Upload
others
View
23
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
2
3
HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS TERHADAP
KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF RAMAJA
Abdaul Habiburrahman
Hepi Wahyuningsih
INTI SARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara Pola Asuh
Demokratis terhadap Kesejahteraan subjektif Remaja. Hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah adanya hubungan yang positif pada Pola Asuh
Demokratis terhadap Kesejahteraan subjektif Remaja. Responden dalam
penelitian ini berjumlah 180 anak Remaja, berusia 15-17 tahun. Penelitian ini
menggunakan dua alat ukur, yaitu skala Kesejahteraan subjektif yang
dikembangkan oleh diener (1999) dan skala Pola Asuh Demokratis yang
dikembangkan oleh Hadi (1991). Hasil analisis data menggunakan teknik korelasi
Product Moment dari Pearson dengan bantuan program komputer untuk analisis
statistika yaitu IMB SPSS (Statistical Product and Service Solutions) versi 22.0
for Windows menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara Pola Asuh
Demokratis dan Kesejahteraan subjektif pada Remaja (r = 0,505 dengan p = 0,000
(p<0,05)). Hal ini berarti semakin tinggi Pola Asuh Demokratis, maka semakin
tinggi Kesejahteraan subjektif yang dimiliki oleh Remaja. Dengan demikian,
hipotesis diterima.
Kata Kunci : Pola Asuh Demokratis, Kesejahteraan subjektif, Remaja
4
LATAR BELAKANG
Kebahagiaan di dalam hidup adalah suatu hal yang menjadi harapan di
dalam kehidupan banyak orang, bahkan sepertinya semua orang mendambakan
kehidupan yang berbahagia. Menurut Seligman (2006) istilah kebahagiaan juga
banyak dikenal dalam psikologi positif. Teori psikologi menggunakan istilah yang
lebih tepat yang dapat didefinisikan secara operasional, yakni kesejahteraan
subjektif yang selanjutnya akan disebut dengan SWB, bukannya kebahagiaan.
Hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai sumber dan
penyebab kebahagiaan. Sejumlah pakar mengidentikkan kebahagiaan dengan
waktu dan pengalaman hidup yang menyenangkan. Penelitian Thomas dan Diener
(Diener, Lucas, & Oshi, 2005) menemukan bahwa kebahagiaan dipengaruhi oleh
suasana hati individu pada suatu saat tertentu, keyakinannya tentang kebahagiaan,
serta seberapa mudahnya seseorang menerima informasi positif dan negatif. Di
sisi lain, kebahagiaan juga berkaitan dengan seberapa mampu individu
mempersepsi pengalaman hidupnya secara positif. Tingkat kebahagiaan akan
berubah seiring berjalannya perjalanan hidup seseorang, terutama karena
kejadian-kejadian hidup yang dapat meningkatkan kebahagiaan (pernikahan,
kelahiran anak, kesuksesan, dll), namun kebahagiaan juga dapat menurun karena
adanya peristiwa yang menyedihkan (kematian kerabat, perceraian, kegagalan),
sehingga tingkat kebahagiaan tidak akan menetap. Perubahan tingkat kebahagiaan
seseorang disebabkan adanya kemampuan adaptasi individu terhadap situasi di
lingkungannya.
5
Seseorang akan di tandai tidak bahagia dengan kegalauan, jika kegalau yg
berlebihan bisa mengakibatkan stress. Seperti dalam kasus berikut Ahli psikologi,
Hellen Damayanti, mengatakan, survei menunjukkan 44 persen pelajar merasa
stress menghadapi ujian dan tugas. Menurut dia di Jakarta, Rabu, tingkat stress
remaja menjelang ujian nasional sangat tinggi, sedangkan 12 persen diliputi
kegalauan akibat rasa takut tidak naik kelas. "Faktor lain karena para pelajar
merasa bingung mencari sekolah lanjutan atau pindah ke sekolah yang dinilainya
tepat," katanya. Padahal, lanjut Damayanti, tips memilih sekolah lanjutan adalah
memilih sekolah atau akademi atau universitas dari ilmu yang didapatkan.
Ada beragam faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif
Individu, yang pertama Perbedaan jenis kelamin Shuman (Eddington dan
Shuman, 2008) menyatakan penemuan menarik mengenai perbedaan jenis
kelamin dan kesejahteraan subjektif. Wanita lebih banyak mengungkapkan afek
negatif dan depresi dibandingkan dengan pria, dan lebih banyak mencari bantuan
terapi untuk mengatasi gangguan ini; namun pria dan wanita mengungkapkan
tingkat kebahagiaan global yang sama. Lebih lanjut, Shuman menyatakan bahwa
hal ini disebabkan karena wanita mengakui adanya perasaan tersebut sedangkan
pria menyangkalnya. Penelitian yang dilakukan di Negara barat menunjukkan
hanya terdapat sedikit perbedaan kebahagiaan antara pria dan wanita (Edington
dan Shuman, 2008). Diener (2009) menyatakan bahwa secara umum tidak
terdapat perbedaan kesejahteraan subjektif yang signifikan antara pria dan wanita.
Namun wanita memiliki intensitas perasaan negatif dan positif yang lebih banyak
dibandingkan pria.
6
Faktor kedua Tujuan, Diener (dalam Carr, 2005) menyatakan bahwa
orang-orang merasa bahagia ketika mereka mencapai tujuan yang dinilai tinggi
dibandingkan dengan tujuan yang dinilai rendah. Contohnya, kelulusan di
perguruan tinggi negeri dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan kelulusan
ulangan bulanan. Carr (2004) menyatakan bahwa semakin terorganisir dan
konsisten tujuan dan aspirasi seseorang dengan lingkungannya, maka ia akan
semakin bahagia, dan orang yang memiliki tujuan yang jelas akan lebih bahagia.
Emmons (dalam Diener, 1999) menyatakan bahwa berbagai bentuk tujuan
seseorang, termasuk adanya tujuan yang penting, kemajuan tujuan-tujuan yang
dimiliki, dan konflik dalam tujuan-tujuan yang berbeda memiliki implikasi pada
emotional dan cognitive well-being.
Faktor ketiga adalah Agama dan Spiritualitas, Diener (2009) menyatakan
bahwa secara umum orang yang religious cenderung untuk memiliki tingkat well
being yang lebih tinggi, dan lebih spesifik. Partisipasi dalam pelayanan religius,
afiliasi, hubungan dengan Tuhan, dan berdoa dikaitkan dengan tingkat well being
yang lebih tinggi. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kesejahteraan
subjektif berkorelasi signifikan dengan keyakinan agama (Eddington & Shuman,
2008). Ellison (dalam Eddington & Shuman, 2008), menyatakan bahwa setelah
mengontrol faktor usia, penghasilan, dan status pernikahan responden,
kesejahteraan subjektif berkaitan dengan kekuatan yang berelasi dengan Yang
Maha Kuasa, dengan pengalaman berdoa, dan dengan keikutsertaan dalam aspek
keagamaan. Pengalaman keagamaan menawarkan kebermaknaan hidup, termasuk
kebermaknaan pada masa krisis (Pollner dalam Eddington & Shuman, 2008).
7
Taylor dan Chatters (dalam Eddington & Shuman, 2008) menyatakan agama juga
menawarkan pemenuhan kebutuhan social seseorang melalui keterbukaan pada
jaringan sosial yang terdiri dari orangorang yang memiliki sikap dan nilai yang
sama. Carr (2004) juga menyatakan alasan mengikuti kegiatan keagamaan
berhubungan dengan kesejahteraan subjektif, sistem kepercayaan keagamaan
membantu kebanyakan orang dalam menghadapi tekanan dan kehilangan dalam
siklus kehidupan, memberikan optimisme bahwa dalam kehidupan selanjutnya
masalah-masalah yang tidak bisa diatasi saat ini akan dapat diselesaikan.
Keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan religious memberikan dukungan sosial
komunitas bagi orang yang mengikutinya. Keterlibatan dalam kegiatan
keagamaan seringkali dihubungkan dengan lifestyle yang secara psikologis dan
fisik lebih sehat, yang dicirikan oleh prosocial altruistic behaviour, mengontrol
diri dalam hal makanan dan minuman, dan komitmen dalam bekerja keras. Diener
(2009) juga mengungkapkan bahwa hubungan positif antara spiritualitas dan
keagamaan dengan kesejahteraan subjektif berasal dari makna dan tujuan jejaring
sosial dan sistem dukungan yang diberikan oleh gereja atau organisasi
keagamaan.
Faktor keempat Kualitas hubungan sosial Penelitian yang dilakukan oleh
Seligman (dalam Diener & Scollon, 2003) menunjukan bahwa semua orang yang
paling bahagia memiliki kualitas hubungan sosial yang dinilai baik. Diener dan
Scollon (2003) menyatakan bahwa hubungan yang dinilai baik tersebut harus
mencakup dua dari tiga hubungan sosial berikut ini, yaitu keluarga, teman, dan
hubungan romantis. Arglye dan Lu (dalam Eddington dan Shuman, 2008)
8
menyatakan bahwa kebahagiaan berhubungan dengan jumlah teman yang
dimiliki, frekuensi bertemu, dan menjadi bagian dari kelompok.
Faktor kelima adalah Kepribadian Tatarkiewicz (dalam Diener 1984)
menyatakan bahwa kepribadian merupakan hal yang lebih berpengaruh pada
kesejahteraan subjektif dibandingkan dengan faktor lainnya. Hal ini dikarenakan
beberapa variabel kepribadian menunjukkan kekonsistenan dengan subjective
wellbeing diantaranya self esteem. Campbell (dalam Diener, 1984) menunjukkan
bahwa kepuasan terhadap diri merupakan prediktor kepuasan terhadap hidup.
Namun self esteem ini juga akan menurun selama masa ketidakbahagiaan (Laxer
dalam Diener, 1984).
Keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan paling utama dalam
mengasuh anak, keluarga merupakan peranan penting dalam perkembangan anak
termasuk dalam mengasuh anak. terdapat berbagai macam bentuk pola asuh yang
bias dipilih dan digunakan oleh orang tua. Sebelum berlanjut kepada pembahasan
berikutnya, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian dari pola asuh
itusendiri. Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1988: 54), pola berarti corak, model, sistem, cara kerja,
bentuk (struktur) yang tetap. Sedangkan kata asuh dapat berati menjaga (merawat
dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu; melatih dan sebagainya), dan
memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga (TIM
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988: 692).
9
Lebih jelasnya, kata asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan
dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga orang tetap
berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat (Elaine Donelson, 1990: 5). Menurut
Ahmad Tafsir seperti yang dikutip oleh Danny I. Yatim Irwanto (1991: 94) “Pola
asuh berarti pendidikan, sedangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar
oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama”.
Jadi pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi antara orang
tua dengan anak, di mana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya dengan
mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat
oleh orang tua, agar anak dapat mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan
optimal. Dalam penelitian ini hanya akan membahas tiga macam pola asuh, yang
secara teoritis lebih dikenal bila dibandingkan dengan yang lainnya, yaitu pola
asuh otoriter, demokratis dan laissez faire.
Dalam penelitian ini saya mengambil pola asuh demokratis, Pola asuh
orang tua yang demokratis dapat didefinisikan sebagai pola pemeliharaan anak
atau kendali orang tua terhadap anak dengan cara kesederajatan dan lebih
mengutamakan kepentingan anak atau child centeredness (Hurlock dalam
Handayani, 2001). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991) pola asuh demokratis
merupakan cara pengasuhan dimana remaja boleh mengemukakan pendapat
sendiri, mendiskusikan pandanganpandangan mereka dengan orang tua,
menentukan dan mengambil keputusan. Akan tetapi orang tua masih melakukan
pengawasan dalam hal mengambil keputusan terakhir dan bila diperlukan
10
persetujuan orang tua. Barnadib (dalam Tarmudji, 2001) mengatakan bahwa
orang tua yang demokratis selalu memperhatikan perkembangan anak, dan tidak
hanya sekedar mampu memberi nasehat dan saran tetapi juga bersedia
mendengarkan keluhan-keluhan anak berkaitan dengan persoalan-persoalannya.
Selanjutnya Barnadib (dalam Tarmudji, 2001) juga mengatakan bahwa anak yang
berada dalam pola pengasuhan demokratis akan memiliki sifat dapat menghargai
orang lain, percaya diri, sosialnya baik, tanggung jawab dan mudah menyesuaikan
diri. Watson (dalam Marsudi, 1996) menyatakan bahwa anak yang diasuh dengan
pola asuh demokratis akan menunjukkan perilaku yang rasional, teliti, penuh
kesadaran, mudah menyesuaikan diri, dan dapat merasakan apabila melakukan
suatu kesalahan. Menurut Dalimunthe (dalam Handayani, 2001) ada beberapa
aspek untuk melihat pola asuh demokratis orang tua, yaitu: aspek pandangan
orang tua terhadap anak yang memandang sedang berkemban sesuai
kemampuannya mengurusi dirinya, menentukan kebutuhan dirinya sendiri dan
orang tua sebagai pembimbing agar anak menjadi lebih baik, aspek cara
komunikasi dengan cara komunikasi dua arah dimana orang tua memberi
kesempatan pada anak untuk mengekspresikan pendapatnya, berdiskusi, dan
orang tua juga mampu memahami komunikasi non verbal anak, aspek penerapan
disiplin melalui aturan-aturan atau kontrol diterapkan oleh orang tua dengan
memberi penjelasan rasional pada anak, melibatkan pemahaman anak, bersifat
terbuka, anak mendapatkan kesempatan untuk memahami arti dan kegunaan
aturan atau kontrol terhadap tingkah lakunya.
11
Kesejahteraan subjektif (SWB) merupakan kebahagian individu seseorang
hal ini bisa ditinjau dari segi pola asuh orang tua yang seperti apa. Dalam hal ini
bisa disesuaikan dengan pola asuh demokratis orang tua hal ini sesuai dengan
penelitian yang sebelumnya yang mendekati sesuai dengan judul diatas sebagai
contoh penelitian yang mendekati dengan sesuai judul di atas adalah penelitan
dari Anastasia Arika Widiani dan Heni Nugraheni yang berjudul tentang
HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KEMANDIRIAN
REMAJA yang hasilnya kesimpulan ada hubung positif yang sangan signifikan
antara pola asuh demokratis dengan kemandirian remaja, menyatakan bahwa hal
ini semakin tingginya pola asuh demokratis yang diberikan oleh orang tua dan
dipandang oleh remaja maka akan semakin tinggi kemandirian remaja. Dan
sebaliknya semakin rendahnya pola asuh demokratis yang diberikan oleh orang
tua maka semakin rendahnya kemandirian reamaja.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan pola asuh demokratis pada Kesejahteraan subjektif remaja.
METODE PENGUMPULAN DATA
Metode analisis data yang digunakan yaitu menggunakan metode analisis
kuantitatif dengan cara mengumpulkan data serta memaparkan variabel-variabel
yang menggambarkan hubungan antara pola asuh demokratis dan kesejahteraan
subjektif dalam kategori yang akan menjadi skor total pengisian kuesioner oleh
responden. Selain itu metode analisis data yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini adalah metode statistika yaitu teknik korelasi Pearson, yang
12
dianalisis menggunakan bantuan software IMB SPSS V.22. Metode ini digunakan
untuk mengetahui korelasi antara dua variabel yaitu antara pola asuh demokratis
dan kesejahteraan subjektif pada remaja.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Responden dari penelitian ini adalah siswa siswi di SMA N 2 Ngaglik
dengan rentang umur 16 tahun sampai 17 tahun. Berikut ini adalah gambaran
umum dari responden penelitian:
Demografi Responden Berdasarkan Usia
No. Usia (tahun) Frekuensi Persentase
1 15 7 3.9
2 16 132 73.3
3 17 41 22.8
Jumlah 180 100%
Sumber : Data primer yang diolah
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 180 responden yang diberikan
kuesioner, responden berusia 16 tahun adalah yang terbanyak yaitu 132 siswa
(73.3%). Responden berusia 17 tahun sebanyak 41 siswa (22.8%) dan sebanyak 7
siswa (3.9%) berusia 15 tahun.
Selanjutnya dilakukan kategorisasi terhadap variabel Kesejahteraan
subjektif. Kategorisasi pertama-tama dilakukan dengan menentukan skor ideal
yaitu dengan rumus skor terendah/skor tertinggi dikali jumlah aitem (Azwar,
2012). Skor ideal untuk variabel Kesejahteraan subjektif adalah sebagai berikut :
Skor maksimal = skor tertinggi x jumlah aitem = 5 x 32 = 160
Skor minimal = skor terendah x jumlah aitem = 1 x 32 = 32
Rumus kategorisasi data menurut Azwar (2012) :
Tinggi : X ≥ (Mi + 1SDi)
13
Sedang : (Mi - 1SDi) ≤ X < (Mi + 1SDi)
Rendah: X < (Mi - 1SDi)
Keterangan :
Mi : ½ (skor ideal tertinggi + skor ideal terendah) = ½ (160 + 32) = 96
SDi : 1/6 (skor ideal tertinggi - skor ideal terendah) = 1/6 (160 + 32) = 21
Hasil pengkategorian variabel Kesejahteraan subjektif adalah sebagai berikut:
Kategorisasi Kesejahteraan subjektif
Kategor
isasi
Interval
Skor
Frekuensi Presentase
Tinggi X ≥ 117 128 71.1
Sedang 75 ≤ X <
117
51 28.3
Rendah X < 75 1 0.6
Jumlah 180 100
Berdasarkan tabel 4.3 di atas diperoleh data bahwa skala Kesejahteraan
subjektif sebagian besar partisipan penelitian ini (71,1%) dikategorikan dalam
tingkat tinggi.
Selanjutnya dilakukan kategorisasi terhadap variabel pola asuh demokratis.
Kategorisasi pertama-tama dilakukan dengan menentukan skor ideal yaitu dengan
rumus skor terendah/skor tertinggi dikali jumlah aitem (Azwar, 2012). Skor ideal
untuk variabel pola asuh demokratis adalah sebagai berikut :
Skor maksimal = skor tertinggi x jumlah aitem = 4 x 38 = 152
Skor minimal = skor terendah x jumlah aitem = 1 x 38 = 38
Rumus kategorisasi data menurut Azwar (2012) :
14
Tinggi : X ≥ (Mi + 1SDi)
Sedang : (Mi - 1SDi) ≤ X < (Mi + 1SDi)
Rendah: X < (Mi - 1SDi)
Keterangan :
Mi : ½ (skor ideal tertinggi + skor ideal terendah) = ½ (152 + 38) = 95
SDi : 1/6 (skor ideal tertinggi - skor ideal terendah) = 1/6 (152 - 38) = 19
Hasil pengkategorian variabel pola asuh demokratis adalah sebagai berikut:
Kategorisasi Pola Asuh Demokratis
Kategorisasi Interval Skor Frekuensi Presentase
Tinggi X ≥ 114 131 72.8
Sedang 76 ≤ X < 114 48 26.7
Rendah X < 76 1 0.6
Jumlah 180 100
Berdasarkan tabel 4.3 di atas diperoleh data bahwa skala pola asuh
demokratis sebagian besar partisipan penelitian ini (72.8%) dikategorikan dalam
tingkat tinggi.
Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi
normal atau tidak. Dalam penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan uji
Kolmogorov-Smirnov yang dilihat dari nilai residualnya. Data dikatakan
terdistribusi normal bila residual yang dihasilkan di atas nilai signifikansi yang
ditetapkan yaitu apabila > 0,05 (Sunjoyo, 2013). Hasil uji normallitas dapat dilihat
pada tabel 4.6 berikut :
15
Uji Normalitas
Kesejahteraan subjektif & Pola Asuh Demokratis
SWB 0,046
Pola asuh
demokratis
0,200
Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa nilai residual
berdistribusi normal karena nilai Sig. Atau nilai probabilitas residual variabel
lebih dari 0,05.
a. Uji linieritas
Uji linearitas dilakukan untuk melihat apakah garis regresi antara kedua
variabel membentuk garis yang linier atau tidak. Dalam penelitian ini, uji
linearitas dilakukan dengan uji Pearson Product Moment menggunakan sofware
IMB SPSS V22. Hasil uji linearitas dilihat dari nilai sig. (p) dengan ketentuan bila
deviation from linierity p > 0,05 artinya terbentuk hubungan linier antara kedua
variabel. Sedangkan, apabila data memiliki nilai p < 0,05 artinya data tersebut
tidak membentuk hubungan yang linier.
Uji Linearitas
Kesejahteraan subjektif & Pola Asuh
Demokratis
Deviation From Linierity 0,502
Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat disimpulkan bahwa variabel
Kesejahteraan subjektif & Pola Asuh Demokratis memiliki hubungan linier
karena nilai sig. > 0,05.
16
b. Uji hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan
positif antara pola asuh demokratis dengan kesejahteraan subjektif . Penelitian ini
melibatkan responden dengan rentang umur 15 tahun sampai 17 tahun. Uji
hipotesis dilakukan menggunakan teknik Pearson Correlation dengan
menggunakan program IMB SPSS V22.
Hasil analisis data menunjukkan korelasi antara variabel pola asuh
demokratis dan subective well-being adalah (r = 0,505). Hal ini menunjukkan
bahwa hipotesis penelitian diterima dan ada hubungan positif antara pola asuh
demokratis dan subective well-being. Hasil analisis data menunjukkan nilai p=
0,000 (p<0,01) sangat signifikan dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,505 yang
artinya semakin tinggi pola asuh demokratis maka subective well-being begitu
juga sebaliknya semakin rendah pola asuh demokratis maka akan semakin rendah
subective well-being. Diketahui sumbangan efektif dari variabel sebesar 0,460
yang artinya variabel subective well-being memiliki sumbangan efektif 46%
terhadap variabel pola asuh demokratis. Hasil uji hipotesis ini dapat dilihat di
tabel berikut:
Hasil Uji Hipotesis
Variabel r r² P Keterangan
Pola asuh demokratis &
kesejahteraan subjektif 0,505 0,460 0,000
Sangat
Berkorelasi
17
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan positif antara
pola asuh demokratis dengan kesejahteraan subjektif remaja. Responden yang
terlibat pada penelitian ini berjumlah 180 responden. Hipotesis penelitian ini yaitu
adanya hubungan positif antara variabel pola asuh demokratis terhadap subective
well-being. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa ada
hubungan positif antara pola Asuh demokratis pada kesejahteraan subjektif
remaja. Hal ini ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,505 dengan p
= 0,000. Sumbangan efektif pola asuh demokratis dan kesejahteraan subjektif
sebesar 46%. Artinya, semakin tinggi kesejahteraan subjektif maka semakin tinggi
pola asuh demokratis yang dimiliki responden.
Menurut Diener (1994) menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif
memiliki tiga bagian penting, pertama merupakan penilaian subyektif berdasarkan
pengalamanpengalaman individu, kedua mencakup penilaian ketidakhadiran
faktor-faktor negatif, dan ketiga penilaian kepuasan global. Menurut sutari imam
mengatakan bahwa orang tua yang demokratis selalu memperhatikan
perkembangan anak, dan tidak hanya sekedar mampu memberi nasehat dan saran
tetapi juga bersedia mendengarkan keluhan-keluhan anak berkaitan dengan
persoalan-persoalannya (Sutari Imam Barnadib, 1986). Berdasarkan dari hasil
penelitian diatas bahwa skala variabel kesejahteraan subjektif menunjukan 71,1%
atau 128 responden dikatagorikan tingkat tinggi, 28,3% atau 51 responden
dikatagorikan tingkat sedang, dan 0,6% atau 1 responden dikatagorikan tingkat
rendah. Skala variabel pola asuh demokratis menunjukan 72,8% atau 131
18
responden dikatagorikan tingkat tinggi, 26,7% atau 48 reponden dikatagorikan
tingkat sedang, 0,6% atau 1 responden dikatagorikan tingkat rendah.
KESIMPULAN
Secara keseluruhan penlitian ini masih banyak sekali kekurangan. Peneliti
menyadari kekurangan peneliti dalam mengadaptasi alat ukur yang dipakai. Selain
itu pada saat pengambilan data dilakukan, sebaiknya peneliti selanjutnya
memperhatikan kondisi dan waktu responden. Diharapkan pada pengambilan data,
responden dalam keadaan yang santai dan tidak sedang melakukan suatu
pekerjaan sehingga dalam pengisian angket responden lebih bisa berkonsentrasi
agar hasil dari angket yang diisi tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan
responden. Kekurangan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian dengan topik yang
sama agar penelitian lebih sempurna.
Berdasarkan analisis hasil data penelitian maka dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan positif antara pola asuh demokratis pada kesejahteraan subjektif
remaja. Hal ini berarti semakin tinggi kesejahteraan subjektif, maka semakin
tinggi pula pola asuh demokratis dan sebaliknya, semakin rendah subective well-
being, maka semakin rendah pula pola asuh demokratis. Jadi hipotesis yang
menyatakan ada hubungan positif pada pola asuh demokratis dengan
kesejahteraan subjektif diterima. Kategori skor untuk pola asuh demokratis berada
pada kategori yakin dan kategori skor untuk kesejahteraan subjektif berada pada kategori
sesuai.
19
SARAN
Ada beberapa saran yang dikemukakan peneliti berkaitan dengan hasil
penelitian, antara lain:
1. Bagi Responden Penelitian
Diharapkan bagi responden penelitian kedepannya bisa lebih bersungguh-
sungguh dalam mengisi angket-angket penelitian yang lain. Dikarenakan
penelitian dilakukan untuk mengukur aspek-aspek yang terdapat dari subjek
penelitian. Dan hasil yang didapat dari hasil yang sebenar-benarnya sesuai dengan
apa yang dirasa subjek akan mendukung hasil penelitian. Dan mungkin kelak data
tersebut dapat berguna untuk suatu hal.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan lebih mampu mengkondisikan
responden penelitian, agar responden mampu mengisi kuisioner dengan sungguh-
sungguh. Semakin sesuai data dengan apa yang dirasa subjek maka hasil
penelitian akan semakin valid
20
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 2012a. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, 2012b. Validitas & Reliabilitas. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Diener, E. 2009. The Science of Kesejahteraan subjektif The Collected Works of
Ed Diener. USA: Spinger.
Diener, E. 2003. Personality, Culture, and Subjecktive Well-Being: Emotional and
Cognitive Evaluation of Life. Journal Of Pshychology vol 54: 403-419.
Eid, M & Larsen, R. J. 2008. Ed Diener and the Science of Subjective Well-
Being. Guilford Publication.
Hadi, S. 1984. Metodologi Riset (Jilid III). Yogyakarta: Andi Offset.
Hurlock, E.B. 1997. Psikologi Perkembangan: Suatu pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Alih Bahasa: Istiwadayanti dan Soedjarwo. Jakarta:
Erlangga.
Hurlock, 1999. Psikologi Perkembangan “Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan”. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kurniasari, C. 2004. Hubungan Antara Persepsi Pola Asuh Demokratis Dengan
Kecerdasan Emosi Pada Remaja. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Darma.
21
Meilita, jamilah. 2013. Pengaruh Tipe Kepribadian & Dukungan Sosial Terhadap
Kesejahteraan subjektif Mahasiswa Perantau. Skripsi. Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Muba, W. 2009. Predictors Of Kesejahteraan subjektif. Journal pf Positive
Pshychological Assesment. Vol I, 2435.
Mujamiasih, Murti. 2013. Subjective Well-being (SWB): Studi Indigenious Pada
PNS dan Karyawan Swasta yang Bersuku Jawa di Pulau Jawa. Skripsi.
Jurusan Psikologi Universitas Negri Semarang.
Rizky, A. H. 2015. Pengaruh Self-compassion Terhadap Kesejahteraan subjektif
Pada Mahasiswa Asal Luar Jawa Tahun Pertama Universitas Negri
Semarang. Skripsi. Fakultas Pendidikan Universitas Negri Semarang.
Setiawan, N.D. 1996. Persepsi Anak terhadap Pola Asuh Demokratis Orang Tua
Berdasarkan Status Kerja ibu. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Shinta, D. S. 2008. Hubungan Persepsi Terhadap Pola Asuh Demokratis
Orang Tua dan Penyesuaian Diri Pada Remaja. Skripsi. Fakultas Psikologi Sanata
Darma.