Upload
silentstalker
View
843
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Proses belajar mendengar bagi bayi sangat kompleks dan bervariasi karena
menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embrilogi, anatomi, fisiologi,
neurolog dan audiologi. Pada sisi lain pemeriksaan diharapkan dapat mendeteksi
gangguan pendengaran pada kelompok usia ini sedini mungkin.
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang – kadang disertai
keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan.
Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalami gangguan pendengaran, lebih
dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara (delayed speech).
Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired) dan
tuli total (deaf).
Tuli sebagian (hearing impaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang
namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi engan atau tanpa bantuan alat
Bantu dengar, sedangkan tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang
sedemikiaan terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat
perkerasan bunyi (amplikasi).
BAB II
GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK
PERKEMBANGAN AUDITORIK
Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan
perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan dalam
waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi
perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
upaya untuk melakukan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sedini
mungkin agar habilitasi pendengaran sudah dapat dimulai pada saat perkembangan
otak masih berlangsung.
PERKEMBANGAN AUDITORIK PRANATAL
Telah diteliti bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa
setelah usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah dapat
memberikan respons terhadap suara yang ada di sekitarnya, namun reaksi janin masih
bersifat refleks seperti refleks Moro, terhentinya aktivitas (cessaciation reflex) dan
auto palpebral. Kuczwara dkk (1984) membuktikan respons terhadap suara berupa
refleks auropalpebral yang konsisten pada janin normal usia 24-25 minggu.
PERKEMBANGAN WICARA
Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditorik, berlangsung pula
perkembangan kemampuan bicara. Kemahiran wicara dan berbahasa pada seseorang
hanya dapat tercapai bila input sensorik (auditorik) dan motorik dalam keadaan
normal.
Awal dari proses belajar bicara terjadi pada saat lahir. Sulit dipastikan usia
absolut tahapan perkembangan bciara, namun pada umumnya akan emngikuti tahapan
sebagai berikut seperti terlihat pada Tabel 1.
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar,
oleh karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat diperkirakan
adanya gangguan pendengaran. Berdasarkan kenyataan tersebut beberapa hal berikut
ini perlu mendapatp erhatian terhadap kemungkinan adanya gangguan pendengaran
pada bayi dan anak. (Tabel 2)
Usia KemampuanNeonatus Menangis (reflex covalization)
Mengeluarkan suara mendengkur seperti suara burung (cooing)Suara seperti berkumur (gurgles).
2 – 3 bulan Tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling)4 – 6 bulan Mengeluarkan suara yang merupakan kombinasi huruf hidup (vowel)
dan huruf mati (konsonan)Suara berupa ocehan yang bermakna (true babbling atau lalling), seperti ”pa.. pa, da...da”.
7 – 11 bulan Dapat menggabung kata/ suku kata y ang tidak mengandung arti, terdengar seperti bahasa asing (jargon).Usia 10 bulan mampu meniru suara sendiri (echolallia)Memahami arti ”tidak”, mengucapkan salam.Mulai memberi perhatian terhadap nyanyian atau musik.
12 – 18 bulan Mampu menggabungkan kata atau kalimat pendek.Mulai mengucapkan kata pertama yang mempunyai arti (true speech)Usia 12 – 14 bulan mengerti instruksi sederhana, menunjukkan bagian tubuh dan nama mainannyaUsia 18 bulan mampu mengucapkan 6 – 10 kata.
Tabel 1: Tahapan perkembangan bicara
Usia Kemampuan bicara12 bulan Belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi18 bulan Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang mempunyai arti24 bulan Perbendaharan kata kurang dari 10 kata30 bulan Belum dapat merangkai 2 kata
Tabel 2 : Perkiraan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak
PENYEBAB GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan
saat terjadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa pranatal, perinatal dan
posnatal.
1. MASA PRENATAL
1.1. Genetik heriditer
1.2. Non genetik seperti gangguan/ kelainan pada masa kehamilan, kelainan
struktur anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya defisiensi Jodium).
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama
sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat
menyebabkan ketulian pada bayi. Ifeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil seperti
Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis (TORCHS) dapat
berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan.
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi menganggu proses
organogenesis dan merusak sel – sel rambut koklea seperti salisilat, kina, neomisin,
dihidro streptomisin, gentamisin, barbiturat, thalidomide dll.
Selain itu malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan
aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian.
2. MASA PERINATAL
Berberapa keadaan yang akan dialami bayi pada saat lahir juga merupakan
faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran, ketulian seperti prematur, berat badan
lahir rendah (<2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis).
Umumnya ketulian yang terjadi akibat faktor prenatal dan perinatal adalah tulis
sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat atau sangat berat.
3. MASA POSTNATAL
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis, infeksi otak
(meningititis, ensefalitis), perdarahan pada tlienga tengah, trauma temporal juga dapat
menyebabkan tulis saraf atau tuli konduktif.
PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK
Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini
mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang bayi hanya bersifat ringan,
namun dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara
dan berbahasa. Dalam keadaan normal seorang bayi telah memiliki kesiapan
berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan, berarti saat tersebut merupakan
periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran.
Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pada bayi dan
anak jauh lebih sulit dan memerlukan ketelitian dan kesabaran. Selain itu pemeriksa
harus memiliki pengetahuan tentang hubungan antara usia bayi dengan taraf
perkembangan motorik dan auditorik. Berdasarkan pertimbangan tersebut adakalanya
perlu dilakukan pemeriksaan ulangan atau pemeriksaan tambahan untuk melakukan
konfirmasi hasil pemeriksaan sebelumnya.
Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi;
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
2. Timpanometri
3. Audiometri bermain (play audimetry)
4. Oto Acoustic Emission (OAE)
5. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
1. BEHAVIORAL OBSERVATION AUDIOMETRY
Tes ini berdasarkan respons aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan
respons yang disadari (voluntary response). Metoda ini dapat mengetahui seluruh
sistim auditorik termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi. Behavioral audiometry
penting untuk mengetahui respons subyektif sistim auditorik pada bayi dan anak dan
juga bermanfaat untuk penilaian habilitasi pendengaran yaitu pada pengukuran alat
bantu dengar (hearing dan fitting). Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap tahap
usia perkembangan bayi, namun pilihan jenis tes harus disesuaikan dengan usia bayi.
Pemeriksaan dilakukan pada runangan yang cukup tenang (bising lingkungan
tidak lebih dari 60dB), idelaknya pada ruang kedap suara (sound proof room). Sebagai
sumber bunyi sederhana dapat digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastik berisi
pasir, remasa kertas minyak, bel, terompat karet, mainan yang mempunyai bunyi
frekuensi tinggi (squaker toy) dll.
Sumber bunyi tersebut harus dikalibrasi frekuensi dan intensitasnya. Bila
tersedia bisa dipakai alat buatan pabrik seperti baby reactometer, Neometer, Viena
tone (frekuensi 3000 Hz dengan pilihan intensitas 70, 80 , 90, dan 100 dB).
Dinilai kemampuan anak dalam memberikan respons terhadap sumber bunyi
tersebut. Pemeriksaan Behavioral Observation Audiometry dibedakan menjadi (1)
Behavioral Reflex Audiometry dan (2) Behavioral Response Audiometry.
Behavioral Reflex Audiometry
Dilakukan pengamatan respons behavioral yang bersifat refleks sebagai reaksi
terhadap stimulus bunyi.
Respons behavioral yang dapat diamati antara lain: mengejapkan mata
(auropalpebral reflex), melebarkan mata (eye widening), mengerutkan wajah
(grimacing), berhenti menyusu (cessation reflex), denyut jantung meningkat refleks
Moro (paling konsisten). Refleks auropalpebral dan Moro rentan terhadap efek
habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan berulang-ulang bayi menjadi bosan
sehingga tidak memberi respon walaupun dapat mendengar. Stimulus dengan
intensitas sekitar 65-80 dBHL diberikan melalui loudspeaker, jadi merupakan metode
sound field atau dikenal juga sebagai Free field test. Stimulus juga dapat diberikan
melalui noisemaker yang dapat dipilih intensitasnya. Pemeriksaan ini tidk dapat
menentukan ambang dengar.
Bila kita mengharapkan terjadinya refleks Moro dengan stimulus bunyi dan
keras sebaiknya dilakukan pada akhir prosedur karena bayi akan terkejut, takut dan
menangis, sehingga menyulitkan ovservasi selanjutnya,
Behavioral Response Audiometry
Pada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan, stimulus akustik akan menghasilkan
pola respons khas berupa menoleh atau menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi di
luar lapangan pandang. Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horisontal, dan
dengan bertambahnya usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi dari awrah bawah.
Selanjutnya bayi mampu mencari sumber bunyi dari bagian atas. Pada bayi normal
kemampuan melokalisir sumber bunyi dari segala arah akan tercapai pada usia 13-16
bulan.
Teknik Behavioral Response Audiometry yang seringkali digunakan adalah (1)
Tes Distraksi dan (2) Visual Reinforcement Audiometry(VRA).
- Tes Distraksi
Tes ini dilakukan pada ruang kedap suara, menggunakan stimulus nada murni.
Bayi dipangku oleh ibu atau pengasuh. Diperlukan 2 orang pemeriksa,
pemeriksa pertama bertugas untuk menjaga konsentrasi bayi, misalnya dengan
meperlihatkan mainan yang tidak terlalu menarik perhatian; selain
memperhatikan respons bayi. Pemeriksa kedua berperan memberikan stimulus
bunyi, misalnya dengan audiometer yang terhubung dengan pengeras suara.
Respons terhadap stimulus bunyi andalan menggerakan bola mata atau
menolah kea rah sumber bunyi. Bila tidak ada respons terhadap stimuli bunyi,
pemeriksaan diulang sekali lagi. Kalau tetap tidak berhasil, pemeriksaan
ketiga dilakukan lagi 1 minggu kemudian. Seandainya tetap tidak ada respons
harus dilakukan pemeriksaan audiologik lanjutan yang lebih lengkap.
- Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
Mulai dapat dilakukan pada bayi 4-7 bulan dimana control neuromotor berupa
bulan dimana control neuromotor berupa kemampuan mencari sumber bunyi
sudah berkembang. Pada masa ini respons unconditioned beralih menjadi
respons conditioned. Pemeriksaan pendengaran berdasarkan respons
conditioned yang diperkuat dengan stimulus visual dikenal sebagai VRA.
Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan stimulus visual, bayi akan
member respons orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara menoleh ke arah
sumber bunyi. Dengan intensitas yang sama diberikan stimulus bunyi saja
(tanpa stimulus visual), bila bayi member respons diberi hadiah berupa
stimulus visual. Pada tes VRA juga diperlukan 2 orang pemeriksa.
Pemeriksaan VRA dapat dipergunakan menentukan ambang pendengaran,
namun karena stimulus diberikan melalui pengeras suara maka respon yang
terjadi merupakan tajam pendengaran pada telinga yang lebih baik.
Play audiometry (usia 2-5 tahun)
Pemeriksaan Play Audiometry (Conditioned play audiometry) meliputi teknik
melatih anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai pengamatan respons motorik
spesifik dalam suatu aktivitas permainan. Misalnya sebelum pemeriksaan anak dilatih
(conditioned) untuk memasukkan bedan tersebut ke dalam kotak segera setelah
mendengar bunyi. Diperlukan 2 orang pemeriksa, yang pertama bertugas memberikan
stimulus melalui audiometer sedangkan pemeriksa kedua melatif anak dan mengamati
respons. Stimulus biasanya diberikan melalui headphone. Dengan mengatur frekuensi
dan menentukan intensitas stimulus bunyi terkecil yang dapat menimbulan respons
dapat ditentukan ambang pendengaran pada frekuensi tertentu (spesifik).
2. TIMPANOMETRI
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran
timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negative di telinga tengah)
merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.
Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga
berdasarkan energy suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang
telinga. Pada orang dewasa atau bayi berusia di atas 7 bulan digunakan probe tone
frekuensi 226 Hz. Khusus untuk bayi dibawah usia 6 bulan tidak digunakan probe
tone 226 Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga sehingga harus
digunakan probe tone frekuensi tinggi (668678 atau 1000 Hz).
Terdapat 4 jenis timpanogram yaitu:
1. Tipe A (normal)
2. Tipe Ad (diskontinuitas tulang tulang pendengaran)
3. Tipe As (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)
4. Tipe B (cairan di dalam telinga tengah)
5. Tipe C (Gangguan fungsi tuba Eustachius)
Pada bayi usia kurang dari 6 bulan ketentuan jenis timpanogram tidak
mengikuti ketentuan di atas,
Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE, dan
bila terdapat gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda
sampai telinga tengah normal.
Refleks akustik pada bayi juga berbeda dengan orang dewasa. Dengan
menggunakan probe tone frekuensi tinggi, refleks akustik bayi usia 4 bulan atau lebih
sudah mirip dengan dewasa.
3. AUDIOMETRI NADA MURNI
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer, dan hasil
pencatatannya disebut sebagai audiogram. Dapat dilakukan pada anak berusia lebih
dari 4 tahun yang koperatif. Sebagai sumber suara digunakan nada murni (pure tone)
yaitu bunyi yang hanya terdiri dari 1 frekuensi. Pemeriksaan dilakukan pada ruang
kedap suara, dengan menilai hantaran suara melalui udara (air conduction) melalui
headphone pada frekuensi 125, 250, 5000, 1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz. Hantaran
suara melalui tulang (bone conduction) diperiksa dengan memasang bone vibrator
pada prosesus mastoid yang dilakukan pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz.
Intensitas yang biasa digunakan antara 10 – 100 dB (masing – masing dengan
kelipatan 10), secara bergantian pada kedua telinga. Suara dengan intensitas terendah
yang dapat didengar dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi tentang
jenis dan derajat ketulian.
4. OCTOPUS EMISSION (OAE)
Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi stimulus listrik,
selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf pendengaran. Sebagian energi bunyi
tidak dikirim ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju ke liang telinga. Proses
ini mirip dengan peristiwa echo (Kemp echo). Produk sampingan koklea ini
selanjutkan disebut sebagai emisi otoakustik (Otoaccoustic emission). Koklea tidak
hanya menerima dan memproses bunyi tetapi ojuga dapat memproduksi energi bunyi
dengan intensitas rendah yang berasal dari sel rambut luar koklea (outer hair cells).
Terdapat 2 jenis OAE yaitu (1) Spontaneous OAE (SPOAE) dan (2) Evoked
OAE. SPOAE adalah mekanisme aktif koklea untuk memproduksi OAE tanpa harus
diberikan stimulus, namun tidak semua orang dengan pendengaran normal mempunya
SPOAE. EOAE hanya akan timbl bila diberikan stimulus akustik yang dibedakan
menjadi (1) Transient Evoked OAE (TEOAE) dan (2) Distortion Product OAE
(DPOAE). Pada TEOAE stimulus akustik berupa click sedangkan DPOAE
menggunakan stimulus berupa 2 buah nada murni yang berbeda frekuensi dan
intensitasnya.
Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai
fungsi koklea yang obyektif, otomatis (menggunakan kriteria pass/ lulus/ dan refer/
tidak lulus), tidak invasif, mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan praktis
sehingga sangat efisien untuk program skrining pendengaran bayi baru lahir
(Universal newborn Hearing Screening).
Pemeriksaan tidak harus di ruang kedap suara, cukup di ruangan yang tenang.
Pada mersin OAE generasi terakhir nilai OAE secara otomatis akan dikoreksi dengan
noise yang terjadi selama pemeriksaan. Artefak yang terjadi akan diseleksi saat itu
juga (real time). Hal tersebut menyebabkan nilai sensitifitas dan spesifitas OAE yang
tinggi. Untuk memperoleh hasil yang optimal diperlukan pemilihan probe (sumbat
liang telinga) sesuai ukuran liang telinga. Sedatif tidak diperlukan bila bayi dan anak
koperatif.
Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek negatif dari obat
ototoksik, diagnosis neueropati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu
dengar, skrining pemaparan bising (noise induced hearing loss) dan sebagai
pemeriksaan penunjang pada kasus – kasus yang berkaitan dengan gangguan koklea.
5. BRAINSTEM EVOKED RESPONSE AUDIOMETRY
Istilah lain: Auditory Brainstem Response (ABR). BERA merupakan
pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas sistim auditorik, bersifat
obyektif, tidak invasif. Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, penderita koma.
BERA merupakan cara pengukuran evoked potential (aktifitas listrik yang
dihasilkan n.VIII, pusat – pusat neutral dan traktus di dalam batang otak) sebagai
respons terhadap stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang digunakan berupa bunyi
click atau toneburst yang diberikan melalui headphone, insert probe, bone vibrator.
Untuk memperoleh stimulus yang paling efisien sebaliknya digunakan insert probe.
Stimulus click merupakan impuls listrik dangan onset cepat dan durasi yang sangat
singkat (0,1 ms), menghasilkan respons pada average frequency antara 2000 – 4000
Hz. Tone burst juga merupakan stimulus dengan durasi singkat namun memiliki
frekuensi yang spesifik.
Respons terhadap stimulus auditorik berupa evoked potential yang sinkron,
direkam melalui elektroda permukaan (surface electrode) yang ditempelkan pada kulit
kepala (dahi dan prosesus mastoid), kemudian diproses melalui program komputer
dan ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi positif (gelombang I sampai V) yang
terjadi sekitar 2 – 12 ms setelah stimulus diberikan. Analisis gelombang BERA
berdasarkan (1) marfologi gelombang, (2) masa laten dan (3) amplitudo gelombang.
Salah satu faktor penting dalam menganalisa gelombang BERA adalah
menentukan masa laten, yaitu waktu (milidetik) yang diperlukan sejak stimulus
diberikan sampai terjadi EP untuk masing – masing gelombang (gel I sampai V).
Dikenal 3 jenis masa laten: (1) masa laten absolut dan (2) masa laten antar gelombang
(interwave latency attau interpeak latency) dan (3) masa laten antar telinga (interaural
latency). Masa laten absolut gelombang I adalah waktu yang dibutuhkan sejak
pemberian stimulus sampai timbultnya gelombang I adalah waktu yang dibutuhkan
sejak pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I. Masa laten antar
gelombang adalah selisih waktu antar gelombang, misalnya masa laten antar
gelombang I – III, III – V, I – V. Masa laten antar telinga yaitu membandingkan masa
laten absolut gelombang yang sama pada kedua telinga. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah pemanjangan masa laten fisiologik yang terjadi billa intensitas
stimulus diperkecil. Terdapatkan pemanjanan masa laten pada beberpa frekuensi
menunjukkan adanya suatu gangguan konduksi.
Perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf auditorik pada bayi dan anak
yang usianya kurang dari 12 – 18 bulan, karena terdapat perbedaan masa laten,
amplitudo dan morfologi gelombang dibandingkan dengan anak yang lebih besar
maupun orang dewasa.
JENIS PEMERIKSAAN BERA LAINNYA
BERA TONE BURST
Pemeriksaan ini sama saja dengan BERA click, namun mempergunakan
stimulus tone burst. Keuntungan yang diperoleh adalah kita dapat memperoleh
frekuensi yang spesifik.
Dengan tone burst ABR pada beberapa frekuensi kita dapat menentukan
ambang pendengaran yang lebih spesifik dan membuat prediksi audiogram pada bayi,
hal ini tentu akan sangat membantu proses fitting ABD (alat bantu dengar).
BERA HANTARAN TULANG
Untuk memperoleh ambang dengar hantaran tulang yang akurat diperlukan
stimulus hantaran tulang (bone conduction) yang diberikan melalui bone vibrator
(dipasang pada prosesus mastoid). Pemeriksaan BERA hantaran tulang dilakukan bila
terdapat pemanjangan masa laten pada pemeriksaan BERA click atau tone burst, juga
pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk pemberian stimulus melalui liang
telinga, misalnya pada stenosis atau atresia liang telinga.
Dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh gambaran sensitivitas auditorik
pada bayi dan anak idealnya dilakukan pemeriksaan BERA yang komprehensif,
meliputi (1) click hantaran undara untuk menilai respons auditorik frekuensi tinggi
terutama 2 – 4 Khz, (2) toneburst 500Hz untuk mengetahui respon frekuensi rendah
dan (3) Click hantaran tulang, yang dapat membedakan tuli konduktif dengan
sensorinueral.
AUTOMATED AUDITORY BRAINSTEM RESPONSE (AABR)
Automated ABR adalah pemeriksaan BERA otomatis sehingga tidak diperlukan
analisis gelombang evoked potential karena hasil pencatatannya sangat mudah dibaca,
hanya berdasarkan kriteria lulus (pass) atau tidak lulus (refer). Digunakan stimulus
click, untuk pencatatan respon diperlukan elektroda permukaan yang sama dengan
BERA konvensional. Merupakan pemeriksaan elektrofisiologik sistim auditorik yang
obyektif, mudah, praktis, tidak invasif dan cepat (5 – 10 menit). Sensitivitas AABR
mencapai 99.96% sedangkan spesifitasnya 98,7%. Karena sangat praktis dan memiliki
sensitivitas yang tinggi maka AABR ditetapkan sebagai baku emas (gold stadard)
untuk skrining pendengaran pada bayi.
AABR hanya dapat menggunakan intensitas stimulus yang terbatas yaitu 30 –
40 dB.
NEUROPATI AUDITORIK
Neuropati auditorik (NA) atau Auditory Dysynchrony sebenarnya bukan
merupakan jenis gangguan pendengaran yang baru. Namun kemampuan
mengidentifikasi NA secara klinis baru dapat terlaksana setelah adanya pemeriksaan
OAE. Secara umum pada pasien NA didapatkan gambaran kelainan BERA sedangkan
OAE normal. Kelinan ini dapat terjadi pada bayi, anak maupun dwasa.
Pada NA fungsi sel-sel rambut luar koklea adalah normal, namun sinyal
auditorik yang keluar dari koklea diduga mengalami disorganisasi. Kemungkinan lain
adalah saraf pendengaran tidak dapat memproses sinyal stik.
Penyebab NA belum diketahui pasti namun pendapat yang berlaku saat ini
umumnya beranggapan bahwa NA disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab paling
sering adalah anoksia saat lahir, hiperbilirubinemia yang membutuhkan transfusi tukar
pada bayi baru lahir, infeksi (parotitis), penyakit autoimun, penyakit neurologi,
misalnya Friedreich’s ataxia.
Gejala klinis maupun audiologik pada NA sangat bervariasi seperti, gangguan
pendengaran (ringan sampai sangat berat). Pada individu yang sama derjat gangguan
pendengaran dapat berubah – ubah (fluktuatif). Gejala lainnya adalah sulit memahami
percakapan terutama di lingkungan bising. Gangguan speech perception ini seringkali
tidak sebanding dengan gambaran audiogram nada murni. Hasil pemeriksaan OAE
normal, BERA abnormal; terdapat gambaran cochlear microphonic pada hasil
pemeriksaan OAE normal, BERA abnormal; terdapat gambaran cochlear microphonic
pada hasil pemeriksaan BERA. Tidak terdapat refleks akustik. Bentuk neuropati
lainnya bisa menyebabkan kesulitan menulis atau berbicara.
DETEKSI DINI GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI
Untuk dapat melakukan deteksi dini pada seluruh bayi dan anak relatif sulit,
karena akan mebutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Program skrining
sebaiknya diprioritaskan pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi terhadap
gangguan pendengaran. Untuk maksud tersebut Joing Commitee on Infant Hearing
(2000) menetapkan pedoman registrasi resiko tinggi terhadap ketulian sebagai
berikut:
Untuk bayi 0 – 28 hari
1. Kondisi atau penyakit yang memerlukan perawatan NICU (Neonatal ICU) selama
48 jam atau lebih
2. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma terntentu yang
diketahui emmpunyai hubungan dengan tuli sensorineural atau konduktif
3. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorneural yang menetap sejak
masa anak – anak
4. Anomali kraniofasila termasuk kelainan morfologi pinna atau liang telinga
5. Infeksi intrauterin seperti toksoplasma, rubella, virus cytomegalo, herpes, sifilis
Untuk bayi 29 hari – 2 tahun
1. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran,
keterlambatan bicara, berbahasa dan atau keterlambatan perkembangan.
2. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap sejak masa anak –
anak.
3. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang
diketahui mempunyai hubungan dengan tulis sensorineural, konduktif atau
gangguan fungsi tuba Eustachius.
4. Infeksi post-natal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural
termasuk meningitis bakterialis.
5. Infeksi intrauterin seperti toksoplasma, rubella, virus cytomegalo, herpes, sifilis.
6. Adanya faktor risiko tertaentu pada masa neonatus, terutama hiperbilirubinemia
yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal yang membutuhkan
ventilator serta kondisi lainnya yang memerlukan extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO).
7. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang
progresif seperti usher syndrome, neurofibromatosis, osteopetrosis.
8. Adanya kelainan neurodegeneratif seperti Hunter syndorme, dan kelainan
neuropati sensomotorik misalnya Friederich’s ataxia, Charrot-Marie Tooth
sundrome.
9. Trauma kapitis
10. Otitis media yang berulang atau menetap disertai efusi telinga tengah minimal 3
bulan.
Bayi yang mempunyai salah satu faktor risiko tersebut mempunyai
kemungkinan mengalami ketulian 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi
yang tidak memiliki faktor risiko. Bila terdapat 3 buah faktor risiko kecenderungan
menderita ketulian diperkirakan 63 kali lebih besar dibandingkan bayi yang tidak
mempunyai faktor risiko tersebut. Pada bayi baru lahir yang dirawat di ruangan
intensif (ICU) risiko untuk mengalami ketulian 10 kali lipat dibandingkan dengan
bayi normal.
Namun indikator risiko gangguan pendengaran tersebut hanya dapat mendeteksi
sekitar 50% gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami
gangguan pendengaran tanpa memiliki faktor risiko dimaksud. Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka saat ini upaya melakukan deteksi dini gangguan
pendengaran pada bayi ditetapkan melalui program Newborn Hearing Screening
(NHS).
Saat ini baku emas pemeriksaan skrining pendengaran pada bayi adalah
pemeriksa Otoacousti Emission (OAE) dan Automated ABR (AABR).
Dikenal 2 macam program NHS, yaitu:
1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)
UNHS bertujuan melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada
semua bayi baru lahir. Upaya skrining pendengaran ini sudah dimulai pada
saat 2 hari atau sebelum meninggalkan rumah sakit. Untuk bayi yang lahir
pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki program UNSH paling lambat
pada usia 1 bulan sudah melakukan skrining pendengaran.
2. Targeted Newborn Hearing Screening
Di negara berkembang program UNHS masih sulit dilakukan karena
memerlukan biaya dan SDM yang cukup besar dan harus didukung oleh
suatu peraturan dari pemerintah setempat. Atas pertimbangan tersebut kita
dapat melakukan program skrining pendengaran yang lebih selektif, dan
terbatas pada bayi yang memiliki faktor risiko terhadap gangguan
pendengaran. Program ini dikenal sebagai Targeted Newborn Hearing
Screening.
BAB III
PENUTUP
Proses belajar mendengar bagi bayi sangat kompleks dan bervariasi karena
menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embrilogi, anatomi, fisiologi,
neurolog dan audiologi. Oleh karena itu pemeriksaan diharapkan dapat mendeteksi
gangguan pendengaran pada kelompok usia ini sedini mungkin.
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang – kadang disertai
keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan.
Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalami gangguan pendengaran, lebih
dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara (delayed speech).
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan
saat terjadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa pranatal, perinatal dan
posnatal.
Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi;
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
2. Timpanometri
3. Audiometri bermain (play audimetry)
4. Oto Acoustic Emission (OAE)
5. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
Untuk dapat melakukan deteksi dini pada seluruh bayi dan anak relatif sulit,
karena akan mebutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Program skrining
sebaiknya diprioritaskan pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi terhadap
gangguan pendengaran.
Saat ini baku emas pemeriksaan skrining pendengaran pada bayi adalah
pemeriksa Otoacousti Emission (OAE) dan Automated ABR (AABR).
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Keenam. Cetakan ke-1.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 2007
2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta: 1997
3. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology. George Thieme Verlag.
Stuttgart : 2006
4. Borgstein J. The Basic ENT