24
1 Hubungan nilai tekanan telinga tengah dengan derajat barotrauma pada calon penerbang Yupitri Pitoyo, Jenny Bashiruddin, Alfian Farid Hafil*, Hari Haksono**, Saptawati Bardosono*** *Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia **Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa dr. Saryanto ***Medical Research Unit (MRU) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ABSTRAK Latar belakang: Barotrauma telinga tengah merupakan masalah medis yang paling sering kita jumpai dalam dunia penerbangan. Masalah tersebut terjadi sebagai akibat kegagalan tuba Eustachius menyamakan perbedaan tekanan yang ada. Hal tersebut mendasari pentingnya pemeriksaan fungsi tuba sebelum pajanan perubahan tekanan atmosfer, agar barotrauma dapat dihindari. Tujuan: Untuk melihat adanya korelasi antara nilai tekanan telinga tengah dan fungsi tuba Eustachius dengan derajat barotrauma pasca-pajanan perubahan tekanan atmosfer. Metode: Desain penelitian adalah potong lintang. Dilakukan di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA) dr. Saryanto Jakarta, bulan Februari 2009. Populasi adalah calon penerbang dengan besar percontoh 37 orang. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik THT dengan endoskopi, pemeriksaan tekanan telinga tengah dan fungsi tuba sebelum dan sesudah pajanan menggunakan timpanometri. Data diolah dengan program SPSS 11.5 untuk melihat korelasi yang ada. Hasil: Terdapat korelasi yang tidak bermakna antara derajat barotrauma dengan nilai tekanan telinga tengah pasca- pajanan (p=0,136, r=0,175), korelasi yang bermakna antara derajat barotrauma dengan nilai tekanan telinga tengah saat perasat Toynbee (p=<0,001, r=0,503), dan korelasi yang tidak bermakna antara derajat Laporan Penelitian

Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

1

Hubungan nilai tekanan telinga tengah dengan derajat barotrauma

pada calon penerbang

Yupitri Pitoyo, Jenny Bashiruddin, Alfian Farid Hafil*, Hari Haksono**, Saptawati Bardosono***

*Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia**Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa dr. Saryanto

***Medical Research Unit (MRU) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Barotrauma telinga tengah merupakan masalah medis yang paling sering kita

jumpai dalam dunia penerbangan. Masalah tersebut terjadi sebagai akibat kegagalan tuba Eustachius

menyamakan perbedaan tekanan yang ada. Hal tersebut mendasari pentingnya pemeriksaan fungsi

tuba sebelum pajanan perubahan tekanan atmosfer, agar barotrauma dapat dihindari . Tujuan: Untuk

melihat adanya korelasi antara nilai tekanan telinga tengah dan fungsi tuba Eustachius dengan derajat

barotrauma pasca-pajanan perubahan tekanan atmosfer. Metode: Desain penelitian adalah potong

lintang. Dilakukan di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA) dr.

Saryanto Jakarta, bulan Februari 2009. Populasi adalah calon penerbang dengan besar percontoh 37

orang. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik THT dengan endoskopi, pemeriksaan tekanan telinga

tengah dan fungsi tuba sebelum dan sesudah pajanan menggunakan timpanometri. Data diolah dengan

program SPSS 11.5 untuk melihat korelasi yang ada. Hasil: Terdapat korelasi yang tidak bermakna

antara derajat barotrauma dengan nilai tekanan telinga tengah pasca-pajanan (p=0,136, r=0,175),

korelasi yang bermakna antara derajat barotrauma dengan nilai tekanan telinga tengah saat perasat

Toynbee (p=<0,001, r=0,503), dan korelasi yang tidak bermakna antara derajat barotrauma dengan

nilai tekanan telinga tengah saat perasat Valsava (p=0,820, r=0,027). Kesimpulan: Fungsi tuba yang

baik sangat diperlukan seorang calon penerbang sebelum mendapatkan pajanan tekanan dan

pentingnya melakukan perasat Toynbee dan Valsava secara optimal agar kejadian barotrauma dapat

dihindari.

Kata kunci: barotrauma, tuba Eustachius, tekanan telinga tengah

ABSTRACT

Background: Middle ear barotrauma is one of the most frequent medical problems found in

aviation. It is caused by the Eustachian tube failure to equalize the change of air pressure. That’s why

the function of the Eustachian should be evaluated before encounters the change of the atmosphere

pressure, so that barotrauma can be avoided. Purpose: To find out the correlation between the

degree of middle ear pressure and Eustachian tube function with the degree of barotrauma after

exposure to atmosphere pressure changes. Method: The design of the research is cross sectional. It

Laporan Penelitian

Page 2: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

2

was done in Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Luar Angkasa (LAKESPRA) dr. Suyanto Jakarta,

in February 2009. Populations are flyer candidates with total sample 37 people. Anamnesis, ENT

physical examination with endoscopy, examination of the middle ear pressure before and after

exposure using tympanometry was performed. The data was calculated with SPSS 11.5 to evaluate the

correlation. Result: There was an insignificant correlation between the degree of barotrauma and

middle ear pressure after exposure (p=0.136, r=0.175), a significant correlation between

barotraumas and middle ear pressures in Toynbee maneuver (p=<0.001, r=0.503), and an

insignificant correlation between the degree of barotraumas and middle ear pressure in Valsava

maneuver (p=0.820, r=0.027). Conclusion: A good Eustachian tube function is needed before the

exposure to pressure changes and it is important to perform the Toynbee and Valsava maneuver

optimally so that barotraumas could be avoid.

Key words: barotrauma, Eustachian tube, middle ear pressure

Alamat korespondensi: Yupitri Pitoyo, Divisi Neurotologi Departemen THT FKUI-RSCM. Jl.

Diponegoro 71, Jakarta. E-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Barotrauma telinga tengah atau

aerotitis media atau ear block

didefinisikan sebagai proses inflamasi akut

di telinga tengah sebagai akibat perubahan

tekanan atmosfer.

Berdasarkan patologinya, barotrauma

dibagi dua, yaitu barotitis media dan

baromiringitis. Barotitis media adalah

keadaan patologis yang ditandai

peradangan pada mukosa telinga tengah,

perdarahan dan cairan transudat di telinga

tengah. Baromiringitis adalah kerusakan

struktur membran timpani.1-4,6

Barotrauma telinga tengah terjadi

akibat kegagalan tuba Eustachius untuk

menyamakan tekanan antara telinga tengah

dan lingkungan saat terjadi perubahan

tekanan. Kecepatan dan besarnya

perubahan tekanan berpengaruh terhadap

terjadinya barotrauma. Makin cepat

perubahan tekanan yang terjadi dan makin

besar perbedaan tekanan yang ada, maka

makin mudah barotrauma terjadi.7

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan

gangguan fungsi tuba adalah adanya

proses infeksi saluran napas atas seperti

rinitis, sinusitis, faringitis, hipertrofi

adenoid dan infeksi telinga tengah, adanya

riwayat alergi, sumbatan jalan napas

seperti septum deviasi dan massa tumor

pada daerah telinga, hidung dan tenggorok

dan hal lain yang juga penting adalah

perasat Toynbee dan Valsava yang

dilakukan kurang optimal.

Page 3: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

3

Barotrauma yang terjadi pada

penerbang dapat mempengaruhi

keselamatan penerbangan. Peraturan

kesehatan standar penerbangan melarang

para penerbang yang mengalami

barotrauma untuk bertugas, hal ini

membawa dampak terhadap perusahaan

penerbangan secara ekonomi. Hal ini yang

mendasari pentingnya suatu pemeriksaan

yang dapat mendeteksi kemungkinan

terjadinya barotrauma pada penerbang,

sehingga barotrauma dapat dihindari.3,8-10

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui apakah terjadi barotrauma bila

tuba Eustachius terpajan pada perubahan

tekanan atmosfer yang ekstrem pada

seorang penerbang.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

analitik korelasi dengan menggunakan

desain potong lintang (cross sectional)

untuk melihat korelasi antara nilai tekanan

telinga tengah dan fungsi tuba dengan

derajat barotrauma pasca-pajanan

perubahan tekanan atmosfer dalam ruang

udara bertekanan rendah (RUBR) di

LAKESPRA dr. Saryanto. Penelitian ini

dilakukan pada 37 calon penerbang yang

berusia 20-24 tahun dengan kriteria inklusi

membran timpani utuh, timpanometri tipe

A, refleks akustik positif dan fungsi tuba

baik.

Diagnosis barotrauma ditegakkan

berdasarkan anamnesis, gejala klinis,

penilaian membran timpani berdasarkan

klasifikasi Wallace Teed, dan ditunjang

dengan penilaian tekanan telinga tengah

dan fungsi tuba Eustachius dengan

timpanometri. Keluhan yang paling sering

dirasakan adalah telinga terasa penuh,

telinga sakit, tinitus, gangguan

pendengaran dan keseimbangan. Wallace

Teed menggambarkan klasifikasi untuk

derajat barotrauma, yaitu: Derajat 0: tidak

ada keluhan dengan membran timpani

normal; derajat 1: membran timpani

kemerahan yang difus dan retraksi; derajat

2: derajat 1 ditambah dengan perdarahan

ringan membran timpani; derajat 3: derajat

1 ditambah dengan perdarahan sedang

membran timpani; derajat 4: membran

timpani tampak bulging, terdapat efusi

cairan; derajat 5: perforasi membran

timpani.5,11,12

Pemeriksaan membran timpani dengan

otoskop adalah salah satu metode

pemeriksaan fungsi tuba Eustachius yang

tertua. Adanya tekanan negatif di telinga

tengah atau otitis media efusi, dapat dinilai

dengan otoskop pneumatik yang

mengindikasikan adanya gangguan fungsi

tuba Eustachius, tetapi metode ini tidak

dapat digunakan untuk menentukan tipe

gangguan, apakah karena masalah

fungsional atau akibat obstruksi. Yang

harus digaris-bawahi adalah penampakan

Page 4: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

4

membran timpani yang normal belum

tentu memiliki fungsi tuba yang normal,

seperti pada tuba semipatulous atau

patulous.

Jerger-Liden mengklasifikasikan

gambaran timpanogram sebagai tipe A, B

dan tipe C. Tipe A ditemukan pada

keadaan telinga tengah normal, memiliki

puncak kurva dengan ketinggian normal,

pada atau sekitar tekanan atmosfer, yaitu 0

daPa. Tipe A ini memiliki variasi, yaitu

tipe Ad dan As.

Tipe Ad (‘d’= discontinuity), bentuk

kurva menyerupai gambaran tipe A, tetapi

dengan puncak yang lebih tinggi dari nilai

normal, misalnya ditemukan pada keadaan

disartikulasi tulang pendengaran. Segala

sesuatu yang menyebabkan rangkaian

tulang pendengaran menjadi sangat lentur

akan menyebabkan masuknya energi bunyi

secara berlebihan.

Tipe As (‘s’= stiffness atau

shallowness), memiliki kelenturan

membran timpani di bawah nilai normal,

misalnya ditemukan pada keadaan fiksasi

tulang pendengaran, sehingga terjadi

penurunan aliran energi bunyi yang

melewati telinga tengah. Bentuk kurva

menyerupai gambaran tipe A, tetapi

dengan puncak yang lebih rendah.

Tipe B, memiliki gambaran kurva

dengan puncak yang menghilang atau

sedikit melengkung, bahkan sampai datar

dengan nilai tekanan telinga tengah <-100

daPa dan kelenturan membran timpani di

bawah nilai normal, misalnya pada otitis

media efusi.

Tipe C, jika puncak kurva berada pada

daerah tekanan negatif, ditemukan pada

keadaan disfungsi tuba Eustachius, yaitu

saat tuba tidak membuka, maka udara yang

terperangkap di telinga tengah akan

diserap oleh mukosa telinga tengah. Hal

ini akan mengakibatkan turunnya tekanan

udara di telinga tengah terhadap tekanan di

liang telinga luar. Perbedaan tekanan yang

terjadi akan menyebabkan membran

timpani retraksi dan terdorong ke medial

dan pengaruh terhadap gambaran

timpanometri adalah puncak grafik akan

terdorong ke area negatif menjauhi nilai 0.

Pada semua percontoh dilakukan

anamnesis, pemeriksaan fisik THT dengan

endoskopi, pemeriksaan tekanan telinga

tengah dan fungsi tuba Eustachius dengan

timpanometri. Sebelumnya, semua

percontoh mendapatkan informasi tentang

cara melakukan perasat Toynbee dan

Valsava dengan benar, kemudian semua

percontoh masuk ke dalam ruang simulasi

bertekanan 760 mmHg atau 1 atm (0 kaki

atau ground level), lalu tekanan diturunkan

sampai 670 mmHg (sesuai ketinggian

5000 kaki) dengan kecepatan perubahan

ketinggian 3000-4000 kaki/menit.

Selanjutnya tekanan dinaikkan kembali ke

760 mmHg (sesuai dengan penurunan

ketinggian ke ground level). Beberapa

Page 5: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

5

menit kemudian dilanjutkan dengan

tekanan diturunkan menjadi 260 mmHg

(sesuai ketinggian 25.000 kaki) dengan

kecepatan perubahan ketinggian yang

sama, yaitu 3000-4000 kaki/menit. Setelah

beberapa menit, tekanan dinaikkan

kembali ke 760 mmHg (ground level)

dengan kecepatan 3000-4000 kaki/menit.

Setelah simulasi selesai, subjek

dianamnesis. Adakah keluhan telinga

terasa penuh, telinga sakit, berdenging,

penurunan pendengaran, telinga keluar

darah dan gangguan keseimbangan.

Selanjutnya dilakukan penilaian kembali

terhadap membran timpani, tekanan

telinga tengah dan perubahan nilai tekanan

telinga tengah pada fungsi tuba

Eustachius.

HASIL

Data yang ada diolah dengan SPSS

11.5, untuk data yang berdistribusi normal

(p>0,05) dipakai nilai angka rata-rata (SB)

dan data yang berdistribusi tidak normal

(p<0,05) dipakai nilai tengah (minimum-

maksimum).

Dari semua percontoh penelitian, usia

terbanyak adalah 22 tahun, sebanyak 22

percontoh (59,5%) dan tingkat pendidikan

sedikit lebih banyak lulusan SMA

dibandingkan dengan S1/D3, yaitu

sebanyak 20 percontoh (54,1%).

Dari 37 percontoh, tidak ada yang

memiliki riwayat keluar cairan, riwayat

operasi telinga tengah dan riwayat

gangguan pada telinga pasca-penerbangan

atau simulasi dalam ruang bertekanan.

Dari anamnesis semua percontoh,

didapatkan keluhan hidung tersumbat pada

5 percontoh (13,5%), dan hanya 1

percontoh (2,7%) dengan riwayat sinusitis.

Didapatkan 2 percontoh (5,4%) dengan

keluhan nyeri tenggorok dan 6 percontoh

(16,2%) dengan riwayat rinitis alergi.

Pada pemeriksaan fisik THT, dari

pemeriksaan hidung, sebagian besar

percontoh didapatkan kedua kavum nasi

lapang (89,2%). Dari pemeriksaan konka

inferior, terdapat 4 percontoh (10,8%)

dengan konka inferior hipertrofi.

Ditemukan juga insiden faktor predisposisi

barotrauma seperti pada septum deviasi,

dari 37 percontoh didapatkan 12 percontoh

(32,4%) dengan septum deviasi, selain itu

ditemukan juga 6 percontoh (16,2%)

dengan sekret pada kedua kavum nasi.

Pada pemeriksaan orofaring, didapatkan 5

percontoh (13,5%) dengan faring

hiperemis dan pada pemeriksaan tonsil,

didapatkan 4 percontoh (10,8%) dengan

ukuran tonsil ≥T2.

Page 6: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

6

Dari 37 percontoh, didapatkan 18

percontoh (48,64%) yang mengalami

barotrauma atau 25 telinga dari 74 telinga

(33,78%). Didapatkan derajat barotrauma

paling banyak pada derajat 1 sebanyak 12

telinga (16,2%) dengan kejadian lebih

banyak pada telinga kanan, sebanyak 14

telinga (64,54%) dan tidak ada percontoh

yang mengalami barotrauma derajat 5.

(Tabel 2).

Pada penelitian ini, berbagai keluhan

subjektif pasca-pajanan perubahan tekanan

ingin diketahui dari percontoh antara lain

keluhan telinga terasa penuh, telinga terasa

bergema, telinga terasa berdenging, telinga

sakit, keluhan pusing atau gangguan

keseimbangan.

Dari 37 percontoh, didapatkan keluhan

paling banyak adalah telinga terasa penuh

sebanyak 7 percontoh (18,9%) dan

keluhan telinga sakit sebanyak 11

percontoh (29,7%) dan tidak didapatkan

percontoh yang mengeluh adanya telinga

terasa bergema, berdenging dan gangguan

keseimbangan.

Penilaian korelasi antara nilai tekanan

telinga tengah dan fungsi tuba Eustachius

terhadap kejadian barotrauma, dilakukan

dengan uji korelasi nonparametrik

Spearman. Hal ini terlihat pada tabel 3.

Dari penelitian, diperoleh hasil dari uji

korelasi, yaitu korelasi tidak bermakna

pada nilai tekanan telinga tengah dengan

derajat barotrauma (r=0,0-0,2), korelasi

bermakna pada nilai tekanan telinga

tengah fungsi tuba saat Toynbee dengan

derajat barotrauma (r=0,4-0,6), dan

korelasi tidak bermakna pada nilai tekanan

telinga tengah fungsi tuba saat Valsava

dengan derajat barotrauma (r=0,0-0,2).

Tabel 2. Sebaran karakteristik percontoh berdasarkan derajat barotrauma (n=74)

Derajat barotrauma Jumlah Persentase Kanan Kirin % n % n %

Barotrauma 25 33,78

Tabel 1. Sebaran percontoh berdasarkan nilai tekanan telinga tengah dan fungsi tuba

Variabel *Nilai tekanan telinga tengah dan fungsi tuba

Nilai tekanan telinga tengah sesudah (daPa) -23,00(-181,00;54,00)Tekanan awal sesudah (ETF1) Perasat Toynbee sesudah (ETF2)Perasat Valsava sesudah (ETF3)ETF2-I sesudahETF3-1sesudah

-23,00(-191,00;81,00)-63,91(50,34)10,00(-371,00174,00)-29,50(-140,00;151,00)30,50(-354,00;244,00)

*= Nilai disajikan dalam angka rata-rata (SB) atau median (minimum-maksimum)

Page 7: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

7

Klasifikasi:Derajat 0 49 66.2 23 31,08 26 35,13Derajat 1 12 16,2 9 12,16 3 4,05Derajat 2 4 5,4 2 2,70 2 2,70Derajat 3 1 1,4 1 1,35 0 0Derajat 4 8 10,8 2 2,70 6 8,10

DISKUSI

Semua percontoh adalah subjek yang

belum pernah menjalani latihan simulasi

dalam ruang bertekanan, dan kejadian

barotrauma erat kaitannya dengan

kemampuan seorang beradaptasi terhadap

pajanan perubahan tekanan dan

kemampuannya melakukan perasat pada

saat yang tepat. Lamanya masa dinas

terbukti berhubungan dengan risiko

terjadinya barotrauma telinga tengah.

Semakin lama masa dinas, maka risiko

terjadinya barotrauma semakin meningkat,

karena pajanan yang berulang terhadap

perubahan tekanan semakin sering dan

tuba Eustachius akan sering mengalami

pajanan perubahan tekanan atmosfer yang

dapat mempengaruhi fungsinya.

Fungsi utama tuba Eustachius adalah

menjaga keseimbangan tekanan udara

antara telinga tengah dan lingkungan, hal

ini tercapai bila tuba terbuka untuk

masuknya udara. Hal tersebut dipengaruhi

oleh absorpsi gas melalui membran

mukosa dan variasi tekanan atmosfer rata-

rata.

Gambar 1. Regulasi tekanan telinga tengah.4

Gambar di atas menunjukkan berbagai

jalan pertukaran udara di telinga tengah

saat terisolasi dalam kabin pesawat. Dalam

penjabaran regulasi tekanan telinga tengah,

secara fisiologis jalur yang sudah ada

Tabel 3. Korelasi antara nilai tekanan telinga tengah dan fungsi tuba Eustachius pajanan dengan

kejadian barotrauma

Tekanan telinga tengah dan fungsi tuba

Barotraumap r

Tekanan telinga tengah 0,136 0,175ETF2-1 <0,001 0,503ETF3-1 0,820 0,027

Page 8: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

8

adalah: 1) timpani - antrum - mastoid; 2)

telinga tengah - mukosa telinga tengah -

pembuluh darah; dan 3) timpani - tuba

Eustachius - nasofaring. Karena kavum

timpani dan mastoid saling berhubungan

melalui rongga udara, maka perbedaan

tekanan total yang terjadi secara cepat

dapat disamakan dan perbedaan tekanan

udara parsial akan turun dengan cepat.4

Pertukaran udara di dalam telinga

tengah - mukosa telinga tengah -

pembuluh darah, merupakan suatu proses

difus yang tergantung pada perbedaan

tekanan parsial yang ada dan pertukaran

tetap spesifik dari udara yang ada.

Pertukaran udara melalui jalur ini relatif

lambat, sehingga hanya mempunyai

pengaruh yang sedikit pada regulasi

tekanan telinga tengah selama perubahan

tekanan lingkungan. Teori klasik hidrops

ex vacuo menyatakan bahwa udara yang

terperangkap di kavitas telinga tengah

secara terus-menerus akan diabsorpsi dan

kondisi fisiologis ini akan dikompensasi

dengan pembukaan tuba secara intermiten

dan jika terjadi insufisiensi tuba, maka

akan terbentuk tekanan negatif di telinga

tengah, sehingga terjadi retraksi membran

timpani dan terbentuk cairan di telinga

tengah.4

Sebaliknya, pertukaran udara melalui

tuba Eustachius terjadi secara cepat antara

nasofaring dan kavum timpani. Dalam

kondisi fisiologis normal, hal ini bersifat

langsung, hubungan antara telinga tengah

dan lingkungan. Hal ini terjadi karena

perubahan tekanan yang dapat

menyebabkan pertukaran udara, yaitu

akibat perbedaan tekanan antara tekanan

atmosfer dan tekanan telinga tengah.4

Sifat dari suatu gas terhadap tekanan

telah diatur dalam hukum Boyle (1662),

yang menyatakan bahwa volume gas

berbanding terbalik dengan tekanan. Suatu

penurunan atau peningkatan pada tekanan

lingkungan akan memperbesar atau

menekan suatu volume udara dalam ruang

tertutup. Pada saat turun dari suatu

ketinggian, tekanan atmosfer akan naik

dan tekanan gas di telinga tengah akan

turun. Udara tidak akan masuk ke telinga

tengah secara spontan, tuba auditori harus

dibuka dengan gerakan menguap atau

perasat lain yang sering terjadi tanpa

disadari, yang terjadi setiap menit atau

lebih sering.

Ketidakmampuan tuba untuk

melaksanakan fungsinya dapat disebabkan

oleh sistem mekanik yang tidak normal.

Beberapa ahli menjabarkan secara spesifik

bahwa fungsi tuba sangat tergantung pada

elastisitas atau kelenturan tuba, dan hal

tersebut dipengaruhi oleh kondisi mukosa,

otot, kartilago dan jaringan penunjang

sekitar tuba. Elastisitas tuba berpengaruh

baik saat pembukaan tuba (distensibility)

dan penutupan tuba (collapsibility). Hal-

hal tersebut dapat disebabkan oleh proses

Page 9: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

9

infeksi saluran napas atas, seperti rinitis,

sinusitis, faringitis, hipertrofi adenoid dan

infeksi telinga tengah, adanya riwayat

alergi, sumbatan jalan napas seperti

septum deviasi dan massa tumor pada

daerah telinga, hidung dan tenggorok dan

hal lain yang juga penting adalah perasat

Toynbee dan Valsava yang dilakukan

kurang optimal.

Barotrauma dapat terjadi jika rongga-

rongga yang berisi udara dalam tubuh

menjadi rongga tertutup, dengan menjadi

buntunya jalur ventilasi normal dan telinga

tengah adalah rongga yang paling sering

terkena. Hal ini dikarenakan struktur tuba

Eustachius yang kompleks. Barotrauma

dapat mengenai satu atau kedua telinga.1,3

Ventilasi tambahan yang berlebihan dapat

menyebabkan trauma melalui tekanan

positif yang besar. Trauma langsung akibat

tekanan pada daerah kepala dan leher,

dapat menyebabkan barotrauma melalui

gangguan atau kerusakan ruang yang berisi

udara. Hal ini dapat dicegah dengan suatu

usaha untuk menyamakan tekanan atau

menyimpan kembali volume udara sebagai

respons terhadap perubahan tekanan yang

mendadak. Tekanan udara atau volume

udara yang berlebihan dapat menyebabkan

kerusakan jaringan secara mekanik.

Penurunan tekanan atau volume dapat

mengakibatkan distensi vaskular,

perdarahan dan edema mukosa. Jika udara

masuk ke dalam sirkulasi setelah

barotrauma, hal ini dapat menyebabkan

emboli arteri sistemik dan menyebabkan

keadaan yang fatal.

Barotrauma yang terjadi pada

penerbang dapat mempengaruhi

keselamatan penerbangan. Peraturan

kesehatan standar penerbangan melarang

para penerbang yang mengalami

barotrauma untuk bertugas, hal ini

membawa dampak terhadap perusahaan

penerbangan secara ekonomi. Hal ini yang

mendasari pentingnya suatu pemeriksaan

yang dapat mendeteksi kemungkinan

terjadinya barotrauma pada penerbang,

sehingga barotrauma dapat dihindari.3,8-10

Barotrauma dapat dicegah dengan

memperhatikan gejala klinis atau kondisi-

kondisi yang dapat menyebabkan

gangguan fungsi tuba, sebelum melakukan

perjalanan dengan pesawat atau mengikuti

simulasi dalam ruang udara bertekanan

rendah. Semua masalah tersebut dapat

dinilai oleh seorang ahli THT dan

sekaligus memberikan pengobatan,

sehingga barotrauma dapat dicegah. Hal

penting lain yang juga harus diperhatikan

adalah kemampuan untuk melakukan

perasat secara benar saat terpajan

perubahan tekanan.

Pada saat tekanan dalam ruang udara

bertekanan rendah diturunkan atau dapat

diperumpamakan seperti pada saat pesawat

naik mencapai suatu ketinggian tertentu di

atas permukaan air laut, biasanya jarang

Page 10: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

10

menimbulkan masalah, karena udara di

telinga tengah akan keluar dengan mudah

melalui tuba Eustachius ke nasofaring,

sehingga tekanan pada kedua sisi membran

timpani sama. Hal ini terjadi karena makin

besar suatu ketinggian, maka tekanan

atmosfer akan makin kecil, sedangkan

tekanan di rongga tertutup dalam tubuh

relatif tidak berubah. Kondisi ini membuat

udara yang terperangkap di dalam telinga

tengah lebih mudah untuk keluar.2

Untuk kenyamanan awak pesawat,

kondisi dalam kabin harus dibuat

pressurization atau pengaturan tekanan,

sehingga tekanan kabin sesuai dengan

ketinggian tertentu atau kita sebut cabin

altitude. Penurunan tekanan kabin akan

efektif untuk mengurangi perbedaan

tekanan dengan tekanan atmosfer. Yang

harus diwapadai saat pesawat mencapai

ketinggian di atas 15.000 kaki, karena

risiko terjadinya barotrauma menjadi lebih

besar. Hal ini adalah faktor yang sangat

penting dalam memutuskan kapan

pengaturan tekanan kabin diberikan

selama pesawat turun.7

Tuba Eustachius memiliki peran yang

sangat besar dalam menjaga keseimbangan

tekanan antara telinga tengah dan

lingkungan. Oleh sebab itu, fungsi tuba

Eustachius yang baik sangat diperlukan

saat seorang terpajan perubahan tekanan.

Keluhan telinga terasa penuh pasca-

pajanan merupakan masalah yang sering

dikeluhkan oleh seorang yang terpajan

perubahan tekanan atmosfer. Saat seorang

memiliki perasaan penuh pada telinganya,

biasanya orang tersebut akan berusaha

secara spontan untuk menghilangkan rasa

tidak nyaman tersebut dengan

menyamakan tekanan antara telinga tengah

dan lingkungan melalui akselarasi sirkulasi

udara melalui tuba Eustachius dengan

menggerakkan rahang, gerakan menelan

atau perasat Toynbee dan Valsava.

Apabila ada gangguan pada fungsi tuba

atau perasat yang dilakukan tidak optimal,

maka keluhan telinga penuh akan muncul.

Secara patofisiologi, fungsi tuba yang

baik sangat diperlukan saat terjadi

perubahan tekanan yang besar dan cepat

saat seorang berada di dalam ruang

bertekanan. Apabila tuba gagal melakukan

fungsinya, maka tekanan negatif yang

besar di telinga tengah dapat menyebabkan

pelebaran pembuluh darah pada membran

timpani dan mukosa telinga tengah, dan

jika kondisi ini terus berlanjut dapat

disertai ekstravasasi cairan dari

mikrovaskular di mukosa telinga tengah ke

dalam kavum timpani, seperti yang terjadi

pada barotrauma derajat 4. Fenomena

inilah yang kemudian akan menimbulkan

keluhan telinga menjadi sakit, namun satu

hal yang harus diingat bahwa keluhan

yang dirasa oleh seorang sifatnya sangat

subjektif dan bervariasi dalam hal

Page 11: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

11

persepsi, toleransi dan menyampaikan rasa

itu.

Timpanometri sudah diakui sebagai

metode yang dapat dipercaya untuk

pengukuran tekanan telinga tengah,

kelenturan membran timpani dan fungsi

tuba. Sejak industri penerbangan

berkembang dan patensi tuba Eustachius

memiliki peran yang penting dalam

patofisiologi barotrauma, maka penerbang

yang akan mengikuti simulasi dalam ruang

bertekanan harus mempunyai

timpanogram yang normal. Salah satu

keuntungan pemeriksaan dengan

timpanometri yang sangat berguna pada

penelitian ini adalah dapat dilakukan untuk

populasi yang besar dalam waktu yang

singkat dan bersifat objektif. Dalam dunia

penerbangan, timpanometri sangat

berperan untuk mengevaluasi masalah

kesehatan telinga tengah. Mereka

menggunakan timpanometri dengan dua

tujuan. Pertama, yaitu untuk penapisan

para penerbang termasuk pilot, pramugari

dan penerjun payung, dengan menilai

tekanan telinga tengah dan fungsi tuba

sebelum terbang, sehingga dapat diketahui

kemampuan untuk menyamakan tekanan.

Kedua, yaitu untuk evaluasi para

penerbang dengan masalah infeksi saluran

nafas dan alergi, sehingga dapat

diantisipasi kemungkinan lebih besar

menderita barotrauma.13

Pada penelitian ini, didapatkan nilai

angka tengah tekanan telinga tengah

pasca-pajanan masih dalam nilai rentang

normal. Hal ini sesuai dengan batasan nilai

normal tekanan telinga tengah berdasarkan

klasifikasi Jerger. Hal tersebut

membuktikan bahwa fungsi tuba yang baik

memang dibutuhkan saat seorang terpajan

terhadap perubahan tekanan yang

terjadi.14,15

Pada penelitian ini juga didapat nilai

tekanan telinga tengah fungsi tuba saat

bernapas biasa, pasca-pajanan masih

dalam nilai batas normal, begitu pula saat

perasat Toynbee dan Valsava. Fungsi tuba

Eustachius dianggap baik apabila saat

perasat Toynbee, tekanan yang terbentuk

lebih kecil dibandingkan dengan tekanan

semula dan saat perasat Valsava, tekanan

yang terbentuk lebih besar dari tekanan

semula, dan hal tersebut terpenuhi oleh

subjek penelitian, hal tersebut

dimungkinkan karena fungsi tuba yang

baik. Nilai selisih tekanan telinga tengah

saat perasat Toynbee (ETF2-1) dan pada

saat perasat Valsava (ETF3-1) juga dalam

rentang normal.

Idealnya pengukuran tekanan telinga

tengah dilakukan selama pajanan

berlangsung, sehingga dapat diketahui

nilai tekanan telinga tengah saat itu.

Sehingga apabila terjadi tekanan negatif

yang besar, maka tekanan dalam ruangan

dapat diturunkan, namun timpanometri

Page 12: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

12

yang digunakan harus dimodifikasi

terlebih dahulu agar dapat digunakan

dalam ruang dengan perubahan tekanan

yang besar.

Di samping itu, pada penelitian ini

agak sulit untuk mengukur tekanan telinga

tengah secara bersamaan pada tekanan

tertentu, mengingat jumlah percontoh yang

masuk dalam ruang simulasi berjumlah

sekitar 15 orang, sehingga pengukuran

baru dapat dilakukan segera setelah

pajanan. Akibatnya, karena percontoh

pada penelitian ini adalah percontoh

dengan fungsi tuba yang baik, maka

walaupun terjadi tekanan negatif yang

besar di telinga tengah saat pajanan dan

menyebabkan distensi dan pecahnya

pembuluh darah membran timpani dan

mukosa telinga tengah, namun saat

pemeriksaan tekanan telinga tengah,

tekanannya masih ada yang dalam rentang

normal, walaupun terdapat pengurangan

tekanan dibandingkan sebelumnya.16

Perubahan tekanan dalam ruang udara

bertekanan yang besar dan cepat, apabila

tidak dapat diantisipasi secara cepat dan

tepat dengan melakukan perasat dengan

benar, maka perubahan atau kerusakan

pada membran timpani dan mukosa telinga

tengah menjadi sulit dihindari. Tekanan

yang besar dalam ruang bertekanan

menyebabkan pecahnya pembuluh darah

di membran timpani dan mukosa telinga

tengah. Hal ini bersifat sementara, namun

juga tidak langsung membaik setelah

pajanan tekanan berakhir. Hal ini tampak

jelas dalam penelitian ini, walaupun subjek

telah keluar dari ruang simulasi, namun

perubahan patologi yang terjadi pada

struktur membran timpani dan telinga

tengah masih bisa kita lihat. Cukup

tingginya kejadian barotrauma pada

penelitian ini sesuai dengan kondisi

ekstrem yang terjadi selama pajanan

tersebut, fungsi tuba Eustachius akan

menurun jika terpajan pada perubahan

tekanan atmosfer yang ekstrem, sehingga

gangguan fungsi tuba menjadi faktor

utama terjadinya barotrauma. Penelitian ini

menggunakan klasifikasi dari Wallace

Teed sebagai pedoman untuk menentukan

derajat dari barotrauma.3,7,15,16

Hasil dari perhitungan uji korelasi

antara nilai tekanan telinga tengah pasca-

pajanan dengan derajat barotrauma,

diperoleh korelasi yang lemah (r=0,175).

Korelasi antara nilai tekanan telinga

tengah saat perasat Valsava pasca-pajanan

dengan derajat barotrauma adalah lemah

(r=0,027). Namun terdapat korelasi yang

bermakna (p<0,001) antara nilai tekanan

telinga tengah saat perasat Toynbee

dengan derajat barotrauma (r=0,503). Hal

ini menjelaskan bahwa seorang dengan

fungsi tuba yang baik akan dengan mudah

mengembalikan tekanan telinga tengah

menjadi normal, walaupun telah terjadi

Page 13: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

13

perubahan struktur membran timpani dan

mukosa telinga tengah.

Dari hasil penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa fungsi tuba yang baik

sangat diperlukan saat seorang terpajan

perubahan tekanan atmosfer, sehingga

diperlukan pemeriksaan fungsi tuba

dengan timpanometri agar barotrauma

dapat dihindari. Barotrauma sebenarnya

suatu kondisi yang dapat dicegah. Seorang

yang memiliki faktor-faktor predisposisi

suatu gangguan fungsi tuba, sebaiknya

sesaat sebelum melakukan penerbangan

atau mengikuti simulasi dalam ruang

bertekanan, menyemprotkan ke setiap sisi

hidung dengan dekongestan topikal, lalu

beberapa menit kemudian dilakukan

penyemprotan ulang. Sebaiknya

dekongestan tersebut dapat mencapai

daerah nasofaring, sehingga efek

vasokonstriksi dapat diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA

1. Devine JA, Fort VA, Rock PB, Cymerman

A. The use of tympanometry to detect

aerotitis media in hypobaric chamber

operations. Aviation Space Environment

Med 1990; 46:251-5.

2. Klokker M, Vesterhauge S, Jansen EC.

Pressure-equalizing ear plug do not

prevent barotrauma on descent from 8000

ft cabin altitude. Aviation Space

Environment Med 2005; 76(11):1079-82.

3. Ashton DH, Watson LA. The use of

tympanometry in predicting otitis

barotrauma. Aviation Space Enviroment

Med 1990; 2:56-61.

4. Kanick SC, Doyle WJ. Barotrauma during

air travel: predictions of a mathematical

model. J Appl Physiol 2005; 98:1592-602.

5. Uzun C. Evaluation of predictive

parameters related to Eustachian tube

dysfunction for symptomatic middle ear

barotrauma in divers. Otol Neurotol 2005;

26:59-64.

6. Sun Kim C, Wong Jung H, Jong Kim H.

Experimental studies on the pathogenesis

of barotitis media following hypobaric

chamber flight. Otorhinolaryngol Head

Neck Surg 1990; 34:1249-52.

7. King ACPF. The Eustachian tube and its

significance in flight. J Laryngol Otol

1979; 93:659-78.

8. Miyazawa T, Ueda H, Yanagita N.

Eustachian tube function and middle ear

barotrauma associated with extremes in

atmospheric pressure. Ann Otol Rhinol

Laryngol 1996; 105:887-92.

9. Patil G, Taneja N. Retrospective analysis

of initial medical examination of aircrew

applicants in the Indian Air Force. Indian J

Aerospace Med 2006; 50(1):44-9.

10. Ghadiali SN, Swarts JD, Federspiel WJ.

Model-based evaluation of Eusthachian

tube mechanical properties using

Page 14: Hubungan Nilai Tekanan Tellinga Tengah Dr.upit

14

continuous pressure-flow rate data. Ann

Biomed Engineer 2002; 30:1064-76.

11. Farrel MH, Bhattacharyya. Barotrauma

injury. Int J Care Injured 2004; 35:359-70.

12. Vahidova D, Sen P, Papesch M, Zein-

Sanchez MP, Mueller PHJ. Does the slow

compression technique of hyperbaric

oxygen therapy decrease the incidence of

middle-ear barotrauma? J Laryngol Otol

2006; 120:446-9.

13. Sakata T, Esaki Y, Yamato T, Sueta N,

Nakagawa T, Kato T. Air pressure-sensing

ability of the middle ear-investigation of

sensing regions and appropiate

measurement conditions. Auris Nasus

Larynx 2009; 39:393-9.

14. Stach BA. The audiologist’s assessment

tools: electroacoustic and

electrophysiologic measures. In: Danhauer

JL, ed. Clinical audiology an introduction.

London, San Diego: Kugler Publisher;

1998. p. 257-92.

15. Eric Stangerup S, Klokker M, Vesterhauge

S, Jayaraj S, Rea P, Harcourt J. Point

prevalence of barotitis and its prevention

and treatment with nasal ballon inflation: a

prospective, controlled study. Otol

Neurotol 2004; 25:89-94.

16. Ars B. Middle ear cleft pressure

regulation. Balance and imbalance of

pressure variations-state of the art. In: Ars

B, ed. Chronic otitis media: pathogenesis-

oriented therapeutic management.

Philadelphia: Kugler Publisher; 2008. p.

113-27.