Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
HALAMAN JUDUL
KOMUNIKASI PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS (ABK) DI MADRASAH
(STUDI KASUS PADA MADRASAH DI WILAYAH BOGOR)
Disusun Oleh:
Ketua Tim: Dr. Yopi Kusmiati, M.Si
Anggota: Pia Khoirotunnisa, M.Si
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ii
ABSTRAK
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak semuanya memiliki
karakter hambatan yang sama dalam aspek perkembangan mereka.
Keberagaman varian yang terjadi dalam hambatan atau gangguan pada
perkembangan komunikasi mereka harus dipahami guna menjadi pijakan
bagi orang tua, guru maupun orang-orang di sekitar mereka, agar mereka
memperoleh kesempatan dan perlakuan yang layak dari lingkungan mereka
sebagaimana diterima oleh individu yang normal. Guru sebagai orang yang
selalu berkomunikasi dengan ABK di sekolah, sudah semestinya
memahami komunikasi ABK, mengetahui cara menyampaikan pesan
kepada ABK, dan bisa mengelola komunikasi mereka saat berhadapan
dengan ABK. Oleh karena itu, dalam penelitian ini difokuskan pada
Komunikasi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Madrasah, sebagai
salah satu lembaga yang berkomitmen mendukung program madrasah
inklusi di Kementerian Agama.
Permasalahan yang digali dalam penelitian ini yaitu tentang persepsi
Guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Madrasah wilayah
Bogor, pengelolaan komunikasi Guru terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) di Madrasah wilayah Bogor, dan bentuk komunikasi Guru
dalam menangani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Madrasah
wilayah Bogor.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode kualitatif.
Pembicaraan mengenai pendekatan kualitatif tidak dapat terlepas dari
pembicaraan mengenai pendekatan yang melatarbelakangi penelitian
kualitatif. Penggunaan penelitian kualitatif dalam tulisan ini dianggap tepat
dan sesuai dengan permasalahan yang peneliti kaji, karena melalui
penelitian ini peneliti akan menemukan cara pengelolaan komunikasi dan
bentuk komunikasi Guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 10 persepsi informan
terhadap anak berkebutuhan khusus, yaitu : Anak yang butuh perhatian,
Anak yang jahil, Anak yang pendiam, Anak yang berbeda, Anak yang
kurang kemampuan, Anak yang aktif, Anak yang Iseng, Anak yang
penyerang, Anak yang kurang Motivasi, dan Anak yang perasa. Sedangkan
untuk bentuk pengelolaan komunikasi yang dilakukan oleh informan dalam
penelitian ini, ada tiga bentuk, yaitu pengelolaan komunikasi aktif,
pengelolaan komunikasi pasif, dan pengelolaan komunikasi normatif.
Adapun bentuk komunikasi yang dilakukan oleh informan dari 4 madrasah
di wilayah Bogor yang diteliti, ada dua bentuk komunikasi guru dalam
menangani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), yaitu komunikasi
antarpersonal dan komunikasi kelompok.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Ilahi Robbi, atas kesehatan dan
karunia ilmu-Nya kami dapat menyelesaikan tulisan ini. Salawat beserta
salam kami sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammmad SAW yang
selalu memberikan syafa’atnya kepada kita semua, untuk selalu menjadi
pencerah bagi semua umat, sehingga ilmu yang ada selalu bermanfaat.
Buku ini merupakan hasil penelitian yang kami lakukan pada tahun
2017 dengan judul “KOMUNIKASI PENDIDIKAN GURU TERHADAP
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI WILAYAH BOGOR”. Berawal
dari cerita-cerita beberapa orang yang mengatakan bahwa terdapat
beberapa madrasah yang bukan merupakan madrasah inklusi sebagaimana
ditetapkan oleh Pemerintah, memiliki Anak Berkebutuhan Khusus (ABK),
kami tertarik untuk melakukan penelitian, karena bagi kami hal ini
merupakan sesuatu yang unik, saat ada sebuah lembaga
pendidikan/madrasah yang mau menerima ABK, padahal mereka bukan
madrasah inklusi.
Menghadapi ABK, selain harus memiliki kemampuan metode
pengajaran dan kurikulum yang tepat, diperlukan juga cara komunikasi
yang tepat agar dapat dipahami oleh ABK. Cara berkomunikasi seorang
pendidik merupakan salah satu kompetensi yang diperlukan saat
berhadapan dengan ABK, sehingga peneliti dalam hal ini memfokuskan
untuk melihat cara komunikasi para pendidik tersebut, baik dari bentuk
komunikasi yang mereka lakukan saat menangani ABK, cara pengelolaan
komunikasi mereka, dan persepsi mereka terhadap ABK yang hasilnya ada
di tangan pembaca saat ini.
Ucapan terima kasih yang mendalam kami sampaikan kepada
Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Ditjen Pendidikan Islam
iv
Kementerian Agama RI yang telah memberikan bantuan untuk melakukan
penelitian ini, Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi beserta
jajarannya yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan
penelitian, Pihak Madrasah MI dan MTs Darul Mustaqim, MI Nurul
Athfal, MI Al Fitriyah yang telah bersedia menjadi objek penelitian ini dan
memberikan kesempatan yang besar bagi kami untuk melakukan
pengamatan di dalam kelas selama proses belajar mengajar, dan tentunya
kepada semua Guru di madrasah tersebut yang kami jadikan informan, atas
kesediaannya untuk diwawancara dan diamati selama di kelas, dan semua
pihak yang tidak bisa kami sebutkan semua satu persatu.
Tentunya penelitian ini belum bisa dikatakan sempurna, karena kami
sadari masih terdapat kekurangan dan perlu masukan-masukan dalam
penyempurnaan tulisan ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua
pihak sangat kami harapkan, dan semoga ada penelitian-penelitian lanjutan
yang bisa menyempurnakan hasil penelitian ini. Atas kekurangan dan
kesalahan dalam penulisan hasil penelitian ini kami mohon maaf, dan
semoga kita semua tetap dapat menjaga konsistensi dalam menulis dan
meneliti, dan tulisan yang ada ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.
Salam,
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iii
DAFTAR ISI .............................................................................................. v
DAFTAR TABEL ................................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Penelitian ............................................................ 1
1.2. Pertanyaan Penelitian .................................................................. 6
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 7
1.5. Tinjauan Pustaka.......................................................................... 8
1.6. Metodologi Penelitian................................................................ 10
1.6.1. Metode Penelitian ............................................................... 10
1.6.2. Subjek dan Objek Penelitian .............................................. 12
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 12
1.6.4. Teknik Analisis Data .......................................................... 16
1.6.5. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................ 18
BAB II. KAJIAN TEORITIK ................................................................. 19
2.1. Pengertian Komunikasi.............................................................. 19
2.2. Pengertian Pendidikan ............................................................... 26
2.3. Pengertian Komunikasi Pendidikan ........................................... 29
2.4. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus .................................... 35
2.5. Persepsi Komunikasi ................................................................. 42
2.5.1. Peranan Persepsi dalam Komunikasi ................................. 42
2.5.2. Asumsi dan Persepsi ........................................................... 46
2.5.3. Harapan-Harapan Budaya dan Persepsi ............................. 47
2.5.4. Motivasi dan Persepsi ......................................................... 48
2.5.5. Sikap dan Persepsi .............................................................. 49
2.6. Manajemen Komunikasi ............................................................ 50
vi
2.6.1. Definisi Manajemen ........................................................... 51
2.6.2. Tujuan Manajemen Komunikasi ........................................ 53
2.6.3. Karakteristik Manajemen Komunikasi ............................... 54
2.6.4. Efektivitas Manajemen Komunikasi .................................. 55
BAB III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL
INFORMAN ............................................................................................. 59
3.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................... 59
3.1.1. Madrasah di Kabupaten Bogor ............................................... 59
3.2. Gambaran Umum Madrasah Ibtidaiyah Darul Mustaqim ......... 61
3.2.1. Visi dan Misi Madrasah ..................................................... 62
3.2.2. Tantangan ........................................................................... 62
3.2.3. Data Siswa dalam 3 tahun terakhir MIS Daarul Mustaqiem ...... 63
3.2.4. Data Sarana dan Prasarana ................................................. 63
3.2.5. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan .......................... 65
3.3. Gambaran Umum Madrasah Ibtidaiyah Nurul Athfal ............... 66
3.3.1. Profil Madrasah .................................................................. 66
3.3.2. Visi dan Misi Madrasah ..................................................... 66
3.3.3. Sasaran dan Tujuan Madrasah ............................................ 67
3.3.4. Tantangan ........................................................................... 68
3.3.5. Data Siswa dalam Tiga Tahun Terakhir MI NURUL ATHFAL 68
3.3.6. Data Sarana dan Prasarana ................................................. 69
3.3.7. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan .......................... 70
3.4. Gambaran Umum Madrasah Ibtidaiyah Al-Fitriyah ............... 722
3.4.1. Profil Madrasah ................................................................ 722
3.4.2. Visi Madrasah .................................................................... 72
3.4.3. Sasaran dan Tujuan Madrasah ............................................ 73
3.4.4. Tantangan ........................................................................... 73
3.4.5. Data Siswa dalam 3 tahun terakhir MIS. Al-Fitriyah ....... 745
3.4.6. Data sarana dan Prasarana .................................................. 75
3.4.7. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan .......................... 76
vii
3.5. Gambaran Umum Madrasah Tsanawiyah Darul Mustaqiem .... 78
3.5.1. Profil Madrasah .................................................................. 78
3.5.2. Visi dan Misi Madrasah ..................................................... 78
3.5.3. Data Siswa dalam Tiga Tahun Terkhir .............................. 79
3.5.4. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan .......................... 79
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................... 811
4.1. Hasil Penelitian ........................................................................ 811
4.1.1. Profil Informan Guru Anak Berkebetuhan Khusus .............. 811
4.1.2. Profil Murid Anak Berkebutuhan Khusus ............................ 866
4.1.3. Persepsi Pendidik terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
di Madrasah Wilayah Bogor ............................................................. 90
4.1.4. Pengelolaan Komunikasi Guru terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) di Madrasah Wilayah Bogor .................................. 999
4.1.5. Bentuk Komunikasi Pendidik dalam Menangani Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) di Madrasah Wilayah Bogor ....... 11010
4.2. PEMBAHASAN .................................................................... 1199
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................. 1322
5.1. Kesimpulan ............................................................................ 1322
5.2. Saran ...................................................................................... 1333
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 1344
DAFTAR INDEKS .............................................................................. 1388
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................... 1499
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jadwal Penelitian ....................................................................... 18
Tabel 2. Data Siswa dalam 3 tahun terakhir MIS Daarul Mustaqiem ..... 63
Tabel 3. Data Sarana dan Prasarana MIS Daarul Mustaqiem ................. 64
Tabel 4. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan MIS Daarul
Mustaqiem ................................................................................. 65
Tabel 5. Data Personel Tenaga Pendidik Dan Kependidikan MIS Daarul
Mustaqiem ................................................................................. 66
Tabel 6. Data Siswa dalam 3 tahun terakhir MI Nurul Athfal ................ 68
Tabel 7. Data Sarana dan Prasarana MI Nurul Athfal ............................. 70
Tabel 8. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan MI Nurul Athfal ...... 70
Tabel 9. Data Personel Tenaga Pendidik Dan Kependidikan MI
Nurul Athfal .............................................................................. 71
Tabel 10. Data Siswa dalam 3 tahun terakhir MIS Al-Fitriyah .............. 74
Tabel 11. Data Sarana dan Prasarana MIS Al-Fitriyah ........................... 76
Tabel 12. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan MIS Al-Fitriyah .... 76
Tabel 13. Data Personel Tenaga Pendidik Dan Kependidikan MIS Al-
Fitriyah ...................................................................................... 77
Tabel 14. Data Siswa dalam 3 tahun terakhir MTs Daarul Mustaqiem .. 78
Tabel 15. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan MTs Daarul
Mustaqiem .............................................................................. 79
Tabel 16. Jumlah Informan Berdasarkan Jenis Kelamin ......................... 84
Tabel 17. Persepsi Guru Terhadap Murid ABK ...................................... 97
Tabel 18. Kategori Pengelolaan Komunikasi Informan ........................ 109
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Komunikasi antar manusia selalu berlangsung dalam latar dan
lingkungan tertentu. Manusia tidak akan pernah terlepas dari latar dan
lingkungannya. Sehingga dalam berkomunikasi pun pasti berlangsung
dalam lingkungan dan latar tersebut, misalnya komunikasi manusia
berlangsung dalam lingkungan budaya tertentu, karena manusia memang
senantiasa menjadi bagian dari budaya tersebut, seperti halnya latar dan
personal atau sosial.
Dalam konteks komunikasi pendidikan, saat ini latar dan lingkungan
komunikasi dapat dikatakan sebagai latar dan lingkungan yang saling
bersaing. Sebab pesan-pesan yang disampaikan melalui komunikasi
pendidikan di dalam keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan
cenderung bersaing dengan pesan-pesan yang disampaikan pada dunia
politik, ekonomi dan media massa. Apa yang diajarkan melalui pendidikan
harus bersaing dengan kenyataan yang ditampilkan di media massa,
khususnya televisi (Iriantara dan Syarifudin, 2013:25-26).
Seberapa penting komunikasi dalam kehidupan manusia? Hal
tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa
presentasi waktu yang digunakan dalam proses komunikasi sangat besar,
berkisar antara 75% sampai 90% dari jumlah waktu kegiatan lainnya.
Waktu yang digunakan dalam proses komunikasi tersebut 5% digunakan
untuk menulis, 10% untuk membaca, 35% untuk berbicara, dan 50% untuk
mendengar (Suprapto, 2009:1). Hal ini membuktikan betapa vitalnya
komunikasi dalam tatanan kehidupan sosial manusia. Dengan kata lain,
komunikasi telah menjadi ‘jantung’ dari kehidupan kita. Komunikasi sudah
2
menjadi bagian dari kegiatan kita sehari-hari. Jarang disadari bahwa pada
prinsipnya tidak seorang pun dapat melepaskan dirinya dari aktivitas
komunikasi.
Di dunia ini mungkin orang yang paling menyadari betapa sangat
tersiksanya hidup tanpa dapat berkomunikasi adalah Hellen Keller yang
lahir pada 1880 di negara bagian Alaska, Amerika Serikat. Pada usia 19
tahun ia buta dan tuli karena suatu penyakit. Karena kedua penderitaan
sebab penyakitnya itu maka penderitaan ketiga yang dia alami adalah tidak
dapat berbicara. Karena ia buta, tidak satu pun informasi yang dapat
diterimanya dengan penglihatannya. Demikian pula, ia tidak dapat
menerima informasi melalui telinganya karena tuli. Selain itu pula, ia tidak
dapat mengirimkan informasi dengan suaranya karena miskin
perbendaharaan kata. Tidak ada output yang dapat ia kirim. Di dalam
proses komunikasi input dan output komunikasi sangat penting.
Dalam kesehariannya Keller hanya mampu menggelengkan kepala
yang berarti “tidak” dan mengangguk berarti “ya”, menarik berarti
“kemari”, dan mendorong berarti “pergi”. Baginya, dunia benar-benar
gelap dan tanpa harapan. Dia hanya bisa meratapi diri. Bahkan untuk
bercerita kepada orang lain pun ia tidak sanggup. Untunglah penderitaan
Hellen Keller tidak berlangsung lama karena pada usianya yang ke-7
seorang guru bernama Anne Sullivan membawa dia ke dunia yang terang
dengan mengajarkan simbol-simbol komunikasi untuk keperluan sehari-
hari. Usaha Sullivan tidak sia-sia. Dia berhasil membimbing Hellen Keller
sehingga dia mampu “berkomunikasi, meskipun tidak seperti orang
normal. Dan akhirnya, Hellen Keller dapat lulus dengan predikat cum laude
dari Radcliffe College pada 1904. Contoh cerita tersebut, sepintas tidak ada
yang istimewa khususnya bagi kita yang normal. Namun, hal tersebut bisa
3
menjadi bahan renungan untuk kita bahwa seseorang yang cacat
pancaindranya akan mengalami kesulitan yang sangat untuk dapat
berkomunikasi.
Pengalaman Hellen Keller tersebut bisa menjadi hikmah bagi kita
semua, bahwa kita harus menyukuri semua yang telah Allah berikan berupa
pancaindra yang sehat dan kemampuan untuk berkomunikasi, sehingga
melalui aktivitas komunikasi inilah memungkinkan terbentuknya suatu
tatanan dalam sistem sosial yang disebut sebagai masyarakat. Seorang ahli
komunikasi Wilbur Schramm mengatakan bahwa dalam konteks
komunikasi, suatu masyarakat dapat dilihat sebagai sejumlah hubungan
(relationship) di mana masing-masing orang mengambil bagian (sharing)
atas informasi. (Ashadi dalam Suprapto, 2009:3)
Oleh karena itu, komunikasi memegang peranan yang sangat penting
terkait dengan pembentukan masyarakat. Dalam fenomena ini, manusia
terlibat kegiatan komunikasi melalui kehidupan sosial, sehingga manusia
dapat saling berdekatan dalam suatu komunitas. Seperti yang dikatakan
oleh Tannen bahwa kita butuh saling berdekatan agar merasa berada dalam
suatu komunitas dan tidak merasa sendirian di dunia (Suprapto: 2009: 3)
Komunikasi sebagai suatu proses penyampaian pesan (berupa
lambang, suara, gambar, dan lain-lain) dari suatu sumber kepada sasaran
(audience), pendengar atau komunikan. Apa yang disampaikan oleh orang
yang sedang berbicara disebut sebagai pesan, sedangkan kata-kata yang
disampaikan melalui udara disebut sebagai saluran atau channel (Suprapto,
2009:1-3).
Dalam dinamika komunikasi antar individu, tentu keberagaman
kondisi individu dapat menjadi kontribusi efektivitas suatu komunikasi.
Syarat mutlak berjalannya komunikasi yang efektif di antaranya adalah
4
kondisi komunikan dan komunikator yang memenuhi kesempurnaan pada
reseptornya (indra) menjadi penentu berjalannya komunikasi yang baik,
namun yang menjadi persoalan bahwa tidak semua individu memiliki
kesempurnaan perkembangan dalam aspek fisik maupun psikisnya. Pada
anak-anak yang memiliki keterbatasan kemampuan komunikasi yang
disebabkan hambatan perkembangan psikis maupun fisik tentu
menyebabkan perbedaan gaya komunikasi bagi mereka.
Sebagai individu, kondisi anak berkebutuhan khusus perlu mendapat
pelakuan yang sama terkait hak mereka untuk mengaktualisasikan dirinya.
Pengakuan dunia internasional akan eksistensi hak tersebut telah
diwujudkan dalam bentuk Deklarasi Jenewa tahun 1989. Tercatat 193
negara di dunia, termasuk Indonesia menandatangani Konvensi Hak Anak
(KHA). Beberapa pokok KHA sebagaimana dilansir oleh Kompasiana
adalah (1) Prinsip Non Diskriminasi pada anak dengan ras, suku agama
tertentu. Prinsip ini juga berlaku pada anak dengan ras, suku dan agama
tertentu, yang juga berlaku pada anak penyandang cacat dan berkebutuhan
khusus (2) Prinsip yang terbaik bagi anak, (3) Prinsip hak atas hidup,
kelangsungan dan perkembangan, (4) Prinsip penghargaan atas pendapat
anak. Dalam deklarasi tersebut dengan jelas dikatakan bahwa anak-anak
mempunyai hak, termasuk anak berkebutuhan khusus. Anak penyandang
disabilitas atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) kini mulai
mendapatkan kesetaraan di masyarakat, ditandai dengan adanya beberapa
sekolah yang mau menerima mereka sebagai siswa.1
Bentuk dukungan bagi ABK bukan hanya terfokus pada diri sang
anak, melainkan juga pada penciptaan lingkungan yang kondusif.
Masyarakatlah yang saat ini harus diberi edukasi tentang apa dan
1 Edukasi.kompasiana.com
5
bagaimana seharusnya memperlakukan anak berkebutuhan khusus di
sekitar kita. Saat kita lebih mendekatkan diri dan bersahabat dengan ABK,
emosi positif harus diberikan kepada mereka sebagai bentuk kepedulian
kita akan perkembangannya. Mereka juga mempunyai masa depan dan
harapan selayaknya orang lain.
Di Indonesia, sejauh ini upaya pemerintah untuk memberi intervensi
terhadap pelayanan perkembangan dan pendidikan mereka paling banyak
dijumpai pada eksistensi Sekolah Luar Biasa (SLB). Bahkan delapan tahun
terakhir pendidikan inklusi telah menjadi solusi alternatif mewujudkan
pendidikan untuk semua (Education for All). Sekolah inklusi adalah
sekolah regular yang menerima siswa ABK dan menyediakan sistem
layanan pendidikan yang disesuaikan untuk anak reguler dan ABK.
Sekolah inklusi mulai banyak menerima ABK pada level tertentu seperti
autis dan down syndrome, sedangkan Anak Berkebutuhan Khusus berupa
buta, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, masih banyak bersekolah di
Sekolah Luar Biasa (SLB) karena memiliki peralatan penunjang yang lebih
lengkap dan sesuai untuk mereka. Dalam interaksi mereka, walaupun
pengucapan bahasa ABK seringkali tidak terlalu jelas bagi kebanyakan
orang, namun karena interaksi yang intens, teman-teman sekelasnya secara
perlahan akan mengerti. Rupanya masalah komunikasi yang kurang jelas
tidak menjadi hambatan anak berkebutuhan khusus untuk berinteraksi
dengan anak reguler. Bahasa tidak selalu harus diucapkan. Interaksi bisa
dilakukan dengan gerakan tangan, tatap mata, gerak-gerik dan tautan hati.
Komunikasi dua arah antara ABK dengan anak normal bukan hanya
menjadikan ABK sebagai objek. Artinya, transfer informasi dapat terjadi
dua arah, bisa dari anak normal ke ABK dan sebaliknya (Khoirun Nida,
2013:165).
6
Tidak semua Anak Berkebutuhan Khusus memiliki karakter
hambatan yang sama dalam aspek perkembangan mereka. Keberagaman
varian yang terjadi dalam hambatan atau gangguan pada perkembangan
komunikasi mereka inilah yang harus kita pahami guna menjadi pijakan
bagi orang tua, guru maupun kita yang hidup di sekitar mereka dalam
berinteraksi dengan mereka, sehingga mereka memperoleh kesempatan
dan perlakuan yang layak dari lingkungan mereka sebagaimana diterima
oleh individu yang normal. Oleh karena itu, menarik untuk meneliti
Komunikasi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Madrasah, sebagai
salah satu lembaga yang berkomitmen mendukung program madrasah
inklusi di Kementerian Agama.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Dari latar belakang permasalahan seperti yang dipaparkan di atas,
peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana persepsi Guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) di Madrasah wilayah Bogor?
2. Bagaimana pengelolaan komunikasi Guru terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) di Madrasah wilayah Bogor?
3. Bagaimana bentuk komunikasi Guru dalam menangani Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) di Madrasah wilayah Bogor?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas,
maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. mengetahui persepsi Guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) di Madrasah wilayah Bogor
7
2. mengetahui pengelolaan komunikasi Guru terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) di Madrasah wilayah Bogor
3. mengetahui bentuk komunikasi Guru dalam menangani Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) di Madrasah wilayah Bogor.
1.4. Manfaat Penelitian
a. Secara Akademis:
Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam pengembangan ilmu komunikasi, khususnya dalam
rangka memperkaya teori-teori komunikasi dalam bidang komunikasi
pendidikan, sehingga dapat memperkaya teori dan model komunikasi yang
ada. Selain itu, hasil penelitian ini juga untuk melengkapi referensi-
referensi ilmiah yang berkaitan dengan komunikasi pendidikan, karena
referensi tentang hal ini masih sangat minim.
b. Secara praktis:
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi positif ke beberapa pihak, di antaranya yaitu:
1. Pihak madrasah yang akan menyelenggarakan program madrasah
inklusi dalam kegiatan belajar mengajar
2. Pihak orang tua ABK yang akan mencari madrasah bagi anak-anaknya
3. Direktorat Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan
Madrasah Ditjen Pendidikan Islam dalam pengembangan
penyelenggaraan madrasah inklusi.
8
1.5. Tinjauan Pustaka
Hasil-hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan
penelitian yang akan dilakukan, yaitu yang berkaitan dengan Anak
Berkebutuhan Khusus. Penelitian tentang ABK sudah banyak dilakukan
oleh beberapa kalangan, namun tidak terfokus pada komunikasi
pendidikan. Beberapa penelitian tentang ABK yang pernah dilakukan,
yaitu oleh:
1. Fred Davis (1972) dengan judul penelitian “The Family of the
Polio Child: Some Problems of Identity”, dengan fokus
pertanyaan mengenai bagaimana anak melihat dirinya yang cacat?
Bagaimana keluarga dan orang lain memandang? Adakah bentuk
persepsi yang berbeda yang akan diutarakan? Jika benar begitu,
apakah kecenderungan, fungsi dan implikasi secara praktik?
Penelitian Davis dilakukan pada 9 keluarga yang menderita cacat.
Isu yang terjadi adalah pertimbangan masalah identitas orang yang
mengalami cacat, seseorang harus memandang situasinya melalui
budaya dan sudut pandang seseorang. Melalui penelitiannya,
Davis menyimpulkan beberapa masalah identitas diri dan
penilaian diri terhadap anak yang sakit dan keluarganya.
Kesamaan penelitian yang dilakukan oleh Davis dengan penelitian
yang peneliti lakukan, yaitu sama-sama menggunakan jenis
penelitian kualitatif, namun berbeda pada subjek yang diteliti. Jika
Davis meneliti identitas diri orang yang dianggap stigma, peneliti
melihat bagaimana ABK diperlakukan oleh pendidik di madrasah.
2. Dyah Sekaringsih (2008) dengan judul “Peran Pelatihan (Fungsi
Ibu dalam Latihan Metode ABA (Applied Behavior Analysis)
terhadap self-efficacy Ibu dengan Anak Penyandang Autis”.
9
Berdasarkan hasil penelitiannya, Sekaringsih menemukan bahwa
pemberian pelatihan fungsi Ibu dalam latihan metode ABA untuk
anak penyandang autis di rumah tidak berpengaruh terhadap self
efficacy ibu dalam memberikan latihan metode ABA. Penelitian
Sekaringsih ini hanya memberikan pelatihan kepada para ibu
dengan melakukan pretest dan post-test, sedangkan penelitian
yang penulis lakukan, mengamati perilaku para pendidik dalam
berkomunikasi dengan ABK.
3. Abdul Hadi, dkk. (2009) yang bekerja sama dengan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan judul
“Potret Children With Special Needs (Anak Berkebutuhan
Khusus) di Kota Palembang”, menemukan bahwa peran serta
masyarakat Kota Palembang dalam memberikan penanganan
terhadap ABK masih relatif kecil. Terbukti dengan masih
sedikitnya lembaga masyarakat atau panti yang memberikan
perhatian khusus terhadap ABK. Penelitian yang dilakukan oleh
Hadi, dkk. ini sangat umum, dengan menjadikan masyarakat Kota
Palembang sebagai subjek penelitian, sedangkan penelitian yang
akan peneliti lakukan hanya terfokus pada pendidikan yang
mengajar ABK di madrasah.
4. Adriana Soekandar Ginanjar (2007) untuk disertasinya di bidang
psikologi dengan judul “Memahami Spektrum Autistik Secara
Holistik”. Penelitian yang dilakukan Ginanjar menggunakan
pendekatan fenomenologis, dengan strategi penelitian studi kasus.
Hasil penelitian Ginanjar menunjukkan bahwa untuk dapat
memahami individu SA dibutuhkan kerangka berpikir holistik,
yaitu memandang setiap individu sebagai kesatuan dari taraf-taraf
10
neurologis, biologis, psikologis, dan agama atau spiritualitas.
Penelitian ini hanya fokus pada anak-anak autis, sedangkan
penelitian yang akan penulis lakukan melihat ABK secara
keseluruhan di madrasah.
1.6. Metodologi Penelitian
1.6.1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif. Pembicaraan mengenai pendekatan kualitatif tidak dapat
terlepas dari pembicaraan mengenai pendekatan yang melatarbelakangi
penelitian kualitatif. Sebagaimana pandangan Creswell (1994: 1), bahwa
penelitian kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan
untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada
penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata,
melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam
sebuah latar alamiah. Peran bahasa dan makna-makna yang dianut subjek
penelitian pada penelitian kualitatif menjadi sangat penting. Salah satu
cirinya adalah tidak ada hipotesis yang spesifik pada saat penelitian
dimulai. Hipotesis justru dibangun selama tahap-tahap penelitian, setelah
diuji dengan data yang diperoleh selama penelitian, sehingga dalam
penelitian ini pun penulis tidak menggunakan hipotesis. Penelitian
kualitatif dapat juga disebut sebagai suatu pendekatan atau penelusuran
untuk mengekplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Untuk mengerti
gejala sentral tersebut peneliti mewawancarai informan penelitian atau
partisipan dengan mengajukan pertanyaan yang umum dan agak luas.
Informasi berupa kata atau teks yang disampaikan oleh partisipan
kemudian dikumpulkan.
11
Data yang berupa kata-kata tersebut kemudian dianalisis. Hasil
analisis itu dapat berupa penggambaran atau deskripsi atau dapat pula
dalam bentuk tema-tema. Dari data-data itu peneliti membuat
permenungan pribadi (self-reflection) dan menjabarkannya dengan
penelitian kualitatif ilmuwan lain yang dibuat sebelumnya. Hasil akhir dari
penelitian kualitatif dituangkan dalam bentuk laporan tertulis. Laporan
tersebut agak fleksibel karena tidak ada ketentuan baku tentang struktur
dan bentuk laporan hasil penelitian kualitatif. Tentu hasil penelitian
kualitatif sangat dipengaruhi oleh pandangan, pemikiran, dan pengetahuan
peneliti karena data tersebut diinterpretasikan oleh peneliti. Oleh karena
itu, sebagian orang menganggap penelitian kualitatif agak bias karena
pengaruh dari peneliti sendiri dalam analisis data (Raco, 2000:7).
Penggunaan penelitian kualitatif dalam tulisan ini dianggap tepat dan
sesuai dengan permasalahan yang peneliti kaji, karena melalui penelitian
ini peneliti akan menemukan cara pengelolaan komunikasi dan bentuk
komunikasi Guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Menurut Mulyana
(2001:156), tujuan dari penelitian kualitatif adalah memperoleh
pemahaman yang otentik mengenai pengalaman orang-orang, sebagaimana
dirasakan orang-orang bersangkutan.
Melalui penelitian kualitatif ini juga peneliti melihat setiap perilaku
atau tindakan para pendidik, serta mencermati setiap kata-kata yang mereka
ucapkan selama wawancara, sehingga peneliti dapat menganalisis secara
mendalam antara ucapan dan tindakan informan, dengan memusatkan
perhatian pada konteks yang dapat membentuk pemahaman mengenai
fenomena yang sedang diteliti, mengingat dalam penelitian kualitatif
variabel-variabel tidak diketahui secara luas.
12
1.6.2. Subjek dan Objek Penelitian
Informan yang dijadikan subjek penelitian adalah para Guru di
madrasah yang mempunyai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), yaitu di
MI Darul Mustaqiem, MTs Darul Mustaqiem, MI Nurul Athfal, dan MI Al
Fitriyah dengan alasan bahwa di madrasah-madrasah tersebut sudah
menerima siswa ABK. Subyek penelitian dipilih secara purposif
berdasarkan kriteria dan kesediaan mereka untuk mengeksplorasikan
pengalaman mereka secara sadar.
Terdapat dua kriteria utama subjek penelitian (informan) dalam
penelitian ini, yaitu: (1) informan bersedia memberikan keterangan dan
berbagi pengalaman secara sadar, tanpa ada paksaan; (2) informan
merupakan Guru di madrasah yang dijadikan lokasi penelitian.
Adapun objek penelitian dalam penelitian ini adalah perilaku
pendidik dalam bab memperlakukan ABK di madrasah, dan kata-kata atau
ungkapan yang digunakan oleh informan. Objek penelitian merupakan
sumber data utama atau primer dalam penelitian ini berupa pernyataan-
pernyataan atau ungkapan dan tindakan orang-orang yang peneliti jadikan
informan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Lofland dan Lofland
dalam Moleong (2006: 157), bahwa “sumber data utama dalam penelitian
kualitatif ialah kata-kata dan tindakan”, sedangkan selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik
pengumpulan data yaitu pengamatan atau observasi, wawancara
mendalam, dan studi dokumentasi. Berikut penjelasannya:
13
1.6.3.1. Pengamatan
Pengamatan merupakan salah satu teknik yang biasa digunakan
dalam penelitian kualitatif. Teknik pengamatan ini biasa juga dikenal
dengan teknik observasi. Menurut Guba dan Lincoln dalam Moleong
(2006: 174), teknik pengamatan didasarkan atas pengalaman secara
langsung, yang memungkinkan penulis melihat dan mengamati sendiri,
kemudian mencatat prilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada
keadaan sebenarnya.
Melalui pengamatan ini, penulis mencatat peristiwa dalam situasi
yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan
yang langsung diperoleh dari data, dalam hal ini penulis melakukan
pengamatan baik itu dengan berperan serta atau tidak berperan serta. Tanpa
peran serta, penulis hanya melakukan satu fungsi yaitu mengadakan
pengamatan, sedangkan dengan berperan serta, berarti penulis melakukan
dua peranan sekaligus, yaitu sebagai pengamat dan juga sebagai anggota
resmi dari kelompok yang diamati. Hal ini dilakukan agar penulis dapat
memperoleh segala informasi yang dibutuhkan termasuk yang “rahasia”
sekalipun, dan memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang keadaan
yang sebenarnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nasution (1991:
144) bahwa tujuan observasi adalah: (1) untuk memperoleh informasi
tentang kelakuan manusia seperti terjadi dalam kenyataan, (2) untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial yang
sukar diperoleh dengan metode lain. Dalam hal ini penulis melihat bentuk
komunikasi Guru dan cara Guru menghadapi siswa ABK selama berada di
Madrasah.
14
1.6.3.2. Wawancara Mendalam
Selain melalui pengamatan, teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth
interview). Wawancara digunakan untuk mengumpulkan informasi yang
tidak mungkin diperoleh lewat observasi (Al-Wasilah, 2003: 154).
Pengertian wawancara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:
1270), diartikan sebagai “tanya jawab dengan seseorang (pejabat dan
sebagainya) yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya
mengenai suatu hal, untuk dimuat di surat kabar, disesuaikan melalui radio
atau ditayangkan pada layar televisi”, atau bisa juga diartikan dengan
“tanya jawab peneliti dengan nara sumber”.
Wawancara mendalam ini dilakukan penulis untuk mendapatkan
jawaban yang benar-benar akurat dari subjek, bukan hanya secara jujur,
tetapi juga lengkap dan terjabarkan. Wawancara mendalam biasa juga
disebut dengan wawancara tak terstruktur. Dalam wawancara tak
terstruktur, pertanyaan biasanya tidak disusun terlebih dahulu, malah
disesuaikan dengan keadaan dan ciri yang unik dari responden (Moleong,
2006: 191), sehingga dalam pelaksanaannya tanya jawab mengalir seperti
dalam percakapan sehari-hari, atau dapat dikatakan mirip dengan
percakapan informal.
1.6.3.3. Studi Dokumentasi
Selain observasi dan wawancara mendalam, penulis juga
menggunakan studi dokumentasi dalam penelitian ini sebagai pelengkap
kedua teknik tersebut. Studi dokumentasi ini berupa artikel koran, jurnal,
pidato, brosur, publikasi pemerintah dan foto-foto, juga berupa dokumen
15
resmi seperti memo, pengumuman, instruksi, aturan sebuah lembaga
masyarakat tertentu yang digunakan dalam kalangan sendiri, yang oleh
Moleong (2006: 219) disebut sebagai “dokumen internal”. Dokumen dalam
penelitian kualitatif, merupakan bahan penting dalam pengumpulan data,
karena dokumen-dokumen tersebut tidak jarang menjelaskan sebagian
aspek situasi tertentu. Bahkan sebagian penelitian hanya menggunakan
dokumen-dokumen, tanpa dilengkapi dengan wawancara, jika data-data
dalam dokumen dianggap lengkap.
Dokumen-dokumen yang telah penulis dapatkan dianalisis terlebih
dahulu untuk melihat kemurnian dan kesesuaiannya dengan fokus
penelitian penulis. Guba dan Lincoln (Al-Wasilah, 2003: 156) merinci
enam alasan mengapa dokumen-dokumen itu harus dianalisis, yaitu:
1) dokumen merupakan sumber informasi yang lestari, sekalipun
dokumen itu tidak lagi berlaku
2) dokumen merupakan bukti yang dapat dijadikan dasar untuk
mempertahankan diri terhadap tuduhan atau kekeliruan
interpretasi
3) dokumen itu sumber data yang alami, bukan hanya muncul dari
konteksnya, tapi juga menjelaskan konteks itu sendiri
4) dokumen itu relatif mudah dan murah dan terkadang dapat
diperoleh dengan cuma-cuma
5) dokumen itu sumber data yang non-reaktif
6) dokumen berperan sebagai sumber pelengkap dan pemerkaya
bagi informasi yang diperoleh lewat interview atau observasi.
16
1.6.4. Teknik Analisis Data
Setelah pengumpulan data selesai, data yang diperoleh dianalasis
melalui tiga alur kegiatan yang akan dilakukan secara bersamaan, yakni
melalui reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta
verifikasi. Reduksi data merupakan sebuah proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian dan transformasi data
kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Data kualitatif
disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka ragam cara, seperti
seleksi dan penyortiran ketat ringkasan atau uraian singkat penggolongan
dengan mencari pola yang lebih luas.
Tahap kedua yaitu penyajian data, merupakan susunan sekumpulan
informasi yang memungkinkan penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan (Suprayogo dan Tobroni, 2001: 194-195). Peneliti berupaya
menggunakan matriks teks, grafik, jaringan dan bagan, di samping teks
naratif. Analisis data kualitatif mulai dengan mencari arti benda-benda,
mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang
mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi, serta pada tahap ketiga peneliti
akan menarik kesimpulan-kesimpulan secara longgar, tetap terbuka, namun
kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh.
Kesimpulan tersebut diverifikasi selama proses penelitian melalui
peninjauan atau pemikiran kembali pada catatan lapangan secara terperinci
dan seksama, bertukar pikiran dengan informan peneliti.
Selanjutnya, peneliti melakukan pemeriksaan keabsahan data.
Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitan kualitatif merupakan sesuatu
yang urgen dan merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari tubuh
pengetahuan penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2006: 324),
pelaksanaan teknik pemeriksaan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu: (1)
17
derajat kepercayaan (credibility) dengan teknik perpanjangan
keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, pengecekan sejawat,
kecukupan referensial, kajian kasus negatif, pengecekan anggota; (2)
keteralihan (transferability) dengan uraian rinci; (3) kebergantungan
(dependability); dan (4) kepastian (confirmability).
Adapun teknik pemeriksaan keabsahan data yang peneliti gunakan
adalah dengan ketekunan pengamatan, triangulasi dan pengecekan sejawat.
1) Ketekunan pengamatan
Ketekunan pengamatan berarti mencari secara konsisten interpretasi
dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan
atau tentatif. Dengan ketekunan pengamatan, penulis menemukan ciri-ciri
dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau
isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut
secara rinci, dalam hal ini penulis mengamati dengan teliti dan rinci faktor-
faktor yang menonjol dan menelaahnya secara rinci pula sampai seluruh
faktor dapat dipahami.
2) Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik
pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan sumber, metode, penyidik
dan teori, dalam hal ini penulis mengecek kembali informasi yang
diperoleh dengan membandingkan antara data hasil pengamatan dengan
data hasil wawancara, atau antara apa yang dikatakan seseorang di depan
umum dengan yang dikatakannya secara pribadi.
18
3) Pengecekan sejawat
Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau
hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan
sejawat. Tujuan dilakukannya teknik ini adalah untuk membuat penulis
tetap mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran, dan memberikan suatu
kesempatan awal yang baik untuk mulai menjajaki dan menguji hipotesis
kerja yang muncul dari pemikiran penulis.
1.6.5. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di madrasah wilayah Bogor di antaranya MI
Nurul Athfal, MI Darul Mustaqiem, MI Al-Fitriyah, MTS Darul
Mustaqiem pada bulan Agustus sampai Nopember 2017, dengan
penggambaran berikut:
Tabel 1. Jadwal Penelitian
No BULAN KEGIATAN
1 Juli Mencari data-data terkait objek penelitian
baik secara langsung di lapangan maupun di
media massa.
2 Agustus Observasi terkait objek penelitian
3 Agustus-September Wawancara mendalam dengan sejumlah
Pendidik ABK (Anak Berkebutuhan
Khusus) di Madrasah
4 September Membuat analisis hasil
5 Oktober Membuat analis
6 Nopember Membuat evaluasi secara keseluruhan
7 Desember Membuat laporan penelitian
19
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan
berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain. Tidak
ada manusia yang tidak terlibat dalam komunikasi. Pentingnya komunikasi
bagi manusia tidak dapat dipungkiri, begitu juga bagi suatu organisasi.
Dengan adanya komunikasi yang baik, suatu organisasi dapat berjalan
dengan lancar dan berhasil, begitu pula sebaliknya.
Komunikasi yang efektif merupakan hal penting bagi semua
organisasi. Oleh karena itu, para pemimpin organisasi dan para
komunikator dalam organisasi perlu memahami dan menyempurnakan
kemampuan komunikasinya. Utuk memahami komunikasi dengan mudah,
perlu terlebih dahulu mengetahui konsep dasar komunikasi. Pada bab ini
dijelaskan Pengertian Komunikasi, Persepsi Komunikasi dan Hambatan
Komunikasi.
Istilah komunikasi diambil dari bahasa inggris, yaitu communication.
Istilah ini bersumber dari bahasa latin, yaitu communication. Kata sifatnya
communis, artinya bersifat umum dan terbuka. Kata kerjanya
communicare, artinya bermusyawarah, berunding, atau berdialog (Yusuf,
2015: 32). Komunikasi atau berkomunikasi berarti suatu upaya bersama
orang lain atau membangun kebersamaan dengan orang lain dengan
membentuk perhubungan.
D. Lawrence Kincaid dan Wilbur Schram menyebut komunikasi
sebagai proses saling berbagi informasi atau menggunakan informasi
20
secara bersama dan pertalian antara para peserta dalam proses informasi
(Yusuf, 2015: 32), sedangkan menurut Carld I. Hovland (Arifin, 1982: 14),
komunikasi adalah proses ketika seorang individu (komunikator)
mentransfer stimuli (menggunakan lambang-lambang bahasa) untuk
mengubah tingkah laku individu (komunikan) yang lain. Dalam definisi
Hovland ini, komunikasi bukan haya penyampaian pesan, melainkan juga
mengubah tingkah laku orang lain.
Adapun menurut Widjaya (2000: 93), komunikasi dapat diartikan
sebagai proses normal penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan
melalui saluran atau media yang tepat sehingga menghasikan efek yang
diharapkan.
Selanjutnya Forsdale (Arni, 2007: 2-3) menyatakan bahwa
“communication is the process by which a system is established, maintened
and altered by means of shared signal that operate according to rules.”
Komunikasi adalah suatu proses memberikan sinyal menurut aturan
tertentu, sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didirikan, dipelihara,
dan diubah. Pada definisi ini komunikasi juga dipandang sebagai suatu
proses. Kata sinyal maksudnya adalah sinyal yang berupa verbal dan non-
verbal yang mempunyai aturan tertentu. Dengan adanya aturan ini
menjadikan orang yang menerima sinyal, yang telah mengetahui aturannya
akan dapat memahami maksud dari sinyal yang diterimanya. Misalnya,
setiap bahasa mempunyai aturan tertentu baik bahasa lisan, bahasa tulisan
maupun bahasa isyarat. Bila orang yang mengirim sinyal menggunakan
bahasa yang sama dengan orang yang menerima, maka si penerima akan
dapat memahami maksud dari sinyal tersebut, tetapi kalau tidak, mungkin
dia tidak dapat memahami maksudnya.
21
Brent D. Rubben (Arni, 2007: 3-4) memberikan definisi mengenai
komunikasi manusia yang lebih komprehensif sebagai berikut: komunikasi
manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya,
dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan,
mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi
lingkungannya dan orang lain. Pada definisi ini pun, komunikasi juga
dikatakan sebagai suatu proses yaitu suatu aktivitas yang mempunyai
beberapa tahapan yang terpisah satu sama lain tetapi berhubungan. Istilah
menciptakan informasi yang dimaksud Ruben adalah tindakan
menyandikan (encoding) pesan, kumpulan data atau isyarat. Adapun istilah
mengirimkan informasi maksudnya proses ketika pesan dipindahkan dari
pengirim kepada orang lain atau dari satu tempat ke tempat lain. Pesan
dikirimkan melalui bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa non-verbal.
Istilah pemakaian informasi menunjuk pada peranan informasi dalam
memengaruhi tingkah laku manusia, baik secara individual, kelompok,
maupun masyarakat. Dengan demikian, tujuan komunikasi menurut Ruben
adalah memengaruhi tingkah laku orang lain.
Berdasarkan definisi tersebut, pada hakikatnya komunikasi
merupakan proses. Istilah proses, artinya bahwa komunikasi berlangsung
melalui tahap tertentu secara terus-menerus. Proses komunikasi merupakan
proses yang timbal balik karena pengirim dan penerima saling
memengaruhi satu sama lain.
Ada empat komponen dalam komunikasi, yaitu orang yang
mengirimkan pesan, pesan yang akan dikirimkan, saluran atau jalan yang
dilalui pesan dari pengirim kepada penerima, dan penerima pesan. Karena
komunikasi merupakan proses dua arah atau timbal balik, komponen ouput
22
perlu ada dalam proses komunikasi. Dengan demikian, komponen dasar
komunikasi ada lima, sebagai berikut:
a. Pengirim pesan
Pengirim pesan adalah individu atau orang yang mengirimkan
pesan. Pesan atau informasi yang akan dikirimkan berasal dari
otak pengirim pesan. Oleh sebab itu, sebelum mengirimkan pesan,
pengirim harus membuat pesan yang akan dikirimkannya.
Membuat pesan adalah menentukan arti yang akan dikirimkan
kemudian menyandikan (encode) arti tersebut dalam suatu pesan.
Setelah itu, dikirimkan melalui saluran.
b. Pesan
Pesan adalah informasi yang akan dikirimkan kepada penerima.
Pesan dapat berupa verbal ataupun non verbal. Pesan secara verbal
dapat secara tertulis, seperti surat, buku, majalah, memo dan pesan
secara lisan, seperti percakapan tatap muka, percakapan melalui
telepon, radio, dan sebagainya. Adapun pesan yang non-verbal
dapat berupa isyarat gerakan badan, ekspresi muka, dan nada
suara.
c. Saluran
Saluran adalah jalan yang dilalui pesan dari pengirim dengan
penerima. Channel dalam komunikasi adalah gelombang cahaya
dan suara yang dapat dilihat dan didengar. Akan tetapi, cara
cahaya atau suara itu berpindah berbeda-beda. Misalnya, apabila
dua orang berbicara tatap muka, gelombang suara dan cahaya di
udara berfungsi sebagai saluran. Jika pembicaraan itu melalui
surat yang dikirimkan, gelombang cahaya merupakan saluran
yang dapat melihat huruf pada surat tersebut.
23
d. Penerimaan Pesan
Penerima pesan adalah orang yang menganalisis dan
menginterpretasikan isi pesan yang diterimanya.
e. Output
Output adalah respons penerima terhadap pesan yang diterimanya.
Adanya reaksi ini membantu pengirim utnuk mengetahui sesuai
tidaknya interpretasi pesan yang dikirimkan dengan hal-hal yang
dimaksudkan oleh pengirim. Apabila arti pesan yang
dimaksudkan oleh pengirim diinterpretasikan sama oleh
penerima, berarti komunikasi tersebut efektif.
Pada dasarnya komunikasi memiliki tiga dampak (Suprapto, 2009:
12), antara lain sebagai berikut:
a. Memberikan informasi. Dalam konteks ini adalah meningkatkan
pengetahuan atau menambah wawasan. Tujuan ini sering disebut
tujuan kognitif. Dampak kognitif dari pesan komunikasi
mengakibatkan berubahnya khalayak dalam hal pengetahuan,
pandangan, dan pendapat terhadap sesuatu yang diperolehnya.
b. Menumbuhkan perasaan tertentu, yaitu menyampaikan pikiran,
ide atau pendapat. Tujuan ini sering disebut tujuan efektif.
Dampak afektif, yaitu pesan komunikasi mengakibatkan
berubahnya perasaan tertentu khalayak.
c. Mengubah sikap, perilaku, dan perbuatan. Tujuan ini sering
disebut tujuan konatif atau psikomototik, yaitu pesan
komunikasi mengakibatkan seseorang mengambil keputusan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Dalam konteks komunikasi, gangguan adalah segala sesuatu yang
menghalangi kelancaran komunikasi. Pada hakikatnya gangguan yang
24
timbul bukan berasal dari sumber atau salurannya, melainkan dari audiens
(penerima) karena manusia sebagai komunikan memiliki kecenderungan
untuk salah menafsirkan, tidak mampu mengingat dengan jelas yang
diterimanya dari komunikator.
Suprapto (2009: 15) menjelaskan tiga faktor psikologis yang
mendasari gangguan komunikasi, yaitu sebagai berikut:
a. Selective attention, artinya seseorang cenderung untuk
mengekspos dirinya hanya pada hal-hal (komunikasi) yang
dikehendakinya. Misalnya, seseorang yang tidak berminat
membeli mobil tidak akan berminat membaca iklan jual beli
mobil.
b. Selective perception, artinya seseorang berhadapan dengan suatu
peristiwa komunikasi. Oleh karena itu, ia cenderung
menafsirkan isi komunikasi sesuai dengan prakonsepsi yang
sudah dimiliki sebelumnya. Hal ini berkaitan erat dengan
kecenderungan berpikir secara stereotip.
c. Selective retention, artinya meskipun memahami suatu
komunikasi, seseorang cenderung mengingat hal-hal yang ingin
diingat. Misalnya, setelah membaca artikel mengenai
komunisme, seorang mahasiswa yang antikomunis hanya akan
mengingat hal-hal jelek mengenai komunisme. Sebaliknya,
mahasiswa yang prokomunis cenderung untuk mengingat
kelebihan sistem komunisme yang diungkapkan oleh artikel
tersebut.
Secara lebih spesifik, gangguan/hambatan komunikasi terbagi atas
berikut ini:
a) Hambatan dari Proses Komunikasi
25
Hambatan/gangguan komunikasi dapat terjadi dari proses
komunikasi, antara lain sebagai berikut:
1) Hambatan dari pengirim pesan
Hambatan dari pengirim pesan, misalnya pesan yang akan
disampaikan belum jelas bagi pengirim pesan. Hal ini
dipengaruhi oleh perasaan atau situasi emosional.
2) Hambatan dalam penyandian/simbol
Hal ini dapat terjadi karena bahasa yang dipergunakan tidak
jelas sehingga mempunyai arti lebih dari satu, simbol yang
dipergunakan antara pengirim dan penerima tidak sama atau
bahasa yang dipergunakan terlalu sulit.
3) Hambatan media
Hambatan yang terjadi dalam penggunaan media
komunikasi, misalnya gangguan suara radio dan aliran
listrik sehingga tidak dapat mendengarkan pesan.
4) Hambatan dalam bahasa sandi
Hambatan yang terjadi dalam menafsirkan sandi oleh
penerima.
5) Hambatan dari penerima pesan
Hambatan dari penerima pesan, misalnya kurangnya
perhatian pada saat menerima/mendengarkan pesan, sikap
prasangka tanggapan yang keliru, dan tidak mencari
informasi lebih lanjut.
6) Hambatan dalam memberikan output
Output yang diberikan tidak menggambarkan sesuatu secara
apa adanya, tetapi memberikan interpretatif, tidak tepat
waktu, atau tidak jelas.
26
b) Hambatan Fisik
Hambatan fisik dapat menggangu komunikasi yang efektif,
misalnya gangguan kesehatan, gangguan alat komunikasi, dan
sebagainya.
c) Hambatan Semantik
Kata-kata yang dipergunakan dalam komunikasi kadang-kadang
mempunyai arti yang tidak jelas antara pemberi pesan dan
penerima.
d) Hambatan Psikologis
Hambatan psikologis yang mengganggu komunikasi, misalnya
perbedaan nilai serta harapan yang berbeda antara pengirim dan
penerima pesan.
2.2. Pengertian Pendidikan
Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan, sifatnya mutlak dalam kehidupan, baik dalam
kehidupan seseorang, keluarga, maupun bangsa dan negara. Maju
mundurnya suatu bangsa banyak ditentukan oleh maju mundurnya
pendidikan bangsa itu. Tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Setiap madrasah senantiasa berupaya untuk mencapai
tujuan tersebut. Di antaranya dengan membuat rambu-rambu, yakni visi,
misi dan strategi serta dilengkapi analisis. Hal itu semua dijelaskan sebagai
langkah awal dan sebuah cara dalam menciptakan tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan.
27
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan mengamanatkan bahwa setiap satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah wajib memenuhi Standar Nasional
Pendidikan (SNP) yang meliputi standar isi, standar kompetensi lulusan,
standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar pengelolaan pendidikan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Dalam rangka pengelolaan sekolah yang baik, maka perlu dilakukan
suatu langkah yang diawali dengan pembuatan perencanaan yang matang
sesuai dengan keadaan, keberadaan, keinginan, harapan dan kegiatan yang
ada di sekolah/madrasah. Perencanaan ini merupakan catatan persiapan
untuk dilaksanakan oleh sekolah/madrasah. Setelah perencanaan
ditetapkan maka tahap selanjutnya dilaksanakan sesuai aturan dan
ketentuan oleh semua tenaga pendidikan di sekolah/madrasah bersama
pengurus komite sekolah/madrasah. Untuk menjadikan pelaksanaan segala
kegiatan di sekolah/madrasah berjalan dengan baik, maka perlu penerapan
pengawasan secara terus menerus dan berkesinambungan, dengan tujuan
untuk menciptakan kemajuan semua tenaga kependidikan berjalan sesuai
dengan ketentuan yang ada.
Menurut Darajat (1992: 25) pengertian pendidikan berbeda dengan
pengajaran, namun sering kali diartikan sama. Secara etimologi, “kata
pendidikan yang umumnya kita gunakan sekarang, dalam bahasa arabnya
adalah “tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba” dan kata “pengajaran” dalam
bahasa arabnya adalah ta’lim dengan kata kerja ‘allama.
28
Menurut Al-Imam Jalaluddin’Abdurrahman bin Abi Bakrin as-
Suyuti (2006: 51) bahwa ta’lim hanya berarti pengajaran, yang lebih sempit
dari pendidikan. Dengan kata lain ta’lim hanyalah sebagian dari pendidik.
Sedangkan tarbiyah adalah kata yang lebih luas digunakan sekarang di
negara-negara bangsa Arab, terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga
digunakan untuk yang berkaitan dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan
dengan pengertian memelihara atau membela, menternak, sedangkan
pendidikan yang diambil dari kata education hanya khusus untuk manusia
saja, kata ta’dib lebih tepat untuk pengertian pendidikan, karena tidak
terlalu sempit hanya sekadar mengajar namun juga tidak terlalu luas yang
meliputi makluk-makhluk selain manusia, selain itu juga ta’dib
mengandung pengertian nilai-nilai yang ditanamkan.
Jika melihat pengertian secara etimologis di atas maka terlihat
perbedaan pengertian pendidikan dan pengajaran. Pendidikan bukanlah
pengajaran karena materi pelajaran yang diajarkan tidak semata-mata
untuk diketahui tetapi juga untuk diamalkan. Arifin (1978:14) mengatakan
bahwa pada hakikatnya pendidikan adalah “usaha orang dewasa secara
sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta
kemampuan anak didik dalam bentuk pendidikan formal dan nonformal.”
Marimba (1987:19) merumuskan kembali bahwa pendidikan adalah,
“Bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si terdidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya
kepribadian.”
Muhammad Athiyah al-Abrasyi (2000: 34) merumuskan tujuan
pendidikan ke dalam lima pokok, yaitu: (1) pembentukan akhlak mulia; (2)
persiapan untuk kehidupan dunia akhirat; (3) persiapan untuk mencari
rezeki dan pemeliharaan segi-segi pemanfaatannya; (4) menumbuhkan ruh
29
ilmiah (semangat menuntut ilmu) bagi pelajar dan mendorongnya untuk
berpengetahuan serta memiliki kesanggupan untuk mengkaji ilmu, (5)
mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ia kelak
mudah mencari rezeki.
Dengan demikian pengajaran merupakan bagian dari pendidikan, dan
merupakan sarana untuk mencapai terlaksananya pendidikan. Pendidikan
lebih mementingkan segi pembentukan pribadi, sedangkan pengajaran
lebih mengutamakan segi intelektual atau kecerdasan otaknya. Dengan kata
lain pendidikan pada dasarnya memberikan kesempatan kepada manusia
membentuk pribadinya sesuai dengan fitrah yang ada padanya. Melalui
kemampuan yang ada pada dirinya, maka pendidikan berusaha
mengarahkan fitrah manusia supaya dapat berkembang seoptimal mungkin
sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
2.3. Pengertian Komunikasi Pendidikan
Dalam konsep pendidikan, di mana manusia sebagai makhluk sosial,
pada dasarnya ia selalu membutuhkan manusia lain untuk bekerja sama,
berinteraksi, bekerja, dan hidup satu sama lain. Pendidikan sebagai salah
satu bentuk kehidupan untuk bekerja dan berinteraksi. Pendidikan
interaksional menekankan interaksi dua pihak atau multi-pihak, yaitu guru,
siswa, dan lingkungannya, sehingga terjadi hubungan dialogis dan
interaksional. Dalam proses belajar, dengan model interaksional ini terjadi
dialog. Guru berperan dalam menciptakan dialog dengan dasar saling
mempercayai dan saling membantu. Bahan ajar banyak diambil dari
lingkungan. Siswa diajak untuk menghayati nilai sosial dan budaya yang
ada di masyarakat. Pendidikan interaksional menekankan pada isi dan
proses pendidikan secara sekaligus. Isi pendidikan terdiri dari problem
30
nyata yang aktual di masyarakat, sedangkan proses berbentuk kegiatan
belajar berkelompok yang mengutamakan kerja sama dan interaksi siswa
dengan guru serta lingkungannya termasuk sumber belajar.
Interaksional pada dasarnya berkaitan erat dengan teori dan proses
komunikasi. Komunikasi adalah suatu proses dimana partisipan berbagi
informasi untuk mencapai pengertian satu sama lain. Communication is a
process in which participants create and share information with one
another in order to reach a mutual understanding Laswell (1948)
menyebut komponen dasar komunikasi adalah “who say what, in what
channels to whom and in with what effect.” Komunikasi adalah suatu yang
berkaitan dengan “Siapa mengatakan atau mengemukakan apa, dengan
saluran komunikasi apa, dan apa dampak yang dihasilkan dari proses
komunikasi tersebut.”
Komunikasi linier atau sering juga disebut sebagai komunikasi satu
arah atau “one way communication”. Salah satu ciri komunikasi ini adalah
adanya penyandian yang dilakukan pengirim pesan dan interpretasi oleh
penerima serta antisipasi kemungkinan adanya ganguan (noises) dalam
proses komunikasi yang berlangsung. Oleh karena itu, difusi adalah proses
komunikasi untuk menyebarluaskan gagasan, ide, karya sebagai suatu
produk inovasi, dengan demikian aspek komunikasi menjadi sangat
penting dalam menyebarluaskan gagasan, ide, ataupun produk tersebut.
Persoalannya, saluran apa yang paling lazim digunakan dalam difusi
inovasi yang dilakukan.
Hal senada dengan pendidikan interaktif dikemukakan Lawrence
Kincaid (1979:60-66) dinukil Tim pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI
(2007: 62) yang mengembangkan model komunikasi konvergen
(convergence communication models), yang bercirikan adanya beberapa
31
komponen utama yaitu: informasi (information), ketidakmenentuan
(uncertainty), konvergen (convergence), saling pengertian (mutual
understanding),dan hubungan jalinan (network relationship). Ciri utama
dari komunikasi konvergen adalah adanya informasi, ketidakmenentuan
konvergen. Adanya saling pemahaman, adanya saling persetujuan,
kegiatan bersama, dan hubungan jaringan. Menurutnya, komunikasi
dimaknakan sebagai “a process of convergence in which information is
shared by participants in order to reach mutual understanding.”
Komunikasi adalah suatu proses konvergen dimana terjadi pembagian
informasi bersama untuk mencapai suatu kesepakatan bersama. Proses
komunikasi tersebut akan sangat mempengaruhi proses difusi inovasi yang
dilakukan dalam dunia pendidikan.
Dalam kehidupan manusia sekarang, kita cenderung memandang
komunikasi berdasarkan nilai guna/manfaat saja. Ukuran keberhasilan
komunikasi lebih ditekankan pada kemampuan komunikasi mewujudkan
nilai guna/manfaat belaka. Misalnya, kegunaan komunikasi yang utama
dalam mengubah perilaku atau mempertahankan perilaku yang diharapkan
pada lawan komunikasi. Dalam komunikasi di dunia pendidikan pun sering
kali komunikasinya dipandang dari perspektif nilai teologis saja. Padahal
proses pendidikan, yang di dalamnya terdapat komunikasi, tidak semata
dilandasi nilai teologis saja tetapi juga nilai-nilai lainnya.
Dalam dunia pendidikan, komunikasi yang berlangsung tentu saja
akan berkaitan dengan nilai-nilai dan mendorong perubahan. Ada dimensi
inovasi dan preservasi dalam praktik pendidikan. Meminjam adagium
kaum nahdliyin, maka dalam pendidikan akan ada istilah
“mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan menggali nilai-nilai baru
yang lebih baik”. Hal ini, tentu saja mempengaruhi proses komunikasi, baik
32
dalam proses pendidikan maupun dalam komunikasi antara lembaga
pendidikan dan stakeholder-nya.
Karena komunikasi yang dilakukan berlandaskan dan bertujuan
mewujudkan nilai-nilai, maka dengan sendirinya perilaku komunikasinya
pun harus baik. Oleh sebab itu, etika di dalam berkomunikasi menjadi
bagian penting. Lebih dari itu, komunikasi yang etis menjadi praktik
komunikasi yang khas pada manusia. Tuntutan terhadap kegiatan
komunikasi yang etis itu akan bertambah tinggi lagi manakala yang
melakukan komunikasi tersebut adalah organisasi pendidikan. Ekspektasi
masyarakat terhadap komunikasi yang etis yang dilakukan organisasi
pendidikan jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan organisasi
manufaktur.
Kita bisa melihat contoh yang sederhana, meski berkomunikasi
secara etis itu seharusnya dilakukan di mana pun dan oleh siapa pun, namun
pada kenyataannya masyarakat menaruh ekspektasi tinggi terhadap
perilaku komunikasi yang etis dalam organisasi pendidikan. Tindak
komunikasi tidak atau kurang etis yang dilakukan mereka di luar organisasi
pendidikan seringkali dimaklumi sebagai tekanan keadaan, namun bila
dilakukan di lingkungan organisasi pendidikan apa pun alasannya, orang
akan sulit menerima. Organisasi pendidikan dipandang sebagai organisasi
yang menjaga dan mempertahankan nilai-nilai tersebut sehingga harus
menjalankannya dalam kegiatan keseharian.
Sebagai organisasi, lembaga pendidikan bisa dipandang sebagai
sebuah organ yang terus berkembang, bertumbuh, berkebutuhan, dan
memiliki tahapan perkembangan seperti halnya manusia dari lahir, bayi,
anak-anak, remaja, dewasa, matang dan kemudian mati. Dengan cara
pandang seperti itu, maka dengan sendirinya organisasi pun memiliki
33
kebutuhan yang menjadi alasan dan landasan untuk melakukan
komunikasi, baik dengan lingkungan internal maupun lingkungan
eksternalnya.
Iriantara dan Syaripuddin (2013: 11) menyatakan bahwa organisasi
pendidikan memiliki kebutuhan komunikasi berupa kebutuhan fisik
organisasi, misalnya kerja sama dengan sesama organisasi pendidikan, juga
kebutuhan untuk mengkomunikasikan organisasi pendidikannya, yang
sering kita lihat melalui papan nama dan kaos bertuliskan nama lembaga
pendidikan. Organisasi pendidikan membutuhkan komunikasi dengan
lingkungan internal dan lingkungan eksternal seperti dengan Dinas
Pendidikan atau dunia usaha dan dunia industri. Selain itu, juga memiliki
kebutuhan praktis dalam berkomunikasi seperti memberikan surat
pemberitahuan kepada orang tua siswa atau mengumumkan kegiatan yang
akan diadakan lembaga pendidikan tersebut.
Kebutuhan komunikasi muncul karena organisasi pendidikan
memang membutuhkan kegiatan komunikasi. Mulai dari kebutuhan
berkomunikasi dalam kegiatan pembelajaran yang memang menjadi bisnis
inti (core business) organisasi pendidikan pada jalur dan jenjang mana pun,
sampai dengan komunikasi untuk menunjukkan identitasnya seperti dalam
perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) lembaga pendidikan.
Dalam konteks mutu komunikasi yang dilakukan organisasi
pendidikan, komunikasi tidak hanya dilakukan sekadar untuk memenuhi
tujuan dan kebutuhan komunikasi organisasi pendidikan, tetapi juga harus
berlandaskan nilai-nilai sehingga bisa mendorong perwujudan nilai-nilai
dalam kehidupan sehari-hari. Bila mutu memerlukan standar, komunikasi
organisasi pendidikan pun memiliki standar pemenuhan kebutuhan,
pencapaian tujuan, landasan nilai dari perwujudan nilai.
34
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa kandungan definisi
pendidikan memuat tiga ide utama yaitu: (1) menggunakan konsep proses
dibanding konsep produk; (2) menggunakan istilah message dan media
instrumentation dibanding istilah materials dan machine; dan (3)
memperkenalkan bagian penting dari belajar dan teori komunikasi (Ely,
1963:19) dinukil dalam Tim pengembangan Ilmu Pendidikan UPI, (2007:
183). Dari kandungan definisi tersebut maka sejak tahun 1963 terdapat
pemahaman bahwa pendidikan memperoleh kontribusi konsep dari konsep
komunikasi, teori belajar, dan teaching machine and programmed
instruction
Teori komunikasi yang dikembangkan Harold Laswell merupakan
awal pijakan dalam mempelajari konsep komunikasi dalam pendidikan.
Hal ini diperkuat Dale yang menekankan perlunya komunikasi dalam
memulai mengajar dan menulis. Konsep komunikasi yang terpilih pada
masa itu bergeser dari komunikasi satu arah ke komunikasi dua arah atau
interaktif. Konsep komunikasi yang diungkapkan Shannon dan Weaver’s
sebagai hasil kajiannya terhadap komunikasi telepon dan teknologi radio
menjadi model yang khas yang disebut Mathematical Theoy of
Communication, dengan komponen-komponen yang terdiri informan
source, message, transmitter, signal, noise source, signal receiver,
receiver, dan destination. Konsep komunikasinya tergolong pada
komunikasi linier, yang kemudian banyak diilhami model Shannon dan
Weaver menghasilkan temuannya. Model Komunikasi Sender, Message,
Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak memberikan perhatian
terhadap adanya Message (pesan) dan Channel (saluran). Model ini
menjadi dasar pengembangan dalam komunikasi audiovisual pada
pendidikan. Perkembangan ke arah komunikasi interaktif memiliki dampak
35
terhadap perkembangan pendidikan yang banyak memperhatikan
perubahan posisi secoder dan encoder dalam menerima, mengolah, dan
menyampaikan feed back sehingga terjadinya saling memberi informasi
pendidikan. (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI: 183).
Kajian tersebut membawa pengaruh terhadap penyelenggaraan
pembelajaran, terutama dalam menetapkan tujuan pengajaran, memahami
peserta didik, pemilihan metode mengajar, pemilihan sumber belajar, dan
penilaian. Kemudian berkembang beberapa kajian yang berkaitan dengan
hubungan antara media audiovisual dengan pembelajaran yang difokuskan
pada persepsi peserta didik dan penyajian pesan dalam dunia pendidikan.
2.4. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Setiap Orang tua tentu berharap memiliki anak yang sehat dan tidak
kurang suatu apapun. Akan tetapi seringkali kenyataan tidak sesuai
harapan. Banyak orang tua yang diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk
merawat dan membesarkan anak-anak berkebutuhan khusus. Kehadiran
anak-anak ini harus diterima tanpa diskriminasi dalam lingkungan keluarga
dan masyarakat. Termasuk haknya untuk memperoleh pendidikan yang
layak dan berkualitas. Meski dengan kekhususan yang dimiliki, pendidikan
yang diterima akan berbeda dengan anak lainnya karena disesuaikan
dengan kebutuhan. Tapi itu bukanlah alasan untuk membuat mereka
dibeda-bedakan dalam memperoleh pendidikan.
Jamila K. A. Muhammad (2008: 130) menyatakan bahwa anak-anak
berkebutuhan khusus berbeda dengan anak-anak biasa dalam hal ciri-ciri
mental, kemampuan sensorik, kemampuan komunikasi, tingkah laku
sosial, ataupun ciri-ciri fisik (special needs). Anak-anak dalam kategori ini
misalnya anak dengan masalah pendengaran (tunarungu), masalah
36
penglihatan (tunanetra), masalah dalam pembelajaran yang meliputi cacat
mental, autism, cerebral parsy, masalah dalam komunikasi, penuturan dan
bahasa, down syndrome, hiperaktif atau gangguan konsentrasi (attention
deficit disorder), gangguan emosi, diskalkulia, disgrafia, dislesia, serta
berbagai ketidakmampuan lainnya. Anak genius dengan IQ di atas rata-rata
termasuk anak yang memerlukan penanganan dan kebutuhan khusus.
Kategori tersebut masih dapat dibedakan antara tingkat ketunaan
ringan atau sedang. Jadi, meski seorang anak memiliki kondisi sama
dengan temannya, misalnya penyandang tunarungu, bukan berarti mereka
sama persis. Tentunya, perbedaan pada anak berkebutuhan khusus miliki
tidak dapat membuat mereka mengalami diskriminasi untuk mendapatkan
pendidikan berkualitas. Hak tersebut sudah diatur dalam UUD 1945 pasal
31 ayat (1) “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.” UU No.23
tahun 2001 tentang Perlindungan Anak Pasal 49 “Negara, Pemerintah,
keluarga, dan orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada anak untuk memperoleh pendidikan.” UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas pasal 5 (ayat) 1, “Setiap warga Negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh Pendidikan yang bermutu.”
Menurut Purnama (2010: 129-130) jaminan hak pendidikan masih
disebutkan pula dalam Deklarasi Bandung “Indonesia Menuju Pendidikan
Inklusif” tahun 2004. Deklarasi Pendidikan Dasar untuk Semua Tahun
2000, serta menjadi bagian dari hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob)
bahwa setiap warga negara di dunia mendapat jaminan hak pendidikan
seperti disebutkan sebelumnya, merupakan garansi hukum bagi anak
berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan layak dan berkualitas
sama dengan anak-anak lainnya.
37
Anak Berkebutuhan Khusus adalah mereka yang memerlukan
penanganan khusus yang berkaitan dengan kekhususannya. Anak
berkebutuhan khusus saat ini menjadi istilah baru bagi masyarakat kota.
Jika kita memahami lebih dalam lagi maksud dari “anak berkebutuhan
khusus”, istilah ini sudah tidak terlalu asing. Di Indonesia, istilah ini lebih
populer dengan istilah ‘anak luar biasa’. Hingga saat ini anak-anak
berkebutuhan khusus yang mendapat perhatian yang cukup luas di
masyarakat adalah mereka tergolong ke dalam Pervasive Development
Disorder atau Autism Spectrum Disorder (Fadhli, 2010: 16)
Anak berkebutuhan khusus menurut Direktorat Pendidikan Luar
Biasa (2006) adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan atau
penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional, dam sensori
neurologis) dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya
dibandingkan dengan anak-anak lain yang sebaya (anak-anak normal)
sehingga mereka memerlukan suatu pendidikan khusus. Oleh karena itu,
menurut Susanto (2015:336) jika ada seorang anak yang mengalami
kelainan atau penyimpangannya tidak signifikan sehingga mereka tidak
memerlukan pendidikan khusus, anak tersebut tidak bisa dikategorikan
sebagai anak berkebutuhan khusus.
Karena anak berkebutuhan khusus berbeda dengan anak lainnya,
maka pendidikan dan pengajaran juga disesuaikan dengan kebutuhan
mereka. Itu sebabnya diperlukan pendidikan khusus bagi mereka. Ada
beberapa bidang yang perlu diperhatikan dalam kurikulum khusus tersebut,
antara lain (Purnama, 2010:131):
1. Perkembangan motorik
2. Kemampuan untuk mengurus diri sendiri
3. Pendidikan sensorik dan persepsi
38
4. Pendidikan emosi dan tingkah laku sosial
5. Pengelolaan mobilitas
6. Kemampuan dalam mengurus diri sendiri dan keterampilan
dalam bidang tertentu.
Anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan ke beberapa bagian
yang menuntut penanganan secara spesifik berdasarkan kategori
kebutuhannya. Menurut Kauffaman & Hallahan (Delpie, 2006 ditukil dari
Susanto, 2015: 336) anak berkebutuhan khusus yang paling banyak
mendapat perhatian guru dikelompokkan menjadi beberapa bagian di
antaranya:
a. Tunanetra (partially seing and legally blind), yaitu anak yang
mengalami gangguan penglihatan, berupa kebutaan menyeluruh
ataupun sebagian.
b. Tunarungu wicara (communication disorder ang deafness), adalah
anak yang mengalami gangguan pendengaran.
c. Tunadaksa/mengalami kelainan anggota tubuh/gerakan. Anak
tunadaksa, yakni anak yang mengalami kelainan atau cacat tetap
yang terjadi pada alat gerak sedemikian rupa sangat membutuhkan
pendidikan khusus.
d. Anak berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa.
Anak yang berbakat merupakan seorang anak yang memiliki
potensi kecerdasan dengan tingkat yang baik. Bukan hanya
kecerdasannya, ia juga memiliki kreativitas serta tanggung jawab
terhadap tugas yang kemampuannya melampaui rata-rata anak
seusianya.
e. Tunagrahita. Merupakan anak yang secara kenyataan mengalami
hambatan juga keterbelakangan perkembangan mental jauh di
39
bawah rata-rata (IQ di bawah 70), sehingga ia mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan sejumlah tugas yang menjadi
tanggung jawabnya, baik secara komunikasi maupun social. Oleh
karena itu, anak tersebut memerlukan layanan pendidikan khusus.
Hambatan ini biasanya terjadi sebelum umur 18 tahun.
Tunagrahita dapat dibagi menjadi dua, yakni tunagrahita biasa dan
tunagrahita Sindrom Down atau down syndrome.
f. Down Syndrome. Pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.
John Longdon Down. Ciri-cirinya, tinggi badan yang relatif
pendek, kepala mengecil, hidung datar menyerupai orang
Mongoloid, maka sering juga dikenal dengan mongolisme. Pada
tahun 1970-an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama
dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk
penemu pertama kali sindrom ini dengan istilah Sindrom Down
dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.
g. Cerebral Palsy. Gangguan/hambatan karena kerusakan otak
(brain injury) sehingga mempengaruhi pengendalian fungsi
motorik.
h. Gifted, adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan
(intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task
commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal).
i. Autis atau autisme, adalah gangguan perkembangan anak yang
disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem syaraf pusat yang
mengakibatkan gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi dan
perilaku.
j. Asperger Disorder (AD). Secara umum performa anak Asperger
Disorder hampir sama dengan anak autisme, yaitu memiliki
40
gangguan pada kemampuan komunikasi, interaksi sosial dan
tingkah lakunya. Bedanya, gangguan pada anak Asperger lebih
ringan dibandingkan anak autisme dan sering disebut dengan
istilah High-fuctioning autism. Adapun hal-hal yang paling
membedakan antara anak Autisme dan Asperger adalah pada
kemampuan bahasa bicaranya. Kemampuan bahasa bicara anak
Asperger jauh lebih baik dibandingkan anak autisme. Intonasi
bicara anak Asperger cendrung monoton, ekspresi muka kurang
hidup cendrung murung dan berbibicara hanya seputar pada
minatnya saja. Bila anak autisme tidak bisa berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya, anak asperger masih bisa dan memiliki
kemauan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
Kecerdasan anak Asperger biasanya ada pada great rata-rata ke
atas. Memiliki minat yang sangat tinggi pada buku, terutama yang
bersifat ingatan/memori pada satu kategori. Misalnya menghafal
klasifikasi hewan/tumbuhan yang menggunakan nama-nama latin.
k. Rett’s Disorder
Rett’s Disorder adalah jenis gangguan perkembangan yang masuk
kategori ASD. Aspek perkembangan pada anak Rett’s Disorder
mengalami kemunduran sejak menginjak usia 18 bulan yang
ditandai hilangnya kemampuan bahasa bicara secara tiba-tiba.
Koordinasi motoriknya semakin memburuk dan dibarengi dengan
kemunduran dalam kemampuan sosialnya. Rett’s Disorder hampir
keseluruhan penderitanya adalah perempuan.
l. Attention Deficit Disorder with Hyperactive (ADDH). Terkadang
lebih dikenal dengan istilah anak hiperaktif, oleh karena mereka
selalu bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Tidak dapat
41
duduk diam di satu tempat selama ± 5-10 menit untuk melakukan
suatu kegiatan yang diberikan kepadanya. Rentang konsentrasinya
sangat pendek, mudah bingung dan pikirannya selalu kacau,
sering mengabaikan perintah atau arahan, juga sering tidak
berhasil dalam menyelesaikan tugas-tugas di sekolah. Sering
mengalami kesulitan mengeja atau menirukan ejaan huruf.
m. Lamban belajar (slow learner)
Lamban belajar merupakan anak yang mengalami potensi
intelektual dengan jumlah yang tidaklah banyak, bahkan
jumlahnya di bawah normal namun belum memasuki tunagrahita.
n. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik. Seorang anak
yang memiliki kesulitan dalam belajar spesifik merupakan anak
yang dilihat secara mental mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tugas-tugas akademis khusus, hal ini diduga
karena adanya faktor disfungsi neugologis, dan bukan disebabkan
karena faktor intelegensi, terutama dalam hal kemampuan
membaca, menulis dan berhitung atau matematika, (inteligensinya
normal bahkan ada yang di atas normal), sehingga memerlukan
pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik
dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan
belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung
(diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak
mengalami kesulitan yang signifikan.
o. Anak yang mengalami ganguan komunikasi. Seorang anak yang
mengalami gangguan dalam berkomunikasi yaitu anak-anak yang
memang mengalami kelainan terhadap suara, artikulasi atau
42
bahkan kelancarannya dalam berbicara yang memang
mengakibatkan terjadinya penyimpangan dalam bentuk bahasa.
p. Tunalaras/anak yang mengalami ganguan emosi dan perilaku.
Tunalaras adalah seorang anak yang mengalami kesulitan dalam
proses menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarnya yang
memang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam
lingkungan kelompok usianya.
2.5. Persepsi Komunikasi
Persepsi merupakan proses yang kompleks yang melibatkan faktor-
faktor struktural atau pengaruh-pengaruh dari rangsangan fisik dan faktor-
faktor fungsional atau pengaruh-pengaruh psikologis dari perasaan
organisme. Di antara pengaruh-pengaruh psikologis ini meliputi rasa
membutuhkan, keinginan, perasaan, pendirian, dan asumsi. Para psikolog
dan ilmuwan kognitif telah menemukan bahwa sulitnya untuk
membedakan persepsi dari pengolahan informasi. Model-model
pengolahan atau pemrosesan informasi biasanya menunjukkan bahwa ini
adalah operasi yang melibatkan beberapa tahapan, dan masing-masing
tahap mempunyai berbagai macam kegiatan kognitif. Beberapa tahapan ini
melibatkan beberapa inferensi dan kesesuaian pola, dan masih ada
kemungkinan kesalahan. Teori skema menyarankan bahwa orang yang
mengolah informasi dari media massa dapat bertindak sebagai orang yang
kikir informasi kognitif yang mereka jumpai sebagai informasi yang tidak
relevan.
2.5.1. Peranan Persepsi dalam Komunikasi
Persepsi didefinisikan sebagai proses yang kita gunakan untuk
menginterpretasikan data-data sensoris (Lahlry, 1991: 21-25). Data
43
sensoris sampai kepada kita melalui lima indra. Hasil penelitian telah
mengindentifikasi dua jenis pengaruh dalam persepsi, yaitu pengaruh
struktural dan pengaruh fungsional.
Pengaruh struktural pada persepsi berasal dari aspek-aspek fisik
rangsangan yang terpapar pada kita, misalnya, titik-titik yang disusun
berdekatan secara berjajar akan terlihat seperti sebentuk garis. Pengaruh-
pengaruh fungsional merupakan faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi persepsi, dan karena itu membawa pula subjektivitas ke
dalam proses.
Persepsi selektif merupakan istilah yang diaplikasikan pada
kecenderungan persepsi manusia yang dipengaruhi oleh keinginan-
keinginan, kebutuhan-kebutuhan, sikap-sikap, dan faktor-faktor psikologis
lainnya. Persepsi selektif mempunyai peranan penting di dalam komunikasi
seseorang. Persepsi selektif berarti bahwa orang yang berbeda dapat
menanggapi pesan yang sama dengan cara yang berbeda. Tidak ada
seorang komunikator yang dapat mengasumsikan bahwa sebuah pesan
akan mempunyai ketepatan makna untuk semua penerima pesan atau
terkadang pesan tersebut mempunyai makna yang sama pada semua
penerima pesan.
Proses menerima dan menafsirkan pesan pada banyak model
komunikasi sering disebut penyandian–balik (decoding) Proses ini
melibatkan persepsi atau meliputi rangsangan perasaan dan proses
informasi selanjutnya. Sebelum kita membahas pengoperasian persepsi
dalam decoding sebuah pesan informasi massa, kita akan membahas
beberapa temuan penelitian tentang persepsi secara umum.
Psikologi modern menunjukkan persepsi sebagai sebuah proses
rumit, sedikit berbeda dari pandangan naïf yang dipercayai masyarakat satu
44
abad yang lalu. Pandangan kuno –yang kita sebut sebagai pandangan
berdasar pikiran sehat –memandang persepsi manusia sebagian besar
sebagai proses jasmaniah dan mesin. Mata manusia dan organ perasa
lainnya dianggap bekerja laksana kamera atau sebuah perekam. Pandangan
persepsi ini percaya bahwa ada cukup hubungan langsung antara sebuah
“realita eksternal” dan persepsi orang atau apa yang ada dalam pikiran.
Pandangan ini percaya bahwa setiap orang melihat dunia ini secara sama.
Para psikolog telah menemukan bahwa persepsi adalah proses yang
lebih rumit daripada yang telah dijelaskan di atas. Salah satu definisi
Berelson dan Steiner (1964:88) menyatakan bahwa persepsi merupakan
“proses yang kompleks dimana orang memilih, mengorganisasikan, dan
menginterpretasikan respon terhadap suatu rangsangan ke dalam situasi
masyarakat dunia yang penuh arti dan logis.”
Bennet, Hoffman, dan Prakash (1989: 3) menyatakan bahwa
“persepsi merupakan aktivitas aktif yang melibatkan pembelajaran,
pembaruan cara pandang, dan pengaruh timbal balik dalam pengamatan.”
Scott (1994: 260) menyatakan bahwa, “Tindakan melihat merupakan
sebuah pembelajaran tingkah laku yang melibatkan aktivitas kognitif.”
Persepsi juga meliputi aktivitas pembuatan inferensi. Di dalam bentuk-
bentuk persepsi, sebuah rangsangan ditentukan sebagai salah satu kategori
khusus berdasarkan informasi yang tidak lengkap, sehingga dapat ditarik
pengertian bahwa infererensi-inferensi ini tidak selalu benar.
Persepsi visual merupakan sebuah proses yang sangat kompleks.
Segala sesuatu yang kita lihat dibentuk oleh daya inteligensi visual
berdasarkan asas-asas tertentu. Menurut Hoffman (Severin dan Tankard:
2005: 84) Asas-asas dan aturan-aturan ini secara umum dapat saling
menggantikan. Hampir setengah dari lapisan luar (korteks) otak kita
45
dikhususkan untuk kemampuan visual atau penglihatan. Ketika kita
melihat sesuatu, proses yang rumit terjadi pada tingkat bawah sadar.
Misalnya, ketika kita melewati dunia tiga dimensi dimana kita hidup, objek
tampak serupa. Artinya, terdapat bukti bahwa penampakan kemiripan ini
didasarkan pada analisis matematis yang kompleks dengan sistem visual
perubahan gambar.
Penelitian menyatakan bahwa penerimaan informasi visual kompleks
merupakan sebuah proses yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama,
terjadi pada saat awal pemunculan rangsangan dan menghasilkan sebuah
kesan global. Pada saat ini, ciri khusus visual yang menonjol dari stimulus
tersebut akan diperhatikan. Tahap kedua, meliputi pemokusan perhatian
terhadap berbagai ciri khusus.
Ciri utama dalam persepsi visual adalah edge detection, atau
pengidentifikasian batas dengan menganalisis perbedaan level abu-abu
pada area yang berdekatan (Raff, 1997: 177-222). Penelitian ilmiah
terhadap proses edge detection menjadi penting dalam bidang kecerdasan
artifisial. Pengembangan metode edge detection berbasis-komputer dilihat
sebagai sebuah langkah yang sangat penting dalam mendapatkan mesin
yang mengenali bentuk dan, pada akhirnya “melihat”.
Persepsi dipengaruhi oleh sejumlah faktor psikologis, termasuk
asumsi-asumsi yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman masa lalu
(yang sering terjadi pada tingkat bawah sadar), harapan-harapan budaya,
motivasi (kebutuhan), suasana hati (mood), serta sikap. Sejumlah
percobaan telah menunjukkan pengaruh faktor-faktor tersebut pada
persepsi.
46
2.5.2. Asumsi dan Persepsi
Menurut Toch dan MacLean (1962: 55-77) kebanyakan penelitian
menunjukkan persepsi itu dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang
dikemukakan oleh sekelompok peneliti yang bekerja pada saat yang
bersamaan atau pada waktu yang lain di Universitas Princeton. Para
peneliti tersebut: Adelbert Ames, Jr.; Hadley Cantril; Edward Engels;
Albert Hastorf; William H. Ittelson; Franklin P. Kilpatrick dan Hans Toch
– telah mengemukakan apa yang disebut pandangan transaksional
(transactional view) atas persepsi. Konsep tersebut abstrak dan sedikit
filosofis, tetapi pada dasarnya berarti bahwa pengamat dan dunia sekitar
merupakan partisipan aktif dalam tindakan persepsi.
Para pemikir transaksional telah mengembangkan sejumlah bukti
yang meyakinkan bahwa persepsi didasarkan pada asumsi. Salah satu yang
paling menonjol, yang ditemukan oleh Adelbert Amer, Jr., disebut
monocular distorted room. Ruangan ini dibangun sedemikian rupa
sehingga dinding belakang berbentuk trapesium, dimana jarak vertikal ke
atas dan ke bawah pada sisi kiri dinding lebih panjang daripada jarak
vertikal ke atas dan ke bawah pada sisi kanan dinding. Dinding belakang
terletak pada suatu sudut, sehingga sisi kiri terlihat lebih jauh ke belakang
daripada sisi kanan. Sudut ini dipilih dengan teliti. Jika seorang pengamat
berdiri di depan ruangan dan mengamati melalui sebuah lubang kecil, maka
ruangan akan terlihat seperti sebuah ruangan yang benar-benar berbentuk
empat persegi panjang. Jika dua orang berjalan melalui ruangan dan berdiri
pada sudut belakang, maka sesuatu yang menarik akan terjadi. Bagi si
pengamat yang melihat melalui sebuah lubang, salah satu orang yang
berada di sisi kanan akan terlihat sangat besar karena orang ini berada lebih
dekat dengan si pengamat dan memenuhi keseluruhan ruang antara lantai
47
dan langit-langit. Sedangkan salah satu orang yang berada di sisi kiri akan
terlihat sangat kecil karena dia berada jauh dari si pengamat dan tidak
memenuhi ruang antara lantai dan langit-langit. Ilusi ini terjadi karena
pikiran si pengamat mengasumsikan bahwa dinding belakang paralel
dengan dinding depan ruangan. Asumsi ini berdasarkan pengalaman
terdahulu yang menggunakan ruangan-ruangan lain yang mirip. Hal ini
akan semakin kuat apabila dua orang yang berada di sudut yang berbeda
tersebut saling bertukar tempat, maka salah satu akan terlihat lebih besar
dan yang satunya lagi akan terlihat lebih kecil tepat di depan mata si
pengamat.
2.5.3. Harapan-Harapan Budaya dan Persepsi
Menurut Bagby (Severin - W. Tankard Jr.: 2005: 86) beberapa bukti
yang paling menonjol mengenai pengaruh, harapan budaya dalam persepsi
berasal dari penelitian pada persaingan binocular. Kita bisa membuat
sebuah alat yang memiliki dua buah lubang pengintip seperti sepasang
teropong, tetapi dapat digunakan untuk menghadirkan gambar yang
berbeda bagi masing-masing mata. Ketika dua gambar yang berbeda
disajikan, orang jarang melihat kedua gambar tersebut dan mereka justru
lebih sering melihat satu gambar saja dan bukan gambar satunya lagi atau
satu gambar pertama dan kemudian gambar yang lain. Terkadang mereka
melihat campuran beberapa elemen terlebih dahulu pada masing-masing
gambar, tetapi hal ini biasanya terjadi setelah melihat satu gambar secara
terpisah. Bagby menggunakan alat ini untuk menginvestigasi pengaruh
latar belakang budaya dalam persepsi.
Subjek penelitian terdiri dari 12 orang Amerika (6 pria, 6 wanita) dan
12 orang Meksiko (6 pria dan 6 wanita). Kecuali satu kelompok pasangan
48
yang terdiri dari satu orang yang berasal dari masing-masing negara, para
subjek penelitian itu belum pernah berpergian ke luar dari negaranya.
Bagby mempersiapkan sepuluh pasang gambar foto, tiap pasang terdiri dari
sebuah gambar berlatar budaya Amerika dan budaya Meksiko. Satu pasang
misalnya menunjukkan gambar baseball dan gambar adu banteng. Masing-
masing subjek diizinkan melihat selama 60 detik dan diminta untuk
mendeskripsikan apa yang mereka lihat. Penempatan gambar berbudaya
Amerika atau Meksiko pada mata kanan dan kiri dilakukan secara acak
untuk mengeliminasi pengaruh gambar yang dominan. Pada pandangan
masing-masing slide 15 detik pertama dinilai untuk menentukan
pandangan budaya orang Amerika yang paling dominan. Dominasi
ditentukan oleh gambar yang dilaporkan pertama kali atau gambar yang
dimunculkan dalam waktu yang paling lama.
2.5.4. Motivasi dan Persepsi
Salah satu percobaan yang menunjukkan pengaruh motivasi dalam
persepsi telah dilakukan oleh McCelland dan Atkinson (Werner J. Severin-
James W. Tankard Jr.: 2005: 87). Jenis motivasi yang diteliti adalah rasa
lapar. Subjek penelitian adalah anggota angkatan laut yang sedang
menunggu diizinkan masuk sekolah latihan kapal selam. Kelompok
percobaan pertama menunggu selama 16 jam tanpa makanan, kelompok
percobaan kedua menjalaninya selama 4 jam tanpa makanan dan kelompok
yang ketiga menjalaninya 1 jam tanpa makanan. Semua subjek penelitian
diberi tahu bahwa mereka sedang berpartisipasi dalam sebuah latihan
mengenai kemampuan mereka dalam merespons rangsangan visual pada
level yang paling rendah. Orang-orang ini menjalani 12 percobaan, di
dalam percobaan ini dikatakan bahwa beberapa gambar akan ditunjukkan,
49
tetapi sebenarnya tidak ada gambar sama sekali. Untuk membuat hal ini
realistis, selama penelitian mereka ditunjukkan pada sebuah gambar mobil
dan kemudian penerangannya diredupkan hingga gambarnya terlihat
samar-samar. Dalam beberapa percobaan, subjek penelitian diberi petunjuk
sebagai berikut: “ada tiga jenis benda di atas meja. Apa saja benda-benda
itu?”
Hasil percobaan itu menunjukkan bahwa frekuensi respon yang
berhubungan dengan makanan meningkat sebanding dengan meningkatnya
jam-jam tanpa makanan. Selanjutnya dalam tahap percobaan yang lain,
objek-objek yang terkait dengan makanan dinilai lebih besar daripada
benda netral oleh subjek penelitian yang lapar tetapi bukan oleh subjek
penelitian yang baru saja makan.
2.5.5. Sikap dan Persepsi
Pengaruh perilaku dalam persepsi telah didokumentasikan dalam
sebuah studi tentang persepsi permainan sepak bola Amerika oleh Hastorf
dan Cautril (Werner J. Severin-James W. Tankard Jr: 2005: 89).
Pertandingan sepak bola tahun 1951 di antara Dartmouth dan Princeton
begitu memukau dan kontroversial. Bintang pemain Princeton, Dick
Kazmaien keluar dari permainan pada perempat kedua, seorang pemain
Dartmouth mengalami cidera lutut. Diskusi mengenai permainan itu
berlanjut hingga berminggu-minggu, editorial kedua koran kampus itu
saling tuduh bahwa lawan telah melakukan permainan kasar. Hastorf dan
Cantril memanfaatkan situasi ini untuk melakukan sebuah kajian mengenai
persepsi. Mereka menunjukkan rekaman permainan itu kepada dua grup:
dua kelompok mahasiswa di Darmouth dan dua klub undergraduate di
Princeton. Mahasiswa dari dua kampus itu melihat jumlah pelanggaran
50
yang hampir sama yang dilakukan oleh tim Princeton. Akan tetapi
mahasiswa Princeton melihat rata-rata 9,8 persen pelanggaran yang
dilakukan oleh tim Darmouth, sementara itu mahasiwa Darmouth melihat
pelanggaran rata-rata 4,3 dilakukan oleh tim Darmouth. Jadi mahasiswa
Princeton melihat lebih dari dua kali pelanggaran sebanyak pelanggaran
yang dilakukan oleh Darmouth sebagaimana juga yang dilakukan oleh tim
mahasiswa Darmouth. Hastorf dan Cantril menyatakan “kelihatannya jelas
bahwa ‘permainan’ tersebut sebenarnya adalah banyak permainan yang
berbeda dan setiap versi dari peristiwa yang berlangsung itu menjadi seperti
“nyata” bagi orang tertentu saja, dan akan menjadi lain bagi orang lain.”
2.6. Manajemen Komunikasi
Kelahiran subdisiplin manajemen komunikasi tidak terlepas dari
adanya tuntutan untuk lebih membumikan ilmu komunikasi di tataran
dunia nyata. Manajemen komunikasi lahir karena adanya tuntutan untuk
menjembatani antara teoritisi komunikasi dan praktisi komunikasi. Para
teoritisi menghadapi keterbatasan dalam mengaplikasikan pengetahuan
yang dimilikinya. Sementara, para praktisi komunikasi mengalami
keterbatasan pada rujukan teoritis atau ilmu komunikasi.
Konsep manajemen sebagai suatu proses menunjukkan bahwa
aktivitas harus dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Pemahaman
manajemen sebagai seni menunjukkan bahwa aktivitas manajemen tidak
bias terstrukturasi dengan pasti karena berbagai keadaan yang tidak pasti
dan secara terus menerus memengaruhi jalannya suatu organisasi
perusahaan.
Tujuan dari manajemen komunikasi adalah mengelola kegiatan
komunikasi agar dapat berjalan dan mencapai hasilnya secara efektif.
51
Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang manajer komunikasi harus
menguasai keahlian dasar komunikasi yang dapat dipelajari dalam tugas
atau program formal dan latihan yang berkesinambungan, sehingga
keahlian tersebut menjadi bagian dari modal seorang manajer dalam
berhubungan dan mengelola orang lain.
2.6.1. Definisi Manajemen
Manajemen berasal dari kata to manage, yang artinya mengatur.
Pengatur ini dilakukan melalui proses dan berdasarkan urutan dan fungsi-
fungsi manajemen. Hasibuan (1993: 2) mendefinisikan manajemen sebagai
ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan
sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan.
Sedangkan Oey Liang Lee (2010: 16) menyatakan bahwa manajemen
adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengoordinasian, dan pengontrolan dari human and natural resources, dan
Buchari Zainun (Kayo, 2007: 17), memberikan manajemen adalah
penggunaan efektif dari sumber tenaga manusia serta bahan material
lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Menurut Kaye (1994: 8), manajemen komunikasi adalah cara
individu atau manusia mengelola proses komunikasi melalui penyusunan
kerangka makna dalam berbagai lingkup komunikasi, dengan
mengoptimalisasi sumber daya komunikasi dan teknologi yang ada,
dimana manajemen komunikasi sebagai proses penggunaan berbagai
sumber daya komunikasi secara terpadu melalui proses perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan unsur-unsur komunikasi
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen komunikasi
52
sebagai pengaplikasian penggunaan sumber daya manusia dan teknologi
secara optimal untuk meningkatkan dialog diantara manusia.
Manajemen komunikasi berarti penelitian, perencanaan,
pelaksanaan dan pengevaluasian suatu kegiatan komunikasi yang
disponsori oleh organisasi, mulai pertemuan kelompok kecil hingga
berkaitan dengan konferensi pers, dari pembuatan brosur hingga
kampanye, dan penyelenggaraan acara open house hingga kampanye
politik, dari pengumuman pelayanan publik hingga menangani manajemen
krisis.
Secara umum, manajemen komunikasi dapat didefiniskan sebagai
bidang yang mempelajari cara individu mengelola proses komunikasi
mengenai hubungannya dengan orang lain dalam beragam situasi.
Manajemen komunikasi merupakan proses perencanaan, pengorganisasian,
dan pengontrolan penyampaian pesan (ide/gagasan) dari satu pihak ke
pihak lain untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efisien agar
terjadi saling memengaruhi diantara keduanya.
Pada prinsipnya, manajemen komunikasi adalah cara membangun
dan mengelola hubungan, baik secara lisan maupun tulisan agar tidak
terjadi istilah missed communication sehingga segala aktivitas yang
berkaitan dengan komunikasi dapat berjalan lancar dan damai. Hubungan
yang baik dikenal sebagai bentuk koordinasi atas kerja sama untuk
mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian, secara umum definisi manajemen komunikasi
adalah proses pengelolaan sumber daya komunikasi yang ditujukan untuk
meningkatkan kualitas dan efektivitas pertukaran pesan yang terjadi dalam
berbagai konteks komunikasi (individual, organisasional, governmental,
sosial, atau internasional).
53
2.6.2. Tujuan Manajemen Komunikasi
Tujuan manajemen komunikasi adalah pemanfaatan optimal sumber
daya manusia dan teknologi. Pada intinya, hasil dari proses komunikasi
adalah terciptanya dialog yang berjalan dua arah sekaligus melahirkan
pertukaran informasi yang relatif seimbang.
Komunikasi menjalankan empat fungsi utama sebagaimana yang
ditegaskan oleh Stephen P. Robbins (Hadyana Pujaatmaka, 1996: 5) ditukil
dari (Yusuf Zainal Abidin, 2015: 57) yaitu sebagai berikut:
1) Kendali. Komunikasi bertindak untuk mengendalikan perilaku
anggota organisasi.
2) Motivasi. Komunikasi membantu perkembangan motivasi
dengan menjelaskan kepada para karyawan segala sesuatu yang
harus dilakukan, cara bekerja, dan hal-hal yang dapat dikerjakan
untuk memperbaiki kinerja.
3) Pengungkapan emosional. Bagi banyak karyawan, kelompok
kerja merupakan sumber utama untuk interaksi sosial.
Komunikasi yang terjadi dalam kelompok merupakan
mekanisme fundamental yang akan menunjukkan kekecewaan
dan kepuasan yang dirasakan karyawan.
4) Informasi. Komunikasi memberikan informasi yang diperlukan
individu dan kelompok untuk mengambil keputusan dengan
meneruskan data untuk mengenali dan menilai pilhan-pilihan
alternatif.
Sutisna (1983: 35) mengemukakan bahwa dalam proses komunikasi
diperlukan unsur-unsur komunikasi, yaitu sebagai berikut:
1) Ada suatu sumber, yaitu seorang komunikator yang mempunyai
sejumlah kebutuhan, ide atau informasi yang diberikan.
54
2) Ada tujuan yang hendak dicapai.
3) Ada saluran yang menghubungkan sumber berita dengan
penerima berita.
4) Ada penerima berita atau umpan balik.
Proses komunikasi akan berjalan dengan baik dan efektif jika ide,
gagasan, dan informasi dimiliki secara bersama-sama oleh manusia yang
terlibat dalam perilaku informasi.
2.6.3. Karakteristik Manajemen Komunikasi
Ada beberapa karakteristik dari manajemen oleh (Yusuf Zainal
Abidin, 2015: 53), yaitu sebagai berikut:
1) Manajemen merupakan perpaduan antara ilmu dan seni untuk
mencapai tujuan organisasi.
2) Manajemen adalah proses yang sistematis, terkoordinasi, dan
kooperatif dalam memanfaatkan sumber daya manusia dan
sumber lainnya.
3) Manajemen mempunyai tujuan tertentu. Berhasil tidaknya
tujuan itu bergantung pada kemampuan seseorang dalam
menggunakan potensi yang ada.
4) Manajemen merupakan sistem kerja sama yang kooperatif dan
rasional.
Manajemen didasarkan pada pembagian kerja, tugas, dan tanggung
jawab yang teratur. Menurut Handoko (Suprapto, 2009: 131), ada tiga
alasan manajemen diperlukan, yaitu sebagai berikut:
1) Mencapai tujuan
Manajemen dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi.
2) Menjaga keseimbangan
55
Manajemen dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara
tujuan, sasaran, dan kegiatan yang saling bertentangan dari pihak-
pihak yang berkepentingan dalam organisasi.
3) Mencapai efisiensi dan efektivitas
Suatu kerja organisasi dapat diukur dengan banyak cara yang
berbeda. Cara umum yang banyak digunakan adalah
menggunakan patokan efisiensi dan efektivitas. Efisiensi adalah
kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan benar.
Adapun efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan
yang tepat atau peralatan untuk mencapai tujuan. Dengan kata
lain, manajer efektif dapat memilih pekerjaan yang harus
dilakukan atau metode (cara) yang tepat untuk mencapai tujuan.
2.6.4. Efektivitas Manajemen Komunikasi
Manajemen komunikasi adalah proses timbal balik (resiprokal)
pertukaran sinyal untuk memberikan informasi, membujuk, atau memberi
perintah berdasarkan makna yang sama dan dikondisikan oleh konteks
hubungan para komunikator dan konteks sosialnya, sedangkan efektivitas
merupakan suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan atau
kegagalan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan. Adapun
komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan melalui media. Dengan demikian, efektivitas komunikasi
adalah proses penyampaian pesan yang mampu mencapai tujuan dari isi
pesan tersebut dan memberikan umpan balik (feedback) atau reaksi
sehingga pesan pun berhasil tersampaikan dan menimbulkan komunikasi
yang efektif.
56
Efektivitas tidak boleh lepas dari faktor tujuan, faktor manusia, faktor
nilai, dan faktor sistem organisasi yang dihubungkan dengan kondisi
waktu, target, jumlah, dan kualitas. Dengan demikian, efektivitas bersifat
multidimensional sehingga strategi yang dipilih untuk meningkatkan
efektivitas bergantung pada kekhususan atau spesifikasi faktor dari
permasalahan yang hendak dipecahkan.
Dalam usaha mengefektifan komunikasi, Ann Elleson (Wahyudi,
2010: 162) melakukan penelitian yang menghasilkan aturan bagi pelaksaan
komunikasi, sebagai berikut:
1) Usahakan sekuat mungkin agar rintangan yang telah stereotype
adalah sikap pandangan yang kaku dan tidak dapat berubah
terhadap aspek-aspek kenyataan, khususnya terhadap seseorang
atau kelompok sosial yang menghalangi komunikasi yang baik,
agar dapat dilenyapkan, misalnya rintangan karena faktor usia,
profesi, dan sebagainya.
2) Saling mengerti, yaitu komunikator dan komunikan berusaha
mengerti satu sama lain.
3) Menjadi pendengar yang baik.
4) Usahakan agar pikiran dan pengalaman sejalan dan dapat
mengambil keuntungan dari proses komunikasi tersebut.
5) Berinisiatif untuk memberikan jalan keluar penyelesaian
masalah.
6) Menjadi seorang komunikator yang dapat dipercaya.
7) Memberikan motivasi pada komunikan.
8) Terbuka dan ramah pada pandangan atau pendapat komunikan.
Untuk mencapai komunikasi yang efektif tentu tidak mudah karena
sebelum melakukan komunikasi, kita harus memerhatikan prinsip-prinsip
57
komunikasi yang harus dipahami. Prinsip tersebut adalah respect, empathy,
audible, clarity, dan humble (Wahyudi, 2010: 166).
1) Respect
Respect adalah memberikan perasaan positif atau penghormatan diri
kepada lawan bicara. Pada dasarnya semua orang ingin dihargai dan
dihormati. Maslow ditukil dari Victor: 2014, P. 1, dalam teorinya
menjelaskan bahwa manusia perlu dihargai dan diakui oleh orang lain. Dale
Carnegie ditukil dari Victor: 2014, P.1 dalam bukunya How To Win
Friends and Influence People juga menjelaskan bahwa rahasia terbesar
yang merupakan salah satu prinsip dalam berkomunikasi dengan manusia
adalah dengan memberikan penghargaan yang jujur dan tulus. Oleh karena
itu, prinsip menghormati ini harus selalu dipegang dalam berkomunikasi
dengan orang lain.
2). Empathy
Empathy adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada situasi
atau kondisi yang dihadapi orang lain. Dengan demikian akan lebih mudah
melakukan komunikasi dengan baik sesuai dengan kondisi psikologis
lawan bicara. Untuk memiliki empati yang tinggi seseorang harus
menempatkan diri sebagai pendengar yang baik.
3). Audible
Audible mengandung makna bahwa pesan harus dapat didengarkan
dan dapat dimengerti. Untuk dapat menjalankan prinsip ini ada beberapa
hal yang harus dilakukan:
Pertama, pesan harus mudah dipahami, menggunakan bahasa yang
baik dan benar sesuai dengan pemahaman lawan bicara. Kedua, sampaikan
hal-hal yang penting. Ketiga, gunakan bahasa tubuh seperti mimik wajah,
kontak mata, gerakan tangan, dan posisi badan agar dengan mudah terbaca
58
oleh lawan bicara. Keempat, gunakan ilustrasi atau contoh. Biasanya hal
ini efektif untuk mempermudah lawan bicara memahami pesan yang
disampaikan.
4). Clarity
Clarity adalah kejelasan dari pesan yang disampaikan. Salah satu
penyebab munculnya salah paham antara satu orang dan yang lain adalah
informasi tidak jelas yang diterima. Informasi seperti ini mengaburkan
banyak orang yang akibatnya timbul spekulasi atau menafsirkan sendiri
atas pesan yang didengar. Jika penafsirannya salah dapat menimbulkan
masalah.
5). Humble
Sikap ini merupakan unsur yang berkaitan dengan hukum pertama
untuk membangun rasa menghormati orang lain, biasanya didasari oleh
sikap rendah hati. Rendah hati dalam berkomunikasi akan menumbuhkan
rasa respect. Artinya, rasa hormat yang ditunjukkan dengan kerendahan
hati akan mengakibatkan lawan bicara hormat dan menghargai diri kita.
Jika hal tersebut terjadi komunikasi efektif akan tercapai dengan baik.
59
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
DAN PROFIL INFORMAN
3.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
3.1.1. Madrasah di Kabupaten Bogor
Madrasah adalah sebuah satuan pendidikan khas yang dimiliki oleh
dunia pendidikan Islam tetapi dalam perkembangannya di Indonesia,
terutama sejak terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Agama (Menag) dan
Menteri dalam Negeri (Mendagri) pada tahun 1975 madrasah mengalami
perubahan secara signifikan baik secara kurikulum maupun pelaksanaan
pembelajaranya, di era 1990-an perubahan tersebut semakin kontras
bahkan cenderung berubah. Madrasah berubah menjadi sekolah umum
formal yang berciri khas agama Islam. Dalam perspektif perundang-
undangan madrasah dipandang sebagai satuan pendidikan formal pada
jenjang pendidikan dasar menengah yang menyelenggarakan pendidikan
keagamaan Islam dan pendidikan umum sekaligus.
Sebagai lembaga pendidikan yang dinamis madrasah dituntut mampu
bersaing dengan sekolah umum lainnya dalam aplikasi pembekalan
terhadap peserta didiknya agar madrasah mampu menjawab tantangan
perkembangan masyarakat di Indonesia, bahkan dunia. Untuk hal itu,
madrasah diharapkan membekali para alumninya dengan pengetahuan
umum dan ajaran nilai-nilai agama, serta kecakapan untuk menjadi bekal
hidup yang sesuai dengan masa depannya.
Sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No.
20 Tahun 2003, selain fungsi dan tujuan pendidikan secara umum, yaitu
60
pembentukan watak dan peradaban nasional, madrasah juga harus melihat
potensi peserta didik secara riil. Pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran dituangkan dalam kurikulum agar tercapai tujuan pendidikan
secara umum ataupun pendidikan dengan tujuan tertentu yang meliputi
tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian antara kekhasan, kondisi dan
potensi daerah. Dengan kata lain, harus terjadi penyesuaian satuan
pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah serta potensi
riil dari peserta didik.
Sebagai salah satu lembaga satuan pendidikan, pengembangan
kurikulum yang dijadikan pedoman adalah pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan (SNP) yang terdiri dari 8 standar yang selalu dilanjutkan secara
terus menerus. Delapan standar KTSP tersebut meliputi:
1. Standar Isi
2. Standar Proses
3. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
4. Standar Kompetensi Kelulusan
5. Standar Sarana dan Prasarana
6. Standar Pengelolaan
7. Standar Pembiayaan
8. Standar Evaluasi dan Penilaian
Kesemuanya merupakan satu kesatuan yang saling terkait dalam
pencapaian SNP yang diharapkan. Dua di antara proses standardisasi antara
lain yaitu: Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Kelulusan, menjadi
pedoman dalam penyusunan dan KTSP agar dapat memberi kesempatan
bagi peserta didik.
61
Terdapat 263 madrasah di Kabupaten Bogor yang terdiri dari 127
Raudathul Athfal (RA), 54 Madrasah Ibtidaiyah (MI) swasta dan 1 negeri,
34 Madrasah Tsanawiyah (MTs) swasta dan 1 negeri serta 14 Madrasah
Aliyah (MA) swasta dan 2 negeri,2 tersebar di hampir semua kecamatan
yang berada di Bogor, namun tidak semua madrasah tersebut memiliki
murid berkebutuhan khusus atau disebut dengan ‘madrasah inklusi’. Dari
jumlah madrasah yang ada, baru 52 madrasah yang dijadikan rintisan untuk
madrasah inklusi dan 16 madrasah yang terdata memiliki murid
berkebutuhan khusus, berdasarkan laporan dari masing-masing Kepala
Madrasah, di antaranya yaitu MI Darul Mustaqim di Desa Paminjahan,
MTs Darul Mustaqim di Desa Paminjahan, MI Nurul Athfal di Kemang
Bogor, dan MI Al-Fitriyah di Kemang Bogor3. Berikut akan peneliti
jabarkan gambaran umum dari masing-masing madrasah tersebut.
3.2. Gambaran Umum Madrasah Ibtidaiyah Darul Mustaqim
MIS Darul Mustaqim merupakan madrasah yang dimiliki oleh
Yayasan Pondok Pesantren Daarul Mustaqiem, terletak di Jl. KH. Abdul
Hamid Km. 08 Nangkasri RT.02/02 Telp. (0251) 8648614 Desa
Paminjahan Kec. Paminjahan Kab. Bogor Prov. Jawa Barat, dengan
Nomor Statistik Madrasah: 111.2.32.01.0265, Terakreditasi Madrasah A,
NPWP 01.572.273.9-434.003 dengan nomor Akte Pendirian Yayasan: -
21- Jakarta Dengan luas tanah 1.420 M² dan luas bangunan 320 M².
2 https://www.jpnn.com/news/madrasah-bogor 3 Berdasarkan data dari Kementerian Agama Kabupaten Bogor
62
3.2.1. Visi dan Misi Madrasah
Visi madrasah Darul Mustaqim yaitu, “Terbentuknya pribadi peserta
didik yang beriman, berakhlakul karimah, cerdas, dan berkualitas”.
Sementara Misi Madrasah dirumuskan sebagai berikut:
1. Menanamkan akidah/keyakinan melalui pengamalan ajaran Islam.
2. Menanamkan dan memberikan contoh perilaku baik pada peserta
didik.
3. Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan berkesinambungan,
terprogram serta terukur, agar siswa menjadi berkembang secara
optimal.
4. Mendorong dan membantu siswa untuk mengenali potensi dirinya
sehingga dapat dikembangkan secara maksimal.
5. Mengembangkan pengetahuan di bidang IPTEK, bahasa, olah raga dan
seni budaya sesuai dengan bakat, minat dan potensi siswa.
6. Menerapkan manajemen berbasis mutu madrasah dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan, Komite Sekolah dan warga madrasah.
7. Menjalin kerja sama dengan para pihak yang punya kompetensi untuk
kepentingan sekolah.
3.2.2. Tantangan
Tantangan-tantangan yang menghambat untuk memajukan Madrasah
Ibtidaiyah Daarul Mustaqiem adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya sarana dan prasarana yang memadai.
2. Kurangnya sumber dana/pembiayaan.
3. Kurangnya referensi sumber belajar pengetahuan selain buku mata
pelajaran.
63
4. SDM yang ada belum memenuhi standar minimal tenaga pendidik dan
kependidikan.
5. Masih bergabungnya Sapras lembaga pendidikan dalam satu lokasi.
3.2.3. Data Siswa dalam 3 tahun terakhir MIS Daarul
Mustaqiem
Tahun
Ajaran
Kelas 1 Kelas
2
Kelas
3
Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6 Jumlah
JUMLAH
Si
sw
a
R
o
m
be
l
Si
s
w
a
Ro
m
be
l
Si
sw
a
R
o
m
b
el
si
s
w
a
Ro
mb
el
si
s
w
a
Ro
mb
el
si
s
w
a
Ro
mb
el
sis
w
a
rom
bel
2016/
2017 39 1
3
1 1 41 1
2
8 1
3
2 1
2
5 1
19
6 6
Tabel 2. Data Siswa dalam 3 tahun terakhir MIS Daarul Mustaqiem
3.2.4. Data Sarana dan Prasarana
No
Jenis Ruang
Jml
Ruang
Jml.R.Kondisi
Baik
Jml.R.Kondisi
Rusak
Katagori Kerusakan
Rusak
Ringan
Rusak
Sedang
Rusak
Berat
1 Ruang Kelas 6 5 1 1 1
2 Perpustakaan
3 R. Lab. IPA
64
4 R. Lab.
Biologi
5 R. Lab.
Fisika
6 R. Lab.
Kimia
7 R. Lab.
Komputer
8 R. Lab.
Bahasa
9 R. Pimpinan 1 1
10 R. Guru 1 1 1
11 R. Tata
Usaha
1 1
12 R. Konseling
13 R. Tempat
Ibadah
14 R. UKS 1 1
15 Jamban 3 3 3
16 Gudang
17 R. Sirkulasi
18 Tempat Olah
Raga
19 R. Osis
20 R. Lainnya
Tabel 3. Data Sarana dan Prasarana MIS Daarul Mustaqiem
65
3.2.5. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan
No Keterangan Jumlah
Pendidik
1 Guru PNS diperbantukan Tetap 1
2 Guru Tetap Yayasan 8
3 Guru Honorer
4 Guru Tidak Tetap 1
Tenaga Kependidikan
1 Tata Usaha
2 Pesuruh/Penjaga
3
Dst
Tabel 4. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan MIS Daarul Mustaqiem
Adapun data personel tenaga pendidik dan kependidikan Madrasah
Ibtidaiyah adalah sebagai berikut:
No Nama Guru Tempat/Tgl Lahir Ijazah terakhir
1 Ukon Baekandi Bogor, 11 April 1968 S1
2 Sri Nurhayati Bogor, 09 Oktober 1992 S1
3 Etin yuniarti Jakarta, 16 Juni 1977 SLTA
4 Hoeriah Bogor, 21 April 1986 S1
5 Siti Vivi Luthfiah Jakarta, 22 Desember 1980 S1
6 Miftahudin Bogor, 12 April 1980 S1
66
7 Wawan setiawan Bogor,13 Oktober 1988 SLTA
8 Eneng Nurlatifah Bogor, 24 Mei 1990 SLTA
9 Jeje Zaenal
Mamduh Bogor,26 Juni 1993 SLTA
10 Dede Rukmana Bogor, 06 Juni 1977 S1
Tabel 5. Data Personel Tenaga Pendidik Dan Kependidikan MIS Daarul
Mustaqiem
3.3. Gambaran Umum Madrasah Ibtidaiyah Nurul Athfal
3.3.1. Profil Madrasah
Madrasah Ibtidaiyah Nurul Athfal merupakan madrasah yang berada
di bawah Yayasan Al-Hasna beralamat di Kp. Parakan Salak RT.04/07
Desa Kemang Kab. Bogor Prov. Jawa Barat dengan nomor statistik
111.2.32.01.0158 dan Terakreditasi B. Kepemilikan tanah madrasah
merupakan milik yayasan yang sudah bersertifikat dengan luas tanah 3.142
M² dan luas bangunan 250 M².
3.3.2. Visi dan Misi Madrasah
Visi madrasah Nurul Athfal adalah, “Madrasah sebagai lembaga
yang diharapkan mampu menciptakan generasi Islam yang berkualitas di
bidang Imtak dan Iptek”, dengan misinya sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi kepada kualitas.
2. Menciptakan generasi berakhlakul karimah.
3. Mampu melaksanakan ibadah dengan baik dan benar.
4. Mampu menulis serta membaca dengan benar, cerdas, dan
terampil.
67
3.3.3. Sasaran dan Tujuan Madrasah
Berdasarkan visi dan misi tersebut di atas, sasaran Madrasah
Ibtidaiyah Nurul Athfal adalah sebagai berikut:
1. Membentuk siswa yang berkembang secara optimal sesuai dengan
potensi yang dimiliki.
2. Mewujudkan terbentuknya madrasah mandiri.
3. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.
4. Tercapainya program-program madrasah.
5. Terlaksananya kehidupan sekolah yang islami.
6. Menghasilkan lulusan yang berkualitas, berprestasi, berakhlakul
karimah dan bertakwa kepada Allah Swt.
Tujuan madrasah tersebut secara bertahap akan dimonitoring,
dievaluasi dan dikendalikan setiap kurun waktu tertentu. Untuk mencapai
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Madrasah Ibtidaiyah yang dibakukan
secara nasional sebagai berikut:
1. Meyakini, memahami dan menjalankan ajaran agama dalam
kehidupan.
2. Memahami dan menjalankan hak dan kewajiban untuk berkarya
dan memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab.
3. Menyenangi dan menghargai seni.
4. Menjalankan pola hidup bersih, bugar dan sehat.
5. Berpartisipasi dalam kehidupan sebagai cerminan rasa cinta dan
bangga terhadap bangsa dan Tanah Air.
68
3.3.4. Tantangan
Tantangan-tantangan yang menghambat untuk memajukan Madrasah
Ibtidaiyah Nurul Athfal adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya sarana dan prasarana yang memadai.
2. Kurangnya sumber dana/pembiayaan.
3. Kurangnya referensi sumber belajar pengetahuan selain buku
mata pelajaran.
4. Kurangnya SDM yang berkualitas. Madrasah hanya memiliki
30% tenaga pendidikan S1/D IV kependidikan.
5. Masih bergabungnya dua lembaga pendidikan dalam satu
yayasan.
3.3.5. Data Siswa dalam Tiga Tahun Terakhir MI Nurul Athfal
Tabel 6. Data Siswa dalam 3 tahun terakhir MI Nurul Athfal
Tah
un
Ajar
an
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6 Jumlah
Jm
l
Sis
wa
Jml
Ro
mb
el
Jml
Sis
wa
Jml
Ro
mb
el
Jml
Sis
wa
Jml
Ro
mb
el
Jml
Sis
wa
Jml
Ro
mb
el
Jml
Sis
wa
Jml
Ro
mb
el
Jml
Sis
wa
Jml
Ro
mb
el
J
m
l
Si
s
w
a
Jml
Rom
bel
2014
/201
5
19 1 21 1 12 1 17 1 13 1 12 1 9
4
6
69
3.3.6. Data Sarana dan Prasarana
N
o
Jenis Ruang
Jml
Ruan
g
Jml.R.Kon
disi Baik
Jml.R.Kon
disi Rusak
Katagori Kerusakan
Rusa
k
Ring
an
Rusa
k
Seda
ng
Rusa
k
Bera
t
1 Ruang Kelas 5 5
2 Perpustakaan 1 1
3 R.Lab.IPA
4 R.Lab.Biolog
i
5 R.Lab.Fisika
6 R.Lab.Kimia
7 R.Lab.Komp
uter
8 R.Lab.Bahas
a
9 R.Pimpinan 1 1
10 R.Guru 1 1
11 R.Tata Usaha 1 1
12 R.Konseling 1 1
13 R.Tempat
Ibadah
14 R.UKS 1 1
15 Jamban 3 1 1 1
16 Gudang
70
17 R.Sirkulasi
18 Tempat Olah
Raga
1 1
19 R.Osis
20 R.Lainya
Tabel 7. Data Sarana dan Prasarana MI Nurul Athfal
3.3.7. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan
N
o
Keterangan Jumlah
Pendidik
1 Guru PNS diperbantukan Tetap 4
2 Guru Tetap Yayasan 3
3 Guru Honorer
4 Guru Tidak Tetap
Tenaga Kependidikan
1 Tata Usaha 1
2 Pesuruh/Penjaga 1
3
Dst
Tabel 8. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan MI Nurul Athfal
71
Adapun data personel tenaga pendidik dan kependidikan Madrasah
Ibtidaiyah Nurul Athfal adalah sebagai berikut:
Tabel 9. Data Personel Tenaga Pendidik Dan Kependidikan MI Nurul
Athfal
No Nama Guru Tempat/Tgl Lahir Ijazah
terakhir
1 Naman S, S.PdI Bogor, 03 Juni 1968 S1
2 Erni Maya Sari, SE Bogor, 30 Agustus
1976 S1
3 Nursaadah, S.PdI Bogor, 16 Agustus
1979 S1
4 Juariah, S.PdI Bogor, 27 Desember
1973 S1
5 Jumhardi, S.Pd Bogor, 20 Desember
1970 S1
6 Ipana Dwi Cahyani,
S.PdI Bogor, 18 Maret 1979 S1
7 Siti Unasih, S.PdI Bogor, 06 Mei 1977 S1
8 Siti Maemunah Bogor, 10 Juli 1979 SMA
9 Imi Bogor, SD
72
3.4. Gambaran Umum Madrasah Ibtidaiyah Al-Fitriyah
3.4.1. Profil Madrasah
Madrasah Ibtidaiyah Al-Fitriyah merupakan madrasah yang berada
di bawah yayasan Al-Fitriyah dengan Nomor Statistik Madrasah
111232010154, Terakreditasi B beralamat di Raya Kemang No. 605
RT.01/10 Telp. 081806244211 Desa Kemang Kecamatan Kemang
Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Akte pendirian yayasan bernomor
12 dengan status tanah sertifikat, luas tanah 3000 M² dan luas bangunan
650 M².
3.4.2. Visi Madrasah
Visi Madrasah Ibtidaiyah Al-Fitriyah yaitu “Terwujudnya madrasah
yang berilmu dan berakhlak mulia dan berwawasan lingkungan”,
sedangkan misinya adalah:
1. Menanamkan akidah/keyakinan melalui pengamalan ajaran Islam.
2. Melaksanakan pembelajaran dan pembimbingan secara efektif
dan bermutu agar siswa menjadi berkembang secara optimal.
3. Mendorong dan membantu siswa untuk mengenali potensi dirinya
sehingga dapat dikembangkan secara maksimal.
4. Mengembangkan pengetahuan di bidang IPTEK, bahasa, olah
raga dan seni budaya sesuai dengan bakat, minat dan potensi
siswa.
5. Menerapkan manajemen berbasis mutu madrasah dengan
melibatkan seluruh warga madrasah dan Komite Sekolah.
6. Menjalin kerja sama yang harmonis antar-stakeholder sekolah.
73
3.4.3. Sasaran dan Tujuan Madrasah
Berdasarkan visi dan misi tersebut di atas, sasaran dan tujuan
Madrasah Ibtidaiyah Al-Fitriyah adalah sebagai berikut:
1. Membentuk siswa yang berkembang secara optimal sesuai dengan
potensi yang dimiliki.
2. Mewujudkan terbentuknya madrasah mandiri.
3. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.
4. Tercapainya program-program madrasah.
5. Terlaksananya kehidupan sekolah yang islami.
6. Menghasilkan lulusan yang berkualitas, berprestasi, berakhlakul
karimah dan bertakwa kepada Allah Swt.
Tujuan Madrasah tersebut secara bertahap akan dimonitoring,
dievaluasi dan dikendalikan setiap kurun waktu tertentu. Untuk mencapai
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Madrasah Ibtidaiyah yang dibakukan
secara nasional sebagai berikut:
1. Meyakini, memahami dan menjalankan ajaran agama dalam
kehidupan.
2. Memahami dan menjalankan hak dan kewajiban untuk berkarya
dan memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab.
3. Menyenangi dan menghargai seni.
4. Menjalankan pola hidup bersih, bugar dan sehat.
5. Berpartisipasi dalam kehidupan sebagai cerminan rasa cinta dan
bangga terhadap bangsa dan Tanah Air.
3.4.4. Tantangan
Tantangan-tantangan yang menghambat untuk memajukan Madrasah
Ibtidaiyah Al-Fitriyah adalah sebagai berikut:
74
1. Kurangnya sarana dan prasarana yang memadai.
2. Kurangnya sumber dana/pembiayaan.
3. Kurangnya referensi sumber belajar pengetahuan selain buku
mata pelajaran.
4. Kurangnya SDM yang berkualitas. Madrasah hanya memiliki
30% tenaga pendidikan S1/D IV kependidikan.
5. Masih bergabungnya dua lembaga pendidikan dalam satu
yayasan.
3.4.5. Data Siswa dalam 3 tahun terakhir MIS. Al-Fitriyah
Tabel 10. Data Siswa dalam 3 tahun terakhir MIS Al-Fitriyah
Ta
hu
n
Aj
ara
n
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6 Jumlah
Jml
Sis
wa
Jml
Ro
mb
el
Jml
Sis
wa
Jml
Ro
mb
el
Jml
Sis
wa
Jml
Ro
mb
el
J
m
l
Si
s
w
a
Jml
Ro
mb
el
Jml
Sis
wa
Jml
Ro
mb
el
Jml
Sis
wa
Jml
Ro
mb
el
Jm
l
Sis
wa
Jml
Rom
bel
20
15/
20
16
19 1 16 1 14 1 1
5
1 14 1 13 1 91 6
75
3.4.6. Data sarana dan Prasarana
N
o
Jenis
Ruang
Jml
Ruan
g
Jml.R.Kon
disi Baik
Jml.R.Kon
disi Rusak
Katagori Kerusakan
Rusa
k
Ringa
n
Rusa
k
Sedan
g
Rusa
k
Bera
t
1 Ruang
Kelas
6 4 4 2 2
2 Perpustaka
an
1 1 1
3 R. Lab.
IPA
4 R. Lab.
Biologi
5 R. Lab.
Fisika
6 R. Lab.
Kimia
7 R. Lab.
Komputer
8 R. Lab.
Bahasa
9 R.
Pimpinan
1 1 1
10 R. Guru 1 1 1
76
11 R. Tata
Usaha
1
12 R.
Konseling
1
13 R. Tempat
Ibadah
1 1 1 1
14 R. UKS 1 1 1
15 Jamban 3 2 1 1
16 Gudang 1 1 1
17 R.
Sirkulasi
18 Tempat
Olah Raga
19 R. Osis
20 R. Lainnya
Tabel 11. Data Sarana dan Prasarana MIS Al-Fitriyah
3.4.7. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan
No Keterangan Jumlah
Pendidik
1 Guru PNS diperbantukan
Tetap
3
2 Guru Tetap Yayasan 7
3 Guru Honorer
4 Guru Tidak Tetap
Tenaga Kependidikan
77
1 Tata Usaha 1
2 Pesuruh/Penjaga 2
3
Dst.
Tabel 12. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan MIS Al-Fitriyah
Adapun data personel tenaga pendidik dan kependidikan Madrasah
Ibtidaiyah Al-Fitriyah adalah sebagai berikut:
No Nama Guru Tempat/Tgl Lahir Ijazah
terakhir
1 Komariah,S.Pd.I Bogor, 26 Desember
1963 S1
2 Khoerudin HR. S,
Pd. I Bogor, 05 Juni 1977 S1
3 Nurnaningsih,S.Pd Bogor, 27/07/1969 S1
4 Desi Murti N, S,Pd.I Cianjur, 31 Desember
1979 S1
5 Anita Septiani,S.Pd Bogor, 27/11/1988 S1
6 Sri Heryanti,S.Ag Bogor, 31/12/1973 S1
7 Supriyatna,S,Pd.I Bogor, 05/03/1980 S1
8 Mursidah Bogor, 01/10/1979 SMA
9 Suheri Bogor, 21/01/1961 SMA
10 R. Nurul Himah Bogor, 03/09/1992 SMA
Tabel 13. Data Personel Tenaga Pendidik Dan Kependidikan MIS Al-
Fitriyah
78
3.5. Gambaran Umum Madrasah Tsanawiyah Darul Mustaqiem
3.5.1. Profil Madrasah
Yayasan Pondok Pesantren Daarul Mustaqiem didirikan tahun 1985.
Sesuai dengan tujuan pengembangan Yayasan dan tuntutan warga
masyarakat yang membutuhkan adanya pendidikan formal keagamaan,
maka pada tahun 1986 didirikanlah Madrasah Tsanawiyah Daarul
Mustaqiem. Perkembangan dan perjalanan Madrasah Tsanawiyah Daarul
Mustaqiem dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang
signifikan dengan tetap terus berupaya mengevaluasi dan meningkatkan
sumber daya manusia (SDM) dan sarana dan prasarana.
MTs Darul Mustaqiem merupakan madrasah yang berada di bawah
Yayasan Pondok Pesantren Daarul Mustaqiem dengan Nomor Statistik
121.2.32.01.0127, Terakreditasi A, beralamat di Jl. KH. Abdul Hamid Km.
08 Nangkasari RT.02/02 Desa Paminjahan Kecamatan Paminjahan
Kabupaten Bogor Jawa Barat dengan NPWP 01.572.273.9-434.001. Akta
Pendirian bernomor 121 dengan status tanah wakaf, yang berluas 7.940 M²
dan luas bangunan 1.572 M².
3.5.2. Visi dan Misi Madrasah
Visi MTs Darul Mustaqiem yaitu “Menjadi madrasah yang unggul
dalam prestasi, teladan dalam berakhlak, optimal dalam pelayanan,
istiqomah fi mardhatillah”, dengan misi yaitu:
1. Memberikan kemampuan dasar kepada peserta didik berupa
pengetahuan keterampilan serta sikap yang dapat mereka gunakan
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki akidah yang
79
benar, akhlak yang mulia dan menjadi teladan di masyarakat.
3. Memberi pelayanan kepada pihak yang berkepentingan dengan cepat,
tepat dan mudah.
4. Membentuk karakter peserta didik yang senantiasa cinta ilmu dan cinta
agama.
3.5.3. Data Siswa dalam Tiga Tahun Terkhir
Tahun Ajaran
Kelas 7 Kelas 8 Kelas 9 Jumlah
Jml
Siswa
Jml
Romb.
Jml
Siswa
Jml
Romb.
Jml
Siswa Jml Romb.
Jml
Siswa
Jml
Romb.
2015/2016 211 5 233 6 144 4 588 15
Tabel 14. Data Siswa dalam 3 tahun terakhir MTs Daarul Mustaqiem
3.5.4. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan
No. Keterangan Jumlah
Pendidik
1 Guru PNS diperbantukan tetap 3
2 Guru tetap Yayasan 23
3 Guru Honorer
4 Guru Tidak Tetap 2
Tenaga Kependidikan
1 Ka. Tata Usaha 1
80
2 Stap Tata Usaha 2
3 Petugas Perpustakaan 1
Tabel 15. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan MTs Daarul Mustaqiem
81
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian peneliti selama lebih
kurang dua bulan di lapangan, peneliti menemukan hasil-hasil penelitian
yang akan dituliskan pada sub bab berikut, sesuai dengan pertanyaan
penelitian. Hasil penelitian ini selain berupa hasil pengamatan, juga hasil
wawancara dengan para informan yang dipetik dari kutipan-kutipan
wawancara.
4.1.1. Profil Informan Guru Anak Berkebetuhan Khusus
Setiap anak pada dasarnya memiliki potensi yang luar biasa untuk
dikembangkan. Oleh karena itu, sekolah diharapkan memiliki seorang guru
yang dapat meningkatkan mutu pendidikan dengan menggali dan
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik, khususnya
untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Responden yang dipilih adalah mereka
yang mengajar di kelas yang ada ABK, baik di tingkat MI ataupun MTs,
berdasarkan kesediaan mereka untuk diamati selama penelitian
berlangsung berjumlah 14 orang, yang terdiri dari laki-laki 7 orang dan
perempuan 7 orang. Berikut nama-nama Pendidik Anak Berkebutuhan
Khusus yang dijadikan informan dalam penelitian ini, yang berasal dari MI
Darul Mustaqim, MTs. Darul Mustaqim, MI Nurul Athfal, dan MI Al
Fitriyah:
1. Nama : Susilawati, S.Pd.I.
TTL : Bogor, 14 Februari 1987
Alamat : Salabenda Desa Parakan Jaya RT.04 RW 06. Kec.
Kemang-Bogor 16310
82
Guru Kelas : 2 MI Nurul Athfal Kemang
Status : Guru Tetap MI Nurul Athfal
2. Nama : Sri Heryanti, S.Ag
TTL : Bogor, 31 Desember 1973
Alamat : Kemang RT 05 Rw 05 Desa Kemang Kec Kemang
Kab Bogor
Guru Kelas : 2 MI Al-Fitriyah
Status : Guru Tetap MI Al-Fitriyah
3. Nama : Putri
TTL : Bogor, 27 Agustus 1988
Alamat : Kayumanis Rt. 03/03 Kel. Kayumanis Kec. Tanah
Sereal
Guru kelas : IV MI Al Fitriyah
Status : Guru tetap MI Al-Fitriyah
4. Nama : Sri
TTL : Bogor, 17 Juni 1992
Alamat : Kp. Nangkasari I
Guru Kelas : MI Darul Mustaqim
Status : Guru Tetap MI Darul Mustaqim
5. Nama : Vivi Lutfiah
TTL : Jakarta, 22 Desember 1980
Alamat : Kp. Nangkasari Desa Paminjahan Bogor
Guru Kelas : IV MI Darul Mustaqim
83
Status : Guru Tetap MI Darul Mustaqim
6. Nama : Dede Rukmana
TTL : Bogor, 6 Juni 1977
Alamat : Kp. Taneuhbeureum RT.001/003, Desa Purwabakti,
Kec. Pamijahan Kab. Bogor
Guru Kelas : MI Darul Mustaqim
Status : Guru Tetap MI Darul Mustaqim
7. Nama : Babas Baesuni
TTL : Bogor, 5 Pebruari 1958
Alamat : Kp. Keroncong Desa Paminjahan Bogor
Guru Mapel : Fiqh kelas VIII dan IX
Status : Guru Tetap MTs Darul Mustaqim
8. Nama : Endang Iskandar
TTL : Bogor, 28 Oktober 1964
Alamat : Pasar Jumat Cibitung Kulon Paminjahan
Guru Mapel : Bahasa Indonesia Kelas VIII
Status : Guru Tetap MTs Darul Mustaqim
9. Nama : Abdul Rahmat, S.Pd.I
TTL : Bogor, 10 Pebruari 1971
Alamat : Kp. Nangkasari Desa Paminjahan Bogor
Guru Mapel : SBK dan Sejarah
Status : Guru Tetap MTs Darul Mustaqim
84
10. Nama : Efendi Sender
TTL : Bogor, 3 Maret 1964
Alamat : Pasar Jumat Cibitung Kulon Paminjahan Bogor
Guru Mapel : Bahasa Arab Kelas VIII dan IX
Status : Guru Tetap MTs Darul Mustaqim
11. Nama : Hendri Budiman
TTL : Bogor, 13 Mei 1978
Alamat : Kp. Nangkasari Desa Paminjahan Bogor
Guru Mapel : IPA
Status : Guru Tetap MTs Darul Mustaqim
12. Nama : Aisyah
TTL : Bogor, 5 April 1969
Alamat : Kp. Nangkasari Desa Paminjahan Bogor
Guru Mapel : PKN
Status : Guru Tetap MTs Darul Mustaqim
13. Nama : Neneng Tuti
TTL : Bogor, 31 Desember 1975
Alamat : Kp. Keroncong Desa Paminjahan Bogor
Guru Mapel : Mulok Kelas VII, VIII, dan IX
Status : Guru Tetap MTs Darul Mustaqim
14. Nama : Fahrurrozi, S.Pd.I.
TTL : Jakarta, 18 Desember 1979
Alamat : Kp. Nangkasari Desa Paminjahan Bogor
85
Guru Mapel : SKI
Status : Guru tetap MTS Darul Mustaqiem
Berikut tabel 16 yang menggambarkan jumlah informan berdasarkan
jenis kelamin:
NO NAMA LAKI-LAKI PEREMPUAN
1. Susilawati, S.Pd.I. √
2. Sri √
3. Putri √
4. Sri √
5. Vivi Lutfiah √
6. Dede √
7. Babas Baesuni √
8. Endang Iskandar √
9. Abdul Rahmat √
10. Efendi Sender √
11. Hendri Budiman √
12. Aisyah √
13. Neneng Tuti √
14. Fahrurrozi √
Laki-Laki 7 Orang
Perempuan 7 Orang
Sumber: Data Penelitian
86
4.1.2. Profil Murid Anak Berkebutuhan Khusus
Pada penelitian ini ada 9 orang informan anak berkebutuhan khusus
yang diamati selama penelitian, yang terdiri dari 7 orang ABK laki-laki,
dan 2 orang ABK perempuan, yang masing-masing berasal dari MTs Darul
Mustaqim 3 orang, MI Darul Mustaqim 3 orang, MI Nurul Athfal 1 orang,
dan MI Al Fitriyah 2 orang. Mereka adalah:
1. Fahmi, berumur 10 tahun yang menduduki bangku kelas 2 MI Al-
Fitriyah Kemang Bogor, seharusnya sudah kelas 4. Karena Fahmi
memiliki kendala pada dirinya, ia tidak naik-naik kelas dan masih
menetap di kelas 2. Teman-teman sekelas Fahmi tidak
membedakan Fahmi dengan teman yang lainnya. Mereka tetap
bercanda dan bermain bersama termasuk dalam waktu pelajaran
mereka juga sibuk mengobrol satu sama lainnya. Fahmi memiliki
kesulitan dalam belajar yang spesifik, terutama dalam
mengerjakan tugas-tugas akademik, khusus membaca, menulis
dan berhitung atau matematika. Penyebabnya karena disfungsi
neurologis, bukan disebabkan karena faktor inteligensi yang
menyebabkan Fahmi tidak bisa melanjutkan studi hingga ke kelas
4, dalam ranah sosial Fahmi dapat berinteraksi secara aktif
bersama-sama teman-temannya.
2. Rahma, anak kelas 4 MI Al-Fitriyah. Ia anak yang sangat pendiam,
cenderung pasif dalam berkomunikasi, baik dengan gurunya
maupun dengan teman-teman sekelasnya. Jika ada orang lain yang
mengajaknya berbicara dia akan tetap diam, bahkan menangis.
Rahma adalah anak bungsu dari pasangan Ibu Ratmi (bukan nama
sebenarnya) dan Bapak Hendi (bukan nama sebenarnya) yang
kesehariannya bekerja sebagai petani di Kemang Bogor. Menurut
87
kedua orang tuanya, Rahma memang sangat pendiam, dan sangat
minim berinteraksi dengan lingkungan sekitar meskipun ia sedang
berada di rumah. Ketika menginginkan sesuatu dia hanya
berkomunikasi dengan berbisik atau menganggukkan kepalanya
pada ibunya. Saat ditanyakan mengapa demikian, orang tuanya
tidak mengetahui apa sebab anaknya seperti itu, yang mereka tahu
bahwa anaknya seorang yang pemalu. Rahma dilahirkan secara
normal dan tumbuh kembangnya pun sama seperti anak normal
pada umumnya, namun pasif dalam berkomunikasi lintas
interpersonal, serta cenderung murung. Dari hasil pemantauan
bisa dikatakan Rahma tergolong pada anak berkebutuhan khusus
dengan kategori tunalaras, dimana Rahma mengalami kesulitan
penyesuain diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-
norma yang berlaku dengan lingkungan kelompok usianya
maupun lingkungan sosialnya, dimana hal ini bias merugikan
dirinya sendiri, juga orang lain.
3. Sandi Muhammad Dika, ia adalah siswa kelas 2 MI Nurul Athfal
Kemang kelahiran tahun 2007. Sandi merupakan putra bungsu
dari Bapak Aming dan Ibu Manih yang keseharian pekerjaan
ayahnya sebagai sopir angkot, sedangkan ibunya sebagai ibu
rumah tangga yang sangat sigap dalam menjaga dan mendampingi
Sandi sang anak. Menurut Ibu Manih, Sandi merupakan anak yang
berbeda dengan anak normal pada umumnya sejak ia lahir. Hal ini
sebagaimana ungkapan Ibu Manih berikut, “Sandi mah dalam
kandungan tidak ketauan kondisinya, soalnya pas diperiksa ke
bidan biasa aja, tidak ada yang mengkhawatirkan, nah pas lahir
ternyata Sandi punya kelainan. Sandi sudah diperiksakan ke
88
dokter umum, tapi kata dokter harus diperiksakan ke dokter ahli,
tapi saya belum periksakan, mahal biayanya, apalagi kebutuhan
kami banyak, jadi Sandi belum diperiksakan.” 4
Sandi bisa dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus
dengan kategori ADHD (Attention Deficit Disorder with
Hyperactive) dan tunadaksa, karena ia mengalami kelainan atau
cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) di bagian
kaki, dan juga memiliki kemampuan bicara dan bahasa yang
minim serta lamban kordinasi motoriknya sehingga Sandi
memerlukan pendidikan khusus.
4. Firdaus adalah anak yang kini duduk di kelas 8 MTs Darul
Mustaqim, kesehariannya mungkin bisa dikatakan hampir seperti
anak normal pada umumnya namun ternyata dia berbeda dengan
anak normal di sekitarnya, jika diperhatikan aktivitas
kesehariannya saat belajar di kelas maupun di lingkungan sosial
masih bisa berinteraksi secara pasif namun cenderung asyik
dengan dunianya sendiri, apatis dengan keadaan sekitar dan tidak
bergairah dalam belajar. Dapat dikatakan Firdaus termasuk dalam
kategori Asperger.
5. Cikal merupakan murid yang duduk di kelas 8 MTs Darul
Mustaqim yang masuk ke dalam kategori Anak Berkebutuhan
Khusus Autisme. Cikal cenderung memiliki kemampuan bahasa
yang monoton, muka kurang hidup, lebih suka murung dan
berbicara semaunya yang hanya sesuai dengan imajinasinya serta
tidak dapat berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya.
4 Wawancara dengan Ibu Manih (orang Tua Sandi), MI Nurul Athfal, 26 September
2017 jam 10.00 WIB
89
6. Arya adalah siswa kelas 9 di MTs Darul Mustaqim yang
kesehariannya kurang memiliki semangat dalam belajar. Arya
mengalami hambatan dalam belajar dan berpikir, lambat dalam
berpikir, merespon rangsangan dari luar dan lambat
menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik.
Arya lebih senang tidur saat belajar. Bisa dikatakan ia termasuk
ke dalam kategori lamban belajar (slow learner) atau anak yang
punya potensi intelektual sedikit di bawah normal tapi bukan
masuk ke dalam kategori tunagrahita.
7. Feliani adalah anak kelas 3 di MI Darul Mustaqim, dalam
kesehariaanya ia memiliki kesulitan untuk berkomunikasi dengan
kawan-kawan di kelasnya, begitu juga dengan guru di kelas saat
belajar. Feliani selalu mengalami kesulitan
menangkap/memahami pelajaran yang disampaikan oleh sang
guru sehingga tidak tuntas dalam melaksanakan tugas belajarnya
di sekolah, selain itu juga Feliani pada saat menulis sering menulis
huruf dalam keadaan tertukar-tukar, missal ‘b’ tertukar dengan
‘d’, ‘p’ tertukar ‘q’, ‘m’ tertukar ‘w’, ‘s’ tertukar ‘z’. Membaca
lambat-lambat dan terputus-putus serta tidak tepat, kesulitan
memahami kalimat yang dibaca ataupun yang didengar, tulisan
tangan yang buruk. Mengalami kesulitan mempelajari tulisan
sambung. Ketidakmampuan dalam berbahasa, dalam membaca
secara terbalik dan menulis dengan terbalik, berbicara dengan
pasif dan mendengar, maka bisa dikatakan Feliani termasuk dalam
kategori disleksia.
8. Fauzan adalah anak yang termasuk lambat dalam menangkap dan
mengingat pelajaran. Ia lebih suka mengganggu teman-temannya
90
di sekolah saat belajar, sehingga Fauzan mengalami gangguan
pemusatan perhatian (konsentrasi), gangguan daya ingat,
gangguan membaca, menulis, berhitung dan lain-lain.
9. Damar, adalah anak yang pendiam, jarang berkomunikasi dan
bersosialisasi dengan teman-temannya di kelas. Ketika belajar
harus didampingi oleh guru, terutama saat mengerjakan tugas agar
tugas yang diberikan bisa diselesaikan dengan baik. Damar adalah
anak yang memiliki kesulitan belajar baik dalam menulis mupun
berhitung, namun memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar,
kurang menangkap pelajaran, dan kurang aktif dalam kompetensi
sosial, memiliki sikap yang tidak peduli dengan keadaan sekitar,
fokus dengan dunianya sendiri, cenderung abai dengan pelajaran
yang disampaikan saat belajar, serta sulit diajak berkomunikasi.
4.1.3. Persepsi Pendidik terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
di Madrasah Wilayah Bogor
Setiap pendidik tentunya akan selalu menyiapkan diri sebelum
mereka menghadapi anak didik mereka, baik dari segi materi atau
kurikulum yang akan disampaikan ataupun dari segi fisik berupa kesehatan
dan emosional. Semua itu dilakukan pendidik demi terselenggaranya
proses belajar mengajar yang efektif, terutama bagi madrasah yang
memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) yang harus mendapatkan
perhatian secara khusus oleh para pendidik dan stakeholder madrasah,
karena tugas Guru tidak hanya memberikan ilmu kepada murid, tetapi juga
meningkatkan kompetensi kognitif, afektif, maupun psikomotorik murid,
terutama pada murid Sekolah Dasar.
91
Sebelum menyiapkan berbagai hal untuk pembelajaran, seorang
Guru biasanya akan mempertimbangkan dahulu anak didik yang akan
mereka hadapi agar mereka bisa menentukan metode pembelajaran apa
yang tepat digunakan, terlebih jika di kelas tersebut terdapat ABK. Namun
sebelum itu, peneliti akan memaparkan persepsi atau pandangan para guru
sebagai pendidik terhadap ABK yang mereka ajar.
Dari empat madrasah yang peneliti pilih sebagai sasaran lokasi
penelitian, yaitu MTs Darul Mustaqim, MI Darul Mustaqim, MI Al-
Fitriyah Parung, dan MI Nurul Athfal, semuanya tidak ada yang memiliki
Guru Khusus yang menangani ABK. Mereka hanya mengandalkan
pengetahuan seadanya saat menghadapi perilaku ABK di madrasah. ABK
yang ada di empat madrasah tersebut beragam, ada yang termasuk dalam
kategori ADD (Attention Deficit Disorder), ADHD (Attention Deficit
Disorder with Hyperactive), Tunadaksa, Tunalaras, Autisme, Slow learner
(Lamban belajar), Disgrafia (kesulitan menulis), namun beragam persepsi
mereka tentang keadaan ABK yang mereka ajar. Ada yang menganggap
ABK sebagai anak yang kurang perhatian, anak yang “broken home”, anak
yang berbeda, anak yang harus mendapatkan perhatian khusus, anak yang
jahil, anak yang kesulitan belajar, anak yang pendiam, anak yang kurang
kemampuan, anak yang iseng, aktif, penyerang, kurang motivasi, bahkan
ada yang menganggapnya anak perasa.
Berikut hasil wawancara peneliti kepada para informan tentang
persepsi mereka terhadap Murid Berkebutuhan Khusus.
Sebagai guru kelas ABK SY, Informan SS melihat sosok murid SY
sebagai anak yang berbeda dan harus mendapatkan perhatian khusus,
namun dia tidak mempermasalahkan kehadiran SY di kelasnya. Hal ini
sebagaimana ungkapannya berikut:
92
“Saya kan tahu kalau SY itu beda sudah dari sejak dia kelas satu,
makanya saya enggak terlalu kaget pas dia masuk kelas saya di kelas
dua. Waktu awalnya sih, wali kelasnya yang kelas satu dulu ngasih
tahu ke saya. ‘Bu, itu SY sekarang naik ke kelas dua.’ ‘Oh ya?’ Saya
bilang. Ya udah mau diapain lagi, saya harus bisa menerima dia dan
ngajarinya. Kan, kasihan bu kalau dia enggak boleh sekolah.”5
Sedangkan informan AS melihat Murid ABK dengan beberapa
persepsi. Untuk ABK CK dia mengatakan sebagai anak yang perasa, karena
sifat ABK CK yang tidak mau dibentak dan ditegur di depan teman-
temannya, yang menurutnya hal tersebut merupakan dampak karena
perceraian orang tuanya, sehingga anak terpaksa tinggal dengan neneknya,
tanpa kasih sayang dari orang tua. Sebagaimana ungkapannya berikut:
“Sama CK itu harus dengan pendekatan khusus, kecuali kalau dia lagi
ada mood. Jadi, belajarnya itu harus dipaksa. Kalau enggak dipaksa
dia enggak mau, padahal kalau dipaksa mah, bisa. Tapi CK suka
enggak masuk juga, sih. Kata saudaranya yang sekelas sama dia, dia
suka begadang malam-malam. Jadi, pagi-pagi suka belum bangun.”6
Sedangkan ABK FD menurut informan AS adalah anak yang iseng,
yang harus ditegur, lambat menerima pelajaran dan harus dipaksa belajar.
Padahal, menurut informan AS, ABK FD rajin berangkat ke sekolah dan
selalu masuk kelas walaupun kadang-kadang dia ingin cepat pulang karena
tidak mau belajar. Hal ini sebagaimana penuturan informan AS berikut:
“Kalo FD itu anaknya harus sering ditegasin, anaknya suka iseng.
Kalau nerima pelajaran lambat, kecuali kalau dipaksa. Kalau lagi di
kelas juga pengennya cepat-cepat pulang. Padahal anaknya sih,
5 Hasil wawancara dengan Ibu SS di Madrasah Nurul Athfal pada tanggal 3
November 2017 6 Hasil wawancara dengan Informan AS di MTs Darul Mustaqim pada tanggal 20
November 2017
93
masih ada sopan-sopannya, tapi kurang semangat belajar, padahal
kalau sekolahnya mah, rajin.”7
Adapun persepsi informan AS terhadap ABK AY adalah anak yang
suka “menyerang”, terutama saat dia ditegur, dan menurutnya, ABK AY
tidak ada kelainan. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan informan
AS tentang ABK AY:
“Saya sih enggak ngelihat ada kelainan pada AY, ya... Tapi memang
anaknya teh, enggak mau ditegur. Kalau ditegur dia suka marah, dan
nyerang balik ke kita. Anaknya itu suka main dan semaunya dia.
Kalau di kelas aja duduknya suka angkat kaki ke bangku, ditegur
enggak mau.” 8
Bagi informan guru BB, ABK CK adalah anak yang pendiam, tapi
diamnya tidak seperti anak pada umumnya, lebih kepada suka menyendiri.
Seperti penuturannya berikut ini:
“CK anaknya pendiam saat di kelas, duduknya selalu di depan.
Pendiam di sini bukan pendiam seperti yang kita lihat pada anak
normal, namun CK anak yang lebih suka menyendiri. Saat belajar
Fikih, misalnya, minim pemahaman, maka harus terus diberi
motivasi tinggi agar memiliki kemauan belajar. Contohnya, ketika di
kelas diminta membaca, mau tidak mau harus dirangsang terlebih
dahulu, “CK, ayo baca!” baru dia akan baca, jika tidak, ya dia diam
saja.”9
Hal yang sama juga persepsinya terhadap ABK AY. Menurutnya,
ABK AY juga anak yang pendiam, namun berbeda dengan ABK CK.
Kalau CK senang duduk di depan, AY lebih suka duduk di belakang,
7 Hasil wawancara dengan Informan AS di MTs Darul Mustaqim pada tanggal 20
November 2017 8 Hasil wawancara dengan Informan AS di MTs Darul Mustaqim pada tanggal 20
November 2017 9 Hasil wawancara dengan Informan BB di MTs Darul Mustaqim pada tanggal 20
November 2017
94
sebagaimana ungkapannya berikut ini: “AY anaknya juga pendiam, tapi
berbeda dengan CK, AY saat belajar lebih senang duduk di belakang,
dalam belajar cenderung sulit memahami.”10
Sedangkan untuk ABK FD, menurutnya dia adalah anak yang aktif,
suka membuat kegaduhan di kelas, sering menggoda teman-temannya yang
sedang belajar. Berikut hasil wawancara peneliti dengan informan BB:
“FD anaknya sangat aktif tapi untuk belajar di kelas terkadang suka
tertidur namun cenderung suka membuat gaduh, menggoda teman-
temannya yang belajar, jika diberi peringatan oleh guru, FD akan
membalikkan kalimat peringatan yang diberikan Guru, contoh, “Pak,
Geuning Urang hungkul? Nu lain oge atuh, Pak! (Pak, kok saya saja?
Yang lain juga dong Pak!)11
Adapun persepsi informan AF terhadap ABK CK dan FD yaitu
bahwa ABK FD mempunyai kemampuan yang agak kurang, sering
mencari perhatian. Informan AF memahami kondisi ABK FD, sehingga dia
memberikan pendampingan dan perhatian yang berbeda, sebagaimana
ungkapannya berikut:
“FD secara kemampuan agak kurang, yang paling menonjol sikap,
ketika belajar cenderung cari perhatian, namun kadang over acting
dan suka celoteh-celoteh. Jika dalam pelajaran Bahasa Inggris
mungkin dia suka dalam pelajaran ini namun terkadang suka
menggunakan kosakata atau kata-kata yang tidak baik untuk
dijadikan bahan lelucon seperti monkey, crazy yang jika dilihat
seperti meledek. Kalau untuk kemampuannya, FD seperti kesulitan
dari baca, dan ketika ada kegiatan yang berbentuk aktivitas, FD
cenderung tidak mau mengerjakan karena dia merasa tidak bisa dan
dia terkadang kurang konsentrasi, kurang focus. Ketika saya
memberikan arahan terkait materi pembelajaran hari itu, misalnya
yang berkaitan dengan keterampilan seperti membuat kalimat dalam
10 Hasil wawancara dengan Informan BB di MTs Darul Mustaqim pada tanggal 20
November 2017 11 Hasil wawancara dengan Informan BB di MTs Darul Mustaqim pada tanggal 20
November 2017
95
Bahasa Inggris, dia cenderung abai, tapi yang bersifat speaking
dilakukan secara bersama-sama, dia mau mengikuti dan bisa. FD
kalo di kelas kayaknya ngeselin, tapi kalu ketemu di jalan nyapa.12
Sedangkan ABK CK menurut informan AF memiliki kesulitan dalam
kemampuan pengetahuan, sehingga harus selalu dituntun dalam belajar dan
tidak punya rasa tanggung jawab dalam belajar. Berikut kutipan
wawancaranya dengan peneliti:
“Dari sikap CK bagus, mempunyai respect yang baik, berbeda
dengan FD, namun CK memiliki kesulitan dalam kemampuan
pengetahuan. Ketika ada pembelajaran yang berkaitan dengan
individual memang harus dituntun, jika ditinggal tidak mau jalan
(tidak menyelesaikan tugasnya dengan tuntas). Rasa tanggung jawab
dalam belajar pun kurang, contohnya ketika diberikan PR pasti
besoknya tidak mengerjakan.”13
Persepsi informan NT juga tidak jauh berbeda dengan informan
lainnya. Menurutnya, ABK AY yang diajarnya kurang motivasi dalam
belajar, ia harus selalu dimotivasi dan kerap mengelak jika disuruh
mengerjakan tugas di sekolah. Hal ini sebagaimana penuturan informan
NT berikut:
“AY kurang motivasi dalam belajar. Jadi, saat belajar harus ada
motivator atau penggerak dari kawan-kawannya terlebih dahulu, baru
setelah itu AY mau belajar. Contohnya, pada saat diminta untuk maju
ke depan mengulang materi pembelajaran, AY cenderung mengelak
namun ketika ada temannya yang terlebih dahulu maju ke depan,
barulah AY mengikuti langkah sang teman. Bisa dibilang ia pemalu
dan anaknya suka “bengong” (melamun), dan ketika belajar awalnya
cuek tidak mau menerima pembelajaran, jangankan pembelajaran
umum, agama juga tidak, ia selalu membuat alasan untuk keluar dari
kelas. AY lebih senang diminta untuk mengerjakan hal-hal yang
berkaitan dengan ototnya dibandingkan dengan otaknya. Contoh:
12 Hasil wawancara dengan Informan AF di MTs Darul Mustaqim pada tanggal 20
November 2017 13 Hasil wawancara dengan Informan AF di MTs Darul Mustaqim pada tanggal 20
November 2017
96
saat diminta mengerjakan tugas mata pelajaran AY lebih suka
diminta membersihkan halaman sekolah.”14
Lain halnya dengan persepsi informan Guru SR terhadap ABK FM.
Menurutnya, ABK FM adalah anak yang kesulitan belajar, sehingga susah
menerima pelajaran yang dia berikan. Berikut kutipan wawancara dengan
Ibu SR:
“FM tipe anak yang pendiam di kelas. Jika teman sebangkunya
tidak mengajaknya ngobrol dan bercanda, FM akan diam saja dan
sibuk dengan apa yang sedang ia lakukan. Dia juga sulit dalam
belajar dan harus selalu dituntun.15
Sedangkan Ibu PT, guru kelas RH, ABK yang tergolong tunalaras
mengatakan bahwa RH adalah anak yang pendiam, yang tidak bisa
berkomunikasi dengan teman-temannya kecuali dengan teman
sebangkunya. Sebagaimana penuturannya berikut ini:
“RH itu selalu diam bu, enggak mau ngomong sama teman-
temannya. Kadang saya ajak ngomong aja dia diam aja. Dan kalau
kita paksa, dia nangis. Klo di kelas juga ya diam aja. Teman-
temannya main dia enggak ikutan. Duduk aja di bangkunya.”16
Selanjutnya, Ibu PT mengungkapkan bahwa sebagai ABK, anak
dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya itu
juga membutuhkan pelayanan pendidikan yang layak seperti anak normal
lainnya sehingga sangat dibutuhkan pemahaman kepada orang di sekitar
anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Anak Berkebutuhan Khusus atau
ABK membutuhkan pelayanan dan pendidikan yang layak seperti anak-
14 Hasil wawancara dengan Informan NT di MTs Darul Mustaqim pada tanggal 20
November 2017 15 Hasil wawancara dengan Informan SR di Madrasah C pada tanggal 30 Oktober
2017 16 Hasil wawancara dengan Informan PT di Madrasah C pada tanggal 17 November
2017
97
anak yang lainnya, yaitu dengan membimbing anak tersebut supaya
percaya dirinya timbul dan tidak minder, serta mau berinteraksi dengan
kawan-kawannya.
Adapun untuk ABK FL, menurut informan DD adalah anak yang
tidak memiliki kemampuan IQ. Hal ini sebagaimana yang diungkapkannya
kepada peneliti sebagai berikut: “Si FL itu kayaknya anaknya enggak
punya kemampuan IQ. Kalau ngomong enggak lancer. Jadi, meskinya dia
itu sekolah di SLB. Walaupun kita tangani secara khusus, tetap enggak ada
perubahan. Jadi kita hopeless ke dia.”17
Sedangkan ABK FZ menurut informan AF adalah anak yang harus
ditangani secara khusus, karena dia termasuk anak yang tidak mempunyai
kemauan belajar, selalu diam, dan selalu minder. Hal ini sebagaimana
ungkapan informan AF berikut: “FZ itukan kayak enggak ada kemauan
belajar, jadi harus ditangani khusus. Anaknya itu yang selalu diam, suka
minder kalau dia enggak bisa. Padahal kalo dibina ekstra sih, menurut saya
dia bisa. Tapi mau membinanya itu yang susah. Kita ajak orang tuanya
ngobrol, orang tuanya saja sudah pasrah. Kumaha sekolah we cena (sambil
tersenyum)”18
Dan ABK DM menurut informan SRY adalah anak yang pendiam,
jarang berkomunikasi dan bersosialisasi dengan teman-temannya di kelas.
Ketika belajar harus didampingi oleh guru terutama saat mengerjakan
tugas, agar tugas yang diberikan bisa diselesaikan dengan baik. DM adalah
anak yang memiliki kesulitan belajar baik dalam menulis mupun berhitung,
namun memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar, contohnya saat
17 Hasil wawancara dengan Informan DD di Madrasah B pada tanggal 13 Oktober
2017 18 Hasil wawancara dengan Informan AF di Madrasah B pada tanggal 13 Oktober
2017
98
mengerjakan tugas kelas tidak didampingi guru dan kawan-kawan di
kelasnya selesai mengerjakan tugas lalu mengumpulkan tugasnya di meja
guru, DM pun ikut serta mengumpulkan walaupun tidak tuntas dalam
menyelesaikan tugasnya, bahkan mungkin dikerjakan tidak sesuai dengan
apa yang disampaikan oleh guru di kelas. Sebagaimana ungkapan SRY
berikut: “DM itu mau mengerjakan tugas bu tapi kalau ngerjain tugas
semau dia sendiri, suka gak paham sama yang saya jelasin, dia mah susah
kalau nulis sama ngitung (menghitung), jadi belajarnya harus didampingi,
kalau enggak didampingi, ya kayak gini nih, Bu, enggak tuntas dan ngasal
ngerjainnya.”19
Dari beberapa persepsi tersebut, peneliti menilai tidak adanya
penilaian spesial terhadap ABK yang ada di madrasah, sehingga para Guru
tidak memberikan pembedaan saat memasuki kelas dan memberikan
pengajaran.
Berikut tabel 17 yang menggambarkan persepsi-persepsi para Guru
terhadap murid ABK yang mereka ajar.
NO NA
MA
AN
AK
PERSEPSI TERHADAP ANAK
Butu
h
perh
atian
Jah
il
Pendi
am
Berbe
da
Kura
ng
kema
mpua
n
Isen
g
Ak
tif
Pen
yera
ng
Kuran
g
motiv
asi
Peras
a
1. FL √ √ √
2. FZ √ √
19 Hasil wawancara dengan Informan SRY di Madrasah B pada tanggal 13
Oktober 2017
99
3. DM √ √ √
4. FD √ √ √ √ √
5. SY √
6. CK √ √ √
7. FM √
8. RH √
9. AY √ √ √ √
Sumber: diolah dari hasil penelitian
Berdasarkan tabel tersebut, kita dapat melihat bahwa persepsi guru-
guru yang menjadi informan di lokasi penelitian sangatlah beragam. Satu
orang murid ABK bisa tiga penilaian. Hal ini terjadi karena pada
hakikatnya persepsi antara satu orang dengan yang lainnya bisa berbeda,
tergantung dari sudut penilaian mereka masing-masing.
4.1.4. Pengelolaan Komunikasi Guru terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) di Madrasah Wilayah Bogor
Pengelolaan komunikasi dapat dilakukan oleh semua orang, dengan
mengelola pesan yang akan disampaikannya, termasuk oleh guru yang ada
di madrasah. Sebagai seorang komunikator, guru seyogyanya selalu
melakukan pengelolaan komunikasi, baik sebelum menyampaikan materi
ataupun saat menyampaikan materi ketika berada di ruang kelas, terutama
jika ia sudah mengetahui bahwa di dalam kelas tersebut ada murid ABK,
yang oleh Kaye (1994:3) disebut dengan manajemen komunikasi.
Selama melakukan penelitian di empat madrasah yang ada di
wilayah Kabupaten Bogor, peneliti menemukan pengelolaan komunikasi
yang dilakukan oleh guru sebagai pendidik dengan berbagai cara, ada
100
yang aktif, ada yang pasif, dan ada yang normatif. Komunikasi yang
dilakukan juga ada yang hanya berupa komunikasi informative seolah
hanya menyampaikan pesan atau gagasan yang sudah mereka siapkan,
tanpa ada target yang akan dicapai, sehingga saat ada “keributan” di dalam
kelas, guru tidak terlihat serius mendiamkan murid, hanya menegur
sebentar. Hal ini terlihat pada saat peneliti berada di Madrasah C, dengan
informan Guru PT. saat memberikan pelajaran Bahasa Sunda di kelas 4,
yang diikuti oleh murid dengan sangat antusias, kelas terlihat sangat ribut
dengan suara anak-anak, dan anak-anak cenderung tidak memperhatikan
gurunya, namun tidak terlihat usaha kuat dari sang guru untuk
menentramkan suasana kelas yang sedang rebut. Pada saat guru sedang
menulis beberapa soal di papan tulis yang harus dikerjakan oleh para
siswa, siswa justru sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, bahkan
ada yang bercanda sehingga membuat kelas tidak lagi kondusif. Selama
menulis soal di papan tulis sang guru juga masih mendiamkan para
muridnya bahkan setelah selesai menulis soal, guru yakni informan PT
hanya mendiamkan siswanya. Ia hanya menjelaskan cara mengerjakan
soal-soal tersebut dengan membacakan dan mengajarkan cara membaca
kata demi kata pada siswa lalu para siswa mengikutinya.
Untuk perlakuan kepada murid ABK yang ada di kelas tersebut yang
bernama RH, informan PT memberikan sedikit perlakuan khusus saat
ABK RH tidak bisa mengerjakan tugas yang diberikan. Namun, awalnya
RH hanya mengikuti teman-teman yang lainnya mengerjakan soal yang
diberikan oleh informan PT. Tetapi kemudian terlihat RH merasa
kesulitan mengerjakan tugas selanjutnya dan dibantu oleh teman
sebangkunya bernama MR, namun pada saat MR fokus dengan soalnya
sendiri, RH terlihat diam saja karena tidak mengerti dan tidak berani
101
bertanya kepada informan PT. Setelah agak lama, hal ini baru disadari
oleh informan PT, dan kemudian menghampiri RH, menanyakan
pertanyaan yang tidak dimengerti oleh RH dan mengawasi RH
mengerjakan soal-soal tersebut.20
Usaha pengelolaan komunikasi pernah dilakukan oleh informan
Guru PT, saat mendapati ABK RH yang tidak mau mengerjakan apa-apa,
ia hanya diam di kursi dengan berusaha mendekati ABK RH dan
membujuknya. Sampai jam kelas selesai pun, ABK RH tersebut masih
diam tidak bergerak dari tempat duduknya, padahal anak-anak yang lain
sudah selesai mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya, dimana
saat itu sedang berlangsung pelajaran Matematika. Usaha guru pun tidak
berhasil membujuk ABK yang masih tetap diam tanpa mau keluar kelas.21
Menurut peneliti, apa yang dilakukan oleh guru merupakan suatu usaha
normatif, yang semestinya dilakukan oleh guru, namun tidak ada tindakan
khusus menghadapi sikap ABK tersebut. Selayaknya, guru menjalankan
fungsi dan perannya di madrasah sebagai pengatur, pengarah,
pembimbing siswa ABK dalam mengerjakan aktivitas belajarnya,
membangun komunikasi yang efektif dengan siswa agar terjalin keadaan
saling memahami antara guru dan siswa dalam proses komunikasi dan
proses kegiatan belajar mengajar, meskipun paling tidak dia sudah
melakukan usaha sesuai kemampuannya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh informan Guru NT, saat
mengajar di kelas 8 Madrasah A, yang di dalamnya ada ABK FD.
Sebagaimana kebiasaan ABK FD, dia tidak terlalu fokus memperhatikan
guru yang sedang mengajar, bahkan kadang dia lebih banyak menunduk,
20 Hasil pengamatan di Madrasah C kelas 4 pada tanggal 10 November 2017 21 Hasil pengamatan di kelas 2 Madrasah C pada tanggal 17 November 2017
102
asyik memperhatikan meja dan memainkan pulpennya, sayangnya tidak
ada teguran dari informan Guru NT, untuk mengalihkan perhatian ABK
FD. Dia hanya memindahkan tempat duduk ABK FD, yang awalnya
posisinya di belakang pindah ke depan.22 Menurut peneliti, hal ini sangat
normatif, tidak ada tindakan atau perhatian khusus untuk murid ABK.
Adapun pada Madrasah B, yang memiliki anak disabel di kelas 5
tidak ada pengelolaan komunikasi khusus yang dilakukan oleh informan
Guru DD kepada ABK yang bernama FL. Saat peneliti ikut serta menjadi
murid di kelas 5, yaitu dengan ikut secara langsung duduk bersama para
murid, peneliti melihat perlakuan yang didapatkan FL disamaratakan
dengan murid yang lainnya, bahkan Guru yang mengajar hampir tidak
mempedulikan keberadaan FL sama sekali.23 Hal ini terjadi beberapa kali
saat peneliti berada di kelas. Tidak ada inisiatif dari informan Guru DD
untuk memberikan perhatian khusus kepada FL, yang menyebabkan ABK
FL juga tidak peduli dengan apa yang disampaikan gurunya, dan ia
bertahan dengan sikap cuek dan tidak pedulinya.24
Apa yang dirasakan oleh informan FL tidak jauh berbeda dengan
ABK FZ. Sebagai anak ABK, semangat FZ dalam belajar bisa dikatakan
tinggi. Murid ABK FZ yang duduk di kelas 3 cukup antusias dalam
mengikuti pelajaran yang di berikan, namun perlakuan guru terhadap FZ
sama seperti murid yang lainnya, ABK FZ seringkali memiliki inisiatif
lebih untuk bertanya kepada Guru.25 Ini pun dilakukan oleh informan
Guru HD, yang tidak banyak melakukan usaha komunikasi dengan murid
22 Hasil pengamatan di Kelas 8 Madrasah A pada tanggal 24 Oktober 2017 23 Hasil pengamatan di kelas 5 Madrasah B pada tanggal 30 Oktober 2017 24 Hasil pengamatan di kelas 5 Madrasah B pada tanggal 3 November 2017 25 Hasil pengamatan di kelas 3 Madrasah B pada tanggal 30 Oktober 2017
103
ABK AY, yang terlihat kesulitan menerima dan memahami pelajaran
yang diberikan oleh informan Guru HD.26
Pengelolaan komunikasi guru sangat tidak terlihat pada saat
informan Guru SR berperan sebagai guru pengganti. Hal ini terlihat pada
Madrasah C yang saat itu ada guru yang sedang tidak masuk dan
digantikan oleh informan Guru SR, namun informan Guru SR tidak fokus
menemani anak-anak di kelas tersebut karena harus memegang kelas lain,
sehingga beberapa kali murid ditinggalkan oleh gurunya. Pada saat guru
tidak ada kegaduhan terjadi di kelas yang disebabkan oleh keributan
murid, sehingga membuat suasana kelas menjadi tidak kondusif.
Meskinya, pada suasana seperti itu, peran guru sangatlah dibutuhkan
untuk menenangkan murid dengan menggunakan komunikasi simbolik
berupa pesan cerita agar tercipta kesadaran pada diri murid sehingga dapat
mengurangi ketegangan selama di dalam kelas, bahkan mampu
meningkatkan soliditas antar anggota kelas. Namun hal tersebut tidak
dilakukan oleh guru pengganti tetapi dia justru memarahi murid dengan
menggebrak meja dan membentak murid, karena kesal dengan tingkah
laku murid.27
Hal ini juga pernah dilakukan oleh informan Guru SR yang berada
di kelas 2 Madrasah C. Interaksi sang guru dengan murid terlihat saat
informan sedang berada di kelas 2. Untuk mengurangi rasa jenuh murid
selama di kelas, guru lebih sering mengajak para murid untuk bercanda
daripada memarahi mereka, namun itu pun tidak berlangsung lama, sikap
cuek guru pada saat di kelas masih terlihat. Ketika para murid sedang
26 Hasil pengamatan di kelas 9 Madrasah A pada tanggal 13 November 2017 27 Hasil pengamatan di kelas 4 Madrasah C pada tanggal 17 November 2017
104
mengerjakan soal latihan, informan guru pun sibuk memainkan telepon
genggamnya, tanpa melakukan pemantauan terhadap murid.28
Pengelolaan komunikasi guru terhadap murid seyogyanya bisa juga
dilihat dari sudut perhatian kepada murid, misalnya memperhatikan
kerajinan, kerapian, atau hanya sekadar menanyakan kabar mereka, sebagai
bentuk peduli kepada murid selaku anak didik, dan terciptanya kedekatan
antara guru dan murid. Namun, di madrasah C, hal itu tidak dilakukan oleh
informan Guru SR pada saat ada murid ABK yang tidak masuk sekolah.
Hal ini sebagaimana hasil pengamatan peneliti di Madrasah C,29 pada saat
ABK FM tidak masuk sekolah dan tidak ada alasan kenapa FM tidak masuk
sekolah. Seyogyanya, guru mengetahui alasan ketidakhadiran murid di
sekolah dengan mencari info melalui murid-murid lainnya atau teman
dekat ABK FM, namun hal tersebut tidak dilakukan oleh guru di Madrasah
C. Berdasarkan pengamatan peneliti, jika ada salah satu atau lebih anak
murid yang tidak masuk ke sekolah, hal itu dianggap sudah biasa dan alasan
kecil pun dapat dimaklumi tanpa ada tindakan yang serius dari sekolah agar
para murid tidak seenaknya bisa meliburkan diri seperti itu.
Informan Guru ES melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan
informan guru SR, sebagai guru yang mengajar di kelas 8 Madrasah A
dengan murid ABK CK. Selama mengajar, informan Guru ES tidak begitu
memperhatikan ABK CK, padahal saat itu ABK CK tidak mencatat saat
teman lainnya mencatat apa yang diperintahkan oleh informan Guru ES,
bahkan informan Guru ES meninggalkan kelas, pada saat anak-anak murid
sedang mencatat.30 Hal ini pun diakui oleh informan Guru ES, saat peneliti
mengonfirmasi pengamatan peneliti kepada informan EF. Menurutnya,
28 Hasil pengamatan di kelas 2 Madrasah C pada tanggal 17 November 2017 29 Hasil pengamatan di kelas 2 Madrasah C pada tanggal 17 November 2017 30 Hasil pengamatan di kelas 8 Madrasah A, pada tanggal 24 Oktober 2017
105
dalam pembelajaran Bahasa Arab, ABK CK, FD dan AY memiliki sikap
yang berbeda dalam menerima pembelajaran, dan ketika belajar mendapat
perlakuan yang sama saat menerima materi pembelajaraan dan tidak pernah
membedakan mereka dengan murid-murid lainnya.31
Hal yang sama juga terlihat pada informan Guru AS di kelas 9
Madrasah A yang ada murid ABK AY. Tidak ada usaha yang dilakukan
oleh informan Guru AS ketika murid ABK AY tidur di kelas, begitu juga
ketika murid ABK AY ngobrol dengan teman sebangku yang cukup
berlebihan dan membuat teman sebelahnya merasa terganggu, sehingga
murid ABK AY secara terus-terusan mengganggu teman sebelahnya.32
Karakter murid ABK AY termasuk ABK yang tidak fokus, sehingga dia
selalu berusaha mengganggu temannya dan mengobrol selama di kelas.
Jika teman sebangkunya tidak bisa diajak mengobrol, maka dia akan tidur,
tanpa memperhatikan pelajaran yang disampaikan oleh guru. Ini juga
terlihat pada saat pelajaran yang disampaikan oleh informan Guru FJ, dan
informan Guru FJ pun tidak melakukan tindakan atau cara untuk
menghadapi murid ABK AY. Saat peneliti sedang berada di kelas 9, murid
ABK belum terlihat, padahal pelajaran telah di mulai. Saya bertanya pada
informan guru FJ keberadaan murid ABK AY, informan Guru FJ hanya
menjawab, “Biasanya memang seperti ini.” Dari jawaban tersebut, peneliti
berkesimpulan bahwa kebiasaan murid ABK AY tersebut di biarkan oleh
pihak guru, dan pembiaran itu pun terlihat juga saat murid ABK terlambat
masuk, dia dibiarkan begitu saja untuk duduk. 33
Kurangnya komunikasi informan Guru AS dengan murid ABK juga
terlihat pada saat dia berada di kelas 8, dengan murid ABK FD. Informan
31 Hasil wawancara dengan informan ES pada tanggal 20 November 2017 32 Hasil pengamatan di kelas 9 Madrasah A, pada tanggal 6 November 2017 33 Hasil pengamatan di kelas 9 Madrasah A pada tanggal 6 November 2017
106
Guru AS tidak menegur murid ABK FD yang ngobrol dengan teman
sebelahnya selama di dalam kelas. Padahal hal tersebut dilakukan oleh
murid ABK FD, karena dia merasa tidak nyaman di kelas, dan membuat
dia berbicara “ngelantur” di kelas.34
Adapun informan guru yang melakukan pengelolaan komunikasi
dalam proses mengajar yaitu, informan Guru SRY, yang menurut peneliti
termasuk Guru yang memiliki pemahaman terhadap ABK FZ. Sedikit
demi sedikit Guru SRY mulai menerapkan perlakuan khusus kepada ABK
FZ. Ia diajarkan secara perlahan di meja guru sampai FZ mengerti apa
yang disampaikan, dan sesekali prioritas pemahaman terkait mata
pelajaran FZ cukup diperhatikan dan diberi sentuhan yang sedikit berbeda
dari sebelumnya.35
Pengelolaan komunikasi juga dilakukan oleh informan Guru AF
yang selalu berusaha melakukan pengulangan materi kepada anak murid,
dengan harapan anak-anak akan mudah menghafal pelajaran yang
diberikan. Saat informan Guru AF memberikan mata pelajaran Bahasa
Inggris, murid-murid, tidak terkecuali ABK terlihat antusias dengan
pelajaran tersebut. Hal itu tampak pada saat pengulangan materi yang
disampaikan dengan teknik menghafal cepat.36 Hasil pengamatan peneliti
ini juga sesuai dengan penuturan informan Guru AF sebagai berikut: “ABK
hanya mendapat perhatian khusus dengan diperbanyak berdialog,
walaupun terkadang masih kurang nyambung ketika mood ABK sendiri
bagus, dan kadang saya menyisipkan game jika ABK sudah mulai terlihat
jelek mood nya, karena ABK sendiri adalah tipe mood yang berubah-ubah”
34 Hasil pengamatan di kelas 8 Madrasah A pada tanggal 6 November 2017 35 Hasil pengamatan di kelas 3 Madrasah B pada tanggal 6 November 2017 36 Hasil pengamatan di kelas 8 Madrasah A pada tanggal 30 Oktober 2017
107
Hal yang sama juga dilakukan oleh informan Guru BB, yang
terlihat sangat memahami kesulitan ABK FD saat pelajaran Fiqih di kelas
8 Madrasah A. Setiap kali informan Guru BB menjelaskan, ABK FD
terlihat kesulitan memahami apa yang telah informan Guru BB sampaikan,
dan itu disadari oleh informan Guru BB, sehingga dia menggunakan
metode dan perhatian khusus pada ABK FD, yaitu dengan cara membaca
kembali apa yang telah dia baca sambil perhatiannya fokus ke ABK FD,
kemudian melemparkan pertanyaan-pertanyaan kepada ABK FD, untuk
memastikan bahwa ABK FD sudah memahami penjelasannya.37 Begitu
juga pada saat ulangan atau tes harian, walaupun informan Guru BB tidak
membedakan soal yang diberikan kepada murid dan murid ABK, tetapi
karena dia mengetahui bahwa kemampuan menjawab ABK FD tidak sama
dengan murid lainnya, maka dia memberikan tugas penunjang yang dapat
membantu mereka agar memiliki nilai sesuai KKM. Sebagaimana
ungkapan informan Guru BB berikut ini:
“Terkait soal ujian Fikih yang saya berikan kepada Arya, Cikal dan
Firdaus, saya tidak memberikan soal khusus kepada mereka, saya
memberikan soal yang sama terhadap mereka dengan yang saya
berikan kepada siswa normal lainnya, namun saya memberikan
tugas penunjang yang dapat membantu mereka agar memiliki nilai
sesuai KKM misalnya dengan praktikum ibadah seperti cara shalat
dan lain-lain, jika hafalan mereka agak kesulitan”.38
Informan lainnya yang melakukan pengelolaan komunikasi kepada
murid ABK adalah informan Guru SS di Madrasah D. Setiap memberikan
pelajaran di kelas, informan Guru SS selalu memberikan perhatian khusus
kepada murid ABK SY. Hal ini sebagaimana hasil pengamatan peneliti
37 Hasil pengamatan di kelas 8 Madrasah A pada tanggal 30 Oktober 2017 38 Hasil Wawancara dengan informan Guru BB di Madrasah Darul Mustaqim
pada tanggal 20 November 2017
108
pada saat berada di kelas 2 Madrasah D. Pada saat itu sedang pelajaran
Aqur’an Hadits, informan Guru SS mengajak para murid memulai
pelajaran dengan membaca doa secara khidmat, rapi, dan bersama-sama.
Di saat pembacaan doa, informan Guru SS mendekat ke arah ABK SY, dan
memandu ABK SY yang terbata-bata membacakan doa. Setelah membaca
doa informan Guru SS memerintahkan para siswa untuk mengeluarkan Juz
‘Amma dan mengecek hafalan para siswa, di saat itu informan Guru SS
tetap berada di dekat ABK SY dan membantu ABK SY untuk
mengeluarkan Juz ‘Amma dari dalam tasnya.
Perhatian informan Guru SS juga terlihat pada saat dia meminta
para murid menulis di buku catatan, mengikuti apa yang sudah
dituliskannya di papan tulis. Semua siswa menulis, kecuali ABK SY yang
hanya diam dan hanya melihat ke arah teman-temannya yang sedang
menulis. Peneliti melihat informan Guru SS kembali mendekati ABK SY
dan membujuknya untuk mengeluarkan peralatan tulisnya, lalu membantu
ABK SY menulis dengan cara memegangi tangannya. Tidak hanya itu,
pada saat ada siswa yang berlarian di dalam kelas dan membuat suasana
kelas menjadi ramai, informan Guru SS berkeliling untuk mengecek
pekerjaan para siswa serta menenangkan suasana kelas yang ramai.39
Tidak hanya itu, pengelolaan komunikasi informan Guru SS juga
peneliti temui saat pelajaran tematik Bahasa Indonesia. Pada saat informan
Guru SS menyuruh para siswa untuk mengumpulkan pekerjaan rumah,
kondisi kelas malah ramai, para siswa berlarian dan bercanda. Melihat
situasi seperti itu, dengan tegas informan Guru SS menyuruh mereka diam
dan duduk kembali ke tempat duduk mereka masing-masing, dan
mengalihkan perhatian murid kepadanya dengan meminta murid bercerita
39 Hasil pengamatan di kelas 2 Madrasah D pada tanggal 3 November 2017
109
sesuai dengan pelajaran yang sedang di pelajari, namun dengan syarat para
murid harus mendengarkan di tempat duduknya masing-masing, maka
dengan sigap para siswa pun kembali ke tempat duduk mereka masing-
masing.40 Kejadian semacam ini tidak hanya terjadi sekali, tetapi terjadi
beberapa kali saat peneliti berada di lapangan, dan hal itu selalu ditangani
dengan baik oleh informan Guru SS.
Hal yang sama juga peneliti temukan pada informan Guru ER yang
selalu berusaha mengambil perhatian ke murid ABK FD di kelas 8
Madrasah A. Saat menyampaikan pelajaran, informan ER sedapat mungkin
memberikan stimulus kepada murid ABK FD, agar dia memberikan
respon. Saat dia mendikte soal, informan Guru ER biasanya menghampiri
murid ABK FD, dan melihat tulisannya, memastikan bahwa murid ABK
FD benar-benar menulis. Saat murid ABK FD berusaha bergurau dengan
teman sebangkunya, informan Guru ER juga langsung menegurnya,
sehingga suasana kelas sangat kondusif.41
Begitu juga dengan informan Guru AR yang mengajar di kelas 8
Madrasah A. Dengan cara mengajarnya yang menarik dan komunikatif,
membuat murid ABK FD terlihat nyaman selama mengikuti pelajaran.
Informan Guru AR memberikan perhatian yang khusus kepada murid
ABK FD dengan sering mendekatinya dan menggunakan bahasa personal
yang dipahami oleh murid ABK.42
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap informan Guru dari empat
madrasah di wilayah Bogor, peneliti mengkontruksi bentuk pengelolaan
40 Hasil pengamatan di kelas 2 Madrasah D pada tanggal 10 November 2017 41 Hasil pengamatan peneliti di kelas 8 Madrasah A pada tanggal 13 November
2017 42 Hasil pengamatan peneliti di kelas 8 Madrasah A pada tanggal 7 November
2017
110
komunikasi mereka menjadi 3 kontruksi, yaitu bentuk aktif, bentuk pasif
dan bentuk normatif. Ada 6 orang yang termasuk dalam kategori bentuk
aktif, 6 orang yang termasuk dalam kategori bentuk pasif, dan 2 orang yang
termasuk dalam kategori bentuk normatif. Berikut tabel 18 yang
menggambarkan kategori tersebut.
NO NAMA INFORMAN KATEGORI
AKTIF
KATEGORI
PASIF
KATEGORI
NORMATIF
1. Informan SRY √
2. Informan AF √
3. Informan BB √
4. Informan SS √
5. Informan ER √
6. Informan AR √
7. Informan HD √
8. Informan FJ √
9. Informan SR √
10. Informan ES √
11. Informan AS √
12. Informan DD √
13. Informan PT √
14. Informan NT √
4.1.5. Bentuk Komunikasi Pendidik dalam Menangani Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) di Madrasah Wilayah Bogor
Komunikasi sebagai ilmu sosial, memiliki banyak bentuk
komunikasi, yaitu komunikasi antar personal, komunikasi interpersonal,
111
komunikasi antar budaya, komunikasi organisasi, komunikasi kelompok,
dan komunikasi massa yang masing-masing memiliki kekhasan dan objek
komunikasi. Bagi seorang pendidik atau guru, saat berada di kelas
cenderung menggunakan komunikasi kelompok, dimana guru sebagai
komunikator menyampaikan pesannya berupa ilmu atau mata pelajaran
kepada murid yang terdiri dari banyak orang, namun memungkinkan juga
jika mereka menggunakan komunikasi antarpribadi pada saat-saat
tertentu, terutama jika sedang berhadapan dengan ABK yang memerlukan
perlakuan dan perhatian khusus.
Komunikasi kelompok menurut Wiryanto (2004:46-47) yaitu
interaksi secara tetap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan
yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan
masalah, yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik
pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat. Seorang guru, sudah tentu
melakukan komunikasi lebih kepada tiga orang anak, bahkan dalam satu
kelas mencapai 30-40 orang anak, sehingga untuk informan guru yang
memberikan pelajaran dalam kelas, bisa dikategorikan sebagai
komunikasi kelompok.43 Pada waktu tertentu guru juga bisa
menyampaikan pesannya secara komunikasi interpersonal kepada Murid,
terutama bagi guru yang memiliki murid ABK, karena ABK harus
mendapatkan perhatian dan pendekatan khusus dari seorang guru agar
mereka tidak merasa disisihkan. Hal ini secara khusus dilakukan bagi
ABK dengan down syndrome yang tidak bisa langsung melakukan apa
yang diperintahkan oleh sang guru. Dalam hal ini, guru harus lebih intens
berkomunikasi dengan ABK, dan memahami kemampuan ABK.
43 Wryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 46-47
112
Dari 4 madrasah di wilayah Bogor yang diteliti, peneliti menemukan
dua bentuk komunikasi guru dalam menangani ABK, yaitu komunikasi
antarpersonal dan komunikasi kelompok. Dan dari 14 orang informan
yang dipilih secara acak, ada 9 orang guru yang melakukan komunikasi
antarpersonal kepada ABK, dan 5 orang menggunakan komunikasi
kelompok, seolah tidak ada perbedaan antara ABK dengan anak lainnya.
Hal ini berdasarkan pengamatan peneliti selama para guru melakukan
kegiatan belajar mengajar di Madrasah. Salah satu contohnya yaitu
informan Guru SR.
Sepanjang pengamatan peneliti selama di lapangan, informan Guru
SR yang mengajar pelajaran SBK di kelas 4 Madrasah C termasuk
kategori informan yang melakukan komunikasi kelompok. SBK
merupakan salah satu mata pelajaran yang disukai anak-anak, tanpa
kecuali ABK di kelas tersebut. Namun, karena kurangnya interaksi
antarpersonal antara pendidik dengan muridnya RH yang ABK, membuat
RH tidak maksimal mengerjakan tugas SBK-nya.44
Begitu juga yang dilakukan oleh informan Guru NT di Madrasah A,
yang saat itu memberikan pelajaran di kelas ABK FD. Saat
menyampaikan pelajaran, informan Guru NT tidak banyak berinteraksi
secara personal dengan ABK FD, melainkan hanya menjelaskan secara
umum kepada murid-murid yang ada di kelas, sehingga menurut peneliti,
informan Guru NT tidak mengetahui dengan pasti apakah ABK FD
memahami penjelasannya atau tidak, karena sepengamatan peneliti, ABK
FD tidak terlalu memperhatikan penjelasan informan Guru NT.45
44 Hasil pengamatan di kelas 4 Madrasah C, pada tanggal 7 November 2017 45 Hasil pengamatan di kelas 8 Madrasah A, pada tanggal 24 Oktober 2017
113
Hal ini juga dilakukan oleh informan Guru ES, yang mengajar di
kelas 8 dengan murid ABK CK. Selama mengajar, informan Guru ES
tidak begitu memperhatikan ABK CK, padahal saat itu ABK CK tidak
mencatat saat teman lainnya mencatat apa yang diperintahkan oleh
informan Guru ES, bahkan informan Guru ES meninggalkan kelas pada
saat anak-anak murid sedang mencatat.46 Begitu juga saat informan Guru
ES berada di kelas 9 yang di dalamnya terdapat murid ABK AY. Tidak
ada perhatian khusus informan Guru ES kepada murid ABK AY walaupun
murid ABK AY tidak mengikuti pelajaran dengan baik.47
Selain itu, ada informan guru lain yang hanya melakukan
komunikasi kelompok di kelas 9 Madrasah yang ada murid ABK AY,
yaitu informan Guru AS. Sebagai seorang guru, informan AS selalu
memberikan pelajaran sesuai bidang studinya, namun dia kurang
memberikan perhatian kepada murid ABK AY, termasuk pada saat murid
ABK AY tidur di kelas, begitu juga ketika murid ABK AY ngobrol
dengan teman sebangku yang cukup berlebihan dan membuat teman
sebelahnya merasa terganggu. Sikap tidak memperhatikan murid ABK
AY ini terbukti juga pada saat dia ditanya oleh informan Guru AS, dengan
jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan.48
Hal tersebut pun dilakukan oleh informan Guru DD yang mengajar
di kelas 5 Madrasah B, yang memiliki murid ABK FL. Tidak ada
komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh informan Guru DD kepada
murid ABK FL. Saat peneliti ikut serta menjadi murid di kelas 5, yaitu
dengan ikut secara langsung duduk bersama para murid, peneliti melihat
cara komunikasi informan Guru DD selayaknya guru pada umumnya,
46 Hasil pengamatan di kelas 8 Madrasah A, pada tanggal 24 Oktober 2017 47 Hasil pengamatan di kelas 9 Madrasah A, pada tanggal 14 November 2017 48 Hasil pengamatan di kelas 9 Madrasah A, pada tanggal 6 November 2017
114
yang menyampaikan pelajaran secara umum, tanpa ada pendekatan secara
khusus kepada murid ABK. 49 Hal ini terjadi beberapa kali saat peneliti
berada di kelas, yang menyebabkan ABK FL juga tidak peduli dengan apa
yang disampaikan gurunya, dan ia bertahan dengan sikap cuek nya.50
Adapun informan guru yang banyak melakukan komunikasi
interpersonal adalah informan Guru SS di Madrasah D kelas 2, dengan
murid ABK-nya SY. Sebagai guru kelas, setiap mengajar informan Guru
SS seringkali memfokuskan dirinya pada anak ABK setelah terlebih
dahulu memberikan penjelasan pada siswa lainnya. Informan Guru SS
mengalokasikan sebagian dari waktunya untuk memberikan perhatian,
bimbingan dan pengajaran pada SY, baik itu saat memberikan tugas,
bercerita tentang cerita rakyat, memberikan contoh untuk menyesuaikan
gambar satu dengan gambar lain dan sebagainya. Hal ini berdasarkan
pengamatan peneliti selama berada di kelas 2 Madrasah D. Seperti biasa
pelajaran informan Guru SS selalu dimulai dengan membaca doa dan
hafalan Juz ‘Amma. Pada saat tidak ada pekerjaan rumah yang
dikumpulkan, informan Guru SS meminta setiap siswa untuk
mengeluarkan buku paket mereka dan memberikan tugas kepada para
siswa untuk menyesuaikan gambar satu dengan gambar lain dengan cara
memberikan garis. Selesai menjelaskan perintahnya, informan Guru SS
langsung mendekati ABK SY dan membimbingnya, dan dia tidak
beranjak dari dekat tempat duduk ABK, sampai ABK SY selesai
menggarisi tugasnya, baru kemudian informan Guru SS pun kembali ke
depan dan meminta seluruh siswa untuk mengumpulkan tugas mereka.
49 Hasil pengamatan di kelas 5 Madrasah B pada tanggal 30 Oktober 2017 50 Hasil pengamatan di kelas 5 Madrasah B pada tanggal 3 November 2017
115
Saat itu ABK SY dengan senang ikut mengumpulkan tugasnya yang telah
rampung.51
Hal ini pun dilakukan oleh informan Guru ER, yang sangat peduli
dengan murid ABK FD di kelas 8 Madrasah A. Informan Guru sangat
paham dengan kondisi dan perilaku ABK FD, yang menurutnya sangat
perlu mendapatkan perhatian karena kekurangannya, sehingga setiap kali
berada di kelas murid ABK FD, dia selalu menghampiri ABK FD, dan
memberikan pertanyaan kepadanya yang berkaitan dengan pelajaran yang
disampaikannya, sehingga murid ABK FD selalu memperhatikan
gurunya, dan mengikuti pelajaran dengan baik dan dia juga jadi aktif untuk
merespon pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh informan Guru ER.52
Selain informan Guru SS, informan Guru PT juga termasuk
informan yang melalukan komunikasi antarpribadi kepada murid ABK
saat mengajar di kelas. Pada saat berada di kelas 4 Madrasah C yang di
dalamnya ada ABK RH, informan Guru PT melakukan hal tersebut.
Sebagaimana pengamatan peneliti pada saat berada di kelas ABK RH.
Pada saat itu, informan Guru PT memberikan latihan soal kepada murid-
muridnya. ABK RH juga mengikuti teman-teman yang lainnya
mengerjakan latihan soal tersebut, tetapi ABK RH tidak seaktif teman-
temannya, walaupun sudah dibantu oleh teman sebangkunya Mawar. Di
saat teman-temannya fokus mengerjakan soal, ABK RH terlihat diam saja
karena tidak mengerti dan tidak berani untuk bertanya ke informan Guru
PT. Saat itu juga informan Guru PT menghampiri ABK RH dan
51 Hasil Pengamatan peneliti di kelas 2 Madrasah A pada tanggal 20 November
2017 52 Hasil pengamatan di kelas 8 Madrasah A pada tanggal 13 November 2017
116
menanyakan pertanyaan mana yang tidak dimengerti olehnya. Setelah itu
informan Guru PT pun mengawasi ABK RH.53
Informan selanjutnya adalah informan Guru AF, yang mengajar di
kelas 8 Madrasah A. Saat menghadapi murid ABK, informan Guru AF
sangat intens memberikan pemahaman kepada murid ABK, dan selalu
mengulangi pelajaran yang disampaikannya, serta meminta murid ABK
untuk mengikutinya, agar dia lebih fokus memperhatikan. Hal itu tampak
pada saat pengulangan materi yang disampaikan dengan teknik menghafal
cepat.54 Walaupun tidak ada metode khusus yang diberikan informan
Guru AF dalam mengajar, namun dia memberikan pendampingan secara
intens kepada murid ABK yang diajarnya, terutama saat mengerjakan
soal-soal yang diberikan. Begitu juga saat ujian, dia juga selalu
mendampingi murid ABK, agar mereka mau mengerjakan dan tidak
mengganggu teman lainnya. Hal inipun seperti yang disampaikan oleh
informan AF kepada peneliti:
“Tidak ada kiat khusus dalam mengajarkan dan memberikan soal
ujian kepada mereka, saya menggunakan metode belajar dan soal
ujian yang sama dengan anak normal pada umumnya, namun saya
memberikan pendampingan yang lebih intens dibandingkan yang
lain, dan saat ujianpun demikian, dalam mengerjakan soal saya
dampingi dan saya tanya dimana letak kesulitannya, karena jika saya
tidak mendampingi, maka mereka tidak mengerjakan dan mereka
lebih asyik ngobrol dengan temannya. Saat ada PR mereka tidak
mengerjakanpun saya memberikan waktu selama 15 menit agar
mereka kerjakan langsung pada hari tersebut dengan tentunya
didampingi, jika tidak didampingi maka mereka tidak akan
mengerjakan PR tersebut, dan PR merekapun semakin hari akan
semakin bertambah banyak jika tidak dikerjakan.55
53 Hasil Pengamatan peneliti di kelas 4 Madrasah C pada tanggal 10 November
2017 54 Hasil pengamatan di kelas 8 Madrasah A pada tanggal 30 Oktober 2017 55 Hasil wawancara dengan informan AF di Madrasah A pada tanggal 20 November
2017
117
Informan lainnya yang melakukan komunikasi antarpribadi adalah
informan Guru HD yang mengajar di kelas 9 Madrasah A, walaupun
hanya sebatas memberikan pertanyaan yang tidak ada kaitannya dengan
pelajaran. Informan guru HD terlihat kesulitan menghadapi murid ABK
AY yang juga terlihat kesulitan memahami pelajaran yang saat itu
disampaikan, sehingga ia terlihat tidak bersemangat dan bahkan tidak
mencatat apa yang guru terangkan dan guru pun tidak menanyakan
kesulitannya, tetapi hanya menegur murid ABK AY untuk mengalihkan
perhatiannya.56
Berikutnya adalah informan Guru BB, yang tidak hanya
memberikan pertanyaan kepada murid secara umum, tetapi memberikan
pertanyaan-pertanyaan kepada ABK FD, untuk memastikan bahwa ABK
FD sudah memahami penjelasannya57, walaupun perlakuan informan
Guru BB ini berbeda ketika berada di kelas 9, yang terdapat murid ABK
AY. Informan Guru BB tidak begitu peduli saat murid ABK AY kurang
memperhatikannya saat menjelaskan pelajaran, bahkan terkadang murid
ABK AY berbicara ngelantur dan tidur,58 namun saat pelajaran informan
Guru FJ, murid ABK AY mendapatkan sedikit perhatian dengan disuruh
membaca, walaupun saat dia tidur, informan Guru FJ membiarkannya59.
Komunikasi antarpribadi kepada murid ABK juga terlihat pada
informan AR, yang mengajar di kelas 8 Madrasah A, yang terdapat murid
ABK FD. Informan Guru AR selalu melibatkan murid ABK FD saat
menjelaskan pelajaran, dengan menyebut namanya, bertanya langsung
kepada murid ABK FD, sehingga murid ABK FD pun aktif bertanya
56 Hasil pengamatan di kelas 9 Madrasah A pada tanggal 13 November 2017 57 Hasil pengamatan di kelas 8 Madrasah A pada tanggal 30 Oktober 2017 58 Hasil pengamatan di kelas 9 Madrasah A pada tanggal 14 November 2017 59 Hasil pengamatan di kelas 9 Madrasah A pada tanggal 6 November 2017
118
kepada gurunya60. Begitu juga sebagaimana yang dilakukan oleh
Informan Guru SRY yang sering mengajak komunikasi murid ABK FZ,
dan mengajarinya khusus secara perlahan di meja guru sampai FZ
mengerti apa yang disampaikan, dan sesekali prioritas pemahaman terkait
mata pelajaran FZ cukup diperhatikan61. Meskipun berdasarkan
pengakuan informan AR, dia tidak menggunakan metode khusus untuk
membekali murid ABK, tapi karena mata pelajaran yang diampunya
merupakan mata pelajaran yang tidak terlalu serius, dan tidak harus
berfikir keras, maka tidak banyak hambatan bagi murid ABK untuk
mempelajarinya. Hal ini pun sebagaimana penuturan informan Guru AR
sebagai berikut:
“Dalam memberikan materi pembelajaran di kelas SBK, saya tidak
pernah memberikan perlakuan dan metode pembelajaran khusus
terhadap AY, CK dan FD. Saat di kelas, saya tetap memperlakukan
sama dengan anak-anak lainnya, di dalam mata pelajaran SBK, baik
AY, CK dan FD selalu memberikan sesuatu yang berbeda, mungkin
karena mata pelajaran SBK adalah mata pelajaran kesenian yang
tidak terlalu serius untuk belajar dan mereka cenderung proaktif
dalam mempelajarinya. Contohnya saja seperti FD, kalu di SBK
anaknya selalu dirindukan saat tidak hadir saja pasti akan dicari,
karena anaknya selalu menghibur dikelas dan dia bisa membuat
suasana yang berbeda saat berkreasi di dunia musik. Intinya, anak-
anak nyaman dalam pelajaran bidang seni, mungkin karena tidak
terlalu berfikir terlalu keras saat belajar, hanya dibutuhkan
keterampilan saja.” 62
Dari hasil pengamatan dan wawancara yang telah penulis jabarkan
tersebut, maka ditemukan bentuk komunikasi guru terhadap Murid
Berkebutuhan Khusus. Berikut table 19 yang menggambarkan bentuk
60 Hasil pengamatan di kelas 8 Madrasah A pada tanggal 7 November 2017 61 Hasil pengamatan di kelas 3 Madrasah B pada tanggal 6 November 2017 62 Hasil Wawancara dengan informan AR pada tanggal 20 November 2017
119
komunikasi yang dilakukan oleh informan guru di 4 madrasah di wilayah
Bogor.
NO NAMA
INFORMAN
KOMUNIKASI
KELOMPOK
KOMUNIKASI
ANTARPRIBADI
1. Informan SRY √
2. Informan AF √
3. Informan BB √
4. Informan SS √
5. Informan ER √
6. Informan AR √
7. Informan HD √
8. Informan FJ √
9. Informan SR √
10. Informan ES √
11. Informan AS √
12. Informan DD √
13. Informan PT √
14. Informan NT √
Sumber: diolah dari hasil penelitian
4.2. PEMBAHASAN
Dalam komunikasi, tidak terlepas dengan adanya persepsi atau
dugaan. Persepsi merupakan proses yang kompleks dimana orang
memilih, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan respon terhadap
suatu rangsangan kedalam situasi masyarakat dunia yang penuh arti dan
logis (Berelson dan Steiner, 1964:88)
120
Persepsi biasanya muncul setelah adanya sensasi, yang dapat berupa
pesan, gambar, bentuk atau wujud seseorang. Saat kita melihat seseorang,
biasanya kita akan langsung menerka sosok yang ada di hadapan kita.
Akan banyak dugaan kita terhadap satu orang, misalnya kita akan
menduga dari mana asal orang tersebut, bagaimana karakter orang
tersebut, bagaimana cara dia berkomunikasi, seperti apa cara dia menyapa,
dan lain sebagainya. Semua persepsi itu sangat bersifat pribadi, tergantung
dari sudut mana kita melihatnya, dan persepsi antara satu orang dengan
orang lain bisa jadi berbeda.
Begitu juga halnya dengan seorang guru yang memiliki banyak
murid. Tentunya mereka akan memiliki persepsi terhadap murid-murid
tersebut, setelah melihat karakter murid, keseharian murid selama di
madrasah, dan berinteraksi dengan murid. Dalam penelitian ini penulis
tidak melihat persepsi guru terhadap semua murid, hanya khusus untuk
murid berkebutuhan khusus, karena menurut penulis, dengan persepsi itu,
dapat diketahui apakah seorang guru memahami karakter muridnya dan
akan terwajantahkan dalam proses mengajarnya saat menghadapi ABK.
Ternyata hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua guru
mengetahui dengan pasti bahwa ABK yang ada di madrasah mereka
merupakan anak berkebutuhan khusus, yang harus mendapatkan
perlakuan khusus dan perhatian intens. Ini terlihat dari beberapa persepsi
yang mengatakan bahwa ABK adalah anak yang kurang perhatian, anak
yang “broken home”, anak yang berbeda, anak yang harus mendapatkan
perhatian khusus, anak yang jahil, anak yang kesulitan belajar, anak yang
pendiam, anak yang jahil.
Dari pengamatan diatas peneliti dapat melihat bahwa pemahaman
guru kelas terhadap anak berkebutuhan khusus sangat minim hal ini terlihat
121
dari cara guru saat mengajar dan memberikan pendampingan yang kurang
maksimal terhadap anak berkebutuhan khusus, guru cenderung
memberikan metode belajar yang sama saat mengajar baik pada anak
normal maupun pada anak yang berkebutuhan khusus. Karena minimnya
pengetahuan terhadap anak berkebutuhan khusus tersebut, maka guru
berpandangan bahwa anak berkebutuhan khusus dalam belajar memiliki
cara belajar yang sama, dan memiliki pola tingkah laku sama dengan anak-
anak normal pada umumnya saat memperhatikan guru yang menerangkan
pelajaran di kelas dan berinteraksi dengan teman-temannya di kelas atau di
lingkungan sekolah.
Persepsi antara guru terhadap muridnya bisa saja berbeda, namun
dalam memberikan pengajaran dan metode mengajar yang disampaikan
pada anak berkebutuhan khusus perlu dibedakan. Guru kelas pada dasarnya
mengetahui tentang bagaimana sebaiknya mendidik anak berkebutuhan
khusus saat belajar dikelas, namun karena minimnya guru dan pendidikan
pelatihan guru terkait cara guru mengajar anak berkebutuhan khusus, maka
mau tidak mau dilakukan pola dan cara belajar mengajar yang sama
terhadap anak berkebutuhan khusus dengan anak yang normal.
Seperti apa yang dikatakan oleh Bapak Naman selaku kepala sekolah
MI Nurul Athfal Kemang, yang menyatakan bahwa anak berkebutuhan
khusus di madrasah terpaksa diberikan metode pengajaran yang sama
dengan cara mengajar pada anak-anak yang normal dikarenakan adanya
keterbatasan fasilitas, pelayanan anak berkebutuhan khusus, dan
keterbatasan tenaga guru yang mengajar di MI Nurul Athfal, serta
minimnya bahkan hampir tidak ada sosialisasi, publikasi, pelatihan khusus
bagi guru terkait bagaimana mengajar dan menangani anak yang
berkebutuhan khusus di madrasah.
122
Ironisnya madrasah menerima anak berkebutuhan khusus atas dasar
kasihan bukan atas dasar hak anak untuk sekolah dan kewajiban madrasah
memberikan pendidikan, dengan tidak memandang pada kondisi anak
didik. Seperti yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang
menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan
pengajaran”. Hal ini juga sebagaimana yang diungkapkan oleh salah 1
informan berikut:
“Kami dalam mengajar anak berkebutuhan khusus, tidak memiliki
cara yang khusus dalam mengajar atau pendampingan, karena kami
masih minim guru dan belum adanya pelatihan yang fokus dalam hal
mengajari anak berkebutuhan khusus dan mendampingi, bahkan
kami terpaksa menerima mereka karena atas dasar kasian sebab anak
tersebut tidak diterima di sekolah lain yang ada di wilayah kemang
ini.”63
Seharusnya kurangnya fasilitas dan pelayanan ABK, kendala dari sisi
tenaga guru, serta masih minimnya publikasi dan sosialisasi tentang
bagaimana mendidik ABK di madrasah bukan sebagai suatu halangan
untuk tidak menerima ABK belajar di madrasah, namun menjadi salah satu
bentuk solidaritas dalam mewujudkan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus di madrasah.
Karena ABK berbeda dengan anak lainnya, maka pendidikan dan
pengajaran juga disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Itu sebabnya
diperlukan pendidikan khusus bagi guru madrasah dalam mendidik
mereka. Menurut Jamila (2008:10), guru madrasah mampu memahami
tentang beberapa bidang yang perlu diperhatikan dalam kurikulum khusus
tersebut, antara lain:
63 Wawancara dengan Kepala Madrasah MI Nurul Athfal, pada tanggal 26
September 2017
123
1. Perkembangan motorik,
2. Kemampuan untuk mengurus diri sendiri,
3. Pendidikan sensori dan persepsi,
4. Pendidikan emosi dan tingkah laku sosial,
5. Pengelolaan mobilitas,
6. Kemampuan dalam mengurus diri sendiri dan keterampilan
dalam bidang tertentu.
Dalam proses komunikasi, pesan merupakan komponen penting.
Apa yang dikomunikasikan itu merupakan salah satu komponen pokok
komunikasi manusia. Begitu juga halnya dengan pesan dalam komunikasi
pendidikan, terutama bagi madrasah yang memiliki anak berkebutuhan
khusus. Apa yang dikomunikasikan merupakan komponen penting
komunikasi pendidikan selain bagaimana mengkomunikasikannya.
Dalam proses komunikasi pendidikan ABK, selain penyampaian materi
pembelajaran juga penting untuk dikomunikasikan diantaranya: (1)
ekspektasi positif, dimana menurut penelitian Kerman, Kimbal dan Martin
(dalam Boynton & Boynton, 2005: 78) menunjukkan ekspektasi positif
guru berdampak besar terhadap prestasi siswa. Ekpektasi positif guru
terhadap siswanya membawa guru pada perilaku dan sikap yang
menunjang pencapaian tujuan pembelajaran. Ekspektasi positif ini pun
menjadi dasar bagi guru dalam memilih dan menentukan materi dan
strategi pembelajaran. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk terus
mengomunikasikan ekspektasi yang tinggi atas perilaku dan kemampuan
akademik siswanya. (2) Tujuan dan hasil belajar, merupakan jantung
proses pembelajaran. Tujuan memberi arah tentang apa yang akan
dipelajari. Tujuan pun menjadi fondasi perencanaan pembelajaran,
mendasari penetapan kriteria pencapaian belajar siswa, dan membuat
124
pembelajaran menjadi lebih terfokus sehingga siswa memahami apa yang
dituju dan memahami apa yang diharapkan (Iriantara: 80). Tujuan
pembelajaran menyebutkan apa yang akan dikuasai, dipahami, atau
mampu dilakukan siswa setelah pembelajaran selesai. Tujuan
pembelajaran menyebutkan dua hal: yaitu pengetahuan dan keterampilan
apa yang akan diperoleh, dan metode belajar apa serta kriteria pencapaian
seperti apa yang dibutuhkan untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan tersebut. (3) Umpan balik dan Evaluasi, yang merupakan
komponen paling utama dalam pendidikan yang bertujuan untuk
memperbaiki atau mengetahui keberhasilan komunikasi yang kita lakukan
dalam proses pembelajaran (Iriantara: 80). Umpan balik merupakan
bagian penting karena dalam umpan balik ada informasi tentang kinerja
dalam mencapai tujuan. Dalam proses pembelajaran, umpan balik
ditujukan untuk memberi informasi pada siswa tentang kinerja mereka
pada satu bidang pembelajaran tertentu yang sedang dijalankan.
Sehingga untuk melakukan hal tersebut, seorang guru penting untuk
mengelola pesannya secara aktif, agar ABK dapat dengan mudah
menerima pesan berupa materi pelajaran yang diterimanya, dan agar ABK
dapat memahami pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh gurunya,
walau dengan keterbatasan mereka. Pengelolaan pesan bisa dilakukan
dengan komunikasi banyak arah, tidak dengan hanya satu arah, karena
pada dasarnya saat seorang guru menyampaikan pembelajaran kepada
siswa, itu bukan sekadar menyampaikan pikiran-pikiran mereka saja,
tetapi juga menyampaikan maksud dan memberikan pendidikan kepada
siswa.
Pengelolaan pesan erat kaitannya dengan pengelolaan komunikasi,
yang oleh Michael Kaye disebut dengan istilah “Communication
125
Management” atau Manajemen Komunikasi. Communication
management is how people manage their communication processes
through constructing meanings about their relationships with others in
various setting. They are managing their communication and actions in a
large of relationship (Kaye, 1994:8). Dari pengertian tersebut, Kaye
menegaskan bahwa manajemen komunikasi adalah cara individu atau
manusia mengelola proses komunikasi melalui penyusunan kerangka
makna dalam berbagai lingkup komunikasi, dengan mengoptimalisasi
sumber daya komunikasi dan teknologi yang ada, dimana manajemen
komunikasi sebagai proses penggunaan berbagai sumber daya komunikasi
secara terpadu melalui proses perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengontrolan unsur-unsur komunikasi untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen komunikasi sebagai
pengaplikasian penggunaan sumber daya manusia dan teknologi secara
optimal untuk meningkatkan dialog di antara manusia.
Dari pengertian tersebut, dapat kita pahami bahwa seorang
komunikator, dalam hal ini seorang guru, seyogyanya dapat mengatur
komunikasi mereka dengan cara membangun pemahaman terhadap lawan
bicaranya, yaitu siswa dengan berbagai cara atau strategi, yang strategi
tersebut dapat membuat hubungan yang baik antara guru dan siswa,
terutama siswa ABK, agar dapat merasa nyaman dan selanjutnya akan
tercipta hubungan yang harmonis antara keduanya.
Untuk menyampaikan pesan secara lebih terarah, dan agar mudah
diterima oleh siswa ABK, seorang guru tidak cukup dengan hanya
melakukan komunikasi kelompok, sebagaimana lazimnya yang dilakukan
oleh guru kepada anak-anak muridnya, tetapi perlu melakukan
komunikasi antar pribadi, yaitu komunikasi antara guru dengan siswa
126
ABK. Komunikasi antarpersonal (interpersonal communication) atau
disebut juga dengan komunikasi antar pribadi adalah penyampaian pesan
oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok
kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk
memberikan umpan balik segera (Devito, 1996:231)
Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh Devito tersebut,
percakapan yang berlangsung antara guru dan murid dapat dimasukkan
dalam bentuk komunikasi antar pribadi. Pentingnya komunikasi antar
pribadi ialah karena prosesnya memungkinkan berlangsung secara
dialogis. Komunikasi yang berlangsung secara dialogis selalu lebih baik
daripada secara monologis (Effendy, 2003: 60). Hal inilah yang dibutuhkan
oleh murid ABK. Adanya dialog akan menunjukkan terjadinya interaksi.
Oleh karenanya, komunikasi antar pribadi merupakan bentuk komunikasi
yang paling ampuh dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan
perilaku komunikan. Ini disebabkan oleh karena umumnya komunikasi
antar pribadi berlangsung secara tatap muka, terjadinya kontak pribadi, dan
dapat langsung melihat feed back dari lawan bicara, baik melalui ucapan
(verbal) ataupun ekspresi wajah dan gaya bicara (non verbal).
Dalam hal ini, komunikasi antar personal antara guru dan siswa
merupakan proses penyampaian pesan berupa mata pelajaran, metode
pembelajaran, materi pembelajaran, dan sikap pendidik (guru) terhadap
siswa, khususnya ABK engan menggunakan media pembelajaran dan
metode pembelajaran yang dapat dipahami oleh siswa. Pentingnya
komunikasi bukan hanya dalam penyampaian materi pengajaran,
melainkan juga dalam menjaga komunikasi antara siswa dan guru. Dalam
penyampaian materi pendidikan setiap harinya, baik sebelum memulai
pengajaran, saat berlangsung pengajaran dan mengakhiri pengajaran, guru
127
harus memiliki cara atau metode yang dapat membuat siswa memahami
pengajaran dan senang dalam belajar.
Efektivitas pembelajaran sedikit banyak bergantung pada efektivitas
komunikasi. Karena itu efektivitas seorang guru dalam pembelajaran
bergantung pada seberapa efektif komunikasinya dengan siswa di dalam
atau diluar kelas. Komunikasi efektif memainkan peran penting dalam
keberhasilan pembelajaran pada semua jenjang pendidikan.
Membelajarkan bukan semata proses transfer pengetahuan, melainkan
juga proses komunikasi dua arah antara guru dan siswa. Guru profesional
mampu berkomunikasi secara efektif dengan siswa, khususnya siswa
berkebutuhan khusus.
Dalam pengamatan kami interaksi guru dan siswa di kelas terlihat
kurang efektif, guru cenderung lebih memberikan materi pengajaran, tidak
fokus pada keadaan peserta didik. Interaksi guru dan siswa di kelas adalah
komunikasi pembalajaran (instructional communication). Membelajarkan
berarti membangun komunikasi efektif dengan siswa. Oleh karena itu,
penting untuk diketahui oleh para guru, bahwa guru yang baik adalah guru
yang memahami bahwa komunikasi dan pembelajaran adalah dua hal
yang saling bergantung lebih memenntingkan apa yang siswa sudah
dipelajari daripada apa yang sudah diajarkannya, dan yang terus menerus
memilih dan menentukan apa yang harus dikomunikasikan dan bagaimana
cara yang mengkomunikasikannya (Wrench, and J. Gorhan. 2009:74).
Intinya guru yang baik adalah komunikator yang baik dan guru yang
efektif adalah komunikator yang efektif .
Komunikasi pembelajaran sendiri dirumuskan Richmond (Wrench,
and J. Gorhan. 2009:1) sebagai proses dimana guru membangun relasi
komunikasi yang efektif dengan siswa, sehingga siswa berkesempatan
128
meraih keberhasilan yang maksimal dalam proses pembelajaran. Tujuan
membangun komunikasi yang efektif adalah mewujudkan kegiatan
pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa mencapai tujuan
pembelajaran. Komunikasi yang efektif artinya guru dan siswa sama-sama
memahami apa yang dikomunikasikan dan bagaimana cara
mengkomunikasikannya. Selain itu, guru dan siswa saling memahami
sejauh mana kinerjanya dalam pembelajaran, sedangkan komunikasi yang
efektif bertujuan membangun keadaan saling memahami perasaan antara
guru dan siswa terhadap proses komunikasi dan apa yang sedang
dibelajarkan. Efektivitas komunikasi sangat mempengaruhi pilihan
tindakan yang dilakukan guru saat mengajar, dan tindakan itulah yang
berpengaruh pada pencapaian tujuan pembelajaran.
Komunikasi pembelajaran itu bisa dibayangkan sebagai sebuah
siklus yang dimulai ketika guru memilih apa yang akan dibelajarkan pada
siswa. Selanjutnya, guru akan menentukan cara yang paling sesuai dan
tepat untuk membelajarkannya, dan siklus itu diakhiri dengan memeriksa
sejauh mana tujuan pembelajran tercapai. Dalam siklus komunikasi
pembelajaran tersebut terdapat komponen guru, siswa, isi pembelajaran,
strategi mengajar, evaluasi dan umpan baalik, dan lingkungan belajar.
Dalam komunikasi pembelajaran, guru memainkan peranannya
sebagai pengatur dan pengarah alur aktivitas didalam kelas. Selain itu
harus membekali diri dengan pengetahuan yang memadai tentang isi
pembelajaran yang akan disampaikan pada siswa dengan didukung
metode pembelajaran seperti apa yang akan digunakan dan disampaikan
secara efektif pada siswa. Kemampuan guru terhadap hal tersebut
sangatlah penting dalam proses kegiatan belajar mengajar, karena
129
memiliki pengaruh secara langsung terhadap kualitas peserta didik
tentang materi yang disampaikan oleh guru.
Guru harus menyadari bahwa siswa yang hadir dikelas adalah siswa
dengan keragaman latar belakang. Siswa-siswa yang ada didalam kelas
adalah anak-anak yang memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang
belajar, tujuan belajar, minat dan bakat belajar, kondisi sosio-ekonomi,
keluarga, serta karakteristik siswa dalam belajar. Setiap siswa memiliki
gaya dan cara belajar yang berbeda-beda. Ada siswa yang memiliki gaya
belajar visual, dimana siswa lebih dominan menggunakan indra
penglihatan dalam belajar, baik informasi berupa gambar (picture learner)
atau berupa tulisam (print learner). Siswa dengan gaya belajar auditorial
dominan menggunakan indra pendengaran, yaitu berupa bunyi, suara,
musik atau pembicaraan lisan. Gaya Belajar Kinestetikal lebih dominan
belajar dengan praktik langsung, atau melalui pergerakan atau kekuatan
perasaan (Windura, 2008:23). Ada siswa yang hebat pada satu mata
pelajaran, tapi lemah pada mata pelajaran lain. Siswa yang di kelas pun
sudah memiliki pengalaman belajar dan pengalaman tersebut membentuk
persepsinya atas mata pelajaran. Semua faktor tersebut akan berpengaruh
pada bagaimana siswa membentuk sikap dalam berkomunikasi.
Penentuan strategi pembelajaran yang tepat harus ditentukan oleh
guru, setelah menyusun materi pembelajaran tersebut berisi kegiatan
tertentu dalam interaksi komunikasi pembelajaran di kelas. Strategi ini
menetapkan peran guru dan siswa serta apa yang akan mereka lakukan
selama proses pembelajaran. Dalam strategi ini ditetapkan langkah-
langkah proses pembelajaran dari awal hingga akhir.
Umpan balik dan evaluasi merupakan bagian penting siklus
komunikasi pembelajaran. Ada tiga fungsi utama umpan balik dan
130
evaluasi bagi guru. Pertama, membantu guru mengetahui ketepatan materi
dan strategi yang digunakan; kedua, membantu siswa menentukan
kesesuaian interpretasi dan pemahamannya atas apa yang
dikomunikasikan guru; ketiga, meningkatkan saling pengertian antara
guru dan siswa.
Menurut Pridani dan Lestari (2009:62-63), dengan menerima ABK,
implikasi yang perlu dilakukan oleh pihak madrasah terutama dalam
memberikan pembelajaran adalah:
1. Guru mengobservasi tingkat kemampuan anak dalam berbagai area.
2. Guru memahami kelebihan dan kekurangan anak dalam proses
berpikir.
3. Guru memahami gaya belajar anak dan tidak berasumsi awal bahwa
anak telah paham komunikasi.
4. Guru mengajarkan keterampilan di berbagai setting atau area dan
dengan orang yang berbeda karena keterbatasan anak dalam
memahami berbagai hal atau generalisasi.
5. Guru menggunakan media visual dan konkret, bukan hanya kata
atau bahasa tubuh.
6. Guru tidak menggunakan kalimat panjang dalam instruksi, dan
memberi waktu lebih untuk anak.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka menjadi sebuah keniscayaan
apabila ada lembaga pendidikan, dalam hal ini madrasah yang menerima
ABK, tetapi tidak memiliki guru yang paham dengan kondisi ABK. Hal
ini akan menyulitkan guru itu sendiri, lebih-lebih kepada ABK-nya. Oleh
karena itu, sebagai pendidik, guru juga hendaknya dapat memahami
kondisi dan kekurangan ABK yang ada di madrasah, sehingga dapat
menentukan bentuk komunikasi apa yang harus mereka gunakan, metode
131
pembelajaran yang bagaimana yang harus mereka lakukan, dan pendekatan
seperti apa yang meski mereka lakukan terhadap ABK, agar proses
pembelajaran dapat mencapai sasaran dan tujuan pembelajaran.
132
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah penulis paparkan dalam bab-
bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Ada 10 persepsi informan terhadap anak berkebutuhan khusus,
yaitu : Anak yang butuh perhatian, Anak yang jahil, Anak yang
pendiam, Anak yang berbeda, Anak yang kurang kemampuan,
Anak yang aktif, Anak yang Iseng, Anak yang penyerang, Anak
yang kurang Motivasi, Anak yang perasa.
2. Terdapat tiga bentuk pengelolaan komunikasi yang dilakukan
oleh informan dalam penelitian ini, yaitu pengelolaan komunikasi
aktif yang dilakukan oleh enam orang informan, yaitu informan
SRY, informan AF, informan BB, informan SS, informan ER,
dan informan AR, pengelolaan komunikasi pasif yang dilakukan
oleh enam orang informan, yaitu informan HD, informan FJ,
informan SR, informan ES, informan AS, informan DD, dan
pengelolaan komunikasi normatif yang dilakukan oleh dua orang
informan, yaitu informan PT dan informan NT.
3. Bentuk komunikasi yang dilakukan oleh informan dari 4
madrasah di wilayah Bogor yang diteliti, ada dua bentuk
komunikasi guru dalam menangani Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK), yaitu komunikasi antarpersonal dan komunikasi
kelompok. Dan dari 14 orang informan yang dipilih secara acak,
ada 9 orang guru yang melakukan komunikasi antarpersonal
kepada ABK, yaitu informan SRY, informan AF, informan BB,
informan SS, informan ER, informan AR, informan HD,
133
informan FJ, dan informan PT, dan 5 orang menggunakan
komunikasi kelompok, yaitu informan SR, informan ES,
informan AS, informan DD, informan NT.
5.2. Saran
Dari pengalaman peneliti selama di lapangan, masih banyak hal yang
perlu digali tentang komunikasi guru dengan anak disabilitas, dan sangat
dibutuhkan perhatian dari berbagai pihak, terutama pihak pemerintah,
khususnya Kementerian Agama yang menaungi lembaga pendidikan
Madrasah. Berikut beberapa saran yang menurut peneliti perlu mendapat
perhatian:
1. Perlu adanya pelatihan guru tentang cara menghadapi anak
disabilitas di madrasah.
2. Perlu adanya bantuan sarana dan prasarana bagi madrasah yang
memiliki anak disabilitas.
3. Perlu menyiapkan Guru Pendamping (shadow teacher) bagi
madrasah yang memiliki anak disabilitas.
4. Perlu adanya komunikasi intens antara guru dengan orang tua
yang memiliki anak disabilitas.
5. Perlu adanya penelitian lanjutan di beberapa madrasah lain yang
memiliki anak disabilitas untuk menjadi pembanding.
134
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Zainal Yusuf, 2015. Manajemen Komunikasi, Filsofi, Konsep, dan
Aplikasi. Bandung: Pustaka Setia
Al-Imam Jalaluddin ’Abdurrahman bin Abi Bakrin as-Suyuti. 2006. Al-
Jami’us-sagir. Beirut: Darul Fikri. Jilid
Alwasilah, A. Chaedar. 2003. Pokoknya Kualitatif (Dasar-Dasar
Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif). Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya
Arifin, Anwar. 1982. Ilmu Komunikasi, Bandung: Rajawali Pers
Arifin, M. 1978. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Islam di
Lingkungan Sekolah dan Keluarga. Jakarta: Bulan Bintang
Bannett, B. M., D. D. Hoffman, and C. Prakash. 1989. Observer Mechanic:
A Formal Theory of Perception. San Diego, Calif : Academic Press
Barelson, B., and G.A. Steiner, 1964. Human Behavior: An Inventory of
Scientific Findings. New York: Harcourt, Brace & World
Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design:
Choosing Among Five Traditions. California: Sage Publication
------. 1994. Research Design, Quantitative & Qualitative Approaches
(Terjemahan KIK-UI dan Nur Khatibah). Jakarta: KIK Press
Davis, F.. 1972. Illness dan Interaction. USA: Wadsworth Publishing
Company.
Hadi, Abdul, et.al. 2009. Potret Children With Special Needs (Anak
Berkebutuhan Khusus) di Kota Palembang. Palembang: PSG IAIN
RF
Hasibuan, Malayu. 1993. Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah.
Jakarta: Hajimas Agung
135
Iriantara, Yosal dan Usep Syarifudin. 2013. Komunikasi Pendidikan.
Anggota IKAPI. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cetakan Pertama
Jamila K.A. Muhammad. 2008. Special Education for Children: Panduan
Pendidikan Khusus Anak-anak dengan Ketunaan dan Learning
Disabilities. Jakarta: Hikmah
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005
Kayo, K. P. 2007. Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional Menuju
Dakwah Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika Offset
Khoirun Nida Fatma. 2013. Komunikasi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus,
(Jawa Tengah: Jurnal KPI STAIN Kudus, Volume 1, Nomor 2, ISSN;
2338-8544, Juli-Desember
Lahlry, S. A. 1991. Blueprint For Perception Training, (Journal of
Training and Development
Lasswell, Harold. 1948. The Structure and Fungction of Communication in
Society, In the Communication of Ideas, edited by L. Bryson. New
York: Institute for Religious and Social Studies
Lee, Oey Liang. 2010. Pengantar Manajemen. Jakarta: Salemba Empat
Marimba, Ahmad D. 1987. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung: PT. Ma’rif. Cet. Ke-7
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Muhammad Arni. 2007. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara
Muhammad Athiyah al-Abrasyi. 2000. Al-Tarbiyah al-Islamiyat. Mesir:
Dar al-Fikr
Mulyana, Deddy. 2001. Nuansa-Nuansa Komunikasi. Bandung. Remaja
Rosdakarya.
Nasution. S. 1991. Metode Research : Penelitian Ilmiah. Bandung:
Jemmars
136
Purnama Dian. 2010. Cermat Memilih Sekolah yang Tepat, Jakarta: Gagas
Media
Raco, J.R ME. 2000. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakter dan
keunggulannya, Pengantar Prof. Dr. Conny R. Semiawan, Jakarta:
Gramedia Widia Sarana Indonesia Kompas Gramedia Building
Raff. U. 1997. Visual Data Formatting. In W.R Hendee and P.N.T. Wells,
eds., The Perception of Visual Informatiom. New York : Springer-
Verlag
Scott, L.M. 1994. Image in Advertising: The Need for a Theory of Visual
Information, New York: Springer-Verlag
Suprapto Tommy. 2009. Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi.
Yogyakarta: Cet 1, Media Pressindo
Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-
Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Susanto Ahmad. 2015. Bimbingan dan Konseling di Taman Kanak-kanak.
Jakarta: Prenada Media
Sutisna, Oteng. 1983. Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis Untuk
Praktek Profesional, Bandung: Angkasa. Cet. 1
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan, Bagian 1, Cet. Ke 2. Bandung: PT. Imperial Bhakti
Utama
Toch, H., and M.S. MacLean, Jr. 1962. Perception, Communication, and
Educational Reasearch: a Transactional View. Audio Visual
Communication Research I. Journal of Communication
Tommy Suprapto. 2009. Pengantar Teori & Manajemen Komunikasi, Cet.
1. Yogyakarta: Media Pressindo
Wahyudi, JB. 2010. Dasar-Dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
137
Werner J. Severin, James W. Tankard, Jr.. 2005. Teori Komunikasi
Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta:
Prenadamedia Group
Widjaya. 2000. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta: Rineka Cipt
Zakiah Darajat. 1992. Ilmu Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Bumi
Aksara
Sumber Lainnya:
Adriana Soekandar Ginanjar. 2007. Memahami Spektrum Autistik Secara
Holistik. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sekaringsih, Dyah. Peran Pelatihan “Fungsi Ibu dalam Latihan Metode
ABA (Applied Behavior Analysis” terhadap self-Efficacy Ibu dengan
Anak Penyandang Autisme. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana
UNPAD. 2008
Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003
138
DAFTAR INDEKS
A
Abdul Hadi, 10
Adelbert Ames, Jr, 53
Adriana Soekandar Ginanjar, 11, 152
afektif, 26, 97
agama, 5, 11, 68, 69, 76, 81, 85, 104
Alaska, 2
Albert Hastorf, 53
Al-Imam Jalaluddin’Abdurrahman bin Abi Bakrin as-Suyuti, 31
Allah, 3, 76, 81
Al-Wasilah, 16, 17
Anak Berkebutuhan Khusus, 4, 5, 6,7,8, 13, 40, 41, 42, 43, 44,
91, 93, 94, 97, 105, 108, 133, 134, 135, 136, 146
Anak penyandang disabilitas, 5
Ann Elleson, 64
Anne Sullivan, 3
Arifin, 22, 32, 149
Arni, 23, 151
Ashadi, 3
Asperger, 45, 94
Asperger Disorder, 45
Atkinson, 55
attention deficit disorder, 41
Attention deficit disorder with hyperactive, 47
Audible, 66
audience, 4
audiovisual, 39, 40
autis, 6, 10, 11
autism, 41, 45, 46
Autism Spectrum Disorder, 42
139
B
Bagby, 54, 55
Bennet, 51
Berelson, 51, 132
biologis, 11
Bogor, 7, 8, 20, 68, 70, 71, 74, 75, 79, 83, 84, 87, 88, 89, 90, 91,
92, 97, 108, 120, 121, 123, 131, 146
Boynton, 136
brain injury, 45
Brent D. Rubben, 23
Buchari Zainun, 59
C
cacat, 3, 5, 9, 41, 44, 94
Carld I. Hovland, 22
Cautril, 56
Cerebral Palsy, 45
cerebral parsy, 41
channel, 4
Clarity, 66
confirmability, 19
convergence communication models, 35
core business, 38
credibility, 19
Creswell, 11, 149
cum laude, 3
D
D. Lawrence Kincaid, 22
Dale, 39, 65
Darajat, 31, 152
Dartmouth, 57
Davis, 9, 149
decoding, 50
Deklarasi Bandung, 42
140
Deklarasi Jenewa, 5
dependability, 19
destination, 39
Devito, 139, 140
Dick Kazmaien, 57
difusi, 34, 35
disabilitas, 147, 148
disgrafia, 41, 48
diskalkulia, 41, 48
disleksia, 48, 96
dislesia, 41
dokumen internal, 17
down syndrome, 6, 41, 45, 122
Dr. John Longdon Down, 45
Dyah Sekaringsih, 10
E
edge detection, 52
Education for All, 6
Edward Engels, 53
Effendy, 140
Ely, 39
Empathy, 66
encoding, 24
F
Fadhli, 42
fenomenologis, 11
fisik, 4, 29, 37, 41, 42, 48, 49, 97
Forsdale, 23
Franklin P. Kilpatrick, 53
Fred Davis, 9
G
gejala sentral, 12
141
Gifted, 45
Guba, 15, 17
Guru, 7, 8, 13, 14, 15, 33, 73, 74, 78, 79, 82, 83, 86, 87, 88, 89,
90, 97, 98, 100, 102, 104, 105, 107, 108, 110, 111, 112, 113,
114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 122, 123, 124, 125, 126,
127, 129, 130, 131, 133, 134, 136, 138, 139, 140, 141, 142,
143, 144, 145, 146, 147
H
Hadley Cantril, 53
Hadyana Pujaatmaka, 61
Hambatan Komunikasi, 22
Handoko, 63
Hans Toch, 53
Hasibuan, 59, 150
Hastorf, 56
Hellen, 2, 3
Hellen Keller, 3
hikmah, 3
hiperaktif, 41, 47
hipotesis, 12, 20
Hoffman, 51, 149
holistik, 11, 12
How To Win Friends and Influence People, 65
Humble, 67
I
ilmu sosial, 121
indepth interview, 16
inferensi, 49, 51
informan, 12, 13, 14, 19, 39, 86, 87, 90, 91, 98, 99, 100, 101,
102, 103, 104, 105, 106, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114,
115, 116, 117, 118, 119, 120, 122, 123, 124, 125, 126, 127,
128, 129, 131, 135, 146
input, 2
142
intelegensi, 45, 47
Iriantara, 1, 37, 137, 150
J
J. Gorhan, 141, 142
Jamila, 41, 136, 150
Jamila K. A. Muhammad, 41
K
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 16, 150
Kauffaman & Hallahan, 43
Kaye, 59, 108, 138
Kayo, 59, 150
Keller, 2, 3
Kementerian Agama, 7, 70, 147
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, 10
Kerman, 136
ketekunan pengamatan, 19
keterbatasan, 4, 58, 134, 138, 145
KHA, 5
Khoirun Nida, 6, 150
Kinestetikal, 143
kognitif, 26, 49, 51, 97
Komite Sekolah, 72, 80
Kompasiana, 5
komunikan, 4, 22, 23, 27, 64, 65, 140
Komunikasi, 1, 2, 4, 6, 7, 21, 22, 23, 27, 28, 33, 34, 35, 39, 48,
49, 58, 60, 61, 62, 63, 108, 121, 122, 129, 138, 139, 140, 141,
142, 149, 150, 151, 152
komunikasi antar personal, 121, 140
komunikasi interpersonal, 121, 122, 125
komunikasi kelompok, 121, 122, 123, 124, 139, 147
komunikasi massa, 121
komunikasi organisasi, 38, 121
143
komunikasi pendidikan, 1, 8, 9, 136
komunikator, 4, 22, 23, 27, 50, 62, 64, 65, 108, 122, 139, 141
komunisme, 28
komunitas, 4
Konvensi Hak Anak, 5
Konvensi Hak Anak (KHA), 5
kurikulum, 43, 68, 69, 97, 136
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), 69
L
Lahlry, 49, 150
Laswell, 34, 39
Lawrence Kincaid, 35
Lestari, 144
Lincoln, 15, 17
Lofland, 14
M
machine, 39
MacLean, 52, 152
Madrasah, 7, 8, 9, 15, 21, 68, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 78, 79,
80, 81, 82, 83, 84, 97, 99, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110,
111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 123,
124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 135, 147
madrasah inklusi, 7, 8, 9, 70
manajemen komunikasi, 58, 59, 60, 61, 108, 138
Marimba, 32, 150
Martin, 136
Maslow, 65
masyarakat, 1, 3, 5, 10, 17, 23, 34, 36, 40, 42, 50, 51, 84, 85,
132
materials, 39
Mathematical Theoy of Communication, 39
McCelland, 55
media instrumentation, 38
144
media massa, 1, 21, 49
Menag, 68
Mendagri, 68
Mendikbud, 68
message, 38, 39
Metode ABA (Applied Behavior Analysis), 10
metode kualitatif, 11
MI Al Fitriyah, 13, 70, 87, 88, 91, 97
MI Darul Mustaqiem, 13, 20
MI Nurul Athfal, 13, 20, 70, 87, 91, 93, 94, 97, 134, 135
missed communication, 60
Moleong, 14, 15, 16, 17, 19, 150
monocular distorted room, 53
MTs Darul Mustaqiem, 13, 84
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, 32, 151
Mulyana, 13, 151
N
nara sumber, 16
Nasution, 15, 151
neugologis, 47
neurologis, 11, 42, 92
noise, 27, 39
Non Diskriminasi, 5
O
Objek penelitian, 14
observasi, 14, 15, 16, 18
Oey Liang Lee, 59
output, 2, 29
P
pancaindra, 3
partisipan, 12, 34, 53
145
Pendidikan, 7, 9, 30, 32, 33, 35, 38, 39, 40, 42, 43, 68, 69, 136,
149, 150, 151, 152
pendidikan inklusi, 6
Pendidikan interaksional, 33
peneliti, 7, 9, 11, 12, 13, 14, 16, 18, 19, 52, 70, 86, 97, 98, 100,
101, 103, 105, 107, 108, 110, 111, 113, 114, 115, 116, 118,
119, 120, 123, 125, 126, 127, 128, 133, 147
penelitian kualitatif, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 19
pengajaran, 31, 32, 33, 40, 43, 107, 125, 134, 135, 136, 140, 141
Pengamatan, 14, 15, 126, 127
pengecekan sejawat, 19
penyandian–balik, 50
Peran Pelatihan (Fungsi Ibu dalam Latihan Metode ABA
(Applied Behavior Analysis) terhadap self-efficacy Ibu dengan
Anak Penyandang Autis”, 10
Persepsi, 22, 48, 49, 51, 52, 54, 55, 56, 97, 103, 132, 134
Persepsi Komunikasi, 22
Pervasive Development Disorder, 42
pesan, 1, 4, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 34, 39, 40, 50, 60,
64, 66, 108, 112, 132, 136, 138, 139, 140
Pesan, 24, 25, 26
picture learner, 143
post-test, 10
Prakash, 51, 149
pretest, 10
Pridani, 144
Princeton, 53, 57
print learner, 143
psikis, 4
psikologis, 11, 27, 30, 48, 49, 52, 66
psikomototik, 27
Purnama, 42, 43, 151
purposif, 14
146
R
Raco, 13, 151
Radcliffe College, 3
Raff, 52, 151
receiver, 39
Reduksi data, 18
referensi, 8, 72, 77, 81
Respect, 65
Rett’s Disorder, 46
Richmond, 142
S
saluran, 4, 23, 24, 25, 34, 35, 39, 62
Saluran, 25
Scott, 51, 151
Sekolah inklusi, 6
Sekolah Luar Biasa (SLB), 6
Selective attention, 27
Selective perception, 27
Selective retention, 28
self-efficacy, 10
self-reflection, 12
Semantik, 29
Sender, Message, Channel, Receiver (SMCR), 39
Severin, 51, 54, 55, 56, 152
shadow teacher, 147
Shannon, 39
signal, 23, 39
signal receiver, 39
slow learner, 47, 95
spiritualitas, 11
Standar Isi (SI), 70
standar nasional pendidikan (SNP), 69
Steiner, 51, 132, 149
Stephen P. Robbins, 61
147
stigma, 10
stimuli, 22
sumber data, 14, 17
Suprapto, 2, 3, 4, 26, 27, 63, 151, 152
Suprayogo, 18, 151
Susanto, 43, 151
Sutisna, 62, 151
Syarifudin, 1, 150
Syaripuddin, 37
T
ta’dib, 32
ta’lim, 31
Tankard, 51, 54, 55, 57, 152
Tannen, 4
tarbiyah, 31
teknik observasi, 15
televisi, 1, 16
Teori skema, 49
Tobroni, 18, 151
Toch, 52, 152
transferability, 19
transmitter, 39
triangulasi, 19
tujuan, 13, 15, 24, 26, 27, 30, 31, 32, 33, 38, 40, 58, 59, 60, 62,
63, 64, 69, 80, 84, 122, 137, 139, 142, 143, 145
Tunadaksa, 44, 94, 98
Tunagrahita, 44
Tunalaras, 48, 93, 98, 105
Tunanetra, 44
Tunarungu, 44
U
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, 42
UU No.23 tahun 2001 tentang Perlindungan Anak, 41
148
UU Sisdiknas, 69
UUD 1945 pasal 31 ayat (1), 41
V
Victor, 65
W
Wahyudi, 64, 65, 152
wawancara, 13, 14, 16, 20, 86, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104,
105, 106, 107, 115, 128, 131
wawancara tak terstruktur, 16
Weaver’s, 39
Widjaya, 23, 152
Wilbur Schram, 22
Wilbur Schramm, 3
William H. Ittelson, 53
Windura, 143
Wiryanto, 122
Wrench, 141, 142
Y
Yusuf, 22, 61, 62, 149
149
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Dr. Yopi Kusmiati, S.Sos.I., M.Si
merupakan Dosen UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, yang menekuni bidang
komunikasi Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK). Ia dilahirkan di Pagaralam, Sumatera
Selatan pada tanggal 17 Desember 1980.
Alumni
Pondok Pesantren Daar el Qolam ini menyelesaikan kuliah
S1 nya di Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam IAIN Raden Fatah Palembang pada tahun 2002, dan
melanjutkan kuliah S2 di Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran Bandung, lulus tahun 2007, yang
kemudian menyelesaikan Program Doktoral juga di Program
Studi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung, lulus
tahun 2013.
Sebelum menjadi Dosen di UIN Syarif Hidayatullah, ia
pernah bekerja di Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Ditjen
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI tahun 2015-2017,
Sekretariat Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI
tahun 2011-2015, Direktorat Pendidikan Madrasah Ditjen
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI tahun 2009-2011, dan
Pegawai serta Tenaga pengajar pada Fakultas Dakwah IAIN
Raden Fatah Palembang tahun 2003-2008.
Beberapa tulisannya pernah dimuat di media massa,
diantaranya tulisan dengan judul “Stop Bullying ABK” (Sindo,
28 juli 2017), “Stigma Autis” (Sindo Sumsel, 2 April 2015),
“Transformasi Budaya Nilai Autis” (Tribun Sumsel, 1 April
2015), “Antara Hijab dan Fashion” (Tribun Sumsel, Februari,
2015). Selain itu penulis juga aktif menulis di Jurnal dan Bulletin,
dan menjadi peneliti di bidang yang ia tekuni. Salah satu
penelitiannya berjudul “Presentasi Diri Keluarga Anak Autis:
Kajian Interaksionisme Simbolik Terhadap Keluarga Anak Autis
dalam Menghadapi Stigma Autisme (2013).
150
Pia Khoirotun Nisa,M.I.Kom merupakan
Dosen di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Lahir pada 24 November 1985. Penulis
menempuh pendidikan S1 Double Degree, S1
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan S1 Jurusan Pendidikan Agama Islam di STAI Darul
Ma’arif Jakarta, serta S2 Magister Komunikasi Politik di
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta. Pernah
bekerja di ISAI (Institute Studi Arus Informasi ) Indonesia.
CTLD (Center Teaching Learning Development) di bawah
naungan UIN Jakarta dan Kemitraan Pendidikan Australia
Indonesia. Juga aktif di The Political Literacy institute.
Karya tulis yang telah dihasilkan: Karakteristik Budaya
Komunikasi Politik Elite Muhammadiyah (tahun 2015),
Komunikasi Dakwah Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya
Ulumuddin (tahun 2016), Model Interaksi Civil Society
Organization (CSO) di Indonesia (tahun 2016), Publisitas Politik
Sebagai Upaya Strategi Komunikasi Politik Kandidat Pilkada
DKI Jakarta Tahun 2017 (tahun 2017), Pendidikan Akhlak Anak
Di Lingkungan Kelurga Menurut Imam Al-Ghazali (tahun 2018),
Pancasila Payung Hidup Bersama (tahun 2019), Strategi Literasi
Politik di Kalangan Guru Sekolah dan Madrasah (tahun 2019),
Form of Teacher Communication in Handling Studens with
Special Needs in Madrasah (tahun 2020), Buku pertama berjudul
Metode Pendidikan Akhlak Anak di Lingkungan Keluarga (tahun
2015), Buku kedua buku chapter berjudul Psikologi Untuk
Masyarakat “Budaya Komunikasi Milenial dalam Lingkungan
Generasi Milenial” (Telaah terhadap Penyebaran Radikalisme)
(tahun 2018), Buku ketiga buku chapter berjudul Literasi Politik
Dinamika Konsolidasi Demokrasi Indonesia Pascareformasi
“Pilkada Serentak dan Gerakan Kerelawanan” (tahun 2019).