25

Click here to load reader

FISIOLOGI NYERI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FISIOLOGI NYERI

BAB II

FISIOLOGI DASAR

NYERI NOSISEPTIF

Linda S, Sorkin,Ph.D

PENDAHULUAN

Informasi tentang nyeri (nosiseptif) merupakan transmisi dari jaringan yang luka

(kulit, otot, atau viscera) ke korteks serebri.

Jalur tercepat melibatkan 3 neuron: serabut aferen primer dari kulit ke medulla

spinalis, neuron proyeksi medulla spinalis (biasanya diduga berproyeksi ke

thalamus kontralateral, dan neuron thalamokortikal)

Pada tiap titik sepanjang jalur terdapat beberapa pilihan untuk rute yang lebih

panjang dan untuk medulasi dan atau integrasi informasi.

LUKA PADA JARINGAN

Nyeri nosiseptif diawali dengan adanya luka pada jaringan yang dapat bersifat

sekunder disebabkan insisi inflamasi atau penyakit.

Potensial aksi dihasilkan pada serabut saraf yang berespon secara khusus terbatas

pada stimulus yang berpotensi merusak jaringan, mekanik, suhu maupun kimiawi.

Reseptor dan serabut-serabut yang berhubungan ini disebut nosiseptor. Beberapa

diantaranya spesifik terhadap satu modalitas (miasalnya suhu dingin atau zat

kimiawi tertentu seperti histamin) mayoritas diantaranya adalah polimodal dan

berespon terhadap jenis input multipel

Faktor-faktor aktif dilepaskan sebagai akibat langsung dari luka atau peptida

dilepaskan dari kolateral ujung saraf nosiseptif teraktivasi (misalnya kalsitonin

gene-related peptide (CGRP) dan substansi P) menginduksi peningkatan

permeabilitas vaskuler dan keluarnya protein plasma menuju jaringan. Hal ini

mengakibatkan udema pada daerah luka dan kemerahan disekitarnya. Peptida

aferen primer dan atau neurotrasmiter dan injury product like prostaglandin,

seperti sel immun inflamasi dan produk darah (misalnya bradikinin) keluar dari

1

Page 2: FISIOLOGI NYERI

pembulu darah memberikan kontribusi penting terhadap inflamasi dan nyeri

akibat luka.

Aktivasi reseptor pada serabut-serabut nyeri terminal perifer dapat menimbulkan

aksi potensial. Prostaglandin endogen, bradikinin dan sitokin mempunyai efek

kerja perifer yang kuat dan dapat mensensitisasi juga merangsang nosiseptor. Jika

ambang batas suhu diturunkan sampai temperatur tubuh mengawali aktifitas saraf

hal ini tampak seperti nyeri spontan. Reduksi ambang batas nosiseptor terhadap

temperatur dan tekanan sampai pada rentang yang tidak berbahaya bermanifestasi

sebagai allodynia dan juga disebut hiperalgesia primer.

Ujung perifer juga mempunyai reseptor fungsional untuk agen-agen inhibisi

(misalnya: µ opiates dan γ asam amino butirat (GABA)) hal ini mendukung

rasionalitas penggunaan opiat intraartikular pada pembedahan lutut dan aplikasi

lokal beberapa agen anti hiperalgesia.

SERABUT NYERI AFFEREN

Sebagian besar serabut yang mentrasmisikan nyeri nonseptif akut yaitu serabut

saraf Aδ (serabut saraf kecil bermyelin) atau serabut saraf C (tidak bermyelin).

Tidak semua serabut saraf Aδ dan C menghantarkan informasi nyeri; banyak

yang menghantarkan temperatur yang tidak berbahaya, gatal dan sentuhan.

Beberapa serabut saraf afferen silent nosiseptor memberi sinyal hanya setelah

tampak kerusakan jaringan yang jelas. Banyak diantaranya yang diduga

memegang peranan penting pada nyeri artrhitis dan penyakit-penyakit lain

yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau inflamasi. Viscera

mengandung sejumlah besar silent nosiseptor.

Eksperimen pararel membandingkan antara data elektrofisiologis pada serabut

saraf nonsiseptif C tunggal dengan data psikofisika manusia menunjukkan

adanya korelasi yang sangat tinggi antara aktivitas serabut saraf afferen primer

dan persepsi nyeri. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas serabut saraf afferen

primer nonseptif memediasi nyeri dan bahwa inhibisi pada aktivitas ini

mengurangi nyeri.

2

Page 3: FISIOLOGI NYERI

Pada serabut-serabut saraf nosiseptif C kutaneus beberapa diantaranya

diaktivasi oleh capsaicin dan mengandung sejumlah neuropeptida sedangkan

yang lainnya tidak sensitif terhadap capsaicin. Seluruhnya mempunyai ujung

monosinaptik pada lamina I dan II cornu dorsalis spinalis. Nosiseptor Aδ

berakhir pada lamina I dan V cornu dorsalis. Serabut saraf C memiliki

hubungan polysinaptik dengan neuron-neuron pada lamina V dan neuron-

neuron pada kornu dorsalis yang lebih dalam. Banyak afferen nosiseptik dari

viscerah yang memiliki input monosinaptik ke lamina X disekeliling kanalis

sentralis, Juga pada kornu dorsalis.

Banyak serabut saraf nosiseptik berespon terhadap tissue injury product (K+,

prostaglandin), produk sel mast (sitokin, histamin) dan substansi yang

bermigrasi ke jaringan ketika vaskuler lebih mudah bocor (serotonin,

bradikinin).

Aktivitas pada serabut saraf C menyebabkan pengeluaran lokal substansi P dan

CGRP dan kolateral akson terminal.

SEL-SEL SENSORIK MEDULLA SPINALIS

Serabut-serabut aferen berakhir baik secara langsung maupun tidak langsung pada

sel-sel trasmisi yang membawa informasi ke batang otak dan otak tengah.

Beberapa neuron memproyeksikan informasi keberbagai nukleus talamus yang

bertugas sebagai stasiun untuk komponen diskriminatif dan afektif dari nyeri.

Nukleus-nukleus jalur ascendens ini umumnya menyilang dan ascendens pada

kuadran anterolateral medulla spinalis kontralateral dari sel tubuh dan bagian

tubuh yang dipersarafi.

Neuron-neuron lainnya berproyeksi kepusat otonom yang mengatur peningkatan

fungsi kardiovaskuler dan respirasi juga berpasangan transmisi nosiseptif; jalur ini

cenderung bersifat bilateral. Sebagai tambahan jalur ascendens, jalur intrinsik ini

pada medulla spinalis berhubungan dengan motor neuron yang terlihat dalam

aktivitas refleks motorik.

Mayoritas sel-sel proyeksi pada lamina I dan II (cornu dorsalis superfisial atau

cornu posterior) berespon khusus terhadap stimulasi berbahaya (ambang batas

3

Page 4: FISIOLOGI NYERI

tinggi atau sel-sel spesifik nosisepsi). Banyak diantaranya yang bersifat

multimodal dan berespon terhadap input mekanik dan suhu yang intensif. Lainnya

berespon khusus terhadap panas atau dingin yang bersifat barbahaya. Juga

terdapat sel-sel yang hanya berespon terhadap stimulasi kimia, termasuk

pelepasan histamin pada kulit, misalnya, rasa gatal. Suatu populasi kecil sel-sel

spesifik nosisepsi terletak pada bagian dalam kornu dorsalis.

Sel-sel pada kornu dorsalis yang lebih dalam (lamina IV-VI) dapat menerima

input khusus dari mekanoreseptor atau termoreseptor ambang batas rendah atau

dapat menunjukkan konvergensi; yaitu, sel-sel ini menerima input lebih dari 1

jenis serabut saraf primer (ambang batas rendah dan nosiseptif). Jika sel-sel

konvergen ini merangsang timbulnya potensial aksi yang signifikan sebagai

respon terhadap stimulus berbahaya, sel-sel ini disebut sel-sel wide dynamic

range (WDR). Sejumlah kecil sel-sel WDR ditemukan pada lamina I.

Konvergensi input dari permukaan luar tubuh (kulit) dan dari viscera ke neuron

spinal individu juga terjadi. Ketika aktivitas diawali di viscera, nyeri dialihkan ke

bagian permukaan tubuh yang “barbagi” neuron yang sama. Hal ini merupakan

penjelasan untuk nyeri alih atau refered pain.

FARMAKOLOGI SEL SPINAL

Serabut-serabut saraf nosiseptif aferen melepaskan glutamat dan peptida dari

ujung sentralnya di medulla spinalis. Beberapa peptida dilepaskan bersama

dengan glutamat hanya jika potensial aksi rangsang serabut saraf berada pada

frekuensi tinggi (ekuivalen dengan luka berat).

Glutamat menyebabkan respon yang cepat (depolarisasi) pada neuron spinal

melalui reseptor yang terhitung dengan saluran ion. Reseptor ini disebut reseptor

glutamat tipe non-NDMA beberapa peptida, misalnya; substansi P,

memperpanjang depolarisasi awal; perubahan pada tegangan transmembran ini

memungkinkan subtipe reseptor glutamat lain, reseptor N-metil.-D-aspartat

(NMDA) teraktivasi. Reseptor NMDA juga terhubung dengan saluran ion;

bagaimanapun, saluran-saluran ini memungkinkan influks Ca+2 disamping

pergerakan Na+ dan K+ transmembran, juga terjadi melalui reseptor non NMDA.

4

Page 5: FISIOLOGI NYERI

Peningkatan kalsium intraseluler mengarah pada maknifikasi respon yang

masuk, seperti setiap signal yang masuk menghasilkan output yang lebih banyak.

Jika terdapat aktivitas serabut C frekuensi tinggi, aliran biokimia intraseluler

yang juga memperkuat dan meningkatkan respon menjadi terpicu dan

menyebabkan sensitisasi spinal jangka lama yang menimbulkan allodinia dan

atau hiperalgesia. Jika aktivitas ini akibat adanya luka pada jaringan, allodinia

atau hiperalgesia sekunder biasnya meluas ke jaringan yang tidak mengalami

luka. Peningkatan sensitivitas ini terbatas pada stimulus mekanik; ambang batas

suhu biasanya tidak meluas dari tempat luka.

Aliran tersebut termasuk aktivasi Ca+2 tidak pada enzim fospolipase A2 (PLA2);

hal ini menyebabkan pelepasan asam arakidonat dari membran plasma,

menjadikan substrat untuk enzim siklooksigenase dan menyebabkan produksi

prostaglandin. Prostaglandin (PGs) berdifusi dari neuron spinalis dan kembali ke

ujung sentral serabut saraf nosiseptif aferen (neurotransmisi retrograde).

Disana, PG bekerja pada reseptor spesifik PG untuk menigkatkan jumlah

neurotrionsmitter yang dilepaskan tiap potensial aksi menuju ujung serabut

saraf. Enzim-enzim lain, termasuk nitrit oxide sintetase, diaktivasi oleh Ca2+

dengan cara yang sama, juga menyebabkan penguatan respons transmisi.

Prostaglandin juga bekerja melalui reseptor spesifik PG pada astrosit untuk

mengaktivasinya dan menyebabkan pelepasan substansi neuroaktif tambahan,

termasuk sitokin proinflamasi.

Dugaan awal tentang preemtif adalah bahwa penggunaan anastesi lokal disekitar

insis (tempat luka) akan memblok serabut saraf C Frekuensi tinggi yang terjadi

pada saat luka, dengan demikian memblok atau mengurangi sensitisasi spinal

resultan nyeri dan kebutuhan analgesik. Uji klinik preemtif untuk membuktikan

bahwa ini adalah hal yang sebenarnya terjadi. Penelitian dengan blokade perifer

input aferen yang dipertahankan sedang dilaksanakan.

Opiat spinal menghambat aktivitas nosiseptif dimediasi serabut C dengan 2

cara. Opiat terikat pada reseptor opiat µ dan κ pada ujung sentral serabut saraf

aferen primer nosiseptif, dan dengan mengurangi masuknya Ca2+ saat potensial

aksi mencapai ujung, mengurangi jumlah neurotransmiter yang dilepaskan tiap

5

Page 6: FISIOLOGI NYERI

potensial aksi. Opiat juga terikat postsinaptik (pada neuron cornu dorsalis) pada

reseptor opiat µ dan δ. Disini opiat meningkatkan permeabilitas terhadap K+,

yang menyebabkan hiperpolarisasi neuron dan inhibisi transmisi nosiseptif akut.

Serabut saraf A β tidak mempunyai reseptor opiat presinaptik, sehingga jika

serabut saraf Aβ (sentuhan) memediasi nyeri (allodynia), opiat spinal hanya

bekerja post sinaptik dan melepaskan efek analgesik yang lebih rendah

dibanding pada nyeri yang dimediasi serabut C. Ini merupakan salah satu teori

mengapa nyeri yang dimediasi A β relatif resisten terhadap opiat.

Serotonin dan norepinefrin juga menghambat transmisi nosiseptif baik pre

maupun postsinaptik. Monoamin ini dilepaskan secara primer dari akson-akson

dengan badan sel terletak dalam berbagai nukleus di batang otak. Aksi analgesik

dipotensiasi oleh inhibitor pengambilan kembali monoamin (antidepresan

trisiklik) dan sinergistik dengan morfin.

PROYEKSI SUPRASPINAL

Terdapat proyeksi yang kuat baik dari kornu dorsalis superfisial dan profunda ke

talamus lateral (traktus spinothalamikus). Jalur “klasik” ini berproyeksi ke

korteks sematosensorik (S1) dan diintegralkan dalam diskriminasi sensorik

nyeri, apakah itu nyeri tajam, panas, dan sebagainya.

Kornu dorsalis superfisial mempunyai proyeksi unik ke talamus posterior (VMPO);

nukleus ini pada gilirannya berproyeksi ke korteks insula posterior. Area ini

telah dipertimbangkan sebagai pusat nyeri korteks yang unik juga terlibat dalam

kontrol homeostatik lingkungan internal, termasuk integritas jaringan. Hipotesis

alternatif ini mengajukan teori bahwa insula posterior dorsal lebih merupakan

fokus primer aspek diskriminasi sensorik nyeri dibandingkan korteks S1.

Bagian ventro kaudal talamus dorsal medial (MDVC) juga menerima input khusus

dari lamina I. Area ini berproyeksi ke korteks cingulatum anterior. Jalur medial

ini cenderung mewakili komponen nyeri afektif motivasional.

Jalur lain yang memberikan kontribusi pada perubahan fungsi otonom yang

bersamaan dengan nyeri termasuk traktus spinoretikular dan

spinomesencephalicus.

6

Page 7: FISIOLOGI NYERI

NYERI NEUROPATIK

Tony L, Yaksh, Ph.D

KEADAAN NYERI PADA CEDERA SARAF

Setelah terjadi luka dan inflamasi pada jaringan lunak, nyeri merupakan gejala

yang umum dijumpai dimana hilangnya nyeri dianggap sebagai akibat adanya

proses penyembuhan luka.

Sebaliknya beberapa saat setelah tidak terjadi berbagai macam luka pada saraf

perifer pada hewan dan manusia seringkali timbul serangkaian nyeri.

Komponen yang sering ditemukan pada sindrom yaitu :

1. Sensasi tajam terus menerus yang dialihkan pada distribusi perifer saraf

yang mengalami luka.

2. Sensasi nyeri abnormal sebagai respon terhadap stimulasi taktil ringan ke

permukaan perifer tubuh. Fenomena yang disebut terakhir adalah allodynia

taktil.

Gabungan peristiwa sensorik ini pertama kali disadari oleh Silas Weir-Mitchell

pada tahun 1860an.

Fsikofisika keadaan ini dengan jelas menekankan bahwa nyeri dirangsang oleh

aktivasi mekanoreseptor ambang rendah (aferen Aβ).

Kemampuan sentuhan ringan untuk merangsang keadaan nyeri ini merupakan

bukti de facto bahwa cedera saraf perifer mengarah pada reorganisasi proses

sentral; yang bukan merupakan kasus sederhana sensitisasi perifer dari aferen

ambang tinggi.

Sebagai tambahan perubahan perilaku ini, kondisi nyeri neuropatik dapat

menunjukkan anomali sebaliknya termasuk memperbaiki efek simpatektomi

pada lengan yang lumpuh dan mengurangi responsifitas terhadap analgesik

misalnya opiat.

KORELASI MORFOLOGIS DAN FUNGSIONAL

Mekanisme yang mendasari nyeri spontan ini dan kesalahan mengkode input

aferen ambang rendah belum sepenuhnya dimengerti.

7

Page 8: FISIOLOGI NYERI

Sebagai tinjauan umum, kejadian-kejadian ini diyakini merefleksikan :

Peningkatan aktivitas spontan pada akson saraf aferen yang terluka dan atau

saraf cornu dorsalis.

Respon berlebihan saraf cornu dorsalis terhadap input aferen normal yang

tidak berbahaya.

Setelah ligasi atau pemotongan saraf perifer, beberapa peristiwa yang terjadi

memberikan sinyal adanya perubahan jangka panjang dalam proses sentral dan

perifer.

Di perifer, setelah luka mekanik akut pada akson aferen perifer

Akan ada kembali regenerasi awal (khromatolisis retrogade) yang

berlangsung untuk beberapa interval waktu dimana akson mulai tumbuh dan

berkembang ke arah yang cones.

Pertumbuhan cones seringkali gagal berhubungan dengan target asli dan

menunjukkan proliferasi yang signifikan.

Kumpulam pertumbuhan cones yang berproliferasi ini membentuk struktur

yang disebut neuroma.

Pada medula spiralis, berbagai jenis peristiwa yang diobservasi terjadi sekunder

terhadap cedera saraf. Perubahan ini tercantum dibawah dan termasuk

pertumbuhan ujung akson dan perubahan ekspresi berbagai peptida dan

saluran-salurannya.

Fenomena ini diyakini merefleksikan mekanisme yang mendasari pengalaman

sensoris akibat luka pada saraf perifer.

KEADAAN NYERI SPONTAN

Pada kondisi normal, afferen primer menunjukkan aktifitas spontan yang rendah.

Setelah cedera saraf akut, akson afferen menunjukkan :

Letupan awal afferen sekunder terhadap luka

Tenang beberapa jam sampai beberapa hari

Diikuti dengan perkembangan jalur afferen spontan pada level yang dapat

diukur pada akson bermyelin dan tidak bemyelin.

8

Page 9: FISIOLOGI NYERI

Input yang terus menerus ini diyakini menyediakan sumber aktifitas afferen yang

mengarah pada sensasi yang berlangsung spontan dan berkelanjutan.

Tempat Awal Jalur Afferent Spontan

Rekaman tunggal dari akson afferen mengindikasikan bahwa asal aktivitas

spontan pada afferen muncul dari neuroma dan pada ganglia basalis dorsal

akson yang cedera.

Aktifitas afferen sensori muncul setelah interval hari sampai minggu dari tempat

lesi (neuroma) dan dari ganglia radix dorsal (DRG) pada saraf yang cedera.

Peningkatan Ekspresi Natrium Channel

Na chanel sensitif yang voltage memediasi konduksi potensial pada akson

bermyelin dan tidak bermyelin.

Cloning menegaskan bahwa terdapat populasi multipel dari Na chanel yang

berbeda-beda dalam struktur dan alat aktivasi.

Setelah cedera terjadi perifer terdapat ekspresi Na chanel pada neuroma dan

ganglia radix dorsal.

Peningkatan hantaran ion ini menghasilkan peningkatan aktivitas spontan yang

berkembang pada akson yang tumbuh.

Sama halnya pengurangan aktivitas Na chanel juga akan mengarah pada

peningkatan eksitabilitas afferen.

Perubahan Sensitivitas Ujung Afferen

Ujung akson afferen yang cedera, tumbuh dan menunjukkan karakteristik

pertumbuhan conus yang memiliki komponen transduksi yang tidak dimiliki

oleh akson aslinya.

Hal ini termasuk sensitivitas mekanik dan kimiawi yang signifikan.

Akhir pertumbuhan ini mungkin memiliki sensitivitas terhadap sejumlah faktor

humoral, misalnya prostanoid, katekolamin, dan sitokin seperti tumor nekrosis

faktor α (TNF α).

9

Page 10: FISIOLOGI NYERI

Sensitivitas ini merupakan bagian penting dari data yang ditemukan yang

mengungkapkan bahwa cedera saraf lokal menyebabkan pelepasan berbagai

jenis sitokin terutama TNF α yang dapat secara langsung mengaktivasi saraf dan

neuroma.

Sebagai tambahan setelah terjadi luka pada saraf terdapat pertumbuhan signifikan

dari afferen simpatik post ganglonik yang dapat mengarah pada pelepasan lokal

kotekolamin.

Skenario ini konsisten dengan observasi setelah cedera saraf, akson post

ganglionik dapat mengawali eksitasi pada akson yang cedera.

Peristiwa ini diyakini memberikan konstribusi terhadap perkembangan jalur

afferen spontan setelah cedera saraf perifer.

HIPERPATIA YANG DITIMBULKAN

Observasi stimulasi taktil ambang rendah menghasilkan nyeri yang menjadi

subjek yang menarik perhatian.

Sebagai catatan, telah disetujui bahwa efek-efek ini sering dimediasi oleh

stimulasi aferen ambang rendah.

Beberapa mekanisme yang mendasari diduga bertanggungjawab terhadap mata

rantai yang tidak lazim ini.

Cross Talk Sel Gangglion Radix Dorsalis

Setelah cedera saraf terdapat bukti yang menyatakan bahwa cross talk

berkembang antara populasi afferen pada DRG dan neuroma.

Arus depolarisasi pada satu akson menghasilkan tegangan depolarisasi pada akson

yang berdekatan.

Depolarisasi proksimal mengakibatkan aktivitas yang muncul pada satu akson

yang menggerakkan aktivitas dalam hitungan detik.

Dalam hal ini diajukan hipotesis afferen ambang rendah yang luas akan

menggerakkan aktivitas pada afferen ambang tinggi yang berdekatan.

Alternatif lain, sel DRG invitro dapat melepaskan sejumlah jenis transmitter dan

mengekspresikan reseptor eksitasi.

10

Page 11: FISIOLOGI NYERI

Pertumbuhan Afferent

Pada keadaan normal, afferen besar bermyelin (Aβ) berproyeksi ke lamina III

Rexed spinal dan lapisan yang lebih dalam.

Afferen kecil (serabut saraf C) cenderung berproyeksi ke lamina I dan II spinal

daerah yang sebagian besar terdiri dari neuron nocisponsive.

Setelah cedera saraf perifer, telah diperdebatkan bahwa ujung central afferen

bermyelin ini (serabut saraf A) bertumbuh ke lamina II medula spinalis.

Dengan reorganisasi sinaptik ini stimulasi mekanoreseptor ambang rendah

(serabut saraf Aβ) dapat menyebabkan eksitasi neuron ini dan dipersepsi

sebagai nyeri.

Derajat dimana pertumbuhan ini terjadi merupakan pusat diskusi saat ini dan

meskipun nampaknya terjadi hal ini kurang penting dibandingkan laporan awal.

Reorganisasi Cornu Dorsalis

Setelah cedera saraf perifer berbagai peristiwa terjadi pada cornu dorsalis yang

menunjukkan proses yang berubah dimana respon terhadap jalur afferen

ambang rendah dapat berlebihan.

Pelepasan Glutamat Spinal

Terdapat sedikit keraguan bahwa nyeri luka post saraf tergantung pada peranan

penting pelepasan glutamat spinal.

Penelitian terbaru menekankan bahwa setelah cedera saraf terdapat peningkatan

signifikan sekeresi glutamat spinal.

Pelepasan ini sesuai dengan :

1. Peningkatan aktivitas spontan pada afferen primer.

2. Hilangnya inhibisi instrinsik yang bertugas memodulasi sekresi glutamat

(lihat dibawah)

Signifikasi fisiologis pelepasan ini dipertegas oleh 2 observasi konvergen

11

Page 12: FISIOLOGI NYERI

1. Glutamat yang dihantarkan intratekal menimbulkan allodinia taktil dan

hiperalgesia termal yang kuat melalui aktivasi reseptor NMDA dan non

NMDA spinal

2. Penghantaran antagonis NMDA spinal menunjukkan pengurangan ke

hiperaphatik yang muncul pada model hewan dengan cedera saraf.

Aktivasi reseptor NMDA memediasi fasilitas penting eksitabilitas neuronal.

Sebagai tambahan reseptor NMDA merupakan ionopore calcium yang jika

diaktivasi menyebabkan peningkatan calcium intracelular.

Peningkatan calcium ini mengawali serangkaian kejadian termasuk aktivasi

berbagai jenis enzim (kinase), beberapa diantaranya memposfolirasi protein

membran (calcium chanel dan reseptor NMDA) dan yang lainnya misalnya

Nitrogen activated protein kinase (MAP kinase) memediasi signal intraceluler

yang menyebabkan perubahan ekspresi berbagai jenis protein dan peptida

(eyclooxygenase dan dinorphin).

Gerakan inti ini diyakini memberikan tanda perubahan fungsi jangka panjang

dan persisten.

Berbagai faktor telah terbukti melepaskan berbagai glutamat, 2 contoh

diantaranya didiskusikan lebih lanjut berikut ini.

Cedera Saraf Dan Sel Nonneuronal

Setelah cedera saraf (terpotong atau tertekan) terdapat peningkatan signifikan

aktivasi migroglia dan astrosit spinal pada segmen spinal yang menerima input

dari cedera saraf.

Hal yang menarik adalah bahwa dalam bidang patologi misalnya kanker tulang

regulasi seperti itu juga ditentukan.

Astrosit diaktivasi oleh berbagai neutransmitter dan faktor pertumbuhan.

Asal aktivasi ini belum jelas, namun mengarah pada peningkatan ekspresi spinal

eyclooxygenase (cox)/nitric axide syntetase (NOS)/glutamat

transporter/proteinase.

Komponen biokimia tersebut telah terbukti memegang peranan penting pada

keadaan yang difasilitasi.

12

Page 13: FISIOLOGI NYERI

Hilangnya Kontrol Inhibisi GABAergik/Glycinergic Intrinsik

Didalam cornu dorsalis spinal terdapat sejumlah besar interneuron kecil yang

mengandung dan melepaskan GABA dan glycine.

Ujung saraf yang mengandung GABA atau glycin seringkali di presynaptik

terhadap kompleks terminal afferen sentral yang besar dan membentuk synaps

hubungan timbal balik, sedangkan hubungan axosomatik GABAergik pada

sphinothalamikus juga telah diidentifikasi.

Asam-asam amino ini megeluarkan tenaga yang penting atau kontrol inhibisi

terhadap aktivitas ujung afferen primer Aβ dan neuron pada cornu dorsalis

spinal.

Relevansi inhibisi intrinsik ini terhadap proses nyeri dijelaskan oleh observasi

bahwa penghantaran intrathecal reseptor GABA-A atau reseptor anatagonis

glycine mengarah pada allodinia taktil perilaku yang kuat.

Sama halnya hewan yang secara genetik kekurangan tempat ikatan glycine sering

menunjukkan hipereksitabilitas dalam tingkat yang tinggi.

Observasi ini mengarah pada pertimbangan bahwa setelah cedera saraf dapat

terjadi hilangnya beberapa neuron GABA ergik.

Meskipun terdapat data yang mendukung hilangnya neuron GABA ergik tetapi

hal tersebut tampaknya minimal dan bersifat sementara.

Observasi terbaru menunjukkan alternatif kedua setelah terjadi cedera saraf

neuron spinal mengalami regresi menjadi fenotif neonatus dimana aktivasi

GABA bersifat eksitasi. Efek eksitasi ini secara sekunder mengurangi aktivitas

pengangkut Cl- membran yang merubah arus balik hantaran Cl-. Peningkatan

hantaran membran Cl- ini sebagaimana terjadi pada aktivasi reseptor GABA A

menyebabkan depolarisasi membran.

Dynorphin Spinal

Setelah cedera saraf perifer terdapat sejumlah perubahan ekspresi faktor-faktor

cornu dorsalis.

Salah satu misalnya yaitu peningkatan ekspresi dimorphin peptida.

Cedera saraf mengarah pada peningkatan ekspresi dimorphin spinal

13

Page 14: FISIOLOGI NYERI

Penghantaran dinorphin intratechal dapat memulai pelepasan glutamat spinal dan

allodinia taktil paten, pada saat yang bersamaan efek yang timbul kemudian

dinetralkan oleh antagonis NMDA.

KETERGANTUNGAN SIMPATIS KEADAAN NYERI AKIBAT CEDERA SARAF

Setelah cedera saraf perifer, terdapat peningkatan inervasi neuroma perifer ujung

simpatik post ganglionik.

Baru-baru ini telah diketahui bahwa terdapat pertumbuhan ujung simpatik post

ganglionik menuju ganglia basalis dorsal akson yang mengalami cedera.

Serabut-serabut post ganglionik ini membentuk keranjang ujung saraf disekitar

sel-sel ganglia.

Beberapa property ini sangat menarik;

Mengelilingi semua ukuran ganglion, tetapi terutama sel ganglion type A

(besar).

Inervasi terutama terdapat pada DRG ipsilateral lesi tetapi sebagai tambahan

terdapat inervasi sel ganglion kontralateral.

Stimulasi radix ventralis mengandung afferen preganglionik, menghasilkan

aktivitas axon sensoris baik oleh intreraksi pada ujung perifer di tempat

cedera maupun oleh interaksi pada tingkat DRG.

Eksitasi ini dihambat oleh phentolamine intravena dan terutama antagonis α2

yang menguatkan efek adrenergik.

FARMAKOLOGI NYERI CEDERA SARAF

Kemampuan stimulus ambang rendah untuk membangkitkan nyeri setelah

cedera saraf perifer telah menjadi subjek perhatian dan mengarah pada

perkembangan model cedera saraf.

3 macam model yang sering digunakan yaitu :

14

Page 15: FISIOLOGI NYERI

Bennet dan Xie (empat ikatan yang longgar disekitar nervus skiatik)

Seltzer dan shir (hemiligation dari nervus skiatik)

Kim dan chung (ligasi erat dari nervus L5 dan L6 di bagian perifer ganglion)

Model Bennet digunakan secara luas untuk mempelajari hyperalghesia thermal

sedangkam model chung menjelaskan allodinia taktil.

Model-model ini memegang peranan penting dimana model-model ini

digunakan secara luas untuk meneliti farmakologi keadaan nyeri yang

dihubungkan dengan cedera saraf tertentu.

Kerja obat-obatan pada spinal dalam memulihkan keadaan nyeri bervariasi

diantara model-model.

Model-model ini menunjukkan sensitivitas terhadap antagonis NMDA , agonis

α 2 dan anti convulsan seperti gabapentin dan lidokain intravena dosis rendah.

Sebaliknya hiperalgesia thermal pada model Bennet sensitif terhadap morfin

intrathekal sedangkan allodinia taktil pada model chung tidak sensitif.

Perbedaan ini merefleksikan fakta bahwa afferen ambang rendah ukuran besar

tidak memiliki reseptor opiat dan oleh karena itu eksitabilitas ujung saraf tidak

dipengaruhi oleh opiat

KESIMPULAN

Literatur terbaru menunjukkan beberapa mekanisme cedera saraf terjadi setelah

cedera saraf yang terlihat.

Saat ini belum jelas seberapa penting mekanisme ini memegang peranan dalam

keadaan setelah cedera saraf pada manusia.

Tampak jelas bahwa tidak semua keadaan cedera saraf memiliki sensitifitas

terhadap blokade simpatis.

Terlebih lagi beberapa keadaan neuropati sensitif terhadap opiat dan beberapa

yang lainnya tidak sensitif terhadap opiat.

Tampak jelas bahwa setelah cedera saraf, sensitivitas terhadap blokade reseptor

NMDA dapat terjadi pada manusia sebagaimana juga terjadi pada hewan.

Observasi tersebut mendukung gagasan bahwa setidaknya terdapat beberapa

keadaan pada manusia yang memiliki mekanisme pada model preklinik.

15

Page 16: FISIOLOGI NYERI

16