Upload
mirna-ayu-permata-sari
View
69
Download
1
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
RESUME BLOK VIII (KARDIOVASA)
SKENARIO 5
“GAGAL JANTUNG”
KELOMPOK E
1. DETI ROSALINA (082010101018)
2. M. FALIQUL ISBAH (082010101019)
3. DIAN AYU INDRIANINGSIH (082010101024)
4. YONATHA NOVARA (082010101025)
5. AYU BUDHI TRISNA DEWI R.S (082010101026)
6. LUCKY TIYA (082010101032)
7. M.H YUDHA ALHABSY (082010101036)
8. LIYANTITI SUNUPUTRI (082010101047)
9. MUSTIKA AYU FITRIANI (082010101054)
10. SHEILLA RACHMANIA (082010101056)
11. YOGA WAHYU PRATIWI (082010101060)
12. RINA MULYA SARI (082010101070)
13. YUDHISTIRA KUSWARDANA (082010101075)
14. MADE NGURAH ARYA P. (082010101079)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2009
Skenario 5
GAGAL JANTUNG
Pak wignyosastro, 58 tahun, TB 167 cm, BB 78 kg, pensiunan polisi dating memeriksakan diri
ke dokter karena keluhan mudah lelah dan nafas tersengal-sengal dalam 2 bulan terakhir bila
beraktivitas sehari – hari namun membaik bila dibawa istirahat. Pak Wignyosastro juga
mengeluhkan kadang dadanya berdebar-debar, sering terbangun malamoleh karena batuk dan
sesak. Pak Wignyosasto merasa nyaman bila tidur dengan menggunakan bantal tinggi. Hasil
pemeriksaan di dapatkan JVP meningkat, bengkak pada pergelangan kaki dan tekanan darahnya
160/110mmHg.
KEYWORD
1. P. wignyosastro, 58 tahun, TB=167 cm, BB=78 kg.
2. Keluhan mudah lelah dan nafas tersengal-sengal dalm 2 bulan terakhir bila beraktifitas
sehari-hari, namun membaik jika dibawa istirahat.
3. Kadang dadanya berdebar-debar sering terbangun malam, oleh karena batuk dan sesak.
4. Nyaman bila tidur dengan menggunakan bantal tinggi
5. Pemeriksaan fisik, JVP meningkat, bengkak pada kedua pergelangan kaki, dan tekanan
darahnya 160/110 mmhg
Daftar isi
1. Gagal jantung
Definisi
Etiologi
Factor resiko
Patafisiologi
Pemeriksaan
Prognosis
DD
Klasifikasi
o GJ Akut
o GJ Kronis
o GJ Dextra
o GJ Sinistra
o GJ Sistole
o GJ Diastole
2. Manifestasi klinis
Dyspneu de efford
PND
Ortopneu
Edema perifer
3. Komplikasi
Cardiorespiratory arrest
Aritmia atrial
o Fibrilasi Atrium
o Atrial Flutter
o Supra Ventrikel Takikardi
o Supra Ventrikel Ekstra Sistole
Aritmia ventrikel
o Sinus Takikardi
o Ventrikel Ekstra Sistole
Hipertensi pulmonal
Cor pulmonal
4. Terapi
Farmako
o Anti Aritmia
o Anti Aldosteron & Anti Koagulan
o Diuretik
o Β Blocker
o Vasodilator
o Digitalis
Non farmako
GAGAL JANTUNG
Definisi
Gagal jantung adalah keadaan saat jantung tidak mampu lagi memompa darah ke jaringan untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah balik masih normal.
Jantung bekerja bergantung pada factor-faktor, seperti kontraktilitas myokard, denyut jantung
(irama dan kecepatan/menit), beban awal (preload) dan beban akhir (afterload).
Beban awal adalah beban yang diterima vantrikel kiri saat akhir diastole, sedangkan beban akhir
adalah beban yang diterima saat ventrikel kiri berkontraksi untuk memompa darah ke aorta.
Etiologi
Patofisiologi
Empat determinan curahjantung (cardiac output) adalah preload, kontraktilitas, afterload
dan jumlah denyut jantung
Patofisiologi gagal jantung akut dengan kronik berbeda. Pada gagal jantung akut perubahan
hemodinamik dan aktivitas simpatis lebih menonjol, sedang pada kronik mekanisme
neuroendokrin lebih predominan.
Gagal jantung curah rendah (low-output heart failure) terjadi bila terjadi penurunan curah
jantung dengan sebab utama menurunnya kekuatan kontraksi miokard, sedang gagal jantung
curah tinggi (high-output herat failure) disebabkan karena vasodilatasi berlebihan atau adanya
shunting, misal pada anemia, hipertiroidi, fistula arteri-vena, beri-ber atau postpartum.
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung memperlihatkan denyut yang cepat dan
lemah. Denyut jantung yang cepat (takikardi) mencerminkan respon terhadap rangsangan saraf
simpatis. Sangat menurunnya volume sekuncup dan adanya vasokontriksi perifer mengurangi
tekanan nadi (perbedaan tekanan antara tekanan sistolik dan diastolik), menghasilkan denyut
yang lemah (thready pulse). Hipotensi sistolik ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat.
Selain itu, pada gagal ventrikel kiri yang berat dapat timbul pulsus alternans, yaitu berubahnya
kekuatan denyut arteri. Pulsus alternans menunjukkan disfungsi mekanis yang berat dengan
berulangnya variasi denyut ke denyut pada volume sekuncup.
Pada auskultasi dada lazim ditemukan ronki dan gallop ventrikel atau bunyi jantung
ketiga (S3). Terdengarnya S3 pada auskultasi merupakan ciri khas gagal ventrikel kiri. Gallop
ventrikel terjadi selama diastolik awal dan disebabkan oleh pengisian cepat pada ventrikel yang
tidak lentur atau terdistensi. Kuat angkat substernal (atau terangkatnya sternum sewaktu sistolik)
dapat disebabkan oleh pembesaran ventrikel kanan.
Pemeriksaan Penunjang
Radiogram dada menunjukkan hal-hal berikut :
1. Kongesti vena paru, berkembang menjadi edema interstisial atau alveolar pada gagal
jantung yang lebih berat
2. Redistribusi vaskular pada lobus atas paru
3. Kardiomegali
EKG seringkali memperlihatkan denyut prematur ventrikel yang asimtomatis dan
menjadi takikardi ventrikel nonsustained. Peristiwa bradikardi (asistol atau blok jantung)
biasanya berkaitan dengan memburuknya gagal jantung secara progresif. Makna disritmia ini
masih belum jelas, tetapi sering terjadi kematian mendadak pada penderita gagal jantung.
Terjadi perubahan-perubahan khas pada kimia darah. Misalnya, perubahan cairan dan
kadar elektrolit terlihat dari kadarnya dalam serum. Yang khas adalah adanya hiponatremia
pengenceran; kadar kalium dapat normal atau menurun akibat terapi diuretik. Hiperkalemia dapat
terjadi pada tahap lanjut dari gagal jantung karena gangguan ginjal. Demikian pula, kadar
nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin dapat meningkat akibat perubahan laju filtrasi
glomerulus. Urine menjadi lebih pekat, dengan berat jenis yang tinggi dan kadar natriumnya
berkurang. Kelainan fungsi hati dapat mengakibatkan pemanjangan masa protrombin yang
ringan. Dapat dijumpai peningkatan kadar bilirubin dan enzim hati (aspartat aminotransferase
[AST, dulu SGOT] dan fosfatase alkali serum [ALP]) terutama pada gagal jantung akut.
Kasus baru yang menunjukkan sesak napas atau kelelahan dengan retensi cairan harus
dievaluasi sejak awal dengan foto rontgen, EKG, dan laboratorium untuk anemia, kelainan
ginjal, hati serta kelainan elektrolit. Resep diuretik thizide atau diuretik loop dapat diberikan
yaitu furosemid atau bumetamide.
Keputusan untuk dikirim ke rumah sakit adalah bila didapatkan kumpulan gejala pada
usia muda, semua kasus dengan angina pektoris, gagal jantung berat dan yang tidak membaik
dengan diuretik. Biasanya infark miokard lama telah terdeteksi dengan riwayat penyakit dan
EKG, foto rontgen menunjukkan pembesaran jantung (cardiothoracic ratio > 0,5) dengan
gambaran kongesti atau oedema kardiografi yang cepat, dengan input dari spesialis jantung dan
rekomendasi manajemen bersamaan dengan laporan hasil pemeriksaan. Penderita dengan riwayat
infark miokard dengan gangguan fungsi ventrikel kiri sebaiknya mulai diberikan penghambat
ACE (Angiotensi Converting Enzym).
Prognosis
Gagal jantung akut memiliki prognosis yang jelek. Pasien gagal jantung dengan NYHA function
class IV memiliki angka mortalitas 40-50% per tahun. Kematian mendadak dengan kemungkinan
penyebab suatu aritmia ventrikel sering terjadi yaitu sebesar 20-50% pasien. Sedangkan angka
rehospitalisasi dengan frekuensi 1 kali atau lebih selama 12 bulan sebesar 45%.
Differential Diagnosis
Klasifikasi
a. Gagal jantung Akut
b. Gagal Jantung Kronis
c. Gagal Jantung Dextra
d. Gagal Jantung Sinistra
GAGAL JANTUNG AKUT
Gagal jantung akut klinis mungkin manifesi sebagai dyspnea yang mendadak sampai syok
kardiogenik. Pengelolaan gagal jantung akut berbeda-beda dan tergantung pada tampilan klinis :
1. Edema paru akut kardiogenik
2. Syok kardiogenik
3. Dekompensasi akut pada gagal jantung kiri khronik
Edema Paru Akut Kardiogenik ( EPAK )
Anamnesa dan pemeriksaan fisik singkat pada umumnya sudah cukup untuk memulai terapi.
Selanjutnya dipasang kateter intravena, diambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium
dan penderita diberikan terapi oksigen.
Nitrogliserin ( NTG ) SL (0,4 – 0,6 mg, dapat diulang tiap 5-10 menit jika perlu). NTG efektif
untuk penderita EPAK oleh sebab-sebab iskemik ataupun non-iskemik. Jika TD cukup ( tekanan
darah sistolik = TDS 95-100 mmHg ) NTG dapat diberikan IV ( dosis awal 0,3 – 0,5 ug/kg
BB/menit )
Sodium nitroprusside ( dosis awal 0,1 uk/kg BB/menit ) dapat diberikan pada penderita yang
tidak responsif terhadap nitrat, pada penderita EPAK disebabkan oleh regurgitasi mitral dan dan
regurgitasi aorta, atau hipertensi berat. Jika perlu dosis dapat ditingkatkan untuk memperoleh
perbaikan status hemodinamik. TDS 85-90 mmHg digunakan sebagai batas bawah untuk
menambah dosis pada penderita yang diketahui sebelumnya normotensif selama perfusi organ
vital adekuat.
Furosemide ( 20-80 mg IV ) harus segera diberikan begitu diagnosa edema paru ditegakkan.
Morfin sulfat ( 3-5 mg IV ) efektif untuk mengatasi simtom edema paru. Tetapi harus diberikan
dengan hati-hati pada penderita dengan insufisiensi paru dan penderita dengan asidosis
metabolik atau respiratorik dimana supresi dapat menyebabkan penurunan pH secara drastis.
Intubasi dan ventilasi mekanik pada penderita dengan hipoksia berat yang tak responsif
terhadap terapi dan penderita dengan asidosis respiratorik.
IABC mungkin bermanfaat pada penderita dengan EPAK refrakter. Cara ini terutama untuk
penderita yang dipersiapkan untuk dilakukan kateterisasi jantung dan / atau dilanjutkan pada
penderita dengan terapi denitif. IAPB tidak boleh dilakukan pada penderita dengan regurgitasi
aorta bermakna dan di seksi aorta
Sebagian besar penderita EPAK dapat diatasi dengan intervensi yang tepat disertai evaluasi
bedside harus memasang kateter pulmonal atau kateter arteri
Pemasangan kateter pulmonal harus dipertimbangkan bila :
1. Keadaan klinik penderita merosot
2. Perbaikan hemodinamik tidak seperti yang diharapkan
3. Diperlukan NTG atau nitroprusside dosis tinggi untuk stabilisasi hemodinamik
4. Dobutamin atau dopamin diperlukan untuk menaikkan tekanan darah dan perfusi perifer
5. Bila kita ragu dengan diagnosa EPAK
Pada evaluasi awal harus ditetapkan apakah ada sindroma koroner akut. Diagnosa
sindroma koroner akut pada umumnya dapat ditegakkan dengan penilaian klinis EKG. Bila
terdapat sindroma koroner akut perlu dipertimbangkan tindakan reperfusi miokardial urgen.
Kateterisasi jantung dan arteriografi koroner untuk kemudian dilanjutkan dengan tindakan
intervensi yang tepat (bila tersedia), atau diberikan terapi trombolitik.
Ekokardiografi 2-D-doppler didindikasikan pada semua penderita dengan EPAK. Prosedur
ini dilakukan segera sesudah hemodinamik stabil.
Terapi edema paru akut :
1. Oksigen
2. NTG SL atau IV
3. Diuretika ( furosemid ) IV
4. Morfin sulfat IV
5. ” Cardiovascular support drug ” ( Nitroprusside, dopamin, dobutamin IV )
6. Trombolitik atau revaskularisasi urgen ( angioplasti atau CABG ) bila ada indikasi
7. Intubasi dan ventilasi mekanik bila terdapat hiposia berat yang tak responsif terhadap
terapi, dan asidosis respiratorik
8. koreksi definitif terhadap kausa dasar ( MVR arau repair untuk MR berat ) bila ada indikasi
dan klinis feasable
Bila keadaan stabil harus diupayakan identifikasi kausa gagal jantung yang dapat dikoreksi.
Tanpa dapat mendeteksi dan koreksi kausa dasar, prognosa jangka panjang adalah buruk.
Syok Kardiogenik ( SK )
Bila SK tidak disebabkan oleh kausa yang dapat dikoreksi, atau bila kausa tidak dikoreksi
dengan efisien dan efektif , angka mortalitas ( Mortality Rate ) > 85%. karena itu upaya
diagnostik dan terapetik harus semaksimal mungkin untuk identifikasi kausa dan intervensi
definitif. Penderita dengan hipoperfusi tetapi tekanan masih adekuat dianggap dalam keadaan
presyok dan diperlukan seperti syok.
Prinsip pengelolaan :
Identifikasi
Eksklusi dan / atau terapi kausa reversibel
Stabilisasi klinis dan hemodinamik
Rekam EKG, monitor EKG, pasang kateter intravena dan kateter arteri untuk monitor
tekanan darah. Pasang kateter pulmonal. Apakah ada aritmia yang berperan dalam merosotnya
status hemodinamik, bila perlu kardioversi. Apakah tidak ada penurunan pengisian ventrikel
yang menyebabkan hipotensi ? bila tidak ada tanda-tanda overload volume ( S3 gallop, rales
paru, foto toraksa yang menunjukkan adanya kongesti paru ) berikan cairan NaCI fisiologik
dengan cepat ( > 500 ml bolus, diteruskan dengan 500ml / jam ). Tekanan vena jugularis bukan
indikator dari tekanan pengisisan ventrikel kiri yang bisa diandalkan.
Pada infark miokard akut ( IMA ) inferior dengan syok, harus dicurigai adanya infark
ventrikel kanan, yang menyebabkan gagal jantung kanan dan menurunkan pengisian jantung kiri.
Diagnosa infark ventrikel kanan sering dapat ditegakkan hanya atas dasar temuan klinis seperti
peningkatan tekanan vena jugularis saat inspirasi.
Pemberian cairan adalah komponen utama terapi infark ventrikel kanan untuk
mempertahankan tekanan pengisian ventrikel kanan untuk mempertahankan curah jantung.
Pemberian caiaran dapat dipandu oleh variabel klinik ( tekanan darah, perfusi perifer, suara
gallop ventrikel ), tetapi monitoring hemodinamik dengan kateter arteri pulmonal tetap, masih
diperlukan untuk optimalisasi banyaknya cair yang diberikan. Bila volume cair tidak
memberikan perbaikan klinis dan hemodinamik, maka untuk stabilisasi penderita mungkin
diperlukan terapi tambahan lain ( dobutamin, IABC, atau tindakan intervensional ). Pemakaian
diuretika dan vasodilator pada penderita dengan infark ventrikel kanan dapat menimbulkan
hipotensi.
Bila ada hipotensi ( TDS < 70 mmHg ) atau syok klinis, terjadi pada keadaan overload
volume atau pasca bolus NaCI harus diberikan dopamin dosis sedang ( 4-5 uk/kg bb/menit ), jika
perlu, dosis dapat ditingkatkan. Bila hipotensi atau syok klinis tidak teratasi dengan dosis
dopamin (15 ug/kg bb/menit) dipertimbangkan pemasangan IABC.
Penderita dengan overload volume ( atau pasca volume loading yang adekuat ) dan klinis
Pre syok pada umumnya memberikan respon yang baik dengan dobutamin ( 2-4 ug/kg bb/menit)
atau dengan dobutamin dosis rendah sampai sedang ( 2-5 ug/kg bb/menit ).
Selama terapi harus diperhatikan :
1. Status volume intravaskuler dari penderita
2. Status fungsi ventrikel
3. Adanya cedera / infark miokard
4. Apakah terdapat kausa reversibel atau dapat dikreksi ?
1. Status Intravaskuler – cara yang terbaik adalah dengan memasang kateter pulmonal untuk
menilai parameter hemodinamik. Bila ada disfungsi ventrikel kiri maka kriteria biasanya
dipergunakan untuk menilai volume intravaskuler tidak dapat dipergunakan. Tekanan
pengisian ventrikel kiri yang optimal, untuk penderita dengan syok atau Pre syok akibat IMA
berkisar antara 14-18 mmHg .
2. Status fungsi ventrikel – ekokardiografi-2D-doppler sangat bermanfaat dalam menilai status
fungsi ventrikel dan memandu evaluasi / tindakan selanjutnya.
3. Infark miokard ? – pada IMA dengan syok atau Pre syok dipertimbangkan kateterisasi
jantung dan arteriografi koroner selektif. Reperfusi daerah oklusi pada penderita syok yang
tidak responsif dengan pemberian cairan dapat menurunkan angka mortalitas dari < 85%
menjadi < 65 %. Bila tidak tersedia fasilitas intervensi dapat dipertimbangkan terapi
trombolitik. Efek trombolitik terhadap mortalitas belum jelas.
4. Apakah terdapat kausa yang dapat dikoreksi ? - evaluasi klinis dan ekokardiografi-2D-
doppler adalah cara awal untuk identifikasi kausa. Kemudian dapat dilakukan ekokardiografi
esofagial dan kateterisasi jantung utuk memperoleh diagnosa yang lebih tepat.
Pengelolaann Syok / Pre syok Kardiogenik
1. Oksigen
2. Bila tidak jelas ada overload volume, berikan cair intravena secara tepat
3. bila ada overload volume atau pasca terapi cairan intravena, berikan cardiovascular
support drug ( dobutamin, dopamin ) untuk memperoleh status klinik hemodinamik yang
stabil
4. Bila ada cedera / infark miokard, bila mungkin, revaskularisasi arteri koroner
5. Trombolitik bila kateterisasi jantung / arteriografi koroner / revakularisasi tidak dapat
dilakukan.
Dekompensasi Akut pada Gagal Jantung Kongestif Kronik
Prinsip pengelolaan :
Stabilisasi klinis dan hemodinamik
Identifikasi faktor pencetus reversibel
Optimalisasi terapi jangka panjang
Manifestasi klinik biasanya sekunder oleh karena (a) overload volume, (b) tekanan
pengisian ventrikel yang meningkat dan (c) menurunnya curah jantung.
Keluhan gejala ringan-sedang – biasanya dapat diatasi dengan dan optimalisasi obat-obat
yang telah dipergunakan penderita sebagai terapi gagal jantung kongestip khronik. Biasanya
tidak memerlukan rawat-tinggal kecuali bila terdapat faktor pencetus ( mis. Infark miokard ) atau
keadaan yang lain yang mungkin menyertai ( hipoklemia berat, asidosis, aritmia simtomatik ).
Keluhan sedang-berat – biasanya memerlukan rawat tinggal. Penderkatan diagnostik
terapetik sama dengan penderita dengan gagal jantung akut.
Indikasi Intraaortic Ballon Counterpulsation ( IABC ) pada Gagal Jantung
1. Syok kardiogenik, edema paru dan gagal jantung akut lain yang tidak responsif terhadap
pemberian volume cairan atau terapi farmakologik, pada penderita dengan kausa yang
potensial reversibel.
2. Gagal jantung akut disertai iskemia refrakter, yang disiapkan untuk kateterisasi jantung atau
arteriografi koroner dan intervensi definitip
3. Gagal jantung akut disertai MR bermakna atau ruptur septum ventrikel ; untuk memperoleh
stabilisasi hemodinamik sebelum dilakukan terapi definip
Indikasi Pemasangan Kateter Arteri Pulmonal
1. Syok atau Pre syok kardiogenik yang tidak responsif terhadap terapi volume cairan
2. Edema paru akut yang tidak respon terhadap intervensi yang sudah benar atau disertai syok
atau Pre syok atau hipotensi
3. Sebagai sarana diagnostik untuk memecahkan ketidak pastian apakah edema paru
kardiogenik atau non kardiogenik
4. Menilai status volume intravaskuler, tekanan pengisian ventrikel dan fungsi jantung pada
penderita dengan gagal jantung kongestif kronik yang mengalami dekompensssi akut
GAGAL JANTUNG KRONIK
Evaluasi
Disfungsi Sistolik
Semua penderita dengan gagal jantung harus dilakukan evaluasi diagnostik sebatas
keperluan untuk :
1) Menetapkan jenis disfungsi jantung
2) Identifikasi kausa yang dapat dikoreksi
3) Menetapkan prognosa
4) Memandu terapi
Eko-2D-doppler sangat berguna untuk evaluasi awal untuk menilai masa ventrikerl kiri,
ruang ventrikel / atria, fungsi sistolik atau diastolik dan mencari kausa.
Kausa yang paling sering disfungsi ventrikel kiri : penyakit arteri koroner, hipertensi , dan
dilated kardiomiopati ( di Amerika Serikat )
Kombinasi iskemia dan disfungsi ventrikel kiri ( dengan atau gagal jantung klinik yang
nyata secara klinik ) mempunyai prognosis yang jelek, revaskularisasi pada golongan ini adalah
terapi pilihan. Karena itu pada penderita golongan ini sangat dianjurkan untuk dilakukan
arteriografi koroner untuk menilai kemungkinan dilakukan revaskularisasi koroner.
Bila tak ada angina atau infark miokard sebelumnya, kemungkinan penyakit koroner
sebagai kausa gagal jantung pada penderita berbeda. Sesudah evaluasi klinis, kita dapat memilih
tindakan selanjutnya :
1. Tidak lagi melakukan tes untuk penyakit arteri koroner
2. Melakukan tes noninvasif untuk mendeteksi iskemia miokard
3. melakukan arteriografi koroner, bila terdapat banyak faktor risiko dan terdapat
abnormalitas regional pada ekokardiografi
Penderita dengan gagal jantung yang sebabnya tak dapat dikaitkan dengan hipertensi atau
penyakit arteri koroner, harus dilakukan evaluasi yang cermat untuk mencari etiologi lain.
Diagnosa idiopathic dilated cardiomyopathy hanya diberikan sesudah diagnosa untuk eksklusi
penyakit lain sudah lengkap. Sejauh mana kita berusaha melakukan pemeriksaan ditentukan oleh
indeks kecurigaan yang kita peroleh dari pemeriksaan klinis atau laboratorium.
Disfungsi Diastolik
Sebagaian besar penderita gagal jantung terdapat penurunan fungsi sistolik ventrikel dan
juga penurunan fungsi diastolik. Tetapi sebagaian lagi menunjukkan fungsi sistolik yang normal
atau hampir normal dan penurunan fungsi diastolik yang predominan. Pengelolaan penderita
dengan yang primer disfungsi sistolik berbeda dengan dengan penderita dengan primer disfungsi
diastolik, dan karena itu sangat penting untuk membedakan kedua keadaan tersebut.
Disfungsi diastolik menyebabkan gangguan pengisian ventrikel dengan mengurangi
relaksasi ( awal diastol ) atau compliance ventrikel ( awal dan akhir diastol ) atau kedua-duanya.
Konsekuensi hemodinamik adalah kenaikan tekanan pengisian ventrikel, atrium kiri, vena dan
kapiler pulmonal, yang bila tidak dikoreksi, akan meningkatkan tekanan arteri pulmonal dan
ventrikel kanan. Tekanan pengisian yang meninggi pada umumnya mampu mempertahankan
curah jantung yang normal saat istirahat, tetapi akan mengalami kesulitan pada keadaan yang
menuntut kenaikan curah jantung (peningkatan aktifitas fisik).
Proses patologik yang sering mendasari disfungsi diastolik ventrikel adalah iskemia
miokard, hipertrofi dan fibrosis, dimana etiologi utama adalah penyakit koroner, hipertensi,
diabetes mellitus, stenosis aorta, kardiomiopati, hipertrofik, kardiomiopati infiltratif dan
endokardial fibroelastosis penurunan compliance ventrikel juga bagian dari proses ketuaan.
Manifestasi klinik beragam, tanpa keluhan, edema paru, atau tanda-tanda gagal jantung
kanan dan penurunan toleransi pada latihan. Disfungsi diastolik akut dengan edema paru akut
sebagai menifestasi iskemia miokard akut atau hipertensi tidak jarang dijumpai.
Disfungsi diastolik harus dicurigai pada penderita dengan keluhan dan gejala gagal jantung
tetapi fungsi sistolik ventrikel normal atau hampir normal ekokardiografi doppler atau imaging
radionuklid dapat mengevaluasi fungsi sistolik dan mendeteksi disfungsi diastolik ( dengan
mengukur indeks pengisian diastolik ). Kateterisasi jantung dapat dipergunakan sebagai
pemeriksaan alternatif bila metoda non invasif tidak diagnostik.
Aktifitas Neurohormonal
Bermacam sistim neurohormonal endogen diaktivasi pada penderita dengan gagal jantung
khronik dan aktivasi ini berperan dalam patofisiologi gagal jantung. Yang terpenting adalah
aktivasi sistim renin-angiotensin-aldosteron ( RAA ). Aktivasi sistim simpatik terjadi awal,
peningkatan aktivitas simpatik juga terjadi pada penderita yang disfungsi ventrikel yang
asimtomatik. Aktivasi sistim RAA terjadi pada stadium yang lebih lanjut, aktivitas sistim RAA
menjadi amat meningkat pada penderita dengan gejala gagal jantung yang lanjut. Faktor
hormonal vasokonstriktor lain juga berperan ( endotelin dan vasopresin ). Disamping itu sistim
hormonal dengan aktifitas vasodilator juga mengalami perubahan.
Aktivasi neurohormonal berperan berperan penting dalam progresif gagal jantung. Sistim
hormonal menimbulkan efek hemodinamik yang dapat merubah fungsi jantung; aktivasi yang
berkepanjangan menimbulkan efek merusak sel otot jantung. Karena itu intervensi terapetik yang
dilakukan bertujuan menghambat efek sistim vasokonstriktor dan meningkatkan sistim
vasodilator endogen. Pemakaian klinik berbagai intervensi (mis. ACEI, beta adredergik blocker
pada penderita gagal jantung tertentu) sudah diakui, sedangkan efetifitas dari upaya intervensi
lain (antagonis vasopresin dan antagonis endotelin).
Kapasitas Fungsional
Kapasitas fungsional penderita gagal jantung perlu dievaluasi; karena kapasitas fungsional
mempunyai dampak langsung pada kualitas hidup penderita. Perbaikan kapasitas fungsional
merupakan tujuan utama terapi gagal jantung. Kapasitas fungsional juga prediktor mortalitas
penderita gagal jantung.
Penilaian kapasitas fungsional mencangkup beberapa dimensi : kapasitas fisik, status
emosional, fungsi sosial, kemampuan kognitif. Yang terpenting adalah penilaian kapasitas fisik.
Faktor emosional, sosial dan kognitif mungkin sangat berpengaruh terhadap kemampuan
penderita untuk taat terhadap aturan-aturan dalam terapi dan mungkin dipengaruhi oleh
penyakitnya sendiri atau berkaitan dengan terapi yang diberikan.
Standar yang dipergunakan untuk menilai kapasitas fisik adalah uji latih, terutama
pengukuran waktu dan jarak latih, beban latih dan konsumsi oksigen maksimal. Ukuran ini dapat
dinilai dengan mempergunakan uji latih treadmill.
Cara alternatif menilai kapasitas fungsional adalah dengan menanyakan toleransi penderita
terhadap aktifitas sehari-hari. Karena penderita umumnya sudah membatasi sendiri aktivitas
sehari-harinya, maka sebaiknya ditanyakan secara spesifik aktivitas apa yang kita maksudkan
( mis. Sejauh 100 meter pada jalan datar atau menaiki tangga dirumah ).
TERAPI
Disfungsi Sistolik
Terapi gagal jantung khronik sudah sangat berubah sejak 10-15 tahun terakhir. Gagal
jantung bukan dipandang hanya semata keadaan edema yang responsif terhadap pemberian
diuretika. Banyak penderita gagal jantung tidak lagi menunjukkan edema, tetapi kemampuannya
menurun. Banyak uji klinik memberikan sumbangan data dalam perbaikan penanganan gagal
jantung akibat disfungsi sistolik.
NNYHA fungional klas 1 adalah penderita dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri tanpa
gejala atau keluhan gagal jantung nyata. Karena itu seringkali tidak diberikan terapi
farmakologik. ACEI dapat diberikan pada golongan ini untuk prevensi gagal jantung dan
mungkin menurunkan mortalitas pasca IMA.
Penelitian menunjukkan bahwa angitensin convertin enzyme inhibitor ( ACEI ) sebaiknya
diberikan pada semua gagal jantung NYHA klas I dengan disfungsi sistolik yang bermakna
( fraksi ejeksi < 35-40% ).
NYHA klas II-IV. Studi SOLVD; V-HeFT dan CONSENSUS menunjang pemakaian
ACEI pada semua penderita dengan gagal jantung simtomatik, kecuali ada kontraindikasi atau
tidak toleran terhadap ACEI. Bila mungkin dosis ditingkatkan bertahap mencapai dosis yang
dapat menurunkan mortalitas sesuai dengan dosis pada studi-studi tsb ( mis. Enalapril 20 mg atau
catopril 150 mg sehari ).
Lisinopril ( 5-20 mg sehari ) dan quinapril ( 5 mg bid ) juga menunjukkan hasil yang
serupa. Studi AIRE menunjukkan bahwa ramipril ( 5 mg bid ) menurunkan mortalitas bila
diberikan pada hari 3-10 pasca IMA dengan gagal jantung. Sekali ACEI diberikan harus
diteruskan mungkin untuk selama hidup.
ISDN dan hydralazin juga mempunyai peran dalam terapi gagal jantung ( V-HeFT I dan
II ). ACEI merupakan tonggak pengobatan gagal jantung, akan tetapi ISDN dan hydralazin dapat
dipertimbangkan bila penderita tidak toleran terhadap ACEI, ISDN ( 5-10 mg 3x sehari ) dan
hydralazin ( 10mg 3x sehari ) diberikan sebagai dosis awal, yang dapat dinaikkan untuk
hydralazin 75 mg 4x sehari dan ISDN 40 mg 3x sehari. Untuk ISDN harus ada masa ” bebas-
nitrat ” selama 10 jam pada malam hari untuk menghindarkan toleransi terhadap nitrat.
Penderita dengan gagal jantung simtomatik cenderung meretensi Na, biasanya diuretika
perlu diberikan. Bilamana diuretika diberikan sangat individuil. Lebih dipilih diuretika loop
( furosemid Tu bumetadine ). Thiazid kurang bermanfaat bila GF < 30-40 ml / menit dan
mungkin akan menambah turunnya GFR < 30-40 ml / menit dan mungkin akan menambah
turunnya GFR. Berat badan harus dimonitor. Kenaikan BB 1-2 kg merupakan indikasi
menambah dosis diuretika.
Bila terjadi resistensi terhadap diuretika, dapat dipergunakan kombinasi diuretik yang
bekerja pada segmen nefron yang berbeda ( mis. Thiazide plus diuretik loop). Penggunaan
diuretik kombinasi mungkin akan menimbulkan kekurangan cair dan gangguan elektrolit.
Penderita yang dengan resistensi Na dan gagal jantung refrakter perlu MRS dan diberikan
dobutamin IV ( 2-5 ug/kg bb/menit ), dopamin IV (1-3 ug/kg bb/menit) atau infus furosemide
( 1-5 mg/jam ). Retriksi cair mencapai 1000-2000 ml / hari dapat dicoba pada penderita dengan
hiponatremia dilutional.
Hipoklemia dan alkalosis ( ”contraction alkalosis” ) sering menyertai pemberian diuretika
yang terlalu bersemangat. Hipokalemia akan meningkatkan aritmia ventrikel. Pada umumnya
diperlukan KCI 20-60 mEq / hari untuk mempertahankan K plasma 4, 5 – 5, 0 mEq / 1.
Glikosida digitalis telah dipergunakan > 200 tahun untuk mengobati gagal jantung, tetapi
sampai sekarang masih terdapat kontroversi dalam pemakaian untuk gagal jantung dengan irama
sinus. peran digoxin pada penderita dengan fibrilasi atrium sudah jelas. Penelitian menunjukkan
bahwa digoksin efektif pada penderita dengan disfungsi ventrikel kiri simtomatik dengan irama
sinus. Efek utama mungkin melalui penurunan aktivitas simpatik. Digoksin belum terbukti
efektif pada penderita dengan disfungsi ventrikel yang asimtomatik. Ketidakpastian tentang
pemakaian digoksin disebabkan kurangnya data mengenai efeknya terhadap mortalitas. Untuk
mengatasi keadaan ini sedang dilakukan studi klinik skala besar, placebo controlled ( DIG –
digitalis investigator group ), untuk menilai pengaruh digoksin pada ” survival ” pada gagal
jantung yang hasilnya seharusnya dilaporkan tahun 1996. Sebelum hasil DIG diumumkan, masih
akan ada kontroversi mengenai peran digoksin pada penderita gagal jantung dengan irama sinus.
Manfaat pemakaian Antagonis Calcium pada penderita angina dan hipertensi dengan
disfungsi ventrikel kiri masih belum diakui. Beberapa penelitian menunjukkan antagonis calsium
memperburuk keadaan gagal jantung. Antagonis calcium belum dianggap obat yang aman pada
gagal jantung. PRAISE ( propective randomized amlodipine survival evaluation ) menunjukkan
bahwa pemakaian amlodipine pada gagal jantung tidak menimbulkan efek merugikan terhadap
mortalitas dan morbiditas.
Beta-adrenergik blocker mungkin bermanfaat pada golongan tertentu gagal jantung.
Swedia yang pertama kali menunjukkan manfaat metropolol pada penderita dengan dilated
myopathy.
Akhir-akhir ini dilaporkan pemakaian beta blocker dengan sifat khusus ( kombinasi beta
blocker dengan aktivitas vasodilatasi ) , carvedilol, memperbaiki ventrikel kiri.
Pada masa sekarang pemakaian beta blocker pada gagal jantung masih dalam taraf
investigasi, akan tetapi mungkin akan berubah bila sudah lebih banyak data-data yang
menunjang.
Antikoagulasi dengan warfarin sering dipergunakan untuk penderita gagal jantung untuk
mencegah emboli sistemik. Emboli dihubungkan dengan fraksi ejeksi yang rendah dan akhir-
akhir ini banyak dilakukan antikoagulasi pada penderita dengan EF < 20% - 25%.
Untuk mengendalikan respon ventrikel pada fibrilasi atrium dipergunakan digoksin,
diltiazem atau beta blocker. Fibrilasi atrium dimana respon ventrikel tak terkendali dapat
memicu gagal jantung.
Aritmia ventrikel hampir selalu menyertai gagal jantung. Aritmia ventrikuler asimtomatik
tidak perlu diterapi, karena tidak ada data yang menunjang kebijakan tersebut. terapi antiaritmia
dapat memperburuk aritmia ventrikuler dan menimbulkan efek inotropik negatif pada penderita
gagal jantung.
Bila antiaritmia dipergunakan pada penderita gagal jantung sebaiknya diberikan di RS.
Pemakaian antiaritmia ventrikuler klas 1 pada gagal jantung harus dihindari. Bila aritmia
ventrikuler pada gagal jantung perlu diterapi, amiodarone mungkin meningkatkan ”Survival”.
Tetapi penelitian lain tidak menunjang kesimpulan diatas. pemakaian amiodaron pada gagal
jantung dengan aritmia ventrikuler masih memerlukan data lebih banyak.
Gagal jantung khronik yang refrakter terhadap terapi sebaiknya dimasukkan RS. Tirah
baring, diuretik oral diganti IV. Dapat dicoba pemakaian dobutamine atau fosfodiesteras
inhibitor, yang dapat meningkatkan curah jantung dan aliran darah ginjal, mungkin efektif untuk
mengurangi keluhan dan mengurangi retensi Na dan air yang refrakter. Dobutamin dosis rendah (
2-5 ug/kg bb/menit ) sering sudah cukup sedang dosis lebih besar akan menimbulkan takikardia,
aritmia ventrikuler, hipokalemia dan iskemia miokard.
Milrinone IV (dosis muatan 50 ug/kg, dilanjutkan dengan 0,375-0,75 ug/kg/menit) dapat
dicoba sebagai alternatif. Pemakaian jangka panjang dilaporkan meningkatkan mortalitas.
Terapi Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri
1. Semua penderita dengan gagal jantung simtomatik dan NYHA fungsional klas1 yang disertai
penurunan fungsi ventrikel kiri harus diberikan ACEI, kecuali ada kontraindikasi atau tidak
toleran.
2. ACEI harus diberikan selamanya
3. Dosis ACEI yang dianjurkan adalah dosis yang lebih besar yang dipergunakan dalam uji
klinik yang memberikan perbaikan ” Survival ”
4. Penderita dengan gagal jantung harus diberikan diuretik meskipun tidak ada edema. Diuretik
dieprgunkan bersama dengan ACEI. Dosis dan jenis diuretik disesuaikan dengan status
cairan tubuh tetapi umumnya diberikan selamanya.
5. Retriksi Na adalah strategi yang penting dalam pengobatan gagal jantung
6. Antogonis calcium tidak terbukti bermanfaat pada penderita dengan gagal jantung sistolik
dan mungkin merugikan. Kecuali amlodipin yang masih dalam evaluasi
7. Digoksin adalah fefktif pada penderita dengan gagal jantung sedang dan berat, tetapi tidak
jelas pengaruhnya pada mortalitas
8. Aritmia asimtomatik pada gagal jantung tidak perlu diterapi
9. Meskipun beta blocker menunjukkan manfaat pada gagal jantung, tetapi pemakaiannya
masih bersiafat investigsional
10. Antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium atau penderita dengan riwayat
emboli dan pada penderita dengan FE yang amat rendah atau trombus intrakardiak. Tidak
cukup data untuk menyarankan pemakaian rutin pada gagal jantung
11. Dobutamin dosis rendah atau milrinon IV mungkin bermanfaat pada penderita gagal jantung
refrakter tertentu. Pemakaian jangka panjang masih memerlukan data mengenai efek
terhadap survival
12. Latihan fisik bersifat dinamik dianjurkan selama penderita mampu
Disfungsi Diastolik
Terdapat persamaan dan perbedaan terapi penderita dengan disfungsi diastolik dan
disfugnsi sistolik. Tujuan terapi pada disfungsi diastolik adalah mengurangi keluhan dan
menurunkan tekanan pengisian ventrikel yang meninggi tanpa mengakibatkan penurunan curah
jantung yang bermakna. Tujuan ini dapat dicapai dengan pemakaian diuretik dan nitrat dengan
bijak. Karena curah jantung yang adekuat tergantung pada tekanan pengisian yang meninggi,
maka tindakan pemberian nitrat dan / atau diuretik tersebut cenderung menimbulkan hipotensi,
jadi dosis awal nitrat dan diuretika harus kecil, dan efek merugikan dimonitor dengan cermat.
Antagonis calcium dan beta blocker diperkirakan secara langsung memperbaiki disfungsi
diastolik dengan memperkuat relaksasi ventrikel atau memperbaiki compliance, tetapi data yang
menunjang pendapat ini masih terlalu sedikit. Beta blocker mungkin memperbaiki pengisian
diastolik karena menurunkan kecepatan denyut jantung, juga disini tidak ada data yang cukup.
Karena pada disfungsi diastolik biasanya fungsi sistolik normal, obat dengan inotropik
positif tidak banyak manfaatnya. Bila disfungsi diastolik berlanjut, dikemudian hari akan terjadi
disfungsi sistolik
Terapi Disfungsi Diastolik Ventrikel Kiri
Tujuan terapi farmakologik pada penderita dengan disfungsi diastolik adalah
mengendalikan gejala / keluhan dengan menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa
menurunkan curah jantung.
1. Diuretik & Nitrat adalah obat pilihan untuk penderita yang simtomatik
2. Antagonis calcium, beta blocker dan ACEI mungkin bermanfaat
3. Obat dengan kerja intropik positif yang diindikasikan bila fungsi sistolik normal
Tindakan / nasihat umum yang diberlakukan pada semua penderita gagal jantung : koreksi
dari semua faktor yang memperberat atau mencetuskan gagal jantung ( mis. Anemia, infeksi,
hipertensi, obesitas ). Alkohol dapat menimbulkan kardiomiopati, dan konsumsi berlebihan dapat
menimbulkanhipertensi. Penyuluhan pada penderita dan keluarganya sangat penting. Kegagalan
penderita mematuhi intruksi dokter yang merawat adalah penyebab utama kegagalan terapi.
Dokter yang merawat harus yakin bahwa penderita dan keluarga mempunyai pengertian tentang
sebab-sebab gagal jantung, prognosa, terapi, retriksi diit, aktivitas, pentingnya kepatuhan dan
gejala-gejala gagal jantung.
Patofisiologi
Sisa darah saat akhir systole > normal fase diastole: sisa darah bertambah tekanan akhir
diastolic menjadi lebih tinggi bendungan di atrium kiri peninggian tekanan darah di vena
pulmonalis ventrikel kanan memompa darah seperti biasanya tekanan hidrostatik paru
meningkat tinggi transudasi cairan dari kapiler paru.
Tekanan A. pulmonalis & bronchialis meningkat transudasi jaringan interstisial bronkus
edema
ganggu aliran udara ekspirasi panjang dan berbunyi (wheezing) asma kardial (permulaan
gagal jantung)
Cairan transudasi banyak akan dialirkan ke saluran limfatik untuk selanjutnya masuk ke sirkulasi
darah saluran limfatik tidak cukup menampung cairan tertahan di jaringan interstisial
paru masuk alveoli (edema interstisial) pergerakan alveoli terganggu pertukaran udara
terganggu sesak nafas, nadi cepat.
Transudasi masuk ke rongga alveoli edema paru dengan gejala sesak nafas yang hebat,
takikardi, hipotensi tidak teratasi syok kardiogenik asidosis otot-otot jantung
daya pompa menurun.
GAGAL JANTUNG SISTOLE
Artinya ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun,
kemampuan aktif fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
GAGAL JANTUNG DIASTOLE
- artinya gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventr
- diagnosanya disebut dengan pemeriksaan dopler.
Mitral dan Aliran Darah Pulmonalis
- 3 macam gangguan fungsi diastole
- gangguan relaksasi
- pseudo – normal
- tipe restriktif
- penatasulaannya
- untuk kongesti sistemik / pulmonal akibat dari gangguan diastolic tersebut
- dapat diperbaiki dengan restriksi gram dan pemberian diuretic
- mengurangi denyut jantung agar waktu untuk diastolic bertambah
- dapat dilakukan dengan pemberian penyekat beta / penyekat kalsium non dihidropiridin
Manifestasi klinis
DISPNEU DE EFFORD
Merupakan perasaan susah bernafas. Biasanya merupakan manifestasi klinis
Gagal Jantung kiri. Karena tekanan di atrium kiri meningkat, tekanan vena
pulmonalis meningkat sehingga cairan akan merembes ke jaringan interstitial paru,
dan akan memasuki alveolus sehingga terjadi gangguan perfusi dan terjadi sesak
nafas.
Pada saat aktivitas, kebutuhan Oksigen meningkat, sedangkan perfusi terganggu.
Hal inilah yang menyebabkan sesak saat beraktivitas.
Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mula-
mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung dan terutama pada malam hari; dapat
terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan. Nokturia
disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga
berkurangnya vasokonstriksi ginjal pada waktu istirahat.
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka (edema
tubuh generalisata). Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena
sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi
paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada
gagal jantung kanan yang nyata. Semua manifestasi secara khas diawali dengan
bertambahnya berat badan, yang jelas mencerminkan adanya retensi natrium dan air.
(Price, 2006 : 638)
Pada Gagal Jantung, jantung gagal memompa darah secara normal dari vena ke
dalam arteri peningkatan tekanan vena dan tekanan kapiler filtrasi kapiler makin
bertambah. Di samping itu, tekanan arteri turun penurunan ekskresi garam dan air
oleh ginjal peningkatan volume darah peningkatan tekanan hidrostastik kapiler
edema makin bertambah.
Penurunan aliran darah ke ginjal merangsang sekresi renin peningkatan
pembentukan angiotensin II dan peningkatan sekresi aldosteron menambah beratnya
retensi garam dan air oleh ginjal. (Guyton, 1997 : 390).
Gagal jantung akut tidak menyebabkan pembentukan edema perifer dengan segera.
Sewaktu jantung yang sebelumnya normal mengalami kegagalan pemompaan akut,
tekanan aorta menurun dan tekanan atrium kanan meningkat. Ketika curah jantung
mendekati nol, kedua tekanan saling mendekat pada nilai keseimbangan sekitar 13
mmHg. Tekanan kapiler juga harus turun dari nilai normal 17 mmHg menjadi 13 mmHg.
Jadi, gagal jantung akut yang berat menyebabkan penurunan tekanan kapiler perifer.
Edema perifer mulai timbul setelah sehari atau lebih sejak terjadi gagal ginjal total atau
gagal ginjal kanan akibat retensi cairan oleh ginjal. Retensi cairan meningkatkan
tekanan pengisian sistemik rata-rata peningkatan kecenderungan aliran darah untuk
kembali ke jantung peningkatan tekanan atrium kanan hingga ke nilai lebih tinggi dan
mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal tekanan kapiler meningkat
menyebabkan hilangnya cairan ke dalam jaringan dan pembentukan edema hebat.
(Guyton, 1997 : 340)
Orthopneu (dispneu saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran
darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral. Reabsorpsi
cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular
paru yang lebih lanjut.
Paroxysmal Nocturnal Dyspneu (PND, dispneu nokturnal paroksismal) atau
mendadak terbangun karena dispneu, dipicu oleh timbulnya edema paru interstisial.
Hal ini merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri
dibandingkan dispneu atau ortopneu.
Cardiac Arrest (CA) = Cardiopulmonary Arrest = Circulatory Arrest
Definisi
Serkulasi darah berhenti karena tidak bisa mengirim oksigen ke seluruh tubuh, bisa
menyebabkan hilangnya kesadaran – henti nafas – kematian mendadak. CA termasuk medical
emergency/sinonimnya kematian klinis.
Etiologi
70% disebabkan infark myokard akut dan emboli paru. Penyebab lainnya:
- Non cardiac
Infeksi, overdosis, trauma & kanker.
- Cardiac
Aritmia & cardiomyopathy
Terapi
Diet dan olah raga.
Penatalaksanaan
CPR, pemberian adrenalin, dll.
ARITMIA ATRIAL (Kelainan Irama Jantung yang berasal dari Atrium)
Definisi dari aritmia yaitu,
Irama yang berasal bukan dari nodus SA
Irama yang tidak teratur
Frekuensi kurang dari 60x/menit (sinus bradikardi) atau lebih dari 100x/menit (sinus
takikardi)
Terdapatnya hambatan impuls supra atau intra ventrikuler
Aritmia Atrial:
1. Ekstrasistol atrial/SVES (Supraventrikuler extrasystole)/premature atrial beat
Terjadi karena impuls yang berasal dari atrium timbul secara prematur.
Gambaran EKG: adanya gelombang P yang timbul prematur (P’) diikuti komplek
QRS yang normal. Interval PP’ lebih pendek daripada interval PP pada irama sinus.
Tidak butuh pengobatan.
2. Takikardi atrial paroksismal = takikardi supraventrikuler paroksismal
Letak kelainan di nodus AV/atrium, sering terjadi pada perempuan.
Dipicu oleh ekstrasistol atrial.
PATOGENESIS: dalam AV node terdapat 2 jalur konduksi, fast dan slow
pathway. Pada irama sinus, konduksi melalui fast pathway. Namun, pada
takikardi atrial paroksismal, melewati slow pathway akibat adanya ekstrasistol
atrial yang memblok fast pathway akibatnya kecepatan konduksi menurun, terjadi
reentry AV node lalu terjadi takikardi.
Gambaran EKG: Gel. P sulit dikenali/tidak jelas, kompleks QRS sempit, irama
teratur, frekuensi 120-250x/menit.
Gambaran klinis: palpitasi, disertai keringat dingin, pasien merasa lemah, kadang
sesak napas dan hipotensi.
Terapi: tindakan pijat sinus caroticus, adenosis IV, verapamil/β-blocker.
3. Fibrilasi atrial
Terjadi eksitasi dan recovery yang sangat tidak teratur dari atrium. Oleh karena
itu, impuls listrik yang timbul dari atrium juga sangat cepat dan tidak teratur.
Tampak adanya fibrillation wave, yaitu gambaran gelombang yang tidak teratur
dan sangat cepat dengan frekuensi 300-500x/menit.
Gambaran EKG: kompleks QRS sempit, irama tidak teratur, gelombang P
banyak (tidak terlihat jelas).
Pengobatan:
o Kelompok control rate (mengatur denyut nadi) β-blocker, antagonis
kalsium, digitalis.
o Kelompok rythme control (mengkonversi irama atrial fibrilasi menjadi
irama sinus dan mempertahankannya) obat blokae kanal Na+
(kuinidin,propafenon) dan obat blokade kanal K+ (amiodaron).
4. Atrial flutter
Terjadi depolarisasi atrium yang sangat cepat karena adanya peningkatan reentry
pada atrium.
Didasari adnya kelainan jantung, seperti kelainan katup jantung, cor pulmonale,
dan PJK.
Gambaran EKG: kompleks QRS teratur, irama atrium teratur, gelombang P
menyerupai gigi gergaji, frekuensi 250-250x/menit. Tampak jelas pada sadapan
II,III, dan aVF.
Pengobatan:
o jika disertai gangguan hemodinamik, dilakukan kardioversi.
o Jika frekuensi ventrikel meningkat diberikan antagonis kalsium, β-
blocker, digitalis
o Untuk merubah ke irama sinus gol IA/IC (kuinidin,propafenon) dan gol
III (amiodaron).
ANTI-ARITMIA
Dibagi menjadi 4 kelas,
Kelas I
Merupakan obat-obatan yang memblok kanal Na+ pada membran sel sehingga
menurunkan kecepatan maksimal depolarisasi pada fase 0, sehingga tidak terjadi ptensial
aksi baru dan kemudian mencegah timbulnya ekstrasistol.
Dibagi menjadi 3 sub kelas:
o Kelas IA
Contoh: kuinidin, prokainamid, disopiramid.
Kelas IA efektif untuk mengatasi takiaritmia supraventrikular dan takiaritmia
ventrikular.
o Kelas IB
Contoh: lidokain, meksiletin, fenitoin, tokainid.
Lidokain dan meksiletin efektif untuk mengendalikan takiaritmia vantrikuler.
o Kelas IC
Contoh: flekainid, lorkainid, propafenon.
Kelas II
Merupakan β-blocker yang bersifat antiadrenergik sehingga menurunkan otomatisasi
nodus SA, memperpanjang refrakter nodus AV, dan menurunkan kecepatan konduksi
nodus AV.
Contoh: propanolol.
Kelas III
Obat-obatan yang memblok kanal K+. Contoh: amiodaron, bretilium, sotalol.
Kelas IV
Merupakan obat antagonis kalsium, mempunyai efek: inotropik (-), kronotropik (-) dan
hambatan pada konduksi AV. Contoh: verapamil, diltiazem.
ARITMIA VENTRIKULAR
Memiliki 3 mekanisme:
a. Automaticity : terjadi percepatan fase 4 dari potensial aksi jantung, biasanya tercetus
pada keadaan akut dan kritis seperti infark, gangguan elektrolit, asam basa, dan
peningkatan tonus adrenergic.
b. Reentry : akibat kelainan kronis seperti infark miokard lama atau cardiomyopathy
dilatasi. Adanya infark menyebabkan terbentuknya jaringan parut dimana jaringan
parut tersebut dapat menjadi sirkuit reentry dan aritmia dapat timbul kapan saja.
c. Triggered activity : campuran dari 2 mekanisme di atas. Adanya kebocoran ion ke
dalam sel menyebabkan lonjakan potensial pada akhir fase 3/ awal fase 4 dari aksi
potensial jantung. Bila lonjakan ini bermakna, akan timbul potensial baru dan
terjadilah aritmia.
ARITMIA VENTRIKULAR mencakup:
1. Kompleks Ventrikuler Prematur (Premature Ventricular Complex atau
Ventricular Extrasystole)
Ekstrasistole Ventrikel merupakan kelainan irama dimana fokusnya berada di
ventrikel, dikarenakan rangsang ventrikel tidak berjalan melewati jalur normal,tetapi
malalui miokard
PVC (premature ventricular contraction) merupakan fokus ektopik pada ventrikel
yang muncul lebih awal dari irama dasarnya. Pada EKG akan terlihat kompleks QRS
yang lebar ,terdapat perubahan segmen ST-T sekunder dan terdapat pause kompensasi
penuh
Berdasar frekuensi dan bentuknya PVC dapat di bagi menjadi:
a. PVC jarang : kurang dari lima kali permenit
b. PVC sering : lebih dari lima kali pemenit
c. PVC Repetetitif : bila muncul tiap denyutan
d. PVC berkelompok (salvo)
e. PVC multifokal
Suatu kompleks ventrikuler premature timbul di salah satu ventrikuler sebagai
akibat cetusan dari suatu fokus yang otomatis atau melalui mekanisme reentri. Karena
berasal dari ventrikel, maka urutan depolarisasi ventrikel yang normal menjadi berubah.
Ventrikel mengalami depolarisasi secara berurutan, dan konduksi berlangsung tidak
melalui jalur hantaran melainkan melalui miokardium akibatnya QRS menjadi lebar (0,12
detik atau lebih), segmen ST dan gelombang T berlawanan arah dengan kompleks QRS.
Bila kompleks ini akibat reentri di fokus yang sama, maka interval antara kompleks QRS
normal yang mendahuluinya dengan kompleks ventrikuler prematur tersebut (interval
pasangan) selalu sama. Bila interval pasangan ini berbeda, maka asalnya mungkin dari
fokus berbeda di ventrikel. Gambaran kompleks ventrikuler prematur seperti itu disebut
multifokal.
Pada gambaran EKG, gelombang P sinus bisa terbenam dalam kompleks QRS,
segmen ST atau gelombang T. Kompleks QRS timbul lebih awal dari seharusnya dengan
durasi 0,12 detik atau lebih. Gambaran QRS sering aneh (bizarre) dengan takik (notch).
Segmen ST dan gelombang T biasanya berlawanan arah dengan QRS. Bila multipel dan
unifokal, maka morfologinya biasanya sama (tetap) begitu juga interval pasangannya.
Bila multifokal atau multiform, maka interval pasangan dan morfologi QRS bervariasi.
Durasi dan morfologi kompleks QRS, urutan aktivasi tidak mengikuti arah
konduksi normal sehingga bentuk kompleks akan kacau dan durasinya menjadi panjang
(lebih dari 0,12 detik). Morfologi QRS bergantung dari dari asal focus dari ventrikel
takikardi.bila berasal dari ventrikel kanan akan memberikan gam baran blok berkas
cabang kiri dan sebaliknya
Laju dan irama,laju berkisar antara 120-300 kali per menit dengan irama yang
teratur atau hamper teratur variasi antar denyut adalah <0,04 detik.
Aksi kompleks QRS, tidak hanya penting untuk diagnosis tapi juga asal focus,
dimana aksis berubah sebesar 40 derajat atau lbih baik ke kiri maupun kekanan.
Kompleks QRS pada sadapan aVR berada pada posisi -210 derajat dengan kompleks
QRS negative. Bila kompleks QRS menjadi positif saat takikardi sangat menyokong
adanya VT yang berasal dari apex yang mengarah ke bagian basal.
Disasosiasi antara atrium dan ventrikel, Pada VT nodus sinus terus memberikan
impuls secara bebas tanpa ada hubunganya dengan aktivitas ventrikel oleh nodus sinus
dan ventrikel dikontrol oleh fokus takikardi sehingga gelombang P yang muncul tidak
berkaitan dengan kompleks QRS.
Capture beat dan fusion beat, keadaan capture beat impuls dari atrium dapat
mendepolarisasikan ventrikel melalui system konduksi normal sehingga memunculkan
kompleks QRS yang lebih awal. Fusion beat terjadi bila impuls nodus sinus dihantarkan
ke ventrikel melalui nodus atrioventrikular dan bergabung dengan impuls dari ventrikel
Konfigurasi kompleks QRS, adanya kesesuaian dari kompleks QRS pada
sadapan.kesesuaian positif kompleks QRS pada sadapan dada dominan positif
menunjukkan asal fokus takikardi dari dinding posterior ventrikel, dan apabila asal fokus
negative maka berasal dari dinding anterior ventrikel
Kompleks ventrikel prematur dikatakan bigemini apabila berselang seling dengan
kompleks QRS normal, dan disebut kompleks ventrikuler prematur trigemini apabila ada
satu kompleks ventrikuler prematur setelah setiap 2 QRS normal.
Penatalaksanaan
Keadaan akut, bila hemodinamik stabil terminasi diberikan obat-obat IV seperti
amoidaron, lidokain, prokainamid. Bila keadaan hemodinamik tidak stabil maka pilihan
pertama adalah kardioversi elektrik.
Keadaan kronik, tujuan pengobatanya adalah mencegah kematian mendadak
dengan pemberian obat penyekat beta, bila tidak efektif diberikan sotalol atau amiodaron,
pada pasien dengan riwayat infark miokard kiri obat ICD lebih unggul dalam
menurunkan mortalitas.
Pengobatan tidak diperlukan bila kompleks ventrikuler prematur jarang timbul
pada penderita yang tidak dicurigai menderita kelainan organik jantung. Pengobatan
diperlukan apabila pada keadaan iskemia miokard terdapat banyak kompleks ventrikuler
prematur, bigemini, trigemini, atau berbentuk multiform (multifokal). Pengobatan segera
dapat dilakukan dengan lidokain intravena. Alternatif obat lainnya adalah prokainamid,
disopiramid, propanolol, secara intravena. Bila pengobatan tidak perlu segera, obat-obat
tersebut (termasuk kinidin) dapat diberikan secara oral. Obat-obat ini dapat menurunkan
fungsi jantung sehingga harus hati-hati bial terdapat payah jantung.
2. Takikardia Ventrikuler (ventricular tachycardia = VT)
Bila terdapat 3 atau lebih kompleks yang berasal dari ventrikel secara berurutan
dengan laju lebih dari 100 per menit, maka gambaran tersebut disebut takikardia
ventrikuler. Laju QRS biasanya tidak lebih dari 220 per menit dengan irama yang teratur
maupun tidak. Akibat hemodinamik distrimia ini tergantung terutama pada ada tidaknya
disfungsi miokard, misalnya akibat iskemia atau infark, serta pada frekuensinya. Bisa
terdapat disosiasi AV, dan gelombang P sinus kadang-kadang dapat terlihat diantara
kompleks QRS. Konduksi dari atrium ke ventrikel biasanya dicegah karena nodus AV
atau sistem konduksi ventrikel mengalami istirahat (refractory) setelah depolarisasi
ventrikel. Kadang-kadang konduksi AV bisa terjadi pada saat nodus SAV dan sistem his-
purkinye dalam keadaan non refraktori. Keadaan ini bisa menyebabkan capture beat,
yaitu gambaran antara QRS normal dan kompleks ventrikuler prematur.
Pengobatan takikardia ventrikuler, pada penderita yang hemodinamiknya stabil
adalah dengan lidokain intravena, diawali dengan bolus 1 mg/kgBB (50-75 mg),
dilanjutkan dengan rumat 2-4 mg/kgBB/menit. Nila masih timbul, dapat diulangi bolus
50 mg/kgBB. Alternatif pengobatan lain adalah dengan prokainamid, bretilium,
meksiletin propanolol intravena, atau amiodaron. Bila hemodinamik tidak stabil
(hipotensi dengan atau tanpa edema paru) segera lakukan kardioversi dengan DC shock.
Bila penderita tidak sadar, tindakan sama dengan pada fibrilasi ventrikel.
3. Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel adalah kondisi terminal dari takikardia ventrikel, berupa irama
yang sangat kacau. Bentuk dan ukuran gelombangnya sangat bervariasi, dan tidak terlihat
gelombang P, QRS maupun T. Tidak ada depolarisasi ventrikel yang terorganisasi
sehingga ventrikel tidak mampu berkontraksi sebagai suatu kesatuan. Kenyatannya,
ventrikel kelihatan seperti bergetar tanpa menghasilkan curah jantung. Fibrilasi ventrikel
merupakan penyebab henti jantung yang paling sering dan biasanya disebabkan oleh
iskemia akut atau infark miokard. Bentuknya ada yang kasar (coarse) dan halus (fine)
tergantung besarnya amplitudo gelombang fibrilasi.
Pengobatan adalah dengan kardioversi (DC shock). Mula-mula diberikan 200
joules. Fibrilasi yang kasar biasanya baru terjadi dan responsif terhadap kardioversi.
Pada fibrilasi ventrikel yang halus perlu diberikan obat-obat (adrenalin) sebelum
dilakukan konversi. Selama tidak ada irama jantung yang efektif (pulsasi di pmbuluh nadi
dasar tidak teraba) terus menerus dilakukan resusitasi jantung paru, sambil mengulangi
kardioversi dengan dosis listrik yang lebih besar (360-400 joules). Juga diberikan
lidokain bolus intravena 1 mg/kgBB dan diikuti rumat 2-4 mg/kgBB/menit. Obat-obat
resusitasi lainnya diberikan sesuai dengan protokol resusitasi pada henti jantung.
4. Asistol Ventrikel
Dalam keadaan ini sama sekali tidak ada aktifitas listrik ventrikel. Gambaran
monitor EKG berupa garis (flat). Karena tidak ada depolarisasi maka sama sekali tidak
ada kontraksi. Asistol bisa terjadi sebagai kejadian primer pada henti jantung atau
mengikuti fibrilasi ventrikel, atau pada penderita blok jantung komplit dimana tidak ada
pacu penolong alami yang berfungsi.
Harus segera dilakukan resusitasi jantung paru. Bila ada defibrilator dapat dicoba
kardioversi seperti pada fibrilasi ventrikel. Obat-obat resusitasi (adrenalin, sulfas atropin,
isuprel, natrikus bikarboas, kalsium klorida) bisa dipergunakan. Alat pacu temporer
mungkin bermanfaat bila sebelumnya ada blok jantung komplit.
5. Irama Agonal (Idioventricular Rhythm)
Gambarannya berupa gelombang QRS yang lebar-lebar dan tidak teratur.
Biasanya sudah tidak ada lagi pulsasi yang teraba (disosiasi elektromekanikal). Biasanya
terjadisetelah beberapa lama pada penderita yang sedang diresusitasi.
Pengobatannya dengan resusitasi dan obat-obatan seperti pada henti jantung.
6. Torsades de Pointes
Merupakan takikardia ventrikel yang ditandai oleh perubahan bentuk dan aksis
QRS. Torsades de Pointes biasanya diakibatkan oleh pemanjangan interval QT akibat
obat antiaritmia, sindrom long QT, dan Sindrom Brugada.
Tata laksana diberikan magnesium sulfat, Beta blocker, dan pemasangan alat pacu
jantung sementara pada pasien dengan bradikardia.
HIPERTENSI PULMONAL
Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang jarang didapat namun progresif oleh
karena peningkatan resistensi vaskuler pulmonal yang menyebabkan menurunnya fungsi
ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel kanan.
Hipertensi pulmonal primer sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan,
lebih sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian pertahun
sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival dari awitan penyakit sampai
timbulnya gejala sekitar 2-3 tahun.
Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute of Health;
bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau “mean” tekanan arteri
pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktifitas dan tidak
didapatkan adanya kelainan valvular pada jantung kiri, penyakit myokardium, penyakit jantung
kongenital dan tidak adanya kelainan paru.
Definisi
Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah
pada pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada
saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit
berat yang ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung
kanan. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Dr Ernst von Romberg pada tahun 1891.
Hipertensi pulmonal terbagi atas hipertensi pulmonal primer dan sekunder. Hipertensi
pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak diketahui penyebabnya sedangkan
hipertensi pulmonal sekunder adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh kondisi medis
lain. Istilah ini saat ini menjadi kurang populer karena dapat menyebabkan kesalahan dalam
penanganannya sehingga istilah hipertensi pulmonal primer saat ini diganti menjadi Hipertensi
Arteri Pulmonal Idiopatik.
Etiologi
Penyebab tersering dari hipertensi pulmonal adalah gagal jantung kiri. Hal ini disebabkan karena
gangguan pada bilik kiri jantung akibat gangguan katup jantung seperti regurgitasi (aliran balik)
dan stenosis (penyempitan) katup mitral. Manifestasi dari keadaan ini biasanya adalah terjadinya
edema paru (penumpukan cairan pada paru).
Penyebab lain hipertensi pulmonal antara lain adalah : HIV, penyakit autoimun, sirosis
hati, anemia sel sabit, penyakit bawaan dan penyakit tiroid. Penyakit pada paru yang dapat
menurunkan kadar oksigen juga dapat menjadi penyebab penyakit ini misalnya : Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK), penyakit paru interstitial dan sleep apnea, yaitu henti nafas sesaat
pada saat tidur.
Patogenesis
Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan pengerasan pembuluh darah pada dan di dalam paru.
Hal ini memperberat kerja jantung dalam memompa darah ke paru. Lama-kelamaan pembuluh
darah yang terkena akan menjadi kaku dan menebal hal ini akan menyebabkan tekanan dalam
pembuluh darah meningkat dan aliran darah juga terganggu. Hal ini akan menyebabkan bilik
jantung kanan membesar sehingga menyebabkan suplai darah dari jantung ke paru berkurang
sehigga terjadi suatu keadaan yang disebut dengan gagal jantung kanan. Sejalan dengan hal
tersebut maka aliran darah ke jantung kiri juga menurun sehingga darah membawa kandungan
oksigen yang kurang dari normal untuk mencukupi kebutuhan tubuh terutama pada saat
melakukan aktivitas.
COR PULMONAL
Synonims:
Pulmonary heart disease, cardiopulmonary disease.
Definisi :
1. Menurut WHO ( 1963 ), Definisi Cor Pulmonale adalah: Keadaan patologis dengan di
temukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan
struktur paru. Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri
dan penyakit jantung konginetal ( bawaan ).
2. Menurut Braunwahl ( 1980 ), Cor Pulmonale adalah: Keadaan patologis akibat
hipertrofi/ dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal.
Penyebabnya antara lain: penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru dan gangguan
fungsi paru karena kelainan thoraks.Tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang
disebabkan kelaianan vebtrikel kiri, vitium cordis, penyakit jantung bawaan, penyakit
jantung iskemik dan infark miokard akut.
Penyebab
Sebagian besar insidens Cor Pulmonale karena Penyakit Paru Obstruksi Menahun (Chronic
Obstructive Pulmonary Disease) sebagai akibat proses kronik dari Asma bronkial, Empisema
paru.
Penyakit Paru Menahun yang menyebabkan Cor Pulmonale :
1. Tuberkulosis
2. Harasawa 10,7 %
3. Moerdowo 47,3 %
4. Bronkiektasis
5. Adam 25,7 %
6. Padmawati 20,6 %
7. Bronkitis kronis
8. Fisher 40,0 %
9. Padmawati 64,7 %
10. Emfisema paru
11. Harasawa 82,1 %
12. Moerdowo 90,2 %
Patogenesis terjadinya PPOM:
1. Rangsangan Kimia
2. Predisposisi Bawaan
3. Faktor Infeksi
4. Faktor Lingkungan dan Iklim
5. Faktor Sosial-Ekonomi
6. Kelainan Thoraks
7. Kelainan Kontrol Pernafasan
Patofisiologi
Terjadinya penyakit ini diawali dengan kelainan struktural di paru, yakni kelainan di parenkim
paru yang bersifat menahun kemudian berlanjut pada kelainan jantung. Perjalanan dari kelainan
fungsi paru menuju kelainan fungsi jantung, secara garis besar dapat digambarkan sebagai
berikut:
1. Hipoventilasi alveoli
2. Menyempitnya area aliran darah dalam paru ( vascular bed )
3. Terjadinya shunt dalam paru
4. Peningkatan tekanan arteri pulmonal
5. Kelainan jantung kanan
6. Kelainan karena hipoksemia relatif pada miocard
Gejala klinis
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, Cor Pulmonale dibagi menjadi 5 fase, yakni:
Fase: 1
Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain ditemukannya gejala awal penyakit
paru obstruktif menahun (ppom), bronkitis kronis, tbc lama, bronkiektasis dan sejenisnya.
Anamnesa pada pasien 50 tahunbiasanya didapatkan adanya kebiasaan banyak merokok.
Fase: 2
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi paru. Gejalanya antara lain:
batuk lama berdahak (terutama bronkiektasis), sesak napas / mengi, sesak napas
ketika berjalan menanjak atau setelah banyak bicara. Sedangkan sianosis masih belum nampak.
Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa: hipersonor, suara napas berkurang, ekspirasi
memanjang, ronchi basah dan kering, wheezing. Letak diafragma rendah dan denyut jantungm
lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukkan berkurangnya bronchovascular pattern, letak
diafragma rendah dan mendatar, posisi jantung vertikal.
Fase: 3
Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas. Didapatkan pula berkurangnya nafsu
makan, berat badan berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik nampak sianotik, disertai sesak dan
tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.
Fase: 4
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang somnolens. Pada keadaan yang
berat dapat terjadi koma dan kehilangan kesadaran.
Fase: 5
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri pulmonal meningkat.
Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi ventrikel kanan masih dapat kompensasi.
Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan kemudian terjadi
gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik nampak sianotik, bendungan vena jugularis,
hepatomegali, edema tungkai dan kadang ascites.
Pemeriksaan Penunjang:
1. Pemeriksaan Radiologi
2. Pemeriksaan EKG
Penatalaksanaan
1. Konseling ( penyuluhan ).
2. Memperbaiki fungsi pernafasan dan pengobatan terhadap obstruksi kronis.
3. Memperbaiki fungsi jantung dan pengobatan gagal jantung kongestif.
Konseling
Memberikan edukasi agar pasien menghindari segala jenis polusi udara dan berhenti merokok.
Memperbaiki ventilasi ruangan-ruangan dalam rumah. Latihan pernafasan dengan bimbingan
ahli fisioterapi.
Memperbaiki Fungsi Paru
Selain upaya latihan pernafasan di atas, diperlakukan pemberian medikamentosa.
a. Bronkodilator
Aminofilin: Menghilangkan spasme saluran pernafasan Beta 2 adrenergik selektif (Terbutalin
atau Salbutamol ). Berkhasiat vasodilator pulmoner, sehingga diharapkan dapat menambah aliran
darah paru. Dosis obat diatas dapat dilihat di buku Farmakoterapi.
Mukolitik dan ekspektoran
Mukolitik berguna untuk mencairkan dahak dengan memecah ikatan rantai kimianya, sedangkan
ekspektoran untuk mengeluarkan dahak dari paru.
c. Antibiotika
Pemberian antibiotika diperlukan karena biasanya kelainan parenkim paru disebabkan oleh
mikro-organisme, diantaranya: Hemophylus influenzae dan Pneumococcus.
Dapat pula disebabkan oleh Staphylococcus dan bakteri Gram negatif seperti: Klebsiella.
Idealnya, pemberian antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur dahak. Sambil
menunggu hasil kultur, bisa diberikan antibiotika spectrum luas dalam 2 hari pertama.
Hemophylus influenzae, peka terhadap ampisilin, sefalospurin, kotrimoksazol.
Pneumococcus, peka terhadap golongan penisilin. Staphylococcus, peka terhadap metisilin,
kloksasilin, flukoksasilin, dan eritromisin. Klebsiella, peka terhadap gentamisin, streptomisin dan
polimiksin.
Oksigenasi
Peningkatan PaCO2 ( tekanan karbondiosida arterial ) dan asidosis pada penderita PPOM
disebabkan tidak sempurnanya pengeluaran CO2 sehingga menimbulkan hipoksemia.
Hal ini dapat diatasi dengan pemberian oksigen 20-30 % melalui masker venturi. Dapat pula
diberikan oksigen secara intermitten dengan kadar 30-50 % secara lambat 1-3 liter permenit.
Pengobatan
Pada gagal jantung kanan
Diuretika
Pemberian diuretika seperti furosemid atau hidroklorotiazid diharapkan dapat mengurangi
kongesti edema dengan cara mengeluarkan natrium dan menurunkan volume darah. Sehingga
pertukaran udara dalam paru dapat diperbaiki, dan hipoksia maupun beban jantung kanan dapat
dikurangi.
Digitalis
Preparat digitalis ( digoxin, cedilanid dan sejenisnya ) perlu diberikan kepada penderita dengan
Gagal Jantung kanan berat.
Pengelolaan Hipoksemia menurut Sykes ( 1976 ):
1. Pemberian Antibiotika, diuretik, mukolitik dan obat bronkodilator sebagai tindakan dasar
penyakit paru obstruktif menahun.
2. Pada hipoksemia berat, perlu diberikan oksigenasi terkontrol dan menjaga agar tidak
terjadi CO2 narkosis.
3. Stimulan pernafasan ( seperti doksapram ) perlu diberikan pada penderita yang
mengalami CO2 narkosis.
4. Bila semua usaha di atas gagal, maka dilakukan pernafasan buatan dengan intubasi
endotrakeal atau bila perlu trakeotomi dan pemasangan ventilator mekanik.
Prognosis
Prognosis Cor Pulmonale sangat jelek dikarenakan kerusakan parenkim paru yang berlangsung
lama dan irreversible.Pengobatan bersifat simptomatis, karena pada umumnya kondisi penyakit
sudah dalam fase lanjut.
Berdasarkan penelitian, angka kemungkinan masa hidupberkisar antara 18 bulan ( Flint) sampai
30, 8 bulan dengan angka kematian setelah 5 tahun mencapai 68 % (Stuart Harrisdan Ude)
Kesimpulan:
Angka kematian Cor Pulmonale masih tinggi. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan
menanggulangi PPOM yang menjadi dasar etio-patogenesis Cor Pulmonale.
Upaya Pencegahan.
Penderita dianjurkan berhenti merokok dan menghindarkan diri dari polusi udara, terutama di
daerah tambang dan industri.Tak kalah penting adalah memperbaiki lingkungan tempat tinggal,
dan bagi penderita tidak mampu sedapat mungkin
menghindari dan mengobati penyakit infeksi saluran nafas secara dini.
TERAPI
FARMAKOLOGI
Anti Aritmia
Dibagi menjadi 4 kelas,
Kelas I
Merupakan obat-obatan yang memblok kanal Na+ pada membran sel sehingga
menurunkan kecepatan maksimal depolarisasi pada fase 0, sehingga tidak terjadi ptensial
aksi baru dan kemudian mencegah timbulnya ekstrasistol.
Dibagi menjadi 3 sub kelas:
o Kelas IA
Contoh: kuinidin, prokainamid, disopiramid.
Kelas IA efektif untuk mengatasi takiaritmia supraventrikular dan takiaritmia
ventrikular.
o Kelas IB
Contoh: lidokain, meksiletin, fenitoin, tokainid.
Lidokain dan meksiletin efektif untuk mengendalikan takiaritmia vantrikuler.
o Kelas IC
Contoh: flekainid, lorkainid, propafenon.
Kelas II
Merupakan β-blocker yang bersifat antiadrenergik sehingga menurunkan otomatisasi
nodus SA, memperpanjang refrakter nodus AV, dan menurunkan kecepatan konduksi
nodus AV.
Contoh: propanolol.
Kelas III
Obat-obatan yang memblok kanal K+. Contoh: amiodaron, bretilium, sotalol.
Kelas IV
Merupakan obat antagonis kalsium, mempunyai efek: inotropik (-), kronotropik (-) dan
hambatan pada konduksi AV. Contoh: verapamil, diltiazem.
Anti Aldosteron
Pada pasien gagal jantung, kadar plasma aldosteron akan meningkat (akibat aktivasi
system rennin angiotensin aldosteron). Aldosteron akan menyebabkan retensi Na dan
air serta ekskresi K dan Mg. Hal ini dapat memicu terjadinya edema dan peningkatan
preload jantung serta akan memicu terjadinya remodeling dan disfungsi ventrikel
melalui peningkatan preload dan efek langsung yang menyebabkan fibrosis miokard
dan prolifersi fibroblast. Karena itu antagonisasi efek aldosteron akan mengurangi
mortalitas dan morbiditas akibat gagal jantung.
Ada 2 jenis antagonis aldosteron yaitu sppironolakton dan eplerenon.
Diuretic
- memacu NaCl dan air sehingga menurunkan beban pada jantung. Hal tersebut membuat
bendungan paru dan sistemik menurun.
- mengurangi volume ventrikel kiri dan tegangan dindingnya sehingga membuat resistensi
perifer menurun
- obat-obat golongan diuretic merupakan obat golongan pertama pada Gagal Jantung Kronik
ringan dengan irama sinus
-diuretik golongan tiazid meningkatkan akskresi Na+ dan Cl- melalui urin.
- diuretic kuat, seperti furosemid, dapat diberikan pada penderita gagal jantung dengan gangguan
fungsi ginjal.
- efek samping: penurunan cardiac output, mengganggu fungsi ginjal, menyebabkan kelemahan
umum, edema yang refrakter.
Β Blocker
- menurunkan efek simpatis
- contoh obatnya adalah bisoprolol, carvedilol, metoprolol lepas lambat
- pemberian dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan sampai dosis target
- efek yang dapat terjadi pada awal terapi:
a. retensi cairan dan gejala bertambah, berikan tambahan diuretic
b. hipotensi, turunkan pemberian ACEI/ beta blocker
c. bradikardi, turunkan dosis beta blocker
d. lelah, turunkan dosis beta blocker, lalu tambahkan lagi
VASODILATOR
- ARTERIODILATOR
Mengurangi beban tahanan pada aorta sehingga meningkatkan stroke volume.
Diberikan pada penderita dengan cardiac output yang rendah yang ditandai dengan
kelelahan umum (fatigue).
Contoh: hydralazin, minoxidil, diazoxide dan fenoldopam.
- VENODILATOR
Mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri sehingga dapat meningkatkan daya tampung
ventrikel kiri.
Diberikan pada penderita yang tekanan pengisiannya tinggi, gejalanya berupa sesak
nafas. Pemberian venodilator ini dapat menyebabkan hilangnya bendungan paru sehingga
memudahkan pasien untuk bernafas secara normal.
Contoh: nitrat organic.
- ARTERIOL & VENA
Diberikan pada penderita gagal jantung kronis.
Contoh: ACEI, α blocker, nitroprusside.
DIGITALIS
Obat-obatan golongan digitalis merupakan obat yang sering digunakan dalam
penatalaksanaan gagal jantung. Oleh karena itu, dokter perlu diketahui farmakokinetik maupun
farmakodinamik dari obat golongan digitalis.
Farmakodinamik
Sifat farmakodinamik utama digitalis adalah inotropik positif, yaitu meningkatkan
kekuatan kontraksi miokardium. Pada penderita yang mengalami gangguan fungsi sistolik, efek
inotropik positif ini akan menyebabkan peningkatan curah jantung sehingga tekanan vena
berkurang, ukuran jantung mengecil, dan refleks takikardia yang merupakan kompensasi
jantung, diperlambat. Tekanan vena yang berkurang akan mengurangi gejala bendungan,
sedangkan sirkulasi yang membaik, termasuk ke ginjal, akan meningkatkan diuresis dan
hilangnya edem. Digitalis juga menyebabkan perlambatan denyut ventrikel pada fibrilasi dan
flutter atrium, dan pada kadar toksik menimbulkan disritmia. Jadi, efektivitas digitalis pada gagal
jantung kongestif timbul karena kerja langsungnya dalam meningkatkan kontraksi miokardium.
Digitalis juga bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah, selain itu efeknya pada
jaringan saraf mempengaruhi secara tidak langsung aktivitas mekanik dan listrik jantung serta
resistensi dan daya tampung pembuluh darah. Akhirnya, perubahan dalam sirkulasi akibat
digitalis sering diikuti oleh perubahan refleks pada aktivitas autonom dan keseimbangan
hormonal yang secara tidak langsung berpengaruh baik terhadap fungsi kardiovaskuler.
Farmakokinetik
Digitalis menghambat aktivitas enzim NaK-ATPase, sehingga pemecahan ATP untuk
menghasilkan energi bagi pompa Na terhambat akibatnya Na intrasel meningkat karena tidak
bisa keluar ke ekstrasel. Pertukaran Ca intrasel dengan Na ekstrasel pun terganggu, sehingga Ca
intrasel meningkat. Ca yang meningkat dalam sel akan berikatan dengan troponin-tropomiosin
dan komplek ini akan meningkatkan kontraksi aktin dan miosin yang dikenal sebagai sliding
mechanism.
Metabolisme digitalis berlangsung di hepar oleh enzim mikrosom hepar sebagai klirens
non-renal. Proses metabolisme ini, dapat dipercepat oleh berbagai obat tertentu yang merangsang
aktivitas enzim tersebut, seperti misalnya fenobarbital, rifampisin, fenilbutason, dan lain-lain.
Ekskresi digitalis terutama melalui ginjal dan disebut sebagai klirens renal. Waktu paruh
eliminasi digoksin melalui ginjal umumnya tercapai dalam 1-2 hari dan digitoksin bahkan
mencapai 7 hari.
Digitalis mempunyai efek inotropik positif, artinya memperkuat kontraksi otot jantung,
disamping itu juga mempunyai efek kronotopik negatif, artinya menekan irama sinus sehingga
denyut jantung menjadi lebih lambat. Oleh karena itu, digitalis sangat berguna meningkatkan
kontraksi jantung pada penderita gagal jantung dan menekan berbagai aritmia supraventrikuler,
seperti fibrilasi atrium, fluter atrium, takikardia atrium dan lain-lain.
Indikasi
Indikasi pemakaian digitalis yang utama ialah dalam tatalaksana gagal jantung kongestif.
Digitalis akan memperkuat kontraktilitas miokard, sehingga curah jantung akan meningkat, di
samping itu digitalis sangat efektif untuk menanggulangi berbagai aritmia supraventrikuler,
seperti fibrilasi atrium, fluter atrium, takikardia atrium, dan sebagainya.
Kontra Indikasi
Digitalis tidak boleh digunakan pada kardiomiopati hipertropik obstruktif (kecuali jika
terdapat fibrilasi atrium pada gagal jantung kongestif), karena efek inotropik positifnya akan
memperberat obstruksi di ventrikel. Digitalis harus dihentikan pada keadaan-keadaan yang
diduga timbulnya keracunan digitalis.
Efek Samping
Digitalis sering menyebabkan terjadinya blok AV total, blok SA total, munculnya irama
junctional AV, takikardia atrium paroksismal, VES bigemini, takikardia dan fibrilasi ventrikel.
Berbagai keluhan Gastro-Intestinal seperti mual dan muntah, gejala-gejala neurologi seperti sakit
kepala, pusing, gangguan penglihatan, kejang , delirium, dan sebagainya. Kadang-kadang pula
timbul reaksi hipersensitivitas seperti rash, trombositopenia, purpura dan eosinofilia.
Dosis
Dosis awal (loading dose) diperlukan pada kasus-kasus yang memerlukan efek terapeutik
yang konstan dalam waktu yang lebih pendek, karena distribusi digitalis tidak hanya ke otot
jantung, tapi juga menyebar ke organ-organ lain. Dosis awal digitalisasi umumnya 0,75-1 mg
secara intravena dan dosis ini akan memberikan kadar puncak digitalis dalam plasma sekitar 95
mg/ml tanpa efek toksik. Kadar terapeutik normal digitalis dalam plasma adalah 1-2 mg/ml
(=1,3-2,6 nmol/l). Walaupun demikian, nilai tersebut tidak sepenuhnya bisa menggambarkan
kemungkinan intoksikasi yang terjadi.
Digitalis per oral dilakukan lebih lama (2 x 1 tablet sehari untuk 2 hari, atau 3 x 1 tablet
sehari untuk 1 hari, lalu diikuti dengan maintainance 1 tablet sehari.
Digitalis yang tersedia dipasaran umumnya terbentuk tablet lanatosid C 0,25 mg,
digoksin 0,25 mg, beta-metildigoksin 0,1 mg atau sedilanid 0,4 mg/2ml untuk pemakaian
intramuskuler atau intravena.
Intoksikasi
Rasio terapi digitalis sangat sempit sehingga 5-20% penderita umumnya memperlihatkan
gejala toksik dengan manifestasi yang sukar dibedakan dengan tanda-tanda gagal jantung.
Keracunan ini biasa terjadi karena :
1. Pemberian dosis beban yang terlalu cepat
2. Akumulasi akibat dosis penunjang yang terlalu besar
3. Adanya predisposisi untuk keracunan
4. Takar layak
Efek toksik digitalis sering dijumpai dan dapat berat sehingga menyebabkan kematian.
Sebab yang paling sering ialah pemberian bersama diuretik yang menyebabkan depresi kalium.
Gejalanya berbeda-beda, dapat mengenai hampir semua sistem organ dalam tubuh, dan
umumnya merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamiknya. Efek toksik utama ialah terhadap
jantung yang bila luput dari perhatian atau tidak ditangani dengan baik sering kali berakhir
dengan kematian. Karena itu para dokter harus mengetahui tanda-tanda awal keracunan,
mengenal kondisi penderita, mengenal obat-obat yang meningkatkan risiko keracunan, dan
menguasai cara mengatasi keracunan.
Gagal jantung dapat merupakan suatu komplikasi dari :
1. Aritmia
2. Aneurisma kardial
3. Hipertensi pulmonum.
TERAPI NON FARMAKO
Terapi gagal jantung dibagi atas terapi non farmakologi dan farmakologi.
Terapi non farmakologi terdiri atas:
1. Diet : Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi diet
yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah atau berat badannya. Asupan NaCl
haru dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau kurang dari 2g/hari untuk gagal jantung sedang
sampai berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2L/hari hanya untuk gagal jantung berat.
2. Merokok : Harus dehentikan
3. Aktivitas fisik : Olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk
pasien gagl jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang nyaman bagi
pasien.
4. Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil
5. Bepergian : Hindari tempat-tampat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas atau
lembab, dan gunakan penerbangan-penerbangan pendek.