Upload
buidien
View
292
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
GAMBARAN HISTOPATOLOGI
LAMBUNG TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
AKIBAT PEMBERIAN ASAM ASETIL SALISILAT
DYAH ARDIANI PUSPITASARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
DYAH ARDIANI PUSPITASARI. Gambaran Histopatologi Lambung Tikus Putih (Rattus norvegicus) Akibat Pemberian Asam Asetil Salisilat. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Asam asetil salisilat (AAS) merupakan salah satu obat anti-inflammasi
non steroid (OAINS) yang banyak digunakan sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi. Di satu sisi konsumsi AAS maupun OAINS dalam jangka lama dapat menimbulkan efek samping pada saluran pencernaan (GI). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan histopatologi organ lambung tikus putih galur Sprague-Dawley akibat pemberian OAINS berupa asam asetil salisilat (AAS). Sebanyak 20 ekor tikus jantan berumur 2 bulan dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan diberi asam asetil salisilat (AAS) dengan dosis 400 mg per ekor tikus selama 3 hari. Pengamatan dilakukan secara histopatologi dengan pewarnaan HE dan PAS pada regio lambung nonkelenjar, fundus dan pilorus. Perubahan histopatologi yang teramati adalah proliferasi sel goblet, deskuamasi epitel, erosi mukosa nekrosa sel, kongesti, hemorrhagi, edema dan infiltrasi sel radang netrofil pada tiap lapisan lambung. Hasil analisis statistik ragam acak lengkap (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Duncan, menunjukkan bahwa AAS dapat menyebabkan gastritis superfisial akut dan ulkus (p<0.05) dengan potensi kejadian 20% pada kelompok perlakuan. Kata Kunci: Asam Asetil Salisilat (AAS), OAINS, gastritis, ulkus.
ABSTRACT
Acetylsalicylic acid (ASA) is one of non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) that commonly used as analgesic, antipyretic and anti-inflammation drug. Consumption ASA or OAINS for long time had side effect to gastrointestinal tract (GI tract). The aim of this research is to assay histopathological change of the rat stomach after ASA exposured. There were twenty rats divided into control and treatment groups. Treatment group was given acetylsalicylic acid 400 mg for three consecutive days. This study was done by histopathology analysis of non-glandular stomach, fundus and pyloric regions with Hematoxylen-Eosin (HE) and Periodic Acid Schiff (PAS) stainings. The result of ANOVA and continued with Duncan test showed that acetylsalicylic acid can caused acute gastritis and ulcer that indicated by goblet cell proliferation, parietal cell necrosis, hemorrhagic, edema and neutrophils infiltration.The potency of acute gastritis and ulcer was 20% among the rat of treated group.
Keywords : Acetylsalicylic acid (ASA), OAINS, gastritis, ulcer peptikum.
GAMBARAN HISTOPATOLOGI
LAMBUNG TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
AKIBAT PEMBERIAN ASAM ASETIL SALISILAT
DYAH ARDIANI PUSPITASARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul skripsi : Gambaran Histopatologi Lambung Tikus Putih (Rattus
norvegicus) Akibat Pemberian Asam Asetil Salisilat
Nama : Dyah Ardiani Puspitasari
NIM : B04103101
Disetujui
Dr.drh. Sri Estuningsih, MSi drh. Bambang Pontjo P, MS, PhD
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui
Dr.Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan FKH IPB
Tanggal lulus :
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
karunia berupa nikmat dan rahmatNya yang telah diberikan kepada penulis
sehingga bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Histopatologi
Lambung Tikus Putih (Rattus norvegicus) Akibat Pemberian Asam Asetil
Salisilat.
Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada
1. Dr. drh. Sri Estuningsih MSi dan drh. Bambang Pontjo P. MS, Ph.D selaku
dosen pembimbing untuk semua kesabaran dan arahannya sehingga skripsi
ini dapat diselesaikan.
2. drh. Hernomo Adi Huminto, MVS selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
3. Dr. Chudahman Manan, SpPD-KGEH di Bagian Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan
bantuan sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian ini.
4. Dr. drh. Risa Tiura, MSi selaku dosen pembimbing akademik untuk
nasihat dan bimbingannya.
5. Keluarga tercinta Bapak, Mama, mbak Luki, mas Arya, mas Yan, mas Arif
atas segala kasih sayang, dukungan dan doanya. Ketiga ponakanku
tersayang (Febri, Lino dan Andra) yang slalu jadi tempat pelampiasan
ketika stress.
6. Triono Basuki, teman satu perjuangan penelitian atas kesabaran, kesetiaan
dan bantuannya selama penelitian.
7. Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Soleh, Bu Meli di bagian Patologi yang
telah banyak membantu selama penelitian.
8. Bibi atas jamuan makan siangnya.
9. Tri Regina’ers (Faiq, Dattu, Wiwik, Arum, Iin, Ira, Dewi, Litu, Silvi,
Prista dan INMT’ers) atas segala bantuan, dukungan dan motivasi dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Sakazaki Team: Dita, Gege, Mungki, Riza teman menginap bersama di lab
dan atas segala doa, bantuan, motivasi selama penelitian.
11. Isfar dan Aji atas bantuan mengolah data dan mengantarkan pulang ke
kostn.
12. Neng Ani Siti atas bantuannya ’mempercantik’ slide presentasi.
13. Teman-teman asisten PKPTT dan Patsis
14. Teman-teman angkatan 40, 41 dan 42, terima kasih telah memberi banyak
warna dan kenangan indah tak terlupakan.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini berguna untuk perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di masa yang akan datang.
Bogor, Januari 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 26 November 1985 dari
Bapak Prapto Suhardjo dan Ibu Indah Sunaryati. Penulis merupakan putri terakhir
dari empat bersaudara.
Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Semarang dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB. Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan sebagai pilihan kedua.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif di organisasi Himpro
Ruminansia 2004-2006, DKM An Nahl periode 2004-2007 dan IMAKAHI FKH
IPB periode 2004-2007. Selain itu, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah
Pengelolaan Kesehatan dan Produksi Ternak Tropis (PKPTT) dan mata kuliah
Patologi Sistemik I 2007-2008. Penulis menerima bantuan beasiswa Peningkatan
Prestasi Akademik (PPA) tahun 2007-2008 dan termasuk dalam jajaran 10 besar
Mahasiswa Berprestasi FKH tahun 2007.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL................................................................................... ...... x DAFTAR GAMBAR .............................................................................. ..... xi DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xii PENDAHULUAN Latar Belakang .................................................................................. 1 Tujuan penelitian ............................................................................... 2 Manfaat ............................................................................................. 2 Hipotesis ............................................................................................ 2 TINJAUAN PUSTAKA Tikus sebagai hewan percobaan ........................................................ 3 Lambung............................................................................................ 4 Anatomi Lambung............................................................................. 4 Histologi Lambung ............................................................................ 5 Fisiologi Lambung............................................................................. 9 Pertahanan Mukosa Lambung ......................................................... 10 Patologi Lambung............................................................................ 12 Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)..................................... 14 Asam Asetil Salisilat ....................................................................... 15 Farmakokinetik ................................................................................ 15 Farmakodinamik .............................................................................. 16 Efek Samping .................................................................................. 17 Overdosis ........................................................................................ 18 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat........................................................................... 19 Materi Penelitian.............................................................................. 19 Metode Penelitian ............................................................................ 20 HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon Pra-Inflammasi ................................................................... 25 Proliferasi Sel Goblet....................................................................... 25 Deskuamasi epitel............................................................................ 29 Respon Inflammasi .......................................................................... 30 Erosi mukosa lambug....................................................................... 31 Pengaruh AAS terhadap Sel Parietal dan Sel Chief .................................................................................... 35 Kongesti .......................................................................................... 37 Hemorrhagi ..................................................................................... 38 Edema ............................................................................................. 39 Infiltrasi Sel radang ...........................................................................41
KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................... 45 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 46 LAMPIRAN................................................................................................. 51
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pengaruh pemberian AAS terhadap jumlah sel goblet pada regio fundus dan pilorus lambung ................................................ .26
2 Gambaran perubahan histopatologi lambung tikus pada kelompok K dan P setelah pemberian AAS ........................ ...........29 3 Pengaruh pemberian AAS terhadap jumlah sel kelenjar utama (sel parietal dan sel chief) regio fundus dan pilorus lambung tikus.........35 4 Pengaruh pemberian AAS terhadap jumlah sel radang tiap lapisan regio lambung non kelenjar, regio fundus, dan regio pilorus.......................................................................................41
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Anatomi eksternal dan internal lambung mamalia ...................................... 5 2 Histologi lambung tikus bagian pilorus ....................................................... 6 3 Histologi kelenjar lambung bagian fundus .................................................. 7
4 Gambaran histologi lambung bagian fundus, abomasum kambing. Sel Chief (a), sel parietal (b), sel lendir leher (c) ......................................... 8
5 Gambaran histologi sel parietal dan sel Chief lambung bagian fundus ....... 8
6 Gambar struktur kimia Aspirin .................................................................. 15
7 Bagan mekanisme penghambatan mediator peradangan oleh obat anti inflamasi non steroid (OAINS) ................................................... 17
8 Lambung monogastrik.................................................................................22
9 Grafik persentase sel goblet pada mukosa lambung kelenjar regio fundus dan pilorus kelompok K dan P...............................................26
10 Gambaran histopatologi sel goblet pada kelompok K (A) dan sel goblet yang berproliferasi pada kelompok P (B) ...................................... 27
11 Konsekuensi patofisiologis dar difusi balik asam lambung...................... 28 12 Deskuamasi epitel lambung kelenjar (fundus) dengan derajat keparahan ringan pada kelompok K (A), deskuamasi epitel dengan derajat keparahan sedang (B) dan berat (C) pada kelompok P ............................. 30 13 Gambaran regio lambung nonkelenjar tanpa erosi mukosa pada
kelompok K (A) dan kelompok P (B). ...................................................... 33
14 Gambaran regio lambung nonkelenjar dengan erosi mukosa dengan derajat keparahan ringan (C) dan berat (D) pada kelompok P. .............................................................................................. 33
15 Erosi mukosa (tanda panah) lambung kelenjar regio fundus (A) dan
regio pilorus (B) ....................................................................................... 34 16 Erosi mukosa lambung kelenjar regio pilorus dengan derajat keparahan sedang (A) dan berat (B) pada kelompok P............................. 34
17 Grafik persentase sel Chief dan sel parietal regio fundus dan pilorus kelompok K dan P......................................................................................35
18 Gambaran histopatologi sel parietal lambung kelenjar yang mengalami piknosis (tanda panah hitam) dan sel parietal yang masih normal (tanda panah kuning) pada kelompok P .............................................................. 37 19 Gambaran histopatologi kongesti dan hemorrhagi disertai dengan
infiltrasi sel radang pada regio pilorus kelompok P................................. 40
20 Gambaran histopatologi edema pada submukosa (A) dan mukosa lambung (B) regio fundus kelompok P........................................ 40
21 Grafik persentase sel radang pada regio lambung nonkelenjar, fundus dan pilorus kelompok K dan P...................................................................42
22 Infiltrasi sel radang pada daerah ulkus lambung nonkelenjar kelompok P (A). Infiltrasi sel radang netrofil (tanda panah hitam) dan hemorrhagi (tand panah kuning) ....................................................... 44 23 Infiltrasi sel radang lambung kelenjar (tanda panah) pada
kelompok K (A) dan pada kelompok P (B) ............................................. 44
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Perhitungan dosis obat ...........................................................................53 2 Teknik pembuatan preparat histopatologi ..............................................55 3 Pewarnaan Hematoxillin Eosin (HE) menurut metode Meyer ..............56 4 Pewarnaan Periodic Acid Schifft-Alcian Blue (PAS-AB)...................... 57 5 Hasil analisis statistik ANOVA dan uji Duncan sel goblet di lambung kelenjar................................................................................66 6 Hasil analisis statistik ANOVA dan uji Duncan Sel parietal dan sel chief di lambung kelenjar .......................................64 7 Hasil analisis statistik ANOVA dan uji Duncan sel radang di lambung nonkelenjar..........................................................................58 8 Hasil analisis statistik ANOVA dan uji Duncan sel radang di lambung kelenjar regio fundus...........................................................60 9 Hasil analisis statistik ANOVA dan uji Duncan sel radang di lambung kelenjar regio pilorus ..........................................................62 10 Hasil evaluasi kualitatif perubahan histopatologi pada
lambung non kelenjar kelompok K dan P setelah pemberian AAS.....................................................................................67
11 Hasil evaluasi kualitatif perubahan histopatologi pada regio fundus...........................................................................................67
12 Hasil evaluasi kualitatif perubahan histopatologi pada
regio pilorus ..........................................................................................67
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbagai aktivitas yang dijalani seseorang dalam kehidupan sehari-hari
tentunya menuntut resiko kelelahan dan kepayahan fisik. Pada kelompok usia
produktif dengan intensitas kerja yang tinggi, rasa nyeri menjadi salah satu
masalah yang sering dikeluhkan. Namun, masalah kesehatan tak hanya dialami
oleh kelompok usia produktif tetapi kelompok usia lanjut juga memiliki keluhan
penyakit yang sama. Umumnya rasa nyeri yang dialami seperti sakit kepala, nyeri
sendi, nyeri otot dan lain-lain.
Pada kelompok usia lanjut, umumnya rasa nyeri yang dialami merupakan
tanda atau simptom penyakit degeneratif seperti nyeri sendi (rematik). Seiring
bertambahnya usia, tubuh mengalami penurunan fungsi dan kemunduran fisik
tubuh, tak terkecuali pada bagian tulang dan persendian. Tubuh makin rentan
terhadap keluhan nyeri pada persendian dan tulang. Penyakit ini tidak dapat
dihindari dan dihilangkan, akan tetapi dapat dikurangi simptomnya.
Pada umumnya, resiko peningkatan penyakit degeneratif ini akan diikuti
peningkatan konsumsi obat-obatan yang bekerja menekan reaksi peradangan dan
meringankan nyeri dalam pengobatan simptomatis penyakit-penyakit rematik.
Salah satu solusi untuk mengurangi rasa nyeri ini secara simptomatis diperlukan
obat penghilang nyeri (analgesik).
Dalam hal ini obat-obatan golongan anti-inflamasi non steroid (OAINS)
menjadi alternatif jitu sebagai analgesik, yang juga memiliki efek antipiretik dan
anti-inflamasi. Sediaan OAINS telah digunakan dalam pengobatan sejak lebih dari
satu abad yang lalu (Kartasasmita 2002). Sediaan OAINS dibutuhkan karena
dapat menghilangkan keluhan rasa nyeri sendi, peradangan dan kondisi lain pada
banyak penderita (Wimana 1995).
Dalam skripsi ini asam asetil salisilat selanjutnya disebut AAS atau yang
lebih dikenal dengan aspirin merupakan salah satu jenis OAINS yang sering
disarankan oleh dokter. Salisilat merupakan obat yang paling banyak digunakan
sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi (Wimana 1995; Takeuchi et al.
1998).
Sediaan AAS termasuk analgesik yang sering digunakan dan digolongkan
dalam obat bebas. Saat ini masyarakat dapat dengan mudah membeli dan
mengkonsumsi AAS bahkan tanpa perlu menggunakan resep dokter. Hal ini
sungguh sangat mengkhawatirkan mengingat selain memiliki daya kerja yang
efektif, AAS juga memiliki beberapa efek samping yang perlu diwaspadai oleh
pasien yang mengkonsumsi.
Menurut Wimana (1995), konsumsi AAS maupun OAINS dalam jangka
lama dapat menimbulkan efek samping pada saluran pencernaan (GI). Efek
samping yang paling sering terjadi adalah kerusakan lambung berupa induksi
ulkus lambung yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat pendarahan
saluran pencernaan (Plumb 1995, Takeuchi et al. 1998).
Mengingat banyaknya konsumsi AAS di Indonesia, serta efek samping
yang dapat ditimbulkannya pada saluran pencernaan terutama lambung, maka
perlu dilakukan studi histopatologi lambung tikus yang diberikan AAS untuk
mengetahui perubahan yang terjadi pada fungsi dan anatomi/histologi lambung.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan histopatologi organ
lambung tikus pasca pemberian obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) berupa
asam asetil salisilat (AAS).
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan dengan gambaran
histopatologi perubahan struktur histologi lambung pada pemberian AAS.
Hipotesa Penelitian
H0 : Pemberian obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) berupa asam
asetil salisilat (AAS) menyebabkan perubahan histopatologi
lambung tikus Spraque Dawley (SD).
H1 : Pemberian obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) berupa asam
asetil salisilat (AAS) tidak menyebabkan perubahan histopatologi
lambung tikus Spraque Dawley (SD).
TINJAUAN PUSTAKA
Tikus sebagai hewan percobaan
Menurut Sulaksono et al. (1986), hewan percobaan atau hewan
laboratorium adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu untuk
dipergunakan sebagai salah satu sarana dalam berbagai percobaan penelitian dan
kedokteran. Menurut Subahagio et al. (1997), hewan percobaan harus memenuhi
persyaratan genetik atau keturunan dan lingkungan yang memadai dalam
pengolahan, serta memperlihatkan reaksi biologis sesuai yang dikehendaki.
Tikus merupakan mamalia yang umum digunakan sebagai hewan
percobaan. Tikus putih (Rattus sp.) merupakan hewan laboratorium yang memiliki
kekhususan karena pertumbuhannya relatif cepat dan lebih mudah berkembang
biak (Smith dan Mankoewidjojo 1988). Tikus banyak digunakan dalam penelitian
tentang tingkah laku, senilitas (ketuaan), neoplasia, daya kerja obat, toksikologi,
metabolisme lemak, alkoholisme, hepatitis, hipertensi, teratologi, diabetes
insipidus dan penyakit menular (Malole et al. 1989).
Tikus atau rat (Rattus sp.) memiliki sifat-sifat yang mudah dipelihara,
mudah berkembang biak dan morfologi organ tubuhnya analog dengan organ
manusia. Oleh karena itu, tikus sering digunakan sebagai hewan pengujian obat
sebelum diberikan kepada manusia. Tikus juga memiliki sifat mudah dipelihara
dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk penelitian (Malole et al.
1989).
Robinson (1979) mengklasifikasikan tikus putih sebagai hewan percobaan
dalam taksonomi sebaga berikut :
kelas : Mammalia
ordo : Rodentia
sub ordo : Myomorpha
super famili : Muroidea
famili : Muridae
sub famili : Murinae
genus : Rattus
spesies : Rattus sp.
Menurut Malole et al. (1989), terdapat beberapa galur atau varietas tikus
yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-Dawley dengan ciri-
ciri albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya.
Galur Wistar mempunyai ciri-ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang
lebih pendek, sedangkan galur Long Evans berukuran lebih kecil dari tikus putih,
memiliki warna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan.
Lambung
Menurut Bringman et al. (1995); Gartner dan Hiatt (2001), lambung
adalah bagian dari saluran yang dapat berdilatasi, berstruktur seperti kantung yang
berfungsi mencairkan makanan dilanjutkan dengan proses pencernaan yang
dibantu oleh asam hidroklorat (HCl) dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, lipase
dan hormon parakrin. Bolus makanan melewati gastroesophageal junction
menuju lambung kemudian dicampur dengan gastric juice yang terdiri atas
mukus, air, HCl dan enzim-enzim pencernaan.
Anatomi Lambung
Morfologi organ tubuh tikus analog dengan morfologi organ manusia.
Oleh karena itu, sering digunakan sebagai hewan pengujian obat sebelum
diberikan pada manusia. Salah satu organ tikus yang analogis dengan organ
manusia adalah lambung (Malole et al. 1989).
Lambung tikus terletak di sebelah kiri ruang abdomen yang berkontak
langsung dengan hati. Menurut Miller (1996), tepi bagian tengah yang berbentuk
cekung dari lambung disebut curvature minor atau lekukan kecil. Tepi bagian
lateral yang berbentuk cembung disebut curvature mayor atau lekukan besar.
Menurut Brown dan Hardisty (1990) serta Frappier (1998), lambung tikus
dibedakan menjadi dua bagian yaitu lambung depan (bagian tipis di sebelah kiri)
dan lambung kelenjar. Lambung depan umumnya dikenal dengan lambung
nonkelenjar. Menurut Stevens dan Hume (1996), pada lambung tikus dan
beberapa mamalia lainnya terdapat regio tambahan sebelum cardia yaitu lambung
nonkelenjar (nonglandular stratified squamous epitelium). Lambung depan
merupakan pintu masuk esofagus ke dalam lambung (Brown dan Hardisty 1990).
Ketika meluas, lambung depan dapat menampung kira-kira 60% dari volume total
lambung (Miller 1996).
Bringman et al. (1995); Miller (1996) menyatakan bahwa secara anatomis
lambung mamalia dibagi atas 4 regio, yaitu cardia, fundus, body atau corpus dan
pilorus. Cardia, merupakan bagian dengan luas kecil dan zona pembatas dekat
gastrophageal junction. Fundus, pada mamalia merupakan regio yang berbentuk
kubah terletak sebelah kiri dari esofagus dan banyak terdapat sel kelenjar. Body
atau corpus, merupakan bagian terluas dari lambung (kurang lebih 2/3 bagian
lambung) yang membentang dari fundus inferior sampai ke pilorus. Pilorus
merupakan bagian yang paling akhir. Pilorus berbentuk corong dengan perluasan
kerucut, pada sambungan dengan badan disebut pyloric antrum dan batang
corongnya disebut pyloric canal. Bagian akhir pylorus terdapat sphinter yang
berfungsi mengatur pelepasan chyme ke dalam duodenum. Berikut merupakan
gambaran bentuk anatomis dari lambung dengan regio-regionya:
Gambar 1 Anatomi eksternal dan internal lambung mamalia. (Tortora dan
Grabowski 1996)
Histologi Lambung
Brown dan Hardisty (1990) serta Frappier (1998) menyatakan mukosa
lambung depan (lambung nonkelenjar) berbentuk epitel pipih banyak lapis yang
tertutupi oleh lapis keratin. Ketebalan lapisan keratin bervariasi tergantung pada
spesies, umur, diet dan derajat perluasan lambung. Batas antara lambung
nonkelenjar dan lambung kelenjar dapat terlihat pada peralihan bentuk epitel pipih
banyak lapis ke bentuk epitel silindris sebaris.
Menurut Beveleander et al. (1988); Bringman et al. (1995); Gartner dan
Hiatt (2001), secara umum, histologi lambung dapat dibedakan menjadi beberapa
bagian yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa dan serosa. Berikut
merupakan gambaran histologi lambung beserta lapisan-lapisannya:
Gambar 2 Histologi lambung tikus bagian pilorus. M= mukosa; MM= muskularis
mukosa; SM= submukosa; TM= tunika muskularis. (Dokumentasi pribadi 2007)
Mukosa
Membran mukosa lambung berbentuk irreguler seperti tiang, membentuk
lipatan longitudinal yang disebut rugae dan jumlahnya tergantung pada tinggi
rendahnya rentangan organnya. Membran mukosa terdiri dari tiga komponen yaitu
epitelium, lamina propia dan muskularis mukosa. Epitel permukaan mukosa
ditandai oleh adanya lubang sumuran yang terletak rapat satu dengan yang lain
dan dilapisi epitel sejenis. Bentuk dan kedalaman dari sumuran ini serta sifat
kelenjarnya berbeda pada tiap bagian lambung. Di bawah epitel terdapat suatu
lamina propia dan lapisan di bawah sumuran ini mengandung kelenjar lambung.
Kelenjar lambung berbentuk simpel dan tipe tubular yang meluas hingga
basal lubang sumuran. Kelenjar lambung dibagi menjadi tiga daerah yaitu
isthmus, leher dan basal (Gambar 3). Pada masing-masing daerah mengandung
M
MM
SM
TM
beberapa jenis sel yang berbeda. Tiap kelenjar lambung terbentuk dari empat jenis
sel yaitu: sel-sel lendir leher, sel-sel utama (Chief cell/peptic cells), sel-sel parietal
(sel oksintik) dan sel-sel enteroendokrin (Gambar 4 dan 5).
Gambar 3 Histologi kelenjar lambung bagian fundus yang terdiri atas isthmus (a),
leher (b) dan basal (c). (Anonim 2005).
Sel-sel lendir leher berukuran lebih kecil dari sel permukaan, bersifat
basofil, jumlahnya relatif sedikit, mempunyai dasar yang lebar dan menyempit di
bagian daerah puncaknya. Sel lendir leher berfungsi mensekresikan mukus.
Sel-sel utama (Chief cell/peptic cells) melapisi bagian bawah kelenjar
lambung dan mempunyai bentuk sel serosa yang khas. Sel ini mengandung bahan
basofil, sebagian besar mitokondria dan granula sekresi yang mengandung
pepsinogen, zat pemula pepsin. Eksositosi pepsinogen dipengaruhi rangsangan
syaraf dan hormon.
Sel-sel parietal atau sel oksintik berbentuk bulat telur, berukuran relatif
besar dan bersifat asidofil. Sel-sel ini memproduksi pendahulu dari asam
hidroklorat (HCl) dan faktor intrinsik lambung. Letaknya tersebar pada lumen
dipisahkan oleh sel-sel utama (Chief cell).
Sel-sel enteroendokrin berjumlah lebih sedikit dan letaknya tersebar di
antara membran dasar dan sel-sel utama (Chief cell). Sel-sel ini berfungsi
mengatur komposisi sekresi lambung (air, enzim dan kadar elektrolit), motilitas
a
b
c
dinding usus, proses penyerapan dan penggunaan makanan (Beveleander et al.
1988; Bringman et al. 1995; Gartner dan Hiatt 2001).
Gambar 4 Histologi lambung bagian fundus, abomasum kambing. Sel Chief (a);
sel parietal (b); sel lendir leher (c). (Bacha & Bacha 2000).
Gambar 5 Histologi sel parietal (tanda panah hitam) dan sel chief (tanda panah
warna kuning) lambung bagian fundus. (Dokumentasi pribadi 2007).
Submukosa
Di bawah lapisan mukosa terdapat lapisan submukosa. Lapisan submukosa
umumnya lebih luas, bersifat fibroelastis dan terdiri dari kelenjar, pembuluh
darah, pembuluh limfatika dan syaraf (Bringman 1995). Pada lapisan ini terdapat
c
kumpulan pembuluh darah kecil yang dikenal dengan pleksus Heller dan juga
meliputi sebagian besar pembuluh limfatika dan pleksus syaraf (pleksus Meissner)
(Beveleander et al. 1988).
Tunika muskularis
Tunika muskularis terdiri dari tiga lapis otot. Lapisan dalam berupa
lapisan oblique, lapisan tengah berupa lapisan otot sirkuler dan lapisan luar berupa
lapis otot longitudinal. Antara lapis sirkuler dan lapisan longitudinal dipisahkan
oleh pleksus syaraf mesenterium dan sel ganglion parasimpatis (pleksus
Auerbach’s) yang menginervasi kedua lapis otot (Gartner dan Hiatt. 2001).
Serosa
Lapisan paling luar yang melapisi saluran pencernaan adalah adventisia atau
serosa. Adventisia atau serosa tersusun dari jaringan longgar yang sering
mengandung lemak, pembuluh darah dan syaraf (Beveleander 1988).
Fisiologi Lambung
Lambung memiliki dua fungsi utama yaitu, fungsi pencernaan dan fungsi
motorik. Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan
protein, sintesis dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Selain mengandung sel-sel
yang mensekresi mukus, mukosa lambung juga mengandung dua tipe kelenjar
tubular yang penting yaitu kelenjar oksintik (gastrik) dan kelenjar pilorik.
Kelenjar oksintik terletak pada bagian corpus dan fundus lambung, meliputi 80%
bagian proksimal lambung. Kelenjar pilorik terletak pada bagian antral lambung.
Kelenjar oksintik bertanggung jawab membentuk asam dengan mensekresikan
mukus, asam hidroklorida (HCl), faktor intrinsik dan pepsinogen. Kelenjar pilorik
berfungsi mensekresikan mukus untuk melindungi mukosa pilorus, juga beberapa
pepsinogen, renin, lipase lambung dan hormon gastrin (Guyton dan Hall 1997).
Fungsi motorik lambung terdiri atas (1) penyimpanan sejumlah besar
makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, (2) pencampuran
makanan dengan sekresi lambung hingga membentuk suatu campuran setengah
cair yang disebut kimus (chyme) dan (3) pengosongan makanan dari lambung ke
dalam usus dengan lambat pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan
absorbsi dalam usus halus (Wilson dan Lester 1994; Guyton dan Hall 1997).
Pertahanan Mukosa Lambung
Menurut Malik (1992), mukosa lambung merupakan barier antara tubuh
dengan berbagai bahan, termasuk makanan, produk-produk pencernaan, toksin,
obat-obatan dan mikroorganisme yang masuk lewat saluran pencernaan. Bahan-
bahan yang berasal dari luar tubuh maupun produk-produk pencernaan berupa
asam dan enzim proteolitik yang dapat merusak jaringan mukosa lambung. Oleh
karena itu, lambung memiliki sistem protektif yang berlapis-lapis dan sangat
efektif untuk mempertahankan keutuhan mukosa lambung. Proteksi (faktor
pertahanan) tersebut dilakukan oleh adanya beberapa faktor:
1. Faktor pre-epitelial
Faktor pre-epitelial merupakan faktor proteksi paling depan saluran
pencernaan yang letaknya meliputi secara merata lapisan permukaan sel epitel
mukosa saluran pencernaan. Cairan mukus dan bikarbonat yang disekresikan
oleh kelenjar-kelenjar dalam mukosa lambung berfungsi sebagai faktor pre-
epitelial untuk proteksi lapisan epitel terhadap enzim-enzim proteolitik dan
asam lambung. Bikarbonat berfungsi menetralisir keasaman di sekitar lapisan
sel epitel. Suasana netral dibutuhkan agar enzim-enzim dan transpor aktif di
sekeliling dan dalam lapisan sel epitel mukosa dapat bekerja dengan baik
(Guyton dan Hall 1997).
Menurut Guyton dan Hall (1997), mukus adalah sekresi kental yang
terutama terdiri dari air, elektrolit dan campuran beberapa glikoprotein, yang
terdiri dari sejumlah besar polisakarida yang berikatan dengan protein dalam
jumlah yang lebih sedikit. Menurut teori dua komponen barier mukus dari
Hollander, lapisan mukus lambung yang tebal dan liat merupakan garis depan
pertahanan terhadap autodigesti. Lapisan ini memberikan perlindungan
terhadap trauma mekanis dan kimia (Wilson dan Lester 1994).
Mukus menutupi lumen saluran pencernaan yang berfungsi sebagai
proteksi mukosa. Fungsi mukus sebagai proteksi mukosa: (a) pelicin yang
menghambat kerusakan mekanis (cairan dan benda keras), (b) barier terhadap
asam, (c) barier terhadap enzim proteolitik (pepsin) dan (d) pertahanan
terhadap organisme patogen (Julius 1992).
2. Faktor epitelial
Integritas dan regenerasi lapisan sel epitel berperan penting dalam fungsi
sekresi dan absorbsi dalam saluran pencernaan. Kerusakan sedikit pada
mukosa (gastritis/duodenitis) dapat diperbaiki dengan mempercepat
penggantian sel-sel yang rusak. Sel-sel epitel saluran pencernaan terus
menerus mengalami pergantian dan regenerasi setiap 1-3 hari dipengaruhi oleh
banyak faktor (Malik 1992).
3. Faktor sub-epitelial
Integritas mukosa lambung terjadi akibat penyediaan glukosa dan
oksigen secara terus menerus. Aliran darah mukosa mempertahankan mukosa
lambung melalui oksigenasi jaringan yang memadai dan sebagai sumber
energi. Selain itu, fungsi aliran darah mukosa adalah untuk membuang atau
sebagai buffer difusi balik ion H+ (Julius 1992; Setiawati 1992).
4. Proteksi oleh sistem imun lokal dan sistemik
Sistem pencernaan juga diproteksi oleh sistem imun baik lokal maupun
sistemik serta sistem limfe terhadap berbagai toksin, obat dan bahan lainnya.
Sistem imun lokal terdapat dalam saluran pencernaan, sedangkan sistem imun
sistemik terdapat dalam sistem peredaran darah. Komponen dari sistem imun
dalam saluran cerna adalah sel-sel radang lokal saluran cerna (sel plasma,
limfosit, monosit) dan jaringan limpoid yang bersifat sistemik (Malik 1992).
Selain beberapa faktor pertahanan di atas, pada selaput lendir saluran
pencernaan juga terdapat komponen protektif mukosa yaitu prostaglandin (PG)
(Julius 1992; Kartasasmita 2002). Prostaglandin merupakan kelompok senyawa
turunan asam lemak arakhidonat yang dihasilkan melaui jalur siklooksigenase
(COX). Prostaglandin meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi
mekanis, osmotis, termis atau kimiawi dengan cara regulasi sekresi asam
lambung, sekresi mukus, bikarbonat dan aliran darah mukosa. Dalam suatu telaah
telah ditunjukkan, bahwa pengurangan prostaglandin pada selaput lendir lambung
memicu terjadinya ulkus. Hal ini membuktikan salah satu peranan penting
prostaglandin untuk memelihara fungsi barier selaput lendir (Kartasasmita 2002).
Patologi Lambung
Beberapa komponen pertahanan mukosa lambung dipengaruhi atau
diperantarai oleh prostaglandin (PG), termasuk sekresi mukus dan bikarbonat,
aliran darah, regenerasi sel epitel dan fungsi immunosit mukosa (Takeuchi et al.
1998). Adanya hambatan terhadap sintesis PG dapat menyebabkan penurunan
kemampuan pertahanan mukosa lambung terhadap iritan (Takeuchi et al. 1998).
Menurut Widjaja (1973); Damjanov (2000); Guyton dan Hall (1997),
beberapa gangguan lambung yang sering terjadi antara lain ulkus lambung dan
gastritis. Menurut Julius (1992), adanya gangguan-gangguan pada lambung
seperti gastritis, erosi dan ulkus turut dipengaruhi oleh faktor perimbangan antara
faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor pertahanan (defensif) dari mukosa.
Faktor pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus, sekresi
bikarbonat, aliran darah mukosa dan regenerasi epitel. Kejadian ulkus lambung
lebih dipengaruhi oleh gangguan faktor pertahanan mukosa (defensif) saluran
cerna dibandingkan faktor agresif (asam dan pepsin). Apabila pertahanan mukosa
terganggu maka baru timbul ulkus peptik.
Di samping faktor agresif dan faktor pertahanan, ada faktor lain yang
termasuk faktor predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya ulkus peptik antara lain
daerah geografis, jenis kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-obatan dan
infeksi bakteria (Julius 1992).
Menurut Widjaja (1973); Plumb (1995), AAS pada dosis terapeutik dapat
menyebabkan iritasi lambung atau usus dalam berbagai tingkatan disertai dengan
pendarahan saluran pencernaan. AAS juga dapat dapat menyebabkan terjadinya
ulkus lambung yang bersifat akut. Ulkus akut umumnya multipel, dangkal, tidak
sama besarnya; tidak mempunyai tempat tertentu (predileksi); membesarnya
cepat; dapat pula menyebabkan kerusakan kapiler di lamina propia (mukosa) dan
hemorrhagi. Ulkus akut lebih sering terjadi pada lambung daripada duodenum.
Kebanyakan ulkus akut hanya superfisial mengenai mukosa dan submukosa,
batas-batasnya tidak jelas, dan disertai tanda-tanda radang akut. Ulkus dapat
sembuh tanpa bekas atau fibrosis, dengan re-epitelisasi sempurna.
Ulkus kronis disebut pula ulkus peptikum (ulcer pepticum), karena
berhubungan dengan peptic juice, yaitu getah lambung yang asam. Ulkus peptik
lambung biasanya ditemukan di perbatasan daerah yang tidak membuat asam dan
daerah yang membuat asam; daerah tersebut disebut acid line. Ulkus peptik
biasanya tunggal, bulat atau lonjong (Widjaja 1973).
Gangguan lambung yang juga sering terjadi adalah gastritis. Gastritis
adalah inflammasi (peradangan) dari mukosa lambung termasuk gastritis erosiva
yang disebabkan oleh iritasi, refluks cairan kandung empedu dan pankreas,
hemorrhagic gastritis, infectious gastritis dan atrofi mukosa lambung (Guyton
dan Hall 1997; Shayne 2006; Karisyogya 2007). Mekanisme kerusakan mukosa
pada gastritis diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara faktor-faktor
pencernaan, seperti asam lambung dan pepsin dengan produksi mukus, bikarbonat
dan aliran darah (Julius 1992; Shayne 2006; Karisyogya 2007).
Gastritis dapat hanya superfisial atau dapat menembus lebih dalam ke
mukosa lambung. Beberapa bahan yang dimakan seperti alkohol dan aspirin dapat
sangat merusak barier pertahanan lambung. Bahan-bahan tersebut dapat merusak
mukosa kelenjar dan sambungan epitel yang rapat (tight epithelial junctions) di
antara sel pelapis lambung hingga sering menyebabkan gastritis akut atau kronis
berat (Guyton dan Hall 1997).
Sedangkan menurut Damjanov (2000), gastritis dapat diklasifikasikan
sebagai gastritis erosif dan nonerosif. Cohen (2007) mengklasifikasikan gastritis
menjadi gastritis erosif dan nonerosif berdasarkan atas tingkat kerusakan mukosa
lambung. Gastritis erosif biasanya bersifat akut dan ditandai oleh defek mukosa
superfisial (erosi). Defek ini biasanya disebabkan oleh zat kimia dan obat
misalnya aspirin, gangguan sirkulasi atau bakteri misalnya Helicobacter pylori.
Gastritis nonerosif yang sering terjadi adalah gastritis atrofik. Umumnya gastritis
atrofik berhubungan dengan penurunan jumlah sel parietal (Damjanov 2000).
Gastritis juga dapat diklasifikasikan berdasarkan perubahan histopatologi
menjadi gastritis akut dan gastritis kronis. Gastritis akut dicirikan dengan adanya
infiltrasi polymorphonuclearleucocytes (PMN) pada mukosa corpus dan antrum
pilorus, edema dan erosi mukosa (Thomas 1979; Cohen 2007). Gastritis kronis
ditandai dengan penurunan fungsi mukosa, seperti adanya nekrosa sel, atrofi sel
atau metaplasia (Cohen 2007).
Kejadian gastritis akibat infeksi agen asing atau iritasi kimiawi diawali
dengan kongesti dan fokus hemorrhagi pada mukosa lambung. Kerusakan
tersebut kemudian akan segera diikuti dengan perubahan pada epitelium,
hemorrhagi, edema dan erosi permukaan epitel. Kerusakan sel epitelial dapat
memungkinkan terjadi difusi balik ion H+ ke mukosa (Van Kruininger 1995).
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Menurut Wimana (1995), OAINS merupakan suatu kelompok obat yang
heterogen susunan kimiawinya akan tetapi memiliki kesamaan efek terapi dan
efek samping. Hal ini dikarenakan efek terapi dan efek samping obat tergantung
atas penghambatan sintesis enzim siklooksigenasee (COX) (Bishop 2005).
Menurut Hodgson (1999), kebanyakan OAINS terdiri atas karbosiklik atau
asam enolat. Terdapat 6 macam OAINS yang diketahui antara lain salisilat,
indenes, propionate, fermanate, pyrazolon dan oxicams. Golongan OAINS
umumnya digunakan sebagai obat analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi.
Penghambatan sintesis enzim siklooksigenase akan mengganggu konversi asam
arakidonat menjadi prostaglandin G2 (PGG2) (Wimana 1995). Prostaglandin
berperanan penting dalam proses timbulnya rasa nyeri, demam dan reaksi-reaksi
peradangan (melalui COX-2). Pada saluran pencernaan, prostaglandin berperanan
dalam mekanisme pertahanan mukosa lambung (Julius 1992; Kartasasmita 2002).
Absorbsi OAINS ke dalam epitel mukosa lambung dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek samping obat khususnya pada saluran pencernaan
bagian atas. Kelainan terbanyak terjadi pada lambung dan duodenum, dalam
stadium ringan terjadi hyperemia, stadium sedang terjadi erosi/lesi mukosa dan
pada stadium berat muncul ulkus tanpa atau dengan hemorrhagi.
Dari suatu telaah diperoleh hasil bahwa peluang terjadinya erosi mukosa
khususnya lambung adalah 50-70%, sisanya tidak mengalami kelainan. Hal ini
berkaitan erat dengan kualitas mukosa dan ketahanan mukosa (sitoproteksi). Teori
Sun dan Shay (1904) diacu dalam Halter et al. (2001), menyebutkan bahwa
peluang terjadi erosi mukosa berdasarkan teori keseimbangan (Balanced Theory)
yang meliputi faktor agresif dan faktor defensif. Keseimbangan antara faktor
agresif dalam bentuk asam lambung, pepsin, empedu, enzim, makanan, obat-
obatan terutama golongan OAINS. Faktor defensif yang terdiri dari pre-epitel,
epitel dan sub-epitel yang mempunyai kemampuan dalam mempertahankan
keutuhan mukosa terhadap pengaruh luminal; ketiga faktor defensif ini
dipengaruhi oleh PG (Halter et al. 2001). Adanya hambatan terhadap sintesis PG
oleh OAINS dapat menyebabkan penurunan kemampuan pertahanan mukosa
lambung terhadap iritan (Takeuchi et al. 1998).
Asam Asetil Salisilat
Nama lain AAS adalah asetosal atau umumnya lebih dikenal dengan nama
dagang aspirin, merupakan salah satu sediaan OAINS yang paling banyak
digunakan (Wimana 1995). Berikut merupakan struktur kimia aspirin disajikan
dalam Gambar 6.
Asam asetil salisilat (aspirin®)
�
��
�
� ��� Nama Kimia 2-(acetyloxy)benzoic acid
Formula Kimia C9H8O4; C6H4(OCOCH3)COOH
Gambar 6 Struktur kimia Aspirin. (Anonimus 2006).
Umumnya sediaan AAS ini digunakan sebagai analgesik (obat untuk
menghilangkan rasa nyeri), antipiretik (obat penurun demam) dan anti-inflamasi.
Ia bekerja menghambat prostaglandin (PG) yang terbentuk dari hasil metabolisme
asam arakhidonat melalui isoenzim siklooksigenase (COX) melalui mekanisme
irreversible (Wimana 1995; Hodgson 1999).
Farmakokinetik
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian
umumnya mengalami absorbsi, distribusi dan pengikatan pada target kerja hingga
menimbulkan efek. Dengan atau tanpa biotransformasi, obat kemudian akan
diekskresi dari tubuh (Bustami 1995).
Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorbsi dengan daya absorbsi
70% dalam bentuk utuh dalam lambung, tetapi sebagian besar absorbsi terjadi
dalam usus halus bagian atas. Sebagian AAS dihidrolisa, kemudian
didistribusikan ke seluruh tubuh. Salisilat segera menyebar ke seluruh tubuh dan
cairan transeluler setelah diabsorbsi. Kecepatan absorbsi tergantung dari
kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu
pengosongan lambung. Salisilat dapat ditemukan dalam cairan sinovial, cairan
spinal, liur dan air susu. Kadar tertingggi dicapai kira-kira 2 jam setelah
pemberian (Wimana 1995).
Menurut Plumb (1995) dan Hodgson (1999), metabolisme obat ini di
dalam hati melalui konjugasi dengan glisin dan asam glukoronat melalui
glucuronil transferase. Salisilat dan metabolitnya diekskresikan dengan cepat oleh
ginjal melalui filtrasi dan sekresi renal tubuli.
Farmakodinamik
Menurut Roder (2004) dan Kartasasmita (2002), OAINS contohnya AAS
adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer. Sediaan OAINS memiliki
aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis
prostaglandin dari asam arakhidonat melalui penghambatan aktivitas enzim
siklooksigenase (Nadi 1992). Berbeda dengan OAINS lainnya, AAS merupakan
inhibitor irreversibel siklooksigenase (COX) (Kartasamita 2002).
Asam arakhidonat mulanya merupakan komponen normal yang disimpan
pada sel dalam bentuk fosfolipid dan dibebaskan dari sel penyimpan lipid oleh
asil hidrosilase. Terdapat dua jalur utama reaksi-reaksi yang dialami oleh asam
arakidonat pada metabolismenya, yaitu jalur siklooksigenase serta jalur
lipoksigenase. Reaksi tahap pertama jalur siklooksigenase dikatalisis oleh dua
jenis enzim, yaitu siklooksigenase dan hidroperoksidase. Jalur siklooksigenase
menghasilkan prostaglandin, prostasiklin dan tromboksan, sementara jalur
lipoksigenase menghasilkan HPETE (Hydroperoxieicosatetraenoic) dan leukotrin.
Prostaglandin yang dihasilkan melalui jalur siklooksigenase berperan
dalam proses timbulnya nyeri, demam dan reaksi-reaksi peradangan. Selain itu,
prostaglandin juga berperanan penting pada proses-proses fisiologis normal dan
pemeliharaan fungsi regulasi berbagai organ. Pada selaput lendir saluran
pencernaan, prostaglandin berefek protektif dengan meningkatkan resistensi
selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotis, termis atau kimiawi. Karena
prostaglandin berperan dalam proses timbulnya nyeri, demam, dan reaksi
peradangan, maka AAS melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase
mampu menekan gejala-gejala tersebut. Pengurangan prostaglandin pada selaput
lendir lambung memicu terjadinya ulkus (Kartasasmita, 2002). Mekanisme AAS
sebagai OAINS dapat diterangkan dengan mengikuti alur metabolisme asam
arakhidonat (Gambar 7).
Gambar 7 Bagan mekanisme penghambatan mediator peradangan oleh obat anti-
inflamasi non steroid (OAINS). (Mustchler 1991).
Efek samping
Sediaan AAS dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik.
Pada dosis terapi laju metabolisme juga meningkat. Pada dosis toksis, obat ini
Prostasiklin Prostaglandin Tromboksan
Leukotrin
Asam arakhidonat
Jalur siklooksigenase (COX) Jalur lipoksigenase
OAINS
COX-1 COX-2
• Proteksi mukosa • Agregasi platelet
• Rasa nyeri • Demam • Proses Inflammasi
Fosfilipid
COO
CH3
justru memperlihatkan efek pireutik sehingga terjadi demam dan hiperhidrosis
pada keracunan berat (Wimana 1995).
Menurut Wallace et al. 1995 dan Takeuchi et al. 1998), AAS mempunyai
efek samping dapat menyebabkan kerusakan topikal lambung. Ada 2 komponen
utama yang dapat menyebabkan efek ulcerogenik dari AAS pada lambung yaitu
aksi iritasi topikal pada epitelium dan hambatan sintesis prostaglandin (PG)
(Takeuchi et al. 1998).
Pada dosis terapeutik, AAS dapat menyebabkan iritasi lambung atau usus
dalam berbagai tingkatan disertai dengan pendarahan saluran pencernaan. Iritasi
saluran cerna tersebut dapat menyebabkan vomiting atau anorexia. Pendarahan
tersebut dapat menyebabkan anemia atau hipoproteinemia (Plumb 1995).
Keracunan salisilat yang berat dapat berakibat fatal, tetapi umumnya
ditemukan gejala keracunan salisilat yang ringan. Keracunan salisilat berat
memiliki gejala mirip dengan gejala nyeri kepala, pusing, tinnitus, gangguan
pendengaran, penglihatan kabur, rasa bingung, lemas, rasa kantuk, banyak
berkeringat, haus, mual, muntah dan terkadang diare. Pada kasus keracunan yang
lebih berat, gejala SSP menjadi lebih jelas disertai timbulnya kegelisahan, iritatif,
inkoherensi, rasa cemas, vertigo, tremor, diplopia, delirium, halusinasi, koma,
erupsi kulit dan gangguan keseimbangan asam basa (Wimana 1995).
Overdosis
Gejala yang muncul apabila overdosis adalah muntah, anoreksia,
hipertermia, frekuensi nafas meningkat (hiperventilasi). Respirasi alkalosis
seringkali muncul sebagai respon kompensasi terjadinya hiperventilasi. Apabila
tidak diberikan treatment terhadap efek samping obat ini, dapat muncul gejala
kelemahan otot, edema otak dan paru-paru, hipernatremia, hipokalemia, ataxia,
seizure, koma kemudian mati (Plumb 1995).
Toksisitas gastointestinal berhubungan dengan penggunaan OAINS dapat
bervariasi mulai dari dyspepsia ringan, komplikasi hingga mati. Resiko tertinggi
dapat terjadi pada pemakaian obat dalam jangka panjang yang meliputi kerusakan
mukosa dan muncul gejala klinis. Efek gastrotoksik persisten dapat muncul pada
pemakaian obat dalam tahap kronis (Rodriguez et al. 2004).
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Agustus 2007 di Bagian
Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Materi penelitian
Hewan Coba
Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai model.
Hewan model yang digunakan adalah tikus putih Rattus norvegicus galur
Sprague-Dawley sebanyak 20 ekor, jenis kelamin jantan berumur 2 bulan dengan
bobot ± 250 gram. Hewan model diambil dari bagian Non Ruminansia dan Satwa
Harapan (NRSH) Fakultas Peternakan IPB. Hewan model dibedakan menjadi dua
kelompok, kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok
10 ekor tikus.
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
Pada penelitian ini digunakan golongan obat OAINS yaitu asam asetil
salisilat (AAS) dengan dosis 400 mg per ekor tikus (Manan 2007). Sediaan AAS
digunakan dalam bentuk murni berupa kristal putih.
Alat penelitian dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Tikus putih galur Sprague Dawley jantan berumur 2 bulan sebanyak 20
ekor.
2. Kandang tikus sebanyak 40 buah dan 40 buah botol air minum. Kandang
tikus modifikasi terbuat dari boks plastik ditutupi kawat ram, bedding
kawat ram dan dialasi dengan menggunakan kertas buram.
3. Air minum AQUA®.
4. Kertas buram, kantung plastik putih, dan kantung plastik hitam
5. Sonde lambung untuk tikus (1,5 x 80 mm) Knopfkanule 370144,
Germany
6. Spuit berukuran 1 ml dan 3 ml.
7. Antibiotik Tetracyclin 250 mg, anthelmintik Albendazole 5% dan
asam asetil salisilat murni (AAS) serta 1 buah botol obat.
8. Timbangan digital Precisa 3000 D.
9. Alat nekropsi (gunting, scalpel, pinset anatomis, pinset fisiologis,
jarum fiksator, alas nekropsi, stiroform, wadah penyimpan organ),
kaca pembesar berlampu untuk pengamatan Patologi Anatomi serta
larutan pengawet Buffer Neutral Formaldehyde (BNF) 10 %.
10. Bahan untuk processing jarinngan: alkohol dengan konsentrasi
bertingkat. Alkohol absolut (p.a), xylol (p.a). p.a= pro analysis.
11. Bahan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE).
12. Bahan untuk pewarnaan khusus mukosa (Periodic Acid Schift-Alcian
Blue).
13. Kamera digital untuk dokumentasi hasil pemeriksaan patologi anatomi
(PA) dan histopatologi.
14. Mikoroskop cahaya binokuler.
15. Mikroskop Video Mikrometer
16. Counter
Metode kerja
Persiapan pakan dan adaptasi tikus dalam kandang
Sebelum tikus digunakan untuk penelitian, terlebih dahulu dipersiapkan
pakan tikus berbentuk pelet dengan komposisi bahan : jagung (73,943 %), bungkil
(14,505%), dedak (6,8 %), kapur (1,5 %), tepung tulang (1,263%), minyak (1%),
metionin (0,362%), lisin (0,31%), garam (0,213%) dan vitamin+mineral mix
(0,016%). (formulasi dan pembuatan pakan dilakukan di Bagian Non Ruminansia
dan Satwa Harapan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor). Setiap hari
tikus diberi 25 gram pakan per ekor. Pakan kemudian diiradiasi dengan kekuatan
10 KGray di BATAN, Jakarta Selatan untuk tujuan sterilisasi.
Adaptasi pada tikus dilakukan selama tiga minggu disertai dengan
pemberian terapi obat antibiotik Tetracyclin 250 mg selama 3 hari dan
anthelmintik Albendazole 5%. Tetracyclin 250 mg diberikan dengan dosis 100
mg/kgBB sedangkan Albendazole 5% (Sanbe) diberikan dengan dosis tunggal 10
mg/kgBB. Pemberian Albendazole diulangi dengan jarak pemberian 1 minggu.
Dilanjutkan dengan pemberian anti Cryptococcus, Fluconazole 50 mg/KgBB satu
kali pemberian selama 3 hari. Terapi obat bertujuan untuk menghilangkan bias
yang dikhawatirkan akan mempengaruhi kondisi mukosa lambung dan saluran
pencernaan lain. Berat badan tikus ditimbang seminggu sekali. Sisa pakan
ditimbang setiap hari.
Perlakuan pemberian asam asetil sallisilat
Pemberian asam asetil salisilat (AAS) dilakukan pada kelompok tikus
yang mendapat perlakuan terdiri dari 10 ekor tikus jantan secara per oral
menggunakan sonde lambung dengan dosis tunggal 400 mg dalam 2 ml larutan
aquadest selama 3 hari. Pemberian asam asetil salisilat dilakukan sekali dalam
sehari pada sore hari. Sebelum pemberian, tikus dipuasakan sebelumnya selama 2-
3 jam. Tikus kontrol diberi aquadest dengan sonde lambung.
Tahap nekropsi tikus
1. Pembiusan tikus
Anestesi memakai kapas yang telah dibasahi dengan eter dan dimasukkan
ke dalam wadah kaca unaerobic jar. Tikus selanjutnya dinekropsi.
2. Teknik nekropsi
Tikus diletakkan di atas stiroform yang telah dilapisi aluminium foil pada
posisi dorsal (terlentang) kemudian difiksasi dengan menggunakan jarum pentul
pada keempat ekstremitasnya. Untuk mempermudah nekropsi, permukaan
abdomen tikus dibasahi dengan alkohol 70%. Tahap nekropsi dilakukan pada
linea alba dengan membuka lapisan kulit dan fascia. Rongga abdomen dibuka
sampai batas bawah diafragma. Organ yang diambil adalah lambung. Organ
tersebut dimasukkan ke dalam larutan BNF 10% dan disimpan sampai proses
berikutnya.
3. Trimming organ dan prosesing jaringan
Sebelum dilakukan tahap dehidrasi dan embedding, organ dipotong tipis
berukuran 3 mm sesuai dengan bagian yang akan diamati yaitu bagian lambung
nonkelenjar, fundus, dan pylorus.
Potongan dilakukan sesuai dengan bagian seperti tertera dalam Gambar 3 dibawah
ini potongan 1
Potongan 1 : bagian lambung nonkelenjar
Potongan 2 : bagian fundus potongan 2
Potongan 3 : bagian pilorus potongan 3
Gambar 8 Lambung monogastrik. (Anonim 2002).
Potongan tipis organ kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette dan
diproses secara otomatis dalam tissue processor (SakuraTM, Japan) untuk proses
dehidrasi. Dalam proses dehidrasi digunakan alkohol bertingkat mulai dari
alkohol 70 %, 80%, 90%, 95%, hingga 100% (absolute), diikuti clearing dengan
larutan Xylene sebanyak 3 kali dan kemudian embedding menggunakan paraffin
(ShendonTM, UK). Dilanjutkan dengan pembuatan blok jaringan dalam paraffin
cair yang mempunyai titik leleh 56-57˚ C dalam mesin embedding tissue
(SakuraTM, Japan). Setelah dingin blok disimpan hingga trimming.
4. Trimming
Blok yang telah mengeras kemudian disimpan dalam refrigerator hingga
akan dipotong menggunakan mikrotom setebal 3-4 μm (Spencer, USA).
Hasil potongan mikrotom dibentangkan di atas permukaan air dengan suhu
40˚ C, kemudian diletakkan di atas object glass yang telah dilapisi Ewitt
sebagai pelekat dan dikeringkan.
Sebelum diwarnai, potongan organ di atas object glass diinkubasikan dalam
inkubator Memert, Jerman dengan suhu 55˚ C selama semalam.
Kemudian diwarnai dengan Hematoxylin Eosin menurut metode Meyer
(Humason 1985).
Fundus Body
Pemeriksaan Histopatologi (HP)
Pemeriksaan histopatologi organ lambung dilakukan secara kuantitatif dan
kualitatif pada regio lambung nonkelenjar dan lambung kelenjar. Lambung
kelenjar dibedakan menjadi dua regio, fundus dan pilorus.
Pemeriksaan kuantitatif organ lambung dilakukan dengan beberapa parameter
antara lain:
1. Perhitungan jumlah sel goblet per satuan panjang 1000 µm menggunakan
mikroskop videomikrometer pada 10 lapang pandang. Untuk mernghitung
jumlah sel goblet digunakan pewarnaan PAS-AB.
2. Perhitungan jumlah sel perietal dan sel Chief dengan pewarnaan HE pada
10 lapang pandang.
3. Perhitungan jumlah infiltrasi sel radang pada tiap lapisan lambung pada 10
lapang pandang.
Pemeriksaan kualitatif dilakukan terhadap keutuhan lapisan epitel penutup,
deskuamasi epitel, kongesti, hemorrhagi, edema pada ketiga regio lambung
dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). Hasil pemeriksaan kualitatif
dikelompokkan menjadi tiga derajat keparahan yaitu ringan (+), sedang (++) dan
berat (+++) yang disajikan secara deskriptif.
Deskuamasi epitel : Terjadi pelepasan sel epitel.
• Ringan (+) : Terdapat 25 % epitel vili yang mengalami deskuamasi
• Sedang (++) : Terdapat 50 % epitel vili yang mengalami deskuamasi
• Berat (+++) : Terdapat 75 % atau lebih epitel vili yang mengalami
deskuamasi
Kongesti : Pembuluh darah berdilatasi dan terisi butir-butir darah
merah.
• Ringan (+) : Terdapat 25 % pembuluh darah yang mengalami kongesti
dari total jumlah pembuluh darah
• Sedang (++) : Terdapat 50 % pembuluh darah yang mengalami kongesti
dari total jumlah pembuluh darah
• Berat (+++) : Terdapat 75 % atau lebih pembuluh darah yang
mengalami kongesti dari total jumlah pembuluh darah.
Hemorraghi : Butir-butir darah keluar dari pembuluh darah dan tersebar
diantara jaringan.
• Ringan (+) : Terdapat 25 % fokus hemorrhagi pada lapisan mukosa dan
submukosa dari keseluruhan lapang pandang.
• Sedang (++) : Terdapat 50 % fokus hemorrhagi pada lapisan mukosa dan
submukosa dari keseluruhan lapang pandang.
• Berat (+++) : Terdapat 75 % atau lebih fokus hemorrhagi pada lapisan
mukosa dan submukosa dari keseluruhan lapang pandang.
Edema : Terjadi akumulasi cairan dengan jumlah yang abnormal
pada kompartemen ekstrasel. Terjadi peregangan lapisan
mukosa dan submukosa.
• Ringan (+) : Terdapat 25 % bagian lapisan mukosa dan submukosa
yang mengalami edema dari keseluruhan lapang pandang.
• Sedang (++) : Terdapat 50 % bagian lapisan mukosa dan submukosa
yang mengalami edema dari keseluruhan lapang pandang.
• Berat (+++) : Terdapat 75 % atau lebih bagian lapisan mukosa dan
submukosa yang mengalami edema dari keseluruhan
lapang pandang.
Evaluasi kuantitatif dan kualitatif tersebut dilakukan pada 10 lapang
pandang dengan pembesaran 40× objektif dan 10× okuler.
INTREPETASI DATA
Data yang diperoleh secara kuantitatif berupa jumlah sel goblet, jumlah sel
Chief, jumlah sel parietal dan jumlah sel radang dianalisis menggunakan uji sidik
ragam rancangan acak lengkap (one-way ANOVA) dengan program SPSS 13
untuk membandingkan kelompok control (K) dan perlakuan (P). Jika perlakuan
berpengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan (p=0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemberian asam asetil salisilat (AAS) menimbulkan efek patologis pada
organ lambung tikus. Menurut Takeuchi et al. (1998) dan Wallace et al. (1995),
AAS mempunyai efek samping dapat menyebabkan kerusakan topikal mukosa
lambung. Hal ini dikarenakan AAS dapat mengiritasi mukosa lambung.
Berdasarkan pengamatan histopatologi, AAS berpengaruh terhadap perubahan
histopatologi pada mukosa lambung. Respon histopatologi yang teramati dapat
diklasifikasikan menjadi respon pra-inflamasi dan respon inflammasi. Respon pra-
inflammasi yang muncul yaitu proliferasi sel goblet dan deskuamasi epitel.
Sedangkan respon inflammasi ditandai adanya erosi mukosa (ulkus), perubahan
jumlah sel Chief dan sel parietal, kongesti, hemorrhagi, edema serta infiltrasi sel
radang dengan derajat keparahan bervariasi pada tiap lapisan lambung.
Respon Pra-Inflammasi
a. Proliferasi Sel Goblet
Salah satu komponen pertahanan mukosa lambung adalah sel goblet yang
mensekresikan mukus. Menurut Setiawati (1992); Guyton dan Hall (1997), mukus
disekresi oleh sel goblet dan kelenjar Brunner, berupa sekresi kental yang lengket,
tidak larut dalam air. Mukus terdiri dari elektrolit dan campuran beberapa
glikoprotein yang terdiri dari sejumlah besar polisakarida yang berikatan dengan
protein dalam jumlah sedikit.
Pada saluran pencernaan, mukus memiliki beberapa sifat penting sebagai
pelumas dan pelindung yang baik. Mukus mempunyai kemampuan
mempermudah meluncurnya makanan di sepanjang saluran pencernaan dan
mencegah eksorasi atau kerusakan kimiawi epitel. Sekresi mukus juga dapat
melindungi mukosa lambung dari agen asing, berupa mikroorganisme, cacing,
bahan yang bersifat asam dan lain-lain (Setiawati 1992; Guyton dan Hall 1997).
Fungsi mukus sebagai pertahanan pertama dipengaruhi oleh ketebalan dan
kualitas mukus. Ketebalan mukus berhubungan erat dengan aktifitas sel goblet
sebagai penghasil mukus. Gangguan dari sekresi dan fungsi mukus akan
menyebabkan penetrasi obat akan mencapai epitel lambung. Kontak langsung
obat (dalam penelitian ini AAS) dengan epitel mukosa lambung akan terjadi bila
lapisan mukus yang merupakan pertahanan terdepan tidak berfungsi dengan baik
(Wallace et al. 1995 dan Halter et al. 2001).
Pemberian AAS berpengaruh terhadap perubahan histopatologi pada
mukosa lambung yaitu peningkatan produksi mukus (jumlah sel goblet). Hasil
analisis statistik pengaruh pemberian AAS terhadap jumlah sel goblet lambung
kelenjar (regio fundus dan pilorus) disajikan dalam Tabel 1
Tabel 1 Pengaruh pemberian asam asetil salisilat (AAS) terhadap jumlah sel
goblet pada regio fundus dan pilorus lambung tikus
Kelompok Sel goblet Fundus Sel goblet Pilorus
Kontrol (K) 11.800±6.088a 11.900±4.654a
Perlakuan (P) 18.600±10.058b 17.400±9.664b
Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama nenunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)
19.77 19.93
31.1429.15
0
5
10
15
20
25
30
35
Fundus Pilorus
regio lambung
% sel gob
le
Kontrol
Perlakuan
Gambar 9 Grafik persentase sel goblet pada lambung kelenjar regio fundus dan
pilorus kelompok kontrol dan perlakuan
Data Tabel 1 menunjukkan jumlah sel goblet dengan perbedaan yang
nyata (p<0.05) antara kedua kelompok. Kelompok perlakuan (P) memperlihatkan
jumlah sel goblet regio fundus dan pilorus yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol (K). Hal itu mengindikasikan bahwa AAS bersifat iritatif
sehingga merangsang proliferasi sel goblet pada kelompok P. Peningkatan jumlah
sel goblet tersebut merupakan respon untuk melindungi mukosa lambung.
Peningkatan jumlah sel goblet akan menginduksi peningkatan sekresi mukus.
Menurut Smith et al. (1974), jumlah sel goblet pada mukosa bervariasi dan dapat
meningkat apabila ada stimulan seperti pakan atau senyawa kimia iritatif.
Gambaran histopatologi proliferasi sel goblet regio fundus dan pilorus lambung
disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Sel goblet (tanda panah) pada kelompok K (A) dan proliferasi sel goblet (tanda panah) pada kelompok P (B). Pewarnaan PAS, perbesaran 400 x, bar 20 µm.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, meskipun terjadi proliferasi sel goblet
pada kelompok P akan tetapi kemampuan mukus untuk melindungi mukosa
lambung diduga menurun akibat pemberian AAS. Menurut Wilson dan Lester
(1994), AAS dapat menyebabkan perubahan kualitas mukus lambung sehingga
dapat mempermudah degradasi mukus oleh pepsin. Menurut Nadi (1992), pada
binatang percobaan yang diberi aspirin terjadi kerusakan mukosa lambung disertai
berkurangnya glikoprotein mukus dan hipersekresi lambung.
Secara tidak langsung, tebal lapisan mukus akan berkurang dan
mempermudah terjadi kerusakan atau erosi pada mukosa lambung (Gambar 12
dan 13). Hal ini dikarenakan AAS termasuk bahan efektif yang dapat menembus
barier mukus dan masuk ke lapisan epitel mukosa dalam konsentrasi rendah
sekalipun (Malik 1992).
A B
Tembusnya barier mukus dapat memungkinkan terjadinya difusi balik ion
H+. Asam dalam konsentrasi tinggi dari arah lumen dapat kembali ke arah epitel
mukosa sehingga merusak lapisan sel epitel (Wilson dan Lester 1994).
Mekanisme patofisiologi mukosa lambung akibat difusi balik H+ dapat dilihat
pada Gambar 11.
↓
Gambar 11 Konsekuensi patofisiologis dari difusi balik ion H+ lambung. (Wilson dan Lester 1994).
Penghancuran barier epitel
Asam kembali berdifusi ke mukosa
Penghancuran sel mukosa
↑Pepsinogen → Pepsin Asam ↑ Histamin ↑
Perangsangan kolinergik ↑
Fungsi pertahanan mukosa ↓
Motilitas ↑ Pepsinogen ↑
Vasodilatasi ↑ Permeabilitas terhadap
protein Plasma bocor ke intertitium
Edema Plasma bocor ke lumen
lambung Kerusakan kapiler dan vena kecil
Hemorrhagi
Ulkus
Asam dalam lumen + empedu, AAS, alkohol dan lain-lain
Kerusakan barier mukus akan diikuti dengan respon deskuamasi epitel,
erosi mukosa, kongesti, hemorrhagi, edema dan infiltrasi sel-sel radang.
Gambaran perubahan histopatologi ketiga regio lambung tikus disajikan secara
deskriptif dalam Tabel 2.
Tabel 2 Gambaran perubahan histopatologi lambung tikus pada kelompok kontrol
dan perlakuan setelah pemberian AAS
Regio Lambung Lambung
nonkelenjar Fundus Pilorus
Perubahan histopatologi
K P K P K P Deskuamasi epitel ^
- Ringan (+)
Ringan (+)
Sedang (++)
Ringan (+)
Berat (+++)
Erosi mukosa*
- Ringan (+)
Ringan (+)
Sedang (++)
Ringan (+)
Berat (+++)
Kongesti * Ringan (+)
Sedang (++)
Ringan (+)
Ringan (+)
Ringan (+)
Ringan (+)
Hemorrhagi * Ringan (+)
Ringan (+)
Ringan (+)
Ringan (+)
Ringan (+)
Ringan (+)
Edema * Ringan (+)
Sedang (++)
Ringan (+)
Sedang (++)
Ringan (+)
Ringan (+)
Keterangan : Tanda (–) menunjukkan tidak ditemukan perubahan histopatologi; Tanda ^ menunjukkan perubahan histopatologi sebagai respon pra-inflammasi; Tanda * menunjukkan perubahan histopatologi sebagai respon inflammasi
b. Deskuamasi epitel
Deskuamasi merupakan kejadian lepasnya sel epitel dari permukaan
jaringan (Anonim 2006). Menurut Smith et al. (1974), deskuamasi epitel mukosa
lambung merupakan respon pertahanan jaringan terhadap suatu rangsangan
(iritan). Deskuamasi epitel juga turut dipengaruhi oleh adanya reaksi fisiologis
tubuh. Dalam keadaan normal, lapisan sel-sel epitel saluran pencernaan terus
menerus berganti dan regenerasi dengan cara deskuamasi setiap 1-3 hari (Malik
1992).
Berdasarkan data Tabel 2, pemberian AAS dapat menyebabkan
deskuamasi epitel mukosa lambung dengan derajat keparahan yang berbeda pada
kedua kelompok. Pada regio lambung nonkelenjar kelompok K tidak
memperlihatkan deskuamasi epitel, sedangkan kelompok P memperlihatkan
derajat deskuamasi epitel ringan. Hal ini dikarenakan pada regio lambung
nonkelenjar terdapat lapisan keratin tebal yang melapisi permukaan mukosa
lambung. Pada regio lambung kelenjar (fundus dan pilorus), kelompok K
memperlihatkan derajat deskuamasi epitel ringan, sedangkan kelompok P
memperlihatkan derajat deskuamasi epitel sedang pada regio fundus dan berat
pada regio pilorus.
Deskuamasi epitel pada kelompok K diduga karena respon fisiologis
akibat proses regenerasi epitel. Sedangkan deskuamasi epitel pada kelompok P
diduga berkaitan dengan pemberian AAS. Sediaan AAS yang bersifat asam dapat
mengiritasi mukosa lambung sehingga merangsang terjadi deskuamasi epitel
lambung. Deskuamasi epitel dengan derajat paling berat ditemukan pada regio
pilorus lambung kelenjar kelompok P. Hal ini disebabkan regio pilorus lebih peka
terhadap asam dibandingkan kedua regio lainnya. Gambaran histopatologi
deskuamasi epitel lambung tikus disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Deskuamasi epitel lambung kelenjar (fundus) dengan derajat
keparahan ringan pada kelompok K (A), deskuamasi epitel dengan derajat keparahan sedang (B) dan berat (C) pada kelompok P. Pewarnaan HE, perbesaran 200 x, bar 30 µm.
Respon Inflammasi
Sediaan AAS merupakan salah satu bahan iritan yang dapat menyebabkan
peradangan pada lambung (gastritis). Menurut Guyton dan Hall (1997), gastritis
merupakan respon peradangan mukosa lambung terhadap cedera atau kerusakan
A B C
jaringan yang dapat bersifat akut, kronik, difus, atau lokal. Pada kejadian gastritis
superfisial akut akibat pemberian AAS dapat ditemukan erosi mukosa, perubahan
jumlah sel Chief dan sel parietal, kongesti, hemorrhagi, edema disertai dengan
infiltrasi sel-sel radang pada tiap lapisan ketiga regio lambung.
a. Erosi mukosa lambung
Berdasarkan data Tabel 2, regio lambung nonkelenjar kelompok K tidak
memperlihatkan erosi mukosa ditunjukkan dengan lapisan keratin yang utuh dan
kontinu. Sedangkan kelompok P memperlihatkan erosi mukosa dengan derajat
keparahan ringan. Disebut erosi apabila kerusakan mukosa yang terjadi memiliki
kedalaman kurang dari 5 mm. Apabila kerusakan mukosa yang terjadi berupa
diskontinuitas atau robekan mukosa dengan diameter 5 mm atau lebih hingga
mencapai submukosa disertai dengan nekrosis disebut ulkus (Spechler 2002).
Terdapat persentasi 20% kejadian erosi mukosa pada lambung nonkelenjar
kelompok P telah mengarah ke pembentukan ulkus dengan dua derajat keparahan,
sedang dan berat. Secara mikroskopis, erosi mukosa pada lambung nonkelenjar
dengan derajat keparahan sedang terlihat dengan adanya akumulasi cairan edema
di bawah lapisan keratin, hemorrhagi, edema submukosa disertai dengan infiltrasi
sel radang (Gambar 14 C). Sedangkan erosi mukosa dengan derajat keparahan
berat telah mengarah ke pembentukan ulkus (Gambar 14 D). Secara mikroskopis,
bentukan ulkus pada lambung nonkelenjar ditandai dengan diskontinuitas lapis
keratin, atrofi lapis epitel, kongesti, hemorrhagi, edema submukosa dan infiltrasi
sel radang yang didominasi sel radang netrofil. Gambaran histopatologi lambung
nonkelenjar dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.
Pada regio lambung kelenjar (fundus dan pilorus) kedua kelompok
memperlihatkan adanya erosi mukosa. Kelompok K memperlihatkan derajat erosi
mukosa ringan pada regio fundus dan pilorus sedangkan kelompok P
memperlihatkan erosi mukosa dengan derajat sedang pada regio fundus dan berat
pada regio pilorus. Erosi mukosa lambung kelenjar yang terjadi pada kelompok K
diduga disebabkan hewan coba yang digunakan adalah hewan non-Specific
Pathogen Free (SPF). Umumnya hewan non-SPF dapat terpapar beberapa agen
eksogenous yang menyebabkan gangguan non spesifik.
Erosi mukosa lambung kelenjar dengan derajat keparahan berat terjadi
pada regio pilorus kelompok P. Pemberian AAS dosis toksik akut 400 mg dapat
menyebabkan erosi mukosa lambung dan memugkinkan difusi balik ion H+ ke ke
mukosa. Menurut Wilson dan Lesser (1994), mukosa pilorus lebih peka terhadap
difusi balik ion H+, sehingga kerusakan mukosa lebih sering terjadi pada regio
pilorus dibanding fundus. Terdapat persentasi 20% kejadian erosi mukosa pada
lambung kelenjar regio pilorus kelompok P telah mengarah ke pembentukan
ulkus. Secara mikroskopis, bentukan ulkus pada regio pilorus ditandai dengan
diskontinuitas mukosa lambung meluas hingga lapis submukosa, nekrosa sel
parietal dan sel Chief, kongesti, hemorrhagi dan infiltrasi sel radang yang
didominasi sel radang netrofil (Gambar 16 B).
Pada daerah di sekitar erosi mukosa atau ulkus terdapat fokus erosi yang
terdiri atas sel parietal dan sel Chief yang nekrosa. Menurut Abrams (1994), jika
jaringan yang nekrosis terletak pada permukaan tubuh (misalnya, sepanjang epitel
saluran pencernaan), maka jaringan itu akan dengan mudahnya mengelupas,
sambil meninggalkan celah pada permukaan yang membentuk ulkus pada
lambung kelenjar. Gambaran histopatologi erosi mukosa pada lambung kelenjar
dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16.
Mekanisme kerja AAS dalam menimbulkan peradangan dan kerusakan
mukosa lambung nonkelenjar dan lambung kelenjar dikarenakan absorbsi AAS.
Sediaan AAS akan diabsorpsi oleh lambung bila pH intragastrik kurang dari 3,5
sehingga akan merusak mukosa lambung (Nadi 1992). Selain mengiritasi mukosa
lambung secara langsung, AAS bekerja menghambat sintesis prostaglandin
melalui penghambatan aktifitas enzim siklooksigenase (COX) (Hudson et al.
1997; Takeuchi et al. 1998; Kartasasmita 2002). Prostaglandin berefek positif
pada mukosa saluran pencernaan, sehingga penghambatan sintesis prostaglandin
akan menurunkan ketahanan mukosa dan memicu kerusakan mukosa lambung
(Kartasasmita 2002). Menurut Nadi (1992), pada binatang percobaan yang diberi
aspirin terjadi kerusakan mukosa Iambung disertai berkurangnya glikoprotein
mukus dan hipersekresi lambung. Terjadinya hipersekresi getah lambung dan
pepsin atau berkurangnya mikrosirkulasi dari lambung menjadi penyebab utama
timbulnya lesi mukosa.
Gambar 13 Gambaran regio lambung nonkelenjar tanpa erosi mukosa pada kelompok K (A) dan kelompok P (B). Perbesaran 200 x, bar 30 µm.
Gambar 14 Gambaran regio lambung nonkelenjar dengan erosi mukosa (tanda
panah) dengan derajat keparahan sedang (C) dan berat (D) pada kelompok P. K= lapis keratin; EP = epitel pipih banyak lapis;
MM = muskularis mukosa; S= submukosa; TM= tunika muskularis. U= bentukan ulkus; A = atrofi epitel; H = hemorrhagi; E= edema;
K= kongesti; dan S= infiltrasi sel-sel radang. Pewarnaan HE, perbesaran 40 x
H
TM
SM
TM
SM
K
EP
MM
MM EP
K
K
A S
S E
E
A U
C D
SM
TM
EP
MM
KK EP
MM
SM
TM
A B
Gambar 15 Erosi mukosa (tanda panah) pada lambung kelenjar regio fundus (A)
dan regio pilorus (B) kelompok P. FE= fokus erosi terdiri dari sel nekrosa dan piknosis. Pewarnaan HE, perbesaran 200x, bar 30 µm.
Gambar 16 Erosi mukosa lambung kelenjar regio pilorus (tanda panah). Derajat keparahan sedang (A) dan berat (B) pada kelompok P. FE = fokus erosi terdiri dari sel nekrosa dan piknosis. M= mukosa; MM=
muskularis mukosa; S= submukosa. Pewarnaan HE, perbesaran 200 x, bar 30 µm.
M
M
M
SM MM
MM
FE
FE FE FE
A B
M
M
M M
SM SM
MM
MM
MM
FE FE
FE
FE
A B
b. Pengaruh AAS terhadap sel parietal dan sel Chief
Mekanisme difusi balik ion H+ (Gambar 11) dapat menimbulkan berbagai
akibat diantaranya, peningkatan keasaman di sekitar lapisan sel epitelial dan
peningkatan sekresi pepsinogen lambung kelenjar. Keasaman di sekitar epitelial
lambung kelenjar dipengaruhi oleh sekresi asam sel parietal dan pemberian AAS.
Sediaan AAS dapat menurunkan pH lambung dan merangsang pembebasan
histamin. Pembebasan histamin dapat merangsang sel parietal meningkatkan
produksi asam lambung. Sedangkan, peningkatan pepsinogen akibat pemberian
AAS erat kaitannya dengan jumlah dan kemampuan sekresi sel Chief.
Pada kelompok P, peningkatan sekresi pepsinogen dan asam lambung
tidak disertai dengan peningkatan jumlah sel Chief dan sel parietal. Pengaruh
pemberian AAS terhadap jumlah sel chief dan sel parietal regio lambung fundus
dan pilorus disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Pengaruh pemberian asam asetil salisilat (AAS) terhadap jumlah sel
kelenjar utama (sel chief dan sel parietal) regio fundus dan pilorus lambung tikus.
Sel Chief Sel Parietal Kelompok
Fundus Pilorus Fundus Pilorus Kontrol 254.230±59.663ab 322.950±55.142b 239.610±41.741c 7.500±5.592a
Perlakuan 224.020±65.386a 292.210±99.802ab 199.700±41.550b 7.140±3.410a Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama nenunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)
16.49
20.89
14.69
18.46
15.53
0.51
12.95
0.480
5
10
15
20
25
fundus pilorus fundus pilorus
kontrol Perlakuan
%se
l kelen
ja
sel ChiefSel Parietal
Gambar 17 Grafik persentase sel Chief dan sel parietal regio fundus dan pilorus kelompok kontrol dan perlakuan
Regio pilorus pada kelompok K maupun P memiliki jumlah sel parietal
lebih sedikit dibandingkan dengan regio fundus. Hal ini berkaitan dengan struktur
histologi regio pilorus yang terdiri dari sedikit sel parietal. Dari hasil analisis
statistik (Tabel 3), jumlah sel Chief-sel parietal pada regio fundus dan pilorus
kelompok K dan P tidak berbeda nyata (p>0.05). Jumlah sel Chief dan sel parietal
pada kelompok P lebih sedikit dibandingkan kelompok K. Penurunan jumlah sel
Chief dan sel parietal ini diduga karena sejumlah sel turut lepas saat mukosa erosi.
Selain itu, sebagian kecil sel Chief dan sel parietal mengalami kerusakan sel
akibat pemberian AAS dosis toksik akut 400 mg.
Dalam keadaan pH lambung kurang dari 3.5, AAS akan diabsorpsi oleh
lambung sehingga akan merusak mukosa lambung. Salah satu kerusakan mukosa
lambung yang dapat terjadi adalah erosi mukosa lambung disertai dengan
apoptosis dan nekrosa sel (Nadi 1992). Menurut (Jubb et al. 1993), pada level
tertentu jika jumlah sel yang rusak terlalu tinggi maka kerusakan sel akan bersifat
permanen dan akhirnya terjadi kematian sel (nekrosa).
Nekrosa merupakan proses kematian sel atau kematian kelompok sel yang
masih merupakan bagian dari organisme hidup dengan penyebab yang bervariasi.
Nekrosa dapat terjadi akibat bahan beracun, aktivitas mikroorganisme, defisiensi
pakan dan kadang-kadang gangguan metabolisme. Umumnya sel yang mengalami
nekrosa menunjukkan perubahan pada inti dan sitoplasma. Inti akan mengecil dan
berwarna biru (lebih gelap), mirip sel limfosit, akibat penggumpalan kromatin inti.
Proses ini disebut piknosis. Inti juga mungkin pecah (karyorhexis) dan bahkan
menghilang (karyolisis), sedangkan pada sitoplasma akan terlihat asidofilik (Jubb
et al. 1993).
Menurut Abrams (1994), jika jaringan yang nekrosis terletak pada
permukaan tubuh (misalnya, sepanjang epitel saluran pencernaan), maka jaringan
itu akan dengan mudahnya mengelupas, sambil meninggalkan celah pada
permukaan yang membentuk ulkus. Proses ini diduga dapat menurunkan jumlah
sel Chief dan sel parietal regio fundus dan pilorus pada kelompok P. Gambaran
histopatologi sel parietal yang mengalami nekrosa dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Gambaran histopatologi sel parietal lambung kelenjar yang
mengalami piknosis (tanda panah hitam) dan sel parietal yang masih normal (tanda panah kuning) pada kelompok P. Pewarnaan HE, perbesaran 100 x, bar 50 µm (A) dan perbesaran 400 x, bar 20 µm (B).
c. Kongesti
Berdasarkan data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat kongesti
dengan berbagai derajat keparahan yang sama pada kedua kelompok. Kongesti
merupakan keadaan dimana terjadi akumulasi butir-butir darah di dalam
pembuluh darah pada daerah tertentu. Akumulasi darah tersebut dapat
mengakibatkan pembendungan di dalam pembuluh darah (Smith et al 1992;
Wilson dan Lester 1994). Kongesti yang berlebihan dapat menimbulkan
hemorrhagi (perdarahan) sehingga cairan akan bercampur dengan sel darah merah
(Kusumawidjaja 1996).
Baik pada kelompok kontrol (K) maupun kelompok perlakuan dijumpai
kongesti dengan derajat keparahan ringan pada regio lambung fundus dan pilorus.
Kongesti pada pembuluh darah di submukosa secara mikroskopis terlihat dengan
adanya dilatasi pembuluh darah yang berisi penuh darah. Kejadian kongesti pada
kedua kelompok diduga disebabkan oleh faktor pembiusan sebelum nekropsi
dengan menggunakan eter. Menurut Handoko (1995), eter merupakan anastetik
yag sangat kuat, dapat menekan kontraktilitas otot jantung, menyebabkan dilatasi
pembuluh darah kulit dan pembuluh darah organ-organ.
FE
FE
A B
Selain akibat pembiusan dengan eter, pemberian AAS dapat menyebabkan
kongesti dan hemorrhagi pada kelompok perlakuan (P). Kongesti pada kelompok
P diduga diawali dengan adanya vasodilatasi pembuluh darah dan perlambatan
aliran darah. Dilatasi pembuluh darah disertai perlambatan aliran darah akibat
pembebasan histamin dapat meningkatkan akumulasi butir-butir darah dalam
pembuluh darah sehingga terjadi kongesti (Gambar 19).
d. Hemorrhagi
Berdasarkan data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat hemorrhagi
dengan berbagai derajat keparahan yang sama pada kedua kelompok. Hemorrhagi
merupakan keluarnya darah dari sistem kardiovaskular, disertai penimbunan
dalam jaringan atau ruang tubuh dan atau disertai keluarnya darah dari tubuh.
(Smith et al 1992; Wilson dan Lester 1994). Dari hasil pengamatan, hemorrhagi
lebih banyak ditemukan pada lapis mukosa dan submukosa baik pada kelompok K
maupun kelompok P.
Pada kedua kelompok kejadian hemorrhagi lebih banyak ditemukan pada
lapis mukosa dan submukosa. Hemorrhagi pada kelompok P diduga akibat
pembebasan histamin yang menyebabkan pembuluh darah berdilatasi,
permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadi kerusakan mukosa kapiler
(Gambar 11). Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan kerusakan endotel
kapiler inilah yang dapat menyebabkan sel-sel darah keluar dari pembuluh darah
(diapedesis) (Smith et al 1992; Wilson dan Lester 1994).
Hemorrhagi pada kelompok P diduga juga dipengaruhi oleh kelainan
mekanisme homeostasis pembekuan darah. Sediaan AAS merupakan inhibitor
irreversibel siklooksigenase yang berfungsi mensintesis tromboksan
(Kartasasmita 2002). Tromboksan merupakan salah satu faktor yang berperan
dalam pembekuan darah. Tromboksan menyebabkan tombosit menyumbat
kebocoran dalam pembuluh darah dengan mengadakan agregasi pada pembuluh
darah dan menghambat aliran darah (Wilson dan Lester 1994). Secara tidak
langsung, hambatan terhadap siklooksigense oleh AAS dapat menghambat
aktivitas tromboksan. Penurunan dan atau ketiadaan tromboksan dalam aliran
darah dapat meningkatkan potensi terjadi hemorrhagi.
Sediaan AAS dapat mengubah permeabilitas jaringan epitel dan
memungkinkan difusi balik asam klorida dengan akibat kerusakan jaringan,
khususnya pembuluh darah. Histamin yang dikeluarkan merangsang sekresi asam
dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein
(Gambar 10) Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat
hilang. Mukosa kapiler dapat rusak dan mengakibatkan hemorrhagi interstitsial
(Wilson dan Lester 1994). Gambaran histopatologi kongesti dan hemorrhagi
disajikan dalam Gambar 19.
e. Edema
Pada kelompok K ditemuka edema dengan derajat ringan pada semua
bagian lambung, sedangkan pada kelompok P ditemukan edema lapis mukosa dan
lapis submukosa dengan derajat sedang pada lambung nonkelenjar dan regio
fundus (data Tabel 2). Edema pada lapis mukosa ditandai dengan merenggangnya
jarak antar sel-sel kelenjar. Sedangkan edema pada lapis submukosa ditandai
dengan peregangan antara lapis muskularis mukosa dengan lapis submukosa.
Tembusnya barier mukus lambung kelompok P oleh AAS memungkinkan
terjadi mekanisme difusi balik H+. Asam dalam konsentrasi tinggi dari arah lumen
dapat kembali ke arah epitel mukosa sehingga merusak lapisan mukosa (Wilson
dan Lester 1994). Kerusakan sel Chief dan sel parietal pada regio fundus dan
pilorus merangsang pelepasan mediator inflammasi (MI) antara lain
histamin,bradikinin, leukotrin, serotonin, prostaglandin dan sebagainya. Mediator
inflammasi bertugas menyelenggarakan berbagai aktivitas respon inflammasi
hingga terjadi persembuhan (Mac Farlare et al. 2000).
Pelepasan mediator peradangan ini dapat meningkatkan permeabilitas
kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler dapat memungkinkan larutan mediator
mencapai jaringan sehingga terjadi edema (Malik 1992). Menurut Spector (1993)
peningkatan permeabilitas pembuluh darah dapat menyebabkan protein mudah
lolos masuk ke jaringan melalui celah-celah yang muncul diantara sel-sel endotel.
Jaringan yang mengalami edema terlihat sebagai ruangan yang meluas dan terisi
cairan (Smith et al. 1974). Gambaran histopatologi edema lambung kelenjar
disajikan pada Gambar 20.
Gambar 19 Gambaran histopatologi kongesti (K) dan hemorrhagi (tanda panah
kuning) disertai infiltrasi sel radang (tanda panah hitam) pada regio pilorus kelompok P. M= mukosa; MM= muskularis mukosa; S= submukosa. Pewarnaan HE, perbesaran 400x, bar 20 µm.
Gambar 20 Gambaran histopatologi edema pada submukosa (A) dan mukosa
lambung (B) regio fundus kelompok P. M= mukosa; MM= muskularis mukosa; S= submukosa; TM= tunika muskularis. Pewarnaan HE, perbesaran 40 x (A) dan 400 x, bar 20 µm (B).
K
M
SM
MM
SM
TM
M
M
MM
MM
A B
f. Infiltrasi sel-sel radang
Kerusakan sel (apoptosis dan nekrosa) pada regio fundus dan pilorus
merangsang pelepasan mediator inflamasi (MI). Rangkaian tugas MI diawali
dengan peradangan akut dan diakhiri dengan persembuhan. Proses peradangan
akut disertai dengan dilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan pembentukan edema radang. Peningkatan permeabilitas
pembuluh darah akan menyebabkan protein, eritrosit dan leukosit keluar dari
pembuluh darah dan masuk ke jaringan. Fungsi leukosit dan sel radang lainnya di
fokus radang adalah untuk memfagosit dan mendegradasi agen yang menyerang
seperti bakteri dan mikroba lain; bahan yang merusak seperti AAS; sel dan
jaringan nekrotik serta antigen asing (Mac Farlare et al. 2000; Mansjoer 2003).
Pada kejadian gastritis akut akibat AAS dapat ditemukan infiltrasi sel
radang pada tiap lapis mukosa lambung. Sel-sel radang yang mula-mula keluar
dari dinding pembuluh darah adalah netrofil dan makrofag (Mansjoer 2003).
Infiltrasi sel radang pada lapisan mukosa lambung regio lambung nonkelenjar,
fundus dan pilorus disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Pengaruh pemberian asam asetil salisilat (AAS) terhadap jumlah sel
radang tiap lapisan regio lambung nonkelenjar, fundus dan pilorus.
Lambung Kelenjar Lambung non
kelenjar Regio fundus Regio pilorus
Lap i s
K
P
K
P
K
P
M 1.300±0.604a 8.850±16.285b 35.800±15.124d 63.400±29.237f 43.110±31.138e 68.200±27.178f
MM
1.630±0.579ab 7.080±4.680b 23.700±16.765cd 36.400±11.737e 23.830±7.267cd 34.250±8.180de
SM
4.660±2.339ab 22.400±15.303c 15.850±18.216bc 35.020±18.725e 16.120±7.767bc 32.350±11.678d
TM
3.520±2.524ab 5.390±2.019ab 1.200±0.892a 4.140±3.056ab 1.200±0.892a 4.100±3.054ab
S 0.360±0.372a 0.620±0.520a 0.930±1.106a 2.190±5.171ab 0.980±1.177a 2.150±5.176b
Keterangan: M= mukosa; MM= muskularis mukosa; SM= submukosa; TM= tunika muskularis. S= serosa.. K= kelompok kontrol; P= kelompok perlakuan. Huruf yang berbeda pada pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan
lambung nonkelenjar fundus pilorus
% s
el ra
dan
mukosa muskularis mukosa submukosa tunika muskularis serosa
Gambar 21 Grafik persentase sel radang pada regio lambung nonkelenjar, fundus dan pilorus kelompok kontrol dan perlakuan
Hasil analisis statistik pada Tabel 4 menunjukkan infiltrasi sel radang yang
berbeda pada tiap lapisan mukosa lambung kedua kelompok. Pada regio lambung
nonkelenjar, jumlah sel radang kelompok P berbeda nyata (p<0.05) dengan
kelompok K. Infiltrasi sel radang pada lambung nonkelenjar kelompok P diduga
akibat AAS berhasil menembus lapisan keratin yang berfungsi sebagai lapis
pertahanan pertama lambung non-kelenjar. Pada lambung nonkelenjar baik pada
kelompok K maupun kelompok P, infiltrasi sel radang paling dominan terdapat
pada lapisan submukosa. Hal ini dikarenakan pembuluh darah pada submukosa
mengalami peningkatan permeabilitas membran sehingga memungkinkan
diapedesis sel-sel radang. Sel-sel radang keluar dari pembuluh darah dan
terakumulasi pada lapis submukosa yang lebih longgar sebelum menyebar pada
jaringan.
Pada regio lambung kelenjar (fundus dan pilorus), jumlah sel radang
kelompok P berbeda nyata dengan kelompok K (p<0.05). Infiltrasi sel radang
paling dominan terdapat lapis mukosa (lamina propia). Jumlah sel radang pada
submukosa lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah sel radang pada
muskularis mukosa dan lamina propia (mukosa). Hal ini diduga karena sel-sel
radang sudah bermigrasi dari pembuluh darah di submukosa menuju muskularis
mukosa dan mukosa. Sel-sel parietal dan sel chief yang nekrosa pada lapis
mukosa mengirimkan sinyal kemotaksis yang dapat menarik infiltrasi sel-sel
radang menuju lapisan mukosa.
Fenomena kemotaksis menuntun perjalanan amoeboid leukosit dengan
mengikuti alur datangnya bahan kemotaktik mediator inflamasi dengan arah
menuju konsentrasi yang lebih pekat. Leukosit yang tiba di interstitium daerah
inflamasi itu bertindak sebagai sel-sel radang (Mac Farlane et al. 2000). Dalam
perjalanan sel radang menuju lapis mukosa, sel radang turut terakumulasi pada
lapis muskularis mukosa sebelum mencapai lamina propia. Sel radang juga
menyebar hingga tunika muskularis dan serosa. Pada lapis tunika muskularis dan
serosa ditemukan infiltrasi sel radang netrofil dan limfosit.
Infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag hampir menyeluruh dapat
ditemukan pada kelompok K dan P. Pada kelompok K, infiltrasi sel radang yang
ditemukan diduga bukan karena kelainan patologis. Menurut Brown dan Hardisty
(1990), dalam keadaan normal pada lamina propia tikus ditemukan sejumlah sel
limfosit, sel plasma, netrofil dan sel mast. Hal ini dikarenakan migrasi sel radang
merupakan reaksi tanggap umum terhadap zat toksik yang masuk ke dalam tubuh
dan merupakan reaksi patofisiologis untuk melawan segala agen yang merugikan.
Pada kelompok P, sel radang yang dominan adalah netrofil (Gambar 22).
Hal ini dikarenakan banyak sel-sel yang nekrosa sehingga menarik netrofil untuk
datang dan memfagosit sel-sel rusak. Netrofil dapat bermigrasi dan sampai pada
lokasi radang dengan segera dalam jumlah besar terutama dalam kondisi radang
akut (Rukmono 1973; Stephenson 1992). Infiltrasi netrofil menunjukkan adanya
peradangan karena netrofil merupakan leukosit paling aktif dalam peradangan
akut. Netrofil berfungsi sebagai fagosit partikel-partikel kecil, reruntuhan sel dan
kuman (Smith et al. 1974). Netrofil dapat melepaskan enzim proteolitik yang
berperan melisiskan sel-sel yang nekrosa(Stephenson 1992; Wallace et al. 1995;
Dunlop dan Malbert 2004). Pelepasan enzim ini oleh netrofil diduga turut
berperan dalam kerusakan jaringan. Gambaran histopatologi infiltrasi sel radang
netrofil pada kelompok K dan P disajikan pada Gambar 23.
Gambar 22 Infiltrasi sel radang netrofil pada daerah ulkus lambung nonkelenjar
kelompok P (A). Perbesaran gambar infiltrasi sel radang netrofil (tanda panah hitam) dan hemorrhagi (tanda panah kuning) (B). Pewarnaan HE, perbesaran 200x, bar 30 µm (A) dan perbesaran 400 x, bar 20 µm (B).
Gambar 23 Infiltrasi sel radang pada lambung kelenjar (tanda panah) pada
kelompok K (A) dan pada kelompok P (B). M= mukosa; MM= muskularis mukosa; S= submukosa. Pewarnaan HE, perbesaran 400x, bar 20 µm.
S
SM
AEP
EP H
B
M
M
MM
MM
A B
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Pemberian asam asetil salisilat (AAS) dengan dosis 400 mg per ekor tikus
selama 3 hari dapat menyebabkan gastritis superficial akut ditandai
dengan proliferasi sel goblet, deskuamasi epitel, erosi mukosa, nekrosa sel
parietal, kongesti, hemorrhagi, edema dan infiltrasi sel radang netrofil
pada tiap lapisan mukosa lambung.
2. Pemberian asam asetil salisilat (AAS) dengan dosis 400 mg per ekor tikus
dapat menyebabkan lesio histopatologi lambung berupa ulkus dengan
potensi kejadian 20% pada lambung nonkelenjar dan regio pilorus
kelompok P.
3. Pemberian AAS dapat menurunkan jumlah sel chief dan sel parietal pada
regio fundus dan pilorus lambung.
4. Infiltrasi sel radang netrofil pada lambung nonkelenjar paling dominan
terdapat pada lapis submukosa.
5. Infiltrasi sel radang netrofil pada regio fundus dan pilorus paling dominan
terdapat pada lapisan mukosa (lamina propia).
SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perubahan histopatologi
pada lambung dengan pemberian AAS dosis optimal dan jangka waktu
bervariasi.
2. Perlu dilakukan percobaan pemberiaan AAS dengan dosis toksik pada
hewan monogastrik lainnya dan hewan ruminansia.
3. Analisa biokimia darah antara lain kadar Prostaglandin untuk menunjang
hasil analisa jaringan.
DAFTAR PUSTAKA Abrams GD. 1994. Lambung dan Duodenum. Patofisiologi. Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. (Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Procsses). Edisi 4. Buku 1. Sylvia A. dan Lorraine M. W, editor. Dr. Peter Anugrah, alih bahasa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 22-34.
Anonimus. 2002. Histology of Digestive System.
http://www.bu.edu/histology/p/...oca.htm. [22 Januari 2007]. ________. 2005. Digestive System: Alimentary Canal, fundus stomach, gastric
glands, base. http://www.bu.edu/histology/p/...oca.htm. [8 Juli 2007]. ________. 2005. Digestive System_Stomach.
http://www.bu.edu/histology/p/...oca.htm. [8 Juli 2007]. ________. 2006.. Annual Report of the America Association of poison Control
Toxic Exposure Surveillance System. In Aspirin. http://en.wikipedia.org/wiki/Aspirin. [13 November 2005].
________. 2006. Definition of Desquamation. http://ptcl.chem.ox.ac.uk/ MSDS/
glossary/desquamation.html. [20 September 2007]. Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Ed ke-2.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pp: 119-161. Belevander, Gerrit and Judith A. Ramaley. 1988. Dasar-dasar Histologi. Edisi ke
delapan. 253-259. Alih bahasa Dr. Ir. Wisnu Gunarso. IPB. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal: 245-253.
Bishop Y. 2005. The Veterinary Firmulary. Sixth Edition. London: British
Veterinary Association. Pp: 341-343. Bringman T and CF Bringman. 1995. Introduction to Functional Telford
Bringman Histology. Second Edition. 391-405. Harper Collins College Publisher. Pp: 313-316.
Brown RH and JF Hardisty. 1990. Pathology of The Fischer Rat. Refffence and
Atlas. Gary A. Boorman, et al. San Diego: Academic Press, Inc. Pp: 9-14.
Bustami Z. 1995. Pengantar Farmakologi. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke 4.
Ganiswara, Setiabudy, Suyatna, Purwantyastuti, Nafrialdi, editor. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1-23.
Cohen S. 2007. Gastritis and Peptic Ulcers Diseases. http:www.mercklibrary/gastritis.htm. [31 Juli 2007].
Damjanov I. 2000. Buku Teks & Atlas Berwarna Histologi. Pendit UB,
penerjemah. Himawan M, editor. Jakarta: Widya Medika. Terjemahan dari: Histopatologi A Color Atlas and Textbook.
Dunlop RH dan Malbert CH. 2004. Pathophysiology of The Gastrointestinal
Tract. Veterinary Pathophisiology. Iowa: Blackwell Publishing. Pp: 111-142.
Frappier B. 1998. Digestive System. Textbook of Veterinary Histology. Fifth
Edition. Dellmann HD, Eurell JA, editor. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pp: 179-183.
Gartner L and JL. Hiatt. 2001. Colour Textbook of Histology. Second Edition.
Philadelphia: W. B Saunders Company. Pp: 383-396. Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Setiawan,
Tengadi, Santoso, penerjemah; Setiawan, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology. Hal: 589-608.
Halter F, AS Tarnawski, A Schmassmann, BM Peskar. 2001. Cyclooxygenase
implication on maintenance of gastric mucosal integrity and ulcer healing : controversial issues and perspective. J Pharmacol. 49:443-453.
Handoko T. 1995. Obat Susunan Saraf Pusat. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke 4.
Ganiswara, Setiabudy, Suyatna, Purwantyastuti, Nafrialdi, editor. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 109-123
Hodgson E et al. 1999. Dictionary of Toxicology. Second Edition. London:
Macmillan Reference Ltd. Pp: 50, 57-58. Hudson N, FE Murray, AT Cole, B Filipowicz, CJ Hawkey. Effect of Sucralfate
On Aspirin Induced Mucosal Injury and Impaired Heamostasis in Humans. Division of Gastroentrology, University Hospital, Nottingham. 41:19-23.
Humason GL. 1985. Animal Tissue Technique. Fourth edition. San Francisco: W.
N Freeman and Company, USA. Pp: 1-169. Jubb K & Peter K. 1993. Pathology of Domestic Animals. Ed ke-4. Unites States
of America: Academic Press United States of America. Julius. 1992. Patogenesis Tukak Peptik. Cermin Dunia Kedokteran. 79:9-13.
Karisyogya. 2007. Berbisnis Dengan Hati. http://www.karisyogya.blog.m3-acces.com. [31 Juli 2007].
Kartasasmita RE. 2002. Perkembangan Obat Anti radang Bukan Steroid. Acta
Pharmaceutica Indonesia. 27:75-91. Kusumawidjaja. 1996.Patologi khusus. Di dalam Kumpulan Kuliah Patologi.
Hirmawan, editor. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Lelo Aznan. 2004. Manfaat AINS Terhadap Nyeri Gangguan Muskuloskeletal
Pada Usia Lanjut. http://library.usu.ac.id/download/fk/farmakologi-aznan.pdf.
Mac Farlare PS, Reid R, dan Callander R. 2000. Pathology Illustrated. Toronto.
Huerchill livingstone. Pp: 32-53; 301-310. Malik A. 1992. Mekanisme Proteksi Mukosa Saluran Cerna. Cermin Dunia
Kedokteran. 79:5-8. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di
Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikandan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Hal: 104-112.
Mansjoer S. 2003. Mekanisme Kerja Obat Antiradang.
http://www.library.usu.ac.id./download/fk/farmasi-soewarni.pdf. [23 September 2007].
Miller GKL. 1996. Comparative Anatomy of the Vertebrates. Eight Edition.
Ganon University. WCB WMC. Brown Publishers. Pp. 279-281. Mustchler E. 1991. Arzneimittelwirkungen, Terjemahan : Dinamika Obat oleh
Mathilda B dan Anna SR. Bandung: Penerbit ITB. Hal: 194-195, 359, 388, 401-402.
Nadi S. 1992. Hasil Pengobatan Gastritis dengan Traksat empat kali sehari
Dibandingkan dengan dua kali sehari. Cermin Dunia Kedokteran. 79: 18-21.
Nasution AR. 1992. Efek Samping Obat Anti Inflamasi Non Steroid. Cermin
Dunia Kedokteran. 78:36-39. Plumb D. 1995. Veterinary Drug Handbook. Second Edition.USA: Iowa State
University Press. Pp: 55-57
Robinson R. 1979. Taxonomy and Genetic. In The Laboratory Rat. Volume 1. Biology and Disease. Edt ; Baker J. Henry, et al. San Fransisco: Academic Press. Pp: 38.
Roder JD. 2004. Pharmaceuticals. Clinical Veterinary Toxicology. Konnie H.
Plumlee, editor. United States: Mosby. Pp: 282-284. Rodriguez, Luis AG, Hernandez Sonia. 2004. Risk of Uncomplicated Peptic Ulcer
among Users of Aspirin and Nonaspirin Non Steroidal Antiinflamatory Drugs. American Journal of Epidemiology . 159:23-31.
Rukmono. 1973. Radang. Patologi. Hirmawan S, editor. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 46-55. Setiawati A. 1992. Farmakologi dan Penggunaan Terapi Obat-Obat Sitoproteksi.
Cermin Dunia Kedokteran. 79:29-31. Shayne P. 2007. Gastritis and Peptic Ulcer Diseases.
www.emedicine.com/EMERG/topic820.htm [4 Agustus 2007] Subagyo RL. 2004. Pemilihan NSAID Untuk Berbagai Situasi Klinik.
http://www.pogi-online.org [15 Agustus 2007] Subahagio, Rahman I, Ibnusani D, Sutardjo dan Sulaksono ME. 1997. Pengaruh
Faktor Keturunan dan Lingkungan Terhadap Sifat-sifat Biologis Yang Terlihat pada Hewan Percobaan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. VII. 1.
Sulaksono ME, Pudjoprajitno, Yuwono SS dan Patra K. 1986. Keadaan dan
Masalah Hewan Percobaan di Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan. 14. 3.
Smith HA, TC Jones, RD Hunt. 1974. Veterinary Pathology. Ed ke-4.
Philadelphia: Lea & Febiger. Pp: 1191-1249. Smith JB, S. Mangkoewidjojo. 1998. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press. Hal: 37-38 Spechler SJ. 2002. Peptic Ulcer Disease and Its Complication. Sleisenger and
Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease. Pathophysiology/Diagnosis/Management. 7th edistion. Editor: Feldman M, Friedman LS, Sleisenger MH. Saunders Philadelphia. Pp. 715. dalam Paradigma Baru pengobatan Gastritis dan Tukak Peptik oleh Pangestu Adi. http://www.pgh.or.id/Lambung_per.html. [20 Agustus 2006].
Spector WG. 1993. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Soetjipto NS, penerjemah. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Terjemahan dari: An Introduction to General Pathology
Stephenson TJ. 1992. Inflammation. General and Systemic Pathology.
Underwood JCE, editor. Edinburg: Churchill Livingstone. Pp: 177-200.
Stevens CE and Ian D. Hume. 1996. Comparative Physiology of the Vertebrate
Digestive System. Second Edition. Cambridge University Press. Pp. 16-18, 67-70,246-248.
Takeuchi K, Ukawa H, Konaka A, Kitamura M, Sugawa W. 1998. Effect of Nitric
Oxide-Releasing Aspirin Derivate on Gastric Functional and Ulcerogenic Responses in Rats: Comparison With Plain Aspirin. Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics. 286:115-121.
Thomas C. 1979. Oral Cavity-Gastointestinal Tract-Pancreas. Sandritter’s Color
Atlas and Textbook of Histopathology. Seventh English Edition. Year Chicago: Book Medical Publishers, Inc. Pp: 123-145.
Tortora and Grabowski. 1996. Stomach. www.rivm.nl/.../stomach-figure-
2_tcm75-26457.gif. [28 November 2007]. Van Kruiningen HJ. 1995. Gastrointestinal System. Thompson’s Special
Veterinary Pathology. Second Edition. Carlton WW and McGavin MD, editor. United States of America: Mosby. Pp: 1-80.
Wallace JL., G. Webb Mcknight, and Cameron JB. 1995. Adaptation of Rat
Gastric mucosa to Aspirin Require Mucosal Contact. American Physiological Society. 95:34-138
Widjaja S. 1973. Kumpulan Kuliah Patologi. Bagian Kedua ’Patologi Khusus’:
Saluran Pencernaan. Editor, Sutisna Hirmawan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 199-200.
Wilson LM dan L Lester. 1994. Lambung dan Duodenum. Patofisiologi. Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. (Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Procsses). Edisi 4. Buku 1. Sylvia A. dan Lorraine M. W, editor. Dr. Peter Anugrah, alih bahasa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 371-386.
Wimana FF. 1995. Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-inflammasi Non Steroid
dan Obat Pirai. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke 4. Ganiswara, editor. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 207-222.
Lampiran 1. Perhitungan Dosis Obat 1. Obat cacing (Albendazole)
Dosis. : 10 mg/kgBB
BB tikus : 250 g
Dosis per ekor tikus : 10 mg/kgBB = (10 mg/ 1000 g) / 250 g = 2,5 mg
Jumlah tikus : 34 ekor
diperlukan = 34 x 2,5 mg = 85 mg
1 bungkus Albendazole = 5 g/100 ml
~ 5.000 mg/100 ml
~ 100 mg/ 2ml
Dibuat menjadi 100 mg Albendazole dalam 2 ml. Karena volume 2 ml
terlalu sedikit untuk 34 ekor tikus sehingga perlu diencerkan 10x sehingga
volume yang diperlukan menjadi 20 ml.
1 bungkus dilarutkan dalam 20 ml, maka dalam satu kali pemberian per
tikus mendapat 0,44-0,5 ml.
2. Anti Jamur (Fluconazole)
Dosis per ekor tikus : 10 mg/tikus
1 bungkus obat berisi : 50 mg
Jumlah tikus : 31 ekor
Jumlah Fluconazole yang diperlukan dalam satu kali pemberian/hari
= (31 × 10 mg)
50 mg/bungkus
= 6.2 bungkus/hari
~ 7 bungkus/hari
Maka untuk pemberian Fluconazole selama 3 hari, diperlukan 21 bungkus.
Untuk melarutkan 1 bungkus Fluconazole diperlukan 5 ml aquades
Untuk melarutkan 7 bungkus Fluconazole diperlukan 35 ml aquades
100 mg/2 ml dalam 20 ml aquades Tiap tikus mendapat 0,44-0,5 ml larutan 0,44-0,5 ml larutan mengandung 2,5 mg Albendazole
7 bungkus Fluconazole dilarutkan menjadi 35 ml (untuk 34 ekor tikus) Tiap tikus mendapat 1 ml larutan 1 ml larutan mengandung 10 mg Fluconazole
3. Antibiotik (Tertracyclin)
1 kapsul mengandung : 250 mg
Dosis untuk 250 g tikus : 100 mg/ekor/hari
Jumlah tikus : 31 ekor
Jumlah antibiotik yang diperlukan untuk 31 ekor tikus adalah 3100 mg
∑ antibiotik yang diperlukan = 3100 mg × 1 kapsul 250 mg = 12.4 kapsul/hari
~ 13 kapsul/hari
Maka untuk pemberian Tetracyclin selama 3 hari, diperlukan 39 kapsul
∑ dosis antibiotik yang diperlukan dalam satu kali pemberian/hari
= 13 kapsul x 250 mg kapsul = 3250 mg
Dosis per ekor tikus adalah 100 mg termasuk pelarut
= 3250 mg = 32,5 ml larutan 100 mg
~ 13 kapsul dilarutkan 32.5 ml aquades
~ 1 ml mengandung 100 mg Tertacyclin
4. Asam Asetil Salisilat
Dosis yang diberikan kepada tikus (±300 g) : 400 mg/ekor/hari
Jumlah tikus : 20 ekor
Kebutuhan untuk 3 hari = 3 × 20 ekor × 400 mg = 24000 mg
∑ dosis AAS yang diperlukan dalam satu kali pemberian/hari
= 4 g kristal AAS dilarutkan dalam 20 ml aquades
~ 4000 mg / 20 ml = 200 mg/ml
4 g dalam 20 ml aquades Tiap tikus diberikan 2 ml larutan 2 ml larutan mengandung 400 mg AAS
13 kapsul dilarutkan dalam 32,5 ml aquades Tiap tikus diberikan 1 ml larutan 1 ml larutan menganung 100 mg Tetracyclin
Lampiran 2. Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi
Setelah tiga hari diberikan Asam Asetil Salisilat dengan dosis 375 mg/kgBB,
tikus dieuthanasi dengan memasukkan tikus ke dalam anaerobic jar yang berisi
kapas yang telah dibasahi dengan ether. Organ lambung diambil dan difiksasi
dalam formalin. Kemudian organ lambung tersebut dibuat sediaan histopatologis
dengan pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE) dan Periodic Acid Schiff-Alcian
Blue (PAS-AB). Prosedur pembuatan preparat histopatologi adalah sebagai
berikut :
a. Sampling, dilakukan dengan mengambil organ lambung tikus (Rattus
rattus)
b. Fiksasi
Seluruh organ lambung dimasukkan ke dalam cairan fiksatif Buffered
Neutral Formalin (BNF) 10 %. Setelah dua hari rgan lambung mengeras
dipotong berukuran 2x2x1 cm, kemudian dimasukkan kembali ke dalam
BNF 10% selama 3x24 jam, kemudian dipotong lebih tipis dengan
ketebalan yang sama, lalu dimasukkkan ke dalam cassete dan siap diproses
dalam Tissue Processor.
c. Dehidrasi
Dehidrasi dilakukan dengan menggunakan alkohol konsentrasi bertingkat
- Alkohol 70 % (2 jam)
- Alkohol 80 % (2 jam)
- Alkohol 90 % (2 jam)
- Alkohol 95 % (2 jam)
- Alkohol absolut I (2 jam)
- Alkohol absolut II (2 jam)
d. Clearing (penjernihan)
- Xylol I (2 jam)
- Xylol II (2 jam)
e. Infiltrasi dengan menggunakan parafin cair (50°C)
- Parafin I (2 jam)
- Parafin II (2 jam)
f. Embbeding (penanaman)
Parafin cair dimasukkan ke dalam cetakan (1/2 dari volume cetakan),
kemudian
dimasukkan potongan jaringan sampai menyentuh dasar cetakan, lalu
cetakan dipenuhi dengan parafin cair.
g. Pemotongan
Setelah pencetakan ke dalam parafin beku, lalu dipotong dengan
menggunakan rotary microtom setebal ± 3-4μ. Hasil pemotongan
diletakkan di atas permukaan air hangat (40°C). Setelah itu potongan
diletakkan pada object glass lalu disimpan dalam inkubator selama satu
malam pada suhu 56 °C.
h. Pewarnaan
Lampiran 3. Pewarnaan Hemaktosilin-Eosin (HE) menurut metode Meyer
1. Gelas objek yang telah diinkubator dimasukkan ke dalam xylol 1 dan 2
selama 2 menit.
2. Gelas objek kemudian dimasukan ke dalam alkohol konsentrasi bertingkat
mulai dari absolut selama 2 menit, 95% selama 1 menit, dan 80% selama 1
menit.
3. Lalu dibilas dengan air mengalir selama 1 menit.
4. Pewarnaan Hematoksilin, dilakukan dengan memasukan sedian ke dalam
zat warna hematoksilin selama 2-3 menit.
5. Lalu dibilas dengan air mengalir selama 30 detik.
6. Pencerahan warna biru dalam litium carbonat selama 15-30 detik.
7. Lalu dibilas dengan air mengalir selama 30 detik.
8. Pewarnaan Eosin, dilakukan dengan memasukan sedian ke dalam zat
warna eosin selama 2-3 menit.
9. Lalu dibilas dengan air mengalir selama 2 menit.
10. Proses dehidrasi: sediaan dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat yaitu
95% sebanyak 10 kali celupan, absolut 1 sebanyak 10 kali celupan dan
absolut 2 selama 2 menit.
11. Penjernihan: proses ini dilakukan dengan dimasukkan sediaan ke dalam
xylol 1 selama 1 menit dan xylol 2 selama 2 menit.
12. Kemudian terakhir ditutup dengan cover glass yang direkatkan dengan zat
perekat entelen.
Lampiran 4. Pewarnaan Periodic Acid Schiff-Alcian Blue (PAS)
1. Gelas objek yang telah diinkubator dimasukkan ke dalam xylol 1 dan 2
selama 2 menit.
2. Gelas objek kemudian dimasukan ke dalam alkohol konsentrasi bertingkat
mulai dari absolut selama 2 menit, 95% selama 1 menit, dan 80% selama 1
menit.
3. Lalu dibilas dengan air mengalir selama 1 menit.
4. Sediaan dimasukan ke dalam larutan asam asetat 1%.
5. Lalu di bilas dengan aquadest selama 1 menit.
6. Oksidasi ke dalam Periodic acid 1% selama 5-10 menit.
7. Bilas dengan aquadest sampai tiga kali, masing-masing selama 5 menit.
8. Sediaan dimasukan ke dalam Schiff reagent sampai 2 kali, masing-masing
selama 2 menit.
9. Bilas dengan air sulfit sampai 3 kali. Catatan: air bisulfit terdiri atas 10 ml
sodium bisulfat (NaHSO3), 10 ml HCl 1N, dan 200 ml aquadest.
10. Bilas dengan air mengalir selama 10-15 menit.
11. Bilas dengan aquadest selama 15 detik.
12. Pewarnaan Hematoksilin, dilakukan dengan memasukan sedian ke dalam
zat warna hematoksilin selama 15 detik.
13. Bilas dengan air dan aquadest selama 2 menit.
14. Proses dehidrasi: sediaan dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat yaitu
95% sebanyak 10 kali celupan, absolut 1 sebanyak 10 kali celupan dan
absolut 2 selama 2 menit.
15. Penjernihan: proses ini dilakukan dengan dimasukkan sediaan ke dalam
xylol 1 selama 1 menit dan xylol 2 selama 2 menit.
16. Kemudian terakhir ditutup dengan cover glass yang direkatkan dengan zat
perekat entelen.
Lampiran 5. Olahan data Sel Goblet di Lambung Kelenjar (Fundus dan Pilorus)
Descriptives
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound FUNDUS K 10 11.80 6.088 1.925 7.44 16.16 5 * P 10 17.40 9.663 3.056 10.49 24.31 8 *PILORUS K 10 11.90 4.654 1.472 8.57 15.23 6 * P 10 18.60 10.058 3.180 11.41 25.79 7 *Total 40 14.93 8.266 1.307 12.28 17.57 5 *
Duncan–Sel Goblet
Kelompok N Subset for alpha = .05
1 2
FUNDUS K 10 11.80 P 10 17.40 PILORUS K 10 11.90 P 10 18.60 Sig. 0.67 .088
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
Lampiran 6. Olahan Data Sel parietal dan sel Chief di Lambung Kelenjar
Descriptives
95% Confidence Interval for Mean
Regio
Kelompok
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Lower Bound Upper Bound
Minimum
Maximum
K 10 254.23 59.663 18.867 211.55 296.91 * *Fundus P 10 224.02 65.386 20.677 177.25 270.79 K 10 322.95 55.142 17.437 283.50 362.40 * *Pylorus P 10 292.21 99.802 31.560 220.82 363.60 * *
Total 40 273.35 79.045 12.498 248.07 298.63 * * CHIEF-Duncan
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
Subset for alpha = .05 Regio
Kelompok N
1 2 Fundus K 10 254.23 254.23 P 10 224.02 Pylorus K 10 322.95 P 10 292.21 292.21Sig. .052 .050
Lampiran 6. Olahan Data Sel parietal dan sel Chief di Lambung Kelenjar Descriptives-Sel Parietal
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Minimum Maximum Kelompok Lower Bound Upper Bound FUNDUS K 10 7.50 5.592 1.768 3.50 11.50 1 * P 10 7.14 3.491 1.104 4.64 9.64 2 *PILORUS K 10 239.61 41.741 13.200 209.75 269.47 * * P 10 199.70 41.556 13.141 169.97 229.43 * *Total 40 113.49 112.139 17.731 77.62 149.35 1 *
Parietal - Duncan
N Subset for alpha = .05
Kelompok 1 2 3 FUNDUS K 10 7.50 P 10 7.14 PILORUS K 10 239.61 P 10 199.70 Sig. .978 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
Lampiran 7. Olahan data Sel Radang di Lambung NonKelenjar
Descriptives
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for
Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound K MUKOSA 10 1.30 .604 .191 .87 1.73 0 2K MUSKULARIS MUKOSA 10 1.63 .579 .183 1.22 2.04 1 3K SUBMUKOSA 10 3.52 2.524 .798 1.71 5.33 1 *K TUNIKA MUSKULARIS 10 4.66 2.339 .740 2.99 6.33 2 9K SEROSA 10 .36 .372 .118 .09 .63 0 1P MUKOSA 10 8.85 16.285 5.150 -2.80 20.50 2 *P MUSKULARIS MUKOSA 10 7.08 4.680 1.480 3.73 10.43 3 *P SUBMUKOSA 10 22.40 15.302 4.839 11.45 33.35 5 *P TUNIKA MUSKULARIS 10 5.39 2.019 .638 3.95 6.83 3 9P SEROSA 10 .62 .522 .165 .25 .99 0 2Total 100 5.58 9.381 .938 3.72 7.44 0 *
Duncan – Sel Radang Lambung NonKelenjar KELOMPOK N Subset for alpha = .05
1 2 3 K MUKOSA 10 1.30 K MUSKULARIS MUKOSA 10 1.63 1.63 K SUBMUKOSA 10 3.52 3.52 K TUNIKA MUSKULARIS 10 4.66 4.66 K SEROSA 10 .36 P MUKOSA 10 8.85 P MUSKULARIS MUKOSA 10 7.08 7.08P SUBMUKOSA 10 22.40P TUNIKA MUSKULARIS 10 5.39 5.39P SEROSA 10 .62Sig. .083 .055 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
Lampiran 8. Olahan data Sel Radang di Lambung Kelenjar Regio Fundus
Descriptives
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound K MUKOSA 10 35.80 15.124 4.783 24.98 46.62 * *K MUSKULARIS MUKOSA 10 23.70 16.765 5.302 11.71 35.69 6 *K SUBMUKOSA 10 15.85 18.216 5.760 2.82 28.88 2 *K TUNIKA MUSKULARIS 10 1.20 .892 .282 .56 1.84 0 3K SEROSA 10 .93 1.106 .350 .14 1.72 0 4P MUKOSA 10 63.40 29.237 9.246 42.48 84.32 * *P MUSCMUCOSA 10 36.10 11.737 3.712 27.70 44.50 * *P SUBMUCOSA 10 35.02 18.725 5.921 21.62 48.42 * *K TUNIkA MUSkUlARIS 10 4.14 3.056 .966 1.95 6.33 1 *K SEROSA 10 2.19 5.171 1.635 -1.51 5.89 0 *Total 100 21.83 24.416 2.442 16.99 26.68 0 *
Duncan - Sel Radang Lambung Regio Fundus
Subset for alpha = .05 KELOMPOK N 1 2 3 4 5 K MUKOSA 10 35.80 K MUSKULARIS MUKOSA 10 23.70 23.70 K SUBMUKOSA 10 15.85 15.85 K TUNIKA MUSKULARIS 10 1.20 K SEROSA 10 .93 P MUKOSA 10 63.40P MUSKULARIS MUKOSA 10 36.10 P SUBMUKOSA 10 35.02 P TUNIKA MUSKULARIS 10 4.14 4.14 P SEROSA 10 2.19 2.19 Sig. .667 .055 .242 .093 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
Lampiran 9. Olahan data Sel Radang di Lambung Kelenjar Regio Pilorus
Descriptives
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound K MUKOSA 10 43.11 31.138 9.847 20.84 65.38 * *K MUSKULARIS MUKOSA 10 23.83 7.267 2.298 18.63 29.03 9 *K SUBMUKOSA 10 16.12 7.767 2.456 10.56 21.68 5 *K TUNIKA MUSKULARIS 10 1.20 .892 .282 .56 1.84 0 3K SEROSA 10 .98 1.177 .372 .14 1.82 0 4P MUKOSA 10 68.20 27.178 8.595 48.76 87.64 * *P MUSKULARIS MUKOSA 10 34.25 8.180 2.587 28.40 40.10 * *P SUBMUKOSA 10 32.35 11.678 3.693 24.00 40.70 * *P TUNIKA MUSKULARIS 10 4.10 3.054 .966 1.92 6.28 1 *P SEROSA 10 2.15 5.176 1.637 -1.55 5.85 0 *Total 100 22.63 25.260 2.526 17.62 27.64 0 *
Duncan – Sel Radang Lambung Pilorus
KELOMPOK N Subset for alpha = .05
1 2 3 4 5 6 K MUKOSA 10 43.11 K MUSKULARIS MUKOSA 10 23.83 23.83 K SUBMUKOSA 10 16.12 16.12 K TUNIKA MUSKULARIS 10 1.20 K SEROSA 10 .98 P MUKOSA 10 68.20P MUSKULARIS MUKOSA 10 34.25 34.25P SUBMUKOSA 10 32.35 32.35P TUNIKA MUSKULARIS 10 4.10 4.10 P SEROSA 10 2.15 Sig. .664 .065 .233 .129 .117 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
Lampiran 10 Hasil evaluasi kualitatif perubahan histopatologis pada lambung nonkelenjar kelompok kontrol dan perlakuan akibat pemberian AAS
Perubahan histopatologis Kelompok
Deskuamasi Epitel
Erosi mukosa
Kongesti Hemorrhagi Edema
Kontrol (K)
- - + Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
Perlakuan
(P)
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
++ Derajat
keparahan sedang
+ Derajat
keparahan ringan
++ Derajat
keparahan sedang
Lampiran 11 Hasil evaluasi kualitatif perubahan histopatologis pada regio
fundus kelompok kontrol dan perlakuan akibat pemberian AAS
Perubahan histopatologis Kelompok
Deskuamasi Epitel
Erosi mukosa
Kongesti Hemorrhagi Edema
Kontrol (K)
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
Perlakuan
(P)
++ Derajat
keparahan sedang
++ Derajat
keparahan sedang
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
++ Derajat
keparahan sedang
Lampiran 12 Hasil evaluasi kualitatif perubahan histopatologis pada regio
pilorus kelompok K dan kelompok P akibat pemberian AAS
Perubahan histopatologis
Kelompok Deskuamasi Epitel
Erosi mukosa
Kongesti Hemorrhagi Edema
Kontrol (K)
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
Perlakuan
(P)
+++ Derajat
keparahan berat
+++ Derajat
keparahan berat
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan
+ Derajat
keparahan ringan