakah pengalaman perempuan diperhitungkan dan dipertimbangkan baik dalam teks hukum maupun penerapannya, baik yang diselesaikan dalam masyarakat maupun pengadilan.

Teori hukum feminis senantiasa menanyakan tentang netralitas dan objektivitas hukum. Hukum lebih dilihat sebagai kepanjangan tangan kepentingan laki-laki yang dikukuhkan melalui bahasa dan praktek hukum. Menurut Irianto dan Lim, keberadaan hukum kerap kali lebih merefleksikan pengalaman, perspektif dan norma laki-laki yang diterapkan tidak hanya pada laki-laki tetapi juga pada perempuan.1 Konsekuensi dari hukum yang tidak mempertimbangkan pengalaman, kepentingan dan situasi perempuan ini, acap kali melahirkan

7.1 Pengantar

BAB 7

Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Waris Islam dan Prakteknya

1 Brenda Cossman dalam Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij, Penelitian Hukum Feminis: Suatu Tinjauan Sosiolegal dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi (Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 2009) hal. 254.

Page 316: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

291

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

praktek hukum yang tidak dapat memenuhi rasa keadilan bagi perempuan, bahkan menimbulkan diskriminasi.

Setidaknya ada dua fokus perhatian saat teori hukum feminis digunakan, yaitu kritik terhadap interaksi hukum dan gender serta kritik terhadap praktek hukum.2 Salah satu cara mengkritik interaksi hukum dan gender dapat dilihat melalui bahasa yang digunakan dalam hukum.

Dalam hukum waris, bahasa hukum yang digunakan seolah telah menempatkan perempuan dan laki-laki secara sama. Contoh bahasa yang digunakan yaitu, hukum waris mengakui perempuan sebagai ahli waris sebagaimana laki-laki. Penggunaan bahasa tersebut menimbulkan pemahaman, bahwa hukum telah memosisikan perempuan dan laki-laki secara setara. Padahal, ada perbedaan mendasar antara frasa ‘persamaan di muka hukum’ dengan frasa ‘persamaan hukum’. Persamaan di muka hukum lebih merujuk pada proses hukum dan perlakuan aparat hukum, terhadap pihak-pihak yang berhubungan dengan hukum, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan persamaan hukum mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan status seseorang dalam hukum.3

Sementara itu, kritik terhadap praktek hukum dapat dilihat melalui bagaimana hukum digunakan, diinterpretasikan dan diterapkan dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan gender dan perempuan.

Dalam situasi yang belum sepenuhnya berpihak pada keadilan gender, dapat dipastikan bahwa akses keadilan bagi perempuan masih sulit diperoleh. Jika mengacu pada konvensi internasional antidiskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1984, maka hukum yang berpotensi melahirkan ketidakadilan gender merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia. Konvensi CEDAW Pasal 1 mendefinisikan, “Setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apa pun lainnya oleh kaum wanita, terlepas status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan wanita.”

Dalam penerapannya tindakan diskriminasi dapat terlihat dari empat elemen, yaitu ideologi, tindakan, niat dan akibat.4 Ideologi memuat asumsi-asumsi

2 Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij, Op. Cit., hal. 2553 WLUML, Mengenali Hak Kita, Perempuan, Keluarga, Hukum, dan Adat di Dunia Islam, (terj. Suzanna Eddiono), (LKiS

Jogjakarta, SCN-CREST Jakarta, WEMC International, & WLUML London, 2007) hal. 29.4 WLUML, Op.Cit., hal. 28-31.

Page 317: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

292

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

berbasis gender, pembagian peran, kemampuan perempuan yang mempengaruhi akses perempuan dan peluang perempuan memperoleh keadilan. Tindakan memuat segala pembedaan perlakuan, pembatasan dan pengucilan, yang dapat mengurangi atau menghilangkan hak perempuan sebagaimana laki-laki. Niat dapat berupa tindakan langsung maupun tidak langsung. Sedangkan akibat dapat dilihat dalam bentuk pengurangan atau penghapusan atas pengakuan, penikmatan, penggunaan hak atau kebebasan seseorang di semua bidang kehidupan.

Pasal 1 CEDAW ini menegaskan pentingnya koreksi terhadap diskriminasi de jure, misalnya kedudukan legal dan formal perempuan dalam hukum maupun diskriminasi de facto, yang mencakup berbagai praktek informal yang berdampak pada pengaturan hak dan kebebasan perempuan5.

7.2.1 Konsep Dasar Kewarisan Islam: Kepastian Hukum dan Perlindungan Hak Perempuan

Dalam hukum Islam, perempuan diakui kedudukannya sebagai ahli waris sebagaimana laki-laki. Hal ini berbeda dari sistem kewarisan yang terjadi sebelum Islam. Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid mengatakan dalam sistem itu yang berhak atas harta waris dari kematian seseorang hanya laki-laki dewasa yang masih kuat berada di medan perang dan memiliki hubungan kekerabatan serta janji setia, juga laki-laki anak angkat.6 Sementara itu perempuan, anak-anak dan orang berusia lanjut tidak memperoleh hak waris. Bahkan, dalam buku Quraisy Shihab disebut, pada masa itu perempuan janda dapat menjadi bagian yang dianggap harta dan diwariskan kepada anak laki-laki atau saudara laki-laki pewaris.7

Kondisi ini mendorong adanya tuntutan atas rasa keadilan dalam hukum yang diajukan oleh seorang janda kepada Rasulullah. Alasannya, hukum adat yang ada pada masa itu tidak memberi hak waris pada

5 Ibid.6 Lihat Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan Hukum Positif di

Indonesia,(Sinar GrafikaJakarta,2009) hal. 32-40.7 Dalam M. Quraisy Shihab,Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Penerbit Lentera Hati Ciputat, vol. 2,

2000), hal. 362 disebutkan bahwa janda diwarisi dengan cara dikawini atau dijadikan gundik oleh ahli waris laki-laki. Jika tidak dikawini, janda dipersulit menikah dengan laki-laki lain sehingga si janda terpaksa menyerahkan harta yang dimilikinya kepada si ahli waris yang menguasai dirinya untuk menebus ‘kebebasan’nya; atau diharuskan membayar mahar kepada si ahli waris.

7.2 Konsep Dasar

Page 318: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

293

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

perempuan, khususnya pada anak perempuannya.8 Peristiwa itu menjadi salah satu sebab turunnya (asbab an nuzl), hukum waris Islam. Dalam konteks budaya saat itu, seorang perempuan akan mengalami kesulitan menikah bila tidak memiliki harta sama sekali, sedangkan akses atas harta bagi perempuan salah satu sumbernya adalah dari harta waris.

Respon atas pengaduan perempuan dalam hal waris terwujud dengan turunnya wahyu Ilahi melalui ayat-ayat al Quran yang menjadi dasar hukum waris dalam Islam, yaitu Qs. An Nisa Ayat 8, 11 dan 12. Di dalam ayat-ayat tersebut dinyatakan dengan jelas, perempuan, baik kedudukannya sebagai janda maupun anak perempuan berhak atas harta waris. Perolehan jumlah yang menjadi hak perempuan juga secara eksplisit disebutkan. Hal ini menunjukkan pengalaman diskriminasi yang dialami para perempuan di masa Rasulullah tidak diabaikan, malah menjadi dasar pembentukan hukum waris Islam.

Dalam studi sejarah yang dilakukan David S. Power, hukum waris Islam tidak statis. Hukum waris Islam terus mengalami perkembangan, penyesuaian dan perubahan, sejak masa Islam klasik hingga setelah Rasul wafat. Dinamika hukum waris ini merupakan dampak atas perubahan kehidupan sosial, politik dan keagamaan yang terjadi di masyarakat.9 Di antara reformasi yang terjadi adalah di-nasakh-nya (dihapusnya) beberapa hukum waris adat oleh hukum waris Islam. Contohnya, kewarisan anak angkat dan kewarisan dua manusia yang saling berjanji setia10 dan pengakuan kedudukan kerabat berjenis kelamin perempuan, sebagai ahli waris yang sebelumnya tidak diperhitungkan oleh adat.

Merujuk pada sejarah kehadiran ayat-ayat dasar dalam hukum waris Islam, terlihat bagaimana hukum ditetapkan dalam konteks ruang dan waktu yang jelas. Hadist Abu Dawud seperti dikutip Shihab di atas menjelaskan tentang bagaimana hukum waris Islam telah

8 M. Quraisy Shihab. Op.Cit. hal. 336. Lihat juga David S. Power, Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan: Kritik Historis Hukum Waris, (Terj. Arif Maftuhin), (LKiS Jogjakarta, 2001), hal. 14. dan Abu Dawud (1952), Sunan Abi Dawud, (Mustafa al Baby, Cairo, 1952) hal. 109. Salah satu asbabun nuzul ayat waris dijelaskan bahwa Aus ibn Tsabit, seorang sahabat Rasul gugur dalam perang Uhud meninggalkan seorang istri, Ummu Kuhhah, dan dua orang anak perempuan buah perkawinannya dengan Ummu Kuhhah. Harta waris Aus diambil keseluruhan oleh saudara Aus, tanpa menyisakan sama sekali untuk janda dan dua anak perempuannya. Ummu Kuhhah pun datang menghadap Rasul dan mengadukan tindakan paman putrinya tersebut. Atas pengaduan tersebut, Rasul meminta Ummu Kuhhah pergi menanti wahyu Allah yang turun selang tidak lama. Ayat-ayat tersebut menjadi dasar utama ilm al faraidh dalam hukum waris Islam.

9 David S. Power. Op.Cit. hal. 12-22.10 Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Op.Cit. hal. 35-39.

Page 319: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

294

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

memperhitungkan dan mempertimbangkan suara perempuan, berpihak pada hak perempuan yang tidak diakui dalam sistem kewarisan adat, juga melindungi hak dasar perempuan yang secara budaya masih didiskriminasi.

Asbabun nuzul ayat waris telah memperlihatkan tentang bagaimana hukum waris Islam memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi perempuan. Kepastian hukum terlihat pada pengakuan atas kedudukan perempuan sebagai ahli waris, baik dari jalur hubungan darah seperti anak perempuan, ibu dan saudara perempuan, maupun dari hubungan perkawinan, yaitu istri/janda. Sedangkan perlindungan hak perempuan terlihat pada kejelasan penggunaan bahasa yang digunakan Al Quran dalam menyebutkan bagian-bagian waris perempuan. Ketentuan waris diberlakukan tanpa membedakan usia perempuan masih anak-anak, dewasa atau sudah berusia lanjut.

7.2.2 Asas-asas dalam Kewarisan IslamAmir Syarifuddin menyatakan dalam hukum waris Islam,

peralihan harta dari orang yang meninggal kepada orang yang masih hidup mengacu pada lima asas. Kelimanya menjadi karakteristik spesifik dari hukum waris Islam, yaitu asas ijbari, bilateral, individual, semata karena kematian dan keadilan berimbang.11

Asas ijbari dalam hukum waris Islam adalah adanya ketetapan yang mengatur secara paksa (ijbar) tentang siapa saja yang menjadi ahli waris dan berapa bagian dari masing-masing ahli waris. Keinginan pewaris terhadap penggunaan dan distribusi hartanya setelah kematiannya dibatasi pada aturan-aturan yang ada dalam hukum waris Islam, terlepas pewaris berkenan atau tidak.12 Aturan itu antara lain, dalam hal testament atau wasiat yang dibuat oleh pewaris untuk penggunaan hartanya setelah kematiannya, jika jumlahnya melampaui batas maksimal yang ditetapkan hukum waris Islam, maka dalam pelaksanaannya akan dibatasi jumlahnya tidak melebihi 1/3 dari harta waris yang dimiliki pewaris.

Asas kedua adalah asas bilateral, yaitu peralihan harta waris yang merujuk pada jalur kekerabatan dari pihak laki-laki dan perempuan.

11 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Predana Media Group Jakarta, 2004), hal. 16.12 Ibid. hal. 17-19.

Page 320: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

295

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Kedua jalur kekerabatan ini sama-sama memiliki hak sebagai ahli waris, dengan kedudukan yang berbeda, tergantung kedekatan ahli waris dengan pewaris.13

Asas individual, yaitu asas kepemilikan harta waris pada para ahli waris. Sifatnya individual atau perorangan, bukan kepemilikan kolektif atau kepemilikan manfaat.14 Dengan asas individual ini, para ahli waris memiliki hak penuh dalam menggunakan, memanfaatkan atau mengalihkan kepemilikan harta waris yang diterimanya, misalnya digunakan untuk dirinya sendiri, dijual, disewakan atau dihibahkan.

Asas semata akibat kematian berarti, kewarisan yang berlaku hanya ketika terjadi kematian.15 Peralihan harta yang dilakukan di luar sebab kematian seseorang tidak disebut sebagai harta waris, tetapi bisa berupa hibah atau hadiah yang dilakukan seseorang untuk orang lain.

Asas kelima adalah asas keadilan berimbang, yaitu perolehan bagian waris diatur berimbang dengan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya. Dengan demikian, keadilan berarti tidak harus memperoleh bagian yang sama besar. Ada kalanya laki-laki dan perempuan menerima bagian yang sama besar dan adakalanya menerima bagian yang berbeda dalam kedudukannya yang sama.16

Dalam asas keadilan berimbang, perolehan anak pewaris lebih besar dibandingkan perolehan orang tua pewaris. Alasannya, tanggung jawab pewaris terhadap anak lebih besar ketimbang tanggung jawab pewaris kepada orang tuanya. Demikian juga perolehan duda lebih besar daripada perolehan bagian waris janda karena seorang duda adalah suami yang dianggap memiliki kewajiban mencari nafkah, sedangkan janda/istri tidak berkewajiban mencari nafkah.17 Hal inilah yang dimaksudkan, dengan asas keadilan berimbang. Asas keadilan berimbang, mengasumsikan semua keluarga berada dalam situasi ideal, di mana laki-laki (suami, ayah) bekerja mencari nafkah dan memenuhi kewajibannya sebagai pencari nafkah di dalam keluarga dan perempuan (istri, ibu) adalah pihak yang menerima nafkah dari suaminya.

13 Ibid. hal. 19-21.14 ibid. hal. 21-24.15 ibid. hal. 28.16 ibid. hal. 24-28.17 Ibid.

Page 321: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

296

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

7.2.3 Segregasi Pembagian Peran Gender dan Implikasinya dalam Logika Hukum Waris

Peran gender yang berlaku di masyarakat sebagai bagian dari konstruksi gender telah membagi ruang-ruang di ranah domestik dan publik sebagai ranah yang berjenis kelamin. Laki-laki ditempatkan di ruang publik dan menentukan tugas laki-laki untuk melakukan kerja produksi. Sedangkan perempuan ditempatkan di ranah domestik dengan kerja-kerja reproduksi. Pembagian peran gender yang diterapkan secara paksa atau tanpa persetujuan ini, dapat menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi pada salah satu jenis kelamin.

Bagi masyarakat Muslim kebanyakan, pembagian peran gender bukan tanpa dasar. Pembagian peran gender lahir dari proses interpretasi atas al Quran Surah An Nisa Ayat 34.18 Pemaknaan atas ayat tersebut diyakini menjadi bagian dari hukum keluarga yang harus ditaati umat Islam. Selain secara agama dipahami demikian, secara legal formal pembagian peran gender juga telah dikokohkan secara hukum melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 31 dan 34.19 Dalam kedua pasal tersebut dinyatakan, kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga dan wajib memberikan segala kebutuhan rumah tangga, sedangkan istri berkedudukan secara hukum sebagai ibu rumah tangga dan berkewajiban mengatur urusan domestik.

Pembagian peran gender dalam prakteknya berdampak tidak hanya pada pembatasan ruang dan akses perempuan untuk memiliki pilihan-pilihan aktivitas dan pekerjaan yang ingin dilakukan. Praktek ini juga berpengaruh terhadap kapasitas, kemampuan, penikmatan dan penghargaan terhadap perempuan. Jika mengacu pada Pasal 16 dari Konvensi CEDAW, maka negara wajib melakukan tindakan konkret untuk menghapuskan segala diskriminasi pada semua hal yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan keluarga atas dasar kesetaraan substantif antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan substantif yang dimaksud oleh CEDAW bertujuan untuk memastikan

18 Qs. An Nisa’: 34 adalah “Laki-laki (suami) adalah pelindung bagi perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari hartanya.” Terjemahan dikutip dari Al Quran dan Terjemahnya, (Kementerian Agama RI, Jakarta, 2011), hal. 108.

19 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 31 Ayat 3 berbunyi “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga” sedangkan pasal 34 Ayat 1 berbunyi “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” dan (2) “Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”.

Page 322: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

297

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

diperolehnya persamaan kesempatan dalam hukum, kebijakan, dan program, diperolehnya kesetaraan dalam akses dan kesetaraan dalam menikmati manfaat.

Dalam hukum waris yang masih berlaku umum, penetapan bagian perempuan dan laki-laki pada situasi-situasi tertentu telah ditetapkan dua berbanding satu, yaitu laki-laki memperoleh dua kali bagian dari perempuan.20 Ketetapan hukum yang dinyatakan jelas dalam KHI ini merupakan pemaknaan dari tafsir Ayat 176 Surah An Nisa.’ Pembedaan ini dinilai mengandung keadilan bagi laki-laki dan perempuan karena sejalan dengan beban dan tanggung jawab laki-laki dalam hukum keluarga Islam sebagai pencari nafkah. Dalam hal ini, tanggung jawab sebagai pencari nafkah dinilai lebih berat dan lebih besar ketimbang tanggung jawab reproduksi yang dibebankan kepada perempuan. Dengan pemahaman ini, perolehan waris yang lebih besar untuk laki-laki dinilai sebagai bentuk keadilan bagi laki-laki.

Logika hukum ini menempatkan kehidupan perempuan dalam situasi yang seragam dan tunggal. Semua perempuan dianggap menjalani kehidupan yang sama, yaitu perempuan menikah, dinafkahi oleh suami yang mampu memenuhi kebutuhannya, lalu perempuan tinggal melakukan kerja-kerja reproduksi di ruang domestik. Anggapan tersebut menafikan pengalaman beragam dalam kehidupan perempuan. Antara lain, terdapat banyak perempuan tidak menikah, perempuan sebagai kepala rumah tangga, perempuan tidak bersuami, perempuan dengan suami yang tidak mampu menafkahinya dan perempuan yang berkontribusi terhadap ekonomi keluarga.

Bila keadilan berimbang sebagai asas hukum waris yang mempertimbangkan keadilan terhadap beban tanggung jawab dan hak, maka keragaman kehidupan perempuan dan laki-laki menjadi bagian yang tidak terpisahkan, dalam pertimbangan hukum waris. Sebagaimana keadilan substantif, ketentuan CEDAW akan selalu mempertimbangkan pada keragaman, perbedaan, ketidakberuntungan dan pengalaman perempuan untuk mewujudkan dampak aktual dari hukum, termasuk hukum waris.

20 Lihat Pasal 176 dan 182 KHI.

Page 323: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

298

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Hukum kewarisan yang digunakan masyarakat Indonesia hingga saat ini merujuk pada tiga dasar hukum, yaitu hukum adat, hukum agama dan hukum negara berupa Kompilasi Hukum Islam (Inpres No 1/1991) dan Yurisprudensi.21 Hukum adat waris ialah hukum sebagaimana yang berlaku pada berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, yang terkait erat dengan sistem kekerabatannya yang berlaku. Sejauh ini kekerabatan digolongkan menjadi 3, yaitu masyarakat patrilineal, matrilineal dan bilateral. Namun realitas hukum waris Indonesia adalah pluralisme. Artinya, pluralisme hukum bukan hanya sekadar adanya ko-eksistensi antara berbagai sistem hukum dalam masalah waris, akan tetapi juga bagaimana di antara sistem hukum tersebut terjadi saling adaptasi dan mempengaruhi. Dalam konteks tersebut lahir hukum-hukum ‘baru’ sebagai hasil hibrida dari dua atau lebih sistem hukum.

Dalam konteks masyarakat Muslim, pluralisme hukum waris bisa dijumpai ketika suatu kelompok masyarakat mengacu pada hukum adat, saat berhadapan dengan persoalan waris. Contohnya, pada sebagian masyarakat Muslim di Minangkabau dan Lampung.22 Masyarakat Minangkabau lebih merujuk kepada pengadilan negara ketika mereka memiliki sengketa waris untuk diselesaikan. Mereka menganggap pengadilan negeri adalah penjaga adat mereka. Dalam penelitian Franz von Benda-Beckmann & Keebet Benda-Beckmann ditunjukkan, hal itu disebabkan putusan pengadilan negeri pada umumnya mengacu pada hukum waris adat Minangkabau. 23

Sementara itu, dalam ranah hukum negara, terdapat hukum positif yang digunakan oleh hakim pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum Islam yang kerap digunakan dalam menyelesaikan perkara waris di Pengadilan Agama. Namun demikian, hakim Pengadilan Agama juga masih dimungkinkan menggunakan sumber hukum Islam lainnya.

7.3 Praktek Hukum Waris di Masyarakat Muslim Indonesia

21 Iman Sudiyat, Peta Hukum Waris di Indonesia, dalam Simposium Hukum Waris Nasional, (Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Jakarta, 1989), hal. 17. Baca juga ringkasan penelitian disertasi Mukhtar Zamzami, Kajian Hukum terhadap Kedudukan dan Hak Perempuan sebagai Ahli Waris dalam Sistem Hukum Kewarisan Indonesia dikaitkan dengan Asas Keadilan dalam Rangka Menuju Pembangunan Hukum Kewarisan Nasional, (Universitas Padjajaran Bandung, 2012), hal. 1-2.

22 Ibid. hal. 27. Lihat juga Franz von Benda-Beckmann & Keebet Benda-Beckmann, Struggles Over Communal Property Rights and Law in Minangkabau, West Sumatra (Max Planck Institute for Social Anthropology, 2004) dan Franz von Benda-Beckmann & Keebet Benda-Beckmann, Changing One is Changing All: Dynamics in the Adat-Islam-State Triangle, http://www.jlp.bham.ac.uk/volumes/53-54/benda-beckmann-art.htm, diakses 26/09/2013

23 F& K von Benda-Beckmann, loc. Cit.

Page 324: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

299

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Sedangkan di luar hukum negara, terdapat hukum waris Islam yang merujuk pada hukum fikih Islam yang disebut dengan faraidh dengan berbagai penafsiran dalam prakteknya. Penjelasan ini menunjukkan adanya pluralisme hukum dalam hukum kewarisan yang digunakan oleh masyarakat Muslim Indonesia.

Bagaimana praktek waris dilaksanakan di kalangan masyarakat Muslim? Dalam menerapkan hukum waris, waktu peralihan harta waris dilakukan secara berbeda-beda. Ada yang membagi beberapa hari setelah kematian pewaris, setelah 7 hari, 40 hari, 100 hari atau kurun waktu tertentu yang disepakati oleh para ahli waris atau permintaan salah satu ahli waris. Dalam penelitian Amaluddin di Jepara, mayoritas masyarakat Muslim di sana melaksanakan waktu pembagian waris di antara 100 hari sampai satu tahun dari hari kematian pewaris.24 Penentuan waktu tersebut juga dapat terjadi karena adanya usulan dari salah satu kerabat yang disegani, meski bukan ahli waris. Sebagai contoh, paman tertua pewaris atau pihak lain yang dihormati seperti tokoh adat atau tokoh agama.

Pada sebagian masyarakat, waktu peralihan harta ada kalanya dilakukan sebelum terjadinya kematian pewaris. Dalam hukum fikih Islam, peralihan semacam ini disebut hibah, meskipun sebagian masyarakat Muslim menganggapnya sebagai pembagian harta waris.25 Dengan cara ini, pemilik harta memiliki kewenangan penuh dalam mengatur siapa penerima harta dan berapa bagian yang akan diberikan. Dengan demikian, ketentuan hukum waris Islam tidak selalu menjadi rujukan utama, di mana hukum faraidh telah menetapkan bagian setiap ahli waris. Sebagai contoh, dalam penelitian Sulistyowati Irianto dan Iklilah Muzayyanah DF pada masyarakat Betawi Muslim di daerah Kukusan Depok, menemukan praktek peralihan harta (waris) ada kalanya dibagi berdasarkan urutan anak, yaitu anak lebih tua mendapat bagian yang lebih besar dibandingkan adik-adiknya atau sebaliknya. Ada juga yang berdasarkan pertimbangan jenis kelamin, yaitu anak laki-laki lebih besar daripada anak perempuan atau sebaliknya. Bentuk lainnya pembagian waris secara sama rata pada anak-anaknya tanpa melihat urutan kelahiran atau jenis kelamin.26

24 Moch. Amaluddin, MS, Pandangan Masyarakat tentang Pembagian Waris Islam di Jawa Tengah: Studi Kasus di Desa Bugel Jepara, (Departemen Agama RI, Balitbang Agama Semarang, 2005), http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/sinopsis-hasil-penelitian/kehidupan-beragama.html, diakses pada 17/01/2013.

25 Sulistyowati Irianto dan Iklilah Muzayyanah DF., Praktek Kewarisan Islam dalam Pengalaman Perempuan: Studi di Kampung Kukusan Beji Depok Jawa Barat, (laporan penelitian tidak dipublikasi, 2012), hal. 23-24.

26 Ibid.

Page 325: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

300

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Dalam proses penyelesaian peralihan harta waris yang dilakukan masyarakat Muslim Indonesia cukup beragam, namun setidaknya, berada dalam kerangka dua pola. Keduanya adalah secara eksklusif dilakukan sendiri oleh para ahli waris dengan melibatkan hanya para ahli waris, atau secara terbuka dengan meminta bantuan pada pihak di luar ahli waris yang dianggap memiliki kemampuan dalam hal kewarisan.

Cara kedua di atas disebut tahkim (meminta diadili), yang dalam prakteknya terjadi dalam dua jenis, yaitu istifta’ (meminta fatwa) kepada seseorang yang ditokohkan, seperti kiai, ulama, tokoh adat dan tokoh keluarga.27 Bentuk lainnya tahkim (meminta diadili) secara kultural pada seseorang yang disegani di masyarkat atau secara struktural melalui lembaga peradilan yang dibentuk oleh negara (qadha),28 seperti pengadilan agama.

Sebagaimana telah disebutkan, dalam prakteknya di masyarakat, hukum faraidh tidak selalu menjadi rujukan utama masyarakat untuk mendistribusikan harta warisan. Kalaupun menyatakan menggunakan hukum faraidh, pada kenyataannya juga tidak diterapkan secara ketat. Ada berbagai modifikasi dalam penerapan hukum waris, khususnya pada bagian jumlah yang diterima para ahli waris. Ada yang membagi harta waris sesuai hukum faraidh, membagi harta waris dengan komposisi bagian waris yang sama besar kepada anak-anak laki-laki dan perempuan. Ada juga yang tidak membagi harta waris sama sekali karena janda pewaris masih hidup, serta membagi harta waris hanya pada anak-anak yang dinilai keluarga perlu mendapat dukungan ekonomi.

Di sebagian masyarakat Muslim Gayo, Aceh, Sumatera, praktek pem-bagian waris menggabungkan hukum adat dengan hukum Islam, meskipun kontrol atas tanah masih di tangan laki-laki.29 Sedangkan di masyarakat Muslim Kudus, Jawa Tengah, pembagian waris dengan komposisi bagian laki-laki dua kali bagian perempuan tidak popular di masyarakat. Kebanyakan masyarakat Kudus menyatakan pembagian waris yang dirasa adil adalah dengan membagi sama besar pada laki-laki dan perempuan. Pada beberapa praktek juga ditemukan, ahli waris yang memiliki kemampuan ekonomi menyerahkan bagian warisnya kepada ahli waris lainnya.30

27 Lihat hasil penelitian dari Moch. Amaluddin, MS, loc. cit. Salah satu hasilnya menyebutkan bahwa 85,6% responden berpandangan bahwa tokoh pembagi harta waris di luar hakim adalah ulama dan tokoh keluarga.

28 Syarifuddin, Op.Cit., hal. 322-323.29 John R. Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia, (Cambridge University Press UK, 2003), Hal. 39-40.30 Sulaiman, Pandangan Masyarakat tentang Pembagian Waris Islam di Jawa Tengah: Studi Kasus di Jekulo Kudus,

(Departemen Agama Ri, Balai Litbang Agama Semarang,2005), http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/sinopsis-hasil-penelitian/kehidupan-beragama.html, diakses pada 17/01/2013.

Page 326: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

301

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Praktek hukum ini dapat terjadi karena adanya pertimbangan-per-timbangan khusus di kalangan keluarga pewaris. Beberapa pertimbangan hukum yang bisa digunakan: testament atau surat wasiat dari pewaris; keinginan yang pernah diucapkan pewaris; permintaan salah satu ahli waris; saran dari pihak luar ahli waris atau karena alasan-alasan lainnya. Pertimbangan tersebut menjadi dasar terjadinya perubahan atas praktek hukum yang bila disepakati oleh seluruh ahli waris, maka putusan hukum menjadi sah.

Kasus berikut bisa dijadikan contoh, dalam satu keluarga Muslim di Jember Jawa Timur, ahli waris membagi sebagian dari harta waris yang ada kepada seluruh ahli waris, namun sebagian harta waris lainnya, yaitu sebuah rumah disepakati tidak dibagikan. Harta waris tersebut menjadi milik bersama dengan tujuan sebagai rumah singgah bagi siapa saja keturunan para ahli waris yang datang. Selain itu, atas permintaan salah satu ahli waris (janda), sebagian harta waris yang dibagikan, didistribusikan secara sama besar kepada seluruh anak-anak pewaris, tanpa membedakan jenis kelaminnya.31

Keragaman praktek hukum tidak hanya pada bagaimana harta waris tersebut didistribusikan kepada para ahli waris, namun juga memungkinkan menghadirkan pihak-pihak yang secara hukum tidak termasuk ahli waris, menjadi orang yang menerima bagian dari harta waris atau sebaliknya. Salah satu yang bisa menjadi contoh adalah, seorang nenek atau kakek yang tidak berkedudukan sebagai ahli waris, karena terhijab adanya ibu dan bapak pewaris yang masih hidup, pada prakteknya mendapat bagian warisan. Demikian juga sebaliknya, seseorang yang secara hukum adalah ahli waris dan berhak atas harta waris tersebut, faktanya tidak menerima sama sekali karena diserahkan kepada ahli waris lain yang membutuhkan.32

Dari uraian di atas dapat dilihat, praktek kewarisan di masyarakat Muslim Indonesia bersifat sangat plural, baik dari sumber hukum yang digunakan maupun praktek pelaksanaannya. Praktek itu terkait waktu pelaksanaan, besaran bagian para ahli waris dan pihak-pihak yang mendapatkan bagian harta waris.

Di dalam hukum Islam, pendistribusian harta waris boleh diterapkan secara fleksibel sepanjang menjadi kesepakatan bersama dari para ahli waris. Kesepakatan yang dimaksudkan adalah persetujuan dari seluruh ahli waris, tanpa ada salah satu pihak yang merasa dipaksa menerima keputusan tersebut.

31 Wawancara ahli waris perempuan, Jember, 29/03/2012.32 Sulaiman, loc. cit.

Page 327: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

302

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Fleksibilitas praktek hukum waris dapat menjadi ruang baru bagi perempuan, untuk mendapatkan akses yang lebih baik dalam hukum waris.

Pada kenyataannya, praktek hukum waris yang dilakukan masyarakat Muslim di luar pengadilan tidak selalu memperhitungkan perempuan, baik posisi, peran, maupun kedudukannya dalam keluarga. Meskipun ditemukan praktek-praktek hukum waris yang mempertimbangkan situasi perempuan, namun kebanyakan sudut pandang yang digunakan masih mempertimbangkan kerja-kerja produksi yang dilakukan laki-laki, dengan alasan peran penting laki-laki yang harus diapresiasi melalui perolehan harta waris. Sebagai contoh, laki-laki diberikan bagian waris lebih besar dibandingkan ahli waris perempuan karena laki-laki dianggap memiliki tanggung jawab nafkah dalam keluarganya. Namun bersamaan dengan hal ini, ahli waris perempuan janda yang memiliki tanggung jawab anak tidak diperhitungkan dan diposisikan sebagaimana laki-laki, meskipun tanggung jawab nafkah menjadi bagian yang tidak bisa dihindari perempuan tersebut. Contoh lainnya, kedudukan istri dari pewaris kadang tidak dilihat sebagai pihak yang juga memiliki peran penting dalam perolehan harta waris. Akibatnya, istri pewaris kadang memperoleh bagian yang jauh lebih sedikit ketimbang ahli waris lainnya. Padahal, kebutuhan hidupnya masih panjang dan harus dipenuhinya sendiri (baca contoh 1).

-------------------------------------------------Contoh 133

Ibu Dewi, seorang janda tua harus rela ‘makan hati’ menumpang di rumah anak lelakinya yang telah menikah dan memiliki tiga anak. Janda berumur 72 tahun itu ditinggal suaminya setelah hidup bersama selama 50 tahun. Ketika menikah dulu, mereka tidak memiliki apa-apa. Sedikit demi sedikit suami-istri itu mengumpulkan harta sehingga memiliki sebuah rumah cukup besar beserta harta-benda lain.

Sepeninggal suaminya, seluruh harta dibagi untuk empat anaknya (1 lelaki dan 3 perempuan). Ibu Dewi mendapatkan pembagian 1/8 sesuai hukum faraidl (hukum pembagian warisan dalam Islam). Agar mudah dalam menghitung pembagian,

33 Ketut Sahruwardi Abbas, Pembagian Warisan Faraidh yang Lebih Adil, http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/16/pembagian-warisan-faraidl-yang-lebih-adil-347942.html, diakses 12/10/2012.

Page 328: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

303

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

rumah keluarga dijual dan hasil penjualannya itulah yang dibagi. Alhasil, di masa tuanya Ibu Dewi tidak lagi memiliki rumah sendiri. Dia harus menumpang di rumah anak lelakinya dan hidup bersama menantunya yang (sangat kebetulan) tidak terlalu suka diikuti sang mertua.

-------------------------------------------------

Selain itu, dalam proses penyelesaian kewarisan, dari hasil penelitian di masyarakat Betawi dinyatakan, mayoritas dilakukan melalui cara musyawarah. Namun pihak yang memimpin musyawarah tersebut mayoritas laki-laki, baik ayah, paman, atau saudara laki-laki.34 Dalam musyawarah tersebut, kerap kali perempuan tidak dimintai pendapatnya oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pembahasan musyawarah kewarisan, karena masih adanya pandangan di masyarakat tentang pentingnya logika dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu sebabnya, masih ada anggapan perempuan memiliki cara berpikir yang emosional. Dengan cara pandang ini, pembagian kewarisan akan menempatkan perempuan hanya sebagai objek penerima harta waris, namun tidak ditempatkan sebagai subjek yang setara dengan ahli waris laki-laki.

Cara-cara tersebut dapat berdampak pada tidak diperhitungkannya kepentingan dan peran penting ahli waris perempuan, khususnya ketika pewaris masih hidup, misalnya para ahli waris laki-laki yang telah mendapat kesempatan pendidikan hingga tingkat yang tinggi, sementara perempuan tidak memperoleh kesempatan pendidikan seperti laki-laki. Dalam hal ini pendidikan tinggi tidak dipertimbangkan sebagai bagian dari kebutuhan perempuan, yang harus diperhitungkan dalam kewarisan. Padahal dengan pendidikan tinggi yang diperoleh laki-laki, telah memudahkan laki-laki mengakses sumber-sumber ekonomi ketimbang perempuan.

Demikian juga dalam hal peran-peran reproduksi perempuan kepada pewaris di masa hidupnya. Peran ini kerap tidak dilihat dan diapresiasi sebagai bagian yang penting dalam pertimbangan pembagian harta waris. Perempuan yang mendampingi dan merawat si pewaris tidak dilihat sebagai peran penting. Sementara, laki-laki yang menghabiskan waktunya untuk hal-hal terkait dirinya

34 Sulistyowati Irianto dan Iklilah Muzayyanah DF., Praktek Kewarisan Islam dalam Pengalaman Perempuan: Studi di Kampung Kukusan Beji Depok Jawa Barat,Op.Cit., hal. 26-27.

Page 329: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

304

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

sendiri, seperti sekolah, bekerja, atau hal lainnya, justru diperhitungkan dan diapresiasi dalam pembagian waris (baca contoh 2).

-------------------------------------------------Contoh 235

Niar, seorang janda tanpa anak meninggal dan meninggalkan sejumlah harta warisan. Dalam beberapa tahun terakhir di masa hidup Niar, Lia, keponakan perempuan Niar mendampingi dan merawat Niar, termasuk selama di rumah sakit. Sedangkan keponakan yang lain tidak memberikan perhatian kepada almarhumah. Ketika pembagian waris, para ahli warisnya adalah 5 keponakan laki-laki dan 5 keponakan perempuan almarhumah. Lia meminta pembagian 1:1 dengan alasan, harta tersebut merupakan harta bibinya. Selama ini para ahli waris yang lain tidak memberikan perhatian khusus pada hidup almarhumah. Namun keinginan Lia ditolak ahli waris laki-laki dengan argumentasi bahwa menunggui, mendampingi dan merawat almarhumah merupakan suatu kewajaran, bukan merupakan suatu hal yang luar biasa. Para ahli waris laki-laki menuntut pembagian dengan cara penghitungan 2:1 bagian untuk ahli waris laki-laki.

-------------------------------------------------

Dalam praktek kewarisan di masyarakat Muslim, ada banyak fakta yang menunjukkan hak perempuan belum terjamin sepenuhnya. Untuk itulah perlu upaya untuk menegakkan akses keadilan bagi perempuan. Perempuan selayaknya bisa menggunakan baik hukum agama, hukum adat, maupun hukum negara untuk mendapat akses keadilan. Tapi ini tidak mudah. Nyatanya, perempuan harus berhadapan dengan pihak-pihak yang secara sosial tidak mendukungnya, atau secara politik tidak memberinya kesempatan menuju akses keadilan tersebut.

35 Kasus direkonstruksi dari catatan proses persidangan, Putusan PA, No.. 931/Pdt.G/2006/PA.Dpk.

7.4 Upaya-upaya Perempuan dalam Mengakses Keadilan dalam Kewarisan

Page 330: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

305

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Dalam penyelesaian perkara waris melalui lembaga negara, akses masyarakat Muslim dibatasi hanya melalui pengadilan agama. Padahal sebelumnya ada dua pilihan, yaitu hukum perdata barat (BW) melalui Pengadilan Negeri atau hukum Islam melalui Pengadilan Agama. Pembatasan berlaku sejak tahun 2006, setelah terbit UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. UU itu mengharuskan masyarakat Muslim menyelesaikan perkara warisnya hanya di Pengadilan Agama.

Sulitnya akses keadilan bagi perempuan ini telah merugikan mereka. Kerugian itu di antaranya, hilangnya hak perempuan sebagai ahli waris, ber-kurangnya bagian hak perempuan atas harta waris, atau diabaikannya peran-peran penting perempuan dalam pertimbangan hukum waris. Dampak-dampak kerugian tersebut dalam prakteknya mudah ditemui. Salah satu contohnya, kasus gugat waris di Pengadilan Agama (PA) Depok Jawa Barat, yang berakhir dengan akta perdamaian (baca contoh 3). Dalam perkara tersebut, perempuan nyaris kehilangan haknya sebagai ahli waris. Pada akhirnya pihak perempuan mendapatkan hak warisnya, namun ada pengurangan jumlah harta waris yang seharusnya diperoleh.

Di perkara lainnya ada kondisi yang lebih parah, perempuan tidak saja dikurangi hak warisnya, namun dihilangkan sama sekali, baik dalam bentuk kepemilikan individual maupun manfaat dari keberadaan harta waris yang ada. Kondisi ini dialami seorang perempuan Depok lainnya, yang tidak memperoleh harta waris sama sekali dari kematian ayahnya. Padahal ayahnya semasa hidupnya adalah pegawai kantor walikota yang cukup kaya. Ia memilih diam meski harus mencari nafkah untuk anak-anaknya, karena mantan suaminya tidak pernah menafkahi anak-anaknya.36

-------------------------------------------------Contoh 337

Anah adalah perempuan yang ditinggal wafat ibunya di usia anak-anak, selang berapa tahun ayahnya menyusul meninggal dunia. Anah menjadi yatim piatu dan kemudian dirawat adik perempuan neneknya hingga dewasa.

36 Sulistyowati Irianto dan Iklilah Muzayyanah DF., Praktek Kewarisan Islam dalam Pengalaman Perempuan: Studi di Kampung Kukusan Beji Depok Jawa Barat, loc. cit.

37 Aman dkk vs Anah, PA, Akta Perdamaian, No. 1791/Pdt.G/2011/PA.Dpk, (2011). Ilustrasi cerita diperoleh dari wawancara Pak Zak, 29/11/2011.

Page 331: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

306

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Tahun 2005, nenek kandungnya yang telah menjanda meninggal dengan meninggalkan ahli waris: 3 anak kandung laki-laki; 1 anak kandung perempuan; 1 cucu kandung perempuan (ahli waris pengganti anak kandung perempuan) dan sejumlah harta warisan. Namun Anah tidak mendapat bagian harta warisan tersebut. Paman-pamannya menjual satu persatu harta waris neneknya. Anah sebenarnya mengetahui hal tersebut, namun ia memilih diam dan tidak mempersoalkannya.

Pak Zak, suami Anah pernah berkonsultasi kepada beberapa tokoh agama menanyakan apakah istrinya tidak berhak mendapatkan bagian waris dari neneknya. Semua tokoh agama menyatakan sama, Anah berhak mendapat bagian sebagaimana bibi perempuannya yang masih hidup. Pak Zak sudah berupaya mengingatkan paman-paman iparnya, tetapi tidak diindahkan.

Hingga suatu waktu, Anah dipaksa pamannya untuk menandatangani persetujuan penjualan sebagian dari sisa tanah warisan neneknya di hadapan notaris, dengan kompensasi Anah akan mendapat uang sebesar 3 juta dari harga tanah sekitar 250 juta. Anah memilih menolak menandatangani akta jual beli tersebut. Karena penolakan Anah, paman-pamannya mengajukan Anah ke Pengadilan Agama dalam perkara gugat waris.

-------------------------------------------------

Contoh di atas menunjukkan ahli waris perempuan kerap tidak diper-hitungkan dan dipertimbangkan dalam penerapan hukum waris di masyarakat. Sejumlah harta waris yang seharusnya menjadi hak ahli waris perempuan diambil alih laki-laki. Ada banyak konteks yang mendasarinya. Antara lain, adanya penguasaan harta waris oleh salah satu ahli waris dan tidak membaginya untuk ahli waris perempuan, pada saat pembagian harta waris perempuan tidak dilibatkan, atau perempuan akhirnya tidak mendapat bagian hak yang seharusnya diperoleh. Tindakan tersebut bisa karena disengaja atau tidak disengaja.

Situasi-situasi di mana praktek kewarisan merugikan perempuan banyak ditemukan. Sebenarnya, ada banyak perempuan yang menyadari hak warisnya telah direnggut, namun memilih tidak melakukan perlawanan atau upaya khusus untuk mendapat keadilan. Ada sejumlah alasan yang mendasari sikap diam

Page 332: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

307

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tersebut, misalnya alasan kekeluargaan, sikap apatis dan adanya kepercayaan terkait harta waris.

Pertimbangan kekeluargaan biasanya bertujuan menjaga hubungan keluarga dan menghindari konflik dengan kerabat atau saudara. Sikap apatis timbul karena perempuan merasa upayanya akan sia-sia mengingat pihak-pihak yang akan dihadapi dan pertimbangan relasi-relasi antara perempuan dengan ahli waris yang lain. Selain itu ada kepercayaan terhadap konsep barokah dalam harta waris. Kepercayaan itu meyakini perebutan harta warisan dapat membuat keberkahan harta yang dimilikinya justru berkurang38 atau kepercayaan memperebutkan harta waris dapat mengakibatkan kemiskinan.

Namun demikian, ada perempuan yang berupaya memperjuangkan hak warisnya. Upaya tersebut biasanya tidak mudah, karena harus berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda. Tidak jarang, perempuan yang memperjuangan hak warisnya mengalami berbagai tekanan psikologis dari berbagai pihak. Kasus seperti ini antara lain dialami seorang perempuan yang memperjuangkan hak tanah peninggalan suaminya, namun harus berhadapan bahkan dikeroyok oleh enam orang saudara suaminya yang menuntut harta waris suaminya.39

Strategi perempuan dalam memperjuangkan hak warisnya ditempuh melalui cara-cara kultural dan struktural. Cara kultural terlihat dalam proses musyawarah kewarisan yang berlangsung, perempuan berupaya bersuara dalam musyawarah keluarga atau mendekati pihak-pihak yang dianggap dapat membantunya memperoleh keadilan. Pihak tersebut adalah keluarga yang dituakan atau tokoh agama yang disegani ahli waris yang lain. Bila upaya tersebut gagal, maka perempuan dapat menempuh upaya hukum melalui pengadilan agama sebagai cara struktural. Akses terhadap peradilan adat mungkin dipilih perempuan di daerah-daerah yang masih memiliki lembaga peradilan adat, sebagaimana temuan dalam penelitian Sulistyowati Irianto pada masyarakat Batak.40 Upaya-upaya tersebut dilakukan perempuan sebagai salah satu cara mengakses keadilan dalam kewarisan.

38 Sulistyowati Irianto dan Iklilah Muzayyanah DF (2011), Hukum Waris dan Prakteknya di Pengadilan Agama dalam Lensa Etnografi:Studi di Pengadilan Agama Depok (Laporan Penelitian, tidak dipublikasi, 2011), hal. 32.

39 Sulistyowati Irianto dan Iklilah Muzayyanah DF., Praktek Kewarisan Islam dalam Pengalaman Perempuan: Studi di Kampung Kukusan Beji Depok Jawa Barat,Op.Cit, hal. 21.

40 Sulistyowati Irianto, Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 2003), lihat juga Sulistyowati Irianto, Reproduksi dan Resistensi Terhadap Patriarkhi: Pewarisan Perempuan dalam Kebudayaan Batak Toba yang Tengah Berubah, dalam Perempuan Indoneisa dalam Masyarakat yang Tengah Berubah, (PSKW UI Jakarta, 2000)

Page 333: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

308

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Perkara gugat waris di pengadilan agama berjumlah jauh lebih sedikit dibandingkan perkara PAW dan perkara perceraian (Cerai Talak dan Cerai Gugat). Kondisi tersebut menunjukkan pengadilan agama bukan menjadi pilihan utama dalam penyelesaian perkara waris dalam keluarga Muslim. Pilihan di luar pengadilan negara menjadi pilihan masyarakat Muslim untuk penyelesaian perkara warisnya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi para ahli waris enggan meng-ajukan perkara kewarisan di pengadilan agama. Di antaranya, karena perempuan memiliki kekhawatiran akan biaya tinggi yang harus dikeluarkan atau dalam masyarakat Cianjur dikenal dengan istilah usyur (sepersepuluh).41 Alasan lainnya, tidak ingin berkonflik dengan keluarga di pengadilan, menjaga nama baik keluarga, mempertimbangkan biaya adiministrasi, lokasi pengadilan agama yang jauh serta karena perempuan tidak mengetahui cara-cara yang dapat ditempuh untuk melakukan gugat waris.42 Karena kekhawatiran terhadap berbagai hal tersebut, perempuan dan masyarakat Muslim kebanyakan lebih memilih cara-cara di luar pengadilan, meskipun cara-cara penyelesaian perkara waris di luar pengadilan tidak selalu menjamin terpenuhinya hak perempuan terhadap waris.

Kedudukan perempuan dalam hukum kewarisan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kehadiran undang-undang yang mengatur hukum perkawinan, yang lahir lebih dahulu, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Beberapa pasal di dalamnya terkait erat dengan hukum kewarisan Islam Indonesia yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam. Setidaknya ada tiga pasal dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang membahas tentang pengaturan harta dalam perkawinan.43

1. Pasal 29 memuat perihal perjanjian perkawinan yang memungkinkan suami istri melakukan perjanjian perkawinan berkaitan dengan harta benda, baik berupa harta bawaan, hadiah, warisan dan perolehan harta lainnya.

41 Sulistyowati Irianto dan Iklilah Muzayyanah DF, Hukum Waris dan Prakteknya di Pengadilan Agama dalam Lensa Etnografi:Studi di Pengadilan Agama Depok. Op.Cit.,hal. 29. Usyur adalah sepersepuluh, maksudnya adalah ahli waris yang berperkara akan dikenai biaya pengurusan gugat waris sejumlah sepersepuluh atau 10% dari total harta waris yang disengketakan.

42 Sulistyowati Irianto dan Iklilah Muzayyanah DF., Praktek Kewarisan Islam dalam Pengalaman Perempuan: Studi di Kampung Kukusan Beji Depok Jawa Barat,Op.Cit., hal. 45.

43 Lihat Thahir Tungadi, Pembahasan atas Kertas Kerja tentang Kaitan Undang-Undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum Waris, dalam Simposium Hukum Waris Nasional, (Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen KehakimanJakarta, 1989), hal. 101-106.

7.5 Peraturan Perundangan Hukum Waris

Page 334: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

309

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

2. Pasal 35 mengatur tentang harta benda di dalam perkawinan, termasuk di dalamnya harta bersama dan harta dari sumber yang lain seperti hadiah dan warisan.

3. Pasal 65 mengatur mengenai harta bersama bagi pasangan poligami dan hak-hak atas harta bersama dari istri-istri yang ada.

Sedangkan pasal-pasal yang berkaitan dengan hukum kewarisan dan berimplikasi terhadap ada tidaknya hak seseorang terhadap harta waris, atau terlindunginya seseorang secara hukum terhadap waris ada tiga.

1. Pasal 2 tentang kategori perkawinan yang sah, yang mempengaruhi terhadap siapa-siapa yang dapat diakui secara hukum sebagai ahli waris

2. Pasal 31 dan Pasal 34 menentukan peran laki-laki dan perempuan dalam pembagian peran di dalam rumah tangga. Pembagian peran yang dibakukan secara hukum ini mempengaruhi pengakuan dan porsi bagian terhadap hak waris perempuan

3. Pasal 42, 43 dan 44 mengatur perihal kedudukan anak, baik anak yang diakui secara hukum dan anak yang lahir di luar perkawinan. Pasal ini berimplikasi terhadap perolehan hak waris anak, khususnya anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan.

Keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) lahir sebagai upaya mem-berikan kepastian hukum dalam penyelesaian berbagai perkara perdata di dalam peradilan agama.44 Sebelum ada KHI, untuk menyelesaikan perkara-perkara di pengadilan agama, setiap hakim agama dapat menggunakan berbagai sumber hukum Islam yang ada, khususnya kitab-kitab fikih yang jumlahnya tidak sedikit.

Adanya perbedaan pendapat di dalam kitab-kitab fikih menjadikan putusan pengadilan agama berbeda-beda untuk perkara-perkara yang sama (berdisparitas). Kondisi ini mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum dalam perkara-perkara yang diajukan di pengadilan agama,45 termasuk perkara kewarisan. Atas dasar itulah, KHI hadir untuk menjawab situasi yang ada di dalam pengadilan agama, yang diperkuat melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.

44 Peradilan agama telah mengalami beberapa perubahan posisi dalam sistem peradilan di Indonesia. Pada mulanya peradilan agama berada di bawah Kementerian Kehakiman, kemudian di tahun 1948 dimasukkan dalam peradilan umum namun tidak berfungsi secara maksimal hingga di tahun 1957 ditetapkannya kompetensi peradilan agama yang terus mengalami penyempurnaan melalui UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diubah melalui UU No. 3 tahun 2006. Lihat Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op. Cit., hal. 166-169.

45 Ibid., hal. 169-171.

Page 335: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

310

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

-------------------------------------------------

Beberapa Legislasi yang Berkaitan dengan Kewarisan dan Pengadilan Agama

a. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinanb. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islamc. Kompilasi Hukum Islamd. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agamae. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa f. PerMA No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur Mediasi

di Pengadilan yang telah Direvisi melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

g. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1994 tentang Pengertian Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam

h. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU VIII/2010 tentang Status Anak di Luar Nikah

-------------------------------------------------

Oleh karena statusnya yang bukan undang-undang, KHI tidak selalu menjadi rujukan para hakim agama. Hakim yang lebih memiliki wawasan pengetahuan hukum faraidh dan lebih berpengalaman dalam penanganan perkara di pengadilan agama, akan lebih memilih menggunakan sumber-sumber kitab fikih ketimbang KHI.46 Namun demikian, hingga saat ini, KHI masih merupakan satu-satunya hukum tertulis yang dapat digunakan di Pengadilan Agama, karena sebagian besar materi di dalam KHI merujuk pada beberapa peraturan perundangan yang berlaku, seperti UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1946 jo., UU No. 32 Tahun 1954, PP No. 9 Tahun 1975 dan lain-lain.47

46 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Op.Cit., hal. 180-181.47 Ibid.

Page 336: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

311

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

7.5.1 Kedudukan Anak Perempuan dalam Pasal 176 KHIHukum kewarisan di dalam Kompilasi Hukum Islam termuat

secara khusus di dalam Buku II, sedangkan buku I memuat Hukum Perkawinan dan Buku III tentang Perwakafan. Di dalam KHI, perempuan diakui sebagai ahli waris sebagaimana laki-laki dan mendapatkan bagian-bagian yang ditentukan. Pengakuan terhadap perempuan di dalam KHI terlihat pada Pasal 174 yang menjelaskan ahli waris dari jalur hubungan darah dari kelompok perempuan terdiri atas ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Sedangkan ahli waris menurut hubungan perkawinan adalah janda.

Bagian perempuan dalam hal kewarisan telah ditentukan secara jelas dalam kedudukan dan statusnya di hadapan pewaris. Namun perolehan ahli waris laki-laki tidak semuanya disebutkan secara jelas, khususnya ketika laki-laki dalam faraidh memperoleh ashobah (sisa). Di Pasal 176 KHI, dijelaskan bagian bagi kedudukan anak pewaris. Secara detil dinyatakan bagian-bagian perempuan ketika sendirian (anak tunggal), dan ketika tidak sendirian (bersaudara perempuan atau bersaudara laki-laki). Apabila dibandingkan perolehan anak dalam kedudukan yang sama sebagai anak kandung pewaris, maka terlihat dalam tabel 1 berikut:

Tabel 1 Perbandingan Perolehan

Ahli Waris Anak Perempuan dan Laki-laki dalam KHI

Di atas, bisa dilihat bagian yang akan diterima anak perempuan berbeda-beda bergantung pada situasi-situasi tertentu. Namun tidak dijelaskan secara pasti bagian anak laki-laki, misalnya jika anak laki-

Page 337: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

312

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

laki adalah anak tunggal atau ketika bersama dengan saudara laki-laki. Namun yang penting dicermati dari Pasal 176 di atas, ketika anak laki-laki dan anak perempuan ada bersamaan, maka bagian anak laki-laki adalah dua kali banyaknya dari bagian anak perempuan.

Dalam perspektif CEDAW, pasal tersebut di atas telah menempat-kan anak perempuan dalam posisi yang tidak setara ketika menjadi ahli waris bersama laki-laki. Di satu sisi, Pasal 176 KHI memberikan jaminan perolehan kewarisan perempuan, namun di sisi lain, pasal tersebut telah membedakan kedudukan perempuan menjadi tidak setara dengan anak laki-laki. Padahal status anak di hadapan hukum adalah sama, tidak dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya. Pembedaan yang didasarkan pada jenis kelamin menjadi salah satu bentuk diskriminasi yang berakibat pada pengurangan hak perempuan atas harta waris. Hal ini dapat berimplikasi pada berkurangnya kualitas hidup anak perempuan yang berujung pada marginalisasi anak perempuan.

Mengacu pada asas keadilan berimbang dalam hukum waris, pertanyaan yang timbul, adakah perbedaan hak anak berdasarkan jenis kelamin? Bukankah anak laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak yang sama atas pendidikan, kesehatan dan jaminan kehidupan yang layak dari orang tuanya sebagai bekal dewasa nanti?48 Ketetapan hukum tersebut memberi peluang pengabaian terhadap situasi dan kondisi perempuan berkaitan dengan hak-haknya. Sebagai contoh, pada anak-anak perempuan yang tidak mendapat kesempatan pendidikan sebagaimana yang dinikmati saudara laki-lakinya, maka kondisi anak perempuan ini seharusnya dipertimbangkan dalam perolehan harta warisnya. Langkah itu sebagai bentuk tanggung jawab orang tua (pewaris) memberikan kualitas pendidikan yang adil pada anak-anaknya. Para hakim dapat saja abai dalam melihat pertimbangan sosiologis untuk mengurangi ketidakberuntungan perempuan di masa lampau sebagaimana termuat dalam CEDAW tersebut. Pengabaian bisa terjadi bila hakim secara sempit, hanya mengacu pada Pasal 176 KHI di atas.

7.5.2 Kedudukan Istri/Janda dalam Pasal 180 KHIApa yang terjadi pada perempuan dalam statusnya sebagai anak

dalam hukum, terjadi juga pada perempuan dalam statusnya sebagai

48 Baca hak-hak dasar anak dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Page 338: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

313

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

istri/janda. Hak bagian waris istri/janda yang termaktub dalam Pasal 180 KHI, berbeda dari hak bagian waris pada suami/duda dalam Pasal 179 KHI. Perolehan hak waris yang berbeda telah ditetapkan oleh KHI, dalam situasi ada dan tidak adanya anak dalam daftar para ahli waris. Pembedaan tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 Perbandingan Perolehan

Ahli Waris Janda dan Duda dalam KHI

Pada tabel di atas, jelas terlihat kedudukan janda diakui secara hukum dengan bagian separuh dari yang diperoleh duda dalam situasi dengan atau tanpa anak. Ketetapan hukum ini sejalan dengan pembagian peran gender di dalam hubungan suami istri, sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 dan 34 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perolehan yang berbeda dalam statusnya sebagai pasangan nikah, yaitu janda dan duda, dalam wacara hukum faraidh Islam dilihat bukan sebagai bentuk ketidakadilan dan diskriminasi berbasis gender. Menurut beberapa ulama tafsir, pembedaan ini didasarkan pada argumentasi, hukum fikih perkawinan Islam menempatkan laki-laki dengan beban kewajiban yang lebih berat dibandingkan perempuan.49 Beban kewajiban

49 Lihat beberapa kitab Tafsir Tahlili karya Ulama Tafsir Indonesia seperti Quraisy Shihab dalam Tafsir Al Misbah, loc.cit., Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, (PT. Hidakarya Agung Jakarta, 1957, cet. ke 31 tahun 1993). dan H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam Tafsir Al Azhar, (PT Pustaka Panjimas Jakarta, 2004.). Kesemuanya menghubungkan argumentasi bagian laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan dengan Qs. An Nisa: 34 yang menjelaskan tentang nafkah dan kepemimpinan.

Page 339: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

314

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

yang dimaksudkan adalah kewajiban laki-laki untuk memenuhi nafkah dan menjadi pemimpin di dalam keluarga. Selain itu, beban laki-laki juga dilihat tidak hanya dalam lingkup sebatas keluarga seperti pemenuhan nafkah, namun juga peran laki-laki dalam aktivitasnya untuk kebaikan umat.50

Hal di atas berbeda dari beban yang diemban perempuan. Dalam hukum keluarga yang berlaku umum di masyarakat Muslim, kebutuhan perempuan berada dalam tanggung jawab laki-laki. Jika perempuan belum menikah, maka ia berada di bawah tanggung jawab ayahnya dan ketika sudah menikah berada di bawah tanggung jawab suaminya. Dengan demikian, perolehan waris perempuan yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki tidak menjadi persoalan, karena pada akhirnya perempuan dan laki-laki dianggap memperoleh bagian yang sama besar. Penjelasannya, harta waris yang diterima perempuan menjadi milik perempuan sepenuhnya, sedangkan harta waris yang diterima laki-laki akan dibagikan dengan perempuan yang menjadi tanggungannya, yaitu istri. Dengan demikian, perempuan memperoleh bagian dari dirinya sendiri sebagai ahli waris secara langsung, juga menerima sebagian dari bagian waris yang diterima suaminya sebagai ahli waris di keluarga suaminya.

Namun penting disadari, fakta yang terjadi di masyarakat tidak seideal logika hukum kewarisan di atas. Kenyataan menunjukkan perempuan banyak terlibat di dunia produksi dan berkontribusi dalam menafkahi keluarga. Dalam kondisi ini, perolehan harta waris yang diterima perempuan tidak lagi semata menjadi milik si perempuan, karena sebagai pencari nafkah perempuan juga harus membaginya untuk keluarga. Perubahan situasi tersebut menjadi bagian yang harus dipertimbangkan oleh hukum, mengingat orientasi hukum yang berlaku dalam hukum Islam adalah menyesuaikan situasi dan kondisi masyarakat.

Hukum fikih bersifat lokal dan disusun untuk kepentingan kemaslahatan (kebaikan) umat. Perubahan hukum fikih semacam ini bukan hal baru dalam dunia hukum Islam. Ada cukup banyak contoh bagaimana hukum Islam bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai

50 Al Jurjawi, Syaikh Ali Ahmad, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Darul Fikr, Beirut, 1994).

Page 340: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

315

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

perubahan kondisi yang menyertainya, misalnya perubahan hukum yang dilakukan Khalifah Umar Bin Khaththab.51 Dengan demikian, perubahan hukum waris dalam Islam memungkinkan dilakukan, sepanjang situasi dan kondisi menuntutnya, dengan tanpa menyalahi prinsip dasar hukum Islam, yaitu keadilan dan kemaslahatan umat.

Ada cukup banyak ulama yang telah melakukan reinterpretasi atas ayat waris dalam Islam. Di antaranya, Muhammad Sahrur dan Nashr Hamid Abu-Zayd. Dalam tafsirnya, ayat waris Islam bukan berlaku secara kaku menetapkan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Namun, angka itu merupakan bagian maksimal yang mungkin diterima laki-laki dengan menyesuaikan kondisi laki-laki. Sedangkan bagian perempuan separuh dari bagian laki-laki, adalah bagian minimal yang harus diterima oleh ahli waris perempuan, dengan mempertimbangkan kondisi dan pengalaman perempuan.52 Dengan demikian, perempuan memiliki peluang memperoleh bagian waris yang setara dengan laki-laki atau bahkan lebih besar, tergantung pada pertimbangan-pertimbangan dan konteks perkara kewarisan.

Jadi, penerapan bagian waris akan sangat bervariasi. Setidaknya dapat terjadi dalam tiga kemungkinan pembagian, yaitu laki-laki mem-peroleh lebih besar dari perempuan, perempuan memperoleh lebih besar dari laki-laki, atau lak-laki dan perempuan memperoleh bagian yang sama besar. Logika ini lebih sejalan dengan asas keadilan berimbang dalam hukum waris Islam dan kesetaraan substantif CEDAW yang telah diratifi kasi pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimanation Against Women).

51 Umar Shihab, Kontekstualitas Al Quran: Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al Quran,(Penamadani Jakarta, 2005),hal. 233-243.

52 Lihat Muhammad Shahrur (2004), Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (ElSaq Press Yogyakarta, 2004),) dan Nashr Hamid Abu-Zayd, Dekonstruksi Gender: kritik Wacana Perempuan dalam Islam, (SAMHA, Yogyakarta, (2003), hal. 206-212. Tafsir yang dikembangkan menggunakan pendekatan tafsir kontekstual dalam mereinterpretasi ayat waris Islam. Ketetapan batas maksimal disebut sebagai hadd aqsa yang berlaku bagi laki-laki dan ketetapan batasan minimal atau disebut hadd adna untuk bagian perempuan. Konsep ini dikembangkan dari tafsir Muhammad Abduh dan memberi mafhum mukhalafah (pemahaman sebalik) bahwa perempuan boleh menerima lebih dari setengah bagian laki-laki, sedangkan laki-laki tidak boleh menerima lebih dari dua kali jumlah yang diterima perempuan.

Page 341: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

316

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

7.5.3 Kedudukan Ibu dalam Pasal 178 KHIPembedaan bagian pada ahli waris dalam kedudukannya yang

sama, tidak terjadi pada semua situasi. Dalam kedudukannya sebagai ayah dan ibu pewaris, keduanya memperoleh bagian yang sama besar, dalam situasi pewaris memiliki anak atau tidak memiliki anak, sesuai Pasal 177 dan 178 KHI. Sedangkan ketika pewaris tidak memiliki anak namun keduanya sama-sama masih hidup dan menjadi ahli waris, maka bagian ibu separuh dari bagian ayah.

Tabel 3Perbandingan Perolehan

Ahli Waris Ayah dan Ibu dalam KHI

Uraian di atas telah menjelaskan kedudukan perempuan sebagai anak, istri dan ibu dalam hukum waris Islam yang tertuang di dalam KHI. Argumentasi yang kerap digunakan selalu dihubungkan dengan peran gender dan sejalan dengan UU No. 1 Tahun 1974. Hal ini menunjukkan bagaimana pemisahan atau diskriminasi peran gender masih terus dipertahankan melalui aturan hukum perkawinan dan hukum waris Islam. Ketetapan hukum tersebut seakan menutup mata dari peran gender di masyarakat Muslim Indonesia yang sudah berkembang. Ketetapan hukum ini juga menunjukkan bagaimana apresiasi atas kerja produksi lebih dihargai dibandingkan kerja reproduksi, yang kebanyakan dilakukan perempuan, serta abai memperhitungkannya peran dan pengalaman perempuan.

Page 342: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

317

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Kedudukan perempuan dalam hukum kewarisan Islam yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam menunjukkan perempuan memiliki persamaan di hadapan hukum, namun tidak mendapatkan persamaan hukum, karena statusnya yang dibedakan dalam sistem hukum waris. Namun, dalam hukum kewarisan Islam Indonesia, juga terdapat beberapa peluang dan terobosan hukum yang dapat membuka akses perempuan dan anak memperoleh keadilan. Setidaknya terdapat tujuh peluang penting bagi perempuan dan anak dalam hukum waris Islam Indonesia, yaitu hak waris ahli waris pengganti, gono-gini, hak waris anak angkat, kedudukan anak di luar perkawinan, janji perkawinan, mekanisme musyawarah dan keharusan mediasi. Beberapa peluang tersebut terdapat dalam beberapa sumber hukum yang ada, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 4Akses Sumber Daya Waris Perempuan dan Anak dalam

Hukum Kewarisan Islam Indonesia

7.6 Akses Sumber Daya Waris Perempuan dan Anak dalam Hukum Waris Islam Indonesia

1

2

3

4

5

6

7

Pasal 185 KHI

Pasal 209 KHI

Putusan MK No. 46 Tahun 2010

Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974.Pasal 47 KHI.

Pasal 35 dan 36 UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 96 KHI

Pasal 183 KHI

Peraturan MA No. 1 tahun 2008

hak waris bagi ahli waris pengganti

hak waris bagi anak angkat

Pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan

Perjanjian sebelum perkawinan tentang kedudukan harta dalam perkawinan.

Hak atas gono gini

Musyawarah dalam Kewarisan

tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Cucu perempuan dan atau laki-laki mendapat hak atas harta waris nenek atau kakeknya menggantikan kedudukan ayah atau ibunya

Anak angkat harus mendapat wasiat wajibah, yaitu hak waris dengan besaran maksimal 1/3 bagian dari harta waris.

Anak di luar perkawinan akan berpeluang mendapat hak waris dari ayah biologis dan ibu kandungnya.

Perempuan dan laki-laki dapat membuat janji perkawinan terkait harta bersama dan harta bawaan. Penggunaan harta pasca kematian juga dapat dilakukan perempuan.

Istri mendapat kesempatan memperoleh bagian harta bersama sejumlah 50% dari harta yang ada, selain juga bagian waris dalam kedudukannya sebagai janda.

Ketentuan hukum tentang besarnya bagian waris yang ada dalam pasal 176-182 KHI dapat digugurkan melalui mekanisme musyawarah.

Perkara Gugat Waris yang diajukan di PA harus lebih hulu melalui mediasi. Dalam mediasi dimungkinkan perempuan bernegosiasi untuk keadilan dirinya.

No. Sumber Hukum Terobosan Hukum Keterangan

Page 343: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

318

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Dari tabel di atas, terlihat bagaimana hukum telah membuka akses atas sumber daya waris bagi perempuan dan anak.

7.6.1 Perlindungan Hak Waris Selain Anak Kandung Pewaris

Peluang atas akses ahli waris pengganti, yaitu ahli waris yang secara hukum faraidh tidak diakui sebagai ahli waris karena posisinya ter-mahjub (terhalang) oleh adanya ahli waris yang memiliki hubungan darah lebih dekat dengan pewaris. Salah satu yang bisa menjadi contoh, seorang nenek pada dasarnya bukan ahli waris karena ia ter-mahjub (terhalang) oleh keberadaan ibu pewaris. Demikian juga seorang cucu tidak berhak atas harta waris karena kedudukannya terhalang adanya anak pewaris. Oleh karena kedudukan ahli waris pengganti diakui, maka ketika ahli waris yang memiliki hubungan darah lebih dekat dengan pewaris telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, maka hak atas harta waris dapat digantikan oleh ahli waris pengganti. Dengan demikian, seorang cucu dapat menggantikan kedudukan ayah atau ibunya untuk menjadi ahli waris dari kakek atau neneknya.

Pengakuan atas kedudukan ahli waris pengganti tertuang dalam Pasal 185 KHI, “Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya.” Dalam pasal ini, tidak disebutkan jenis kelamin si cucu yang akan menjadi ahli waris pengganti. Itu artinya baik perempuan maupun laki-laki sama-sama berhak menjadi ahli waris pengganti, dengan perolehan bagian sesuai kedudukan yang digantikan, ayahnya atau ibunya. Jadi, cucu yang telah kehilangan kesempatan untuk lebih lama menikmati kasih sayang ayah atau ibunya, memperoleh hak atas apa yang seharusnya diterima orang tua. Meski ada pasal yang jelas menyatakan kedudukan ahli

1

2

3

4

5

6

7

Pasal 185 KHI

Pasal 209 KHI

Putusan MK No. 46 Tahun 2010

Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974.Pasal 47 KHI.

Pasal 35 dan 36 UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 96 KHI

Pasal 183 KHI

Peraturan MA No. 1 tahun 2008

hak waris bagi ahli waris pengganti

hak waris bagi anak angkat

Pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan

Perjanjian sebelum perkawinan tentang kedudukan harta dalam perkawinan.

Hak atas gono gini

Musyawarah dalam Kewarisan

tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Cucu perempuan dan atau laki-laki mendapat hak atas harta waris nenek atau kakeknya menggantikan kedudukan ayah atau ibunya

Anak angkat harus mendapat wasiat wajibah, yaitu hak waris dengan besaran maksimal 1/3 bagian dari harta waris.

Anak di luar perkawinan akan berpeluang mendapat hak waris dari ayah biologis dan ibu kandungnya.

Perempuan dan laki-laki dapat membuat janji perkawinan terkait harta bersama dan harta bawaan. Penggunaan harta pasca kematian juga dapat dilakukan perempuan.

Istri mendapat kesempatan memperoleh bagian harta bersama sejumlah 50% dari harta yang ada, selain juga bagian waris dalam kedudukannya sebagai janda.

Ketentuan hukum tentang besarnya bagian waris yang ada dalam pasal 176-182 KHI dapat digugurkan melalui mekanisme musyawarah.

Perkara Gugat Waris yang diajukan di PA harus lebih hulu melalui mediasi. Dalam mediasi dimungkinkan perempuan bernegosiasi untuk keadilan dirinya.

Page 344: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

319

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

waris pengganti, namun dalam praktek di masyarakat, bisa jadi hak ahli waris pengganti masih sulit diperoleh. Tetapi, dengan adanya Pasal 185 KHI ini, ahli waris pengganti memiliki ruang untuk menuntut haknya melalui pengadilan agama. Salah satu contoh gambaran hak ahli waris pengganti (cucu perempuan) diabaikan dalam praktek pembagian waris di masyarakat, dapat dilihat pada contoh 3 di atas.

Akses atas sumber daya waris kedua adalah hak waris bagi anak angkat. Dalam Pasal 209 Ayat 2 KHI, disebutkan “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.” Pasal ini secara jelas menjamin diperolehnya hak waris anak angkat dari harta waris orang tua angkatnya. Selama ini kerap kali anak angkat tidak mendapat akses atas harta waris orang tua angkatnya. Ketiadaan akses anak angkat atas harta waris orang tua angkatnya karena dalam hukum waris Islam anak angkat tidak masuk dalam kategori ahli waris. Karena itulah, dalam Pasal 174 KHI yang mengatur tentang siapa-siapa yang masuk kategori ahli waris hanya menyebut dari hubungan darah dan hubungan perkawinan. Sedangkan hubungan adopsi tidak disebutkan.

Contoh ke-4 di bawah adalah perkara gugat waris antara saudara-saudara pewaris melawan anak angkat perempuan pewaris di Pengadilan Agama. Dalam kasus tersebut, hakim mempertimbangkan kedudukan anak angkat dan menggunakan Pasal 209 Ayat 2 KHI, sebagai dasar acuan memutus perkara. Bila tidak merujuk pada pasal ini, hak atas harta orang tua si anak angkat bisa hilang karena kedudukannya sebagai anak angkat. Namun karena hakim mempertimbangkan kedudukan anak angkat dan menggunakan pasal tersebut, hak anak angkat yang telah dianggap sebagai anak kandung oleh pewaris terlindungi. Hakim memutuskan wasiat wajibah bagi anak angkat sebesar 1/3 bagian dari harta warisan. Meskipun jumlah wasiat wajibah yang diterima anak angkat tidak sebesar harapan pewaris yang tertuang dalam wasiat pewaris, pasal ini telah memberi perlindungan hukum bagi anak angkat dari kemungkinan tidak diperolehnya sama sekali harta waris orang tua angkatnya.

Page 345: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

320

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

-------------------------------------------------

Contoh 453

Waty diadopsi sepasang suami istri karena mereka tidak memiliki anak. Sang ayah angkat semasa hidupnya pernah menjabat sebagai seorang direktur perusahaan minyak nasional. Di masa hidupnya, sang ayah dua kali membuat wasiat yang berisi harta warisannya hanya diberikan pada istri dan Waty. Oleh karena itu, ayah angkatnya memberi wewenang kepada Waty untuk menerima bunga dan mencairkan dana depositonya, serta menandatangai surat-surat berharga lainnya.

Hal serupa dilakukan ibu angkat Waty. Pada saat sakit, ibu angkat juga sempat membuat surat wasiat yang menegaskan harta warisannya untuk Waty.

Setelah ayah ibu angkatnya meninggal, Waty digugat saudara-saudara dari ayah ibu angkatnya, yang menuntut harta waris dari ayah ibunya. Berkat beberapa surat berharga yang dikuasai Waty, maka Waty dapat mempertahankannya. Namun beberapa harta lainnya, telah dikuasai oleh keluarga saudara ayah ibu angkatnya.

Karena persengketaan ini, keluarga saudara orang tua angkat Waty melayangkan Gugat Waris kepada Waty. Setelah tiga tahun persidangan, hakim memutuskan bagian Waty adalah 1/3 bagian dari keseluruhan harta waris yang ada. Sedangkan 2/3 harta waris yang ada dibagikan kepada saudara ayah dan ibu angkatnya, yang berjumlah 40 orang dengan bagian yang berbeda-beda.

-------------------------------------------------

Perlindungan hukum terhadap anak yang lain dalam hukum Indonesia dan berdampak pada hak waris anak, adalah Putusan MK No. 46 Tahun 2010. Putusan MK tersebut memuat tentang pengakuan

53 Sulistyowati Irianto dan Iklilah Muzayyanah DF, Hukum Waris dan Prakteknya di Pengadilan Agama dalam Lensa Etnografi:Studi di Pengadilan Agama Depok.Op.Cit., hal. 45-57. Contoh ini merupakan bagian dari hasil wawancara pada Hakim PA yang menangani kasus dengan Putusan PA No. 518/Pdt.G/2008/PA.Dpk.

Page 346: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

321

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

anak-anak yang terlahir di luar perkawinan yang tidak tercatat dalam registrasi pemerintah. Aturan ini merupakan reformasi hukum yang dapat dijadikan dasar melindungi hak anak di luar perkawinan yang sering ditelantarkan. Dengan Putusan MK tersebut, status anak yang jelas siapa orang tua biologisnya, memperoleh pengakuan hukum dan hak-hak yang sama dengan anak yang lain. Putusan MK tersebut dapat menggugurkan Pasal 186 KHI, karena kedudukan anak tidak lagi hanya di-nisbat-kan kepada ibunya, namun juga pada ayahnya. Itu artinya, akses anak terhadap sumber daya waris tidak hanya terbuka dari jalur ibunya saja, namun juga dari jalur ayahnya.

7.6.2 Perlindungan Hak Istri/JandaAkses terhadap sumber daya waris yang terlindungi secara

hukum, juga ada pada perempuan dari jalur hubungan perkawinan, yaitu istri/janda. Perlindungan hukum ini tertuang dalam dua pasal, yang mengatur kedudukan harta dalam perkawinan dan perhitungan harta gono-gini. Selain itu pengaturan kedudukan harta dalam perkawinan, dapat juga disepakati sebelum perkawinan berlangsung, yang dikenal dengan perjanjian pranikah. Perempuan berkesempatan mengusulkan bagaimana penggunaan harta bawaan yang dimilikinya serta penggunaan perolehan harta yang timbul setelah perkawinan, sebelum pernikahan berlangsung. Pengaturan ini tertuang dalam pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 47 KHI.

Dua pasal itu menegaskan perjanjian tertulis pranikah terkait harta pribadi dan atau pemisahan harta pencaharian boleh dilakukan, dan dapat disahkan secara hukum. Pasal ini juga membolehkan pengaturan kewenangan perempuan dan laki-laki terhadap harta yang ada, untuk digunakan sebagaimana yang diharapkan.

Bila perempuan menggunakan pasal tersebut dan menyusun perjanjian dengan laki-laki sebelum perkawinannya, maka perempuan mempunyai dasar hukum yang legal, dan karenanya, harta miliknya terlindungi secara hukum. Dengan demikian sebagai istri/janda, ia mempunyai bukti kuat terhadap mana-mana saja harta yang dapat diperhitungkan sebagai harta waris dan harus dibagikan kepada para ahli waris yang lain, juga mana-mana harta bawaan perempuan yang tidak dapat dimasukkan dalam kategori harta waris, sehingga tidak boleh dibagikan. Perempuan berkesempatan melindungi dirinya dari

Page 347: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

322

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

kemungkinan kehilangan harta bendanya melalui perkara kewarisan. Sedangkan perlindungan hukum bagi perempuan dalam

kedudukannya sebagai istri/janda adalah ketetapan bagian harta gono- gini bagi janda sebelum memperhitungkan harta waris. Pasal 35 dan 36 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan tentang harta bersama dan harta bawaan, serta hak dari masing-masing suami istri dalam menggunakan dan memperlakukan kedua kategori harta tersebut. Pasal 96 KHI juga menyebutkan secara lebih tegas tentang hak gono-gini, melalui Pasal 96 Ayat 1 KHI yang berbunyi “Apabila terjadi perceraian mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.” Pasal tersebut menjadi legitimasi perempuan dalam statusnya sebagai janda, tidak hanya berhak atas harta waris yang berjumlah ¼ (jika tidak memiliki anak) atau 1/8 bagian (jika memiliki anak), namun juga berhak atas ½ bagian dari harta yang ada sebagai harta gono-gini.

Pengaturan harta gono-gini dalam sistem hukum waris Islam pada dasarnya tidak dikenali. Peralihan harta setelah kematian tidak mengatur hak harta gono-gini bagi suami atau istri yang ditinggal mati pasangannya. Pasangan nikah hanya memperoleh bagian dari ketentuan waris yang ada. Bagi perempuan janda yang mandiri secara ekonomi, tidak akan mengalami kendala atas kehidupannya pasca-kematian suaminya. Namun faktanya, banyak perempuan janda yang masih tergantung secara ekonomi kepada suaminya. Jika janda hanya memperoleh bagian sebagaimana pengaturan harta waris, maka fenomena contoh kasus ke-1 di atas akan dialami oleh banyak perempuan. Tidak hanya bagi perempuan yang telah berusia lanjut, namun juga bagi perempuan yang berusia muda yang telah ditinggal mati suaminya.

Kondisi perempuan yang masih tergantung pada nafkah suaminya masih banyak ditemui. Kondisi tersebut timbul bukan sekadar karena perempuan tidak mampu bekerja di wilayah produksi, namun lebih karena peran gender perempuan yang menuntutnya berada di ranah domestik. Tuntutan itu membatasi ruang gerak perempuan untuk berkarya dan memaksimalkan potensi dirinya. Akibatnya ada proses pemiskinan perempuan yang kerap tidak disadari oleh laki-laki dan perempuan itu sendiri.

Pengaturan harta gono-gini dalam sistem kewarisan Islam melalui KHI menjadi salah satu jalan bagi hukum memberikan penghargaan

Page 348: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

323

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

atas peran perempuan dalam keluarga. Harta gono-gini juga merupakan apresiasi atas kerja reproduksi selama perkawinan berlangsung yang kebanyakan dibebankan kepada perempuan. Namun hak gono-gini bukan berarti menjadi pembenaran terhadap pembatasan ruang gerak perempuan di ranah publik, karena hak gono-gini juga diberikan kepada laki-laki dalam kedudukannya sebagai suami/duda dan kepada istri/janda yang berkontribusi terhadap ekonomi keluarga.

7.6.3 Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak Melalui Mekanisme Musyawarah dan Mediasi

Peluang menuju akses keadilan hukum hak waris seperti yang diuraikan di atas tidak akan dapat dinikmati perempuan jika tidak disertai oleh pengetahuan dan kesadaran perempuan terhadap hukum tersebut. Banyaknya perempuan yang masih belum menyadari adanya perlindungan hukum dalam hukum positif di Indonesia membuat masih banyak dari mereka yang mengalami ketidakadilan di ranah praktek hukum waris. Pilihan menggunakan sumber hukum lainnya seperti hukum adat dan hukum Islam yang diterapkan di luar pengadilan menjadikan peluang perlindungan hukum yang ditawarkan negara menjadi nisbi. Meski demikian, masih ada dua mekanisme penting lainnya yang ditawarkan hukum yang dapat mengarah pada keadilan hukum bagi perempuan dan anak. Kedua mekanisme tersebut adalah mekanisme musyawarah dan mediasi.

Dalam Pasal 183 KHI disebutkan, “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta waris, setelah masing-masing menyadari bagiannya.” Pasal ini memberi peluang terjadinya fleksibilitas praktek hukum waris bagi para pihak-pihak yang berperkara. Bila pasal ini digunakan, maka fungsi Pasal 176-182 KHI dapat hanya menjadi informasi awal yang tidak selalu menjadi pertimbangan para ahli waris. Ketentuan hukum tentang besarnya bagian waris dapat diubah sesuai kesepakatan dari proses musyawarah tersebut, termasuk ketentuan tentang siapa saja para ahli waris yang akan memperoleh bagian harta waris dalam kedudukannya masing-masing. Meski dalam prakteknya, mekanisme ini memerlukan kemampuan perempuan dalam bernegosiasi, namun mekanisme ini memberi peluang bagi dipertimbangkannya pengalaman dan peran perempuan dalam konteks kewarisan.

Page 349: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

324

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Pasal di atas berhubungan erat dengan Peraturan MA No. 2 Tahun 2003 yang telah direvisi melalui Peraturan MA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. PerMA tersebut menetapkan kewajiban bagi hakim pengadilan untuk melakukan mediasi, sebelum melanjutkan proses hukum perkara. Kewajiban mediasi dalam PerMA ini memiliki konsekuensi pada status putusan pengadilan, karena sebuah putusan pengadilan yang tidak melalui proses mediasi lebih dulu, menjadi putusan yang cacat hukum.54

Dalam proses mediasi, perempuan memiliki akses terhadap keadilan hukum. Perempuan dapat menyampaikan semua pengalaman, peran dan hal-hal lain yang penting untuk dipertimbangkan oleh hakim mediator. Perempuan juga dapat menyampaikan segala keberatan dan kesulitan yang mungkin akan dihadapi perempuan jika terjadi putusan pengadilan yang tidak berpihak pada keadilan untuk perempuan. Selanjutnya, akan diputuskan bersama apakah akan diselesaikan secara damai dengan kesepakatan-kesepakatan antara dua pihak yang berperkara, atau dilanjutkan melalui proses persidangannya.

Hakim mediator yang memiliki kepekaan terhadap isu perempuan dan anak akan memperhitungkan pertimbangan-pertim-bangan pengalaman, peran, kondisi dan ketidakberuntungan yang dihadapi perempuan dan anak sebagai konsekuensi sebuah putusan hukum. Ketidakberuntungan itu misalnya pada kasus anak perempuan tidak mendapat pendidikan sebaik saudara laki-lakinya. Maka bagian waris anak perempuan harus dipertimbangkan secara lebih bijaksana, untuk memenuhi hak pendidikan yang adil pada anak perempuan. Demikian juga pada situasi anak perempuan terlibat dalam usaha orang tuanya, sementara anak laki-lakinya tinggal di luar kota untuk sekolah, bekerja dan menikah (baca contoh 5). Dalam contoh kasus tersebut, keadilan bagi kedudukan ahli waris anak perempuan dilakukan dengan mempertimbangkan peran dan pengalaman anak perempuan dalam kontribusinya di dalam keluarga.

54 Sulistyowati Irianto dan Iklilah Muzayyanah DF (2011), Hukum Waris dan Prakteknya di Pengadilan Agama dalam Lensa Etnografi:Studi di Pengadilan Agama Depok Op.Cit.,hal. 15.

Page 350: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

325

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

-------------------------------------------------

Contoh 555

Pasangan Aminah dan Arifin memiliki beberapa anak laki-laki dan anak perempuan. Kebanyakan anak laki-lakinya tinggal di luar Kota Takengon Aceh untuk sekolah, bekerja dan berumah tangga. Di masa tua Aminah dan Arifin, Nisa dan Shifa (dua orang anak perempuannya) yang tinggal di Takengon, sering mengunjungi kedua orang tuanya.

Ketika usia makin senja, Arifin dan Aminah sudah mulai tidak mampu mengurusi kebun kopi miliknya sendiri. Atas per-mintaan ayahnya, Nisa dan Shifa membantu mengelola kebun kopi tersebut sehingga terkelola dengan baik dan menghasilkan panen yang menguntungkan. Sebagian hasil kebun kopi digunakan untuk membiayai pendidikan adik laki-lakinya dan membantu usaha kakak laki-lakinya di Medan. Nisa dan Shifa tidak pernah mem-persoalkan gaji atau apa pun, karena bagi mereka, yang mereka lakukan adalah bentuk pengabdian anak kepada orang tuanya.

Sebelum wafatnya, kedua orang tua mengalami sakit yang menahun. Nisa dan Shifa mendampingi dan merawat mereka tanpa lelah. Sambil merawat orang tuanya, keduanya tetap mengelola kebun kopi orang tuanya. Hingga suatu hari, saat orang tuanya telah meninggal, saudara-saudara laki-laki Nisa dan Shifa menuntut pembagian waris sesuai prinsip hukum waris Islam, yaitu laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Nisa tidak mempersoalkan tuntutan saudara laki-lakinya, karena menganggap itu sesuai hukum waris Islam. Namun Shifa merasa tidak adil dan mencoba meminta fatwa pada seorang tokoh masyarakat yang juga seorang hakim Mahkamah Syariah. Apabila masih tidak diperoleh keadilan dalam proses tersebut, Shifa berencana akan mengajukan GW ke Mahkamah Syariah (PA).

------------------------------------------------------

55 Contoh kasus merupakan kontruksi dari contoh yang pernah disampaikan oleh seorang hakim mahkamah syariah di Takengon Aceh dalam sebuah pertemuan dengan penulis tahun 2007.

Page 351: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

326

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Bila hakim mediator tidak mempertimbangkan peran dan pengalaman perempuan dan lebih mempertimbangkan ketetapan hukum waris secara tekstual formal, kesempatan perempuan mendapat keadilan melalui mekanisme mediasi menjadi sia-sia. Kondisi terebut juga harus didukung dengan pengetahuan dan kesadaran hukum para perempuan. Musyawarah kultural di luar pengadilan maupun mediasi di Pengadilan Agama menjadi ruang-ruang pilihan yang membuka akses keadilan bagi sumber daya waris perempuan dan anak.

Adanya perkara-perkara kewarisan masyarakat Muslim di Pengadilan Agama menunjukan banyak upaya di luar pengadilan kultural gagal dicapai atau karena kepentingan administrasi kewarisan. Namun demikian, perkara kewarisan di Pengadilan Agama terbilang jauh lebih sedikit dibanding dengan perkara perceraian. Salah satu sebabnya, karena tidak semua kematian meninggalkan harta waris. Kalaupun kematian seseorang meninggalkan harta waris, tidak selalu dalam jumlah yang besar, sehingga tidak terjadi sengketa. Kondisi lainnya, mungkin tidak selalu berupa harta dengan surat berharga yang membutuhkan pembuktian hukum ketika akan dialihkan kepemilikannya.

7.7.1 Prosedur Perkara Kewarisan di Pengadilan AgamaPengadilan Agama sebagai salah satu lembaga peradilan negara

merupakan salah satu lembaga yang menjadi rujukan umat Islam dalam mencari keadilan hukum. Di dalam UU No. 3 Tahun 2006 dinyatakan tentang tugas dan wewenang Pengadilan Agama yang mencakup bidang-bidang yang cukup luas dalam berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Muslim. Pada Pasal 48 UU tersebut dinyatakan berbagai masalah perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqah dan ekonomi syariah di kalangan umat Islam, menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama.

Di pengadilan agama perkara-perkara waris dikenali dalam dua jenis perkara, yaitu permohonan Penetapan Ahli Waris (PAW) yang di dalam nya termasuk permohonan penetapan bagian waris, dan Gugat Waris (GW).56

7.7 Studi Kasus Waris Islam di Pengadilan Agama

56 Sulistyowati Irianto dan Iklilah Muzayyanah DF, Hukum Waris dan Prakteknya di Pengadilan Agama dalam Lensa Etnografi:Studi di Pengadilan Agama Depok Op.Cit.,hal. 17.

Page 352: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

327

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Permohonan ahli waris tidak selalu didasarkan adanya konflik di antara para ahli waris. Biasanya permohonan ini diajukan untuk kepentingan adminsitrasi terkait harta peninggalan, seperti untuk mencairkan tabungan atau deposito pewaris, balik nama atas harta benda tetap, atau untuk kepentingan rujukan dan dasar para ahli waris membagikan harta warisnya. Sedangkan perkara gugat waris di Pengadilan Agama kebanyakan diajukan karena adanya konflik/contentius.57 Penyebabnya, antara lain tidak adanya kesepakatan di antara para ahli waris melalui cara-cara penyelesaian perkara waris di luar pengadilan, terjadi konflik perebutan harta waris atau terdapat penguasaan harta waris pada salah satu pihak.

Dalam hal penyelesaian perkara waris di pengadilan, mekanisme yang harus dilalui mengikuti alur formal yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Alur tersebut adalah pengajuan permohonan/gugatan secara tertulis, pemanggilan pihak-pihak yang berperkara, dan pendamaian melalui proses mediasi. Jika upaya damai gagal, dilanjutkan dengan persidangan yang dapat berlangsung dalam beberapa kali, baru kemudian putusan pengadilan dikeluarkan.

Pengadilan Agama juga tidak selalu melanjutkan proses gugat waris. Pengadilan Agama akan mempelajari berkas perkara dan akan memutuskan apakah suatu gugatan tersebut dapat dilanjutkan ke persidangan atau tidak. Terdapat tiga jenis tanggapan yang dikeluarkan Pengadilan Agama terhadap suatu gugatan, yaitu gugat gugur, gugatan tidak bisa diterima dan gugatan ditolak.

Keputusan itu disertai penjelasan, yaitu gugatan gugur terjadi apabila penggugat sudah berkali-kali dipanggil dan tidak pernah hadir di pengadilan, tetapi ia masih bisa mengajukan gugatan lagi. Sedangkan gugatan tidak bisa diterima karena tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen, misalnya para pihak yang digugat tidak jelas identitasnya. Termasuk ketidakjelasan alamat rumah, tidak ada alat bukti dan keterangan tentang harta yang disengketakan, seperti lokasi rumah dan tanah yang digugat, berapa luasnya dan sebagainya. Apabila syarat-syarat sudah dilengkap, maka gugatan bisa diajukan lagi.

Apabila gugatan ditolak, maka pihak penggugat tidak bisa mengajukan gugatan lagi, kecuali dia memiliki alat bukti baru, misalnya

57 Ibid.

Page 353: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

328

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

dalam sebuah gugatan perkara waris, barang yang digugat adalah benda bergerak (rumah, mobil, uang), yang ternyata merupakan barang yang dipinjam oleh orang yang meninggal. Oleh karena terdapat bukti yang sah, barang tersebut bukan milik sah dari yang meninggal, maka gugatan ini akan ditolak.58

Ketika sebuah gugatan diterima, proses berikutnya adalah memerintahkan kepada kedua pihak melakukan mediasi dengan didampingi hakim mediator. Prosedur mediasi ini tidak dapat dihindari, jika tidak ingin putusan pengadilan dinilai cacat hukum.

Dalam proses mediasi, ada kalanya perkara gugat waris mencapai perdamaian dan kesepakatan. Jika terjadi perdamaian, proses pengadilan tidak dilanjutkan dan pengadilan akan mengeluarkan berkas ketetapan pengadilan, dalam bentuk akta perdamaian. Namun, bila mediasi gagal, proses pengadilan akan dilanjutkan. Kedua pihak yang berperkara harus mengikuti seluruh proses pengadilan, dan jika tidak bisa hadir, maka dapat diwakili pihak yang sah secara hukum. Proses persidangan kasus gugat waris tidak sama antara satu perkara dengan yang lain. Ada yang selesai dalam hitungan bulan, namun ada juga yang harus menjalaninya hingga beberapa tahun.

Bila proses pengadilan dianggap cukup oleh para majelis hakim, maka majelis hakim akan mengeluarkan putusan pengadilan dengan mempertimbangkan keseluruhan informasi dan bukti-bukti selama dalam persidangan. Terhadap putusan hakim, pihak-pihak yang berperkara mendapat hak untuk menerima atau menolak putusan. Bila tidak menerima, maka pihak yang berperkara dapat mengajukan banding ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi hingga di tingkat Mahkamah Agung.

7.7.2 Rekonstruksi Kasus Gugat Waris di PAPutusan pengadilan terhadap perkara gugat waris dapat dipelajari

secara mendalam untuk melihat bagaimana perempuan diposisikan, pengalaman perempuan dipertimbangkan, dan peran perempuan diper-hitungkan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mukhtar Zamzami, ditemukan 3 putusan PA yang menetapkan bagian anak laki-laki dan anak perempuan dengan bagian yang sama besar, yaitu 1:1.

58 Ibid. hal. 17-18.

Page 354: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

329

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Ketiga keputusan itu adalah Putusan PA Makassar No.338/Pdt.G/1998/PA Upg (1999), Putusan PA Makassar No. 230/Pdt.G/2000/PA. Mks (2000) dan Putusan PA Medan No. 92/Pdt.G/2009/PA Mdn (2009).59

Dalam pembahasan di bawah ini, akan disajikan dua contoh perkara gugat waris yang diperoleh dari Pengadilan Agama Depok Jawa Barat. Kasus pertama merupakan perkara gugat waris yang telah diputuskan Pengadilan Agama terkait dengan perkara gugat waris antara saudara pewaris melawan istri/janda pewaris dan anak perempuannya. Kasus kedua adalah perkara gugat waris antara anak pewaris melawan cucu pewaris (ahli waris pengganti) yang mencapai kata sepakat dalam proses mediasi.

KASUS 160

LANGKAH-LANGKAH (FORMAT)-------------------------------------------------

Jaya dkk. vs Endar dkk.

SEJARAH PROSEDURAL Keputusan Pengadilan Agama untuk kedua pihak, Tergugat/Pembanding mengajukan banding, Penggugat/ Terbanding mengajukan Kasasi dan kasasi ditolak.

PERNYATAAN FAKTA l Seorang laki-laki meninggal, meninggalkan seorang istri dan dua

orang anak perempuan. Ia memiliki 4 saudara kandung laki-laki dan 1 saudara kandung perempuan.

l Saudara kandungnya (penggugat) menuntut ditetapkan sebagai ahli waris dan mendapat pembagian harta waris yang dikuasai istri dan 2 anak perempuan pewaris (tergugat).

l Harta waris yang disengketakan berupa 1 bidang tanah beserta rumah, 4 bidang tanah darat, deposito dan 3 mobil berdasarkan hukum Islam.

l Tergugat menolak 1 bidang tanah beserta rumah dan deposito

59 Mukhtar Zamzami, Op.Cit., hal. 36-37.60 Jaya dkk vs Endar dkk, PA No. 1341/Pdt.G/2008/PA.Dpk (2009); PTA No. 37/Pdt.G/2010/PTA Bdg, (2010); MA No. 541K/

AG/2010, (2010).

Page 355: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

330

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

dikategorikan harta waris karena pewaris pernah menghibahkan rumah tersebut kepada dua anak perempuannya dan deposito untuk jaminan sosial dan biaya kesehatan dua anaknya yang sakit sebagaimana amanah yang pernah disampaikan pewaris kepada tergugat (istri pewaris).

l Tergugat melakukan banding, menolak putusan PA yang mengakui penggugat (saudara kandung suami) sebagai ahli waris dengan alasan mereka terhijab/terhalangi oleh adanya dua anak perempuan pewaris.

l Penggugat/terbanding mengajukan kasasi menuntut diakui sebagai ahli waris dan mendapat bagian harta waris

ISU Apakah para penggugat memiliki alasan yang kuat menuntut ditetapkan sebagai ahli waris dan memperoleh bagian dari harta waris? Dan apakah tergugat memiliki dasar yang kuat untuk menolak penggugat sebagai ahli waris?

ATURAN l Pasal 171 Huruf c KHI menyatakan ahli waris adalah orang yang

memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

l Yurisprudensi MA RI No. 86K/AG/1994 Tanggal 27 Juli 1995 menyatakan adanya anak laki-laki dan atau perempuan meng-hijab ahli waris lain, kecuali orang tua dan istri/suami

l Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, tidak mempersoalkan siapa yang memperoleh dan atas nama siapa.

l Pasal 91 KHI menulis harta bersama dapat berupa benda berwujud seperti harta bergerak, surat berharga dan benda tidak berwujud seperti hak dan kewajiban.

l Pasal 1666 KUH Perdata (BW) menyebutkan hibah tidak dapat ditarik kembali.

l Pasal 211 KHI menyebutkan hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai harta waris.

l Hakim Pengadilan Agama boleh merujuk pada hukum Islam di luar KHI.

Page 356: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

331

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

ANALISIS l Hakim PA menetapkan para penggugat sebagai ahli waris karena

tergugat memiliki dua anak perempuan, namun tidak memiliki anak laki-laki sehingga tidak dapat menghalangi penggugat sebagai ahli waris.

l Para penggugat, yaitu saudara kandung pewaris diposisikan hakim berkedudukan sebagai “ashobah bil ghair” dan mendapat bagian 5/24 dari harta waris.

l Istri memperoleh setengah dari harta sebagai harta bersama, dan juga memperoleh 3/24 dari harta waris, sedang dua anak perempuannya memperoleh 8/24 bagian.

l Tanah beserta rumah yang disebut sebagai hibah pada dua anak perempuan pewaris ditolak hakim dengan alasan tidak cukup bukti kuat telah dihibahkan.

l Sejumlah uang dalam deposito dikategori hakim bukan harta waris namun sebagai “tajhij al mayyit” atau utang pewaris dalam bentuk tanggung jawab dan amanah yang harus diberikan untuk jaminan sosial dan kesehatan para tergugat, khususnya untuk anak perempuannya yang sakit dan dalam kondisi tergantung secara ekonomi.

l Hakim PTA mengabulkan banding tergugat dan memutuskan para penggugat tidak termasuk ahli waris karena terhalang oleh adanya dua anak perempuan pewaris. Dalam hal ini, hakim merujuk pada Yurisprudensi MA RI No. 86K/AG/1994.

l Mahkamah Agung menolak kasasi Penggugat dan memutuskan putusan hakim PTA benar dan diperkuat dengan pendapat Ibnu Abbas yang menafsirkan kata “walad” dalam Qs. An Nisa:176 adalah mencakup anak perempuan dan anak laki-laki.

KESIMPULAN Hakim PTA dan MA membatalkan putusan PA sebelumnya yang mendukung penggugat. Penggugat diputuskan tidak berkedudukan sebagai ahli waris, karena terhalang oleh adanya dua anak perempuan pewaris.

-------------------------------------------------

Page 357: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

332

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Kasus pertama di atas mempersoalkan kedudukan pihak-pihak sebagai ahli waris atau bukan ahli waris. Putusan hakim di pengadilan agama tingkat pertama mengakui kedudukan saudara pewaris sebagai ahli waris dan tidak ter-mahjub (terhalang) oleh adanya anak perempuan pewaris. Cara pandang ini memosisikan anak perempuan tidak sama dengan anak laki-laki. Namun di peradilan yang lebih tinggi, hakim memiliki pandangan yang berbeda. Anak perempuan mendapat kedudukan yang sama dengan anak laki-laki. Anak perempuan dinilai dapat menghalangi kedudukan ahli waris lain sebagaimana jika di dalam perkara tersebut terdapat anak laki-laki.

Dengan demikian, kasus tersebut telah menampilkan putusan akhir dengan mengakui persamaan hukum pada anak, tanpa membedakan anak laki-laki dan anak perempuan. Upaya perempuan dalam mengakses keadilan hukum terpenuhi melalui terobosan hukum yang telah dilakukan penegak hukum. Terpenuhinya rasa keadilan bagi perempuan dalam hal ini, berkat pihak-pihak penegak hukum memandang tidak ada pembedaan kedudukan pihak yang berperkara atas dasar gender.

KASUS 261

LANGKAH-LANGKAH (FORMAT)-------------------------------------------------

Aman (laki-laki) dkk vs Anah (perempuan)

SEJARAH PROSEDURAL Ketetapan Pengadilan berupa Akta Perdamaian, Penggugat dan Tergugat bersepakat damai dalam proses mediasi.

PERNYATAAN FAKTA l Aman bersaudara kandung 6 orang, 2 perempuan 4 laki-laki. Seorang

saudara perempuannya meninggal dan meninggalkan seorang anak perempuan, Anah (tergugat) sebelum orang tuanya meninggal.

61 Aman dkk vs Anah, PA, Akta Perdamaian, No. 1791/Pdt.G/2011/PA.Dpk, (2011)

Page 358: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

333

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

l Ayah ibunya meninggal dan mewariskan sebidang tanah pekarangan dan 6 petak rumah kepada ahli warisnya, yaitu 5 anak kandung dan satu cucu perempuan sebagai ahli waris pengganti.

l Enam petak rumah dibagikan oleh para ahli waris kepada 5 ahli waris yang bersaudara kandung dan 1 petak dihibahkan pada masjid. Anah sebagai ahli waris pengganti tidak memperoleh bagian dari harta waris rumah petak tersebut.

l Tanah pekarangan, sebagiannya telah dijual, namun Anah sebagai ahli waris pengganti menolak mengajukan penetapan ahli waris dan pembagian yang telah ditetapkan.

ISU Apakah Anah, ahli waris pengganti benar-benar berniat menolak penetapan ahli waris dan menolak pembagian harta waris yang sudah ditetapkan para ahli waris?

ATURAN l Setiap ahli waris berhak mendapat bagian harta waris sesuai aturan

yang berlaku.l Peralihan kepemilikan atas aset harta waris menyaratkan adanya

penetapan ahli waris dan persetujuan penjualan dari seluruh ahli waris. Apabila salah satu ahli waris menolak penetapan ahli waris, maka status harta waris tidak dapat dipindahtangankan dalam bentuk apa pun.

l Pasal 185 KHI, Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi jumlah bagian ahli waris yang digantikan.

ANALISIS (hakim yang termuat dalam pertimbangan kasus)l Hakim mediator menetapkan kedua pihak bersepakat untuk

mengakhiri persengketaan dan mengadakan perdamaian.l Ketetapan perdamaian menyetujui pihak tergugat memperoleh

sejumlah uang sebagai pengganti atas satu rumah petak yang dihibahkan para ahli waris lainnya ke masjid.

l Ketetapan perdamaian menyetujui tanah pekarangan akan dijual dan hasil penjualannya akan dibagikan sama rata kepada penggugat (4 laki-laki dan 1 perempuan) dan tergugat (1 perempuan)

Page 359: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

334

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

KESIMPULAN Hakim PTA dan MA membatalkan putusan PA sebelumnya yang mendukung penggugat. Penggugat diputuskan tidak berkedudukan sebagai ahli waris, karena terhalang oleh adanya dua anak perempuan pewaris.

-------------------------------------------------

Dalam kasus ke-2 di atas terlihat perempuan yang berkedudukan sebagai cucu pewaris mendapat perlakuan yang tidak adil dari ahli waris lainnya. Hak atas sumber daya waris yang semestinya diperoleh cucu perempuan diambil secara sepihak oleh ahli waris lainnya. Tapi, dalam proses mediasi sebagai keharusan proses persidangan, menghasilkan kesepakatan perdamaian. Cucu pewaris diakui sebagai ahli waris pengganti dan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris lainnya. Kesepakatan itu telah tidak membedakan jenis kelamin di antara para ahli waris, dengan menetapkan bagian 1:1 di antara pewaris, dengan kedudukan sebagai anak perempuan, anak laki-laki dan cucu perempuan (pengganti anak perempuan).

Dengan demikian, hakim mediator telah berhasil menfasilitasi proses mediasi menuju kesepakatan yang memberi akses keadilan atas hak harta waris kepada perempuan secara setara. Mediasi dalam hal ini menjadi ruang yang berpihak pada realitas dan kepentingan perempuan, serta memperhatikan pengalaman perempuan, tanpa mengabaikan hak ahli waris laki-laki.

Hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia memiliki karakter yang plural, dengan terdapatnya hukum agama, hukum adat dan hukum positif/hukum negara, atau kebiasaan yang muncul dalam praktek pelaksanaan waris. Di dalam hukum waris Islampun terdapat pluralisme hukum, setidaknya dalam ranah negara terdapat Kompilasi Hukum Islam, dan di luar ranah negara terdapat hukum fikih Islam (Faraidh). Selain itu, dalam prakteknya terdapat keberagaman pemaknaan hukum waris Islam terkait soal kedudukan perempuan dan berapa besar bagian warisnya.

7.8 Kesimpulan

Page 360: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

335

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Praktek penerapan hukum waris telah mengalami pergeseran makna dari konsep hukum waris yang ada dalam fikih faraidh. Praktek ini misalnya terlihat pada waktu pembagian yang tidak selalu dilakukan setelah kematian, harta waris yang tidak selalu dibagi habis`kepada para ahli waris, dan bagian para ahli waris yang tidak selalu sesuai dengan ketentuan hukum waris yang ada.

Di dalam hukum positif Indonesia, hukum kewarisan Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian, hakim agama tidak selalu menggunakannya sebagai rujukan dalam penyelesaian perkara waris di pengadilan, meskipun KHI seringkali menjadi rujukan awal pertimbangan hakim. Selain KHI, ada beberapa sumber hukum lain yang berpengaruh terhadap pertimbangan hakim dalam penyelesaian perkara waris, yaitu, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung dan KUH Perdata (BW).

Dalam beberapa aturan yang memuat dan atau menjadi rujukan dalam praktek hukum kewarisan Islam, terdapat beberapa pasal yang memberi peluang terhadap adanya akses perlindungan hukum bagi perempuan. Perempuan, dalam kedudukannya sebagai anak angkat, anak di luar perkawinan dan cucu pengganti ahli waris telah mempunyai dasar rujukan untuk mendapat keadilan dalam hal kewarisan. Demikian juga pada perempuan dalam statusnya sebagai istri/janda, mendapat hak tambahan berupa hak gono-gini di luar haknya sebagai ahli waris.

Mekanisme praktek hukum juga telah memberi ruang yang dapat membuka akses perempuan terhadap sumber daya waris secara lebih adil dan setara, yaitu mekanisme mediasi dan musyawarah. Mekanisme ini memungkinkan perempuan dan anak mendapat keadilan melalui kesepakatan-kesepakatan di antara para ahli waris dengan didampingi pihak ketiga, yaitu mediator. Tercapainya tujuan terhadap keadilan perempuan dalam mekanisme ini menyaratkan adanya kesadaran hukum dari perempuan terhadap haknya dan mediator yang memiliki sensitivitas gender. Kedua syarat ini akan memudahkan diperolehnya kesepakatan perdamaian yang berkeadilan gender dan berkesetaraan substantif.

Akan tetapi, dari semua peluang tersebut, masih terdapat beberapa persoalan dalam teks hukum kewarisan Islam yang termuat di dalam KHI. Terdapat dua persoalan mendasar yang menjadi salah satu faktor penyebab akses perempuan dan anak terhadap sumber daya waris terhalangi. Faktor tersebut, yaitu masih adanya standar ganda dalam teks hukum waris dan generalisasi berlebihan terhadap kehidupan dan pengalaman perempuan.

Pembedaan bagian hak atas hukum waris yang didasarkan pada jenis kelamin kerap kali dibenarkan melalui logika peran gender. Jenis kelamin laki-

Page 361: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

336

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

laki memperoleh bagian yang lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan dua banding satu, diamini karena peran gender laki-laki dinilai lebih berat daripada perempuan. Dalam kedudukannya sebagai suami/duda, ia mendapat lebih banyak karena dianggap setara dengan tanggung jawab dan perannya sebagai pencari nafkah keluarga. Dalam hal ini laki-laki dianggap memiliki kebutuhan terhadap materi harta waris lebih banyak ketimbang kedudukan perempuan/istri.62

Demikian juga halnya dengan anak laki-laki yang mendapat bagian lebih besar ketimbang anak perempuan, karena kelak si anak laki-laki akan menjadi suami dengan beban dan tanggung jawab sebagaimana kedudukan suami. Anak laki-laki juga dianggap akan menjadi tulang punggung keluarga ketika terjadi sesuatu dalam keluarga tersebut, yang lantas menimbulkan asumsi laki-laki akan membantu keuangan saudara perempuannya, atau kepada ibunya.

Pandangan ini sejalan dengan salah satu asas dalam hukum faraidh, yaitu asas keadilan berimbang dan bukan keadilan merata, yaitu “keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dan dengan keperluan dan kegunaan.”63 Dalam asas ini, kewajiban yang dimaksud adalah kewajiban laki-laki mencari nafkah sehingga kebutuhan akan materi menjadi lebih besar dibandingkan perempuan. Sedangkan hak dimaksudkan, sebagai hak perempuan memperoleh nafkah dari suaminya, sehingga kebutuhan atas materi menjadi lebih sedikit dibandingkan laki-laki, karena perempuan telah menerima dari laki-laki suaminya.

Logika hukum tersebut di atas, sejalan dengan ketidakkonsistennya pembagian harta waris terhadap jenis kelamin pada kedudukan ayah dan ibu. Jika berdasar pada pembedaan jenis kelamin, maka perolehan ayah dan ibu seharusnya juga dibedakan. Namun ternyata hukum memberlakukan berbeda. Ayah ibu memperoleh bagian yang sama besar dalam keadaan ada dan tidak adanya anak pewaris. Hanya dalam situasi di mana ahli waris adalah ibu dan ayah bersama-sama, baik bersama ahli waris janda atau bersama duda, terdapat perbedaan pendapat.64 Kasus ini dikenal sebagai kasus Umariyatain dalam fikih faraidh, yaitu ketika Umar bin Khaththab berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas

62 Lihat beberapa kitab tafsir terkemuka di Indonesia, seperti Quraisy Shihab, Tafsir Al Misbah, Mahmud Yunus (Tafsir Quranul Karim), dan HAMKA (Tafsir Al Azhar). Lihat juga beberapa referensi hukum waris Islam seperti Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam dan lainnya.

63 Amir Syarifuddin, Op.Cit., hal. 24-28.64 Baca kritik bagian waris ayah dalam KHI dalam H.A. Baidhowi, Permasalahan Waris tentang Dzawil Furudh Bapak dalam

Kompilasi Hukum Islam, dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, (Al Hikmah & DITBINPERA Islam Jakarta, No. 65. Thn. XIV Nopember-Desember, 2004).

Page 362: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

337

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dan mengakibatkan bagian ibu kadang lebih banyak dan kadang lebih sedikit dari bagian ayah.

Logika hukum yang menyandarkan pembagian berdasarkan peran gender tersebut ditetapkan dan diberlakukan secara baku melalui pasal-pasal KHI. Logika hukum ini telah memberlakukan standar ganda terhadap peran gender yang berlaku di masyarakat. Peran gender sebagai pembenaran atas pembagian waris hanya diberlakukan pada peran gender yang menempatkan laki-laki di ranah produksi dan perempuan di ranah reproduksi. Tetapi, tidak berlaku bagi variasi peran gender yang lain yang ada di masyarakat. Hal tersebut, sama artinya hukum telah menutup mata terhadap perubahan peran gender yang ada, seperti perempuan dan laki-laki sama-sama terlibat dalam peran-peran produksi dan berkontribusi secara ekonomi dalam keluarga.

Hukum juga telah menutup fakta tentang kegagalan-kegagalan laki-laki berperan sebagai pencari nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga sehingga digantikan perempuan sepenuhnya. Dan hukum juga tidak melihat kenyataan, banyak perempuan yang bercerai dan harus menghidupi anak-anak dan keluarganya secara penuh tanpa laki-laki. Hukum hanya memberlakukan satu jenis peran gender dari beberapa pola peran gender yang ada. Hukum telah menafikan bentuk peran gender yang lainnya.

Semua itu menunjukkan bagaimana hukum waris telah berstandar ganda, karena tidak memberikan penghargaan setara terhadap perempuan yang berperan sebagai pencari nafkah dan bertanggung jawab dalam keluarga, sebagaimana penghargaan yang diberikan hukum terhadap laki-laki.

Logika hukum waris yang berstandar ganda di atas, juga menunjukkan hukum waris telah melakukan overgeneralisasi terhadap pengalaman perempuan. Hukum semestinya mempertimbangkan perubahan situasi dan kondisi dalam setiap konteks hukum, serta memperhatikan illah hukm (alasan hukum) yang mendasarinya. Hukum dibuat tidak untuk hukum itu sendiri, untuk kepentingan keadilan dan kemashlahatan masyarakat yang mengikuti hukum tersebut.

Dalam hukum waris, perempuan diasumsikan berada dalam kondisi dan situasi adalah sama. Hukum telah menempatkan semua perempuan pasti menikah, semua perempuan pasti memiliki suami yang bertanggung jawab dan memenuhi segala kebutuhannya (memberi nafkah). Juga asumsi semua saudara laki-laki pasti membantu secara finansial kepada saudara perempuannya, meski telah sama-sama dewasa dan sama-sama menikah. Padahal kenyataannya, situasi dan kondisi perempuan sangat bervariasi. Perempuan dalam gambaran asumsi hukum tersebut memang ditemukan ada di masyarakat, yaitu menikah dan

Page 363: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

338

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

bersuami dengan suami yang bertanggung jawab dan memberinya nafkah penuh. Namun juga banyak sekali dijumpai keadaan berbeda, perempuan belum/tidak menikah, bercerai/menjanda atau memiliki suami yang tidak bertanggung jawab.

Pada situasi perempuan mengalami kondisi tidak ideal secara hukum, tanggung jawab dan kebutuhan atas dirinya harus dia penuhi sendiri. Bahkan bagi perempuan bercerai, maka perempuan juga harus memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri dan anak-anaknya. Situasi dan kondisi yang berbeda-beda dalam kehidupan perempuan ini, tidak menjadi perhatian dalam hukum waris KHI. Kenyataan sosial tersebut menjadi ujian atas asas keadilan berimbang dalam hukum waris Islam. Bila merujuk pada asas tersebut, ketetapan hukum waris tentang bagian yang berbasis pada jenis kelamin menjadi tidak tepat, dan perlu dipikirkan kembali.

Page 364: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

339

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Daftar Pustaka Bab 7

Abu-Dawud (1952) Sunan Abi Dawud. Kairo: Mustafa al Baby.

Abu-Zayd, Nashr Hamid. (2003) Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam.Yogyakarta: SAMHA.

Al Jurjawi, Syaikh Ali Ahmad. (1994) Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu. Beirut: Darul Fikr.

Amrullah, H. Abdul Malik Karim (HAMKA). (2004) Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Baidhowi, H.A. (2004) “Permasalahan Waris tentang Dzawil Furudh Bapak dalam Kompilasi Hukum Islam”, dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 65. Thn. XIV, November-Desember, 2004. Jakarta: Al Hikmah & DITBINPERA Islam.

Benda-Beckmann, Franz von & Keebet Benda-Beckmann. (2004) Struggles Over Communal Property Rights and Law in Minangkabau, West Sumatra. Max Planck Institute for Social Anthropology.

Bowen, John R. (2003) Islam, Law and Equality in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Irianto, Sulistyowati. (2000) “Reproduksi dan Resistensi Terhadap Patriarkhi: Pewarisan Perempuan dalam Kebudayaan Batak Toba yang Tengah Berubah”, dalam Perempuan Indoneisa dalam Masyarakat yang Tengah Berubah. Jakarta: PSKW UI.

Irianto, Sulistyowati. (2003) Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati dan Lim Sing Meij. (2010) “Penelitian Hukum Feminis: Suatu Tinjauan Sosiolegal”, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati dan Iklilah Muzayyanah D.F. (2011) Hukum Waris dan Prakteknya di Pengadilan Agama dalam Lensa Etnografi: Studi di Pengadilan Agama Depok. Laporan penelitian, tidak dipublikasikan.

Page 365: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

340

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Irianto, Sulistyowati dan Iklilah Muzayyanah D.F. (2012) Praktek Kewarisan Islam dalam Pengalaman Perempuan: Studi di Kampung Kukusan Beji Depok Jawa Barat. Laporan penelitian tidak dipublikasikan.

Mehra, Madhu, dan Amita Punj. (2004) CEDAW: Mengembalikan Hak-hak Perempuan. New Delhi: Partners for Law in Development (PLD).

Muhibbin, Mohammad dan Abdul Wahid. (2009) Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta Sinar Grafika.

Power, David S. (2001) Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan: Kritik Historis Hukum Waris. Terjemahan: Arif Maftuhin. Yogyakarta: LkiS.

Shahrur, Muhammad. (2004) Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta: ElSaq Press.

Shihab, M. Quraisy. (2000) Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Quran. Vol. 2. Ciputat: Penerbit Lentera Hati.

Shihab, Umar. (2005) Kontekstualitas Al Quran: Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al Quran. Jakarta: Penamadani.

Sudiyat, Iman. (1989) “Peta Hukum Waris di Indonesia”, dalam Simposium Hukum Waris Nasional. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman.

Syarifuddin, Amir. (2004) Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Predana Media Group Jakarta.

Tungadi, Thahir. (1989) “Pembahasan atas Kertas Kerja tentang Kaitan Undang-Undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum Waris”, dalam Simposium Hukum Waris Nasional. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman.

WLUML. (2007) Mengenali Hak Kita, Perempuan, Keluarga, Hukum, dan Adat di Dunia Islam. Terjemahan: Suzanna Eddiono. Yogyakarta: LkiS; Jakarta: SCN-CREST; London: WEMC International dan WLUML London.

Yunus, Mahmud. (1993) Tafsir Quran Karim. Cetakan ke-31. Jakarta: Hidakarya Agung.

Zamzami, Mukhtar. (2012) Kajian Hukum terhadap Kedudukan dan Hak Perempuan sebagai Ahli Waris dalam Sistem Hukum Kewarisan Indonesia,

Page 366: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

341

BAB 7 KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dikaitkan dengan Azas Keadilan dalam rangka menuju Pembangunan Hukum Kewarisan Nasional. Ringkasan Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

Sumber Internet

Abbas, Ketut Sahruwardi. (----) Pembagian Warisan Faraidh yang Lebih Adil. http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/16/pembagian-warisan-faraidl-yanglebih-adil-347942.html, diakses 12 Oktober 2012.

Aman dkk vs Anah, PA Depok, Akta Perdamaian, No. 1791/Pdt.G/2011/PA.Dpk, (2011).

Amaluddin, Moch. MS. (2005) Pandangan Masyarakat tentang Pembagian Waris Islam di Jawa Tengah: Studi Kasus di Desa Bugel Jepara. Departemen Agama RI, Balitbang Agama Semarang. http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/sinopsis-hasil-penelitian/kehidupan-beragama.html, diakses pada 17/01/2013.

Benda-Beckmann, Franz von & Keebet Benda-Beckmann. (----) “Changing One is Changing All: Dynamics in the Adat-Islam-State Triangle”. http://www.jlp.bham.ac.uk/volumes/53-54/benda-beckmannart. htm, diakses 26/09/2013.

Sulaiman. (2005) Pandangan Masyarakat tentang Pembagian Waris Islam di Jawa Tengah: Studi Kasus di Jekulo Kudus. Departemen Agama RI, Balai Litbang Agama Semarang. http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/sinopsis-hasil-penelitian/kehidupan-beragama.html, diakses pada 17 Januari 2013.

Putusan Pengadilan:

Jaya dkk vs Endar dkk., PA Depok, No. 1341/Pdt.G/2008/PA.Dpk (2009)

Jaya dkk vs Endar dkk., PTA Bandung, No. 37/Pdt.G/2010/PTA Bdg, (2010);

Jaya dkk vs Endar dkk., MA No. 541K/AG/2010, (2010).

Lia dkk. vs Ida dkk., PA Depok, No.. 931/Pdt.G/2006/PA.Dpk. (2007).

Udin dkk. vs Wathy, PA Depok, No. 518/Pdt.G/2008/PA.Dpk, (2009).

Page 367: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

342

Page 368: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

PEREMPUAN DAN ANAK

DALAM KONSTELASI BEBERAPA HUKUM

WARIS ADAT DI INDONESIA

Lidwina Inge Nurtjahyo

Page 369: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

344

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Tulisan ini membahas tentang bagaimana perempuan Indonesia diposisikan dalam hukum waris dan praktek pelaksanannya, khususnya dalam hukum waris adat di kalangan masyarakat non-Muslim. Keberadaan hukum waris Indonesia yang beragam, berhubungan dengan fakta sejarah tentang adanya pembagian penduduk Indonesia ke dalam tiga golongan, beserta hukum dan pengadilannya masing-masing, pada masa kolonial. Pembagian tersebut berdampak pada adanya segregasi hukum waris yang dapat digolongkan ke dalam hukum waris agama (Islam), hukum perdata Barat dan hukum adat. Dalam tulisan ini pembahasan mengenai hukum dan pelaksanaan hukum waris berdasarkan hukum adat, berkisar pada pelaksanaan waris menurut hukum adat Batak, hukum adat suku Sasak di Lombok serta hukum adat Tionghoa. Sebagai pembanding untuk memperlihatkan mengenai akses perempuan dalam masyarakat yang berada di luar konteks Indonesia terhadap hak waris, tulisan ini sedikit membahas tentang pengalaman perempuan Kenya1 dan perjuangan perempuan Kwena di Afrika.2

Pemilihan pembahasan hukum waris adat Batak, Sasak dan Tionghoa dalam tulisan ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, ketersediaan literatur

8.1 Pengantar

BAB 8

Perempuan dan Anak Dalam Konstelasi Beberapa Hukum Waris Adat di Indonesia

1 J4P Briefing Note, ‘Women’s Lands Rights Kenya’ (Januari 2010)2 Anne Griffiths, Using Ethnography as a Tool in Legal Research: An Anthropological Perspective in Banakar & Travers, Theory

and Method in Socio-Legal Research, (Hart Publishing US and Canada ,2005)

Page 370: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

345

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

hasil penelitian tentang aturan mewaris anak perempuan/janda menurut aturan hukum adat di ketiga wilayah (yang juga disertai banyak yurisprudensi). Kedua, adanya putusan MA yang memperlihatkan pilihan hukum para pihak untuk kasus penetapan hak waris anak perempuan/janda, khususnya yang menyajikan data tentang kontestasi antara hukum adat dan Hukum Perdata Barat.

Hukum waris Indonesia ditandai oleh adanya pluralisme hukum waris, yang dapat diidentifikasi karena adanya ko-eksistensi antar berbagai hukum waris yaitu hukum adat, hukum agama (syariah), hukum negara (Perdata Barat, Kompilasi Hukum Islam dan yurispudensi). Ketiga sistem hukum ini secara de jure awalnya diberlakukan bagi golongan yang berbeda melalui penetapan Indische Staatsregeling (IS) oleh pemerintah kolonial pada tahun 1926. Secara historis, pengaturan hukum yang berbeda tersebut mulai terjadi saat ditetapkannya Pasal 131 IS tentang asas konkordansi dan Pasal 163 IS tentang bevolskinggroupen. Dalam Pasal 131 Ayat 1 Sub a ditetapkan, untuk orang Eropa yang saat itu tinggal di Hindia Belanda, berlaku asas konkordansi, yaitu “terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia diperlakukan hukum perdata asalnya, ialah hukum perdata yang berlaku di Belanda.”

Pasal 163 IS mengatur tentang adanya pembagian golongan penduduk di Hindia Belanda menjadi tiga golongan yaitu Eropa (Europeanen), Bumiputera/Pribumi, dan Timur Asing. Golongan Eropa yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah bangsa Belanda (Nederlanders) dan orang yang bukan merupakan bangsa Belanda akan tetapi berasal dari benua Eropa orang yang berasal dari negara lain yang memiliki hukum keluarga sama prinsipnya dengan hukum keluarga di Belanda, (Amerika, Australia, Rusia, Afrika Selatan, Turki) serta anak-anak yang diakui secara sah dari orang yang termasuk dalam kategori ini.

Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) yang terdiri atas Timur Asing Tionghoa dan Jepang. Golongan Bumiputera/Pribumi (Inlanders) terdiri atas orang Indonesia asli beserta keturunannya, orang yang semula merupakan anggota dari golongan lain (Timur Asing atau Eropa) yang kemudian masuk dan menyesuaikan hidup dengan golongan pribumi.3 Frasa ‘menyesuaikan hidup’ dalam pasal 163 IS tersebut dapat dimaknai, menganut agama Islam, menikah dengan orang yang berasal dari golongan pribumi atau menundukkan diri pada kebiasaan hidup golongan pribumi.

3 Fitika Andraini Perbedaan Golongan Penduduk dalam Proses Pendaftaran Hak atas Tanah karena Pewarisan. Tesis Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro ( Undip Semarang, 2006) hal. 7-8.

Page 371: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

346

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Peraturan ini kemudian menjadi tidak berlaku lagi setelah Indonesia merdeka, karena dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 27 Ayat 1, bahwa kedudukan semua warga negara Indonesia adalah sama di muka hukum tanpa ada perkecualiannya. Penghapusan peraturan ini diperkuat dengan UU No 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara.4 Tetapi, dampak dari pengaturan ini masih terasa dalam bentuk pilihan penggunaan hukum waris dalam masyarakat Indonesia, yang tersegmentasi atas hukum waris Islam, hukum waris Perdata Barat dan hukum waris adat.

Pada masa sesudah kemerdekaan tidak lagi berlaku sistem hukum yang tunggal secara mutlak, dalam menentukan hak seorang anggota keluarga untuk mengakses harta waris. Para aktor dalam setiap kelompok masyarakat ternyata memiliki kesempatan dan pilihan untuk tunduk pada sistem hukum tertentu atau bahkan menggabungkan prinsip-prinsip mewaris dari beberapa sistem hukum yang ada. Sebagai contoh, untuk kelompok masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa, ada sebagian besar anggotanya yang masih menganut hukum waris adat Tionghoa, sebagian lagi tunduk pada sistem hukum Perdata Barat atau menggabungkan kedua sistem hukum tersebut. Berbeda halnya dengan masyarakat Suku Sasak di Lombok, yang pengaturan hak atas waris bagi perempuan berada pada wilayah hukum adat dan hukum agama (Islam).

Pada masyarakat Tionghoa, terdapat penggabungan prinsip hukum waris adat dengan prinsip hukum waris Perdata Barat. Bentuk penentuan waris yang prinsip awalnya bersifat lisan5 menjadi tertulis dalam bentuk akta notaris, maupun penetapan lewat pengadilan, meskipun tetap bersifat patriarkis. Lisan artinya, pemberian waris dilakukan secara verbal, melalui ucapan dari pewaris kepada ahli warisnya sebelum pewaris meninggal.

Dalam sistem kekerabatan patrilineal, garis keturunan dihitung dari garis ayah. Akses terhadap harta waris hanya diberikan pada ahli waris laki-laki yang lahir dalam garis keturunan ayah. Hukum adat pada masyarakat patrilineal tidak menempatkan perempuan sebagai ahli waris baik dari ayah maupun suaminya.

4 Terakhir UU tentang penduduk Indonesia ini diatur melalui UUNo 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

5 Ricki Siddharta Pembagian Waris dengan Wasiat secara Lisan pada Masyarakat Adat Tionghoa di Kelurahan Buliang Kecamatan Batuaji Kota Batam (Tesis S2 program studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, 2013) hal. 3-4.

8.2 Akses Perempuan terhadap Sumber Daya Waris dalam Hukum Waris Adat

Page 372: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

347

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Akses perempuan terhadap harta waris dimungkinkan sebagai hadiah yang dikaitkan dengan kemampuannya melahirkan anak laki-laki pertama dalam perkawinannya atau karena realisasi dari rasa kasih saying ayah maupun saudara laki-lakinya.

8.2.1 Masyarakat BatakHukum waris pada masyarakat Batak tidak menempatkan

perempuan sebagai ahli waris baik dari ayahnya maupun suaminya. Hal ini sejalan dengan adat yang mengeluarkan perempuan dari klan dan silsilah keluarga ayahnya, ketika perempuan menjadi bagian dari klan suaminya, yang lantas dianggap akan melipatgandakan anggota klan suaminya dan menikmati harta waris dari keluarga suaminya itu. Sementara itu dalam klan suaminya, ia juga tidak tercantum dalam silsilah keluarga. Oleh karena itu, istri dianggap tidak memiliki hak atas harta waris dari suaminya, kecuali hak mengelola harta suaminya apabila suaminya meninggal. Kelak bila anak-anaknya sudah besar, hak atas harta tersebut akan diserahkan kepada anak laki-lakinya. Jika dalam suatu keluarga tidak ada anak laki-laki yang dilahirkan, maka harta akan beralih ke keluarga dari pihak ayah, apabila sang ayah meninggal.6 Dengan demikian, ketentuan pokok dalam hukum waris adat Batak adalah orang yang berhak mewarisi harta ayah hanyalah anak laki-laki. Keturunan laki-laki sangat didambakan dalam suatu keluarga keturunan Batak sebagai penerus silsilah. Kelahiran seorang anak laki-laki akan dipestakan secara adat oleh keluarga besarnya.7

Anak perempuan dapat mengakses harta waris dari ayahnya sebagai hadiah atau pemberian karena kasih sayang, tetapi bukan hak. Hadiah biasa dikenal dengan pranata pauseang (Toba), yaitu memberi hadiah sebidang tanah kepada perempuan, sebagai hadiah ketika ia melahirkan anak laki-laki pertamanya. Untuk bisa mengakses hadiah ini pun, perempuan harus mengajukan permohonan. Belum lagi, permohonan ini tidak dapat diajukan anak perempuan apabila masih ada saudara laki-lakinya yang belum menikah, atau anak perempuan itu sendiri belum menikah. Namun tentu saja dalam prakteknya, ketentuan

6 Sulistyowati Irianto, Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum (Jakarta: Yayasan Obor Jakarta, Indonesia, 2005) hal. 121.7 Lita Purnama, Apa Kabar Perempuan Daerah dalam Jurnal Perempuan Edisi no 17, Mei 2001(Jakarta, Yayasan Jurnal

Perempuan). Hal. 44.

Page 373: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

348

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dalam hukum waris adat Batak ini mengalami perubahan-perubahan.8 Di samping itu, harta waris dapat diakses anak perempuan melalui cara lain, yaitu dalam bentuk pemberian ayah kepada anak perempuannya, selagi anak tersebut masih kecil, pemberian harta ayah kepada anak perempuan pada saat pertunangan. Pemberian juga bisa berupa harta yang diserahkan sesudah dan selama dia berumah tangga, atau harta yang diserahkan kepada anak-anak dari si perempuan tersebut.9

Dalam konteks hukum adat masyarakat Batak, yang dimaksud dengan warisan adalah pusaka berupa tanah dan rumah.10 Tanah dan rumah hanya dapat diberikan kepada laki-laki secara turun temurun. Harta warisan dibedakan dengan harta pencaharian dalam emik masyarakat lokal. Harta warisan, merupakan lambang yang merepresentasikan bahwa suatu marga masih hidup dan langgeng sebagai suatu kelompok. Marga, yang ditandai dengan nama belakang yang sama yang dimiliki oleh anggota dari marga tersebut, hanya dapat diteruskan oleh anak laki-laki. Anak perempuan sekalipun ketika lahir kepada namanya dilekatkan nama marga, ketika perempuan itu dewasa dan menikah dengan orang lain, maka nama marganya akan mengikuti nama marga suaminya.11

Berbeda halnya dengan harta pencaharian yang lebih bersifat individual, karena didapat seseorang (laki-laki) selama perkawinannya. Harta itu boleh diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan keturunan dari laki-laki tersebut. Meskipun demikian, penerima bagian terbesar dari harta sang ayah dari perkawinannya tetap anak laki-laki. 12

Dalam hasil penelitian Irianto, dalam masyarakat Batak, perempuan dan anak perempuan juga mengalami berbagai bentuk kekerasan dalam masalah penentuan hak waris dalam keluarganya. Tidak hanya kekerasan secara ekonomi, dalam bentuk hambatan bagi perempuan untuk memperoleh akses yang setara terhadap sumber daya (harta waris), tetapi juga kekerasan secara fisik dan psikologis. Beberapa kasus misalnya yang ditemukan Irianto menjelaskan perempuan diintimidasi oleh saudara laki-lakinya dengan kata-kata kasar, dipukul, bahkan diusir.

8 Opcit. Hal 1219 Ibid, hal 120.10 Ibid11 Irianto Op. Cit., hal. 122-123.12 Ibid, hal 123

Page 374: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

349

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Terhadap aturan hukum waris adat yang merugikan perempuan baik dalam statusnya sebagai anak maupun sebagai istri (janda), sebetulnya sudah dilakukan upaya terobosan hukum untuk melindungi hak perempuan dan atau aak perempuan. Salah satunya yaitu Mahkamah Agung Indonesia telah menetapkan putusan atas kasus Sitepu vs Ginting pada tahun 1961,13 dalam kasus fenomenal yang dikenal dengan Kasus Juma Pasar. Berdasarkan Hukum Adat Batak Karo di wilayah Sumatera Utara yang berlaku pada saat kasus tersebut masuk ke pengadilan, harta warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki. Saat kasus ini masuk pada Pengadilan Negeri Kabanjahe dan Pengadilan Tinggi Medan, masing-masing putusan tidak menguntungkan bagi pihak perempuan. Pengadilan masih terpaku pada aturan adat yang bersifat patrilineal, yang menganggap keturunan perempuan tidak memiliki hak untuk mewarisi properti orang tuanya.

Pada akhirnya Mahkamah Agung di tingkat kasasi membatalkan putusan kedua pengadilan sebelumnya. Dalam putusan kasasinya, MA menetapkan pihak yang merupakan keturunan dari anak perempuan, mendapat warisan dalam kasus Juma Pasar, atas dasar pertimbangan rasa perikemanusiaan dan keadilan umum, atas hakikat persamaan hak antara laki-laki dan perempuan14.

Putusan MA untuk kasus Juma Pasar, sengketa antara Sitepu vs Ginting ini merupakan putusan yang fenomenal, karena mengejutkan dan menjadi tonggak reformasi hukum waris tidak hanya bagi masyarakat Batak, tetapi juga masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal di Indonesia. Bagi gerakan perempuan Indonesia putusan ini dianggap sebagai perubahan yang progresif bagi perempuan Batak, khususnya yang berstatus anak perempuan. Dengan adanya putusan ini diharapkan anak perempuan mempunyai akses terhadap hak waris atas harta ayahnya. Dalam beberapa putusan pengadilan pada masa selanjutnya, yang terkait dengan hak mewaris bagi anak perempuan, putusan ini dirujuk sebagai salah satu bahan pertimbangan.

13 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 179/Sip/1961.14 Erman Rajagukguk, Legal Pluralism and the Three – Cornered Case Study of Women’s Inheritance Rights Changing in Lombok,

in David K Liman, Legitimacy, Legal Development and Change: Law & Modernization (Melbourned, Ashagate), hal. 213-214.

Page 375: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

350

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

8.2.2 Masyarakat Keturunan TionghoaMirip dengan pengaturan waris dalam masyarakat Batak,

masyarakat keturunan Tionghoa era sebelum tahun 1950-an juga menganut penentuan hak waris berdasarkan garis patrilineal. Hanya anak laki-laki yang berhak menerima waris dalam bentuk rumah ataupun tanah. Anak perempuan dari keluarga keturunan Tionghoa pada era sebelum 1950, mendapatkan rumah atau tanah atau sejumlah uang dan perhiasan pada saat pesta pernikahannya dari ayahnya, sebagaimana ditemukan dalam penelitian Nurtjahyo yang dilakukan tahun 1999-2001, pada kelompok masyarakat keturunan Tionghoa di wilayah Bekasi Selatan. Jadi, benda-benda yang dimiliki anak perempuan keturunan Tionghoa dari keluarganya pada masa itu, bukanlah didapatkan melalui mekanisme mewaris, melainkan sebagai hadiah dari ayah.15

Pemberian waris hanya pada anak laki-laki menunjukkan dalam kelompok masyarakat keturunan Tionghoa, laki-laki menduduki posisi istimewa. Hal tersebut disebabkan oleh ajaran Konfusius (Kong Fu Cu) yang meletakkan peran laki-laki sebagai tokoh utama dalam keluarga, masyarakat dan negara.16 Ajaran Kong Fu Cu pada masa sebelum 1950-an di Indonesia masih dianut sebagian besar anggota masyarakat keturunan Tionghoa. Nilai-nilai dalam ajaran tersebut dijunjung tinggi oleh orang Tionghoa karena mengajarkan tentang nilai kemanusiaan yang luhur.17

Mengacu Lim Sing Meij, ada ajaran Kong Fu Cu yang patut dikritik, yaitu ajaran yang berkaitan dengan keberadaan perempuan. Dalam perspektif Kong Fu Cu, perempuan dituntut taat dan wajib melestarikan nilai dan norma tradisi yang lazimnya merugikan perempuan. Beberapa norma tradisi tersebut adalah kewajiban untuk taat pada perintah orang tua dalam masalah perjodohan dan kepatuhan penuh kepada suami dan keluarga suami. Anak perempuan dalam suatu keluarga Tionghoa yang masih kuat berpegang pada ajaran Konfusius, harus menerima dan melaksanakan perintah orang tuanya, untuk menikah dengan laki-laki yang dijodohkan kepadanya. Kondisi yang

15 Lidwina Inge Nurtjahyo, Perubahan Kedudukan dan Hak Waris Anak Perempuan dalam Keluarga Tionghoa: Studi Kasus di Kota Bekasi dalam Sulistyowati Irianto (ed) Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan (Yayasan Obor, 2006, Jakarta).

16 Ibid, hal. 223.17 Lim Sing Meij, Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa Sebuah Kajian Pascakolonial (Yayassan Obor Indonesia, Jakarta,

2009), hal. 63.

Page 376: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

351

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

sering terjadi, setelah perkawinan dilaksanakan, anak perempuan yang dijodohkan itu baru menemukan suaminya ternyata telah memiliki beberapa istri, menderita sakit kronis, memiliki cacat fisik, menderita gangguan jiwa, ataupun memiliki keluarga yang memperlakukan sang istri selayaknya budak. Sekalipun demikian, perempuan itu tidak dapat minta cerai dari suaminya, karena perceraian berarti aib bagi keluarga perempuan. Apabila perempuan tersebut memaksakan terjadinya perceraian, ada kemungkinan ia akan dibuang dan tidak diakui oleh keluarganya.18

Setelah terjadi peralihan rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, terjadi perubahan dalam penentuan siapa yang berhak menerima waris. Saat itu, anak laki-laki dan anak perempuan memperoleh hak sama dalam hal mewaris harta orang tua mereka (rumah dan tanah). Perubahan ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu perubahan iklim politik yang mendorong keturunan Tionghoa untuk mengubur identitas aslinya dan melebur ke dalam identitas penduduk lokal, larangan pemerintah terhadap penyebarluasan ajaran Kong Fu Cu dan pengaruh dari pendidikan modern yang dinikmati laki-laki dan perempuan keturunan Tionghoa dari keluarga kelas menengah ke atas di wilayah Bekasi maupun Jakarta.

Faktor-faktor tersebut secara pelahan namun pasti mengikis nilai-nilai tradisional yang tadinya dianut oleh keluarga-keluarga Tionghoa, termasuk juga nilai yang berkaitan dengan masalah menentukan hak waris.19 Keturunan Tionghoa yang menjadi subjek penelitian dari Nurtjahyo maupun Lim Sing Meij, kemudian lebih banyak merujuk kepada hukum perdata Barat (hukum negara) dalam berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk juga masalah perkawinan dan masalah waris.

Pada beberapa kasus yang ditemukan Nurtjahyo dalam penelitiannya, selain menganut hukum perdata Barat dalam pengaturan masalah waris, ditemukan juga ada beberapa keluarga di mana anak perempuan justru menjadi pengelola dan sekaligus penerima bagian terbesar dari warisan keluarganya.20 Dalam keluarga, yang anak perempuannya memiliki otoritas dan hak yang sama dengan anak laki-

18 Nurtjahyo, Op. Cit., hal. 210-211.19 Meij, Op. Cit.20 Nurtjahyo, Op. Cit., hal. 222.

Page 377: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

352

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

laki, ternyata ibu berperan sangat kuat. Peran ibu yang dominan tersebut disebabkan ketiadaan peran ayah akibat sang ayah menikah lagi dan meninggalkan keluarganya, atau karena ayah diculik pada saat terjadi konflik yang memakan korban jiwa keturunan Tionghoa di Bekasi antara tahun 1945-1947. Penyebab lainnya, adalah sang ayah sakit-sakitan atau sakit jiwa, atau karena ayah meninggal. Pada satu kasus, peran ibu yang dominan dalam mengelola harta keluarga, digantikan oleh peran nenek, karena sang ibu meninggal karena sakit, dan sang ayah menderita sakit jiwa yang tak tersembuhkan.

Tidak seluruh warga keturunan Tionghoa mengalami perubahan pemikiran tentang masalah hak anak perempuan untuk mewaris. Masih banyak kasus, di mana perempuan diintimidasi oleh saudara laki-lakinya. Dalam beberapa kasus yang diteliti di wilayah Bekasi, anak perempuan bahkan digugat ke pengadilan oleh saudara laki-lakinya dengan tuduhan penggelapan harta.21 Dalam contoh putusan yang disertakan pada tulisan ini, terlihat bahwa masih ada budaya yang dilanggengkan oleh keluarga-keluarga Tionghoa. Budaya itu berupa anak laki-laki didorong untuk berkembang seluas-luasnya di ruang publik, sedangkan anak perempuan dilatih untuk bekerja di rumah menyiapkan keperluan rumah tangga, merawat orang tua dan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik lainnya.

Masih terbatasnya akses anak perempuan keturunan Tionghoa dalam mengakses hak waris tidak hanya terjadi pada masyarakat keturunan Tionghoa di Bekasi. Dalam salah satu penelitian mahasiswa program magister kenotariatan Universitas Diponegoro, pada masyarakat adat Tionghoa di Kelurahan Buliang, Batu Aji, di wilayah administratif Kota Batam, juga ditemukan pewarisan yang berdasarkan sistem kekerabatan patrilineal, yang masih berlaku. Artinya, dalam masyarakat teturunan Tionghoa tersebut, anak laki-lakilah yang berhak untuk menerima waris. Anak perempuan tidak memiliki akses terhadap hak waris atas harta peninggalan orang tuanya.22 Sayangnya, dalam penelitian Ricki Shiddarta yang dilakukan pada tahun 2013 tersebut tidak dijelaskan secara lebih mendalam, ada tidaknya mekanisme lain, terkait kemungkinan orang

21 Ibid. hal. 220.22 Ricki Siddharta, Pembagian Waris dengan Wasiat secara Lisan pada Masyarakat Adat Tionghoa di Kelurahan Buliang Kecamatan

Batuaji Kota Batam (Tesis S2 program studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, 2013) hal. 4.

Page 378: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

353

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tua dapat memberikan hartanya kepada anak perempuan tanpa melalui mekanisme waris.

Penelitian waris Tionghoa juga dilakukan oleh Wily Yuberto Andrisma pada masyarakat Tionghoa di Kecamatan Ilir Timur, Kota Palembang, Sumatera Selatan.23 Peneliti tersebut menemukan anak laki-laki lebih diutamakan sebagai penerima waris dalam keluarga Tionghoa, yang bermukim di Ilir Timur. Adapun pembagian harta waris diatur dalam beberapa kategori. Pertama, anak laki-laki menerima satu bagian, sedangkan anak perempuan setengahnya atau satu berbanding setengah. Kedua, waris untuk janda bagiannya sama dengan anak perempuan, yaitu hak yang diterima adalah setengah dari hak anak laki-laki.

Menurut Andrisma, hak waris itu baru dapat dibagikan kepada para ahli waris setelah orang tua meninggal, janda meninggal, atau janda tersebut menikah kembali. Sebelum harta tersebut dapat dibagikan, wewenang untuk mengelola harta waris berada di tangan anak laki-laki tertua.24 Harta waris yang wewenang pengelolaannya diatur anak laki-laki sulung adalah mencakup rumah besar keluarga (Rumah Gede) dan properti lain berupa tanah, rumah ataupun pabrik. Secara khusus, wewenang untuk menyimpan benda-benda seperti perhiasan sebelum dibagikan sebagai waris kepada para ahli waris berada di tangan anak perempuan yang ditunjuk oleh orang tuanya.

8.2.3 Suku Sasak di LombokTidak hanya dalam masyarakat Batak dan Tionghoa, kehadiran

anak laki-laki dalam keluarga, pada masyarakat suku Sasak di Lombok juga ternyata sangat tinggi dihargai. Anak laki-laki adalah pemegang waris dan kehormatan keluarga yang bersangkutan. Apabila satu keluarga tidak memiliki anak laki-laki, maka harta peninggalan keluarga tersebut akan jatuh kepada anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah.25 (Lita Purnama, 2001: 47). Selain akan kehilangan waris (anak-anak perempuan dan istri dari keluarga tanpa anak laki-laki), keluarga tersebut juga akan dianggap putung/punah karena tidak memiliki penerus keturunan.

23 Willy Yuberto Andrisma Pembagian Harta Waris dalam Adat Tionghoa di Kecaatan Ilir Timur I Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan (Tesis S2 program studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, 2007) hal. 6.

24 Ibid. hal. 67.25

Page 379: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

354

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Untuk mencegah punahnya garis keturunan tersebut karena ketiadaan anak laki-laki yang lahir dalam suatu keluarga, sering seorang suami kemudian atas paksaan keluarga besarnya dinikahkan dengan perempuan lain. Pernikahan tersebut dapat terjadi setelah dilakukan perceraian dengan istri terdahulu atau tanpa bercerai (poligini).26 Perceraian pada kasus pada suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki dengan tujuan supaya suami dapat memperoleh keturunan berjenis kelamin laki-laki, tak mungkin dihindari oleh istri yang dianggap gagal melahirkan anak lelaki. Istri tak mungkin menolak perceraian atau perkawinan suaminya dengan perempuan lain, karena perceraian tidak perlu melalui proses pengadilan.27 Cukup bagi suami untuk mengucapkan, ‘saya ceraikan kamu’ kepada istrinya, maka sahlah perceraian tersebut.

Perempuan yang telah diceraikan suaminya menurut penelitian yang dilakukan PKWJ UI bersama dengan Komnas Perempuan tahun 2008 di Mataram, Lombok, sebagian besar pulang kembali ke rumah keluarga orang tuanya. Pada beberapa kasus ada pula perempuan yang setelah diceraikan kemudian pergi mengadu nasib untuk bekerja di tempat lain. Sebab, biasanya perempuan yang tidak mempunyai anak dan atau ditolak untuk kembali oleh keluarga orang tuanya.

Kuatnya posisi anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, selain disebabkan kebiasaan Suku Sasak untuk menarik garis keturunan secara patrilineal, juga karena adanya mekanisme pencegahan beralihnya sumber daya kepada orang yang berasal dari kalangan ‘luar’ desa atau dari luar keluarga besar pihak perempuan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prof Erman Radjagukguk pada tahun 2007-2009 perempuan suku Sasak yang tinggal di Desa Sade yang masih kuat hukum adatnya, sama sekali tidak berhak mewaris harta peninggalan orang tuanya dalam bentuk tanah atau rumah. Mereka hanya berhak membawa perhiasan pemberian orang tua mereka ketika menikah berupa cincin, gelang, anting-anting dan kalung.28 Penyebab anak perempuan tidak

26 Sering terjadi kesalahan persepsi dalam masyarakat kita. Laki-laki yang beristri lebih dari satu disebut berpoligami. Istilah poligami dalam antropologi digunakan untuk bentuk perkawinan yang dilakukan oleh satu individu (laki-laki maupun perempuan) dengan lebih dari satu individu lainnya. Pernikahan poligami yang dilakukan seorang laki-laki dengan lebih dari satu perempuan disebut pernikahan poligini. Apabila seorang perempuan melakukan pernikahan dengan lebih dari satu laki-laki disebut pernikahan poliandri. Lawan dari pernikahan poligami adalah pernikahan yang bersifat monogami (Ember dan Ember, 1996).

27 Purnama, opcit. hal 4828 Erman Rajagukguk, opcit, hal. 3

Page 380: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

355

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

diperbolehkan mewarisi tanah dan rumah dari orang tuanya, karena anak perempuan setelah menikah akan tinggal di rumah keluarga suaminya. Apabila anak perempuan dapat memperoleh tanah atau rumah, maka properti tersebut dikhawatirkan akan menjadi milik keluarga suami.

Pada beberapa kasus terjadi juga pernikahan antara perempuan di Sade dengan laki-laki yang berasal dari luar desa tersebut. Seandainya anak perempuan dapat menerima waris berupa tanah atau rumah, maka dapat dipastikan rumah atau tanah tersebut akan menjadi milik keluarga suami si perempuan yang notabene merupakan warga dari desa lain. Hal tersebut tentu saja merupakan kehilangan modal berupa tanah bagi warga desa asal perempuan tersebut.

Mekanisme pencegahan beralihnya sumber daya ini, diperkuat oleh tulisan Lita Purnama dalam salah satu edisi Jurnal Perempuan. Menurutnya, anak perempuan Sasak, hanya berhak untuk menerima hadiah dari orang tuanya. Waris (tanah dan rumah) tidak diberikan kepada anak perempuan. Hal tersebut didasari prinsip anak perempuan hanya sekadar dibesarkan oleh keluarga asalnya. Selanjutnya, ia akan menjadi milik dari keluarga suaminya, sehingga apabila kepada anak perempuan diberikan harta waris, maka harta waris tersebut akan menjadi milik dari suami anak perempuan itu beserta keluarga mertuanya. 29

Pada penelitian Purnama ditemukan, pemberian hadiah, selain berbentuk perhiasan atau uang, juga dapat berupa rumah. Tetapi tetap saja, jika dibandingkan dengan apa yang diterima oleh anak laki-laki, hadiah yang diperoleh anak perempuan sering hanya sebagian kecil dari harta yang dimiliki orang tuanya. Hadiah tersebut diberikan biasanya pada saat anak perempuan menikah. Apabila dilakukan sesudahnya, maka dianggap tabu bagi anak perempuan untuk menerima pemberian orang tua karena ia sudah berada pada keluarga suaminya. Secara finansial, perempuan yang sudah menikah dianggap telah menjadi tanggung jawab dari suaminya (dan keluarga suaminya).

Pada hasil data penelitian yang pernah dilakukan PKWJ UI bersama Komnas Perempuan tahun 2008 di Mataram, Lombok, ditemukan kasus-kasus di mana perempuan yang tinggal bersama suaminya di rumah yang diperoleh dari orang tua mereka sebagai

29 Purnama, opcit. hal 47

Page 381: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

356

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

hadiah pernikahan, terusir dari rumah tersebut ketika terjadi perceraian. Dalam situasi seperti itu, perempuan tidak dapat berbuat apa-apa untuk menuntut rumah (miliknya) tersebut, kecuali keluarga si perempuan ikut campur dan menuntut supaya rumah itu dikembalikan. Opsi lain, perempuan tersebut kembali ke rumah keluarga asalnya dengan membawa anak setelah perceraian. Seperti telah dipaparkan di atas, dalam beberapa kasus ada pula perempuan yang tidak dapat kembali ke rumah orang tuanya lagi atau memang memilih untuk tidak kembali. Mereka biasanya pindah dan mencari pekerjaan di tempat lain, untuk menghidupi dirinya dan anaknya, jika ada.30

Dalam penelitian Rajagukguk ditemukan bahwa pada desa-desa yang wilayahnya berada dekat dengan pantai, sebagian besar penduduknya tidak lagi mengikuti hukum adat secara mutlak. Terdapat beberapa kasus, orang tua menggunakan hukum waris Islam dalam membagi waris kepada anak-anak mereka. Dalam hal ini, berarti anak perempuan juga turut memiliki akses terhadap properti orang tua mereka.31 Pada kelompok masyarakat yang menggunakan aturan waris berdasarkan hukum Islam, dikenal istilah ‘sepelembah sepersonan,’ artinya dua bagian waris untuk anak laki-laki dan satu bagian waris untuk anak perempuan.32

Fakta menarik lainnya dari pengaturan hak waris anak perempuan di Lombok adalah tidak hanya hukum waris adat dan hukum waris agama (Islam) yang dipilih untuk menyelesaikan masalah waris bagi perempuan. Menurut Rajagukguk, tidak semua sengketa waris di Lombok diselesaikan di Pengadilan Agama Islam atau dibawa kepada para pemuka adat. Ia menjumpai beberapa kasus waris penting yang menyangkut akses anak perempuan terhadap hak waris, yang dibawa ke yurisdiksi pengadilan negeri. Para pihak yang terlibat dalam kasus tersebut telah menundukkan diri kepada hukum perdata Barat guna memperoleh penyelesaian atas kasus waris yang mereka hadapi. Ada dua contoh putusan dari pengadilan (nonagama) terhadap kasus waris anak perempuan di Lombok adalah putusan Mahkamah Agung Indonesia.

30 PKWJ UI dan Komnas Perempuan, Perempuan Memaknai dan Mengakses Keadilan. Laporan Penelitian di Tiga Provinsi. (Jakarta: Komnas Perempuan), Desember 2008

31 Rajagukguk,opcit. hal. 5-732 Ibid.

Page 382: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

357

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Pertama, putusan MA untuk kasus Inaq Rasini v. Amaq Atimah et.al.33

yang diputus pada tahun 1974 dengan pertimbangannya merujuk pula pada putusan Juma Pasar (lihat bagian tentang Hukum Waris Adat Batak). Kedua, putusan MA untuk kasus Inaq Sanah et.al. vs. Kadirun et.al. yang inkraacht pada tahun 1985 dengan putusan MA.34

Putusan MA yang pertama, terhadap kasus Inaq Rasini, menetapkan Inaq Rasini dalam posisinya sebagai anak perempuan, memiliki hak yang sama seperti halnya anak laki-laki dalam mengakses waris atas harta orang tua. Kebetulan, orang tua Inaq Rasini tidak memiliki anak laki-laki dan keturunan satu-satunya adalah Inaq Rasini. Menurut hukum adat Sasak, semestinya hak waris atas peninggalan orang tua Inaq Rasini jatuh kepada saudara laki-laki dari ayah Inaq Rasini, yaitu sang paman yang bernama Amaq Atimah. Berdasarkan putusan MA No. 1589 K/Sip/1974, dalam perkara tersebut, Inaq Rasini selaku penggugat diputuskan berhak untuk mewaris harta peninggalan bapaknya, dengan pertimbangan atas rasa keadilan dan karena sebagai satu-satunya keturunan dari orang tuanya.

Perspektif antidiskriminasi hakim MA dalam memutuskan kasus waris anak perempuan pada konteks masyarakat suku Sasak di Lombok, menguat dalam putusan MA yang kedua. Pada kasus Inaq Sanah vs Khadirun et al, hakim MA dalam pertimbangan putusan kasasinya mendukung putusan Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Selong.

PN Selong dalam memutus kasus Inaq Sanah, telah mengutip laporan penelitian “Perkembangan Hukum Adat Suku Sasak” yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Mataram pada tahun 1979. Penelitian itu menemukan bahwa telah terjadi pergeseran nilai dalam Hukum Waris Adat tentang kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat di Lombok35. Anak perempuan dianggap sama haknya dengan anak laki-laki dalam memperoleh waris atas tanah dari bapak kandungnya. Dengan demikian, putusan MA dalam kasus ini menolak kasasi pihak Khadirun yang berpegang pada prinsip hukum waris adat, yaitu anak perempuan tidak berhak untuk menerima waris. Hakim MA dalam bagian

33 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 1589 K/Sip/1974, tanggal 9 Februari 1978.34 Putusan Mahkamah Agung, No. 2662 K/Pdt/1984, tanggal 26 November 198535 Rajagukguk, Opcit. hal. 25-26.

Page 383: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

358

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

akhir putusan tersebut menyatakan bahwa putusan PN Selong dan PT NTB tidak salah menerapkan hukum.36 Pada putusan tersebut terlihat adanya kontestasi antara hukum adat dengan hukum perdata Barat, di mana hukum perdata Barat yang dirujuk oleh para hakim pengadilan (institusi negara), pada akhirnya melindungi hak anak perempuan.

Pengalaman perempuan dan anak perempuan dalam mengakses hak atas waris keluarganya dari ketiga kelompok masyarakat di atas, memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi di Kenya.37 Pada konteks Kenya, perempuan sebagai janda, sekalipun memiliki hak untuk mengelola tanah almarhum suami mereka, harus berjuang menghadapi gangguan dan tuntutan dari saudara ipar mereka (keluarga almarhum suami).

Sekalipun perempuan mendapat hadiah berupa tanah garapan (bukan sebagai warisan) dari keluarganya, mereka akan selalu berhadapan dengan gangguan dan tuntutan dari saudara kandung laki-laki mereka, ketika orang tua mereka meninggal. Dalam perspektif saudara laki-laki tersebut, tanah itu adalah tetap milik orang tua mereka yang tidak berhak diwarisi si anak perempuan, sehingga harus kembali ke bawah kepemilikan keluarga (yaitu saudara laki-laki tersebut).

Perempuan Kenya yang mengalami kesulitan mengakses lahan milik keluarganya, ditengarai karena ada pengaturan yang sengaja dibuat oleh elit dalam masyarakat. Aturan tersebut kemudian dilanggengkan di bawah judul hukum adat. Para elite ini selain menduduki posisi elite secara konteks budaya, juga memiliki akses-akses terhadap kekuasaan politik dan ekonomi dalam masyarakat tersebut, bahkan menjadi aparat pemerintah. Akibatnya, perempuan yang membawa kasusnya untuk diselesaikan, pada tokoh setempat atau pada aparat pemerintah, justru akan mengalami masalah baru, yaitu dikucilkan oleh lingkungan (yang takut pada aparat dan tokoh setempat) atau bahkan dikucilkan oleh keluarga perempuan itu sendiri.

Hambatan lainnya, kalaupun aparat pemerintah berupaya menolong perempuan, pertimbangan utama mereka bukanlah keadilan bagi perempuan atau apakah perempuan dapat mengakses haknya atas waris atau properti, melainkan

36 Ibid.37 Women’s Lands Rights Kenya (2010) hal. 2.

8.3 Kerangka Konseptual

Page 384: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

359

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

bagaimana caranya mengembalikan situasi damai dalam masyarakat. Upaya untuk mengembalikan kondisi harmonis dan damai itu, sering dicapai justru dengan mengabaikan kepentingan perempuan. Alasan pengabaian kepentingan perempuan dalam upaya ‘mengembalikan kondisi harmonis’ tersebut ternyata juga sering merupakan alasan yang menyelubungi terjadinya penyuapan oleh pihak lawan si perempuan, kepada pihak aparat pemerintah.38

Griffiths dalam penelitiannya pada masyarakat Kwena juga menemukan fakta bahwa perempuan dan anak perempuan tersubordinasi dalam mengakses hak waris atas harta milik keluarga. Dalam pengaturan waris pada kelompok Kwena, yang diutamakan mendapat waris adalah anak laki-laki tertua dari istri pertama, selanjutnya anak laki-laki berikutnya dari istri yang sama, setelah itu baru anak laki-laki dari istri berikutnya. Anak perempuan hanyalah menunggu kebaikan hati dari ayahnya untuk mendapatkan hadiah ketika menikah dalam bentuk ternak atau tanah untuk bercocok tanam.

Selain hukum adat Kwena yang mendiskriminasi perempuan dan anak perempuan, Negara melalui Act No 155, juga melakukan diskriminasi. Langkah diskriminasi dilakukan dengan menyatakan bahwa penentuan hak waris sangat tergantung pada kedudukan hukum dari si anak dan istri yang melahirkan anak tersebut. Padahal dalam konteks Kwena dapat terjadi perkawinan tidak dilakukan menurut hukum negara.

Perjuangan perempuan Kwena dalam mengakses hak warisnya atas harta keluarga, akhirnya diakomodir oleh pemerintah ketika kemudian pihak pemerintah membuat regulasi yang diilhami oleh perspektif keadilan terhadap perempuan yang diusung oleh CEDAW. Regulasi tersebut berpihak pada perempuan dan kemudian dijadikan dasar oleh para hakim magistrate court untuk memutus perkara waris bagi perempuan dan anak perempuan yang lebih berperspektif keadilan bagi perempuan.39

Dari deskripsi mengenai masalah penentuan hak waris (dari segi hukum adat) pada empat kelompok masyarakat tersebut terlihat bahwa isu penentuan hak waris bukan hanya berkisar pada aspek ekonomi dan hukum. Namun, ada pula masalah politik kekuasaan, yang memperlihatkan ketidakadilan yang dialami perempuan dan anak perempuan dalam penentuan hak untuk mewaris. Hak itu sangat tergantung pada relasi kuasa yang terjalin antara pihak perempuan

38 Ibid.39 Griffith, Anne. “Using Ethnography as a Tool in Legal research: An Anthropological Perspective” in Banakar & Travers,

Theory and Method in Socio-Legal Research, 2005. US and Canada: Hart Publishing. Page.

Page 385: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

360

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dan anak perempuan dengan pihak laki-laki yang menjadi ‘elit’ penentu dalam keluarga besar maupun masyarakat.

Lalu bagaimana peran negara di Indonesia dalam membantu perempuan mengakses hak warisnya? Apakah aturan-aturan hukum negara mengakomodir kepentingan perempuan dan anak? Seperti sudah dibahas dalam bagian mengenai hak waris anak perempuan pada masyarakat Lombok, Batak dan Tionghoa, pada kondisi hukum adat tidak berpihak kepada perempuan, hukum Perdata Barat yang didukung oleh institusi negara yaitu lembaga pengadilan dapat memberi perlindungan atas hak waris anak perempuan melalui putusan pengadilan. Bagian berikutnya akan mengulas aturan waris bagi perempuan dari perspektif hukum perdata Barat di Indonesia.

Ada beberapa dasar hukum yang digunakan dalam menentukan masalah hak waris bagi golongan masyarakat yang tidak menundukkan diri pada hukum Islam. Aturan itu adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Kedua tentang Kebendaan, secara khusus termuat pada Pasal 832 dan 852 serta yurisprudensi. Ada satu yurisprudensi yang merupakan ‘tonggak’ hukum dalam penentuan masalah hak waris yang berperspektif keadilan bagi perempuan, (yang sudah dibahas pada bagian tentang hukum waris Adat Batak di atas), yaitu yurisprudensi MA Tahun 1961 tentang Kasus Hak Waris antara Sitepu vs Ginting. Kasus tersebut dikenal dengan judul kasus Juma Pasar.

Sebelum membahas tentang pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat (KUHPer), ada beberapa prinsip dasar dalam hukum waris Perdata Barat. Prinsip-prinsip dasar tersebut mencakup sebutan dari para pihak, siapa saja pihak yang berhak mewaris dan bilamana hak waris muncul.

8.4.1 Para Pihak yang Terlibat dalam Masalah WarisDalam hukum waris sesuai dengan KUH Perdata, sebutan dari para

pihak yang terlibat dalam masalah waris adalah ahli waris untuk pihak yang berhak menerima warisan. Pihak yang memberi hak waris disebut pewaris.

Pihak yang berhak mewaris, ditentukan melalui aspek penarikan garis keturunan, yaitu orang yang memiliki hubungan darah atau orang yang memiliki hubungan pernikahan dengan pewaris (baik sebagai suami atau istri) sebagaimana diatur dalam Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

8.4 Akses Perempuan dalam Hukum Waris Perdata Barat

Page 386: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

361

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Pasal 832 KUHPerMenurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera di bawah ini: Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala utangnya, sekadar harta harta peninggalan mencukupi untuk itu.

Berdasarkan pasal tersebut, terdapat beberapa pihak yang memiliki hubungan darah dan berhak atas warisan.

1. Anak kandung dari pewaris.2. Orang tua pewaris apabila pewaris tidak memiliki istri/suami

dan anak kandung.3. Saudara kandung dari pewaris.4. Anggota keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan

ibu pewaris apabila orang tua pewaris telah meninggal lebih dahulu dan pewaris tidak memiliki istri/suami, anak kandung maupun saudara kandung. Dalam hal ini yang dimaksud sebagai anggota keluarga dalam garis lurus ke atas, misalnya kakek dan atau nenek, kakek buyut dan atau nenek buyut.

5. Paman dan bibi pewaris beserta keturunannya sampai derajat keenam, apabila orang tua pewaris sudah meninggal terlebih dahulu sebelum pewaris meninggal dan tidak ada istri/suami, anak kandung, saudara kandung, maupun kakek/kakek buyut/nenek/nenek buyut dari pewaris.

6. Saudara kakek dan nenek sampai derajat keenam, apabila kerabat yang disebutkan pada nomor 1 sampai dengan 5 tidak ada atau sudah meninggal lebih dahulu sebelum pewaris meninggal dunia.

Pasal 832 KUHPer menetapkan para ahli waris adalah keluarga sedarah secara vertikal dan juga suami/istriistri dari pewaris. Secara tekstual dan substansial, pasal ini memang menyediakan dasar hukum bagi anak dan istri untuk mewaris. Tetapi, apabila kita cermati, dalam pasal tersebut terdapat pernyataan ‘keluarga sedarah baik sah maupun

Page 387: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

362

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

luar kawin.’ Pernyataan itu merujuk pada anak yang dihasilkan dari perkawinan maupun anak luar kawin, sehingga dapat berimplikasi pada kemungkinan terjadinya penuntutan hak atas waris oleh anak luar kawin atas harta ayah/ibunya.

Dalam situasi pasangan yang ditinggalkan secara khusus istri) tidak memiliki pengetahuan hukum yang memadai, maka penuntutan hak atas waris yang dilakukan oleh anak luar kawin dapat menimbulkan masalah bagi keluarga yang ditinggalkan oleh pewaris tersebut. Jadi pasal ini secara de jure dapat dikatakan sudah melindungi hak anak untuk mengakses hak warisnya sekalipun anak tersebut lahir dari hubungan yang tidak diakui sebagai perkawinan menurut aturan hukum negara.

Hal menarik dari pasal ini, sekalipun untuk konteks ahli waris dari keluarga sedarah disebutkan baik di luar perkawinan maupun di dalam perkawinan, tetapi untuk ahli waris dari pihak pasangan hidup pewaris secara lugas disebutkan, istri atau suami yang hidup terlama. Pernyataan hidup terlama dalam pasal ini maksudnya adalah pasangan dari pewaris, yang pada saat pewaris (baik laki-laki maupun perempuan) meninggal, masih hidup. Dengan demikian, yang diakui sebagai istri atau suami dalam konteks KUHPer, adalah istri atau suami yang dinikahi oleh pewaris, sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh hukum negara.

Pasangan dari ahli waris yang pernikahannya tidak diakui oleh hukum negara akan mengalami kesulitan untuk mengakses harta peninggalan pewaris. Kesulitan tersebut terutama timbul dalam hal pasangan yang ditinggal mati harus menyediakan alat bukti berupa dokumen yang menyatakan ada pernikahan antara dia dan pewaris. Dampak ini juga akan dirasakan oleh anak yang lahir di luar pernikahan yang diatur oleh hukum negara, yaitu dengan tetap diperlukan adanya alat bukti. Dalam hal ini, alat bukti yang dimaksud berupa dokumen hukum yang menjadi dasar untuk menentukan bahwa memang ada hubungan darah antara anak dan pewaris. Tetapi, faktanya dokumen hukum untuk anak yang lahir di luar mekanisme hukum negara, tidak tersedia. Namun, perkembangan teknologi medis saat ini, alat bukti tersebut dapat diperoleh melalui tes DNA dan penetapan pengadilan yang menyebutkan bukti tersebut dapat digunakan.

Page 388: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

363

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Pada pernikahan yang tidak diakui oleh negara sehingga suami/istri dari pewaris tidak memiliki akses terhadap harta pasangannya, harta tersebut lantas diserahkan ke pengelolaan Balai Harta Peninggalan. Kondisi ini terjadi dalam salah satu kasus yang ditemukan pada masyarakat Tionghoa di Bekasi, seorang laki-laki keturunan Tionghoa meninggal karena bunuh diri. Perempuan pasangan hidupnya adalah seorang pribumi beragama Islam. Dari pasangan tersebut lahir beberapa anak.40

Mengingat bersatunya pasangan tersebut tidak melalui upacara adat, agama dan tanpa melalui mekanisme yang diatur oleh hukum negara, maka ibu dari pihak laki-laki tersebut menyerahkan harta waris anak laki-lakinya kepada Balai Harta Peninggalan. Tujuannya, bila anak-anak dari pasangan tersebut telah dewasa, harta tersebut dapat diserahkan kembali kepada anak-anak itu yang berhak. Setelah anak-anak itu dewasa, mereka baru dapat mengakses harta tersebut setelah memperoleh penetapan dari Pengadilan Negeri setempat. Tetapi, untuk memperoleh penetapan hukum sebagai anak yang sah untuk mewaris dari pengadilan negeri, anak-anak ini tentu harus menunggu sampai usianya cukup dewasa. Hal tersebut dilakukan bila dia tidak memperoleh dukungan dan bantuan dari kerabatnya yang lebih tua dalam mengajukan kasusnya.

8.4.2 Hak Waris Tidak Mengenal Pembedaan Jenis KelaminTidak ada pembatasan jenis kelamin sebagai ahli waris dalam

KUHPer. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan yang lahir dari perkawinan kedua orang tuanya berhak untuk mewarisi harta orang tuanya sebagaimana diatur dalam Pasal 852 KUHPer. Secara khusus pasal ini menyebutkan anak tanpa membedakan jenis kelamin, merupakan pihak yang berhak mewaris harta peninggalan dari kedua orang tuanya ataupun kakek dan nenek dan keluarga sedarah.

“Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu.

40 Nurtjahyo, Op. Cit.,

Page 389: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

364

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat ke satu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau sekadar sebagian mereka bertindak sebagai pengganti.”

Dalam pengaturan KUHPer Pasal 852 ini, posisi anak laki-laki dan anak perempuan setara dalam hal hak untuk mewaris. Dengan demikian dapat dibaca pertama, tidak ada dasar melakukan pembedaan atas jenis kelamin untuk pihak penerima waris. Kedua, sebaliknya baik pihak ayah maupun pihak ibu sebagai pewaris dapat memberikan waris kepada anak-anaknya tanpa memandang jenis kelamin.

Pasal ini juga mengatur dalam mewaris, tidak ada perbedaan mengenai besarnya bagian/jenis benda yang diwariskan antara saudara yang lahir lebih dahulu (kakak) dengan saudara yang lahir kemudian (adik). Anak maupun keturunan dari anak tersebut berhak untuk memperoleh hak waris. Secara de jure, pasal ini merupakan dasar hukum yang mengatur tentang perlindungan hak anak untuk mewaris tanpa membedakan jenis kelaminnya ataupun posisi anak dalam keluarga.

Pada klausul mengenai ‘mewarisi kepala demi kepala,’ waris bersifat individual. Pemilik hak waris adalah individu yang berada dalam posisi sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan KUHPer. Apabila individu tersebut telah meninggal, maka ahli waris pada tingkat berikutnya yang ditetapkan dalam KUHPer yang berhak untuk menerima hak waris tersebut (lihat pada bagian tulisan ini yang menjelaskan isi Pasal 832 KUHPer tentang pihak-pihak yang berhak menerima waris).

8.4.3 Munculnya Hak untuk Mewaris Tidak seperti pemberian biasa dari orang tua kepada anaknya,

pemberian hak waris merupakan hal yang bersifat istimewa. Keistimewaan dari pemberian hak waris ini diatur dalam Pasal 830 KUHPer. Dalam pasal tersebut diatur, “Harta waris baru dapat diakses oleh para ahli waris setelah terjadinya kematian pewaris.” Jadi dalam hal ini hak atas waris baru muncul apabila pewaris telah meninggal dunia.

Page 390: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

365

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Rancangan penetapan waris dalam bentuk surat wasiat baik yang dibuat di depan notaris maupun secara individual, dapat dibuat pewaris sewaktu masih hidup. Tetapi, eksekusi atau pelaksanaan dari kehendak pewaris, hanya dapat dilakukan setelah pewaris meninggal. Ketentuan ini dapat menimbulkan masalah baru. Apabila pewaris semasa hidupnya telah membuat surat penetapan waris di depan para saksi, berarti ketika ia meninggal ada bukti tertulis atas keinginan pewaris tentang siapa saja yang berhak mewaris dan besaran bagian yang akan diterima serta bentuk warisannya. Tetapi bila pewaris tidak sempat membuat surat penetapan dan tidak ada saksi yang dapat menjelaskan keinginan pewaris, maka penentuan waris terpaksa harus dilakukan secara musyawarah mufakat di antara para pihak, yang termasuk kategori ahli waris menurut ketentuan Pasal 832 KUHPer.

Sekiranya musyawarah mufakat dianggap tidak cukup, maka dapat diperkuat dengan pembuatan akta notaris ataupun penetapan melalui putusan pengadilan. Situasi ini rentan terhadap potensi konflik, bila ada salah satu pihak ahli waris yang memiliki itikad kurang baik dan kebetulan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan dengan ahli waris lainnya.

8.4.4 Catatan Kritis mengenai Pasal 832 dan 852 KUHPerSecara khusus, KUHPer mengatur untuk golongan Tionghoa dan

anak di luar kawin yang selama mendapat pengesahan dari pengadilan dapat mewaris harta orang tuanya. Kasus-kasus anak hasil pernikahan di luar mekanime hukum negara yang mengakses hak waris atas harta orang tuanya, ditemukan di kalangan Tionghoa di Bekasi. Mereka meminta penetapan dari Pengadilan Negeri Bekasi.41 Kesulitan dalam mengajukan proses penetapan terhadap status anak akan muncul bila tidak lagi terdapat saksi-saksi ataupun bukti yang mendukung pernyataan si anak.

Penting untuk diperhatikan, di awal bagian dua dari Buku Kedua KUHPer yang memuat Pasal 832 dan 852, tertera ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut, berlaku untuk golongan Tionghoa dan Kristen. Muncul pertanyaan bagaimana dengan kelompok masyarakat lain yang tidak menganut hukum Islam tetapi juga bukan Tionghoa dan

41 Ibid.

Page 391: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

366

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

bukan penganut agama Kristen? Selain terhadap hukum adat masing-masing, mereka harus merujuk ke sistem hukum mana dalam upaya menentukan hak warisnya? Apabila merujuk pada hukum agama apakah lembaga peradilan dan mekanisnya tersedia?

Kondisi ini ini terjadi karena adanya ‘stereotyping hukum,’ akibat pemerintah kolonial menetapkan, masing-masing golongan berlaku hukum yang berbeda. Orang dapat menjadi kehilangan pilihan untuk menundukkan diri secara bebas pada sistem hukum yang dikehendakinya. Padahal, dalam hukum, bahkan dalam KUHPer, ada pengaturan mengenai mekanisme penundukkan diri secara sukarela. Artinya, sekalipun ada penggolongan hukum sebagaimana diatur dalam IS, karena sudah dicabut oleh peraturan perundangan pascakemerdekaan RI, dalam KUHPer tetap dimungkinkan adanya mekanisme di mana seseorang dengan sukarela memilih untuk tunduk pada sistem hukum Perdata Barat, ketimbang hukum adat atau hukum agama (Islam).

Berkaitan dengan status anak, dalam Pasal 852 KUHPer disebut ‘biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan.’ Jadi secara tersurat dalam pasal ini terkandung makna, anak yang berhak mewaris adalah anak-anak dari pewaris. Anak(-anak) tersebut lahir dari perkawinan(-perkawinan) yang dilaksanakan oleh pewaris. Penting untuk membaca pasal ini secara tidak terlepas/berdiri sendiri, melainkan harus merujuk pada Bab Keempat dari Buku Kedua KUHPer. Perkawinan dalam konsep yang dianut dalam KUHPer adalah perkawinan dalam pengertian hukum perdata yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Bab Keempat Buku Kedua KUHPer. Di dalamnya termuat tentang syarat-syarat dan segala sesuatu yang harus dapat dipenuhi supaya dapat berkawin. Bagaimana dengan anak yang lahir dari pernikahan yang tidak diselenggarakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam KUHPer? Anak(-anak) pewaris yang lahir bukan dari pernikahan yang mekanismenya diatur hukum negara, harus melalui prosedur pembuktian. Hasil pembuktian yang menyebut anak tersebut adalah keturunan pewaris, kemudian harus ditetapkan melalui pengadilan.

Jadi dalam hal ini, secara tersirat, untuk hak mewaris, hanya anak luar kawin yang dapat menuntut hak waris dari orang tua biologisnya. Pihak laki-laki atau perempuan yang memiliki anak tersebut dari hasil hubungan luar kawin dengan pewaris, tidak dijelaskan kedudukannya apakah berhak pula untuk turut mewaris.

Page 392: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

367

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Kasus yang dianalisis dalam bagian ini ada dua. Kasus pertama adalah kasus waris yang melibatkan keluarga keturunan Tionghoa, di mana lokasi tanah dan rumah yang menjadi objek sengketa berada di provinsi Sulawesi Selatan. Kasus kedua, berlokasi di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Kasus pertama dipilih karena dalam kasus ini terdapat penggambaran penentuan waris dalam masyarakat keturunan Tionghoa, yang masih berlaku penarikan garis keturunan secara patrilineal. Sekalipun demikian, para pihak juga menundukkan diri pada hukum Perdata Barat melalui pembuatan akta penetapan waris pada notaris setempat. Selain itu dengan membawa perkara sengketa waris ke pengadilan mulai dari tingkat PN, PT sampai dengan MA menggambarkan pilihan hukum para pihak yang terlibat dalam sengketa waris.

Penggugat/pembanding/pemohon telah bertempat tinggal di Jakarta. Kasus ini awalnya diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Kemudian setelah jatuh putusan hakim dan ternyata tidak memenuhi rasa keadilan penggugat, pihak penggugat naik banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Sulawesi Selatan. Ternyata PT Sulawesi Selatan memberi putusan yang sama. Akhirnya penggugat/pembanding/pemohon mengajukan kasasi ke MA. Di MA pihak penggugat/pembanding/pemohon ini yang merupakan salah satu anak perempuan dari keluarga keturunan Tionghoa tersebut, kembali kalah karena alasan teknis.

-------------------------------------------------

Farida vs Ramli dan Iwan Gunawan Gosmajaya(Putusan MA No. 1360 K/Pdt/2010)

SEJARAH PROSEDURAL l Pengadilan Negeri Makassar sesuai Surat Penetapannya Nomor : 06/

EKS/2008/PN.MKS. tanggal 14 Februari 2008 jo No. 36/Pdt.G/2004/PN.Mks. jo No. 36/Pdt.G/2004/PN.Mks. tanggal 14 Oktober 2004.

lKemudian masuk putusan Pengadilan Tinggi Makassar No. 51/Pdt/2005/PT.Mks. tanggal 03 Oktober 2005 jo

l Putusan Mahkamah Agung RI No. 1536 K/Pdt/2006 tanggal 10 Agustus 2007

l Putusan MA No 1360 K/Pdt/2010.

8.5 Studi Kasus

Page 393: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

368

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

PERNYATAAN FAKTA lKasman Gunawan Gomasjaya (suami) dan Meike Siahaya (istri)

keduanya telah meninggal dan memiliki 5 orang anak: l Linda Gunawan Gomasjaya (anak perempuan), saat lahir bernama

Hong Ling, lahir tanggal 17 Oktober 1959,lRamli Gunawan Gomasjaya (anak laki-laki, saat lahir bernama Goan

Hui lahir tanggal 17 Desember 1960,l Imelda Gunawan Gomasjaya (anak perempuan), saat lahir bernama

Hong Tjoe, lahir tanggal 31 Mei 1963,l Farida Gunawan Gomasjaya (anak perempuan), saat lahir bernama

Hong Sieng, lahir tanggal 26 September 1964,l Iwan Gunawan Gomasjaya (anak laki-laki), saat lahir bernama Liong

Hui, lahir tanggal 24 Agustus 1966.

Kedua orang tua Penggugat–Pelawan juga meninggalkan harta kekayaan berupa: sebuah perusahaan berbadan hukum PT. Asia Tropical (yang dikuasai Tergugat –Terlawan III) dan sejumlah tanah dan bangunan.

Dalam keluarga orang tua Penggugat–Pelawan, sejak kecil Ramli Gunawan Gomasjaya dan Iwan Gunawan Gomasjaya yang dipersiapkan untuk melakukan dan melanjutkan usaha keluarga. Sementara, tiga orang anak perempuan lainnya ditugasi membantu ibunda melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, antara lain mempersiapkan makan-minum sehari-hari, memelihara kebersihan kamar dan rumah serta merawat orang tua saat sakit semasa hidupnya.

Harta kekayaan orang tua tidak ada yang diatasnamakan anak-anak-nya yang perempuan yaitu Farida Gunawan Gosmajaya (kini Penggugat – Pelawan), Imelda Gunawan Gosmajaya dan Linda Gunawan Gosmajaya.

Meskipun semua harta kekayaan warisan diatasnamakan untuk kedua anak laki-lakinya Ramli Gunawan Gosmajaya dan Iwan Gunawan Gosmajaya (Tergugat-Tergugat II) sesuai kebiasaan dalam kalangan keturunan Tionghoa, namun menurut undang-undang dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang berlaku,

Farida Gunawan Gosmajaya beserta Imelda Gunawan Gosmajaya dan Linda Gunawan Gosmajaya, tetap berhak secara sah mewarisi harta-kekayaan orang tuanya. Hal itu dinyatakan oleh hakim dalam persidangan. Tidak ada lagi diskriminasi hak waris, antara anak laki-laki dan anak perempuan.

Page 394: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

369

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Semua ahli waris anak laki-laki maupun anak perempuan di kalangan keturunan Tionghoa adalah sederajad dan sama besarnya.

Dengan demikian maka lima anak kandung alm. Kasman Gunawan Gosmajaya dan almh. Meike Siahaya merupakan ahli waris yang sah dan sederajad serta masing-masing mempunyai hak waris sebesar 1/5 bagian dari seluruh harta warisan orang tuanya yang menjadi objek eksekusi .

Menurut pertimbangan hakim sangat tidak adil bahwa waris semuanya dikuasai oleh Iwan Gosmajaya. Dengan demikian harta yang dikuasai Iwan Gunawan Gosmajaya harus dibagi antara saudara-saudaranya yang perempuan.

Ramli Gosmajaya telah meninggal dan hartanya dikuasai oleh istri dan anaknya.

Properti yang disengketakan berjumlah 79 lahan (rumah dan tanah) dan pabrik.

Dalam bagian putusan lain, anak dan istri dari almarhum Ramli tetap berhak untuk mewaris peninggalan almarhum.

Putusan hakim MA sekalipun dalam bagian pertimbangan mengakui adanya diskriminasi, ternyata tetap mengalahkan pemohon yaitu Farida Gunawan Gosmajaya.

Ada beberapa alasan hakim pada tingkat PN memberi putusan yang menetapkan Farida sebagai pihak yang kalah.

1. Pada gugatan Farida, pihak yang digugat hanyalah istri dari almarhum Ramli, padahal pihak ahli waris Ramli adalah istri dan anaknya sekalipun anak itu belum cukup umur, sehingga majelis hakim berpendapat gugatan Farida tidak lengkap.

2. Di sisi lain majelis hakim juga memberi argumentasi bahwa anak Ramli meskipun berjenis kelamin perempuan tetap merupakan ahli waris yang sah dari Ramli.

Putusan hakim pada tingkat PN dikuatkan dengan putusan hakim PT Sulawesi Selatan di Makassar tanggal 16 Oktober 2009 melalui putusan No. 227/PDT/2009/PT.MKS.

Menurut pertimbangan hakim MA putusan hakim tingkat PN dan tingkat PT tidaklah tepat, karena tidak mempertimbangkan anak perempuan meskipun menurut kebiasaan Tionghoa tidak mendapatkan hak waris atas properti dari ayah kandungnya, tetapi anak perempuan

Page 395: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

370

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dalam hukum perdata barat juga berhak atas hak waris orang tua mereka. Terlebih dengan mempertimbangkan ketiga anak perempuan Gosmajaya telah merawat kedua orang tua mereka selama sakit.

Tetapi dalam putusannya hakim MA menolak permohonan kasasi dari Farida Gunawan Gosmajaya.

ISU (PERTANYAAN)Adakah inkonsistensi antara pertimbangan hakim MA (yang menegaskan bahwa ada tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh saudara laki-laki dari Farida Gunawan Gosmajaya yang mengajukan kasasi ke MA, dengan putusan hakim MA yang tetap mengalahkan pemohon kasasi dengan alasan tidak terdapat bukti yang cukup?

ATURAN KUHPer Pasal 852

ANALISIS (PENERAPAN)lHakim dalam pertimbangannya berpendapat bahwa berdasarkan UU

tidak dapat dibenarkan pembedaan perlakuan dalam hal pewarisan bagi anak perempuan. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan memiliki hak yang sama untuk mengakses harta keluarganya.

lDalam putusan, hakim justru menolak permohonan dari anak perempuan yang dirugikan karena harta waris orang tuanya seluruhnya diambil oleh adik laki-laki mereka.

lAlasan hakim menolak permohonan dan menghukum Farida (pemohon) berdasarkan:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat: Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenar-kan, oleh karena judex facti tidak salah menerapkan hukum, karena terbukti Pelawan tidak berhasil membuktikan dalilnya yaitu sebagai pemilik tanah sengketa yang hendak dieksekusi”

KESIMPULAN Menolak permohonan kasasi Farida Gunawan Gosmajaya dan menghukum pemohon membayar biaya perkara sebesar Rp 500.000,-

-------------------------------------------------

Page 396: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

371

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Hakim dalam putusan MA ini memiliki pertimbangan, perempuan seharusnya memiliki hak waris yang sama dengan laki-laki. Tetapi dalam putusan, pemohon justru dikalahkan atau ditolak karena melihat tidak cukupnya bukti terhadap dalil yang diajukan oleh pemohon. Alasan penolakan hakim terhadap permohonan kasasi sangat teknis. Hakim selain menggunakan alasan bahwa judex facti tidak salah, juga menggunakan alasan pembuktian kepemilikan sebagai dasar menolak pemohon, untuk memperoleh haknya atas harta waris orang tuanya. Tanah yang menjadi objek sengketa ternyata sudah mengalami proses hukum balik nama sehingga tidak dapat dibuktikan, bahwa persil itu atas nama orang tua pemohon. Hakim, baik pada tingkat PN–PT–maupun MA hanya melihat aspek hukum formalnya saja. Dalam kasus ini, hukum tidak selalu memberikan keadilan dan memberi jawaban atas suatu persoalan.

Pada bagian pertimbangan dari putusan ini, majelis hakim pada tingkat MA memasukkan pertimbangan pembedaan perlakuan terhadap anak perempuan dan anak laki-laki dalam hal pembagian tugas, akses terhadap pendidikan dan akses terhadap waris, tidak semestinya lagi dilakukan. Baik anak laki-laki maupun perempuan, menurut hakim, memiliki hak yang sama meskipun dalam kasus ini anak laki-laki dibebani kewajiban untuk bekerja membantu perusahaan orang tuanya dan anak perempuan dibebani pekerjaan domestik. Tetapi, pemikiran tersebut sekadar berada pada lingkup pertimbangan saja. Ternyata pada tahap mengadili dan memutuskan, pertimbangan tersebut tidak disertakan hakim. Putusan juga tidak mengakomodir peraturan perundang-undangan yang berperspektif keadilan gender untuk menguatkan bagian pertimbangannya. Dengan demikian, hakim dalam putusannya gagal menghadirkan prinsip egaliter dalam penentuan hak waris dalam Pasal 852 KUHPer dan untuk mengakomodir keadilan gender.

Suatu putusan pengadilan, hendaknya tidak hanya sekadar menerjemahkan peraturan perundangan, tetapi juga dapat menghadirkan rasa keadilan. Sebagai ‘terjemahan’ dari peraturan perundangan pun, putusan hakim di atas dapat dikatakan seperti sebuah terjemahan yang tidak layak.

Selain bertentangan dengan prinsip egaliter dalam KUHPer, putusan waris untuk kasus ini, juga bertentangan dengan peraturan perundangan lainnya dalam Negara Republik Indonesia. Putusan tersebut sekalipun dalam pertimbangannya menyebutkan ada diskriminasi dan seyogianya hal tersebut tidak dilakukan, putusan tidak didasari pada prinsip CEDAW yang sudah diratifikasi dengan UU No 7/1984. Dalam hal ini, sekalipun hakim sering disebut sebagai ‘corong undang-undang,’ nyatanya selain tidak merepresentasikan

Page 397: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

372

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

prinsip egaliter dalam KUHPer, hakim juga tidak menghadirkan semangat CEDAW. Padahal, kedua peraturan tersebut adalah produk hukum negara. Dengan demikian hakim juga dapat dikatakan gagal sebagai corong undang-undang dalam kasus ini.

-------------------------------------------------

Jance Faransina Mooy vs Junus cs(Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

No. 1048 K/Pdt/2012)

SEJARAH PROSEDURAL lKasus ini pada awalnya diajukan ke PN Kupang dan dalam proses

selanjutnya hakim menetapkan putusan No. 07/Pdt.G/2010/PN.RND atas kasus ini.

l PT NTT Kupang salah menerapkan hukum adat yang berlaku di Rote Ndao

PERNYATAAN FAKTAlNy Jance Faransina Mooy-Ndun dalam perkara ini bertindak sebagai

penggugat, melawan Junus Ndoy; Johanis Mesah; Anderias Tau; Eduard Ndoi; Orias Tau; Felipus Tasi; Thobias Ndolu; Frans Mesah; Nehemia Seli; Yonathan Tau dan Yunus Tau selaku tergugat.

l Penggugat adalah anak kandung dari Jermias Ndoen.l Penggugat memiliki empat bidang tanah kering di Dusun Finok, Desa

Bo’a, Kecamatan Rote Barat dan Kabupaten Rote Ndao.l Penggugat memiliki tanah tersebut sebagai warisan dari ayahnya

(Jermias Ndoen). Ayah penggugat memiliki tanah tersebut dari ayahnya yang bernama Jermias Paulus Ndoen (kakek penggugat).

l Peralihan waris atas tanah tersebut terjadi ketika ayah penggugat meninggal.

l Secara terus-menerus kakek dan ayah penggugat menguasai dan memiliki tanah tersebut dan menandainya dengan cara menanam kelapa di atas lahan itu. Penggugat masih menikmati buah kelapa dari pohon-pohon yang ditanam di lahan tersebut.

l Penggugat memberi izin kepada Yahuda Ello alm.dan Adrianus Mbau alm. untuk menggarap sebagian lahan milik penggugat.

Page 398: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

373

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

l Pada tahun 1989 Tergugat I menjual tanah kepada Sdr Julius A. di atas tanah dibangun rumah.

l Penggugat melapor kepada Pemda Rote Barat Daya.lDiputuskan bahwa karena tanah bukan milik Tergugat I dan karenanya

Tergugat I tidak berhak menjual tanah tersebut, tanah dikembalikan kepada penggugat dan Julius A harus membongkar bangunan di atas tanah tersebut.

l Para tergugat kemudian tanpa sepengetahuan Penggugat membangun rumah di atas tanah sengketa dan menanami tanah sengketa dengan pohon-pohon kelapa.

l Penggugat menegur para tergugat tetapi teguran tersebut tidak dihiraukan.

l Para tergugat bahkan mengajukan permohonan untuk pengukuran tanah kepada BPN setempat. Tetapi proses tersebut akhirnya dihentikan setelah BPN mendapat protes dari Penggugat.

l Penggugat telah mengupayakan perdamaian tetapi tidak mendapat respon positif dari para Tergugat bahkan kemungkinan para Tergugat telah mengalihkan kepemilikan atas tanah kepada pihak lain.

l Para Tergugat kemudian mengajukan eksepsi.a. Subjek hukum tidak lengkap: Penggugat dalam gugatannya

mendudukkan dirinya sebagai satu-satunya ahli waris padahal masih ada satu anak kandung lagi, Rebeka N.

b. Subjek hukum tidak lengkap: di atas tanah sengketa ada dua rumah yang pemiliknya tidak ikut digugat oleh Penggugat. Dengan demikian surat gugatan dianggap tidak sempurna.

c. Subjek hukum tidak lengkap: di atas tanah sengketa ada kuburan keluarga di mana para ahli waris dari pihak yang dimakamkan di situ tidak turut digugat oleh Penggugat. Dengan demikian surat gugatan dianggap tidak sempurna.

d. Penempatan batas bidang-bidang tanah yang menjadi objek sengketa tidak tepat.

e. Penggugat, menurut para Tergugat sesungguhnya tidak memiliki tanah di Dusun F. Akan tetapi anak dari Penggugat telah merusak tanaman milik salah satu Tergugat di dusun tersebut.

lPutusan PN Rote Ndao tanggal 8 Maret 2011, No. 07/Pdt.G/2010/PN. RND, adalah:a. mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian,

Page 399: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

374

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

b. menyatakan bahwa Penggugat adalah ahli waris sah dari JEREMIAS NDOEN (almarhum),

c. menghukum Penggugat dan para Tergugat untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng sebesar Rp 5.844.000,00 (lima juta delapan ratus empat puluh empat ribu Rupiah),

d. menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.

l Penggugat kemudian menjadi Pembanding dengan mengajukan kasusnya ke PT NTT Kupang. PT Kupang melalui putusan No. 57/PDT/2011/PTK tanggal 28 Oktober 2011 menetapkan:a. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Rote Ndao tanggal 8

Maret 2011 perkara No. 07/Pdt.G/2010/PN.RND, yang dimohon-kan banding tersebut,

b. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat pengadilan, yang di tingkat banding sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu Rupiah).

Terhadap putusan PT ini, Penggugat kemudian mengajukan kasasi.

ISU (PERTANYAAN)Mengapa hakim MA menggunakan istilah ‘penerapan hukum adat oleh PN Rote Ndao?’ Pengadilan Negeri merupakan institusi hukum negara, apakah dalam kasus ini PN juga berwenang untuk menerapkan hukum adat?

ATURAN l Pasal 283 RBg dan 1865 KUH Perl Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 18B Ayat 2 UUD RI 1945 l Pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia dan Pasal 5a Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

lYurisprudensi MA tentang persamaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan untuk mewaris harta peninggalan orang tua.

ANALISIS (PENERAPAN)lDalam pertimbangan kasasi, Hakim MA mengemukakan beberapa

hal.

Page 400: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

375

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

a. Di wilayah tempat tinggal Penggugat dikenal hukum adat yang menarik garis keturunan patrilineal murni sehingga apabila dalam satu keluarga tidak ada anak laki-laki maka keluarga tersebut untuk meneruskan garis keturunan akan mengangkat anak laki-laki dari saudaranya yang dikenal dengan mekanisme adat DENDI ANAK KELAMBI. Dengan demikian, Penggugat sesungguhnya menurut hukum adat setempat tidak berhak mengajukan gugatan atas tanah warisan ayahnya.

b. Tetapi, prinsip hukum adat tersebut menurut hakim MA bertentangan dengan prinsip yang dikandung dalam Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 serta perkembangan masyarakat dan prinsip perlindungan gender dan nondiskriminasi antara laki-laki dan perempuan yang sekarang ini telah menjadi agenda nasional. Untuk itu putusan PN Rote Ndao tidaklah tepat.

c. Menurut hakim MA, pertimbangan PT Kupang bertentangan dengan Pasal 17 Undang-Undang No,m 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 5a Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

d. Hakim MA dalam kasus ini juga merujuk kepada beberapa Yurisprudensi MA dan putusan PN Kupang yang menetapkan bahwa istri maupun anak perempuan berhak menerima waris dalam konteks hukum adat setempat.

lHakim MA berpendapat bahwa PN Rote Ndao salah menerapkan Pasal 283 RBg dan 1865 KUH Per.

lHakim MA berpendapat PT NTT Kupang telah salah menerapkan hukum adat yang berlaku di Rote Ndao karena dalam masyarakat Rote Ndao tidak dikenal adanya DENDI ANAK KELAMBI.

lHakim MA juga berpendapat pertimbangan hukum PN Rote Ndao bertentangan dengan fakta-fakta yang ada dan bersifat sepihak.

KESIMPULAN Hakim MA memutuskan:a. Menerima kasasi Pemohonb. Membatalkan putusan PN Rote Ndao dan PT Kupangc. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian

Page 401: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

376

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

d. Menyatakan bahwa Penggugat adalah ahli waris sah dari JEREMIAS NDOEN (almarhum)

e. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya Menghukum para Termohon Kasasi/Tergugat I s/d Tergugat XI secara

tanggung renteng untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah).

-------------------------------------------------

Dalam kasus ini, sebetulnya pada masing-masing tingkat pengadilan telah terjadi proses penggalian hukum, terlepas dari apakah aturan yang digunakan itu berperspektif keadilan gender atau belum. Menarik untuk melihat, pada tingkat Pengadilan Negeri, hakim melakukan penggalian terhadap hukum adat setempat, sekalipun ternyata tidak tepat diberlakukan di Rote Ndao.

Pada tingkat MA, hakim dengan tepat telah membuat terobosan dalam kasus gugatan perdata ini. Hakim, tidak hanya berpatokan pada KUHPer saja atau aturan hukum perdata lainnya. Sebaliknya, hakim dengan berani merujuk kepada CEDAW yang diratifikasi dalam UU No. 7 Tahun 1984 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hakim juga menggali hukum dengan mempergunakan rujukan pada Yurisprudensi MA yang berkeadilan gender dan bahkan pada putusan PT NTT Kupang pada kasus lainnya, yang dianggap oleh hakim melindungi hak anak perempuan dalam mengakses waris dari orang tuanya.

Hakim MA bahkan melakukan penggalian hukum untuk melihat apakah betul mekanisme hukum adat Dendi Anak Kelambi, merupakan mekanisme yang diatur dalam hukum adat pada masyarakat Rote Ndao. Ternyata di masyarakat Rote Ndao, mekanisme pengangkatan anak laki-laki dari kerabat guna meneruskan garis keturunan tidak dikenal. Berdasarkan penggalian-penggalian hukum tersebut, hakim telah membuat putusan yang berperspektif keadilan gender. Penting untuk dicatat, bahwa hakim sekalipun merupakan corong undang-undang, hakim juga memiliki kewajiban untuk ‘menemukan hukum’ khususnya dalam rangka memberikan putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Hal menarik lainnya dari kasus ini adalah penggunaan frasa ‘Salah Menerapkan Hukum Adat’. Hal ini merujuk pada penafsiran hakim PN dan PT terhadap suatu aturan dalam hukum adat tentang pengangkatan anak laki-laki apabila suatu keluarga tidak memiliki keturunan laki-laki untuk meneruskan garis keturunan dan mewaris. Penting untuk mempertanyakan secara kritis pernyataan tersebut. Pertama, dikaitkan dengan posisi hakim (dan lembaga

Page 402: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

377

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

pengadilan) sebagai institusi yang bertugas menerapkan dan menegakkan hukum negara, apakah hakim juga memiliki kewenangan untuk menerapkan ‘hukum adat.’ Kedua, harus mempertanyakan bagaimana sebetulnya penerapan hukum adat yang disebutkan itu berlaku, dan secara khusus bagaimana mekanisme pengangkatan anak laki-laki yang dimaksud oleh majelis hakim. Hakim harus mencari tahu apakah adat tersebut berlaku secara menyeluruh di wilayah Timor atau hanya berlaku di wilayah tertentu saja, tidak berlaku di Rote Ndao.

Pernyataan tentang ‘kesalahan menerapkan hukum adat’ yang dikemukakan hakim MA pada kasus yang terjadi di Rote Ndao, penting untuk diperhatikan sebagai salah satu indikator hadirnya sistem hukum lain selain hukum negara dan hukum agama, dalam penetapan masalah waris. Kehadiran hukum adat dalam bagian pertimbangan hakim yang notabene merupakan ‘aktor’ pelaksana hukum negara, menarik untuk diamati dengan mempergunakan pendekatan pluralisme hukum dari perspektif global. Dalam hal ini batas ruang-ruang hukum internasional, hukum nasional dan hukum lokal ternyata telah sangat membaur (blurred border/borderless). Interaksi dan saling mempengaruhi antara sistem hukum nasional dan lokal pada kasus ini, telah menunjukkan tidak lagi dapat bagi seorang ahli hukum untuk sekadar mempelajari hukum negara yang steril dalam suatu wilayah, yang terpisah dari sistem hukum lainnya.

Secara khusus, masalah penentuan hukum waris pada masyarakat Indonesia, sangat terbuka terhadap terjadinya saling interaksi dan saling pengaruh antar sistem hukum, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural dan dinamis.

Terdapat perbedaan cara hakim menangani masalah waris dalam dua kasus di atas. Pada kasus pertama, tergambar pandangan yang merupakan arus utama para abdi hukum dalam menangani masalah waris. Masalah waris di atas mimbar pengadilan, sering hanya ditempatkan sebagai sekadar masalah hukum dan akses terhadap sumber daya ekonomi. Pada kasus pertama, terlihat bahwa dalam putusannya hakim sekadar memutuskan perkara waris berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku atau berdasarkan pertimbangan secara teknis. Keadilan, tidak mendapat tempat di ruang pengadilan.

Pada kasus kedua, hakim sungguh melaksanakan tugasnya sebagai hakim. Tidak hanya bertindak sebagai corong undang-undang, hakim juga melakukan kewajiban untuk ‘menemukan hukum.’ Hakim mempertimbangkan aspek sosial

8.6 Kesimpulan

Page 403: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

378

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

kultural dari kelompok masyarakat dari mana para aktor yang terlibat dalam kasus waris tersebut berasal. Tidak hanya menggali nilai hukum negara, hakim juga mencoba untuk menggali hukum adat setempat.

Pada kasus kedua, hakim terlihat memperlakukan masalah waris sebagai masalah yang penting untuk dipertimbangkan dari berbagai aspek, yaitu kultural dan sosial termasuk aspek relasi gender. Hakim tidak segan untuk melakukan penggalian hukum guna menghasilkan putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Saat ini dibutuhkan lebih banyak hakim yang mampu melihat secara menyeluruh kasus-kasus waris yang dibawa ke pengadilan. Kasus waris hendaknya tidak hanya dilihat hanya sebagai kasus yang menyangkut masalah finansial. Dalam kasus waris, tercakup pula aspek kultural, sosial termasuk relasi antarjenis kelamin. Kasus-kasus waris yang masuk ke pengadilan beberapa di antaranya bahkan mengandung unsur-unsur kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan dan anak perempuan, baik secara psikologis, ekonomis bahkan fisik. Perempuan, dalam posisinya sebagai anak maupun istri (janda) dalam berbagai kasus waris mengalami kekerasan dari pihak yang ingin memperoleh akses sepenuhnya terhadap hak waris, di mana pihak tersebut memiliki posisi tawar lebih kuat dibanding dengan janda maupun anak perempuan dalam keluarga.

Page 404: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

379

BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Daftar Pustaka Bab 8

Andraini, Fitika. (2006) Perbedaan Golongan Penduduk dalam Proses Pendaftaran Hak Atas Tanah karena Pewarisan. Tesis S2 Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Andrisma, Willy Yuberto. (2007) Pembagian Harta Waris dalam Adat Tionghoa di Kecamatan Ilir Timur I Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Tesis S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.

Griffith, Anne. (2005) Using Ethnography as a Tool in Legal research: An Anthropological Perspective in Banakar & Travers, Theory and Method in Socio-Legal Research. US and Canada: Hart Publishing

Irianto, Sulistyowati. (2000) Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

J4P. (2010) Briefing Note ‘Women’s Lands Rights Kenya’.

Meij, Lim Sing, Ruang Sosial Baru Permpuan Tionghoa Sebuah Kajian Pascakolonial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nurtjahyo, Lidwina Inge. (2006) “Perubahan Kedudukan dan Hak Waris Anak Perempuan dalam Keluarga Tionghoa”, studi kasus di Kota Bekasi dalam Sulistyowati Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

PKWJ UI dan Komnas Perempuan. (2008) Perempuan Memaknai dan Mengakses Keadilan. Laporan penelitian di tiga provinsi. (Jakarta: Komnas Perempuan), Desember 2008.

Purnama, Lita. (2005) “Apa Kabar Perempuan Daerah?”. Jurnal Perempuan. No 17: “Perempuan Lokal Bicara”. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Rajagukguk, Erman. (2012) “Legal Pluralism and the Three –Cornered Case Study of Women’s Inheritance Rights Changing in Lombok”, dalam David K Liman (ed.), Legitimacy, Legal Development and Change: Law & Modernization. Melbourne: Ashagate.

Siddharta, Ricki. (2013) Pembagian Waris dengan Wasiat Secara Lisan pada Masyarakat Adat Tionghoa di Kelurahan Buliang Kecamatan Batuaji Kota Batam. Tesis S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.

Page 405: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

380

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI BAB 8 PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONSTELASI HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Williams, Patricia J. (1995)“On Being the Object of Property”, dalam Frances Olsen (ed.), Feminist Legal Theory II: Positioning Feminist Theory within the Law.

PERATURAN PERUNDANGAN DAN YURISPRUDENSI

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Putusan PN/PT/MA.

Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 179/Sip/1961.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, No. 1589 K/Sip/1974.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2662 K/Pdt/1984.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1360 K/Pdt/2010.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1048 K/Pdt/2012.

Page 406: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN

KEJAHATAN SEKSUAL Lidwina Inge Nurtjahyo

Page 407: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

382

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

Ada mitos tentang kejahatan seksual yang pada umumnya menyesatkan masyarakat, bahkan aparat penegak hukum yang menangani kasusnya. Kejahatan seksual hanya menimpa perempuan, selalu terjadi pada malam hari, korban bukanlah perempuan baik-baik, dan terjadi semata-mata karena hasrat seksual;1 solusi terbaiknya adalah menikahkan pelaku dengan korban. Dalam kenyataannya kejahatan seksual bisa menimpa siapa saja, dapat terjadi kapan saja dan terjadi bukan hanya karena masalah hasrat seksual saja, tetapi juga karena timpangnya relasi kuasa berdasarkan gender, umur, status sosial, etnisitas, agama, dalam ranah budaya patriarkis.

Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kejahatan seksual sesungguhnya dapat terjadi kepada siapa saja2 tanpa memandang berbagai perbedaan identitas dan dalam ruang publik maupun privat. Gambaran realitas tentang kejahatan seksual yang disajikan dalam tulisan ini, dijelaskan dengan

9.1 Pengantar

BAB 9

Perempuan dan Anak Korban Kejahatan Seksual

1 Susan Estrich, “Rape”. Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction (Temple Univ Press, 1996) hal. 431-432.

2 Ibid.

A manifestation of historically unequal power relations between men and women, which have led to domination over and

discrimination against women by men and to the prevention of the full advancement of women and as one of the crucial social

mechanisms by which women are forced into a subordinate position compared with men

(Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 1993)

Page 408: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

383

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

data dan contoh kasus hukum. Tulisan ini juga membahas tentang perlindungan hukum bagi perempuan dan anak yang mengalami kejahatan seksual dalam konteks Indonesia. Ada tiga bagian yang akan dipaparkan dalam tulisan ini. Pertama, konsep dan teori tentang kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.3 Kedua, analisis kritis terhadap landasan hukum yang mendasari perlindungan terhadap anak dan perempuan yang berhadapan dengan kejahatan seksual. Ketiga, analisis terhadap putusan hakim yang berkaitan dengan kasus kejahatan seksual yang dialami oleh perempuan maupun anak. Bab ini ditutup dengan catatan reflektif dan simulasi kasus untuk latihan.

Kejahatan seksual hakikatnya adalah suatu tindak kejahatan berbasis gender yang mencederai martabat kemanusiaan dan harga diri seseorang, sebagaimana diatur dalam Butir 18 Deklarasi Vienna 25 Juni 1993. Berdasarkan Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 19934 Pasal 1, dinyatakan yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah:

“Dalam Deklarasi ini, yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan-tindakan semacam itu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.”

Dalam Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, tindakan yang menyebabkan perempuan menderita secara seksual, termasuk dalam tindakan kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan adalah fisik, psikologis dan seksual. Dalam Pasal 1 itu juga dinyatakan bahwa kekerasan tidak hanya mencakup tindakan melainkan juga ancaman tindakan, yang lebih bersifat psikologis. Jadi dalam suatu kasus kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak, tindak kekerasan seksual tidaklah dapat dipisahkan dari tindak kekerasan

3 Konsep dan teori yang lebih detail mengenai kekerasan berbasis gender telah dibahas di dalam dua bab awal dari buku ini

4 Deklarasi PBB berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No 48/104 yang dikeluarkan pada tanggal 20 Desember 1993. Diunggah dari website www.elsam.or.id 23 Juni 2013.

9.2 Mengenal Konsep Kekerasan dan Kejahatan Seksual

Page 409: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

384

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

fisik dan mental yang justru sering digunakan pelaku sebagai senjata untuk melaksanakan tujuannya terhadap korban.

Intimidasi adalah salah satu contoh dari ancaman. Sandra Bartky menyebut intimidasi merupakan bentuk kekerasan psikologis, yang dapat terjadi dengan melibatkan atau tanpa melibatkan kekerasan fisik.5 Intimidasi merupakan semacam janji yang dikemukakan pelaku, bahwa akan terjadi sesuatu yang menimbulkan kerugian atau luka pada korban/calon korban. Janji itu sendiri sebetulnya telah menimbulkan semacam luka psikologis pada korban/calon korban. Intimidasi, dikatakan berhasil dilakukan pelaku bila korban merasa wilayah privatnya dan rasa amannya dilanggar oleh tindakan pelaku. Intimidasi berhasil bila korban memiliki relasi kuasa yang bersifat asimetris terhadap pelaku.

Kekerasan seksual dalam tulisan ini akan disebut sebagai kejahatan seksual karena merupakan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan, oleh karenanya dapat dianggap sebagai kejahatan berat. Kejahatan seksual sejatinya adalah tindakan yang bertujuan menyerang seseorang berdasarkan seksualitasnya, di mana pelaku memiliki kekuasaan lebih dibanding korban, berdasarkan jenis kelamin dan atau umur dan atau status sosial ekonomi dalam masyarakat.

Kejahatan seksual adalah kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia yang berakibat sama beratnya bagi orang dewasa maupun anak-anak yang menjadi korbannya. Kejahatan seksual masuk ke dalam kategori kejahatan berat terhadap kemanusiaan karena kejahatan tersebut berdampak terhadap kondisi fisik, psikologis dan sosial korban. Secara fisik, kejahatan seksual dapat menyebabkan mulai taraf luka ringan, luka berat, cacat permanen, bahkan kematian. Dari aspek psikologis, kejahatan seksual berdampak pada terganggunya ketenangan jiwa korban yang antara lain dapat terlihat dalam bentuk gejala sulit tidur, ketakutan apabila melihat orang dengan ciri-ciri tertentu yang mirip pelaku, sulit makan, gangguan buang air besar dan buang air kecil, hysteria, gangguan makan, depresi, menurunnya kemampuan belajar, sampai pada gejala munculnya keinginan dan usaha untuk bunuh diri.6 Secara sosial, para korban kejahatan seksual juga akan mengalami kesulitan berinteraksi dengan lingkungannya, terutama apabila lingkungan memberi stigma negatif terhadap korban kejahatan seksual.7

5 Sandra Bartky Battered Women, Intimidation, and the Law” dalam Marilyn Friedman. Women and Citizenship. (Oxford Press, New York 2005) hal. 53.

6 Angela R. Gover Introduction Special Issue on Dating Violence and Gender (Artikel dalam Women & Criminal Justice), 23, hal. 164..

7 Berdasarkan hasil penelitian Magenta – PKWJ UI dan Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI, tentang Kekerasan Seksual yang Terjadi di Lembaga Pendidikan di Depok, Juli – Desember 2012.

Page 410: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

385

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Kejahatan seksual merupakan salah satu bentuk dari kekerasan berbasis gender atau Gender Based Violence (GBV). Tina Johnson mengemukakan GBV adalah kekerasan yang dilakukan terhadap individu berdasarkan gendernya.8

“Gender-based violence is violence that is directed at indi-viduals on the basis of their gender, with women and girls making up the vast majority of victims (though boys and men can also be the target). It is indiscriminate, cutting across racial, ethnic, class, age, economic, religious and cul-tural divides. Gender-based violence takes place throughout society: in the home, in the community and in state institu-tions (including prisons, police stations and hospitals).”

Menurut Peta Kekerasan terhadap Perempuan (2002), tindak kekerasan seksual dan serangan seksual termasuk dalam bentuk kekerasan berbasis gender. Konsep kekerasan seksual dalam Peta Kekerasan terhadap Perempuan, termasuk di dalamnya berbagai perilaku mengandung makna seksual yang tak diinginkan korban, maupun berbagai bentuk pemaksaan hubungan seks terhadap korban. Pemaksaan untuk berhubungan seksual ini tidak hanya terbatas pada pemaksaan masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan, tetapi juga termasuk penggunaan benda-benda asing lain untuk menimbulkan kesakitan pada alat kelamin dan bagian-bagian lain dari tubuh korban.9

Peta Kekerasan terhadap Perempuan secara spesifik memang meng-ategorisasi kejahatan yang termasuk dalam GBV, sebagai kekerasan fisik, penyiksaan mental dan kekerasan seksual, tetapi sebetulnya dalam tindak kejahatan seksual dapat saja tercakup semua perbuatan tersebut. Pelaku biasanya tidak segan melakukan kekerasan fisik seperti menampar, memukul, menjambak, mendorong sekuat tenaga dengan kasar, menginjak, menendang, mencekik, melempar benda kepada korban, menyiksa dengan benda tajam, atau membakar/menyiram dengan bahan kimia supaya korban takut dan memenuhi kehendak seksual pelaku.10 Demikian pula dengan kekerasan yang berbentuk penyiksaan mental. Pelaku biasanya mengeluarkan kata-kata makian, penghinaan yang

8 Tina Johnson. ‘Gender-Based Violence,’. Makalah untuk Commonwealth Secretariat’s Human Rights Expert Group Consullation, (2004) Journal of The Commonwealth Magistrates’ and Judges’ Association. Vol. 15. No.3 22.

9 Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan. Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan, Oktober 2002. hal. 43.

10 Komnas Perempuan, Peta. Op.Cit., hal 41.

Page 411: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

386

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

berkelanjutan untuk mengecilkan harga diri korban, bentakan dan ancaman supaya korban takut. Pelaku juga melarang korban ke luar rumah atau membatasi kebebasan bergerak korban supaya korban tunduk terhadap kemauan pelaku.11

Beratnya dampak yang ditanggung korban kejahatan sosial menunjukkan kejahatan jenis ini adalah kejahatan serius. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas dan fungsi dari negara untuk melindungi hak-hak warga negaranya dari kejahatan seksual, melalui produk hukum dan kebijakan negara. Perlindungan tersebut seyogianya termasuk perlindungan hak-hak yang terkait dengan Hak Asasi Manusia, yang di dalamnya memuat perlindungan terhadap para korban kejahatan seksual, yang telah tercederai haknya sebagai manusia. Pencederaan terhadap hak perempuan dan anak atas otoritas mereka terhadap tubuhnya tidak atau belum dipahami secara tuntas oleh penegak hukum maupun pembuat produk hukum negara. Pemahaman itu terkait bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia. Pertimbangan yang digunakan aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus kejahatan seksual seringkali bukan berdasarkan kepentingan dan rasa keadilan korban, tetapi yang justru mengedepankan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

l demi alasan ketertiban umum;l untuk mencegah rasa malu keluarga/pemuka adat/pemuka agama/

tokoh masyarakat setempat;l untuk mencegah terjadinya konflik yang meluas;l atas perintah atasan (yang tidak selalu berperspektif korban).12

Kejahatan seksual, baik yang berupa tindakan, ancaman tindakan, ataupun keduanya dapat menyebabkan korban mengalami trauma mental dan emosional. Bentuk kejahatan seksual yang melibatkan tindakan, berakibat terjadinya luka fisik yang bersifat temporer maupun permanen, cacat pada organ reproduksi bahkan kematian. Penderitaan fisik maupun psikologis korban kejahatan seksual masih ditambah dengan sejumlah mitos dalam masyarakat yang menyebut kejahatan seksual khususnya pemerkosaan, merupakan “kesalahan perempuan karena berada pada waktu dan tempat yang tidak tepat,”13 dan “kesalahan perempuan karena tidak melakukan perlawanan.”14 Mitos lainnya, “sudah merupakan hal

11 Ibid. hal. 42.12 Pendapat polisi peserta diskusi akbar FHUI-STIK Kekerasan Seksual terhadap Perempuan tanggal 9 April 2013 di FHUI Depok.13 Griffin, Susan “Rape: The All –American Crime”. Kelly D. Weisberg. Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex,

Violence, Work and Reproduction (Temple Univ Press, 1996) hal. 422-423.14 Estrich. Op.Cit., hal. 432.

Page 412: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

387

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

alamiah bagi laki-laki untuk melakukannya”15 atau “kesalahan perempuan karena melakukan tindakan yang mengundang kejahatan, misalnya melalui cara berpakaian.”16

Beban yang diderita oleh korban diperberat dengan beberapa cara pandang dalam aturan hukum maupun dalam penerapan dari aturan tersebut terhadap tindakan kejahatan seksual. Pertama, adanya kehadiran saksi yang dapat menguatkan kesaksian korban bahwa memang telah terjadi kejahatan seksual.17 Kedua, korban wajib memperlihatkan adanya perlawanan fisik terhadap tindakan pelaku. Ketiadaan perlawanan fisik oleh hukum dianggap sebagai kesukarelaan untuk melakukan hubungan seksual.18 Ketiga, konsep yang dianut dalam peraturan perundang-undangan tentang kejahatan seksual sering hanya mencakup tindak pidana pemerkosaan. Keempat, dalam ruang kelas maupun di ruang publik, para penegak hukum masih menganggap tindak kejahatan seksual ini sebetulnya berbasis sekadar suka sama suka.19

Kalangan penegak hukum, khususnya polisi ketika menerima laporan kejahatan seksual, masih banyak yang berpikir untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual tersebut dengan cara menikahkan korban dengan pelaku.20 Tidak hanya polisi, hakim pun dalam menangani kasus yang mengandung unsur kekerasan seksual atau ketika ditanyakan pendapatnya tentang kasus semacam itu sering mengeluarkan pernyataan yang justru tidak berpihak pada perempuan. Pernyataan tersebut dapat berupa anggapan hakim, bahwa anak yang dikandung perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah perbuatan suka sama suka, meskipun perempuan korban menjelaskan ia diperkosa dalam keadaan tidak sadarkan diri.21 Pertanyaan yang tidak berpihak juga dilontarkan pada korban anak. Penegak hukum, dalam proses pemeriksaan pada sidang kasus kejahatan seksual yang menimpa anak, melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengapa korban diam saja atau mengapa korban menerima uang yang diberikan pelaku.22

Sikap aparat penegak hukum yang tidak berpihak terhadap korban kejahatan seksual tidak hanya ditunjukkan dalam proses peradilan. Ada saja sikap

15 Griffin , Op.Cit., hal. 423.16 Catatan Tahunan Komnas Perempuan, Jakarta 2012. hal. 17.17 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia; Griffin (1996) Estrich, (1996).18 Estrich, Op.Cit. hal. 432-433.19 PKWJ UI-Magenta dan Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI. Laporan Hasil Penelitian Kekerasan Seksual pada

Lembaga Pendidikan di Wilayah Kota Depok, Juni-Desember 2012.20 Notulensi DIskusi Akbar FHUI – STIK tentang Kekerasan Seksual terhadap Perempuan, 9 April 2013.21 Sulistyowati Irianto dan Lidwina Inge Nurtjahyo Perempuan di Persidangan Pemantauan Peradilan Berperspektif

Perempuan (Yayasan Obor Indonesia . Jakarta, 2006) hal. 123.22 Ibid. hal. 181.

Page 413: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

388

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

pejabat hukum yang cenderung menyalahkan korban dalam kasus pemerkosaan, yang tidak berpihak pada keadilan korban (perempuan dan anak). Contohnya, sikap seorang hakim senior calon hakim agung ketika menjawab pertanyaan dari Komisi III DPR pada saat uji periksa kelayakan untuk menduduki jabatan. Pertanyaan yang diajukan saat itu adalah mengenai kepatutan hukuman mati dijatuhkan bagi pelaku kasus pemerkosaan. Hakim ini menjawab, “Yang diperkosa dengan yang memperkosa sama-sama menikmati.”23 Jawaban sang hakim kemudian disambut oleh gelak tawa seluruh anggota Dewan yang berada di ruangan tersebut.

Sikap pejabat yang menyalahkan korban kejahatan seksual juga dapat dilihat dari ucapan (mantan) Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo.24 Berikut kutipan dari komentar yang bersangkutan,“Bayangkan juga kalau orang naik mikrolet, duduk di depan tetapi pakai rok mini, kan agak gerah juga. Selain itu, bagaimana juga kalau orang naik motor pakai celana pendek dan ketat, bayangin saja itu yang di belakangnya bisa goyang-goyang. Itukan sama halnya dengan orang yang membawa perhiasan, padahal dia naik kendaraan umum.” 25

Setelah mengeluarkan pernyataan tersebut, Fauzi Bowo menerima kritik dari berbagai pihak. Ucapan tersebut merupakan pucuk gunung es tentang kondisi bagaimana pejabat publik, pembuat undang-undang, pengampu kebijakan pemerintahan dan penegak hukum sering tidak berpihak pada perlindungan terhadap perempuan dan anak, terutama perempuan dan anak korban kekerasan.

United Nation dalam Women World 2010 mendefinisikan kekerasan seksual terhadap perempuan dengan interpretasi secara luas, sebagai tingkah laku yang bersifat agresif dan kejam dengan intensitas dan konsekuensi yang beragam, mulai dari sentuhan yang tidak diinginkan oleh korban sampai kepada persetubuhan yang dipaksakan dan pemerkosaan.26 Berdasarkan data yang

23 Yoga Guritno ‘Calon Hakim Agung: Korban dan Pelaku Pemerkosaan Sama-sama Menikmati.’ Liputan6.com. 14 Januari 2013 diunggah pukul 17.59. diunduh pukul 20.00, Rabu 14 April 2013. news.liputan6.com/read/calon-hakim-agung.

24 Diucapkan pada tanggal 16 September 2011 dan dimuat dalam Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan. Catatan Tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan Tahun 2011 Stagnansi Sistem Hukum: Menggantung Asa Perempuan Korban. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan, 7 Maret 2012., hal. 7.

25 Aryani Kristanti ‘Kontroversi Pernyataan Rok Mini, Foke Minta Maaf. Tempo.com., Sabtu, 17 September 2011 pukul 13:57 WIB. Diunduh Rabu, 25 September 2013 pukul 18.58 dari http://www.tempo.co/read/news/2011/09/17/057356767/Kontroversi-Pernyataan-Rok-Mini-Foke-Minta-Maaf.

26 “UN Report. Chapter 6: Violence Against Women” dalam Women’s World 2010, hal. 133. Diunduh Sabtu, 13 April 2013 pukul 15.03. dari http://unstats.un.org/unsd/demographic/products/Worldswomen/WW2010%20Report_by%20chapter(pdf)/violence%20against%20women.pdf.

9.3 Data Kekerasan terhadap Perempuan

Page 414: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

389

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

diperoleh dari United Nations, perempuan (dan anak) di berbagai belahan dunia mengalami kekerasan seksual.

Perancis

Filipina

Swiss

Denmark

Australia

Cheznya

Costa Rica

Meksiko

Azerbaijan

5%

6%

25%

28%

34%

35%

41%

44%

4%

Negara PROSENTASE DARI KESELURUHAN JUMLAH KORBAN KEKERASAN

SECARA UMUM

Sumber: UN Report, 2013

Angka-angka ini diperoleh UN dari catatan kasus yang terlaporkan ke berbagai lembaga penyedia layanan untuk korban kekerasan.27 Angka kasus beberapa negara yang kurang dari 10% belum tentu berarti angka kekerasan atau kejahatan seksual yang terjadi di negara tersebut memang sedikit. Angka tersebut menggambarkan, kasus kekerasan yang terlaporkan ke lembaga pemerintah atau lembaga pemberi layanan bagi korban kekerasan masih sangat sedikit, sebagaimana fenomena puncak gunung es.

Bagaimana dengan Indonesia? Pada tahun 2011, di Indonesia telah terjadi sekitar 2.509 kasus kekerasan terhadap anak, 59% dari kasus tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Tahun 2012, KPAI, mencatat laporan 2.637 kasus kekerasan terhadap anak dan 62% di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual. Ketua KPAI Arist Merdeka Sirait mengatakan angka tersebut baru merupakan puncak gunung es.28 Secara lebih detail data mengenai kasus kekerasan terhadap anak yang terekam oleh KPAI disajikan dalam tabel di bawah ini.

27 UN. Op.Cit. hal. 134.28 Z Abdullah. ”Waspadalah, Tren Kekerasan Seksual pada Anak Meningkat”. Kompas.com.Jumat 13 Maret 2013, pukul

02.54..Diunduh Sabtu 13 April 2013 pukul 09.51.

Page 415: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

390

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

2008

2009

2010

2011

TAHUN

778

780

926

1020

197

138

138

116

163

138

36

20

32

26

64

45

290

233

416

469

456

521

446

506

Kekerasan Seksual Scr

Umum

Kekerasan Seksual

Disekolah

Pelaku adalah Bapak

Guru

Umur Korban Kekerasan Seksual

(0-5) (6-12) (13-18)

Tabel 1

Sumber: KPAI tahun 2011

Dari Tabel No.1 dapat dilihat dengan jelas, jenis-jenis tindak kekerasan yang menimpa anak, baik laki-laki maupun perempuan dari tahun 2009-2011. Pada tahun 2009, angka kasus kekerasan yang menimpa anak laki-laki yang mencapai jenis tertinggi adalah kasus pencabulan dan narkoba, sedangkan angka kasus kekerasan yang menimpa anak perempuan paling tinggi adalah pada kategori pemerkosaan dan perdagangan manusia (trafficking). Tahun 2010, baik kasus narkoba dan pencabulan pada anak laki-laki maupun kasus pemerkosaan dan trafficking pada anak perempuan mencapai jumlah yang sama. Pada tahun 2011, angka anak laki-laki yang berhadapan dengan hukum naik demikian juga dengan kasus di mana anak laki-laki dianiaya. Untuk kasus yang menimpa anak perempuan, angka tertinggi masih ada pada kategori pemerkosaan dan pencabulan.

Sementara Komnas Perlindungan Anak juga mendata jumlah kekerasan dan jenis kekerasan yang terjadi pada anak, beserta pelakunya. Data tersebut tergambar dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2. Data Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak Komisi Nasional Perlindungan

Anak (Komnas Anak)

Sumber: Data Komnas Anak 2011

Page 416: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

391

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Dalam tabel ini, locus tempat terjadinya kejahatan seksual langsung dibagi atas kejahatan seksual yang terjadi secara umum dengan kejahatan seksual yang terjadi di sekolah. Selain itu pula dalam tabel ini terlihat kolom yang menunjukkan jumlah kasus dengan pelaku guru. Pada kolom korban, terlihat usia korban sangat bervariasi mulai dari 0-18 tahun. Artinya, anak pada tingkat usia apa pun rentan untuk menjadi korban dari kejahatan seksual, baik di wilayah rumah, tempat umum bahkan sekolah. Perlu juga dilihat setiap tahun, dari 2008-2011, terjadi kenaikan angka kasus kejahatan seksual yang menimpa anak.

Senada dengan data dari KPAI, Komnas Perempuan mencatat jumlah angka kekerasan terhadap perempuan yang cukup tinggi di tahun 2011. Sejumlah 119.107 kasus kekerasan yang dilaporkan, 113.878 kasus terjadi di ranah domestik dan selebihnya di wilayah publik.29 Catatan tersebut yang dipublikasi oleh Komnas Perempuan dalam bentuk lembar siaran pers Laporan Pertanggungjawaban Publik Komnas Perempuan. Data itu didapat dari kasus yang dilaporkan korban maupun keluarganya ke lembaga penyelenggara layanan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang kemudian direkam oleh Komnas Perempuan.

Untuk ranah domestik, tercatat laporan 1.398 kasus kejahatan seksual. Pada ranah publik, Komnas Perempuan mencatat 2.937 kasus kejahatan seksual yang dilaporkan kepada lembaga penyedia layanan untuk korban. Penting untuk dicatat yang dimaksud oleh Komnas Perempuan sebagai kasus kejahatan seksual adalah sebagaimana tercantum dalam lembar siaran pers lembaga tersebut. Komnas Perempuan menyatakan yang termasuk kejahatan seksual meliputi pencabulan, pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, aborsi paksa, eksploitasi seksual, prostitusi dan pornografi.30

Angka kekerasan 2012 berdasarkan catahu komnas perempuan

29 Siaran Pers Laporan Pertanggungjawaban Publik Komisi Nasional Anti Kekersan terhadap Perempuan (Komnas HAM). 14 Desember 2012. www.komnas perempuan.or.id/2012/12/siaran-pers-laporan-pertanggungjawaban-publik-komisi-nasional-anti kekerasan-terhadap-perempuan-komnas-perempuan. Hal 1-12 Diunduh Sabtu, 13 April 2013 pukul 10.03.

30 Ibid.

Page 417: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

392

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, dibanding tahun 2011, pada tahun 2012 terjadi kenaikan angka kasus kekerasan terhadap perempuan, sekitar 4.35%, menjadi 4.293 kasus. Jenis dan bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kejahatan seksual (2.521 kasus) yang terdiri atas pemerkosaan (840 kasus) dan pencabulan (780 kasus). Dari kasus pemerkosaan yang dicatat oleh Komnas Perempuan terjadi pada tahun 2012 tersebut, 14 kasus di antaranya adalah kasus pemerkosaan berkelompok atau gang rape dengan usia korban 13-18 tahun dengan latar belakang pendidikan sekolah menengah dan dua kasus dengan korban mahasiswa di Jakarta.

Penting untuk dipahami kekerasan seksual yang terjadi pada ruang domestik, tidak selalu dilaporkan secara terbuka ke polisi sebagai kasus pidana atau dilaporkan ke lembaga penyedia layanan bagi korban kekerasan. Kekerasan seksual pada ruang domestik, yang juga diikuti dengan kekerasan fisik dan psikologis, tersembunyi dalam kasus-kasus perceraian yang didaftarkan pada pengadilan negeri maupun pengadilan agama sebagai kasus perdata. Sebagai contoh fenomena itu tercermin pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Irianto dan Nurtjahyo dkk pada tahun 2006,31 memperlihatkan dalam dua kasus perceraian yang diajukan ke pengadilan agama dan satu kasus yang diajukan ke pengadilan negeri. Alasan pihak perempuan mengajukan perceraian tersebut adalah karena pemukulan, penelantaran secara ekonomi dan pemaksaan untuk berhubungan seksual setelah pemukulan terjadi.

Pada ranah publik, kekerasan seksual dapat terjadi antara lain dalam bentuk pemerkosaan terhadap individu, pelecehan seksual di tempat kerja, pencabulan yang menimpa anak maupun remaja di sekolah/universitas/tempat les/klub olahraga. Untuk pemerkosaan, dapat terjadi pula mass rape atau pemerkosaan yang dilakukan oleh banyak pelaku terhadap sejumlah korban dalam waktu bersamaan. Jenis ini berbeda dari gang rape, yaitu pemerkosaan yang dilakukan oleh lebih dari satu pelaku terhadap satu korban. Contoh gang rape adalah kasus yang dialami oleh seorang mahasiswi dari sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta Selatan32 dan kasus yang dialami oleh seorang mahasiswi

31 Sulistyowati Irianto dan Lidwina Inge Nurtjahyo. Perempuan di Persidangan Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006)

32 Jonansyah. “Terdakwa Pembunuh Izzun UIN Terancam Hukuman Mati”. Tempo.com, Kamis, 09 Agustus 2012 Pukul 22:16 WIB. Diunduh Rabu, 25 September 2013 pukul 14.24 dari http://www.tempo.co/read/news/2012/08/09/064422498/Terdakwa-Pembunuh-Izzun-UIN-Terancam-Hukuman-Mati.

Page 418: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

393

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Barat.33 Setelah mengalami pemerkosaan, bahkan kedua korban tersebut kemudian dibunuh oleh para pelaku.

Contoh dari mass rape adalah peristiwa yang menimpa sebagian perempuan warga keturunan Tionghoa pada bulan Mei tahun 1998 di Jakarta.34 Mass rape sering terjadi pada situasi konflik sosial yang meluas atau pada situasi perang. Model pemerkosaan ini digunakan biasanya oleh satu kelompok untuk menghancurkan perlawanan dan martabat kelompok lawan. Pada Perang Pembebasan antara Pakistan dan Banglades, awal 1970-an, prajurit Pakistan memperkosa 30.000 perempuan dan anak gadis Banglades.35 Pemerkosaan ini dimaksudkan sebagai cara untuk menghancurkan semangat masyarakat Banglades sekaligus menghancurkan masa depan mereka (tetapi bukankah perempuan akan mengandung dan melahirkan generasi masa depan?)

Mengapa perempuan dan anak mengalami kejahatan seksual? Berdasarkan konstruksi sosial budaya, perempuan dan anak berada pada posisi subordinat pada sebagian besar kelompok masyarakat di dunia. Sebagai pihak yang menduduki posisi subordinat, perempuan dan anak berada dalam kepemilikan dari laki-laki ataupun orang tua. Akibatnya, perempuan dan anak dianggap wajib menerima segala tindakan yang dilakukan oleh orang lain yang memiliki posisi tawar lebih kuat. Orang lain yang dimaksud di sini misalnya orang tua, suami, kerabat yang lebih tua dalam keluarga, guru, dosen, atasan, pemuka agama atau pemuka adat. Dalam hasil penelitian Louise Brown yang telah dibukukan dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia tahun 2005,36 ditemukan sebagian besar perempuan dan anak perempuan dipaksa melakukan hubungan seksual untuk memperoleh sejumlah bayaran atau dijual ke tempat pelacuran justru oleh orang tua ataupun suami si perempuan itu sendiri. Praktek-praktek seperti ini terjadi di Bangladesh Pakistan, Nepal, India dan Thailand.

Dalam situasi tertentu, laki-laki ataupun anak laki-laki juga dapat mengalami kejahatan seksual ketika mereka berada dalam posisi tawar atau posisi

33 Sabrina Asril, Pemerkosa Mahasiswi: Empat Pembunuh Livia Terancam Hukuman Mati”, Kompas.com, Selasa 6 September 2011 pukul 15.07. Diunduh Rabu, 25 September 2013 pukul 15.02 dari http://megapolitan.kompas.com/read/2011/09/06/15075381/Empat.Pembunuh.Livia.Terancam.Hukuman.Mati

34 Andi Yentriyani, Carla Bianpoen, Nani Buntaran. Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Publikasi Komnas Perempuan Bekerjasama dengan New Zealand Official Development Assistance, Jakarta: November 1999, hal. 72-73.

35 Louise Brown. Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. (versi terjemahan) (Yayasan Obor Jakarta, Indonesia, 2005) hal. 43.

36 Ibid., hal. 78-89; 96-99.

Page 419: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

394

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

rentan sebagai tahanan, tawanan perang, budak, pegawai, yunior, ataupun murid (sekolah formal maupun tempat les).

Hasil penelitian yang dilakukan PKWJ UI-Magenta dan Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI tahun 2012, menemukan dua kasus kejahatan seksual terhadap anak laki-laki.37 Pertama, kejahatan seksual yang menimpa sekelompok santri laki-laki yang dilakukan oleh pemuka agama yang dihormati di tempat tersebut. Kedua, kejahatan seksual yang menimpa beberapa anak yang menjadi anggota dari suatu sanggar dengan iming-iming casting untuk diikutsertakan dalam sinetron.

Dari hasil penelitian PKWJ UI-Magenta dan Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI tahun 2012 yang dilakukan di Kota Depok juga ditemukan ada karakteristik yang khas dalam pola relasi pelaku dengan korban kejahatan seksual. Korban, berada pada posisi tawar yang relatif lemah, sehingga relasi kuasanya tidak seimbang terhadap pelaku karena faktor-faktor sebagai berikut:

l adanya kesenjangan usia, rentang usia korban berkisar antara 0-18 tahun, l perbedaan gender dan jenis kelamin (sebagian besar korban adalah

perempuan, hanya dalam dua kasus di sanggar dan di pesantren yang korbannya adalah anak laki-laki),

l adanya perbedaan kelas sosial, rata-rata korban berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah.

Sebaliknya pelaku, masih berdasarkan hasil penelitian tersebut, berada pada posisi tawar yang lebih kuat dari korban. Kekuatan posisi tawar tersebut timbul dari tiga aspek.

l Perbedaan usia, rentang usia pelaku kejahatan seksual yang diteliti di Kota Depok berkisar antara 14-80 tahun.

l Pelaku biasanya menduduki jabatan tertentu yang memungkinkan ia memegang kendali kekuasaan atas korban sehingga mampu membujuk, memberi iming-iming, mengintimidasi ataupun meng ancam korban untuk menuruti kehendak pelaku. Jabatan-jabatan tersebut antara lain, kepala sekolah, guru, pejabat, anggota DPR, aparat pemerintah, polisi, tentara, dokter, atasan di perusahaan, guru ngaji, dosen, ulama/pemuka agama dll.

37 R. Charli Carpenter Recognizing Gender-Based Violence Against Civilian Men and Boys in Conflict Situation” Security Dialogue, Vol. 37, no. 1, March 2006. Hal. 93-97. Diunduh Rabu, 25 September 2013 dari http://sdi.sagepub.com/cgi/content/abstract/37/1/83.

Page 420: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

395

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

l Perbedaan kelas sosial. Dari segi kelas sosial, pelaku biasanya cukup dihormati dan disegani dalam masyarakat sehingga masyarakat tidak percaya pelaku dapat berbuat kejahatan seksual terhadap korban. Masyarakat sering lebih berpihak pada pelaku daripada kepada korban. Contohnya, dalam kasus yang menimpa seorang santriwati di mana pelaku lebih dulu melontarkan tuduhan bahwa santriwati tersebut selingkuh di kebun singkong. Padahal saat itu si santriwati yang merupakan korban dari pernikahan paksa yang dilakukan oleh pelaku sedang merencanakan untuk kabur dari rumah pelaku dengan dibantu teman korban. Saat itu warga masyarakat spontan mengejar dan menangkap santriwati tersebut. Setelah melalui pemeriksaan oleh warga dan keluarga santri tersebut, baru terungkap bahwa perempuan itu justru merupakan korban kekerasan.

l Perbedaan kelas ekonomi, pelaku karena menduduki jabatan cukup penting, secara ekonomi mereka cukup kuat sehingga memiliki modal finansial untuk membujuk korban atau untuk memberi imbalan kepada pihak lain supaya tutup mulut atas perbuatannya kepada korban.

Masih berdasarkan hasil penelitian PKWJUI, Magenta dan Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI tahun 2012, ditemukan pula locus/tempat kejadian kejahatan seksual yang sangat beragam. Tempat kejadian tidak sebatas pada pemisahan berdasarkan ruang publik atau privat saja. Locus tersebut mencakup kantor, sekolah, universitas, mal, sarana transportasi umum, sarana transportasi semiprivate, rumah sakit, pos polisi, pos tentara, kebun kosong, pasar, ruang praktek kerja lapangan, rumah korban, rumah pelaku, rumah kerabat, asrama, rumah kos/kontrakan dll.

Respon warga masyarakat terhadap terjadinya kejahatan seksual beragam. Dalam kasus pencabulan yang menimpa beberapa anak sekolah di wilayah Jakarta Timur, hanya satu orang tua korban yang melaporkan kasusnya kepada pihak kepolisian. Selebihnya memilih tutup mulut karena rasa malu. Pihak sekolah juga tidak bersedia membantu orang tua korban yang melapor ke polisi dengan alasan bahwa kalau kasus itu terbongkar, pihak sekolah yang akan malu dan tercemar namanya.38

Berbeda dari reaksi dari pihak keluarga besar korban E dalam kasus yang diadili oleh PN Serui dalam kasus yang diangkat pada bagian lain dari bab ini.

38 Irianto dan Nurtjahyo, Op.Cit., hal:78.

Page 421: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

396

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

Ketika keluarga besar korban mendengar korban diperkosa ayah kandungnya sendiri, keluarga besar sepakat untuk melaporkan hal tersebut ke kepolisian. Tindakan pelaku yang merupakan ayah kandung korban dianggap sebagai sepenuhnya tindak kejahatan yang merugikan korban beserta keluarganya.

Dalam kasus kekerasan seksual yang dialami santriwati di suatu pondok pesantren di Depok, warga yang mendengar hal tersebut kemudian merasa geram dan menggerebek pondok pesantren tersebut. Polisi akhirnya turun tangan untuk mencegah kerusuhan yang lebih besar dan menangkap pihak yang diduga terlibat dalam kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan di bawah umur yang terjadi dalam pondok pesantren. Tetapi, beberapa warga yang terlanjur marah, akhirnya membakar pondok pesantren. Berita ini dimuat di dalam media cetak maupun surat kabar elektronik, antara lain di Merdeka.com39 dan Republika.co.id. 40

Diskusi tentang kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak tidak dapat berhenti hanya di seputar konsep kejahatan seksual itu, karakteristik korban dan pelaku serta respon warga masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap kejahatan seksual yang terjadi dalam ruang-ruang tempat mereka berada. Bagaimanakah produk-produk hukum nasional yang menjadi landasan bagi penanganan kasus kejahatan seksual? Produk hukum tersebut dapat dikategorikan atas produk hukum yang berisi hukuman bagi pelaku kejahatan (UUP KDRT dan KUHP) dan yang bertujuan melindungi hak korban (UUP KDRT dan UU Perlindungan Anak).

9.4.1 Aturan mengenai Kejahatan Seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

a) Pasal 285Produk hukum pertama yang dibahas adalah Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP). Dalam KUHP kejahatan yang menyangkut masalah seksualitas diatur secara khusus pada

9.4 Legislasi: Instrumen Hukum Terkait Kejahatan Seksual terhadap Perempuan dan Anak

39 Yacob Bill Octa, “Ponpes di Depok dibakar massa, puluhan polisi berjaga”. Merdeka.com. Diunggah 27 Agustus 2012, diunduh Rabu 17 April 2013.

40 Andi Ikhbal dan Dewi Mardiani. “Warga Kesal Pondok Pesantren Dibakar”. Republika.co.id. Diunggah 27 Agustus 2012, diunduh Rabu, 17 April 2013.

Page 422: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

397

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Bab XIV: Kejahatan Kesusilaan. Pasal dalam KUHP yang menyebutkan adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang digunakan seseorang untuk memaksa perempuan melakukan persetubuhan adalah Pasal 285.

Pasal 285Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Hal yang penting untuk diberi catatan dari pasal di atas adalah, tindak kekerasan seksual, tidak secara khusus disebut dalam pasal tersebut. Akan tetapi langsung diatur tentang pemerkosaan yang dikaitkan dengan kekerasan dan ancaman kekerasan. Selanjutnya, pemerkosaan dapat dikenakan apabila korban adalah perempuan di luar perkawinan, sedangkan perempuan di dalam perkawinan atau istri, tidak termasuk.

Bagaimana istilah ‘kekerasan’ atau ‘ancaman kekerasan,’ dalam Anglo Saxon? sebagaimana disebutkan oleh Estrich, apabila seorang pelaku bersenjata api atau senjata tajam atau dengan menggunakan tangannya untuk memukul korban, supaya korban mengikuti kehendak pelaku untuk berhubungan seksual dengannya, tidak ada keraguan dari pengadilan untuk memutuskan bahwa kasus ini adalah sungguh kasus pemerkosaan. Bagaimana dengan ‘kekerasan’ yang tidak menggunakan fisik atau tidak dapat terbukti secara fisik seperti misalnya ancaman untuk membunuh korban atau keluarganya atau orang yang dikasihi korban? Tekanan, intimidasi, ancaman akan sangat sulit dibuktikan.41

Dalam sistem pengadilan Anglo-Saxon, terdapat contoh kasus yang mirip terkait masalah kesulitan pengadilan membuktikan unsur paksaan yang tidak bersifat fisik ini. Satu kasus yang dicontohkan oleh Estrich terjadi seorang anak dipaksa oleh ayahnya untuk berhubungan seksual di bawah ancaman senjata api.42 Ketika sang istri mengetahui hal

41 Estrich, Op.Cit., hal. 439-440. dan Bartky, Op.Cit. hal. 54.42 Estrich, Op.Cit. hal. 440-441.

Page 423: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

398

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

tersebut dan menegur suaminya, suaminya itu menjadi sangat marah dan mengancam akan membunuh baik ibu dan puterinya. Di waktu yang berbeda si ayah tersebut kembali hendak memperkosa puterinya, si anak ini menolak, si ayah kemudian mengingatkan anaknya akan ancamannya terhadap puterinya dan ibu anak ini. Dalam keadaan terpaksa si anak melakukan kehendak ayahnya. Sekalipun dalam situasi ini, pengadilan akan sulit membuktikan terjadi paksaan secara fisik pada si anak perempuan, tetapi pengadilan menurut catatan Estricht secara eksplisit mengatakan, hubungan seksual yang terjadi adalah tanpa persetujuan perempuan (korban), meskipun tidak ada paksaan (secara fisik yang dapat dibuktikan oleh pengadilan). Dengan kata lain, perempuan (korban) itu tidak dipaksa untuk berhubungan seks akan tetapi hubungan seksual tersebut berada di luar kehendaknya.

Dalam tradisi sistem hukum common law, suatu kejahatan terlebih dahulu dipaparkan gambaran tindakan yang dilarang yang diakui oleh tertuduh dan situasi psikologis saat tertuduh melakukan tindakan tersebut. Tetapi dalam kasus pemerkosaan berkebalikan dengan tradisi tersebut. Definisi dari tindak pidana pemerkosaan justru sedikit sekali menyinggung peran pelaku maupun situasi psikologisnya ketika melakukan kejahatan. Dalam upaya membuktikan apakah suatu tindakan termasuk dalam pemerkosaan atau tidak, pengadilan justru terpusat kepada perilaku korban, dan hanya sedikit mengungkap apa yang ada dalam pikiran dan tindakan pelaku. Yang dimaksud dengan perilaku korban di sini mencakup konsensus korban dan sejarah seksual korban. Masalah konsensus/persetujuan korban mencakup beberapa hal.

a. Ketiadaan konsensus korban harus dibuktikan dengan adanya perlawanan fisik dari korban.

b. Sebelum dan selama terjadi kejahatan seksual terhadap korban, penting untuk diketahui adakah tingkah laku korban (perempuan) yang dianggap tidak pantas berdasarkan standar laki-laki, tentang masalah kepantasan perilaku perempuan sehingga perilaku itu justru mengundang terjadinya pemerkosaan.43

43 Ibid. hal., 434.

Page 424: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

399

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Masalah konsensus ini menjadi perdebatan di dalam sidang ketika pelaku menyatakan dirinya salah menafsirkan perilaku/ucapan korban sebagai persetujuan untuk melakukan hubungan seksual atau sebaliknya. Si laki-laki tersebut mengakui melakukan tindakan hubungan seksual tetapi seharusnya dibebaskan dari tuduhan karena kurang kuatnya ketidaksetujuan diperlihatkan oleh pihak perempuan (mens rea). Penggunaan prinsip mens rea ini penting untuk dikritik karena dapat terjadi bahwa kurangnya bukti terdapat ketidaksetujuan pihak perempuan (tidak ada penolakan yang ‘kuat’) disebabkan penggunaan senjata atau di bawah paksaan. Untuk itu pengadilan memberi semacam jalan keluar, bahwa korban semestinya dapat memberikan bukti ketidaksetujuan korban untuk melakukan hubungan seksual, yang terlihat melalui suatu tindakan mempertahankan diri, yang tidak akan menimbulkan keraguan lagi akan dibaca oleh pengadilan sebagai ‘ketidaksetujuan.’

Kewajiban korban untuk membuktikan ketiadaan konsensus bertentangan dengan prinsip yang diberlakukan pada tindak kejahatan lainnya, tetapi pelakulah yang diwajibkan untuk membuktikan apakah dirinya bersalah atau tidak. Pihak yang semestinya diadili di dalam persidangan kejahatan seksual adalah pelaku, bukan korban. Tetapi, dalam persidangan kasus kejahatan seksual, justru korban yang harus membuktikan intensinya, pikirannya, ketidaksetujuannya untuk melakukan hubungan seksual. Pikiran dan kondisi mental korban menjadi kunci apakah pernyataan ketidaksetujuan tersebut dapat diterima oleh pengadilan.44

Aspek kedua yang dipermasalahkan oleh aparat penegak hukum dalam menangani kasus kejahatan seksual adalah sejarah seksual korban. Perilaku seksual korban di masa lampau dianggap penting dipertimbangkan. Menurut catatan Estrich, untuk meyakinkan para hakim korban memang ‘bersih, perempuan baik-baik.’Bukan sejarah seksual si pelaku yang penting untuk dilihat. Pengadilan, justru mempertanyakan apakah perempuan yang menjadi korban sepenuhnya tidak bersalah atas pemerkosaan yang menimpanya. Pertanyaan seperti ini tentu tidak diajukan pada korban pembunuhan atau korban perampokan

44 Ibid. hal. 436.

Page 425: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

400

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

dalam rangka membuktikan terjadinya kejahatan, untuk membebaskan terdakwa dari tuduhan atau meringankan hukuman terdakwa.

Problem lain pada penanganan kasus kekerasan seksual adalah penafsiran pengadilan terhadap ‘force’ yang dapat diterjemahkan menjadi ‘kekerasan’ atau ‘threat of force’ yang berarti ancaman kekerasan. Force dipandang sebagai elemen penting dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Ketika pelaku mengancam korban dengan menggunakan senjata mematikan, memukulinya atau mengancam akan melukai sehingga korban akhirnya bersedia segera melakukan hubungan seksual dengan pelaku, sedikit sekali pengadilan yang akan menemukan kesulitan dalam membuktikan bahwa tindakan pelaku merupakan pemerkosaan. Tetapi bila terdapat jarak waktu antara kekerasan/ancaman kekerasan yang dilakukan pelaku dengan hubungan seksual itu sendiri atau tindakan maupun ancaman kekerasan tersebut tidak secara eksplisit dikemukakan, pengadilan sering gagal mengenali adanya unsur kekerasan ini, sehingga tindakan pelaku sulit dibuktikan sebagai pemerkosaan. Dua kasus yang dicontohkan Estrich bisa menjadi contoh.45

Pada kasus pertama, seorang perempuan memiliki hubungan dengan seorang laki-laki bernama Alston. Setelah menjalani 6 bulan hubungan dan mengalami kekerasan dari Alston, perempuan tersebut kemudian tinggal bersama dengan ibunya. Suatu hari Alston mencegat perempuan tersebut dalam perjalanannya menuju sekolah dan membujuk si perempuan untuk kembali padanya dengan iming-iming akan memperbaiki wajah si perempuan yang mengalami luka permanen akibat kekerasan yang dilakukan Alston. Ketika si perempuan menolak, Alston mengatakan bahwa ia berhak untuk melakukan hubungan seksual dengan si perempuan karena ia telah membiayai perempuan tersebut tinggal bersamanya selama 6 bulan. Perempuan tersebut kemudian berusaha pulang ke rumah temannya.

Di rumah temannya itu Alston menginginkan hubungan seksual kembali meskipun perempuan tersebut menolak. Alston mendorong perempuan itu dan kemudian melakukan tindakan penetrasi secara paksa. Pengadilan dapat saja menafsirkan tindakan perempuan tersebut memang tidak mencerminkan persetujuan untuk berhubungan

45 Ibid. hal. 438-439.

Page 426: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

401

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

seksual, tetapi tidak ada resistensi di dalamnya. Alston tidak terbukti menggunakan ‘force’ atau pemaksaan secara fisik. Kegagalan untuk melihat bahwa pemaksaan tidak hanya berbentuk fisik, rupanya tidak hanya dialami di dalam konteks pengadilan di Indonesia, melainkan juga dalam tradisi hukum Anglo-Saxon.

Estrich dalam tulisannya memperlihatkan hakim memiliki standar mengenai apa yang disebut sebagai ‘perlawanan’ yang dilakukan oleh korban.46 Standar tersebut adalah perjuangan korban dalam mem-pertahankan ‘kesucian’ (virginitas) dirinya harus dilakukan dengan segala upaya dan terlihat buktinya secara fisik. Upaya perlawanan tersebut harus dapat dibuktikan dengan adanya saksi atau adanya luka atau cedera yang dialami perempuan korban dalam rangka mem-pertahankan kesuciannya. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya sejumlah hakim menyadari kemurnian atau kesucian korban barangkali tidak lebih berharga dibanding dengan kesempatan untuk tetap hidup yang diperjuangkan oleh korban.

Dalam beberapa kasus, demi memperjuangkan keselamatan nyawanya atau bahkan nyawa orang lain (orang tua, anak, saudara) korban akhirnya menyerah terhadap paksaan pelaku untuk melakukan hubungan seksual. Kondisi ini tergambar dalam kasus State vs Lester.47 Para korban, yang merupakan anak-anak perempuan dari pelaku karena takut atas ancaman pelaku, bahwa ibu korban akan dibunuh apabila korban melawan. Akhirnya mereka menyerah kepada kemauan pelaku untuk berhubungan seksual. Korban karena ancaman dan intimidasi pelaku, tidak dapat melakukan perlawanan secara fisik.48 Hakim mulai membuka diri untuk mencoba memahami bahwa dalam kasus kejahatan seksual, perlawanan perempuan tidak selalu harus terlihat secara fisik.

Selain menemukan hakim-hakim yang bersikap progresif, dan menerima kenyataan bahwa perlawanan perempuan terhadap pelaku kejahatan seksual tidak selalu harus bersifat fisik, Estrich juga menemukan hakim yang bersikap sebaliknya. Dalam beberapa kasus kejahatan seksual yang diajukan ke pengadilan, perlawanan perempuan dalam bentuk pasif terhadap kemauan pelaku untuk berhubungan seks tidak diperhitungkan

46 Ibid. hal. 447.47 Ibid. hal. 440.48 Ibid. hal. 441.

Page 427: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

402

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

hakim sebagai fakta bahwa sesungguhnya telah terjadi perlawanan. Dalam satu kasus yang melibatkan pelaku bernama Brown, korban yang berusia 16 tahun telah melakukan perlawanan terhadap Brown. Tetapi selanjutnya ketika Brown mengajukan banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, Supreme Court of Wisconsin menyatakan perlawanan korban tidak menunjukkan cukup bukti bahwa korban memang keberatan dengan tindakan pelaku. Ketiadaan baju yang robek ataupun memar dan luka di tubuh korban, oleh hakim saat itu dianggap sebagai tidak cukup bukti telah terjadi perlawanan. Sikap korban, menolak hubungan seksual dengan pelaku dalam bentuk teriakan dan upaya untuk lari dari pelaku, tidak diperhitungkan oleh hakim sebagai upaya untuk bertahan hidup.49

Pertanyaan tentang konsensus korban dalam terjadinya suatu kejahatan seksual, secara khusus pemerkosaan, juga menjadi isu penting dalam penerapan Pasal 285 KUHP oleh penegak hukum. Ketiadaan bukti fisik bahwa korban melawan, merupakan hal yang dapat merugikan korban dalam persidangan. Dalam kasus-kasus kejahatan seksual yang diteliti oleh PKWJ dan Magenta tahun 2012, terdapat satu kasus di mana korban tidak dapat mengajukan kasusnya ke pengadilan karena pemerkosaan tersebut berlangsung beberapa kali. Selain itu, pemerkosaan tersebut terjadi ketika korban mendatangi tempat pelaku berada. Menurut perspektif aparat penegak hukum, kasus tersebut tidak dapat dianggap pemerkosaan karena korban tidak menunjukkan perlawanan fisik dan tidak segera melaporkan kejahatan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, tim peneliti FHUI, PKWJUI dan Magenta menemukan alasan korban tidak segera melaporkan kejahatan yang dialaminya, karena relasi kuasa korban dan pelaku tidak seimbang. Saat tindak kejahatan tersebut terjadi, korban masih merupakan mahasiswa yang sedang dalam proses menyelesaikan tugas akhirnya di bawah bimbingan pelaku.

Catatan berikutnya terhadap Pasal 285 KUHP ini adalah syarat persetubuhan tersebut untuk dapat dikatakan pemerkosaan, harus terjadi di luar perkawinan. Jadi, persetubuhan yang dilakukan di luar kehendak seorang istri, yang dipaksakan oleh suaminya tidak dapat dikatakan sebagai pemerkosaan menurut pasal ini. Pasal ini tidak secara langsung mengisyaratkan terhadap istri tidak berlaku perlindungan hukum

49 Ibid. hal. 445.

Page 428: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

403

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

sebagaimana diatur dalam pasal ini, bila kemudian terjadi pemaksaan untuk berhubungan seksual oleh laki-laki yang menjadi suaminya.

Pasal ini juga pada penerapannya oleh penegak hukum, diberi penafsiran sedemikian rupa sehingga konteks kata ‘bersetubuh’ hanya mencakup masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan. Akibatnya, dalam kasus di mana perempuan ataupun anak dipaksa untuk melakukan keinginan seksual laki-laki dengan mempergunakan alat lain, dengan trauma fisik dan trauma mental yang sama terhadap korban, maka terhadap kasus tersebut tidak dapat dikenakan pasal ini yang dibandingkan pasal-pasal lain hukuman maksimalnya cukup berat. Penafsiran sempit atas kata ‘persetubuhan’ itu kemudian menggeser kasus kejahatan seksual yang tidak sesuai dengan penafsiran sempit itu, menjadi kasus pencabulan yang hukuman maksimalnya relatif lebih ringan.

b) Pasal 286Pasal berikutnya yang mengatur masalah pidana bagi tindak

pidana kejahatan seksual adalah Pasal 286. Pada pasal ini pidana yang dijatuhkan sembilan tahun, lebih ringan dibanding pasal 285.

Pasal 286Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Dalam pasal ini diatur mengenai persetubuhan dengan perempuan yang terjadi di luar perkawinan, di mana perempuan tersebut berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Ada dua hal penting untuk dibahas dalam pasal ini. Pertama, mengenai konsep ‘ketidakberdayaan’ tersebut. Kedua, mengenai pidana yang lebih ringan dalam pasal ini.

Penegak hukum yang diwawancarai pada penelitian PKWJUI-Magenta dan Klinik Hukum Perempuan dan Anak FHUI (2012) gemar sekali memberi contoh ‘ketidakberdayaan’ korban dalam kondisi, diikat atau dikurung dalam kamar yang dikunci, atau dalam keadaan lemas karena dibius/dihipnotis (tapi tidak pingsan/hilang kesadaran). Ketidakberdayaan tidak ditafsirkan dalam arti luas seperti karena ada

Page 429: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

404

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

ancaman yang membahayakan hidupnya atau keluarganya, maka korban tidak berani melawan. Seperti dikemukakan oleh Estrich (1996) dalam kasus Alston, dapat terjadi kondisi di mana korban sepenuhnya sadar ketika melakukan hubungan seksual dengan pelaku dan hubungan tersebut tidak hanya terjadi sekali, melainkan berkali-kali. Tetapi apa yang dilakukan oleh korban tersebut bukanlah karena ia secara sukarela sepenuhnya, melainkan karena berada di bawah ancaman dari pelaku. Ketidakberdayaan korban dalam konteks kasus Alston tersebut tidak selalu dapat dipahami oleh penegak hukum, terutama yang menerapkan batasan mengenai ‘ketidakberdayaan’ secara sempit, yaitu sekadar merujuk pada keterbatasan ruang gerak fisik dari korban.

Catatan menarik kedua terhadap pasal ini terkait pidana yang lebih ringan karena korban berada dalam kondisi ketidakberdayaan. Menjadi pingsan, bukan culpa dari si korban (Estrich, 1996), terutama apabila kondisi ketidaksadaran tersebut disengaja oleh pelaku. Dalam beberapa kasus kondisi ketidaksadaran tersebut ditimbulkan pelaku melalui cara pemberian obat bius dalam air minum atau permen kepada korban. Dengan mempertimbangkan ketidakberdayaan tersebut, bukan merupakan culpa dari korban, seyogianya batas maksimal pidana bagi pelaku yang tindak kejahatannya memenuhi unsur-unsur pasal ini sama dengan pidana bagi tindak kejahatan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, yang terjadi ketika korban berada dalam keadaan sadar.

c) Pasal 287Pasal berikutnya dari KUHP yang mengatur tentang kejahatan

seksual adalah pasal 287. Pasal ini mengatur tentang pidana bagi pelaku persetubuhan yang korbannya adalah perempuan di bawah umur.

Pasal 287Ayat 1: Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.Ayat 2: Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan pasal 294.

Page 430: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

405

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Dalam tulisannya, Estrich mengemukakan tentang Pasal 261 dalam Undang-Undang Hukum Pidana Negara Bagian California.50 Pasal tersebut juga mengatur tentang pidana bagi pelaku yang berhubungan seksual dengan perempuan di bawah usia 18 tahun. Seorang laki-laki yang dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negara Bagian California karena melakukan hubungan seksual dengan perempuan di bawah umur, meng-ajukan permohonan peninjauan ulang terhadap pasal tersebut. Alasan dari Michael M, remaja yang dijatuhi hukuman tersebut, mengajukan peninjauan terhadap Pasal 261 dari Undang-Undang Hukum Pidana Negara Bagian California adalah adanya aspek diskriminatif dari pasal tersebut. Dasar argumen dari permohonan yang diajukan oleh Michael M adalah pasal tersebut mengasumsikan pelaku pasti laki-laki, sedangkan korban pasti perempuan. Selain itu dalam pasal tersebut juga tersirat bahwa laki-laki di bawah umur apabila melakukan hubungan seksual, oleh hukum tidak dipandang sebagai korban. Sebaliknya, perempuan di bawah umur yang melakukan hubungan seksual sekalipun atas dasar kesukarelaan si perempuan, oleh hukum dipandang sebagai korban.

Pengadilan Tinggi California dalam pertimbangannya terhadap permohonan yang diajukan Michael M untuk meninjau kembali pasal tersebut, menyatakan pasal itu ditujukan sebagai ‘affirmative action’ untuk melindungi perempuan di bawah usia 18 tahun dari risiko kehamilan yang tidak diinginkan. Secara historis, menurut Estrich, pasal tersebut justru memperlihatkan adanya persepsi dalam dunia hukum, bahwa remaja perempuan berbeda dari remaja laki-laki. Perempuan tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan sendiri, ketika dihadapkan pada pilihan untuk melakukan hubungan seksual atau tidak. Ketidakmampuan remaja perempuan (dalam hukum) untuk menge-muka kan keputusannya sendiri, didasari pemikiran bahwa kemurnian perempuan yang dipertimbangkan sangat berharga, penting untuk dilindungi negara.

Sebaliknya laki-laki diasumsikan mampu untuk membuat keputusannya sendiri, sehingga remaja laki-laki (sekalipun di bawah umur) oleh hukum dianggap tidak perlu mendapatkan perlindungan khusus. Hal tersebut menunjukkan hukum yang mengatur masalah

50 Ibid. hal. 457-459.

Page 431: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

406

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

pemerkosaan di California dikonstruksi masih dengan menggunakan stereotipe seksual yang kadaluarsa dibanding dengan didasari pemikiran untuk melindungi kepentingan remaja itu sendiri baik perempuan maupun laki-laki. Menurut Estrich51 pasal tersebut memang telah melanggar Equal Protection Clause dari Amandemen ke-14 Negara Amerika Serikat.

Larangan untuk berhubungan seksual dengan perempuan maupun laki-laki di bawah umur penting untuk ditetapkan dalam hukum pidana tanpa memandang gender. Baik laki-laki maupun perempuan di bawah umur penting untuk dilindungi dari paksaan, bujukan, rayuan, intimidasi untuk melakukan hubungan seksual, terutama dari orang yang usianya lebih tua. Dasar pemikiran dari larangan tersebut seharusnya bukan kontrol negara atas seksualitas remaja/anak di bawah umur yang merupakan wilayah privat remaja/anak. Aturan pidana atas kejahatan seksual yang menimpa korban di bawah umur penting dikonstruksi dengan dasar pemikiran untuk melindungi kondisi remaja dan anak di bawah umur yang rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, terutama yang muncul dalam relasi kuasa yang timpang akibat perbedaan usia.

Dalam Pasal 287 KUHP, terdapat beberapa persepsi yang mirip dengan Pasal 261 dari Undang-Undang Hukum Pidana Negara Bagian California. Pertama, bahwa hubungan persetubuhan diasumsikan terjadi secara heterogen, di mana pelaku adalah laki-laki dan korban perempun. Kedua, bahwa persetubuhan tersebut haruslah terjadi di luar perkawinan. Akibat dari asumsi bahwa hubungan seksual yang dikenakan sanksi pidana dalam Pasal 287 pasti bersifat heterogen, hubungan seksual secara paksa yang terjadi antara sesama jenis tidak dihitung sebagai persetubuhan. Sekalipun didasari atas relasi kuasa yang timpang dan menimbulkan akibat yang sama beratnya pada korban kejahatan seksual yang dilakukan oleh pelaku berbeda jenis kelamin, hubungan seksual paksa antara sesama jenis kelamin, dikategorikan hanya sebagai perbuatan cabul. Hal tersebut secara khusus diatur dalam Pasal 292 KUHP (silakan lihat bagian pembahasan Pasal 292 KUHP di bawah).

Pasal ini juga membuka peluang bagi terjadinya kejahatan seksual terhadap perempuan di bawah umur yang tidak mungkin dipidana karena

51 Ibid. hal.459.

Page 432: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

407

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

perempuan tersebut terikat pernikahan dengan pelaku. Salah satu unsur dalam pasal ini mensyaratkan perbuatan yang dapat dipidana dengan menggunakan Pasal 287 KUHP adalah apabila persetubuhan terjadi terhadap perempuan di bawah umur yang tidak terikat perkawinan dengan pelaku. Artinya, persetubuhan paksa yang terjadi terhadap perempuan di bawah umur, selama dilakukan oleh suaminya, tidak termasuk dalam kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 287 tersebut. Persetubuhan yang dilakukan di dalam perkawinan terhadap perempuan di bawah umur baru dapat dipidana apabila menimbulkan luka, luka berat atau bahkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 288 KUHP.

d) Pasal 288Seperti telah dipaparkan dalam analisis terhadap Pasal 287 KUHP

pada bagian sebelumnya, Pasal 288 dari KUHP mensyaratkan adanya situasi khusus supaya perbuatan persetubuhan terhadap perempuan di bawah umur dapat dipidana. Situasi khusus tersebut mencakup, usia korban di bawah umur, persetubuhan dilakukan dalam perkawinan dengan korban tersebut dan perbuatan pelaku mengakibatkan luka-luka atau luka berat, atau bahkan kematian.

Pasal 288Ayat 1: Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.Ayat 2: Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.Ayat 3: Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Ada beberapa hal yang penting untuk dikritik dalam pasal ini yaitu digunakannya istilah persetubuhan dan bukannya pemerkosaan, frasa ‘dalam perkawinan, frasa ‘belum waktunya untuk dikawin’ dan frasa ‘mengakibatkan luka-luka’.

Page 433: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

408

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

Penggunaan istilah persetubuhan dan bukannya pemerkosaan, dan kemudian diikuti dengan frasa ‘di dalam perkawinan’ memperlihatkan perspektif pembuat aturan terhadap hubungan seksual yang terjadi dalam suatu perkawinan. Hubungan seksual, sesuai dengan cara pandang yang terkandung dalam pasal ini, yang terjadi dalam suatu ikatan perkawinan, diandaikan selalu berlangsung berdasarkan konsensus. Relasi kuasa yang timpang antara pelaku dengan pasangannya yang masih belum cukup umur tidak diperhitungkan oleh pembuat undang-undang. Akibatnya, kejahatan seksual dianggap tidak mungkin terjadi dalam hubungan perkawinan.

Frasa ‘belum waktunya dikawin’ merujuk pada batas usia dari si perempuan. Dalam pasal 287, batas usia ‘belum pantas dikawin’ adalah 15 tahun. Dalam Pasal 288 KUHP tidak disebutkan batas usia tersebut. Ketidakjelasan batas usia ini menimbulkan wilayah ‘abu-abu’ di mana usia kawin perempuan yang menjadi korban dapat diperdebatkan apakah memang sudah pantas dikawin atau tidak. Batasan usia yang berada pada wilayah abu-abu ini dapat merugikan perempuan yang mengalami kejahatan seksual di dalam perkawinan dan ternyata batas usianya tidak jelas menurut hukum. Kejahatan seksual yang dialami perempuan tersebut tidak dapat diajukan ke pengadilan karena salah satu unsur dari pasal ini tidak terpenuhi.

Hubungan seksual yang disebut ‘persetubuhan’ dalam pasal ini hanya dapat dipidana apabila menimbulkan luka, luka berat, atau kematian pada perempuan. Perbuatan pelaku melakukan hubungan seksual dengan anak di bawah umur yang organ reproduksinya masih belum berkembang sepenuhnya, tidak diperhitungkan oleh hukum apabila tidak menimbulkan luka bahkan kematian. Jelas pasal ini sama sekali tidak memperhitungkan dampak psikologis yang dialami perempuan di bawah umur yang mengalami hubungan seksual dalam perkawinan, yang tidak selalu berdasarkan kesepakatan.

e) Pasal 289Pasal 289 dalam KUHP secara khusus mengatur tentang pidana

bagi pelaku perbuatan cabul. Pada pasal ini, perbuatan cabul dijelaskan sebagai ‘perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan’ tanpa dijelaskan batasan dari perbuatan cabul itu sendiri. Apabila Pasal 285, 286 dan 287 mencantumkan kata persetubuhan yang dimaknai secara sempit sebagai terjadinya penetrasi alat kelamin laki-laki ke dalam alat

Page 434: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

409

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

kelamin perempuan, maka Pasal 289 ini seolah menjadi pasal ‘keranjang sampah’ bagi tindakan kejahatan seksual yang tidak melibatkan penetrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal sebelumnya.

Pasal 289Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal ini mengatur mengenai kejahatan seksual yang tidak melibatkan penetrasi kelamin yang bersifat heteroseksual. Kejahatan seksual dalam Pasal 289 KUHP dijelaskan sebagai tindakan yang bersifat ‘menyerang kehormatan kesusilaan.’ Perspektif yang terkandung dalam pasal ini, kejahatan seksual adalah serangan terhadap kehormatan kesusilaan, senada dengan pemikiran para hakim yang menganggap kejahatan seksual secara khusus pemerkosaan adalah serangan terhadap kesucian perempuan alih-alih serangan terhadap kemanusiaan, sebagaimana dikemukakan Estrich dalam tulisannya (1996).

f) Pasal 290Pasal 290 KUHP secara khusus mengatur mengenai pidana bagi

pelaku perbuatan cabul dalam kondisi tertentu. Pertama, perbuatan cabul yang dilakukan terhadap korban yang berada dalam keadaan tidak sadarkan diri/pingsan (Ayat 1). Kedua, perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak di bawah umur. Batasan di bawah umur dalam pasal ini adalah orang yang belum berusia 15 tahun (Ayat 2).

Berbeda dari Ayat 1 dan Ayat 2 yang mengatur tentang pidana terhadap pelaku langsung dari suatu perbuatan cabul, Ayat 3 Pasal 290 bukan ditujukan bagi pelaku perbuatan cabul itu sendiri. Ayat ini secara khusus mengatur tentang hukuman bagi orang yang melakukan tindakan membujuk anak di bawah umur untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Artinya, bagian tersebut merujuk pada pidana atas tindakan seseorang yang menjadi perantara yang memungkinkan atau pendorong terjadinya hubungan seksual antara anak di bawah umur dengan pelaku.

Page 435: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

410

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

Pasal 290Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun1. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal

diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.2. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal

diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.

3. Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

Kembali lagi di sini muncul konsep ‘ancaman kekerasan’ yang sering ditafsirkan oleh penegak hukum sebagai ancaman secara fisik. Menurut Bartky (2005), ancaman yang menjadi bagian dari intimidasi, tidak selalu berwujud pernyataan pelaku untuk melakukan kekerasan secara fisik. Ancaman tersebut dapat berupa pernyataan pelaku akan memberikan nilai jelek pada korban, membuat korban tidak lulus, mengadukan perbuatan korban yang melanggar aturan sekolah kepada orang tua korban atau mempermalukan korban di depan teman-temannya. Kondisi-kondisi ini ditemukan dalam hasil penelitian Klinik Hukum untuk Anak dan Perempuan FHUI-PWKJ UI- Magenta (2012) tentang Kekerasan Seksual yang Terjadi pada Lingkup Lembaga Pendidikan.

Faktor ancaman ini kemudian menjadi sulit dibuktikan kecuali dengan keterangan saksi. Padahal dalam kasus kejahatan lain saja, sangat sulit untuk menghadirkan saksi di persidangan, apalagi dalam kasus pemerkosaan dan pencabulan di mana pelaku sangat menghindari situasi keramaian ketika menjalankan aksinya.

Pada Pasal 290 KUHP juga terdapat kondisi di mana hukuman pidana bagi pelaku perbuatan cabul yang melakukan kejahatannya pada korban yang tidak berdaya atau pada korban di bawah usia 15 tahun tidak seberat hukuman pidana untuk pelaku perbuatan cabul yang melakukan kejahatannya pada korban yang ‘sadar sepenuhnya’ atau sudah berusia dewasa. Hal ini menjadi semakin merugikan posisi anak yang menjadi

Page 436: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

411

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

korban pencabulan dan perempuan yang berada dalam keadaan tidak sadar ketika mengalami kejahatan seksual.Untuk membuktikan apakah terjadi penetrasi sehingga pelaku dapat dituntut dengan pasal pemerkosaan, atau ‘sekadar pencabulan’ akan bergantung sekali pada visum dokter.

g) Pasal 291Pasal 291 mengatur mengenai pemberatan hukuman pidana.

Adapun kondisi-kondisi yang dapat mengakibatkan pemberatan tersebut adalah apabila unsur-unsur dalam Pasal 286 (pemerkosaan terhadap perempuan yang pingsan/tidak berdaya), 287 (pemerkosaan terhadap perempuan di bawah umur), 289 (perbuatan cabul) dan 290 (perbuatan cabul dengan orang yang pingsan/tidak berdaya) mengakibatkan luka berat atau kematian korban.

Pasal 291Ayat 1: Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.Ayat 2: Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

h) Pasal 292Pasal 292 KUHP secara khusus mengatur mengenai hukuman

bagi pelaku perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin yang usianya belum dewasa. Batasan ‘belum dewasa’ dalam pasal ini untuk usia korban tidak disebutkan secara jelas.

Pasal 292Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Pidana yang diatur dalam pasal ini terhadap kejahatan seksual yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban yang sama jenis kelaminnya

Page 437: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

412

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

dengan pelaku, ternyata jauh lebih ringan daripada kejahatan pemerkosaan ataupun pencabulan terhadap korban yang berbeda jenis kelamin. Pasal ini merupakan refleksi dari pandangan pembuat undang-undang bahwa kejahatan seksual pemerkosaan hanya dapat terjadi antara pelaku dan korban yang berbeda jenis kelamin dan secara lebih lugas, antara laki-laki sebagai pelaku dengan perempuan sebagai korbannya.

Kejahatan seksual yang unsur-unsurnya diatur dalam pasal ini, dipandang lebih ringan daripada kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam pasal-pasal KUHP sebelumnya pada bagian kejahatan kesusilaan. Pembuat undang-undang tidak memperhitungkan ‘kerugian’ dan ‘kerusakan’ fisik maupun mental yang ditimbulkan sama terhadap korban anak, baik laki-laki maupun perempuan. Aspek perlindungan terhadap korban anak dalam pasal ini masih belum mengemuka karena justru hukuman bagi pelaku pencabulan anak (meskipun dengan jenis kelamin yang sama) lebih ringan dibanding dengan hukuman untuk kasus pidana lainnya.

i) Pasal 293Pasal 293 KUHP mengatur hukuman pidana bagi orang dewasa

yang menggunakan bujukan, menjanjikan hadiah atau menggunakan pengaruhnya sehingga korban, yang belum mencapai usia dewasa, melakukan hubungan seksual dengan orang dewasa tersebut. Pelaku dari tindakan yang diatur pidananya dalam pasal ini hanya dapat dituntut apabila perbuatannya itu diadukan oleh korban.

Pasal 293Ayat 1: Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau mem biarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.Ayat 2: Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.Ayat 3: Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.

Page 438: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

413

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Pasal 293 ini sangat tidak berperspektif perlindungan anak. Pada Ayat 2 penuntutan hanya dapat dilakukan oleh orang yang menjadi korban. Berapa banyakkah jumlah anak yang pernah membaca KUHP dan cukup berani untuk pergi ke kantor polisi mengadukan kasusnya? Orang dewasa sekalipun, secara psikologis memiliki keengganan untuk berhadapan dengan penegak hukum atau terlibat dalam proses hukum. Bahasa hukum, menurut Bartky (2005) oleh para perempuan yang mengalami kekerasan fisik maupun kejahatan seksual dianggap sangat intimidatif. Sangat menarik juga untuk melihat bahwa subjek hukum yang dianggap belum cakap bertindak menurut hukum dikarenakan usianya, dalam hal Pasal 293 Ayat 2 ini dapat melakukan penuntutan atas kasus yang menimpa dirinya.

j) Pasal 294Pasal 294 KUHP secara khusus mengatur mengenai perbuatan

cabul yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki relasi kuasa yang bersifat timpang terhadap korban. Relasi kuasa yang timpang ini disebabkan pelaku berada dalam posisi di mana ia memiliki kekuasaan penuh atas korban disebabkan statusnya sebagai orang tua ataupun karena pekerjaannya.

Pasal 294Ayat 1: Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikannya atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.Ayat 2: Diancam dengan pidana yang sama:1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang

karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.

2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas, atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa, atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

Page 439: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

414

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

Semestinya pada Pasal 294 ini dikenakan pemberatan karena pelaku telah menggunakan wewenangnya terhadap korban yang tidak berdaya, untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri, selain pidana atas kejahatan pencabulan. Pasal ini juga mengandung unsur bahwa kejahatan seksual tersebut terjadi karena adanya relasi yang timpang antara orang tua kandung/tiri/angkat dengan anak, antara orang dewasa dengan anak yang berada di bawah tanggungjawabnya, antara atasan dengan bawahan, antara guru dengan murid, antara dokter dengan pasien dan antara pekerja lembaga sosial dengan orang yang berada di bawah pengawasannya.

Dalam pasal ini, juga diatur terutama pada Ayat 1, korban adalah orang yang usianya berada di bawah batas usia dewasa. Tidak disebutkan secara tegas, batas usia dewasa yang dimaksud dalam pasal ini.

9.4.2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara PidanaProduk hukum berikutnya yang berkaitan dengan masalah

penanganan kejahatan seksual adalah KUHAP, khususnya Pasal 1 Butir 26, Pasal 1 Butir 27 dan Pasal 185 Ayat 1. Mengapa kedua pasal ini dibahas dan yang lainnya tidak? Ini karena kedua pasal ini mengatur tentang masalah pembuktian. Dalam kasus kejahatan seksual, pembuktian seringkali menjadi beban bagi korban.

Pasal 1 Butir 26 KUHAPSaksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Pasal 1 Butir 27 KUHAPKeterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Pada kasus kejahatan secara umum, keberadaan saksi sangat dihindari. Apalagi dalam kasus pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya. Kejahatan seksual biasanya (kecuali gang rape dan mass rape) dilakukan dalam situasi tersembunyi. Akibatnya, seringkali alat bukti berupa saksi

Page 440: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

415

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

sulit dihadirkan di depan sidang, selain saksi korban. Beban yang diterima oleh korban dalam kasus pemerkosaan maupun kejahatan seksual lainnya adalah beban secara psikologis akibat menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penegak hukum (polisi, JPU, hakim). Pertanyaan-pertanyaan itu akan membawanya untuk mengingat lagi peristiwa menyakitkan yang dialami korban. Menurut Estrich (1996), dalam kasus pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, korbanlah yang memiliki kewajiban untuk membuktikan. Semestinya pengadilan memeriksa pelaku, bukan korban. Kewajiban ini tidak berlaku untuk korban dalam kasus kejahatan lainnya, misalnya perampokan atau penganiayaan. Dengan demikian ketentuan hukum yang berlaku untuk korban pemerkosaan sangat bersifat diskriminatif dan tidak berperspektif perlindungan korban.

Problem lain yang dialami oleh saksi korban, hakim dan JPU di muka sidang sering mempertanyakan sejarah seksual korban. Hal tersebut membebani korban secara psikologis.

Keterangan saksi memang bukan satu-satunya alat bukti. Pada Pasal 184 Ayat 1 KUHAP dinyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam perkara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam kasus pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, keterangan ahli dalam bentuk visum terhadap korban. Jadi semestinya, ketiadaan saksi bukan merupakan kendala dalam masalah pembuktian terjadinya tindak kejahatan seksual. Tetapi, sebagian penegak hukum masih mensyaratkan adanya saksi dalam kasus kejahatan seksual. Penggunaan penafsiran sempit terhadap ‘alat bukti’ hanya sebatas pada keterangan saksi ini harus ditinggalkan, mengingat pada Pasal 184 Ayat 1 KUHAP ternyata diatur opsi alat bukti lainnya.

9.4.3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUP KDRT)

Dengan berbagai kelemahan dan celah pada KUHP dan KUHAP terutama dalam pengaturan mengenai hukum pidana bagi kasus kejahatan seksual, pada tahun 2004, UUP KDRT yaitu UU No 23 tahun 2004 disahkan. UU ini secara umum mengatur tentang tindak kekerasan yang terjadi dalam ranah domestik, yaitu kekerasan yang terjadi di dalam keluarga. Ada beberapa pasal dalam UU ini yang dipandang penting untuk dibahas secara khusus pada tulisan ini, yaitu Pasal 1, Pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 10 dari UUP KDRT.

Page 441: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

416

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

Pada pasal 1 butir 1 UUP KDRT diatur mengenai definisi kekerasan yang sifatnya lebih luas dibandingkan dengan definisi kekerasan dalam KUHP.

Pasal 1 UUP KDRT Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap

seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan.

Pasal ini menganut definisi yang luas mengenai kekerasan yang terjadi di dalam ruang keluarga. Tidak hanya kekerasan dalam wujud fisik, melainkan juga kekerasan seksual dan psikologis, termasuk juga pembatasan kebebasan dan penelantaran terhadap anggota keluarga.

Kategori jenis kekerasan yang dimaksud di dalam Pasal 1 UU ini kemudian disebutkan kembali dengan lebih terinci dalam Pasal 5 UU PKDRT. Penyebutan jenis-jenis kekerasan tersebut kali ini disertai dengan pernyataan larangan untuk melakukannya.

Pasal 5Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: (a). kekerasan fisik, (b). kekerasan psikis, (c). kekerasan seksual, atau (d). penelantaran rumah tangga.

Kekerasan fisik mencakup bentuk kekerasan yang dilakukan dengan tindakan yang mengakibatkan luka secara temporer ataupun permanen ataupun cacat, bahkan kematian. Kekerasan psikis adalah kekerasan yang dilakukan dalam bentuk ancaman, intimidasi, penghinaan yang menimbulkan trauma, perasaan takut, perasaan rendah diri pada korban, hilangnya rasa aman. Kekerasan seksual, yang dalam tulisan ini disebut sebagai kejahatan seksual, merupakan kekerasan yang menyerang seksualitas perempuan dan anak, dapat berupa pemerkosaan, perundungan seksual, sodomi, pelecehan seksual dengan menggunakan kata-kata dan sebagainya. Penelantaran rumah tangga, sebagaimana

Page 442: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

417

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dimaksud dalam pasal ini, merupakan bentuk kekerasan yang terjadi dalam bidang ekonomi. Butir ini ditafsirkan terjadi apabila suami sebagai kepala keluarga menelantarkan anak dan istrinya dengan cara tidak memberikan nafkah.

Khusus untuk masalah penelantaran rumah tangga, dalam butir ini seolah-olah terjadi diskriminasi di mana pelaku selalu ditafsirkan adalah laki-laki atau suami dan korban adalah istri atau anak. Konteks kehadiran Butir d tersebut dalam UUPKDRT adalah suatu bentuk affirmative action. Tujuannya untuk melindungi posisi perempuan dan anak dalam keluarga di masyarakat kita yang notabene dalam keluarga di Indonesia sebagian masih bergantung pada laki-laki sebagai pencari nafkah.

Penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk kekerasan seksual yang dimaksud dalam Pasal 5 UU PKDRT hadir dalam Pasal 8 dari UU ini. Pasal tersebut berisi aturan mengenai ruang lingkup tindak kekerasan seksual. Kejahatan seksual (dalam Pasal 8 disebut sebagai kekerasan seksual) mencakup pemaksaan hubungan seksual yang terjadi terhadap orang yang berada di dalam lingkungan suatu rumah tangga, baik dengan tujuan komersial/tujuan tertentu maupun tidak.

Pasal 8Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Huruf c meliputi: (a). pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, (b). pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Sayangnya kekerasan seksual yang dimaksud dalam pasal ini masih mencakup pada tindakan hubungan seksual yang berupa penetrasi penis ke dalam vagina. Tidak tercakup di dalamnya pemaksaan hubungan seksual secara oral, penggunaan alat lain secara paksa untuk penetrasi vaginal dan sodomi. Untuk itu sedang dilakukan advokasi agar ada pengaturan bentuk-bentuk kejahatan seksual di luar penetrasi vaginal sebagai tindakan yang dapat dikenakan pidana, dalam bentuk RUU Kekerasan Seksual.

Dalam hal di mana telah terjadi kekerasan terhadap anggota keluarga, UUPKDRT juga mengatur hak dari korban tersebut.

Page 443: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

418

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

Perlindungan atas hak korban kekerasan dalam lingkup keluarga/rumah tangga diatur dalam UU ini pada Pasal 10.

Pasal 10Korban berhak mendapatkan: (a). perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, (b). pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, (c). penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, (d). pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan (e) pelayanan bimbingan rohani.

9.4.4 UU Perlindungan Anak No 23 tahun 2002Pengaturan mengenai pidana terhadap pelaku kejahatan seksual

terhadap anak di luar KUHP dapat ditemukan dalam UU RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara khusus Pasal 81 Ayat 1 dan Ayat 2. Unsur dalam Pasal 81 Ayat 1 berupa ‘adanya kekerasan’ atau ‘ancaman kekerasan,’ ‘persetubuhan,’ ‘anak’ dan ‘tipu muslihat.’

Pasal 81 Ayat 1 : Setiap Orang; dengan sengaja melakukan kekerasan atau Ancaman kekerasan memaksa Anak untuk melakukan Persetubuhan dengannya atau orang lain dipidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dengan denda paling banyak Rp 300 juta dan paling sedikit Rp 60 juta.Ayat 2 : Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal ini merupakan ‘perbaikan’ bagi pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur pidana bagi kejahatan seksual yang menimpa korban anak. Dalam pasal ini diatur pidana yang lebih berat untuk kejahatan seksual terhadap anak. Tetapi pasal ini, masih mempersepsikan kejahatan seksual sebagai persetubuhan di mana terjadi penetrasi vaginal. Pasal ini

Page 444: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

419

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

juga mengandung perspektif pembuat undang-undang bahwa kejahatan seksual dalam bentuk pemerkosaan hanya terjadi secara heteroseksual, antara laki-laki dengan perempuan. Akibatnya ruang lingkup kejahatan seksual yang diatur dalam pasal ini masih bersifat sempit.

9.4.5 UU Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 Tahun 2012Secara formal, hak anak yang mengalami kejahatan seksual

penting untuk dilindungi. Produk hukum yang melindungi kepentingan anak yang menjadi korban dari kejahatan seksual diatur dalam UU Peradilan Anak No. 11 Tahun 2012. Dalam UU ini diatur tentang perlindungan terhadap identitas anak yang menjadi korban, tata cara pemeriksaan perkara mencakup anak menjadi korban atau pelaku dan hak anak selama menjalani proses peradilan.

UU No. 11 Tahun 2012 memperhitungkan anak, pada hakikatnya adalah pihak yang rentan. Baik sebagai pelaku, sebagai korban maupun saksi, anak penting untuk dilindungi. Salah satu bentuk perlindungan terhadap anak yang diatur dalam UU ini adalah mengenai masalah pemberitaan media terhadap kasus kejahatan seksual yang melibatkan anak. Pemberitaan yang beredar di media massa, seringkali menambah berat dampak yang diderita anak yang terlibat dalam kasus kejahatan seksual, baik sebagai korban maupun pelaku. Pada pemberitaan media massa, nama anak seringkali disebutkan secara terang-terangan, bahkan mendapat stigma tertentu. Untuk itulah dalam Pasal 19 UU ini diatur perlindungan terhadap anak yang menjadi korban, pelaku maupun saksi.

Pasal 19 Ayat 1 Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Ayat 2 Identitas sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.

Anak yang kasusnya diajukan dalam pengadilan, baik sebagai korban, saksi maupun pelaku, seyogianya mendapat perlindungan hukum. Dalam UU Peradilan Anak perlindungan hukum tersebut diatur

Page 445: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

420

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

dalam Pasal 23. Beberapa hak tersebut adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk memperoleh pendampingan dalam setiap tingkat pemeriksaan.

Pasal 23 Ayat 1: Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat 2: Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial. Ayat 3: Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau terdakwa perkara yang sedang diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi orang tua.

Pasal 23 Ayat 2 secara khusus mengatur mengenai perlindungan terhadap anak yang menjadi korban atas perbuatan orang tuanya. Dalam kasus yang demikian, dapat ditafsirkan sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang, pendampingan anak tidak diserahkan kepada orang tua tersebut melainkan oleh pekerja sosial.

Pada bagian ini ditampilkan empat ringkasan kasus yang terkait dengan kejahatan seksual. Kasus pertama adalah kejahatan seksual pemerkosaan yang terjadi antara individu yang memiliki hubungan keluarga (incest) yang diangkat dari putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serui, Papua. Kasus kedua adakah kasus kejahatan seksual berupa pencabulan terhadap beberapa anak laki-laki. Kasus ini dikutip dari Putusan Mahkamah Agung untuk Pengadilan Militer atas kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh seorang anggota TNI-AD. Kasus ketiga adalah kasus pemerkosaan dengan kekerasan dan ancaman kekerasan, yang diangkat dari putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kutacane, Aceh. Kasus keempat adalah kasus persetubuhan yang dilakukan dengan bujukan dan tipu muslihat, dingkat dari putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bukittinggi, Sumatera barat.

9.5 Studi Kasus

Page 446: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

421

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

9.5.1 Kasus Pidana Pemerkosaan terhadap Anak KandungPutusan Pengadilan Negeri Serui dipilih karena putusan ini

memperlihatkan bahwa hakim dan Jaksa Penuntut Umum sesungguhnya telah menggunakan UUPKDRT dalam upaya menjerat pelaku yang merupakan ayah kandung dari korban. Tampaknya sudah ada inisiatif dari penegak hukum untuk menggunakan produk hukum yang lebih berperspektif korban.Tetapi karena korban sudah bukan tergolong sebagai anak, maka mereka berpendapat bahwa UU Perlindungan Anak tidak dapat digunakan dalam dakwaan maupun pertimbangan putusan hakim. Kasus Serui ini, adalah kasus kejahatan pemerkosaan yang melibatkan anak (sebagai korban) dan ayah kandung (sebagai pelaku). Korban lama tinggal terpisah dari ayahnya, dan baru tinggal bersama keluarga pelaku setelah dijanjikan akan disekolahkan oleh pelaku.

-------------------------------------------------

Feliscatus vs Erlita (Anak Kandung)(PUTUSAN No. 29/Pid.B/2011/PN.Sri

tentang Pidana Pemerkosaan terhadap Anak Kandung di Serui)

lHakim Ketua: Tiares Sirait, SH.lHakim Anggota: Ida Zulfa M., SH. Dan Muslim M. Ash Siddiqi, SH.lPanitera: Rustam Haji Hasan

SEJARAH PROSEDURAL Putusan Pengadilan Negeri Serui, No. 29/Pid.B/2011/PN.Sri. Putusan inkraacht pada tanggal 03 November 2011.

PERNYATAAN FAKTAl Pelaku yang bernama Feliscatus (bukan nama sebenarnya) adalah

seorang pegawai yang bekerja di Radio Republik Indonesia cabang Serui. Korban bernama Erlita (bukan nama sebenarnya). Korban adalah anak kandung dari pelaku. Ketika korban masih bayi, ibu korban meninggal sehingga korban tinggal bersama keluarga besar ibunya di Ambon.

lAntara ibu Erlita (almarhum Elena, bukan nama sebenarnya) tidak menikah secara resmi dengan Feliscatus sehingga Feliscatus di depan

Page 447: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

422

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

hakim pada waktu pemeriksaan awal menyatakan bahwa ia tidak yakin bahwa Erlita adalah anaknya.

l Feliscatus kemudian menikah kembali dengan Rita (bukan nama sebenarnya) dan pindah ke kota Serui.

l Pertama kali korban bertemu dengan Feliscatus di rumah adik Feliscatus di Ambon tahun 2008. Pada saat itu oleh keluarga besar Feliscatus, ditunjukkan bukti-bukti Erlita adalah anaknya.

lDengan alasan ingin menebus kesalahan sebagai ayah yang mengabaikan anaknya, Feliscatus mengajak Erlita pindah ke Serui untuk disekolahkah (kuliah).

l Setibanya di Serui, Erlita diperkenalkan sebagai anak Feliscatus, bahkan juga kepada keluarga dan istri Feliscatus, Rita. Erlita kemudian tinggal di rumah Feliscatus di komplek RRI dan kuliah di M.

l September tahun 2008 korban dibawa ke Jayapura dengan alasan untuk membantu mengobati orang. Saat itu korban dilecehkan secara seksual namun tidak terjadi persetubuhan.

lApril tahun 2009 korban kembali dibawa ke Ambon dengan alasan akan mengobati orang, di tengah jalan korban sakit kemudian dibawa ke Manokwari dan tinggal di hotel bersama pelaku. Dengan alasan mengusir setan, selama korban sakit dan istirahat di hotel, pelaku memaksa korban berhubungan badan tapi gagal karena korban berhasil berontak.

lTahun 2010 di kantor RRI Serui, pelaku berhasil memperkosa korban untuk pertama kalinya.

l Pemerkosaan berikutnya dilakukan pelaku saat korban sedang berada di rumah sendirian bersama pelaku, atau pada saat korban dipaksa pelaku menemaninya ketika sedang menyembuhkan orang yang kerasukan.

l Pelaku juga pernah memukul korban ketika korban ditemukan sedang berjalan bersama dengan dosen dan temannya. Bahkan pelaku mengancam korban akan membunuh orang yang menghalangi pelaku kawin dengan korban.

lKorban kemudian hamil dan diperiksa di RSUD Serui. Setelah kehamilannya itu korban minta pelaku untuk bertanggung jawab.

lTanggal 05 Januari tahun 2011 setelah korban menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada keluarga besar Feliscatus maka diadakan pertemuan keluarga untuk membahas masalah ini.

Page 448: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

423

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

lKorban kemudian mengalami keguguran karena stres pada saat kehamilannya berusia 6 bulan.

lAtas keputusan keluarga besar, tindakan pelaku kemudian dilaporkan kepada polisi.

l Berdasarkan visum dokter RSUD memang telah terjadi robekan pada vagina korban dan ada tanda-tanda persetubuhan.

ISU (PERTANYAAN)lApakah landasan hukum yang digunakan dalam dakwaan yang

disusun JPU sudah sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan terdakwa beserta bukti-bukti yang dipaparkan dalam persidangan?

lApakah dakwaan JPU maupun pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman sudah mengakomodir landasan hukum lainnya yang lebih berperspektif perlindungan korban/ perlindungan anak dan berperspektif gender?

ATURAN lDakwaan yang dikenakan pada pelaku oleh JPU:l Pasal 46 Jo Pasal 8 Jo Pasal 5 Huruf c Undang-Undang No. 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP,

l Pasal 45 Ayat 1 Jo Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP.

lHakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa berdasarkan:- Pasal 46 Jo Pasal 8 Jo Pasal 5 Huruf c Undang-Undang No. 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP,

- Pasal 45 Ayat 1 Jo Pasal 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP,

- Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

- Hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa adalah 4 tahun penjara.

Page 449: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

424

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

ANALISIS (PENERAPAN) lBaik JPU maupun Hakim telah mempergunakan landasan hukum

UUPKDRT selain KUHP. lTidak diperhitungkan oleh JPU dan Hakim tindak kekerasan

nonseksual yaitu berupa pemukulan dan penjambakan yang dilakukan oleh terdakwa, sehingga dalam kasus ini, hanya pasal 5 huruf c yang dirujuk dalam dakwaan JPU dan putusan hakim.

lHukuman yang dijatuhkan belumlah maksimal mengingat penjara hanya 4 tahun dengan kewajiban terdakwa membayar biaya perkara Rp 1.000,- yang tidak sebanding dengan penderitaan korban.

KESIMPULAN Hakim memutuskan terdakwa bersalah melakukan “Kekerasan Seksual dan Kekerasan Fisik Terhadap Orang yang Berada dalam Lingkup Rumah Tangganya yang Dilakukan Secara Berlanjut”

Hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa adalah 4 tahun penjara dikurangi masa tahanan kecuali masa di mana terdakwa dirawat di RS di luar Rutan (tidak masuk masa perawatan tersebut sebagai pengurangan hukuman). Kemudian juga terdakwa diputuskan tetap harus berada di dalam tahanan dan membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,-

-------------------------------------------------

Dalam kasus ini ada beberapa isu penting untuk diperhatikan. Pertama, pelaku kejahatan seksual ini adalah seorang ayah terhadap anaknya. Untuk melepaskan diri dari jerat hukum, sang ayah memberikan keterangan di muka sidang bahwa anaknya ini baru ia temui setelah si anak dewasa, sehingga tadinya ia tidak mengetahui perempuan tersebut adalah anaknya. Korban, bersedia ikut dengan pelaku dengan janji akan disekolahkan dan juga karena ibu korban sudah meninggal. Menurut keterangan paman korban, pelaku adalah ayah korban. Korban, karena sekolah dan kehidupannya dibiayai oleh pelaku bahkan korban tinggal di rumah pelaku, dalam hal ini berada pada kondisi yang bergantung pada kebaikan hati pelaku. Akibatnya tindakan pelaku dan keluarga pelaku (termasuk istri pelaku yang menuduh korban bersikap genit terhadap pelaku) diterima oleh korban yang berada dalam posisi rentan dan bergantung tersebut.

Page 450: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

425

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Kedua, dalam kasus ini terdapat beberapa bentuk kekerasan. Bagian yang disebutkan dalam bagian pertimbangan putusan hakim ada beberapa bentuk. Di antaranya, disebutkan secara jelas, kekerasan seksual, kekerasan fisik (pelaku pernah memukul korban) dan kekerasan psikologis (pelaku mengancam korban).

Ketiga, penting dicatat, bahwa baik JPU maupun hakim mempergunakan UUPKDRT sebagai landasan hukum dalam penyusunan dakwaan (JPU) maupun dalam amar putusan hakim. Hal ini merupakan terobosan yang amat baik di bidang penegakan hukum mengingat dalam kasus kejahatan seksual, masih banyak aparat penegak hukum yang cenderung mempergunakan KUHP saja. Sayangnya, hanya kekerasan seksual yang diperhitungkan JPU dan hakim sebagai tindakan terdakwa yang patut untuk dihukum. Kekerasan fisik dan psikologis yang dilakukan oleh terdakwa terhadap korban dalam putusan ini tidak dianggap sebagai hal-hal yang dapat memberatkan tindakan terdakwa.

Keempat, pidana yang dijatuhkan adalah empat tahun dipotong masa tahanan bagi terdakwa. Mengingat segala bentuk kekerasan yang pernah dilakukan Terdakwa terhadap korban, penting untuk menjadi pertanyaan: apakah hukuman tersebut adil?

9.5.2 Kasus Pencabulan terhadap Beberapa Anak Laki-lakiKasus kedua diangkat dari putusan Pengadilan Militer. Pilihan

untuk menganalisis kasus ini didasarkan pada prinsip korban kejahatan seksual tidaklah pandang bulu: dapat menimpa siapa saja, termasuk juga anak laki-laki. Terjadinya kejahatan seksual yang didukung oleh terciptanya relasi sosial yang timpang antara pelaku dan korban terlihat dalam kasus ini. Kali ini, pelaku kejahatan seksual adalah seorang laki-laki anggota TNI AD berpangkat perwira.

Para korban terlebih dahulu mendapat ancaman dan atau bujukan, atau ditipu sehingga berada dalam situasi berdua bersama pelaku. Baru setelah pelaku merasa aman, dia melaksanakan niatnya terhadap (para) korban. Para korban dalam kasus ini berada pada posisi subordinat. Mereka terdiri atas anak maupun remaja. Sebagian besar dari korban tersebut berasal dari orang tua yang merupakan bawahan atau berada dalam relasi kepangkatan yang lebih rendah daripada pelaku. Sisanya adalah tetangga pelaku dan anak yatim yang diangkat anak oleh pelaku.

Page 451: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

426

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

----------------------------------------------------------

Mortir vs Sejumlah Anak Laki-laki(Putusan Mahkamah Agung – Mahkamah Militer No. 166 K/MIL/2010

tentang kasus pencabulan terhadap anak laki-laki)

lKetua Majelis: Prof . DR. Surya Jaya, SH., M.Hum.lHakim Agung anggota: Timur P. Manurung, SH.,MM. dan Suwardi,

SH., MH.

SEJARAH PROSEDURAL Perkara ini telah diadili di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, Jawa Timur dengan hasil Putusan Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya No. PUT/22-KIPMT.III/AD/XI I/2008 tanggal 5 Desember 2008. Terdakwa kemudian mengajukan kasasi ke tingkat MA. Pada tingkat MA kasasi di-tolak dan perkara ini diputus dengan Putusan MA – Mahkamah Militer No. 166 K/MIL/2010.

PERNYATAAN FAKTAlTerdakwa Mortir (bukan nama sebenarnya) adalah anggota militer

yang setelah pulang berdinas dari Timor Timur membawa dua orang anak angkat laki-laki.

lAnak-anak tersebut tinggal di rumah keluarga terdakwa.l Istri terdakwa mengalami kesulitan berkomunikasi dengan anak-anak

tersebut.lTernyata setelah beberapa waktu tinggal di rumah terdakwa, anak-

anak itu menceritakan kepada istri terdakwa bahwa mereka mengalami sodomi yang dilakukan oleh terdakwa.

lTerdakwa mengancam istrinya supaya tidak memberitahukan hal tersebut kepada orang lain.

l Beberapa waktu kemudian seorang perwira mendengar percakapan anak-anak yang pernah menjadi korban terdakwa.

l Perwira tersebut menjadi curiga.l Perwira tersebut kemudian juga menerima surat laporan dari ketua

karang taruna setempat yang meminta supaya kasus pelecehan seksual terhadap anak laki-laki di tempat tersebut segera dituntaskan.

lKetua karang taruna setempat menulis laporan tersebut setelah melakukan investigasi terhadap anak-anak yang menjadi korban

Page 452: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

427

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dari perbuatan terdakwa.lTetangga terdakwa dan orang tua dari para korban kemudian melapor

ke Polda Sulawesi Tenggara dan ke Denpom VII/5 Kendari.lTerdakwa ditangkap, ditahan, kasusnya diselidiki.l Setelah diajukan ke pengadilan militer, terdakwa terbukti bersalah,

tetapi terdakwa banding ke pengadilan tinggi militer di Surabaya. Alasan terdakwa, pada saat sidang dilangsungkan, pintu dan jendela ruang pengadilan dibuka sehingga masyarakat dapat menonton. Padahal itu adalah sidang kasus susila yang seharusnya tertutup.

lMenurut keterangan dari bagian pertimbangan putusan, dibukanya pintu dan jendela ruang sidang disebabkan ruangan pengap akibat hujan.

lMasyarakat yang kemudian berkumpul berteduh di sekitar ruang pengadilan tidak mengakibatkan batalnya sidang.

lKembali banding terdakwa ditolak. Terdakwa kemudian mengajukan kasasi ke MA. Pada tingkat MA, kasasi terdakwa ditolak karena bukti cukup dan memang tidak terjadi kesalahan dalam proses persidangan sebagaimana yang didalilkan oleh terdakwa bahwa dalam persidangan, masyarakat tidak seharusnya tahu akan kasus tersebut karena merupakan kasus susila.

ISU (PERTANYAAN)Mengapa majelis hakim mahkamah militer mempergunakan Pasal 82 UU Perlindungan Anak sebagai salah satu dasar dari pertimbangan mereka dalam memutuskan kasus ini?

ATURAN l Pasal 82 UU Perlindungan Anak lUndang- Undang No. 31 Tahun 1997, lUndang- Undang No. 48 Tahun 2009, lUndang- Undang No. 8 Tahun 1981 lUndang- Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang te lah diubah

dan di tambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009

ANALISIS (PENERAPAN) lMajelis Hakim Mahkamah Militer berpendapat putusan pengadilan

pada tingkat sebelumnya sudah tepat.

Page 453: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

428

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

lDemikian juga dengan prosedur yang ditempuh, tidak menyalahi hukum acara.

lMajelis Hakim juga berpendapat bahwa sesuai dengan bukti-bukti dan keterangan para saksi, terdakwa memenuhi unsur yang disyaratkan dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak sehingga pasal tersebut tepat digunakan dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.

l Selain itu, hukuman tambahan juga dijatuhkan kepada terdakwa mengingat M sebagai anggota TNI yang seharusnya memberi teladan baik pada masyarakat, justru telah melakukan perbuatan tercela.

KESIMPULAN Majelis Hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut:1. Hukuman pokok berupa pidana penjara selama tiga tahun.2. Hukuman tambahan berupa pemecatan terdakwa dari dinas militer. 3. Terdakwa juga dihukum membayar biaya perkara Rp 2.500 ,-

-------------------------------------------------

Kejahatan seksual yang dialami oleh para korban (yang seluruhnya adalah anak laki-laki) berupa sodomi, paksaan untuk melakukan hubungan seks secara oral atau paksaan untuk menonton video porno bersama dengan terdakwa. Terdakwa leluasa melakukan tindakan tersebut karena anak-anak ini adalah tetangga terdakwa. Kebetulan terdakwa sebagai perwira di lingkungan tempat tinggalnya dihormati oleh para tetangga. Terdakwa sering menawarkan pekerjaan kepada anak-anak tersebut, misalnya berupa cuci mobil, membersihkan rumah atau memijat dengan imbalan. Tidak ada anak yang berani untuk mengadukan tindakan pelaku kepada orang tua mereka karena takut akan ancaman pelaku. Apalagi, pelaku memiliki pangkat yang cukup tinggi di ketentaraan.

Tindakan pelaku terbongkar setelah istri pelaku menuntut untuk bercerai akibat dari kebiasaan pelaku berhubungan seksual dengan anak laki-laki yang tinggal di rumah pelaku. Setelah terjadi tuntutan yang diajukan oleh istri pelaku, kemudian ada tetangga pelaku yang berpangkat sesama perwira kemudian juga mencoba untuk menyelidiki perilaku pelaku. Akhirnya kejahatan pelaku terungkap setelah para orang tua korban berani untuk mengadukan perbuatan pelaku terhadap anak mereka.

Page 454: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

429

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Penggunaan Pasal 82 UU Perlindungan Anak dalam kasus ini merupakan terobosan hukum dari Hakim Mahkamah Militer. Menarik bahwa pihak militer (dalam hal ini hakim) justru bersikap terbuka dengan mengadopsi peraturan yang lebih berperspektif korban (dan anak). Sayangnya, hakim tidak menyertakan jumlah/banyaknya korban yang jatuh dalam pertimbangan putusan. Berdasarkan catatan dalam putusan, terdapat kurang lebih 12 saksi korban yang memberkan keterangan dalam kasus ini di muka sidang.

9.5.3 Kasus Pemerkosaan dengan Kekerasan dan Ancaman KekerasanKasus ketiga adalah kasus pemerkosaan yang dialami seorang

anak perempuan di wilayah Kutacane, Aceh. Anak tersebut mengalami kekeras an selama pemerkosaan. Setelah pemerkosaan selesai, anak tersebut mengalami ancaman kekerasan dari pelaku dengan tujuan supaya anak tidak memberitahukan tindakan pelaku kepada orang lain. Tetapi, akibat dari perbuatan pelaku itu korban hamil sehingga terungkaplah kejahatan pelaku.

Putusan ketiga dipilih karena dalam kasus yang diadili di PN Kutacane ini ada intimidasi yang melibatkan faktor fisik terhadap korban untuk melakukan hubungan seksual. Korban disumpal mulutnya dengan kain kemudian diancam akan dibunuh oleh pelaku apabila korban memberitahu orang lain tentang tindakan pelaku. Beberapa kali melakukan hubungan seksual dengan pelaku. Akibatnya korban hamil. Pertimbangan hakim dalam memutuskan kasus ini merupakan hal yang menarik karena hakim mempergunakan Pasal 81 dari Undang-Undang Perlindungan Anak dan bukan KUHP.

-------------------------------------------------

Lepat vs Pandan(Kasus Pemerkosaan dengan kekerasan dan ancaman kekerasan

No. putusan 72/Pid/B/2010/PN.KC)

lHakim: Moh. Djoenaidie, SH., MH.; Junaidi, SH.; David Darmawan, SH.

SEJARAH PROSEDURAL Putusan 72/Pid/B/2010/PN.KC (Putusan Pengadilan Negeri Kutacane, Aceh). Putusan inkraacht pada tanggal 25 Agustus tahun 2010.

Page 455: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

430

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

PERNYATAAN FAKTAlTerdakwa Lepat (bukan nama sebenarnya) dan korban Pandan (bukan

nama sebenarnya) adalah tetangga.lPada suatu hari ketika korban dalam perjalanan pulang dari ladang

setelah membawa makan siang bagi orang yang sedang bekerja di ladang keluarganya, korban diberhentikan oleh terdakwa.

lTerdakwa kemudian menyeret korban ke dalam sebuah gubuk. Mulut korban disumbat dengan kain. Kemudian korban diperkosa.

lSetelah terdakwa selesai melakukan kejahatannya, korban dilepaskan dengan ancaman bahwa kalau korban mengadu maka korban akan dibunuh oleh terdakwa.

lKorban yang ketakutan kemudian pergi.lLima bulan kemudian korban diketahui hamil.lOrang tua korban yang curiga atas perubahan bentuk tubuh korban

menanyai korban.lKorban dengan ketakutan tetap diam. Akhirnya setelah diminta oleh

kakak korban untuk menulis nama pelaku, korban berhasil menulis di atas selembar kertas bahwa dirinya diperkosa oleh terdakwa yang bernama Lepat.

lKasus ini diadukan ke polisi.l Polisi mengumpulkan bukti berupa hasil visum, tes DNA dan USG

serta keterangan saksi termasuk saksi korban.lKasus ini kemudian diajukan ke PN Kutacane.l Selama proses persidangan berlangsung, korban akhirnya melahirkan

seorang anak laki-laki tanggal 25 Agustus tahun 2010

ISU (PERTANYAAN)Mengapa majelis hakim dalam memutuskan kasus ini dengan merujuk pada Pasal 81 Ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002 meskipun Jaksa Penuntut Umum menyediakan alternatif pasal lain dalam dakwaannya, yaitu Pasal 82 UU No 23 Tahun 2002?

ATURAN l Pasal 81 Ayat 1 UU RI No. 23 Tahun 2002lAtau Melanggar Pasal 82 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

Page 456: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

431

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

ANALISIS (PENERAPAN)Pasal 81 Ayat 1 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:lAyat 1: Setiap Orang;lAyat 2: Dengan Sengaja Melakukan kekerasan atau Ancaman

kekerasan memaksa Anak untuk melakukan Persetubuhan dengannya atau orang lain; dst.

KESIMPULAN lMajelis Hakim menyatakan terdakwa Lepat telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah memenuhi unsur dalam Pasal 81 UU Perlindungan Anak, “Dengan Sengaja Melakukan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, Memaksa Anak untuk Melakukan Persetubuhan Dengannya”.

lUntuk itu Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Hukuman terdakwa berupa pidana penjara selama 10 (Sepuluh) Tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) Bulan. Hakim juga menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan tersebut. Hakim juga memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan dan membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 2.000,- (Dua Ribu Rupiah).

-------------------------------------------------

Dalam kasus ini terdakwa dan korban saling mengenal karena mereka bertetangga. Kejahatan seksual ini terjadi pada saat korban selesai mengantar makanan bagi orang yang bekerja di ladang dan kemudian terdakwa menghentikan korban di tengah perjalanan pulang.

Dalam kasus ini terjadi beberapa bentuk kekerasan. Pertama, kekerasan seksual. Kedua, kekerasan fisik di mana pelaku menahan korban, membekap mulut korban. Ketiga, kekerasan psikologis yaitu dalam bentuk intimidasi sebagaimana dikemukakan oleh Bartky (2005) yaitu ancaman untuk melakukan tindak kekerasan apabila korban menceritakan perbuatan pelaku kejahatan pada orang lain. Ancaman

Page 457: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

432

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

pelaku ternyata sangat mempengaruhi korban sehingga sampai lima bulan kemudian korban tutup mulut.

Perbuatan Terdakwa baru diketahui keluarga korban setelah korban terlihat hamil. Bahkan, keluarga korban baru mengetahui pelaku kejahatan yang menimpa korban setelah korban diminta menulis nama pelaku. Korban tidak berani sama sekali mengucapkan nama pelaku.

Pada kasus Kutacane ini, sekalipun tidak ada saksi yang secara langsung menyaksikan perbuatan pelaku terhadap korban, polisi dan JPU tetap memproses perkara ini. Bukti yang dihadirkan adalah visum, hasil USG dan tes DNA. Baik JPU maupun polisi telah memiliki pemahaman yang baik tentang makna bukti dalam Hukum Acara Pidana (Pasal 183 KUHAP). Bukti, dalam kasus kejahatan seksual tidak hanya dimaknai sebagai keterangan saksi melainkan, sesuai dengan unsur dalam Pasal tersebut, adalah adanya visum dan barang bukti (berupa hasil USG yang menunjukkan terjadinya kehamilan pada korban).

9.5.4 Persetubuhan dengan Bujukan dan Tipu MuslihatKasus keempat adalah kasus pemerkosaan yang tidak didahului

dengan kekerasan fisik. Tetapi pelaku untuk mencapai maksudnya menggunakan bujukan dan rayuan bahwa dirinya akan menikahi korban. Tindakan tersebut dilakukan terhadap korban yang usianya masih 16 tahun. Kasus ini terjadi di Bangkinang.

Pilihan terhadap kasus ini dijatuhkan dengan dasar pemikiran bahwa kasus ini merupakan contoh yang baik untuk memperlihatkan sekalipun ada hubungan ‘pacaran’ dan tidak ada kekerasan fisik, tetapi hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang dewasa terhadap anak di bawah umur yang belum memiliki kemampuan penuh untuk mengambil keputusan, tetaplah merupakan hubungan seksual yang dilarang. Tindakan itu mencederai kepentingan dan keselamatan anak tersebut. Perdebatan teoritis mengenai masalah konsensus anak di bawah umur telah dibahas pula dalam bagian tulisan ini mengenai kasus Michael M.52

52 Ibid. hal. 457-459.

Page 458: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

433

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Kasus ini juga menunjukkan Majelis Hakim pada tingkat Pengadilan Negeri, memiliki perspektif perlindungan anak (dan juga perlindungan korban). Hakim, sekalipun menemukan bahwa tidak ada kekerasan fisik dalam kasus ini, tetap memperhitungkan bujukan dan rayuan tersebut sebagai upaya pelaku untuk memaksa korban melakukan hubungan seksual. Hakim juga memperhitungkan bahwa perempuan yang menjadi korban dalam kasus ini masih berada di bawah usia dewasa.

Selain alasan di atas, hal menarik lainnya dari kasus ini adalah perubahan bobot hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku. Putusan pada tingkat PN menghukum Pelaku untuk menjalani masa penjara selama sembilan tahun. Tetapi ketika Pelaku naik banding ke tingkat Pengadilan Tinggi, putusan pengadilan tahap berikutnya mengubah hukuman yang harus dijalani Pelaku menjadi sembilan bulan. Kemudian, ketika diajukan kasasi, Putusan MA justru memperkuat putusan PT, dengan menjatuhkan hanya sembilan bulan hukuman penjara pada pelaku.

-------------------------------------------------

Bodong vs Ami(Kasus pemerkosaan dengan bujukan terhadap anak di bawah umur.

Putusan MA No. 454 K/PID.SUS/2008

SEJARAH PROSEDURAL l JPU menjatuhkan dakwaan berdasarkan pasal 81 UU Perlindungan

Anak No 23 Tahun 2002.l PN Bangkinang menjatuhkan putusan berupa pidana 9 tahun dan

denda Rp 60.000.000,- kepada terdakwa sesuai tuntutan JPU.lTerdakwa banding ke Pengadilan Tinggi Pakanbaru.l Pengadilan Tinggi Pakanbaru menerima banding terdakwa dan

menjatuhkan hukuman pidana 9 bulan dan denda Rp 5.000.000,-l JPU Kejaksaan Negeri Bangkinang mengajukan Kasasi dengan alasan

bahwa PT Pakanbaru telah menjatuhkan hukuman yang tidak akan membawa efek jera bagi terdakwa. Selain itu juga terdakwa telah melakukan perbuatan yang yang tidak mendukung program pemerintah untuk melindungi anak dari pelecehan dan kejahatan seksual.

l Permohonan kasasi JPU Kejaksaan Negeri Bangkinang kemudian ditolak oleh MA dengan alasan tidak ada prosedur yang salah dari

Page 459: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

434

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

putusan PT Pakanbaru.lKasus ini inkraacht dengan putusan MA No. 454 K/PID.SUS/2008

PERNYATAAN FAKTAlTerdakwa Bodong (bukan nama sebenarnya) membawa korban Ami

(bukan nama sebenarnya) berjalan-jalan.lDi suatu tempat Bodong menanyakan pada korban apakah korban

sayang kepada terdakwa.lKorban menjawab bahwa dirinya menyayangi terdakwa.lTerdakwa membujuk korban melakukan hubungan seksual dengannya

dan mengatakan bahwa rasa sayang korban harus dibuktikan melalui hubungan seksual tersebut. Terdakwa selain membujuk dan memaksa, juga menjanjikan akan menikahi korban.

lTerdakwa kemudian melakukan hubungan seksual dengan korban. Akibat dari hubungan tersebut korban mengeluarkan darah dari vagina. Ketika korban ketakutan, Terdakwa kembali menyatakan bahwa dia akan menikahi korban.

lKorban kemudian hamil akibat pemerkosaan tersebut.

ISU (PERTANYAAN)Dasar pertimbangan apa sajakah yang dipergunakan oleh Hakim MA sehingga terjadi pengubahan hukuman bagi terdakwa dari sembilan tahun (pada putusan PN) menjadi sembilan bulan (berdasarkan putusan PT dan MA)?

ATURAN l Pasal 81 Ayat 2 UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 (PN)l Pasal 82 UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 (PN)l Pasal 287 KUHP (MA)

ANALISIS (PENERAPAN)Putusan Pengadilan Negeri Bangkinang No.140/Pid.B/2007/PN.BKN tanggal 13 September 2007 yang berdasarkan pasal 81 Ayat 2 UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 memutuskan bahwa:lMenyatakan Terdakwa Bodong, telah terbukti secara sah dan meyakin-

kan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan Sengaja Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan”

Page 460: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

435

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

lMenghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 9 (Sembilan) Tahun.

lMenghukum pula Terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan hukuman selama 2 (dua) bulan kurungan

lMenetapkan lamanya Terdakwa ditahan dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan.

lMenetapkan Terdakwa tetap ditahan.lMemerintahkan barang bukti dikembalikan (mobil, pakaian),lMembebankan biaya perkara sebesar Rp 5000 kepada Terdakwa.

Putusan Pengadilan Tinggi Pengadilan Tinggi Pekanbaru No.212/PID/2007/PTR tanggal 11 Desember 2007:lMenerima permohonan banding dari Terdakwa melalui kuasa

hukumnya dan Jaksa Penuntut Umum tersebut.lMemperbaiki putusan Pengadilan Negeri Bangkinang No. 140/

Pid.B/2007/PN.BKN, tangga1 13 September 2007 sekadar mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan, sehingga amar selengkapnya ber-bunyi sebagai berikut :

Menyatakan Terdakwa ANTON NAINGGOLAN Als ANTON telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakpidana “Dengan Sengaja Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan” - Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara

selama 9 (sembilan) bulan, dan denda sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

- Menetapkan lamanya masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan .

- Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan.- Menetapkan barang bukti dikembalikan.- Membebani biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp 5000.

JPU dari Kejaksaan Negeri Bangkinang telah mengajukan kasasi kepada MA setelah putusan dari PT Pakanbaru keluar.

Page 461: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

436

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

lDengan alasan bahwa kasasi yang diajukan memenuhi prosedur dan persyaratan hukum acara, maka MA menerima kasasi tersebut.

l Isi dari memori kasasi JPU antara lain: - Bahwa putusan Pengadilan Tinggi Riau adalah merupakan suatu

putusan yang tidak dapat membuat efek jera bagi terdakwa maupun bagi orang-orang hususnya bagi anak-anak yang seusia dengan terdakwa yang akan melakukan tindak pidana sebagaimana tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

- Bahwa saat ini Pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan perlindungan terhadap anak-anak korban pelecehan seksual maupun korban kekerasan akan tetapi Terdakwa malah melakukan perbuatan tersebut sehingga tidak mendukung upaya Pemerintah.

Hakim MA mempertimbangkan bahwa: - bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak

salah menerapkan hukum, karena lamanya pidana yang dijatuhkan Judex Facti tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi,

- bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak,

- bahwa oleh karena Termohon Kasasi/Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini.

KESIMPULAN lKasasi JPU terhadap perubahan hukuman yang terjadi di tingkat PT

ditolak karena dalam pertimbangan MA tidak ada kesalahan prosedur di tingkat PT .

lTerdakwa dibebani kewajiban untuk membayar biaya perkara Rp 2.500,-

-------------------------------------------------

Sebagai catatan, dalam kasus Bangkinang ini hakim dan JPU pada tingkat PN telah menjatuhkan hukuman yang cukup berat kepada Terdakwa dalam bentuk pidana penjara selama sembilan tahun dan

Page 462: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

437

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

denda sebesar Rp 60.000.000,00. Dalam menyusun dakwaan JPU telah merujuk kepada UU Perlindungan Anak (Pasal 81 Ayat 2 atau Pasal 82). Hakim dalam amar putusannya merujuk pada UU Perlindungan Anak Pasal 81Ayat 2.

Terdakwa kemudian mengajukan banding terhadap putusan ini ke PT Riau di Pakanbaru. Pada tingkat PT, kasus tersebut diper-timbangkan ulang oleh hakim PT. Pertimbangan tersebut tidak lagi merujuk pada Pasal 81 Ayat 2 dari UU Perlindungan Anak, sehingga menghasilkan putusan yang berbeda. Putusan tersebut didasarkan pada Pasal 287 KUHP. Dalam amar putusan tersebut, Terdakwa ‘hanya’ dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara dan denda sebesar Rp 5.000.000. Jelas bahwa pidana ini lebih ringan daripada pidana yang pertama kali dijatuhkan pada terdakwa. Timbul ketidakpuasan pada pihak JPU karena hukuman ini dianggap tidak berperspektif korban/tidak adil bagi korban.

JPU Kajari Bangkinang kemudian mengajukan kasasi ke MA untuk kasus ini. Dasar dari pengajuan permohonan kasasi oleh JPU adalah pertama, putusan PT di Pakanbaru tidak menimbulkan efek jera kepada terdakwa karena terlalu ringan. Kedua, tindakan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam mengatasi kasus kejahatan seksual di Indonesia. Alasan JPU ini tidak menyertakan pertimbangan sebagaimana yang dikemukakan pada pertimbangan hakim pada amar putusan PN. Hakim pada tingkat PN merujuk Pasal 81 Ayat 2 karena terdakwa telah melakukan kejahatan seksual dan tipu muslihat yang merugikan korban yang berusia di bawah umur. JPU, dalam permohonan kasasinya, tidak menyertakan analisis kritis terhadap penggunaan Pasal 287 oleh PT Pakanbaru, yang tidak merujuk pada UU Perlindungan Anak yang merupakan lex specialis derogate lex generalis.

Hakim MA kemudian menolak permohonan kasasi tersebut dengan alasan bahwa judex facti tidak salah. Kemudian juga alasan lain kasasi ditolak karena dasar permohonan yang diajukan oleh JPU tidak dapat diterima. Tidak dijelaskan mengapa kasasi tersebut tidak dapat diterima. Apakah karena alasan JPU yang tidak mewakili kepentingan korban atau ada cacat di dalam pengajuan kasasi tersebut. Dalam hal ini putusan MA yang menolak kasasi dan menetapkan hukuman yang relatif ringan bagi terdakwa tidak disertai dengan diskusi yang lebih substansial berkaitan dengan masalah keadilan bagi korban.

Page 463: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

438

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

Pernyataan bahwa judex facti tidak salah, hanya berkaitan dengan pertimbangan tidak ada kesalahan prosedural, tetapi tidak dipertimbangkan apakah putusan dari PT tersebut telah mengandung perspektif korban. Padahal pengadilan pada tingkat mana pun hendaknya tidak hanya menjalankan proses peradilan sekadar tidak bertentangan dengan hukum acara, melainkan juga harus menghasilkan putusan yang berkualitas dan membawa akibat positif bagi pelaksanaan hukum. Utamanya pelaksanaan hukum yang berkaitan dengan perlindungan anak dan perempuan.

9.5.5 Catatan bagi Keempat Kasus Secara Menyeluruh Ada beberapa hal yang penting diperhatikan dari keempat

kasus ini. Pertama, putusan kasus kejahatan seksual yang dipublikasi seyogianya tidak mencantumkan nama korban secara utuh meskipun untuk kepentingan di dalam proses persidangan berkas-berkas perkara masih tetap mencantumkan nama korban. Hal ini penting dalam rangka melindungi kondisi kejiwaan korban dan juga untuk membantu korban untuk tidak mengalami tekanan sosial akibat diketahuinya oleh masyarakat kasus kejahatan seksual yang dialami korban.

Kedua, bahasa yang digunakan dalam putusan kejahatan seksual sering terlalu vulgar atau tidak berperspektif korban. Pencantuman nama korban secara utuh yang diikuti dengan paparan detail tentang apa yang dialami korban adalah viktimisasi berganda terhadap korban. Peristiwa yang dialami oleh korban yang justru ingin dilupakannya, diabadikan dalam bentuk dokumen resmi oleh negara dan bahkan dapat diakses banyak orang.

Pengungkapan tindakan seksual secara detail dalam dakwaan maupun putusan dimaksudkan untuk menjelaskan perbuatan pelaku/terdakwa supaya tidak ada keraguan aats perbuatan tersebut, karena benar memenuhi unsur pasal yang didakwakan. Tetapi, penting juga untuk dipikirkan oleh institusi penegak hukum, bahwa penting juga untuk melatih aparat penegak hukum menggunakan bahasa yang tetap santun sekalipun dalam pemaparan tentang kejahatan seksual secara detail. Untuk itu lembaga pengadilan, kejaksaan maupun kepolisian penting untuk memikirkan adanya semacam latihan bagi aparat penegak hukum untuk menyusun dakwaan/putusan dengan bahasa yang lebih santun, berperspektif korban tanpa menghilangkan fakta yang penting

Page 464: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

439

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

bagi pemahaman yang mendalam dan menyeluruh terhadap isi dakwaan/putusan.

Ketiga, secara khusus bagi korban kekerasan seksual, dukungan keluarga ternyata sangat penting. Pada kasus pertama, di Serui; kasus kedua di Sulawesi Tenggara; kasus ketiga di Kutacane, keluargalah yang membantu korban dalam mengungkapkan kejahatan Terdakwa. Pada kasus Serui, rapat keluarga besar korban mendukung korban untuk mengadukan Terdakwa ke polisi. Pada kasus di Sulawesi Tenggara, ibu dari salah satu korban pertama kali mengadukan perbuatan Terdakwa terhadap anaknya ke Ketua Karang Taruna setempat dan kemudian setelah mendapat dukungan dari kolega terdakwa dan tetangga yang lain lalu melapor ke polisi dan Denpom. Pada kasus di Kutacane, kakak korban yang berhasil membuat korban menceritakan kasusnya dengan meminta korban menulis di atas selembar kertas karena korban begitu takutnya untuk menyebutkan nama si pelaku.

Dukungan dari keluarga maupun masyarakat di sekitar korban menurut Richard dan Branch selain memungkinkan pelaku terjaring oleh jerat hukum, juga bersifat positif pada upaya pemulihan korban kejahatan seksual.53 Seperti sudah dikemukakan di awal tulisan ini, para korban kejahatan seksual acapkali mengalami gangguan psikologis seperti kesulitan untuk tidur, gangguan makan, depresi bahkan keinginan bunuh diri. Sikap positif lingkungan keluarga ataupun masyarakat sekitar terhadap korban memungkinkan terjadinya proses pemulihan kondisi korban, termasuk mengembalikan rasa percaya diri korban, mengurangi kemungkinan depresi ataupun gangguan mental lainnya.

Dukungan positif dari lingkungan sekitar korban, dapat menjadi semacam tameng bagi korban untuk jatuh kembali ke dalam pengalaman kejahatan seksual lainnya, karena korban tidak melihat dirinya sebagai ‘pihak yang bersalah’, ataupun ‘kotor’. Tetapi dengan dukungan dari rekan sebaya, orang tua maupun tetangga, korban akan bangkit dan memahami bahwa dirinya tidak boleh lagi menjadi korban.

53 Tara N. Richards dan Kathryn A. Branch. “Examining Parental and Peer Social Support as a Buffer Between Dating Violence Victimization and Negative Outcomes Among Female Adolescents”. Women & Criminal Justice, 23, 2013: 235-236. Copyright © Taylor & Francis Group.

Page 465: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

440

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

Beberapa hal penting dapat disimpulkan terkait peran aparat dan orang yang mempelajari hukum, karakteristik dari tindak kejahatan seksual, sikap kritis terhadap hukum positif dan peran akademisi dalam upaya perbaikan proses penanganan hukum terhadap kasus kejahatan seksual.

Aparat penegak hukum dan siapa saja yang mempelajari hukum terutama dengan fokus perhatian pada hukum yang menjadi dasar pidana bagi kejahatan seksual, penting untuk bersikap kritis terhadap aturan hukum tersebut. Pada dasarnya hukum dikonstruksi tidak lepas dari nilai yang dianut dalam budaya masyarakat dan pembuat hukum itu. Baik aparat maupun orang yang belajar hukum, diharapkan terus menerus mempertanyakan apakah aturan hukum yang menjadi dasar pemidanaan bagi kejahatan seksual dapat membawa keadilan bagi korban. Penegak hukum ataupun mahasiswa yang mempelajari hukum hendaknya tidak menganalisis kasus kejahatan seksual dari perspektif patriarkis, atau bahkan kemudian menentukan ‘standar’ moral yang makin menyudutkan korban. Alih-alih membantu korban dalam mengakses haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum, malah berbalik menyudutkan korban. Kasus kejahatan seksual adalah kasus pidana yang bersifat khusus, di mana kerugian yang dialami akibat tindakan pelaku bersifat melekat seumur hidup pada diri korban, untuk itu penanganan yang bersifat hati-hati dan berempati pada korban sangat penting untuk dilakukan.

Dari aspek karakteristiknya, harus ada perubahan cara pandang terhadap kejahatan seksual. Kejahatan seksual terjadi bukan karena aspek seksualitas saja tetapi juga karena adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Sebagai contoh, perempuan miskin sebagai korban dan laki-laki kelas menengah atas sebagai pelaku, orang dewasa sebagai pelaku dan anak sebagai korban, orang tua sebagai pelaku dan anak kandung sebagai korban. Kejahatan seksual hendaknya mulai dipahami bukan sebagai kejahatan yang terjadi karena ‘sifat alamiah’ laki-laki untuk menjadi pelaku dan sifat alami perempuan menjadi korban.

Berdasarkan pemikiran kejahatan seksual terjadi akibat relasi yang timpang berdasarkan perbedaan gender, kesenjangan antarusia, maupun kesenjangan kelas, menikahkan korban dengan pelaku, seringkali bukan menjadi solusi terbaik bagi korban. Pernikahan antara korban dan pelaku kejahatan seksual melanggengkan posisi tawar korban yang lemah. Korban terjebak berada dalam relasi yang timpang dengan pelaku sehingga dapat membuat yang

9.6 Kesimpulan

Page 466: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

441

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

bersangkutan terus menerus menjadi korban dan hal itu dilegalkan, sebagai akibat dari pernikahan tersebut. Untuk itu dalam penyelesaian kasus kejahatan seksual, hendaknya suara korban didengarkan. Aparat penegak hukum harus mengedepankan pertimbangan perlindungan hak-hak korban.

UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT merupakan produk hukum yang lebih berperspektif korban (perempuan dan anak). Tetapi tidak cukup dua peraturan itu saja dalam mengawal perubahan perspektif dalam penanganan kasus kejahatan seksual. Penting dikonstruksi produk-produk hukum turunannya yang lebih berperspektif perlindungan korban, termasuk juga peraturan daerah dan putusan hakim. Dalam melakukan rekonstruksi hukum yang lebih berperspektif perlindungan korban (perempuan dan anak), tidak hanya akademisi yang dapat melakukan pembaharuan hukum. Juga, tidak hanya hakim yang dapat menjadi corong undang-undang ataupun melakukan terobosan hukum. Polisi, sebetulnya memiliki peran penting dalam upaya perbaikan hukum. Sebagai baris terdepan penegakan hukum diharapkan memahami apa yang terjadi dalam masyarakat dan diperlukan masyarakat. Polisi seyogianya dapat memberi masukan dalam proses pembaharuan hukum.

Page 467: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

442

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

Daftar Pustaka Bab 9

Bartky, Sandra. (2005) “Battered Women, Intimidation, and the Law”, dalam Marilyn Friedman, Women and Citizenship. New York: Oxford Press.

Brown, Louise. (2005) Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Carpenter, R. Charli. (2006) “Recognizing Gender-Based Violence Against Civilian Men and Boys in Conflict Situation”. Security Dialogue. Vol. 37, No. 1, March 2006. Hal.84-103. Diunduh Rabu, 25 September 2013 dari http://sdi.sagepub.com/cgi/content/abstract/37/1/83.

Estrich, Susan. (1996) “Rape” dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Estrich, Susan. (1996) “Michael M. vs Superior Court”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Fudge, Judy. (1995) “The Effect of Entrenching a Bill of Rights upon Political Discourse: Feminist Demands and Sexual Violence in Canada” dalam Frances E. Olsen (ed.), Feminist Legal Theory II: Positioning Feminist Theory Within the Law. New York: New York University Press.

Gover, Angela R. (2013) “Introduction Special Issue on Dating Violence and Gender”, artikel dalam Women & Criminal Justice. Copyright © Taylor & Francis Group, LLC 23.

Griffin, Susan. (1996) “Rape: The All –American Crime”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Irianto, Sulistyowati dan Nurtjahyo. (2006) Perempuan di Persidangan - Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Johnson, Tina. (2004) “Gender-based Violence”. Makalah untuk Commonwealth Secretariat’s Human Rights Expert Group Consultation. Journal of The Commonwealth Magistrates’ and Judges’ Association. Vol. 15, No. 3, June.

Page 468: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

443

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan. (2002) Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan.

Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan (2012) Catatan Tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan Tahun 2011 - Stagnansi Sistem Hukum: Menggantung Asa Perempuan Korban. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan

Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan. (2012) “Siaran Pers Laporan Pertanggungjawaban Publik Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan”. Komnas HAM, 14 Desember 2012. www.komnas perempuan.or.id/2012/12/siaran-pers-laporan-pertanggungjawaban-publik-komisi-nasionalantikekerasan-terhadap-perempuan-komnas-perempuan. Hal 1-12. Diunduh Sabtu, 13 April 2013 pukul 10.03.

MacKinnon, Catharine A. (1006) “Rape: On Coercion and Consent”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Pineau, Lois. (1996) “Date Rape: A Feminsit Analysis”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Richards, Tara N. dan Kathryn A. Branch. (2013) “Examining Parental and Peer Social Support as a Buffer Between Dating Violence Victimization and Negative Outcomes Among Female Adolescents”. Women & Criminal Justice. Copyright © Taylor & Francis Group, 23, 2013.

Smart, Carol. (1989) “Rape: Law and the Disqualification of Women’s Sexuality”, dalam Carol Smart (ed.), Feminism and the Power of Law. London and New York: Routledge.

United Nation (2011) “UN Report. Chapter 6: Violence Against Women”, dalam Women’s World 2010. Hal. 133. Diunduh Sabtu, 13 April 2013 pukul 15.03. dari http://unstats.un.org/unsd/demographic/products/Worldswomen/WW2010%20Report_by%20chapter(pdf )/violence%20against%20women.pdf

World Bank. (2004) Menciptakan Peluang Keadilan. Laporan penelitian “Village Justice in Indonesia” dan “Terobosan dalam Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi hukum di Tingkat Lokal”. Jakarta: World Bank.

Page 469: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

444

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL

Yentriyani, Andi dan Carla Bianpoen, Nani Buntaran. (1999) Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Publikasi Komnas Perempuan bekerja sama dengan New Zealand Official Development Assistance.

Artikel Media Elektronik:

Abdullah, Z. ”Waspadalah, Tren Kekerasan Seksual pada Anak Meningkat”.Kompas.com. Jumat 13 Maret 2013, pukul 02.54.Diunduh Sabtu 13 April 2013 pukul 09.51.

Asril, Sabrina. “Pemerkosa Mahasiswi: Empat Pembunuh Livia Terancam Hukuman Mati”. Kompas.com. Selasa 6 September 2011 Pukul 15.07. Diunduh Rabu, 25 September 2013 Pukul 15.02 dari http://megapolitan.kompas.com/read/2011/09/06/15075381/empat.pembunuh.livia.terancam. hukuman.mati

Detiknews.com.http://news.detik.com/read/2008/10/30/231620/1028965/10/diduga-cabulimahasiswi-dosen-ui-dilaporkan-ke-polisi

Detiknews.com.http://news.detik.com/read/2012/03/12/165942/1865067/10/habib-hasan-kepada-semua-yang-memfitnah-kami-semoga-diberihidayah? 9911012

Guritno, Yoga. “Calon Hakim Agung: Korban dan Pelaku Pemerkosaan Sama-sama Menikmati”. Liputan6.com. 14 Januari 2013, pukul 17.59. Diunduh pukul 20.00, Rabu 14 April 2013. news.liputan6.com/read/calonhakim-agung.

Ikhbal, Andi dan Dewi Mardiani. “Warga Kesal Pondok Pesantren Dibakar”. Republika.co.id. 27 Agustus 2012. Diunduh Rabu, 17 April 2013.

Jonansyah. “Terdakwa Pembunuh Izzun UIN Terancam Hukuman Mati”. Tempo.com. Kamis, 09 Agustus 2012 Pukul 22:16 WIB. Diunduh Rabu, 25 September 2013 pukul 14.24 dari http://www.tempo.co/read/news/2012/08/09/064422498/Terdakwa-Pembunuh-Izzun-UINTerancam-Hukuman-Mati.

Kristanti, Aryani. “Kontroversi Pernyataan Rok Mini, Foke Minta Maaf ”. Tempo.com. Sabtu, 17 September 2011 pukul 13:57 WIB. Diunduh Rabu, 25 September 2013 pukul 18.58 dari http://www.tempo.co/read/

Page 470: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

445

BAB 9 PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

news/2011/09/17/057356767/Kontroversi-Pernyataan-Rok-Mini-Foke-Minta-Maaf.

Octa, Yacob Bill. ”Ponpes di Depok dibakar massa, puluhan polisi berjaga”. Merdeka.com. 27 Agustus 2012. diunduh Rabu 17 April 2013.

Okezone.com.http://jakarta.okezone.com/read/2012/08/27/501/681247/lagiguru-ngaji-cabuli-13-murid

Pedomannews.com.http://pedomannews.com/sosial-budaya/15302-pn-depokgelar-sid

Tribunnews.com .http : / /www.tr ibunnews.com/2012/08/28/korban-pencabulandijanjikan-umrah

Wartakota.co.id. http://www.wartakota.co.id/mobile/detil/32182

Peraturan Perundangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUP KDRT). Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2004 Nomor 4419.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 109.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153.

Putusan Hakim:

Putusan Pengadilan Negeri Serui, Papua No. 29/Pid.B/2011/PN.Sri.

Putusan Mahkamah Agung – Mahkamah Militer No. 166 K/MIL/2010.

Putusan Pengadilan Negeri Kutacane, Aceh. 72/Pid/B/2010/PN.KC.

Putusan Mahkamah Agung No. 454 K/PID.SUS/2008.

Page 471: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

446

Page 472: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

INDONESIAMarlina

Widati Wulandari

Page 473: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

448

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

Anak adalah kelompok rentan (vulnerable group) yang secara khusus diperhatikan oleh negara dan masyarakat. Perhatian dan kepedulian ini muncul dalam hukum nasional maupun internasional yang mengatur hak-hak dasar anak (berbeda dan lebih khusus dari hak asasi manusia)1 dan lebih jauh lagi mengatur perlindungan seperti apa yang harus diberikan kepada anak yang berhadapan dengan atau khususnya yang berkonflik dengan hukum.2 Di dalam tulisan akan diuraikan perlindungan hukum seperti apa yang seharusnya dinikmati anak dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Tujuannya adalah memberikan ulasan umum dari prinsip-prinsip hukum terpenting yang berkaitan dengan anak yang berkonflik dengan hukum di tataran internasional-nasional serta bagaimana selanjutnya prinsip tersebut diwujudkan.

Pentingnya perhatian diberikan kepada anak yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana Indonesia tercermin dari perkembangan angka kejahatan yang dilakukan oleh anak di Indonesia. Data statistik dengan jelas menunjukkan

10.1 Pengantar

BAB 10

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

1 Lihat Universal Declaration of Human Rights, ICCPR dan ICSER. Ketiga dokumen ini memuat hak-hak dasar manusia secara umum.

2 Ke dalam pengertian anak yang berhadapan dengan hukum tercakup anak yang menjadi korban (langsung-tidak langsung), pelaku atau saksi dalam tindak pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan anak yang berkonflik dengan hukum hanyalah mereka (dikategorikan sebagai anak menurut hukum pidana) yang disangka, didakwa dan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.

Page 474: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

449

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

angka anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia cukup tinggi. Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa setiap tahun terdapat setidaknya 4.000 kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak di Indonesia. Serupa dengan itu, Komnas Perlindungan Anak menunjukkan tingginya angka kejahatan yang dilakukan oleh anak di beberapa provinsi. Menurut data Komnas Perlindungan Anak pada 2009 di Provinsi DKI Jakarta terdapat 444 kasus (35,84%) anak yang berkonflik dengan hukum dan diikuti oleh Provinsi Banten sebesar 277 kasus (22,36%). Dari seluruh kasus yang ada tercatat kasus pencurian sebagai kasus yang paling tinggi, yakni 366 (28,84%), diikuti dengan kasus kekerasan 298 kasus (23,48%) dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yakni 264 kasus (20,80).3 Sebagai perbandingan, Biro Operasional Polda Metro Jaya mengelompokkan jenis-jenis kejahatan yang kerap dilakukan oleh anak antara sebagai berikut: pembunuhan, penganiayaan berat, pencurian berat, pencurian dengan kekerasan (penodongan, perampasan, perampokan dan pembajakan), pencurian kendaraan bermotor, perjudian, pemerasan, pemerkosaan serta penyalahgunaan narkotika.4

Anak yang berkonflik dengan hukum ketika memasuki proses peradilan pidana akan menjalani rangkaian panjang dalam sistem peradilan pidana yang mencakup proses penyidikan, penuntutan, persidangan hingga proses penempatan di lembaga pemasyarakatan (apabila anak terbukti bersalah). Proses tersebut bahkan bagi orang dewasa pun berdampak jauh dan mendalam baik secara pribadi maupun terhadap kehidupan sosial-ekonominya. Dampak yang dapat dibayangkan akan lebih jauh dan mendalam apabila yang mengalaminya adalah anak. Itu satu alasan mengapa dalam keseluruhan proses pidana, anak harus diberikan perlindungan khusus (oleh hukum dan negara) agar dampak negatif dari sistem peradilan pidana terhadap anak tersebut dapat dikurangi sejauh mungkin. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan perundangan-undangan yang secara khusus ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, terutama anak sebagai pelaku tindak pidana (yang berkonflik dengan hukum).

Beranjak dari itu, pertama akan dipaparkan singkat persoalan ukuran pembeda antara anak dengan orang dewasa dan kaitannya dengan seberapa jauh anak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dari sudut pandang teori-

3 http://www.komnasham.go.id/profil-7/pengkajian-dan-penelitian/190-laporan-penelitian-pemenuhan-dan-perlindungan-hak-anak-berhadapan-dengan-hukum-abh-di-lembaga-pemasyarakatan-anak-wanita-dan-anak-pria-tangerang, diakses pada 25 September 2013.

4 Ibid.

Page 475: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

450

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

teori kriminologi. Berikutnya akan ditelaah ringkas prinsip-prinsip serta aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum. Tentunya penekanan hanya pada prinsip dan ketentuan tidak akan memadai. Apalagi masih dapat ditemukan kasus-kasus di mana proses peradilan anak tidak dijalankan dengan memberikan perlindungan yang cukup terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Kasus-kasus tersebut tidak saja menunjukkan ketidakpedulian terhadap hak anak dan posisi rentannya di hadapan sistem peradilan pidana, namun juga ketidaakacuhan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana umum. Sebagai ilustrasi dapat disebut, misalnya, tersangka pelaku tindak pidana, seorang anak yang dianiaya oleh penyidik untuk memaksakan pengakuan.5 Selanjutnya, pelanggaran terhadap hak (anak) sebagai tersangka untuk didampingi pengacara, padahal tersangka diancam dengan sanksi pidana maksimal tujuh tahun penjara.6 Kasus lainnya berkenaan dengan penjatuhan pidana penjara terhadap anak berusia 11 tahun di pengadilan negeri Pematang Siantar yang diputus bersalah melakukan tindak pidana pencurian.7 Namun demikian, dalam tulisan ini hanya satu kasus yang akan dibahas. Kasus tersebut menyangkut perkelahian dua orang anak yang kemudian dikonstruksikan sebagai penganiayaan dan diperiksa di Pengadilan Negeri Stabat (Sumatra Utara), 2006. Kasus ini sekaligus diangkat untuk menunjukkan, terutama dari sudut pandang kajian kriminologis, pentingnya perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan batas kemampuan hukum untuk membereskan persoalan kemasyarakatan yang dibawa masuk ke dalam sistem peradilan pidana. Pada bagian akhir akan diberikan kesimpulan.

Hukum untuk sejumlah hal membedakan anak dan orang dewasa. Perbedaan ini berdampak pula pada pengaturan dan penetapan hak dan kewajiban (hukum) yang diemban anak, orang tua, masyarakat dan negara. Satu persoalan adalah bahwa kriteria dewasa dan anak berbeda tergantung perspektif yang digunakan. Perspektif hukum nasional (hukum pidana, hukum perdata (termasuk hukum keluarga) mengembangkan konsep berbeda tentang

5 Kasus Syahri Burhanuddin Ramadhan (Putusan No.01/ Pid.Pra/ 2009/ PN.Cbn) 6 http://berita/baca/lt4dcac4e944fc9/penyidikan-tidak-sah-hakim-batalkan-dakwaan7 http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/06/130613 pengadilan_anak_dsy_ylbhi_ky.shtml

10.2 Konsep Anak dalam Kajian Ilmu Hukum

Page 476: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

451

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

pengertian anak dan kedewasaan dibandingkan dengan yang dikembangkan dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat. Di dalam perspektif hukum Islam, seorang anak dinyatakan telah dewasa apabila dalam diri anak tersebut telah tampak tanda-tanda kedewasaan, sebagaimana yang ditentukan hukum Islam. Sementara dari perspektif hukum adat dikemukakan bahwa kedewasaan seseorang ditetapkan, antara lain, dari status perkawinannya atau kemandirian (apakah sudah meninggalkan rumah orang tuanya atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri; kuat gawe) dan lain-lain.8

Sebagai perbandingan, hukum nasional menggunakan kriteria batasan usia. Persoalannya adalah sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia menggunakan batasan usia berbeda-beda untuk membedakan anak dengan orang dewasa. Dalam KUH Pidana, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah. Batasan serupa digunakan di dalam KUHPerdata (Pasal 330) serta Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Kesejahteraan Anak; Pasal 1 Ayat 2. Berbeda dari ketentuan di atas, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi batasan usia anak dan dewasa yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Dalam Undang-Undang Perkawinan diatur usia dewasa bagi perempuan adalah 16 tahun dan usia bagi dewasa untuk laki-laki adalah 19 tahun. Sementara itu perundang-undangan lainnya dengan merujuk pada Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, menentukan usia 18 tahun sebagai batasan usia dewasa. Peraturan tersebut, antara lain, adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang diganti dengan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Tampaknya dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat sejak peratifikasian Konvensi Hak Anak, kriteria batasan usia 18 tahun yang menjadi acuan umum. Perlu ditambahkan bahwa kriteria kedewasaan di dalam hukum pidana, khususnya relevan dalam penetapan adanya pertanggungjawaban pidana, harus dikaitkan pada kemampuan berpikir dan keterbatasan anak dalam kemampuan berpikir. Karena itu pula, secara umum diterima dan diakui seorang

8 Supomo, 1983, Hukum Adat (Pusaka, Jakarta 1983), hal 12. Sekalipun demikian, status perkawinan sebagai indikator kedewasaan dikritik oleh Mahadi. Ia kurang lebih menyatakan bahwa orang yang sudah menikah tidak serta menjadikannya menjadi seorang dewasa (dalam pengertian berperilaku sebagai anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan mampu sepenuhnya diminta pertanggungjawaban). Baca lebih lanjut: Mahadi, Soal Dewasa, (Jakarta, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat).

Page 477: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

452

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

anak tidak dapat sepenuhnya dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukannya.

Titik tolak agar berbeda digunakan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 (tentang pengadilan anak). Di dalam undang-undang ini (yang masih digunakan istilah anak nakal) anak dimengerti sebagai orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan Pasal 1 Ayat 2.9 Maka berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, status personal sudah (pernah) menikah otomatis mengindikasikan kemampuan untuk secara penuh mempertanggungjawabkan perbuatan (tidak hanya tindak pidana namun juga tindak pidana adat atau pelanggaran norma-norma lainnya) di hadapan hukum pidana (dan bukan lagi pengadilan anak).

Berbeda dari itu adalah kriteria yang dikembangkan oleh Undang-Undang No 11 Tahun 2012. Selain kriteria batasan umur dewasa 18 tahun, juga diatur batasan rentang umur anak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana (12-18 tahun). Dengan demikian, anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Sedangkan anak di bawah umur 12 tahun dianggap belum dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Status personal (sudah/pernah atau belum kawin) tidak lagi digunakan sebagai indikator yang menentukan kemampuan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan di hadapan hukum pidana.

Di atas telah disinggung tingginya angka kejahatan yang dilakukan oleh anak di Indonesia. Di sini sebenarnya kita berhadapan dengan konsep juvenile delinquency. Konsep juvenile delinquency merujuk pada penyimpangan perilaku atau perilaku antisosial atau pelanggaran norma (delinquency) yang dilakukan oleh anak atau remaja (juvenile). The Second United Nations Congress on the Prevention of Crime and Treatment of Offenders (1961) menetapkan: “By juvenile

10.3 Juvenile Delinquency dan Pertanggungjawaban Pidana

9 Pengaitan kriteria belum/sudah kawin pada pengertian anak dan kedewasaan menunjukkan pengaruh hukum adat (dan hukum perkawinan nasional).

Page 478: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

453

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

delinquency should be understood the commission of an act which, if committed by an adult, would be considered a crime”.10 Sedangkan, Romli Atmasasmita mendefinisikan juvenile delinquency sebagai “tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan tercela.”11 Perbuatan menyimpang (delinquency), dengan demikian, lebih luas cakupannya daripada sekadar kejahatan atau pelanggaran dalam perspektif hukum pidana.12

Konsep juvenile delinquency muncul dari kajian kriminologis yang membedakan penyimpangan perilaku (deviant behavior) anak (termasuk remaja) dari penyimpangan perilaku yang diperbuat orang dewasa. Dari kajian kriminologi ditemukan faktor eksternal dan internal yang berpengaruh terhadap munculnya juvenile delinquency. Faktor-faktor ini pula yang harus turut dipertimbangkan ketika seorang anak hendak dituntut pertanggungjawaban (pidana) atas penyimpangan perilaku yang sekaligus merupakan pelanggaran ketentuan pidana. Pada satu pihak kita berhadapan dengan anak (belum dewasa) yang masih mencari identitas diri dan secara emosional masih sangat rentan dan mudah dipengaruhi lingkungan sosial sekitarnya. Di pihak lain kita berhadapan dengan kejahatan yang jelas menuntut reaksi dari negara melalui hukum pidana.

Pemahaman atas faktor-faktor internal-eksternal yang memunculkan juvenile delinquency itulah yang menjadi penting, untuk dapat menjelaskan mengapa kemudian (kebijakan penegakan) hukum pidana membedakan tuntutan pertanggungjawaban pidana anak dengan orang dewasa. Pendekatan serupa juga penting untuk memahami alasan perlunya perlindungan hukum khusus diberikan pada anak yang menjalani proses peradilan pidana. Dalam bahasa sederhana, reaksi hukum pidana terhadap kejahatan (crime) yang dilakukan orang dewasa harus berbeda dari reaksi hukum pidana terhadap kenakalan yang dilakukan oleh anak dan remaja. Maka, pembicaraan tentang tuntutan pertanggungjawaban pidana (anak) tidak dapat dilepaskan dari kajian kriminologis perihal sebab-sebab penyimpangan perilaku umumnya dan secara khusus pada anak.

10 Untuk sejarah dan uraian ringkas dari dokumen hasil dari Congress tersebut ini periksa: UNODC, United Nations Congresses on Crime Prevention and Criminal Justice 1955-2010. Disebutkan bahwa The Second Congress recommended special police services for juvenile justice. Diunduh dari https://www.un.org.en/conf/crimecongresses2010/pdf/55years_ebook.pdf. (3/2/2014).

11 Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan anak dan Remaja, (Armico, 1984) Hal. 23.12 Untuk pemahaman atas konsep tindak pidana yang mencakup kejahatan (crime; offences) dan pelanggaran (misdemeanor)

periksa Jan Remmelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHPidana Belanda dan Padanannya dalam KUHPidana Indonesia, (Gramedia, Jakarta, 2003), khususnya Bab 2 (tentang pembedaan kejahatan dengan pelanggaran.

Page 479: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

454

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

Sumbangan kajian kriminologis adalah menyediakan sejumlah teori yang dapat membantu menjelaskan faktor-faktor penyebab mengapa anak dan/atau remaja berperilaku menyimpang. Berangkat dari telaahan kriminologis itu pula kemudian dikembangkan reaksi yang paling tepat untuk menangani kenakalan remaja. Hukum pidana dari sudut pandang kriminologis, harus difungsikan sebagai ultimum remedium dan setiap kali harus dicari cara non-penal yang lebih efisien.

Sejumlah kajian kriminologis yang penting untuk disebut di sini ialah pemikiran klasik, positif, differential association, kontrol dan labelling. Masing-masing ajaran ini berpengaruh terhadap pengembangan kebijakan hukum pidana bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

Awal mulanya adalah pemikiran pada periode klasik (sekitar abad ke-18).13 Pemikiran klasik ini berangkat dari asumsi manusia adalah makhluk rasional yang memiliki kehendak bebas (free will). Melakukan suatu kejahatan adalah pilihan bebas dari manusia rasional (dapat mempertimbangkan untung-rugi atau salah-benar). Itu sebabnya kemudian manusia yang atas kehendak bebas memilih melakukan kejahatan harus dimintakan pertanggungjawaban. Selanjutnya, dianggap pantas dijatuhi hukuman sebanding dengan kesalahan dan/atau kerugian yang ditimbulkannya. Di dalam ajaran ini, anak yang melakukan kejahatan akan mendapat perlakuan yang sama dengan pelaku kejahatan pada umumnya.

Pemikiran klasik di atas dikritik oleh pendukung aliran positif, antara lain, Lombroso, Enrico Ferri, Garofalo, Quetelet, dll.14 Melalui penelitian ilmiah mereka berhasil membuktikan bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan pikir, kematangan mental dan emosional yang sama. Orang-orang yang gila, orang yang memiliki keterbelakangan mental, serta anak-anak tidak memiliki kemampuan berpikir, kematangan mental dan emosional yang sama dengan orang dewasa normal pada umumnya. Konsekuensi ajaran ini adalah tidak semua orang dianggap sama dan dapat sepenuhnya dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya.

Namun pemikiran positivistik ini belum secara khusus menjelaskan mengapa anak melakukan kejahatan. Penelitian-penelitian kriminologi setelah teori positiflah yang menghasilkan sejumlah teori yang menjelaskan sebab-

13 Untuk uraian lebih lengkap tentang aliran klasik dalam kriminologi baca lebih lanjut Georg B. Vold et al, Theoretical Criminology (Oxford University Press, 2002), Hal 14-20.

14 Untuk uraian lebih lengkap tentang pemikiran aliran positif baca lebih lanjut Tim Newburn, Criminology (Willan Publishing, 2007), Hal 120-165.

Page 480: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

455

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

sebab anak melakukan kejahatan (berperilaku menyimpang). Teori kontrol, differential association dan labelling adalah sebagian dari teori kriminologi yang memfokuskan kajiannya pada anak pelaku tindak pidana.

Dari sudut pandang teori kontrol15 dikemukakan bahwa kejahatan terjadi akibat ketiadaan kontrol internal dan kontrol eksternal. Teori ini menjelaskan bahwa pada dasarnya ada dorongan-dorongan (drives/push factors) dan tarikan-tarikan (pull factors) yang menyebabkan orang melakukan kejahatan. Dorongan dimaksud, misalnya, kemiskinan, agresi, atau dorongan psikologis. Sedangkan termasuk ke dalam tarikan, antara lain, adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan, desakan peer group, serta media images. Dorongan dan tarikan untuk melakukan kejahatan/penyimpangan tersebut dapat ditahan dengan adanya kontrol, baik dari dalam (kontrol internal/individual) maupun dari luar (kontrol sosial). Artinya kontrol diri maupun kontrol sosial dipandang sebagai faktor-faktor yang menahan (insulators) seseorang untuk melakukan kejahatan. Kontrol diri ini sangat dipengaruhi oleh bagimana seseorang disosialisasikan/diperkenalkan/dididik oleh lingkungannya terhadap nilai-nilai baik-buruk/benar-salah/acceptable behavior-non acceptable behavior.16

Selanjutnya teori differential association17 menjelaskan bahwa perilaku kriminal adalah sesuatu yang dipelajari (ditiru/imitasi) melalui interaksi sosial. Proses peniruan ini umumnya terjadi pada yang inferior terhadap yang superior (misalnya anak meniru orang dewasa). Apa yang dipelajari dan ditiru bukan hanya cara untuk melakukan kejahatan, namun termasuk motif, dorongan, bahkan rasionalisasi atau pembenaran atas kejahatan yang dilakukan. Anak yang mencuri, karena meniru pencuri dewasa, bukan hanya mempelajari bagaimana cara mencuri, melainkan juga meniru dan menginternalisasi pembenaran yang dikembangkan oleh model (pelaku dewasa) yang ditirunya. Di sini faktor penyebab kejahatan pada anak diletakkan di luar diri si pelaku. Artinya, lingkungan dipandang sebagai penyebab utama mengapa anak melakukan kejahatan. Anak yang dibesarkan di lingkungan yang permisif terhadap penyimpangan perilaku/kejahatan akan mengadopsi dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut, dan pada gilirannya akan melakukan kejahatan. Dari perspektif ini kemudian dikembangkan kebijakan penologi antara lain: memisahkan narapidana anak

15 Untuk uraian lebih lengkap tentang teori kontrol baca lebih lanjut Katherine S. Williams, Textbook on Criminology (Oxford University Press, 2001), hal. 367-402.

16 George Ritzer, Introduction to Sociology (Sage Publications, 2013), hal.170-176.17 Untuk uraian lebih lengkap tentang teori Differential Association baca lebih lanjut Freda Adler et al, Criminology (Mc Graw

Hill, 1998), Hal 115-117.

Page 481: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

456

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

dari narapidana dewasa atau bahkan sedapat mungkin menghindarkan anak dari hukuman penjara dan memberi ragam alternatif ancaman pidana seperti pembinaan di luar lembaga.

Dari perspektif labelling18 dikemukakan bahwa kejahatan bukan merupakan fenomena yang objektif, melainkan hasil dari interaksi sosial. Secara umum dapat dikatakan bahwa anak adalah kelompok yang rentan terhadap proses labelisasi (diberi label atau stigma sebagai anak nakal, tanpa masa depan, tidak dapat diperbaiki, dan sudah pasti akan menjadi penjahat kambuhan atau sebaliknya sebagai jagoan yang perlu ditakuti). Anak pelaku kejahatan yang menjalani proses peradilan pidana akan mendapat label (stigma) negatif yang sulit dilepaskan. Sebagai ilustrasi, anak sekolah yang terlibat perkelahian dan menyebabkan orang lain terluka parah atau bahkan mati akan dikonstruksikan oleh hukum pidana sebagai pelaku penganiayaan atau pembunuhan. Sebagai terdakwa, anak tersebut menjalani proses peradilan pidana, dan dihukum. Selesai menjalani proses tersebut, label “penjahat” akan melekat pada dirinya. Sebagai “penjahat” atau mantan narapidana ia akan terasing dan tersingkir dari lingkungan asalnya (sekolah, teman bermain, atau lingkungan tempat tinggal) padahal masa depannya masih panjang. Besar kemungkinan ia akan bergaul dengan kelompok yang juga tersingkir dari kehidupan masyarakat normal (preman, mantan narapidana, anak nakal dll.) dan tidak punya pilihan terkecuali menjadi penjahat.

Perspektif labelling di atas memunculkan antara lain reaksi berupa kewajiban menjaga identitas anak pelaku tindak pidana, dalam setiap tahapan proses peradilan pidana serta pengembangan konsep restorative justice. Kebijakan yang muncul dari konsep restorative justice ini adalah upaya sedapat mungkin menghindarkan anak pelaku tindak pidana dari labelisasi akibat proses peradilan pidana (penangkapan, penahanan, pemeriksaan di persidangan, penjatuhan dan pelaksanaan pidana) dan dalam keseluruhan proses peradilan pidana, tetap membuka peluang perdamaian di luar pengadilan pidana (diversi).

Singkat kata, kajian kriminologis dengan jelas menunjukkan adanya capacity to reason pada anak yang belum berkembang sempurna, kematangan mental yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, serta besarnya pengaruh lingkungan terhadap anak. Itu pula yang menjadi alasan utama mengapa sistem hukum maupun proses peradilan pidana, khususnya menghadapi anak sebagai tersangka/terdakwa/terpidana, harus memperhitungkan penjelasan tentang sebab-sebab anak melakukan kejahatan yang dikembangkan ragam teori kriminologi yang diuraikan di atas. Bentuk perhatian tersebut kemudian dimunculkan dalam pengaturan khusus di tingkat internasional maupun

Page 482: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

457

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

nasional tentang perlindungan hak anak secara umum (sebagai bagian khusus dari perlindungan hak asasi manusia) dan pengaturan secara khusus anak yang berkonflik dengan hukum.

Secara umum perlindungan terhadap anak yang relevan dalam sistem peradilan pidana anak dapat ditemukan tersebar di dalam sejumlah konvensi internasional (hard law) yang mengatur hak asasi manusia secara umum (ICCPR; ICESCR) maupun yang bersifat khusus (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or DegradingTratment or Punishment; Convention on the Rights of The Child) dan norma-norma lain yang dirumuskan lebih sebagai panduan moral (UDHR) atau acuan tidak mengikat (soft law dalam wujud, antara lain, aturan baku minimal yang dikembangkan dalam kerangka kerja PBB atau organ-organ khusus PBB) dan peraturan perundang-undang nasional. Perlu dicermati bahwa prinsip-prinsip yang diusung dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia yang bersifat umum mutatis mutandis berlaku pula bagi dan dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia yang lebih khusus seperti Convention against Torture (penting dalam persoalan penentuan keabsahan alat bukti kesaksian) dan terutama Convention on the Rights of The Child (Konvensi Hak Anak).

Dengan kata lain, sekali pun hak dasar anak secara khusus diatur di dalam Konvensi Hak Anak, sebagaimana akan dijelaskan di bawah, tidak berarti bahwa instrumen-instrumen internasional tentang hak asasi manusia yang bersifat umum atau yang mengatur hal khusus (seperti ICCPR, CAT, dll) tidak relevan bagi anak yang berkonflik dengan hukum (berhadapan dengan sistem peradilan pidana nasional). Selanjutnya beranjak dari paparan tentang prinsip serta norma-norma hukum yang relevan bagi anak yang berkonflik dengan hukum di tataran internasional akan dipaparkan bagaimana semua itu kemudian dikembangkan lebih jauh ke dalam sistem peradilan pidana nasional melalui instrumen-instrumen (hukum) nasional.

Instrumen Hukum Internasional (hard law) Terpenting:

Konvensi Hak Anak 1989 (Convention on the Rights of the Child)Konvensi Hak Anak diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui

Keppres No. 36 Tahun 1990 dan dengan demikian sudah menjadi bagian dari hukum positif Indonesia. Itu berarti pula bahwa Indonesia sebagai negara

10.4 Perlindungan Hukum terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum

Page 483: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

458

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

peratifikasi (negara peserta) diwajibkan untuk tunduk dan taat pada prinsip-prinsip dan ketentuan yang termuat di dalam Konvensi Hak Anak. Kewajiban internasional tersebut, singkat kata, harus diwujudkan melalui kebijakan pengembangan dan penegakan hukum nasional. Secara umum, konvensi ini hendak memberi perlindungan hak anak dalam berbagai aspek dengan menyadari sepenuhnya bahwa anak adalah kelompok rentan yang memiliki kebutuhan khusus yang berbeda dari orang dewasa.19 Secara khusus, Konvensi Hak Anak juga mewajibkan negara peserta untuk memberikan upaya perlindungan secara khusus (special protection measures) kepada setiap anak yang dirampas kebebasannya (children deprived of liberty) karena berkonflik dengan hukum.

Konvensi Hak Anak mengusung empat prinsip penting yakni prinsip nondiskriminasi; kepentingan terbaik bagi anak; hak untuk hidup; kelangsungan dan perkembangan serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (partisipasi anak). Keempat prinsip tersebut selanjutnya harus dipandang menjiwai pembacaan luas lingkup kewajiban negara peserta dalam memberikan perlindungan secara khusus di atas.

Dalam rangka itu, ketentuan terpenting di dalam Konvensi Hak Anak, Pasal 37, mewajibkan negara menjamin bahwa anak yang dirampas kemerdekaannya (karena berkonflik dengan hukum), antara lain, mendapat perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan anak seusianya, tidak menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan kejam lainnya yang tidak manusiawi atau hukuman yang merendahkan (termasuk hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan). Ketentuan ini juga memuat perintah kepada negara untuk menggunakan tindakan penangkapan, penahanan dan penghukuman bagi anak hanya sebagai langkah terakhir dan untuk jangka waktu yang paling singkat dan layak. Satu aturan lain yang juga termuat adalah mengenai kewajiban negara untuk menempatkan anak terpidana terpisah dari narapidana dewasa kecuali penempatannya itu dianggap demi kepentingan si anak.

Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 40 termuat kewajiban Negara untuk mengakui hak setiap anak yang diduga, dituduh atau diakui telah melanggar hukum pidana (berkonflik dengan hukum) untuk diperlakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak. Pasal ini selanjutnya secara lebih rinci mengatur jaminan perlindungan hak anak

19 Rhona K.M. Smith, Textbook on International Human Rights (Oxford University Press, 2010), hal. 359-364.

Page 484: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

459

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

seperti hak atas kerahasiaan identitas selama dalam proses peradilan pidana. Di dalam ketentuan yang sama termuat juga kewajiban negara untuk meningkatkan pembentukan undang-undang, prosedur-prosedur, otoritas dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Di dalam ketentuan sama kita temukan juga penegasan perlunya penetapan batasan usia minimun di mana anak di bawah usia tersebut dianggap tidak memiliki kapasitas untuk melanggar hukum pidana. Dengan demikian apabila diperlukan, langkah-langkah untuk menangani anak-anak tersebut tanpa mengenakan tindakan hukum, dengan tetap menghormati hak-hak anak tersebut.

Acuan Tidak Mengikat (soft laws) di Tataran InternasionalDua instrumen internasional terpenting yang relevan bagi perlindungan

dan penghormatan hak anak yang berkonflik dengan hukum adalah pertama Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (1955) dan UN Standard Minimum Rules for The Administratin of Juvenile Justice (The Beijing Rules) 1985.

1. Peraturan-peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana (Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners) 1955

Seperti telah disinggung di atas intrumen ini bukan merupakan suatu perjanjian internasional yang bersifat mengikat. Instrumen ini diadopsi oleh United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders I dan disetujui oleh UN Economic and Social Council melalui Resolusi 663 C (XXIV) 1957.

Intrumen ini merupakan soft law yang memuat standar dan prinsip-prinsip yang seharusnya ditaati negara-negara anggota PBB dalam memperlakukan narapidana. Instrumen ini memuat standar umum tentang bagaimana seharusnya narapidana mendapat perlakuan selama kebebasan mereka dirampas. Standar umum tersebut berkenaan dengan hak mendapatkan makanan bergizi, air minum air bersih dan rekreasi; hak atas informasi; hak untuk membuat pengaduan, dan lain-lain. Satu panduan baku yang relevan bagi anak adalah ketentuan pemisahan anak terpidana dari narapidana dewasa.

2. Peraturan-Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan Anak/UN Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) 1985

Page 485: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

460

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

UN Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders dalam kongress ke 6-7 berhasil merancang dan menerbitkan Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice. Naskah ini kemudian diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada November 1985 (A/Res/40/33, 29 November 1985).

Instrumen ini berisi standar minimum yang seharusnya menjadi acuan negara-negara PBB dalam mengembangkan sistem peradilan pidana anak yang memberikan perlindungan bagi anak yang kemerdekaannya dirampas dalam segala bentuk. Tujuannya adalah agar hak dan kebebasan dasar anak tetap terlindungi dalam rangka mengimbangi dampak buruk dari segala bentuk penahanan serta untuk mendorong integrasi kembali ke dalam masyarakat.

Di dalamnya kita temukan pencantuman kewajiban negara untuk mengembangkan dan melaksanakan (sistem/administrasi) peradilan pidana anak secara efektif, adil dan manusiawi, tanpa perbedaan dan diskriminasi. Sistem peradilan anak tersebut harus mengutamakan kesejahteraan anak dan akan memastikan proporsionalitas reaksi pidana dalam tiap tahapan proses pidana terhadap pelaku anak. Selain itu, negara dalam pengembangan sistem peradilan pidana anak harus memperhatikan kebutuhan khusus anak.

Secara konkret adalah dengan membentuk sistem peradilan anak yang terpisah dari sistem peradilan pidana biasa untuk orang dewasa di mana anak mendapat perlakuan khusus semasa ditahan atau ketika menjalani pidana (dipisah dari tahanan atau narapidana dewasa). Sistem tersebut juga harus terbuka bagi pengembangan diskresi di tahapan penyidikan, penuntutan dan proses peradilan anak. Sebab itu pula negara (penegak hukum) memiliki kewenangan diskresional untuk melakukan diversion (pengalihan anak yang berkonflik dengan hukum dari proses peradilan pidana formal ke proses perdamaian di luar persidangan). Alasannya, karena sedapat mungkin anak dihindari dari tindakan penangkapan, penahanan dan pemenjaraan. Semua itu hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dan juga sebisa mungkin dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Selain itu di dalam Peraturan Standar Minimum di atas dirinci kewajiban negara ketika menghadapi anak yang berkonflik dengan hukum. Selain berlakunya asas-asas dalam hukum acara pidana yang menjamin hak dasar siapa pun yang berkonflik dengan hukum pidana

Page 486: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

461

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

(praduga tidak bersalah; memberikan kesaksian tanpa tekanan, dll), negara juga diwajibkan menyiapkan proses acara khusus yang memuat hak-hak khusus anak.

Hak-hak demikian yang muncul dari kewajiban negara, antara lain, untuk menjaga kerahasiaan identitas anak dari publikasi. Tujuannya menghindari labeling atau stigma sosial yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi upaya merehabilitasi anak. Lebih dari itu, negara juga dilarang menjatuhkan pidana mati atau penjara seumur hidup terhadap terpidana anak. Dalam kaitan dengan itu pula dapat dimengerti kewajiban negara untuk memisahkan narapidana anak dari orang dewasa (menghindari proses belajar) dan memberikan bantuan pendidikan dan latihan atau keterampilan, pekerjaan atau bantuan lain dengan tujuan mempermudah proses rehabilitasi.

Instrumen Hukum NasionalKewajiban-kewajiban (hukum dan nonhukum berupa soft laws) negara

di atas lebih lanjut diadopsi ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Beberapa undang-undang terpenting yang mengatur perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum adalah: Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi ManusiaUndang-undang ini, sebagaimana terbaca dari konsiderans dan bagian

penjelasan umum, berpedoman pada berbagai instrumen HAM internasional yang mengikat bagi Indonesia, antara lain, Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Konvensi Hak Anak.

Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 ini secara rinci diatur tanggung jawab Negara untuk melindungi hak-hak asasi masyarakatnya, kewajiban dasar serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam upaya penegakan hak asasi manusia. Dengan cakupan yang demikian luas, undang-undang ini tampaknya harus dipandang sebagai peraturan payung bagi seluruh peraturan perundang-undangan mengenai hak asasi manusia.

Sepanjang menyangkut hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum, dapat kita cermati pengaturan tanggung jawab negara untuk menjamin hak-hak

Page 487: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

462

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

tersebut yang sejalan dengan prinsip-prinsip yang termuat dalam Beijing Rules. Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 66 yang selengkapnya berbunyi:

1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.

3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

4) Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dilaksanakan sebagai upaya terakhir.

5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.

6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Ketentuan di atas tampaknya disusun sebagai daftar dan rincian hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum. Namun demikian, perumusan hak-hak tersebut di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, sekalipun pemenuhannya jelas harus dijamin oleh negara, tidak serta-merta dapat diterapkan dan dituntut pelaksanaannya secara konkret. Untuk itu perlu ditelaah bagaimana kemudian kewajiban Negara cq. Pemerintah diwujudnyatakan dalam peraturan perundang-undangan lain yang lebih teknis maupun dalam kebijakan konkret.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang sebelumnya telah

dibahas di atas, diatur tanggung jawab Negara, pemerintah, orang tua, keluarga dan masyarakat untuk memberikan perlindungan pada anak secara umum. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 kemudian menjabarkan lebih lanjut jaminan pengakuan dan penghormatan hak anak serta kewajiban Negara yang berkaitan dengan itu.

Page 488: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

463

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Ketentuan Pasal 2 Undang-undang ini menegaskan kembali prinsip-prinsip penyelenggaraan perlindungan anak yang sebelumnya kita cermati termuat di dalam Konvensi Hak Anak. Keempat prinsip tersebut adalah: prinsip non-diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Kiranya prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak menjadi landasan pijak pengaturan lebih jauh perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum. Jika undang-undang ini ditelusuri, dapat ditemukan bahwa aturan tentang tanggung jawab negara dalam menjamin perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum tersebar dalam sejumlah pasal di dalam undang-undang ini. Ketentuan terpenting adalah Pasal 16, 17 dan Pasal 64.

Ketentuan Pasal 16 menegaskan hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk penyiksaan dan penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, serta jaminan bahwa penangkapan, penahanan dan pemenjaraan hanya akan dilakukan sebagai upaya terakhir. Selanjutnya ketentuan Pasal 17 menjamin hak setiap anak yang dirampas kebebasannya untuk: mendapat perlakuan yang manusiawi dan ditempatkan terpisah dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya dalam setiap tahapan upaya hukum; membela diri dan memperoleh keadilan di hadapan pengadilan anak dalam sidang tertutup; serta dirahasiakan (identitasnya).

Ketentuan Pasal 64 secara lebih spesifik mengatur hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan khusus dari pemerintah dan masyarakat. Di dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa perlindungan khusus dilaksanakan melalui perlakuan yang manusiawi, penyediaan petugas pendamping, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terhadap perkembangan anak, jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua/keluarga, serta perlindungan dari pemberitaan identitas di media massa untuk menghindari labelisasi.

Ketentuan-ketentuan di atas serupa dengan yang ditemukan di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, juga tidak serta-merta operasional. Ketentuan-ketentuan tersebut tampaknya harus dipandang sebagai acuan umum yang masih harus dikonkretkan ke dalam peraturan yang lebih teknis. Peraturan perundang-undangan yang kemudian mengonkretkan kewajiban pemerintah untuk menghormati, melindungi dan menjamin pemenuhan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum dapat kita temukan dalam undang-undang yang membentuk pengadilan anak yang diperlengkapi hukum acara khusus untuk anak.

Page 489: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

464

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana AnakIndonesia sudah mengenal pengadilan anak sejak 1997. Pengadilan

ini dibentuk melalui Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pada 2012, dibentuk Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan Undang-Undang No 3 Tahun 1997. Namun undang-undang ini baru mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak diundangkan (Juli 2014).

Melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 keseluruhan sistem dan administrasi termasuk hukum acara dari pengadilan anak versi 1997 dirombak dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan khususnya dalam Konvensi tentang Hak-hak Anak dan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang sudah disebut di atas. Dengan kata lain, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak inilah yang kemudian secara konkret mewujudkan kewajiban negara untuk membentuk administrasi dan/atau sistem peradilan anak sebagai pemenuhan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk khususnya anak yang berkonflik dengan hukum.20

Kekhususan peradilan anak tidak berarti bahwa hak-hak prosedural yang dijamin oleh ICCPR, CAT maupun KUHAP21 tidak berlaku dan dapat disimpangi. Harus dicermati bahwa semua jaminan perlindungan umum (hak-hak prosedural) yang tercantum di dalam hukum acara pidana umum (KUHAP) maupun instrumen internasional yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia, seperti ICCPR atau CAT, mutatis mutandis, juga harus diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum.

Artinya kekhususan yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tidak boleh serta-merta dianggap sebagai pengecualian. Ini dikatakan dengan memperhatikan sejumlah ketentuan di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 yang dengan tegas dapat dimaknai sebagai aturan yang bersifat lex

10.5 Dasar Hukum Sistem Peradilan Pidana Anak

20 Ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 11 Tahun 2012 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah: anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

21 Pada 1981 ketika KUHAP diundangkan Indonesia belum meratifikasi ICCPR. Namun di bagian penjelasan umum, pembuat KUHAP tampaknya secara eksplisit merujuk pada ICCPR yang memuat sejumlah hak-hak prosedural (penting dalam sistem peradilan pidana) yang dirumuskan sebagai hak-hak dasar. Pada 2005, Indonesia memutuskan untuk meratifikasi ICCPR (UU 12/2005). Sementara itu jauh sebelumnya Indonesia sudah meratifikasi CAT (UU 5/1998). Dengan meratifikasi, Indonesia di bawah hukum internasional berkewajiban untuk menyelaraskan hukum nasional dengan ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam konvensi-konvensi tersebut.

Page 490: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

465

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

specialis, khususnya berkaitan dengan administrasi pengadilan dan ketentuan hukum acara pengadilan anak. Sebaliknya harus disikapi sebagai hak tambahan (perlindungan khusus) yang harus diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum, justru karena negara harus memperhatikan tidak saja kedudukan anak sebagai kelompok rentan, namun lebih dari itu sebagai upaya konkret memajukan kepentingan terbaik bagi anak.

Semangat Memajukan Kepentingan yang Terbaik bagi AnakDi dalam undang-undang ini dikemukakan bahwa sistem peradilan

pidana anak dilaksanakan berdasarkan pada asas: perlindungan, keadilan, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan anak, proporsionalitas, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, serta penghindaran pembalasan (Pasal 2). Karena itu, kemudian sebagai realisasi maksud-tujuan di atas dirinci sejumlah hak yang harus diberikan pada anak yang berkonflik dengan hukum pada setiap tahapan proses peradilan pidana.

Dari semua asas itu tampaknya satu asas terpenting yang paling berpengaruh terhadap keseluruhan administrasi dan proses peradilan anak adalah asas kepentingan terbaik bagi anak. Ini jelas berbeda dari sistem peradilan pidana umum yang lebih memajukan kepentingan umum, kepastian hukum serta keadilan. Kehendak memprioritaskan kepentingan anak muncul pula dalam ketentuan bahwa seluruh proses pemeriksaan di setiap tahapan (penyidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan) harus dilakukan dalam suasana kekeluargaan.

Dalam rangka menjamin perlindungan “kepentingan terbaik bagi anak”, upaya mengungkap kebenaran (pidana) harus dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan khusus. Dalam undang-undang ini ditentukan bahwa penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara anak harus memenuhi syarat tertentu, yakni: berpengalaman, mempunyai minat, perhatian, dedikasi serta memahami masalah anak, dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak. Lebih jauh lagi, ditetapkan pula kewajiban untuk memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara (Pasal 18). Kewajiban tersebut dibebankan pada Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya.

Page 491: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

466

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

Keadilan RestoratifBerbeda dari undang-undang sebelumnya (UU No. 3 Tahun 1997),

dalam rangka menghindari dan menjauhkan anak dari stigmatisasi akibat proses peradilan pidana, di dalam undang-undang ini konsep keadilan yang diusung adalah ‘keadilan restoratif ’ (restorative justice) dengan pendekatan pada pemulihan kembali dan bukan terutama pada pembalasan.22 Gagasan ini sejalan dengan ide pemasyarakatan kembali yang secara konseptual melandasi kebijakan penologi Indonesia.23 Pilihan untuk mengembangkan administrasi peradilan anak berdasarkan konsep keadilan restoratif ditemukan di dalam ketentuan Pasal 5 (UU No.11 Tahun 2012). Selanjutnya di dalam penjelasan (umum) undang-undang ini dapat ditemukan uraian lebih lanjut tentang restorative justice yang dikaitkan dengan kewajiban para penegak hukum, masyarakat dan keluarga untuk mengupayakan penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui proses diversi.

Secara konkret konsep keadilan restoratif diwujudkan dalam tuntutan agar pada setiap tahapan penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan perkara di pengadilan negeri diupayakan diversi (upaya pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses musyawarah yang melibatkan anak dan orang tuanya, korban, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional di luar peradilan pidana). Bahkan kewajiban ini didukung adanya ketentuan pidana yang diancamkan terhadap penyidik, penuntut umum dan hakim yang melalaikan kewajiban ini (Pasal 96). Proses ini bertujuan untuk: mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab pada anak (Pasal 6).

Pengalihan (Diversi)Upaya diversi ini, dibatasi penerapannya. Diversi hanya dapat diterapkan

terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana Pasal 7 Ayat 2. Dalam penjelasan pasal-pasal mengenai diversi dikemukakan

22 Gagasan penjatuhan pidana pada awal mulanya ialah memberikan balasan setimpal dengan perbuatan (kejahatan dan kerugian yang ditimbulkan). Di dalam pembalasan sudah tercakup tujuan penjeraan dan pencegahan baik umum (proses pembelajaran bagi masyarakat) maupun khusus (inkapasitasi).

23 Lihat Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Page 492: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

467

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

bahwa diversi tidak dimaksudkan untuk diterapkan terhadap pelaku tindak pidana serius seperti pembunuhan, pemerkosaan, terorisme dan sebagainya. Diversi pun harus dilaksanakan dengan memperhatikan: kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak; penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; keharmonisan masyarakat dan kepatutan, kesusilaan serta ketertiban umum. Lebih jauh, disebutkan bahwa penyidik, penuntut umum, dan hakim yang melakukan diversi harus mempertimbangkan sejumlah hal, yakni: kategori tindak pidana; umur anak; hasil penelitian kemasyarakatan dari Badan Pemasyarakatan (Bapas); dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat Pasal 9 Ayat 1.

Selain itu diversi hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari korban dan/atau keluarga korban. Pemenuhan prasyarat diversi berupa adanya persetujuan korban atau pihak keluarga korban tidak diperlukan dalam hal: tindak pidana berupa pelanggaran; tindak pidana ringan; tindak pidana tanpa korban atau apabila kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat Pasal 9 Ayat 2. Penyidikan, penuntutan dan proses persidangan hanya akan dilakukan terhadap anak tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, apabila upaya diversi yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim tidak berhasil (pihak korban menolak; tidak tercapai kesepakatan/perdamaian dalam diversi; (Pasal 9 Ayat 2), atau apabila kesepakatan diversi tidak dilaksanakan (pelaku ingkar janji).24

Administrasi dan Proses Acara dalam Sistem Peradilan Pidana AnakKekhususan lain dari undang-undang ini tampak dalam ketentuan-

ketentuan tentang acara dan administrasi peradilan. Ketentuan-ketentuan administrasi peradilan tersebut mencakup pengaturan kualifikasi petugas/pejabat yang terlibat dalam sistem peradilan pidana anak, prosedur pelaksanaan peradilan, serta sarana dan prasarana pendukung mulai tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Berkenaan dengan administrasi peradilan anak, ditetapkan sejumlah ketentuan yang dimaksudkan untuk menjamin kepentingan terbaik bagi anak. Ketentuan tersebut meliputi syarat-syarat yang ditetapkan dalam pelaksanaan proses penyidikian, penangkapan, penahanan, penututan, pemeriksaan di

24 Kewajiban melakukan diversi dapat disandingkan dengan kewajiban hakim dalam perkara perdata untuk menawarkan dan mengupayakan proses perdamaian (mediation in court) sebelum memutus melanjutkan pemeriksaan.

Page 493: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

468

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

persidangan dan pelaksanaan pidana. Dalam rangka melindungi anak dari dampak negatif labeling, ketentuan

Pasal 19 menetapkan kewajiban menjaga (kerahasiaan) identitas anak, anak korban, atau anak saksi dari pemberitaan di media cetak maupun elektronik. Identitas anak di sini meliputi nama, nama orang tua, alamat, wajah dan hal lainnya yang dapat mengungkap jati diri anak. Sejalan dengan itu, sebagai prinsip ditetapkan bahwa sidang anak wajib dilakukan secara tertutup. Ini berbeda dari pemeriksaan dalam sidang pengadilan terdakwa dewasa yang justru–terkecuali menyangkut tindak pidana kesusilaan,25 wajib dilakukan terbuka, yakni dalam rangka memenuhi kebutuhan prevensi umum.

Penanganan anak dalam tahapan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan

Dengan tujuan menjamin terpenuhi dan dijalankannya proses yang mendahulukan kepentingan anak, ditetapkan bahwa dalam setiap tahapan pemeriksaan anak wajib didampingi orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan di dalam ruang pelayanan khusus anak atau dititipkan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial). Sedangkan penahanan oleh penegak hukum hanya dimungkinkan apabila anak telah berumur 14 tahun atau diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara tujuh tahun atau lebih, dan bukan di rumah tahanan (RUTAN) melainkan di LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara, yakni tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung) atau dititipkan di LPKS. Artinya untuk perkara-perkara yang tergolong kejahatan atau tindak pidana ringan (minor offences) petugas penegak hukum tidak wenang menangkap dan/atau menahan dan sedapat mungkin memfasilitasi diversi. Jika tidak ada pilihan lain, maka penangkapan dan penahanan anak tetap dipisahkan dari tahanan dewasa.

Pengaturan tentang masa tahanan dan kemungkinan perpanjangan masa tahanan di setiap tahapan (penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan) diatur berbeda dari yang ditemukan di dalam KUHAP. Maka sepanjang tersangka/terdakwa masih tergolong anak otomatis berlaku ketentuan-ketentuan tentang penahanan yang diberlakukan di dalam Undang-Undang

25 Untuk menghindari viktimisasi ganda (double victimization)dari korban tindak pidana kesusilaan (misalnya pemerkosaan, pelecehan seksual, dll.).

Page 494: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

469

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

No.12 Tahun 2012.Telah disebut di atas bahwa sidang anak wajib tertutup dan wajib

diprioritaskan dalam arti waktu sidang wajib didahulukan. Sidang ini diperiksa oleh hakim tunggal dalam ruang sidang yang dirancang berbeda dari ruang sidang umumnnya (ruang sidang khusus anak). Di samping itu ruang tunggu anak (juga dalam rangka menghindarkan anak dari pengaruh lingkungan buruk) dipisahkan dari ruang tunggu orang dewasa. Artinya setiap pengadilan negeri wajib menyediakan tidak saja satu ruang khusus yang berbeda untuk kepentingan memeriksa dan mengadili anak, namun juga memprioritaskan pemeriksaan perkara tindak pidana anak.

Kendati begitu, putusan tetap akan dibacakan dalam sidang terbuka (Pasal 61 Ayat1). Sekalipun dengan tetap menjaga identitas anak. Dalam pada itu terdakwa, berbeda dari yang diatur dalam KUHAP, tidak perlu hadir dalam pembacaan putusan (dibacakan dalam sidang terbuka) dan di dalam putusan hanya akan dicantumkan inisial terdakwa (Pasal 61 Ayat 2).

Penjatuhan Pidana dan Tindakan untuk AnakBerkenaan dengan penjatuhan pidana (straf) atau tindakan (maatregel),

pengaturan di dalam UU No. 11 Tahun 2011 merupakan lex specialis terhadap pengaturan penjatuhan sanksi di dalam KUHP dan KUHAP serta berkenaan dengan pelaksanaan juga berbeda dari UU Pemasyarakatan.

Disebutkan bahwa anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan (Pasal 69 Ayat 2). Tindakan yang dapat dijatuhkan (sebagai sanksi) mencakup (Pasal 82) pengembalian kepada orang tua/wali; penyerahan kepada seseorang; perawatan di rumah sakit jiwa dan perawatan di LPKS; kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; pencabutan surat izin mengemudi dan/atau perbaikan akibat tindak pidana.

Sedangkan pidana pokok yang dapat dijatuhkan (Pasal 71 Ayat 1) mencakup (a) pidana peringatan (pidana ringan yang bukan mengakibatkan pembatasan kebebasan anak); (b) pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan); (c) pelatihan kerja; (d) pembinaan dalam lembaga (paling singkat 3 bulan dan paling lama 24 bulan); dan (terakhir) (e) penjara. Sedangkan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan mencakup (a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan (b) pemenuhan kewajiban adat (Pasal 71 Ayat 3). Keduanya, pidana pokok dan tambahan, dilarang melanggar harkat dan martabat anak (Pasal 71 Ayat 4).

Page 495: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

470

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

Penjatuhan pidana penjara (pembatasan kebebasan) sebagai upaya terakhir, itu pun paling lama ½ dari maksimum penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa dan paling lama 10 tahun (sebagai pengganti pidana mati/seumur hidup). Pidana hanya akan dijatuhkan apabila anak bersalah melakukan tindak pidana berat atau pidana yang disertai dengan kekerasan (Pasal 79). Kendati begitu, dengan memperhatikan kewajiban memisahkan anak dari pengaruh buruk narapidana dewasa, maka pemenjaraan anak dilakukan di LPKA.

Setelah menguraikan norma-norma terpenting berkaitan dengan pengadilan anak nyata pentingnya melindungi anak yang berkonflik dengan hukum dari dampak buruk sistem peradilan pidana (umum). Sebaliknya dapat ditunjukkan banyak kasus yang terjadi di Indonesia yang menunjukkan ketidakpedulian (atau ketidakpahaman) para penegak hukum yang bekerja dalam sistem peradilan pidana terhadap posisi rentan anak yang berkonflik dengan hukum. Kasus yang akan dibahas berikut ini adalah kasus yang menimpa Muhammad Azwar alias Raju yang diputus bersalah menganiaya Eman. Dalam kasus ini bahkan identitas pelaku dan korban secara terbuka disebut dalam putusan dan kemudian disebarluaskan media massa. Undang-undang yang berlaku dan menjadi rujukan ketika kasus ini diperiksa di Pengadilan Negeri Stabat, Sumatera Utara adalah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997.

-------------------------------------------------------

Kasus Raju vs Keluarga EmanPutusan No. 828/Pid.B/2005/PN Stb

SEJARAH PROSEDURAL Putusan Pengadilan Negeri No. 828/Pid.B/2005/PN.Stb

FAKTA HUKUM lRaju (pelaku yang berbadan lebih besar dan konon berperangai buruk

dan kerap mengganggu orang lain) berkelahi dengan Ar, alias Eman. Perkelahian ini terjadi di Gang Antara Desa Paluh Manis Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat Sumatera Utara, pada 31 Agustus 2005 sekitar pukul 13.00 WIB.

10.6 Studi Kasus Pelaksanaan Peradilan Pidana Anak di Indonesia

Page 496: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

471

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

l Saat perkelahian terjadi keduanya masih berseragam sekolah. l Perkelahian diawali saling ejek antara Raju dan Eman. Menurut

Raju, Eman menuding dirinya menyakiti Is adik Eman. Lalu Eman memukul wajah Raju dan Raju pun membalasnya dengan menendang perut Eman.

lKeluarga Raju telah bersedia menanggung biaya pengobatan Eman ke tukang kusuk dan mantri, namun Ani Sembiring orang tua Eman minta agar anaknya dibawa ke dokter, karena anaknya berguling-guling kesakitan di lantai sambil memegangi bagian perutnya.

l Saedah, ibu Raju menolak permintaan tersebut dan menyatakan ibu Ani mengada-ada. Lalu Ani mengadukan masalahnya kepada Kepala Desa, Samsir Siregar. Setelah tidak ada penyelesaian kemudian Ani mengadukan kasus ini ke Polsek Gebang. Pihak Polsek dan aparat desa telah berupaya mendamaikan kedua pihak, namun tidak berhasil.

PERSOALAN HUKUM (MATERIIL DAN PROSESUIL)lKetua PN Stabat, Syamsul Bahri, terpaksa menahan Raju, karena

beberapa kali Raju tidak dihadirkan oleh orang tuanya ke persidangan. Pihak PN Stabat menilai orang tua Raju tidak kooperatif. Ketua pengadilan PN Stabat melakukan penahanan terhadap Raju selama 14 hari dan diperpanjang 30 hari.

lHakim Tiurmaida Pardede menilai Raju dalam pemeriksaan per-sidangan memberikan keterangan yang berbelit-belit. Selain itu orang tua Raju dituding mencoba mempersulit proses persidangan.

l Penasihat hukum Raju, Jhonathan mengajukan keberatan sidang dilanjutkan karena dinilai melanggar Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak. Alasannya pada waktu kejadian perkara maupun saat pelimpahan berkas perkara, Raju belum genap berusia 8 tahun.

l Jaksa mengajukan bukti tandingan (rapor atas nama Raju). Berdasarkan perhitungan tanggal lahir yang tertera, Raju telah berusia 8 tahun 1 bulan dan sebab itu Sidang dapat dilanjutkan. Hakim memutuskan melanjutkan sidang.

l Proses persidangan di lakukan di ruangan sidang biasa dan bukan di ruang sidang anak.

PUTUSAN

Page 497: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

472

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

Pada 8 maret 2006, hakim tunggal Tiurmaida Pardede pada sidang ke-9 memutuskan Raju terbukti (sah dan meyakinkan) bersalah melakukan penganiayaan (Pasal 351 KUHPidana). Hukuman yang dijatuhkan adalah dikembalikan kepada orang tua untuk dibina.

KESIMPULANProses pidana yang diselenggarakan dalam kasus ini tidak dapat menjangkau realitas dan kondisi anak serta gagal memberikan perlindungan terhadap anak terkait dengan perkembangan anak di masa yang akan datang.

-------------------------------------------------------

Analisis Kasus Di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 batasan anak (nakal)

yang perkaranya dapat diproses di pengadilan anak adalah 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 Ayat 1). Peraturan perundang-undangan sekalipun sudah mengindikasikan perlunya memberikan perlindungan hukum khusus kepada anak (nakal)26 belum secara tegas gagasan memajukan kepentingan terbaik dari anak. Lebih dari itu, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 belum memuat gagasan keadilan restoratif maupun proses diversi.

Yang menarik dari kasus ini adalah bagaimana perkelahian antara dua anak laki-laki kecil (pihak yang diposisikan sebagai pelaku di bawah dan/atau menjelang usia 8 tahun; sedangkan yang diposisikan sebagai korban berusia 14 tahun; keduanya siswa sekolah) dikembangkan menjadi kasus tindak pidana penganiayaan dan kemudian diputus terbukti bersalah dan dihukum dikembalikan kepada orang tua. Keseluruhan proses dan sikap tindak penegak hukum (polisi; jaksa-hakim) serta keluarga pihak-pihak yang bersengketa secara jelas menunjukkan belum adanya kepekaan terhadap posisi rentan anak yang berkonflik dengan hukum atau justru hal tersebut dimanfaatkan (sekalipun tidak berhasil) untuk menyelesaikan persoalan yang berada di baliknya.

26 Sebagaimana diindikasikan di dalam Konsiderans dan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No 3 Tahun 1997. Dinyatakan dalam Konsiderans: “untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus”. Sedangkan di dalam Penjelasan Umum disebutkan: “mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, maka perkara anak nakal wajib disidangkan pada pengadilan anak yang berada di lingkungan peradilan umum.”

Page 498: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

473

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Betul bahwa kasus ini terjadi pada 2004-2005, namun pada masanya menimbulkan perdebatan hukum perihal ‘kemasukakalan’ maupun ‘keadilan’ menahan dan/atau menghukum (dengan filosofi pidana pembalasan) sepihak anak umur 8 tahun atas ‘perkara remeh’. Padahal pada masa itu (2004-2005) Indonesia sudah meratifikasi Convention on the Righs of the Child. Kendati begitu jika persoalan yang ada ditelaah lebih jernih-mendalam, dapat dihindari analisis gampangan dan kritikan cepat (para penegak hukum sudah terbeli, hakim korup dan tidak peka pada hukum dan keadilan dan sebagainya).

Latar belakang perkara penganiayaan yang dituduhkan pada Raju berawal bukan semata-mata dari niat jahat mencelakakan orang lain. Dari uraian perkara dapat ditengarai bahwa awal mulanya adalah perangai buruk Raju yang kerap menggangu anak-anak lain yang lebih kecil darinya (bullying). Fenomena yang sebenarnya tidak asing terjadi di banyak lingkungan sekolah maupun di dunia luar (premanisme). Saling ejek dengan kakak salah satu anak yang sering dikerjai Raju berujung pada ‘perkelahian’ (tarung). Karena Raju yang ‘berbadan lebih besar’ ternyata juga mampu berkelahi lebih baik, lawannya (berumur 14 tahun, namun berbadan lebih kecil) mengalami luka lebih serius.

Sejak awal sudah terindikasikan bahwa orang tua kedua anak hendak menyelesaikan perkara ini secara damai. Bahkan upaya damai (penyelesaian di luar pengadilan) terindikasikan sudah difasilitasi oleh pengurus desa dan kepolisian. Persoalan yang tidak kunjung selesai berkaitan dengan penggantian biaya pengobatan Eman dan besarannya. Disebutkan bahwa keluarga Eman adalah keluarga miskin dan tidak mampu membayar biaya pengobatan Eman (baik menggunakan cara tradisional maupun di rumah sakit). Semula keluarga Raju setuju untuk menanggung biaya pengobatan Eman, namun ternyata kemudian ingkar janji atau tidak sanggup memenuhi jumlah yang kemudian dituntut.

Mungkin karena jengkel atau tidak lagi melihat alternatif lain, keluarga Eman memutuskan melaporkan Raju kepada polisi. Perlu dicermati di sini, bahwa tindakan melaporkan seorang lain ke polisi sering kali adalah strategi untuk memaksa pihak lain membayar utang atau melakukan sesuatu (karena polisi memiliki kewenangan memanggil, menangkap dan menahan). Penyidik (bahkan dengan bantuan kepala desa) tampaknya tidak berhasil memediasi ‘persoalan di balik’ kasus pidana penganiayaan yang dilaporkan (penggantian biaya pengobatan Eman dan mungkin juga berkembang menjadi persoalan harga diri keluarga yang terusik: keluarga pelaku merasa diri diperas) dan ‘berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku’ wajib terus memproses laporan.

Tidak jelas mengapa kemudian kepolisian tidak memutuskan untuk

Page 499: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

474

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

menghentikan proses perkara melalui mekanisme SP3. Kemungkinan besar dalam perkara sederhana seperti ini (ada laporan/pengaduan; korban-visum et repertum; bukti permulaan yang cukup dari tersangka maupun keluarga tersangka) polisi betul berhak (dan tidak ingin mengambil risiko di-praperadilan-kan) memutuskan ‘menyerahkan’ persoalan (istilah teknis hukumnya adalah melimpahkan perkara) kepada pihak kejaksaan. Apalagi diversi atau upaya mediasi terbukti tidak berhasil. Pihak kejaksaan tampaknya juga tidak menemukan alasan untuk menghentikan penuntutan dan kemudian melimpahkan persoalan pembuktian adanya tindak pidana penganiayaan kepada pengadilan negeri.

Hakim tunggal yang ditunjuk memeriksa perkara berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku semata-mata akan beranjak dari apa yang dituliskan dalam surat dakwaan. Maka, inilah realita berbeda yang akan diper-debatkan jaksa versus pembelaan: apakah betul terjadi penganiayaan? Singkat kata, pemeriksaan di pengadilan pidana pada akhirnya ditujukan untuk menguji kebenaran materiil dari peristiwa yang dikonstruksikan penuntut umum sebagai tindak pidana. Untuk kepentingan ini, terdakwa (sebagai exceptio dipersoalkan batasan usia menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997: apakah terdakwa sudah cukup umur sehingga dapat diajukan kehadapan pengadilan?) wajib dihadirkan in persona (dengan pendampingan orang tua) dalam sidang pemeriksaan perkara dirinya.

Dari uraian kasus yang ada, dapat diduga bahwa ketika perkara sudah diajukan kehadapan hakim pidana untuk diperiksa, terhadap Raju tidak dikenakan penahanan. Namun, ternyata, setelah beberapa kali dipanggil, terdakwa (dan keluarganya) mangkir (tidak hadir). Maka, berdasarkan kewenangan yang ada padanya, Ketua PN Stabat memutuskan untuk menerbitkan surat perintah penahanan, juga karena orang tua Raju dianggap tidak kooperatif (yang dapat diterjemahkan sebagai tidak menghargai kewibawaan pengadilan). Dapat diduga bahwa pihak keluarga Raju tidak memahami adanya kewajiban itu atau tidak dapat mengajukan alasan masuk akal, mengapa panggilan sidang pengadilan tidak dipatuhi. Kejadian seperti inilah yang memunculkan kekhawatiran masuk akal (pada jaksa dan kekuasaan kehakiman yanga secara resmi bekerja untuk kepentingan umum) bahwa terdakwa akan melarikan diri. Dari sudut pandang ini dapat dimengerti mengapa kemudian Raju ditahan di rumah tahanan Pangkalan Berandan (selama 14 hari dan diperpanjang 30 hari; dan 8 atau 12 jam dirinya disatukan dengan orang dewasa).

Hakim tunggal yang memeriksa kasus ini sebagaimana diberitakan sudah menawarkan mediasi yang ternyata juga tidak berhasil. Persoalan yang

Page 500: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

475

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

melatarbelakangi tidak terselesaikan (tuntutan penggantian biaya pengobatan versus tudingan pemerasan). Artinya pemeriksaan perkara (sebagaimana muncul dalam surat dakwaan) wajib dilanjutkan. Selama proses pemeriksaan hakim menilai Raju memberikan keterangan yang berbelit-belit. Penilaian serupa (dikontraskan dengan penilaian terdakwa sopan dan langsung mengakui perbuatan yang didakwakan) dalam banyak perkara pidana lainnya seringkali kemudian menjadi alasan untuk memperberat hukuman.

Persoalannya adalah ICCPR (yang memuat aturan tentang hak untuk bungkam atau tidak memberikan keterangan yang ‘memberatkan diri sendiri’ (non-self incriminating)) yang juga dirujuk KUHAP sebenarnya menjamin hak terdakwa untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan dirinya sendiri (Pasal 175 KUHAP). Di samping itu, dapat dipersoalkan seberapa jauh sebenarnya seorang anak (yang berkonflik dengan hukum) dapat mengerti dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan hakim dan jaksa (yang tidak ia kenal). Apakah Raju kemudian mengerti dan memahami bahwa ia tidak lagi sedang diperiksa karena dianggap bersalah berkelahi (sekadar karena jengkel diejek?), namun karena dianggap bersalah (dengan sengaja dan dengan maksud) melakukan penganiayaan yang menimbulkan luka pada seorang lain. Seberapa jauh sebenarnya anak seusia 8 tahun memahami keseluruhan proses persidangan dan upaya menemukan kebenaran materiil yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa hukum formal?

Persidangan Raju ternyata juga bukan di ruang sidang khusus anak. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan anak didudukkan di kursi pesakitan di ruang sidang biasa. Artinya ia sebagai terdakwa diposisikan sebagai “orang dewasa” yang sepenuhnya dapat membela diri sendiri di hadapan hukum. Dalam posisi menghadap hakim (yang duduk berseberangan berbatas meja sidang yang didudukan lebih tinggi) apakah Raju (di bawah tekanan tanya jawab antara hakim-jaksa-pembela) dapat menyampaikan “kebenaran” versinya, dalam keterbatasan kemampuan berbahasa yang umum ada pada anak usia 8 tahun?27

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah keseluruhan proses pemeriksaan, termasuk di dalam sidang pengadilan (terlepas putusan akhir) tidak dialami

27 Fokus pada ketidakseimbangan (power imballance) yang berpengaruh terhadap penegakan hukum yang muncul dari penguasaan/penggunaan bahasa berasal dari kajian krimonologis yang menggunakan pendekatan post-modern. Salah satu teori postmodern yang relevan menyatakan bahwa: all thinking and all knowledge are mediated by language, and that language itself is never a neutral medium. (…) sehingga bahkan keadilan-pun merupakan produk bahasa yang dalam dirinya sendiri sudah mencerminkan ketidakseimbangan posisi (sosial-politik-ekonomi). Baca lebih lanjut. Georg B. Vold et al, op cit, hal 259-266.

Page 501: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

476

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

sebagai ‘hukuman’ bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Untuk ‘kejahatan’ atau ‘kenakalan’ setingkat ‘perkelahian antaranak kecil’, kepatuhan pada prosedur hukum yang berlaku (sesuai Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 & KUHAP) dapat dibayangkan merupakan gangguan mendalam terhadap rutinitas/normalitas kehidupan anak.

Hakim pada akhirnya memutus Raju bersalah. Artinya berdasarkan bukti-bukti yang terungkap di persidangan dan keyakinan Hakim, terbukti sah dan meyakinkan bahwa penganiayaan telah terjadi dan tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan. Hukuman yang dijatuhkan, namun demikian, bukan pidana badan. Sesuai Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, Raju dikembalikan kepada orang tua untuk mendapat pembinaan.

Tidak tersedia informasi lebih lanjut apakah persoalan penggantian biaya pengobatan berhasil diselesaikan. Apa yang menjadi sangat jelas ialah bahwa proses pidana (penjatuhan hukuman) tidak serta-merta menyelesaikan persoalan lain yang lebih penting (ganti rugi) dan persoalan lain yang kemudian muncul akibat putusan (peluang menajamnya permusuhan antar anak dan/atau keluarga).28 Dari sudut pandang ini dapat dimengerti mengapa kemudian, berkaitan dengan anak yang berkonflik dengan hukum, semangat penanganan yang dikembangkan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 adalah berdasarkan gagasan restorative justice dengan membuka kesempatan diversi dalam setiap tahapan.

Anak adalah kelompok rentan yang memerlukan perlindungan khusus yang berbeda dari orang dewasa. Demikian pula halnya dengan anak yang berkonflik dengan hukum. Kajian kriminologis menunjukkan perbedaan penyimpangan perilaku pada anak dari orang dewasa. Dari kajian tersebut dijelaskan faktor-faktor penyebab mengapa anak dan/atau remaja berperilaku menyimpang dan kemudian dikembangkan kebijakan khusus yang dirasakan paling tepat untuk menangani anak pelaku kejahatan.

Perlindungan khusus terhadap anak yang berkonflik dengan hukum muncul dalam pengaturan hak anak sebagai kekhususan dari aturan-aturan tentang perlindungan hak asasi manusia, yang kemudian dioperasionalisasikan melalui Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam aturan-aturan

28 Lebih jauh baca Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, (Stanford University Press, 1968).

10.7 Kesimpulan

Page 502: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

477

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tersebut dicantumkan sejumlah prinsip penting yang melandasi hukum acara dan administrasi peradilan pidana anak. Prinsip yang terpenting adalah prinsip “kepentingan terbaik bagi anak”.

Dengan merujuk pada prinsip tersebut, melalui Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain diperkenalkan konsep keadilan restoratif yang diterapkan melalui kebijakan diversi dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Di samping itu, sejumlah hak anak dijamin pemenuhannya dalam setiap tahapan proses peradilan pidana. Ini menunjukkan bahwa dalam tataran peraturan perundang-undangan, Pemerintah Indonesia telah mewujudkan tanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

Page 503: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

478

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

Daftar Pustaka Bab 10

Buku

Adler, Freda et al. (1998) Criminology. McGraw Hill.

Atmasasmita, Romli. (1984) Problema Kenakalan Anak dan Remaja. Jakarta: Armico. Hal.23.

Mahadi. (----) Soal Dewasa. Jakarta: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat.

Newburn, Tim.(2007) Criminology. USA: Willan Publishing.

Packer, Herbert L. (1968) The Limits of The Criminal Sanction. Stanford University Press.

Ritzer, George. (2013) Introduction to Sociology. London: Sage Publications.

Remmelink, Jan. (2003) Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Smith, Rhona K.M. (2010) Textbook on International Human Rights. Oxford: Oxford University Press.

Supomo. (1983) Hukum Adat. Jakarta: Pusaka.

Vold, Georg B. et al. (2002) Theoretical Criminology. Oxford: Oxford University Press.

White, Rob & Haines, Fiona. (2001) Crime and Criminology an Introduction. Oxford: Oxford University Press.

Williams, Katherine S. (2001) Textbook on Criminology. Oxford: Oxford University Press.

Sumber Lainnya

http://www.komnasham.go.id/profil-7/pengkajian-dan-penelitian/190-laporan-penelitian-pemenuhan-dan-perlindungan-hak-anak-berhadapan-dengan-hukum-abh-di-lembaga-pemasyarakatan-anak-wanita-dan-anak-pria-tangerang, diakses pada 25 September 2013.

http://berita/baca/lt4dcac4e944fc9/penyidikan-tidak-sah-hakim-batalkan-dakwaan http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/06/

Page 504: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

479

BAB 1 0 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

130613 pengadilan_anak_dsy_ylbhi_ky.shtml

UNODC, United Nations Congresses on Crime Prevention and Criminal Justice 1955—2010. https://www.un.org.en/conf/crimecongresses2010/pdf/ 55years_ebook.pdf. (3/2/2014).

Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan Negeri Stabat No. 828/Pid.B/2005/PN Stb

Page 505: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

480

Page 506: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

PERDAGANGAN ANAK:

BEBERAPA CATATAN MASALAH HUKUM

Rosmalinda, Agusmidah, Marlina

Page 507: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

482

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

Bab ini bertujuan untuk menjelaskan tentang perdagangan anak dan berbagai permasalahan hukumnya. Tulisan ini akan dimulai dengan menampilkan data tentang perdagangan anak yang dimiliki oleh berbagai lembaga nasional maupun internasional seperti UNICEF, IOM, dan Polri. Diskusi dilanjutkan dengan pembahasan tentang definisi anak, definisi perdagangan manusia khususnya anak, tujuan dan penyebab perdagangan anak. Pembahasan akan dilengkapi analisis kasus-kasus perdagangan anak yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap. Semua keputusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang dibahas, menerapkan aturan perundang-undangan yang terkait seperti KUHP, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sebagai buku teks, diharapkan bisa membantu mahasiswa dalam memahami situasi penanganan dan perwujudan perlindungan dan keadilan bagi anak korban perdagangan manusia, termasuk pemberian hak restitusi bagi korban.

Perdagangan Anak merupakan bagian dari bentuk perdagangan orang yang dikenal dengan istilah Human Trafficking. Ini merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia, karena korban perdagangan manusia mengalami berbagai perlakuan yang merendahkan martabatnya sebagai manusia dan membahayakan kehidupannya, seperti penyekapan, penyiksaan dan pemaksaan.

Berdasarkan data The United Nations Children’s Fund (UNICEF), tiap tahun ada sekitar 1,2 juta anak yang diperdagangkan dan sekitar 2 juta anak di

11.1 Pengantar

BAB 11

Perdagangan Anak:Beberapa Catatan Masalah Hukum

Page 508: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

483

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

seluruh dunia dieksploitasi secara seksual.1 Setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional.2 International Organization for Migration (IOM) telah men catat korban perdagangan orang pada berbagai negara tetangga. Catatan itu juga mensinyalir negara-negara tersebut menjadi tujuan perdagangan orang dari Indonesia. Sekitar 19 negara tetangga menjadi tujuan perdagangan orang dari Indonesia sejak Maret 2005 sampai September 2009. Tujuan terbesar adalah Malaysia dengan total 2.689 orang, terdiri atas 284 anak-anak, 385 laki-laki dewasa, 2.020 perempuan dewasa. Jumlah kelompok terakhir mencapai 75,94 %. Sementara nomor dua terbesar negara tujuan adalah Arab Saudi dengan jumlah 63 orang. Rinciannya adalah 14 anak perempuan dan 49 perempuan dewasa.3 Pada tahun yang sama, tahun 2009, IOM mencatat jumlah perdagangan orang berdasarkan jenis kelamin dan umur terhitung bulan Maret tahun 2005-September tahun 2009. Catatan itu menyebut ada 856 anak- anak dan 2.269 usia dewasa. Mayoritas korban adalah perempuan, dan jumlah tersebut adalah total korban yang ditangani IOM pada kurun waktu itu.4

Berdasarkan data Badan Reserse Kriminal Polri, jumlah perdagangan manusia di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 607 kasus, dengan pelaku sebanyak 857 orang. Korban orang dewasa sebanyak 1.570 orang (76,4%) dan 485 anak-anak (23,6%). Korban yang diperdagangkan, dieksploitasi secara seksual maupun kerja paksa. Setiap tahunnya ada kenaikan 450.000 orang Indonesia yang diperdagangkan dengan modus sebagai tenaga kerja ke luar negeri. Dari jumlah itu, sekitar 46% terindikasi kuat menjadi korban.5

Perdagangan orang yang diidentifikasi oleh polisi baru-baru ini adalah perekrutan buruh migran Indonesia di Malaysia untuk umrah ke Mekah, setelah sampai di Saudi mereka diperdagangkan ke wilayah lain di Timur Tengah.6 Tahun 2010 teridentifikasi bahwa trafficker juga menggunakan internet terutama social networking seperti Facebook untuk merekrut korban, terutama anak-anak untuk perdagangan seks.7

1 http://www.unicef.org/globalspanner/counterhumantrafficking/index.html, diakses pada tanggal 21 Februari 20122 http://kuhpreform.files.wordpress.com/2008/09/perdagangan-manusia-dalam-ruu-kuhp-5.pdf, diakses pada tanggal 20

Februari 2012. 3 Biro Pemberdayaan Perempuan Anak dan KB Provsu. Disadur penulis dari hasil analisis yuridis implementasi Perda No 6

Tahun 2004. ( Medan : Biro PP P Anak dan KB, 2011), hal 8.4 Ibid.5 Hasil pemaparan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada paparan program prioritas

Kesra 2011, di Jakarta.6 http://baltyra.com/2011/03/01/human-trafficking-di-indonesia/, diakses pada tanggal 12 Maret 2012 7 Ibid

Page 509: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

484

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

Data di atas memperlihatkan perdagangan manusia yang melibatkan anak-anak Indonesia sudah sangat memprihatinkan dan membutuhkan penanganan serius. Satu persoalan yang sering muncul terkait perdagangan manusia yang melibatkan anak adalah ‘ketidaktahuan’ atau ‘kekeliruan’ atas definisi anak didasarkan pada perbedaan batasan usia dan istilah yang digunakan dalam beberapa undang undang terkait dengan anak yang berlaku di Indonesia. Hal ini berakibat tidak terpenuhinya rasa keadilan pada anak korban perdagangan manusia.

Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Ratifikasi ini termuat dalam Keputusan Presiden RI No. 39 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak. Pasal 1 dalam Konvensi ini menyebutkan, bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.

Berdasarkan Pasal 1 Konvensi tentang Hak-hak Anak ini, terdapat kalimat yang penting untuk diperhatikan, “...kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.” Kalimat ini memberi kemungkinan pembedaan pencapaian usia dewasa bagi setiap anak Indonesia mengingat beberapa undang-undang yang berlaku di Indonesia menyebutkan seseorang dianggap telah dewasa jika telah kawin. Sementara usia yang diperbolehkan kawin oleh hukum Indonesia adalah 16 tahun, usia yang seharusnya masih dianggap anak, merujuk kalimat pertama pada Pasal 1 KHA. Untuk lebih memperjelas permasalahan batasan usia ini, penulis akan membahasnya lebih lanjut di bawah ini.

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu Pasal 47 Ayat 1 menyebutkan anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Sementara itu, masih dalam Undang-Undang yang sama, pada pasal 7 Ayat 1 menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pasal 1 dan Pasal 47 UU No. 1 tahun 1974 memberikan peluang bagi seorang anak perempuan memperoleh usia dewasa lebih cepat, yakni usia 16 tahun atau belum berusia 18 tahun karena ia telah kawin.

11.2 Definisi Anak

Page 510: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

485

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Satu hal yang menarik terkait usia dewasa, Indonesia juga memiliki undang -undang yang memungkinkan anak mencapai kedewasaannya lebih lama, seperti termuat dalam UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Pasal 1 Ayat 2 Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Namun sayang, sama dengan UU No. 1 Tahun 1974, pencapaian usia dewasa ini kembali mungkin dicapai lebih awal, kurang dari usia 21 tahun karena adanya batasan status perkawinan.

Kedewasaan yang dicapai lebih awal merugikan anak perempuan korban perdagangan manusia. Ia akan dianggap sebagai perempuan dewasa karena telah menikah meski usianya belum berusia 18 tahun. Banyak perkawinan yang melibatkan anak perempuan bukan karena kemauannya, melainkan orang tua atau orang dewasa lainnya di sekitar mereka. Akibatnya, ia akan diperlakukan sebagai korban dewasa saat mengakses layanan hukum dan sosial, karena dianggap telah mampu memberikan persetujuan saat menjadi korban perdagangan manusia.

Undang-undang lain yang juga menimbulkan kerentanan pada akses keadilan akibat pencapaian usia dewasa lebih awal karena perkawinan adalah UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Pasal 1 Ayat 1 Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Tidak hanya persoalan perbedaan tentang batasan usia pada anak yang terdapat dalam perundangan yang berlaku di Indonesia, tetapi juga perbedaan istilah yang dipergunakan. Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait batasan usia anak tidak menggunakan istilah anak, melainkan mereka yang belum dewasa.

Pasal 45 KUHP“...dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa yang berumur di bawah enam belas tahun...”

Page 511: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

486

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

Sering kali perbedaan istilah ini pun merugikan kelompok anak, khususnya dalam masyarakat mengingat mengingat kedewasaan lebih bersifat psikologis.

Merujuk pada perbedaan batasan usia dan istilah yang dipergunakan dalam beberapa perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pada akhirnya menimbulkan kerugian pada anak, khususnya anak perempuan dalam tindak pidana perdagangan manusia. Fakta perkawinan di Indonesia yang melibatkan anak perempuan sebelum usia 18 tahun cukup besar.

Berdasarkan data Berdasarkan data BPS (2008), persentase ‘perempuan pernah kawin’ dengan UKP (Usia Kawin Pertama) kurang dari 16 tahun cukup tinggi, yakni 11,23%. Keadaan ini terutama terjadi di kawasan pedesaan (13,49%) dan kawasan perkotaan (8,13%).8 Fakta ini sudah seharusnya disikapi dengan bijak yaitu dengan memberikan jaminan keadilan bagi anak perempuan secara khusus sebagai antisipasi dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memungkinkan anak perempuan mencapai usia dewasa lebih awal sebelum berusia18 tahun.

Syukurlah, perlindungan terhadap anak perempuan mulai dirasakan setelah disahkannya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang hal itu. Undang-undang ini mempergunakan prinsip mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak seperti yang diamanatkan dalam Konvensi tentang Hak-hak Anak. Pasal 1 Ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 1 Ayat 1Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Penggunaan prinsip kepentingan terbaik bagi anak ini, memberikan peluang kepada setiap anak untuk dapat mengakses hak-hak anak seperti disebutkan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan rasa keadilan sesuai dengan tumbuh kembangnya tanpa dibatasi status perkawinan.

Secara singkat dapat dijelaskan, masa tumbuh kembang anak sangat perlu menjadi pertimbangan di samping umur. Para ahli membagi masa perkembangan anak dalam beberapa periode, misalnya menurut Kartono (1995), periode perkembangan anak terdiri atas masa bayi usia 0-1 tahun (periode vital),

8 Euis Indrayani dkk, Dampak Pendidikan bagi Usia Pernikahan Dini dan Kemiskinan Keluarga, (GEMARI, edisi 143, Desember 2012) http://www.gemari.or.id/file/edisi143/gemari14324.pdf, diakses pada tanggal 30 Agustus 2013

Page 512: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

487

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

masa kanak-kanak usia 1-5 tahun (periode estatis), masa anak-anak sekolah dasar usia 6-12 tahun (periode intelektual) dan periode pueral usia 12-14 tahun (prapubertas atau puber awal).

Dengan mengetahui masa tumbuh kembang anak dan menyesuaikannya dengan pemenuhan hak anak, tentunya ini mendekatkan anak pada terwujudnya kepentingan terbaiknya seperti yang dimaksud oleh prinsip hak Anak dalam KHA.9 Lebih jauh disebutkan dalam hal tertentu, dapat ditentukan berapa batas usia seorang anak boleh bertindak sendiri. Tetapi hal-hal berikut di bawah tidak masuk dalam ketegori tersebut: 10

l memperoleh konsultasi hukum dan medis tanpa izin orang tua (legal or medical counceling without parental concent);

l melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya (hazardous employment);l melakukan pekerjaan paruh waktu (part-time employment);l melakukan pekerjaan purna waktu (full time employment);l menikah/kawin (marriage);l izin melakukan hubungan seksual (sexual consent);l secara sukarela masuk ke dalam angkatan bersenjata (voluntary enlisment

into the armed forced);l secara sukarela menjadi saksi di pengadilan (voluntarily enlisment in court);l batas usia untuk tanggung jawab kriminal (criminal liability);l perampasan kemerdekaan (deprivation of liberty);l penjatuhan hukuman;l penggunaan atau konsumsi minuman beralkohol.11

Hasil suatu kajian menemukan pada kasus perdagangan anak, seringkali batasan usia anak menjadi ‘celah’ bagi pelaku untuk mengurangi hukuman atau berkelit dari perbuatan yang dilakukan. Hal itu tergambar pada kasus Jaksa vs Erlina als Erlin, PN Binjai, 277/Pid12.B/2011. Pelaku menyatakan keraguannya terkait usia korban dalam wawancara yang dilakukan peneliti sebagai berikut:

9 Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child) — salah satu dari empat prinsip utama dalam Konvensi Hak Anak – prinsip ini berlaku terhadap segala tindakan dan keputusan yang berkaitan dengan anak dan menyerukan upaya-upaya aktif untuk menghormati hak mereka dan mempromosikan hak hidup, tumbuh kembang, dan kesejahteraan mereka, serta upaya untuk mendukung dan membantu orang tua dan pihak lain yang bertanggung jawab merealisasikan hak-hak anak. http://www.unicef.org/csr/css/Indonesian_PRINCIPLES.pdf ; diakses pada tanggal 10 Oktober 2013

10 Unicef, ‘Implementation Handbook for the Conventionon the right of the Child, (1998) New York, hal. 2.11 Ibid.12 Pusaka Indonesia dan Fakultas Hukum USU “Kajian tentang Hak Restitusi dan Perlindungan Hukum Anak dan Perempuan

Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Sumatera Utara” (2012 ) FH USU.

Page 513: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

488

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

“Waktu proses persidangan korban datang, tetapi saksi utama teman korban N yang jual emas N untuk ongkos tidak datang ke persidangan. Waktu persidangan keterangan saksi N memberatkan Saya, korban bilang umurnya masih 16 tahun 7 bulan, tapi menurut pengacara Saya N berbohong karena adik N ada yang`masih sekolah kelas 3 SMA, padahal adiknya masuk Sekolah Dasar umurnya 7 tahun, jadi umur N pasti sudah lebih 18 tahun, tapi dia tetap ngaku sebagai anak di bawah umur.”

Keraguan yang timbul pada pelaku dan penasihat hukumnya pada masa

persidangan sangat mungkin terjadi didasarkan beberapa alasan. Salah satunya, seperti telah disebutkan di atas. Namun, sudah seharusnya untuk mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak, para penegak hukum melaksanakan langkah yang diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Optional Protocol To The Convention On The Rights Of The Child On The Sale Of Children, Child Prostitution And Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak pada Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak).

Pasal 8 Ayat 1 Negara-negara peserta harus menjamin bahwa usia sesungguhnya para korban anak tidak menghalangi inisiatif penyelidikan kasus pidana, termasuk penyelidikan yang bertujuan untuk menentukan usia para korban.

Perdagangan Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perdagangan manusia, khususnya perdagangan perempuan. Konvensi PBB untuk melawan Organisasi Kejahatan Lintas Batas (United Nations Convention against Transnational Organized Crime) pada 12 Desember tahun 2000, mengeluarkan dua protokol untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi korban perdagangan manusia. Hal ini terangkum dalam dua protokol dan telah diratifikasi oleh Indonesia dalam dua undang undang sebagai berikut:

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women And Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Protokol untuk

11.3 Definisi Perdagangan Anak

Page 514: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

489

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-anak, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi)

2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut dan Udara, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi)

Menurut Konvensi PBB, perdagangan manusia didifenisikan sebagai Perekrutan, pengiriman/pengangkutan, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau paksaan, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh izin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.13 Eksploitasi mencakup paling tidak, eksploitasi pelacuran dari orang lain, atau bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek yang mirip dengan perbudakan, atau pengambilan organ tubuh.14 Untuk lebih mudah mengidentifikasi suatu tindak pidana sebagai tindak perdagangan manusia dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Tabel 1

PrekrutanAtauPengiriman/PengangkutanAtauPemindahanAtauPenampunganAtauPenerimaan

PROSES

AncamanAtauPaksaanAtauPenculikanAtauPenipuanAtauKebohonganAtauPenyalahgunaan Kekuasaan

Pelacuran/ProstitusiAtauKekerasan/Eksploitasi SeksualAtauKerja Paksa/dengan Upah yang Tidak LayakAtauPerbudakan/Praktek-praktek Lain serupa Perbudakan

DAN

DAN

CARA TUJUAN+ +

Sumber : http://www.idlo.int/DOCNews/Human_trafficking_ind.pdf

13 American Center for International Labor Solidarity, Kompilasi Program dan Layanan untuk Menyikapi Perdagangan Manusia di Enam Provinsi (ICMC, Yogyakarta, 2004), hal. 2.

14 Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, edisi pertama, (NZAID, Jakarta: 2006), hal. 288.

Page 515: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

490

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

Tabel di atas menunjukkan suatu tindakan dapat dikatakan sebagai tindakan perdagangan orang jika salah satu dari ketiga unsur di atas telah terpenuhi yaitu proses, cara dan atau tujuan.15

Undang-undang di Indonesia juga mengatur tentang definisi perdagangan orang seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu:

“Tindakan Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”

Definisi perdagangan orang di atas hampir sama dengan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention against Transnational Organized Crime) atau yang lebih dikenal dengan Protokol Palermo. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat salah satu pertimbangan penyusunan undang-undang ini adalah sebagai perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan protokol PBB Tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas dan Menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak-anak yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia.16

Presiden RI pada tanggal 23 Juli 2012 menandatangani dua undang-undang yang memuat pengaturan terkait perdagangan anak, salah satunya adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak). Pada Pasal 2 (a) Protokol ini menerangkan, penjualan anak berarti setiap tindakan atau

15 http://www.idlo.int/DOCNews/Human_trafficking_ind.pdf, diakses pada tanggal 1 Oktober 201316 Penjelasan Umum Undang Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Page 516: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

491

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

transaksi di mana seorang anak dipindahkan kepada orang lain oleh siapa pun atau kelompok, demi keuntungan atau dalam bentuk lain. Lebih lanjut dalam Pasal 3 dinyatakan sebagai berikut:

1. Tiap negara harus menjamin bahwa sebagai standar minimum, pada perbuatan dan kegiatan berikut ini dianggap sebagai tindak kriminal atau melanggar hukum pidana, apakah kejahatan tersebut dilakukan di dalam negeri atau antarnegara atau berbasis individu atau terorganisir:(a) Dalam konteks penjualan anak seperti yang didefinisikan dalam

Pasal 2:(i) Menawarkan, mengantarkan atau menerima anak dengan berbagai

cara untuk tujun berikut:a. Eksploitasi seksual anak;b. Mengambil organ tubuh anak untuk suatu keuntungan;c. Keterlibatan anak dalam kerja paksa; 

(ii) Penculikan anak untuk adopsi(b) Menawarkan, mendapatkan dan menyediakan anak untuk prostitusi,

seperti yang didefinisikan dalam Pasal 2.(c) Memproduksi, mengirimkan, menyebarkan, mengimpor, mengekspor,

menawarkan, menjual atau memiliki untuk tujuan pornografi anak dengan tujuan di atas seperti yang didefinisikan Pasal 2.

Pasal yang menjelaskan tentang definisi perdagangan anak ini juga semakin memperjelas beberapa kasus di Indonesia, terkait perpindahan anak dari keluarga yang tidak mampu ke keluarga lain yang lebih mampu, tanpa mengawasi apakah perpindahan tersebut telah mengindahkan kepentingan anak atau tidak. Dalam banyak kasus, keuntungan yang diperoleh orang tua maupun calo bisa dimasukkan dalam kategori perdagangan anak.17

Setiap tindakan Atau transaksi di mana seorang anak dipindahkan kepada orang lain oleh siapa pun atau kelompok, AtauPenculikan anak untuk adopsi

PROSES

Berbagai Cara Demi keuntungan atau dalam bentuk lain

DAN

DAN

CARA TUJUAN+ +

Sumber : UU RI No. 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak

Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak) Pasal 2

17 Irwan Hidayana, ”Migrasi Lintas Batas dan Seksualitas di Asia Tenggara” (Jurnal Perempuan edisi 36, Juli 2004), hal. 111.

Page 517: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

492

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

Tabel di atas memberikan definisi secara umum tentang perdagangan anak di mana satu hal penting yang harus menjadi perhatian bersama para penegak hukum adalah pada bagian cara. Pasal 3 Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak menekankan bahwa apa pun cara yang dipergunakan oleh seseorang atau kelompok pelaku perdagangan tidak menjadi pertimbangan dapat dikatakannya perbuatan tersebut adalah perdagangan anak. Hal ini sangat sesuai dengan pendapat Mohammad Farid,18 yang menyebutkan dalam mempertimbangkan tindak pidana perdagangan anak, perlu menambahkan satu unsur lagi, yakni consent. Pengertian consent adalah anak tidak dalam kapasitas menyetujui dirinya diperdagangkan, walau dia menyetujuinya.19

Pada kasus Jaksa vs Andreas Ginting als Ucok, PN Medan, No 1554/Pid.B/2011, pelaku dan saksi-saksi yang berusia dewasa menyatakan dalam berita ada pemeriksaan bahwa mereka mengetahui bahwa korban adalah anak.20

“...Saksi mau membawa korban ke Medan walaupun saksi mengetahui korban masih anak-anak, karena saksi dijanjikan terdakwa untuk 1 (satu) orang saksi dikasih honor Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan saksi juga mau diberangkatkan ke Medan..” (Entin bukan nama sebenarnya, saksi)

“...saksi mengetahui suami saksi (terdakwa) telah mempekerjakan anak di bawah umur setelah suami saksi ditahan dan sewaktu saksi menanyakan suami saksi tentang perbuatan yang dilakukan terhadap korban, terdakwa telah melakukan hubungan suami istri dengan korban...” (Nita bukan nama sebenarnya, istri pelaku)

“...Terdakwa mengetahui korban masih di bawah umur yaitu setelah 2 hari kerja dan terdakwa tahu dari E dan juga waitress lainnya,...Pemikiran terdakwa setelah mengetahui korban masih di bawah umur, yaitu terdakwa pikir tidak mungkin dipekerjakan. Tapi yang menjamin korban adalah E dan terdakwa juga telah mempertanyakan hal ini kepada E, tapi

18 http://hukum.kompasiana.com/2011/04/19/catatan-penanganan-kasus-perdagangan-anak-untuk-tujuan-pelacuran/, diakses pada tanggal 27 Agustus 2013.

19 Merujuk pada hal pernyataan, “Persetujuan korban tidak relevan”, maka hakim yang memutus perkara tindak pidana perdagangan anak seharusnya tidak menjadikan persetujuan korban, anak, sebagai hal yang dapat meringankan hukuman pelaku tindak pidana perdagangan anak.

20 Berkas perkara yang termuat dalam putusan Jaksa vs Andreas Ginitng als Ucok, PN Medan, No 1554/Pid.B/2011.

Page 518: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

493

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

korban tetap mau kerja. Sehubungan dengan usia korban yang masih di bawah umur, terdakwa tidak ada menghubungi orang tua korban. Terdakwa mem pekerjakan korban yang masih di bawah umur, mulai pukul 20.00 WIB sampai dengan pukul 02.00 WIB, karena korban tetap ingin bekerja padahal terdakwa sudah menanyakan..” (Anto bukan nama sebenarnya, pelaku)

Merujuk pada pernyataan-pernyataan pelaku dan saksi-saksi di atas, terlihat bahwa perlindungan anak masih sebatas retorika, terutama bagi anak-anak yang dianggap memiliki consent atau ‘kemauan’ bekerja. Padahal sebagai orang dewasa, pengusaha, pasangan pengusaha atau rekan kerja sudah seharusnya mempertimbangkan setiap anak yang mencari pekerjaan, tentunya memiliki latar belakang ekonomi keluarga yang sulit atau miskin. Untuk itu seharusnya jikapun pengusaha memberikan pekerjaan, maka jenis pekerjaan yang diberikan harus sesuai dengan usia anak dan memastikan anak terlindungi selama melakukan pekerjaannya. Hal tersebut dimandatkan oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja). Juga dimandatkan dalam UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak).

Masih terkait Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak.

Pasal 3 Ayat 2 Mengacu pada pernyataan yang terdapat di dalam hukum nasional tiap negara, hukum juga berlaku apabila terdapat percobaan dan keterlibatan atau partisipasi dalam setiap tindakan yang telah disebutkan.

Hal ini makin memperjelas bahwa siapa pun yang terlibat sejak ‘Kemungkinan’ tindak pidana perdagangan anak terjadi dapat dihukum dengan tindak pidana perdagangan anak berdasarkan hukum di negara yang telah meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak, tak terkecuali di Indonesia.

Page 519: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

494

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

Korban tindak pidana perdagangan orang pada umumnya anak dan perempuan yang belia atau muda serta belum menikah.21 Berdasarkan beberapa penelitian, memperlihatkan berbagai bentuk atau tujuan perdagangan manusia termasuk anak.

1. Eksploitasi seksual yang meliputi perdagangan seks atau eksploitasi seksual untuk tujuan komersial, prostitusi dan pornografi.

2. Kerja paksa, temasuk kewajiban bekerja bagi anak-anak pada waktu, tempat dan lokasi yang berbahaya bagi anak seperti jermal, pertambangan dan sebagainya.

3. Eksploitasi di dalam perbudakan domestik (sebagai pembantu rumah tangga), pertanian pedesaan, pertambangan, anak jalanan dan perikanan seperti jermal.

4. Adopsi anak.5. Penjeratan utang.6. Pengantin pesanan.7. Perdagangan organ tubuh.

Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak pada Pasal 3, lebih rinci menyebutkan beberapa bentuk tujuan perdagangan anak di dunia termasuk di Indonesia (Lihat Tabel)

Menawarkan, mengantarkan atau menerima anak

Menawarkan, mendapatkan dan menyediakan anak

Memproduksi, mengirimkan, menyebarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, menjual atau memiliki

PROSES

Berbagai Cara Eksploitasi seksual anak;

Mengambil organ tubuh anak untuk suatu keuntungan;

Keterlibatan anak dalam kerja paksa;

Prostitusi

pornografi anak

CARA TUJUAN+ +

Sumber : UU RI No. 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak) Pasal 3.

11.4 Mengapa Anak Diperdagangkan di Dunia dan Indonesia?

21 Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Trafficking Perempuan dan Anak,- Draft 4 , (Jakarta, 2002), hal. 1.

Page 520: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

495

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Tabel di atas memberikan informasi lebih lanjut tentang tujuan per-dagangan anak yang sebelumnya telah disebutkan dalam Pasal 2 undang-undang yang sama. Empat dari lima tujuan, yaitu mengambil organ tubuh anak untuk suatu keuntungan, eksploitasi seksual anak,  prostitusi dan pornografi anak menunjukkan bahwa tubuh anak merupakan komoditas bagi orang dewasa. Alasannya harga yang murah atau anak lebih mudah diatur dari orang dewasa.22

Beberapa kasus perdagangan manusia memperlihatkan korban awalnya direkrut dengan menawarkan pekerjaan di restoran, pabrik atau sebagai pekerja rumah tangga sebelum dipaksa menjadi pelacur. Penelitian Pusaka Indonesia dan Fakultas Hukum USU pada tahun 2012 memperlihatkan pada awalnya korban ditawari bekerja sebagai pekerja di kafe. Di bawah adalah kutipan dari berkas-berkas perkara perdagangan anak.

“...Sesampainya di simpang kantor pos, satpam di simpang Por Kecamatan Bahorok, J mengajak saksi korban untuk turun dari angkutan. Saksi korban bertanya pada J “Ngapain kita di sini J?” Dijawab oleh J, “di sini ada ibuku, kita kerja mencuci piring, mengelap meja dan menyapu dan membereskan kamar.” (Jaksa vs Poniseh als Membot, PN Binjai, No 276/Pid.B/2011)

“Saksi kenal dengan terdakwa pada tanggal 19 Desember 2011 sewaktu saksi datang ke Medan bersama I dengan tujuan untuk kerja karena ada yang menawarkan pekerjaan kepada saksi korban yaitu Ibu E, tetangga saksi di Sukabumi. Pada waktu itu Ibu E mengatakan kepada saksi, “L, mau nggak kerja di Medan, di restoran, kami di bagian kasir dengan gaji pertama Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) per bulan dan kalau sudah lama bekerja gajinya menjadi Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah)? Namun pada waktu itu tidak diberitahu nama restorannya.” (Jaksa vs Andreas Ginting als Ucok, PN Medan, No 1554/Pid.B/2011)

22 http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=ar ticle&id=95:anak-anak- dan-turisme-&catid= 89:artikel&Itemid=121, diakses pada tanggal 1 Nopember 2013

Page 521: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

496

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

Tawaran serupa terjadi pada tujuan perdagangan anak lainnya, termasuk pariwisata seks anak yang yang lazim di daerah perkotaan dan daerah tujuan wisata, seperti Pulau Bali dan Riau. Bahkan disinyalir ada trafficker yang menjalin kemitraan dengan para pejabat sekolah untuk merekrut laki-laki dan perempuan muda dalam program-program kejuruan, untuk dipaksa menjadi tenaga kerja di kapal nelayan melalui kerja sama magang yang menipu.23

Menurut Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak menyebutkan faktor pendorong terjadinya perdagangan anak termasuk kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan sosial, perbedaan struktur sosial ekonomi, disfungsi keluarga dan kurangnya pendidikan. Selain itu juga akibat migrasi desa-kota, diskriminasi gender, perilaku sosial yang tidak bertanggung jawab, praktek-praktek adat yang merugikan dan konflik bersenjata.

Penelitian menunjukkan korban kejahatan perdagangan orang berasal dari keluarga miskin dari pedesaan, masyarakat yang patriakal (sistem kemasyarakatan yang menentukan ayah sebagai kepala keluarga) dengan status pendidikan yang rendah. Korban pada umumnya anak dan perempuan yang belia atau muda, belum menikah. Korban juga adalah korban perceraian dalam keluarga serta mereka yang pernah bekerja di pusat kota atau luar negeri. Umumnya sebagian penghasilannya diberikan kepada keluarga.24

Pada salah satu kasus yang diteliti oleh Pusaka Indonesia dan Fakultas Hukum USU, korban diketahui hanya tamat SMP dan tidak melanjutkan sekolah karena korban ingin bekerja untuk membantu orang tua. Pada saat kejadian, tahun 2011, kedua orang tua korban telah bercerai. Perceraian terjadi sejak tahun 2009. Kedua orang tua memiliki anak 5 orang. Korban adalah anak kedua. (Jaksa vs Andreas Ginitng als Ucok, PN Medan, No 1554/Pid.B/2011).

Pada kasus lainnya, masih dalam penelitian yang sama, para peneliti menemukan keterlibatan anak sebagai korban perdagangan dikarenakan alasan mencari pekerjaan, namun selanjutnya si pengusaha atau pelaku membiarkan anak menjadi korban eksploitasi seksual hanya dengan alasan anak melakukan dengan kemauannya seperti yang dinyatakan oleh Pelaku berikut:

23 Ibid.24 Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Trafficking

Perempuan dan Anak,- Draft 4 , (Jakarta, 2002), hal 1.

11.5 Mengapa Anak Diperdagangkan?

Page 522: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

497

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

“Suami saya mocok-mocok. Saya membuka penginapan di daerah Bukit Lawang, bisa disewakan 1 bulan atau 1 malam. Bukit Lawang kan daerah pariwisata banyak orang kemping jadi kita sewaktu kamar-kamar. Waktu N (korban) datang sama kawannya dia minta kerja. Jadi saya suruh jadi pelayan untuk mengantarkan minuman dan pesanan. Kalau memang dia mau menerima laki-laki untuk dilayani seksnya, ya itu urusan dialah” (Erlin, Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang)

Kemauan atau consent anak korban perdagangan seharusnya diabaikan karena mereka masih dalam tumbuh kembangnya. Hal ini tidak hanya harus menjadi perhatian dari setiap orang dewasa, tidak hanya yang menjadi pelaku namun juga sebagai pengguna atau konsumen. Pada beberapa kasus perdagangan anak, broker atau pelaku yang berperan sebagai penghubung juga masih berusia anak seperti yang ditemukan oleh peneliti Pusaka Indonesia dan Fakultas Hukum USU dalam penelitian tahun 2012 saat melakukan wawancara dengan korban.

“Pada awalnya saya dan W baru pulang sekolah. Saya main-main bersama W di rumah W. Saya bilang ke W, “Aku mau cari duit tapi bukan jadi pembantu.” Pada saat itu W bilang “Terus mau jadi apa?” Saya iseng menjawab pertanyaan W karena saya penasaran dengan pekerjaan dia. Jadi saya bilang, “Jadi kayak kaulah W.” Lalu W bilang “Ya sudah nanti aku bilang sama kawanku yang namanya D, dia, sudah tua tapi belum nikah, kau mau uang dari dia?” Saya jawab “Gak apa-apa.” Lalu saya dan W menunggu om itu di simpang Pasar 2” (Kayala bukan nama sebenarnya, 14 tahun)

Pada kasus K ini, W juga adalah seorang anak namun pelanggan atau pengguna layanan mereka adalah orang dewasa. Dengan kata lain, baik K dan W adalah korban perdagangan orang untuk tujuan seksual komersil yang disebabkan alasan ekonomi, salah satu penyebab utama anak menjadi korban perdagangan di Indonesia.

Pada kasus Jaksa vs Syamsul Bahri Als Syamsul, PN Tanjung Balai, 309/Pid B/2008, penyebab lain mencari pekerjaan muncul yaitu tidak lengkapnya dokumen menyebabkan korban diperdagangkan, untuk tujuan seksual komersil di Malaysia. Berikut kutipan dari berkas perkara kasus Jaksa vs Syamsul Bahri Als Syamsul, PN Tanjung Balai, 309/Pid B/2008.

Page 523: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

498

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

“...Korban meminta tolong kepada Lungguk Rosa (bukan nama sebenarnya) untuk dicarikan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia, selanjutnya saksi diperkenalkan kepada Butet (bukan nama sebenarnya). Kemudian korban bertanya kepada Butet, “Kakak agennya?” Dijawab Butet “Iya.” Lalu korban bertanya, “Kerja apa, Kak?” Dijawab oleh Butet, “Pembantu rumah tangga, gajinya besar serta kau bisa pulang sekali sebulan dan kau datang tanggal 6 April 2007 untuk berangkat.” Saat menyeberang ke Malaysia, korban bersama beberapa orang lainnya disembunyikan di ruangan mesin kapal oleh Terdakwa agar tidak diketahui oleh petugas keamanan laut, baik dari pihak Negara Republik Indonesia maupun dari NegaraMalaysia... Korban tidak memiliki dokumen yang lengkap untuk masuk ke Malaysia. Saat tiba di Malaysia, korban dibawa ke Hotel Istana dan diserahkan kepada orang yang korban tidak kenal dan kemudian korban dibawa lagi ke Batu 8 Kapar Malaysia dan tinggal di tempat itu untuk melayani laki-laki untuk berhubungan badan...Korban bekerja selama 8 (delapan) bulan dan tidak mendapat upah dari tauke yang tinggal di Malaysia..” (Nita, korban)

Ketidaklengkapan dokumen yang dimiliki oleh korban memaksa korban harus bertahan di tempat yang membahayakan. Harapannya semata-mata untuk mendapatkan uang agar dapat meninggalkan lokasi, namun kembali karena ketidaklengkapan dokumen di negeri orang, membuat korban harus bertahan. Hingga pada satu saat berhasil menggunakan handphone temannya dan memberitahu keaadaannya kepada orang tuanya di Tanjung Balai melalui SMS dan meminta tolong kepada orang tuanya untuk membawa uang tebusan sesuai dengan permintaan tauke yang berada di Malaysia. Akhirnya korban dapat berhasil pulang setelah ditebus oleh orang tuanya sebesar RM 2850 (Dua Ribu delapan ratus lima puluh ringgit Malaysia). Angka yang sangat besar untuk keluarga miskin demi menyelamatkan anaknya.25

Perdagangan Anak merupakan tindak pidana. Sebagai sebuah tindakan pidana, maka perbuatan tersebut dapat dihukum. Hal ini sesuai dengan definisi

11.6 Aturan Pidana tentang Perdagangan Anak

25 Kutipan dari putusan perkara Jaksa vs Syamsul Bahri Als Syamsul, PN Tanjung Balai, 309/Pid B/2008, hal. 8.

Page 524: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

499

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tindak pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum pidana Indonesia. Komariah Emong Supardjadja mengatakan, “Tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.”26 Sementara Indrianto Seno Adji mengatakan, “Tindak pidana adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.”27

Di bawah ini adalah beberapa peraturan yang memuat larangan Perdagangan Anak di dunia dan di Indonesia.

11.6.1 Konvensi Hak Anak Konvensi ini memuat pengaturan terkait perdagangan anak

terdapat pada Pasal 11, 21, 32, 33, 34, 35 dan 36. Pasal 35 misalnya berbunyi, “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah nasional, bilateral dan multilateral yang layak untuk mencegah penculikan, penjualan atau perdagangan anak untuk tujuan apa pun atau dalam bentuk apa pun.”

11.6.2 Konvensi ILO Nomor 182 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak

Konvensi ini memasukkan perdagangan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi ana, sehingga setiap orang maupun kelompok dilarang untuk mempekerjakan anak.

Pasal 3Dalam konvensi ini, istilah “bentuk-bentuk terburuk kerja anak” mengandung pengertian: (a) segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan per-dagangan anak-anak, kerja ijon dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; (b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno; (c) pemanfaatan, penyediaan atau

26 Komariah Emong Supardjadja, Ajaran Melawan Hukum dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus Penerapan dan Perkembangan dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 2002, hal 22

27 Indrianto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana (Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof.Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta, 2002) hal. 155.

Page 525: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

500

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

penawa ran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan; (d) pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak”.

11.6.3 Kitab Undang Undang Hukum Pidana Larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam

KUHP Pasal 297 yang menentukan mengenai larangan perdagangan perempuan dan anak laki-laki belum dewasa yang mengualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Pada penjelasan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang disebutkan bahwa Pasal 297 terlalu ringan bahkan sering sekali tidak dipergunakan oleh penegak hukum. Akibatnya, penegak hukum khususnya dipenyidik (kepolisian) biasanya mempergunakan pasal lain seperti penipuan, kejahatan terhadap kemerdekanaan orang ataupun penganiayaan.

11.6.4 UU No 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan AnakPasal 83Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”

11.6.5 UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberatan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Dalam buku mereka, Perdagangan Orang, Dimensi, Instrumen Internasional dan Pengaturan nya di Indonesia, Mahruz Ali dan Bayu Aji Pramono menyebutkan sebagai berikut:

“Di dalam Undang Undang ini dicantumkan dalam 17 pasal berbeda yang mengatur mengenai tindak pidana perdagangan orang. Hal ini didasarkan atas proses, tujuan dan cara. Agar memberikan efek jera kepada pelaku, UU ini meningkatkan sanksi pidana perdagangan orang yakni 3 hingga 15 tahun penjara dan denda minimal Rp 40 juta hingga 5 Miliar. Ini lebih

Page 526: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

501

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tinggi dari delik serupa dalam KUHP khususnya Pasal 297 yang hanya 6 tahun. Pidana pemberatan juga dapat dijatuhkan bagi penyelenggara negara yang terlibat tindak pidana perdagangan orang ditambah sanksi tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya (Pasal 9). Sedangkan bagi korporasi yang terlibat dapat dijatuhkan hingga 3 kali lipat pidana denda pelaku orang, ditambah sanksi tambahan berupa pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pemecatan pengurus dan pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama (Pasal 15). Selain itu, juga terdapat pasal pemberatan bagi pelaku apabila korban adalah anak-anak, yakni sanksi atau hukuman pidana ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.28

Terobosan lain yang dilakukan oleh UU ini adalah adanya penyatuan sanksi perdata dalam tuntutan pidana perdagangan orang, yaitu hak restitusi bagi korban dan keluarganya. Restitusi adalah ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan, yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan atau imaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.

Sebelum restitusi disebutkan dalam UU PTPPO, Indonesia telah memiliki pengaturan tentang pemberian ganti kerugian misalnya pada KUHP (Kitab UU Hukum Pidana), KUHAP (Kitab UU Hukum Acara Pidana), KUH Perdata. Pasal 1 Ayat 13 UU PTPPO memberikan definisi tentang restitusi, yaitu pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap, atas kerugian materiil dan atau imaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.

28 Mahrus Ali & Bayu Aji Pramono Perdagangan Orang, Dimensi, Instrumen Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (PT Citra Aditya Bakti, cetakan I, 2011).

Page 527: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

502

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

Pasal ini mengatur tentang kerugian korban kejahatan kerugian materiil dan kerugian imaterial. Kerugian materiil yang dimaksud adalah kerugian akibat kehilangan harta milik, biaya transportasi dasar, biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum atau kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku. Kerugian imaterial meliputi kerugian akibat proses penyiksaan dan eksploitasi yang dialami korban serta stigmatisasi serta trauma psikologis yang dialami. Penghitungan kerugian imaterial menjadi kendala karena sulitnya untuk menghitung nominal dalam bentuk rupiah sehingga perlu dilakukan formulasi penghitungan kerugian imaterial.

Selanjutnya Pasal UU No 21 Tahun 2007 tentang PTTPO Pasal 48 mengatur rincian tentang ganti rugi untuk anak korban perdagangan orang.

Pasal 48Ayat 1: Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.

Ayat2: Restitusi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. penderitaan; c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.

Ayat (3): Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.

Ayat 4: Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.

Ayat 5: Restitusi sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.

Ayat 6: Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Page 528: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

503

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Ayat 7: Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.

Pengajuan permohonan restitusi dilakukan bersama, sejak korban melaporkan kasus ke polisi. Dalam hal ini polisi harus memberitahukan dan menginformasikan kepada korban tentang restitusi tersebut. Penyidik menangani permohonan restitusi bersama penanganan TPPO dalam hal ini polisi wajib menangani permohonan tersebut, peran penyidik di awal sejak korban melapor kasus pidananya penyidik segera memberitahu tentang bagaimana korban mendapatkan hak ganti rugi dari pelaku. Selanjutnya Penuntut Umum harus mampu menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat dari TPPO bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan ganti kerugiannya.

Pasal 48 Ayat 3 memiliki makna bahwa hakim diharapkan dapat mempertimbangkan untuk memutuskan secara profesional ganti rugi/restitusi yang menjadi hak korban serta menjadi beban dan kewajiban pelaku TPPO, untuk memberi ganti rugi/restitusi dimaksud melalui putusan hakim.

Pasal 48 Ayat 4 dan Ayat 5 bermakna penitipan restitusi dalam bentuk uang di pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan per-undang-undangan. Ketentuan ini dilaksanakan dengan proses penangan an perkara perdata dalam KONSINYASI. Mengingat hingga sekarang belum ada pedoman dari Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Penitipan Restitusi di Pengadilan, maka untuk mendapatkan kejelasan mengenai hal tersebut, harus diperhatikan perbedaan dan persamaan Tata Cara pelaksanaan Penitipan Restitusi di Pengadilan berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO dan Penawaran Pembayaran Tunai diikuti Penyimpanan atau titipan yang diatur dalam KUHPerdata (BW).

Pasal 48 Ayat 6 merupakan pembayaran riil (factual) dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan tingkat pertama, sementara Ayat 7 bahwa restitusi dititipkan lebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus, artinya bahwa sejak kasus tersebut ditangani di kepolisian maka penitipan restitusi dalam bentuk uang sudah dapat dititipkan di pengadilan.

Page 529: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

504

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

Pasal 49 UU PTPPO Ayat 1: Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut.

Ayat 2: Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagai-mana dimaksud pada Ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan. Ayat (3) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) disampaikan oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya.

UU PTPPO menyebut antara lain pengajuan restitusi disampai-kan oleh Penuntut Umum ke pengadilan bersamaan dengan tuntutan pidana. Kewenangan mengajukan restitusi oleh Penuntut Umum ini tidak menghapuskan hak korban untuk mengajukan gugatan sendiri atas kerugian yang dideritanya. Walaupun Penuntut Umum berwenang mengajukan restitusi, mekanisme pelaksanaannya belum diatur dengan jelas oleh peraturan perundang-undangan. Misalnya, bagaimana menentukan besar kecilnya jumlah uang restitusi yang akan diajukan; apakah jika Penuntut Umum sudah mengajukan, korban diperkenankan mengajukan restitusi sendiri. Pertanyaan lainnya apakah ketentuan ini bersifat alternatif sehingga membiarkan hakim yang memutuskan berapa restitusi yang harus dibayar oleh pelaku. Hal ini akan berdampak pada pelaksanaan restitusi yang nantinya akan dilaporkan Penuntut Umum kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang memutuskan perkara dan mengumumkannya di pengadilan yang bersangkutan.

Pasal 50 UU PTPPO Ayat 1: Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Ayat (6), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.

Ayat 2: Pengadilan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mem-berikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada

Page 530: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

505

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

korban atau ahli warisnya. Ayat (3) Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi. Ayat (4) Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.

Pada Pasal 50 Ayat 4 UU PTPPO dikatakan jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama satu tahun. Hukuman pidana pengganti sudah tepat tetapi dengan maksimal satu tahun pidana kurungan pengganti dianggap terlalu ringan. Ketentuan ini seharusnya diubah disesuaikan dengan jumlah kerugian yang diderita korban. Tujuannya untuk menghindari kecenderungan pihak pelaku untuk menjalani pidana kurungan daripada harus membayar uang restitusi, karena pidana kurungannya tidak lama. Mungkin saja nilai restitusinya sangat besar dan untuk menghindari itu maka pihak terpidana akan memilih menjalankan pidana kurungan selama 1 satu tahun dan kewajiban untuk membayar restitusi secara otomatis menjadi gugur.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusaka Indonesia dan Fakultas Hukum USU berjudul “Kajian tentang Hak Restitusi dan Perlindungan Hukum Anak dan Perempuan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Sumatera Utara”, hingga tahun 2012 hanya terdapat dua putusan hakim yang memuat hak restitusi bagi korban pada kasus perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual. Kedua kasus, yaitu Jaksa vs Andreas Ginitng als Ucok, PN Medan, No 1554/Pid.B/2011 dan Jaksa vs Fitriyani Binti Muradi, PN Tanjung Karang, 1633/Pid/B/2008.

Meskipun kedua putusan ini memuat hak restitusi bagi korban namun bila ditelisik lebih lanjut akan diketahui bahwa hukum yang dijatuhkan terhadap pelaku belum memenuhi hak anak korban perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual.

Page 531: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

506

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

Hingga tulisan ini selesai, Tim peneliti yang melakukan “Kajian tentang Hak Restitusi dan Perlindungan Hukum Anak dan Perempuan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Sumatera Utara,” Pusaka Indonesia dan Fakultas Hukum USU belum mendapatkan informasi perkembangan terkait dengan pelaksanaan hak restitusi yang dijatuhkan terhadap pelaku. Hal ini jelas memprihatinkan, mengingat nasib korban yang berasal dari keluarga miskin dan masih anak. Sebagai korban seharusnya mereka mendapatkan rehabilitasi baik medis maupun sosial. Khusus untuk sosial, anak seharusnya dapat meneruskan pendidikan yang dapat menjamin kehidupan mereka dimasa depan. Harapan ini hanya dapat terlaksana jika mereka memiliki cukup dana yang seharusnya dapat berasal dari pembayaran ‘Hak Restitusi’ dari pelaku kepada korban.

Sumber: Laporan Penelitian Kajian tentang Hak Restitusi dan Perlindungan Hukum Anak dan Perempuan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Sumatera Utara, FH USU dan Pusaka Indonesia

Karakteristik Korban

Hukum yang dipergunakan

Putusan Perkara pidana

Tuntutan/Gugatan Hak Retitusi

Jaksa vs Fitriyani Binti Muradi, PN Tanjung Karang, 1633/Pid/B/2008.

Korban Diana (bukan nama sebenarnya), perempuan, usia 15 tahun

Pasal 2 Ayat 1, jo Pasal 11 jo Pasal 48, UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pidana penjara selama 8 (delapan) tahun, dan atau denda sebesar Rp 120.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan

Menetapkan Terdakwa membayar Restitusi kepada Saksi Korban, Diana (bukan nama sebenarnya) sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Apabila restitusi tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan.

Jaksa vs Andreas Ginting als Ucok, PN Medan, No 1554/Pid.B/2011

Korban Lidya (bukan nama sebenarnya), perempuan, usia 16 tahun

Pasal 2 Ayat 1, Pasal 48, Pasal 50 UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Jo Pasal 197 KUHAP dan segala aturan hukum dan perundang-undangan terkait

Pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan

Menghukum Terdakwa untuk membayar ganti kerugian kepada ES (ibu kandung saksi korban) sebesar Rp 64.700.000.- (enam puluh empat juta tujuh ratus ribu rupiah)

Page 532: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

507

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Kasus 1-----------------------------------------------------

Jaksa vs Fitriyani Binti Muradi(PN Tanjung Karang, 1633/Pid/B/2008)

SEJARAH PROSEDURAL Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Lampung, Indonesia. Putusan dibacakan pada tanggal 17 April tahun 2009 dan inkraacht di PN Tanjung Karang

PERNYATAAN FAKTAl Tanggal 31 Agustus tahun 2008, saksi korban Dewi sedang menunggu

kendaraan umum untuk pulang ke Way Kanan, kemudian datang M (Pelaku lainnya dan belum tertangkap) mencium dan memeluk saksi korban dengan paksa.

l Selanjutnya sekitar pukul 20.00 WIB, M mengajak saksi korban ke Kafe Selayang Pandang milik Terdakwa, setelah berbicang-bincang dengan M, Terdakwa menawarkan pekerjaan kepada korban, dengan mengata-kan pekerjaan di sini tidak capek. Korban menolak dan mengata kan mau pulang ke rumahnya.

l M memaksa korban masuk ke dalam kamar dan bersetubuh dengan-nya secara paksa. Kemudian M meninggalkan korban begitu saja di tempat tersebut.

l Setelah M pergi, Terdakwa mengatakan kepada korban, “Tinggal di sini aja nanti saya lindungi dari tamu.” Sekitar pukul 20.00 WIB, F (Pelaku lainnya) menyuruh korban melayani tamu. Korban menolak namun tamu tersebut menarik tangan korban secara paksa, dan F diam saja.

l Sejak 31 Agustus s.d 13 September tahun 2008, Korban telah dipaksa F sebanyak 2 kali melayani tamu berhubungan seksual dan 3 kali menyerahkan uang kepada Pelaku.

l Pelaku mengetahui bahwa korban berusia 15 tahun.

ISU (PERTANYAAN) l Apakah terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

perbuatan tindak pidana perdagangan orang?l Apakah terdakwa terbukti tidak melakukan kewajibannya

11.7 Studi Kasus

Page 533: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

508

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

memberikan perlindungan bagi korban yang masih berusia anak?

ATURAN Aturan yang dipergunakan dalam putusan ini merujuk pada dakwaan alternatif yang diajukan JPU yaitu: l Pasal 2 Ayat 1 Jo. Pasal 11 Jo. Pasal 48 UU No. 21 Tahun 2007.l Pasal 12 Jo. Pasal 48 UU No. 21 Tahun 2007.

ANALISISl Terdakwa terbukti memenuhi 3 hal yang menjadi unsur dalam tindak

pidana perdagangan orang yaitu menerima korban yang dititipkan oleh Pelaku lainnya (proses), untuk membantu pekerjaan mencuci piring dan memasak (cara) dan Korban pernah menitipkan uang yang diperolehnya dari melayani tamu di kafe milik terdakwa (tujuan eksploitasi seksual komersil)

l Terdakwa mengetahui bahwa umur korban adalah 15 tahun, masih usia anak.

KESIMPULAN l Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan

tindak pidana perdagangan orang.l Jaksa dalam membuat Dakwaan dan Tuntutan juga menerapkan UU

No. 21 Tahun 2007 tidak hanya pasal yang mengatur tentang ancaman pidana tetapi juga Pasal 48 yang mengatur tentang hak restitusi korban.

l Majelis Hakim dalam amar putusannya menjatuhkan pidana penjara 8 tahun lebih rendah dari tuntutan Jaksa tetapi cukup tinggi dari ancaman minimal yang ditetapkan UU No. 21 Tahun 2007.

l Restitusi yang dikabulkan Hakim sama besarnya dengan jumlah restitusi yang diajukan Jaksa, hanya saja subsidair restitusi yang di kabulkan Hakim lebih rendah dari tuntutan Jaksa.

l Menjatuhkan pidana penjara selama 8 tahun penjara dan denda Rp. 120 juta subsidair 1 bulan kurungan.

l Menetapkan Terdakwa membayar restitusi kepada saksi korban MD sebesar Rp. 10 juta subsidair 1 bulan kurungan.

-----------------------------------------------------

Page 534: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

509

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Kasus 2-----------------------------------------------------

Jaksa vs Andreas Ginting als Ucok(PN Medan, No 1554/Pid.B/2011)

SEJARAH PROSEDURAL Putusan Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Putusan dibacakan pada tanggal 27 November tahun 2012 dan inkraacht di PN Medan

PERNYATAAN FAKTAl Tanggal 6 Desember tahun 2011, korban LW ditawari bekerja oleh

Entin ( Pr, 40 Th), tetangga LW di Sukabumi, untuk bekerja di sebuah restoran di Medan.

l Tanggal 19 Desember tahun 2011, LW berangkat ke Medan bersama Iqbal tetangganya di Sukabumi, yang juga dijanjikan sebagai CS (Cleaning Service), di Cafe Pesona. Mereka berangkat naik pesawat Sriwijaya yang ongkosnya dibayarkan oleh Entin.

l Sesampainya di Medan, korban dijemput terdakwa yang mengaku sebagai pemilik Cafe Pesona tersebut.

l Sekitar pukul 23.00 wib, korban sampai di Cafe Pesona, LW terkejut karena tempatnya yang dituju tidak sesuai dengan yang dijanjikan Entin, di mana bekerja sebagai pelayan (waiter). Sesampainya di café tersebut, LW tidak langsung bekerja melainkan disuruh untuk beristirahat di sebuah mess di dekat cafe tersebut dan mulai bekerja besoknya. Di mes tersebut Lisna tidur sekamar dengan Ela dan pacar Ela. Adapun Ela merupakan adik Kandung Entin.

l Tanggal 20 Desember tahun 2011, hari pertama LW bekerja dimulai pada pukul 20.00 WIB sampai pukul 03.00 WIB dini hari, dengan baju seragam kaos tipis tanpa lengan serta menggunakan celana hot pants dan rok mini, upah yang akan diterima LW sebesar Rp. 350.000,-.

l Tanggal 8 Januari 2012 seusai jam kerja, LW, Ela dan Minar tertidur di sofa Cafe Pesona. Tiba-tiba Terdakwa mencolek pinggang LW sehingga LW terbangun. Terdakwa mengajak LW ke rumah baru Terdakwa yang tidak di ketahui LW di mana alamatnya.

Page 535: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

510

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

l Tidak berapa lama setelah tiba di rumahnya, terdakwa mengajak LW pulang ke cafe, namun di perjalanan Terdakwa bukan membawa LW ke cafe melainkan ke sebuah Hotel, yang tidak diketahui korban namanya.

l Di dalam hotel Terdakwa memesan makanan dan kamar, Terdakwa mengajak LW masuk ke kamar namun LW menolak. Terdakwa menarik paksa tangan LW dan berusaha dengan kuat memegang badan LW. Terdakwa berusaha merayu LW dan berkata, “Tenanglah aku gak akan melakukan apa-apa, aku mau bertanggung jawab sama kamu. Aku akan belikan rumah, mobil, motor dan awas kalau kamu kabur nanti kamu di Sukabumi akan bahaya terus.”

l Karena ancaman tersebut LW merasa ketakutan, lalu Terdakwa menyetubuhi LW. Setelah kejadian tersebut LW melihat bercak darah di celana dalamnya. Terdakwa menenangkan LW dan berkata, ”Sabarlah, saya akan bertanggung jawab.” Setelah selesai mereka kembali ke Café Pesona.

l Tanggal 6 Januari 2012, LW sudah tidak betah bekerja di Cafe Pesona, apalagi Gaji yang dijanjikan selama bekerja Rp 350.000 belum dibayar hingga saat itu. Maka LW mencoba lari dan berpura-pura membeli makanan. Di luar sudah menunggu seorang mantan pekerja cafe tersebut yang bernama Marlan, yang selanjutnya membawa LW melaporkan kasusnya ke Mapolda Sumut.

ISU l Apakah terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

perbuatan tindak pidana perdagangan orang?l Apakah terdakwa seharusnya melakukan kewajiban melindungi

korban yang masih berusia anak?

ATURAN Aturan yang dipergunakan dalam putusan ini merujuk pada dakwaan alternatif yang diajukan JPU yaitu :i. Pasal 2 Ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007.ii. Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002.

ANALISIS (PENERAPAN) l Terdakwa terbukti memenuhi 3 hal yang menjadi unsur dalam tindak

Page 536: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

511

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

pidana perdagangan orang yaitu membawa (biaya yang dikeluarkan untuk kedatangan korban dari Sukabumi sampai Medan ditanggung oleh terdakwa dan dibayarkan kepada pelaku lainnya, Ibu E), menerima korban yang direkrut oleh Pelaku lainnya, dari tempat berbeda, Sukabumi, Jawa Barat. Dengan lokasi korban bekerja, di Sumatera Utara (proses). Pada awalnya korban ditawarkan bekerja sebagai kasir namun faktanya terdakwa mempekerjakan korban sebagai ‘perempuan cafe,”29 yang kerjanya bila ada tamu yang memesan minuman lalu pekerja perempuan membawa minuman tersebut, lalu menuang minuman tersebut, tidak harus menemani tamu (cara). Korban dipekerjakan oleh terdakwa dari pukul 20.00 WIB sampai dengan 02.00 WIB (tujuan untuk kerja paksa dan eksploitasi seksual)

l Terdakwa mengetahui umur korban adalah 16 tahun, masih usia anak.

l Terdakwa memiliki niat dan melaksanakan niat untuk memperkosa korban di sebuah hotel di kota Medan. Terdakwa mengancam korban untuk tutup mulut dengan memberikan sejumlah uang untuk membeli handphone.

KESIMPULAN l Berkas penyidikan Polisi sudah menggunakan UU No. 21 Tahun 2007

namun tidak melakukan pemberatan dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

l Dakwaan dan Tuntutan Jaksa hanya mengenakan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007, tidak mencantumkan Pasal 48 tentang hak restitusi. Namun selanjutnya pihak pendamping korban mengajukan gugatan hak restitusi.

l Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya telah menggunakan Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 21 Tahun 2007 serta Pasal 98 Jo. 197 KUHAP, sehingga memberi peluang kepada Penasihat Hukum Korban untuk mengajukan Permohonan/gugatan Restitusi dalam perkara pidana yang sedang berlangsung.

l Restitusi yang dikabulkan Hakim berdasarkan Pasal 1 Angka 13 UU No. 21 Tahun 2007 berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan

29 Penyebutan oleh pelaku pada pegawai perempuanyang bekerja di cafenya

Page 537: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

512

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

atau penghasilan, penderitaan, biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dan kerugian lain sebagai akibat TPPO. Akibatnya, tuntutan restitusi berupa penggantian biaya pengacara korban sebesar Rp. 15.000.000,- tidak dikabulkan.

l Majelis Hakim mengabulkan sebagian dari tuntutan/gugatan restitusi yang diajukan Penasihat Hukum Korban sebesar Rp 64.700.000,- tetapi hakim tidak memberikan subsidair jika terpidana tidak bisa melaksanakan putusan restitusi, maka tidak ada hukuman pengganti badan yang harus dilaksanakan terpidana.

-----------------------------------------------------

Kasus 3-----------------------------------------------------

Jaksa vs Syamsul Bahri Als Syamsul(PN Tanjung Balai, 309/Pid B/2008)

SEJARAH PROSEDURAL Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai, Sumatera Utara, Indonesia. Putusan dibacakan pada tanggal 18 September tahun 2008 dan banding di PT Medan

PERNYATAAN FAKTAl Bulan Maret tahun 2007, AS (saksi korban) mendatangi Rosa

bermaksud hendak mencari pekerjaan di luar negeri.l Selanjutnya Rosa mengenalkan AS kepada Saksi Nurhayati br Sirait

alias Butet dan menjanjikan AS bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia.

l Tanggal 06 April tahun 2007, AS tinggal di rumah Butet. Selama 1 minggu kemudian Butet membawa AS ke rumah Terdakwa.

l Pada 13 April tahun 2007, Terdakwa sebagai pemilik sampan mengangkut AS dan beberapa temannya ke Malaysia.

l Sesampainya di Malaysia, AS dijemput oleh Adi yang kemudian menyerahkan AS kepada seorang laki-laki yang tidak di kenalnya. AS

Page 538: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

513

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dibawa ke sebuah rumah di daerah Batu 8 Kapar dan AS dipekerjakan melayani seorang laki-laki untuk berhubungan badan namun kepada AS tidak ada diberikan uang. Selanjutnya korban harus bekerja melayani seksual tamu di tempat tersebut tanpa mendapatkan gaji dari majikannya di Malaysia.

l Tanggal 12 November tahun 2007, ibu AS menjemput AS ke Malaysia, setelah membayar uang tebusan AS sebesar 3000 (riga ribu ringgit Malaysia) dan empat hari kemudian ibu bersama AS kembali ke Tanjung Balai.

ISU Apakah sebagai seorang nakhoda kapal yang membawa korban ke Malaysia telah memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang?

ATURAN Aturan yang dipergunakan dalam putusan ini merujuk pada dakwaan alternatif yang diajukan JPU yaitu:l Pasal 4 Jo. Pasal 10 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang.l Pasal 102 Ayat 1 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.l Pasal 103 Ayat 1 huruf c UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan

dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

ANALISIS l Terdakwa adalah pemilik sampan yang memberangkatkan korban

dan beberapa lainnya ke Malaysia untuk dipekerjakan disana.l Terdakwa menjadi nakhoda selama perjalanan menuju ke Malaysial Terdakwa secara pasti mengetahui bahwa dokumen yang dimiliki

oleh korban belum cukup untuk bekerja di luar negeril Setibanya di Malaysia, Terdakwa menyerahkan korban kepada Adi

(Pelaku lainnya) yang selanjutnya menyerahkan korban kepada seorang laki-laki yang tidak dikenal oleh korban untuk kemudian bekerja melayani laki-laki untuk berhubungan badan.

KESIMPULAN l Dalam melakukan penyidikan, polisi telah menerapkan dua UU yang

Page 539: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

514

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

berkaitan yaitu UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO dan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Pengerahan Tenaga Kerja ke Luar Negri.

l Karena korban trafficking untuk tujuan luar negeri maka Jaksa selain menggunakan UU No. 21 Tahun 2007 juga menggunakan UU No 39 Tahun 2004 tentang PTKLN, walaupun UU No.9 Tahun 2004 tersebut tidak mengenal ketentuan ancaman minimal dan maksimal sebagaimana di anut UU No.21 Tahun 2007.

l Putusan pidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp.120 juta subsidair 1 bulan kurungan memang lebih rendah dari tuntutan jaksa, tetapi putusan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Balai telah sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2007.

-----------------------------------------------------

Kasus 4-----------------------------------------------------

Jaksa vs Syamsul Bahri Als Syamsul(PT Medan, 743/Pid/2008)

SEJARAH PROSEDURAL l Putusan di Pengadilan Tinggi Medan, Sumatera Utara, Indonesia. l Putusan dibacakan pada 12 November tahun 2008 dan inkraacht di

PT Medan.

PERNYATAAN FAKTAl Bulan Maret tahun 2007, AS (saksi korban) mendatangi Rosa

bermaksud hendak mencari pekerjaan di luar negeri.l Selanjutnya Rosa mengenalkan AS kepada Saksi Nurhayati br Sirait

alias Butet dan menjanjikan AS bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia.

l Tanggal 06 April tahun 2007, AS tinggal di rumah Butet selama 1 minggu kemudian Butet membawa AS ke rumah Terdakwa.

l Pada 13 April tahun 2007, Terdakwa sebagai pemilik sampan meng-angkut AS dan beberapa temannya ke Malaysia.

l Sesampainya di Malaysia, AS dijemput oleh Adi yang kemudian

Page 540: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

515

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

menyerahkan AS kepada seorang laki-laki yang tidak di kenalnya. AS dibawa ke sebuah rumah, di daerah Batu 8 Kapar dan AS dipekerjakan melayani seorang laki-laki untuk berhubungan badan. Namun AS tidak diberi uang. Selanjutnya korban harus bekerja melayani seksual tamu di tempat tersebut tanpa mendapatkan gaji dari majikannya di Malaysia.

l Tanggal 12 November 2007, ibu AS menjemput AS ke Malaysia, setelah membayar uang tebusan AS sebesar 3000 (tiga ribu ringgit Malaysia), dan empat hari kemudian ibu bersama AS kembali ke Tanjung Balai.

ISU Apakah sebagai seorang nakhoda kapal yang membawa korban ke Malaysia telah memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang?

ATURAN Aturan yang dipergunakan dalam putusan ini merujuk pada dakwaan alternatif yang diajukan JPU yaitu:l Pasal 4 Jo. Pasal 10 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang.l Pasal 102 Ayat 1 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.l Pasal 103 Ayat1 Huruf c UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan

dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

ANALISISl Terdakwa adalah pemilik sampan yang memberangkatkan korban

dan beberapa lainnya ke Malaysia untuk dipekerjakan di sana.l Terdakwa menjadi nakhoda selama perjalanan menuju ke Malaysial Terdakwa secara pasti mengetahui, berdasarkan dokumen yang

dimiliki oleh korban belum cukup untuk bekerja di luar negeri.l Setibanya di Malaysia, terdakwa menyerahkan korban kepada Adi

(pelaku lainnya) yang selanjutnya menyerahkan korban kepada seorang laki-laki yang tidak dikenal oleh korban untuk kemudian bekerja melayani laki-laki untuk berhubungan badan.

Page 541: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

516

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

KESIMPULAN l Yang mengajukan keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri

Tanjung Balai adalah Terdakwa. Jaksa tetap konsisten dengan Dakwaan dan Tuntutannya dengan Pasal 4 Jo. Pasal 10 UU No. 21 Thn 2007.

l Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, “Membantu Tindak Pidana Perdagangan Orang,” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 jo Pasal 10 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang.”

l Perkara banding merupakan lanjutan pemeriksaan yang hanya melibatkan Jaksa, Pengadilan dan Terdakwa, oleh karena itu peran kepolisian dianggap sama dengan perkara pada tingkat pertama.

l Majelis Hakim judex factie pada pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan Hakim dalam judex aquo, namun Majelis Hakim menjatuhkan hukuman batasan minimal 3 tahun sesuai UU No. 21 Tahun 2007, tetapi sangat jauh lebih rendah dari tuntutan Jaksa.

-----------------------------------------------------

Kasus 5-----------------------------------------------------

Perdagangan Anak untuk Pekerja Paksa (Perkebunan Karet)30

RWG adalah anak perempuan berusia dua belas tahun yang bekerja sebagai penderes karet di salah satu desa di Kabupaten Nias Barat. Saat ia berumur 10 tahun, orang tua RWG yang tinggal di Pekan Baru, Riau, menjualnya ke seorang laki-laki berinisial YH berusia 60 tahun, tinggal di Desa Lolofaoso, Kecamatan Lolofitu Moi, Kabupaten Nias Barat.

Menurut pengakuan RWG sendiri, dirinya dijual di Sibolga dan kemudian dibawa langsung ke desa tersebut. Sejak tinggal di rumah YH, ia kerap kali mendapat siksaan walau sudah mengerjakan pekerjaan yang diberikan seperti angkat air, deres karet dan pekerjaan lainnya. Bahkan untuk makan dan minum sehari-hari, RWG harus mendapatkan siksaan terlebih dahulu. Kisah hidup RWG semakin menyedihkan karena selama

30 Kasus yang masih ditangani oleh PKPA Nias, http://www.pkpa-indonesia.org/index.php?option=com_content&view= article&id=296:anak-dibawah-umur-dijual-disiksa-dan-diperkosa&catid=66:umum, diakses pada tanggal 30 Agustus 2013.

Page 542: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

517

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tinggal di rumah YH, dirinya pernah diperkosa di hadapan para istri dan anak anak YH, setelah itu langsung disuruh kerja menderes karet.

Pernah terpikir oleh RWG untuk lari, namun ia tidak tahu mau ke mana. Oleh karena tidak tahan terus-menerus mendapat perlakuan buruk dari YH dan keluarganya. RWG akhirnya memutuskan untuk kabur dari rumah tersebut. Ia harus menempuh sejauh kurang lebih lima kilometer ke Kantor Polsek Lolofitu Moi dan pihak Polsek langsung mengantar ke Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di Gunungsitoli dan tinggal di drop-in-center PKPA di Gunung Sitoli.

-----------------------------------------------------

Kasus 6-----------------------------------------------------

Perdagangan Anak untuk Tujuan Adopsi

Riris (bukan nama sebenarnya), seorang perempuan berusia 22 tahun yang telah menikah dan akan memiliki anak kedua kurang dari 1 bulan. Namun, Riris menghadapi masa yang sulit karena saat akan menjalani persalinan. Ia juga sedang melalui proses cerai dari suami dikarenakan sering mengalami kekerasan rumah tangga dari suaminya. Berdasarkan informasi dari Riris, saat itu ia dan suaminya telah bersepakat bercerai, jika anak pertama diserahkan Riris untuk diasuh oleh keluarga suami, sedangkan Riris akan mengasuh anak yang dalam kandungan, jika lahir kelak.

Saat persalinan pun tiba, kondisi keuangan Riris jauh dari cukup. Akhirnya ia memutuskan untuk menerima tawaran seorang tetangga yang menyatakan salah seorang saudaranya yang belum memiliki keturunan bersedia merawat anak yang akan dilahirkan Riris. Adapun pertimbangan Riris adalah ia berharap anaknya akan mendapatkan perawatan yang lebih baik dibandingkan jika harus ia rawat sendiri. Untuk itu Riris akan menerima uang sebesar Rp 5 juta. Sebanyak Rp 600 ribu akan diberikan kepada bidan sebagai biaya persalinan, sedangkan sisanya untuk biaya pemulihan kesehatan dan modal usaha bagi Riris.

-----------------------------------------------------

Page 543: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

518

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

Perlindungan dan jaminan atas keadilan bagi korban perdagangan manusia khususnya anak masih terus membutuhkan para ahli dan penegak hukum yang tidak hanya memiliki pengetahuan tentang konsep dan hukum tentang perdagangan anak, namun juga kemampuan menerapkan peraturan perundangan yang berpihak pada korban. Maksud berpihak pada korban adalah memenuhi kebutuhan khusus yang dimiliki oleh anak dan perempuan, yang selama ini sulit mendapatkan keadilan seperti yang terlihat pada kasus-kasus yang disebutkan dalam uraian bab ini, khususnya hak restitusi.

Pemenuhan hak restitusi ini pun seharusnya tidak berhenti hanya pada termuatnya, dalam putusan yang dapat digantikan dengan tambahan masa hukuman. Namun seyogianya, sudah harus menjadi milik korban sebagai bagian dari terpenuhinya rasa keadilan.

11.8 Kesimpulan

Page 544: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

519

BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Daftar Pustaka Bab 11

Adji, Indrianto Seno. (2002) Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan.

Ali, Mahrus dkk. (2011) Perdagangan Orang, Dimensi, Instrumen Internasional dan Pengaturannya di Indonesia. Cetakan pertama. Bandung: Citra Aditya Bakti.

American Center for International Labor Solidarity. (2004) Kompilasi Program dan Layanan untuk Menyikapi Perdagangan Manusia di Enam Provinsi, Yogyakarta: ICMC.

Baldwin, Margaret A. (1996) “Split at the Root: Prostitution and Feminist D discourses of Law Reform”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Brown, Louise. (2005) Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati. (2006) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati dan Nurtjahyo. (2006) Perempuan di Persidangan - Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hidayana, Irwan. (2004) “Migrasi Lintas Batas dan Seksualitas di Asia Tenggara”. Jurnal Perempuan. Edisi 36, Juli 2004.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2002) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Trafficking Perempuan dan Anak. Draf 4.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2011) “Hasil Pemaparan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak”. Paparan Program Prioritas Kesra. Jakarta: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan. (2002) Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan.

Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Save the Children. (2004) Mengenal Lebih Dekat UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Indonesia Legal Center for Publishing for Law and Justice Reform.

Page 545: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

520

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 1 PERDAGANGAN ANAK

Matsui, Yayori (1999) Women in the New Asia. London: Zed Book.

O’Connell, Davidson dan Jacquline Sanchez Taylor. (1994) Child Prostitution and Sex Tourism in Thailand. ECPAT.

Sapardjaja, Komariah Emong. (2002) Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Bandung: Alumni.

UNICEF. (1998) Implementation Handbook for the Convention on the Right of the Child. New York.

Walkowitz. Judith R. (1996) “Male Vice and Female Virtue: Feminism and the Politics of Prostitution in Nineteenth-Century Britain”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

http://www.unicef.org/globalspanner/counterhumantrafficking/index.html, diakses pada tanggal 21 Februari 2012.

http://kuhpreform.files.wordpress.com/2008/09/perdagangan-manusia-dalam-ruu-kuhp-5.pdf, diakses pada tanggal 20 Februari 2012.

http://baltyra.com/2011/03/01/human-trafficking-di-indonesia/, diakses pada tanggal 12 Maret 2012.

http://www.gemari.or.id/file/edisi143/gemari14324.pdf, Euis Indrayani dkk, Dampak Pendidikan Bagi Usia Pernikahan Dini dan dan Kemiskinan Keluarga, GEMARI, edisi 143, Desember 2012, diakses pada tanggal 30 Agustus 2013.

http://hukum.kompasiana.com/2011/04/19/catatan-penanganan-kasus-perdagangan-anak-untuk-tujuan-pelacuran/, diakses pada tanggal 27 Agustus 2013.

http://www.pkpaindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article& id=296:anak- - dibawah umur-dijual-disiksa-dan-diperkosa&catid=66: umum, Anak di bawah Umur Dijual, Disiksa dan Diperkosa, diakses pada tanggal 30 Agustus 2013.

http://www.idlo.int/DOCNews/Human_trafficking_ind.pdf, diakses pada tanggal 1 Oktober 2013.

http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=95:anak-anak-dan-turisme-&catid=89:artikel&Itemid=121, diakses pada tanggal 1 November 2013.

Page 546: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR

FORMALAgusmidah

Page 547: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

522

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

The labour of women and children was, therefore, the first thing sought by capitalist who used machinery

(Karl Marx, Das Kapital, 1867)

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan berbagai peraturan yang menjadi landasan perlindungan perempuan pekerja di sektor formal di Indonesia. Tidak hanya melakukan analisis terhadap serangkaian peraturan tersebut, penulis juga memaparkan bagaimana pelaksanaan dari peraturan tersebut. Penulis mengungkapkan bahwa perempuan pekerja sektor formal, meskipun sudah dilindungi oleh peraturan ketenagakerjaan dan ratifikasi CEDAW, ternyata masih belum bebas dari permasalahan diskriminasi gender. Berbagai permasalahan yang muncul seputar pembedaan perlakuan berbasis gender mencakup masalah pengupahan yang berbeda untuk beban pekerjaan yang sama antara laki-laki dan perempuan, minimnya kesempatan perempuan untuk mendapat promosi jabatan terutama untuk sampai kepada tingkat pengambil keputusan, sampai kepada tidak dilindunginya hak reproduksi perempuan pekerja. Kondisi perempuan Indonesia yang mengalami pembedaan perlakuan tersebut seyogianya tidak lagi terjadi terhadap pekerja perempuan Indonesia karena hak-hak mereka sebetulnya telah diatur perlindungannya di dalam berbagai produk hukum Negara.

Bagian pengantar dari tulisan ini menguraikan secara ringkas keberadaan perempuan dalam ruang publik (kerja) yang semakin meningkat kuantitas dan intensitasnya, dengan didukung oleh data statistik dan hasil penelitian yang relevan. Bagian berikutnya menjelaskan peraturan-peraturan yang terkait dengan pekerja/buruh perempuan, baik bersumber dari konvensi internasional maupun peraturan nasional yang menggambarkan kebijakan negara/pemerintah dalam

12.1. Pengantar

BAB 12

Buruh Perempuan di Sektor Formal

Page 548: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

523

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

memandang keberadaan perempuan sebagai subjek hukum yang perlu diberi jaminan perlindungan di tempat kerja.

Bagian kedua dari tulisan ini menyajikan ilustrasi berupa kasus-kasus yang menunjukkan adanya kesenjangan antara maksud dan tujuan peraturan perlindungan terhadap perempuan bekerja dengan kenyataan yang dihadapinya secara langsung. Selain memasukkan kasus, penulis juga memperkaya tulisan ini dengan merujuk pada hasil penelitian terkait isu keadilan gender dalam pekerjaan dan di tempat kerja.

Pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan dalam banyak catatan sejarah di mana pun memiliki kesamaan. Kesamaan itu adalah perempuan ditempatkan pada sektor sekunder, tidak memiliki otonomi, lingkup kerjanya bersifat domestik/privat. Akibatnya timbul perlakuan yang tidak adil dan bias gender terhadap perempuan, dalam banyak bidang termasuk bidang ketenagakerjaan.1

Dewasa ini keterlibatan perempuan dalam dunia kerja dilandasi oleh beragam faktor. Antara lain untuk membantu memenuhi perekonomian rumah tangga dan memperbaiki tingkat kesejahteraannya, juga untuk sarana aktualisasi diri. Keterlibatan perempuan dalam ketenagakerjaan tidak hanya terkait pada tataran kesejahteraan ekonomi kaum perempuan, namun juga terkait dengan soal pemberdayaan perempuan.2

Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja dapat dilihat dalam survei statistik Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) bagi perempuan. TPAK merupakan proporsi penduduk yang termasuk angkatan kerja, yakni mereka yang bekerja dan menganggur terhadap penduduk usia kerja (15 tahun ke atas). Secara nasional, pada tahun 2010, TPAK perempuan (51,76 persen) lebih rendah bila dibandingkan TPAK laki-laki (83,76 persen). Fenomena ini terjadi karena pada umumnya perempuan menyandang peran ganda. Perempuan, dalam melaksanakan peran gandanya, selain aktif dalam kegiatan perekonomian, mereka juga masih memiliki beban kerja pada sektor domestik berupa tanggung jawab pengasuhan anak-anak mereka dan pekerjaan rumah tangga lainnya.3

Peningkatan angka keterlibatan perempuan dalam dunia kerja sektor formal dari tahun 2009-2011 terekam pula oleh BPS. Data dari BPS sebagaimana

1 LBH APIK dan Ford Foundation, Perisai Perempuan. Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, Alex Irwan (Penterjemah), Moh. Farid (ed), (Yayasan Galang, Yogjakarta, 1999) hal. 6-7.

2 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Profil Perempuan Indonesia, (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Jakarta, 2011). hal. 69, dapat juga diakses dalam httpwww.menegpp.go.id.profilperempuanindonesia

3 Ibid., hal. 70

Page 549: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

524

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini, memperlihatkan keterlibatan perempuan dalam dunia kerja semakin meningkat dari tahun ke tahun.4

Tabel Persentase Penduduk Berumur 15 tahun ke atas menurut Jenis Kegiatan Seminggu Yang Lalu, 2009-2011

PENDUDUK USIA KERJA

Angkatan Kerja

Bukan Angkatan Kerja

Perempuan Laki-lakiKEGIATAN

SEMINGGU YANG LALU

Bekerja

Pengangguran

Sekolah

Mengurus RumahTangga

Lainnya

2009 2010 2011 2009 2010 2011

J E N I S K E L A M I N

46,68

4,32

7,94

37,35

3,71

47,24

4,52

8,02

36,43

3,78

48,44

3,99

7,54

36,32

3,71

77,37

6,28

8,37

1,83

6,15

78,61

5,15

8,26

1,81

6,17

79,32

4,97

7,72

1,91

6,07

Sumber: BPS RI Tahun 2009

Tabel yang dipublikasi oleh lembaga BPS RI di atas, menggambarkan persentase perempuan yang bekerja di sektor formal, pengangguran, mengurus rumah tangga (sektor domestik) dan perempuan yang masih bersekolah. Angka persentase perempuan bekerja pada sektor formal dalam tabel tersebut naik dari tahun ke tahun. Perhatikan bahwa pada tahun 2009, perempuan yang bekerja jumlahnya 46,68%, tahun 2010 47,24% dan tahun 2011 naik menjadi 48,44%. Artinya, angkatan kerja berjenis kelamin perempuan dari tahun ke tahun naik jumlahnya, terutama yang berkecimpung di sektor formal.

Seiring dengan pertumbuhan industrialisasi yang memang mengalami dinamika di Indonesia, khususnya dilihat dari jumlah pertumbuhan perusahaan industri, maka keterlibatan perempuan bekerja di sektor formal semakin besar. Peluang perempuan di sektor formal tersebut bahkan terus bertumbuh semakin besar karena penggunaan teknologi dalam produksi barang dan jasa, diimbangi oleh jumlah lulusan tingkat pendidikan tinggi yang saat ini juga makin banyak diisi oleh perempuan. Meningkatnya perempuan dalam lapangan pekerjaan formal juga dipicu oleh upaya keluar dari jerat kemiskinan.5

4 BPS-RI, Sakernas Agustus 2009, Sakernas Agustus 2010, dan Sakernas Agustus 2011.5 Women Research Institute, Kehadiran Perempuan di Pabrik: Kilas Balik Sejarah dalam http://wri.or.id/penelitian

politikdanperempuan/KehadiranPerempuandiPabrik (Akses tanggal 11 Oktober 2012). Berdasarkan beberapa studi kasus yang dikerjakan tim Women Research Institute, peluang kaum perempuan desa yang telah mengenyam pendidikan tingkat SLTP atau bahkan SLTA untuk keluar dari desa makin terbuka lebar. Artinya, sebagian besar warga desa, khususnya kaum perempuan mengalami perubahan status cukup drastis dari semula sebagai penggarap tanah, buruh tani, atau pemilik warung kecil-kecilan menjadi kelas pekerja yang bekerja di beberapa kawasan industri di wilayah perkotaan.

Page 550: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

525

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Akan tetapi, pertumbuhan angka jumlah perempuan yang terjun ke pekerjaan sektor formal ternyata masih belum diimbangi dengan peningkatan/perbaikan kondisi perempuan di tempat kerja. Tenaga kerja perempuan masih belum bebas dari permasalahan diskriminasi, marginalisasi, pengabaian dan lain hal yang disebabkan oleh konstruksi gender yang dilekatkan masyarakat berkenaan dengan jenis kelamin perempuan. Masih ditemukan sejumlah kasus adanya perbedaan pendapatan/penghasilan yang diterima pekerja/buruh perempuan. Perbedaan jumlah penghasilan tersebut disebabkan perempuan tidak dianggap sebagai pencari nafkah utama, yang menanggung seluruh/sebagian besar kebutuhan keluarga (suami dan anak). Perempuan, sebagai tenaga kerja masih dianggap sebagai pencari kerja tambahan.

Perempuan yang mengalami pembedaan penghasilan ini lebih memilih untuk menerima keadaan dan dapat terus bekerja daripada harus ‘meributkannya’ dan harus kehilangan pekerjaan.6 Sikap tersebut ditemukan dalam penelitian Tjandraningsih dkk dalam penelitian mereka tahun 1999-2001. Tenaga kerja perempuan cenderung bersikap pasif dalam menyikapi kebijakan pihak perusahaan.

Bentuk lain dari diskriminasi di tempat kerja adalah dalam hal pemberian promosi untuk menduduki jabatan tertentu bagi perempuan. Masih banyak kasus yang dialami perempuan, dirinya tidak diprioritaskan untuk jabatan-jabatan yang strategis, misalnya supervisor (pengawas), mandor, dan lainnya. Hal tersebut disebabkan adanya pemahaman bahwa laki-laki lebih tepat untuk jabatan tersebut dibanding perempuan akibat adanya label yang dilekatkan masyarakat kepada perempuan. Adapun label tesebut antara lain: perempuan adalah kaum yang mengutamakan perasaan dibanding rasio, lebih lemah (fisik) dibanding laki-laki, laki-laki (dianggap bersifat) mengayomi, sedang perempuan diayomi dan seterusnya, yang kesemuanya itu lahir sebagai konstruksi sosial budaya atas kaum perempuan.

6 Indrasari Tjandraningsih dan Tim, “Krisis dan Buruh Pabrik: Dampak dan Masalah Jender” The Crisis and Factory Workers: Some Gender Issues, Jurnal AKATIGA, No. 06 / June-July 1999, dapat dilihat juga dalam www.smeru.or.id, “Ringkasan Eksekutif Laporan Penelitian, Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah,” Oktober 2001.

Dalam studi yang dilakukan ini ditemukan beberapa aspek penting terkait dengan buruh perempuan. Pertama, buruh perempuan cenderung pasif dalam menerima keputusan perusahaan berkaitan dengan rasionalisasi. Kedua, perusahaan cenderung merekrut buruh perempuan muda belia untuk mengganti buruh yang sudah tua dan buruh laki-laki. Ketiga, salah satu konsekuensi adanya kecenderungan memilih buruh perempuan muda adalah menyempitnya kesempatan kerja bagi perempuan berkeluarga di sektor formal. Keempat, perubahan status hubungan kerja dari hubungan kerja formal menjadi hubungan kerja yang lebih informal terdapat dalam dua bentuk: kasualisasi dan memindahkan pekerjaan dari pabrik ke rumah buruh. Kelima, meskipun perusahaan yang mengalami dampak positif akibat krisis ataupun perusahaan yang mampu bertahan telah memberikan peningkatan upah rata-rata 16 persen sesuai dengan ketetapan kenaikan UMR, kesenjangan antara penghasilan dan pengeluaran masih saja besar. Keenam, perempuan dan laki-laki memiliki respon yang berbeda terhadap PHK yang mereka alami.

Page 551: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

526

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

Masih banyak lagi bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami pekerja perempuan. Segala bentuk pengabaian hak pekerja perempuan seyogianya tidak perlu lagi terjadi karena Indonesia telah memiliki berbagai aturan yang menjadi landasan perlindungan hukum hak pekerja, secara umum maupun secara khusus (untuk perempuan). Persoalan perlindungan atas hak pekerja perempuan menjadi sangat penting dan relevan untuk dibicarakan dan diperjuangkan. Apalagi, seiring emansipasi yang terus didengungkan, jumlah pekerja perempuan semakin meningkat dalam berbagai perusahaan.7 Peningkatan jumlah pekerja perempuan, hendaknya juga diikuti dengan peningkatan perlindungan hukum bagi pekerja perempuan. Pada bagian berikutnya dari tulisan ini, dipaparkan beberapa peraturan yang menjadi landasan hukum bagi perlindungan hak perempuan pekerja.

Pengakuan prinsip-prinsip kesetaraan kesempatan untuk laki-laki dan perempuan dalam memperoleh hak untuk hidup tanpa rasa takut dari kekejaman dan pelecehan diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2. Bunyi ketentuan ini adalah “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Kemudian Pasal 28 Ayat 2 yang berbunyi “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Sejalan dengan itu, pekerjaan yang layak dalam decent work for all didasarkan pada empat pilar, yaitu dengan mengutamakan prinsip-prinsip dan hak mendasar di tempat kerja (bebas dari kerja paksa, adanya kebebasan berserikat, nondiskriminasi dan bebas dari pekerja anak), memberikan perlindungan sosial terhadap risiko-risiko yang timbul dalam melaksanakan tugas, dengan tanpa mengurangi kesempatan bekerja serta memberikan kesempatan untuk adanya dialog sosial.8

Peraturan terkait perlindungan hak pekerja/buruh perempuan ada dalam sejumlah konvensi internasional dan peraturan nasional negara Indonesia. Peraturannya dapat dilihat berikut ini:

7 Suara Merdeka Online, Sudahkah Hak Pekerja Wanita Diperhatikan Perusahaan? 17 Juli 2012 (akses tanggal 21 Agustus 2012).8 ILO dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja, (ILO,

Jakarta, 2011), hal. 4.

12.2 Peraturan Terkait Perindungan Hak Pekerja/Buruh Perempuan

Page 552: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

527

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

KONVENSI INTERNASIONAL

- Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1984 (CEDAW); tentang Revisi Terhadap Konvensi tentang Perlindungan Maternitas (Revisi), 1952

- ILO Convention No. 100 Konvensi Kesetaraan Upah, 1951

- ILO Convention No. 111 Tahun 1958 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.

- ILO Convention No. 19 ratifikasi Tahun 1950 Konvensi tentang Kesetaraan Perlakuan (Konpensasi Kecelakaan)

- ILO Convention No. 29 Ratifikasi Tahun 1950 Konvensi tentang Kerja Paksa

- ILO Convention No. 45 Ratifikasi Tahun 1950 Konvensi tentang Kerja Bawah Tanah (bagi Perempuan)

- ILO Convention No. 81 Ratifikasi Tahun 2004 Konvensi tentang Pengawasan Perburuhan.

- ILO Convention No. 87 Ratifikasi Tahun 1998 Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi.

- ILO Convention No. 88 Ratifikasi Tahun 2002 Konvensi tentang Pelayanan Ketenagakerjaan.

- ILO Convention No. 98 Ratifikasi Tahun 1957 Konvensi tentang Hak Berorganisasi dan Perjanjian Kerja Bersama.

- ILO Convention No. 105 Ratifikasi Tahun 1999 Konvensi tentang Penghapusan Kerja Paksa.

- ILO Convention No. 106 Ratifikasi Tahun 1972 Konvensi tentang Istirahat Akhir Pekan (Komersial dan Perkantoran).

- ILO Convention No. 138 Ratifikasi Tahun 1999 Konvensi tentang Upah Minimum.

- ILO Convention No. 144 Ratifikasi Tahun 1990 Konvensi tentang Konsultasi Tripartit (Standar Perburuhan Internasional).

PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL

- UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).

- UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 111.

- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia/ Human Rights Act of 1999 (Law No.39 of 1999).

- Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.SE/60/MEN/SJHK/2006, 10 Februari 2006 tentang Panduan Kesempatan dan Perlakuan yang Sama dalam Pekerjaan/ Ministry of Manpower and Transmigration Circular Letter No.SE/60/MEN/SJHK/2006, on the 10th February 2006.

- Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I Nomor: PER- 03/MEN/1989 tentang Larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Bagi Pekerja Wanita karena Menikah, Hamil, atau Melahirkan/ Manpower Ministerial Decree No. PER-03/MEN/1989 on Prohibition of the Termination of Female Workers because of Marriage, Pregnancy, or Giving Birth.

- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif / Government Regulation No 33 of 2012 on Exclusive Breastfeeding Program

- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah/ Government Regulation No.8 of 1981 on Wage Protection Article.

- Undang-Undang No. 80 Tahun 1957 tentang Pengupahan Bagi Laki-Laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya/ Law No. 80 of 1957 to ratify ILO Convention no 100.

- Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

- Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja/ Ministerial Circular Letter No. SE.03/MEN/IV/2011(15th April 2011, issued by the Ministry of Manpower and Transmigration

- Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh / Law No. 21 of 2000 on Trade Union

Page 553: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

528

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

12.2.1 Konvensi International Labour Organization (ILO) Salah satu cara utama ILO meningkatkan kondisi kerja dan

kehidupan di seluruh dunia adalah dengan menetapkan standarisasi. Standar ILO adalah kumpulan konvensi dan rekomendasi yang diadopsi oleh Konferensi Perburuhan Internasional. Saat ini telah ada 185 konvensi dan 195 rekomendasi yang diadopsi. Jumlah keseluruhan ratifikasi konvensi yang telah dilakukan oleh negara-negara anggota ILO sebanyak 7.246 (tujuh ribu dua ratus empat puluh enam). Setiap konvensi merupakan instrumen sah yang mengatur aspek-aspek administrasi perburuhan, kesejahteraan sosial atau hak asasi manusia.

Bagi negara anggota yang meratifikasi konvensi mengemban dua tugas sekaligus. Pertama, tugas untuk berkomitmen menerapkan aturan-aturan konvensi. Kedua, tugas untuk menerima ukuran-ukuran menurut standar dalam konvensi dan menerapkannya di bawah pengawasan secara internasional. Rekomendasi Perburuhan Internasional tidak selalu harus diratifikasi, tetapi panduan-panduan turunan yang bersifat umum atau teknis diterapkan di tingkat nasional. Rekomendasi tersebut seringkali berisikan panduan yang terinci untuk memperjelas prinsip-prinsip yang telah ada dalam konvensi, atau rekomendasi tersebut memberikan panduan tentang sesuatu yang tidak tercakup dalam konvensi.

Baik konvensi maupun rekomendasi menetapkan standar, memberikan suatu model, dan menstimulus terbentuknya peraturan perundangan pada tingkat nasional dan praktek-prakteknya di negara-negara anggota. Standar ILO mencakup permasalahan perburuhan dan sosial secara luas. Termasuk di dalamnya isu-isu tentang hak asasi yang mendasar seperti kebebasan berserikat, penghapusan kerja paksa, pekerja anak dan penghapusan diskriminasi di dunia kerja.

Sebagian besar konvensi dan rekomendasi menerapkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. Akan tetapi beberapa konvensi secara khusus memberi perhatian pada masalah yang dialami oleh pekerja perempuan. Standar ILO menjadi katalisator bagi tata ekonomi yang baru dan norma-norma hukum yang berdampak kepada pekerja perempuan sebagai berikut:

l kesetaraan upah,l diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan,l perlindungan kehamilan,

Page 554: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

529

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

l pekerja dengan tanggung jawab keluarga,l aturan-aturan tertentu terkait dengan kerja malam, bawah

tanah dan paruh waktu serta isu-isu kesehatan lainnya.

Pada prinsipnya standar-standar internasional yang diadopsi oleh ILO bertujuan melindungi perempuan dari kondisi berat yang diakibatkan oleh pekerjaan dan untuk melindungi fungsi reproduksi. Kesadaran bahwa perempuan membutuhkan perlindungan dari kerugian yang timbul atas dasar pembedaan jenis kelamin adalah hasil adopsi dari perangkat aturan internasional yang memberi perhatian khusus dengan cara menghapus diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sepanjang tahun 1950-an. Sejak pertengahan tahun 1960-an, perhatian dunia internasional ditujukan untuk mempromosikan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan melalui adopsi atas praktek-praktek yang memungkinkan perempuan mencapai potensi penuh dalam pembangunan sosial dan ekonomi.

Standar-standar yang ditetapkan di dalam perangkat aturan internasional tersebut bertujuan mengharmoniskan antara pekerjaan dan tanggung jawab keluarga, dengan mengakui adanya tanggung jawab bersama antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Standar internasional ILO yang mengadopsi beberapa prinsip dalam aturan internasional mencakup penerapan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang dilandasi oleh kesadaran bahwa keadilan hanya dapat tercapai melalui peningkatan akses, baik laki-laki, maupun perempuan terhadap keadilan, perlindungan terhadap harga diri masing-masing individu dan penghargaan terhadap semua aspek kehidupan.

Terlebih lagi untuk menjadi perangkat hukum, standar perburuhan internasional perlu dilihat sebagai alat pendukung untuk menjaga hak-hak perempuan atas kesetaraan kesempatan dan perlakuan dalam pekerjaan dan kehidupan sosial. Pemerintah, organisasi pengusaha dan pekerja dan organisasi kemasyarakatan lainnya melalui penerapan standar perburuhan internasional, didorong untuk memastikan meningkatnya keterlibatan perempuan dalam perencanaan pembangunan nasional dan program-program. Tujuannya supaya prinsip-prinsip yang ada di dalam standar-standar ILO dapat diimplementasikan lebih lanjut.

Page 555: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

530

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

Standar-standar Perburuhan ILO yang Relevan dengan Kesetaraan Kesempatan dan Perlakuan

Kerangka kerja standar ILO di bidang ini didasarkan pada dua perhatian utama:

l menjamin kesetaraan kesempatan dan perlakuan dalam meng-akses pelatihan, pekerjaan, promosi jabatan, ke organisasi an dan pengambilan keputusan, demikian juga kepastian kondisi yang setara dalam upah, tunjangan, jaminan sosial dan pelayanan kesejahteraan,

l melindungi pekerja perempuan, khususnya terkait dengan syarat-syarat dan kondisi kerja, kesehatan dan keselamatan kerja dan kehamilan.

Empat Konvensi utama ILO yang melarang diskriminasi ber-dasarkan jenis kelamin dan promosi kesetaraan adalah Konvensi Upah yang Setara, 1951 (No.100), Konvensi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958 (No.111), Konvensi Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga, 1981 (No.156) dan Konvensi Perlindungan Kehamilan, 2000 (No.183). Dua konvensi yang pertama merupakan konvensi dasar.

Konvensi Upah yang Setara No. 100 Tahun 1951Upah yang setara untuk jenis pekerjaan yang memiliki nilai yang

setara berarti penerapan suatu standar upah yang baku tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Artinya, pihak yang mempekerjakan, baik pekerja laki-laki, maupun perempuan dalam memberikan upah sebagai imbalan dan honorarium, baik dalam bentuk tunai, maupun natura harus melakukan penilaian terhadap pekerjaan secara objektif berdasarkan isi dari pekerjaan tersebut. Penilaian yang objektif itu, yang kemudian menjadi dasar dari besaran upah yang diberikan kepada pekerja.

Rekomendasi Upah yang Setara, 1951 (No. 90) merekomendasi pemerintah untuk memastikan pengusaha dan pekerja memperoleh informasi tentang persyaratan hukumnya. Prinsip upah yang setara dapat diterapkan dengan memadai melalui cara-cara berikut:

l penetapan metode analisis terhadap pekerjaan yang dilakukan secara memadai,

l pemberian fasilitas panduan magang, pelatihan dan penempatan untuk meningkatkan efisiensi perempuan yang setara bagi ke

Page 556: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

531

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dua jenis kelamin,l pemberian pelayanan sosial dan kesejahteraan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan perempuan,l promosi kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam mengakses

pekerjaan,l promosi pemahaman publik tentang prinsip-prinsip kesetaraan

dan penelitian serta studi-studi lapangan.

Konvensi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) No. 111 Tahun 1958 Konvensi No. 111 atau ILO Convention No. 111 Concerning

Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan) ditetapkan pada tanggal 25 Juni 1958. Konvensi ini disahkan setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional dan setelah mengadakan sidangnya yang keempat puluh dua pada tanggal 4 Juni 1958.

Boks 1 Pengertian Diskriminasi

l Istilah ‘diskriminasi’ meliputi: 9

(a) setiap pembedaan, pengecualian atau pilihan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal usul dalam masyarakat, yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan,

(b) setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan lain yang meng akibatkan hilangnya atau berkurangnya kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan sebagaimana yang ditentukan oleh anggota terkait setelah berkonsultasi dengan organisasi yang mewakili pengusaha dan pekerja, bila ada, dan dengan badan-badan terkait lainnya.

l Perbedaan, pengecualian atau pilihan dalam hal pekerjaan ter-tentu yang didasarkan pada persyaratan khusus untuk pekerjaan tersebut, tidak akan dianggap sebagai diskriminasi. 10

9 Pasal 1 Ayat 1 K111.10 Pasal 1 Ayat 2 K111.

Page 557: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

532

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

Dalam Boks 1 di atas, definisi diskriminasi berdasarkan Pasal 1 dari R 111 menyebutkan bahwa lingkupnya adalah pembedaan, pengecualian atau pilihan yang didasarkan antara lain dengan didasarkan pada jenis kelamin. Jelas bahwa butir a tersebut melarang terjadinya diskriminasi di tempat kerja yang didasarkan pada pembedaan atas laki-laki maupun perempuan. Sayang sekali, pada bagian berikut dari Pasal 1 ini dinyatakan bahwa perbedaan, pengecualian atau pilihan atas pekerjaan tersebut yang didasarkan pada persyaratan khusus untuk pekerjaan itu bukanlah diskriminasi. Dengan demikian, butir a dapat digugurkan oleh pernyataan terakhir dari Pasal 1 tersebut. Dapat terjadi suatu perusahaan mengajukan argumentasi bahwa perempuan tidak dapat melakukan suatu pekerjaan di dalam perusahaan tersebut karena syarat khusus untuk pekerjaan itu – dengan mendasarkan dalihnya pada bagian terakhir dari pasal ini.

ILO juga telah mengeluarkan rekomendasi diskriminasi pekerjaan dan jabatan No. 111 (R-111) Tahun 1958. Perlu diketahui bahwa ILO dalam menjalankan tugas dan fungsinya menetapkan standar-standar internasional yang berbentuk konvensi dan rekomendasi di bidang ketenagakerjaan. Perlu dijelaskan secara singkat di sini bahwa Konvensi ILO merupakan perjanjian-perjanjian internasional yang keberlakuannya tunduk pada ratifikasi yang dilakukan oleh negara-negara anggota. Setelah ratifikasi dilakukan terhadap suatu konvensi, maka negara yang melakukan ratifikasi memiliki kewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip dalam konvensi tersebut. Di sisi lain, rekomendasi tidak bersifat mengikat dan seringkali membahas masalah yang sama dengan Konvensi yang juga memberikan pola pedoman bagi kebijakan dan tindakan nasional.

Diskriminasi Menurut Rekomendasi ILO-111 Tahun 1958

Istilah diskriminasi menurut Rekomendasi ILO R-111 Rekomendasi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958 mencakup: 11

11 ILO, R111: Rekomendasi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), Tahun 1958.

Page 558: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

533

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

(a) setiap pembedaan, pengecualian atau preferensi yang dibuat berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pendapat politik, asal kebangsaan atau asal sosial, yang memiliki dampak meniadakan atau merusak kesetaraan kesempatan atau perlakuan di dalam pekerjaan atau jabatan;

(b) pembedaan, pengecualian atau preferensi lain semacam itu yang memiliki dampak meniadakan atau merusak kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan sebagaimana ditentukan oleh Anggota terkait setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang representatif, bila ada, dan dengan badan-badan lain yang sesuai.

Rekomendasi 111 ini memberi batasan yang tidak termasuk diskri-minasi yaitu jika pembedaan, pengecualian atau preferensi dalam hal pekerjaan tertentu yang didasarkan pada persyaratan yang melekat padanya.

Pemerintah RI telah mengesahkan konvensi ini melalui UU No. 21 Tahun 1999 pada tanggal 7 Mei 1999 di masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Undang-undang yang meratifikasi konvensi ini tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 57 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3836. Pasal 2 Konvensi ini menetapkan bahwa negara yang meratifikasi konvensi ini perlu berupaya untuk menetapkan dan mencari suatu kebijakan nasional untuk mempromosikan tujuan konvensi, kesetaraan kesempatan dan perlakuan dalam hal pekerjaan dan jabatan, dengan tujuan untuk menghapus diskriminasi apa pun di bidang tersebut melalui cara yang sesuai dengan keadaan dan kebiasaan nasional.

Kesetaraan peluang dan perlakuan dalam hal pekerjaan merupakan bagian terpadu dari Agenda Pekerjaan Layak ILO yang mempromosikan peluang bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang bebas, setara, aman dan bermartabat. Bahkan penghapusan diskriminasi adalah salah satu aturan dasar dalam mencapai keadilan bagi pekerja.

Page 559: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

534

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan diadopsi oleh negara anggota ILO tahun 1958 dan tetap menjadi instrumen internasional yang paling komprehensif yang dimaksudkan untuk mempromosikan kesetaraan peluang dan perlakuan dalam dunia kerja.12 Tujuan Konvensi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) 1958 (No. 111) adalah melindungi semua orang dari diskriminasi di tempat kerja. Konvensi ini melindungi tidak hanya orang-orang yang telah mendapat pekerjaan atau menjalankan jabatan, tetapi juga mereka yang segera mulai bekerja, mencari kerja, atau berisiko kehilangan pekerjaan. Konvensi ini mencakup semua pekerjaan dan jabatan dalam sektor publik maupun swasta dan berlaku pada usaha kecil dan pekerjaan informal. Di kawasan Asia Timur dan Tenggara, pemerintah Kamboja (1999), Cina (2006), Indonesia (1999), Republik Korea (1998), Mongolia (1969), Laos (2008), Filipina (1960) dan Vietnam (1997) telah meratifikasi konvensi ini. Mereka menyatakan komitmen untuk menegakkan hak asasi pekerja dan secara progresif memasukkan prinsip-prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi ke dalam bidang ketenagakerjaan dan undang-undang serta peraturan lainnya.13

Perlu dipahami penghapusan diskriminasi tidak mewajibkan pemberi kerja untuk memperlakukan semua orang secara identik. Akan tetapi konsep penghapusan diskriminasi memastikan perlakuan yang berbeda hanya mencerminkan perbedaan objektif yang relevan terhadap pekerjaan, misalnya pembedaan karena aspek beban dan masa kerja. Penghapusan diskriminasi mencegah pembedaan perlakuan di bidang kerja yang didasarkan pada faktor-faktor yang tak relevan, misalnya berdasarkan jenis kelamin, gender, ras, kelompok etnis dan lain-lain.14

Salah satu contoh pembedaan perlakuan di bidang kerja yang didasarkan pada faktor-faktor yang tidak relevan, misalnya pembedaan berdasarkan jenis kelamin dan gender, dalam promosi untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Perempuan sering dipandang tidak tepat menduduki tempat kerja tertentu karena alasan yang melekat pada diri perempuan, misalnya perempuan lemah (fisik dan psikis), tidak

12 Prakata Bill Salter, Direktur ILO Tim Pekerjaan yang Layak untuk Asia Timur dan Tenggara, dan Pasifik dalam Panduan Kesetaraan dan Non Diskriminasi di Tempat Kerja di Indonesia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Jakarta 2012, hal. 9.

13 Ibid., hal. 14.14 Ibid., hal. 21.

Page 560: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

535

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

cekatan dan sebagainya. Perlu diperhatikan data hasil penelitian di bawah ini menunjukkan adanya hubungan positif antara keberagaman gender dalam manajemen perusahaan dengan kinerja perusahaan. Hasil penelitian yang dirujuk pada bagian di bawah ini memperlihatkan bahwa perempuan adalah bagian yang berperan penting dalam perusahaan, sehingga tidak sepatutnya perempuan mendapat perlakuan berbeda untuk menduduki jabatan tertentu dibanding kaum laki-laki. Apalagi diposisikan lebih rendah dibanding laki-laki berdasarkan perspektif yang bersifat bias gender bahwa perempuan kinerjanya tidak sebaik laki-laki.

Relasi antara Kepemimpinan Perempuan dan Kinerja Perusahaan dalam Upaya Meraih Keuntungan15

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ter-dapat korelasi positif dan signifikan antara kinerja perusahaan, capaian keuntungan dan keberagaman gender dalam manajemen perusahaan. Studi-studi tersebut menunjuk kan bahwa baik Usaha Kecil Menengah (UKM) maupun perusahaan yang lebih besar dapat memperoleh keuntungan kompetitif dibandingkan usaha lainnya dengan mengidentifikasi dan menghilangkan halangan-halangan bagi perempuan untuk naik ke posisi puncak manajemen.

Sebuah studi yang dilaksanakan oleh Forum Bisnis dan Kebijakan Finlandia (EVA) menganalisis data statistik dari 12.738 perusahaan terbatas di Finlandia. Sampel data dari studi ini merupakan salah satu data paling representatif dan ekstensif dari data tingkat perusahaan yang digunakan dalam penelitian gender, mencakup 91 persen dari perusahaan terbatas di Finlandia yang memiliki lebih dari 10 karyawan. Studi ini menemukan, ketika semua faktor yang mempengaruhi profitabilitas perusahaan (seperti ukuran, sektor dan sebagainya) di-kendali kan, justru perusahaan yang dipimpin oleh CEO

15 Annu Kotiranta, Anne Kovalainen, Petri Rouvinen, Female Leadership and Firm Profitability, Finnish Business and Policy Forum (EVA), EVA Analysis No. 3 (Helsinki, 2007); dan McKinsey & Company: Women Matter: Gender Diversity, a Corporate Performance Driver (Paris, 2007).

Page 561: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

536

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

perempuan menghasilkan keuntungan sekitar 10 persen lebih tinggi dibandingkan perusahaan sejenis yang dipimpin CEO laki-laki. Serupa dengan itu, perusahaan dengan direksi yang seimbang gender, rata-rata 10 persen lebih menguntungkan dibandingkan dengan perusahaan serupa dengan direksi semuanya laki-laki. Studi ini menyimpulkan bahwa untuk mendongkrak keuntungan, perusahaan sebaiknya mempromosikan peluang kerja yang netral secara gender dan mengambil langkah-langkah untuk menghilangkan mekanisme dan jejaring yang seringkali sulit diamati, yang memihak laki-laki dan menghalangi perempuan untuk mendaki tangga eksekutif.

Studi lain yang dilaksanakan McKinsey & Company mengukuhkan korelasi antara keunggulan perusahaan dengan partisipasi perempuan dalam badan-badan manajemen. Sembilan kriteria yang dianalisis adalah: kepemimpinan; arahan; akuntabilitas; koordinasi dan control; inovasi; orientasi eksternal; kemampuan dan motivasi lingkungan kerja dan nilai-nilai. Studi ini didasarkan pada jawaban-jawaban dari 58.240 responden dari 101 perusahaan besar di Eropa, Amerika dan Asia.

Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan di atas, dengan demikian tidak tepat membuat alasan bahwa perempuan harus dikesampingkan di tempat kerja. Berbagai penelitian justru menunjukkan kenyataan yang banyak terjadi di masyarakat bahwa kehadiran perempuan dalam tingkat pengambil keputusan senior memiliki korelasi positif dengan produktifitas suatu perusahaan.

12.2.2 Convention on the elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) Terkait Perempuan Bekerja

Pasal terpenting dalam Konvensi ini adalah Pasal 4 dan Pasal 11. Pasal 4 menjelaskan tenteng masalah affirmative action atau diskriminasi positif bagi perempuan. Pasal 11 berisi aturan tentang kewajiban negara untuk menjamin ketiadaan diskriminasi bagi perempuan di tempat kerja.

Page 562: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

537

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Prinsip Affirmative Action bagi Perempuan dalam Pekerjaan, Bukan Diskriminasi

Telah dijelaskan terdahulu bahwa affirmative actions merupakan langkah-langkah khusus sementara (temporary special measures) yang dilakukan untuk mencapai persamaan perlakuan dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan, yang dilandasi oleh Pasal 4 CEDAW. Tindakan khusus tersebut bukan merupakan suatu pembedaan yang dimaksudkan merugikan jenis kelamin tertentu. Akan tetapi lebih merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk mendukung perempuan, yang masih berada dalam suatu lingkungan sosial budaya yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, maupun pada konteks relasi kuasa yang timpang. Perlakuan maupun tindakan khusus ini hanyalah bersifat sementara.

Boks 8 Tindakan Khusus Bukan Diskriminasi Pasal 4 CEDAW

1. Penerapan tindakan-tindakan khusus sementara oleh negara-negara peserta yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap sebagai diskriminasi sebagaimana didefinisikan dalam konvensi ini, tetapi tidak boleh mengakibatkan dipertahankannya standar-standar yang tidak setara atau terpisah ini seterusnya; tindakan-tindakan ini harus dihentikan bilamana tujuan kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan telah dicapai.

2. Penerapan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-negara Peserta, termasuk tindakan-tindakan yang tercantum dalam Konvensi ini, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan tidak dianggap sebagai diskriminasi.

Affirmative action bagi perempuan yang bekerja bertujuan untuk melindungi perempuan agar tetap dapat menjalankan fungsi biologis (reproduksi), fungsi sosial dan fungsi ekonomi yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Affirmative Action melahirkan Hak-hak Khusus Pekerja/Buruh Perempuan:

Page 563: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

538

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

1. Hak atas Cuti Haid2. Hak Cuti Hamil dan Melahirkan3. Hak Kelonggaran Waktu untuk menyusui Anak.

Beberapa perusahaan melakukan praktek mewajibkan para pekerja perempuannya untuk menunda perkawinan dan kehamilan selama beberapa tahun, karena dianggap mengganggu produktivitas. Pilihan lainnya tetap membiarkan kehamilan tersebut tetapi ketika pekerja perempuan melahirkan, gaji mereka dipotong dengan alasan karena produktivitas yang berkurang.16 Hal-hal tersebut tentu bertentangan dengan CEDAW Pasal 11 Ayat 2 “Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan berdasarkan perkawinan dan fungsi keibuan dan untuk menjamin hak mereka atas pekerjaan, maka negara anggota harus melaksanakan kebijakan yang tepat untuk: melarang pemecatan atas alasan seperti kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemecatan atas dasar status perkawinan.”

 

Pekerja/ Buruh Perempuan = Status Lajang?17

Ketidakadilan gender dialami oleh perempuan berkeluarga yang tetap dikategorikan sebagai perempuan lajang sehingga ia tidak mendapat tunjangan. Lain halnya dengan lelaki yang dianggap sebagai kepala keluarga, sehingga ia berhak mendapat tunjangan. Dalam beberapa kasus, banyak perempuan yang berstatus sebagai single parent, baik dengan alasan perceraian maupun pilihan hidup. Dengan demikian, ia menjadi kepala rumah tangga. Tapi aturan formal menempatkannya sebagai perempuan lajang sehingga ia tidak mendapat hak tunjangan anak.

16 Landunau dan Asri Wijayanti, Pemotongan Upah Saat Cuti Melahirkan, (Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jurnal Yustitia vol. 1 No. 2, Oktober 2007), hal. 223-241; dan Brahmanie Hastawati, Kasus Diskriminasi terhadap Perempuan Pramugari di “PT. GI” (Sebuah Kisah Pengalaman) dalam Buku Sulistyowati Irianto (Ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006), hal. 477- 485.

17 http://interseksi.org/publications/essays/articles/cedaw.html)

Page 564: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

539

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

12.2.3 Hak-hak Khusus Pekerja/Buruh Perempuan dalam UU Ketenaga-kerjaan Indonesia

Nondiskriminasi dalam UU No. 13 Tahun 2003 (UUK)Pasal 4 Huruf b Tujuan pembangunan ketenagakerjaan salah satunya adalah mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

Pasal 5 Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.

Pasal 6 Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.

Pasal 4 Ayat b UUK No. 13 Tahun 2003 berisi prinsip umum undang-undang yang menunjukkan komitmennya untuk menyediakan kesetaraan kesempatan kerja bagi semua warga Indonesia. Untuk mencapai tujuan ini, Pasal 5 dan 6 melarang diskriminasi terhadap calon pekerja yang sedang mencari pekerjaan, maupun pekerja yang sudah menjalin hubungan kerja. Penjelasan Pasal 5 dan 6 menerangkan tentang alasan diskriminasi. Namun, UU No. 13 Tahun 2003 secara langsung menyediakan daftar diskriminasi tanpa menjelaskan istilah diskriminasi itu sendiri. Untuk memahaminya, kita perlu membandingkan UU ini dengan CEDAW atau Konvensi ILO No. 111 tentang diskriminasi. CEDAW dan Konvensi ini menjelaskan tentang jenis-jenis tindakan yang merupakan tindak diskriminasi yang mencakup alasannya. Jadi definisi yang ada dalam konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia diperlukan untuk mendukung pemahaman tentang diskriminasi dalam UU nasional. Di samping itu, UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan alasan diskriminasi dalam penjelasannya dan bukan dalam batang tubuh.

Penjelasan UU No. 13 Tahun 2003 Perihal NondiskriminasiPasal 4 Huruf bPemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah

Page 565: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

540

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.

Pasal 5 Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.

Pasal 6 Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit dan aliran politik.

Boks 11 Berita Media 1

Perlunya Pemenuhan Hak Dasar Pekerja Perempuan 18

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) mengajak seluruh perusahaan di Indonesia lebih peduli pada pekerja wanita. “Pemerintah mendorong agar perusahaan di seluruh tanah air tidak berlaku diskriminatif dan benar-benar memberikan perhatian khusus terhadap pemenuhan hak-hak para pekerja wanita,” ujar Menakertrans, Muhaimin Iskandar, pada rilis yang diterima Republika Senin (17/12).

18 Republika Online - Mon, 17 Dec 2012 21:15 (Akses tgl 31 Maret 2012)

Page 566: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

541

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Muhaimin mengungkapkan kondisi pekerja wanita di sektor formal saat ini tidak selalu lebih baik daripada mereka yang berkecimpung di sektor informal. Beberapa masalah masih timbul antara lain gaji yang tidak dibayarkan penuh saat cuti melahirkan, bahkan hingga pemutusan hubungan kerja bagi perempuan yang menikah atau hamil.

“Perusahaan-perusahaan harus memperhatikan ber-bagai keistimewaan yang khas yang menjadi hak dasar pekerja wanita. Mereka memiliki hak khusus seperti hak cuti hamil, hak cuti melahirkan, hak cuti tertentu sebagai kodrat perempuan,” kata Muhaimin. Menurut Muhaimin upaya perlindungan khusus kepada pekerja wanita diperlukan sebagai salah satu bentuk dari perwujudan kesetaraan gender. Upaya perlindungan ini diberikan sesuai dengan kekhususan yang dimiliki kaum perempuan. “Dalam hubungan kerja, tidak boleh ada perlakuan diskriminasi terhadap pekerja wanita terutama dalam pemberian upah, tunjangan keluarga dan jaminan sosial, kesempatan mengikuti pelatihan, serta promosi jabatan,” ujar Muhaimin.

Hak-hak khusus pekerja/buruh perempuan dalam UU Ketenagakerjaan hakikatnya dibuat untuk melindungi dan menjamin dilaksanakannya fungsi reproduksi yang dimiliki perempuan. Bahkan hal ini ditetapkan sebagai bagian dari perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada Pasal 49 Ayat 2 menyatakan bahwa “Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.” Penjelasan Ayat 2 menunjukkan aspek perlindungan khusus tersebut pada dua hal, yakni pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.

Page 567: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

542

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

Cuti Haid/Menstruasi

Boks 12 Berita Media 2

Perlukah Istirahat/Cuti Saat Haid/Menstruasi? 19

Menstruasi atau haid atau datang bulan adalah perubahan fisiologis dalam tubuh wanita yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi FSH-Estrogen atau LH-Progesteron. Periode ini penting dalam hal reproduksi. Pada manusia, hal ini biasanya terjadi setiap bulan antara usia remaja sampai menopause.

Seringkali menstruasi diikuti dengan gejala-gejala yang kurang nyaman. Beberapa gejala yang umum muncul pada wanita sebelum atau pada saat menstruasi adalah keinginan untuk makan yang berlebih, sakit kepala, nyeri haid atau kram pada perut, mudah emosi dan lain sebagainya. Salah satu yang paling banyak dialami oleh wanita adalah nyeri haid, yang biasanya muncul menjelang datangnya haid atau pada hari-hari awal haid.

Nyeri haid atau yang bahasa medisnya disebut dismenore biasanya menyerang perut bagian bawah atau tengah, pada beberapa orang bahkan bisa merambat ke daerah punggung, pinggul dan paha. Mengalami nyeri pada saat menstruasi adalah sesuatu yang normal, jadi bukan berarti rahim anda bermasalah jika anda mengalami nyeri pada saat menstruasi. Nyeri ini diakibatkan oleh zat prostaglandin yang terdapat di lapisan rahim. Zat inilah yang menyebabkan terjadinya konstraksi untuk melepaskan dinding rahim pada saat menstruasi. Dismenore muncul dengan gejala yang berbeda beda pada setiap wanita, ada yang mengalami nyeri yang

19 Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Menstruasi, Akses tgl 31 Maret 2013

Page 568: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

543

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

teramat sakit, mual, berdenyut atau sakit seperti terbakar dan lainnya. Normalnya dismenore hanya akan membuat wanita merasa sakit atau kram dan tidak nyaman. Namun jika kondisi tubuh tidak baik, dismenore bisa mengakibatkan wanita harus beristirahat total karena sakitnya yang parah diikuti mual bahkan terasa seperti mau pingsan.

Peraturan Terkait Cuti Haid/MenstruasiUU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) mengatur tentang

cuti haid pada Pasal 81. Teknis pelaksanaan cuti haid ini akan dilaksanakan berdasarkan pada perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dengan kata lain ada otonomi pada perusahaan untuk menetapkan pelaksanaan cuti haid. UUK hanya menetapkan bahwa cuti haid diberikan pada mereka yang dalam masa haid merasakan sakit. Jika ditelaah dengan saksama, kondisi ini (sakit) adalah prasyarat dapat dimintakan hak cuti selama 2 (dua) hari dengan konsekuensi jika ada surat keterangan sakit pekerja/buruh tidak bekerja dan upah tetap dibayar penuh. Dengan demikian cuti haid tidak berlaku terhadap mereka yang tidak dapat menunjukkan surat sakit (karena memang tidak sakit saat haid).

Cuti Haid

Pasal 81 UUK(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan

sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Sebelum berlaku UUK tahun 2003, peraturan yang menyangkut cuti haid ini adalah UU No.12 Tahun 1948 tentang Kerja. Pasal 13 UU Kerja 1948 pada Ayat 1 dengan tegas menyebutkan pekerja/buruh perempuan tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua

Page 569: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

544

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

waktu haid. Peraturan pelaksana atas beberapa ketentuan UU Kerja 1948 dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1948. Peraturan tersebut menegaskan bahwa dalam menjalankan cuti haid sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Ayat 1 Udang-Undang Kerja tahun 1948, maka majikan dianggap tidak mengetahui tentang keadaan haid dari buruhnya wanita bilamana yang berkepentingan tidak memberitahukan hal itu kepadanya. Sesungguhnya ketentuan ini juga semakin mengaburkan dan meruntuhkan hak setiap pekerja perempuan untuk menjalani istirahat saat haid/menstruasi setiap bulannya, kecuali memberitahukan pada majikan/pengusaha, sedangkan apa isi pemberitahuan tersebut tidak disebut dalam PP No. 7 Tahun 1948 ini.

Boks 14

Cuti Haid dalam Beberapa Peraturan yang Pernah Ada

a. Pasal 13 Ayat 1 UU Kerja 1948 Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari

pertama dan kedua waktu haid.

b. Pasal 1Ayat 2 PP No.7 Tahun 1948 Dalam menjalankan aturan tersebut dalam Undang-Undang

Kerja tahun 1948 Pasal 13 Ayat 1, maka majikan dianggap tidak mengetahui tentang keadaan haid dari buruhnya wanita bilamana yang berkepentingan tidak memberitahukan hal itu kepadanya.

Dalam Pasal 13 Ayat 1 dari UU Kerja Tahun 1948 memang telah diatur bahwa ada perlindungan hak istirahat bagi pekerja perempuan yang sedang mengalami haid pada saat hari pertama dan kedua masa haidnya. Akan tetapi, anehnya peraturan yang berpihak pada perempuan tersebut ‘dilemahkan’ substansinya dengan isi Pasal 1 Ayat 2 dari PP No. 7 Tahun 1948. Ketentuan tersebut mengatur bahwa majikan dianggap tidak tahu apabila pekerja perempuan yang sedang haid itu tidak menyampaikan kondisinya kepada sang majikan. Hal tersebut menyediakan ruang bagi pengusaha/majikan untuk tidak memenuhi kewajibannya memberikan

Page 570: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

545

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

hak cuti haid kepada pekerja perempuan dengan dalih ketidaktahuan. PP tersebut yang seyogianya sebagai aturan pelaksana, justru menyediakan peluang untuk tidak melaksanakan aturan di atasnya. Kemudian juga, dengan ‘disediakannya’ peluang bagi majikan/pengusaha untuk berdalih ‘tidak tahu’ atas kondisi karyawannya, maka perlindungan hukum atas hak reproduksi perempuan dalam UU Kerja Tahun 1948 tersebut menjadi tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan.

Pada tataran empirik pelaksanaan dari aturan mengenai cuti haid memiliki berbagai kendala. Adapun kendala tersebut antara lain mencakup masalah itikad baik pengusaha/majikan untuk memberikan hak cuti haid, pengetahuan hak pekerja perempuan atas haknya untuk cuti haid, juga tentang teknis pengajuan izin cuti haid yang cukup sulit.

Masalah Seputar Pelaksanaan Cuti HaidDua kasus di bawah ini memberikan ilustrasi tentang beberapa

kendala yang dihadapi oleh pekerja perempuan ketika berupaya mengakses haknya atas cuti haid. Adapun kendala yang dihadapi bentuknya amat beragam, dari mulai sama sekali dihapuskannya izin cuti haid sampai dengan pelecehan yang dialami pekerja perempuan yang harus membuktikan dirinya sedang mengalami haid.

Sulitnya Izin Cuti Haid 20

Ratusan buruh pabrik mebel di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, mogok kerja. Mereka memprotes kebijakan perusahaan terkait cuti haid.

Aksi unjuk rasa tersebut dilakukan sekira 300 buruh PT KGE di Jalan Gununggangsir, Desa Diwonokoyo, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan. Buruh, yang didominasi perempuan, menutup pintu keluar-masuk pabrik dengan sepeda motor. Gunawan Karyantono,

20 http://terkini.bbc.web.id/artikel/read/2013/03/27/521/782490/protes-kebijakan-tentang-cuti-haid-300-buruh-mogok-kerja

Page 571: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

546

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

koordinator aksi, Rabu (27/3/2013), mengungkapkan, buruh pabrik kecewa dengan kebijakan manajemen yang berisi para pekerja perempuan harus mendapat izin cuti haid dari Jamsostek dan manajemen. Selain itu, sebelumnya para pekerja yang cuti dibayar Rp. 50 ribu per hari, namun kini dihapuskan.

Pelecehan Saat Mengajukan Izin Cuti Haid 21

Tindakan PT Musi Mas Riau yang mempersulit cuti haid bagi karyawatinya dikecam Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). Kebijakan perusahaan yang mengharuskan karyawati mempertunjukkan darah haidnya

Dalam ilustrasi kasus pertama pada boks di atas, yang memicu

terjadinya aksi unjuk rasa buruh karena tidak diakuinya hak cuti haid dapat saja terjadi di banyak perusahaan di berbagai tempat. Situasi tersebut bak fenomena gunung es, di mana yang terlihat nyata hanyalah sebagian kecil dari kondisi sesungguhnya yang tidak terlihat secara kasat mata.

Pada kasus kedua yang ditampilkan dalam boks di atas, terlihat bahwa sekalipun cuti dapat diberikan oleh perusahaan, mirisnya, dalam pelaksanaannya perusahaan menetapkan prosedur tertentu untuk membuktikan apakah pekerja benar haid atau tidak. Prosedur tersebut melecehkan pekerja perempuan. Keharusan untuk merogoh kemaluan di depan orang lain dalam rangka pembuktian bahwa pekerja perempuan sungguh sedang mengalami haid, adalah bagian dari pelecehan terhadap hak pekerja dan juga pelecehan terhadap perempuan. Pelecehan terhadap hak pekerja terjadi ketika perusahaan berupaya melakukan penghindaran

21 (Sumber: http://news.detik.com/read/2005/10/21/140122/466134/10/lbh-apik-cuti-haid-harus-rogoh-kelamin-salahi-uu?nd771104bcj Akses tgl 31 Maret 2013.

Page 572: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

547

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

atas kewajibannya melindungi hak reproduksi pekerja (perempuan) dengan mewajibkan pembuktian cuti haid dengan mekanisme yang melanggar kemanusiaan (merogoh kemaluan di depan orang lain). Pelecehan terhadap perempuan terjadi ketika hak reproduksi perempuan juga hak perempuan atas tubuhnya sebagai wilayah yang privat tidak dihormati oleh perusahaan.

Tindakan perusahaan, baik pada kasus pertama, maupun kasus kedua dalam boks di atas telah melanggar aturan UU Kerja maupun UUK No. 13 Tahun 2003. Di bagian berikut penulis menjelaskan analisis terhadap peraturan mengenai cuti haid bagi pekerja perempuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan tentang ketenagakerjaan di Indonesia.

Analisis terhadap Pelaksanaan Cuti Haid/Menstruasi Cuti haid dimaksudkan oleh UU Kerja No. 12 Tahun 1948

sebagai hak istirahat saat pekerja/buruh mengalami siklus haid. Untuk mendapatkan hak tersebut bergantung pada kemauan dan permintaan/pernyataan yang nyata dari pekerja/buruh yang menginginkan hak istirahat tersebut. Pasal 13 UU Kerja ini melalui PP No. 7 Tahun 1948 dengan tegas menentukan seyogianya pelaksanaan cuti haid tidak boleh dihalang-halangi oleh majikan/perusahaan manakala pekerja/buruh perempuan menginginkan istirahat saat mengalami haid di hari pertama dan kedua.

Dalam UUK No. 13 Tahun 2003 ‘lebih maju’ dengan menetapkan prasyarat pelaksanaan cuti haid apabila di hari pertama dan kedua haid pekerja/buruh merasakan sakit dan memberitahukannya pada perusahaan.

Dalam prakteknya, ada beberapa yang hal dialami pekerja/buruh perempuan yang menginginkan dilaksanakannya cuti/istirahat dalam masa haid. Pertama tentang ketentuan hari pertama dan kedua. Sakit haid yang dialami oleh perempuan memang umumnya dialami saat awal siklus haid dating. Namun ada kalanya perempuan tertentu mengalami nyeri haid sebelum kondisi haid terjadi, yaitu sebelum darah haid keluar, sehingga tidak dapat membuktikan saat itu sakit yang diderita pekerja/buruh perempuan adalah sakit karena haid, bukan sakit biasa sehingga padanya ada hak cuti/istirahat.

Kondisi yang berbeda juga dapat menimpa perempuan lainnya, yaitu mengalami sakit/nyeri haid setelah beberapa hari haid, sehingga tidak pada hari pertama dan kedua, misalnya di hari ketiga atau keempat

Page 573: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

548

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

dan seterusnya. Secara medis perempuan mengalami haid umumnya antara lima sampai tujuh hari lamanya. Selama mengalami haid kemungkinan terjadinya anemia, mulas, mual dan nyeri pada bagian rahim merupakan hal yang lazim terjadi pada perempuan. Perbedaan pengalaman masing-masing perempuan terkait siklus haid dan gejala yang dialaminya tersebut tidak diakomodir dalam UU maupun peraturan pelaksananya. Penyebutan ‘pada hari pertama dan kedua masa haid’ dapat berimbas pada ditolaknya hak pekerja perempuan oleh perusahaan untuk mendapat cuti/istirahat haid semata-mata karena perempuan tersebut tidak dapat membuktikan darah haidnya sudah keluar/tinggal sedikit atau karena sudah melewati hari pertama dan kedua masa haidnya.

Kedua, pelaksanaan hak cuti haid hanya dapat diberikan apabila ada pemberitahuan pada majikan/perusahaan. Pemberitahuan dimaksud oleh UU, baik UUK 2003 maupun UU Kerja 1948 yang pernah berlaku sebelumnya tidak secara tegas dirinci. Ayat 2 dari Pasal 81 UUK 2003 sudah sangat tepat merujuk bahwa pelaksanaan cuti haid akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan pemerintah dan perjanjian kerja bersama. Tetapi perlu diingat bahwa yang ditegaskan di sini adalah cara pelaksanaannya, adapun hak akan cuti haid memang melekat pada setiap pekerja/buruh perempuan dalam usia produktif. Bukan berarti perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan atau perjanjian kerja bersama yang tidak mengatur tentang cuti haid diartikan bahwa di perusahaan itu pekerja perempuan tidak berhak untuk meminta dilaksanakannya cuti haid.

Bentuk pemberitahuan dimaksud dalam UU 1948 dan UU 2003 tidak dirinci seperti apa pelaksanaannya. Umumnya ditentukan berupa kewajiban menunjukkan surat sakit yang dikeluarkan oleh dokter atau bidan. Jelas bahwa penekanan pelaksanaan cuti haid adalah pada sakit yang dialami, bukan pada situasi haid yang merupakan siklus bulanan yang kerap dialami perempuan dalam usia produktif.

Ketiga, cuti haid dimaksud oleh UU kini (2003), maupun yang terdahulu (1948) sebagai istirahat badan, sehingga tidak dapat diganti dengan insentif berupa uang manakala pekerja/buruh perempuan dalam setiap bulannya tidak meminta cuti/istirahat dalam masa haidnya. Banyak pula perempuan dalam masa haidnya memang tidak mengalami sakit dan kendala fisik lainnya, justru secara psikis saat haid mereka lebih memilih untuk bekerja. Riset yang pernah dilakukan penulis saat menyelesaikan studi di tingkat Magister Ilmu Hukum menemukan ada

Page 574: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

549

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

perusahaan yang menetapkan kebijakan pemberian insentif berupa uang terhadap pekerja/buruh perempuan yang dalam setiap bulannya tidak mengambil cuti haid, sebagai perangsang agar para pekerja/buruh perempuan tidak bermain-main dalam mengambil cuti haid (wawancara dengan Ketua SPSI PT PMU, 2001). Ketika kondisi ini dikonfirmasi kepada pejabat terkait di instansi Ketenagakerjaan (Dinas Tenaga Kerja Kota Medan), pejabat tersebut menyatakan bahwa hal itu merupakan penyimpangan ketentuan UU. Pada hakikatnya cuti haid adalah cuti/istirahat badan, artinya hak untuk tidak bekerja karena haid.

Belum rincinya UU menentukan pelaksanaan cuti haid menyebabkan di lapangan ada perusahaan yang tidak mengakui adanya cuti haid. Akibatnya, saat pekerja/buruh perempuan mengalami sakit saat haid, maka mekanisme yang harus dilakukan supaya mereka dapat mengakses hak cutinya adalah dengan mengirimkan surat keterangan sakit. Bukan permohonan cuti haid sebagaimana diatur dalam UU, di mana pekerja perempuan diberi kesempatan untuk istirahat badan selama dua hari selama masa haidnya.

Cuti Melahirkan/Bersalin/Gugur Kandungan Hak lain dari pekerja perempuan yang juga diatur dalam UU

Ketenagakerjaan adalah hak untuk memperoleh cuti melahirkan dan hak untuk cuti setelah keguguran. Di bawah ini penulis menjelaskan tentang analisis Pasal 82 Ayat 1 dan 2 dari UU Ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap hak cuti melahirkan/cuti setelah keguguran dari perempuan.

Cuti MelahirkanPasal 82 Ayat 1Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

Pasal 82 Ayat 2 UUK 2003Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandung-an berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Page 575: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

550

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

Upah penuh selama menjalani waktu istirahat karena melahirkan atau gugur kandungan dijamin dalam Pasal 84 UUK 2003.

Jaminan Upah Penuh Saat Cuti Khusus Perempuan

Pasal 84 UUK 2003Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasal 80 dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.

Pelanggaran terhadap Pasal 82 dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 185 UUK 2003.

Sanksi Hukum bagi Pelanggaran atas Cuti Khusus Perempuan

Pasal 185 Ayat 1 UUK 2003Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143 dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda

paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00

(empat ratus juta rupiah).

Perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 82 UUK 2003 yang berarti melanggar hak perempuan pekerja/buruh atas cuti haid merupakan tindak pidana yang dikategorikan tindak pidana kejahatan, maka sesungguhnya UUK benar-benar berusaha melindungi hak reproduksi pekerja/buruh perempuan.

Page 576: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

551

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Terkait hak reproduksi yang diakui dan dilindungi oleh UUK No. 13 Tahun 2003, ILO juga memiliki Konvensi Perlindungan Kehamilan Tahun 2000 (No.183) (Direvisi) yang memuat empat hal utama dalam perlindungan kehamilan, yaitu:

i. cuti melahirkan,ii. tunjangan finansial dan kesehatan,

iii. perlindungan kesehatan,iv. menyusui.

Konvensi juga mengarahkan agar jangka waktu cuti diperpanjang dari 12 minggu menjadi 14 minggu, dengan cuti wajib enam minggu setelah kelahiran anak. Selama itu si ibu tidak diizinkan untuk bekerja. Jika diperlukan negara dapat mengeluarkan kebijakan adanya suatu hak untuk cuti tambahan jika mengalami sakit, komplikasi atau risiko dari komplikasi tersebut yang membahayakan kehamilan. Konvensi juga mengharapkan agar terhadap pekerja/buruh perempuan yang membutuhkan biaya baik selama hamil dan melahirkan dilaksanakan sesuai dengan standart kehidupan yang layak.

Kelonggaran Waktu untuk Memberikan ASI pada AnakHak lainnya yang dimiliki oleh pekerja perempuan adalah

hak untuk memberikan ASI pada anak. Hak tersebut dalam UU diatur mengingat menjalankan fungsi reproduksi bagi perempuan dijamin sebagai hak asasi. Pemikiran tersebut semakin ditegaskan dalam Pasal 49 Ayat 3 UU HAM yang menyatakan bahwa ”Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.”

Terkait dengan hal ini pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992. Semangat yang dibawa oleh UU yang baru ini adalah adanya penekanan bahwa kesehatan merupakan hak asasi setiap orang dan kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhi hak warga negara tersebut, serta penekanan pada aspek pencegahan terhadap kemungkinan sakit. Selain itu mengenai pengaturan kesehatan reproduksi perempuan dan hak-hak reproduksinya diatur dalam suatu bagian tersendiri.

Sebelum disahkannya UU Kesehatan yang baru ada beberapa

Page 577: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

552

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

peraturan pelaksana dari UU Kesehatan yang lama (UU No. 23 tahun 1992), yang pada hakikatnya telah memberikan arahan akan pentingnya hak menyusui bagi ibu dan menyusu bagi bayi. Di antaranya adalah KEPMENKES No. 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara Eksklusif bagi Bayi di Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Pemberian ASI secara Eksklusif menetapkan pemberian ASI secara eksklusif bagi bayi di Indonesia sejak bayi lahir sampai dengan bayi berumur 6 bulan dan dianjurkan dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai.

Perempuan bekerja tentunya menghadapi masalah waktu dan kesempatan untuk menyusui anak selama menjalankan aktivitas kerjanya. UUK 2003 dalam satu pasal menentukan bahwa kesempatan untuk menyusui anak harus diberi sepatutnya:

Kesempatan Menyusukan Anak Saat Bekerja

Pasal 83 UUK 2003Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal

itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Kata kesempatan sepatutnya dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 83 UUK 2003 sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini adalah lamanya waktu yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan untuk menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Kalimat “dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan” sesungguhnya memberi kesempatan pada perusahaan untuk meniadakan kesempatan menyusui dengan alasan di perusahaan tidak tersedia tempat penitipan bayi selama ibunya bekerja. Akibatnya, pasal ini memiliki kelemahan untuk dapat

Page 578: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

553

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

22 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/sukses-menyusui-saat-bekerja.html menunjukkan bahwa dari Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2007 ternyata 57% tenaga kerja di Indonesia adalah perempuan.

dipaksakan pelaksanaannya di berbagai perusahaan secara merata oleh pemerintah.

Pasal 10 Konvensi ILO tentang Perlindungan Kehamilan, Tahun 2000 (No.183) (Direvisi) menetapkan bahwa pekerja perempuan harus diberikan hak untuk memperoleh istirahat satu kali atau lebih setiap hari atau pengurangan jam kerja agar dapat menyusui anaknya. Selanjutnya pada Ayat 2 disebutkan tentang jangka waktu istirahat untuk menyusui atau pengurangan jam kerja harian ini diperbolehkan, serta jumlahnya, lama istirahat untuk menyusui. Prosedur pengurangan jam kerja harian harus ditentukan oleh perundang-undangan dan kebijakan nasional. Istirahat atau pengurangan jam kerja harian ini harus tetap dihitung sebagai jam kerja dan tetap dibayar secara bersesuaian.

Dikaitkan dengan UU Kesehatan, hak menyusui sebagaimana diatur dalam Pasal 128 UU No. 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa semua pihak harus mendukung pekerja perempuan untuk menyusui dengan menyediakan waktu dan fasilitas khusus, baik di tempat kerja maupun di tempat umum. Fasilitas khusus tersebut hendaknya diartikan oleh pengusaha untuk menyediakan ruang khusus menyusui atau memerah ASI beserta tempat penyimpanannya. Sesuai dengan rekomendasi World Health Organization, masa menyusui tersebut sekurang-kurangnya 2 tahun.22 

Baik UU Ketenagakerjaan 2003, maupun UU Kesehatan 2009 sudah mengatur tentang perlindungan bagi pekerja/buruh perempuan untuk mewujudkan haknya dalam hal kesempatan yang layak untuk memberikan ASI, maupun memerah ASI guna diberikan pada anaknya yang masih menyusu. Sebaliknya, melalui kedua peraturan tersebut juga telah jatuh kewajiban pada pengusaha untuk menyediakan tempat khusus untuk pelaksanaan hak tersebut. Sayangnya banyak perusahaan belum serius dan sungguh-sungguh menjalankan amanat UU tersebut.

Secara medis, pemberian ASI sangat penting bagi tumbuh kembang yang optimal, baik fisik, maupun mental dan kecerdasan anak, maka perlu perhatian agar dapat terlaksana dengan benar. Faktor keberhasilan dalam menyusui adalah dengan menyusui secara dini

Page 579: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

554

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

dengan cara yang benar, teratur dan eksklusif. Program Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI), khususnya ASI eksklusif mempunyai dampak yang luas terhadap status gizi ibu dan bayi. Pemberian ASI di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya. Upaya meningkatkan perilaku menyusui pada ibu yang memiliki bayi, khususnya ASI eksklusif masih dirasa kurang. Hal ini hendaknya dapat diantisipasi dengan upaya yang maksimal termasuk melalui UU Ketenagakerjaan sehingga perempuan bekerja dapat memberikan ASI pada anaknya, tanpa kehilangan hak untuk bekerja dan mendapat upah yang layak.23

Selain hak reproduksi yang di dalamnya tercakup hak atas cuti haid, hak untuk hamil, hak cuti melahirkan dan cuti setelah keguguran, serta hak untuk memberikan ASI pada anak, pekerja perempuan juga memiliki hak yang berkaitan dengan pengaturan jam kerja. Pada bagian selanjutnya dari tulisan ini, dipaparkan analisis beberapa peraturan berkaitan dengan pengaturan jam kerja perempuan yang bekerja di sektor publik.

Jam Kerja Malam Bagi PerempuanBanyak pekerja perempuan yang diharuskan bekerja dengan

sistem shift malam, khususnya di sektor layanan jasa 24 jam. Pekerja malam sendiri bisa dikategorikan menjadi 2 macam.

l Pekerja yang bekerja di suatu instansi/perusahaan yang memang mengikuti peraturan bekerja secara shift. Contohnya, para pekerja di rumah sakit (dokter, perawat), pramugari, pemadam kebakaran, sekuriti, pekerja di hotel.

l Pekerja yang memang bekerja di suatu tempat yang memang dibuka dari sore hingga esok paginya. Contohnya, pekerja di tempat-tempat hiburan (cafe, diskotik).

Bekerja pada malam hari tentu lebih berisiko dibanding bekerja di siang hari. Jadwal tidur manusia normalnya adalah pada malam hari. Apabila istirahat yang cukup di malam hari tidak terpenuhi, maka dapat mengganggu siklus tidur-bangun yang normal. Akibatnya tubuh menjadi

23 Khopiatuziadah, Perlindungan Hak Reproduksi Wanita: Hamil, Melahirkan dan Menyusui, Perspektive Perundang-Undangan, (Jurnal Legislasi Indonesia Vol.7 No.2 Agustus 2010).

Page 580: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

555

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tidak berfungsi sebagaimana mestinya, yang akhirnya akan mengarah pada gangguan pola hidup dan gangguan kesehatan.

Berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang No. 13 tahun 2003, pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, yang artinya pekerja perempuan di atas 18 (delapan belas) tahun diperbolehkan bekerja shift malam (23.00 sampai 07.00). Perusahaan juga dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya, maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

Perusahaan memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan Undang-Undang No.13/2003, yang lebih lanjutnya diatur dalam Kep.224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00.

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib melakukan sejumlah langkah:

l memberikan makanan dan minuman bergizi. Makanan dan minuman yang bergizi harus sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori, harus bervariasi, bersih dan diberikan pada waktu istirahat antara jam kerja. Makanan dan minuman tidak dapat diganti dengan uang,

l menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. Pengusaha wajib menjaga keamanan dan kesusilaan pekerja perempuan dengan menyediakan petugas keamanan di tempat kerja dan menyediakan kamar mandi yang layak dengan penerangan yang memadai serta terpisah antara pekerja perempuan dan laki-laki,

l pengusaha juga diharuskan menyediakan antar jemput mulai dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya. Lokasi tempat penjemputan harus mudah dijangkau dan aman bagi pekerja perempuan.

Pelaksanaan pemberian makanan dan minuman bergizi, penjagaan kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja serta

Page 581: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

556

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

penyediaan angkutan antar jemput diatur lebih lanjut dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.

Bekerja baik pada siang maupun malam hari sesungguhnya menjadi hak tiap pekerja untuk menjalaninya. Ini juga didasarkan pada ketentuan hukum yang menetapkan bahwa kesempatan yang sama harus diberikan pada perempuan untuk bekerja di mana pun dan dalam jam kerja yang ada. Lihatlah Pasal 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menentukan, “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.”

Berdasarkan data yang dihimpun ILO, tren pelecehan seksual di tempat kerja terus meningkat. Di Uni Eropa, 30-50 persen perempuan dan 10 persen laki-laki mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, di kawasan Asia Pasifik ada sebanyak 30-40 persen karyawan. Khusus di Asia, sebanyak 18 persen karyawan di Cina dan 16 persen pegawai di Arab Saudi juga mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.24

Berita Media 3

Pelecehan Seksual Berdampak Buruk pada Produktivitas 25

Direktur International Labour Organization (ILO) untuk Indonesia, Peter van Rooij mengatakan, dampak buruk pelecehan seksual, yakni menyebabkan frustrasi dan melunturkan kepercayaan diri pada korbannya. Pada beberapa kasus, korban pelecehan akhirnya sering bolos kerja dan akhirnya kehilangan mata pencaharian. “Perusahaan juga bisa kehilangan pekerja yang terampil, serta kekurangan kemampuan bersaing karena citra instansi yang terus menurun,” kata dia dalam seminar bertajuk ‘Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja’ di Hotel Borobudur.

24 Pelecehan Seksual di Kantor, Berita Informasi Seputar Indonesia Terkini, Kisah Seputar Kehidupan Masyarakat Indonesia, dalam http://akuindonesiana.wordpress.com/pelecehan-seksual-di-tempat-kerja/ (Akses tanggal 13 April 2013

25 Berita Informasi Seputar Indonesia Terkini, Kisah Seputar Kehidupan Masyarakat Indonesia, dalam http://akuindonesiana.wordpress.com/pelecehan-seksual-di-tempat-kerja/ (Akses tanggal 13 April 2013).

Page 582: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

557

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011. Dalam peraturan ini beberapa pengertian dasar dikemukakan antara lain pengertian pelecehan dan tempat kerja dan pelecehan seksual.

Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

(Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011) 26

Beberapa Pengertian Pelecehan

Pelecehan seringkali dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan sehingga korban akan mengalami kesulitan dalam membela diri. Pelecehan di tempat kerja adalah segala jenis tindakan yang tidak diinginkan, berulang-ulang, dan tidak masuk akal, yang ditujukan pada seorang pekerja/buruh atau sebuah kelompok pekerja yang mengakibatkan kesulitan dalam pelaksanaan tugas yang diberikan atau menyebabkan pekerja merasa dirinya bekerja dalam iklim perusahaan yang tidak harmonis, yang juga dapat menyebabkan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan.

Tempat KerjaBerdasarkan UU No. 1 Tahun 1970, yang dimaksud dengan tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, di mana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya, termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat tersebut.

26 ILO dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja, (Kemenakertrans RI, Jakarta, 2011), hal. 6.

Page 583: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

558

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

Dari pengertian tersebut, tempat kerja mencakup tidak hanya ruangan secara fisik sebagai tempat aktivitas kerja selama delapan jam sehari, seperti kantor atau pabrik, namun juga lokasi yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan karena adanya tanggung jawab dalam hubungan kerja, seperti acara-acara sosial yang terkait dengan pekerjaan, konferensi dan pelatihan, perjalanan dinas, makan siang, makan malam bisnis, atau kampanye promosi yang diselenggarakan untuk menjalin usaha resmi dengan klien dan calon rekanan, maupun percakapan lewat telepon dan komunikasi lewat media elektronik. Sehingga tempat kerja meliputi tak hanya ruang fisik di mana kerja dilakukan selama delapan jam sehari, tetapi juga mencakup semua jam kerja di luar delapan jam di lokasi-lokasi di luar ruang fisik kantor.

Pelecehan seksualPelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apa pun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/ atau terintimidasi di mana reaksi seperti itu adalah masuk akal dalam situasi dan kondisi yang ada, dan tindakan tersebut mengganggu kerja, dijadikan persyaratan kerja atau menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan atau tidak sopan.

Dengan kata lain pelecehan seksual adalah:1. penyalahgunaan perilaku seksual,2. permintaan untuk bantuan seksual, dan3. pernyataan lisan atau fisik melakukan atau gerakan

menggambarkan perbuatan seksual, atau4. tindakan kearah seksual yang tidak diinginkan,

a. penerima telah menyatakan bahwa perilaku itu tidak diinginkan,

b. penerima merasa dihina, tersinggung dan/atau ter-tekan oleh perbuatan itu, atau

Page 584: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

559

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

c. pelaku seharusnya sudah dapat merasakan bahwa yang menjadi sasarannya (korban) akan tersinggung, merasa terhina dan/atau tertekan oleh perbuatan itu.

Secara luas, terdapat lima bentuk pelecehan seksual. 1. Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diingin-

kan mengarah ke perbuatan seksual, seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu.

2. Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/ komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual.

3. Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat dengan jari dan menjilat bibir.

4. Pelecehan tertulis atau gambar termasuk menampilkan bahan pornografi, gambar, screen saver atau poster seksual, atau pelecehan lewat email dan moda komunikasi elektronik lainnya.

5. Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas per mintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.

Kriminalitas atas Pelecehan Seksual dalam KUHP

Pelecehan Seksual adalah KriminalPelecehan seksual adalah kriminal dapat dilihat dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. KUHPidana menetapkan pelecehan seksual sebagai delik aduan, sehingga harus ada pengaduan dari korban atau pihak yang mengetahui. Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang mengarah pada delik aduan sebagaimana KUH Pidana antara lain:

1. kekerasan dengan paksaan untuk melakukan per-setubuhan (Pasal 285),

Page 585: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

560

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

2. perbuatan yang tidak menyenangkan yang melanggar norma kesopanan, seperti perbuatan pencabulan, men cium, meraba anggota kemaluan atau ke arah dada.

Sementara itu, perbuatan kesusilaan yang diatur dalam KUH Pidana merupakan kesusilaan yang dilakukan dan dirasakan oleh masyarakat dapat mengakibatkan rasa tersinggung dari rasa susila, seperti orang mandi hampir telanjang di pemandian umum. Korban perbuatan asusila berhak mengajukan tuntutan pidana dan/atau perdata terhadap pelakunya.

Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Menakertrans) mengatur bahwa prosedur pengaduan sebagai bagian dari tanggung jawab dalam menangani pelecehan seksual. Seluruh pemberi kerja harus menerapkan prosedur penanganan keluhan yang efektif dan mudah diakses bagi para pekerja dan pihak lain di lingkungan kerja. Mekanismenya dapat berbeda sesuai dengan kondisi ketersediaan sumber daya di perusahaan. Prosedur penanganan keluhan yang baik berorientasi bahwa pelecehan seksual harus ditangani dengan serius dengan mencegah terjadinya pelecehan dan menjaga hubungan yang positif di tempat kerja.

Perusahaan harus memastikan bahwa keluhan-keluhan ditangani dengan konsisten dan segera. Perusahaan juga wajib memberitahukan kepada organisasi (secara internal) tentang pola-pola perilaku yang tidak dikehendaki dan menekankan adanya kebutuhan akan strategi pencegahan di area-area khusus. Tidak banyak perusahaan yang mampu melakukan hal ini. Dalam contoh kasus di bawah ini, Forum Keadilan Perempuan memaparkan bahwa masih banyak terjadi tindak pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan yang terjadi dalam lingkup perusahaan tempat kerja. Tindak pelecehan tersebut tidak banyak yang terungkap karena belum tersedia mekanisme dalam perusahaan yang memungkinkan pekerja perempuan menyampaikan keluhannya dan mengakses keadilan.

Page 586: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

561

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Berita Media 4

Kekerasan terhadap Perempuan Sering Terjadi di Tempat Kerja 27

Kekerasan seksual terhadap perempuan justru kerap terjadi di tempat kerja. Iswarini, juru bicara dari kelompok Forum Keadilan Perempuan, mengatakan, ada beberapa pelecehan seksual yang dilaporkan oleh buruh perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di tempat kerja. “Beberapa mengatakan ada yang harus tidur dengan atasan kalau mau naik jabatan, atau bahkan ada yang diperiksa celana dalamnya untuk membuktikan kebenaran saat mereka meminta cuti haid,’’ ujarnya.

Parahnya, tidak banyak korban pelecehan seksual yang berani melaporkan kasusnya itu ke pihak berwajib. ‘’Hanya sedikit yang berani mengungkapkan, saya yakin masih banyak kasus pelecehan yang tidak terungkap karena ketidakberpihakan sistem,” kata Iswarini.

Pengusaha atau pemberi kerja harus mengembangkan prosedur penanganan keluhan yang sesuai dengan tempat kerja masing-masing. Prosedur penanganan keluhan yang paling efektif memberikan berbagai pilihan dalam menangani pelecehan seksual. Sebagai contoh, seseorang dapat mengeluh kepada penyelia mereka sendiri, manajer lain atau pejabat penanganan keluhan yang telah ditentukan. Korban dapat memilih opsi yang paling sesuai dengan kondisi kasus yang dihadapi. Dalam menawarkan pilihan, harus memastikan bahwa para manajer memiliki pengetahuan dan mendapat pelatihan untuk menangani keluhan pelecehan seksual dan sebaiknya memberitahukan kepada staf bahwa keluhan dapat dibawa ke komisi/divisi di perusahaan.

27 http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/trend/12/03/08/m0jzbu-duh-kekerasan-seksual-terhadap-perempuan-sering-terjadi-di-tempat-kerja (Akses tgl 26 Desember 2012)

Page 587: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

562

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

Dalam Surat Edaran Menakertrans No. SE.03/MEN/IV/2011 diatur mengenai prosedur penanganan keluhan atas kasus pelecehan seksual di tempat kerja. Boks berikut ini memaparkan isi dari peraturan tersebut secara ringkas.

Prosedur Penanganan Keluhan dalam Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual

di Tempat Kerja (Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

No. SE.03/MEN/IV/2011)

Prosedur penanganan keluhan dapat dilakukan melalui:1. keluhan formal dan informal yang menekankan resolusi

atau pemecahan masalah ketimbang bukti faktual atau pembuktian atas suatu keluhan sedangkan

2. prosedur formal berfokus pada pembuktian apakah suatu keluhan dapat dibuktikan.

Sebuah prosedur keluhan harus setidaknya memuat langkah demi langkah dalam pelaporan dan pemrosesan keluhan dengan batas waktu yang tepat untuk tiap langkah:a. Prosedur investigasi; danb. Prosedur banding yang memungkinkan pihak yang

tidak puas untuk mengajukan banding terhadap hasil investigasi ke pihak berwenang yang lebih tinggi.

Bagian C dari tulisan ini menyajikan kasus-kasus yang menunjukkan masih adanya kesenjangan antara kondisi de jure dengan de facto perlindungan terhadap perempuan bekerja. Ada tiga kasus yang dibahas pada bagian ini. Kasus pertama adalah kasus yang memperlihatkan pembedaan perlakuan atas pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan dalam konteks usia pensiun. Kasus kedua, adalah kasus di mana perempuan mengalami pemotongan gaji/upah akibat mengambil cuti untuk melahirkan. Kasus ketiga, menggambarkan tentang sikap

12.3 Studi Kasus

Page 588: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

563

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

melecehkan atasan terhadap bawahan perempuan yang berkaitan dengan hak reproduksi perempuan tersebut.

Pekerja perempuan pada masing-masing kasus menempuh jalur yang berbeda untuk mengakses keadilan. Pada kasus pertama, upaya pekerja perempuan menggugurkan aturan perusahaan yang bersifat diskriminatif dilakukan baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Pekerja perempuan pada kasus kedua memilih untuk mengadukan nasibnya pada Dinas Nakertrans dan pemerintah daerah setempat. Kasus ketiga diselesaikan secara internal di dalam instansi itu sendiri.

12.3.1 Diskriminasi PramugariKasus pertama ini terjadi pada suatu perusahaan penerbangan

milik pemerintah Indonesia. Pekerja perempuan pada perusahaan tersebut merasa dirugikan dengan adanya peraturan yang mengandung pembedaan berbasis gender. Adapun pembedaan tersebut mencakup: usia pensiun yang berbeda antara pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan, standar kondisi fisik pekerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan serta larangan untuk hamil bagi pekerja perempuan.

-----------------------------------------------------

Kasus Diskriminasi Pramugari PT GI28

Kasus fenomenal ini terjadi dalam rentang tahun 1998 sampai dengan tahun 2000-an. Beberapa kebijakan perusahaan PT GI yang bias gender antara lain: pertama, usia pensiun untuk pramugari lebih dini dibanding pramugara. Perusahaan menetapkan peraturan bahwa pramugari harus pensiun pada usia 46 tahun, sedangkan para pramugara pada usia 56 tahun.

Kedua, para pramugari mengalami diskriminasi persyaratan fisik yang tidak diberlakukan kepada pramugara, antara lain perempuan tidak boleh memiliki

28 http://www.tempo.co/read/news/2002/12/18/05535304/Pramugari-Garuda-Tuntut-Penghapusan-Diskriminasi juga dalam tulisan Brahmanie Hastawati, Kasus Diskriminasi Terhadap Perempuan Pramugari di “PT. GI” (Sebuah Kisah Pengalaman) dalam Buku Sulistyowati Irianto (Ed), Perempuan dan Hukum : Menuju Hukum Yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006), hal. 477- 485.

Page 589: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

564

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

jerawat, model rambut ditentukan, pada betis dan lengan tidak boleh ada bekas luka, panjang dan bentuk kuku ditentukan, berat badan sangat ketat diawasi dan lain-lain.

Ketiga, peraturan perusahaan menetapkan bagi pramugari yang hamil harus mengambil cuti di luar tanggungan perusahaan selama dua tahun. Setelah masa itu lewat, pihak perusahaan tidak menjamin sang pramugari bisa bekerja kembali atau tidak. Akibatnya, sering terjadi aborsi di kalangan pramugari hanya agar mereka tetap bisa bekerja di maskapai penerbangan nasional ini.

Penyelesaian Kasus Terjadinya kebijakan yang mengandung muatan diskrimi-nasi terhadap perempuan (pramugari) oleh perusahaan dianggap tidak melanggar aturan oleh karena kebijakan dalam peraturan itu telah disepakati terlebih dahulu dengan para pekerja.

Dapat diasumsikan di perusahaan tersebut telah ter dapat peraturan perusahaan yang tidak berperspektif perempuan, bias gender, sehingga menimbulkan ketidak-adilan gender.

Kasus ini penyelesaiannya telah dilakukan secara bipartit dan mediasi. Kegagalan perundingan bipartit antara pekerja dengan perusahaan, yang dalam hal ini juga diwakili oleh penasihat hukum para pekerja, tidak mencapai titik temu. Malahan mendapat penegasan akan dilakukannya PHK terhadap 94 pramugari eks cuti hamil dengan alasan tidak ada formasi, sedangkan pada sisi lain perusahaan justru melakukan perekrutan pramugari besar-besaran untuk dijadikan pramugari kontrak. (Brahmanie Hatawati (2006), 476-477).

Gagalnya perundingan tersebut dikarenakan sangat minimnya perspektif perempuan yang dimiliki para perunding yang kesemuanya berjenis kelamin laki-laki (manajemen perusahaan, Serikat Pekerja dan penasihat hukum), sehingga tidak mampu menyelami betapa banyak penindasan terstruktur pada para perempuan pramugari

Page 590: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

565

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

yang di antaranya penetapan pensiun dini dan cuti hamil di luar tanggungan perusahaan.

Jalur politis kemudian dilakukan oleh perkumpulan Awak Kabin Perempuan PT GI (PAKP) ke DPR RI Komisi V, VI dan IX dan melaporkan kembali pada Meneg PP dan Menakertrans, bahkan pada Presiden RI.

Blow up kasus ini ke media massa dilakukan oleh Kelompok Kerja Convention Watch Universitas Indonesia sehingga kasus ini ramai dibicarakan pada waktu itu, namun perusahaan tetap kukuh pada pendiriannya. Selanjutnya Kelompok Kerja Convention Watch Universitas Indonesia bersama Konsorsium Bantuan Hukum-nya mengajukan somasi hingga 3 kali pada PT GI.

Angin segar datang bersamaan dengan adanya perintah dari Menakertrans dan Meneg BUMN pada waktu itu untuk mencabut peraturan perbedaan usia pensiun. Akhirnya Meneg BUMN mengeluarkan Surat No. S-244/MBU/2003 (19 Agustus 2003) pada Direktur PT GI untuk segera mengubah batas usia pensiun pramugari dari 46 tahun menjadi 56 tahun sebagaimana diatur dalam UU.

AnalisisI. Perusahaan berdiri di atas pendirian bahwa peraturan

yang diberlakukannya tersebut adalah hasil kesepakatan dengan para pekerja. Dalam dunia ketenagakerjaan, peraturan di tempat kerja memang terdiri atas peraturan yang dibentuk oleh pembuatan UU (lembaga legislatif dan atau eksekutif) yang dibuat sebagai aturan heteronom. Selain itu ada pula peraturan otonom yang diciptakan oleh perusahaan sendiri (Peraturan Perusahaan) atau bersama dengan pekerja melalui serikat pekerja yang dikenal dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Meskipun PKB dibentuk dengan perundingan dan hasilnya dianggap kesepakatan bersama, namun apabila secara materiil ada hal yang isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (heteronom), maka sesungguhnya peraturan

Page 591: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

566

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

otonom itu memiliki cacat hukum dan dapat dibatalkan. Apalagi dalam konteks ini yang terjadi adalah adanya standar yang lebih rendah yang berlaku pada pramugari, sedangkan peraturan perundang-undangan tidak satu pun memberikan peluang perlakuan berbeda dalam hal usia pensiun, cuti hamil dan melahirkan.

II. Rendahnya perspektif perempuan yang dimiliki pihak manajemen perusahaan, pengurus Serikat Pekerja dan Penasihat Hukum telah membuktikan memberi kerugian pada perempuan, alih-alih mendapat dukungan justru penegasan atas PHK pramugari yang telah menjalani cuti hamil/melahirkan. Di balik kejadian ini adalah bahwa kodrat reproduksi yang melekat pada perempuan dijadikan alasan untuk membuat aturan berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam lapangan dan jenis pekerjaan yang sama. Bukankah hamil dan melahirkan memang akan dialami oleh perempuan sebagai kodrat yang diberikan oleh Tuhan.

-----------------------------------------------------

12.3.2 Upah Dipotong Saat Cuti MelahirkanDalam kasus ini, pekerja perempuan dari suatu perusahaan

bernama PT SPM, dipekerjakan di PT Pertamina dari tahun 2005 sampai tahun 2007. Ketika mereka melaksanakan cuti hamil/melahirkan, upah/gajinya dipotong oleh PT SPM dengan alasan perusahaan akibat cuti hamil, karyawatinya itu terpaksa harus menyediakan tenaga pengganti untuk menyelesaikan pekerjaan di PT Pertamina. Upah dari pekerja pengganti tersebut dibayar PT SPM dari pemotongan atas gaji karyawati yang cuti hamil, sebesar Upah Minimum Regional (UMR). Sisanya, yaitu tunjangan dan honor lain di luar gaji pokok tersebut tetap dibayarkan kepada pekerja yang sedang menjalankan cuti hamil/melahirkan.

Page 592: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

567

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

-----------------------------------------------------

Kasus Pemotongan Upah Saat Cuti Melahirkan 29

Perusahaan PT SPM dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 telah mempekerjakan tenaga kerja yang dipekerjakan di PT Pertamina Cabang Pemasaran Kupang sebanyak 19 orang, yang terdiri atas 9 orang tenaga kerja perempuan dan 10 orang tenaga kerja laki-laki. Selanjutnya, terhitung sejak tanggal 1 Januari 2007 terdapat 2 orang tenaga kerja perempuan yang pindah ke perusahaan lain, yakni PT SKK, akan tetapi tetap dipekerjakan di PT. Pertamina Cabang Pemasaran Kupang. Kebutuhan pihak PT Pertamina Cabang Pemasaran Kupang terhadap suplai pekerja dari PT SPM cukup penting, sehingga walaupun secara formal terdapat 2 pekerja yang keluar dari PT SPM dan bekerja pada PT SKK, akan tetapi tetap dipekerjakan sebagai pekerja pada PT Pertamina Cabang Pemasaran Kupang.

Pekerja perempuan pada PT Sandhy Putra Makmur yang dipekerjakan di PT Pertamina dari tahun 2005 sampai tahun 2007 yang telah melaksanakan cuti hamil/melahirkan sebanyak 4 orang. Perusahaan lantas memotong upah mereka yang melaksanakan cuti hamil/melahirkan. Alasan karena PT wajib memberikan tenaga pengganti dari pekerja yang melaksanakan cuti hamil/melahirkan atau berhalangan hadir kepada pengguna. Hal itu dengan cara pembayaran upah yang dipotong diberikan untuk tenaga pengganti yang dibayarkan kepadanya sebesar Upah Minimum Regional (UMR), sedangkan sisanya berupa tunjangan dan lain-lain dibayarkan kepada pekerja yang sedang menjalankan cuti hamil/melahirkan atau berhalangan hadir.

29 Landunau dan Asri Wijayanti, Pemotongan Upah Saat Cuti Melahirkan, (Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jurnal Yustitia vol. 1 No. 2, Oktober 2007), hal. 223-241.

Page 593: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

568

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

Telah ada upaya sendiri dari pihak pekerja perempuan untuk menyelesaikan permasalahan pemoto-ng an upah akibat mengambil hak cuti saat hamil/melahirkan, yakni dengan mengadu ke pihak perusahaan pemberi kerja serta pemerintah Kota Kupang melalui Dinas Nakertrans.

-----------------------------------------------------

12.3.3 Pembatasan atas Hak Reproduksi PerempuanKasus ketiga ini berisi pengalaman seorang pekerja perempuan

di suatu perusahaan media di Indonesia. Perempuan ini pada saat bekerja memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2, sekaligus juga ternyata dia menemukan bahwa dirinya hamil. Perempuan ini kemudian mengajukan izin untuk cuti hamil. Oleh atasan langsungnya, cuti tidak diberikan. Malah perempuan tersebut dilecehkan secara verbal oleh sang atasan dengan pernyataan bahwa perempuan tersebut sangat serakah karena selain bekerja dan sekolah, dia juga hamil. Kasus ini diselesaikan kemudian secara internal menurut penulis.

-----------------------------------------------------

Kasus Pekerja Perempuan dan Fungsi Reproduksinya30

Di beberapa perusahan seperti perbankan dan media massa, hak-hak reproduksi perempuan dipasung. Ada satu contoh yang dekat dengan saya. Seorang teman memutuskan untuk melanjutkan S2 (pascasarjana) tanpa sepengetahuan atasan, dan juga sedang hamil. Ia dihadapkan dengan pilihan dilematis, yaitu memilih untuk

30 Sobar Hartini, Pengarusutamaan CEDAW dan Hak Sipil (Perempuan), Makalah Disampaikan pada Forum Diskusi Interseksi, “Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia II”, (27-29 Januari 2003, Kuningan, Jawa Barat) dapat diunduh di http://interseksi.org/publications/essays/articles/cedaw.html

Page 594: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

569

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tetap sekolah atau berhenti bekerja. “Anda ini serakah sekali, bekerja kemudian sekolah dan hamil...” Begitulah kalimat melecehkan dari sang atasan. Perempuan ini kemudian mengajukan keberatan kepada pemimpin perusahaan dan kasusnya diakhiri dengan damai. Selain itu, ia diberi cuti hamil, sedangkan tindakan diskriminatif sang atasan dipeti-eskan. Kasus ini terjadi di sebuah perusahaan media No. 1 di Indonesia.

-----------------------------------------------------

11.3.4 Hasil Penelitian Terkait Pekerja/Buruh PerempuanFakta empirik tentang pembedaan perlakuan yang dialami

oleh pekerja perempuan tidak berhenti hanya pada ketiga kasus di atas. Pada bagian ini penulis memaparkan temuan hasil penelitian yang memperkuat fakta bahwa meskipun Indonesia telah memiliki berbagai peraturan perundangan yang seyogianya melindungi hak-hak perempuan yang bekerja di sektor formal, tetap terjadi kesenjangan dan pembedaan terhadap pekerja perempuan.

Krisis dan Buruh Pabrik: Dampak dan Masalah ‘Gender’31

Penelitian dilakukan dengan melakukan investigasi pada bulan Oktober-Desember 1998, di wilayah yang memiliki konsentrasi buruh perempuan cukup besar, yaitu di empat provinsi: Jawa Barat (Bogor, Tangerang, Bekasi), DKI Jakarta, Jawa Timur (Surabaya dan Sidoarjo) dan Sulawesi Selatan. Penekanan studi ini diletakkan pada aspek dampak krisis yang spesifik terhadap buruh perempuan dan perbandingannya dengan buruh laki-laki.

Satu di antara beberapa tujuan penelitian adalah menyoroti pengaruh strategi perusahaan dalam menghadapi krisis, khususnya pengaruh terhadap kondisi kerja, peluang kerja dan kesejahteraan buruh perempuan dan laki-laki. Pengumpulan data dilakukan dengan survei primer, wawancara mendalam dan penerapan partisipatif.

31 Penelitian ini merupakan kerja bersama antara AKATIGA dengan ASEM Trust Fund melalui World Bank, dan ILO serta Women Support Project CIDA, dapat diunduh dari http://www.akatiga.or.id

Page 595: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

570

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

Dalam penelitian diperoleh banyak temuan yang terkait erat dengan perempuan, yaitu:

l buruh perempuan cenderung lebih pasif dan menerima keputusan perusahaan berkaitan dengan rasionalisasi: mengurangi waktu kerja, merumahkan buruh dan mem-PHK secara besar-besaran, sedangkan kasus perlawanan umumnya dimotori oleh buruh laki-laki,

l perusahaan cenderung merekrut buruh perempuan muda belia untuk mengganti buruh perempuan yang sudah tua dan buruh laki-laki. Strategi ini, sekalipun terkesan tidak konsisten dari sisi upaya peningkatan efisiensi, tapi dapat dijelaskan sifat dan karakteristik pekerjaan di industri yang mayoritas buruhnya perempuan. Karateristik itu, pekerjaannya sangat spesifik, sederhana dan repetitif, yang dapat segera dikuasai tanpa membutuhkan pelatihan secara mendalam. Sebagai pekerjaan yang dikategorikan tidak membutuhkan keterampilan, maka upah yang diberikan tidak perlu tinggi dan perempuan (dengan mitos ‘jari jemarinya yang halus’) merupakan tenaga yang sangat tepat untuk melakukannya,

l salah satu konsekuensi adanya kecenderungan memilih buruh perempuan muda adalah menyempitnya kesempatan kerja bagi perempuan berkeluarga di sektor formal. Sebagai tambahan, perempuan kelompok ini dipaksa beralih ke sektor informal, baik di sektor industri, maupun jasa. Kegiatan ekonomi pada sektor informal, misalnya berdagang kecil-kecilan dan menjadi pembantu rumah tangga, adalah rentan dari sisi perlindungan dan tingkat penghasilan,

l perubahan status hubungan kerja dari hubungan kerja formal menjadi hubungan kerja yang lebih informal terdapat dalam dua bentuk: kasualisasi dan memindahkan pekerjaan dari pabrik ke rumah buruh. Sebagai contoh, pembekuan ikan di Sulawesi Selatan, misalnya, dalam rangka merespon dampak krisis telah merekrut buruh-buruh perempuan baru dengan status kontrak. Dengan sistem ini, perusahaan hanya mempunyai kewajiban kepada buruh ketika ada pekerjaan. Sistem ini menjadi sangat tepat untuk industri yang mayoritas buruhnya perempuan karena membebaskan perusahaan dari

Page 596: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

571

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

keharusan membayar berbagai kewajiban seperti cuti haid, cuti melahirkan, biaya kesehatan maupun libur tahunan,

l strategi lain yang dilakukan oleh beberapa perusahaan dalam menghadapi krisis adalah memindahkan sebagian proses pekerjaan keluar dari pabrik. Buruh-buruh perempuan yang telah berkeluarga diberi pilihan oleh perusahaan untuk membawa pekerjaan ke rumah dan menyerahkan kembali hasil kerja yang telah diselesaikan, dengan sistem borongan. Bagi sebagian buruh, model produksi seperti ini dianggap menguntungkan karena dapat dilakukan sambil mengurus rumah tangga. Walaupun untuk dapat menghasilkan upah yang lebih banyak, mereka harus mencurahkan waktu bekerja lebih panjang karena mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menunaikan kewajiban-kewajiban rumah tangganya. Strategi ini merupakan strategi yang menguntungkan bagi perusahaan karena mengurangi biaya produksi, walaupun perlu diterapkan peraturan untuk menjaga kualitas. Strategi ini juga disukai perusahaan karena mengurangi tekanan solidaritas dan perlawanan buruh, serta menghindari strategi tuntutan massal,

l meskipun perusahaan yang mengalami dampak positif akibat krisis ataupun perusahaan yang mampu bertahan telah memberikan peningkatan upah rata-rata 16% sesuai dengan ketetapan kenaikan UMR, kesenjangan antara penghasilan dan pengeluaran masih saja besar. Salah satu temuan yang sangat penting dan menarik adalah bahwa dibandingkan buruh laki-laki, lebih banyak buruh perempuan yang mengalokasikan penghasilannya untuk membiayai kebutuhan keluarga di tempat asal, terutama untuk makan dan pendidikan. Di antara buruh perempuan sendiri, buruh perempuan lajang lebih banyak mengalokasikan penghasilannya kepada keluarga dibandingkan perempuan menikah, juga terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pendidikan. Hal ini mencerminkan kontribusi buruh perempuan yang nyata terhadap kelangsungan hidup keluarganya,

l perempuan dan laki-laki memiliki respon yang berbeda terhadap PHK yang mereka alami. Buruh PHK laki-laki, terutama yang

Page 597: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

572

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

telah berkeluarga segera mencari alternatif dengan berusaha di sektor informal, terutama jasa dan perdagangan. Sebaliknya buruh PHK perempuan, terutama yang lajang masih tetap berusaha mencari pekerjaan di pabrik sambil mengandalkan hidupnya pada uang pesangon atau bantuan keluarga.

Bagi buruh PHK perempuan yang berkeluarga, kecenderungan penurunan kesejahteraan jauh lebih nyata. Semua pengeluaran harus ditekan dan beberapa pengeluaran lain harus dihilangkan. Prioritas pengeluaran tetap untuk makan. Berbagai strategi yang dilakukan di antaranya: berutang ke warung, menjual/menggadaikan barang, menggunakan tabungan anak, mengandalkan sumbangan keluarga, mengandalkan penghasilan suami, mencoba berdagang kecil-kecilan - biasanya berjualan makanan - atau menjadi pembantu rumah tangga. Strategi lain adalah mengerahkan anggota keluarga, khususnya anak-anak, untuk mencari penghasilan tambahan.

Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia

Temuan penting dalam studi ini adalah dampak negatif dari upah minimum sangat dirasakan oleh kelompok yang mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan dalam kondisi pasar tenaga kerja, seperti pekerja perempuan, pekerja muda usia dan pekerja berpendidikan rendah. Bagi pekerja perempuan dan muda usia, elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap upah minimum lebih besar dari 0,3. Implikasinya adalah setiap 10% kenaikan upah minimum riil akan mengakibatkan penurunan penyerapan tenaga kerja perempuan dan muda usia dengan lebih dari 3%.32

Sekalipun Indonesia telah memiliki seperangkat peraturan ketenagakerjaan dan telah meratifikasi berbagai konvensi internasional yang menjadi landasan hukum bagi penyelenggaraan perlindungan hak-hak pekerja perempuan, dalam prakteknya masih terdapat pembedaan perlakuan terhadap pekerja laki-laki dan

12.4 Refleksi dan Penutup

32 Lembaga Penelitian SMERU, ‘Ringkasan Eksekutif: Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia’(2001) USAID/PEG.

Page 598: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

573

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

perempuan. Pembedaan tersebut masih hadir disebabkan beberapa hal. Pertama, dalam tubuh peraturan itu sendiri masih terdapat celah yang

memungkinkan tidak dilaksanakannya perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja, seperti yang ditemukan pada pembahasan tentang perlindungan atas hak cuti haid pekerja perempuan. Kedua, tidak tersedianya mekanisme pemaksa supaya suatu peraturan ketenagakerjaan itu dilaksanakan secara menyeluruh di perusahaan-perusahaan. Ketiga, pihak pekerja sendiri masih memiliki posisi tawar yang rendah sehingga rentan terhadap tekanan dari pihak perusahaan. Akibat posisi tawar yang rendah itu, pihak pekerja sering gagal dalam upaya mengakses hak-haknya.

Pada kasus PT GI, para pekerja perempuan berhasil mendorong perusahaan mengubah aturan yang bersifat diskriminatif karena mereka menerapkan beberapa strategi. Pertama, menggalang kekuatan secara internal di kalangan pekerja sendiri. Kedua, mengajukan kasus tersebut ke ranah publik sehingga mendapat dukungan dari berbagai pihak. Ketiga, selain menempuh jalur hukum, para pekerja juga berupaya memperjuangkan hak-haknya lewat jalur politik dengan mengadukan kasusnya ke DPR maupun pihak-pihak lain yang menaruh simpati atas kasus tersebut.

Latihan (untuk Mahasiswa Peserta Kelas Klinik)Setelah membaca keseluruhan Bab tentang Buruh Perempuan Sektor

Formal, silakan menjawab beberapa pertanyaan latihan berikut ini.

1. Bagaimana pengaturan terkait pekerja/buruh perempuan khusus nya dalam Konvensi internasional, relevankah dengan kebutuhan masyarakat Indonesia?

2. Apakah instrumen peraturan secara internasional tersebut telah diakomodir dalam peraturan nasional Indonesia?

3. Sebutkan dasar konstitusional perlindungan terhadap pekerja/buruh perempuan di Indonesia?

4. Apakah perlakuan khusus terhadap pekerja/buruh perempuan merupakan diskriminasi?

Page 599: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

574

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

5. Apa saja dasar hukum yang menetapkan perempuan berhak atas istirahat/cuti haid yang pernah berlaku di Indonesia?

6. Apakah makna dari kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja?

7. Apakah perlakuan setara dapat dipastikan memberi keadilan, baik bagi laki-laki maupun perempuan di tempat kerja?

8. Apa saja keunggulan kompetitif yang dimiliki pekerja/buruh perempuan?

9. Apa saja yang menjadi dasar pertimbangan perusahaan/majikan lebih memilih perempuan muda sebagai pekerja/buruh? Apakah ini dapat menimbulkan ketidakadilan gender?

10. Bagaimana pelaksanaan cuti haid menurut peraturan? Terkait izin, surat keterangan dokter/bidan, upah saat cuti?

11. Masih perlukah cuti haid/menstruasi dilaksanakan dewasa ini? Alasan apa yang mendasari jawaban tersebut? Dan bagaimana prosedur pelaksanaan yang terbaik?

Page 600: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

575

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Daftar Pustaka Bab 12 AKATIGA. (----) Krisis dan Buruh Pabrik: Dampak dan Masalah ‘Jender’. Dengan

ASEM Trust Fund melalui World Bank, ILO, serta Women Support Project CIDA. Dapat diunduh di http://www.akatiga.or.id

Hartini, Sobar. (2003) “Pengarusutamaan CEDAW dan Hak Sipil (Perempuan)”. Makalah disampaikan pada Forum Diskusi Interseksi, Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia II, 27-29 Januari 2003, Kuningan, Jawa Barat. Dapat diunduh di http://interseksi.org/publications/essays/articles/cedaw.html

Hastawati, Brahmanie. (2006) “Kasus Diskriminasi terhadap Perempuan Pramugari di ‘PT. GI’: Sebuah Kisah Pengalaman”, dalam Sulistyowati Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

ILO, R111. (1958) Rekomendasi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan).

ILO dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (2011) Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Jakarta: ILO dan Kemenakertrans RI.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (2011) Profil Perempuan Indonesia.Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Dapat juga diakses dalam http://www.menegpp.go.id.profilperempuanindonesia.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. (2012) Panduan Kesetaraan dan Nondiskriminasi di Tempat Kerja di Indonesia. Jakarta: Kemenakertrans RI.

Khopiatuziadah. (2010) “Perlindungan Hak Reproduksi Wanita: Hamil, Melahirkan dan Menyusui – Perspektif Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol.7, No.2 Agustus.

Kotiranta, Annu dan Anne Kovalainen, Petri Rouvinen. (2007) “Female Leadership and Firm Profitability”, dalam EVA Analysis. No. 3. Helsinki: Finnish Business and Policy Forum (EVA).

Landunau, dan Asri Wijayanti. (2007) “Pemotongan Upah Saat Cuti Melahirkan”. Jurnal Yustitia. Vol.1, No. 2, Oktober. Surabaya: Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Page 601: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

576

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL

McKinsey & Company. (2007) Women Matter: Gender Diversity, a Corporate Performance Driver. Paris.

Office of the United High Commissioner for Human Rights. (----) Committee on the Elimination of Discrimination against Women dalam http://www2.ohchr.org/english/bodies/cedaw/. Akses 1 Juni 2013.

SMERU. (2001) Ringkasan Eksekutif Laporan Penelitian Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah. Didukung USAID/PEG.

Tjandraningsih, Indrasari (1999) “Krisis dan Buruh Pabrik: Dampak dan Masalah Jender” (The Crisis and Factory Workers: Some Gender Issues). Jurnal AKATIGA. No. 06 / June-July.

Women Research Institute. (----) Kehadiran Perempuan di Pabrik: Kilas Balik Sejarah, dalam http://wri.or.id/penelitianpolitikdanperempuan/KehadiranPerempuandiPabrik, Akses tanggal 11 Oktober 2012.

Sumber Lainnya

http://akuindonesiana.wordpress.com/pelecehan-seksual-di-tempat-kerja/. Akses tanggal 13 April 2013. Pelecehan Seksual di Kantor, Berita Informasi Seputar Indonesia Terkini, Kisah Seputar Kehidupan Masyarakat Indonesia

http://interseksi.org/publications/essays/articles/cedaw.html. Akses tanggal 2 Juni 2012.

http://news.detik.com/read/2005/10/21/140122/466134/10/lbh-apik-cuti-haidharus-rogoh-kelamin-salahi-uu?nd771104bcj. Akses tanggal 31 Maret 2013.

http://terkini.bbc.web.id/artikel/read/2013/03/27/521/782490/protes-kebijakantentang-cuti-haid-300-buruh-mogok-kerja

http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/trend/12/03/08/m0jzbu-duhkekerasan-seksual-terhadap-perempuan-sering-terjadi-di-tempat-kerja. Akses tanggal 26 Desember 2012.

http://www.tempo.co/read/news/2002/12/18/05535304/Pramugari-Garuda-Tuntut-Penghapusan-Diskriminasi. Akses tanggal 31 Maret 2013.

Page 602: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

577

BAB 1 2 BURUH PEREMPUAN DI SEKTOR FORMAL HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

http://www2.ohchr.org/english/bodies/cedaw/membership.htm. Akses 1 Juni 2013.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dalam http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/sukses-menyusui-saat-bekerja.html

Kompas. http://lipsus.kompas.com/workingmom/read/2011/10/24/15494079/Tak Cukup.Perlakuan.Setara.untuk.Ibu.Bekerja. Akses tanggal 31 Maret 2013.

Republika Online.Perlunya Pemenuhan Hak Dasar Pekerja Perempuan. Akses tanggal 31 Maret 2012.

Suara Merdeka Online, Sudahkah Hak Pekerja Wanita Diperhatikan Perusahaan? 17 Juli 2012.

Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Menstruasi, Akses tgl 31 Maret 2013

Page 603: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

578

Page 604: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN

DAN PERSOALAN HUKUMNYA

Lina Hastuti

Page 605: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

580

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

Bab ini akan membahas beberapa permasalahan hukum yang dihadapi perempuan pekerja domestik migran asal Indonesia. Permasalahan tersebut terkait dengan berbagai aturan hukum internasional dan nasional. Untuk memperjelas permasalahan, tulisan akan dilengkapi dengan analisis terhadap dua kasus yang menimpa perempuan pekerja domestik migran. Pertama kasus yang menimpa Nirmala Bonat yang bekerja di Malaysia. Kedua, kasus Ruyati buruh migran yang bekerja di Saudi Arabia.

Pekerja migran Indonesia, selanjutnya disebut dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) didominasi oleh perempuan pekerja domestik migran.1 Para perempuan ini, di negara-negara tujuan mereka, terutama Arab Saudi dan Malaysia, seringkali menjadi korban yang dirugikan oleh majikan. Bentuk-bentuk tindakan majikan yang merugikan para perempuan tersebut antara lain: gaji tidak dibayarkan, kejahatan seksual2, kekerasan psikis, maupun kekerasan fisik. Dalam beberapa kasus di mana perempuan pekerja domestik migran berhadapan dengan tindakan majikan yang merugikan dirinya, mereka lantas terpaksa melakukan perlawanan, yang kemudian oleh hukum negara setempat dikategorikan sebagai tindak pidana. Akibatnya kemudian, perempuan pekerja domestik migran tersebut terancam dijatuhi hukuman mati.

Para perempuan pekerja domestik migran selain berhadapan dengan tindakan majikan yang merugikan dirinya juga harus berhadapan dengan

13.1 Pengantar

1 Berdasarkan laporan International Organization for Migration (IOM) tahun 2010, pekerja migran perempuan persentasenya mencapai 69% dari keseluruhan jumlah pekerja migran asal Indonesia. IOM. Tenaga Kerja dari Indonesia: Gambaran Umum Migrasi Tenaga Kerja Indonesia di beberapa Negara Tujuan di Asia dan Timur Tengah. Jakarta, 2010: hal. 8)

2 Untuk pengertian tentang ‘kejahatan seksual’ dapat dilihat pada Bab 3 dari buku ini.

BAB 13

Perempuan Pekerja Migran dan Persoalan Hukumnya

Page 606: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

581

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

pandangan sosial budaya masyarakat terhadap pekerjaan domestik. Pekerjaan domestik sering diposisikan sebagai pekerjaan rendah, khas perempuan, berurusan dengan hal kotor dan merupakan pekerjaan yang tidak mendapat penghargaan setara dengan pekerjaan yang dilakukan pada sektor publik. Pembuat kebijakan, majikan, agen tenaga kerja maupun masyarakat sering memandang kerja perempuan sebagai pekerja rumah tangga merupakan kelanjutan yang wajar dari peran tradisional perempuan sebagai ibu dan pengurus keluarga tanpa dibayar. Hal ini mengesampingkan hubungan kontraktual antara majikan dan pegawai.3

Berbagai ketentuan mengenai perburuhan dari negara-negara di dunia, pada umumnya juga mengabaikan pekerjaan rumah tangga (sektor domestik atau domestic workers), sehingga dibanding dengan pekerja pada sektor lainnya, sektor domestik kurang/tidak mendapatkan perlindungan. Sekalipun dalam tataran hukum internasional terdapat instrumen hukum yang dilahirkan oleh lembaga dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, utamanya ILO (Internasional Labour Organization) dan berbagai kesepakatan pada tingkat ASEAN, yang bisa digunakan sebagai perisai perlindungan bagi perempuan pekerja domestik migran, namun, sedikit saja negara yang memiliki instrumen hukum untuk melindungi pekerja migran. Pada umumnya negara-negara tujuan yang menerima perempuan pekerja migran domestik Indonesia, seperti negara-negara Timur Tengah dan Malaysia, tidak cukup memiliki instrumen hukum untuk melindungi para perempuan ini.

Pekerja migran adalah mereka yang bermigrasi dengan tujuan bekerja atau mendapatkan pekerjaan. Dalam konteks migrasi tenaga kerja, terjadi lalu lintas tenaga kerja dari satu negara ke negara lain. Migrasi yang bermakna pergerakan atau perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat yang lainnya, telah dikenal sepanjang sejarah kehidupan manusia. Alasan melakukan migrasi beragam, di antaranya untuk mencari penghidupan yang lebih baik, alasan profesional, kawin dengan orang asing, situasi politik atau bencana alam. Migrasi karena pekerjaan adalah paling banyak terjadi. Dalam hal ini, masyarakat dari kelompok paling miskin di negara-negara berkembang bermigrasi di negara-negara kaya.4

3 Human Rigths Watch, Vol.16 No.9 (c), Juli 2004, hal. 18.4 Sulistyowati Irianto, Akses Keadilan dan Migrasi Global Kisah Perempuan Indonesia Pekerja Domestik di Uni Emirat Arab,

Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia & International Development Research Center Canada (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011) hal. 2.

13.2 Migrasi dan Pekerja Migran

Page 607: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

582

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

Definisi tentang pekerja migran dapat ditemukan dalam produk hukum internasional maupun nasional. Pertama, dalam Pasal 2 Butir 1 Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya5.

Pasal 2Untuk tujuan Konvensi ini:1. istilah “pekerja migran” mengacu pada seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan aktivitas yang dibayar di suatu negara di mana ia bukan merupakan warga negara;

Kedua, dalam Konvensi ILO No. 97 Tahun 1949 Pasal 11 Ayat 1. Dalam Pasal tersebut menurut ILO, pekerja migran atau adalah seseorang yang bermigrasi atau telah bermigrasi dari sebuah negara ke negara lain, dengan gambaran untuk dipekerjakan oleh orang lain selain dirinya sendiri, termasuk siapa pun yang diterima secara reguler sebagai seorang migran, untuk pekerjaan.6 Selain dalam dua Konvensi ILO tersebut di atas, dalam produk hukum negara Indonesia, juga terdapat definisi pekerja migran. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, pekerja migran yang disebut sebagai TKI, adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja, untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Merujuk pada beberapa definisi di atas, pekerja migran dapat diartikan secara ringkas sebagai pekerja yang melakukan migrasi lintas negara dengan tujuan bekerja atau menemukan pekerjaan. Saat ini jumlah pekerja migran didominasi oleh perempuan. Dari sekitar 190-an juta pekerja migran di dunia, hampir separuhnya adalah perempuan. Sementara di Indonesia, berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dari keseluruhan penempatan pekerja migran Indonesia yang berjumlah 126.031 orang, sebanyak 98.372 (78,05%) di antaranya perempuan. Sisanya laki-laki, sebanyak 27.659 orang atau kurang 21,95%. Khusus untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika, perbandingan perempuan dan laki-laki pekerja migran adalah 30.547 (91,89%) perempuan dan 2.698 (8,11%) laki-laki.7

5 Disahkan Melalui Resolusi Majelis Umum PBB 45/158 pada tanggal 18 Desember 1990 diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 6 Tahun 2012.

6 ILO, Pasal 11 (1) Migration for Employment Convention (Revised) 1949 (No. 97).7 www.bnp2tki.go.id Penempatan Berdasarkan Jenis Kelamin (50 Besar Penempatan per Tahun Berdasar Jenis Kelamin

2006-2012).

Page 608: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

583

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Gambaran lebih jelas terlihat dalam tabel mengenai penempatan berdasarkan jenis kelamin sebagaimana di bawah ini:8

Sumber : www.bnp2tki.go.id

8 Ibid.

Page 609: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

584

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

Tabel di atas menggambarkan bahwa TKI menyebar ke berbagai negara. Saudi Arabia dan Malaysia menjadi negara tujuan favorit, menyusul beberapa negara lainnya, seperti Taiwan, Singapura, Uni Emirat Arab, Hongkong serta negara-negara kawasan Arab lainnya. Jumlah perempuan pekerja domestik migran, sebagaimana terlihat dalam tabel, lebih dominan daripada jumlah pekerja migran laki-laki hampir di semua negara penempatan. Setiap tahun, jumlah pekerja perempuan tersebut juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan angka jumlah pekerja perempuan domestik migran tersebut dapat ditafsirkan sebagai peningkatan pengiriman mereka setiap tahunnya.

Menurut data dari Human Rigths Watch, para migran Asia yang bekerja di luar negaranya, mencakup pekerja dari beragam profesi. Mulai dari para profesional yang mempunyai keahlian tinggi dalam sektor manajemen dan teknologi sampai dengan pekerja kasar. Namun mayoritas tetap didominasi oleh kaum buruh yang dipekerjakan dalam jenis pekerjaan yang bercirikan tiga D, dirty (kotor), difficult (sulit) dan dangerous (berbahaya).9

Perempuan pekerja domestik migran dari Indonesia banyak ditempatkan di Malaysia Hongkong, atau Saudi Arabia dan negara-negara Arab lainnya. Pilihan perempuan pekerja domestik migran untuk pergi ke Malaysia, sebagian besar dilandasi pertimbangan bahwa di kampung halamannya mereka tidak kunjung memperoleh pekerjaan. Kemudian, kedekatan kondisi geografis, sejarah dan budaya antara Malaysia dan Indonesia juga menjadi alasan mayoritas pekerja migran memilih Malaysia sebagai negara tujuan. Faktor lainnya, Malaysia semakin membutuhkan tenaga kerja di sektor industri dan informal sebagai akibat pertumbuhan di bidang ekonomi. Warga Malaysia, termasuk para perempuan banyak yang meninggalkan sektor informal dan mulai bekerja di sektor lainnya dengan gaji lebih tinggi. Kondisi inilah yang menjadi awal kebutuhan adanya jasa pekerja rumah tangga.

Negara lain yang menjadi pilihan para pekerja migran adalah Saudi Arabia dengan alasan adanya kesamaan agama, kemudahan untuk menjalankan ibadah haji/umroh serta upah yang memadai dibandingkan bekerja di dalam negeri. Sayangnya, terdapat beberapa kasus kekerasan yang dialami perempuan pekerja domestik migrant di Saudi Arabia. Berdasarkan beberapa penelitian, misalnya yang dilakukan oleh Irianto, dkk dari Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia pada tahun 2010-2011 ditemukan bahwa tindak

9 Human Rights Watch, Vol. 16 No. 9 (C), hal. 11.

Page 610: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

585

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

kekerasan yang dialami para perempuan pekerja domestik migran (terutama di UEA) salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya persepsi sebagian majikan bahwa pekerja rumah tangga adalah ‘budak’ – karena telah didatangkan dengan biaya yang sangat tinggi, sehingga dapat diperlakukan berdasarkan kehendak Kafil (majikan).

13.2.1 Pekerja Domestik Perempuan Migran Bidang pekerjaan terbesar yang banyak terbuka bagi perempuan migran di beberapa negara adalah sektor domestik. Kondisi tersebut terjadi sebagai akibat meningkatnya kehidupan perekonomian di berbagai negara serta menguatnya peran perempuan yang bekerja di luar rumah, memungkinkan alih peran dari ibu rumah tangga menjadi perempuan karier. Pada situasi seperti ini pekerjaan domestik lantas digantikan oleh perempuan pekerja migran, sehingga kesempatan terbuka lebar bagi TKW untuk mengisinya. Pekerjaan pada sektor domestik adalah pekerjaan paling tua dan paling banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Dalam dekade terakhir di sektor ini terjadi gelombang migrasi yang sangat masif dan global. Permintaan yang sangat besar di negara-negara kaya akan pekerja migran untuk sektor domestik memacu para perempuan yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang cukup, meninggalkan Tanah Airnya menuju negara-negara tersebut.10 Sektor domestik ini sepanjang sejarah sangat terkait dengan perbudakan kolonial. Di Arab Saudi, TKI dianggap sebagai budak belian oleh sang majikan sehingga dapat diperlakukan berdasarkan kehendaknya. Hal tersebut tidak terlepas dari sejarah peperangan masa lalu, di mana dalam peperangan, tawanan perang yang terdiri atas perempuan, anak-anak, dan laki-laki, dianggap sama dengan harta rampasan, sehingga dapat dimiliki, diperjualbelikan, dihadiahkan dan juga diwariskan.11 Pemikiran dan anggapan demikian masih banyak terjadi di masyarakat Saudi Arabia hingga saat ini, meskipun ajaran Islam yang menjadi pijakan dalam sistem pemerintahan negara itu, sebenarnya tidak memperkenankan praktek perbudakan. Larangan itu ditegaskan

10 Sulistyowati Irianto, Loc.Cit, hal. 38-39.11 A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Cet. II, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hal. 281.

Page 611: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

586

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

dalam surat An-Nisa’ Ayat 92,12 surat Al-Ma’idah 8913 dan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra.14 Pemerintah Arab Saudi mengatur tentang buruh migran atau tenaga kerja asing yang bekerja di negara itu dalam Saudi Labour Law.15

Terkait dengan pengertian pekerjaan pada sektor domestik, hampir setiap masyarakat dan bangsa memaknai pekerjaan yang digolongkan sebagai care work in the household atau labour of love ini sebagai pekerjaan yang ruang kerjanya secara khusus berada di dalam rumah.16 Pekerjaan domestik pada umumnya dianggap sebagai lanjutan dari sifat alami perempuan serta pekerjaan tanpa upah dalam keluarga dan rumah tangga. Pekerjaan domestik tidak dinilai sebagai suatu kegiatan ekonomis, sehingga dianggap tidak membutuhkan peraturan dan perlindungan.17 Dalam Konvensi ILO, No. 189 Tahun 2011 terdapat definisi tentang pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang dilaksanakan di atau untuk sebuah atau beberapa rumah tangga. Pekerjaan ini bisa mencakup tugas-tugas seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci dan menyetrika baju, merawat anggota sebuah keluarga anak-anak, lanjut usia atau sakit, berkebun, menjaga rumah, menyetir untuk keluarga tersebut, bahkan merawat binatang peliharaan rumah tangga. Berkaitan cara pandang bahwa pekerjaan sektor domestik berada dalam rumah, di banyak negara pekerjaan ini kurang mendapat perhatian dan tidak diatur dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan. Sebuah

12 Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat daripada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”.

13 Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

14 Barang siapa memerdekakan bagiannya dalam diri seorang budak, kemudian ia masih mempunyai kekayaan yang mencapai harga budak itu, maka budak itu ditaksir menurut harga sepatutnya, lalu ia membayarkan kepada masing-masing kawan berserikatnya yang lain bagian mereka sehingga merdekalah budak itu. Jika tidak, maka ia hanya memerdekakan bagiannya saja.” (Sahih Muslim, hadits No: 2758).

15 Hikmah Ulumiyah, Perlindungan TKW di Negara dengan Sistem Hukum Islam (Studi Kasus Arab Saudi), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2013, hal. 32-33.

16 Sulistyowati Irianto,Op.Cit., hal. 39-40. 17 ILO, Tinjauan Permasalahan terkait PRT di Asia Tenggara, Jakarta, 2006, hal. 11.

Page 612: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

587

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

studi ILO tentang undang-undang nasional di 65 negara di seluruh dunia menemukan, hanya 19 negara yang memiliki perundangan atau peraturan yang melindungi pekerja domestik. Bahkan kalaupun terdapat pengaturan, seringkali perlindungan atas hak-hak pekerja domestik migran tidak sebaik perlindungan untuk para pekerja formal. Di beberapa negara misalnya di Saudi Arabia, aturan mengenai buruh migran atau tenaga kerja asing ditetapkan dalam Bab II bagian ke-tiga Private Offices for Recruitment of Citizens and Private Offices for Recruitment from Abroad dan Bab III Employment of Non-Saudis. Ketentuan ini mengatur pekerja migran secara umum. Kedudukan, hak dan kewajiban pekerja domestik migran belum secara khusus diatur dalam produk hukum ketenagakerjaan yang dihasilkan pemerintah Saudi Arabia ini.18

Di Malaysia, pekerja domestik dikecualikan dari Nota Kesepakatan Bersama (MoU) tentang pekerja migran yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dengan Malaysia pada tahun 2004. Pertimbangannya, pekerjaan tersebut dikualifikasikan sebagai ‘non-ahli.’ Sebagai akibat dari pengecualian tersebut maka nyaris tidak ada landasan hukum bagi perlindungan hak-hak pekerja domestik migran yang bekerja di Malaysia. Hal tersebut terlihat nyata dalam laporan Human Rigths Watch, di mana Pemerintah Malaysia tidak menangani langsung, bahkan menyerahkan sebagian besar kasus pelecehan di tempat kerja untuk diselesaikan oleh para agen atau penyalur.

Situasi serupa juga ditemui di Singapura. Pemerintah Singapura dalam produk hukumnya, Employment Act dan Workmen’s Compensation Act tidak mengikutsertakan pekerja domestik dalam perlindungan yang diberikan. Khusus untuk aturan mengenai pekerja migran, Foreign Workers Act dan Employment Agencies Act Singapura menawarkan standar perlindungan yang lebih rendah bagi pekerja sektor domestik dibanding dengan perlindungan bagi pekerja sektor formal. Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, saat ini di Singapura, telah ada Peraturan/Kebijakan Ketenagakerjaan. Ketentuan dasar yang tercantum dalam peraturan di Singapura tersebut dijadikan pedoman bagi para pengguna/majikan (Employer Guideline) apabila ingin mempekerjakan warga

18 Hukmah Ulumiyah, Op.Cit,, hal. 15-16.

Page 613: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

588

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

asing, khususnya sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT). Berikut pedoman tersebut.19

1. Memahami kesulitan yang dihadapi oleh PLRT di awal masa pekerjaan, mengingat perbedaan bahasa, kebiasaan tinggal di apartemen, penggunaan peralatan modern dan perbedaan budaya.

2. Memperhatikan kesejahteraan para PLRT, dengan memper-hati kan aspek istirahat, akomodasi, kesehatan (majikan harus membayar penuh atas biaya kesehatan termasuk apabila diperlukan perawatan di rumah sakit), asuransi (asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan), komunikasi, family integration (majikan harus berusaha membuat PLRT untuk tinggal nyaman/kerasan dan meminimalisasi potensi konfilk akibat perbedaan yang ada dan menciptakan kondisi kerja yang aman.

3. Adanya kontrak kerja, yang mengatur hak dan kewajiban PLRT maupun majikannya. Untuk dua tahun pertama periode pekerjaan, para agency diwajibkan mengeluarkan kontrak kerja yang telah distandarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja Singapura. Sedangkan untuk periode perpanjangan kontrak maka KBRI telah menyiapkan fasilitasi perpanjangan kontrak kerja di Fungsi Perlindungan WNI.

4. Gaji (harus dibayarkan tepat waktu setiap bulannya, baik dalam bentuk tunai maupun rekening bank dan apabila hasil pekerjaan memuaskan, maka majikan juga diminta untuk mereview besaran gaji sesuai dengan hasil pekerjaan PLRT).

5. Penghentian kontrak (termination). Peraturan menetapkan bila majikan memberhentikan pekerjaan seorang PLRT maka harus dipastikan seluruh kewajiban sebagai majikan baik gaji maupun kompensasi lainnya telah dipenuhi.

6. Pemulangan (repatriation). Peraturan menetapkan majikan me-nang gung sepenuhnya biaya pemulangan PLRT ke Tanah Air.

7. Security bond (majikan menyimpan security deposit sebesar $5000 dalam bentuk guarantee bank untuk setiap PLRT yang

19 KBRI Singapura, Peraturan/Kebijakan Ketenagakerjaan di Singapura, Paparan KBRI Singapura dalam Pertemuan Kelompok Ahli, Surabaya, 16 September 2011.

Page 614: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

589

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

dipekerjakan, apabila majikan dianggap lalai maka uang tersebut akan hilang).

8. Kekerasan/pelecehan terhadap PLRT (setiap bentuk kekerasan dalam mempekerjakan PLRT akan diinvestigasi oleh kepolisian Singapura yang konsekuensi selanjutnya adalah penjara dan atau denda). Jenis hukuman hingga 20 tahun di penjara akan dikenakan bervariasi tergantung dari kategori tindak kriminal yang dilakukan.

9. Illegal Employment/deployment. Dalam ketentuan ini, seorang PLRT hanya diperbolehkan bekerja untuk keperluan rumah tangga di tempat/alamat yang tertulis dalam kartu work permit.

10. Settlement of disputes. Saluran pengaduan untuk setiap per-masalahan yang dihadapi akibat hubungan kerja yang tidak baik antara majikan dengan PLRT ataupun majikan dengan employment agencynya. Untuk itu, telah diberikan saluran pengaduan melalui hotline 64385122 ataupun form feedback – wellbeing yang tersedia.

Sebagai tambahan, pengiriman tenaga kerja untuk sektor rumah tangga ke Singapura harus memperhatikan kebijakan yang saat ini diterapkan oleh pemerintah Singapura.20

1. Seorang pekerja rumah tangga harus berjenis kelamin perempuan dan berasal dari negara-negara yang telah disetujui sebagai pengirim tenaga kerja (sources country) yaitu Banglades, Hong Kong, India, Indonesia, Makau, Myanmar, Pakistan, Filipina, Korea Selatan, Sri Lanka, Taiwan dan Thailand.

2. Untuk seorang calon PLRT yang pertama kali bekerja di Singapura harus berusia di atas 23 tahun dan di bawah 50 tahun.

3. Telah menyelesaikan minimal 8 tahun pendidikan formal. 4. Untuk seorang calon PLRT yang baru pertama kali ke Singapura

harus lulus entry-test yang diselenggarakan oleh MOM dan wajib mengikuti kursus keselamatan kerja (safety awareness course). Entry test hanya diberikan kesempatan tiga kali tes yang dimulai pada saat hari ketiga berada di Singapura. Apabila gagal maka berisiko dikembalikan ke Tanah Air.

20 Ibid.

Page 615: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

590

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

5. Tinggal dan bekerja hanya dirumah majikan. 6. Tidak memiliki hubungan keluarga dengan calon majikan. 7. Pada saat aplikasi izin kerja ke Singapura maka calon PLRT harus

berada di luar wilayah Singapura.

Perlakuan yang berbeda tampak di Hong Kong, yang mungkin dapat disebut sebagai pengecualian. Di Hong Kong, pekerja domestik migran dilindungi menurut Peraturan Ketenagakerjaan Hong Kong. Mereka memiliki hak serta kebebasan yang sama seperti pekerja lokal. Pengaturan serupa dapat ditemukan dalam Employment Ordonance Hong Kong, khususnya Chapter 7 yang antara lain mengatur masa berlakunya kontrak kerja (2 tahun), gaji minimum (HK$ 3,740 sejak 2011), uraian pekerjaan, kondisi tempat tinggal yang layak, asuransi, libur 1 hari dalam seminggu, cuti 7 hari dalam satu tahun, makan dan transportasi serta pemeriksaan kesehatan apabila PLRT sakit. Hak-hak lain bagi pramuwisma adalah gaji minimum, tunjangan makan apabila tidak disediakan, akomodasi yang gratis, uang makan perjalanan selama menuju Hong Kong dan kembali menuju Tanah Air, ongkos perjalanan pulang ke Tanah Air, perawatan dokter cuma-cuma, termasuk konsultasi, menginap di RS dan cuti pulang dibayar majikan.21

Di Filipina, terdapat ketentuan yang mengatur secara rinci kelompok pekerja domestik, yang disahkan pada tahun 2003. Batas Kasambahay Act atau juga dikenal dengan Magna Carta Pekerja Rumah Tangga mengatur kondisi kerja minimum kelompok ini di Filipina. Peraturan ini menetapkan ketentuan minimum kontrak kerja, gaji minimum dan jam/hari kerja minimum, serta mencakup standar perlakuan serta hak-hak lainnya dari pekerja domestik. Selain itu, Magna Carta juga menentukan bentuk serta jadwal pembayaran berbagai macam tunjangan (cuti, asuransi kesehatan, jaring pengaman sosial serta cuti hamil) dan melarang pengikatan pekerja. Magna Carta juga mengatur perlindungan atas hak-hak khusus serta mekanisme penanganan yang dibutuhkan untuk pekerja yang berusia di bawah 18 tahun.22

21 KJRI Hongkong, Online Sistem dan Sertifikasi Iso 9001:2008 sebagai Bentuk Pelayanan Berbasis Perlindungan di KJRI Hong Kong, Pertemuan Tinjauan Atas Peraturan/Kebijakan, Ketenagakerjaan Negara Penempatan, Surabaya, 15-17 September 2011.

22 Ibid. hal. 11-12.

Page 616: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

591

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

13.2.2 Feminisasi Pekerja Migran Saat ini lapangan pekerjaan bagi perempuan pekerja migran

dalam sektor domestik di negara maju, semakin terbuka. Negara maju membutuhkan tenaga pekerja domestik untuk melaksanakan fungsi reproduksi, pemeliharaan, perawatan dan pengasuhan. Kemajuan di negara-negara itu menyebabkan para perempuan harus meninggalkan rumahnya, dan membutuhkan perempuan lain untuk mengurus pekerjaan domestiknya. Ada jutaan perempuan dari negara-negara miskin dan berkembang menjadi bagian dari keluarga-keluarga kelas menengah atas di negara maju.

Pekerja sektor domestik berisiko mengalami persoalan kemanusia an karena mereka bekerja di rumah-rumah pribadi di mana otoritas pemerintahan tidak dapat melakukan pengawasan yang me-madai. Masalah-masalah yang mereka hadapi di antaranya pelecehan seksual, pemerkosaan, gaji yang tidak dibayar atau dibayar namun kurang, kekerasan fisik dan sebagainya.23 Menjadi pekerja domestik migran berarti juga berhadapan dengan kerentanan. Mereka rentan mengalami perlakuan diskriminatif bahkan kekerasan sebagaimana banyak dilapor-kan oleh lembaga-lembaga dunia dan riset yang dilakukan oleh banyak kalangan24. Pekerja sektor domestik juga rentan terhadap perlakuan tidak adil karena mereka tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang cukup, sehingga posisi tawarnya amatlah lemah. Pengetahuan perempuan pekerja domestik migran akan hak-hak mereka seringkali terbatas. Hal tersebut diperburuk dengan kurang atau tiadanya aturan hukum yang dapat menjadi dasar perlindungan hak-hak pekerja domestik di negara asal maupun negara tujuan.

Perempuan pekerja domestik migran yang berasal dari Indonesia, sejak masih berada di tempat asalnya, sudah berhadapan dengan berbagai hal yang berpotensi menimbulkan persoalan. Pada tahap rekrutmen, para calon pekerja domestik migran seringkali sudah harus menghadapi dominasi para calo. Oknum yang disebut calo ini melengkapi hampir semua persyaratan administrasi

23 ILO, Perlindungan Pencegahan untuk Pekerja Migran Indonesia, ILO Jakarta, hal. 4.24 Irianto, Op. Cit., hal.3

13.3 Akses Keadilan bagi Pekerja Domestik Migran

Page 617: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

592

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

pendaftaran, sehingga perempuan calon pekerja domestik migran tinggal tanda tangan saja. Sayangnya banyak dari dokumen yang dibutuhkan untuk kelengkapan administrasi pendaftaran kerja itu dipalsukan oleh si calo. Selain memalsukan persyaratan yang menyebabkan pelanggaran hukum, para calo juga melakukan praktek semacam pemerasan dengan menetapkan biaya sangat tinggi untuk menjadi pekerja migran.

Masalah berikutnya yang juga dihadapi para calon pekerja domestik migran ketika mereka berada pada tahap persiapan adalah kurangnya pembekalan informasi yang memadai tentang situasi tempat mereka bekerja. Bahkan terjadi pula, informasi penting tersebut ditutup-tutupi. Contohnya, informasi tentang kewajiban pekerja untuk melakukan pekerjaan berat dengan durasi kerja yang panjang dalam sehari, adanya perbedaan budaya dan agama antara pekerja dan majikan, adanya pembatasan yang diberlakukan majikan bagi pekerja untuk keluar rumah maupun melakukan komunikasi dengan keluarga di Tanah Air dan sebagainya. Informasi ini penting bagi para pekerja untuk dapat mempersiapkan diri secara fisik, mental dan emosional. Mereka juga dengan memperoleh informasi tentang hal-hal tersebut dapat memiliki bahan pertimbangan untuk menerima ataupun tidak menerima penempatan sebagai pekerja domestik migran di suatu negara. Ditutupinya informasi tentang situasi tempat kerja oleh calo maupun agen yang akan memberangkatkan pekerja, jelas melanggar hak pekerja untuk memperoleh informasi yang benar.

Setelah tahap rekrutmen, para pekerja memasuki tahap pelatihan. Pada tahap pelatihan, para pekerja domestik migran berhadapan dengan masalah lainnya. Sering kali pelatihan yang ada tidak dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di negara tujuan. Pelatihan sekadar diberikan agen tenaga kerja, untuk memenuhi jadwal dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah, tanpa memperhatikan kualitas keterampilan yang dibutuhkan oleh pekerja. Pelaksanaan pelatihan yang tidak memenuhi kualitas ketrampilan yang dibutuhkan oleh pekerja yang akan diberangkatkan, menyebabkan para perempuan pekerja domestik migran menghadapi masalah baru di negara tempatnya bekerja. Mereka kurang terampil dalam mengoperasikan peralatan rumah tangga yang sebagian besar menggunakan tenaga listrik, lemah dalam penguasaan bahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi sehari-hari dengan majikan, kurang memiliki pengetahuan tentang situasi sosial, budaya dan kebiasaan masyarakat di negara tujuan, sehingga kerap para pekerja ini ketika sudah ditempatkan bekerja di rumah majikannya diangap tidak memenuhi standar yang diharapkan. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik antara pekerja dan majikan.

Page 618: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

593

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Pada tahap pemberangkatan, pekerja juga tidak dilengkapi dengan pengetahuan akan hak-haknya yang mana saja yang dilindungi hukum. Contohnya, bahwa paspor tidak boleh ditahan majikan, atau pekerja berhak men-dapatkan gaji mereka secara utuh. Dalam hal ini, masih tampak ada kelemahan koordinasi antarinstansi terkait (Kemenakertrans-BNP2TKI-PPTKIS-asuransi-jasa transportasi-LSM-DPR/organisasi sosial politik-akademisi).

Uraian ringkas di atas baru menggambarkan permasalahan yang dihadapi oleh perempuan pekerja domestik migran pada saat masih berada di Tanah Air. Permasalahan tersebut masih akan berlanjut dan menjadi semakin kompleks pada saat mereka berada di negara tujuan. Kurangnya penguasaan bahasa sebagai alat komunikasi, tidak terampilnya mengoperasikan peralatan rumah tangga, minimnya pemahaman budaya, adat dan kebiasaan setempat akan menjadi awal bagi permasalahan yang akan mereka hadapi selanjutnya. Bahkan pada saat mereka telah menyelesaikan kontrak dan kembali ke Tanah Air (pascapenempatan), mereka tetap menghadapi kemungkinan-kemungkinan akan bernasib buruk. Hal tersebut terjadi, karena hasil jerih payah selama mereka bekerja di luar negeri ternyata tidak dapat/sempat mereka nikmati, lantaran misalnya terjerat utang, suami menikah lagi ataupun karena salah pengelolaan keuangan.

Pada prinsipnya, seseorang memilih menjadi pekerja migran dengan meninggalkan Tanah Airnya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Faktor penarik (pull factor) berkaitan dengan kondisi daerah tersebut bagi pendatang. Semakin maju kondisi sosial ekonomi suatu daerah, seperti perkembangan industri, perdagangan, pendidikan, perumahan dan transportasi akan semakin menarik seseorang untuk datang.

Pada sisi yang lain, kondisi daerah tempat mereka berasal menjadi faktor pendorong (push factor) yang menyebabkan sejumlah penduduk meninggalkan daerahnya. Faktor pendorong tersebut antara lain kesempatan kerja yang terbatas baik jumlah dan jenisnya, sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai, fasilitas perumahan dan kondisi lingkungan yang kurang baik. Faktor penarik maupun pendorong ini diharapkan akan dapat diatasi dan dicapai bila mereka bekerja sebagai TKI. Namun, seringkali mereka berhadapan dengan kenyataan yang sebaliknya.

Untuk itu, dalam membahas keadilan bagi pekerja migran, bukanlah keadilan yang identik dengan konteks berhasil dan dimaknai secara sempit serta dangkal, sebatas membawa pulang gaji dengan selamat. Keadilan bagi pekerja migran adalah keadilan substansial yang memberi perlindungan hukum dan menjamin hak-hak dasar mereka sebagai manusia yang bekerja. Menurut

Page 619: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

594

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

Sulistyowati Irianto,25 akses keadilan bagi perempuan pekerja migran domestik didukung empat pilar, meliputi tersedianya hukum yang menjamin keadilan, pengetahuan hukum (legal understanding), identitas hukum (legal identity) dan bantuan hukum (legal aid). Isu hukum yang lain terkait dengan pekerja migran adalah sebagai berikut:

a. Persoalan pengakuan (sebagai tenaga kerja di sektor rumah tangga yang diatur oleh perundang-undangan)

b. Perlindungan (terhimpun dalam suatu asosiasi)c. Pendampingan (bila menghadapi masalah hukum) Pengakuan yang dimaksud, adalah bagaimana hukum mendefinisikan

perempuan pekerja migran dan bagaimana kedudukan mereka di hadapan hukum. Undang-undang atau peraturan hukum lainnya diharapkan mengatur berbagai kepentingan pekerja migran. Dalam mewujudkan hal tersebut, hukum tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus memperhatikan faktor-faktor lainnya, seperti faktor ekonomi, sosial dan budaya. Kurang atau tidak adanya hukum yang mengatur pekerjaan domestik, berdampak pada timbulnya banyak persoalan. Berbagai kajian yang dilakukan memperlihatkan, perempuan pekerja migran yang melaksanakan perkerjaan domestik ditempatkan pada tingkatan terendah dalam masyarakat negara-negara penerima.26

Pemahaman dari berbagai pihak, terutama TKI itu sendiri sangat penting. Salah satunya terkait dengan pemahaman pengaturan ketenagakerjaan di negara yang akan dituju, karena begitu mereka memasuki wilayah negara lain, maka yang berlaku adalah hukum nasional di mana mereka berada. Dengan kata lain, selama mereka bekerja di negara tujuan, yang berlaku adalah hukum nasional setempat. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, masih banyak negara tujuan pekerja migran belum mempunyai undang-undang ketenagakerjaan yang melindungi mereka. Undang-undang yang ada masih mencerminkan adanya diskriminasi karena lebih mengutamakan warga negaranya. Di negara-negara kawasan Timur Tengah, sistem khafeel dan wasta menjadi kendala utama dalam pelaksanaan perlindungan TKI.27

Isu berikutnya adalah perlindungan bagi mereka ketika berada di negara

25 Irianto, Akses Keadilan dan Migrasi Global Kisah Perempuan Indonesia Pekerja Domestik di Uni Emirat Arab. Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia & International Development Research Center Canada. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.

26 Ibid.27 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri – UKHP Universitas Airlangga, Kajian Upaya

Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri, Jakarta, 2011.

Page 620: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

595

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

tujuan. Pendampingan hukum bagi TKI yang sedang menghadapi persoalan hukum sangat diperlukan, terutama kasus-kasus yang berat. Kecepatan dan ketepatan pendampingan hukum yang tersedia saat ini, masih sangat kurang. Hal tersebut antara lain terjadi karena Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tidak mengatur peran advokasi hukum, juga persoalan mahalnya jasa pengacara di negara penempatan.

Salah satu contoh pekerja domestik perempuan migran yang pernah mengalami masalah berat yaitu Ruyati binti Satubi, 54 tahun, yang dihukum pancung karena membunuh kafil-nya, Khairiya binti Hamid Mijlid. Sebelumnya, Ruyati sering mendapatkan kekerasan fisik misalnya pemukulan, pelemparan, penendangan, hingga menimbulkan patah tulang pada kaki.

Pengadilan Syariah Arab Saudi menjatuhkan hukuman mati (pancung) pada Ruyati tanpa adanya pendampingan dari Pemerintah RI. Pada saat berlangsungnya persidangan Pemerintah RI tidak mendapatkan informasi mengenai masalah yang sedang dihadapi oleh Ruyati. Kabar mengenai proses peradilan yang dialami Ruyati baru diketahui oleh Pemerintah RI saat persidangan sudah berlangsung.

13.4 Legislasi

Page 621: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

596

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

Dari tabel di atas, tampak keberadaan pekerja migran telah diatur dalam berbagai instrumen, baik internasional, regional dan nasional. Pada tingkat internasional tampak pengaturan ketenagakerjaan telah dimulai sejak tahun 1930 kemudian dilanjutkan dengan berbagai pengaturan lainnya. Lahirnya Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) pada tahun 1948 sangat mempengaruhi pengaturan di bidang ketenagakerjaan. Khusus pekerja migran mulai diatur pada tahun 1949, dengan diadopsinya konvensi mengenai migrasi untuk pekerjaan.

Selain instrumen internasional, yang tidak boleh dilupakan berkaitan dengan perburuhan atau ketenagakerjaan adalah organisasi internasional yang dikenal dengan ILO. Seusai Perang Dunia II dibentuklah International Labour Organization (ILO) untuk menangani masalah perburuhan internasional. Oleh karena itu ILO disebut juga organisasi buruh dunia. ILO berdiri tanggal 11 April 1919, yang kemudian pada tahun 1946 bergabung dengan PBB. Salah satu tugas

Page 622: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

597

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

ILO adalah meningkatkan taraf hidup buruh internasional dan untuk melindungi kepentingan para buruh migran yang tersebar di seluruh dunia. Selain itu, ILO adalah Organisasi Internasional yang bertanggung jawab untuk menyusun dan mengawasi standar-standar perburuhan internasional. Berbagai pengaturan perburuhan dihasilkan oleh ILO sebagaimana tampak dalam tabel di atas. Catatan yang sangat penting bagi pekerja migran adalah diadopsinya Konvensi Migran (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families) yang diadopsi dengan Resolusi Majelis Umum PBB 45/158 pada tanggal 18 Desember 1990. Konvensi yang berlaku sejak 1 Juli tahun 2003 menunjukkan masyarakat internasional sangat peduli dengan perlindungan terhadap pekerja migran, sebagaimana tujuan yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat 2 yaitu melindungi pekerja migran dalam seluruh proses migrasi. Selanjutnya dalam Pasal 9 diatur mengenai jaminan semua negara untuk penghormatan dan perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya yang menjadi tanggungan mereka, tanpa diskriminasi. Di tingkat regional, negara-negara yang tergabung dalam forum kerja sama regional berupaya untuk mengatur dan melindungi para pekerja migran yang berada di wilayah mereka. Contohnya dalam rangka ASEAN, selalu diupayakan peningkatan mekanisme perlindungan baik melalui perjanjian bilateral maupun regional antarnegara anggota. Saat ini terdapat Asean Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (2007) dan Asean Committee on Migrant Worker (ACMW). Sedangkan untuk kerja sama antarnegara Eropa, di Uni Eropa terdapat Dewan Eropa (Council of Europe’s).

Salah satu keberhasilan kerja sama ASEAN di bidang ketenagakerjaan adalah dibentuknya pusat pelatihan dan informasi mengenai perbaikan lingkungan kerja, yang dikenal dengan ASEAN Occupational Safety on Health Network (ASEAN OSHNET) pada bulan Agustus tahun 2000. ASEAN-OSHNET bertujuan meningkatkan daya saing dan kompetensi tenaga kerja ASEAN, serta menciptakan jaringan kelembagaan yang kuat. Sekretariat ASEAN-OSHNET yang pertama kali (2000-2004) bertempat di Indonesia. Selanjutnya penempatan Sekretariat ASEAN-OSHNET digilir setiap 3 tahun sekali untuk masing-masing negara anggota. Pada pertemuan Senior Labour Officials Meeting (SLOM) ke-5, tanggal 15-16 Mei tahun 2007 disepakati untuk mengawali proses pelaksanaan deklarasi tersebut. Hasil lain dari pertemuan tersebut adalah disepakati pembentukan suatu Forum on Migrant Workers yang bertugas membahas tindak lanjut deklarasi.

Page 623: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

598

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

KTT ASEAN ke-12 di Cebu Filipina menghasilkan ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Deklarasi tersebut memuat kewajiban bagi negara pengirim, negara penerima maupun ASEAN untuk memberikan perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja migran. Deklarasi mewajibkan dibentuknya instrumen hukum yang lebih mengikat negara-negara ASEAN guna memberikan jaminan dan perlindungan hak-hak pekerja migran. Sementara pada tingkat nasional, perlindungan dan penghormatan atas hak setiap waga negara, termasuk pekerja migran merupakan amanat dari UUD 1945 yang kemudian dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Selain peraturan perundangan sebagaimana terdapat dalam tabel di atas, Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi internasional (utamanya konvensi ILO) terkait dengan perburuhan dan pekerja migran. Keikutsertaan Indonesia pada berbagai konvensi atau perjanjian internasional lainnya menimbulkan kewajiban bagi Indonesia untuk mewujudkan isi ketentuan-ketentuan dimaksud, selain mewujudkan amanat produk perundang-undangan secara nasional. Beberapa konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh Indonesia, di antaranya adalah:

1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Pengesahan ILO Convention No. 185/2003 (Revised) Concerning Revising Seaferers’s Identity Documents Biometric Testing Campaign Report

2) Undang-Undang No. 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 105 Concerning the Abolition of Forced Labour

3) Perpres No. 4 Tahun 1992 tentang Pengesahan Convention No. 69/1946 Concerning the Certification of Ships Cooks

4) Undang-Undang No. 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan ILO Convention on the Protection of the Rights 0f All Migrant Workers and Members of Their Families 1990.

Perhatian pemerintah terhadap tenaga kerja melalui legislasi nasional dimulai sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1970 tentang Pengerahan Tenaga Kerja. Peraturan tersebut dikeluarkan karena pada era tesebut mulai dilaksanakan penempatan pekerja migran sektor domestik (disebut PLRT) ke Arab Saudi secara tidak resmi. Selanjutnya pada tahun 1980-an Menaker Sudomo menetapkan pengiriman TKI yang bersifat sementara tanpa ada perundang-undangan yang mengatur.

Page 624: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

599

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Setelah praktek pengiriman pekerja migran berlangsung cukup lama, pemerintah baru mengeluarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan pekerja migran di Luar Negeri. Lahirnya undang-undang ini didasari beberapa pertimbangan, antara lain belum adanya aturan yang mengatur mengenai tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tersebut dapat dikatakan merupakan salah satu langkah preventif pemerintah Indonesia dalam mengatur dan melindungi pekerja migran di luar negeri. Hal ini sesuai kewajiban negara yang wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri.

Meskipun demikian, pada kenyataanya undang-undang yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan para pekerja migran di luar negeri, dianggap belum memadai. Pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut, sebagian besar tampak lebih berpihak pada kepentingan bisnis. Terlihat dari porsi yang lebih besar untuk pengaturan mengenai proses penempatan dan porsi yang lebih kecil untuk pengaturan tentang perlindungan pekerja migran di negara penempatan.

Dari keselutuhan 109 Pasal dalam UU No. 39 Tahun 2004, sebanyak 67 Pasal membahas penempatan (38%), yaitu pasal 10-76. Adapun isi pasal-pasal tersebut tentang pelaksanaan penempatan (Pasal 10-26), bagian pertama tentang hal-hal umum (Pasal 27-30), bagian kedua mengenai pra-penempatan TKI (Pasal 31-54), bagian ketiga terkait perjanjian kerja (Pasal 55-69) dan bagian keempat membahas masa tunggu di penampungan (Pasal 70). Selanjutnya, bagian kelima berisi tentang masa penempatan (Pasal 71-72), bagian keenam soal purna penempatan (Pasal 73-75) serta bagian ketujuh tentang pembiayaan (Pasal 76). Sementara itu, hanya ada 8 pasal atau sekitar 7% yang berbicara mengenai perlindungan, yaitu Pasal 77-84.

Selain itu, undang-undang ini juga belum memberikan panduan bagi kebijakan penempatan dan perlindungan pekerja migran (khususnya perempuan pekerja domestik migran). Tidak diatur pula di dalamnya batas kewenangan masing-masing instansi. Ketiadaan pengaturan tentang kewenangan masing-masing instansi dalam ranah perlindungan pekerja migran dalam undang-undang ini berdampak pada munculnya situasi kurangnya koordinasi antara instansi-instansi terkait dalam menangani masalah pekerja migran. Untuk itulah, Revisi/Perubahan terhadap UU No. 39 Tahun 2004 menjadi kebutuhan yang mendesak dalam rangka perbaikan sistem penempatan dan perlindungan.

Sebagai salah satu upaya pemerintah Indonesia memperbaiki per lindungan hukum bagi para pekerja migran, tahun 2012 mulai dipersiapkan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN). Rancangan Undang-Undang PPILN ini

Page 625: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

600

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

disusun dengan harapan dapat menggantikan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 sebagai landasan hukum penyelenggaraan perlindungan hak-hak pekerja migran (khususnya perempuan pekerja domestik migran) asal Indonesia.

Pada bagian berikut ini disajikan analisis terhadap dua kasus hukum yang menimpa perempuan pekerja domestik migran asal Indonesia. Kasus pertama adalah kasus yang dialami Nirmala Bonat, seorang perempuan pekerja. Kasus kedua adalah kasus Ruyati. Kedua kasus ini dipilih karena mewakili kasus-kasus yang dialami oleh para pekerja perempuan domestik, baik ketika mereka berada dalam posisi sebagai korban maupun pelaku.

13.5.1 Kasus Nirmala Bonat Kasus Nirmala Bonat terjadi di Malaysia. Posisi Nirmala dalam

kasus ini adalah sebagai korban yang dianiaya oleh majikannya. Hakim pengadilan pertama dalam kasus ini memutuskan majikan Nirmala bersalah. Pelaku tidak terima dan mengajukan banding ke pengadilan tinggi dan kemudian ke Mahkamah Agung Malaysia. Berdasarkan per-timbangan bahwa majikan Nirmala melakukan kejahatan berat, maka Mahkamah Agung Malaysia menetapkan Pelaku dipidana penjara selama 12 tahun.

---------------------------------------------------------

Kasus Nirmala Bonat

SEJARAH PROSEDURAL l Kasus penganiayaan ini didaftarkan di High Court Malaysia pada

tanggal 28 Januari 2010 dengan Yim Pek Ha sebagai terdakwa. Berdasar Hukum Malaysia, tindakan yang dilakukan terdakwa tergolong sebagai tindak pidana berat, sehingga diadili di High Court.

l Putusan dari High Court dilakukan pada tanggal 27 Desember 2008. Atas putusan tersebut, terdakwa mengajukan banding ke Mahkamah Banding, Istana Kehakiman Putera Jaya Kuala Lumpur.

l Setelah kasus ini diputus, Nirmala menempuh jalur perdata untuk menggugat mantan majikannya.

13.5 Studi Kasus

Page 626: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

601

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

PERNYATAAN FAKTA l Nirmala Bonat, TKW pekerja rumah tangga di Malaysia asal Kupang,

Nusa Tenggara Timur, pendidikan SMP dan merupakan TKI sebagai penata laksana rumah tangga. Di Malaysia, Nirmala Bonat bekerja pada warga negara Malaysia keturunan China Yim Pek Ha dan suaminya Hii Ik Ting antara September tahun 2003 sampai Mei tahun 2004. Keluarga ini tinggal di sebuah apartemen yang beralamat di 33B-25-6, Villa Putera, Jalan Tun Ismail, Kuala Lumpur.

l Empat bulan pertama bekerja, Nirmala mengaku diperlakukan baik oleh majikannya. Namun setelah itu, Nirmala mengalami penyiksaan fisik yang luar biasa dari majikannya, Yim Pek Ha. Penyiksaan yang dialami oleh Nirmala di antaranya, diseterika di bagian dada dan punggung, disiram air panas, dipukul dengan menggunakan gelas metal. Selain itu, Nirmala dipaksa bekerja 24 jam sehari, tidak digaji serta tidak diizinkan keluar rumah.

l Tanggal 17 Mei 2004 pukul 3 sore waktu setempat, Nirmala berhasil keluar dari apartemen majikannya dan atas laporan dari satpam apartemen ke polisi, perlakuan tidak manusiawi atas Nirmala ini terbongkar. Atas laporan tersebut, Yim Pek Ha ditangkap polisi setempat pada tanggal 18 Mei 2004.

l Sidang pertama kali digelar pada tanggal 8 Oktober tahun 2004 dan berlangsung hingga 13 Februari tahun 2006.

ISU (PERTANYAAN)Apakah telah terjadi penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa berdasarkan Hukum Pidana Malaysia.

ATURAN l Dasar penuntutan adalah section 324 jo section 326 Law of Malaysia Act

574 Penal Code. l Section 324: Whoever, except in the case provided for by section 334,

voluntarily causes hurt by means of any instrument for shooting, stabbing or cutting, or any instrument which, used a weapon of offence, is likely to cause death, or by means of fire or any heated substance, or by means of any poison or any corrosive substance, or by any means of any explosive substance, or by means of any substance which it is deleterious to the human body to inhale, to swallow, or to receive into the blood, or by

Page 627: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

602

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

means of any animal, shall be punished with imprisonment for a term which may extend to three years or with whipping or any two of such punishments.

l Section 326: Whoever, except in the case provided for by section 335, voluntarily causes grievous hurt by means of any instrument for shooting, stabbing or cutting, or any instrument which, used a weapon of offence, is likely to cause death, or by means of fire or any heated substance, or by means of any poison or any corrosive substance, or by any means of any explosive substance, or by means of any substance which it is deleterious to the human body to inhale, to swallow, or to receive into the blood, or by means of any animal, shall be punished with imprisonment for a term which may extend to twenty years, and shall also be liable to fine or to whipping.

ANALISIS l Berdasakan Section 324 jo 326 Kanun Keseksaan, pasal-pasal tersebut

berisikan unsur-unsur penyiksaan yang dilakukan secara sengaja dan sadar terhadap tubuh seseorang yang dapat menyebabkan kematian atau tindakan tersebut tidak dapat diterima oleh tubuh korban atau menggunakan zat yang dipanaskan. Atas dasar ketentuan kedua Pasal tersebut, tindakan yang dilakukan oleh Yim Pek Ha telah memenuhi unsur-unsur penyiksaan.

l Yim Pek Ha dituntut dengan empat tuduhan, pertama, penganiayaan yang dilakukan pada Januari 2004 dengan menggunakan seterika panas yang digosokkan pada bagian belakang di bawah leher dan payudara. Kedua, penganiayaan yang dilakukan pada Maret tahun 2004 dengan menyiram air panas ke tubuh Nirmala yang menyebabkan cedera berat. Ketiga, penganiayaan yang dilakukan pada April tahun 2004 dengan seterika panas dan keempat, pada bulan Mei tahun 2004 dianiaya menggunakan cawan/cangkir besi.

l Atas dasar tuntutan di atas, Jaksa Penuntut Umum yang diketuai Puan Raja Rozela Raja Tolan, Yim Pek Ha didakwa dengan pasal berlapis, yaitu melakukan penyiksaan yang mengakibatkan luka parah, dikenakan Pasal 326 Kanun Keseksaan dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda sebatan serta Pasal 325 dengan hukuman maksimal 7 tahun penjara dan denda.

l Pada November 2008, Sidang Pengadilan Kuala Lumpur (Mahkamah Sesyen) pada tingkat pertama yang diketuai Hakim Akhtar Tahir, Yim Pek

Page 628: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

603

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Ha dinyatakan bersalah dan divonis hukuman 18 tahun penjara. Namun, atas pertimbangan bahwa Yim Pek Ha memiliki empat orang anak dan sakit asma, dia tidak ditahan dan berstatus tahanan kota dengan jaminan RM 200.000 (sekitar Rp 400.000.000). Untuk itu Yim Pek Ha diwajibkan memberi seorang penjamin dan menyerahkan semua dokumen perjalanannya (paspor) kepada pengadilan serta diwajibkan memberitahu pengadilan secara tertulis setiap kali meninggalkan Kuala Lumpur.

l Atas vonis tersebut, Yim Pek Ha mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur. Pada sidang banding dengan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Clement Alan Skinner dengan anggota Linton Albert dan Abdul Azis bin Abdul Rahman, Yim Pek Ha tetap dinyatakan bersalah dengan hukuman dari 18 tahun penjara menjadi 12 tahun penjara. Merasa belum puas atas putusan banding, Yim Pek Ha kembali mengajukan banding ke Mahkamah Agung (Mahkamah Rayuan).

KESIMPULAN l Putusan High Court Kuala Lumpur menyatakan bahwa terdakwa

terbukti melakukan penganiayaan dan dihukum 18 tahun penjara.l Putusan banding memutus Yim bersalah dan dihukum 12 tahun

penjara.

---------------------------------------------------------

Sebagai catatan dalam kasus ini pelaku yang bernama Yim Pek Ha ternyata tidak sepenuhnya harus menjalani hukuman penjara. Dengan pertimbangan bahwa yang bersangkutan masih memiliki empat orang anak dan dirinya juga menderita sakit asma, maka pelaku hanya dijatuhi denda, ditahan paspornya dan wajib melapor apabila yang bersangkutan meninggalkan Kuala Lumpur.

Dalam putusan ini, sayang sekali hakim tidak membahas lebih jauh mengenai kerugian yang diderita oleh Nirmala. Pemulihan kesehatan setelah penyiksaan fisik maupun mental memerlukan dana yang tidak sedikit. Hakim, barangkali karena menganggap tidak ada landasan hukumnya, tidak mempertimbangkan perlunya pelaku dan keluarganya bertanggung jawab atas proses pemulihan korban. Dalam posisi sebagai majikan, apalagi setelah melakukan kekerasan

Page 629: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

604

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

yang berakibat timbulnya cacat fisik permanen pada korban–Yim dan keluarganya wajib menyediakan perlindungan bagi Nirmala, secara khusus dalam hal kesehatan.

13.5.2 Kasus Ruyati Kasus Ruyati terjadi di Arab Saudi. Posisi Ruyati sebagai pelaku

pembunuhan majikannya. Terungkap dalam persidangan bahwa Ruyati melakukan tindakan tersebut selain karena sering dianiaya oleh majikannya juga karena dia dilarang untuk pulang ke kampung halamannya. Oleh Pengadilan Arab Saudi, Ruyati dijatuhi hukuman mati dengan pertimbangan hakim bahwa untuk kejahatan yang dilakukan Ruyati, hukumannya adalah menggunakan asas Qisas. Artinya terhadap tindakan Ruyati harus dibalas dengan tindakan yang serupa, Ruyati juga harus dihukum mati. Dalam kasus ini, Ruyati hanya dapat dibebaskan dari hukuman mati apabila keluarga Korban memaafkan Pelaku. Sayang sekali, pihak keluarga menolak memberikan maaf, sehingga Ruyati tetap harus dijatuhi hukuman mati.

---------------------------------------------------------

Kasus Ruyati

SEJARAH PROSEDURAL Kasus ini pertama kali diadili di pengadilan tingkat pertama (Mahkamah Am), kemudian dilakukan upaya banding dan kasasi.

PERNYATAAN FAKTA l Ruyati binti Satubi Saruna adalah TKI asal Kampung Ceger RT 03/01

Kecamatan Sukatani, Bekasi, Jawa Barat, bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi sejak tahun 2008. Selama bekerja, Ruyati tidak mendapatkan hak-hak yang harus diterima, misalnya tidak diizinkan pulang ke Indonesia, gaji tidak dibayar selama 3 bulan. Selain itu, Ruyati sering mendapatkan perlakuan kasar dari majikannya, mulai dari dipukul, ditendang maupun dilempar dengan barang-barang hingga menimbulkan patah tulang kaki.

l Kasus Ruyati muncul bermula dengan terbunuhnya istri majikannya, Khoiriyah Omar Moh Omar Hilwani pada tanggal 12 Januari tahun

Page 630: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

605

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

2010 setelah bertengkar karena keinginannya untuk pulang ke Indonesia tidak dikabulkan. Korban dipukul kepalanya beberapa kali dengan parang dan ditusuk lehernya dengan pisau dapur.

ISU (PERTANYAAN)Apakah Ruyati telah membunuh majikan perempuannya?

ATURAN l Al Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 178.l Dalam Ayat tersebut disebutkan kewajiban hukum qisas pada

orang-orang yang terbunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, dan hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan. Akan tetapi barangsiapa yang diampunkan untuknya dari saudaranya sebagian, maka hendaklah mengikuti dengan yang baik, dan tunaikan kepadanya dengan cara yang baik.

l Perkecualian hukum qisas yaitu apabila keluarga korban memaafkan. Sebagai pemaaf tersebut, pembunuh mengganti denda dengan 100 ekor unta, 40 di antaranya unta yang sedang hamil.

ANALISIS l Persidangan di pengadilan tingkat pertama (Mahkamah Am) ber-

langsung secara singkat, yaitu dua kali pada tanggal 3 Mei 2010 dan tanggal 10 Mei 2010, karena Ruyati mengakui telah membunuh majikannya. Pada pengadilan tingkat pertama, berdasarkan hukum pidana Arab Saudi, terhadap pelaku pembunuhan diberlakukan Hukum Qisas, artinya hukuman setimpal dengan apa yang dilakukannya, membunuh berarti dijatuhi hukuman dibunuh. Berdasarkan hukum ini, Ruyati dijatuhi hukuman mati.

l Pihak Ruyati selanjutnya melakukan upaya banding dan kasasi. Dalam persidangan banding, pada tanggal 14 Juli 2010, Mahkamah Tamyiz mengesahkan putusan Mahkamah Am terhadap Ruyati, yaitu hukuman mati dengan cara dipancung. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Arab Saudi menguatkan putusan pengadilan sebelumnya. Ruyati menjalani hukuman mati dengan dipancung di Mekkah pada Sabtu, 18 Juni 2011 dan jenazah langsung dimakamkan.

Page 631: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

606

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

KESIMPULAN Ruyati bersalah melakukan pembunuhan dan tidak ada maaf dari keluarga korban, sehingga hukuman mati tetap dilaksanakan.

---------------------------------------------------------

Catatan dalam kasus ini, pemerintah Indonesia selama proses persidangan Ruyati kurang memberikan dukungan dalam bentuk upaya diplomasi kepada pihak Arab Saudi untuk meringankan hukuman Ruyati. Selain itu pemerintah juga tidak melaksanakan pendampingan bagi Ruyati selama proses hukum berjalan. Ruyati yang pengetahuan hukum dan bahasa Arabnya terbatas, harus sendirian berhadapan dengan hukum negara asing. Upaya Pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan Ruyati dari hukuman mati baru dilakukan setelah vonis dijatuhkan. Dalam hal ini, penting untuk diberikan rekomendasi bahwa selanjutnya, pemerintah perlu memikirkan mekanisme pendampingan hukum bagi para pekerja migran asal Indonesia, khususnya perempuan pekerja domestik migran. Pendampingan sangat dibutuhkan terutama bagi pekerja migran asal Indonesia yang berhadapan dengan hukum di negara asing, baik ketika para pekerja ini dalam kasus hukum tersebut berada pada posisi pelaku maupun korban.

Page 632: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

607

BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

Daftar Pustaka Bab 13

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri –UKHP Universitas Airlangga. (2011) Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri. Jakarta.

Human Rights Watch. Vol. 16, No. 9 (C).

ILO. (2003) Preventing Discrimination, Exploitation, and Abuse of Women Migrant Workers: An Information Guide, Booklet 4 – Working and Living Abroad. Geneva: ILO Gender Promotion Programme.

ILO. (2010) Perlindungan Pencegahan untuk Pekerja Migran Indonesia. Jakarta: ILO.

Irianto, Sulistyowati. (2011) Akses Keadilan dan Migrasi Global: Kisah Perempuan Indonesia Pekerja Domestik di Uni Emirat Arab. Didukung oleh Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia & International Development Research Center Canada. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kantor Perburuhan Internasional Jakarta. (2006) Pekerja Rumah Tangga di Asia Tenggara - Prioritas Pekerjaan yang Layak.

Katjasungkana, Nursyahbani. (1999) “TKW, Sebuah Paradoks Pembangunan”. Makalah lepas dalam bahan-bahan Pelatihan Pembelaan Hukum Berspektif Gender. Jakarta: LBH APIK.

KBRI Singapura. (2011) “Peraturan/Kebijakan Ketenagakerjaan di Singapura”. Paparan KBRI Singapura dalam Pertemuan Kelompok Ahli. Surabaya, 16 September 2011.

KJRI Hongkong. (2011) “Online System dan Sertifikasi ISO 9001:2008 sebagai Bentuk Pelayanan Berbasis Perlindungan di KJRI Hong Kong”. Paparan pada Pertemuan Tinjauan atas Peraturan/Kebijakan Ketenagakerjaan

Page 633: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

608

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK BAB 1 3 PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN DAN PERSOALAN HUKUMNYA

Negara Penempatan. Surabaya, 15-17 September 2011.

Organisasi Perburuhan Internasional. (2007) Hak-hak Pekerja Migran – Buku Pedoman untuk Serikat Pekerja Indonesia, Jakarta: ILO.

Piper, N dan M. Sattherhwaite. (2007) “Migrant Women”, dalam R. Perruchoud and R. Cholewinski (eds), International Migration Law Developing Paradigms and Key Challenges. Jakarta: Asser Press; tercantum juga dalam Organisasi Perburuhan Internasional. (2007) Hak-hak Pekerja Migran - Buku Pedoman. Jakarta: ILO.

Razak, Tatang Budie Utama (2011) “Perlunya Kajian Menyeluruh Mengenai Kebijakan Pengiriman TKI ke Luar Negeri”. Makalah untuk Pertemuan Kelompok Ahli Tinjauan atas Peraturan Kebijakan Ketenagakerjaan Negara Penempatan. Surabaya, 15 September 2011.

www.bnp2tki.go.id

www.ilo.org

Page 634: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

609

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Ketut Sahruwardi. (----) Pembagian Warisan Faraidh yang Lebih Adil. http://sosbud.kompasiana.com.

Abdullah, Z. (2013) ”Waspadalah, Tren Kekerasan Seksual pada Anak Meningkat”. Kompas.com.

Abu-Dawud (1952) Sunan Abi Dawud. Kairo: Mustafa al Baby.

Abu-Zayd, Nashr Hamid. (2003) Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam.Yogyakarta: SAMHA.

Adji, Indrianto Seno. (2002) Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan.

Adler, Freda et al. (1998) Criminology. McGraw Hill.

AKATIGA. (----) Krisis dan Buruh Pabrik: Dampak dan Masalah ‘Jender’. Dengan ASEM Trust Fund melalui World Bank, ILO, serta Women Support Project CIDA. http://www.akatiga.or.id

Akdeniz, Yaman. (2008) Internet Child Pornography and the Law: National and International Responses.Hampshire: Ashgate Publishing.

Al Jurjawi, Syaikh Ali Ahmad. (1994) Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu. Beirut: Darul Fikr.

Ali, Mahrus dkk. (2011) Perdagangan Orang, Dimensi, Instrumen Internasional dan Pengaturannya di Indonesia. Cetakan pertama. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Amaluddin, Moch. MS. (2005) Pandangan Masyarakat tentang Pembagian Waris Islam di Jawa Tengah: Studi Kasus di Desa Bugel Jepara. Departemen Agama RI, Balitbang Agama Semarang. http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id

American Center for International Labor Solidarity. (2004) Kompilasi Program dan Layanan untuk Menyikapi Perdagangan Manusia di Enam Provinsi, Yogyakarta: ICMC.

Page 635: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

610

Amrullah, H. Abdul Malik Karim (HAMKA). (2004) Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Andraini, Fitika. (2006) Perbedaan Golongan Penduduk dalam Proses Pendaftaran Hak Atas Tanah karena Pewarisan. Tesis S2 Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Andrisma, Willy Yuberto. (2007) Pembagian Harta Waris dalam Adat Tionghoa di Kecamatan Ilir Timur I Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Tesis S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.

Asril, Sabrina. (2011) “Pemerkosa Mahasiswi: Empat Pembunuh Livia Terancam Hukuman Mati”. Kompas.com.

Atmasasmita, Romli. (1984) Problema Kenakalan Anak dan Remaja. Jakarta: Armico.

Attwood, Feona. (2004) “Pornography and Objectification: Re-Reading “the Picture that Divided Britain”. Feminist Media Studies. Vol. 4, No. 1, 2004.

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri –UKHP Universitas Airlangga. (2011) Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri. Jakarta.

Baldwin, Margaret A. (1996) “Split at the Root: Prostitution and Feminist D discourses of Law Reform”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Barak, Aharon. (2008) The Judge in a Democracy. USA: Princeton University Press.

Bartky, Sandra. (2005) “Battered Women, Intimidation, and the Law”, dalam Marilyn Friedman, Women and Citizenship. New York: Oxford Press.

Baidhowi, H.A. (2004) “Permasalahan Waris tentang Dzawil Furudh Bapak dalam Kompilasi Hukum Islam”, dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam. No. 65. Thn. XIV, November-Desember, 2004. Jakarta: Al Hikmah & DITBINPERA Islam.

Bartlett, Katharine T. dan Rosanne Kennedy. (1991) “Introduction”, dalam Katherine T. Bartlett dan Rosanne Kennedy (eds.), Feminist Legal Theory. Readings in Law and Gender. USA: Westview Press. Inc.

Page 636: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

611

Benda-Beckmann, Franz von & Keebet Benda-Beckmann. (2004) Struggles Over Communal Property Rights and Law in Minangkabau, West Sumatra. Max Planck Institute for Social Anthropology.

Benda-Beckmann, Franz von & Keebet Benda-Beckmann. (----) “Changing One is Changing All: Dynamics in the Adat-Islam-State Triangle”. http://www.jlp.bham.ac.uk.

Bhasin, Kamla. (2002) What is a Girl, What is a Boy. Bindia Thapar: Jagori.

Blackburn, Susan. (2004) “Women’s Suffrage and Democracy in Indonesia” dalam Louise Edwards dan Mina Roces (eds.), Women’s Suffrage in Asia: Gender, Nationalism and Democracy. London-New York: Routledge Curzon.

Blackburn, Susan. (2010) Perempuan dan Negara dalam Era Indonesia Modern. Jakarta: Kalyanamitra.

Boudreau, Vincent. (2002) “State Repression and Democracy Protest in Three Southeast Asian Countries”, dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State. Oxford – New York: Oxford University Press.

Bowen, John R. (2003) Islam, Law and Equality in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Braithwaite, John. (2002) Restorative Justice and Responsive Regulation. Oxford: Oxford University Press.

Brown, Louise. (2005) Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Carpenter, R. Charli. (2006) “Recognizing Gender-Based Violence Against Civilian Men and Boys in Conflict Situation”. Security Dialogue. Vol. 37, No. 1.

Chazawi. (2009) Tindak Pidana Pornografi: Penyerangan terhadap Kepentingan Hukum Mengenai Tegaknya Tatanan Kehidupan Akhlak dan Moral Kesusilaan yang Menjunjung Tinggi Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Surabaya: ITS Press.

Code, Lorraine. (2006) Encyclopedia of Feminist Theories. London: World Reference.

Page 637: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

612

Cornell, Drucilla. (1998) At the Heart of Freedom: Feminism, Sex, and Equality. Princeton: Princeton University Press.

Corry, Sondra. (----) A Feminist Perspective of Pornography. Tesis pada Vermont College of Norwich University.

Cossman, Brenda. (1990) “What is Feminist Legal Theory”. The Thatched Patio No.1-2 July/August 1990.

Cothran, Helen. (2002) Pornography. San Diego: Greenhaven Press.

Crawford, Bridget J. (2007) “Toward a Third-Wave Feminist Legal Theory: Young Women, Pornography, and the Praxis of Pleasure”. Pace Law Faculty Publications. Paper 243.

Davis, Richard L. (2008) Domestic Violence: Intervention, Prevention, Policies, and Solutions. CRC Press.

Desai, Manisha. (2002) “Multiple Mediations: The State and The Women’s Movements in

India”, dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State. Oxford – New York: Oxford University Press.

Djajadiningrat, Madelon. (1987) “Ibuism and Priyayization: Path to Power?”, dalam Elsbeth Locher-Scholten and Anke Niehof (eds.), Indonesian Women in Focus. KITLV. Dordrecht, The Nederlands: Foris Publication.

Dworkin, Andrea. (1985) “Against the Male Flood: Censorship, Pornography, and Equality”. Harvard Women’s Law Journal 8.

Edwards, Tim. (1994) Erotics and Politics: Gay Male Sexuality, Masculinity, and Feminism. London and New York: Routledge.

Ellis, Kate, Barbara O’Dair, dan Abby Tallmer. “Feminism and Pornography”. Feminist Review. No. 36, Autumn 1990.

Estrich, Susan. (1996) “Michael M. vs Superior Court”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Page 638: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

613

Estrich, Susan. (1996)“Rape” dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Evans, Michelle. (2005) Regulating Internet Pornography as an Issue of Sex Discrimination. Tesis pada program LL.M. di Murdoch University.

Evans, Michele. (2006) “What’s Morality Got to Do with It?: The Gender-based Harms of Pornography”. Southern Cross University Law Review. Vol. 10.

Fakih, Mansour. (2008) Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist.

Fernandez, Marilyn. (2010) Restorative Justice for Domestic Violence Victims: An Integrated Approach to Their Hunger for Healing. Lexington Books.

Frederick, Danny. (1996) “Defending Pornography”. Political Notes No. 124.

Fudge, Judy. (1995) “The Effect of Entrenching a Bill of Rights upon Political Discourse: Feminist Demands and Sexual Violence in Canada” dalam Frances E. Olsen (ed.), Feminist Legal Theory II: Positioning Feminist Theory Within the Law. New York: New York University Press.

Gelsthrope, Loraine. (1997) “Feminism and Criminology”, dalam Mike Maguire et al, The Oxford Handbook of Criminology. Oxford: Oxford University Press.

Gover, Angela R. (2013) “Introduction Special Issue on Dating Violence and Gender”, artikel dalam Women & Criminal Justice. Copyright © Taylor & Francis Group, LLC 23.

Griffin, Susan. (1996) “Rape: The All –American Crime”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Griffiths, Anne. (2001) “Remaking Law: Gender, Ethnography and Legal Discourse”, in Law & Society Review. Vol. 35, No. 2. Published by the Law and Society Association.

Griffith, Anne. (2005) Using Ethnography as a Tool in Legal research: An Anthropological Perspective in Banakar & Travers, Theory and Method in Socio-Legal Research. US and Canada: Hart Publishing.

Page 639: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

614

Guritno, Yoga. “Calon Hakim Agung: Korban dan Pelaku Pemerkosaan Sama-sama Menikmati”. Liputan6.com. 14 Januari 2013, pukul 17.59. Diunduh pukul 20.00, Rabu 14 April 2013. news.liputan6.com/read/calonhakim-agung.

Hafid, Wardah dan Tati Krisnawaty. (1989) Perempuan dan Pembangunan. Laporan NGO.

Hall, Ann C. dan Mardia J. Bishop. (2007) Pop-Porn: Pornography in American Culture. Westport: Praeger Publishers.

Hamzah, Andi dan Niniek Suparni. (2010) Pornografi dan Pornoaksi dalam Hukum Pidana: Suatu Studi Perbandingan. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.

Hanggawan, Farid. (2012) “Meneropong yang Lain: Dekonstruksi dan Ketakmungkinan Hukum yang Berkeadilan Gender”. Jurnal Hukum Jentera.

Hartini, Sobar. (2003) “Pengarusutamaan CEDAW dan Hak Sipil (Perempuan)”. Makalah disampaikan pada Forum Diskusi Interseksi, Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia II, 27-29 Januari 2003, Kuningan, Jawa Barat. http://interseksi.org/publications/essays/articles/cedaw.html

Hastawati, Brahmanie. (2006) “Kasus Diskriminasi terhadap Perempuan Pramugari di ‘PT. GI’: Sebuah Kisah Pengalaman”, dalam Sulistyowati Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hawkins, Gordon dan Franklin E. Zimringm. (1988) Pornography in a Free Society. New York: Cambridge University Press.

Heery, Gerry. (2001) Preventing Violence in Relationship. Jessica Kingsley Publishers.

Hidayana, Irwan. (2004) “Migrasi Lintas Batas dan Seksualitas di Asia Tenggara”. Jurnal Perempuan. Edisi 36, Juli 2004.

Hidayat, Rahmat dkk. (2009) Wajah Kekerasan: Analisis atas Data Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Rifka Annisa Tahun 2000-2006. Yogyakarta: Rifka Annisa Women Crisis Center.

Human Rights Watch. Vol. 16, No. 9 (C).

Page 640: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

615

Hunter, Caroline, et al. (2010 “Mother Abuse: A Matter of Youth Justice, Child Welfare, or Domestic Violence”. Journal of Law and Society. Vol 37, No 2, June 2010.

Hunter, Rosemary (ed.) (2008) Rethinking Equality Projects in Law. Oxford and Portland: Hart Publishing

Ikhbal, Andi dan Dewi Mardiani. (2012) “Warga Kesal Pondok Pesantren Dibakar”. Republika.co.id.

ILO, R111. (1958) Rekomendasi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan).

ILO. (2003) Preventing Discrimination, Exploitation, and Abuse of Women Migrant Workers: An Information Guide, Booklet 4 – Working and Living Abroad. Geneva: ILO Gender Promotion Programme.

ILO. (2010) Perlindungan Pencegahan untuk Pekerja Migran Indonesia. Jakarta: ILO.

ILO dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (2011) Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Jakarta: ILO dan Kemenakertrans RI.

Irianto, Sulistyowati. (2000) Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati. (2000) “Reproduksi dan Resistensi Terhadap Patriarkhi: Pewarisan Perempuan dalam Kebudayaan Batak Toba yang Tengah Berubah”, dalam Perempuan Indoneisa dalam Masyarakat yang Tengah Berubah. Jakarta: PSKW UI.

Irianto, Sulistyowati. (2003) Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati. (2005) Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum: Studi mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Waris melalui Proses Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati. (2005) “Pendekatan Hukum Berperspektif Perempuan” dalam Tapi Omas Ihromi, Sulistyowati Irianto & Achie Luhulima (eds.), Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Cetakan ke-3. Bandung: Alumni.

Page 641: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

616

Irianto, Sulistyowati. (2006) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati. (2011) Akses Keadilan dan Migrasi Global: Kisah Perempuan Indonesia Pekerja Domestik di Uni Emirat Arab. Didukung oleh Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia & International Development Research Center Canada. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati. (2013) Contesting and Negotiating Inheritance Laws: Social Justice for (Moslem) Indonesian Women. Penelitian pascodoktoral, akan diterbitkan. Van Vollenhoven Institute, Leiden Law School & Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetehschappen.

Irianto, Sulistyowati dan Antonius Cahyadi. (2008) Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati dan Iklilah Muzayyanah D.F. (2011) Hukum Waris dan Prakteknya di Pengadilan Agama dalam Lensa Etnografi: Studi di Pengadilan Agama Depok. Laporan penelitian, tidak dipublikasikan.

Irianto, Sulistyowati dan Iklilah Muzayyanah D.F. (2012) Praktik Kewarisan Islam dalam Pengalaman Perempuan: Studi di Kampung Kukusan Beji Depok Jawa Barat. Laporan penelitian tidak dipublikasikan.

Irianto, Sulistyowati dan Lim Sing Meij. (2010) “Penelitian Hukum Feminis: Suatu Tinjauan Sosiolegal”, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati dan Nurtjahyo. (2006) Perempuan di Persidangan - Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Irigaray, Luce. (1977) Ce Sexe qui n’en est pas un. Terjemahan bahasa Inggris oleh Catherine Porter dan Carolyn Burke. This Sex Which is Not One. New York: Cornell University Press.

J4P. (2010) Briefing Note ‘Women’s Lands Rights Kenya’.

Page 642: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

617

Johnson, Tina. (2004) “Gender-based Violence”. Makalah untuk Commonwealth Secretariat’s Human Rights Expert Group Consultation. Journal of The Commonwealth Magistrates’ and Judges’ Association. Vol. 15, No. 3, June.

Jonansyah. (2012) “Terdakwa Pembunuh Izzun UIN Terancam Hukuman Mati”. Tempo.com.

Kammeyer, Kenneth C.W. (2008) A Hypersexual Society: Sexual Discourse, Erotica, and Pornography in America Today. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Kantor Perburuhan Internasional Jakarta. (2006) Pekerja Rumah Tangga di Asia Tenggara - Prioritas Pekerjaan yang Layak.

Katjasungkana, Nursyahbani. (1999) “TKW, Sebuah Paradoks Pembangunan”. Makalah lepas dalam bahan-bahan Pelatihan Pembelaan Hukum Berspektif Gender. Jakarta: LBH APIK.

KBRI Singapura. (2011) “Peraturan/Kebijakan Ketenagakerjaan di Singapura”. Paparan KBRI Singapura dalam Pertemuan Kelompok Ahli. Surabaya, 16 September 2011.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2002) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Trafficking Perempuan dan Anak. Draf 4.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2011) “Hasil Pemaparan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak”. Paparan Program Prioritas Kesra. Jakarta: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (2011) Profil Perempuan Indonesia.Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. http://www.menegpp.go.id.profilperempuanindonesia.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. (2012) Panduan Kesetaraan dan Nondiskriminasi di Tempat Kerja di Indonesia. Jakarta: Kemenakertrans RI.

Khopiatuziadah. (2010) “Perlindungan Hak Reproduksi Wanita: Hamil, Melahirkan dan Menyusui – Perspektif Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol.7, No.2 Agustus.

Page 643: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

618

Kimmel, Michael S. (2008) “Gender Symmetry’ in Domestic Violence: A Falsely-framed Issue”, dalam June Keeling dan Tom Mason (eds.), Domestic Violence a Multi-Professional Approach for Healthcare Practitioners. Open University Press.

KJRI Hongkong. (2011) “Online System dan Sertifikasi ISO 9001:2008 sebagai Bentuk Pelayanan Berbasis Perlindungan di KJRI Hong Kong”. Paparan pada Pertemuan Tinjauan atas Peraturan/Kebijakan Ketenagakerjaan Negara Penempatan. Surabaya, 15-17 September 2011.

Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan. (2002) Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan.

Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan (2012) Catatan Tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan Tahun 2011 - Stagnansi Sistem Hukum: Menggantung Asa Perempuan Korban. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan

Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan. (2012) “Siaran Pers Laporan Pertanggungjawaban Publik Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan”.

Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Save the Children. (2004) Mengenal Lebih Dekat UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Indonesia Legal Center for Publishing for Law and Justice Reform.

Komnas Perempuan. (2012) Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia. Laporan Pemantauan Kondisi Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Provinsi. Jakarta: Komnas Perempuan.

Kotiranta, Annu dan Anne Kovalainen, Petri Rouvinen. (2007) “Female Leadership and Firm Profitability”, dalam EVA Analysis. No. 3. Helsinki: Finnish Business and Policy Forum (EVA).

Kristanti, Aryani. (2011) “Kontroversi Pernyataan Rok Mini, Foke Minta Maaf ”. Tempo.com.

Lacey, Nicola. (1993) “Theory into Practice? Pornography and the Public/Private Dichotomy”. Journal of Law and Society 20.

Page 644: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

619

Landunau, dan Asri Wijayanti. (2007) “Pemotongan Upah Saat Cuti Melahirkan”. Jurnal Yustitia. Vol.1, No. 2, Oktober. Surabaya: Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Lawler, Stephany. (2008) Identity: Sociological Perspective. Cambridge, UK: Polity Press.

Levin, Abigail. (2010) The Cost of Free Speech: Pornography, Hate Speech, and Their Challenge to Liberalism. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Littleton, Christine. (1996) “Women’s Expereince and the Problem of Transition: Perspectives on Male Battering Women”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadelphia: Temple University Press.

MacKinnon, Catharine A. (1006) “Rape: On Coercion and Consent”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Mackey, Thomas C. (2002) Pornography on Trial: A Handbook with Cases, Laws, and Documents. Santa Barbara: ABC-CLIO.

Mahadi. (----) Soal Dewasa. Jakarta: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat.

Malamuth, Neil M., Tamara Addison dan Mary Kross. (2000) “Pornography and Sexual Aggression: Are There Reliable Effects and Can We Understand Them?” Annual Review of Sex Research. Vol. 11.

Martyn, Elizabeth. (2005) The Women’s Movement in Post-colonial Indonesia Gender and Nation in a New Democracy. London – New York: Routledge Curzon.

Matsui, Yayori (1999) Women in the New Asia. London: Zed Book.

McKinsey & Company. (2007) Women Matter: Gender Diversity, a Corporate Performance Driver. Paris.

Mehra, Madhu, dan Amita Punj. (2004) CEDAW: Mengembalikan Hak-hak Perempuan. New Delhi: Partners for Law in Development (PLD).

Page 645: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

620

Meij, Lim Sing, Ruang Sosial Baru Permpuan Tionghoa Sebuah Kajian Pascakolonial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Meyer, David S. (2002) “Opportunities and Identities: Bridging-Building in The Study of Social Movements”, dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State. Oxford – New York: Oxford University Press.

Moore, Henrietta L. (1988) Feminism and Anthropology. USA: University of Minnesota Press.

Moore, Sally Falk. (1994) “The Ethnography of the Present and the Analysis of Process”, dalam Robert Borofsky, Assessing Cultural Anthropology. New York: McGraw –Hill, Inc.

Mosse, Julia Cleve. (1996) Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dan Pustaka Pelajar.

Muhibbin, Mohammad dan Abdul Wahid. (2009) Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta Sinar Grafika.

Naples, Nancy A. (2002), “Materialist Feminist Discourse Analysis and Social Movement Research: Mapping the Changing Context for ‘Community Control’”, dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State. Oxford – New York: Oxford University Press.

Newburn, Tim.(2007) Criminology. USA: Willan Publishing.

Nurtjahyo, Lidwina Inge. (2006) “Perubahan Kedudukan dan Hak Waris Anak Perempuan dalam Keluarga Tionghoa”, studi kasus di Kota Bekasi dalam Sulistyowati Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

O’Connell, Davidson dan Jacquline Sanchez Taylor. (1994) Child Prostitution and Sex Tourism in Thailand. ECPAT.

Octa, Yacob Bill. (2012) ”Ponpes di Depok dibakar massa, puluhan polisi berjaga”. Merdeka.com.

Page 646: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

621

Office of the United High Commissioner for Human Rights. (----) Committee on the Elimination of Discrimination against Women dalam http://www2.ohchr.org/english/bodies/cedaw/.

Olsen, Frances E. (1995) “The Myth of State Intervention in the Family”, dalam Frances E. Olsen (ed.), Feminist Legal Theory II: Positioning Feminist Theory Within the Law. New York: New York University Press.

Organisasi Perburuhan Internasional. (2007) Hak-hak Pekerja Migran – Buku Pedoman untuk Serikat Pekerja Indonesia, Jakarta: ILO.

Ost, Suzanne. (2009) Child Pornography and Sexual Grooming: Legal and Societal Responses (New York: Cambridge University Press.

Packer, Herbert L. (1968) The Limits of The Criminal Sanction. Stanford University Press.

Parker, Richard dan Peter Aggleton (ed.) (1999) Culture, Society, and Sexuality: A Reader. London: UCL Press.

Pilcher, Jane dan Imelda Whelehan. (2004) Fifty Key Concepts in Gender Studies. London: Sage Publications.

Pineau, Lois. (1996) “Date Rape: A Feminsit Analysis”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Piper, N dan M. Sattherhwaite. (2007) “Migrant Women”, dalam R. Perruchoud and R. Cholewinski (eds), International Migration Law Developing Paradigms and Key Challenges. Jakarta: Asser Press; tercantum juga dalam Organisasi Perburuhan Internasional. (2007) Hak-hak Pekerja Migran - Buku Pedoman. Jakarta: ILO.

PKWJ UI dan Komnas Perempuan. (2008) Perempuan Memaknai dan Mengakses Keadilan. Laporan penelitian di tiga provinsi. (Jakarta: Komnas Perempuan), Desember 2008.

Power, David S. (2001) Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan: Kritik Historis Hukum Waris. Terjemahan: Arif Maftuhin. Yogyakarta: LkiS.

Purnama, Lita. (2005) “Apa Kabar Perempuan Daerah?”. Jurnal Perempuan. No 17: “Perempuan Lokal Bicara”. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Page 647: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

622

Pusat Kajian Wanita dan Jender. (2004) Hak Asasi Perempuan: Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia.

Rahayu, Ruth Indiah. (2008) “Emansipasi Menuju Unilinear: Gerakan Feminis ‘Indonesia’ Paro Abad Ke-20”, dalam Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, terjemahan. Depok: Komunitas Bambu.

Rajagukguk, Erman. (2012) “Legal Pluralism and the Three –Cornered Case Study of Women’s Inheritance Rights Changing in Lombok”, dalam David K Liman (ed.), Legitimacy, Legal Development and Change: Law & Modernization. Melbourne: Ashagate.

Razak, Tatang Budie Utama (2011) “Perlunya Kajian Menyeluruh Mengenai Kebijakan Pengiriman TKI ke Luar Negeri”. Makalah untuk Pertemuan Kelompok Ahli Tinjauan atas Peraturan Kebijakan Ketenagakerjaan Negara Penempatan. Surabaya, 15 September 2011.

Reger, Jo. (2002) “More Than One Feminism: Organizational Structure and the Construction of Collective Identity”, dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, Belinda Robnett (eds.), Social Movements: Identity, Culture, and the State. Oxford – New York: Oxford University Press.

Remmelink, Jan. (2003) Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Richards, Tara N. dan Kathryn A. Branch. (2013) “Examining Parental and Peer Social Support as a Buffer Between Dating Violence Victimization and Negative Outcomes Among Female Adolescents”. Women & Criminal Justice. Copyright © Taylor & Francis Group, 23, 2013.

Risman, Barbara J. (2004) “Gender as a Social Structure: Theory Wrestling with Activism”, dalam Jurnal Gender & Society. Vol. 18, No. 4, August 2004. Sociologists for Women in Society.

Ritzer, George. (2013) Introduction to Sociology. London: Sage Publications.

Page 648: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

623

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman (2004) Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.

Robinson, Kathryn. (2008) “Islamic Cosmopolitics, Human Rights and Anti-Violence Strategies in Indonesia”, dalam Pnina Werbner (ed.) Anthropology and the New Cosmopolitanism Rooted, Feminis and Vernacular Perspectives. Oxford – New York: Oxford International Publishers, Ltd.

Ross, Rebecca S. (2011) “Because There Won’t Be “Next time”: Why Justice Court is an Inappropriate Forum for Domestic Violence Cases”. Journal of Law & Family Studies 13.

Rusiyati. (1990) “Sepintas Gerakan Wanita Indonesia dalam Perkembangan Sejarah”. Makalah yang dipresentasikan pada pertemuan peringatan Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia, 22 Desember 1990 di Amsterdam.

Sadli, Saparinah dan Marilyn Porter. (1999) Metodologi Penelitian Berperspektif Perempuan dalam Riset Sosial. Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia.

Santoso, Thomas. (2002) Teori-teori Kekerasan. Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Sapardjaja, Komariah Emong. (2002) Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Bandung: Alumni.

Saraga, Esther. (2002) “Dangerous Places: The Family as a Site of Crime”, dalam John Munice dan Eugene McLaughlin (eds.), The Problem of Crime. London: Sage Publication & Open University.

Sarono, Agus dan Islamiyati. (2002) Wacana Gender terhadap Hukum Perkawinan di Indonesia: Analisa terhadap Hak dan Kewajiban Suami Istri, Poligami, dan Perceraian. Semarang: Unit Perguruan Tinggi Mata Kuliah Umum Universitas Diponegoro.

Saunders, Crystal Richards. (1990) A Critical Examination of the Pornography Debate: Toward a Socialist Feminist Framework. Tesis di Departemen Sosiologi/Antropologi Simon Fraser University.

Page 649: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

624

Schechter, Susan dan Jeffrey L. Edleson. (1994) In the Best Interest of Women and Children: A Call for Collaboration Between Child Welfare and Domestic Violence Constituencies. Minnesota Center Against Violence and Abuse.

Schechter, Susan. (1996) “The Roots of Battered Women’s Movement: Personal and Political”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadelphia: Temple University Press.

Scott, John dan Gordon Marshall. (2009) Dictionary of Sociology. Oxford: Oxford University Press.

Shahrur, Muhammad. (2004) Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta: ElSaq Press.

Shihab, M. Quraisy. (2000) Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Quran. Vol. 2. Ciputat: Penerbit Lentera Hati.

Shihab, Umar. (2005) Kontekstualitas Al Quran: Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al Quran. Jakarta: Penamadani.

Shrader, Elizabeth. (2001) Methodologies to Measure the Gender Dimensions of Crime and Violence. Washington DC: Gender Unit Poverty Reduction and Economic Management Latin America and Caribbean Region The World Bank.

Siddharta, Ricki. (2013) Pembagian Waris dengan Wasiat Secara Lisan pada Masyarakat Adat Tionghoa di Kelurahan Buliang Kecamatan Batuaji Kota Batam. Tesis S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.

Sinaga, Masco. (2008) “Nasionalisme, Gender, dan Identitas”, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (eds.), Hermeneutika Pasca-kolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sinha, Surya Prakash. (1993) Jurisprudence Legal Philosopy. USA: West Publishing Company.

Skinner, Tina Marianne Hester, Ellen Malos (ed.). (2005) Researching Gender Violence: Feminist Methodology in Action. USA: Willan Publishing.

Page 650: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

625

Smart, Carol. (1989) “Rape: Law and the Disqualification of Women’s Sexuality”, dalam Carol Smart (ed.), Feminism and the Power of Law. London and New York: Routledge.

Smart, Carol. (1989) Feminism and the Power of Law. London and New York: Routledge.

SMERU. (2001) Ringkasan Eksekutif Laporan Penelitian Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah. Didukung USAID/PEG.

Smith, Rhona K.M. (2010) Textbook on International Human Rights. Oxford: Oxford University Press.

Spivak, Gayatri Chakravorty. (2008) “Can the Subaltern Speak?”, dalam Sharp, J., Geographies of Post-colonialism. UK: SAGE Publications.

Starmer, Keir. (2011) “Domestic Violence: The Facts, The Issues, The Future”. International Review of Law, Computers & Technology. No. 25.

Steurs, Cora Vreede-de. (2008) Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, terjemahan. Depok: Komunitas Bambu.

Sudiyat, Iman. (1989) “Peta Hukum Waris di Indonesia”, dalam Simposium Hukum Waris Nasional. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman.

Sulaiman. (2005) Pandangan Masyarakat tentang Pembagian Waris Islam di Jawa Tengah: Studi Kasus di Jekulo Kudus. Departemen Agama RI, Balai Litbang Agama Semarang. http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id

Summers, Randal W. dan Allan M. Hoffman. (2002) Domestic Violence A Global View. Greenwood Press.

Supomo. (1983) Hukum Adat. Jakarta: Pusaka.

Supriyadi, Widodo Eddyono. (2007) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia: Sebuah Pemetaan Awal. Jakarta: Koalisi Perlindungan Saksi, ICJR & ICW.

Page 651: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

626

Suryakusuma, Yulia. (1988) “State Ibuism: the Social Construction of Womanhood in the Indonesian New Order”. Women’s Movement and Organizations in a Historical Perspective, Research Project 1983-1985 Women and Development. The Haque: Institute of Social Studies.

Suryakusuma, Yulia (2011) State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in the Indonesian New Order. Depok: Komunitas Bambu.

Suryochondro, Sukanti. (1995) “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia”, dalam Tapi Omas Ihromi (ed.), Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Syarifuddin, Amir. (2004) Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Predana Media Group.

Tierney, Helen (ed.). (1999) Women’s Studies Encyclopedia. US: Greenwood Press.

Tjahjono, Adi dkk. (2004) Stop Pornografi: Selamatkan Moral Bangsa. Jakarta: Pengurus Pusat Wanita Islam dan Citra Pendidikan.

Tjandraningsih, Indrasari (1999) “Krisis dan Buruh Pabrik: Dampak dan Masalah Jender” (The Crisis and Factory Workers: Some Gender Issues). Jurnal AKATIGA. No. 06 / June-July.

Tong, Rosemarie. (2009) Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Boulder: Westview Press.

Tungadi, Thahir. (1989) “Pembahasan atas Kertas Kerja tentang Kaitan Undang-Undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum Waris”, dalam Simposium Hukum Waris Nasional. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman.

UNICEF. (1998) Implementation Handbook for the Convention on the Right of the Child. New York.

United Nation (2011) “UN Report. Chapter 6: Violence Against Women”, dalam Women’s World 2010.

Vold, George B. et al. (2002) Theoretical Criminology.5th ed. Oxford: Oxford University Press.

Wahyudi, Muhammad Isna. (----) “Kerancuan Putusan Perceraian di Lingkungan Peradilan Agama”. www.badilag.net

Page 652: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

627

Wahid, Marzuki. (2009) Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indoneia Pasca-Orde Baru: Studi Politik Hukum atas CLD-KH. Presentasi hasil penelitian pada tanggal 1 Desember 2009.

Walkowitz. Judith R. (1996) “Male Vice and Female Virtue: Feminism and the Politics of Prostitution in Nineteenth-Century Britain”, dalam Kelly D. Weisberg (ed.), Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives: Sex, Violence, Work and Reproduction. Philadephia: Temple University Press.

Weisberg, Kelly D. (1993) Feminist Legal Theory: Foundations. USA: Temple University Press.

Weisberg, Kelly D. (ed.) (1996) Applications of Feminist Legal Theory to Women’s Lives. Philadephia: Temple University Press.

White, Rob dan Fiona Haines. (2001) Crime and Criminology an Introduction. 2nd ed. Oxford: Oxford University Press.

WHO. (2005) Summary Report WHO Multi-Countries Study on Women’s Health and Domestic Violence against Women.

Wieringa, Saskia Eleonora. (1999) Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya.

Wieringa, Saskia Eleonora. (1988) The Perfumed Nightmare: Some Notes on the Indonesian Women’s Movement. Den Haag: ISS.

Williams, Katherine S. (2001) Textbook on Criminology. Oxford: Oxford University Press.

Williams, Patricia J. (1995)“On Being the Object of Property”, dalam Frances Olsen (ed.), Feminist Legal Theory II: Positioning Feminist Theory within the Law. New York: New York University Press.

WLUML. (2007) Mengenali Hak Kita, Perempuan, Keluarga, Hukum, dan Adat di Dunia Islam. Terjemahan: Suzanna Eddiono. Yogyakarta: LkiS; Jakarta: SCN-CREST; London: WEMC International dan WLUML London.

Women Research Institute. (----) Kehadiran Perempuan di Pabrik: Kilas Balik Sejarah. http://wri.or.id/penelitianpolitikdanperempuan/KehadiranPerempuandiPabrik.

Page 653: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

628

Women Research Institute. (2005) Representasi Perempuan dalam Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah. Jakarta: WRI.

World Bank. (2004) Menciptakan Peluang Keadilan. Laporan penelitian “Village Justice in Indonesia” dan “Terobosan dalam Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi hukum di Tingkat Lokal”. Jakarta: World Bank

Yatim, Debra H. (2004) “Mengurai Fenomena (Perempuan dan) Pornografi”. Jurnal Perempuan. No. 38: “Pornografi”.

Yayasan Jurnal Perempuan. (2004) Menggalang Perubahan: Perlunya Perspektif Gender dalam Otonomi Daerah. Jakarta: YJP.

Yentriyani, Andi dan Carla Bianpoen, Nani Buntaran. (1999) Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Publikasi Komnas Perempuan bekerja sama dengan New Zealand Official Development Assistance.

Yunus, Mahmud. (1993) Tafsir Quran Karim. Cetakan ke-31. Jakarta: Hidakarya Agung.

Zamzami, Mukhtar. (2012) Kajian Hukum terhadap Kedudukan dan Hak Perempuan sebagai Ahli Waris dalam Sistem Hukum Kewarisan Indonesia, dikaitkan dengan Azas Keadilan dalam rangka menuju Pembangunan Hukum Kewarisan Nasional. Ringkasan Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

Berita Internet

“Poligami, Masalah Krusial dalam Revisi Undang-undang Perkawinan Hukumonline”, Hukumonline, Selasa, 25 November 2003, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9232/poligami-masalah-krusial-dalam-revisi-undangundang-perkawinan

“40 Juta Jadi Kepala Keluarga” Pikiran Rakyat, 2 Juni 2004, http://www.pekka.or.id/8/index.php?option=com_content&view=article&id=119%3A40-juta-wanita-jadi-kepala-keluarga-&catid=43%3Apekka-in-the-news&Itemid=45&lang=in

Page 654: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

629

The Sociology of Gender: Theoretical Perspective and Feminist Frameworks, Chapter 1, http://www.learningace.com/doc/7706457/8c2629aa016c4d27ebaa0d8427bc00e8/chapter-1-the-sociology-of-gender-theoretical-perspectives-and-feminist-frameworks

“Sudahkah Hak Pekerja Wanita Diperhatikan Perusahaan?”, Suara Merdeka Online, 17 Juli 2012

http://lipsus.kompas.com/workingmom/read/2011/10/24/15494079/Tak.Cukup.Perlakuan.Setara.untuk.Ibu.Bekerja

http://www.unicef.org/globalspanner/counterhumantrafficking/index.html

http://kuhpreform.files.wordpress.com/2008/09/perdagangan-manusia-dalam-ruu-kuhp-5.pdf

http://baltyra.com/2011/03/01/human-trafficking-di-indonesia/

http://hukum.kompasiana.com/2011/04/19/catatan-penanganan-kasus-perdagangan-anak-untuk-tujuan-pelacuran

http://www.pkpa-indonesia.org/index.php?option=com_content&view=article& id=296:anak--dibawah-umur-dijual-disiksa-dan-diperkosa& catid=66:umum,

http://www.idlo.int/DOCNews/Human_trafficking_ind.pdf

http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id= 95:anak-anak-dan-turisme-&catid=89:artikel&Itemid=121

http://www.komnasham.go.id/profil-7/pengkajian-dan-penelitian/190-laporan-penelitian-pemenuhan-dan-perlindungan-hak-anak-berhadapan-dengan-hukum-abh-di-lembaga-pemasyarakatan-anak-wanita-dan-anak-pria-tangerang

http://berita/baca/lt4dcac4e944fc9/penyidikan-tidak-sah-hakim-batalkan-dakwaan

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/06/130613 pengadilan_anak_dsy_ylbhi_ky.shtml

http://jakarta.okezone.com/read/2012/08/27/501/681247/lagi-guru-ngaji-cabuli-13-murid

http://pedomannews.com/sosial-budaya/15302-pn-depok-gelar-sid

Page 655: HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN & ANAKmini.hukumonline.com/taf2015/download/HukumPerlindunganPerempuan.pdfDAFTAR ISI BAB 1 GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA: PERJUANGAN KESETARAAN DAN KEADILAN

630

http://www.tribunnews.com/2012/08/28/korban-pencabulan-dijanjikan-umrah

http://www.wartakota.co.id/mobile/detil/32182

http://news.detik.com/read/2008/10/30/231620/1028965/10/diduga-cabuli-mahasiswi-dosen-ui-dilaporkan-ke-polisi

http://news.detik.com/read/2012/03/12/165942/1865067/10/habib-hasan-kepada-semua-yang-memfitnah-kami-semoga-diberi-hidayah?9911012

http://akuindonesiana.wordpress.com/pelecehan-seksual-di-tempat-kerja/

http://interseksi.org/publications/essays/articles/cedaw.html

http://news.detik.com/read/2005/10/21/140122/466134/10/lbh-apik-cuti-haid-harus-rogoh-kelamin-salahi-uu?nd771104bcj

http://terkini.bbc.web.id/artikel/read/2013/03/27/521/782490/protes-kebijakan-tentang-cuti-haid-300-buruh-mogok-kerja

http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/trend/12/03/08/m0jzbu-duh-kekerasan-seksual-terhadap-perempuan-sering-terjadi-di-tempat-kerja

http://www.tempo.co/read/news/2002/12/18/05535304/Pramugari-Garuda-Tuntut-Penghapusan-Diskriminasi.

http://nasional.kompas.com/read/2012/11/23/05393810/Komnas.Perempuan.Temukan.282.Perda.Diskriminatif.

http://domesticviolencestatistics.org.

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt4b459ec464a39/kdrt.