Click here to load reader
Upload
ahmad-said-djuwadi
View
255
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Â
Citation preview
Page
| 0
GGuurruukkuu PPuunnyyaa
CCeerriittaa 11
oleh Yaz Muttaqin
Page
| 1
Kiriman Sang Santri
oleh Yaz Muttaqin pada 23 November 2011 jam 12:32
Suatu malam aku tertidur. Dalam tidur itu aku bermimpi
bertemu dengan almarhum bapakku, KH. Ahmad Umar.
Aku merasa berada di sebuah rumah besar yang sangat
megah yang menjadi tempat tinggal beliau di alam
kubur.
Aku berkeliling rumah itu. Hingga saat sampai di salah
satu ruangan aku terkejut. Ada banyak makanan dan
buah-buahan di sana. aku tak tahu dari mana semua itu
didapatkan. Maka kutanyakan pada beliau tentang
semua itu.
Atas pertanyaanku itu bapakku menjelaskan, "Begini
lho, Nak. Setiap hari jum'at ba'da shubuh dan dhuhur
kan anak-anak santri itu berziarah ke maqbarahku,
berdzikir tahlil dan mendo'akanku. Apa yang mereka
lakukan itu menjadi rahmat bagiku dan digambarkan
seperti makanan dan buah-buahan itu. Jadi yang kamu
lihat itu adalah buah dari dzikir dan do'a yang dibacakan
untukku."
(KH. Abdul Mu'id Ahmad, Mangkuyudan, Solo)
Page
| 2
Catatan: Cerita di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh
Ibnu Qayyim Al-Jauzy dalam kitab Al-Ruh
Minta Restu
oleh Yaz Muttaqin pada 21 November 2011 jam 9:56
Kyai Masruri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah,
Sirampog Benda Brebes, suatu hari bersama istrinya
bertandang ke rumahku di Brebes. Beliau adalah
seorang 'ulama yang dalam ilmunya namun sangat
berakhlak mulia dan bertawadlu'. Dahulu beliau pernyah
nyantri kepada bapakku, Kyai Makmun.
Kepadaku beliau menyampaikan, "Kyi Subhan, maksud
kedatangan saya ke sini adalah untuk meminta ijin dan
restu bahwa beberapa hari lagi di pesantren saya akan
diadakan khataman kajian kitab Ihya' 'Ulumiddin.
Dahulu saya mengaji dan mengkhatamkan kitab itu
pada Kyai Makmun, bapak Panjenengan. Namun
karena Rama Kyai Makmun sudah tiada maka saya
perlu meminta restu pada Panjenengan sebagai putra
beliau."
Mendengar apa yang dituturkannya aku terperangah.
Betapa tawadlu'nya kyai yang satu ini. Beliau seorang
ulama sepuh yang tidak saja disegani di daerahnya, tapi
juga di tingkat nasional. Banyak ulama besar yang
hormat kepadanya. Namun untuk mengkhatami sebuah
Page
| 3
kitab beliau dengan rendah hati berunggah-ungguh
meminta restu pada gurunya. Bahkan ketika sang guru
telah tiada beliau tetap meminta restu pada putra
gurunya.
(KH. Subhan Makmun. Disampaikan pada hari wafatnya KH. Masruri
Mughni, Ahad, 20 Nopember 2011 pada pengajian kitab Tafsir Munir,
Riyadlus Shalihin, dan Al Hikam di Masjid Islamic Center, Brebes. KH. Masruri Mughni meninggal pada hai itu di Madinah Al
Munawarah)
Page
| 4
Salam Dari Syekh
oleh Yaz Muttaqin pada 18 November 2011 jam 22:13
Tiga orang kyai dari sebuah kabupaten di Jawa Tengah
saat beribadah haji menyempatkan sowan kepada Syekh
Amin bin Abdullah Al-Makki. Beliau adalah satu
diantara segelintir ulama Sunny di Arab Saudi.
Setelah lama berbincang Sang Syaekh bertanya kepada
ketiga ulama itu (dalam bahasa Arab tentunya),
"Apakah kalian kenal dengan Syekh Subhan An-Nahwi
dari Brebes?" An-Nahwi adalah sebuah gelar yang
berarti Ahli Ilmu Nahwu. Setelah sejenak berpikir
ketiganya menjawan, "Ya, kami mengenalnya."
"Kalau begitu tolong sampaikan salamku kepadanya,"
pesan Sang Syekh.
Ketika ketiga ulama itu tiba kembali di Indonesia
mereka segera mendatangi rumah KH. Subhan Ma'mun
di desa Luwungragi, Brebes. Kepada belia mereka
sampaikan titipan salam dari Syekh Amin itu. Lalu
salah satu dari mereka bertanya, "Kyai Subhan, apa
jenengan pernah bertemu dengan Syekh Amin?"
Page
| 5
"Tidak," jawab Kyai Subhan.
"Apa pernah berhubungan sebelumnya?" tanyanya lagi.
"Tidak juga."
"Lalu bagaimana beliau mengenal dan menitipkan salam
kepada Panjenengan?" tanya kyai itu heran.
Kyai Subhan tersenyum. Lalu katanya, "Itu mungkin
karena aku memiliki kitab yang ditulisnya. Kitab Al-
Qowa'id sebanyak 33 jilid. Dan yang pasti, setiap kali
aku mempelajari isi kitab itu aku tak pernah lupa
membaca Fatihah terlebih dahulu untuknya."
Page
| 6
Tanaman Untuk Anakku
oleh Yaz Muttaqin pada 30 Oktober 2011 jam 13:02
Aku menerima banyak ijazah dari orang tuaku. Entah
sudah berapa puluh yang aku terima dan amalkan, dari
yang ringan hingga yang berat. Satu hal yang mesti
menjadi sikapku tiap kali menerima ijazah adalah aku
tak pernah bertanya untuk apa dan mengapa amalan itu
dilakukan. Aku terima saja apa adanya dan kulakukan
sesuai petunjuk dari orang tuaku.
Namun satu hal yang mengusik hatiku. Yang kutahu
ijazah-ijazah besar yang kaprahnya diberikan seorang
guru selalu disyaratkan berpuasa dalam pengamalannya.
Namun orang tuaku tak pernah menyuruhku melakukan
puasa dalam setiap ijazahnya, kecuali satu amalan,
ijazah Dalail.
Satu saat aku beranikan diri untuk menanyakan rahasia
ini kepada ibuku. Oleh ibuku aku diberi penjelasan, "Itu
karena bapakmu sudah melakukan puasa untukmu.
Sekarang kamu tinggal memetik hasilnya."
Aku terperangah mendengar kalimat ibuku. Aku merasa
beruntung bahwa sebagai anak aku telah disiapkan
Page
| 7
tanaman yang baik oleh orang tuaku dan kini aku
tinggal memetik hasilnya. Namun aku berpikir, bila aku
hanya memetik apa yang telah ditanam oleh orang
tuaku, lalu bagaimana dengan anak-anakku. Akankah
aku biarkan menanam sendiri tanamannya?
Maka kuputuskan, aku petik apa yang telah ditanam
orang tuaku untukku. Namun aku akan tetap berpuasa,
bermujahadah, bertaqarrub pada Tuhanku, agar kelak
tanaman ini bisa dipetik anak-anakku.
(KH. Subhan Ma'mun)
Page
| 8
Jangan Tanya Alasan
oleh Yaz Muttaqin pada 8 Oktober 2011 jam 0:37
"Anda beberapa kali diminta untuk menduduki posisi
tertentu. Anda pernah diminta untuk menjadi Ketua
PBNU, juga pernah diminta untuk memimpin partai.
Mengapa itu semua Anda tolak?" tanya Andi F. Noya
pada KH. Musthofa Bisri atau yang biasa disapa Gus
Mus.
"Karena ibu saya tidak menyetujui, " jawab Gus Mus,
santai tapi tegas.
"Mengapa dengan ibu Anda? Apa istimewanya beliau?"
kejar Andi.
Gus Mus diam sejenak. Lalu katanya, "Dalam Islam itu
ada ajaran shalat Istikharah untuk meminta kepada
Tuhan agar dipilihkan yang terbaik. Nah, selama ibu
saya masih hidup saya tidak perlu melakukan shalat
istikharah, cukup bertanya pada ibu saya saja. Maka
ketika saya diminta untuk menduduki jabatan-jabatan
itu, saya bertanya pada beliau dan beliau menjawab
"tidak".."
"Apa alasannya?" Andi terus mengejar.
Page
| 9
Tegas Gus Mus menjawab, "Jangan tanya alasannya.
Karena bila ibu saya sudah mengatakan "tidak" saya
tidakpernah menanyakan alasannya!"
(Dialog Gus Mus dan Andy F. Noya pada program Kick Andy Metro
TV, Jum'at, 7 Oktober 2011).
Page
| 10
Slenthik
oleh Yaz Muttaqin pada 17 Agustus 2011 jam 22:33
Hingar bingar perayaan tujuh belasan telah usai.
Berbagai simbol-simbol kemeriahannya mulai ditarik,
dicabut, dilepas dari tempatnya. Juga aku. Bendera
merah putih yang sejak seminggu lalu dikibarkan
dengan gagahnya di depan rumah orang tuaku aku
turunkan. Kulepas kainnya dari tonggaknya. Lalu
kusampirkan begitu saja dipundakku.
Tiba-tiba salah satu telingaku berasa sakit sekali. Dari
arah belakang ada yang me-nylenthik-nya cukup keras.
Saat kutengok ternyata bapakku yang melakukan itu.
Dengan tegasnya beliau mengataiku, "Jangan sembrono
dengan merah putih itu! Itu memang sekedar kain merah
dan putih yang disatukan. Tapi untuk mengibarkannya
dengan gagah di bumi nusantara ini beribu bahkan
berjuta nyawa dan darah telah dikorbankan. Yang baik
memperlakukan bendera kebanggaan bangsa kita!"
(Habib Lutfi bin Yahya, Pekalongan)
Page
| 11
Jam 10 Kurang 10
oleh Yaz Muttaqin pada 15 Agustus 2011 jam 14:14
Aku dalam perjalanan dari Purwokerto menuju
Pekalongan bersama Kyai Malik, guru tarekat
Naqshabandiyahku. Kami menggunakan mobil milik
Pak Suyuthi yang ia supiri sendiri.
Saat melintasi hutan di kawasan Bantar Bolang
Pemalang kira-kira jam menunjukkan pukul 10 kurang
seperempat. Tiba-tiba Kyai Malik meminta pada Pak
Suyuthi untuk menghentikan mobilnya dan menggelar
alas untuk duduk-duduk di pinggiran jalan, juga di
pinggiran hutan itu. Kyai Malik mengeluarkan rokok
lintingannya. Sembari menghisap kami sempat
mengobrol ringan. Aku sempat memperhatikan beliau
beberapa kali melihat jam tangannya.
Hingga kira-kira jam menunjukkan pukul 10 kurang 10
beliau mematikan rokoknya dan meminta aku dan pak
Suyuti untuk sejenak diam. Lalu beliau terlihat khusyuk.
Dari kedua bibirnya kudengar beliau membaca kalimat-
kalimat untuk menghantar hadia surat Alfatihah; kepada
Rasulullah, para sahabat, tabi'in, waliyullah, ulama dan
lainnya. Hingga kemudian aku terkejut ketika beliau
juga menyebutkan banyak nama untuk dikirimi hadiah
Fatihah. Aku mendengar beliau menyebut nama
Pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman, Bung Tomo,
Page
| 12
Sentot Prawiro, Teuku Umar, dan banyak nama
pahlawan lainnya. Kepada mereka semua kami
membacakan surat Alfatihah.
Setelah selesai berdoa aku sempat menanyakan, apa
gerangan yang membuat beliau melakukan itu. Dengan
santai namun tegas beliau benuturkan, "Ini tanggal 17
Agustus. Sekian tahun yang lalu, pada jam ini, Bung
Karno memproklamirkan kemerdekaan negeri kita. Aku
minta berhenti sejenak untuk sekedar memberi
penghormatan kepada para pahlawan kita yang telah
banyak berkorban untuk kenikmatan besar ini."
(Habib Lutfi bin Yahya, Pekalongan)
Page
| 13
Istiqamah
oleh Yaz Muttaqin pada 9 Agustus 2011 jam 15:50
Namanya Kyai Kholil. Bertahun-tahun ia mengajar al-
Qur'an setiap habis jama'ah maghrib di masjidnya.
Puluhan santrinya ia simak satu persatu bacaannya, di
bawah beduk besar di serambi masjid itu.
Kini Ramadhan tiba. Para santri ia liburkan sebulan
penuh. Tak ada kegiatan mengaji di serambi masjid itu,
kecuali mereka yang secara mandiri aktir mendaras
kitab suci itu untuk mendapatkan berkah Ramadhan.
Namun, Kyai Kholil masih seperti biasanya. Tiap kali
usai jama'ah maghrib ia menuju ke arah bedug dan
duduk di sana hingga menjelang isya. Demikian ia
lakoni setiap hari di malam Ramadhan, meski jelas tak
ada santri yang mengaji.
Seorang kerabat yang penasaran bertanya tentang hal
itu. Dengan pelan namun jelas Kyai Kholil menjawab,
"Sekian tahun lamanya aku istiqamah mengajar Qur'an
di tempat ini. Kalau habis maghrib saya tidak duduk di
sini saya khawatir ada malaikat yang turun untuk
mendatangiku namun aku tak ada di tempat. Bukankah
orang yang istiqamah akan didatangi malaikat?"
(KH. Subhan Ma'mun, Brebes)
Page
| 14
Lalat di Jari Telunjuk
oleh Yaz Muttaqin pada 16 Juli 2011 jam 9:16
Alun-alun Kota Tegal telah penuh sesak. Ribuan
masyarakat muslim kota Pantura ini memadatinya
dalam rangka pengajian akbar pada suatu peringatan.
Rangkaian acara demi acara silih berganti. Hingga tiba
pada acara puncak mau'idhah hasanah yang
disampaikan oleh seorang kyai alim dari Brebes.
Sebagaimana yang sudah-sudah setiap kali kyai
kharismatik ini berceramah para pengunjung selalu
diam seribu bahasa. Juga saat pengajian akbar di alun-
alun itu. Semuanya terdiam. Gemuruh yang sebelumnya
membahana kini berganti dengan keheningan. Semua
yang hadir dengan khusyuk dan hikmat mendengar
taushiyah dari sang kyai.
Hingga terjadilah peristiwa yang membuat para hadirin
bertanya-tanya. Saat sang kyai menudingkan
telunjuknya di tengah-tengah ceramah tiba-tiba beliau
terdiam. Beliau tak melanjutkan suaranya yang
terpotong, juga tak menggerakkan tubuhnya. Tangannya
yang diangkat dengan jari telunjuk menuding juga tiba-
tiba berhenti pada posisi seperti itu. Semua jamaah
terheran. Ada apa gerangan? Jamaah mulai curiga. Ada
yang menganggap sang kyai terkena serangan stroke
sehingga tak bisa bergerak. Ada yang menyangka lain.
Page
| 15
Setelah sekian menit berlalu tiba-tiba sang kyai kembali
bersuara melanjutkan ceramahnya dan menurunkan
tangannya.
Seusai pengajian beberapa panitia menanyakan
gerangan yang terjadi saat di panggung. Sang kyai
menjelaskan, "Saat saya angkat tangan saya dan saya
tudingkan telunjuk ini, tiba-tiba seekor lalat hinggap di
ujung telunjuk. Maka saya langsung berhenti, tak
bersuara dan tak bergerak. Saya pikir mungkin lalat itu
telah lama dan jauh terbang sehingga sekarang ia ingin
beristirahat melepas lelah. Maka saya hentikan ceramah
saya dan saya hentikan gerakan tubuh saya, sekedar
memberinya waktu yang cukup untuk istirahat. Setelah
lalat itu terbang barulah saya lanjutkan."
Diceritakan kepada penulis oleh bapaknya sebagai saksi mata, tentang KH. Subhan Ma'mun, Brebes
Page
| 16
Suara Tasbehku
oleh Yaz Muttaqin pada 8 Juli 2011 jam 11:56
Pada sepertiga malam terakhir ini entah sudah berapa
lama aku duduk di atas sajadahku, memutar biji tasbeh,
bertasbih tahmid mensucikan dan mengagungkan asma-
Nya. Kepadanya aku menundukkan tidak saja kepalaku,
tapi juga hati dan pikiranku. Biji tasbeh terus berputar di
sela jemariku.
Hingga saat aku sekilas menengadah, kulihat di dinding
depanku seekor cicak sedang mengendap. Beberapa
senti di depannya berdiam seekor nyamuk. Cicak itu
jelas terlihat akan memangsanya. Sementara aku terus
berwirid dan kali ini pandanganku tak lepas dari dua
makhluk Allah di dinding depanku itu.
Tiba-tiba jemariku merasa untaian tasbehku tersangkut.
Dengan jemariku pula kucoba mengurai sangkutan itu.
Karena sedikit susah mengurainya maka sedikit
kugerakkan tasbehku hingga menimbulkan suara
"crekk.." Yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang
menggetarkan jiwaku.
Seekor cicak yang sedang mengendap akan menyantap
seekor nyamuk makanannya itu terkejut dan lari
menjauh karena mendengar suara tasbeh yang
Page
| 17
kugerakkan itu. Aku terperangah. Bacaan wiridku yang
sudah separoh jalan segera kuganti dengan bacaan
beristighfar berturut-turut. Hatiku berdebar, mataku
nanar. Bibirku bergetar berucap pelan, "Gusti, nyuwun
pangapunten, karena suara tasbehku cicak itu terganggu
dan terputus dari rejekinya. Ngapunten Gusti...
ngapunten..."
(KH. Subhan Makmun)
Alhamdulillah, bangga dan beruntung menjadi murid dari guru yang
demikian, penuh kasih sayang.
Page
| 18
Kyai Bilal
oleh Yaz Muttaqin pada 20 Juni 2011 jam 9:07
Berpenampilan sederhana dan bersahaja. Kyai Bilal
namanya. Yang baru mengenalnya akan mengira dia
orang biasa saja pada umumnya. Nyatanya ilmu dan
amalnya begitu dalam dan sepadan.
Pagi-pagi Kyai Bilal telah siap dengan pisaunya. Ia
menuju ke kebun pisang dekat rumahnya. Ia pilih pohon
dan daun pisang yang sesuai dengan kebutuhannya. Saat
menemukan daun yang cocok ia bersiap memotongnya.
Tangan kirinya memegang pokok daun. Tangan
kanannya mengangkat pisau. Ia ayunkan pisau itu untuk
sekali tebas langsung memotong. Tapi, tinggal beberapa
senti pisau itu mengenai pokok daun Kyai Bilal malah
menghentikan tangannya. Ia urung memotong daun itu.
Seorang tetangga yang menyaksikan itu mendekat dan
bertanya, "Kyai, kok tak jadi memotong daunnya?"
Kyai Bilal menjawab, "Aku terlalu pagi memotong daun
ini, Kang."
"Terlalu pagi bagaimana, Kyai?" sang tetangga tak
mengerti.
Page
| 19
Kyai Bilal menarik tangan orang itu untuk lebih dekat,
lalu berkata, "Itu lho Kang, ternyata di daun ini masih
ada sekelompok semut yang masih tertidur pulas. Kalau
aku memotongnya pasti akan mengganggu tidur
mereka. Jadi aku tunda nanti agak siang saja, biar
mereka bangun dan pergi lebih dulu."
(KH. Subhan Ma'mun, Brebes)
Page
| 20
Shalawat
oleh Yaz Muttaqin pada 17 Juni 2011 jam 16:41
Satu waktu aku sowan kepada Habib Lutfi bin Yahya di
Pekalongan. Kepada beliau aku adukan gundah hatiku.
"Bib, saya ini merasa semakin tua semakin sedikit
ibadahnya. Tapi justru di usia yang makin tua ini,
dengan ibadah yang makin sedikit, saya merasa semakin
banyak rejeki yang diberikan Allah kepada saya. Saya
khawatir, Bib. Jangan-jangan rejeki yang makin
melimpah ini merupakan istidraj dari Allah kepada
saya."
Atas pengaduanku ini Habib Lutfi menyatakan, "Kyai,
panjenengan itu seorang yang ahli membaca shalawat.
Apa yang saat ini jenengan dapatkan adalah hikmah dari
keistiqamahannya. Di masa tua inilah masa panennya."
"Jadi bukan karena istidraj, Bib?" Aku ingin
memastikan.
"Insya Allah, bukan istidraj." Kata Sang Habib
meyakinkan.
(KH. Subhan Ma'mun, Brebes)
Page
| 21
Oleh-oleh Ngaji Tafsir
Munir Hari Ini 01
oleh Yaz Muttaqin pada 29 Mei 2011 jam 12:13
Tak ada tugas bagi seorang laki-laki kecuali berupaya
mensejahterakan keluarganya. Dan tak ada tugas bagi
seorang perempuan kecuali mengatur rumah dan
mendidik anak-anaknya. Maka tak ada kewajiban bagi
seorang istri untuk bekerja membantu suami mencari
nafkah.