Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
FORMULASI DAN EVALUASI S-NITROSOGLUTHATIONE DALAM SEDIAAN FILM KITOSAN-POLIVINIL PIROLIDON K30
DAN UJI AKTIVITAS PENGHAMBATAN BIOFILM Staphylococcus aureus MDR (MULTI-DRUG RESISTANT)
FORMULATION AND EVALUATION OF S-NITROSOGLUTHATIONE IN CHITOSAN-POLYVINYL
PYRROLIDONE K-30 FILM AND STUDY OF INHIBITORY ACTIVITY AGAINST Staphylococcus aureus MDR
(MULTI-DRUG RESISTANT) BIOFILM
SATRIA PUTRA PENAROSA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
FORMULASI DAN EVALUASI S-NITROSOGLUTHATIONE DALAM SEDIAAN FILM KITOSAN-POLIVINIL PIROLIDON K30 DAN UJI
AKTIVITAS PENGHAMBATAN BIOFILM Staphylococcus aureus MDR (MULTI-DRUG RESISTANT)
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Farmasi
Disusun dan diajukan oleh
SATRIA PUTRA PENAROSA
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini
Nama : Satria Putra Penarosa Nomor Mahasiswa : P2500215010 Program Studi : Magister Farmasi Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilanalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Yang Menyatakan,
Satria Putra Penarosa
v
PRAKATA
Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah swt atas segala
nikmat dan ridho-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Hj. Latifah Rahman,
DESS.,Apt sebagai Ketua Komisi Penasehat sekaligus sebagai ketua
program studi magister farmasi Universitas Hasanuddin atas bimbingan
dan arahan mulai dari awal hingga selesainya tesis ini. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Sartini, M.Si., Apt. selaku wakil komisi
penasihat yang senantiasa memberikan masukan dan arahan dalam
proses pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si, Apt., sebagai dekan Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin.
2. Ibu Dr. Aliyah, M.S., Apt., Ibu Prof. Dr.rer-nat. Marianti A. Manggau,
Apt. dan Prof. Dr. Asnah Marzuki, M.Si., Apt. sebagai komisi
penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam
penyusunan tesis ini.
3. Ibu Asmawati selaku staf prodi magister farmasi dalam membantu
urusan administrasi.
4. Ibu Nurhasni Hasan dan bapak Andi Arjuna atas bantuan alat,
bahan baku dan masukan yang diberikan selama penelitian.
vi
5. Ibu Haslia, S.Si., Ibu Sumiati S.Si, teman angkatan Genome
Pascasarjana Farmasi 2015 serta korps asisten mikrobiologi atas
bantuannya selama penelitian berlangsung.
6. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih yang tak ternilai kepada
orang tua, saudara dan keluarga penulis atas bantuan berupa dukungan
moral dan materil dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata, semoga tesis ini dapat membantu dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang farmasi.
Makassar, Agustus 2017
Satria Putra Penarosa
vii
ABSTRAK
SATRIA PUTRA PENAROSA. Formulasi dan Evaluasi S-Nitrosogluthatione dalam Sediaan Film Kitosan-Polivinil Pirolidon K-30 dan Uji Aktifitas Penghambatan biofilm Staphylococcus aureus MDR (MULTI-DRUG RESISTANT) (Dibimbing oleh Latifah Rahman dan Sartini)
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula yang
memperlihatkan karakteristik fisik yang baik serta memiliki aktivitas penghambatan biofilm bakteri Staphylococcus aureus Multi Drug Resistant.
Pada penelitian ini dibuat tiga formula film yang mengandung
GSNO 1%, Kitosan 1,5% b/v dan propilen glikol 10% b/v. Formula F1, F2 dan F3 berturut-turut mengandung PVP K-30 dengan konsentrasi 0,25% 0,5% dan 0,75% b/v. Evaluasi fisik yang dilakukan meliputi ketebalan, ketahanan lipat, kandungan lembab, kapasitas penyerapan air, tensile strength, kandungan obat serta pelepasan secara in vitro.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua sediaan film yang
dihasilkan telah menunjukkan karakteristik fisik yang baik, dengan efisiensi pemuatan GSNO secara berturut-turut pada F1, F2 dan F3 yaitu 38,88%, 60,45% dan 65,95%. F3 memperlihatkan perbandingan polimer dengan kandungan GSNO tertinggi dari semua formulasi. Film dengan kandungan GSNO tertinggi (F3) diuji aktifitasnya terhadap strain Staphylococcus. aureus MDR yang positif menghasilkan biofilm. Formulasi sediaan film GSNO memiliki aktivitas penghambatan biofilm Staphylococcus aureus Multi Drug Resistant hingga 33,53%.
Kata Kunci : S-Nitrosogluthatione, Kitosan, PVP-K30, biofilm, S. aureus.
viii
ABSTRACT
SATRIA PUTRA PENAROSA. Formulation and Evaluation of S-Nitrosogluthatione in Chitosan-Polyvinyl Pyrrolidone K-30 Film and Study of Inhibitory Activity againts Staphylococcus aureus MDR (MULTI-DRUG RESISTANT) Biofilm (Supervised by Latifah Rahman and Sartini)
This study aims to obtain a formula that shows good physical
characteristics with inhibitory activity against Staphylococcus aureus Multi-
Drug Resistant biofilm.
In this research, the researcher prepared three film formulations
containing GSNO 1%, Chitosan 1,5% w/v, and propylene glycol 10% w/v
as plasticizer. Formulation F1, F2 and F3 contain PVP K-30 at
concentrations of 0.25% 0.5% and 0.75% w/v respectively. Physical
evaluation was conducted in terms of thickness, folding endurance,
moisture content, water absorption capacity, tensile strength, drug content,
and in vitro drug release. Film with the highest GSNO content (F3) was
tested for its activity against Staphylococcus aureus MDR strains that
positively produced biofilm.
The results showed that all of the films had good physical
characteristics. The levels of loading efficiency of GSNO in F1, F2 and F3
were 38,88%, 60,45%, and 65,95% respectively. F3 showed the polymer
ratio with the highest GSNO content of all formulations. The results
showed that GSNO film had anti-biofilm activity against Staphylococcus
aureus Multi-Drug Resistant with biofilm inhibiting activity that reached up
to 33.53%.
Keywords: S-Nitrosogluthatione, Chitosan, PVP-K30, biofilm, S. aureus.
ix
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA v
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
I. PENDAHULUAN 1
a. Latar Belakang 1
b. Rumusan Masalah 5
c. Tujuan Penelitian 5
d. Manfaat Penelitian 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
a. Tinjauan Biofilm 6
b. Proses Terbentuknya Biofilm 7
c. Nitrit Oksida (NO) 9
d. S-Nitroso Gluthatione (GSNO) 10
e. Nitrit Oksida dan Biofilm 12
f. Sediaan Film 13
g. Kitosan dan Aplikasinya 15
h. Mekanisme Pelepasan Terkontrol pada Luka 19
x
i. Polivinil Pirolidon 20
j. Kerangka Teori 22
k. Kerangka Konsep 23
l. Hipotesis 24
III. METODE PENELITIAN
a. Alat dan Bahan 25
b. Metode Kerja 25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Karakteristik Fisik 33
b. Aktivitas Penghambatan Biofilm 40
V. PENUTUP
a. Kesimpulan 43
b. Saran 43
DAFTAR PUSTAKA 44
xi
DAFTAR TABEL
nomor halaman
1. Formula film S-Nitrosogluthatione 26
2. Hasil karakterisasi fisik sediaan film 34
3. Kandungan obat, Efisiensi Pemuatan (Loading efficiency) dan Kapasitas Muatan (Loading capacity) di dalam sediaan film 37
4. Hasil pelepasan in vitro sediaan film 38
5. Hasil pengukuran ketebalan sediaan film 49
6. Detail hasil kemampuan penyerapan air sediaan film 49
7. Serapan GSNO untuk pembuatan kurva baku 50
8. Hasil kuat tarik sediaan film 50
9. Detail hasil perhitungan kandungan obat, efisiensi pemuatan (loading efficiency) dan kapasitas muatan (loading capacity) sediaan film 51
10. Perhitungan pelepasan obat formula F1 53
11. Perhitungan pelepasan obat formula F2 54
12. Perhitungan pelepasan obat formula F3 55
13. Detail pengukuran serapan biofilm 58
xii
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
1. Struktur biofilm terlihat pada mikroskop 7
2. Proses terbentuknya biofilm 8
3. Reaksi pembentukan S-Nitrosogluthatione dari Gluthatione dan Natrium Nitrit 10
4. Penggabungan partikel oleh fusi karena aliran viskos. 14
5. Air kapiler berperan sebagai gaya kontraksi 15
6. Struktur Kitosan 17
7. Rumus struktur PVP 21
8. Sediaan film 33
9. Proses pengukuran kapasitas penyerapan air 36
10. Kurva persentase kemampuan penyerapan air film 36
11. Kurva profil pelepasan obat secara in vitro 39
12. Hasil uji pembentukan biofilm 40
13. Diagram persentase penghambatan biofilm. 41
14. Kurva baku GSNO 50
15. Sediaan film GSNO 59
16. Pengujian Penghambatan Biofilm 59
17. Uji in-vitro 59
18. Tensile Test Machine 59
19. Sumuran dan microplate reader 59
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
nomor halaman
1. Skema kerja pembuatan film S-Nitrosogluthatione 47
2. Skema kerja uji aktifitas antibiofilm 48
3. Hasil Evaluasi 59
4. Gambar penelitian 59
5. Serapan maksimum GSNO 60
6. Kurva baku GSNO 61
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi oleh mikroorganisme merupakan salah satu penyebab
utama terjadinya penyakit infeksi yang menjadi masalah serius diseluruh
dunia. Bakteri Gram positif Staphylococcus aureus dan Gram negatif
Pseudomonas aeroginosa adalah dua jenis bakteri yang menjadi
penyebab utama terjadinya infeksi lokal. Kejadian infeksi ini, dihubungkan
dengan kemampuan bakteri tersebut membentuk biofilm (Paraje, 2011).
Biofilm merupakan kumpulan bakteri yang saling melekat dan
menghasilkan matriks ekstraselulular, yang bertujuan untuk menjaga
nutrien dalam sel dan untuk melindungi bakteri dari respon imun dan agen
antimikroba. Biofilm bakteri dilaporkan sampai 10.000 kali lebih resisten
terhadap antibiotika dibandingkan dalam bentuk sel planktonic, sehingga
menyebabkan terjadinya infeksi kronis bahkan setelah pemberian
antibiotika (Smith, 2005). Secara statistik, Strain bakteri S. aureus Multi
Drug Resistant hasil isolat klinik dilaporkan lebih cenderung membentuk
biofilm pada luka infeksi maupun pada peralatan medis dibandingkan
dengan S. aureus non-resisten (Kwon, dkk. 2008).
Nitrit Oksida (NO) adalah radikal bebas yang secara endogen
dihasilkan oleh NO synthase melalui oksidasi asam amino L-arginin. NO
2
memiliki peran penting dalam berbagai proses fisiologi dan patofisiologi.
serta agen antibakteri endogen spektrum luas yang mampu membunuh
mikroorganisme dalam proses respon imun (Witte, 2002). NO diketahui
mampu membunuh sel bakteri dengan membentuk peroxynitrit (-OONO),
yang merupakan produk samping dari reaksi antara NO dan radikal bebas
superoksida (O2*-) (Al-Sha’doni dkk, 2005).
Kemampuan NO sebagai antimikroba telah dibuktikan terhadap
bakteri Gram positif maupun dengan Gram negatif yang diisolasi dari
pasien keratitis dengan nilai konsentrasi hambat minimum 4.6 ± 3.2 mM
pada bakteri Gram positif dan 12,4 ± 5,4 mM pada bakteri Gram negatif.
(Cariello, 2012). Dosis rendah NO (rentang picomolar hingga nanomolar),
yang tidak toksik terhadap sel mamalia, berhasil menginduksi terjadinya
degradasi biofilm pada beberapa strain bakteri yang telah dilaporkan
mengalami resisten terhadap antibiotika (Seabra, 2016). Oleh karena itu,
penggunaan NO menunjukkan pendekatan yang potensial dalam
mendegradasi biofilm bakteri resisten antibiotika.
Sebagai molekul sinyal, NO diketahui berperan penting dalam
peristiwa dispersi bakteri dalam biofilm. Hasil penelitian terbaru
memperlihatkan mekanisme NO dalam memediasi jalur sinyal yang
menyebabkan dispersi biofilm pada tahap akhir proses pematangan
biofilm. Hasil penelitian ini memperlihatkan efektivitas dari NO dalam
memisahkan sel-sel bakteri P. aeroginosa dari biofilm (Barraud dkk, 2006).
3
Molekul NO memiliki waktu paro yang pendek, sangat reaktif,
bersifat hidrofilik, dapat melewati dinding sel dan mampu berdifusi
menurut gradien konsentrasi dari lokasi produksinya (Weller, 2009). Oleh
karena itu, dalam penggunaan klinis maupun eksperimental digunakan
senyawa NO donor yaitu senyawa yang memiliki kemampuan sebagai
pembawa NO. Salah satu jenis senyawa NO donor adalah S-
Nitrosogluthatione (GSNO). Senyawa ini memiliki lebih banyak
keunggulan dibandingkan NO donor yang lain, efek yang diinginkan dapat
bersifat sistemis atau dapat diberikan secara lokal tanpa mengganggu
aktivitas sistemik (Antlej, 2014).
Sediaan ideal untuk GSNO adalah yang mampu menjaga
kestabilan NO pada suhu ruang dalam waktu yang diinginkan, mampu
mengeluarkan NO secara konsisten ketika dibutuhkan, dan mampu
memberikan suatu dosis yang spesifik dengan durasi yang cukup panjang
untuk menghasilkan efek biologis (Antlej, 2014).
Sediaan film merupakan suatu polimer yang mengeras yang dapat
digunakan dalam aplikasi klinis untuk penghantaran obat (Krogars, 2003).
Sediaan film dipilih karena diharapkan mampu menutupi, melindungi,
mampu menyerap eksudat ketika diaplikasikan pada luka serta diharapkan
mampu menjaga stabilitas S-Nitrosogluthatione selama proses
penyimpan.
Kitosan merupakan polimer nontoksik, biokompatibel dan
biodegradabel, sering digunakan dalam penghantaran obat, penghantaran
4
sel, orthopedi, penyembuhan luka, opthalmologi, dan penyembuhan
tulang. Kitosan mampu meningkatkan fungsi sel polimorfonuclear,
makrofag dan migrasi sel fibroblast. Kitosan juga menunjukkan aktivitas
antimikroba terhadap bakteri dan jamur, bersifat hipoalergenik, dan
mampu membekukan darah secara cepat (Moe, 2008).
Beberapa penelitian telah menunjukkan kemampuan Kitosan dan
kombinasinya dengan berbagai polimer seperti Polivinil Pirolidon K-30
dalam melindungi stabilitas zat aktif serta mampu meningkatkan
bioavailabilitas dari bahan aktif dalam sistem penghantaran obat (Sezer
dkk, 2007; Koland, dkk 2010). Formulasi nanopartikel GSNO dengan
menggunakan polimer PLGA (poly-lactic-co-glycolic-acid) dan
polyethilenimin telah memperlihatkan kemampuannya sebagai antibakteri
dan penyembuhan luka pada tikus (Hasan, dkk 2015) hasil yang sama
diperlihatkan pada formulasi film yang hanya menggunakan polimer
kitosan (Kim, dkk 2015) namun dalam penelitian tersebut belum dilakukan
pengujian penghambatan biofilm.
Oleh karena itu, akan diformulasi sediaan film S-Nitrosogluthatione
dengan kombinasi Kitosan dan Polivinil Pirolidon (PVP) K-30 yang
memiliki sifat fisika kimia yang baik dan dapat menghantarkan GSNO yang
dapat menunjukkan aktivitas penghambatan biofilm terhadap
Staphylococcus aureus Multi Drug Resistance (MDR) sehingga dapat
dijadikan pengembangan strategi pengobatan dalam mengontrol infeksi
yang terkait dengan biofilm.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan,
maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah:
1. Berapakah perbandingan Kitosan dan PVP K30 yang dapat
menghasilkan film GSNO dengan karakteristik fisik yang baik?
2. Apakah film GSNO mampu memperlihatkan aktivitas
penghambatan biofilm terhadap bakteri Staphylococcus aureus
MDR ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah;
1. Mengetahui perbandingan kitosan dan PVP K30 yang
memperlihatkan karakteristik fisik yang baik.
2. Mengetahui aktivitas film GSNO dalam menghambat pembentukan
biofilm bakteri Staphylococcus aureus MDR.
D. Manfaat Penelitian
Sediaan film yang dibuat diharapkan dapat dijadikan
pengembangan strategi pengobatan dalam mengontrol penyakit infeksi
khususnya yang terkait dengan biofilm.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Biofilm
Biofilm adalah lapisan yang merupakan koloni dari mikroba yang
menempel dan menutupi suatu permukaan benda padat di
lingkungan. Biofilm merupakan sebuah struktur komunitas dari bakteri,
algae atau jenis sel lainnya yang menghasilkan matriks polimerik dan
melekat pada permukaan. Secara fisik, keberadaan biofilm dapat dicirikan
sebagai berikut:
a) Jarak ketebalan dari beberapa mikron sampai lebih dari 1000 mikron.
b) Permukaan tidak rata (kasar)
c) Spesies heterogen
d) Tersusun dari dua bagian, yaitu dasar biofilm dan permukaan biofilm.
Walaupun banyak bakteri dapat tumbuh pada keadaan bebas (free-
living) atau planktonik, secara umum bakteri melekat ke suatu permukaan
dengan menghasilkan polisakarida ekstra seluller (EPS) atau pada
beberapa kasus dengan menggunakan holdfast. Pelekatan ini
menghasilkan mikrokoloni, sebagai awal perkembangan biofilm yang
dimulai dari satu sel tapi sering berkembang menjadi beberapa bakteri
membentuk matriks (Chung, dkk. 2014).
7
Gambar 1. Struktur biofilm terlihat pada mikroskop (Chung, dkk, 2014)
B. Proses Terbentuknya Biofilm
Bakteri di habitat alamiah umumnya dapat hidup dalam dua
lingkungan fisik yang berbeda, yaitu dalam keadaan planktonik, berfungsi
secara individu dan dalam keadaan diam dimana mikroorganisme melekat
ke suatu permukaan membentuk biofilm dan berfungsi sebagai matriks
pelindung dari faktor lingkungan.
Proses terbentuknya biofilm dibagi menjadi 5 tahap (Paraje, 2011):
1. Tahap pelekatan awal : pada tahap ini mikroba meleket pada
permukaan benda padat dengan perantara fili (rambut halus). Contoh
bakteri yang dapat melekat dan membentuk koloni adalah
Pseudomonas aeruginosa, bakteri gram negatif dengan molekul sinyal
utama homoserin lakton. Pelekatan awal ini disebabkan oleh sifat
hidrofobik dan elektrostatik (medan listrik statik).
2. Tahap pelekatan permanen : mikroba semakin menempel dengan
diprakarsai oleh matriks polimer ekstraseluler dengan bantuan
eksopolisakarida (EPS).
8
3. Maturasi I : Terjadi penarikan pada bakteri lain membentuk
polisakarida ekstraseluler dan sel bakteri terus tumbuh dan
berkembang. Pada tahap ini ketebalan biofilm lebih dari 10 µm.
4. Maturasi II : Pada tahap ini ketebalan biofilm mencapai 100 mm.
Bakteri yang terakumulasi membentuk beberapa lapisan. Bakteri yang
ada dilapisan dalam akan lebih terlebih terlindungi dari pada bakteri
yang berada pada lapisan luar. Koloni ini akan membentuk nutriennya
sendiri, karena bakteri yang mati dapat menjadi nutrien bagi yang
hidup.
5. Dispersi : Pada tahap ini biofilm yang sudah terbentuk dapat
mengalami pelepasan sel secara erosi atau sloghing. Erosi terjadi
secara berkala karena geseran dari cairan yang mengalir. Sloghing
adalah pelepasan banyak sel yang terjadi secara acak karena adanya
perubahan dalam medium pertumbuhan.
Gambar 2. Proses terbentuknya biofilm. (Paraje, 2011)
9
Beberapa sel pada populasi yang berbeda dari bakteri planktonik
menempel ke berbagai macam permukaan. Pada medium cair yang
mengalir, bakteri yang melekat memperoleh akses ke sumber nutrien
yang berkelanjutan yang dibawa oleh aliran medium. Setelah melekat ke
permukaan, mikroorganisme tumbuh menjadi ukuran yang normal
kemudian memulai reproduksi sel. Pelekatan yang terus menerus
menunjang pembentukan biofilm.
C. Nitrit Oksida (NO) (Achuth, 2002)
Molekul NO dibentuk oleh 5 elektron nitrogen dan 6 elektron
Oksigen, sehingga ada 1 elektron yang tak berpasangan, menjadikan NO
sebagai molekul reaktif yang bersifat radikal bebas. Nitrogen Oksida
merupakan gas yang larut dalam air, dengan tingkat kelarutan 1-3 mmol/L
(30-90 mg/L). Kadar biologis aktifnya berkisar 1-100 nmol/L bersifat
lipofilik, sehingga mudah melewati sawar membran lipoprotein. Waktu
paruh NO teramat pendek sekitar 3-5 detik, karena NO akan cepat dan
spontan bereaksi dengan O2 membentuk ion nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3
-)
yang akhirnya diekskresi lewat ginjal.
Nitrogen oksida yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh akibat
paparan infeksi akan bersifat sitostatik pada sel dengan pH asam (sel
target, mikroorganisme patogen). Aktifitas biologis nitrit lebih rendah
dibandingkan NO, sedangkan nitrat relatif tidak mempunyai aktifitas
biologis. Akibat waktu paruhnya yang pendek itu, NO hanya memiliki
aktifitas biologis disekitar tempat biosintesisnya saja. Sebagai contoh
10
sintesis NO di sel endotel vaskular, hanya mengakibatkan relaksasi otot
polos vaskular di dekatnya.
Selain dengan O2, radikal bebas NO juga mudah bereaksi dengan
molekul lain yang mempunyai elektron tak berpasangan, misalnya anion
superoksida (O2-) dan ferrum. Berbagai molekul yang mengandung O2 di
intra atau ekstraselular mampu mengkatalisasi oksidasi inaktif NO menjadi
nitrat, diantaranya oksihemoglobin (HbO2). Hemoglobin memiliki afinitas
yang tinggi terhadap NO daripada CO.
D. S- Nitroso Gluthatione (Antlej, 2014)
S-nitrosogluthatione (GSNO) merupakan bentuk derivat yang
membentuk senyawa nitroso dan merupakan agen pemberi nitrogen.
Terdapat dalam reservoir NO di dalam sel dan merupakan salah satu
kendaraan NO dalam transportasi antar sel, yang memiliki aktivitas
biologis yang beragam. Secara kimia, GSNO dapat disintesis secara
efisien, cepat dan memiliki yield yang tinggi dengan mereaksikan GSH
dan Natrium nitrit (NaNO2), yang akan langsung menghasilkan warna
merah muda.
Gambar 3. Reaksi pembentukan S-Nitrosogluthatione dari Gluthatione dan Natrium Nitrit (Achuth, 2002).
11
Reaksi langsung antara GSH dengan NO tidak menghasilkan GSNO,
reaksi ini membentuk gluthatione disulfida dan Nitroxyl anion(NO-). Hanya
reaksi antara NO dan oksigen molekular yang dapat membentuk GSNO
yang merupakan reaksi orde tiga, tergantung dari konsentrasi NO. Karena
oksigen intrasel rendah (tingkat jaringan) dan tingkat konsentrasi NO
rendah, hal ini menyebabkan oksidasi NO secara in vivo oleh oksigen
terjadi lambat dan prosesnya tidak signifikan.
Proses degradasi GSNO diperkirakan juga melalui jalur non
enzimatis atau reaksi dengan molekul biologis seperti ion tembaga, besi,
askorbat atau thiol, dan enzim. Dibandingkan dari semua senyawa S-
nitrosothiol, stabilitas GSNO lebih baik dan proses dekomposisi oleh ion
tembaga lebih lambat.
Sampai saat ini, telah ada lebih dari 20 penelitian klinis yang
menginvestigasi efikasi terapetik dari GSNO, pada umumnya terhadap
penyakit kardiovaskular. GSNO memiliki lebih banyak keunggulan
dibandingkan NO donor yang lain, efek yang diinginkan dapat bersifat
sistemis atau dapat diberikan secara lokal tanpa mengganggu aktifitas
sistemik. Efek yang telah diketahui secara baik dari GSNO pada manusia
adalah aksinya terhadap platelet (bekerja terutama sebagai NO donor,
mengurangi koagulasi dan trombosis). GSNO diketahui juga memberikan
efek mengurangi emboli setelah operasi dan pencangkokan, efek
menguntungkan terhadap fungsi ventrikel kiri jantung, vasodilatasi dan
preeklampsia. Penggunaan topikal sebagai gel GSNO memperlihatkan
12
peningkatan aliran darah clitoral (disarankan sebagai pengobatan
disfungsi seksual wanita), dan sebagai agen anti fungi yang dapat
menyembuhkan onychomycosis (infeksi fungi pada kuku) dan dapat
digunakan sebagai agen terapi pada cystic fibrosis.
E. Nitrit Oksida dan Biofilm (Seabra, dkk. 2016)
Biofilm bakteri sangat sulit dan bahkan tidak dapat dilawan dengan
antibiotika konvensional, karena itu berbagai penelitian secara aktif
mencari pendekatan baru untuk menghancurkan biofilm. Sebagai molekul
sinyal, NO diketahui berperan penting dalam peristiwa dispersi bakteri
dalam biofilm. Hasil penelitian terbaru memperlihatkan mekanisme NO
dalam memediasi jalur sinyal yang menyebabkan dispersi biofilm pada
tahap akhir proses pematangan biofilm. Mekanisme NO dalam
mempercepat proses penghancuran biofilm lebih kepada pembentukan
sinyal molekul dibandingkan dengan menyebabkan bakteri mengalami
toksisitas sel. Oleh karena itu, penggunaan NO untuk menginduksi transisi
biofilm menjadi bakteri planktonic lebih memperkecil kemungkinan
terjadinya resisten bakteri, seperti pada penggunaan antibiotika. Lebih
menarik lagi, dosis rendah NO (rentang picomolar hingga nanomolar),
yang tidak toksik terhadap sel mamalia, berhasil menginduksi terjadinya
degradasi biofilm pada beberapa strain bakteri yang telah dilaporkan
mengalami resisten terhadap antibiotika. Oleh karena itu, penggunaan NO
donor menunjukkan pendekatan yang potensial dalam mendegradasi
biofilm bakteri resisten antibiotika. Terlebih lagi, kombinasi NO donor
13
dengan antibiotika konvensional mungkin dapat meningkatkan
kemampuan dispersi biofilm yang terbentuk.
Pembentukan biofilm dapat menyebabkan komplikasi pada luka
kronis, memperlambat proses penyembuhan, menyebarkan infeksi dari
jaringan ke dalam pembuluh darah. Berbagai penelitian telah
menunjukkan efikasi dari NO donor terhadap degradasi biofilm, Barraud
dkk menggunakan NO donor Sodium Nitroprussida (SNP), S-
Nitrosogluthatione (GSNO), dan S-Nitroso-N acetyl-penicillane (SNAP).
Konsentrasi rendah NO donor (dalam kisaran nanomolar hingga
mikromolar) mampu mengurangi massa biofilm dan meningkatkan jumlah
sel planktonik.
Dalam penelitian lainnya, efikasi antibiofilm NO donor Isosorbid
Mononitrat (ISMN) yang dienkapsulasi dalam liposom juga
memperlihatkan kemampuan mendegradasi biofilm bakteri S. aureus,
yang dikaitkan dengan sinusitis kronis yang sangat resisten terhadap
antibiotika konvensional. Liposom dalam konsentrasi 3 dan 60 mg/ml
memperlihatkan aktivitas antibiofilm yang signifikan setelah pemberian
selama 24 jam dibandingkan dengan kelompok kontrol. Interaksi muatan
dari liposom terhadap dinding sel bakteri diperkirakan mampu
meningkatkan penetrasi dari formulasi kedalam biofilm.
F. Sediaan Film (Krogars, 2003)
Sediaan film merupakan polimer yang mampu mengeras menjadi
film yang koheren. Polimer memiliki struktur kimia dalam molekulnya yang
14
memberikan kelarutan dalam medium tertentu. Sifat fisik polimer ini
penting untuk membentuk film.
Pembentukan film biasanya melibatkan proses pemanasan.
Selama pemanasan, pelarut menguap baik dari larutan maupun dispersi
polimer. Pada awalnya polimer berada dalam bentuk kumparan yang
terisolasi. Jika pelarut menguap secara lambat, kumparan akan saling
mendekat, hingga pada konsentrasi polimer tertentu, kumparan polimer
akan saling berpenetrasi satu sama lain.
Gambar 4. Penggabungan partikel oleh fusi karena aliran viskos. (Krogars, 2003)
Pembentukan film dari sistem dispersi polimer dapat digambarkan
oleh pembentukan film lateks yang merupakan koloid partikel polimer yang
terdispersi dalam cairan. Ikatan dua atau lebih partikel polimer kering
terjadi karena aliran polimer yang viskos, tegangan permukaan plastis,
sehingga menyediakan tekanan geser yang dibutuhkan.
15
Gambar 5. Kapiler berperan sebagai gaya kontraksi (Krogars, 2003)
Namun, untuk partikel yang tidak kering, pembentukan film akan
terjadi jika gaya kapiler lebih besar dari resistensi deformasi partikel
polimer. Pembentukan film akan dipengaruhi oleh tegangan permukaan,
ukuran partikel dispersi, waktu pengeringan, temperatur, dan sifat reologi
polimer.
Pembentukan film terjadi dalam tiga tahap yang berbeda.
Penguapan air terjadi pada tahap pertama, dan sebagai konsekuensinya
konsentrasi meningkat. Pada tahap ke dua air terus menguap dan,
sebagai konsekuensi dari gaya kapiler, partikel polimer saling mendekat
dan terjadi perubahan bentuk partikel. Pada tahap ke tiga terjadi
autohesion di mana molekul rantai polimer saling berdifusi, membentuk
ikatan kuat yang stabil.
G. Kitosan dan Aplikasinya
Kitosan, dengan nama kimia poli-α-(1,4)-2-amino-2-deoksi-D-
glukosa, merupakan hasil dari deasetilasi parsial kitin dan merupakan
16
polisakarida yang terdiri atas kopolimer glukosamin dan N-
asetilglukosamin. Kitosan terdapat dalam berbagai derajat deasetilasi dan
depolimerisasi sehingga tidak mudah untuk menentukan komposisi
kimianya. Derajat deasetilasi yang dibutuhkan untuk memperoleh produk
yang larut harus lebih besar dari 80-85%. Bobot molekulnya berkisar
antara 10.000-1.000.000. Kitosan tidak berbau, berupa serbuk atau
serpihan berwarna putih atau krem. Pembentukan serat sering terjadi
selama pengendapan dan dapat terlihat ‘cottonlike’. Kitosan merupakan
poliamin kationik dengan kerapatan muatan yang tinggi pada pH < 6,5,
sehingga menempel pada permukaan yang bermuatan negatif dan
mengkelat ion logam. Selain itu, ia juga merupakan polielektrolit linier
dengan gugus amin dan hidroksil yang reaktif (tersedia untuk reaksi kimia
dan pembentukan garam) (Berger, 2004).
Kitosan larut dalam pelarut organik, HCl encer, HNO3 encer, dan
H3PO4 0,5%, tetapi tidak larut dalam basa kuat dan H2SO4. Sifat kelarutan
kitosan ini dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi yang
beragam bergantung pada sumber dan metode. Bobot molekul kitosan
beragam, bergantung pada degradasi yang terjadi selama proses
deasetilasi. Parameter mutu kitosan ditentukan melalui parameter nilai
derajat deasetilasi, kadar air, kadar abu, bobot molekul, dan viskositas.
17
Gambar 6. Struktur Kitosan (Dutta, dkk., 2004)
Kitosan telah banyak diteliti sebagai pembawa dalam sistem
penghantaran obat dalam berbagai bentuk sediaan, seperti gel, film,
beads, mikrosfer, tablet, dan penyalut untuk liposom (Rowe, dkk. 2006).
Penelitian tentang kitosan pada berbagai hewan uji menunjukkan
kemampuannya untuk meningkatkan hemostasis, menurunkan fibroplasia,
memfasilitasi osteogenesis, dan meningkatkan regenerasi jaringan.
Kitosan juga menunjukkan aktivitas antimikroba dan dapat mempercepat
penyembuhan luka (Dutta, 2004) .
Kitosan merupakan serat biopolimer yang menarik dan kompatibel
sehingga sangat direkomendasikan untuk digunakan dalam
pengembangan biomatriks untuk aplikasi klinis, seperti untuk alat
penghantaran obat, pembalut bioaktif dan perancah untuk rekayasa
jaringan. Kitosan juga bersifat tidak toksik, nonimunogenik, dan
biodegradabilitasnya baik.
Kitosan merupakan kandidat yang menjanjikan untuk mengobati
luka bakar. Kitosan dapat membentuk film yang kuat, mengabsorpsi air,
dan biokompatibel. Selain itu, permeabilitasnya terhadap oksigen sangat
baik. Sifat ini sangat penting untuk mencegah kekurangan oksigen pada
jaringan yang cedera. Sifat kitosan yang mampu menyerap air dan dapat
18
terdegradasi secara alami oleh enzim dalam tubuh terutama lisozim,
menyebabkan film kitosan yang sudah ditempel pada luka tidak perlu
dilepaskan sehingga tidak menyebabkan gangguan pada daerah yang
cedera tersebut (Moe, 2008).
Produk degradasi dari kitosan dapat diabsorpsi dan bahkan
memiliki nilai nutrisi. Polisakarida kitosan yang memiliki struktur yang mirip
dengan glikosaminoglikan dapat dipertimbangkan untuk mengobati luka
kronik dengan penggantian kulit (Moe,2008).
Sifat film kitosan bergantung pada morfologinya yang dipengaruhi
oleh sistem pelarut, bobot molekul, derajat N-asetilasi, penguapan pelarut,
dan mekanisme regenerasi amin bebas. Polimorfisme kitosan diatur oleh
kondisi preparasi dan memainkan peranan penting dalam sifat tensile
yang dihasilkan. Brine and Austin menunjukkan bahwa orientasi film dan
kekuatan tarik (tensile strength) meningkat dengan penarikan (drawing).
Namun bagaimanapun, untuk memperoleh film dengan kekuatan yang
cukup, film dicetak dengan menggunakan sistem pelarut anhidrat
(TCA/metilen klorida dengan kloral hidrat), menggunakan polimer dengan
bobot molekul yang tinggi, waktu disolusi yang cepat (
19
kg/mm2 (32,5 MPa) dengan elongasi 4%. Hal ini menunjukkan signifikansi
penarikan terhadap kekuatan tarik yang dihasilkan (Rathkee, dkk. 1994).
H. Mekanisme Pelepasan Terkontrol pada Luka (Boateng, dkk2007)
Mekanisme pelepasan obat secara terkontrol terhadap luka dari
formulasi polimer dikendalikan oleh satu atau lebih proses fisik, meliputi
hidrasi polimer oleh cairan, pengembangan polimer untuk membentuk gel,
difusi obat melalui gel yang mengembang, dan erosi langsung dari
polimer. Meskipun hanya sedikit literatur yang membahas tentang
pembalut luka polimer, seperti hidrokoloid, alginat, hidrogel dan poliuretan,
dapat terlihat jelas bahwa pengembangan, erosi dan kinetika pelepasan
obat secara langsung memegang peranan penting dalam mengendalikan
pelepasan obat dari pembalut luka ketika terjadi kontak dengan eksudat
luka. Setelah terjadi kontak antara pembalut luka polimer dengan
permukaan luka yang lembab, eksudat luka akan berpenetrasi kedalam
matriks. Hal ini menyebabkan hidrasi dan pengembangan polimer secara
perlahan-lahan dan membentuk gel dipermukaan luka.
Penelitian lebih lanjut menjelaskan pelepasan terkontrol protein dari
matriks alginat pada jaringan mukosa seperti pada luka. Ditemukan bahwa
sifat pengembangan dari polimer untuk membentuk gel berperan sebagai
barrier pada difusi obat. Seperti pada semua polimer, pengembangan
terjadi karena adanya proses pelarutan rantai polimer, yang menyebabkan
peningkatan jarak end-to-end dari tiap molekul polimer. Pada pembalut
luka, mekanisme pelepasan obat telah dijelaskan melalui aktifitas hidrolisis
20
enzim yang ada pada eksudat luka atau yang terdapat pada bakteri jika
terjadi infeksi luka. Berbagai jenis teknik telah dikembangkan untuk
mengetahui sifat pengembangan polimer hidrofilik ketika terjadi kontak
dengan air, menunjukkan bahwa pada media cair, polimer juga mengalami
proses relaksasi yang menyebabkan terjadinya proses disolusi yang lebih
lambat pada polimer yang terbasahi. Proses pengembangan dan disolusi
dapat terjadi secara langsung pada pembalut luka, yang masing-masing
mempengaruhi mekanisme pelepasan obat. Bagaimanapun, secara umum
tingkat pelepasan obat ditentukan oleh tingkat difusi dari medium disolusi
(eksudat) kedalam matriks polimer. Proses erosi menjadi mekanisme
pelepasan yang paling dominan dari semua profil pelepasan dari polimer.
Model pelepasan lain juga dikembangkan untuk menginvestigasi proses
pelepasan obat dari matriks, yang mengkombinasikan proses difusi,
pengembangan dan erosi polimer. Model ini berdasarkan pada proses
penetrasi air pada polimer yang kering dan disolusi polimer berdasarkan
teori peregangan molekul polimer dalam larutan.
I. Polivinil Pirolidon (Rowe dkk., 2006)
Polivinil pirolidon (PVP) mempunyai nama kimia 1-ethenyl–2
pyrrolidone homopolymer. Dijelaskan pula, PVP mempunyai beberapa
sinonim antara lain sebagai berikut kollidon, Plasdone, poly(1–(2-oxo-1-
pyrrolidinyl)ethylene), polyvidone, polivinil pyrolidon, PVP, 1–vynil–2-
pyrrolidine polymer. PVP adalah hasil polimerisasi 1-vinilpirolid-2-on
dalam berbagai bentuk polimer dengan rumus molekul (C6H9NO)n,
21
rumus struktur PVP terlihat di gambar 10. PVP memiliki pemerian berupa
serbuk putih atau putih kekuningan, berbau lemah atau tidak berbau, dan
bersifat higroskopik. Sedangkan untuk kelarutan, PVP mudah larut dalam
air, etanol (96%) P, kloroform P dan praktis tidak larut dalam eter P. PVP
memiliki bobot molekul berkisar antara 10.000 hingga 700.000, kelarutan
PVP tergantung dari bobot molekul rata–rata.
PVP merupakan salah satu polimer sintetik yang dapat mengontrol
pelepasan obat dari sediaan film atau patch. Pada umumnya PVP
membentuk lepaskan reservoir dalam membran kulit sehingga berpotensi
mengontrol pelepasan obat dari stratum corneum dalam selang
waktu yang lama.
Gambar 7. Rumus struktur PVP (Rowe dkk., 2006)
22
J. Kerangka Teori
1. 1. Kemampuan menutupi luka
2. 2.menyerap eksudat dan kelembaban
3. 3. Melebur pada suhu tubuh
- Memperlihatkan aktifitas antimikroba yang baik. - Mampu memisahkan sel bakteri dalam biofilm - Efek bersifat lokal tanpa mengganggu aktifitas sistemik.
Mampu menjaga kestabilan NO secara konsisten Mampu memberikan dosis spesifik untuk mencapai efek biologis Dapat diaplikasikan pada luka terbuka
Kompleks mikroorganisme yang mensekresi matriks polisakarida yang melekat pada lingkungan yang bersifat padat Menghambat penetrasi antibiotika sehingga memicu resistensi Secara topikal dapat terbentuk pada luka infeksi
Membutuhkan dosis hingga atusan kali lipat untuk menghancurkan biofilm.
S-Nitrosogluthatione -
Sediaan Film
Infeksi oleh Bakteri
Sel Planktonic
Biofilm
Antibiotika
Senyawa Antibiofilm
Film GSNO dengan karakteristik fisik baik dan memilik aktifitas
antibiofilm.
23
K. Kerangka Konsep
Sediaan Film S-Nitrosogluthatione
Formulasi Sediaan Film
S-Nitrosogluthatione Aktivitas Antibiofilm
1. Pemilihan konsentrasi Polimer
Kitosan-PVP K30
2. 2. Metode Pembuatan
Evaluasi Sediaan Film
Uji aktivitas Penghambatan
Biofilm S. aureus MDR Karakterisasi fisik dan uji
pelepasan in-vitro
24
L. Hipotesis
1. Kombinasi Kitosan dan PVP K30 dapat membentuk film GSNO
dengan sifat fisik yang baik.
2. Film GSNO memiliki aktivitas penghambatan biofilm terhadap
bakteri Staphylococcus aureus MDR.