7
Gajah Mada Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Gajah Mada Mahapatih Majapahit Masa jabatan k.1334 – k.1359 Penguasa monarki Tribhuwana Wijayatunggadewi ,Hayam Wuruk Didahului oleh Arya Tadah (Mpu Krewes) Digantikan oleh 6 mahamantri agung Informasi pribadi Meninggal 1364 Belum teridentifikasi Kebangsaan Majapahit

Gajah Mada

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Gajah Mada

Citation preview

Page 1: Gajah Mada

Gajah MadaDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gajah Mada

Mahapatih Majapahit

Masa jabatan

k.1334 – k.1359

Penguasa

monarki

Tribhuwana Wijayatunggadewi,Hayam

Wuruk

Didahului oleh Arya Tadah (Mpu Krewes)

Digantikan oleh 6 mahamantri agung

Informasi pribadi

Meninggal 1364

Belum teridentifikasi

Kebangsaan Majapahit

Agama Hindu

Page 2: Gajah Mada

Gajah Mada (wafat k. 1364) adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh

pada zaman kerajaan Majapahit.[1][2][3] Menurut berbagai sumbermitologi, kitab, dan prasasti dari

zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa

pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya

sebagai Patih.[1] Ia menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan

kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak

kejayaannya.[4]

Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton.[5] Ia menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun

ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan

mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial.[6] Banyak masyarakat Indonesia masa sekarang yang menganggapnya sebagai pahlawan dan

simbolnasionalisme Indonesia[7] dan persatuan Nusantara.[8]

Daftar isi

  [sembunyikan] 

1 Awal karier 2 Sumpah Palapa

o 2.1 Invasio 2.2 Dilema

3 Perang Bubat 4 Akhir hidup 5 Penghormatan 6 Kepustakaan 7 Lihat pula 8 Pustaka

Awal karier[sunting | sunting sumber]

Sebuah arca yang diduga menggambarkan rupa Gajah Mada. Kini disimpan di museumTrowulan, Mojokerto.

Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya, kecuali

bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang naik dalam awal kariernya menjadi Begelen atau

setingkat kepala pasukan Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-1328) terdapat sumber yang

Page 3: Gajah Mada

mengatakan bahwa Gajah Madabernama lahir Mada[9] sedangkan nama Gajah

Mada[10] kemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.[11]

Dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca yang ditemukan saat

penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun 1894 [12]  terdapat informasi bahwa

Gajah Mada merupakan patih dari Kerajaan Daha dan kemudian menjadi patih dari Kerajaan Daha

dan Kerajaan Janggala yang membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial elitis pada saat

itu dan Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara dengan

tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat".[4][13][14]

Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara berhasil

memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328)

putra Raden Wijaya dari Dara Petak. Selanjutnya pada tahun 1319 ia diangkat sebagai

Patih Kahuripan, dan dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.

Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari

jabatannya. Dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada

sendiri tak langsung menyetujui, tetapi ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan

menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit. Keta dan

Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan. Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat

menjadi Mahapatih secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1351) yang waktu itu telah

memerintah Majapahit setelah terbunuhnya Jayanagara.

Sumpah Palapa[sunting | sunting sumber]

Ketika pengangkatannya sebagai patih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1336 M) Gajah

Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-

rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) bila telah berhasil menaklukkan Nusantara.

Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai

berikut[15]

“ Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada:

Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring

Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang,

Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”bila dialih-bahasakan mempunyai arti[15] :

“ Ia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah

Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru

akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura,

Page 4: Gajah Mada

Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru

akan) melepaskan puasa

Invasi[sunting | sunting sumber]

Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada memang hampir

berhasil menaklukkan Nusantara. Dimulai dengan penaklukan ke daerah Swarnnabhumi (Sumatera)

tahun 1339, pulauBintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada

tahun 1343 bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian

penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri diKalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit,

Kotalingga

(Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Br

unei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku,Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.

Pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan

Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan ke wilayah timur

seperti Logajah, Gurun,

Sukun, Taliwung, Sapi,Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai,

Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin,

Seran, Timor, dan Dompo.

Dilema[sunting | sunting sumber]

Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang terbebas dari invasi Majapahit yakni Pulau

Madura dan Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini mempunyai keterkaitan erat dengan Narrya

Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit

(Lihat: Prasasti Kudadu 1294 [16] dan Pararaton Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan

XII [17] dan Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293) sebagaimana diriwayatkan pula

dalam Kidung Panji Wijayakrama.

Perang Bubat[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Bubat

Dalam Kidung Sunda [18]  diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk

mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka

Citraresmi putri Sundasebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan

Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan

pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah

Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda

mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan

Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh

Page 5: Gajah Mada

diri setelah ayah dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-

langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena

dipandang lebih menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal ini

tidak boleh dilakukan.

Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam

Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia

berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang

berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang

menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia

memerintah dari Madakaripura.[19]

Akhir hidup[sunting | sunting sumber]

Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara

keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan

meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.

Raja Hayam Wuruk kehilangan orang yang sangat diandalkan dalam memerintah kerajaan. Raja

Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah

Mada. Namun tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada. Hayam Wuruk

kemudian memilih empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Punala Tanding untuk selanjutnya

membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak berlangsung

lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri.

Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai Patih Mangkubumi

menggantikan posisi Gajah Mada.

Penghormatan[sunting | sunting sumber]

Lukisan kontemporer Gajah Mada karya I Nyoman Astika.

Page 6: Gajah Mada

Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di

masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin antara

lain Sukarno dan Mohammad Yamin sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan

"bukti" bahwa bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang

berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi nasional

Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.

Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas negeri yang dinamakan menurut

namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama dinamakan Satelit Palapa, yang

menonjolkan perannya sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak kota di

Indonesia memiliki jalan yang bernama Gajah Mada, namun menarik diperhatikan bahwa tidak

demikian halnya dengan kota-kota di Jawa Barat.

Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai sekarang masih sering menceritakan

Gajah Mada dan perjuangannya memperluas kekuasaan Majapahit di nusantara dengan Sumpah

Palapanya, demikian pula dengan karya seni patung, lukisan, dan lain-lainnya.

Kepustakaan[sunting | sunting sumber]