13
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/255967655 Hubungan Dan Masalah Keagenan Di Pemerintahan Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran Dan Akuntansi Article · May 2006 CITATIONS 7 READS 4,381 1 author: Some of the authors of this publication are also working on these related projects: VII SCIENTIFIC CONFERENCE on DETERMINANTS OF REGIONAL DEVELOPMENT 12-13 April 2018 in Piła (Poland) View project Dana Aspirasi Anggota Dewan: Peluang dan Tantangan ke Depan. View project Syukriy Abdullah Syiah Kuala University 54 PUBLICATIONS 33 CITATIONS SEE PROFILE All content following this page was uploaded by Syukriy Abdullah on 14 June 2016. The user has requested enhancement of the downloaded file.

Hubungan Dan Masalah Keagenan Di Pemerintahan Daerah ... · Hubungan Dan Masalah Keagenan Di Pemerintahan Daerah: Sebuah Peluang ... ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori

Embed Size (px)

Citation preview

Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:https://www.researchgate.net/publication/255967655

HubunganDanMasalahKeagenanDiPemerintahanDaerah:SebuahPeluangPenelitianAnggaranDanAkuntansi

Article·May2006

CITATIONS

7

READS

4,381

1author:

Someoftheauthorsofthispublicationarealsoworkingontheserelatedprojects:

VIISCIENTIFICCONFERENCEonDETERMINANTSOFREGIONALDEVELOPMENT12-13April2018inPiła(Poland)Viewproject

DanaAspirasiAnggotaDewan:PeluangdanTantangankeDepan.Viewproject

SyukriyAbdullah

SyiahKualaUniversity

54PUBLICATIONS33CITATIONS

SEEPROFILE

AllcontentfollowingthispagewasuploadedbySyukriyAbdullahon14June2016.

Theuserhasrequestedenhancementofthedownloadedfile.

HUBUNGAN DAN MASALAH KEAGENAN DI PEMERINTAH DAERAH:

Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi1

Oleh: Abdul Halim*) dan Syukriy Abdullah**)

Abstraksi

Diakui atau tidak di Pemerintahan Daerah terdapat hubungan dan

masalah keagenan, khususnya hubungan eksekutif dan legislatif

yang pada gilirannya dengan teori keagenan. Teori keagenan

merupakan salah satu dasar dalam ilmu anggaran dan akuntansi.

Analisis hubungan dan masalah keagenan di Pemerintahan Daerah

tidak pelak lagi merupakan sebuah peluang penelitian masalah

anggaran dan akuntansi. Ide-ide penelitian di bidang ini dapat

mencakup dari keakurasian anggaran hingga pada analisis angka-

angka laporan keuangan Pemerintah Daerah.

Kata Kunci: Keagenan, Eksekutif, Legislatif, Anggaran Daerah.

A. Pendahuluan

Sejak otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU Nomer 22/1999 tentang

Pemerintahan Daerah pada tahun 2001, peluang penelitian dengan menggunakan perspektif

keagenan (agency theory) terbuka lebar. UU tersebut memisahkan dengan tegas antara fungsi

pemerintah daerah (eksekutif) dengan fungsi perwakilan rakyat (legislatif). Berdasarkan

pembedaan fungsi tersebut, eksekutif melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas

anggaran daerah, yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik, sedangkan legislatif

berperan aktif dalam melaksanakan legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

Berdasarkan UU 22/1999 legislatif memiliki kewenangan untuk memilih, mengangkat, dan

memberhentikan kepala daerah. Hal ini bermakna adanya posisi yang tidak setara antara

eksekutif dan legislatif, di mana legislatif memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Artinya,

legislatif mendelegasikan suatu kewenangan kepada kepala daerah yang dipilihnya dengan

konsekuensi diberhentikan apabila kepala daerah tidak dapat melaksanakan kewenangan tersebut

seperti yang diinginkan oleh legislatif. Dengan demikian, kemitraan yang dimaksud dalam UU

tersebut bukanlah kemitraan yang sepenuhnya sejajar. Dalam literatur ilmiah, baik dalam disiplin

ekonomi (termasuk akuntansi), politik, maupun keuangan, hubungan seperti ini disebut

hubungan keagenan. Dalam hubungan keagenan, terdapat dua pihak yang melakukan

kesepakatan atau kontrak, yakni yang memberikan kewenangan atau kekuasaan (disebut

prinsipal) dan yang menerima kewenangan (disebut agen). Dalam suatu organisasi hubungan ini

berbentuk vertikal, yakni antara pihak atasan (sebagai prinsipal) dan pihak bawahan (sebagai

agen). Teori tentang hubungan kedua pihak tersebut populer dikenal sebagai teori keagenan.

1 Sumber: Jurnal Akuntansi Pemerintahan Volume 2, Nomor 1, Hal.: 53-64, 2006.

Hubungan eksekutif-legislatif seperti disebutkan di atas menjadi lebih menarik untuk diteliti

dengan diamandemennya UU 22/1999 menjadi UU Nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Pada UU terbaru tersebut terjadi perubahan posisi “luasnya kekuasaan” atau kesejajaran

antara legislatif sebagai prinsipal terhadap eksekutif sebagai agen.

Tulisan ini menganalisis pengaplikasian teori keagenan, yang menjadi mainstream dalam ilmu

ekonomi (termasuk ilmu akuntansi) dan ilmu politik, di pemerintahan daerah dalam konteks

otonomi daerah di Indonesia. Pada bagian akhir diberikan rekomendasi untuk penelitian empiris

dan regulasi untuk mengurangi kecenderungan perilaku moral hazard agen, baik eksekutif

maupun legislatif.

B. Pengertian Teori Keagenan

Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori

ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis

susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu

pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak

lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang

dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Lupia & McCubbins

(2000) menyatakan pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (prinsipal)

memilih orang atau kelompok lain (agent) untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal.

Menurut Ross (1973) contoh-contoh hubungan prinsipal-agen sangat universal.

Hubungan prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memiliki dampak

pada orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain (Stiglitz, 1987

dan Pratt & Zeckhauser, 1985 dalam Gilardi, 2001). Pengaruh atau ketergantungan ini

diwujudkan dalam kesepakatan-kesepakatan dalam struktur institusional pada berbagai

tingkatan, seperti norma perilaku dan konsep kontrak.

Menurut Lane (2003a) teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan

bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen (Lane,

2000:12-13). Hal senada dikemukakan oleh Moe (1984) yang menjelaskan konsep ekonomika

organisasi sektor publik dengan menggunakan teori keagenan. Bergman & Lane (1990)

menyatakan bahwa rerangka hubungan prinsipal agen merupakan suatu pendekatan yang sangat

penting untuk menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik. Pembuatan dan penerapan

kebijakan publik berkaitan dengan masalah-masalah kontraktual, yakni informasi yang tidak

simetris (asymmetric information), moral hazard, dan adverse selection.

Petrie (2002) mendefinisikan moral hazard dan adverse selection sebagai berikut:

Moral hazard refers to the tendency of an agent, after the contract is entered into, to shirk or

otherwise not fully seek to promote the principal’s interests. Adverse selection refers to the

inability of a principal to determine, before the contract is entered into, which among several

possible agents is most likely to promote the principal’s interests; and, given this imperfect

information, the tendency for candidates with less than average motivation or qualifications to

apply.

Selanjutnya Gilardi (2001) menyatakan, bahwa:

Adverse selection (or ex-ante opportunism, or hidden information) occurs whenever the

principal cannot be sure that he is selecting the agent that has the most appropriate skills or

preferences and moral hazard (or ex-post opportunism, or hidden action) occurs whenever the

agent’s actions cannot be perfectly monitored by the principal.

Sementara itu menurut Lane (2003b):

Adverse selection meaning opportunism before the making of the contract between principal and

agent, moral hazard meaning opportunism after the making of the contract between principal

and agent

Menurut Carr & Brower (2000), model keagenan yang sederhana mengasumsikan dua pilihan

dalam kontrak: (1) behavior-based, yakni prinsipal harus memonitor perilaku agen dan (2)

outcome-based, yakni adanya insentif untuk memotivasi agen untuk mencapai kepentingan

prinsipal. Para teoretisi berpegang pada proposisi bahwa agents behave opportunistically toward

principals. Oportunisme bermakna bahwa ketika terjalin kerjasama antara prinsipal dan agen,

kerugian prinsipal karena agen mengutamakan kepentingannya (agent self-interest) kemungkinan

besar akan terjadi.

Menurut Andvig et al. (2001) principal-agent model merupakan rerangka analitik yang sangat

berguna dalam menjelaskan masalah insentif dalam institusi publik dengan dua kemungkinan

kondisi, yakni (1) terdapat beberapa prinsipal dengan masing-masing tujuan dan kepentingan

yang tidak koheren dan (2) prinsipal juga bisa bertindak tidak sesuai dengan kepentingan

masyarakat, tetapi mengutamakan kepentingannya yang sifatnya lebih sempit. Lebih jauh,

Christensen (1992) menyatakan teori prinsipal-agen dapat menjadi alat analitis untuk

penyusunan dan pengimplementasian anggaran publik.

Sejalan dengan pendapat Christensen (1992), Smith & Bertozzi (1998) berpandangan bahwa

“Because implicit and explicit contractual relationship pervade the entire budget making

process, principal-agent theory can make a major contribution toward developing more

inclusive and accurate models of most stages of public budgeting… The application of principal-

agent models by practitioners offers a more powerful analytic tool for both preparing and

implementing public budget.”

Menurut Moe (1984), di pemerintahan terdapat suatu keterkaitan dalam kesepakatan-kesepakatan

principal-agent yang dapat ditelusuri melalui proses anggaran: pemilih-legislatur, legislatur-

pemerintah, menteri keuangan-pengguna anggaran, perdana menteri-birokrat, dan pejabat-

pemberi pelayanan. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Gilardi (2001) dan Strom (2000),

yang melihat hubungan keagenan sebagai hubungan pendelegasian (chains of delegation), yakni

pendelegasian dari masyarakat kepada wakilnya di parlemen, dari parlemen kepada pemerintah,

dari pemerintah sebagai satu kesatuan kepada seorang menteri, dan dari pemerintah kepada

birokrasi. Hubungan tersebut tidaklah selalu mencerminkan hirarki, tetapi dapat saja berupa

hubungan pendelegasian, seperti yang dinyatakan oleh Andvig et al. (2001):

“Principal-agent models are sometimes constructed for situations where the P-A relationship is

not established within a given hierarchy, but where A may be a head of one and P represents

another that in some sense has a superior role. For example, a parliament is often considered as

the principal of the public bureaucracy, and the voters the principal of the parliament, and so

on.”

Secara umum dapat dikatakan bahwa delegation is certainly problematic and entails danger

(Lupia & McCubbins, 2000). Dalam demokrasi modern, setidaknya terdapat empat ciri

pendelegasian (Lupia & McCubbins, 2000), yakni: (1) adanya prinsipal dan agen, (2)

kemungkinan terjadinya konflik kepentingan, (3) adanya asimetri informasi, dan (4) prinsipal

kemungkinan dapat mengurangi masalah keagenan. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya

(costs) untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam memonitor kinerja agents dan

untuk menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien (Petrie, 2002).

Asumsi-asumsi keperilakuan (beha-vioural assumptions) dalam teori public choice menyatakan

bahwa politisi terutama berkepentingan dengan memaksimalkan prospek untuk dipilih kembali

dan birokrat terutama berkepentingan dengan memaksimalkan kenikmatan (enjoyment), yang

berasal dari pemanfaatan fasilitas tempat kerja (misalnya prestise dan pengaruh) (Von Hagen,

2002).

C. Hubungan Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif

Dalam hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif adalah agen

dan legislatif adalah prinsipal (Halim, 2002a; Fozzard, 2001; Moe, 1984). Seperti dikemukakan

sebelumnya, di antara prinsipal dan agen senantiasa terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu,

persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan

keagenan.

Lupia & McCubbins (1994) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi legislatur dapat diartikan

sebagai fenomena yang disebut agency problems. Masalah keagenan paling tidak melibatkan dua

pihak, yakni prinsipal, yang memiliki otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan, dan agen,

yang menerima pendelegasian otoritas dari prinsipal. Dalam konteks pembuatan kebijakan oleh

legislatif, legislatur adalah prinsipal yang mendelegasikan kewenangan kepada agen seperti

pemerintah atau panitia di legislatif untuk membuat kebijakan baru. Hubungan keagenan di sini

terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan dan berakhir setelah usulan tersebut diterima atau

ditolak.

Johnson (1994:5) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau kongres

dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih kembali, birokrat ingin

memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya. Agar terpilih

kembali, legislators mencari program dan projects yang membuatnya populer di mata konstituen.

Birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan

konstituen percaya bahwa mereka menerima benefits dari pemerintah tanpa harus membayar

biayanya secara penuh.

Hubungan keagenan eksekutif-legislatif juga dikemukakan oleh Andvig et al. (2001) dan Lupia

& McCubbins (2000). Sebagai Prinsipal, legislatif dapat juga berperilaku moral hazard atau

dalam merealisasikan self-interest-nya (Elgie & Jones, 2001) seperti berlaku korup (corrupt

principals) (Andvig et al., 2001). Menurut Colombatto (2001), adanya discretionary power di

salah satu pihak akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak keagenan, seperti terjadinya

perilaku rent-seeking dan korupsi.

Dalam konteks penyusunan anggaran, usulan yang diajukan oleh eksekutif memiliki muatan

mengutamakan kepentingan eksekutif (Smith & Bertozzi, 1998). Eksekutif mengajukan

anggaran yang dapat memperbesar agencynya, baik dari segi finansial maupun nonfinansial.

Sementara Keefer & Khemani (2003), Mauro (1998), dan Von Hagen (2002) secara implisit

menyatakan bahwa anggaran juga dipergunakan oleh legislatif (politisi) untuk memenuhi self-

interestnya. Pada akhirnya keunggulan informasi yang dimiliki oleh eksekutif yang pergunakan

untuk menyusun rancangan anggaran akan berhadapan dengan keunggulan kekuasaan

(discretionary power) yang dimiliki oleh legislatif.

D. Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Publik

Dalam hubungan keagenan antara legislatif dan publik (voters), legislatif adalah agen dan publik

adalah prinsipal (Fozzard, 2001; Lane, 2000:13; Moe, 1984). Lupia & McCubbins (2000)

menyatakan: citizens are principals who elect representatives to serve as their agents in

parliament, sementara Andvig et al. (2001) menyatakan the voters are the principal of the

parliament.

Dalam hal pembuatan kebijakan, Von Hagen (2003) berpendapat bahwa hubungan prinsipal-

agen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif pada dasarnya menunjukkan bagaimana

voters memilih politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk

mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian

terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka mereka

diharapkan mewakili kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilihnya.

Pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak selalu memiliki kepentingan yang

sama dengan publik, seperti dinyatakan oleh Groehendijk (1997) berikut ini:

Without doubt, the relationship between voters and politicians in a representative democracy

can be considered to be a principal-agent relationship. Voters want politicians to look after their

interests, and in exchange provide these politicians with their votes and thus with positions. Of

course, politicians have their own interests, which may diverge from the voters’ interests.

Lupia & McCubbins (2000) mengingatkan bahwa pendelegasian memiliki konsekuensi tidak

terkontrolnya keputusan agen oleh prinsipal dalam hubungan legislatif-publik. Mereka

menyebutnya abdikasi (abdication), yakni adanya kondisi di mana agen tidak dipagari dengan

aturan bagaimana tindakan mereka berpengaruh terhadap kepentingan prinsipal. Dalam hal ini

pemilih (voters) dicirikan sebagai pihak yang tidak perduli atau tidak berkeinginan untuk

mempengaruhi perwakilan (anggota legislatif) yang mereka pilih. Di sisi lain, legislatur dicirikan

sebagai pihak yang tidak memiliki waktu, inklinasi (inclination), dan pengetahuan untuk

mengetahui seluruh kebutuhan publik. Stereotypes inilah yang menyebabkan terjadinya abdikasi,

yakni keterwakilan yang tidak memberikan manfaat apa-apa bagi pemilih (prinsipal) atau pihak

yang diwakili.

Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubungannya dengan publik

menunjukkan bahwa legislatif memiliki masalah keagenan karena akan berusaha untuk

memaksimalkan utilitasnya (self-interest) dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan

publik. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika publik tidak memiliki sarana atau

institusi formal untuk mengawasi kinerja legislatif, sehingga perilaku moral hazard legislatif

dapat terjadi dengan mudah.

Menurut Von Hagen (2003), politisi yang terpilih bisa saja berlaku oportunistik dan karenanya

voters berkeinginan menghilangkan peluang untuk mendapat rents dengan membuat politisi

terikat pada suatu aturan yang menentukan apa yang dapat atau harus mereka lakukan pada

kondisi tertentu. Akan tetapi, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas (unforeseen

development) dan kompleskitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna tidak

mungkin dibuat. Politisi juga tidak akan dapat memenuhi semua janji yang dibuatnya selama

kampanye pemilihan. Oleh karena itu, seperti halnya dalam bentuk hubungan keagenan yang

lain, hubungan keagenan antara pemilih (voters) dengan politisi dapat dipandang sebagai

incomplete contract (Seabright, 1996).

E. Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Daerah di Indonesia

Pada pemerintahan, peraturan perundang-undangan secara implisit merupakan bentuk kontrak

antara eksekutif, legislatif, dan publik. Dalam peraturan tersebut dinyatakan semua kewajiban

dan hak pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan. Beberapa aturan yang secara eksplisit

merupakan manifestasi dari teori keagenan adalah:

1. UU 22/1999 dan UU 32/2004 yang di antaranya mengatur bagaimana hubungan antara

eksekutif dan legislatif. Eksekutif yang dipilih dan diberhentikan oleh legislatif (UU

22/1999) atau diusulkan untuk diberhentikan (UU32/2004) merupakan bentuk

pengimplementasian prinsip-prinsip hubungan keagenan di pemerintahan. Eksekutif akan

membuat pertanggungjawaban kepada legislatif pada setiap tahun atas anggaran yang

dilaksanakannya dan setiap lima tahun ketika masa jabatan kepala daerah berakhir.

2. PP 109/2000 menjelaskan tentang penghasilan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

3. PP 110/2000, PP 24/2004, dan PP 37/2005 mengatur mengenai kedudukan keuangan

anggota legislatif.

4. UU 17/2003, UU 1/2004, dan UU 15/2004 merupakan aturan yang secara tegas mengatur

bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan pemeriksaan keuangan publik (negara dan

daerah) dilaksanakan oleh pemerintah.

Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan

pelayanan publik. Di Indonesia dokumen anggaran daerah disebut anggaran pendapatan dan

belanja daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. Proses penyusunan

anggaran pasca UU 22/1999 (dan UU 32/2004) melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif,

masing-masing melalui sebuah tim atau panitia anggaran.

Sebelum penyusunan APBD dilakukan, terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif dan

legislatif tentang arah dan kebijakan umum (AKU) dan prioritas anggaran, yang akan menjadi

pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Eksekutif membuat

rancangan APBD sesuai dengan AKU dan prioritas anggaran, yang kemudian diserahkan kepada

legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan

daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete

contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh

eksekutif.

F. Masalah Keagenan di Eksekutif

Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif (asimetri

informasi). Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa eksekutif adalah pelaksana

semua fungsi pemerintah daerah dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu

sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang baik tentang birokrasi dan administrasi serta

peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena itu,

anggaran untuk pelaksanaan pelayanan publik diusulkan untuk dialokasikan dengan didasarkan

pada asumsi-asumsi sehingga memudahkan eksekutif memberikan pelayanan dengan baik.

Eksekutif akan memiliki kecenderungan mengusulkan anggaran belanja yang lebih besar dari

yang aktual terjadi saat ini (asas maksimal). Sebaliknya untuk anggaran pendapatan, eksekutif

cenderung mengusulkan target yang lebih rendah (asas minimal) agar ketika realisasi

dilaksanakan, target tersebut lebih mudah dicapai. Usulan anggaran yang mengandung slack

seperti ini merupakan gambaran adanya asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. Slack

tersebut terjadi karena agen (eksekutif) menginginkan posisi yang relatif aman dan nyaman

dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Proses penyusunan anggaran (APBD) diawali dari rencana pelayanan yang akan diberikan oleh

pemerintah daerah. Pemilihan pelayanan (dalam bentuk kegiatan) direncanakan secara bersama-

sama dengan inisiatif terbesar ada di pihak eksekutif. Eksekutif kemudian mengalokasikan

anggaran untuk setiap kegiatan, program , dan prioritas anggaran. Rangkuman usulan kegiatan

dan anggarannya ini kemudian disamapaikan kepada legislatif untuk dibahas terlebih dahulu

sebelum disahkan menjadi peraturan daerah (Perda).

Realisasi perilaku oportunistik eksekutif dalam pengusulan belanja ini di antaranya adalah:

Mengusulkan kegiatan yang sesungguhnya tidak menjadi prioritas.

Mengusulkan kegiatan yang memiliki lucrative opportunities (peluang untuk

mendapatkan keuntungan pribadi) yang besar.

Mengalokasikan komponen belanja yang tidak penting dalam suatu kegiatan.

Mengusulkan jumlah belanja yang terlalu besar untuk komponen belanja dan anggaran

setiap kegiatan.

Memperbesar anggaran untuk kegiatan yang sulit diukur hasilnya.

G. Masalah Keagenan di Legislatif

Perilaku oportunistik legislatif dapat terjadi pada dua posisi, yakni sebagai prinsipal dan juga

sebagai agen. Sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat meralisasikan kepentingannya

dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan di antara kedua belah

pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun

institusional. Melalui discretionary power yang dimilikinya, legislatif dapat mengusulkan

kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan

langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif.

Sebagai agen bagi publik (pemilih), perilaku oportunistik legislatif lebih kelihatan jelas. Dalam

penganggaran, legislatif semestinya membela kepentingan pemilihnya dengan mengakomodasi

kebutuhan publik dalam anggaran. Usulan kegiatan yang akan dibiayai dengan anggaran

seharusnya didasarkan pada permasalahan dan kebutuhan masyarakat yang terindetifikasi ketika

legislatif turun ke lapangan melakukan penjaringan aspirasi masyarakat.

Ada dua kondisi yang dimanfaatkan oleh eksekutif untuk merealisasi perilaku oportunistiknya

dalam proses penyusunan anggaran. Pertama, secara eksplisit berhubungan dengan anggaran

legislatif dan kedua, melalui anggaran untuk pelayanan publik dalam bentuk “titipan”. Pada

kondisi pertama, legislatif mengusulkan anggaran yang meningkatkan pengahasilannya sehingga

dapat memenuhi self-interestnya dalam jangka pendek. Hal ini memunculkan political corruption

atas anggaran (Garamfalvi, 1997). Sementara pada kondisi kedua, self-interest dalam jangka

panjang ingin dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan adalah yang megharumkan nama

politisi di wilayah tertentu, sehingga cenderung pada usulan yang targetable atau hasilnya

kelihatan jelas oleh masyarakat. Akibatnya, pembangunan cenderung di daerah merupakan

wilayah pemilihan politisi yang powerful di legislatif. Masyarakat sulit melihat dan memahami

kecenderungan ini.

H. Simpulan

Hubungan dan masalah keagenan dalam penganggaran antara eksekutif dan legislatif merupakan

bagian tak terpisahkan dalam penelitian keuangan (termasuk akuntansi) publik, politik

penganggaran, dan ekonomika publik. Eksekutif merupakan agen bagi legislatif dan publik (dual

accountability) dan legislatif agen bagi publik. Konsep perwakilan (representativeness) dalam

penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya oleh

karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) legislatif. Di sisi lain, eksekutif sebagai agen

cenderung menjadi budget maximizer karena berperilaku oportunistik (adverse selecation dan

moral hazard sekaligus). Hal ini jelas sebuah peluang penelitian di bidang anggaran dan

akuntansi.

I. Rekomendasi untuk Penelitian Empiris

Kenyataan bahwa teori keagenan dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku oportunistik

eksekutif dan legislatif dalam penyusunan anggaran daerah membuka peluang luas untuk

melakukan penelitian lebih lanjut. Studi empiris diperlukan untuk mengungkap lebih jauh

berbagai persoalan terkait dengan efektifitas anggaran sebagai alat pengawasan dan penilaian

kinerja pelayanan publik pemerintah daerah. Beberapa ide penelitian yang doable diuraikan

berikut ini.

1. Penelitian tentang keakurasian estimasi anggaran anggaran. Halim (2002) menemukan

bahwa terdapat perbedaan optimisme dalam penentuan angka-angka di anggaran antara

daerah kaya dan miskin. Artinya, varians antara anggaran dan realisasi dalam perhitungan

APBD berbeda antara daerah di pulau Jawa dan Bali dengan daerah lain di luar Jawa dan

Bali. Untuk itu, perlu dilakukan studi lanjutan untuk melihat faktor-faktor penyebab

perbedaan ini. Misalnya: kaitannya dengan kualitas pemeriksaan, internal control,

kelengkapan dan keakurasian data di daerah, pengukuran kinerja, perbedaannya dengan

kondisi setelah anggaran berbasis kinerja diterapkan (penelitian Halim, 2002

menggunakan data APBD dengan pendekatan berimbang dan dinamis).

2. Faktor karakteristik anggota legislatif. Pengetahuan atas fungsi dan peraturan perundang-

undangan, pengalaman sebagai anggota legislatif, nilai-nilai (values) yang dianut oleh

anggota legislatif, partai politik asal, dan janji pada saat kampanye merupakan beberapa

hal yang dapat dipertimbangkan dalam mengkaji lebih jauh determinan yang

mempengaruhi outcome dari peran legislatif dalam penyusunan APBD.

3. Keterkaitan antara AKU/SP dengan pengalokasian anggaran. APBD merupakan

kumpulan dari berbagai kepentingan yang dinyatakan dalam satuan uang. Perbedaan

kepentingan menimbulkan konflik yang sangat kompleks. AKU/SP kemungkinan tidak

bermanfaat banyak ketika sebagian besar penentuan alokasi kegiatan (proyek) diatur

berdasarkan kepentingan politik. Wildavsky (1991) dan Rubin (1993) menjelaskan

bagaimana kepentingan politik sangat menentukan dalam pembuatan keputusan

pengalokasian.

4. Analisis atas alokasi berdasarkan sektor. Karakteristik daerah (misalnya jumlah dan

komposisi jenis kelamin penduduk, PDRB dan pertumbuhan ekonomi,

agraris/perdagangan dan jasa, kapasistas fiskal, kualitas pendidikan dan kesehatan,

ketersediaan infrastruktur) dapat dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi

pengalokasian anggaran. Kondisi ril di daerah sangat menentukan bagaimana pola

pengalokasian anggaran sehingga suatu daerah tidak dapat meniru sepenuhnya kebijakan

dan alokasi anggaran daerah lain.

5. Perilaku oportunistik di satuan kerja (agency). APBD sebagai kumpulan dari anggaran

banyak satuan kerja (dinas, badan, kantor, sekretariat) sangat tergantung pada kebutuhan

di setiap satuan kerja. Suatu satuan kerja bisa saja mengusulkan anggaran yang tidak

wajar (seperti dinaikkan atau mark-up), tidak penting (tidak sesuai dengan prioritas), dan

pengulangan dari anggaran tahun sebelumnya.

6. Analisis atas hubungan dan pengaruh di antara angka-angka dalam Laporan Keuangan

Pemerintah daerah yang mencakup Laporan Realisasi APBD, Neraca daerah, Laporan

Arus Kas. Misalnya, belanja modal merupakan belanja yang menghasilkan aset tetap

sehingga memiliki konsekuensi adanya biaya pemeliharaan atas aset tersebut pada masa

yang akan datang. Selain itu, ada pemahaman bahwa proyek fisik (belanja modal)

memilihi hubungan proporsional dengan proyek non fisik (belanja operasi dan

pemeliharaan). Contoh lain adalah hubungan penyertaan modal dengan pendapatan

daerah.

Referensi

Abdullah, Syukriy. 2004. Perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah:

Pendekatan principal-agent theory. Makalah disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas

Bengkulu, Bengkulu, 4-5 Oktober 2004.

Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener & Tina Søreide. 2001.

Corruption A Review of Contemporary Research. Chr. Michelsen Institute Development Studies

and Human Rights Report R 2001: 7. Web: http//www.cmi.no.

Carr, Jered B. & Ralph S. Brower. 2000. Principled opportunism: Evidence from the

organizational middle. Public Administration Quarterly (Spring): 109-138.

Christensen, Jorgen Gronnegard. 1992. Hierarchical and contractual approaches to budgetary

reform. Journal of Theoretical Politics 4(1): 67-91.

Colombatto, Enrico. 2001. Discretionary power, rent-seeking and corruption. University di

Torino & ICER, working paper.

Douglas, P.C. & B. Wei. 2000. Integrating ethical dimension into a model of budgeting slack

creation. Journal of Business Ethics 28: 267-278.

Elgie, Robert & Erik Jones. 2000. Agents, principals and the study of institutions: Constructing a

principal-centered account of delegation. Working documents in the Study of European

Governance Number: 5. Center for the Study of European Governance (CSEG).

Fozzard, Adrian. 2001. The basic budgeting problem: Approaches to resource allocation in the

public sector and their implications for pro-poor budgeting. Center for Aid and Public

Expenditure, Overseas Development Institute (ODI). Working paper 147.

Garamfalvi, L. 1997. Corruption in the public expenditures management process. Paper

presented at 8th International Anti-Corruption Conference, Lima, Peru, 7-11

September.http://www.transparency.org/iacc/8th_iacc/papers/garamfalvi/garamfalvi.html.

Gilardi, Fabrizio. 2001. Principal-agent models go to Europe: Independent regulatory agencies as

ultimate step of delegation. Paper presented at the ECPR General Conference, Canterbury (UK),

6-8 September 2001.

Groehendijk, Nico. 1997. A principal-agent model of corruption. Crime, Law & Social Change

27: 207-229.

Halim, Abdul. 2002. Analisis varian pendapatan asli daerah dalam laporan perhitungan anggaran

pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota di Indonesia. Universitas Gadjah Mada. Disertasi

tidak Dipublikasikan.

Johnson, Cathy Marie. 1994. The Dynamics of Conflict between Bureaucrats and Legislators.

Armonk, New York: M.E. Sharpe.

Keefer, Philip & Stuti Khemani. 2003. The political economy of public expenditures.

Background paper for WDR 2004: Making Service Work for Poor People. The World Bank.

Lane, Jan-Erik. 2000. The Public Sector – Concepts, Models and Approaches. London: SAGE

Publications.

_________. 2003a. Management and public organization: The principal-agent framework.

University of Geneva and National University of Singapore. Working paper.

_________. 2003b. Relevance of the principal-agent framework to public policy and

implementation. University of Geneva and National University of Singapore. Working paper.

Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 1994. Who controls? Information and the structure of

legislative decision making. Legislative Studies Quarterly 19(3):361-384.

Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 2000. Representation or abdication? How citizens use

institutions to help delegation succeed. European Journal of Political Research 37: 291-307.

Mauro, Paolo. 1998. Corruption: Causes, consequences, and agenda for further research. Finance

& Development (March): 11-14.

Moe, T. M. 1984. The new economics of organization. American Journal of Political Science

28(5): 739-777.

Petrie, Murray. 2002. A framework for public sector performance contracting. OECD Journal on

Budgeting 2: 117-153.

Ross, Stephen A. 1973. The economic theory of agency: The principal’s problem. American

Economic Review 63(2): 134-139.

Rubin, Irene S. 1993. The Politics of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and

Balancing. Second edition. Chatam, NJ: Chatham House Publishers, Inc.

Seabright, Paul. 1996. Accountability and decentralisation in government: An incomplete

contracts models. European Economic Review 40: 61-89.

Smith, Robert W. 2003. Ethical norms in public budgeting: Evolution or devolution? Journal of

Public Budgeting, Accounting & Financial Management 5(2): 205-227.

Smith, Robert W. & Mark Bertozzi. 1998. Principals and agents: An explanatory model of public

budgeting. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management (Fall): 325-353.

Strom, K. 2000. Delegation and accountability in parliamentary democracies. European Journal

of Political Research 37: 261-289.

Von Hagen, Jurgen. 2002. Fiscal rules, fiscal institutions, and fiscal performance. The Economic

and Social Review 33(3): 263-284.

Von Hagen, Jurgen. 2003. Budgeting institutions and public spending, in Shah, Anwar (ed.).

2003. Handbook on Public Sector Performance Reviews. Volume 1: Ensuring Accountability

When There Is No Bottom Line. Washington, D.C.: The World Bank.

Wildavsky, Aaron. 1991. The New Politics of the Budgetary Process. Second edition. New York,

NY: HarperCollins Publishers Inc.

Sumber: http://kelembagaandas.wordpress.com/teori-agensi-principal-agent-theory/abdul-halim-

dan-syukriy-abdullah/

View publication statsView publication stats