Upload
mettacalter
View
67
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Hak Asasi Manusia
Sejarah Hukum di Indonesia
1. Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda
dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a. Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi
pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara
mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar
rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di
masa itu.
b. Periode liberal Belanda
Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854)
atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya
melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama
kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan
pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang
mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan
jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak
lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi
ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus
terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi
eksploitasi oleh modal swasta.
c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik
etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: 1) Pendidikan untuk anak-
anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; 2) Pembentukan Volksraad, lembaga
perwakilan untuk kaum pribumi; 3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi
efisiensi; 4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; 5) Pembentukan
peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya
kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: 1) Dualisme/pluralisme
hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; 2) Penggolongan rakyat
ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa,
dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan
perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku
sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa
perubahan perundang-undangan yang terjadi: 1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya
berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; 2)
Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang
berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: 1) Penghapusan
dualisme/pluralisme tata peradilan; 2) Unifikasi kejaksaan; 3) Penghapusan pembedaan polisi
kota dan pedesaan/lapangan; 4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; 5) Pengisian secara
massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.
2. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a. Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam
bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-
badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran
badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang
bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b. Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan
hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan
hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional
yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang
berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan
mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan
melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan
dan Kekuasaan Pengadilan.
3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a. Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh
dalam dinamika hukum dan peradilan adalah: 1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan
dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif; 2) Mengganti
lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman; 3)
Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas
proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan bahwa
hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti
mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
b. Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh
penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan,
rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama
membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di
Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU
Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum
di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis,
termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan
yang baik dalam hukum Nasional.
4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat
kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa
pembaruan formal yang mengemuka adalah: 1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar
pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat
hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat
penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum
mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari
ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto,
peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya,
pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya
hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu,
pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
Sejarah HAM di Indonesia
1. Pengertian HAM
b. Berdasarkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998
HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan
abadi sebagai anugerah Tuhan YME, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak
mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak
keamanan, dan hak kesejahteraan yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau
dirampas oleh siapapun.
Macam-macam HAM yang tercantum dalam TAP MPR di atas :
1. Hak untuk hidup
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3. Hak keadilan
4. Hak kemerdekaan
5. Hak atas kebebasan informasi
6. Hak kemananan
7. Hak kesejahteraan
8. Kewajiban
9. Perlindungan dan pemajuan
b. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM :
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
HAM menurut UU No. 39/1999 di atas meliputi :
1. Hak untuk hidup
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3. Hak mengembangkan diri
4. Hak keadilan
5. Hak kemerdekaan (kebebasan pribadi)
6. Hak rasa aman
7. Hak kesejahteraan
8. Hak turut serta dalam pemerintahan
9. Hak wanita dan anak
Adapun karakteristik HAM adalah sebagai berikut:
b. Qodrat: HAM adalah anugerah dari TUhan untuk setiap manusia agar
hidupnya tetap terhormat
c. Hakiki: HAM melekat pada setiap manusia, tanpa memandang latar belakang
kehidupannya.
d. Universal: HAM itu berlaku umum
e. Tidak Dapat dicabut: Dalam keadaan bagaimanapun, HAM setiap orang tetap
ada
f. TIdak Dapat dibagi: HAM itu tidak dapat diwakili, dialihkan ataupun dipisah-
pisah.
c. Pandangan Bangsa Indonesia tentang HAM
Dalam Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 dijelaskan mengenai pandangan
Bangsa Indonesia terhadap HAM, sebagai berikut :
1. Manusia sebagai makhluk Tuhan YME dianugerahi hak asasi tanpa perbedaan
2. Bangsa Indonesia menjunjung tinggi dan menerapkan HAM sesuai dengan
Pancasila
3. Hak tidak terlepas dari kewajiban
4. Bangsa Indonesia menghormati deklarasi HAM PBB 1948
5. HAM adalah hak anugerah Tuhan YME, yang melekat pada diri manusia, bersifat
kodrati, universal, dan abadi berkaitan dengan harkat dan martabat manusia
Pengakuan bangsa Indonesia terhadap HAM nampak pada UUD 1945 yaitu pada :
2. Pembukaan UUD 1945 alinea I yang berbunyi : “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu adalah hak segala bangsa..” artinya adanya hak untuk merdeka atau kebebasan
3. Pembukaan UUD 1945 alinea IV, yaitu sila II Pancasila : Kemanusiaan yang adil dan
beradab, merupakan landasan idiil HAM di Indonesia
4. Pasal 27 sampai dengan pasal 34 pada hakikatnya adalah HAM
5. Pasal 28A sampai dengan 28J mencantumkan rumusan HAM
d. Aliran HAM
INDIVIDUALISTIS
hak asasi individu hrs diutamakan drpd kepentingan bersama. ALiran ini biasa di
anut oleh Negara Barat.
MARXISME
Tidak mengakui hak individu, negara menentukan segalanya bagi rakyat.
Kebebasan individu sangat dibatasi. Kepentingan Negara adalah mutlak. Aliran
ini biasa dianut oleh Negara Komunis.
INTEGRALISTIK
Hak asasi individu dalam kerangka kepentingan masyarakat. Paham ini memiliki
keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan bersama.
Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak
Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada
Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan
garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia,
melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya,
melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan
hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada
hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.
Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak
memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari
manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat
kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember
1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia
mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan
Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara)
maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di
negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling
menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa,
agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian
bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari
masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap
pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB
bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan
juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya.
Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke
Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk
mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub
dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun,
dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di
muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk
semua
Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia,yakni:
Undang – Undang Dasar 1945
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-
bedakan menjadi sebagai berikut :
Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki
sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk
mendirikan partai politik.
Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan ( rights of legal equality).
Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak
untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan
(procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan,
penggeledahan, dan peradilan.
Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak Asasi
Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998.
Instrumen HAM Internasional
Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi, melindungi HAM
serta menghormati kebebasan pokok manusia secara universal ditegaskan secara berulang-
ulang, diantaranya dalam Pasal 1 (3):
”Untuk memajukan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah
internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan menggalakan serta
meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua
orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama …”
Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan instrumen-
instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:
a. Instrumen Hukum yang Mengikat
1). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar yang diambil
oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang terdapat dalam DUHAM
merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima oleh negara-negara di dunia
melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM yang dirancang
dalam bentuk umum dan merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu:
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan realisasi dari
hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam PBB, misalnya (yang terkait dengan penegakan
hukum) Pasal 3, 5, 9, 10 dan 11. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut menetapkan hak
untuk hidup; hak atas kebebasan dan keamanan diri; pelarangan penyiksaan-perlakuan-
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia;
pelarangan penangkapan sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas praduga tak bersalah
sampai terbukti bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan,
DUHAM merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.
2). Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights)
Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara internasional sejak Maret 1976.
Konvenan ini mengatur mengenai:
- Hak hidup;
- Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi atau
direndahkan martabat;
- Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
- Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi
kewajiban kontraktual;
- Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan peradilan; dan
- Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut dalam penerapan hukum
pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia turut
mengaksesinya atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005, sehingga
mengikat pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi oleh Komite Hak
Asasi Manusia.
3). Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant
on Economic, Social dan Cultural Rights
Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005
mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam Kovenan ini adalah:
- Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
- Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam pekerjaan sehari-
hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi terdapat prinsip non-diskriminasi dan
perlindungan terhadap penghilangan paksa.
- Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu yang saling
terkait satu sama lain.
Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam pelaksanaannya
juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
4). Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide)
Kovensi ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu pelanggaran HAM berat.
Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai kejahatan internasional dan menetapkan perlunya
kerjasama internasional untuk mencegah dan menghapuskan kejahatan genosida.
5). Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment)
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang Penyiksaan) mulai
berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998.
Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil
dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya guna: 1) mencegah tindak
penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler), atau pengekstradisian seseorang ke negara
lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan
berada dalam keadaan bahaya (karena menjadi sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar setiap
orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum
mempunyai hak untuk mengadu, memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera oleh
pihak-pihak yang berwenang secara tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang yang mengadu
dan saksi-saksinya dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari
pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan, 4) menjamin korban memperoleh ganti rugi
serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam
pelaksanaannya diawasi oleh Komite Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan
aturan yang terdapat didalamnya.
6). Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui UU No.
29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial dalam bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang
untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit, asal usul dan
suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang
mengawasi pelaksanaannya.
7). Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women)
Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia melalui UU
No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah menjadi instrumen internasional
yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial
budaya, dan sipil. Konvensi ini mensyaratkan agar negara melakukan segala cara yang tepat dan
tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi
terhadap perempuan serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan HAM
dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam
pelaksanaannya, Konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan Komite Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
8). Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh Indonesia
melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus menghormati dan
menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul kebangsaan atau
sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara juga harus mengambil langkah-
langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi
atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau
kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga
membentuk Komite Hak Anak (CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi.
9). Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees )
Konvesi ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi ini
walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan dengan istilah
“internaly displaced person” atau pengungsi yang berpindah daerah dalam satu negara.
Pengungsi dalam konvensi ini didefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan negaranya
karena takut disiksa atas alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau keanggotaan pada
kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang karena ketakutan. Kovensi Pengungsi
menentukan empat prinsip HAM dalam menangani pengungsi, yaitu: persamaan hak, tidak
adanya pengasingan terhadap hak-hak mereka, universalitas dari hak-hak mereka, serta hak
untuk mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman.
b. Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat
1). Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement
Officials)
Majelis Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169 tentang Pedoman
Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan bagi penegak hukum
dalam menjalankan tugasnya. Terdapat delapan pasal yang mengatur mengenai tanggung
jawab penegak hukum yaitu, perlindungan HAM, penggunaan kekerasan, penanganan terhadap
informasi rahasia, pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat manusia, perlindungan kesehatan tahanan,
pemberantasan korupsi, serta penghargaan terhadap hukum dan undang-undang.
2). Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (Basic Principles
on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials)
Prinsip-prinsip ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa penggunaan
kekerasan dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta sesuai dengan tugas
pokok maupun fungsi yang diatur oleh peraturan perundangan.
3). Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All Persons from
Enforced Disappearance)
Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1992. Di dalamnya
terdapat 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai pencegahan tindakan penahanan
tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Deklarasi ini
mensyaratkan adanya langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, maupun langkah-langkah
efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan tindakan penghilangan paksa.
4). Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination
of Violence against Women)
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi mengenai
Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban
wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta menyatakan agar diambil langkah-
langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaannya. Deklarasi ini menjadi dasar dalam
penyusunan rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita.
5). Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)
Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Deklarasi Pembela HAM
memberikan perlindungan bagi para pembela HAM dalam melakukan kegiatan mereka.
Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru tetapi lebih pada memberikan panduan bagi para
pembela HAM terkait dengan pekerjaan mereka. Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam
pemenuhan HAM, serta tanggung jawab yang harus dilakukan oleh para pembela HAM,
disamping juga menjelaskan hubungan antara HAM dan hukum nasional suatu negara.
Ditegaskan agar para pembela HAM melakukan aktivitasnya dengan cara-cara damai.
6). Prinsip-prinsip tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir
(Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal, Arbitrary and
Summary Executions )
Prinsip-prinsip tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman Mati
yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan prinsip-prinsip yang
direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Mei 2003. Prinsip-prinsip ini
memberikan panduan bagi penegak hukum dalam mengadili para pelaku tindak pidana. Prinsip-
prinsip ini menekankan pentingnya pengawasan (termasuk kejelasan dalam rantai komando)
terhadap lembaga-lembaga penegak hukum. Prinsip-prinsip ini juga mejelaskan secara rinci
mengenai jaminan terhadap pemenuhan hak untuk hidup.
Instrumen HAM di Indonesia
Beberapa instrumen HAM yang dimiliki NKRI yaitu :
1. Undang-undang Dasar 1945. Terdapat dalam pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD
1945 yaitu pasal 28A sampai dengan 28J.
Dalam pembukaan undang undang dasar 1945 hak asasi manusia termuat secara
lengkap. Secara garis besar hak asasi manusia tercantum pada :
Alinea pertama pembukaan UUD 1945 yaitu sesungguh nya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa
Pasal 27,28,28D ayat (3),30,dan 31 Uud 1945 yang mengatur tentang hak-hak warga
negara
Pasal 28A-28J UUD tentang hak asasi manusia
2. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM terdapat 8 bab yang mengatur tentang
HAM.
Atas desakan masyarakat kepada negara agar lebih memperhatikan penghormatan
terhadap hak asasi manusia , maka pada tanggal 13 november 1998 melalui sidang istimewa
MPR ditetapkanlah ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang hak asasi manusia. Ketetapan
ini menugaskan kepada seluruh lembaga tinggi negara ,seluruh aparatur negara untuk
menghormati, menegakkan ,dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia ini
kepada masyarakat. Disamping itu ,ketetapan ini menugaskan pula kepada pemerintah untuk
segera meratifikasi (menandatangani dan mengesahkan) berbagai piagam PBB tentang hak
asasi manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945.
3. KEPPRES 129/1998 TTG RAN HAM
4. KONVENSI PBB
Undang-undang No.39 tahun 1999
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan asas-asas
tentang pengakuan negara terhadap HAM, bahwa setiap individu dilahirkan bebas dengan
harkat dan martabat yang sama, dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Adapun HAM dan kebebasan dasar manusia dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
1. Hak Hidup (Pasal 9);
2. Hak untuk Berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10);
3. Hak Mengembangkan Diri (Pasal 11-16);
4. Hak Memperoleh keadilan (Pasal 17-19);
5. Hak Kebebasan Pribaditurut serta dalam Pemerintahan (Pasal 20-27);
6. Hak atas Rasa Aman (Pasal 28-35);
7. Hak atas Kesejahteraan (Pasal 36-42);
8. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (Pasal 43-44);
9. Hak-hak Perempuan (Pasal 45 – 51);
10. Hak-hak Anak (Pasal 52 -66).
UU No. 39 tahun 1999 mengatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam
penegakan HAM di Indonesia, sehingga pemerintah selalu memperhatikan hak-hak masyarakat
dalam setiap pembuatan kebijakan. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah adalah
menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM. Hal ini meliputi langkah
implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam dan
lain-lain.
Selain dari HAM yang diatur dalam UU No. 39 tahun 1999, terdapat juga pengaturan
kewajiban dasar manusia, yaitu:
1. Setiap orang wajib patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,
hukum tidak tertulis dan hukum internasional mengenai HAM;
2. Kewajiban warga negara wajib turut serta dalam upaya pembelaan negara;
3. Kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain;
4. Kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang
undang.
Undang-undang No.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Pengadilan HAM
digunakan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat dan
mengembalikan keamanan dan perdamaian Indonesia.
UU No.68/1959 ttg Ratifikasi Konvensi Hak Wanita
Keppres No. 36/1990 Konvensi tentang Hak Anak.
UU no. 7/1984 tentang Pengesahan konvensi Penghapusan Sgl Btk Diskriminasi thd
Wanita
UU 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang penyiksaan dan
perlakuan/penghukuman yang kejam lainnya yg tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia.
MEKANISME PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA NASIONAL
a. Pendahuluan
Perkembangan pengaturan hukum hak asasi manusia di dunia internasionalmemberikan
dampak besar bagi Indonesia. Seakan tidak ingin tertinggal dengan negaranegara lain,
Indonesia dengan cepat membangun mekanisme penegakan hak asasi manusia, di samping
serangkaian proses legislasi yang telah dilakukan. Pada BAB ini akan diuraikan mekanisme
penegakan hak asasi manusia di Indonesia secara detil menyangkut beberapa institusi yaitu
Mahkaham Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, Komisi Nasional Perempuan dan Komisi Ombudsman Nasional.
b. Mahkamah Konstitusi
Perkembangan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia telah dipengaruhi oleh perubahan
politik setelah kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998. Sidang Istimewa MPR bulan November
1998, misalnya, menghasilkan Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan
disusul dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia dicantumkan pula dalam Perubahan Ketiga
Undang-undang Dasar 1945(tahun 2000). Pada dasarnya, secara strict wewenang Mahkamah
Konstitusi menguji undang - undang terhadap konstitusi merupakan uji konstitusionalitas
sehingga dikenal sebagaiconstitutional review. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, dan
berbagai negara, ujikonstitusionalitas itu disandarkan kepada suatu alas hak (legal standing)
bahwa undang – undangyang diuji telah merugikan hak dan/atau wewenang konstitusional
pemohonconstitutional review.
c. Komisi Nasional
1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Pengantar
Lembaga nasional hak asasi manusia merupakan sebuah badan yang
menanganipersoalan-persoalan hak asasi manusia, terutama dalam kerangka memajukan
danmelindungi hak asasi manusia. Secara internasional institusi ini dimaksudkan sebagairekan
kerja Komisi HAM PBB di tingkat nasional. Maka, sebagaimana Komisi HAMPBB – lembaga
nasional hak asasi manusia merupakan salah satu mekanismepemajuan/perlindungan hak asasi
manusia. Di Indonesia, lembaga nasional tersebutadalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM), yang pada awalberdirinya dibentuk berdasarkan Keppres No. 50 tahun 1993
dan dalamperkembangannya diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia.Keberadaan lembaga ini secara internasional dipandu oleh Prinsip-prinsip
Paris1991, mengenai Status dan Fungsi Institusi Nasional untuk Melindungi dan MemajukanHak
Asasi Manusia. Di dalamnya mencakup jurisdiksi lembaga, kemandirian danpluralitas yang
harus tercermin dalam komposisi maupun cara beroperasinya.
Prinsip-Prinsip Paris
Prinsip pluralisme. Prinsip-prinsip Paris menyatakan ”Komposisi lembaganasional dan
penunjukan anggota-anggotanya, baik melalui pemilihan atau cara lain,harus dilaksanakan
sesuai dengan prosedur yang memuat semua jaminan yangdiperlukan untuk memastikan
perwakilan yang beragam dari kekuatan sosial –yangterlibat dalam pemajuan dan perlindungan
hak asasi manusia.”
2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga independen yangdibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak dalam rangka
meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (yang selanjutnya akan disebut denganKPAI) dibentuk untuk merespon berbagai
laporan tentang adanya kekerasan,penelantaran dan belum terpenuhinya hak-hak dasar anak
di Indonesia. Keputusanpolitik untuk membentuk KPAI juga tidak dapat dilepaskan dari
dorongan duniainternasional. Komunistas internasional menyampikan keprihatinan mendalam
ataskondisi anak di Indonesia. Banyaknya kasus pekerja anak, anak dalam area konflik,pelibatan
anak dalam konflik senjata (childs soldier) seperti yang terjadi di Aceh,tingginya angka putus
sekolah, busung lapar, perkawinan di bawah umur, trafficking,dan lain sebagainya telah
memantik perhatian komunitas internasional untuk menekanpemerintah Indonesia agar
membuat lembaga khusus yang bertugas memantau kondisiperlindungan anak di
Indonesia.Tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah:
a. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yangberkaitan
dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi,menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi,dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak;
b. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalamrangka
perlindungan anak.
3. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau sering disingkatsebagai
Komnas Perempuan adalah sebuah institusi hak asasi manusia yang dibentukoleh negara untuk
merespon isu hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia,khususnya isu kekerasan terhadap
perempuan. Karena mandatnya yang spesifikterhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan
pelanggaran hak-hak perempuan makaada yang mengkategorikan Komnas Perempuan sebagai
sebuah insitusi hak asasimanusia yang spesifik, berbeda dengan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia(Komnas HAM) yang bersifat lebih umum mencakupi seluruh aspek dari hak asasi
manusia.
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 yang diperbaharui dalam
Peraturan Presiden (PerPres) No. 65 tahun 2005, maka keberadaan Komnas
Perempuanbertujuan untuk:
1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentukkekerasan
terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi perempuan diIndonesia;
2. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentukkekerasan
terhadap perempuan di Indonesia.
Komnas Perempuan adalah sebuah lembaga negara yang unik, sebuah mekanismehak
asasi manusia nasional yang spesifik untuk kekerasan terhadap perempuan di manadi belahan
dunia lainnya belum ada lembaga yang menyerupainya. Komnas Perempuandengan demikian
secara internal belajar menemukan cara yang paling efektif daripengalaman lembaga itu
sendiri.
4. Komisi Ombudsman Nasional (KON)
Menurut Kepres tersebut, Komisi Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan
masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, sertaberwenang melakukan
klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakatmengenai penyelenggaraan
negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahantermasuk lembaga peradilan
terutama dalam memberikan pelayanan kepadamasyarakat.
Kemunculan KomisiOmbudsman Nasional lebih didasari oleh semangat reformasi yang
bertujuan menatakembali perikehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam rangka
melakukan
reformasi birokrasi yang telah mandeg selama puluhan tahun.Dilihat dari mekanisme
pertanggungjawabannya, ombudsman dapat dibedakan menjadi:
a. Ombudsman Parlementer, yaitu Ombudsman yang dipilih pleh parlemen
danbertanggungjawab (laporan) kepada Parlemen.
b. Ombudsman Eksekutif, yaitu Ombudsman yang dipilih oleh Presiden, PerdanaManteri
atau Kepala Daerah, dan bertanggungjawab (laporan) kepadaPresiden, Perdana Manteri
atau Kepala Daerah.
Komisi Ombudsman Nasional dibentuk dengan dua tujuan, pertama, untuk membantu
menciptakan dan/atau mengembangkan kondisiyang kondusif dalam melaksanakan
pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.Kedua, untuk meningkatkan perlindungan hak-
hak masyarakat agar memperolehpelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan secara lebih
baik. Tujuan tersebutdiharapkan akan tercapai dengan cara:
a. Melakukan sosialisasi dan diseminasi pemahaman mengenai lembagaOmbudsman
kepada masyarakat luas;
b. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Instansi Pemerintah,Perguruan
Tinggi, lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi,Organisasi Profesi dan lain-lain;
c. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenaiterjadinya
penyimpangan oleh penyelenggaraan negara dalam melaksanakantugasnya maupun
dalam memberikan pelayanan umum;
d. Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-Undang tentang OmbudsmanNasional.
Hak Atas Kesehatan
Kesehatan adalah keadaaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Pasal 1 poin 1 UU No 23/1992 tentang
Kesehatan), karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan. Tanpa
kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional. Tanpa kesehatan, seseorang
tidak akan mampu memperoleh hak-hak lainnya. Sehingga kesehatan menjadi salah satu ukuran
selain tingkat pendidikan dan ekonomi, yang menentukan mutu dari sumber daya manusia
(Human Development Index).
Hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia telah diakui dan diatur dalam berbagai
instrumen internasional maupun nasional. Jaminan pengakuan hak atas kesehatan tersebut
secara eksplisit dapat dilihat dari beberapa instrumen sebagai berikut :
a. Instrumen Internasional
1. Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR).
2. Pasal 6 dan 7 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
3. Pasal 12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR)
4. Pasal 5 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
(ICERD).
5. Pasal 11, 12 dan 14 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against
Women (Women’s Convention).
6. Pasal 1 Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment
or Punishment (Torture Convention, or CAT).
7. Pasal 24 Convention on the Rights of the Child (Children’s Convention, or CRC)
b. Instrumen Nasional
1. Amandemen- II Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.
2. Pasal 9 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3. Pasal 4 UU Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
4. UU Nomor 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dengan melihat dan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, maka sesungguhnya
tiap gangguan, intervensi atau ketidak-adilan, ketidak-acuhan, apapun bentuknya yang
mengakibatkan ketidak-sehatan tubuh manusia, kejiwaannya, lingkungan alam dan lingkungan
sosialnya, pengaturan dan hukumnya, serta ketidak-adilan dalam manajemen sosial yang
mereka terima, adalah merupakan pelanggaran hak mereka, hakhak manusia.
Hak atas kesehatan bukanlah berarti hak agar setiap orang untuk menjadi sehat, atau
pemerintah harus menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang mahal di luar kesanggupan
pemerintah. Tetapi lebih menuntut agar pemerintah dan pejabat public dapat membuat
berbagai kebijakan dan rencana kerja yang mengarah kepada tersedia dan terjangkaunya
sarana pelayanan kesehatan untuk semua dalam kemungkinan waktu yang secepatnya. Dalam
Pasal 12 ayat (1) International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) hak
atas kesehatan dijelaskan sebagai “hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang
dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental” tidak mencakup area pelayanan kesehatan.
Sebaliknya, dari sejarah perancangan dan makna gramatikal pasal 12 ayat (2) yang menyatakan
bahwa langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada kovenan ini guna mencapai
perwujudan hak ini
sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan :
a. Ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat kelahiran-mati dan
b. kematian anak serta perkembangan anak yang sehat;
c. Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;
d. Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular,
e. endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan;
f. Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis
dalam hal sakitnya seseorang.
Sehingga hak atas kesehatan mencakup wilayah yang luas dari faktor ekonomi dan social
yang berpengaruh pada penciptaan kondisi dimana masyarakat dapat mencapai kehidupan
yang sehat, juga mencakup faktor-faktor penentu kesehatan seperti makanan dan nutrisi,
tempat tinggal, akses terhadap air minum yang sehat dan sanitasi yang memadai, kondisi kerja
yang sehat dan aman serta lingkungan yang sehat.
Antara Hak Asasi Manusia dan Kesehatan terdapat hubungan yang saling
mempengaruhi. Seringkali akibat dari pelanggaran HAM adalah gangguan terhadap kesehatan
demikian pula sebaliknya, pelanggaran terhadap hak atas kesehatan juga merupakan
pelanggaran terhadap HAM.
Gambar 1. Hubungan antara kesehatan dan hak asasi manusia.
Lingkaran kanan bawah dari lingkaran hubungan antara HAM dan Kesehatan merupakan
akibat tidak terpenuhi atau gagalnya pemerintah dalam memenuhi kewajibannya. Sementara
itu, lingkaran atas erat kaitannya dengan hak atas kesehatan yang terlanggar oleh praktik-
praktik kekerasan, yang menjadi bagian dari pelanggaran hak sipil dan politik. Untuk lingkaran
kiri bawah menggambarkan hubungan antara HAM dan Kesehatan yang terjadi akibat kondisi
masyarakat yang rentan.
Sementara itu juga terdapat beberapa aspek yang tidak dapat diarahkan secara sendiri
dalam hubungan antara Negara dan Individu. Secara khusus, kesehatan yang baik tidaklah
dapat dijamin oleh Negara, dan tidak juga Negara menyediakan perlindungan terhadap setiap
kemungkinan penyebab penyakit manusia. Oleh karena itu, faktor genetik, kerentanan individu
terhadap penyakit dan adopsi gaya hidup yang tidak sehat atau beresiko, mempunyai peranan
yang sangat penting terhadap kesehatan seseorang. Sehingga, Hak Atas Kesehatan harus
dipahami sebagai hak atas pemenuhan berbagai fasilitas, pelayanan dan kondisi-kondisi yang
penting bagi terealisasinya standar kesehatan yang memadai dan terjangkau.
Isu Pokok Hak Atas Kesehatan
Pengertian kesehatan sangat luas dan merupakan konsep yang subjektif, serta
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor-faktor geografis, budaya dan sosioekonomi.
Oleh karena itu sulit untuk menentukan tentang apa saja yang termasuk ke dalam hak atas
kesehatan. Untuk itu para ahli, aktivis dan badan-badan PBB mencoba membuat rincian
mengenai core content hak atas kesehatan. Core content terdiri dari seperangkat unsur-unsur
yang harus dijamin oleh negara dalam keadaan apapun, tanpa mempertimbangkan
ketersediaan sumber daya, yang terdiri dari :
1. Perawatan kesehatan :
a. Perawatan kesehatan ibu dan anak, termasuk keluarga berencana;
b. Imunisasi;
c. Tindakan yang layak untuk penyakit-penyakit biasa (common disease) dan
kecelakaan;
d. Penyediaan obat-obatan yang pokok (essential drugs).
2. Prakondisi dasar untuk kesehatan :
a. Pendidikan untuk menangani masalah kesehatan termasuk metode-metode
b. untuk mencegah dan mengedalikannya;
c. Promosi penyediaan makanan dan nutrisi yang tepat;
d. Penyediaan air bersih dan sanitasi dasar.
Jika melihat hubungan antara kesehatan dan HAM, kategorisasi unsur-unsur di atas
belum sepenuhnya dapat menjawab permasalahan. Untuk itu faktor-faktor yang berhubungan
dengan kesehatan yang termasuk dalam hak-hak asasi manusia yang lain, tidak perlu
ditambahkan ke dalam hak atas kesehatan. Sementara itu dalam komentar umum No 14
tentang hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau sesuai bunyi pasal 12 ayat
(2) International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) memberikan contoh
umum dan spesifik berbagai langkah-langkah yang muncul dari adanya definisi yang luas dari
hak atas kesehatan dalam pasal 12 ayat (1) sehingga dapat dapat menggambarkan isi dari hak
atas tersebut, yaitu :
a. Hak ibu, Hak anak dan kesehatan reproduksi.
mengurangi angka kematian bayi dan anak di bawah usia 5 tahun;
pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi;
akses terhadap Keluarga Berencana (KB);
perawatan sebelum dan sesudah melahirkan;
pelayanan gawat darurat dalam bidang obstetri (kebidanan);
akses dan sumber daya yang dibutuhkan sehubungan dengan kesehatan reproduksi.
b. Hak atas lingkungan alam dan tempat kerja yang sehat dan aman.
Tindakan preventif terhadap kecelakaan kerja dan penyakit;
Air minum yang sehat dan aman serta sanitasi dasar;
Pencegahan dan menurunkan kerentanan masyarakat dari substansi yang
membahayakan seperti radiasi, zat kimia berbahaya, kondisi lingkungan yang
membahayakan;
Industri yang higienis;
Lingkungan kerja yang sehat dan higienis;
Perumahan yang sehat dan memadai;
Persediaan makanan dan nutrisi yang cukup;
Tidak mendorong penyalahgunaan alkohol, tembakau, obat-obatan dan substansi yang
berbahaya lainnya.
c. Hak pencegahan, penanggulangan dan pemeriksaan penyakit.
Pencegahan dan penanggulangan serta pengawasan penyakit epidemik dan endemik,
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan;
Pembentukan program pencegahan dan pendidikan bagi tingkah laku yang berkaitan
dengan kesehatan seperti penyakit menular seksual (PMS), HIV/AIDS, penyakit yang
berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi;
Promosi menenai faktor sosial yang berpengaruh pada kesehatan, misalnya lingkungan
yang aman, pendidikan, pertumbuhan ekonomi dan keseteraan gender;
Hak atas perawatan;
Bantuan bencana alam dan bantuan kemanusiaan dalam situasi darurat;
Pengendalian penyakit dengan menyediakan teknologi, menggunakan dan
meningkatkan ketahanan epidemi serta imunisasi.
d. Hak atas fasilitas kesehatan, barang dan jasa.
Menjamin adanya pelayanan medis yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif baik fisik maupun mental;
Penyediaan obat-obatan yang esensial;
Pengobatan atau perawatan mental yang tepat;
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan seperti organisasi bidang
kesehatan, sistem asuransi, secara khusus partisipasi dalam keputusan politik di level
komunitas tertentu dan negara.
e. Topik khusus dan penerapan yang lebih luas.
Non diskriminasi dan perlakuan yang sama;
Perspektif gender
Kesehatan anak dan remaja, orang tua, penyandang cacat dan masyarakat
adat.
Untuk itu badan kesehatan dunia (WHO) telah membuat indikator-indikator kesehatan
untuk menilai pelaksanaan pembangunan dan pemenuhan hak atas kesehatan tersebut.
Indonesia juga terikat dengan komitmen tersebut dan hal tersebut telah diadopsi dengan
menetapkan 50 indikator kesehatan yang akan dicapai pada tahun 2010.
Implementasi Hak Atas Kesehatan Dalam Konteks HAM
Dalam upaya untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi
(to fulfil) sebagai kewajiban negara mengimplementasikan norma-norma HAM pada hak atas
kesehatan harus memenuhi prinsip-prinsip :
1. Ketersediaan pelayanan kesehatan, dimana negara diharuskan memiiki sejumlah
2. pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk;
3. Aksesibilitas. Fasilitas kesehatan, barang dan jasa, harus dapat diakses oleh tiap orang
tanpa diskriminasi dalam jurisdiksi negara. Aksesibilitas memiliki empat dimensi yang
saling terkait yaitu :tidak diskriminatif, terjangkau secara fisik, terjangkau secara
ekonomi dan akses informasi untuk mencari, menerima dan atau menyebarkan
informasi dan ide mengenai masalah-masalah kesehatan.
4. Penerimaan. Segala fasilitas kesehatan, barang dan pelayanan harus diterima oleh etika
medis dan sesuai secara budaya, misalnya menghormati kebudayaan individu-individu,
kearifan lokal, kaum minoritas, kelompok dan masyarakat, sensitif terhadap jender dan
persyaratan siklus hidup. Juga dirancang untuk penghormatan kerahasiaan status
kesehatan dan peningkatan status kesehatan bagi mereka yang memerlukan.
5. Kualitas. Selain secara budaya diterima, fasilitas kesehatan, barang, dan jasa harus
secara ilmu dan secara medis sesuai serta dalam kualitas yang baik. Hal ini
mensyaratkan antara lain, personil yang secara medis berkemampuan, obat-obatan dan
perlengkapan rumah sakit yang secara ilmu diakui dan tidak kadaluarsa, air minum
aman dan dapat diminum, serta sanitasi memadai. Sementara itu dalam kerangka 3
bentuk kewajiban negara untuk memenuhi hak atas
6. kesehatan dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Menghormati hak atas kesehatan
Dalam konteks ini hal yang menjadi perhatian utama bagi negara adalah
tindakan atau kebijakan “apa yang tidak akan dilakukan” atau “apa yang akan
dihindari”. Negara wajib untuk menahan diri serta tidak melakukan tindakan-
tindakan yang akan berdampak negatif pada kesehatan, antara lain :
menghindari kebijakan limitasi akses pelayanan kesehatan, menghindari
diskriminasi, tidak menyembunyikan atau misrepresentasikan informasi
kesehatan yang penting, tidak menerima komitmen internasional tanpa
mempertimbangkan dampaknya terhadap hak atas kesehatan, tidak
menghalangi praktek pengobatan tradisional yang aman, tidak mendistribusikan
obat yang tidak aman.
b. Melindungi hak atas kesehatan
Kewajiban utama negara adalah melakukan langkah-langkah di bidang legislasi
ataupun tindakan lainnya yang menjamin persamaan akses terhadap jasa
kesehatan yang disediakan pihak ketiga. Membuat legislasi, standar, peraturan
serta panduan untuk melindungi : tenaga kerja, masyarakat serta lingkungan.
Mengontrol dan mengatur pemasaran, pendistribusian substansi yang berbahaya
bagi kesehatan seperti tembakau, alkohol dan lain-lain, mengontrol praktek
pengobatan tradisional yang diketahu berbahaya bagi kesehatan.
c. Memenuhi hak atas kesehatan
Dalam hal ini adalah yang harus dilakukan oleh pemerintah seperti menyediakan
fasilitas dan pelayanan kesehatan, makanan yang cukup, informasi dan
pendidikan yang berhubungan dengan kesehatan, pelayanan pra kondisi
kesehatan serta faktor sosial yang berpengaruh pada kesehatan seperti :
kesetaraan gender, kesetaraan akses untuk bekerja, hak anak untuk
mendapatkan. identitas, pendidikan, bebas dari kekerasan, eksploitasi, kejatahan
seksual yang berdampak pada kesehatan.
Dalam rangka memenuhi hak atas kesehatan negara harus mengambil langkahlangkah
baik secara individual, bantuan dan kerja sama internasional, khususnya di bidang ekonomi dan
teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh
dari hak atas kesehatan sebagaimana mandat dari pasal 2 ayat (1) International Covenant on
Economic, Social and Cultural Right (ICESCR).
MASALAH EUTHANASIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA
Membicarakan euthanasia (eu = baik, thanatos= mati, mayat), sebenarnya tidak lepas
dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada
diri pasien. Hak ini merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi manusia dan karena itulah
selalu menarik untuk dibicarakan. Kemajuan-kemajuan cara berpikir masyarakat telah
menimbulkan kesadaran-kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan
berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah
mengakibatkan perubahan yang sangat dramatis dan berarti atas pemahaman mengenai
euthanasia.Namun uniknya, kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat tadi rupanya tidak
pernah diikuti oleh perkembangan dalam bidang hukum dan etika.Dalam dunia medis yang
serba canggih, ternyata masih memerlukan tuntutan etika, moral, dan hukum dalam
pelaksanaannya.Hal ini erat sekali kaitannya dengan penerapan hak asasi manusia (HAM) di
lapangan kedokteran.Sejauh mana hak-hak yang dimiliki oleh pasien (dan juga dokter) dalam
kaitan dengan euthanasia, agaknya sudah perlu dipikirkan sejak sekarang.Kenyataan
menunjukkan bahwa seringkali para dokter dan tenaga medis lain harus barhadapan dengan
kasus-kasus yang dikatakan sebagai euthanasia itu, dan disitulah tuntunan serta rambu-rambu
etika, moral, dan hukum sangat dibutuhkan. Bukan saatnya lagi kita masih mengatakan belum
waktunya untuk merumuskan rambu-rambu tadi, karena di era moderen seperti sekarang ini
para dokter akan lebih sering berhadapan dengan kasus-kasus euthanasia.
Ada suatu kontradiktif, manakala kita menilik kembali human right di mana salah
satunya adalah hak untuk hidup, ternyata ada juga realita yang menuntut adanya hak untuk
mati dengan caramengajukan tuntutan euthanasia. Fenomena tuntutan euthanasia telah
menimbulkan pro dan kontra, tidak hanya di kalangan masyarakat Indonesia juga di kalangan
masyarakat internasional.Perdebatan mengenai boleh tidaknya euthanasia yang dulunya hanya
menjadi konsumsi khusus kalangan kedokteran ini, ternyata juga bersinggungan dengan
pranata sosial diantaranya hukum dan agama serta norma-norma yang menjadi pedoman
masyarakat.
Eeuthanasia mulai menarik perhatian dan mendapat sorotan dunia, lebih-lebih setelah
dilangsungkannya Konperensi Hukum Se-Dunia, yang diselenggarakan oleh World Peace
Through Law Center di Manila (Filipina), tanggal 22 dan 23 Agustus 1977. Dalam Konperensi
Hukum Se-Dunia tersebut, telah diadakan Sidang Peradilan Semu (Sidang Tiruan), mengenai
"hak manusia untuk mati" atau the right to die. Yang beperan dalam sidang tersebut adalah
tokoh-tokoh di bidang hukum dan kedokteran dari berbagai negara di dunia, sehingga
mendapatkan perhatian yang sangat besar.Namun dalam hal ini hak untuk mati tetap tidak
diakui.
Euthansia berasal dari kata Yunani Euthanatos, mati dengan baik tanpa penderitaan.
Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kedokteran
mendefenisikan Euthansia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group
dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda), yang menyatakan Euthansia adalah dengan sengaja tidak
melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan
sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan
untuk kepentingan pasien sendiri.
Menurut Kartono Muhammad Euthanasia dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
1. Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak
memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau menghentikan
pertolongan biasa yang sedang berlangsung.
2. Euthanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik langsung maupun tidak
langsung yang mengakibatkan kematian.
3. Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan
pasien. Euthanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa permintaan atau
persetujuan pasien, sering disebut juga sebagai merey killing.
4. Euthanasia nonvolountary, mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien
yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah.
Membicarakan euthanasia (eu = baik, thanatos= mati, mayat), sebenarnya tidak lepas dari apa
yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri
pasien. Hak ini merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi manusia dan karena itulah
selalu menarik untuk dibicarakan. Kemajuan-kemajuan cara berpikir masyarakat telah
menimbulkan kesadaran-kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan
berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah
mengakibatkan perubahan yang sangat dramatis dan berarti atas pemahaman mengenai
euthanasia.Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat tadi rupanya
tidak pernah diikuti oleh perkembangan dalam bidang hukum dan etika.
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian.Usaha
manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan
mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia,
terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati.
Menyinggung masalah kematian, bila dilihat dari aspek cara terjadinya, dunia ilmu
pengetahuan membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu: Orthothanasia, yaitu
kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah, Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang
terjadi secara tidak wajar dan Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan
pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
1981 tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Dan
Jaringan Tubuh Manusia, menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-
paru. Konsep mati yang dianut dalam aturan hukum ini tidak bisa lagi dipertahankan, karena
teknologi kedokteran telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semua berhenti bisa
dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-paru dapat dipompa untuk berkembang
kempis kembali. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1990 mengeluarkan pernyataan
bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak berfungsi lagi.Konsep ini dijadikan
pernyataan resmi dari Ikatan Dokter Indonesia.Kreteria yang dianut oleh Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) tersebut berlandaskan pada alasan bahwa batang otaklah terletak pusat
penggerak napas dan jantung. Sehingga apabila batang otak telah mati maka jantung dan paru-
paru hanya bisa bergerak dengan bantuan alat-alat penopang .
Timbulnya permasalahan hak untuk mati ini disebabkan penderitaan pasien yang tetap
berkelanjutan, walau sekalipun di temukannya teknologi canggih, namun penderitaan tidak
dapat dihilangkan sama sekali. Penderitaan yang berkelanjutan ini menyebabkan pasien atau
keluarga pasien kadang-kadang tidak mampu untuk menanggungnya baik moril maupun
materil.Oleh karena itu, mungkin pasien ataupun keluarganya menginginkan agar hidupnya
diakhiri apabila sudah sampai pada klimaks penderitaan yang tidak tertahankan
lagi.Pengakhiran hidup pasien dapat dilakukan dengan mencabut segala alat pembantu yang
telah dipasang oleh dokter yang merawatnya.
Belanda adalah negara pertama di dunia yang melegalkan eutanasia pada tahun 2001,
diikuti Belgia setahun kemudian. Proses permohonan eutanasia pun sangat panjang. Pemohon
harus mendapatkan konseling dengan psikolog dalam periode tertentu.Pasien diberikan cukup
waktu untuk berpikir dalam waiting periode.Setelah itu pemohon harus mendapatkan sertifikat
dari setidaknya dua orang dokter yang menyatakan bahwa kondisi pasien sudah tidak bisa
tertolong. Setelah proses itu dilewati baru diajukan ke pengadilan untuk mendapat keputusan.
Di Swiss, eutanasia masih dipandang ilegal, walaupun di negara itu terdapat tiga organisasi yang
mengurus permohonan tersebut. Organisasi-organisasi tersebut menyediakan konseling dan
obat-obatan yang dapat mempercepat kematian.Pemerintah Swiss sendiri melarang
penggunaan eutanasia dengan suntikan.Setiap kali ada permohonan harus diinformasikan ke
polisi. Di Asia, hanya Jepang yang pernah melegalkan voluntary euthanasia yang disahkan
melalui keputusan pengadilan tinggi pada kasus Yamaguchi di tahun 1962. Walaupun begitu,
karena faktor budaya yang kuat kejadian euthanasia tidak pernah terjadi lagi. Pada tahun 1994,
di Oregon, Amerika Serikat dikeluarkan Death With Dignity Law. Sejak itu sudah ada 100 orang
yang berada dalam tahap lanjut mendapatkan assisted suicide. Eutanasia di Amerika tetap
ilegal dan terus diperdebatkan.
Suatu hal yang menarik di penghujung tahun 2004, di mana suami Ny. Agian
mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri
penderitaan isterinya, namun permohonan itu ditolak oleh pengadilan. Kasus yang sama
muncul lagi terhadap Ny.Siti. Apakah ini pertanda euthanasia mulai digemari sebagai salah satu
cara mengakhiri penderitaan orang yang disayangi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) mengisyaratkan dan mengingatkan kalangan medis bahwa Euthanasia merupakan
perbuatan melanggar hukum dan dapat diancam dengan pidana. Hal ini dapat di lihat dalam
Pasal 344 pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu: Barangsiapa menghilangkan
jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selamanya dua belas tahun.
Kebangkitan kesadaran akan hak-hak asasi manusia khususnya dalam bidang kesehatan
dan semakin tingginya pengetahuan pasien terhadap berbagai masalah kesehatan,
mengakibatkan dokter tidak dapat secara leluasa mengobati pasien tanpa memperhatikan
keadaan pasien. Sejarah terjadinya pengobatan telah berjalan berdasarkan tradisi secara
berkesinambungan sejak masa Hippokrates sampai pada pertengahan abad ke dua
puluh.Dokter semula diagung-agungkan identik dengan dewa penyembuh oleh masyarakat
karena kemampuannya mengetahui hal-hal yang tidak nampak dari luar.Apalagi saat itu
kesembuhan dari suatu penyakit diperoleh setelah "dokter" membaca mantra-mantra untuk
pasiennya, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh para pendeta atau
rohaniawan.Perkembangan ilmiah, teknologi dan sosial menimbulkan dengan cepat perubahan-
perubahan dalam ilmu biologis dan pelayanan kesehatan.Perkembangan-perkembangan ini
merupakan tantangan bagi konsep-konsep dari kewajiban-kewajiban moral para tenaga
kesehatan dan masyarakat yang berlaku pada saat penderita yang sakit atau mengalami
kecacatan.
Hak-hak asasi manusia yang dalam perjalanan sejarah manusia senantiasa
diperjuangkan dan diagungkan itu biasanya berupa hak untuk hidup, seperti kebebasan
mengutarakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan, kebebasan dari
kekurangan dan sebagainya.
Hak-hak asasi tersebut dilindungi oleh dokumen-dokumen international maupun undang-
undang dasar boberapa negara didunia beradab, maka adalah wajar apabila dikaitkasn dengan
hak untuk rnenentukan nasib sendiri tersebut mcmbawa konsekwensi juga pada penentuan
nasib sendiri untuk hidup atau untuk mati.Sehingga muncul pendapat yang mengatakan adalah
wajar pula bila mati juga merupakan hak manusia yang asasi dan oleh karenanya Juga harus
dilindungi hukum.Hak untuk mati sekarang ini hangat diperjuangkan dan diagungkan di negara-
negara maju, bahkan diperjuangkan sebagai bagian dari hak- hak asasi manusia sampai ke
forum PBB.
Dalam beberapa kasus euthanasia di negara-negara Eropa dan Amerika, pengadi1anpun
mengabulkan hak untuk mati itu, meskipun dengan berbagai pertimbangan yang menyangkut
situasi, kondisi yang Cukup berat.Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu hak
manusia untuk mati mulai diperhatikan.Secara sadar tapi perlahan-lahan hak untuk mati
mendapat pengakuan, meskipun masih terbatas.
Di Indonesia, masalah hak-hak asasi manusia mendapat perhatian yang besar dari
pemerintah maupun rakyatnya. Berbicara tentang masalah ini, kita tidak dapat terlepas dari
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena disana hak-hak asasi manusia baik secara
tersurat maupun tersirat termaktub didalamnya.Meskipun hak-hak asasi manusia merupakan
hak- hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari hakekatnya
dan karena itu bersifat pribadi namun hak tersebut tidak mencakup hak untuk mati.Sebab bagi
bangsa Indonesia, masalah kematian itu berada ditangan Tuhan bukan merupakan hak
manusia.
Hak asasi manusia yang merupakan pengejawantahan dari natural right atau hak kodrat
yang melekat pada diri setiap manusia, dalam perkembangannya sepanjang sejarah sudah
menjadi human rights, di mana kata human menunjuk pada hak esensiil yang merupakan
bagian dari hak hidup manusia .
Dikaitkan dengan hak atas perawatan-pemeliharaan medik, maka pada dasarnya hukum
medik bertumpu pada dua hak dasar, yaitu: hak atas perawatan-pemeliharaan medik (the right
to healthcare); dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination). Dari
kedua hak dasar ini dapat diturunkan hak-hak pasien untuk memperoleh informasi mengenai
kesehatan/penyakitnya, hak untuk memilih rumah sakit, hak untuk memilih dokter, hak untuk
meminta pendapat dokter lain (second opinion), hak atas privacy dan atas kerahasiaan
pribadinya, hak untuk menyetujui atau menolak pengobatan yang akan dilakukan oleh dokter,
kecuali yang dianggap bertentangan dengan undang-undang, dengan nilai-nilai Pancasila,
seperti tindakan: euthanasia, aborsi (tanpa indikasi medik).
Di lihat dari aspek yuridis Euthanasia bersinggungan langsung dengan hukum pidana
pada saat proses kematian. Berdasarkan hal itu, jika dilihat dari segi hukum jelaslah bahwa
pengaturan euthanasia yang lengkap sampai saat ini belum ada, padahal masalah euthanasia ini
menyangkut nyawa manusia di mana kasus-kasusnya mulai banyak bermunculan
kepermukaan.Untuk itu penanggulangan masalah euthanasia, perlu diatur sedemikian rupa
sehingga tidak bertentangan dengan hukum dan moral.
Euthanasia berhubungan erat dengan kepentingan perseorangan menyangkut perlindungan
terhadap nyawa.Buku II dan buku III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut
KUHP), bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap tindakan pidana. Tindakan
euthanasia yang menyangkut nyawa, diatur .dalam Pasal 344 KUHP, Bab XIX tentang Kejahatan
Terhadap Nyawa, yang mengatur sebagai berikut: Barang siapa merampas nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyataksn atas kesungguhan hati diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Salah satu pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum guna pembahasan
selanjutnya adalah apa yang terdapat di dalam Kitab undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut tentang jiwa
manusia.Pasal yang paling mendekati dengan masalah tersebut adalah Pasal 344 KUHP yang
terdapat dalam Bab XIX, Buku Kedua.
Pencantuman Pasal 344 KUHP menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang telah menduga
masalah euthanasia pernah dan akan terjadi di Indonesia sekalipun demikian pasal ini belum
pernah menjaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana. Hal ini disebabkan perumusan
pasal yang menimbulkan kesulitan dalam pembuktian, yakni adanya kata-kata " atas
permintaan sendiri " yang disertai pula kalimat " yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan
hati "
Oleh karena dalam kenyataannya Pasal 344 KUHP sulit untuk diterapkan sehingga muncul
suara-suara yang mengatakan " sebaiknya redaksi Pasal 344 KUHP dirumuskan kembali
berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang dan dimasa mendatang, yang
disesuaikan dengan perkembangan medis ". Dengan rumusan baru ini diharapkan dapat
memungkinkan atau memudahkan penanganan kasus-kasus euthanasia dengan hukum pidana.
Daftar Pustaka
Diah, nurul. 2010. Euthanasia, Hak Hidup atau Hak Mati ? Artikel Penerapan HAM di
Indonesia. Avaible at: http:// gegdiah.student.umm.ac.id/2010/01/29/euthanasia-hak-hidup-
atau-hak-mati-artikel-penerapan-ham-di-indonesia/
Afandi, dedi. 2008. Hak Atas Kesehatan Dalam Perspektif HAM. Jurnal Ilmu Kedokteran,
Maret 2008, Jilid 2 Nomor 1. ISSN 1978-662X