Click here to load reader
Upload
susand-susand
View
494
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
HAKIM DAN SESUATU YANG ADA PADANYA
Makalah Yang Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Ushuk Fiqih
Dosen : Drs. Ahmad Syathori,M.Ag
Di susun oleh :
Susan
14121520524
Tarbiyah MTK-C/smt 1
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NUR JATI CIREBON
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, atas limpahan serta hidayahnya.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “HAKIM DAN SESUATU
YANG ADA PADANYA” dengan harapan dapat dimanfaatkan oleh semua jurusan di
perguruan tinggi, sebagai bahan diskusi pada tatap muka perkuliahan.
Shalawat serta salam semoga allah SWT selalu mencurahkan kepada baginda nabi
besar kita, pemimpin yang arif, penunutun jalan kebenaran, yaitu nabi Muhammad SAW.
Dan kita selaku umatnya selalu mengharapkan syafa’atnya di yaumul qiyamat nanti.
Penulis sangat berharap sekali kepada seluruh yang membaca makalah yang penulis
sajikan. untuk selalu memberikan motivasi untuk kami , sehingga kami mengharapkan kritik
dan saran dari kalian. Terutama untuk dosen pengampu kami dan para kerabat dekat kami.
Penulis menyadari akan keterbatasan makalah ini, dan dalam keterbatasan ini penulis
mohon maaf. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat. Umunya bagi pembaca,
dan khususnya bagi penulis sendiri..
Cirebon, Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 4
C. Tujuan ................................................................................................................. 4
BAB II HAKIM DAN SESUATU YANG ADA PADANYA
A. Hakim (Pembuat Hukum Allah SWT) .............................................................. 5
B. Mahkum Alaih .................................................................................................. 8
C. Mahkum Fih ..................................................................................................... 10
D. Taklif ................................................................................................................ 13
E. Ahliyah (Kemampuan) ..................................................................................... 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 15
B. Saran dan keritikan .......................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Para ulama sepakat bahwa tindakan manusia, baik berupa perbuatan maupun ucapan,
dalam hal ibadah maupun muamalah, berupa tindakan pidana maupun perdata, masalah akad
atau pengelolaan, dalam syariat Islam semuanya masuk dalam wilayah hukum. Hukum -
hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh al Quran dan al Sunnah dan sebagian tidak.
Tetapi Syariat Islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak
dijelaskan oleh keduanya, sehingga seorang Mujtahid seperti adanya hakim, mahkum alaih,
dan mahkum fih dengan dalil dan tanda - tanda hukum itu dapat menetapkan dan menjelaskan
hukum - hukum yang tidak atau belum dijelaskan tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka pertmasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Apa arti dari Hakim?
2. Apa arti dari Mahkum ‘Alaih?
3. Apa arti dari Mahkum Fih?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa arti dari Hakim
2. Untuk mengetahui apa arti dari Mahkum ‘Alaih.
3. Untuk mengetahui arti dari Mahkum Fih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAKIM (Pembuat Hukum Allah SWT)
Hakim adalah orang yang menjatuhkan putusan. Di antara kaum muslimin tidak ada
perbedaan pendapat bahwa sumber hukum syara’ bagi perbuatan mukallaf adalah Allah
SWT, baik hukum mengenai perbuatan mukallaf itu telah di jelaskan secara langsung dalam
nash yang di wahyukan kepada Rosul-Nya maupun yang di gambarkan kepada para mujtahid
untuk mengeluarkan hukum dari tanda-tanda yang di tetapkannya. Oleh karena itu mereka
sepakat dalam memberikan pengertian tentang huku syara’ adalah ketetapan Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau ketetapan.
Bila di tinjau dari segi bahasa, Hakim mempunyai dua arti, yaitu :
Pertama : Pembuat Hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber Hukum.
Kedua : Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan.
Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam Ushul Fiqih, sebab berkaitan
dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembentuk hukum syara’, yang
mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam Ilmu Ushul Fiqih,
Hakim juga di sebut dengan syar’i.
Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa Hakim adalah
Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan
kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT. Baik yang
berkaitan dengan hukum-hukum taklif (Wajib, Sunah, Haram, Makruh, dan Mubah), maupun
yang berkaitan dengan hukum Wadhi’ (Sebab, Syarat, Halangan, Sah, Batal, Fasid, Azimah,
dan Rukhsah). Menurut kesepakatan para Ulama’ semua hukum diatas tersebut bersumber
dari Allah SWT. melalui Nabi Muhammad Saw, maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui
berbagai teori instibath, seperti Qiyas, Ijma’, dan metode Instibath lainnya untuk menyingkap
hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini para Ulama’ Ushul Fiqih menetapkan
kaidah : “Tidak ada Hukum, kecuali bersumber dari Allah”
Dari pemahaman kaidah tersebut para ulama’ ushul Fiqih mendefinisikan hukum
sebagai titah Allah SWT., yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaaf, baik berupa
tuntutan, pemilihan, maupun wadhi’.
Diantara alasan ulama’ ushul fiqih untuk mendukung pernyataan di atas, adalah
sebagai berikut :
1) Surat Al An’am 57
(: االنعام ( الفاصلين خير وهو الحّق� يقّص� لل�ة اال الحكم ان
"Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia pemberi
keputusan yang paling baik” (Qs.Al-An’am:57)
2) Surat Al Maidah 44
(: ) المعدة الكافرون هم فاولئك الل�ة انزل بما يحكم لم ومن
"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka
adalah orang-orang yang kafir” (Qs.Al-Maidah:44)
3) Surat Al Maidah 49
(: ) الماعدة �ة الل انزل بما بينهم واحكم
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah”
Sedangkan untuk pengertian yang kedua tentang hakim di atas, ulama’ ushul fiqih
membedakannya sebagai berikut : (Asy-Syaukani : 7)
o Sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat sebagai Rosul.
Para ulama’ ushul fiqih berbeda-beda pendapatya tentang siapa yang menemukan,
memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum di utusnya Muhammad sebagai
Rosul. Sebagian ulama’ ushul fiqih dari golongan ahlussunah wal jama’ah
berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara akal
tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT, dan yang
menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
pada saat nabi Muhammad Saw, belum diangkat menjadi Rosul adalahj Allah
SWT, namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT,
dan menyingkap serta menjelaskan sebelum datangnya syara’.
Dikalangan ulama’ ushul fiqih persoalan yang cukup rumittersebut di kenal dengan
istilah “At-Tahsin Wa Al-Taqbih” yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau
buruk.
o Setelah diangkatnya Nabi Muhammabd Saw, sebagai Rosul dan menyebarkan dakwah
Islam.
Para ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang tirin dari Allah
SWT, yang dibawa oleh Rosulullah Saw, apa yang telah di halalkan oleh Allah SWT,
hukumnya adalah halal, begitu pula yang diharamkan oleh Allah SWT, maka hukumnya
adalah haram. Juga di sepakati bahwa apa-apa yang di halalkan itu di sebut hasan (baik), di
dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segalka sesuatu yang di haramkan
Allah SWT, di sebut Qabih (Buruk), yang di dalamnya terdapat kemadaratan atau kerusakan
bagi manusia.
Hakim (yang menetapkan hukum) ialah Allah SWT,dan yang memberitahukan
hukum-hukum Allah itu adalah Rasulnya.Kemudian setelah Rasul-rasul dibangkitkan dan
sesudah sampai seruanya kepada yang dituju,maka syari’atlah yang menjadi hakim.
Sekarang timbul pernyataan : ” Siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf
sebelum Rasul diangkat?” Dalam hal ini ada dua pendapat :
a) Golongan Asy’ariyah oleh Abu Hasan al-Asy’ariyah (874M)
Berpendapat bahwa sebelum dating syara’ tiada hokum terhadap perbuatan
mukallaf,,artinya pada masa itu tidak wajib iman dan tidak haram kufur.Firman Allah
SWT.
: االسرائ ( رسوال نبع �ي حّت بين معّذ� )17وماكن�
" Dan kami tidak pernah atau akan menyiksa sehingga mengutus Rasul lebih duhulu”
b) Golongan Mu’tazilah oleh Wasil bin ‘Atha’(700-1049M).
Berpendapat bahwa sebelum Rasul dibangkitkan akallah yang
memberitahukan hukum-hukum Allah.Dengan akallah dapat diketahui baik dan buruknya
suatu perbuatan atau sifat-sifatnya.Karena akallah setiap mukallaf wajib mengerjakan sesuatu
yang baik dan meninggalkan yang buruk.Allah akan memperhitungkanya sebagaimana
memperhitungkan yang diperoleh dari syara’.Mereka beralasan dengan firman Allah:
(: ) الماعدة الخبيثوالّط�يب يسّتوى ال قل
“Katakanlah!Tidak sama yang buruk dengan yang baik meskipun banyaknya yang
buruk itu menarik hatimu”
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Allah akan membalasnya
berdasarkan apa yang diketahui oleh akalnya tentang baik dan buruk, sebagaimana juga
berdasarkan syari’at yang dibawa utusan-utusa-Nya. Kalau tidak demikian orang-orang yang
baik dan jahat sama saja balasanya , sedang tiap-tiap masa tentu terdapat orang-orang yang
baik dan jahat.Andaikata mereka yang baik dan yang jahat dianggap sama dan akan
menerima balasanya yang sama diakhirat maka tidak ada keadilan, sedangkan Allah maha
adil dan bijaksana lagi maha pengasih dan maha penyayang.
B. MAHKUM ALAIH
Mahkum Alaih علية Subyek) محكم hukum) adalah mukallaf yang menjadi obyek
tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa
mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut
mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Ulama’ Ushul
Fiqih telah sepakat bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk
berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu
(Sutrisno, 1999: 103) yang perbuatannya di kenahi khitab Allah SWT, yang di sebut dengan
Mukallaf.
Dari segi bahasa Mukallaf di artikan sebagai orang yang di bebani hukum, sedangkan
dalam istilah ushul fiqih, mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subyek hukum). Mukallaf
adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah SWT, maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang di lakukan
oleh mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akherat. Ia
akan mendapat pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah SWT, dan sebaliknya,
bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa atau resiko dosa karena melanggar
aturan-Nya, di samping tidak memenuhi kewajibannya. Dan Mahkum alaih juga diartikan
orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal,dengan syarat ia mengerti apa yang
dijadikan beban baginya.. Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih
adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.Orang
gila,orang yang sedang tidur nyenyak,dan anak yang belum dewasa serta orang orang yang
terlupa tidak dikenahi taklif (tuntutan),sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:
حّت�ى المجنون وعن يحّتلم �ى حّت الّص�بي� وعن يسّتيقظ حّتى ئم النا عن ثالث عن القلم رفع
( والنسائ( داود ابو رواة يفيّق
“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat)amal perbuatan tiga orang:Orang yang
tidur hingga ia bangun,anak-anak hingga ia dewasa,dan orang gila hingga sembuh kembali”
Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tertidur dan tidak mungkin
mematuhi asa yang ditaklifkan.
Syarat-syarat Mahkum Alaih
o Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan
perantara orang lain
o Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006: 157-158)
C. MAHKUM FIH
Mahkum fih فية ialah yang dibuat hukum,yaitu perbuatan (yang dibuat hukum)محكم
mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’ (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah
pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120).
Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu
perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan
mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat,
sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317).
Mahkum fih juga merupakan perbuatan mukallaf yang berhubungan (sangkutan) dengan
hokum yang lima,yang masing-masing ialah :
1. Wajib, yang berhubungan dengan ijab
2. Sunnah, yang berhubungan dengan nadab(mandub)
3. Haram, yang berhubungan dengan tahrim
4. Makruh, yang berhubungan dengan karahah
5. Mubah, yang berhubungan dengan ibahah
Dari kelima hukum tersebut dapat lah dijelaskan sebagai berikut :
1) Wajib yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika
ditinggalkan mendapat siksa.Wajib dibagi menjadi dua :
a). Wajib ‘ain : Wajib dikerjakan oleh setiap mukallaf,seperti shalat lima
waktu sehari semalaman dan puasa bulan ramadhan.
b). Wajib kifayah : Wajib dikerjakan oleh semua mukallaf,tetapi jika sudah ada
diantara mereka yang mengerjakan,lepaslah kewajiban itu dari
yang lainnya,seperti menyalati jenazah dan menguburkanya.
2) Mandub(Sunnah) yaitu suatu perkara yang yang apabila dikerjakan mendapat pahala
dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan sisa atau dosa.Mandub dibagi menjadi dua :
a) Sunah ‘ain : Setiap orang dianjurkan mengerjakanya,seperti shalat rawatib dan
puasa sunah.
b) Sunah kifayah : Suatu pekerjaan yang apabila telah dikerjakan oleh seorang dari
jamaahnya,tidak perlu lagi orang lain mengerjakannya,misalnya
menjawab salam dalam suatu rombongan.
3) Haram yaitu larangan keras,jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan mendapat
pahala.
4) Makruh yaitu larangan yang tidak keras,jika dilanggar tidak berdosa,tetapi kalau
dikerjakan mendapat pahala,seperti makan petai dan bawang merah.
5) Mubah yaitu sesuatu yang boleh ayau tidak dikerjakan.Kalau dikerjakan atau
ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa,misalnya makan yang halal dan
berpakaian bagus.
Syarat-Syarat Mahkum Fih
o Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan
dapat dilaksanakan.
o Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu
dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan
melaksanakannya karena Allah semata.
o Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:
1. Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau
ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.
2. Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk
dan atas nama orang lain.
3. Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan
dengan fitrah manusia.
4. Tercapainya syarat taklif tersebut (Syafe’I, 2007: 320)
Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain
sebagaimana berikut:
o Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup
dikerjakan oleh mukallaf.
o Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa
pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman
o Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa,
dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang
tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih
berat daripada yang biasa.
o Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran
yang luar biasa (Sutrisno, 1999: 121-123).
Macam-Macam Mahkum Fih
Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’ diantaranya adalah:
1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait
dengan syara’. Seperti makan dan minum.
2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’,
seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
3. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum
syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
Sedangkan dilihat dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum
fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
1. Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan
kemaslahatan umum tanpa kecuali.
2. Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi
harta seseorang yang dirusak.
3. Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih
dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain
berbuat zina.
4. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih
dominan, seperti dalam masalah qishas (Syafe’i: 2007)
D. TAKLIF
Menurut abdul wahab khallaf Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki
dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya, atau melakukan
pilihan antara melakukan dan meninggalkannya.
Dasar Taklif.
Dalam islam orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu
untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian besar ulama ushul fiqh berpendapat bahwa
dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal danpemahaman.Sebagimana
sabda Rasulullah Saw.
Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis orang: orang itu sampai ia
bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai ia sembuh” (HR. Bukhori,
Turmudzi, Nasa’i, Ibn Majjah, dan Daru Quthni).
Syarat-syarat Taklif
o Orang itu telah mampu memahami kitab syar’i yang terkandung dalam Al Qur’an dan
sunnah, baik secara langsung atau melalui orang lain.
o Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut ahliyah
syafe’i, 2007: 336-338).
E. AHLIYAH (Kemampuan)
Secara harfiah (etimologi) ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan,
misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk
menangani bidang tersebut. Adapun secara terminologi menurut para ahli ushul fiqh ahliyah
adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa
seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai
oleh syara’ (Syafe’i, 2007: 339).
Pembagian Ahliyah
Menurt para ulama’ ushul fiqh, ahliyah (kepantasan) itu ada dua macam yaitu:
1. Ahliyatul Wujub (kecakapan untuk dikenai hukum) yaitu kepantasan seorang untuk
menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi
setiap manusia, semenjak ia lahir sampai meninggal dalam segala sifat, kondisi, dan
keadaannya.
2. Ahliyatul Ada’ (kecakapan untuk menjalankan hukum) yaitu kepantasan seseorang
untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa
segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat
hukum (Sutrisno, 1999: 106-109)
Halangan Ahliyah
Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa
berubah berubah disebabkan hal-hal berikut:
1. Halangan alami (awaridh samawiyah), yaitu halangan yang datangnya dari
Allah dan terjadi di luar kemampuan manusia seperti : gila, dungu, lupa, dan
tidur.
2. Halangan tidak alami (awaridh ghair samawiyah), yaitu halangan yang
disebabkan perbuatan manusia. (Syafe’i, 2007: 340). Halangan ini ada dua :
a) Dari diri sendiri, yaitu bodoh, mabuk dan alpa.
b) Dari orang lain, yaitu dipaksa
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Hakim (pembuat hukum) yang menurut para ulama ushul fiqih adalah firman Allah
yang barhubungan dengan perbuatan orang mukallaf,baik itu berupa tuntutan,pilihan
ataupun berupa hukum wadh’i. Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat
diketahui bahwa Hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya
sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh mukallaf.
2. Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala
tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999:
103) yang perbuatannya di kenahi khitab Allah SWT, yang di sebut dengan Mukallaf.
3. Syarat-syarat Mahkum Alaih
o Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau
dengan perantara orang lain
o Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006)
4. Mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait
dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan
meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan,
azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317).
5. Syarat-Syarat Mahkum Fih
o Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas
dan dapat dilaksanakan.
o Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu
dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan
melaksanakannya karena Allah semata.
o Macam-Macam Mahkum Fih
Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’ diantaranya adalah:
1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan
yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum
syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
3. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan
hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
B. Saran
Adapun beberapa saran yang dapat kami sampaikan yaitu :
1) Agar para pembaca bisa mempelajari makalah yang kami buat dan mengerti isi serta
ruang lingkupnya sehingga dapat diambil pelajaran dan diterapkan dalam kehidupan
nyata.
2) Semoga para pembaca dapat mengkaji dengan baik dan bisa melengkapi kekurangan
makalah yang kami susun.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i Muhammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung : PT Ma’arief.
Abu Zahrah Muhammad. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta :Pustaka firdaus.
Syafe’i Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung:Pustaka setia.
Wahab khallaf Abdul. 2003. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta:Pustaka amani.
www.Ushul Fiqih.co.id