22
HASIL PEMBENARAN: DAMAI (ROMA 5:1-11) Para sarjana memiliki usulan tema yang berbeda untuk 5:1-11 (juga 5:12-21). Tema yang diusulkan sangat beragam dan kompleks. Konklusi yang pasti dalam hal tersebut tampaknya sulit dicapai. Secara umum dapat dikatakan bahwa para sarjana menyetujui 5:1-11 berbicara tentang hasil pembenaran, namun mereka belum mencapai konsensus tentang hasil spesifik yang dimaksud Paulus. Ada dua usulan yang sangat mungkin menjadi inti 5:1-11: damai dengan Allah (Cranfield) atau kepastian pengharapan (Moo). Alternatif pertama didukung dengan pemunculan ide ‘pendamaian’ di awal dan akhir 5:1- 11. Alternatif kedua didukung oleh isi pembahasan ayat 2-10 yang berpusat pada pengharapan. Ayat 10 secara khusus menyiratkan maksud Paulus yang lebih dari sekedar ‘pendamaian’ dengan Allah. Selain itu, ide tentang kepastian pengharapan di 5:1-11 akan membuat inclusio yang indah dengan ide yang sama di 8:18-39. Walaupun dua ide tersebut saling terkait, namun ide tentang pengharapan tampaknya lebih mendominasi bagian ini. Alur pemikiran ayat 1-11 dapat dijelaskan sebagai berikut: Hasil pembenaran (ay. 1-2) Hidup damai dalam Allah (ay. 1) Akses pada anugerah (ay. 2a) Sukacita dalam pengharapan tentang kemuliaan Allah (ay. 2b) Kepastian pengharapan (ay. 2b-10) Inti: bermegah dalam pengharapan (ay. 2b) Penderitaan bahkan memimpin pada pengharapan (ay. 3-4) Dasar pengharapan 1: kasih Allah yang besar (ay. 5-8) Dasar pengharapan 2: pembenaran (ay. 9-10) Rangkuman: kita bermegah dalam Allah (ay. 11) Ayat 1-2. Frase dikaiwqe,ntej [participle] ou=n evk pi,stewj (EV’s “being therefore justified by faith”) merupakan rangkuman dari pembahasan tentang pembenaran oleh iman di 1:18-4:25. Frase ini diikuti oleh tiga kata kerja indikatif yang menunjukkan hasil dari pembenaran tersebut, meskipun dari segi sintaks dua kata kerja terakhir posisinya tidak sepenting kata kerja pertama. 1. Orang percaya memiliki damai dengan Allah (ay. 1). Arti kata “damai” (eivrh,nh) bersumber dari pemakaian di LXX (terjemahan untuk ~Alv'). Tidak seperti penggunaan kata eivrh,nh di literatur Yunani sekuler yang hanya mengindikasikan ketidakadaan perang atau pertikaian, eivrh,nh di LXX lebih bermakna positif: kemakmuran, kesejahteraan dan keselamatan orang benar. Yang lebih penting adalah penggunaan kata eivrh,nh oleh para nabi untuk menggambarkan keselamatan yang akan dilakukan Allah di akhir jaman (Yes 54:10; Yer 37:26; Yeh 34:25). Ayat PL yang terpenting mungkin adalah Yes 52:7 (dikutip Paulus di 10:15): “Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai (eivrh,nh) dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: "Allahmu itu Raja!". Dalam tulisan Paulus, kata eivrh,nh bukan hanya menyiratkan perasaan aman, meskipun hal itu tidak terpisahkan. eivrh,nh merujuk pada situasi eksternal manusia yang sifatnya objektif: orang percaya yang dulu adalah musuh Allah telah diperdamaikan dengan diri-Nya (ay. 10). Allah membawa orang percaya

HASIL PEMBENARAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HASIL PEMBENARAN

HASIL PEMBENARAN: DAMAI (ROMA 5:1-11) Para sarjana memiliki usulan tema yang berbeda untuk 5:1-11 (juga 5:12-21). Tema yang diusulkan sangat beragam dan kompleks. Konklusi yang pasti dalam hal tersebut tampaknya sulit dicapai. Secara umum dapat dikatakan bahwa para sarjana menyetujui 5:1-11 berbicara tentang hasil pembenaran, namun mereka belum mencapai konsensus tentang hasil spesifik yang dimaksud Paulus. Ada dua usulan yang sangat mungkin menjadi inti 5:1-11: damai dengan Allah (Cranfield) atau kepastian pengharapan (Moo). Alternatif pertama didukung dengan pemunculan ide ‘pendamaian’ di awal dan akhir 5:1-11. Alternatif kedua didukung oleh isi pembahasan ayat 2-10 yang berpusat pada pengharapan. Ayat 10 secara khusus menyiratkan maksud Paulus yang lebih dari sekedar ‘pendamaian’ dengan Allah. Selain itu, ide tentang kepastian pengharapan di 5:1-11 akan membuat inclusio yang indah dengan ide yang sama di 8:18-39. Walaupun dua ide tersebut saling terkait, namun ide tentang pengharapan tampaknya lebih mendominasi bagian ini.  Alur pemikiran ayat 1-11 dapat dijelaskan sebagai berikut:Hasil pembenaran (ay. 1-2)

Hidup damai dalam Allah (ay. 1)Akses pada anugerah (ay. 2a)Sukacita dalam pengharapan tentang kemuliaan Allah (ay. 2b)

Kepastian pengharapan (ay. 2b-10)Inti: bermegah dalam pengharapan (ay. 2b)Penderitaan bahkan memimpin pada pengharapan (ay. 3-4)Dasar pengharapan 1: kasih Allah yang besar (ay. 5-8)Dasar pengharapan 2: pembenaran (ay. 9-10)Rangkuman: kita bermegah dalam Allah (ay. 11) Ayat 1-2. Frase dikaiwqe,ntej [participle] ou=n evk pi,stewj (EV’s “being therefore justified by faith”) merupakan rangkuman dari pembahasan tentang pembenaran oleh iman di 1:18-4:25. Frase ini diikuti oleh tiga kata kerja indikatif yang menunjukkan hasil dari pembenaran tersebut, meskipun dari segi sintaks dua kata kerja terakhir posisinya tidak sepenting kata kerja pertama.

1.      Orang percaya memiliki damai dengan Allah (ay. 1).Arti kata “damai” (eivrh,nh) bersumber dari pemakaian di LXX (terjemahan untuk ~Alv'). Tidak seperti penggunaan kata eivrh,nh di literatur Yunani sekuler yang hanya mengindikasikan ketidakadaan perang atau pertikaian, eivrh,nh di LXX lebih bermakna positif: kemakmuran, kesejahteraan dan keselamatan orang benar. Yang lebih penting adalah penggunaan kata eivrh,nh oleh para nabi untuk menggambarkan keselamatan yang akan dilakukan Allah di akhir jaman (Yes 54:10; Yer 37:26; Yeh 34:25). Ayat PL yang terpenting mungkin adalah Yes 52:7 (dikutip Paulus di 10:15): “Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai (eivrh,nh) dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: "Allahmu itu Raja!". Dalam tulisan Paulus, kata eivrh,nh bukan hanya menyiratkan perasaan aman, meskipun hal itu tidak terpisahkan. eivrh,nh merujuk pada situasi eksternal manusia yang sifatnya objektif: orang percaya yang dulu adalah musuh Allah telah diperdamaikan dengan diri-Nya (ay. 10). Allah membawa orang percaya pada relasi yang baru dengan diri-Nya bahkan ketika mereka masih lemah dan berdosa (ay. 6-8).

2.      Orang percaya memiliki akses ke anugerah (ay. 2a).NASB menerjemahkan prosagwgh, (LAI:TB “jalan masuk”) dengan “introduksi”. Terjemahan ini menyiratkan proses masuk yang pertama (initial entry) tanpa menjelaskan kontinuitas proses tersebut. Bagaimanapun terjemahan mayoritas EV’s “akses” lebih bisa diterima. Penggunaan tense perfect pada kata “memiliki” (evsch,kamen; LAI:TB “beroleh”) mengindikasikan penekanan pada kontinuitas suatu tindakan. Di tempat lain Paulus juga menggunakan kata prosagwgh, untuk kondisi kekinian orang percaya (Ef 2:18; 3:12). Selain itu, bentuk kata kerja perfect pada frase evn h-| e`sth,kamen (“di dalamnya kita berdiri”) juga mendukung ide kontinuitas.Kata “anugerah” (ca,rij; LAI:TB “kasih karunia”) bisa merujuk pada pemberian Allah (11:5-6), tindakan Allah (5:15, 17), dll. Dalam ayat ini ca,rij tampaknya merujuk pada domain (state atau realm). Terjemahan ini didukung oleh frase “dalam kasih karunia kita berdiri” di ayat 2a. Orang percaya tidak lagi di bawah hukum (6:14, 16), tetapi di bawah kasih karunia (5:21). Dengan kata lain, hasil pembenaran oleh iman adalah orang percaya memiliki akses ke dimensi kehidupan yang penuh dengan kasih karunia/anugerah.

3.      Orang percaya bersukacita dalam pengharapan tentang kemuliaan Allah (ay. 2b).Memiliki kemuliaan Allah yang dulu kurang (3:23) memang baru akan dinikmati di masa yang akan datang, namun sukacita pengharapan tersebut bisa dirasakan sekarang (band. bentuk present kaucw,meqa). Kata kauca,omai bisa diterjemahkan “bermegah” (LAI:TB, JB) maupun “bersukacita” (mayoritas EV’s). Berdasarkan kontras dengan penderitaan di ayat 3-4, terjemahan mayoritas EV’s tampaknya lebih tepat. Selain itu, ide sukacita memang sering dihubungkan dengan pengharapan (12:12; 15:13). Dalam pemahaman Paulus, pengharapan dalam Kristus lebih daripada sekedar angan-angan. Pengharapan menyiratkan antisipasi yang

Page 2: HASIL PEMBENARAN

penuh keyakinan tentang apa yang belum terlihat (5:2-5[3x]; 4:18[2x]; 8:20, 24[3x]; 12:12; 15:4, 13[2x]). “Kemuliaan Allah” di sini memiliki arti yang sama dengan 3:23, yaitu kemuliaan mula-mula yang diberikan Allah kepada manusia sebelum mereka berdosa (band. 8:17, 18, 21, 30). Sikap bersukacita ini harus menjadi karakteristik orang yang sudah dibenarkan melalui iman. Ayat 3-4. Paulus sangat mungkin sedang memikirkan (mengantisipasi) pandangan Yahudi pada waktu ia menulis ayat 3a (Moo). Orang Yahudi berpikir bahwa orang yang benar di mata Allah dapat dilihat dari kemakmuran, kesehatan dan keselamatan fisik orang tersebut (Ul 30; Mzm 73; Yoh 9:1-3). Konsep ini tentu saja akan tampak berkontradiksi dengan fakta bahwa orang yang sudah dibenarkan melalui iman ternyata masih mengalami penderitaan (8:17-30; 35-38). Paulus bukan hanya menegaskan bahwa penderitaan tidak akan menggagalkan pengharapan, tetapi ia juga melihat penderitaan sebagai alasan (objek) untuk bersukacita. Paulus menggunakan kata “penderitaan” (qli/yij) secara beragam dan luas (Rom 2:9; Ef 3:13; Kol 1:24; 2Tes 2:9), sehingga cakupan di sini tidak perlu dibatasi (band. 8:17-22; 35-38). Orang percaya bukan hanya harus bertahan dalam penderitaan, tetapi juga bersukacita dalam penderitaan. Ayat 3b-4 memberikan alasan mengapa orang percaya harus bersukacita dalam penderitaan (lihat participle eivdo,tej = “kita tahu” yang menerangkan sebab). Konsep tentang penderitaan menimbulkan karakter yang saleh merupakan sesuatu yang umum bagi gereja mula-mula (Yak 1:2-4; 1Pet 1:6b-7; band. frase “kita tahu”). Ada tiga hasil positif jika penderitaan disikapi dengan benar (dengan bersukacita):

1.      Ketekunan.Ketekunan (u`pomonh,) tidak bersifat pasif maupun sementara (2:7; 8:25; 15:4, 5). u`pomonh, merupakan sikap hidup (komitmen) dalam segala situasi. Di tempat lain Paulus juga menghubungkan dengan sukacita (Kol 1:11) dan pengharapan (1Tes 1:3). Karakter ini harus menandai hidup seorang rasul maupun setiap orang percaya (2Kor 6:4; 2Kor 12:12; 2Tes 1:4; 1Tim 6:11; 2Tim 3:10). Paulus sangat mungkin sedang memikirkan ketekunan Yesus dalam menghadapi penderitaan yang akhirnya menghasilkan sesuatu yang positif (pembenaran orang percaya; band. Rom 5:6-10; 2Tes 3:5).

2.      Karakter yang teruji.Ketekunan akan menghasilkan dokimh, (LAI:TB “tahan uji”). Berdasarkan rumpun kata ini (doki,mioj) dalam tulisan Paulus, dokimh, di sini lebih tepat dipahami sebagai karakter yang teruji (band. 2Kor 2:9; 8:2; 9:13; 13:3; Fil 2:22).

3.      Pengharapan yang semakin dikuatkan.Rantai karakter ini berakhir pada pengharapan lagi. Orang yang berhasil meresponi penderitaan dengan baik – karena itu menghasilkan ketekunan dan karakter yang teruji – akan mendapati bahwa pengharapannya akan semakin dikuatkan. Kemampuan seseorang untuk tetap berharap di tengah situasi yang tanpa harapan justru akan menyebabkan pengharapan tersebut menjadi kuat (band. 4:18-19). Ayat 5-8. Paulus menegaskan kepastian pengharapan dengan frase “pengharapan tidak mengecewakan”. Mayoritas EV’s menerjemahkan ouv kataiscu,nei dengan “tidak mengecewakan” (RSV, NIV, NASB), tetapi kata tersebut bisa diterjemahkan “tidak akan memalukan” (KJV, ASV). Keyakinan ini didasarkan pada konsep PL bahwa orang yang berharap kepada Allah tidak akan dipermalukan (Mzm 22:6; 25:3, 20; Yes 28:16[dikutip di 9:33 dan 10:11]).  Selanjutnya ia memberikan alasan (lihat o[ti yang berfungsi secara causal) mengapa pengharapan orang percaya tidak mengecewakan, yaitu natur kasih Allah yang besar.

1.      Kasih itu diberikan secara pribadi dan melimpah (ay. 5).Keyakinan pengharapan tidak didasarkan pada persetujuan intelek terhadap kasih Allah maupun sekedar demonstrasi kasih Allah di kayu salib (meskipun itu penting). Keyakinan ini bersifat pribadi (subjektif) melalui karya Roh Kudus. Bentuk perfect evkke,cutai (“dicurahkan”) menekankan kontinuitas hasil tindakan tersebut. Kontinuitas ini juga tampak dari pilihan preposisi evn (“dalam”), bukan eivj (“ke dalam”). Selain itu, penggunaan ungkapan “dicurahkan” mengindikasikan jumlah yang melimpah. Kasih Allah bukan hanya diberikan, tetapi dicurahkan (band. Rom 3:15; Tit 3:6). Ide tentang kasih Allah yang melimpah ini sesuai dengan penekanan Rom 5:6-8.

2.      Kasih itu diberikan kepada yang tidak layak menerima (ay. 6-8).Kesatuan pemikiran ayat 6-8 terlihat dari penggunaan kata avpoqnh,skw (“mati”) untuk mengakhiri setiap ayat. Penekanan ayat 6-8 terletak pada ketidaklayakan pihak yang menerima kasih Allah. Hal ini terlihat dari penggunaan frase “ketika kita masih lemah” (ay. 6) dan “ketika kita masih berdosa” (ay. 8). Inti yang ingin disampaikan Paulus terletak pada perbandingan antara kasih Allah dengan kasih manusia (ay. 7). Argumentasi di ayat 7 “Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati” telah menimbulkan kebingungan di antara para sarjana. Beberapa bahkan menganggap ayat 7b sebagai koreksi Paulus terhadap ayat 7a, namun Tertius (16:22) lupa menghapus bagian pertama. Inti permasalahan sebenarnya terletak pada arti kata keterangan mo,lij (LAI:TB “tidak mudah”)

Page 3: HASIL PEMBENARAN

dan kata sambung ga.r (LAI:TB “tetapi”). Kata mo,lij biasanya memang menyiratkan kesulitan dalam mencapai sesuatu (Luk 9:39; Kis 14:18; 27:7-8, 16; 1Pet 4:18), namun arti mo,lij yang tersirat di sini adalah betapa jarangnya tindakan tersebut dilakukan (ASV, KJV, NIV; band. BAGD). Berkaitan dengan penggunaan kata ga.r, kata ini bisa memiliki arti “walaupun” apabila kata tersebut diulang dalam satu kalimat dengan arti yang sama (NIV, NASB, RSV; band. BAGD). Jika dua penjelasan di atas diterima, maka ayat 7 seharusnya diterjemahkan “sebab sangat jarang seorang mau mati untuk orang yang benar, walaupun untuk orang yang baik seorang bersedia mati”. Orang mungkin bersedia mati untuk orang yang baik (berbuat baik kepadanya [Cranfield]) karena kebaikan orang tersebut telah menjadi ikatan emosional yang kuat. Fenomena ini juga disinggung dalam beberapa literatur Yunani waktu itu (lihat Cranfield). Situasi akan menjadi semakin langka bagi seorang yang bersedia mati untuk orang yang benar, karena kebenaran orang tersebut belum tentu memberikan ikatan emosional maupun keuntungan pribadi. Kasih Allah adalah luar biasa dan sangat langka, karena Kristus mati untuk orang berdosa. Kalau mati untuk orang benar saja sudah langka, apalagi mati untuk orang yang tidak benar. Ayat 9-10. Bagian ini memberikan dasar yang lain bagi kepastian pengharapan orang percaya. Argumentasi yang dipakai merupakan aplikasi metode eksegese para rabi qal wayyOmer (“ringan dan berat”): apa yang benar untuk hal-hal yang prinsip akan berlaku juga untuk hal-hal yang kurang penting. Hal ini terlihat dari pengulangan kata pollw/| ma/llon (“lebih-lebih lagi”; EV’s “much more”) di ayat 9 dan 10. Inisitif Allah untuk membenarkan dan mendamaikan manusia dengan diri-Nya melalui kematian Anak-Nya pada saat mereka masih berdosa merupakan dasar yang kuat bahwa orang percaya tidak akan mengalami murka Allah di penghakiman terakhir. Allah telah melakukan hal yang sangat luar biasa, karena itu Ia juga akan melakukan hal-hal lain yang lebih mudah daripada apa yang sudah Ia lakukan. Ayat 11. Bagian ini merangkum beberapa kata kunci yang dipakai di ayat 1-10: “bersukacita/bermegah” (ay. 2-3), “mendamaikan” (ay. 1b, 10) dan “melalui Tuhan kita Yesus Kristus” (ay. 1, 2, 6-8, 9, 10). Ayat ini bukan hanya memberikan rangkuman, tetapi juga menambahkan ide baru yang lain. Hal ini tampak dari frase ouv mo,non de, (LAI:TB “bukan hanya ini saja”) di awal ayat 11. Para sarjana berbeda pendapat tentang rujukan frase ini. Berdasarkan penggunaan kalimat transisi ouv mo,non de, dalam tulisan Paulus (5:3; 8:23; 9:10; 2Kor 7:7; 8:19; 1Tim 5:13), frase ini tampaknya merujuk pada kalimat sebelumnya, yaitu tentang keselamatan (ay. 10). Dengan demikian ayat 11 dapat diparafrasekan sebagai berikut “bukan hanya kita akan diselamatkan, tetapi juga bersukacita/bermegah....”. Objek sukacita kali ini sifat-Nya lebih luas, yaitu bersukacita dalam Allah oleh Tuhan kita Yesus Kristus. Kehidupan orang yang sudah didamaikan dengan Allah harus ditandai dengan sukacita atas semua yang telah dilakukan Allah.  ADAM DAN KRISTUS (ROMA 5:12-21) Seperti pembahasan sebelumnya, para sarjana berbeda pendapat tentang inti 5:12-21 dan hubungan bagian tersebut dengan 5:1-11. Di antara semua usulan yang ada, tema “kuasa ketaatan Kristus mengalahkan ketidaktaatan Adam” tampaknya lebih bisa diterima. Hal ini tampak dari formula perbandingan yang muncul secara konsisten dalam bagian ini: “sebagaimana...demikian juga” atau “sebagaimana...lebih lagi” (ay. 12, 15-17, 18, 19, 21). Fokus ayat 12-21 bukanlah penjelasan tentang dosa asal. Paulus bahkan lebih tertarik dengan akibat dosa Adam (maut) daripada dengan dosa itu sendiri (band. ayat 15-18). Hal ini sesuai dengan inti perbandingan: akibat dosa Adam dan akibat kebenaran Kristus.  Isu yang lebih kompleks adalah tentang relasi antara ayat 12-21 dengan ayat 1-11. Dua bagian tersebut dihubungkan dengan frase transisional dia. tou/to (“karena hal itu”), tetapi rujukan dari frase ini masih diperdebatkan. Solusi yang lebih tepat adalah mengaitkan frase ini dengan seluruh pembahasan di ayat 1-11 dan melihat ayat 12-21 sebagai penjelasan bagi ayat 1-11. Ayat 12-21 memberikan alasan mengapa pengharapan orang percaya begitu pasti: karena ketaatan Kristus menjamin keselamatan semua yang berada di dalam Dia. Secara lebih spesifik, ayat 12-21 menjelaskan bagaimana pembenaran, pendamaian dan keselamatan orang percaya terkait dengan Yesus Kristus (ay. 9-10).  Struktur ayat 12-21 agak sulit dijelaskan, karena Paulus memulai dengan perbandingan (ay. 12 “sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang), tetapi ia tidak pernah melanjutkan perbandingan tersebut. Sebaliknya, ia mengelaborasi topik dosa di ayat 12b-14. Perbandingan yang sesungguhnya baru muncul di ayat 18-19. Ayat 15-17 juga lebih banyak membahas tentang superioritas (bukan hanya perbandingan) Kristus atas Adam. Untuk memudahkan pemahaman tanpa melanggar struktur teks yang ada, ayat 12-21 dapat digambarkan sebagai berikut: Akibat ketidaktaatan Adam (ay. 12-14)Superioritas hasil ketaatan Kristus atas ketidaktaatan Adam (ay. 15-17)

Page 4: HASIL PEMBENARAN

Inti perbandingan dinyatakan ulang (ay. 18-19)Antisipasi: posisi Taurat (ay. 20-21) Ayat 12-14. Ada dua karakteristik dosa dalam bagian ini yang muncul secara konsisten di surat Roma.

(1)    Dosa dalam bentuk tunggal. Dari pemunculan 64 kali, 42 di antaranya ditemukan di 5:12-8:13 dalam bentuk tunggal.

(2)    Dosa sebagai sesuatu yang aktif: dosa masuk ke dalam dunia (ay. 12), memerintah (ay. 5:20; juga 6:13, 14), ditaati (6:16-17), memberikan upah (6:23), menggunakan kesempatan (7:8, 11), menipu dan membunuh (7:11, 13). Hal ini merupakan gaya bahasa personifikasi.Pernyataan Paulus bahwa dosa masuk ke dalam dunia melalui satu orang dan melalui dosa maut juga menyebar ke semua orang merupakan kebenaran yang juga diyakini oleh orang Yahudi (Kej 2-3). Maut di sini sebaiknya dimengerti sebagai kematian fisik dan spiritual. Kematian fisik merupakan manifestasi eksternal, sedangkan kematian spiritual merupakan manifestasi internal, tetapi keduanya berujung pada kematian kekal. Isu utama dalam ayat 12 adalah arti “semua berdosa”. Apakah semua orang berdosa pada dirinya sendiri? Hanya meniru dosa Adam? Atau ada relasi khusus antara dosa Adam dan keberdosaan semua manusia? Ayat 18-19 jelas menunjukkan adanya kaitan antara dosa Adam dan dosa semua orang. Kaitan ini lebih daripada sekedar proses imitasi. Beberapa sarjana melihat kaitan dosa Adam dan keberdosaan semua manusia pada tahap kerusakan natur saja. Natur manusia yang sudah rusak akibat dosa menyebabkan manusia pada akhirnya juga berdosa. Dosa Adam bukanlah penyebab langsung dari keberdosaan manusia. Pandangan ini memiliki sisi-sisi kebenaran tertentu, tetapi belum cukup untuk menggambarkan pandangan Paulus di ayat 12-21. Pembahasan di ayat 12-21 langsung mengaitkan dosa Adam dengan kematian/penghukuman semua orang. Dosa Adam identik dengan dosa semua manusia, karena semua manusia telah berdosa di dalam dan dengan Adam. Dasar argumentasi ini berakar pada konsep Yahudi tentang corporate solidarity: apa yang dilakukan satu orang mempengaruhi kelompok yang diwakilinya, begitu juga sebaliknya (band. Yos 7). Dengan kata lain, dosa Adam mempengaruhi status dan natur keberdosaan semua manusia. Di ayat 13-14 Paulus tidak melanjutkan kalimat perbandingan di awal ayat 12. Sebaliknya, ia memberikan penjelasan tentang universalitas dosa, bahkan sebelum jaman Musa. Topik ini akan dibahas lagi di ayat 20-21. Mengapa Paulus tidak melanjutkan kalimat perbandingan di ayat 12, sebaliknya ia menyinggung masalah Taurat? Paulus tampaknya mengantisipasi pertanyaan yang mungkin muncul dalam relasi antara dosa dan Taurat. Ia sebelumnya telah menjelaskan bahwa orang mengenal dosa melalui Taurat (3:19-20) dan tanpa Taurat tidak akan ada pelanggaran (4:15). Dua teks di atas bisa menimbulkan kesalahpahaman bahwa sebelum Taurat dosa tidak ada. Untuk mengantisipasi kemungkinan kesalahpahaman orang Yahudi tentang relasi tersebut, Paulus menjelaskan tiga kebenaran yang saling terkait:

(1)   Sebelum Taurat diberikan melalui Musa, dosa telah menguasai semua manusia (ay. 13a). (2)   Tanpa Taurat dosa tidak akan diperhitungkan (ay. 13b). Kata dasar evlloge,w dalam PB hanya muncul di ayat

13, 14 dan Fil 1:18. Kata ini tidak muncul sama sekali di LXX. evlloge,w diambil dari istilah perdagangan yang merujuk pada tindakan yang spesifik dan teliti dalam pembukuan. Berdasarkan arti ini, ayat 13b tidak mengajarkan bahwa dosa baru dianggap dosa setelah Taurat. Sebaliknya, ayat ini mengajarkan bahwa dosa baru bisa diperhitungkan secara detail dan eksplisit pada setiap orang ketika seseorang secara sadar dan tahu telah melanggar suatu perintah khusus. Pendeknya, eksistensi Taurat merupakan tolak ukur tingkah laku manusia dan justifikasi hukuman Allah atas dosa manusia, tetapi hal itu tidak berarti bahwa sebelum Taurat tidak ada dosa.

(3)   Maut telah menguasai manusia sebelum ada Taurat (ay. 14). Ayat ini berfungsi sebagai bukti/argumentasi bagi ayat 13a (eksistensi maut sebagai upah dosa [Kej 2:17; Rom 3:23] membuktikan eksistensi dosa) sekaligus antisipasi terhadap kesalahpahaman yang mungkin timbul dari ayat 13b (tidak diperhitungkan tidak berarti tidak dihukum). Untuk mempertegas hal tersebut Paulus menjelaskan bahwa maut juga memerintah atas mereka yang berdosa dengan cara yang berbeda dengan Adam. Frase ini berguna untuk menunjukkan bahwa orang lain yang tidak mendapat perintah langsung dari Allah seperti Adam (band. Kej 2:17-18) juga menerima hukuman atas dosa mereka.  Ayat 15-17. Frase “Adam --- yang adalah gambaran Dia yang akan datang” di bagian akhir ayat 14 merupakan transisi bagi ayat 15-17. Ayat 15-17 lebih tepat disebut sebagai kontras daripada komparasi. Ungkapan “tidak seperti” dan “lebih lagi” di ayat 15-17 mengindikasikan superioritas Kristus atas Adam.  Inti kontras terletak pada hasil tindakan Adam dan Kristus: anugerah Allah sebagai hasil ketaatan Kristus tidak sebanding dengan maut sebagai hasil ketidaktaatan Adam (ay. 15). Di ayat 16-17 Paulus selanjutnya menjelaskan mengapa anugerah Allah tidak berimbangan dengan maut.

(1)    Tindakan Adam menghasilkan sesuatu yang negatif (penghukuman), sedangkan tindakan Kristus menghasilkan yang positif (pembenaran). Lihat ayat 16.

(2)    Jumlah dosa yang diperhitungkan dalam penghukuman adalah satu (dosa Adam), sedangkan pembenaran Kristus mencakup akumulasi dosa seluruh masa. Lihat ayat 16.

Page 5: HASIL PEMBENARAN

(3)    Hasil tindakan Kristus (hidup) telah membalikkan hasil tindakan Adam (maut). Lihat ayat 17.Poin yang ingin disampaikan Paulus dalam bagian ini adalah sebagaimana maut merupakan kepastian bagi mereka yang berada dalam Adam, terlebih lagi pembenaran merupakan sesuatu yang pasti bagi mereka yang berada dalam Kristus (band. ayat 1-11). Ayat 18-19. Pada bagian ini Paulus baru melanjutkan ide perbandingan di awal ayat 12. Ayat 18-19 bisa disebut sebagai inti atau rangkuman dari ayat 12-17. Isu utama dalam bagian ini terletak pada aplikasi jangkauan pembenaran. Bagian ini tampaknya mengajarkan universalitas pembenaran Kristus (band. “semua orang” di ayat 18-19). Jika pembenaran memang universal, hal itu akan berkontradiksi dengan pernyataan Paulus di tempat lain yang mengajarkan bahwa pembenaran hanya atas mereka yang beriman. Sebaliknya, jika pembenaran bersifat eksklusif (terbatas), komparasi antara hasil tindakan Adam dan Kristus tidak bersifat paralel. Mengapa hasil tindakan Adam (maut) bersifat universal, sedangkan tindakan Kristus tidak? Terkait dengan pertanyaan pertama, pembenaran Kristus tidak diperuntukkan bagi semua orang. Ada dua argumentasi bagi hal ini:

(1)   Kata “semua” dalam PB tidak selalu merujuk pada “setiap individu atau setiap hal”. “Semua” harus dimengerti dalam kategori tertentu. Cakupan kata ini ditentukan oleh konteks (band. ay. 17; 8:32; 12:17, 18; 14:2; 16:19; Kis 2:17; 19:10; 1Tim 2:2, 4; juga Yoh 12:19).

(2)   Paulus di tempat lain juga mengajarkan hukuman bagi mereka yang tidak percaya (2:12; 2Tes 1:8-9). Terkait dengan pertanyaan kedua, ada beberapa alternatif yang telah diusulkan.

(1)     Ayat 18-19 memang mengajarkan universalisme.(2)     Pembenaran Kristus memang untuk semua orang, tetapi hanya dalam batas tawaran atau kuasanya saja.(3)     Ayat 18-19 merupakan salah satu paradoks yang tidak mungkin dimengerti sekarang ini.

Alternatif (1) tidak sesuai dengan teologi Paulus secara umum. Alternatif (2) terlalu dipengaruhi pemikiran teologi sitematik, tidak sesuai dengan konteks ayat 12-21 dan secara esensial tidak menjawab permasalahan. Alternatif (3) juga tidak memberikan jawaban yang meyakinkan. Tanpa bermaksud menyederhanakan permasalahan ini, ada tiga hal yang mungkin bisa dijadikan pedoman:

(1)   Suatu komparasi tidak dimaksudkan sebagai perbandingan setiap detail. Ada poin khusus (utama) yang ingin disampaikan dalam sebuah komparasi. Dalam konteks ayat 12-21, inti perbandingan terletak pada kepastian hasil tindakan Adam dan Kristus. Pembenaran dan pengharapan di ayat 1-11 merupakan sesuatu yang pasti, karena dijamin karya Kristus sebagai representasi orang percaya. Ayat 12-21 tidak membahas tentang jangkauan dari dosa asal maupun memberikan penjelasan tentang cara dosa asal ditransmisikan. Dengan kata lain, isu tentang jangkauan hasil tindakan Adam dan Kristus sebaiknya dijawab berdasarkan konteks Alkitab secara umum (bukan terbatas pada konteks ini).

(2)   Perbedaan antara jalur “biologis” untuk transmisi dosa Adam dan jalur “iman” untuk pembenaran Kristus tidak perlu dibesar-besarkan. Hal tersebut merupakan suatu kewajaran, karena semua manusia tidak bisa dikaitkan dengan Kristus secara biologis. Dalam kasus Adam, jalur iman juga tidak akan mungkin, karena orang cenderung tidak mau menerima (mempercayai) keberdosaan mereka dalam Adam.

(3)   Penjelasan Paulus di ayat 18-19 merupakan penjelasan yang paling rasional dibandingkan dengan alternatif lain. Kaitan antara pembenaran dan karya Kristus hanya memberikan beberapa kemungkinan:

Ø      Tidak ada kaitan sama sekali antara pembenaran dan karya Kristus. Kemungkinan ini sangat tidak mungkin.Ø      Ada kaitan dan secara otomatis (semua orang dibenarkan melalui karya Kristus, terlepas dari iman mereka).

Kemungkinan ini juga sangat tidak mungkin.Ø      Ada kaitan, tetapi secara imani. Kemungkinan ini paling konsisten dengan ajaran seluruh PB.

 Ayat 20-21. Sebagaimana di ayat 13-14, Paulus di ayat 20-21 juga menyinggung relasi antara Taurat dan dosa. Kategorisasi manusia ke dalam Adam dan Kristus bagi orang Yahudi bisa menimbulkan kesan simplifikasi. Mereka pasti akan menanyakan kedudukan mereka yang khusus dalam sejarah keselamatan, terutama berkaitan dengan Taurat Musa. Terhadap pertanyaan ini Paulus menjawab bahwa Taurat tidak mengubah situasi manusia yang disebabkan oleh tindakan Adam. Sebaliknya, tujuan Taurat diberikan justru supaya pelanggaran bertambah banyak (ay. 20a). Calvin memahami frase ini dalam konteks Taurat memberikan pemahaman tentang dosa kepada manusia. Penjelasan ini belum mampu menerangkan ide “semakin banyak”. Arti yang paling mungkin adalah dengan melihat tujuan Taurat sebagai sarana untuk mengintensifkan keseriusan dosa. Dosa menjadi semakin serius ketika Taurat diberikan, karena penerima Taurat akan dituntut lebih. Mereka telah diberi wahyu khusus tetapi tetap melanggar, sehingga pelanggaran mereka menjadi lebih serius. Seperti sikap Paulus tentang Taurat di tempat lain (3:26-31), ia juga menyikapi Taurat secara positif. Dalam kaitan dengan dosa dan penghakiman Taurat memang tidak berguna, tetapi hal itu tidak berarti Taurat tidak memiliki manfaat sama sekali. Keseriusan dosa yang ditunjukkan melalui Taurat justru telah menjadi sarana untuk melihat anugerah Allah yang lebih besar daripada dosa tersebut (ay. 20b). Kesadaran tentang keseriusan

Page 6: HASIL PEMBENARAN

yang telah ditumbuhkan oleh Taurat seharusnya membawa orang Yahudi semakin bisa memahami keseriusan anugerah Allah. 

Peace with God Nats : Roma 5:1-11 Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno Perjamuan Kudus merupakan satu sakramen yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus sendiri untuk mengenang apa artinya Kristus sudah mati bagi kita, mencurahkan darah, memecahkan diri demi menebus dosa manusia. Karena itu setiap kali kita menjalankan Perjamuan Kudus, saya mengajak untuk merenungkan satu bagian tema khusus berkaitan dengan karya keselamatan Kristus (Soteriologi).Banyak penafsir melihat Rm 5:1-11 sebagai puncak dari pembicaraan Paulus dalam seluruh ajaran doktrin iman Kristen yang menyatakan titik balik daripada anak-anak Tuhan yang mengerti seluruh rangkaian keselamatan yang dikerjakan Tuhan. Kalau kita lihat dalam Rm 1, Paulus mulai dengan memberitakan dosa sebagai suatu hal yang tidak dapat ditolak manusia, dosa merupakan satu perlawanan terhadap Allah sehingga murka Allah turun atas kefasikan dan kelaliman manusia (Rm 1:18). Pada jaman ini, berita seperti itu tidak terlalu disukai manusia. Banyak gereja yang sudah tidak lagi memberitakan Allah yang murka atas dosa dan pelanggaran manusia, yang ada hanyalah Tuhan penuh cinta kasih dan menolong. Sehingga berita seperti itu harus kembali diberitakan dan itu yang dinyatakan Paulus dalam Rm ps 1-3. Selanjutnya dalam Rm 5:1 sebagai puncaknya ia menyatakan, "Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus." Inilah inti berita dimana kita yang berada dibawah murka dan menjadi seteru Allah boleh dibenarkan dan diperdamaikan kembali dengan Allah. Dan hal itu jugalah yang diberitakan oleh Billy Graham, seorang penginjil besar. Kesadaran ini perlu muncul kembali ditengah umat manusia yang tidak sadar betapa hidupnya berdosa dihadapan Tuhan.Sewaktu saya berada di Yogya untuk menghadiri acara KKR yang baru lalu dan ketika itu sedang menonton TV CNN, saat itu ditayangkan satu berita mengerikan tentang seorang baby sister berkebangsaan Philipina yang menganiaya bayi berusia 3 bulan dari keluarga Thaiwan yang diasuhnya. Diduga kejadian tersebut sudah terjadi kurang lebih satu bulan sejak baby sister tersebut bekerja sehingga akhirnya ia dideportasi pulang kenegaranya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana traumanya anak yang telah mengalami aniaya seperti itu sejak kecil. Banyak baby sister yang bekerja bukan karena ia mencintai anak tetapi karena mencari uang atau keuntungan sehingga ia merasa berhak bertindak sembarangan. Akibatnya, jiwa seperti ini menjadikan mereka begitu kejam. Bahkan beberapa waktu yang lalu ada bayi yang diberi obat tidur terus atau anak yang dibakar di kompor karena ia jengkel dimarahi oleh orang tua bayi tersebut. Disini satu hal yang sangat disayangkan, mengapa banyak orang tua berani mempunyai anak tetapi tidak rela mengurus anak. Orang tua seperti itu adalah orang tua yang kejam dan tidak bertanggung jawab akan satu nyawa yang diserahkan kepadanya untuk dididik dan dibesarkan. Itu alasan Gereja Reformed ketika membaptiskan anak maka orang tuanya yang harus mengikuti katekisasi. Sehingga orang tua bertanggung jawab penuh kepada Tuhan untuk pertumbuhan anak tersebut di dalam hidup dan imannya. Ini merupakan satu tuntutan yang serius!Ketika kita hidup didunia, mungkin kita merasa begitu banyak kejahatan yang tidak dapat diselesaikan dan hari ini kita harus menyadari ketidakada pengharapan manusia didunia untuk mengerti keadilan. Semua mereka yang kemarin mengalami aniaya dan rumahnya dibakar, sekarang semua pelakunya masih berkeliaran dengan bebas dan tidak ada tuntutan apapun, bahkan kalau boleh dilupakan begitu saja. Kalau manusia sudah dalam kondisi seperti itu, sadarkah bahwa manusia harus menerima murka Allah? Namun justru berita dunia telah kehilangan satu berita bahwa Allah akan menjatuhkan murka karena dunia sudah berdosa. Paulus menegaskan bahwa manusia sudah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah sehingga tidak ada cara lain selain harus menerima hukuman Allah, kecuali kita yang telah diperdamaikan di dalam Kristus. "Tetapi Allah telah menetapkan Kristus menjadi jalan pendamaian yang memperdamaikan kita dengan diriNya." Melalui dua tokoh Abraham dan Daud, Paulus membuktikan bagaimana mereka diperdamaikan dengan Allah. Inilah berita yang harus kita dengar dan pelajari di dalam merenungkan Perjamuan Kudus.Ada beberapa aspek yang ingin saya tekankan ketika kita masuk dalam pergumulan perdamaian. Saat manusia berdosa, ia harus dibawah penghukuman Allah dan saat itulah ia perlu diperdamaikan. Inilah fungsi dan tugas daripada jalan pendamaian yang dikerjakan oleh Yesus. Inti dosa adalah perlawanan kita terhadap Allah dan kebenaran dan bukan karena kita membunuh atau tidak jujur. Seandainya seseorang setelah membunuh melakukan perbuatan baik, perbuatannya tidak akan meniadakan perbuatan jahat yang telah dilakukan sebelumnya. Perbuatan tersebut tetap menjadi tuntutan kriminal yang harus diselesaikan secara hukum. Demikian juga ketika kita sudah berbuat dosa melawan Tuhan maka dosa itu harus berhadapan dengan murka Allah dan baru selesai kalau murka tersebut mendapatkan comsummation (penyelesaian) terhadap hukum yang dituntutkan kepadanya. Hal ini dijelaskan dalam dua ayat pertama ps 5 yang memberikan esensi prinsip pendamaian dimana Kristus menjadi satu-satunya jalan berdamai dengan Allah. Istilah berdamai dan dibenarkan dipakai untuk memberikan istilah hukum yang mengambarkan bahwa tuntutan keadilan harus ditetapkan oleh penetap hukum yang menguji keabsahan atau kefaliditasan dari pendamaian tersebut. Sebagai contoh sederhana, dalam kasus hukum ketika seseorang diadili, orang tersebut mempunyai kemungkinan

Page 7: HASIL PEMBENARAN

dihukum langsung sesuai dengan kesalahan yang dilakukan atau harus ada pengganti hukum yang berlaku dan itu semua menjadi hak pengadilan untuk menetapkan hukuman. Ini adalah prinsip supremasi hukum! Sehingga hanya melalui apa yang Tuhan tetapkan, pendamaian tersebut baru sah. Dalam Rm 3:24 dikatakan, "…, Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darahNya." Kalimat ini begitu tegas mengatakan bahwa dalam dunia tidak ada jalan keluar kecuali melalui Kristus sehingga Ia menjadi satu-satunya jalan yang sah.Aspek kedua, waktu Kristus ditetapkan menjadi jalan pendamaian, itu bukan berarti suatu proses yang mudah dilakukan. Saat ini kita sedang mendekati Natal. Disaat seperti itu saya selalu berdoa supaya Tuhan memimpin kita untuk mengumulkan satu aspek lagi dari Natal sehingga kita boleh mendapat berkat khusus dari Natal tersebut. Tahun ini saya coba merenungkan apa yang dialami dan dirasakan oleh Yusuf dan Maria. Satu paradoks yang begitu membahagiakan namun sekaligus mengerikan dimana mereka diberi hak untuk membesarkan Anak Allah yang berinkarnasi dan keadaan tersebut tidak dialami orang lain namun mereka juga harus mengalami berhadapan dengan masyarakat saat itu. Natal terjadi karena tidak ada cara lain yang sederhana untuk menyelesaikan persoalan dosa manusia. Jalan pendamaian harus memenuhi tuntutan murka Allah yang begitu keras terhadap manusia dan tidak ada cara lain selain menanggung murka Allah tersebut. Berdamai dengan Allah harus beresiko Kristus mati menebus dosa kita dan darahNya diteteskan, yang seharusnya darah saudara dan saya. Seberapa jauh kita sadar murka Allah yang harusnya turun atas kita maka sebegitu jauh kita sadar apa artinya Jesus mati bagi saudara dan saya. Satu-satunya adalah kita kembali pada Dia, menerima menjadi Juru Selamat dan menjadikan Dia Tuhan dalam hidup kita. Jalan pendamaian adalah jalan yang dikerjakan dengan penderitaan dan kesulitan yang besar dengan naiknya Yesus keatas kayu salib. Tidak ada satu pemimpin agama dan filsafat manapun yang tahu peran dia secara total di dalam kelahirannya selain Yesus. Ia diberi nama Yesus karena Ia-lah yang akan menyelamatkan seluruh umat manusia dari dosa mereka. Ia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan menyerahkan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang, (Viadolorosa) jalan penyelesaian dosa yang tidak dapat dikerjakan oleh siapapun di dunia selain Kristus dan itu semua dikerjakan demi saudara dan saya.Yang ketiga, Yesus menjadi jalan pendamaian yang sah karena Ia adalah satu-satunya mediator yang sah di tengah dunia ini. Posisi paradoks Kristus sangat unik sekali karena Ia mengandung dua status. Ketika Kristus berinkarnasi, tidak satu kalipun Ia menyatakan sebagai Anak Allah, namun sebaliknya Ia seringkali mengatakan bahwa Ia adalah anak manusia. Ia menjadi yang sulung dari semua saudara. Namun Ia naik ke atas kayu salib dengan tuduhan Anak Allah. Ia menjadi anak manusia di hadapan Allah supaya Ia berhak menanggung dosa manusia dan Ia berdiri sebagai Anak Allah di hadapan manusia yang mau mengampuni dan mencintai manusia. Cinta kasihNyalah yang menyebabkan saudara dan saya boleh diselamatkan (Rm 5:8). Ia tidak menuntut kita hidup benar dahulu baru kemudian Ia mau mati tetapi justru sebaliknya Ia menunjukkan cinta, saat umatNya masih melawan.Mari kita berespon secara tepat, kembali pada Tuhan dan sadar bahwa ketika kita masuk dalam meja perjamuan, kita tahu Tuhan begitu cinta dan rela menjadi mediator yang mendamaikan kita dengan Bapa. Ketika dalam perjamuan saudara tidak mengakui tubuh dan darah Tuhan, itu berarti saudara tidak mengakui pengampunan penebusan yang Kristus kerjakan dalam diri kita dan itu berarti kita sedang mendatangkan hukuman atas diri kita sendiri. Mengakui bukan sekedar ya, tetapi bertekad dan berada di bawah ketaatan dengan apa yang kita ucapkan. Apa yang menjadi respon kita? Seberapa jauh saudara dan saya sadar anugerah Tuhan atas hidup kita dan seberapa besar kita sadar Tuhan mencintai dan mengampuni kita? Banyak orang kristen menganggap diri terlalu baik sehingga respon terhadap anugerah terlalu sedikit dan seolah-olah kita boleh mengabaikan Tuhan beranugerah. Saya minta hari ini, sekali lagi jangan kita mengabaikan anugerah tetapi sungguh-sungguh berespon dengan ketaatan dan kerelaan yang sungguh mau mengabdikan hidup kita bagi Tuhan. Kiranya kita boleh mengerti bagaimana kita harus hidup dihadapan Tuhan dan sungguh-sungguh menyatakan cinta kasih Tuhan di tengah dunia. Amin.?

Page 8: HASIL PEMBENARAN

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian AnakNya, lebih-lebih kita, yang sekarang ini telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan (ayat 10).

1. Pengantar

Surat Paulus ini mengambil titik tumpuannya pada perkembangan yang lampau: apakah sebenarnya peranan orang Yahudi dalam rencana penyelamatan oleh Allah? Apakah arti taurat? Apakah kedudukan orang yang bukan-Yahudi? [ . . . ]

Dalam fs. 4-8 hubungan “iman” dan “taurat” diuraikan lebih lanjut. Pertama-tama untuk menjauhkan pikiran bahwa seakan-akan iman itu suatu hal yang sama sekali baru. Sebenarnya iman itu sudah menjadi saluran sejak purbakala. Bukankah Abraham percaya kepada janji Allah dan itulah sebabnya ia diterima oleh Allah (fs. 4, khususnya ay 3). Demikian juga sekarang ini pemberian Allah di dalam Yesus Kristus diterima karena iman saja (5:1-11) [kutipan dari M.E. Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru (Jakarta: BPK-GM, 1992), hlm. 96f.].

Informasi: What to look for in Romans:

Watch for the major themes of faith, grace, righteousness and justification. You’ll find the foundation of the gospel that comes by grace through faith in the first 11 chapters. Then, in the last five chapters, you’ll discover practical implications of faith and righteousness --- how the teaching works out in everyday life [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, MIch.: Zondervan, 2003), p. 1609].

2. Eksposisi

(Sebatas ayat 10 saja]

Ada tiga kata dalam ayat 10 yang menarik dan perlu kita perhatikan: (i) “seteru” (NIV: “enemies”), (ii) “diperdamaikan” (NIV: “reconciled”). (iii) “diselamatkan” (NIV: “saved”).

Untuk menjelaskan apa arti dan makna kata-kata di atas, sekaligus menghayati gagasan Paulus yang terkandung dalam ayat 10 ini, ada baiknya kita mengingat kembali “Perumpamaan tentang Anak yang Hilang” (Luk 15:11-32).

(i).“Seteru”. Sejak sang Anak meninggalkan rumah ayahnya, hubungan dengan ayahnya merenggang. Hubungan dengan ayahnya juga berubah. Tidak terlalu meleset jauh untuk menganggapnya sebagai seorang pembangkang terhadap ayahnya. Si Anak telah membuat dirinya terasing dari ayahnya. Inilah yang dimaksudkan oleh Paulus bahwa sebelum penyaliban Yesus, kita menjadi “seteru” Allah. Seperti si anak tadi, kitalah yang membuat diri kita menjadi seteru Allah, bukan Allah terhadap kita.

Informasi: The Bible locates the origin of hostility in sin. Human beings have been twisted and our original form distorted. We were created to love God and others. But sin’s warping power has distorted this natural order of interpersonal relationships. Sin has also created hostility to God. We have become rebels in thought and action. “We were God’s enemies,” Paul affirms (Ro 5:10), and he develops this thought in other passages [a.l. Rm 8:7, Ef 2:14-16, Kol 1:21] [kutipan dari New International Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 248].

(ii) “Diperdamaikan”. Si anak yang hilang itu sekarang melarat. Teman-teman akrabnya telah pergi. Kelaparan, mau makan makanan babi tidak diperbolehkan. Dia ingat rumah ayahnya. Dia memutuskan untuk pulang. Ayahnya dengan ramah dan hangat menerimanya kembali. Dengan itu terjadilah peristiwa pendamaian (“rekonsiliasi”). Itu berarti bahwa keterasingan harus dihilangkan, juga keadaan berseteru harus ditinggalkan, sehingga pendamaian dapat diwujudkan. Status sang Anak juga berubah. Ia bukan lagi seteru terhadap ayahnya. Menurut Paulus melalui penyaliban Yesus kita “diperdamaikan” dengan Allah. Oleh darahNya kita dibenarkan dan disucikan.

Informasi: People are the enemies of God, not the reverse. Thus the hostility must be removed from us if reconciliation is to be accomplished. Good took the initiative in bringing this about through the death of his Son (see [Ro. 5]:11; Col. 1:21-22). To reconcile is to put an end to hostility. Thus through Christ, believers are no longer enemies of God. Because of sin we were standing in conflict with God’s holiness and justice. Jesus paid our sin debt so we can again have the fellowship with God that sin destroyed (Gen. 3) [kutipan dari Quest Study

Page 9: HASIL PEMBENARAN

Bible, p. 1615].

(iii) “Diselamatkan” Dengan berada kembali di rumah ayahnya, sang Anak untuk seterusnya terjamin kehidupannya. Kebutuhannya akan selalu tercukupi. Ia tidak akan merasa kelaparan lagi. Jadinya ada perubahan keadaan. Itu karena kini ada hubungan yang baik lagi dengan ayahnya. Ia sudah selamat.

Informasi: Dalam gereja kata “selamat” dan “keselamatan” biasanya dipergunakan dengan arti keselamatan dari dosa dan neraka. Arti itu memang penting dalam Alkitab. Allah menyelamatkan kita dari dosa (Mat 1:21; Luk 1:77); penghukuman (Yoh 3:17; 12:47); kebinasaan (1 Kor 1:18) dan maut (Yoh 5:20; Luk 6:19). Kesela- matan itu dapat dialami sekarang dalam hubungan baru dengan Tuhan (1Kor 15:20), tetapi baru disem- purnakan waktu Kristus kembali (Mat 10:22; Mrk 13:13). Namun arti keselamatan tidak terbatas kepada segi rohani dari kehidupan. “Selamat” dalam Alkitab artinya mirip dengan artinya dalam Bahasa Indonesia. Orang selamat mempunyai hubungan yang baik dengan Allah, sesamanya, dan diri sendiri. Selamat juga berarti sehat, sejahtera dan bebas dari penin- dasan dan penaklukan. Dalam Alkitab istilah “keselamatan” atau “menyelamatkan” sering berhubungan dengan pelepasan dari bahaya, bencana, atau maut. Allah menyelamatkan bangsa Israel dari bangsa- bangsa yang memusuhinya. Ia menyelamatkan orang-orang yang tertindas dan yang sakit. . . . Waktu Perjanjian Baru membicarakan keselamatan dari dosa, segi rohani menonjol. Namun dosa mempenga- ruhi tubuh manusia, bukan rohnya saja, dan keselamatan dari dosa menyangkut tubuh juga [kutipan dari Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan (Jakarta: BPK-GM, 1987), hlm. 9ff.].

3. Refleksi

Seorang pembicara mengangkat sebuah ilustrasi. “Seorang ayah, anaknya, dan teman anak- nya berlayar ke Samudra Pasifik. Namun, ombak dan badai menyerang sehingga mereka ter- lempar ke laut. Karena hanya punya satu tali penyelamat, sang ayah harus memutuskan si- apa yang ia akan tolong. Anaknya adalah seorang pengikut Kristus, sedangkan teman anak- nya bukan. Akhirnya ia berteriak, “Aku mengasihimu, anakku” dan melemparkan tali itu kepa- da teman anaknya. Saat itu juga, anaknya menghilang ditelan gelombang. Begitu besarnya pula kasih Allah, sehingga Dia melakukan hal yang sama kepada kita.” Usai kebaktian, dua remaja menghampiri si pembicara. “Saya pikir tidak realistis bila sang ayah mengorbankan anaknya dengan berharap teman anaknya itu akan mengikut Kristus.” “Benar sekali,” jawab si pembicara. “Tetapi sebesar itulah kasih Allah, buktinya . . . sayalah teman si anak itu.” Roma 5:8 mengatakan kepada kita, “Allah menunjukkan kasihnya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita.” Ya, Yesus telah mati untuk se- mua orang, termasuk orang-orang yang belum percaya kepada Kristus. Oleh karena itu, kita yang sudah menerima keselamatan harus selalu mengingat mandat Allah bagi kita untuk “menjadikan semua bangsa murid-Ku (Matius 28:19). Saat ini, pintu kemurahan Allah masih terbuka. Marilah kita bersaksi tentang cinta-Nya kepada orang-orang yang kita jumpai di se- panjang perjalanan hidup ini. Dia telah mengurbankan hidup-Nya agar seluruh isi dunia ber- oleh hidup kekal! [kutipan dari Renungan Harian, Minggu 20 Januari 2008 (Yogyakarta: Yayasan Gloria)].

Page 10: HASIL PEMBENARAN

1 Full Life : SEBAB ITU, KITA YANG DIBENARKAN KARENA IMAN. Nas : Rom 5:1Pembenaran karena iman mengakibatkan beberapa hasil bagi orang percaya: damai dengan Allah (lihat art. DAMAI SEJAHTERA ALLAH),kasih karunia, pengharapan, keyakinan, penderitaan, kasih Allah, Roh Kudus, selamat dari murka Allah, pendamaian dengan Allah, keselamatan oleh hidup dan kehadiran Yesus, dan sukacita di dalam Allah (ayat Rom 5:1-11).  2 Full Life : KITA MALAH BERMEGAH JUGA DALAM KESENGSARAAN KITA. Nas : Rom 5:3Paulus menyebutkan "kesengsaraan" sebagai salah satu berkat dari keselamatan kita dalam Kristus.

1. 1) Kata "kesengsaraan" menunjuk kepada bermacam-macam pencobaan yang mungkin menekan kita. Ini termasuk hal-hal seperti tekanan kebutuhan keuangan atau jasmaniah, keadaan yang kurang menguntungkan, kesusahan, penyakit, penganiayaan, penyalahgunaan atau kesepian (lihat art. PENDERITAAN ORANG BENAR).

2. 2) Di tengah kesulitan-kesulitan ini kasih karunia Allah memungkinkan kita mencari wajah-Nya dengan lebih bersungguh-sungguh dan menghasilkan roh dan sifat tabah yang mengatasi pencobaan hidup ini. Penderitaan menimbulkan ketekunan (ayat Rom 5:3) bukan membawa kepada keputusasaan, dan ketekunan itu menghasilkan sifat yang dapat diandalkan (ayat Rom 5:4), dan sifat yang dapat diandalkan itu menghasilkan pengharapan matang yang tidak akan mengecewakan (ayat Rom 5:5).

3. 3) Kasih karunia Allah mengizinkan kita memandang melewati persoalan kita kepada suatu pengharapan yang sungguh dalam Allah dan kedatangan Tuhan kita ke dunia untuk menegakkan kebenaran dan kekudusan di langit baru dan bumi baru (1Tes 4:13; Wahy 19:1-22:21). Sementara itu, Allah telah mencurahkan kasih-Nya ke dalam hati kita oleh Roh Kudus untuk menghibur kita dalam pencobaan dan mendekatkan kehadiran Kristus (Yoh 14:16-23).  3 Full Life : KASIH ALLAH TELAH DICURAHKAN DI DALAM HATI KITA. Nas : Rom 5:5Orang Kristen mengalami kasih Allah (yaitu, kasih Allah bagi orang percaya) dalam hati mereka melalui Roh Kudus, khususnya pada masa-masa sulit. Kata kerja "dicurahkan" menyatakan suatu keadaan yang masih berlangsung sebagai hasil suatu tindakan sebelumnya, yaitu Roh Kudus terus-menerus membanjiri hati kita dengan kasih. Pengalaman akan kasih Allah yang senantiasa hadir ini menopang kita dalam penderitaan (ayat Rom 5:3) dan meyakinkan kita bahwa pengharapan kita akan kemuliaan yang mendatang bukan harapan kosong (ayat Rom 5:4-5). Kedatangan Kristus untuk kita adalah pasti (bd. Rom 8:17; Mazm 22:5-6; Yoh 14:3; lihat art. KEANGKATAN GEREJA).  4 Full Life : DISELAMATKAN OLEH HIDUP-NYA. Nas : Rom 5:10Keselamatan orang percaya terletak dalam darah Kristus dan hidup kebangkitan-Nya, yang dengannya orang percaya diampuni dan didamaikan dengan Allah. Inilah awal keselamatan (Rom 3:21-26; 4:5-9). Seorang percaya terus diselamatkan oleh iman yang hidup dan persekutuan dengan Kristus yang hidup (lihat art. KATA-KATA ALKITABIAH UNTUK KESELAMATAN).Jikalau Allah begitu mengasihi kita sehingga mengirim Anak-Nya untuk mati ganti kita pada saat kita masih berseteru, apa lagi sekarang setelah kita menjadi anak-Nya, Dia akan membuat segala persediaan untuk menyelamatkan kita dari murka yang akan datang melalui iman kita dalam Anak-Nya (Rom 4:22-5:2; 5:9-10; 1Kor 1:30; Fili 2:12-16; Kol 3:3-4; 1Tes 1:10; 2Tim 2:12; Yak 1:12; lihat cat. --> Wahy 2:7).[atau ref. Wahy 2:7]

Page 11: HASIL PEMBENARAN

Hasil Pembenaran Melalui Iman-3

Penderitaan yang Berharga-2 :Pengharapan dan Teladan dari Penderitaan Kristus

oleh : Denny Teguh Sutandio

Nats : Roma 5:6-11.

Setelah Paulus menjelaskan tentang hasil dari pembenaran yang kedua yaitu kesengsaraan (Roma 5:3-5), ia melanjutkan pembahasannya dengan memberikan teladan dan pengharapan penderitaan yang Kristus alami sebagai alasan mengapa penderitaan karena nama Kristus itu berharga. Ingatlah, setiap orang Kristen yang sungguh-sungguh mau mengikut Kristus harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikut-Nya (Matius 16:24). Penderitaan adalah harga yang harus kita tanggung di dalam mengikut Kristus. Meskipun demikian, sebagai anak-anak-Nya, kita dijamin oleh-Nya bahwa di dalam penderitaan, penderitaan Kristus yang telah mengalahkan maut menjadi pengharapan masa depan yang indah yang akan menanti kita sekaligus teladan bagi penderitaan yang kita alami. Mari kita merenungkan kedua poin ini di dalam ayat 6-11. Di dalam keenam ayat ini, Paulus membagi enam prinsip penderitaan penebusan Kristus sebagai teladan dan pengharapan bagi kita yang menderita karena nama Kristus.

Pertama, penderitaan Kristus ditujukan untuk orang-orang berdosa (lemah dan durhaka). Di dalam ayat 6a, Paulus menguraikan, “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka…” Di dalam bagian ini, Paulus langsung menunjukkan status dan kondisi kita yang berdosa. Pertama, kondisi lemah. “Karena waktu kita masih lemah” dalam Alkitab terjemahan King James mengartikannya, “For when we were yet without strength…” International Standard Version (ISV) menerjemahkannya powerless (=tidak ada kekuatan). Dengan kata lain, “lemah” berarti tanpa kekuatan (strengthless bisa diterjemahkan sick/sakit, impotent/tidak bertenaga, dll). Ini adalah kondisi kita ketika jatuh ke dalam dosa. Dosa mengakibatkan kita lemah, tak bertenaga apapun untuk berbuat sesuatu yang baik. Dengan kata lain, dosa mematikan keinginan kita untuk menyenangkan Allah. Mengapa ? Karena dosa adalah ketidaktaatan terhadap perintah-Nya atau menyelewengnya kita dari sasaran Allah. Paulus di dalam Roma 7:18 menuturkan, “Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik.” Paulus menuliskan hal ini di dalam perikop tentang perjuangan hukum Taurat dan dosa. Di dalam bagian ini, ia menjelaskan bahwa meskipun hukum Taurat itu baik bagi umat-Nya, tetapi ketika kita masih hidup di dalam dunia ini, dosa terus melekat di dalam kita sehingga ketika kita ingin berbuat sesuatu yang menyenangkan Allah, ternyata kita malahan mendukakan hati-Nya (Roma 7:19-20). Itulah kuasa dosa yang terus membuat kita mendukakan hati-Nya. Kedua, status orang durhaka. Paulus mencatat hal ini di dalam ayat 6a di atas dengan menggunakan terjemahan ungodly di dalam KJV yang dalam bahasa Yunaninya asebe ̄s berarti irreverent, that is, (by extension) impious or wicked: - ungodly (man). (=tidak sopan, yaitu, (secara perluasan) tidak beriman/berTuhan atau jahat : orang yang tak berTuhan.) Dengan kata lain, ketika kita jatuh ke dalam dosa, status kita langsung disebut “tidak berTuhan” dan “jahat”. Itulah status yang kita layak tanggung akibat ketidaktaatan manusia pertama. Kalau secara kondisi, kita lemah dan tak berdaya dalam menghadapi dosa, maka secara status, kita lebih kejam lagi yaitu benar-benar menyetujui adanya dosa dan melawan Allah, sehingga disebut “tidak berTuhan”. Di sini, status kita melebihi kondisi kita. Bagaimana dengan realita dunia kita ? Dunia postmodern yang kita hidupi saat ini mulai membalikkan/meniadakan realita ini dengan mengajarkan bahwa di dalam diri kita ada kekuatan besar yang berdiam (giant power/force dwells in us). Ajaran ini dipengaruhi oleh Gerakan Zaman Baru dengan ide man is god (manusia adalah “allah”). Dan anehnya, ajaran gila ini rupanya telah merasuki dunia pendidikan (khususnya manajemen), psikologi, dan bahkan di dalam keKristenan. Alhasil, tidak heran, kita melihat seorang Tung Desem Waringin, Andrie Wongso, dll laris diundang bahkan di sebuah kampus “Kristen” swasta terkenal di Surabaya, bahkan dipopulerkan di dalam keKristenan (oleh beberapa dosen “Kristen) dan “gereja” melalui buku-buku Berpikir Positif dari Norman Vincent Peale, David Yonggi Cho, Robert H. Schuller, Zig Ziglar (buku terkenalnya : “Smile” dipakai sebagai bahan “renungan” oleh seorang dosen “Kristen” yang adalah istri “pendeta” emeritus GKI Pregolan Bunder, Surabaya di dalam setiap perkuliahannya di salah satu kampus “Kristen” swasta terkenal di Surabaya), dll. Orang-orang Kristen terus-menerus diindoktrinasi bahwa mereka itu hebat, pintar, mampu, bijaksana, dll dan mulai disimpangkan/diselewengkan dari berita Alkitab bahwa manusia itu berdosa. Itu adalah tipu daya setan yang mulai meracuni keKristenan, tetapi sayangnya banyak orang “Kristen” masih tertidur oleh bujuk rayu si setan dan tidak mau kembali kepada Alkitab. Sudah saatnya, para kaum pilihan-Nya sadar dari tipu daya si setan, bertobat dan kembali kepada Alkitab sebagai satu-satunya kebenaran mutlak. Alkitab mengajarkan bahwa kita berdosa, dan itu harus kita amini dan sadari. Kesadaran tentang dosa adalah titik awal nantinya kita bisa bertobat. Ketika kita tidak menyadari dosa ini, kita tidak

Page 12: HASIL PEMBENARAN

mengerti untuk apa kita bertobat dan lebih parah kita tidak mengerti untuk apa Kristus mau mati bagi dosa-dosa kita. Kembali, semua status dan kondisi kita yang berdosa ternyata menemui kebuntuan. Tidak ada seorangpun yang dapat melepaskan kita (sekalipun para utusan Allah) dari status dan kondisi kita ini. Lalu, adakah jalan keluarnya ? Puji Tuhan, Paulus di dalam ayat 6a menyatakan bahwa bagi kita yang masih lemah dan durhaka ini, Kristus telah mati untuk kita. Kematian Kristus menunjukkan bahwa ada pengharapan dan jalan keluar dari masalah yang kita hadapi yaitu status dan kondisi kita yang berdosa. Selain pengharapan, kematian Kristus juga harus menjadi teladan bagi kita yang harus terus-menerus mematikan dosa di dalam diri kita. Di dalam Efesus 4:17-32, Paulus dengan gamblang memaparkan bahwa kita sebagai manusia baru harus hidup lebih memuliakan Allah daripada ketika kita masih seteru Allah (manusia lama). Rasul Yohanes juga mengingatkan kita, “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.” (1 Yohanes 3:9) Dengan kata lain, “mematikan dosa” sama dengan menyangkal diri. Menyangkal diri tidak berarti kita tidak boleh memiliki keinginan sama sekali. Inilah kekeliruan terbesar dan terkonyol di dalam agama dari Timur yang mengajarkan bertarak diri (askese). Kalau kita tidak boleh memiliki keinginan, berarti kita pun tidak boleh mengingini untuk masuk nirwana (menurut agama itu). Itu logika yang tepat, tetapi herannya sambil mengajarkan bahwa kita tidak boleh memiliki keinginan, agama ini juga mengajarkan bahwa setiap orang bisa menjadi “allah”. Sungguh suatu logika yang tidak masuk akal. Kembali, menyangkal diri berarti kita berani mengatakan “tidak” kepada setiap keinginan kita yang negatif (dan beberapa keinginan positif) untuk disesuaikan dengan kehendak dan kedaulatan Allah. Di dalam proses menyangkal diri, baiklah kita terus-menerus dipimpin dan disucikan oleh Roh Kudus.

Kedua, penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah. Kalau kita kembali pada ayat 6, pada enam kalimat terakhir, Alkitab LAI menyebutkan, “pada waktu yang ditentukan oleh Allah.” Kalimat ini tidak dapat kita jumpai pada KJV yang hanya menyebut “in due time”. ISV juga hanya menyebutkan, “at just the right time” English Standard Version menyebutkan hal yang sama, “at the right time” Di sini, LAI menambahkan kata “Allah” menunjukkan bahwa kematian Kristus bukan ditentukan oleh manusia atau Kristus dapat disalib gara-gara Yudas menjual-Nya (seolah-olah tanpa Yudas, Kristus tak mungkin disalib atau Allah Bapa “bingung” memilih sarana lain untuk membuat Kristus disalib). Hal tersebut tidak pernah ada dalam “kamus” Alkitab/Allah, karena Allah kita adalah Allah yang sejati yang berdaulat yang merencanakan segala sesuatu dan kita mempercayai bahwa rencana-Nya pasti berhasil karena Ia adalah Allah yang layak dipercaya (trust-worthy God). Kalau kita mempercayai kepada “Allah” yang “plin-plan”, jujur, itu bukan Allah yang diajarkan dan diberitakan oleh Alkitab, tetapi diajarkan oleh para pemuja postmodernisme, open theism, pluralisme, dan sejenisnya yang pura-pura memakai plang “Kristen” ! Kembali, ketika kita mengerti bahwa penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah, kita dapat belajar beberapa prinsip, yaitu pertama, penderitaan Kristus menjadi pengharapan bahwa bukan karena kita yang minta diselamatkan baru Allah menyelamatkan, tetapi Allah yang merencanakan keselamatan, Dia jugalah yang menggenapinya di dalam Pribadi Kristus. Kedua, penderitaan Kristus menjadi teladan bagi kita yang harus menyangkal diri bahwa penderitaan yang kita alami itu juga atas kehendak Allah/diizinkan Allah untuk menguji iman kita di dalam mengikut-Nya. Rasul Petrus di dalam 1 Petrus 4:14 mengajarkan, “Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu.” Kata “berbahagialah” di dalam ayat ini sama dengan kata “berbahagia” yang diucapkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 5:3-11 (khususnya ayat 10) yang dalam bahasa Yunaninya makarios bisa berarti “diberkatilah” (blessed). Khususnya di Indonesia, kita membaca banyak berita bahwa banyak gereja dibakar, izin pembangunan gereja dipersulit dengan berjuta alasan yang tidak masuk akal (tetapi kalau membangun tempat ibadah agama mayoritas dipermudah, bahkan banyak yang tidak pakai IMB/Izin Mendirikan Bangunan), dll. Itu semua adalah bentuk penderitaan yang harus ditanggung ketika kita berkomitmen menjadi pengikut Kristus sejati. Menjadi orang “Kristen” kampungan dan murahan (pseudo-Christians) itu mudah, karena tidak usah memikul salib (kalau perlu meng“amin”i apa yang dicetuskan oleh para penganut “theologia” kemakmuran bahwa orang “Kristen” adalah anak “raja” yang pasti kaya, sukses, diberkati, sembuh, bahkan tidak pernah digigit nyamuk), tetapi kalau kita sungguh-sungguh mau mengikut Kristus (the true Christians), kita harus rela menanggung aniaya karena seperti Kristus yang telah difitnah, dianiaya, dll, kita pun sebagai pengikut sekaligus murid-Nya pun harus mengalami hal yang sama, selain itu karena kita harus menTuhankan Kristus bukan men”Tuhan”kan penguasa, dan hal-hal palsu lainnya.

Ketiga, penderitaan Kristus ditujukan untuk menggantikan kita yang masih berdosa ® substitusi (ayat 7-8). Poin ketiga ini kelihatannya sama dengan poin pertama, tetapi pada poin ini saya menitikberatkan pada kematian Kristus yang menggantikan (substitusi). Pada ayat 7, Paulus berkata, “Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar--tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati--.” “Orang yang benar” dalam terjemahan KJV adalah a righteous man, dalam bahasa Yunaninya menggunakan kata dikaios yang bisa berarti adil benar. Lalu, siapakah orang adil/benar yang Paulus maksudkan ? Dari tafsiran Adam Clarke dalam Adam Clarke’s Commentary on the Bible, kita mendapatkan sedikit latar belakang tradisi Yudaisme bahwa orang-orang Yahudi membedakan empat macam orang, di mana orang macam pertama dari empat macam orang tersebut disebut orang yang adil (a just man) yang mengatakan, “what is mine, is my own; and what is thine, is thy own.” (=apa yang menjadi milikku adalah milikku ; dan apa yang menjadi milikmu,

Page 13: HASIL PEMBENARAN

adalah milikmu.) Adam Clarke mengatakan, “These may be considered the just, who render to every man his due; or rather, they who neither give nor take.” (=Orang ini dapat disebut orang adil, yang memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing ; atau lebih baik, mereka tidak memberi atau mengambilnya.) Dari tafsiran ini, saya berani menyimpulkan bahwa a just man sebenarnya adalah orang yang merasa diri “benar” dan “layak”, tetapi sebenarnya tidak mampu. Mengapa saya berani mengambil kesimpulan demikian ? Karena seperti yang diungkapkan Clarke, a just man menunjuk kepada orang yang selalu menuntut keadilan tetapi tidak mengerti sesuatu yang melampaui keadilan yaitu kasih yang tanpa syarat (unconditional love). Kasih dan keadilan tidak bisa dipisahkan, karena itu saling terkait. Bagi mereka yang seolah-olah merasa diri “benar”, Tuhan melalui Paulus berkata bahwa itu adalah hal yang sulit khususnya di dalam pengorbanan Kristus yang bersifat mengganti. Mengapa ? Karena a just man selalu merasa diri “layak”, “tak berdosa”, dll lalu kalaupun ia melakukan sesuatu yang salah/berdosa, maka ia dengan sombongnya akan berjuang sendiri untuk melepaskan/keluar dari jurang kesalahan/dosan. Terhadap orang inilah, Kristus sulit mau berkorban bagi/menggantikan posisi mereka. Tetapi meskipun sulit, Kristus rela melakukannya karena kematian-Nya membuktikan cinta kasih Allah kepada dunia yang jauh melampaui konsep keadilan manusia (Yohanes 3:16 ; Roma 5:8). Apa yang Kristus kerjakan berbeda total dari apa yang manusia dunia lakukan. Hal ini ditunjukkan Paulus dengan membedakan konsep substitusi di dalam pengorbanan Kristus dengan tindakan orang yang mau mati bagi orang yang baik. Tindakan pertama yaitu tindakan pengorbanan Kristus adalah tindakan yang mulia dan dimotivasi oleh cinta yang tanpa bersyarat yang tak memerlukan balas jasa apapun dari siapapun juga (karena manusia yang olehnya Kristus mati tidak memiliki daya/jasa baik yang cukup syarat untuk membalas kasih Allah), sedangkan tindakan kedua adalah tindakan yang seolah-olah kelihatan “berkorban”, tetapi sebenarnya mau meminta balas jasa (karena orang ini mati bagi orang yang mati yang akan membalas jasanya). Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi kita yang berada di dalam penderitaan bahwa kita memiliki Kristus yang sudah menggantikan kita yang seharusnya berdosa. Sudah seharusnya kita tidak lagi arogan lalu berkata bahwa kita bisa menyelesaikan dosa kita sendiri. Itu adalah tindakan atheis yang menghina karya penebusan Allah. Kita sebagai umat pilihan-Nya yang telah ditebus harus terus-menerus bersyukur atas anugerah-Nya dan mengerjakan keselamatan kita (bukan supaya kita diselamatkan/tidak kehilangan keselamatan) sebagai respon kita telah ditebus dan diselamatkan untuk memuliakan Allah. Penderitaan Kristus juga dapat menjadi teladan bagi kita sehingga kita rela berkorban/mati bagi orang-orang yang kita kasihi demi Injil. Penginjilan tanpa dimotivasi dan bertujuan untuk mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang adalah penginjilan yang sia-sia. Sudahkah kita mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang dan membawanya kepada Kristus ?

Keempat, penderitaan Kristus meredakan murka Allah ® propisiasi (ayat 9). Pada ayat 9, Tuhan melalui Paulus mengungkapkan, “Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah.” Tentang propisiasi atau peredaan murka Allah, Paulus sudah menjelaskannya di dalam Roma 3:25, “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya…” (KJV, “Whom God hath set forth to be a propitiation through faith in his blood,…”) dan Yohanes menjelaskannya di dalam 1 Yohanes 4:10, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (KJV, “Herein is love, not that we loved God, but that he loved us, and sent his Son to be the propitiation for our sins.”). Semua kata “pendamaian” di dalam kedua bagian ayat ini seharusnya diterjemahkan “peredaan murka Allah”. Peredaan murka Allah yang Kristus kerjakan menjadi pengharapan bagi kita yang seharusnya mati dan dikenai murka Allah akibat dosa, tetapi puji Tuhan, penebusan Kristus di kayu salib sudah memenuhi syarat wujud keadilan dan kasih Allah bagi manusia berdosa. Penderitaan Kristus ini juga menjadi teladan bagi kita yang harus menderita karena nama Kristus supaya kita tetap memberitakan Injil sehingga banyak orang diselamatkan dari murka Allah yang menyala-nyala. Penderitaan kita karena nama Kristus seharusnya tidak memadamkan semangat kita dalam mengabarkan Injil, melainkan justru mengobarkan semangat kita bahwa orang-orang yang menganiaya kita harus diinjili agar mereka pada suatu saat atas kehendak-Nya dapat bertobat dan kembali kepada Kristus serta diselamatkan dari murka Allah yang dahsyat.

Kelima, penderitaan Kristus memperdamaikan kita dengan Allah ® rekonsiliasi (ayat 10). Selain substitusi dan propisiasi, penebusan Kristus juga mendamaikan kita yang dahulu adalah seteru/musuh Allah yang najis dan berdosa dengan Allah yang Mahakudus, seperti yang dipaparkan Paulus di ayat 10, “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” Kata “diperdamaikan” dalam KJV adalah reconcile (=direkonsiliasikan/diperdamaikan). Kalau kita mengerti kata “musuh”, maka kita seharusnya mengerti bahwa itulah status kita ketika kita masih berdosa. Kalau di poin pertama, kita belajar tentang status dan kondisi kita yang jatuh ke dalam dosa yaitu durhaka/tidak berTuhan dan lemah/tidak berdaya, maka di poin ini, kita belajar tentang status kita dahulu yang “baru” yaitu musuh/seteru Allah. Kita disebut seteru Allah karena kita melawan ketetapan-Nya. Bagi seorang musuh, kita sudah seharusnya melawannya, hal yang sama juga dilakukan oleh Allah. Tetapi sekali lagi karena kasih-Nya begitu besar, maka beberapa orang dari antara musuh-Nya yang memberontak dipilih, dipanggil dan dibenarkan-Nya di dalam Kristus, sehingga mereka beroleh anugerah-Nya untuk beriman di dalam Kristus. Bagi orang-orang pilihan-Nya inilah, Kristus mati dan memperdamaikan

Page 14: HASIL PEMBENARAN

mereka dengan Allah. Adalah tidak masuk akal jika ada orang-orang yang tidak dipilih-Nya berani mengklaim diri umat pilihan Allah lalu menyatakan diri dengan sombongnya bahwa Kristus juga mati untuknya. Itu adalah ajaran yang aneh dan tidak sesuai dengan Alkitab. Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi umat pilihan-Nya yang berdosa yaitu kita yang dahulu berdosa sudah diperdamaikan dengan Allah yang Mahakudus melalui penebusan Kristus, sehingga kita diselamatkan oleh hidup Kristus dan kita tidak usah takut (dalam pengertian takut yang berlebihan) menghampiri Allah. Bukan berarti karena kita telah ditebus oleh Kristus, maka kita boleh sembarangan menghadap Allah, lalu seenaknya sendiri menggunakan hal-hal yang tidak bertanggungjawab di dalam ibadah. Itu namanya “anak-anak Allah” yang keterlaluan/kelewatan (Jawa : nglunjak). Meskipun kita sudah ditebus oleh Kristus, kita sebagai anak-anak-Nya tetap harus menghormati dan takut kepada-Nya, karena Ia tetap adalah Allah dan Tuhan kita (sedangkan kita adalah manusia yang terbatas), meskipun kita bisa/dapat tetap bersukacita ketika menghadap Allah. Inilah paradoks di dalam ibadah Kristen : takut dan gentar terhadap Allah sekaligus bersukacita. Penderitaan Kristus juga menjadi teladan bagi kita yaitu perdamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus adalah wujud perdamaian sejati meskipun kita menderita aniaya. Seringkali di dunia ini, ketika ada orang yang mengalami penderitaan, para pemuja “theologia” religionum/social “gospel” selalu melontarkan kalimat “damai”, “gencatan sejata”, “toleransi”, dll supaya tidak terjadi penderitaan dan penganiayaan. Apakah itu salah ? Di satu sisi, benar, tetapi di sisi lain, inti masalahnya bukan sekedar penghentian tindakan penganiayaan/kekerasan/penderitaan, tetapi esensinya justru terletak pada pendamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus. Kalau manusia tidak didamaikan kembali dengan Allah, maka manusia tak mungkin bisa berdamai dengan sesamanya, karena masalah manusia yang paling serius adalah dosa, dan bukan hanya sekedar ketidakseimbangan/ketidaktenteraman atau penderitaan/penganiayaan/dll.

Terakhir, penderitaan Kristus membuat kita berbangga di dalam-Nya (ayat 11). Di dalam ayat 11, Paulus mengungkapkan, “Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu.” Kata “bermegah” bisa berarti bersukacita (joy/rejoice) atau berbangga (boast). Bukan hanya substitusi, propisiasi dan rekonsiliasi, penebusan dan penderitaan Kristus memberikan pengharapan kepada kita bahwa meskipun kita mengalami penganiayaan, Roh-Nya yang Kudus membuat kita terus-menerus bersukacita di dalam Allah. Mengapa kita bisa bersukacita meskipun penderitaan mengancam kita ? Karena kita memiliki pengharapan yang kokoh di dalam Kristus yang telah mengalami dan menang mengalahkan segala pencobaan, sehingga Ia dinobatkan sebagai Imam Besar Agung (Ibrani 4:14-15). Selain itu, penderitaan Kristus yang mengakibatkan kita bersukacita di dalam-Nya juga menjadi teladan bagi kita untuk menyalurkan sukacita di dalam penderitaan ini baik dengan berbagi kepada sesama, khususnya yang paling utama yaitu memberitakan Injil. Sehingga ketika orang yang menganiaya kita tetap melihat kita bersukacita bahkan masih memberitakan Injil, orang tersebut atas kemurahan-Nya akan bertobat dan kembali kepada Kristus. Hal ini sudah dialami oleh Paulus yang tetap memberitakan Injil kepada kepala penjara di Filipi meskipun dipenjara dan mengalami penderitaan (Kisah Para Rasul 16:19-40). Maukah kita meneladani Paulus dengan menjadi saksi Kristus bahkan di dalam penderitaan sekalipun ?

Setelah kita merenungkan keenam prinsip penderitaan Kristus yang menjadi pengharapan sekaligus teladan bagi kita yang menderita, biarlah kita menjadikan penderitaan Kristus bukan sekedar teori/rutinitas ketika kita memperingati Jumat Agung, tetapi penderitaan Kristus menjadi titik pusat kehidupan keKristenan kita dalam menapaki setiap penderitaan yang harus ditanggung karena mengikut Kristus. Soli Deo Gloria. Amin.