Upload
ahmad-arif-nur-yuwono
View
595
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
karya tulis ilmiah mengenai hubungan pola asuh dan status gizi balita
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan utama pembangunan nasional dibidang kesehatan
adalah mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi demi tercapainya status gizi
masyarakat yang optimal. Melalui keluarga mandiri sadar gizi, peran orang
tua sangat berpengaruh dalam meningkatkan status gizi terutama status gizi
anak atau balita. Terlebih masa lima tahun (masa balita) adalah periode
penting dalam tumbuh kembang anak dan merupakan masa yang akan
menentukan pembentukan fisik, psikis dan intelegensinya (Sulistijani, 2001).
Seorang anak yang sehat dan normal akan tumbuh sesuai dengan
potensi genetik yang dimilikinya. Tetapi pertumbuhan ini juga akan
dipengaruhi oleh intake zat gizi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan.
Kekurangan atau kelebihan gizi akan dimanifestasikan dalam bentuk
pertumbuhan yang menyimpang dari pola standar. Pertumbuhan fisik sering
dijadikan indikator untuk mengukur status gizi baik individu maupun
populasi. Oleh karena itu, orang tua perlu menaruh perhatian pada aspek
2
pertumbuhan anak bila ingin mengetahui keadaan gizi mereka (Khomsan,
2003).
Jumlah balita gizi buruk di Indonesia, menurut laporan UNICEF
menjadi 2,3 juta jiwa, atau meningkat dari 1,8 juta pada tahun 2004/2005
(UNICEF, 2006). Jumlah kasus balita gizi buruk yang dilaporkan dari tahun
2006 sampai 2008 cenderung menurun, namun pada tahun 2009 jumlah kasus
balita gizi buruk meningkat dibandingkan tahun 2008 yaitu dari 41.064 kasus
(2008) menjadi 56.941 kasus (2009) sedangkan pada tahun 2010 dan 2011
jumlah kasus gizi buruk yang dilaporkan kembali turun menjadi 43.616 kasus
dan 40.412 kasus (Kemenkes, 2011).
Berdasarkan laporan tahunan pembinaan gizi secara nasional kasus
balita gizi buruk menurut provinsi di indonesia, provinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB) memiliki jumlah kasus sebanyak 753 kasus, sehingga menempatkan
NTB berada peringkat 11 (Kemenkes, 2011).
Hasil data/informasi kesehatan provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB),
provinsi NTB memiliki prevalensi gizi buruk sebesar 8,10% dengan perincian
Kota mataram (3,90%), Kabupaten Lombok tengah (4,20%), Kabupaten
Lombok Timur (7,30%), kabupaten Lombok Barat (7,80%), Kota Bima
(8,40%), Kabupaten Sumbawa Barat (9,90%), Kabupaten Sumbawa
(11,10%), Kabupaten Dompu (11,60%), dan Kabupaten Bima (15,70%)
(Riskesdas, 2007).
3
Kasus Gizi buruk tertinggi di kota Mataram terdapat di wilayah kerja
puskesmas Karang Pule yang berjumlah 9 kasus dari total 25 Kasus di kota
Mataram pada tahun 2012 (Dikes Kota Mataram, 2012). Menurut beberapa
tenaga kesehatan dibidang gizi yang berada di puskesmas Karang Pule ada
beberapa yang menyebabkan munculnya kasus gizi buruk diwilayah kerja
puskesmas tersebut sepertinyakurangnya pengetahuan ibu tentang pemberian
makanan terjadi karena banyak tradisi dan kebiasaan seperti penghentian
penyusuan lebih awal dari 2 tahun, anak kecil hanya memerlukan makanan
sedikit dan pantangan terhadap makanan, ini merupakan faktor penyebab
masalah gizi di masyarakat.
Pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Masa anak usia 1-5 tahun (balita)
adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan
gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai. Kekurangan gizi pada masa ini
dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial
dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi
dewasa. Secara lebih spesifik, kekurangan gizi dapat menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan badan, lebih penting lagi keterlambatan
perkembangan otak dan dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya
tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada masa ini juga, anak masih benar-
benar tergantung pada perawatan dan pengasuhan oleh ibunya. Pengasuhan
4
kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangatlah penting
untuk perkembangan anak (Santoso, 2005).
Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling
mempengaruhi secara kompleks. Ditingkat rumah tangga, keadaan gizi
dipengaruhi oleh kemampuan orang tua menyediakan pangan dalam jumlah
dan jenis yang cukup serta pola asuh yang dipengaruhi oleh faktor pendidikan,
perilaku dan keadaan kesehatan rumah tangga. Salah satu penyebab timbulnya
kurang gizi pada anak balita adalah akibat pola asuh anak yang kurang
memadai (Soekirman, 2000).
Praktek pengasuhan anak yang berkaitan dengan gizi balita
diwujudkan dengan ketersediaan pangan. Pemberian makanan untuk
kelangsungan hidup untuk pertumbuhan dan perkembangan anak ini
merupakan kunci dalam pola asuh balita. Pola asuh balita meliputi: Perawatan
dan perlindungan ibu, praktek menyusui dan pemberian makanan pendamping
ASI, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktek kesehatan dirumah
tangga saat anak sakit dan pola pencaharian pelayanan kesehatan (Zeitlin,
2000).
Guna mencegah dan mengurangi timbulnya masalah status gizi,
peningkatan penyuluhan tentang pola asuh kepada masyarakat perlu
ditingkatkan untuk dapat memberikan pemahaman yang lebih lagi hingga
benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam peran
5
sebagaitenaga kesehatan, dapat diberikan pelayanan pada tingkat individu,
keluarga atau kelompok yang menderita/resiko tinggi gizi buruk dan bentuk
tanggung jawab pada peran ini adalah melalui upaya promotif dan preventif
dalam kaitannya untuk meningkatkan status kesehatan (Heryadi, 2008).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan
masalah dalam penelitian ini, yaitu “Apakah terdapathubungan pola asuh ibu
dengan tingkat status gizi balita di wilayah kerja puskesmas Karang Pule Kota
Mataram tahun 2013?”
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam melakukan suatu penelitian, penulis mempunyai tujuan yang saling
berkaitan sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Adapun tujuan dapat
diuraikan sebagai berikut:
6
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pola asuh ibu dengan tingkat
status gizi balita di wilayah kerja puskesmas Karang Pule Kota
Mataram tahun 2013.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui gambaran status gizi balita berdasarkan
berat badan dan umur di wilayah kerja puskesmas karang
Pule Kota mataram tahun 2013.
1.3.2.2 Untuk mengetahui gambaran pola asuh ibu pada balita yang
meliputi praktek pemberian makan, kebersihan dan sanitasi
lingkungan serta perawatan anak dalam keadaan sakit di
wilayah kerja puskesmas Karang Pule Kota Mataram tahun
2013.
1.3.2.3 Untuk mengetahui hubungan pola asuh ibu dengan tingkat
status gizi balita di wilayah kerja puskesmas Karang Pule
Kota Mataram tahun 2013.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah :
7
1.4.1 Manfaat bagi peneliti
Untuk mengetahui seberapa besar hubungan pola asuh ibu
dengan tingkat status gizi balita di wilayah kerja puskesmas Karang
Pule Kota Mataram tahun 2013
1.4.2 Manfaat bagi pendidikan
Diharapkan agar lebih memperhatikan khususnya dalam dunia
kesehatan bahwa pola asuh anak merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam tingkat status gizi anak.
Diharapkan agar lebih menambah informasi tentang faktor apa
saja yang menjadi penyebab timbulnya masalah gizi masyarakat (gizi
kurang dan gizi buruk).
1.4.3 Manfaat bagi masyarakat
Agar masyarakat mengetahui berbagai faktor yang
menyebabkan masalah status gizi pada anak, khususnya pola asuh.
Sehingga masyarkat dapat memahami dan menerapkan pola asuh anak
yang baik dan benar demi terwujudnya status gizi anak yang optimal.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Asuh
Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga, jantung
dalam tubuh merupakan alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang.
Apabila jantung berhenti berdenyut maka orang itu tidak bisa melangsungkan
hidupnya. Dari perumpaan ini bisa disimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu
sebagai tokoh sentral dan sangat penting untuk melaksanakan kehidupan.
Pentingnya seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran anaknya (Gunarsa,
1993).
Pengasuhan adalah serangkaian interaksi yang intensif dalam
mengarahkan anak untuk memiliki kecakapan hidup. Oleh karena itu
melibatkan aktivitas atau ketrampilan fisik dalam memberikan rangsangan
serta memberikan respon yang tepat untuk situasi yang spesifik (Sunarti,
2004). Pola asuh anak adalah kemampuan seseorang untuk mengambil
keputusan yang berdampak luas pada kehidupan seluruh anggota keluarga
yang menjadi dasar penyediaan pengasuhan yang tepat dan bermutu pada
anak termasuk pengasuhan makanan bergizi (Depkes RI, 2000).
9
Agar pola hidup anak bisa sesuai dengan standar kesehatan, disamping
harus mengatur pola makan yang benar juga tak kalah pentingnya mengatur
pola asuh yang benar pula. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan
memberikan perhatian yang penuh serta kasih sayang pada anak, memberinya
waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota
keluarga. Dalam masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan
dengan anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan berkembang di bawah
asuhan dan perawatan orang tua oleh karena itu orang tua merupakan dasar
pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak beradaptasi
dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan
hidup yang berlaku dilingkungannya. Dengan demikian dasar pengembangan
dari seorang individu telah diletakkan oleh orang tua melalui praktek
pengasuhan anak sejak ia masih bayi (Supanto, 1990).
Pengasuhan berasal dari kata asuh (to rear) yang mempunyai makna
menjaga, merawat dan mendidik anak yang masih kecil. Wagnel dan Funk
menyebutkan bahwa mengasuh itu meliputi menjaga serta memberi bimbingan
menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh
Webster yang mengatakan bahwa mengasuh itu membimbing menuju ke
pertumbuhan ke arah kedewasaan dengan memberikan pendidikan, makanan
dan sebagainya terhadap mereka yang di asuh (Sunarti, 1989). Dari beberapa
pengertian tentang batas asuh, menurut Whiting dan Child dalam proses
10
pengasuhan anak yang harus diperhatikan adalah orang-orang yang mengasuh
dan cara penerapan larangan atau keharusan yang dipergunakan. Larangan
maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka ragam. Tetapi
pada prinsipnya cara pengasuhan anak mengandung sifat : pengajaran
(instructing), pengganjaran (rewarding) dan pembujukan (inciting) (Sunarti,
1989). Di negara timur seperti Indonesia, keluarga besar masih lazim dianut
dan peran ibu seringkali di pegang oleh beberapa orang lainnya seperti nenek,
keluarga dekat atau saudara serta dapat juga di asuh oleh pembantu (Nadesul,
1995).
Kerangka konseptual yang dikemukan oleh UNICEF yang
dikembangkan lebih lanjut oleh Engle et al (1997) menekankan bahwa tiga
komponen makanan – kesehatan – asuhan merupakan faktor-faktor yang
berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang
optimal. Engle et al (1997) mengemukakan bahwa pola asuh meliputi 6 hal
yaitu : (1) perhatian / dukungan ibu terhadap anak, (2) pemberian ASI atau
makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial terhadap anak, (4)
persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek kebersihan atau higiene dan
sanitasi lingkungan dan (6) perawatan balita dalam keadaan sakit seperti
pencari pelayanan kesehatan. Pemberian ASI dan makanan pendamping pada
anak serta persiapan dan penyimpanan makanan tercakup dalam praktek
pemberian makan (Engle, 1997).
11
Pola makan adalah cara seseorang, kelompok orang dan keluarga
dalam memilih jenis dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari
oleh satu orang atau lebih dan mempunyai khas untuk satu kelompok tertentu
(Lie, 1985).
Penanaman pola makan yang beraneka ragam makanan harus
dilakukan sejak bayi, saat bayi masih makan nasi tim, yaitu ketika usia baru
enam bulan ke atas, ibu harus tahu dan mampu menerapkan pola makan sehat
(Widjaja, 2007).
Cara menyusun makanan hidangan sehat yaitu :
a. Susunlah hidangan sehari-hari berdasarkan triguna makanan.
b. Gunakan bahan makanan secara beraneka ragam, setiap hari
dan tersedia di daerah setempat
c. Manfaatkan hasil pekarangan untuk meningkatkan gizi
keluarga.
d. Gunakan garam beryodium untuk memasak makanan bagi
keluarga
e. Kenalkan makanan tradisional yang bergizi yang disukai anak-
anak (Depkes RI, 2006).
12
Susunan makanan bergizi untuk tumbuh kembang anak dengan baik,
susunan hidangan seimbang yang terdiri dari 3 (tiga) golongan bahan
makanan yaitu : bahan makanan yang bersumber dari zat pembangun, sumber
protein, dan sumber tenaga.
a. Golongan bahan makanan sumber zat pembangun : daging,
susu, telur, keju, ikan, hati ayam, ayam, tahu, kedelai, dan
tempe.
b. Golongan bahan makanan sumber zat pengatur : sayuran
berwarna hijau, bayam, daun katuk, kangkung, kacang
panjang, sawi dan sayuran berwarna jingga dan kuning seperti
wortel, tomat, labu.
c. Golongan makanan sumber tenaga yaitu : beras, kentang, ubi,
roti, singkong, talas, terigu, biskuit, minyak goreng.
d. Buah-buahan berupa pepaya, nenas, mangga, pisang, dan
jambu boleh diberikan pada bayi (Widjaja, 2007).
Zat gizi yang dibutuhkan balita adalah :
1.Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang terdiri dari dua
jenis yaitu karbohidrat sederhana (gula, pasir dan gula merah)
sedangkan karbohidrat kompleks (tepung, beras, jagung, gandum).
13
2.Protein untuk pertumbuhan, terdapat pada ikan, susu, telur, kacang-
kacangan, tahu, dan tempe.
3.Lemak terdapat pada margarin, mentega, minyak goreng, lemak
hewan atau lemak tumbuhan.
4.Vitamin adalah zat-zat organik yang kompleks yang dibutuhkan
dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya dapat dibentuk oleh
tubuh.
a. Vitamin A untuk pertumbuhan tulang, mata, dan kulit yaitu
mencegah kelainan bawaan, vitamin terdapat dalam susu, keju,
mentega, kuning telur, minyak ikan, sayuran dan buah-buahan
segar (wortel, pepaya, mangga, daun singkong, daun ubi jalar).
b. Vitamin B untuk menjaga sistem susunan saraf agar berfungsi
normal, mencegah penyakit beri-beri dan anemia, vitamin ini
terdapat di dalam nasi, roti, susu, daging, dan tempe.
c. Vitamin C berguna untuk pembentukan integritas jaringan dan
peningkatan penyerapan zat besi, untuk menjaga kesehatan
gusi, jenis vitamin C banyak terdapat pada mangga, jeruk,
pisang, nangka.
14
5.Mineral berguna untuk menumbuhkan dan memperkuat jaringan
serta mengatur keseimbangan cairan tubuh.
a. Zat besi berguna dalam pertumbuhan sel-sel darah merah yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan, zat ini terdapat dalam daging,
ikan, hati ayam.
b. Kalsium berguna untuk pertumbuhan tulang dan gigi, zat ini
terdapat dalam susu sapi.
c. Yodium berguna untuk menyokong susunan saraf pusat
berkaitan dengan daya pikir dan mencegah kecacatan fisik dan
mental. Zat ini terdapat dalam rumput laut, dan sea food
(Widjaja, 2007).
2.1.1. Pemberian Makanan Balita
Semua orangtua harus memberikan hak anak untuk tumbuh.
Semua anak harus memperoleh yang terbaik agar dapat tumbuh sesuai
dengan apa yang mungkin dicapainya dan sesuai dengan kemampuan
tubuhnya. Untuk itu perlu perhatian/dukungan orangtua. Untuk
tumbuh dengan baik tidak cukup dengan memberinya makan, asal
memilih menu makanan dan asal menyuapi anak nasi. Akan tetapi
15
anak membutuhkan sikap orangtuanya dalam memberi makan. Semasa
bayi, anak hanya menelan apa saja yang diberikan ibunya. Sekalipun
yang ditelannya itu tidak cukup dan kurang bergizi. Demikian pula
sampai anak sudah mulai disapih. Anak tidak tahu mana makanan
terbaik dan mana makanan yang boleh dimakan. Anak masih
membutuhkan bimbingan seorang ibu dalam memilih makanan agar
pertumbuhan tidak terganggu. Bentuk perhatian/dukungan ibu
terhadap anak meliputi perhatian ketika makan, mandi dan sakit
(Nadesul, 2005).
Wanita yang berstatus sebagai ibu rumah tangga memiliki
peran ganda dalam keluarga, terutama jika memiliki aktivitas di luar
rumah seperti bekerja ataupun melakukan aktivitas lain dalam kegiatan
sosial. Wanita yang bekerja di luar rumah biasanya dalam hal
menyusun menu tidak terlalu memperhatikan keadaan gizinya, tetapi
cenderung menekankan dalam jumlah atau banyaknya makanan.
Sedangkan gizi mempunyai pengaruh yang cukup atau sangat berperan
bagi pertumbuhan dan perkembangan mental maupun fisik anak.
Selama bekerja ibu cenderung mempercayakan anak mereka diawasi
oleh anggota keluarga lainnya yang biasanya adalah nenek, saudara
perempuan atau anak yang sudah besar bahkan orang lain yang diberi
tugas untuk mengasuh anaknya (Sunarti, 2001).
16
Pemberian makanan balita bertujuan untuk mendapat zat gizi
yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh.
Zat gizi berperan memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk
melaksanakan kegiatan sehari-hari, dalam pengaturan makanan yang
tepat dan benar merupakan kunci pemecahan masalah (Suharjo, 2003).
Tujuan pemberian makanan pada anak balita adalah :
a. Untuk mendapat zat gizi yang diperlukan tubuh dan
digunakan oleh tubuh.
b. Untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh.
c. Zat gizi berperan dalam memelihara dan memulihkan
kesehatan serta untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari.
d. Untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan gizi pada
balita diperlukan adanya prilaku penunjang dari para orang
tua, ibu atau pengasuhan dalam keluarga.
e. Selalu memberikan makanan bergizi yang seimbang
kepada balita (Suharjo 2003).
Gizi seimbang adalah makanan yang dikonsumsi dalam satu
hari yang beragam dan mengandung zat tenaga, zat pembangun dan
zat pengatur sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Keadaan ini
17
tercermin dari derajat kesehatan dan tumbuh kembang balita yang
optimal (Direktorat Gizi Masyarakat, 2000).
Jenis jumlah dan frekuensi makan pada bayi dan anak balita,
hendaknya diatur sesuai dengan perkembangan usia dan kemampuan
organ pencernaannya (Depkes RI, 2006)
1. Konsisten makanan secara berangsur berubah dari bentuk cair
menjadi bentuk setengah padat dan akhirnya menjadi makanan
padat/makanan biasa. Setelah anak memasuki usia ke 2 tahun
ke atas, hendaknya makanan anak sudah sama dengan orang
dewasa.
2. Jenis bahan makan yang digunakan untuk makanan anak sudah
berubah dari dua atau tiga jenis bahan makanan (tepung, susu,
gula) berangsur-angsur menjadi campuran beragam bahan
makanan yaitu makanan pokok, bahan makanan yang
bersumber dari protein nabati dan hewani, sayur-sayuran dan
buah-buahan untuk memenuhi berbagai kebutuhan tubuh anak
akan zat gizi dan pemberian berbagai macam campuran zat
makanan sehingga akan melatih anak untuk makan makanan
yang bervariasi, terutama makanan yang berupa sayuran yang
biasanya kurang disukai anak. Kunci keberhasilan seorang ibu
18
menanamkan kebiasaan makan anak yang baik sangat
tergantung kepada pengetahuan dan keterampilan ibu akan cara
dan faedah menyusun makanan yang memenuhi syarat zat gizi.
3. Jumlah makanan yang diberikan harus sudah berangsur
bertambah sesuai dengan bertambahnya usia anak kebutuhan
akan zat gizi.
4. Memasuki usia 2 tahun, makanan yang diberikan mulai suka
dan tidak suka bahkan kadang anak sudah mulai menolak
makanan yang diberikan ibunya. Jangan memaksa anak makan
sesuatu makanan yang tidak disenanginya, berikan alternatif
makanan yang lain. Jika anak tetap menolak, mungkin karena
cara memasak tidak disenangi, coba memasak masakan lain
dari sayuran jika anak tetap menolak ganti sayuran menambah
buah-buahan.
Waktu makanan hendaknya dapat diatur sesuai dengan
kebiasaan makan keluarga dengan demikian anak dapat makan
bersama.
19
Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Makan Usia 2-5 Tahun
Waktu Jenis Makanan
Pukul 7.00 1 gelas susu
Pukul 8.00 Nasi putih, dadar tomat
Pukul 10.00 Semangkuk bubur kacang hijau
Pukul 13.00 Nasi putih, pergedel daging, tahu
Sayuran, kerupuk, buah-buahan
Pukul 16.00 Roti biscuit
Pukul 18.00 Nasi putih, semur daging, sup
Sayuran, buah-buahan
Pukul 20.00 1 gelas susu
Sumber: Moehji, 2000
Dalam memenuhi kebutuhan zat gizi bagi anak 5 tahun,
hendaknya digunakan prinsip sebagai berikut :
1. Bahan makanan sumber kalori mutlak harus dipenuhi, baik
berasal dari makanan pokok, penggunaan minyak atau zat
lemak lainnya dan gula.
2. Gunakan gabungan sumber protein nabati dan hewani
terutama kacangan atau hasil olahan seperti tempe, dan
tahu.
20
3. Mamfaatkan bahan makanan sumber protein hewani
setempat yang ada dan mungkin yang didapat (Moehji,
2000).
Suharjo (2005) menjelaskan bahwa penataan makanan yang
baik merupakan bagian dari gaya dan prilaku hidup sehat untuk
memperoleh kesehatan yang bugar, yang perlu selalu dikondisikan
pada semua lapisan masyarakat sehingga akan diperoleh bangsa yang
sehat dan bangsa yang kuat.
Menurut Pekik (2007) pada pola makanan 4 sehat 5 sempurna
perlu dilengkapi dengan kriteria makanan sehat seimbang meliputi :
1. Cukup kualitas adalah banyaknya makanan yang bergantung
pada kebutuhan setiap orang sesuai dengan jenis dan lama
aktivitas, berat badan, jenis kelamin, dan usia.
2. Proporsional adalah jumlah makanan yang dikonsumsi
sesuai dengan proporsi makan yang sehat, yaitu karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, mineral dan air.
3. Cukup kualitas yaitu makanan tidak membuat perut kenyang
tetapi berpengaruh pada sistem dalam tubuh. Untuk itu perlu
kandungan zat gizi sehingga mutu makanan antara lain
adalah penampilan ditentukan oleh warna, konsisten,
21
tekstur, porsi, bentuk, rasa ditentukan oleh suhu, bumbu,
aroma, kerenyahan, keempukan dan kematangan, gizi
ditentukan oleh nilai bahan makanan itu sendiri, kehilangan
zat gizi karena proses persiapan dan pemasakan.
4. Sehat dan higienis adalah makanan harus steril, bebas dari
kuman dan penyakit, salah satu upaya untuk mensterilkan
makanan adalah dengan cara mencuci bersih dan memasak
hingga tertentu sebelum dikonsumsi.
5. Makanan segar alami (tidak suplemen) adalah sayur dan
buah-buahan segar lebih menyehatkan dibandingkan
makanan pabrik (makanan yang diawetkan).
6. Makanan golongan nabati lebih menyehatkan dibandingkan
hewani, kelebihan makanan nabati dibanding hewani adalah
sedikit kandungan lemak.
7. Cara memasak jangan berlebihan yaitu sayuran yang terlalu
lama direbus pada suhu tinggi menyebabkan hilangnya
sejumlah vitamin dan mineral.
8. Teratur dalam penyajian yaitu untuk menjaga
keseimbangan fungsi tubuh, perlu pengaturan makanan
secara teratur, misal pada jam 07.00 Wib makan pagi, siang
jam 13.00 Wib, makan malam jam 19.00 Wib, serta tidak
22
membiasakan makan selingan dan sesempatnya karena
dapat mengakibatkan gangguan pencernaan.
9. Frekuensi 5 kali sehari adalah makanan yang dikonsumsi
disesuaikan dengan kapasitas lambung dengan mengatur
frekuensi makan, yaitu 3 kali makan utama, 2 kali
penyelang. Minum 6 gelas air sehari : dalam sehari rata-rata
memerlukan 2.550 ml air, banyaknya air tersebut diperoleh
melalui makanan (100 ml), sisa metabolisme (350 ml) dan
yang berasal dari minuman 1200 ml (6 gelas).
2.1.2. Praktek Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan
Praktek kebersihan dan kesehatan sanitasi lingkungan adalah
usaha untuk pengawasan terhadap lingkungan fisik manusia yang
dapat memberikan akibat merugikan kesehatan jasmani dan
kelangsungan hidupnya (Slamed, 2001).
Widaninggar (2003), mengatakan kondisi lingkungan anak
harus benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal
yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan
adalah bangunan rumah, kebutuhan ruangan (tempat bermain-
main) pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih,
pembuangan sampah, SPAL, kamar mandi dan WC, dan halaman
23
rumah. Untuk kebersihan, baik kebersihan perorangan dan
kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh
kembang anak, kebersihan perorangan yang kurang akan
memudahkan terjadinya penyakit kulit dan saluran pencernaan
seperti diare, cacingan, dll. Kebersihan lingkungan erat hubungan
dengan penyakit saluran pernapasan, saluran pencernaan, serta
penyakit akibat nyamuk. Oleh karena itu penting membuat
lingkungan layak untuk tumbuh kembang anak, sehingga
meningkatkan rasa aman bagi ibu/pengasuh anak dalam
menyediakan kesempatan bagi anaknya untuk eksplorasi
lingkungan. Menanamkan kebersihan di rumah sangat penting
karena sumber infeksi amat banyak di sekeliling balita. Oleh
karena itu untuk menghindari segala kemungkinan infeksi dan
penyakit, maka rumah dan anak-anak harus diamankan dari
serangan penyakit.
Upaya untuk meminimalkan resiko terserang penyakit dimulai
dengan menerapkan standar kebersihan yang lebih terjamin kesehatan
balita yaitu :
1. Menanamkan pengetahuan pada anak balita tentang,
kebersihan dapur dan rumah yang bersih sehingga dirinya
24
terbebas dari gangguan penyakit seperti mual dan diare.
Tunjukkan dan ajak balita dengan lembut untuk
berpartisipasi menyimpan makanan di tempat bersih,
kondisikan lingkungan sekitar makanan bersih dan peralatan
makan selalu bersih.
2. Si kecil dicontohkan kebersihan misalnya, mencuci tangan
sebelum makan atau sebelum memegang makanan, dan
sesudah makan, tidak makan buah sebelum dicuci, setelah
buang air besar biasakan cuci tangan dengan sabun, bermain
dengan hewan peliharaannya (Triton, 2006)
Praktek kebersihan perorangan dan kesehatan lingkungan
adalah :
1. Kotoran manusia/tinja harus dibuang ke jamban. Cara yang
paling penting untuk mencegah penyebaran kuman adalah
dengan membuang kotoran atau tinja ke jamban, kotoran
binatang harus dibuang jauh dari rumah, jalanan tempat
anak- anak bermain, jamban harus sering dibersihkan dan
tersedia sabun untuk mencuci tangan.
2. Ibu dan anggota keluarga, termasuk anak-anak harus
mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar,
25
sebelum menyentuh makanan dan sebelum memberikan
makanan anak. Mencuci tangan dengan sabun dapat
menghilangkan kuman. Hal ini membantu menghentikan
kuman dan kotoran untuk masuk ke makanan atau mulut.
Mencuci tangan juga dapat mencegah infeksi cacing.
3. Jendela rumah harus dibuka setiap pagi sehingga pertukaran
udara di dalam rumah menjadi baik.
4. Pakailah air bersih dari sumber air bersih yang aman dan
sehat. Tempat air harus ditutup agar air tetap bersih dan
dikuras 1 minggu sekali.
5. Air minum harus dimasak sampai mendidih, buah dan
sayuran harus di cuci sampai bersih sebelum diolah,
makanan yang sudah masak harus segera dimakan atau
dipanaskan sesudah di simpan.
6. Makanan, alat-alat makan dan peralatan memasak harus
selalu dalam keadaan bersih, makanan harus disimpan pada
tempat yang tertutup.
7. Rumah harus mempunyai tempat pembuangan sampah,
pembuangan air limbah yang aman dan sehat untuk
membantu dalam pencegahan penyakit.
26
8. Asap dari dapur di rumah harus dapat keluar dengan baik
dan hindari kebiasaan ibu membawa anak ketika memasak
di dapur.
9. Rumah harus dilindungi dari serangga dan binatang penular
penyakit seperti kecoa, nyamuk dan tikus (Depkes RI, 2002)
Menurut Sulistijani (2001), mengatakan bahwa lingkungan
yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan, tetapi tidak dilakukan
sekaligus, harus berlahan-lahan dan terus menerus. Lingkungan yang
sehat terkait dengan keadaan yang bersih rapi dan teratur. Oleh karena
itu anak perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat sebagai
berikut : (a) mandi 2 kali sehari (b) cuci tangan sebelum dan sesudah
makan. (c) menyikat gigi sebelum tidur (d) membuang sampah pada
tempatnya (e) buang air kecil dan besar pada tempatnya.
2.1.3. Perawatan Anak Dalam Keadaan Sakit
Perawatan adalah kasih sayang yang diberikan ibu kepada anak
untuk membantu pertumbuhan, menggendong, memeluk dan berbicara
kepada anak akan merangsang pertumbuhan dan meningkatkan
perkembangan perasaan anak. Rasa aman pada anak akan tumbuh
apabila ia selalu berada dengan ibunya dan memperoleh air susu ibu
sesuai dengan kebutuhan dan apabila sakit ibu selalu menyimpan obat
27
dan membawa ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan (Depkes RI,
2002).
Praktek perawatan kesehatan anak dalam keadaan sakit adalah
salah satu aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak,
membaik praktek pengasuhan kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan
untuk menjaga status kesehatan anak, menjauhkan dan menghindarkan
penyakit serta dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak.
Praktek perawatan kesehatan meliputi pengobatan penyakit pada anak
apabila si anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap
penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit. Praktek
perawatan kesehatan anak yang baik dapat ditempuh dengan cara
memperhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan imunisasi, kebersihan
diri anak dan lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam
hal mencari pengobatan terhadap anak apabila sakit ibu membawa
anak ke tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik,
puskesmas, polindes (Zeitlin, 1990).
Kegiatan sehari-hari balita rentan dengan penyakit terkait
dengan sarana dan prasarana rumah tangga disekelilingnya, balita
berinteraksi dengan teman-temannya sebayanya maka resiko terserang
penyakit akan mudah untuk itu orang tua harus benar- benar
28
memperhatikan prilaku balita pada usia ini. Tingkah laku dan
perubahan tubuh balita patut diwaspadai karena balita mudah terserang
penyakit, dengan demikian apabila balita sudah bisa berkomunikasi
maka secepatnya kegiatan harian di rumah yang beresiko terserang
penyakit harus diajarkan seperti balita belum bisa membedakan antara
tempat yang kotor dan rawan penyakit dengan tempat yang bersih
(Triton, 2006).
Perawatan yang baik pada anak ibu memberikan penjelasan
yang jernih tentang apa yang harus dilakukan anak, ketentuan yang
kokoh tentang apa yang tidak boleh dilakukan dan memberikan
penghargaan, ini merupakan prilaku yang baik dan cara yang efektif
untuk mendorong anak menjadi anggota keluarga dan masyarakat
yang produktif, orang tua dan anggota keluarga yang lain perlu
melibatkan dalam perawatan anak. Peran seorang ayah dapat
memenuhi kebutuhan anak terhadap cinta kasih sayang dan dorongan
serta menjamin anak untuk memperoleh gizi yang baik dan perawatan
kesehatan (Depkes RI, 2002).
Menurut Satoto (1990), dalam memberikan makanan (feeding)
dan perawatan (caring) yang benar untuk mencapai status gizi yang
baik melalui pola asuh yang baik dilakukan ibu kepada anaknya
29
sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Menurut Syarif, (1997) mengatakan bahwa unsur gizi merupakan
sangat penting dalam pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM).
2.2 Status Gizi
Zat gizi (nutriens) adalah merupakan ikatan kimia yang diperlukan
tubuh untuk melakukan fungsinya yaitu menghasilkan energi membangun dan
memelihara jaringan serta mengatur proses kehidupan (Almatsier, 2002).
Status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau
kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik dan energi
dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan, makanan dan fisiknya dapat
diukur secara antropometri (Suharjo, 2005).
Status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat
keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari
pangan yang dikonsumsi pada suatu saat didasarkan pada kategori dan
indikator yang di gunakan (Depkes RI, 2002).
2.2.1. Faktor -Faktor Yang Mempengaruhi Gizi
Menurut Soekirman (1990), menyatakan faktor yang
mempengaruhi status gizi adalah kemiskinan, tingkat pendapatan
30
keluarga, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, tingkat
pengetahuan, sosial budaya dan bencana alam.
1. Tingkat Pendapatan Keluarga
Pendapatan adalah tingkat kemampuan masyarakat dalam
membelanjakan pendapatannya dinilai berdasarkan kebutuhan
hidupnya.
Menurut Adisasmito (2007), mengatakan di Indonesia dan
Negara lain menunjukkan bahwa terdapat hubungan timbal balik
antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan
penyebab pokok akar masalah gizi buruk, proporsi anak gizi kurang
dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin
kecil pendapatan penduduk, semakin tinggi persentase anak yang
kekurangan gizi sebaliknya semakin tinggi pendapatan semakin
kecil persentase gizi buruk.
Menurut Winarno (2000), mengatakan bahwa terdapat
kecenderungan penurunan pengeluaran sesuai dengan kenaikan
pendapatannya, namun pengeluaran untuk pangan masih
merupakan bagian terbesar dari pengeluaran rumah tangga
Indonesia, disamping itu Winarno juga menambahkan salah satu
penyebab malnutrisi (kurang gizi) disebabkan oleh faktor ekonomi
dan sosial budaya yang secara nyata telah memberikan gambaran
31
menyeluruh mengenai masalah gizi di daerah masyarakat miskin.
Hubungan pendapatan dan gizi dalam keluarga didorong oleh
pengaruh yang menguntungkan dari peningkatan pendapatan untuk
perbaikan kesehatan dan gizi. Sebaliknya jika rendahnya
pendapatan seseorang maka daya beli berkurang sehingga
kemungkinan kebiasaan makan dan cara-cara lain menghalangi
perbaikan gizi sehingga kurang efektif untuk anak-anak.
2. Tingkat pengetahuan
Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh seseorang tentang
suatu hal yang secara formal maupun non formal. Pengetahuan
merupakan hasil tahu, ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap sesuatu melalui panca indra. Pengetahuan
yang dimiliki sangat penting untuk terbentuk sikap dan tindakan
(Suhardjo, 2000).
Menurut Suharjo (2000), suatu hal yang harus diperhatikan
tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga
kenyataan :
1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi
kesehatan dan kesejahteraan.
3. Setiap orang hanya cukup gizi jika makanan
yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang
32
diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal, pemeliharaan
dan energi.
4. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu
sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan
dengan baik bagi perbaikan gizi.
Pada keluarga pengetahuan yang rendah sering kali tidak puas
dengan makanan dan tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena
ketidaktahuan ibu, seperti Air Susu Ibu (ASI) dan sesudah usia
enam bulan tidak mendapat makanan pendamping ASI (MP- ASI)
yang tepat baik jumlah atau kualitasnya. MP-ASI yang tepat dan
baik dapat disajikan dan dipersiapkan di rumah tangga (Adisasmito,
2007).
Faktor pengetahuan menyebabkan status gizi berubah
disebabkan oleh :
1. Ibu yang tidak memahami tentang gizi
2. Tidak memahami cara mengolah makanan agar zat-zat
yang terkandung tidak hilang saat pengolahan
3. Tidak memahami tentang cara konsumsi makanan anak
balita
4. Jenis makanan yang mempengaruhi jiwa anak misalnya
timbul kebosanan terhadap makanan olahan ibunya.
33
5. Rendahnya tingkat pengetahuan mengakibatkan rendahnya
pendidikan, dan faktor ekonomi turut menyebabkan status
gizi kurang, walaupun pengetahuan cukup tetapi karena
tidak ada dana untuk membeli bahan makanan tertentu
yang kadar gizinya tinggi seperti daging.
3. Tingkat Pendidikan
Menurut Ahmadi (2001) pendidikan adalah usaha sadar umtuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar
sekolah berlangsung seumur hidup.
Pendidikan gizi adalah pengetahuan yang memungkinkan
seseorang dan mempertahankan pola makan berdasarkan prinsip-
prinsip ilmu untuk mempraktekkan atau pelaksanaan dengan
pengertian makanan yang bergizi, baik bahan makanan,
pengolahan, sikap dan emosi pada seseorang yang berkaitan dengan
makanan (Soegeng, 1999)
Pendidikan dalam keluarga merupakan lingkungan anak yang
pertama dan merupakan dasar bagi pendidikan anak selanjutnya.
Disamping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi
anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan
dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidupnya, tidak terkecuali
kebutuhan gizi dan kesehatan (Bitai dkk, 1998).
34
Menurut Adisasmito (2007), mengatakan unsur pendidikan ibu
berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak, apabila ibu
berpendidikan lebih baik maka mengerti cara pemberian makan,
menggunakan pelayanan kesehatan, menjaga kebersihan
lingkungan bebas dari penyakit.
Ibu yang berpendidikan lebih baik kemungkinan menggunakan
perawatan kesehatan dan fasilitas kesehatan pelayanan kesehatan
yang ada dari ibu yang tidak memiliki pendidikan (Joshi, 1994).
4. Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga dan banyaknya anak dalam keluarga
akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pangan, jumlah
anggota keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi pangan
yang tidak merata sehingga menyebabkan anak dalam keluarga
mengalami kekurangan gizi ( Suharni, 2005).
Berdasarkan pendapat di atas bahwa besarnya tanggungan
keluarga akan semakin kecil tingkat konsumsi pangan untuk
masing-masing anggota keluarga atau dapat dikatakan semakin
besar tanggungan keluarga semakin besar pula pangan yang harus
tersedia.
35
2.2.2. Cara Penilaian Status Gizi
Untuk mengetahui pertumbuhan anak, secara praktis dilakukan
pengukuran umur dan berat badan anak secara teratur. Ada beberapa
cara menilai status gizi, yaitu dengan pengukuran antropomerti, klinis,
biokimia, dan biofisik yang disebut dengan penilaian status gizi secara
langsung. Di Indonesia pengukuran antropometri banyak digunakan
dalam kegiatan program maupun dalam penelitian salah satu adalah
Berat Badan/Umur. Objek pengukuran antropometri pada umumnya
anak-anak dibawah 5 tahun. Masing-masing indeks antropometri
memiliki baku rujukan atau nilai patokan untuk memperkirakan status
gizi seseorang (Kepmenkes RI, 2010).
Indeks BB/U
- Lebih, bila nilai Z – Score > + 2 SD
- Baik, bila nilai Z – Score terletak antara ≥- 2 SD sampai +
2 SD
- Kurang, bila nilai Z – Score terletak anrtara < – 2 SD
sampai ≥- 3SD
- Buruk, bila nilai Z – Score < - 3 SD
36
2.2.3. Indeks Antropometri
Indeks antropometri yang digunakan pada penelitian ini adalah
indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) Berat Badan (BB)
merupakan salah satu antropometri yang memberikan gambaran
tentang masa depan (otot dan lemak). Masa tumbuh sangat sensitif
terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya oleh karena
terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan
jumlah makanan yang di konsumsi, berat badan merupakan ukuran
antropometri yang sangat stabil.
Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan
seimbang antara masukan dan kecukupan zat-zat gizi yang terjamin,
berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaiknya
dalam keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan
berat badan yaitu berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari
keadaan normal.
Berdasarkan sifat ini maka indeks Berat Badan dengan Umur
(BB/U) digunakan sebagai salah satu indikator status gizi. Oleh karena
sifat berat badan yang stabil maka indeks BB/U lebih
menggambarkan status gizi seseorang pada saat ini (current nutritional
status).
37
Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi
memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapat perhatian.
Kelebihan Indeks BB/U yaitu :
a. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat
umum.
b. Sensitif untuk perubahan status gizi jangka pendek, dapat
mendeteksi kegemukan (over weight).
Kelemahan Indeks BB/U yaitu :
a. Dapat mengakibatkan kekeliruan interpretasi status gizi bila
terdapat oedema.
b. Memerlukan data umur yang akurat, ketetapan data umur
kelompok usia ini merupakan masalah yang belum terpecahkan
di negara berkembang termasuk Indonesia.
c. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, misalnya pengaruh
pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan.
d. Secara operasional sering mengalami hambatan karena
masalah sosial budaya setempat (masih ada orang tua yang
tidak mau menimbang anaknya karena dianggap seperti barang
dagangan dan sebagainya).
38
2.3 Hubungan Pola Asuh Dengan status Gizi Balita
Peningkatan status gizi masyarakat merupakan salah satu upaya
penting untuk meningkatkan kesehatan keluarga, khususnya balita,
meningkatkan kemampuan tumbuh kembang fisik anak, mental dan sosial
anak untuk meningkat produktivitas kerja serta prestasi akademik maupun
prestasi olah raga, oleh karena keadaan gizi masyarakat merupakan salah satu
indikator penting dari kualitas Sumber Daya Manusia (Depkes RI, 2006).
Penyebab kurang gizi dipengaruhi oleh dua faktor secara langsung dan
tidak langsung. Faktor penyebab secara langsung yaitu makanan dan penyakit
infeksi yang diderita oleh anak, kurang gizi tidak hanya karena makanan
tetapi juga dipengaruhi oleh penyakit infeksi seperti gangguan nafsu makan,
pencernaan dan penyerapan makanan dalam tubuh. Faktor penyebab tidak
langsung yaitu ketahanan pangan dalam keluarga, pola asuh, perawatan
kesehatan dan sanitasi lingkungan yang kurang memadai. Dari ketiga faktor
penyebab tidak langsung saling berkaitan dengan pendidikan, pengetahuan,
penghasilan dan keterampilan ibu (Adisasmito, 2007).
Pola asuh anak berupa sikap dan prilaku ibu atau pengasuh lain dalam
hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, perawatan, menjaga
kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Hal ini berhubungan
dengan keadaan ibu tentang kesehatan (fisik dan mental), status gizi,
pendidikan, penghasilan, pengetahuan, dan keterampilan tentang pengasuhan
39
anak yang baik, peran dalam keluarga atau masyarakat, dan sebagainya dari si
ibu dan pengasuh anak (Sunarti, 2000).
Kurang pengetahuan ibu tentang pemberian makanan terjadi karena
banyak tradisi dan kebiasaan seperti penghentian penyusuan dan beranggapan
anak kecil hanya memerlukan makanan sedikit dan pantangan terhadap
makanan. Pola asuh dapat dimanifestasikan dalam 3 hal yaitu praktek
pemberian makan, praktek kebersihana dan sanitasi lingkungan dan perawatan
anak dalam keadaan sakit.
Berbagai macam hal seperti krisis ekonomi, tidak adanya
pemberdayaan wanita dapat menyebabkan kurangnya pengetahuan dan
keterampilan sehingga berdampak pada pola asuh terhadap anak yang tidak
memadai. Jika keadaan tersebut terus berlanjut akan terjadi kesalahan dalam
asupan gizi, praktek kebersihan dan perawatan anak sehingga menyebabkan
seorang anak jatuh kedalam keadaan status gizi yang kurang atau buruk.
2.4 Kerangka TeoriKrisis ekonomi, Politik
dan sosial
40
Status gizi
Kurang pemberdayaan wanita, keluarga dan
SDM
Kebersihan, sanitasi, pel kes tidak memadai
Tidak cukup persediaan pangan
Pola asuh anak tidak memadai
Kurang pendidikan, pengetahuan, penghasilan, ketrampilan ibu
Infeksi penyakit Asupan gizi
2.1 Faktor masalah gizi, sumber: UNICEF 2000
41
Pada gambar 2.1 diatas, dapar lihat bahwa akar permasalahan gizi
adalah terjadi krisis ekonomi, politik dan sosial dalam masyarakat, sehingga
menyebabkan terjadinya permasalahan kekurangan pangan, kemiskinan dan
tingginya angka inflasi dan pengangguran. Sedangkan pokok masalahnya
dimasyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita sumber daya manusia,
rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan. Adapun faktor
tidak langsung menyebabkan kurang gizi adalah tidak cukup persediaan
pangan akibat krisis ekonomi dan rendahnya daya beli masyarakat, pola asuh
anak yang tidak memadai akibat dari rendahnya pengetahuan, pendidikan
orang tua dan buruknya sanitasi lingkungan dan akses kepelayanan kesehatan
dasar masih sulit sehingga berdampak terhadap pola konsumsi dan terjadinya
penyakit infeksi yang secara langsung menyebabkan kurang gizi.
42
2.5 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori, maka dapat disusun kerangka konsep
sebagai berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dapat kita lihat bahwa
status gizi anak berkaitan dengan pola asuh yang meliputi pemberian makan,
praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan serta perawatan anak dalam
keadaan sakit, sedangkan variabel antara karakteristik ibu yaitu pendidikan,
dan jumlah anggota keluarga.
Pola Asuh:
1. Pemberian makan2. Kebersihan dan sanitasi
lingkungan3. Perawatan anak dalam
keadaan sakit
Status gizi balita dengan BB/U
Karakteristik ibu:
1. Umur ibu2. Pendidikan3. Jumlah anggota keluarga
43
2.6 Hipotesis
Ho : Tidak terdapat perbedaan tingkat status gizi pada balita diwilayah kerja
Puskesmas Karang Pule Kota Mataram tahun 2013 yang mendapatkan
pola asuh baik dan pola asuh kurang.
H1: Terdapat perbedaan tingkat status gizi pada balita diwilayah kerja
Puskesmas Karang Pule Kota Mataram tahun 2013 yang mendapatkan pola
asuh baik dan pola asuh kurang.
44
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Rancangan penelitian menggunakan analitik observasional dengan
pendekatan studi cross sectional. Penelitian cross sectional adalah suatu
penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko
dan efek, dengan cara pendekatan, observasional atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat (point time apporoach).
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Karang Pule
Kota Mataram. Alasan pemilihan lokasi adalah:
a. Banyaknya jumlah balita diwilayah kerja Puskesmas Karang Pule
Kota Mataram.
b. Puskesmas Karang Pule merupakan wilayah kerja dengan angka
kejadian gizi buruk tertinggi di Kota Mataram dengan jumlah 9
45
kasus (36%) dari total 25 kasus gizi buruk di Kota Mataram pada
Tahun 2012.
3.2.2. Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan januari – februari tahun 2013
3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.3.1. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini meliputi :
3.3.1.1. Variabel Bebas : Pola asuh ibu yang dalam penelitian
ini meliputi praktek pemberian makan, kebersihan dan sanitasi
lingkungan serta perawatan anak dalam keadaan sakit.
3.3.1.2. Variabel Terikat :Tingkata status gizi balita
3.3.2. Definisi Operasional
1. Pola Asuh adalah suatu tindakan memberi perhatian yang penuh
serta kasih sayang pada balita yang mencakup:
a. Perhatian/dukungan ibu terhadap anak dalam praktek pemberian
makananadalah gambaran mengenai sikap ibu dalam memilih
46
makanan,menyusun menu makanan,memberi makan, serta
penyimpanan makanan.
b. Kebersihan dan sanitasi lingkungan adalah gambaran mengenai
praktek kebersihan yang terapkan oleh ibu dalam membersihkan
peralatan makan, membersihkan anak, serta kebersihan
lingkungan rumah tangga.
c. Perawatan anak dalam keadaaan sakit adalah apa yang dilakukan
oleh ibu jika balita dalam keadaan sakit meliputi praktek
kesehatan di rumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan
(membawa anak berobat jika sakit, mempunyai persediaan obat
di rumah, mendampingi anak selama sakit, anak ditimbang setiap
bulan, imunisasi lengkap, sarana pelayanan kesehatan yang
sering dikunjungi).
2. Status gizi adalah Status gizi adalah keadaan fisik anak balita yang
ditentukan dengan melakukan pengukuran antropometri Berat
Badan menurut Umur (BB/U) kemudian diinterprestasikan dengan
standar antropomentri balita menurut PERMENKES dengan
menggunakan indikator BB/U
3. Balita adalah anak yang berusia 12 sampai 59 bulan.
.
47
3.4. Subyek Penelitian
3.4.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti.Populasi yang digunakan adalah seluruh ibu yang memiliki
balita berusia 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas karang Pule
Kota Mataram. Jumlah populasi pada saat penelitian adalah sebanyak
3116 ibu.
3.4.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili
populasinya.
a. Kriteria inklusi
- Semua ibu yang memiliki balita usia 12-59 bulan.
- Tidak berada di posyandu pada saat penelitian.
- Bersedia menjadi responden.
- Bersedia anaknya ditimbang dan diukur.
a. Kriteria eksklusi
- Anak yang berusia dibawah 12 bulan.
- Tidak berada di posyandu saat penelitian.
48
- Tidak bersedia menjadi responden.
- Tidak bersedia untuk ditimbang dan diukur.
3.4.3. Sampling
Sampling adalah suatu cara yang ditempuh dengan
pengambilan sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan
obyek penelitian. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah teknik pengambilan secara aksidental (accidental). Teknik ini
dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan
ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian
(Notoatmodjo, 2012).
Penentuan besarnya sampel dilakukan dengan menggunakan
rumus slovin sebagai dasar penentuan sampel, yaitu dengan :
n= N1+N (d) ²
Dengan besarnya populasi sebanyak 3116 orang dan
menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 90% (0,1) maka didapatkan
hasil :
49
n = 96.89n = 97
3.5. Metode Pengumpulan data
3.5.1. Data primer
Data primer diperoleh dengan wawancara
menggunakan kuesioner pada ibu yang mempunyai anak balita,
meliputi :
a. Karakteristik responden (umur, pendidikan dan jumlah
anggota keluarga)
b. Karakteristik anak (umur, berat badan dan jenis kelamin)
c. Data berat badan anak diperoleh melalui pengukuran dengan
menggunakan timbangan Dacin yang mempunyai kapasitas
25 kg dengan tingkat ketelitian0,1 kg.
Ket:
n = jumlah sampel
N =jumlah populasi
d = tingkat ketepatan atau kepercayaan yang
diinginkan (0.1)
Nn =
1 + N (d)2
3116n =
1 + 3116 (0,1)2
3116n =
32.16
50
d. Data umur anak diperoleh melalui wawancara atau melihat
pada tanggal lahir anak di KMS (Kartu Menuju Sehat).
e. Data pola asuh diperoleh dari wawancara langsung dengan
respondenmenggunakan kuesioner yang meliputi :
- Perhatian/dukungan ibu terhadap anak dalam praktek
pemberian makananmeliputi pemberian ASI dan
makanan pendamping pada anak sertapersiapan dan
penyimpanan makanan.
- Perawatan kesehatan meliputi praktek kebersihan / hygiene
dan sanitasilingkungan serta perawatan anak balita sakit
- Perawatan anak dalam keadaan sakit.
3.5.2. Data sekunder
Data diperoleh dari profil Indonesia, Dinas Kesehatan
Provinsi NTB, Dinas Kesehatan Kota Mataram melalui
penilaian status gizi, Puskesmas dan Posyandu yang relevan
dengan tujuan penelitian.
3.6. Instrument Penelitian
a. Timbangan dacin
51
Timbangan dacin alat ukur yang digunakan untuk mengukur berat
badan balita yang mempunyai kapasitas 25 kg dengan tingkat ketelitian 0,1
kg.
b. Kuesioner
Kuesioner yaitu alat pengumpulan data yang berupa pertanyaan –
pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi tentang pola asuh ibu..
3.7. Aspek Pengukuran
1. Data status gizi
Status gizi diukur dengan menggunakan indikator BB/U kemudian
diinterprestasikan berdasarkan standar antropometri KEPMENKES. Status
gizi berdasarkan BB/U dibagi atas 4 kategori, yaitu :
- Lebih, bila nilai Z – Score > + 2 SD
- Baik, bila nilai Z – Score terletak antara ≥- 2 SD sampai + 2 SD
- Kurang, bila nilai Z – Score terletak anrtara < – 2 SD sampai ≥- 3SD
- Buruk, bila nilai Z – Score < - 3 SD
52
2. Data pola asuh meliputi:
a. Perhatian/dukungan ibu terhadap anak dalam pemberian makanan
Diukur berdasarkan jawaban dari kuesioner yang terdiri dari 11
pertayaan. Skor untuk option a = 2, b = 1 sehingga skor menjadi 22.
Dikategorikanmenjadi :
- Baik : apabila nilai yang diperoleh 17-22
- Tidak baik : apabila nilai yang diperoleh 11-16
b. Praktek kesehatan
Diukur berdasarkan jawaban dari kuesioner yang terdiri dari 22
pertanyaan.Skor untuk option a = 2, b = 1 sehingga skor menjadi 44.
Dikategorikanmenjadi :
- Baik : apabila nilai yang diperoleh 34-44
- Tidak baik : apabila nilai yang diperoleh 22-43
c. Perawatan anak dalam keadaan sakit
Diukur berdasarkan jawaban dari kuesioner yang terdiri dari 6
pertanyaan. Skor untuk poin a = 2, b = 1 sehingga skor menjadi 12.
Dikategorikan menjadi:
- Baik : apabila nilai yang diperoleh 10-12
- Tidak baik : apabila nilai yang diperoleh 6-9
53
3.8. Cara Penelitian (Alur Penelitian)
Identifikasi dan perumusan masalah
Menentukan tujuan penelitian
Analisis data dengan sistem komputerisasi
Menentukan cara dan besar sampel
Menentukan lokasi dan populasi
Penilaian berat badan dan umur
Menentukan definisi operasional dan variable yang akan diukur
Laporan
Wawancara responden menggunakan kuesioner
Hasil
54
3.9. Analisa Hasil
Analisa data merupakan bagian penting dari suatu
penelitian.Dimana tujuan dari analisa ini adalah agar diperoleh suatu
kesimpulan masalah yang diteliti. Data yang telah terkumpul akan diolah
dan dianalisa dengan menggunakan program komputer. Adapun langkah-
langkah pengolahan data meliputi :
3.9.1. Editing adalah pekerjaan memeriksa validitas data yang masuk,
seperti memeriksa pola asuh ibu dan status gizi balita.
3.9.2. Coding adalah suatu kegiatan memberi tanda atau kode tertentu
terhadap data yang telah diedit dengan tujuan mempermudah
pembuatan tabel.
3.9.3. Entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah didapat
kedalam program komputer yang ditetapkan (program
Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows
versi 17).
Analisa dalam penelitian ini menggunakan :
a. Analisa Univariat
Analisa ini digunakan untuk mendiskripsikan masing-masing
variabel, baik variabel bebas dan variabel terikat. Adapun yang
55
dianalisa adalah pola asuh ibu yang diukur dengan menggunakan
kuesioner dan status gizi yang diukur berdasarkan pengukuran
berat badan dan umur balita.
b. Analisa Bivariat
Analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara
variable bebas (independent) dan variable terikat (dependent) yaitu
pola asuh dan status gizi balita.
Karena rancangan penelitian ini adalah cross sectional, hubungan
antara variabel independent dengan varibael dependent digunakan
ditampilkan dalam table 2x2 dan juga dilakukan perhitungan Rasio
prevalens (RP), untuk mengetahui estimasi resiko relatif, dengan
cara membagi prevalens efek pada kelompok dengan faktor resiko,
dengan prevalens efek pada kelompok tanpa faktor resiko. Adapun
tampilan table 2x2 dan perhitungan rasio prevalens sebagai
berikut:
56
Tabel 3.1. Tabel 2x2 Pola Asuh dan Status Gizi Balita
Pola Asuh
Status Gizi
TOTALBaik Kurang
Baik A B AB
Kurang C D CD
TOTAL AC BD ABCD
RP = A/(A+B) : C/(C+D)
Dalam penelitian ini juga digunakan uji statistik Chi-Square
dengan bantuan computer untuk mengetahui perbedaan antara status
gizi pada balita yang mendapat pola asuh baikdan pola asuh yang
kurang.
3.10. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika
penelitian. Etika penelitian meliputi:
a. Informed consent (lembar persetujuan)
Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti memberikan
informasi tentang tujuan dan manfaat penelitian.Setelah sifat
keikutsertaan dalam penelitian.Sampel penelitian yang setuju
57
berpartisipasi dalam penelitian dimohon untuk menandatangani lembar
persetujuan penelitian.
b. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian maka
peneliti tidak mencantumkan nama pada lembar penelitian cukup
dengan memberi nomor kode pada masing-masing lembar yang hanya
diketahui oleh peneliti.
c. Confidentiality (kerahasiaan)
Peneliti menyimpan data penelitian pada dokumen pribadi
penelitian dan data-data penelitian dilaporkan dalam bentuk kelompok
bukan sebagai data-data yang mewakili pribadi sampel penelitian
(Sastroasmoro, 1995).
58
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Karang
Pule Kota Mataramtahun 2013. Sampel yang diambil adalah berasal dari
populasi yang merupakan seluruh ibu yang memiliki balita berusia 12-
59 bulan yang berjumlah 3116 orang. Berdasarkan kreteria insklusi dan
eksklusi dalam penelitian ini dan melalui perhitungan besar sampel
didapatkan sampel sebanyak 97 orang.
4.1.2 Gambaran Umum Puskesmas Karang Pule
Dua Kelurahan yaitu Kelurahan Pagutan dan Kelurahan Karang
Pule yang menjadi bagian wilayah kerja Puskesmas Karang Pule
dengan luas wilayah seluruhnya 953.215 km ,dengan junmlah penduduk
seluruhnya berjumlah 36.570 jiwa , dari masing-masing kelurahan
jumlah penduduknya al. :
59
1. Kelurahan Pagutan dengan jumlah penduduk = 17.719 jiwa dengan
11 Lingkungan.
2. Kelurahan Kr. Pule dengan jumlah penduduk = 18.851 jiwa dengan
15 Lingkungan.
Wilayah kerja Puskesmas Karang Pule masing-masing dibatasi oleh :
1. Di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pagesangan, willayah
kerja Puskesmas Pagesangan
2. Di sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Cakra Selatan,
Wilayah kerja Puskesmas Mataram.
3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kab.Lombok Barat
4. Di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Tanjung
Karang.wilayah kerja puskesmas Tanjung Karang.
4.1.3 Analisa Univariat
Karakteristik Responden
Karakteristik responden dapat dilihat dengan menggunakan
kuesioner melalui wawancara yang meliputi umur ibu, agama, tingkat
pendidikan, pekerjaan dan jumlah anak balita. Hal ini dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
60
Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Umur di Wilayah Kerja
Puskesmas Karang Pule Kota Mataram
No.
Umur (Tahun) N %
1 <20 5 5.72 20-29 46 47.43 30-39 42 43.34 >40 4 4.1
Total 97 100
>40 Tahun30-39 Tahun20-29 Tahun<20 Tahun
umur_ibu
50
40
30
20
10
0
Frequency
4
4246
5
umur_ibu
61
Dari tabel 4.2 dapat diketahui bahwa distribusi responden
menurut umur yang terbanyak adalah ibu yang berumur 20 – 29 tahun
yaitu sebanyak 46 orang (47,4%) dan yang paling sedikit adalah ibu
yang berumur > 40 tahun yaitu 4 orang (4,1%).
Tabel 4.3 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan di
Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Kota Mataram
No.
Tingkat Pendidikan
N %
1 SD 46 49.52 SMP 25 21.63 SMA 20 20.64 Diploma 1 3.15 Sarjana 5 5.2
Total 97 100
SARJANADIPLOMASMASLTPSD
pendidikan_ibu
50
40
30
20
10
0
Frequency
53
2021
48
pendidikan_ibu
62
Dari table 4.3 dapat diketahui bahwa distribusi responden
menurut tingkat pendidikan yang terbanyak adalah SD yaitu sebanyak
46 orang (49,5%) dan yang paling sedikit adalah Diploma yaitu
sebanyak 1 orang (3,1%).
Tabel 4.4 Distribusi Responden Menurut Jumlah Anggota
Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Kota
Mataram
No.
Jumlah anggota kelurga
N %
1 <3 1 12 3-5 70 72.23 >5 26 26.8
Total 97 100
63
>53-5<3
jumlah_anggota_keluarga
70
60
50
40
30
20
10
0
Frequency
26
70
1
jumlah_anggota_keluarga
Dari tabel 4.3 dapat diketahui bahwa distribusi responden
menurut jumlah anggota keluarga yang terbanyak adalah keluarga
yang berjumlah 3-5 orang yaitu sebanyak 70 keluarga (72,2%) dan
yang paling sedikit adalah keluarga yang berjumlah kurang dari 3
orang yaitu sebanyak 1 keluarga (1%).
Karakteristik Balita
Karakteristik balita dapat dilihat dengan menggunakan
kuesioner melalui wawancara kepada ibunya yang meliputi umur
anak, jenis kelamin dan status gizi. Hal ini dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
64
Table 4.5 Distribusi Balita Menurut Umur di wilayah kerja
Puskesmas karang Pule Kota Mataram
No.
Umur (bulan) N %
1 12-24 56 57.72 25-36 23 23.73 37-48 13 13.44 49-60 5 5.2
Total 97 100
49-60 bulan37-48 bulan25-36 bulan12-24 bulan
umur
60
50
40
30
20
10
0
Frequency
513
23
56
umur
Dari tabel 4.5 dapat diketahui bahwa distribusi balita menurut
umur yang terbanyak adalah balita yang berumur 12 – 24 bulan yaitu
sebanyak 56 orang (57,7%) dan yang paling sedikit adalah balita yang
berumur 49 – 60 bulan yaitu 5 orang (5,2%).
65
Tabel 4.6 Distribusi Balita Menurut Jenis Kelamin di Wilayah
Kerja Puskesmas Karang Pule Kota Mataram
No.
Jenis Kelamin N %
1 Laki-Laki 48 49.52 Perempuan 49 50.5
Total 97 100
Dari tabel 4.6 dapat diketahui bahwa jenis kelamin balita
perempuan lebih banyak yaitu sebanyak 49 orang (51.5%), sedangkan
balita laki-laki sebanyak 48 orang (49,5%).
Tabel 4.7 Distribusi Balita Menurut Status Gizi di Wilayah Kerja
Puskesmas karang Pule Kota Mataram
No.
Status Gizi n %
1 Baik 71 73.22 Tidak Baik 26 26.8
Total 97 100
*ket: untuk status gizi tidak baik meliputi balita yang memiliki gizi
kurang, gizi buruk dan gizi lebih
66
BaikKurang
status_gizi
80
60
40
20
0
Frequency
71
26
status_gizi
Dari tabel 4.7 dapat diketahui bahwa distribusi balita menurut
status gizi adalah balita yang berstatus gizi baik yaitu sebanyak 71
orang (73,2%) dan balita yang berstatus gizi tidak baik yaitu sebanyak
26 orang (26,8%).
Tabel 4.8 Distribusi Status Gizi berdasarkan Umur di Wilayah
Kerja Puskesmas Karang Pule Kota Mataram
No.
Status Gizi
Umur Total12-24 25-36 37-48 49-60 n %
N % n % n % N %1 Buruk 5 5.2 2 2.1 0 0 0 0 7 7.22 Kurang 7 7.3 6 6.2 4 4.1 0 0 17 17.5
67
3 Baik 43 44.3 14 14.4 9 9.3 5 5.2 71 73.24 Lebih 1 1 1 1 0 0 0 0 2 2.1
Dari table 4.8 dapat diketahui bahwa balita yang bestatus gizi
buruk paling banyak terdapat pada umur 12 - 24 bulan yaitu sebanyak
5 orang (5,2%) dan yang paling sedikit pada umur 37 – 48 dan 49 – 60
bulan yaitu 0 orang (0%). Balita yang berstatus gizi kurang lebih
banyak pada umur 12 – 24 bulan yaitu sebanyak 7 orang (7,3%) dan
yang paling sedikit pada umur 49 – 60 bulan yaitu 0 orang (0%).
Balita yang berstatus gizi baik lebih banyak pada umur 12 – 24 bulan
yaitu sebanyak 43 orang (44,3%) dan paling sedikit terdapat pada
umur 49 – 60 bulan sebanyak 5 orang (5.2%). Sedangkan balita yang
bestatus gizi lebih hanya terdapat pada usia 12 – 24 dan 25 – 36 yang
masing – masing berjumlah 1 orang (1%).
4.1.4 Pola Asuh
Pola asuh ibu dapat dilihat dengan menggunakan kuesioner
melalui wawancara kepada ibunya yang meliputi perhatian / dukungan
ibu dalam praktek pemberian makan, praktek kesehatan dan perawatan
anak dalam keadaan sakit. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :
68
Tabel 4.9 Distibusi Pola Asuh Responden Menurut Praktik
Pemberian makan di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Kota
Mataram
No.
Pemberian Makan
n %
1 Baik 75 77.32 Kurang 22 22.7
Total 97 100
BaikKurang
pemberian_makan
80
60
40
20
0
Frequency
75
22
pemberian_makan
Dari tabel 4.9 dapat diketahui bahwa pola asuh responden
menurut praktek pemberian makan lebih banyak pada kategori baik
yaitu sebanyak 75 orang (77,3%), sedangkan pada kategori kurang
sebanyak 22 orang (22,7%).
69
Tabel 4.10 Distribusi Praktek Pemberian Makan Berdasarkan
Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Kota Mataram
No. Pemberian Makan
Umur Total12-24 25-36 37-48 49-60 n %
N % N % n % n %1 Baik 45 46.4 15 15.5 10 10.3 5 5.2 75 77.32 Kurang 11 11.3 8 8.2 3 3.1 0 0 22 22.7
Dari tabel 4.10 dapat diketahui bahwa praktek pemberian
makan yang baik lebih banyak pada umur 12 - 24 bulan yaitu sebanyak
45 orang (46,4%) dan yang paling sedikit pada umur 49 – 56 bulan
yaitu 5 orang (5,2%). Sedangkan praktek pemberian makan yang
kurang lebih banyak pada umur 12 - 24 bulan yaitu sebanyak 11 orang
(11,3%) dan yang tidak terdapat pada umur 49 - 60 bulan.
Tabel 4.11 Distribusi Pola Asuh Responden Menurut Praktek
Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan
No.
Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan
n %
1 Baik 74 76.32 Kurang 23 23.7
Total 97 100
70
BaikKurang
kebersihan_dan_sanitasi_lingkungan
80
60
40
20
0
Frequency
74
23
kebersihan_dan_sanitasi_lingkungan
Dari tabel 4.11 dapat diketahui bahwa pola asuh responden
menurut praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan lebih banyak pada
kategori baik yaitu sebanyak 74 orang (76,3%), sedangkan pada
kategori tidak baik sebanyak 23 orang (23,7%).
Tabel 4.12 Distribusi Praktek Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan
Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule
No.
Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan
Umur Total12-24 25-36 37-48 49-60 n %
n % n % n % n %1 Baik 46 47.4 13 13.4 10 10.3 5 5.2 74 76.32 Kurang 10 10.3 10 10.3 3 3.1 0 0 23 23.7
71
Dari tabel 4.12 dapat diketahui bahwa praktek kebersihan dan
sanitasi lingkungan yang baik lebih banyak pada umur 12 - 24 bulan
yaitu sebanyak 46 orang (47,4%) dan yang paling sedikit pada umur 49
– 60 bulan yaitu 5 orang (5,2%). Sedangkan praktek kebersihan dan
sanitasi lingkungan yang kurang atau tidak baik lebih banyak pada
umur 12 – 24 bulan dan 25 – 36 bulan yaitu masing - masing sebanyak
10 orang (10,3%) dan tidak terdapat pada umur 49 - 60 bulan.
Tabel 4.13 Distribusi Pola Asuh Responden Menurut Perawatan
Anak Dalam Keadaan Sakit di Wilayah Kerja Puskesmas Karang
Pule
No.
Perawatan anak dalam Keadaan Sakit
n %
1 Baik 88 90.72 Kurang 9 9.3
Total 97 100
72
BaikKurang
perawatan_anak_dalam_keadaan_sakit
100
80
60
40
20
0
Frequency
88
9
perawatan_anak_dalam_keadaan_sakit
Dari tabel 4.13 dapat diketahui bahwa pola asuh responden
menurut perawatan anak dalam keadaan sakit lebih banyak pada
kategori baik yaitu sebanyak 88 orang (90,7%), sedangkan pada
kategori tidak baik sebanyak 9 orang (9.3%).
Tabel 4.14 Distribusi Perawatan Anak Dalam Keadaan Sakit
Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule
Kota Mataram
No.
Perawatan Anak Saat
Sakit
Umur Total12-24 25-36 37-48 49-60 n %
n % n % n % n %1 Baik 52 53.6 20 20.6 11 11.3 5 5.2 88 90.72 Kurang 4 4.1 3 3.1 2 2.1 0 0 9 9.3
73
Dari tabel 4.14 dapat diketahui bahwa perawatan anak dalam
keadaan sakit yang baik lebih banyak pada umur 12 - 24 bulan yaitu
sebanyak 52 orang (53,6%) dan yang paling sedikit pada umur 49 – 60
bulan yaitu 5 orang (5,2%). Sedangkan perawatan kesehatan yang
kurang atu tidak baik lebih banyak pada umur 12 - 24 bulan yaitu
sebanyak 4 orang (4,1%) dan tidak terdapat pada umur 49 - 60 bulan.
4.1.5 Analisa Bivariat
Hubungan Status Gizi Balita Berdasarkan Pola Asuh di
Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Kota Mataram
Analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara
variable bebas (independen) dan variable terikat (dependen) yaitu pola
asuh dengan status gizi, menggunakan tabel 2x2.
Tabel 4.15 Tabel Pola Asuh dan Status Gizi
Pola Asuh
Status Gizi
TOTALTidak Baik Baik
Kurang9 1 10
Baik17 70 87
TOTAL 26 71 97
74
RP = A/(A+B) : C/(C+D)
RP = 9/(9+1) : 17/(17+70)
= 9/10 : 17/87
= 0,9 : 0,19
= 4,73
= 5
Dari tabel silang dan perhitungan rasio prevalens di atas
diperoleh hasil rasio prevalens (RP) sebesar 5 (RP > 1), hal ini
menunjukkan bahwa variabel independen tersebut merupakan faktor
resiko yang mempengaruhi varibel dependen yang dalam hal ini
didapatkan bahwa pola asuh merupakan faktor resiko untuk
mempengaruhi tingkat status gizi sebesar 5 kali lipat.
Pengaruh pola asuh terhadap tingkat status gizi hasil uji
statistik menunjukkan bahwa pola asuh berpengaruh terhadap tingkat
status gizi. Hal ini ditunjukkan dari uji melalui uji chi-square dengan
nilai pada data sbb :
Tabel 4.16 Tabel Uji Chi-square
Uji Value Signifikansi (P-Value)Chi- Square 22.696 0.000
Sumber: Data primer yang diolah
75
Dari data tersebut diatas diperoleh nilai X2 hitung sebesar
22.696 dengan nilai signifikansi (P-Value) sebesar 0.000. Berdasarkan
hasil yang telah diperoleh, nilai signifikansi (0.000) < α (0,05)
sehingga H0 ditolak.
Tabel 4.17 Distribusi Status Gizi Berdasarkan Praktek Pemberian
Makan di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Kota Mataram
No.
Pemberian Makan
Status Gizi TotalρBuruk Kurang Baik Lebih n %
N % n % n % n %1 Kurang 7 7.2 13 13.4 2 2.1 0 0 22 22.7 0,0002 Baik 0 0 4 4.1 69 71.1 2 2.1 75 77.3
Dari tabel 4.17 dapat diketahui bahwa dari 75 ibu dengan
praktek pemberian makan yang baik terdapat 2 balita (2,1%) yang
bergizi lebih, 69 balita (71,1%) yang bergizi baik, 4 balita (4,1%) yang
bergizi kurang dan tidak terdapat balita yang bergizi buruk. Dari 22
ibu dengan praktek pemberian makan yang kurang terdapat 7 balita
(7,2%) yang bergizi Buruk, 13 balita (13,4%) yang bergizi kurang, 2
balita (2,1%) yang bergizi baik dan tidak terdapat balita yang bergizi
lebih.
76
Berdasarkan tabulasi silang diatas, analisa dengan uji statistik
Chi-square didapat nilai p < 0,1 (0,000) artinya terdapat hubungan
praktek pemberian makan dengan tingkat status gizi balita.
Tabel 4.18 Distribusi Status Gizi Berdasarkan Praktek Kebersihan
dan Sanitasi Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Karang
Pule Kota Mataram
No.
Kebersihan dan
Sanitasi
Status Gizi TotalΡBuruk Kurang Baik Lebih n %
N % n % n % n %1 Kurang 5 5.2 13 13.4 4 4.1 1 1 23 23.7 0,0002 Baik 2 2.1 4 4.1 67 69.1 1 1 74 76.3
Dari tabel 4.18 dapat diketahui bahwa dari 74 ibu dengan
praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan yang baik terdapat 1 balita
(1%) yang bergizi lebih, 67 balita (69,1%) yang bergizi baik, 4 balita
(4,1%) yang bergizi kurang dan 2 balita (2,1%) yang bergizi buruk.
Dari 23 ibu dengan praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan yang
kurang terdapat 5 balita (5,2%) yang bergizi Buruk, 13 balita (13,4%)
yang bergizi kurang, 4 balita (4,1%) yang bergizi baik dan 1 balita
(1%) yang bergizi lebih.
Berdasarkan tabulasi silang diatas, analisa dengan uji statistik
Chi-square didapat nilai p < 0,1 (0,000) artinya terdapat hubungan
77
praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan dengan tingkat status gizi
balita
Tabel 4.19 Distribusi Status Gizi Berdasarkan Perawatan Anak
Dalam Keadaan Sakit di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule
Kota Mataram
No.
Perawatan Anak Saat
Sakit
Status Gizi TotalΡBuruk Kurang Baik Lebih n %
n % n % n % n %1 Kurang 2 2.1 3 3.1 4 4.1 0 0 9 9.3 0,1202 Baik 5 5.2 14 14.4 67 69.1 2 2.1 88 99.7
Dari tabel 4.19 dapat diketahui bahwa dari 88 ibu dengan
perawatan anak dalam keadaan sakit yang baik terdapat 2 balita
(2,1%) yang bergizi lebih, 67 balita (69,1%) yang bergizi baik, 14
balita (14,4%) yang bergizi kurang dan 5 balita (5.2) yang bergizi
buruk. Dari 9 ibu dengan perawatan anak dalam keadaan sakit yang
kurang terdapat 2 balita (2,1%) yang bergizi Buruk, 3 balita (3,1%)
yang bergizi kurang, 4 balita (4,1%) yang bergizi baik dan tidak
terdapat balita yang bergizi lebih.
Berdasarkan tabulasi silang diatas, analisa dengan uji statistik
Chi-square didapat nilai p > 0,1 (0,120) artinya tidak terdapat
78
hubungan perawatan anak dalam keadaan sakit dengan tingkat status
gizi balita.
4.2 Pembahasan Penelitian
Menurut Engle (1997), pola asuh adalah kemampuan keluarga dan
masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan dalam
memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dari anak yang sedang tumbuh
dan anggota keluarga lainnya. Pola asuh responden meliputi praktek pemberian
makan, praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan dan perawatan anak dalam
keadaan sakit.
Status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak akibat interaksi
antara makanan dalam tubuh dengan lingkungan sekitarnya. Nilai keadaan gizi
anak sebagai refleksi kecukupan gizi, merupakan salah satu parameter yang
penting untuk nilai tumbuh kembang fisik dan nilai kesehatan anak tersebut
(Santoso, 1999).
Dari hasil pengukuran terhadap balita dengan menggunakan indeks
BB/U (Berat Badan menurut Umur) yang disesuaikan dengan standar
antropometri PERMENKES ditemukan sebagian besar anak mempunyai status
gizi yang normal yaitu sebesar 73,2%, anak yang mempunyai status gizi kurang
79
17,5%, anak yang mempunyai status gizi buruk 7,2% dan anak yang
mempunyai status gizi lebih sebanyak 2,1%. Hal ini disebabkan karena ibu
selalu memperhatikan keadaan gizi dan kesehatan anaknya. Dilihat dari
dukungan/perhatian ibu terhadap praktek pemberian makan anak berada pada
kategori baik yaitu sebesar 77,3% dan praktek kesehatan dan sanitasi
lingkungan berada pada kategori baik 76,3%. Sedangkan anak yang mempunyai
status gizi yang kurang, buruk dan lebih diasumsikan karena ibu yang tidak
memperhatikan asupan gizi anak serta kesehatan anak dan dapat juga
disebabkan adanya penyakit infeksi yang semakin menambah buruk kondisi
kesehatan anak sehingga pertumbuhan anak terganggu.
4.2.1 Hubungan Pola Asuh Praktek Pemberian Makanan Dengan
Status Gizi
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan pola asuh
pemberian makan dengan status gizi adalah, dari hasil uji statistik chi
square ρ = 0,000 (ρ < 0,05 ) maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara pola asuh pemberian makan dengan
status gizi balita. Hal ini karena masyarakat dalam praktek pemberian
makan pada anak balita belum lengkap gizi 4 Sehat 5 Sempurna, tidak
memberikan makanan bervariasi kepada anak balita.
80
Pola asuh praktek pemberian makan yang baik sangat
mendukung tercapainya status gizi anak yang baik. Apabila anak
ditemukan dengan status gizi buruk pada praktek pemberian makan
baik kemungkinan disebabkan karena perawatan kesehatan anak yang
tidak baik, juga imunisasi tidak lengkap sehingga anak mudah
terserang penyakit dan dapat saja terjadi kekurangan gizi. Praktek
pemberian makan yang tidak baik ditemukan anak status gizi baik. Hal
ini, terjadi karena baik tidaknya status gizi anak dipengaruhi oleh
konsumsi makanan dan kesehatan. Dalam praktek pemberian makan
anak tidak baik, kemungkinan didukung oleh perawatan dan kesehatan
anak baik maka dapat menyebabkan status gizi baik.
Menurut Suharjo (1999), pemberian makan terhadap anak
bertujuan untuk mendapatkan zat gizi yang cukup. Zat gizi sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta
rohani, memelihara dan memulihkan kesehatan. Masalah kecukupan
gizi pada anak sangat penting, karena baiknya tumbuh kembang dan
kecerdasan otak anak sangat ditentukan cara perawatan makan sejak
bayi bahkan sejak dalam kandungan. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian Ariga (2006) menemukan bahwa ada
kecenderungan dengan semakin baiknya pola asuh pemberian makan,
81
maka status gizi anak juga semakin baik. Dari uji statistik Chi-Square
(p=0,034 (p<0,05%).
Menurut Sulistijani (2001), mengemukakann seiring dengan
bertambahnya usia anak. Ragam makanan yang diberikan harus
bergizi lengkap dan seimbang yang mana penting untuk menunjang
tumbuh kembang dan status gizi anak. Menurut Soekirman (1990),
menyatakan faktor yang mempengaruhi status gizi adalah kemiskinan,
tingkat pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, tingkat
pendidikan, tingkat pengetahuan, sosial budaya dan bencana alam. .
Jumlah anggota keluarga banyak merupakan faktor resiko
terjadinya kurang gizi, banyaknya anggota keluarga akan berpengaruh
persediaan pangan yang tidak merata dalam keluarga. Semakin besar
jumlah anggota keluarga, maka semakin besar penentuan persentase
pembelajaanya dalam keluarga termasuk untuk membelanjakan bahan
pangan seperti beras, sayur-sayuran, lauk pauk dan lain-lainnya,
apabila jika dibandingkan dengan jumlah anggota keluarga yang
sedikit.
4.2.2 Hubungan Pola Asuh Praktek Kebersihan dan Sanitasi
Lingkungan Dengan Status Gizi
82
Analisis statistik pola asuh praktek kebersihan dan sanitasi
lingkungan dengan status gizi, ada hubungan yang signifikan antara
praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan dengan status gizi,
dimana nilai ρ =0,000 (p < 0,05). Hal ini karena kebiasaan
responden pada praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan tidak
langsung mencuci botol susu, piring, dan gelas, membiarkan
peralatan dapur kotor, tidak memotong kuku anak seminggu sekali,
tidak ada saluran pembuangan air limbah, pembuangan sampah dan
WC di rumah.
Lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan
memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare,
cacingan, infeksi saluran pernapasan dan infeksi saluran pencernaan.
Apabila anak terjadi infeksi saluran pencernaan, penyerapan
makanan zat-zat gizi akan terganggu yang menyebabkan terjadinya
kekurangan gizi. Seseorang kekurangan gizi akan mudah terserang
penyakit, dan pertumbuhan anak akan terganggu.
Kesehatan lingkungan dan praktek kebersihan ibu yang buruk atau
tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menyebabkan timbulnya berbagai
penyakit infeksi yang akhirnya mempengaruhi daya tahan tubuh sehingga
berujung jeleknya status gizi. Mewabahnya berbagai penyakit menular
83
seperti demam berdarah, diare, malaria mengambarkan salah satu adalah
buruknya kesehatan lingkungan.
Widaninggar (2003) menyatakan kondisi lingkungan anak harus
benar diperhatikan agar tidak menganggu kesehatan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan
rumah, kebutuhan ruangan, sinar matahari, air bersih, tempat pembuangan
sampah, saluran pembuangan air limbah dan lingkungan rumah.
Kebersihan, baik kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan
memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Kebersihan
perorangan yang kurang, akan menyebabkan mudah terserang penyakit kulit
dan saluran pencernaan seperti diare, cacingan. Sedangkan kebersihan
lingkungan erat hubungannya dengan penyakit saluran pernapasan , saluran
pencernaan serta penyakit akibat nyamuk. Oleh karena itu penting membuat
lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang anak sehingga anak
merasa aman bagi ibu/pengasuh anak dalam menyediakan kesempatan bagi
anak untuk mengeksplorasi lingkungan.
4.2.3 Hubungan Pola Asuh Perawatan Anak Dalam Keadaan Sakit
Dengan Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh perawatan
anak dalam keadaan sakit dengan status gizi, dari hasil uji chi
square ρ = 0,120 (ρ > 0,05), sehingga dapat disimpulkan tidak ada
84
hubungan yang bermakna antara perawatan anak dalam keadaan
sakit dengan status gizi balita. Hal ini, bahwa praktek perawatan
kesehatan anak dalam keadaan sakit dengan status gizi sudah baik.
Perawatan kesehatan anak yang baik ibu memberikan makanan
yang bergizi, kelengkapan imunisasi, kebersihan diri anak dan
lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam mencari
pengobatan terhadap anak apabila sakit ibu membawa anak
kepelayanan kesehatan seperti kerumah sakit, klinik, puskesmas,
dan polindes.
Tindakan perawatan anak dalam keadaan sakit anak
membutuhkan perawatan dan perhatian lebih dari orang tua,
selama anak sakit akan mempengaruhi pola makan balita sehingga
mempengaruhi status gizi. Asupan makanan dalam tubuh selama
balita sakit menjadi lebih sedikit dan tidak seimbang karena ada
sebagian orang tua masih memberikan pantangan pada balita untuk
makanan yang mengandung gizi tinggi. Apa bila anak terganggu
kecukupan gizi karena anak sulit makan sehingga daya tahan
tubuh menurun anak menjadi rentan terhadap penyakit, lingkungan
yang bersih sangat mendukung terhadap kesehatan anak.
85
Soetjiningsih (1995), mengatakan bahwa kesehatan anak harus
mendapat perhatian dari para orang tua, yaitu dengan segera membawa
anak yang sakit ketempat pelayanan kesehatan yang terdekat. Praktek
perawatan kesehatan yang baik dapat ditempuh dengan cara
memperhatikan gizi anak, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana
anak berada serta upaya ibu dalam hal mencari pengobatan terhadap
anak apabila anak sakit. Menurut Satoto (1990), dalam memberikan
makanan (feeding) dan perawatan (caring) yang benar untuk mencapai
status gizi yang baik melalui pola asuh yang baik dilakukan ibu
kepada anaknya sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak.
86
4.2.4 Keterbatasan Penelitian
1. Dalam pelaksanaan penelitian terdapat beberapa hambatan.
Hambatan adalah pada saat pengukuran kebisingan tidak semua
mesin dioperasikan sehingga kebisingan diukur hanya pada mesin
yang dioperasikan. Oleh karena itu kebisingan bagian pengolahan
kayu pada waktu penelitian belum mewakili keadaan sebenarnya.
2. Keterbatasan waktu karena penelitian dilakukan pada waktu kerja,
pekerja yang sedang bekerja dan pengukuran juga dilakukan setelah
bekerja menggunakan alat-alat pengolahan kayu tersebut.
3. Ketelitian dan kejujuran dari tenaga kerja dalam mengisi kuesioner
sehingga tidak menutup kemungkinan adanya jawaban yang tidak
mewakili keadaan sebenarnya dan hal ini dapat mempengaruhi dari
hasil penelitian.
4. Penelitian yang dilakukan sedikit mengganggu karna dilakukan pada
waktu kerja.
87
5. Data kesehatan sebelum bekerja dan selama bekerja tidak ada
sehingga tidak adanya kejelasan riwayat penyakit tenaga kerja
tersebut.
88
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
1. Dari hasil pengukuran kebisingan pada industri pengolahan kayu sebagian
besar tenaga kerjamengalami gangguan pendengaran sementara (themporary
threshold shift).
2. Dari hasil pengukuran kebisingan pada industi pengolahan kayu sebagian
besar tenaga kerja tidak mengalami gangguan pendengaran sementara
(themporary threshold shift) yaitu sebesar 22,6%.
3. Dari hasil pengukuran kebisingan pada industi pengolahan kayu sebagian
besar tenaga kerja mengalami gangguan pendengaran sementara (themporary
threshold shift) yaitu sebesar 77,4%.
4. Dari hasil pengukuran kebisingan pada industi pengolahan kayu sebagian
besar tenaga kerja mengalami gangguan pendengaran menetap (permanent
threshold shift) yaitu sebesar 0%
5. Didapatkan nilai X2 hitung sebesar 13.480 dengan nilai signifikansi (Asymp.
Sig. (2-sided)) sebesar 0.036. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, terlihat
bahwa nilai X2hitung (13.480) > X2
tabel (12.592) serta nilai signifikansi (0.036) <
α (0,05) sehingga H0 ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
89
hubungan antara kebisingan dengan themporary threshold shift pada tenaga
kerja pengolahan kayu di wilayah Gunungsari.
6. Dari hasil penghitungan rasio prevalens didapatkan bahwa RP= 2 (RP>1),
yang dalam hal ini berarti kebisingan merupakan faktor resiko yang
menyebabkan terjadinya themporary threshold shift.
7.
90
5.2. Saran
1. Bagi perusahaan atau industri hendaknya memberikan pelatihan dan
penyuluhan kepada tenaga kerja tentang gangguan kesehatan akibat bising
agar selama bekerja selalu memakai alat pelindung telinga (earplug, earmuff)
maupun alat pelindung lainnya.
2. Diadakan pemeriksaan kesehatan secara berkala pada tenaga kerja khususnya
diadakan pemeriksaan audiometri agar kesehatan tenaga kerja terjamin
dengan baik.
3. Diharapkan bagi pihak industri untuk memperbaiki pola kerja misalnya
seperti pergantian shift teratur dan tidak melebihi paparan yang harus
didengar setiap harinya yaitu sesuai dengan KEPMENAKER No.Kep-51
MEN/1999 yaitu dalam pekerjaan sehari-hari waktu tidak melebihi 8 jam
sehari atau 40 jam seminggu sehingga gangguan pendengaran menjadi
minimal.
4. Hasil pengukuran tingkat kebisingan pabrik perlu dievaluasi setiap tahun
untuk melihat perkembangan dan perubahan yang terjadi dan dapat
mengendalikan tingkat kebisingan yang sangat tinggi.