Upload
marcoangeloliwan
View
21
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
dsadsa
Citation preview
DEPARTEMEN ILMU BEDAH
SUBDIVISI BEDAH SARAF
HERNIASI NUKLUES PULPOSUS
DISUSUN OLEH : Lucky Randy
C 111 11 163
PEMBIMBING :Dr Januar R. Adriani
SUPERVISOR :Dr. dr. Nasrullah, SpBS
DEPARTEMEN ILMU BEDAH
SUBDIVISI BEDAH SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
1
PRESENTASI KASUSOKTOBER 2015
2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. ANAMNESIS
Identitas :
Nama : Afninur Jamaan
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 34 tahun
Nomor RM : 72 58 17
Tanggal masuk : 01-10-2015
Keluhan utama : Nyeri pinggang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Dialami sejak 2 tahun lalu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien hanya merasa
sakit di pinggang dan muncul hanya jika pasien duduk, berdiri ataupun jalan dalam
waktu yang lama. Keluhan memberat 1 bulan terakhir dimana nyeri dirasakan dari
pinggang menjalar sampai ke paha dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien juga
mengeluh adanya kram-kram pada kaki kanan. Tidak ada riwayat hilang sensasi pada
bagian tungkai. Riwayat pernah jatuh terduduk 3 tahun lalu. Riwayat sering
mengangkat barang berat.
II. PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
Status gizi : Gizi cukup
Status vitalis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit, regular
3
Nafas : 20x/menit
Suhu : 36,8 o C
Status lokalis
1. Tanda rangsangan meningeal :
- Kaku kuduk (-)
- Brudzinsky I (-)
- Brudzinsky II (-)
- Kernig (-)
2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial :
- muntah proyektil (-)
- sakit kepala progresif (-)
3. Nn Kranialis :
- N I : penciuman baik
- N II : reflek cahaya +/+
- N III, IV, VI : pupil bulat, diameter 2,5/2,5 mm, gerakan bola mata
bebas ke segala arah
- N V : bisa membuka mulut, menggerakkan rahang ke kiri dan
ke kanan
- N VII : bisa menutup mata, mengangkat alis : simetris
- N VIII : fungsi pendengaran baik, nistagmus tidak ada
- N IX, X : arcus faring simetris, uvula di tengah, refleks muntah (+)
- N XI : bisa mengangkat bahu dan bisa melihat kiri dan kanan
- N XII : lidah simetris.
4
5. Motorik :
5 55 5
Tungkai kiri : Laseque (-), Patrick (-), Kontra Patrick (-)
Tungkai kanan : Laseque (+), Patrick (+), Kontra Patrick (+)
6. Sensorik
- Eksteroseptif : rasa raba, tekan dan nyeri baik
- Proprioseptif : rasa getar dan posisi sendi baik
7. Fungsi otonom : BAK dan BAB normal
8. Reflek fisiologis : Reflek biceps ++/++, Reflek triceps ++/++, Reflek KPR ++/+
+, Reflek APR ++/++
9. Reflek patologis : Reflek Hoffman Trommer -/-, Reflek Babinsky -/-
HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin (hasil pada tanggal 29 September 2015)
RBC : 5,18 x 106/ uL (N : 3.1-4.3)
Hb: 14,5 g/Dl (N : 10-13)
WBC : 7.91 x 10000/mm3 (N : 4-10)
Ht : 45,6 vol% (N : 29-42)
Plt : 447000/µl (N : 150000-400000)
SGOT: 29 (<38)
SGPT : 39 (<37)
GDS : 102 mg/dl (<140)
Ur : 21 mg/dl (N : 10-50)
Cr : 0,64 mg/dl (N : <1.1)
5
6
Hasil pemeriksaan MRI :
Kesan :
- Bulging disc ke posterior pada level CV L4-L5 yang menekan thecal sac dan kedua
nerve root
- Bulging disc ke posterior pada level CV L5-S1 yang menekan thecal sac dan
mengiritasi kedua nerve root
- Facet joint edema kiri pada level CV L3-L4
- Spondylosis lumbalis dengan degenerative disc disease
- MR-Myelography : tidak tampak stenosis canalis spinalis level lumbalis
RESUME
Seorang wanita 34 tahun datang dengan nyeri pinggang yang dialami sejak 2 tahun
lalu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien hanya merasa sakit di pinggang dan
muncul hanya jika pasien duduk, berdiri ataupun jalan dalam waktu yang lama.
Keluhan memberat 1 bulan terakhir dimana nyeri dirasakan dari pinggang menjalar
sampai ke paha dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien juga mengeluh adanya kram-
kram pada kaki kanan. Tidak ada riwayat hipostesia/anestesia pada bagian tungkai.
Riwayat pernah jatuh terduduk 3 tahun lalu. Riwayat sering mengangkat barang berat.
Dari hasil pemeriskaan fisik didapatkan
Motorik :
5 55 5
Tungkai kiri : Laseque (-), Patrick (-), Kontra Patrick (-)
Tungkai kanan : Laseque (+), Patrick (+), Kontra Patrick (+)
Sensorik
- Eksteroseptif : rasa raba, tekan dan nyeri baik
- Proprioseptif : rasa getar dan posisi sendi baik
Dari hasil pemeriksaan MRI didapatkan :
Kesan :
- Bulging disc ke posterior pada level CV L4-L5 yang menekan thecal sac dan kedua
nerve root
7
- Bulging disc ke posterior pada level CV L5-S1 yang menekan thecal sac dan
mengiritasi kedua nerve root
- Facet joint edema kiri pada level CV L3-L4
- Spondylosis lumbalis dengan degenerative disc disease
DIAGNOSIS KERJA
Hernia Nucleus Pulposus Lumbalis pada level CV L4-L5 dan CV L5-S1
RENCANA PENATALAKSANAAN
Epiduralisis
8
PENDAHULUAN
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah suatu keadaan dimana sebagian atau
seluruh dari nukleus pulposus mengalami penonjolan kedalam kanalis spinalis (Awad
JN. 2006). Hernia Nukleus Pulposus dikenal juga dengan istilah Herniated
Intervertebral Disc, Herniated Disc Disease, dan lain-lain. Hernia Nucleus Pulposus
merupakan salah satu penyakit dengan kompetensi 3A, artinya para lulusan dokter
diharapkan mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan
yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan (Indonesia, 2012)
A. Definisi
Hernia adalah protrusi atau penonjolan dari sebuah organ atau jaringan melalui
lubang yang abnormal.
Nucleus pulposus adalah massa setengah cair yang terbuat dari serat elastis
putih yang membentuk bagian tengah dari diskus intervertebralis.
Hernia Nucelus Pulposus (HNP) merupakan suatu gangguan yang melibatkan
ruptur annulus fibrosus sehingga nucleus pulposis menonjol (bulging)/ mengalami
herniasi dan menekan akar saraf spinal, menimbulkan nyeri dan defisit neurologis.
(Dorland, 2009)
B. Epidemiologi
Prevalensi HNP berkisar antara 1 – 2 % dari populasi (purwanto.2003). Usia
yang paling sering adalah usia 30 – 50 tahun (Feske S.et all.2003). HNP lumbaris
paling sering (90%) mengenai diskus intervertebralis L5 – S1 dan L4 – L5
(Purwanto.2003).
HNP merupakan salah satu penyebab dari Low Back Pain (LBP) yang penting.
Sekitar 40 % pasien LBP disebabkan oleh herniasi diskus (Maliawan S. 2009 Skinner
HB.2003). Low Back Pain adalah nyeri yang dirasakan didaerah punggung bawah,
9
dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau keduanya (Meliala
dkk.2000). LBP merupakan keluhan yang spesifik dan paling banyak dikonsultasikan
pada dokter umum. Hampir 70 – 80 % penduduk negara maju pernah mengalaminya.
Di Amerika Serikat prevalensinya dalam satu tahun berkisar antara 15%-20%
sedangkan insidensi berdasarkan kunjungan pasien baru kedokter adalah 14,3%
(Maliawan S.2009). Di Inggris dilaporkan prevalensi LBP pada populasi lebih kurang
16.500.000 pertahun, yang melakukan konsultasi ke dokter umum lebih kurang antara
3 – 7 juta orang (Lubis I.2003). Sementara di Indonesia walaupun data epidemiologik
mengenai LBP belum ada namun diperkirakan 40% penduduk Jawa Tengah berusia
antara 65 tahun pernah menderita nyeri punggung dan prevalensinya pada laki-laki
18,2% dan pada perempuan 13,6% (Maliawan S.2009).
C. Anatomi
Anatomi Columna Vertebralis:
Punggung terdiri atas tulang-tulang yang disebut vertebra yang terdapat
sepanjang tulang tengkorak sampai pelvis. Vertebra tersusun secara vertical dan
dipisahkan oleh diskus intervertebralis. Vertebra terbagi atas 5 regio: Cervical (C1-
C7), Thoracal (T1-T12), Lumbar (L1-L5), Sacral (S1-S5), dan Coccygea yang
ukurannya bertambah dari tengkorak ke pelvis. Vertebra cervicalis (C1-C7)
membentuk tulang-tulang leher yang dimulai dari basis tengkorak, menyokong tulang
tengkorak dan memungkinkan gerakan-gerakan pada kepala. Vertebra thoracal
terdapat di daerah dada dan terhubung dengan costae. Vertebra lumbalis terdapat di
punggung bawah, ukurannya meningkat dari L1 ke L5, dan lebih besar dari vertebra
cervical dan thoracal. Daerah lumbar ini menerima berat badan yang paling besar
sehingga rentan terhadap kelainan yang dapat menyebabkan low back pain, termasuk
herniasi diskus. Sacrum merupakan 5 tulang yang menyatu dan membentuk segitiga,
terdapat di belakang pelvis dan diantara dua tulang ileum, menghubungkan columna
vertebralis dengan pelvis. Coccygea atau tulang ekor terdapat dibawah sacrum dan
terdiri atas 3 sampai 5 tulang yang menyatu.
10
Gambar 1. Pembagian Regio dari Columna Vertebralis
Fungsi dari vertebra termasuk mengelilingi dan melindungi medulla spinalis
dari kerusakan. Sebagai tambahan, vertebra berfungsi sebagai tempat melekatnya
ligamen, otot, dan tendon; memberi bantuan secara struktural; dan memberikan
fleksibilitas dan mobilitas, termasuk fleksi, ekstensi, lateral fleksi, rotasi, dan
kombinasi gerakan-gerakan tersebut. Corpus vertebra adalah struktur yang menahan
beban dari columna vertebralis, berat badan bagian atas didistribusikan melalui
vertebra hingga sacrum dan pelvis.
Terdapat komponen anatomi tambahan dari columna vertebra yaitu ligamen dan
sendi. Ligamen ini mempertahankan vertabra dan diskus menyatu, menstabilisasi, dan
mencegah pergerakan berlebihan ke segala arah. 3 ligamen penting penting adalah
ligamentum flavum, ligamentum longitudinalis anterior, dan ligamentum
longitudinalis posterior. Ligamentum flavum berfungsi menghubungkan sendi facet
dan menutup celah diantara verbera bagian posterior serta melindungi medulla
spinalis. Ligamentum longitudinalis anterior melekat pada bagian anterior dari tiap
vertebra, dan ligamentum longitudinalis posterior melekat pada bagian posterior dari
tiap vertebra yang terdapat di canalis spinalis. Sendi facet terletak di bagian posterior
columna vertebralis, menghubungkan vertebra untuk stabilisasi serta membantu
pergerakan dan fleksibilitas gerakan punggung. Tiap vertebra memiliki dua pasang
sendi facet, masing-masing di bagian superior dan inferior vertebra bagian posterior di
sebelah kiri dan kanan.
11
Gambar 2. Ligamen-ligamen pada vertebra
Gambar 3. Facet Joint pada Columna Vertebralis (kiri) dan Posisi Facet Joint pada
saat Fleksi dan Ekstensi
Anatomi Diskus Intervertebralis
Diskus intervertebralis menghubungkan korpus vertebra satu sama lain dari
servikal sampai sakral. Terdapat 23 diskus di sepanjang medulla spinalis dan tidak
terdapat diskus intervertabralis pada 2 vertebra cervicalis, sacrum, dan coccygea.
Mereka merupakan sendi dari columna vertebralis dan tingginya sepertiga dari
columna vertebralis, paling tipis di regio thoracal dan paling lebal di regio lumbar.
Diskus ini memiliki tebal sekitar 7-10 mm dan berdiameter sekitar 4cm (anterior-
posterior) pada daerah lumbaris. Diskus intervertebralis adalah struktur kompleks
yang terdiri atas: (1). Anulus fibrosus, yang berbentuk seperti cincin, terbagi menjadi
tiga lapisan yaitu lapisan terluar terdiri dari lamela fibrokolagen yang berjalan
menyilang konsentris mengelilingi nukleus pulposus sehingga bentuknya seakan-akan
menyerupai gulungan per (coiled spring), lapisan dalam terdiri dari jaringan
fibrokartilagenus dan daerah transisi dan (2). Nukleus pulposus adalah suatu gel yang
viskus terdiri dari proteoglycan (hyaloronic long chain) mengandung kadar air yang
12
tinggi (80%) dan mempunyai sifat sangat higroskopis (purwanto.2003). Nukleus
pulposus ini diapit diantara dua kartilago endplate di bagian superior dan inferior.
Diskus ini berfungsi sebagai penyangga beban dan shock absorber.
Gambar 4. Discus Intervertebralis yang Berada Diantara 2 Corpus Vertebra (kiri) dan
Potongan pada Discus Intervertebralis
Gambar 5. Corpus Vertebralis dan Discus Intervertebralis (kiri) dan Susunan Discus
Intervertebralis (kanan)
13
D. Patomekanisme
Proses Degenaratif
Diskus intervertebralis tersusun atas jaringan fibrokartilago yang berfungsi
sebagai shock absorber, menyebarkan gaya pada kolumna vertebralis dan juga
memungkinkan gerakan antar vertebra. Dengan bertambahnya usia, nucleus pulposus
kehilangan komponen air sehingga fungsi diskus sebagai bantalan menurun, dan
annulus fibrosus dapat retak dan robek, seiring dengan berjalannya waktu degenerasi
ini melemahkan annulus. Annulus yang melemah ini dapat menjadi jalan untuk
herniasi dari nucleus pulposus melalui annulus yang rusak ke dalam canalis spinalis,
dimana medulla spinalis berada.
Proses Traumatik
Dimulainya degenerasi diskus mempengaruhi mekanika sendi intervertebral,
yang dapat menyebabkan degenerasi lebih jauh. Selain degenerasi, gerakan repetitive,
seperti fleksi, ekstensi, lateral fleksi, rotasi, dan mengangkat beban dapat memberi
tekanan abnormal pada nucleus. Jika tekanan ini cukup besar sampai bisa melukai
annulus, nucleus pulposus ini berujung pada herniasi. Trauma akut dapat pula
menyebabkan herniasi, seperti mengangkat benda dengan cara yang salah dan jatuh.
14
Gambar 6. Nucleus Pulposus yang Mengalami Herniasi ke Canalis Spinalis
Hernia Nukleus Pulposus terbagi dalam 4 grade berdasarkan keadaan
herniasinya, dimana ekstrusi dan sequestrasi merupakan hernia yang sesungguhnya,
yaitu:
1. Degenerasi diskus:
Nukleus Pulposus mengalami kelemahan akibat degenerasi yang
berkaitan dengan usia; dan terdapat retakan dan robekan pada annulus.
Penonjolan belum terjadi.
2. Prolaps:
Bentuk atau posisi dari diskus berubah dan terbentuknya penonjolan
kecil; penonjolan ini dapat mengenai medulla spinalis, dan dapat menjadi
precursor sebuah herniasi.
3. Ekstrusi:
Nukleus pulposus menembus annulus fibrosus, namun masih berada
di dalam diskus.
4. Sequestrasi:
Nukleus pulposus menembus annulus fibrosus dan keluar dari diskus
ke dalam canalis spinalis.
Gambar 7. Grading dari Hernia Nucleus Pulposus
15
Nukleus pulposus yang mengalami herniasi ini dapat menekan nervus di dalam
medulla spinalis jika menembus dinding diskus (annulus fibrosus); hal ini dapat
menyebabkan nyeri, rasa tebal, rasa keram, atau kelemahan. Rasa nyeri dari herniasi
ini dapat berupa nyeri mekanik, yang berasal dari diskus dan ligamen; inflamasi, nyeri
yang berasal dari nucleus pulposus yang ekstrusi menembus annulus dan kontak
dengan suplai darah; dan nyeri neurogenik, yang berasal dari penekanan pada nervus.
D. Faktor Risiko
Berikut ini adalah factor risiko yang meningkatkan seseorang mengalami HNP:
1. Usia: Usia merupakan factor utama terjadinya HNP karena annulus
fibrosus lama kelamaan akan hilang elastisitasnya sehingga menjadi
kering dan keras, menyebabkan annulus fibrosus mudah berubah bentuk
dan ruptur.
2. Post Trauma: Terutama trauma yang memberikan stress terhadap columna
vertebralis, seperti jatuh.
3. Pekerjaan: Pekerjaan terutama yang sering mengangkat barang berat dan
cara mengangkat barang yang salah, meningkatkan risiko terjadinya HNP
4. Gender: Pria lebih sering terkena HNP dibandingkan wanita (2:1), hal ini
terkait pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan pada pria cenderung ke
aktifitas fisik yang melibatkan columna vertebralis.
5. Obesitas: Berat badan yang tinggi dapat menambah beban yang ditopang
oleh columna vertebralis.
6. Merokok: Merokok dapat mengganggu vaskularisasi ke diskus
intervertebralis, sehingga lebih mudah mengalami degenerasi
E. Gambaran Klinik
Gejala yang biasanya ditemukan pada HNP adalah Low Back Pain yang
memperburuk posisi duduk dan menyebabkan rasa nyeri yang menjalar ke ekstremitas
inferior. Nyeri yang menjalar itu biasanya adalah sciatica/ischialgia, yang
digambarkan dengan sensasi tumpul, terbakar atau tajam, disertai dengan rasa
tersetrum yang tajam secara intermitten. Gejala sciatica dapat pula disertai dengan
rasa kesemutan, defek motorik atau sensorik pada akar saraf yang terkena, atau refleks
patologis. Straight leg raising test/Lasegue test dilakukan untuk mengevaluasi
16
keterlibatan saraf yang terjebak dengan cara memprovokasi nyeri menjalar dengan
memberikan stress pada akar saraf. Secara klinis, HNP biasanya terjadi pada tingkat
L4-L5 atau L5-S1 (Kortelainen et al. 1985). Namun, kebanyakan kasus HNP adalah
asimptomatik (Boden et al. 1990, Green- berg and Schnell 1991).
Selain di regio lumbar, HNP juga terjadi di regio cervical, terutama C5-C6 dan
C6-C7 namun prevalensinya rendah. Gejala yang timbul biasanya berupa nyeri
radikuler mulai dari bahu, lengan, dan tangan sesuai dermatom dan miotom yang
terkena.
F. Diagnosis Klinis, Diagnosis Penunjang, dan Interpretasinya
Diagnosis HNP dapat diarahkan dengan baik melalui anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan pemeriksaan penunjang
Pada anamnesis dapat ditanyakan hal yang berhubungan dengan nyerinya.
Pertanyaan itu berupa kapan nyeri terjadi, frekuensi, dan intervalnya; lokasi nyeri;
kualitas dan sifat nyeri; penjalaran nyeri; apa aktivitas yang memprovokasi nyeri;
memperberat nyeri; dan meringankan nyeri. Selain nyerinya, tanyakan pula pekerjaan,
riwayat trauma, dan riwayat merokok karena merupakan faktor risiko terjadinya HNP.
Dalam pemeriksaan fisik, perhatikan daerah yang mengalami spasme dan
ketegangan otot, kelemahan otot, atrofi otot, atau perubahan sensasi yang dialami
ekstremitas bawah. Perhatikan pula postur dan keadaan umum dan menyuruh pasien
untuk fleksi, ekstensi, dan rotasi untuk mengetahui range of motion yang dapat
digapai pasien dan untuk mengidentifikasi gerakan yang dapat menimbulkan nyeri.
Pin prick test dapat pula dilakukan sepanjang ekstremitas bawah dan ketukan pada
berbagai macam otot untuk menguji refleks.
Adapun tes yang dapat dilakukan untuk diagnosis HNP adalah:
FABER (Patrick) Test:
Tes untuk mengetahui adanya kelainan di coxae. Pemeriksa meletakkan tungkai
bawah yang akan di test dalam posisi fleksi, abduksi, dan external rotasi sehingga
kaki pasien berada di atas lutut dari tungkai yang berlawanan. Pemeriksa kemudian
menekan tungkai yang dites secara pasif ke arah meja sambil menstabilisasi dengan
17
cara memberikan tekanan pada ileum yang berlawanan dengan tungkai tersebut. Tes
ini positif apabila ada nyeri pada punggung atau pada tungkai yang dites, atau tungkai
yang dites tetap datar di atas tungkai yang berlawanan. Hal ini dapat mengindikasikan
adanya masalah pada coxae.
Gambar 8. Patrick Test
FABIR (Counter-Patrick) Test:
Tes untuk mengetahui adanya kelainan di articulatio sacroiliaca. Pemeriksa
meletakkan tungkai bawah yang akan di test dalam posisi fleksi, abduksi, dan internal
rotasi sehingga lutut pasien berada di atas lutut dari tungkai yang berlawanan.
Pemeriksa kemudian menekan tungkai yang dites secara pasif ke arah meja sambil
menstabilisasi dengan cara memberikan tekanan pada ileum yang berlawanan dengan
tungkai tersebut. Tes ini positif apabila ada nyeri pada punggung atau pada tungkai
yang dites, atau tungkai yang dites tetap datar di atas tungkai yang berlawanan. Hal
ini dapat mengindikasikan adanya masalah pada articulatio sacroiliaca.
Straight Leg Raise (Laseque) Test:
Tes untuk mengetahui adanya jebakan nervus ischiadicus. Pasien tidur dalam posisi
supinasi dan pemeriksa memfleksikan panggul secara pasif, dengan lutut dari tungkai
terekstensi maksimal. Tes ini positif bila timbul rasa nyeri pada saat mengangkat kaki
dengan lurus, menandakan ada kompresi dari akar saraf lumbar.
18
Ankle Jerk Reflex
Dilakukan pengetukan pada tendon Achilles. Jika tidak terjadi dorsofleksi pada kaki,
hal ini mengindikasikan adanya jebakan nervus di tingkat kolumna vertebra L5-S1.
Knee-Jerk Reflex
Dilakukan pengetukan pada tendon lutut. Jika tidak terjadi ekstensi pada lutut, hal ini
mengindikasikan adanya jebakan nervus di tingkat kolumna vertebra L2-L3-L4.
Diagnosis Penunjang
1.X-Ray
X-Ray tidak dapat menggambarkan struktur jaringan lunak secara akurat.
Nucleus pulposus tidak dapat ditangkap di X-Ray dan tidak dapat
mengkonfirmasikan herniasi diskus maupun jebakan akar saraf. Namun, X-Ray
dapat memperlihatkan kelainan pada diskus dengan gambaran penyempitan
celah atau perubahan alignment dari vertebra.
2.Myelogram
Pada myelogram dilakukan injeksi kontras bersifat radio-opaque dalam
columna spinalis. Kontras masuk dalam columna spinalis sehingga pada X-ray
dapat mempertegas batas-batas nervus spinalis. Prosedur ini dapat menimbulkan
efek samping sedang hingga berat berupa rasa mual, muntah, dan nyeri kepala,
sehingga harus dilakukan d rumah sakit.
3.MRI
Merupakan gold standard diagnosis HNP karena dapat melihat struktur
columna vertebra dengan jelas dan mengidentifikasi letak herniasi.
19
Gambar 9. MRI dari columna vertebralis normal (kiri) dan mengalami herniasi
(kanan)
4.CT-Scan
Alternatif dari MRI.
5.Elektromyografi
Untuk melihat konduksi dari nervus, dilakukan untuk mengidentifikasi
kerusakan nervus.
F. Penatalaksanaan
Tindakan awal untuk pasien yang mengalami HNP grade 1 dan 2 (nucleus
pulposus masih di dalam annulus fibrosus) adalah diberikan terapi konservatif, terdiri
atas:
Terapi Non Farmakologis
1. Terapi fisik pasif:
Terapi fisik pasif biasanya digunakan untuk mengurangi nyeri punggung
bawah akut, misalnya:
a. Kompres hangat/dingin:
Kompres hangat/dingin ini merupakan modalitas yang mudah dilakukan.
Untuk mengurangi spasme otot dan inflamasi. Beberapa pasien merasakan
nyeri hilang pada pengkompresan hangat, sedangkan yang lain pada
20
pengkompresan dingin. Keduanya dapat digunakan secara bergantian.
Umumnya kompres digunakan selama 10-20 menit setiap dua jam, dan lebih
bermanfaat pada beberapa hari pertama serangan nyeri.
b. Iontophoresis:
Merupakan metode pemberian steroid melalui kulit. Steroid diletakkan
pada permukaan kulit, dan kemudian dialirkan aliran listrik yang akan
menyebabkan steroid tersebut untuk bermigrasi ke bawah kulit. Steroid
tersebut kemudian menimbulkan efek anti inflamasi pada daerah yang
menyebabkan nyeri. Modalitas ini terutama efektif dalam mengurangi
serangan nyeri akut.
c. Unit TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulator):
Sebuah unit transcutaneous electrical nerve stimulator (TENS)
menggunakan stimulasi listrik untuk mengurangi sensasi nyeri punggung
bawah dengan mengganggu impuls nyeri yang dikirimkan ke otak. Biasanya
dilakukan percobaan terlebih dahulu, dan apabila nyeri berkurang secara
signifikan maka unit TENS dapat digunakan di rumah untuk mengurangi
nyeri punggung bawah dalam jangka waktu yang lama.
d. Ultrasound:
Ultrasound merupakan suatu bentuk penghangatan di lapisan dalam
dengan menggunakan gelombang suara pada kulit yang menembus sampai
jaringan lunak dibawahnya. Ultrasound terutama berguna dalam
menghilangkan serangan nyeri akut dan dapat mendorong terjadnya
penyembuhan jaringan.
2. Latihan
Terapi aktif (latihan) biasanya diperlukan untuk merehabilitasi tulang
belakang dan membantu mengurang nyeri. Lebih penting lagi, suatu rutinitas
latihan yang memberikan pasien cara untuk menghindari kekambuhannyeri
punggung bawah dan mengurangi intensitas serta durasi serangan nyeri di
kemudian hari.
Secara umum, program latihan pasien perlu meliputi peregangan (seperti
peregangan hamstring), penguatan otot (seperti latihan stabilisasi dinamik lumbal),
dan latihan aerobic low impact (seperti berjalan, bersepeda atau berenang).
21
a. Peregangan
Hampir semua orang dapat merasakan manfaat dari peregangan jaringan lunak –
otot, ligamen, dan tendon – di seputar tulang belakang. Tulang belakang dan otot,
ligament, serta tendon yang melekat padanya dirancang untuk bergerak, sehingga
pembatasan pada gerakan ini dapat memperberat rasa nyeri. Pasien dengan nyeri
kronis mungkin akan memerlukan peregangan selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan untuk memobilisasi tulang belakang dan jaringan lunaknya, namun
pada akhirnya dapat merasakan manfaat berupa hilangnya rasa nyeri dan peningkatan
daya gerak.
Otot hamstring tampaknya memiliki peran yang penting dalam nyeri punggung
bawah, karena pasien yang mengalami nyeri punggung bawah cenderung memiliki
otot hamstring yang tegang, demikian juga sebaliknya. Tidak diketahui secara pasti
mana yang timbul terlebih dahulu, namun jelas bahwa ketegangan pada hamstring
akan menghambat gerak pada pelvis dan dapat menimbulkan posisi yang
memperberat tekanan pada tulang belakang bagian bawah. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa peregangan otot hamstring dapat membantu mengurangi
intensitas nyeri punggung bawah pasien dan frekuensi rekurensi.
Latihan peregangan rutin melibatkan penekanan untuk meregang otot hamstring
selama 30 sampai 45 detik, satu sampai dua kali sehari. Tekanan pada otot perlu
dilakukan secara merata dan tidak boleh disertai dengan pemijatan karena pemijatan
dapat memicu respon spasme pada otot yang sedang diregang. Otot hamstring dapat
diregang dengan berbagai cara. Pilihan metode peregangan otot hamstring dari yang
paling mudah sampai paling sulit meliputi:
1.) Teknik paling umum adalah dengan membungkuk, dengan tungkai yang
relative lurus dan tangan berupaya untuk menggapai jari kaki, kemudian
bertahan pada posisi ini. Apabila pendekatan ini tidak dapat ditolerir, tarikan
pada punggung dapat dikurangi dengan duduk di kursi meyangga kaki pada
kursi lain dihadapannya sehingga tungkai dalam posisi lurus. Kemudian
dilakukan upaya menyentuh jari kaki. Peregangan dapat dilakukan bergantian
pada sisi kiri dan kanan.
2.) Teknik yang paling ringan adalah untuk berbaring pada lantai dan menarik
tungkai ke arah dada dan kemudian meluruskannya dengan bantuan handuk
kecil yang dikaitkan pada tumit. Metode ini dilakukan bergantian pada sisi
kanan dan kiri.
22
3.) Pilihan lain yang ringan adalah dengan berbaring di lantai, dengan bokong
ditempelkan pada dinding. Kaki dinaikkan pada dinding dan kemudian berusaha
meluruskan sendi lutut. Dilakukan peregangan bergantian pada kedua sisi.
Seiring dengan waktu, otot hamstring akan memanjang, sehingga mengurangi
beban pada daerah pinggang. Peregangan sebaiknya tidak dilakukan bersamaan
dengan latihan lain, karena latihan-latihan tersebut tidak dapat dilakukan setiap hari.
Agar peregangan menjadi bagian dari regimen harian, maka sebaiknya melakukan
peregangan setiap pagi saat bangun dari tempat tidur dan sesaat sebelum tidur.
Anggaplah ini sebagai perawatan tulang belakang yang baik.
b. Penguatan
Terdapat dua bentuk utama latihan untuk memperkuat dan/atau mengurangi
nyeri yang cenderung digunakan pada kondis-kondisi spesifik tertentu: latihan
McKenzie dan latihan stabilisasi lumbal dinamis. Apabila mungkin, kedua bentuk
terapi fisik ini dapat dikombinasikan.
1. Latihan McKenzie
Latihan ini dinamai sesuai dengan ahli terapi fisik dari New Zealand yang
menemukan bahwa ekstensi tulang belakang dapat mengurangi nyeri yang
ditimbulkan dari daerah discus intervertebralis. Secara teori, ekstens juga dapat
mengurangi discus yang terherniasi dan mengurangi penekanan pada cabang
saraf.
Pada pasien-pasien yang menderita nyeri tungkai akibat herniasi discus
(suatu radikulopati), ekstensi tulang belakang dapat mengurangi nyeri tungkai
dengan “memusatkan” nyeri (memindahkan nyeri dari tungkai ke arah
pinggang). Bagi sebagian besar pasien, nyeri punggung bawah masih lebih
dapat ditolerir dibandingkan dengan nyeri tungkai, dan apabila pasien dapat
memusatkan nyeri maka mereka dapat meneruskan dengan terapi konservatif
serta tidak memerlukan pembedahan.
Apabila nyeri bersifat akut, latihan perlu dilakukan lebih sering (setiap
satu sampai dua jam). Pasien juga sebaiknya menghindari fleksi tulang belakang
(membungkuk ke depan).
Latihan McKenzie juga dapat membantu pasien yang mengalami nyeri
23
punggung bawah akibat penyakit discus degenerative. Saat berada dalam posisi
duduk atau membungkuk ke depan, nyeri punggung bawah dapat menjadi lebih
berat pada pasien dengan penyakit discus degenerative, sedangkan ekstensi
tulang belakang dapat mengurangi penekanan pada discus. Perlu dicatat bahwa
pada pasien usia lanjut dengan osteoarthritis facet joint dan/atau stenosis
lumbal, hal yang sebaliknya yang terjadi (Ekstensi akan menekan facet joint dan
meningkatkan tekanan pada sendi tersebut sehingga pasien-pasien ini akan
merasa lebih nyaman saat duduk).
2. Latihan stabilisasi lumbal dinamis
Pada teknik ini, terapis akan berupaya menemukan posisi netral tulang
belakang pasien, yaitu posisi tulang belakang yang paling nyaman bagi pasien.
Otot-otot punggung kemudian dilatih untuk melatih tulang belakang agar
bertahan pada posisi tersebut. Teknik ini mengandalkan propriosepsi, yaitu
kesadaran akan posisi sendi diri sendiri. Apabila dilakukan secara rutin, latihan
ini dapat memelihara agar punggung tetap kuat dan berada dalam posisi yang
baik.
Latihan stabilisasi ini juga dapat dilakukan besamaan dengan latihan
McKenzie. Latihan McKenzie berperan mengurangi nyeri punggung bawah,
sedangkan latihan stabilisasi membantu memperkuat tulang belakang. Latihan
stabilisasi biasanya berat dan intensif, sehingga tidak semua pasien dapat
mentolerirnya dengan baik. Disarankan pada pasien usia.
c. Latihan Low-Aerobic Low-Impact
Pemulihan kondisi menggunakan latihan aerobic low impact sangat bermanfaat
baik untuk rehabilitasi maupun mempertahan kan pinggang. Pasien yang terlatih
secara aerobic memiliki insidensi nyeri punggung bawah yang lebih rendaj, dan saat
serangan terjadi nyerinya lebih ringan. Pasien yang bugar lebih mungkin untuk
bertahan secara fungsional (misalnya terus bekerja dan melakukan aktivitas rekreasi,
sedangkan pasien dengan nyeri punggung bawah kronis yang menolak pengkondisian
aerobic sebaiknya siap mengalami hilangnya kemampuan fungsional secara bertahap.
Latihan aerobic sebaiknya dilakukan secara kontinyu untuk meningkatkan detak
jantung dan mempertahankannya pada detak yang tinggi. Selain itu, diperkirakan
bahwa latihan aerobic 30 – 40 menit memiliki keuntungan pelepasan endorphin yang
24
merupakan molekul yang melawan nyeri (pelepasan endorphin mungkin memberikan
istilah “runner’s high” untuk keadaan ini).
Terdapat beberapa jenis latihan aerobik yang aman bagi tulang belakang, dan
apabila dilakukan secara teratur sangat bermanfaat dalam pengkondisian.
1. Berjalan kaki
Secara umum, berjalan kaki sangan aman bagi pinggang, dan berjalan
sejauh dua sampai tiga mil per minggu sangat membantu pasien.
2. Bersepeda statis
Apabila berjalan kaki terasa nyeri, bersepeda statis juga efektif serta
mungkin lebih aman bagi tulang belakang.
3. Terapi air.
Latihan di dalam air memungkinakn pengkondisian yang efektif sambil
neminimalisir stress pada pinggang .Memulai latihan aerobic juga memiliki efek
tambahan berupa menghilangkan beban dari tulang belakang, sehingga
memungkinkan mobilisasi yang lebih baik dengan nyeri yang lebih sedikit.
Terkadang, seiring dengan berjalannya terapi, latihan dapat diganti secara
bertahap dengan latihan di darat.
Terapi air sangat bermanfaat bagi pasien yang berada dalam nyeri yang
terlalu hebat sehingga tidak dapat mentolerir latihan di darat. Bagi pasien yang
menderita osteoarthritis, terutama pada pasien usia lanjut, terapi air dan latihan
aerobic yang berkelanjutan mungkin merupakan pilihan terapi yang paling
efektif.
d. Chiropractic/osteopathic
Pengobatan Chiropractic and osteopathic merupakan pilihan terapi konservatif
lainnya bagi pasien dengan nyeri punggung bawah. Filosofi yang mendasari
manipulasi chiropractic dan osteopathic manipulations adalah bahwa gangguan fungsi
sendi pada tulang belakang bagian bawah (lumbal) dapat menimbulkan nyeri
punggung bawah. Mobilisasi tulang belakang daerah lumbal menggunakan
manipulasi sendi dapat mengurangi nyeri punggung bawah. Manipulasi Chiropractic
atau osteopathic manipulations dapat sangat bermanfaat dalam mengurangi nyeri pada
cedera facet joint, osteoarthritis, dan disfungsi sendi sakroiliaka, karena kondisi-
kondisi ini merupakan gangguan sendi yang memiliki respon yang baik terhadap
mobilisasi.
25
3. Back Braces
Pergerakan tulang belakang lumbal dapat menghambat penyembuhan fraktur
atau fusi pasca operasi. Mengurangi pergerakan tulang belakang akan mendukung
proses penyembuhan tulang pada kedua kondisi tersebut diatas, dan biasanya juga
akan mengurangi insidensi nyeri atau rasa tidak nyaman pada pinggang.
Terdapat dua jenis back brace yang sering digunakan untuk mengurangi
pergerakan tulang belakang:
1. Rigid braces Rigid braces, seperti Boston Overlap braces atau
Thoracolumbar Sacral Orthosis (TLSO), merupakan brace plastic yang
mengikuti lekuk tubuh. Apabila ukuran rigid brace tepat, penggunaannya
dapat menghambat kurang lebih 50% pergerakan tulang belakang. Fraktur
sering dapat ditangani dengan penggunaan rigid brace yang juga dapat
digunakan pasca operasi fusi. Rigid braces cukup berat, panas, dan
cenderung tidak nyaman bagi pasien. Sebaiknya dipakai saat pasien
sedang dalam posisi tegak namun tidak dipakai saat pasien sedang
berbaring.
2. Corset braces (braces elastis) Sebuah corset brace sering dianjurkan untuk
membatasi pergerakan tulang belakang pasca fusi lumbalis. Brace ini
membantu mengurangi pergerakan tulang belakang sementara fusi sedang
menyembuh dengan cara menghambat pergerakan membungkuk ke depan.
Tulang tumbuh dengan lebih baik apabila pergerakan lebih sedikit, dan
terutama pada kasus- kasus tanpa penggunaan instrumentasi (alat-alat
yang membantu stabilisasi), penggunaan brace dapat membantu
terbentuknya fusi yang solid.
Orang-orang dengan pekerjaan yang melibatkan gerakan mengangkat beban
berat sering menggunakan corset brace. Brace ini bekerja dengan menghambat
pergerakan dan sekaligus mengingatkan pemakainya untuk mempertahankan postur
tubuh yang baik saat mengangkat. Dengan memakai corset brace, seseorang yang
mengangkat beban akan melakukannya dengan posisi punggung yang lurus (tidak
membungkuk), dan mengandalkan otot tungkai yang besar untuk mengangkat.
26
4. Suntikan
Suntikan merupakan pilihan terapi konservatif lain yang berguna untuk nyeri
punggung bawah. Metode ini umumnya dianggap sebagai pilihan untuk mengatasi
nyeri punggung bawah setelah penggunaan obat-obatan dan/atau terapi fisik telah
dituntaskan, namun sebelum pembedahan dilakukan. Suntikan dapat dilakukan baik
untuk mengurangi nyeri, maupun sebagai alat diagnostic untuk membantu
mengidentifikasi sumber nyeri punggung bawah pasien.
Untuk mengurangi nyeri, injeksi mungkin lebih efektif dibandingkan
pengobatan oral karena dapat menyampaikan medikasi langsung pada daerah yang
menyebabkan nyeri. Umumnya, medikasi steroid disuntikkan untuk menyampaikan
larutan anti inflamasi yang kuat langsung pada sumber nyeri. Efek anti nyeri dapat
bertahan lama atau singkat, sesuai dengan jenis injeksinya.
Untuk kepentingan diagnostik, suntikan dapat digunakan untuk membantu
menentukan struktur apa pada punggung yang menimbulkan rasa nyeri. Apabila
digunakan lidokain atau medikasi anastesi lainnya digunakan, maka pasien akan
merasakan efek anti nyeri yang temporer setelah daerah anatomis tersebut diinjeksi
(misalnya sendi facet atau sakroiliaka). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
daerah spesifik tersebut merupakan sumber nyeri. Apabila digabungkan dengan
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan penunjang diagnostik lain, penggunaan injeksi
sebagai alat bantu diagnostic dapat sangat bermanfaat untuk membantu menentukan
terapi lebih lanjut pada pasien.
a. Epidural
Injeksi yang paling sering dilakukan adalah injeksi steroid ke epidural. Pada
pendekatan ini, steroid diinjeksikan langsung disekitar dura, yaitu kantung di sekitar
cabang saraf yang mengandung cairan serebrospinal (cairan yang meliputi saraf
pusat). Sebelum injeksi, kulit dianastesi terlebih dahulu dengan menggunakan jarum
berukuran kecil menggunakan anastesi lokal.
Injeksi steroid di sekitar kantung dura dapat mengurangi inflamasi yang
ditemukan pada kondisi-kondisi seperti stenosis spinal, herniasi discus, atau penyakit
discus degenerative. Diperkirakan bahwa juga terdapat efek “flushing” dari injeksi
yang membantu mengeluarkan protein-protein inflamatorik dari sekitar struktur-
27
struktur yang menyebabkan nyeri.
Injeksi epidural umumnya dapat berhasil mengurangi nyeri punggung bawah
pada 50% asien. Meskipun efek suntikan hanya sementara (satu minggu sampai satu
tahun), suntikan epidural dapat sangat bermanfaat dalam memberikan rasa bebas nyeri
bagi pasien selama serangan nyeri punggung bawah dan membantu pasien menjalani
proses rehabilitasi.
Belum dilakukan penelitian definitive untuk menentukan jumlah suntikan yang
diperlukan, namun secara umum dianggap bahwa tiga suntikan setahun merupakan
jumlah yang dapat diterima. Selain itu, tidak ditemukan adanya konsensus yang
mengatakan apakah selalu harus dilakukan tiga kali suntikan dalam setahun. Beberapa
dokter memilih untuk menyimpan jatah satu atau dua suntikan untuk keadaan-keadaan
potensial rekurensi nyeri punggung bawah.
Secara umum, terdapat beberapa risiko yang berkaitan dengan injeksi epidural.
Risiko jarang terjadi, diantaranya:
a. Dapat terjadi “wet tap” yang berarti jarum telah menembus kantung dura
dan mencapai cairan serebrospinal. “Wet tap“ dapat berakibat kebocoran CSS
dan menyebabkan nyeri kepala spinal.
b. Infeksi pada ruang epidural merupakan risiko yang jarang terjadi.
c. Meskipun tidak terdapat risiko paralisis (karena spinal cord berakhir pada
vertebrae yang lebih tinggi) masih terdapat risiko kecil terjadinya kerusakan
pada cabang saraf.
Suntikan epidural sebaiknya tidak dilakukan pada pasien yang nyerinya
diakibatkan oleh tumor atau infeksi. Apabila terdapat kecurigaan kearah tersebut,
perlu dilakukan pemeriksaan MRI terlebih dahulu untuk memastikan.
b. Selective nerve root block (SNRB)
Merupakan injeksi yang sering dilakukan, SNRB terutama digunakan untuk
mendiagnosa sumber spesifik nyeri cabang saraf, dan sekaligus menghilangkan nyeri
punggung bawah dan/atau nyeri tungkai.
Apabila cabang saraf terkompresi dan mengalami inflamasi, dapat timbul nyeri
punggung bawah dan/atau nyeri tungkai. Umumnya, pemeriksaan radiologis
(misalnya MRI) tidak dapat menunjukkan dengan jelas saraf mana yang menyebabkan
nyeri, dengan demikian dilakukan injeksi SNRB untuk membantu mengisolasi sumber
28
nyeri. Selain fungsi diagnostiknya, jenis injeksi ini juga dapat digunakan sebagai
terapi herniasi discus lateral jauh (discus yang mengalami ruptur di luar kanalis
spinalis).
Pada SNRB, saraf dicapai pada tingkat dimana saraf tersebut meninggalkan
foramen (lubang antara corpus vertebra). Injeksi dilakukan menggunakan steroid
(medikasi anti-inflamasi) dan lidokain (zat anastesi). Fluoroskopi digunakan untuk
memastikan bahwa medikasi disampaikan ke lokasi yang tepat. Apabila nyeri pasien
menghilang setelh injeksi, dapat disimpulkan bahwa penyebab nyeri adalah cabang
saraf spesifik yang baru saja diinjeksi. Setelah injeksi, steroid dapat membantu
mengurangi inflamasi di seputar cabang saraf.
Tingkat keberhasilan sangat bervariasi tergantung diagnosis primernya dan
apakah injeksi digunakan secara primer untuk diagnosis. Meskipun tidak terdapat
peneltian definitive untuk menentukan frekuensi SNMB, secara umum dianggap
batasan SNRB adalah tiga kali dalam satu tahun.
Secara teknis, injeksi SNRB lebih sulit untuk dilakukan dibandingkan epidural,
dan sebaiknya dilakukan oleh dokter yang berpengalaman. Karena injeksi dilakukan
di luar tulang belakang, tidak terdapat risiko “wet tap”. Meskipun demikian, karena
injeksi dilakukan dekat dengan cabang saraf, terkadang SNRB dapat memperberat
nyeri tungkai pasien.
c. Blok Facet joint
Pada kasus-kasus dimana sendi facet sendiri merupakan sumber nyeri, injeksi
blok facet dapat digunakan untuk mengurangi nyeri. Seperti SNRB, injeksi blok facet
juga merupakan alat diagnsotik untuk mengisolasi dan memastikan sumber nyeri yang
spesifik pada pasien. Selain itu, blok ini memeiliki efek terapi karena mematikan rasa
pada sumber nyeri dan mengurangi inflamasi pada pasien.
Sendi facet merupakan sendi berpasangan pada tulang belakang yang memiliki
permukaan kartilago berpasangan dan kapsul. Cedera puntiran dapat menyebabkan
kerusakan pada salah satu atau kedua sendi facet, dan degenerasi kartilago yang
berkaitan dengan penuaan juga dapat menimbulkan nyeri.
Pada prosedur blok sendi facet, seorang dokter akan menggunakan fluoroskopi
untuk membimbing jarum menuju kapsul sendi facet untuk menginjeksi lidokain
dan/atau steroid (medikasi anti-inflamasi). Apabila nyeri pasien menghilang setelah
injeksi, maka dapat disimpulkan bahwa sumber nyeri adalah kapsul sendi facet yang
29
baru saja diinjeksi.
Apabila blok facet berhasil menghilangkan nyeri punggung bawah pasien, maka
dianggap tiga kali suntikan dalam setahun merupakan batasan yang wajar. Risiko
prosedur ini sangat kecil.
d. Rhizotomi Facet
Pada beberapa program nyeri punggung bawah, apabila tiga kali blok facet
dapat menghilangkan nyeri pasien untuk sementara, maka dapat dipertimbangkan
rhizotomi facet. Tujuannya adalah untuk menghasilkan rasa bebas nyeri yang
berkepanjangan dengan menghambat saraf sensoris yang menuju sendi facet tersebut.
Pada prosedur ini, sebuah jarum dengan pemindai dimasukkan sampai terletak
di luar sendi. Pemindai kemudian dipanaskan menggunakan gelombang radio dan
kemudian ditempelkan dengan saraf sensoris pada sendi untuk mematikan saraf
tersebut. Secara teoritis, dengan mematikan saraf sensoris sendi facet, maka dapat
mencegah impuls nyeri mencapai otak.
Rhizotomi facet bermanfaat dalam meberikan rasa bebas nyeri pada kurang
lebih 50% pasien.
e. Blok sendi Sakroiliaka
Injeksi sendi sakroiliaka (SI) adalah injeksi yang terutama digunakan untuk
mendiagnosa dan mengatasi nyeri punggung bawah yang berkaitan dengan gangguan
sendi sakroiliaka. Sendi SI terletak dekat tualng belakang dan menghubungkan
sacrum dengan pelvis.
Pada pendekatan blok sendi SI, seorag dokter menggunakan fluoroskopi dan
memasukkan jarum ke dalam sendi SI untuk menginjeksikan lidokain dan steroid.
Dibutuhkan keahlian dan pengalaman yang tinggi untuk dapat memasukkan jarum ke
dalam sendi sakroiliaka.
Blok sendi SI dapat dilakukan sampai sebanyak tiga kali dalam setahun. Untuk
dapat berhasil, maka injeksi harus diikuti dengan terapi fisik.
Terapi Farmakologis
1. Asetaminofen
Penggunaan asetaminofen dosis penuh (2 sampai 4 g per hari) sebagai terapi lini
pertama didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan beberapa pedoman terapi
30
(rekomendasi A). Harus diketahui bahwa pada pasien dengan riwayat alkoholisme,
sedang puasa, memiliki penyakit liver, mengonsumsi obat tertentu (terutama
antikonvulsan), atau orang tua yang lemah, toksisitas hati dapat terjadi pada dosis
yang direkomendasikan. Selanjutnya, toksisitas asetaminofen meningkat secara
substansial jika dikonsumsi bersamaan dengan dengan inhibitor siklooksigenase-2
spesifik (COX-2) atau obat-obat anti-inflamasi (NSAID).
2. NSAID
Ada bukti kuat keberhasilan penggunaan NSAID pada nyeri akut dan bukti
moderat pada nyeri kronis (rekomendasi A). NSAID direkomendasikan oleh sebagian
besar pedoman pengobatan. Semua NSAID tampaknya memiliki khasiat yang sama.
Mempertimbangkan manfaat dibandingkan efek samping, American Geriatrics
Society merekomendasikan COX-2 inhibitor sebagai terapi lini pertama dibandingkan
NSAID non spesifik. Salisilat non-asetil (kolin magnesium trisalicylate, salsalat)
terbukti efektif dan memiliki lebih sedikit efek samping gastrointestinal dibandingkan
NSAID non spesifik dengan biaya lebih rendah daripada lebih agen selektif. Jika
NSAID non spesifik yang dipilih, sitoproteksi lambung harus dipertimbangkan
berdasarkan profil risiko pasien. NSAID harus dipertimbangkan ketika peradangan
diyakini memainkan peran penting dalam proses produksi nyeri.
3. Relaksan Otot
Bukti yang mendukung penggunaan relaksan otot masih kurang jelas
(rekomendasi B). Sebuah tinjauan dari 14 percobaan acak terkontrol moderat
berkualitas menunjukkan bahwa cyclobenzaprine lebih efektif daripada plasebo dalam
pengelolaan nyeri leher dan punggung. Namun, efeknya minimal dengan efek
samping yang lebih besar. Efek tertinggi terjadi dalam 4 hari pertama terapi.
Kesimpulan serupa juga sama untuk obat lain yang sejenis. Baclofen dan Tizanidine
memiliki lebih sedikit potensi kecanduan daripada relaksan otot lainnya. Relaksan
otot tidak dianjurkan untuk WAD fase akut karena bukti tentang manfaatnya masih
belum jelas.
4. Opioid
Sebuah badan literatur ekstensif melaporkan efektivitas jangka pendek opioid
dalam berbagai sindrom nyeri (rekomendasi A). Namun, tidak ada penelitian acak
31
berkualitas tinggi untuk menunjukkan manfaat dan keamanan opioid jangka panjang
untuk setiap indikasi pemberiannya. Kegunaan opioid pada nyeri leher harus
seimbang dengan efek samping yang ditimbulkan seperti sembelit, sedasi, dan
ketergantungan. Beberapa pihak mendukung penggunaan opioid dalam berbagai
sindrom nyeri ketika strategi lain tidak melngurangi rasa sakit secara adekuat, dan ada
bukti jelas bahwa obat ini tidak merugikan pasien dan memberikan peningkatan yang
signifikan dan berkelanjutan.
5. Antidepresan ajuvan dan Antikonvulsan
Meskipun tidak ada penelitian acak berkualitas terkontrol untuk penggunaan
agen ini secara khusus pada nyeri leher, penggunaannya, terutama dalam nyeri kronis
dan neuropatik, secara didukung secara luas oleh berbagai literatur (rekomendasi A).
Juga harus dicatat bahwa dalam sindrom nyeri kronis, depresi sering terjadi
bersamaan, dan pengobatan depresi secara agresif sering memberikan bermanfaat.
6. Hipnotik sedatif
Tidak ada penelitian acak berkualitas terkontrol yang cukup panjang untuk
menunjukkan manfaat dan keamanan jangka panjang obat ini untuk mengobati nyeri.
Selain menghilangkan rasa sakit yang secara khusus disebabkan oleh kejang otot, obat
ini bukan penghilang rasa sakit yang efektif.
7. Steroid
Injeksi steroid epidural adalah prosedur yang biasa dilakukan untuk nyeri leher
radikuler dan nyeri punggung bawah. Hasil uji coba dibagi antara hasil yang positif
dan negatif. Perbedaan hasil yang didapat merupakan akibat, setidaknya sebagian,
dari penyakit yang berbeda antar kelompok pasien dan perbedaan teknik. Uji coba
terakhir dengan pemilihan pasien yang lebih hati-hati dan teknik terstandar telah
menunjukkan hasil yang lebih positif. Oleh karena itu keputusan untuk
mempertimbangkan penggunaan steroid epidural pada setiap pasien merupakan
latihan dalam penilaian klinis. Tidak ada ada alasan yang jelas dalam penggunaan
injeksi steroid epidural pada nyeri nonradicular. Penggunaan steroid untuk nyeri
radikuler harus jelas (rekomendasi B). Beberapa pihak merekomendasikan
penggunaan injeksi steroid epidural, sedangkan yang lain tidak. Percobaan sederhana
yang mempelajari manfaat klinis steroid sistemik masih belum meyakinkan, dan uji
32
klinis untuk membandingkan steroid oral dan epidural masih belum ada. Injeksi
steroid intraartikular belum terbukti dapat menghilangkan rasa sakit jangka panjang
yang efektif, dan penggunaan steroid tidak dianjurkan untuk mengobati WAD kronis.
Terapi operatif pada pasien dilakukan jika:
1. Pasien mengalami HNP grade 3 atau 4.
2. Tidak ada perbaikan lebih baik, masih ada gejala nyeri yang tersisa, atau ada
gangguan fungsional setelah terapi konservatif diberikan selama 6 sampai
12 minggu.
3. Terjadinya rekurensi yang sering dari gejala yang dialami pasien
menyebabkan keterbatasan fungsional kepada pasien, meskipun terapi
konservatif yang diberikan tiap terjadinya rekurensi dapat menurunkan
gejala dan memperbaiki fungsi dari pasien.
4. Terapi yang diberikan kurang terarah dan berjalan dalam waktu lama.
Pilihan terapi operatif yang dapat diberikan adalah:
1. Distectomy:
pengambilan sebagian diskus intervertabralis.
2. Percutaneous distectomy:
pengambilan sebagian diskus intervertabralis dengan menggunakan jarum
secara aspirasi.
3. Laminotomy/laminectomy/foraminotomy/facetectomy:
melakukan dekompresi neuronal dengan mengambil beberapa bagian dari
vertebra baik parsial maupun total.
4. Spinal fusion dan sacroiliac joint fusion:
penggunaan graft pada vertebra sehingga terbentuk koneksi yang rigid diantara
vertebra sehingga terjadi stabilitas.
G. Pencegahan
Hernia nucleus pulposus dapat dicegah terutama dalam aktivitas fisik dan pola
hidup. Hal-hal berikut ini dapat mengurangi risiko terjadinya HNP:
1. Olahraga secara teratur untuk mempertahankan kemampuan otot, seperti
berlari dan berenang.
2. Hindari mengangkat barang yang berat, edukasi cara mengangkat yang benar.
33
3. Tidur di tempat yang datar dan keras.
4. Hindari olahraga/kegiatan yang dapat menimbulkan trauma
5. Kurangi berat badan.
34
DAFTAR PUSTAKA
Adochio M. R. 2004. Disc Herniation or Degenerative Disc Disease. 1-23.
Oklahoma Workers’ Compensasion Court. 2009. Guidelines for Treatment of
The Lumbar Spine. 1-14.
Autio R. 2006. MRI of Herniated Nucleus Pulposus: Correlation with Clinical
Findings, Determinants of Spontaneous Resorption and Effects of Anti-
Inflammatory Treatments on Spontaneous Resorption. 19-20.
Bartlett N. A. 2010. The Effectiveness of Anular Repair as Illustrated in an In Vitro
Laboratory Simulation. 1-14.
Cukke, M.H., Ilyas M., Murtala B., Liyadi F. 2011. Congruity Between Degeneration
Disc Signs on Plain X-Ray and Magnetic Resonance Imaging of Lumbosacral
in Low Back Pain patients. 1-2.
Indonesia, K. K. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia.
Isaacs B., Nirav P. 2009. Herniated Disc Disease: Diagnostics.1-7.
Palmer & Epler. 1998. Fundamentals of Musculoskeletal Assessment Techniques 2nd
Ed. 1-9.
Rahim H. A., Priharto K. Terapi Konservatif untuk Low Back Pain. 1-15.
http://www.jamsostek.co.id/content_file/terapi.pdf [accessed 10 November
2014].
Raj. P.P, M.D., F.I.P.P, A.B.I.P.P. 2008. Intervertebral Disc: Anatomy-Physiology-
Pathophysiology-Treatment. 19-21.
Shankar H., M.B.B.S., Scarlett A.J. M.D., Abram E. S. M.D. 2009. Anatomy and
Pathophysiology of Intervertebral Disc Disease. 67-75.
Tulaar, B.M.A. 2008. Nyeri Leher dan Punggung. 9.
35