Upload
htaindonesia
View
3.653
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 1/89
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang
pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health Organization
(WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas
neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran
hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang.1 Secara khusus
angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000 kelahiran hidup.2
Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the world’s mother 2007 (data tahun
2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh
penyakit infeksi, diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan diare. Sedangkan, 23%
kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh kelainan bawaan, 27%
kasus disebabkan oleh Bayi Kurang Bulan dan Berat Badan Lahir Rendah, serta 7%
kasus oleh sebab lain.3 Sepsis neonatorum sebagai salah satu bentuk peyakit infeksi
pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan
sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality rate pada kasus sepsis
neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi karena banyak faktor
risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi.4
Selanjutnya dikemukakan bahwa angka kematian bayi dapat mencapai 50% apabila
penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik.5
Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8-
18 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di
negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup dengan
angka kematian 10,3%.6,7 Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data yang
1 WHO. Perinatal mortality. Report No.: WHO/FRH/MSM/967. Geneva: WHO, 1996.2 Darmstadt GL, Bhutta ZA, Cousens S, Adam T, Walker N, Bernis L. Evidence-based,
cost-effective interventions: how many newborn babies can we safe?. Lancet 2005; 365: 977-88. [Tingkat Pembuktian IV]
3 WHO, Departement of Child and Adolescent Health and Development. www.who.int/child-adolescent-health/OVERVIEW/CHILD_HEALTH/map_00-03_ world.jpg. [Tingkat pembuktian IIIb]
4 Child Health Research Project Special Report : Reducing Perinatal and Neonatal mortality, Report of a meeting, Baltimore, Maryland, 1999; 3(1):6-12.
5 Andersen-Berry, AL. Neonatal Sepsis. Available in: www.emedicine.com. Last updated August 18th 2006. cited at December 13th 2006. [Tingkat Pembuktian IV]
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 2/89
diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam periode Januari-
September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka
kematian sebesar 14,18%.8
Seringkali sepsis merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya
yang terjadi pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imunitas pada
bayi dengan asfiksia dan bayi berat lahir rendah/bayi kurang bulan dapat mendorong
terjadinya infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Demikian juga masalah
pada ibu, misalnya ketuban pecah dini, panas sebelum melahirkan, dan lain-lain.
berisiko terjadi sepsis. Selain itu, pada sepsis yang dapat bertahan hidup, akan terjadi
morbiditas lain yang juga tinggi. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan kerusakan
otak yang disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia dan juga
kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru, hati, dan
lain-lain.9
Masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran
hidup) mendorong Health Technology Assessment (HTA) Indonesia untuk melakukan
kajian lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar rekomendasi bagi
pembuat kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara umum dan insidens
sepsis neonatorum secara khusus. 10
1.2. Permasalahan
Sepsis neonatorum, merupakan penyumbang tertinggi angka kematian bayi.
Penyakit ini sering tidak terdeteksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat.
Pada pasien sepsis neonatorum masalah yang sering dihadapi antara lain angka
kematian yang tinggi, diagnosis yang sulit ditegakkan, serta pemberian
antibiotikberspektrum luas yang berpotensi menimbulkan resistensi jangka panjang.
Dalam tulisan ini, kami membatasi permasalahan menjadi tiga, yaitu: (1)
permasalahan penegakan diagnosis; (2) penatalaksanaan; dan (3) pencegahan
(profilaksis) sepsis neonatorum.
Diagnosis sepsis neonatorum sering sulit ditegakkan karena gejala klinis yang
aspesifik. Pada neonatus, gejala sepsis klasik jarang terlihat. Gambaran penyakit dapat
menyerupai kelainan non-infeksi lain pada neonatus. Oleh karena itu, pemeriksaan
penunjang seperti biakan darah perlu dilakukan. Pemeriksaan kultur merupakan baku
emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun, pemeriksaan tersebut hasilnya
baru dapat diketahui setelah 48-72 dan sering memberikan hasil yang kurang
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 3/89
memuaskan. Selain itu, kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik,
antar waktu, ataupun antar negara.
Dalam penatalaksanaan sepsis sering terjadi keterlambatan pengobatan
sehingga memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan kematian. Gambaran
klinis yang aspesifik dapat menimbulkan penanganan yang berlebihan dan terjadi
penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk, mengingat pola
resistensi dan toksisitasnya dikemudian hari. Selain itu, perawatan di Rumah Sakit
menjadi lebih lama dan berdampak pada biaya serta meningkatkan resiko infeksi
nosokomial.Error: Reference source not found,11
Perkembangan teknologi kedokteran yang tersedia saat ini telah menghadirkan
berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti pemeriksaan
Interleukin, PCR, Procalcitonin, C-Reactive Protein, dan lain sebagainya pada sepsis
neonatorum. Pemeriksaan tersebut memerlukan analisa kritis berdasarkan Evidence-
based dalam mempertimbangkan risiko, keuntungan dan kerugiannya.
Masalah pencegahan (profilaksis) pada sepsis neonatorum juga perlu diangkat
ke permukaan. Resiko dan manfaat profilaksis pada sepsis neonatorum sudah banyak
diteliti namun belum mendapatkan perhatian yang semestinya di Indonesia.
Semua permasalahan tersebut di atas menjadi kendala dalam pelayanan yang
optimal penderita sepsis neonatorum. Dalam 5 -10 tahun terakhir, terdapat informasi
baru dalam upaya mengatasi masalah sepsis neonatorum. Hal ini telah memberikan
cakrawala baru dalam pencegahan dan manajemen neonatus agar dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal. Beberapa studi yang dilaporkan akhir-akhir ini telah
memungkinkan diagnosis tata laksana sepsis neonatorum yang lebih efisien dan
efektif pada bayi yang berisiko. Walaupun cara terakhir ini membutuhkan teknologi
kedokteran yang lebih canggih dan mahal yang mungkin belum dapat terjangkau
untuk negara berkembang, hal ini patut untuk diketahui dan dikembangkan
dikemudian hari. 12,13,14
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penderita sepsis
neonatorum dengan cara pencegahan dan diagnosis dini serta penatalaksanaan yang
lebih efisien dan efektif berdasarkan kajian ilmiah yang sesuai dengan kondisi
Indonesia.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 4/89
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Terwujudnya kajian ilmiah berdasarkan Kedokteran berbasis-bukti (Evidence-
based medicine) tentang penegakan diagnosis, tatalaksana dan pencegahan
sepsis neonatorum.
2. Terwujudnya rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan program
yang berkenaan dengan kesehatan neonatal khususnya tentang diagnosis,
tatalaksana dan pencegahan infeksi, serta sepsis neonatus.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 5/89
BAB II
METODOLOGI PENILAIAN
2.1. Strategi penelusuran kepustakaan
Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan
elektronik: Pubmed, Cochrane Library, American Academy of Pediatrics, New
England Journal of Medicine, Iranian Journal Public Health, Archives of Disease
Child Fetal Neonatal, American Association for Clinical Chemistry, Sri Lanka
Journal of Child Health, Turkey Journal of Pediatrics, dalam 20 tahun terakhir (1986-
2006) serta World Health Organization tentang “Neonatal Problems” tahun 2003.
Kata kunci yang digunakan adalah sepsis neonatorum, neonatal sepsis, infection in
newborn, GBS (Group B Streptococcus).
2.2. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi
Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal)
berdasarkan kaidah kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine), kemudian
ditentukan tingkatannya. Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat
rekomendasinya. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan
berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research.
Tingkat pembuktian (Level of evidence)
Ia. Meta-analisis randomized controlled trials.
Ib. Minimal satu randomized controlled trials.
IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials.
IIb. Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol.
IIIa. Studi cross-sectional.
IIIb. Seri kasus dan laporan kasus.
IV. Konsensus dan pendapat ahli.
Tingkat rekomendasi
A. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia atau Ib.
B. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa atau IIb.
C. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb, atau IV.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 6/89
BAB III
SEPSIS NEONATORUM
3.1. Definisi
Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi
sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan.15 Dalam
sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi
sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences
(ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan
mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi
multiorgan, dan akhirnya kematian.16
3.2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan
menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis)
15 Remington, Klein. Bacterial Sepsis and Meningitis. In: Infectious Diseases of the Fetus and Newborn, Infant. 4th Edition. W. B. Saunders. 1995. h: 836-90.
16 Haque KN. Definitions of Bloodstream Infection in the Newborn.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9.
6 Shattuck KE, Chonmaitree T : The changing spectrum of neonatal meningitis over a fifteen-year period. Clin Pediatr 1992, 31:130-136.
7 Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J. The epidemiology of severe sepsis in children in the United States. Am J Respir Care Med 2003;167:695-701.
8 Rohsiswatmo R. Kontroversi diagnosis sepsis neonatorum. Dalam: Update in neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 32-43. [Tingkat Pembuktian IV]
9 Modul Sepsis 10 Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1202/MENKES?SK?
VIII/2003. Dalam: Indikator Indonesia Sehat dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2003.
12 Kuster H, Weiss M, Willeitner AE, et al. Interleukin-1 receptor antagonist and interleukin-6 for early diagnosis of neonatal sepsis 2 days before clinical manifestation. Lancet. 1998;352:1271-1277.
13 Fisher CJ, Agosti JM, Opal SM, et al. Treatment of septic shock with the tumour necrosis factor: Fc fusion protein. N Engl J Med 1996; 334:1697–702. [Tingkat Pembuktian Ib]
14 Aminullah A, Rohsiswatmo R, Amir I, Situmeang E, Suradi R,: Etiology of Early and Late Sepsis in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (Preliminary Report). Abstract 12 th
National Congress of Child Health and 11th Asean Pediatric Federetion Conference, Bali, 2002; p. 125.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 7/89
dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).Error: Reference
source not found
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera
dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat
proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada
kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli,
Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara
berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gram
negatif.17,18 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000
kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.19
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam)
yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).20,21
Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal.
Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara
maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan
penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh
mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas
aeruginosa).22 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis
berdasarkan awitan dan sumber infeksi.
Tabel 1. Klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi.Error: Reference source not
found
Dini LambatAwitan
Sumber infeksi
<72 jam
Jalan lahir
>72 jam
Lingkungan (nosokomial)
Sumber: Mupanemunda RH, Watkinson M.. Key topics in Neonatology 1999; 143-6.
Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian
besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak
dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan
sekitar (SAL).Error: Reference source not found
3.3. Etiologi
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 8/89
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini,
kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri.
Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu
berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan
perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gram negatif rata-rata menjadi penyebab
utama dari sepsis neonatorum.23
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti
oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di
empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia.
Dalam penelitian tersebut mengemukakan bahwa isolate yang tersering ditemukan
pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes
(20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada meningitis
neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama Klebsiella sp
dan E. Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif juga
ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada
neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita-wanita di
daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang
dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering
ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.24
Perubahan pola kuman penyebab sepsis dari waktu ke waktu dapat dilihat
pada tabel 2. Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun
terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada
tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter sp,
Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005
menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti
Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%).25, 26
Tabel 2. Perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun waktu. Error: Reference source not found
1975-1980 1985-1990 1995-2003RSCM/FKUI(Monintja, 1981; Amir Aminullah 1993, I 2003)
Amerika Serikat (Texas Univ.; CDC
Salmonella spKlebsiella sp
Group B Strep.E. coli
Pseudomonas spKlebsiella spE. coli
Group B Strep.Listeria sp
Acinetobacter spEnterobacter spPseudomonas spSerratia sp
E. coliGroup B Strep
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 9/89
Atlanta)(Shattuck 1992; Schuchat 1997)
Inggris(Health PT 2003)
Listeria sp Enterovirus
Group B Strep.E. coliListeria spEnterovirus
Listeria spStrep. Pneumoniae
Group B StrepListeria spE. coliEnterovirus
Sumber: Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat 2004.
Dari tabel 2, terlihat bahwa penyebab sepsis di negara maju yang tersering
adalah Streptokokus Grup B, Escherichia coli, Haemophilus influenzae, dan Listeria
monocytogenes.27 Di FKUI/RSCM selama tahun 2002, kuman yang ditemukan
berturut-turut adalah Enterobacter sp., Acinetobacter sp., dan Coli sp., Coagulase-
negative staphylococci, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella, Pseudomonas,
Enterobacter, Candida, Streptokokus Grup B, Serratia, Acinetobacter, dan bakteri
anaerob. Koloni-koloni kuman dapat ditemukan di kulit, saluran napas, saluran cerna,
konjungtiva, dan umbilikus yang selanjutnya dapat menyebabkan SAL dari
mikroorganisme yang invasif.Error: Reference source not found
Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar
waktu, tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dari
survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000
terhadap 5447 pasien BBLR (BL<1500 gram) dengan SAD dan pada 6215 pasien
BBLR dengan SAL, didapatkan hasil bakteremia sebanyak 1,5% pada SAD dan
21,1% pada SAL. Pada SAD, ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus
bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri Gram
positif (70,2%). Bakteri Gram negatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%)
sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab tersering
(47,9%) pada SAL (tabel 3).28
Tabel 3. Kuman penyebab dan rasio kematian yang berhubungan dengan infeksi
hematogen pada BBLR ( < 1500 gram ).Error: Reference source not found
Organisme
SAD SAL
Jumlah infeksi (% of total)
Mortalitas (%)b
Jumlah infeksi (% of total)
Mortalitas (%)b
Gram-positive bacteria (total) 31 (36.9) 26 922 (70.2) 11.2 GBS 9 (10.7) 30 (2.3) 21.9 Viridans streptococcus 3 (3.6) Other streptococci 4 (4.8) Listeria monocytogenes 2 (2.4) Coagulase-negative 9 (10.7) 629 (47.9) 9.1
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 10/89
Staphylococcus Staphylococcus aureus 1 (1.2) 103 (7.8) 17.2 Enterococcus species 43 (3.3) Other 3 (3.6) 117 (8.9)Gram-negative bacteria (total)
51 (60.7) 41 231 (17.6) 36.2
Escherichia coli 37 (44.0) 64 (4.9) 34.0 Haemophilus influenzae 7 (8.3) Citrobacter 2 (2.4) Bacteroides 2 (2.4) Klebsiella 1 (1.2) 52 (4.0) 22.6 Pseudomonas 35 (2.7) 74.4 Enterobacter 33 (2.5) 26.8 Serratia 29 (2.2) 35.9 Other 2 (2.4) 18 (1.4)Fungi (total) 2 (2.4) 160 (12.2) 31.8 Candida albicans 2 (2.4) 76 (5.8) 43.9 Candida parapsilosis 54 (4.1) 15.9 Other 30 (2.3)
a NICHD Neonatal Network Survey, th 1998 - 2000 (453, 454). Jumlah pasien seluruhnya adalah 5447 orang dengan SAD dan 6215 orang dengan SAL . b Semua penyebab kematian .
Sumber: D Kaufman et al. Clin Microb Rev 2004; 641
Dari pembicaraan di atas, dapat disimpulkan bahwa etiologi penyebab sepsis
neonatorum berlainan dan bervariasi antar negara dan dari waktu ke waktu. Selain itu,
kuman penyebab antara SAD dan SAL pun berbeda. Oleh karena itu, pemeriksaan
pola kuman secara berkala pada masing-masing klinik dan rumah sakit memegang
peranan yang sangat penting.
3.4. Perjalanan Penyakit/Patogenesis
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah
(bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari infeksi ke
sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan akhirnya kematian (tabel
4).Error: Reference source not found
Tabel 4. Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus.Error: Reference source not found
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi dan desaturasi O2Suhu tubuh tidak stabil (<36ºC atau >37.5ºC)Waktu pengisian kapiler > 3 detikHitung leukosit <4000x109/L atau >34000x109/LCRP >10mg/dl
FIRS/SIRS
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 11/89
IL-6 atau IL-8 >70pg/ml16 S rRNA gene PCR : Positif
Terdapat satu atau lebih kriteria FIRS disertai dengan gejala klinis infeksi seperti terlihat dalam Tabel 5.
SEPSIS
Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal
SEPSIS BERAT
Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan resusitasi cairan dan obat-obat inotropik
SYOKSEPTIK
Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah mendapatkan pengobatan optimal
SINDROM DISFUNGSI
MULTIORGAN↓ KEMATIAN
Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9
Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan
laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada
International Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai
kesepakatan mengenai definisi SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 5
dan 6).29
Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila
terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected) maupun
terbukti infeksi (proven).30
Tabel 5. Kriteria SIRS Error: Reference source not found
Usia Neonatus Suhu Laju Nadi per menit
Laju napas per menit
Jumlah leukosit X 103/mm3
Usia 0-7 hari >38,5ºC atau <36ºC >180 atau <100 >50 >34
Usia 7-30 hari >38,5ºC atau <36ºC >180 atau <100 >40 >19,5 atau <5
Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel (salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit)
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
Tabel 6. Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septikError: Reference source not
found
Infeksi
Sepsis
Sepsis berat
Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain).
SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 12/89
Syok septik
Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).
Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada bayi <7 hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari).
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
3.5. Patofisiologi
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu : Error:
Reference source not found,31
1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin
melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.
Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau
Listeria dll.
2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya
saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis.
Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan
akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman
pada janin.
3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih
berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam
rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran
pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi
yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24
jam.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 13/89
Gambar 1. Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan.
Sumber : Nama pengarang nomor kepustakaan ?
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat
prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang
memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu
padat, dll.Error: Reference source not found
Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran
darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam
gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran
klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain
pemberian antibiotika, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul
akibat beratnya penyakit.32
3.5.1 Respons inflamasi
Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu.
Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang
memicu respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab, sedangkan
tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab.33
Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki
INFEKSI INTRANATAL
INFEKSI PRANATAL
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 14/89
peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein
spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks
LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14
akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk
transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.Error: Reference source not
found
Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yakni
(1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan (2)
dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen
mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam
jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin
dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui
mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif.Error: Reference source not
found, 34
Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai
dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 2). Mediator inflamasi primer
dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan
mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.Error: Reference source not found,35
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 15/89
Gambar 2. Patofisiologi kaskade sepsis.Error: Reference source
not found
Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73
Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang
meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral
dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di
membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan
sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi
menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin
proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon γ (IFN- γ), interleukin 1-
β (IL-1β), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin
antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti
inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi
terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman penyebab.
Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat
membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta kematian.
Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses inflamasi
yang berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ vital dapat
berjalan dengan baik.36 Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi organ
secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide,
tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin), dan
komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan
selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi
sehingga menyebabkan kerusakan organ.Error: Reference source not found
Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan
sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada
endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh
penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul
antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi
pada otot polos pembuluh darah.33
3.5.2. Aktivasi inflamasi dan koagulasi
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 16/89
Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator
inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi TF secara langsung
akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik
secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur
ekstrinsik dan intrinsik adalah melalui faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi
kedua jalur tersebut saling berkaitan dan sama; protrombin diubah menjadi trombin
dan fibrinogen diubah menjadi fibrin (Gambar 3). Kolagen dan kalikrein juga
mengaktivasi jalur intrinsik.Error: Reference source not found
Trombin mempunyai pengaruh yang beragam terhadap inflamasi dan membantu
mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki
efek proinflamasi pada sel endotel, makrofag dan monosit untuk menyebabkan
pelepasan TF, faktor pengaktivasi trombosit dan TNF-α. Selain itu, trombin
merangsang chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi
kemotaksis serta merangsang degranulasi sel mast yang melepaskan bioamin untuk
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran kapiler.33
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik yang
terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator inflamasi.
Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui
lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan
hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 17/89
Gambar 3. Kaskade koagulasi. Disalin dengan izin dari Eli lIly dan Company.Error:
Reference source not found
Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73
3.5.3. Gangguan fibrinolisis
Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem
koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh
darah baru), rekanalisasi pembuluh darah, dan penyembuhan luka.33
Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan urokinase-
type plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk merubah
plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisis
fibrin.Error: Reference source not found,37,38
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen activator
inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator
dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.33
Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh tidak
mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF-α menyebabkan supresi fibrinolisis akibat
tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin.Error: Reference source
not found,Error: Reference source not found,39,40 Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 18/89
degradation product (FDP) yang mencakup D-dimer, dan sering diperiksa pada tes
koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF-α dan IL-6) bekerja secara sinergis
meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosis pada pembuluh darah
kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ. Secara
klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal
ginjal dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan kematian.Error: Reference
source not found
Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan
tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen
khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun,
aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan
fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam
mikrovaskular (Gambar 4).41
Gambar 4. Supresi Fibrinolisis
Sumber ?? kepustakaan nomor ?
Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan intravaskular
menyeluruh ( PIM) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Konsumsi faktor
pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan berat. PIM secara
bersamaan akan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien
PIM, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan dengan prognosis buruk.Error: Reference
source not found,Error: Reference source not found
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 19/89
Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme
inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan
koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya
trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat,
syok septik, dapat menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan
kematian.42 Hilangnya homeostasis pada sepsis. Patofisiologi sepsis terdiri dari
aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu
homeostasis antara mekanisme prokoagulasi dan antikoagulasi. Dapat dilihat pada
Gambar 5 di bawah ini yang memperlihatkan hilangnya homeostasis akibat
mekanisme ini.Error: Reference source not found
Gambar 5. Mekanisme proagulasi dan antikoagulasi. Error: Reference source notfound
Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73
3.6 DIAGNOSIS
Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk
menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya
faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.Error:
Reference source not found
3.6.1. Faktor Risiko
Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi
dan lain-lain.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 20/89
Faktor risiko ibu:
1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah
lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila
disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4
kalinya.Error: Reference source not found,43,44
2. Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,
infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB),
kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.Error:
Reference source not found,45,46
3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.Error: Reference source not found,Error:
Reference source not found
4. Kehamilan multipel.Error: Reference source not found,Error: Reference source not found,47
5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.48
6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.Error: Reference source not found
Faktor risiko pada bayi:
1. Prematuritas dan berat lahir rendah.Error: Reference source not found,Error:
Reference source not found,Error: Reference source not found,49
2. Dirawat di Rumah Sakit.50
3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal
distress dan trauma pada proses persalinan.Error: Reference source not
found,Error: Reference source not found,Error: Reference source not found
4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter,
infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal Error: Reference source not
found,Error: Reference source not found,Error: Reference source not found
5. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,
atau asplenia.Error: Reference source not found,Error: Reference source not found
6. Asfiksia neonatorum.Error: Reference source not found,Error: Reference source not
found,Error: Reference source not found
7. Cacat bawaan.Error: Reference source not found,Error: Reference source not found,Error: Reference
source not found
8. Tanpa rawat gabung.Error: Reference source not found
9. Tidak diberi ASI.Error: Reference source not found
10. Pemberian nutrisi parenteral.51,52
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 21/89
11. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.Error:
Reference source not found
12. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.Error: Reference
source not found
13. Buruknya kebersihan di NICU.Error: Reference source not found
Faktor risiko lain:
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering
terjadi pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit
putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci
tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien, serta
buruknya kebersihan di NICU.Error: Reference source not found,Error: Reference source not
found,Error: Reference source not found,Error: Reference source not found
Semua faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan
masih menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab
tidak adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir
ini. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap
mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis.
3.6.2. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik
yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan
dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis
yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon
tubuh terhadap masuknya kuman. Gambaran klinik yang bervariasi tersebut dapat
terlihat dalam tabel 5.Error: Reference source not found,53 Janin yang terkena infeksi
akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena
nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan tampak gambaran klinis
sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia.
Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain
itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis
lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat
disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan
clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 22/89
ataupun gangguam respirasi (perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen,
intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea,
merintih dan retraksi).54,55
Tabel 5. Gambaran klinis pasien sepsis/meningitis neonatus. Error: Reference source
not found
Gejala klinisFrekuensi
Aminullah , 1993
Shattuck, 1992
Pong A, 2003
Gangguan minum 100% 35% 48%Letargi/tampak sakit berat 100% Gangguan nafas/dispnea 59% 27% 33%Ikterus/hiperbilirubinemia 55% Jittery/Iritabel 16% 62% 60%Kejang 48% 19% 42%Gangguan serebral (spastis, paresis) 23% Hipertermia/hipotermia 34% 46% 60%Serangan apnea 20% 15% 31%Gangguan gastrointestinal 14% 12% 20%
Sumber : Aminullah A. Masalah terkini sepsis neonatorum. 2005. hlm 17-31
Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood
Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat
bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:56
• Laju napas > 60 kali per menit
• Retraksi dada yang dalam
• Cuping hidung kembang kempis
• Merintih
• Ubun ubun besar membonjol
• Kejang
• Keluar pus dari telinga
• Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit
• Suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral teraba dingin)
• Letargi atau tidak sadar
• Penurunan aktivitas /gerakan
• Tidak dapat minum
• Tidak dapat melekat pada payudara ibu
• Tidak mau menetek.
Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan Manajemen
Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah Sakit tahun
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 23/89
2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini gambaran klinis
pada sepsis dibagi menjadi dua kategori (lihat Tabel 6). Penegakan diagnosis
ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan kategori
tersebut.57
Tabel 6. Kelompok temuan klinis yang berhubungan dengan sepsis. Error: Referencesource not found
Kategori A Kategori B
Gangguan napas (misalnya: apnea, frekuensi napas > 60 atau <30 kali/menit, retraksi dinding dada, merintih pada waktu ekspirasi, sianosis sentral)
Kejang Tidak sadar Suhu tubuh tidak normal (tidak normal
sejak lahir dan tidak memberi respons terhadap terapi atau suhu tidak stabil sesudah pengukuran suhu normal selama tiga kali atau lebih, menyokong ke arah sepsis)
Persalinan di lingkungan yang kurang higienis (menyokong ke arah sepsis)
Kondisi memburuk secara cepat dan dramatis (menyokong ke arah sepsis)
Tremor Letargi atau
lunglai/layuh Mengantuk atau
kurang aktif Iritabel atau rewel Muntah (menyokong
ke arah sepsis) Distensi abdomen
(menyokong ke arah sepsis) Tanda mulai muncul
sesudah hari ke 4 (menyokong ke arah sepsis)
Air ketuban bercampur mekonium
Malas minum, sebelumnya minum dengan baik (menyokong ke arah sepsis)
Sumber: Rohsiswatmo R. Kontroversi diagnosis sepsis neonatorum. 2005. hlm 32-43
Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tanda-
tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut:Error: Reference source not
found
Untuk bayi berumur sampai dengan tiga hari
Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai
sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini);
Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel 6), atau
tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel 6);
Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada
Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B;
Bila selama pengamatan terdapat tambahan tanda sepsis, kapan saja
timbulnya;
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 24/89
Bila selama pengamatan tidak terdapat tambahan tanda sepsis, tetapi tanda
awalnya tidak membaik, lanjutkan pengamatan selama 12 jam lagi.
Bayi berumur lebih dari tiga hari
Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A atau tiga tanda
atau lebih pada Kategori B;
Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada
Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B.
Namun demikian, seringkali gambaran klinis sepsis pada neonatus tidak
menunjukkan gejala yang khas. Dibawah ini merupakan gambaran klinis sepsis
neonatorum yang tidak spesifik yang dikemukakan oleh Vergnano S et al.58
Clinical signs and symptoms
Not able to feed Not attaching to the breast No suckling at all Temperature >37.7°C or
<35.5°C Respiratory rate >60 breaths/min.
Severe chest indrawing Nasal flaring Grunting Reduced movements
Crepitations Lethargic or unconscious Convulsions Bulging fontanelle Cyanosis Reduced digital capillary refill
time Pus draining from the ear Redness around umbilicus
extending to the skin
Sumber : Vergnano S et al. Neonatal sepsis: an international perspective
NON SPECIFIC
Bervariasinya gejala klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis pasti
pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu dilakukan.
3.6.3. Pemeriksaan Penunjang
3.6.3.1 Laboratorium
3.6.3.1.1 Pemeriksaan Kuman
A. Kultur Darah
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 25/89
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam
menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan
karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari.59
Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan
kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-
masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis
neonatorum onset dini maupun lanjut.
Survei hasil otopsi tahun 1999 pada 111 BBLR menemukan bahwa
infeksi merupakan penyebab tersering pada kematian BBLR dan diagnosis
sepsis tidak dapat ditegakkan pada 61% kasus tersebut. Pada pemeriksaan
kultur darah masih banyak ditemukan kasus hasil kultur negatif, meski
telah didukung oleh gejala klinis dan hasil otopsi yang jelas. Pemberian
antibiotik pada sebagian besar ibu hamil untuk mencegah persalinan
prematur diduga sebagai penyebab tidak tumbuhnya bakteri pada media
kultur. Selain itu hasil kultur juga dipengaruhi oleh kemungkinan
pemberian antibiotiksebelumnya pada bayi yang dapat menekan
pertumbuhan kuman. Hasil kultur negatif palsu juga dapat disebabkan
akibat sedikitnya jumlah sampel darah yang diperiksa. Suatu penelitian
menemukan 60% pemeriksaan kultur darah dapat memberikan hasil
negatif palsu apabila volume darah yang diperiksa hanya 0,5 ml dengan
hitung koloni < 4CFU/ml darah. Penghitungan jumlah koloni bakteri pada
bakteremia membutuhkan minimal 1mL darah.60,Error: Reference source not found
Jumlah koloni pada neonatus dengan bakteremia diharapkan lebih banyak
dibandingkan pada dewasa. Hasil kultur positif palsu dapat terjadi akibat
kontaminasi saat pengambilan sampel. Kultur bakteri aerob bermakna
untuk seluruh etiologi bakteri penyebab sepsis neonatorum; sedangkan
kultur bakteri anaerob diindikasikan untuk neonatus yang disertai dengan
abses, hemolisis masif dan pneumonia yang tidak membaik dengan
pengobatan.Error: Reference source not found
Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum adalah 1-
10%. Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala
spesifik. Punksi lumbal dilakukan untuk mendiagnosis atau menyingkirkan
sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis. Pemeriksaan ini
dilakukan baik pada sepsis neonatorum dini maupun lanjut. Kemudian
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 26/89
dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan serebrospinal (LCS). Apabila
hasil kultur positif, punksi lumbal diulang 24-36 jam setelah pemberian
antibiotikuntuk menilai apakah pengobatan cukup efektif. Apabila pada
pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman pada LCS, diperlukan
modifikasi tipe antibiotikdan dosis.Error: Reference source not found Dari
penelitian, terdapat 15% bayi dengan meningitis yang menunjukkan kultur
darah negatif.Error: Reference source not found
Kultur urin dilakukan pada anak yang lebih besar. Pemeriksaan ini untuk
mengetahui ada atau tidaknya infeksi di saluran kemih. Kultur urin lebih
baik dilakukan pada kasus sepsis neonatorum awitan lambat.Error:
Reference source not found,Error: Reference source not found Spesimen urin diambil
melalui kateterisasi steril atau aspirasi suprapubik kandung kemih.61
Kultur lainnya seperti kultur permukaan kulit, endotrakea dan cairan
lambung menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang kurang baik.Error:
Reference source not found
B. Pewarnaan Gram
Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan
sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan
identifikasi kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan
untuk membedakan apakah bakteri penyebab termasuk golongan bakteri
Gram positif atau Gram negatif.Error: Reference source not found
Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus,
pemeriksaan untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada
rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang terbatas dan bermanfaat
dalam menentukan penggunaan antibiotikpada awal pengobatan sebelum
didapatkan hasil pemeriksaan kultur bakteri.62
Pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang lebih memadai,
seperti inkubator, pemeriksaan kultur darah harus dilakukan karena
merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis bakteremia.
Automated blood culture system yaitu kultur darah dengan medium cair
dari sistem deteksi cepat dan automated seperti Bactec™ dan BacT
Alert™ dapat digunakan apabila tersedia anggaran yang memadai.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 27/89
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak ditemukan
kekurangan pada pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu,
berbagai upaya penegakan diagnosis dengan mempergunakan petanda
sepsis banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai petanda sepsis
banyak dilaporkan dikepustakaan dengan spesifisitas dan senitivitas yang
berbeda-beda. Ng et al melakukan studi kepustakaan berbagai petanda
sepsis tersebut dan mengemukakan sejumlah petanda infeksi yang sering
dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis pada neonatus dan bayi
prematur (tabel 7).63
Tabel 7. Pemeriksaan petanda infeksi untuk neonatus dan bayi prematur.Error:
Reference source not found
Haematological testsTotal white blood cell countTotal neutrophil countImmature neutrophil countImmature/total neutrophil ratioNeutrophil morphology: vacuolisation, toxic granulations, Do¨hlebodies, intracellular bacteriaPlatelet countGranulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)D-dimerFibrinogenThrombin-antithrombin III complex (TAT)Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)Plasminogen tissue activator (tPA)
Acute phase proteins and other proteinsa1 AntitrypsinC Reactive protein (CRP)FibronectinHaptoglobinLactoferrinNeopterinOrosomucoidProcalcitonin (PCT)
Components of the complement systemC3a-desArgC3bBbPsC5b-9
Chemokines, cytokines and adhesion moleculesInterleukin (IL)1b, IL1ra, IL2, sIL2R, IL4, IL5, IL6, IL8, IL10Tumour necrosis factor a (TNFa), 11sTNFR-p55, 12sTNFR-p75Interferon c (IFNc)E-selectinL-selectinSoluble intracellular adhesion moleucule-1 (sICAM-1)Vascular celladhesion molecule-1 (VCAM-1)
Cell surface markers
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 28/89
Neutrophil Lymphocyte MonocyteCD11b CD3 HLA-DRCD11c CD19CD13 CD25CD15 CD26CD33 CD45ROCD64 CD69CD66b CD71
OthersLactateMicro-erythrocyte sedimentationSuperoxide anion (respiratory burst)
Sumber : Ng PCArch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F229-F235
3.6.3.1.2 Pemeriksaan Hematologi
Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang
diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut:
Hitung trombosit.
Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/μL jarang
ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum
dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.0000/μL), MPV
(mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara
signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.Error: Reference source not found
Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit.
Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun, walaupun
jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis dengan
kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang tidak terinfeksi
pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress saat
proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih
sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil, eosinofil, batang,
PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang terjadi pada saat
mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu, jumlah neutrofil tidak
dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis sepsis. Neutropenia
juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita hipertensi, asfiksia
perinatal berat, serta perdarahan periventrikular dan intraventrikular.Error:
Reference source not found
Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T).
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 29/89
Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum.
Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima
untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan adalah
0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama
kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat ditemukan
kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena itu, rasio
I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis
neonatorum dapat ditegakkan.Error: Reference source not found
Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan serial agar dapat dilihat perubahan
yang terjadi selama proses infeksi, seperti trombositopenia, neutropenia, atau
peningkatan rasio I/T. Pemeriksaan secara serial ini berguna untuk mengetahui
sindrom sepsis yang berasal dari kelainan nonspesifik karena stress pada saat
proses persalinan.
Pemeriksaan kadar D-dimer.
D-dimer merupakan hasil pemecahan cross-linked fibrin oleh plasmin. Oleh
karena itu, D-dimer dipakai sebagai petanda aktivasi sistem koagulasi dan sistem
fibrinolisis.64 Pada sepsis, kadar D-dimer meningkat tetapi pemeriksaan ini tidak
spesifik untuk sepsis karena peningkatannya juga dijumpai pada DIC oleh penyebab
lain seperti trombosis, keganasan, dan terapi trombolitik. 65, 66,67, 68
Pemeriksaan kadar D-dimer dapat dikerjakan dengan berbagai metode antara
lain, aglutinasi lateks, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan whole blood
agglutination (WBA). Pemeriksaan dengan aglutinasi lateks menggunakan antibodi
monoklonal terhadap D-dimer yang dilekatkan pada partikel lateks. Metode ini
sederhana, mudah dikerjakan, hasilnya cepat dan relatif tidak mahal, namun kurang
sensitif untuk pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan dengan cara ELISA konvensional
dianggap merupakan metode rujukan untuk penetapan kadar D-dimer, tetapi cara ini
tidak praktis karena memerlukan waktu yang relatif lama dan mahal. Terdapat
beberapa cara cepat berdasarkan prinsip ELISA antara lain, Nycocard D-dimer, Vidas
D-dimer dan Instant IA D-dimer. Dengan cara ini, hasil dapat diperoleh dalam waktu
singkat dan sensitivitasnya mendekati cara ELISA konvensional. Pemeriksaan D-
dimer dengan metode yang berbeda bisa memberikan hasil yang berbeda pula. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan spesifisitas antibodi yang dipakai pada masing-masing
metode, belum ada satuan yang baku dan belum adanya konsensus tentang nilai batas
abnormal.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 30/89
3.6.3.1.3 Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)
C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan
muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-
6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di
neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi
yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah
stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai
proses inflamasinya teratasi. Cut-off yang biasa dipakai adalah 10 mg/L. Pemeriksaan
kadar CRP tidak direkomendasikan sebagai indikator tunggal pada diagnosis sepsis
neonatorum, tetapi dapat digunakan sebagai bagian dari septic work-up atau sebagai
suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk mengetahui respon antibiotika,
lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor yang dapat memengaruhi kadar
CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan, jenis organisme penyebab sepsis,
granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan infeksi virus berat (seperti HSV,
rotavirus, adenovirus, influenza).Error: Reference source not found,69,70
Menurut Mustafa dkk., untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai
sensitivitas 60%, spesifisitas 78,94%, nilai prediksi negatif 66,66% dan nilai prediksi
positif 48,77%.71 Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk sepsis
awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.72
Alur pemeriksaan CRP serta indikasi pemberian antibiotikpada sepsis awitan
dini dan sepsis awitan lambat dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8 berikut ini.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 31/89
Gambar 7. Alur pemeriksaan CRP pada SAD dan kaitannya dengan pemberian antibiotik.73
Sumber:
Gambar 8. Alur pemeriksaan CRP pada SAL dan kaitannya dengan pemberian antibiotik.Error: Reference source not found
Sumber:
3.6.3.1.4 Procalcitonin (PCT)
PCT merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat 13
kDa dan merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel parafolikuler
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 32/89
kelenjar tiroid, yang dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam darah. Secara
fisiologis kadarnya meningkat pada neonatus. Pada hari pertama bervariasi antara 0,1-
21 ng/mL dengan median 2 ng/mL. Kemudian kadarnya menurun dan setelah 48 jam
nilainya normal yakni <2 ng/mL.
PCT bereaksi lebih cepat terhadap rangsangan inflamasi dari CRP,
mempunyai sensitivitas 92,6% dan spesifisitas 97,5% untuk sepsis awitan dini, serta
sensitivitas dan spesifisitas 100% untuk sepsis awitan lambat. Selain itu, dapat
membedakan infeksi bakterial dari infeksi viral. Pada infeksi bakterial, mean PCT
29,7 ng/mL sedangkan pada infeksi viral, mean PCT 0,28 (0–1,5) ng/mL. Pengukuran
kadarnya dapat dikerjakan secara imunologis dengan alat Vidas.
3.6.3.1.5 Pemeriksaaan kemokin, sitokin dan molekul adhesi.
Modalitas pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis neonatorum adalah
dengan menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b, CD64,
Interleukin-6 (IL-6) yang dapat membantu sebagai petanda tambahan. Pemeriksaan
petanda-petanda infeksi tersebut secara serial dikombinasikan dengan beberapa tes
sehingga dapat memberikan hasil yang baik. Sayangnya, pemeriksaan petanda infeksi
tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan pemeriksaan tunggal. Pada beberapa kasus,
pemeriksaan ini dapat menunjukkan kapan pemberian antibiotikdapat
dihentikan.Error: Reference source not found
IL-6 adalah sitokin pleiotropic yang terlibat dalam berbagai aspek sistem
imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel dan
fibroblas, setelah ada rangsangan TNF dan IL-1. Petanda ini menginduksi sintesis
protein fase akut termasuk CRP dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis
neonatorum, IL-6 meningkat cepat yang terjadi dalam waktu beberapa jam sebelum
peningkatan konsentrasi CRP dan akan menurun sampai ke kadar yang tidak
terdeteksi dalam waktu 24 jam. IL-6 ini memiliki waktu paruh yang singkat serta
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai petanda infeksi. Dari
penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pemeriksaan IL-6 atau IL-8 dikombinasikan
dengan pemeriksaan CRP dapat dijadikan pegangan untuk menyingkirkan
kemungkinan sepsis neonatorum sehingga secara keseluruhan menurunkan biaya dan
risiko pemberian antibiotika.74,75 Waktu pemeriksaan sangat berpengaruh terhadap
hasil yang diperoleh, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 9. Penggunaan IL-6 dan
CRP secara simultan memiliki sensitivitas 100% pada bayi terinfeksi dengan usia
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 33/89
pascanatal berapapun karena peningkatan CRP plasma terjadi pada waktu 12-48 jam
setelah awitan infeksi, saat level IL-6 telah menurun. Perbandingan waktu dan
konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP diperlihatkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Waktu Pemeriksaan dan Konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRPSumber : kepustakaan nomor ?
3.6.3.1.6 Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)
Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa
Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini pasien
sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih
cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar Inggris,
pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium guna
mendeteksi dini kuman tertentu antara lain N. meningitidis dan S pneumoniae. Selain
bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan
prognosis pasien sepsis neonatorum.
Pemeriksaan ini merupakan metode pemeriksaan yang sensitivitas dan
spesifisitasnya hampir mencapai 100% dalam mendiagnosis sepsis yang disebabkan
oleh bakteri dalam waktu singkat. Metode ini merupakan diagnosis molekular yang
menggunakan amplifikasi PCR dari 16S rRNA pada bayi baru lahir dengan faktor
risiko sepsis ataupun memiliki gejala klinis sepsis.76
PCR juga mempunyai kemampuan untuk menentukan prognosis pasien sepsis
neonatus. Selanjutnya dikemukan bahwa studi PCR secara kuantitatif pada kuman
dibuktikan mempunyai kaitan erat dengan beratnya penyakit. Apabila studi dan
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 34/89
sosialisasi pemeriksaan semacam ini telah berkembang dan terjangkau, diharapkan
cara pemeriksaan ini bermanfaat untuk penatalaksanaan dini dan memperbaiki
prognosis pasien.Error: Reference source not found
Pemeriksaan diagnostik molekular menggunakan teknik PCR juga bermanfaat
untuk deteksi infeksi virus pada neonatus. Walaupun diagnostik molekular pada
bakteri menggunakan PCR dengan daerah target 16S rRNA telah terbukti cepat dan
akurat (sensitivitas 96%, spesifisitas 99,4% nilai prediksi positif 88,9% dan nilai
prediksi negatif 99,8%), masih dibutuhkan penelitian klinis dengan lingkup yang
besar untuk menentukan apakah teknik PCR dapat menjadi adjuctive test untuk
diagnostik cepat bakteremia pada neonatus resiko tinggi dengan gejala sepsis.
Diagnostik molekular menggunakan 18S rRNA juga dapat digunakan untuk
mendeteksi jamur invasif di dalam darah neonatus dengan resiko tinggi infeksi jamur.
Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 98%
dalam menentukan infeksi jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih sangat
terbatas di Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau Rumah Sakit
Rujukan Propinsi.
3.6.3.2 Pencitraan
Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran,
misalnya:
- Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola
retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS
(Respiratory Distress Syndrome).
- Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.Error:
Reference source not found
- Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena
ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan dini
yang telah terbukti dengan kultur.Error: Reference source not found
Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis neonatal kompleks
untuk melihat hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark
ataupun abses.Error: Reference source not found
USG kepala pada neonatus dengan meningitis dapat menunjukkan
ventrikulitis, kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular dan
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 35/89
perubahan kronis. Secara serial, USG kepala dapat menunjukkan progresivitas
komplikasi.Error: Reference source not found
3.6.4. Pendekatan Diagnosis
Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, upaya penegakan
diagnosis tampaknya sangat tergantung dari fasilitas yang tersedia di rumah sakit.
Beberapa pemeriksaan laboratorium hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar. Oleh
karena itu, beberapa klinik melakukan upaya penegakan diagnosis dengan berbagai
cara. Ada klinik yang mempergunakan faktor-faktor risiko, ada pula yang
mempergunakan gabungan beberapa gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang
ataupun kombinasi berbagai pemeriksaan penunjang dalam melakukan pendekatan
diagnosis. Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan
diagnosis dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko
tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor (lihat tabel 8).77
Tabel 8 : Pengelompokan faktor risiko 77
Risiko mayor Risiko minor
1. Ketuban pecah > 24 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu >
38 C
3. Korioamnionitis
4. Denyut jantung janin yang menetap >
160x/menit
5. Ketuban berbau
1. Ketuban pecah > 12 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5
C
3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit
ke-5< 7 )
4. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR )
< 1500 gram.
5. Usia gestasi < 37 minggu.
6. Kehamilan ganda.
7. Keputihan pada ibu.
8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) /
tersangka ISK yang tidak diobati.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 36/89
Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90
Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan
diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septic
work-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat meningkatkan
identifikasi pasien secara dini dan tata laksana yang lebih efisien sehingga mortalitas
dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.Error: Reference source not found
Pada tahun 1981, Spector dkk. menggunakan sistem skoring dengan memakai
kombinasi gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang untuk pendekatan diagnosis
sepsis. Adapun faktor yang digunakan terlihat dalam tabel 9. Selanjutnya
dikemukakan bayi mempunyai risiko menderita infeksi apabila skor lebih besar atau
sama dengan 3. Pada keadaan ini pasien harus segera mendapat antibiotika. Sistem
skoring yang dipakai disini tampaknya hanya dipergunakan untuk pendekatan
diagnosis sepsis awitan lambat.78
Tabel 9 : Sistem skoring untuk prediksi sepsis neonatal.Error: Reference source not found
Penemuan Skor
Lebih dari 2 sistem organ terlibat (yaitu terdapat tanda infeksi pada sistem
pernafasan, gastrointestinal, hematologi, kardiovaskular, dan kulit).
Jumlah leukosit total <10.000 atau ≥20.000 / mm3.
Jumlah neutrofil absolut <1000 / mm3.
Rasio neutrofil batang : neutrofil matur ≥0.1
Usia >1 minggu.
1
1
1
1
1
Sumber: Spector SA, Ticknor W, Grossman M. Clin Pediatr 1981; 95: 803-6
Berlainan dengan Spector dkk, beberapa peneliti lain memilih kombinasi
beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan hematologik dan protein
tertentu sebagai faktor penentu dalam sistem skoring.
Philip dan Hewitt pada tahun 1980 melakukan penapisan sepsis neonatorum
awitan dini berdasarkan kombinasi 5 pemeriksaan laboratorium yaitu :79
1. Jumlah leukosit <5.000 / mm3
2. Rasio neutrofil imatur : total neutrofil ≥0,2
3. Laju endap darah ≥15 mm/jam
4. Latex C-Reactive Protein positif (> 0,8 mg/100 mL)
5. Latex haptoglobin positif (>25 mg/100 mL)
Pasien ditetapkan sepsis bila terdapat 2 atau lebih faktor tersebut dan hal ini
mempunyai sensitifitas 93% dan spesifisitas 88%. Kriteria di atas ternyata juga dapat
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 37/89
mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat, dengan sensitifitas dan spesifisitas
berturut-turut 83% dan 74%.Error: Reference source not found
Skoring sistem berdasarkan beberapa faktor laboratorium ini juga
dikemukakan oleh Rodwell dkk (1987). Faktor yang dipakai adalah beberapa hasil
pemeriksaan hematologik dan karenanya dikenal dengan istilah hematologic scoring
system (HSS) seperti terlihat dalam tabel 10. 80
Tabel 10. Sistem skoring hematologis untuk menegakkan diagnosis dini sepsis neonatorum awitan dini dan lambat.80
Skor
Rasio imatur : total neutrofil (rasio I:T) meningkat.
Jumlah total PMN (polymorphonuclear) meningkat atau menurun.
Rasio imatur : matur neutrofil (rasio I:M) ≥ 0,3.
Jumlah imatur PMN meningkat.
Jumlah total leukosit menurun atau meningkat (≤5000/mm3 atau ≥25.000, 30.000,
dan 21.000/mm3 pada saat lahir, 12-24 jam, dan usia 2 hari).
Terdapat perubahan degeneratif pada PMN ≥3+ untuk vakuolisasi, granulasi
toksik, dan badan Dohle.
Jumlah trombosit ≤150.000 / mm3.
1
1
1
1
1
1
1
Sumber : Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. J Pediatr 1998; 112: 761-7
Sistem skoring cara ini dapat dipakai baik pada pasien sepsis neonatorum
awitan dini ataupun awitan lambat. Selanjutnya dikemukan bahwa semakin besar
jumlah skor, kemungkinan sepsis juga akan meningkat. Apabila jumlah skor ≥3
sensitifitas dapat mencapai 96%, spesifisitas 78%, PPV 31%, dan NPV 99%.Error:
Reference source not found
Sistem ini mempunyai kelebihan antara lain mudah dilakukan, sederhana
karena hanya melakukan 1 jenis pemeriksaan darah perifer dan hasil pemeriksaan
darah juga tidak memerlukan waktu lama. Selain itu beberapa peneliti lain telah
mencoba melakukan studi dengan kriteria yang sama dan memberikan hasil yang
menunjang sistem skoring tersebut.Error: Reference source not found
Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa
perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan
kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan
perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4
variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan
variabel inflamasi (tabel 11).Error: Reference source not found
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 38/89
Tabel 11. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus 16
Variabel Klinis
Suhu tubuh tidak stabil
Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit
Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )
Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik
TD < 2 SD menurut usia bayi
TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )
TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )
Variabel Perfusi Jaringan
Pengisian kembali kapiler > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 mmol/L
Variabel Inflamasi
Leukositosis ( > 34000x109/L )
Leukopenia ( < 5000 x 109/L )
Neutrofil muda > 10%
Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2
Trombositopenia <100000 x 109/L
C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL
16 S rRNA gene PCR : positif
Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9.
3.7. Penatalaksanaan
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis
neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab membutuhkan
waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam
melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat
peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut,
penggunaan antibiotiksecara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola
kuman penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut.Error: Reference source
not found Antibiotiktersebut segera diganti apabila sensitifitas kuman diketahui.
Selain itu, beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai dilakukan; walaupun
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 39/89
beberapa dari terapi tersebut belum terbukti menguntungkan. Terapi suportif ini
meliputi transfusi granulosit, intravenous immune globulin (IVIG) replacement,
transfusi tukar (exchange transfusion) dan penggunaan sitokin rekombinan.Error:
Reference source not found
3.7.1 Pemberian antibiotik
Sepsis merupakan keadaan kedaruratan dan setiap keterlambatan pengobatan
dapat menyebabkan kematian.Error: Reference source not found,81 Pada kasus
tersangka sepsis, terapi antibiotikempirik harus segera dimulai tanpa menunggu hasil
kultur darah. Setelah diberikan terapi empirik, pilihan antibiotikharus dievaluasi ulang
dan disesuaikan dengan hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak
menunjukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik,
pemberian antibiotikharus dihentikan.Error: Reference source not found7
Permasalahan resistensi antibiotik merupakan masalah yang bersifat universal.
Penggunaan antibiotikyang berlebihan akan menimbulkan masalah resistensi di
kemudian hari. Antibiotikspektrum luas lebih sering menimbulkan resistensi daripada
antibiotikspektrum sempit.Error: Reference source not found Oleh karena itu,
kebijakan dalam pemberian antibiotikharus ada pada setiap unit perawatan neonatus.
Surveilans bakteri dan pola resistensi juga harus secara rutin dilakukan di tiap unit
neonatal untuk menetapkan kebijakan penggunaan antibiotikdi masing-masing
unit.19,52 Upaya untuk menurunkan resistensi bakteri memerlukan dua strategi utama
yaitu, mengontrol infeksi dan mengontrol pemakaian antibiotika.82 Pemakaian
antibiotiksecara bergantian dilaporkan efektif menurunkan resistensi di beberapa
tempat.Error: Reference source not found,83
Seperti telah dijelaskan di atas, penyalahgunaan pemberian antibiotikakan
menimbulkan resistensi bakteri. Hal ini terjadi karena bakteri Gram negatif seperti
Klebsiella pneumoniae dan E. Coli dapat memproduksi extended spectrum beta
lactamase (ESBL) sehingga resisten terhadap hampir semua antibiotika. Sedangkan
bakteri Gram positif dapat membawa gen yang menyebabkan resistensi terhadap
vankomisin dalam bentuk vancomycin resistant enterococci (VRE) dan gen yang
mengkode resistensi terhadap metisilin seperti methicillin resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) serta methicillin resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE). Error:
Reference source not found,84
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 40/89
Akhir-akhir ini, dikhawatirkan terjadi peningkatan resistensi bakteri Gram
negatif terhadap hampir semua antibiotika. Resistensi terhadap amikasin kira-kira
50%, netilmisin lebih tinggi dan gentamisin lebih dari 75%. Resistensi terhadap
sefalosporin generasi ketiga lebih dari 80%. Resistensi terhadap piperasilin-
tazobaktam 30-46%, sedangkan resistensi terhadap imipenem sudah mulai muncul
(kira-kira 20%).Error: Reference source not found
Di negara berkembang, dilaporkan bahwa multiresisten yang terjadi pada
bakteri penyebab sepsis semakin meningkat, terutama Klebsiella sp. dan Enterobacter
sp.85 Multiresisten yang terjadi pada Acinetobacter sp. (termasuk terhadap
karbapenem) juga mulai bermunculan di seluruh dunia dengan berbagai angka
prevalensi di tiap negara.84 Di Pakistan, E.coli dan Pseudomonas sp. menunjukkan
resistensi derajat tinggi terhadap ampisilin, amoksisilin klavulanat dan gentamisin;
resistensi derajat sedang terhadap sefotaksim, seftazidim dan seftriakson; dan
resistensi derajat rendah terhadap golongan kuinolon.81 Data terakhir pada bulan Juli
2004 - Mei 2005 di Divisi Neonatologi Departemen IKA FKUI-RSCM, menunjukkan
bakteri Gram negatif dan positif memiliki resistensi derajat tinggi terhadap
antibiotiklini pertama (ampisilin, gentamisin) dan lini kedua (sefotaksim, seftriakson)
serta derajat rendah-sedang terhadap antibiotiklini ketiga (imipenem, meropenem).
Hanya 61,7% A. Calcoaceticus dan 45,71% Enterobacter sp. yang masih sensitif
terhadap seftazidim, dan juga sekitar 44,1% Staphylococcus sp. masih sensitif
terhadap amikasin.Error: Reference source not found
Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidens sepsis
neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan insidens sepsis
yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten terhadap
ampisilin.Error: Reference source not found,86 Ampisilin dan sefalosporin generasi
ketiga (sefotaksim, seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan organisme
Gram negatif memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi.
Oleh karena itu, terapi kombinasi antibiotikbetalaktam dan aminoglikosida sangat
dianjurkan untuk mencegah resistensi tersebut. 87
Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme
pembawa gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan
memproduksi beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara
berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi beta-laktamase.Error:
Reference source not found Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan secara
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 41/89
luas di unit perawatan intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi
hanya pada kasus berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan
sefalosporinase.87
Antibiotiktidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan
intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif
untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti
telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi
(kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, tetapi
justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotika.54,88
3.7.1.1 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini
Pada bayi dengan SAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan
Listeria monocytogenes.Error: Reference source not found Kombinasi penisilin atau
ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan
umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab SAD.Error: Reference source
not found,Error: Reference source not found Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan
meningkatkan aktivitas antibakteri.Error: Reference source not found
3.7.1.2 Pemilihan antibiotikuntuk sepsis awitan lambat
Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga
digunakan untuk terapi awal SAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab
infeksi nosokomial telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena
telah terjadi peningkatan resistensi terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin.
Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau
amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian
besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan
aminoglikosida lain.Error: Reference source not found
Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat
anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai
terapi awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko
infeksi Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin atau
azlosilin (golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan seftazidim
(sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif terhadap
Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin.Error: Reference source not found
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 42/89
Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin
atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada SAD dan SAL. Keuntungan utama
menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat baik
terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten terhadap
aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat menembus cairan
serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian, sefalosporin generasi ketiga
sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis karena tidak efektif terhadap
Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan akan mempercepat
munculnya mikroorganisme yang resisten dibandingkan dengan pemberian
aminoglikosida.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin
(ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi
ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas
dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.
Pilihan antibiotikbaru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotiklain
adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati dengan a
cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan
aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotikgolongan penisilin resisten
penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin).Error: Reference source not found
Pemberian antibiotikpada SAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak
bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotikhendaknya
disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan
neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan secara
rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih antibiotika.
3.7.2 Terapi suportif (adjuvant)
Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ atau
lebih yang disebut Disfungsi Multi Organ, seperti gangguan fungsi respirasi,
gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik
seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada
keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian
inotropik, dan pemberian komponen darah.89,90,91 Terapi suportif ini dalam
kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan
dikepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 43/89
tranfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-
CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.
3.7.2.1 Intravenous immune globulin (IVIG)
Pemberian intravenous immune globulin (IVIG) replacement telah diteliti
merupakan terapi yang memungkinkan untuk sepsis neonatorum. Upaya ini dilakukan
dengan harapan untuk memberikan antibodi spesifik yang berguna pada proses
opsonisasi dan fagositosis organisme bakteri dan juga untuk mengaktivasi komplemen
serta proses kemotaksis neutrofil pada neonatus.Error: Reference source not found
Manfaat pemberian IVIG sebagai tatalaksana tambahan pada penderita sepsis
neonatal masih bersifat kontroversi. Boehme U et al melaporkan bahwa terdapat
penurunan mortalitas bayi prematur secara bermakna pada pemberian IVIG,
sedangkan peneliti lain tidak memperlihatkan perbedaan.92 Studi multisenter yang
dilakukan oleh Weisman dkk melaporkan terdapat penurunan mortalitas pasien pada 7
hari pertama tetapi kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda bermakna.93
Dalam upaya menunjang peran IVIG dalam tatalaksana sepsis, telah dilakukan
dua studi meta-analisis. Pada meta-analisis pertama (n=7 RCT) didapatkan penurunan
angka mortalitas yang signifikan pada neonatus yang diduga terinfeksi.94 Namun, bila
diperhitungkan hanya pada kasus yang terbukti sepsis, angka tersebut menjadi tidak
signifikan. Sehingga disimpulkan bahwa bukti yang ada belum cukup kuat untuk
menjadikan IVIG sebagai terapi rutin pada semua kasus Sepsis Neonatorum. Meta-
analisis kedua (n=23 RCT) menunjukkan penurunan angka mortalitas secara
signifikan pada kasus sepsis berat dan syok septik setelah pemberian IVIG
poliklonal.95
Pemberian IVIG terbukti memiliki keuntungan untuk mencegah kematian dan
kerusakan otak bila diberikan pada sepsis neonatorum onset dini. Dosis yang
dianjurkan adalah 500-750mg/kgBB IVIG dosis tunggal.96 Pemberian IVIG terbukti
aman dan dapat menurunkan angka kematian sampai 45%.97
3.7.2.2 Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF)
Sistem granulopoietik pada bayi baru lahir khususnya bayi kurang bulan masih
belum berkembang dengan baik. Neutropenia sering ditemukan pada pasien sepsis
neonatal dan keadaan ini terutama terjadi karena defisiensi G-CSF dan GM-CSF.98
Padahal neonatus yang menderita sepsis dengan neutropenia memiliki angka
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 44/89
mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami neutropenia.99 G-CSF
merupakan regulator fisiologis terhadap produksi dan fungsi neutrofil. Fungsinya
adalah untuk menstimulasi proliferasi prekursor neutrofil dan meningkatkan aktivitas
kemotaksis, fagositosis, memproduksi superoksida dan bakterisida. Berdasarkan
fungsi tersebut, G-CSF digunakan sebagai terapi adjuvant pada sepsis neonatorum.100
Pemberian G-CSF secara langsung akan memperbanyak neutrofil di dalam sirkulasi
karena pembentukan dan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang meningkat.101
Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian G-CSF walaupun dapat
meningkatkan konsentrasi neutrofil di dalam darah tepi maupun sumsum tulang dan
dapat menurunkan angka infeksi nosokomial secara bermakna, namun tidak
memperlihatkan perbaikan dalam angka kematian pasien.Error: Reference source not
found,102 Oleh karena itu, pemberian rutin G-CSF sampai saat ini tidak dianjurkan
tetapi beberapa klinik menggunakannya dengan dosis 10 μg/kg/hari pada pasien
dengan neutropenia yang tidak memperlihatkan perbaikan dengan pemberian IVIG.90
Dari Cochrane review disimpulkan bahwa belum tersedia evidence-based yang cukup
untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penggunaan G-CSF secara
rutin dalam mengatasi sepsis dengan neutropenia. Namun, bila dibandingkan dengan
pemberian IVIG, transfusi G-CSF lebih menurunkan angka mortalitas.95
Dilaporkan bahwa transfusi granulosit memberikan hasil cukup baik, tetapi
jarang digunakan karena teknik filtrasi yang sulit dan memerlukan biaya yang tinggi.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian G-CSF dan GM-CSF dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitas imunitas selular serta mencegah infeksi
nosokomial pada neonatus, tetapi preparat ini masih dalam penelitian lebih lanjut dan
membutuhkan biaya yang mahal.89
3.7.2.3 Tansfusi Tukar (TT)
Transfusi tukar pada tatalaksana sepsis neonatorum masih kontroversial,
sedangkan data EBM masih belum memuaskan beberapa pihak dengan berbagai
pertimbangan keuntungan dan kerugiannya. Angka keberhasilan masih hampir sama
antara yang dilakukan TT dengan yang tidak dilakukan.
Transfusi tukar adalah prosedur untuk menukarkan sel darah merah dan
plasma resipien dengan sel darah merah dan plasma donor.103,104,105,106 Tujuan TT pada
sepsis adalah untuk memutuskan rantai reaksi inflamasi sepsis dan memperbaiki
keadaan umum pasien.Error: Reference source not found,Error: Reference source not found,Error:
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 45/89
Reference source not found Dikatakan demikian karena berdasarkan penelitian-penelitian yang
pernah ada telah menunjukkan kesimpulan bahwa TT dapat meningkatkan kadar IgG,
IgA dan IgM dalam waktu 12-24 jam; meningkatkan fungsi granulosit; meningkatkan
aktivitas opsonisasi antibodi dan fungsinya serta jumlah neutrofil; mengeluarkan
endotoksin dan mediator inflamasi; meningkatkan oxygen-carrying capacity darah;
memperbaiki perfusi jaringan; meningkatkan konsentrasi oksihemoglobin di otak;
serta memperbaiki perfusi perifer dan distres pernapasan. Darah yang digunakan
untuk TT adalah darah lengkap. Volume darah yang diperlukan untuk tindakan TT
adalah 80-85 ml/kgBB untuk bayi cukup bulan atau 100 ml/kgBB untuk bayi
prematur dan ditambah lagi 75-100 ml untuk priming the tubing. Metode yang paling
disukai untuk prosedur TT adalah isovolumetric exchange, yaitu mengeluarkan dan
memasukkan darah yang dilakukan bersama-sama melalui kateter arteri umbilikalis
(dipakai untuk mengeluarkan darah pasien) dan kateter vena umbilikalis (dipakai
untuk memasukkan darah donor). Kontra indikasi TT adalah ketidakmampuan untuk
memasang akses arteri atau vena dengan tepat, omphalitis, omphalocele/gastroschisis,
necrotizing enterocolitis, bleeding diathesis, infeksi pada tempat tusukan serta kurang
baiknya aliran pembuluh darah kolateral dari arteri ulnaris atau arteri dorsalis pedis.107
TT cukup efektif sebagai terapi alternatif pada sepsis neonatorum yang gagal
ditatalaksana secara konvensional. Penelitian meta-analisis mengenai penggunaan TT
memang masih ditunggu, namun beberapa data yang telah ada cukup menjanjikan dan
menunjukkan manfaat terapi ini pada bayi dengan neutropenia, sklerema, DIC dan
asidosis berat. Tabel 12 di bawah ini, menunjukkan survival dari beberapa penelitian
kasus yang dilakukan TT. Namun demikian, perlu diperhatikan juga mengenai efek
samping seperti gangguan hemodinamik yang dapat menyebabkan kematian.108
Tabel 12. Angka Survival bayi yang dilakukan TT. 108
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 46/89
fosfodiesterase yang membuatnya mampu memodulasi proses inflamasi. Cochrane
review menyatakan bahwa pentoxifilin sebagai terapi adjuvant sepsis neonatorum
terbukti dapat menurunkan angka kematian tanpa menyebabkan efek samping.109
3.7.2.6 Pemberian Melatonin
Di dalam patogenesis sepsis neonatorum terdapat implikasi timbulnya radikal
bebas. Melatonin, merupakan antioksidan endogen hasil produksi indoamin,
dirancang untuk menjadi salah satu alternatif terapi adjuvan untuk mengatasi sepsis
109 Haque K, Mohan P. Pentoxifylline for Neonatal Sepsis. Reviewed by Vogin GD. Pediatr Infect Dis J. 2004; 23: 346-9. [Tingkat Pembuktian Ia]
17 Gordon A, Jeffery HE. Antibiotic regimens for suspected late onset in newborn infants. Available at: URL:http://www.nichd.nih.gov/cochrane/Gordon/GORDON.HTM [Tingkat Pembuktian Ia]
18 Yurdakok M. Antibiotic use in neonatal sepsis. Turk J Pediatr 1994; 40(1): 17-33. [Tingkat Pembuktian IV]
19 Schuchat A, Zywicki SS, Dinsmoor MJ, Mercer B, Romaguera J, O’Sullivan MJ, et al. Risk Factors and Opportunities for Prevention of Early-onset Neonatal Sepsis: A Multicenter Case-Control Study. Pediatrics 2000; 105: 21-26. [Tingkat Pembuktian IIb]
20 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR, Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology. Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 143-6.
21 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR, Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology. Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 147-150.
22 Rodrigo I. Changing patterns of neonatal sepsis. Sri Lanka J Child Health 2002; 31: 3-8.
23 Moodi N, Carr R : Promising stratagems for reducing the burden of neonatal sepsis. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2000; 83:F150-F153.
24 Osrin D, Vergnano S, Costello A. Serious bacterial infections in newborn infants in developing countries. Curr. Opin.Infect Dis 2004.17:217-224.
25 Aminullah A. Masalah Terkini Sepsis Neonatorum. Dalam: Update in neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 17-31. [Tingkat Pembuktian IV]
26 Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat. Pidato pengukuhan Guru Besar Tetap FKUI, 28 Januari 2004.
28 D Kaufman et al. clinical microbiology of bacterial and fungal sepsis in vey-low-birth-weight infants.Clin Microb Rev.2004.641. (dr.retno)
29 Goldstein B, Giroir B, Randolph A. Members of the International Consensus Conference on Neonatal Sepsis. Definitions for Sepsis and Organ Dysfunction in Pediatrics. Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
30 Opal SM. Concept of PIRO as a new conceptual framework to understand sepsis. Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): Suppl: S55-60.
32 Bochud PY, Calandra T. Clinical Review: Science, medicine, and the future. Pathogenesis of sepsis: new concept and implications for future treatment. British Medical Journal 2003;326:262-266.
33 Short MA. Linking The Sepsis Triad of Inflammation, Coagulation and Suppressed Fibrinolysis to Infants. Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73.
41 Tambahan dari Prof Rahaju . 48 Yancey MK, Duff P, Kubilis P, Clark P, Frentzen BH. Risk factors for neonatal sepsis.
Obst Gynecol 87:188-94. 1996.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 47/89
neonatorum. Melatonin diberikan secara oral dengan dosis 2 X 10 mg per hari.
Pemakaian melatonin tersebut masih dalam tahap uji klinik dan penelitian ini
merupakan penelitian pertama pada manusia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
perbaikan kondisi klinik pada kelompok yang diterapi dibandingkan kelompok
kontrol. Namun, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini
dengan sampel yang lebih besar.110
3.7.2.7 Penatalaksanaan imunologik
50 Saez-Lorenz X, McCracken GH,Jr. Perinatal bacterial disease. Feigin RD, Cherry JD eds. Textbook of Pediatrics Infectious Diseases. 1998: 892-926. WB Saunders Philadelphia.
51 Pusponegoro TS. Sepsis pada Neonatus (Sepsis Neonatal). Sari Pediatri 2000; 2:96-102.
52 Mahieu LM, Muynck AO, Dooy JJ, Laroche SM, Acker KJ. Prediction of Nosocomial Sepsis in Neonates by Means of a Computer-Weighted Bedside Scoring System (NOSEP Score). Crit Care Med 2000;28:2026-33.
54 Isaacs D. Neonatal sepsis: the antibiotic crisis. Indian J Pediatr 2005; 42: 9-13. [Tingkat Pembuktian IV]
55 Tantaleán JA, León RJ, Santos AA, Sánchez E. Multiple Organ Dysfunction Syndrome in Children. Pedatr Crit Care Med 4(2), 2003. [Tingkat Pembuktian IIIa]
56 Buku Pedoman “Integrated Management of Childhood Illnesses tahun 2000 57 Departemen Kesehatan RI – UKK Perinatologi IDAI –MNH-JHPIEGO. Buku
Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir Untuk Dokter, Perawat, Bidan di Rumah Sakit . Kosim MS, Surjono A, Setyowireni D, penyunting. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2004.
58 Vergnano S, Sharland M, Kazembe P, Mwansambo C, et al. Neonatal sepsis: an international perspective. Archives of disease in childhood fetal and neonatal edition 2005;90:F220-FF224. [Tingkat Pembuktian IV]
59 Kumar Y, Qunibi M, Neal TJ, Yoxall CW : Time to positivity of neonatal blood cultures Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001;85:F182-F186 ( November ).
63 Ng PC. Diagnostic markers of infection in neonates. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F229-F235. doi: 10. 1136/adc.2002.023838.
64 Bauer KA, Weitz JI. Laboratory markers of coagulation and fibrinolysis. In: Colman RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Eds. Hemostasis and thrombosis : Basic Principles and clinical practice. 4th ed. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins 2001 p. 1113- 29.
65 Rickles FR, Levine MN, Dvorak HF. Abnormalities of hemostasis in malignancy. In: Colman RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Eds. Hemostasis and thrombosis : Basic Principles and clinical practice. 4th ed. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins 2001 p. 1132- 52.
66 Kolde HJ. Haemostasis : Physiology, pathology, diagnostics. 2nd ed. Basel: Pentapharm Ltd. 2004 p130.
67 Muller-Berghaus G, ten Cate H, Levi M. Disseminated intravascular coagulation: clinical spectrum and established as well as new diagnostic approach. Thromb Haemost 1999; 82(2): 706-12.
68 Wells PS, Hirsh J, Anderson DR, et al. Accuracy of clinical assessment of deep vein thrombosis. Lancet 1995; 345: 1326.
71 Mustafa S, Farooqui S, Waheed S, Mahmood K. Evaluation of C-reactive protein as early indicator of blood culture positivity in neonates.Pak J Med Sci 2005;21(1):69-73.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 48/89
Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa dalam 10 tahun terakhir ini telah
diajukan konsep baru dalam bidang infeksi yang dikenal dengan "systemic
inflammatory response syndrome" (SIRS). Konsep ini menggambarkan patofisologi
baru dalam kaskade inflamasi yang agak berbeda dengan gambaran yang dianut
sebelumnya. Pada pasien SIRS ditemukan perubahan fisiologik sistem imun, baik
humoral maupun selular, yang berupaya untuk mengimbangi atau melakukan reaksi
eliminasi mikroba melalui pembentukan berbagai komplemen dan antibodi. Pelaporan
72 Weitkamp JH, Aschner JL. Diagnostic use of C-reactive protein (CRP) in assessment of neonatal sepsis. Amer Acad Ped. 2005;6(11).
73 http://neoreviews.aappublications.org/sub-journals/neoreviews/html/content/vol6/issue11/images/large/zni0110523810003.jpeg
74 Kruger M, Nauck MS, Sang S, Hentschel R, Wieland H, Berner R. Cord Blood Level of Interleukin-6 and Interleukin-8 for the Immediate Diagnosis of Early-Onset Infection in Premature Infants. Biol Neonate 2001; 80: 118-123.
75 Franz AR, Steinbach G, Kron M, Pohlandt F. Reduction of Unnecessary Antibiotic Therapy in Newborn Infants Using Interleukin-8 and C-Reactive Protein as Markers of Bacterial Infections. Pediatrics 1999; 104 (3): 447-453.
76 Yadav K, Wilson CG, Prasad PL, Menon PK. Polymerase chain reaction in rapid diagnosis of neonatal sepsis. Indian pediatric 2005; 42: 681-5. [Tingkat Pembuktian IIIa].
77 Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, et al. Sepsis neonatorum. Dalam : Standard Pelayanan Medik IDAI.2004. h 286-90.
78 Spector SA, Ticknor W, Grossman M. Study of The Usefulness of Clinical and Hematologic Findings in The Diagnosis of Neonatal Bacterial Infections. Clin Pediatr 1981; 95: 803-6.
79 Philip AG, Hewitt JR. Early Diagnosis of Neonatal Sepsis. Pediatrics 1980; 65:1036-41.
80 Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. Early Diagnosis of Neonatal Sepsis.Using a Hematologic Scoring System. J Pediatr 1998; 112: 761-7.
88 Isaacs D. Rationing antibiotics use in neonatal units. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2000; 82: F1-2.
89 Perez MM, Weisman LE. Novel Approaches to the prevention and therapy of neonatal bacterial sepsis. Clin Perinatol 1997; 24: 213-29.
90 Weiss MD.;. Burchfield DJ. Adjunct Therapies to Bacterial Sepsis in the Neonate NBIN 2004, 4(1):46-50.
91 Carcillo JA . New developments in the management of newborn sepsis, shock and multiple organ failure. Ital J Pediatr 2004; 30: 383-392. [Tingkat Pembuktian IV]
94 Ohlsson A, Lacy JB. Intravenous Immunoglobulin for Suspected or Subsequently Proven Infection in Neonates. The Cohcrane Library 2000; issue 2.
95 Alejandria MM, Lansang MA, Dans LF, Mantaring JBV. Intravenous Imunoglobulin for treating Sepsis and Septic Shock. The Cochrane Library 2000; issue 2.
96 Jenson HB, Pollock BH. Meta-analyses of the effectiveness of intravenous immune globulin for prtevention and treatment of neonatal sepsis. American Academic of Pediatrics 1997; 99(2). [Tingkat Pembuktian Ia]
97 Acunas BA, Peakman M, Liossis G, et al. Effect of fresh frozen plasma and gammaglobulin on humoral immunity in neonatal sepsis. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1994;70:F182-F187.
108 Vaidya U . Prematurity and infection in newborns. Presentation at the Fifth National Conference of Pediatric Infectious Diseases, Surat, Nov 29 to Dec 1, 2002 Available
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 49/89
ini mempunyai arti yang penting dalam manajemen pasien. Pada bayi dengan risiko,
dimungkinkan merencanakan penatalaksanaan sepsis secara lebih efisien dan efektif
sehingga komplikasi jangka panjang yang mengganggu tumbuh kembang bayi dapat
dihindarkan. Berbagai penelitian eksperimental maupun studi klinis banyak dilakukan
untuk menghambat kaskade inflamasi ini. Salah satu cara adalah dengan menurunkan
aktivitas biologis dari IL-1 dan TNF-α. Dalam suatu studi eksperimental pada hewan
coba, penyuntikan TNF-α dan IL-1 memperlihatkan perubahan fisiologis yang sejalan
dengan kaskade inflamasi. Selanjutnya apabila dilakukan rintangan terhadap aktivitas
in : http//www. \Meta nalysis Prematurity and infection in newborns -- Indian Academy of Pediatrics, Surat CME.htm
110 Gitto E, Karbownik M, Reiter RJ, TanDX, Cuzzocrea S, Chiurazzi P, et al. Effects of Melatonin Treatment in Septic Newborns. Pediatric Research 2001; 50: 756-60. [Tingkat Pembuktian IIb]
11 Magudumana MO, Ballot DE, Cooper PA, et al. Serial Interleukin 6 Measurement in the Early Diagnosis of Neonatal Sepsis. J Trop Pediatr 2000; 46: 267-71.
27 Bellig LL, Ohning BL : Neonatal sepsis. Home page eMedicine http://www.emedicine.com/ped/topic2630.htm
31 Dari Rencana Sepsis Prof Asril. 34 Gauser, Crit Care Med 2000. Cara penulisan kurang lengkap...... Judul
tulisan,volume atau nomor Majalah 35 Bone RC. A Continuing Evolution in Our Understanding of The Systemic Inflammatory
Response Syndromes (SIRS) and The Multiple Organ Dysfunction Syndromes (MODS). Ann Intern Med 1996; 125: 80-7.
36 Carrigan SD, Scott G, Tabrizian M. Toward Resolving the Challenges of Sepsis Diagnosis. Clinical Chemistry 2004; 50:8:1301-14. [Tingkat Pembuktian IV]
37 Bernard GR. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis: A Review of Current Information CME. Diunduh dari : http://www.medscape.com/viewprogram/1890.
38 Bone RC. Pathogenesis of Disseminated Intravascular Coagulation in Sepsis.JAMA 1993;270:975-9.
39 Mathay MA. Severe Sepsis- A New Treatment with Both Anticoagulant and Anti-Inflammatory properties. N Engl J Med 2001; 44:759-61.
40 Levi M. Current Understanding of Disseminated Intravascular Coagulation. Br J Haem 2004;124:567-76.
42 Nystrom P.O. The Systemic Inflammatory Response Syndrome: Definitions and Aetiology. J Antimicrob Chemother 1998; 41:Suppl A 1-7.
43 Gomella TL. Neonatal Sepsis. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE, penyunting. Neonatology Management Procedures on Call Problem Diseases Drugs. Edisi ke-4. New York: Lange Medical Books/McGrawHill; 1999. h.408-14.
44 Monintja HE. Infeksi Sistemik pada Neonatus. Dalam: Yu VY, Monintja HE, penyunting. Beberapa Masalah Perawatan Intensif Neonatus. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h. 217-30.
45 Gotoff SP. Infections of The Neonatal Infant. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia: WB Saunders; 2000. h.538-52.
46 Mc Cracken GH. Bacterial and Viral Infections of the Newborn. Dalam: Avery GB, penyunting. Toronto: JB Lippincott Company; 1981. h.723-33.
47 Speck WT, Aronoff SC, Fanaroff AA. Neonatal Infections. Dalam: Klaus MH, Fanaroff AA, penyunting. Care of the High Risk Neonates. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 1986. h.262-85.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 50/89
IL-1 dengan reseptor antagonis IL-1 (IL-1ra) ternyata dapat melindungi binatang dari
kematian akibat bakteremia dan endotoksemia.Error: Reference source not found,111,112
Hasil ini memperkuat hipotesis yang mengemukakan bahwa pengurangan tingkat
sirkulasi TNF-α dan IL-1 di dalam sirkulasi akan memperlemah perkembangan
kaskade sepsis. Penelitian ini juga memperkuat kemungkinan penggunaan terapi anti
sitokin dalam menurunkan angka kematian karena syok septik pada pasien sepsis.
Studi klinis pemberian terapi IL-1ra dan anti TNF-α pada penderita sepsis baru
49 Orlando Regional Health Care, Education & Development. Neonatal Sepsis Self-learning Packet 2002. Diunduh dari: http://www.orhs.org/classes/nursing/sepsis02pdf.
53 Pong A, Bradley JS. Bacterial meningitis and the newborn infant. Infect Dis Clin North Am. 1999; 13:711-33.
60 Schelonka et al. Volume of blood needed to detect common neonatal pathogens. J. Pediatr. 129: 275-8, 1996.
61 Kuschel C. National Women’s Newborn Services Clinical Guidelines. Antibiotics for neonatal sepsis. August 2003. [Tingkat Pembuktian IV]
62 Rand KH, Tillan M. Errors in interpretation of Gram stains from positive blood cultures. Am J Clin Pathol.2006;126(5): 686-690.
69 Berger C, Uehlinger J, Ghelfi D et al. Comparison of C-reactive protein and white cell count with differential in neonates at risk for septicaemia. Europ J Pediatr 1995; 154(2) : 138-144.
70 Kawamura M, Nishida H. The usefulness of serial C-reactive protein measurements in managing neonatal infection. Acta Paediatr 1995; 84: 10-13.
81 Rahman S, Hmeed A, Roghani MT, Ullah Z. Multidrug resistent neonatal sepsis in Peshawar, Pakistan. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2002; 87: F52-4. [Tingkat Pembuktian IIIa]
82 Gould IM. A review of the role antibiotics policies in control of antibiotic resistance. J Antimicrob Chemother 1999; 43: 459-65.
83 Rohsiswatmo R. Multidrug resistant in a neonatal unit the therapeutic implications. Paedtr Indones. Dalam publikasi. 2006………… Nomor, Vol. Pediatr Indones????
84 R Kee TK, Nachal N, Hong MS, Jazilah W, Zakaria SZS, Taib CHM. Rational antibiotic utilization in selected pediatric condition. Sivatal S, penyunting. Diunduh dari: http://www.acadmed.org.my/cpg/CPG-RAUP.nachal.pdf.
85 Deorari A. Neonatal Sepsis Update. Dalam: Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings book 13th National Congress of Child Health KONIKA XIII, Bandung: Hasan Sadikin General Hospital, 2005.h.61-9.
86 Levine EM, Ghai V, Barton JJ, Strom CM. Intrapartum antibiotics prophylaxis increases the incidence of Gram negative neonatal sepsis. Infect Dis Obstet Gynecol 1999; 7: 210-3.
87 Garges HP, Alexander KA. Newer antibiotics: imipenem/cilastatin and meropenem. Neo Rev 2003; 4: e364-8.
92 Boehme U, Sidiropoulos, Muralt GV, et al. Immunoglobulin supplementation in prevention and treatment of neonatal sepsis. Pediatr Infect Dis J 1986; 5 : S193-95.
93 Weisman LE, Stoll BJ, Kueser TJ, et al. Intravenous immune globulin therapy for early onset sepsis in premature neonates. J Pediatr 1992; 121 : 431-43.
98 Mathur NB, Singh A, Sharma VK, et al. Evaluation of risk factors for fatal neonatal sepsis. Indian Pediatr 1996;33:817-822.
99 Mohan P, Brocklehurst P. Granulocyte transfusions for Neonates with Confirmed or Suspected Sepsis and Neutropaenia (Cochrane Review). The Cochrane Library 2003; issue 4. [Tingkat Pembuktian Ia]
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 51/89
merupakan penelitian pendahuluan. Apabila studi klinik ini dapat dilakukan pada
pasien dengan hasil seperti pada penelitian eksperimental, diharapkan tata laksana
pasien akan menjadi lebih optimal.Error: Reference source not found
3.7.2.8 Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum
Telaah pustaka dan meta-analisis mengenai pemakaian kortikosteroid untuk
sepsis sejak awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1990-an umumnya
menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak memberikan manfaat untuk pengobatan
sepsis dan syok septik. Kortikosteroid tersebut diberikan dalam dosis tinggi untuk
mengatasi inflamasi dengan pertimbangan mekanisme kerja kortikosteroid yang
sangat dominan sebagai anti-inflamasi. Telaah saat ini menunjukkan bahwa hal
tersebut dapat menimbulkan rebound respons inflamasi sistemik dengan berbagai
bahaya yang menyertainya.113 Beberapa meta-analisis telah menunjukkan secara
konsisten bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi (lebih dari 42.000 mg
equivalen hidrokortison) telah terbukti tidak bermanfaat dan membahayakan.114
Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan
untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal. Kortikosteroid
dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti memperbaiki status
hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki respons terhadap
katekolamin, dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat diberikan
hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.109,115 Sebuah meta-analisis memperkuat
hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari secara signifikan.116
3.7.2.9 Dukungan Nutrisi
Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan
metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi
100 Miura E, Procianoy RS, Bittar C, Miura CS, Melo C, Miura MS. Assessing the efficacy of the recombinant human granulocyte colony-stimulating factor in the treatment of early neonatal sepsis in premature neonates. Journal de Pediatria 2000; 76(3): 193-9. [Tingkat Pembuktian Ib]
101 Murray JC, McClain KL, Wearden ME, et al. Using granulocyte colony-stimulating factor for neutropenia during neonatal sepsis. Arch Pediatr Adolesc Med 1994;148:764-766.
102 Bedford Russel AR, Emmerson AJ, Wilkinson N. A trial of recombinant human granulocyte colony stimulating factor for the treatment of very low birthweight infant with presumed sepsis and neutropenia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001; 84: F172-6.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 52/89
insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi
meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut
oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat
dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada
keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus dipenuhi;
atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pada bayi sepsis.
Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10 g/kg/hari dan lemak 1
g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua
jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan untuk tidak
memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enteral
diberikan setelah bayi lebih stabil.117
3.8. Pencegahan dan Penanggulangan
Menurut Lancet Neonatal Survey Series tahun 2005, terdapat beberapa
intervensi pencegahan berdasarkan Kedokteran Berbasis Bukti, yang dapat dilakukan
pada periode yang berbeda yaitu pada periode intrapartum dan postpartum. Intervensi
pencegahan tersebut dapat dilihat pada tabel 13.118
Tabel 13. Evidence of efficacy for interventions at different time periods 118
Intrapartum Amount of evidence
Reduction (%)in all-cause neonatal mortality or morbidity/major risk factor if specified (effect range)
Antibiotics for preterm premature rupture of membranes
Corticosteroids for preterm labour
Detection and management of breech (caesarian section)
Labour surveillance (including partograph) for early diagnosis of complications
Clean delivery practices
IV
IV
IV
IV
IV
Incidence of infections: 32%(13 .47%)
40%(25 .52%)
Perinatal/neonatal death: 71%(14.90%)
Early neonatal death: 40%58 .78%
Incidence of neonatal tetanus:55 .99%
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 53/89
PostpartumAmount of evidence
Resuscitation of newborn baby
Breastfeeding
Prevention and management of hypothermia
Kangaroo mother care (low birthweight infants in health facilities)
Community-based pneumonia case management
IV
V
IV
IV
V
6 .42%
55 .87%
18 .42%
Incidence of infections:51% (7.75%)
27%(18 .35%)
Sumber : Lancet Neonatal Survival Series 2005
3.8.1. Pencegahan Sepsis Awitan Dini
Pencegahan sepsis neonatorum awitan dini dapat dilakukan dengan pemberian
antibiotik. Dengan pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal
persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya
infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban
pecah dini, serta menurunkan resiko infeksi GBS sampai 36%. Pada wanita dengan
korioamnionitis dapat diberikan ampicillin dan gentamicin, yang dapat menurunkan
angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi GBS sebesar 86%.
Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis atau ketuban pecah
dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan gentamisin intravena selama
persalinan. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilaksis. Bagi ibu yang
pernah mengalami alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin.119
3.8.2. Pencegahan Sepsis Awitan Lanjut
Pencegahan untuk sepsis neonatorum awitan lanjut yang berhubungan dengan
infeksi nosokomial antara lain :
Pemantauan yang berkelanjutan
Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis
dibandingkan jumlah pasien
Bentuk ruang perawatan
Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai
Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 54/89
Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral
Pemakaian kateter vena sentral yang minimal
Pemakaian antibiotik yang rasional
Program pendidikan
Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program
kontrol.120
3.8.2.1. Antibiotik Profilaksis
Terapi pencegahan atau antibiotikprofilaksis pada bayi baru lahir tidak
dilakukan lagi. Pemberian antibiotikharus dibatasi serta memperhatikan faktor ibu dan
bayi. Antibiotikhanya boleh diberikan pada BBLR dengan berat <1250 gram tanpa
memandang ke dua faktor tersebut.Error: Reference source not found
Penelitian meta-analisis pada neonatus kurang bulan terhadap pemberian
antibiotik profilaksis diantaranya dari 5 RCT yang dianalisis tampak adanya
penurunan insiden terjadinya sepsis dan sepsis akibat coagulase negative
staphylococcal (CoNS) pada neonatus yang mendapat profilaksis vankomisin.
Didapatkan hasil lebih baik dengan pemberian secara continuous infusion. Namun,
tidak ada bukti bahwa pemberian profilaksis vankomisin dapat menurunkan angka
mortalitas ataupun mempengaruhi lama masa perawatan di NICU. Dari hasil analisis
yang sama juga tidak menunjukkan adanya gangguan pendengaran yang signifikan
akibat efek samping ototoksisitas dari vankomisin. Hingga saat ini belum ada bukti
cukup untuk menunjang hipotesis adanya peningkatan resistensi mikroba terhadap
vankomisin.121 Selain mengetahui berat bayi, perlu diketahui ada tidaknya riwayat
infeksi intrauterin dengan menanyakan apakah ibu demam selama proses persalinan
sampai tiga hari pasca persalinan atau ketuban pecah dini 18 jam atau lebih sebelum
bayi lahir. Setelah itu, antibiotikbaru dapat diberikan.122
3.8.2.2. Kebersihan Tangan
Mencuci tangan adalah cara paling sederhana dan merupakan tindakan utama
yang penting dalam pengendalian infeksi nosokomial. Namun, kepatuhan dalam
pelaksanaannya sangat sulit oleh karena beberapa hal yaitu iritasi kulit, sarana tempat
dan peralatan cuci tangan yang kurang, pemakaian sarung tangan, terlalu sibuk, dan
juga tidak terpikir untuk melakukan cuci tangan.123
Adapun hal-hal yang perlu diketahui dalam mencuci tangan adalah:
1. Mikroorganisme kulit
2. Tipe, tujuan dan metode mencuci tangan
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 55/90
3. Kepatuhan mencuci tangan
4. Jenis cairan dan lokasi tempat mencuci tangan
5. Kapan wajib mencuci tangan
6. Tujuh langkah mencuci tangan
7. Prosedur standar mencuci tangan rutin
Prosedur standar mencuci tangan rutin adalah sebagai berikut :
Gulung lengan baju hingga siku dan lepaskan semua perhiasan.
Sebelum masuk ruangan, cuci tangan secara seksama selama tiga menit
dengan larutan pencuci tangan antiseptik. Mulai dari tangan, bawah kuku dan
bagian sisi jari.
Bilas dengan air mengalir.
Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir
Taruh cairan sabun/sabun antiseptik dibagian tangan yang telah basah
Buat busa secukupnya
Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari selama 10-15 detik
Bilas kembali dengan air bersih
Tutup kran dengan siku
Keringkan tangan dengan tissue
Hindari menyentuh benda sekitarnya setelah mencuci tangan.
Kepatuhan para tenaga medis dalam mencuci tangan sangat rendah, namun ada
alternatif untuk mengatasi hal tersebut, antara lain dengan menggosok tangan (hand-
rubbing) dengan menggunakan cairan pembersih mengandung alkohol.124 Alternatif
ini cukup menjanjikan karena tidak sulit dikerjakan, sehingga tingkat kepatuhan para
tenaga medis bertambah dan dampak yang ditimbulkannya sama dengan mencuci
tangan dengan sabun antiseptik.125,126,127 Hand-rubbing dilakukan sesudah memegang
satu bayi dan sebelum memegang bayi lain, sedangkan pada saat awal masuk ke ruang
perawqtan cuci tangan sebaiknya cuci tangan dengan sabun antiseptik dan air
mengalir. Dengan diberlakukannya kebijakan mengenai cuci tangan, dapat
meningkatkan kepatuhan para tenaga medis.128 Penelitian Chelly Gunawan tentang
efektifitas Etil Alkohol Gliserin 69% Hand Rub, dengan uji acak buta, didapatkan
hasil yang tidak ada perbedaan bermakna pemakaian bahan tersebut dengan Alkohol
Based Handrub yang digunakan di Eropa.129 Hand Rub diletakkan disetiap tempat
tidur bayi agar memudahkan tenaga medis menggunakan dan mencegah penurunan
kepatuhan dalam penggunaannya.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 56/90
Gambar 9. Tujuh langkah mencuci tangan.130
Sumber: Hegar B, Trihono PP, Ifran EB. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2005.
Kepatuhan mencuci tangan sangat penting dalam mencegah infeksi
nosokomial. Hal yang sering ditemui adalah terbatasnya tempat cuci tangan, serta
rasio pasien dan tenaga kesehatan. Oleh karena itu, Hand Rub dan sosialisasi
pentingnya mencegah infeksi sangat diperlukan. Selain itu, sangat membantu
menurunkan kejadian luar biasa infeksi sepsis dan selulitis di bangsal seperti kejadian
di Surabaya yang tercantum pada tabel dibawah ini.
Tabel 14. Pengamatan Pencegahan Penularan Infeksi pada Dokter dan Perawat dan
Bidan di Ruang Neonatus Periode Mei 2002 ( 30 orang )
KRITERIA MEDIS
BENAR
MEDIS
SALAH
PARAMEDIS
BENAR
PARAMEDIS
SALAH
TPP
BENAR
TPP
SALAH
1 30 70
2 40 60 50 50 30 70
3 40 60 30 70
4 20 80 20 80 0 100
5 80 20
Sumber : kepustakaan nomor ?
KRITERIA :
a. Mengambil darah/liq/feses pakai sarung tangan
b. Memegang bayi cuci tangan/semprot tangan terlebih dahulu
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 57/90
c. Tindakan medis lain pakai sarung tangan
d. Batuk pilek memakai masker
e. Disinfeksi kulit prosedural
Tabel 15. Pengamatan Pencegahan Penularan Infeksi pada Tenaga Medis dan
Paramedis di Ruang Neonatus Pasca Komunikasi dan Pengelolaan KLB ( 30 orang )
KRITERIA MEDIS
BENAR
MEDIS
SALAH
PARAMEDIS
BENAR
PARAMEDIS
SALAH
TPP
BENAR
TPP
SALAH
1 90 10
2 90 10 90 10 80 20
3 90 10 50 50
4 80 20 80 20 50 50
5 90 10
Sumber : kepustakaan nomor ?
KRITERIA :
a. Mengambil darah/liq/feses pakai sarung tangan
b. Memegang bayi cuci tangan/semprot tangan terlebih dahulu
c. Tindakan medis lain pakai sarung tangan
d. Batuk pilek memakai masker
e. Disinfeksi kulit prosedural
Tabel 16. Sepsis, Sepsis dengan Selulitis dan Kematian Sebelum dan Sesudah
Intervensi pada Saat KLB
SEBELUM INTERVENSI
BULAN SEPSIS
DENGAN
SELULITIS
KEMATIAN
SEPSIS DG
SELULITIS
JANUARI 1 1(100%)
FEBRUARI 11 6(46%)
MARET 7 4(57%)
APRIL 4 1(25%)
47,4%
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 58/90
SESUDAH INTERVENSI
BULAN SEPSIS
DENGAN
SELULITIS
KEMATIAN
SEPSIS DG
SELULITIS
MEI 0 0
JUNI 0 0
JULI 1 0
AGUSTUS 0 0
SEPTEMBER 0 0
OKTOBER 0 0
Sumber : kepustakaan nomor ?
3.8.2.3. Penggunaan Air Susu Ibu (ASI)
Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) sudah dibuktikan dapat mencegah terjadinya
infeksi pada bayi. Bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko lebih kecil untuk
memperoleh infeksi daripada bayi yang mendapat susu formula. Efektifitas ASI
tergantung dari jumlah yang diberikan, semakin banyak ASI yang diberikan semakin
sedikit risiko untuk terkena infeksi. Insidensi infeksi nosokomial pada bayi prematur
yang mendapat ASI (29,3%) lebih kecil dibandingkan dengan bayi prematur yang
mendapat susu formula (47,2%).131
Penelitian acak buta ganda pre dan post test control group design dengan
pemberian probiotik selama 14 hari pada bayi prematur, dapat meningkatkan kadar
imunoglobulin A sekretori feses sebanyak 19,7% dibanding yang tidak diberi
probiotik. Diduga bakteri probiotik yang diberi sejak dini setelah lahir, mempunyai
efek protektif terhadap infeksi dini yang umumnya terjadi di mukosa
gastrointestinal.132
3.8.2.4. Pencegahan dengan menggunakan IVIG
Dalam suatu studi meta-analisis yang dilakukan terhadap 4933 bayi yang
mendapatkan profilaksis IVIG dan 110 bayi menerima IVIG sebagai terapi sepsis
dilaporkan bahwa pemberian IVIG tersebut lebih bermanfaat sebagai profilaksis
sepsis neonatal (khususnya pada bayi BBLR) dibandingkan bila dipakai sebagai
terapi standar sepsis.96
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 59/90
3.8.2.5. Ruang Perawatan
Bentuk, konstruksi dan suasana ruang perawatan yang baik dan memadai
dapat mengurangi insidens infeksi nosokomial. Jumlah pasien yang terlalu banyak,
kurangnya tempat dan sabun untuk mencuci tangan, kurangnya handuk atau tissue,
tempat penyimpanan sarana kesehatan yang tidak nyaman, perawatan yang tidak baik
terhadap ruangan, buruknya ventilasi aliran udara dan fasilitas ruangan isolasi, dapat
meningkatkan angka kejadian sepsis neonatorum. Setiap ruang perawatan terutama
NICU memerlukan paling sedikit 1 ruangan isolasi untuk 2 pasien yang terinfeksi,
dan ruangan untuk cuci tangan, ruangan tempat memakai baju steril untuk tindakan
invasif, dan tempat penyimpanan alat-alat atau material yang sudah dibersihkan.
Menurut American Academic Pediatric, 2004 pelayanan kesehatan neonatus dibagi
menjadi beberapa tingkatan (lihat tabel 17).133
Tabel 17. Tingkat Pelayanan Kesehatan Neonatus 133
Pelayanan Kesehatan Dasar Neonatus (Perawatan neonatus level I) : - Perawatan bayi normal - Resusitasi neonatus dan stabilisasi neonatus sebelum rujukan Pelayanan Kesehatan Spesialistik Neonatus (Perawatan Neonatus level II) : - Level I + bayi berat lahir >1500 g - Resusitasi dan stabilisasi sebelum dirujuk ke level III Pelayanan Kesehatan Subspesialistik Neonatus (Perawatan Neonatus level III) : - Level IIIA Level II + ventilasi mekanik - Level IIIB Ventilasi mekanik lanjut dan tindakan bedah minor - Level IIIC Tindakan bedah lanjut (eg, omphalocele, tracheoesophageal fistula, esophageal atresia, myelomeningocele, ventriculoperitoneal shunt, dll) - Level IIID Tindakan bedah lanjut – bedah kelainan jantung bawaan dan ECMO
Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:1341–1347.
Secara lebih rinci, lingkungan perawatan bayi harus memenuhi kriteria berikut :134
Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan jalan dan tidak ada jendela yang
terbuka ke daerah luar.
Semua jalan masuk ke ruang bayi harus ada wastafel dengan kran yang
bisa dibuka/ditutup dengan siku atau kaki dan sabun cair serta handuk
sekali pakai untuk cuci tangan yang benar sebelum masuk ruang bayi.
Menghindari terlalu banyak orang di ruang bayi.
Harus ada ruang atau daerah isolasi yang digunakan dengan benar.
Gaun penutup dan fasilitas untuk membuang benda sekali pakai harus ada
di dekat pintu masuk.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 60/90
Lantai ruang bayi harus disapu setiap 8 jam untuk menghilangkan debu
dan dipel sekali sehari dan/atau jika terlihat kotor.
Linen di dalam inkubator harus diganti sekali sehari jika terkontaminasi.
Inkubator harus dilap dengan air steril sekali sehari atau jika
terkontaminasi.
Inkubator harus diganti supaya bisa dibersihkan secara menyeluruh dengan
larutan hipoklorida 10%.
Label untuk menuliskan tanggal pembersihan harus ditempel pada setiap
inkubator.
Harus ada area yang khusus untuk melakukan desinfeksi inkubator.
Harus ada wastafel dinding di dalam ruang bayi, satu untuk setiap tiga
inkubator.
Permukaan di ruang bayi harus dibersihan dengan seksama sedikitnya
sekali seminggu.
Pemisahan limbah dibagi atas :
a. Sampah infeksius (kantung berwarna kuning)
Dapat berupa dressing bedah, kasa, verband, kateter, swab, plester,
masker, sarung tangan, kapas lidi, kantong urin, sampah yang
terkontaminasi dengan cairan tubuh.
b. Sampah domestik/rumah tangga (kantong berwarna hitam)
Dapat berupa kertas, plastik, plastik bungkus spuit/infus, kardus,
kayu, kaleng, daun, sisa makanan, sampah yang tidak terkontaminasi
cairan tubuh pasien.
c. Sampah benda tajam (kotak berwarna kuning)
Seperti jarum suntik, pisau cukur, pecahan ampul, gelas objek, lanset,
sampah yang memiliki permukaan/ujung yang tajam.
Semua limbah cair (darah, cairan suction dan sekresi) dibuang di sanitary
sewer dan digelontor dengan air.
Semua limbah tajam dibuang kedalam penampungan yang tahan tusukan
dan air.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 61/90
3.8.2.6. Petugas
Jumlah petugas yang memadai diperlukan untuk memberikan asuhan kepada bayi
dengan waktu cuci tangan yang adekuat diantara kontak dari bayi ke bayi. The
American Academy Pediatrics (AAP) memberikan beberapa rekomendasi di bawah
Tabel 14. Jumlah staf berdasarkan level pelayanan 133
Level Neonatal Unit Jumlah Perawat
Unit perawatan bayi normal (Level1)
1 perawat per 6-8 neonatus
Unit Perawatan Transisi (Level II) 1 perawat per 3-4 neonatus
Unit Perawatan Intensif (Level III) 1 perawat per 1-2 neonatus
Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:1341–1347.
3.9. Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain:Error: Reference source not found,135,136
Meningitis
Neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus
dan/atau leukomalasia periventrikular.
Pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi acute
respiratory distress syndrome (ARDS).
Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti
ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal.
Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai
dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental
Kematian
3.10. Prognosis
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila
tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30% kasus
neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada bayi
kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini
adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 – 30 %) dan pada sepsis
awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira – kira 2 %).Error:
Reference source not found,137
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 62/90
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 63/88
BAB IV
DISKUSI
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, permasalahan seputar sepsis
neonatorum terletak pada permasalahan penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan
pencegahan (profilaksis) sepsis neonatorum.
Dalam hal penegakan diagnosis sepsis neonatorum mengalami kendala karena
gejala dan tanda klinis sepsis tidak spesifik, yaitu dapat menyerupai keadaan lain yang
disebabkan oleh keadaan non-infeksi. Dilain pihak, penegakan diagnosis secara dini
berperan sangat penting karena dapat membantu menurunkan tingkat mortalitas. Oleh
karena itu, para ahli berupaya untuk dapat menegakkan diagnosis secara dini dengan
membuat beberapa kriteria diagnosis untuk sepsis. Saat ini, banyak sekali ditemukan
berbagai kriteria diagnosis yang telah dipergunakan di berbagai sarana kesehatan. Ada
sarana kesehatan yang menggunakan pendekatan diagnosis berdasarkan faktor risiko
dan mengelompokkan faktor risiko tersebut ke dalam risiko mayor dan risiko minor
(lihat tabel 13). Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka
pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan
penunjang (septic work-up) sesegera mungkin.77
Tabel 13. Pengelompokan faktor risiko 77
Risiko mayor Risiko minor
1. Ketuban pecah > 24 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu >
38 C
3. Korioamnionitis
4. Denyut jantung janin yang menetap >
160x/menit
5. Ketuban berbau
1. Ketuban pecah > 12 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu >
37,5 C
3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1 < 5 ,
menit ke-5 < 7 )
4. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR)
< 1500 gram.
5. Usia gestasi < 37 minggu.
6. Kehamilan ganda.
7. Keputihan pada ibu.
8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) /
tersangka ISK yang tidak diobati.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 64/88
Selain itu, pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan
usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai
dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan
menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi
jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 14).Error: Reference source not found
Tabel 14. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus Error: Reference source not found
Variabel Klinis
Suhu tubuh tidak stabil
Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit
Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )
Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik
TD < 2 SD menurut usia bayi
TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )
TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )
Variabel Perfusi Jaringan
Pengisian kembali kapiler > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 mmol/L
Variabel Inflamasi
Leukositosis ( > 34000x109/L )
Leukopenia ( < 5000 x 109/L )
Neutrofil muda > 10%
Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2
Trombositopenia <100000 x 109/L
C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL
16 S rRNA gene PCR : positif
Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9
Pemeriksaan penunjang seperti biakan darah untuk kultur kuman penyebab
merupakan standar baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun demikian,
terdapat beberapa kendala yaitu kultur kuman penyebab seringkali menunjukkan hasil
yang tidak memuaskan. Selain itu, hasil pemeriksaan baru dapat diketahui setelah 48-
72 jam. Hal yang penting juga diperhatikan bahwa kuman penyebab infeksi tidak
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 65/88
selalu sama, baik antar klinik, antar waktu, ataupun antar negara. Menurut survei yang
dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000, pada SAD
ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus bakteremia, dan pada SAL
bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri Gram positif (70,2%). Bakteri Gram
negatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%) sedangkan Coagulase-negative
Staphylococcus merupakan penyebab tersering (47,9%) pada SAL (tabel 3).28
Saat ini, dengan berkembangnya teknologi kedokteran telah menghadirkan
berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti pemeriksaan CRP,
Interleukin, PCR, Procalcitonin, dan lain sebagainya untuk menunjang diagnosis
sepsis neonatorum. Masing-masing pemeriksaan tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan seperti yang ditunjukkan dalam tabel 15. Pada dasarnya, pemeriksaan
penunjang untuk penegakan diagnosis sepsis dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok yaitu :
Kelompok pemeriksaan penunjang konvensional, yang meliputi pemeriksaan
darah perifer lengkap, kultur darah dan CRP.
Kelompok pemeriksaan penunjang canggih : marker/petanda dan mediator.
Permasalahan terletak pada fasilitas yang ada di tempat pelayanan masing-
masing sangat bervariasi. Oleh karena itu, harus dipilih pemeriksaan penunjang yang
sesuai dengan kebutuhan di setiap sarana kesehatan.
Mengenai penatalaksanaan, ditemukan permasalahan dalam pemberian
antibiotik spektrum luas pada neonatus, mengingat toksisitasnya dan pola resistensi
dikemudian hari. Sehingga perlu sekali untuk memberikan batasan indikasi yang jelas
berdasarkan evidence based medicine mengenai pemberian antibiotik tersebut.
Spektrum mikroorganisme yang menyebabkan sepsis neonatorum sangat
bervariasi dari waktu ke waktu dan juga antar daerah yang satu dengan daerah
lainnya. Bahkan dapat pula berbeda dari rumah sakit satu dengan rumah sakit lainnya
di daerah yang sama. Di sebagian besar negara berkembang, bakteri Gram negatif
tetap menjadi etiologi utama sepsis neonatorum, terutama pada SAD. Dari penelitian-
penelitian yang dilakukan dalam dua dekade terakhir, tampak telah terjadi
peningkatan multidrugs resistence. Hal tersebut diperkirakan diakibatkan penggunaan
antibiotik yang tidak tepat, penjualan antibiotik secara bebas tanpa resep dokter,
kurangnya peraturan/perundang-undangan yang mengatur penggunaan antibiotik,
sanitasi yang buruk dan tidak efektifnya kontrol terhadap pelayanan persalinan. Di
lain pihak, infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 66/88
akan mengakibatkan terjadinya kegagalan pengobatan, peningkatan mortalitas, serta
semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan.
Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus
menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik:
Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis.
Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk GBS).
Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi
mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp).
Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya
menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria).
Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola
resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal
berikut:
1. Usia saat awitan penyakit, karena mikro-organisme penyebab SAD dan SAL
berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda.
2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi.
3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. Terapi antibiotik
memegang peranan penting pada ekologi flora mikroba di ruang perawatan.
Penggunaan antibiotik berlebihan akan menghilangkan strain sensitif dan
menyebabkan proliferasi strain resisten. Perlu diperhatikan adanya resistensi
silang terhadap antimikroba yang berada dalam satu golongan.
4. Farmakokinetik antibiotik.
5. Faktor spesifik pasien (kondisi klinis pasien termasuk prosedur invasif dan terapi
antibiotik terdahulu).
Berikut ini sepuluh langkah perencanaan penggunaan antibiotik:
1. Kultur darah (dan mungkin cairan serebrispinal dan atau urin) harus dimulai
sebelum memulai terapi antibiotik.
2. Gunakan sedapat mungkin antibiotik spektrum sempit, seperti penisilin
(piperacillin-tazobactam) dan aminoglikosida (amikasin).
3. Jangan memulai terapi dengan sefalosporin generasi ke tiga (sefotaksim,
seftazidim) atau karbapenem (imipenem, meropenem).
4. Kembangkan kebijakan antibiotik lokal dan nasional untuk membatasi
pengguanaan antibiotik spektrum luas yang mahal seperti imipenem untuk
pengobatan empirik.
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 67/88
5. Percaya hasil kultur dan laboratorium mikrobiologi.
6. Peningkatan CRP bukan berarti sepsis.
7. Jika kultur darah steril dalam 2-3 hari, penghentian antibiotik hampir selalu aman
dan tepat.
8. Usahakan untuk tidak menggunakan antibotik untuk waktu yang lama.
9. Obati sepsis bukan kolonisasi.
10. Lakukan yang terbaik untuk pencegahan infeksi nosokomial dengan cara
menggalakkan pengendalian infeksi, khususnya mencuci tangan.
Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga
diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan dampak
positif antara lain :
Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage
colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT),
pemberian fresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin.95,96,97,108,109
Masalah pencegahan (profilaksis) juga dinilai perlu untuk diangkat ke
permukaan karena sudah cukup banyak penelitian mengenai risiko dan manfaatnya di
luar negeri namun belum dipakai di Indonesia karena masih diragukan manfaatnya.
Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan lambat
(SAL).
Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan
pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan
tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan
dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah
dini, serta menurunkan resiko infeksi GBS sampai 36%. Pada wanita dengan
korioamnionitis dapat diberikan ampicillin dan gentamicin, yang dapat
menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi GBS
sebesar 86%.119
Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain :
1. Pemantauan yang berkelanjutan
2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis
dibandingkan jumlah pasien
3. Bentuk ruang perawatan
4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai
5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 68/88
6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral
7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal
8. Pemakaian antibiotik yang rasional
9. Program pendidikan
10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.120
Tabel 15. Perbandingan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Sepsis Neonatorum
Pemeriksaan Penunjang
Overview Sensitivitas Spesifisitas Possitive predictive value
Negative predictive
value
Kelebihan Kekurangan
Kultur darah 28,59,60 dapat dilakukan pada SAD maupun SAL
standar baku emas
hasil baru dapat dilihat 48-72 jam
cara pengambilan spesimen khusus
jumlah darah yang diambil cukup banyak (1cc)
hasil positif palsu: kontaminasi dalam pengambilan sampel
hasil negatif palsu: sampel terlalu sedikit
Kultur urin 5,22,61 bila dicurigai terdapat infeksi saluran kemih
cara pengambilan spesimen khusus, yaitu: kateterisasi steril/ aspirasi suprapubik
dilakukan pada anak yang lebih besar
memberikan hasil yang lebih baik pada SAL
Pewarnaan Gram 62 membedakan kuman Gram negatif atau positif
dapat digunakan pada fasilitas lab yang terbatas
bermanfaat pada awal pengobatan
terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus
dapat mendeteksi
Hitung trombosit 5 dalam 2-3 hari pertama kehidupan.
mudah dilakukan biaya murah
Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit 5
mudah dilakukan biaya murah
pemeriksaan tidak spesifik
IT ratio menghitung rasio neutrofil imatur dan neutrofil total
60-90%
D-dimer 64,65,66,67,68 hasil pemecahan cross-linked fibrin
tidak spesifik untuk sepsis
CRP 72 protein yang disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan
60% 78,94% 48,77% 66,66%99,7% (serial pada SAD)
98,7% (serial pada SAL)
biaya murah tidak direkomendasikan sebagai indikator tunggal dalam mendiagnosis sepsis
Procalcitonin Merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat 13 kDa, merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel parafolikuler kelenjar tiroid, yg dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam darah.
92,6% (SAD)100% (SAL)
97,5% (SAD)100% (SAL)
bereaksi lebih cepat daripada CRP
biaya mahal
InterleukinIL6, IL8 petanda infeksi yang
disintesis oleh sel monosit, endotel dan imunitas
100% tidak direkomen-
dasikan sebagai indikator tunggal dalam mendiagnosis sepsis
PCR 96% 94% 88,9% 99,8% mampu memberi-kan informasi jenis kuman secara cepat
hanya dapat dilakukan di RS Rujukan/ Pendidikan
dapat mendeteksi infeksi jamur invasif
BAB V
ANALISIS BIAYA
Penyusun suatu analisis biaya, dibutuhkan tiga komponen biaya, yaitu direct cost,
indirect cost dan intangible cost. Komponen direct cost dalam penatalaksanaan Sepsis
Neonatorum di rumah sakit, meliputi:
1. Komponen Diagnostik
Pemeriksaan kultur darah
Pemeriksaan kultur urin
Pemeriksaan kultur LCS
Pewarnaan Gram
Pemeriksaan Hematologi (darah perifer lengkap, IT ratio, D-dimer,
Fibrinogen, Thrombin-antithrombin III complex (TAT), PT, APTT,
Analisis Gas Darah dan elektrolit)
Pemeriksaan Acute phase proteins and other proteins (C Reactive
Protein, Procalcitonin)
Chemokines, cytokines and adhesion molecules (Interleukin – 6 dan
Interleukin – 8)
Laktat
Gula darah
Pemeriksaan Radiografi Thorax
USG Abdomen
CT Scan
Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi
2. Komponen Terapi
Pemberian Antibiotik
Terapi Suportif (Intravenous immunoglobuline, transfusi tukar,
pemberian fresh frozen plasma, pemberian kortikosteroid pada kepsis
neonatorum)
3. Jasa Tindakan Medik
Saat ini sedang disusun Sistem Case-mix dalam INA DRG (Indonesian
Diagnosis Regiment Group) oleh Departemen Kesehatan RI untuk
Rumah Sakit Pemerintah sehingga diharapkan di masa depan akan ada
kesamaan biaya untuk suatu penyakit tertentu dengan kategori atau
kriteria yang sama.
BIAYA PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM DI RS CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA DAN RS KARIADI SEMARANG.
NO JENIS KEGIATAN RSUPN CMRSUP Kariadi
III II / I / UTAMA PRIVATE / VIP1 KOMPONEN DIAGNOSTIK
- Pemeriksaan kultur darah Rp 180.000 Rp 122.500 Rp 145.000 Rp 152.000 - Pemeriksaan kultur urin Rp 180.000 Rp 88.000 Rp 125.000 Rp 132.000 - Pemeriksaan kultur jamur Rp 310.000 Rp 53.000 Rp 63.000 Rp 70.000 - Pewarnaan Gram Rp 26.000 Rp 20.500 Rp 31.000 Rp 32.500 - Pemeriksaan Hematologi a. Darah perifer lengkap Rp 25.000 Rp 48.250 Rp 59.500 Rp 63.000 b. D-dimer Rp 134.000 Rp 218.000 Rp 237.000 Rp 245.000 c. Fibrinogen Rp 51.000 Rp 63.500 Rp 70.000 Rp 75.000 d. Thrombin-antithrombin III complex (TAT) Rp 220.000 138.500 Rp 167.000 Rp 175.000 e. PT Rp 86.500 Rp 32.000 Rp 40.000 Rp 42.000 f. APTT Rp 86.500 Rp 32.000 Rp 40.000 Rp 42.000 g. Analisis gas darah dan elektrolit Rp 150.000 Rp 142.500 Rp 165.000 Rp 173.500 h. IT ratio Rp 10.000
- Pemeriksaan Acute phase proteins and other proteins
a. C Reactive Protein Rp 30.000 Rp 27.000 Rp 42.000 Rp 49.000 b. Procalcitonin Rp 500.000 - Chemokines, cytokines and adhesion molecules a. Interleukin – 6 224 USD b. Interleukin – 8 ) 224 USD
- Laktat Rp 225.000 Rp 67.000 Rp 73.500 Rp 75.000 - Dextrose stick Rp. ………. Rp. ………. Rp. ………. Rp. ……….
- Pemeriksaan rdiografi torax Rp 65.000 Rp 75.000 Rp 90.000 Rp 107.000 - USG kepala Rp 190.000 Rp 216.000 Rp 235.000 Rp 285.000 - USG Abdomen Rp 210.000 Rp 216.000 Rp 235.000 Rp 285.000 - CT Scan a. Tanpa kontras Rp 450.000 Rp 500.000 Rp 600.000 Rp 650.000 b. Dengan kontras Rp 600.000 Rp 868.000 Rp 1.007.000 Rp 1.115.000 - Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi Rp 100.000 Rp 132.000 Rp 155.000 Rp 190.000
2 KOMPONEN TERAPI - Pemberian Antibiotik a. Amoxiclav vial @ 1 gram Rp 90.000 Rp 85.021 Rp 85.021 Rp 85.021 b. Garamycin vial - 20 mg Rp 28.000 - 60 mg Rp 58.000 - 80 mg Rp 70.000 c. Ceftazidim vial 1 gram Rp 18.500 Rp 32.604 Rp 32.604 Rp 32.604 d. Piperacillin vial 4,5 gram Rp 363.000 - Terapi Suportif a. Intravenous immune globulin Rp 750.000 b. Transfusi Tukar Rp. 1.142.400 Rp. 343.902 Rp. 343.902 Rp. 343.902 c. Pemberian Fresh Frozen Plasma Rp. 84.500 Rp. 44.056 Rp. 44.056 Rp. 44.056
d. Pemberian kortikosteroid pada sepsis
neonatorum Rp ................ Rp. ………. Rp. ………. Rp. ………. JASA TINDAKAN MEDIK
- Untuk tindakan Transfusi tukar Rp 500.000 Rp 134.000 Rp 134.000 Rp 134.000 - Untuk tindakan transfusi Rp 25.000
Perhitungan biaya untuk penderita sepsis neonatorum didasarkan pada berat
ringannya penyakit yang diderita. Untuk biaya perawatan dan jasa tindakan medik,
tergantung dari kebijaksanaan pemerintah daerah masing-masing. Perkiraan biaya
yang akan dikeluarkan oleh penderita sepsis neonatorum yaitu :
Sepsis Neonatorum Ringan / Suspect Neonatal Sepsis
- pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali ( 2 x Rp. 180.000 ) = Rp.
360.000
- pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali ( 2 x Rp. 180.000 ) = Rp.
360.000
- pewarnaan gram dilakukan 1 kali ( 1 x Rp. 26.000 ) = Rp.
26.000
- pemeriksaan darah perifer lengkap ( rutin ) = Rp.
25.000
- pemeriksaan C Reactive Protein ( rutin ) = Rp.
30.000
- pemeriksaan IT Rasio ( rutin ) = Rp.
10.000
- untuk nutrisi : pasien dapat minum biasa
- untuk pemeriksaan radiologi dan USG : tidak diperlukan
- pemberian antibiotik selama 3 - 7 hari
a. Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000
Garamycin vial
- 20 mg Rp. 28.000
- 60 mg Rp. 58.000
- 80 mg Rp. 70.000
Ceftazidim vial 1 gram Rp. 18.500
Piperacillin vial 4,5 gram Rp. 363.000
Sepsis Neonatorum Sedang
- infus 1 set, abocath 4 buah, stopler 2 buah ( selama 4 hari )
hari ke-1 : dextrose 10% 2 botol
hari ke-2 dan seterusnya : N 5 + KCl + Ca gluconas 2 botol
- pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali ( 2 x Rp. 180.000 ) = Rp. 360.000
- pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali ( 2 x Rp. 180.000 ) = Rp.
360.000
- pewarnaan gram dilakukan 1 kali ( 1 x Rp. 26.000 ) = Rp.
26.000
- pemeriksaan darah perifer lengkap ( rutin ) 2 x 25.000 = Rp.
50.000
- pemeriksaan C Reactive Protein ( rutin ) 2 x 30.000 = Rp.
60.000
- pemeriksaan IT Ratio ( rutin ) 2 x 10.000 = Rp.
20.000
- pemberian antibiotik selama 14 hari
a. Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000
Garamycin vial
- 20 mg Rp. 28.000
- 60 mg Rp. 58.000
- 80 mg Rp. 70.000
Ceftazidim vial 1 gram Rp. 18.500
Piperacillin vial 4,5 gram Rp. 363.000
- Pemeriksaan radiologi thorax = Rp.
65.000
- Pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi = Rp.
100.000
- Pemeriksaan USG kepala = Rp.
190.000
Sepsis Neonatorum Berat
- infus 1 set, abocath 4 buah, stopler 2 buah ( selama 7 hari )
hari ke-1 : dextrose 10% 2 botol
hari ke-2 dan seterusnya : N 5 + KCl + Ca gluconas 2 botol
- pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali ( 2 x Rp. 180.000 ) = Rp. 360.000
- pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali ( 2 x Rp. 180.000 ) = Rp.
360.000
- pewarnaan gram dilakukan 1 kali ( 1 x Rp. 26.000 ) = Rp.
26.000
- pemeriksaan darah perifer lengkap ( rutin ) 2 x 25.000 = Rp.
50.000
- pemeriksaan C Reactive Protein ( rutin ) 2 x 30.000 = Rp.
60.000
- pemeriksaan IT Ratio ( rutin ) 2 x 10.000 = Rp.
20.000
- pemberian antibiotik selama 14 hari
a. Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000
Garamycin vial
- 20 mg Rp. 28.000
- 60 mg Rp. 58.000
- 80 mg Rp. 70.000
Ceftazidim vial 1 gram Rp. 18.500
Piperacillin vial 4,5 gram Rp. 363.000
- Pemeriksaan radiologi thorax = Rp.
65.000
- Pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi = Rp.
100.000
- Pemeriksaan USG kepala = Rp.
190.000
- Pemeriksaan kultur jamur = Rp.
310.000
- Pemeriksaan PT = Rp.
86.500
- Pemeriksaan APTT = Rp.
86.500
- Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum = Rp. ...........
- Terapi Suportif
Intravenous immune globulin
= Rp. 750.000
Transfusi Tukar
= Rp. 1.141.560
Pemberian Fresh Frozen Plasma
= Rp. 223.000
KONDISI DI INDONESIA
Sepsis neonatorum merupakan masalah kesehatan neonatal dengan angka
kematian yang masih cukup tinggi dengan biaya yang masih cukup mahal
Sistem rujukan neonatal sangat memegang peran penting dalam tinggi rendah
nya angka morbiditas dan mortalitas neonatal . Sistem ini belum terwujud dan
terlaksana dengan baik
Fasilitas Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan neonatal dan
pemeriksaan penunjang sangat berbeda di beberapa daerah atau Rumah Sakit
Penggunaan antibiotik secara rasional masih belum memuaskan
Dukungan nutrisi merupakan salah satu komponen yang penting dalam
menunjang tatalaksana sepsis neonatorum namun kadang justru menambah
infeksi nosokomial karena pemberian total parenteral nutrisi yang tidak tepat.
Salah satu hal yang dapat meninggikan angka infeksi dan sepsis neonatorum
adalah kemasan cairan dalam volume besar ( 500 cc) yang terlalu besar untuk
kebutuhan harian bagi bayi dengan infeksi atau sepsis neonatorum sehingga
sering dalam memenuhi kebutuhan cairan sering dilakukan penusukan botol
infus yang berulang kali yang mmenyebabkan infeksi
BAB VI
REKOMENDASI
I. Bahwa Sepsis neonatorum masih merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan
angka mortalitas yang cukup tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian
Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera
ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif,
kuratif dan rehabilitatif. [Rekomendasi B]
II. HTA (Health Technology Assessment) yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan RI dengan melibatkan berbagai mitra bestari (Stake holder) berusaha
untuk melakukan penilaian dan kajian dari berbagai aspek terutama aspek
teknologi kedokteran sesuai dengan kondisi negara Republik Indonesia yang
diharapkan dapat memberi manfaat dalam penanggulangan masalah sepsis
neonatorum, meliputi :
1. Penegakan diagnosis
2. Penatalaksaan
3. Pencegahan
2.1. Penegakan diagnosis :
Penegakan diagnosis Sepsis neonatorum dipilih dengan pendekatan standar
klinis yang menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko
tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor.
Penegakkan diagnosis dilakukan secara klinis dengan disertai pemeriksaan
penunjang.
Selain itu penegakan diagnosis juga dapat mengacu pada usulan kriteria
diagnosis menurut The International Sepsis Forum. Kriteria diagnosis sepsis
didasarkan pada perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi.
Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel,
yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan
variabel inflamasi.
Penajaman tentang pemeriksaan klinis untuk menentukan diagnosis sepsis
atau dugaan sepsis sangat penting.
Pemeriksaan penunjang sangat tergantung dari ketersediaan fasilitas di
tempat pelayanan kesehatan:
Di sarana yang memiliki fasilitas untuk pemeriksaan penunjang
konvensional dianjurkan untuk melakukan :
Skrining Infeksi maternal
Pemeriksaan untuk bayi meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap,
pemeriksaan kultur/biakan, CRP dan IT ratio.
Di sarana kesehatan yang memiliki fasilitas lengkap untuk pemeriksaan
penunjang canggih, selain melakukan pemeriksaan penunjang
konvensional seperti tersebut di atas, apabila terdapat indikasi dapat
melakukan pemeriksaan penunjang canggih sesuai dengan fasilitas yang
ada, seperti pemeriksaan IgG, IgM, sitokin, interleukin, PCR,
prokalsitonin, dan lain-lain.
2.2. Penatalaksanaan
Mengingat bahwa fasilitas sarana kesehatan dan sumber daya yang bervariasi di
Indonesia maka penatalaksanaan sepsis neonatorum sebaiknya sebagai berikut :
Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus
menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik:
Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis.
Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk GBS).
Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi
mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp).
Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya
menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria).
Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga
diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan
dampak positif antara lain :
Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage
colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT),
pemberian fresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin. [Rekomendasi A]
Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola
resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal
berikut:
1. Usia saat awitan penyakit, karena mikroorganisme penyebab SAD dan SAL
berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda.
2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi.
3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. Terapi antibiotik
memegang peranan penting pada ekologi flora mikroba di ruang perawatan.
Penggunaan antibiotik berlebihan akan menghilangkan strain sensitif dan
menyebabkan proliferasi strain resisten. Perlu diperhatikan adanya resistensi
silang terhadap antimikroba yang berada dalam satu golongan. Oleh karena
itu, diharapkan setiap sarana kesehatan dapat melakukan pemeriksaan
mikroorganisme secara berkala untuk mengetahui pola resistensi kuman.
4. Farmakokinetik antibiotik.
Faktor spesifik pasien (kondisi klinis pasien termasuk prosedur invasif dan
terapi antibiotik terdahulu).
2.3. Pencegahan
Mengingat penyebab sepsis neonatorum adalah multifaktoral maka perlu
dipikirkan pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan,
persalinan dan beberapa saat setelah persalinan
Pencegahan secara umum :
o Melakukan pemeriksaan antenatal yang baik dan teratur.
o Skrining infeksi maternal kemudian mengobatinya, misalnya infeksi
TORCH, infeksi saluran kemih, dll.
o Mencegah persalinan prematur atau kurang bulan.
o Meningkatkan status gizi ibu agar tidak mengalami kurang gizi dan
anemia.
o Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk ibu dengan ancaman
persalinan kurang bulan.
o Konseling ibu tentang risiko kehamilan ganda.
o Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :
Persalinan yang bersih dan aman
Stabilisasi suhu
Inisiasi pernapasan spontan dengan melakukan resusitasi yang
baik dan benar sesuai dengan kompetensi penolong
Pemberian ASI dini dan eksklusif
Pencegahan infeksi dan pemberian imunisasi
o Membatasi tindakan/prosedur medik pada bayi
Pencegahan secara khusus
Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan
lambat (SAL).
a. Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik.
Dengan pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal
persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko
terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir
prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan resiko infeksi GBS
sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampicillin
dan gentamicin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum
sebesar 82% dan infeksi GBS sebesar 86%. [Rekomendasi B]
b. Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara
lain:
1. Pemantauan yang berkelanjutan
2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis
dibandingkan jumlah pasien
3. Bentuk ruang perawatan
4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai
5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan
6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral
7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal
8. Pemakaian antibiotik yang rasional
9. Program pendidikan
10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.
[Rekomendasi A]
III. Departemen Kesehatan RI diharapkan sekuat daya dan tenaga untuk:
Memasukkan Sistem Rujukan dan Transportasi Perinatal ke dalam Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) sehingga secara sentral masalah kesehatan
neonatal dapat ditangani secara terpadu dan tuntas.
Membantu melengkapi sumber daya: manusia, fasilitas, sarana, mulai dari
tingkat komunitas, puskesmas, rumah sakit rujukan tingkat kabupaten dan
propinsi.
Melaksanakan program-program di bidang kesehatan neonatal secara
terpadu, kontinyu dan komprehensif untuk kesehatan neonatal.
Bersama-sama dengan mitra bestari (stake holder) memperbaiki Sistem
Rujukan Perinatal termasuk melengkapi infrastruktur, sarana dan lain-lain.
Melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi agar mengupayakan sediaan
cairan infus yang digunakan untuk Nutrisi Parenteral Total pada bayi baru
lahir yang dapat dibuat dalam bentuk dan volume yang kecil : 100 – 125 cc.
Hal ini selain berdampak pada efisiensi biaya karena tidak banyak cairan
yang terbuang, juga mempunyai dampak dalam mencegah infeksi
nosokomial dan sepsis neonatorum akibat pemberian infus atau nutrisi
parenteral total.
DAFTAR PUSTAKA