Upload
suhadi
View
317
Download
1
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial Ekonomi dan Pengetahuan Ibu dengan
Kejadian Diare Akut Pada Balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
Kabupaten Indragiri HilirPosted on Juli 16, 2008 by kuliahbidan
ABSTRACT
THE CORRELATION BETWEEN ENVIRONMENT, SOCIAL-ECONOMY AND KNOWLEDGE AMONG MOTHERS
TOWARDS INCIDENS OF ACUTE DIARRHEA ON CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD
IN PEKAN ARBA VILLAGE TEMBILAHAN DISTRICT
OF INDRAGIRI HILIR REGENCY
BY
YANCE WARMAN
Diarrhea is still fully guarded to fell in children under five years old. It’s one of the main factor of death and illness to
children in the developed country as Indonesia. Many factors influenced this phenomenon. Some of them were
environment, social-economy and well informed mother. The aim of this research was conducted to map the
condition and specifically executed in Pekan Arba Village-Tembilahan District of Indragiri Hilir Regency.
This research used methode of analitycal cross sectional approach. Population was mother who have children under
five with numery 535, but the sample was 230. The instrument of the research was questionnaire. The analysis data
used SPSS program.
From this research was founded that percentage of respondent environment condition at 41.7 % was good health.
54.4% was moderate and 3.9% was bad environment. Instead, respondent social-economy can be categorized 3.9%
was underprosperous, 79.1% was prosperous level I, 4.8% was prosperous level II, 4.4 % was prosperous level III
and 7.8% was upper prosperous. Looking at well informed factor research concludes that 46,5 % was good and 53,5
% was moderate. This research also concludes that Diarrhea percentage of children under five was 53% of sample.
The correlation between environment, social economy and knowledge among mothers towards incidens of acute
diarrhea on children under five years old indicated significant correlation and positif relation. Overall well informed
factor was more significantly influence acute diarrhea rate in Pekan Arba Village-Tembilahan District of Indragiri Hilir
Regency compared to other factors.
Keywords: Environment, Social-Economy, Knowledge among Mothers, Incidens of acute diarrhea on children under
five years old
-
-
ABSTRAK
HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN, SOSIAL EKONOMI
DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT PADA BALITA
DI KELURAHAN PEKAN ARBA KECAMATAN TEMBILAHAN KABUPATEN INHIL
OLEH
YANCE WARMAN
Diare merupakan penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang balita. Diare merupakan penyebab utama
kematian dan kesakitan pada anak di Negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi
kejadian diare ini, diantaranya faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare
akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL.
Penelitian ini menggunakan metode analitik cross sectional study. Populasi dari penelitian ini adalah ibu-ibu yang
memiliki balita yang bertempat tinggal di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL. Populasi
berjumlah 535, dengan sample berjumlah 230. Instrumen penelitian berupa kuesioner. Pengolahan dan analisis data
dengan mengunakan SPSS.
Hasil penelitian didapatkan bahwa kondisi lingkungan responden berada dalam kategori baik 41,7%, cukup 54,4%
dan buruk 3,9%. Keadaan sosial ekonomi berada dalam kategori keluarga prasejahtera 3,9%, keluarga sejahtera I
79,1%, keluarga sejahtera II 4,8%, keluarga sejahtera III 4,4% dan keluarga sejahtera III plus 7,8%. Tingkat
pengetahuan ibu berada dalam kategori tinggi 46,5%, sedang 53,5%. Angka kejadian diare pada anak balita 53%
dari jumlah sample. Korelasi antara faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare
akut pada anak balita menunjukkan korelasi yang signifikan dan hubungan yang positif, dimana pengetahuan ibu
memberikan kontribusi paling kuat dibandingkan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dalam mempengaruhi
kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL.
Kata kunci : Lingkungan, Sosial ekonomi, Pengetahuan ibu, Kejadian diare akut pada anak balita
-
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Anak merupakan aset masa depan yang akan melanjutkan pembangunan di suatu negara. Masa perkembangan
tercepat dalam kehidupan anak terjadi pada masa balita. Masa balita merupakan masa yang paling rentan terhadap
serangan penyakit. Terjadinya gangguan kesehatan pada masa tersebut, dapat berakibat negatif bagi pertumbuhan
anak itu seumur hidupnya (Soetjiningsih, 1995, Adzania, 2004). Penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang
balita adalah diare (Sutoto, Indriyono, 1996, Widjaja, 2003)
Angka kejadian diare pada anak di dunia mencapai 1 miliar kasus tiap tahun, dengan korban meninggal sekitar 5 juta
jiwa. Statistik di Amerika mencatat tiap tahun terdapat 20-35 juta kasus diare dan 16,5 juta diantaranya adalah balita
(Pickering et al, 2004).Angka kematian balita di negara berkembang akibat diare ini sekitar 3,2 juta setiap tahun
(Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999). Statistik
menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia, duapertiganya adalah balita dengan
korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Pickering et al, 2004). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau
pada tahun 2003 angka kejadian diare di Provinsi Riau sebanyak 84.634, tahun 2004 sebanyak 87.660 orang dan
pada tahun 2005 diare menempati urutan pertama dari sepuluh besar penyakit pada pasien rawat inap di RSUD
Arifin Achmad Provinsi Riau. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir mencatat bahwa angka kejadian diare
di Tembilahan pada tahun 2004 mencapai 904 kasus, pada tahun 2005 sebanyak 725 kasus. Data dari puskesmas
Tembilahan diketahui bahwa kejadian diare di Kelurahan Pekan Arba tahun 2004 sebanyak 85 kasus, dan tahun
2005 sebanyak 102 kasus.
Departemen kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa tingkat kematian bayi di Indonesia masih tergolong
tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota Assosiation South East Asia Nation (ASEAN). Penyebab
utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang adalah diare. Sampai saat ini diare tetap
sebagai child killer peringkat pertama di Indonesia (Andrianto, 1995, Warouw, 2002).
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kejadian
diare akut pada balita. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor lingkungan, keadaan sosial ekonomi dan
pengetahuan ibu. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang berasal dari luar dan dapat diperbaiki, sehingga
dengan memperbaiki faktor resiko tersebut diharapkan dapat menekan angka kesakitan dan kematian diare pada
balita (Irianto, 2000, Warouw, 2002, Asnilet al, 2003).
Berdasarkan latar belakang di atas maka saya tertarik mengetahui hubungan antara lingkungan, sosial ekonomi dan
pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
Kabupaten Indragiri Hilir.
1.2. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara
faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan INHIL?”
1.3. Hipotesis penelitian
Hipotesis yang diangkat dalam penelitian ini adalah :
a. Adanya hubungan antara keadaan lingkungan, yakni sumber air minum, jamban, perumahan, sampah dan
pengelolaan limbah, dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
b. Adanya hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan
c. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan
1.4. Tujuan penelitian
1.4.1 Tujuan Umum :
Mengetahui hubungan keadaan lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada
balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan.
1.4.2 Tujuan Khusus :
Tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain :
1. Mengetahui gambaran keadaan lingkungan masyarakat di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
2. Mengetahui gambaran keadaan sosial ekonomi masyarakat di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
3. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu sehubungan dengan kejadian Diare akut di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan
4. Mengetahui hubungan antara lingkungan dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan
5. Mengetahui hubungan antara sosial ekonomi masyarakat terhadap kejadian diare akut pada balita di Kelurahan
Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
6. Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan
7. Mengetahui kontribusi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita
di Kelurahan pekan Arba Kecamatan Tembilahan
1.5. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain :
a. Meningkatkan wawasan penulis tentang pengaruh lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap
kejadian diare akut pada balita, mampu mengenali permasalahan kesehatan di masyarakat serta dapat
mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapat dibangku kuliah ketengah masyarakat.
b. Diharapkan membantu pemerintah setempat dalam usaha penetapan kebijakan, pengembangan program
khususnya bidang kesehatan lingkungan, sosial ekonomi dan peningkatan pengetahuan ibu-ibu di bidang kesehatan
c. Menambah referensi perpustakaan di Fakultas Kedokteran Universitas Riau, memberi masukan, saran kepada
fakultas mengenai target-target dan kurikulum apa saja yang akan dikembangkan di fakultas untuk menghasilkan
lulusan dokter yang siap terjun di masyarakat
d. Menambah wawasan penulis khususnya tentang cara-cara pencegahan dan faktor yang dapat mempengaruhi
kejadian diare akut pada balita.
-
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
-
2.1. Diare Akut
2.1.1.Definisi Diare
Diare menurut definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat),
konsistensi tinja menjadi lebih lembek atau cair. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998)
2.1.2. Klasifikasi Diare
Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari diare akut, diare persisten dan diare kronis. (Asnil et al,
2003).
2.1.2.1 Diare Akut
Diare akut adalah diare yang terjadi sewaktu-waktu, berlangsung kurang dari 14 hari, dengan pengeluaran tinja lunak
atau cair yang dapat atau tanpa disertai lendir dan darah
2.1.2.2 Diare Persisten
Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan dari diare akut atau peralihan
antara diare akut dan kronik.
2.1.2.3 Diare kronis
Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab non-infeksi, seperti penyakit
sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari.
2.1.3. Etiologi
Diare akut disebabkan oleh banyak faktor antara lain infeksi, makanan, efek obat, imunodefisiensi dan keadaan-
keadaan tertentu. (Mansjoer et al, 2000, Asnil et al, 2003).
2.1.3.1 Infeksi
Infeksi terdiri dari infeksi enteral dan parenteral. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan dan infeksi
parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998,
Ngastiyah, 2004). Mikroorganisme yang menjadi penyebabnya antara lain Aeromonas, Compylobacter,
Clostridiumdifficile, Escherichiacoli, Enterotoxigenic, Enteropathogenic, Shigella, Salmonella, Vibrio cholera,
Enteroinvasive (Pickering et al, 2004).
2.1.3.2 Makanan
Diare dapat disebabkan oleh intoksikasi makanan, makanan pedas, makanan yang mengandung bakteri atau toksin.
Alergi terhadap makanan tertentu seperti susu sapi, terjadi malabsorbsi karbohidrat, disakarida, lemak, protein,
vitamin dan mineral.
2.1.3.3 Imunodefisiensi
Defisiensi imun terutama SigA (Secretory Immunoglobulin A) yang mengakibatkan berlipat gandanya bakteri, flora
usus, jamur, terutama Candida
2.1.3.4 Terapi obat
Obat-obat yang dapat menyebabkan diare diantaranya antibiotik, antasid
2.1.3.5 Keadaan tertentu
Keadaan lain yang menyebabkan seseorang diare seperti gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf.
2.1.4. Epidemiologi
Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada balita dari pada anak yang lebih besar. Kejadian diare akut pada anak
laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Penyakit ini ditularkan secara fecal-oral melalui makanan dan
minuman yang tercemar atau kontak langsung dengan tinja penderita (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999). Prevalensi diare yang tinggi di negara berkembang
merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kekurangan protein yang menyebabkan turunnya daya tahan
tubuh (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999).
Penurunan angka kejadian diare pada bayi di negara-negara maju, erat kaitannya dengan pemberian ASI, yang
sebagian disebabkan oleh kurangnya pencemaran minum anak dan sebagian lagi karena faktor pencegahan
imunologik dari ASI (Asnilet al, 2003). Perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan
meningkatkan resiko terjadinya diare antara lain, tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama
kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang
tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar (Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999).
2.1.5. Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut, yakni gangguan osmotik dan gangguan
sekretorik. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999 ).
2.1.5.1 Gangguan osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan
tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraseluler. Diare terjadi jika bahan yang secara osmotik aktif dan
sulit diserap. Bahan tersebut berupa larutan isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik, air dan bahan yang larut di
dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi yang diabsorbsi berupa larutan
hipertonik, air dan elektronik akan pindah dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari isi
usus sama dengan cairan ekstraseluler dan darah, sehingga terjadi pula diare.
2.1.5.2 Gangguan sekretorik
Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin, menyebabkan vili gagal mengabsorbsi natrium,
sedangkan sekresi klorida di sel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi
air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya
sehingga timbul diare.
2.1.6. Manifestasi klinis
Mula-mula anak balita menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada
kemudian timbul diare. Tinja cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah
kehijau-hijauan karena tercampur empedu, karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya lecet karena tinja makin
lama menjadi asam akibat banyaknya asam laktat, yang berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama
diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan atau sesudah diare. (Ngastiyah, 1997, Mansjoer et al, 2000, Asnil et
al, 2003). Anak-anak yang tidak mendapatkan perawatan yang baik selama diare akan jatuh pada keadaan-keadaan
seperti dehidrasi, gangguan keseimbangan asam-basa, hipoglikemia, gangguan gizi, gangguan sirkulasi. (Asnil et al,
2003)
2.1.6.1 Dehidrasi
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air lebih banyak daripada pemasukan air. Derajat dehidrasi dapat dibagi
berdasarkan gejala klinis dan kehilangan berat badan. Derajat dehidrasi menurut kehilangan berat badan,
diklasifikasikan menjadi empat, dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 2.1 derajat dehidrasi berdasarkan kehilangan berat badan
Derajat dehidrasi Penurunan berat badan (%)Tidak dehidrasi < 2 ½Dehidrasi ringan 2 ½ – 5Dehidrasi sedang 5-10Dehidrasi berat 10
( Buku ajar diare, 1999 )
Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinisnya dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.2 Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinis
Penilaian A B CKeadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel« Lesu, tidak sadar«Mata Normal Cekung Sangat cekungAir mata Ada Tidak ada Tidak adaMulut, lidah Basah Kering Sangat keringRasa haus Minum seperti
biasaHaus, ingin minum banyak«
Malas minum, tidak bisa minum
Periksa:Turgor kulit Kembali cepat Kembali lambat« Kembali sangat lambat
Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/ sedangBila ada 1 tanda ditambah 1/lebih tanda lain
Dehidrasi beratBila ada 1 tanda ditambah 1/lebih tanda lain
Terapi Rencana pengobatan A
Rencana pengobatan B
Rencana pengobatanC
( Buku ajar diare, 1999 )
2.1.6.2 Gangguan keseimbangan asam-basa
Gangguan keseimbangan asam basa yang biasa terjadi adalah metabolik asidosis. Metabolik asidosis ini terjadi
karena kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja, terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan,
produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal, pemindahan ion Na
dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.
2.1.6.3 Hipoglikemia
Pada anak-anak dengan gizi cukup/baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering terjadi pada anak yang
sebelumnya sudah menderita kekurangan kalori protein (KKP). Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa
darah menurun sampai 40 mg % pada bayi dan 50 mg % pada anak-anak. Gejala hipoglikemia tersebut dapat
berupa : lemas, apatis , tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai koma.
2.1.6.4 Gangguan gizi
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya penurunan berat badan dalam
waktu yang singkat. Hal ini disebabkan karena makanan sering dihentikan oleh orang tua. Walaupun susu
diteruskan, sering diberikan pengenceran. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan
baik karena adanya hiperperistaltik.
2.1.6.5 Gangguan sirkulasi
Gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau shock hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi
hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan dalam otak, kesadaran menurun dan bila tidak
segera ditolong penderita dapat meninggal
2.1.7. Penatalaksanaan
2.1.7.1 Prinsip penatalaksanaan diare akut
Menurut Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Prinsip
penatalaksanaan diare akut antara lain dengan rehidrasi, nutrisi, medikamentosa (Andrianto, 1995)
2.1.7.1.1 Rehidrasi
Diare cair membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit tanpa melihat etiologinya. Jumlah cairan yang diberi harus
sama dengan jumlah cairan yang telah hilang melalui diare dan atau muntah, ditambah dengan banyaknya cairan
yang hilang melalui keringat, urin, pernapasan dan ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan
muntah yang masih terus berlangsung. Jumlah ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat badan masing-
masing anak atau golongan umur.
2.1.7.1.2 Nutrisi
Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindarkan efek buruk pada status gizi. Agar
pemberian diet pada anak dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya, serta memperhatikan faktor yang
mempengaruhi keadaan gizi anak, maka diperlukan persyaratan diet sebagai berikut yakni, pasien segera diberikan
makanan oral setelah rehidrasi yakni 24 jam pertama, makanan cukup energi dan protein, makanan tidak
merangsang, makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna, makanan diberikan dalam porsi kecil
dengan frekuensi sering. Pemberian ASI diutamakan pada bayi, pemberian cairan dan elektolit sesuai kebutuhan,
pemberian vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup. Khusus untuk penderita diare karena malabsorbsi
diberikan makanan sesuai dengan penyebabnya, antara lain : Malabsorbsi lemak berikan trigliserida rantai
menengah, Intoleransi laktosa berikan makanan rendah atau bebas laktosa, Panmalabsorbsi berikan makanan
rendah laktosa, parenteral nutrisi dapat dimulai apabila ternyata dalam 5-7 hari masukan nutrisi tidak optimal
(Suandi, 1999)
2.1.7.1.3 Medikamentosa
Antibiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin. Obat-obat anti diare meliputi antimotilitas seperti
loperamid, difenoksilat, kodein, opium, adsorben seperti Norit, kaolin, attapulgit. Anti muntah termasuk prometazin
dan klorpromazin
2.1.7.2 Rencana pengobatan
Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi menjadi tiga, yakni rencana pengobatan A, B
dan C.
2.1.7.2.1 Rencana pengobatan A
Digunakan untuk mengatasi diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi diare di rumah, memberikan terapi awal bila
anak terkena diare lagi. Cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti oralit, makanan cair (sup, air tajin), air matang.
Gunakan larutan oralit untuk anak seperti dijelaskan dalam tabel berikut :
Tabel 2.3 Kebutuhan oralit per kelompok umur
Umur Jumlah oralit yang diberikan tiap BAB
Jumlah oralit yang disediakan di rumah
< 12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari ( 2 bungkus)1-4 tahun 100-200 ml 600-800 ml/hari ( 3-4 bungkus)> 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus)
( Buku ajar diare, 1999 )
2.1.7.2.2 Rencana pengobatan B
Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan sedang, dengan cara ; dalam 3 jam pertama,
berikan 75 ml/KgBB. Berat badan anak tidak diketahui, berikan oralit paling sedikit sesuai tabel berikut:
Tabel 2.4 Jumlah oralit yang diberikan pada 3 jam pertama
Umur < 1 tahun 1-5 tahun > 5 tahunJumlah oralit 300 ml 600 ml 1200 ml( Buku ajar diare, 1999 )
Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu untuk meneruskan ASI. Bayi kurang dari 6
bulan yang tidak mendapatkan ASI, berikan juga 100-200 ml air masak. Setelah 3-4 jam, nilai kembali anak
menggunakan bagan penilaian, kemudian pilih rencana A, B atau C untuk melanjutkan pengobatan
2.1.7.2.3 Rencana pengobatan C
Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi berat. Pertama-tama berikan cairan intravena, nilai
setelah 3 jam. Jika keadaan anak sudah cukup baik maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang anak
dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai.
2.1.8. Pencegahan Diare
Tindakan dalam pencegahan diare ini antara lain dengan perbaikan keadaan lingkungan, seperti penyediaan sumber
air minum yang bersih, penggunaan jamban, pembuangan sampah pada tempatnya, sanitasi perumahan dan
penyediaan tempat pembuangan air limbah yang layak. Perbaikan perilaku ibu terhadap balita seperti pemberian ASI
sampai anak berumur 2 tahun, perbaikan cara menyapih, kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah
beraktivitas, membuang tinja anak pada tempat yang tepat, memberikan imunisasi morbili (Andrianto, 1995).
Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga
perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat ( Notoadmodjo, 2003)
2.2. Lingkungan
Sejak pertengahan abad ke-15 para ahli kedokteran telah menyebutkan bahwa tingkat kesehatan masyarakat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat beroperasinya
faktor agen, hostdan lingkungan. Menurut model roda timbulnya penyakit sangat tergantung dari lingkungan
(Mukono, 1995). Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat penting terhadap timbulnya berbagai penyakit
tertentu, sehingga untuk memberantas penyakit menular diperlukan upaya perbaikan lingkungan (Trisnanta, 1995).
Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah
terserang penyakit (Slamet, 1994). Penyakit-penyakit tersebut seperti diare, kholera, campak, demam berdarah
dengue, difteri, pertusis, malaria, influenza, hepatitis, tifus dan lain-lain yang dapat ditelusuri determinan-determinan
lingkungannya (Noerolandra, 1999).
Masalah kesehatan lingkungan utama di negara-negara yang sedang berkembang adalah penyediaan air minum,
tempat pembuangan kotoran, pembuangan sampah, perumahan dan pembuangan air limbah (Notoatmodjo, 2003).
2.2.1 Sumber air
Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik yakni, air tidak berwarna, tidak
berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara sehingga terasa nyaman. Syarat kimia
yakni, air tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan misalnya CO 2, H2S, NH4. Syarat
bakteriologis yakni, air tidak mengandung bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan, kurang dari 4 setiap
100 cc air.
Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air minum. Sumber-sumber air ini antara lain : air hujan, mata air,
air sumur dangkal, air sumur dalam, air sungai & danau.
2.2.2 Pembuangan kotoran manusia
Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam
tubuh seperti tinja, air seni dan CO2. Masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah pokok karena
kotoran manusia adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Beberapa penyakit yang dapat
disebarkan oleh tinja manusia antara lain : tipus, diare, disentri, kolera, bermacam-macam cacing seperti cacing
gelang, kremi, tambang, pita,schistosomiasis. Syarat pembuangan kotoran antara lain, tidak mengotori tanah
permukaan, tidak mengotori air permukaan, tidak mengotori air tanah, kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat
dipergunakan oleh lalat untuk bertelur atau berkembang biak, kakus harus terlindung atau tertutup, pembuatannya
mudah dan murah (Notoatmodjo, 2003).
Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari : rumah kakus, lantai kakus, sebaiknya semen,
slab, closet tempat feses masuk, pit sumur penampungan feses atau cubluk, bidang resapan, bangunan jamban
ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, disediakan alat pembersih
seperti air atau kertas pembersih. (Notoatmodjo, 2003)
Jenis kakus antara lain (Notoatmodjo, 2003) :
2.2.2.1 Pit privy (cubluk)
Lubang dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 m. Dinding diperkuat dengan batu-bata, hanya dapat dibuat di
tanah atau dengan air tanah dalam.
2.2.2.2 Angsatrine
Closetnya berbentuk leher angsa sehingga selalu terisi air. Fungsinya sebagai sumbat sehingga bau busuk tidak
keluar.
2.2.2.3 Bored hole latrine
Seperti cubluk, hanya ukurannya kecil, karena untuk sementara. Jika penuh dapat meluap sehingga mengotori air
permukaan
2.2.2.4 Overhung latrine
Rumah kakusnya dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan lain-lain. Feses dapat mengotori air permukaan
2.2.2.5 Jamban cempung, kakus ( Pit Latrine )
Jamban cemplung kurang sempurna karena tanpa rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga serangga mudah
masuk dan berbau, dan jika musim hujan tiba maka jamban akan penuh oleh air. Dalamnya kakus 1,5-3 meter, jarak
dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.
2.2.2.6 Jamban empang (fishpond latrine)
Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem ini terjadi daur ulang, yakni tinja dapat dimakan ikan, ikan
dimakan orang dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja yang dimakan, demikian seterusnya.
2.2.3 Pembuangan sampah
Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil
proses industri. Jenis- jenis sampah antara lain, yakni sampah an-organik, adalah sampah yang umumnya tidak
dapat membusuk, misalnya: logam/besi, pecahan gelas, plastik. Sampah organik, adalah sampah yang pada
umumnya dapat membusuk, misalnya : sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan. Cara pengolahan sampah antara
lain sebagai berikut: (Notoatmodjo, 2003).
2.2.3.1 Pengumpulan dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak mudah
rusak, harus tertutup rapat, ditempatkan di luar rumah. Pengangkutan dilakukan oleh dinas pengelola sampah ke
tempat pembuangan akhir (TPA)
2.2.3.2 Pemusnahan dan pengelolaan sampah
Dilakukan dengan berbagai cara yakni, ditanam (Landfill), dibakar (Inceneration), dijadikan pupuk (Composting)
2.2.4 Perumahan
Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan higienedan sanitasi lingkungan. Adapun
syarat-syarat rumah yang sehat ditinjau dari ventilasi, cahaya, luas bangunan rumah, Fasilitas-fasilitas di dalam
rumah sehat sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2003).
2.2.4.1 Ventilasi
Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar dan untuk
membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen.. Luas ventilasi kurang lebih 15-20 %
dari luas lantai rumah
2.2.4.2 Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah,
terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik siang maupun malam 100-200 lux.
2.2.4.3 Luas bangunan rumah
Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk tiap orang. Jika luas bangunan
tidak sebanding dengan jumlah penghuni maka menyebabkan kurangnya konsumsi O2, sehingga jika salah satu
penghuni menderita penyakit infeksi maka akan mempermudah penularan kepada anggota keluarga lain.
2.2.4.4 Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat
Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih yang cukup, pembuangan tinja,
pembuangan sampah, pembuangan air limbah, fasilitas dapur, ruang berkumpul keluarga, gudang, kandang ternak
2.2.5 Air limbah
Air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri dan pada umumnya mengandung
bahan atau zat yang membahayakan. Sesuai dengan zat yang terkandung di dalam air limbah, maka limbah yang
tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup antara lain
limbah sebagai media penyebaran berbagai penyakit terutama kolera, diare, typus, media berkembangbiaknya
mikroorganisme patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak serta
pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya,
mengurangi produktivitas manusia, karena bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo, 2003).
Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut diperlukan kondisi, persyaratan dan upaya sehingga
air limbah tersebut tidak mengkontaminasi sumber air minum, tidak mencemari permukaan tanah, tidak mencemari
air mandi, air sungai, tidak dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit
dan vektor, tidak terbuka kena udara luar sehingga baunya tidak mengganggu (Notoatmodjo, 2003).
2.3. Sosial ekonomi masyarakat
Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan
standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-mata
kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan
(Suburratno, 2004)
Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan pada anak. Hal ini karena kemiskinan mengurangi
kapasitas orangtua untuk mendukung perawatan kesehatan yang memadai pada anak, cenderung memiliki higiene
yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan. Sehingga anak yang miskin memiliki angka kematian dan kesakitan
yang lebih tinggi untuk hampir semua penyakit. Frekuensi relatif anak dari orang tua yang berpenghasilan rendah 2
kali lebih besar menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR), 3 kali lebih tinggi resiko imunisasi terlambat dan 4
kali lebih tinggi menyebabkan kematian anak karena penyakit dibanding anak yang orangtuanya berpenghasilan
cukup. (Behrman, 1999)
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah harus memiliki informasi atau peta kemiskinan agar dapat
membuat kebijakan-kebijakan yang tepat dalam pengentasan kemiskinan ini, menentukan target penduduk miskin
sehingga dapat memperbaiki posisi mereka, dan dapat mengevaluasi program-program yang berkenaan dengan
penanggulangan kemiskinan. Ada banyak ukuran yang dapat digunakan dalam mengukur kemiskinan. Di Indonesia
saat ini digunakan dua ukuran kemiskinan, yakni yang dihitung BPS (Badan Pusat Statistik) dan BKKBN (Badan
Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional). Informasi kemiskinan yang dihitung BPS merupakan informasi makro
sedangkan informasi dari BKKBN bersifat mikro dan sangat cocok untuk operasional lapangan. (Badan Penelitian
dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004)
Pengukuran kemiskinan yang dihitung oleh BPS dilakukan dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan
minimum, baik untuk makanan maupun minuman, yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup layak. Garis
kemiskinan sesungguhnya merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar
kebutuhan makanan setara 2100 kalori per orang per hari. Individu dengan pengeluaran lebih rendah dari garis
kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004).
Pendataan yang dilakukan oleh BKKBN tiap tahun dengan menggunakan kuesioner, diperoleh gambaran status
kesejahteraan keluarga. Keluarga di Indonesia dikategorikan dalam lima tahap, yakni keluarga pra sejahtera,
keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra
sejahtera adalah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan.
Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang walaupun kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun kebutuhan sosial
psikologis belum terpenuhi. Keluarga sejahtera II adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar,
sosial-psikologisnya, tapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan. Keluarga sejahtera III adalah keluarga
yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan tapi belum dapat memberi
sumbangan secara teratur pada masyarakat sekitarnya. Keluarga sejahtera tahap III plus adalah keluarga yang telah
dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan, serta telah dapat memberikan sumbangan
yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi
Riau, 2004).
2.4. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkat seperti dalam tabel berikut :
Tabel 2.5 Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif
Domain DefinisiTahu Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnyaMemahami kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui
dan dapat menginterpretasikan secara benar.Aplikasi kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi riil.Analisis kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut.
Sintesis kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
Evaluasi kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek
( Notoatmodjo, 2003)
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin
diukur dari subjek penelitian (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat
menentukan kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang
kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat (Slamet, 1994)
-
-
BAB III
METODE PENELITIAN
-
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, dengan pendekatan cross sectional study yaitu penelitian
yang dilakukan dengan sekali pengamatan pada suatu saat tertentu terhadap objek yang berubah.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir. Hal ini
didasari oleh data yang dikumpulkan dari puskesmas setempat bahwa daerah tersebut memiliki prevalensi kejadian
diare yang cukup tinggi, dan berdasarkan data dari kelurahan dan pengamatan dari peneliti sendiri diketahui bahwa
daerah tersebut memiliki keadaan georafis, sosial ekonomi yang spesifik.
3.3. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober – November 2006
3.4. Variabel penelitian
Variabel terikat atau dependen dalam penelitian ini adalah kejadian diare akut pada anak balita. Variabel bebas
atau independen yakni lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu.
3.5. Definisi operasional
Definisi operasional pada penelitian ini mencakup lima variabel yakni, diare akut pada anak balita, lingkungan, sosial
ekonomi dan pengetahuan ibu.
3.5.1 Diare akut pada anak balita adalah kejadian diare yang terjadi secara mendadak, berlangsung kurang dari 14
hari, pada anak balita yang berdomisili di Kelurahan Pekan Arba, diketahui dengan cara wawancara langsung
dengan ibu balita.
3.5.2 Lingkungan adalah keadaan lingkungan responden yang dinilai dari keadaan perumahan, sumber air minum,
jamban, pengelolaan sampah dan limbah, yang dinilai dengan menggunakan kuesioner yang dikonfirmasi dengan
pengamatan penulis sendiri, dengan skala ukur interval. Terdiri dari keadaan lingkungan baik, cukup dan buruk.
3.5.3 Sosial ekonomi adalah tingkat kesejahteraan responden yang dinilai dengan menggunakan kuesioner resmi
yang dikeluarkan oleh BKKBN. Terdiri dari lima tingkatan, yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I,
keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III, dan keluarga sejahtera III plus.
3.5.4 Pengetahuan ibu adalah kumpulan informasi tentang diare yang dipahami oleh ibu-ibu yang memiliki anak
balita di Kelurahan Pekan Arba yang diperoleh dari pengalaman dan penginderaan terhadap objek tertentu yang
diukur dengan menggunakan kuesioner rancangan penulis dengan skala ukur interval. Terdiri dari tiga tingkat, yakni
pengetahuan ibu tinggi, sedang dan rendah.
3.6. Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak balita yang tinggal di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan dengan jumlah 535 orang. Jumlah sampel diambil secara proporsional dengan teknik
pengambilan sampel secara acak sederhana ( simple random sampling) dengan cara lottery technique, yakni dengan
mengundi anggota populasi. (Notoatmodjo, 2003). Cara menentukan ukuran sampel yang praktis adalah dengan
formula sebagai berikut : (Notoadmodjo, 2002)
n = N1 + N (d2)
Ket : N= besar populasi
n = besar sampel
d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan ( 95 % )
Sehingga diperoleh jumlah sampel 230 orang. Sampel diambil secara proporsional sesuai dengan persentase ibu
yang memiliki anak balita di tiap RWnya. Jumlah sampel dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3.1 Distribusi jumlah sampel per RW
Nama RW Jumlah populasi Persentase sampel (%) Jumlah sampelRW 1 146 27 62RW 2 225 42 97RW 3 97 18 41RW 4 67 13 30Total 535 100 230
(sumber : data kelurahan Pekan Arba, 2006)
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu balita yang berdomisili di Kelurahan Pekan Arba dan bersedia
diwawancarai. Sedangkan kriteria eksklusi adalah ibu balita yang memiliki balita lebih dari satu.
3.7. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner yang dirancang oleh penulis sendiri, dan kuesioner dari
BKKBN. Kuesioner yang dirancang oleh penulis telah diuji validitas dan reliabilitasnya pada responden yang memiliki
kriteria hampir sama dengan ibu-ibu yang memiliki balita di Kelurahan Pekan Arba Tembilahan.
3.8. Cara pengumpulan data
Data dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara dan kuesioner. Pertanyaan bersifat close-ended question, untuk
menilai status diare diberi alternatif pertanyaan pernah atau tidak. Penilaian keadaan lingkungan, dilakukan dengan
menggunakan kuesioner yang dikonfirmasi dengan pengamatan penulis sendiri. Jika keadaan lingkungan baik maka
diberi nilai 1, jika sebaliknya diberi nilai 0. Menilai keadaan sosial ekonomi, responden mengisi kolom yang telah
tersedia dengan tanda ceklis (√). Pengklasifikasian keadaan sosial ekonomi tergantung dari batas akhir pengisian
ceklis oleh responden. Penilaian terhadap pengetahuan Ibu, responden memilih alternatif jawaban berupa benar dan
salah. Responden yang mampu menjawab dengan tepat pada pertanyaan diberi nilai 1, jawaban yang tidak tepat
akan diberi nilai 0 untuk pertanyaan favorable, pertanyaan unfavorable bernilai sebaliknya.
Berikut ini merupakan blue print dari kuesioner penilaian tingkat pengetahuan ibu terhadap kejadian diare pada anak
balita.
Tabel 3.2 Blue print kuesioner pengetahuan ibu tentang kejadian diare
Variabel Nomor butir item Jumlah butir itemFavorable Unfavorable
Definisi Diare 1,3 2 3Etiologi diare 4,5,7 6 4
Penatalaksanaan diare 10,12,13 8,9,11 6Pencegahan diare 14,15 2
3.9. Pengolahan dan Analisis data
3.9.1 Pengolahan data
Pengolahan data hasil penelitian dilakukan secara manual, dengan tahapan sebagai berikut :
3.9.1.1 Data lingkungan dan pengetahuan ibu
Data lingkungan diperoleh melalui pengisian kuesioner yang dikonfirmasi dengan pengamatan penulis sendiri. Data
pengetahuan ibu diperoleh melalui pengisian kuesioner rancangan penulis. Setelah data terkumpul, dilakukan
pengecekan kembali data-data yang sudah diperoleh untuk selanjutnya diklarifikasi, ditabulasi dan dinilai, dengan
menggunakan rumus :
Nilai = Jumlah jawaban benar X 100
Skor total
selanjutnya dimasukkan ke dalam skala pengukuran dengan rentang nilai. Rentang nilai dibagi atas tiga dengan
skala ukur interval, untuk lingkungan terdiri dari :Baik ( 68-100), Cukup ( 34-67 ), buruk (0-33), sedangkan untuk
pengetahuan ibu terbagi atas, tinggi (680-100), sedang (34-67) dan rendah (0-33).
3.9.1.2 Data sosial ekonomi keluarga
Data sosial ekonomi keluarga diperoleh melalui pengisian kuesioner yang sudah baku dari dinas BKKBN kota
Tembilahan. Setelah kuesioner terkumpul, dilakukan tahapan sebagai berikut, yakni mengecek kembali data-data
yang sudah diperoleh untuk selanjutnya diklarifikasi. Berdasarkan data tersebut maka dapat diklasifikasikan sosial
ekonomi keluarga menjadi lima tingkatan yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap 1, keluarga
sejahtera tahap 2, keluarga sejahtera tahap 3, keluarga sejahtera tahap 3 plus.
3.9.2 Analisis data
Variabel bebas dan terikat dalam penelitian ini akan dikorelasikan dengan rumus korelasi Pearson (Pearson product
moment Correlation) sebagai berikut : (Sugiono, 2005) :rxy = åxy
Ö (åxy)
dimana :
rxy = Korelasi antara variabel terikat dengan variabel bebas
x = ( Xi – X )
y = ( Yi – Y )
Analisis data ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS pada komputer. Kesimpulan pada uji analisis
assosiatif dengan menghitung nilai p. Bila nilai p > 0,05 maka Ht ditolak, artinya tidak ada hubungan antara variabel
bebas dan variabel terikat yang diteliti. Sebaliknya jika p< 0,05 maka Ht diterima, artinya terdapat hubungan antara
variabel bebas dan terikat yang diteliti.
Untuk mengetahui kuatnya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikatnya maka digunakan persamaan
regresi, korelasi ganda tiga prediktor. Korelasi ganda tiga prediktor digunakan untuk mengetahui kontribusi tiga
variabel bebas terhadap variabel terikatnya.
Korelasi ganda tiga prediktor dalam penelitian ini akan dianalisis kontribusi variabel lingkungan, sosial ekonomi,
pengetahuan ibu terhadap kejadian diare. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan SPSS yakni uji regresi linear
(Dahlan, 2004, Trihendradi, 2004).
Persamaan regresi untuk tiga prediktor adalah (Sugiono, 2005) :
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3
Dimana :
Y = Kejadian diare akut pada anak balita
X1 = Lingkungan
X2 = Pengetahuan ibu
X3 = Sosial ekonomi
Rumus korelasi ganda tiga prediktor (Sugiono, 2005) :Ry (1,2,3) = b1åX1Y + b2åX2Y + b3åX3Y
åY2
Uji signifikansi koefisien korelasi ganda (Sugiono, 2005) :F = R2 (N- m – 1)
m ( 1-R2)
dimana :
R = Koefisien korelasi ganda
N = Jumlah anggota sampel
M = Jumlah variabel independen
Kesimpulan uji analisis korelatif menyatakan kemaknaan dan besarnya kekuatan korelasi, sesuai dengan tabel
berikut:
Tabel 3.3 Interpretasi hasil uji hipotesis korelatif
Parameter Nilai Interpretasi
Kekuatan korelasi (r)
0,00-0,1990,20-0,3990,40-0,5990,60-0,7990,80-1,000
Sangat lemahLemah
Cukup kuatKuat
Sangat kuat
Nilai pP<0,05p>0,05
Korelasi bermaknaKorelasi tidak bermakna
( Seri statistik untuk kedokteran dan kesehatan, 2001)
-
-
BAB IV
HASIL PENELITIAN
-
4.1 Gambaran umum daerah penelitian
Kelurahan Pekan Arba yang merupakan satu diantara enam kelurahan yang berada di Kecamatan Tembilahan.
Penduduk di wilayah kelurahan ini berjumlah 5712 jiwa, laki-laki 2763 dan perempuan 2949. Jumlah kepala keluarga
1190 dan balita sebanyak 535 orang. Mata pencaharian utama masyarakat adalah wiraswasta, petani dan pegawai
negeri sipil. Kualitas angkatan kerja menurut pendidikan yang ditamatkan masih didominasi oleh tamatan SD.
Kelurahan ini hanya terdapat satu puskesmas pembantu (pustu) dan enam posyandu sebagai prasarana kesehatan.
Kader-kader posyandu adalah ibu-ibu rumah tangga, yang bersedia mengabdikan diri dalam kegiatan tersebut, dipilih
oleh masyarakat setempat karena keaktifannya. Pelatihan kader ini dilakukan oleh Pustu secara berkala. Jumlah
kader tiap posyandu sebanyak dua orang. Sebagian kawasan di kelurahan ini berada di pusat kota dan sebagian lagi
jauh dari pusat kota, dengan kondisi alam yang berawa-rawa, banyak lahan kosong berupa semak-semak dan
pepohonan.
4.2. Karakteristik responden
Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan dengan menggunakan kuesioner diperoleh gambaran karakteristik
sampel di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir. Responden berjumlah 230 orang.
Responden adalah ibu-ibu yang memiliki anak balita berusia 1-5 tahun memiliki kisaran umur 18 tahun terendah dan
49 tahun tertinggi.
Adapun distribusi tingkat pendidikan ibu-ibu yang memiliki balita di Kelurahan Pekan Arba menurut pendidikan yang
ditamatkan, seperti tergambar pada gambar berikut :
Gambar 4.1
Distribusi tingkat pendidikan responden
(data primer diolah, 2006)
Berdasarkan gambar 4.1 diatas dapat terlihat bahwa tingkat pendidikan responden didominasi oleh tamatan SD yakni
sebesar 53%.
Ditinjau dari jenis pekerjaan responden, dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4.2 Distribusi jenis pekerjaan Responden
(data primer diolah, 2006)
Berdasarkan gambar 4.2 diatas dapat terlihat bahwa jenis pekerjaan responden sebesar 90 % didominasi oleh ibu
rumah tangga.
Ditinjau dari jenis pekerjaan suami responden, dapat dilihat pada gambar berikut:
Berdasarkan gambar 4.3 diatas dapat diketahui bahwa pekerjaan suami responden didominasi oleh wiraswasta yakni
sebesar 57 %.
Tabel 4.1 Distribusi balita menurut umur
No Umur (tahun) frekuensi Persentase (%)
1 1-2 125 54
2 2-3 44 19
3 3-4 40 17
4 4-5 21 10
Total 230 100
Berdasarkan tabel 4.1 diatas, distribusi umur balita yang paling banyak menderita diare akut di Kelurahan Pekan
Arba Kecamatan Tembilahan adalah umur 1-2 tahun dengan persentase sebesar 54 %.
4.3. Gambaran keadaan lingkungan responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kota
Kabupaten Indragiri Hilir
Berdasarkan hasil pengisian kuesioner dan dikonfirmasi dengan pengamatan penulis sendiri dapat dilihat keadaan
lingkungan responden pada tabel 4.1 sebagai berikut :
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi keadaan lingkungan responden
No Penilaian Range Frekuensi Persentase (%)
12
3
Baik
Cukup
Buruk
68-100
34-67
0-33
96
125
9
41,7
54,4
3,9
Total 230 100
(Sumber : Data primer diolah, 2006 )
Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa keadaan lingkungan responden di Kelurahan Pekan Arba
terbanyak adalah lingkungan yang cukup yakni sebesar 54,4%. Distribusi frekuensi keadaan lingkungan untuk setiap
item pertanyaan akan diperlihatkan pada tabel 4.3 sebagai berikut :
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi keadaan lingkungan responden berdasarkan item pertanyaan dan pengamatan
peneliti
No perta-
nyaan
Jumlah responden yang
menjawab dengan tepat
Persen-
tase
(%)
Jumlah responden yang
menjawab tidak tepat
Persen-
tase
(%)
Total
persen
tase
(%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
230
230
107
63
161
59
172
204
179
230
206
12
11
100
100
46,5
27,4
70
25,6
74,8
88,7
77,8
100
89,6
5,2
4,8
0
0
123
167
69
171
58
26
51
0
24
218
219
0
0
53,5
72,6
30
74,4
25,2
11,3
22,2
0
10,4
94,8
95,2
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
(Sumber : Data primer diolah, 2006 )
Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa pertanyaan 1,2 dan 10 semua di jawab dengan tepat oleh
responden dengan persentase masing-masing sebesar 100 %. Pertanyaan no 4, 6, 12, 13, berdasarkan pengamatan
peneliti adalah pertanyaan yang paling banyak mendapat jawaban yang tidak tepat, yang menggambarkan keadaan
lingkungannya.
4.4. Gambaran keadaan sosial ekonomi responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
Kabupaten Indragiri Hilir
Berdasarkan hasil pengisian kuesioner diperoleh data yang tercantum pada tabel berikut ini :
Tabel 4.4. Distribusi frekuensi keadaan sosial ekonomi responden
No Penilaian Frekuensi Persentase (%)
1
2
3
4
5
Keluarga PresejahteraKeluarga
Sejahtera I
Keluarga Sejahtera II
Keluarga Sejahtera III
Keluarga Sejahtera III +
9
182
11
10
18
3,9
79,1
4,8
4,4
7,8
Total 230 100
(Sumber : Data primer diolah, 2006 )
Berdasarkan tabel 4.4 diatas diketahui bahwa keadaan sosial ekonomi responden sebagian besar berada pada
tingkat keluarga sejahtera tahap I yakni sebesar 79,1 %.
4.5 Gambaran pengetahuan ibu tentang kejadian diare pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan
Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir
Berdasarkan hasil pengisian kuesioner diperoleh data yang tercantum pada tabel berikut ini :
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu tentang kejadian diare
No Penilaian Range Frekuensi Persentase (%)
1
2
3
Tinggi
Sedang
Rendah
68-100
34-67
0-33
107
123
0
46,5
53,5
0
Total 230 100
(Sumber : Data primer diolah, 2006 )
Berdasarkan tabel 4.5 diatas, dapat dilihat bahwa responden terbanyak memiliki tingkat pengetahuan sedang yakni
sebesar 53,5%. Distribusi frekuensi pengetahuan ibu untuk setiap item pertanyaan akan diperlihatkan pada tabel 4.6
berikut :
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi pengetahuan responden berdasarkan item pertanyaan
No perta-
nyaan
Jumlah
responden yang
menjawab
dengan tepat
Persentase (%) Jumlah responden
yang menjawab
tidak tepat
Persentase (%) Total
Persentase (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
188
171
210
106
105
91
91
155
152
215
145
164
207
173
105
81,7
74,3
91,3
46,1
45,7
39,6
39,6
67,4
66
93,5
63
71,3
90
75,2
45,6
42
59
20
124
125
139
139
75
78
15
85
66
23
57
125
18,3
25,7
8,7
53,9
54,3
60,4
60,4
32,5
34
6,5
37
28,7
10
24,8
54,4
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
(Sumber : Data primer diolah, 2006 )
Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa pertanyaan yang paling banyak mendapat jawaban yang benar
yakni no 1,2,3,8,9,10,11, 12, 13, 14.
4.6. Gambaran kejadian Diare akut pada balita di Kelurahan pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten
Indragiri Hilir
Berdasarkan hasil pengisian kuesioner diperoleh data seperti tergambar pada diagram berikut :
Gambar 4.4 Distribusi kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan (Data
primer diolah, 2006 )
Berdasarkan gambar 4.4 diatas dapat terlihat bahwa kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba
sebesar 53 % dari jumlah sampel.
4.7 Hubungan keadaan lingkungan responden dengan kejadian diare akut pada anak balita di kelurahan
pekan Arba kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keadaan lingkungan dengan kejadian
diare akut pada anak balita. Gambaran kejadian diare akut pada anak balita menurut keadaan lingkungannya dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.7 Gambaran kejadian diare akut pada balita menurut kondisi lingkungannya
No Keadaan lingkungan frekuensi Kejadian diare Persentase (%)
1
2
3
Baik
Cukup
Buruk
96
125
9
47
66
9
49
52
100
Jumlah 230 122
(sumber ata primer diolah, 2006)
Berdasarkan tabel 4.7 diatas diketahui bahwa persentase kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan
Arba sebesar 100 % pada keadaan lingkungan yang buruk, 52 % pada keadaan lingkungan yang cukup dan 49 %
pada keadaan lingkungan yang baik.
Untuk mengetahui hubungan tersebut, telah dilakukan pula uji statistik yang disajikan pada tabel 4.8 sebagai berikut :
Tabel 4.8 Hubungan keadaan lingkungan terhadap kejadian diare akut
pada anak balita
Variabel r p r2 Kemaknaan hubungan
Lingkungan
Kejadian diare0,23 0,000 5,29 % Signifikan ( < 0,05 )
(Sumber : Data primer diolah, 2006 )
Berdasarkan tabel 4.8 dapat dilihat keadaan lingkungan dan kejadian diare akut anak balita yang berkorelasi secara
signifikan, probabalitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Nilai r2 menunjukkan kontribusi keadaan lingkungan terhadap
kejadian diare akut sebesar 5,29 % sedangkan 94,71 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor yang lain.
4.8 Hubungan keadaan sosial ekonomi responden dengan kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan
Pekan Arba Kecamatan Tembilahan kabupaten Indragiri Hilir
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keadaan sosial ekonomi dengan
kejadian diare akut pada anak balita. Gambaran kejadian diare akut pada anak balita menurut keadaan sosial
ekonomi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.9 Gambaran kejadian diare akut pada anak balita
Menurut sosial ekonomi responden
No Sosial ekonomi frekuensi Kejadian diare Persentase (%)
1
2
Prasejahtera
Keluarga sejahtera I
9
182
7
104
77
57
3
4
5
Keluarga sejahtera II
Keluarga sejahtera III
Keluarga sejahtera III plus
11
10
18
5
4
2
45
40
11
Jumlah 230 122
(sumber : Data primer diolah, 2006)
Berdasarkan tabel 4.9 diatas diketahui bahwa kejadian diare tertinggi pada anak balita terdapat pada keluarga
presejahtera yakni sebesar 77 %, dan terendah adalah keluarga sejahtera III plus yakni sebesar 11%.
Untuk mengetahui hubungan tersebut, telah dilakukan uji statistik yang disajikan pada tabel 4.10 sebagai berikut :
Tabel 4.10 Hubungan keadaan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita
Variabel r p r2 Kemaknaan hubungan
Sosial ekonomi
Kejadian diare0,235 0,000 5,5 % Signifikan ( < 0,05 )
(Sumber : Data primer diolah, 2006 )
Berdasarkan tabel 4.10 dapat dilihat keadaan lingkungan dan kejadian diare akut anak balita yang berkorelasi secara
signifikan, probabalitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Nilai r2 menunjukkan kontribusi sosial ekonomi terhadap
kejadian diare akut hanya sebesar 5,5 % sedangkan 94,5 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor yang lain.
4.9 Hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita di kelurahan pekan Arba
kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian
diare akut pada anak balita. Gambaran kejadian diare akut pada anak balita menurut tingkat pengetahuan ibunya
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.11 Gambaran kejadian diare akut pada anak balita
menurut tingkat pengetahuan ibu
No Tingkat pengetahuan frekuensi Kejadian diare Persentase (%)
1
2
Tinggi
Sedang
107
123
31
91
29
74
Jumlah 230 122
(Sumber : Data primer diolah, 2006 )
Berdasarkan tabel 4.11 di atas dapat dilihat bahwa kejadian diare paling banyak terjadi pada anak balita yang ibunya
memiliki pengetahuan sedang yakni sebesar 74 %, sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan tinggi angka kejadian
diare hanya sebesar 29 %.
Untuk mengetahui hubungan tersebut, telah dilakukan uji statistik yang disajikan pada tabel 4.12 sebagai berikut :
Tabel 4.12 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap kejadian diare akut pada anak balita
Variabel r p r2 Kemaknaan hubungan
Pengetahuan ibu
Kejadian diare0,433 0,000 18,75 % Signifikan ( < 0,05 )
(Sumber : Data primer diolah, 2006 )
Berdasarkan tabel 4.12 dapat dilihat keadaan lingkungan dan kejadian diare akut anak balita yang berkorelasi secara
signifikan, probabalitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Nilai r2 menunjukkan kontribusi keadaan lingkungan terhadap
kejadian diare akut hanya sebesar 18,75 % sedangkan 81,25 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor yang lain.
4.10 Kontribusi keadaan lingkungan, pengetahuan ibu dan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut anak
balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan kabupaten Indragiri Hilir
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi keadaan lingkungan, pengetahuan ibu dan
sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan.
Untuk mengetahui hubungan tersebut, telah dilakukan uji statistik menggunakan persamaan regresi dan korelasi tiga
prediktor.
Hasil uji ANOVA atau F tes, didapat F hitung 24,120 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai probabilitas 0,000 jauh
lebih kecil dari 0,05, maka kondisi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu berpengaruh terhadap kejadian
diare akut pada anak balita.
Persamaan regresi yang menggambarkan hubungan kondisi lingkungan, pengetahuan ibu dan sosial ekonomi
terhadap kejadian diare akut pada anak balita dapat dilihat dari persamaan berikut :
Y = 2,571 + 0,156 X1 + 0,062 X2 + 0,405 X3
Di mana :
Y = Kejadian diare akut pada anak balita
X1 = Kondisi lingkungan
X = Sosial ekonomi
X3 = Pengetahuan ibu
Persamaan regresi di atas menyatakan bahwa pengetahuan ibu memberikan kontribusi paling kuat dibandingkan
lingkungan dan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan
Tembilahan.
-
-
BAB V
PEMBAHASAN
-
5.1 Gambaran kondisi lingkungan responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten
Indragiri Hilir
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 230 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita yang berada di Kelurahan
Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir, didapatkan 54,4 % responden memiliki kondisi
lingkungan cukup baik, 41,7 % memiliki kondisi lingkungan yang baik dan 3,9 % masih memiliki kondisi lingkungan
yang buruk. Secara umum keadaan ini menggambarkan bahwa kondisi lingkungan di Kelurahan Pekan Arba masih
belum memenuhi standar sebagai lingkungan yang memenuhi persyaratan kesehatan.
Kesehatan lingkungan hidup di Indonesia masih merupakan masalah utama dalam usaha peningkatan derajat
kesehatan masyarakat. Masalah lingkungan hidup ini meliputi kurangnya penyediaan air bersih, kurangnya
pembuangan kotoran yang sehat, keadaan rumah yang tidak sehat, usaha higiene dan sanitasi makanan yang belum
menyeluruh, pembuangan sampah dan limbah di daerah pemukiman yang kurang baik. Kondisi ini dipicu oleh
multifaktor, diantaranya tingkat kemampuan ekonomi masyarakat, kurangnya pengetahuan tentang kondisi
lingkungan yang baik, kurangnya kesadaran dalam pemeliharaan lingkungan dan masih kurangnya kebijakan-
kebijakan dari pemerintah yang mendukung peningkatan kualitas kesehatan lingkungan ini. (Anies, 2005)
Hasil penelitian tentang kondisi lingkungan responden di Kelurahan Pekan Arba yang diperoleh dari pengisian
kuesioner dan pengamatan peneliti diketahui bahwa usaha penyediaan air minum sudah mulai meningkat dari waktu
ke waktu. Hal ini dapat dilihat dari sumber air minum responden sudah memenuhi persyaratan, ditunjang dengan
cara pengelolaan air minum yang benar. Hal ini dikarenakan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini di
Tembilahan sudah tersedia beberapa perusahaan sumber air mineral yang membantu memenuhi kebutuhan air
minum. Sumber air minum dahulu berasal dari air hujan, air sumur dan air sungai, yang tidak memenuhi persyaratan
sebagai sumber air minum.
Kondisi lingkungan responden yang tergolong sedang bahkan masih ada yang buruk terletak pada masalah
pengelolaan limbah, sampah, jamban dan perumahan. Lebih dari 90 % responden tidak memiliki pengelolaan limbah.
Limbah rumah tangga ini dibuang pada tempat terbuka dan biasanya langsung mencemari tanah. Hal ini tentu saja
dapat sebagai media penyebaran berbagai penyakit terutama kolera, diare, typus, media berkembangbiaknya
mikroorganisme patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak serta
pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya.
Responden tidak memiliki tempat pembuangan sampah sendiri berkisar 74,4 %. Tempat pembuangan sampah yang
paling lazim diantaranya semak dan sungai, yang merupakan lahan kosong potensial tapi belum dimanfaatkan di
kelurahan ini. Hal ini paling berefek negatif jika musim hujan tiba, sampah-sampah tadi akan berserakan dan
potensial sekali sebagai media pertumbuhan berbagai kuman penyakit. Begitu pula dengan jenis dan jarak jamban,
72 % responden tidak memiliki jarak jamban yang baik. 53,5 % tidak menggunakan septic tank. Masyarakat yang
tinggal dipinggir sungai rata-rata masih menggunakan Overhung latrine, yang mana kebutuhan air bersih seperti
untuk mandi, mencuci juga berasal dari air sungai yang sama. Sebagian responden juga ada yang buang air besar di
lahan terbuka seperti kebun, menggunakan kantong plastik, yang kemudian di buang di semak-semak. Hal ini tentu
sangat mengancam kondisi kesehatan, terutama bagi anak-anak. Sehingga diperlukan upaya-upaya untuk
meningkatkan kualitas keadaan lingkungan ini.
5.2 Gambaran sosial ekonomi responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten
Indragiri Hilir
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 230 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita yang berada di Kelurahan
Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir, didapatkan bahwa sebagian besar responden berada
pada tingkat keluarga sejahtera tahap I, yakni sebanyak 79,1 %, 7,8 % responden berada pada tingkat keluarga
sejahtera tahap III plus, 4,8 % keluarga sejahtera II, 4,4 % keluarga sejahtera tahap III dan 3,9 % keluarga
prasejahtera. Secara umum dapat dinilai bahwa sebagian besar masyarakat di Kelurahan Pekan Arba tersebut masih
tergolong miskin.
Hal ini sesuai dengan fakta dan data resmi dari pendataan keluarga yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Riau yang melakukan pendataan dari door to door yang direkap hingga pertengahan
tahun 2004, menyatakan bahwa 38,64% masyarakat Riau masih tergolong miskin. (Subburatno,2004). Menurut data
dari badan penelitian dan pengembangan Provinsi Riau, persentase rumah tangga yang paling miskin di Riau yakni
Kabupaten Indragiri Hilir, yakni sebesar 31,95%
Kondisi kemiskinan ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, rendahnya taraf pendidikan, rendahnya derajat
kesehatan, terbatasnya lapangan pekerjaan dan kondisi terisolasi. (Subburatno,2004). Dalam rencana strategis
kemiskinan disebutkan bahwa dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok, yakni kurangnya kesempatan,
rendahnya kemampuan, kurangnya jaminan dan ketidakberdayaan. (Badan penelitian dan pengembangan provinsi
Riau, 2004)
Hasil penelitian merangkum bahwa taraf pendidikan akhir masyarakat di Kelurahan Pekan Arba didominasi oleh
tamatan SD bahkan ada yang tidak pernah menempuh jalur pendidikan, sehingga dengan taraf pendidikan yang
rendah tersebut mengakibatkan kemampuan pengembangan diri mereka terbatas, rendahnya kemampuan dan
ketidakberdayaan sehingga menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Akibatnya pekerjaan yang
mendominasipun adalah pekerjaan kasar seperti tergambar dalam karakteristik pekerjaan, bahwa sebesar 90 % ibu-
ibu adalah ibu rumah tangga, sedangkan suami mereka sebesar 57 % bekerja wiraswasta seperti buruh, tukang
bangunan, tukang jahit, tukang becak.
5.3 Gambaran pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 230 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita yang berada di Kelurahan
Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir, didapatkan 53,5 % tingkat pengetahuan ibu sedang
dan 46,1 % dengan pengetahuan tinggi. Sedangkan untuk pengetahuan rendah tidak ada. Rata-rata ibu-ibu tersebut
telah pernah mendapatkan informasi dari posyandu melalui kegiatan penyuluhan oleh para kader tentang diare
tersebut.
Masih banyaknya pengetahuan ibu yang sedang terhadap kejadian diare pada anak balita ini disebabkan karena
responden hanya berada pada tingkat tahu dan belum sampai memahami, mengaplikasikan, menganalisa,
mensintesis dan mengevaluasi terhadap suatu materi yang berkaitan dengan kejadian diare ini (Notoatmodjo, 2003).
Selain itu tingkat pengetahuan ini juga dipengaruhi oleh multifaktor seperti tingkat pendidikan, peran penyuluh
kesehatan, akses informasi yang tersedia dan keinginan untuk mencari informasi dari berbagai media. Mayoritas
responden hanya tamatan SD. Sehingga dimaklumi kalau tingkat pengetahuan yang mereka peroleh masih minim.
Menurut Chadijah (1997) pendidikan orang tua, terutama ibu merupakan salah satu kunci perubahan sosial budaya.
Pendidikan yang relatif tinggi akan memiliki praktek yang lebih baik terhadap pemeliharaan kesehatan keluarga
terutama anak balita.
Lingkungan di Kelurahan Pekan Arba memiliki distribusi sosio geografis yang tidak merata, sehingga menyebabkan
ada suatu wilayah lebih terbelakang dibanding wilayah lainnya. Hal ini menyebabkan wilayah yang terkebelakang
tersebut memiliki akses yang sangat minim untuk memperoleh informasi di bidang kesehatan. Selain itu rendahnya
pengetahuan juga disebabkan minimnya pelayanan kesehatan yang tersedia. Kelurahan Pekan Arba hanya memiliki
satu puskesmas pembantu, yang terdiri dari bidan dan para perawat saja, ditunjang dengan enam buah posyandu
yang melayani ibu dan balita di wilayah ini. Sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan informasi
kesehatan bagi masyarakat di daerah ini oleh karena minimnya tenaga penyuluh dan keterampilan yang mereka
miliki.
Analisis hasil kuesioner pada tabel 4.6 diketahui bahwa ibu-ibu telah memiliki pengetahuan yang baik tentang definisi
diare, dampak dan penatalaksanaannya, hal ini tergambar dari jawaban per item pertanyaan. Sebagian besar ibu-ibu
dapat menjawab dengan benar pertanyaan no 1,2 mengenai definisi, no 3 mengenai dampak, no 8 sampai 14
mengenai penatalaksanaan. Sedangkan pengetahuan mengenai penyebab dan pencegahan diare masih banyak
yang menjawab tidak tepat. Hal ini tergambar dari banyaknya kesalahan ibu-ibu menjawab pertanyaan no 4 sampai 7
dan no 15, yang berisikan penyebab dan usaha pencegahan diare.
5.4 Gambaran kejadian Diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan
Kabupaten Indragiri Hilir
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 230 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita yang berada di Kelurahan
Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir diketahui bahwa 53 % dari anak balitanya pernah
menderita diare dalam tiga bulan terkhir ini dan 47 % diantaranya tidak menderita diare dalam tiga bulan terkhir ini.
Masih banyak kasus diare pada anak balita ini ditinjau dari distribusi umur anak balita pada penelitian, yakni sebesar
60 % anak balita masih berusia kurang dari 2 tahun. Umur anak 12-24 bulan beresiko 2-3 kali lebih besar untuk
terjadinya diare dibanding anak 25-59 bulan. Pada masa dua tahun pertama kehidupan balita mudah terinfeksi
bakteri misalnya pada proses pengenalan makanan yang terpapar bakteri tinja, kontak langsung dengan tinja
manusia atau binatang pada saat bayi merangkak. (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, 1999). Selain itu karena masih tingginya perilaku hidup yang tidak sehat, rendahnya
sanitasi lingkungan, kurangnya pengetahuan tentang pencegahan diare oleh ibu-ibu serta semakin terperosoknya
perekonomian rakyat, sehingga pemanfaatan pelayanan kesehatan dan usaha pencegahan terhadap penyakit
semakin berkurang. (Notoatmodjo, 2003).
Kejadian diare pada anak balita tersebut umumnya berlangsung kurang dari satu minggu dan tidak sampai menderita
dehidrasi. Hal ini karena ibu-ibu balita tersebut telah memiliki pengetahuan yang baik tentang penatalaksanaan diare
akut pada anak balitanya. Hal ini dapat diketahui dari hasil pengolahan data kuesioner, bahwa pertanyaan no 10, 11,
12 dan 13 tentang penatalaksanaan diare akut dapat dijawab dengan benar oleh sebagian besar ibu-ibu, dengan
persentase masing-masing 93,5 %, 63 %, 71,3 % dan 90 %.
5.5 Hubungan keadaan lingkungan terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir
Pada tabel 4.7 dapat diketahui bahwa pada keadaan lingkungan yang baik, angka kejadian diare akut pada anak
balita sebesar 49 %, pada keadaan lingkungan yang cukup, angka kejadian diare sebesar 52 %, sedangkan pada
keadaan lingkungan yang buruk, angka kejadian diare sebesar 100 %. Hal ini menggambarkan bahwa semakin
buruk kondisi suatu lingkungan, maka angka kejadian diare akut pada anak balita semakin tinggi dan semakin baik
keadaan suatu lingkungan maka angka kejadian diare akut pada anak balita semakin kecil. Artinya lingkungan
diasumsikan sebagai salah satu faktor resiko terhadap kejadian diare akut pada balita ini. Agar analisis ini lebih valid
maka perlukan uji statistik lebih lanjut.
Pada tabel 4.8 dapat dilihat bahwa dari uji statistik yang dilakukan dengan program SPSS diperoleh hasil bahwa
antara kondisi lingkungan dan kejadian diare pada anak balita terdapat korelasi yang signifikan dan sangat nyata,
terlihat dari nilai probabilitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 atau praktis 0. Artinya hipotesis penelitian diterima yakni
terdapat hubungan yang positif antara kondisi lingkungan responden dengan kejadian diare akut pada anak balita.
Angka korelasi antara faktor lingkungan dengan kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba ini
adalah 0,23. Hal ini menunjukkan lemahnya korelasi antara faktor lingkungan dengan kejadian diare akut. Artinya
tidak cukup hanya dengan perbaikan keadaan lingkungan saja untuk menghindari kejadian diare akut pada anak
balita ini, tapi juga diimbangi dengan perbaikan faktor resiko lainnya terutama perilaku ibu. Koefisien determinasi
sebesar 5,29 % menunjukkan bahwa kontribusi faktor lingkungan 5,29 %, sedangkan 94,71 % disebabkan oleh
faktor-faktor lain. Hal ini terjadi karena faktor lingkungan bukanlah satu-satunya faktor resiko dari kejadian diare akut
pada anak balita tersebut.
Keadaan sehat merupakan hasil interaksi antara manusia dan lingkungannya yang serasi dan dinamis. Lingkungan
yang tidak memenuhi standar kesehatan diketahui merupakan faktor resiko timbulnya gangguan kesehatan
masyarakat. Diare merupakan salah satu penyakit yang erat hubungannya dengan hygiene dan sanitasi lingkungan
seperti penggunaan air minum yang tidak bersih, tidak memadainya sarana pembuangan kotoran, limbah, sampah,
dan perumahan yang tidak memenuhi standar kesehatan. Kurangnya kebersihan lingkungan ini menyebabkan angka
kejadian diare semakin meningkat. Berarti semakin baik kondisi lingkungan seseorang maka semakin kecil
kemungkinan terjadinya diare akut pada anak balita. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Joko
(2000), Sonny (2002), Sunanti (2004), yang menyatakan bahwa lingkungan berhubungan erat dan merupakan faktor
resiko terhadap kejadian diare akut pada anak balita.
Dari analisis pengamatan selama penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden tidak memiliki jamban yang
baik, jarak jamban yang benar dengan sumber air bersih, pengelolaan sampah dan limbah yang baik. Lebih dari 50
% responden menggunakan jenis jamban yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti overhung latrine, pit latrine,
yakni jamban-jamban yang dibuat di atas sungai, kolam, kali, yang mana jika musim hujan tiba jamban akan penuh
oleh air, feses dapat mengotori air permukaan. Sementara untuk kebutuhan air bersih seperti memasak, mandi dan
mencuci masih menggunakan air yang sama. Hal ini tentu semakin memudahkan penularan diare secara fecal-
oral kepada anak balita. Karena melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya
terhadap penyakit kurang, terutama pada balita akan lebih mudah terserang penyakit (Slamet, 1994).
Pengelolaan sampah dan limbah juga masih harus diperhatikan, karena sebagian besar responden membuang
sampah pada lahan-lahan kosong seperti semak-semak. Pembuangan limbah rumah tangga pada tanah terbuka,
umumnya langsung di bawah rumah. Hal ini akan menjadi media yang sangat baik untuk perkembangbiakan kuman
penyakit. Untuk memutuskan rantai perkembangbiakan penyakit menular seperti diare ini diperlukan usaha keras dari
berbagai pihak terutama pemerintah kota Tembilahan, seperti upaya peningkatan pendapatan masyarakat sehingga
dengan bertambahnya pendapatan, mereka dengan sendirinya akan memperbaiki kondisi kehidupannya. Selain itu
diperlukan pengadaan sarana dan prasarana umum untuk meningkatkan kebersihan lingkungan seperti jamban
umum, tempat sampah, tempat pengelolaan limbah, dll
5.6 Hubungan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir
Dari tabel 4.9 dapat diketahui bahwa angka kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan pekan Arba pada
tingkat sosial ekonomi pra sejahtera sebesar 77 %, pada tingkat keluarga sejahtera I sebesar 57%, keluarga
sejahtera II sebesar 45%, keluarga sejahtera III sebesar 40% dan keluarga sejahtera III plus sebesar 11%. Hal ini
menggambarkan bahwa angka kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba juga dipengaruhi oleh
keadaan sosial ekonomi. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan suatu keluarga maka angka kejadian diare akut pada
balitanya juga semakin rendah. Sebaliknya semakin terpuruknya sosial ekonomi suatu keluarga maka angka
kejadian diare akut pada anak balita semakin rendah.
Dalam penelitian ini diketahui bahwa 83 % responden tergolong keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I,
artinya secara umum responden masih tergolong keluarga miskin. Sehingga usaha untuk pencegahan penyakit,
pemanfaatan pelayanan kesehatan tidak terpenuhi oleh karena keterbatasan uang. Hal ini menyebabkan masyarakat
rentan menderita penyakit menular seperti diare ini. Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan
pada anak. Hal ini karena kemiskinan mengurangi kapasitas orangtua untuk mendukung perawatan kesehatan yang
memadai pada anak, cenderung memiliki higiene yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan. Sehingga anak yang
miskin memiliki angka kematian dan kesakitan yang lebih tinggi untuk hampir semua penyakit. (Behrman, 1999).
Sistem imun anak yang berasal dari sosio ekonomi rendah akan lebih rendah dibanding anak yang berasal dari sosio
ekonomi tinggi. Sehingga lebih rentan terinfeksi kuman penyebab diare ini. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Joko (1996), Sonny (2002).
Secara statistik juga dapat diketahui pada tabel 4.10, bahwa antara keadaan sosial ekonomi dan kejadian diare pada
anak balita terdapat korelasi yang signifikan dan sangat nyata, terlihat dari nilai probabilitas 0,000 yang lebih kecil
dari 0,05 atau praktis 0. Artinya hipotesis penelitian diterima, terdapat hubungan yang positif antara keadaan sosial
ekonomi responden dengan kejadian diare akut pada anak balita. Berarti semakin tinggi status sosial ekonomi
seseorang maka semakin kecil kemungkinan terjadinya diare pada anak balita. Angka korelasi antara sosial ekonomi
dengan kejadian diare akut pada anak balita adalah 0,235. Hal ini menunjukkan lemahnya korelasi antara sosial
ekonomi dengan kejadian diare akut. Koefisien determinasi sebesar 5,5 % menunjukkan bahwa kontribusi faktor
lingkungan 5,5 %, sedangkan 94,5 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor lain. Hal ini terjadi karena sosial ekonomi
bukanlah satu-satunya faktor resiko dari kejadian diare pada anak balita tersebut. Untuk mengatasi kejadian diare
pada balita selain dilakukan upaya peningkatan sosial ekonomi keluarga, juga diperlukan perbaikan faktor resiko
diare akut lainnya.
5.7 Hubungan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba
Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir
Pada tabel 4.11 dapat dilihat bahwa angka kejadian diare pada tingkat pengetahuan ibu sedang sebesar 74%,
sedangkan pada tingkat pengetahuan tinggi hanya sebesar 29 %. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi
pengetahuan seorang ibu terhadap suatu penyakit maka akan semakin kecil resiko anak balitanya menderita
penyakit tersebut. Pada penelitian ini tidak ada ibu yang memiliki pengetahuan rendah, hal ini dikarenakan bahwa
telah sampai akses informasi kesehatan terhadap mereka misalnya lewat penyuluhan, media massa, dll walaupun
masih sangat minimal dan baru dalam tahap tahu, belum memahami apalagi menganalisis dan mengaplikasikannya.
Hasil uji statistik dapat dilihat pada tabel 4.12, bahwa antara pengetahuan ibu dan kejadian diare pada anak balita
terdapat korelasi yang signifikan dan sangat nyata, terlihat dari nilai probabilitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 atau
praktis 0. Artinya hipotesis penelitian diterima, terdapat hubungan yang positif antara pengetahuan ibu dengan
kejadian diare akut pada anak balita. Berarti semakin tinggi pengetahuan seorang ibu maka semakin kecil
kemungkinan terjadinya diare pada anak balitanya.
Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat. Masyarakat
dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan
keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat (Slamet, 1994). Pada balita yang belum dapat menjaga kebersihan dan
menyiapkan makanan sendiri, kualitas makanan dan minuman tergantung pada ibu sebagai pengasuh utama.
Perilaku ibu dalam menjaga kebersihan dan mengolah makanan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan ibu tentang
cara pengolahan dan penyiapan makanan yang sehat dan bersih (KR Margawai, 1996). Sehingga dengan
pengetahuan ibu yang baik diharapkan dapat mengurangi angka kejadian diare pada anak balitanya. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh joko (1996), yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu sebagai faktor utama
yang menyebabkan terjadinya diare pada anak balita. Jadi untuk memutuskan rantai penularan diare ini diperlukan
upaya-upaya peningkatan pengetahuan ibu secara lebih berkala oleh petugas kesehatan dan kader posyandu,
seperti langsung mempraktikan dengan alat peraga dan gambar
Angka korelasi antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita adalah 0,433. Hal ini
menunjukkan cukup kuatnya korelasi antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita. Artinya
jika pengetahuan ibu dapat ditingkatkan maka angka kejadian diare akut pada anak balita ini dapat segera
diturunkan. Koefisien determinasi sebesar 18,75 % menunjukkan bahwa kontribusi tingkat pengetahuan ibu 18,75 %,
sedangkan 81,25 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor lain. Hal ini terjadi karena pengetahuan ibu bukanlah satu-
satunya faktor resiko dari kejadian diare akut pada anak balita ini.
5.8 Kontribusi keadaan lingkungan, pengetahuan ibu dan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut anak
balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan INHIL
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat besarnya hubungan antara kejadian diare akut pada anak balita dengan
kondisi lingkungan yang dihitung dengan koefisien korelasi adalah 0,23, antara kejadian diare akut pada anak balita
dengan sosial ekonominya adalah 0,235 dan antara kejadian diare akut pada anak balita dengan pengetahuan ibu
adalah 0,433. Hal ini menandakan adanya korelasi antara variabel bebas dan terikatnya. Tingkat signifikansi
koefisien korelasi antara kejadian diare akut pada anak balita dengan kondisi lingkungan, soial ekonomi dan
pengetahuan ibu menghasilkan angk 0,000 atau praktis 0, maka korelasi di antara kejadian diare akut dengan
variabel-variabel bebasnya yakni kondisi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu bernilai sangat nyata.
Dari uji ANOVA atau F tes, didapat F hitung 24,120 dengan tingkat signifikasi 0,000. Karena probabilitas (0,000) jauh
lebih kecil dari 0,05, maka konisi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu berpengaruh positif terhadap
kejadian diare akut pada anak balita.
Persamaan regresi Y= 2,571 + 0,156 X1 + 0,062 X2 + 0,405 X3, memperlihatkan bahwa pengetahuan ibu memiliki
kontribusi yang paling kuat dibandingkan kondisi lingkungan dan sosil ekonomi. Koefisien regresi X 2 sebesar 0,405
menyatakan bahwa setiap penambahan 1 % pengetahuan ibu maka akan mengurangi kejadian diare pada anak
balita sebesar 0,405 %. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko terjadinya diare pada anak balita ini, maka
intervensi terhadap peningkatan pengetahuan ibu terhadap diare akut ini lebih ditingkatkan dibandingkan dengan
peningkatan faktor lingkungan dan sosial ekonomi.
Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat. Masyarakat
dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan
keadaan lingkungan sosialnyapun menjadi sehat (Slamet, 1994)
-
-
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
-
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Kondisi lingkungan responden di kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan kabupaten Indragiri Hilir berada
dalam kategori cukup yaitu sebanyak 54,4 %
2. Sosial ekonomi responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir berada
dalam kategori keluarga Sejahtera I yaitu sebanyak 79,1 %
3. Pengetahuan ibu yang memiliki anak balita terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan
Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir berada dalam kategori sedang 53,5%
4. Kejadian diare pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir
sebanyak 53 % dari total sampel
5. Adanya hubungan antara kondisi lingkungan terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan
Arba dimana lingkungan yang buruk lebih besar menimbulkan kejadian diare akut pada anak balita. Secara statistik
memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan tingkat korelasi lemah (0,23)
6. Adanya hubungan antara sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba
dimana keluarga prasejahtera lebih besar menimbulkan kejadian diare akut pada anak balita. Secara statistik
memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan tingkat korelasi lemah (0,235)
7. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan
Arba dimana tingkat pengetahuan ibu sedang lebih besar menimbulkan kejadian diare akut pada anak balita
dibanding pengetahuan ibu tinggi, dengan uji statistik diketahui adanya hubungan yang positif dan signifikan dengan
tingkat korelasi cukup kuat (0,433)
8. Adanya kontribusi kondisi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada
anak balita (tingkat signifikansi 0,000) di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir
9. Kontribusi pengetahuan ibu lebih kuat dibanding lingkungan dan sosial ekonomi dalam mempengaruhi kejadian
diare pada anak balita
-
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa saran dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Pentingnya usaha peningkatan pengetahuan ibu tentang kejadian diare akut pada anak balita. Usaha peningkatan
ini dapat dilakukan dengan penyuluhan oleh kader-kader posyandu setempat, terutama tentang pencegahan diare.
2. Kepada petugas kesehatan, yakni perawat, bidan yang bekerja di puskesmas pembantu Kelurahan Pekan Arba
agar dapat meningkatkan upaya-upaya pelatihan terhadap kader-kader posyandu secara rutin sebagai usaha
peningkatan keterampilan kader agar akses informasi tepat diterima oleh ibu-ibu.
3. Kepada pemerintah setempat agar dapat sesegera mungkin meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan
seperti pengadaan puskesmas baru, penyediaan sarana pembuangan limbah, memperbanyak tempat-tempat
sampah, mengaktifkan mobil pemungut sampah, menyediakan sarana Wc umum, terutama di daerah tepi sungai,
membuat kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
-
DAFTAR PUSTAKA
Adzania M. Merawat balita itu mudah. Bandung : Nexx media Inc, 2004. 34-36, 55
Andrianto P. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare akut, edisi 2. Jakarta : EGC, 1995. 1-2, 29-33
Anies. Mewaspadai penyakit lingkungan. Jakarta : Elex media komputindo, 2005.
Asnil P, Noerasid H, Suraatmadja S. Gastroenteritis akut. Dalam: Suharyono, Boediarso aswitha, Halimun EM
(editors). Gastroenterologi anak praktis. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2003. 51-68
Badan Penelitian dan pengembangan Provinsi Riau. Pendataan penduduk /keluarga miskin provinsi Riau.
Pekanbaru: badan penelitian dan pengembangan provinsi Riau, 2004. 20-24
Behrman RE. Anak dengan resiko tertentu. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin. (editors). Ilmu Kesehatan anak
Nelson Vol I, Edisi 15. Jakarta : EGC, 1999. 169-171
Bagian Ilmu kesehatan anak FK UI. Ilmu Kesehatan Anak, jilid 1. Jakarta : Infomedika Jakarta, 1998. 283-288
Dahlan S. Seri statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta : PT Arkans Entertainment and Education in
harmony, 2004. 2-59, 123-135
Departemen Kesehatan RI. Laporan perkembangan pencapaian tujuan pembangunan mileniun Indonesia,
2000.http;//w3.undp.or.id/pubs/imdg2004/BI/IndonesiaMDG BI Goal4.pdf (diakses 3 Des 2005)
Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Buku Ajar Diare.
Jakarta : Depkes RI, 1999. 3-11, 53-59, 71-80
Irianto J. Prediksi Keparahan Diare Menurut faktor-faktor yang berpengaruh pada anak balita di Indonesia. Center for
research and development of health ecology. 2000. http : // digilib.3w Litbang. Depkes. Go. Id/go.php?id=jkpkbppk-
gdl-res-2000-joko-1085-diare ( diakses 3 Des 2005)
Mansjoer A, Suorohaita, Wardhani W, Setiawula W. Kapita selekta kedokteran, edisi 3. Jakarta: Media aresculapius,
2000. 470-476
Mukono HJ. Prinsip dasar kesehatan lingkungan. Edisi 2. Surabaya : Airlangga university press, 2006.
Ngastiyah. Perawatan anak sakit. Jakarta : EGC, 1997. 143-145
Noerolandra. Dilema penyakit menular. Medika no 9 th 25 Sep 1999: 591-592
Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2002.
Notoatmodjo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat .Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Pickering K. Larry, Snyder DJ. Gastroenteritis. Dalam : Nelson textbook of pediatrics. Edisi 17., Behrman, Kliegman,
Jensen. Editor. Amerika : International edition, 2004. 1272-1274
Slamet SJ. Kesehatan lingkungan. Yogyakarta : Gadjah mada university press, 1994
Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Jakarta : EGC, 1995. 4-8
Suandi IKG. Diit pada anak sakit. Jakarta : EGC, 1999. 61-63
Suburratno. Riau dalam arus perubahan. Pekanbaru: Alaf Riau, 2004. 56-60
Sugiono. Statistika untuk penelitian. Bandung : Alfabeta, 2005. 250-259
Sutoto, Indriyono. Kebijaksanaan pemberantasan penyakit Diare dalam pelita V. Dirjen PPM dan PLP Dep.Kes.
majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia Th. XXIV No.7. Jakarta :1996
Trihendradi C. Memecahkan kasus statistik deskriptif, Parametrik dan non parametrik dengan SPSS 12. Yogyakarta :
Penerbit ANDI, 2004. 136-151, 177-185
Trisnanta T. Manusia dan Kesehatan lingkungan. Jakarta : CV Panca Sejati, 1995. 22-24
Warouw PS. Hubungan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dengan morbiditas ISPA dan Diare. Direktorat
penyehatan lingkungan. 2002. http : // digilib. Litbang.Depkes. Go. Id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2002-sonny-836-
lingkungan(diakses 3 Des 2005)
Widjaja MC. Mengatasi diare dan keracunan pada balita. Jakarta : Kawan pustaka, 2003.1-6