82
RESUME BLOK VIII (KARDIOVASA) SKENARIO 5 “GAGAL JANTUNG” KELOMPOK E 1. DETI ROSALINA (082010101018) 2. M. FALIQUL ISBAH (082010101019) 3. DIAN AYU INDRIANINGSIH (082010101024) 4. YONATHA NOVARA (082010101025) 5. AYU BUDHI TRISNA DEWI R.S (082010101026) 6. LUCKY TIYA (082010101032) 7. M.H YUDHA ALHABSY (082010101036) 8. LIYANTITI SUNUPUTRI (082010101047) 9. MUSTIKA AYU FITRIANI (082010101054) 10. SHEILLA RACHMANIA (082010101056) 11. YOGA WAHYU PRATIWI (082010101060) 12. RINA MULYA SARI (082010101070) 13. YUDHISTIRA KUSWARDANA (082010101075) 14. MADE NGURAH ARYA P. (082010101079)

GAGAL JANTUNG

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: GAGAL JANTUNG

RESUME BLOK VIII (KARDIOVASA)

SKENARIO 5

“GAGAL JANTUNG”

KELOMPOK E

1. DETI ROSALINA (082010101018)

2. M. FALIQUL ISBAH (082010101019)

3. DIAN AYU INDRIANINGSIH (082010101024)

4. YONATHA NOVARA (082010101025)

5. AYU BUDHI TRISNA DEWI R.S (082010101026)

6. LUCKY TIYA (082010101032)

7. M.H YUDHA ALHABSY (082010101036)

8. LIYANTITI SUNUPUTRI (082010101047)

9. MUSTIKA AYU FITRIANI (082010101054)

10. SHEILLA RACHMANIA (082010101056)

11. YOGA WAHYU PRATIWI (082010101060)

12. RINA MULYA SARI (082010101070)

13. YUDHISTIRA KUSWARDANA (082010101075)

14. MADE NGURAH ARYA P. (082010101079)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2009

Page 2: GAGAL JANTUNG

Skenario 5

GAGAL JANTUNG

Pak wignyosastro, 58 tahun, TB 167 cm, BB 78 kg, pensiunan polisi dating memeriksakan diri

ke dokter karena keluhan mudah lelah dan nafas tersengal-sengal dalam 2 bulan terakhir bila

beraktivitas sehari – hari namun membaik bila dibawa istirahat. Pak Wignyosastro juga

mengeluhkan kadang dadanya berdebar-debar, sering terbangun malamoleh karena batuk dan

sesak. Pak Wignyosasto merasa nyaman bila tidur dengan menggunakan bantal tinggi. Hasil

pemeriksaan di dapatkan JVP meningkat, bengkak pada pergelangan kaki dan tekanan darahnya

160/110mmHg.

Page 3: GAGAL JANTUNG

KEYWORD

1. P. wignyosastro, 58 tahun, TB=167 cm, BB=78 kg.

2. Keluhan mudah lelah dan nafas tersengal-sengal dalm 2 bulan terakhir bila beraktifitas

sehari-hari, namun membaik jika dibawa istirahat.

3. Kadang dadanya berdebar-debar sering terbangun malam, oleh karena batuk dan sesak.

4. Nyaman bila tidur dengan menggunakan bantal tinggi

5. Pemeriksaan fisik, JVP meningkat, bengkak pada kedua pergelangan kaki, dan tekanan

darahnya 160/110 mmhg

Page 4: GAGAL JANTUNG

Daftar isi

1. Gagal jantung

Definisi

Etiologi

Factor resiko

Patafisiologi

Pemeriksaan

Prognosis

DD

Klasifikasi

o GJ Akut

o GJ Kronis

o GJ Dextra

o GJ Sinistra

o GJ Sistole

o GJ Diastole

2. Manifestasi klinis

Dyspneu de efford

PND

Ortopneu

Edema perifer

3. Komplikasi

Cardiorespiratory arrest

Aritmia atrial

o Fibrilasi Atrium

o Atrial Flutter

o Supra Ventrikel Takikardi

o Supra Ventrikel Ekstra Sistole

Page 5: GAGAL JANTUNG

Aritmia ventrikel

o Sinus Takikardi

o Ventrikel Ekstra Sistole

Hipertensi pulmonal

Cor pulmonal

4. Terapi

Farmako

o Anti Aritmia

o Anti Aldosteron & Anti Koagulan

o Diuretik

o Β Blocker

o Vasodilator

o Digitalis

Non farmako

Page 6: GAGAL JANTUNG

GAGAL JANTUNG

Definisi

Gagal jantung adalah keadaan saat jantung tidak mampu lagi memompa darah ke jaringan untuk

memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah balik masih normal.

Jantung bekerja bergantung pada factor-faktor, seperti kontraktilitas myokard, denyut jantung

(irama dan kecepatan/menit), beban awal (preload) dan beban akhir (afterload).

Beban awal adalah beban yang diterima vantrikel kiri saat akhir diastole, sedangkan beban akhir

adalah beban yang diterima saat ventrikel kiri berkontraksi untuk memompa darah ke aorta.

Etiologi

Patofisiologi

Empat determinan curahjantung (cardiac output) adalah preload, kontraktilitas, afterload

dan jumlah denyut jantung

Patofisiologi gagal jantung akut dengan kronik berbeda. Pada gagal jantung akut perubahan

hemodinamik dan aktivitas simpatis lebih menonjol, sedang pada kronik mekanisme

neuroendokrin lebih predominan.

Gagal jantung curah rendah (low-output heart failure) terjadi bila terjadi penurunan curah

jantung dengan sebab utama menurunnya kekuatan kontraksi miokard, sedang gagal jantung

curah tinggi (high-output herat failure) disebabkan karena vasodilatasi berlebihan atau adanya

shunting, misal pada anemia, hipertiroidi, fistula arteri-vena, beri-ber atau postpartum.

Pemeriksaan

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung memperlihatkan denyut yang cepat dan

lemah. Denyut jantung yang cepat (takikardi) mencerminkan respon terhadap rangsangan saraf

Page 7: GAGAL JANTUNG

simpatis. Sangat menurunnya volume sekuncup dan adanya vasokontriksi perifer mengurangi

tekanan nadi (perbedaan tekanan antara tekanan sistolik dan diastolik), menghasilkan denyut

yang lemah (thready pulse). Hipotensi sistolik ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat.

Selain itu, pada gagal ventrikel kiri yang berat dapat timbul pulsus alternans, yaitu berubahnya

kekuatan denyut arteri. Pulsus alternans menunjukkan disfungsi mekanis yang berat dengan

berulangnya variasi denyut ke denyut pada volume sekuncup.

Pada auskultasi dada lazim ditemukan ronki dan gallop ventrikel atau bunyi jantung

ketiga (S3). Terdengarnya S3 pada auskultasi merupakan ciri khas gagal ventrikel kiri. Gallop

ventrikel terjadi selama diastolik awal dan disebabkan oleh pengisian cepat pada ventrikel yang

tidak lentur atau terdistensi. Kuat angkat substernal (atau terangkatnya sternum sewaktu sistolik)

dapat disebabkan oleh pembesaran ventrikel kanan.

Pemeriksaan Penunjang

Radiogram dada menunjukkan hal-hal berikut :

1. Kongesti vena paru, berkembang menjadi edema interstisial atau alveolar pada gagal

jantung yang lebih berat

2. Redistribusi vaskular pada lobus atas paru

3. Kardiomegali

EKG seringkali memperlihatkan denyut prematur ventrikel yang asimtomatis dan

menjadi takikardi ventrikel nonsustained. Peristiwa bradikardi (asistol atau blok jantung)

biasanya berkaitan dengan memburuknya gagal jantung secara progresif. Makna disritmia ini

masih belum jelas, tetapi sering terjadi kematian mendadak pada penderita gagal jantung.

Terjadi perubahan-perubahan khas pada kimia darah. Misalnya, perubahan cairan dan

kadar elektrolit terlihat dari kadarnya dalam serum. Yang khas adalah adanya hiponatremia

pengenceran; kadar kalium dapat normal atau menurun akibat terapi diuretik. Hiperkalemia dapat

terjadi pada tahap lanjut dari gagal jantung karena gangguan ginjal. Demikian pula, kadar

nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin dapat meningkat akibat perubahan laju filtrasi

glomerulus. Urine menjadi lebih pekat, dengan berat jenis yang tinggi dan kadar natriumnya

Page 8: GAGAL JANTUNG

berkurang. Kelainan fungsi hati dapat mengakibatkan pemanjangan masa protrombin yang

ringan. Dapat dijumpai peningkatan kadar bilirubin dan enzim hati (aspartat aminotransferase

[AST, dulu SGOT] dan fosfatase alkali serum [ALP]) terutama pada gagal jantung akut.

Kasus baru yang menunjukkan sesak napas atau kelelahan dengan retensi cairan harus

dievaluasi sejak awal dengan foto rontgen, EKG, dan laboratorium untuk anemia, kelainan

ginjal, hati serta kelainan elektrolit. Resep diuretik thizide atau diuretik loop dapat diberikan

yaitu furosemid atau bumetamide.

Keputusan untuk dikirim ke rumah sakit adalah bila didapatkan kumpulan gejala pada

usia muda, semua kasus dengan angina pektoris, gagal jantung berat dan yang tidak membaik

dengan diuretik. Biasanya infark miokard lama telah terdeteksi dengan riwayat penyakit dan

EKG, foto rontgen menunjukkan pembesaran jantung (cardiothoracic ratio > 0,5) dengan

gambaran kongesti atau oedema kardiografi yang cepat, dengan input dari spesialis jantung dan

rekomendasi manajemen bersamaan dengan laporan hasil pemeriksaan. Penderita dengan riwayat

infark miokard dengan gangguan fungsi ventrikel kiri sebaiknya mulai diberikan penghambat

ACE (Angiotensi Converting Enzym).

Prognosis

Gagal jantung akut memiliki prognosis yang jelek. Pasien gagal jantung dengan NYHA function

class IV memiliki angka mortalitas 40-50% per tahun. Kematian mendadak dengan kemungkinan

penyebab suatu aritmia ventrikel sering terjadi yaitu sebesar 20-50% pasien. Sedangkan angka

rehospitalisasi dengan frekuensi 1 kali atau lebih selama 12 bulan sebesar 45%.

Page 9: GAGAL JANTUNG

Differential Diagnosis

Klasifikasi

a. Gagal jantung Akut

b. Gagal Jantung Kronis

c. Gagal Jantung Dextra

d. Gagal Jantung Sinistra

GAGAL JANTUNG AKUT

Gagal jantung akut klinis mungkin manifesi sebagai dyspnea yang mendadak sampai syok

kardiogenik. Pengelolaan gagal jantung akut berbeda-beda dan tergantung pada tampilan klinis :

1. Edema paru akut kardiogenik

2. Syok kardiogenik

3. Dekompensasi akut pada gagal jantung kiri khronik

Edema Paru Akut Kardiogenik ( EPAK )

Anamnesa dan pemeriksaan fisik singkat pada umumnya sudah cukup untuk memulai terapi.

Selanjutnya dipasang kateter intravena, diambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium

dan penderita diberikan terapi oksigen.

Nitrogliserin ( NTG ) SL (0,4 – 0,6 mg, dapat diulang tiap 5-10 menit jika perlu). NTG efektif

untuk penderita EPAK oleh sebab-sebab iskemik ataupun non-iskemik. Jika TD cukup ( tekanan

darah sistolik = TDS 95-100 mmHg ) NTG dapat diberikan IV ( dosis awal 0,3 – 0,5 ug/kg

BB/menit )

Page 10: GAGAL JANTUNG

Sodium nitroprusside ( dosis awal 0,1 uk/kg BB/menit ) dapat diberikan pada penderita yang

tidak responsif terhadap nitrat, pada penderita EPAK disebabkan oleh regurgitasi mitral dan dan

regurgitasi aorta, atau hipertensi berat. Jika perlu dosis dapat ditingkatkan untuk memperoleh

perbaikan status hemodinamik. TDS 85-90 mmHg digunakan sebagai batas bawah untuk

menambah dosis pada penderita yang diketahui sebelumnya normotensif selama perfusi organ

vital adekuat.

Furosemide ( 20-80 mg IV ) harus segera diberikan begitu diagnosa edema paru ditegakkan.

Morfin sulfat ( 3-5 mg IV ) efektif untuk mengatasi simtom edema paru. Tetapi harus diberikan

dengan hati-hati pada penderita dengan insufisiensi paru dan penderita dengan asidosis

metabolik atau respiratorik dimana supresi dapat menyebabkan penurunan pH secara drastis.

Intubasi dan ventilasi mekanik pada penderita dengan hipoksia berat yang tak responsif

terhadap terapi dan penderita dengan asidosis respiratorik.

IABC mungkin bermanfaat pada penderita dengan EPAK refrakter. Cara ini terutama untuk

penderita yang dipersiapkan untuk dilakukan kateterisasi jantung dan / atau dilanjutkan pada

penderita dengan terapi denitif. IAPB tidak boleh dilakukan pada penderita dengan regurgitasi

aorta bermakna dan di seksi aorta

Sebagian besar penderita EPAK dapat diatasi dengan intervensi yang tepat disertai evaluasi

bedside harus memasang kateter pulmonal atau kateter arteri

Page 11: GAGAL JANTUNG

Pemasangan kateter pulmonal harus dipertimbangkan bila :

1. Keadaan klinik penderita merosot

2. Perbaikan hemodinamik tidak seperti yang diharapkan

3. Diperlukan NTG atau nitroprusside dosis tinggi untuk stabilisasi hemodinamik

4. Dobutamin atau dopamin diperlukan untuk menaikkan tekanan darah dan perfusi perifer

5. Bila kita ragu dengan diagnosa EPAK

Pada evaluasi awal harus ditetapkan apakah ada sindroma koroner akut. Diagnosa

sindroma koroner akut pada umumnya dapat ditegakkan dengan penilaian klinis EKG. Bila

terdapat sindroma koroner akut perlu dipertimbangkan tindakan reperfusi miokardial urgen.

Kateterisasi jantung dan arteriografi koroner untuk kemudian dilanjutkan dengan tindakan

intervensi yang tepat (bila tersedia), atau diberikan terapi trombolitik.

Ekokardiografi 2-D-doppler didindikasikan pada semua penderita dengan EPAK. Prosedur

ini dilakukan segera sesudah hemodinamik stabil.

Terapi edema paru akut :

1. Oksigen

2. NTG SL atau IV

3. Diuretika ( furosemid ) IV

4. Morfin sulfat IV

5. ” Cardiovascular support drug ” ( Nitroprusside, dopamin, dobutamin IV )

6. Trombolitik atau revaskularisasi urgen ( angioplasti atau CABG ) bila ada indikasi

7. Intubasi dan ventilasi mekanik bila terdapat hiposia berat yang tak responsif terhadap

terapi, dan asidosis respiratorik

8. koreksi definitif terhadap kausa dasar ( MVR arau repair untuk MR berat ) bila ada indikasi

dan klinis feasable

Bila keadaan stabil harus diupayakan identifikasi kausa gagal jantung yang dapat dikoreksi.

Tanpa dapat mendeteksi dan koreksi kausa dasar, prognosa jangka panjang adalah buruk.

Page 12: GAGAL JANTUNG

Syok Kardiogenik ( SK )

Bila SK tidak disebabkan oleh kausa yang dapat dikoreksi, atau bila kausa tidak dikoreksi

dengan efisien dan efektif , angka mortalitas ( Mortality Rate ) > 85%. karena itu upaya

diagnostik dan terapetik harus semaksimal mungkin untuk identifikasi kausa dan intervensi

definitif. Penderita dengan hipoperfusi tetapi tekanan masih adekuat dianggap dalam keadaan

presyok dan diperlukan seperti syok.

Prinsip pengelolaan :

Identifikasi

Eksklusi dan / atau terapi kausa reversibel

Stabilisasi klinis dan hemodinamik

Rekam EKG, monitor EKG, pasang kateter intravena dan kateter arteri untuk monitor

tekanan darah. Pasang kateter pulmonal. Apakah ada aritmia yang berperan dalam merosotnya

status hemodinamik, bila perlu kardioversi. Apakah tidak ada penurunan pengisian ventrikel

yang menyebabkan hipotensi ? bila tidak ada tanda-tanda overload volume ( S3 gallop, rales

paru, foto toraksa yang menunjukkan adanya kongesti paru ) berikan cairan NaCI fisiologik

dengan cepat ( > 500 ml bolus, diteruskan dengan 500ml / jam ). Tekanan vena jugularis bukan

indikator dari tekanan pengisisan ventrikel kiri yang bisa diandalkan.

Pada infark miokard akut ( IMA ) inferior dengan syok, harus dicurigai adanya infark

ventrikel kanan, yang menyebabkan gagal jantung kanan dan menurunkan pengisian jantung kiri.

Diagnosa infark ventrikel kanan sering dapat ditegakkan hanya atas dasar temuan klinis seperti

peningkatan tekanan vena jugularis saat inspirasi.

Pemberian cairan adalah komponen utama terapi infark ventrikel kanan untuk

mempertahankan tekanan pengisian ventrikel kanan untuk mempertahankan curah jantung.

Pemberian caiaran dapat dipandu oleh variabel klinik ( tekanan darah, perfusi perifer, suara

gallop ventrikel ), tetapi monitoring hemodinamik dengan kateter arteri pulmonal tetap, masih

diperlukan untuk optimalisasi banyaknya cair yang diberikan. Bila volume cair tidak

memberikan perbaikan klinis dan hemodinamik, maka untuk stabilisasi penderita mungkin

Page 13: GAGAL JANTUNG

diperlukan terapi tambahan lain ( dobutamin, IABC, atau tindakan intervensional ). Pemakaian

diuretika dan vasodilator pada penderita dengan infark ventrikel kanan dapat menimbulkan

hipotensi.

Bila ada hipotensi ( TDS < 70 mmHg ) atau syok klinis, terjadi pada keadaan overload

volume atau pasca bolus NaCI harus diberikan dopamin dosis sedang ( 4-5 uk/kg bb/menit ), jika

perlu, dosis dapat ditingkatkan. Bila hipotensi atau syok klinis tidak teratasi dengan dosis

dopamin (15 ug/kg bb/menit) dipertimbangkan pemasangan IABC.

Penderita dengan overload volume ( atau pasca volume loading yang adekuat ) dan klinis

Pre syok pada umumnya memberikan respon yang baik dengan dobutamin ( 2-4 ug/kg bb/menit)

atau dengan dobutamin dosis rendah sampai sedang ( 2-5 ug/kg bb/menit ).

Selama terapi harus diperhatikan :

1. Status volume intravaskuler dari penderita

2. Status fungsi ventrikel

3. Adanya cedera / infark miokard

4. Apakah terdapat kausa reversibel atau dapat dikreksi ?

1. Status Intravaskuler – cara yang terbaik adalah dengan memasang kateter pulmonal untuk

menilai parameter hemodinamik. Bila ada disfungsi ventrikel kiri maka kriteria biasanya

dipergunakan untuk menilai volume intravaskuler tidak dapat dipergunakan. Tekanan

pengisian ventrikel kiri yang optimal, untuk penderita dengan syok atau Pre syok akibat IMA

berkisar antara 14-18 mmHg .

2. Status fungsi ventrikel – ekokardiografi-2D-doppler sangat bermanfaat dalam menilai status

fungsi ventrikel dan memandu evaluasi / tindakan selanjutnya.

3. Infark miokard ? – pada IMA dengan syok atau Pre syok dipertimbangkan kateterisasi

jantung dan arteriografi koroner selektif. Reperfusi daerah oklusi pada penderita syok yang

tidak responsif dengan pemberian cairan dapat menurunkan angka mortalitas dari < 85%

menjadi < 65 %. Bila tidak tersedia fasilitas intervensi dapat dipertimbangkan terapi

trombolitik. Efek trombolitik terhadap mortalitas belum jelas.

Page 14: GAGAL JANTUNG

4. Apakah terdapat kausa yang dapat dikoreksi ? - evaluasi klinis dan ekokardiografi-2D-

doppler adalah cara awal untuk identifikasi kausa. Kemudian dapat dilakukan ekokardiografi

esofagial dan kateterisasi jantung utuk memperoleh diagnosa yang lebih tepat.

Pengelolaann Syok / Pre syok Kardiogenik

1. Oksigen

2. Bila tidak jelas ada overload volume, berikan cair intravena secara tepat

3. bila ada overload volume atau pasca terapi cairan intravena, berikan cardiovascular

support drug ( dobutamin, dopamin ) untuk memperoleh status klinik hemodinamik yang

stabil

4. Bila ada cedera / infark miokard, bila mungkin, revaskularisasi arteri koroner

5. Trombolitik bila kateterisasi jantung / arteriografi koroner / revakularisasi tidak dapat

dilakukan.

Dekompensasi Akut pada Gagal Jantung Kongestif Kronik

Prinsip pengelolaan :

Stabilisasi klinis dan hemodinamik

Identifikasi faktor pencetus reversibel

Optimalisasi terapi jangka panjang

Manifestasi klinik biasanya sekunder oleh karena (a) overload volume, (b) tekanan

pengisian ventrikel yang meningkat dan (c) menurunnya curah jantung.

Page 15: GAGAL JANTUNG

Keluhan gejala ringan-sedang – biasanya dapat diatasi dengan dan optimalisasi obat-obat

yang telah dipergunakan penderita sebagai terapi gagal jantung kongestip khronik. Biasanya

tidak memerlukan rawat-tinggal kecuali bila terdapat faktor pencetus ( mis. Infark miokard ) atau

keadaan yang lain yang mungkin menyertai ( hipoklemia berat, asidosis, aritmia simtomatik ).

Keluhan sedang-berat – biasanya memerlukan rawat tinggal. Penderkatan diagnostik

terapetik sama dengan penderita dengan gagal jantung akut.

Indikasi Intraaortic Ballon Counterpulsation ( IABC ) pada Gagal Jantung

1. Syok kardiogenik, edema paru dan gagal jantung akut lain yang tidak responsif terhadap

pemberian volume cairan atau terapi farmakologik, pada penderita dengan kausa yang

potensial reversibel.

2. Gagal jantung akut disertai iskemia refrakter, yang disiapkan untuk kateterisasi jantung atau

arteriografi koroner dan intervensi definitip

3. Gagal jantung akut disertai MR bermakna atau ruptur septum ventrikel ; untuk memperoleh

stabilisasi hemodinamik sebelum dilakukan terapi definip

Indikasi Pemasangan Kateter Arteri Pulmonal

1. Syok atau Pre syok kardiogenik yang tidak responsif terhadap terapi volume cairan

2. Edema paru akut yang tidak respon terhadap intervensi yang sudah benar atau disertai syok

atau Pre syok atau hipotensi

3. Sebagai sarana diagnostik untuk memecahkan ketidak pastian apakah edema paru

kardiogenik atau non kardiogenik

Page 16: GAGAL JANTUNG

4. Menilai status volume intravaskuler, tekanan pengisian ventrikel dan fungsi jantung pada

penderita dengan gagal jantung kongestif kronik yang mengalami dekompensssi akut

GAGAL JANTUNG KRONIK

Evaluasi

Disfungsi Sistolik

Semua penderita dengan gagal jantung harus dilakukan evaluasi diagnostik sebatas

keperluan untuk :

1) Menetapkan jenis disfungsi jantung

2) Identifikasi kausa yang dapat dikoreksi

3) Menetapkan prognosa

4) Memandu terapi

Eko-2D-doppler sangat berguna untuk evaluasi awal untuk menilai masa ventrikerl kiri,

ruang ventrikel / atria, fungsi sistolik atau diastolik dan mencari kausa.

Kausa yang paling sering disfungsi ventrikel kiri : penyakit arteri koroner, hipertensi , dan

dilated kardiomiopati ( di Amerika Serikat )

Kombinasi iskemia dan disfungsi ventrikel kiri ( dengan atau gagal jantung klinik yang

nyata secara klinik ) mempunyai prognosis yang jelek, revaskularisasi pada golongan ini adalah

terapi pilihan. Karena itu pada penderita golongan ini sangat dianjurkan untuk dilakukan

arteriografi koroner untuk menilai kemungkinan dilakukan revaskularisasi koroner.

Bila tak ada angina atau infark miokard sebelumnya, kemungkinan penyakit koroner

sebagai kausa gagal jantung pada penderita berbeda. Sesudah evaluasi klinis, kita dapat memilih

tindakan selanjutnya :

1. Tidak lagi melakukan tes untuk penyakit arteri koroner

Page 17: GAGAL JANTUNG

2. Melakukan tes noninvasif untuk mendeteksi iskemia miokard

3. melakukan arteriografi koroner, bila terdapat banyak faktor risiko dan terdapat

abnormalitas regional pada ekokardiografi

Penderita dengan gagal jantung yang sebabnya tak dapat dikaitkan dengan hipertensi atau

penyakit arteri koroner, harus dilakukan evaluasi yang cermat untuk mencari etiologi lain.

Diagnosa idiopathic dilated cardiomyopathy hanya diberikan sesudah diagnosa untuk eksklusi

penyakit lain sudah lengkap. Sejauh mana kita berusaha melakukan pemeriksaan ditentukan oleh

indeks kecurigaan yang kita peroleh dari pemeriksaan klinis atau laboratorium.

Disfungsi Diastolik

Sebagaian besar penderita gagal jantung terdapat penurunan fungsi sistolik ventrikel dan

juga penurunan fungsi diastolik. Tetapi sebagaian lagi menunjukkan fungsi sistolik yang normal

atau hampir normal dan penurunan fungsi diastolik yang predominan. Pengelolaan penderita

dengan yang primer disfungsi sistolik berbeda dengan dengan penderita dengan primer disfungsi

diastolik, dan karena itu sangat penting untuk membedakan kedua keadaan tersebut.

Disfungsi diastolik menyebabkan gangguan pengisian ventrikel dengan mengurangi

relaksasi ( awal diastol ) atau compliance ventrikel ( awal dan akhir diastol ) atau kedua-duanya.

Konsekuensi hemodinamik adalah kenaikan tekanan pengisian ventrikel, atrium kiri, vena dan

kapiler pulmonal, yang bila tidak dikoreksi, akan meningkatkan tekanan arteri pulmonal dan

ventrikel kanan. Tekanan pengisian yang meninggi pada umumnya mampu mempertahankan

curah jantung yang normal saat istirahat, tetapi akan mengalami kesulitan pada keadaan yang

menuntut kenaikan curah jantung (peningkatan aktifitas fisik).

Proses patologik yang sering mendasari disfungsi diastolik ventrikel adalah iskemia

miokard, hipertrofi dan fibrosis, dimana etiologi utama adalah penyakit koroner, hipertensi,

diabetes mellitus, stenosis aorta, kardiomiopati, hipertrofik, kardiomiopati infiltratif dan

endokardial fibroelastosis penurunan compliance ventrikel juga bagian dari proses ketuaan.

Page 18: GAGAL JANTUNG

Manifestasi klinik beragam, tanpa keluhan, edema paru, atau tanda-tanda gagal jantung

kanan dan penurunan toleransi pada latihan. Disfungsi diastolik akut dengan edema paru akut

sebagai menifestasi iskemia miokard akut atau hipertensi tidak jarang dijumpai.

Disfungsi diastolik harus dicurigai pada penderita dengan keluhan dan gejala gagal jantung

tetapi fungsi sistolik ventrikel normal atau hampir normal ekokardiografi doppler atau imaging

radionuklid dapat mengevaluasi fungsi sistolik dan mendeteksi disfungsi diastolik ( dengan

mengukur indeks pengisian diastolik ). Kateterisasi jantung dapat dipergunakan sebagai

pemeriksaan alternatif bila metoda non invasif tidak diagnostik.

Aktifitas Neurohormonal

Bermacam sistim neurohormonal endogen diaktivasi pada penderita dengan gagal jantung

khronik dan aktivasi ini berperan dalam patofisiologi gagal jantung. Yang terpenting adalah

aktivasi sistim renin-angiotensin-aldosteron ( RAA ). Aktivasi sistim simpatik terjadi awal,

peningkatan aktivitas simpatik juga terjadi pada penderita yang disfungsi ventrikel yang

asimtomatik. Aktivasi sistim RAA terjadi pada stadium yang lebih lanjut, aktivitas sistim RAA

menjadi amat meningkat pada penderita dengan gejala gagal jantung yang lanjut. Faktor

hormonal vasokonstriktor lain juga berperan ( endotelin dan vasopresin ). Disamping itu sistim

hormonal dengan aktifitas vasodilator juga mengalami perubahan.

Aktivasi neurohormonal berperan berperan penting dalam progresif gagal jantung. Sistim

hormonal menimbulkan efek hemodinamik yang dapat merubah fungsi jantung; aktivasi yang

berkepanjangan menimbulkan efek merusak sel otot jantung. Karena itu intervensi terapetik yang

dilakukan bertujuan menghambat efek sistim vasokonstriktor dan meningkatkan sistim

vasodilator endogen. Pemakaian klinik berbagai intervensi (mis. ACEI, beta adredergik blocker

pada penderita gagal jantung tertentu) sudah diakui, sedangkan efetifitas dari upaya intervensi

lain (antagonis vasopresin dan antagonis endotelin).

Page 19: GAGAL JANTUNG

Kapasitas Fungsional

Kapasitas fungsional penderita gagal jantung perlu dievaluasi; karena kapasitas fungsional

mempunyai dampak langsung pada kualitas hidup penderita. Perbaikan kapasitas fungsional

merupakan tujuan utama terapi gagal jantung. Kapasitas fungsional juga prediktor mortalitas

penderita gagal jantung.

Penilaian kapasitas fungsional mencangkup beberapa dimensi : kapasitas fisik, status

emosional, fungsi sosial, kemampuan kognitif. Yang terpenting adalah penilaian kapasitas fisik.

Faktor emosional, sosial dan kognitif mungkin sangat berpengaruh terhadap kemampuan

penderita untuk taat terhadap aturan-aturan dalam terapi dan mungkin dipengaruhi oleh

penyakitnya sendiri atau berkaitan dengan terapi yang diberikan.

Standar yang dipergunakan untuk menilai kapasitas fisik adalah uji latih, terutama

pengukuran waktu dan jarak latih, beban latih dan konsumsi oksigen maksimal. Ukuran ini dapat

dinilai dengan mempergunakan uji latih treadmill.

Cara alternatif menilai kapasitas fungsional adalah dengan menanyakan toleransi penderita

terhadap aktifitas sehari-hari. Karena penderita umumnya sudah membatasi sendiri aktivitas

sehari-harinya, maka sebaiknya ditanyakan secara spesifik aktivitas apa yang kita maksudkan

( mis. Sejauh 100 meter pada jalan datar atau menaiki tangga dirumah ).

TERAPI

Disfungsi Sistolik

Terapi gagal jantung khronik sudah sangat berubah sejak 10-15 tahun terakhir. Gagal

jantung bukan dipandang hanya semata keadaan edema yang responsif terhadap pemberian

diuretika. Banyak penderita gagal jantung tidak lagi menunjukkan edema, tetapi kemampuannya

menurun. Banyak uji klinik memberikan sumbangan data dalam perbaikan penanganan gagal

jantung akibat disfungsi sistolik.

Page 20: GAGAL JANTUNG

NNYHA fungional klas 1 adalah penderita dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri tanpa

gejala atau keluhan gagal jantung nyata. Karena itu seringkali tidak diberikan terapi

farmakologik. ACEI dapat diberikan pada golongan ini untuk prevensi gagal jantung dan

mungkin menurunkan mortalitas pasca IMA.

Penelitian menunjukkan bahwa angitensin convertin enzyme inhibitor ( ACEI ) sebaiknya

diberikan pada semua gagal jantung NYHA klas I dengan disfungsi sistolik yang bermakna

( fraksi ejeksi < 35-40% ).

NYHA klas II-IV. Studi SOLVD; V-HeFT dan CONSENSUS menunjang pemakaian

ACEI pada semua penderita dengan gagal jantung simtomatik, kecuali ada kontraindikasi atau

tidak toleran terhadap ACEI. Bila mungkin dosis ditingkatkan bertahap mencapai dosis yang

dapat menurunkan mortalitas sesuai dengan dosis pada studi-studi tsb ( mis. Enalapril 20 mg atau

catopril 150 mg sehari ).

Lisinopril ( 5-20 mg sehari ) dan quinapril ( 5 mg bid ) juga menunjukkan hasil yang

serupa. Studi AIRE menunjukkan bahwa ramipril ( 5 mg bid ) menurunkan mortalitas bila

diberikan pada hari 3-10 pasca IMA dengan gagal jantung. Sekali ACEI diberikan harus

diteruskan mungkin untuk selama hidup.

ISDN dan hydralazin juga mempunyai peran dalam terapi gagal jantung ( V-HeFT I dan

II ). ACEI merupakan tonggak pengobatan gagal jantung, akan tetapi ISDN dan hydralazin dapat

dipertimbangkan bila penderita tidak toleran terhadap ACEI, ISDN ( 5-10 mg 3x sehari ) dan

hydralazin ( 10mg 3x sehari ) diberikan sebagai dosis awal, yang dapat dinaikkan untuk

hydralazin 75 mg 4x sehari dan ISDN 40 mg 3x sehari. Untuk ISDN harus ada masa ” bebas-

nitrat ” selama 10 jam pada malam hari untuk menghindarkan toleransi terhadap nitrat.

Penderita dengan gagal jantung simtomatik cenderung meretensi Na, biasanya diuretika

perlu diberikan. Bilamana diuretika diberikan sangat individuil. Lebih dipilih diuretika loop

( furosemid Tu bumetadine ). Thiazid kurang bermanfaat bila GF < 30-40 ml / menit dan

mungkin akan menambah turunnya GFR < 30-40 ml / menit dan mungkin akan menambah

turunnya GFR. Berat badan harus dimonitor. Kenaikan BB 1-2 kg merupakan indikasi

menambah dosis diuretika.

Page 21: GAGAL JANTUNG

Bila terjadi resistensi terhadap diuretika, dapat dipergunakan kombinasi diuretik yang

bekerja pada segmen nefron yang berbeda ( mis. Thiazide plus diuretik loop). Penggunaan

diuretik kombinasi mungkin akan menimbulkan kekurangan cair dan gangguan elektrolit.

Penderita yang dengan resistensi Na dan gagal jantung refrakter perlu MRS dan diberikan

dobutamin IV ( 2-5 ug/kg bb/menit ), dopamin IV (1-3 ug/kg bb/menit) atau infus furosemide

( 1-5 mg/jam ). Retriksi cair mencapai 1000-2000 ml / hari dapat dicoba pada penderita dengan

hiponatremia dilutional.

Hipoklemia dan alkalosis ( ”contraction alkalosis” ) sering menyertai pemberian diuretika

yang terlalu bersemangat. Hipokalemia akan meningkatkan aritmia ventrikel. Pada umumnya

diperlukan KCI 20-60 mEq / hari untuk mempertahankan K plasma 4, 5 – 5, 0 mEq / 1.

Glikosida digitalis telah dipergunakan > 200 tahun untuk mengobati gagal jantung, tetapi

sampai sekarang masih terdapat kontroversi dalam pemakaian untuk gagal jantung dengan irama

sinus. peran digoxin pada penderita dengan fibrilasi atrium sudah jelas. Penelitian menunjukkan

bahwa digoksin efektif pada penderita dengan disfungsi ventrikel kiri simtomatik dengan irama

sinus. Efek utama mungkin melalui penurunan aktivitas simpatik. Digoksin belum terbukti

efektif pada penderita dengan disfungsi ventrikel yang asimtomatik. Ketidakpastian tentang

pemakaian digoksin disebabkan kurangnya data mengenai efeknya terhadap mortalitas. Untuk

mengatasi keadaan ini sedang dilakukan studi klinik skala besar, placebo controlled ( DIG –

digitalis investigator group ), untuk menilai pengaruh digoksin pada ” survival ” pada gagal

jantung yang hasilnya seharusnya dilaporkan tahun 1996. Sebelum hasil DIG diumumkan, masih

akan ada kontroversi mengenai peran digoksin pada penderita gagal jantung dengan irama sinus.

Manfaat pemakaian Antagonis Calcium pada penderita angina dan hipertensi dengan

disfungsi ventrikel kiri masih belum diakui. Beberapa penelitian menunjukkan antagonis calsium

memperburuk keadaan gagal jantung. Antagonis calcium belum dianggap obat yang aman pada

gagal jantung. PRAISE ( propective randomized amlodipine survival evaluation ) menunjukkan

bahwa pemakaian amlodipine pada gagal jantung tidak menimbulkan efek merugikan terhadap

mortalitas dan morbiditas.

Page 22: GAGAL JANTUNG

Beta-adrenergik blocker mungkin bermanfaat pada golongan tertentu gagal jantung.

Swedia yang pertama kali menunjukkan manfaat metropolol pada penderita dengan dilated

myopathy.

Akhir-akhir ini dilaporkan pemakaian beta blocker dengan sifat khusus ( kombinasi beta

blocker dengan aktivitas vasodilatasi ) , carvedilol, memperbaiki ventrikel kiri.

Pada masa sekarang pemakaian beta blocker pada gagal jantung masih dalam taraf

investigasi, akan tetapi mungkin akan berubah bila sudah lebih banyak data-data yang

menunjang.

Antikoagulasi dengan warfarin sering dipergunakan untuk penderita gagal jantung untuk

mencegah emboli sistemik. Emboli dihubungkan dengan fraksi ejeksi yang rendah dan akhir-

akhir ini banyak dilakukan antikoagulasi pada penderita dengan EF < 20% - 25%.

Untuk mengendalikan respon ventrikel pada fibrilasi atrium dipergunakan digoksin,

diltiazem atau beta blocker. Fibrilasi atrium dimana respon ventrikel tak terkendali dapat

memicu gagal jantung.

Aritmia ventrikel hampir selalu menyertai gagal jantung. Aritmia ventrikuler asimtomatik

tidak perlu diterapi, karena tidak ada data yang menunjang kebijakan tersebut. terapi antiaritmia

dapat memperburuk aritmia ventrikuler dan menimbulkan efek inotropik negatif pada penderita

gagal jantung.

Bila antiaritmia dipergunakan pada penderita gagal jantung sebaiknya diberikan di RS.

Pemakaian antiaritmia ventrikuler klas 1 pada gagal jantung harus dihindari. Bila aritmia

ventrikuler pada gagal jantung perlu diterapi, amiodarone mungkin meningkatkan ”Survival”.

Tetapi penelitian lain tidak menunjang kesimpulan diatas. pemakaian amiodaron pada gagal

jantung dengan aritmia ventrikuler masih memerlukan data lebih banyak.

Gagal jantung khronik yang refrakter terhadap terapi sebaiknya dimasukkan RS. Tirah

baring, diuretik oral diganti IV. Dapat dicoba pemakaian dobutamine atau fosfodiesteras

inhibitor, yang dapat meningkatkan curah jantung dan aliran darah ginjal, mungkin efektif untuk

mengurangi keluhan dan mengurangi retensi Na dan air yang refrakter. Dobutamin dosis rendah (

Page 23: GAGAL JANTUNG

2-5 ug/kg bb/menit ) sering sudah cukup sedang dosis lebih besar akan menimbulkan takikardia,

aritmia ventrikuler, hipokalemia dan iskemia miokard.

Milrinone IV (dosis muatan 50 ug/kg, dilanjutkan dengan 0,375-0,75 ug/kg/menit) dapat

dicoba sebagai alternatif. Pemakaian jangka panjang dilaporkan meningkatkan mortalitas.

Terapi Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri

1. Semua penderita dengan gagal jantung simtomatik dan NYHA fungsional klas1 yang disertai

penurunan fungsi ventrikel kiri harus diberikan ACEI, kecuali ada kontraindikasi atau tidak

toleran.

2. ACEI harus diberikan selamanya

3. Dosis ACEI yang dianjurkan adalah dosis yang lebih besar yang dipergunakan dalam uji

klinik yang memberikan perbaikan ” Survival ”

4. Penderita dengan gagal jantung harus diberikan diuretik meskipun tidak ada edema. Diuretik

dieprgunkan bersama dengan ACEI. Dosis dan jenis diuretik disesuaikan dengan status

cairan tubuh tetapi umumnya diberikan selamanya.

5. Retriksi Na adalah strategi yang penting dalam pengobatan gagal jantung

6. Antogonis calcium tidak terbukti bermanfaat pada penderita dengan gagal jantung sistolik

dan mungkin merugikan. Kecuali amlodipin yang masih dalam evaluasi

7. Digoksin adalah fefktif pada penderita dengan gagal jantung sedang dan berat, tetapi tidak

jelas pengaruhnya pada mortalitas

8. Aritmia asimtomatik pada gagal jantung tidak perlu diterapi

9. Meskipun beta blocker menunjukkan manfaat pada gagal jantung, tetapi pemakaiannya

masih bersiafat investigsional

10. Antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium atau penderita dengan riwayat

emboli dan pada penderita dengan FE yang amat rendah atau trombus intrakardiak. Tidak

cukup data untuk menyarankan pemakaian rutin pada gagal jantung

11. Dobutamin dosis rendah atau milrinon IV mungkin bermanfaat pada penderita gagal jantung

refrakter tertentu. Pemakaian jangka panjang masih memerlukan data mengenai efek

terhadap survival

Page 24: GAGAL JANTUNG

12. Latihan fisik bersifat dinamik dianjurkan selama penderita mampu

Disfungsi Diastolik

Terdapat persamaan dan perbedaan terapi penderita dengan disfungsi diastolik dan

disfugnsi sistolik. Tujuan terapi pada disfungsi diastolik adalah mengurangi keluhan dan

menurunkan tekanan pengisian ventrikel yang meninggi tanpa mengakibatkan penurunan curah

jantung yang bermakna. Tujuan ini dapat dicapai dengan pemakaian diuretik dan nitrat dengan

bijak. Karena curah jantung yang adekuat tergantung pada tekanan pengisian yang meninggi,

maka tindakan pemberian nitrat dan / atau diuretik tersebut cenderung menimbulkan hipotensi,

jadi dosis awal nitrat dan diuretika harus kecil, dan efek merugikan dimonitor dengan cermat.

Antagonis calcium dan beta blocker diperkirakan secara langsung memperbaiki disfungsi

diastolik dengan memperkuat relaksasi ventrikel atau memperbaiki compliance, tetapi data yang

menunjang pendapat ini masih terlalu sedikit. Beta blocker mungkin memperbaiki pengisian

diastolik karena menurunkan kecepatan denyut jantung, juga disini tidak ada data yang cukup.

Karena pada disfungsi diastolik biasanya fungsi sistolik normal, obat dengan inotropik

positif tidak banyak manfaatnya. Bila disfungsi diastolik berlanjut, dikemudian hari akan terjadi

disfungsi sistolik

Terapi Disfungsi Diastolik Ventrikel Kiri

Tujuan terapi farmakologik pada penderita dengan disfungsi diastolik adalah

mengendalikan gejala / keluhan dengan menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa

menurunkan curah jantung.

1. Diuretik & Nitrat adalah obat pilihan untuk penderita yang simtomatik

2. Antagonis calcium, beta blocker dan ACEI mungkin bermanfaat

3. Obat dengan kerja intropik positif yang diindikasikan bila fungsi sistolik normal

Tindakan / nasihat umum yang diberlakukan pada semua penderita gagal jantung : koreksi

dari semua faktor yang memperberat atau mencetuskan gagal jantung ( mis. Anemia, infeksi,

hipertensi, obesitas ). Alkohol dapat menimbulkan kardiomiopati, dan konsumsi berlebihan dapat

Page 25: GAGAL JANTUNG

menimbulkanhipertensi. Penyuluhan pada penderita dan keluarganya sangat penting. Kegagalan

penderita mematuhi intruksi dokter yang merawat adalah penyebab utama kegagalan terapi.

Dokter yang merawat harus yakin bahwa penderita dan keluarga mempunyai pengertian tentang

sebab-sebab gagal jantung, prognosa, terapi, retriksi diit, aktivitas, pentingnya kepatuhan dan

gejala-gejala gagal jantung.

Patofisiologi

Sisa darah saat akhir systole > normal fase diastole: sisa darah bertambah tekanan akhir

diastolic menjadi lebih tinggi bendungan di atrium kiri peninggian tekanan darah di vena

pulmonalis ventrikel kanan memompa darah seperti biasanya tekanan hidrostatik paru

meningkat tinggi transudasi cairan dari kapiler paru.

Tekanan A. pulmonalis & bronchialis meningkat transudasi jaringan interstisial bronkus

edema

ganggu aliran udara ekspirasi panjang dan berbunyi (wheezing) asma kardial (permulaan

gagal jantung)

Cairan transudasi banyak akan dialirkan ke saluran limfatik untuk selanjutnya masuk ke sirkulasi

darah saluran limfatik tidak cukup menampung cairan tertahan di jaringan interstisial

paru masuk alveoli (edema interstisial) pergerakan alveoli terganggu pertukaran udara

terganggu sesak nafas, nadi cepat.

Transudasi masuk ke rongga alveoli edema paru dengan gejala sesak nafas yang hebat,

takikardi, hipotensi tidak teratasi syok kardiogenik asidosis otot-otot jantung

daya pompa menurun.

GAGAL JANTUNG SISTOLE

Artinya ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun,

kemampuan aktif fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.

Page 26: GAGAL JANTUNG

GAGAL JANTUNG DIASTOLE

- artinya gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventr

- diagnosanya disebut dengan pemeriksaan dopler.

Mitral dan Aliran Darah Pulmonalis

- 3 macam gangguan fungsi diastole

- gangguan relaksasi

- pseudo – normal

- tipe restriktif

- penatasulaannya

- untuk kongesti sistemik / pulmonal akibat dari gangguan diastolic tersebut

- dapat diperbaiki dengan restriksi gram dan pemberian diuretic

- mengurangi denyut jantung agar waktu untuk diastolic bertambah

- dapat dilakukan dengan pemberian penyekat beta / penyekat kalsium non dihidropiridin

Manifestasi klinis

DISPNEU DE EFFORD

Merupakan perasaan susah bernafas. Biasanya merupakan manifestasi klinis

Gagal Jantung kiri. Karena tekanan di atrium kiri meningkat, tekanan vena

pulmonalis meningkat sehingga cairan akan merembes ke jaringan interstitial paru,

dan akan memasuki alveolus sehingga terjadi gangguan perfusi dan terjadi sesak

nafas.

Pada saat aktivitas, kebutuhan Oksigen meningkat, sedangkan perfusi terganggu.

Hal inilah yang menyebabkan sesak saat beraktivitas.

Page 27: GAGAL JANTUNG

Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mula-

mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung dan terutama pada malam hari; dapat

terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan. Nokturia

disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga

berkurangnya vasokonstriksi ginjal pada waktu istirahat.

Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka (edema

tubuh generalisata). Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena

sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi

paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada

gagal jantung kanan yang nyata. Semua manifestasi secara khas diawali dengan

bertambahnya berat badan, yang jelas mencerminkan adanya retensi natrium dan air.

(Price, 2006 : 638)

Pada Gagal Jantung, jantung gagal memompa darah secara normal dari vena ke

dalam arteri peningkatan tekanan vena dan tekanan kapiler filtrasi kapiler makin

bertambah. Di samping itu, tekanan arteri turun penurunan ekskresi garam dan air

oleh ginjal peningkatan volume darah peningkatan tekanan hidrostastik kapiler

edema makin bertambah.

Penurunan aliran darah ke ginjal merangsang sekresi renin peningkatan

pembentukan angiotensin II dan peningkatan sekresi aldosteron menambah beratnya

retensi garam dan air oleh ginjal. (Guyton, 1997 : 390).

Gagal jantung akut tidak menyebabkan pembentukan edema perifer dengan segera.

Sewaktu jantung yang sebelumnya normal mengalami kegagalan pemompaan akut,

tekanan aorta menurun dan tekanan atrium kanan meningkat. Ketika curah jantung

mendekati nol, kedua tekanan saling mendekat pada nilai keseimbangan sekitar 13

mmHg. Tekanan kapiler juga harus turun dari nilai normal 17 mmHg menjadi 13 mmHg.

Jadi, gagal jantung akut yang berat menyebabkan penurunan tekanan kapiler perifer.

Page 28: GAGAL JANTUNG

Edema perifer mulai timbul setelah sehari atau lebih sejak terjadi gagal ginjal total atau

gagal ginjal kanan akibat retensi cairan oleh ginjal. Retensi cairan meningkatkan

tekanan pengisian sistemik rata-rata peningkatan kecenderungan aliran darah untuk

kembali ke jantung peningkatan tekanan atrium kanan hingga ke nilai lebih tinggi dan

mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal tekanan kapiler meningkat

menyebabkan hilangnya cairan ke dalam jaringan dan pembentukan edema hebat.

(Guyton, 1997 : 340)

Orthopneu (dispneu saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran

darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral. Reabsorpsi

cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular

paru yang lebih lanjut.

Paroxysmal Nocturnal Dyspneu (PND, dispneu nokturnal paroksismal) atau

mendadak terbangun karena dispneu, dipicu oleh timbulnya edema paru interstisial.

Hal ini merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri

dibandingkan dispneu atau ortopneu.

Page 29: GAGAL JANTUNG

Cardiac Arrest (CA) = Cardiopulmonary Arrest = Circulatory Arrest

Definisi

Serkulasi darah berhenti karena tidak bisa mengirim oksigen ke seluruh tubuh, bisa

menyebabkan hilangnya kesadaran – henti nafas – kematian mendadak. CA termasuk medical

emergency/sinonimnya kematian klinis.

Etiologi

70% disebabkan infark myokard akut dan emboli paru. Penyebab lainnya:

- Non cardiac

Infeksi, overdosis, trauma & kanker.

- Cardiac

Aritmia & cardiomyopathy

Terapi

Diet dan olah raga.

Penatalaksanaan

CPR, pemberian adrenalin, dll.

ARITMIA ATRIAL (Kelainan Irama Jantung yang berasal dari Atrium)

Definisi dari aritmia yaitu,

Irama yang berasal bukan dari nodus SA

Irama yang tidak teratur

Page 30: GAGAL JANTUNG

Frekuensi kurang dari 60x/menit (sinus bradikardi) atau lebih dari 100x/menit (sinus

takikardi)

Terdapatnya hambatan impuls supra atau intra ventrikuler

Aritmia Atrial:

1. Ekstrasistol atrial/SVES (Supraventrikuler extrasystole)/premature atrial beat

Terjadi karena impuls yang berasal dari atrium timbul secara prematur.

Gambaran EKG: adanya gelombang P yang timbul prematur (P’) diikuti komplek

QRS yang normal. Interval PP’ lebih pendek daripada interval PP pada irama sinus.

Tidak butuh pengobatan.

2. Takikardi atrial paroksismal = takikardi supraventrikuler paroksismal

Letak kelainan di nodus AV/atrium, sering terjadi pada perempuan.

Dipicu oleh ekstrasistol atrial.

PATOGENESIS: dalam AV node terdapat 2 jalur konduksi, fast dan slow

pathway. Pada irama sinus, konduksi melalui fast pathway. Namun, pada

takikardi atrial paroksismal, melewati slow pathway akibat adanya ekstrasistol

atrial yang memblok fast pathway akibatnya kecepatan konduksi menurun, terjadi

reentry AV node lalu terjadi takikardi.

Gambaran EKG: Gel. P sulit dikenali/tidak jelas, kompleks QRS sempit, irama

teratur, frekuensi 120-250x/menit.

Gambaran klinis: palpitasi, disertai keringat dingin, pasien merasa lemah, kadang

sesak napas dan hipotensi.

Terapi: tindakan pijat sinus caroticus, adenosis IV, verapamil/β-blocker.

Page 31: GAGAL JANTUNG

3. Fibrilasi atrial

Terjadi eksitasi dan recovery yang sangat tidak teratur dari atrium. Oleh karena

itu, impuls listrik yang timbul dari atrium juga sangat cepat dan tidak teratur.

Tampak adanya fibrillation wave, yaitu gambaran gelombang yang tidak teratur

dan sangat cepat dengan frekuensi 300-500x/menit.

Gambaran EKG: kompleks QRS sempit, irama tidak teratur, gelombang P

banyak (tidak terlihat jelas).

Pengobatan:

o Kelompok control rate (mengatur denyut nadi) β-blocker, antagonis

kalsium, digitalis.

o Kelompok rythme control (mengkonversi irama atrial fibrilasi menjadi

irama sinus dan mempertahankannya) obat blokae kanal Na+

(kuinidin,propafenon) dan obat blokade kanal K+ (amiodaron).

Page 32: GAGAL JANTUNG

4. Atrial flutter

Terjadi depolarisasi atrium yang sangat cepat karena adanya peningkatan reentry

pada atrium.

Didasari adnya kelainan jantung, seperti kelainan katup jantung, cor pulmonale,

dan PJK.

Page 33: GAGAL JANTUNG

Gambaran EKG: kompleks QRS teratur, irama atrium teratur, gelombang P

menyerupai gigi gergaji, frekuensi 250-250x/menit. Tampak jelas pada sadapan

II,III, dan aVF.

Pengobatan:

o jika disertai gangguan hemodinamik, dilakukan kardioversi.

o Jika frekuensi ventrikel meningkat diberikan antagonis kalsium, β-

blocker, digitalis

o Untuk merubah ke irama sinus gol IA/IC (kuinidin,propafenon) dan gol

III (amiodaron).

Page 34: GAGAL JANTUNG

ANTI-ARITMIA

Dibagi menjadi 4 kelas,

Kelas I

Merupakan obat-obatan yang memblok kanal Na+ pada membran sel sehingga

menurunkan kecepatan maksimal depolarisasi pada fase 0, sehingga tidak terjadi ptensial

aksi baru dan kemudian mencegah timbulnya ekstrasistol.

Dibagi menjadi 3 sub kelas:

o Kelas IA

Contoh: kuinidin, prokainamid, disopiramid.

Kelas IA efektif untuk mengatasi takiaritmia supraventrikular dan takiaritmia

ventrikular.

o Kelas IB

Contoh: lidokain, meksiletin, fenitoin, tokainid.

Lidokain dan meksiletin efektif untuk mengendalikan takiaritmia vantrikuler.

o Kelas IC

Contoh: flekainid, lorkainid, propafenon.

Kelas II

Merupakan β-blocker yang bersifat antiadrenergik sehingga menurunkan otomatisasi

nodus SA, memperpanjang refrakter nodus AV, dan menurunkan kecepatan konduksi

nodus AV.

Contoh: propanolol.

Kelas III

Obat-obatan yang memblok kanal K+. Contoh: amiodaron, bretilium, sotalol.

Kelas IV

Merupakan obat antagonis kalsium, mempunyai efek: inotropik (-), kronotropik (-) dan

hambatan pada konduksi AV. Contoh: verapamil, diltiazem.

Page 35: GAGAL JANTUNG

ARITMIA VENTRIKULAR

Memiliki 3 mekanisme:

a. Automaticity : terjadi percepatan fase 4 dari potensial aksi jantung, biasanya tercetus

pada keadaan akut dan kritis seperti infark, gangguan elektrolit, asam basa, dan

peningkatan tonus adrenergic.

b. Reentry : akibat kelainan kronis seperti infark miokard lama atau cardiomyopathy

dilatasi. Adanya infark menyebabkan terbentuknya jaringan parut dimana jaringan

parut tersebut dapat menjadi sirkuit reentry dan aritmia dapat timbul kapan saja.

c. Triggered activity : campuran dari 2 mekanisme di atas. Adanya kebocoran ion ke

dalam sel menyebabkan lonjakan potensial pada akhir fase 3/ awal fase 4 dari aksi

potensial jantung. Bila lonjakan ini bermakna, akan timbul potensial baru dan

terjadilah aritmia.

ARITMIA VENTRIKULAR mencakup:

1. Kompleks Ventrikuler Prematur (Premature Ventricular Complex atau

Ventricular Extrasystole)

Ekstrasistole Ventrikel merupakan kelainan irama dimana fokusnya berada di

ventrikel, dikarenakan rangsang ventrikel tidak berjalan melewati jalur normal,tetapi

malalui miokard

PVC (premature ventricular contraction) merupakan fokus ektopik pada ventrikel

yang muncul lebih awal dari irama dasarnya. Pada EKG akan terlihat kompleks QRS

yang lebar ,terdapat perubahan segmen ST-T sekunder dan terdapat pause kompensasi

penuh

Berdasar frekuensi dan bentuknya PVC dapat di bagi menjadi:

a. PVC jarang : kurang dari lima kali permenit

b. PVC sering : lebih dari lima kali pemenit

Page 36: GAGAL JANTUNG

c. PVC Repetetitif : bila muncul tiap denyutan

d. PVC berkelompok (salvo)

e. PVC multifokal

Suatu kompleks ventrikuler premature timbul di salah satu ventrikuler sebagai

akibat cetusan dari suatu fokus yang otomatis atau melalui mekanisme reentri. Karena

berasal dari ventrikel, maka urutan depolarisasi ventrikel yang normal menjadi berubah.

Ventrikel mengalami depolarisasi secara berurutan, dan konduksi berlangsung tidak

melalui jalur hantaran melainkan melalui miokardium akibatnya QRS menjadi lebar (0,12

detik atau lebih), segmen ST dan gelombang T berlawanan arah dengan kompleks QRS.

Bila kompleks ini akibat reentri di fokus yang sama, maka interval antara kompleks QRS

normal yang mendahuluinya dengan kompleks ventrikuler prematur tersebut (interval

pasangan) selalu sama. Bila interval pasangan ini berbeda, maka asalnya mungkin dari

fokus berbeda di ventrikel. Gambaran kompleks ventrikuler prematur seperti itu disebut

multifokal.

Pada gambaran EKG, gelombang P sinus bisa terbenam dalam kompleks QRS,

segmen ST atau gelombang T. Kompleks QRS timbul lebih awal dari seharusnya dengan

durasi 0,12 detik atau lebih. Gambaran QRS sering aneh (bizarre) dengan takik (notch).

Segmen ST dan gelombang T biasanya berlawanan arah dengan QRS. Bila multipel dan

unifokal, maka morfologinya biasanya sama (tetap) begitu juga interval pasangannya.

Bila multifokal atau multiform, maka interval pasangan dan morfologi QRS bervariasi.

Durasi dan morfologi kompleks QRS, urutan aktivasi tidak mengikuti arah

konduksi normal sehingga bentuk kompleks akan kacau dan durasinya menjadi panjang

Page 37: GAGAL JANTUNG

(lebih dari 0,12 detik). Morfologi QRS bergantung dari dari asal focus dari ventrikel

takikardi.bila berasal dari ventrikel kanan akan memberikan gam baran blok berkas

cabang kiri dan sebaliknya

Laju dan irama,laju berkisar antara 120-300 kali per menit dengan irama yang

teratur atau hamper teratur variasi antar denyut adalah <0,04 detik.

Aksi kompleks QRS, tidak hanya penting untuk diagnosis tapi juga asal focus,

dimana aksis berubah sebesar 40 derajat atau lbih baik ke kiri maupun kekanan.

Kompleks QRS pada sadapan aVR berada pada posisi -210 derajat dengan kompleks

QRS negative. Bila kompleks QRS menjadi positif saat takikardi sangat menyokong

adanya VT yang berasal dari apex yang mengarah ke bagian basal.

Disasosiasi antara atrium dan ventrikel, Pada VT nodus sinus terus memberikan

impuls secara bebas tanpa ada hubunganya dengan aktivitas ventrikel oleh nodus sinus

dan ventrikel dikontrol oleh fokus takikardi sehingga gelombang P yang muncul tidak

berkaitan dengan kompleks QRS.

Capture beat dan fusion beat, keadaan capture beat impuls dari atrium dapat

mendepolarisasikan ventrikel melalui system konduksi normal sehingga memunculkan

kompleks QRS yang lebih awal. Fusion beat terjadi bila impuls nodus sinus dihantarkan

ke ventrikel melalui nodus atrioventrikular dan bergabung dengan impuls dari ventrikel

Konfigurasi kompleks QRS, adanya kesesuaian dari kompleks QRS pada

sadapan.kesesuaian positif kompleks QRS pada sadapan dada dominan positif

menunjukkan asal fokus takikardi dari dinding posterior ventrikel, dan apabila asal fokus

negative maka berasal dari dinding anterior ventrikel

Page 38: GAGAL JANTUNG

Kompleks ventrikel prematur dikatakan bigemini apabila berselang seling dengan

kompleks QRS normal, dan disebut kompleks ventrikuler prematur trigemini apabila ada

satu kompleks ventrikuler prematur setelah setiap 2 QRS normal.

Penatalaksanaan

Keadaan akut, bila hemodinamik stabil terminasi diberikan obat-obat IV seperti

amoidaron, lidokain, prokainamid. Bila keadaan hemodinamik tidak stabil maka pilihan

pertama adalah kardioversi elektrik.

Keadaan kronik, tujuan pengobatanya adalah mencegah kematian mendadak

dengan pemberian obat penyekat beta, bila tidak efektif diberikan sotalol atau amiodaron,

pada pasien dengan riwayat infark miokard kiri obat ICD lebih unggul dalam

menurunkan mortalitas.

Pengobatan tidak diperlukan bila kompleks ventrikuler prematur jarang timbul

pada penderita yang tidak dicurigai menderita kelainan organik jantung. Pengobatan

diperlukan apabila pada keadaan iskemia miokard terdapat banyak kompleks ventrikuler

prematur, bigemini, trigemini, atau berbentuk multiform (multifokal). Pengobatan segera

dapat dilakukan dengan lidokain intravena. Alternatif obat lainnya adalah prokainamid,

disopiramid, propanolol, secara intravena. Bila pengobatan tidak perlu segera, obat-obat

tersebut (termasuk kinidin) dapat diberikan secara oral. Obat-obat ini dapat menurunkan

fungsi jantung sehingga harus hati-hati bial terdapat payah jantung.

2. Takikardia Ventrikuler (ventricular tachycardia = VT)

Bila terdapat 3 atau lebih kompleks yang berasal dari ventrikel secara berurutan

dengan laju lebih dari 100 per menit, maka gambaran tersebut disebut takikardia

ventrikuler. Laju QRS biasanya tidak lebih dari 220 per menit dengan irama yang teratur

maupun tidak. Akibat hemodinamik distrimia ini tergantung terutama pada ada tidaknya

disfungsi miokard, misalnya akibat iskemia atau infark, serta pada frekuensinya. Bisa

terdapat disosiasi AV, dan gelombang P sinus kadang-kadang dapat terlihat diantara

kompleks QRS. Konduksi dari atrium ke ventrikel biasanya dicegah karena nodus AV

Page 39: GAGAL JANTUNG

atau sistem konduksi ventrikel mengalami istirahat (refractory) setelah depolarisasi

ventrikel. Kadang-kadang konduksi AV bisa terjadi pada saat nodus SAV dan sistem his-

purkinye dalam keadaan non refraktori. Keadaan ini bisa menyebabkan capture beat,

yaitu gambaran antara QRS normal dan kompleks ventrikuler prematur.

Pengobatan takikardia ventrikuler, pada penderita yang hemodinamiknya stabil

adalah dengan lidokain intravena, diawali dengan bolus 1 mg/kgBB (50-75 mg),

dilanjutkan dengan rumat 2-4 mg/kgBB/menit. Nila masih timbul, dapat diulangi bolus

50 mg/kgBB. Alternatif pengobatan lain adalah dengan prokainamid, bretilium,

meksiletin propanolol intravena, atau amiodaron. Bila hemodinamik tidak stabil

(hipotensi dengan atau tanpa edema paru) segera lakukan kardioversi dengan DC shock.

Bila penderita tidak sadar, tindakan sama dengan pada fibrilasi ventrikel.

3. Fibrilasi Ventrikel

Fibrilasi ventrikel adalah kondisi terminal dari takikardia ventrikel, berupa irama

yang sangat kacau. Bentuk dan ukuran gelombangnya sangat bervariasi, dan tidak terlihat

gelombang P, QRS maupun T. Tidak ada depolarisasi ventrikel yang terorganisasi

sehingga ventrikel tidak mampu berkontraksi sebagai suatu kesatuan. Kenyatannya,

ventrikel kelihatan seperti bergetar tanpa menghasilkan curah jantung. Fibrilasi ventrikel

merupakan penyebab henti jantung yang paling sering dan biasanya disebabkan oleh

iskemia akut atau infark miokard. Bentuknya ada yang kasar (coarse) dan halus (fine)

tergantung besarnya amplitudo gelombang fibrilasi.

Page 40: GAGAL JANTUNG

Pengobatan adalah dengan kardioversi (DC shock). Mula-mula diberikan 200

joules. Fibrilasi yang kasar biasanya baru terjadi dan responsif terhadap kardioversi.

Pada fibrilasi ventrikel yang halus perlu diberikan obat-obat (adrenalin) sebelum

dilakukan konversi. Selama tidak ada irama jantung yang efektif (pulsasi di pmbuluh nadi

dasar tidak teraba) terus menerus dilakukan resusitasi jantung paru, sambil mengulangi

kardioversi dengan dosis listrik yang lebih besar (360-400 joules). Juga diberikan

lidokain bolus intravena 1 mg/kgBB dan diikuti rumat 2-4 mg/kgBB/menit. Obat-obat

resusitasi lainnya diberikan sesuai dengan protokol resusitasi pada henti jantung.

4. Asistol Ventrikel

Dalam keadaan ini sama sekali tidak ada aktifitas listrik ventrikel. Gambaran

monitor EKG berupa garis (flat). Karena tidak ada depolarisasi maka sama sekali tidak

ada kontraksi. Asistol bisa terjadi sebagai kejadian primer pada henti jantung atau

mengikuti fibrilasi ventrikel, atau pada penderita blok jantung komplit dimana tidak ada

pacu penolong alami yang berfungsi.

Page 41: GAGAL JANTUNG

Harus segera dilakukan resusitasi jantung paru. Bila ada defibrilator dapat dicoba

kardioversi seperti pada fibrilasi ventrikel. Obat-obat resusitasi (adrenalin, sulfas atropin,

isuprel, natrikus bikarboas, kalsium klorida) bisa dipergunakan. Alat pacu temporer

mungkin bermanfaat bila sebelumnya ada blok jantung komplit.

5. Irama Agonal (Idioventricular Rhythm)

Gambarannya berupa gelombang QRS yang lebar-lebar dan tidak teratur.

Biasanya sudah tidak ada lagi pulsasi yang teraba (disosiasi elektromekanikal). Biasanya

terjadisetelah beberapa lama pada penderita yang sedang diresusitasi.

Pengobatannya dengan resusitasi dan obat-obatan seperti pada henti jantung.

6. Torsades de Pointes

Merupakan takikardia ventrikel yang ditandai oleh perubahan bentuk dan aksis

QRS. Torsades de Pointes biasanya diakibatkan oleh pemanjangan interval QT akibat

obat antiaritmia, sindrom long QT, dan Sindrom Brugada.

Tata laksana diberikan magnesium sulfat, Beta blocker, dan pemasangan alat pacu

jantung sementara pada pasien dengan bradikardia.

Page 42: GAGAL JANTUNG

HIPERTENSI PULMONAL

Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang jarang didapat namun progresif oleh

karena peningkatan resistensi vaskuler pulmonal yang menyebabkan menurunnya fungsi

ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel kanan.

Hipertensi pulmonal primer sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan,

lebih sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian pertahun

sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival dari awitan penyakit sampai

timbulnya gejala sekitar 2-3 tahun.

Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute of Health;

bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau “mean” tekanan arteri

pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktifitas dan tidak

didapatkan adanya kelainan valvular pada jantung kiri, penyakit myokardium, penyakit jantung

kongenital dan tidak adanya kelainan paru.

Definisi

Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah

pada pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada

saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit

berat yang ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung

kanan. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Dr Ernst von Romberg pada tahun 1891.

Hipertensi pulmonal terbagi atas hipertensi pulmonal primer dan sekunder. Hipertensi

pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak diketahui penyebabnya sedangkan

hipertensi pulmonal sekunder adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh kondisi medis

lain. Istilah ini saat ini menjadi kurang populer karena dapat menyebabkan kesalahan dalam

penanganannya sehingga istilah hipertensi pulmonal primer saat ini diganti menjadi Hipertensi

Arteri Pulmonal Idiopatik.

Page 43: GAGAL JANTUNG

Etiologi

Penyebab tersering dari hipertensi pulmonal adalah gagal jantung kiri. Hal ini disebabkan karena

gangguan pada bilik kiri jantung akibat gangguan katup jantung seperti regurgitasi (aliran balik)

dan stenosis (penyempitan) katup mitral. Manifestasi dari keadaan ini biasanya adalah terjadinya

edema paru (penumpukan cairan pada paru).

Penyebab lain hipertensi pulmonal antara lain adalah : HIV, penyakit autoimun, sirosis

hati, anemia sel sabit, penyakit bawaan dan penyakit tiroid. Penyakit pada paru yang dapat

menurunkan kadar oksigen juga dapat menjadi penyebab penyakit ini misalnya : Penyakit Paru

Obstruktif Kronik (PPOK), penyakit paru interstitial dan sleep apnea, yaitu henti nafas sesaat

pada saat tidur.

Patogenesis

Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan pengerasan pembuluh darah pada dan di dalam paru.

Hal ini memperberat kerja jantung dalam memompa darah ke paru. Lama-kelamaan pembuluh

darah yang terkena akan menjadi kaku dan menebal hal ini akan menyebabkan tekanan dalam

pembuluh darah meningkat dan aliran darah juga terganggu. Hal ini akan menyebabkan bilik

jantung kanan membesar sehingga menyebabkan suplai darah dari jantung ke paru berkurang

sehigga terjadi suatu keadaan yang disebut dengan gagal jantung kanan. Sejalan dengan hal

tersebut maka aliran darah ke jantung kiri juga menurun sehingga darah membawa kandungan

oksigen yang kurang dari normal untuk mencukupi kebutuhan tubuh terutama pada saat

melakukan aktivitas.

Page 44: GAGAL JANTUNG

COR PULMONAL

Synonims:

Pulmonary heart disease, cardiopulmonary disease.

Definisi :

1. Menurut WHO ( 1963 ), Definisi Cor Pulmonale adalah: Keadaan patologis dengan di

temukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan

struktur paru. Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri

dan penyakit jantung konginetal ( bawaan ).

2. Menurut Braunwahl ( 1980 ), Cor Pulmonale adalah: Keadaan patologis akibat

hipertrofi/ dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal.

Penyebabnya antara lain: penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru dan gangguan

fungsi paru karena kelainan thoraks.Tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang

disebabkan kelaianan vebtrikel kiri, vitium cordis, penyakit jantung bawaan, penyakit

jantung iskemik dan infark miokard akut.

Penyebab

Sebagian besar insidens Cor Pulmonale karena Penyakit Paru Obstruksi Menahun (Chronic

Obstructive Pulmonary Disease) sebagai akibat proses kronik dari Asma bronkial, Empisema

paru.

Page 45: GAGAL JANTUNG

Penyakit Paru Menahun yang menyebabkan Cor Pulmonale :

1. Tuberkulosis

2. Harasawa 10,7 %

3. Moerdowo 47,3 %

4. Bronkiektasis

5. Adam 25,7 %

6. Padmawati 20,6 %

7. Bronkitis kronis

8. Fisher 40,0 %

9. Padmawati 64,7 %

10. Emfisema paru

11. Harasawa 82,1 %

12. Moerdowo 90,2 %

Patogenesis terjadinya PPOM:

1. Rangsangan Kimia

2. Predisposisi Bawaan

3. Faktor Infeksi

4. Faktor Lingkungan dan Iklim

5. Faktor Sosial-Ekonomi

Page 46: GAGAL JANTUNG

6. Kelainan Thoraks

7. Kelainan Kontrol Pernafasan

Patofisiologi

Terjadinya penyakit ini diawali dengan kelainan struktural di paru, yakni kelainan di parenkim

paru yang bersifat menahun kemudian berlanjut pada kelainan jantung. Perjalanan dari kelainan

fungsi paru menuju kelainan fungsi jantung, secara garis besar dapat digambarkan sebagai

berikut:

1. Hipoventilasi alveoli

2. Menyempitnya area aliran darah dalam paru ( vascular bed )

3. Terjadinya shunt dalam paru

4. Peningkatan tekanan arteri pulmonal

5. Kelainan jantung kanan

6. Kelainan karena hipoksemia relatif pada miocard

Gejala klinis

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, Cor Pulmonale dibagi menjadi 5 fase, yakni:

Fase: 1

Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain ditemukannya gejala awal penyakit

paru obstruktif menahun (ppom), bronkitis kronis, tbc lama, bronkiektasis dan sejenisnya.

Anamnesa pada pasien 50 tahunbiasanya didapatkan adanya kebiasaan banyak merokok.

Page 47: GAGAL JANTUNG

Fase: 2

Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi paru. Gejalanya antara lain:

batuk lama berdahak (terutama bronkiektasis), sesak napas / mengi, sesak napas

ketika berjalan menanjak atau setelah banyak bicara. Sedangkan sianosis masih belum nampak.

Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa: hipersonor, suara napas berkurang, ekspirasi

memanjang, ronchi basah dan kering, wheezing. Letak diafragma rendah dan denyut jantungm

lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukkan berkurangnya bronchovascular pattern, letak

diafragma rendah dan mendatar, posisi jantung vertikal.

Fase: 3

Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas. Didapatkan pula berkurangnya nafsu

makan, berat badan berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik nampak sianotik, disertai sesak dan

tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.

Fase: 4

Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang somnolens. Pada keadaan yang

berat dapat terjadi koma dan kehilangan kesadaran.

Fase: 5

Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri pulmonal meningkat.

Page 48: GAGAL JANTUNG

Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi ventrikel kanan masih dapat kompensasi.

Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan kemudian terjadi

gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik nampak sianotik, bendungan vena jugularis,

hepatomegali, edema tungkai dan kadang ascites.

Pemeriksaan Penunjang:

1. Pemeriksaan Radiologi

2. Pemeriksaan EKG

Penatalaksanaan

1. Konseling ( penyuluhan ).

2. Memperbaiki fungsi pernafasan dan pengobatan terhadap obstruksi kronis.

3. Memperbaiki fungsi jantung dan pengobatan gagal jantung kongestif.

Konseling

Memberikan edukasi agar pasien menghindari segala jenis polusi udara dan berhenti merokok.

Memperbaiki ventilasi ruangan-ruangan dalam rumah. Latihan pernafasan dengan bimbingan

ahli fisioterapi.

Memperbaiki Fungsi Paru

Page 49: GAGAL JANTUNG

Selain upaya latihan pernafasan di atas, diperlakukan pemberian medikamentosa.

a. Bronkodilator

Aminofilin: Menghilangkan spasme saluran pernafasan Beta 2 adrenergik selektif (Terbutalin

atau Salbutamol ). Berkhasiat vasodilator pulmoner, sehingga diharapkan dapat menambah aliran

darah paru. Dosis obat diatas dapat dilihat di buku Farmakoterapi.

Mukolitik dan ekspektoran

Mukolitik berguna untuk mencairkan dahak dengan memecah ikatan rantai kimianya, sedangkan

ekspektoran untuk mengeluarkan dahak dari paru.

c. Antibiotika

Pemberian antibiotika diperlukan karena biasanya kelainan parenkim paru disebabkan oleh

mikro-organisme, diantaranya: Hemophylus influenzae dan Pneumococcus.

Dapat pula disebabkan oleh Staphylococcus dan bakteri Gram negatif seperti: Klebsiella.

Idealnya, pemberian antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur dahak. Sambil

menunggu hasil kultur, bisa diberikan antibiotika spectrum luas dalam 2 hari pertama.

Hemophylus influenzae, peka terhadap ampisilin, sefalospurin, kotrimoksazol.

Pneumococcus, peka terhadap golongan penisilin. Staphylococcus, peka terhadap metisilin,

kloksasilin, flukoksasilin, dan eritromisin. Klebsiella, peka terhadap gentamisin, streptomisin dan

polimiksin.

Page 50: GAGAL JANTUNG

Oksigenasi

Peningkatan PaCO2 ( tekanan karbondiosida arterial ) dan asidosis pada penderita PPOM

disebabkan tidak sempurnanya pengeluaran CO2 sehingga menimbulkan hipoksemia.

Hal ini dapat diatasi dengan pemberian oksigen 20-30 % melalui masker venturi. Dapat pula

diberikan oksigen secara intermitten dengan kadar 30-50 % secara lambat 1-3 liter permenit.

Pengobatan

Pada gagal jantung kanan

Diuretika

Pemberian diuretika seperti furosemid atau hidroklorotiazid diharapkan dapat mengurangi

kongesti edema dengan cara mengeluarkan natrium dan menurunkan volume darah. Sehingga

pertukaran udara dalam paru dapat diperbaiki, dan hipoksia maupun beban jantung kanan dapat

dikurangi.

Digitalis

Preparat digitalis ( digoxin, cedilanid dan sejenisnya ) perlu diberikan kepada penderita dengan

Gagal Jantung kanan berat.

Pengelolaan Hipoksemia menurut Sykes ( 1976 ):

1. Pemberian Antibiotika, diuretik, mukolitik dan obat bronkodilator sebagai tindakan dasar

penyakit paru obstruktif menahun.

Page 51: GAGAL JANTUNG

2. Pada hipoksemia berat, perlu diberikan oksigenasi terkontrol dan menjaga agar tidak

terjadi CO2 narkosis.

3. Stimulan pernafasan ( seperti doksapram ) perlu diberikan pada penderita yang

mengalami CO2 narkosis.

4. Bila semua usaha di atas gagal, maka dilakukan pernafasan buatan dengan intubasi

endotrakeal atau bila perlu trakeotomi dan pemasangan ventilator mekanik.

Prognosis

Prognosis Cor Pulmonale sangat jelek dikarenakan kerusakan parenkim paru yang berlangsung

lama dan irreversible.Pengobatan bersifat simptomatis, karena pada umumnya kondisi penyakit

sudah dalam fase lanjut.

Berdasarkan penelitian, angka kemungkinan masa hidupberkisar antara 18 bulan ( Flint) sampai

30, 8 bulan dengan angka kematian setelah 5 tahun mencapai 68 % (Stuart Harrisdan Ude)

Kesimpulan:

Angka kematian Cor Pulmonale masih tinggi. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan

menanggulangi PPOM yang menjadi dasar etio-patogenesis Cor Pulmonale.

Upaya Pencegahan.

Penderita dianjurkan berhenti merokok dan menghindarkan diri dari polusi udara, terutama di

daerah tambang dan industri.Tak kalah penting adalah memperbaiki lingkungan tempat tinggal,

dan bagi penderita tidak mampu sedapat mungkin

Page 52: GAGAL JANTUNG

menghindari dan mengobati penyakit infeksi saluran nafas secara dini.

TERAPI

FARMAKOLOGI

Anti Aritmia

Dibagi menjadi 4 kelas,

Kelas I

Merupakan obat-obatan yang memblok kanal Na+ pada membran sel sehingga

menurunkan kecepatan maksimal depolarisasi pada fase 0, sehingga tidak terjadi ptensial

aksi baru dan kemudian mencegah timbulnya ekstrasistol.

Dibagi menjadi 3 sub kelas:

o Kelas IA

Contoh: kuinidin, prokainamid, disopiramid.

Kelas IA efektif untuk mengatasi takiaritmia supraventrikular dan takiaritmia

ventrikular.

o Kelas IB

Contoh: lidokain, meksiletin, fenitoin, tokainid.

Lidokain dan meksiletin efektif untuk mengendalikan takiaritmia vantrikuler.

o Kelas IC

Contoh: flekainid, lorkainid, propafenon.

Kelas II

Merupakan β-blocker yang bersifat antiadrenergik sehingga menurunkan otomatisasi

nodus SA, memperpanjang refrakter nodus AV, dan menurunkan kecepatan konduksi

nodus AV.

Contoh: propanolol.

Kelas III

Obat-obatan yang memblok kanal K+. Contoh: amiodaron, bretilium, sotalol.

Kelas IV

Page 53: GAGAL JANTUNG

Merupakan obat antagonis kalsium, mempunyai efek: inotropik (-), kronotropik (-) dan

hambatan pada konduksi AV. Contoh: verapamil, diltiazem.

Anti Aldosteron

Pada pasien gagal jantung, kadar plasma aldosteron akan meningkat (akibat aktivasi

system rennin angiotensin aldosteron). Aldosteron akan menyebabkan retensi Na dan

air serta ekskresi K dan Mg. Hal ini dapat memicu terjadinya edema dan peningkatan

preload jantung serta akan memicu terjadinya remodeling dan disfungsi ventrikel

melalui peningkatan preload dan efek langsung yang menyebabkan fibrosis miokard

dan prolifersi fibroblast. Karena itu antagonisasi efek aldosteron akan mengurangi

mortalitas dan morbiditas akibat gagal jantung.

Ada 2 jenis antagonis aldosteron yaitu sppironolakton dan eplerenon.

Diuretic

- memacu NaCl dan air sehingga menurunkan beban pada jantung. Hal tersebut membuat

bendungan paru dan sistemik menurun.

- mengurangi volume ventrikel kiri dan tegangan dindingnya sehingga membuat resistensi

perifer menurun

- obat-obat golongan diuretic merupakan obat golongan pertama pada Gagal Jantung Kronik

ringan dengan irama sinus

-diuretik golongan tiazid meningkatkan akskresi Na+ dan Cl- melalui urin.

- diuretic kuat, seperti furosemid, dapat diberikan pada penderita gagal jantung dengan gangguan

fungsi ginjal.

- efek samping: penurunan cardiac output, mengganggu fungsi ginjal, menyebabkan kelemahan

umum, edema yang refrakter.

Page 54: GAGAL JANTUNG

Β Blocker

- menurunkan efek simpatis

- contoh obatnya adalah bisoprolol, carvedilol, metoprolol lepas lambat

- pemberian dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan sampai dosis target

- efek yang dapat terjadi pada awal terapi:

a. retensi cairan dan gejala bertambah, berikan tambahan diuretic

b. hipotensi, turunkan pemberian ACEI/ beta blocker

c. bradikardi, turunkan dosis beta blocker

d. lelah, turunkan dosis beta blocker, lalu tambahkan lagi

VASODILATOR

- ARTERIODILATOR

Mengurangi beban tahanan pada aorta sehingga meningkatkan stroke volume.

Diberikan pada penderita dengan cardiac output yang rendah yang ditandai dengan

kelelahan umum (fatigue).

Contoh: hydralazin, minoxidil, diazoxide dan fenoldopam.

- VENODILATOR

Mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri sehingga dapat meningkatkan daya tampung

ventrikel kiri.

Page 55: GAGAL JANTUNG

Diberikan pada penderita yang tekanan pengisiannya tinggi, gejalanya berupa sesak

nafas. Pemberian venodilator ini dapat menyebabkan hilangnya bendungan paru sehingga

memudahkan pasien untuk bernafas secara normal.

Contoh: nitrat organic.

- ARTERIOL & VENA

Diberikan pada penderita gagal jantung kronis.

Contoh: ACEI, α blocker, nitroprusside.

DIGITALIS

Obat-obatan golongan digitalis merupakan obat yang sering digunakan dalam

penatalaksanaan gagal jantung. Oleh karena itu, dokter perlu diketahui farmakokinetik maupun

farmakodinamik dari obat golongan digitalis.

Farmakodinamik

Sifat farmakodinamik utama digitalis adalah inotropik positif, yaitu meningkatkan

kekuatan kontraksi miokardium. Pada penderita yang mengalami gangguan fungsi sistolik, efek

inotropik positif ini akan menyebabkan peningkatan curah jantung sehingga tekanan vena

berkurang, ukuran jantung mengecil, dan refleks takikardia yang merupakan kompensasi

jantung, diperlambat. Tekanan vena yang berkurang akan mengurangi gejala bendungan,

sedangkan sirkulasi yang membaik, termasuk ke ginjal, akan meningkatkan diuresis dan

hilangnya edem. Digitalis juga menyebabkan perlambatan denyut ventrikel pada fibrilasi dan

flutter atrium, dan pada kadar toksik menimbulkan disritmia. Jadi, efektivitas digitalis pada gagal

jantung kongestif timbul karena kerja langsungnya dalam meningkatkan kontraksi miokardium.

Digitalis juga bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah, selain itu efeknya pada

jaringan saraf mempengaruhi secara tidak langsung aktivitas mekanik dan listrik jantung serta

Page 56: GAGAL JANTUNG

resistensi dan daya tampung pembuluh darah. Akhirnya, perubahan dalam sirkulasi akibat

digitalis sering diikuti oleh perubahan refleks pada aktivitas autonom dan keseimbangan

hormonal yang secara tidak langsung berpengaruh baik terhadap fungsi kardiovaskuler.

Farmakokinetik

Digitalis menghambat aktivitas enzim NaK-ATPase, sehingga pemecahan ATP untuk

menghasilkan energi bagi pompa Na terhambat akibatnya Na intrasel meningkat karena tidak

bisa keluar ke ekstrasel. Pertukaran Ca intrasel dengan Na ekstrasel pun terganggu, sehingga Ca

intrasel meningkat. Ca yang meningkat dalam sel akan berikatan dengan troponin-tropomiosin

dan komplek ini akan meningkatkan kontraksi aktin dan miosin yang dikenal sebagai sliding

mechanism.

Metabolisme digitalis berlangsung di hepar oleh enzim mikrosom hepar sebagai klirens

non-renal. Proses metabolisme ini, dapat dipercepat oleh berbagai obat tertentu yang merangsang

aktivitas enzim tersebut, seperti misalnya fenobarbital, rifampisin, fenilbutason, dan lain-lain.

Ekskresi digitalis terutama melalui ginjal dan disebut sebagai klirens renal. Waktu paruh

eliminasi digoksin melalui ginjal umumnya tercapai dalam 1-2 hari dan digitoksin bahkan

mencapai 7 hari.

Digitalis mempunyai efek inotropik positif, artinya memperkuat kontraksi otot jantung,

disamping itu juga mempunyai efek kronotopik negatif, artinya menekan irama sinus sehingga

denyut jantung menjadi lebih lambat. Oleh karena itu, digitalis sangat berguna meningkatkan

kontraksi jantung pada penderita gagal jantung dan menekan berbagai aritmia supraventrikuler,

seperti fibrilasi atrium, fluter atrium, takikardia atrium dan lain-lain.

Indikasi

Indikasi pemakaian digitalis yang utama ialah dalam tatalaksana gagal jantung kongestif.

Digitalis akan memperkuat kontraktilitas miokard, sehingga curah jantung akan meningkat, di

Page 57: GAGAL JANTUNG

samping itu digitalis sangat efektif untuk menanggulangi berbagai aritmia supraventrikuler,

seperti fibrilasi atrium, fluter atrium, takikardia atrium, dan sebagainya.

Kontra Indikasi

Digitalis tidak boleh digunakan pada kardiomiopati hipertropik obstruktif (kecuali jika

terdapat fibrilasi atrium pada gagal jantung kongestif), karena efek inotropik positifnya akan

memperberat obstruksi di ventrikel. Digitalis harus dihentikan pada keadaan-keadaan yang

diduga timbulnya keracunan digitalis.

Efek Samping

Digitalis sering menyebabkan terjadinya blok AV total, blok SA total, munculnya irama

junctional AV, takikardia atrium paroksismal, VES bigemini, takikardia dan fibrilasi ventrikel.

Berbagai keluhan Gastro-Intestinal seperti mual dan muntah, gejala-gejala neurologi seperti sakit

kepala, pusing, gangguan penglihatan, kejang , delirium, dan sebagainya. Kadang-kadang pula

timbul reaksi hipersensitivitas seperti rash, trombositopenia, purpura dan eosinofilia.

Dosis

Dosis awal (loading dose) diperlukan pada kasus-kasus yang memerlukan efek terapeutik

yang konstan dalam waktu yang lebih pendek, karena distribusi digitalis tidak hanya ke otot

jantung, tapi juga menyebar ke organ-organ lain. Dosis awal digitalisasi umumnya 0,75-1 mg

secara intravena dan dosis ini akan memberikan kadar puncak digitalis dalam plasma sekitar 95

mg/ml tanpa efek toksik. Kadar terapeutik normal digitalis dalam plasma adalah 1-2 mg/ml

(=1,3-2,6 nmol/l). Walaupun demikian, nilai tersebut tidak sepenuhnya bisa menggambarkan

kemungkinan intoksikasi yang terjadi.

Page 58: GAGAL JANTUNG

Digitalis per oral dilakukan lebih lama (2 x 1 tablet sehari untuk 2 hari, atau 3 x 1 tablet

sehari untuk 1 hari, lalu diikuti dengan maintainance 1 tablet sehari.

Digitalis yang tersedia dipasaran umumnya terbentuk tablet lanatosid C 0,25 mg,

digoksin 0,25 mg, beta-metildigoksin 0,1 mg atau sedilanid 0,4 mg/2ml untuk pemakaian

intramuskuler atau intravena.

Intoksikasi

Rasio terapi digitalis sangat sempit sehingga 5-20% penderita umumnya memperlihatkan

gejala toksik dengan manifestasi yang sukar dibedakan dengan tanda-tanda gagal jantung.

Keracunan ini biasa terjadi karena :

1. Pemberian dosis beban yang terlalu cepat

2. Akumulasi akibat dosis penunjang yang terlalu besar

3. Adanya predisposisi untuk keracunan

4. Takar layak

Efek toksik digitalis sering dijumpai dan dapat berat sehingga menyebabkan kematian.

Sebab yang paling sering ialah pemberian bersama diuretik yang menyebabkan depresi kalium.

Gejalanya berbeda-beda, dapat mengenai hampir semua sistem organ dalam tubuh, dan

umumnya merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamiknya. Efek toksik utama ialah terhadap

jantung yang bila luput dari perhatian atau tidak ditangani dengan baik sering kali berakhir

dengan kematian. Karena itu para dokter harus mengetahui tanda-tanda awal keracunan,

mengenal kondisi penderita, mengenal obat-obat yang meningkatkan risiko keracunan, dan

menguasai cara mengatasi keracunan.

Gagal jantung dapat merupakan suatu komplikasi dari :

1. Aritmia

2. Aneurisma kardial

3. Hipertensi pulmonum.

Page 59: GAGAL JANTUNG

TERAPI NON FARMAKO

Terapi gagal jantung dibagi atas terapi non farmakologi dan farmakologi.

Terapi non farmakologi terdiri atas:

1. Diet : Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi diet

yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah atau berat badannya. Asupan NaCl

haru dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau kurang dari 2g/hari untuk gagal jantung sedang

sampai berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2L/hari hanya untuk gagal jantung berat.

2. Merokok : Harus dehentikan

3. Aktivitas fisik : Olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk

pasien gagl jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang nyaman bagi

pasien.

4. Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil

5. Bepergian : Hindari tempat-tampat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas atau

lembab, dan gunakan penerbangan-penerbangan pendek.