36
Drug Induced Hepatitis 2.1.Pendahuluan Hepatitis karena obat adalah peradangan/inflamasi pada hati yang disebabkan oleh reaksi obat Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat. Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom hati akan melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga terbentuk metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu. Dengan faal sedemikian ini, tidak mengherankan bila hati mempunyai kemungkinan yang cukup besar pula untuk dirusak oleh obat. Hepatitis karena obat pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung lama dan fatal. 1 Metabolisme obat terjadi dalam 2 tahap. Pada tahap 1 reaksi, obat dijadikan polar oleh proses oksidasi atau hydroxilasi. Tidak semua obat-obatan melalui tahap ini, beberapa dapat langsung menjalani reaksi tahap 2. Enzim cytochrome P-450 enzim mengkatalisis reaksi tahap 1. Sebagian besar produk intermediatnya bersifat transient dan sangat reaktif. Ini dapat menyebabkan reaksi pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun dari substrat obatnya dan dapat menyebabkan kerusakan hati. Enzim Cytochrome P-450 adalah hemoprotein yang terdapat pada reticulum endoplasmic hati. Setiap enzim P-450 dapat metabolisme banyak obat-obatan. Tahap 2 reaksi mungkin terjadi di dalam maupun di

Hepatitis Karena Obat

  • Upload
    reganjm

  • View
    58

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hepatitis Karena Obat

Citation preview

Drug Induced Hepatitis2.1.Pendahuluan Hepatitis karena obat adalah peradangan/inflamasi pada hati yang disebabkan oleh reaksi obat Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat. Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom hati akan melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga terbentuk metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu. Dengan faal sedemikian ini, tidak mengherankan bila hati mempunyai kemungkinan yang cukup besar pula untuk dirusak oleh obat. Hepatitis karena obat pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung lama dan fatal.1 Metabolisme obat terjadi dalam 2 tahap.Pada tahap 1 reaksi, obat dijadikan polar oleh proses oksidasi atau hydroxilasi. Tidak semua obat-obatan melalui tahap ini, beberapa dapat langsung menjalani reaksi tahap 2. Enzim cytochrome P-450 enzim mengkatalisis reaksi tahap 1. Sebagian besar produk intermediatnya bersifat transient dan sangat reaktif. Ini dapat menyebabkan reaksi pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun dari substrat obatnya dan dapat menyebabkan kerusakan hati. Enzim Cytochrome P-450 adalah hemoprotein yang terdapat pada reticulum endoplasmic hati. Setiap enzim P-450 dapat metabolisme banyak obat-obatan. Tahap 2 reaksi mungkin terjadi di dalam maupun di luar hati. Obat-obatan dikonjugasi dengan asetat, asam amino, sulfate, glutathione, asam glucuronic, yang selanjutnya akan meningkatkan daya larut.2

2.2.EpidemiologiHepatitis karena obat terjadi pada delapan dalam setiap 10.000 orang. Perempuan cenderung terpengaruh hampir dua kali dibandingkan laki-laki. Orang dewasa lebih rentan terhadap jenis hepatitis ini karena tubuh mereka tidak mampu memperbaiki dengan cepat sel-sel hepatosit yang rusak seperti pada orang muda.3 Di Amerika terdapat sekitar 200 kasus penyakit hati akut. 50% diantaranya adalah karena penggunaan obat terdiri dari 30% karena acetaminophen, 13% adalah reaksi idiosinkratik akibat pengobatan lainnya. 2 5% kasus akibat penggunaan obat di rumah sakit dengan jaundice, 10% dari semua kasus adalah hepatits akut.

2.3.Faktor ResikoBeberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya hepatitis karena obat, yaitu :21. Ras : Beberapa obat memiliki toksisitas yang berbeda tergantung ras. Misalnya, kulit hitam lebih rentan terhadap isoniazid (INH). 2. Hepatitis karena obat jarang ditemukan pada anak-anak. Resikonya meingkat pada orang tua. 3. Jenis kelamin : Dengan alasan yang tidak diketahui, hepatitis jenis ini lebih sering terjadi pada perempuan. 4. Konsumsi alkohol : orang yang mengkonsumsi alkohol lebih rentan terhadap hepatiis karena obat karena kerusakn hati mengubah metabolisme obat-obatan. Alkohol menyebabkan penipisan glutathione (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan. 5.Faktor resiko lain : Orang dengan AIDS, malnutrisi, dan berpuasa mungkin rentan terhadap narkoba karena rendahnya glutathione.

2.4.EtiologiBeberapa contoh obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya hepatitis karena obat, yaitu :21.Acetaminophen: Hepatoksisitas dari acetaminophen disebabkan oleh senyawa metabolit NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone-imine). Ini adalah senyawa metabolit yang dihasilkan oleh cytochrome P-450-2E1.2.Amoxicillin: Amoxicillin menyebabkan peningkatan kadar SGOT, SGPT, atau keduanya. 3.Amiodarone: Amiodarone menyebabkan hasil tes fungsi hati tidak normal dalam 15-50% dari pasien. 4.Chlorpromazine: Kerusakan hati akibat Chlorpromazine menyerupai hepatitis infeksi dengan fitur laboratorium jaundice obstruktif lebih jelas daripada kerusakan parenkim. 5.Ciprofloxacin : Kira-kira 1,9% dari pasien yan menggunakan ciprofloxacin menunjukkan tingkat SGPT tinggi, 1,7% mengalami peningkatan SGOT, 0,8% mengalami peningkatan alkalin phosphatase, dan 0,3% kadar bilirubin meningkat. 6.Diclofenac: Perempuan tua lebih rentan terhadap kerusakan hati akibat diclofenac. Peningkatan dari satu atau lebih hasil tes hati mungkin terjadi. 7.Erythromycin: Erythromycin dapat menyebabkan kerusakan hati, termasuk peningkatan enzim hati dan hepatocellular dan/atau hepatitis cholestatis dengan atau tanpa jaundice. 8.Fluconazole: Menyebabkan peningkatan transaminase. 9.Isoniazid : Hepatitis berat telah dilaporkan pada pasien yang mendapat terapi INH. Pasien yang diberikan INH harus diawasi secara hati-hati.10.Methyldopa: Methyldopa merupakan antihipertensi yang merupakan kontraindikasi pada pasien dengan penyakit hati aktif. 11.Kontrasepsi oral : kontrasepsi oral dapat mengakibatkan intrahepatic cholestasis dengan pruritus dan jaundice dalam sejumlah kecil pasien. 12.Statin/HMG-COA reductase inhibitors : Penggunaan statin terkait dengan abnormalitas biokimiawi dari fungsi hati. 13.Rifampicin: Rifampicin biasanya diberikan dengan INH. Rifampin sendiri dapat menyebabkan hepatitis ringan.

2.5.Patogenesis1.Mekanisme patofisiologi2a.Gangguan hepatosit : Ikatan kovalen dari obat dengan protein intrasellular dapat menyebabkan penurunan ATP, yang menyebabkan gangguan aktin. Gangguani aktin di permukaan hepatosit menyebabkan pecahanya membrane hepatosit. b.Gangguan transportasi protein: Obat-obatan yang mempengaruhi transportasi protein di membrane canalicular dapat mengganggu arus empedu. Hilangnya processus villous dan gangguan pompa transportasi seperti resistensi multidrug-protein 3 menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan cholestasis. c.Aktivasi sel Cytolytic T : Ikatan kovalen obat pada enzim P-450 bertindak sebagai immunogen, mengaktifkan sel T dan cytokines dan merangsang kekebalan tubuh yang multi respon. d.Apoptosis hepatosit : Aktivasi jalur apoptotic oleh reseptor faktor tumor nekrosis-alpha receptor oleh Fas memicu kaskade intraselular, yang menghasilkan kematian sel. e.Gangguan mitokondria : Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda terhadap produksi energi beta-oksidasi oleh hambatan sintesis Nikotinamid adenin dinukleotida dan flavin adenin dinukleotida, mengakibatkan penurunan produksi ATP. f.Kerusakan saluran empedu : metabolit toksik yang dieksresikan di empedu dapat menyebabkan kerusakan epitel saluran empedu. 2.Mekanisme toksisitas obat1Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang unpredictable.a.Hepatotoksin yang predictable (intrinsik) : merupakan obat yang dapat dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan kepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat yang langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak secara tidak langsung yaitu dengan mengacaukan metabolisme atau faal sel hati. Obat hepatotoksik predictable yang langsung merusak sel hati umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya ialah karbon tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang merusak secara tidak langsung masih banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol dan metotreksat menimbulkan steatosis yaitu degenerasi lemak pada sel hati. Parasetamol menimbulkan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid yang mengalami alkilasi pada atom C-17 menimbulkan ikterus akibat terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan ikterus karena mempengaruhi konyugasi dan transpor bilirubin dalam hati. b.Hepatotoksin yang unpredictable : kerusakan hati yang timbul disini bukan disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme. Yang timbul karena hipersensitivitas biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses sensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam kulit, eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan granulomatosa atau eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose, gejala-gejala di atas biasanya segera timbul lagi. Reaksi idiosinkrasi yang timbul karena kelainan metabolisme mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit, eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak dapat diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang cukup lama agar penumpukan metabolit hepatotoksik dari obat sampai pada taraf yang memungkinkan terjadinya kerusakan hati

2.6.GejalaGejala-gejala yang dapat ditemukan pada hepatitis karena obat, yaitu : demam, ruam dan gatal pada kulit, diare, nyeri sendi, mual, vomitingmuntah, headachesakit kepala, anorexiaanorexia, jaundice jaundice, feses berwarna seperticlay color stools tanah liat, dark urineair kencing gelap, dan hepatomegaly.4

2.7. DiagnosisKemungkinan hepatitis karena obat selalu perlu dipikirkan pada penderita dengan ikterus. Diagnosa kerja dapat dibuat atas dasar anamnesis mendapat obat tertentu, adanya kelainan spesifik yang disebabkan obat tertentu dan usaha mencari bukti penunjang. Adanya demam dan eosinofilia menyokong diagnosa, tetapi kedua gejala ini tidak selalu dijumpai. Kolestasis intrahepatik relatif sering disebabkan oleh obat, lebih-lebih bila dijumpai adanya peradangan dan sebukan eosinofil di daerah portal. Tetapi ikterus kolestatik akibat steroid mungkin tidak disertai peradangan daerah portal. Berulangnya gangguan faal hati atau hiperbilirubinemia setelah pemberian suatu challenge dose merupakan petunjuk berharga untuk menegakkan diagnosa hepatitis karena obat. Selama tiga hari setelah pemberian challenge dose ini diperiksa kadar fosfatase alkali, SGOT, SGPT dan bilirubin. Kurang lebih 40-60% penderita akan memperlihatkan reaksi berupa kambuhnya gangguan faal hati dalam waktu relatif singkat. Untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan maka pemberian challenge dose ini sebaiknya hanya dibatasi pada obat yang menimbulkan kelainan yang bersifat kolestasis dan obat tersebut masih diperlukan sekali oleh penderita. Challenge dose ini diberikan selama satu hari. Untuk obat yang menimbulkan kerusakan hepatoseluler tindakan ini sebaiknya tidak dilakukan karena membahayakan penderita.1

2.8 Diagnosis BandingDiagnosis banding hepatitis karena obat, yaitu : hepatitis virus akut, hepatitis autoimun, shock hati, cholecystitis, cholangitis, sindrom Budd-Tundo, penyakit hati karena alcohol, cholestatic, penyakit Wilson, hemochromatosis, gangguan pembekuan.2

2.9.PengobatanPengobatan hepatitis karena obat pada prinsipnya sama dengan pengobatan penyakit hati yang ditimbulkan oleh penyebab lain. Obat yang dicurigai sebagai penyebab harus dihentikan. Penderita diberi diet 2500-3000 kalori, 70-100 g protein dan 400-500 g karbohidrat sehari. Bila ada tanda akan terjadi koma hepatikum, protein tidak diberikan dan juga diberikan neomisin per oral. Bila penderita jatuh ke dalam koma, diberikan infus glukosa. Keseimbangan asam-basa dan kebutuhan cairan harus diperhatikan dengan baik. Untuk ikterus yang disebabkan kolestasis hepatokanalikuler, diberikan terapi suportif. Jenis ini umumnya tidak terlalu berbahaya. Bila ikterus menghebat dan timbul rasa gatal, dapat diberikan kortikosteroid atau kolestiramin. Perlu dicatat bahwa kortikosteroid tidak mempercepat sembuhnya penyakit.1

2.10.Komplikasia.Peningkatan tekanan di vena portaDarah dari usus, lien dan pancreas masuk ke hati melalui vena porta. Jika ada kerusakan pada jaringan hati maka akan terjadi bendungan sirkulasi darah yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada vena porta.b.Pelebaran venaKetika ada pembendungan di vena porta maka darah akan mengalir kembali ke perut, esophagus dan traktus intestinal bagian bawah.c.JaundiceTerjadi jika ada peningkatan bilirubin.d.CirrhosisAdalah kondisi hati yan serius dan irreversible.

2.11.PrognosisPrognosis pada pasien drug induced hepatitis semakin baik jika penetapan diagnosis pada awal.

DAFTAR PUSTAKA1. Setiabudy, R. Hepatitis Karena Obat. www.cerminduniakedokteran.com. Diakses : 5 November 20082. Nilesh M. Drug-Induced Hepatotoxicity. http://www.emedicine.com/. Diakses : 6 November 20083. Thomas S. Drug Induced Hepatitis. http://www.healthatoz.com/. Diakses : 6 November 20084. Univeritas Virginia. Drug-Induced Hepatitis. In : Liver, Biliary, and Pancreatic Disorders. http://www.healthsystem.virginia.edu/. Diakses : 6 November 2008

Tuberculosis Paru dengan Hepatitis Drug InduceDibuat oleh: Dinar Purbarena Galih,Modifikasi terakhir pada Sat 24 of Jul, 2010 [07:19]ABSTRAKTuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Penatalaksanaan untuk Tuberkulosis adalah dengan pemakaian obat-obatan anti Tuberkulosis (OAT) yang beberapa diantaranya mempunyai efek samping hepatotoksik yang sering disebut dengan hepatitis drug induce, yaitu hepatitis yang diakibatkan oleh obat-obatan, dalam kasus ini adalah sebagai akibat dari penggunaan obat anti tuberculosis Pirazinamid (PZA).Keyword : Tuberculosis Paru, Hepatitis drug induceHISTORYOs datang ke Rumah Sakit diantar keluarganya dengan keluhan badan lemas. Sejak 2 minggu yll, nafsu makan Os menurun, makan sedikit-sedikit. Keluarga os mengaku bahwa berat badan Os selama sakit menurun, Os semakin terlihat kurus. Keluhan lain: batuk (+), batuk darah (-), ngikil (+) terutama pada malam hari, dahak (+) warna putih kental. Batuk sudah 1 bulan, berobat 3x ke dokter tidak sembuh-sembuh. Keringat malam (-), Os sering meriang, hilang timbul. Sesak nafas (-), nyeri dada (-), sakit kepala (-), nyeri otot (+). Riwayat kontak dengan penderita yang batuk lama (+)adik Os. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang, habitus astenikus (BB=30 kg, TB=160 cm), kesadaran compos mentis, tekanan darah 90/50 mmHg, nadi 96 x/menit, respirasi 24 x/menit, suhu 36,9C. Pemeriksaan BTA adalah negative, dengan hasil Hasil Ro thorax KP duplex aktif, kondisi fisik mendukung untuk diagnosis TB paru. Oleh dokter kemudian langsung diberikan pengobatan anti TB kategori I, namun dalam perjalanan pengobatan, terjadi peningkatan kadar ALT dan AST dalam darah, dan ikterik pun muncul pada pasien ini. Awal pengobatan 03-02-2009, SGOT: 33 (5x) dari batas atas normal, baik ada atau tanpa gejala maka semua obat TB dihentikan. Begitu juga jika didapatkan ALT lebih dari 3 kali (>3x) dari batas atas normal dan penderita ada keluhan/gejala maka semua obat TB juga harus dihentikan, pada kasus tertentu pada keadaan di mana pengobatan TBC sangat diperlukan dapat diberikan pengobatan non-hepatotoksik secara temporer. Jika ALT lebih dari 3x dari batas atas normal namun tidak disertai keluhan/gejala maka obat TB tidak dihentikan namun fungsi hati harus dimonitor/dicek tiap 2 minggu. Setelah obat TB dihentikan, kemudian normalisasi fungsi hati sudah terjadi (ALT kurang dari 2x batas atas normal) maka pengobatan kembali dimulai dengan Rifampisin (dengan atau tanpa etambutol). Setelah diberikan pengobatan tersebut, jika gejala/keluhan kembali atau terjadi kembali peningkatan ALT maka obat terakhir dihentikan. Jika ternyata Rifampisin dapat ditoleransi maka setelah 3-7 hari dimulai pemberian dengan Isoniazid, dan jika selanjutnya tidak ada lagi gangguan fungsi hati maka pengobatan dapat dilanjutkan. Pada penderita dengan kelainan hati, Pirazinamid (Z) tidak boleh digunakan.Referensi 1. Guyton, A.C. (1995). Anatomi Fisiologi Hepar. Dalam Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi ke-3. EGC: Jakarta. Hal:1103-11052. Dorland, W.A., Newman. (2002). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi ke-29. EGC: Jakarta. Hal:14343. Tostmann et al. (2007). Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity: Concise up-to-date review. Diakses tanggal 19 Januari 2010, dari http://nejm.com.4. Neal, M.J. (2005). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi 5. Erlangga: Jakarta.5. Mansjoer et al (2001). Tuberkulosis Paru. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Media Aesculapius FKUI: Jakarta. Hal: 472-4766. Jewetz et al. (1996). Mikobakteria. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. EGC: Jakarta. Hal: 472-4767. Anderson, Sylvia (1995). Patofisiologi Proses-proses Penyakit. Cetakan I. Edisi 4. EGC:Jakarta. Hal:753-7638. Sudoyo,W.Aru (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta. Hal: 998-1003, 1066-1071