24
GIZI MASYARAKAT: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA ESSAY disusun untuk memenuhi penugasan blok Kesehatan Masyarakat dan Pengaruh Lingkungan Oleh : Qonitatun Nahdliyyah 08711075 Kelompok Tutorial 17 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 1

FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

GIZI MASYARAKAT: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI

ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA

ESSAY

disusun untuk memenuhi penugasan blok

Kesehatan Masyarakat dan Pengaruh Lingkungan

Oleh :

Qonitatun Nahdliyyah

08711075

Kelompok Tutorial 17

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2011

1

Page 2: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

1. PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan modal utama dalam kehidupan setiap orang,

dimanapun dan siapapun pasti membutukan badan yang sehat, baik jasmani

maupun rohani guna menopang aktifitas kehidupan sehari-hari. Begitu pentingnya

nilai kesehatan ini, sehingga seseorang yang menginginkan agar dirinya tetap

sehat harus melakukan berbagai macam cara untuk meningkatkan derajat

kesehatannya, seperti melakukan penerapan pola hidup sehat dan pola makan

yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari (Mubarak, 2009).

Sebagai negara yang sedang berkembang dan sedang membangun, bangsa

Indonesia masih memiliki beberapa ketertinggalan dan kekurangan apabila

dibandingkan dengan negara lain yang sudah lebih maju (Hadi, 2005). Pada saat

ini, dalam bidang kesehatan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu

masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya

disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya

kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi,

dan adanya daerah miskin gizi (iodium). Sebaliknya masalah gizi lebih

disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai

dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan kesehatan

(Almatsier, 2004).

Penanganan masalah gizi memerlukan upaya komprehensif dan

terkoordinasi, mulai proses produksi pangan beragam, pengolahan, distribusi

hingga konsumsi yang cukup nilai gizinya dan aman dikonsumsi. Oleh karena itu

kerja sama lintas bidang dan lintas program terutama pertanian, perdagangan,

perindustrian, transportasi, pendidikan, agama, perlindungan anak, ekonomi,

kesehatan, pengawasan pangan dan budaya sangat penting dalam rangka

sinkronisasi dan integrasi kebijakan perbaikan status gizi masyarakat (Bappenas,

2009).

Tolok ukur yang dapat mencerminkan status gizi masyarakat adalah status

gizi pada anak balita yang diukur dengan berat badan dan tinggi badan menurut

umur dan dibandingkan dengan standar baku rujukan WHO (2005). Selain itu

keadaan gizi masyarakat juga dapat diketahui dari besarnya masalah kekurangan

2

Page 3: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

gizi mikro pada kelompok rentan, yaitu GAKY, AGB, dan KVA (Bappenas,

2009).

Defisiensi yodium merupakan salah satu masalah gizi kurang yang masih

dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Defisiensi gizi ini dapat diderita orang pada

setiap tahap kehidupan, mulai dari masa perinatal sampai lansia. Akibat yang

ditimbulkan karena kekurangan yodium sangat luas sehingga defisiensi yodium

kemudian dikenal dengan gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).

Berdasarkan konsep UNICEF (1988) penyebab langsung GAKY adalah defisiensi

zat gizi yodium. Ketidakcukupan asupan yodium disebabkan oleh kandungan

yodium dalam bahan makanan yang rendah dan atau konsumsi garam beryodium

yang rendah. Masih banyak masyarakat yang kurang mengetahui manfaat dari

garam beryodium merupakan salah satu penyebab rendahnya konsumsi garam

yang beryodium. Berbagai alasan dikemukakan sehubungan dengan hal tersebut,

antara lain garam beryodium mahal, rasanya pahit, rasanya kurang asin

dibandingkan dengan garam yang tidak beryodium. Hal yang mendasar dari

penyebab GAKY adalah kandungan yodium dalam tanah yang rendah dan kondisi

ini bersifat menetap. Semua tumbuhan yang berasal dari daerah endemis GAKY

akan mengandung yodium yang rendah sehingga sangat diperlukan adanya garam

beryodium atau bahan makanan dari luar daerah yang nonendemis (Syafiq dkk.,

2007).

2. KEBIJAKAN PEMERINTAH

Dalam mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka pembangunan kesehatan diarahkan

untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setia[

orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya

dapat terwujud (Depkes, 2009).

Visi Kementrian Kesehatan adalah “Masyarakat Sehat yang mandiri dan

berkeadilan. Sedangkan misinya adalah meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat

3

Page 4: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya

kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin

ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola

kepemerintahan yang baik”. Salah satu strateginya adalah “Meningkatkan

pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta

berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”. Untuk

itu diperlukan data kesehatan dasar yang dapat dikumpulkan secara

berkesinambungan (Riskesdas, 2010).

Sesuai dengan Rencana Strategis Kementrian Kesehatan tahun 2009-2014,

terdapat 8 sasaran keluaran Pembinaan Gizi Masyarakat yaitu sebagai berikut:

- 100% gizi buruk yang mendapat perawatan

- 80% bayi 0-6 bulan yang mendapat ASI Ekslusif

- 90% rumah tangga mengonsumsi garam beryodium

- 85% balita usia 6-59 bulan mendapat Kapsul Vitamin A

- 85% ibu hamil yang mendapat 90 tablet besi

- 100% kabupaten/kota yang melaksanakan surveilan gizi

- 85% balita yang ditimbang berat badannya (D/S)

- 100% penyediaan buffer stock MP-ASI untuk daerah bencana

Mengacu pada kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam PBB

dalam sidang tahun 2010 mengenai pencapaian tujuan MDGs, maka dirumuskan

kebijakan dan strategi pangan dan gizi nasional untuk periode 2011-2015.

Kebijakan tersebut adalah peningkatan status gizi masyarakat terutama ibu dan

anak melalui ketersediaan, akses, konsumsi dan keamanan pangan, perilaku hidup

bersih dan sehat termasuk sadar gizi, sejalan dengan penguatan mekanisme

koordinasi lintas bidang dan lintas program serta kemitraan (Bappenas, 2009).

Kebijakan atau program yang diambil menggunakan strategi yang akan

dijalankan, strategi tersebut antara lain:

1. Perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu prahamil, ibu hamil adan

anak melalui peningkatan ketersediaan dan jangkauan pelayanan kesehatan

berkelanjutan difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu prahamil,

ibu hamil, bayi, dan anak baduta.

4

Page 5: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

2. Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam melalui peningkatan

ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang difokuskan pada keluarga

rawan pangan dan miskin.

3. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan melalui peningkatan

pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada makanan jajanan

yang memenuhi syarat dan produkl industri rumah tangga (PIRT)

tersertifikasi.

4. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui peningkatan

pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal serta non formal

terutama dalam perubahan perilaku atau budaya konsumsi pangan yang

difokuskan pada penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber

daya lokal, perilaku hidup bersih dan sehat, serta merevitalisasi posyandu.

5. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui penguatan kelembagaan

pangan dan gizi di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten dan kota yang

mempunyai kewenangan merumuskan kebijakan dan program bidang

pangan dan gizi, termasuk sumber daya serta penelitian dan

pengembangan.

Program perbaikan gizi masyarakat secara umum ditujukan untuk

meningkatkan kemampuan, kesadaran dan keinginan masyarakat dalam

mewujudkan kesehatan yang optimal khususnya pada bidang gizi, terutama bagi

golongan rawan dan masyarakat yang berpenghasilan rendah baik di desa maupun

di kota. Kegiatan pokok Departemen Kesehatan dalam menginplementasikan

Perbaikan Gizi Masyarakat meliputi, peningkatan pendidikan gizi,

penanggulangan Kurang Energi Protein (KEP), anemia gizi besi, Gangguan

Akibat Kurang Yodium (GAKY), kurang Vitamin A, dan kekurangan zat gizi

lebih, peningkatan surveillance gizi, dan pemberdayaan masyarakat untuk

pencapaian keluarga sadar gizi (Maas, 2003).

Undang-undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1996 tentang Pangan

secara tegas menyatakan bahwa “Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang

pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat indonesia harus senantiasa

tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, begizi, dan beragam dengan harga

yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.

5

Page 6: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

Masalah kekurangan zat gizi mikro merupakan fenomena yang sangat jelas

menunjukkan rendahnya asupan zat gizi dari menu sehari-hari. Untuk itu,

intervensi gizi yang mampu menjamin konsumsi makanan masyarakat

mengandung cukup zat gizi mikro perlu dilakukan. Selain itu, peranan zat gizi

mikro secara lengkap perlu dikembangkan untuk daerah miskin dan sulit

terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman makanan lokal untuk

peningkatan status gizi mikro masyarakat. Atas dasar itulah maka perlu dilakukan

terobaosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata, diterima oleh

msyarakat dan berkelanjutan. Diantara berbagai solusi perbaikan gizi, fortifikasi

merupakan slaah satu upaya yang dapat dilakukan. Gangguan Akibat Kurang

Yodium (GAKY) dapat diatasi dengan mudah melalui garam yang telah

difortifikasi yodium sesuai standar. Cara inilah yang kemudian diadopsi

pemerintah sebagai salah satu program perbaikan gizi masyarakat. Dalam rangka

mencapai sasaran 90% rumah tangga mengonsumsi garam beryodium, pemerintah

mencanangkan program fortifikasi garam beryodium (Syafiq, 2007).

Penanggulangan GAKY sebagai bagian dari urusan pemerintah bidang

kesehatan sebagai urusan pemerintahan yang bersifat wajib serta diarahkan untuk

peningkatan indeks pembangunan manusia. Berdasarkan pertimbangan tersebut

ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.63 tahun 2010 tentang

Pedoman Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium di Daerah

(Mendagri, 2010).

3. DATA STATISTIK

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat pesat dalam 4 dekade

terakhir ditandai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun

kondisi kelompok rentan ibu dan anak masih mengalami berbagai masalah

kesehatan dan gizi, yang ditandai dengan masih tingginya angka kematian ibu dan

angka kematian neonatal, prevalensi gizi kurang (BB/U) dan pendek (TB/U) pada

anak balita, prevalensi anemia gizi kurang zat besi pada ibu hamil, gangguan

akibat kurang yodium pada ibu hamil dan bayi serta kurang vitamin A pada anak

balita. Pada tahun 2007 prevalensi anak balita yang mengalami gizi kurang dan

pendek masing-masing 18,4% dan 36,8% sehingga Indonesia termasuk di antara

36 negara di dunia yang memberi 90% kontribusi masalah gizi dunia (UN-SC on

6

Page 7: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

Nutrition, 2008). Walaupun pada taun 2010 prevalensi gizi kurang dan pendek

menurun menjadi masing-masing 17,9% dan 35,6%, tetapi masih terjadi disparitas

antarprovinsi yang perlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di

wilayah rawan (Bappenas, 2009).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, yaitu sebuah survey yang

pada anak balita telah menurun secara signifikan menjadi 18,4%. Dengan

demikian dalam kurun waktu dua tahun, sejak 2005, kekurangan gizi menurun

hampir 10%. Dengan angka ini, maka tujuan RPJM sebesar 20% pada tahun 2009

dan target MDGs sebesar 18,7% pada tahun 2015 telah tercapai. Walaupun terjadi

penurunan kekurangan gizi (berat badan menurut umur) secara signifikan,

kekurangan gizi kronis masih terlihat cukup tinggi yaitu dilihat dari 36,8% balita

yang mengalami stunting (pendek dan sangat pendek, diukur dengan tinggi badan

menurut umur). Indikator ini menunjukkan terjadinya kekurangan gizi dalam

jangka waktu yang lebih panjang atau kronis. Jika dilihat secara spesifik menurut

tingkat propinsi dan kabupaten/kota, maka terlihat bahwa kekurangan gizi yang

cukup parah masih banyak terjadi. Misalnya, 7 provinsi mempunyai rata-rata

prevalensi kekurangan gizi lebih dari 25% dan 10 propinsi dengan rata-rata gizi

buruk lebih dari 8%. Bahkan 10 kabupaten/kota mempunyai prevalensi gizi buruk

mencapai 40% (Minarto, 2010)).

Permasalahan gizi lain yang dianggap cukup besar dihadapi di Indonesia

adalah kekurangan gizi mikro yaitu kekurangan vitamin A, gangguan akibat

kekurangan yodium dan anemia gizi besi. Akhir-akhir ini permasalahan gizi lebih

(kegemukan dan obesitas) juga terus meningkat. Menurut Survei Kesehatan

Rumah Tangga Indonesia (SKRT) 2001, sebanyak 1,3% laki-laki dan 4,6%

wanita mengalami obesitas. Pada tahun 2007, obesitas (diukur dengan indeks

masa tubuh) pada penduduk usia di atas 15 tahun menjadi 13,9% pada laki-laki

dan 23,8% pada perempuan. Obesitas menjadi risiko bagi timbulnya penyakit

kronis seperti kanker, diabetes dan hipertensi yang saat ini juga semakin banyak

menjadi penyebab kematian di Indonesia (Bappenas, 2009).

Khusus untuk GAKY, pada tahun 1980 dilakukan survey nasional dan

diketahui prevalensi GAKY pada anak usia sekolah adalah 2,7%. Prevalensi ini

menurun menjadi 9,8% pada tahun 1998. Walaupun terjadi perubahan yang

7

Page 8: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

berarti, GAKY masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena secara

umum prevalensi masih di atas 5%. Prevalensi tersebut bervariasi antar kecamatan

dan masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30% (daerah

endemik berat). Dilaporkan dalam hasil survey pemetaan gondok 1998 yang telah

dipublikasikan WHO tahun 2000, bahwa 18,8% penduduk hidup di daerah

endemik ringan, 4,2% penduduk hidup di daerah endemik sedang, dan 4,5%

penduduk hidup di daerah endemik berat. Diperkirakan pula sekitar 18,2 juta

penduduk hidup di wilayah endemik sedang dan berat, dan 39,2 juta penduduk

hidup di wilayah endemik ringan. Menurut jumlah kabupaten di Indonesia, maka

diklasifikasikan 40,2% kabupaten termasuk endemik ringan, 13,5% kabupaten

endemik sedang, dan 5,1% kabupaten endemik berat. Kemudian survey nasional

selanjutnya dilakukan pada tahun 2003 yang dibiayai melalui proyek IP-GAKY

untuk mengetahui dampak dari intervensi program penanggulangan GAKY

(Minarto, 2010).

Hasil Survei Nasional tahun 2003 dapat dilihat pada peta berikut:

8

Page 9: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

Hasil Studi Intensifikasi Penanggulangan GAKY (IP-GAKY) tahun 2003,

dan hasil Riskesdas 2007 mendapatkan hasil yang konsisten, bahwa rata-rata

EYU  sudah tinggi, dan proporsi EYU<100  µg/L telah dibawah 20%.  Direktur

Jenderal  Bina Kesmas telah mengeluarkan edaran Nomor: JM.03.03/BV/2195/09

Tanggal 03 Juli 2009 tentang penghentian suplementasi kapsul minyak iodium

pada sasaran (WUS, ibu hamil, ibu menyusui dan anak SD/MI). Disisi lain 

cakupan Rumah Tangga dengan garam cukup Iodium rata-rata nasional baru

mencapai 62,3%. Terdapat disparitas antar daerah cukup tinggi dimana persentase

cakupan terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (27,9%), dan tertinggi

Provinsi Bangka Belitung (98,7%) (Minarto, 2010).

Di beberapa daerah pedesaan dan di daerah pegunungan yang terpencil,

banyak orang yang menderitan kekurangan gizi karena GAKI. Selain itu, dalam

masyarakat dimana petanian merupakan kegiatan utama, produktivitas ternak juga

menurun akibat pakan dan air minumnya kekurangan yodium. Dampak dari hal

ini akan sampai pada kondisi pangan dan gizi masyarakat itu sendiri (Anonim,

2011).

4. IMPLEMENTASI PROGRAM

Upaya fortifikasi bahan pangan adalah untuk memperkaya mutu gizi

bahan makanan tertentu dengan menambahkan zat gizi tertentu yang dibutuhkan

masyarakat yang menderita masalah gizi. Zat gizi tersebut untuk Indonesia adalah

zat yodium, zat besi, dan vitamin A. Beberapa upaya perbaikan gizi yang

memerlukan dukungan fortifikasi adalah penanggulangan GAKY melalui

fortifikasi garam dengan yodium (iodisasi garam). Fortifikasi dilaksanakan

bekerja sama dengan dunia usaha terutama di sektor industri yang didukung oleh

sektor lainnya yang berkaitan.

Perhatian pertama diprioritaskan untuk mengatasi masalah kurang yodium

dengan memfortifikasinya pada garam. Sejak tahun 1994 melaui surat Keputusan

Presiden No.69 tahun 1994 yodisasi garam wajib menurut hukum di Indonesia.

Pada tahun 2003 delakukan evaluasi pelaksanaan wajib yodisasi garam dan

hasilnya menunjukkan hasil yang sangat nyata dimana pada awal tahun 1980-an

hanya 30% meningkat menjadi 73% (Minarto, 2010).

9

Page 10: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

Sebenarnya pemerintah Belanda di tahun 1927, telah mengeluarkan

peraturan yang mengharuskan yodisasi garam bagi garam rakyat. Waktu itu garam

hanya dihasilkan oleh satu-satunya pabrik  P.N.  Garam di Madura. Berarti

keinginan untuk fortifikasi di Indonesia sudah ada sejak zaman Belanda, pada saat

teknologinya baru ditemukan di dunia barat. Sejak merdeka tahun 1945 dimana

garam tidak lagi monopoli P.N. Garam, peraturan itu tidak lagi dilaksanakan.

Hasil pembicaraan antar sektor tahun 1982 menghasilkan Surat Keputusan

Bersama (SKB) 3 Menteri (Kesehatan, Perindustrian dan Perdagangan, dan

Dalam Negeri) tentang dimulainya upaya yodisasi garam rakyat. SKB ini tahun

1985  ditingkatkan menjadi SKB 4-Menteri dengan ditambah Menteri Pertanian

dan akhirnya di tingkatkan lagi menjadi Keputusan Presiden No.69 tahun 1994

tentang wajib Yodisasi Garam. Sejak itu yodisasi garam adalah wajib menurut

hukum di Indonesia (Depkes, 2004). 

Pelaksanaan fortifikasi garam beryodium merupakan upaya terpadu

berbagai sektor dengan dukungan peran serta masyarakat dan dunia usaha.

Sementara itu, melanjutkan upaya lain untuk penanggulangan GAKY, seperti

pemberian kapsul yodium, yodisasi air minum, dan cara lain yang efektif dan

efisien sesuai dengan perkembangan IPTEK.

Dalam prakteknya ada 2 jenis fortifikasi, yaitu fortifikasi sukarela dimana

program fortifikasi dilakukan atas inisiatif pengusaha atau produen tanpa

diwajibkan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah. Tujuannya adalah

untuk meningkatakan nilai jual serta menarik konsumen lebih banyak dan bukan

untuk memperbaiki gizi masyarakat. Sedangkan fortifikasi wajib adalah fortifikasi

yang diatur oleh undang-undang dan peraturan pemerintah dengan tujuan utama

mengatasi masalah kekurrangan zat gizi mikro. Sehingga sasaran utama program

ini adalah bagi masyarakat miskin serta masyarakat secara umum. Program ini

merupakan tanggung jawab pemerintah bekerja sama dengan beberapa industri

yang terkait dengan jenis pangan yang difortifikasi (Food Review, 2008).

Pelaksanaan penanggulangan GAKY di daerah meliputi:

- Menyiapkan kebijakan tentang penanggulangan GAKY mulai dari

aspek produksi, distribusi, dan konsumsi garam beryodium.

- Mendorong produsen garam untuk melakukan fortifikasi garam

10

Page 11: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

- Penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat untuk mengonsumsi

garam beryodium.

- Mendorong ketersediaan garam beryodium yang memenuhi

persyaratan SNI melalui produksi dan/atau peredaran sampai ke

seluruh pelosok wilayah kabupaten/kota.

- Mendorong produsen garam untuk melakukan pengolahan garam

beryodium

- Pembinaan terhadap petani garam, produsen, pedangang gram, serta

industri garam.

- Pengawasan terhadap garam, produsen, pedangang garam, serta

industri garam.

- Pengawasan terhadap garam yang bersedar di pasar

- Pelarangan garam tidak beryodium dan garam beryodium yang tidak

memenuhi SNI.

Dalam melaksanakan penanggulangan GAKY maka pemerintah

membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan GAKY di kabupaten/kota. Dalam

melakukan penyusunan perencanaan penanggulangan GAKY pemerintah daerah

dapat mengikutsertakan masyarakat. Peran serta masyarakat dalam hal ini dapat

melaporakan program dan kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana

penanggulangan GAKY yang telah ditetapkan kepada bupati/walikota atau camat

atau kepala desa/lurah (Mendagri,2010).

5. TEMUAN DI MASYARAKAT

Pada kenyataanya, hasil dari berbagai survey tentang kondisi gizi di

masyarakat masih menujukkan adanya suatu segmen populasi tertentu yang

mengalami kelaparan gizi mikro. Mereka itu terutama terdiri dari anak-anak usia

sekolah, golongan tua, wanita mengandung dan menyusui. Gangguan akibat

kekurangan yodium (GAKY) yang antara lain dapat menyebabkan penyakit

gondok dan kretinisme. Menurut Azwar dalam Tempo (2006) selama ini

pemerintah sudah berupaya menerapkan program peningkatan konsumsi garam

beryodium. Program ini sebetulnya sudah dilaksanakan sejak 1977, namun hingga

kini selalu dihadapkan pada permasalahan produsen atau distributor yang

11

Page 12: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

memasarkan garam tak beryodium. Hal ini diperparah oleh mayoritas konsumen

yang ternyata tidak peduli terhadap produk garam beryodium.

Meskpun kampanye konsumsi yodium telah dilaksanakan namun, peyakit

gondok akibat kurang yodium masih endemis di wilayah gunung vulkanik.

Berdasarkan hasil penelitian tim peneliti yang melakukan riset di sekitar Gunung

Merapi dan Lawu yakni Magelang dan Wonogiri terungkap bahwa penyakit

gondok dan IQ rendah (intelektualitas rendah) masih mengancam masyarakat

sekitar. Sebanyak 23% responden yang diteliti masih mengidap penyakit gondok.

Sementara itu, sebanyak 40% ber-IQ rendah. Ini menunjukkan bahwa konsumsi

yodium di masyarakat sekitar wilayah gunung berapi masih memprihatinkan.

Sekitar 400 gunung berapi di Indonesia tersebar ke seluruh wilayah kepulauan.

Hal tersebut sangat mengkhawatirkan apabila wilayah gunung berapi yang

biasanya terpencil dan jauh dari pusat kota ternyata masyarakatnya masih jauh

dari sntuhan perbaikan. Tidak hanya minimnya pembangunan infrastruktur di

wilayah itu, akses untuk mendapatkan kesempatan hidup yang lebih layak pun

masih jauh dari kenyataan (Sindo, 2008).

Tujuh kecamatan di kabupaten Jember berpotensi endemis penyakit

gondok karena konsumsi garam di daerah setempat sangat rendah dengan total

goiter rate (TGR) 30%. Tujuh kecamatan tersebut yaitu kecamatan Arjasa,

Pakusari, Jelbuk, Kalisat, Ledokombo, Sumberjambe, dan Silo. Total Goiter Rate

di Jember masih rendah yakni 23,57%, sedangkan TGR Jawa Timur 245%,

sehingga perlu penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya konsumsi

garam beryodium (Antaranews, 2011).

Seluruh kecamatan di Kabupaten Magelang menjadi daerah endemik

GAKY. Tiga belas kecamatan endemik berat, tujuh sedang, dan satu ringan. Tiga

belas kecamatan tersebut adalah Salam, Muntilan, Ngluwar, Srumbung, Dukun,

Sawangan, Grabag, Kaliangkrik, Windusari, Kajoran, Ngablak, Tegalrejo, dan

Candimulyo. Sedangkan 7 kecamatan endemik sedang adalah Pakis, Secang,

Bandongan, Tempuran, Mertoyudan, Salaman, dan Borobudur. Hanya kecamatan

Mungkid yang dinyatakan sebagai daerah endemik ringan. Pemantauan garam

beryodium di Magelang dilaksanakan secara periodeik tiga bulan sekalii. Sejak

1985 hingga 2001, dilaporkan garam yang beredar di pasaran dan memenuhi

12

Page 13: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

syarat hanya 10,52% sampai 70%. Zat yodium salah satu elektrolit yang berkaitan

erat dengan lingkungan, yaitu tanah dan air. Karena keadaan dan kondisi alam

Kabupaten Magelang hampir tidak ada kandungan zat yodium dalam air, sehingga

fortifikasi gram sangat diperlukan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya

GAKY (Suara Merdeka, 2003).

Angka kelulusan SD/MI di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang

rendah yang diduga berkaitan dengan stigma wilayah tersebut sebagai daerah

endemis kekurangan yodium. Data di Kabupaten Magelang menunjukkan 1.715

penderita GAKY, dan 30% di antaranya adalah warga Kecamatan Srumbung. Ini

artinya sangat dibutuhkan peran pemerintah dalam menanggulangi masalah

tersebut (Suara Merdeka, 2005).

Lembaga PBB Urusan Anak-anak (Unicef) terlibat aktif membantu

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB), dalam melakukan

iodisasi garam rakyat yang tidak terserap industri garam yodium melalui 100 unit

handspray untuk kelancaran program iodisasi garam. Handspray itu digunakan

untuk menyemprotkan zat KIO3 ke dalam garam rakyat, sehingga mengandung

iodisasi atau membentuk garam yodium. Ia mengatakan, pemerintah tengah

mengupayakan semua garam rakyat harus teriodisasi sebelum dikonsumsi

masyarakat. Sehingga garam rakyat yang tidak terserap industri, langsung

diiodisasi di ladang atau di gudang penyimpanan (tv one news, 2010). 

Pada 7 Nopember 2009, Pemprov NTB mencanangkan gerakan konsumsi

garam beryodium generik demi pencapaian target 90 persen cakupan konsumsi

garam iodisasi pada tahun 2010. Pencanangan gerakan konsumsi garam

beryodium generik yang terpusat di Kabupaten Lombok Timur, itu juga didukung

oleh Unicef.  Garam beryodium generik merupakan garam rakyat yang tidak

diserap industri sehingga diiodisasi langsung di ladang dan di gudang

penyimpanan agar menjadi garam beryodium. Setelah diyodisasi, dikemas dalam

karung berlabel garam beryodium generik mengandung 40 PPM Kalium Yodat. 

Selanjutnya garam beriodium generik itu dipasarkan hingga ke pelosok desa

disertai pengawasan terhadap implementasi berbagai regulasi yang mengatur

tentang garam beryodium. Cakupan konsumsi garam beryodium di wilayah NTB

masih sangat mengkhawatirkan. Data versi Badan Pusat Stastistik (BPS), sampai

13

Page 14: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

tahun 2008 (data acuan sekarang), cakupan konsumsi garam yodium pada tingkat

rumah tangga di wilayah NTB, baru 36,54 persen atau belum setengah dari target

program pemerintah daerah (propeda).  Meskipun, dalam lima tahun terakhir ini

terjadi peningkatan konsumsi garam yodium yang cukup signifikan yakni

meningkat dari 21,45 persen di tahun 2003 menjadi 30,39 persen di tahun 2006

dan meningkat menjadi 34 persen di tahun 2007 dan 36,5 persen di tahun 2008.

Diperkirakan di tahun 2009 telah mencapai 40 persen, namun masih jauh dari

target yang harus dicapai di akhir tahun 2010.  Secara nasional rata-rata cakupan

konsumsi garam yodium pada tingkat rumah tangga di wilayah NTB baru

mencapai 64,3 persen, padahal di akhir tahun 2010 harus mencapai 90 persen.

Pencanangan gerakan konsumsi garam beryodium generik itu merupakan salah

satu strategi lain yang dikembangkan untuk meningkatkan cakupan konsumsi

garam yang dikehendaki (tv one news, 2010).

6. EVALUASI

Pemerintah perlu menaruh perhatian yang besar terhadap upaya

penanggulangan masalah GAKY mengingat dampak negatifnya terhadap

perkembangan kecerdasan dan mental anak. Untuk itu diadakan pengaturan

keharusan untuk menambahkan zat yodium pada garam (iodisasi garam) untuk

konsumsi. Demikian pula, kegiatan penyuluhan, pengawasan umum, penindakan

hukum atas pemalsuan mutu garam beryodium makin ditingkatkan. Lokasi

penderita GAKY umumnya tersebar di daerah terpencil, tanggung dari

pelaksanaan iodisasi garam diserahkan kepada pemerintah daerah (Anonim,2011).

Masalah penggunaan garam beryodium di masyarakat antara lain karena

belum optimalnya penggerakan masyarakat dan kampanye dalam mengkonsumsi

garam beryodium, serta dukungan regulasi yang belum memadai. Disamping itu

masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan garam beryodium di

masyarakat secara terus menerus. Peningkatan konsumsi garam beryodium terus

dilaksanakan walaupun hasilnya belum menggembirakan. Hal ini disebabkan oleh

masih banyaknya garam yang tidak beryodium beredar di daerah-daerah gondok

endemik. Selain itu banyak beredar garam beryodium dengan kadar yang tidak

sesuai dengan standar. Data Riskesdas (2007) menunjukkan masalah rendahnya

konsumsi garam beryodium cukup (>30ppm) di rumah tangga adalah hanya

14

Page 15: FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM SEBAGAI ALTERNATIF PENANGGULANGAN MASALAH GAKY DI INDONESIA.docx

62,3% , antara lain karena belum optimalnya penggerakan masyarakat, kurangnya

kampanye konsumsi garam beryodium, dan dukungan regulasi yang belum

memadai. Masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan garam

beryodium di masyarakat (Bappenas, 2009).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi wanita terhadap gondok

pada umumnya keliru. Anggapan yang ada pada mereka, gondok bukanlah suatu

penyakit, karena tidak mengganggu dan mematikan. Perspesi yang keliru tersebut

menyebabkan mereka untuk tidak melakukan tindakan pencegahan agar dapat

mengantisipasi kekurangan iodium pada mereka. Pada umumnya mereka

mengkonsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik, dan rendah

mengkonsumsi pangan yang bergizi serta kaya kandungan ioditunnya. Perilaku

konsumsi garam mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian gondok

(Soeharyo, 1997).

7. FORTIFIKASI GARAM BERYODIUM DI NEGARA LAIN

Di seluruh dunia, kekurangan yodium mengenai 2 milyar oarng dan

merupakan penyebab utama keterbelakangan mental. Di Kazakhstan, sebuah

negara di Asia Tengah di mana persedian makanan lokal jarang mengandung

yodium yang cukup, telah secara drastis mengurangi kekurangan yodium melalui

program iodisasi garam. Kampanye oleh pemerintah dan perusahaan terkait untuk

mendidik masyarakat tentang manfaat garam beryodium mulai pada pertengahan

tahun 1990, dan iodisasi garam dalam makanan menjadi wajib pada tahun 2002.

Di Amerika Serikat, pada awal abad 20, gondok terutama terjadi di wilayah

sekitar Great Lakes dan Pasifik Barat. Pada tanggal 1 Mei 1924 garam beryodium

mulai dijual secara komersial di Michigan. Soekirman (2006) menyatakan bahwa

fortifikasi terbukti telah berjasa mengatasi masalah kekurangan gizi mikro di

Eropa, Amerika Utara, dan di Amerika Latin. Amerika Serikat merupakan negara

pertama yang melaksanakan fortifikasi, yaitu pada tahun 1920 dengan

dikeluarkannya peraturan tentang fortifikasi garam dengan zat yodium. Program

fortifikasi tersebut bertujuan untuk menanggulangi maslah GAKY. Di Afrika

Selatan, pemerintahnya menginstruksikan bahwa semua garam yang dijual harus

mengandung yodium setelah 1 Desember 1995 (Wikipedia, 2011).

15