54
Hak Asasi Manusia Sejarah Hukum di Indonesia 1. Periode Kolonialisme Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang. a. Periode VOC Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk: 1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda; 2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan 3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa. Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak- hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu. b.Periode liberal Belanda Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi

Hak Asasi Manusia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia

Sejarah Hukum di Indonesia

1. Periode Kolonialisme

Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda

dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.

a. Periode VOC

Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:

1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;

2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan

3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.

Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi

pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara

mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar

rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di

masa itu.

b. Periode liberal Belanda

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854)

atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya

melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama

kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan

pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang

mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan

jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.

Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak

lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi

ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus

Page 2: Hak Asasi Manusia

terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi

eksploitasi oleh modal swasta.

c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik

etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: 1) Pendidikan untuk anak-

anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; 2) Pembentukan Volksraad, lembaga

perwakilan untuk kaum pribumi; 3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi

efisiensi; 4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; 5) Pembentukan

peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya

kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: 1) Dualisme/pluralisme

hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; 2) Penggolongan rakyat

ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa,

dan Pribumi.

Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan

perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku

sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa

perubahan perundang-undangan yang terjadi: 1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya

berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; 2)

Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang

berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: 1) Penghapusan

dualisme/pluralisme tata peradilan; 2) Unifikasi kejaksaan; 3) Penghapusan pembedaan polisi

kota dan pedesaan/lapangan; 4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; 5) Pengisian secara

massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

2. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal

a. Periode Revolusi Fisik

Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam

bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-

badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran

Page 3: Hak Asasi Manusia

badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang

bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.

b. Periode Demokrasi Liberal

UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan

hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan

hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional

yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang

berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan

mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan

melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan

dan Kekuasaan Pengadilan.

3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru

a. Periode Demokrasi Terpimpin

Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh

dalam dinamika hukum dan peradilan adalah: 1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan

dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif; 2) Mengganti

lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman; 3)

Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas

proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan bahwa

hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti

mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

b. Periode Orde Baru

Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh

penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan,

rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama

membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di

Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU

Page 4: Hak Asasi Manusia

Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum

di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis,

termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan

yang baik dalam hukum Nasional.

4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)

Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat

kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa

pembaruan formal yang mengemuka adalah: 1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;

2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.

Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar

pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat

hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat

penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum

mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari

ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto,

peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya,

pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya

hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu,

pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.

Sejarah HAM di Indonesia

1. Pengertian HAM

b. Berdasarkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998

HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan

abadi sebagai anugerah Tuhan YME, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak

mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak

keamanan, dan hak kesejahteraan yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau

dirampas oleh siapapun.

Macam-macam HAM yang tercantum dalam TAP MPR di atas :

Page 5: Hak Asasi Manusia

1. Hak untuk hidup

2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan

3. Hak keadilan

4. Hak kemerdekaan

5. Hak atas kebebasan informasi

6. Hak kemananan

7. Hak kesejahteraan

8. Kewajiban

9. Perlindungan dan pemajuan

b. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM :

HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan

dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia.

HAM menurut UU No. 39/1999 di atas meliputi :

1. Hak untuk hidup

2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan

3. Hak mengembangkan diri

4. Hak keadilan

5. Hak kemerdekaan (kebebasan pribadi)

6. Hak rasa aman

7. Hak kesejahteraan

8. Hak turut serta dalam pemerintahan

9. Hak wanita dan anak

Adapun karakteristik HAM adalah sebagai berikut:

b. Qodrat: HAM adalah anugerah dari TUhan untuk setiap manusia agar

hidupnya tetap terhormat

Page 6: Hak Asasi Manusia

c. Hakiki: HAM melekat pada setiap manusia, tanpa memandang latar belakang

kehidupannya.

d. Universal: HAM itu berlaku umum

e. Tidak Dapat dicabut: Dalam keadaan bagaimanapun, HAM setiap orang tetap

ada

f. TIdak Dapat dibagi: HAM itu tidak dapat diwakili, dialihkan ataupun dipisah-

pisah.

c. Pandangan Bangsa Indonesia tentang HAM

Dalam Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 dijelaskan mengenai pandangan

Bangsa Indonesia terhadap HAM, sebagai berikut :

1. Manusia sebagai makhluk Tuhan YME dianugerahi hak asasi tanpa perbedaan

2. Bangsa Indonesia menjunjung tinggi dan menerapkan HAM sesuai dengan

Pancasila

3. Hak tidak terlepas dari kewajiban

4. Bangsa Indonesia menghormati deklarasi HAM PBB 1948

5. HAM adalah hak anugerah Tuhan YME, yang melekat pada diri manusia, bersifat

kodrati, universal, dan abadi berkaitan dengan harkat dan martabat manusia

Pengakuan bangsa Indonesia terhadap HAM nampak pada UUD 1945 yaitu pada :

2. Pembukaan UUD 1945 alinea I yang berbunyi : “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan

itu adalah hak segala bangsa..” artinya adanya hak untuk merdeka atau kebebasan

3. Pembukaan UUD 1945 alinea IV, yaitu sila II Pancasila : Kemanusiaan yang adil dan

beradab, merupakan landasan idiil HAM di Indonesia

4. Pasal 27 sampai dengan pasal 34 pada hakikatnya adalah HAM

5. Pasal 28A sampai dengan 28J mencantumkan rumusan HAM

d. Aliran HAM

INDIVIDUALISTIS

Page 7: Hak Asasi Manusia

hak asasi individu hrs diutamakan drpd kepentingan bersama. ALiran ini biasa di

anut oleh Negara Barat.

MARXISME

Tidak mengakui hak individu, negara menentukan segalanya bagi rakyat.

Kebebasan individu sangat dibatasi. Kepentingan Negara adalah mutlak. Aliran

ini biasa dianut oleh Negara Komunis.

INTEGRALISTIK

Hak asasi individu dalam kerangka kepentingan masyarakat. Paham ini memiliki

keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan bersama.

Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak

Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada

Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan

garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia,

melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya,

melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan

hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada

hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.

Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak

memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam

hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan

kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari

manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat

kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember

1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia

Page 8: Hak Asasi Manusia

mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan

Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.

Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara)

maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di

negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling

menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa,

agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat

menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian

bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari

masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.

Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap

pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB

bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan

juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya.

Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke

Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk

mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.

Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub

dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun,

dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di

muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk

semua

Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia,yakni:

Undang – Undang Dasar 1945

Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia

Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Page 9: Hak Asasi Manusia

Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-

bedakan menjadi sebagai berikut :

Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan

pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.

Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki

sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.

Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam

pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk

mendirikan partai politik.

Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan

pemerintahan ( rights of legal equality).

Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak

untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.

Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan

(procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan,

penggeledahan, dan peradilan.

Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak Asasi

Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor

XVII/MPR/1998.

Instrumen HAM Internasional

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi, melindungi HAM

serta menghormati kebebasan pokok manusia secara universal ditegaskan secara berulang-

ulang, diantaranya dalam Pasal 1 (3):

”Untuk memajukan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah

internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan menggalakan serta

Page 10: Hak Asasi Manusia

meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua

orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama …”

Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan instrumen-

instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:

a. Instrumen Hukum yang Mengikat

1). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar yang diambil

oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang terdapat dalam DUHAM

merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima oleh negara-negara di dunia

melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM yang dirancang

dalam bentuk umum dan merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu:

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan realisasi dari

hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam PBB, misalnya (yang terkait dengan penegakan

hukum) Pasal 3, 5, 9, 10 dan 11. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut menetapkan hak

untuk hidup; hak atas kebebasan dan keamanan diri; pelarangan penyiksaan-perlakuan-

penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia;

pelarangan penangkapan sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas praduga tak bersalah

sampai terbukti bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan,

DUHAM merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.

2). Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and

Political Rights)

Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan Internasional

tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara internasional sejak Maret 1976.

Konvenan ini mengatur mengenai:

- Hak hidup;

Page 11: Hak Asasi Manusia

- Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi atau

direndahkan martabat;

- Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;

- Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi

kewajiban kontraktual;

- Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan peradilan; dan

- Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut dalam penerapan hukum

pidana.

Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia turut

mengaksesinya atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005, sehingga

mengikat pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi oleh Komite Hak

Asasi Manusia.

3). Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant

on Economic, Social dan Cultural Rights

Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005

mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam Kovenan ini adalah:

- Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan

tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.

- Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam pekerjaan sehari-

hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi terdapat prinsip non-diskriminasi dan

perlindungan terhadap penghilangan paksa.

- Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu yang saling

terkait satu sama lain.

Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam pelaksanaannya

juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

Page 12: Hak Asasi Manusia

4). Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of

Genocide)

Kovensi ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun 2000

tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu pelanggaran HAM berat.

Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai kejahatan internasional dan menetapkan perlunya

kerjasama internasional untuk mencegah dan menghapuskan kejahatan genosida.

5). Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment)

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,

Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang Penyiksaan) mulai

berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998.

Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil

dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif,

administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya guna: 1) mencegah tindak

penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler), atau pengekstradisian seseorang ke negara

lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan

berada dalam keadaan bahaya (karena menjadi sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar setiap

orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum

mempunyai hak untuk mengadu, memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera oleh

pihak-pihak yang berwenang secara tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang yang mengadu

dan saksi-saksinya dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari

pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan, 4) menjamin korban memperoleh ganti rugi

serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam

pelaksanaannya diawasi oleh Komite Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan

aturan yang terdapat didalamnya.

Page 13: Hak Asasi Manusia

6). Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention on the

Elimination of All Forms of Racial Discrimination)

Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui UU No.

29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial dalam bidang

politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang

untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit, asal usul dan

suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang

mengawasi pelaksanaannya.

7). Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the

Elimination of All Forms of Discrimination against Women)

Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia melalui UU

No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah menjadi instrumen internasional

yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial

budaya, dan sipil. Konvensi ini mensyaratkan agar negara melakukan segala cara yang tepat dan

tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi

terhadap perempuan serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan HAM

dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam

pelaksanaannya, Konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan Komite Penghapusan

Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

8). Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)

Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh Indonesia

melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus menghormati dan

menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,

agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul kebangsaan atau

sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara juga harus mengambil langkah-

langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi

atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau

Page 14: Hak Asasi Manusia

kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga

membentuk Komite Hak Anak (CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi.

9). Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees )

Konvesi ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi ini

walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan dengan istilah

“internaly displaced person” atau pengungsi yang berpindah daerah dalam satu negara.

Pengungsi dalam konvensi ini didefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan negaranya

karena takut disiksa atas alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau keanggotaan pada

kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang karena ketakutan. Kovensi Pengungsi

menentukan empat prinsip HAM dalam menangani pengungsi, yaitu: persamaan hak, tidak

adanya pengasingan terhadap hak-hak mereka, universalitas dari hak-hak mereka, serta hak

untuk mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman.

b. Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat

1). Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement

Officials)

Majelis Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169 tentang Pedoman

Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan bagi penegak hukum

dalam menjalankan tugasnya. Terdapat delapan pasal yang mengatur mengenai tanggung

jawab penegak hukum yaitu, perlindungan HAM, penggunaan kekerasan, penanganan terhadap

informasi rahasia, pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak

manusiawi dan merendahkan martabat manusia, perlindungan kesehatan tahanan,

pemberantasan korupsi, serta penghargaan terhadap hukum dan undang-undang.

2). Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (Basic Principles

on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials)

Page 15: Hak Asasi Manusia

Prinsip-prinsip ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa penggunaan

kekerasan dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta sesuai dengan tugas

pokok maupun fungsi yang diatur oleh peraturan perundangan.

3). Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All Persons from

Enforced Disappearance)

Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1992. Di dalamnya

terdapat 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai pencegahan tindakan penahanan

tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Deklarasi ini

mensyaratkan adanya langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, maupun langkah-langkah

efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan tindakan penghilangan paksa.

4). Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination

of Violence against Women)

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi mengenai

Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban

wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta menyatakan agar diambil langkah-

langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaannya. Deklarasi ini menjadi dasar dalam

penyusunan rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Wanita.

5). Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)

Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Deklarasi Pembela HAM

memberikan perlindungan bagi para pembela HAM dalam melakukan kegiatan mereka.

Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru tetapi lebih pada memberikan panduan bagi para

pembela HAM terkait dengan pekerjaan mereka. Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam

pemenuhan HAM, serta tanggung jawab yang harus dilakukan oleh para pembela HAM,

disamping juga menjelaskan hubungan antara HAM dan hukum nasional suatu negara.

Ditegaskan agar para pembela HAM melakukan aktivitasnya dengan cara-cara damai.

Page 16: Hak Asasi Manusia

6). Prinsip-prinsip tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir

(Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal, Arbitrary and

Summary Executions )

Prinsip-prinsip tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman Mati

yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan prinsip-prinsip yang

direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Mei 2003. Prinsip-prinsip ini

memberikan panduan bagi penegak hukum dalam mengadili para pelaku tindak pidana. Prinsip-

prinsip ini menekankan pentingnya pengawasan (termasuk kejelasan dalam rantai komando)

terhadap lembaga-lembaga penegak hukum. Prinsip-prinsip ini juga mejelaskan secara rinci

mengenai jaminan terhadap pemenuhan hak untuk hidup.

Instrumen HAM di Indonesia

Beberapa instrumen HAM yang dimiliki NKRI yaitu :

1. Undang-undang Dasar 1945. Terdapat dalam pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD

1945 yaitu pasal 28A sampai dengan 28J.

Dalam pembukaan undang undang dasar 1945 hak asasi manusia termuat secara

lengkap. Secara garis besar hak asasi manusia tercantum pada :

Alinea pertama pembukaan UUD 1945 yaitu sesungguh nya kemerdekaan itu ialah

hak segala bangsa

Pasal 27,28,28D ayat (3),30,dan 31 Uud 1945 yang mengatur tentang hak-hak warga

negara

Pasal 28A-28J UUD tentang hak asasi manusia

2. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM terdapat 8 bab yang mengatur tentang

HAM.

Atas desakan masyarakat kepada negara agar lebih memperhatikan penghormatan

terhadap hak asasi manusia , maka pada tanggal 13 november 1998 melalui sidang istimewa

MPR ditetapkanlah ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang hak asasi manusia. Ketetapan

Page 17: Hak Asasi Manusia

ini menugaskan kepada seluruh lembaga tinggi negara ,seluruh aparatur negara untuk

menghormati, menegakkan ,dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia ini

kepada masyarakat. Disamping itu ,ketetapan ini menugaskan pula kepada pemerintah untuk

segera meratifikasi (menandatangani dan mengesahkan) berbagai piagam PBB tentang hak

asasi manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945.

3. KEPPRES 129/1998 TTG RAN HAM

4. KONVENSI PBB

Undang-undang No.39 tahun 1999

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan asas-asas

tentang pengakuan negara terhadap HAM, bahwa setiap individu dilahirkan bebas dengan

harkat dan martabat yang sama, dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Adapun HAM dan kebebasan dasar manusia dapat dikelompokkan

sebagai berikut:

1. Hak Hidup (Pasal 9);

2. Hak untuk Berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10);

3. Hak Mengembangkan Diri (Pasal 11-16);

4. Hak Memperoleh keadilan (Pasal 17-19);

5. Hak Kebebasan Pribaditurut serta dalam Pemerintahan (Pasal 20-27);

6. Hak atas Rasa Aman (Pasal 28-35);

7. Hak atas Kesejahteraan (Pasal 36-42);

8. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (Pasal 43-44);

9. Hak-hak Perempuan (Pasal 45 – 51);

Page 18: Hak Asasi Manusia

10. Hak-hak Anak (Pasal 52 -66).

UU No. 39 tahun 1999 mengatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam

penegakan HAM di Indonesia, sehingga pemerintah selalu memperhatikan hak-hak masyarakat

dalam setiap pembuatan kebijakan. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah adalah

menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM. Hal ini meliputi langkah

implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam dan

lain-lain.

Selain dari HAM yang diatur dalam UU No. 39 tahun 1999, terdapat juga pengaturan

kewajiban dasar manusia, yaitu:

1. Setiap orang wajib patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,

hukum tidak tertulis dan hukum internasional mengenai HAM;

2. Kewajiban warga negara wajib turut serta dalam upaya pembelaan negara;

3. Kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain;

4. Kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang

undang.

Undang-undang No.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Pengadilan HAM

digunakan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat dan

mengembalikan keamanan dan perdamaian Indonesia.

UU No.68/1959 ttg Ratifikasi Konvensi Hak Wanita

Keppres No. 36/1990 Konvensi tentang Hak Anak.

UU no. 7/1984 tentang Pengesahan konvensi Penghapusan Sgl Btk Diskriminasi thd

Wanita

UU 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang penyiksaan dan

perlakuan/penghukuman yang kejam lainnya yg tidak manusiawi atau

merendahkan martabat manusia.

Page 19: Hak Asasi Manusia

MEKANISME PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA NASIONAL

a. Pendahuluan

Perkembangan pengaturan hukum hak asasi manusia di dunia internasionalmemberikan

dampak besar bagi Indonesia. Seakan tidak ingin tertinggal dengan negaranegara lain,

Indonesia dengan cepat membangun mekanisme penegakan hak asasi manusia, di samping

serangkaian proses legislasi yang telah dilakukan. Pada BAB ini akan diuraikan mekanisme

penegakan hak asasi manusia di Indonesia secara detil menyangkut beberapa institusi yaitu

Mahkaham Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Perlindungan Anak

Indonesia, Komisi Nasional Perempuan dan Komisi Ombudsman Nasional.

b. Mahkamah Konstitusi

Perkembangan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia telah dipengaruhi oleh perubahan

politik setelah kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998. Sidang Istimewa MPR bulan November

1998, misalnya, menghasilkan Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan

disusul dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia dicantumkan pula dalam Perubahan Ketiga

Undang-undang Dasar 1945(tahun 2000). Pada dasarnya, secara strict wewenang Mahkamah

Konstitusi menguji undang - undang terhadap konstitusi merupakan uji konstitusionalitas

sehingga dikenal sebagaiconstitutional review. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, dan

berbagai negara, ujikonstitusionalitas itu disandarkan kepada suatu alas hak (legal standing)

bahwa undang – undangyang diuji telah merugikan hak dan/atau wewenang konstitusional

pemohonconstitutional review.

c. Komisi Nasional

1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Pengantar

Lembaga nasional hak asasi manusia merupakan sebuah badan yang

menanganipersoalan-persoalan hak asasi manusia, terutama dalam kerangka memajukan

danmelindungi hak asasi manusia. Secara internasional institusi ini dimaksudkan sebagairekan

Page 20: Hak Asasi Manusia

kerja Komisi HAM PBB di tingkat nasional. Maka, sebagaimana Komisi HAMPBB – lembaga

nasional hak asasi manusia merupakan salah satu mekanismepemajuan/perlindungan hak asasi

manusia. Di Indonesia, lembaga nasional tersebutadalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(Komnas HAM), yang pada awalberdirinya dibentuk berdasarkan Keppres No. 50 tahun 1993

dan dalamperkembangannya diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia.Keberadaan lembaga ini secara internasional dipandu oleh Prinsip-prinsip

Paris1991, mengenai Status dan Fungsi Institusi Nasional untuk Melindungi dan MemajukanHak

Asasi Manusia. Di dalamnya mencakup jurisdiksi lembaga, kemandirian danpluralitas yang

harus tercermin dalam komposisi maupun cara beroperasinya.

Prinsip-Prinsip Paris

Prinsip pluralisme. Prinsip-prinsip Paris menyatakan ”Komposisi lembaganasional dan

penunjukan anggota-anggotanya, baik melalui pemilihan atau cara lain,harus dilaksanakan

sesuai dengan prosedur yang memuat semua jaminan yangdiperlukan untuk memastikan

perwakilan yang beragam dari kekuatan sosial –yangterlibat dalam pemajuan dan perlindungan

hak asasi manusia.”

2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga independen yangdibentuk

berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak dalam rangka

meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.Komisi Perlindungan Anak

Indonesia (yang selanjutnya akan disebut denganKPAI) dibentuk untuk merespon berbagai

laporan tentang adanya kekerasan,penelantaran dan belum terpenuhinya hak-hak dasar anak

di Indonesia. Keputusanpolitik untuk membentuk KPAI juga tidak dapat dilepaskan dari

dorongan duniainternasional. Komunistas internasional menyampikan keprihatinan mendalam

ataskondisi anak di Indonesia. Banyaknya kasus pekerja anak, anak dalam area konflik,pelibatan

anak dalam konflik senjata (childs soldier) seperti yang terjadi di Aceh,tingginya angka putus

sekolah, busung lapar, perkawinan di bawah umur, trafficking,dan lain sebagainya telah

memantik perhatian komunitas internasional untuk menekanpemerintah Indonesia agar

Page 21: Hak Asasi Manusia

membuat lembaga khusus yang bertugas memantau kondisiperlindungan anak di

Indonesia.Tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah:

a. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yangberkaitan

dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi,menerima pengaduan

masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi,dan pengawasan terhadap

penyelenggaraan perlindungan anak;

b. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalamrangka

perlindungan anak.

3. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau sering disingkatsebagai

Komnas Perempuan adalah sebuah institusi hak asasi manusia yang dibentukoleh negara untuk

merespon isu hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia,khususnya isu kekerasan terhadap

perempuan. Karena mandatnya yang spesifikterhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan

pelanggaran hak-hak perempuan makaada yang mengkategorikan Komnas Perempuan sebagai

sebuah insitusi hak asasimanusia yang spesifik, berbeda dengan Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia(Komnas HAM) yang bersifat lebih umum mencakupi seluruh aspek dari hak asasi

manusia.

Berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 yang diperbaharui dalam

Peraturan Presiden (PerPres) No. 65 tahun 2005, maka keberadaan Komnas

Perempuanbertujuan untuk:

1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentukkekerasan

terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi perempuan diIndonesia;

2. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentukkekerasan

terhadap perempuan di Indonesia.

Komnas Perempuan adalah sebuah lembaga negara yang unik, sebuah mekanismehak

asasi manusia nasional yang spesifik untuk kekerasan terhadap perempuan di manadi belahan

dunia lainnya belum ada lembaga yang menyerupainya. Komnas Perempuandengan demikian

secara internal belajar menemukan cara yang paling efektif daripengalaman lembaga itu

sendiri.

Page 22: Hak Asasi Manusia

4. Komisi Ombudsman Nasional (KON)

Menurut Kepres tersebut, Komisi Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan

masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, sertaberwenang melakukan

klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakatmengenai penyelenggaraan

negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahantermasuk lembaga peradilan

terutama dalam memberikan pelayanan kepadamasyarakat.

Kemunculan KomisiOmbudsman Nasional lebih didasari oleh semangat reformasi yang

bertujuan menatakembali perikehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam rangka

melakukan

reformasi birokrasi yang telah mandeg selama puluhan tahun.Dilihat dari mekanisme

pertanggungjawabannya, ombudsman dapat dibedakan menjadi:

a. Ombudsman Parlementer, yaitu Ombudsman yang dipilih pleh parlemen

danbertanggungjawab (laporan) kepada Parlemen.

b. Ombudsman Eksekutif, yaitu Ombudsman yang dipilih oleh Presiden, PerdanaManteri

atau Kepala Daerah, dan bertanggungjawab (laporan) kepadaPresiden, Perdana Manteri

atau Kepala Daerah.

Komisi Ombudsman Nasional dibentuk dengan dua tujuan, pertama, untuk membantu

menciptakan dan/atau mengembangkan kondisiyang kondusif dalam melaksanakan

pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.Kedua, untuk meningkatkan perlindungan hak-

hak masyarakat agar memperolehpelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan secara lebih

baik. Tujuan tersebutdiharapkan akan tercapai dengan cara:

a. Melakukan sosialisasi dan diseminasi pemahaman mengenai lembagaOmbudsman

kepada masyarakat luas;

b. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Instansi Pemerintah,Perguruan

Tinggi, lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi,Organisasi Profesi dan lain-lain;

c. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenaiterjadinya

penyimpangan oleh penyelenggaraan negara dalam melaksanakantugasnya maupun

dalam memberikan pelayanan umum;

d. Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-Undang tentang OmbudsmanNasional.

Page 23: Hak Asasi Manusia

Hak Atas Kesehatan

Kesehatan adalah keadaaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan

setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Pasal 1 poin 1 UU No 23/1992 tentang

Kesehatan), karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan. Tanpa

kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional. Tanpa kesehatan, seseorang

tidak akan mampu memperoleh hak-hak lainnya. Sehingga kesehatan menjadi salah satu ukuran

selain tingkat pendidikan dan ekonomi, yang menentukan mutu dari sumber daya manusia

(Human Development Index).

Hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia telah diakui dan diatur dalam berbagai

instrumen internasional maupun nasional. Jaminan pengakuan hak atas kesehatan tersebut

secara eksplisit dapat dilihat dari beberapa instrumen sebagai berikut :

a. Instrumen Internasional

1. Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR).

2. Pasal 6 dan 7 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

3. Pasal 12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR)

4. Pasal 5 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination

(ICERD).

5. Pasal 11, 12 dan 14 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against

Women (Women’s Convention).

6. Pasal 1 Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment

or Punishment (Torture Convention, or CAT).

7. Pasal 24 Convention on the Rights of the Child (Children’s Convention, or CRC)

b. Instrumen Nasional

1. Amandemen- II Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.

2. Pasal 9 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

3. Pasal 4 UU Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

4. UU Nomor 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Dengan melihat dan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, maka sesungguhnya

tiap gangguan, intervensi atau ketidak-adilan, ketidak-acuhan, apapun bentuknya yang

Page 24: Hak Asasi Manusia

mengakibatkan ketidak-sehatan tubuh manusia, kejiwaannya, lingkungan alam dan lingkungan

sosialnya, pengaturan dan hukumnya, serta ketidak-adilan dalam manajemen sosial yang

mereka terima, adalah merupakan pelanggaran hak mereka, hakhak manusia.

Hak atas kesehatan bukanlah berarti hak agar setiap orang untuk menjadi sehat, atau

pemerintah harus menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang mahal di luar kesanggupan

pemerintah. Tetapi lebih menuntut agar pemerintah dan pejabat public dapat membuat

berbagai kebijakan dan rencana kerja yang mengarah kepada tersedia dan terjangkaunya

sarana pelayanan kesehatan untuk semua dalam kemungkinan waktu yang secepatnya. Dalam

Pasal 12 ayat (1) International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) hak

atas kesehatan dijelaskan sebagai “hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang

dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental” tidak mencakup area pelayanan kesehatan.

Sebaliknya, dari sejarah perancangan dan makna gramatikal pasal 12 ayat (2) yang menyatakan

bahwa langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada kovenan ini guna mencapai

perwujudan hak ini

sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan :

a. Ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat kelahiran-mati dan

b. kematian anak serta perkembangan anak yang sehat;

c. Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;

d. Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular,

e. endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan;

f. Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis

dalam hal sakitnya seseorang.

Sehingga hak atas kesehatan mencakup wilayah yang luas dari faktor ekonomi dan social

yang berpengaruh pada penciptaan kondisi dimana masyarakat dapat mencapai kehidupan

yang sehat, juga mencakup faktor-faktor penentu kesehatan seperti makanan dan nutrisi,

tempat tinggal, akses terhadap air minum yang sehat dan sanitasi yang memadai, kondisi kerja

yang sehat dan aman serta lingkungan yang sehat.

Antara Hak Asasi Manusia dan Kesehatan terdapat hubungan yang saling

mempengaruhi. Seringkali akibat dari pelanggaran HAM adalah gangguan terhadap kesehatan

Page 25: Hak Asasi Manusia

demikian pula sebaliknya, pelanggaran terhadap hak atas kesehatan juga merupakan

pelanggaran terhadap HAM.

Gambar 1. Hubungan antara kesehatan dan hak asasi manusia.

Lingkaran kanan bawah dari lingkaran hubungan antara HAM dan Kesehatan merupakan

akibat tidak terpenuhi atau gagalnya pemerintah dalam memenuhi kewajibannya. Sementara

itu, lingkaran atas erat kaitannya dengan hak atas kesehatan yang terlanggar oleh praktik-

praktik kekerasan, yang menjadi bagian dari pelanggaran hak sipil dan politik. Untuk lingkaran

kiri bawah menggambarkan hubungan antara HAM dan Kesehatan yang terjadi akibat kondisi

masyarakat yang rentan.

Sementara itu juga terdapat beberapa aspek yang tidak dapat diarahkan secara sendiri

dalam hubungan antara Negara dan Individu. Secara khusus, kesehatan yang baik tidaklah

dapat dijamin oleh Negara, dan tidak juga Negara menyediakan perlindungan terhadap setiap

Page 26: Hak Asasi Manusia

kemungkinan penyebab penyakit manusia. Oleh karena itu, faktor genetik, kerentanan individu

terhadap penyakit dan adopsi gaya hidup yang tidak sehat atau beresiko, mempunyai peranan

yang sangat penting terhadap kesehatan seseorang. Sehingga, Hak Atas Kesehatan harus

dipahami sebagai hak atas pemenuhan berbagai fasilitas, pelayanan dan kondisi-kondisi yang

penting bagi terealisasinya standar kesehatan yang memadai dan terjangkau.

Isu Pokok Hak Atas Kesehatan

Pengertian kesehatan sangat luas dan merupakan konsep yang subjektif, serta

dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor-faktor geografis, budaya dan sosioekonomi.

Oleh karena itu sulit untuk menentukan tentang apa saja yang termasuk ke dalam hak atas

kesehatan. Untuk itu para ahli, aktivis dan badan-badan PBB mencoba membuat rincian

mengenai core content hak atas kesehatan. Core content terdiri dari seperangkat unsur-unsur

yang harus dijamin oleh negara dalam keadaan apapun, tanpa mempertimbangkan

ketersediaan sumber daya, yang terdiri dari :

1. Perawatan kesehatan :

a. Perawatan kesehatan ibu dan anak, termasuk keluarga berencana;

b. Imunisasi;

c. Tindakan yang layak untuk penyakit-penyakit biasa (common disease) dan

kecelakaan;

d. Penyediaan obat-obatan yang pokok (essential drugs).

2. Prakondisi dasar untuk kesehatan :

a. Pendidikan untuk menangani masalah kesehatan termasuk metode-metode

b. untuk mencegah dan mengedalikannya;

c. Promosi penyediaan makanan dan nutrisi yang tepat;

d. Penyediaan air bersih dan sanitasi dasar.

Jika melihat hubungan antara kesehatan dan HAM, kategorisasi unsur-unsur di atas

belum sepenuhnya dapat menjawab permasalahan. Untuk itu faktor-faktor yang berhubungan

dengan kesehatan yang termasuk dalam hak-hak asasi manusia yang lain, tidak perlu

ditambahkan ke dalam hak atas kesehatan. Sementara itu dalam komentar umum No 14

Page 27: Hak Asasi Manusia

tentang hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau sesuai bunyi pasal 12 ayat

(2) International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) memberikan contoh

umum dan spesifik berbagai langkah-langkah yang muncul dari adanya definisi yang luas dari

hak atas kesehatan dalam pasal 12 ayat (1) sehingga dapat dapat menggambarkan isi dari hak

atas tersebut, yaitu :

a. Hak ibu, Hak anak dan kesehatan reproduksi.

mengurangi angka kematian bayi dan anak di bawah usia 5 tahun;

pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi;

akses terhadap Keluarga Berencana (KB);

perawatan sebelum dan sesudah melahirkan;

pelayanan gawat darurat dalam bidang obstetri (kebidanan);

akses dan sumber daya yang dibutuhkan sehubungan dengan kesehatan reproduksi.

b. Hak atas lingkungan alam dan tempat kerja yang sehat dan aman.

Tindakan preventif terhadap kecelakaan kerja dan penyakit;

Air minum yang sehat dan aman serta sanitasi dasar;

Pencegahan dan menurunkan kerentanan masyarakat dari substansi yang

membahayakan seperti radiasi, zat kimia berbahaya, kondisi lingkungan yang

membahayakan;

Industri yang higienis;

Lingkungan kerja yang sehat dan higienis;

Perumahan yang sehat dan memadai;

Persediaan makanan dan nutrisi yang cukup;

Tidak mendorong penyalahgunaan alkohol, tembakau, obat-obatan dan substansi yang

berbahaya lainnya.

c. Hak pencegahan, penanggulangan dan pemeriksaan penyakit.

Pencegahan dan penanggulangan serta pengawasan penyakit epidemik dan endemik,

penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan;

Page 28: Hak Asasi Manusia

Pembentukan program pencegahan dan pendidikan bagi tingkah laku yang berkaitan

dengan kesehatan seperti penyakit menular seksual (PMS), HIV/AIDS, penyakit yang

berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi;

Promosi menenai faktor sosial yang berpengaruh pada kesehatan, misalnya lingkungan

yang aman, pendidikan, pertumbuhan ekonomi dan keseteraan gender;

Hak atas perawatan;

Bantuan bencana alam dan bantuan kemanusiaan dalam situasi darurat;

Pengendalian penyakit dengan menyediakan teknologi, menggunakan dan

meningkatkan ketahanan epidemi serta imunisasi.

d. Hak atas fasilitas kesehatan, barang dan jasa.

Menjamin adanya pelayanan medis yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif

dan rehabilitatif baik fisik maupun mental;

Penyediaan obat-obatan yang esensial;

Pengobatan atau perawatan mental yang tepat;

Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan seperti organisasi bidang

kesehatan, sistem asuransi, secara khusus partisipasi dalam keputusan politik di level

komunitas tertentu dan negara.

e. Topik khusus dan penerapan yang lebih luas.

Non diskriminasi dan perlakuan yang sama;

Perspektif gender

Kesehatan anak dan remaja, orang tua, penyandang cacat dan masyarakat

adat.

Untuk itu badan kesehatan dunia (WHO) telah membuat indikator-indikator kesehatan

untuk menilai pelaksanaan pembangunan dan pemenuhan hak atas kesehatan tersebut.

Indonesia juga terikat dengan komitmen tersebut dan hal tersebut telah diadopsi dengan

menetapkan 50 indikator kesehatan yang akan dicapai pada tahun 2010.

Page 29: Hak Asasi Manusia

Implementasi Hak Atas Kesehatan Dalam Konteks HAM

Dalam upaya untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi

(to fulfil) sebagai kewajiban negara mengimplementasikan norma-norma HAM pada hak atas

kesehatan harus memenuhi prinsip-prinsip :

1. Ketersediaan pelayanan kesehatan, dimana negara diharuskan memiiki sejumlah

2. pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk;

3. Aksesibilitas. Fasilitas kesehatan, barang dan jasa, harus dapat diakses oleh tiap orang

tanpa diskriminasi dalam jurisdiksi negara. Aksesibilitas memiliki empat dimensi yang

saling terkait yaitu :tidak diskriminatif, terjangkau secara fisik, terjangkau secara

ekonomi dan akses informasi untuk mencari, menerima dan atau menyebarkan

informasi dan ide mengenai masalah-masalah kesehatan.

4. Penerimaan. Segala fasilitas kesehatan, barang dan pelayanan harus diterima oleh etika

medis dan sesuai secara budaya, misalnya menghormati kebudayaan individu-individu,

kearifan lokal, kaum minoritas, kelompok dan masyarakat, sensitif terhadap jender dan

persyaratan siklus hidup. Juga dirancang untuk penghormatan kerahasiaan status

kesehatan dan peningkatan status kesehatan bagi mereka yang memerlukan.

5. Kualitas. Selain secara budaya diterima, fasilitas kesehatan, barang, dan jasa harus

secara ilmu dan secara medis sesuai serta dalam kualitas yang baik. Hal ini

mensyaratkan antara lain, personil yang secara medis berkemampuan, obat-obatan dan

perlengkapan rumah sakit yang secara ilmu diakui dan tidak kadaluarsa, air minum

aman dan dapat diminum, serta sanitasi memadai. Sementara itu dalam kerangka 3

bentuk kewajiban negara untuk memenuhi hak atas

6. kesehatan dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Menghormati hak atas kesehatan

Dalam konteks ini hal yang menjadi perhatian utama bagi negara adalah

tindakan atau kebijakan “apa yang tidak akan dilakukan” atau “apa yang akan

dihindari”. Negara wajib untuk menahan diri serta tidak melakukan tindakan-

tindakan yang akan berdampak negatif pada kesehatan, antara lain :

menghindari kebijakan limitasi akses pelayanan kesehatan, menghindari

Page 30: Hak Asasi Manusia

diskriminasi, tidak menyembunyikan atau misrepresentasikan informasi

kesehatan yang penting, tidak menerima komitmen internasional tanpa

mempertimbangkan dampaknya terhadap hak atas kesehatan, tidak

menghalangi praktek pengobatan tradisional yang aman, tidak mendistribusikan

obat yang tidak aman.

b. Melindungi hak atas kesehatan

Kewajiban utama negara adalah melakukan langkah-langkah di bidang legislasi

ataupun tindakan lainnya yang menjamin persamaan akses terhadap jasa

kesehatan yang disediakan pihak ketiga. Membuat legislasi, standar, peraturan

serta panduan untuk melindungi : tenaga kerja, masyarakat serta lingkungan.

Mengontrol dan mengatur pemasaran, pendistribusian substansi yang berbahaya

bagi kesehatan seperti tembakau, alkohol dan lain-lain, mengontrol praktek

pengobatan tradisional yang diketahu berbahaya bagi kesehatan.

c. Memenuhi hak atas kesehatan

Dalam hal ini adalah yang harus dilakukan oleh pemerintah seperti menyediakan

fasilitas dan pelayanan kesehatan, makanan yang cukup, informasi dan

pendidikan yang berhubungan dengan kesehatan, pelayanan pra kondisi

kesehatan serta faktor sosial yang berpengaruh pada kesehatan seperti :

kesetaraan gender, kesetaraan akses untuk bekerja, hak anak untuk

mendapatkan. identitas, pendidikan, bebas dari kekerasan, eksploitasi, kejatahan

seksual yang berdampak pada kesehatan.

Dalam rangka memenuhi hak atas kesehatan negara harus mengambil langkahlangkah

baik secara individual, bantuan dan kerja sama internasional, khususnya di bidang ekonomi dan

teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh

dari hak atas kesehatan sebagaimana mandat dari pasal 2 ayat (1) International Covenant on

Economic, Social and Cultural Right (ICESCR).

Page 31: Hak Asasi Manusia

MASALAH EUTHANASIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA

Membicarakan euthanasia (eu = baik, thanatos= mati, mayat), sebenarnya tidak lepas

dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada

diri pasien. Hak ini merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi manusia dan karena itulah

selalu menarik untuk dibicarakan. Kemajuan-kemajuan cara berpikir masyarakat telah

menimbulkan kesadaran-kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan

berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah

mengakibatkan perubahan yang sangat dramatis dan berarti atas pemahaman mengenai

euthanasia.Namun uniknya, kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat tadi rupanya tidak

pernah diikuti oleh perkembangan dalam bidang hukum dan etika.Dalam dunia medis yang

serba canggih, ternyata masih memerlukan tuntutan etika, moral, dan hukum dalam

pelaksanaannya.Hal ini erat sekali kaitannya dengan penerapan hak asasi manusia (HAM) di

lapangan kedokteran.Sejauh mana hak-hak yang dimiliki oleh pasien (dan juga dokter) dalam

kaitan dengan euthanasia, agaknya sudah perlu dipikirkan sejak sekarang.Kenyataan

menunjukkan bahwa seringkali para dokter dan tenaga medis lain harus barhadapan dengan

kasus-kasus yang dikatakan sebagai euthanasia itu, dan disitulah tuntunan serta rambu-rambu

etika, moral, dan hukum sangat dibutuhkan. Bukan saatnya lagi kita masih mengatakan belum

waktunya untuk merumuskan rambu-rambu tadi, karena di era moderen seperti sekarang ini

para dokter akan lebih sering berhadapan dengan kasus-kasus euthanasia.

Ada suatu kontradiktif, manakala kita menilik kembali human right di mana salah

satunya adalah hak untuk hidup, ternyata ada juga realita yang menuntut adanya hak untuk

mati dengan caramengajukan tuntutan euthanasia. Fenomena tuntutan euthanasia telah

menimbulkan pro dan kontra, tidak hanya di kalangan masyarakat Indonesia juga di kalangan

masyarakat internasional.Perdebatan mengenai boleh tidaknya euthanasia yang dulunya hanya

menjadi konsumsi khusus kalangan kedokteran ini, ternyata juga bersinggungan dengan

pranata sosial diantaranya hukum dan agama serta norma-norma yang menjadi pedoman

masyarakat.

Page 32: Hak Asasi Manusia

Eeuthanasia mulai menarik perhatian dan mendapat sorotan dunia, lebih-lebih setelah

dilangsungkannya Konperensi Hukum Se-Dunia, yang diselenggarakan oleh World Peace

Through Law Center di Manila (Filipina), tanggal 22 dan 23 Agustus 1977. Dalam Konperensi

Hukum Se-Dunia tersebut, telah diadakan Sidang Peradilan Semu (Sidang Tiruan), mengenai

"hak manusia untuk mati" atau the right to die. Yang beperan dalam sidang tersebut adalah

tokoh-tokoh di bidang hukum dan kedokteran dari berbagai negara di dunia, sehingga

mendapatkan perhatian yang sangat besar.Namun dalam hal ini hak untuk mati tetap tidak

diakui.

Euthansia berasal dari kata Yunani Euthanatos, mati dengan baik tanpa penderitaan.

Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kedokteran

mendefenisikan Euthansia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group

dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda), yang menyatakan Euthansia adalah dengan sengaja tidak

melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan

sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan

untuk kepentingan pasien sendiri.

Menurut Kartono Muhammad Euthanasia dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:

1. Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak

memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau menghentikan

pertolongan biasa yang sedang berlangsung.

2. Euthanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik langsung maupun tidak

langsung yang mengakibatkan kematian.

3. Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan

pasien. Euthanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa permintaan atau

persetujuan pasien, sering disebut juga sebagai merey killing.

4. Euthanasia nonvolountary, mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien

yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah.

Membicarakan euthanasia (eu = baik, thanatos= mati, mayat), sebenarnya tidak lepas dari apa

yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri

pasien. Hak ini merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi manusia dan karena itulah

Page 33: Hak Asasi Manusia

selalu menarik untuk dibicarakan. Kemajuan-kemajuan cara berpikir masyarakat telah

menimbulkan kesadaran-kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan

berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah

mengakibatkan perubahan yang sangat dramatis dan berarti atas pemahaman mengenai

euthanasia.Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat tadi rupanya

tidak pernah diikuti oleh perkembangan dalam bidang hukum dan etika.

Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian.Usaha

manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan

mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia,

terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati.

Menyinggung masalah kematian, bila dilihat dari aspek cara terjadinya, dunia ilmu

pengetahuan membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu: Orthothanasia, yaitu

kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah, Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang

terjadi secara tidak wajar dan Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan

pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun

1981 tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Dan

Jaringan Tubuh Manusia, menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-

paru. Konsep mati yang dianut dalam aturan hukum ini tidak bisa lagi dipertahankan, karena

teknologi kedokteran telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semua berhenti bisa

dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-paru dapat dipompa untuk berkembang

kempis kembali. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1990 mengeluarkan pernyataan

bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak berfungsi lagi.Konsep ini dijadikan

pernyataan resmi dari Ikatan Dokter Indonesia.Kreteria yang dianut oleh Ikatan Dokter

Indonesia (IDI) tersebut berlandaskan pada alasan bahwa batang otaklah terletak pusat

penggerak napas dan jantung. Sehingga apabila batang otak telah mati maka jantung dan paru-

paru hanya bisa bergerak dengan bantuan alat-alat penopang .

Timbulnya permasalahan hak untuk mati ini disebabkan penderitaan pasien yang tetap

berkelanjutan, walau sekalipun di temukannya teknologi canggih, namun penderitaan tidak

dapat dihilangkan sama sekali. Penderitaan yang berkelanjutan ini menyebabkan pasien atau

Page 34: Hak Asasi Manusia

keluarga pasien kadang-kadang tidak mampu untuk menanggungnya baik moril maupun

materil.Oleh karena itu, mungkin pasien ataupun keluarganya menginginkan agar hidupnya

diakhiri apabila sudah sampai pada klimaks penderitaan yang tidak tertahankan

lagi.Pengakhiran hidup pasien dapat dilakukan dengan mencabut segala alat pembantu yang

telah dipasang oleh dokter yang merawatnya.

Belanda adalah negara pertama di dunia yang melegalkan eutanasia pada tahun 2001,

diikuti Belgia setahun kemudian. Proses permohonan eutanasia pun sangat panjang. Pemohon

harus mendapatkan konseling dengan psikolog dalam periode tertentu.Pasien diberikan cukup

waktu untuk berpikir dalam waiting periode.Setelah itu pemohon harus mendapatkan sertifikat

dari setidaknya dua orang dokter yang menyatakan bahwa kondisi pasien sudah tidak bisa

tertolong. Setelah proses itu dilewati baru diajukan ke pengadilan untuk mendapat keputusan.

Di Swiss, eutanasia masih dipandang ilegal, walaupun di negara itu terdapat tiga organisasi yang

mengurus permohonan tersebut. Organisasi-organisasi tersebut menyediakan konseling dan

obat-obatan yang dapat mempercepat kematian.Pemerintah Swiss sendiri melarang

penggunaan eutanasia dengan suntikan.Setiap kali ada permohonan harus diinformasikan ke

polisi. Di Asia, hanya Jepang yang pernah melegalkan voluntary euthanasia yang disahkan

melalui keputusan pengadilan tinggi pada kasus Yamaguchi di tahun 1962. Walaupun begitu,

karena faktor budaya yang kuat kejadian euthanasia tidak pernah terjadi lagi. Pada tahun 1994,

di Oregon, Amerika Serikat dikeluarkan Death With Dignity Law. Sejak itu sudah ada 100 orang

yang berada dalam tahap lanjut mendapatkan assisted suicide. Eutanasia di Amerika tetap

ilegal dan terus diperdebatkan.

Suatu hal yang menarik di penghujung tahun 2004, di mana suami Ny. Agian

mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri

penderitaan isterinya, namun permohonan itu ditolak oleh pengadilan. Kasus yang sama

muncul lagi terhadap Ny.Siti. Apakah ini pertanda euthanasia mulai digemari sebagai salah satu

cara mengakhiri penderitaan orang yang disayangi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) mengisyaratkan dan mengingatkan kalangan medis bahwa Euthanasia merupakan

perbuatan melanggar hukum dan dapat diancam dengan pidana. Hal ini dapat di lihat dalam

Pasal 344 pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu: Barangsiapa menghilangkan

Page 35: Hak Asasi Manusia

jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan

sungguh-sungguh, dihukum penjara selamanya dua belas tahun.

Kebangkitan kesadaran akan hak-hak asasi manusia khususnya dalam bidang kesehatan

dan semakin tingginya pengetahuan pasien terhadap berbagai masalah kesehatan,

mengakibatkan dokter tidak dapat secara leluasa mengobati pasien tanpa memperhatikan

keadaan pasien. Sejarah terjadinya pengobatan telah berjalan berdasarkan tradisi secara

berkesinambungan sejak masa Hippokrates sampai pada pertengahan abad ke dua

puluh.Dokter semula diagung-agungkan identik dengan dewa penyembuh oleh masyarakat

karena kemampuannya mengetahui hal-hal yang tidak nampak dari luar.Apalagi saat itu

kesembuhan dari suatu penyakit diperoleh setelah "dokter" membaca mantra-mantra untuk

pasiennya, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh para pendeta atau

rohaniawan.Perkembangan ilmiah, teknologi dan sosial menimbulkan dengan cepat perubahan-

perubahan dalam ilmu biologis dan pelayanan kesehatan.Perkembangan-perkembangan ini

merupakan tantangan bagi konsep-konsep dari kewajiban-kewajiban moral para tenaga

kesehatan dan masyarakat yang berlaku pada saat penderita yang sakit atau mengalami

kecacatan.

Hak-hak asasi manusia yang dalam perjalanan sejarah manusia senantiasa

diperjuangkan dan diagungkan itu biasanya berupa hak untuk hidup, seperti kebebasan

mengutarakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan, kebebasan dari

kekurangan dan sebagainya.

Hak-hak asasi tersebut dilindungi oleh dokumen-dokumen international maupun undang-

undang dasar boberapa negara didunia beradab, maka adalah wajar apabila dikaitkasn dengan

hak untuk rnenentukan nasib sendiri tersebut mcmbawa konsekwensi juga pada penentuan

nasib sendiri untuk hidup atau untuk mati.Sehingga muncul pendapat yang mengatakan adalah

wajar pula bila mati juga merupakan hak manusia yang asasi dan oleh karenanya Juga harus

dilindungi hukum.Hak untuk mati sekarang ini hangat diperjuangkan dan diagungkan di negara-

negara maju, bahkan diperjuangkan sebagai bagian dari hak- hak asasi manusia sampai ke

forum PBB.

Page 36: Hak Asasi Manusia

Dalam beberapa kasus euthanasia di negara-negara Eropa dan Amerika, pengadi1anpun

mengabulkan hak untuk mati itu, meskipun dengan berbagai pertimbangan yang menyangkut

situasi, kondisi yang Cukup berat.Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu hak

manusia untuk mati mulai diperhatikan.Secara sadar tapi perlahan-lahan hak untuk mati

mendapat pengakuan, meskipun masih terbatas.

Di Indonesia, masalah hak-hak asasi manusia mendapat perhatian yang besar dari

pemerintah maupun rakyatnya. Berbicara tentang masalah ini, kita tidak dapat terlepas dari

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena disana hak-hak asasi manusia baik secara

tersurat maupun tersirat termaktub didalamnya.Meskipun hak-hak asasi manusia merupakan

hak- hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari hakekatnya

dan karena itu bersifat pribadi namun hak tersebut tidak mencakup hak untuk mati.Sebab bagi

bangsa Indonesia, masalah kematian itu berada ditangan Tuhan bukan merupakan hak

manusia.

Hak asasi manusia yang merupakan pengejawantahan dari natural right atau hak kodrat

yang melekat pada diri setiap manusia, dalam perkembangannya sepanjang sejarah sudah

menjadi human rights, di mana kata human menunjuk pada hak esensiil yang merupakan

bagian dari hak hidup manusia .

Dikaitkan dengan hak atas perawatan-pemeliharaan medik, maka pada dasarnya hukum

medik bertumpu pada dua hak dasar, yaitu: hak atas perawatan-pemeliharaan medik (the right

to healthcare); dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination). Dari

kedua hak dasar ini dapat diturunkan hak-hak pasien untuk memperoleh informasi mengenai

kesehatan/penyakitnya, hak untuk memilih rumah sakit, hak untuk memilih dokter, hak untuk

meminta pendapat dokter lain (second opinion), hak atas privacy dan atas kerahasiaan

pribadinya, hak untuk menyetujui atau menolak pengobatan yang akan dilakukan oleh dokter,

kecuali yang dianggap bertentangan dengan undang-undang, dengan nilai-nilai Pancasila,

seperti tindakan: euthanasia, aborsi (tanpa indikasi medik).

Di lihat dari aspek yuridis Euthanasia bersinggungan langsung dengan hukum pidana

pada saat proses kematian. Berdasarkan hal itu, jika dilihat dari segi hukum jelaslah bahwa

pengaturan euthanasia yang lengkap sampai saat ini belum ada, padahal masalah euthanasia ini

Page 37: Hak Asasi Manusia

menyangkut nyawa manusia di mana kasus-kasusnya mulai banyak bermunculan

kepermukaan.Untuk itu penanggulangan masalah euthanasia, perlu diatur sedemikian rupa

sehingga tidak bertentangan dengan hukum dan moral.

Euthanasia berhubungan erat dengan kepentingan perseorangan menyangkut perlindungan

terhadap nyawa.Buku II dan buku III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut

KUHP), bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap tindakan pidana. Tindakan

euthanasia yang menyangkut nyawa, diatur .dalam Pasal 344 KUHP, Bab XIX tentang Kejahatan

Terhadap Nyawa, yang mengatur sebagai berikut: Barang siapa merampas nyawa orang lain

atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyataksn atas kesungguhan hati diancam dengan

pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Salah satu pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum guna pembahasan

selanjutnya adalah apa yang terdapat di dalam Kitab undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut tentang jiwa

manusia.Pasal yang paling mendekati dengan masalah tersebut adalah Pasal 344 KUHP yang

terdapat dalam Bab XIX, Buku Kedua.

Pencantuman Pasal 344 KUHP menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang telah menduga

masalah euthanasia pernah dan akan terjadi di Indonesia sekalipun demikian pasal ini belum

pernah menjaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana. Hal ini disebabkan perumusan

pasal yang menimbulkan kesulitan dalam pembuktian, yakni adanya kata-kata " atas

permintaan sendiri " yang disertai pula kalimat " yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan

hati "

Oleh karena dalam kenyataannya Pasal 344 KUHP sulit untuk diterapkan sehingga muncul

suara-suara yang mengatakan " sebaiknya redaksi Pasal 344 KUHP dirumuskan kembali

berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang dan dimasa mendatang, yang

disesuaikan dengan perkembangan medis ". Dengan rumusan baru ini diharapkan dapat

memungkinkan atau memudahkan penanganan kasus-kasus euthanasia dengan hukum pidana.

Page 38: Hak Asasi Manusia

Daftar Pustaka

Diah, nurul. 2010. Euthanasia, Hak Hidup atau Hak Mati ? Artikel Penerapan HAM di

Indonesia. Avaible at: http:// gegdiah.student.umm.ac.id/2010/01/29/euthanasia-hak-hidup-

atau-hak-mati-artikel-penerapan-ham-di-indonesia/

Afandi, dedi. 2008. Hak Atas Kesehatan Dalam Perspektif HAM. Jurnal Ilmu Kedokteran,

Maret 2008, Jilid 2 Nomor 1. ISSN 1978-662X